Anda di halaman 1dari 206

WAHDAT AL ADYAN DAN RELEVANSINYA

DENGAN PLURALISME AGAMA

Skripsi :
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam ( S.Pd.I)

Oleh:

FAJRI KHOIRULLAH
105011000053

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
ABSTRAK
Fajri Khoirullah, Wahdat al-Adyan dan Relevansinya dengan Pluralisme
Agama, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2010
Latar belakang pemilihan judul tersebut adalah karena ketertarikan penulis pada
dua konsep pemikiran yang kerap menuai polemik dan kontroversi yakni wahdat
al-Adyan dan Pluralisme agama, yang keduanya sama-sama membahas tentang
titik temu agama-agama. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi
yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang kedua konsep tersebut,
melalui pendekatan sosio-historis dan menganalisis landasan epistemologisnya
sehingga dapat diketahui relevansi teologis dan relevansi sosio-humanis yang
terkandung pada masing-masing konsep tersebut. Disamping itu, penulis juga
menyertai penelitian ini dalam perspektif syariat (fikih), agar diperoleh
keseimbangan (proporsionalitas) antara tasawuf, filsafat dan syariat. Metode
pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan teknik analisis
komparasional. Selain itu metode pembahasan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan sosio-historis dan epistemologis yakni Al-Hallaj, Ibn Araby dan John
Hick.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh adanya relevansi sosiologis-historis
berdasarkan tujuannya dalam meminimalisir konflik yang terjadi pada masa
dilahirkannya kedua konsep tersebut. Adapun relevansi epistemologisnya, maka
kedua konsep ini bertemu pada teori filsafat monisme Plato dan Aristoteles.
Monisme adalah keyakinan, bukan hanya bahwa segala yang ada merupakan
suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya segala-galanya adalah satu, segenap
kemajemukan dan perkembangannya adalah kosong (ilusi/maya), eksistensi-
eksistensi zahir tersebut merupakan emanasi dari yang satu. Monisme berdasarkan
kesadaran filosofis bahwa pada akhirnya realitas harus merupakan kesatuan.
Kemudian relevansi teologis keduanya adalah Unity of God yakni segala sesuatu
bersumber dan menuju pada Yang Satu yaitu Tuhan, sementara dari sudut
pandang eskatologisnya maka agama sebagai jalan yang memberikan keselamatan
dan kebahagiaan kelak di akhirat adalah bagi pemeluknya yang tunduk, pasrah,
berserah diri, tidak menyekutukan Tuhan dan senantiasa berbuat baik selama
hidupnya didunia. Sedangkan relevansi sosio-humanis adalah nilai-nilai etika
universal untuk mewujudkan toleransi, demokrasi dan perdamaian.

Dalam konteks keindonesiaan, maka tulisan ini bertujuan untuk menyegarkan ide-
ide demokrasi, hak asasi kemanusiaan, dan perdamaian berdasarkan nilai-nilai
keislaman, untuk selanjutnya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya
integritas bangsa kita (Indonesia) yang majemuk / plural. Sedangkan dalam
konteks keislaman, hendaknya kita tidak memahami ajaran-ajaran Islam secara
parsial dan sebaiknya memandang segala sesuatu dari substansinya ketimbang
dari beragam bentuk yang berbeda. Sebagai hamba-Nya yang mencari kebenaran,
hendaknya kita kembalikan kebenaran itu kepada Yang Mutlak, Sang Pemilik
Kebenaran. Wallahu A’lam.
KATA PENGANTAR

ِ‫ﺑِﺴْـﻢِ اﻟﻠﱠـﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَـﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿـﻢ‬

Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kehadirat Allah. Pemilik segala pujian, Maha Suci lagi Maha
Sempurna, Penggerak Utama segala daya, cipta, rasa dan karsa pada hamba-Nya.
Dengan Kehendak, Ilmu dan Cahaya-Nya jualah, penulis mampu menggenapi
huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat hingga tertunaikannya
penulisan ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah atas utusan-Nya Muhammad
SAW, pembawa risalah dan keselamatan, penyempurna semesta alam,
revolusioner teragung untuk setiap kelahiran dan seluruh sejarah kehidupan.
Demi setiap tetes keringat dan air mata, setiap untaian senyum dan doa,
segenap harap yang membekali jiwa, maka penulis persembahkan karya ini untuk
kedua orangtua tercinta (Ayahanda Sahir dan Ibunda Rokayah), dan kedua adik
tersayang (Ridwan Habibullah dan Arsyilah Pangastuti). Semoga Allah
merahmati dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.amin.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut
membantu selama proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini, atas segala
kesediaan, ketulusan, semangat, motivasi dan inspirasi merekalah penulis dapat
terus menumpahkan tinta-tinta pikiran diatas kertas-kertas kewajiban ini. Terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan, karena mereka telah menjadi
bagian dari kausalitas dan rotasi jalan kehidupan penulis.
Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak. Bahrissalim M.Pd.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak. Dr. Khalimi, M.Ag.
4. Dosen Penasehat Akademik, Ibu. Sururin, M.Ag.
5. Dosen Pembimbing Praktik Profesi Keguruan Terpadu, Bapak. Abdul
Haris M.Ag, dan Ibu. Heny Narendrani Hidayati, M.Pd.
6. (Abi Ta’lim) Guru sekaligus Orangtua Penulis, Uwa Dehir alias Ki
Banteng “Si Bujang Nanggung dari Parung”, beserta istri, Uwa Sami,
yang selalu mengingatkan penulis untuk tetap istiqomah, tawadhu,
tasyakur, tafakur, tawakkul, taqorrub, kepada Allah SWT.
7. Pe’ Gayung dan istri “Ci’ Embun” (penulis menganggap keduanya
seperti kakek dan nenek sendiri, meski keduanya beragama Kong Hu
Cu dan Kristen), Panjul dan keluarga (adalah teman penulis semasa
SD, dirumahnyalah penulis mengenal kasih sayang dari agama lain,
Kristen), Bu’ Beth dan Pa’ Usman (adalah guru penulis semasa SD,
mereka adalah keluarga dengan perbedaan agama, Islam dan Kristen.
Orangtua penulis memiliki hubungan persahabatan yang erat sehingga
penulis sering berkunjung kerumah mereka). Mereka semua
menginspirasi penulis untuk mencintai oranglain apapun agamanya,
karena dari mereka penulis juga dapat merasakan ketulusan,
kedamaian dan kasih sayang.
8. Teman-teman terbaik Sweeter Land; Depi “Tholob” Arisandi, Yudha
“Chamielz” Hadi, Roup “Kunyin” Abdul, Somad “Dhuby” Abdul, dan
Yusuf “Uchuf” Muhamad. Mereka adalah teman-teman yang selalu
ada disegala suasana dalam suka dan duka, khususnya dimeja
kehidupan dengan 52 lembar persegi tempat bermula dan berakhir,
tanpa akhir sebuah persahabatan.

9. Temen-teman F4 beserta keluarga, Andri Yann Cheng Xu (A-She),


Eko Wu Jian Hao (Ei-Chuo) dan Ardi Zhu Xiao Tien (Xi-men), dan “Si
Orang Kaya Baru” Hendrik “Idunk” Zhen Qing He.
10. My Senorita Cihuyy Partner, “hum hain rahin pyar ke, phir milenge,
chalte...chalte….”
11. Teman-teman seperjuangan, Kelas.B PAI angkatan 2005; Dedi, Arul,
Fathur, Maman, Syukron, Juned, Bang Aji, Yayan, Away, John, Icad,
Ibay, Irul, Akhsay, Tulus, Asep, Ridwan, Rubi, Uchay dan Uci.
12. Teman-teman sekolega dan sekosan; Fathul Munir, Riyan
Nurdiansyah, Najamudin, Ridwan afandi, Ujang Syahid, Mukhlisin,
Luthfi, Abidin Khusaeni, dan Akbar Khadafi.
13. Ne’ Ani, Ne’ Nani, Uwa Aminah, Uwa Asmani, Uwa Hata, Uwa Hj.
Emin, Kong Cilim, Bapa’ Warjoz dan Emak Kosan. Merekalah yang
selama ini menampung penulis.
14. Mimi Sayur Asin, Cici Geboy, Tika Madam Sahara, Bibi Mira Uni,
Nurul uyunk, Neng Sya-sya, Neng Yuni, Neng Rini, Ade’ Putri (Dhessy
Anita Dyah Saputri), Laita, Sera, Fisti Resti, Lila dan Ikrimah.
15. Angga Prasetya, Asep Awaludin, Dziky Jauharul Fikri, Ryna
Resnawati, Nova Amalia, Hani Nuraida, Ika Satriani, Murysida, dan
Nursyidah.
16. Encep “si bontot”, Ipang, Raden Oji, Nk-Cost, Time, Oya, Jecky,
Subur, Ade, Samsul, Jaja, Ijar, dan Mahrudin.
17. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada “Bapak dan Ibu
Warjos” yang menjadi kelas kuliah dari “kampus kehidupan”, tempat
berbagi rasa, bertukar pikir, mempelajari tiap gejala kerancuan realita
dari dosen-dosen kami yang bernama “alam sekitar”.
Semoga Allah memberi kebaikan bagi mereka didalam agama, di dunia
dan akhirat. Amin.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis meminta maaf atas
segala kekurangan, kealfaan dan kekhilafan dalam diri penulis, karena tak ada
yang sempurna maka penulis mohonkan kritik dan sarannya. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wa Allahu al-Mawafiq ila aqwami al-Thoriq.
Wassalamualaikum, wr.wb.

Jakarta, 06 Desember 2010

Fajri Khoirullah
DAFTAR ISI

ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………… 11
C. Metodologi Penelitian………………………………………… 14
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………… 17
BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA……………………… 18
A. Agama dan Keberagamaan…………………………………… 18
B. Agama dan Sikap Keagamaan……………………………… 21
C. Agama dan Gagasan Tentang Tuhan………………………… 30
D. Agama dan Tauhid…………………………………………… 38
E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Perenial……………… 43
F. Kesatuan Transenden Agama-agama………………………… 44
1. Mono dan Multi…………………………………………… 47
2. Bentuk dan Substansi……………………………………… 50
3. Relatif dan Absolut………………………………………… 52
4. Partikular dan Universal…………………………………… 54
5. Monoteisme Ibrahim……………………………………… 56
6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik…… 61
BAB III WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA………… 72
A. Wahdat al-Adyan……………………………………………… 73
1. Pengertian Wahdat al-Adyan……………………………… 74
2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan…………………………… 75
a. Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan………………… 76
b. Ibn Araby Pengukuh Wahdat al-Adyan……………… 81
3. Epistemologi Wahdat al-Adyan…………………………… 86
a) Epistemologi Al-Hallaj………………………………… 86
b) Epistemologi Ibn Araby……………………………… 93
B. Pluralisme Agama…………………………………………… 101
1. Pengertian Pluralisme Agama…………………………… 102
2. Sosio-historis Pluralisme Agama………………………… 105
3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick…………… 110
4. Kutub-kutub Pluralisme Agama, Motif dan Orientasi… 114
BAB IV WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA DALAM
PERSPEKTIF SYARIAT…………………………………… 125
A. Korelasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 129
B. Integrasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 133
C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama
dalam Al-Quran…………………………………………… 139
a) Pluralisme dalam Masyarakat Islam………………… 139
b) Pluralisme Agama dalam Al-Quran………………… 140
c) Kesatuan Teologis…………………………………… 156
d) Ahlul Kitab…………………………………………… 165
BAB V WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN PLURALISME AGAMA…………………………… 171
A. Relevansi Historis…………………………………………… 171
B. Relevansi Epistemologis……………………………………… 172
C. Relevansi Teologis…………………………………………… 173
D. Relevansi Sosio-humanis……………………………………… 175
E. Orientasi Logis………………………………………………… 177
F. Orientasi Etis………………………………………………… 180
BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 188
Kesimpulan……………………………………………………… 188
Saran……………………………………………………………… 191
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama merupakan bagian kehidupan sebagian besar umat manusia.
Oleh karena itu kehidupan beragama akan tetap menjadi bagian yang tak
terpisahkan bagi kehidupan umat manusia dari zaman ke zaman.
Agama bukan sekedar keyakinan hasil refleksi intelektual semata,
melainkan juga sebagai suatu jalan dan cara hidup. Dengan kata lain, agama
menyangkut seluruh hidup manusia. Jadi agama bukan hanya mengenai
kebenaran melainkan juga mengenai perasaan dan suasana hidup manusia.
Menurut A.M Romly (1999 :1), agama merupakan kiprah manusia
yang bersumber pada sikap percaya kepada Tuhan. Sikap percaya kepada
Tuhan tersebut disertai dengan penyerahan diri secara menyeluruh, yang
diwujudkan antara lain dengan kepatuhan terhadap ajaran-ajarannya1. Oleh
sebab itu agama bukanlah sekedar pengetahuan melainkan suatu pendirian
eksistensial yang juga berhubungan dengan perasaan dan perbuatan. Dengan
demikian kita dapat melihat bahwa agama berdasarkan fungsinya
membimbing manusia kearah kehidupan rohaniahnya. Istilah fungsi yang
dimaksudkan disini ialah sumbangan dan peran agama (lewat ajaran-

1
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat, (Jakarta : Bina
Rena Pariwara, 1999), h.1
2

ajarannya yang bersifat normatif) yang diberikan kepada manusia dalam


meniti kehidupannya di dunia ini2.
Agama sebagai jalan hidup, hal ini diyakini bahwa ajaran agama
adalah satu-satunya yang memiliki kebenaran holistik, absolut dan abadi
karena bersumber dari Tuhan. Oleh sebab itu, agama diyakini pula sebagai
jalan keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di
akhirat, selain sebagai jalan menuju kehadirat Tuhan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa agama memberi dan menjamin kepastian hidup manusia.
Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia ini telah
tumbuh dan berkembang berbagai agama yang sudah barang tentu setiap
agama memilki konsepsinya tentang Tuhan serta tentang ajaran-ajaran
kebenaran dan jalan keselamatan. Sehingga pergumulan intelektual manusia
dari zaman ke zaman hanya berkutat pada perdebatan tentang konsep teologis
agama-agama.
Diantara banyaknya agama-agama di dunia, agama manakah yang
paling benar dan menunjukkan jalan keselamatan? Bila setiap agama
memiliki tuhannya masing-masing, maka banyak agama berarti banyak tuhan,
lalu tuhan manakah yang sebenarnya (The Real Ultimate / Tuhan) itu? Apa
yang mendasari pluralitas keagamaan dan pengenalan Tuhan terhadap agama-
agama? Mengapa terjadi eksistensi keberagamaan yang beragam, serta apa
dibalik tujuan Tuhan mengenai keberanekaan yang dikehendaki-Nya?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam hal ini manusia
dihadapkan pada kebingungan teologis antara harus menerima atau
menolaknya.
Sebagaimana dalam agama Islam, pada dasarnya seluruh agama
mengajarkan kepada pemeluknya tentang doktrin kebenaran dan jalan
keselamatan, untuk kemudian ajaran-ajaran tersebut menjadi misi bagi para
pemeluk agama dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran-ajaran
agamanya. Melalui ajaran-ajaran inilah manusia berkomitmen terhadap

2
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.79
3

agama yang dianutnya, namun demikian komitmen terhadap agama juga


dapat menumbuhkan dua sikap yang berbeda, yakni inklusif dan ekslusif3
Adanya pendistorsian ajaran-ajaran agama sampai kepada
ekslusivisme terhadap ajaran-ajaran tersebut telah berlangsung seiring dengan
munculnya agama-agama di dunia. Bila kita melihat sejarah tentang agama-
agama (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam), memang selalu identik dan
kontras dengan kekerasan dan peperangan. Sejarah mencatat keterlibatan tiga
agama samawi tersebut dalam berbagai konflik dan pertikaian yang hingga
saat ini masih membiuskan kebencian diantara sebagian penganutnya.
Mungkin dapat dikatakan sebagai suatu “warisan historis” yang bersifat
sentimentil, kondisi yang sangat memprihatinkan, karena bila keadaan ini
dibiarkan terus berlanjut maka layaknya sebuah “kanker universal” yang
bukan hanya merusak tatanan hidup sosio-budaya dan politik melainkan juga
berimplikasi pada kehidupan manusia baik secara nasional dan internasional
dalam bingkai yang ekslusif.
Perlu dipahami bahwa pendistorsian nilai-nilai kebenaran yang dianut
sampai kepada ekslusivitas pembenaran suatu agama terhadap kebenaran
agama lain dapat menyebabkan terhapusnya substansi ajaran yang dimiliki
agama itu sendiri, juga dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai humanis serta
menjauhkan kita terhadap universalitas kehendak Tuhan.
Sikap ekslusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan
pluralitas agama semacam ini sesungguhnya merugikan diri sendiri, karena
mempersempit bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru yang dapat
membuat hidup ini lebih lapang dan kaya. Kita tidak bisa mengingkari adanya
kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami

3
Bagi para pemeluk agama yang cenderung menempuh jalan ekslusif, mereka
menunjukkan sikap “keras” terhadap orang lain karena adanya klaim kebenaran pada agamanya
sendiri. Mereka menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna, sedang agama
lain dianggap salah dan menyeleweng, atau ostilah apa saja yang menimbulkan permusuhan.
Sebaliknya, komitmen terhadap ajaran sendiri dapat pula menumbuhkan sikap inklusif, yang
pengalamannya lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai
ajaran agama tersebut. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui karena ajaran agama
diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk
permusuhan. (Lihat : Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta
: LKiS, 2002, Cet.1, h.1)
4

deviasi atau penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya 4. Tetapi


arogansi teologis yang memandang agama lain sesat dan tidak akan
memperoleh jalan keselamatan, sebaliknya justru menjauhkan kita dari
substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan mengajak kepada jalan
kebenaran. Konflik-konflik teologis yang terjadi pun bukan hanya notabene
berbeda tetapi juga terjadi dalam suatu komunitas seagama5
Nampaknya kita perlu menelaahi bahwa terjadinya konflik diantara
pemeluk agama tidak berlandaskan pada akidah semata, tetapi juga adanya
latar belakang politis, budaya dan ekonomi yang menjadi pemicunya. Unsur-
unsur politik itu dapat kita analisis berdasarkan sejarah pemerintahan dan
kondisi keagamaan masyarakat pada masa itu6
Walau bagaimanapun, penggunaan agama sebagai tameng untuk
kepentingan dan tujuan politis ini telah mengorbankan kesucian agama,
dimana setiap agama mengajarkan untuk hidup dan membawa perdamaian
universal bagi umat manusia.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, konflik antar agama lahir
dari sentimen publik yang merasa kecewa terhadap penindasan, kesewenang-
wenangan dan hegemoni politik terhadap kaum lemah (miskin) dan minoritas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat rentan terhadap arogansi
individu dan kelompok, tindakan-tindakan radikal bahkan pemberontakan.
Hal ini didasari karena adanya rasa ketidakberdayaan menghadapi ketidak-
adilan (merasa terdiskriminasi) yang akhirnya memicu pemberontakan yang

4
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial, (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet.1, h.9
5
Sejarah membuktikan kepada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara
satu aliran dengan aliran lain. Bentrokan semacam ini semakin menjadi ironi, ketika ternyata yang
muncul dan yang menjadian isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Simbiose pandangan
politik teologis ini selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekslusif dan potensial bagi
munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran. (Komarudin Hidayat,
Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.9-10)
6
Menurut sudut pandang penulis, setidaknya ada dua unsur politik, pertama karena
adanya keinginan legitimasi keagamaan oleh kaum mayoritas sehingga melahirkan sikap
mengintimidasi, mengintervensi bahkan mengekspansi kaum minoritas. Kedua, karena adanya
kekhawatiran dari kaum minoritas terhadap hegemoni politik dalam suatu masyarakat atau
pemerintahan yang berlandaskan pada suatu agama tertentu sehingga melahirkan pemberontakan
untuk menjatuhkan dan merubah pemerintahan
5

dilakukan dalam bentuk teror-teror. sementara itu, bila kita telusuri lebih jauh
lagi, pertikaian yang terjadi beberapa abad belakangan ini cenderung dipenuhi
arus kecurigaan dari konflik-konflik sejarah yang terjadi dimasa lalu,
sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Timur Tengah (Irak, Palestina
dan Afganistan), Asia Selatan (India dan Pakistan), Maupun di kawasan Asia
Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand). karena memang
negara-negara tersebut diatas memiliki sejarah kelam konflik politik, sosial
dan budaya, yang kemudian berimbas pada konflik antar agama7.
Pertikaian antar agama yang terjadi di masa lalu (khususnya Yahudi,
Kristen dan Islam), kini telah menampakkan wujudnya dalam sebuah
formalitas dan legalitasnya sebagaimana yang sering kita dengar dengan
istilah “The Holy War” atau perang suci8. Istilah perang suci inilah yang
dijadikan landasan pembenaran untuk mengintervensi dan mengintimidasi
agama lain.
Setidaknya hal ini membuktikan bahwa pertikaian antar agama telah
menjelmakan bentuknya sebagai momok yang menakutkan dan meresahkan,
apalagi diiringi dengan penindasan dan teror yang akan menggoreskan trauma
mendalam pada kehidupan umat manusia.
Kiranya inilah yang penulis maksudkan dengan ”warisan historis”9
yang dipenuhi kebencian, prasangka buruk dan kecurigaan yang melekat pada

7
Menurut pandangan penulis, meski agama bukanlah sumber konflik, tetapi memang
agama memiliki potensi konflik, dikarenakan agama memiliki kekuatan massa dengan berbagai
doktrinnya. Maka dalam hal ini, mereka yang bertikai sengaja menjual (memanfaatkan) semangat
perjuangan umat (penganut) agama untuk meraih simpati, dukungan kekuatan dan kekuasaan.
Sedangkan mereka yang menjadi obyek sasaran adalah para pemeluk agama yang memiliki
pandangan ekslusif. oleh karena itu, inilah yang penulis maksud, bahwa ekslusivisme beragama
dapat menimbulkan potensi konflik.
8
Perang suci atau Holy War adalah istilah yang dulu digunakan pada peristiwa perang
salib. Saat ini istilah perang suci digunakan untuk misi penyelamatan diluar gereja / agama Kristen
karena klaim kebenaran mutlak yang dimilikinya, secara terorganisir dan sistematis adalah upaya
para orientalis kristiani. Istilah perang suci juga digunakan umat islam untuk mengabsurdkan nilai-
nilai dan makna jihad.
9
Sebagai contoh warisan historis pertentangan antar agama yang paling dikenal dalam
sejarah adalah pertentangan antara Islam dan Kristen. Pertentangan ini pada tahap
perkembangannya telah memecah dunia pada garis imajinatif Timur dan Barat. Timur identik
dengan Islam, yang berarti pula Negara-negara terbelakang, bodoh, miskin, biadab dan teroris.
Gambaran-gambaran demikian, sangat kental dengan masyarakat Islam yang tersebar dikalangan
masyarakat Barat akibat ulah para orientalis. Demikian pula sebaliknya, barat identik dengan
6

sebagian pemeluk agama, sehingga konflik apapun yang terjadi selalu saja
dikaitkan dengan permusuhan antar pemeluk agama pada masa lampau, untuk
kemudian menganggap penganut agama lain sebagai musuh yang harus
diperangi. Pola pikir seperti ini baik secara konstan maupun terstruktur
menimbulkan tindakan yang radikal terhadap pemeluk agama lain.
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa fanatisme dan eklusivisme yang
berlebihan dapat menimbulkan kebencian serta tindakan yang radikal. Selain
itu, radikalisme antar pemeluk agama juga dapat disebabkan dari
ketidakpuasan terhadap suatu sistem ideologi yang dianut dan berkembang
pada suatu Negara. Dewasa ini, sikap radikal menjadi lebih luas lagi, bukan
hanya dikarenakan fanatisme, kebencian dan ekslusivisme melainkan sebagai
reaksi ketidakpuasan dari kegagalan modernisme, libelisme dan sekulerisme.
Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, baik modernisme, libelisme dan
sekulerisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan ketenangan hidup,
tetapi sebaliknya hanya menyengsarakan dan menciptakan tirani global srta
makin menumbuhkan tatanan-tatanan primordial yang terbelakang.
Arus globalisasi, migarsi dan multikulturalisme makin menambah
persoalan hidup bersama bagi masyarakat multi budaya dan agama seperti
Indonesia. Ditambah lagi perkembangan ideologi agama-agama dan bentuk
spiritualiatas baru yang muncul bak jamur di musim hujan. Disinlah mengapa
suatu paradigma baru misi agama-agama menjadi amat mendesak10.
Perubahan paradigma yang diperlukan adalah upaya pencarian guna
memahami penyelamatan sebagaimana yang diekpresikan dalam agama-
agama lain
Masing-masing penganut agama semestinya memiliki kesadaran dan
kesamaan prinsip teologis “the One of Many” atau “the One God” adalah
bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua manusia yang

penjajah, Kristen, arogan dan amoral. Perbedaan persepsi ini diakibatkan mis-informasi, pada
akhirnya berimplikasi pada semakin melebarnya jurang dan pertikaian antara Timur dan Barat.
Lihat : Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia,
(Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005), h.212
10
Muhammad Ali, Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin
kebersamaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003), cet. 1, h.11
7

termanifestasi dalam berbagai nama, bukan Tuhan dalam pengetahuan


manusia yang diperoleh dari sejarah dan budaya semata yang tersistematisasi
oleh doktrin melainkan pengenalan kepada Tuhan melalui penghayatan dan
“cinta” yakni dengan penggalian makna keagamaan yang terkandung dalam
wahyu (kitab suci) sebagai pesan moral ajaran Tuhan. Inilah suatu orisinilitas
ketauhidan secara kritis tanpa alih-alih dan batas ekslusif sebagai suatu
kebenaran absolut dan kekal. Semangat ajaran seperti inilah yang diterapkan
oleh kaum sufi dalam tasawufnya dan kaum Sophia-perenis dalam filsafat
perenialismenya.
Dalam babak baru sejarah umat manusia saat ini, kita sering
mendengar istilah “New Age” – suatu istilah yang muncul baru-baru ini
(memasuki millennium ketiga) adalah suatu “konspirasi universal” tentang
semangat manusia mencari “romantisme mistik-spiritual” dalam menghadapi
krisis sosial kehidupan umat manusia. Istilah New Age tidak lain adalah untuk
membentuk millennium baru yang menggambarkan / mencita-citakan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan
keharmonisan hidup beragama dan bermasyarakat dalam tatanan global.
Manusia pada saat ini membutuhkan agama yang humanistik dan
universal sebagaimana pada terkandung dalam ajaran agama, bukan wajah-
wajah kekerasan yang menutupi substansi keramahan agama. Dalam hal ini
kita tidak boleh memahami New Age sebagai gagasan yang berupaya untuk
me-relatif-kan agama-agama atau bahkan membentuk suatu agama baru
(teologi global), melainkan perlu dipahami bahwa New Age berupaya untuk
menghapus adanya standar ganda11 (claim of truth and claim of salvation)

11
Standar ganda yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya (agamanya) dan
orang (agama) lain. Terhadap agama yang dianutnya, maka standar yang digunakan bersifat ideal
normatif, bahwa agamanyalah yang paling benar dan otentik dari Tuhan sedangkan agama lainnya
salah. Hal ini dikarenakan standar yang digunakan dalam melihat agama lain berbeda dengan
standar yang digunakan untuk agamanya, maka standar yang digunakan untuk agama lain hanya
berdasarkan realitas historis, bahwa agama lainnya adalah konstruksi pemikiran manusia atau telah
diselewengkan oleh manusia. Standar ganda atau standar kebenaran yang dipakai oleh sebagian
pemeluk agama sebagai fundamen mengejawantah kebenaran selain kebenaran yang dimilikinya.
Mereka mengatakan bahwa kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dari Tuhan, Standar
ganda juga dipakai untuk melegalkan legitimasi tindakan dan anarkisme terhadap agama agama
8

yang dijadikan landasan pengkafiran dan diperbolehkannya memerangi umat


agama lain. New Age mengantarkan manusia pada pemahaman kesetaraan
hak asasi manusia serta keimanannya di hadapan Tuhan, New Age merupakan
suatu ideologi universal yang membangkitkan nilai-nilai humanis yang
dicitrakan oleh agama.
Era kebangkitan agama-agama ini semestinya bukan hanya harapan
semata, meski tidak dapat kita pungkiri bahwa hingga saat ini permasalahan
mengenai agama-agama masih mencari suatu formula yang efektif bukan
hanya pada tataran teoretis-konsepsional melainkan juga pada tataran yang
praktis dan konkrit. Hal-hal yang jelas nyata, karena tidak semua pemeluk
agama dapat dengan mudah memahami tujuan konseptual para cendikia dan
pemuka agamanya. Walaupun dalam tataran praksisnya setiap umat agama
mengharapkan keharmonisan beragama tetapi seringkali gagasan konseptual
tersebut (saat memasuki ranah publik) menjadi “mentah” dan menuai polemik
bahkan “bumerang” baik secara internal seagama maupun antar umat
beragama.
Ditengah kenyataan pluralitas (sosio-religio) dewasa ini, perbincangan
mengenai titik temu agama-agama semakin terasa menghangat. Hal ini
dikarenakan pergaulan antara agama dalam kehidupan sehari-hari semakin
terasa intens. Intensitas pergaulan antar agama tersebut menuntut manusia
untuk dapat memposisikan eksistensi teologisnya diantara agama-agama lain.
Untuk dapat hidup berdampingan kita harus memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang hakikat agama dan memandangnya secara rasional dan
terbuka agar tidak terjebak dalam dikotomi dan distorsi kebenaran,
memisahkan sekat-sekat perbedaan eksoteris dan menyatukan persamaan
esoteris akan menuju pada sikap keberagamaan yang toleran, meredam
pengakuan superior dan menyadari eksistensi agama lain adalah sikap
kerendahan hati menerima rahmat Tuhan. Demikianlah Tuhan menetapkan

lain. Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama, (Jakarta : CV. Pustaka Setia, 2005),
Cet.1, h.25
9

keniscayaan pluralitas sebagai sunnah-Nya agar manusia dapat menjaga


kemajemukan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Bahwa sesungguhnya lewat ajaran agama, Tuhan telah menyampaikan
pesan universal-Nya, yakni pesan moral kepada seluruh umat manusia yang
dirisalahkan melalui para utusan-Nya. Pesan moral ajaran Tuhan inilah yang
harus kita wujudkan tanpa memandang perbedaan dan menyatukan kesamaan
yang terkandung dalam setiap agama serta berupaya mencari kebenaran
ajaran Tuhan yang hakiki. Dengan demikian manusia telah menjalankan
fungsinya sebagai makhluk / hamba (‘abid) Tuhan. Menjaga persatuan serta
perdamaian dimuka bumi dengan cara mengaktualisasikan ajaran agama
tersebut dengan baik dan benar, berarti manusia telah menjalankan fungsinya
sebagai wakil / pengganti (khalifah). Lebih dalam lagi, sifat tersebut akan
mengantarkan manusia menemukan esensi agamanya yang secara implisit
dan substansial telah mengokohkan keimanan serta kemurnian iman kepada
Tuhan.
Hal inilah yang terus diupayakan para elite/pemuka agama dengan
menggali landasan-landasan historis, filosofis dan epistemologis antar agama
untuk kemudian memberi kesepahaman logis serta konsekuensi teknis yang
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tren harmonisasi agama-agama dapat kita temukan dari dua konsep
yang selalu menuai polemik dan kontroversi yakni konsep kesatuan agama-
agama atau lebih dikenal dalam dunia tasawuf dengan wahdat al-Adyan dan
konsep kemajemukan agama atau lebih dikenal dalam dunia filsafat dengan
pluralism agama. Kedua konsep tersebut masing-masing lahir dari sosio-
historis, landasan filosofis dan epistemologis yang berbeda, namun keduanya
sama-sama bertujuan untuk mencari titik temu agama-agama.
Perlunya pemahaman yang lurus mengenai wahdat al-Adyan dan
pluralisme agama sehingga kedua konsep ini tidak lagi menjadi pro-kontra
akan tetapi kita perlu memandangnya sebagai ajaran tentang sikap saling
menghormati dan menghargai antar pemeluk agama sehingga mereka yang
bertentengan ideologi tidak lagi saling menyalahkan atau mengkafirkan.
10

Adapun beberapa diantara pengertian wahdat al-Adyan dan pluralisme


agama adalah :
“Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama-
agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula.
Perbedaan yang ada hanya bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama
apapun dapat dipahami setara karena sumbernya satu, yakni Tuhan.
wahdat al-Adyan menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang
lain sekaligus ia mengajarkan agar seseorang patuh dan konsisten
pada ajaran masing-masing. Oleh karena itu konsep ini sama sekali
tidak mengarahkan pada upaya menyatukan agama-agama12
“Pluralisme adalah sikap atau paham terhadap keadaan majemuk, baik
dalam konteks sosial, politik, budaya maupun agama. Dengan
demikian yang dimaksud dengan pluralisme keagamaan adalah
terdapat lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi yang hidup
berdampingan dan saling berinteraksi antara satu agama dengan
penganut agama lainnya atau dalam pengertian lain, setiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati
hak agama orang lain, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Jadi pluralisme keagamaan bukan menciptakan agama baru atau
sebuah ideologi alternatif yang menggantikan atau setara dengan
ideologi agama yang bersifat Ilahiah13.
Dapat dikatakan bahwa dari kedua konsep tersebut eksistensi agama-
agama adalah entitas yang harus diterima dan diakui oleh manusia. Manusia
tidak lagi dipandang dari segi agama yang dianutnya sebagai tolak ukur
dalam pencapaian kebenaran Tuhan karena yang berhak menentukan hal
tersebut adalah Tuhan (sendiri).
Hal yang paling menarik dari paham wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama menurut penulis adalah dari sisi persamaan sekaligus perbedaannya,
karena kedua konsep ini digunakan sebagai solusi alternatif untuk
permasalahan agama-agama di dunia. Kedua konsep yang nampaknya sama
namun juga berbeda sehingga memerlukan analisis lebih jauh, apakah
kandungan dari kedua ajaran tersebut ternyata memang sama, hanya saja
dikemas dalam term yang berbeda? Apakah ada keterkaitan yang saling
mengilhami sehingga memungkinkan bahwa ajaran pluralisme telah
terkandung (merupakan bagian dari) ajaran wahdat al-Adyan, atau sebaliknya

12
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.2
13
Amir Mahmud (ed), Islam dan Realitas Sosial…, h.209
11

ajaran wahdat al-Adyan telah terkandung (bagian dari) ajaran pluralisme?


Dalam hal ini diperlukan suatu analisis sosio-historis dan epistemologis serta
meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosio-
humanis, sehingga dapat terlihat ada atau tidaknya relevansi diantara kedua
konsep tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis bermaksud menganalisis
kedua konsep tersebut dan mencari relevansi (keterkaitan dan kesesuaian)-
nya, sehingga penelitian / penulisan ini diberi judul “WAHDAT AL-ADYAN
DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
kiranya penulis mengidentifikasikan masalah, sebagai berikut :
a. Minimnya sikap toleransi disebabkan ekslusivisme pemeluk agama
terhadap ajaran agamanya
b. Penyampaian doktrin keagamaan yang dikemas secara ekslusif dan
radikal serta penggunaan ajaran agama sebagai pengabsahan
mengintervensi dan mengintimidasi pemeluk agama lain.
c. Adanya sejarah kelam bentrokan antar agama dimasa lalu yang
hingga kini masih menyisakan benih-benih kebencian, prasangka
buruk dan permusuhan.
d. Agama kerap dituduh sebagai sumber konflik dan perpecahan,
yang sesungguhnya konflik, bentrokan dan perpecahan yang terjadi
tidak semata disebabkan perbedaan akidah semata melainkan juga
disebabkan oleh faktor politik, sosial, ekonomi dan budaya.
e. Para pemeluk agama membutuhkan formulasi tepat ditengah
realitas plural kehidupan-keagamaan, guna memposisikan
keyakinannya terhadap agama lain, meredam konflik dan
menciptakan keharmonisan baik dalam kehidupan seagama
maupun antar agama.
12

f. Masih kurangnya kesadaran terhadap pluralitas, bukan hanya


menghormati dan menghargai tetapi juga dengan membuka diri dan
menerima secara mendalam nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
dalam setiap ajaran agama. Umat beragama dituntut untuk
mengedepankan prinsip-prinsip etis dan humanis sebagai bagian
dari tujuan dan perwujudan agama.
g. Pentingnya upaya mencari titik temu agar sesama manusia (umat
agama) dapat hidup harmonis dan berdampingan. Sayangnya upaya
mencari titik temu ini masih dianggap tabu (karena berada pada
level esoteris dan cenderung bersifat falsafi) dan banyak diantara
umat beragama yang enggan bahkan cenderung takut untuk
memahami ajaran agama-agama lain karena dianggap akan
berdampak pada kegoyahan iman atau konversi agama. Padahal
upaya ini selain memperkaya nilai-nilai kebenaran juga
memperkokoh keimanan seseorang terhadap agama yang
dianutnya.
h. Beberapa gagasan alternatif yang dikemukakan dalam tujuan
harmonisasi agama-agama adalah ajaran wahdat al-Adyan dan
pluralisme agama. Namun hingga saat ini, kedua gagasan tersebut
masih menuai polemik baik pada tataran teoritis maupun
praktisnya. Sehingga diperlukan pemahaman yang lurus mengenai
kedua ajaran tersebut. Sehingga tidak lagi menjadi menjadi
kontroversi dan polemik dikalangan akademis dan intra agama,
agar dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

i. Bila dilihat dari ajarannya tentang ketuhanan dan kemanusiaan


(antara wahdat al-Adyan dan pluralisme agama), keduanya nampak
memiliki kesamaan orientasi. Kedua konsep yang nampaknya
sama, tetapi juga berbeda berdasarkan latar belakangnya tradisi
intelektual dan keilmuan (antara tasawuf / Islam / dunia Timur
dengan filsafat / Kristiani / dunia Barat), sehingga diperlukan
13

analisis yang lebih jauh, apakah kandungan nilai-nilai dasar dan


prinsip ajaran dari kedua konsep tersebut memiliki relevansi
dengan menganalisis sosio-historis dan epistemologis serta
meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis
maupun sosio-humanis.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis perlu
membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan diteliti. Adapun
pembatasan dan perumusan masalah penelitian ini adalah:
a. Makna agama, substansi agama, esoterisme agama-agama, al-
Islam dalam monoteisme Ibrahim, serta kesatuan transenden
agama-agama,
b. Konsep Ketuhanan dari setiap agama-agama, konsep ketauhidan
sebagaimana dalam Fithrat al-Ibrahim, serta Tuhan sebenarnya
yang terlepas dari semua/berbagai konsep yang ada.
c. Perdebatan mengenai Ahl-al-Kitab, siapa sajakah sebenarnya yang
disebut Ahl-al-Kitab dalam al-Quran apakah sebatas umat Yahudi
dan Nasrani saja atau semua pemeluk agama selain Islam, serta
perdebatan tentang masih adakah Ahl-al-Kitab hingga saat ini.
d. Landasan sosio-historis dan epistemologis konsep wahdat al-
Adyan dan pluralisme agama
e. Prinsip dasar, orientasi dan tujuan wahdat al-Adyan dan
pluralisme agama
f. Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama dalam perspektif syariat
g. Relevansi berdasarkan sosio-historis dan epistemologis wahdat al-
Adyan dan pluralisme agama
h. Relevansi teologis dan sosio-humanis wahdat al-Adyan dan
pluralisme agama.
14

C. Metodologi Penelitian
1. Sumber Penelitian
Skripsi ini merupakan upaya penelitian yang dilakukan melalui
studi kepustakaan ( library research), yaitu dengan mengumpulkan data-
data, yang berkenaan dengan kajian konsep wahdat al- Adyan dan
pluralisme agama sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder.
Diantara sumber referensi primer (Primary Reference) dalam penulisan
skripsi ini adalah buku Wahdat al-Adyan ; Dialog Pluralisme Agama
karya Fathimah Usman, Tasawuf Perenial karya Kautsar Azhari Noer dan
Agama Masa Depan dalam Perspektif Filsafat Perenial karya Komarudin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam karya Simuh, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran karya Gamal al-
Banna, Al-Quran Kitab Toleransi ; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme karya Zuhairi Misrawi, Melampaui Pluralisme ; Etika
Al-Quran tentang Keragaman Agama karya Hendar Riyadi dan Pluralisme
Agama dalam Islam ; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan karya Jalaludin
Rakhmat. Sedangkan untuk sumber referensi sekunder (Secondary
Reference), yakni sejumlah karya-karya ilmiah dalam bidang kajian
tasawuf, dan filsafat yang mendukung teori / konsep wahdat al- Adyan dan
pluralisme agama.

2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif-
analisis, sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis komparasi
dengan pendekatan berdasarkan sosio-historis, dan epistemologis14.

14
Pada umumnya komparasi adalah mempelajari pola-pola atau tipe-tipe yang
terjadi untuk menentukan secara analitis faktor-faktor yang membawa kesamaan dan
perbedaan pola dan tipe tersebut. Biasanya dalam studi komparasi dilibatkan pula
pendekatan historis dan fenomenologis yang terjadi untuk dapat menginterpretasi fakta,
konsepsi, makna dan ekspresi psikologis baik yang bersifat individu, kelompok ataupun
masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengkomparasikan konsep yang berarti
dibutuhkan analisis historis-fenomenologis dan epistemologis yang berlaku, melatar-
belakangi dan terkandung dalam konsep-konsep tersebut. Selain itu diperlukan pula
bidang kajian sosiologis antropologis, psikologis dan hermeneutis untuk mendeskripsikan
15

Artinya setelah data-data diperoleh kemudian dibahas dengan memberikan


gambaran deskriptif tentang masalah yang diteliti dan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan pendekatan historis lahirnya paham
Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama beserta tokoh-tokoh pendirinya,
kemudian disertai pula dengan pendekatan epistemologis ajaran Wahdat
al- Adyan dan pluralisme agama. Dengan demikian dapat diperoleh
gambaran yang jelas tentang konsep Wahdat al- Adyan dan pluralisme
agama.
Untuk metode pembahasan / penulisan dalam skripsi ini, penulis
lebih cenderung menggunakan tehnik hermeneutika Paul Ricoeur,15 yang
lebih mengarah pada proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna
yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol
dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau
sastra. Studi Ricoeur ini membedakan antara simbol univokal dan
equivokal; simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai,
seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal
adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika. Karena hermeneutika harus
terkait dengan teks simbolik yang memilik multi makna ( multiple
meaning ); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna
permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai
signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi
mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.16

keterkaitan atau eksistensi konsep-konsep yang tengah diteliti. (Lihat : Adeng Muhtar
Ghazaly, Ilmu Studi Agama…, h.87
15
Arti hermeneutik yang dimaksudkan di sini adalah analisis yang mengarah
pada interpretasi penuh atas fakta-fakta pemikiran dan pandangan al-Hallaj tentang
Wahdat al-Adyan dan John Hick tentang Pluralisme Agama. Dilengkapi dengan analisis
fenomenologi, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan
interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Lebih lanjut Paul Ricoeur berpendapat “
Yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan
potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks ”. De l’intretation (
1965).
16
Palmer, E, Richard, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. Ke I, November 2003, h.48
16

Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang


berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang “
berpikir dari” simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik,
atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian
makna oleh simbol serta ‘penggalian’ yang cermat atas makna. Langkah
ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan
menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah
pemahaman bahasa yaitu : semantik, refleksif, serta eksistensial atau
ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa
yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang
lebih tinggi, yaitu yang mendekati ontologi; sdang langkah pemahaman
eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau
keberadaan makna itu sendiri. 17
Selain metode pembahasan yang bertumpu pada titik tolak
hermeneutik, metode pembahasan yang digunakan juga bertumpu pada
titik tolak fenomenologi17, yaitu analisis yang berusaha memberi makna
dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang
khusus. Metode ini digunakan agar pembahasan ini tidak terjebak pada
pendekatan yang hanya bersifat historis-empiris semata, sehingga dapat
memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental
tentang keberagamaan manusia. Dalam penelitian ini, mencakup peristiwa-
peristiwa (hal-hal) lain, seperti kondisi sosio-kultural dan makna etisnya.
Dengan cara ini akan terpenuhi prinsip koherensi internal yang
menghimpun unsur-unsur struktural secara konsisten, sehingga benar-
benar merupakan internal structuirs atau internal relations yang menjamin
pemaknaan atau pemahaman yang benar 18. Maka, analisis data dari
penelitian ini juga akan menukik jauh sampai menjangkau pada data-data
ontologis dan epistemologis serta pemikiran logis yang menjadi tiang
17
Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisisus, Yogyakarta,
1999, h. 111
18
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.10
17

penyangga bangunan pemikiran-pemikiran konsep wahdat al-Adyan dan


pluralisme agama.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Upaya penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini lebih
diorientasikan pada satu tujuan pokok, yaitu untuk mendapatkan
deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang
konsep relevansi antara konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama

2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi tingkat strata satu
(S.1), memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I) pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama
Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Sebagai sumbangsih intelektual dalam bentuk tulisan yang bersifat
ilmiah dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang
memerlukannya, dalam rangka menggali khazanah pemikiran
Islam, bahwa pemahaman yang benar dan tepat mengenai wahdat
al-Adyan dan pluralisme agama akan turut memperkokoh
komitmen keyakinan terhadap agama yang kita anut.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan bagi penulis sebagai calon guru pada khususnya dan
pembaca umumnya, serta dapat memberikan informasi dan
pemahaman terhadap konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama dalam kajian filsafat, fiqh dan tasawuf terlebih mengenai
makna dasar dan tujuan agama untuk kemudian dikejawantahkan
dalam hidup dan kehidupan, di tengah arus globalisasi, sekularisasi
dan modernisasi dewasa ini, yang harus pula diimbangi dengan
keimanan dan ketakwaan.
18

BAB II
KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA1
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik
temu agama-agama”2, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik
temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan.
Sebelum lebih jauh mengkaji kedua konsep tersebut, ada baiknya kita
menelusuri hal-hal yang mendasari semangat kaum agamawan dalam mencari titik
temu agama-agama. Hal-hal apa sajakah yang menjadi titik temu dan titik pisah
dalam agama-agama. Ini sangat penting agar kita terhindar dari relativisme
sinkretisme, dan terjebak dalam keraguan terhadap agama yang kita anut.
Adanya semangat spiritual untuk mencapai kebenaran absolut dan kebaikan
universal adalah dengan menggabungkan persamaan landasan teologis normatif
dan landasan etis-humanis pada agama-agama, untuk dapat mencapai titik temu
terlebih dahulu kita harus memisahkan garis eksoteris dan esoteris agama-agama.

