Skripsi :
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam ( S.Pd.I)
Oleh:
FAJRI KHOIRULLAH
105011000053
Dalam konteks keindonesiaan, maka tulisan ini bertujuan untuk menyegarkan ide-
ide demokrasi, hak asasi kemanusiaan, dan perdamaian berdasarkan nilai-nilai
keislaman, untuk selanjutnya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya
integritas bangsa kita (Indonesia) yang majemuk / plural. Sedangkan dalam
konteks keislaman, hendaknya kita tidak memahami ajaran-ajaran Islam secara
parsial dan sebaiknya memandang segala sesuatu dari substansinya ketimbang
dari beragam bentuk yang berbeda. Sebagai hamba-Nya yang mencari kebenaran,
hendaknya kita kembalikan kebenaran itu kepada Yang Mutlak, Sang Pemilik
Kebenaran. Wallahu A’lam.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kehadirat Allah. Pemilik segala pujian, Maha Suci lagi Maha
Sempurna, Penggerak Utama segala daya, cipta, rasa dan karsa pada hamba-Nya.
Dengan Kehendak, Ilmu dan Cahaya-Nya jualah, penulis mampu menggenapi
huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat hingga tertunaikannya
penulisan ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah atas utusan-Nya Muhammad
SAW, pembawa risalah dan keselamatan, penyempurna semesta alam,
revolusioner teragung untuk setiap kelahiran dan seluruh sejarah kehidupan.
Demi setiap tetes keringat dan air mata, setiap untaian senyum dan doa,
segenap harap yang membekali jiwa, maka penulis persembahkan karya ini untuk
kedua orangtua tercinta (Ayahanda Sahir dan Ibunda Rokayah), dan kedua adik
tersayang (Ridwan Habibullah dan Arsyilah Pangastuti). Semoga Allah
merahmati dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.amin.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut
membantu selama proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini, atas segala
kesediaan, ketulusan, semangat, motivasi dan inspirasi merekalah penulis dapat
terus menumpahkan tinta-tinta pikiran diatas kertas-kertas kewajiban ini. Terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan, karena mereka telah menjadi
bagian dari kausalitas dan rotasi jalan kehidupan penulis.
Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak. Bahrissalim M.Pd.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak. Dr. Khalimi, M.Ag.
4. Dosen Penasehat Akademik, Ibu. Sururin, M.Ag.
5. Dosen Pembimbing Praktik Profesi Keguruan Terpadu, Bapak. Abdul
Haris M.Ag, dan Ibu. Heny Narendrani Hidayati, M.Pd.
6. (Abi Ta’lim) Guru sekaligus Orangtua Penulis, Uwa Dehir alias Ki
Banteng “Si Bujang Nanggung dari Parung”, beserta istri, Uwa Sami,
yang selalu mengingatkan penulis untuk tetap istiqomah, tawadhu,
tasyakur, tafakur, tawakkul, taqorrub, kepada Allah SWT.
7. Pe’ Gayung dan istri “Ci’ Embun” (penulis menganggap keduanya
seperti kakek dan nenek sendiri, meski keduanya beragama Kong Hu
Cu dan Kristen), Panjul dan keluarga (adalah teman penulis semasa
SD, dirumahnyalah penulis mengenal kasih sayang dari agama lain,
Kristen), Bu’ Beth dan Pa’ Usman (adalah guru penulis semasa SD,
mereka adalah keluarga dengan perbedaan agama, Islam dan Kristen.
Orangtua penulis memiliki hubungan persahabatan yang erat sehingga
penulis sering berkunjung kerumah mereka). Mereka semua
menginspirasi penulis untuk mencintai oranglain apapun agamanya,
karena dari mereka penulis juga dapat merasakan ketulusan,
kedamaian dan kasih sayang.
8. Teman-teman terbaik Sweeter Land; Depi “Tholob” Arisandi, Yudha
“Chamielz” Hadi, Roup “Kunyin” Abdul, Somad “Dhuby” Abdul, dan
Yusuf “Uchuf” Muhamad. Mereka adalah teman-teman yang selalu
ada disegala suasana dalam suka dan duka, khususnya dimeja
kehidupan dengan 52 lembar persegi tempat bermula dan berakhir,
tanpa akhir sebuah persahabatan.
Fajri Khoirullah
DAFTAR ISI
ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………… 11
C. Metodologi Penelitian………………………………………… 14
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………… 17
BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA……………………… 18
A. Agama dan Keberagamaan…………………………………… 18
B. Agama dan Sikap Keagamaan……………………………… 21
C. Agama dan Gagasan Tentang Tuhan………………………… 30
D. Agama dan Tauhid…………………………………………… 38
E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Perenial……………… 43
F. Kesatuan Transenden Agama-agama………………………… 44
1. Mono dan Multi…………………………………………… 47
2. Bentuk dan Substansi……………………………………… 50
3. Relatif dan Absolut………………………………………… 52
4. Partikular dan Universal…………………………………… 54
5. Monoteisme Ibrahim……………………………………… 56
6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik…… 61
BAB III WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA………… 72
A. Wahdat al-Adyan……………………………………………… 73
1. Pengertian Wahdat al-Adyan……………………………… 74
2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan…………………………… 75
a. Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan………………… 76
b. Ibn Araby Pengukuh Wahdat al-Adyan……………… 81
3. Epistemologi Wahdat al-Adyan…………………………… 86
a) Epistemologi Al-Hallaj………………………………… 86
b) Epistemologi Ibn Araby……………………………… 93
B. Pluralisme Agama…………………………………………… 101
1. Pengertian Pluralisme Agama…………………………… 102
2. Sosio-historis Pluralisme Agama………………………… 105
3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick…………… 110
4. Kutub-kutub Pluralisme Agama, Motif dan Orientasi… 114
BAB IV WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA DALAM
PERSPEKTIF SYARIAT…………………………………… 125
A. Korelasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 129
B. Integrasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 133
C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama
dalam Al-Quran…………………………………………… 139
a) Pluralisme dalam Masyarakat Islam………………… 139
b) Pluralisme Agama dalam Al-Quran………………… 140
c) Kesatuan Teologis…………………………………… 156
d) Ahlul Kitab…………………………………………… 165
BAB V WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN PLURALISME AGAMA…………………………… 171
A. Relevansi Historis…………………………………………… 171
B. Relevansi Epistemologis……………………………………… 172
C. Relevansi Teologis…………………………………………… 173
D. Relevansi Sosio-humanis……………………………………… 175
E. Orientasi Logis………………………………………………… 177
F. Orientasi Etis………………………………………………… 180
BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 188
Kesimpulan……………………………………………………… 188
Saran……………………………………………………………… 191
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat, (Jakarta : Bina
Rena Pariwara, 1999), h.1
2
2
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.79
3
3
Bagi para pemeluk agama yang cenderung menempuh jalan ekslusif, mereka
menunjukkan sikap “keras” terhadap orang lain karena adanya klaim kebenaran pada agamanya
sendiri. Mereka menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna, sedang agama
lain dianggap salah dan menyeleweng, atau ostilah apa saja yang menimbulkan permusuhan.
Sebaliknya, komitmen terhadap ajaran sendiri dapat pula menumbuhkan sikap inklusif, yang
pengalamannya lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai
ajaran agama tersebut. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui karena ajaran agama
diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk
permusuhan. (Lihat : Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta
: LKiS, 2002, Cet.1, h.1)
4
4
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial, (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet.1, h.9
5
Sejarah membuktikan kepada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara
satu aliran dengan aliran lain. Bentrokan semacam ini semakin menjadi ironi, ketika ternyata yang
muncul dan yang menjadian isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Simbiose pandangan
politik teologis ini selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekslusif dan potensial bagi
munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran. (Komarudin Hidayat,
Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.9-10)
6
Menurut sudut pandang penulis, setidaknya ada dua unsur politik, pertama karena
adanya keinginan legitimasi keagamaan oleh kaum mayoritas sehingga melahirkan sikap
mengintimidasi, mengintervensi bahkan mengekspansi kaum minoritas. Kedua, karena adanya
kekhawatiran dari kaum minoritas terhadap hegemoni politik dalam suatu masyarakat atau
pemerintahan yang berlandaskan pada suatu agama tertentu sehingga melahirkan pemberontakan
untuk menjatuhkan dan merubah pemerintahan
5
dilakukan dalam bentuk teror-teror. sementara itu, bila kita telusuri lebih jauh
lagi, pertikaian yang terjadi beberapa abad belakangan ini cenderung dipenuhi
arus kecurigaan dari konflik-konflik sejarah yang terjadi dimasa lalu,
sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Timur Tengah (Irak, Palestina
dan Afganistan), Asia Selatan (India dan Pakistan), Maupun di kawasan Asia
Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand). karena memang
negara-negara tersebut diatas memiliki sejarah kelam konflik politik, sosial
dan budaya, yang kemudian berimbas pada konflik antar agama7.
Pertikaian antar agama yang terjadi di masa lalu (khususnya Yahudi,
Kristen dan Islam), kini telah menampakkan wujudnya dalam sebuah
formalitas dan legalitasnya sebagaimana yang sering kita dengar dengan
istilah “The Holy War” atau perang suci8. Istilah perang suci inilah yang
dijadikan landasan pembenaran untuk mengintervensi dan mengintimidasi
agama lain.
Setidaknya hal ini membuktikan bahwa pertikaian antar agama telah
menjelmakan bentuknya sebagai momok yang menakutkan dan meresahkan,
apalagi diiringi dengan penindasan dan teror yang akan menggoreskan trauma
mendalam pada kehidupan umat manusia.
Kiranya inilah yang penulis maksudkan dengan ”warisan historis”9
yang dipenuhi kebencian, prasangka buruk dan kecurigaan yang melekat pada
7
Menurut pandangan penulis, meski agama bukanlah sumber konflik, tetapi memang
agama memiliki potensi konflik, dikarenakan agama memiliki kekuatan massa dengan berbagai
doktrinnya. Maka dalam hal ini, mereka yang bertikai sengaja menjual (memanfaatkan) semangat
perjuangan umat (penganut) agama untuk meraih simpati, dukungan kekuatan dan kekuasaan.
Sedangkan mereka yang menjadi obyek sasaran adalah para pemeluk agama yang memiliki
pandangan ekslusif. oleh karena itu, inilah yang penulis maksud, bahwa ekslusivisme beragama
dapat menimbulkan potensi konflik.
8
Perang suci atau Holy War adalah istilah yang dulu digunakan pada peristiwa perang
salib. Saat ini istilah perang suci digunakan untuk misi penyelamatan diluar gereja / agama Kristen
karena klaim kebenaran mutlak yang dimilikinya, secara terorganisir dan sistematis adalah upaya
para orientalis kristiani. Istilah perang suci juga digunakan umat islam untuk mengabsurdkan nilai-
nilai dan makna jihad.
9
Sebagai contoh warisan historis pertentangan antar agama yang paling dikenal dalam
sejarah adalah pertentangan antara Islam dan Kristen. Pertentangan ini pada tahap
perkembangannya telah memecah dunia pada garis imajinatif Timur dan Barat. Timur identik
dengan Islam, yang berarti pula Negara-negara terbelakang, bodoh, miskin, biadab dan teroris.
Gambaran-gambaran demikian, sangat kental dengan masyarakat Islam yang tersebar dikalangan
masyarakat Barat akibat ulah para orientalis. Demikian pula sebaliknya, barat identik dengan
6
sebagian pemeluk agama, sehingga konflik apapun yang terjadi selalu saja
dikaitkan dengan permusuhan antar pemeluk agama pada masa lampau, untuk
kemudian menganggap penganut agama lain sebagai musuh yang harus
diperangi. Pola pikir seperti ini baik secara konstan maupun terstruktur
menimbulkan tindakan yang radikal terhadap pemeluk agama lain.
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa fanatisme dan eklusivisme yang
berlebihan dapat menimbulkan kebencian serta tindakan yang radikal. Selain
itu, radikalisme antar pemeluk agama juga dapat disebabkan dari
ketidakpuasan terhadap suatu sistem ideologi yang dianut dan berkembang
pada suatu Negara. Dewasa ini, sikap radikal menjadi lebih luas lagi, bukan
hanya dikarenakan fanatisme, kebencian dan ekslusivisme melainkan sebagai
reaksi ketidakpuasan dari kegagalan modernisme, libelisme dan sekulerisme.
Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, baik modernisme, libelisme dan
sekulerisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan ketenangan hidup,
tetapi sebaliknya hanya menyengsarakan dan menciptakan tirani global srta
makin menumbuhkan tatanan-tatanan primordial yang terbelakang.
Arus globalisasi, migarsi dan multikulturalisme makin menambah
persoalan hidup bersama bagi masyarakat multi budaya dan agama seperti
Indonesia. Ditambah lagi perkembangan ideologi agama-agama dan bentuk
spiritualiatas baru yang muncul bak jamur di musim hujan. Disinlah mengapa
suatu paradigma baru misi agama-agama menjadi amat mendesak10.
Perubahan paradigma yang diperlukan adalah upaya pencarian guna
memahami penyelamatan sebagaimana yang diekpresikan dalam agama-
agama lain
Masing-masing penganut agama semestinya memiliki kesadaran dan
kesamaan prinsip teologis “the One of Many” atau “the One God” adalah
bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua manusia yang
penjajah, Kristen, arogan dan amoral. Perbedaan persepsi ini diakibatkan mis-informasi, pada
akhirnya berimplikasi pada semakin melebarnya jurang dan pertikaian antara Timur dan Barat.
Lihat : Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia,
(Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005), h.212
10
Muhammad Ali, Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin
kebersamaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003), cet. 1, h.11
7
11
Standar ganda yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya (agamanya) dan
orang (agama) lain. Terhadap agama yang dianutnya, maka standar yang digunakan bersifat ideal
normatif, bahwa agamanyalah yang paling benar dan otentik dari Tuhan sedangkan agama lainnya
salah. Hal ini dikarenakan standar yang digunakan dalam melihat agama lain berbeda dengan
standar yang digunakan untuk agamanya, maka standar yang digunakan untuk agama lain hanya
berdasarkan realitas historis, bahwa agama lainnya adalah konstruksi pemikiran manusia atau telah
diselewengkan oleh manusia. Standar ganda atau standar kebenaran yang dipakai oleh sebagian
pemeluk agama sebagai fundamen mengejawantah kebenaran selain kebenaran yang dimilikinya.
