Ali Mutakin
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nurul Iman Parung-Bogor
Jl. Nurul Iman No. 01 Ds. Warujaya Rt. 01/01 Kec. Parung Kab. Bogor
e-mail: nabilamandor@gmail.com
Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan (library reseach), dengan
mengambil tema Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) dalam Penentuan
Hukum: Menelisik Tradisi Riset Kitab Kuning. Ada dua pertanyaan yang diajukan dalam artikel
ini, 1) Bagaimanakah kedudukan Kitab Kuning dalam tradisi intelektual Nahdlatul Ulama, 2)
Bagaimanakah rumusan metode Nahdlatul Ulama dalam penentuan hukum. Kesimpulannya
adalah bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan, memiliki hubungan
yang erat dengan keempat mazhab fikih (mazhab Hanafi,Maliki, Syafi’i dan Hambali). Hal ini
berimplikasi terhadap ketergantungannya pada kitab kuning sebagai basis intelektual yang turun
temurun. Ketergantungan pada kitab kuning dalam aktifitas intelektualnya lebih disebabkan
pada asumsi bahwa perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke
generasi berikutnya atau matarantai (sanad) ilmu agama Islam harus diketahui dengan baik dan
benar. Sedangkan tradisi risetnya, NU menggunakan tiga metode Pertama, metode taqrîîr jamâ’i
(penetapan hukum secara kolektif). Kedua, metode ilhâq al-masâil bi nadhâ’irihâ. Prosedur ini
digunakan untuk menggantikan istilah qiyas, yang menurut pandangan NU tidak layak dan tidak
patut dilakukan, karena qiyâs merupakan suatu kompetensi yang hanya dimiliki oleh seorang
mujtahid. Ketiga, metode istinbât yaitu secara bersama-sama mepraktikkan qawâid usyûliyyah
dan qawâid fiqhiyyah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para mujtahid terdahulu.
Abstract: This article is the result of library research (library reseach), taking the theme of the
Yellow Book and the Intellectual Tradition of Nahdlatul Ulama (NU) in Determining Law:
Researching the Yellow Book Research Tradition. There are two questions raised in this article,
1) What is the position of Kitab Kuning in the intellectual tradition of Nahdlatul Ulama, 2)
What is the formulation of the Nahdlatul Ulama method in determining the law. The conclusion
is that Nahdlatul Ulama (NU) as a socio-religious organization has a close relationship with the
four schools of fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i and Hambali schools). This has implications for its
dependence on yellow books as a hereditary intellectual base. Dependence on the book of
yellow in intellectual activity is more due to the assumption that the transfer of knowledge of
Islam should not be interrupted from one generation to the next or the chain (sanad) of the
knowledge of Islam must be known properly and correctly. As for the research tradition, NU
uses three methods. First, the method of taqrîir jamâ'i (collective law setting). Second, the
method of ilhâq al-masâil bi nadhâ'irihâ. This procedure was used to replace the term qiyas,
which according to NU view was inappropriate and not feasible, because qiyas was a
competency that only a mujtahid possessed. Third, the istinbât method, which jointly practices
the usyûliyyah and qawâid fiqhiyyah qawâid as formulated by earlier mujtahids.
Keywords: NU, Kitab Kuning, Intellectual Traditions, Research Methods.
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
193 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
1Imam Syâthibî memberikan kreteria untuk Search for A New Discourse, Pent. Farid Wajidi
seseorang bisa dikatakan sebagai mujtahid. Kreteria (Yogyakarta: LkiS, Cet: IV, 2004), 13.
tersebut adalah, pertama dapat memahami maqâsyid al- 3Zamakhsyari Dlofier, Tradisi Pesantren, Studi
syari’ah secara sempurna. Apa bila seseorang mampu Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984),
memahami maqâsyid al-syari’ah dalam segala persoalan 149-153
dengan rincianya, berarti ia telah mencapai pada level 4Matarantai dalam transfer ajaran tersebut
pemahaman khalifah-khalifah Nabi dalam mengajar, dikenal dengan istilah sanad, sebuah istilah yang
berfatwa dan menetapkan hukum sesuai dengan diadopsi dari istilah matarantai dalam periwayatan
hukum yang diturunkan Allah Swt. Kedua kemampuan Hadits yang dikaji dalm ilmu dirâyah al-hadîth. Lihat
menarik kandungan hukum atas dasar pengetahuan Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîth Ulûmuh
dan pemahaman maqâsyid al-syarî’ah itu adalah dengan wa Musythalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 200.
bantuan pengetahuan bahasa Arab, al-Qur’an dan Menurut istilah hadits sanad adalah silsilah matarantai
Sunnah. Lihat Al-Syâthibî, Al-Muawafaqat Fi Ushul al- orang-orang yang menghubungkan kepada matan
Syari’ah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, Hadits. Lihat Muhamad Ma’syum Zainy al-Hasyimiy,
2003), 105-107 Pengantar Memahami Nadham Baiqûniyyah (Jombang:
2Martin Van Bruinessen, Traditionalist Muslims in Darul Hikmah Jombang, 2008), 14. Sedangkan yang
A Modernizing World: The Nahd}atul Ulama and dimaksud matarantai atau sanad di sini adalah silsilah
Indonesia’s New Order Politics, Factional Conflict and The orang-orang yang menghubungkan kepada mu’allif
(pengarang kitab).
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 194
cara ikut (taqlîd) atau bermazhab5 kepada istinbâth al-ahkâm (penggalian hukum)
salah satu pendapat empat mujtahid melalui sumber-sumbernya dengan benar.
mazhab, yang keberadaanya telah tersohor Sedangkan untuk memperoleh kebenaran
dan aliran mazhabnya sudah dalam proses istinbâth al-ahkâm harus
dikodifikasikan. Selain itu, bermazhab bagi mengenali pendapat-pendapat sebelumnya
NU adalah hukumnya wajib, hal ini supaya tidak keluar dari ijma’. Dalam
dilakukan karena dikhawatirkan umat Islam pengantar Undang-Undang Dasar NU
mencampur-kan antara yang haq dan yang disebutkan bahwa barang siapa
bâthil, atau tergelincir dalam kesalahan, atau menyebutkan ilmu dengan tidak
mengambil serta mengamalkan ajaran Islam menyebutkan sanadnya maka dia seperti
yang mudah-mudah saja.6 Oleh karena itu, pencuri.8 Hal itu menunjukkan bahwa
dalam pandangan NU, tansmisi keilmuan mengikuti pendapat-pendapat imam
atau matarantai keilmuan dianggap sebagai mazhab sangat penting untuk memutuskan
sebuah aspek integral dari konsep wasîlah, suatu perkara, terutama untuk
keperantaan spiritual. Matarantai yang terus mengembangkan pemikiran yang berkaitan
bersambung dari seorang guru, hidup atau dengan ijtihad.
