Anda di halaman 1dari 10

Antara akal dan jiwa menurut pemikir filsuf

Maulana Rizky Fauzi Fakultas Syariah dan Hukum/UIN


Maulanarizky31399@gmail.co Sunan Ampel Surabaya/ Jatiroto,
m Lumajang, Jawa Timur

Abstract:
Humans in the Islamic concept are composed of three elements, namely: body, life and soul. If
there is no life, then the body dies and the soul leaves the dead body. Here it means that the soul
separates from the body and goes back to the immaterial realm (formless) waiting for the day of
reckoning before Allah. Humans are basically truth-seeking creatures. Humans are never
satisfied with what already exists, but always seek and seek the real truth by asking questions for
answers. But each of these answers always satisfies humans. He must test it with a certain
method to measure whether what is meant here is not false truths, but scientific truths, namely
truths that can be measured by scientific means. The development of knowledge which is
increasingly rapid nowadays, does not make people stop looking for the truth. On the contrary, it
is increasingly motivating humans to continue to seek and seek truth based on existing theories
to test new theories or invalidate previous theories. So that humans are now even more active in
carrying out scientific research to find solutions to every problem they face. Because it is static,
not rigid, meaning that it will not stop at one point, but will continue over time as humans fulfill
their curiosity about the world.
Keywords: Human, Intellect, Soul, Expert thought, Philosophy of Science
Abstrak:
Manusia di dalam konsep Islam tersusun dari tiga unsur yaitu: tubuh, hayat dan jiwa. Kalaulah
hayat sudah tidak ada, maka tubuh pun mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang mati itu. Disini
mengartikan bahwa jiwa berpisah dari tubuh dan pergi kembali ke alam immateri (tak berbentuk)
menunggu hari perhitungan di hadapan Allah. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari
kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan
mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban.
Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang
bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan
cara-cara ilmiah. Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan
manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah
ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya.
Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah
untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak
kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan
waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia.
Kata Kunci: Manusia, Akal, Jiwa, Pemikiran ahli, Filsafat Ilmu
Pendahuluan
Salah satu faktor yang memungkinkan filsafat Yunani dikaji oleh orangorang Islam adalah
karena adanya karya-karya terjemahan filsafat yang disalin secara bebas kedalam bahasa Arab
baik langsung dari bahasa Yunani maupun dari teks asli versi Siriac (Nasution, 1973: 11).
Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750 sampai tahun 1000 masehi (Nasir, 1996).
Oleh karena itu, lewat penerjemahan-penerjemahan ini para pemikir muslim mengenal
pemikiranpemikiran filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan ajaran-ajaran Neoplatonis
(Nasution, 1973) untuk kemudian mereka kembangkan dan perkaya dengan pendekatan Islam,
sehingga lahirlah disiplin baru dalam dunia pemikiran Islam yang dikenal dengan sebutan
Filsafat Islam (al-Falsafah al-Islamiyah) dengan beberapa tokohnya seperti al-Kindi (796-873
M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1059-1111 M), Ibn Rusyd
(1126-1198 M) dan lain-lain (Nasir, 1996). Para tokoh-tokoh itu memiliki reputasi dan pengaruh
yang diakui tidak hanya di dunia Islam abad pertengahan bahkan juga mewarnai fiosof-filosof
Barat modern. Sedemikian besarnya pengaruh filosof-filosof muslim ini hingga W. Montgomery
Watt mengambil kesimpulan bahwa tanpa keberadaan mereka, ilmu pengetahuan dan filsafat
orang-orang Eropa tidak akan bisa berkembang seperti ketika dulu nenek moyang mereka
mengembangkannya untuk pertama kalinya (Nasir, 1996). Dengan demikian, filsafat Islam telah
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke- 9 dan ke-11 masehi. Berbeda dengan filsafat Barat
yang berkembang hingga abad modern, kejayaan filsafat Islam tidak mampu melampau abad
pertengahan dan mulai memasuki periode anti klimaks pada abad ke-12, khususnya Ibn Rusyd
(Nasir, 1996). Di antara para filosof muslim yaitu Al-Kindi. Al-Kindi menyusun filsafatnya di