Mereka mengatakan bahwa kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dari Tuhan, Standar
ganda juga dipakai untuk melegalkan legitimasi tindakan dan anarkisme terhadap agama agama
8
lain. Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama, (Jakarta : CV. Pustaka Setia, 2005),
Cet.1, h.25
9
12
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.2
13
Amir Mahmud (ed), Islam dan Realitas Sosial…, h.209
11
C. Metodologi Penelitian
1. Sumber Penelitian
Skripsi ini merupakan upaya penelitian yang dilakukan melalui
studi kepustakaan ( library research), yaitu dengan mengumpulkan data-
data, yang berkenaan dengan kajian konsep wahdat al- Adyan dan
pluralisme agama sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder.
Diantara sumber referensi primer (Primary Reference) dalam penulisan
skripsi ini adalah buku Wahdat al-Adyan ; Dialog Pluralisme Agama
karya Fathimah Usman, Tasawuf Perenial karya Kautsar Azhari Noer dan
Agama Masa Depan dalam Perspektif Filsafat Perenial karya Komarudin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam karya Simuh, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran karya Gamal al-
Banna, Al-Quran Kitab Toleransi ; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme karya Zuhairi Misrawi, Melampaui Pluralisme ; Etika
Al-Quran tentang Keragaman Agama karya Hendar Riyadi dan Pluralisme
Agama dalam Islam ; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan karya Jalaludin
Rakhmat. Sedangkan untuk sumber referensi sekunder (Secondary
Reference), yakni sejumlah karya-karya ilmiah dalam bidang kajian
tasawuf, dan filsafat yang mendukung teori / konsep wahdat al- Adyan dan
pluralisme agama.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif-
analisis, sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis komparasi
dengan pendekatan berdasarkan sosio-historis, dan epistemologis14.
14
Pada umumnya komparasi adalah mempelajari pola-pola atau tipe-tipe yang
terjadi untuk menentukan secara analitis faktor-faktor yang membawa kesamaan dan
perbedaan pola dan tipe tersebut. Biasanya dalam studi komparasi dilibatkan pula
pendekatan historis dan fenomenologis yang terjadi untuk dapat menginterpretasi fakta,
konsepsi, makna dan ekspresi psikologis baik yang bersifat individu, kelompok ataupun
masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengkomparasikan konsep yang berarti
dibutuhkan analisis historis-fenomenologis dan epistemologis yang berlaku, melatar-
belakangi dan terkandung dalam konsep-konsep tersebut. Selain itu diperlukan pula
bidang kajian sosiologis antropologis, psikologis dan hermeneutis untuk mendeskripsikan
15
keterkaitan atau eksistensi konsep-konsep yang tengah diteliti. (Lihat : Adeng Muhtar
Ghazaly, Ilmu Studi Agama…, h.87
15
Arti hermeneutik yang dimaksudkan di sini adalah analisis yang mengarah
pada interpretasi penuh atas fakta-fakta pemikiran dan pandangan al-Hallaj tentang
Wahdat al-Adyan dan John Hick tentang Pluralisme Agama. Dilengkapi dengan analisis
fenomenologi, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan
interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Lebih lanjut Paul Ricoeur berpendapat “
Yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan
potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks ”. De l’intretation (
1965).
16
Palmer, E, Richard, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. Ke I, November 2003, h.48
16
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi tingkat strata satu
(S.1), memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I) pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama
Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Sebagai sumbangsih intelektual dalam bentuk tulisan yang bersifat
ilmiah dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang
memerlukannya, dalam rangka menggali khazanah pemikiran
Islam, bahwa pemahaman yang benar dan tepat mengenai wahdat
al-Adyan dan pluralisme agama akan turut memperkokoh
komitmen keyakinan terhadap agama yang kita anut.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan bagi penulis sebagai calon guru pada khususnya dan
pembaca umumnya, serta dapat memberikan informasi dan
pemahaman terhadap konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama dalam kajian filsafat, fiqh dan tasawuf terlebih mengenai
makna dasar dan tujuan agama untuk kemudian dikejawantahkan
dalam hidup dan kehidupan, di tengah arus globalisasi, sekularisasi
dan modernisasi dewasa ini, yang harus pula diimbangi dengan
keimanan dan ketakwaan.
18
BAB II
KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA1
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik
temu agama-agama”2, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik
temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan.
Sebelum lebih jauh mengkaji kedua konsep tersebut, ada baiknya kita
menelusuri hal-hal yang mendasari semangat kaum agamawan dalam mencari titik
temu agama-agama. Hal-hal apa sajakah yang menjadi titik temu dan titik pisah
dalam agama-agama. Ini sangat penting agar kita terhindar dari relativisme
sinkretisme, dan terjebak dalam keraguan terhadap agama yang kita anut.
Adanya semangat spiritual untuk mencapai kebenaran absolut dan kebaikan
universal adalah dengan menggabungkan persamaan landasan teologis normatif
dan landasan etis-humanis pada agama-agama, untuk dapat mencapai titik temu
terlebih dahulu kita harus memisahkan garis eksoteris dan esoteris agama-agama.
1
Bab ini menjadi pengantar, sebelum kita memijaki zona wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal (esoterisme agama-agama dan kesatuan
transenden) yang juga menjadi cakup kajian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Penulis
merasa perlu memisahkannya menjadi bab tersendiri agar penulisan skripsi ini lebih terstruktur
dan sistematis, sehingga pembahasan mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak
terlalu meluas dan terfokus pada sisi historis dan epistemologisnya serta beberapa prinsip dasar
ajarannya.
2
Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah
yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof
Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform
atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid.
19
3
Fitrah adalah sifat dasar dan alamiah manusia. Kata ini diturunkan dari kata fathara yang
memiliki arti “memecah” atau “memisahkan”. Fathara juga dapat berarti “menciptakan” keadaan
non wujud terpecah dan terbuka, sehingga terkuaklah kutub kebalikannya : penciptaan,
pengetahuan sejati – pengetahuan transformatif – pengetahuan mendasar dalam diri manusia yakni
pengetahuan/jalan menuju Tuhan. (Lihat : Fadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-
Baqarah, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.1, h.24-25)
4
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.11
5
Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki dan absolut, berarti meyakini bahwa
agama adalah jalan menuju kebenaran, karena kebenaran itu hanya dimiliki oleh Tuhan, maka
benar dan salah secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan. Olah sebab itu, fungsi agama
adalah pembentukan iman. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebenaran secara sadar
20
akan mengaktualisasikan dirinya dengan menjalankan perintah Tuhan disertai dengan penyerahan
diri kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan sebagai satu-satunya pemberi aturan moral dan hakim atas
tindakan manusia berarti meyakini bahwa agama adalah jalan kebaikan – keselamatan –
kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan, maka baik dan buruk secara absolut hanya ada dalam
penilaian Tuhan untuk menentukan keselamatan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu fungsi
agama adalah pembentukan akhlak. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebahagiaan secara
sadar mengapresiasikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
6
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press,
2005), Cet.3, h.208
21
“tidak kacau”. Hal ini dipahami, bahwa agama adalah seperangkat aturan
Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga mereka yang ber-agama,
berarti tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik itu kekacauan akal
maupun hati atau lahir maupun batin.
Dalam al-Quran, kata din memiliki dua makna penting yang dapat
dibedakan : (1) agama dan (2) pengadilan. Menurut para ilmuwan, dari dua
makna dasar tersebut, pertama “agama” berasal dari Persia. “Den” menurut
bahasa Persia Zaman Pertengahan artinya kira-kira “agama (yang
sistematik)”. Kedua, pengadilan berasal dari bahasa Ibrani; kata Ibrani din
bermakan “pengadilan“; disamping itu , dengan kombinasi tertentu “Hari
Pengadilan” (yaumul din) merupakan cirri khas Yahudi. Pengkajian teradap
literatur pra-Islam menjelaskan tiga makna akar berikut : (1) adat istiadat,
kebiasaan, (2) kebangkitan dan (3) kepatuhan8.
Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith kata Agama secara umum dapat
diartikan dengan dua pengertian yang berbeda, sekalipun sangat berkaitan
erat; satunya adalah “agama” sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai
tindakan eksistensial tiap-tiap- orang yang mempercayai sesuatu, singkatnya
“iman” dan yang lainnya adalah “agama” dalam pengertian umum, yakni
sesuatu yang dikenal oleh suatu masyarakat, suatu persoalan komunal yang
yang objektif meliputi semua kepercayaan dan praktek ritual yang dilakukan
oleh semua anggosa masyarakat itu 9.
”Religi itu bekerja didalam sejarah manusia. Ia merupakan suatu proses
dialektis antara yang duniawi dan yang transenden; suatu proses yang
lokusnya adalah iman yang personal, kehidupan manusia itu sendiri,
lebih dari sekedar yang bisa diamati dan lebih dari sekadar yang dapat
dipahami. Tentang hasil-hasil apa yang tidak bisa diamati (secara
publik) dan apa saja yang bukan duniawi dari proses dialektis ini yang
ditemukan dalam iman orang-orang yang berpartisipasi dalam tradisi
ini, mereka bisa mengatakannya dengan berbagai cara mereka sendiri.
Sesuatu yang dapat diamati secara publik oleh oleh para sejarawan-
8
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran,
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), Cet.2, h. 245
9
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.252
23
Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat
perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi
akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan
agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu11”, dengan ayat lainnya
yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu sehingga kamu mengikuti millah (agama) mereka12” kata din
tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada
suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah
yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan
agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya,
suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip
kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi
kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan
konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum,
millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu
mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada
suatu agama yang lazim13.
10
Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – (disebutkan oleh Willfred Cantwell
Smith) sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi
kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh
makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang
bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang
adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain
yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta
menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu
memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan
menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu.
(Lihat : Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion,
(Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004), Cet.1 h.321-322)
11
Q.S Al-Miadah (5) : 3
12
Q.S. Al-Baqarah (2) : 120
13
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254
24
(١٢٠ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻢﻬﻠﱠﺘ ﻣﺒﹺﻊﺘﻰ ﺗﺘﻯ ﺣﺎﺭﺼﻻﹶ ﺍﻟﻨ ﻭﻮﺩﻬ ﺍﻟﹾﻴﻨﻚﻰ ﻋﺿﺮﻟﹶﻦ ﺗﻭ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti (agama) millah mereka” .
(Q.S. Al-Baqarah, 2 : 120)14
Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat al-
An’am (6), ayat 161 yang berbunyi:
ﻦﺎﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣﻣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭ ﺣﻴﻢﺍﻫﺮﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑﺎ ﻣﻤﻴﺎ ﻗﻳﻨﻴﻢﹴ ﺩﻘﺘﺴ ﻣﺍﻁﺮﻲ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻﺑﺍﻧﹺﻲ ﺭﺪﻨﹺﻲ ﻫﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺﻧ
(١۶۱)ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﲔﺮﹺﻛﺸﺍﻟﹾﻤ
Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki
kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar =
millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din
dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak
saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar (39), ayat 2 dapat kita baca :
(٢ )ﺍﻟﺰﻣﺮﻳﻦ ﺍﻟﺪﺎ ﻟﱠﻪﺼﻠﺨ ﺍﷲَ ﻣﺪﺒ ﻓﹶﺎﻋﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻟﹾﻨﺂ ﺃﹶﻧﺰﺇﹺﻧ
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah / Pentafsir Al-Quran, 1971).
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.216
25
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745
17
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.213
18
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Jakarta : PT.
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.11, h.8
26
19
“Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam
Seri DIAN I/Tahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian, 1994), hal. 69
27
20
Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239
21
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama,
(Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), h.3
22
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h. 85
28
23
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4
24
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,
2006), Cet.1, …, h.17
25
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, h.xii
29
eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak
kehilangan spirit (semangat) pesan dasar agama dan tujuan agama bagi
manusia.
Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep
mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya,
Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick
mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama
diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi
inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah
sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan
kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh
sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih
superior dibandingkan yang lain.
29
Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan
dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik”, atau kata “Hyang” yang memliki kedekatan
arti dengan “eyang” yang berarti kakek atau nenek…., Lihat : Ja’far Subhani, Sang Pencipta
Menurut Sains dan Filsafat, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2004), Cet.1, h.11-12
31
Gagasan ketuhanan lainnya yang dapat kita temui, misalnya Plato yang
menyatakan ide ketuhanannya melalui apa yang ia sebut dengan Idea
Tertinggi, gagasannya tentang Idea tersebut adalah “Idea yang tertinggi
adalah idea kebaikan, sebagai Tuhan yang membentuk dunia”, plato
menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan
tidak saja sebab timbunya pengetahuan dalam dunia yang lahir, tetapi juga
sebab tumbuh dan berkembang segala-galanya. Dengan demikian, idea adalah
pokok dan merupakan sumber dari yang ada dan sumber pengetahuan. Selain
itu, ia juga mengemukakan bahwa karena sinar yang memancar dari idea
kebaikan, semuanya tertarik padanya dank arena itu ia jadi sebab dan tujuan
30
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.22-23
32
dari segala-galanya. Dengan kata lain, dalam istilah agama, semua berasal
dari idea tertinggi dan segalanya akan kembali kepada-Nya31
Sedangkan dalam metafisika aristoteles, ide ketuhanan dapat dilihat dari
pandangannya tentang gerak dalam pembentukan materi. Menurut
Aristoteles, gerak bukan dalam arti tempat, tetapi dalam arti perubahan.
Gerak itu ada yang menyebabkannya dan sebab gerak itu sendiri ada pula
sebabnya dan seterusnya. Akhirnya sampai pada sebab yang pertama yang
immaterial. Tidak bertubuh, tidak bergerak dan, serta cerdas. Sebab gerak
pertama itu ialah Tuhan. Dia adalah tetap selama-lamanya, tidak berubah-
ubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya32
Adapun agasan ketuhanan Konfusius yakni adanya nilai-nilai susila
sebagai kehendak dari yang Adi Susila yang disebut Alam Ketuhanan. Ia
percaya ahwa dengan menyadari adanya Alam Ketuhanan ia percaya bahwa
yang dikerjakannya selaras dengan kehendak Alam Ketuhanan. Konfusius
berkeyakinan bahwa ia mengikuti Alam Ketuhanan dan memperoleh
dukungan Alam Ketuhanan33
Gagasan ketuhanan dalam Taoisme adalah dasar ajaran Tao itu sendiri
tentang (dua konsep), Yang Ada (Yu) dan Bukan- Yang Ada (Wu). “Yang
Ada” dan “Bukan Yang Ada” tidak diartikan sebagai dua hal yang
bertentangan, melainkan berada dalam hukum sebab-akibat. Yang Ada
sebagai akibat dari Yang Bukan Ada sebagai sebabnya. Sebab adanya Yang
Ada timbul ada-ada lainnya. “Segala sesuatu di dunia menjadi ada dari Yang
Ada (Yu); dan Yang Ada menjadi dari Bukan Yang Ada (Wu)”. Bukan-Yang
Ada sebenarnya tidak dapat diberi nama, sehingga tidak dapat dimuat dalam
kata-kata34
31
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.29
32
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.30
33
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.37
34
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.38
33
35
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…,h.33
36
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, 36-37
37
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.33
34
38
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38
39
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39
35
tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi. Dalam kebudayaan
patriarchal pastoral, biasanya bapak dan langit dijadikan sebagai simbol
Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe
pertama, “Bukankah agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering
disebut “agama-agama samawi43”.
