Anda di halaman 1dari 14

RIHLAH ILMIAH DALAM TRADISI PENDIDIKAN ISLAM

Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam

DOSEN
Dr. Jamal Fakhri, M.Ag.

OLEH:
RUSPANIDA
NPM. 1686131009

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2017 M/1438H
BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah pendidikan Islam, tidak terlepas dari sumber pendidikan Islam yaitu Allah
SAW sebagai sumber utama melalui fiman-firmannya yang terdapat dikitab suci umat
Islam yaitu Al-Quran. Sumber yang kedua ialah sunnah Nabi Saw. Yang mana dari
beliaulah awal mula timbulnya sejarah pendidikan Islam, melalui sunnahnya. Oleh sebab
itu sunnah mencerminkan prinsip, manisfestasi wahyu dalam segala perbuatan,
perkataan dan taqriri nabi, maka beliau menjadi tauladan yang harus diikuti. Dalam
keteladanan nabi terkandung pendidikan yang sangat besar artinya, sumber pendidikan
Islam selanjutnya adalah perkataan dan perbuatan sahabat yangn merupakan penerus
atau yang paling memahami Rasulullah, selanjutnya ijtihad. Sejarah pendidikan Islam
amat perlu dipelajari dan dibaca oleh kalangan mahasiswa, calon guru agama Islam dan
pengelola pendidikan Islam.
Kata sejarah dalam bahasa arab disebut tarih, yang menurut bahasa berarti
ketentuan masa. Sedang menurut istilah berarti keterangan yang terjadi di kalangannya
pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada. Kemudian yang
dimaksud dengan ilmu tarih, ialah suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui
keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang
terjadi di kalangan umat1
Dari penjelasan sejarah di atas, maka dapat dirumuskan pengertian tentang sejarah
pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari
waktu ke waktu yang lain, sejak zaman lahirnya Islam sampai dengan masa
sekarang.
b. Cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi ide dan konsepsi maupun dari
segi institusi dan operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad sampai
sekarang. untuk dapat mengetahui dan memahami pengertian dari sejarah
pendidikan Islam hendaklah kita mengetahui makna dari sejarah pendidikan
Islam itu sendiri.2 Perkembangan pendidikan Islam saat ini tidak lepas dari

1 Sayid Quthub, Konsepsi Sejarah Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, t.t,.) hal. 18
2 Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 2

1
pengaruh sejarah, sejarah berbicara perjalanan yang ditempuh pendidikan
dengan segala perubahannya dari waktu ke waktu. Saat ini, kita bukan hanya
mengenal kurikulum, atau klasifikasi ilmu, bahkan kita sudah diajarkan ilmu-ilmu
baru dengan segala pendekatannya yang bertujuan meningkatkan,
mengembangkan pemikiran para pelajar untuk melahirkan peradaban baru yang
lebih baik.
Rihlah Ilmiyah dan Waqaf pada masa Islam klasik, memegang peranan penting dan
berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, walau pada
dasarnya Rihlah ilmiyah tidak ada perintah secara langsung dalam Al-Quran, tetapi
Rasulullah dan para sahabat melakukannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat.
Makalah ini selanjutnya mencoba membahas secara sederhana tentang
permasalahan Rihlah Illmiyah dalam kaitannya dengan pendidikan Islam klasik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN RIHLAH ILMIYYAH


Surah Al-QuraisyRihlah ilmiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu rihlah dan
ilmiyyah. Rihlah yang berasal dari akar kata rahila- yarhilu- rihlatan yang berarti
berpindah dari satu negara ke negara lain dengan tujuan tertentu. Makna rihlah ini
diantaranya terdapat dalam QS. Al-Quraisy : 2