1
Bab ini menjadi pengantar, sebelum kita memijaki zona wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal (esoterisme agama-agama dan kesatuan
transenden) yang juga menjadi cakup kajian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Penulis
merasa perlu memisahkannya menjadi bab tersendiri agar penulisan skripsi ini lebih terstruktur
dan sistematis, sehingga pembahasan mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak
terlalu meluas dan terfokus pada sisi historis dan epistemologisnya serta beberapa prinsip dasar
ajarannya.
2
Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah
yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof
Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform
atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid.
19

Demikianlah teori-teori yang dikemukakan selanjutnya dalam upaya mencapai


titik temu agama-agama.
A. Agama dan Keberagamaan
Agama merupakan tuntunan yang menyentuh hal-hal paling prinsipil
dari manusia, yaitu keyakinan, sedangkan keyakinan itu sendiri bersumber
dari hati hati / “qalb” yang suci, yang berjalan sesuai dengan fitrahnya3.
Agama merupakan wadah manifestasi fitrah manusia, dari sanalah manusia
mendapat keyakinan tentang Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah; bagaimana manusia mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang
benar kepada Tuhan?
Untuk mendapatkan pemahaman yang benar kepada Tuhan, tentunya
manusia harus memperolah pemahaman yang benar terhadap agama yang
dianutnya. Setiap agama memang memiliki konsep teologinya masing-
masing, sehingga dalam memahami makna agama harus dibicarakan satu
nafas dengan pembicaraan tentang Tuhan4. Ajaran agama mengisyaratkan
tentang hakikat tuhan, agama diyakini sebagai jalan hidup yang bersumber
dan kembali kepada tuhan. Oleh sebab itu, hakikat agama itu sendiri adalah
tuhan. Pemahaman terhadap konsep teologis inilah yang menentukan
keyakinan dan konsistensi pemeluk agama dalam menjalankan ajaran
agamanya. Sehingga dalam menjalankan perintah agama disertai dengan
penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam setiap laku-aktivitas yang
dilakukan karena merasa dirinya terikat langsung dengan tuhan sebagai satu-
satunya sumber kebenaran hakiki, pemberi aturan moral dan hakim atas
tindakan-tindakan manusia5.

3
Fitrah adalah sifat dasar dan alamiah manusia. Kata ini diturunkan dari kata fathara yang
memiliki arti “memecah” atau “memisahkan”. Fathara juga dapat berarti “menciptakan” keadaan
non wujud terpecah dan terbuka, sehingga terkuaklah kutub kebalikannya : penciptaan,
pengetahuan sejati – pengetahuan transformatif – pengetahuan mendasar dalam diri manusia yakni
pengetahuan/jalan menuju Tuhan. (Lihat : Fadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-
Baqarah, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.1, h.24-25)
4
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.11
5
Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki dan absolut, berarti meyakini bahwa
agama adalah jalan menuju kebenaran, karena kebenaran itu hanya dimiliki oleh Tuhan, maka
benar dan salah secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan. Olah sebab itu, fungsi agama
adalah pembentukan iman. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebenaran secara sadar
20

Substansi keberagamaan manusia adalah meyakini adanya Yang


Mutlak, maka oleh karena itu, memahami substansi agama berarti
menumbuhkan sikap saling menghormati ajaran agama lain6. Bila hakikat
keberagamaan adalah Tuhan itu sendiri, maka dalam memahami substansi
keberagamaan adalah upaya seseorang dalam menanggapi keberadaan agama
lain, untuk itu diperlukan kesadaran yang merupakan modal dasar untuk
bersikap wajar dan proporsional. Dengan demikian ia dapat menempatkan
dirinya dan keyakinannya ditengah keberagaman tersebut, ia juga dapat
memposisikan keyakinan lain diluar dirinya tetapi sebagai bagian yang
inheren dari keyakinannya sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tidak
menghilangkan substansinya, atau dengan kata lain melihat adanya kesamaan
substansi yang menyatukan perbedaan. Maka pandangan substansi agama
adalah pandangan dasar yang melahirkan prinsip-prinsip kebersamaan
terhadap agama-agama lain disamping itu juga meneguhkan prinsip
keunikannya sendiri. Mengenai hal ini seorang penganut harus memiliki
prinsip agree in disagreement (setuju untuk tidak setuju), agree in agreement
(setuju untuk saling setuju), dan agree in different (setuju didalam
perbedaan).
Agree in disagreement atau setuju untuk tidak setuju, dalam hal yang
prinsipil dan dasar-dasar dalam agama, misalnya tentang akidah atau
keimanan. Dalam prinsip ini masing-masing pemeluk agama harus
memantapkan posisi kepercayaan umatnya dan meyakinkan bahwa agamanya
berbeda dengan agama lain. Agree in agreement atau setuju untuk saling
setuju adalah mengakui bahwa ajaran agama memiliki sifatnya yang ekslusif
sekaligus juga inklusif. Banyak hal semakna yang ditemukan dalam setiap

akan mengaktualisasikan dirinya dengan menjalankan perintah Tuhan disertai dengan penyerahan
diri kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan sebagai satu-satunya pemberi aturan moral dan hakim atas
tindakan manusia berarti meyakini bahwa agama adalah jalan kebaikan – keselamatan –
kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan, maka baik dan buruk secara absolut hanya ada dalam
penilaian Tuhan untuk menentukan keselamatan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu fungsi
agama adalah pembentukan akhlak. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebahagiaan secara
sadar mengapresiasikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
6
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press,
2005), Cet.3, h.208
21

agama, satu semangat dan satu tujuan. Persamaan-persamaan ini harus


diketengahkan, sementara itu perbedaan-perbedaan harus diakui, dihargai dan
dihormati. Dalam prinsip ini, kepercayaan kepada Tuhan adalah ikatan yang
menyatukan persaudaraan antar umat beragama. Agree in different setuju
didalam perbedaan,ditemukan adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh
berbagai pemeluk agama kendatipun dalam perbedaannya. Islam mengakui
keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan yang istimewa bagi
pemeluknya.persetujuan umat Islam terhadap Taurat dan Injil dipahami
sebagai suatu pengakuan, namun juga disadari adanya perbedaan tentang
memahami eksistensinya. Demikian juga umat Yahudi dan Kristiani harus
menyadari bahwa umat Islam mengimani Musa dan Isa, kendatipun dalam
pengertian kedudukan berbeda dengan pemahaman Yahudi dan Kristen
tersebut7.
Memahami agama dengan pemahaman teologis selain memperkokoh
keyakinan (terhadap agamanya) sekaligus juga mengakui koeksistensi
agama/teologi lain sehingga otoritas kebenaran bukanlah justifikasi manusia.
Selain itu, memahami agama dengan pemahaman etis (nilai-nilai ajarannya)
yakni keterlibatan aktif manusia dalam membangun perdamaian dan
kerjasama karena adanya kesadaran prinsip moral universal dalam tiap-tiap
agama.
B. Agama dan Sikap Keagamaan
Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa
pengertian agama secara definitif (tekstual) serta indefinitif (kontekstual)
serta menjelaskan hubungan antara agama dengan sikap keagamaan.
Sehingga dapat terlihat jelas bahwa agama yang tidak terwakilkan dengan
definisi tersebut dapat kita pahami dari sikap keagamaan yang tercermin –
dan mencerminkan agama itu sendiri.
Kata “agama” setara dan sepadan dengan kata “religion” (dalam bahasa
Inggris), dan “din” (dalam Bahasa Arab). Kata “agama” itu sendiri berasal
dari bahasa Sansekerta (a = tidak dan gama = kacau). Jadi, agama berarti
7
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.209-210
22

“tidak kacau”. Hal ini dipahami, bahwa agama adalah seperangkat aturan
Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga mereka yang ber-agama,
berarti tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik itu kekacauan akal
maupun hati atau lahir maupun batin.
Dalam al-Quran, kata din memiliki dua makna penting yang dapat
dibedakan : (1) agama dan (2) pengadilan. Menurut para ilmuwan, dari dua
makna dasar tersebut, pertama “agama” berasal dari Persia. “Den” menurut
bahasa Persia Zaman Pertengahan artinya kira-kira “agama (yang
sistematik)”. Kedua, pengadilan berasal dari bahasa Ibrani; kata Ibrani din
bermakan “pengadilan“; disamping itu , dengan kombinasi tertentu “Hari
Pengadilan” (yaumul din) merupakan cirri khas Yahudi. Pengkajian teradap
literatur pra-Islam menjelaskan tiga makna akar berikut : (1) adat istiadat,
kebiasaan, (2) kebangkitan dan (3) kepatuhan8.
Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith kata Agama secara umum dapat
diartikan dengan dua pengertian yang berbeda, sekalipun sangat berkaitan
erat; satunya adalah “agama” sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai
tindakan eksistensial tiap-tiap- orang yang mempercayai sesuatu, singkatnya
“iman” dan yang lainnya adalah “agama” dalam pengertian umum, yakni
sesuatu yang dikenal oleh suatu masyarakat, suatu persoalan komunal yang
yang objektif meliputi semua kepercayaan dan praktek ritual yang dilakukan
oleh semua anggosa masyarakat itu 9.
”Religi itu bekerja didalam sejarah manusia. Ia merupakan suatu proses
dialektis antara yang duniawi dan yang transenden; suatu proses yang
lokusnya adalah iman yang personal, kehidupan manusia itu sendiri,
lebih dari sekedar yang bisa diamati dan lebih dari sekadar yang dapat
dipahami. Tentang hasil-hasil apa yang tidak bisa diamati (secara
publik) dan apa saja yang bukan duniawi dari proses dialektis ini yang
ditemukan dalam iman orang-orang yang berpartisipasi dalam tradisi
ini, mereka bisa mengatakannya dengan berbagai cara mereka sendiri.
Sesuatu yang dapat diamati secara publik oleh oleh para sejarawan-

8
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran,
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), Cet.2, h. 245
9
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.252
23

bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang


disebut tradisi kumulatif”10.

Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat
perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi
akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan
agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu11”, dengan ayat lainnya
yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu sehingga kamu mengikuti millah (agama) mereka12” kata din
tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada
suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah
yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan
agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya,
suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip
kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi
kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan
konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum,
millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu
mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada
suatu agama yang lazim13.

10
Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – (disebutkan oleh Willfred Cantwell
Smith) sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi
kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh
makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang
bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang
adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain
yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta
menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu
memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan
menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu.
(Lihat : Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion,
(Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004), Cet.1 h.321-322)
11
Q.S Al-Miadah (5) : 3
12
Q.S. Al-Baqarah (2) : 120
13
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254
24

Din berasal dari “kepatuhan” yang sangat personal, yang bersifat


umum; pada tahap akhir perkembangannya semakin menuju konsep millah
tersebut. Persoalan ini akan menjadi jelas bila kita membandingkan Surah Ali
Imran (3), ayat 73 yang telah kita kutip diatas dengan surat al-Baqarah (2),
ayat 120, tempat situasi yang sama disebutkan dengan millah, bukannya din.

(١٢٠ ‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ ‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻠﱠﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﺒﹺﻊ‬‫ﺘ‬‫ﻰ ﺗ‬‫ﺘ‬‫ﻯ ﺣ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺼ‬‫ﻻﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﻨﻚ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﻟﹶﻦ ﺗ‬‫ﻭ‬
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti (agama) millah mereka” .
(Q.S. Al-Baqarah, 2 : 120)14

Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat al-
An’am (6), ayat 161 yang berbunyi:

‫ﻦ‬‫ﺎﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻣ‬‫ﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭ‬‫ ﺣ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻗ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻴﻢﹴ ﺩ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻁ‬‫ﺮ‬‫ﻲ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻧﹺﻲ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻨﹺﻲ ﻫ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺﻧ‬
(١۶۱‫)ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ‬ ‫ﲔ‬‫ﺮﹺﻛ‬‫ﺸ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬

“Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan


lurus, (yaitu) agama (din) yang benar; agama (millah) Ibrahim yang
lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (Q.S.
An’am, 6 : 161)15

Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki
kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar =
millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din
dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak
saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar (39), ayat 2 dapat kita baca :

(٢ ‫ )ﺍﻟﺰﻣﺮ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﺎ ﻟﱠﻪ‬‫ﺼ‬‫ﻠ‬‫ﺨ‬‫ ﺍﷲَ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺎﻋ‬‫ﻖ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ﻚ‬‫ﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺂ ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﺇﹺﻧ‬

14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah / Pentafsir Al-Quran, 1971).
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.216
25

“Sesunggunhya kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran)


dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan din kepada-Nya” (Q.S. Az-Zumar, 39: 2)16

Disini Tuhan menggunakan kata-kata tersebut secara langsung kepada


Nabi Muhammad Saw dan meneru beliau sebagai seorang hamba untk
menyembah Tuhan. Dalam konteks ini, persoalan tersebut menyangkut setiap
religious masing-masing individu, dan secara objektif bukan merupakan
sistem agama yang formal. Millah pada hakikatnya merupakan persoalan
ummah, sedangkan din menurut asal-usulnya merupakan persoalan masing-
masing individu yang beriman.
Berbagai istilah agama dan artinya telah melahirkan berbagai macam
definisi, namun pendifinisian agama hingga saat ini masih belum berlaku dan
dapat diterima (disepakati). Hal ini dikarenakan agama memenuhi berbagai
lingkupnya untuk didefinisikan17, selain agama menyangkut batin dan
pengalaman rohani manusia, ia juga meliputi berbagai formalitasnya sebagai
agama; baik dari segi ajaran (dogma dan doktrin), tradisi, institusi dan
sejarahnya, (kebudayaan dan peradaban) yang masing-masing agama berbeda
atau bahkan berlawanan. Namun demikian, meski sulit terwakilkan oleh satu
definisi saja, karena agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan
batin manusia. Secara garis besar dapat diperoleh kesimpulan bahwa
keyakinan terhadap agama didorong oleh keyakinan manusia terhadap
kekuatan Adi-Kodrati yang mengatur hidup manusia.
Bila kita generalisir berdasarkan perspektif etimologinya, definisi
agama (din atau religi) memiliki dua kutub penekanan (pengertian), pertama,
agama didefinisikan sebagai perihal yang menekankan rasa iman dan
kepercayaan, kedua, agama didefinisikan sebagai aturan tentang cara hidup18.

16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745
17
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.213
18
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Jakarta : PT.
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.11, h.8
26

Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa agama menyangkut kehidupan


batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama
seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada
kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan gaib. Dari kesadaran agama dan
pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang
ditampilkan seseorang
Lebih lanjut, Prof. Komaruddin Hidayat juga menjelaskan lima tipologi
sikap keagamaan, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme,
eklektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan
yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang
dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang
berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat
kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.
Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara
teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-
masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap
“tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih
dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok
untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam
mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan
bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena
faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural19.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif,
perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama
sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan interaksi secara

19
“Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam
Seri DIAN I/Tahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian, 1994), hal. 69
27

kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan


dalam diri seseorang20
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara istilah “religion”
dengan “religiousity”. Kata religion yang biasa dialih-bahasakan menjadi
“agama” pada mulanya kata ini lebih berkonotasi sebagai kata kerja yang
mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-
nilai ketuhanan21
Agama sebagai kata kerja, berkenaan dengan perwujudan moral
ketuhanan dan kemanusiaan. Perwujudan moral ketuhanan dapat diartikan
sebagai wujud sifat-sifat ilahiah dalam diri manusia yang termanifestasikan
dalam sikap dan tingkah laku atau sering kita sebut dengan akhlak.
Perwujudan moral hadir dari rasa kesadaran moral bahwa manusia adalah
bagian dari alam semesta yang tidak terpisahkan sehingga kesadaran tersebut
mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Perwujudan
moral ketuhanan tersebut yang kemudian termanifestasikan oleh manusia,
maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu prinsip universal tentang
nilai-nilai etis / kebaikan hidup manusia.
Hal ini senada dengan pendapat A.M. Romly bahwa agama merupakan
pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setinggi-tingginya dalam susunan
yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan
manusia. Oleh karena itu, tujuan tiap-tiap agama pada hakekatnya adalah
sama, yaitu perwujudan prikemanusiaan setinggi-tingginya22
Dalam Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW “Tidaklah aku
diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Hal ini sangatlah jelas bahwa
agama (Islam) bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk akhlak
manusia, sehingga agama dengan seperangkat aturan yang terkandung
didalamnya (syariat) adalah jalan atau cara untuk menumbuhkembangkan
akhlak tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki agama adalah yang

20
Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239
21
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama,
(Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), h.3
22
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h. 85
28

dikehendaki Tuhan, agar manusia memahami jati dirinya dan eksistensinya


untuk berbakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta.
Menurut Prof.Dr. Komarudin Hidayat, keberagamaan atau religiusitas
lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang
berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya23 Dengan demikian dapat
diartikan bahwa keberagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para
penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan dan ajaran-ajaran Tuhan.
Pandangan penganut agama terhadap nilai dan ajaran agama yang
parsial memunculkan keberagamaan yang ekstrinsik, hal ini disebabkan
pemahaman agama yang literalis dan tekstualis terutama pada teks-teks suci
yang mengandung makna ambigu sering dipahami dengan pengertian yang
bias dan absurd. Pada sisi ini rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu
diupayakan secara sistematis, kontekstual, otentik serta dijadikan komitmen
bagi seluruh umat beragama. Untuk memulainya nilai-nilai teologi
pembebasan perlu dihadirkan dan melihat relevansinya dengan nilai-nilai
kemanusiaan, fakta sosial dan perkembangan zaman. Karena sebenarnya
kelahiran agama yang dibawa para rasul Tuhan tidak lain adalah untuk
pembebasan terhadap kaum tertindas serta upayanya menegakkan hak-hak
asasi manusia24
Dengan faham dan penghayatan agama yang benar, mestinya seseorang
dan masyarakat tumbuh menjadi semakin manusiawi dan beradab. Disisi lain
secara diakletis nilai-nilai dan praktek luhur keagamaan juga harus dijaga dan
dihormati karena agama merupakan sumber dan pedoman luhur yang sakral
untuk kebaikan manusia sendiri25
Kerukunan dan dialog antar agama harus dijaga dan terus
dikembangkan. Semuanya tetap menjaga prinsip yang telah diyakini sebagai
inti dari kepercayaan sebuah agama. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt
menyatakan dalam pengantar bukunya, Islamic Revelation in the Modern

23
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4
24
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,
2006), Cet.1, …, h.17
25
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, h.xii
29

World (1969), dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara


positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang itu
terhadap agamanya26.
Jadi tujuan dialog agama bukan mengajak umat lain masuk agama kita,
tetapi mengungkapkan keyakinan yang kita imani agar dapat memperkaya
pengetahuan umat lan tentang agama kita sehingga menghindarkan
kesalahpahaman dan buruk sangka. Tujuan dialog agama juga bukan untuk
mencapai pandangan ideal yang satu, tetapi mencari simpul-simpul ajaran
universal yang harus diperjuangkan bersama, seperti keadilan dan
perdamaian27
Dari berbagai pemaparan diatas, agama dipahami dalam bentuk kata
kerjanya tentu ia lebih menekankan pada substansi dan nilai-nilai luhur yang
aktual didalamnya. Oleh karena itu, pada tataran ini, setiap agama memiliki
persamaan tujuan terhadap kemanusiaan. Tetapi kemudian, pada saat yang
bersamaan dan dalam perkembangannya agama bergeser menjadi semacam
kata benda, yakni sebagai institusi kelembagaan yaitu himpunan doktrin dan
ajaran serta hukum-hukum yang telah dibakukan. Proses pembakuan ini
berlangsung antara lain melalui proses sistematisasi nilai dan semangat
agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang
terhimpun dalam literatur keagamaan karangan para tokoh agama28. Ketika
ajaran agama telah dibungkus menjadi paket-paket informasi ilmiah, maka
sesungguhnya telah berlangsung proses obyektivikasi dan rasionalisasi dalam
dunia agama, sehingga sangatlah mungkin ruh dan misteri agama akan surut
menghilang. Manusia akan lebih memandang bentuk formalitas suatu agama
dan semakin jauh dari esensi dasar dan tujuan agamanya.
Tentu saja hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena setiap agama dari
masa-masa lahir dan perkembangannya telah menciptakan tradisi-tradisi yang
melekat dengan agama itu sendiri. Namun setidaknya untuk memahami
agama yang murni, selain menjaga tradisi positif yang dapat mempertahankan
26
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 40
27
Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 41
28
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, …, h.4
30

eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak
kehilangan spirit (semangat) pesan dasar agama dan tujuan agama bagi
manusia.
Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep
mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya,
Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick
mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama
diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi
inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah
sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan
kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh
sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih
superior dibandingkan yang lain.

C. Agama dan Gagasan tentang Tuhan


Umat manusia sejak awal kehadirannya dipentas sejarah telah
memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan
masing-masing, kepada “Kausa Prima” alam keberadaan. Orang Persia
menyebutnya “Yazdan” atau “Khoda”. Orang Inggris menyebutnya “God”
atau “Lord”, kita menyebutnya Tuhan atau “Sang Hyang” 29. Dialah Tuhan
Maha Sempurna. Kepercayaan pada “Yang Adi Kodrati”, merupakan bagian
integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga
transsendental yang disebut “agama” maupun tidak di-agamakan. Kendati
demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan
terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan. Demikianlah, Tuhan, sejak dulu
hingga sekarang telah menjadi obyek perdebatan, pengimanan sekaligus juga
penolakan.

29
Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan
dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik”, atau kata “Hyang” yang memliki kedekatan
arti dengan “eyang” yang berarti kakek atau nenek…., Lihat : Ja’far Subhani, Sang Pencipta
Menurut Sains dan Filsafat, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2004), Cet.1, h.11-12
31

Dari beberapa konsepsi atau pandangan ketuhanan yang amat mendasar


yang diterangkan dengan jelas oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, guru dari para
imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
ahlusunnah maupun syi’ah. Dalam sebuah penuturannya ia menjelaskan nama
“Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas
pertanyaan Hisyam bin Hakam :
“Dia Yang Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-
Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, al-Baidhawi
menegaskan paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama,
melainkan kepada esensi, maka tauhid yang benar ialah “Tauhid al-
Dzat” bukan “Tauhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama)”.
“Sesungguhnya kata “Allah” (kadang-kadang dieja “Al-Lah”) berasal
dari kata “ilah”, dan “ilah” mengandung makna “ma’luh” (yang
disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-
musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia
sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa
menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah
musyrik dan menyembah dua hal. Barangsiapa menyembah makna
tanpa nama, maka itulah Tauhid. Engkau mengerti wahai Hisyam?
Hisyam menyatakan lagi, “tambahilah aku (ilmu)”. Imam Ja’far al-
Shadiq menambahkan : “Bagi Allah yang Maha Mulia dan Maha
Agung ada 99 nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang
dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yanh diacu
oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu seluruhnya tidaklah
sama dengan Dia…30”

Gagasan ketuhanan lainnya yang dapat kita temui, misalnya Plato yang
menyatakan ide ketuhanannya melalui apa yang ia sebut dengan Idea
Tertinggi, gagasannya tentang Idea tersebut adalah “Idea yang tertinggi
adalah idea kebaikan, sebagai Tuhan yang membentuk dunia”, plato
menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan
tidak saja sebab timbunya pengetahuan dalam dunia yang lahir, tetapi juga
sebab tumbuh dan berkembang segala-galanya. Dengan demikian, idea adalah
pokok dan merupakan sumber dari yang ada dan sumber pengetahuan. Selain
itu, ia juga mengemukakan bahwa karena sinar yang memancar dari idea
kebaikan, semuanya tertarik padanya dank arena itu ia jadi sebab dan tujuan

30
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.22-23
32

dari segala-galanya. Dengan kata lain, dalam istilah agama, semua berasal
dari idea tertinggi dan segalanya akan kembali kepada-Nya31
Sedangkan dalam metafisika aristoteles, ide ketuhanan dapat dilihat dari
pandangannya tentang gerak dalam pembentukan materi. Menurut
Aristoteles, gerak bukan dalam arti tempat, tetapi dalam arti perubahan.
Gerak itu ada yang menyebabkannya dan sebab gerak itu sendiri ada pula
sebabnya dan seterusnya. Akhirnya sampai pada sebab yang pertama yang
immaterial. Tidak bertubuh, tidak bergerak dan, serta cerdas. Sebab gerak
pertama itu ialah Tuhan. Dia adalah tetap selama-lamanya, tidak berubah-
ubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya32
Adapun agasan ketuhanan Konfusius yakni adanya nilai-nilai susila
sebagai kehendak dari yang Adi Susila yang disebut Alam Ketuhanan. Ia
percaya ahwa dengan menyadari adanya Alam Ketuhanan ia percaya bahwa
yang dikerjakannya selaras dengan kehendak Alam Ketuhanan. Konfusius
berkeyakinan bahwa ia mengikuti Alam Ketuhanan dan memperoleh
dukungan Alam Ketuhanan33
Gagasan ketuhanan dalam Taoisme adalah dasar ajaran Tao itu sendiri
tentang (dua konsep), Yang Ada (Yu) dan Bukan- Yang Ada (Wu). “Yang
Ada” dan “Bukan Yang Ada” tidak diartikan sebagai dua hal yang
bertentangan, melainkan berada dalam hukum sebab-akibat. Yang Ada
sebagai akibat dari Yang Bukan Ada sebagai sebabnya. Sebab adanya Yang
Ada timbul ada-ada lainnya. “Segala sesuatu di dunia menjadi ada dari Yang
Ada (Yu); dan Yang Ada menjadi dari Bukan Yang Ada (Wu)”. Bukan-Yang
Ada sebenarnya tidak dapat diberi nama, sehingga tidak dapat dimuat dalam
kata-kata34

31
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.29
32
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.30
33
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.37
34
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.38
33

Beberapa pandangan filosof dan ilmuan abad-20 diantaranya :


Jean Jacques Rousseau mengatakan, “Sesungguhnya mengenal Tuhan
tidak terbatas pada akal, keragu-raguan serta anggapan saja, karena perasaan
dan emosi yang bersifat fitri adalah jalan terbaik untuk membuktikannya”.
Max Muller berkata, “Sesungguhnya perasaan yang tiada akhir untuk
menemukan kekuatan tak terbatas menunjukkan kita pada suatu keyakinan
terhadap agama”
Sedangkan Einstein mengatakan “Sesungguhnya keyakinan dan amal
ibadahku merupakan pernyataan pujian yang tak layak bila dibandingkan
dengan roh yang layak dan tak terbatas”35
Mahatma Gandhi mengatakan:
“Tuhan bukan suatu pribadi. Dia mengatasi segala penggambaran. Dia
adalah pencipta Hukum, Hukum itu sendiri dan Pelaksana Hukum.
Tuhan adalah Kebenaran. Hukum Tuhan dan Tuhan tidak berbeda
dalam wujud dan kenyataannya; lain halnya dengan raja duniawi yang
berbeda dengan hukum yang harus dijalankannya. Karena Tuhan adalah
Idea, Hukum itu sendiri, maka tidak mungkin Tuhan merusak
Hukum36”

Dari uraian diatas jelaslah bahwa masalah menyembah kepada Tuhan


adalah sesuatu yang fitri. Manusia tak pernah memetik keimanannya dari
prinsip-prinsip filsafat atau hukum-hukum ilmiah yang telah dikodifikasikan,
berbeda dengan tauhid (monoteisme demonstrable) yang berkisar pada
argument rasional dan saintis. Kedua hal ini mesti dibedakan37.
Sekarang kita beralih pada pandangan ibnu al-Arabi tentang perbedaan
keagamaan. Dalam hal ini, salah satu tema pokok yan perlu dan sekaligus
,menarik untuk dibicarakan adalah teori Ibnu al-Arabi tentang “Tuhan
kepercayaan” (al-Ilah al-mu’taqad), yang disebut pula “Tuhan dalam
kepercayaan” (al-Ilah fi al-I’tiqad), atau “Tuhan kepercayaan” (al-Haqq al-
I’tiqadi), atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan “ (al-Haqq al-
makhluq fi al-I’tiqad).

35
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…,h.33
36
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, 36-37
37
Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.33
34

“Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep,


penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah tuhan ciptaan manusia, yaitu
tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau
persepsi manusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan”
atau “ditempatkan” oleh manusia dalam kepercayaannya. “Bentuk” ,
“gambar”, atau “wajah” tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh
manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. “Apa yang
diketahui” diwarnai oleh “ apa yang mengetahui”. Dengan mengutip
perkataan al-Junayd, Ibn al-Arabi berkata,” warna air adalah warna
bejana yang ditempati” (lawn al-ma’lawn ‘inaihi). Itulah sebabnya
Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku” (Ana ‘inda
zhann ‘abdi). Tuhan disangka, bukan diketahui38.

Teori ibn al-Arabi tersebut mengingatkan kita kepada Xenophanes


(kira-kira 570-480 SM) terhadap antromorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan.
Sebagaimana dijelaskan diatas “Tuhan kepercayaan“ adalah Tuhan
ciptaan manusia. Barang siapa memuji ciptaan-Nya berarti memuji dirinya
sendiri. Ibn al-’Arabi berkata: Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang
mempersepsikannya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada
apa yang dipercayainya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia mencela
kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari (persoalan yang sebenarnya), tentu
ia tidak akan berbuat demikian. Tidak diragukan bahwa pemilik objek
penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya
terhadap apa yang dipercayai orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa
yang dikatakan oleh al-Junayd, “warna air adalah warna bejana yang
ditempatinya,” ia akan membenarkan apa yang dipercayai setiap orang yang
mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam
setiap kepercayaan39.
Di mata Ibn al-Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela
kepercayaan orang lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya,
Tuhan dalam kepercayannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-
kepercayaan yag disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia

38
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38
39
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39
35

sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Ini


sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak dapat diketahui” (to know the
Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk
kepercayaannya atau kerpercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari
Tuhan dalam bentuk-bentuk kepercayaan lai. Padahal, Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda
itu adalah satu dan sama40.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut sufi dari Andalusia
ini, adalah pengetahuan yang tidak terlihat oleh bentuk kepercayaan atau
agama tertentu. Kata Ibn al-Arabi, “Barang siapa membebaskan-Nya dari
pembatasan, tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap
bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya”41
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditetukan dan diwarnai
oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu
tergantung kepada”kesiapan partikular" (al-isti’dad al-juz’i) masing-masing
individu hamba sebagai bentuk penampakkan”kesiapan universal”. Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya dengan kesiapan sang hamba
untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau
“dibatasi” oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang
dicapainya42.
Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada
Tuhan, terhadap “Tuhan kepercayaan”, dibuktikan oleh sejarah agama-
agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan
patriarchal-pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan
meggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang
berkebudayaan matriarchal agricultural yang berkebudayaan peribuan yang
hidup dengan bertani. Bapa samawi atau Bapa surgawi adalah Tuhan tipikal
orang-orang nomad yang hidup di padang rumput yang - pada gilirannya -
tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau ibu Pertiwi adalah Tuhan
40
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.39
41
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.40
42
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.96-97
36

tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi. Dalam kebudayaan
patriarchal pastoral, biasanya bapak dan langit dijadikan sebagai simbol
Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe
pertama, “Bukankah agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering
disebut “agama-agama samawi43”.
Sekali lagi, dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan).
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum
polities terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit,
matahari, bulan dan bumi. Kaum polities tidak lagi sepenuhnya bertuhan
kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol44.
Pandangan Ibn Araby tentang “Tuhan Yang Sebenarnya”. Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Karena Tuhan (Zat
Tuhan) tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi saw. Melarang
orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda, “berpikirlah
tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Zat Allah. Larangan ini

43
Menurut pandangan penulis, pengklasifikasian agama dalam dua kubu yakni “agama samawi
dan agama ardhi” tidak sepenuhnya tepat dan dapat diterima. Agama samawi yang biasa kita
definisikan sebagai agama langit atau agama yang memiliki (dibawa oleh) Nabi atau Rasul Tuhan
serta memiliki kitab suci, agama samawi lebih dianggap sebagai agama yang berasal dari Tuhan
dan hanya diidentikkan dengan tiga agama besar yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam, sementara
yang diluar ketiganya adalah agama ardhi. Sedangkan agama ardhi itu sendiri dianggap sebagai
agama hasil budaya atau pemikiran dari tokoh-tokoh suci pencetus/pendirinya, misalnya saja pada
agama Zoroaster, Buddha atau Kong Hu Cu. Mengapa penulis katakan kurang tepat, karena tidak
ada satupun penganut agama yang akan menerima bila agamanya dianggap sebagai produk akal
atau budaya – karena dengan demikian agama tersebut lalu dianggap jauh dari nilai holistik dan
otentisitas keberasalannya dari Tuhan, sementara kita tahu bahwa pada ajaran Buddha dan Kong
Hu Cu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat agung. Terlebih bila kita menyadari
sebagai umat Islam yang mengimani al-Quran bahwa dengan tegas dikatakan “hanya beberapa dari
jumlah nabi dan rasul yang dikisahkan dalam al-Quran” (124.000 nabi dan 313 rasul), sedang al-
Quran juga menjelaskan bahwa pada setiap umat diutus seorang rasul. Dengan demikian kita
menutup kemungkinan adanya kebenaran hanya karena agama, dan nabinya tidak tercantum dalam
al-quran. Sedangkan secara lebih logis lagi, bagaimana mungkin Allah swt memperkenalkan
keseluruhan umat dan para nabi-Nya kepada bangsa Arab yang pada saat itu tidak mengetahui
keberadaan umat yang lain dikarenakan waktu dan tempat yang berbeda. Sehingga sangat tepat
apabila setiap agama yang diturunkan akan disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan
pengetahuan umat pada saat itu. Kata ini lebih tepat (agama ardhi) bila disandarkan pada agama-
agama yang muncul setelah agama Islam, merujuk pada keyakinan bahwa nabi Muhammad saw
adalah Rasul terakhir, sehingga dapat dipastikan bahwa agama setelah Islam bukan dibawa oleh
seorang Nabi melainkan hanya orang-orang yang mengalami pengalaman spiritual luar biasa yang
kemudian diyakininya benar sebagai agama.
44
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.100
37

diperkuat oleh ibn al-Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi, “Allah
memperingatkan kalian tentang diri-Nya” (Q.S Ali Imran, 3:28)..” 45
Lebih lanjut Ibn al-Arabi menegaskan sebagai berikut :
“Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan
dalam (mengetahui dan memahami) Zat ah-Haqq, baik secara
rasional maupun menurut syara’. Syara’ telah melarang berpikir
tentang Zat Allah, inilah yang disinggung oleh firman-Nya,
“Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya,” (Q.S 3;28)
yaitu “Jangan kamu berpikir tentang Zat-Nya! Larangan ini
ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan Zat
al-khalaq46”

Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Zat itu
bukanlah lokus efek dan tidak pula diketahui oleh siapapun. Tidak ada nama
yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan tidak pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
tetapi pintu (untuk mengetahui Zat Tuhan) dilarang bagi siapapun selain
Allah, karena tidak ada yang mengetahui selain Allah.
Ibnu Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir
tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan
al-khawd (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia
memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakar r.a. Ibn ‘Arabi
berkata, “(Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan, al-
‘ajz ‘an dark al-idrak idrak). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib dan tidak
dapat diketahuinya. Orang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui
Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang-orang
yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah
orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang-orang yang bodoh. Bukankah

45
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.102
46
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.103
38

Tuhan telah berfirman, “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya (yaitu


Tuhan), tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” 47
Demikianlah konsepsi mengenai Tuhan sepanjang sejarah manusia dan
agama-agama selalu berbeda, namun tetap pada makna dan inti yang
dimaksud atau dituju tersebut. Bentuk aktualisasi pengakuan keimanan
(percaya kepada Tuhan dan sebagai manusia yang beragama) harus tercermin
dalam dua hal yaitu, kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dalam halnya
mengenai kesalehan sosial ini, ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama.
Saling mengenal (ta’aruf), saling mengenal secara mendalam adalah saling
mengerti dan saling memahami satu sama lain. Dengan demikian setiap orang
bisa saling menghormati dan saling menghargai. Kedua, ta’alluf artinya
menyatukan hati dan segenap perasaan. Perasaan saling menyayangi,
perasaan senasib-sepenanggungan. Bisa juga dalam bentuk empati
(menempatkan perasaan orang lain pada perasaan sendiri). Dengan demikian,
perasaan iri, dengki, hasud dan benci akan sirna. Ketiga, ta’awun
(bekerjasama). Agama mengajarkan bahwa kerjasama yang dikehendaki
adalah saling mendukung dan membantu dalam hal kebajikan dan takwa
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya48
D. Agama dan Tauhid
Dalam pembahasan ini, penulis ingin menegaskan tentang keberagaman
teologis pada agama-agama. Keberagaman teologis tersebut sebenarnya akan
bertemu pada satu titik persamaan yang akan kita bahas lebih lanjut dalam
pembahasan selanjutnya (kesatuan transenden). Bila boleh disepakati bahwa
ide teologis adalah ide ketuhanan atau konsepsi ketuhanan yang menjadi
dasar ajaran pada setiap agama.

47
QS. Al-An’am, 6 : 103. ‫ﺒﹺﲑ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻴﻒ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻄ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﹾﻷَﺑ‬‫ﺭﹺﻙ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﹾﻷَﺑ‬‫ﺭﹺﻛﹸﻪ‬‫ﺪ‬‫ “ ﻻﹶﺗ‬Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang
Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya...,
h.204)
48
A.M. Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.95-96
39

Keberagaman teologis sepenuhnya adalah bagian-bagian yang tersebar


dalam pemahaman manusia tentang Tuhan. Keberagaman teologis tersebut
tidak lain adalah berbagai ungkapan yang dituju untuk menegaskan tentang
keesaan Tuhan. Keesaan Tuhan atau yang kita kenal dengan istilah “Tauhid”
Konsepsi tauhid itu sendiri secara gamblang dapat ditemukan pada
agama-agama monoteis, karena agama pagan atau politeisme mengakui
adanya banyak tuhan, meskipun tidak berarti juga mereka meniadakan Tuhan
– yang satu itu – sebagai tuhan tertinggi. (mengenai monoteisme dan
politeisme akan kita bahas pada bagian selanjutnya tentang kesatuan teologis
agama-agama). Oleh sebab itu esensi tauhid adalah pengesaan kepada Tuhan.
Para ulama kalam lazimnya membagi tauhid kedalam empat bagian,
yaitu : Tauhid fi al-Dzat wa al-Sifat, berkaitan dengan keyakinan bahwa
Allah itu Esa dalam Dzat-Nya dan dalam Sifat-Nya. Tauhid fi al al-Af’al,
berkaitan dengan keykinan bahwa Allah lah satu-satunya yang menciptakan
(tauhid khalqiyah, united of Creature) dan mengatur (tauhid rububiyah) alam
dengan seluruh sistem, norma, dan sebab-akibatnya melalui karya dan
kehendak-Nya. Tauhid fi al-Wilayah,berkenaan dengan keyakinan bahwa
Allah saja yang berhak menerapkan syariat dan hukum, memegang
kedaulatan dan hakimnya ala mini secara mutlak. Tauhid fi al-Ibadat.
Berkaitan dengan ibadah secara hakiki dengan menunjukkan ketaatan semata-
mata kepada Allah dan menjadikannya sebagai tujuan kiblat dan ideal serta
berarti pula menolak segala ketaatan, tujuan, kiblat atau ideal selain Allah
yakni ruku’, berdiri, sujud, bergerak, hidup dan mati hanya untuk Allah
semata49
Tauhid menolak adanya kontradiksi dan disharmonisasi pandangan
tentang Tuhan, karena itu dalam pandangan tauhid tidak dibenarkan adanya
eksistensi lain yang melebihi Tuhan. Puncak penegasan tauhid dalam agama
Islam adalah kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” yang berarti “Tiada tuhan selain

49
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama,
(Jakarta : RMBOOKS&PSAP, 2007), h.124
40

Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat tersebut meniadakan “tuhan” (
dengan huruf “t” kecil) dalam pengertian partikular yang dipahami
berbeda/berlainan, selain “Tuhan” ( dengan huruf “T” besar) dalam
pengertian universal yang dipahami sebagai pokok inti dari semua
penyembahan menuju pada yang Satu). Oleh sebab ia partikular maka dari
segi etimologi “tuhan / ilah” berbeda dengan Tuhan “Allah”. Kata ilah
menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan manusia dalam persepsi, pengenalan
dan konsepsi manusia (yang juga dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi
dimana seseorang/masyarakat itu hidup), tetapi kata “Allah” menunjukkan
Tuhan yang Satu, Tuhan yang wajib disembah, yang dapat diketahui/dikenal
dengan peleburan persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari
berbagai belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan (Ia yang
sebenarnya) hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani
atau pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama,
bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah.
Menurut Nurcholis Madjid rangkaian tauhid adalah faham tertentu
tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-
an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian
martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau
seharusnya membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari suatu
yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri.
Dengan komitmen tauhid yang dimulai dari adanya keyakinan dan kesadaran
bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada diatas manusia, maka dari sini
muncullah keinsyafan akan keterbatasan dan kelemahan yang selanjutnya
melahirkan sikap kemanusiaan sehingga tidak meninggikan posisi manusia
dan tidak mendudukkannya pada posisi yang lemah. Dan melalui peresapan
yang mendalam terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan (tauhid) ini, akan
melahirkan kehidupan yang penuh moral, yang akan termanifestasi beukan
41

hanya pada aspek sosio-ekonomi tapi juga dalam aspek sosio-politiknya


dengan sikap penegakan keadilan diantara sesama manusia 50
Dalam perspektif tauhid Islam, semua manusia adalah sama dihadapan
Tuhan (baca : Allah). Manusia dicptakan Tuhan hanyalah untuk
melaksanakan kehendak Ilahi yakni sebagai khalifah dimuka bumi, yang tiada
lain mengejawantahkan penghambaan (‘ubudiyah) sepenuhnya kepada Tuhan
(Q.S Al-Zariyat : 56)51, maka oleh karena itu Tuhan menciptakan manusia
dengan sebaik-baik bentuk (Q.S Al-Tin : 4)52 serta membekali manusia
dengan potensi suci untuk mengenal-Nya yakni potensi / fitrah (rasa
keberagamaan)53
Jadi secara natural berdasarkan fitrahnya, manusia adalah suci, tidak
membawa dosa warisan. Fitrah inilah yang dideklarasikan Islam pertama kali
dalam sejarah manusia, sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), maka orangtuanyalah yang
menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Fitrah tersebut berupa
kecondongan untuk (mengenal Tuhan sebagai sang pencipta) dalam hal ini
adalah potensi keberagamaan yang tertanam dalam jiwa manusia.fitrah
tersebut yang dimaksud adalah agama yang hanif (lurus) agama yang
diajarkan oleh para nabi /utusan Tuhan yang mengajarkan kepada tauhid atau
mengesakan Tuhan). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah saw
dalam hadis qudsi, bahwa Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan
suci (hunafa’)semua, lalu datang syetan kepada mereka yang
menyesatkan mereka dari agama-agama mereka, mengharamkan
apa yang Aku halalkan dan memerintahkan mereka agar
mempersekutukan-Ku dengan apa-apa yang Aku tidak menurunkan
hujjah untuk itu”

50
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi
Baru Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), Cet.1, h.125
51
Dan tidaklah Aku ciptakan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku
52
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk (penciptaan)
53
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, (Jakarta : Perspektif,
2005), Cet.1, h.200
42

Bila kita analisis relevansi dalam makna kedua hadis diatas, kita
tidak bisa dengan serta-merta menganggap bahwa Yahudi, Nasrani dan
Majusi seperti agama yang kita kenal sekarang melainkan nama-nama
agama tersebut diatas lebih mencerminkan kondisi, sifat atau karakter
bangsa Yahudi, Nasrani dan Majusi yang membangkang dari syariat/ajaran
para nabi mereka. Itu artinya bahwa diantara mereka terdapat pula orang-
orang yang hanif, hanya saja citra karakter disini lebih kepada paradigma
historis yang telah dikenal kaum muslim terhadap bangsa atau agama
mereka, karena kebanyakan mereka adalah sesat (tidak lagi meng-esa-kan
tuhan).
Melalui perspektif inilah kita akan menemukan korelasi yang tepat,
bahwa Islam tidak melihat non-Muslim sebagai makhluk yang salah akan
tetapi dengan potensi fitrahnya semua manusia berada dalam posisi yang
sama untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna dan tingkat
religiusitas yang hanif ; yaitu mengenal Tuhan dan memahami kehendak-
Nya dialam semesta.
Dengan konsep agama fitrah ini, Islam telah meletakkan landasan
universal yang lebih kuat dan humanis yang memungkinkan manusia
untuk mengakomodasi berbagai latar belakang agama dan keyakinan
sehingga seluruh umat manusia bersaudara dibawah payung
“kemanusiaan”. Dengan demikian jelaslah, bahwa perbedaan
keberagamaan menusia tidak boleh dinisbatkan kepada fitrahnya, karena
seluruhnya merupakan mekanisme rancangan Tuhan untuk manusia,
apakah manusia akan kembali atau keluar dari fitrahnya 54

54
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis..., h.201
43

E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Filsafat Perenial


Sayyid Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan
philosophia perennis (filsafat perenial)55, hal ini dikarenakan ia
banyak melihat kajian keagamaan di Barat kurang memahami bahwa
realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sacral sebagai
realitas ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah
suatu pengetahuan yang bisa memandang agama secara adil, yaitu
dengan menggunakan perennial wisdom (hikmah perenial) 56 yang
berada dalam “hati” semua taradisi-tradisi keagamaan. Philosophia
perennis merupakan pengetahuan yang berada pada “hati” agama
yang bisa menerangkan makna ritus-ritus keagamaan, doktrin-doktrin
dan symbol-simbol. Philosophia perennis juga menyediakan kunci
untuk memahami pentingnya pluralitas agama dan metode untuk
masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi atau
menghilangkan komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi
kajian kita. Philosophia perennis akan mengkaji agama dari segala
aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu dan seni yang sakral, simbol-
simbol dan images, ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme
dan etika sosial, metafisika, kosmologi dan teologi57

