Anda di halaman 1dari 13

MADZHAB DAN TAQLID SALAFI

Guna Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Aqidah Salafi

Dosen Pengampu Bapak Misbah Khoirudin Zuhri

Oleh

1. Nurul Jamiatul Laili (1804016074)


2. Siti Roudlotul Janah (1804016075)
3. M. Syaiful Asror D.W. (1804016076)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


2020

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salafi merupakan kelompok pewaris dari dakwah tauhidnya Muhammad bin Abdul Wahab,
pendiri Wahabi. Kelompok salafi ini menolak bahkan menentang taqlid di dalam level praktikal.
Kaum salafi juga memiliki madzhab yang ketat yang terdapat di dalam prinsip-prinsip Ushul
Fiqh yang dianut. Terdapat lima prinsip yang bisa menggambarkan karakter dasar Ushul Fiqh
Mazhab, yaitu: (1) Teks yang otoritatif tidak terbatas pada al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga
pandangan Sahabat, dan Tabi’in (2) Otoritas Hadis mutawatir adalah sama dengan ahad (3)
Kritisisme sanad Hadis dalam ilmu Hadis menjadi penentu penerimaan dan penolakan suatu
Hadis (4) Membatasi secara ketat dari penggunaan qiyas, dan segala jenis interpretasi berbasis
akal pikiran; dan (5) Metode interpretasi yang literal terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis.
Yang nanti akan kita bahas lebih rinci di pembahasan di bawah ini.

Rumusan Masalah

1. Apa Madzhab dan Taqlid Salafi itu?


2. Bagaimana Pandangan Salafi Mengenai Madzhab dan Taqlid?
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mazhab dan Taqlid

Mazhab berasal dari kata dhahabaya dhabu-dhahaban yang artinya jalan yang
dilalui dan dilewati yang menjadi tujuan seseorang. Ulama fikih berbeda dalam
mendefinisikan mazhab secara istilah. Adapun definisi-definisi tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:

1. Wahbah Zuhaili memberi batasan mazhab sebagai segala hukum yang mengandung
berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantar pada kehidupan
secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
2. Mazhab menurut Ibrahim al-Bajuri dan Muhammad Syata al-Dimyati adalah pendapat
para Imam yang berkaitan dengan hukum.
3. Muslim Ibrahim mendefinisikan mazhab sebagai hasil ijtihad seorang mujtahid tentang
hukum dalam Islam yang digali dari ayat Al-Qur'an atau hadis yang dapat diijtihadkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, mazhab menurut
istilah meliputi dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang
ditempuh oleh seorang Imam mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa
berdasarkan al-Quran dan hadis. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang
Imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur'an dan hadis.
Mazhab dalam kamus besar Indonesia sudah diindonesiakan yang artinya yaitu
haluan, aliran mengenal hukum Islam. Pengertian mazhab fikih dalam pembahasan ini
adalah aliran-aliran pemahaman hukum syara’ dari seorang mujtahid yang diistinbat dari
Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian dapat diartikan bermazhab fikih adalah mengikuti
hasil ijtihad seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu masalah atau mengikuti
kaidahkaidah istinbatnya.
Kata taklid secara bahasa berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidan,
mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Taklid
juga dapat didefinisikan sebagai menerima pendapat orang lain dengan tidak manpu
mengemukakan alasannya. Kata taqlid sangat berfariasi tergantung keinginan seseorang
memakai kata tersebut, umumnya kata taqlid itu menunjukkan makna negative. Di antara
maknanya sebagai berikut: (a) Ikut dan tunduk tanpa ada pilihan (b) Dikuasai (c)
Menyerahkan pekerjaan itu sepenuhnya (seperti seorang tuan menyerahkan pekerjaan itu
kepada si fulan, penyerahan pekerjaan seakan-akan seseorang yang diberi pekerjaan itu
terikat lehernya) (d) Mengikut tanpa ada pandangan dan wawasan.1
Seseorang yang bertaklid seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya
dari seorang mujtahid. Sedangkan menurut istilah, taklid Ulama berbeda dalam
mendefinisikan taqlid Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqh, yaitu
“Menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan tidak bersifat hujjah”. Seperti
orang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika
perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah Saw. atau perkataan ulama yang
telah menjadi ijma’, maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut
merupakan hujjah.