mati, melalui guru-guru terdahulu dan
sampai kepada Nabi Saw. dan karenaya Pembahasan
kepada Tuhan, dianggap penting untuk Hakikat Ijtihad Menurut NU
keselamatan. Bahkan konsep sanad atau Pada dasarnya term. ijtihad tidak begitu
matarantai keilmuan agama sebagai aspek popular di kalangan NU, karena menurut
penting bagi kalangan Islam tardisional NU kegiatan ijtihad merupakan hak otoritas
(NU).7 seorang mujtahid yang telah mempunyai
Menurut Hasyim Asy’ari dengan cara beberapa persyaratan yang telah ditetapkan
mengikuti pendapat salah satu imam oleh ulama ahli ushul. Banyak persyaratan
mazhab yang empat, maka umat Islam akan yang harus dipenuhi bagi seseorang yang
mendapatkan kemaslahatan dan kebaikan berhak dan layak menjadi mujtahid, seperti
yang lebih besar, sebab hukum Islam tidak mampu menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu
akan dapat dipahami kecuali dengan proses yang terkait dengannya, mampu menguasai
5Kata mazhab ( )مذهبmenurut ilmu syaraf karangan ulama-ulama salaf, diantara kitab-kitab
tersebut adalah: Al-Mizân Al-Kubrâ karangan Abdul
merupakan syighat isim makan (isim yang menunjukan Wahhab Al-Sya’rani; Al-Fatawa Al-Kubrâ Al-Fiqhiyyah
kata tempat) yang diambil dari kata dasar dhahaba karangan Ibn Hajar Al-Haitamî; Sullam Al-Wusûl
(ب
ََ )ذَ َهyang berarti tempat berjalan. Maksudnya suatu Syarah Nihâyah Al-Sûl karangan Muhammad Bahîth
Al-Mu’thî; Bughyah Al- Mustarsyidîn karangan ‘Abd Al-
tempat berpijak para imam mazhab dalam rangka
Rahmân Ba’alawî. Lihat Nahd}atul Ulama, Ahkâm al-
mencurahkan pikiranya untuk menetapkan hukum
Fuqâhâ; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Allah atas suatu persoalan, yakni meliputi empat
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahd}atul
macam dalil, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Ulama 1926-2010. (Surabaya: Khalista dan Lajnah
Lihat Misbah Mustofa, Anda Ahlussunnah? Anda
Ta’lif Wa Al-Nasyr, 2011), 2-3 dan 248-250.
Bermadzhab? (Tuban: al-Misbah, 2006), cet. Ke I, 12 7Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia
6Tentang fatwa diwajibkanya mengikuti salah
Modern: Dinamika Pemikiran dari Fikih Klasik ke Fikih
satu dari empat mazhab diputuskan pada Muktamar
Indonesia (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), cet.
ke-1 di Surabaya pada tanggal 13 Rabî’ al-Thânî 1345
I, 61
H./21 Oktober 1926 M. Dan pada Muktamar ke-14 8Hasyîm Asy’ari, Ihyâ’ ‘Amal al-Fud}âla;
di Magelang pada tanggal 14 Jumâdî al-‘Ulâ 1358 H./1
Muqaddimah Anggaran Dasar NU (Kendal: tp., 1969),
Juli 1939 M. Fatwa ini merujuk ke beberapa kitab
37-38
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
195 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
Hadits beserta ilmu-ilmu yang berhubungan dari teks-teks primer; al-Qur’an dan Sunnah)
dengannya, menguasai bahasa Arab beserta yang mana kegiatan tersebut hanya bisa
ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, dilakukan oleh seorang mujtahid mutlak,
menguasai ilmu usyul fiqh, menguasai yang menurut NU kegiatan tersebut sangat
maqâsyid al-syarî’ah dan lain sebagainya. berat untuk dilakukan ulama sekarang
Oleh karena itu, NU melalui Lajnah dengan segala keterbatasannya baik dalam
Bahtsul Masail dalam menyelesaikan suatu ilmu pokok yaitu penguasaan ilmu tentang
masalah, tidak pernah menggunakan istilah al-Qur’an dan Sunnah maupun ilmu bantu
ijtihad untuk kegiatan tersebut yang mana yaitu penguasaan dalam bidang ilmu bahasa
ijtihad sudah diyakini sebagai hak otoriter Arab dan lain sebagainya.
mujtahid terdahulu, melainkan memakai Menurut K.H. Sahal Mahfud, istinbâth
term Istinbâth (penggalian dan penetapan) hukum langsung dari sumber primer yang
hukum dengan pendekatan mazhabî.9 cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak,
Maksudnya para ulama yang tergabung bagi ulama NU, masih sangat sulit dilakukan
dalam bahtsul masail, ketika menyelesaikan karena keterbatasan-keterbatasan yang
suatu masalah berorientasi kepada salah satu memang disadari terutama dalam ilmu-ilmu
mazhab empat, baik pendapat-pendapatnya pokok dan ilmu penunjang yang harus
tentang suatu masalah yang disebut dengan dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara
bermazhab secara qawlî maupun jalan pikiran jika ijtihad dilakukan dalam batas mazhab
yang digunakan oleh imam mazhab dalam yang lebih praktis, maka dapat dilakukan
menyelesaikan suatu masalah yang disebut oleh semua ulama NU yang telah mampu
dengan bermazhab secara manhajî. memahami ‘ibârat kitab-kitab fikih sesuai
Dalam tradisi NU, ijtihad seakan-akan dengan terminologinya yang baku.12
telah tertutup dan tidak mungkin dilakukan Istinbâth hukum di kalangan NU
oleh ulama-ulama sekarang karena tidak diartikan bukan untuk mengambil hukum
mempunyai kompetensi sebagaimana para secara langsung dari kedua sumber hukum
mujahid terdahulu.10 Melalui kerangka yang asli yakni Al-Qur’an dan Sunnah,
bermazhab inilah, maka pintu ijtihad melainkan –sesuai dengan sikap dasar
menurut NU hanya terbuka dalam kerangka bermazhab- melakukan tathbîq (penerapan)
pemikiran bermazhab.11 secara dinamis terhadap nasy-nasy (teks-teks)
Sebenarnya istilah Istinbâth merupakan yang telah dielaborasi ulama fikih priode
istilah lain dari ijtihad yang hendak dihindari klasik dan menengah kepada persoalan
oleh ulama-ulama NU. Secara esensial kedua waqi’iyyah (kasuistik) yang dicari hukumnya.
istilah tersebut adalah sama. Kedua istilah Sedangkan istinbâth dalam pengertian yang
tersebut lebih dikonotasikan kepada istikhrâj pertama (menggali hukum secara langsung
al-hukm min al-nushûsh (mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah) cenderung kea
9Ahamad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah DunneSource, “The Ijtihad Controversy”, dalam
Bahtsul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), Journal Arab Law Quarterly, Vol. 9, No. 3 (1994), pp.