55
The perennial Philosophy, menyebut bahwa filsafat perennial adalah: 1) Metafisika
yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan
pikiran. 2) Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia (soul)
yang identik dengan kenyataan ilahi itu. 3) Etika yang meletakan tujuan akhir manusia
dalam pengetahuan-yang bersipat imanen dan transenden-mengenai seluruh keberadaan.
(Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
perennial…, h.xxix)
56
Kearifan perennial (perennial wisdom) dipandang bisa menjelaskan segala kejadian
yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dealam menjalankan hidup yang
benar, yang rupanya menjadi hakikat dari agama-agama dan tradisi besar spiritualitas
manusia. Kearifan ini sangat penting, karena hanya dengan kearifan inilah, kita bisa
memahami kompleksitas perbedaan yang ada antara yang satu dengan yang lain, yang
selama ini dianggap banyak orang bahwa realitas dalam agama-agama hanyalah
perbedaannya saja.
57
Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta :
2007) h.100
44

Dalam perspektif filsuf Muslim Jerman, F. Schuon, dan filsuf


Syiah, Sayyed Hussein Nasr, agama masa depan adalah agama
perenial. Agama perenial lahir jika agama-agama bertemu pada
tingkat esensial atau hakikat. Artinya, syariat tidak lagi merupakan inti
agama seperti sekarang ini. Dalam istilah para sufi muslim, terlahir
kesatuan agama-agama (wahdat al Adyan). Dalam praktek sufi, agama
adalah proses transendensi mengatasi (agama-agama) formalitas
dalam upaya memahami jati diri. Apabila seseorang telah mengenal
dirinya, ia akan mengenal Tuhannya58.
Dalam pengertian agama seperti itu, orang tidak perlu
mengklaim kebenaran. Agama juga tidak perlu didakwahkan, apalagi
dengan menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, agama tidak
memerlukan institusi negara karena agama tidak perlu perlindungan
dari ancaman. Dalam pertemuan agama-agama tidak perlu lagi ada
persaingan apalagi perjuangan antaragama. Agama-agama telah
mengalami perdamaian (darr al-salam) atau dalam bahasa Kristen,
manusia telah memasuki kerajaan Tuhan yang aman dan damai.
Dalam pengertian Islam, agama-agama telah ter-islamkan. Dalam
keadaan seperti ini, agama tidak lagi bisa dimanfaatkan atau
dimanipulasi untuk kepentingan individu dan kelompok59
F. Kesatuan Transenden Agama-agama
Jika ada yang bertanya mengapa harus ada titik temu, apalagi
titik temu teologis dan metafisik? Jawabannya, karena kita semakin
dihadapkan pada suatu masa yang sering disebut para ahli, sebagai
"zaman pascamodern" dimana pluralitas telah menjadi kenyataan yang
tidak bisa ditolak. Setiap agama akan bertemu dengan agama-agama
yang lain, sehingga ia harus mendefinisikan bahkan secara teologis
dan metafisik bagaimana hubungan dirinya dengan agama lain.
Sekaligus mendefinisikan ulang masalah keabsahan agama lain, yang

58
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010
59
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010
45

tidak lagi bisa secara naif diberi label dengan "kafir," "mengalami
penyelewengan," "tidak lebih sempurna," "lebih rendah" dan
sebagainya, seperti selama ini dilakukan.
Dalam konteks agama-agama, penerimaan adanya the common
vision ini berarti menghubungkan kembali the many, dalam hal ini
adalah realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The One-
Tuhan, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya
sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan
spiritual manusia. Sehingga kesan empiris tentang adanya agama-
agama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena
faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang
menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam
bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan “ Agama itu” (The
Religion).
Dengan cara trasendental ini di temukan adanya norma-norma
abadi yang hidup dalam jantung setiap agama-agama besar, maupun
tradisi tradisi spiritual kuno .The heart of religion inilah yang bersifat
Ilahi dari agama-agama itu, yang selalu disampaikan dan diajarkan
oleh kalangan perennialis. Mereka menganggap, mengerti mengenai
hal tersebut adalah cara untuk mengerti “ pesan ketuhanan” kepada
manusia” sekaligus cara manusia kembali kepada tuhannya60.
selanjutnya menurut Fritjhof Schuon, metafisika keagamaan atau
filsafat perennial ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan
transmisi (mata rantai) tradisional, termasuk dalam realisasi spiritual.
Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio,
perennis, agama agama yang bersifat abadi.metafisika ini juga yang
hidup dalam manusia. Dalam bahasa Meister Eikhart, “Dalam diri
manusia, ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak dapat
diciptakan.itulah Intelek.” Memang filsafat perennial sepenuhnya

60
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxx
46

mencurahkan perhatian pada agama, dalam realitasnya yang paling


transenden atau metafisik yang bersifat transhitoris ini. Bukan agama
dalam kenyataan faktual, seperti dalam ajaran religionwissenshaft,
bahkan fenomologi. Usaha transenden metafisis ini dilakukan untuk
mendapatlkan kunci manusia dapat memahani ajaran agama agama
yang sangat kompleks dan penuh teka-tek, yang tak pernah bias
diduga maknanya lewat analisis empiris, apalagi historis, seperti yang
dilakukan oleh para ahli agama-agama selama ini.
Dari sudut pandang hirakis atau tingkat-tingkat ekistensi
agumen bahwa “tradisi” adalah jalan yang memberitahu kita
bagaimana menempuh pendakian dari tinggkat eksistensi/realitas yang
lebih rendah-yaitu kehidupan sehari hari ini-sampai ketinggkat/realitas
yang paling tinggi, kepada Tuhan melalui pengalaman pengalaman
mistis,penggalaman kesatuan atau wahdat-ul wujud. Filsafat perennial
sering menggambil istilah upaya dari Buddhisme untuk
61
menggambarkan perjalanan pendakian spiritual ini .
Memang secara lahiriah setiap kontruksi upaya kelihatannya
bertentangan, tapi secara transenden atau esensial dalam istilah Knitter
tadi semuanya mempunyai maksud yang sama,yaitu sebagai sarana
penyelamatan kehidupan ruhani manusia. Dan pada akhirnya, seperti
dikatakan Bhagavan Das dalam The Essential Unity of All Religions
(1966,h.604), kita semua penganut agama bertemu dalamthe road of
life (jalan kehidupan) yang sama yang datang dari jauh, yang datang
dari dekat, semua kelaparan dan kehausan: semua membutuhkan roti
dan air kehidupan, yang hanya bias didap[at melalui kesatuan dengan
The supreme Spirit. Yang di gambarkan oleh bhagavan Das sebagai
the road of life adalah upaya dalam istilah Schuon itu. penganut
agama bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan) yang sama,
yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan

61
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxi
47

kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya


bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit yang
digambarkan oleh Bhagavan Das sebagai the road of life adalah upaya
dalam istilah Schuon itu62.
Penjelasan perennial tentang upaya ini tentu saja kemudian
membawa "tradisi" bisa dilihat dari dua arah: Dari sisi Ketuhanan
adalah narasi tentang "asal-usul" dari seluruh realitas. Dari sudut
manusiawi, adalah "jalan" kembali pada Tuhan, kepada "Yang Asal."
Schuon dan Nasr mengemukakan, pandangan kesatuan
transenden agama-agama dapat ditelusuri melalui pendekatan filsafat
perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik
ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul
melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan
simbol63.
1. Mono dan Multi
Mengapa Dia Yang Absolut secara partikular kemudian
memiliki banyak nama? Dari perspektif penalaran manusia,
seperti kata Ibn al-'Arabi, Tuhan dalam kesendirian-Nya sesung-
guhnya tidak perlu nama. Tetapi karena Tuhan ingin dikenal dan

62
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxiii
63
filsafat perennial sedikitnya bisa didekati dari tiga sudut pandang;
epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara epistemologis filsafat perennial
membahas makna, substansi dan sumber kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu
ber-proses mengalir dari Tuhan, Yang Absolut, dan pada gilirannya tampil dalam
kesadaran akal budi manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang
menyejarah. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan
adanya Sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), bahwa segala wujud ini
sesungguhnya bersifat relatif, ia tak lebih sebagai jejak, kreasi ataupun cerminan dari Dia
yang Esensi dan Substansinya di luar jangkauan nalar manusia. Adapun melalui
pendekatan psikologis, filsafat rerennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut
"wahyu bi al khalidah", "agama asli", "hikmah khalidah", "kebenaran abadi", 'sophia
perennis" yang terukir di dalam lembaran hati seseorang yang senantiasa mendorong
seseorang untuk berpikir dan berperilaku yang benar. secara psikologis filsafat adalah
bahwa secara instrik dan alamiah Tuhan telah menahamkan "benih" iman pada diri setiap
insan, hanya saja "benih" itu adakalanya tertimbun (kafir) sehingga tidak bisa tumbuh
mekar, tetapi meskipun demikian, kandungan iman dan Islam tersebut tetap t i d a k
a k a n mati. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.5)
48

ingin berdialog dengan manusia, makhluk ciptaan-Nya yang


paling dibanggakan, maka persoalan nama Tuhan lalu muncul.
Oleh karenanya, mengingat manusia adalah makhluk historis,
maka nama-nama Tuhan juga muncul dan merupakan bagian dari
agenda wacana sejarah dan pemikiran agama. Oleh karenanya,
mengingat manusia lahir dan berkembang dalam pluralitas etnis,
budaya dan agama, maka kita jumpai pula pluralitas pemahaman,
penghayatan dan penamaan Tuhan.
Dalam sejarahnya, manusia menyebut Tuhan Yang Esa
danMutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara
subsstansial beragam nama itu menunjuk kepada Dzat yang sama.
Tuhan sebagai wujud Absolut inilah yang dijadikan obyek pujaan
karena fungsi dan posisi-Nya yang diyakini oleh manusia sebagai
pencipta dan penguasa jagad semesta ini. Karena Maha absoulut,
maka antara Tuhan dan manusia selalu terdapat "jarak" yang
amat jauh sehingga manusia bersikap "paradoksal" dalam
memposisikan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai yang teramat jauh,
bahkan tidak terjangkau (transenden), tetapi sekaligus juga berada
bersama, bahkan di dalam, diri kita (immanen). Sebagai
akibatnya, maka Yang Satu dan Absolut—karena tidak mungkin
liiukkan" oleh kapasitas pemahaman nalar manusia ditangkap
kehadiran-Nya melalui simbol-simbol yang disakralkan sehingga
di mata manusia lalu muncul bentuk tuhan-tuhan plural64.

William C. Chittick menyatakan ihwal beragam nama yang


dikenali manusia sebagai (untuk menunjukkan) Tuhan, tidaklah cukup
untuk mendefinisikan Tuhan sebenarnya-benarnya. Karena Ia yang
sebenarnya melebihi dari semua nama untuk-Nya, bahkan lebih dari itu
Ia yang sebenrnya tak terdefinisikan oleh nama.

64
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial… h.25
49

“…Though all the Names (of God) refer to a single Reality,


none denotes Its true nature.From this point of view even
the Name of Allah, which is called the "all-comprehensive
Name" 'al-ism al-jami') since it is the referent of all other
Names, is said to denote that Reality only in as much as It
makes It self known…”65

Allah sebagai Dzat Yang Absolut dan Maha Gaib, seperti


kata Ibn al-'Arabi, sesungguhnya tidak memerlukan nama.
Sekalipun Dzat Yang Absolut diberikan nama, kata Lao-tze,
maka nama apapun tak ada yang tepat sebab jika yang Absolut
bisa didefinsikan maka ia tidak lagi absolut. Bukankah definisi
berarti juga sebuah pembatasan dan penciutan dari sebuah
realitas? Karena Allah itu "Serba-Maha", dan sungguh tidak
mudah, bahkan tidak mungkin, memberikan penjelasan secara
mutlak tentang Tuhan, maka filosof Yunani Kuno menyebutnya
sebagai aktus purus, yaitu Substansi hidup yang suci yang
keberadaan-Nya tidak memerlukan siapapun di luar diri-Nya.
pada manusia. Tetapi karena terdapatnya jarak yang jauh antara
Tuhan dan manusia, maka jarak itu lalu dijembatani dengan
nama-nama serta tanda-tanda yang dalam bahasa Arab juga
disebut asma', ayat dan 'alam. Asmd' biasanya muncul dalam
wacana filsafat dan teologi, ayat biasa dipahami sebagai informasi
dan pengenalan diri Tuhan melalui wahyu (kitab suci), sedangkan
alam ialah tanda-tanda kekuasaan dan kehadiran Tuhan melalui
ciptaan-Nya berupa alam raya ini. Secara semiotik ketiga istilah
itu memiliki kesamaan bahwa ketiganya berfungsi sebagai me-
dium komunikasi untuk menghadirkan Tuhan dengan berbagai
pesannya agar Tuhan bisa dikenal manusia66.

65
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial… h.23
66
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial… h.33
50

2. Bentuk dan Substansi


Sebagaimana telah diuraikan di sebelumnya, pembicaraan
mengenai substansi dan bentuk sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno,
terutama pada Plato dan dikembangkan kemudian oleh Aristoteles.
Meskipun substansi keberadaannya bersifat primer sementara bentuk
adalah sekunder, namun tanpa bentuk atau suatu atribut sebuah substansi
tidak bisa dikenal. Demikian juga halnya dengan keberadaan agama.
Substansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil
dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia dan lebih jauh lagi
adalah dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan
operasional.
Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas.
maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat
universal dan sekaligus juga partikular. Dalam konteks inilah
barangkali Schuon mengatakan bahwa, "Setiap agama memilik:
satu bentuk dan satu substansi"1 Bentuk agama adalah relatif.
namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang mutlak.
Karena agama merupakan gabungan antara "substansi" dan
"bentuk", maka agama kemudian menjadi sesuatu yang absolut
tetapi relatif. Inilah yang seperti telah disebut dalam bab terdahulu
bahwa agama bisa disebut sebagai sesuatu yang "relatively-
absolute". Kepicikan dan kesempitan sebuah agama akan terjadi
jika kebenarannya diidentikkan hanya dengan bentuknya 67.
Walaupun substansi semua agama itu sama, tapi karena
kehadiran substansi selalu dibatasi oleh, dan fungsinya berkaitan
dengan, bentuknya, maka walaupun substansi setiap agama semua
sama, tetapi secara eksoterik dan operasional sekaligus berbeda
dari agama yang lain. Oleh karenanya setiap agama selalu otentik

67
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54
51

untuk zamannya meskipun secara substansial kebenarannya


bersifat perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu68.
Untuk pemisahan bentuk dan substansi, bukan berarti
penafian terhadap bentuk sebuah agama, karena memang
karakteristik formal agama adalah keharusan yang tak
terejawantahkan dalam sejarah agama dan sejarah manusia dalam
pelestarian agamanya. Bila dapat kita katakan, bahwa formalitas
sebuah agama adalah identitas, maka substansi sebuah agama
adalah entitas. Formalitas tersebut suatu saat dapat saja berubah
sesuai dengan situasi, kondisi dan yang terpenting adalah manusia
itu sendiri yang senantiasa berkembang pemikirannya. Namun
ada hal-hal yang tidak berubah dalam agama adalah substansinya,
karena ia merupakan nilai-nilai dasar kehendak Ilahiah yang
permanen dalam setiap jantung agama-agama. Kiranya hal inilah
yang dapat membuka pintu inklusivitas dan pemahaman yang
benar ditengah berbagai pluralitas agama dan kemanusiaan.
Bilapun dikatakan bahwa Islam adalah agama mutakhir
yang mencakup ataupun meliputi ajaran agama sebelumnya, maka
pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level substansinya.
Membicarakan kehadiran agama dalam sekuens waktu, sehingga
ada agama klasik dan agama mutakhir, memang sulit dihindari
karena baik agama maupun para pemeluknya hidup dalam rentang
waktu sejarah. Jadi kalaupun keberadaan Tuhan Yang Absolut
berada di luar waktu empiris, begitupun substansi agama bersifat
trans-historis, namun manusia yang meresponi seruan Tuhan
berada dalam ruang dan waktu yang empiris. Oleh karena itu
dunia manusia. mengenai kategori masa lalu, sekarang, dan esok,

68
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54
52

sedangkan bagi Yang Maha Absolut kategori waktu seperti itu


tidak berlaku69.
Melihat kenyataan di atas maka kesadaran adanya aspek
substansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan materi
dalam kalbu, akan membuka banyak jalan alternatif menuju Jalan
Lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang yang yang
mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang
benar. Meminjam ungkapan Schuon;
Inwardly, or in terms of substance, the claims that a
religion makes are ibsolute, but outwardly, or in terms of
form, and so on the level of human contingency, they are
necessarily relative." ("Secara esoteris, atau dalam
pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-
pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat
mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian
bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi,
pernyataan-pernyataan tersebut mau mau menjadi
relatif") 70

3. Relatif dan Absolut


"Paul Knitter dalam bukunya No Other Name?; A Critical
Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion (1985)
mengatakan, “Anda tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang
satu lebih baik dari yang lain.
"You can't say that one is better than another…, All religions
are relative that is, limited, partial, incomplete, one way of
looking at thing. To hold that any religion is intrinsically
better than another is felt to be somehow wrong, offensif,
narrowminded.’’…(Anda tidak bisa mengatakan bahwa agama
yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama pada
dasarnya semua relative-yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap-
sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap
bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain,
sekarang (oleh ahli agama-agama) dirasakan sebagai sebuah

69
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.54-55
70
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial… h.5
53

sikap yang agak salah,ofensif, dan merupakan pandangan yang


sempit)"71.

Sebagaimana menurut pendapat Knitter diatas, Bahwa


semua agama pada dasarnya adalah seperti dikatakan dalam filsafat
perennial, relatively absolute ( hanya secara relative absolute), atas
klaim kebenaran yang secara tradisional memang inheren dalam
agama, maka agama bisa diharapkan kembali, seperti dulunya
menggambil peranan pembebasan (interior dan eksterior) atas
kemanusiaan. Klaim kebenaran bahwa agamanya sendirilah yang
paling benar atau lebih tinggi kebenarannya akan mendapat
tantangan yang besar sekarang ini, "Pluralisme keagamaan
merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dewasa
ini" Tentu saja yang dimaksudkannya dengan "tantangan" di sini
adalah perlunya keberanian melakukan definisi ulang atas
keberadaan dan kebenaran dari agama lain.
Tapi untuk mencapai maksud ini memang kita perlu
memasuki suatu bidang yang disebut meta-religious language yang
termasuk dalam bidang metafisika. Karena hanya dalam bidang
inilah termuat seluruh pengertian dari makna terdalam semua
struktur logis bahasa teologi agama-agama72. Kemampuan kita
memahami makna terdalam dari setiap agama inilah yang
diharapkan bisa menjadi penghancur tembok pemisah teologis
agama-agama, yang selama ini menjadi hambatan dalam dialog dan
hubungan agama-agama.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kebenaran yang
sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada Yang
Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu
tampil dalam wujudnya yang plural. Dibalik pluralitas ini terdapat

71
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.23
72
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.xlii
54

kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas


oleh manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di
luar jangkauan manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir
menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan kultur.
Dengan demikian pluralitas pemahaman agama merupakan
keniscayaan teologis, psikologis, dan historis. Ini tidak berarti kita
lalu menutup mata dari kemung-kinan terjadinya penyimpangan
dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu. Hanya saja secara
apriori semua manusia sesungguhnya ingin berpartisipasi
memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang
ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa
mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa
saja diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap
tidak mampu memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya serta tidak mampu menyajikan laporan yang valid
tentang apakah seseorang tengah menapaki ataukah menjauhi jalan
keselamatan.
Pada akhirnya, kebenaran iman dan jalan keselamatan
merupakan obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu
didekati dan dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah
situasi yang mapan, tuntas dan selesai73.
4. Partikular dan Universal
Hakikat agama itu satu, tetapi karena agama muncul dalam
ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan
partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam
realitas sejarah. Dengan ungkapan lain, pesan kebenaran yang
Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah.
Maka setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung
muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan pada waktu

73
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.
55

yang sama bahasa dan nilai agama yang terwadahi dalam lembaga
budaya tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan
pengelompokan ideologis74.
Esoterisme, secara intrinsik bersifat universal dan karenanya sangat
terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi
agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya
tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk,
melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari
esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan
selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi
agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda.
Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalah-
pahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul
ke permukaan75.
Setiap fenomena keagamaan adalah fenomena karakter
agama itu sendiri, dan tidak bisa direduksi ke dalam kategori lain
karena berbagai variable dan alasan kemunculannya juga spesifik.
Kita bisa saja membuat analogi dan mengambil beberapa pelajaran
dan pesan dasar dari agama-agama yang pernah ada, tetapi pada
dimensi eksoteriknya setiap penampakkan adalah khas, unik, yang
memantulkan cahaya realitas arketip dari tradisi primordial (dalam
pengertian metafisis) yang sejalan dengan bentangan sejarahnya 76.
Dari partikularitas menuju universalitas adalah pendekatan
yang mencurahkan perhatian pada agama dalam realitas trans-
historis dan metafisis (filsafat perennial), Namun demikian—perlu
ditegaskan kembali—walaupun sasaran kajian filsafat perennial
adalah persoalan-persoalan metafisika, tidak berarti persoalan

74
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.6
75
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.69-70
76
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat perennial…, h.14
56

bentuk agama-agama diabaikan77. Dalam hal ini, yang perlu


.dikritik bukannya adanya eksoterisme itu sendiri, melainkan
otokrasi dan berbagai ekses negatifnya yang merasuki seluruh
bidang kehidupan, sehingga menimbulkan keyakinan hanya
pahamnyalah yang paling benar.

5. Monoteisme Ibrahim

‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ﺍﺗ‬‫ُ ﻭ‬‫ﺴِﻦ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﷲِ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻳﻨ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
( ١٢٥ : ‫ﻴﻼﹰ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻠ‬‫ ﺧ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺬﹶ ﺍﷲُ ﺇﹺﺑ‬‫ﺨ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭ‬‫ﺣ‬
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa 4:125)78

‫ ﹶﻻ‬‫ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﷲَ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ ﺃﹶﻻﱠ ﻧ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺁﺀٍ ﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﺳ‬‫ﺔ‬‫ﻤ‬‫ﺍ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻛﹶﻠ‬‫ﺎﻟﹶﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺎﺏﹺ ﺗ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ﺎﺃﹶﻫ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬
‫ﺍ ﻓﹶﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍ‬‫ﻟﱠﻮ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﷲِ ﻓﹶﺈﹺﻥ ﺗ‬‫ﻭﻥ‬‫ﻦ ﺩ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﺃﹶﺭ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻨ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﺬﹶ ﺑ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬‫ﺌﹰﺎ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ ﺷ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﺮﹺﻙ‬‫ﺸ‬‫ﻧ‬
(٦٤:‫ﻮﻥﹶ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻭﺍ ﺑﹺﺄﹶﻧ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺷ‬
Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-
orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali Imran
3:64)79

77
Proses pelembagaan perilaku keagamaan jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk
mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukkan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama
secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling
"hanif7 lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama
itu sendiri. Pada tarap ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak
menyadari. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.6)
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.142
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86
57

Kita akan membahas secara menyeluruh masalah


homogenitas rohani dan siklus perkembangan agama monoteisme
yang mencakup Yahudi, Kristen dan Islam, yang pada hakikatnya
didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi. Jika kita
katakan bahwa konsepsi ini bersifat dogmatis, pernyataan itu
bermaksud menunjukkan konsepsi tadi disertai sikap yang menolak
pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan pembenaran
bagi semua dogma, tidak mungkin ada penerapan eksoteris.
Dari segi berbagai bentuk konsepsi itu saling bertentangan,
namun dari segi ajaran metafisik atau kerohanian murni, rumusan-
rumusan yang kelihatannya saling bertentangan sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain atau saling terkait.
Agama monoteistis pada mulanya merupakan agama orang
semit, yang berasal dari Ibrahim, berkembang lebih lanjut menjadi
dua cabang, yakni keturunan Ishak dan keturunan Ismail80. Baru
pada zaman Musa monoteisme ini mengambil bentuk Yahudi. Pada
saat agama Ibrahim mulai luntur dikalangan keturunan nabi Ismail,
Musa lah yang terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut.
Musa menghubungkan monoteisme dengan bangsa Israel, yang
karena itu ia menjadi pelindungnya. Tetapi, betapapun pentingnya
adaptasi tadi yang juga sesuai dengan kehendak Ilahi, tindakan ini
juga menyebabkan terjadinya pembatasan dalam bentuk lahiriah,
karena kecenderungan pengkhususan yang ada pada setiap bangsa.
Karena itu dapat dikatakan bahwa agama Yahudi mengambil alih
monoteisme dan menjadikannya milik bangsa Israel. Akibatnya
sejak saat itu warisan Ibrahim dalam bentuk ini tidak dapat
dipisahkan dari semua adaptasi lebih lanjut dan dari semua

80
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of
Religions, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), Cet.2, h.104
58

konsekuensi ritual dan sosial yang terkandung dalam hukum


Musa81.
Akibat tersalur dan terkristalnya monoteisme dalam agama
Yahudi, maka mulai saat itulah monoteisme memiliki ciri historis-
eksoteris. Ciri historis agama Yahudi mempunyai konsekuensi
yang sebelumnya tidak ditemukan dalam monoteisme asli, paling
kurang bukan dalam bentuk yang sama. Itulah paham messianis,
dan karena itu ia dikaitkan dengan tradisi Musa82. Beberpa tinjauan
mengenai monoteisme asli beserta adaptasinya yang dilakukan nabi
Musa, penerapannya dalam agama yahudi dan perwujudannya
dalam paham mesianis, cukup memungkinkan kita melangkah lebih
jauh guna membahas peranan organis yang dimainkan agama
kristen dalam perkembangan monoteisme selanjutnya. Karena itu
dapat dikatakan bahwa pada gilirannya, agama Kristen menyerap
semua warisan ajaran monoteisme menjadi peneguh akan messias,
karena agama Kristen adalah buah yang absah dari bentuk agama
Yahudi. Karena sang messias harus mewujudkan kehendak Ilahi
yang merupakan sumber monoteisme dalam dirinya sendiri, tentu
saja Ia harus mengatasi bentuk yang tidak memungkinkannya
mewujudkan kehendak Ilahi itu sepenuhnya.
Telah kita katakan bahwa pribadi messias merupakan
”avataris” menyerap seluruh ajaran monoteistis. Ini berarti kristus
bukan hanya akhir agama yahudi yang historis, paling tidak dari
segi dan ukuran tertentu, melainkan juga bahwa pribadi messias
adalah dukungan terhadap monoteisme. Tetapi kenyataan historis
yang amat jelas tentang adanya Kristus itu pada gilirannya
mengandung konsekuensi terbatasnya bentuk agama tersebut
(agama kristen). Hal ini dapat dilihat dalam bentuk agama Yahudi,
dimana Israel memainkan peranan yang kemudian berpindah ke

81
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.105
82
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.106
59

messias, yakni penerapan yang seharusnya bersifat terbatas ditinjau


dari sudut perwujudan monoteisme secara utuh. Disinilah agama
Islam masuk, dan menjadi tugas kita menelaah kedudukan dan
peranannya yang penting dalam perkembangan monoteisme83
Perkembangan ajaran Ibrahim tentang monoteisme hingga
mengambil bentuknya dalam agama-agama (Yahudi, kristen dan
Islam), bukanlah sebagai bentuk penghapusan atau pembatalan.
Yang perlu dipahami adalah, meskipun adanya pembatalan yang
dijelaskan dalam kitab suci, pembatalan tersebut tidak lain adalah
penjelasan tentang penyimpangan yang dilakukan kaum
monoteisme sehingga pembatalan tersebut bersifat relatif,
sedangkan inti hakikat agama Ibrahim itu sendiri adalah mutlak
karena bersifat Ilahi. Itulah sebabnya dalam tiga agama besar
tersebut sama-sama memiliki posisi yang absah dalam hal
kepemilikannya terhadap agama Ibrahim, serta memiliki posisi
yang sama dalam hal esensi ajaran monoteisme, karena ketiganya
merupakan geneologi yang saling melengkapi (geneologi historis
dan ajaran yang sama).
Pada agama Yahudi dan Kristen, monoteisme menampakkan
dua wajah yang saling bertentangan. Keduanya dirangkum oleh
Islam dengan menyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu
sintesis. Inilah yang menandai berakhirnya perkembangan dan
perwujudan integral monoteisme. Dengan kata lain penyelarasan
Yahudi dan kristen dalam Islam dalam arti tertentu yakni
mengembalikan kepada monoteisme murni ibrahim84. Monoteisme
yang diwahyukan kepada ibrahim mempunyai keseimbangan yang
sempurna antara asoterisme dan eksoterisme, dan sampai taraf
tertentu memiliki kesamaan primordial, walaupun masalahnya
disini hanya menyangkut primordialitas dalam hubungan dengan

83
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.107
84
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.109
60

sejumlah bangsa Semit. Dapat dikatakan, pada nabi Musa


eksoterisme menjadi agama dalam arti bhwa eksoterisme itu
memberi petunjuk pada agama tanpa mempengaruhi hakikatnya.
Pada Kristus sebaliknya esoterismelah yang pada gilirannya
memberi bentuk kepada agama tanpa mempengaruhi hakikatnya.
Pada Muhammad, keseimbangan semula dipulihkan kembali, dan
siklus perkembangan monoteisme pun berakhir85.
Sudah seharusnya setiap agama merupakan suatu adaptasi,
dan adaptasi mengandung pengertian adanya pembatasan. Jika
berbagai agama metafisik murni merupakan suatu adaptasi,
demikian pula halnya beragam agama eksoteris, yang merupakan
rangkaian adaptasi demi kepentingan mentalitas yang lebih
terbatas. Pembatasan perlu ada pada bentuk-bentuk agama asli.
Tidak dapat dielakkan, berbagai pembatasan itu tampak dalam
proses perkembangan bentuk-bentuk tersebut, dan menjai semakin
nyata pada akhir pekembangannya, yang ikut ditentukan oleh
pembatasan bentuk agama itu sendiri. Jika beragam pembatasan itu
diperlukan demi kehidupan agma tersebut.konsekuensinya, agama-
agama itu walau bagaimanapun juga akan tetap terbatas. Ajaran
heterodoks ini sendiri adalah konsekuensi tidak langsug dari
kebutuhan akan pembatasan bentuk agama, dan untuk memberinya
batas sesuai dengan taraf kemajuan yang dicapai dalam abad
gelap 86. Bahkan simbol-simbol suci pun demikian halnya. Karena
hanya hakikat tak berhingga, abadi dan tanpa bentuklah yang
secara absolut bersifat murni dan tidak dapat diubah, dan karena
sifat-Nya yang Adikodrati harus dinyatakan, baik melalui
diluluhkannya bentuk-bentuk yang ada maupun melalui sinar-Nya
yang dipancar melalui beragam bentuk tadi.
6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik

85
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.111
86
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.112
61

Agama Ibrahim mengandung tiga unsur kepercayaan, yakni


percaya kepada Tuhan, unsur etik berupa kebenaran dan keadilan,
serta ritual. Unsur pertama yakni percaya kepada Tuhan, dalam hal
ini Abrahamic Religions (agama Ibrahimistik) mengajarkan fondasi
monotheistis yakni konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi – non
dualitas. Ajaran monoteisme yang berasal dari Ibrahim tersebut
yang merupakan kelompok agama Semit, kemudian berkembang
menjadi dua cabang yakni keturunan Ishaq dan keturunan Isma’il.
Agama Ibrahim tersebut juga dikenal (dalam term al-Qur’an)
dengan agama hanif, artinya agama fitrah yang mencerminkan
keberagamaan manusia, kemudian diikuti dengan kepatuhan dan
ketundukan kepada Tuhan yang disebut Muslim. Jadilah agama
Ibrahim tersebut hanifan muslima87 yang menjadi dasar dari setiap
agama monoteisme.
Ada satu tema besar yang mendominasi ajaran (course)
agama Yahudi, yaitu kebenaran Tuhan (truth of God) yang tunggal
pada tatanan sosial (social order) dialam. Ide ketuhanan tersebut
berasal dari Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub berupa ajaran yang
membawa kembali kepada masa-masa patriarch. Ide ini
dihidupkan kembali oleh musa untuk menerangi Israel, karena itu
Musa merupakan inagurator agama Israel yang membawa mereka
kepada Tuhan yang sebenarnya88.

Ajaran kebenaran Tuhan tersebut dinyatakan dengan sepuluh


perintah (Ten Commandment ) dalam Taurat/Perjanjian Lama,

87
Istilah hanif dan muslim berarti mengikuti kebenaran jalan hidup yang asli, primordial
dan perennial, yang tidak berubah sepanjang masa. Itu semua berpangkal pada keyakinan fitrah
manusia kepada Tuhan yang merupakan esensi semua agama yang lurus (al-Din al-Qayyim)...
Lihat : Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam, (Yogyakarta : AK Group Yogya, 2004), Cet.1,
h.108
88
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.109
62

kesepuluh perintah tersebut terdapat dalam Kitab keluaran


(Exodus) 20 : 3, 5, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17. Urutan kesepuluh
firman Tuhan tersebut adalah :
1) Janganlah menyembah selain Allah (3)
2) Janganlah membuat dan menyembah patung berhala (4
dan 5)
3) Janganlah menyebut nama Allah dengan sia-sia (7)
4) Ingatlah hari Sabat [Sabtu] (8)
5) Hormatilah ayah dan ibu (12)
6) Janganlah membunuh (13)
7) Janganlah berzina (14)
8) Janganlah mencuri (15)
9) Jangalah mengucapkan saksi palsu tentang sesama (16)
10) Janganlah menginginkan rumah sesamamu, isterinya
dan barang-barang seluruhnya (17)89

Umat yahudi diwajibkan untuk tunduk dan patuh kepada


”Sepuluh Perintah Tuhan” tersebut. Ketundukan kepada Tuhan
untuk menjalankan perintah-Nya itu dalam term al-Qur’an disebut
dengan al-Islam. Kesepuluh perintah tersebut secara implisit dapat
kita temukan dalam Q.S. al-An’am 151-153, sebagai berikut :
Katakanlah:"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapak,dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak
diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu
memahami(nya). (QS. 6:151)

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan


cara yang lebih bermanfa'at, hingga sampai ia dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
89
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.110
63

sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka


hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabat(mu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, (QS. 6:152)
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS.
6:153)90

Dari pernyataan ayat-ayat diatas dan sepuluh perintah Tuhan,


maka dalam hal ini kita melihat adanya keterhimpunan yang
diajarkan pada agama Yahudi dan Islam dalam hal hubungan
vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal antar sesama
manusia.
Ibadah merupakan realisasi dari ketundukan kepada Tuhan,
peribadatan dalam agama Yahudi berupa ”selamatan” dan
berkurban untuk mencapai keridhoan-Nya. Bentuk pengorbanan
(ritual) pada umumnya dilakukan dengan melakukan korban diatas
mezbah (altar) yang kemudian korban itu dimakan oleh para
peserta ritual (worshipper) tersebut. Dalam al-Qur’an (QS. Al-
Baqarah :67-71)91 kita bisa temukan informasi perihal peribadatan

90
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…, h.214-215
91
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:"Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata:"Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?". Musa menjawab:"Aku berlindung kepada Allah sekiranya
menjadi seorang dari orang-orang yang jahil". (QS. 2:67) Mereka menjawab:"Mohonkanlah
kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?".
Musa menjawab:"sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu". (QS. 2:68) Mereka berkata:"Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab:"Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (QS.2:69)Mereka berkata:"Mohonkanlah
kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi
betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk". (QS. 2:70) Musa berkata:"Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya". Mereka berkata:"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
64

Yahudi dalam berkorban adalah perintah kepada Israel untuk


menyembelih sapi betina.
Kata kunci dari hubungan timbal balik antara manusia
dengan Tuhan dan antar sesama manusia dalam agama Yahudi
adalah shalom, shalem, shelamim yang artinya kedamaian (peace).
Kata ini berdekatan dengan kata salam dalam term al-Islam .
Pengertian shalom atau kedamaian dan integritasnya dalam
kehidupan yang penuh berkah, bisa menyentuh berbagai sektor
baik ekonomi maupun politik melalui penguasa Israel92.
Dengan demikian ide monoteisme antara Yahudi dan Islam
terletak pada konsepsinya tentang keesaan Tuhan dan ketundukan
kepada perintah-perintah-Nya.
Sementara itu dalam hal teologi dan keimanan, agama
Kristen mewarisi dari agama Yahudi. Teologi Perjanjian Baru
dimulai dengan keyakinan yang sangat besar, yakni : Allah ada
bahwa Dia menciptakan manusia dan terus memperhatikannya 93
dalam Yohanes 4 : 24 disebutkan bahwa : ”Allah itu Roh dan
barangsiapa yang menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam
roh dan kebenarannya”.
Ajaran teologi Kristen memang begitu dekat dengan istilah
penyatuan roh Tuhan dan roh manusia. Oleh karenanya, untuk
kemudian kita mengenal istilah Trinitas dalam teologi kristen.
Konsepsi hubungan Tuhan dengan manusia dalam agama Kristen
adalah bahwa manusia itu diciptakan dalam persamaan (likeness)
Tuhan, karena itu manusia adalah bayangan (image) dan pujian-

sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak


melaksanakan perintah itu. (QS. 2:71). Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…
92
Pernyataan kedamaian pada suatu bangsa berarti kondisi pemerintahan yang penuh
dengan kedamaian dan keadilan. Keduanya merupakan tanggung jawab sentral dari para raja
dan pembesar agama bangsa Israel. Kedamaian tersebut dibangun oleh Tuhan Yahweh,
karena Tuhan sendiri Maha Damai dan Maha Penyelamat. Kondisi demikian telah dilakukan
oleh raja Gedion sebagaimana disebutkan dalam kitab Hakim-Hakim 24 : 6
93
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, terj. Lisda T Gamadhi, (Jakarta : PT.BPK
Gunung Mulia, 1995), Cet.4, h.43
65

Nya. Kesamaan antara manusia dengan Tuhan berarti dalam


kesucian dan kebenaran-Nya, kendatipun sebenarnya hal ini
bersifat spiritual. Pengetahuan tentang Tuhan nampak dalam
pewahyuan firman-Nya melalui roh suci, kemudian pada realitas
dan keyakinan serta kepatuhan.
Selain mewarisi monoteisme Yahudi, agama kristen memiliki
kekhususan tersendiri, keyakinan Kristen dimulai dengan
mengkuduskan makna pribadi Yesus yang dipandang sebagai
Kristus (penyelamat). Kepatuhan terhadap seruan Kristus
merupakan iman (faith), dalam iman itu adalah keadilan Tuhan dan
rahmat-Nya yang bisa diketahui. Iman merupakan determinasi
tindakan manusia melalui esensi gereja (agama) yang diajarkan
Yesus Kristus melalui pendekatan ”Tuhan pada manusia” (Human
God)94
Hubungan manusia dengan ciri sebagai makhluk
(creatureliness) Tuhan diekspresikan hanya dengan melalui
keutuhan pesan Kristus. Dengan posisi Tuhan manusia sebagai
makhluk yang berada pada kerajaan Allah, dan posisi Tuhan
sebagai raja, maka manusia harus patuh dan tunduk pada perintah-
Nya. Kepatuhan kepada Tuhan merupakan syarat mutlak bagi
keinsafan manusia kepada-Nya. Hal itu bisa terjadi hanya jika
seorang hamba melintasi jalan Tuhan dan berkeinginan unuk
mengidentifikasi dirinya dengan Tuhan.
Hubungan antara manusia dan Tuhan dengan pengorbanan
paling klimaks terdapat dalam pribadi Yesus. Yesus telah
mengorbankan dirinya demi keselamatan orang banyak berupa
penebusan dosa. Selama hidupnya Yesus mendasarkan agama pada
prinsip cinta kasih. Prinsip ini dijadikan dasar dalam menafsirkan
kembali hukum-hukum Taurat (Markus 12 :31; 2 : 23-28; 7 : 1-23,

94
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.128
66

Matius 22 : 40; 23 : 23; 5 : 17-58, dan Lukas 10 : 25-37). Yang


paling mendasar terdapat pada Markus 12 :31, yaitu:
”Jawab Yesus : Hukum yang terutama ialah ; Dengarlah hai
orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dengan segenap akal budimu dan
dengan segenap akal budimu dan dengan segenap
kekuatanmu.
Dan hukum yang kedua ialah ; kasihilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih
utama daripada kedua hukum ini.” 95

Inilah hakikat keberagamaan kristiani, nilai-nilai monoteisme


serta pola relasi antara manusia dan Tuhan dan manusia antar
sesama yang juga serupa dengan agama Yahudi dan Islam. Maka
titik temu ketiga agama samawi ini merupakan pemahaman
terhadap makna al-Islam itu sendiri yang artinya tunduk, patuh dan
berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan96.
Untuk lebih dalam memaknai dan memahami istilah /
konsepsi al-Islam itu sendiri, marilah kita merujuk pada QS. Ali
Imran : 83, 84 dan 85 mengenai struktur kata yang digunakan al-
Qur’an dalam pengungakapan term al-Islam.

‫ﻪ‬ ‫ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻫ‬‫ﻛﹶﺮ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ﺽﹺ ﻃﹶﻮ‬‫ﺍﹾﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺎﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻲ ﺍﻟﺴ‬‫ﻦ ﻓ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﺳ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻐ‬‫ﺒ‬‫ﻳﻦﹺ ﺍﷲِ ﻳ‬‫ ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺃﹶﻓﹶﻐ‬
‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ﺇﹺﺳ‬‫ﻴﻞﹶ ﻭ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻠﹶﻰ ﺇﹺﺑ‬‫ﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﺑﹺﺎﷲِ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾﺀَﺍﻣ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬
‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻕ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ ﻻﹶ ﻧ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻦ ﺭ‬‫ﻮﻥﹶ ﻣ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﻴﺴ‬‫ﻋ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﻮﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﺂﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻁ‬‫ﺒ‬‫ﺍﹾﻷَﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﺏ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ﻲ ﺍﹾﻷَﺧ‬‫ ﻓ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹶ ﻣ‬‫ﻘﹾﺒ‬‫ﺎ ﻓﹶﻠﹶﻦ ﻳ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻼﹶﻡﹺ ﺩ‬‫ ﺍﹾﻷِﺳ‬‫ﺮ‬‫ﻎﹺ ﻏﹶﻴ‬‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬
‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎﺳ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama


Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa

95
Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.133-134
96
Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah tertentu yang berdekatan dengan makna
istilah Shalom/Salam atau al-Islam/Shalem tersebut, baik secara literal maupun maknawi namun
esensi ajaran Kristen tentang ketauhidan tidaklah berbeda yang kemudian diimplementasikan
dalam konsep cinta kasih. Sehingga dengan demikian konsep aal-Islam sudah inheren dan terdapat
didalamnya.
67

yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun


terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.
(QS. 3:83) Katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-
anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan
para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah
kami menyerahkan diri". (QS. 3:84) Barangsiapa mencari
agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)”97

Pada ayat diatas (QS. Ali Imran : 83), penyebutan al-Islam


(berserah diri), diungkapkan dengan bentuk kata kerja lampau (fi’il
madhi), aslama. Hal ini berarti al-Islam merupakan suatu proses
melakukan “berserah diri”. Dalam ayat berikutnya (QS. Ali Imran :
84), makna al-Islam diungkapkan dalam bentuk kata sifat (isim
fa’il) yang merujuk pada personalitas dalam bentuk jamaknya,
muslimun. Hal ini berarti al-Islam mengacu kepada orang-orang
yang mempunyai sifat keberagamaan yang dimaksud yaitu yang
menyerahkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Pada ayat
selanjutnya (QS. Ali Imran : 85),makna al-islam diungkapkan
dalam bentuk kata benda (mashdar) al-Islam itu sendiri. Penafsiran
yang biasa digunakan adalah agama Islam. Yaitu suatu agama yang
dibawa oleh nabi Muhammad saw. Pemaknaan dalam bentuk kata
benda ini memposisikan al-Islam yang sebelumnya adalah sikap
dan sifat menjadi suatu golongan yang dibakukan dalam bentuk
agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Sehingga kita bisa
melihat dengan jelas pola pengkhususan yang diungkapkan, namun
demikian makna al-Islam dalam bentuknya sebagai kata kerja dan
kata sifat tetap tidak kehilangan esensinya. Ini berarti bahwa sikap
al-Islam dan sifat al-Islam tetap terkandung meski pada orang-
orang yang diluar al-Islam dalam bentuk kata benda. Karena walau
97
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…, h.89-90
68

bagaimanapun agama yang dianut para nabi dan umat-umat yang


mengikuti ajarannya adalah al-Islam (pada tataran nilai
religiusnya), hanya saja belum diungkapkan dalam bentuk
khususnya (sebagai kata benda). Sehingga Al-Islam adalah agama
untuk orang-orang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Secara prinsipil dan garis besar bahwa term al-islam adalah
hakikat keberagamaan manusia, karena ia adalah fitrah itu sendiri.
Al-Islam merupakan etika kebaikan universal. Dalam konteks ini
tidak ada perbedaan antara agama-agama semitik yang telah
disebutkan diatas. Karena semua agama menjunjung tinggi etika.
Dengan kata lain al-Islam adalah petunjuk Allah kepada manusia,
bagi siapa saja yang ingin berserah diri kepada-Nya dengan
mentaati aturan-aturan agama yang dimilikinya dan menjaga
kelestarian hidup dimuka bumi, merekalah orang-orang yang
disebut hanif dan muslim.
Schuon membuat definisi menarik tentang Islam. Baginya
Islam adalah ”pertemuan antara Allah sebagaimana adanya dengan
manusia sebagaimana adanya”98 yang dimaksudkan dengan Allah
sebagaimana adanya bukanlah Allah seperti yang dimanifestasikan-
Nya sendiri dengan cara tertentu, tetapi Allah yang bebas dari
sejarah, dan oleh karena itu sebagaimana Dia adalah Dia dan
sebagaimana oleh karena sifat-Nya, Dia menciptakan alam semesta
dan mewahyukan agama. Artinya bila berbicara mengenai Allah,
maka samalah artinya berbicara mengenai “eksistensi”, ”penciptaan
alam semesta” dan ”agama” atau dengan kata lain mengenai
”realitas”, ”manifestasi” dan ”reintegrasi”.
Kemudian yang dimaksudkan dengan manusia sebagaimana
adanya bukanlah sebagai makhluk yang terjatuh dari surga dan
memerlukan keajaiban untuk menyelamatkan dirinya, tetapi
98
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial, dalam jurnal : REFLEKSI;
Jurnal kajian Agama dan Filsafat, (Jakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2002), Vol.IV, No.2, h. 89
69

sebagai manusia, dia adalah makhluk theomorfis yang memiliki


intelegensi sehingga dapat memahami Yang Mutlak dan memiliki
kehendak, sehingga dapat memilih jalan menuju kepada Yang
Mutlak. Dengan demikian berbicara mengenai manusia, sama
artinya berbicara mengenai ”theomorfisme”, ”intelegensi
transenden” dan ”kebebasan berkehendak”. Semua inilah yang
menurut Schuon merupakan dasar-dasar dari perspektif Islam;
dasar-dasar inilah yang kemudian menerangkan perspektif tersebut,
dan dasar-dasar ini jangan sampai dilupakan oleh orang-orang yang
ingin memahami setiap aspek tertentu dari Islam.
Menurut Schuon, dalam esensinya, Islam merupakan
kebenaran dan hukum. Sebagai kebenaran dan hukum, Islam
hendak memberi jawaban kepada Intelegensi dan kehendak bebas
manusia sehingga ia bisa lepas dari ketidakpastian dan keragu-
raguan, yang pada gilirannya menghilangkan kesalahan dan dosa.
Oleh sebab itu, doktrin yang paling fundamental dalam Islam
adalah syahadat (kesaksian). Bagian pertama syahadat, La ilaha
illa Allah, merupakan kesaksian mengenai kebenaran eksistensial
Tuhan (Allah), dan ini menjadi pengakuan iman yang menetapkan
intelegensi manusia. Bagian kedua, Muhammad rasul Allah, yang
berkenaan dengan Nabi Muhammad merupakan refleksi dari
kesaksian terhadap hukum Islam (syari’ah) yang menetapkan
kehendak dan aksi manusia99
Karena manusia adalah intelegensi Transenden dan
kebebasan berkehendak, lanjut Schuon, maka intelegensi dan
kehendak atau transendensi dan kemerdekaan inilah yang
menyelamatkannya. Intelegensi ini tidak lain daripada pengetahuan
mengenai Yang Esa, atau Yang Mutlak, dan mengenai
ketergantungan segala sesuatu kepada-Nya. Dan kehendak adalah
al-Islam, atau kesesuaian dengan yang dikehendaki oleh Allah.

