Persoalan “ada” dalam filsafat islam dapat digambarkan sebagai berikut: ini
merupakan suatu persoalan yang dihimpun dari berbagai sumber; yang paling
bahwa terdapat dua hal atau dua sisi dari sesuatu; dan kedua, bagaimana kata “ada”
disifatkan kepada banyak hal. Ciri kedua dari posisi filosofis, baik tersirat maupun
tersurat, mengenai keterkaitan, baik langsung ataupun tak langsung, dengan aspek-
aspek teologis dalam Islam. Kita bahkan dapat melihat bagaimana konsepsi “ada” bagi filsuf Islam,
untuk dibandingkan dengan posisi teologis mazhab-mazhab
kalam dalam Islam. Bahwa sejarah filsafat dan kalam dalam Islam tidak dapat
metafisik dengan “entitas” metafisis yakni Tuhan, juga didorong lebih jauh oleh
teks-teks Neoplatonis yang juga menjadi ilham bagi spekulasi para filsuf Islam.
Sampai di sini, kita telah melihat bagaimana persoalan “ada” dijadikan sebagai
suatu problem filosofis, dimulai dari filsafat Yunani, via Neoplatonisme, ke filsafat
Islam. Bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang menarik bagi
para filsuf kini sudah jelas. Tetapi, apakah persoalan mengenai “ada” benar-benar
sepenting itu? Mengapa persoalan mengenai “ada” menjadi begitu penting dalam
pentingnya pembicaraan dan pemahaman atas “ada” bagi filsafat. Tetapi, apakah
Objek “kajian” dari tasawuf, atau mistisisme dalam Islam, ialah Tuhan.
Tujuan dari tasawuf sendiri adalah kedekatan, atau bahkan, kesatuan dengan Tuhan,
dengan berbagai penafsiran atas istilah ini. Dari sini, kita mendapati satu benang
bentuknya: filsafat Islam, kalam, tasawuf. Kesemuanya, dalam satu atau lain cara,
terkait dengan pemikiran atas Tuhan sebagai prinsip dan kenyataan. Pada filsafat
Islam, kita mendapati keterkaitan ini dengan spekulasi mengenai “ada”, mengenai
dasar dari kenyataan. Pada teologi, kita mungkin tidak mendapati suatu bahasan
berputar di sekitar konsepsi Tuhan, sebagai prinsip dari kenyataan, sebagai objek
kajian serta spekulasi. Hubungan antara kedua disiplin ini terkait konsepsi mereka
kami, tidak menjadikan “ada” sebagai suatu istilah teknis, Tasawuf menggunakan
istilah ini sebagai padaan dari kata Tuhan, Allah. Merupakan kesepakatan bersama
bahwa istilah wujud begitu dekat dengan tasawuf dalam sejarah Islam. Sampai-
sampai, suatu pembicaraan filosofis mengenai wujud hamper selalu dirujuk pada asal-muasal
tasawufnya. Hal ini amat jelas terlihat, khususnya pada kajian atas
Mulla Sadra. Di satu sisi, ia disebut sebagai seorang filsuf besar, di sisi lain ia
disebut sebagai seorang sufi besar. Adalah Mulla Sadra yang mengkaji persoalan
wujud, atau “ada” ini, dalam kemencakupan seperti Ibn Sina, dan dengan nada-nada
ekstatil seperti Ibn ‘Arabi. Dengan kelebihan bahwa Sadra beserta gaya bahasa dan
penulisannya, jauh lebih jelas dibaca dan dipahami dibandingkan dengan keduanya.
Ini adalah hal yang disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam.
disiplin ilmu yang kita bicarakan di atas: filsafat, kalam, tasawuf. Kita hanya perlu
tiga disiplin tersebut. Sadra tentunya merupakan suatu kasus yang unik dalam
sejarah filsafat Islam. Filsafat Islam dinyatakan mandek, dan bahkan mati, paska
karya-karya filosofis Ibn Sina; sementara, upaya Ibn Rusyd untuk membangkitkan
tidak begitu berhasil di wilayah Islam; suatu kenyataan yang berbeda dengan
Dengan begitu, Sadra tidak masuk dalam bingkai sejarah ini. Gerakan spekulasi
filosofis paska Ibn Rusyd direduksi dalam buku-buku sebagai gerakan non-
Di sisi lain, para peneliti yang sadar atas kontribusi besar Mulla Sadra bagi
khazanah intelektual Islam mencirikan Sadra sebagai seorang mistik murni dan
penganut esoterisme. Suatu label yang, ironisnya, memperkuat praduga bahwa
sejarah Islam. Fazlur Rahman adalah salah seorang peneliti yang mempelopori
sebagai lawan dari mistisisme-esoterik. Dalam penelitian ini pulalah penelitian ini
ditulis.
