Anda di halaman 1dari 12

JALAN PARA SALIK DALAM TASAWUF IMAM AL-QUSYAIRI Segala puji bagi Allah swt yang Mahaagung Mahaqodim

Mahatahu.

Mahabijaksana, Mahapengasih, Mhapenyayang. Yang mengajar manusia dengan perantara kalam. Yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.1 Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada pada toeri-teori yang rumit perilaku; dan kedua, tasawuf yang mengarahkan teeori-teori memerlukan pemahaman

mendalam; ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seorang dapat berdiolog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan (marifat) dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham. Tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi kearah yang kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi kearah yang ketiga disebut sebagai tasawuf irfani.2[1] Dan, yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama yaitu tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi. Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannyaterdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli ( menghiasi dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) ) antara manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.3[2] Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf seperti ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafii. Pada mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan moral yang
1 Al-Alaq: 4-5. 2[1] Mohammad Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (Malang: UIN-Malang Press, 2008),

hal 165-166. 3[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2009), hal 18.

sempurna.4[3] Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain: 1. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada di luar pemahaman Al-Quran dan Hadis yang mereka pahami, kalau pun harus ada penafsiran, panafsiran itu sifatnya hanya hanya sekedarnya dan tidaka begitu mendalam.

2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathatat. Walaupun ada tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman pribadi dan mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain. Pengalaman yang ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau eajaiban yang mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun sebagaiana dikutip At-Taftazani, memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam aspek ini mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri sahabat dan tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti itu.

3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.

Al-Quran dan Hadis dengan jelas menyebutkan bahwa inti makhluk adalah bentuk lain dari Allah. Hubungan antara sang pencipta dengan yang diciptakan bukanlah merupakan salah satu persamaan, tetapi bentuk lain. Benda yang 4[3] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta,1999), hal 96.

diciptakan Allaha adalah bentuk lain dari penciptanya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-paham filosofis yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan keganjilannya. Kaum sufi Sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil seperti yang disebutkan Abu Yazid al-Busthami dengan teori fana da baqa-nya, Al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, dan Ibnu Arabi dengan konsep dahwatul wujud-nya.

4. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam penegrtian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham diatas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau kedudukannya sebagi objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti aturan aturan yang dianut oleh fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering di anggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan. 5. Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli. Tasawuf akhlaki adalah taswuf yang berorientasi pada teori perilaku. Tasawuf seperti ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan dalam kaum salaf (salafi). Pada mulanya, taswuf ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.5[4] Dalam tasawuf akhlaki ini akan di bahas mengenai salah seorang tokohnya, yaitu Al-Qusyairi. Baik itu sejarahnya maupun perannya dalam dunai tasawuf. Berikut ini akan di uraikan mengenai hal-hal tersebut. a. Biografi singkat Al-Qusyairi Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari adad kelima Hijriah. 5[4] Muzakkir, Studi Tasawuf (Medan : Ciptapustaka Media Perintis, 2009), hal 3334.

Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun secara praktis.6[5]

Nama lengkap Al-Qurairi adalah Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri majelis gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang faqih, Abu Bakr Muhammad [6] Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.. guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia selalu mempelajari fiqih dari seorang bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bi Farauk (wafat tahun 406 H).7

Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishak al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqillani. Dari situlah Al-qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang dikembangkan al-Asyiari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh dalam menentang doktrin aliran-aliran Mutazilah, Karamiyyah, mujassamah dan Syiah. Karena tindakannya 6[5] Rosihon Anwar,Ahklak Tasawuf (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010), hal 183. 7[6] Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58.

itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Thugrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mutazilah Rfidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula pada tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan, AlQusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat. Dia wafat tahun 465 H.8[7]

Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang terkemuka yang pada abad kelima ciri-ciri Hijriyah utama yang dari cenderung ajaran mengadakan sunni. pembaharuan, yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Quran dan As-Sunnah merupakan tasawuf Kedudukannya yang demikian penting, menginget karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu mengkompromikan syariat dengan hakikat.9[8]

Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia menuliskan sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah al-Qusyairiah. Sebenarnya, kitab ini ditulis olehnya untuk golongan orang-orang sufi dibeberapa negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh tempat kerena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada saat itu telah banyak menyimpang dari sumber hukum Islam. Karya tulis Al-Qusyairi yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi bahan bacaan wajib bagi para peminat tasawuf adalah Risalah al-Qusyairiyyah fiIlm at-Tasawufi.10[9] Al-Qusyairi adalah tokoh yang senantisa mengamalkan ajaran tasawuf, 8[7] M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal 131. 9[8] Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58. 10[9] Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal 319

sehingga dalam sebuah buku11[10], Khamsyakhanuwi menyatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh sesudah abad ketiga Hijriyah yang walaupun sedah wafat mereka terus meerus beramal dalam kuburnya seperti ketika masih hidup. Beberpa diantaranya adalah Syeik Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Imam Syibli, Al-Qsyairi, AsySyibani dan masih banyak sekali yang lain bahkan sampai beribu-ribu.

