Anda di halaman 1dari 5

KONSEP MA’RIFAT PERSPEKTIF DZUN NUN AL-MISHRI

The Concept of Ma’rifat from The Perspective of Dzun Nun Al-Mishri


Encep Maulana Yusup

Pascasarjana Ilmu Tasawuf


Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM)
Suryalaya, Tanjungkerta, Kec. Pageurageung, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat 46158
@iailm.ac.id

ABSTRAK
Dzun Nun al-Mishri adalah tokoh Sufi abad ketiga Hijriyah yang meletakkan dasar-dasar teori ten
tang Ma’rifat yang sampai saat ini menjadi Trade Mark nya dalam studi ilmu Tasawuf. Dalam tasawuf
posisinya dipandang penting, karena ia orang pertama di Mesir yang memperbincangkan ahwal dan
maqamat para wali atau Sufi. Artikel ini bertujuan mengungkap posisi dan kontribusi Dzun Nun al-
Mishri sebagai tokoh sufi dalam merumuskan teori dan klasifikasi ma’rifat dalam ilmu tasawuf. Selain
itu, artikel ini juga mengelaborasi bahwa tujuan moral dari ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-
Mihsri adalah menjadikan nilai kemanusiaan sepenuhnya berhiaskan moral Allah. Dengan
menggunakan metode deskriptif analitis, artikel ini sampai pada kesimpulan bahwa dalam pandangan
Dzun Nun al-Mishri, ma’rifah bagi para sufi adalah pengetahuan dan penglihatan tertingggi tentang
Tuhan melebihi jenis pengetahuan mana pun. Karakteristik utama ma’rifah pada hakekatnya ia
merupakan pemberian Tuhan berupa cahaya bathin dalam diri seorang sufi. Ma’rifah ini dicapai oleh
seorang sufi sete elah melewati interaksi yang panjang yang dialami langsung oleh sufi. Ketika
seorang sufi mencapai ma’rifah, ia akan berusaha menjadikan dirinya sebagai implementasi dari
hakikat Tuhan yang sebenarnya.

Kata kunci: Tasawuf, Ma’rifah, Dzun Nun Al-Mishri

ABSTRACT
Dzun Nun al-Mishri is an Islamic Sufi leader of the third century who laid the foundations for the
theory about Ma'rifat that has been his trade mark in Sufism Studies until now. His position is
considered significant in Sufism, since he was the first person in Egypt to address the Guardians or
Sufi Ahwaal and Maqamat. The aim of this article is to determine the position and contribution of
Dzun Nun al-Mishri as a Sufi figure in the formulation of the theory and classification of ma'rifat in
Sufism. Moreover, this article also elaborates that, in Dzun Nun al-Mihsri 's opinion, the moral
purpose of ma'rifat is to make the human interest of humanity entirely framed with God's morality.
Using an analytical descriptive method, this article concluded that, in Dzun Nun Al-Mishri 's view,
ma'rifah for the Sufi is God's knowledge and vision beyond knowledge of any sort. Ma'rifah's main
characteristic is God's gift in the Sufis' inner light. Ma'rifah was achieved by the Sufi after a long
interaction experienced directly by the Sufi. When the Sufi reaches Ma'rifah, he's going to try to make
himself an act of God.