Sekali lagi, dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan).
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum
polities terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit,
matahari, bulan dan bumi. Kaum polities tidak lagi sepenuhnya bertuhan
kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol44.
Pandangan Ibn Araby tentang “Tuhan Yang Sebenarnya”. Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Karena Tuhan (Zat
Tuhan) tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi saw. Melarang
orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda, “berpikirlah
tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Zat Allah. Larangan ini
43
Menurut pandangan penulis, pengklasifikasian agama dalam dua kubu yakni “agama samawi
dan agama ardhi” tidak sepenuhnya tepat dan dapat diterima. Agama samawi yang biasa kita
definisikan sebagai agama langit atau agama yang memiliki (dibawa oleh) Nabi atau Rasul Tuhan
serta memiliki kitab suci, agama samawi lebih dianggap sebagai agama yang berasal dari Tuhan
dan hanya diidentikkan dengan tiga agama besar yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam, sementara
yang diluar ketiganya adalah agama ardhi. Sedangkan agama ardhi itu sendiri dianggap sebagai
agama hasil budaya atau pemikiran dari tokoh-tokoh suci pencetus/pendirinya, misalnya saja pada
agama Zoroaster, Buddha atau Kong Hu Cu. Mengapa penulis katakan kurang tepat, karena tidak
ada satupun penganut agama yang akan menerima bila agamanya dianggap sebagai produk akal
atau budaya – karena dengan demikian agama tersebut lalu dianggap jauh dari nilai holistik dan
otentisitas keberasalannya dari Tuhan, sementara kita tahu bahwa pada ajaran Buddha dan Kong
Hu Cu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat agung. Terlebih bila kita menyadari
sebagai umat Islam yang mengimani al-Quran bahwa dengan tegas dikatakan “hanya beberapa dari
jumlah nabi dan rasul yang dikisahkan dalam al-Quran” (124.000 nabi dan 313 rasul), sedang al-
Quran juga menjelaskan bahwa pada setiap umat diutus seorang rasul. Dengan demikian kita
menutup kemungkinan adanya kebenaran hanya karena agama, dan nabinya tidak tercantum dalam
al-quran. Sedangkan secara lebih logis lagi, bagaimana mungkin Allah swt memperkenalkan
keseluruhan umat dan para nabi-Nya kepada bangsa Arab yang pada saat itu tidak mengetahui
keberadaan umat yang lain dikarenakan waktu dan tempat yang berbeda. Sehingga sangat tepat
apabila setiap agama yang diturunkan akan disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan
pengetahuan umat pada saat itu. Kata ini lebih tepat (agama ardhi) bila disandarkan pada agama-
agama yang muncul setelah agama Islam, merujuk pada keyakinan bahwa nabi Muhammad saw
adalah Rasul terakhir, sehingga dapat dipastikan bahwa agama setelah Islam bukan dibawa oleh
seorang Nabi melainkan hanya orang-orang yang mengalami pengalaman spiritual luar biasa yang
kemudian diyakininya benar sebagai agama.
44
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.100
37
diperkuat oleh ibn al-Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi, “Allah
memperingatkan kalian tentang diri-Nya” (Q.S Ali Imran, 3:28)..” 45
Lebih lanjut Ibn al-Arabi menegaskan sebagai berikut :
“Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan
dalam (mengetahui dan memahami) Zat ah-Haqq, baik secara
rasional maupun menurut syara’. Syara’ telah melarang berpikir
tentang Zat Allah, inilah yang disinggung oleh firman-Nya,
“Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya,” (Q.S 3;28)
yaitu “Jangan kamu berpikir tentang Zat-Nya! Larangan ini
ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan Zat
al-khalaq46”
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Zat itu
bukanlah lokus efek dan tidak pula diketahui oleh siapapun. Tidak ada nama
yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan tidak pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
tetapi pintu (untuk mengetahui Zat Tuhan) dilarang bagi siapapun selain
Allah, karena tidak ada yang mengetahui selain Allah.
Ibnu Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir
tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan
al-khawd (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia
memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakar r.a. Ibn ‘Arabi
berkata, “(Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan, al-
‘ajz ‘an dark al-idrak idrak). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib dan tidak
dapat diketahuinya. Orang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui
Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang-orang
yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah
orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang-orang yang bodoh. Bukankah
45
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.102
46
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.103
38
47
QS. Al-An’am, 6 : 103. ﺒﹺﲑ ﺍﻟﹾﺨﻴﻒ ﺍﻟﻠﱠﻄﻮﻫ ﻭﺎﺭﺼ ﺍﹾﻷَﺑﺭﹺﻙﺪ ﻳﻮﻫ ﻭﺎﺭﺼ ﺍﹾﻷَﺑﺭﹺﻛﹸﻪﺪ “ ﻻﹶﺗDia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang
Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya...,
h.204)
48
A.M. Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.95-96
39
49
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama,
(Jakarta : RMBOOKS&PSAP, 2007), h.124
40
Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat tersebut meniadakan “tuhan” (
dengan huruf “t” kecil) dalam pengertian partikular yang dipahami
berbeda/berlainan, selain “Tuhan” ( dengan huruf “T” besar) dalam
pengertian universal yang dipahami sebagai pokok inti dari semua
penyembahan menuju pada yang Satu). Oleh sebab ia partikular maka dari
segi etimologi “tuhan / ilah” berbeda dengan Tuhan “Allah”. Kata ilah
menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan manusia dalam persepsi, pengenalan
dan konsepsi manusia (yang juga dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi
dimana seseorang/masyarakat itu hidup), tetapi kata “Allah” menunjukkan
Tuhan yang Satu, Tuhan yang wajib disembah, yang dapat diketahui/dikenal
dengan peleburan persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari
berbagai belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan (Ia yang
sebenarnya) hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani
atau pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama,
bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah.
Menurut Nurcholis Madjid rangkaian tauhid adalah faham tertentu
tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-
an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian
martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau
seharusnya membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari suatu
yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri.
Dengan komitmen tauhid yang dimulai dari adanya keyakinan dan kesadaran
bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada diatas manusia, maka dari sini
muncullah keinsyafan akan keterbatasan dan kelemahan yang selanjutnya
melahirkan sikap kemanusiaan sehingga tidak meninggikan posisi manusia
dan tidak mendudukkannya pada posisi yang lemah. Dan melalui peresapan
yang mendalam terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan (tauhid) ini, akan
melahirkan kehidupan yang penuh moral, yang akan termanifestasi beukan
41
50
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi
Baru Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), Cet.1, h.125
51
Dan tidaklah Aku ciptakan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku
52
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk (penciptaan)
53
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, (Jakarta : Perspektif,
2005), Cet.1, h.200
42
Bila kita analisis relevansi dalam makna kedua hadis diatas, kita
tidak bisa dengan serta-merta menganggap bahwa Yahudi, Nasrani dan
Majusi seperti agama yang kita kenal sekarang melainkan nama-nama
agama tersebut diatas lebih mencerminkan kondisi, sifat atau karakter
bangsa Yahudi, Nasrani dan Majusi yang membangkang dari syariat/ajaran
para nabi mereka. Itu artinya bahwa diantara mereka terdapat pula orang-
orang yang hanif, hanya saja citra karakter disini lebih kepada paradigma
historis yang telah dikenal kaum muslim terhadap bangsa atau agama
mereka, karena kebanyakan mereka adalah sesat (tidak lagi meng-esa-kan
tuhan).
Melalui perspektif inilah kita akan menemukan korelasi yang tepat,
bahwa Islam tidak melihat non-Muslim sebagai makhluk yang salah akan
tetapi dengan potensi fitrahnya semua manusia berada dalam posisi yang
sama untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna dan tingkat
religiusitas yang hanif ; yaitu mengenal Tuhan dan memahami kehendak-
Nya dialam semesta.
Dengan konsep agama fitrah ini, Islam telah meletakkan landasan
universal yang lebih kuat dan humanis yang memungkinkan manusia
untuk mengakomodasi berbagai latar belakang agama dan keyakinan
sehingga seluruh umat manusia bersaudara dibawah payung
“kemanusiaan”. Dengan demikian jelaslah, bahwa perbedaan
keberagamaan menusia tidak boleh dinisbatkan kepada fitrahnya, karena
seluruhnya merupakan mekanisme rancangan Tuhan untuk manusia,
apakah manusia akan kembali atau keluar dari fitrahnya 54
54
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis..., h.201
43
55
The perennial Philosophy, menyebut bahwa filsafat perennial adalah: 1) Metafisika
yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan
pikiran. 2) Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia (soul)
yang identik dengan kenyataan ilahi itu. 3) Etika yang meletakan tujuan akhir manusia
dalam pengetahuan-yang bersipat imanen dan transenden-mengenai seluruh keberadaan.
(Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
perennial…, h.xxix)
56
Kearifan perennial (perennial wisdom) dipandang bisa menjelaskan segala kejadian
yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dealam menjalankan hidup yang
benar, yang rupanya menjadi hakikat dari agama-agama dan tradisi besar spiritualitas
manusia. Kearifan ini sangat penting, karena hanya dengan kearifan inilah, kita bisa
memahami kompleksitas perbedaan yang ada antara yang satu dengan yang lain, yang
selama ini dianggap banyak orang bahwa realitas dalam agama-agama hanyalah
perbedaannya saja.
57
Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta :
2007) h.100
44
58
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010
59
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010
45
tidak lagi bisa secara naif diberi label dengan "kafir," "mengalami
penyelewengan," "tidak lebih sempurna," "lebih rendah" dan
sebagainya, seperti selama ini dilakukan.
Dalam konteks agama-agama, penerimaan adanya the common
vision ini berarti menghubungkan kembali the many, dalam hal ini
adalah realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The One-
Tuhan, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya
sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan
spiritual manusia. Sehingga kesan empiris tentang adanya agama-
agama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena
faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang
menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam
bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan “ Agama itu” (The
Religion).
Dengan cara trasendental ini di temukan adanya norma-norma
abadi yang hidup dalam jantung setiap agama-agama besar, maupun
tradisi tradisi spiritual kuno .The heart of religion inilah yang bersifat
Ilahi dari agama-agama itu, yang selalu disampaikan dan diajarkan
oleh kalangan perennialis. Mereka menganggap, mengerti mengenai
hal tersebut adalah cara untuk mengerti “ pesan ketuhanan” kepada
manusia” sekaligus cara manusia kembali kepada tuhannya60.
selanjutnya menurut Fritjhof Schuon, metafisika keagamaan atau
filsafat perennial ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan
transmisi (mata rantai) tradisional, termasuk dalam realisasi spiritual.
Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio,
perennis, agama agama yang bersifat abadi.metafisika ini juga yang
hidup dalam manusia. Dalam bahasa Meister Eikhart, “Dalam diri
manusia, ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak dapat
diciptakan.itulah Intelek.” Memang filsafat perennial sepenuhnya
60
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxx
46
61
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxi
47
62
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxiii
63
filsafat perennial sedikitnya bisa didekati dari tiga sudut pandang;
epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara epistemologis filsafat perennial
membahas makna, substansi dan sumber kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu
ber-proses mengalir dari Tuhan, Yang Absolut, dan pada gilirannya tampil dalam
kesadaran akal budi manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang
menyejarah. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan
adanya Sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), bahwa segala wujud ini
sesungguhnya bersifat relatif, ia tak lebih sebagai jejak, kreasi ataupun cerminan dari Dia
yang Esensi dan Substansinya di luar jangkauan nalar manusia. Adapun melalui
pendekatan psikologis, filsafat rerennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut
"wahyu bi al khalidah", "agama asli", "hikmah khalidah", "kebenaran abadi", 'sophia
perennis" yang terukir di dalam lembaran hati seseorang yang senantiasa mendorong
seseorang untuk berpikir dan berperilaku yang benar. secara psikologis filsafat adalah
bahwa secara instrik dan alamiah Tuhan telah menahamkan "benih" iman pada diri setiap
insan, hanya saja "benih" itu adakalanya tertimbun (kafir) sehingga tidak bisa tumbuh
mekar, tetapi meskipun demikian, kandungan iman dan Islam tersebut tetap t i d a k
a k a n mati. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.5)
48
64
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial… h.25
49
65
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial… h.23
66
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial… h.33
50
67
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54
51
68
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54
52
69
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54-55
70
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.5
53
71
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.23
72
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xlii
54
73
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.
55
yang sama bahasa dan nilai agama yang terwadahi dalam lembaga
budaya tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan
pengelompokan ideologis74.
Esoterisme, secara intrinsik bersifat universal dan karenanya sangat
terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi
agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya
tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk,
melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari
esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan
selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi
agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda.
Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalah-
pahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul
ke permukaan75.
Setiap fenomena keagamaan adalah fenomena karakter
agama itu sendiri, dan tidak bisa direduksi ke dalam kategori lain
karena berbagai variable dan alasan kemunculannya juga spesifik.
Kita bisa saja membuat analogi dan mengambil beberapa pelajaran
dan pesan dasar dari agama-agama yang pernah ada, tetapi pada
dimensi eksoteriknya setiap penampakkan adalah khas, unik, yang
memantulkan cahaya realitas arketip dari tradisi primordial (dalam
pengertian metafisis) yang sejalan dengan bentangan sejarahnya 76.
