Anda di halaman 1dari 34

SASTRA DAN TRANSFORMASI BUDAYA

(Analisis Hermeneutika Gadamer terhadap Novel Ikthtila>s

Karya Ha>ni Naqshabandi)

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar magister


dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab

Oleh

Muhammad Yusuf
NIM; 132.00.1.06.01.0032

Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1438 H/2017
ii
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala pujia bagi Allah Tuhan sekalian
alam, dengan segala karunia dan nur-Nya, tesis ini dapat penulis
selesaikan. Shalawat dan Salam yang lahir dari kerinduan yang tak
terpadamkan, semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad
saw, para Sahabatnya dan juga pada Orang Tua penulis sendiri.
Untuk sekelas tesis, tesis ini mungkin termasuk salah satu
dari beberapa tesis yang penelitiannya agak lama, dua tahun.
Lama waktu yang digunakan untuk penelitian ini dipengaruhi dua
hal pokok, yakni metodologi penelitian dan teori analisis yang
digunakan. Hingga menjadi tesis seperti sekarang, penulis telah
melakukan empat kali pembuatan proposal yang selalu berganti,
mulai dari analisis Marxisme, analisis Semiotika, Sosiologi Sastra
dan analisis wacana.
Sebagai sarjana yang lahir dari perguruan tinggi (terutama
Perguruan Tinggi Islam) di luar Pulau Jawa, mengikuti
perkembangan UIN Jakarta tidaklah mudah. Ketika beberapa
Perguruan Tinggi mulai belajar membuka diri terhadap pendapat
(opini) baru dan perbedaan pendapat, misalnya, UIN Jakarta telah
berpikir soal perguruan tinggi kelas dunia. Begitu jauhnya, jarak
perkembangan perguruan tinggi UIN Jakarta dengan perguruan
tinggi lainnya. Demikian pula halnya dengan gagasan, cara
berpikir dan perkembangan ilmu kontemporer.
Kondisi itulah yang membuat penulis canggung dan
rendah diri. Ketika mahasiswa S1 UIN Jakarta di mana-mana (di
sekitar kampus) telah sibuk mendiskusikan pikiran dan gagasan
Schleiemarcher, Jean Baudrilard, Michael Foucault, Paul Sartre,
Charles Sanders Peirce, Levis Straus, Roland Barthes, dan masih
banyak lagi, istilah dan nama-nama itu justru terdengar aneh dan
asing bagi saya. Karena selama pendidikan sarjana, nama paling
‘aneh’ yang pernah saya dengar di jurusan sastra Arab hanyalah
Ferdinan Desausre dan istilah yang paling sering adalah soal rafa’,
nasab dan huruf jar.
Kebingungan saya bertambah, ketika memasuki kelas
Bahasa dan Filsafat, semakin banyak hal aneh yang saya dengar,
seperti pembedaan ikon, indeks dengan simbol. Pada akhirnya
saya memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan dan
mengenal nama dan istilah aneh itu. Juga mengikuti setiap
perkuliahan tanpa dibatasi kewajiban mengambil mata kuliah

iii
wajib dan pilihan. Hingga semester lima, saya baru sadar ternyata
ada dua belas mata kuliah yang sudah tidak bisa masuk KHS.
Saya sendiri tidak pernah menyesal telah menghabiskan
waktu dua setengah tahun dalam kelas dan pustaka. Pertimbangan
saya adalah saya lebih baik telat menyelesaikan studi dari pada
tidak membawa apa-apa setelah wisuda. Kesempatan membaca
dan kuliah hanya datang sekali. Karena saya tidak percaya pada
saran ‚yang penting selesai dulu, ilmu dicari setelah wisuda‛.
Beberapa teman saya punya pengalaman tentang ini. Ketika
sarjana dia dianjurkan cepat selesai dan mengejar target wisuda.
Saat menempuh pendidikan S2, dia juga mendapat saran yang
sama, yaitu ‚yang penting selesai dulu, ilmu dicari setelah wisuda.
Ketika tengah menjadi pengajar, ia mengeluhkan banyak hal dan
menyesali, meski sebagian besar dari mereka, menikmati
profesinya.
Kembali ke tesis. Setelah melalui proses panjang dan
mengenal satu persatu pemikir modern, pilihan jatuh pada teori
hermeneutik, tepatnya hermeneutika Gadamer. Sehingga
pemikiran hermeneutiknya dijadikan sebagai pisau analisis teks
sastra novel yang saya teliti. Gadamer banyak dipengaruhi oleh
gurunya Hiedegger dalam perkembangan intelektualnya hingga ia
menjadi seorang filsuf besar abad 21, melalui karya besarnya
Wahrheit und Methode atau Ttruth and Methode. Pemilihan
hermeneutika sebagai teori analisis, karena hermeneutika secara
khusus bicara tentang interpretasi teks, termasuk teks sastra.
Richard E Palmer merangkum enam defenisi
hermeneutika, yakni pertama, hermeneutika sebagai sebagai teori
Eksegesis (tafsir) Bibel, kedua, hermeneutika sebagai metodologi
filologis, ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman
linguistik, keempat, hermeneutika sebagai dasar metodologi ilmu
sosial-humaniora, kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi
Dasein dan pemahaman eksistensial, keenam, hermeneutika
sebagai sistem interpretasi; menemukan makna vs ikonoklasme.
Gadamer sendiri berpendapat bahwa hermeneutika
sebagai kesepahaman dan pertemuan ada (being) melalui bahasa.
Hermeneutika di tangan Gadamer berkembang menjadi kerja
ontologis. Ia juga berpendapat bahwa pemahaman merupakan
fenomena primer. Ketika membaca sebuah teks, pengarang dan
pembaca bergerak di dalam wilayah kesepahaman yang berbeda,
yang ia sebut sebagai horizon. Karena horizon interpretasi
pembaca dipengaruhi oleh prasangka yang terbangun melalui

iv
tradisi tempat ia berada. Tradisi itu sendiri merupakan horizon
yang luas, dan di dalam horizon tradisi itu horizon pembaca
berada. Jadi memahami bukanlah representasi masa lalu di masa
sekarang, melainkan upaya peleburan horizon masing-masing, baik
horizon teks, horizon pengarang maupun horizon pembaca. Untuk
memahami makna teks, pembaca atau penafsir tidak bergerak
meninggalkan horizonnya dan masuk ke horizon pengarang, tetapi
horizon pembaca menjadi lebih luas, karena horizon bersifat
terbuka dan dinamis. Sehingga ketika memahami sebuah teks,
pembaca belajar melihat lebih dekat, dalam keseluruhan yang
lebih luas.
Sedangkan ketika terdapat perbedaan horizon pembaca
dengan teks yang dilakukan adalah mengeksplisitkan kegetangan
horizon itu. Dengan demikian, kerja interpretasi dalam pandangan
Gadamer, adalah memproyeksikan sebuah horizon yang historis
yang berbeda dengan masa kini. Dengan kata lain, kerja seorang
penafsir atau pembaca adalah menyesuaikan makna sebuah teks
untuk masa kini tanpa meninggalkan horizon masing-masing
(pengarang, teks dan pembaca) itu sendiri.
Ketika cara kerja hermeneutika Gadamer ini diterapkan
pada novel Ikhtila>s karya Ha>ni Naqshabandi, kita menjadi tahu
bahwa gerakan revolusi kebudayaan tengah terjadi di Arab Saudi.
Gerakan ini antara lain ditandai dengan munculnya kesadaran
akan kebebasan masyarakat terhadap pemahaman keagamaan dan
tradisi. Praktek keagamaan dituntut sebagai sesuatu yang sesuai
dengan keadilan dan rasionalitas. Hal ini dimulai dengan
kesadaran perlunya redefenisi terhadap manusia itu sendiri,
khususnya perempuan.
Menurut Ha>ni Naqshabandi, dalam masyarakat Arab
Saudi, perempuan dipahami dan didefenisikan sebagai makhluk
yang kurang nalar, tidak rasional dan kurang agamanya. Defenisi
ini ditopang oleh pendapat keagamaan, yang berujung pada
perbedaan perlakuan bahkan diskriminatif terhadap perempuan
dalam kehidupan sosial, agama, pendidikan maupun politik secara
mutlak. Pada akhirnya kehidupan perempuan menjadi objek
kehidupan sosial laki-laki dengan segala perangkatnya. Hal ini
mengingat bahwa agama sendiri merupakan sumber hukum utama
negara yang wajib dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat.
Untuk memperkuat defenisi tentang perempuan ini,
masyarakat bersama-sama dengan negara membentuk simbol-
simbol khusus. Simbol itu antara lain cadar sebagai simbol