Penelitian tentang Mulla Sadra, hingga saat ini, masih berkutat pada aspek-
aspek sufistik, esoterik, dan mistiknya; sebagaimana ditulis oleh Fazlur Rahman
dalam pengantar pada bukunya, The Philosophy of Mulla Sadra. Kekurangan dari model penelitian
macam ini adalah mempersempit pemikiran Mulla Sadra;
dalam lanskap pemikiran islam secara umum. Sejauh penulis ketahui, karya yang
tentu saja, karya Fazlur Rahman kami kira masih menjadi rujukan yang paling
Fazlur Rahman menulis karya ini pada tahun 1975, namun, apa yang ia
Tentu saja setelah karya Fazlur Rahman, yang ditujukan untuk “menjadi pendorong
bagi penelitian filosofis yang hingga hari ini masih amat sedikit dijelajahi namun
begitu kaya dalam pemikiran Islam.” Kita dapat memberi contoh beberapa karya
mengenai pemikiran Mulla Sadra yang diselesaikan dengan apik, seperti karya
Sajjad A. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, karya Muhamad Kamal, Mulla
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and Intuition serta pengantar yang
brilian dari Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din al-Shirazi and His Transcendent
Theosophy. Namun, penulis masih meyakini bahwa dari sekian karya yang telah
ditulis setelah Philosophy of Mulla Sadra Fazlur Rahman, masih belum ada yang
dapat disebut melampaui cakupan analitik dan ekspositoris darinya. Itulah
permasalahan pertama yang kita hadapi dan kami angkat dalam penelitian ini.
terjemahan atas kitab al-Masha’ir yang telah ada ialah terjemahan Henry Corbin,
dengan judul Prancis ‘Le livre des Penetration Metaphysiques’. Signifikansi karya
ini terbukti sendiri dengan penerjemahan atasnya oleh Seyyed Hossein Nasr, dan
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ini merupakan salah satu karya
Sadra yang paling dewasa, dan karenanya secara implisit, dapat disebut sebagai
buah dari pemikirannya yang paling matang dan sistematis. Atas dasar itu, ditambah
dengan kelangkaan pembahasan atas kitab ini, penulis menjadikan kitab ini menjadi
rujukan utama dalam penelitian ini. Jumlah halaman yang lebih ringkas dan
tujuan-tujuan dari para gnostik agung (y.i., seperti Ibn ‘Arabi) itu kosong dari
puitis. Jauh dari hal ini: ketidaksesuaian (yang nampak) dari pernyataan-
disebabkan oleh pandangan dangkal dari para filsuf yang mempelajari mereka,
demonstratif tersebut.”
filosofisnya yang menggunakan suatu cara demonstratif dan logis. Dalam karya-
dengan pemilihan bahasa yang padat dan jelas. Mengikuti teknik tersebut, penulis,
dalam penelitian ini akan berupaya menunjukkan bahwa Sadra tidak hanya sedang
menulis suatu racauan ekstatik ala sufi yang tak koheren dan logis secara
Di tahun 2014, Kitab al-Masha’ir telah berhasil diterbitkan. Ini adalah salah
satu bukti bahwa penelitian mengenai pemikiran Mulla Sadra terus berlanjut dan
terus meningkat kualitasnya. Kitab al-Mashair sendiri merupakan salah satu kitab
Mulla Sadra yang paling banyak dibaca dan beredar di lingkaran pengkajinya. Ini
eksistensialis Sadra. Al-Masha’ir merupakan salah satu dari karya Sadra paling
dewasa dan mutakhir; di dalamnya Sadra membahas dua isu: ontologi dan teologi.
Kitab ini diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr, yang lahir dari pertemuan
antara Nasr dan Henry Corbin; penerjemahan ini sendiri dilakukan karena belum
tersedianya terjemahan inggris atas karya Mulla Sadra satu ini. Pertemuan Nasr dan
Ibrahim Kalin lah yang memprakarsai penerbitan terjemahan kitab ini dalam bahasa
Inggris.
PLAGIASI
Persoalan mengenai "ada" dalam filsafat Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: hal ini adalah suatu
masalah yang berasal dari berbagai sumber, dengan sumber utamanya adalah Metafisika Aristoteles
yang berkaitan dengan penjelasan tentang fakta bahwa ada dua hal atau dua sisi dari sesuatu, serta
bagaimana kata "ada" diterapkan pada banyak hal. Ciri kedua dari posisi filosofis ini, baik secara
tersirat maupun tersurat, terkait dengan aspek teologis dalam Islam, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Bahkan, kita dapat melihat perbedaan konsepsi tentang "ada" antara filsuf Islam dan
posisi teologis dalam mazhab-mazhab kalam dalam Islam. Fakta bahwa sejarah filsafat dan kalam
dalam Islam tidak dapat dipisahkan adalah suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Keterkaitan
antara studi metafisika dan "entitas" metafisis, yaitu Tuhan, juga dipengaruhi oleh teks-teks
Neoplatonis yang memberikan inspirasi bagi spekulasi para filsuf Islam. Sampai pada titik ini, kita
telah melihat bagaimana masalah "ada" menjadi masalah filosofis yang dimulai dari filsafat Yunani,
melalui Neoplatonisme, hingga filsafat Islam. Sudah jelas bahwa masalah "ada" menarik perhatian
para filsuf saat ini. Namun, apakah masalah "ada" benar-benar begitu penting? Mengapa masalah
"ada" menjadi sangat signifikan dalam filsafat? Beberapa filsuf telah memberikan argumen yang
mendukung pentingnya pembahasan dan pemahaman tentang "ada" dalam filsafat. Namun, apakah
"ada" dan masalah yang berkaitan hanya penting dalam konteks filsafat?