Dari partikularitas menuju universalitas adalah pendekatan
yang mencurahkan perhatian pada agama dalam realitas trans-
historis dan metafisis (filsafat perennial), Namun demikian—perlu
ditegaskan kembali—walaupun sasaran kajian filsafat perennial
adalah persoalan-persoalan metafisika, tidak berarti persoalan
74
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.6
75
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.69-70
76
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.14
56
5. Monoteisme Ibrahim
ﻴﻢﺍﻫﺮﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑ ﻣﻊﺒﺍﺗُ ﻭﺴِﻦﺤ ﻣﻮﻫ ﷲِ ﻭﻪﻬﺟ ﻭﻠﹶﻢ ﺃﹶﺳﻦﻤﺎ ﻣﻳﻨ ﺩﻦﺴ ﺃﹶﺣﻦﻣﻭ
( ١٢٥ : ﻴﻼﹰ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻠ ﺧﻴﻢﺍﻫﺮﺬﹶ ﺍﷲُ ﺇﹺﺑﺨﺍﺗﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭﺣ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa 4:125)78
ﹶﻻ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﷲَ ﻭﺪﺒﻌ ﺃﹶﻻﱠ ﻧﻜﹸﻢﻨﻴﺑﺎ ﻭﻨﻨﻴﺁﺀٍ ﺑﻮ ﺳﺔﻤﺍ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻛﹶﻠﺎﻟﹶﻮﻌﺎﺏﹺ ﺗﺘﻞﹶ ﺍﻟﹾﻜﺎﺃﹶﻫﻗﹸﻞﹾ ﻳ
ﺍ ﻓﹶﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍﻟﱠﻮﻮ ﺍﷲِ ﻓﹶﺈﹺﻥ ﺗﻭﻥﻦ ﺩﺎ ﻣﺎﺑﺑﺎ ﺃﹶﺭﻀﻌﺎ ﺑﻨﻀﻌﺬﹶ ﺑﺨﺘﻻﹶ ﻳﺌﹰﺎ ﻭﻴ ﺷ ﺑﹺﻪﺮﹺﻙﺸﻧ
(٦٤:ﻮﻥﹶ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻤﻠﺴﺎ ﻣﻭﺍ ﺑﹺﺄﹶﻧﺪﻬﺍﺷ
Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-
orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali Imran
3:64)79
77
Proses pelembagaan perilaku keagamaan jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk
mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukkan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama
secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling
"hanif7 lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama
itu sendiri. Pada tarap ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak
menyadari. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.6)
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.142
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86
57
80
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of
Religions, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), Cet.2, h.104
58
81
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.105
82
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.106
59
83
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.107
84
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.109
60
85
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.111
86
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.112
61
87
Istilah hanif dan muslim berarti mengikuti kebenaran jalan hidup yang asli, primordial
dan perennial, yang tidak berubah sepanjang masa. Itu semua berpangkal pada keyakinan fitrah
manusia kepada Tuhan yang merupakan esensi semua agama yang lurus (al-Din al-Qayyim)...
Lihat : Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam, (Yogyakarta : AK Group Yogya, 2004), Cet.1,
h.108
88
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.109
62
90
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…, h.214-215
91
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:"Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata:"Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?". Musa menjawab:"Aku berlindung kepada Allah sekiranya
menjadi seorang dari orang-orang yang jahil". (QS. 2:67) Mereka menjawab:"Mohonkanlah
kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?".
Musa menjawab:"sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu". (QS. 2:68) Mereka berkata:"Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab:"Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (QS.2:69)Mereka berkata:"Mohonkanlah
kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi
betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk". (QS. 2:70) Musa berkata:"Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya". Mereka berkata:"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
64
94
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.128
66
ﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﺎ ﻭﻫﻛﹶﺮﺎ ﻭﻋﺽﹺ ﻃﹶﻮﺍﹾﻷَﺭ ﻭﺍﺕﺎﻭﻤﻲ ﺍﻟﺴﻦ ﻓ ﻣﻠﹶﻢ ﺃﹶﺳﻟﹶﻪﻮﻥﹶ ﻭﻐﺒﻳﻦﹺ ﺍﷲِ ﻳ ﺩﺮﻴﺃﹶﻓﹶﻐ
ﺎﻕﺤﺇﹺﺳﻴﻞﹶ ﻭﺎﻋﻤﺇﹺﺳ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﻠﹶﻰ ﺇﹺﺑﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋﻣﺎ ﻭﻨﻠﹶﻴﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋﻣﺎ ﺑﹺﺎﷲِ ﻭﻨﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾﺀَﺍﻣﻌﺟﺮﻳ
ﺪ ﺃﹶﺣﻦﻴ ﺑﻕﻔﹶﺮ ﻻﹶ ﻧﻬﹺﻢﺑﻦ ﺭﻮﻥﹶ ﻣﺒﹺﻴﺍﻟﻨﻰ ﻭﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳ ﻣﻲﺂﺃﹸﻭﺗﻣ ﻭﺎﻁﺒﺍﹾﻷَﺳ ﻭﻘﹸﻮﺏﻌﻳﻭ
ﺓﺮﻲ ﺍﹾﻷَﺧ ﻓﻮﻫ ﻭﻪﻨﻞﹶ ﻣﻘﹾﺒﺎ ﻓﹶﻠﹶﻦ ﻳﻳﻨﻼﹶﻡﹺ ﺩ ﺍﹾﻷِﺳﺮﻎﹺ ﻏﹶﻴﺘﺒﻦ ﻳﻣﻮﻥﹶ ﻭﻤﻠﺴ ﻣ ﻟﹶﻪﻦﺤﻧ ﻭﻢﻬﻨﻣ
ﺮﹺﻳﻦﺎﺳ ﺍﻟﹾﺨﻦﻣ
95
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.133-134
96
Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah tertentu yang berdekatan dengan makna
istilah Shalom/Salam atau al-Islam/Shalem tersebut, baik secara literal maupun maknawi namun
esensi ajaran Kristen tentang ketauhidan tidaklah berbeda yang kemudian diimplementasikan
dalam konsep cinta kasih. Sehingga dengan demikian konsep aal-Islam sudah inheren dan terdapat
didalamnya.
67
99
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
70
100
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
101
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
71
ﻪ ﺎ ﺑﹺﻨﻴﻭﺻ ﺎﻣ ﻭﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻨﻴﺣﻱ ﺃﹶﻭﺍﻟﱠﺬﺎ ﻭﻮﺣ ﻧﻰ ﺑﹺﻪﺻﺎﻭﻳﻦﹺ ﻣ ﺍﻟﺪﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣﻉﺮﺷ
ﻠﹶﻰ ﻋﺮ ﻛﹶﺒﻴﻪﻗﹸﻮﺍ ﻓﻔﹶﺮﺘﻻﹶﺗ ﻭﻳﻦﻮﺍ ﺍﻟﺪﻴﻤﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳﻣ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﺇﹺﺑ
ﻨﹺﻴﺐﻦ ﻳ ﻣﻪﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴﺪﻬﻳﺂﺀُ ﻭﺸﻦ ﻳ ﻣﻪﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴﺘﺠ ﺍﷲُ ﻳﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﻢﻮﻫﻋﺪﺎﺗ ﻣﲔﺮﹺﻛﺸﺍﻟﹾﻤ
(١۳ : ) ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.
42:13)102
102
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya…, h.785
72
BAB III
WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA
1
Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah
yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof
Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform
atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid.
73
A. Wahdat al-Adyan
Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa pluralisme
lahir dari gagasan filsafat (Barat-Kristen) sedangkan wahdat al-Adyan lahir
dari ajaran-ajaran tasawuf (Islam). Dengan demikian, kita dapat melihat
bahwa akar dari tren harmonisasi agama-agama telah jauh lebih dulu
diperkenalkan oleh dunia Islam, terlebih bila kita mengacu pada Piagam
Madinah pada masa Nabi SAW. Khazanah intelektualitas inilah yang kini
terpendam dan terlupakan, padahal bila kita lebih jauh mengkaji ajaran-ajaran
tasawuf, kita akan menemukan sikap kerendahan hati, keramahan,
keterbukaan, saling menghargai dalam beragama tanpa harus mencampur-
adukkan ajaran agama dan keyakinan diantara agama-agama. Kiranya hal
inilah yang dilakukan oleh para sufi terdahulu dengan penghayatan keimanan
yang dipenuhi rasa cinta dan tulus dalam memahami ajaran-ajaran agama.
Dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang al-wahdat
(kesatuan), seperti wahdat d-wujud, wahdat al-syuhud, wahdat al-ummah,
dan wahdat al-Adyan. Berdasarkan hasil rangkuman Ahmad Amin. Salah satu
ajaran al-wahdat tersebut adalah wahdat al-Adyan (kesatuan agama-agama),
yang banyak ditanggapi pro maupun kontra oleh berbagai kalangan, sejak
zaman dahulu sampai sekarang. Orang yang dianggap pertama kali
74
2
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.11
3
(Tanpa Nama), Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com, didownload pada tanggal 15 Januari 2009
4
Rahmil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut : Dar al-Kitab al-Banani, 1973), Cet.1,
h.361
5
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), Cet.VIII, h.2004
6
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : 2009), Cet.2, h.787
75
7
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com,
8
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
9
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
76
10
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
11
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19
77
12
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19
13
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.21
14
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.22
15
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.23
78
16
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.44
17
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.45
79
Pada periode ini, ada hal menarik yang patut disimak dalam
perbincangan teologi, hukum (fikih), filasafat dan tasawuf.
keempat disiplin ilmu ini masih mencari identitasnya sehingga
tidak jarang menimbulkan persaingan antar peminat mereka.
persaingan ini sering menimbulkan vonis-vonis negatif seperti
bid’ah, murtad dan mulhid (penyeleweng), bahkan tidak jarang
mereka bersaing dalam mempengaruhi elit-politik dan sistem
pemerintahan18
Pada masa itu, Kehidupan al-Hallaj tidak saja menjadi
kekaguman, tetapi juga sekaligus mengundang banyak kebencian
dan kecemburuan. Sehingga ia bagaikan menjadi lambang cinta
dan kebencian, Kelompok yang membencinya berasal dari
berbagai kalangan Pertama, dari para ahli hukum (fuqaha),
terutama aliran al-Dzahiriyah jelas sekaii sangat membencinya.
Al-Hallaj dituduh-nya sebagai orang yang menganggap 'ringan'
terhadap hukum Islam dan ibadah. Para fuqaha' menuduh al-
Hallaj telah membuat bid'ah Tuduhan ini telah cukup menjadi
vonis yang keji bagi setiap orang Islam, karena arti bid'ah,
rnenurut Mahmoud Syalthout, adalah mengubah atau
menyelewengkan kewajiban akidah, ibadah, dan hukum halal-
haram. Maka bid'ah merupakan perampasan hak Allah dalam
membuat syari'ah, karena mengadakan masalah baru dalam hal
agama. Oleh karenanya, bid'ah itu ditolak19.
Golongan yang kedua yang memusuhi al-Hallaj adalah dari
kalancan sufi, termasuk mertuanya sendiri, Abu Ya'qub dan
mantan gurunya, al-Junaid. menuduh al-Hallaj telah menyimpang
dari ajaran tasawuf yang benar, bahkan memakai ilmu sihir yang
telah dipelajarinya tatkala pergi ke daerah Timur20.
18
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.50
19
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.24
20
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.25
80
22
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.27
23
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
24
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
82
29
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
30
Sebagai contoh, Abu Ya’kub secara pribadi mengarang buku tentang keutamaan jihad
dan Alfonso VIII (raja Qasytalah/Spanyol Kristen) membujuk Baba Anushan III menggerakan
umat Kristen Eropa, merebut tanah Andalusia dari umat islam hingga terjadilah perang salib
‘Mauqi’ah Iqab’… (lihat, Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com)
85
31
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
32
Makkah (598 H), Muwashal (601 H), Cairo (603 H), Makkah (604-606 H) Qauniyyah
Turki, Armenia (606-607 H), Baghdad (608 H) Makkah (611 H), Halb, terakhir ke Damaskus
(620-638 H)… (lihat., Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com)
86
33
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
34
Bila kita cermati teori nur Muhammad tersebut serupa dengan doktrin Trinitas yang
menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah “firman Tuhan”. Dalam keyakinan Kristiani, Yesus
Kristus adalah Oknum Aktif dan aktual yang dalam hal ini menjadi pancaran semesta atau
pancaran Tuhan yang menjelma dalam bentuk/pribadi manusia. Dalam tradisi murni Kristiani,
memang tidak pernah ada pengangkatan Yesus Kristus (Nabi Isa as) sebagai Tuhan, Yesus Kristus
tetap diyakini sebagai manusia, tetapi karena keimanan yang berlebihan yang akhirnya
merancukan nalar mereka, keyakinan murni tersebut berubah menjadi Trinitas dalam pengertian
Yesus adalah bagian dari pribadi Tuhan-atau dengan kata lain Yesus disamakan dengan Tuhan.
Bila kita kembalikan pada doktrin al-Hallaj nampaknya al-Hallaj memang terilhami (bukan meniru
atau mengadopsi) dari konsep ketuhanan umat kristiani, karena al-Hallaj dapat dengan gambling
dan logis menjelaskan hakikat nur-muhammad serta perbedaan lainnya adalah al-Hallaj tetap
mempertahankan fundamen pemikirannya pada pemisahan antara wujud dan substansi (dapat kita
lihat dari pemikirannya tentang Nabi Muhammad sebagai ruhul qadim dan ruhul hadits). Lebih
jauh lagi kita telaah, sebetulnya umat Kristen telah mencapai pemurniannya terhadap Tuhan (dan
kenabian Isa,as), walaupun untuk kemudian menjadi absurd dan mengarah pada kemusyrikan.