99
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
70

Ditambah dengan al-Ihsan – yang arti harfiahnya adalah


”kebajikan” – yang manifestasinya adalah ”mengingat Allah”.
Sebagaimana agama-agama lain, Islam juga memiliki
substansi dan bentuk. Dalam pandangan Schuon, Islam menyebar
keseluruh dunia bagaikan kilat berkat substansinya, dan
penyebarannya terhenti dikarenakan bentuknya. Substansi
mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang
mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif dank arena itu hak-haknya
terbatas100 Tentang hal ini, Schuon memaparkan sebuah analogi
dari perjalanan historis antara Kristen dan Islam:
“Jika Tuhan benar-benar ingin menyelamatkan dunia melalui
agama Kristen dan bukan dengan sarana lain, maka mustahil
untuk menjelaskan mengapa beberapa abad kemudian, ketika
agama Kristen belum berhasil memantapkan kedudukannya
di Eropa, Dia membiarkan agama lain – Islam –
menumbuhkan dirinya justru didalam wilayah-wilayah
dimana pahala Kristen telah diusahakan untuk dimasukkan
sehingga dengan demikian tertutup dan terkuncilah untuk
selamanya pintu untuk menyebarkan agama Kristen ke
Timur. Sebaliknya, jika kedatangan Islam menandakan
bahwa seluruh dunia hendaknya memeluk agama ini, maka
tidak akan dapat dijelaskan mengapa Tuhan menutup hati
manusia dengan perasaan Kristen, dan membuat dunia Barat
tidak dapat ditembus oleh pesan yang dibawa Muhammad”
101

Yahudi, Kristen dan Islam memiliki kumpulan wahyu ilahiah


yang sama, dalam bentuk-bentuk aslinya, ketiganya dapat
dipandang tidak hanya sebagai satu tradisi agama, tetapi juga
sebagai satu agama. Hal ini sendiri diucapkan secara berulang-
ulang dan gamblang didalam al-Quran, ketika Tuhan mengatakan
bahwa agama yang ditetapkan pada Nabi Muhammad adalah
agama yang sama ditetapkan Tuhan kepada nabi Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran :

100
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
101
Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90
71

‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﺑﹺ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻭﺻ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺣ‬‫ﻱ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻮﺣ‬‫ ﻧ‬‫ﻰ ﺑﹺﻪ‬‫ﺻ‬‫ﺎﻭ‬‫ﻳﻦﹺ ﻣ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﻉ‬‫ﺮ‬‫ﺷ‬
‫ﻠﹶﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺒ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻗﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗ‬‫ﻴﺴ‬‫ﻋ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺇﹺﺑ‬
‫ﻨﹺﻴﺐ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻳ‬‫ﺂﺀُ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺘ‬‫ﺠ‬‫ ﺍﷲُ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻢ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﺮﹺﻛ‬‫ﺸ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬
(١۳ : ‫) ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ‬
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.
42:13)102

102
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya…, h.785
72

BAB III
WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA

Beberapa pandangan kejamakan dan keragaman (plural) serta kesatuan


(wahdat) yang dinisbahkan kepada agama, merupakan gagasan-gagasan yang
dikonstruksi oleh para cendekiawan, filsuf, teolog dan kaum sufi baik dari dunia
Timur maupun Barat yang dipengaruhi oleh suatu pandangan tentang pentingnya
harmonisasi kehidupan dan memecahkan sebagian masalah-masalah akidah dan
keyakinan dan juga untuk memecahkan sebagian dari masalah-masalah
kemasyarakatan yang muncul diantara agama-agama yang berbeda.
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik
temu agama-agama”1, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik
temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan.
Berbeda dengan pluralisme yang lebih populer dan sering didengungkan dalam
kajian filsafat dan ilmu pengetahuan keagamaan dewasa ini, nampaknya wahdat
al-Adyan telah kehilangan momentumnya dan mulai terlupakan dalam kajian-
kajian ilmu keislaman. Menurut penulis, terdapat perbedaan yang menarik
diantara kedua konsep tersebut (pluralisme agama dan wahdat al-Adyan) dilihat

1
Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah
yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof
Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform
atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid.
73

dari embrio kemunculan dan perkembangannya. Perbedaan tersebut dapat


diidentifikasi dari disiplin ilmu dan tradisi keagamaan yang mengembangkan
masing-masing konsep tersebut. Wahdat al-Adyan merupakan ajaran yang lahir
dan berkembang dari tradisi tasawuf pada masa kebangkitan Islam di Timur
Tengah hingga Eropa yakni pada awal abad ke-11, beberapa sufi yang
mengajarkan konsep ini diantaranya adalah al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Hazrat Inayat
Khan, Muhaiyaden dan Jalaludin Rumi. Sedangkan pluralisme agama adalah
ajaran yang lahir dan berkembang dalam tradisi filsafat Barat dan dan beberapa
konsili gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-20 yang diusung oleh para
sarjana dan teolog Kristen diantaranya adalah John Hick, Ernst Troeltsch, William
E. Hocking, Arnold Toynbee dan Grover Cleveland.

A. Wahdat al-Adyan
Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa pluralisme
lahir dari gagasan filsafat (Barat-Kristen) sedangkan wahdat al-Adyan lahir
dari ajaran-ajaran tasawuf (Islam). Dengan demikian, kita dapat melihat
bahwa akar dari tren harmonisasi agama-agama telah jauh lebih dulu
diperkenalkan oleh dunia Islam, terlebih bila kita mengacu pada Piagam
Madinah pada masa Nabi SAW. Khazanah intelektualitas inilah yang kini
terpendam dan terlupakan, padahal bila kita lebih jauh mengkaji ajaran-ajaran
tasawuf, kita akan menemukan sikap kerendahan hati, keramahan,
keterbukaan, saling menghargai dalam beragama tanpa harus mencampur-
adukkan ajaran agama dan keyakinan diantara agama-agama. Kiranya hal
inilah yang dilakukan oleh para sufi terdahulu dengan penghayatan keimanan
yang dipenuhi rasa cinta dan tulus dalam memahami ajaran-ajaran agama.
Dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang al-wahdat
(kesatuan), seperti wahdat d-wujud, wahdat al-syuhud, wahdat al-ummah,
dan wahdat al-Adyan. Berdasarkan hasil rangkuman Ahmad Amin. Salah satu
ajaran al-wahdat tersebut adalah wahdat al-Adyan (kesatuan agama-agama),
yang banyak ditanggapi pro maupun kontra oleh berbagai kalangan, sejak
zaman dahulu sampai sekarang. Orang yang dianggap pertama kali
74

menyodorkan wahdat al-Adyan ini adalah al-Hallaj. Sebagai konsep yang


cukup menarik, pada perkembangan berikutnya banyak diikuti oleh para
pemikir lain, seperti Ibn 'Arabi, Jalaluddin Rumi dan Hazral Inayat Khan.
Konsep ini diperkirakan berawal dari penjabaran formulasi kalimat
tauhid: La Ilaha Illa Allah, yang mempunyai implikasi sangat dalam bagi
kehidupan umat Islam, sebab kalimat ini merangkum secara universal
bagaimana seharusnya manusia hidup memandang dirinya dan alam semesta
dalam kaitan-nya dengan Yang Mutlak (Tuhan). Segala sesuatu dipandang
sebagai wujud dari karya Tuhan dan fenomena kebesaran-Nya. sehingga pada
umumnya ajaran tasawuf memandang bahwa keanekaragaman agama di
dunia hanya sekadar bentuk, sedang hakikatnya sama, karena semuanya
mempunyai sumber yang sama dan bertujuan untuk menyembah Zat yang
sama pula, yakni Tuhan Pencipta alam semesta 2.

1. Pengertian Wahdat al-Adyan


Secara etimologis wahdat al Adyan terdiri dari dua kata, yaitu
”wahdat” dalam bahasa Arab yang berarti kesatuan dan ”adyan” yang
berarti agama-agama (jamak dari kata al-Din : agama)3
Dalam kamus al-Mu’jam al-Falsafi, kata wahdat
dipertentangkan dengan pengertian al-Katsirah “banyak” yang berarti
keadaan sesuatu yang tidak terbagi4 Dalam pengertian lain, kata
“wahdat” lazim berarti “kesatuan, kesamaan, keesaan”5, sedangkan
kesatuan diartikan pula dengan “perihal satu, keesaan” dengan sifat
tunggal atau keseutuhan6.

2
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.11
3
(Tanpa Nama), Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com, didownload pada tanggal 15 Januari 2009
4
Rahmil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut : Dar al-Kitab al-Banani, 1973), Cet.1,
h.361
5
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), Cet.VIII, h.2004
6
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : 2009), Cet.2, h.787
75

Dalam terminologinya, wahdat al Adyan berarti bahwa pada


hakikatnya semua agama adalah satu dalam tujuannya kepada Tuhan
YME, perbedaan antara agama-agama hanya terletak pada nama,
bentuk dan cara ibadah, bukan pada tujuannya, karena tujuan tersebut
berlaku sama yakni hanya kepada Tuhan semata, sehingga perbedaan
itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk
sampai kepada tujuan yang sama 7.
Wahdat al Adyan mengakui dan menghargai tradisi-tradisi
keagamaan dan kepercayaan lain sebagai tradisi yang sederajat
menjadi sebuah tuntutan. Tak ada lagi tradisi yang menjadi
“anak tunggal” dengan segala privelese yang dimilikinya. Setiap
tradisi keagamaan dan kepercayaan berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah, karenanya memiliki hak hidup yang sama8.
2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan
Ajaran wahdat al-Adyan ini merupakan untaian dari ajaran-
ajaran al-Hallaj yang lain, yaitu teori hulul dan Nur Muhammad
Terutama dengan Nur Muhammad, wahdat al-Adyan memiliki kaitan
langsung, karena menurut al-Hallaj, Nur Muhammad merupakan jalan
hidayah (petunjuk) dari semua nabi. Oleh karena itu, agama yang
dibawa oleh para nabi pada prinsipnya sama. Apalagi dalam
keyakinan al-Hallaj, semua nabi merupakan "emanasi wujud",
sebagaimana terumus dalam teori hulul-nya. Oleh karena itu, pada
dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok
yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu 9.
Pandangan beberapa ulama Islam populer yang kontroversial,
seperti al-Hallaj, al-Rumi, dan Ibn Arabi tentang konsep wahdat al-
Adyan, yaitu konsep yang menyatakan bahwa pada dasarnya sumber
agama adalah satu, yaitu Tuhan yang sama, yang juga menghadirkan
polemik kontroversi antara monotheisme dan politheisme paling tidak

7
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com,
8
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
9
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
76

cukup menarik bahkan menantang untuk disimak dan direnungi


terutama pada tren harmonisasi wacana keagamaan dewasa ini.
Bila dilihat dari pendekatan sosio historis wahdat al Adyan
sebenarnya lahir dari landasan filosofis Al-Hallaj tentang Hulul dan
Nur Muhammad yang kemudian dikembangkan oleh Ibn Araby
tentang Wahdat al-Wujud. Sehingga dengan demikian tidak ada
landasan sosiohistoris yang signifikan, namun begitu kehidupan dan
karya-karya dari kedua tokoh ini dapat menjelaskan secara kronologis
fenomena keberagaman dan kemasyarakatan yang terjadi dimasa
kehidupan kedua tokoh ini, sehingga konsep wahdat al Adyan lahir
dari perkembangan konsep wahdat al wujud Ibn Araby dan Hulul al
Hallaj10.

a) Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan


Nama lengkap al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Hasan
ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhaun. Al-Hallaj lahir pada
tahun 858 M/ 244 H. Sebutan al-Hallaj, berarti pemintal,
dinisbatkan kepada ayahnya yang bekerja sebagai pemintal
benang kapas dan wol di kota Tustar, salah satu desa dekat
Baidha' Persia. Julukan lengkapnya adalah al-Hallaj al-Asrar,
menurut putera bungsunya, Hamd, berarti 'seorang pemintal di
lubuk hati', karena dia mengetahui segala hal yang ter-sembunyi
di dalam hati dan jiwa manusia. Ada yang mengatakan dia
keturunan Abu Ayyub, salah seorang sahabat dekat Nabi
Muhammad SAW11.
Sejak kecil al-Hallaj telah banyak bergaul dengan para sufi
(orang yang menjalani kehidupan tasawuf) kenamaan. Di usia 16
tahun, dia berguru kepada sufi terkenal waktu itu, Sahal Ibn
Abdullah al-Tusturi. Setelah 2 tahun belajar dan berlatih secara
sungguh-sungguh, tahun 876 M/ 262 H. dia pergi berkelana ke

10
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
11
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19
77

Bashrah, lalu ke Baghdad. Bersarna Tusturi, Amr al-Makki dan


Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (guru-guru al-Hallaj), dia
mengalami hidup dalam pertapaan, di tahun 877-897 M/263-283
H. Khiraah sufi (simbol otoritas sebagai seorang guru sufi)
diterimanya dari salah satu gurunya, Sahal al-Tusturi12.
Al-Hallaj pernah pula mengadakan pengembaraan ke
Negara-negara timur tahun 988-903 M/284-289 H, yakni ke India,
Turkistan, Azwaz, Persi, Khurasan, dan Turfan untuk berdakwah
dan menulis buku. Selanjutnya di tanah-tanah yang pernah dia
datangi, seperti Gujarat, Hindia, Parsi, dan Turki, muncul karya-
karya puisi mistik daerah dalam berbagai bahasa yang
dipengaruhi oleh aiaran-aiarannya13. Bahkan tidak sedikit para
seniman dan sufi yang secara sengaja mencari inspirasi dari kisah
hidup al-Hallaj untuk karya-karya mereka, seperti yang dilakukan
Jalaluddin al-Rumi, Ruzbihan Baqli dari Shiraz, Fariduddin al-
'Attar, dan Shalah Abd al-Sabur.
Setelah agak lama berkelana, di tahun 906 M/ 292 H. dia
kembali ke Baghdad untuk mengajarkan ilmu tasawuf sampai
tahun 909 M/ 295 H14.. Ajaran-ajarannya banyak menimbulkan
polemik dan perdebatan di antara para ulama waktu itu. Bahkan
banyak timbul anggapan di masyarakat, sehingga muncul
pendapat pro dan kontra terhadapnya
Kemasyhuran al-Hallaj sudah tidak diragukan lagi, tidak
saja karena ajaran-ajarannya yang 'lain daripada yang lain', te-tapi
juga karena semakin bertambahnya pengikut dan penga-gumnya
yang memberikan aliran Hallajiyyah15

12
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19
13
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.21
14
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.22
15
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.23
78

Al-Hallaj sang pencetus wahdat al-Adyan, hidup di bawah


pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Pemerintah ini berkuasa
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni sejak tahun 750-
1258 M/ 132-656 H5 Kekuasaannya menggantikan Dinasti
Umayyah yang telah mereka runtuhkan. Dan nama dinasti yang
didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn'
Abdullah ibn al-Abbas ini dinisbatkan kepada al-Abbas, parnan
Nabi Muhammad saw. yang merupakan nenek moyang mereka.
Selama dinasti ini berkuasa di Baghdad (lebih kurang 509,
tahun Masehi/524 Hijriyyah), pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya
yang terjadi. Berdasarkan perubahan pola tersebut, para sejarawan
membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah ini menjadi lima
periode. 1) Periode pengaruh Persia pertama (tahun 750-847 M/
132-232 H); 2) Periode pengaruh Turki pertama (tahun 847-945
M/ 232-334 H); 3) Periode kekuasaan Bani Buwaihi atau disebut
juga dengan periode pengaruh Persia kedua (tahun 945-1055 M/
334-447H); 4) Periode kekuasaan Bani Seljuk atau periode
pengaruh Turki kedua (tahun 1055-1194 M/ 447-590 H); dan 5)
Periode bebas pengaruh, namun kekuasaan khalifah hanya efektif
di sekitar kota Baghdad (tahun 1094-125' M / 590-656 H)16Jika
dilihat dari pembagian periodisasi ini, al-Hallaj hidup da periode
kedua, ketika pemerintah Abbasiyah 'di bawah' dominasi
kekuasaan bangsa Turki yang terkenal bengis dan kejam namun
karena penting untuk melihat faktor-faktor sosial politis dan
keagamaan sekitar masa hidup al-Hallaj, atau tepatnva masa
wahdat al-Adyan dirumuskan17.

16
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.44
17
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.45
79

Pada periode ini, ada hal menarik yang patut disimak dalam
perbincangan teologi, hukum (fikih), filasafat dan tasawuf.
keempat disiplin ilmu ini masih mencari identitasnya sehingga
tidak jarang menimbulkan persaingan antar peminat mereka.
persaingan ini sering menimbulkan vonis-vonis negatif seperti
bid’ah, murtad dan mulhid (penyeleweng), bahkan tidak jarang
mereka bersaing dalam mempengaruhi elit-politik dan sistem
pemerintahan18
Pada masa itu, Kehidupan al-Hallaj tidak saja menjadi
kekaguman, tetapi juga sekaligus mengundang banyak kebencian
dan kecemburuan. Sehingga ia bagaikan menjadi lambang cinta
dan kebencian, Kelompok yang membencinya berasal dari
berbagai kalangan Pertama, dari para ahli hukum (fuqaha),
terutama aliran al-Dzahiriyah jelas sekaii sangat membencinya.
Al-Hallaj dituduh-nya sebagai orang yang menganggap 'ringan'
terhadap hukum Islam dan ibadah. Para fuqaha' menuduh al-
Hallaj telah membuat bid'ah Tuduhan ini telah cukup menjadi
vonis yang keji bagi setiap orang Islam, karena arti bid'ah,
rnenurut Mahmoud Syalthout, adalah mengubah atau
menyelewengkan kewajiban akidah, ibadah, dan hukum halal-
haram. Maka bid'ah merupakan perampasan hak Allah dalam
membuat syari'ah, karena mengadakan masalah baru dalam hal
agama. Oleh karenanya, bid'ah itu ditolak19.
Golongan yang kedua yang memusuhi al-Hallaj adalah dari
kalancan sufi, termasuk mertuanya sendiri, Abu Ya'qub dan
mantan gurunya, al-Junaid. menuduh al-Hallaj telah menyimpang
dari ajaran tasawuf yang benar, bahkan memakai ilmu sihir yang
telah dipelajarinya tatkala pergi ke daerah Timur20.

18
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.50
19
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.24
20
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.25
80

Adapun musuhnya yang ketiga dari kalangan ahli teolog Al-


Hallaj dituduh telah mengajarkan ajaran yang bertentangan
dengan prinsip tauhid, atau kata-katanya bernafaskan panteistik
Menurut golongan Asy'ariyah -salah satu madzhab terkenal dalam
teologi Islam- ajaran hulul hanya akan menjerumuskan manua
pada paham isytirak, yakni menyekutukan Tuhan21.
Selanjutya serangan keempat datang dari kalangan politisi.
Menteri Ali Ibn al-Furat dan Ali Ibn Isa menganggap al-Hallaj
sebagai orang yang berbahaya. Mereka khawatir jika pengaruhnya
yang besar terhadap rohaniawan akan merembet ke organisasi
sosial dan bahkan ke struktur politik. Di samping itu, tuduhan
politis yang cukup serius dilancarkan kepadanya atas
keterlibatannya dalam gerakan makar kelompok Syi'ah
Qaramithah. Pemerintah berkesimpulan bahwa komplotan ini
dengan cara rahasia telah menyebarluaskan permusuhan dan
berniat menggulingkan pemerintah. Pada tahun 301 H/913 M al-
Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh
terlibat makar dan menodai kesucian agama. Setidaknya ada
empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia
dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qaramithah,
gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah
Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya
Tuhan, ketika mengalami syathahat. Ketiga, keyakinan al-Hallaj
bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan
keempat keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-Adyan (kesatuan
agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap
Perdana Menteri yang menghalanginya, Kasus al-Hallaj
diputuskan di Mahkamah Syariah dengan vonis hukuman mati
dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309
H/922 M. Majid Fakhry berpendapat bahwa hasutan politis inilah
21
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.26
81

yang sebenarnya merupakan faktor utama yang menentukan


dalam penyiksaan akhir dan hukuman mati al-Hallaj22

b) Ibn Araby Pengukuh Wahdat al-Adyan


Kendati mewakili suatu hakikat, wahdat al-Adyan selaku
ide dapat diasumsikan sebagai reaksi atas realitas yang dihadapi.
Sebab, pada dasarnya sebuah ide adalah ‘iluminasi’ atau refleksi
dari realitas yang dilain waktu – secara dialektis dapat
membentuk suatu realitas lain. Oleh karena itu, sebelum hakikat
wahdat al-Adyan ‘dibongkar’ lalu dikembangkan, sangatlah
penting bila kita mendahulukan bahasan tentang realitas
sosiohistoris wahdat al-adyan. Bagaimana keadaan politik,
budaya dan sosial-keagamaan pada zaman Ibnu Arabi
mencetuskan ide wahdat al-Adyan.
Secara historis, jalan kehidupan sufi kelahiran Mursiah 17
Ramadhan 560 H ini dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama,
fase keberadaannya di Andalusia (560-597 H). Kedua, fase
keberadaannya dalam perjalanan mencari dan memperluas ilmu
pengetahuan, hingga meninggal (597-638 H).
Di fase pertama, Ibnu Arabi berada di bawah sistem
pemerintahan monarkis Dinasti Muwahiddin (al-Mohad) yang
sedang dipimpin oleh Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul
Mu’min (551-580 H) lalu Khalifah Ya’qub bin Yusuf Al-
Manshur (580-595 H)23.
Menurut Muhammad Abdullah ‘Inan, khalifah Abu
Ya’qub terkenal dengan karakter wara’, takwa, luas ilmu
pengetahuan dan keagamannya, teguh dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan, kapabel dalam menjalankan roda
pemerintahan, gemar berjihad, dan dermawan.24 Karena corak

22
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.27
23
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
24
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
82

politik suatu Negara monarkis tergantung dengan karakteristik


pemegang tampuk pemerintahannya, maka karakteristik politik
pemerintahan khalifah Abu Ya’qub pun tak jauh dari karakter
sang khalifah. Ia didaulat bernuansa religius, teratur, aman,
makmur, diiringi stressing pada pengembangan ilmu pengetahuan
dan ekspansi ke luar negeri.
Corak pemerintahan semacam itu menstabilitaskan politik
dalam negeri, dan memberikan kesempatan hidup dan pendidikan
yang lebih nyaman dan baik bagi rakyat. Ibnu ‘Arabi selaku
rakyat Dinasti Muwahiddinpun mendapatkan anugerah nikmat
serupa itu. Ia memiliki basis ilmu pengetahuan dan tradisi
pemikiran Islam yang luas dan konprehensif, setelah berguru pada
dua syeikh lebih.25
Sepeninggal Khalifah Abu Ya’qub, tongkat estafet
kepemimpinan Dinasti Muwahiddin dipegang oleh anaknya,
Khalifah Al-Manshur. Ia jalankan roda pemerintahan dengan
nuansa politik yang hampir sama dengan ayahnya. Bedanya
dalam masalah budaya-pemikiran keagamaan, pemerintahan
Khalifah Al-Manshur cenderung fanatik. Ia hanya memberi ruang
hidup bagi madzhab pilihannya dan melarang hidup mazhab lain
yang berseberangan. Ia berangus buku Mazhab Maliki, dan ia
inkuisi, asingkan, dan usir pemikir liberal (contoh konkritnya
Ibnu Rusyd). Semuanya lantaran sang khalifah dikelilingi oleh
fuqaha eksoteris bermahdzab Dzahiriyyah yang gila kekuasaan,
hasud dan benci terhadap pemikir liberal dan esoterik. 26
Kebebasan berpikir di zaman itu tak berjalan leluasa dan
kecenderungan untuk berpendapat lain tersumbat. Semua tak
boleh berbeda dengan mainstream pemerintah (fuqaha). Karena
suasana mengungkung dan tak kondusif lagi, tokoh-tokoh
25
M.Abdurrahman Al-Mara’syili, Tarjamah Ibnu Arabi, dalam pengantar buku Al-
Futuhat Al-Makiyyah Ibn Arabi, (Beirut : Dar Ihya Al Turast Al-Arabi,1998) h.11.
26
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
83

“berfikir liberal” pun enggan tinggal lama di Andalusia.


Termasuk Ibnu Arabi, usai keluar dari penjara akibat benturan
pemikiran dengan pemerintah, ia hengkang dari Andalusia pada
tahun 597 H, lalu melanglang buana di sekitar Masyriq 27
Secara garis besar, model politik pemerintahan Daulah
Muwahiddin di fase awal kehidupan Ibnu Arabi mengarah pada
religiusitas, stabilitas nasional dan ‘penjajahan’. Adapun corak
budayanya; di masa Abu Ya’kub tergelar suasana inklusif dan
toleran, sedangkan di masa Al-Manshur tersaji suasana ekslusif
dan fanatis.
Saat kehidupan budaya Muwahiddin bercorak inklusif
dan toleran, pluralitas terangkul, dan kehidupan sosial-keagamaan
terasa nyaman. Namun saat, kehidupan budaya bercorak ekslusif
dan fanatik, keagamaan tersingkirkan, dan kehidupan sosial-
keagamaan mengenaskan dan menggelisahkan.
Pemerintahan Al-Manshur dengan corak budaya rigid
yang dikembangkannya itu telah mendiskriminasi umat
‘beragama’ (baca: bersyariat) lain. Bila kaum dzimmi pada masa
pemerintahan. Khalifah Abdul Mu’min (khalifah pertama Dinasti
Muwahiddin) disingkirkan dan diberi alternatif: “menjadi muslim
atau keluar dari wilayah Muwahiddin”, di masa Al-Manshur,
mereka dibedakan dari orang ‘Islam’. Pada tahun 595 H, Al-
Manshur mengeluarkan keputusan bahwa umat Yahudi wajib
menggunakan baju berwarna hijau agar berbeda dengan umat
Islam 28
Walaupun tak separah keputusan Khalifah Abdul
Ma’mun, keputusan Khalifah Al-Manshur ini telah menjadikan
umat ‘beragama’ lain sebagai warga Negara nomor dua pula.
Keputusan itu tentu tidak fair dan dapat menjadi preseden buruk
27
Wadi’ Amin, A’lam Shufiyyah, dalam Jurnal Adab wa Naqd, Edisi 204, Agustus
2002,h.19.
28
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
84

bagi sejarah Islam, paradigma integralistik dalam relasi agama


dan Negara, dan konsep agama resmi Negara.
Jika implikasi epistemologis dua keputusan itu berwarna
kelabu, implikasi praksisnya berwarna hitam-menyeramkan.
Secara khusus, keputusan itu menimbulkan dendam di hati warga
yang di nomor duakan. Dan secara umum, ia menimbulkan
dendam di hati komunitas lain yang ‘seagama’ dan berempati
terhadap mereka.
Contohnya, entah hukum karma atau memang ‘tren
keagamaan’ di masa itu, kerajaan Spanyol Kristen melakukan hal
yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan Dinasti
Muwahiddin terhadap kaun dzimmi. Tepatnya di Sevilla, pada
akhir abad ke-6 H/12 M, di masa pemerintahan William I juga di
masa Fedrick II, kerajaan Spanyol Kristen telah menekan umat
Islam minoritas Sevilla dalam bidang hukum dan telah menindas
mereka dengan perempasan tanah dan pengekangan kebebasan
beragama29
Celakanya, implikasi praksis yang menyeramkan tadi tak
berhenti disitu. Antipati terhadap agama lain muncul menjadi
benih bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat digerakkan oleh
kekuatan politik kotor, sebagaimana yang dilakukan oleh kerajaan
Muwahiddin dan kerajaan Spanyol Kristen. Dua kerajaan yang
haus wilayah kekuasaan luas itu tak segan-segan menggerakan
antipasti tersebut dengan politisasi agama untuk memenuhi
dahaganya. Kerajaan Muwahiddin gencar mengkampanyekan
jihad dan kerajaan Spanyol Kristen gemar mengkampanyekan
perang suci membela salib30. Akhirnya, setelah antipati umat

29
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
30
Sebagai contoh, Abu Ya’kub secara pribadi mengarang buku tentang keutamaan jihad
dan Alfonso VIII (raja Qasytalah/Spanyol Kristen) membujuk Baba Anushan III menggerakan
umat Kristen Eropa, merebut tanah Andalusia dari umat islam hingga terjadilah perang salib
‘Mauqi’ah Iqab’… (lihat, Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com)
85

bangkit oleh kampanye kerajaan, kemudian mulai sinkron dengan


hasrat inti kerajaan, maka timbullah perang antar-kerajaan yang
bertameng nama perang antar-agama. Di masa Khalifah Al-
Mansur terjadi tragedi Arak (591 H/1193 M) antara Andalusia
Muslim dengan Spanyol Kristen Qasytalah, lalu di Masa Khalifah
Nashir terjadi tragedi ‘Iqab/Perang Salib (1212 M) antara
Andalusia Muslim dengan persatuan umat Kristen Eropa31
Dalam pelarian dari kekangan pemikiran dan kekacauan
politik dan sosial keagamaan Andalusia (fase kedua dari
kehidupannya), Ibnu ‘Arabi berjalan mencari hakikat wujud, dan
memperdalam serta memperluas ilmu pengetahuan, khususnya
bidang tasawuf di Masyriq 32 Selama perjalanan itu, tintanya tak
pernah kering menulis karya-karya monumental.
Telah disinggung di atas bahwa dalam bidang budaya
berpikir dan sosial keagamaan, pemerintahan Islam maupun
Kristen telah membelenggu kebebasan berpikir dan telah
mempolitisir agama. Karena kungkungan itu, Ibnu ‘Arabi lari dari
Andalusia memproduk karya-karya yang sering keluar dari
mainstream pemikiran ‘biasa’ atau berupaya menggulirkan ide
pluralitas dan kebebasan berpikir-berekspresi. Dan karena
penyelewengan itu, Ibnu ‘Araby’ berusaha mengungkap hakikat
agama dan mencari “lem” perekat antarumat beragama.

31
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com
32
Makkah (598 H), Muwashal (601 H), Cairo (603 H), Makkah (604-606 H) Qauniyyah
Turki, Armenia (606-607 H), Baghdad (608 H) Makkah (611 H), Halb, terakhir ke Damaskus
(620-638 H)… (lihat., Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari
www.nusantaraonline.com)
86

3. Epistemologi Wahdat al-Adyan


a) Epistemologi Al-Hallaj
Ajaran wahdat al-Adyan ini merupakan untaian dari ajaran-
ajaran al-Hallaj yang lain, yaitu teori hulul dan Nur Muhammad
Terutama dengan Nur Muhammad, wahdat al-Adyan memiliki kaitan
langsung, karena menurut al-Hallaj, Nur Muhammad merupakan jalan
hidayah (petunjuk) dari semua nabi. Oleh karena itu, agama yang
dibawa oleh para nabi pada prinsipnya sama. Apalagi dalam
keyakinan al-Hallaj, semua nabi merupakan "emanasi wujud",
sebagaimana terumus dalam teori hulul-nya. Oleh karena itu, pada
dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok
yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu 33.
Berangkat dari teori al-Hulul, al-Hallaj memaparkan
pandangannya tentang eksistensi alam semesta melalui teori Nur
Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyah. Pandangannya
tentang hulul ini berlanjut lebih jauh dan lebih luas kepada teori
emanasi yakni haqiqah yang dihubungkan dan berkesinambungan dari
Allah (menjadikan) kepada Nur-Nya (Nur Muhammad) untuk
dipancarkan (kepada) menjadi alam semesta. Nur muhammad menjadi
logos dan perantara bagi alam semesta34.

33
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
34
Bila kita cermati teori nur Muhammad tersebut serupa dengan doktrin Trinitas yang
menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah “firman Tuhan”. Dalam keyakinan Kristiani, Yesus
Kristus adalah Oknum Aktif dan aktual yang dalam hal ini menjadi pancaran semesta atau
pancaran Tuhan yang menjelma dalam bentuk/pribadi manusia. Dalam tradisi murni Kristiani,
memang tidak pernah ada pengangkatan Yesus Kristus (Nabi Isa as) sebagai Tuhan, Yesus Kristus
tetap diyakini sebagai manusia, tetapi karena keimanan yang berlebihan yang akhirnya
merancukan nalar mereka, keyakinan murni tersebut berubah menjadi Trinitas dalam pengertian
Yesus adalah bagian dari pribadi Tuhan-atau dengan kata lain Yesus disamakan dengan Tuhan.
Bila kita kembalikan pada doktrin al-Hallaj nampaknya al-Hallaj memang terilhami (bukan meniru
atau mengadopsi) dari konsep ketuhanan umat kristiani, karena al-Hallaj dapat dengan gambling
dan logis menjelaskan hakikat nur-muhammad serta perbedaan lainnya adalah al-Hallaj tetap
mempertahankan fundamen pemikirannya pada pemisahan antara wujud dan substansi (dapat kita
lihat dari pemikirannya tentang Nabi Muhammad sebagai ruhul qadim dan ruhul hadits). Lebih
jauh lagi kita telaah, sebetulnya umat Kristen telah mencapai pemurniannya terhadap Tuhan (dan
kenabian Isa,as), walaupun untuk kemudian menjadi absurd dan mengarah pada kemusyrikan.
87

Bagi al-Hallaj, Nabi Muhammad memiliki dua hakikat yaitu


qadim dan hadts. Haqiqat qadimah merupakan nur al-Azali yang telah
ada sebelum terjadinya alam semesta. Hakikat inilah yang menjadi
sumber ilmu dan ‘irfan (wisdom) serta sebagai titik tolak munculnya
para nabi dan para wali Allah. Sedangkan haqiqat haditsah adalah
eksistensinya (Muhammad dalam wujud manusia) yang menjadi nabi
dan rasul, meskipun kemunculannya berasal dari yang azali35
Kemudian dari teorinya tentang Nur muhammad, maka ia
mengembangkan pemahaman tentang wahdat al-Adyan. Kesatuan
agama terjadi karena adanya kesatuan kenabian, dalam hal ini para
nabi dihubungkan oleh pengetahuan (al-Aql Awwal) yakni Nur
Muhammad, sehingga Nur Muhammad melampaui seluruh “aql”
pengetahuan para nabi yang berasal (bersumber) dari ruh-nya yang
qadim.
Konsep Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyah
dalam tasawuf adalah nama bagi sifat-sifat Tuhan yang dapat
diwujudkan oleh manusia pada dirinya. Nur Muhammad bukan
makhluk tetapi sifat-sifat yang ada pada Allah dan belum berada pada
manusia. Sifat-sifat Allah yang ada pada manusia dan hilang sifat-sifat
kemanusiaannya disebut Insan Kamil.
Nur Muhammad dalam teori penciptaan menempati posisi
kausa prima yang berarti sifat-sifat Allah itulah yang menyebabkan
terciptanya alam semesta dengan segala isinya. Dengan demikian
sifat-sifat Allah ini tampak dengan alam yang dengannya manusia
mengenal Allah. Dalam tajalli Allah mempunyai maksud dengan
ciptaan-Nya, sedangkan dalam emanasi Allah menciptakan alam ini
tanpa maksud36.

35
Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad, (Jakarta : Renaisan, 2004), Cet.,1 h.25
36
Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad..., h.96-97
88

Melalui konsep Nur Muhammad inilah berkembang wahdat al-


Adyan. Dalam tasawuf kedudukan Nur Muhammad sebagai jalan
menuju Tuhan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa melalui Nur
Muhammad maka akan ada kesatuan kenabian yang secara inheren
berarti kesatuan kitab suci, kesatuan umat, dan kesatuan agama yang
menjadi jalan menuju Allah.
Ajaran-ajaran al-Hallaj, khususnya yang berbicara tentang
tasawuf ada tiga,80 yaitu (1) 'penjelmaan Tuhan ke dalam diri manusia
(hulul / infussion); (2) asal usul kejadian alam semesta dari Nur
Muhammad (cahaya Muhammad); dari ajarannya tentang hulul dan
Nur Muhammad inilah al-Hallaj mencetuskan, – (3) konsep kesatuan
agama (wahdat al-adyan).
Hulul atau Infusion. Hulul secara etimologis berasal dari kata
”hall-yahull-hulul” berarti berhenti atau diam. Menurut Abu Manshur
al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulul adalah
pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu
Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padangya. Konsep
hulul dibangun diatas landasan teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari
perkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut berarti sifat
ketuhanan. Nasut berasal dari perkataan nas yang berarti manusia;
sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori
hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh
Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi
Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiannya telah hilang. Hulul
Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen.
Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara;
melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. Al-
Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali
ucapan yang tidak disadarinya (syathahat). Al-Hallaj tidak kehilangan
nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahdt.
Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa
89

melalui tahapan mawamat hingga merasakan kedekatan dengan Allah


dan mengalami al-fana ‘an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah
lahut manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulul dari
nasut Allah37.
Nur Muhammad. Konsep Nur Muhammad ini merupakan
ajaran al-Hallaj yang kedua. Menurutnya, Nur Muhammad adalah
cahaya purba yang melewati nabi satu ke nabi yang lain, dan berlanjut
sampai kepada para imam/ wali, yang merupakan rantai pentahbisan
(silsilah). Al-Hallaj merujukkan ajarannya pada Al-Qur'an surat al-
Nur: 35, yang terjemahnya sebagai berikut:
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak
tembus, yang didalamny aada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat
(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di eras cahaya (berlapis-
lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa saja yang
Dia kehendaki".38
Menurut al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat, yakni
pertama hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya se-gala
sesuatu dan menjadi landasan ilmu serta ma'rifat. Kedua, hakikat yang
baru dalam kedudukannya sebagai seorang nabi, pada ruang dan waktu

37
Ajaran ini menjelaskan tentang keadaan 'kerasukan Tuhan' atau Tuhan
menitis pada diri seseorang yang telah mampu 'menyatu' dengan-Nya. Kemungkinan
'prestasi' ini dapat dicapai karena dalam diri manusia terdapat dua potensi sifat dasar,
yakni unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan), yakni ruh manusia
yang berasal dari ruh Tuhan, yang sesuai dengan penegasan Al-Qur'an surat Shaad:
71-72 yang artinya : "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat:"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apahila
telah Kusempumakan kejadiannya dan Kutiupkan kepada ruh-Ku; maka hendaklah
kamu tersungkur dan bersujud kepadanya".81… Nasut adalah tabiat kemanusiaan,
baik yang rohani maupun jasmani. Karenanya Tuhan tidak dapat bersatu dengan
tabiat ini, kecuali dengan jalan 'menjelaskan' diri atau menurut istilah Massignon,
“dengan jalan merasuknya Ruh Suci yang mengambil tempat dalam ruh jasmani”…,
Lihat : Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama,
www.nusantaraonline.com
38
Q.S An-Nur,24 : 35.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya
90

tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi landasan semua


para nabi dan para imam/ wali yang lahir sesudahnya 39.
Sedangkan menurut Ibnu Arabi (seorang sufi-filosofis yans
banyak dipengaruhi oleh al-Hallaj), Nur Muhammad sebaga prinsip
aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melaluinyalah
pengetahuan kudus itu diturunkan kepada semua nabi dan santo-santo,
bahkan kepada Nabi Muhammad sendiri. Hanya kepada Ruh
Muhammad/ Nur Muhammad saja diberikan awamt al-kalim aveba
Dei (firman universal). Adapun menurut Masssignon, Muhammad
sebagai cahaya dikenal sebagai 'fet meriting light' di bawah pengaruh
dari 'the uncreated of the mystery'. Proses hubungannya dengan
melalui emanasi,10 bahwa Dia (sebagai the active intellect) selalu
memberi ilham kepada superioritas esensi Muhammad yang disebut
supred reason atau 'al-aql al-akbar'. Esensi Muhammad menurut al-
Tusturi, sebagaimana dikutip oleh Massignon, disebut 'amit al-nur'
(tiang cahaya), yakni 'jasad halus' dari keyakinan yang diemanasi dari
Tuhan sendiri yang membungkuk kepada-Nya) selama 1.000.000
tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk makhluk40.
Lalu Allah menunjukkannya kepada para malaikat dan
makhluk lain yang telah ada, dan berfirman : “ Inilah makhluk Allah
yang paling mulia" Berkaitan dengan hal ini, Ibn Arabi berpendapat
bahwa manusia adalah wujud satu-satunya yang didalamnya prinsip
Nur Muhammad ini dimanifestasikan dengan derajat yang sangat
tinggi, sehingga ia patut disebut al-Khalifah (wakil Tuhan) dan image
dari Tuhan.
Selanjutnya al-Hallaj menulis bahwa eksistensi Muhammad
telah terjadi bahkan sebelum non-eksistensi dan namanya pun sebelum
intelek pertama. Berkaitan dengan hal itu, maka 'Afifi berpendapat
bahwa al-Hallaj adalah sufi pertama yang mengisyaratkan sesuatu

39
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
40
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
91

semacam logos dalam Islam dan menekankan kekudusan Muhammad,


bahkan menegaskan keabadian dan pra-eksistensinya. 'Afifi juga
rnenduga, selain terpengaruh oleh filsafat Yunani, al-Hallaj telah
mengambil pemikiran St. Johannes tentang Logos dan
memodifikasikannya dengan menggantikan 'Kristus' dengan al-Haq
(Tuhan) dan dengan ini diletakkan dasar pandangannya tentang lahut
dan nasut41.
Wahdat al-Adyan. Yang menarik dan patut direnungkan, dalam
pandangan a1-Hallaj, tidak ada perbedaan hakikat antara monoteisme
dan politeisme. Dia berkata: "Kufur (ingkar Tuhan) dan iman itu hanya
berbeda dari segi namanya, bukan dari segi hakikatnya, karena antara
keduanya tidak ada perbedaan". Selain itu, al-Hallaj juga menyalahkan
orang yang menyalahkan agama orang lain42.
Pandangan al-Hallaj tegas, bahwa pada dasarnya beragama
apapun adalah Islam. Ia menuliskan dalam syairnya :
"Aku memikirkan agama-agama dengan sungguh-sungguh,
kemudian sampailah pada kesimpulan bahwa ia mernpunyai
banyak sekali cabang. Maka jangan sekali-kali rnengajak
seseorang kepada suatu agama, karena sesungguhnya itu akan
menghalangi untuk sampai padatujuan yang kokoh. Tetapi
ajaklah melihat asal/sumber segaia kemuliaan dan makna,
maka dia akan memahaminya” 43.

Dalam syair yang lain al-Hallaj berbicara:


"If the Well-Guided was pleased with indirect information
how shall he who searches the route not suffice himself with
an indirect trace. From the Burning Bush, on the side of Sinai
what he heard speak from the Bush was not the Bush nor its
seed, but Allah. And my role is like this Bush".44

41
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
42
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12
43
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14
44
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14
92

faham wahdat al-Adyan al-Hallaj dilandaskan pada


pandangannya tentang tauhid. Memang, banyak orang sulit memahami
jalan pikiran ini, karena tampaknya ada sesuatu yang kontradiktif.
Bagaimana mungkin dapat terjadi, tauhid yang menghendaki konsep
keesaan Tuhan secara mutlak, oleh al-Hallaj dijadikan landasan konsep
wahdat al-Adyan yang 'mempersilakan' kehadiran konsep ketuhanan
yang beraneka ragarn. Bagi al-Hallaj, Tuhan itu Satu, Unik, Sendiri,
dan terbukti Satu. Dalam syairnya al-Hallaj menulis:
"He is Allah the Living. Ailah is One, Unique, Alone and
Testified as One. Both the One and the profession of Unity of
the One are in Him and from Him. From Him comes the
distance that separates others from His Unity. The knowledge
of Tawhid is an autonomous abstract cognizance45".

Baginya, Tuhan tidak bisa disifati apa pun. Penyifatan ter-


hadap-Nya hanya akan membatasi-Nya. Selengkapnya al-Hallaj
berkata:

"Ourdemontrative allusion presents a definition. Now, as


regards this definition, the unicity of God cannot be an
exception (to the general rules); however, every definition is
a limitation, and the attributes of a limitation apply to a
limited object; on the other hand, the object of the attestation
that God is one has no limitation46".