Objek yang dikaji dalam tasawuf, yaitu mistisisme dalam Islam, adalah Tuhan. Tujuan dari tasawuf itu
sendiri adalah mencapai kedekatan, bahkan kesatuan dengan Tuhan, dengan berbagai penafsiran
yang ada. Dari sini, kita dapat menemukan benang merah yang menghubungkan spekulasi dalam
peradaban Islam dalam berbagai bentuknya: filsafat Islam, kalam, dan tasawuf. Semua ini, dengan
cara tertentu, terkait dengan pemikiran tentang Tuhan sebagai prinsip dan kenyataan. Dalam filsafat
Islam, kita melihat keterkaitan ini melalui spekulasi tentang "ada" dan dasar dari kenyataan itu
sendiri. Dalam teologi, mungkin tidak ada bahasan khusus tentang metafisika dalam pengertian
Aristoteles. Namun, referensi silang antara tokoh-tokoh filsafat Islam dan Kalam menghasilkan
hubungan-hubungan yang berkisar pada konsepsi tentang Tuhan sebagai prinsip kenyataan, objek
kajian, dan spekulasi. Hubungan antara kedua disiplin ini, terutama dalam hal konsepsi mereka
tentang Tuhan, masih perlu ditentukan.
Tidak seperti Kalam yang secara umum tidak menggunakan "ada" sebagai istilah teknis, dalam
Tasawuf istilah ini digunakan sebagai sinonim dari Tuhan, Allah. Ada kesepakatan umum bahwa
istilah "wujud" sangat erat hubungannya dengan tasawuf dalam sejarah Islam. Pembahasan filosofis
mengenai wujud hampir selalu merujuk pada akar tasawufnya. Hal ini terlihat dengan jelas dalam
studi tentang Mulla Sadra. Dia dikenal sebagai seorang filsuf besar sekaligus seorang sufi besar. Mulla
Sadra mempelajari masalah wujud atau "ada" dengan kedalaman yang sebanding dengan Ibn Sina,
namun dengan nada ekstatis seperti Ibn 'Arabi. Keunggulan Mulla Sadra adalah gaya penulisan yang
lebih jelas dan mudah dipahami dibandingkan keduanya, sebuah kesepakatan di antara para peneliti
filsafat Islam.
Dalam pemikiran Mulla Sadra, kita dapat melihat keterkaitan antara tiga disiplin yang telah
disebutkan sebelumnya: filsafat, kalam, dan tasawuf. Penting untuk diingat bahwa Sadra dikenal
karena kecenderungan sintesis yang kuat antara ketiga disiplin ini. Ia adalah kasus unik dalam sejarah
filsafat Islam. Setelah serangan Ghazzali terhadap filsafat, filsafat Islam dianggap mandek atau
bahkan mati, terutama filsafat yang terdapat dalam karya-karya Ibn Sina. Upaya Ibn Rusyd untuk
menghidupkan kembali filsafat, terutama filsafat dengan semangat Aristotelianisme, tidak berhasil
dengan baik di dunia Islam. Ini berbeda dengan pengaruhnya dalam pembentukan gerakan rasionalis,
seperti Averroisme Latin di Barat. Oleh karena itu, Sadra tidak terikat oleh batasan sejarah ini.
Gerakan spekulasi filosofis setelah Ibn Rusyd direduksi dalam buku-buku sebagai gerakan non-
filosofis, atau setidaknya quasi-filosofis, yang tidak begitu signifikan.
Di sisi lain, para peneliti yang menyadari kontribusi besar Mulla Sadra terhadap intelektualitas Islam,
menggambarkannya sebagai seorang mistik tulen dan penganut esoterisme. Label ini, ironisnya,
memperkuat anggapan bahwa Mulla Sadra memiliki posisi yang kurang signifikan dalam spekulasi
filosofis dalam sejarah Islam. Fazlur Rahman adalah salah satu peneliti yang memimpin studi tentang
Sadra, dan ia melihatnya dalam kerangka filosofis: analitis-demonstratif, berlawanan dengan
mistisisme-esoterik. Penelitian ini juga ditulis dalam kerangka tersebut.