87
35
Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad, (Jakarta : Renaisan, 2004), Cet.,1 h.25
36
Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad..., h.96-97
88
37
Ajaran ini menjelaskan tentang keadaan 'kerasukan Tuhan' atau Tuhan
menitis pada diri seseorang yang telah mampu 'menyatu' dengan-Nya. Kemungkinan
'prestasi' ini dapat dicapai karena dalam diri manusia terdapat dua potensi sifat dasar,
yakni unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan), yakni ruh manusia
yang berasal dari ruh Tuhan, yang sesuai dengan penegasan Al-Qur'an surat Shaad:
71-72 yang artinya : "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat:"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apahila
telah Kusempumakan kejadiannya dan Kutiupkan kepada ruh-Ku; maka hendaklah
kamu tersungkur dan bersujud kepadanya".81… Nasut adalah tabiat kemanusiaan,
baik yang rohani maupun jasmani. Karenanya Tuhan tidak dapat bersatu dengan
tabiat ini, kecuali dengan jalan 'menjelaskan' diri atau menurut istilah Massignon,
“dengan jalan merasuknya Ruh Suci yang mengambil tempat dalam ruh jasmani”…,
Lihat : Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama,
www.nusantaraonline.com
38
Q.S An-Nur,24 : 35.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya
90
39
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
40
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
91
41
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
42
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
43
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14
44
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14
92
48
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
94
49
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.17
50
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.18
95
51
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38
52
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39
53
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.39
97
54
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.40
55
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.96-97
98
Penjelasan Ibn ‘Araby yang lebih jelas lagi dapat kita temukan
dalam magnum opusnya (al-Futuhat al-Makkiyah), ia menerangkan
tentang kepastian hukum Tuhan baik secara normatif maupun historis
mengenai kebhinekaan agama-agama. Ia menjelaskan tentang delapan
relasi Tuhan kepada manusia yang kesemuanya bergerak secara
Systemic-Causa yakni: 1) keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I)
disebabkan oleh keragaman relasi Ilahi (ikhtilaf al-nisab al-Ilahiyah), 2)
keragaman relasi Ilahi disebabkan oleh keragaman keadaan (ikhtilaf al-
ahwal), 3) keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman zaman
(ikhtilaf al-azman), 4) keragaman zaman disebabkan oleh keragaman
gerak (ikhtilaf al-harakat), 5) keragaman gerak disebabkan oleh
keragaman arah perhatian Ilahi (ikhtilaf al-tawajjuhat al-Ilahiyah), 6)
keragaman arah perhatian Ilahi disebabkan oleh keragaman tujuan
(ikhtilaf al-maqashid), 7) keragaman tujuan disebabkan oleh keragaman
penampakan diri Tuhan (ikhtilaf al-Tajalliyat), dan 8) keragaman
penampakan diri Tuhan disebabkan oleh keragaman syariat (ikhtilaf al-
syra’I) 57
56
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.42
57
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.61
99
B. Pluralisme Agama
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan
dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat
bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-
macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan
pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia
lainnya yang tidak sama. Sekarang kita akan membahas tinjauan pluralisme
agama terhadap masalah ini dan serta mengajukan teori dan pandangannya.
58
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h. 61-65 Lihat juga; Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, dalam Jurnal :
Titik Temu, Vol.2, No.2 Jakarta : Nurcholis Madjid Society (NCMS), h.151-156
102
59
Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk
kata yang digunakan untuk menunjukkan lebih daripada satu” (form of word used with reference to
more than one) Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak
makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monoteisme yang menekankan kesatuan dalam
banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi
kepada physic monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah
benda dan mental monoism atau idealism yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah
gagasan atau idea. Pada dualism, segala sesuatu dilihat sebagai dua, Filsafat Zoroaster misalnya,
melihat dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran
(mind) dan benda (mater). Pada pluralism, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat : A.S Hornby
et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford : Oxford University Press,
1972), hal.744 dalam Riyal Ka’bah. Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang
berserak, (Ed.) Sururin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, h.68
60
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
103
sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-
yaitu sesuatu yang sakral61
Pluralisme agama secara istilah, minimal memiliki empat macam
penggunaan :
1) Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran
dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan
mengantisipasi pertikaian dan peperangan.Dalam definisi ini,
keragaman dan kejamakan diterima sebagai suatu realitas
kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari
agama dan mazhah, dalam kenyataan mereka memandang
bahwa hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam
bergaul dan bermasyarakat dengan para pengikut agama dan
mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling menghormati.
2) Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama
datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-
beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi
agama, akan tetapi pada arah pemahaman agama. Sekelompok
orang memahami perkara Ilahi dalam satu bentuk maka mereka
menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam
bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan
adapun orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama
lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk yang
berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas.
3) Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat
hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu
hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling
bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita,
semuanya adalah hakikat dan benar.
4) Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-
unsur, di mana masing-masing dari setiap unsure bagian ini
ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita
tidak memilili satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi
kita mempunya keseluruhan agama-agama yang setiap dari
mereka memiliki saham hakikat. Oleh karena itu, tidak satupun
dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai
agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan
sempurna. Tidak Islam. Tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak
Budha, dan tidak yang lainnya62.
61
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
62
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
104
63
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
64
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com, di
download pada tgl.12 Agustus 2010
65
Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No.358 Ed. Sya’ban 1426
H/September 2005, h.49
105
66
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif
(Kelompok GEMA INSANI, 2005), hlm. 16-17
106
67
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
68
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
69
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
107
70
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
108
71
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
72
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
109
73
Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari
Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id didownload pada tanggal 29 Agustus 2010
110
74
Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari
Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id
75
Karya-karya Hick yang berkaitan dengan pluralisme agama cukup banyak.
Diantaranya: An Interpretation of Religion (London: Macmillan; New Haven: Yale University
Press, 1989); Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan; NY: St Martin’s, 1985); God
and the Universe of Faiths (London: Macmillan; NY: St Martin’s,1973); God Has Many Names
(Louisville: Westminster/John Knox, 1982); The Metaphor of God Incarnate (Louisville:
Westminster/John Knox, 1994); yang terakhir A Christian Theology of Religions (Louisville:
Westminster/John Knox, 1995) …, Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick :
Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id)
76
Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id,
didownload pada tgl.03 Agustus 2010
111
77
Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id,
112
78
Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta :
2007), h.95
79
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com, didownload pada tgl 03 Agustus 2010
113
80
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com
81
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com,
114
82
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com,
83
(QS. 3:64) : “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86
115
84
(QS. 16:125) : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.421
85
(QS. 29:46) : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami
telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.635
86
(QS. 49:11) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-
olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-
olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.847
116
87
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta : Penerbit FITRAH, 2007), Cet.1, h.204-205
88
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.206
117
89
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.207-208
90
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.209
118
91
Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari
penderitaan Yesus kristus.
92
Kata deon bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban
untuk memenuhi kehendak Tuhan
93
Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim
Indonesia…, 210-211
119
94
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
120
95
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
121
96
Menurut hemat penulis, tanpa bermaksud “menyalahkan” keputusan MUI bagi
kemaslahatan umat Islam, pengharaman pluralisme terkesan “buru-buru” dan minim dialog
dengan para tokoh penganut pluralis di Indonesia. Sebenarnya hal ini mungkin terjadi (tanpa harus
dikeluarkannya fatwa haram bagi pluralisme) bila ada ruang dialog yang konstruktif, sehingga
selain pluralisme menjadi solusi bagi keragaman teologis-sosiologis, pluralisme juga menjadi
solusi (akademis) dalam cara bagaimana umat Islam memahaminya dengan baik dan tepat. Sifat
kehati-hatian MUI mengenai konsekuensi logis pluralisme sebaiknya dapat dijembatani dengan
dialog akademis, sehingga baik MUI maupun kaum elit-pluralis dapat mengarahkan umat Islam
untuk memahami pluralisme secara tepat-menyeluruh. Hal inipun hanya mungkin terjadi bila MUI
sendiri telah meneliti dengan baik pluralisme itu sendiri, terlebih pluralisme memiliki banyak
definisi bahkan mazhabnya tersendiri. Kajian akademik terhadap pluralisme yang intens dan
mendalam sangatlah perlu sebagai standar pluralisme yang sesuai dengan nilai-nilai syariat/ajaran
Islam. Lebih tepatnya inilah yang seharusnya dilakukan MUI yang juga memiliki fungsi kontrol
terhadap pemikiran keislaman. Karena pada kenyataannya di- (beberapa)- kalangan MUI,
pluralisme masih dianggap kebaikan negatif yang mengindikasikan misi orientalisme kaum
Liberal-Kristiani, memandang pluralisme dari sisi historis tanpa epistemologisnya akan
melahirkan pandangan sempit, selain itu pluralisme juga harus disepadankan dengan sinyalemen
ayat-ayat al-Quran yang mengedepankan pada pentingnya sikap toleran terhadap berbagai aspek
keragaman yang hanya mengarahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Pengharaman pluralisme, secara tidak langsung telah “mengekang intelektual” Muslim dalam
menyelami samudera hikmah ajaran Islam dan mengubur mutiara-mutiara keilmuan yang
disampaikan para arif-sufi. Bahwa sesungguhnya dengan berpijak pada ajaran Islam, pluralisme
sendiri adalah keniscayaan yang ajarkan oleh Islam.
122
97
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.211
98
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.253
123
ﺎﻟﹶﻜﹸﻢﻤ ﺃﹶﻋ ﻟﹶﻜﹸﻢﺢﻠﺼ ﻳ.ﺍﻳﺪﺪﻻﹰ ﺳﻗﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﻗﹶﻮﻘﹸﻮﺍ ﺍﷲَ ﻭﻮﺍ ﺍﺗﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬﻬﺎﺃﹶﻳﻳ
: ﺎ )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏﻴﻤﻈﺍ ﻋﺯ ﻓﹶﻮ ﻓﹶﺎﺯ ﻓﹶﻘﹶﺪﻮﻟﹶﻪﺳﺭﻊﹺ ﺍﷲَ ﻭ ﻄﻦ ﻳﻣ ﻭﻜﹸﻢﻮﺑ ﺫﹸﻧ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮﻔﻐﻳﻭ
( ۷۰-۷۱
99
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.460-461
100
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.680
124
ﻦ ﺀَﺍﻣﻦ ﻣ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﻦﻟﹶﻜﺮﹺﺏﹺ ﻭﻐﺍﻟﹾﻤﺮﹺﻕﹺ ﻭﺸﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤﺒ ﻗﻜﹸﻢﻮﻫﺟﻟﱡﻮﺍ ﻭﻮ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﺲﻟﹶﻴ
ﺫﹶﻭﹺﻱﻪﺒﻠﹶﻰ ﺣﺎﻝﹶ ﻋﻰ ﺍﻟﹾﻤﺀَﺍﺗ ﻭﻦﺒﹺﻴﺍﻟﻨﺎﺏﹺ ﻭﺘﺍﻟﹾﻜ ﻭﻜﹶﺔﻠﹶﺌﺍﻟﹾﻤﺮﹺ ﻭﻡﹺ ﺍﹾﻷَﺧﻮﺍﻟﹾﻴﷲِ ﻭﺑﺎ
ﺃﹶﻗﺎﹶﻡﻗﹶﺎﺏﹺ ﻭﻲ ﺍﻟﺮﻓ ﻭﲔﻠﺎﺋﺍﻟﺴﺒﹺﻴﻞﹺ ﻭ ﺍﻟﺴﻦﺍﺑ ﻭﲔﺎﻛﺴﺍﻟﹾﻤﻰ ﻭﺎﻣﺘﺍﻟﹾﻴﻰ ﻭﺑﺍﻟﹾﻘﹸﺮ
ِﺂﺀﺄﹾﺳﻲ ﺍﻟﹾﺒ ﻓﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦﺍﻟﺼﻭﺍ ﻭﺪﺎﻫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻋﻢﻫﺪﻬﻮﻓﹸﻮﻥﹶ ﺑﹺﻌﺍﻟﹾﻤﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭﻰ ﺍﻟﺰﺀَﺍﺗﻠﹶﻮﺓﹶ ﻭﺍﻟﺼ
ﻘﹸﻮﻥﹶ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺘ ﺍﻟﹾﻤﻢ ﻫﻚﻟﹶﺌﺃﹸﻭﻗﹸﻮﺍ ﻭﺪ ﺻﻳﻦ ﺍﻟﱠﺬﻚﻟﹶﺌﺄﹾﺱﹺ ﺃﹸﻭ ﺍﻟﹾﺒﲔﺣﺁﺀِ ﻭﺮﺍﻟﻀﻭ
(۱۷۷
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
(QS.Al-Baqarah, 2:177)101
101
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.43
125
125
BAB IV
WAHDAT AL ADYAN DAN PLURALISME AGAMA
DALAM PERSPEKTIF SYARIAT
1
Pada masyarakat miliu-tadisional, fanatisme syaria’ah (baca : fuqaha) memandang
“haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqli maupun
aqli. Sementara itu, para pelaku tasawuf juga mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam
diatas putih (formalisme keagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi yang diharapkan
oleh kaum sufi. Masyarakat Jawa dalam rumor mereka sedikit banyak mengisyaratkan tentang
perseteruan itu, masyarakat Jawa sering menyebut syariat (dalam dialog Jawa disebut “syaringat”)
sebagai nek sare njengat (kalau tidur nungging). Sedangkan tasawuf disimbolkan sebagai jalan
meniti ke kota “Mekah” dengan ungkapan nek turu mekakah (kalau tidur telentang). Lain halnya
dengan masyarakat miliu-modern, fenomena spiritualisme/tasawuf sebenarnya mulai dirasakan
”’lumrah” dan dapat diterima, hanya pada hal-hal tertentu saja, misalnya dalam hal ritualistik para
penganut tasawuf dianggap ”tidak lazim” (bukan menyimpang), – bagi para penganut syariat. Hal
inipun sebenarnya disadari oleh kaum syariat, karena pendekatan tasawuf yang menggunakan daya
batin seringkali tidak dapat dijelaskan dengan daya nalar. Meskipun demikian, syariat bukan tanpa
”masalah” yang dihadapinya sendiri, justru pertentangan internal lebih banyak terjadi pada kaum
(pengikut) syariat, sebagaimana kita tahu bahwa syariat (fiqh) memiliki keragaman mazhab, yang
pada akhirnya pula memiliki keragaman ijtihad dari para ulama fikih tersebut. Dalam hal ini
penulis tidak bermaksud mengangkat permasalahan/perbedaan dalam hukum fikih, melainkan
mengemukakan bahwa pemahaman kaum sufi dalam menyikapi perbedaan lebih arif dan bijaksana
karena mereka senantiasa menilai segala sesuatu dengan cinta, ketulusan dan kerendahan hati. Hal
inilah yang menunjukkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang paling toleran dalam menyikapi
perbedaan dan keanekaragaman… Lihat : Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut,
(Jakarta : Media Citra, 2001), Cet.2, h.136
126
dengannya seluruh aspek kehidupan seorang muslim harus berlandaskan pada al-
Quran dan hadis Nabi SAW. Berbeda dengan tasawuf , tasawuf / tariqat hingga
kini masih dipandang ekslusif (khusus/istimewa) – karena diperuntukkan bagi
mereka yang menempuh jalan menuju Tuhan (baca : Allah) dengan pendekatan
batiniah, sehingga terkadang nilai-nilai amaliah terkesan formalistik dan masih
jauh dalam upaya mencapai esensinya
Fiqih (sebagai dimensi syariat) menjadi pokok / sentral dalam kehidupan
beragama terutama dalam hal ibadah, peran fiqih tersebut antara lain adalah:
mendorong timbulnya kesadaran beribadah kepada Allah SWT, membentuk
kebiasaan melaksanakan syari’at dengan ikhlas, membentuk kebiasaan
melaksanakan tuntunan akhlak yang mulia, mendorong timbulnya kesadaran
mensyukuri nikmat Allah dengan mengolah serta memanfaatkan alam untuk
kesejahteraan hidup, membentuk kebiasaan menerapkan disiplin dan tanggung
jawab sosial di masyarakat, dan membentuk kebiasaan berbuat atau berperilaku
yang sesuai dengan peraturan.
