Anda di halaman 1dari 212

TAFSIR TEMATIK-SOSIAL

(STUDI ATAS ENSIKLOPEDI AL-QUR'AN DAN PARADIGMA AL-QUR'AN


KARYA M. DAWAM RAHARDJO)

Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

Oleh:
Faris Maulana Akbar
21191200000002

Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, M.A.

Konsentrasi Tafsir
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt,
al-raḥmān (Yang Maha Pengasih), al-raḥīm (Yang Maha Penyayang), dan al-hādī
(Yang Maha Pemberi Petunjuk). Berkat hidāyah dan ināyah-Nya penulis mampu
merampungkan penelitian ini. Salawat serta salam penulis haturkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad Saw yang telah memberikan suri teladan yang baik
bagi umatnya. Semoga kita senantiasa mampu mengikuti sunnah beliau sehingga
mendapatkan shafā’ah-nya. Amin.
Penyusunan tesis ini tidak akan bisa terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan,
arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Amani
Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seluruh jajaran civitas
academica Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Direktur Prof.
Phil. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Wakil Direktur Dr. Hamka Hasan, Lc., M.A.,
Ketua Program Studi Magister Pengkajian Islam Arif Zamhari, M. Ag., Ph.D.,
Sektretaris Program Studi Magister Pengkajian Islam Dr. Imam Sujoko, M.A.,
Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Ibu Asriati, S.Sos. serta seluruh stafnya, dan Kepala
Perpustakaan Agus Rifai, S. Ag., S.S., M. Ag.
Kementerian Agama Republik Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal
Pendidikan Agama Islam selaku penyenggara progam Pendidikan Magister Lanjut
Doktor (PMLD). Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan penuh ketelitian dan
kesabaran. Berkat bimbingan beliau, penulis banyak belajar hal-hal penting dalam
penelitian ilmiah dan metode penyajiannya. Seluruh dosen SPs atas segala motivasi,
ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang diberikan selama
menempuh studi. Seluruh guru penulis, terutama KH. Moh. Zuhri, BA. dan Prof. Dr.
KH. Ali Mustafa Yaqub, yang telah mengajarkan dan mendidik penulis banyak hal.
Keluarga penulis, Bapak Hasyim Asyari dan Mamak Dawiyah, Mas Nurul,
serta Dek Ila yang tak bosan mendoakan dan menyemangati penulis. Semoga
mereka dipanjangkan umurnya, senantiasa diberikan kesehatan, dan semoga segala
jerih payahnya dibalas dengan sebaik-baiknya pahala oleh-Nya. Teman-teman
seperjuangan PMLD yang selalu memberikan masukan dan motivasi selama ini.
Begitu pula kerabat di Komunitas Saung yang menjadi kawan diskusi selama ini.
Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian tesis ini yang tidak dapat
penulis satu persatu. Tesis ini merupakan salah satu upaya penulis dalam memahami
ayat-ayat-Nya sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan nyata. Semoga bermanfaat.

Ciputat, 14 Januari 2021

iii
ABSTRAK
Tafsir Tematik-Sosial (Studi atas Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-
Qur'an karya M. Dawam Rahardjo)
Diskursus tafsir tematik sebagai tafsir ideal era kontemporer di Indonesia
telah sampai pada pembagian dua arah penafsiran, yaitu dari teks ke realitas dan dari
realitas ke teks. Pemilihan salah satu dari dua arah penafsiran tersebut dianggap
menentukan hasil penafsiran yang aplikatif dalam menjawab problematika sosial di
masyarakat. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa arah penafsiran dari
realitas ke teks lebih diminati oleh para pengkaji tafsir karena dianggap sesuai
dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Tesis ini menyimpulkan bahwa tafsir tematik yang digagas M. Dawam
Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an adalah tafsir
tematik-sosial yang menjadikan realitas sosial sebagai titik tolak penafsiran. Dengan
bentuk tafsir ensiklopedis yang menjadikan kata-kata kunci sebagai pijakannya,
tafsir tematik-sosial ini mempunyai tiga titik tolak, yaitu: konsep ilmu-ilmu sosial
dan budaya, istilah-istilah al-Qur'an, dan istilah-istilah keilmuan Islam klasik.
Pemilihan konsep tersebut ditentukan berdasarkan permasalahan sosial yang terjadi
di masyarakat. Oleh karena itu, tafsir tematik-sosial menggunakan pendekatan
kontekstual berupa pendekatan sosial-historis untuk mendialogkan teks dengan
realitas.
Penelitian ini mendukung Lilik Ummi Kaltsum (2010) dan M. Wiyono
(2016) yang berpendapat pentingnya penafsiran dari realitas menuju teks serta
Adang Kuswaya (2011) yang menawarkan metode sosio-tematik untuk memecahkan
masalah di masyarakat.
Penelitian kualitatif ini berbentuk studi pustaka dengan menjadikan
Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo
sebagai sumber primernya. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode
deskriptif-analitik dengan pendekatan hermeneutika dan analisis wacana.
Pendekatan hermeneutika berfungsi untuk memahami tafsir tematik-sosial yang
ditulis oleh M. Dawam Rahardjo, konteks sosio-historis pemikirannya, serta
relevansinya dengan perkembangan ilmu tafsir di Indonesia. Pendekatan analisis
wacana digunakan untuk mengungkap wacana yang diusung Rahardjo dalam
penafsirannya.

Kata kunci: tafsir tematik-sosial, Ensiklopedi Al-Qur'an, Paradigma Al-Qur'an, M.