v
kesalehan, keperawanan sebagai simbol kehormatan dan
perempuan sendiri sebagai simbol kelemahan. Meski sebagian
simbol-simbol itu diamini oleh dan dapat ditemukan dalam
agama, tetapi tujuan mempertahankan simbol itu sangatlah politis
dan sudah diluar batas kewajaran baik dilihat dari segi
kemanusiaan pun dari sisi agama. Batas ini membawa masyarakat
pada kesimpulan bahwa perempuan tidak berhak untuk
memutuskan sendiri apa yang benar menurut mereka. Nalar dan
akal sehat perempuan menjadi dipertanyakan ketika ia berbicara
tentang agama, tradisi dan politik. Pembahasan ini akan nampak
jelas pada bagian bab empat sebagai bab analisis.
Sampai pada kesimpulan ini teoretis ini, bukanlah
pekerjaan mudah. Oleh sebab itu, saya ingin sampaikan
terimakasih tak terhingga pada Orang Tua tercinta, Nasrul Malin
Sutan (Bapak) dan Khadijah (Emak) yang dengan bimbingan,
dorongan dan doanya, penulis menjalani hidup dan mengarungi
dunia yang intelektual. Terimakasih juga penulis sampai pada Uda
Undrakia yang berkorban dan memberi dorongan banyak hal,
untuk selalu sekolah. Terimakasih Uda Etrizal dan Uni Desi Citra
Dewi, yang menyeberangkan dan banyak membantu penulis ke
perantauan untuk melanjutkan pendidikan. Demikian pula, penulis
sampaikan terimakasih pada Uni Irma Suryani, Khairul (adik) dan
Nelfi Yulianti (adik), yang mengerti dengan segala konsekuensi
dan pilihan penulis.
Ucapan terimakasih pantas juga penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. selaku
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta beserta pada Deputi
Direktur, Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. Dr. JM. Muslimin yang
telah memberikan wawasan kepada penulis di Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta. Juga kepada Ibu Dr. Yeni Ratna
Yuningsih, selaku pembimbing, Prof. Bambang Pranowo yang
memberi banyak saran penting untuk penulisan. Tak kalah
pentingnya adalah terimakasih untuk Prof. Andi Faisal Bakti.
Karena di kelas Islam, Media and Politics, karena pertemuan
dengan beliaulah penulis dapat memulai penulisan tesis ini dengan
agak percaya diri.
Tesis ini penulis dedikasikan untuk dua kemenakan
tercinta, Arfa dan Abid, dan untuk empat anak yang selalu
dirindukan Rizki, Afiq, Nazil, dan khususnya sebagai kado

vi
istimewa si kecil yang belum bernama. Semoga semuanya sehat,
tumbuh cerdas dan kelak berpendidikan lebih dari penulis.
Ucapan terimakasih penulis, pantas juga disampaikan
pada Keluarga Besar Awak Samo Awak (ASA) Ciputat; Firdaus
Efendi (alm), Bapak Ir.H. Taufik Bey, Dr. Asril Dt. Paduko Sindo,
Dr. Mafri Amir, Buya H. Mazmur, Zulfison, Mursal Tanjung, Budi
Johan, Mamak Edwil, Mak Saud Fauzan AMC, dan nama-nama
yang tidak bisa disebutkan satu persatu, Keluarga Besar Ikatan
Pascasarjana Minang (Ikapasmi) Jakarta, Buya Arrazy Hasyim,
Buya Zul Ashfi, Buya Apria Putra, Hengki, Malin Yunal.
Teristimewa untuk teman-teman Hamti-P kota Padang dan
Bandes’42, khususnya Uda Muhammad Muslim yang memberikan
dorongan luar biasa untuk ke Jakarta. Masih banyak nama yang
berkontribusi dalam perjalanan intelektual penulis sendiri, kepada
mereka ucapan terimakasih dipuhunkan.
Salam..

Jakarta, 12 April 2017


Muhammad Yusuf

vii
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa pemahaman terhadap teks
dipengaruhi oleh situasi dan wawasan penafsir. Dalam kaitannya
dengan Ha>ni Naqshabandi, novel Ikhtila>s sangat mungkin akan
dipahami oleh masyarakat pembaca sebagai bentuk kritik terhadap
tradisi dan sebagai citraan yang berlebihan tentang masyarakat Arab
Saudi. Secara menyeluruh, novel Ikhtila>s ingin mengatakan bahwa
perlawanan terhadap budaya dan tradisi keagamaan akan senantiasa
terjadi bila masyarakat tidak diberi kebebasan untuk memahami
agamanya sendiri.
Penelitian ini menguatkan pendapat Steven Floyd Surrency,
Gadamer Analysis of Roman Chatolic Hermenutics; A Diacronic
Analysis of Intrepretation of Roman 1; 17: 2;17. Ia berpendapat
bahwa untuk memahami suatu teks, tidak harus melakukan
pengulangan terhadap teks itu sendiri. Tetapi dengan cara melakukan
dialog antara prasangka yang ada di lingkungan penafsir dengan teks.
Juga Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa
dalam Politik Gus Dur (2007), ia mengatakan bahwa tidak ada
kemanunggalan makna dalam teks. Sebab teks akan dimaknai sesuai
dengan kepentingan pembaca.
Penelitian ini berbeda dengan pendapat Pia Masiero dalam
Roth's The Counterlife and the Negotiation of Reality and Fiction,
(2014). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sastra sebenarnya
merupakan perjalanan pikiran seorang pengarang tentang realitas.
Juga berbeda degnan Geir Farner (2014) dalam Literary Fiction The
Way We Read Narative Literature yang berpendapat bahwa pemisah
antara fiksi dan non fiksi ada pada kesetiaan pengarang terhadap nilai
kebenaran dan teks sastra bukan realitas yang harus dibuktikan
kebenarannya tetapi hanya ide pengarang yang menjadi penghubung
antara fiksi dan fakta.
Penelitian ini berusaha menjawab bagaimana pemahaman
budaya dan tradis keagamaan masyarakat Arab Saudi yang terdapat
dalam novel Ikhtila>s? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan hermeneutika. Hermeneutika yang digunakan
adalah herneneutika Gadamer yang mengatakan bahwa makna tidak
terdapat pada penutur tetapi pada lawan bicara. Pada penelitian ini
novel dianalisis secara tematik. Tema yang dianalisis adalah tema
budaya dan tradisi keagamaan. Tema budaya dan tradisi keagamaan
dipilih karena dianggap mewakili keseluruhan isi novel.

Kata kunci; Sastra, Budaya, Pengarang, Teks,


Heremeneutik, Gadamer

ix
ABSTRACT

This study proves that understanding of the text is influenced


by the situation and insight of the interpreter. In relation to Ha>ni
Naqshabandi, the novel Ikhtila>s s is likely to be understood by the
reader society as a form of criticism of tradition and as an
exaggerated image of Saudi society. Overall, Ikhtila>s’ novel wants to
say that resistance to religious culture and traditions will always
occur when society is not given the freedom to understand its own
religion.
This study strengthens Steven Floyd Surrency's opinion,
Gadamer Analysis of Roman Chatolic Hermenutics; A Diacronic
Analysis of Intrepretation of Roman 1; 17: 2; 17. He argues that in
order to understand a text, it does not have to do with the repetition
of the text itself. But it is by managing the dialogue between the
prejudices that exist in the interpreter’s environment and the text. It
strengthen also Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa
Bahasa dalam Politik Gus Dur (2007). He said that there is no unity
of meaning in the text because the text will be interpreted in
accordance with the interests of the reader.
This study differs from Pia Masiero's opinion in Roth's The
Counterlife and the Negotiation of Reality and Fiction, (2014). The
results of his research indicate that literature is actually an author's
thought journey about reality. It is also different from Geir Farner
(2014) in Literary Fiction The Way We Read Narrative Literature
which argues that the division between fiction and non- fiction lies in
the author's loyalty to truth and literary texts, the reality to be proved
but merely the author's idea that connect between Fiction and facts.
This research tries to answer how understanding the cultural
and religious traditions of Saudi Arab society contained in novel
Ikhtila>s? The approach used in this research is hermeneutic approach.
The hermeneutic used is Gadamer's herneneutics which says that
meaning is not present to the speaker but to the other person. In this
study novels were analyzed thematically. The themes analyzed are
cultural and religious traditions. Cultural themes and religious
traditions are chosen because they represent the entire contents of the
novel.

Keyword: literature, culture, author, text, hermeneutics,


Gadamer

x
xi
xii
viii
DAFTAR ISI
Pengantar .................................................................................... iii
Abstrak ........................................................................................ ix
Transliterasi .................................................................................. xi
Pernyataan Perbaikan ................................................................... xiii
Persetujuan Pembimbing ............................................................... xvi
Daftar Isi ..................................................................................... xx

BAB I ............................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalalah ................ 13
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 14
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan ......................................... 14
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18

BAB II SASTRA DAN KEBUDAYAAN ....................................... 20


A. Karya Sastra; Imajinasi dan Realitas Budaya........................... 20
B. Hermeneutika sebagai Pisau Analisis Sastra ............................ 33

BAB III DINAMIKA SASTRA HANI NAQSHABANDI DALAM


KONTEKS BUDAYA ARAB ........................................................ 47
A. Ha>ni Naqshabandi dan Sastra Arab Kontemporer .................... 48
B. Dinamika Agama dan Budaya Arab Saudi ............................... 59
C. Realitas Sosial dan Politik Arab Saudi .................................... 63
1. Pola hubungan politik dan agama di Arab Saudi .................. 63
2. Pemahaman Islam Masyarakat Arab Saudi .......................... 69

BAB IV TRANSFORMASI BUDAYA ARAB SAUDI ..................... 73


A. Sinopsis Novel ...................................................................... 73
B. Fenomena Budaya Arab Saudi................................................. 75
C. Desimbolisasi Islam di Arab Saudi .......................................... 93
1. Perempuan sebagai Manusia Rasional ............................... 94
2. Cadar sebagai Media Kuasa ........................................... 107
3. Politisasi Keperawanan ................................................... 114
D. Negara dan Horizon Islam Arab Saudi................................... 126