Bagdad yang ketika itu masih menjadi ibu kota pemerintahan dan sekaligus pusat pengkajian
pengetahuan. Di kota ini juga al-Kindi mendapat banyak dukungan moral dan material dari tiga
khalifah dinasti Abbasiyah, alMa’mun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu
menunjukkan minat yang tinggi pada pengetahuan dan menyetujui kelangsungan kegiatan belajar
mengajar, kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusastraan. Menurut Ibnu Nadhim, kecenderungan al-
Kindi ternyata tidak hanya pada filsafat Yunani saja, tetapi alKindi juga mendalami studi
keagamaan India, Chaldean dan Harran (Basri, 2013:18). Terlepas dari semua
ketidaksempurnaan sistematika filsafat al-Kindi, ia tetaplah sosok yang paling berjasa dalam
membuka akses filsafat dan sains Yunani serta membangun fondasi filsafat Islam bagi para
filosof muslim setelahnya
Pembahasan
Pemikiran Al-Kindi Tentang Jiwa dan Akal
Jiwa dipandang sebagai intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak
memperbincangkan hal ini. Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi mempunyai
arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan dan hubungannya
dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Karena pada hakikatnya
bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda dengan tubuh dan bahkan bertentangan
dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat
keji, tetapi jiwa akan mengekangnya. Fakta ini membuktikan bahwa Jiwa Rasional yang tetap
mengawasi kecakapan-kecakapan itu berbeda dengan dengan kecakapan-kecakapan tersebut.
Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu kembali dengan dunai real tempat cahaya
Pencipta terbit (Zaprulkhan, 2014: 27).
Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-ide Aristoteles,
Plato dan Plotinus. Al-Kindi mendefenisikan jiwa sebagai; “Kesempurnaan awal bagi fisik yang
bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami
yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan”. Defenisi ini merupakan defenisi yang digagas
Aristoteles. Selain menerima defenisi yang digagas Aristoteles, Al-Kindi juga menyebutkan
defenisi yang ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang
mempunyai kehormatan, kesempurnaan, berkedudukan luhur, dan substansinya berasal dari
substansi Sang Pencipta”. Defenisi ini oleh Al-Kindi dialamatkan pada jiwa rasional yang
disebutnya dengan al-Nafs al-Nathiqah. Menurutnya, jiwa ini merupakan substansi yang bersifat
ilahi, rabbani dan berasal dari Cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi
yang turun dari dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya
(Basri, 2013: 41-42).
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur
karena substansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak memperoleh
kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia berpisah
dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan
yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal
(al-‘alam a-haq, al-‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan
dapat melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci.
Sedangkan jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke
Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri.
Mulamula jiwa bermukim di bulan, kemudian di Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi
lagi untuk pembersihan tahap demi tahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru
memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal (Syam, 2010).
Menurut Al-Kindi, jiwa manusia itu mempunyai 3 (tiga) daya, yaitu;
(a) daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah),
(b) daya marah (al-quwwah algadhabiyah), dan
(c) daya syahwat (al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Sementara akal
terdiri dari tiga tingkat;
(a) Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah),
(b) Akal yang telah keluar dari potensial menjadi aktual (Al-Fi’l), dan
(c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua.
Sedangkan akal yang bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang
menggerakannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri diluar jiwa manusia. Akal tersebut
adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’l abadan), dan ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
(a) merupakan Akal Pertama,
(b) selamanya dalam aktualitas,
(c) merupakan species dan genus,
(d) membuat akal potensial menjadi aktual berpikir, dan
(e) tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya (Syam, 2010: 48-49).
