Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Tasawuf – yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam- merupakan salah satu aspek
(esoteric)  Islam, sebagai perwujudan dari ihsan  yang berarti kesadaran adanya komunkasi dan dialog
langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa
kehidupan Rasulullah SAW. Tasawuf merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf tidak terlepas dari berbagai
kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.

Para penentang ini, menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah SAW.
dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf ini
merupakan ajaran sesat dan menyesatkaN. Disini kami akan mencoba membahas tentang studi kritis
terhadap ilmu tasawuf.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan as-
sunnah ?

2.      Bagaimana kritik terhadap aliran-aliran dalam tasawuf ?

3.      Apa saja contoh penyimpangan dan kesesatan ajaran tasawuf ?

4.      Apa yang menjadi latar belakang kritik terhadap tasawuf ?

C.     Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-Qur’an dan As-
sunnah.

2.      Mengetahui Kritik terhadap Aliran-Aliran dalam Ajaran Tasawuf.

3.      Mengetahui Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf.

4.      Mengetahui Latar Belakang Kritik terhadap Tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Prinsip – Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-Qur’an dan As-sunnah
Para ahli tasawuf memiliki prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan
menjalankan agama ini. Metode tasawuf yang dikenal masyarakat luas, yang banyak orang mengira
bahwa metode ini merupakan yang paling efektif untuk mencapai hidayah dan keselamatan.
[1] Mereka membangun keyakinan sendiri dengan istilah dan simbol-simbol, dapat kita simpulkan
sebagai berikut.

Pertam  mereka membatasi ibadah hanya pada aspek mahabbah (kecintaan) saja dan


mengesampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek khauf  (rasa takut) dan raja’  (harapan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan orang yang menyimpang (dari jalan Allah SWT.),
orang-orang yang mengikuti ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak
dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari al-Qur’an dan as-Sunnah, terjerumus dalam
kesesatan, seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah
SWT., tetapi bersamaan dengan itu, mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk ber-
mujahaddah  (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan lainnya.[2]

Kedua,  umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman
pada al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa, perasaan,
dan ajaran yang digariskan oleh pinpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah,  berbagai macam
zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mengambil pedoman dari cerita-cerita
(yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadis-hadis palsu untuk membenarkan ajaran
dan keyakinan mereka.

Ketiga,  termasuk doktrin ajaran tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir
dan wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat  mereka. Adapun zikir yang
tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang
umum”,  kalimat (La Ilaha Illallah), adapun “zikirnya orang-orang khusus”  adalah kata tunggal
“Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata  “Huwa/Dia.”

Keempat,  sikap ghuluw  (berlebihan atau ekstrem) orang-orang ahli tasawuf terhadap orang-
orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat  mereka.  Hal ini karena di antara prinsip
akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah  adalah berwala  (mencintai atau berloyalitas) kepada orang-orang
yang dicintai Allah ‘azza wa jalla  dan membenci musuh musuh Allah ‘azza wa jalla.[3]  Allah ‘azza
wa jalla  berfirman:

‫الص لَو َة َو ُيْؤ ُت ونَ ال َّز َك و َة‬


َّ َ‫مون‬ َ ‫ين َأ َم ُن ْوا الَّ ِذ‬
ُ ‫ين ُي ِقي‬ َ ‫ َوالَّ ِذ‬,‫س ْول ُُه‬
ُ ‫م هللا َو َر‬
ُ ‫ما َولِ ُي ُك‬
َ َّ‫ِإن‬
َ‫م َركِ ُعون‬ْ ‫ه‬ُ ‫ َو‬                                                          
            Artinya:

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan mendirikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).”  (QS Al-Ma’idah [5]: 55)

Kelima,  faham tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla  dengan nyanyian,
tarian, tabuhan rebana, dan tepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah
kepada Allah ‘azza wa jalla.  Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), ia menjawab, “Aku
tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”.     Menurut mereka, mendengarkan music
dan berdansa merupakan sarana berkomunikasi dengan Allah.[4]  Demikian pula imam-imam besar
lainnya tidak menyukai perbuatan ini. Para syekh (ulama) yang saleh tidak mau menghadiri
(menyaksikan) perbuatan ini, seperti Ibrahim bin Adham, Fudhail bin Iyadh, Ma’ruf Al-Karkhi, Abu
Sulaiman Ad-Darani, Ahmad bin Abil Hawari, dan syekh-syekh lainnya.