Dawam Rahardjo

iv
ABSTRACT

Social-Thematic Interpretation (Study of Ensiklopedi Al-Qur'an and Paradigma


Al-Qur'an by M. Dawam Rahardjo)
Thematic interpretation discourse as an ideal interpretation of the
contemporary era in Indonesia has arrived at the division of two interpretations,
namely from text to reality and from reality to text. The choice of one of the two
interpretations is considered to determine the results of the interpretation which are
applicable in answering social problems in society. Several recent studies indicate
that the direction of interpretation from reality to text is more attractive to
commentators because it is considered in accordance with the needs of today's
society.
This thesis concludes that the thematic interpretation proposed by M.
Dawam Rahardjo in Ensiklopedi Al-Qur'an and the Paradigma Al-Qur'an is a
social-thematic interpretation which makes social reality the starting point of
interpretation. With the form of encyclopedic interpretation which uses key words as
the basis, this social-thematic interpretation has three starting points, namely: the
concept of social and cultural sciences, terms of the Koran, and terms of classical
Islamic scholarship. The choice of this concept is determined based on social
problems that occur in society. Therefore, social-thematic interpretation uses a
contextual approach in the form of a socio-historical approach to dialogue the text
with reality.
This research supports Lilik Ummi Kaltsum (2010) and M. Wiyono (2016)
on the importance of interpreting reality to text and Adang Kuswaya (2011) which
offers a socio-thematic method for solving problems in society.
This qualitative research is in the form of literature study using Ensiklopedi
Al-Qur'an and Paradigma Al-Qur'an by M. Dawam Rahardjo as the primary
sources. The data obtained were analyzed using descriptive-analytic methods with a
hermeneutic approach and discourse analysis. The hermeneutic approach serves to
understand the thematic-social interpretation written by M. Dawam Rahardjo, the
socio-historical context of his thinking, and its relevance to the development of the
science of interpretation in Indonesia. Discourse analysis approach is used to reveal
the discourse that is carried by Rahardjo in his interpretation.
Keywords: thematic-social interpretation, Ensiklopedi Al-Qur'an, Paradigma Al-
Qur'an, M. Dawam Rahardjo

v
‫الملخص‬

‫التفسري املوضوعي اإلجتماعي‬


‫(دراسة ‪ Ensiklopedi Al-Qur'an‬و ‪ Paradigma Al-Qur'an‬بقلم حممد داوام راهارجو)‬
‫لقد وصل خطاب التفسري املوضوعي كتفسري مثايل للعصر املعاصر يف إندونيسيا إىل تقسيم‬
‫تفسريين ‪ ،‬أي من نص إىل واقع ومن واقع إىل نص‪ .‬يعترب اختيار أحد التفسريين لتحديد نتائج التفسري‬
‫القابل للتطبيق يف حل املشكالت االجتماعية يف اجملتمع‪ .‬تظهر العديد من الدراسات احلديثة أن اجتاه‬
‫التفسري من الواقع إىل النص أكثر جاذبية للمعلقني ألنه يُنظر إليه وف ًقا الحتياجات جمتمع اليوم‪.‬‬
‫ختلص هذه األطروحة إىل أن التفسري املوضوعي الذي اقرتحه حممد داوام راهارجو يف‬
‫‪ Ensiklopedi Al-Qur'an‬و ‪ Paradigma Al-Qur'an‬هو تفسري موضوعي اجتماعي جيعل من الواقع‬
‫االجتماعي نقطة البداية للتفسري‪ .‬مع شكل التفسري املوضوعي الذي يستخدم الكلمات الرئيسية كأساس‬
‫له ‪ ،‬فإن هذا التفسري االجتماعي املوضوعي له ثالث نقاط انطالق ‪ ،‬وهي‪ :‬مفهوم العلوم االجتماعية‬
‫والثقافية ‪ ،‬ومصطلحات القرآن ‪ ،‬ومصطلحات البحث اإلسالمي الكالسيكي‪ .‬يتم حتديد اختيار هذا‬
‫املفهوم بناءً على املشكالت االجتماعية اليت حتدث يف اجملتمع‪ .‬لذلك ‪ ،‬يستخدم التفسري االجتماعي‪-‬‬
‫هنجا سياقيًا يف شكل هنج اجتماعي تارخيي حلوار النص مع الواقع‪.‬‬ ‫املوضوعي ً‬
‫يدعم هذا البحث ليليك أم كلتسوم (‪ )2010‬وم‪ .‬ويونو (‪ )2016‬حول أمهية تفسري الواقع إىل‬
‫نص و أدغ كوسوايا )‪ (2011‬الذي يقدم طريقة اجتماعية موضوعية حلل املشكالت يف اجملتمع‪.‬‬
‫هذا البحث النوعي هو يف شكل دراسة أدبية باستخدام ‪Ensiklopedi Al-Qur'an‬‬
‫و ‪ Paradigma Al-Qur'an‬حملمد داوام راهارجو كمصادر رئيسية‪ .‬مت حتليل البيانات اليت مت احلصول‬
‫عليها باستخدام الطرق الوصفية التحليلية مع النهج التأويلي وحتليل اخلطاب‪ .‬يعمل النهج التأويلي على‬
‫فهم التفسري املوضوعي االجتماعي الذي كتبه حممد داوام راهارجو‪ .‬يتم استخدام هنج حتليل اخلطاب‬
‫للكشف عن اخلطاب الذي حيمله راهارجو يف تفسريه‪.‬‬
‫الكلمات الرئيسية‪ :‬التفسري املوضوعي اإلجتماعي‪Paradigma Al- ،Ensiklopedi Al-Qur'an ،‬‬
‫‪Qur'an‬ـ‪ ،‬داوام راهارجو‬

‫‪vi‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
ALA-LC Romanization tables sebagaimana berikut:
Pedoman Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
‫ا‬ ‫ط‬ Ṭ/ṭ

‫ب‬ B ‫ظ‬ Ẓ/ẓ

‫ت‬ T ‫ع‬ '

‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ Ḥ/ḥ ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ Dh ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫و‬ W

‫س‬ S ‫ه‬ H

‫ش‬ Sh ‫ء‬ '

‫ص‬ Ṣ/ṣ ‫ي‬ Y

‫ض‬ Ḍ/ḍ ‫ع‬ '

Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau
monoflang dan vokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ا‬ A Fatḥah

‫ا‬ I Kasrah

ُ‫ا‬ U Ḍammah

vii
2. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ي‬...‫ا‬ Ai A dan I

‫و‬...‫ا‬ Au A dan U

3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ا‬...‫ا‬ Ā A dengan garis di atas

‫ي‬...‫ا‬ Ī I dengan garis di atas

‫و‬...ُ‫ا‬ Ū U dengan garis di atas

Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ‫ال‬, dialihaksarakan menjadi /l/, baik yang diikuti huruf shamsiyah maupun
huruf qamariyah contoh al-rijāl bukan ar-rijāl, al-diwān bukan ad-diwān.
Shiddah (Tashdīd)
Shiddah atau tashdīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda (ّ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda shiddah itu. Namun hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda shiddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf shamsiyah. Kata ‫ الضرورة‬tidak ditulis ad-ḍarūrah melainkan al-
ḍarūrah, demikian seterusnya.
Ta' Marbūṭah
Jika huruf ta' marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi /h/ (contoh no. 1), hal yang sama juga berlaku jika ta'
marbūṭah tersebut diikuti oleh na'at atau kata sifat (contoh no. 2), namun jika huruf
ta' marbūtah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi /t/ (contoh no. 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طريقة‬ ṭarīqah
2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ Al-jāmi'ah al-islāmiyah
3 ‫وحدة الوجود‬ Waḥdat al-wujūd
Huruf Kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia untuk Proper Name (nama diri, nama tempat dan
sebagainya) seperti al-Kindi bukan Al-Kindi untuk huruf "al" tidak boleh kapital.

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii


ABSTRAK ................................................................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ xiv
BAB I ..........................................................................................................................1
PENDAHULUAN ......................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah..............................................10
1. Identifikasi Masalah ......................................................................................10
2. Rumusan Masalah .........................................................................................10
3. Batasan Masalah ............................................................................................10
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................................11
D. Manfaat Penelitian .........................................................................................11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ..............................................................11
F. Metodologi Penelitian .....................................................................................19
1. Bentuk Penelitian ..........................................................................................19
2. Sumber Data ..................................................................................................20
3. Pengumpulan dan Analisis Data ....................................................................20
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................21
BAB II.......................................................................................................................23
PARADIGMA TAFSIR TEMATIK-SOSIAL ......................................................23
A. Pergeseran Epistemologi Tafsir: Tekstual-Kontekstual .............................24
1. Kritik Epistemologi Tafsir Tekstual (Evolusi Tafsir bi al-Ma'thūr- bi al-
Ra'yi) .................................................................................................................28

ix
2. Pembaruan Metodologi Tafsir di Abad Modern ...........................................29
3. Paradigma Tafsir Kontekstual .......................................................................30
B. Diskursus Tafsir Tematik ..............................................................................32
1. Evolusi Metode Tafsir: Taḥlīlī-Mauḍū'ī ........................................................32
2. Paradigma Tafsir Mauḍū'ī .............................................................................35
3. Tokoh-tokoh Penggagas Tafsir Mauḍū'ī dan Metode Tafsir Tematiknya .....37
C. Dikotomi Tafsir Tematik: Urgensi Tafsir Tematik Berorientasi Sosial ....43
1. Teks-Realitas .................................................................................................44
2. Realitas-Teks .................................................................................................45
3. Urgensi Tafsir Tematik-Sosial ......................................................................47
BAB III .....................................................................................................................49
M. DAWAM RAHARDJO DAN KARYA PEMIKIRANNYA TENTANG AL-
QUR'AN ...................................................................................................................49
A. Profil M. Dawam Rahardjo ...........................................................................49
1. Keluarga ........................................................................................................49
2. Pendidikan .....................................................................................................51
3. Karir ..............................................................................................................52
4. Karya M. Dawam Rahardjo...........................................................................56
B. Biografi Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an .........................56
1. Aspek Penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an .......................................................61
2. Aspek Hermeneutika Ensiklopedi Al-Qur'an ................................................69
3. Distingsi Ensiklopedi Al-Qur'an....................................................................74
BAB IV .....................................................................................................................78
KONSTRUKSI TAFSIR TEMATIK-SOSIAL M. DAWAM RAHARDJO ......78
A. Asumsi Dasar: Landasan Ontologis Metodologi Tafsir M. Dawam
Rahardjo ..............................................................................................................78
1. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap al-Qur'an ...................................79
2. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap Tafsir ........................................83
B. Metodologi Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo ............................91

x
1. Tafsir Ensiklopedis ........................................................................................93
2. al-Fātiḥah in a nutshell ..................................................................................98
3. Pendekatan Sosial-Historis ..........................................................................104
4. Langkah-langkah Penafsiran M. Dawam Rahardjo.....................................109
C. Aspek Sosial dan Wacana dalam Ensiklopedi Al-Qur'an ..........................114
1. Keilmuan: Usaha Menjembatani antara Ilmu dan Agama...........................118
2. Kemasyarakatan: Usaha Mewujudkan Masyarakat Madani .......................133
3. Kepemerintahan: Menanggapi Isu Demokratisasi .......................................139
4. Perekonomian: Wacana Ekonomi Islam untuk Keadilan Sosial .................145
5. Keadaban: Menerapkan Etika dalam Keseharian ........................................153
D. Relevansi Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo dalam Penafsiran
al-Qur'an di Indonesia ......................................................................................158
1. Kontroversi Ensiklopedi Al-Qur'an .................................................................158
2. Menimang Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo .................................162
BAB V .....................................................................................................................168
PENUTUP ..............................................................................................................168
A. Kesimpulan ...................................................................................................168
B. Saran dan Rekomendasi...............................................................................169
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................171
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................180
GLOSARIUM ........................................................................................................188
INDEKS..................................................................................................................190
INDEKS AL-QUR'AN .........................................................................................195
BIODATA PENULIS ............................................................................................207