Oleh karena itu, bahwa persoalan akal dalam filsafat Al-Kindi dibicarakan bersamaan dengan
pembicaraan jiwa. Akal sebagai agen pengetahuan yang mengontrol proses pembentukan
pengetahuan melalui bantuan pengalaman iiderawi, bagi Al-Kindi merupakan potensi yang ada
dalam jiwa dan berkemungkinan untuk bergerak dari potensialitas menuju aktualitas. Sampai
titik ini, Al-Kindi memandang bahwa sesuatu yang rasional adalah sesuatu yang mengeluarkan
daya akal dari tempatnya yang potensial lewat rangkaian aktualitas yang dibantu oleh daya-daya
perantara. Hal ini juga menunjukkan teori pengetahuan dalam filsafat Al-Kindi (Basri, 2013: 43).
Selanjutnya, Al-Kindi membagi pengetahuan kedalam dua jenis; pengetahuan inderawi dan
pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi hanyalah pengetahuan atas bentuk lahir dari
sesuatu, sedangkan pengetahuan rasional merupakan pengetahuan atas hakikat sesuatu yang
lebih mendalam dan melewati batas lahir sesuatu. Akhirnya, semua pemikiran yang digagas Al-
Kindi merupakan gagasan yang dtujukan untuk memperdalam pengetahuan manusia tentang
dirinya. Idealnya, manusia paripurna tidak berada dalam wilayah teoritis, tapi dalam wilayah
praktis. Menurut Al-Kindi, seorang filosof diwajibkan untuk menempuh kesusilaan hidup.
Sebab, hikmah sejati melahirkan pengetahuan dan perbuatan. Kebijakan dicari tidak untuk diri
sendiri (dari Aristoteles), tapi untuk kebahagiaan (dari Stoa). Kebahagiaan berhubungan dengan
pengetahuan. Sebab, pengetahuan akan mengingatkan manusia bahwa tabi’at azali manusia
adalah baik, meskipun manusia kerap tergoda oleh dorongan hawa nafsu (Basri, 2013).1
Akal menurut Pemikiran Ibn Thufail

1
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hal. 58
Akal menurut ibn Thufail adalah daya berfikir (al-Quwwah annatiqah).Sesungguhnya dalam
sistematika filsafat Ibnu Thufail, hanya ingin menyatakan bahwa seorang manusia yang
mempunyai fikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan secara alami dapat memungkinkan untuk
sampai kepada pengetahuan secara gradual dan sistematis.Dari suatu yang indrawi kepada suatu
yang rasional sehingga sampai kepada pengetahuan yang bersifat metafisika.Kemudian diperkuat
dengan penjelasan Ibnu Thufail bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak dicapai
seorang manusia untuk mengetahui kebenaran itu sendiri setidaknya melewati tiga perkara, yakni
meliputi indrawi, akal (rasio) dan intuisi (hati).2 Melalui roman filsafat Hayy Ibnu Yaqzhan, Ibnu
Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal
tidak bertentangan dengan wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga
dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai ketingkat
tertinggi dari ma‟rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang dia peroleh
dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat dan lainnya. Ibnu Thufail menokohkan
Hayy sebagai personifikasi dari sepirit alamiyah manusia yang disinari (illuminated) tersebut
mesti sesuai dengan roh Nabi Muhammad, yang ucapan- ucapannya, perlu ditafsirkan secara
metaforis. Thufail juga menawarkan amaliah yang nantinya akan menjadi cerminan keberhasilan
seseorang untuk menyaksikan al wajib al wujud.
