Anda di halaman 1dari 7

MUTAZILAH

Aliran Mutazilah atau Qadariah adalah salah satu dari 4 aliran Islam tertua, bersama dengan aliran
Syi’ah, Khawarij, dan Murjiah. Aliran ini mempunyai pengaruh yang tidak kalah besar dengan tiga
kelompok aliran lain, khususnya dalam memberi arah politik Islam. Aliran Mu’tazilah mulai muncul di
Irak tepatnya pada masa kekuasaan Daulah Umayyah.

Aliran ini pada awalnya merupakan gerakan keagamaan semata, akan tetapi dalam perkembangannya
Mu’tazilah turut mengambil bagian dalam politik Islam. Aliran Mu’tazilah merupakan gerakan
keagamaan, dan tidak pernah membentuk pasukan atau pun menghunus pedang, meskipun dalam
perjalanannya terdapat beberapa orang dari aliran itu ikut serta dalam peperangan dan konflik fisik.

Berbicara mengenai Mu’tazilah erat kaitannya dengan falsafah dan akal yang menjadi ciri khas mereka.
Mu’tazilah merupakan suatu gerakan pikiran yang banyak membahas prinsip-prinsip keagamaan, dan
juga beberapa peristiwa politik dengan pembahasan yang bersifat pemikiran. Itu lah corak dari aliran
yang akan dipaparkan dalam pembahasan ini.

Mengenal Aliran Mutazilah

aliran mutazilah

Muta’zilah

Aliran Mu’tazilah atau Qadariah lahir pada akhir masa kekuasaan Daulah Umayyah. Paham ini lahir di
negeri Irak, tepatnya di Babil Lama. Daerah tersebut dikenal sebagai tempat berakulturasinya etnis
Persia dengan etnis Smith, yang tidak lama setelah itu menjadi kiblat ilmu dan menjadi pusat
pemerintahan Abbasiyah.

Von Kremer berpendapat, paham ini berkembang dan menyebar di Damaskus, Suriah, berkat pengaruh
para agamawan Bizantium, terutama Yahya Ad Dimasyqi dan muridnya yang bernama Teodore Abu
Qurah.
Nama lain dari Mu’tazilah adalah Qadariah, dan nama ini lebih populer dari nama yang pertama. Nama
Qadariah ini masih terkait pada paham para penganutnya yang berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak, atau dengan kata lain, kehendak manusia itu bersifat bebas tidak terikat
Qadha dan Qadar.

Kisah kelahiran aliran ini dimulai ketika Hasan Basri (Wafat 728 M), seorang faqih kenamaan, ditanya
mengenai pendapat tentang suatu masalah yang menjadi pertentangan antara Khawarij dan Murjiah.
Kontraversi ini berhubungan dengan dosa besar, yang dilakukan oleh seorang mukmin, lantas apakah
orang tersebut dikategorikan mukmin atau tidak?

Salah seorang muridnya yang bernama Washil bin ‘Atha’ al Ghazzal al Farisi menjawab pertanyaan
tersebut mendahului gurunya, ia berpendapat: Sesungguhnya orang seperti dia tidak mungkin
dikategorikan mukmin, sebagaimana ia juga tidak mungkin dikategorikan bukan mukmin, tetapi akan
berada di derajat antara keduanya.

Washil dengan pendapatnya itu lalu memisahkan diri bersama temannya ‘Amru ibnu ‘Ubaid. dan
mengambil tempat lain yang jauh dari sudut masjid, tempat ia selama ini duduk bersama Hasan Bashri.
Kemudian ia mulai memberi penjelasan tentang pendapatnya kepada teman-teman yang duduk
melingkarinya.

Sementara Hasan Bashari berkata kepada orang-orang yang berada di dekatnya, bahwa Washil telah
mengucilkan diri dari mereka. Sejak saat itu para musuh Washil menyebut ia dan pengikutnya dengan
Mu’tazilah (separatis).

Washil mengingkari adanya sifat-sifat Allah kekuasaan, kebikjasanaan, kehidupan, dan lain-lain di atas
bumi, bahwa sifat-sifat itu jika dinyatakan sebagai hal yang abadi, akan menghancurkan ketauhidan
Allah. Oleh karena it mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “kaum pengikut ketauhidan Tudah
dan keadilan.”

Mu’tazilah awalnya merupakan aliran keagamaan yang tidak mencampuri politik, akan tetapi dalam
perjalanannya mereka ikut terjun pula ke dalam masalah politik. Mereka pun mulai mendiskusikan
kepemimpinan umat Islam, dan syarat sebagai seorang pemimpin berdasarkan atas persamaan di antara
umat Islam. Hal ini dengan alasan, karena Allah tidak secara tegas (tidak menunjukkan nash)
mengharuskan orang tertentu menjadi imam dan bahwa untuk menentukan seseorang menjadi imam
diserahkan kepada pilihan umat.

Paham rasionalisme ini semakin berkembang setelah daulah Abbasiyah berdiri, hingga puncaknya pada
masa Al-Makmun, khalifah penganut Mu’tazilah yang menjadikan paham ini mencapai masa
keemasannya.

