Anda di halaman 1dari 18

Bantahan atas Dr.

‘Utsman al-Khamis Seputar Aliran al-


Jamiyyah / al-Madakhilah / Salafi Klaimer

Segala puji bagi Alah.

Selawat serta salam tercurah atas Rasulullah.

Adapun kemudian;

Saya telah mendengar dan melihat kemarin rekaman video


asy-Syaikh al-Fadhil ad-Duktur ‘Utsman al-Khamis
hafizhahullah.

Ringkasan rekaman video:

Video berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh


seseorang di mana ia mengatakan,

“Apakah Syaikh Muhammad Aman al-Jami telah mendirikan


kelompok yang bernama al-Jamiyyah?”

Maka Syaikh ‘Utsman al-Khamis menjawab pertanyaan


tersebut:
1. Syaikh Muhammad Aman al-Jami tidak mendirikan jama‘ah
atau partai yang bernama al-Jamiyyah dan tidak ada juga
jama‘ah yang bernama al-Jamiyyah.

2. Syaikh Muhammad Aman al-Jami adalah seorang ulama dan


mendapat pujian dari ulama yang senior.

3. Syaikh ‘Utsman al-Khamis mengisyaratkan bahwa beliau


belum membaca kitab al-Jamiyyah fil Mizan, akan tetapi
beliau hafizhahullah malah berkata,

“Jelas dari judulnya, ia merupakan kejelekan dalam


kejelekan.”

Dan dengan rekaman audio ini disebarkan setelah ditulisnya,


dicetaknya, dan diterbitkannya kitab al-Jamiyyah fil Mizan,
maka saya mesti memberi tanggapan atas perkataan Syaikh
‘Utsman al-Khamis sampai masalah ini menjadi jelas bagi
Syaikh ‘Utsman dan orang-orang awam yang beragama
dengan agama Allah.

Saya membuat jawaban dengan tiga poin.

Saya katakan:

Dengan taufik dari Allah.


Pertama, ucapan Syaikh ‘Utsman bahwasanya Syaikh
Muhammad Aman al-Jami tidak mendirikan partai atau
jama‘ah, maka perkataan ini benar dan saya sepakat
dengannya. Saya telah menyebutkan hal ini dalam kitab saya,
al-Jamiyyah fil Mizan, halaman 21,

“Syaikh Muhammad Aman al-Jami tidak mendirikan jama‘ah


atau partai yang bernama al-Jamiyyah.”

Karena al-Jamiyyah bukanlah jama‘ah atau partai yang


didirikan oleh Syaikh Muhammad Aman al-Jami, namun ia
adalah kelompok yang berdiri di atas manhaj Syaikh
Muhammad Aman al-Jami rahimahullah[1] dalam menyikapi
para ulama dan dai Ahlus Sunnah yang berbeda pendapat.
Mereka bersikap ekstrem di dalamnya. Ia juga menampakan
pokok-pokok ajaran yang lain sehingga kelompok ini
dinisbatkan kepadanya. Oleh karena itu, maka tidak ada
larangan dalam memutlakkan istilah al-Jamiyyah bagi mereka
yang mengikuti manhaj Syaikh Muhammad Aman al-Jami.

Sebagai tambahan:

Sesungguhnya kelompok atau jama’ah atau mazhab tidaklah


nampak namanya, kecuali setelah wafatnya pendirinya yang
paling awal.
Contoh:

1. al-Asya’irah, nama ini tidak muncul, kecuali setelah


wafatnya Abul Hasan al-Asy‘ari, ketika murid-muridnya
membangun akidah beliau dan menyebarkannya di antara
masyarakat sehingga terdapat kelompok yang dinamakan
sebagai al-Asya‘irah.

2. Nama al-Maturidiyyah juga tidak muncul, kecuali setelah


wafatnya Abu Manshur al-Maturidi, ketika murid-muridnya
membangun akidah beliau dan menyebarkannya di antara
masyarakat sehingga terdapat kelompok yang dinamakan
sebagai al-Maturidiyyah.