cet. Ke I, 17 238-257 Publisyed by: BRILL Stable URL:
10Husein Muhammad, “Tradisi Isinbat Hukum http://www.jstor.org/stable/3381568. Diakses pada
NU: Sebuah Kritik”, dalam M. Imdadun Rahmat (ed), tanggal 25 Mei 2014
Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul 11Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU;…117
Masail (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002), 27-28. 12Muhammad Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih
Bandingkan dengan Syaista P. Ali-Karamali and Fiona Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 27
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 196
rah perilaku ijtihad yang oleh para ulama NU Hubungan Ijtihad NU dengan Fikih
dirasa sangat sulit karena keterbatasan- Empat Mazhab
keterbatasan yang disadari oleh mereka. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa,
Terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan NU dalam menjalankan segala aktifitasnya,
pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang baik yang praktis maupun teoritisnya,
mujtahid. Sedangkan istinbâth menurut menggunakan sistem bermazhab. Hal ini
pengertian yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan karena untuk mencapai kebenaran
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah dalam menjalankan ajaran Islam agar sesuai
mampu memahami ‘ibârat-‘ibârat kitab fikih dengan tuntunan syarî’at, maka seorang
sesuai denga terminologinya yang baku. Oleh muslim harus mengikuti apa yang sudah
karena itu, di kalangan NU istilah istinbâth pernah dilakukan oleh ulama-ulama
dalam kerja bahth al-masailnya Syuriyyah tidak terdahulu, karena untuk zaman sekarang ini,
popular karena istilah tersebut sudah popular sulit ditemukan orang-orang yang
dikalangang NU dengan konotasinya yang mempunyai kemampuan setingkat mujtahid
pertama yaitu ijtihad. Sebagai gantinya yang mampu langsung memahami ayat-ayat
dipakai istilah bahtsul masail yang artinya al-Qur’an dan Hadits.
membahas masalah-masalah waqi’iyyah (yang Zamakhsyari Dlofier menyebutkan
terjadi) melalui refernsi (marâji’) yaitu al-kutub bahwa, pemikiran Islam Tradisional15 adalah
al-mu’tabarah.13 pemikiran-pemikiran yang masih terikat kuat
Secara definitif, NU memberikan dengan pemikiran-pemikiran ulama ahli fiqh,
definisi Istinbâth hukum sebagai suatu upaya Hadits, tasawwuf, tafsir dan tauhid yang
mengeluarkan hukum syara’ dengan qawâid hidup antara abad ke-7 M hingga abad ke-13
usyûliyyah dan qawâid fiqhiyyah,14 baik berupa M.16 Dalam konteks fikih, pengambilan dasar
adillah ijmâliyyah, adillah tafsyîliyyah maupun hukum Islam tidak langsung merujuk kepada
adillah al-ahkâm. Dengan demikian produk sumber aslinya yakni Al-Qur’an dan Sunnah
hukum yang dihasilkan merupakan hasil Nabi, melainkan dilakukan oleh ulama-ulama
ijtihad ulama atas nasy-nasy al-Qur’an dan tradisonalis (NU) dengan berpegang teguh
Sunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip terhadap apa yang telah dibangun oleh para
ijtihad yang digunakan para mujtahid masa imam Hanafi17, Maliki18, Syafi’i19 dan
lalu.
13Sahal Mahfudh, “Bahtsul Masail dan Istinbath ditulis ulama mazhab empat. Lihat Ahmad Zahro,
Hukum NU: Sebuah catatan pendek” dalam A. Tradisi Intelektual NU,…116
Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha (eds), Ahkâm al- 16Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi
Fuqâhâ: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994),
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes 1926-2010 cet. Ke-6, 1
(Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr 17Nama aslinya adalah al-Nu’mân ibn Thâbit
(LTN) PBNU, 2011), viii-ix ibn Zauti, lahir di Kufah tahun 80 H.
14Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqâhâ,…470 18Nama aslinya adalah Malik ibn Anas ibn Abi
15NU dikategorikan sebagai Islam Tradisionalis
‘Amir, lahir di Madinah tahun 93 H.
karena pola pikirnya yang cenderung menaruh 19Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah
penghormatan dan penghargaan yang berlebihan Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Uthman ibn
terhadap karya-karya ulama terdahulu, sehingga Syafi’ al-Syâfi’i al-Muthallibi (keturunan dari al-
berimbas kepada cara mereka menyelesaikan suatu Muthallib ibn Abdi Manaf, lahir di Ghuzah pada
masalah yaitu mereka perlu berkonsultasi dengan tahun 150 H.
kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah (diakui) yang
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
197 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
20Nama aslinya adalah Ahmad ibn Hanbal ibn 24Nama lengkapnya adalah Abu Mansur
Hilâl al-Zihli al-Syaybani al-Maruzi al-Baghdadi, lahir Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-
tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H. Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke-2
21Ahmad Arifi, “Pergulatan Fiqh dalam fikih dari abad ke-9 M. dan meninggal pada tahun 944 M.
Nahdlatul Ulama: Analisis Paradigma atas fikih Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham
Tradisi”. Disertasi, (Yogyakarta: PPs UIN teologinya banyak persamaannya dengan paham yang
Yogyakarta, 2007), 156 dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem pemikiran
22Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk
Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), 153. dalam golongan teologi ahl al-sunnah dan dikenal
23Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il dengan nama al-Matūridiah. Lihat Harun
al-Asy’ari lahir di Basrah 873 M, wafat di Baghdad 935 Nasution, Teologi Islam,… 72.
25Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad
M. Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i dan salah
seorang tokoh terkemuka dalam golongan Mu’tazilah Abu al-Qâsim al-Khazzaz al-Baghdadi
26Lihat AD/ART NU Pasal 6. Nama aslinya
sehingga, menurut al-Husain Ibn Muhammad al-
Asykari, al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan adalah Abu Hamid al-Ghazāli Muhammad ibn
dengan lawan kepadanya. Lihat Harun Muhammad al-Ghazāli al-THūsi, dia berkebangsaan
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di T{usi
dan Perbandingan (Jakarta: Penerbit Universitas (dekat Mesyed) sebuah kota kecil di Khurisan
Indonesia, 1986), 65. (sekarang Iran), di sini pula A1-Ghazâli wafat di
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 198
organis antara tauhid, fikih, dan tasawuf matarantai pemikiran serta keilmuan mereka
secara integral, yang dalam jangka panjang menjadi terputus.30
dapat menumbuhkan pandangan terpautnya Keempat mazhab fikih yakni Hanafi,
sendiri antara dimensi duniawî dan ukhrawî Maliki, Syafi’i dan Hanbali merupakan
dari kehidupan. Perpautan antara dimensi mazhab fikih yang menjadi pegangan bagi
duniawî yang profane dan dimensi ukhrawî umat Islam aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
yang sakral dari kehidupan ini merupakan Hal ini pernah ditegaskan oleh Khalifah
mekanisme kejiwaan yang lazim dan Malik al-DHâhir yang hanya memberlakukan
berkembang di kalangan warga NU untuk empat mazhab yang boleh dijadikan
menghadapi tantangan sekularisme terang- pegangan umat Islam. Begitu juga Khalifah
terangan yang timbul dari proses al-Qadir juga memberlakukan keempat
modernisasi dan westernisasi.27 mazhab fikih sebagai mazhab resmi juga
Penjelasan tentang akidah Islam ahl al- diikuti dengan pembakuan aliran Ahl al-
sunnah wa al-jamâ’ah diperjelas lagi oleh al- Sunnah wa al-Jamâ’ah sebagai paham resmi
Hāsyiah al-Syanwani sebagaimana dikutib Negara.31
Syaykh Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ketentuan NU yang mengharuskan
Ahlussunnah wal jamaah.28 Dan dipertegas mengikuti salah satu diantara keempat
ulang oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul mazhab fikih tersebut, sebagaimana yang
Ulama (PWNU) Jawa Timur dalam sebuah tertuang dalam AD/ART NU pasal 6,
buku saku yang berjudul Aswaja An- ternyata belum sepenuhnya mencerminkan
Nahdliyyah: Ajaran Ahlussunnah wal jama’ah keseimbangan dalam setiap pengambilan
yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama.29 keputusan hukum bahtsul masail NU. Dalam
Dalam konteks berfikih, NU pada praktiknya NU mempunyai kecenderungan
dasarnya tidak hanya mengakui empat mengikuti mazhab Syafi’i secara lebih
mazhab saja yang boleh diikuti oleh umat dominan dibandingkan dengan ketiga
Islam. Mazhab-mazhab lainnya pun boleh mazhab yang lain. Hal ini tampak dalam
diikuti, seperti Sufyan al-Thauri, Sufyan bin setiap keputusan bahtsul masail. Teks-teks
‘Uyainah, Isyaq bin Rahawaih serta Daud al- dasar yang dijadikan rujukan dalam
DHâhiri. Hanya saja, karena mereka tidak pengambilan keputusan kebanyakan fatwa
memiliki pengikut yang setia yang NU masih didominasi pendapat dari mazhab
mengembangkan mazhab mereka dan tidak Syafi’i, seperti kitab Minhâj al-THalibîn karya
banyak literature yang memuat pemikiran- al-Nawawi, al-Muharrar karya al-Dimasyqi,
pemikiran mereka secara khusus, sehingga Fath al-Mu’în karya Syamsuddin al-Malibari,
I’ânah al-THâlibîn karya Sayyid Bakri al-
Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang biografinya, 29Masyhudi Muchtar dkk, Aswaja An-Nahdliyyah:
dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, al-Haqîqah Ajaran Ahlussunnah wal jama’ah yang berlaku di
Fî Nazhr al-Ghazâli, cet. III (Mesir Dar al-Ma’arif, lingkungan Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista dan
1971). Lajnah Ta’lif Wa al-Nasyr (LTN) NU Jawa Timur)
27Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus cet. Ke-II, 2007, 11-30
Dur…155 30Saifullah Ma’syum, Karisma Ulama, Kehidupan
28KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Assunnah Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), 80
wa al-Jamā’ah: fi Hadīth al-Mauta wa Asyrāt as-Sā’ah wa 31George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam
Bayān Mafhū as-Sunnah wa al-Bid’ah (Jombang: Islamic Ciilization 950-1150 (Papers on Islamic History
Maktabah at-Turas al-Islami bi Ma’had Terbuireng, III), ed. D.H. Ricards (Oxford: Cassier-The Near East
1418 H), 23. Center Unviersity of Pannsylvania, 1973), 164
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
199 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
Dimyatî, Kanz al-Râghibîn karya Jalaluddin al- telah disepakati di kalangan ulama NU yang
Mahallî, Syarh Kanz al-Raghibin karya al- telah memberikan alternative pilihan yang
Qulyubî, Tuhfah al-Muhtâj karya Ibn Hajar al- disusun secara hirarkhis. Pertama,
Haitamî, Mughny al-Muhtâj karya Syarbinî dan kesepakatan pendapat Nawâwî dan Râfi’î;
Nihâyah al- Muhtâj karya al-Ramlî.32 kedua, pendapat Nawâwî; ketiga, pendapat
Bahkan, kecenderungan mengikuti Râfi’î; keempat, pendapat yang didukung
mazhab Syafi’i secara lebih dominan mayoritas ulama; kelima, pendapat ulama
dibanding dengan tiga mazhab lain, terpandai dan keenam, pendapat ulama paling
sesungguhnya sering “tidak konsisten” wara’.34 Diantara pendapat para ulama yang
karena tidak hanya terbatas mengikuti pada sering digunakan selain pendapat Nawâwî
pandangan imam mazhab, tetapi juga dan Râfi’î adalah al-Muzanî, al-Ramlî, ibn
pendapat ulama-ulama turunannya yang Hajar al-Haitamî, Zakaria al-Ansyârî dan
telah mengembangkan tidak hanya literatur sebagainya. Pendapat ulama-ulama tersebut
keputusan hukum agama dalam skala massif, lebih banyak digunakan dari pada pendapat
melainkan juga cara-cara untuk menyusun Imam Syafi’i sendiri. Dengan kata lain,
pemikiran hukum, menentukan bentuk akhir sebenarnya NU dalam sistem bermazhab
keputusan hukum yang akan diambil jika lebih mengikuti pendapat “syafi’iyyah” dari
kondisinya dan persyaratan yang pada “Syafi’i”.
melatarbelakangi sesuatu masalah yang Jika dilihat dari frekuensi penggunaan
tadinya sudah diputuskan ternyata telah kitab-kitab dalam bahtsul masail, maka akan
mengalami perubahan. Di sinilah letak tampak jelas bahwa NU lebih cenderung
dinamika perkembangan hukum Islam kepada mazhab Syafi’i dibandingkan dengan
melalui fikih dapat dilakukan, walaupun ketiga mazhab yang lain. Kitab-kitab yang
dalam batasan-batasan yang tetap masih dimaksud adalah kitab-kitab yang dianggap
ketat karena harus tidak boleh keluar dari mu’tabarah oleh kalangan NU, yaitu kitab-
lingkup bermazhab.33 kitab dari madhâhib al-arba’ah (Hanafi, Maliki,
Kecenderungan mengikuti mazhab Syafi’i dan Hanbali) dan kitab-kitab lain yang
Syafi’i tersebut dikarenakan keterbatasan memenuhi kriteria fikrah nahdliyyah.35
referensi di luar mazhab Syafi’i dan kebiasaan Menurut Ahmad Zahro, kitab-kitab
para pengkajinya yang mayoritas di yang dianggap masyhur dalam mazhab
lingkungan pesantren yang diasuh oleh para Hanafi ada 28 jenis kitab. Namun yang
kyai yang mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah digunakan untuk menyelesaikan
seperti Fath al-Qarîb al-Mujîb, Fath al-Mu’în, permasalahan dalam bahtsul masail hanya 4
Fath al-Wahhâb dan lain sebagainya. kitab. Sedangkan kitab-kitab yang dianggap
Terhadap kemungkinan pengambilan masyhur dalam mazhab Maliki ada 19 jenis
keputusan dengan menggunakan pendapat kitab, tetapi yang digunakan dalam bahtsul
ulama yang paling dominan, Sistem masail hanya 2 kitab. Kemudian kitab-kitab
Pengambilan Keputusan Bahtsul Masail NU yang di anggap masyhur dalam mazhab
(SPKBMNU) mengikuti cara baku yang Syafi’i ada 26 jenis kitab, dari 26 jenis kitab
32M.B. Hooker,Islam Mazhab Indonesia: Fatwa- 33Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 200
36Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU….84-95 39Winarno “Pergesaran Ijtihad dalam Bahtsul
37Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU….93 Masail Nahdlatul Ulama”. Resensi buku “Dinamika
38Sebagai organisasi sosial-keagamaan, NU Ijtihad NU” penulis Imam Yahya, penerbit:
mempunyai tujuan untuk mengembangkan kegiatan- Semarang: Walisongo Press, 2009. Dalam jurnal
kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial. SUHUF, Vol. 21, No. 2, Nopember 2009,
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
201 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
dan waqî’iyah yang harus segera mendapatkan Menurut Martin van Bruinessen,
kepastian hukum.40 forum tradisi bahtsul masail yang
Forum ini biasanya diikuti oleh berkembang di kalangan NU bukanlah
Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di murni dari gagasan para kyai dan ulama NU.