Maka, konsep Tuhan yang satu harus dipahami secara unik,


karena Tuhan adalah kesatuan yang mutlak dari keseluruhan. Oleh
karena itu, menurut al-Hallaj, penyembahan melalui konsep
47
monoteisme atau politeisme tak masalah bagi Tuhan . Pada dasarnya
keduanya hanya berkaitan dengan logika, yakni antara yang satu dan
yang banyak. Dari situ juga ditelusuri akan dijumpai kepercayaan-
kepercayaan yang apabila ditafsirkan akan mengarah kepada satu
Tuhan.
45
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.15
46
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…,h.15
47
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.16
93

faham wahdat al-adyan-nya al-Hallaj, menurut Louis


Massignon, merupakan konsekuensi dari kesadaran diri atas
“kehadiran” Tuhan di setiap tempat, dalam semua agama. Karena pada
dasarnya agama yang dipeluk oleh seseorang secara tidak langsung
merupakan “bukan hasil pilihan sendiri” (Abu al-Wafa al-Ghanami al-
Taftazani, 1983 : 132). Senada dengan itu John Hick berpendapat
bahwa 99% keyakinan agama tergantung kepada tempat di mana
seseorang dilahirkan. Seseorang yang lahir di Thailand sangat mungkin
beragama Buddha, yang lahir di Saudi Arabia sangat mungkin
beragama Islam dan sebagainya 48

b) Epistemologi Ibn ’Araby


Konsep wahdat al-adyan ini juga dikembangkan oleh Ibn Arabi
dengan agama universalnya, yaitu suatu agama yang mistikal dan
bukan sekedar theistikal, yakni suatu faham bahwa Tuhan tidak dapat
disifati dan dibatasi oleh suatu apapun.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pandangan al-Hallaj
tentang Tuhan yang satu harus dipahami secara unik, karena Tuhan
adalah kesatuan yang mutlak dari keseluruhan, maka penyembahan
melalui konsep monoteisme atau politeisme tak masalah bagi Tuhan
karena Pada dasarnya perbedaan keduanya hanya berkaitan dengan
logika, yakni yang satu dan yang banyak. Berbicara tentang konsep
yang satu (al-wohid) dan yang banyak (al-katsir), kalangan sufi
memulainya dari konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam
pandangan Ibn 'Arabi.
Pemikiran Ibn Araby mengenai wahdat al-adyan ini dapat kita
lacak dari pemahaman logikanya mengenai makna yang satu (al-
wahid) dan yang banyak (al-katsir), di sini Ibn Arabi memulainya
dengan konsep wahdat al-wujud, dasar filosofis dalam memahami
Tuhan dalam hubungan-Nya dengan alam. Tuhan tidak bisa dipahami

48
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
94

kecuali dengan memadukan dia sifat yang berlawanan padanya. Bahwa


wujud hakiki hanyalah satu, yakni Tuhan, Al-Haq. Meski wujud-Nya
hanya satu. Tuhan menampakkan dirinya [tajjala] dalam banyak
bentuk yang tidak terbatas pada alam.
Dalam pandangan Ibn 'Arabi,bahwa hubungan ontologis antara
yang satu dan yang banyak menggunakan penjelasan matematis.
Bilangan-bilangan banyak: yang tak terbatas) berasal dari yang satu
(dengan bilangannya) menurut pengelompokan yang telah diketahui.
(dihitung). Setiap unit bilangan adalah realitas, seperti sembilan dan
sepuluh sampai pada yang terkecil dan yang tertinggi hingga tanpa
batas; tidak satu pun dari unit itu yang merupakan kumpulan (dari satu-
satu) semata, namun di pihak lain masing-masing unit itu merupakan
kumpulan satu-satu. Jadi, walaupun "yang banyak" berasal dari "yang
satu", akan janggal kedengarannya jika untuk'menyebut angka-angka
(yang banyak) sebagai manifestasi-manifestasi dari angka "satu" dalam
pengertian bahwa objek-objek fenomena adalah manifestasi dari yang
satu. Itulah, menurut istilah Ibn 'Arabi. metafor-metafor matematis
angka "satu" dan titik diakritikal, dan pusat suatu lingkaran49. Ibn
Arabi melukiskan wahdat al-adyan itu dengan sebuah syairnya :
"Sungguh hatiku telah menerima berbagai bentuk, tempat
penggembalaan bagi kijang dan biara bagi pendeta, rumah
bagi berhala, dan ka'bah bagi yang berthawaf, sabak bagi
Taurat, dan mushhaf bagi Al-Our'an, saya beragama dengan
agama cinta.... cinta itulah agama dan imanku".

Atau lebih ekstrim lagi, Jalal al-Din al-Rumi dalam sebuah


pengakuannya:
"... aku adalah seorang Muslim, tetapi aku juga seorang
Nasrani, Brahmanisme dan Zaratustraisme. Aku pasrah
kepada-Mu al-Haq Yang Mahamulia, Aku hanya
mempunyai satu tempat ibadah, masjid atau gereja atau
rumah berhala. Tujuanku hanya kepada Zat Yang
Mahamulia"50

49
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.17
50
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.18
95

Filsafat al-Rumi ini diilhami oleh gagasan monistik. Dia


mengatakan “Matsnawi” adalah kedai kesatuan (wahdah) : setiap
sesuatu yang engkau lihat dari sana selain yang Esa adalah berhala.
Mengenai medan pertempuran dalam kehidupan, ia pahami bahwa
seluruh pertentangan dan perselisihan itu hanya berperan
melaksanakan tugasnya dalam menjaga fungsi keharmonisan alam
semesta yang hanya disadari oleh para sufi. Oleh karena itu, menurut
para sufi, orang yang telah mencapai ma'rifat memandang setiap yang
disembah adalah tempat teofani Tuhan. Mereka lebih mementingkan
hakikat sesuatu dibandingkan dengan bentuk lahirnya. Dalam tampilan
sehari-harinya, para sufi dianggap 'kurang' sungguh-sungguh
memperhatikan ibadah ritual, yang lebih bernuansa tampilan lahir.
Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian karena mereka lebih
mementingkan hakikat ketimbang 'hiasan luar' semata.
Salah satu tema pokok yang perlu dan sekaligus ,menarik untuk
dibicarakan adalah teori Ibnu al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan”
(al-Ilah al-mu’taqad), yang disebut pula “Tuhan dalam kepercayaan”
(al-Ilah fi al-I’tiqad), atau “Tuhan kepercayaan” (al-Haqq al-I’tiqadi),
atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan “(al-Haqq al-
makhluq fi al-I’tiqad)”.
“Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep,
penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu bukanlah
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah tuhan ciptaan
manusia, yaitu tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep,
penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu adalah
Tuhan yang “dimasukkan” atau “ditempatkan” oleh manusia
dalam kepercayaannya. “Bentuk” , “gambar”, atau “wajah”
tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh manusia yang
mempunyai kepercayaan kepada-Nya. “Apa yang diketahui”
diwarnai oleh “ apa yang mengetahui”. Dengan mengutip
perkataan al-Junayd, Ibn al-Arabi berkata,” warna air adalah
warna bejana yang ditempati” (lawn al-ma’lawn ‘inaihi). Itulah
sebabnya Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-
96

Ku” (Ana ‘inda zhann ‘abdi). Tuhan disangka, bukan


diketahui51.

Sebagaimana dijelaskan diatas “Tuhan kepercayaan“ adalah


Tuhan ciptaan manusia. Barang siapa memuji ciptaan-Nya berarti
memuji dirinya sendiri. Ibn al-’Arabi berkata: Tuhan kepercayaan
adalah ciptaan bagi yang mempersepsikannya. Dia adalah ciptaannya.
Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya kepada dirinya
sendiri. Itulah sebabnya ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia
menyadari (persoalan yang sebenarnya), tentu ia tidak akan berbuat
demikian. Tidak diragukan bahwa pemilik objek penyembahan khusus
itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang
dipercayai orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang
dikatakan oleh al-Junayd, “warna air adalah warna bejana yang
ditempatinya,” ia akan membenarkan apa yang dipercayai setiap orang
yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap
bentuk dan dalam setiap kepercayaan52.
Di mata Ibn al-Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela
kepercayaan orang lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh.
Pasalnya, Tuhan dalam kepercayannya sendiri, sebagaimana dalam
kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya
tidak dapat diketahui. Ini sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak
dapat diketahui” (to know the Unknowable God). Orang seperti itu
mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau
kerpercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam
bentuk-bentuk kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan
diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu
adalah satu dan sama53.

51
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38
52
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39
53
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.39
97

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut sufi dari


Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terlihat oleh bentuk
kepercayaan atau ragam tertentu. Kata Ibn al-Arabi, “Barang siapa
membebaskan-Nya dari pembatasan, tidak akan mengingkari-Nya dan
mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya”54
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan
diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas
pengetahuan itu tergantung kepada”kesiapan partikular" (al-isti’dad
al-juz’i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan
”kesiapan universal”. Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-
Nya dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan
tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau “dibatasi” oleh dan dalam
kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya 55.
Pandangan Ibn al-Arabi tentang persoalan kebenaran
keagamaan harus dijelaskan melalui ajarannya tentang perintah
Tuhan. Ibn al-Arabi membagi perintah Tuhan kepada dua macam:
Perintah Penciptaan dan Perintah Kewajiban . Yang pertama disebut
Kehendak Ilahi dan yang kedua disebut Keinginan Ilahi. Berikut
adalah penjelasan teori Ibn al-Arabi yang penulis kutip dari Prof.Dr.
Kautsar Azhari Noer dalam bukunya “Tasawuf Perrenial” :
“Perintah Penciptaan menyebabkan semua makhluk
ada. Tidak sesuatupun yang tidak mematuhi perintah ini.
Perintah Kewajiban disampaikan Tuhan kepada para Nabi
dalam bentuk wahyu yang harus mereka sampaikan kepada
umat mereka. Perintah ini memberikan kewajiban atas
manusia untuk mengabdi kepada Tuhan. Perintah pertama
ditujukan kepada segala makhluk. Perintah kedua ditujukan
secara khusus kepada manusia. Perintah pertama pasti
terpenuhi. Perintah kedua dapat terpenuhi dan tidak dapat
terpenuhi. Dilihat dari segi Perintah Penciptaan atau Kehendak
Ilahi, menurut ibn al-Arabi, semua agama, baik agama-agama
para penyembah Tuhan maupun agama-agama para

54
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.40
55
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.96-97
98

penyembah berhala, adalah benar. Artinya, semua agama itu


sesuai dengan Perintah Penciptaan atau Kehendak Ilahi
Akan tetapi, dilihat dari segi Perintah Kewajiban,
semua agama tidak sama dan tidak benar. Agama yang benar
adalah agama yang sesuai Perintah Kewajiban, yaitu agama
yang sesuai dengan wahyu Tuhan yang disampaikna kepada
para Nabi. Agama inilah yang menjamin keselamatan dan
kebahagiaan. Agama yang tidak benar adalah yang meyalahi
Perintah Kewajiban, yaitu agama yang tidak sesuai dengan
wahyu Tuhan. Agama ini tidak menjamin keselamatan dan
kebehagiaan. Orangorang yang mematuhi wahyu Tuhan akan
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, sedangkan yang
mengingkarinya akan celaka dan sengsara 56.

Penjelasan Ibn ‘Araby yang lebih jelas lagi dapat kita temukan
dalam magnum opusnya (al-Futuhat al-Makkiyah), ia menerangkan
tentang kepastian hukum Tuhan baik secara normatif maupun historis
mengenai kebhinekaan agama-agama. Ia menjelaskan tentang delapan
relasi Tuhan kepada manusia yang kesemuanya bergerak secara
Systemic-Causa yakni: 1) keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I)
disebabkan oleh keragaman relasi Ilahi (ikhtilaf al-nisab al-Ilahiyah), 2)
keragaman relasi Ilahi disebabkan oleh keragaman keadaan (ikhtilaf al-
ahwal), 3) keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman zaman
(ikhtilaf al-azman), 4) keragaman zaman disebabkan oleh keragaman
gerak (ikhtilaf al-harakat), 5) keragaman gerak disebabkan oleh
keragaman arah perhatian Ilahi (ikhtilaf al-tawajjuhat al-Ilahiyah), 6)
keragaman arah perhatian Ilahi disebabkan oleh keragaman tujuan
(ikhtilaf al-maqashid), 7) keragaman tujuan disebabkan oleh keragaman
penampakan diri Tuhan (ikhtilaf al-Tajalliyat), dan 8) keragaman
penampakan diri Tuhan disebabkan oleh keragaman syariat (ikhtilaf al-
syra’I) 57

56
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.42
57
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.61
99

Pertama, keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I) disebabkan


oleh keragaman relasi Ilahi (ikhtilaf al-nisab al-Ilahiyah).
Tuhan sebagai wujud yang memiliki kehendak selalu
melakukan hubungan dan komunikasi dengan para nabi-Nya
pada setiap masa dalam menyampaikan kehendak wahyu atau
syariat-Nya. Relasi Tuhan dengan seorang nabi, berbeda
dengan relasi Tuhan dengan nabi-nabi yang lain. Karena itu,
syariat yang disampaikan oleh setiap nabi pun berbeda-beda.
Inilah yang dimaksudkan Ibn ‘Araby dengan pernyataan al-
Quran bahwa setiap (komunitas agama) telah diberikan aturan
(syir’ah) dan jalan/cara (minhaj) (QS. 5: 48). Pernyataan
lainnya didalam al-Quran adalah bahwa pada tiap-tiap umat
telah ditetapkan cara ibadahnya masing-masing, maka
janganlah bertengkar (berbantah-bantahan) mengenai hal
tersebut, tetapi katakanlah bahwa Tuhan paling mengetahui
dan kelak Tuhan lah yang menjadi hakim di hari kebangkitan
(QS. 22: 67-69) Kedua, keragaman relasi Ilahi disebabkan oleh
keragaman keadaan (ikhtilaf al-ahwal). Ibn ‘Araby
mengibaratkan perbedaan relasi-relasi Tuhan dengan para
nebi-Nya, seperti perbedaan relasi Tuhan dengan orang yang
sakit dan relasi Tuhan dengan orang yang lapar atau
tenggelam. Seseorang yang dalam keadaan sakit, ia akan
berdoa, “Wahai Yang Maha Pemberi Obat” atau “Wahai Yang
Maha Pemberi Sembuh”; seseorang yang dalam keadaan lapar,
ia akan berdoa, “Wahai Yang Maha Penyedia Makan”; sedang
orang yang dalam keadaan tenggelam, ia akan menyeru,
“Wahai Yang Maha Penolong (Penyelamat)”. Oleh karena itu
relasi Tuhan akan beraneka ragam sesuai dengan keragaman
keadaan makhluk-Nya. Demikian juga relasi Tuhan kepada
para nabi disebabkan keragaman keadaan masyarakat pada
setiap masa kenabian. Inilah yang dimaksud dengan
pernyataan al-Quran “Dia Allah pada setiap saat (masa) berada
dalam kesibukan-Nya. Kami akan menyelesaikan (urusan)
dengan kamu – wahai manusia dan jin” (QS. 55: 29-30)
Ketiga, keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman zaman
(ikhtilaf al-azman). Keadaan pada saat musim semi berbeda
dengan keadaan pada saat musim panas; keadaan pada saat
musim panas berbeda dengan keadaan pada saat musim gugur;
keadaan pada musim gugur berbeda dengan keadaan pada saat
musim dingin; dan keadaan pada saat musim dingin berbeda
dengan keadaan pada saat musim semi. Sebagaimana musim
mempengaruhi keadaan tubuh. Dengan demikian, keragaman
zaman atau waktu menyebabkan keragaman keadaan.
Keempat, keragaman zaman disebabkan oleh keragaman gerak
(ikhtilaf al-harakat). Gerakan yang dimaksudkan disini adalah
gerakan dari benda-benda angkasa, dimana gerakan-gerakan
100

tersebut memunculkan siang-malam dan menentukan


keberlangsungan tahun, bulan dan musim yang semua itu
menggambarkan (melukiskan) keragaman waktu. Kelima,
keragaman gerak disebabkan oleh keragaman arah perhatian
Ilahi (ikhtilaf al-tawajjuhat al-Ilahiyah). Menurut Ibn ‘Araby,
seandainya arah perhatian Tuhan terhadap arah gerakan benda-
benda langit tersebut sama, maka gerakan benda-benda
angakasa tidak akan menjadi beranekaragam. Padahal
kenyataan terjadi keragaman gerakan. Hal ini membuktikan
bahwa arah perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan yang
beredar pada porosnya, berbeda dengan arah perhatian |Tuhan
terhadap gerakan matahari dan gerakan planet-planet lainnya.
Dalam hal ini al-Quran dinyatakan “Masing-masing beredar
pada porosnya” (QS. 21: 33). Keenam, keragaman arah
perhatian Ilahi disebabkan oleh keragaman tujuan (ikhtilaf al-
maqashid). Seandainya tujuan arah perhatian Tuhan terhadap
gerakan bulan sama dengan arah perhatian Tuhan terhadap
gerakan matahari, maka tidak akan dapat dibedakan antara satu
efek (atsar) dengan efek lainnya. Padahal tidak diragukan lagi
bahwa efek itu beranekaragam. Ibn ‘Araby mengibaratkan
bahwa arah perhatian Tuhan dalam menerima Zaed secara
ridha, akan berbeda dengan arah perhatian Tuhan dalam
menerima ‘Amr secara murka. Perbedaan tersebut karena
tujuan Tuhan untuk member hukuman (kesengsaraan) kepada
‘Amr, dan tujuan Tuhan untuk memberikan kebahagiaan
kepada Zaed. Karena itu, tujuan menjadi penyebab pluralitas
arah perhatian. Ketujuh, keragaman tujuan disebabkan oleh
keragaman penampakan diri Tuhan (ikhtilaf al-Tajalliyat).
Menurut Ibn ‘Araby, Kemahaluasan Tuhan tidak menuntut
sesuatu pengulangan dalam eksistensi (wujud), dan karenanya
penampakan diri Tuhan pun menjadi secara beragam (bukan
berulang). Seandainya penampakan diri Tuhan bentuknya
sama (berulang) dalam seluruh wujud, maka yang ada adalah
kesamaan. Akan tetapi, keragaman tujuan niscaya ditetapkan.
Dengan demikian, setiap tujuan tertentu pasti memiliki
penampakan diri tertentu pula, yang berbeda dengan setiap
penampakan diri yang lain. Kedelapan, keragaman
penampakan diri Tuhan disebabkan oleh keragaman syariat
(ikhtilaf al-syra’I) yang menyebabkan keragaman agama.
Setiap syariat adalah jalan menuju Tuhan, dan jalan-jalan
tersebut berbeda (beragam). Maka penampakan diri Tuhan
pasti menjadi beragam sebagaimana beragamnya pemberian
Tuhan. Lagipula pandangan manusia terhadap syariat juga
berbeda-beda. Maka setiap mujtahid memiliki pandangan
hukum (syariat) tertentu sebagai jalan menuju Tuhan yang
berbeda dengan pandangan mujtahid lain. Perbedaan ini
101

menyebabkan keragaman mazhab-mazhab. Jadi penampakan


diri Tuhan berbeda (beragam), karena keragaman syariat.
Sedangkan keragaman syariat, sebagaimana telah
dikemukakan diatas, disebabkan oleh keragaman relasi Tuhan.
Demikian selanjutnya keragaman itu berkesinambungan. 58

Demikianlah, konsep wahdat al-adyan yang memandang bahwa


sumber agama adalah satu, yakni Tuhan yang sama, memandang
bahwa wujud agama hanyalah bungkus lahirnya saja.
Beberapa pernyataan al-Hallaj, Ibn-Arabi dan Rumi di atas
memang mengandung pengertian yang saling bertolak belakang.
Namun kebertolak-belakangan tersebut bukannya tidak mungkin
mengandung pengertian hakikat kebenaran. Puncak-puncak pikiran
orang-orang unik yang didapat dari hasil pengembaraan pengalaman
keagamaanya patut menjadi sebuah harapan hakiki. Paling tidak,
dalam merenungi kenyataan diciptakannya perbedaan di muka bumi
ini oleh Allah swt, dapat kita dapati hakikat tujuan dan maknanya.

B. Pluralisme Agama
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan
dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat
bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-
macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan
pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia
lainnya yang tidak sama. Sekarang kita akan membahas tinjauan pluralisme
agama terhadap masalah ini dan serta mengajukan teori dan pandangannya.

58
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h. 61-65 Lihat juga; Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, dalam Jurnal :
Titik Temu, Vol.2, No.2 Jakarta : Nurcholis Madjid Society (NCMS), h.151-156
102

1. Pengertian Pluralisme Agama


Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme atau pluralism59” dan “agama”. Dalam bahasa Arab
diterjemahkan “al-ta’addudiyyah aldiniyyah” dan dalam bahasa Inggris
“religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari
bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus
merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralisme berarti “jamak” atau
lebih dari satu. Pengertian secara bahasa: Dalam kamus Oxford, pluralisme
ditafsirkan kedalam dua bentuk yakni; Pluralisme, yang menunjukkan
suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-
kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok
ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini
bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan. Dan pluralisme
berarti menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang
berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu
masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran60
Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung
mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem
kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-
kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan

59
Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk
kata yang digunakan untuk menunjukkan lebih daripada satu” (form of word used with reference to
more than one) Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak
makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monoteisme yang menekankan kesatuan dalam
banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi
kepada physic monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah
benda dan mental monoism atau idealism yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah
gagasan atau idea. Pada dualism, segala sesuatu dilihat sebagai dua, Filsafat Zoroaster misalnya,
melihat dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran
(mind) dan benda (mater). Pada pluralism, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat : A.S Hornby
et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford : Oxford University Press,
1972), hal.744 dalam Riyal Ka’bah. Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang
berserak, (Ed.) Sururin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, h.68
60
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
103

sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-
yaitu sesuatu yang sakral61
Pluralisme agama secara istilah, minimal memiliki empat macam
penggunaan :
1) Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran
dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan
mengantisipasi pertikaian dan peperangan.Dalam definisi ini,
keragaman dan kejamakan diterima sebagai suatu realitas
kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari
agama dan mazhah, dalam kenyataan mereka memandang
bahwa hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam
bergaul dan bermasyarakat dengan para pengikut agama dan
mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling menghormati.
2) Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama
datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-
beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi
agama, akan tetapi pada arah pemahaman agama. Sekelompok
orang memahami perkara Ilahi dalam satu bentuk maka mereka
menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam
bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan
adapun orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama
lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk yang
berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas.
3) Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat
hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu
hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling
bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita,
semuanya adalah hakikat dan benar.
4) Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-
unsur, di mana masing-masing dari setiap unsure bagian ini
ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita
tidak memilili satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi
kita mempunya keseluruhan agama-agama yang setiap dari
mereka memiliki saham hakikat. Oleh karena itu, tidak satupun
dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai
agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan
sempurna. Tidak Islam. Tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak
Budha, dan tidak yang lainnya62.

61
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
62
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
104

Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa


“pluralitas agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar
agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas
dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing
agama.
Namun dari segi konteks dimana “plurlisme agama” sering
digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini,
memiliki definisi yang berbeda. John Hick, yang dikutip Anis Malik
Thoha misalnya menyatakan:
”Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar
dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan
secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung
dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa
transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan
hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata
kultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati,
sampai pada batas yang sama”63

Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua


agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu.
Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari
yang lain64.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan Pluralisme
Agama sebagai; Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga65

63
Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com
64
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com, di
download pada tgl.12 Agustus 2010
65
Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No.358 Ed. Sya’ban 1426
H/September 2005, h.49
105

2. Sosio-historis Pluralisme Agama


Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang
disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad
ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan
bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai
dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang
berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan
akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk
pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi
logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan
nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan
“liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi,
persamaan dan keragaman atau pluralisme66.
Sebenarnya gagasan pluralisme agama merupakan upaya
peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi
secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama ini
merupakan salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama
atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad
ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism.
Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.
Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin
kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Munculnya
tokoh seperti Ernst Troeltsch (1865-1923). Seorang teolog Kristen
liberal dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen
di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah
kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan
pluralisme agamanya secara argumentatif. Menurutnya, semua agama,
termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak

66
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif
(Kelompok GEMA INSANI, 2005), hlm. 16-17
106

satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan


di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal67.
Tokoh lainnya adalah William E Hocking dengan gagasannya
yang ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living
Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan
munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras
dengan konsep pemerintahan global68.
Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold
Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to
Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga
seorang teolog dan sejarawan Kanada, Wilfred Cantwell Smith yang
dalam bukunya Towards A World Theology (1981) yang mencoba
meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau
global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia
dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis69.
Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan
penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End
of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).
Gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan
dalam dua dekade terakhir abad ke-20, pluralisme agama menjadi
sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat
agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas
baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran
bahkan suatu proses sinergi gagasan pluralisme agama ini.
Menurut Muhammad Legenhausen, ide pluralisme agama pada
awalnya adalah ide yang digagas sebagai respons teologis atas
perkembangan yang berlaku di masyarakat Barat ketika itu. Konflik
agama terjadi di mana-mana sehingga menimbulkan ribuan korban

67
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
68
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
69
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
107

jiwa. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi pihak lain


yang berseberangan dengannya.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan
liberalisme. Gerakan liberalisme pada awalnya bersifat politis karena
tujuannya hanya untuk membatasi intervensi gereja dalam administrasi
pemerintahan. Akan tetapi, pada abad 19, gerakan liberalisme menular
ke barisan Kristen Protestan sehingga melahirkan apa yang disebut
Protestan Liberalisme. Tidak bisa dinafikan, gerakan ini sangat kuat
dipengaruhi oleh konsep modernisme yang juga sedang berkembang
saat itu. Di antara penggagas gerakan ini adalah teolog Protestan
Fredrich Schleiermacher (1768-1834), yang pikiran-pikirannya banyak
mempengaruhi John Hick. Ide-ide dasar pluralisme agama dapat
ditelusuri dari tulisan Schleiermacher. Schleiermacher menilai bahwa
agama adalah urusan privat; esensinya terletak pada jiwa dan diri
manusia dalam interaksinya dengan Yang Mutlak, bukan pada institusi
tertentu dari agama atau bentuk-bentuk eksternalnya.
Dalam kerangka teoretis pluralisme agama pada masa ini telah
dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern.
Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar
agama. John Hick adalah yang pertama kali merekonstruksi landasan-
landasan teoretis pluralism agama sedemikian rupa, sehingga menjadi
sebuah teori yang baku dan populer. Hick menuangkan pemikirannya
dalam buku An Interpretation of Religion : Human Responses to the
Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun
1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya
sebelumnya70.
Sementara itu gagasan pluralisme agama dalam wacana
pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II,
ketika mulai terbukanya kesempatan besar bagi generasi-generasi
muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas

70
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
108

Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung


dengan budaya Barat.
Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus
dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-
karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon dan
Frithjof Schuon. Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan
bukunya The Transcendent Unity of Religions, yang sarat dengan
pemikiran, tesis dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi
tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama 71.
Beberapa faktor munculnya pluralisme agama adalah sebagai
berikut:
1. Faktor pertama, keyakinan konsep ketuhanannya adalah
paling benar (Truth Claim).
2. Faktor kedua, keyakinan bahwa agamanyalah yang
menjadi jalan keselamatan.
3. Faktor ketiga, keyakinan bahwa mereka adalah umat
pilihan.
4. Faktor keempat, pergeseran cara pandang kajian terhadap
agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak
pada keyakinan, kajian ilmiah moderen memposisikan
agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana
ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada
keraguan.
5. Faktor kelima, kepentingan ideologi dengan mengangkat
isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta
perdamaian dunia72.

Berdasarkan ketiga faktor diatas ( faktor ke-1, 2 dan 3), para


penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi
oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga
persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan
harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah
eksklusif. Sedangkan untuk faktor ke-4 dan ke-5, memang tidak bisa

71
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
72
Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com
109

kita pungkiri pula bahwa pluralisme muncul dari background dan


dipengaruhi oleh interes kapitalisme, globalisme dan liberalisme.
Teologi pluralisme telah berkembang dengan kuat pada zaman
modern ini. Namun ada beberapa perbedaan pandangan dalam hal
metodologi dan pendekatan filosofis di kalangan pluralis. Sebagian
pluralis berpandangan bahwa semua agama memiliki inti atau esensi
yang sama. Esensi yang sama ini dapat diidentifikasi secara historis di
dalam tradisi-tradisi mistik agama-agama dunia. Sedangkan sebagian
pluralis yang lain memulainya dengan asumsi relativitas historis,
mereka berpandangan bahwa semua tradisi bersifat relatif dan tidak
dapat mengklaim dirinya superior dibandingkan dengan jalan
keselamatan lain, yang sama terbatas dan sama relatifnya.
Hick adalah pluralis yang menggabungkan kedua unsur
pendekatan di atas. Ia menyatakan bahwa semua agama memiliki
perbedaan-perbedaan historis dan substansi yang penting. Menurut
Hick pandangan bahwa semua agama memiliki esensi yang sama,
berada dalam bahaya mengkompromikan integritas tradisi partikular
dengan hanya menekankan satu aspek dari tradisi tersebut. Kesatuan
sesungguhnya dari agama-agama tidak ditemukan dalam doktrin atau
pengalaman mistik tetapi di dalam pengalaman keselamatan atau
pembebasan yang sama. Untuk memperjelas dan memperkokoh
pemahaman tersebut, ia membangun suatu garis besar teori tentang
agama73.
Di sini kita perlu membuat perbedaan antara pluralisme agama
sebagai sebuah fakta dan pluralisme agama sebagai suatu ideologi.
Sebagai sebuah fakta, pluralisme agama yang telah lama kita jumpai
bukan hanya sesuatu yang harus diterima tetapi juga dianggap baik,
bahkan perlu dijaga. Sedangkan pluralisme sebagai suatu ideologi
adalah suatu kepercayaan bahwa pluralisme ini didukung serta

73
Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari
Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id didownload pada tanggal 29 Agustus 2010
110

diinginkan, dan bahwa klaim-klaim normatif yang berbau imperialistik


serta bersifat memecah belah perlu dibuang74 Salah seorang tokoh
pluralisme agama yang cukup terkenal adalah John Hick, yang
membangun suatu pluralisme hipotetis yang cukup solid dan
komprehensif75.
3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick
Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana
Pluralisme Agama. Dialah orang yang paling banyak menguras tenaga
dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan
menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan
usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada
masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku
tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis,
Cina dan Jepang.
Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya
terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi,
maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-
cara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih
menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal
Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan
teologi global (global theology) 76.

74
Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari
Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id
75
Karya-karya Hick yang berkaitan dengan pluralisme agama cukup banyak.
Diantaranya: An Interpretation of Religion (London: Macmillan; New Haven: Yale University
Press, 1989); Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan; NY: St Martin’s, 1985); God
and the Universe of Faiths (London: Macmillan; NY: St Martin’s,1973); God Has Many Names
(Louisville: Westminster/John Knox, 1982); The Metaphor of God Incarnate (Louisville:
Westminster/John Knox, 1994); yang terakhir A Christian Theology of Religions (Louisville:
Westminster/John Knox, 1995) …, Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick :
Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id)
76
Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id,
didownload pada tgl.03 Agustus 2010
111

Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan


yang ia sebut dengan transformasi orientasi dari pemusatan agama
menuju pemusatan Tuhan (The transformation from self-centredness
to Reality centredness). Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-
agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam
konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini
semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia
dalam merespon Realitas yang absolut. Realitas yang absolut itu
menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan
istilah The Real Yang Absolut. Sementara tuhan-tuhan yang ada pada
setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai tuhan-tuhan
relatif karena hanya merupakan “image” masing-masing pemeluk
agama terhadap The Real Yang Absolut tadi77. Jadi The Real itu pada
dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman
manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks
tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan “image” Tuhan yang
berbeda-beda pula.
Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam
semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-
satunya jalan keselamatan yang absolut telah mengalami perubahan
yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan
keselamatan yang ada. Upaya mempermasalahkan benar (haq) dan
salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak relevan dan tepat
karena dengan teorinya ini, Hick hendak menegaskan bahwa jalan
keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan
beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang
ada.

77
Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id,
112

Menurut Hick pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan


terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan
konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya pluralisme
agama mengimplikasikan saling menghargai diantara berbagai
pandangan dunia (world view) dan mengikuti sepenuhnya perbedaan
tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama
individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi
sebagai pemberi jawaban khas78.
Landasan epistemologi yang sangat kuat mempengaruhi
pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804
M), seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Jerman. Inti pemikiran
Kant yang digunakan dalam pluralisme agama adalah pemisahan
nomen dengan phenomen dalam dimensi membedakan antara makrifat
agama dengan substansi agama. Dengan kata lain terdapat jurang
pemisah yang dalam antara pengetahuan agama dan realitas agama.
Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan
pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan
kesalahan dari proposisi-proposisi agama79.
John Hick, dengan menggunakan pemisahan nomen dengan
phenomen dalam maktab Kant, pada awalnya mengisyaratkan kepada
wajah Tuhan yang sama dalam berbagai syariat agama. Dengan
mengambil ilham dari pemisahan nomen dengan phenomen Kant,
Hick kemudian membedakan antara Tuhan, “ maqam lâ isma dan
rasm” (maqam tak dikenal dan tak terdeskripsi), Tuhan dalam
nisbahnya dengan kita, dan mengambil manifestasi Haq dalam
mazhar-mazhar yang beragam sebagai rahasia perbedaan agama-
agama dan sekaligus sebagai dalil kebenaran semua agama-agama.
Dia menyatakan, agama-agama ini mungkin merupakan manifestasi,

78
Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta :
2007), h.95
79
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com, didownload pada tgl 03 Agustus 2010
113

wajah, gambaran, dan tajalli satu Tuhan, mungkin merupakan sisi-sisi


dan jalan-jalan yang berbeda-beda, di mana Tuhan menampakkan diri-
Nya kepada manusia. Baik itu Yehova (Yahudi), Allah (Islam), dan
Tuhan Langit kaum Nasrani, masing-masing merupakan adalah
pribadi ketuhanan dalam kesejarahan, yang pada hakikatnya
merupakan hasil yang sama dari manifestasi universal Ilahi dan
campur tangan kekuatan konsepsi manusia dalam syarat-syarat khusus
kesejarahan80
John Hick, dalam salah satu bukunya khusus membahas
masalah pluralisme agama. Ia mengatakan bahwa semua itu
(gambaran beragam dari pengetahuan dan kesadaran agama)
mengambil bentuk dikarenakan kehadiran realitas (hakikat) Ilahi,
kehadiran seluruh sisi yang berasaskan kumpulan yang beragam dari
definisi, konsepsi, dan struktur makna keagamaan yang berpengaruh
dalam internal tradisi-tradisi kegamaan yang beragam, yang masuk
dalam kesadaran dan pengetahuan kita81

Apa yang menjadi sandaran penegasan dalam hal ini adalah


membedakan antara sesuatu sebagaimana dia adanya (hakikatnya) dan
sesuatu sebagaimana dia memanifestasi (zuhurnya), di mana ia
berperan dalam membentuk landasan epistemologi agama yang
melahirkan teori pemisahan pengetahuan keagamaan dari dzat agama.
Dan ini adalah suatu bentuk relativisme dalam makrifat keagamaan
tanpa pengingkaran terhadap keberadaan substansi agama.
Berdasarkan teori Kant bahwa sesuatu sebagaimana hakikatnya
bukanlah sesuatu itu di sisi kita, karena itu realitas dan hakikat sesuatu
yang tak terjamah tidak akan pernah sampai ke tangan kita, sebab ia
tidak terjangkau oleh kemampuan persepsi kita. Akan tetapi apa yang

80
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com
81
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com,
114

kita persepsi di dalam sistem persepsi adalah sejumlah lokus-lokus


yang ada sebelumnya dan telah terwarnai, karena itu manusia tidak
pernah sampai kepada realitas sebagaimana ia adanya.
Hukum dan kaidah ini pasti berlaku juga bagi para nabi.
Mereka dalam menjelaskan syuhud dan mukasyafahnya tentang wujud
mutlak terpengaruh oleh faktor-faktor tertentu dan ini memestikan
terjadinya perbedaan hasil mukasyafah di antara mereka satu sama
lain. Dan dari jalan inilah muncul kejamakan agama, di mana pakaian
hak dan batil tidak terkenakan pada salah satu pun dari mereka; sebab
setiap dari mereka mengungkapkan penemuan dan hasil
mukasyafahnya dalam maqam pengalaman keagamaan.
John Hick, berkata dalam hal ini: Immanuel Kant (tanpa punya
maksud melakukan ini) telah menyediakan kerangka filosofis, yang
mana asumsi seperti ini dapat mendapatkan pengembangan dan
kesempurnaan. Dia membedakan antara alam sebagaimana dia fii
nafsihi (hakikatnya) dan alam sebagaimana zahir atas pengetahuan
dan kesadaran manusia (zuhurnya)82

4. Kutub-kutub Pluralisme Agama; Motif dan Orientasi


Sekedar mengakui perbedaan dan keragaman adalah sebuah
keniscayaan, nampaknya kurang sempurna tanpa disertai upaya
mencari titik temu dan koeksistensi. Tuhan memerintahkan Nabi
SAW dalam rangka mengajak ahlul kitab untuk membangun “kalimah
sawa” (titik temu), terutama dalam rangka menyembah dan
menyerahkan diri kepada Tuhan secara total (QS. 3: 64)83. Tentu saja
penyerahan diri secara total kepada Tuhan tidak semata-mata dalam

82
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al-
Shia.com,
83
(QS. 3:64) : “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86
115

kerangka teologis, melainkan juga dalam rangka sosiologis. Sebab


dalam ayat tersebut ditegaskan secara eksplisit agar orang-orang
muslim dan umat agama lainnya tidak menjadikan tuhan-tuhan lain
selain Allah SWT.
Maka dalam rangka membangun titik temu dan koeksistensi,
umat Islam senantiasa diperingatkan Tuhan didalam al-Quran agar
menggunakan dakwah yang toleran (QS. 16: 125)84, yang artinya jalan
menuju kerjasama dan koeksistensi tidak akan tercapai bilamana
praktek dakwah dan dialog keberagamaan disampaikan dengan cara-
cara yang ekstrim. Tuhan juga meminta umat Islam tidak berdebat
dengan kalangan non-muslim kecuali dengan cara yang lebih baik,
yang mencerminkan etika yang tinggi (QS. 29: 46)85.
Disamping itu, pada ayat selanjutnya Tuhan mengingatkan
umat Islam untuk tidak menebarkan kebencian, karena tidak
sepantasnya hal tersebut dilakukan oleh orang yang mengaku beriman.
Alasan yang perlu diperhatikan adalah orang yang dibenci bisa jadi
lebih baik dari yang membenci (QS. 49: 11)86
Tidak seperti inklusivisme, pluralisme menawarkan sesuatu
yang baru. Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahap
lanjutan dari inklusivisme. Pluralisme makin memperjelas dan

84
(QS. 16:125) : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.421
85
(QS. 29:46) : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami
telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.635
86
(QS. 49:11) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-
olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-
olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.847
116

meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Bila dalam


inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang
mana selalu ada dimensi substansi dan nilai, tapi dalam pluralisme
justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme dianggap
sebagai lompatan praksis dari sekedar inklusivisme pemahaman
keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu
sendiri87
Pluralisme sebenarnya mengajak kita agar lebih realistis,
bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari segi penghayatan terhadap agama (syariat),
dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya.
Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual sekalipun. Disinilah
pluralisme menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme
hadir dalam rangka membangun toleransi ditengah perbedaan dan
keragaman tersebut. Pluralisme menjadikan perbedaan sebagai potensi
untuk bersatu memajukan masyarakat dari keterbelakangan dan
88
keterpurukan
Dalam hal ini, Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project,
Harvard University memberikan pemahaman terhadap pluralisme
yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga poin yang terkandung
dalam pluralisme, Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif
ditengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sesungguhnya
berbicara pada tataran fakta dan realitas, bukan pada tatar teologis
(sebagaimana inkusivisme), oleh sebab itu pluralisme dalam tataran
sosial lebih dari sekedar mengakui keragaman dan perbedaan,
melainkan merangkai keragaman untuk tujuan kebersamaan. Kedua,
pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir
sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi

87
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta : Penerbit FITRAH, 2007), Cet.1, h.204-205
88
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.206
117

pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah


upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang
konstruktif. Pluralism mengakui bahwa setiap entitas dalam
masyarakat selalu mempunyai perbedaan dan persamaan, oleh karena
itu setiap entitas harus memahami dengan baik setiap perbedaan dan
persamaan tersebut. Ketiga, pluralisme bukan relativisme, pluralisme
adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai
komitmen. Komitmen yang dimaksudkan adalah komitmen
kemanusiaan. Disini keragaman dalam pluralisme tetap dipertahankan,
tidak dihilangkan. Sedangkan relativisme berada pada posisi
menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri89
Peter L. Berger mempunyai pandangan lain yang lebih praksis
perihal pluralisme. Ia menyebutnya sebagai “pluralisme baru”. Yaitu
pluralisme yang lahir dari rahim globalisasi. Pada zaman ini
pluralisme hampir seperti pasar keagamaan. Dimana-mana agama dan
keberagamaan tumbuh dengan pesat. Upaya sekularisasi harus diakui
telah gagal, karena agama justru telah berkembang dengan pesat di era
globalisasi. Itulah wujud dari fenomena pluralisme. Karena pluralisme
adalah pasar keagamaan, maka yang terjadi adalah determinasi untuk
memilih, bukan determinasi untuk meyakini. Karena itu menurut
Berger, yang menarik dari pluralisme model ini adalah kehendak
institusi keagamaan pada akhirnya bukan melayani agama, melainkan
melayani umat. Institusi agama akan berubah menjadi asosiasi
pelayanan umat. Hal ini merupakan lompatan yang baik dari sekedar
sekulariasi menjadi lembaga-lembaga yang konsern pada aksi-aksi
kemanusiaan90

89
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.207-208
90
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.209
118

Berdasarkan pemaparan diatas, terdapat beberapa bentuk


orientasi pluralisme yaitu;
1. Orientasi moral, yaitu ajakan untuk menyebarkan toleransi
antar penganut agama. Dalam istilah Muhammad
legenhausen sebagai ”pluralisme religius yang berifat
normatif” yaitu himbauan dan kewajiban moral serta etis
untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda
dan mencegah arogansi dalam beragama.
2. Pluralisme religius soteriologis91 (soteriological religious
pluralism), yaitu bahwa umat selain Kristen juga bisa
memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme
soteriologi mula-mula diketengahkan John Hick untuk
setidaknya mengefektifkan pluralisme normatif secara
psikologis.
3. Pluralisme religius epistemologi (epistemological religious
pluralism), yaitu pemahaman atau kesadaran setiap
pengikut agama-agama didunia memiliki kedudukan yang
sama dalam konteks justifikasi keyakinan religius.
4. Pluralisme religius aletis (alethic religious pluralism), yaitu
penegasan bahwa kebenaran religius harus ditemukan
dalam semua agama-agama dengan posisi dan derajat yang
sama
5. Pluralisme religius deontis92 (deontic religious pluralism),
yaitu pluralisme yang menyangkut kehendak atau perintah
Tuhan untuk mengikuti suatu tradisi agama. Pluralisme
jenis ini berupaya memberikan pemahaman dan tanggung
jawab manusia dihadapan keragaman tradisi agama didunia.
Menurut pluralisme religius deontis, pada beberapa daur
sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wayu
pada umat manusia melalui seorang nabi dan rasul, sampai
ditetapkan rasul muhammad sebagai sebagai risalah terakhir
93

Dalam paham pluralisme agama sendiri yang berkembang saat


ini terdapat dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan
program teologi global (global theology) dan paham kesatuan
transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua

91
Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari
penderitaan Yesus kristus.
92
Kata deon bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban
untuk memenuhi kehendak Tuhan
93
Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim
Indonesia…, 210-211
119

aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-


masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik94.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif
yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi
tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang
umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah
karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama
di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi
tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama
dan globalisasi, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi
program globalisasi.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan
sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan
filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama.
Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan
globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha
mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang
pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua
memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda.
Berdasarkan motif sosiologisnya, aliran pertama menawarkan konsep
dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis,
kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan
agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern.
Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan
saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan
antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan
melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah
satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme

94
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
120

agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology (teologi


global).

Sedangkan solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua dengan


pendekatan religious filosofisnya yakni lebih mengedepankan
eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah
begitu saja dengan mengikuti arus globalisasi, liberalisasi, modernisasi
ataupun post-modern yang telah memarjinalkan peran dan fungsi
agama-agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis
ataupun historisnya saja, dan tidak pula dapat dihilangkan identitasnya.
Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan
mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi
agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep
sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau
dalam Islam disebut “al-Hikmah al-Khalidah”. Konsep ini
mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-
tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa
menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama
bagi aliran ini adalah bagaikan beberapa jalan yang pada akhirnya
mengantarkan ke puncak/tujuan yang sama (all paths lead to the same
summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene
Guenon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984),
Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947),
Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon,
Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean
Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord
Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J.
Needleman, William C. Chittick dan lain-lain95.
Pluralisme pada akhirnya melampaui fundamentalisme yang
berkutat pada setiap agama. Fundamentalisme yang mempunyai

95
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
121

keyakinan taken for grantedness yang hanya berkutat pada dimensi


hukum dan ritualistik. Maka pluralisme mencoba membuka ruang
baru bagi agama, yaitu ruang kemanusiaan yang menekankan aspek
pelayanan secara sukarela.
Dari beberapa pernyataan diatas, apa yang sebenarnya ingin
dicapai pluralisme? Maka sesungguhnya, pluralisme hendak
mewujudkan masyarakat yang dialogis, toleran dan dinamis. Dengan
demikian, fatwa mengenai haramnya pluralisme merupakan cerminan
dari ketidakmampuan kaum agamawan untuk memahami pluralisme
dengan baik dan tepat. Setidaknya ada kecurigaan untuk menerima
diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi96. Fatwa mengenai
haramnya pluralisme adalah suatu kelemahan memandang nilai-nilai
obyektivitas pluralisme, fatwa tersebut masih mengindikasikan paham
keagamaan yang ekslusif dan rentan pada intoleransi, maka dalam hal
ini dibutuhkan sudut pandang positif dalam menilai suatu gagasan
baru, perlunya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan
kejujuran dalam membedah sebuah persoalan. Setiap masalah

96
Menurut hemat penulis, tanpa bermaksud “menyalahkan” keputusan MUI bagi
kemaslahatan umat Islam, pengharaman pluralisme terkesan “buru-buru” dan minim dialog
dengan para tokoh penganut pluralis di Indonesia. Sebenarnya hal ini mungkin terjadi (tanpa harus
dikeluarkannya fatwa haram bagi pluralisme) bila ada ruang dialog yang konstruktif, sehingga
selain pluralisme menjadi solusi bagi keragaman teologis-sosiologis, pluralisme juga menjadi
solusi (akademis) dalam cara bagaimana umat Islam memahaminya dengan baik dan tepat. Sifat
kehati-hatian MUI mengenai konsekuensi logis pluralisme sebaiknya dapat dijembatani dengan
dialog akademis, sehingga baik MUI maupun kaum elit-pluralis dapat mengarahkan umat Islam
untuk memahami pluralisme secara tepat-menyeluruh. Hal inipun hanya mungkin terjadi bila MUI
sendiri telah meneliti dengan baik pluralisme itu sendiri, terlebih pluralisme memiliki banyak
definisi bahkan mazhabnya tersendiri. Kajian akademik terhadap pluralisme yang intens dan
mendalam sangatlah perlu sebagai standar pluralisme yang sesuai dengan nilai-nilai syariat/ajaran
Islam. Lebih tepatnya inilah yang seharusnya dilakukan MUI yang juga memiliki fungsi kontrol
terhadap pemikiran keislaman. Karena pada kenyataannya di- (beberapa)- kalangan MUI,
pluralisme masih dianggap kebaikan negatif yang mengindikasikan misi orientalisme kaum
Liberal-Kristiani, memandang pluralisme dari sisi historis tanpa epistemologisnya akan
melahirkan pandangan sempit, selain itu pluralisme juga harus disepadankan dengan sinyalemen
ayat-ayat al-Quran yang mengedepankan pada pentingnya sikap toleran terhadap berbagai aspek
keragaman yang hanya mengarahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Pengharaman pluralisme, secara tidak langsung telah “mengekang intelektual” Muslim dalam
menyelami samudera hikmah ajaran Islam dan mengubur mutiara-mutiara keilmuan yang
disampaikan para arif-sufi. Bahwa sesungguhnya dengan berpijak pada ajaran Islam, pluralisme
sendiri adalah keniscayaan yang ajarkan oleh Islam.
122

sejatinya diselesaikan melalui mekanisme dialog yang bersifat


konstruktif, utamanya dalam hal-hal yang menimbulkan kemusykilan
akademis untuk mencapai pemahaman yang komprehensif. Disamping
itu, dialog diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang
muncul ditengah-tengah masyarakat97
Imam al-Razi menakwil “tidak ada paksaan dalam agama”
bahwa Tuhan telah menggarisbawahi sebuah landasan, bahwa
keimanan tidak dibangun diatas paksaan, melainkan atas dasar
pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu.
Disamping dunia merupakan tempat ujian dan cobaan yang mana
memberikan kebebasan kepada oranglain sekalipun untuk menentukan
pilihan. Pentingnya ajaran tidak ada paksaan dalam agama juga
diperkuat oleh ayat lain (QS. 10:99) yang berbunyi : “Dan jikalau
Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kau (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Ayat
ini secara eksplisit memperkuat dan meneguhkan larangan paksaan
dalam agama, karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang
memberikan kebebasan dalam iman98.
Tidak ada paksaan dalam agama dapat dipahami sebagai sikap
akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan budaya-
budaya pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya
keadilan dan kemanusiaan, maka dalam hal penyebaran agama
diperlukan landasan etis yang kuat, yaitu dengan tidak
mempertentangkan antara agama yang satu dengan yang lain.