BAB V ...................................................................................... 139


PENUTUP ................................................................................. 139
A. Kesimpulan ........................................................................... 139
B. Kritik dan Saran .................................................................... 141

xx
0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kehidupan masyarakat Arab menjadi perhatian dunia selama dua
dekade terakhir. Dunia melihat bahwa kehidupan masyarakat Arab jauh
tertinggal peradabannya dari segi kebudayaan dan keagamaan. Mereka
menilai bahwa kekerasan yang atas nama agama sudah tidak lagi relevan
untuk saat ini. Sementara dunia menilai bahwa masyarakat Arab masih
mempertahankan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalsah,
baik atas nama agama maupun budaya. Juga tidak sedikit cara ini
berpengaruh pada individu secara langsung, sehingga banyak orang-
orang Arab menjadi pelaku kekerasan, baik di negaranya sendiri maupun
di negara lain1 Dari aspek politik, negara Arab dipandang sebagai negara
yagn tidak berpihak pada masyarakat dan cenderung melanggar hak asasi
manusia.2 Sehingga terlihat jelas bahwa masyarakat Arab hidup dalam
ketimpangan dalam berbagai hal seperti jender, ekonomi, pendidikan dll.
Masalah yang lebih banyak mendapat perhatian utama dunia
adalah segala aspek yang berkaitan dengan hak asasi, berpikir-
berpendapat dan perempuan. Beragam penelitian dan spekulasi pun
bermunculan tentang kajian hak asasi dan perempuan di dunia Arab. Ada
yang berkesimpulan bahwa masyarakat Arab hidup dalam banyak
ketimpangan ketimpangan, mulai dari jender, pendidikan, politik dan
ekonomi. Penyebab ketimpangan dalam kehidupan masyarakat Arab
adalah karena penerapan hukum Islam.3 Ada pula yang berpendapat
budaya patriarki sebagai penyebab ketimpangan, khususnya jender. Lain
lagi, dengan Nawal Sa’adawi, ia berpandangan bahwa kehidupan sosial
masyarakat Arab dikendalikan oleh kekuasaan dan kolonialisme yang
dipertahankan oleh budaya patriarki. Ia menilai bahwa kolonialisme
mempunyai peran penting dalam membangun struktur budaya di negara

1
Nikolaos Van Dam, Islam dalam Pandangan Barat, (Republika, 29/10/
2009), www.nikolaosvandam.com/pdf/article/20091029nvdamarticle01id.pdf,
akses 25 Agustus 2015
2
Lama Abu-Odeh, Honor, Feminist Approaches to, dalam Suad Josep
Asfa>na> Nagma>ba>di> (ed), Encyclopedi of Woman and Islamic Culture; Family,
Law and Politic, (Leiden, Brill, 2005), 225
3
Kristina Nordwall, Egyptian Feminism; The Efec of the State, Popular
Trend and Islamic on the Woman’s Movement, 2008,
https://www.coloradocollege.edu/dotAsset/f2b083ed-ed66-486f-aa1d-
e8d634937f21.pdf, akses 10 september 2013

1
Arab.4 Persoalan ketimpangan dalam masyarakat Arab juga diungkap
oleh Ha>ni Naqshabandi melalui Novelnya yang berjudul Ikhtila>s. Dalam
novel itu ia menggambbarkan Arab Saudi sebagai kesatuan budaya,
negara dan agama sekaligus. Ha>ni Naqshabandi sebagai penulis kelahiran
Arab Saudi, di dalam novelnya seolah-olah menulis kembali cerita
kehidupa yang ia lihat, alami dan rasakan sebagaimana kehidupan Arab
Saudi berjalan.
Ha>ni Naqshabandi menggunakan Arab Saudi dengan jelas
sebagai latar bangunan ceritanya. Cerita itu berkisah tentang kehidupan
keluarga Arab Saudi, dinamika agama dan budaya terjadi di dalamnya.
Dinamika agama dan budaya ini diceritakan oleh Ha>ni Naqshaband
terjadi dalam keluarga tokoh Sarah, baik keluarga yang berasal dari
orang tuanya maupun keluarga intinya setelah menikah. Ia juga
menceritakan bagaimana situasi pendidikan berlangsung di Arab Saudi
yang ia tulis melalui tokoh Hisyam dan cerita keluarga yang dikirim oleh
Sarah kepada Hisyam sebagai pemimpin redaksi Majalah Perempuan.
Sebagai pembaca ‘luar’ cerita yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi
seperti sesuatu yang hampir mustahil terjadi di Arab Saudi dan cerita
yang ia tulis juga terkesan tendesius dalam melihat realitas kehidupan
masyarakat. Ha>ni Naqshabandi yang menggunakan latar Arab Saudi
dalam ceritanya seolah-olah ingin memperlihatkan apa yang ada dalam
cerita itu sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Cara bercerita realis
yang dipilih Ha>ni Naqshabandi untuk mengungkap ide dan gagasan
tentang budaya dan agama dalam kehidupan Arab Saudi yang
dibangunnya mengukuhkan dugaan itu. Terlebih lagi status Ha>ni
Naqshabandi sebagai penulis asal Arab Saudi semakin memperkuat
dugaan menjadi keyakinan pembaca bahwa Ha>ni Naqshabandi tengah
melakukan kritik terhadap bangsanya.
Di bandingkan dengan negara yang ada di Timur Tengah,
memang banyak kesamaan ide dan gagasan yang dituangkan Ha>ni
Naqshabandi dalam novelnya dengan para pemikir Arab, yakni ide
tentang kebebasan, kemerdekaan perempuan, hak asasi dan hubungan
agama dengan politik. Dan cara Ha>ni Naqshabandi mengungkapkan ide
tentang Arab Saudi yang ada dalam novelnya, mendapat tantangan dari
masyarakat Arab Saudi sendiri, di samping ada yang mengapresiasinya.
Jika diperhatikan di beberapa negara di timur tengah, seperti Mesir,
upaya traformasi budaya memang selalu berhadapan dengan masyarakat
agama dan kekuasaan. Sementara mereformasi pemahaman keagamaan
agar mampu menjawab persoalan saat ini merupakan pekerjaan yang
tidak mudah. Sebab di negara Timur Tengah, agama lebih dekat dengan

4
Nawal el Saadawi, The Hidden Face of Eve (terj), (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2001), 8-9

2
kekuasaan dan bahkan merupakan legitimasi untuk kepentingan
kekuasaan.5 Kondisi ini pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan
keagamaan yang keras bahkan cendrung diskriminatif. Pada situasi
seperti ini, agama akan tertuduh sebagai sebab terjadi kekerasan dalam
masyarakat. Hal inilah yang terjadi dalam masyarakat Arab Saudi, di
mana agama menjadi sumber petaka bagi kehidupan. Agama tidak
menjadi bagian dari solusi dalam setiap masalah yang terjadi terkait
hubungan dalam masyarakat, terutama hubungan laki-laki dengan
perempuan. Alih-alih menjadi sumber kedamaian, agama justru menjadi
sumber petaka bagi sebagian perempuan. Atas nama agama segala
bentuk kekerasan menjadi sesuatu yang absah dilakukan oleh laki-laki.
Kekerasan itu bahkan sudah menjadi bagian dari tradis Arab Saudi. Hal
inilah yang menjadi tema utama novel Ha>ni Naqshabandi. Apa yang
ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi bisa jadi realitas yang benar-benar terjadi
dalam masyarakat Arab Saudi. Tetapi realitas yang ada dalam karya
sastra adalah realitas yang telah mengalami transformasi, realitas itu
tidak hanya merupakan dunia yang ‘baru’ tapi juga struktur baru.6
Sehingga ia menjadi sebagai cara Ha>ni Naqshabandi memahami praktek
budaya dan keagamaan secara umum.
Dalam melihat sebuah karya sastra, perdebatan sastra sebagai
cerminan realitas dan kemurnian gagasan pengarang memang selalu ada.
Hal yang sama juga terjadi dalam perkembangan sastra di Timur
Tengah. Di Mesir puncak perdebatan itu terjadi pada awal abad 20.
Sementara sastra berada pada posisi netral dalam semua persoalan
manusia baik yang terkait langsung dengan agama, sosial, budaya dan
politik.7 Barangkali dalam konteks inilah, pernyataan Roland Barthes

5
Ketika agama dijadikan legitimasi kekuasaan maka yang terjadi
adalah desakralisasi agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama tidak lebih dari
sekedar alat justifikasi kepetingan (politik) dan pembenaran terhadap segala
tindakan politik. Lihat Said Agil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial,
(Bandung; Mizan, 2006), 167-168.
6
Hans-Georg Gadamer, Truth and Methode terj. Ahmad Sahidah,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010), 137
7
Al-Ja>hiz}, al-Rasa>’il, (Mauqi‘ al-Waraq; tth), 22. Menurut al-Jahiz,
sastra adalah instrumen untuk mengawasi bahkan memperbaiki praktek
keagamaan dan non keagamaan (tradisi budaya, sosial dan politik) masyarakat.
Persoalan agama yang dirusak oleh muamalah manusia akan berpengaruh pada
kerusakan agama. Apabila kehidupan masyarakat tidak baik dalam hal
mu’amalah, itu menunjukkan buruknya pengamalan agama mereka. perbedaan
kehidupan manusia (dunia) dan agama (akhirat) hanya sebatas sifat dan
hukumnya saja. Itulah pentingnya negara dan politik, yaitu untuk mengatur
segala yang berkaitan dengan dunia.