Artinya: 2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim
panas.
Rihlah yang dimaksud pada ayat di atas adalah perjalanan ke luar negara
dengan tujuan berdagang. Sedangkan kata ilmiyyah merupakan bentuk mashdar
shinaiyy yang berasal dari akar kata alima- yalamu yang berarti mengetahui. Dengan
demikian rihlah ilmiyyah dapat diartikan sebuah perjalanan yang di tempuh ke luar dari
negara/daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan. Berdasarkan term ini
dapat dilihat tujuan dari rihlah ilmiyyah dari dua aspek yaitu untuk menuntut ilmu
(thalabaan lil-ilm) atau meningkatkan nilai ilmu pengetahuan (rasikh fiilm) dan juga
dengan tujuan untuk mengajarkan ilmu diberbagai daerah atau negara lain.3
Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa Klasik
adalah sistem rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari
ilmu. Menurut Syalabi, cara seperti ini telah berkembang dalam Islam sejak awal.
Setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerah yang telah
ditaklukan. Di daerah masing-masing mereka mendirikan lembaga pendidikan dan
mengajarkan ajaran-ajaran agama, termasul al-Quran dan hadits.
Kebanyakan pelajar Islam tidak puas dengan belajar kepada sedikit guru. Jika
tidak puas dengan pengetahuan yang diperoleh dari guru-guru mereka, mereka akan
belajar kepada guru lainnya, bahkan bila wilayah mereka tidak ada guru yang mereka
kehendaki, mereka akan pergi ke daerah atau wilayah lain untuk belajar kepada guru-
guru yang dikehendaki sampai merasa puas.

3 Umar Ridha kahhalah, Dirasaat al- Ijtimaiyyah fi al-ushur al-Islamiyyah,(Dimasyq: 1973), h.54.

3
Dengan adanya sistem rihlah ilmiyah, pendidikan Islam di masa Klasik tidak
hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Pendidikan Islam memberi
kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka
kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari
satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian, sistem
rihlah ilmiyah disebut denagn learning society (mayarakat belajar).
Perjalanan menuntut ilmu kadang-kadang memakan waktu bertahun-tahun.
Pelajar atau guru berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Panjangnya
perjalanan (rihlah) diukur dengan waktu dan jauhnya perjalan. Lama dan jauhnya
perjalanan dapat digunakan sebagai bukti luasnya ilmu seorang pelajar. Penilaian
masyarakat terhadap para pelajar di masa ini tergantung kepada banyaknya perjalannan
ilmiah dan jumlah guru yang pernah mereka ikuti halaqahnya. Hal ini mendorong
pelajar-pelajar untuk menuntut ilmu kepada guru-guru yang mereka kehendaki.
Karenanya ketika itu para pelajar-pelajar itu memiliki jaringan guru dan sosial yang
sangat luas.
Sistem perjalan ilmiah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat
Islam. Dengan adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar-pelajar ke berbagai
daerah Islam yang terpisah-pisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kebebasan perjalannan ke berbagai daerah
Islam menyebabkan pertukaran pemikiran terus berlangsung antar sesama masyarakat
Islam. Proses culture contact tersebut menyebabkan dinamika sosial dan peradaban
Islam terus berkembang.
Syalabi, dengan mengutip Nicholson, menjelaskan bahwa melakukan
perjalanan ilmiah laksana lebah yang mencari sari bunga ke tempat yang jauh.
Kemudian, mereka kembali ke kota kelahiran mereka dengan membawa madu manis.
Selanjutnya, pelajar-pelajar tersebut menetap di negeri mereka untuk memenuhi hasrat
masyarakat yang telah lama menantikan kedatangan mereka. Selain itu, ulama-ulama ini
menulis ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari dari berbagai daerah, kemudian
dipersembahkan ke dalam bentuk karya-karya ilmiah, dan hal karya-karya itu sangat
berguna dan dapat dijadikan rujukan keberpijakan selanjutnya.
Disamping itu para pencari ilmu tersebut memperoleh istilah-istilah ataupun
ungkapan-ungkapan baru baik dari para guru maupun dari teman-teman yang datang
dari berbagai negara sehingga hal tersebut dianggap sebagai bagian terpenting dari