Begitu juga di zaman kita sekarang.

Contoh:

1. Musuh-musuh Sayyid Quthb memutlakkan istilah bagi para


pengikut beliau sebagai al-Quthbiyyah. Dinisbatkan kepada
orang yang membangun pemikiran dan pendapat Sayyid
Quthb dan menyebarkannya di antara masyarakat.

2. Begitu juga musuh-musuh Muhammad Zainal ’Abidin Surur


memutlakkan istilah bagi para pengikutnya sebagai as-
Sururiyyah. Dinisbatkan kepada orang yang membangun
pemikiran dan pendapat Sayyid Quthb dan menyebarkannya
di antara masyarakat.

Beginilah kelompok-kelompok, jama‘ah-jama’ah, dan mazhab-


mazhab tidaklah dikenal dan tidaklah terkenal, kecuali setelah
wafatnya syekh kelompok atau jama‘ah ini yang memulai
akidahnya, pemikirannya, dan pendapatnya.

Kelompok al-Jamiyyah sendiri adalah kelompok yang memiliki


ushul [pokok-pokok ajaran] dan qawa'id [kaidah-kaidah] yang
saya sebutkan tentangnya pada penelitian yang kesepuluh
pada kitab saya, al-Jamiyyah fil Mizan, dengan judul, “Ajaran-
Ajaran dari al-Jamiyyah”.

Istilah al-Jamiyyah juga terkenal dan tersebar di antara para


ulama. Saya bukanlah orang yang pertama menggunakan
istilah ini. Sebelumnya malah sangat banyak ulama yang
menggunakan istilah ini dan membuat tahdzir dari kelompok
ini.

Di antara mereka adalah:

1. Syaikh ‘Allamah ‘Abdullah al-Jibrin rahimahullah.


2. Syaikh ‘Allamah ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq.
3. Syaikh Duktur ‘Abdullah al-Muthlaq.
4. Syaikh Muhaddits Sulaiman al-‘Alwan.
5. Syaikh Duktur ‘Iwwadh al-Qarni.
6. Syaikh Duktur Muhammad Musa asy-Syarif.
7. Syaikh Duktur Mamduh al-Harbi, spesialis kelompok-
kelompok dan jama‘ah-jama‘ah Islami.
8. Syaikh Duktur Sa‘ud al-Funaisan, Dekan Fakultas Syari’ah di
Riyyadh sebelumnya.
9. Syaikh Duktur ‘Ujjail an-Nasyma, Dekan Fakultas Syari’ah di
Kuwait sebelumnya.
10. Syaikh Duktur Jasim Muhalhal al-Yasin.
11. Syaikh Duktur Nabil al-‘Awwadhi.
12. Syaikh Duktur Thariq ath-Thawwari.

Kedua, ucapan Syaikh ‘Utsman al-Khamis bahwa Syaikh


Muhammad Aman al-Jami adalah seorang ulama dan
mendapat pujian dari ulama yang senior, maka saya sepakat
dengannya. Saya juga telah memberi pujian untuknya pada
kitab saya.

Di antara ucapan saya tentangnya adalah,

“Syaikh Muhammad Aman al-Jami, sebagai bentuk inshaf,


beliau adalah seorang ulama yang terkenal dengan luasnya
beliau dalam ilmu-ilmu syariah, khususnya dalam ilmu akidah.
Oleh karena itu, ia dipilih oleh Universitas Islam [Madinah]
untuk mengajar mata pelajaran akidah di Fakultas
Ushuluddin.”

Dengan karunia Allah, saya tidak mencelanya, menistanya,


atau memakinya, namun yang saya lakukan adalah mengkritik
sikap beliau rahimahullah yang keras teehadap para ulama
dan dai yang berbeda pendapat dengannya dalam beberapa
masalah, celaan beliau kepada mereka, vonis bidah dari beliau
kepada mereka, usaha beliau dalam menjauhkan masyarakat
dari mereka, dan sikap ekstremnya dalam memusuhi mereka
dalam bantah-bantahan, ceramah, dan pelajaran beliau.