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Biografi Ensiklopedi Al-Qur'an.............................................................54


Tabel 3.2. Biografi Paradigma Al-Qur'an .............................................................56
Tabel. 3.3. Kerangka Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian ............................56
Tabel 3.4. Pemetaan Aspek Penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an
oleh Islah Gusmian ...............................................................................58
Tabel 3.5. Pemetaan Aspek Hermeneutika Ensiklopedi Al-Qur'an
oleh Islah Gusmian ...............................................................................58
Tabel 3.6. Beberapa Contoh Tema dan Sub-Tema Bagian Dimensi Sosial-
Keagamaan ...........................................................................................60
Tabel 4.1. Contoh Kolom Pencarian Istilah Kunci.................................................95
Tabel 4.2. Rangkuman Asal Publikasi 27 Tema Ensiklopedi Al-Qur'an pada
Jurnal Ulumul Qur'an serta Topik Utamanya ......................................110
Tabel 4.3. Ringkasan Karakteristik Ūlū al-Albāb pada QS. al-Ra'd (13): 19-22 ...123

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Hubungan Segitiga al-Qur'an-Agama-Umat .....................................78


Gambar 4.2. Tiga Titik Tolak Tafsir Mauḍū'ī ........................................................90
Gambar 4.3. Proses Pencarian Istilah Kunci ..........................................................95
Gambar 4.4. Perbandingan Penggunaan Sabab Nuzūl dan Pendekatan Historis....101
Gambar 4.5. Komponen Pembaca dan Teks ..........................................................104
Gambar 4.6. Dua Gerakan Pembacaan ...................................................................105
Gambar 4.7. Proses Penafsiran Realitas-Teks ........................................................105
Gambar 4.8. Proses Penafsiran Teks-Realitas ........................................................105
Gambar 4.9. Proses Penafsiran M. Dawam Rahardjo ............................................1

xiii
DAFTAR SINGKATAN

cet. = cetakan

dkk. = dan kawan-kawan

dll. = dan lain-lain

ed. = editor

H = Hijriah

h. = halaman

l. = lahir

M = Masehi

No. = nomor

Q.S. = al-Qur'an, Surat

Saw = ṣallallā-hu 'alai-hi wa sallam

Swt = subḥāna-hu wa ta'ālā

Vol. = volume

w. = wafat

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perubahan dan perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri menjadi faktor
terbesar berkembangnya metode penafsiran. 1 Secara fundamental, faktor tersebut
menyebabkan terjadinya pergeseran epistemologi tafsir. Setidaknya, sebagaimana
disebutkan oleh Abdul Mustaqim, ada tiga epistemologi dalam sejarah tafsir yaitu:
nalar mitis pada era formatif, nalar ideologis pada era afirmatif, dan nalar kritis pada
era reformatif.2 Perubahan bentuk nalar dari masing-masing era itu tidak terlepas
dari perkembangan problematika yang dihadapi oleh para mufassir.
Sejauh ini, problem utama diskursus penafsiran al-Qur'an kontemporer
adalah kesenjangan antara hasil penafsiran dengan realitas sosial yang terjadi di
masyarakat. Kesenjangan itu terjadi karena tafsir tidak merespon problematika yang
dihadapi masyarakat. Tafsir seakan-akan mengawang-awang dalam tataran teoritis
dan normatif serta tidak memperhatikan konteks yang melingkupi pembaca al-
Qur'an saat ini. Akibatnya, al-Qur'an tampak sudah tidak relevan lagi dalam
menghadapi masalah modern-kontemporer bahkan terkesan mengabaikannya.
Padahal, umat muslim meyakini al-Qur'an ṣāliḥ li kulli zamān wa makān. Al-Qur'an
mampu memberikan solusi terhadap permasalahan umat manusia, terutama umat
muslim.3
Menghadapi realitas di atas, para ulama dan sarjana muslim berusaha secara
maksimal mengembangkan metodologi tafsir yang tepat dalam merespon
problematika zaman modern-kontemporer. 4 Mereka dengan serius mengkaji

1
Moh. Yardho, ‘Rekonstruksi Tafsīr Mawdū‘ī: Asumsi, Paradigma, dan
Implementasi’, Islamuna: Jurnal Studi Islam, 6.1 (2019),
<https://doi.org/10.19105/islamuna.v6i1.2274>, h. 44.
2
Nalar mitis terjadi pada era formatif, yaitu era klasik di mana penafsiran al-Qur'an
lebih didominasi oleh model tafsir bi al-ma'thūr yang kental dengan nalar bayānī. Pada era
ini, tafsir diterima apa adanya tanpa adanya kritikan. Nalar ideologis terjadi pada era
afirmatif, yakni pada Abad Pertengahan. Pada awalnya era ini muncul karena ketidakpuasan
terhadap tafsir bi al-ma'thūr sehingga melahirkan tradisi tafsir bi al-ra'yī. Namun, tafsir bi
al-ra'yī tersebut kemudian didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi dan sering
dijadikan justifikasi dan legitimasi ideologi tersebut. Adapun nalar kritis muncul pada era
reformatif, yaitu era modern-kontemporer. Kemunculannya disebabkan karena
ketidakpuasan terhadap produk tafsir era sebelumnya yang dinilai ideologis, otoriter,
hegemonik, dan sektarian. Oleh karena itu, pada era ini produk tafsir banyak dikritisi
sehingga dikenal sebagai nalar kritis. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. vi-viii.
3
Sejauh pengamatan penulis, alasan utama ini sering disinggung dalam banyak
pendahuluan/ latar belakang penelitian tafsir modern-kontemporer, terutama yang berkaitan
dengan tafsir kontekstual. Contohnya adalah beberapa artikel yang penulis ulas dalam bagian
penelitian terdahulu yang relevan dalam penelitian ini
4
Cucu Surahman, ‘Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian
Bibliografis’, Afkaruna, 10.2 (2014), <https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2014>, h. 218.