luar struktur organisasi termasuk para Melainkan tradisi yang diimpor dari Tanah
pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang Suci Makkah. Tradisi tersebut sudah ada di
dibahas umumnya merupakan kejadian Tanah Suci Makkah yang disebut dengan
(waqi’iyyah) yang dialami oleh anggota tradisi halaqah.43 Tradisi halaqah inilah yang
masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah diadopsi oleh para santri Indonesia yang
oleh organisasi ataupun perorangan. belajar di Tanah Suci Makkah, ketika mereka
Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi pulang ke tanah air Indonesia, sistem halaqah
oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas diterapkan di lembaga pendidikan pesantren
pembahasannya. Dan apabila dalam guna mengkaji persoalan-persoalan yang
pembahasan itu terjadi kemacetan (mawquf) terjadi di masyarakat.
maka akan diulang pembahasannya dan Pendapat Martin van Bruinessen
kemudian dilakukan ke tingkat organisasi tentang adopsi sistem halaqah yang dilakukan
yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, oleh para santri Indonesia bisa dipahami,
dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke mengingat bahwa pada akhir abad ke 19
Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan ketergantungan umat Islam Indonesia
pada akhirnya ke Muktamar.41 terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh ulama
Forum bahtsul masail di kalangan NU Timur Tengah, terutama ulama dari Kairo
diyakini merupakan tradisi intelektual yang dan Makkah sangat besar. Hal ini dibuktikan
berkembang sejak lama, bahkan forum dengan adanya sebuah buku yang berjudul
bahtsul masail ini sudah ada sebelum NU Muhimmat al-Nafâis. Buku tersebut berisi
berdiri. Sebetulnya forum bahtsul masail fatwa-fatwa yang mengacu kepada beberapa
telah berkembang di tengah masyarakat isu yang berkembang di Nusantara
muslim tradisional pesantren jauh sebelum (Indonesia) pada saat itu. Buku tersebut
tahun 1926 dimana NU didirikan. Saat itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1892 di
sudah ada tradisi diskusi di kalangan Makkah. Kemudian pada tahun 1913 buku
pesantren yang melibatkan kiai dan santri tersebut banyak dijual di toko-toko kitab
yang hasilnya diterbitkan dalam buletin Muslim di Indonesia.44
LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Usaha para santri lulusan Timur
Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, Tengah dalam rangka mengadopsi sistem
bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi halaqah adalah mendirikan forum Tasywîr al-
interaktif jarak jauh antar para ulama. Afkâr pada tahun 1919 di Surabaya atas
Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, inisiatif KH. Abdul Wahab Chasbullah yang
begitu seterusnya.42 pernah menimba ilmu beberapa tahun di
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 202
Tanah Suci Makkah. Awal mulanya forum ini Indonesia. Kalau NU mempunyai forum
ditujukan untuk membahas tema-tema kajian keilmuan-keagamaan yang disebut
keagamaan, walaupun pernah juga Lajnah Bahtsul Masail (LBM), maka
membahas beberapa peristiwa sosial politik organisasi Islam lainnya pun juga
yang sedang berkembang saat itu.45 Atas mempunyai forum untuk menyelesaikan
dasar itulah, dapat dikatakan bahwa forum masalah keagamaan, walaupun dalam hal-hal
Taswîr al-Afkâr merupakan embrio tertentu ada perbedaan dengan LBM. Di SI
tumbuhnya bahtsul masail di dalam (Sarikat Islam) forum tersebut dinamakan
organisasi NU. Majlis Syuro, di Muhammadiyah forum
Pada awalnya bahthul masail yang ada tersebut dinamakan Majlis Tarjih (MT), di
di NU tidak dilembagakan layaknya sebuah PERSIS (Persatuan Islam) forum tersebut
organisasi yang mempunyai struktur dinamakan Dewan Hisbah, di al-Jam’iyyah al-
organisaai dan agenda resmi. Namun untuk Wasliyyah forum tersebut dinamakan Dewan
menjadikan bahthul masail menjadi wadah Fatwa, sementara di MUI (Majlis Ulama
yang lebih dinamis, maka pada Muktamar ke Indonesia) forum tersebut dinamakan Komisi
28 di Yogyakarta tahun 1989, komisi I yang Fatwa.47
membidangi bahthul masail Bahtsul masail yang merupakan
merekomendasikan kepada PBNU untuk aktivitas santri untuk merespon dan
mendirikan “Lajnah Bahthul Masâil Diniyyah” memberikan solusi atas berbagai
(lembaga pengkajian masalah-masalah problematika aktual yang muncul dalam
agama) sebagai lembaga permanen yang kehidupan masyarakat, secara formal
khusus menangani persoalan keagamaan. pertama kali dilaksanakan pada tahun 1926,
Hal ini didukung oleh halaqah yang diadakan beberapa bulan setelah NU didirikan.
di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Tepatnya pada Kongres atau Muktamar I
Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 NU, yaitu pada tanggal 21-23 Oktober
yang merekomendasikan dibentuknya 926/13-15 Rabi’ al-Thâny 1345 di Surabaya.
