Anda di halaman 1dari 16

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS

MATA KULIAH: STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS


DOSEN: DR. MUHAMMAD FITRIYADI, MA / DR. ALI AKBAR, M.Pd.

DISUSUN OLEH:
M. FAISAL AKBAR (22290610053)

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)


JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2022 M / 1443 H

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang sudah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya sehingga saya bisa menyusun tugas pada mata kuliah studi Al-Qur’an dan
Hadits ini dengan baik serta tepat waktu. Saya juga berharap, agar makalah ini bisa menjadi
informasi bagi para pembaca guna meningkatkan khazanah keilmuan kita bersama.

Makalah ini saya susun secara efektif dengan menyajikan informasi secara detail, sehingga
orang yang masih awam dapat mengambil informasi pada makalah dengan lebih mudah. Saya
juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini. Mudah-mudahan makalah yang saya buat ini bisa membantu
meningkatkan pengetahuan kita menjadi lebih luas lagi. Saya menyadari kalau masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Saya memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan kata, sehingga saya
menerima kritik dan saran bagi seluruh pembaca. Akhir kata saya sampaikan, semoga makalah
ini bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi seluruh orang yang membaca. Saya juga
berharap, agar makalah ini bisa menjadi sumber informasi untuk meningkatkan mutu
pelayanan Pendidikan di Indonesia. Terimakasih.

Pekanbaru, 27 Mei 2022

M. Faisal Akbar

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadits dalam agama Islam menempati posisi yang kedua sebagai sumber hukum
Islam, oleh karena itu keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hadits memiliki tiga fungsi
utama yang berhubungan dengan al-Quran, yaitu bayan ta’qid terhadap ketentuan yang
ada dalam al-Quran, bayan tafsir sebagai penjelas terhadap kemujmalan al-Quran, dan
bayan tasyri’ sebagai hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran. Sebagaimana
firman Allah dalam Surat an-Nahl ayat: 44:

‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِهم َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِ َ‫ٱلزب ُِر ۗ َوأَنزَ ْلنَا ٓ إِلَيْك‬
ِ َّ‫ٱلذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬ ِ َ‫بِ ْٱلبَيِ َٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan


kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Sentralnya keberadaan hadits nabi membuat banyak penelitian dan kajian-
kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan dan mengetahui kualitas
hadits yang berhubungan dengan kehujahan hadits tersebut. Ternyata bukan hanya
orang muslim, banyak musuh-musuh Islam seperti para orientalis, yang berupaya
meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits yang bertujuan untuk meragukan
dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil.
Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada materi-materi keislaman
secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Sampai pada masa belakangan ini
mereka mulai tertarik dengan kajian Hadits Nabawi.
Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadits sangat berbeda dengan studi
di Timur Tengah. Studi hadits di Timur Tengah dan juga di Indonesia menekankan pada
bagaimana seseorang melakukan takhrij hadits dan syarh (penjelasan) hadits sehingga
dapat diketahui keasliannya dan kandungan makna dari hadits tersebut.
Adapun di Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan
penanggalan hadits untuk menaksir sejarahnya dan bagaimana melakukan membangun
sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Model studi orientalis
Barat kebanyakan berupa kritik sejarah, dalam bidang hadits setidaknya ada tiga orang

3
kalangan orientalis sebagai tokoh Hadits Critism (kritik hadits) adalah Ignaz Goldziher,
Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa pengertian hadits menurut
orientalis, pandangan orientalis terhadap hadits tersebut dan bantahan ilmuan hadits
terhadap kritik hadits yang dilakukan orientalis. Pemaparan selanjutnya akan dijelaskan
pada bagian makalah ini selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh Orientalis tentang hadits Nabi Muhammad
SAW?
2. Bagaimana bantahan ulama Islam terhadap tokoh orientalis?