Pada permulaannya, diktrin-doktrin tasawuf di ajarkan melalui tanda-tanda, sebagimana sekarang juga dilakukan terhadap bagian-bagian yang berisi okultisme. Mereka yang sudah mahir akan mampu berbicara satu sama lain dengan tandatanda, tanpa mengucapkan sebuah kata pun. Dzun Nun adalah orang yang pertama kali merumuskan doktrin-doktrinnya melalui kata-kata. Junaid dari Baghdad juga mensistematisasi hal yang sama. Abu Bakar Shibli adalah orang yang menyerukan hal serupa dari mimbar masjid. Sebagaimana juga Socrates yang menurunkan filsafatnya dari langit ke dunia. Hal serupa juga dapat ditemukan pada karya tulis Abul Qasim al-Qusyairi dalam risalahnya: Risala-i-Qusyairiyah fi ilm-ut-Tasawuf.12 [11]

b. 1.

Pemikiran Al-Qusyairi Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah Seandaikan karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia cenderung mengembalikan landasan doktrin Ahlus Sunnah , sebagimana pernyatannya, ketauhilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsipprinsip tasawuf atas landasan tauhidyang benar, sehingga terpeliharah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari 11[10] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: Ramadani, 1996) h. 39-40. 12[11] Khan Sahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 141-142 tasawuf ke atas

ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincir kaki yang tertipu kedalam jurang kehancurannya.,

Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bakan dengan konotasi lain, secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka, Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dariperbudakan sebagai belenggu dan berhasil mencapai realita-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana hukumhukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementar mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka keesaan tidak mencela maupun melarang mereka pun tetap apa yang mereka cahaya-cahaya nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia dan setelah fana, memperoleh ketuhanan, tempatbergantung pada sesuatu.

2.

Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebuh penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagimana perkatannya,

Duhai

saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah

maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang

megada-ada dalam berpakaian - setiap tasawuf yang memberatkan diri; dan setiap yang batin maupun As-sunnah adalah pengingkaran

tidak dibarengi dengan

kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta itu bertentangan dengan lahir adalah Tuhan dan bukan tauhid; setiap keliru dan bukannya yang batin setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran pengenalan terhadapa Allah yang tidak dibarengi kerendahan hati maupuin kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.

3.

Penyimpangan Para Sufi Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah, Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.

Kemah itu hanya serua kemah mereka. Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.

Zaman

telah

berakhir

bagi

jalan

ini.

Tidak,

bahkan

jalan

ini

telah

menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semaki menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-0orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa mau. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.dan mereka jatuh dalam pelukan nfsu suahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan

hal-hal yang tidak diperbolehkan.

Pendapat Al-Qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.

Oleh karena itu pula, Al-Qsyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya, sekedar pengobatan keluhan atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin

ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Dia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qodim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat hadis-Nya. Dari sini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu Al-Asyariyayah, yang nantinya akan merujuk paada gagasan Al-Qusyairi.13[12]

Dari uraian diatas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, munurut Al-Qsyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.

Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka

jalan bagi

kedatangan Al-Ghazali, yang dirafiliasi pada aliran yang sama , yaitu Al-Asyariyah 13[12] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 172

yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibimaupun Al-Junaid, secara melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil. Selian dari ketiga hal diatas, Al-Qusyairi juga memberikan pandangannya kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf, seperti fana dan baqa, wara, syariat dan hakikat: a. Baqa dan Fana Dalam struktul ahwal14[13], yaitu mengenai fana dan baqa, Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela,sedangkan baqa adalah jelasnya sifat-sifat terpuji. Barangsiapa fana dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan adalah sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan secara terus-menerus tertutupi. Jika seorang individu membersihkan diri dengan segala upayanya, maka Allah

akan memberikan anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan dengan penyempurnaan tingkah laku tersebut. b. Wara Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara, menurutnya wara merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara adalah suatu pilihan bagi ahli tarekat. 15 [14]

c.

Syariat dan Hakikat Al-Qusyairi membedakan antara syariat dan hakikat; hakikat itu adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan syariat adalah kepastian hokum dalam ubudiyah,sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriah antara 14[13] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002) h.55 15[14] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 103.

manusia dengan Allah SWT.16[15] Tasawuf sebagi suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad ke dua Hijriah hingga saat ini tentu mmengembangkan bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah syariat bagi para sufi pengertiannya selalu di hubungkan dengan halikat. Maka menurut kacamata para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal dari pada agama. Jadi, tingkah laku batin seperti kekhusyukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam Al-Qusyari dalam risalahnya mengatakan:

Maka setiap syariah tidak di dukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan dengan syariat tentu tidak ada hasilnya. Syariat dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi.
17

[16]

Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai punya kemampuan rohani dan menjadi alat sAtu-satunya untuk marifat pada Dzat Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Dalam hal ini, Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata manusialah yang tak mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah al-Qusyairi lebih memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat ruh dan sir. Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan ruh merupakan tempat

16[15] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 107. 17[16] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) h.9-10

mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk marifat kepada Dzat Tuhan.18[17] Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah juga memperngaruhi cara berfikir dari al-Ghazali dalam menyatakan alasannya, banyak sekali di temukan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari, Muhasibi, terutama Abu Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan al-Qusyairi (w. 465 H) pengarang Risalah Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini), kedua pengarang dari kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir Al-Ghazali, begitu juga perkataan Nabi Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang lain.19[18]

18[17] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, h.45-46. 19[18] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: Ramadani, 1996) h. 33

Anda mungkin juga menyukai