Pertama, amaliah yang menyerupai hewan yaitu memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan
pokok, akan tetapi harus dibatasi seminimal mungkin agar tidak menjadi penghalang untuk
meningkatkan kepada amaliah berikutnya. Kedua, amaliah yang menyerupai benda angkasa yaitu
menjalankan hubungan baik dengan di bawahnya, dengan dirinya dan dengan Tuhannya.Ketiga,
amaliah yang menyerupai al wajib al wujud yang dapat mengantar kepada kebahagiaan abadi
sebagai sasaran akhir dari prisip moral. Sebagaimana diketahui pada tokoh filosof sebelumunya
Al Ghazali.Ibnu Thufail tidak merasa puas dengan pemikir filsafat Al Ghazali untuk mencari
kebahagiaan dan kebenaran tuhan, tetapi lebih cenderung kepada perenungan fikiran
sebagaimana dilakukan Al Farabi. Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran Kontemplatif filsafat
arab yang disebut isyrok, suatu teori neo platonisme kuno dan dekat dengan aspirasinya kepada
mistik modern. Menurut Amir Ali, sebagaimana dikutip oleh Muslim Ishak dalam buku Tokoh-
tokoh Filsafat Islam Dari Barat, Filsafat Kontemplatif Ibnu Thufail tidak didasarkan atas
exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode yang mana intuisi digabungkan dengan pencarian akal.
Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam kisah Hayy, dimana, akal memiliki perkembangan yang
berangsur-angsur dan berturut-turut dari seseorang yang tidak mendapat asupan pendidikan dari
luar.3
Dari pemikir sebelum Ibnu Thufail, yakni Ibnu Sina , Ibnu Thufail telah di buat kagum olehnya.
Ibnu Sina mempelajari sufisme dan mistisisme hanya sebatas sebagai obyek kajian tematik tapi
tidak sampai pada tataran praksis, sekalipun kekuatan nalar telah membuatnya mampu untuk
memberikan karakteristik pada fase tersebut. Ibnu Sina bisa mencapai dalam karakterisasi
2
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 73. terj. Pustaka Firdaus.
48-49
3
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2006), 42
persoalan metafisika dengan sedemikian teliti dan indah, dan pada ranah inilah sisi kekaguman
Ibnu Thufail kepada Ibnu Sina walaupun ia belum sampai pada fase ma‟rifat yang di inginkan.
Ibnu Thufail berbeda dengan fase rasional-aksiomatik dan merupakan fase intuitif-experimentatif
(tadhawwuq), penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) seperti yang disebutkan
dalam pernyataan Ibnu Thufail “Jangan kalian duga bahwa filsafat yang telah sampai kepadaku
lewat karya-karya Aristoteles Abu Nasr Al Farabi dan buku Asyifa’ Ibnu Sina dapat memenuhi
tujuan yang aku dambakan, bahkan tak ada satupun yang termuat dalam karya-karya ahli
Andalusia yang dapat memuaskanku”.4 Melalui roman filsafatHayy Ibnu Yaqzhan, Ibnu Thufail
menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal tidak
bertentangan dengan wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat
diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai ketingkat
tertinggi dari ma‟rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang dia peroleh
dengan jalan latihan kerohanian, seperti berkuasa shalat dan lainnya. Ibnu Thufail menokohkan
Hayy sebagai personifikasi dari sepirit alamiyah manusia yang disinari (illuminated) tersebut
mesti sesuai dengan roh Nabi Muhammad, yang ucapan- ucapannya, perlu ditafsirkan secara
metaforis. Ibnu Thufail menyadari, mengetahui dan berhubungan dengan Allah melalui
pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (Ahli al- ma’rifat).
Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan dengan
adanya agama yang dibawa oleh Nabi.Agama diturunkan untuk semua orang dalam segala
tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang- orang yang bernalar tinggi yang
jumlahnya sedikit.Agama melambangkan “dunia atas” (divine wold) dengan lambang- lambang
esksoteris. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi- persepsi antrokomorfis,
sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak.Filsafat merupakan bagian dari kebenaran
esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang yang ada, agar diperoleh pengertian- pengertian
yang hakiki.5
Kenyataanya, Ibnu Thufail dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat
dengan agama. Ibnu Thufail mempunyai pendapat dan pemikiran yang mandiri dan tidak
mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan
suatu fase dari fase-fase pengetahuan yang bukan merupakan esensi pengetahuan. Menurut Ibnu
Thufail, filsafat dan agama adalah suatu hal yang hampir memiliki kesamaan. Bahkan
merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Ibnu Thufail juga menyadari adanya perbedaan
tingkat akal antara sesama manusia.Karena itu, beliau menganggap tidak semua orang dapat
sampai kepada wajib al-wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh Hayy Ibn
Yaqzhan. Kebenaran yang ingin disampaikan oleh Ibnu thufail yakni, mencari hakikat dari
kebenaran itu sendiri yang dimiliki oleh Tuhan alam semesta. Kebenaran yang hakiki akan
mampu terlampaui oleh akal dan pengetahuan sejati. Epistimologi Ibnu Thufail dapat melalui
ma‟rifah sehingga terbentuknya suatu pemahaman yang bisa di rasakan, namun tidak mudah
untuk dikatakan. Lebih lanjut Ibnu Thufail membagi sifat Allah pada dua macam, yaitu:
4
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: Surabaya). hal.40.
5
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 73. terj. Pustaka Firdaus.
1. Sifat yang menetapkan wujud Allah,seperti Ilmu, kudrah, dan hikmah. Menurutnya, “sifat-
sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah banyak yang qadim pada
Allah sebagaimana keyakinan AsyAriyah yang dipahami oleh Mu‟tazilah.
2. Sifat yang menafikan hal kebendaandari Zat Allah, sehingga Allah Maha Suci dari kebendaan.
Dalam memahami Allah, Ibnu Thufail memadukan pemikiran Plato, Aristoteles, Neo-Platonius
dan tasawwuf. “karena Allah itu wujud semata, wajib wujud dengan zat-Nya. Maka yang ada
hanyalah Dia. Dia yang Maha Sempurna, Maha Indah lagi Baik ilmu dan kudrah, dan semua
kesempurnaan dan keindahan berasal dan melimpah dari-Nya.”6
Pandangan Jiwa Menurut Ibn Thufail
Menurut Ibnu Thufail manusia itu adalah makhluk yang sangat tinggi martabatnya, karena
manusia itu sendiri terdiri dari dua unsur yaitu jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan
tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jism dan juga bukan
sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari
badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal allah selama dalam jasad hidup dan kekal.
Ibnu Thufail berpendapat bahwa jiwa adalah sesuatu yang immateri atau daya yang ada dalam
tubuh yang mengilhami berbagai fungsi yang berbeda, seperti gerak, rasa dan pikiran, sedangkan
fisik hanyalah alat bagi jiwa, dan jika fisik itu hancur, maka jiwa akan pergi meninggalkan atau
melepaskan dari badan dan memasuki alam immateri yang kekal. Jiwa terdiri dari tiga tingkat:
1. Jiwa tumbuhan (an-nafs al nabawiyat)
2. Jiwa jiwa hewan dan
3. Jiwa manusia.
Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi yaitu jiwa
manusia. Dalam menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan jiwa yang
hubungannya dengan Allah kedalam tiga golongan:
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran
dan keagungannya, dan selalu ingat akan kekuasaannya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam
kebahagiaan.
b. Jiwa yang mengenal Allah namun bermaksiat, akan abadi dalam kesensaraan.
c. Jiwa yang tidak mengenal Allah selama Hidupnya, akan berakhir seperti hewan. Ibn Thufail
menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup. Kadar penerapan amaliyah
tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan Wajib al-Wujud.
1. amaliyah yang menyerupai hewan. Menurut Ibnu Thufail amaliyah ini (memelihara tubuh dan
memenuhi kebutuhan pokok) dibutuhkan tapi juga menjadi penghalang untuk meningkat kepada
amaliyah berikutnya yang lebih tinggi.
6
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 110
2. amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yaitu melakukan hubungan baik dengan yang
dibawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya.