1.3 Manfaat dan Tujuan


1. Untuk mengetahui pengertian dari hadist dan orientalis.
2. Untuk mengetahui pandangan kaum orientalis terhadap hadits nabi Muhammad
SAW dan pengaruhnya pada pemikiran islam. Untuk mengetahui tanggapan dari
para ulama islam terhadap sikap orientalis.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits


Mengulas sedikit tentang materi pertama tentang pengertian hadist, agar lebih
paham dan mempermudah dalam memahami bahasan orientalis hadits. Hadits adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.
Hadis berasal dar kata hadits jamaknya ahadits. Dari segi bahasa kata ini
memiliki banyak arti di antaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan
dari kata al-qadim (sesuatu tang lama). Juga bisa diartikan al- khabar (berita/informasi).
dan al-qarib (sesuatu yang dekat).1

2.2 Pengertian Orientalis


Orientalis berasal dari kata orient, bahasa prancis, yang secara harfiah bermakna
timur, secara geografis bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis bermakna
bangsa-bangsa timur. Kata isme (Belanda) ataupun ism (Inggris) menunjukkan
pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah suatu paham atau aliran,
yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur
beserta lingkungannya.2
“Istilah orientalis berasal dari kata “Orien” yang berarti timur, kata “ism” yang
berarti paham. Jadi secara bahasa, Orientalis adalah paham tentang dunia
timur/ketimuran”.3
Kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur,
khususnya tentang agama Islam juga disebut orientalisme. Sehingga yang dijadikan
obyek studi gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang
Islami, mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.
Orientalis yang di maksud di sini adalah para sarjana barat yang Notabene-non
muslim (Yahudi, Kristen, atau bahkan Ateis) namun sibuk mengkaji islam beserta seluk
beluknya. Adapun pengikut orientalis yang di maksud adalah kalangan muslim yang

1
Tim Reviewer MKD, Studi Hadist, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal 1
2
Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990), hal. 1
3
Umi Sumbulah. Kajian Krtitik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI PRES, 2010). hlm. 161

5
terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka dan ikut-ikutan menolak hadist secara
keseluruhan.
Secara analitis pengertian orientalisme disimpulkan pada tiga hal, keahlian
mengenai wilayah Timur, metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, sikap
ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.
“Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam
dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi
Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran). “Orientalise adalah kata
nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan
dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran”.4
Sehingga orientalis bisa didefinisikan sebagai segolongan sarjana Barat yang
mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh
perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan
ilmu-ilmunya.

2.3 Tokoh – Tokoh Orientalis


a. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat


belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Seorang Yahudi yang lahir di
Hungaria 1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Ia belajar di
Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada
Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia
belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun 1894 dia
menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru
besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada
13 November 1921.

b. Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.
Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan
bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig.

4
Op. Cit, Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, hlm. 1

6
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya
tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin
ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas
Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang
Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al
Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab
al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya
adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada
tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada
tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang
Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang
berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga
hijrah.5
Pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori
yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya
adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada
kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan”
tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.6
Joseph Schacht menyusun beberapa teori untuk membuktikan dasar-dasar
pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:
a) Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam
dengan apa yang disebut hadits Nabi. Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad
lengkap yang berujung ke Rasulullah SAW adalah ciptaan atau tambahan para
fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka
dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
b) Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang
sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah

5
Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailan.
6
Ali Mustofa Yaqub, Op.Cit., Hal.2

7
hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau
perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya
menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika
satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian
ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata
lain untuk membuktikan hadits itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan
bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para
fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan
sebagai refrensi.
c) Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling
bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros
(common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah
yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.
Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah
saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in,
lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini
muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan
mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke
belakang sampai Rasulullah saw.

c. Gauther H.A Juynboll


Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua
orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak di bangku
S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits. Beberapa
karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and
Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan
kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang
atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans
Yurisprudence.
Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah
terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll
menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa
penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara
8
Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak
pada banyaknya hadis-hadis palsu.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena
ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu
Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak
meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai
orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh
yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-
Bukhari.

2.4 Pandangan Tokoh-Tokoh Orientalis tentang Hadits Nabi Muhammad SAW

Hadits adalah segala sesuatu yang mengandung ucapan, perbuatan atau


ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi
orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk memutar
balikkan kebenaran hadits secara keseluruhan.
Gugatan oreintalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke -19
Masehi, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman
kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali
mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai
riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Misionaris asal Jerman yang pernah
tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot
(cerita-cerita bohong tapi menarik).7
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka
terhadap al-Hadis, yaitu tentang kepribadian Nabi Muhammad SAW, Aspek Asanid
(Rangkaian perawi hadis), dan Aspek Matan
a. Aspek Pribadi Nabi Muhammad
Argumen pertama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa
hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis pribadi
Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi
tiga, sebagai rasul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits
jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika

7
Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme pemikiran. (Jakarata: Gema Insani, 2008). hlm. 28

9
tidak hal itu tidak layak disebut hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari
status lain seorang Muhammad.
b. Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa
yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai
kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai
kepada sahabat. Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang
banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama
para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang
banyak menghabiskan waktunya bersama Rasullah seperti Abu bakar, Umar,
Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat
junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan
Rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas
diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi,
seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll.
Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil
meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari
3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
c. Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya
metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang
shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak
pernah dipertanyakan, hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas
bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak kalau isinya dapat diinterpretasikan
sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain,
hadits itu tidak dikritik.