Dalam hal membangun toleransi, Tuhan juga menggaris-


bawahi pentingnya amal saleh. Bila ditanya apa ada korelasi antara
keadilan dengan amal saleh? Secara cepat harus dikatakan, bahwa ada

97
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.211
98
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.253
123

hubungan yang kuat diantara keduanya. Amal saleh merupakan salah-


satu bentuk konkrit keadilan. Amal saleh memberikan perhatian yang
besar terhadap realitas sosial. Amal saleh mendorong ajaran Islam
yang melangit agar lebih membumi lagi. Karena itu amal saleh sangat
penting dalam rangka membumikan toleransi. Konsep amal saleh
diharapkan dapat menjawab berbagai klaim fundamentalis, bahwa
sebuah kebenaran hanya mengacu pada dimensi tekstualnya. Dalam
paradigma amal saleh, sebuah agama akan dianggap membawa ajaran
yang agung bilamana mampu memberikan spirit dan motivasi bagi
gerakan praksis. Karena pentingnya dimensi sosial didalam Islam,
maka Tuhan pun menjadikan amal saleh sebagai salah satu tiket yang
bisa mengantarkan pelakunya kedalam surga99. Hal ini pulalah yang
menjadi paradigma ajaran pluralisme, dalam paradigma pluralisme
bahwa ketakwaan menjadi inti dari agama-agama.

‫ﺎﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺢ‬‫ﻠ‬‫ﺼ‬‫ ﻳ‬.‫ﺍ‬‫ﻳﺪ‬‫ﺪ‬‫ﻻﹰ ﺳ‬‫ﻗﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﻗﹶﻮ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﷲَ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺍﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻳ‬
: ‫ﺎ )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻈ‬‫ﺍ ﻋ‬‫ﺯ‬‫ ﻓﹶﻮ‬‫ ﻓﹶﺎﺯ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻮﻟﹶﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ﻊﹺ ﺍﷲَ ﻭ‬‫ ﻄ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺑ‬‫ ﺫﹸﻧ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬

( ۷۰-۷۱

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu


kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya
Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab, 33 : 70-71)100

Dijelaskan pula pada ayat lain, bahwa kebaikan dan ketakwaan


bersumber atau dilandasi dengan keimanan. Apapun agamanya,
keimanan dan ketakwaan adalah kebenaran suci (ketulusan) seorang
hamba kepada Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang berjalan
diatas kebenaran (di jalan Tuhan).

99
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme..., h.460-461
100
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.680
124

‫ﻦ‬ ‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ﺮﹺﺏﹺ ﻭ‬‫ﻐ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺮﹺﻕﹺ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺒ‬‫ ﻗ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺟ‬‫ﻟﱡﻮﺍ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬
‫ ﺫﹶﻭﹺﻱ‬‫ﻪ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹶﻰ ﺣ‬‫ﺎﻝﹶ ﻋ‬‫ﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﺎﺏﹺ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻜ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹶﺔ‬‫ﻠﹶﺌ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﻡﹺ ﺍﹾﻷَﺧ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﷲِ ﻭ‬‫ﺑﺎ‬
‫ﺃﹶﻗﺎﹶﻡ‬‫ﻗﹶﺎﺏﹺ ﻭ‬‫ﻲ ﺍﻟﺮ‬‫ﻓ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﻠ‬‫ﺎﺋ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ﺒﹺﻴﻞﹺ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬
ِ‫ﺂﺀ‬‫ﺄﹾﺳ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻮﻓﹸﻮﻥﹶ ﺑﹺﻌ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ﻰ ﺍﻟﺰ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ﻠﹶﻮﺓﹶ ﻭ‬‫ﺍﻟﺼ‬
‫ﻘﹸﻮﻥﹶ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶﺌ‬‫ﺃﹸﻭ‬‫ﻗﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ ﺻ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶﺌ‬‫ﺄﹾﺱﹺ ﺃﹸﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﲔ‬‫ﺣ‬‫ﺁﺀِ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﻀ‬‫ﻭ‬
(۱۷۷
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
(QS.Al-Baqarah, 2:177)101

Komitmen dalam pluralisme adalah adalah komitmen untuk


menancapkan bendera ketuhanan dan kemanusiaan. Keduanya harus
menjadi garapan agama-agama. Dan sekali lagi, tidak ada tempatnya
bila substansi agama-agama dipertentangkan. Dalam pluralisme justru
ajaran yang secara substansi sejalan dengan apa yang terkandung
dalam ayat diatas menjadi perhatian yang dapat membangun
pluralisme, toleransi, keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini.

101
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.43
125
125

BAB IV
WAHDAT AL ADYAN DAN PLURALISME AGAMA
DALAM PERSPEKTIF SYARIAT

Sebagaimana kita ketahui bahwa fenomena keagamaan dalam Islam tidak


terlepas antara dua dimensinya yakni syariat (fikih) dan hakikat (tasawuf),
keduanya merupakan dua ilmu yang saling berhadapan secara vis a vis.
Perseteruan panjang antara para penganut keduanyapun hingga kini masih terasa1.
Syariat, seperti yang banyak dipahami, sebagai hukum asli (formal) yang

1
Pada masyarakat miliu-tadisional, fanatisme syaria’ah (baca : fuqaha) memandang
“haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqli maupun
aqli. Sementara itu, para pelaku tasawuf juga mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam
diatas putih (formalisme keagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi yang diharapkan
oleh kaum sufi. Masyarakat Jawa dalam rumor mereka sedikit banyak mengisyaratkan tentang
perseteruan itu, masyarakat Jawa sering menyebut syariat (dalam dialog Jawa disebut “syaringat”)
sebagai nek sare njengat (kalau tidur nungging). Sedangkan tasawuf disimbolkan sebagai jalan
meniti ke kota “Mekah” dengan ungkapan nek turu mekakah (kalau tidur telentang). Lain halnya
dengan masyarakat miliu-modern, fenomena spiritualisme/tasawuf sebenarnya mulai dirasakan
”’lumrah” dan dapat diterima, hanya pada hal-hal tertentu saja, misalnya dalam hal ritualistik para
penganut tasawuf dianggap ”tidak lazim” (bukan menyimpang), – bagi para penganut syariat. Hal
inipun sebenarnya disadari oleh kaum syariat, karena pendekatan tasawuf yang menggunakan daya
batin seringkali tidak dapat dijelaskan dengan daya nalar. Meskipun demikian, syariat bukan tanpa
”masalah” yang dihadapinya sendiri, justru pertentangan internal lebih banyak terjadi pada kaum
(pengikut) syariat, sebagaimana kita tahu bahwa syariat (fiqh) memiliki keragaman mazhab, yang
pada akhirnya pula memiliki keragaman ijtihad dari para ulama fikih tersebut. Dalam hal ini
penulis tidak bermaksud mengangkat permasalahan/perbedaan dalam hukum fikih, melainkan
mengemukakan bahwa pemahaman kaum sufi dalam menyikapi perbedaan lebih arif dan bijaksana
karena mereka senantiasa menilai segala sesuatu dengan cinta, ketulusan dan kerendahan hati. Hal
inilah yang menunjukkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang paling toleran dalam menyikapi
perbedaan dan keanekaragaman… Lihat : Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut,
(Jakarta : Media Citra, 2001), Cet.2, h.136
126

dengannya seluruh aspek kehidupan seorang muslim harus berlandaskan pada al-
Quran dan hadis Nabi SAW. Berbeda dengan tasawuf , tasawuf / tariqat hingga
kini masih dipandang ekslusif (khusus/istimewa) – karena diperuntukkan bagi
mereka yang menempuh jalan menuju Tuhan (baca : Allah) dengan pendekatan
batiniah, sehingga terkadang nilai-nilai amaliah terkesan formalistik dan masih
jauh dalam upaya mencapai esensinya
Fiqih (sebagai dimensi syariat) menjadi pokok / sentral dalam kehidupan
beragama terutama dalam hal ibadah, peran fiqih tersebut antara lain adalah:
mendorong timbulnya kesadaran beribadah kepada Allah SWT, membentuk
kebiasaan melaksanakan syari’at dengan ikhlas, membentuk kebiasaan
melaksanakan tuntunan akhlak yang mulia, mendorong timbulnya kesadaran
mensyukuri nikmat Allah dengan mengolah serta memanfaatkan alam untuk
kesejahteraan hidup, membentuk kebiasaan menerapkan disiplin dan tanggung
jawab sosial di masyarakat, dan membentuk kebiasaan berbuat atau berperilaku
yang sesuai dengan peraturan.
Selain daripada itu, tasawuf (sebagai dimensi filosofis/hakikat) oleh
banyak pihak, dianggap identik dengan kehidupan yang serba kolot, tradisionil
dan ketinggalan zaman Kehidupan sufi dianggap tidak relevan dengan kemajuan
zaman. Sufisme dianggap, hanya sebagai catatan sejarah zaman dulu, yang sudah
kehilangan signifikansinya untuk diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Timbulnya asumsi ini, disebabkan kesalahan persepsi mereka dalam
menginterpretasikan tasawuf. Tasawuf yang identik atau diasumsikan sebagai
kehidupan seseorang yang berpakaian compang-camping, memakai baju lusuh,
dan bercirikan kemiskinan. Tentu saja asumsi ini , kurang tepat– kalau tidak ingin
dikatakan tidak – tepat sama sekali. Karena ada beberapa bahkan banyak diantara
para sufi yang kaya raya. Tasawuf tidak lebih, merupakan kehidupan yang
menjauhi berbagai kesenangan dunia dengan segala aspeknya. Kehidupan yang
hanya berorientasi pada kedekatan diri pada Allah dengan berbagai ritus-ritus
127

sehari-harinya. Membasahi bibir dengan bacaan tasbih dan istighfar. Mengambil


kebutuhan dunia hanya sekedarnya saja2.
Salah satu alasan kita membahas kaitan antara spiritulisme Islam (tasawuf)
dan syariat, adalah untuk menunjukkan bahwa antara syariat dan hakikat (tasawuf)
sesungguhnya tidak bertentangan. Jika kita ingin beragama secara lengkap, kita
bersyariat dan kita pun bertariqat, bertasawuf. Syariat berasal dari kata syar’i,
yang artinya jalan yang besar. Sedangkan thariqat berasal dari kata thariq yang
artinya jalan yang kecil. Namun tetap saja kedua kata itu mempunyai arti yang
sama, yakni jalan. Jalan disini maksudnya adalah jalan menuju Allah SWT.
Syariat disebut dengan jalan besar atau jalan raya dikarenakan arti asli kata itu
identik dengan agama itu sendiri. Tasawuf, setidaknya merupakan cabang otentik
dari agama Islam itu sendiri. Spiritualisme Islam berbeda dengan spiritualisme-
spiritualisme yang lain, dalam hal ini Islam mengontrol ajaran spiritualismenya
(tasawuf) dengan ajaran syariatnya 3. Lebih lanjut, tasawuf adalah jalan agar kita
dapat membersihkan diri dan hati kita agar menjadi wadah untuk menampung
Allah SWT. Berkenaan dengan hal ini, sebuah hadis qudsi menyatakan bahwa
”Tidak ada yang bisa menampung Allah, kecuali hati orang-orang mukmin”4.
Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syariat tidak dapat diterima, karena
sesungguhnya tasawuf sangat menekankan pentingnya syariat. Tasawuf tidak
dapat dipisahkan dari syariat karena bagi para penganutnya thariqat, syariat adalah
jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.

2
Ada beberapa praktek disiplin spiritual dalam tradisi sufi yang dianggap oleh para
penentangnya sebagai bersifat eksesif dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia. Diantara
praktek-praktek itu adalah berkhalwat selama 10 hari, 20 hari, 30 hari, atau 40 hari. Khalwat, yang
di Indonesia disebut “suluk”, adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan
dunia. Selama khalwat seorang penempuh jalan spiritual makan dan minum sedikit sekali, dan
tidak boleh berbicara kecuali dengan syeikhnya atau mitranya yang juga melakukan khalwat. Para
salik menggunakan hampir seluruh waktu untuk berzikir dan bertakakur. Semula khalwat
dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari segala gangguan yang memalingkan seorang
hamba dari mengingat Allah dan dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah. Akhirnya,
penarikan diri ini semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kualitas spiritual untuk semakin
mempermudah perjalanan spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan menjumpai Yang
Dicintai. Khalwat seperti ini yang dilakukan para salik tidak bisa dikatakan eksesif (berlebihan
dalam ibadah) dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia karena ia hanya dilakukan dalam
waktu terbatas, paling lama 40 hari, dan setelah itu salik kembali kepada kesibukan dunia seperti
biasa.
3
Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.104
4
Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.105
128

Dalam satu bagian al-Futuhat al Makiyah, ibn al Arabi menyatakan, “Jika


engkau bertanya, ‘Apa itu tasawuf?,’ maka kami menjawab, ‘(Tasawuf adalah)
mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syariat secara lahir dan
batin, dan itu adalah aklak mulia. Ungkapan “kelakuan-kelakuan baik menurut
syariat “(al-adab al-syariyyah) dalam perkataan Ibn al-Arabi ini menunjukkan
bahwa tasawuf harus berpedoman kepada syariat. Menurut sufi ini, sairat adalah
timbangan dan pemimpin yang harus ddikuti dan ditaati oleh siapa saja yang
menginginkan keberhasilan tasawuf. Sebagaimana Ibn al-Arabi, Seyyed Hossein
Nasr, seorang pemikir sufi dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan tidak
mabuk” berulang kali menekankan bahwa tidak ada tasawuf tanpa syariat5.
Islam sebagai agama yang sangat menekankan keserimbangan
manifestasikan dirinya dalam kesatuan syariat (hukum Tuhan ) dan thariqah
(jalan spiritual, yang sering disebut sufisme atau tasawuf). Apabila syariah adalah
dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriah,
maka thariqah adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan
dengan aspek batiniah. Pentingnya menjaga kesatuan syariah dan thariqah dituntut
oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai
aspek lahiriah dan aspek batiniah. Menekankan salah satu aspek dan mengabaikan
aspak lain akan menimbulkan ketidakseimbangan dan kekacauan6
Landasan metafistis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah
dan batiniah. Aspek lahiriah mempunyai gerak menjauh dan memisah dari Tuhan
sebagai Pusat, yang tidak lain adalah Yang batin. Aspek batiniah mempunyai
kecenderungan untuk bergerak kembali kepada Tuhan sebagai Sumbernya.
Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini adalah mengingkari kodrat manusia,
yang selalau cenderung berusaha untuk memenuhi lahiriah dan batiniah, material
dan spiritual.

5
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.20
6
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.21
129

Tiga dimensi agama Islam, syariah, thariqah, dan haqiqah, dari suatu
sudut pandang sejajar dengan tiga dimensi lain, islam, iman dan ihsan. Secara
historis, islam termanifestasi melalui syariah (syariat) dan fiqih sedangkan iman
terlembaga melalui kalam (ilmu kalam) dan bentuk bentuk lain ajaran doktrinal.
dengan cara yang sama, ihsan memperlihatkan kehadirannya terutama melalui
ajaran-ajaran dan praktik sufi7
Dengan mengkodifikasi syariat, fikih menetapkan cara yang tepat bagi
manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ilmu kalam mendeskripsikan
kandungan-kandungan iman. Tasawuf memusatkan perhatian untuk memberikan
hak yang penuh kepada penyerahan diri dan iman. Tasawuf dalam arti ini adalah
jalan utama menuju Tuhan. Tasawuf, yang diidentikkan dengan ihsan, adalah
jalan atau tahap tertinggi yang harus ditempuh melalui islam dan iman terlebih
dahulu8
Oleh karena itu, pembicaraan tentang integrasi syariat dengan tasawuf
menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang Muslim. Syariat merupakan
elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran atau
konsep ”Ihsan”. ”’an ta’buda Allaha ka-annaka tarah, fainlam takun tarah,
fainnahu yarak” (hendaknya kalian beribadah [bersyariat] kepada Allah seakan-
akan kamu melihatnya, jika kamu tidak bisa Melihatnya, maka sesungguhnya
[bersikaplah seakan-akan] Ia melihatmu.
A. Korelasi Fiqh (Syariat) dengan Tasawuf (Hakikat)
Secara umum, fiqh didefinisikan sebagai : “ilmu tentang hukum-
hukum syar’iyyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah
tafshiliyyah) ”. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa fiqh adalah ilmu tentang
hukum-hukum syar’iyyah yang ‘amaliyyah yakni yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.

7
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.22
8
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.23
130

Dari sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak


tidak termasuk dalam fiqh, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat
dimasukkan ke dalamnya. Hukum-hukum ini diambil dari dalil-dalil yang
terperinci yakni dalil-dalil yang menunjukkan pada suatu hukum tertentu.
Dalam artian yang seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun
mu’amalah. Dalam bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat,
rukun-rukun dan sunnah-sunnah ibadah. Suatu ibadah akan dianggap sah jka
telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Sebagai contoh, shalat
seseorang dihukumi sah dari segi fiqh apabila ia shalat di waktu yang benar,
telah bersuci, menutup aurat, mengahadap kiblat, dan memenuhi syarat dan
rukun lainnya.
Sementara tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah dalam ilmu
tasawuf bukan sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukun yang
telah digariskan dalam fiqh. Lebih dari itu shalat dimaknai dengan hubungan
manusia dengan Allah. Hubungan ini mesti benar-benar diusahakan dan
dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan tasawuf.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu tasawuf memberikan
unsur-unsur bathiniyah kepada fiqh, fiqh akan terasa sangat lahiriyah dan
formalistik atau terasa amat kering dan gersang jika tanpa tasawuf.
Sebaliknya fiqh pula memberikan aturan-aturan yang dengannya
tasawuf terhindar dari kebenaran sendiri yang bathiniyah tanpa
memperhatikan aturan-aturan lahiriyah, sebab dalam tasawuf faktor
bathiniyahlah yang diutamakan. Seseorang yang shalat dengan kehadiran hati
meskipun dia dalam keadaan tidak menutup aurat atau bahkan tidak
menghadap kiblat sekalipun shalatnya terbilang sah . Di disinilah perlunya
mengintegrasikan keduanya, yakni antara syari’ah (dalam artian fiqh) dengan
hakikat (dalam artian tasawuf).
Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan al-Junaid al-Baghdd di
sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq :
131

‫ﻣﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﺑﻐﲑ ﺗﺼﻮﻑ ﻓﻘﺪ ﺗﻔﺴﻖ ﻭﻣﻦ ﺗﺼﻮﻑ ﺑﻐﲑ ﺗﻔﻘﻪ ﻓﻘﺪ ﺗﺰﻧﺪﻕ ﻭﻣﻦ‬
‫ﲨﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻘﺪ ﲢﻘﻖ‬

“Barang siapa yang mendalami fiqh tanpa bertasawuf, berarti ia fasik.


Barang siapa bertasawuf tanpa mendalami fiqh, berarti ia zindiq. Dan barang
siapa mengumpulkan keduanya berarti ia melakukan kebenaran (tahaqquq)”9
Al-Qusyairi juga mengatakan :

‫ﻛﻞ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻏﲑ ﻣﺌﻴﺪﺓ ﺑﺎﳊﻘﻴﻘﺔ ﻓﺎﹾﻣﺮﻫﺎ ﻏﲑ ﻣﻘﺒﻮﻝ ﻭﻛﻞ ﺑﺎﳊﻘﻴﻘﺔ ﻏﲑ ﻣﺆﻳﺪﺓ‬


‫ﺑﺎﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻓﺎﹾﻣﺮﻫﺎﻏﲑ ﳏﺼﻮﻝ‬

“Setiap syari’at yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak
diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syari’at maka urusannya
tidak berhasil.”10
Al-Ghazali mengatakan :

‫ﺎ ﻳﺘﻬﺎ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﺣﻜﺎﻡ ﺑﺪﺍﻳﺘﻬﺎ‬ ‫ﻻ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﱃ‬


“Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah diawali dengan hukum-
hukum”11
Korelasi syari’at dan hakikat ini pun dengan indahnya diuraikan al-
Qusyairi dalam karyanya, al-Risalah al-Qusyairiyah, dengan: “Syari’at
berkaitan dengan konsistensi seorang hamba Allah, sementara hakikat adalah
penyaksian ketuhanan. Jadi, setiap syari’at yang tidak ditopang hakikat tidak
diterima. Dan sebaliknya, setiap hakikat yang tidak dikekang syari’at tidak
tercapai. Syariat datang menetapkan beban kewajiban terhadap makhluk,
sementara hakikat adalah kabar tentang gerak-gerik Yang Maha Benar.
Syari’at hendaklah kau menyembah-Nya, sementara hakikat hendaklah kau
menyaksikan-Nya. Syariat adalah pelaksanaan terhadap apa yang

9
H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74
10
H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74
11
Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-
Hidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t.), h. 5.
132

diperintahkan. Sementara hakikat ialah penyaksian terhadap apa yang telah


ditetapkan dan ditentukan atau pun yang disembunyikan dan ditampakkan.”12
Sementara itu, dalam pandangan al-Sarraj, tasawuf dan kaum sufi
mempunyai hubungan yang erat dengan para fuqaha dan ahli hadits. Tiga
komunitas ini merupakan ahli-ahli ilmu yang mempunyai keutamaan. Oleh
karenanya, dalam pandangan al-Sarraj ilmu agama itu terdiri dari tiga unsur :
ilmu al-Qur’an, ilmu Sunnah dan Bayan, dan ilmu tentang hakikat iman. Dan
secara garis besar, ilmu-ilmu agama tak akan keluar dari tiga hal: ayat-ayat
dari kitab Allah, khabar (hadis) dari Rasulullah SAW, dan hikmah yang
memancar dari kalbu para wali Allah.
Pandangan di atas, berasal dari hadis tentang iman, ketika Jibril
alaihissalam bertanya kepada Nabi saw tentang tiga macam pondasi: tentang
Islam dan iman, ihsan zahir dan batin dan hakikat. Maka Islam adalah zahir,
iman adalah zahir batin, sedang ihsan merupakan gabungan antara hakikat
zahir dan batin. Selanjutnya, ia juga berpendapat bahwa pokok-pokok agama,
cabang-cabangnya, hak-hak, batasan-batasan, dan hukum-hukmnya secara
lahir dan batin, tidak bisa tidak hendaknya merujuk kepada tiga komunitas
ini: ahli hadis, para fuqaha, dan kaum sufi. Jadi jelaslah bahwa tasawuf
merupakan sub dari syari’ah, jika syari’ah di sini diartikan sama dengan
agama. Jika syari’ah secara spesifik diartikan dengan fiqh, terjadi perbedaan
secara epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Singkat kata, secara garis
besar, syari’ah memayungi dua elemen besar yang menjadi jalan untuk
mengamalkan agama secara benar, yakni ilmu lahir (riwayah) dan ilmu batin
(dirayah).13
Demikian hubungan yang erat antara syariat (fiqh) dengan hakikat
(tasawuf) yang tergambar dari beberapa ungkapan dan pendapat di atas.

12
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 94
13
Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005, h. 23-26.
133

Memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan sufi yang


berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan
Tuhannya, di saat dia adalah Tuhan dan Tuhan adalah dia, maka syari’ah
dalam artian fiqh tidak lagi diperlukan karena ia telah sampai kepada hakikat
syari’ah tersebut. Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh
al-Qusyairi dan al-Ghazali. Tidak ada syari’ah tanpa hakikat dan tidak ada
hakikat tanpa syari’ah.

B. Integrasi Fiqh (Syariat) dengan Tasawuf (Hakikat) Konsep al-Ghazali

Al-Ghazali adalah ulama besar yang sanggup menyusun kompromi


antara syariat (fiqh) dan hakikat (tasawuf) menjadi bangunan baru yang
cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i (fuqaha)
ataupun lebih-lebih kalangan sufi. Pemikiran konstruktif Al-Ghazali dalam
memoderasi fiqih dan tasawuf dilakukan dalam rangka mengeliminir konflik
antara syariat dan hakikat. Ia sanggup mengikat tasawuf dengan dalil-dalil
wahyu ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi saw. Dan dari judul karyanya yang
paling monumental Ihya’Ulum al-Din Nampak betapa besar jasa al-Ghazali.
Yakni mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan
ummat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama, dan mengamalkan dengan penuh
ketekunan. Dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai.
Yakni menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan umat Islam dan
memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari
dan mengamalkan agama mereka.
Kedalaman spiritual yang ditimbulkan oleh ajaran tasawuf bisa
didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama
beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat
pengamalan tasawuf dengan syariat (fiqh) dan ayat-ayat suci al-Qur’an dan
Hadis, tasawuf mulai mendapat hati dari pihak ulama ahli syariat (fuqaha),
dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya
kerohanian dan tuntutan moral. Dengan demikian tasawuf bisa berfungsi
sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan ummat Islam dari
134

kekakuan dan kekeringan rasionalisme fiqhiyah dan dari penyakit


spekulatifisme ilmu kalam
Dari susunan Ihya’ Ulum al-Din tergambar pokok pikiran al-Ghazali
mengenai penyelarasan syari’at (fiqh) dan hakikat (tasawuf). Yakni sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus mempelajari dan
memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak hanya
itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan sempurna.
Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa, dan lain-lainnya, di dalam
Ihya’ diterangkan tingkatan cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya.
Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam Ihya’ dibedakan
tingkat orang shalat antara orang awam, khawas, dan yang lebih khusus lagi’
Dapat dilihat dan dibedakan dengan melakukan penyempurnaan rukun dan
sunnah-sunnah shalat. Demikian juga puasa dan sebagainya.
Maka dari itu, tidak sepatutnya ilmu fiqh dipelajari semata-mata agar
mampu membedakan antara yang sunnah dan yang fardhu sedemikian,
sehingga tidak terbayangkan akan hal-hal yang sunnah kecuali bahwa itu
semua boleh saja ditinggalkan. Pemahaman seperti itu sama saja dengan
ucapan dokter bahwa membutakan mata tidak menghilangkan keberadaan
seorang manusia. Yang lebih layak, tentulah, melaksanakan semua sunnah
dengan penuh ketulusan seperti dilakukan si pemberi hadiah kepada Sultan
dengan harapan dapat mendekatkan diri kepadanya.14
Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian,
baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri,
pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian laku wiridan dalam menjalankan
zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan
makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan
spiritual yang mistik ini harus awas godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang
sering menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca
indera dan anggota badan serta bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai

14
Al-Ghazali, Rahasia-Rahasia Shalat, Mizan, Bandung, cet. ke XV, h. 19, 52-54.
135

bangunan untuk jadi sarana penyelarasan keselarasan syariat dan tasawuf


Ihya’ Ulum al-Din merupakan karya monumental yang cukup lengkap,
teliti,dan sistematis. Tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahlu syari’at
dan diterima sebagai bagian dari system agama ilmu keislaman yang amat
dibanggakan oleh umat Islam pada umumnya.
Dalam pada itu, tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai
keintegralan dan keselarasan hubungan syari’at (fiqh) dan hakikat (tasawuf).
Dia menawarkan sebuah formula dalam upaya memesrakan antara kedua
disiplin ilmu ini, yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf
orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan akidah terlebih dahulu.
Konsepsi pemikiran yang ditawarkannya diawali dengan al-Qur’an, lalu hadis
Nabi saw, meskipun dengan sanad yang dhoif, kisah hikmah dari para sahabat
dan tabiin, baru kemudian dijelaskan dengan analisis pribadinya.
Upaya ini cukup efektif, namun sebenarnya masih mengandung
kelemahan yang mendasar. Kelemahan itu terletak kedudukan syariat (fiqh)
yang diletakkan di bawah tarikat dan hakikat. Sehingga urutan tingkatan
ketiganya jadi syari’at, tarikat, dan hakikat. Kemudian dalam
perkembangannya ditambah makrifat sebagai tingkat keempat dan yang
tertinggi. Dengan strata pembagian yang seperti ini terbukalah pintu untuk
menilai syariat (fiqh) sebagai lebih rendah dibandingkan dengan tasawuf
(tarikat, hakikat, dan makrifat). Yakni memandang syariat terutama bagi
orang-orang awam yang tidak mampu mencapai tingkat hakikat dan makrifat.
Sedang bagi para sufi yang telah mampu mencapai penghayatan makrifat
adalah golongan khawas yang tidak bisa dinilai dari perbuatan-perbuatan
lahiriyah (syari’at)15.
Para sufi adalah Islam syar’i plus tasawuf; sedang ahli syari’at adalah
Islam syar’i saja. Dalam perpaduannya menurut al-Ghazali syari’at diletakkan
pada tingkat di bawah tarikat dan hakikat, maka para sufi selalu punya rasa
lebih atau unggulan dari muslim biasa. Bahkan kedudukan ulama biasa di

15
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.167-168
136

bawah derajatnya. Dengan anggapan punya nilai lebih atau dikhawaskan ini
tentu sulit diikat oleh aturan-aturan syari’at secara ketat16.
Menyinggung perbedaan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, Ibnu
Khaldun berkomentar sebagai berikut: “Ilmu agama itu menjadi dua bagian,
yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai
hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat, ataupun niaga. Dan satunya
lagi berkaitan dengan kelompok (maksudnya, para sufi) yang melakukan
latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang
ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke
rasa yang lain, atau pun menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan
dengan hal itu semua.”17 Al-Ghazali sendiri dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al-
Din, menyebutkan kedua jenis ilmu ini sebagai ‘ilm syar’iyyah dan ghair
syar’iyyah18 namun karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral
dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka
lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan
validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang
sah. Sekalipun al-Ghazali lebih condong pada ilmu-ilmu agama dengan
menganggapnya fardhu ain bagi setiap Muslim untuk menuntutnya,
dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah
untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut
kedua kelompok ilmu tersebut, yang sekaligus merupakan pengakuan
terhadap validitas ilmu-ilmu umum tersebut sebagai ilmu atau sains. Bahkan
untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, dia
menganjurkan agar umat Islam mempelajarinya dengan seksama. Al-Ghazali
lebih lanjut mengatakan dalam kitab Ihya’,
“Akal memerlukan Syara’ dan Syara’ membutuhkan akal. Orang yang
mengajak kepada taklid murni dengan mengesampingkan akal secara
total adalah bodoh. Dan orang yang mencukupkan hanya dengan
akal, tidak melihat cahaya al-Qur’an dan Al-Sunnah, dia adalah
orang yang tertipu. Hati-hatilah jangan sampai anda menjadi salah

16
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.169
17
Al-Taftazani,Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92.
18
Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu, Bandung, Mizan, 2005, h. 45
137

satu dari keduanya. Jadilah orang yang mampu menyatukan akal dan
syara’, yang menjadi sumber (dasar). Sebab ilmu-ilmu aqliyah
bagaikan makanan, sedang ilmu syara’ bagaikan obat-obatannya.
Sebagian orang mengira bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu bertentangan
dengan ilmu-ilmu syar’iyah dan keduanya tidak dapat dipadukan.
Ketahuilah, dugaan semacam itu adalah dugaan orang yang buta
hatinya, bahkan bisa jadi orang tersebut menganggap bahwa
sebagian ilmu syari’ah bertentangan dengan ilmu syariah yang lain,
sehingga keduanya tidak dapat dipadukan, lantas dia menyangka
bahwa terdapat pertentangan dalam agama yang membuatnya
bingung dan akhirnya keluar dari agama sebagaimana keluarnya
bulu/rambut dari adonan(tepung yang dicampur dengan air). Kami
mohon perlindungan kepada Allah dari perilaku seperti itu.”19

Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai


mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Al-
Thusi dalam karyanya, al-Luma’, mengomentari perbedaan ilmu lahir dan
ilmu batin atau antara ilmu riwayah dan dirayah, sebagai berikut: “Syari’at
adalah suatu ilmu. Dan itu adalah suatu nama yang mengandung dua
pengertian: riwayah dan dirayah. Jika keduanya terhimpun, maka jadinya
adalah ilmu syari’at yang menyerukan amal-amal lahir dan batin. Amalan-
amalan lahir, sebagai amal-amal tubuh luar, terkadang merupakan ibadah dan
terkadang merupakan hukum. Bersuci, shalat, zakat dan lainnya adalah
ibadah. Bahkan hukum, misalkan pidana, thalaq dan lain-lain, dikaitkan pada
tubuh luar. Sementara amal-amal batin, sebagai amal kalbu, adalah mengenai
tingkatan dan keadaan, misalkan iman, yakin, jujur, ikhlas, dan lain
sebagainya. Jika disebut ilmu batin, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal
batin yang berkaitan dengan anggota tubuh dalam, yaitu kalbu. Sebaliknya
jika disebut ilmu lahir, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal lahir yang
berkaitan dengan anggota tubuh luar.”20

19
Al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din…, h. 16-17.
20
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92.
138

Dengan uraian al-Thusi di atas tampak jelas bahwa para sufi, dalam
menyebut ilmunya dengan ilmu batin atau dirayah ataupun sebutan lain yang
serupa, membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoritis, yang berkaitan dengan
hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum
tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama ialah
fiqh atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Namun
keduanya tetap dalam bingkai syari’ah sebagai sebuah ilmu. Tegasnya,
tasawuf –seperti juga halnya fiqh- merupakan bagian belaka dari syari’ah.
Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tak terpisahkan, dan
saling membutuhkan, karena keduanya tetap berada pada frame syari’ah,
sebagai sebuah narasi besar dalam Islam. Pembedaan kedua ilmu itu tentu
saja relatif. Pada hakikat dan kenyataannya, kedua ilmu tersebut tidaklah
berbeda. Sebab yang satunya (ilmu batin) adalah buah dari yang lainnya (ilmu
lahir). Ketika seorang hamba Allah secara sempurna melaksanakan hukum-
hukum agamanya, di mana kalbunya menghadap Allah serta menempuh jalan
lurus dalam perjalanannya, secara otomatis dia meraih ilmu batin.
Dan pada statemen al-Ghazali di atas nampak jelas bahwa kedudukan
akal (yang menjadi salah satu komponen utama dalam menggali dan
memproduk hukum syara’:fiqh) tidak kalah pentingnya dengan syara’.
Bahkan orang yang menyangka bahwa terdapat pertentangan antara sebagian
ilmu aqliyah dengan ilmu syara’ atau justru ilmu syara’ dengan ilmu syara’
yang lainnya adalah keliru. Mengesampingkan totalitas akal dan bersandar
hanya dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah kebodohan, sementara
mencukupkan akal tanpa landasan al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang
tertipu dan bisa menyebabkan keluar dari agama ini. 21

21
Penulis mengutip dan memaparkan pendapat al-Ghazali di atas dalam kaitannya dengan
masalah integralitas ilmu, karena; fiqh tergolong ilmu syar’iyah melalui pendekatan ijtihad (rasio)
dan berarti juga tergolong ilmu aqliyah dilihat dari sisi penggunaannya, sedang tasawuf tergolong
ilmu syar’iyah namun lebih cenderung melalui pendekatan intuitif.
139

Terlihat jelas bahwa kedua disiplin ilmu ini terintegrasi dalam prinsip
dan sumber dan tujuan utama, yaitu Allah, atau sebagaimana pendapat yang
diutarakan oleh Mulyadhi Kartanegara yaitu Tauhid. Konsep tauhid tentu saja
diambil dari formula konvensional Islam “La Ilaha Illallah” yang artinya
“tidak ada tuhan melainkan Allah” yang juga telah menjadi prinsip yang
paling utama sehingga ia juga telah menjadi asa pemersatu atau dasar
integrasi ilmu pengetahuan manusia.22

C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama

1. Pluralisme dalam masyarakat Islam


Jika kita ingin mempertegas lahirnya pluralisme dalam
masyarakat Islam, maka prinsip pertama yang mendukung pluralisme
dalam masyarakat Islam adalah bahwa pluralisme itu sendiri merupakan
kebebasan. Bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan
kebebasan berfikir, sebagai dasar pluralisme, dan pluralism sebagai
manifestasi dari kebebasan berfikir. Pengertian keesaan Allah (tauhid)
berarti meniscayakan pluralitas selain Dia dan kebebasan adalah suatu
yang sangat diterima oleh bahasa agama. Karena kebebasan merupakan
prinsip dasar, dan segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, hingga
ada nash al-Quran yang mengharamkannya. Apalagi kita menyadari
bahwa Hikmah merupakan salah satu sumber kebijakan dalam Islam.
Dengan Hikmah, manusia akan terhindar dari fanatisme, ketertutupan
dan membatasi diri hanya pada apa yang didalam kitab. Nash yang
mempertegas masalah ini ada dalam al-Quran itu sendiri23
Kebebasan berfikir dan berkeyakinan didalam Islam tidak pernah
dibatasi, kecuali jika kebebasan itu menciptakan kondisi negatif dan
melahirkan bencana ditengah masyarakat. Seperti memperlakukan
kebebasan sebagai kesempatan untuk mencaci dan menghina orang lain.
Adapun kebebasan yang didasarkan pada logika dan argumentasi, maka

22
Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu…, h.32
23
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi al-
Mujtama’ al-Islamiy, (|Jakarta : Menara, 2006), h.107
140

tidak boleh dibatasi sama sekali. Sedang kebebasan dalam aktivitas


ekonomi dan politik, maka batasannya hanya satu, yaitu keadilan.
keadilan inilah yang menjadi batas bagi setiap kegiatan ekonomi dan
politik, agar kebebasan itu tidak berubah menjadi kekuatan yang
menindas dan mengekang rakyat24
Selama dasar dari pluralisme adalah kebebasan, maka pluralisme
yang ada didalam masyarakat Islam tidak berbeda dengan pluralisme
yang ada pada masyarakat lainnya. Perbedaan hanya ada pada derajat dan
kadar pluralisme itu, bukan pada bentuk dan caranya. Iman kepada nilai-
nilai Islam yang tertanam dengan kuat akan menghalangi lahirnya
kondisi yang tak terkendali dan penyimpangan yang kini menodai
penerapan pluralisme dalam sebagian masyarakat Eropa dewasa ini.
masyarakat Islam, walau ia bagian dari masyarakat manusia yang tunduk
dibawah hulum-hukum obyektif, namun ia memiliki karakter khusus
yang membedakannya dari masyarakat lainnya. Ini bila masyarakat Islam
tidak kehilangan karakternya itu25.

2. Pluralisme Agama dalam Al-Quran


Al-qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-
pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi
otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain al-qur’an. Maka, al-qur’an
merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme
agama dalam al-qur’an.
Secara normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan
menolak sikap eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran)
secara sepihak yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut
agama-agama, termasuk para penganut agama Islam. Munculnya klaim
kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa kepada konflik
dan pertentangan yang menurut Abdurrahman Wahid, merupakan akibat
dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan penganut agama

24
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.107-108
25
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.109
141

dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki.
Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di
dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam
Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa
setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan
tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda,
semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa saja berbeda-
beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu
titik yang sama yakni Allah swt.
Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam al-
qur’an, banyak ditemukan dalam terminologi yang merujuk kepada
komunitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab utu al-Kitab, utu
nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara,
al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an disamping
membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga
memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-
masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural
menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan
keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi.
memang pada dasarnya tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan
Islam adalah bersudara, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu
sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as.
Kita tahu bahwa salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah
percaya kepada para nabi dan rasul. Al-Quran menyebutkan bahwa Allah
telah mengirimkan nabi dan rasul untuk setiap golongan umat manusia.
Sebagaimana ayat yang tertera diatas. Nabi Muhammad saw pernah
menjelaskan (dalam hadis yang diriwayatkan olah Ahmad, bahwa berkata
kepada abu dzar) bahwa jumlah keseluruhan nabi dimuka bumi
142

sepanjang masa ada 124.000 orang dan dari kalangan mereka itu 315
adalah rasul26.
Para nabi dan rasul itu diutus dengan bahasa kaumnya masing-
masing (QS. 14 : 4)27, namun semuanya dengan tujuan yang sama yakni
mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti
pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban manusia untuk
menghambakan diri kepada-Nya (QS. 21 :25)28.
Selain ajaran tauhid (mengesakan Tuhan), para rasul juga
menyerukan perlawanan kepada thagut yakni kekuasaan/kekuatan jahat
dan zalim (QS. 16 :36)29.
Kaum beriman harus mempercayai nabi dan rasul tersebut tanpa
membeda-bedakan seseorangpun diantara mereka dengan sikap berserah
diri karena para nabi dan rasul adalah orang-orang yang berserah diri
kepada Tuhan (QS. 2:136) dan (QS. 3:84)30

26
Jumlah tersebut adalah para nabi sejak nabi Adam as. Sampai kepada nabi Muhammad
saw. Sebagian dari mereka ada yang tersebutkan nama dan kisahnya didalam al-Quran, tetapi
sebagian besar tidak dikisahkan dalam al-Quran. Sebagian dari mereka (yang dikisahkan al-
Quran) adalah para rasul atau tokoh-tokoh taurat dan Injil, dan dapat dikatakan semuanya itu (yang
dikisahkan al-Quran) berasal dari bangsa semit. Lihat … : Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas
Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta : Paramadina, 2004), Cet.5, h. 18-19
27
(QS. 14 : 4) : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki.Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan terjemahnya..., h.379
28
(QS. 21 :25) : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.498
29
(QS. 16 :36) : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.407
30
(QS. 2:136) : Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan
apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub
dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.35
(QS. 3:84) : Katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-
anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak
143

Inti agama dari semua rasul adalah sama : (QS. 42:13), dan umat
serta agama agama seluruhnya adalah umat dan agama yang tunggal (QS.
21:92 dan QS. 23:52) 31
Sementara din atau agama itu sama kepada setiap golongan dari
kalangan umat manusia dan Allah menetapkan syir’ah atau syari’ah
(jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak
menghendaki umat manusia itu satu dan sama. Allah menhendaki agar
mereka saling berlomba-lomba menuju kebaikan. Seluruh umat manusia
akan kembali kepada-Nya kelak, dan Dialah yang akan membeberkan
hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5:48)32.
Al-Quran juga menjelaskan bahwa untuk setiap umat telah
ditetapkan uapacara keagamaan atau mansak (jamak : manasik) (QS.
22:67-68)33. Berkaitan dengan hal ini adalah keterangan dalam al-Quran
bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”

membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan


diri. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.90
31
(QS. 42:13) : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-
Nya). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
(QS. 23:52) : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. Al-Qur’an dan terjemahnya...,
h.532
( QS. 21:92) : Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama
yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.507
32
(QS. 5:48) : Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya..., h.168
33
(QS. 22:67) : Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka
lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan
serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.
(QS. 22:68) : Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah :"Allah lebih mengetahui
tentang apa yang kamu kerjakan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya…, h.522
144

tempat mengarahkan diri) yang dilambangkan dalam konsep tentang


tempat suci seperti Ka’bah dan Masjidil Haram untuk kaum Muslim.
Setiap golongan tidak perlu mempersoalkan wijhah tersebut, yang
terpenting adalah bagaimana mereka dapat saling berlomba menuju
kebaikan. Dimanapun manusia berada, Allah akan mengumpulkan
mereka menjadi satu (jami’an ) (QS. 2:148)34.
Terdapat pebedaan pendapat dikalangan para ulama tentang,
apakah Ahli Kitab yang dimaksudkan didalam al-Quran hanyalah untuk
golongan dari Yahudi dan Nasrani serta keturunan Israel, ataukah
bangsa-bangsa lainnya? Dalam konteks ini, apakah golongan dari kaum
Majusi (Zoroaster), Shabi’iin atau penganut agama Hindu, Budha, Kong
Hu Cu dan penganut Confusius termasuk dalam Ahli Kitab?
Rasyid Ridho membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya
mengenai QS. 5:5 berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita
Ahli Kitab. Rasyid Ridho menegaskan bahwa diluar kaum Yahudi dan
Nasrani juga terdapat Ahli Kitab, pembahasan ini dapat ditemukan dalam
tafsir al-Manar yang isinya adalah sebagai berikut:
“Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan Shabi’in.
karena kaun Shabi’in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan
Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur, berbeda
dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu
diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam urusan jizyah saja,
dan mereka meriwayatkan sebuah hadis dalam hal ini,
“Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli
Kitab, tanpa memakan sesembelihan mereka dan menikahi
wanita mereka”. Tetapi pengecualiaan ini tidak benar,
sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis, namun hal itu
terkenal dikalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua
kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka
kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu. Pendapat para ahli
fiqih itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya
sebelum saya menemukan kutipan dari salah seorang kaum salaf
kita dan ulama-ulama ahli agama dan sejarah dari kalangan kita,

34
(QS. 2:148) : Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.38
145

dan telah pula saya sebutkan dalam al-Manar beberapa kali.