Sedangkan menurut Nazar Bakry, taklid adalah mengikuti pendapat seseorang


mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat
tersebut. Taklid menurut istilah dapat juga dimaknai yaitu, menerima suatu ucapan orang
lain serta memegang tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-
keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang bertaklid disebut Muqallid.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa taklid adalah “Mengambil perkataan
atau pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.” Definisi
ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam
Asy Syaukani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di
mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia
tahu dalil yang mendasari pendapat ini.2
B. Taqlid dan Mazhab Dalam Pandangan Aqidah Salafi

a. Taklid

1 Muhiddin Muhammad Bakry. Tajdid Dan Taqlid. Jurnal al-Asas, Vol. II, No. 2, Oktober 2019. Hal. 60
2 Muhammad Zuhdi Karimuddin. Kedudukan Mazhab, Taklid Dan Ijtihad Dalam Islam. Al -Qadha: Vol. 6, No. 1,
Januari 2019. Hal. 56-58
Kaum salaf sering menyebut kelompok sendiri sebagai pewaris dakwah tauhid
yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri wahhabi. Oleh karena
itu, sebagian pengamat gerakan Islam menyebut gerakan salaf sebagai neo wahabism
atau wahabiyah baru (Roy, 1996). Merekalah satu-satunya kelompok dakwah yang
secara berterusan sentiasa mengikuti manhaj (metode) dan amalan tauhid salaf
assalih (generasi awal Islam) yang telah didakwahkan oleh Muhammad ibnu Abdil
Wahhab. Mereka mendakwahkan tauhid murni, yang memandang tauhid dalam
pengertian mengesakan Tuhan (Allah) sebagai Tuhan semesta sebagai inti doktrin
agama Islam (Umar as Sewed, 2004; Abu Usamah, 2003; Yusuf, 2003).
Bagi kaum salaf, keesaan tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan
mereka, utamanya dalam beribadah dan dalam meyakini keberadaan dan keesaan
Allah sebagai Sang Pencipta dan Penguasa alam. Untuk menguatkan keyakinan ini,
mereka membagi tauhid ke dalam tiga bagian yaitu tauhid ‘ubudiyyah (tauhid dalam
beribadah), tauhid rububiyyah (tauhid dalam ketuhanan) dan tauhid asma’ wa sifat
(tauhid dalam nama dan sifat Allah). Tauhid uluhiyyah artinya Allah adalah
satusatunya Tuhan yang harus disembah dalam beribadah. Tauhid rububiyyah
mengandung arti Allah adalah satu-satunya Tuhan pencipta alam dan Dialah yang
berkuasa atas segala sesuatu.
Dalam level praktikal, kaum salaf menentang taqlid (mengikuti pendapat secara
membabi buta) dan bermazhab (mengikuti aliran ajaran agama Islam, utamanya
dalam fiqh). Kedua bentuk amalan ini dilarang karena sama saja dengan menyerahkan
diri kepada manusia, bukan kepada Tuhan dan ini dilarang agama. Selain itu, mereka
juga memandang penting menghindarkan diri dari segala bentuk bid‘ah yang masih
banyak dilakukan oleh umat Islam. Dalam pandangan kaum salaf, maraknya praktik
bid‘ah tidak luput dari strategi dakwah sebagian umat Islam. Mereka
menyembunyikan kebenaran dalam berdakwah dengan alasan agar dakwah mereka
diterima oleh masyarakat. Perilaku dakwah seperti ini diperkokoh oleh tradisi taqlid
yang masih kuat di kalangan umat Islam. Sebagian umat Islam masih saja mengikuti
pendapat dan amalan yang disampaikan oleh para muballigh tanpa menyoal
kebenaran materinya. Oleh karena itu, mereka selalu mendasarkan segala bentuk
amalan keagamaan dengan hadis-hadis Nabi.
Meskipun menentang taqlid, tetapi dakwah salaf juga tidak menganjurkan untuk
melakukan ijtihad (penalaran dalam penafsiran). Dengan alasan untuk memurnikan
ajaran islam mereka dengan keras menentang ijtihad dalam berbagai bentuknya
seperti ijma‘ (penalaran kolektif) dan qiyas (penalaran analogis) yang banyak
digunakan oleh mazhab-mazhab hukum Islam dalam memecahkan persoalan hukum
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Noorhaidi, 2005). 3
b. Madzhab Salafi