Seseorang mungkin akan bertanya:

Bagaimana mungkin engkau mengkritik Syaikh Muhammad


Aman al-Jami, sedang beliau telah mendapat pujian dari
ulama yang senior?

Maka saya katakan:

1. Terdapat perbedaan antara mencela dengan mengkritik.


Mencela hukumnya haram dan tercela, sedang mengkritik
adalah hak yang terjamin bagi semua orang dengan syarat
kritikan tersebut harus adil, inshaf, dan disertai dengan
penghormatan terhadap orang yang berbeda pendapat.
2. Sebagian ulama yang senior memberi pujian untuk Syaikh
Muhammad Aman al-Jami bukanlah dalil bahwasanya beliau
ini ma'shum [terjaga] dari kesalahan atau ketergelinciran.

Ketiga, ucapan Syaikh ‘Utsman tentang kitab al-Jamiyyah fil


Mizan, “Jelas dari judulnya, ia merupakan keburukan di dalam
keburukan,” maka ini, demi Allah, wahai Syaikh ‘Utsman,
merupakan bentuk dari kezaliman terhadap kitab ini, kepada
penulisnya, dan kepada kata pengantar dari Syaikh ‘Allamah
‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq hafizhahullah.

Bagaimana mungkin engkau menilai suatu kitab itu adalah


keburukan di dalam keburukan, sedang engkau belum
membaca kitabnya?

Maka di mana sikap adil serta inshaf, wahai Syaikh ‘Utsman?

Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

‫شنَ ٰانُ قَ ْو ٍم َع ٰلٓى اَاَّل تَ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو‬ َ ‫َواَل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬
‫ب لِلتَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوا' هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن‬ ُ ‫اَ ْق َر‬

“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum


mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan.” [QS. al-Maidah: 8]

Keempat, sesungguhnya al-Jamiyyah atau al-Madakhilah atau


da'ah at-tashnif wat tabdi' atau ad‘iyya as-Salafiyyah [Salafi
klaimer] atau terserah engkau sebut mereka sebagai apa,
wahai Syaikh ‘Utsman, mereka tidak meninggalkan seorang
pun ulama dan dai Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kecuali mereka
bidahkan, mereka vonis sesat, dan mereka sifati dengan sifat-
sifat yang tidak cocok dengan ajaran Islam. Saya telah
menyebutkannya pada penelitian keempat pada kitabku
dengan judul, “Orang-Orang yang Paling Terkenal yang Dicela
oleh al-Jamiyyah”. Begitu juga engkau, wahai Syaikh ‘Utsman,
engkau bagi mereka adalah seorang Hizbi yang sesat lagi
seorang Ahlul Bid‘ah dan tidak ada gunanya engkau membela
mereka.

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri telah ditanya tentang Syaikh ‘Utsman


al-Khamis, maka ia menjawab,

“Laki-laki ini adalah seorang Ikhwani yang menyala-nyala dan


saya tidak merekomendasikan untuk hadir di sisinya.”

Syaikh Ahmad Bazmul juga ditanya tentang Syaikh ‘Utsman al-


Khamis, maka ia menjawab,
“Ia lebih dekat dengan al-Quthbiyyah dibanding dengan as-
Salafiyyah.”

Bahkan setiap orang yang bergabung dengan Jam‘iyyah Ihya'


at-Turats yang mana engkau juga bergabung di dalamnya
dianggap oleh mereka sebagai Ahlul Bid'ah nan sesat. Hal ini
ditetapkan oleh syekh-syekh mereka, Syaikh Rabi' al-
Madkhali, ‘Ubaid al-Jabiri, dan Ahmad Bazmul.