3. amaliyah yang menyerupai Wajib al-Wujud. Yaitu dengan mencontoh amaliyah-amaliyah
Wajib al-Wujud. Jenis amaliyah inilah yang akan mengantarkan pada kebahagiaan abadi.7
Pengaruh Akal dan Jiwa menurut Al-Ghazali dan Ibnu Sina
Beberapa masalah yang telah dijabarkan pemikiran al-Ghazali tentang akal, fungsi akal, dan
kedudukannya terlihatlah bahwa pengaruh yang mampu dialami melalui kehadiran akal itu
sendiri dalam kehidupan manusia dalam merefleksikan tentang kebenaran pengetahuan.
Substansinya bahwa akal berpengaruh besar dalam diri manusia bahkan akal menentukan
kesempurnaan manusia itu sendiri. Jika diteliti lebih jauh tentang peran dan hasil yang dilahirkan
dari akal itu sendiri akan terlihat dua sisinya yang saling kontradiksi, hal tersebut akan membawa
kerelatifan arah kehidupan yang ingin dicapai seseorang. Produktifitas pemikiran melalui
kemampuannya yang terbatas akan menghasilkan dua hal yang saling bertentangan yaitu benar
atau salah.
Dua hal ini disebutkan dengan kemampuan akal tidak mampu memahami terhadap apa yang ada
dibalik alam semesta, akibatnya timbul adanya bermacam-macam pendapat terhadap suatu
masalah. Meskipun demikian tidak mengingkari nilai logika pada manusia, tanpa menolak hal-
hal yang dapat dianalisa akal yang konkrit sehingga menghasilkan metode dari ilmu
pengetahuan, meskipun pengetahuan itu bisa benar. Manusia dengan akalnya berusaha mencari
kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan-kenyataan yang didapatnya. Akal manusia mampu
melahirkan banyak ilmu pengetahuan, mampu mengatur dan membimbing dirinya dan
lingkungannya, kebahagiaan dan kebutuhan material yang diperoleh manusia hanya berdasarkan
kreatifitas kerja akalnya yang cukup berpotensi, bahkan pada tingkat-tingkat tertentu akal
manusia memberi keyakinan tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan rasio. Apabila akal
bekerja sejalan dengan tuntutan-tuntutan agama akal akan terlihat korelasi yang sungguh
meyakinkan. Dimana agama yang berdasarkan wahyu menjadi panutan, sementara akal itu
sendiri berusaha mencari dan merealisasikan panutan-panutan tersebut. Akal akan
mempermudah untuk mengimplementasikan ajaran agama dan memberi solusi yang terbaik
untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin untuk kehidupan beragama. Dengan akal akan
menaruhkan kebenaran-kebenaran religius secara sistematis, terukur dan terpola dalam
kehidupan yang dinamis dan harmonis.8
Menurut Ibnu Sina, jiwa merupakan kesempurnaan bagi fisik yang memiliki potensi kehidupan,
yaitu yang akan hidup dengan pertumbuhan dan akan hidup dengan makanan. Ia juga akan hidup
dengan penginderaan dan penggerakan sekaligus dalam fakultasnya (fakultas jiwa). Ia juga
mengatakan, jiwa dan jasad sangat erat hubungannya9. Eratnya hubungan antara jiwa dengan

7
Jujun S.Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990), Hal. 53
8
Syah Reza, Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina, (Gontor: Jurnal Universitas Darussalam, 2014), hal. 264
9
Ibn Sina, Psikologi Ibnu Sina, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hal. 62
jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,
adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan
diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi
adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya jasad ditempati beberapa jiwa. Jiwa merupakan suatu
kekuatan, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut ahli ilmu jiwa itu bersarang
pada akal, kemauan dan perasaan sedangkan ruh itulah yang memberi semangat positif. Adapun
yang memberi semangat negatif kepada jiwa yang biasa kita sebut sebagai hawa nafsu, yang
merupakan kekuatan dan daya syaitoniyah. Jiwa di dalam diri manusia menunjukkan sebagai
salah satu ciri khas yang tidak dilihat diluar dirinya, sehingga jiwa dinamai dengan jiwa rohani
(spiritual soul). Atas dasar tersebut, maka al-Ghazali, al-Farabi, dan Ibn Rusyid menyatakan
bahwa “hakikat manusia itu terdiri atas dua komponen penting, yaitu komponen jasad dan
komponen jiwa”. Sebagian besar hasil refleksi filosof memandang jiwa sebagai sesuatu yang
bersifat “Atomistik” yang dimana jiwa manusia itu dipandang sebagai sesuatu yang konstan
(tidak berubah-ubah) dan memiliki unsur tersendri dan masing-masing terpisah satu sama lain.