1
bagaimana merancang produk tafsir yang aplikatif dan realistis. Dimulai dari
gagasan tafsir modern oleh Muḥammad Abduh hingga tafsir kontekstual oleh
Abdullah Saeed, mereka berusaha menemukan metode terbaik dalam menafsirkan
al-Qur'an. Metode-metode itu diharapkan menjadi solusi atas kesenjangan
penafsiran yang terjadi. Selain itu, metode-metode itu sekaligus menjadi kritikan
terhadap metode tafsir klasik yang sudah dianggap tidak relevan karena bersifat
tekstual.5
Muḥammad Abduh adalah sarjana muslim yang memelopori pembaharuan
metodologi tafsir. Ia menanamkan prinsip-prinsip yang kini lebih dikenal sebagai
tafsir kontekstual. Ia berusaha mengembalikan paradigma masyarakat terhadap al-
Qur'an sebagai kitab petunjuk (al-hudā). Usahanya kemudian diikuti oleh sarjana
muslim setelahnya yang lebih serius mengembangkan paradigma tersebut ke dalam
metodologi tafsir. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid,
Mohammad Arkoun, adalah beberapa nama dari sekian banyak sarjana muslim yang
memberikan perhatian terhadap perkembangan kajian al-Qur'an. Sebagian besar
mereka fokus terhadap kontekstualisasi al-Qur'an. Maka dari itu, aliran tafsir modern
lebih dikenal sebagai aliran kontekstual sementara tafsir klasik disebut sebagai aliran
tekstual.6
Perkembangan metodologi tafsir tidak berhenti di ranah epistemologis.
Secara teknis, penafsiran juga mengalami perkembangan. Bentuk penafsiran yang
mengikuti metode tahlīlī, ijmālī, dan muqāran dinilai kurang efektif dalam
penyajian tafsir pada abad 19-21 M. Metode-metode itu bertele-tele dan tidak dapat
diandalkan untuk menjawab persoalan modern-kontemporer. Selain itu, tiga metode
tafsir tersebut hanya mengkaji al-Qur'an secara parsial sehingga menghasilkan tafsir
yang tidak komprehensif terutama terkait isu-isu kekinian.7 Oleh karena itu, para
sarjana muslim mencari bentuk penyajian yang tepat untuk diterapkan.
Berangkat dari diskursus keilmuan tafsir di atas kemudian lahir sebuah
metode baru, yaitu metode tafsir mauḍū'ī (tematik) yang diprakarsai oleh akademisi
al-Azhar.8 Metode mauḍū'ī atau tematik ini merupakan metode tafsir yang hanya
membahas topik tertentu dalam al-Qur'an dengan mengumpulkan ayat-ayat yang
berkaitan dan ditinjau dari berbagai sisi. Kemunculan metode tafsir tematik ini
diharapkan mampu mengatasi kekurangan metode tafsir sebelumnya sekaligus
menjawab problematika zaman.9
Ditinjau dari sejarah perkembangannya, tafsir berbentuk tematis bukanlah
hal baru karena mufassir klasik sudah pernah menyusunnya. Yang menjadikan
penafsiran tematis tersebut baru adalah perhatian khusus ulama terhadap metode

5
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual. Penerjemah Ervan
Nurtawab, (Bandung: Penerbit Mizan, 2016), h. 12.
6
U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur’an, 2nd (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 7-8.
7
Ahmad Taufik, ‘Argumen Metode Tafsir Mawdu’i (Geneologi , Signifikansi , Dan
Sistematika Penafsiran)’, At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, 2.1 (2019), h. 76.
8
Taufik, ‘Argumen Metode Tafsir Mawdu’i’, h. 77-78.
9
Aḥmad al-Sayyid al-Kūmī dan Muḥammad Aḥmad Yūsuf Al-Qāsim, Al-Tafsīr Al-
Mauḍū’ī Li Al-Qur’ān Al-Karīm, 1st edn, 1982, h. 16-17.

2
penafsirannya. 10 Inilah yang tidak dilakukan oleh mufassir klasik. Mereka tidak
mengonsep tematisasi ayat sebagai sebuah metode yang baku.11
Tafsir tematik secara sistematis pertama kali dicetuskan oleh Aḥmad Sayyid
al-Kūmī. Metode ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh muridnya,
'Abd al-Ḥay al-Farmāwī.12 Metode tafsir tematik al-Farmāwī inilah yang kemudian
menjadi populer dan sering diaplikasikan oleh para pengkaji tafsir sekarang,
termasuk para pengkaji tafsir di Indonesia. Hal ini terbukti dalam penelitian Uun
Yusufa yang mengkaji karya tafsir tematik di dunia akademik. Di dalam penelitian
ini, Yusufa mengungkapkan bahwa umumnya teori tafsir tematik al-Farmāwī
digunakan di Indonesia.13
Statemen Yusufa di atas dapat dikonfirmasi melalui beberapa penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian Islah Gusmian14, M. Nurdin Zuhdi15, Taufikurrahman16
dan Muḥammad Alwi bersama Teti Fatimah 17 , tren penafsiran yang laku di
Indonesia adalah tafsir tematik. Hal ini dikarenakan metode tersebut sesuai dengan
kondisi sosio-historis Indonesia. Namun, jika hanya mengandalkan metode tafsir
tematik al-Farmāwī maka penafsiran tidak akan memadai dalam menjawab
permasalahan sosial yang ada. Sebagaimana yang menjadi masalah bagi Yusufa,
metode tafsir tematik yang disusun oleh al-Farmāwī masih normatif dan tidak
menyajikan langkah-langkah selain dari perspektif keilmuan Islam. Menurutnya,
butuh langkah-langkah tambahan sehingga tujuan keberadaan tafsir tematik
tercapai.18
Terkait masalah di atas, Alwi dan Fatimah melihat bahwa perkembangan
zaman membawa para penafsir tidak hanya menggunakan riwayat saja tapi juga
mapan dengan ijtihadnya masing-masing. 19 Perkembangan tafsir juga mengikuti