Fatwa-fatwa Mazhab Salaf Saudi mengenai berbagai aspek kehidupan yang


dianggap banyak pihak sebagai kaku, keras, dan diskriminatif terhadap perempuan
dan non Muslim bisa dikembalikan pada prinsip-prinsip Ushul Fiqh yang mereka
rujuk. Mazhab “Salaf Saudi” di sini yang dimaksud secara ekslusif adalah suatu
pemahaman keagamaan yang dipopulerkan oleh Muḥammad bin ‘Abdul Wahab
(1701- 1793 M) di bumi Hijaz.
Doktrin utama Mazhab ini adalah tauhid, pengeesan Allah Swt. Dengan
doktrin tauhid ini, Salaf Saudi melakukan gerakan pemurnian dengan mengembalikan
Islam hanya pada apa yang mereka sebut sebagai asli dan otentik. Yaitu yang
disampaikan Allah dalam al-Qur’an, Nabi Saw dalam hadis-hadis, serta teladan para
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Dengan doktrin tauhid yang ketat, pengikut
Mazhab ini seringkali mengkafirkan, menyesatkan dan membid’ahkan kelompok-
kelompok muslim lain yang tidak sejalan. Segala hal yang menurut mereka
dimungkinkan akan merusak doktrin tauhid harus dilawan dan dihancurkan. Mereka
tidak segan-segan merusak seluruh situs keagaman, seperti kuburan Nabi Saw., para
sahabat dan para wali, yang dianggap mereka telah disucikan umat Islam. Sesuatu
yang menurut paham Salaf Saudi adalah syirik, atau setidaknya bid’ah yang bisa
membawa pada syirik.
Salaf Saudi menolak secara keras bergabung dalam atau menerima mazhab-
mazhab kalam atau teologi, mazhab-mazhab fiqh, pemikiran filsafat, juga tarikat-
tarikat tasawuf. Mereka sendiri tidak menganggap apa yang diyakininya sebagai suatu
suatu Mazhab dalam Islam, tetapi Islam itu sendiri. Salaf Saudi mengambil teologi
purifkasi, ijtihad, dan anti taqlid untuk meneguhkan pemikiran-pemikiran keagamaan

3 Ahmad Bunyan Wahib. DAKWAH SALAFI : DARI TEOLOGI PURITAN SAMPAI ANTI POLITIK. Hlm. 149-150
yang terkesan sangat kaku, tertutup, anti rasional, dan menolak segala bentuk
pembaruan keagamaan.

Pandangan-pandangan ketat Mazhab Salaf Saudi bisa ditelusuri melalui analisis


terhadap prinsip-prinsip Ushul Fiqh yang dianut. Setidaknya adalah lima prinsip yang
bisa menggambarkan karakter dasar Ushul Fiqh Mazhab ini. Yaitu: (1) Teks yang
otoritatif tidak terbatas pada al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga pandangan Sahabat, dan
Tabi’in; (2) Otoritas Hadis mutawatir adalah sama dengan ahad; (3) Kritisisme sanad
Hadis dalam ilmu Hadis menjadi penentu penerimaan dan penolakan suatu Hadis; (4)
Membatasi secara ketat dari penggunaan qiyas, dan segala jenis interpretasi berbasis
akal pikiran; dan (5) Metode interpretasi yang literal terhadap teksteks al-Qur’an dan
Hadis
1. Otoritas Teks Rujukan

Persoalan otoritas teks adalah yang utama dalam Mazhab Salaf Saudi. Karena
persoalan ini, mereka dianggap sebagai yang tekstualis. Otoritas teks dibicarakan
dalam Mazhab ini dalam kaitannya untuk menentang otoritas akal pikiran di satu sisi,
dan untuk mengkritik otoritas ulama mazhab-mazhab fqh. Mereka mengklaim hanya
memberikan otoritas pada teks rujukan, bukan pada orang yang memahami dan
menafsir teks. Karena itu, mereka menentang taqlid kepada ulama dan mengajak
semua umat Islam untuk merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadis. Tetapi
sebenarnya yang benar-benar teks rujukan adalah hanya al-Qur’an. Karena merujuk
pada Hadis, berarti merujuk pada orang juga, yaitu Nabi Muhammad Saw. Mazhab
Salaf Saudi meyakini bahwa merujuk pada Nabi Saw adalah diperintahkan al-Qur’an.
Dengan kalimat lain, merujuk pada Hadis menjadi niscaya karena diperintahkan al-
Qur’an. Dalam berbagai tulisan ulama Mazhab ini, sangat kentara pembelaan
merekadan perujukan mereka terhadap teks-teks Hadis dalam setiap masalah.
2. Kesetaraan Otoritas Mutawatir dan Ahad