“Lajnah Bahthul Masâil Diniyah” sebagai Sejak tahun 1926 sampai 2010 telah
wadah berkumpulnya ulama dan intelekual diselenggarakan bahtsul masail NU sebanyak
NU untuk melakukan ijtihad jamâ’î (ijihad 43 kali. Namun ada beberapa bagian hasil
kolektif). Berkat desakan Muktamar XXVIII bahtsul masail dalam Muktamar yang
dan halaqah Denanyar tersebut, maka pada dokumennya masih belum ditemukan, yaitu
tahun 1990 dibentuklah Lajnah Bahtsul Muktamar XVII (1947), XVIII (1950), XIX
Masâil secara legal formal berdasarkan surat (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari
keputusan PBNU Nomor dokumen yang terlacak, hanya ditemukan 37
46
30/A.I.05/5/1990. kali pelaksanaan bahtsul masail yang
LBM bukanlah satu-satunya forum
yang mempunyai wewenang dalam
menjawab segala permasalahan keagamaan
yang dihadapi oleh umat muslim yang ada di
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
203 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
menghasilkan 501 keputusan atau fatwa.48 keagamaan yang masuk, dikaji dan diberikan
Secara garis besar dari 501 keputusan dibagi jawabanya serta hasilnya disebarluaskan ke
menjadi tiga bagian, dengan perincian warganya. Kegiatan ini dilakukan di NU
sebagai berikut: sejak tahun 1926 sampai secara berkala dalam kurun waktu tertentu,
2010 telah memutuskan 456 keputusan baik di tingkat Cabang, Wilayah, maupun
masail al-diniyyah al-waqi’iyyah. Sejak Pusat.50
Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya, Rajab Biasanya permasalahan yang akan
1415/Desember 1994 sampai Muktamar ke- diangkat ke forum BM (bahtsul masail)
32 di Makasar, 7-11 Rabi’ul Akhir 1431/22- dimulai dari tingkat ranting (desa). Jika
27 Maret 2010 telah menghasilkan 31 terjadi kemusykilan, maka diangkat ke tingkat
keputusan masail al-diniyyah al-maudlu’iyyah. Anak Cabang (kecamatan). Jika masih
Dan sejak Munas NU di Surabaya 27-30 Juli terjadi kemusykilan, maka diangkat ke BM
2006 sampai Muktamar ke-32 di Makasar 7- yang lebih tinggi yaitu tingkat Cabang
11 Rabi’ul Akhir 1431/22-27 Maret 2010 (kabupaten). Jika terjadi mawquf lagi, maka
menghasilkan 14 keputusan masail al-diniyyah diteruskan ke BM tingkat Wilayah
al-qanuniyyah.49 (provinsi). Jika masih terjadi mawquf lagi,
maka permasalahan dibawa ke BM tingkat
b. LBM dan Rumusan Metode Ijtihad nasional dalam forum BM Muktamar
LBM merupakan forum resmi milik PBNU atau Munas ‘Alim Ulama.51
NU yang mempunyai wewenang untuk Adapun mekanisme penyelesaian
menjawab segala permasalahan keagamaan masalah yang dilakukan oleh LBM sebagian
yang dihadapi oleh masyarakat muslim besar adalah langsung merujuk kepada
khususnya warga Nahdliyyin. Kegiatan kitab-kitab mu’tabarah52 dari kalangan empat
bahtsul masail pada dasarnya merupakan mazhab, terutama mazhab Syafi’i.53
tradisi akademik yang selalu melekat dalam Sehingga memberikan kesan bahwa BM
organisasi NU. Bahkan tradisi keilmuan NU cenderung kepada penyelesaian masalah
banyak terpengaruh oleh hasil keputusan dengan cara penerapan harfiyyah (tekstualis)
forum ini, karena semua masalah hukum-hukum fikih yang ditetapkan ulama-
48Bandingkan dengan Ahmad Zahro yang Nasional Alim Ulama terselenggara kurang stabil
menurut penghitunganya sejak tahun 1926 sampai selama kurun waktu 1957 sampai 1979. Selama
tahun 1999 telah dilaksanakan 39 kali Bahtsul Masail, kegiatan tersebut kegiatan BM hanya terlaksana
namun enam hasil Bahtsul Masail dokumennya belum sebanyak delapan kali. Kemudian pada dekade 1980an
bisa dilacak sehingga yang ditemukan hanya 33 kali dan 1990an kegiatan BM baru dapat berlangsung
pelksanaan Bahtsul Masail dengan memutuskan 505 secara periodik sekali dalam kurun waktu 2-3 tahun
keputusan. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi intelektual secara bergantian antara Muktamar, Munas dan
NU…..69 Konferensi Besar. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi
49Nahdlatul Ulama, Ahkam al-Fuqaha…xvii Intelekual NU…69
50Pada kurun waktu 1926 sampai dengan 1940 51Abdul Mughits, kritik Nalar Fiqih Pesantren
kegiatan BM dilaksanakan sekali dalam setiap tahun (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 180
pada muktamar I sampai Muktamar XV. Pada waktu 52Kitab-kitab mu’tabarah adalah kitab-kitab yang
perang dunia II, pelaksanaan BM mengalami diakui oleh kalangan ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
ktidakstabilan mengiringi tersendatnya Muktamar, 53Jika dilihat hasil bahtsul masail, maka mazhab
seperti Muktamar XVI dan XVII (1946-1947), syafi’i mendominasi keputusan bahtsul masail
Muktamar XVIII dan Muktamar XIX (1950-1951), tersebut. Hal ini terjadi karena tidak terlepas dari
Muktamar XX dan Muktamar XXI (1954-1956. kultur Islam Indonesia sendiri yang mayoritas adalah
Begitu juga kegiatan BM yang menyertai Konferensi penganut mazhab Syafi’i.
Besar. Rapat Dewan Partai maupun Musyawarah
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 204
ulama besar terdahulu. Menurut Rifyal zaman. Salah satu hasil konkerit dari forum
Ka’bah sebagaimana dijelaskan Ahmad “Halaqah” tersebut adalah munculnya istilah
Zahro bahwa fenomena ini terjadi karena bermadzhab secara manhajî. Pada tahun
NU gigih mempertahankan dan menaruh 1987 dan 1998 atas dukungan K.H. Sahal
penghormatan yang besar terhadap karya Mahfudh dan K.H. Imron Hamzah, mereka
ulama-ulama terdahulu. Hal ini berbeda mempolulerkan istilah tersebut dengan
dengan kaum modernis seperti mengadakan seminar di Pondok Pesantren
Muhammadiyah yang cenderung Watu Congol, Muntilan Magelang dengan
menyelesaikan masalah langsung merujuk tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual”.