Selain daripada itu, tasawuf (sebagai dimensi filosofis/hakikat) oleh
banyak pihak, dianggap identik dengan kehidupan yang serba kolot, tradisionil
dan ketinggalan zaman Kehidupan sufi dianggap tidak relevan dengan kemajuan
zaman. Sufisme dianggap, hanya sebagai catatan sejarah zaman dulu, yang sudah
kehilangan signifikansinya untuk diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Timbulnya asumsi ini, disebabkan kesalahan persepsi mereka dalam
menginterpretasikan tasawuf. Tasawuf yang identik atau diasumsikan sebagai
kehidupan seseorang yang berpakaian compang-camping, memakai baju lusuh,
dan bercirikan kemiskinan. Tentu saja asumsi ini , kurang tepat– kalau tidak ingin
dikatakan tidak – tepat sama sekali. Karena ada beberapa bahkan banyak diantara
para sufi yang kaya raya. Tasawuf tidak lebih, merupakan kehidupan yang
menjauhi berbagai kesenangan dunia dengan segala aspeknya. Kehidupan yang
hanya berorientasi pada kedekatan diri pada Allah dengan berbagai ritus-ritus
127
2
Ada beberapa praktek disiplin spiritual dalam tradisi sufi yang dianggap oleh para
penentangnya sebagai bersifat eksesif dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia. Diantara
praktek-praktek itu adalah berkhalwat selama 10 hari, 20 hari, 30 hari, atau 40 hari. Khalwat, yang
di Indonesia disebut “suluk”, adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan
dunia. Selama khalwat seorang penempuh jalan spiritual makan dan minum sedikit sekali, dan
tidak boleh berbicara kecuali dengan syeikhnya atau mitranya yang juga melakukan khalwat. Para
salik menggunakan hampir seluruh waktu untuk berzikir dan bertakakur. Semula khalwat
dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari segala gangguan yang memalingkan seorang
hamba dari mengingat Allah dan dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah. Akhirnya,
penarikan diri ini semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kualitas spiritual untuk semakin
mempermudah perjalanan spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan menjumpai Yang
Dicintai. Khalwat seperti ini yang dilakukan para salik tidak bisa dikatakan eksesif (berlebihan
dalam ibadah) dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia karena ia hanya dilakukan dalam
waktu terbatas, paling lama 40 hari, dan setelah itu salik kembali kepada kesibukan dunia seperti
biasa.
3
Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.104
4
Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.105
128
5
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.20
6
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.21
129
Tiga dimensi agama Islam, syariah, thariqah, dan haqiqah, dari suatu
sudut pandang sejajar dengan tiga dimensi lain, islam, iman dan ihsan. Secara
historis, islam termanifestasi melalui syariah (syariat) dan fiqih sedangkan iman
terlembaga melalui kalam (ilmu kalam) dan bentuk bentuk lain ajaran doktrinal.
dengan cara yang sama, ihsan memperlihatkan kehadirannya terutama melalui
ajaran-ajaran dan praktik sufi7
Dengan mengkodifikasi syariat, fikih menetapkan cara yang tepat bagi
manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ilmu kalam mendeskripsikan
kandungan-kandungan iman. Tasawuf memusatkan perhatian untuk memberikan
hak yang penuh kepada penyerahan diri dan iman. Tasawuf dalam arti ini adalah
jalan utama menuju Tuhan. Tasawuf, yang diidentikkan dengan ihsan, adalah
jalan atau tahap tertinggi yang harus ditempuh melalui islam dan iman terlebih
dahulu8
Oleh karena itu, pembicaraan tentang integrasi syariat dengan tasawuf
menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang Muslim. Syariat merupakan
elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran atau
konsep ”Ihsan”. ”’an ta’buda Allaha ka-annaka tarah, fainlam takun tarah,
fainnahu yarak” (hendaknya kalian beribadah [bersyariat] kepada Allah seakan-
akan kamu melihatnya, jika kamu tidak bisa Melihatnya, maka sesungguhnya
[bersikaplah seakan-akan] Ia melihatmu.
A. Korelasi Fiqh (Syariat) dengan Tasawuf (Hakikat)
Secara umum, fiqh didefinisikan sebagai : “ilmu tentang hukum-
hukum syar’iyyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah
tafshiliyyah) ”. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa fiqh adalah ilmu tentang
hukum-hukum syar’iyyah yang ‘amaliyyah yakni yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.
7
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.22
8
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.23
130
ﻣﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﺑﻐﲑ ﺗﺼﻮﻑ ﻓﻘﺪ ﺗﻔﺴﻖ ﻭﻣﻦ ﺗﺼﻮﻑ ﺑﻐﲑ ﺗﻔﻘﻪ ﻓﻘﺪ ﺗﺰﻧﺪﻕ ﻭﻣﻦ
ﲨﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻘﺪ ﲢﻘﻖ
“Setiap syari’at yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak
diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syari’at maka urusannya
tidak berhasil.”10
Al-Ghazali mengatakan :
9
H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74
10
H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74
11
Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-
Hidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t.), h. 5.
132
12
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 94
13
Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005, h. 23-26.
133
14
Al-Ghazali, Rahasia-Rahasia Shalat, Mizan, Bandung, cet. ke XV, h. 19, 52-54.
135
15
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.167-168
136
bawah derajatnya. Dengan anggapan punya nilai lebih atau dikhawaskan ini
tentu sulit diikat oleh aturan-aturan syari’at secara ketat16.
Menyinggung perbedaan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, Ibnu
Khaldun berkomentar sebagai berikut: “Ilmu agama itu menjadi dua bagian,
yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai
hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat, ataupun niaga. Dan satunya
lagi berkaitan dengan kelompok (maksudnya, para sufi) yang melakukan
latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang
ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke
rasa yang lain, atau pun menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan
dengan hal itu semua.”17 Al-Ghazali sendiri dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al-
Din, menyebutkan kedua jenis ilmu ini sebagai ‘ilm syar’iyyah dan ghair
syar’iyyah18 namun karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral
dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka
lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan
validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang
sah. Sekalipun al-Ghazali lebih condong pada ilmu-ilmu agama dengan
menganggapnya fardhu ain bagi setiap Muslim untuk menuntutnya,
dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah
untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut
kedua kelompok ilmu tersebut, yang sekaligus merupakan pengakuan
terhadap validitas ilmu-ilmu umum tersebut sebagai ilmu atau sains. Bahkan
untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, dia
menganjurkan agar umat Islam mempelajarinya dengan seksama. Al-Ghazali
lebih lanjut mengatakan dalam kitab Ihya’,
“Akal memerlukan Syara’ dan Syara’ membutuhkan akal. Orang yang
mengajak kepada taklid murni dengan mengesampingkan akal secara
total adalah bodoh. Dan orang yang mencukupkan hanya dengan
akal, tidak melihat cahaya al-Qur’an dan Al-Sunnah, dia adalah
orang yang tertipu. Hati-hatilah jangan sampai anda menjadi salah
16
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.169
17
Al-Taftazani,Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92.
18
Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu, Bandung, Mizan, 2005, h. 45
137
satu dari keduanya. Jadilah orang yang mampu menyatukan akal dan
syara’, yang menjadi sumber (dasar). Sebab ilmu-ilmu aqliyah
bagaikan makanan, sedang ilmu syara’ bagaikan obat-obatannya.
Sebagian orang mengira bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu bertentangan
dengan ilmu-ilmu syar’iyah dan keduanya tidak dapat dipadukan.
Ketahuilah, dugaan semacam itu adalah dugaan orang yang buta
hatinya, bahkan bisa jadi orang tersebut menganggap bahwa
sebagian ilmu syari’ah bertentangan dengan ilmu syariah yang lain,
sehingga keduanya tidak dapat dipadukan, lantas dia menyangka
bahwa terdapat pertentangan dalam agama yang membuatnya
bingung dan akhirnya keluar dari agama sebagaimana keluarnya
bulu/rambut dari adonan(tepung yang dicampur dengan air). Kami
mohon perlindungan kepada Allah dari perilaku seperti itu.”19
19
Al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din…, h. 16-17.
20
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92.
138
Dengan uraian al-Thusi di atas tampak jelas bahwa para sufi, dalam
menyebut ilmunya dengan ilmu batin atau dirayah ataupun sebutan lain yang
serupa, membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoritis, yang berkaitan dengan
hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum
tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama ialah
fiqh atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Namun
keduanya tetap dalam bingkai syari’ah sebagai sebuah ilmu. Tegasnya,
tasawuf –seperti juga halnya fiqh- merupakan bagian belaka dari syari’ah.
Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tak terpisahkan, dan
saling membutuhkan, karena keduanya tetap berada pada frame syari’ah,
sebagai sebuah narasi besar dalam Islam. Pembedaan kedua ilmu itu tentu
saja relatif. Pada hakikat dan kenyataannya, kedua ilmu tersebut tidaklah
berbeda. Sebab yang satunya (ilmu batin) adalah buah dari yang lainnya (ilmu
lahir). Ketika seorang hamba Allah secara sempurna melaksanakan hukum-
hukum agamanya, di mana kalbunya menghadap Allah serta menempuh jalan
lurus dalam perjalanannya, secara otomatis dia meraih ilmu batin.
Dan pada statemen al-Ghazali di atas nampak jelas bahwa kedudukan
akal (yang menjadi salah satu komponen utama dalam menggali dan
memproduk hukum syara’:fiqh) tidak kalah pentingnya dengan syara’.
Bahkan orang yang menyangka bahwa terdapat pertentangan antara sebagian
ilmu aqliyah dengan ilmu syara’ atau justru ilmu syara’ dengan ilmu syara’
yang lainnya adalah keliru. Mengesampingkan totalitas akal dan bersandar
hanya dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah kebodohan, sementara
mencukupkan akal tanpa landasan al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang
tertipu dan bisa menyebabkan keluar dari agama ini. 21
21
Penulis mengutip dan memaparkan pendapat al-Ghazali di atas dalam kaitannya dengan
masalah integralitas ilmu, karena; fiqh tergolong ilmu syar’iyah melalui pendekatan ijtihad (rasio)
dan berarti juga tergolong ilmu aqliyah dilihat dari sisi penggunaannya, sedang tasawuf tergolong
ilmu syar’iyah namun lebih cenderung melalui pendekatan intuitif.
139
Terlihat jelas bahwa kedua disiplin ilmu ini terintegrasi dalam prinsip
dan sumber dan tujuan utama, yaitu Allah, atau sebagaimana pendapat yang
diutarakan oleh Mulyadhi Kartanegara yaitu Tauhid. Konsep tauhid tentu saja
diambil dari formula konvensional Islam “La Ilaha Illallah” yang artinya
“tidak ada tuhan melainkan Allah” yang juga telah menjadi prinsip yang
paling utama sehingga ia juga telah menjadi asa pemersatu atau dasar
integrasi ilmu pengetahuan manusia.22
22
Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu…, h.32
23
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi al-
Mujtama’ al-Islamiy, (|Jakarta : Menara, 2006), h.107
140
24
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.107-108
25
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.109
141
dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki.
Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di
dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam
Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa
setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan
tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda,
semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa saja berbeda-
beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu
titik yang sama yakni Allah swt.
Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam al-
qur’an, banyak ditemukan dalam terminologi yang merujuk kepada
komunitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab utu al-Kitab, utu
nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara,
al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an disamping
membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga
memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-
masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural
menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan
keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi.
memang pada dasarnya tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan
Islam adalah bersudara, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu
sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as.
Kita tahu bahwa salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah
percaya kepada para nabi dan rasul. Al-Quran menyebutkan bahwa Allah
telah mengirimkan nabi dan rasul untuk setiap golongan umat manusia.
Sebagaimana ayat yang tertera diatas. Nabi Muhammad saw pernah
menjelaskan (dalam hadis yang diriwayatkan olah Ahmad, bahwa berkata
kepada abu dzar) bahwa jumlah keseluruhan nabi dimuka bumi
142
sepanjang masa ada 124.000 orang dan dari kalangan mereka itu 315
adalah rasul26.
Para nabi dan rasul itu diutus dengan bahasa kaumnya masing-
masing (QS. 14 : 4)27, namun semuanya dengan tujuan yang sama yakni
mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti
pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban manusia untuk
menghambakan diri kepada-Nya (QS. 21 :25)28.
Selain ajaran tauhid (mengesakan Tuhan), para rasul juga
menyerukan perlawanan kepada thagut yakni kekuasaan/kekuatan jahat
dan zalim (QS. 16 :36)29.
Kaum beriman harus mempercayai nabi dan rasul tersebut tanpa
membeda-bedakan seseorangpun diantara mereka dengan sikap berserah
diri karena para nabi dan rasul adalah orang-orang yang berserah diri
kepada Tuhan (QS. 2:136) dan (QS. 3:84)30
26
Jumlah tersebut adalah para nabi sejak nabi Adam as. Sampai kepada nabi Muhammad
saw. Sebagian dari mereka ada yang tersebutkan nama dan kisahnya didalam al-Quran, tetapi
sebagian besar tidak dikisahkan dalam al-Quran. Sebagian dari mereka (yang dikisahkan al-
Quran) adalah para rasul atau tokoh-tokoh taurat dan Injil, dan dapat dikatakan semuanya itu (yang
dikisahkan al-Quran) berasal dari bangsa semit. Lihat … : Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas
Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta : Paramadina, 2004), Cet.5, h. 18-19
27
(QS. 14 : 4) : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki.Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan terjemahnya..., h.379
28
(QS. 21 :25) : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.498
29
(QS. 16 :36) : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.407
30
(QS. 2:136) : Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan
apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub
dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.35
(QS. 3:84) : Katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-
anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak
143
Inti agama dari semua rasul adalah sama : (QS. 42:13), dan umat
serta agama agama seluruhnya adalah umat dan agama yang tunggal (QS.
21:92 dan QS. 23:52) 31
Sementara din atau agama itu sama kepada setiap golongan dari
kalangan umat manusia dan Allah menetapkan syir’ah atau syari’ah
(jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak
menghendaki umat manusia itu satu dan sama. Allah menhendaki agar
mereka saling berlomba-lomba menuju kebaikan. Seluruh umat manusia
akan kembali kepada-Nya kelak, dan Dialah yang akan membeberkan
hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5:48)32.
Al-Quran juga menjelaskan bahwa untuk setiap umat telah
ditetapkan uapacara keagamaan atau mansak (jamak : manasik) (QS.