4
sebuah ilmu, maka hal tersebut mendorong secara langsung munculnya berbagai
metode dari para guru yang ditemui.4
Kekaguman kita akan muncul manakala melihat mobilitas para pencari ilmu
dalam melakukan rihlah ilmiyyah ini. Mereka melakukan pengembaraan atau
perjalanan jauh untuk mencari ilmu.5 Menurut Syalabi, cara seperti ini telah berkembang
dalam Islam sejak awal. Setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke
daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Di daerah masing-masing mereka mendirikan
lembaga pendidikan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama, termasuk al-Quran dan
hadits karena pada masa itu terdapat hadits-hadits Nabi yang hanya diketahui dan
diriwayatkan oleh sahabat-sahabat tertentu, sedangkan umat Islam membutuhkan
hadits-hadits Nabi demi kepentingan agama. Kemudian mereka mengunjungi sahabat-
sahabat yang bisa meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah walaupun tempat
sahabat-sahabat tersebut sangat jauh untuk menuntut ilmu.
Pendidikan Islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar
kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga
melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ketempat lain untuk mengajar
sekaligus belajar. Dengan demikian, sistem rihlah ilmiyah disebut dengan Learning
Soceity (masyarakat belajar).6
Diantara ulama yang pernah melakukan aktivitas tersebut dan mencatatkan
kepada kita suatu prestasi yang sangat tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Diantaranya adalah: Al Bukhari, As Syafii, Ibn Jubayr, Muhyiddin Ibn ArabiIbn Arabi, Ibn
Baythar, Nuruddin ar-Raniry, Abdur Rauf as-Singkili, Abdushaamad Al-Palimbani. Dan
banyak lagi yang lainnya.

B. Pendidikan Islam Masa Klasik


Pendidikan islam dalam masa klasik di bagi menjadi beberapa periodisasi, di
antaranya adalah:
1. Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah [611-632 M/12 SH-11 H]
Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah dapat di bedakan menjadi dua periode:
periode makah dan periode madinah. Pada periode pertama, yakni sejak nabi di utus

4 Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Juz: 2, h.285.


5 Ahmad Amin, Zuhr al- Islam, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1996, jilid II, hal:87
6 Ibid, hal:88

5
sebagai rasul hingga hijrah ke madinah (kurang lebih sejak tahun 611-622 M atau selama
12 tahun 5 bulan 21 hari), sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada nabi.
Sebelum kelahiran islam, pada masa jahiliah institusi pendidikan kuttab telah
berdiri. Masyarakat hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masyarakat hirah,
dan masyarakat hirah belajar kepada masyarakat himnyariyin.
Pada periode di madinah, tahun 622-632 M. Atau tahun 1-11 H., disini materi
pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak,
pendidikan kesehatan jasmani dan pengetahuan yang berkaitan dengan
kemasyarakatan.
Metode yang di kembangkan oleh nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab
dengan perasaan yang halus dan di dukung dengan bukti-bukti rasional dan ilmiah.
Metode pendidikan yang di pakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode
peneladanan, yakni nabimemberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas
sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedangkan pada bidang akhlak, nabi
membacakan ayat-ayat al-quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian
di jabarkan makna dari kisah-kisah itu.7

2. Pendidikan Islam Masa Khulafa Al-Rasyidin [632-661 M/12-41 H]


Sistem pendidikan islam pada masa khulafa al-rasyidin di lakukan secara mandiri,
tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah umar ibn khattab yang turut
campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki
pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing, sehingga pada
masa abu bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkatan kemajuan
yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah
menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah
maju. Lembaga pendidikan ini sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa
mengajarkan al-quran merupakan fardlu kifayah.8
Menurut mahmud yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab
mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di masjid. Di masjid
ini, ada dua tingkatan, yaitu tingkat mengengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan
diantarapendidikan itu adalah kualitas gurunya.

