Anda di halaman 1dari 17

ALIRAN-ALIRAN TASAWUF

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “ILMU TASAWUF”

Dosen Pengampu : Munajad,M.Pd

Disusun Oleh:

Nama : Tri Puji Lestari

Nim : 18111135

Prodi : Pendidikan Agama Islam / Smt 4

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL (STIK)

2020

i
KATA PENGANTAR

Sebagai pembuka kata, penulis panjatkan puji syukur kehadhirat Allah


SWT atas selesainya makalah ini. Tentu saja penulis menyadari bahwa di
dalam masih banyak ditemui kekurangan, baik dari segi materi maupun dari
segi teknis penyusunannya. Di samping itu penulis menyadari bahwa tidak
mungkin rasanya dapat menyelesaikan tanpa bantuan, baik langsung maupun
tidak langsung, yang penulis terima dari berbagai pihak. Dan kepada semua
pihak yang telah bermurah hati memberikan bantuan tersebut, penulis merasa
sangat berhutang budi dan berterima kasih. Mungkin hanya Allahlah yang
dapat membalasnya.

            Penulis menyusun sebuah karya Makalah yang berjudul: “ALIRAN-


ALIRAN TASAWUF”.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis berserah diri,


semoga apa yang telah diberikan oleh semua pihak terhadap penulisan ini, agar
mendapat balasan setimpal di sisi Allah SWT.

                                                              

                                                                                                Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................... i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii

Daftar Isi.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Wahdatul Wujud............................................................................................ 3
B. Ittihad............................................................................................................. 5
C. Hulul.............................................................................................................. 8
D. Mahabbah....................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai
dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallaahu alaihi wasallam. Islam
pula adalah satu-satunya agama yang diridloi oleh Allah. Oleh kerena Islam
adalah agama yang dirudhloi oleh alloh, sudah tentu islam adalah agama yang
mencakup segala aspek kehidupan ini.
Sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak
ummat, maka Islam mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak
manusia. Salah satu yang termasuk adalah akhlak tasawuf.
Dalam akhlak tasawuf dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk
mencapai ma’rifat. Diantaranya adalah hulul, ittihad, wahdatul wujud, dll.
Maka, dalam makalah ini penulis membahas hulul, ittihad, wahdatul wujud
agar pembaca mengetahui konsep dari beberapa konsep akhlak tasawuf. Lebih
luasnya lagi, penulis berharap amal dan perbuatan yang kita kerjakan sesuai
dengan ajaran Rasul.
Mudah-mudahan dengan penbahasan sekilas ini dapat menambah
wawasan penulis khususnya dan pembaca umumnya.

B. Rumusan Masalah
1) Pengertian Wahdatul Wujud?
2) Siapa tokoh yang mengembangkan paham wahdatul wujud?
3) Apa dasar hukum Wahdatul Wujud?
4) Apa pengertian Hulul?
5) Siapa tokoh yang mengembangkan paham Hulul?
6) Apa dasar hukum Hulul?
7) Apa pengertian Ittiha?
8) Siapa tokoh yang mengembangkan paham Ittihad?
9) Apa dasar hukum Ittihad?
10) Apa pengertian Mahabbah?
11) Siapa tokoh yang mengembangkan Mahabbah?

1
12) Apa dasar hukum Mahabbah?

C. Tujuan Masalah
1) Mengetahui Wahdatul wujud beserta tokohnya.
2) Mengetahui Hulul beserta tokoh dan dasar hukumnya.
3) Mengetahui Itthad beserta tokoh dan dasar hukumnya.
4) Mengetahui Mahabbah beserta tokoh dan dasar hukumnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Wahdatul Wujud
a) Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata,
yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-
wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki arti
kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan
wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada
bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh para
ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan
roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya
alam adalah Qadim dan berasal dari Allah.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang
selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia
dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution
lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam
paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi
khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq
adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq
dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq.

b) Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud


1) Muhy Al-Din Ibnu Arabi
Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165.
Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke
Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri
negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq,
Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal

3
dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal
adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-
Makkah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah)
dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul
“Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat).
Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang
yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah
menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan
filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan
bacaan yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari
tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami
Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Dalam Futuhat Al-
Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala
sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan,
mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti
adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”

2) Syekh Siti Jenar


Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit,
Lemahbang, dan Lemah Abang. Adalah seorang tokoh yang
dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam
dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya.
Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul
Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena
ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan
tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar
adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri.
Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya
meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah
budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi

4
beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal
ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.

c) Dasar hukum Wahdatul wujud

Ajaran wahdatul wujud memiliki dasar dan landasan, Dalil-


dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

ً‫ة‬Jَ‫ا ِه َرةً َوبَا ِطن‬JJَ‫ض َوأَ ْسبَ َغ َعلَ ْي ُك ْم نِ َع َمهُ ظ‬ ِ ‫أَلَ ْم تَ َروْ ا أَ َّن هَّللا َ َس َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َو َما فِي األر‬
‫ير‬ ٍ ‫اس َم ْن يُ َجا ِد ُل فِي هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َوال هُدًى َوال ِكتَا‬
ٍ ِ‫ب ُمن‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan


apa yang ada di langit dan apa yang di bumi untuk (kepentingan)mu
dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di
antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa
ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan” (Q.S
Luqman: 20)
‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَ ْنتُ ُم ْالفُقَ َرا ُء إِلَى هَّللا ِ َوهَّللا ُ هُ َو ْال َغنِ ُّي ْال َح ِمي ُد‬

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah


Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji” (Q.S Surat Fathir :15)

B. Ittihad
1) Pengertian Ittihad
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini
berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu
melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam
keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seseorang harus
melalui beberapa tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa'.
Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik.
Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia
sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad,
"diam pada kesadara ilahi".

5
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa
dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara
keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat
menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh
kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya.
Menurut Nicolson, dalam faham ittihad, hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai
dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah
yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding
after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihad itu adalah
pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang jika memang fana yang
merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan,
maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan
kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan
jiwa sebagaimana dikemukakan di atasPerkembangan Tasawuf
Sunni(akhlaki)

2) Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad


Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
Surusyan Al-Busthami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di
Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah
seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan,
kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian
menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid
memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud,
selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam,
hanya sedikit tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa
mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi,
kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat

6
begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi, sehingga tidak diragikan
bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang
luarbiasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal.
Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan
dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat 
ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap
dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain
Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang
membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah
Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda
dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi
sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama
fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh
karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada
dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi
atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang telah
mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan yang
dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi
kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak
mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran,
ittihad dipandang sebagai penyelewengan, namun bagi orang yang
berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai kekufuran
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada
hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik
banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan
dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M
didirikan diatasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol,

7
Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah
seorang keturunan dari Bustham.

C. Hulul
a) Pengertian Hulul
Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari kata
halla-yahlu-hululan yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti
menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam
al-Luma’ sebagai dikutip  Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan
bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
o Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil
tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil
tempat dalam bejana.
o Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu
mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu
esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.

Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan


Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah
lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul
adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan
bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan
(nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

8
b) Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya
adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.) di
negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak  di Persia. Dia tinggal
sampai dewasa di Wasith dekat dengan Baghdad, dan dalam usia 16 tahun
dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal,
bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad
dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga
menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup
yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahua tentang tasawuf
yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara
akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang
ganjil sebagaimana telah dikemukakan menyebabkan seorang ulama fikih
bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan
memberantas paham tasawuf al-Hallaj.

c) Dasar hukum hulul


Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-
Qur’an, misalnya sebagai berikut:

َ‫يس أَبَى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْال َكافِ ِرين‬
َ ِ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َماَل ئِ َك ِة ا ْس ُجدُوا آِل َ َد َم فَ َس َجدُوا إِاَّل إِ ْبل‬

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah


kalian kepada Adam, maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah:
34)

D. Mahabbah
1) Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan,
yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan
yang mendalam. Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai

9
Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk
kedalam diri yang mencintai.
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan
mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan
kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah
SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya. Mahabbah pada
tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan[1])
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah
adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut
Harun Nasution mengatakan, pengertian mahabbah antara lain yang
berikut:
 Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya
 Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
 Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman
bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan
sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam
diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.