kepada al-Qur’an dan Hadits. Bahkan dalam Pada pertengahan bulan Oktober tahun
keadaan tertentu dapat menggunakan 1989 diadakan halaqah mengenai “Masa
rasional untuk menyelesaikan suatu Depan NU” dengan salah satu
masalah.54 pembicaranya A. Qodri Azizi, beliau
Seiring dengan perkembangan ilmu menegaskan perlunya redefinisi bermazhab
pengetahuan dan teknologi serta kritik yang pada akhirnya dicetuskan istilah
kemandegan dan kejumudan pemikiran bermazhab fî al-manhaj (mengikuti
keagamaan, NU melakukan transformasi metodologinya para imam mujtahid).56
tradisi bahtsul masail. NU lewat MUNAS Kemudian pada tanggal 26-28 Januari 1990,
Alim Ulama yang dilaksanakan di Bandar di kalangan pesantren telah diadakan diskusi
Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412 untuk mencari metode bahtsul masail yang
H./21-25 Januari 1992 M. telah menetapkan lebih maju. Hal ini tercermin dalam halaqah
prosedur ijtihad yang menjadi pegangan NU di Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif
dalam merespon berbagai permasalahan Denanyar Jombang.57
yang sedang dihadapi masyarakat akibat dari Adapun prosedur ijtihad NU
perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagaimana yang telah ditetapkan pada
teknologi. Hal ini menunjukan bahwa NU MUNAS Bandar Lampung 1992 adalah
sudah mulai beranjak dari hanya sekedar sebagai berikut: Keputusan bahtsul masail di
bermazhab secara qawlî (verbalis) menjadi lingkungan NU dibuat dalam kerangka
menerima juga model bermazhab secara bermazhab kepada salah satu mazhab empat
manhajî (metodologis).55 yang disepakati dan mengutamakan
Prosedur ijtihad yang telah ditetapkan bermazhab secara qawlî dengan
pada MUNAS Alim Ulama di Bandar menggunakan rujukan dari al-kutub al-
Lampung, merupakan tindak lanjut dari mu’tabarah (kitab-kitab standard yang
gagasan-gagasan para pemikir produktif dianggap realiable). Dalam MUNAS
muda NU dalam sebuah forum “Halaqah” tersebut, diputuskan tentang “Sistem
(sarasehan) untuk merumuskan kerangka Pengambilan Keputusan Hukum dalam
teoritik berfikih yang produktif dan matching Bahtsul Masail di Lingkungan NU.” Dalam
bahkan sesuai dengan perkembangan MUNAS ini dibahas dua tema besar.
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
205 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
58Menurut penulis, rumusan itu bukan pada Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t. th.), jilid I, 17. 3) al-
Muktamar ke XXVII melainkan pada MUNAS Alim Fawâid al-Makkiyah dalam Majmû’ah Sab’ah al-Kutub al-
Ulama yang dilaksanakan di Sukorejo Situbondo pada Mufîdah karya Alawi al-Saqqaf (Mesir: Musythafâ al-
tanggal 6 Rabi’ul Awal 1404 H./21 Desember 1983 Halabi, t. th.), 50. Lihat Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-
M. Dalam rumusan tersebut dijelaskan bahwa al-Kutub Fuqâhâ…386-387
al-Mu’tabarah fî Masail al-Diniyyah ‘indanâ ialah kitab- 59Ilhâq merupakan sebuah metode yang hampir
kitab ‘alâ al-Madhahib al-Arba’ah. Perumusan tersebut mirip dengan metode qiyâs, hanya saja sumber dari
didasarkan pada kitab; 1) Bughyah al-Mustarsyidîn karya metode ilhâq bukanlah Al-Qur’an dan Sunnah
Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi (Indonesia: al- melainkan al-kutub al-mu’tabarah. Lihat nahdlatul
Haramain, t.th.), 8. 2) I’ânah al-THâlibîn karya Ulama, Ahkâm al-Fuqâhâ…470
Muhammad Syaththâ al-Dimyâthi (Indonesia: Dar
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 206
60Lihat Nahdlatul Ulama, Ahkâm al- kecuali jika sudah menjadi ijmâ’. Ini berkaitan dengan
Fuqâhâ…846 pemahaman fikih yang berdasarkan dalil ‘âm maka
61Lihat Nahdlatul Ulama, Ahkâm al- sebagai konsekuwensinya akan melahirkan keputusan
Fuqâhâ…472-473 dan pemikiran ganda, dua, tiga dan seterusnya.
62Menjawab permasalahan fikih dengan merujuk
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
207 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
permasalahan dicarikan jawabanya yang Ketiga, Nawawî selain faqîh (ahli fikih) juga
terdapat dalam al-kutub al-mu’tabarah. dipandang sebagai muhaddith ‘âqil (ahli Hadits
Dengan demikian, taqrîr jamâ’i pada dasarnya yang cerdas) sedangkan Râfi’î hanya faqîh
hanyalah menetapkan saja apa yang sudah (ahli fikih). Nawawi mempunyai banyak
ada dalam al-kutub al-mu’tabarah. karya dalam bidang Hadits, di antaranya al-
Kemungkinan, ini disebabkan oleh Manhâj, Syarh al-Muslim, al-Adhkâr, Arba’în al-
pandangan yang menjadi keyakinan mereka Nawawî, Khulâsyah fi al-Hadîth dan lain-lain.
bahwa apa yang sudah menjadi keputusan Keempat, Nawawi memiliki kecenderungan
para ulama baik qawl atau wajah dianggap sikap asketis lebih tinggi dari Râfi’î.64
selalu memiliki relevansi dengan konteks Kedua, prosedur ilhâq al-masâil bi
kehidupan masa kini dan bisa digunakan nadhâ’irihâ. Prosedur ini digunakan untuk
tanpa ada kritikan. Qawl atau wajah yang menggantikan istilah qiyas, yang menurut
terdapat dalam al-kutub al-mu’tabarah pandangan NU tidak layak dan tidak patut
dianggap sebagai kata final. dilakukan, karena qiyâs merupakan suatu
Lebih lanjut, sistem pengambilan kompetensi yang hanya dimiliki oleh seorang
keputusan bahtsul masail NU yang mujtahid. Hal ini menunjukan atas sikap
mengikuti cara baku yang telah disepakati kehati-hatian NU agar tidak terjebak dalam
dikalangan ulama NU, yang telah melakukan kajian-kajian langsung terhadap
memberikan alternative pilihan yang disusun sumber-sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an
secara hierarkis, memberikan kesan bahwa dan Sunnah.
keputusan ini Syafi’i sentris. Cara baku yang Dalam ilhâq yang mesti diperhatikan
telah ditetapkan ulama NU tersebut adalah adalah harus adanya mulhaq bih, mulhaq ilayh
pertama, pendapat yang disepakati oleh al- dan wajah ilhâq. Ilhâq adalah mempersamakan
Syaykhân. Kedua, pendapat yang dipegangi persoalan fikih yang belum ditemukan
oleh imam Nawawî saja. Ketiga, pendapat jawabanya dalam kitab secara tekstual
yang dipegangi oleh imam Râfi’î saja. dengan persoalan yang sudah ada jawabanya.