10
Muslimin, ‘Kontribusi Tafsir Maudhu’i Dalam Memahami Al-Quran’, Tribakti:
Jurnal Pemikiran Keislaman, 30.1 (2019), <https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i1.662>, h.
78.
11
Taufik, ‘Argumen Metode Tafsir Mawdu’i’, h. 79-80. Bandingkan dengan: Andri
Nirwana, Tafsir Tematik Al-Qur’an (Banyumas: Cv. Pena Persada, 2019), h. 5-6.
12
M. Quraish Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2014), h. 175.
13
Uun Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta Dan Jakarta’, Journal of Quran and Hadith Studies, 4.2 (2015), h.
194.
14
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi
(Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 377.
15
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi Hingga
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), h. 295.
16
Taufikurrahman, ‘Kajian Tafsir Di Indonesia’, Mutawātir, 2.1 (2012), h. 24.
17
Muhammad Alwi HS and Teti Fatimah, ‘Tren Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Di
Indonesia: Antara Perkembangan Dan Pergeseran’, Hermeneutik, 14.1 (2020),
<https://doi.org/10.1234/hermeneutik.v14i1.6773>, h. 133.
18
Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta Dan Jakarta’, h. 193-194.
19
HS and Fatimah, ‘Tren Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Antara
Perkembangan Dan Pergeseran’, h. 136.

3
perkembangan pemikiran mufassir. 20 Artinya, mufassir mengambil peran aktif
dalam penafsiran. Metode tafsir tematik yang marak digunakan hanyalah sebagai
alat bantu dalam pencarian nilai-nilai pokok al-Qur'an. Hasil penafsiran tematik
antar ayat saja akan terkesan normatif. Lebih dari itu, untuk dapat
mengkontekstualisasikan nilai-nilai qurani tersebut, mufassir membutuhkan
pendekatan ilmu lain. Oleh karenanya, selain memahami seluk beluk ayat-ayat yang
berkaitan, mufassir yang hendak menggunakan metode dan pendekatan tematik
dituntut menguasai topik yang sedang dikaji.21
Jauh sebelum kemunculan metode tafsir tematik, tokoh mufassir generasi
awal di Indonesia terpengaruh oleh pemikiran ulama Timur Tengah. Setelah era
1970-an, muncul beberapa pemikir muslim yang juga menggunakan pemikiran Barat
seperti Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Kuntowijoyo, dll. yang mencoba
menafsirkan ulang al-Qur'an dengan pendekatan wacana kemodernan dan
keindonesiaan. 22 Menurut Surahman, pergeseran pemikiran dari Timur ke Barat
dalam memahami al-Qur'an merupakan sebuah kebutuhan untuk
mengkontekstualisasikan al-Qur'an dengan konteks Indonesia yang memiliki
konteks sosial-budaya beragam. Sejak itu, para pemikir muslim Indonesia mulai
banyak merujuk pada sarjana lulusan Barat seperti Fazlur Rahman, Nasr Ḥamid Abū
Zaid, M. Shahrūr, bahkan pada orientalis. Hal tersebut membuat para penafsir
kontemporer Indonesia menafsirkan al-Qur'an dengan pendekatan historis-humanis
karena terpengaruh paradigma Barat.23
Sehubungan fenomena di atas, hasil tinjauan R. Michael Feener dapat
menjadi acuan. Penelitiannya mengungkapkan bahwa penafsiran di Indonesia
memasuki era baru dan berkembang pesat sejak dasawarsa 1980-an dengan
pendekatan tematik. 24 Feener mengapresiasi terobosan baru yang dilakukan oleh
para penulis karya tafsir tematik seperti M. Quraish Shihab, Jalaluddin Rakhmat, M.
Dawam Rahardjo, dan K.H. Muchtar Adam. Mereka tidak hanya mengandalkan
metode tafsir tematik dalam menginterpretasi al-Qur'an melainkan juga

20
HS and Fatimah, ‘Tren Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Antara
Perkembangan Dan Pergeseran’, h. 137. Menurut Surahman, periode ini merupakan cikal
bakal perkembangan tafsir di periode kontemporer Indonesia pada tahun 1990-an. Surahman,
‘Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis’, h. 219.
21
Nirwana, Tafsir Tematik al-Qur'an, h. 3.
22
Surahman, ‘Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis’,
h. 219.
23
Surahman, ‘Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis’,
h. 221-222.
24
Helmiati, ‘The Development of Quranic Exegesis In Indonesia A General
Typology’, Asia Pasific Journal On Religion and Society, 2.1 (2018), <http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/asiapacific/index>, h. 34. Dalam artikelnya Feener menulis, "With this
work we enter a new period in the history of interpretive literature on the Qur'an in
Indonesia; one in which traditional methodologies have at least partially given way to
address the needs of a wider readership whose education was not in the traditional Islamic
sciences." R. Michael Feener, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in
Southeast Asia’, Studia Islamika1, 5.3 (1998), h. 64.