Prinsip-Prinsip Aliran Mutazilah

Untuk memudahkan pemahaman mengenai aliran ini, penulis akan memaparkan prinsip-prinsip yang
dijadikan pedoman penganut aliran Mu’tazilah. Prinsip Ajaran Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip
fundamental,

Tauhid

Mengenai tauhid sebagai ajaran dasar pertama, orang-orang Mu’tazilah dari kelompok Bashrah dan
Baghdad serta yang lainnya berpendapat; Allah tidak seperti yang lain, Dia bukan jasad, bukan unsur,
bukan bagian, dan bukan juga sebagai inti (jauhar). Dia adalah al-Khalik (pencipta) jasad, unsur, bagian,
dan inti tersebut.

Dalam pemahaman ini mereka meyakini, bahwa tidak ada satu pun indera manusia yang dapat
melihatNya, baik di dunia atau di akhirat. Sesungguhnya Allah tidak terbatas oleh ruang dan tempat,
bahkan Dia selamanya tidak membutuhkan ruang dan waktu serta tidak pula ada batasan. Allah adalah
pencipta segala sesuatau dan Dia adalah terdahulu serta segala sesuatu selain diriNya bersifat diadakan
olehNya.

Keadilan

Kelompok Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan sebagai prinsip kedua dari aliran ini, yang dimaksud
dengan keadilan ini adalah manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik atau
buruk. Karena itu ia berhak mendapatkan pahala dan siksa. Tuhan sama sekali bersih dari hal-hal yang
buruk, aniaya, dan perbuatan yang dipandang kafir dan maksiat.

Sebab, jika Tuhan memang menciptakan kezaliman, maka Dia adalah zalim. Mereka sepakat Allah hanya
berbuat yang patut dan baik.
Dari pemahaman seperti itu lah nama Qadariah kemudian menjadi gelar bagi kelompok Mu’tazilah, yang
berarti orang-orang yang menentang adanya Qadha dan Qadar. Kaum Mu’tazilah sendiri tidak pernah
menggunakan gelar tersebut. Mereka tidak senang dengan gelar itu, dan berpendapat bahwa gelar itu
lebih layak dipakai kepada orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar.

Janji dan Ancaman

Kelompok Mu’tazilah sepakat bahwa seorang Mukmin apabila telah keluar dari dunia (meninggal) dalam
keadaan taat dan taubat, maka ia berhak untuk mendapatkan pahala yang telah dikerjakan selama di
dunia. Mereka juga berhak mendapatkan tafaddhul (karunia Tuhan) yaitu suatu pengertian lain di balik
pahala.

Sementara jika seorang Mukmin meninggal tanpa bertaubat terlebih dahulu dari dosa besar yang telah
diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan di dalam neraka untuk selama-lamanya, akan tetapi siksa yang
mereka dapatkan lebih ringan daripada siksa yang diperoleh orang kafir. Ajaran seperti ini yang
dimaksudkan dengan janji dan ancaman yang dianut kelompok Mu’tazilah.

Tempat di Antara Dua Tempat

Aliran ini percaya, bahwa seseorang yang berbuat dosa besar akan ditempatkan di tempat pertengahan,
yaitu dengan kata lain, mereka bukan lah termasuk orang mukmin dan bukan juga termask orang kafir.

Baik dan Buruk Menurut Pertimbangan Akal

Mu’tazilah dikenal sangat menghormati dan mengagunggkan akal. Kelompok ini sepakat mengatakan
bahwa akal manusia sanggup untuk membedakan yang baik dan buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik
dan buruk itu dapat dikenal. Manusia mempunyai kewajiban untuk memilih yang baik dan menjauhi
yang buruk. Untuk itu, Tuhan tidak perlu mengutus RasulNya.
Apabila sesorang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang baik dan buruk, maka ia akan mendapat
siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak mau mengikutinya, atau ia
tahu mana yang buruk tetapi tidak berusaha menjauhinya.

Adapun mengutus Rasul itu adalah pertolongan tambahan dari Tuhan, agar orang-orang yang binasa
itu, binasanya denan alasan, dan orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula.
Pemahaman seperti ini mirip dengan paham rasionalist yang mendominasi Eropa pada zaman
kebangkitan.

Demikian intisari dari prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Awalnya prinsip-prinsip tersebut
terlihat mudah dan sederhana. Akan tetapi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, prinsip-prinsip
itu menjadi rumit dan banyak dimasuki bermacam-macam perincian dan kelainan-kelainan, sehingga
dalam beberapa hal telah jauh dari watak dan sifat-sifat agama Islam.

Hubungan Kaum Mu’tazilah dengan Kaum Syi’ah dan Khawarij

Kaum Mu’tazilah memiliki hubungan cukup dekat dengan dua aliran lainnya, yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Terdapat beberapa persamaan prinsip di antara ketiganya, sehingga pada perkembangannya terdapat
beberapa ajaran yang mengaitkan antara ketiganya. Goldziber menyatakan hubungan antara kaum
Mu’tazilah dengan Syi’ah sebagai berikut : Perlu dicatat, bahwa Syi’ah sekalipun telah terpecah menjadi
beberapa aliran namun mereka dalam beberapa masalah telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
Mu’tazilah, terutama tentang masalah yang di luar akidah di luar Imam Mahdi.

