Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk
ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an.
Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas al-
Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata
dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu,
terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak
musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji
dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas
hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang
dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan oleh
orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan kebenaran dari
hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits
karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga
umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an
dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya.
Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits.
Sentralnya keberadaan hadits nabi membuat banyak penelitian dan kajian-
kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan dan mengetahui
kualitas hadits yang berhubungan dengan kehujahan hadits tersebut. Ternyata
bukan hanya orang muslim, banyak musuh-musuh Islam seperti para orientalis,
yang berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits yang
bertujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil.
Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi
keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Sampai pada masa
belakangan ini mereka mulai tertarik dengan kajian Hadits Nabawi.
Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadits sangat berbeda dengan
studi di Timur Tengah. Studi hadits di Timur Tengah dan juga di Indonesia
menekankan pada bagaimana seseorang melakukan takhrij hadits dan syarh
(penjelasan) hadits sehingga dapat diketahui keasliannya dan kandungan makna
dari hadits tersebut.
Adapun di Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan
penanggalan hadits untuk menaksir sejarahnya dan bagaimana melakukan
membangun sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Model
studi orientalis Barat kebanyakan berupa kritik sejarah, dalam bidang hadits
setidaknya ada tiga orang kalangan orientalis sebagai tokoh Hadits Critism (kritik
hadits) adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa pengertian hadits menurut
orientalis, pandangan orientalis terhadap hadits tersebut dan bantahan ilmuan
hadits terhadap kritik hadits yang dilakukan orientalis. Pemaparan selanjutnya
akan dijelaskan pada bagian makalah ini selanjutnya.

1.2 Rumuasan Masalah


1. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh Orientalis tentang hadits Nabi
Muhammad SAW?
2. Bagaimana bantahan ulama Islam terhadap tokoh orientalis?

1.3 Manfaat dan Tujuan


1. Untuk mengetahui pengertian dari Hadist dan orientalisme.
2. Untuk mengetahui teori dan asumsi orientalisme tentang Hadist.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh orientalis yang berpengaruh dalam Studi
Hadist
4. Untuk mengetahui tanggapan dari para ulama islam terhadap sikap
orientalis.
BAB II
PEMBAHASAN

Landasan teori

2.1 Pengertian Hadist

Hadits merupakan salah satu panduan yang digunakan oleh umat


Islam dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas baik yang berkaitan
dengan urusan dunia maupun aktivitas yang berkaitan dengan urusan
akhirat. Hadits merupakan sumber hukum agama Islam yang kedua setelah
kitab suci Al – Qur’an. Jika suatu perkara tidak dijelaskan di dalam Al –
Qur’an, maka umat Islam akan menggunakan sumber yang kedua yaitu
Hadits.
Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata “Al-hadits” yang artinya adalah perkataan, percakapan atau pun
berbicara. Dalam KBBI, arti kata dari Hadist adalah sabda, perbuatan,
takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan atau
diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum
Islam1. Jika diartikan dari kata dasarnya, maka pengertian hadits adalah
setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah
Muhammad SAW. Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan
bahwa hadits merupakan setiap tulisan yang melaporkan atau pun
mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan juga tingkah laku Nabi
Muhammad saw

1. Tim Reviewer MKD, Studi Hadist, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal 1
2.2 Pengertian Orientalis
Orientalis/Orientalisme menurut segi bahasa berasal dari kata
orient yang berarti timur, dengan demikian orientalis berarti hal-hal yang
berhubungan dengan masalah ketimuran atau dunia timur2.

Orientalis yang di maksud di sini adalah para sarjana barat yang


Notabene-non muslim (Yahudi, Kristen, atau bahkan Ateis) namun sibuk
mengkaji islam beserta seluk beluknya. Adapun pengikut orientalis yang di
maksud adalah kalangan muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan
mereka dan ikut-ikutan menolak hadist secara keseluruhan.
Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi
Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik
untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang
pemikiran).
Sehingga orientalis bisa didefinisikan sebagai segolongan sarjana
Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan
mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia
Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.

2.3 Tokoh – Tokoh Orientalis

a. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang


sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Seorang
Yahudi yang lahir di Hungaria 1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran
sejak usia dini. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun
1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi.
Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari
sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun 1894 dia

2 Di kutip dari Longman dictionary of English. Dalam :Buchari mannan,


“orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH, Jakarta,
2006.
menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904
menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest
akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.

b. Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.
Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik,
theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan
Universitas Leipzig.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-
karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada
beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang
Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam.
Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang
Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab
al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal
fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan
namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to
Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia
menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia
berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan
Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.3
Pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-
teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja
perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits ,
Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah
palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu,
khususnya hadits-hadits fiqih.4

3
Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailan.
4
Ali Mustofa Yaqub, Op.Cit., Hal.2
Joseph Schacht menyusun beberapa teori untuk membuktikan dasar-
dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:
a) Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum
Islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. Selain itu, Ia juga
mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah SAW
adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya,
yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya
sebagai hadits nabawi.
b) Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang
sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya
sebuah hadits dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits itu
eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak
pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab
seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai
refrensi.
c) Teori Common Link
Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung
jawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common
link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah
yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.5

c. Gauther H.A Juynboll


Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua
orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak
di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang
otensitas hadits. Beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies
in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date

5 Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990), hal. 1
of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya
kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung
gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans
Yurisprudence.
Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah
terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M)
Jyunboll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn
Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi
peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang
pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis
karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian
ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai
shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi
Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali
membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis
kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.6

6 Umi Sumbulah. Kajian Krtitik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI PRES, 2010). hlm. 161
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hadits adalah reportase dari sunnah nabi. Ketiga orientalis yang terkemuka
dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan
otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw., menurut mereka hadits adalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan
ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad
pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan
kritik matan.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu
mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada
perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai
pada peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil
menyakinkan tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.
Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang
terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW
menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-
kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.

4.1 Saran
Untuk para pembaca yang di rahmati oleh Allah SWT, saran kami adalah
sudah saatnya di era yang modern seperti sekarang ini, dimana ilmu
pengetahuan bisa kita dapatkan dengan mudah. Sehingga kita sebagai generasi
muda muslim yang intelek, dalam mengkaji berbagai isu tentang pandangan
orientalis terhadap hadist harus lebih selektif dan objektif. Selama ini kita
hanya terfokus dalam pengkajian hadits dari sudut pandang belahan dunia
Timur saja. Sebagai generasi muda muslim yang melek ilmu, sekarang saatnya
kita lebih meningkatkan kesadaran akan pentingnya mempelajari hadist lebih
dalam lagi dan untuk lebih expert dalam mengkaji berbagai pandangan
orientalis terhadap hadist. Sehingga kita dapat membuktikan kepada belahan
dunia Barat atas kesempurnaan hadist Nabi Muhammad SAW.
Refrensi

Tim Reviewer MKD, Studi Hadist, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),
hal 1
Di kutip dari Longman dictionary of English. Dalam :Buchari mannan,
“orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir
orientalis, AMZAH, Jakarta, 2006.
Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh
Zailan.
Ali Mustofa Yaqub, Op.Cit., Hal.2
Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990), hal.
1
Umi Sumbulah. Kajian Krtitik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI PRES, 2010).
hlm. 161

Anda mungkin juga menyukai