3
yang mengatakan bahwa sastra akan menggantikan agama.8 Sebab
agama tidak dapat dijadikan sebagai sumber solusi dari permasalahan
hidup manusia dan sumber perdamaian. Itulah Seno Gumira Ajidarma
mengatakan bahwa sastra harus senantiasa bicara kebenaran dan
keadilan. Karena kebenaran yang ada dalam sastra adalah kebenaran
yang bebas dari kepentingan kekuasaan.9 Karya sastra hidup dengan
tujuannya sendiri. Ia menulis novel yang memuat kondisi budaya dan
tradisi keagamaan masyarakat Arab Saudi, serta dalam kaitannya dengan
pendidikan dan politik secara langsung. Sehigga keberadaan karyanya
ditanggapi sebagai antara cerminan dan penyebaran ide.
Dalam menanggapi karya Ha>ni Naqshabandi, masyarakat
pembaca terbelah menjadi dua kelompok, pertama, mereka menilai
bahwa Ha>ni Naqshabandi tengah melakukan upaya pembaharuan
terhadap pemahaman budaya dan keagamaan sekaligus. Kedua, mereka
yang menganggap bahwa apa yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi tidak
benar-benar menunjukkan kehidupan masyarakat Arab Saudi. Sehingga
mereka menyebut Ha>ni Naqshabandi melakukan tuduhan terhadap
masyarakat Arab Saudi. Tuduhan bahwa Ha>ni Naqshabandi telah
melakukan pembohongan tentang kondisi budaya dan keagamaan
masyarakat Arab Saudi cukup beralasan. Karena Ha>ni Naqshabandi
menggunakan istilah Arab Saudi sebagai latar ceritanya. Sehingga
menjadi wajar apabila yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi seolah-olah
menunjukkan kondisi masyarakat Arab Saudi itu sendiri. Sementara
yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi merupakan sebuah karya sastra,
yang merepresentasikan dirinya (karya) sendiri. Sebagaimana sifatnya,
karya sastra tidak merujuk pada realitas dan tidak juga pada
pengarangnya. Sehingga apa yang terdapat dalam sastra bukanlah fakta
yang ada dalam masyarakat, ia semata-mata ide dan gagasan yang
menjelaskan keberadaannya. Realitas kehidupan yang dialami atau
dilihat oleh pengarang tidak lebih sebagai sumber inspirasi dan wacana
yang akan dimunculkan dalam karya sastra. Antara realitas dengan
sastra tidak memiliki hubungan apa-apa selain hubungan apa yang

8
Akram Amiri Senejani, Sartre’s Existentialist View Point in No Exit,
International Journal on Studies in English Language and Literature (IJSELL),
Vol. 1, issue 3, (September, 2013), 15-16,
http://www.arcjournals.org/pdfs/ijsell/v1-i3/v1-i3-ijsell_2.pdf (akses 18 Februari
2015)
9
Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra harus
Bicara, (Yogyakarta; Bentang, 1997), 1-3
4
dianggap benar oleh pembaca dengan wacana yang ada dalam teks
sastra.10
Sastra bukanlah sesuatu yang memang terjadi dalam konteks
peristiwa, tempat, waktu dan tokoh. Sebab tokoh yang ada dalam sastra
merupakan tokoh ciptaan pengarang yang tidak terlibat dalam segenap
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Tokoh yang ada dalam
cerita Ha>ni Naqshabandi adalah tokoh ciptaannya sebagai pengarang.
Demikian pula dengan dialog yang ada dalam teks sastra adalah dialog
yang direka-reka oleh pengarang berdasarkan pengetahuan dan
perasaannya sendiri. Jika ada persamaan nama tokoh, nama tempat atau
peristiwa yang terjadi dengan kenyataan maka hal itu tidak lain selain
kebetulan.11 Sebagai insan budaya, manusia memiliki potensi untuk
meniru dan menciptakan hal lain dengan unsur yang sama dari yang
ditirunya baik dari alam, pengalaman, budaya dan sosial.12 Pengarang
dalam proses penciptaan karya sastra juga dipengaruhi oleh hal di
sekitarnya. Apa yang pernah dilihat, didengar dan diketahui oleh
seseorang tidak menutup kemungkinan ia juga akan menggunakannya
sebagai ‘bahan mentah’ untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan
bahan yang sama. Sehingga pengarang dalam memaparkan cerita dengan
penggunaan nama kota, nama orang, nama negara sebagai bahagian dari
sebuah karya tidak dapat dihindari.
Apa yang disebutkan dalam karya bukanlah ditulis secara apa
adanya sebagaimana sejarawan menuliskan laporannya. Juga tidak dapat
maknai secara tekstual sebagai sebuah peristiwa yang tengah terjadi
sesuai dengan nama tempat dan lokasi terjadinya.13 Sebab pengarang
ketika mencipta karya, seperti yang dikatakan oleh Wellek dan Warren,
mengacu pada imajinasinya karena ketika itu pengarang berada pada
dunia imajinasi dan menciptakan sendiri dunianya dengan pengetahuan

10
Tzvetan Todorov, Qu’est-ce que le Structrualisme, (Paris; Seuil,
1968), terj, Okke K.S Zaimar dkk, 16
11
Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra dan Pembaca,
Lingua, Vol. 20, No. 01, (Juni 2006), 24,
http://citation.itb.ac.id/pdf/JURNAL/JURNAL%20LINGUA/VOL%201%20No
.1%20JUNI%202006/PENGARANG.pdf (akses 11 November 2014)
12
Hiro Tugiman menjelaskan bahwa salah satu naluriah manusia
adalah meniru tingkah laku sesama manusia. Karena dorongan ini pula manusia
mampu menciptkan tradisi dan budaya dalam hidup mereka. Hiro Tugiman,
Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto, (Yogyakarya, Kanisius, 1999),
58-60
13
Hal ini sebagaimana dikatakan Paul Recoeur bahwa tulisan
merupakan manivestasi dari sesuatu yang baru muncul dalm pembicaraan,
namun ia berada di bawah dialektika peristiwa. Paul Recoeur, The
IntrepretationTheory, terj. Musnur Heri, Yogyakarta; IncriSod. 2012.
5
yang dimilikinya.14 Sehingga dunia dalam karya sastra tidak lagi dunia
yang ada dalam kenyataan meski kadang terdapat persamaan dan tidak
jarang pula terdapat perbedaan yang sangat mencolok.15 Adanya
kesamaan yang terdapat dalam karya sama sekali bukan karena
pengarang menjelaskan apa yang terjadi, siapa yang melakukan dan
kapan sebuah peristiwa terjadi, tetapi dunia dalam sastra itu adalah
dunia baru yang diciptakan oleh pengarang dalam imajinasinya sendiri
dan ditulis menjadi cerita.
Sebaliknya, adanya perbedaan dunia yang ada dalam sastra dan
kenyataan bukan pula sebagai bentuk penafian pengarang terhadap
kenyataan tapi semata-mata karena itulah dunia yang ada dalam
imajinasi pengarang. Apabila realitas yang ada dalam karya sastra tidak
sesuai dengan kenyataan yang dihadapi, dilihat atau dirasakan oleh
pembaca, maka seorang sastrawan sesungguhnya tidak sedang berdusta
pada pembaca sehingga tidak ia perlu dianggap sedang melakukan
penipuan.16 Pengarang juga tidak sedang berpihak pada berbagai
kelompok atau sedang menyebarkan ideologi tertentu.17 Sebab sastra
tidak mampu mewadahi ideologi untuk mempengaruhi pembaca kecuali
sebuah nilai keadilan dan kebenaran. Sastra tidak berada pada posisi
benar atau tidak benar sebab antara keduanya itulah sastra menentukan
kedudukannya sebagai fiksi.18 Sastra semata-mata karangan yang
menjelaskan tentang pemikiran manusia dengan cara tidak langsung atau
simbolik. Sebuah cerita adalah satu kesatuan yang bebas untuk dimaknai
apa saja. Pikiran dalam cerita itu sendiri akan senantiasa berubah sesuai
dengan konteks pembaca, siapa yang membaca dan kapan cerita itu
dibaca. Makna sebuah cerita dari waktu ke waktu, dan dari pembaca
dengan pembaca lain akan selalu berbeda tingkat kebenarannya.
Sesuai dengan perkembangannya, sejak awal abad 19 sastra
dunia termasuk di dalamnya sastra berbahasa Arab didominasi oleh

14
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra; Dari Strukturalis Genetik sampai
Post-Modernisme, Cet. IV Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2014, 43
15
Hans-Georg Gadamer, Truth and Metode, terj. terj. Ahmad Sahida,
Cet. II (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), 3-4
16
Wolfgan Iser menegaskan bahwa teks fiksi dibuat tidak merujuk
pada dunia nyata. Bahasa fiksi adalah bahasa bahasa simbolik yang tak serta
merta dapat dimaknai sebagai kenyataan. Melainkan hanya representasi dari
kenyataan. Wolfgan Iser, The Act of Reading, 1979, 1
http://home.comcast.net/~krmcnamara/syllabi/5132/Iser.pdf, 23 April 2015
17
Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra dan Pembaca, 24-
25
18
Tzvetan Todorov, Qu’est-ce que le Structrualisme, (Paris; Seuil,
1968), terj, Okke K.S Zaimar dkk, 15

6
sastra dengan gaya realisme.19 Gaya realisme itu berkembang ke seluruh
penjuru dunia sebagai bentuk perjuangan melawan kapitalis dan
kepedulian terhadap orang-orang lemah. Dampak dari sastra dengan
gaya realisme ini adalah pembaca sering terjebak dan menganggap
bahwa apa yang ada dalam sastra adalah sebuah kenyataan yang
memang terjadi dan bahkan dialami oleh pengarang. Dilihat dari
teksnya, sastra realisme lebih kepada pandangan pengarang terhadap
suatu peristiwa tertentu. Pengarang dalam hal ini membaca dan
memaknai peristiwa itu lalu menjadikannya sebagai sebuah karya
dengan membangun struktur yang baru. Dalam hal ini jelas pengarang
menulis hasil pembacaannya terhadap realitas. Melalui pembacaannya
itu, ia meminjam nama-nama benda, tempat, dan menyematkan sifat-
sifatnya, lalu menumpahkan hasrat dan pikirannya ke dalam karya. Ia
menggunakan simbol-simbol yang dilihatnya untuk menjelaskan
pikirannya terhadap peristiwa yang dilihat, didengar atau dibacanya. Ali
Harb menegaskan bahwa pembacaan terhadap teks, benda atau peristiwa
tidak terlepas dari penyerupaan.20
Di Arab sendiri sastra bergaya realisme baru muncul di negara-
negara Arab pada awal abad 20. Di mana apa yang disampaikan oleh
karya sastra tidak lagi menggunakan bahasa pengandaian seperti zaman
keemasan sastra Arab belasan abad yang silam,21 tetapi lebih bersifat
terang-terangan. Akibat dari sastra realisme22 ini, maka dunia yang