7 Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h.3-11
8 Hasan Asari, Menyingkat Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h.34

6
Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafa al-rasyidin tidak hanya di madinah,
tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti makah dan madinah (hijaz), kota bashrah
dan kufah (irak), kota damsyik dan palestina (syam), dan kota fistat (mesir). Di pusat-
pusat daerah inilah pendidikan islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang di ajarkan pada masa Khalifah Al-Rasyidin sebelum masa
Umar Ibn Khattab (w. 32 H./644 M) untuk Kuttab adalah:
a) Belajar membaca dan menulis
b) Membaca al-quran dan menghafal
c) Belajar tentang pokok-pokok ajaran islam.
Ketika Umar Ibn Khattab di angkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan
kepada penduduk kota agar anak-anak di ajarkan Berenang, Mengendarai onta,
Memanah dan Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa.
Sedangkan materi pendidikan tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a) Al-qurandan tafsirnya
b) Hadits dan mengumpulkannya
c) Fiqih (Tasyri)
Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum di kenal sehingga pada
masa itu tidak ada, dan lebih di fokuskan pada pemahaman al-quran dan hadits secara
literal.9

3. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H./661-750 M]


Pendidikan islam pada masa dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan
pada masa khulafa al-rasyidin, hanya saja ada sisi perbedaan dan perkembangan sendiri.
Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan
perkembangan yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak di atur oleh
pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang di keluarkan oleh pemerintah hampir tidak di
temukan. Jadi, sistem pendidikan islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Karena kondisi ketika itu di warnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan
golongan, di dunia pendidikan, terutama di dunia sastra, sangat rentan dengan
identitasnya masing-masing. Sastra arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah) dan
seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-

9 Suwendi, Op.cit., h.11-14

7
balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat di masuki oleh kalangan
sastrawan dan ulama-ulama terkemuka.
Pada zaman ini, dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari
bahasa lain kedalam bahasa arab, tetapi penterjemahan itu sebatas pada ilmu-ilmu yang
mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, tatalaksana dan
seni bangunan. Pada masa ini juga masih menyelenggarakan ilmu-ilmu yang di letakkan
pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir.
Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih delam dunia pendidikan pada saat
itu adalah di kembangkannya ilmu nahwu yang di gunakan untuk memberi tanda baca,
pencetakan kaidah-kaidah bahasa dan periwayatan bahasa. Terjadi perbedaan
mengenai penyusunan ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmi ini menjadi ciri kemajuan
tersendiri pada masa ini.
Hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius, pentingnya periwayatan
hadits sehingga dapat di pertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral
mendapat perhatian luas. Namun keberhasilan yang di raihnya adalah semangat untuk
mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi.
Di bidang ilmu fiqih, secara garis besar dapat di bedakan menjadi dua kelompok,
yaitu aliran ahli Al-Ray dan ahl Al-Hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan
hukum islam dengan menggunakan analogi, bila terjadi masalah yang di tentukan
hukumnya. Aliran kedua, ahl Al-Hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal,
bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jiaka tidak ada ayat Al-Quran atau hadits
yang menerangkannya.
Diantara jasa dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan menurut hasan
langgulung adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat
perkembangan ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam.10

4. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H/750-1258 M]


Charles Michael Stanton berkesipulan bahwa sepanjang masa Klasik Islam,
penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-
orang yang berpengetahuan dan di terima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan
hukum, bukan di tentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. 11

10 Ibid., h.14-19
11 Ibid., h. 19

8
Menurut Hasan Abd Al-Al, seorang ahli pendidikan islam alumni Universitas
Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri
pada masa abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 hijriah. Ketujuh lembaga itu adalah:
a) Lembaga pendidikandasar (Al-Kuttab)
b) Lembaga pendidikan masjid (Al-Masjid)
c) Kedai pedagang kitab (Al-Bawanit Al-Waraqin)
d) Tempat tinggal para sarjana (Manazil Al-Ulama)
e) Sanggar seni dan sastra (Al-Shalunat Al-Adabiyah)
f) Perpustakaan (Dawr Al-Kutub Wa Dawr Al-Ilm)
g) Lembaga pendidikan sekolah (Al-Madrasah)
Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-
masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat di
klasifikasikan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab,
rumah, toko, pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup
masjid, sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab.
Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah dan perpustakaan,
seperti Bait Al-Hikmah di baghdad dan Dar Al-Ulum di kairo.
Pada tingkat rendah kurikulum yang di ajarkan meliputi membaca al-quran dan
menghafalnya, pokok-pokok agama islam, menilis, membaca dan menghafal syair,
berhitung dan pokok-pokok nahwu dan sharaf alakadarnya.
Pada jenjang menengah di sediakan pelajaran-pelajaran Al-Quran, Bahasa Arab
Dan Kesusastraan, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu/Sharaf/Balaghah, Ilmu-Ilmu Eksakta,
Mantiq, Falak, Tarikh, Ilmu-Ilmu Kealaman, Kedokteran, Dan Musik. Dan metode
pengajarannya di sesuaikan dengan materi yang bersangkutan.
Jenjang pendidikan tingkat tinggi memiliki perbedaan di masing-masing lembaga
pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua
fakultas, pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra arab. Kedua,
fakultas ilmu-ilmu Hikmah (Filsafat). Semua mata pelajaran di ajarkan di perguruan
tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu.
Menurut Hasan Abd Al-Al metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang
tingkat tinggi ini meliputi Metode-Metode sebagai berikut:
a) Metode Ceramah (Al-Muhadlarah) : guru menyampaikan materi kepada semua
mahasiswa dengan di ulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang

9
dikatakannya. Dan pada metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu metode
Dikte (Al-Imla) dan metode Pengajuan Kepada Guru (Al-Qiraat Ala Al Syaikj Aw
Al-Ardl)
b) Metode Diskusi (Al-Munadzarah) : Di gunakan untuk menguji argumentasi-
argumentasi yang di ajukan sehingga dapat teruji.
c) Metode Koresponden Jarak Jauh (Al-Talim Bi Al-Murasilah) : merupakan salah
satu metode yang di gunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu
masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula.
d) Metode Rihlah ilmiah : metode ini dilakukan oleh para mahasiswa baik secara
pribadi maupun secara kelompok dengan cara menandatangi guru di rumahnya
untuk berdiskusi tentang suatu topik. Dan guru yang di datangi biasanya adalah
guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.

B. TUJUAN DAN FUNGSI RIHLAH ILMIYAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Masyarakat Muslim klasik yang melakukan rihlah ilmiyyah pada priode klasik
tidak dibatasi oleh adanya sistem kewarganegaraan (citizenship) sehingga mereka bebas
melakukan rihlah ilmiyyah dengan menjelajahi berbagai negara tanpa terikat dengan
kewajiban mengurus paspor atau visa.
Namun demikian tujuan rihlah sebenarnya cukup beragam sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Diantaranya adalah :
1. Pada masa Rasulullah rihlah bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang hadis dan Al Quran serta untuk belajar tentang hukum
langsung dari Nabi SAW.
2. Pada masa sahabat dan tabiiin tujuan rihlah ilmiyyah lebih dititik beratkan
untuk mencari sanad hadis yang shahih dari sahabat yang memiliki nilai
ketsiqahannya dalam meriwayatkan hadis.
3. Setelah ilmu hadis dibukukan maka lawatan ilmiah lebih ditujukan untuk
mencari guru ataupun mendengar hadis untuk selanjutnya diperbincangkan
ataupun didiskusikan.
4. Selain mencari ilmu, lawatan ilmiah juga bertujuan memberikan pengajaran
seperti Fasarqi ibn al-Quthami seorang yang memiliki keahlian dalam bidang

10
sastra dan mengetahui ilmu tentang geneologi (nasab) diundang oleh Abu Jafar
al- Manshur untuk mengajarkan anaknya Al- Mahdi tentang Adab.12

Sedangkan fungsi rihlah ilmiyyah, diantaranya;