Keempat, pendapat yang didukung oleh Dalam praktiknya, metode ilhâq
mayoritas ulama. Kelima, pendapat ulama menggunakan prosedur dan persyaratan
terpandai dan keenam, pendapat ulama yang mirip qiyâs, hanya saja, dalam ilhâq yang
paling warâ’. Ada beberapa alasan yang dijadikan mulhaq bih adalah pendapat atau
melatarbelakangi kenapa imam Nawawî qawl/wajah para ulama yang terdapat dalam
didahulukan atas imam Râfi’î sebagaimana al-kutub al-mu’tabarat sedangkan dalam qiyâs
yang terjadi atas Ibn H{ajar yang lebih mulhaq bih adalah sumber utama ajaran Islam
diutamakan dari pada imam al-Ramlî. yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Pertama, berdasarkan pertimbangan Ketiga, prosedur istinbâth. Istinbâth
penampilan karya ilmiahnya yang ahsan (lebih merupakan metode terakhir yang digunakan
berbobot) dan ‘alimnya orang itu.63 Kedua, oleh bahtsul masail NU, manakala
Nawawî dikenal sebagai muharrir (penyeleksi) pertanyaan atau kasus tidak terdapat
mazhab Syafi’i, di tangan ulama inilah jawabanya (sama sekali) dalam kitab-kitab
pemikiran-pemikiran imam Syafi’i terseleksi. standart (al-kutub al-mu’tabarah) baik berupa
63Ahmad Zahro, Tadisi Intelektual NU;…171 64Husein Muhammad, “Tradisi Istinbat Hukum
NU”,…29
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 208
qawl atau wajah, dan tidak memungkinkan diakui (al-kutub al-mu’tabarah) sebagai
untuk melakukan ilhâq, maka langkah yang rujukannya. Adapun metode yang
dilakukan adalah istinbâth secara kolektif digunakan dalam risetnya pertama taqrîr
dengan mepraktikkan qawâid usyûliyyah dan jamâ’i (penetapan hukum secara kolektif).
qawâid fiqhiyyah sebagaimana yang telah Taqrîr jamâ’i ini merupakan suatu upaya
dirumuskan oleh para mujtahid terdahulu. secara kolektif untuk menetapkan pilihan
Dengan demikian, maka produk hukum yang terhadap satu di antara beberapa qawl atau
dihasilkan merupakan hasil ijtihad ulama- wajah, dengan cara permasalahan dicarikan
ulama NU atas nasy-nasy al-Qur’an dan jawabanya yang terdapat dalam al-kutub al-
Sunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip mu’tabarah.
ijtihad yang digunakan oleh para mujtahid Kedua ilhâq al-masâil bi nadhâ’irihâ,
terdahulu. prosedur ini digunakan untuk menggantikan
Jadi, istinbâth merupakan langkah dan istilah qiyas. Ilhâq adalah mempersamakan
alternative terakhir dalam bahtsul masail. persoalan fikih yang belum ditemukan
Maksudnya istinbâth dapat digunakan jawabanya dalam kitab secara tekstual
manakala suatu masalah atau kasus tidak dengan persoalan yang sudah ada jawabanya
terdapat jawabanya dalam al-kutub al- dalam kitab. Dalam praktiknya, metode ilhâq
mu’tabarah sehingga tidak dapat dilakukan menggunakan prosedur dan persyaratan
pemilihan qawl atau wajah dan tidak mirip qiyâs, hanya saja, dalam ilhâq yang
memungkinkan untuk dilakukan ilhâq karena dijadikan mulhaq bih adalah pendapat atau
tidak adanya mulhaq bih dan wajah ilhâq. qawl/wajah para ulama yang terdapat dalam
Istinbâth dilakukan dengan cara kolektif al-kutub al-mu’tabarat sedangkan dalam qiyâs
dengan mengaplikasikan qawâid usyûliyyah mulhaq bih adalah sumber utama ajaran Islam
dan qawâid fiqhiyyah oleh para ahlinya. yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga istinbâth yang merupakan
Kesimpulan metode terakhir yang digunakan oleh
bahtsul masail NU, manakala pertanyaan
NU sebagai ormas Islam yang atau kasus tidak terdapat jawabanya (sama
berhaluan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah dalam sekali) dalam kitab-kitab standart (al-kutub
menjalankan ajaran Islam berpangkal pada al-mu’tabarah) baik berupa qawl atau wajah,
tiga panutan yaitu dalam bertauhid dan tidak memungkinkan untuk melakukan
mengikuti paham Abu Hasan al-Asy’ari dan ilhâq, maka langkah yang dilakukan adalah
Abu Mansur al-Maturidi; dalam berfikih istinbâth secara kolektif dengan
mengikuti salah satu mazhab fikih empat mepraktikkan qawâid usyûliyyah dan qawâid
yang terkenal dengan sebutan al-madhâhib al- fiqhiyyah sebagaimana yang telah dirumuskan
arba’ah (Hanafi, Maliki, Syâfi’i, dan Hanbali); oleh para mujtahid terdahulu.
dan dalam bertasawuf mengikuti cara yang
ditetapkan dan dirumuskan al-Junaid al- Daftar Pustaka
Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad bin Arifi, Ahmad. “Pergulatan Fiqh dalam fikih
Muhammad al-Ghazali. Nahdlatul Ulama: Analisis
Sedangkan tradisi intelektual NU Paradigma atas fikih Tradisi”.
diwadahi dalam forum Bahtsul Masail Disertasi. Yogyakarta: PPs UIN
dengan menggunakan kitab kuning yang Yogyakarta, 2007
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
209 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volome 18, Nomor 2, Desember 2018, hlm. 192-210
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Ali Mutakin, Kitab Kuning Dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama.. 210
(Papers on Islamic History III), ed. Yahya, Imam. Dinamika Ijtihad NU,
D.H. Ricards. Oxford: Cassier-The Semarang: Walisongo Press, 2009
Near East Center Unviersity of Zahro, Ahamad. Tradisi Intelektual NU;
Pannsylvania, 1973 Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999
Muchtar , Masyhudi. Dkk. Aswaja An- (Yogyakarta: LKiS, 2004
Nahdliyyah: Ajaran Ahlussunnah wal Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU; Lajnah
jama’ah yang berlaku di lingkungan Bahthul Masâil 1926-1999.
Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
dan Lajnah Ta’lif Wa al-Nasyr (LTN) Yogyakarta, 2004
NU Jawa Timur, 2007
Mughits, Abdul. kritik Nalar Fiqih Pesantren.
Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Muhammad, Husein. “Tradisi Isinbat
Hukum NU: Sebuah Kritik”, dalam
M. Imdadun Rahmat (ed), Kritik
Nalar Fiqih NU: Transformasi
Paradigma Bahtsul Masail. Jakarta:
LAKPESDAM NU, 2002
Mustofa, Misbah. Anda Ahlussunnah? Anda
Bermadzhab? Tuban: al-Misbah, 2006
Nahd}atul Ulama. Ahkâm al-Fuqâhâ; Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahd}atul Ulama 1926-2010.
Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif
Wa Al-Nasyr, 2011.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran,
Sejarah Analisa dan Perbandingan.
Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
Al-Syâthibî. Al-Muawafaqat Fi Ushul al-
Syari’ah, Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, Juz II, 2003
Wahid, Abdurrahman. Prisma Pemikiran Gus
Dur . Yogyakarta: LKiS, 2000
Winarno. “Pergesaran Ijtihad dalam Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama”. Resensi
buku “Dinamika Ijtihad NU” penulis
Imam Yahya, penerbit: Semarang:
Walisongo Press, 2009. Dalam jurnal
SUHUF, Vol. 21, No. 2, Nopember
2009,
http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270