Para ahli fiqih Syi’ah telah mengambil manfaat dari pemikiran-pemikiran kaum Mu’tazilah dan ternyata
pemikiran-pemikiran tersebut telah dijadikan sebagai media untuk memperkokoh akidah dan madzhab
mereka yang bersifat khusus.

Kesamaan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah tampak dalam pandangan bahwa Ali dan para
imam dari keluarganya dianggap sebagai orang-orang pertama yang mengatakan tentang kebebasan
berkehendak. Dalam akidah tentang imam, sekte Syi’ah Zaidiah adalah sekte yang paling banyak
mempunyai persamaan dengan Mu’tazilah. Mereka sama-sama percaya akan munculnya imam yang
akan menyebar luaskan keadilan dan ajaran tauhid.
Hubungan yang saling mempengaruhi antara Mu’tazilah dan Syiah, menyebabkan banyak sejarawan
sering kesulitan dalam membedakan kitab-kitab Syiah dengan kitab-kitab Mu’tazilah, terutama dalam
kitab-kitab yang membahas soal tauhid. Hal ini terjadi karena kitab-kitab tersebut terdiri dari dua bagian
pokok :

Bagian yang meliputi beberapa pasal yang membahas tentang tauhid.

Bagian yang meliputi pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan keadilan.

Beberapa aspek yang membedakan kitab Syi’ah dan Mu’tazilah, adalah kitab Syi’ah sangat detail dalam
menjelaskan teori tentang imam dan keterpeliharaan sang imam dari dosa dan khilaf. Ini lah yang
membedakan kedua kitab itu.

Kaum Mu’tazilah juga mempunyai beberapa kesamaan pendapat dengan kaum Khawarij, yang
mengatakan bahwa imam boleh berasal dari orang-orang Quraisy dan non-Quraisy. Mereka juga
sependapat, bahwa pengangkatan seorang imam di kalangan umat Islam tidak prinsipil.

Pendapat ini dapat terlihat jelas dari semboyan kaum Khawarij yang menyatakan “Tidak ada hukum
kecuali hanya hukum Allah. Akan tetapi Mu’tazilah tidak membolehkan hal ini terjadi, kecuali dalam
kondisi tertentu yakni seluruh umat Islam bertindak adil sehingga di antara mereka tidak ada seorang
pun yang fasik.

Peran Aliran Mu’tazilah di Masa Daulah Abbasiyah

Aliran Mu’tazilah memiliki posisi tersendiri dalam sejarah Daulah Abbasiyah. Selama masa pemerintahan
al-Makmun (813-833), muncul sekelompok orang-orang terpelajar dan ahli teologi terkemuka, yang
berurusan dengan sumber agama dan ajaran-ajaran, mereka mengadopsi paham-paham liberal dalama
penyelidikan dan metode dialek dengan studi filsafat Yunani.

Al-Makmun sendiri merupakan khalifah yang mengadopsi ajaran Mu’tazilah, karena ajaran Mu’tazilah
dianggap sebagai paham yang lebih liberal dan rasional. Kesenangannya dengan aliran ini ia realisasikan
dengan banyak menarik pengikut aliran Mu’tazilah, dan menjalankan kekuasaan besar di istananya di
Baghdad. Akibat dari kebijakannya ini pada tahun 816 M, ia hampir menimbulkan perang saudara
dengan kecenderungannya dekat dengan orang-orang Mu’tazilah dan Syi’ah.
Al-Makmun memiliki minat yang besar untuk mengadakan pertemuan-pertemuan yang berkaitan
dengan pengetahuan di istananya. Ia berpendapat bahwa majelis-majelis perdebatan dan metode
dialetika akan membantu dalam mengakhiri bermacam-macam pendapat di antara orang-orang
terpelajar.

Dengan berpedoman pada ajaran Mu’tazilah, Al-Makmun memproklamirkan ajaran bahwa al-Qur’an
adalah makhluk, dan merupakan kebenaran yang tidak dapat dihindari. Al-Makmun tidak segan-segan
menghukum mereka yang tidak mempercayai ajaran al-Qur’an sebagai makhluk.

Perbuatan ini dianggap mencoreng nama Mu’tazilah yang selama ini hanya sebagai gerakan pikiran dan
falsafah, tanpa memanggul senjata, atau pun menimbulkan kekacauan militer. Tetapi tindakan yang
dilakukan oleh al-Makmun ini dianggap bukan lah tindakan yang mewakili nama Mu’tazilah, melainkan
tindakan seorang pemimpin secara individu, sehingga Mu’tazilah tetap dengan ideologi awalnya yaitu
sebagai gerakan pikiran dan falsafah. Posisi penting kaum Mu’tazilah di istana Baghdad terus bertahan
hingga masa pemerintahan khalifah Wathiq (842-847M).

Anda mungkin juga menyukai