19
Maksud dari sastra realisme sebagaimana terdapat dalam Kamus
Bahasa Indonesia adalah sastra yang berusaha menceritakan sesuatu
sebagaimana adanya, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; PPPB, 1983), 1736.
Sebagaimana dikutip oleh Greg Soetomo, Lucacs berpendapat bahwa sastra
realis itu adalah menciptakan karya sastra dengan menjadikan kehidupan
individu dipotret sebagai satu narasi dalam seluruh dinamika sejarah
masyarakatnya. Greg Soetomo SJ, Krisis Seni Krisis Kesadaran, (Yogyakarta;
Kanisius,2003), 55
20
Ali Harb, Naqd al-Haqi>qah terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta,
Lkis, 1995), 1-2
21
Kesusasteraan Arab sejak zaman jahiliah hingga pada masa awal
Islam lebih banyak menggunakan bahasa kiasan, baik dalam bentuk metafora
(isti‘a>rah), perbandingan (tashbi>h) untuk tujuan madh (pujian). Lihat Fuad
Effendy, Madah Nabawi dalam Kesusasteraan Arab, (2002), dalam Jurnal
Prosiding Seminar Akademik, sastra.um.ac.id/wp-
content/uploads/2009/10/Sekilas-tentang-Madah-Nabawi-dalam-Kesusasteraan-
Arab-A.-Fuad-Effendy.pdf, Jurnal Prosiding Seminar Akademik, Vol. 2, 2002,
74-75
22
Dalam Kamus Istilah Sastra dikatakan bahwa realisme adalah aliran
sastra yang mengungkap kehidupan apa adanya dan tak punya hubungan dengan
idealisasi seperti memaknai sesuatu yang indah dengan tak indah. Aliran ini

7
diciptakan oleh pengarang kadang sering menampakkan kesamaan
dengan dunia pembaca sehingga seolah-olah dunia dalam cerita adalah
dunia yang dialami, dilihat dan dirasakan oleh pembaca. Sebaliknya
tidak jarang apa yang digambarkan oleh pengarang dalam cerita berbeda
dengan dunia yang mereka temui dalam kehidupan. Tidak berbeda
dengan negara lain, di Arab Saudi sastra realis sebagai instrumen
pembebasan muncul karena masyarakat Arab secara umum sudah tidak
dapat menerima kenyataan secara logis tentang apa yang terjadi,
terutama masalah sosial dan politik dalam kaitanya dengan agama dan
hak asasi manusia. Model ini berkembang di Arab, agar pembaca dapat
belajar dari pengalaman tokoh dalam sastra.23
Ha>ni Naqshabandi menulis novel berjudul Ikhtila>s yang bercerita
tentang perempuan yang menggugat tradisi masyarakatnya seperti
tradisi memakai cadar,24 hukum negara yang mewajibkan setiap orang
untuk masuk ke dalam masjid dan melakukan shalat ketika masuk waktu
shalat dengan paksaan polisi syari’at,25 keberadaan polisi syari’at yang
mengawasi masyarakat Saudi di tempat-tempat umum,26 pandangan
masyarakat Saudi terhadap perempuan sebagai makhluk yang lemah,
kurang akal dan imannya,27 tradisi malam pertama pengantin yang tidak
ramah,28 kewajiban perempuan keluar rumah tanpa mahram, hukum
negara yang mengawasi bacaan siswa di sekolah, peran negara
mengawasi media massa,29 serta pandangan mayoritas terhadap
perempuan sebagai orang yang harus tunduk pada laki-laki seperti ayah,
saudara dan suami.30 Sekilas novel Ikhtila>s ini, pembaca akan
berpendapat bahwa tradisi memakai cadar bagi perempuan Arab Saudi
adalah simbol kesalehan untuk menyembunyikan segala keburukan
dalam masyarakat. Karena pada kenyataannya masyarakat Arab Saudi

menolak aliran romatisme, dan doktrin seni untuk seni. Abdul Rozak Zaidan
dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta; Balai Pustaka, 2004), cet. III, 68
23
Susan Baqri>, al-Riwayah al-‘Arabiyah al-Hadithah, 2010,
http://www.diwanalArab.com/spip.php?page=article&id_article=25310, akses 7
Agustus 2014. Menurut Muhammad Ha>di Muradi awal munculnya sastra
realisme ini adalah karena mengikuti model penulisan novel populer dan belum
mempertimbangkan hal-hal penting. Baru setelah enam puluh tahun kemudian
mulai memasuki era baru yaitu melibatkan ideologi, kebudayaan dan
kemanusiaan. Lebih lengkap lihat Muhammad Ha>di Mura>di, Lamhah ‘An
Z}uhuri al-Riwayah al-‘Arabiyah wa Tat}awwuriha>, 2011, tt
24
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, (Beirut; Dal al-Sa>qi, 2010), 10-11
25
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, 13
26
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, 11-13, 47-50
27
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, 35, 99-101, 254
28
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s , 299-245
29
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, 52-54, 65, 198
30
Ha>ni Naqshabandi, Ikhtila>s, 18, 37-39,

8
tidaklah seperti yang terlihat pada pakaiannya.31 Hal itu juga dapat
dilihat dari kebiasaan laki-laki Arab yang keluar rumah selama berhari-
hari atau bahkan berbulan-bulan tanpa memperhatikan hak nafkah
terhadap seorang istri. Demikian pula dengan keberadaan pembantu
rumah tangga yang sering menjadi korban seksual majikan laki-laki dan
perempuan Arab. Kesemuanya itu menurut Ha>ni Naqshabandi tidak
berbeda dengan apa yang terjadi di Barat. Di mana laki-laki secara
leluasa menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Hanya saja, di
Eropa orang melakukan itu secara terang-terangan dan di Arab secara
sembunyi-sembunyi dengan dalih dan atas nama agama.
Selanjutnya, kewajiban perempuan memakai cadar ketika keluar
rumah secara tersurat akan dipahami sebagai bentuk pengkhianatan
budaya dan politik dimana sebenarnya para polisi syari’at sering
menjadikan perempuan yang melanggar peraturan itu sebagai objek
pelecehan seksual pula. Prilaku polisi syariat itu merupakan rahasia
umum di Saudi baik di kalangan penegak hukum itu sendiri maupun
masyarakat terutama perempuan yang menjadi korban mereka. Ini
berarti bahwa penegak hukum untuk tujuan syari’at, menurut Ha>ni
Naqshabandi melanggar hukum lain bahkan secara sadar. Persoalan-
persoalan lain yang menjadi perhatian Ha>ni Naqshabandi akan dijelaskan
secara tematik, dimaknai dan dianalisis pada bab IV secara rinci. Dengan
demikian, adalah wajar jika cerita yang terdapat dalam novel Ikhtila>s itu
dianggap oleh sebahagian orang sebagai gambaran sosial dan keagamaan
masyarakat Saudi. Sebab apa yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi sama
dengan apa yang dikira benar oleh pembaca baik di Arab sendiri maupun
di luar Arab. Perempuan Indonesia misalnya, sebagai pembantu rumah
tangga di Arab Saudi tak jarang mendapat perlakuan yang mirip dengan
apa yang diceritakan oleh Ha>ni Naqshabandi. Demikian pula dengan
tuntutan para feminis Arab yang mengeluhkan peraturan tentang
larangan keluar rumah atau menyetir sendiri bagi perempuan. Jika
sebuah karya dilihat dengan cara berfikir Tzvetan Todorov, maka
apabila dunia perempuan, kondisi sosial dan agama sebuah negara yang
dinamakannya Arab Saudi seperti dalam novel Ikhtila>s sesuai dengan
apa yang terjadi, maka hal itu merupakan wacana sastra Ha>ni
Naqshabandi yang sesuai dengan cerita yang dikira benar oleh
pembaca.32

31
Kesimpulan pembaca bahwa hal itu merupakan pengkhianatan jika
hanya dimaknai secara tekstual sebab disebutkan dalam teks novel bahwa hal
itu adalah pengkhianatan. Padahal novel mengungkap banyak tema dan menjadi
masalah sosial dan keagamaan masyarakat Saudi.
32
Tzvetan Todorov, Qu’est-ce que le Structrualisme, (Paris; Seuil,
1968), terj, Okke K.S Zaimar dkk, 16