2.5 Bantahan Ulama Islam Terhadap Tokoh Orientalis


Kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam
berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori ketiga
orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as
Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya
as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies
in Early Hadith Literature.
10
Bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami
yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-
argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut.

a. Bantahan untuk Ignaz Goldziher


Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang
ada pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar
hadits. Mereka itu di antaranya: Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa
Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla
Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith
Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi
metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah
karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang
tidak konsisten dalam mendiskusikan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan
dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka
malah memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks
hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis
tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah
haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian
keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu
pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran
Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan
tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para
sahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan.
Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama
dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.8

8
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet
website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&
Itemid=57. Tanggal 7 April 2015 pukul 15.00

11
b. Bantahan untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Josep Schacht adalah bahwa dia keliru ketika
menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi
penyusunan teorinya. Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah
melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad Abu
Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat
mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis
pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh
perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut,
sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan
Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata
ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti
lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah
Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi yang
terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail
bin Abi Shaleh (w.138 H).
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya
Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk
belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam
menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini
dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang
muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah
disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang
berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang
Nabi dan panutan umat Islam.

c. Bantahan untuk G.H.A Juynboll


Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim
adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya
adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan
12
namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung
manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang
dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan.
Misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang
menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi
telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan
untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis
sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri)
dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para
periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak
melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam
mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar
penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap
oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau
artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya
sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di dunia Islam makna orientalis mengalami penyempitan objek bahasan.
Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya
yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat
dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami
sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan
semangat keagamaan umat Islam.
Hadits adalah reportase dari sunnah nabi. Ketiga orientalis yang terkemuka dan
berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai
sabda Nabi saw., menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan
ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari
beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam
pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan
menggunakan kritik matan.
Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang
terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut
otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu
menyodorkan teori Projecting back.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu
mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada perbedaan
sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai pada peringkat
meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil menyakinkan tidak ada
otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan
teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya
sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya
menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata
orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia
Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang
terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa
mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.

14
4.1 Saran
Untuk para pembaca yang di rahmati oleh Allah SWT, saran kami adalah sudah
saatnya di era yang modern seperti sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan bisa kita
dapatkan dengan mudah. Sehingga kita sebagai generasi muda muslim yang intelek,
dalam mengkaji berbagai isu tentang pandangan orientalis terhadap hadist harus lebih
selektif dan objektif. Selama ini kita hanya terfokus dalam pengkajian hadits dari sudut
pandang belahan dunia Timur saja. Sebagai generasi muda muslim yang melek ilmu,
sekarang saatnya kita lebih meningkatkan kesadaran akan pentingnya mempelajari
hadist lebih dalam lagi dan untuk lebih expert dalam mengkaji berbagai pandangan
orientalis terhadap hadist. Sehingga kita dapat membuktikan kepada belahan dunia
Barat atas kesempurnaan hadist Nabi Muhammad SAW.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alfatih Suryadilaga, 2010, “Ulumul Hadits”, Yogyakarta: Teras


Ali Mustofa Yaqub, 1991, “Imam Bukhori dan Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits”, Jakarta:
Pustaka Firdaus
Joesoep Sou’yb, 1990, “Orientalisme dan Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”,
dalam internet website: https://ahmadbinhanbal.com/telaah-atas-kritik-orientalis-
terhadap-hadits-hadith-criticism-oleh-3-orientalis-ignaz-goldziher-joseph-schacht-dan-g-
h-a-juynboll/. Tanggal. 10 Juni 2022. Waktu 11.00
Munzier Suparta, 2003, “Ilmu Hadits”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syamsuddin Arif, 2008, “Orientalis dan Diabolisme pemikiran”, Jakarata: Gema Insani
Tim Reviewer MKD, 2014, “Studi Hadist”, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press
Umi Sumbulah, 2010, “Kajian Krtitik Ilmu Hadits”, Malang: UIN-MALIKI PRES

16

Anda mungkin juga menyukai