Penelitian tentang Mulla Sadra hingga saat ini masih terfokus pada aspek sufistik, esoterik, dan
mistiknya, seperti yang ditulis oleh Fazlur Rahman dalam pengantar bukunya, The Philosophy of
Mulla Sadra. Kekurangan dari pendekatan penelitian semacam ini adalah mempersempit pemikiran
Mulla Sadra, terutama dengan mengabaikan sumbangan pemikiran filosofis Sadra yang lebih
konsisten terhadap wacana filsafat kontemporer. Pembatasan pada aspek sufistik-intuitif, sebagai
sesuatu yang berbeda dari pendekatan filosofis-demonstratif, juga mengabaikan pernyataan Sadra
sendiri tentang posisinya dalam pemikiran Islam secara umum. Sejauh pengetahuan kami, karya-
karya yang secara analitis-demonstratif membahas pemikiran Sadra masih sedikit, dan tentu saja
karya Fazlur Rahman dianggap sebagai referensi yang paling mewakili dalam upaya ini.
Fazlur Rahman menulis karya ini pada tahun 1975, namun apa yang dia ungkapkan masih relevan
untuk menggambarkan situasi saat ini, terutama dalam khazanah filsafat Islam di Indonesia.
Terutama setelah karya Fazlur Rahman, yang bertujuan untuk "menjadi dorongan bagi penelitian
filosofis yang masih sangat sedikit dijelajahi namun sangat kaya dalam pemikiran Islam." Beberapa
karya yang telah selesai tentang pemikiran Mulla Sadra dapat dijadikan contoh, seperti karya Sajjad
A. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, Muhamad Kamal, Mulla Sadra's Transcendent Theosophy,
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and
Intuition, dan pengantar brilian oleh Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din al-Shirazi and His Transcendent
Theosophy. Namun, penulis masih percaya bahwa dari semua karya yang telah ditulis setelah
Philosophy of Mulla Sadra oleh Fazlur Rahman, belum ada yang melampaui cakupan analitis dan
ekspositoris dari karyanya. Ini merupakan tantangan pertama yang kami hadapi dan kami angkat
dalam penelitian ini.
Sejauh pengetahuan penulis, pembahasan tentang Mulla Sadra dan filsafatnya selalu didasarkan
pada buku Asfar. Seperti yang diungkapkan oleh Fazlur Rahman, sampai ia menyelesaikan tulisannya
tentang filsafat Sadra, terjemahan yang ada dari buku al-Masha'ir adalah terjemahan oleh Henry
Corbin dengan judul Prancis 'Le livre des Penetration Metaphysiques'. Signifikansi karya ini dibuktikan
sendiri dengan terjemahannya oleh Seyyed Hossein Nasr, dan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ini adalah salah satu karya Sadra yang paling matang, dan dengan demikian secara
implisit dapat disebut sebagai buah pemikiran Sadra yang paling matang dan sistematis. Berdasarkan
hal ini, ditambah dengan kelangkaan pembahasan tentang buku ini, penulis menjadikannya sebagai
referensi utama dalam penelitian ini. Alasan lain adalah jumlah halaman yang lebih ringkas dan
paparan Sadra yang lebih padat mengenai metafisika eksistensialnya.
"Pernyataan Sadra ini menjadi dasar untuk paparan-paparan pemikiran filosofisnya yang
menggunakan cara demonstratif dan logis. Dalam karyanya, terutama Asfar dan Masha'ir, Sadra
menggunakan metode demonstratif dengan bahasa yang padat dan jelas. Mengikuti teknik ini,
penulis akan berusaha menunjukkan bahwa Sadra tidak hanya menulis tentang ekstase sufi yang
tidak konsisten dan tidak logis secara tata bahasa. Paparan metafisiknya tentang eksistensi (wujud),
yang dalam penelitian ini selalu merujuk pada buku al-Mashair (bagian pertama), menggunakan
metode demonstratif seperti dalam karya-karya dalam korpus Aristotelian."
Pada tahun 2014, buku al-Masha'ir telah berhasil diterbitkan. Ini adalah bukti bahwa penelitian
tentang pemikiran Mulla Sadra terus berlanjut dan kualitasnya terus meningkat. Al-Masha'ir sendiri
adalah salah satu buku Mulla Sadra yang paling banyak dibaca dan tersebar di kalangan para peneliti.
Hal ini disebabkan karena al-Masha'ir adalah ringkasan padat dari metafisika dan teologi
eksistensialis Sadra. Al-Masha'ir merupakan salah satu karya paling matang dan terbaru dari Sadra; di
dalamnya, Sadra membahas dua isu, yaitu ontologi dan teologi. Buku ini diterjemahkan oleh Seyyed
Hossein Nasr, yang lahir dari pertemuan Nasr dan Henry Corbin; terjemahan ini dilakukan karena
belum ada terjemahan Inggris dari karya Mulla Sadra ini. Pertemuan Nasr dan Ibrahim Kalinlah yang
menginisiasi penerbitan terjemahan buku ini dalam bahasa Inggris.