Keenam,  juga termasuk doktrin ajaran tasawuf adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu
keadaan atau tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya, dia akan terlepas dari kewajiban
melaksanakan syariat Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan
bahwa diri mereka telah terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat, ia menjawab, “Tidak
diragukan lagi – menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman –
bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada
ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka
dan mengingkari sebagian lainnya. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan mereka
juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla,  meyakini janji dan ancaman-Nya.” [5]

B.     Kritik terhadap Aliran - Aliran dalam Ajaran Tasawuf

Ajaran tasawuf yang ekstrem dibagi menjadi tiga aliran, yaitu:

1.      Aliran Al-Isyraqi.  Aliran ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Ajaran ini sebenarnya
ada pada setiap sekte-sekte tasawuf, tetapi ajaran ini hanya sebatas pada penyimpangan ini dan
tidak membawa mereka pada ajaran Al-hulul  (menitisnya Allah ’azza wa jalla  ke dalam diri makhluk-
Nya)  dan Wihdatul Wujud  (bersatunya wujud Allah ’azza wa jalla  dengan wujud makhluk
atau Manunggaling Gusti ing Kawulo  – Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan).

2.      Sekte Al-hulu dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan
bukit-bukit, pepohonan, manusia, hewan dan sebagainya. Dengan kata lain, makhluk adalah Khaliq itu
sendiri. Semua yang dapat diraba dan dapat dilihat di alam imi merupakan Dzat Allah dan diri-
Nya.Mahasuci Allah dari semua itu.[6]  keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh ekstrem ahli
tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al-Hallaj, sehingga para ulama memfatwakan kafir orang ini dan
mengharuskannya dihukum mati. Beliau adalah tokh besar dan popular di kalangan ahli tasawuf. Ia
meyakini dualism hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al-Ilah  (Allah ‘azza wa jalla) memiliki
dua tabiat, yaitu Al-Lahut  (unsure atau sifat ketuhanan) dan An-Nasut  (unsure atau sifat
kemanusiaan), kemudian Al-Lahut  menitis ke dalam   An-Nasut . Roh manusia – menurut Al-Hallaj
adalah Al-Lahut  ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An-Nasut. Al-Hallaj pun
akhirnya dibunuh dan disalib pada tahun 309 H.

3.      Sekte   Wihdatul Wujud,  yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan
segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini merupakan perwujudan atau penampakan Dzat
Illahi (Allah ‘azza wa jalla) – Mahasuci Allah ‘azza wa jalla  dari segala keyakinan kotor
mereka. Artinya, bahwa makhluk adalah aspek lahriyah, sedangkan aspek batin dari segala sesuatu
adalah Allah. Dengan demikian dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq  dan makhluk
maka itu karena di lihat dengan pandangan panca indra lahir karena keterbatasan akal dalam
menganggap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatinyah.  Yang semua terhimpun pada-
Nya.[7] Mereka yang tersesat lagi bodoh tersebut menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya
kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena sirkulasi kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang
awam.

Tokoh dalam sekte ini adalah Ibnu Arabi Al-Hatimi Ath-Thai yang binasa pada tahun 638 H dan
dimakamkan di Damaskus. Ahli tasawuf memberikan gelar kehormatan yang tinggi kepadanya,
seperti AL-‘Arif Billah  (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla  dengan sebenarnya), Al-Quthb Al-
Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), padahal orang ini terang-
terangan  memproklamasikan keyakinan Wihdatul Wujud  dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak
lainnya, seperti pujian dia terhadap Fir’aun dan keyakinannya bahwa Fir’aun mati diatas keimanan,
celaan dia terhadap Nabi Harun a.s. yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi – yang
semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash al-Qur’an-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-
orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa a.s. sebagai Tuhan. Seandainya
tidak mengkhususkannya, mereka tidak dikafirkan. [8] Mereka yang tersesat lagi bodoh tersebut
menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena
sirkulasi kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang awam.

C.     Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut akan ditukilkan beberapa ucapan dan keyakinan yang dianggap sesat dan kufur dari
tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh ahli tasawuf:

1.      Ibnu Al-Faridh

Yang meninggal pada tahun 632 H, tokoh besar sufi penganut paham Wihdatul Wujud  dan meyakini
bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan – yang  lebih kotor lagi – dia menggambarkan
sifat-sifat Tuhannya, seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya
telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam a.s. dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam a.s.).

2.      Ibnu Arabi

Dalam kitabnya Fushushul Hikam  yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitab ini ia
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. yang memberikan kitab ini.