Keywords: Tasawuf, Ma’rifah, Dzun Nun Al-Mishri

1. Pendahuluan
Dalam awal perjalanannya, tasawuf banyak mengalami perkembangan sehingga
setiap kurun waktu mempunyai karakteristik tasawuf yang berbeda-beda. Tasawuf abad
ketiga Hijriyah mempunyai karakteristik berbeda dengan dua abad sebelumnya.
Walaupun sulit ditentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan
asketisisme dan Tasawuf dalam Islam, abad ketiga Hijriyah ini mencatat adanya
peralihan konkrit pada asketisisme Islam. Para asketis abad ini tidak lagi dikenal dengan
gelar tersebut tetapi lebih dikenal dengan Sufi.
Feneomena seperti ini, menurut Nicholson, muncul akibat perkembangan faktor-
faktor spiritual dari dalam Islam sendiri. Ini ditandai dengan lahirnya pengertian tasawuf
untuk pertama kalinya yang dicetuskan oleh tokoh Ma’ruf al-Karkhy.1
Konsep-konsep tasawuf yang asing bagi kebanyakan orang mulai terdengar pada
abad ini, disusul dengan penyusunan prinsip-prinsip teoretis dari konsep-konsep
tersebut. Lebih dari itu, mulai disusun pula aturan-aturan praktis bagi aliran tasawuf dan
lahirnya bahasa simbolis khusus yang membedakan antara satu aliran dengan aliran
lainnya. Karenanya, abad ketiga Hijriyah dapat dikatakan sebagai awal tersusunnya
ilmu asawuf dalam arti luas dengan semakin berkembangnya konsep-konsep dan teori-
teori asawuf.
Dzunnun al-Mishri yang dianggap oleh sebagian penulis sebagai Bapak Tasawuf,
merupakan salah satu sufi yang menonol pada abad ini. Beliau meletakkan dasar-dasar
teori ilmu Tasawuf yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh Sufi setelahnya.
Salah satu teori yang masyhur dari beliau adalah pemikirannya tentang Ma’rifat.

2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan ini maksudnya data yang diperoleh dari penelitian disusun serta
dijelaskan untuk selanjutnya dianalisa berdasarkan teori yang ada kemudian ditarik
kesimpulan.2
Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau
memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian
dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil
kesimpulannya.