9
Tema novel Ikhtila>s ini adalah tentang pengkhianatan keluarga.
Tema ini dipilih Ha>ni karena memang semua berawal dari keluarga, baik
pemahaman agama maupun sosial budayanya. Setelah novelnya beredar,
ia dianggap oleh Muba>rak bin Sa‘i>d bin Muba>rak Ali Za‘i>r sebagai orang
yang telah menyebarkan pandangan Barat terhadap masyarakat Saudi. Ia
mengatakan bahwa citra yang ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi tentang
masyarakat bukanlah citra sebenarnya tetapi lebih kepada citra
masyarakat Barat.33 Naser Bin Yahya al-Hunaini mengatakan bahwa
Ha>ni adalah pengarang yang menulis karya sastra dengan memuat hal
yang tidak mendidik dan merusak moral.34 Selain Muba>rak bin Sa‘id bin
Mubarak Ali Za‘ir ada yang lebih ekstrem yang menuduhnya sebagai
seorang murtad dan kafir. Mahmud Saleh adalah satu diantara orang
mengatakan bahwa Ha>ni Naqshabandi telah menyerang bangsa Arab
dengan mengatakan bangsa Arab Saudi tidak berpendidikan dan
bermartabat. Tulisan Mahmud ini berjudul al-Masha>yikh Kafaru> ‘al-
Naqshabandi’ wa Ihsan ‘Abd al-Quddu>s al-Khali>j.35 Ia menyatakan
bahwa cerita yang dibangun oleh Ha>ni Naqshabandi tidak hanya
menyinggung hal ihwal persoalan perempuan, sosial dan budaya tapi
juga terdapat tema politik dan agama di dalamnya. Kesemua tema itu
diberi judul oleh Ha>ni Naqshabandi dengan Ikhtila>s yang jika diartikan
secara bahasa berarti merampas, mencuri dan tipuan.36
Adnan Babel berpendapat bahwa lahirnya sastra yang menolak
tradisi, mengungkap hal yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat
dan memberikan perspektif baru dalam sastra Arab adalah karena
membaca karya sastra akan berdampak pada cara pandang masyarakat.
Ketika sastra diungkap dengan gaya bahasa yang indah dengan banyak
33
Mubarak bin Sa‘id bin Mubarak Ali Za‘ir, S}u>rah al-Garb fi> al-
Riwa>yah al-Sa‘udiyah, (Riyad; al-Jami’ah al-Ima>m Muhammad bin Sa‘ud al-
Islamiyah, 2007),
http://merbad.net/vb/printthread.php?t=2433&pp=5&page=130, akses 14
oktober 2014.
34
Naser bin Yahya dan Abdullah bin Salah al-Barrak, Mu‘rid} al-Kita>b
Wa Maujah al-Ilha>d, 2008, Sebelum novel Hani Naqshabandi ini ada pula novel
lain yang dianggap oleh Mubarak sebagai novel yang memuat citra Barat seperti
novel La Z}illa Tahta al-Jabal karangan Muhammad ‘Ali al-Magribi, 1979,
Zaujati Wa Ana karangan ‘Is}a>m Fauqi>>r, 1982, Saqf al-Kifayah karangan
Muhammad Hasan al-‘Ulwan, 2002 dan masih banyak lagi. Dalam artikelnya ia
juga menyinggung novel Najib Mah}fuz} sebagai novel yang dianggap menghina
Tuhan, http://www.alukah.net/sharia/0/1877/#ixzz3P3qGrsJv.
35
Mahmud Saleh, al-Mashayikh Kafaru> ‘al-Naqshabandi’ wa Ihsan
‘Abd al-Quddu>s al-Khali>j, 2014, http://elsaba7.com/articledetails.aspx?id=2145,
akses 13 Januari 2015
36
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Munawwir, (Jawa Timur;
Pustaka Progresif, 2002), 359

10
pengandaian, maka ia akan membutuhkan interpretasi dari yang
berwenang untuk menjelaskan makna sastra itu. Sementara pembaca
menginginkan sastra Arab berada pada posisi di mana setiap orang
mampu melihat nilai dan situasi sosial dalam kondisi apa adanya tanpa
dilebih-lebihkan. Sastra Arab saat ini (termasuk karya Ha>ni) menurutnya
lebih banyak mengungkap hal yang selama ini ditutupi oleh masyarakat
Arab dan berbicara tentang persoalan di balik hijab. Hal itu meliputi
masalah pemahaman keagamaan, sosial, politik dan pendidikan di Arab
Saudi. Gha>zi al-Qus}ibi menyatakan juga ketika membahas novel Bana>t
al-Riya>d,} ketika tirai dalam masyarakat dibuka maka nampaklah semua
yang ada di baliknya, baik lelucon, kesenangan dan kesedihan. Namun
semua itu lebih banyak berkaitan dengan masalah perempuan bukan
masalah kemanusiaan secara umum. Di balik itu pula akan diketahui
batas-batas yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun yang ada di dunia
ini.37
Menurut Hifzul Rahman al-Ishlahi bahwa sastra Arab akhir-
akhir ini kembali menjadi alat penyadaran masyarakat setelah selama
bertahun-tahun menjadi sarana hiburan yang tidak berarti di kalangan
masyarakat. Karya sastra terutama novel dijadikan sebagai media
merefleksi kondisi sosial masyarakat sekaligus tranformasi nilai budaya
dan tradisi, ekspresi nilai dan pikiran masyarakat, serta ide tentang hak
dan kemerdekaan individu. Dari aspek ini, maka sastra Arab sedang
memasuki reformasi seni dengan menjadikan persoalan sosial sebagai
persoalan sastra untuk menyebarkan kebudayaan baru dan mungkin akan
menggantikan peradaban Arab. Ia menegaskan bahwa maraknya novel
yang berbicara tentang persoalan sosial, intelektual, hak dan membawa
serta nilai dan peradaban Eropa akan merusak tatanan kehidupan sosial
seperti yang pernah terjadi pada awal abad 20. Banyak penelitian yang
menjelaskan tentang sastra Arab yang memuat persoalan sosial seperti
Abdul Aziz Mis}ri yang mengatakan bahwa novel Arab menceritakan hal
yang tersembunyi di balik politik, budaya dan ekonomi Saudi. Sejak
awal tahun 2000, novel yang tersebar di Arab Saudi didominasi oleh
tema tentang pendidikan perempuan, kawin paksa di Arab Saudi,
persoalan hak-hak perempuan, konflik serta ambisi politik sekelompok
orang, dan radikalisme. Namun demikian semua persoalan Saudi hampir
tidak lepas dari masalah perempuan.38

37
Adnan Babel, T}aufan al-Riwa>yah al-Sa‘udiyah, 2008
http://www.elaph.com/ElaphWeb/Culture/2008/5/332071.htm#sthash.LcJQHGja.
dpuf, akses 14 Oktober 2014
38
Hifzul Rahma>n al-Ishlahi, al-Naz‘ah al-Ijtima>‘iyah fi Riwayah al-
Sa‘udiyah, http://www.alriyadh.com/644161, akses 14 Oktober 2014
11
Hifzul al-Rahma>n, Susan Khawa>timi lebih menekankan pada
aspek penyajian novel. Ia memandang bahwa novel Arab tersebut tidak
sedang memprovokasi pembaca untuk menentang tradisi, agama atau
memberikan pandangan liberal, cara pandang feminis dalam novel
mereka tapi sedang berupaya memberikan gambaran yang objektif
tentang masyarakat Saudi. Wanita dalam novel Arab digambarkan
sebagai seorang yang berada dalam tekanan seorang ayah, saudara laki-
laki, tradisi dan budaya patriarkat. Semua itu tidak lebih dari sekedar
memberikan kesadaran pembaca tentang situasi Saudi Arabia dan
sosialnya.39 Tak terkecuali Ha>ni Naqshabandi yang juga ikut menyajikan
fiksi yang berisi persoalan sosial Arab Saudi secara umum dan
menyatakan bahwa perempuan merupakan korban tidak langsung dari
pemahaman agama yang kaku.
S}alah Fadl menilai bahwa mengungkap sesuatu yang
tersembunyi secara radikal seperti yang dilakukan oleh Ha>ni
Naqshabandi merupakan tindakan yang sangat berani untuk mengubah
tradisi dan pandangan umum Saudi Arabia. S}alah Fadl bahkan
membandingkan Ha>ni Naqshabandi dengan Ihsan ‘Abd al-Quddu>s yang
juga berusaha untuk memberikan bentuk baru terhadap Mesir namun
dengan cara beransur-ansur mengubah tatanan politik, budaya dan
gerakan sosial. Namun Ha>ni, menurut S}alah Fadl melakukannya
sekaligus dengan melibatkan persoalan agama, budaya dan politik Arab
Saudi.40 Di dunia fiksi Ha>ni Naqshabandi, Arab Saudi digambarkan
sebagai negara konservatif yang menerapkan hukum Islam secara kaku.
Sedangkan Islam dalam pandangan masyarakat kebanyakan adalah titah
seorang laki-laki dan titah masyarakat. Akibat yang paling banyak
ditimbulkan dari penerapan Islam ini adalah menjadikan perempuan
sebagai orang pertama sebagai korban. Perempuan tidak berada pada
posisi yang mengutungkan. Islam yang diterapkan di Arab lebih kepada
Islam formalitas bukan Islam yang menjadi solusi bagi masyarakat.
Islam formalitas cendrung menjadi sumber masalah dalam kehidupan.
Sejauh ini, penelitian terhadap sastra Arab kontemporer lebih
banyak dilihat dari aspek feminisme dan politik. Citraan yang
ditampilkan adalah perempuan sedang melawan kekuasaan laki-laki
bahkan tengah bersaing untuk mendapatkan persamaan. Penelitian sastra

39
Susan Khawa>timi, al-Riwayah al-Sa‘udiyah al-Nisa’iyah,
http://www.annaharkw.com/annahar/Article.aspx?id=159253, akses 14 Oktober
2014
40
S}alah Fadl, Ha>ni Naqshabandi fi Riwa>yah al-Ikhtila>s, Jurnal al-
Ittiha>d, 10 September 2007,
http://www.alittihad.ae/details.php?id=136320&y=2007&article=full, 14
Oktober 2014