22:67-68)33. Berkaitan dengan hal ini adalah keterangan dalam al-Quran
bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”
34
(QS. 2:148) : Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.38
145
35
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis…, h. 51-52
146
dan praktis dalam konteks ruang dan waktu36. Dalam konteks penjabaran
tersebut ditujukan guna memberikan respon yang tepat terhadap kaum
Ahli kitab sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan al-Quran
(QS. 42:15) tentang perintah bersikap (umat Islam) kepada Ahli Kitab37
Dalam kacamata kaum sufi, seluruh umat manusia dipandang
sebagai kesatuan makhluk yang bernaung dibawah kasih sayang Tuhan.
Para sufi mengajarkan tentang landasan cinta dalam memandang segala
ciptaan Tuhan. Landasan cinta merupakan titik berpijak bagi mereka
untuk melihat orang lain. Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa
mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Tuhan tidak membeda-
bedakan agama manusia. Terkait dengan wacana ini, Kabir Helminski
menyatakan bahwa “mereka yang hidup dengan bimbingan pesan al-
Quran harus mengakui bahwa kasih sayang, kemurahan dan rahmat yang
dilimpahkan Tuhan melalui semua agama, dan setiap yang ada. Sifat-sifat
Tuhan mengalir tidak hanya kepada mereka yang beriman, namun juga
kepada mereka yang beriman”38
Bagi para sufi, cinta pada hakikatnya adalah tujuan aktivitas
seorang hamba. Cinta merupakan kekuatan yang sangat vital dalam
berlari menuju Tuhan. Menurut Jalaludin Rumi, “kematian terburuk
adalah hidup tanpa cinta”. Dalam sebuah syairnya ia berkata : “Betapa
lama percakapan ini, figur-figur ini bicara metafora ini? Aku ingin
membakar, membakar mendekati diri-Mu sendirian ke kobaran itu.
Kobarkan api cinta dalam jiwa-Mu dan bakarlah semua pikiran dan
segala konsep”39
36
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis…, h.52-53
37
(QS. 42:15) : “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah:"Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)". Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
38
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.146-147
39
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.149
147
ﻢ ﻬﻌﻝﹶ ﻣﺃﹶﻧﺰ ﻭﺭﹺﻳﻦﻨﺬﻣ ﻭﺮﹺﻳﻦﺸﺒ ﻣﲔﺒﹺﻴﺚﹶ ﺍﷲُ ﺍﻟﻨﻌﺓﹰ ﻓﹶﺒﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﺎﺱﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻨ
ﻳﻦ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﻟﱠﺬﻴﻪ ﻓﻠﹶﻒﺘﺎ ﺍﺧﻣ ﻭﻴﻪﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓﺘﺎ ﺍﺧﻴﻤﺎﺱﹺ ﻓ ﺍﻟﻨﻦﻴ ﺑﻜﹸﻢﺤﻴ ﻟﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘﺍﻟﹾﻜ
ﻠﹶﻔﹸﻮﺍﺘﺎ ﺍﺧﻤﻮﺍ ﻟﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﻯ ﺍﷲُ ﺍﻟﱠﺬﺪ ﻓﹶﻬﻢﻬﻨﻴﺎ ﺑﻴﻐ ﺑﺎﺕﻨﻴ ﺍﻟﹾﺒﻢﻬﺂﺀَﺗﺎﺟ ﻣﺪﻌﻦ ﺑ ﻣﻮﻩﺃﹸﻭﺗ
(٢١۳ : ﻴﻢﹴ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻘﺘﺴ ﻣﺍﻁﺮﺂﺀُ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻﺸﻦ ﻳﻱ ﻣﺪﻬﺍﷲُ ﻳ ﻭ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪﻖ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻣﻴﻪﻓ
40
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.151
41
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.201
148
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.51
43
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.95
44
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.96
45
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.111
149
46
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,
(Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,2006), h. 48-51
150
ﻪ ﻠﹶﻴﺎ ﻋﻨﻤﻴﻬﻣﺎﺏﹺ ﻭﺘ ﺍﻟﹾﻜﻦ ﻣﻪﻳﺪ ﻳﻦﻴﺎ ﺑﻗﹰﺎ ﻟﱢﻤﺪﺼ ﻣﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﺂﺇﹺﻟﹶﻴﻟﹾﻨﺃﹶﻧﺰﻭ
ﺎﻠﹾﻨﻌﻜﱡﻞﱟ ﺟ ﻟﻖ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻣﺂﺀَﻙﺎ ﺟﻤ ﻋﻢﺁﺀَﻫﻮ ﺃﹶﻫﺒﹺﻊﺘﻻﹶﺗﻝﹶ ﺍﷲُ ﻭﺂﺃﹶﻧﺰ ﺑﹺﻤﻢﻬﻨﻴﻜﹸﻢ ﺑﻓﹶﺎﺣ
ﻲ ﻓﻛﹸﻢﻠﹸﻮﺒﻦ ﻟﱢﻴﻟﹶﻜﺓﹰ ﻭﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﻠﹶﻜﹸﻢﻌﺂﺀَ ﺍﷲُ ﻟﹶﺠ ﺷﻟﹶﻮﺎ ﻭﺎﺟﻬﻨﻣﺔﹰ ﻭﻋﺮ ﺷﻨﻜﹸﻢﻣ
ﻴﻪ ﻓﻢﺎ ﻛﹸﻨﺘﺌﹸﻜﹸﻢ ﺑﹺﻤﺒﻨﺎ ﻓﹶﻴﻴﻌﻤ ﺟﻜﹸﻢﺟﹺﻌﺮ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﷲِ ﻣﺍﺕﺮﻴﺒﹺﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺨﺘ ﻓﹶﺎﺳﺎﻛﹸﻢﺂﺀَﺍﺗﻣ
(٤۸ ﻔﹸﻮﻥﹶ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓﻠﺘﺨﺗ
ﻪ ﺎ ﺑﹺﻨﻴﺻﺎﻭﻣ ﻭﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻨﻴﺣﻱ ﺃﹶﻭﺍﻟﱠﺬﺎ ﻭﻮﺣ ﻧﻰ ﺑﹺﻪﺻﺎﻭﻳﻦﹺ ﻣ ﺍﻟﺪﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣﻉﺮﺷ
ﲔﺮﹺﻛﺸﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ ﻋﺮ ﻛﹶﺒﻴﻪﻗﹸﻮﺍ ﻓﻔﹶﺮﺘﻻﹶﺗ ﻭﻳﻦﻮﺍ ﺍﻟﺪﻴﻤﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳﻣ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﺇﹺﺑ
( ١۳ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯﻨﹺﻴﺐﻦ ﻳ ﻣﻪﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴﺪﻬﻳﺂﺀُ ﻭﺸﻦ ﻳ ﻣﻪﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴﺘﺠ ﺍﷲُ ﻳﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﻢﻮﻫﻋﺪﺎﺗﻣ
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy- Syura, 42 :13)49
48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168
49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
152
50
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.130
51
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.130
52
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.135
153
53
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.137
54
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.159
55
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami telah beriman
kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan
Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan terjemahnya..., h.635)
154
56
“Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hatil”.(Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.30)
57
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.161
155
58
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., 205
156
59
Meskipun pada beberapa ajaran politeisme, tuhan-tuhan yang disembah adalah
Manifestasi sifat-sifat tuhan yang digambarkan melalui bentuk, tetapi sesungguhnya mereka
(penganut politeis) hanya mengimani (dan penyembahan mereka menuju) pada satu Tuhan saja.
Dalam hal ini, politeisme tidak dapat kita golongkan pada tingkatan syirik karena syirik yang
sesungguhnya adalah mengimani / tunduk pada selain Tuhan. Lihat : Mohammad Irfan dan
Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska
Agung Insani, 2000), Cet.I, h.24-28
158
hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani atau
pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama,
bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah.
Bila kita umat Muslim yang mengenal istilah asma al-Husna,
(sebagaimana kita ketahui bahwa asma al-Husna adalah nama-nama
yang mencerminkan sifat-sifat Allah) kemudian dari setiap nama-
nama/sifat-sifat Tuhan tersebut, kita memberi bentuk wujud sebagaimana
yang dilakukan kaum pagan, apakah kita jatuh kepada musyrik, bila yang
kita tuju atau kita imani hanya satu dari sekian banyak wujud manifestasi
tersebut?
Jawabannya bisa “ya”, bila kemudian manifestasi tersebut
membuat kita kehilangan inti tauhid, manifestasi tersebut menjadi
tandingan/sekutu bagi Tuhan, dan inilah yang terjadi pada masyarakat
paganisme, arab jahiliyah, dan umat-umat nabi terdahulu yang
menyimpang. Sehingga turun ajaran Islam. Oleh sebab itu Islam
mengharamkan praktek paganisme karena dapat mengubur kemurniaan
tauhid/keesaan Tuhan. Jawaban lainnya, bisa kita katakan “tidak” karena
bagi mereka yang belum sampai pengetahuan seperti yang diajarkan
Islam, tetapi mereka sama sekali tidak menyekutukan Tuhan,
sesembahan-sesembahan tersebut adalah upaya mereka menginterpretasi
kemahakuasaan Tuhan yang sulit untuk mereka kenali/definisikan. Itu
berarti wujud manifestasi tersebut sebagaimana rangkaian wujud-wujud
yang berasal dan menuju pada yang Satu.
Bila itu yang terjadi apakah Tuhan akan menghukum mereka
karena belum sampainya keterangan/petunjuk pada mereka dan dari
keterbatasan pengetahuan mereka, sedangkan mereka dengan sepenuhnya
menghamba kepada Tuhan tanpa menyekutukannya?
159
Bagi kita umat Islam, yang telah sampai kepada kita ajaran tauhid,
maka semestinya kita dapat memahami dan membedakan bentuk
penyembahan yang benar dan yang salah, apa yang dikatakan musyrik
dan kafir, bukan menjatuhkan vonis negatif kepada umat lain hanya
dengan alasan berbeda keyakinan/agama.
Dengan demikian sesungguhnya banyak diantara umat Islam yang
belum memahami dengan benar dan utuh inti ajaran tauhid ; yang berarti
pembebasan (kepada) Tuhan dari berbagai hal yang dapat membatasinya,
dan tanpa kita sadari, mungkin hingga saat ini kita masih membatasi
keesaan Tuhan dengan pengetahuan yang relatif tentang-Nya.
Pengakuan pada keesaan Tuhan (kesatuan ketuhanan) berarti juga
pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dalam hal ini tauhid mencakup tiga aspek yakni aspek teologis
(ketuhanan), kosmologis (kealaman), dan antropo-sosiologis
(kemanusiaan). Tiga elemen pokok ini bukan hanya dibahas oleh Islam
tetapi juga oleh agama-agama lainnya60
Ismail Raji al-Faruqi menyatakan. Ismail Raji al-Faruqi
menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber
pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini
disebut Ur-Religion, atau agama fitrah (din al-Fithrah) yang bersifat
meta-religion, sebagaimana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu
kepada (Allah) dengan lurus; tetaplah pada fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia diatas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. 30: 20). Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama
fitrah” ini. tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan
sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya, “agama fitrah”
60
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.28
160
61
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.156
62
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.32
63
Kita sering terjebak dengan kata “kesatuan” atau wahdat, yang sesungguhnya dimaksud
bukanlah menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran, perbedaan-perbedaan yang ada itu
tetap pada porsinya masing-masing sebagai identitas yang mandiri namun disisi lain, identitas-
identitas mandiri tersebut memiliki hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Pandangan yang menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran (menurut penulis)
jelas sangat keliru. Karena bagaimana kita mengatakan kesatuan tanpa adanya keragaman,
kesatuan berarti memelihara keragaman. Inilah poros dan sistem yang berlaku dan tidak berubah.
Begitupun sebaliknya, kata keragaman atau plural (baca : pluralisme) berarti menunjukkan adanya
kesatuan dalam perbedaan/keragaman. Yang satu tersebut muncul (aktual/aktif) secara berlainan
sebagai unsur dalam suatu sistem, kesatuan bukan berarti kesamaan. Karena “sama” yang
dimaksud dalam hal sumber dan tujuan, tetapi wajib berbeda dalam hal fungsi dan eksistensinya.
161
64
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.32-35
65
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198
162
66
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan…, h.199
67
Berdasarkan sifatnya, kesatuan dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Kesatuan
dalam kategori kualitatif, yakni apabila satuan pengada (unsur) nya terlepas maka kesatuan
tersebut menjadi rendah kualitasnya. Misalnya manusia, (manusia terdiri dari kemajemukan seperti
kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya) bila unsur pengadanya semakin berkurang, maka
manusia secara kualitas menjadi lemah/rendah. Lebih jauh lagi bila keterpecahan unsur (bagian
tubuh dari manusia) tersebut melampaui ukuran, maka manusia akan mati. Begitupun agama, bila
nilai-nilai sejarah, ajaran, simbol dan tradisi nya hilang maka agama tidak akan dikenal atau
bahkan mati…, itulah sebabnya formalitas agama tetap dibutuhkan dan harus dipertahankan
karena ia adalah identitas yang membedakan dari agama yang satu dengan agama yang lain.
Kategori kedua adalah kesatuan berdasarkan sifat kuantitatif, pada kesatuan kuantitatif, apabila
terjadi keterpisahan maka keterpisahan itu hanya pada kuantitas, penyatuan yang terjadipun diukur
berdasarkan kuantitas. Misalnya pada sebuah batu bata (sebagai unum in se), bila batu bata
tersebut dipatahkan menjadi dua, maka nilai kualitasnya adalah sama sebagai batu-bata (tidak ada
pengaruh) hanya kuantitasnya yang berubah dari 500 gr misalnya menjadi 250 gr. Lihat : Frans
Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198
163
4. Ahl-al-Kitab
Istilah Ahlul Kitab sendiri berasal dari dua kata bahasa Arab yang
tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti
pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab
berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan
kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)69.