3. Hasil dan Pembahasan


Gagasan adanya ma'rifat hakiki dimunculkan Dzun Nun al-Mishri. Karena itu ia
dapat disebut sebagai bapak gagasan ma'rifat dalam tasawuf. Nama lengkapnya adalah
Abu al-Faidl Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim al-Mishri. Lahir di Ikhmim Mesir tahun
155 H. Ayahnya berasal dari Naubah (sebuah kawasan di Mesir). Dia adalah orang yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakatnya dan orang yang paling luas
ilmunya, wara’, rendah hati dan mempunyai pengetahuan bahasa dan sastra Arab yang
luas pada masanya. Dzun Nun al-Mishri wafat di Giza pada tahun 245 H dan
dimakamkan di Qurafah.3
Secara harfiah, ma'rifat berarti pengetahuan. Dalam kajian tasawuf, ma'rifat
maksudnya ma'rifat Allah (pengetahuan tentang Tuhan). Ma'rifat mulai banyak
diperbincangkan dalam lingkungan para zahid dan sufi pada abad III H, setelah adanya
gagasan bahwa ma'rifat itu tiga macam atau memiliki tiga tingkatan . Tingkatan
tertinggi adalah ma'rifat yang dicari dan diharapkan oleh calon sufi . Itulah ma'rifat
hakiki atau ma'rifat sufiah . Orang yang memperoleh ma'rifat hakiki itu disebut arif bi
1
R. A. Nicholson, Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhuh. Terjemah: Abul ‘Alaal ‘Afifi. (Kairo:
Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969), h. 4.
2
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, (Bandung:
Tarsito, 1985), h. 140.
3
Abu al-Qasim Abd al-Karim Al-Qusyairi, Al-Risalah fi ‘Ilm al-Tasawwuf. Cet. I. (Beirut: Dar
al-Khair, 1991), h. 433.
Allah , orang yang mengenal atau mengetahui Allah ( disingkat , árif ).4
Sebagian sufi membedakan antara ma’rifat dan ‘ilm. Ma’rifat berkaitan dengan
pengalaman langsung yang menghasilkan kondisi khusus pada seorang sufi. Adapun
‘ilm bersifat lebih umum yang mengindikasikan adanya usaha pencarian manusia
terhadap pengetahuan-pengetahuan baik itu bersifat naqli maupun aqli. Intinya adalah
bahwa ma’rifat menuntut pengalaman langsung yang tidak dibutuhkan dalam pencarian
‘ilm. ‘Ilm dan Ma’rifat ini dalam kajian Tasawuf keduanya mengandung pengertian
pengetahuan tentang Tuhan (Ma’rifatullah aw al-‘Ilmu Bih).5
Selanjutnya, dalam pandangan para sufi jalan yang ditempuh umtuk mencapai
ilmu bersifat riwayah dan dirayah atau naql dan aql yang biasanya disebut dengan
hakikat-hakikat kebenaran yang tetap (alHaqa’iq al-Tsabitah). Adapun jalan yang
ditempuh untuk mencapai ma’rifat adalah pengalaman (Tajribah) dan alatnya adalah
bashirah, qalb, wujdan atau hadas dan semua lafazh yang mengandung arti sama yang
tidak membutuhkan perenungan-perenungan teoritis, aktifitas berpikir atau penelitian-
penelitian logika yang mendalam. Sedangkan thabi’at ma’rifah adalah bahwa ia
senantiasa mengalami perubahan yang kontinyu (al-Tajaddud al-Mustamirr).6
Adapun pengertian ma’rifat menurut Dzun Nun al-Mishri adalah pengetahuan
yang sebenarnya tentang Tuhan, menurutnya ma’rifah hanya ada pada seorang sufi yang
dapat melihat Tuhan dengan hati mereka. Ma’rifat diberikan Tuhan kedalam hati
seorang sufi, sehingga hati mereka bercahaya. 7 Orang yang mencapai maqam ma’rifah
disebut dengan Arif billah, hal hal yang diketahui orang arif ialah merasa bangga dalam
kepapaannya. Apabila nama Allah disebut dia merasa bahagia, dan apabila namanya
disebut ia merasa miskin. Adapun sebelum mencapai ma’rifat seseorang harus memiliki
akhlak yang baik, jika seseorang memiliki jiwa yang bersih maka akan ada dorongan
dalam melaksanakan kebaikan secara meningkat.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, ada tiga macam ma'rifat. Pertama, ma'rifat kalangan
awam (orang banyak pada umumnya), mereka mengetahui tidak ada Tuhan selain Allah
melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat. Kedua, ma'rifat
kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini,
mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga,
ma'rifat kalangan para wali dan orang-orang suci, mereka mengenal Allah berdasarkan
pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma'rifat tingkat
ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma'rifat
hakiki dan tertinggi.8
Ma’rifat bagian pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan hakiki tentang
Tuhan. Keduanya disebut ilmu, bukan ma’rifat. Ma’rifat dalam bagian ketigalah yang
merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut ma’rifat.
Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati
sanubari mereka. Pengetahuan ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum Sufi. Ma’rifat
dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya.9
4
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 807.
5
Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Al-Tasawwuf: Tariqan wa Tajribatan wa Mazhaban,
(Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’iyyah, 1970), h. 181.
6
Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Al-Tasawwuf … h. 181.
7
Faqihuddin, Dzunun Al-Misri Al-Ma’rifah, Jurnal Ar-Risalah Vol V, No 1 Januari 2015, p 113.
11 Jrman Arro
8
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Tasawuf … h. 808.
9
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. VIII. (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 76.
Jalan menuju ma’rifat kepada Allah dalam Tasawuf disebut dengan tariqoh atau
jalan menuju kepada Nya yang ibaratnya seorang musafir atau salik. Secara umum
tasawuf merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui penyesuaian rohani
dan memperbanyak ibadah. Maka bentuk tasawuf adalah cara mendekatkan diri kepada
Allah sedangkan tariqah jalan yang dipilih dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Pensucian diri dilakukan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah dan menjauhi segala
bentuk yang bertentangan dengan tujuan.10
Dzun Nun pun cenderung mengaitkan ma’rifat dengan syari’ah, sebagaimana
ungkapannya: “Ada tiga tanda sang a’rif, cahaya ma'rifah-nya tidaklah memadamkan
cahaya ke-wara'-annya, ia tidak percaya bahwa aspek batin hukum bertentangan dengan
aspek lahirnya, dan keberlimpahan nikmat Tuhan bagi dirinya tidak mendorongnya
untuk mengoyak tirai yang menutup kawasan sakral Tuhan."11
Semakin dekat seseorang kepada Allah, semakin bertambah pula ketakjubannya dan
kekhusyu’annya semakin dalam karena ia telah mengetahui kewibawaan dan kekuasaan Allah.
Keagungan Allah telah menguasai hatinya sehingga ia tidak merasakan dirinya jauh dari Allah
dan ikatan-Nya. Dengan demikian, semakin bertambahlah kekhusyu’annya. Dan orang yang
mengaku telah mencapai ma’rifat tanpa kekhusyu’an adalah orang yang jahil bukan ‘arif.
Hakikat ma’rifat merupakan tanda kebenaran iradah. Dan iradah yang benar akan
menghilangkan sebab-sebab dan memutuskan hubungan seorang hamba dengan segala sesuatu
selain Allah. Hal ini seperti ditegaskan Dzun Nun: “Kebenaran adalah pedang Allah di bumi
yang akan memotong setiap sesuatu jika pedang itu diletakkan di atasnya”. Kebenaran berarti
kemampuan melihat musabab, bukan menetapkan sebab. Maka jika sebab telah ditetapkan,
berarti hukum kebenaran telah hilang dan gugur.12 (al-Hujwiri, 1974: 312).
Dari sejumlah penuturan di atas tentang ma'rifat dan sang a’rif, cukup jelas bahwa
para sufi sejak dari Dzun Nûn al-Mishri dan para sufi sesudahnya, memberikan
deskripsi istimewa tentang maʼrifat dan sang a’rif. Intisari ma'rifat adalah keterbukaan
hijab pada hati, melihat Tuhan dengan hati dan karena itu mengenal Tuhan dengan hati
itu. Penuturan-penuturan mereka yang bertebaran itu menjadi bahan yang berharga bagi
para sufi yang muncul belakangan seperti al - Qusyayrî ( w . 465 H / 1073 M ) dan
Ghazâlî ( w . 505 H / 1111 M ).13