4
menggunakan metode lainnya. Upaya pengkombinasian metode tersebut bertujuan
untuk merespon isu-isu sosial kontemporer yang sedang berkembang saat itu.25
Berdasarkan catatan Feener, pengaplikasian metode tematik tidak selalu
berkiblat pada al-Farmāwī. Contohnya adalah K.H. Muchtar Adam yang
mengkombinasikan metode tafsir mauḍū'ī dengan metode perbandingan madzhab
(muqāranat al-madhāhib) dalam karyanya Tafsir Ayat-ayat Haji: telaah Intensif
dari Pelbagai Mazhab. Dua metode tersebut dikenal sebagai metode Mahmud
Shaltūt. Tafsir Bil Ma'thur: Pesan Moral Alquran karya Jalaluddin Rakhmat juga
mengkombinasikan metode tafsir bi al-ma'thūr dalam bentuk tematik dengan
pendekatan reflektif. Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo juga
mengkombinasikan metode tafsir tematik dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Menurut Feener, model tafsir tematik seperti itu terpengaruh oleh karya Fazlur
Rahman yang berjudul Major Themes of the Qur'an.26
Adapun M. Quraish Shihab, Feener mengakuinya sebagai tokoh yang
mempopulerkan tafsir tematik di Indonesia sejak tahun 1980-an. Karyanya yang
berjudul Wawasan al-Qur'an dan Membumikan al-Qur'an direspon secara positif
oleh masyarakat. Selain itu, meskipun mengikuti pola al-Farmāwī 27 , ia telah
mengembangkan bentuk metode tafsir tematik dengan melakukan pendekatan dari
berbagai perspektif keilmuan. 28
Berdasarkan pemaparan di atas, diskursus tafsir tematik di Indonesia tidak
hanya populer tapi juga cukup beragam. Merujuk penelitian Islah Gusmian yang
mengkaji literatur tafsir di Indonesia selama era tahun 1990-an dan M. Nurdin Zuhdi
yang mengkaji literatur tafsir di Indonesia selama era tahun 2000-an, maka akan
tampak betapa beragamnya karya tafsir yang menggunakan metode tematik. Secara
umum, mereka mengklasifikannya menjadi dua tipe, yaitu tematik klasik -dengan
mengacu pada penafsiran tematik surah- dan tematik modern -dengan mengacu pada
penafsiran tematik tema. Selebihnya, Gusmian dan Zuhdi tidak menelaah lebih jauh
siapa saja tokoh yang mempengaruhi karya tafsir tematik tersebut. Padahal,
mengetahui epistemologi tafsir yang dijadikan landasan metodis penafsiran cukup
penting untuk mengetahui arah tujuan penafsiran.
Sebagaimana disinggung di awal, penggunaan metode tematik al-Farmāwī
dinilai tidak cukup untuk menjawab permasalahan sosial yang dihadapi umat. 29

25
Feener, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia’, h.
65-66.
Feener, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia’, h.
26

66. Fazlur Rahman pernah mengajukan agar al-Qur'an dibaca, dikaji, dan disajikan dengan
metode tematik. Menurutnya, tafsir tematik memiliki kemampuan analisis yang lebih baik
dibanding metode lainnya. Metode tematik dinilai mampu menghasilkan tafsir yang
komprehensif, padu, dan sesuai dengan tujuan al-Qur'an. Taufik, ‘Argumen Metode Tafsir
Mawdu’i’, h. 75-76.
27
Hal ini dapat dilihat dalam tulisannya. Shihab, "Membumikan" al-Qur'an", h. 176 .
28
Feener, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia’, h.
65-66.
29
Al-Farmāwī menyebutkan tujuh langkah penafsiran tematik, yaitu: 1) memilih tema
masalah yang akan dikaji, 2) melacak dan menghimpun ayat yang berkaitan dengan tema, 3)
menyusun ayat hasil pelacakan secara runtut sesuai kronologi turunnya disertai pengetahuan

5
Selain karena pola penafsiran yang berangkat dari teks ke realitas, metode tersebut
butuh pendekatan keilmuan lain, terutama keilmuan sosial yang menjadi basis
permasalahan yang sedang dikaji. Inilah yang menjadi kritikan para pengkaji tafsir
tematik beberapa tahun belakangan ini.
Pada tahun 2011, Lilik Ummi Kaltsum melakukan kajian kritis terhadap
metode tafsir tematik. Dalam penelitiannya, ia mengungkapkan adanya kesenjangan
dalam penerapan metode tematis yang bersifat tekstual dan problematika
masyarakat, yaitu penafsiran yang tidak realistis dan tidak aplikatif. 30 Oleh
karenanya, ia menawarkan metode tafsir tematik yang sekiranya dapat menanggapi
problematika sosial di masyarakat. Metode yang ia tawarkan itu berpijak dari
realitas ke teks. Metode baru tersebut ia sarikan dari pemikiran Muḥammad Bāqir
al-Ṣadr.
Dalam penelitian berikutnya, Kaltsum menyatakan bahwa Muḥammad
Bāqir al-Ṣadr merupakan tokoh pembaharu di bidang metode tafsir. Al-Ṣadr
menawarkan penafsiran tematis yang tidak terpaku pada sisi tekstualitasnya saja
namun lebih kepada pemecahan problem masyarakat. Artinya, penafsiran terhadap
tema-tema tertentu dalam al-Qur'an harus dikaitkan dengan problem riil yang terjadi
di masyarakat dan tidak hanya dikaji secara konseptual belaka. 31 Al-Ṣadr
menawarkan metodologi tafsir tematik yang dikenal sebagai yubdau min al-wāqi' wa
yantahī ila al-Qur'ān, yakni berangkat dari realitas menuju teks.32 Aplikasi teori ini
telah dibuktikan oleh M. Wiyono dalam penelitiannya.33
Berkaitan dengan kritikan tersebut, Adang Kuswaya juga menawarkan
sebuah metode bernama sosio-tematik. Metode ini tidak hanya berfokus pada
penjelasan seluruh al-Qur'an sebagai teks, tapi juga pemecahan problem dalam
masyarakat. Dengan mengutip banyak pemikiran Hasan Hanafi, ia mengkritik
penafsiran al-Qur'an yang pembahasannya didominasi tentang pengirim dan isi teks
(tekstual). Padahal sebagai proses komunikasi, penafsiran terdiri dari tiga komponen
yaitu, pengirim, informasi, dan penerima (kontekstual). Melalui tafsir sosio-tematik,
Adang melihat penafsiran al-Qur'an di Indonesia akan lebih baik.34

sabab nuzulnya, 4) mengetahui munasabah antar ayat, 5) menyusun pembahasan tematik