Mazhab Salafi Saudi sebagai Mayoritas Ulama membedakan antara Hadis yang
mutawatir dari yang ahad. Mutawatir adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
saw.dan diriwayatkan sekelompok orang dalam jumlah yang cukup bamyak sehingga
tidak mungkin satu atau di antara mereka sepakat berbohong dalam periwayatan ini.
Jika Hadis tidak diriwayatkan oleh periwayat dalam jumlah banyak dan berkelompok
sebagaimana mutawatir, maka ia bersifat ahad atau perseorangan. Pengetahuan dari
Hadis ahad bersifat dugaan kuat (dhanny ats-tsubut), tetapi bukan pada level
keyakinan sebagaimana mutawatir. Al-Qur’an termasuk berita publik, atau mutawatir,
dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya adalah ilmu yang meyakinkan.
Kebanyakan hadist yang tercatat dalam kitab-kitab hadist rujukan adalah bersifat
“ahad”. Karena bersifat personal atau “ahad”, maka hadis masih menyisakan
kemungkinan adanya kesalahan, kebohongan, dan kepalsuan. Karena itu, muncul ilmu
kritik sanad dan matan, untuk memastikan agar “apa yang dinisbatkan sebagai hadist”
bukan merupakan sesuatu yang palsu, bohong, atau kesalahan nisbat kepada Nabi
saw. Dalam kritik ini, setiap ulama memiliki metode masing-masing, yang berbeda
dari yang lain. Namun yang paling ketat dalam mengaplikasikan metode kritik “Hadis
ahad” ini adalah madzhab Hanafi.
Menurut al-Ghazali, penggunaan Hadist sebagai teks rujuka harus menggunakan
metode para ahli fiqh bukan para ahli Hadist. Untuk menjadikan satu Hadist sebagai
teks rujukan, memahami dan menginterpretasikannya adalah tugas ahli fiqh bukan
ahli hadist. Hadist yang bersifat “ahad” harus di rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur’an.
Jika terdapat hadis “ahad”, sahih sekalipun dari sisi sanad yang bertentangan dengan
ayat
Al-Qur’an maka harus di tolak dan digugurkan sebagai teks rujukan. Mazhab salafi
saudi menganggap hadis, baik mutawatir maupun ahad, memiliki otoritas yang sama
dan tidak bisa dibedakan dari sisi implikasi terhadap rumusan ajaran dan hukum
dalam islam.
Hadist adalah hirarkis dan datang setelah al-Qur’an, mazhab salafi saudi
menganggap kedua hal tersebut setara, sehingga tidak bisa dipertentangkan satu sama
lain. Hadispun tidak bisa diasumsikan sebagai bertentangan dengan al-Qur’an. Hadist
harus disandingkan dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an tidak cukup tanpa Hadist. Al-
Qur’an dan hadist harus dijadikan dasar rujukan ketika melakukan proses keputusan
dan perumusan hukum dalam islam karena kesetaraan otoritas ini, mazhab salafi saudi
berpandangan bahwa hadist bisa menghapus (naskh) hukum-hukum yang ditetapkan
al-Qur’an.
3. Kritisisme Hadis