4. Kesimpulan
Ma’rifat bagi para sufi adalah pengetahuan dan penglihatan tertingggi tentang
Tuhan melebihi jenis pengetahuan mana pun. Karakteristik utama ma’rifat adalah
bahwa pada hakekatnya ia merupakan pemberian Tuhan berupa cahaya bathin dalam
diri seorang sufi. Ma’rifat ini dicapai oleh seorang sufi setelah melewati interaksi yang
panjang yang dialami langsung oleh sufi. Ketika seorang sufi mencapai ma’rifat, ia akan
berusaha menjadikan dirinya sebagai implementasi dari hakikat Tuhan yang sebenarnya.
Ma’rifat merupakan proses yang tidak mengenal batas akhir sebab semakin tahu
seorang sufi tentang Tuhan ia akan semakin terdorong untuk mengetahui Tuhan lebih
jauh dan mendalam lagi. Menurut seorang sufi, apa yang dibayangkan oleh seseorang
tentang Tuhan, maka Tuhan tidak seperti yang dibayangkan. Ma’rifat semakin
bertambah kualitasnya ketika seorang sufi semakin berusaha mengetahui hakikat Tuhan

10
Dedi Suriansah, Menuju Kesempurnaan Jiwa Tasawuf Pergerakan Sa’id Hawa Membangun
Peradaban Manusia, (Serang: Penerbit A-Empat, 2021), h 122.
11
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Tasawuf … h. 809.
12
Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, (Mesir: Al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al Islamiyyah, 1974), h.
312)
13
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Tasawuf … h. 810.
walaupun pada akhirnya mengetahui Tuhan secara penuh dan sempurna adalah hal yang
tidak mingkin dilakukan. Dan ma’rifat yang dicapai seorang sufi akan mempengaruhi
tingkatan moral dan aktifitasnya dalam kehidupannya.
Daftar Pustaka

Al-Hujwiri. 1974. Kasyf al-Mahjub. Mesir: Al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-


Islamiyyah

Nicholson, R. A. 1969. Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhuh. Terjemah: Abul ‘Alaal


‘Afifi. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr.

Surakhmad, Winarno. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik.
Bandung: Tarsito.

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al-Karim. Al-Risalah fi ‘Ilm al-Tasawwuf. Cet. I.


Beirut: Dar al-Khair.

Azra, Azyumardi. dkk. 2008. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa.

Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim. 1970. Al-Tasawwuf: Tariqan wa Tajribatan wa


Mazhaban. Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’iyyah..

Faqihuddin, 2015. Dzunun Al-Misri Al-Ma’rifah, Jurnal Ar-Risalah Vol V, No 1


Januari 2015.

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. VIII. Jakarta: Bulan
Bintang.

Suriansah, Dedi. 2021. Menuju Kesempurnaan Jiwa Tasawuf Pergerakan Sa’id Hawa
Membangun Peradaban Manusia. Serang: Penerbit A-Empat.

Anda mungkin juga menyukai