3.      At-Tilmisani

Seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul
Hikam  bertentangan denagn al-Qur’an, ia bahkan menjawab, “seluruh isi al-Qur’an adalah
kesyirikan, dan sesungguhnya tauhid hanya ada pada ucapan kami.”

4.      Abu Yazid Al-Bustami

Yang pernah berkata, “aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap
beribadah kepada-Nya?”  (dinukil oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul
Auliya’  10/37.
5.      Abu Hamid Al-Ghazali

Seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam
kitabnya Ihya’ Ulum Ad-Din,  beliau berkata, “pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu
pandangan tauhid yang murni. Dalam pandangan ini, anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang
bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai adalah pandangan orang yang
meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini, melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla).”

6.      Asy-Sya’rani

Seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath-Thabaqat Al-
Kubra,  yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh
ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali yang bernama Ibrahim
Al-‘Uryan, orang ini apabila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat. [9]

D.    Latar Belakang Kritik terhadap Tasawuf

Ada beberap asumsi mengenai latar belakang lahirnya tasawuf dalam Islam. Asumsi yang
dimaksud di sini adalah pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu bersumber dari ajaran di luar
Islam yang masuk ke dalam dan menjadi ajaran Islam.[10] Diantara asumsi tersebut adalah
menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi
dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.

Menurut Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik terhadap tasawuf berlatar belakang insiden jejak
yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah, dan
kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam berada pada kondisi
yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu
Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan
benih fitnah dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan
gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat dantabi’in sebagai syahid. Peristiwa tersebut tidak ada
kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a. Demikian pula, paham tasawuf tidak boleh
dicemari dengannya. Tasawuf tidak ada kaitannya dengan fitnah tersebut.

Pada permualaan abad ke-7 H, sekelompok kafir zindik dan ahli-ahli bid’ah menyelinap masuk
kebarisan orang-orangberpaham sufi. Oleh karena itu, mereka menebarkan akidah-akidah syirik
ndan perbuatan-perbuatan bid’ah atas nama agama. Mereka yang tersesat lagi bodoh tersebut
menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena
sirkulasi kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang awam.[11]
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tasawuf merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti
fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf tidak terlepas dari berbagai kritikan dari berbagai
golongan yang menentangnya. Mulai dari prinsip – prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang
dari petunjuk Al-Qur’an dan As-sunnah sampai aliran-aliran dalam ajaran tasawuf yang meliputi
aliran Al-Isyraqi,  sekte Al-hulu dan ittihad serta sekte   Wihdatul Wujud  tidak luput dari kritikan.
Beberapa ucapan dan keyakinan dianggap sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan
oleh ahli tasawuf.

Berdasarkan latar belakang kritik terhadap tasawuf, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya
ajaran para sufi juga terhadap kritikus. Justru dengan adanya kritikan terhadap tasawuf memberi kita
pengajaran untuk meluruskan niat dalam beribadah dan bijak menanggapi ajaran yang ada.

B.     Kritik dan Saran

Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis butuhkan untuk perbaikan kedepannya. Semoga makalah ini dapat
dimanfaatka sebagai mana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA
Khan,Wahiduddin. 1989. Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf, dan Ilmu Kalam. Jakarta:Gema Insani Press.

Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1 Diakses pada 07
Mei 2016 pukul 09.00 WIB

http://rizal12315.blogspot.com/2015/01/studi-kritis-terhadap-tasawuf.html?m=1 Diakses pada 07 Mei


2016 pukul 09.00

[1] Wahiduddin Khan, Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf, dan Ilmu Kalam, (Jakarta:Gema Insani
Press, 1986), hlm 42

[2] Rosihon Anwar, Akhalak   Tasawuf,  (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),hlm.322

[3] Ibid, hlm.323-325

[4] Wahiduddin Khan, op cit., hlm 41

[5] Rosihon Anwar, op cit., hlm. 327-329

[6] http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1 Diaks
es pada 07 Mei 2016 pukul 09.00 WIB

[7] http://rizal12315.blogspot.com/2015/01/studi-kritis-terhadap-tasawuf.html?m=1 Diakses
pada 07 Mei 2016 pukul 09.00

[8] Rosihon Anwar, op cit., hlm. 329-331

[9] Rosihon Anwar, op cit., hlm.331-334

[10] Asmaran,  Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),  hlm 181

[11] http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1 

Anda mungkin juga menyukai