Kritisisme Hadis juga menjadi karakter dasar dari Mazhab Salaf Saudi pada masa
kontemporer. Kritisisme di sini secara umum adalah evaluasi sanad Hadis dengan
menggunakan metode-metode yang telah dikembangkan ilmu Hadis. Secara konsep,
Hadis dianggap lemah jika tidak memenuhi salah satu syarat Hadis sahih; soal
ketersambungan sanad, intelektualitas atau daya hafal periwayat, dan integritas atau
kejujuran, serta komitmen keimanannya. Disetiap persoalan ini ada banyak level dan
juga banyak pandangan. Sehingga tidak mustahil suatu teks Hadis dinilai lemah,
karena suatu alasan, kemudian dinilai sahih oleh yang lain karena alasan-alasan yang
lain. Tingkatan kelemahan suatu Hadis dalam pembahasan ilmu Hadis juga beragam
dan berbeda. Kompleksitas persoalan ini yang membuat banyak ulama Hadis tidak
gegabah untuk menyalahkan ulama karena tidak menerima suatu Hadis sahih tertentu,
atau sebaliknya karena mengamalkan suatu Hadis lemah tertentu.
Dalam kajian ilmu hadis, karena kompleksitas persoalan yang bisa jadi tidak
dicermati banyak pengkaji, dikenal dengan ungkapan “Ketika sanad diputuskan
sebagai selamat tidak serta merta dipastikan matan-nya adalah selamat, begitupun
ketika sanad diputuskan sebagai lemah tidak serta merta matan-nya adalah lemah”.
Kompleksitas persoalan evaluasi dalam kritisisme Hadis ini tidak dikenal dalam
Mazhab Salaf Saudi. Ketika tokoh dari Mazhab ini sudah sampai pada kesimpulan
suatu Hadis sebagai sahih, maka dengan tegas dan pasti teks tersebut harus menjadi
rujukan yang otoritatif. Begitupun sebaliknya, ketika suatu teks Hadis dalam
kritisisme Mazhab Salaf Saudi ini dianggap lemah, maka dengan sendirinya gugur
sebagai teks yang otoritatif. Setiap pandangan hukum dan ijtihad ulama yang
didasarkan pada teks lemah ini kemudian dianggap salah, sesat, syirik, khurafat, dan
bid’ah. Ini karakter umum yang membedakan Mazhab Salaf Saudi dari
mazhabmazhab lain yang berkembang di dunia Islam. Tetapi di kalangan tokoh-tokoh
Mazhab ini, pada praktiknya, juga ada perbedaan-perbedaan dalam memutuskan suatu
Hadis, atau dalam menyikapi Hadis yang sudah dianggap sahih atau lemah. 4

4 Faqihuddin Abdul Kodir. PRINSIP-PRINSIP USHUL FIQH SALAFI SAUDI. (Jurnal Empirisma Vol. 25 No. 1 Januari
2016)
Hlm. 49-52
4. Qiyas, Dan Interpretasi Berbasis Akal Pikiran

Sekalipun Mazhab Salafi Saudi mengklaim tidak taqlid pada Imam Ahmad bin
Hanbal, tetapi epistemologi tafsir mereka terhadap teks-teks hukum sangat kentara
terpengaruh oleh metode interpretasi yang sebelumnya ditawarkan dan diperjuangkan
Imam Aḥmad bin Ḥanbal. Pembatasan mereka terhadap penggunaan qiyas dalam
hukum dan segala jenis interpretasi berbasis akal pikiran adalah salah satu contoh dari
pengaruh ini, yang sekaligus membedakan mereka dari mazhab-mazhab yang lain.
Pengaruh ini karena memang Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Salafi Saudi,
lahir dari keluarga yang bermazhab Hanbali dan besar dalam lingkungan pendidikan
yang bermazhab Ḥanbali. Dalam salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ditanya
mengenai kemungkinan akal pikiran menetapkan sesuatu. Dia menjawab: “Tidak
boleh ada ketetapan apapun yang dihasilkan dari akal pikiran. Kamu sekalian harus
bersandar pada al-Qur’an, Hadis, dan alAtsār (pernyataan Sahabat dan Tabi’in) Jika
qiyas saja, yang secara luas dipakai ulama fiqh, dibatasi oleh Mazhab Hanbali dan
Salafi, maka segala interpretasi rasional yang dikenalkan para filusuf Muslim
maupuan interpretasi spiritual yang ditawarkan para ahli sufi ditolak mentah-mentah.
Menurut Mazhab ini, filsafat dan tasawuf adalah dua hal yang masuk dari peradaban
di luar Islam dan menghancurkan sendi-sendi aqidah, ajaran, dan hukum-hukum
Islam. Setiap upaya interpretasi yang keluar dari batasanbatasan teks-teks otoritatif,
dan mengarah pada pemikiran-pemikiran rasional atau pengalaman pengalaman
spiritual, adalah sesat dan keluar dari Islam.
5. Interpretasi yang literal terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis

Dengan cara pandang yang demikian lugas terhadap teks, banyak analisis yang
menyimpulkan bahwa metode interpretasi Mazhab Salafi secara umum, terutama
Salafi Saudi adalah literal. Ini adalah salah satu karakter lain dari Mazhab Salafi Saudi
yang membedakan dari mazhab-mazhab lain di dunia Islam. Metode interpretasi
literal ini bertumpu pada makna-makna lahir atau makna awal dari teks. Makna-
makna ini, di samping harus dibenarkan kaidah bahasa, adalah yang muncul pertama
kali ketika suatu kata atau kalimat diungkapkan. Mazhab ini melupakan dan menolak
makna-makna kiasan dan alegoris dari suatu teks, sekalipun didukung kaidahkaidah
bahasa dan dipakai dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Kesimpulan ini bisa terlihat kentara ketika membaca interpretasi Salafi terhadap
teks-teks anthropomorfis (mutashābihāt), dimana Allah Swt. disebutkan memiliki
sesuatu dan sifat-sifat yang serupa (tetapi tidak sama) dengan manusia. Prinsip umum
dalam interpretasi teks-teks ini, seperti yang selalu diungkapkan, adalah mengatakan
seperti yang apa dikatakan Allah Swt. dalam al-Qur’an, dinyatakan Nabi Saw dalam
Hadis, dan dianut para ulama Salaf, sejak Sahabat dan Tabiin. Ketika mengatakan
persis apa adanya sebagaimana dalam teksteks, mereka menambahkan prinsip lain,
yaitu “tidak memalingkan makna, tidak menafikan sifat, tidak menjelaskan kualitas,
pun tidak mempersamakan” (min ghayri tahrifin, wa la ta’thilin, wa la takyifin, wa la
tamtsilin). Untuk kasus tangan Allah Swt misalnya. Mereka mengakui dan
mengatakan bahwa ada tangan Allah Swt. sebagaimana disebutkan dalam alQur’an.
Tidak memaknainya sebagai kekuasaan, nikmat, atau anugerah sebagaimana para
ulama kalam yang rasionalis. Tidak juga menafikannya, karena tangan dianggap salah
satu anggota jasad manusia, sementara Allah Swt. bukan manusia, seperti dikatakan
sebagian ulama kalam yang anti sifat-sifat anthropomorfis. Tentu saja, ia bukan dan
berbeda dari tangan manusia. Tetapi tetap ia adalah “tangan” bukan “kekuasaan” atau
yang lain. Metode pemaknaan inilah yang disebut sebagai tekstualis dan literal.
PENUTUP

Kesimpulan :

Salafi adalah sebuah aliran dimana didalamnya mereka mempunyai prinsip dan ajaran
tersendiri. Salah satunya adalah mengenai taklid dan mazhab. Taklid sendiri adalah
Menerima/mengikuti perkataan orang lain dengan tidak bersifat hujjah”. Seperti orang awam
mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil
merupakan perkataan Rasulullah Saw. atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’, maka ia
bukanlah sebuah taqlid. Menurut kelompok salaf mereka menentang taqlid (mengikuti pendapat
secara membabi buta) dan bermazhab (mengikuti aliran ajaran agama Islam, utamanya dalam
fiqh). Kedua bentuk amalan ini dilarang karena sama saja dengan menyerahkan diri kepada
manusia, bukan kepada Tuhan dan ini dilarang agama. Mazhab salaf Saudi mempunyai Doktrin
utama adalah tauhid, pengeesan Allah Swt. Dengan doktrin tauhid ini, Salaf Saudi melakukan
gerakan pemurnian dengan mengembalikan Islam hanya pada apa yang mereka sebut sebagai asli
dan otentik. Jadi segala yang tidak ada di zaman Rasulullah mereka anggap itu bid’ah dan tidak
boleh untuk dilakukan. Mazhab Salafi Saudi cenderung pada metode interpretasi dan proses
penalaran hukum yang lugas, sederhana, dan memilih satu pandangan. Karena itu, mazhab ini
tidak menghargai kompleksitas penalaran hukum Islam dan keragaman pandangan dalam tradisi
fiqh maupun tafsir yang dimiliki kesarjanaan Islam. Mazhab ini selalu menekankan pentingya
ketegasan pandangan hukum Islam dalam suatu persoalan terentu, dan harus dan hanya satu
pandangan saja. Itupun pandangan yang dikeluarkan ulama-ulama mazhab ini.

DAFTAR PUSTAKA

• Ahmad Bunyan Wahib. DAKWAH SALAFI : DARI TEOLOGI PURITAN SAMPAI ANTI
POLITIK.
• Faqihuddin Abdul Kodir. PRINSIP-PRINSIP USHUL FIQH SALAFI SAUDI. (Jurnal
Empirisma Vol. 25 No. 1 Januari 2016)
• Muhammad Zuhdi Karimuddin. Kedudukan Mazhab, Taklid Dan Ijtihad Dalam Islam. Al

-Qadha: Vol. 6, No. 1, Januari 2019


• Muhiddin Muhammad Bakry. Tajdid Dan Taqlid. Jurnal al-Asas, Vol. II, No. 2, Oktober
2019. Hal. 60

Anda mungkin juga menyukai