RUMUSAN MASALAH
BATASAN ISTILAH
yakni, bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang begitu penting
dalam filsafat, mulai dari Aristoteles hingga para filsuf Islam; bahwa Mulla Sadra
merupakan salah satu filsuf Islam yang hadir setelah filsafat Islam – persisnya,
dalam bentuk peripatetisme Ibn Sina – telah mati. Dan, Mulla Sadra, yang
merupakan salah satu tokoh terpenting dalam filsafat Islam dikenal sebagai filsuf
yang merumuskan persoalan “ada” dengan keketatan dan kerumitan filosofis; hal
ini semata sudah dapat dijadikan sebagai pembenaran atas penelitian ini. Dari
beberapa persoalan yang telah disinggung, disebutkan baik secara tersirat maupun
metafisika eksistensial Mulla Sadra, dengan mengkhususkan pula pada Kitab al-
MANFAAT PENELITIAN
teoretis, yaitu menjadi suatu prakarsa yang masih sedikit ditemui dalam mengkaji
kitab al-Masha’ir dari Sadra, menyoroti gagasan metafisika Sadra yang dirumuskan
bukan dalam kitab al-Asfar, tetapi dari kitab al-Masha’ir, yang sebagaimana telah
dinyatakan, karyanya yang lebih akhir. Penelitian ini diharapkan menjadi awal bagi
penelitian lebih lanjut dan menyeluruh atas kitab yang baru diterjemahkan ke
bahasa inggris pada tahun 2014 ini; dan mungkin menjadi awal dari
metafisika Sadra, dan filsafat Islam pada umumnya selalu memiliki tujuan
ontologis dan teologis atas dunia dan kehidupan kiranya dapat membantu kita untuk
tentang makna.
PLAGIASI
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini termasuk manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Pertama, manfaat teoretis dari penelitian ini adalah menjadi inisiatif yang jarang ditemui dalam
mengkaji kitab al-Masha'ir karya Sadra, yang menyoroti gagasan metafisika Sadra yang dirumuskan
tidak dalam kitab al-Asfar, tetapi dalam kitab al-Masha'ir, yang merupakan karya terakhirnya.
Penelitian ini diharapkan menjadi permulaan untuk penelitian lebih lanjut dan komprehensif tentang
buku yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2014 ini, dan mungkin juga
menjadi langkah awal untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Kedua, manfaat praktis dari jenis penelitian metafisika seperti ini tentunya terkait dengan
pengalaman intelektual-spiritual pribadi para pembaca. Gagasan metafisika Sadra, dan filsafat Islam
pada umumnya, selalu memiliki tujuan intelektual-spiritual. Di zaman di mana pertanyaan tentang
kebenaran, ketuhanan, keimanan, dan sejenisnya sering dipertanyakan, pemahaman tentang
konsepsi metafisik, ontologis, dan teologis tentang dunia dan kehidupan dapat membantu kita
menghadapi krisis eksistensial yang selalu menghantui makna dalam setiap aspek kehidupan.
KAJIAN TERDAHULU
misalnya disertasi dari Syaifan Nur yang kemudian diterbitkan menjadi buku,
berjudul Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Ini merupakan suatu karya yang membahas
otoritatif; adapun, penelitian ini masih dipusatkan pada kitab Asfar dan, meskipun
merupakan posisi yang darinya Sadra berangkat untuk kemudian dikritik habis.
Kedua, Skripsi dari Asep Hidayatullah berjudul Keesaan dan Keragaman Wujud dalam Pandangan
Mulla Sadra. Skripsi ini hanya membahas satu konsep Mulla Sadra, yaitu tashkik al-wujud, dan
sayangnya sama sekali tidak menggunakan rujukan primer dari Mulla Sadra, baik kitab al-Asfar, al-
Masha’ir maupun yang lainnya. Pembahasan mengenai filsafat Mulla Sadra masih merupakan
pembahasan umum yang diambil dari sumber sekunder yang mengulas filsafat Mulla Sadra.
dalam cakupan yang amat umum, akibatnya, kecanggihan dari sistem filsafat
eksistensial Mulla sadra hanya disinggung seadanya tanpa ada pemaparan yang
rinci. Meskipun skripsi ini menggunakan rujukan primer, yaitu Hikmah al-Arsyi’ah
serta fragmen dari al-Asfar, ia tidak memaparkan filsafat Sadra dengan cukup.
Terdapat suatu tulisan dalam Jurnal berjudul The Philosophy of Mulla Sadra:
Arba’ah. Ini merupakan suatu tulisan yang padat dan jelas, dan sesuai dengan
subjudulnya, ini merupakan ringkasan dari karya Sadra, kitab al-Asfar. Namun,
tulisan ini sebenarnya, penulis yakin, merupakan replikasi dari pernyataan- pernyataan Fazlur
Rahman dalam bukunya, Philosophy of Mulla Sadra yang telah
kerangka buku Fazlur Rahman - dan bahkan kata-katanya di dalam buku tersebut -
dalam menulis esai ini. Pun, persoalannya masih sama, kurangnya rujukan kepada
al-Mashair.