2) Dasar Hukum Mahabbah


Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam
Al-quran maupun Sunah Nabi SAW.
o Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

10
  ‫وا‬ْ ُ‫ون هّللا ِ أَندَاداً يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هّللا ِ َوالَّ ِذينَ آ َمن‬ ِ ‫اس َمن يَتَّ ِخ ُذ ِمن ُد‬ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
‫اب أَ َّن ْالقُ َّوةَ هّلِل ِ َج ِميعا ً َوأَ َّن‬
َ ‫وا إِ ْذ يَ َروْ نَ ْال َع َذ‬
ْ ‫أَ َش ُّد ُحبّا ً هّلِّل ِ َولَوْ يَ َرى الَّ ِذينَ ظَلَ ُم‬

ِ ‫هّللا َ َش ِدي ُد ْال َع َذا‬


١٦٥- ‫ب‬
Artinya : ”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Tuhan
selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai
Allah. Adapun orang -orang yang beriman sangat besar cintanya kepada
Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika
mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya
milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka
menyesal)”. (QS. Al Baqarah/2: 165)

‫قُلْ إِن ُكنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هّللا َ فَاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم هّللا ُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َوهّللا ُ َغفُو ٌر‬
٣١- ‫ َّر ِحي ٌم‬-
Artinya : “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu.” Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Ali Imron/3: 31).

o Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai


berikut:

‫ي بِالنَّ َوافِ ِل َحتَّى‬َّ َ‫ َو َما يَزَا ُل َع ْب ِدي يَتَقَرَّبُ إِل‬..…


ُ ‫أُ ِحبَّهُ فَإ ِ َذا أَحْ بَ ْبتُهُ ُك ْن‬
‫ت َس ْم َعهُ الَّ ِذي يَ ْس َم ُع بِ ِه‬
‫ْص ُر بِ ِه َويَ َدهُ الَّتِي يَ ْب ِطشُ بِهَا‬
ِ ‫ص َرهُ الَّ ِذي يُب‬
َ َ‫َوب‬
… ‫َو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِهَا‬

….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-


ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya,
maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat;
menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya
yang ia gunakan untuk berjalan.…

3) Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah

11
Aliran mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi
wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah
seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, Irak. Ia lahir di
Basrah pada tahun 714 M.
Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil.
Ketiga orang kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan
melanda basra. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, dan orang ini
menjualnya sebagai budak belia dengan harga yang tidak seberapa, Si
kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala
perintah  majikannya. Malam hari di laluinya dengan berdoa. Pada suatu
malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah
berdoa kepada Allah “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak
belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya.
Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh waktu dalam
hidupku ini untuk berdoa kepadaMu” Tiba-tiba tampak cahaya di dekat
kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan. keesokan
harinya Rabiah dibebaskan oleh majikannya tersebut.
Setelah bebas, Rabiah menghabiskan waktunya hanya untuk
beribadah kepada Alloh SWT. Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa
mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang
disampikannya. Misalnya salah satu do’anya “Ya Tuhanku, bila aku
menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku
dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya
demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu”

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Wahdatul wujud digunakan oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai
suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan
Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari
Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya adalah
Muhy Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar
2) Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini
berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu
melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian
dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh Yang
Mengembangkan Paham Ittihad adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
Surusyan Al-Busthami.
3) Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-
sifat kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang mengembangkan
paham al-Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224
H. (858 M.)
4) Mahabbah berarti mencintai Allah. Aliran mahabbah dikembangkan oleh
seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37533760/MAKALAH_TASAWUF

https://anaksuryono.blogspot.com/2017/09/makalah-tasawuf-mahabbah-fana-
baqa.html

14

Anda mungkin juga menyukai