1. Memperluas wawasan
Dengan rihlah ilmiyyah seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman
baru. Pengalaman ini adakalanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-
guru juga untuk mengadakan penelitian sendiri, mereka mengumpulkan bahan-
bahan ilmu bukan dari buku-buku atau dari lisan guru mereka melainkan dari
penyelidikan dan pembahasan mereka sendiri. Melakukan rihlah ilmyyaah ke
beberapa negeri untuk selanjutnya mencatat apa-apa yang dilihatnya dan
selanjutnya dibukukan apa yang telah diselidikinya. Dan buku-buku tersebut menjadi
sumber yang asli yang dapat dipertanggung jawabkan.13
2. Mencari seorang guru yang berkualitas.
Pada zaman klasik para pelajar pergi melakukan rihlah ilmiyyah manakala dia
mendengar bahwa di suatu kota terdapat seorang guru yang baik di bidang kajian
yang ditekuninya. Terkadang seorang penuntut ilmu yang telah dinyatakan tamat
dari bimbingan seorang guru, direkomendasikan untuk melanjutkan perjalanannya
di bawah bimbingan seorang guru lain yang lebih otoritatif (seringkali guru atau
teman dari guru pertama). Mengikuti rekomendasi semacam ini, seorang penuntut
ilmu kerap harus melakukan rihlah ilmiyyah. Dalam pendidiakan klasik, jumlah dan
kaliber guru seseorang sangat diperhitungkan, biasanya melebihi apresiasi orang
terhadap lembaga tempat seseorang menjalani pendidikannya. Lawatan ilmiyyah ini
dilakukan untuk menambah kesempurnaan pengetahuannya.14
3. Sebagai upaya penyebaran ilmu pengetahuan.
Rihlah ilmiyyah berperan besar dalam proses penyebaran informasi dalam tradisi
intelektual Muslim klasik. Perpindahan para ulama dari satu tempat ke tempat lain
secara otomatis berarti pula penyebaran ilmu pengetahuan.15

12 Umar Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtimaiyyah fi al-ushur al-Islamiyyah,(dimasyq: 1973), h.45.
13 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Hidakarya Agung: Jakarta, 1992), h.125.
14 Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, (Citapustaka Media: Bandung, 2006), h.208.
15 J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj.

Yuliani Lipuo (bandung: Mizan, 1996), h.36

11
BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan islam masa klasik mempunyai ciri khas tertentu, seperti halnya pada
masa rasulullah yang pada pendidikannya masih sebatas baca dan tulis, dan berangsur-
angsur berkembang pada zaman khulafa al-rasydin yang telah berkembang dengan
adanya pencarian al-quran dan kemudian di kodifikasikan, berlanjut pada masa
umayyah dengan adanya syair-syair dan pada zaman abbasiyah dengan berkembangnya
ilmu nahwu, sharaf maupun tata bahasa, kemudian pendidikan pada masa abbasiyah ini
terdapat beberapa tingkat pendidikan diantaranya telah adanya pendidikan dari yang
rendah, menengah maupun tinggi. Tokoh-tokoh pemikir pendidikan islam masa klasik
antara lain: ibn maskawih, al-mawardi, ibn sina dan masih banyak lagi.
Rihlah ilmiyyah dapat diartikan sebuah perjalanan yang di tempuh ke luar dari
negara/daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan. Ada dua aspek
tujuan rihlah ilmiyyah yaitu; pertama untuk menuntut ilmu (thalabaan lil-ilm) atau
meningkatkan nilai ilmu pengetahuan (rasikh fiilm) dan kedua dengan tujuan untuk
mengajarkan ilmu diberbagai daerah atau negara lain.
Sistem menuntut ilmu seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi umat
Islam. Dengan adanya perjalanan ilmiah guru-guru dan pelajar-pelajar ke berbagai
daerah Islam yang terpisah-pisah dan jauh jaraknya, akan terjadi jalinan budaya antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sehingga dapat menyebabkan dinamika
sosial dan peradaban Islam terus berkembang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Zuhr al- Islam, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1996, jilid II

Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media: Bandung, 2006

Hasan Asari, Menyingkat Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994

Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Juz: 2,

J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia
Arab, terj. Yuliani Lipuo, Bandung: Mizan, 1996

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Hidakarya Agung: Jakarta, 1992

Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004

Sayid Quthub, Konsepsi Sejarah Dalam Islam, Jakarta: Yayasan Al-Amin, t.t,.

Umar Ridha kahhalah, Dirasaat al- Ijtimaiyyah fi al-ushur al-Islamiyyah, Dimasyq: 1973

Umar Ridha kahhalah, Dirasaat Al- Ijtimaiyyah Fi Al-Ushur Al-Islamiyyah,dimasyq: 1973

Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

13

Anda mungkin juga menyukai