12
terutama sastra Arab Saudi, dalam kaitannya dengan perubahan sosial
sangat jarang ditemukan. Sehingga hasil penelitian itu tidak dapat
digunakan oleh dan untuk masyarakat di luar Arab dengan kondisi sosial
yang sama. Hal lain yang menjadi perhatian peneliti adalah kehadiran
Ha>ni Naqshabandi sebagai pendatang baru di dunia sastra. Namun
kehadirannya begitu mengejutkan banyak orang termasuk S}alh} Fad}l.
Sebagai pendatang baru, ia sudah dianggap oleh S}alh Fad}l telah
melakukan hal yang lebih berani dari tokoh perubahan sosial. Beberapa
kenyataan di atas menunjukkan pentingnya novel Ha>ni Naqshabandi ini
untuk diteliti yang akan dijelaskan pada bagian identifikasi dan
pembatasan masalah.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diungkap di atas, maka
dapat diidentifikasi beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut;
(1) Bagaimana budaya dan tradisi keagamaan di Arab Saudi? Bagaimana
sastra memandang kehidupan keagama dan politik di Arab Saudi, (2)
Bagaimana pemahaman agama yang ekstrim dalam masyarakat Arab
perspektif Ha>ni Naqshabani? (3) Bagaimana dampaknya terhadap
kebebasan berekspresi dan sosial perempuan? (4) Begaimana kehidupan
sosial agama masyarakat Arab Saudi perspektif Ha>ni Naqshabandi? (5)
Bagaimana Ha>ni Naqshabani melihat realitas perempuan Arab dalam
novel al-Ikhtilas? (6) Apa yang memengaruhi perubahan sosial budaya
Arab Saudi? (7) Wacana apa yang dimunculkan oleh Ha>ni Naqshabandi
dalam novel al-Ikhtilas? (8) Bagaimana Ha>ni Naqshabani memandang
kebebasan berfikir dan berekspresi di Arab Saudi? (9) Bagaimana
hubungan negara dan agama serta dampaknya terhadap perkembangan
Islam dan keadilan masyarakat?
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini akan dibatasi pada analisis kajian masalah budaya dan
tradisi keagamaan masyarakat Arab Saudi dengan novel Ikhtila>s yang
ditulis oleh Ha>ni Naqshabandi sebagai objek penelitian. Permasalahan
pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah Bagaimana budaya
dan tradisi keagamaan masyarakat Arab Saudi dalam pandangan Ha>ni
Naqshabandi? Analisis ini menjadi penting dilakukan mengingat Ha>ni
Naqshabandi sebagai penulis asal Arab Saudi menulis novel Ikhtila>s saat
ia telah lama hidup di London. Meskipun fokus pembahasan ini adalah
budaya dan tradisi keagamaan, namun pengungkapan gagasan besar Ha>ni
Naqshabandi yang terdapat dalam novel merupakan konsekuensi logis
dari penelitian ini. Demikian pula dengan cara Ha>ni Naqshabandi
memahami realitas budaya dan tradisi masyarakatnya sendiri sebagai
orang ‘luar’ Arab Saudi.
13
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis novel Ikhtila>s karya Ha>ni
Naqshabandi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan sebagai berikut;
mengelaborasi budaya dan tradisi keagamaan masyarakat Arab Saudi
yang terdapat dalam novel Ikhtila>s.

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Penelitian yang relevan dengan penilitan ini antara lain adalah;
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Pia Masiero yang berjudul
Roth's The Counterlife and the Negotiation of Reality and Fiction,
(2014). Pia Masiero dalam penelitian membahas novel dari aspek
pembaca. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sastra sebenarnya
merupakan perjalanan pikiran seorang pengarang tentang realitas.
Kedua, Geir Farner, Literary Fiction The Way We Read Narative
Literature, (2014) yang berpendapat bahwa pemisah antara fiksi dan non
fiksi ada pada kesetiaan pengarang terhadap nilai kebenaran. Sementtara
teks sastra bukan fakta yang harus dibuktikan kebenarannya tetapi hanya
penghubung antara fiksi dan fakta. Ketiga, Zul Helmi, Sastra dan
tranformasi Sosial; Kajian Realisme Sosialis novel Zaynab Karya
Haykal, (2015). Ia menyimpulkan bahwa semakin realis suatu sastra
semakin tinggi tingkat kritiknya terhadap persoalan sosial.
Kelima, Mudjia Rahardjo, Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik;
Analisis Hermeneutika Pidato Gusdur, (2005). Mudjia Rahardjo
menyimpulkan bahwa wacana yang dikemukakan oleh produsen wacana
tidak dapat dipahami secara tunggal. Wacana apa saja akan ditafsirkan
oleh masyarakat yang mempunyai kepentingan berbeda dalam berbagai
hal. Meskipun demikian, bahasa dapat digunakan sebagai piranti
pelanggengan kekuasaan selama tidak terjadi perbedaan kepentingan
antara pemilik wacana dengan masyarakat atau khalayak yang
menafsirkannya. Keenam, Ita Rodiah, Perempuan dan Narasi dalam
kesusasteraan Indonesia Kontemporer, (2014). Ita rodiah menyimpulkan
bahwa semakin opresif dan persuasif sistem nilai yang ada dalam
masyarakat maka akan semakin terlihat pengaruhnya terhadap genre
sastra dalam dunia imajinatif pengarang. Hal ini menunjukkan bahwa
realitas sosial mempengaruhi cara berfikir pengarang. Realitas sistem
nilai sosial yang opresif akan ditanggapi oleh penulis perempuan dengan
bentuk frontal-konfliktual dan begitu sebaliknya. Ketujuh, Steven Floyd
Surrency, Gadamer Analysis of Roman Chatolic Hermenutics; A
Diacronic Analysis of Intrepretation of Roman 1; 17: 2;17. Ia
berpendapat bahwa untuk memahami suatu teks, tidak harus melakukan
pengulangan terhadap teks itu sendiri. Tetapi dengan cara melakukan

14
dialog antara prasangka yang ada di lingkungan penafsir dengan teks.
Sehingga yang terjadi adalah reproduksi terhadap makna.

E. Metodologi Penelitian
Studi ini menggunakan metodologi penelitian kepustakaan. Data
primer dari penelitian ini adalah novel Ikhtila>s sebagai objek kajian. Hal
yang dikaji dari novel Ha>ni Naqshabandi adalah melihat dan menelusuri
sisi gagasan dan ide sebuah teks yang terkait dengan budaya dan tradis
keagamaan Arab Saudi yang terdapat dalam teks fiksi dan mengurainya
kembali secara deskriptif untuk kebutuhan penelitian. Setelah itu
menjelaskan dan mengurai makna teks tersebut terutama terkait dengan
sub tema yang terdapat dalam novel. Adapun data sekunder penelitian
ini adalah jurnal dan hasil penelitian yang terkait dengan tema
penelitian.
Penelitian ini menitikberatkan pada teks secara utuh dalam
rangka menelisik makna baru sebuah teks. Makna akan diurai melalui
setelah tema-tema budaya dianalisis secara mendalam sehingga teks
dapat dimaknai secara luas dengan pendekatan hermeneutika Gadamer.
Setelah itu, tema diuraikan secara deskriptif dan dijelaskan dengan
memberikan makna baru terhadap teks itu sendiri sebagai bentuk
reproduksi makna. Sebelum makna baru atau hasil pembacaan diungkap,
peneliti memberikan prapemahaman terhadap teks yang meliputi
masing-masing horizon pengarang, horizon teks dan penafsir. Setelah itu
dilakukan produksi asosiasi atau jaringan makna tingkat kedua -sebagai
konsekuensi pembacaan hermeneutika -agar ditemukan batin
keseluruhan teks yang menjadi ide besar Ha>ni Naqshabandi dalam
kaitannya dengan sastra dan pemahamannya terhadap budaya dan tradisi
keagamaan masyarakat Arab Saudi. Sehingga inti pesan sastra tidak
hanya berlaku untuk masyarakat Arab tapi juga berlaku pada setiap
pembaca dan sosial masyarakat berdasarkan konteksnya masing-masing.
Sistem pengolahan data ini dilakukan melalui pembacaan
menyeluruh terhadap teks, sehingga ide pokok dapat ditemukan. Ide
pokok sebuah teks yang dipilih dalam penelitian ini khusus yang terkait
dengan budaya dan tradisi keagamaan. Tema budaya dan tradisi
keagamaan yang dimaksud diungkap oleh teks dalam bentuk simbol-
simbol budaya, antara lain Pertama, tentang cadar yang menjadi
perhatian utama Ha>ni Naqshabandi. Tema tentang cadar bagi perempuan
ini menjadi pembuka cerita dalam novel Ikhtilas tersebut sehingga perlu
dijadikan sebagai tema khusus dalam penelitian ini. Cadar bagi
masyarakat Arab merupakan hal yang sangat penting bahkan sudah
menjadi tiang agama dan tradisi. Jika cara pandang terhadap cadar ini

15
dapat diubah maka persoalan lain yang berkaitan dengan tradisi dan
agama akan ikut terpengaruh.
Kedua, tentang keluarga. Setelah cadar, hal yang menjadi prinsip
dalam masyarakat Arab adalah keluarga. Dalam keluarga, laki-laki
adalah penguasa tunggal yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan kehidupan. Kebenaran titah laki-laki merupakan hal yang wajib
diikuti oleh perempuan Arab setelah al-Qur’an dan Hadis. Ketiga,
tentang kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat bagi
masyarakat Arab adalah hal sulit untuk diterima. Apalagi jika terkait
dengan hal yang bersifat keagamaan, tradisi dan politik. Sehingga tema
ini menjadi penting untuk dikaji. Keempat, tentang hal politik dan
agama dalam masyarakat Arab. Di Arab Saudi antara politik dan agama
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pada tema ini maka
yang menjadi perhatian Ha>ni Naqshabandi adalah persoalan peraturan
tentang keberadaan polisi syariah yang mengawasi pakaian perempuan,
umat islam yang berkeliaran ketika masuk waktu shalat dan perempuan
yang keluar rumah tanpa mahram. Kelima, adalah tentang pendidikan
dan Guru atau ulama yang berada dalam pengawasan pemerintah.
Pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan tema tersebut adalah
pendekatan hermeneutika yaitu dengan menggunakan pendekatan
instrinsik41 sekaligus ekstrinsik42 sastra. Maksudnya adalah dengan
mengungkap pesan sastra melalui interpretasi teks itu sendiri dan
realitas serta respon pembaca sesuai dengan kebutuhan penelitian.43 Data
yang diperoleh dari novel akan dibagi berdasarkan sub tema dan
dianalisis dengan pembacaan hermeneutika Gadamer.