Syaikh Rabi' al-Madkhali di antaranya telah mengatakan,

“Jam’iyyah Ihya at-Turats memiliki cacat yang sangat banyak.


Bekerja sama dengannya sama saja dengan bekerja sama
dalam memerangi manhaj Salafi, padahal ia [seseorang]
semestinya beriltizam dengan manhaj Salafi, maka ia tidaklah
memiliki manhaj Salafi yang sejati lagi murni.”

Ia juga berkata,

“Berhati-hatilah kalian dari Jam’iyyah Ihya at-Turats karena ia


menyebar di dunia untuk memecah belah Salafiyyun. Mereka
juga memblokir distribusi kitab-kitab Salaf, maka janganlah
bekerja sama dengan mereka.”

Syaikh Muhammad al-‘Anjari berkata,


“Ketika Ramadhan, aku bersama Syaikh Rabi' bin Hadi al-
Madkhali. Beliau berkata: Jam'iyyah Ihya at-Turats lebih
berbahaya bagi as-Salafiyyah dibanding Yahudi dan Nashrani
dikarenakan mereka mencampuradukkan kebenaran dengan
kebatilan. Yahudi dan Nashrani sudah dikenal bahwa mereka
berbeda millah dan berbeda agama. Adapun orang-orang
Turatsi ini, maka mereka mengganti makna sunah kepada
makna madrasah ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq.”

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri juga berkata,

“Jam‘iyyah Ihya' at-Turats adalah yayasan yang sesat lagi


menyesatkan dengan kesaksian dari penduduk Kuwait. Di
antaranya dari Syaikh Falah bin Isma’il Mandakar, Syaikh
Hamd bin Ibrahim al-‘Utsman, Syaikh Muhammad bin
‘Utsman al-‘Anjari, Syaikh Ahmad bin Hussain as-Subai‘i, dan
kesaksian-kesaksian lainnya dari para penuntut ilmu yang
terpercaya. Di antara penyimpangan mereka yang terpenting
adalah mereka mengangkat nama-nama Ahlul Bid'ah, Ahlut
Takfir, dan Ikhwanul Muslimin. Mengangkat semuanya
sehingga ia merupakan kelompok yang menyimpang.”

Ia juga berkata,

“Jam’iyyah Ihya at-Turats telah kami jelaskan akan


kesesatannya. Teruntuk orang yang beragama dengan agama
Allah, tidak boleh baginya bekerja sama dengan merek, tidak
boleh juga belajar dengan mereka, karena mereka lebih
berbahaya bagi dakwah Salafiyyah dibanding dengan
kelompok Ikhwanul Muslimin, Takfiri, dan Jama‘ah Tabligh.”

Syaikh Ahmad Bazmul berkata,

“Jam‘iyyah Ihya at-Turats mengaku sunah dan menyebarkan


ilmu, padahal sejatinya ia memerangi Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dan memerangi Salafiyyun, menyebarkan bidah dan
kesesatan, sehingga tidak boleh ikut serta dengan mereka.
Setiap orang yang ikut serta dengan mereka atau memberi
pujian kepada mereka tidak lepas dari dua perkara: ia
memiliki uzur sehingga ia diberi tahu atau ia mengetahui
kesesatan mereka sehingga tidak ada kemulian baginya.”

Sebagai penutup, saya katakan:

Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-


Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya ia bukanlah
seorang ulama atau bahwasanya ia bukanlah termasuk di
antara pemilik ilmu dan keutamaan, seperti yang dikatakan
oleh mereka terhadap orang-orang yang berbeda pendapat
dengan mereka.
Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-
Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya kami
mengafirkannya atau membidahkannya atau
memfasikkannya, seperti yang dilakukan oleh mereka
terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka.

Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-


Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya kami melupakan
keutamannya dan usahanya, seperti yang dilakukan oleh
mereka terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka.

Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-


Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya kami tidak
membaca tulisannya, tidak menghadiri majelisnya, dan tidak
belajarnya dengannya, seperti yang dilakukan oleh mereka
terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka.

Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-


Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya kami
membencinya dan mendekatkan diri kepada Allah dengan
kebencian kepadanya, seperti yang dilakukan oleh mereka
terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka.
Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-
Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya ia berhak untuk
dicela atau dinista atau dimaki atau dijelek-jelekkan
kehormatannya, seperti yang dilakukan oleh mereka terhadap
orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Ketika kami mengatakan bahwa Fulan berasal dari al-


Jamiyyah, maka itu tidak berarti bahwasanya kami
menyebutkan kejelekan-kejelekannya dan menutup-nutupi
kebaikannya, seperti yang dilakukan oleh mereka terhadap
orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Karena kami tidak mengafirkan mereka, tidak membidahkan


mereka, tidak memvonis fasik mereka, dan tidak pula
mengeluarkan mereka dari lingkaran Ahlus Sunnah wal
Jama‘ah. Kami juga tidak menista mereka, tidak mencaci-maki
mereka, tidak mencela mereka, dan tidak pula membenci
mereka.

Namun kami katakan:

Sesungguhnya mereka ini, al-Jamiyyah, adalah saudara-


saudara kita, masuk lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama‘ah[2],
dan di antara mereka terdapat ulama dan dai.
Tujuan dari apa yang kami ucapan tentang mereka adalah:

Sesungguhnya manhaj mereka yang berdiri dengan mencela


para ulama dan dai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, memvonis
fasik mereka, membidahkan mereka, serta menggolong-
golongkan manusia, mengetes-ngetes, dan menguji mereka
dengan nama-nama tertentu merupakan manhaj yang rusak
dan menyimpang. Perilaku ini tidak ada dalilnya. Bahkan
perilaku ini bertentangan perintah Allah Subhanahu wa Ta‘ala
pada firman-Nya,

‫سنَ ِة‬َ ‫سبِ ْي ِل َربِّكَ بِا ْل ِح ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِعظَ ِة ا ْل َح‬ َ ‫ع اِ ٰلى‬ ُ ‫اُ ْد‬
ْ‫س ۗنُ اِنَّ َربَّكَ ه َُو اَ ْعلَ ُم بِ َمن‬ َ ‫َو َجا ِد ْل ُه ْم بِالَّتِ ْي ِه َي اَ ْح‬
‫سبِ ْيلِ ٖه َوه َُو اَ ْعلَ ُم بِا ْل ُم ْهتَ ِد ْي َن‬
َ ْ‫ض َّل عَن‬ َ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah


dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” [QS.
an-Nahl: 125]

Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shalallahu 'alaihi wa


sallam yang telah bersabda,
‫ش َواَل‬ ِ َ‫ان َواَل الف‬
ِ ‫اح‬ ِ ‫س ال ُمْؤ ِمنُ بِالطَّ َّع‬
ِ ‫ان َواَل اللَّ َّع‬ َ ‫لَ ْي‬
‫البَ ِذي ِء‬

“Bukanlah seorang mukmin, orang yang suka mencela,


melaknat, berkata-kata kasar, dan juga kotor.” 

Ini bertentangan dengan ajaran para imam dan ulama Ahlus


Sunnah wal Jama‘ah dalam menyikapi orang-orang yang
berbeda pendapat dengan mereka yang mana mereka
menyikapi dengan nasihat, baik, lemah lembut, lagi penuh
kasih sayang.

Ditulis oleh Dr. Masyari Sa‘id al-Mathrafi

24 Desember 2018

Mulai dan selesai diterjemahkan pada dini hari 17 Juni 2022


oleh Hudzaifah al-Jawi.

Catatan kaki:

1. Kami tidak sepakat dengan tarahum ini, pent.


2. Yaitu Ahlus Sunnah secara umum yang meliputi setiap Ahlul
Qiblah, pent.

Anda mungkin juga menyukai