Kemudian saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq
karangan Abu Manshur ‘Abd-al-Qahir ibn Thahir al-Baghdadi
(w.426 H) dalam konteks pembahasan tentang kaum Bathiniyah
: “Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zaratustra dan
turunnya wahyu kepadanya dari Allah, kaum Sabiin
mempercayai kenabian Hermes (Idris), Plato dan sejumlah filsuf
serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari
mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-
orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka
katakana bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan,
berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta
tentang surge dan neraka yang disana ada balasan bagi
perbuatan yang telah lewat”. Kemudian dia (al-Baghdadi)
menyebutkan bahwa kaum Bathiniyah mengingkari itu semua.
Yang nampak bahwa al-Quran menyebut para penganut agama-
agama terdahulu, kaum Majusi dan Sabiin, dan tidak menyebut
kaun Brahma (Hindu), Buddha dan para pengikut Konfusius
karena kaum Majusi dan Sabiin dikenal oleh bangsa Arab yang
menjadi sasaran mula-mula alamat al-Quran, kaum Majusi dan
Sabiin itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan
Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan
perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka
mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah
tercapai dengan menyebut agama-agama yang dikenal (oleh
bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang
terasa asing (ighrab) dengan menyebut golongan yang tidak
dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu dimasa
turunnya al-Quran, berupa penganut agama-agama yang lain.
Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang
menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan
membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha dan
lain-lain” 35.

Berdasarkan keterangan diatas, konsep Ahli Kitab merupakan


kemajuan yang luar biasa dalam sejarah agama-agama sepanjang zaman.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keunggulan konsep-konsep al-
Quran dan sunnah perlu dipahami secara komprehensif dan dalam kaitan
sistemiknya yang lengkap. Konsep Ahli Kitab sebagaimana halnya
dengan ajaran prinsipil lainnya yang memerlukan penjabaran operasional

35
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis…, h. 51-52
146

dan praktis dalam konteks ruang dan waktu36. Dalam konteks penjabaran
tersebut ditujukan guna memberikan respon yang tepat terhadap kaum
Ahli kitab sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan al-Quran
(QS. 42:15) tentang perintah bersikap (umat Islam) kepada Ahli Kitab37
Dalam kacamata kaum sufi, seluruh umat manusia dipandang
sebagai kesatuan makhluk yang bernaung dibawah kasih sayang Tuhan.
Para sufi mengajarkan tentang landasan cinta dalam memandang segala
ciptaan Tuhan. Landasan cinta merupakan titik berpijak bagi mereka
untuk melihat orang lain. Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa
mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Tuhan tidak membeda-
bedakan agama manusia. Terkait dengan wacana ini, Kabir Helminski
menyatakan bahwa “mereka yang hidup dengan bimbingan pesan al-
Quran harus mengakui bahwa kasih sayang, kemurahan dan rahmat yang
dilimpahkan Tuhan melalui semua agama, dan setiap yang ada. Sifat-sifat
Tuhan mengalir tidak hanya kepada mereka yang beriman, namun juga
kepada mereka yang beriman”38
Bagi para sufi, cinta pada hakikatnya adalah tujuan aktivitas
seorang hamba. Cinta merupakan kekuatan yang sangat vital dalam
berlari menuju Tuhan. Menurut Jalaludin Rumi, “kematian terburuk
adalah hidup tanpa cinta”. Dalam sebuah syairnya ia berkata : “Betapa
lama percakapan ini, figur-figur ini bicara metafora ini? Aku ingin
membakar, membakar mendekati diri-Mu sendirian ke kobaran itu.
Kobarkan api cinta dalam jiwa-Mu dan bakarlah semua pikiran dan
segala konsep”39

36
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis…, h.52-53
37
(QS. 42:15) : “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah:"Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)". Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
38
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.146-147
39
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.149
147

Rumi meyakini melalui ajaran tentang cinta inilah yang dapat


menembus sekat-sekat perbedaan diantara manusia, dan tugas utama
manusia adalah kembali pada rahmat (baca : cinta) yang telah
menyatukan keragaman kedalam kesatuan. Hal senada juga dikatakan
Javad Nurbakhsh, bahwa hanya dengan cinta lah umat manusia dapat
meninggalkan perbedaan menuju pada tujuan yang satu (baca : Tuhan),
melalui cinta kita dapat menghayati aktivitas ibadah ketika ditampilkan
dengan hati yang tulus, menuju sebuah tujuan, dan yang datan dari
sumber yang sama40
Dalam al-Quran (2: 213) dijelaskan bahwa manusia diciptakan
dari umat yang satu, namun disebabkan oleh faktor-faktor yang meliputi
manusia itu sendiri menjadi berbeda. Kesatuan manusia dapat dipahami
dalam lingkup yang luas. Pertama; kesatuan asal-usul kejadian awal
manusia pertama (asal penciptaan) dan kedua; kesatuan ketuhanan atau
keagamaan.41

‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﻝﹶ ﻣ‬‫ﺃﹶﻧﺰ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﹺﻳﻦ‬‫ﻨﺬ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺸ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ﺚﹶ ﺍﷲُ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺓﹰ ﻓﹶﺒ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻨ‬
‫ﻳﻦ‬‫ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹶﻒ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻴﻤ‬‫ﺎﺱﹺ ﻓ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺤ‬‫ﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻖ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻜ‬
‫ﻠﹶﻔﹸﻮﺍ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﺍ ﻟ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻯ ﺍﷲُ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﺪ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻐ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺂﺀَﺗ‬‫ﺎﺟ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﻦ ﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺃﹸﻭﺗ‬
(٢١۳ : ‫ﻴﻢﹴ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻁ‬‫ﺮ‬‫ﺂﺀُ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻ‬‫ﺸ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﻱ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺍﷲُ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻓ‬

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul


perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang
telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
merekaperselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah

40
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.151
41
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.201
148

selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada


jalan yang lurus”. (QS. 2:213)42

Setiap individu bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, demikian


pula setiap bangsa atau umat. Jika mereka membiarkan diri mereka
berlaku tidak adil, mereka akan celaka. Namun, jika mereka memilih
jalan keadilan dan pengetahuan, mereka akan terselamatkan. Meskipun
karakter setiap individu atau bangsa berbeda-beda, tetapi hukum-hukum
yang mengatur nasib mereka sama. Jika semua individu bertanggung
jawab dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Tuhan, maka akibatnya
segala permasalahan bangsa akan ditangani dengan baik oleh orang-
orang yang dituntun Tuhan; orang-orang yang layak menjadi penjaga
kebenaran dan keadilan dimuka bumi ini43.
Kecenderungan tertinggi manusia adalah menuju realitas, petunjuk
kebenaran sejati tidak akan datang dengan bergabung pada satu
kelompok atau memeluk suatu agama yang didefinisikan secara khusus
oleh para penyebarnya. Petunjuk kebenaran tergantung pada
kecenderungan seseorang menggapai pengetahuan tauhid. Ini sama
dengan Ibrahim, dimana dia tidak menduakan perjalanan menuju Tuhan44
Jika hanya sekedar terlahir dalam keluarga Islam, atau menyebut
dirinya muslim, maka ia tidak akan diubah oleh Islam. Muslim sejati
adalah orang yang dengan sadar dan rendah hati tunduk kepada sang
pencipta. Dia adalah hamba yang ikhlas dalam menjunjung kehendak dan
hukum Allah dalam menegakkan keadilan Allah. Dia penuh belas kasih
serta tidak mengenal takut disetiap tempat dan waktu. Inilah (99) Tuhan
menjaga setiap orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Dia merahmati
mereka. Dia menuruti segala prasangka hamba-Nya. Hanya Dialah satu-
satunya sumber kedamaian45

42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.51
43
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.95
44
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.96
45
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.111
149

Menyikapi makna Islam diatas Munthahhari membagi Islam


kepada Islam al-Jughrafy dan Islam al-waqi’i. Menurutnya, Islam al-
Jughrafy atau disebut Islam fisik adalah mereka yang lahir, hidup dan
mati dalam lingkungan Islam. Meskipun mereka tidak memeluk Islam
dengan sebenar-benarnya namun mereka tetap dikatakan Islam. Muslim
seperti ini hanyalah muslim tradisional (dari latar geneologi Islam) dan
muslim geografi (dari kalangan/wilayah yang mayoritas beragama
Islam). Kemudian, yang kedua adalah Islam al-waqi’i, Islam seperti ini
adalah Islam aktual. Inilah Islam yang memikul nilai ruhiyyah
samawiyyah. Menurut Munthahhari, Islam aktual adalah Islamnya orang
yang sedah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia meyakini dan
menerima kebenaran melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada
orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima
kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam,
Tuhan tidak akan mengazabnya, mustahil Tuhan menghukum orang
diluar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui
kebenaran Kristen dan mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia
sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus46.
Agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar
dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan
tersebut merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang
diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu
sendiri adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul
dari dunia metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama
bersifat pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama
merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan
kebutuhan dan keinginan umum (universal) dari hati manusia.
Berdasarkan kerangka ini, maka harus disusun suatu agama universal
yang memenuhi kebutuhan segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi.

46
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,
(Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,2006), h. 48-51
150

Ajaran-ajaran agama digali, diambil dan dituangkan untuk kemudian


diberlakukan secara universal. Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap
tinggal pada agamanya masing-masing, tetapi dalam agama tersebut
harus dihidupkan unsur-unsur yang baik dari agama lain sehingga tercipa
“koeksistensi religius” bagaikan sungai-sungai besar mengalir menjadi
satu47
Maka dalam konteks agama-agama, yang harus menjadi pijakan
adalah kesadaran tentang keragaman syariat. Sebagai jalan menuju
Tuhan, syariat disebutkan dalam al-Quran tidak hanya satu. Setiap umat
mempunyai syariat yang bertujuan untuk menguji mereka dan berpacu
dalam kebaikan. Tuhan sebenarnya mempunyai kekuasaan untuk
menjadikan syariat dalam satu bentuk. Tapi Dia memilih untuk
menjadikan anekaragam syariat agar setiap hamba-Nya memilih yang
sesuai dengan kehendak hati nurani dan akal budinya (QS. Al Maidah, 5:
48)

‫ﻪ‬ ‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ﻴ‬‫ﻬ‬‫ﻣ‬‫ﺎﺏﹺ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻗﹰﺎ ﻟﱢﻤ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ ﻣ‬‫ﻖ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ﻚ‬‫ﺂﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﻜﱡﻞﱟ ﺟ‬‫ ﻟ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺂﺀَﻙ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺁﺀَﻫ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺒﹺﻊ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶﺗ‬‫ﻝﹶ ﺍﷲُ ﻭ‬‫ﺂﺃﹶﻧﺰ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻜﹸﻢ ﺑ‬‫ﻓﹶﺎﺣ‬
‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹸﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﻟﱢﻴ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﻠﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺂﺀَ ﺍﷲُ ﻟﹶﺠ‬‫ ﺷ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺎﺟ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻨﻜﹸﻢ‬‫ﻣ‬
‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ﺎ ﻛﹸﻨﺘ‬‫ﺌﹸﻜﹸﻢ ﺑﹺﻤ‬‫ﺒ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻓﹶﻴ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺟ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺟﹺﻌ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﷲِ ﻣ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺒﹺﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﺂﺀَﺍﺗ‬‫ﻣ‬
(٤۸ ‫ﻔﹸﻮﻥﹶ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬‫ﻠ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ﺗ‬

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan


membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-
Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
47
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202
151

diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan


itu” (QS. Al Maidah, 5: 48)48

Akal budi merupakan salah satu anugerah Tuhan kepada manusia


yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Keanekaragaman dalam
syariat secara sosiologis diperkuat oleh kenyataan bahwa Tuhan
mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan peringatan.
Tidak hanya itu, para nabi juga dibekali kitab suci sebagai pegangan bagi
tata khidupan yang lebih baik. Kitab suci tersebut diharapkan dapat
menjadi penengah diantara berbagai masalah yang dihadapi oleh setiap
umat

‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﺑﹺ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺻ‬‫ﺎﻭ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺣ‬‫ﻱ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻮﺣ‬‫ ﻧ‬‫ﻰ ﺑﹺﻪ‬‫ﺻ‬‫ﺎﻭ‬‫ﻳﻦﹺ ﻣ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﻉ‬‫ﺮ‬‫ﺷ‬
‫ﲔ‬‫ﺮﹺﻛ‬‫ﺸ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺒ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻗﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗ‬‫ﻴﺴ‬‫ﻋ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺇﹺﺑ‬
( ١۳ ‫ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ‬‫ﻨﹺﻴﺐ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻳ‬‫ﺂﺀُ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺘ‬‫ﺠ‬‫ ﺍﷲُ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻢ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺗ‬‫ﻣ‬
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy- Syura, 42 :13)49

Islam tidak hanya mengakui sebagai agama yang mendahuluinya


dan mendukung kebebasan beragama saja. Tetapi lebih dari itu, Islam
memiliki tujuan yang lebih jauh untuk merealisasikan manusia tertinggi.
Tujuan itu adalah adanya persatuan yang menyeluruh di antara umat
beragama untuk beriman kepada Allah, tanpa membeda-bedakan para
utusan Allah.

48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168
49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
152

Empat konsep dasar (tetralogi) etika religious Al-Quran yang juga


mengandung gagasan paling penting mengenai kemanusiaan (idea of
hummanity), khususnya dalam masalah hubungan sosial antarumat
beragama adalh iman, islam, ihsan dan taqwa50.
Istilah iman dan kafir atau bentuk-bentuk personal yang
berhubungan, mu’min dan kafir adalah dua dari konsep religio-etis yang
paling penting dan merupakan pusat dari selituh pemikiran Al-Quran.
Secara semantic, istilah iman ini berasal dari akar kata a-m-n yang berarti
“aman”, “mempercayakan”,”berpaling kepada”, “keyakinan yang baik”,
“ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan” 51.
Akar kata a-m-n juga berarti “damai”, “tidak menghadapi
bahaya”, atau “merasa aman dan terlindungi” serta berarti “pikiran
merasa damai”. Bentuk keempatnya (amanat) mengandung makna
ganda, yaitu “percaya” dan “menyerahkan keyakinan”.
Iman sebagai respons pribadi kepada Tuhan, tidak dapat di batasi
pada komunitas sosio-religius tertentu. Tetapi, iman sebagai keyakinan
batin terdapat bersifat universal dan berlaku setiap manusia, termasuk di
luar komunitas sosio_religios mukminun. Penolakan terhadap universal
iaman ini, akan mengarah kepada penolakan universal Tuhan sendiri; dan
penolakan terhadap universal Tuhan, berarti kufr52.
Berarti bahwa iman tidak di batasi oleh komunitas formal
keagamaan, melainkan setipa individu yang menjalankan berbagai
cabang keimanan tersebut, dapat di sebut sebagai seorang mukmin.

50
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.130
51
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.130
52
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.135
153

Istilah al-Islam dalam Al-Quran mengandung pesan universal


yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk patuh, memahaesakan Tuhan
(bertauhid), bersikap pasrah dan mengikhlaskan diri dalam beribadah
kepada-Nya53. Dalam pemahaman ini, maka al-Islam mencakup agama-
agama yang beragam dan segala bentuk kewajiban, praktik keagamaan
dan apa-apa yang telah menjadi bagian (keyakinan) mereka. Sehingga
menurut Ridha, muslim sejati adalah orang yang tidak ternodai oleh dosa
syirik, mengikhlaskan (tulus) dalam tindakan atau amalnya dan memiliki
iman, dari komunias agama apapun, kapanpunm dan di tempat asal mana
pun.
Secara ringkas, konsep etiko-religius iman maupun islam
memiliki makna dasar yang sama, yakni “selamat: atau “memberikan
keselamatan” dan “aman” atau “memberikan rasa aman”. Dalam konteks
kebinekaan agama, seseorang yang mengaku mukmin atau muslim, maka
ia harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada yang lainnya,
termasuk terhadap kaum beriman yang berbeda agama.
Ihsan adalah kebaikan “tersembunyi” yang melampaui keadilan.
Dalam pengertian ini, maka ihsan lebih tepat diartikan sebagai
“kearifan”, bukan sekedar kebaikan, melainkan melampaui kebaikan-
kebaikan54.
Dalam konteks pluralisme agama atau hubungan sosial antarumat
beragama-sebagaimana akan dijelaskan nanti—Al-Quran secara khusus
memerintahkan untuk bersikap arif dalam melakukan dialog antar agama
(Q.S .Al-Ankabut, 29 : 46)55

53
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.137
54
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.159
55
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami telah beriman
kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan
Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan terjemahnya..., h.635)
154

Ihsan dalam pengertian kearifan inilah yang merupakan pesan


dasar atau menjadi spiritualias agama-agama. Dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah, 2 : 11256, kata ihsan ini disebut dengan kata Islam sebagai
logika kebajikan universal.
Taqwa merupakan pesan dasar keagamaan yang sama bagi semua
komunitas pemilik Kitab Suci. Taqwa itu merupakan wasiat atau pesan
(keagamaan) lama yang selalu dipesankan oleh Tuhan kepada hambanya,
tidak ada yang dikhususkan, karena melalui taqwa-sebagai sumber segala
kebaikan-mereka akan meraih kebahagiaan dia kesuksesan dalam
hidup57.
Dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13, “Sesungguhnya,
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling ber-taqwa.” Tuhan menegaskan religio etis taqwa ini sebagai
kriteria obyektif yang menjadi dasar hubungan antar bangsa, ras, suku,
dan termasuk antar manusia secara keseluruhan.
Dasar kemanusiaan yang ditunjukkan dalam teks diatas, adalah
visi egalitarianisme atau kesetaraan manusia dihadapan Tuhan. Dalam
konteks pluralism dan kerukunan antarumat beragama, visi
egalitarianism ini mendasari wawasan kesetaraan antar kaum beriman, di
mana antara mereka tidak ada yang lebih mulia atau kinasih Tuhan,
kecuali jika mereka menjalankan pesan ke-taqwa-an.
Dalam konteks kebhinekaan agama dan kesetaraan kaum
beriman, sekaligus yang menjadi spiritualitas agama-agama adalah
tawhid, iman, islam, ihsan dan taqwa. Seluruh konsep religio-etik ini
mengajarkan pesan yang sama, yaitu pertama, menghargai adanya
kebinekaan atau pluralisme beragama; dan kedua, mengakui
egalitarianisme (equality) atau kesetaraan kaum beriman.

56
“Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hatil”.(Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.30)
57
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…,
h.161
155

Konsep-konsep religio-etik ini pula yang menjadi dasar falsafah


etika Al-Quran, dimana konsep baik dan buruk dalam konteks hubungan
sosial antarumat beragama dapat didefinisikan, yaitu suatu hubungan
sosial antarumat beragama dapat dianggap baik menurut Al-Quran
apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
memahaesakan Tuhan (tauhid), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-
Nya (islam), serta sejalan dengan semangat prinsip keimanan. Kesalehan
dan religious ketaqwaan, yakni memberi memberikan rasa aman,
kedamaian dan perlindungan dari hubungan yang membahayakan.
Sebaliknya, suatu hubungan sosial antarumat beragama dianggap buruk
apabila keluar dari kerangka tauhid (prinsip memahaesakan Tuhan),
prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-Nya (Islam), serta tidak sejalan
dengan semangat prinsip keimanan, kesalehan dan religious ketaqwaan.
“Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap ummat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekanlah tempat mereka kembali, lalu Dia
memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan. “(Q.S Al – An’am, 6 :108)58

Klaim kebenaran (truth claim) ini merupakan karakteristik dasar


dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran,
Sebab, tanpa adanya truth claim yang oleh Withead disebut sebagai
dogma atau oleh Fazlur Rahman disebut sebagai normative (transedent
aspect), maka agama sebagai bentuk kehidupan (form of life) yang
distinctive tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik
pengikutnya. Ashley Montagu, salah seorang Anthropologi Barat,
menamakannya sebagai emosi keagamaan (religious emotional).
Menurutnya, emosi keagamaan merupakan salah satu unsur framework
agama yang bersifat universal.

58
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., 205
156

Seseorang belumlah dikatakan memahami ajaran Islam dan


menangkap intinya, jika, mengesampingkan konsep keadilan sosio-
ekonomi, persamaan jenis kelamin, ras dan kebebasan, serta menghargai
harkat dan martabat manusia.
Salah satu pemikiran penting dari doktrin tauhid bukan hanya
melahirkan kesadaran akan keesaan atau kesatuan ketuhanan (united of
god), melainkan juga harus melahirkan kesadaran akan kesatuan
kemanusiaan (united of makind). Jika Tuhan adalah Esa, maka umatnya
pun dalah esa, dalam arti bahwa manusia merupakan ummat yang satu,
dank arena itu memiliki derajat yang sama.
3. Kesatuan Teologis
Dalam pembahasan ini, penulis ingin menegaskan tentang
keberagaman teologis pada agama-agama. Keberagaman teologis
tersebut sebenarnya akan bertemu pada satu titik persamaan yang akan
kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan ini. Bila boleh disepakati
bahwa ide teologis adalah ide ketuhanan atau konsepsi ketuhanan yang
menjadi dasar ajaran pada setiap agama,maka konsepsi-konsepsi tersebut
akan mengacu pada keseragaman atau apa yang disebut sebagai kesatuan
ketuhanan
Berangkat dari ide wahdat al-Wujud yang mengajarkan bahwa
semua eksistensi yang ada pada dasarnya menuju satu substansi, maka
kesatuan teologis disini, mencoba mengajukan sebuah pemahaman
bahwa semua konsepsi tentang ketuhanan sebenarnya hanyalah ingin
menjelaskan tentang Tuhan itu sendiri yang oleh manusia dipahami
dalam bingkai-bingkai teologis yang berbeda.
Keberagaman teologis sepenuhnya adalah bagian-bagian yang
tersebar dalam pemahaman manusia tentang Tuhan. Keberagaman
teologis tersebut tidak lain adalah berbagai ungkapan yang dituju untuk
menegaskan tentang keesaan Tuhan. Keesaan Tuhan atau yang kita kenal
dengan istilah Tauhid adalah pokok ajaran agama-agama monoteisme.
157

Oleh sebab itu, pada agama-agama monoteisme akan terjalin suatu


kesatuan teologis59.
Secara lebih umum dan universal, maka kesatuan teologis
mencakup semua ide ketuhanan baik itu monoteisme ataupun politeisme,
karena Tuhan itu satu, Tuhan pencipta, Tuhan yang disembah adalah
Tuhan Yang Esa. Dalam hal ini, mengesakan Tuhan berarti meyakini
bahwa Tuhan seluruh umat manusia, Tuhan semua agama adalah Tuhan
yang sama, Tuhan yang Satu, Yang Esa. Inilah bukti pemurnian tauhid
yang sebenarnya.
Tauhid menolak adanya kontradiksi dan disharmonisasi pandangan
tentang Tuhan, karena itu dalam pandangan tauhid tidak dibenarkan
adanya eksistensi lain yang melebihi Tuhan. Puncak penegasan tauhid
dalam agama Islam adalah kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” yang berarti
“Tiada tuhan selain Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat
tersebut meniadakan “tuhan” ( dengan huruf “t” kecil) dalam pengertian
partikular yang dipahami berbeda/berlainan, selain “Tuhan” ( dengan
huruf “T” besar) dalam pengertian universal yang dipahami sebagai
pokok inti dari semua penyembahan menuju pada yang Satu). Oleh sebab
ia partikular maka dari segi etimologi “tuhan/ilah” berbeda dengan
Tuhan “Allah”. Kata ilah menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan
manusia dalam persepsi, pengenalan dan konsepsi manusia (yang juga
dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi dimana seseorang/masyarakat
itu hidup), tetapi kata “Allah” menunjukkan Tuhan yang Satu, Tuhan
yang wajib disembah, yang dapat diketahui/dikenal dengan peleburan
persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari berbagai
belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan (Ia yang sebenarnya)

59
Meskipun pada beberapa ajaran politeisme, tuhan-tuhan yang disembah adalah
Manifestasi sifat-sifat tuhan yang digambarkan melalui bentuk, tetapi sesungguhnya mereka
(penganut politeis) hanya mengimani (dan penyembahan mereka menuju) pada satu Tuhan saja.
Dalam hal ini, politeisme tidak dapat kita golongkan pada tingkatan syirik karena syirik yang
sesungguhnya adalah mengimani / tunduk pada selain Tuhan. Lihat : Mohammad Irfan dan
Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska
Agung Insani, 2000), Cet.I, h.24-28
158

hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani atau
pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama,
bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah.
Bila kita umat Muslim yang mengenal istilah asma al-Husna,
(sebagaimana kita ketahui bahwa asma al-Husna adalah nama-nama
yang mencerminkan sifat-sifat Allah) kemudian dari setiap nama-
nama/sifat-sifat Tuhan tersebut, kita memberi bentuk wujud sebagaimana
yang dilakukan kaum pagan, apakah kita jatuh kepada musyrik, bila yang
kita tuju atau kita imani hanya satu dari sekian banyak wujud manifestasi
tersebut?
Jawabannya bisa “ya”, bila kemudian manifestasi tersebut
membuat kita kehilangan inti tauhid, manifestasi tersebut menjadi
tandingan/sekutu bagi Tuhan, dan inilah yang terjadi pada masyarakat
paganisme, arab jahiliyah, dan umat-umat nabi terdahulu yang
menyimpang. Sehingga turun ajaran Islam. Oleh sebab itu Islam
mengharamkan praktek paganisme karena dapat mengubur kemurniaan
tauhid/keesaan Tuhan. Jawaban lainnya, bisa kita katakan “tidak” karena
bagi mereka yang belum sampai pengetahuan seperti yang diajarkan
Islam, tetapi mereka sama sekali tidak menyekutukan Tuhan,
sesembahan-sesembahan tersebut adalah upaya mereka menginterpretasi
kemahakuasaan Tuhan yang sulit untuk mereka kenali/definisikan. Itu
berarti wujud manifestasi tersebut sebagaimana rangkaian wujud-wujud
yang berasal dan menuju pada yang Satu.
Bila itu yang terjadi apakah Tuhan akan menghukum mereka
karena belum sampainya keterangan/petunjuk pada mereka dan dari
keterbatasan pengetahuan mereka, sedangkan mereka dengan sepenuhnya
menghamba kepada Tuhan tanpa menyekutukannya?
159

Bagi kita umat Islam, yang telah sampai kepada kita ajaran tauhid,
maka semestinya kita dapat memahami dan membedakan bentuk
penyembahan yang benar dan yang salah, apa yang dikatakan musyrik
dan kafir, bukan menjatuhkan vonis negatif kepada umat lain hanya
dengan alasan berbeda keyakinan/agama.
Dengan demikian sesungguhnya banyak diantara umat Islam yang
belum memahami dengan benar dan utuh inti ajaran tauhid ; yang berarti
pembebasan (kepada) Tuhan dari berbagai hal yang dapat membatasinya,
dan tanpa kita sadari, mungkin hingga saat ini kita masih membatasi
keesaan Tuhan dengan pengetahuan yang relatif tentang-Nya.
Pengakuan pada keesaan Tuhan (kesatuan ketuhanan) berarti juga
pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dalam hal ini tauhid mencakup tiga aspek yakni aspek teologis
(ketuhanan), kosmologis (kealaman), dan antropo-sosiologis
(kemanusiaan). Tiga elemen pokok ini bukan hanya dibahas oleh Islam
tetapi juga oleh agama-agama lainnya60
Ismail Raji al-Faruqi menyatakan. Ismail Raji al-Faruqi
menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber
pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini
disebut Ur-Religion, atau agama fitrah (din al-Fithrah) yang bersifat
meta-religion, sebagaimana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu
kepada (Allah) dengan lurus; tetaplah pada fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia diatas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. 30: 20). Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama
fitrah” ini. tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan
sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya, “agama fitrah”

60
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.28
160

atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi agama historis atau


tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural)61
Ia juga menyatakan bahwa mengakui Tuhan dan keesaanNya
berarti mengakui kebenaran (QS. 11: 14, 14: 52, 16:2, 23:23,116, 39:5)
dan kesatu-paduannya62. Kebenaran yang banyak (pluralitas kebenaran)
itu didapatkan secara beragam pula oleh manusia untuk memahami
kebenaran yang satu, atau kebenaran mutlak. Kebenaran yang mutlak
adalah Tuhan itu sendiri, sumber dan pemilik kebenaran. Keesaan Tuhan
dan kesatuan kebenaran tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan
aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini menjadi jelas karena
kebenaran adalah satu sifat dari pernyataan tauhid, bahwa Tuhan itu
tunggal. Ini berarti bila kita memahami kebenaran itu satu, berarti kita
telah mengakui adanya kesatuan kebenaran, dan memahami Tuhan itu
satu, berarti mengakui adanya kesatuan Tuhan63.
Dengan tauhid seorang muslim diarahkan untuk memiliki
pengetahuan yang benar dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan
yang adanya wajib ada (Tuhan), menolak segala bentuk kontradiksi dan
paradoks dan sebaliknya mengakui keteraturan dan keharmonisan agar
tidak terjebak dalam skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut-
relatif dan relatif-absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran
mutlak (absolut) adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam
semesta dalam pola kerja sunnatullah (hukum kehidupan, hukum alam)

61
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.156
62
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.32
63
Kita sering terjebak dengan kata “kesatuan” atau wahdat, yang sesungguhnya dimaksud
bukanlah menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran, perbedaan-perbedaan yang ada itu
tetap pada porsinya masing-masing sebagai identitas yang mandiri namun disisi lain, identitas-
identitas mandiri tersebut memiliki hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Pandangan yang menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran (menurut penulis)
jelas sangat keliru. Karena bagaimana kita mengatakan kesatuan tanpa adanya keragaman,
kesatuan berarti memelihara keragaman. Inilah poros dan sistem yang berlaku dan tidak berubah.
Begitupun sebaliknya, kata keragaman atau plural (baca : pluralisme) berarti menunjukkan adanya
kesatuan dalam perbedaan/keragaman. Yang satu tersebut muncul (aktual/aktif) secara berlainan
sebagai unsur dalam suatu sistem, kesatuan bukan berarti kesamaan. Karena “sama” yang
dimaksud dalam hal sumber dan tujuan, tetapi wajib berbeda dalam hal fungsi dan eksistensinya.
161

sehingga kebenaran tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya


(seseorang, kelompok atau yang lainnya) yang harus diimani secara
mutlak akan tetapi itu akan menjadi relatif (bagian dari) pada kebenaran
yang lain, dengan pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah (hukum
alam) tetap terjaga. sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif
(yang diperoleh manusia) itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama
ia tidak dipengaruhi oleh keinginan (nafsu) dan sangkaan (dzan) yang
negatif, atau dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan
tidak hilang, karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola
kerja kehidupan dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan
istilah tajalli (pancaran) Tuhan64.
Lebih lanjut dikatakan bahwa yang benar tersebut tidak mutlak,
karena yang mutlak adalah Tuhan dan hanya ada dalam pengetahuan-Nya
sedangkan manusia hanya menangkap tajalli Tuhan sesuai dengan
kemampuannya memahami ilmu Tuhan. Sehingga ia
(kebenaran/pengetahuan manusia tentang Tuhan) adalah mutlak pada
tataran esoteris dan relatif pada tataran eksoteris.
Apa yang dimaksud dengan kesatuan? Pertama kita harus
membedakan antara dua macam kesatuan yang mengikuti Thomas
Aquinas dapat disebut “satu pada diri sendiri” (unum in se) dan “satu
karena keterarahan” (unum ordinis). Yang kedua terdapat apabila
beberapa unum in se terarah pada satu tujuan, misalnya kesatuan
sekelompok orang. Unum ordinis kita biarkan saja. Yang primer adalah
unum per se. sesuatu merupakan “satu pada dirinya sendiri” apabila
sesuatu itu sedemikian bersatu sehingga dapat bertindak sendiri dan
bagiannya hanya dapat ada dan bertindak dalam kesatuan yang satu itu.
Manusia dan binatang merupakan “kesatuan pada dirinya sendiri”.
Kesatuan itu juga disebut “substansial” yang mandiri. 65

64
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam..., h.32-35
65
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198
162

Berdasarkan teori Aquinas mengenai kesatuan diatas, maka kita


bisa memberikan analogi kesatuan pada agama-agama. Agama
merupakan unum in se atau satu pada dirinya sendiri, dalam hal ini
agama merupakan bentuk kesatuan dari unsur-unsur yang
membangunnya, agama merupakan bentuk kesatuan berdasarkan unsur
historis, ajaran, tradisi, simbol dan lain sebagainya yang membentuk
identitas sebuah agama. Sebuah agama merupakan kesatuan pada unsur-
unsurnya yang tidak terpisahkan sebagai identitas. Unsur-unsur dalam
agama, kita katakan saja sebagai “satuan pengada”, semakin tinggi
tingkat kemengadaan suatu pengada maka semakin jelas/terang
kesatuannya, dan semakin rendah tingkat kemengadaannya maka
semakin kabur kesatuannya66. Inilah yang disebut sebagai kesatuan
berdasarkan kualitas67. Unsur atau satuan pengada pada agama
merupakan “kualitas” yang dengan sendirinya mengokohkan identitas
(agama). Bila unsur-unsur tersebut dipisahkan maka, agama tetaplah
agama, hanya saja tingkat kualitasnya memudar dan identitasnya akan
semakin kabur. Inilah yang menguatkan landasan pluralisme tidak
menisbikan realitas agama, atau menghilangkan kualitas dan identitas
suatu agama.

66
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan…, h.199
67
Berdasarkan sifatnya, kesatuan dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Kesatuan
dalam kategori kualitatif, yakni apabila satuan pengada (unsur) nya terlepas maka kesatuan
tersebut menjadi rendah kualitasnya. Misalnya manusia, (manusia terdiri dari kemajemukan seperti
kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya) bila unsur pengadanya semakin berkurang, maka
manusia secara kualitas menjadi lemah/rendah. Lebih jauh lagi bila keterpecahan unsur (bagian
tubuh dari manusia) tersebut melampaui ukuran, maka manusia akan mati. Begitupun agama, bila
nilai-nilai sejarah, ajaran, simbol dan tradisi nya hilang maka agama tidak akan dikenal atau
bahkan mati…, itulah sebabnya formalitas agama tetap dibutuhkan dan harus dipertahankan
karena ia adalah identitas yang membedakan dari agama yang satu dengan agama yang lain.
Kategori kedua adalah kesatuan berdasarkan sifat kuantitatif, pada kesatuan kuantitatif, apabila
terjadi keterpisahan maka keterpisahan itu hanya pada kuantitas, penyatuan yang terjadipun diukur
berdasarkan kuantitas. Misalnya pada sebuah batu bata (sebagai unum in se), bila batu bata
tersebut dipatahkan menjadi dua, maka nilai kualitasnya adalah sama sebagai batu-bata (tidak ada
pengaruh) hanya kuantitasnya yang berubah dari 500 gr misalnya menjadi 250 gr. Lihat : Frans
Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198
163

Selanjutnya, selain agama merupakan unum in se, sekaligus juga


sebagai satuan pengada dalam satu keterarahan. (agama-agama yang
terarah pada tujuan yang satu). Kesatuan agama merupakan unum
ordinis, dalam hal ini keterarahan/kesatuan yang dimaksud adalah
kualitas-kualitas, substansi-substansi, dan identitas-identitas agama akan
mengarah pada sebuah kesatuan, dimana keterarahan menuju yang satu
(kesatuan) itu, menjadi satu kualitas, satu substansi dan satu identitas.
Disebut kesatuan adalah ; adanya kesatuan historis (asal agama adalah
satu, agama fitrah atau meta-religion), nilai-nilai kesatuan ajaran agama-
agama yang bersifat orisinil dan perennial, kesatuan simbol dan tradisi
pada agama-agama menjadi satu yang dipahami secara tujuan esensi
dibalik simbol-simbol dan tradisi-tradisi.
Sementara itu, baik kesatuan dalam wahdat al-Adyan dan
pluralisme, bila agama-agama (unsur pengadanya) dipisahkan secara
kualitas (terpisah mandiri) dan identitas agama-agama dihilangkan maka
dengan sendirinya melemahkan (kesatuan) dalam kualitas/substansinya
tersebut. Sehingga tidak akan terbentuk kesatuan yang mapan, yang
artinya juga tidak akan terbentuk suatu keterarahan/ tujuan, Yakni Tuhan
(inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kesatuan utuh dapat terjadi bila
unsur-unsur pengadanya berada pada posisi pertemuan yang
menghimpun bukan keterpisahan yang menjauh.
Sekarang mari kita analogikan kesatuan agama dengan kesatuan
individu, misalnya pada pernikahan. Mereka (masing-masing individu)
yang menikah mengatakan “kami telah menyatu”. Tentunya kita dapat
memahami dengan jelas bahwa yang dimaksud “kesatuan” dari dua
individu itu bukanlah kesatuan lahiriah/fisik melainkan kesatuan
rasa/batin atau cinta. Karena walau bagaimanapun mereka tetaplah dua
yang berbeda, namun dapat menyatu pada tujuan dan perasaan yang
sama/satu. Bahkan pada aktivitas seksual yang dilakukan manusia
tetaplah bukan merupakan kesatuan karena mereka tetap terpisah dan
tidak ada persatuan fisik yang permanen terlebih lagi mereka tetap pada
164

peran dan fungsinya untuk pasangannya masing-masing, namun bila


dikatakan aktivitas seksual sebagai cara penyatuan rasa cinta adalah
benar, karena kebersamaan akan penyatuan itu hanya dirasakan dan
ditemukan oleh mereka saja.
Titik temu agama-agama adalah seperti pernikahan pada manusia,
bila boleh penulis mengatakan; titik temu tersebut sebagai perkawinan
esoteris agama-agama. Manusia dan agama mencari cinta, kebersamaan
dan keparipurnaan. Namun yang harus dipertegas adalah, keparipurnaan
tersebut dalam perspektif yang diinginkan manusia baru terwujud
dengan/melalui pasangannya yang dianggap sebagai pelengkap dan yang
menyempurnakannya.pandangan seperti ini adalah pandangan yang
keliru, karena sejatinya manusia telah utuh dan paripurna, namun hal itu
belum aktual tanpa eksistensi orang lain. Keparipurnaan tersebut justru
teraktualisasikan dengan adanya pernikahan, sehingga seseorang dapat
melihat dirinya yang utuh pada orang lain, menyadari keutuhan masing-
masing dan menyadari keutuhan dari kesatuan mereka. Begitupun agama,
agama adalah utuh dan paripurna, memiliki esensi, substansi dan
identitasnya masing-masing. Aktualisasi terlihat dengan adanya
penyatuan (kesatuan), dimana fungsi kesatuan adalah mengokohkan yang
satu-mandiri dan yang jamak secara bersamaan. Agama yang satu secara
fungsional akan saling mengaktualisasikan agama yang lain dengan
eksistensinya sendiri. Kesatuan agama-agama menjamin keutuhan dan
keparipurnaan setiap agama, kesadaran inilah yang ingin dicapai oleh
wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Dan Supreme Tertinggi dari
cinta, satu dan paripurna itu sendiri adalah Tuhan.
165

4. Ahl-al-Kitab

Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman


kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang
diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah
dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang
sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali-Imran [3] : 199)

Dalam tradisi Islam, para mufassir senantiasa berpendapat, bahwa


istilah Ahlul Kitab merujuk pada dua komunitas: Yahudi dan Nasrani.
Dalam perkembangannya, sebagian kalangan mengembangkan
pengertian Ahlul Kitab hingga semakin jauh dari apa yang telah dikaji
oleh para ulama di masa lalu. Kata mereka, Ahlul Kitab dapat mencakup
semua agama yang memiliki kitab suci; atau umat agama-agama besar
dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang; seperti golongan
Yahudi, Nasrani, Zoroaster; Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu,
Budha, Konghucu, dan Shinto68.

Istilah Ahlul Kitab sendiri berasal dari dua kata bahasa Arab yang
tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti
pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab
berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan
kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)69.
Term Ahlul Kitab disebutkan secara langsung di dalam al-Qur’an
sebanyak 31 kali dan tersebar pada 9 surat yang berbeda. Kesembilan surat
tersebut adalah al-Baqarah, Alu ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Ankabut,
al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan al-Bayyinah. Dari kesembilan surat
tersebut hanya al-Ankabut lah satu-satunya yang termasuk dalam surat
Makkiyah dan selebihnya termasuk dalam surat-surat Madaniyah
68
Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (1992), dan Huston
Smith, kata pengantar dalam Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (1984)
69
Klaim ini disandarkan atas argumen bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka nabi-
nabi yang membawa risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu kesatuan kenabian;
setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqoh, minhaj, mansakhnya masing-masing.. Siapa
ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011
166

Ini mengisyaratkan bahwa interaksi dengan Ahlul Kitab baru


berjalan intensif tatkala Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Ini
dikarenakan bahwa di Kota Makkah sendiri pada waktu itu (periode
Makkah) penganut agama Yahudi sangat sedikit. Adapun yang dihadapi
Nabi SAW dalam dakwahnya adalah kaum musyrik penyembah berhala.
(Muhammad Galib Mattola, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya70
Al-Quran juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada
kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit (QS 2:88). Tetapi sebagian
besar fasik. (QS 3:110).
”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan
yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa
waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang
mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi
(menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang bertakwa.” 71
Perihal pluralisme agama yang hingga saat ini masih menjadi
kontroversi, puncak determinasinya adalah dalam hal penentuan siapakah
mereka yang disebut sebagai ahlul kitab? dan masih adakah ahli kitab
hingga saat ini?. Karena hal inilah yang kemudian menjadi dasar
pengharaman pluralisme. Mereka mengatakan bahwa ahlul kitab sudah
tidak ada dikarenakan kitab suci (Yahudi dan Nasrani) sudah
terselewengkan.
Dari beberapa literatur yang penulis pelajari tentang ahlul kitab baik
itu yang mengatakan ahlul kitab hanya dari golongan Yahudi dan Nasrani
saja ataupun ahlul kitab itu tak terbatas hanya pada dua agama tersebut,
mulai dari yang mengatakan ahlul kitab itu masih ada atau sudah tidak
ada lagi, maka untuk menanggapi hal ini penulis berpendapat :

70
Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011
71
QS Ali Imran ayat 113-115
167

Mereka yang disebut ahlul-kitab oleh al-Quran hingga saat inipun


masih ada, karena tidak mungkin ayat-ayat al-Quran (mengenai
keberadaan ahlul kitab hanya di kurun waktu tertentu) – akan menjadi
tidak relevan dengan zaman . Lalu siapakah sesungguhnya ahlul kitab itu?
“Ahlul kitab adalah umat terdahulu yang diturunkan kepada
mereka al- kitab/kitab suci (sebelum datangnya nabi Muhammad saw
membawa agama Islam – al-Quran kitab suci umat Islam) baik itu
dari golongan Yahudi dan Nasrani ataupun umat-umat terdahulu
lainnya yang para nabinya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Hal ini
dikarenakan semua agama para nabi adalah agama tauhid.
Untuk menjawabnya, mari kita telaah bagaimana al-Quran
mengkategorikan kedudukan hati manusia. Secara garis besar
manusia digolongkan pada “iman” yakni orang-orang yang
menerima/meyakini, dan “kufur atau kafir” yakni orang-orang yang
menolak/membangkang. Beriman berarti meyakini sebagaimana
yang kita ketahui dalam rukun iman, jika ada manusia yang tidak
mempercayai salah satu dari rukun iman tersebut maka ia termasuk
golongan orang-orang yang membangkang yakni kufur/ kafir.
Orang-orang beriman kemudian terpecah menjadi tiga golongan
yakni, “fasik, munafik, dan syirik”. orang-orang yang beriman tetapi
tidak menjalankan syariat agamanya maka mereka tergolong “fasik”.
Orang-orang beriman yang mengkhianati agamanya atau menjadikan
agama sebagai tameng kepentingannya disebut “munafik” itulah
mengapa orang-orang munafik pada zaman rasulullah ditujukan
kepada mereka yang meskipun perbuatannya menjalankan agama
tetapi hatinya telah meninggalkan agama bahkan merusak agama.
Sementara itu, Orang-orang beriman yang kemudian berpaling dari
keimanannya, maka mereka digolongkan sebagai orang-orang
syirik/musyrik.
168

Tidak seperti musyrik, orang munafik menyembunyikan


pengingkarannya dan berselimut agama, sedangkan orang-orang
musyrik dengan terang-terangan berpaling dari keimanannya.
Musyrik diartikan sebagai tindakan men-dua-kan Tuhan.
Lalu bagaimana membedakan antara syirik dengan kafir. Syirik
lebih spesifik lagi dari kafir, syirik adalah pengingkaran terhadap
keesaan Allah, sementara kafir adalah pengingkaran terhadap
kebenaran/ayat-ayat Allah. Kafir lebih umum atau lebih luas
pengertiannya dari syirik. Orang-orang syirik termasuk orang-orang
kafir, perbuatan syirik dilakukan karena hatinya telah ingkar/kafir.
Sehingga kata kafir lebih menunjukkan kepada “kata sifat”
sementara kata syirik lebih menunjukkan kepada “kata kerja”.
Sedangkan kata “muslimin” dan “ahlul kitab” adalah pembeda,
ini dikarenakan derajat Islam dan Al-Quran lebih tinggi (sempurna)
dibandingkan agama/kitab sebelumnya. Dalam hal ini al-quran
menegaskan tentang adanya (keberadaan) ahlul-kitab yang masih
berpegang teguh pada ajaran-ajaran nabi/kitab-nya (selain atau
sebelum ajaran Nabi Muhammad Saw). Titik tekan pembedaan ini;
mereka yang disebut ahlul kitab adalah yang masih berpegang teguh
menjalankan perintah kitab sucinya atau ajaran agamanya, serta
mengakui kebenaran Islam dan kerasulan Muhammad SAW.
Golongan ini sudah beriman sehingga tidak ada anjuran bagi mereka
untuk masuk agama Islam. Bila diantara golongan Ahlul kitab tidak
mengimani nabi Muhammad dan al-Quran maka mereka termasuk
golongan orang-orang kafir. Golongan ahlul kitab yang kafir (tdak
mengimani al-Quran dan Nabi Muhammad) -inilah yang diserukan
kepada mereka untuk memeluk agama Islam agar kembali kepada
keimanannya.
169

Pengertian ahlul kitab sebagai “penerima kitab suci atau mereka


yang diberi al-kitab”, adalah pengertian yang dangkal. Bila
pengertiannya seperti itu maka kemungkinannya adalah; pada saat ini
tidak ada lagi ahlul-kitab, karena hanya al-quran-lah yang terjaga
keasliannya hingga akhir zaman sementara kitab-kitab yang lain
telah mengalami perubahan, tidak otentik lagi.
Semestinya ahlul-kitab dipahami sebagai orang-orang yang
mengamalkan dan menjaga ajaran-ajaran kitab sucinya72. Kenyataan
saat ini kitab suci mereka telah mengalami penyimpangan, namun
ada beberapa ajaran yang tetap sama dan itu tetap mereka pegang
teguh/jalankan. Jadi secara lengkap ahlul kitab diartikan sebagai
golongan penerima kitab suci, mengakui kerasulan Muhammad dan
kitab al-quran, serta menjalankan ajaran kitab sucinya masing-
masing. Mereka inilah termasuk kedalam golongan orang-orang yang
beriman.
Definisi seperti ini yang nampak lebih sesuai dengan
permaksudan al-quran tentang ahlul-kitab, disamping menyatakan
masih adanya ahlul-kitab, pengertian ini juga mendukung kebenaran
tentang relevansi ayat al-quran disepanjang zaman.
Pluralisme dan wahdat al-adyan tentang batas toleransi
beragama dalam hal ini (ahlul-kitab) adalah adanya pengakuan atau
penerimaan terhadap kitab-kitab suci beserta ajaran-ajaran
kebenaran/kebaikannya serta pengakuan atau penerimaan terhadap
para pembawa risalah (agama) / yang kita yakini sebagai nabi atau
rasul. Lebih jauh lagi dalam hal akidah, mengapa ahlul kitab yang
sebenarnya tidak diserukan masuk Islam dikarenakan dalam kitab

72
Bagaimana menurut Anda bila ada istilah “Ahlul-Quran”, nampaknya kita
akan sepakat bahwa yang disebut ahlul-quran adalah yang mengamalkan ajaran-
ajaran al-quran, atau artinya bukan sembarang muslim saja dapat disebut ahlul-
quran. Begitupun dengan ahlul-kitab. Kita juga sering mendengar istilah
ahlussunnah wal jamaah, lalu siapakah ahlussunnah wal jamaah itu? Ada dua
jawaban, pertama; seluruh umat Islam sebagai penerima sunnah, kedua; hanya
umat Islam yang benar-benar menjalankan sunnah rasulullah saw. Dan lagi-lagi
kita akan lebih sepakat pada pengertian yang kedua.
170

suci mereka telah disampaikan ajaran untuk menyembah Tuhan yang


Esa73. Sementara dalam hal penyembahan kepada Tuhan, maka
hanya Tuhan lah yang mengetahui hambanya tersebut telah
mengesakan-Nya atau tidak.