Demikian adalah karya-karya yang penulis temui berasal dari Indonesia yang
menggunakan karya primer dari Mulla Sadra, yang telah dibahas sebelumnya, yaitu
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Wisdom of the Throne oleh
James Winston Morris; karya sekunder yang utama adalah karya Fazlur Rahman,
PLAGIASI
Penulis menemukan beberapa penelitian tentang Sadra dan filsafatnya, seperti disertasi Syaifan Nur
yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Buku ini membahas
metafisika eksistensi (wujud) Sadra secara mendalam dengan referensi yang otoritatif. Namun,
penelitian ini masih terfokus pada kitab Asfar dan belum membahas secara memadai aspek
metafisika esensialis yang menjadi dasar pemikiran Sadra.
Selain itu, ada Skripsi dari Asep Hidayatullah berjudul Keesaan dan Keragaman Wujud dalam
Pandangan Mulla Sadra. Skripsi ini hanya membahas satu konsep Mulla Sadra, yaitu tashkik al-wujud,
namun sayangnya tidak menggunakan referensi primer dari Sadra seperti kitab al-Asfar, al-Masha’ir,
dan lainnya. Pembahasan tentang filsafat Mulla Sadra masih bersifat umum dan mengambil dari
sumber sekunder yang membahas filsafat Sadra.
Kemudian, ada skripsi dari Andi Muhammad Guntur yang berjudul Pengaruh Pemikiran Mulla Sadra
Terhadap Perkembangan Filsafat Islam Kontemporer. Skripsi ini juga memberikan gambaran umum
tentang filsafat Sadra tanpa menjelaskan secara rinci kecanggihan sistem filsafat eksistensial Sadra.
Meskipun skripsi ini menggunakan referensi primer seperti Hikmah al-Arsyi’ah dan fragmen dari al-
Asfar, tetapi tidak memberikan paparan yang memadai tentang filsafat Sadra.
Terdapat juga tulisan dalam jurnal yang berjudul The Philosophy of Mulla Sadra: Being a Summary of
His Book al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah. Tulisan ini merupakan ringkasan
yang padat dan jelas dari karya Sadra, yaitu kitab al-Asfar. Namun, penulis meyakini bahwa tulisan ini
sebenarnya adalah replikasi pernyataan-pernyataan Fazlur Rahman dalam bukunya, Philosophy of
Mulla Sadra. Dengan kata lain, tulisan ini bukan merupakan referensi langsung dari Mulla Sadra,
melainkan menggunakan kerangka buku Fazlur Rahman dalam menyusun esai ini. Namun,
masalahnya tetap sama, yaitu kurangnya rujukan kepada al-Masha'ir.
Demikianlah beberapa karya yang penulis temui dari Indonesia yang membahas Filsafat Mulla Sadra.
Dalam penelitian ini, akan menggunakan karya primer dari Mulla Sadra yang telah dijelaskan
sebelumnya, yaitu Kitab al-Masha’ir yang diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr menjadi
Metaphysical Penetrations. Referensi primer lainnya adalah Kitab al-Arsyiah yang diterjemahkan oleh
James Winston Morris menjadi Wisdom of the Throne. Sedangkan untuk rujukan primer lainnya
adalah Philosophy of Mulla Sadra oleh Fazlur Rahman, Mulla Sadra's Transcendent Philosophy oleh
Muhammad Kamal, Mulla Sadra and Metaphysics oleh Sajjad H. Rizvi, dan Knowledge in Later Islamic
Philosophy oleh Ibrahim Kalin.
METODE PENELITIAN
berdasarkan dari watak objek yang diteliti, yaitu metafisika eksistensial Mulla
Sadra.
1. Pengumpulan Data
Kajian Kepustakaan secara konkret adalah mengumpulkan data dari sumber-
sumber tertulis seperti buku, jurnal, baik versi fisik di perpustakaan, maupun versi
daring dari kanal jurnal seperti JSTOR. Adapun data tersebut digolongkan secara
umum menjadi dua jenis, yaitu primer atau rujukan utama kepada karya dari penulis
yang diteliti, atau karya otoritatif mengenai penulis, dalam hal ini, Mulla Sadra sang
filsuf, yang diakui absah secara internasional. Menurut pembagian tersebut, maka
berikut ini adalah daftar dari data primer dan sekunder yang penulis gunakan:
a. Data Primer
ini, pertama adalah karya Mulla Sadra dari periodenya yang paling matang, yaitu Kitab al-Mashair,
yang telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi
catatan dan ulasan oleh Ibrahim Kalin, keduanya merupakan pemikir representatif
yang mengkaji Sadra secara mendalam. Teks ini merupakan teks yang ditulis Mulla
Sadra khusus mengenai metafisikanya, penelitian ini menggunakan teks ini sebagai
data primer.