Term Ahlul Kitab disebutkan secara langsung di dalam al-Qur’an
sebanyak 31 kali dan tersebar pada 9 surat yang berbeda. Kesembilan surat
tersebut adalah al-Baqarah, Alu ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Ankabut,
al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan al-Bayyinah. Dari kesembilan surat
tersebut hanya al-Ankabut lah satu-satunya yang termasuk dalam surat
Makkiyah dan selebihnya termasuk dalam surat-surat Madaniyah
68
Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (1992), dan Huston
Smith, kata pengantar dalam Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (1984)
69
Klaim ini disandarkan atas argumen bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka nabi-
nabi yang membawa risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu kesatuan kenabian;
setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqoh, minhaj, mansakhnya masing-masing.. Siapa
ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011
166
70
Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011
71
QS Ali Imran ayat 113-115
167
72
Bagaimana menurut Anda bila ada istilah “Ahlul-Quran”, nampaknya kita
akan sepakat bahwa yang disebut ahlul-quran adalah yang mengamalkan ajaran-
ajaran al-quran, atau artinya bukan sembarang muslim saja dapat disebut ahlul-
quran. Begitupun dengan ahlul-kitab. Kita juga sering mendengar istilah
ahlussunnah wal jamaah, lalu siapakah ahlussunnah wal jamaah itu? Ada dua
jawaban, pertama; seluruh umat Islam sebagai penerima sunnah, kedua; hanya
umat Islam yang benar-benar menjalankan sunnah rasulullah saw. Dan lagi-lagi
kita akan lebih sepakat pada pengertian yang kedua.
170
73
Bahkan dualitas, trinitas atau polities sekalipun meyakini adanya
Tuhan sebagai Yang Tertinggi dan Ia (Yang Satu). Penyembahan (politeis)
terhadap tuhan-tuhan mereka tidak lebih dari sekedar simbol/oknum dari sifat-sifat
Tuhan (Yang Tertinggi). Dualitas sebagai baik dan buruk yang saling berperang
hanyalah manifestasi untuk menunjukkan sifat penyayang dan murka Tuhan.
Doktrin trinitas pada awalnya tidak lebih sebagai upaya penjabaran ke-Tunggal-an.
171
BAB V
KONSEP WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN PLURALISME AGAMA
A. Relevansi historis
Berdasarkan analisis historis pada bab sebelumnya, wahdat al-Adyan
dicetuskan al-Hallaj pada masa pemerintah Abbasiyah 'di bawah dominasi
kekuasaan bangsa Turki (tahun 847-945 M/ 232-334 H). Wahdat al-Adyan
kemudian menemukan menemukan momentumnya melalui ajaran-ajaran
Ibn ‘Araby yang merupakan murid al-Hallaj. Ibn ‘Araby hidup pada masa
Dinasti Muwahiddin (al-Mohad) yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu
Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min (551-580 H) lalu Khalifah Ya’qub bin
Yusuf Al-Manshur (580-595 H). Keduanya merupakan tokoh sentral
pencetus wahdat al-Adyan. Sedangkan pluralisme agama lahir dari
gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang
dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Kemudian pada awal
abad ke-20, seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch
mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya
konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Namun konsep ini
baru terlihat jelas, setelah John Hick menggagas pluralisme agama dengan
teologi globalnya. Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam
wacana pluralisme agama. Dialah orang yang paling banyak menguras
172
B. Relevansi epistemologis
Bila dilihat dari sudut pandang epistemologi para tokoh-tokoh
penggagasnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama juga tidak
memiliki epistemologi yang berkaitan; dalam arti keduanya berlainan dari
hujjah atau natijah keilmuan. Namun, bila mengacu pada relevansi
filosofisnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama, keduanya
memiliki kesamaan, berkaitan dengan teori filsafat emanasi. Hal ini
tertuang dalam ajaran Ibn ‘Araby tentang kesatuan wujud yang juga serupa
dengan teori emanasi. Ajaran al-Hallaj tentang Nur Muhammad yang juga
serupa dengan teori emanasi atau biasa diistilahkan dengan kata “tajalli”
dalam kajian tasawuf. Lebih lanjut, gagasan epistemologi John Hick yang
diilhaminya dari teori nomen dan phenomen Emanuel Kant, juga serupa
dengan ajaran Ibn ‘Araby tentang al-Wahid wa al-Katsir (Yang Satu dan
Yang Banyak). Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa relevansi
173
C. Relevansi Teologis
Berdasarkan relevansi epistemologis, maka relevansi teologis
wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah ajaran keduanya tentang
kesatuan teologis dan kesatuan Tuhan yang memandang bahwa apapun
nama, simbol atau atribut (teologi) yang digunakan manusia untuk
mengenal Tuhan, tidak akan secara penuh dan tuntas bagi manusia untuk
mengenali – (pengenalannya) – kepada Tuhan yang sebenarnya. Adapun
keragaman perbedaan nama, simbol dan atribut tersebut adalah
sunnatullah yang merupakan kehendak Tuhan.
Karena secara esensi, keragaman manusia berasal dari Pencipta
(baca : Tuhan) Yang Satu, sebagai umat yang satu (kesatuan umat),
dimana setiap umat memiliki rasul dan kitab yang satu (Kesatuan kenabian
dan kitab suci) – yang walaupun berbeda syariat, namun esensi wahyu
memilki nilai yang sama (satu), sehingga keragaman jalan / syariat/ agama
pada dasarnya menuju satu yang sama, yaitu Tuhan, – atau kesatuan
Tuhan (Unity of God).
Kesatuan teologis diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar
dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan yang adanya wajib ada
(Tuhan), menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya
mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam
skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut-relatif dan relatif-
absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak (absolut)
adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola
kerja sunnatullah (hukum kehidupan, hukum alam) sehingga kebenaran
tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya (seseorang, kelompok
atau yang lainnya) yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan
menjadi relatif (bagian dari) pada kebenaran yang lain, dengan
pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah (hukum alam) tetap terjaga.
174
Sikap dan inti ajaran semacam itulah pencarian tulus yang kontinu
dan meyakini adanya Tuhan, Hari Kebangkitan, dan setia untuk selalu
beramal saleh yang tampaknya harus menjadi keyakinan bagi para
manusia bumi ini. Sehingga keseimbangan dzikir dan pikir, psikis dan
fisik, jasmani dan ruhani, individu dan sosial, keselamatan dunia dan
akhirat, tetap terjaga, dan selalu terhias dalam segala perilaku keseharian.
Wallah'u a'lam bi al-shawwab.
1
Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan, Menjakin
Kebersamaan…, h.13-15
180
saat seseorang dihadapkan dengan teologi atau agama lain, disatu sisi ia
berpegang teguh pada teologi agamanya, namun disisi lain ia menyadari
dan secara proporsional menempatkan paradigma teologi universal untuk
berhadapan dengan teologi/agama lain.
Karena agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar
dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut
merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini,
sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri
adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia
metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat
pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan
pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan
keinginan umum (universal) dari hati manusia. Berdasarkan kerangka ini,
maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan
segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi. Ajaran-ajaran agama digali,
diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal.
Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap tinggal pada agamanya masing-
masing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang
baik dari agama lain sehingga tercipa “koeksistensi religius” bagaikan
sungai-sungai besar mengalir menjadi satu2
2
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202
181
3
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.77-79
182
4
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.51
5
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.115
6
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.52
183
maka posisi Tuhan lalu digeser lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi kenamaan,
Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia
tentang Dia. Bagi para mistikus, jalan masuk pada Tuhan yang dipilihnya
adalah pintu Kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Sang
Kekasih. Adapun para filosuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas
dan Kreatif.
Demikianlah seterusnya pluralitas persepsi dan keyakinan orang
tentang Tuhan akan selalu bertahan sepanjang zaman yang pada urutannya
akan melahirkan dan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan
pluralitas ideologi keagamaan.
Manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang
hari depannya, maka hendaknya kita membebaskan diri dari keberagaman
yang mekanistik dan manipulatif sebagaimana cara kerja ilmu
pengetahuan modern memanipulasi alam.
Seringkali tanpa disadari kita memposisikan Tuhan sebagai sumber
kekuatan yang dieksploitasi untuk memuaskan ego kita, bukannya Tuhan
sebagai sumber inspirasi dan kekuatan yang menumbuhkan dan
membebaskan manusia dari rutinitas perintah kredo agama dan kredo
tradisi yang memenjarakan. Keberagamaan seperti ini cenderung
melahirkan konflik antara iman dan ilmu pengetahuan modern yang
senantiasa melesat ke depan. Meminjam pendapatnya Arnold bahwa
agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi
atau esoterisme Tao, karena keduanya dinilai sangat humanis, inklusif. dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam.
Dengan ungkapan lain, agama masa depan yang ditawarkan adalah agama
yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme7., yaitu
madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek
sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya itu tumbuh
kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi pada Tuhan.
7
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.116-117
184
Agama masa depan yang muncul bukanlah agama yang terpisah dan
berbeda sama sekali dari agama-agama tradisional8. Berbeda dari teologi
tradisional yang amat menekankan sabda Tuhan yang diwakili oleh
lembaga agama dengan para tokoh-tokohnya yang cenderung doktriner,
teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup,
etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada
kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat
mistis.
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham
absolutisme, melainkan memilih apa yang oleh Swidler disebut
deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan
sebagai relatively absolute9. Dikatakan absolut karena setiap agama
mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena
klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah.
Johan Wolfgang von Goethe pernah membuat antisipasi tentang
kemunculan agama eklektik ini dan dia menamakannya dengan "Islam",
seperti dikutip oleh Annemarie Schimmel pada halaman awal bukunya:
“How strange that in every special case one praises one's own way! If
Islam means "surrender into God's will" it's in Islam that we all live and
die” 10..
Tentu saja pengertian Islam yang digunakan oleh Goethe akan
mengundang polemik. Tetapi setidaknya Goethe telah melihat tanda-tanda
zaman akan munculnya kesadaran beragama yang baru, yang mengatasi
tembok-tembok teologi agama tradisional meskipun tidak berarti agama
tradisional lalu kehilangan otentisitasnya.
8
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.117
9
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.118
10
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.118
185
11
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.126
186
12
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.132
13
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.133
14
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.134
187
No peace among the nations without peace among religious . No peace among
realigions without dialogue between the religions. No dialogue between the
religions without investigation the foundation of the religions.
188
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
tergenapi bila manusia hanya terikat pada syariatnya saja. Dengan kata
lain, Tuhan menyimpan hakikat dari agama-agama yang diturunkan-Nya
untuk digenapi oleh manusia. Bila manusia memanfaatkan potensi
intelektual dan spiritualnya maka manusia akan menemukan hakikat
(kesempurnaan) dalam setiap agama.
Sebagaimana diungkapkan pada bab-bab sebelumnya bahwa
permasalahan yang paling mendasar sekaligus inti dari setiap agama
adalah tentang keyakinan (akidah). Oleh sebab itu solusi terbaik adalah
memberi ruang pemahaman terhadap akidah agama-agama tersebut
dengan cara memisahkan garis eksoteris dan esoterismenya.
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar
istilah “titik temu agama-agama”. Berbeda dengan pluralisme yang lebih
populer dan sering didengungkan dalam kajian filsafat dan ilmu
pengetahuan keagamaan dewasa ini, nampaknya wahdat al-Adyan telah
kehilangan momentumnya dan mulai terlupakan dalam kajian-kajian ilmu
keislaman. Menurut hemat penulis, ada perbedaan unik diantara kedua
konsep tersebut (pluralisme agama dan wahdat al-Adyan) dilihat dari
embrio kemunculan dan perkembangannya. Perbedaan tersebut dapat
diidentifikasi dari disiplin ilmu dan tradisi keagamaan yang berkembang.
Wahdat al-Adyan merupakan ajaran yang lahir dan berkembang dari
tradisi tasawuf pada masa kebangkitan Islam di Timur Tengah hingga
Eropa yakni pada awal abad ke-11, beberapa sufi yang mengajarkan
konsep ini diantaranya adalah al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Hazrat Inayat Khan,
Muhaiyaden dan Jalaludin Rumi. Sedangkan pluralisme agama adalah
ajaran yang lahir dan berkembang dalam tradisi filsafat Barat dan dan
beberapa konsili gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-20 yang
diusung oleh para sarjana dan teolog Kristen diantaranya adalah John
Hick, Ernst Troeltsch, William E. Hocking, Arnold Toynbee dan Grover
Cleveland.
190
B. Saran
Abu Bakar, As-Sayyid Ibn Muhammad syata. Kifayat Al-Atqiya Wa Minhaj Al-
Syifa, trans; Menapak Jejak Kaum Sufi, Surabaya. Dunia Ilmu Offset.
1997
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din Karya al-Ghazali, terj. Purwanto,
Bandung Marja’ 2003
Al-Ghazali, Abu Hamid, Mutiara Ihya’ ‘Ulum Al-Din, terj. Irwan Kurniawan,
Bandung, Mizan, 2000
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta. Multi Karya Grafika. 2003
Al-Munawar, Husain Said Agil. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta. Ciputat
Press. 2005
Amin, Wadi’. A’lam Shufiyyah, Jurnal, Adab wa Naqd, Edisi 204, 2002
A.S, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada,
2002
Cyril Gkasse, Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1991
Dirks, Jerald F. Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen dan Yahudi.
terj. “Abrahamic Faiths”. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.2006
Ghazaly, Adeng Muhtar. Ilmu Studi Agama. Jakarta. CV. Pustaka Setia. 2005
Heer, Nicholas, Tafsir Esoteris Ghazali dan Sam’ani, Yogyakarta, Pustaka Sufi,
2003
Mahmud, Abdul Halim, Qadhiyat at-Tasawwuf al-Munqidz Min adh-Dh. al, Dar
al-Maarif, Kairo, 1119
Mahmud, Amir (ed.). Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim
Indonesia. Jakarta. Edu Indonesia Sinergi. 2005
Noor, Hasan M. (ed.), Agama di Tengah Kemelut. Jakarta. Media Citra. 2001
Qorib, Muhammad. Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi. Jurnal, Titik Temu.
No.2, Jakarta. NCMS. 2010
Rahardjo, M Dawam. Agama Masa Depan. www.korantempo.com
Romly, A.M. Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat. Jakarta.
Bina Rena Pariwara. 1999
Schuon, Fritjhof. Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity
of Religions. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1994
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada, 2002
Smith, Wilfred Cantwell. Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of
Religion. Bandung. PT. Mizan Pustaka. 2004
Subhani, Ja’far. Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat. Jakarta. Penerbit
Lentera, 2004
Suhanda, Irwan (ed), Damai Untuk Perdamaian. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
2006
Sulistio, Christian Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis
dari Perspektif Partikularis, www.seabs.ac.id
Sururin (Ed.). Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak.
Bandung. Penerbit Nuansa. 2005
Suseno, Frans Magnis. Menalar Tuhan, Jakarta. Kanisius. 2006
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Jakarta. PT. Remaja Rosdakarya. 2003
Zainal Abidin, Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang,
1975
www.almukmin-ngruki.com
www.islamlib.com
www.al-khilafah.org
www.nsistnet.com
www.republika.co.id