41
Pendekatan instriksik adalah pendekatan dengan memahami unsur
pembangun karya sastra mulai dari penokohan, alur, latar, kode dan struktur.
Pendekatan ini juga dianggap sebagai pendekatan yang objektif dalam menilai
dan mengapresiasi karya sastra sebab terlepas dari hal-hal di luar sastra dan
interpretasi. Cara ini dilakukan dengan melarutkan diri dalam karya sehingga
mampu merasakan apa yang disampaikan oleh pangarang. Lihat Yudiono K. S,
Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, (Semarang; Grasindo, 2009),109
42
Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan dengan memahami karya
sastra dengan melibatkan unsur yang berada di luar sastra namun mempengaruhi
struktur karya. Unsur ini seperti yang disebutkan Welek dan Waren adalah
biografi pengarang, wawasan, lingkungan, ekonomi, sosial budaya dan
pandangan hidup pengarang. Selain itu unsur di luar karya yang tak kalah
pentingnya adalah tanggapan pembaca atau masyarakat terhadap karya sastra
itu sendiri. Tanggapan ini dapat dilihat dari komentator, kritikus dan juga
percetakan yang terjadi secara berulangkali. Lebih lanjut baca Andri
Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Yogyakarta; Garudhawaca, 2014), 93-98
43
Marwan Saridjo, Sasta dan Agama, (Jakarta; Yayasan Ngali Aksara,
2006), 13-15

16
Alasan hermeneutika digunakan untuk analisis teks fiksi ini
adalah pertama, karena teks sastra ditulis dalam bahasa Arab dan ditulis
oleh penulis yang secara tradisi dan budaya berbeda dengan peneliti
sehingga dapat dikemukakan pemahaman baru terhadap teks dalam
rangka reproduksi makna karya sastra sekaligus hasil dari dialektika
antar budaya (horizon). Interpretasi teks fiksi ini akan menjadi luas dan
baru sesuai dengan maksud dan tujuan teks itu sendiri. Pemahaman yang
lahir dari analisis ini merupakan pemahaman yang bebas dari intervensi
penulis dan pembaca. Kedua, dalam menjelaskan pemahaman teks,
hermeneutika selalu mempertimbangkan keberadaan teks dan pembaca.
Dengan kata lain melalui analisis hermeneutika ini penelitian tidak akan
menjelaskan maksud dan tujuan pengarang yang subjektif dengan cara
melakukan pengulangan dari teks itu sendiri. Karena makna yang
dibawa oleh penulis terhadap teks yang dapat dijadikan ukuran sebuah
makna karya.44 Analisis ini juga tidak berpijak dari alasan orang-orang
yang menolak karya Ha>ni Naqshabandi dan mengatakan bahwa novel
Ikhtila>s merupakan bentuk westernisasi serta penyebaran ideologi Barat
yang menjadi bagian dari horizon teks itu sendiri. Alasan penolakan
terhadap sebuah karya (terutama masyarakat Arab Saudi sendiri)
merupakan pandangan yang sangat subjektif yang menjadi bagian dari
horizon teks karena ia bercerita tentang Arab Saudi itu sendiri.
Sehingga, pemahaman ini merupakan pemahaman yang historisme.
Pemahaman yang diharapak dari setiap orang yang membaca teks dan
mengalami sebuah karya adalah pemahaman dengan cara mengumpulkan
pengalamannya ke dalam totalitas pemahaman-dirinya sendiri.45
Pembacaan hermeneutika terhadap teks berarti berdialog dengan
teks itu sendiri. Menurut Gadamer, untuk memperoleh makna yang
paling dekat dengan sebuah teks adalah dengan mendialogkan fusi
horizon pengarang, horizon teks dan horizon penafsir. Horizon
pengarang dalam hal ini meliputi riwayat hidup pengarang, pengalaman
dan sejarahnya sendiri. Sebab pengarang dalam proses ciptaannya tidak
bisa lepas dari sejarahnya dalam membangun sebuah struktur dunia
dalam karyanya. Sementara yang dimaksud horizon teks adalah realitas
budaya yang dibawa dan dilingkupi oleh teks itu sendiri. Termasuk
dalam horizon teks ini adalah diskursus budaya yang dapat ditemui
dalam keseharian masyarakat Arab Saudi. Realitas budaya yang ada
dalam teks diverifikasi pada kenyataan yang dialami masyarakat Arab
Saudi. Namun upaya verifikasi ini hanya dilakukan berdasarkan doktrin
keagamaan yang berlaku secara resmi karena sulitnya data realitas

44
Hans-Georg Gadamer, Truth and Metode terj. Ahmad Sahida, Cet.
II, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), xv
45
Hans-Georg Gadamer, Truth and Metode terj. Ahmad Sahida, xiv

17
budaya Arab Saudi ditemukan. Selain itu juga pandangan pembaca novel
Ha>ni Naqshabandi atau dalam istilah Gadamer disebut sebagai
pandangan penikmat karya seni, juga menjadi pertimbangan dalam
memahami teks Ikhtila>s. Pandangan yang digunakan di sini antara lain
pemahaman S}alah Fadl yang mengatakan bahwa bahwa dengan gaya
realismenya, Ha>ni Naqshabandi berani mengungkap masalah peradaban
dan budaya Arab Saudi secara menyeluruh dan bisa dilihat dari aspek
apa saja.46 Pandangan S}alah Fadl di satu sisi dan masyarakat Arab Saudi
di sisi lain, akan di urai dalam bentuk dialektik dengan mempertanyakan
pemahaman masing-masing. Selain itu juga pandangan Muba>rak bin
Sa‘i>d bin Muba>rak Ali Za‘i>r yang menyebut Ha>ni Naqshabandi tengah
melakukan penyebaran virus dunia Barat. Namun demikian, pemahaman
teks yang akan diurai pada bab IV tidak akan bergantung pada hasil
pemahaman pengarang, teks dan pemahaman para pembacanya.
Penelitian ini difokuskan pada aspek dan masalah budaya dan tradisi
keagamaan yang terdapat dalam teks fiksi karena kedua aspek ini dalam
teks sastra Ha>ni Naqshabandi merupakan bagian yang sangat dominan.

F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan penelitian ini diurai menjadi lima
bab yang terdiri dari bab pendahuluan, bab tentang kajian teoritis dan
perdebatan akademik, dua bab tentang pembahasan dan satu bab
penutup. Pembagian bab ini diurai sebagai berikut;
Bab pertama, pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah
yang diteliti, identifikasi, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan
penelitian, penelitian terdahulu tentang objek yang dikaji dan penelitian
yang relevan dengan objek tersebut, metodologi penelitian. Pada bagian
pembahasan metodologi dijelaskan pula objek yang diteliti, teknik
pengumpulan data, sumber data dan pendekatan yang digunakan.
Selanjutnya pada sistematika penulisan dijelaskan penelitian secara
umum susunan penelitian per bab yang disusun sistematis.
Bab kedua, merupakan bagian yang menggambarkan secara
teoritis terkait dengan sastra sebagai hasil karya imajinasi dan realitas
budaya, bagaimana sastra memandang problem budaya masyarakat, dan
hermeneutika sebagai piranti analisis sastra. Pada bab dua ini akan
dijelaskan awal munculnya perbedaan sastra sebagai hasil kreatifitas
imajinasi/pemikiran dan sebagai cerminan realitas, pola hubungan

46
Salh Fadl, Ha>ni Naqshabandi fi> Riwayat al-Ikhtila>s, 2007,
http://www.ahram.org.eg/Archive/2007/9/10/WRIT3.HTM, akses 13 Januari
2015

18
problem budaya dan sastra serta bagaimana pula kedudukan realitas di
hadapan pengarang sebagai pencipta karya.
Bab ketiga menjelaskan biografi tentang Hani Naqshabandi yang
terdiri dari latar belakang pendidikan, kondisi sosial dan keagamaan
Hani Naqshabandi. Mengingat Hani sebagai keturunan Arab yang
menetap di Inggris maka penulis akan menjelaskan juga setting sosial
keagamaan kedua negara tersebut di mana Hani Naqshabandi menetap.
Pada bab ini akan dijelas pula posisi karya sastra Hani Naqshabandi yang
menuai kontroversi dan juga pro kontra kepengarang Hani Naqshabandi
di dunia Internasional. Selain itu hal yang menjadi perhatian Ha>ni
Naqshabandi sebagai mana terdapat dalam novel akan diuraikan
berdasarkan sub tema.
Bab keempat berisi tentang analisis karya sastra Hani
Naqshabandi melalui pendekatan hermeneutika Gadamer. Hasil analisis
dijelaskan dalam bentuk deskriptif dan dielaborasi sebagai hasil
pemikiran Hani Naqshabandi yang berkaitan dengan aspek budaya dan
tradisi keagamaan masyarakat Arab Saudi.
Bab kelima adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian sebagai jawaban dari tujuan penelitian. Selain
itu juga akan diutarakan pula rekomendasi untuk keperluan penelitian
sastra Arab, terutama dalam hal makna sebuah karya.

19

Anda mungkin juga menyukai