b. Data Sekunder
Pertama, data-data sekunder yang ada ialah karya-karya Mulla Sadra yang lain
(yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris), semisal Kitab al-Arsyiah
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James Winston Morris menjadi
Wisdom of the Throne. Kemudian adalah karya yang sudah berapa kali disebut
metafisika Sadra dalam kerangka analitis. Ada pula karya Seyyed Hossein Nasr,
pengantar ringan namun otoritatif kepada pemikiran Sadra dan filsafatnya yang
disebut sebagai Hikmah Muta’aliyyah. Serta Karya dari Muhammad Kamal, Mulla
Sadra and His Transcendent Philosophy, dan karya Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra
and Metaphysics
Selain karya-karya lain dari Sadra, banyak. Di teks yang penulis dapati dalam
jurnal-jurnal filsafat Islam yang membahas mengenai filsafat Mulla Sadra. Terdapat
seorang penulis yang membahas Mulla Sadra secara kurang lebih lengkap dalam
beberapa esainya dalam jurnal, yaitu Muhammad Abdul Haq, judulnya adalah:
Mulla Sadra’s Concept of Being, Mulla Sadra’s Concept of Man, Mulla Sadra’s
Abdul Haq ini amat membantu penulis memahami secara umum sisi-sisi filsafat
Mulla Sadra yang di buku-buku yang ada dibahas secara panjang lebar dan agak
rumit. Kemudian juga terdapat jurnal-jurnal lain yang penulis gunakan untuk
memperjelas poin-poin dari pernyataan yang kami nyatakan dalam penelitian ini.
2. Analisis Data
Berdasarkan watak dari penelitian ini, maka pendekatan yang dipakai adalah
analisis tekstual. Yaitu pembacaan atas data-data baik primer maupun sekunder.
metode analisis atas teks-teks yang telah disebutkan di atas sebagai data-data. Kami
Mulla Sadra, tepatnya yang telah diterbitkan dalam terjemahan paralel Arab-Inggris
oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi pengantar oleh Ibrahim Kalin, yang keduanya
merupakan filsuf yang memiliki otoritas akademis dalam diskursus Sadra pada
masa ini. Dengan pembacaan menyeluruh atas teks tersebut didukung dengan data-
data sekunder, baik dari karya Mulla Sadra sendiri maupun teks-teks lain seperti
terbitan jurnal daring yang kami peroleh utamanya via JSTOR dan LibGen,
PLAGIASI
Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka (library research) berdasarkan pada objek yang
diteliti, yaitu metafisika eksistensial Mulla Sadra.
1. Pengumpulan Data
Metode kajian pustaka melibatkan pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis seperti buku dan
jurnal, baik dalam format fisik di perpustakaan maupun dalam bentuk daring melalui kanal jurnal
seperti JSTOR. Data yang dikumpulkan dibagi menjadi dua jenis secara umum, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan rujukan utama kepada karya dari penulis yang diteliti, dalam
hal ini karya Mulla Sadra sang filsuf, yang diakui secara internasional. Data primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Kitab al-Mashair, karya Mulla Sadra yang telah diterjemahkan oleh
Seyyed Hossein Nasr dan ditambah dengan catatan dan ulasan dari Ibrahim Kalin.
Sementara itu, data sekunder meliputi karya-karya Mulla Sadra yang lain yang juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, seperti Kitab al-Arsyiah yang diterjemahkan oleh James
Winston Morris menjadi Wisdom of the Throne. Selain itu, terdapat juga karya-karya dari Fazlur
Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Kamal, dan Sajjad H. Rizvi yang membahas filsafat Sadra
secara mendalam. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan tulisan-tulisan dalam jurnal-jurnal
filsafat Islam yang membahas tentang Mulla Sadra, seperti tulisan Muhammad Abdul Haq yang
membahas berbagai aspek filsafat Sadra dalam beberapa esainya.
2. Analisis Data
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah analisis tekstual, yaitu pembacaan dan
analisis atas data-data baik primer maupun sekunder. Karena penelitian filsafat berkaitan dengan
teks-teks, penelitian ini menggunakan metode analisis terhadap teks-teks yang telah disebutkan
sebelumnya sebagai data. Teks utama yang digunakan adalah Kitab al-Masha'ir atau Metaphysical
Penetrations yang ditulis oleh Mulla Sadra dan telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr dan
diberi pengantar oleh Ibrahim Kalin, keduanya merupakan filsuf yang memiliki otoritas akademis
dalam diskursus Sadra pada masa ini. Dengan melakukan pembacaan menyeluruh atas teks tersebut
dan didukung oleh data-data sekunder dari karya Mulla Sadra dan teks-teks lainnya yang diperoleh
dari jurnal daring seperti JSTOR dan LibGen, penelitian ini dilakukan.