Pada zaman itu pembahasan tentang jiwa dipisahkan dari pengetahuan tentang raga (jasad). Jiwa
dipercayai memiliki daya-daya tertentu yang bekerja sendiri tanpa adanya hubungan dengan
raga. Jiwa benar-benar didudukkaan sebagai sebuah substansi immaterial (tak berbentuk) yang
terpisah dari raga dan abstrak.
Kesimpulan
Adanya akal manusia telah bisa melihat potensi-potensi yang terdapat di alam dan di sekitar
lingkungan dimana dia hidup. Ketika manusia sudah tahu bahwa di alam realitas itu banyak
potensi-potensi yang bisa dikembangkan, maka manusia dengan menggunakan akal sehatnya
mencoba merefleksikan realitas dan memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan
hukum-hukum berpikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh
lewat akal merupakan ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan ukuran dan patokan untuk bisa
diterapkan dalam kehidupan, karena kerja akal dapat dilakukan secara tepat menggunakan sistem
dan metode yang sesuai dengan prosedur ilmiah. Namun demikian kebenaran pengetahuan yang
dihasilkan oleh hasil kerja akal juga mengandung kelemahan dan keterbatasan, sebab akal itu
tidak selamanya bisa benar dan terarah, kadangkadang akal juga bisa melakukan kesalahan-
kesalahan ketika perenungan itu dikerjakan. Karena itu kaum positivisme, realisme dan
materialisme menganggap bahwa rasionalisme atau menggunakan akal semata-mata tidak bisa
diandalkan dalam melahirkan kebenaran pengetahuan.
Ilmu pengetahuan diperoleh manusia adalah dengan akal. Adanya akal merupakan penghargaan
yang sangat tinggi diberikan Allah pada manusia. Melalui potensi akal sekaligus telah mampu
melahirkan hakikat ilmu bagi dirinya, sanggup menundukkan melahirkan nuansa baru, mengatur
dan menemukan harmonisasi dalam kehidupan. Merenungkan sesuatu dan menarik pelajaran
atau iktibar dari kejadian-kejadian yang dilihat dan yang dialami. Akal termasuk sumber segala
ilmu dan azasnya, baik pengetahuan eksak dan sosial. Al-Ghazali telah membagi akal dalam
beberapa daya yang dilihat berdasarkan potensi dan kadarnya yaitu: pertama, Akal praktis; akal
ini berfungsi untuk menggerakkan anggota tubuh dan untuk melahirkan pengetahuan-
pengetahuan praktis, seperti penerapan akhlak dalam kehidupan. Kedua, Akal teoritis; akal
teoritis merupakan daya pengetahuan dalam diri manusia atau keinginan-keinginan untuk
mengetahui yang bersifat immaterial dan abstrak. Dengan adanya akal manusia telah mempunyai
kedudukan yang ideal dal hidupnya, dengan akal manusia mempunyai ilmu dan kepekaan
terhadap sosial, karena itu manusia harus berpikir sesuai dengan petunjuk Al-qur'an.
Daftar Pustaka
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung: Pustaka
Setia, 2009
H.A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013
Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj) Zaimul Am, Bandung:
Mizan, 2001
Muhammad Nasir, Kumpulan Makalah S2, Program Pascasarjana IAIN Alauddin Ujung
Pandang, 1996.
Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2010
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jogjakarta: IRGiSoD, 2013
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah kajian Tematik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014

Anda mungkin juga menyukai