73
Bahkan dualitas, trinitas atau polities sekalipun meyakini adanya
Tuhan sebagai Yang Tertinggi dan Ia (Yang Satu). Penyembahan (politeis)
terhadap tuhan-tuhan mereka tidak lebih dari sekedar simbol/oknum dari sifat-sifat
Tuhan (Yang Tertinggi). Dualitas sebagai baik dan buruk yang saling berperang
hanyalah manifestasi untuk menunjukkan sifat penyayang dan murka Tuhan.
Doktrin trinitas pada awalnya tidak lebih sebagai upaya penjabaran ke-Tunggal-an.
171

BAB V
KONSEP WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN PLURALISME AGAMA

A. Relevansi historis
Berdasarkan analisis historis pada bab sebelumnya, wahdat al-Adyan
dicetuskan al-Hallaj pada masa pemerintah Abbasiyah 'di bawah dominasi
kekuasaan bangsa Turki (tahun 847-945 M/ 232-334 H). Wahdat al-Adyan
kemudian menemukan menemukan momentumnya melalui ajaran-ajaran
Ibn ‘Araby yang merupakan murid al-Hallaj. Ibn ‘Araby hidup pada masa
Dinasti Muwahiddin (al-Mohad) yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu
Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min (551-580 H) lalu Khalifah Ya’qub bin
Yusuf Al-Manshur (580-595 H). Keduanya merupakan tokoh sentral
pencetus wahdat al-Adyan. Sedangkan pluralisme agama lahir dari
gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang
dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Kemudian pada awal
abad ke-20, seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch
mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya
konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Namun konsep ini
baru terlihat jelas, setelah John Hick menggagas pluralisme agama dengan
teologi globalnya. Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam
wacana pluralisme agama. Dialah orang yang paling banyak menguras
172

tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan


menginterpretasikan (wacana pluralisme agama) melalui gagasan dan
teorinya (teologi global) ini secara masif.
Dari aspek historis, wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak
memiliki geneologi yang sama, dalam arti kedua konsep ini tidak terkait
satu sama lain dari sisi historisitasnya, keduanya tidak memiliki
keterlibatan–keberlangsungan (waktu dan tempat) yang saling berkaitan.
Dengan demikian, secara historis kita bisa melihat bahwa wahdat al-Adyan
lahir terlebih dahulu sebelum pluralisme agama.
Salah satu relevansi yang dapat ditemukan adalah apabila kita
melihat aspek sosiologis lahirnya kedua paham tersebut yang
diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Namun itupun memiliki
perbedaan dari kekhususannya, apabila wahdat al-Adyan merupakan
gagasan yang lahir dari diskriminasi politik pemerintahan, maka
pluralisme agama lahir dari semangat liberalisme dan globalisasi.

B. Relevansi epistemologis
Bila dilihat dari sudut pandang epistemologi para tokoh-tokoh
penggagasnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama juga tidak
memiliki epistemologi yang berkaitan; dalam arti keduanya berlainan dari
hujjah atau natijah keilmuan. Namun, bila mengacu pada relevansi
filosofisnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama, keduanya
memiliki kesamaan, berkaitan dengan teori filsafat emanasi. Hal ini
tertuang dalam ajaran Ibn ‘Araby tentang kesatuan wujud yang juga serupa
dengan teori emanasi. Ajaran al-Hallaj tentang Nur Muhammad yang juga
serupa dengan teori emanasi atau biasa diistilahkan dengan kata “tajalli”
dalam kajian tasawuf. Lebih lanjut, gagasan epistemologi John Hick yang
diilhaminya dari teori nomen dan phenomen Emanuel Kant, juga serupa
dengan ajaran Ibn ‘Araby tentang al-Wahid wa al-Katsir (Yang Satu dan
Yang Banyak). Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa relevansi
173

epistemologis tidak ditemukan dalam wahdat al-Adyan dan pluralisme


agama.

C. Relevansi Teologis
Berdasarkan relevansi epistemologis, maka relevansi teologis
wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah ajaran keduanya tentang
kesatuan teologis dan kesatuan Tuhan yang memandang bahwa apapun
nama, simbol atau atribut (teologi) yang digunakan manusia untuk
mengenal Tuhan, tidak akan secara penuh dan tuntas bagi manusia untuk
mengenali – (pengenalannya) – kepada Tuhan yang sebenarnya. Adapun
keragaman perbedaan nama, simbol dan atribut tersebut adalah
sunnatullah yang merupakan kehendak Tuhan.
Karena secara esensi, keragaman manusia berasal dari Pencipta
(baca : Tuhan) Yang Satu, sebagai umat yang satu (kesatuan umat),
dimana setiap umat memiliki rasul dan kitab yang satu (Kesatuan kenabian
dan kitab suci) – yang walaupun berbeda syariat, namun esensi wahyu
memilki nilai yang sama (satu), sehingga keragaman jalan / syariat/ agama
pada dasarnya menuju satu yang sama, yaitu Tuhan, – atau kesatuan
Tuhan (Unity of God).
Kesatuan teologis diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar
dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan yang adanya wajib ada
(Tuhan), menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya
mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam
skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut-relatif dan relatif-
absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak (absolut)
adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola
kerja sunnatullah (hukum kehidupan, hukum alam) sehingga kebenaran
tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya (seseorang, kelompok
atau yang lainnya) yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan
menjadi relatif (bagian dari) pada kebenaran yang lain, dengan
pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah (hukum alam) tetap terjaga.
174

sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif (yang diperoleh


manusia) itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama ia tidak
dipengaruhi oleh keinginan (nafsu) dan sangkaan (dzan) yang negatif, atau
dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan tidak hilang,
karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola kerja kehidupan
dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan istilah tajalli
(pancaran) Tuhan.
Relevansi teologis berikutnya adalah tentang pandangan eskatologi,
yakni mengenai adanya jalan keselamatan dalam setiap agama. Bahwa
manusia apapun agamanya, apabila selama didunia, mereka berbuat
kebaikan dan kebenaran serta menyerahkan diri dengan tulus kepada
Tuhan tanpa menyekutukannya maka sesungguhnya manusia dapat hidup
berdampingan disurga. Ajaran-ajaran inilah yang dinilai paling
kontroversial dari keduanya (wahdat al-Adyan dan pluralisme agama),
karena menolak doktrin yang dimiliki setiap agama sebagai satu-satunya
jalan keselamatan
Salah satu yang menarik dari ajaran (wahdat al-Adyan dan
pluralisme agama) tentang jalan keselamatan dalam setiap agama adalah
pandangan mengenai sifat Tuhan itu sendiri, bila dalam pluralisme
mengacu pada prinsip keadilan Tuhan, maka pada wahdat al-Adyan
mengacu pada rahmat dan kasih sayang Tuhan.
Dalam pandangan penulis, setiap agama memang dan pasti memiliki
doktrinnya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Dalam hal ini, apabila
kita telaah lebih dalam; doktrin ini wajib dimilki oleh setiap agama agar
para pemeluknya tetap konsisten dan komitmen terhadap keyakinan
agamanya. Tidak ada satu agamapun yang menganjurkan pemeluknya
untuk mencari agama lain atau melakukan konversi. Mengapa demikian?
hal ini dikarenakan, agama merupakan paket-paket ajaran yang diterima
manusia dalam bentuknya yang permanen, absolut, universal meski dalam
waktu dan tempat tertentu dan terbatas. Dari sini kita bisa melihat adanya
esensi yang tak berubah, sedangkan waktu dan kondisi selalu berubah,
175

inilah mengapa kemudian Tuhan mengutus para rasul-Nya pada setiap


umat. Dalam sejarah agama, tidak ada satu pun pembawa risalah (rasul)
yang menyatakan ajarannya belumlah baku dan masih akan diteruskan
oleh rasul lain, karena jika itu terjadi, maka tidak ada satu risalahpun yang
dapat diterima, karena mengandung kelemahan logis serta keragu-raguan
untuk diimani. Adapun mengenai terjadinya konversi agama, kita bisa
meninjau hal ini disebabkan banyak faktor, baik itu psikis, interes-
ekonomis maupun interes-politis, namun bila kita mau lebih bijak,
bukankan manusia dianugerahi Tuhan berupa akal dan hati untuk
dioptimalkan dan dengannya pula manusia diberikan kebebasan dan
kehendak untuk memilih. Yang perlu kita lakukan adalah memelihara
kebebasan dan kehendak tersebut tanpa harus memaksa dan menyalahkan
keyakinan orang lain.
D. Relevansi Sosio-humanis
Orientasi wahdat al-Adyan pluralisme agama adalah manusia itu
sendiri, yakni kehidupan yang harmonis dalam berbagai perbedaan.
Adapun mengenai relevansi privatis-humanis, nampaknya kita sepakat
bahwa prinsip yang yang ditawarkan wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama adalah nilai-nilai kemanusiaan berupa hak asasi dan kebebasan.
Sedangkan untuk sosial kemanusiaan, maka nilai-nilai yang diusung
adalah etika universal untuk mewujudkan toleransi, demokrasi dan
perdamaian.
Dasar kemanusiaan dalam pluralisme agama dan wahdat al-
Adyan, adalah visi egalitarianisme atau kesetaraan manusia dihadapan
Tuhan. Dalam konteks pluralism dan kerukunan antarumat beragama,
visi egalitarianism ini mendasari wawasan kesetaraan antar kaum
beriman, di mana antara mereka tidak ada yang lebih mulia atau kinasih
Tuhan, kecuali jika mereka menjalankan pesan ketakwaan.
Dalam konteks kebhinekaan agama dan kesetaraan kaum
beriman, sekaligus yang menjadi spiritualitas agama-agama adalah
tawhid, iman, islam, ihsan dan taqwa. Seluruh konsep religio-etik ini
176

mengajarkan pesan yang sama, yaitu pertama, menghargai adanya


kebinekaan atau pluralisme beragama; dan kedua, mengakui
egalitarianisme (equality) atau kesetaraan kaum beriman.
Konsep-konsep religio-etik ini pula yang menjadi dasar falsafah
etika Al-Quran, dimana konsep baik dan buruk dalam konteks hubungan
sosial antarumat beragama dapat didefinisikan, yaitu suatu hubungan
sosial antarumat beragama dapat dianggap baik menurut Al-Quran
apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
memahaesakan Tuhan (tauhid), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-
Nya (islam), serta sejalan dengan semangat prinsip keimanan. Kesalehan
dan religious ketaqwaan, yakni memberi memberikan rasa aman,
kedamaian dan perlindungan dari hubungan yang membahayakan.
Sebaliknya, suatu hubungan sosial antarumat beragama dianggap buruk
apabila keluar dari kerangka tauhid (prinsip memahaesakan Tuhan),
prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-Nya (Islam), serta tidak sejalan
dengan semangat prinsip keimanan, kesalehan dan religious ketaqwaan.
Tuhan Maha Kasih dan Maha Adil. Sekali-kali Dia tidak akan
menghukum dan menyakiti kita kecuali amal kita sendiri yang akan
memberikan kenikmatan atau kesengsaraan dalam serial drama hidup
berikutnya. Karena kasih-Nya, Tuhan selalu menyeru dan membuka Diri
bagi hamba-hamba-Nya yang memerlukan pertolongan-Nya. Setiap saat
selalu terbuka sebuah jalan lurus yang menghubungkan seseorang dan
Tuhan, Cara untuk mendekatkan, atau bahkan menyatukan, dua kutub itu
ialah melalui medium iman dan pencarian kebenaran secara tulus dan
kontinyu menuju Sang Kebenaran itu sendiri, lalu dituangkan dan
diabadikan melalui tindakan nyata berupa amal saleh. Iman pada Tuhan,
meyakini hari kebangkitan serta setia untuk selalu beramal saleh adalah
inti dari semua ajaran agama maupun teosofi, sebuah kebajikan abadi dan
universal, meskipun pemahaman, pendekatan dan perwujud-annya selalu
berciri lokal dan partikular.
177

Sikap dan inti ajaran semacam itulah pencarian tulus yang kontinu
dan meyakini adanya Tuhan, Hari Kebangkitan, dan setia untuk selalu
beramal saleh yang tampaknya harus menjadi keyakinan bagi para
manusia bumi ini. Sehingga keseimbangan dzikir dan pikir, psikis dan
fisik, jasmani dan ruhani, individu dan sosial, keselamatan dunia dan
akhirat, tetap terjaga, dan selalu terhias dalam segala perilaku keseharian.
Wallah'u a'lam bi al-shawwab.

E. Orientasi Logis (Membangun Paradigma Teologi Universal)


Untuk menyusun paradigma baru bingkai teologi universal, maka
bagian yang juga penting bagi seseorang adalah merekonstruksi atau
mempersepsi kembali agama-agama dalam sistem paradigma lama yang
telah usang dan jauh dari kesejatian misi agama-agama. Misi suci agama-
agama dalam sejarahnya dilumuri oleh interes para pemeluknya untuk
kemudian paradigma tersebut mengakar dalam doktrin dan budaya
keagamaan. Paradigma tersebut harus diformat sedemikian rupa sehingga
tidak ada lagi misspersepsi, yang diakibatkan dari kesalahan interpretasi
antar agama, yang tentu saja mis-sinterpretasi tersebut adalah produk
paradigma yang salah pula yang diajarkan oleh para pemuka agama. Lalu
bagaimana menyusun paradigma misi keagamaan yang tepat dalam
kaitannya dengan landasan dan cita-cita pluralisme. Beberapa paradigma
yang harus diubah tersebut adalah:
Pertama, klaim kebenaran dan keselamatan, dalam paradigma lama,
kegiatan misi agama penuh dengan prasangka teologis, sehingga bagi
mereka yang berbeda dengan keyakinan yang dianutnya dapat dengan
mudah divonis ”kufur atau kafir”. Dalam paradigma baru, sifat yang
dikembangkan adalah mutual respect (saling menghormati), mutual
recognition (saling mengakui eksistensi), positive attitude and thinking
(berpikir dan bersikap positif), dan enrighment of faith (saling
memperkaya iman). Sikap lain yang perlu dkembangkan adalah relatively-
178

absolute atau absolutely-relative (bahwa apa yang saya miliki adalah


benar, tetapi tetap relative bila dikaitkan dengan yang lain).
Kedua, amal saleh, dalam paradigma lama, kompetisi misi agama
dilakukan untuk menguasai pasar sendiri dan orang lain secara tidak sehat
dan sering melanggar etika sosial bersama, maka dalam paradigma baru
kompetisi harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang telah
disepakati. Ditengah perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk
dituntut untuk berkompetisi menjalankan kebaikan (fastabiq al-Khairat).
Ketiga, misi dakwah, bila dalam paradigma lama orientasi misi agama
adalah peningkatan kuantitatif (jumlah penganut) dan konversi dari agama
lain kepada agamanya, maka dalam paradigma baru orientasinya adalah
pengembangan internal umat atau peningkatan secara kualitatif –
kehidupan beragama – para pemeluk agama (intensity of te quality of both
devotion to God and righteous living) dan konversi dalam komunitas
(conversion with in one’s own community and tradition). Dalam
paradigma baru ini, selama seseorang merasakan dia adalah obyek
kepentingan terselubung hanya demi alas an-alasan politis atau tujuan
konversi, maka tidak akan ada kontak alami manusiawi yang merupakan
prasyarat penting pertemuan antar agama.
Keempat, bila dalam paradigma lama, misi seringkali mengundang
pertentangan yang membawa kekerasan. Maka dalam paradigma baru,
kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal. Imbauan
agama-agama sebaiknya mengacu pada common platform dan nilai-nilai
esoteris sehingga sehingga setiap agama dapat mentransformasikan
teologinya masing-masing terhadap agama lain.
Kelima, bila dalam paradigma lama, agama-agama lebih menekankan
aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin agama,
maka dalam paradigma baru, prioritas program keagamaan adalah
pemberdayaan keyakinan, sikap dan perilaku keagamaan yang lebih
substantif. Ritualitas keagamaan dimaknai secara substantive sehingga
179

sikap keagamaan lebih rasional dan membawa kemanfaatan yang lebih


praktis dan konkrit.
Keenam, bila dalam paradigma lama, metode pengembangan misi
agama lebih bersifat emosional dan sering kurang jujur dalam melihat
agama-agama lain, maka dalam paradigma baru yang perlu dikembangkan
adalah metode kebijakan (hikmak, wisdom), keteladanan (mau’idzah
hasanah), dan dialog (jadal bil ahsan). Oleh karena itu, pemaksaan,
indoktrinasi dan debat kusir tidak mendapat tempat dalam paradigma
baru1.
Dalam sub-bahasan ini, paradigma baru teologi universal yang penulis
maksud, adalah nilai-nilai universal (kebenaran dan kebaikan) yang
terdapat pada setiap agama. Bahwa terdapat esensi Ilahiah (makna dasar)
pada setiap ajaran agama sebagai jalan dan tujuan untuk mencapai-Nya.
Untuk kemudian ajaran atau nilai-nilai universal tersebut dijadikan sebagai
bangunan paradigma teologis. Paradigma teologi universal merupakan
bentuk keimanan sejati, dikatakan sejati karena mengacu pada ajaran
tauhid (Laa ilaha illa Al-Ilah), keyakinan terhadap Yang Satu (Tuhan) itu
meniscayakan pluralitas kehendak-Nya bagi manusia melalui agama-
agama. Tuhan menghendaki adanya pemahaman partikular untuk
mengenal-Nya, sebagai bukti kemaha-luasan-Nya dan ketidak terbatasan-
Nya terhadap pengetahuan manusia untuk diketahui. Namun dibalik
realitas yang partikular tersebut ada substansi absolut sebagai
pengejawantahan keberadaan-Nya (al-Awwal wa al-Akhir) yang hanya
mungkin dicapai dengan penyerahan diri yang tulus kepada-Nya (al-
Islam). Pemeluk agama diharapkan dapat memahami makna dasar dan
tujuan universal pada setiap agama yakni membentuk relasi antara
manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesama. Maka dalam hal ini
yang menjadi penekanannya adalah ketakwaan dan amal saleh. Sedangkan
untuk teologi universal itu sendiri, adalah pedoman yang gunakan pada

1
Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan, Menjakin
Kebersamaan…, h.13-15
180

saat seseorang dihadapkan dengan teologi atau agama lain, disatu sisi ia
berpegang teguh pada teologi agamanya, namun disisi lain ia menyadari
dan secara proporsional menempatkan paradigma teologi universal untuk
berhadapan dengan teologi/agama lain.
Karena agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar
dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut
merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini,
sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri
adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia
metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat
pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan
pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan
keinginan umum (universal) dari hati manusia. Berdasarkan kerangka ini,
maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan
segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi. Ajaran-ajaran agama digali,
diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal.
Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap tinggal pada agamanya masing-
masing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang
baik dari agama lain sehingga tercipa “koeksistensi religius” bagaikan
sungai-sungai besar mengalir menjadi satu2

F. Orientasi Etis (Mencitakan Agama Masa Depan)


Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan
munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus
tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan
yang seragam dan tunggal pula.
Namun begitu setidaknya kita akan sependapat bahwa selama
perbedaan agama merupakan pilihan pribadi dan tidak mendatangkan
gangguan sosial, maka kita seyogyanya bersikap toleran. Hanya saja jika
pandangan dan perilaku keagamaan seseorang atau kelompok sudah

2
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202
181

menjurus pada tindakan dan provokasi anti-sosial, maka ekses-


ekses itu tidak bisa lagi ditolerir. Istilah "bersikap toleran" tetapi
harus berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta tetap
menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya
masing-masing secara suka rela, sebab pada hakikatnya hanya di
tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan
dilaksanakan. perlu kiranya kita memperhatikan dan membangun iklim
dialogis bagi hubungan antar pemeluk agama yang ada.
Untuk itu, setiap agama paling tidak diisyaratkan memiliki tiga
prinsip dasar, sebagai acuan dasar dialog dan landasan akan adanya
tantangan pluralisme. Pertama, bahwa Yang Satu bisa dipahami dan
meyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Bahwa dalam semua
agama terdapat keyakinan dan pengalaman mengenai suatu Realitas yang
mengatasi konsepsi yang dibangun oleh manusia. Pikiran dan bahasa
agama berusaha mewadahi dan menjelaskan, tetapi tidak mungkin bisa
menerangkan sampai, tuntas. Kedua, yaitu bahwa banyaknya bentuk dan
tafsiran mengenai Yang Satu itu harus dipandang hanya sebagai "alat" atau
"jalan" menuju ke Hakikat Yang Absolut. Ketiga, yaitu bahwa karena
keterbatasan dan sekaligus kebutuhan kita akan komitmen terhadap suatu
pengalaman partikular mengenai realitas yang transenden dan absolut,
maka pengalaman partikular kita, meskipun terbatas, akan berfungsi dalam
arti yang sepenuhnya sebagai kriteria yang mengabsahkan pengalaman
keagamaan pribadi kita sendiri3.
Secara historis-sosiologis, agama-agama besar yang berkembang
dewasa ini lahir pada satu masyarakat parokhial atau regional, bukannya
masyarakat terbuka (open society) sebagaimana yang kita temukan
sekarang ini Bagi masyarakat tradisional agama parokhial itu sangat besar
fungsinya untuk memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup
bagi mereka di saat nilai-nilai baru yang asing secara ekspansif merembes

3
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.77-79
182

ke dunia kognitif mereka. Namun begitu, buat lapisan atau kelompok


masyarakat tertentu yang berada dalam jalur dan strata peradaban mondial
sangat mungkin yang tengah berlangsung adalah sebaliknya, yaitu
terjadinya proses eklektisasi nilai-nilai agama yang universal dan
humanistik yang diambil dari agama-agama parokhial. Proses ini pada
gilirannya akan mengantarkan bagi lahirnya agama atau setidaknya sikap
keberagamaan baru dengan semangat serta teologi yang baru pula. Bisa
saja seseorang mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan
bangunan teologinya yang telah mapan. Tetapi, kita sulit mengelak suatu
kenyataan bahwa pemikiran dan pemahaman orang tentang agama itu
selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah terlalu salah untuk
mengatakan bahwa agama yang kita pahami dan anut sekarang ini adalah
agama produk sejarah4.
Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran manusia yang
teraktualisasikan belum mencapai 13 persen. Bahkan mayoritas manusia
masih di bawah 5 persen5, itu artinya, cara pandang manusia terhadap
alam, terhadap dirinya, terhadap warisan sejarah serta paham agama yang
dianutnya akan selalu mengalami evolusi dan bahkan lompatan
paradigma.6 Oleh karenanya, salah satu kerja nalar adalah merobohkan
tembok “frontier” yang menghadangnya, tetapi perburuan nalar manusia
tidka pernah mencapai garis limit. Ketika umur dan prestasi keilmuan
jutaan generasi manusia dijumlah, manusia semakin sadar bahwa
“wilayah”kosmik yang ditemuinya jauh lebih besar ketimbang “peta” yang
disusunnya.
Ketika nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas
realitas semesta untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas
semesta maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan
kebingungan kita. Namun, ketika sebagian teka-teki tersebut terpecahkan,

4
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.51
5
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.115
6
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.52
183

maka posisi Tuhan lalu digeser lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi kenamaan,
Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia
tentang Dia. Bagi para mistikus, jalan masuk pada Tuhan yang dipilihnya
adalah pintu Kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Sang
Kekasih. Adapun para filosuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas
dan Kreatif.
Demikianlah seterusnya pluralitas persepsi dan keyakinan orang
tentang Tuhan akan selalu bertahan sepanjang zaman yang pada urutannya
akan melahirkan dan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan
pluralitas ideologi keagamaan.
Manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang
hari depannya, maka hendaknya kita membebaskan diri dari keberagaman
yang mekanistik dan manipulatif sebagaimana cara kerja ilmu
pengetahuan modern memanipulasi alam.
Seringkali tanpa disadari kita memposisikan Tuhan sebagai sumber
kekuatan yang dieksploitasi untuk memuaskan ego kita, bukannya Tuhan
sebagai sumber inspirasi dan kekuatan yang menumbuhkan dan
membebaskan manusia dari rutinitas perintah kredo agama dan kredo
tradisi yang memenjarakan. Keberagamaan seperti ini cenderung
melahirkan konflik antara iman dan ilmu pengetahuan modern yang
senantiasa melesat ke depan. Meminjam pendapatnya Arnold bahwa
agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi
atau esoterisme Tao, karena keduanya dinilai sangat humanis, inklusif. dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam.
Dengan ungkapan lain, agama masa depan yang ditawarkan adalah agama
yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme7., yaitu
madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek
sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya itu tumbuh
kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi pada Tuhan.

7
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.116-117
184

Agama masa depan yang muncul bukanlah agama yang terpisah dan
berbeda sama sekali dari agama-agama tradisional8. Berbeda dari teologi
tradisional yang amat menekankan sabda Tuhan yang diwakili oleh
lembaga agama dengan para tokoh-tokohnya yang cenderung doktriner,
teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup,
etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada
kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat
mistis.
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham
absolutisme, melainkan memilih apa yang oleh Swidler disebut
deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan
sebagai relatively absolute9. Dikatakan absolut karena setiap agama
mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena
klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah.
Johan Wolfgang von Goethe pernah membuat antisipasi tentang
kemunculan agama eklektik ini dan dia menamakannya dengan "Islam",
seperti dikutip oleh Annemarie Schimmel pada halaman awal bukunya:
“How strange that in every special case one praises one's own way! If
Islam means "surrender into God's will" it's in Islam that we all live and
die” 10..
Tentu saja pengertian Islam yang digunakan oleh Goethe akan
mengundang polemik. Tetapi setidaknya Goethe telah melihat tanda-tanda
zaman akan munculnya kesadaran beragama yang baru, yang mengatasi
tembok-tembok teologi agama tradisional meskipun tidak berarti agama
tradisional lalu kehilangan otentisitasnya.

8
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.117
9
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.118
10
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.118
185

Kajian terhadap pluralisme teologis yang memiliki semangat


pencarian kebenaran dan memiliki dimensi kebingungan akhir-akhir ini
semakin berkembang. Salah satu literatur yang mencoba memetakan
kegelisahan ini disusun oleh Paul F. Knitter dalam bukunya No Other
Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World
Religions (1985). Menurut Knitter, ternyata banyak sarjana dari berbagai
bidang keilmuan yang cenderung melihat dan mengakui adanya kesamaan
esensial dari berbagai agama yang ada. "Deep down, all religions are the
same —different paths leading to the same goal"11.
Sebagaimana telah diulang-ulang dalam bab-bab sebelumnya,
kebenaran yang sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada
Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu
tampil dalam wujudnya yang plural. Dibalik pluralitas ini terdapat
kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh
manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di luar jangkauan
manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir menyapa manusia
dengan bantuan medium sejarah dan kultur. Dengan demikian pluralitas
pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis, dan
historis. Ini tidak berarti kita lalu menutup mata dari kemungkinan
terjadinya penyimpangan dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu.
Hanya saja secara apriori semua manusia sesungguhnya ingin
berpartisipasi memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang
ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa
mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa saja
diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap tidak mampu
memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya serta
tidak mampu menyajikan laporan yang valid tentang apakah seseorang
tengah menapaki ataukah menjauhi jalan keselamatan.

11
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.126
186

Kebenaran iman dan jalan keselamatan, oleh karenanya. merupakan


obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu didekati dan
dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah situasi yang mapan,
tuntas dan selesai12. Meskipun secara rasional kita menerima kenyataan
adanya pluralitas agama dan berbagai tawaran jalan keselamatan
eskatologis, namun setiap orang beragama selalu dituntut untuk menerima,
mengakui dan meyakini bahwa hanya jalan keselamatan miliknya yang
paling benar. Tanpa adanya keyakinan yang mantap dan sikap
mengabsolutkan kebenaran imannya itu maka seseorang akan ragu dalam
menjalani perintah agamanya Tanpa adanya keyakinan kuat bahwa jalan
yang ditempuhnya adalah jalan lurus yang menghubungkan dirinya dan
Tuhan, maka seseorang sulit untuk memperoleh kekhu-syu'an dan
pencerahan spiritual. Pengalaman iman pada akhirnya adalah pengalaman
subyektif, yang kadangkala merupakan pengalaman dari sebuah pendakian
terjal, berat dan penuh risiko untuk sampai pada taman pencerahan yang
bertahun-tahun baru bisa diraihnya.
Agama di masa depan adalah sebuah agama yang akan dihayati
sebagai sebuah wadah, ekpsresi dan manifestasi pencarian makna hidup
manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya13. Makna hidup yang sejati
adalah yang bisa memberi tingkat ketenangan dan kepastian lebih tinggi
ketimbang apa yang ditawarkan oleh agenda kehidupan yang rutin namun
bernilai sementara14.
Dengan kata lain, agama yang diperlukan oleh manusia pada setiap
zaman adalah agama yang bisa memberikan sebuah pencerahan hati dan
akal, agama yang mampu membebaskan manusia dari dominasi dan hijab
duniawi, sehingga kesadaran transendentalnya menjadi tumpul. Agama
bagaikan sebuah pohon yang selalu tumbuh bersama dan ditengah bumi

12
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.132
13
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.133
14
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial…, h.134
187

manusia. Akarnya selalu terhujam pada kesadaran nurani manusia,


sementara jika pohon Ilahi ini memperoleh pupuk dari cahaya akal-budi
maka pohon ini akan tumbuh menjulang dengan daunnya yang lebat dan
buahnya yang subur.
Demikianlah siklus agama yang terpaut dengan sejarah, pemikiran
dan peradaban manusia. Sejarah berasal dari bahasa Arab yang berarti
pohon (syajara)—akan selalu terkena hukum siklus dan pertumbuhan. Ada
saat menguning, gugur, semi, dan mekar, namun akar-akarnya akan tetap
menghunjam meskipun permukaannya mengenal perubahan karena
perubahan musim. Begitupun agama, terdapat ruh yang perennial dan
universal yang merupakan akar bagi eksistensi dan pertumbuhan-nya,
meskipun manifestasi historis-sosiologis dari akar keagamaan selalu
melahirkan keragaman warna dan identitas lokal yang semuanya bersifat
temporer.
Kita melihat bahwa semua agama pada akhirnya dihadapkan pada
ujian mahkamah sejarah. Dalam pada itu manusia sendirilah yang tampil
sebagai subyek dalam hakim yang merasa berkepentingan untuk
menentukan sikap dan pilihan terhadap agama-agama yang ada.
Kemanusiaan yang sejati akan merasa tentram hanya apabila bertemu
dengan pemahaman dan penghayatan agama yang sejati. Tetapi, kesejatian
beragama bukanlah ibarat peninggalan pakaian yang telah jadi dan tinggal
pakai serta pas ukurannya untuk semua orang. Kesejatian dan kenikmatan
beragama adalah hasil dari sebuah pencarian melalui pergulatan panjang,
berupa upaya untuk menemukan makna hidup yang kadangkala makna itu
muncul sebagai akumulasi pencarian oleh generasi yang satu diteruskan
oleh generasi berikutnya.

No peace among the nations without peace among religious . No peace among
realigions without dialogue between the religions. No dialogue between the
religions without investigation the foundation of the religions.
188

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia dengan problematika dalam berbagai aspek kehidupannya


menandakan bahwa manusia adalah makhluk dinamis, oleh karena itu
sepanjang kurun sejarah kehidupan manusia didunia ini, kita akan melihat
suatu bentuk dinamika yang senantiasa berubah-ubah. Manusia adalah
makhluk yang dalam perkembangannya (dari dahulu hingga kini bahkan
dimasa mendatang) mengalami proses evolusi baik secara intelektual,
mental maupun rohani agar mencapai bentuk yang sempurna. Sedang
agama berfungsi untuk membimbing akal, mental dan rohani manusia
tersebut, maka agama-agama yang diturunkan Tuhan juga merupakan
serangkaian perintah (evolusi syariat) yang menyertai dinamika kehidupan
manusia sesuai dengan zamannya. Sebagaimana kita ketahui, evolusi
syariat (agama yang dibawa para nabi), berakhir setelah munculnya agama
Islam sebagai agama yang terakhir. Namun hakikat (agama) dari dahulu
hingga saat ini tetaplah sama meski dibingkai dalam agama yang berbeda.
Maka sesungguhnya proses evolusi tersebut secara hakikat belumlah
189

tergenapi bila manusia hanya terikat pada syariatnya saja. Dengan kata
lain, Tuhan menyimpan hakikat dari agama-agama yang diturunkan-Nya
untuk digenapi oleh manusia. Bila manusia memanfaatkan potensi
intelektual dan spiritualnya maka manusia akan menemukan hakikat
(kesempurnaan) dalam setiap agama.
Sebagaimana diungkapkan pada bab-bab sebelumnya bahwa
permasalahan yang paling mendasar sekaligus inti dari setiap agama
adalah tentang keyakinan (akidah). Oleh sebab itu solusi terbaik adalah
memberi ruang pemahaman terhadap akidah agama-agama tersebut
dengan cara memisahkan garis eksoteris dan esoterismenya.
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar
istilah “titik temu agama-agama”. Berbeda dengan pluralisme yang lebih
populer dan sering didengungkan dalam kajian filsafat dan ilmu
pengetahuan keagamaan dewasa ini, nampaknya wahdat al-Adyan telah
kehilangan momentumnya dan mulai terlupakan dalam kajian-kajian ilmu
keislaman. Menurut hemat penulis, ada perbedaan unik diantara kedua
konsep tersebut (pluralisme agama dan wahdat al-Adyan) dilihat dari
embrio kemunculan dan perkembangannya. Perbedaan tersebut dapat
diidentifikasi dari disiplin ilmu dan tradisi keagamaan yang berkembang.
Wahdat al-Adyan merupakan ajaran yang lahir dan berkembang dari
tradisi tasawuf pada masa kebangkitan Islam di Timur Tengah hingga
Eropa yakni pada awal abad ke-11, beberapa sufi yang mengajarkan
konsep ini diantaranya adalah al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Hazrat Inayat Khan,
Muhaiyaden dan Jalaludin Rumi. Sedangkan pluralisme agama adalah
ajaran yang lahir dan berkembang dalam tradisi filsafat Barat dan dan
beberapa konsili gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-20 yang
diusung oleh para sarjana dan teolog Kristen diantaranya adalah John
Hick, Ernst Troeltsch, William E. Hocking, Arnold Toynbee dan Grover
Cleveland.
190

Kedua ajaran tersebut mengantarkan kita memahami antara hal-hal


yang bersifat partikular dan universal. Baik itu kemajemukan (ta’adud /
plural) maupun kesatuan (unity / wahdat) mengajarkan bahwa segala
sesuatu bersumber dari yang “satu” dan menuju pada yang “satu”.
Perbedaan manusia tidak lagi dipandang dari agama yang dianutnya
melainkan keimanannya kepada “Yang Satu” dan perbuatannya (amal
salehnya) didunia ini. Perlu dipahami pula bahwa kedua ajaran ini sama
sekali tidak bertujuan untuk menghilangkan bentuk/form agama-agama
dan hanya melihat substansinya saja, karena tanpa bentuk (formalitas)
agama akan kehilangan identitasnya dan tidak dapat dikenali, dengan
formalitas agama, maka substansi dan misi agama menjadi aktual ketika
agama tampil dalam bentuk yang nyata, lebih jauh lagi adalah dengan
bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional. Oleh
karena itu dalam wacana pluralisme dan wahdat al-Adyan, kejamakan
bentuk merupakan keniscayaan yang mengisyaratkan sebuah pemusatan
(transendensi), sedangkan kesatuan substansial merupakan eksistensi yang
menyelubungi suatu realitas dalam segenap wujud (imanensi).
Tuhan adalah Esa yang Maha (terpisah dan terbebas dari segala
sesuatu yang mensifati-Nya ataupun pengetahuan yang dapat mengenali-
Nya). Hukum yang mengatur dunia ini adalah satu hukum. Sistem yang
menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lainnya adalah juga
berada dalam satu sistem, dunia hanya memiliki satu prinsip yaitu “gerak”.
Maka Ia (Tuhan) adalah gerak tersebut yang menggerakkan segala sesuatu.
Oleh sebab itu perbedaan antara yang satu dengan yang lain merupakan
mekanisme alamiah yang bergerak sesuai dengan sistem/hukum
(kehendak) Tuhan.
Setiap ajaran agama memiliki nilai-nilai universal karena tidak ada
satu agamapun yang mengajarkan dan memerintahkan pemeluknya untuk
berbuat jahat, berlaku tidak adil, bermusuhan dan lain-lain. Nilai-nilai
universal agama yakni agar manusia dapat hidup berdampingan, oleh
191

karena itu misi setiap agama adalah membangun perdamaian dan


peradaban hidup manusia.
Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama mengajarkan tentang sikap
terbuka, menerima dan toleransi terhadap eksistensi keberagamaan. Inilah
cara dalam mengungkapkan keramahan agama serta cara dalam
mengaplikasikan nilai-nilai etis kemanusiaan sebagai wujud keimanan
terhadap Tuhan, kitab suci dan para nabi. Bahwa setiap agama membawa
pesan keharmonisan dan perdamaian. Oleh sebab itu tidak diperlukan lagi
arogansi kebenaran teologis untuk menyatukan umat manusia, karena hal
tersebut seharusnya menjadi ranah privasi keagamaan seseorang bukan
lagi orientasi interes atau subyektivitas yang dipaksakan.
Kenyataan manusia terbagi atas berbagai agama diibaratkan anak-
anak sungai yang mengalir dan berakhir menuju samudera raya.
Sebagaimana agama menyangkut sisi batiniah, maka hanya Tuhan lah
yang mengetahuinya. Pada akhirnya kita harus mengimani bahwa Tuhan
lah yang mutlak dan tidak terbatas, hakim dan penentu atas hamba-hamba-
Nya. (Wallahu A’lamu bi al-Shawwab).

B. Saran

Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang seiring


berjalannya waktu. Hal tersebut haruslah diimbangi dengan kemajuan
pemikiran Islam sebagai bagian dari solusi yang ditawarkan bagi
kebutuhan zaman. Wacana intelektual Islam tidak boleh begitu saja
stagnan atau mengalami kebekuan sehingga kita dituntut untuk
mendermakan pikiran kita untuk terus menggali khazanah intelektual
Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, As-Sayyid Ibn Muhammad syata. Kifayat Al-Atqiya Wa Minhaj Al-
Syifa, trans; Menapak Jejak Kaum Sufi, Surabaya. Dunia Ilmu Offset.
1997

Al-Banna, Gamal. Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi


al-Mujtama’ al-Islamiy. Jakarta. Menara. 2006

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din Karya al-Ghazali, terj. Purwanto,
Bandung Marja’ 2003

Al-Ghazali, Abu Hamid, Kerancuan Filosof, terj. Ahmad Maimun, Yogyakarta,


Islamika, 2003

Al-Ghazali, Abu Hamid, Mutiara Ihya’ ‘Ulum Al-Din, terj. Irwan Kurniawan,
Bandung, Mizan, 2000

Al-Mara’syili, M.Abdurrahman. Tarjamah Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makiyyah


Ibn Arabi. Beirut : Dar Ihya Al Turast Al-Arab. 1998

Al Qardhawy, Yusuf. Iman dan Kehidupan, terj. “Al-Iman wa al-Hayat”. Jakarta.


PT. Bulan Bintang. 1993.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta. Multi Karya Grafika. 2003

Ali, Muhammad. Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan


menjalin kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2003

Al-Munawar, Husain Said Agil. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta. Ciputat
Press. 2005

Amin, Wadi’. A’lam Shufiyyah, Jurnal, Adab wa Naqd, Edisi 204, 2002

Anonim. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama. www.islamshia-w.com

_______. Epistemologi Wahdat al-Adyan. www.wisdom4all.com.

________. Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama.


www.nusantaraonline.org.com
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004

A.S, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada,
2002

Bahri, Ghazali, Muhammad, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali; Suatu Tinjauan


Psikologik Paedagogik, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 2000

Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005

Budiman, Dwi. Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama,: www.republika.co.id

Cyril Gkasse, Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1991

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : Yayasan


Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran. 1971

Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.


2009

Dirks, Jerald F. Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen dan Yahudi.
terj. “Abrahamic Faiths”. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.2006

Ghazaly, Adeng Muhtar. Ilmu Studi Agama. Jakarta. CV. Pustaka Setia. 2005

Haeri,Fadhullah. Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah. Jakarta. PT Serambi


Ilmu Semesta. 2001

Heer, Nicholas, Tafsir Esoteris Ghazali dan Sam’ani, Yogyakarta, Pustaka Sufi,
2003

Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan


Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta. Paramadina. 1995

_________________. The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan


Agama, Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2008

A.S Hornby et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English.


Oxford. Oxford University Press. 1972

Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan


Misi Baru Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004
Irfan, Mohammad dan Mastuki HS. Teologi Pendidikan. Tauhid Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta. Friska Agung Insani. 2000

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap


Al-Quran. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 2003

Kardiyanto, Wawan. Konsep Wahdat al-Adyan : Antara Mono dan Multi.


www.wawankardiyanto.multiply.com

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2005

Lubis, Abdul Karim. Islam dan Pluralisme agama. www.wisdom4all.com

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina.


1992

Mahmud, Abdul Halim, Qadhiyat at-Tasawwuf al-Munqidz Min adh-Dh. al, Dar
al-Maarif, Kairo, 1119

Mahmud, Amir (ed.). Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim
Indonesia. Jakarta. Edu Indonesia Sinergi. 2005

Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan


Multikulturalisme. Jakarta. Penerbit FITRAH. 2007

Nasuhi, Hamid. Frithjof Schuon dan Filsafat perennial. jurnal, REFLEKSI.


Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2002

Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah


al-Hidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t.

Noer, Kautsar Azhari. Esoterisme dan Kesatuan Agama-agama. Jurnal, Titik


Temu. No.1. 2010

_____________________. Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta.


PT. Serambi Ilmu Semesta. 2003

Noor, Hasan M. (ed.), Agama di Tengah Kemelut. Jakarta. Media Citra. 2001

Palmer, E Richard. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi.


Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003

Qorib, Muhammad. Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi. Jurnal, Titik Temu.
No.2, Jakarta. NCMS. 2010
Rahardjo, M Dawam. Agama Masa Depan. www.korantempo.com

Rakhmat, Jalaludin. Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan.


Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta. 2006

Riyadi, Hendar. Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman


Agama. Jakarta. RMBOOKS&PSAP, 2007

Romly, A.M. Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat. Jakarta.
Bina Rena Pariwara. 1999

Sahabuddin. Menyibak Tabir Nur Muhammad. Jakarta. Renaisan, 2004

Schuon, Fritjhof. Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity
of Religions. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1994

Shaliba, Rahmil. al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut. Dar al-Kitab al-Banani. 1973

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada, 2002

Sirry, Mun’im (ed.). Fikih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-


Pluralis. Jakarta. Paramadina.2004

Smith, Wilfred Cantwell. Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of
Religion. Bandung. PT. Mizan Pustaka. 2004

Subhani, Ja’far. Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat. Jakarta. Penerbit
Lentera, 2004

Sudrajat, Ajat. Tafsir Inklusif Makna Islam. Yogyakarta. AK Group Yogya.2004

Suhanda, Irwan (ed), Damai Untuk Perdamaian. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
2006

Sulistio, Christian Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis
dari Perspektif Partikularis, www.seabs.ac.id

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisisus.


1999

Sururin (Ed.). Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak.
Bandung. Penerbit Nuansa. 2005
Suseno, Frans Magnis. Menalar Tuhan, Jakarta. Kanisius. 2006

Syams, Ruhullah. Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama,


www.al-Shia.org

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Jakarta. PT. Remaja Rosdakarya. 2003

Thoha, Anis Malik. Melacak Pluralisme Agama, www.hidayatullah.com

_______________. Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis. Jakarta. Perspektif.


2005

Tonang. Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3.


Jakarta. 2007

Usman, Fathimah. Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta.


LKiS. 2002

Zainal Abidin, Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang,
1975

www.almukmin-ngruki.com

www.islamlib.com

www.al-khilafah.org

www.nsistnet.com

www.republika.co.id

Anda mungkin juga menyukai