JENIS PENELITIAN
Penelitian kualitatif deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan
memahami fenomena atau kejadian dalam konteks alamiahnya secara mendalam. Penelitian ini tidak
berfokus pada pengujian hipotesis atau generalisasi statistik, melainkan lebih menekankan pada
pengumpulan data deskriptif yang detail, interpretasi, dan pemahaman yang mendalam terhadap
subjek penelitian.
1. Penjelasan dan deskripsi: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan
fenomena atau kejadian yang diteliti dengan sebaik mungkin. Tujuannya adalah untuk memberikan
gambaran yang detail dan menyeluruh mengenai subjek penelitian.
2. Konteks alamiah: Penelitian ini dilakukan dalam konteks alamiah atau lingkungan alami subjek
penelitian. Peneliti berusaha untuk memahami dan menggambarkan fenomena tersebut dengan
memperhatikan konteks dan situasi di mana fenomena itu terjadi.
3. Data kualitatif: Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu berupa teks,
narasi, gambar, video, atau suara. Data ini dihasilkan melalui observasi, wawancara, studi dokumen,
atau teknik pengumpulan data kualitatif lainnya.
4. Analisis deskriptif: Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan
mengorganisasi, mengklasifikasikan, dan merangkum informasi yang ditemukan. Analisis ini
bertujuan untuk menggambarkan dan memahami fenomena yang diteliti tanpa mengadopsi
pendekatan statistik formal.
5. Interpretasi dan pemahaman: Selain memberikan deskripsi yang detail, penelitian kualitatif
deskriptif juga berusaha untuk menginterpretasikan dan memahami fenomena yang diteliti. Peneliti
memberikan penjelasan dan makna terhadap temuan-temuan yang ditemukan berdasarkan
pemahaman mereka terhadap subjek penelitian.
Keuntungan dari penelitian kualitatif deskriptif adalah dapat memberikan pemahaman yang
mendalam dan detail tentang fenomena yang diteliti. Penelitian ini juga memungkinkan peneliti
untuk menangkap konteks dan kompleksitas subjek penelitian secara alami. Namun, kelemahan dari
penelitian ini adalah kurangnya generalisasi statistik yang dapat membuat hasil penelitian sulit untuk
diterapkan secara luas ke populasi yang lebih luas.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Penelitian ini dibagi menjadi lima rangkaian Bab yang secara bertahap
melangkah dari aspek umum hingga mengerucut pada kesimpulan logis dari
sebagai berikut:
penelitian ini.
sosiologis, intelektual dan filosofis dari Mulla sadra yang akan menjadi
dari gagasan-gagasan yang ada di hadapan Mulla Sadra pada waktu itu, dan
dengan kata lain, melihat aspek metafisika eksistensial ini dari filsuf-filsuf
selain Mulla Sadra; maka di sini kita akan melihat bagaimana rumusan
metafisika eksistensial itu terdapat dalam Masha’ir, teks utama yang
5. BAB V: PENUTUP; Bab ini berisi tiga sub-bab, yakni pertama, kesimpulan
dari keseluruhan penelitian ini dalam tiga poin; kedua, tinjauan kritis atas
selanjutnya.
PLAGIASI
Penelitian ini terbagi menjadi lima bab yang progresif, dimulai dari aspek umum hingga
menyimpulkan secara logis formulasi masalah yang telah dibahas. Setiap bab memiliki fokus yang
berbeda, yaitu:
1. Bab I: Pendahuluan. Bab ini mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan literatur, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini
menjadi pendahuluan bagi penelitian.
2. Bab II: Eksistensi Mulla Sadra. Bab ini menjelaskan riwayat historis, sosial, intelektual, dan filosofis
Mulla Sadra yang akan menjadi dasar dan mendukung penjelasan bab-bab berikutnya.
3. Bab III: Genealogi Metafisika Eksistensial. Setelah membahas latar belakang historis Mulla Sadra,
bab ini membahas bagaimana formulasi metafisika eksistensial Sadra terbentuk dari teks-teks filsuf
sebelumnya dengan mengikuti pemikiran langsung para filsuf Islam yang membentuk pemikiran
Sadra, seperti yang dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr.
4. Bab IV: Prinsip Metafisika Eksistensial. Setelah membahas perkembangan pemikiran Mulla Sadra
dari perspektif genealogis, bab ini akan melihat bagaimana rumusan metafisika eksistensial terdapat
dalam Masha’ir, teks utama yang menjadi fokus utama penelitian ini.
5. Bab V: Penutup. Bab ini terdiri dari tiga sub-bab, pertama, kesimpulan dari penelitian ini dalam tiga
poin utama; kedua, tinjauan kritis terhadap pemahaman penulis; dan terakhir, saran untuk penelitian
selanjutnya.
Dengan demikian, struktur penelitian ini dirancang untuk secara bertahap menggali informasi,
memberikan penjelasan, dan akhirnya menyimpulkan penelitian dengan logis.