yang sistematis, sempurna, dan utuh, 6) bila perlu melengkapi pembahasan dengan hadis,
dan 7) mempelajari ayat-ayat secara tematik dan menyeluruh dengan melihat berbagai aspek
seperti 'āmm dan khāṣ, muḥkam dan muqayyad, nāsikh dan mansūkh sehingga tidak ada
kontradiksi atau pemaksaan makna terhadap ayat. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir
Mawdhu’iy: Sebuah Pengantar. Penerjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994), h. 45-46.
30
Lilik Ummi Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’,
Islamica, 5.2 (2011), h. 354.
31
Lilik Ummi Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-
Sadr’, Refleksi, 13.2 (2012), h. 159.
32
Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-Sadr’, h. 166.
33
M. Wiyono, Paradigma Penafsiran Dari Realitas Menuju Teks: Studi Aplikatif
Manhaj Tawhidi Baqir Sadr (Sidoarjo: Genta Group Production, 2019).
34
Adang Kuswaya, ‘Tafsir Al-Qur’an Sosio-Tematik: Tawaran Metode Penafsiran
Al-Qur’an Di Indonesia’, in Proceedings Internasional Conference on Indonesian Islam,

6
Selanjutnya, Nur Arfiyah Febriani menawarkan tafsir tematik-
multidisipliner. Tawaran ini lebih umum karena mencakup banyak aspek kehidupan.
Sesuai penjelasannya, gagasan tafsir tematik-multidisipliner ini bertujuan untuk
menampung wacana integritas keilmuan. Dengan metode tematik multidisipliner
tersebut, Febriani ingin melengkapi metode tematik al-Farmāwī dengan keilmuan
sains.35
Berdasarkan pembahasan di atas, tampak diskursus tafsir tematik di
Indonesia mengalami perkembangan. Teori al-Farmāwī sepertinya tidak lagi
menjadi acuan satu-satunya. Kajian tafsir tematik mulai menimbang metode tafsir
tematik yang ditawarkan oleh tokoh lainnya seperti Muḥammad Bāqir al-Ṣadr dan
Hassan Hanafi yang lebih menekankan hasil penafsiran agar sesuai dengan konteks
masyarakat dan mampu menjawab problematika sosial. Namun, perlu dicatat di sini
bahwa diskursus tersebut tidak terlepas dari partisipasi aktif para pengkaji al-Qur'an
Indonesia sendiri sebagai subjek penafsiran.
Berkaitan dengan diskusi ini, penulis ingin melihat bagaimana perspektif
tokoh muslim Indonesia tentang tafsir tematik yang berorientasi sosial tersebut. Hal
ini penting untuk mengetahui pandangan pribumi terhadap al-Qur'an dan bagaimana
interaksi mereka dengan kitab suci tersebut. Jika melihat peta penafsiran al-Qur'an di
Indonesia, posisi M. Dawam Rahardjo beserta karyanya yang berjudul Ensiklopedi
Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci menarik untuk dikaji.
Setidaknya, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, nama M. Dawam Rahardjo mungkin tidak sefamiliar M. Quraish
Shihab, HAMKA, Mahmud Yunus, atau para penyusun tafsir lainnya di Indonesia.
Namun, ia termasuk salah satu cendekiawan muslim yang menaruh perhatian besar
terhadap al-Qur'an. Tulisannya pada tahun 1987 yang berjudul "Refleksi Sosiologi
al-Qur'an" menjadi salah satu bahan kajian Howard M. Federspiel dalam Popular
Indonesia Literature of the Qur'an.36 Dalam kajian Federspiel, Rahardjo ditampilkan
sebagai salah satu pemikir kontemporer yang mempunyai wawasan luas dalam
memahami nilai-nilai al-Qur'an. 37 Ensiklopedi Al-Qur'an juga dijadikan sebagai
salah satu sumber penelitian oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia
dan Tafsir al-Qur'an & Kekuasaan di Indonesia.. Ini membuktikan bahwa Rahardjo
turut andil dalam sejarah pemikiran dan tafsir al-Qur'an di Indonesia.
Kedua, buku Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo muncul di
masa awal maraknya tafsir tematik dan sezaman dengan karya-karya M. Quraish
Shihab. Namun, ia tidak banyak disorot oleh pengkaji tafsir Indonesia.38 Padahal,
sebagaimana dijelaskan oleh Feener, Rahardjo menyajikan perspektif baru dalam

Education and Science (ICIIES): The Prospects and Challenges in the East and Tje West, ed.
by Roko Patrio Jati and Faizal Risdianto (Salatiga: FTIK IAIN Salatiga, 2017), pp. 383–90.
35
Nur Arfiyah Febriani, ‘Metode Tematik Multidisipliner: Aplikasi Pada Tafsir
Ekologi Berwawasan Gender’, Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hadis, 1.2 (2019),
<https://doi.org/10.15548/MASHDAR.V1I2.1016>, h. 27.
36
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia: Dari Mahmud Yunus
Hingga Quraish Shihab. Penerjemah Tajul Arifin, 1st edn (Bandung: Mizan, 1996), h. 224.
37
Federspiel, Kajian al-Qur'an di Indonesia, h. 61, 226, 228-229, 240, 244-246.
38
Surahman, ‘Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis’,
h. 222.

7
penafsiran al-Qur'an di Indonesia. Bersama Jalaluddin Rakhmat, mereka termasuk
tokoh penulis tafsir era kontekstual di Indonesia. 39 Feener mengapresiasi karya
Rahardjo karena pembahasan tematiknya berangkat dari kata yang sudah lumrah
digunakan oleh masyarakat. 40 Nurcholish Madjid juga menyatakan bahwa
Ensiklopedi Al-Qur'an merupakan karya yang penting dan berharga sebagai bentuk
sumbangan pemahaman ajaran Islam, khususnya al-Qur'an yang kreativitasnya
dibentuk oleh lingkungan budaya Indonesia. 41 Amirulloh Sain Asari bahkan
memasukkan karya Rahardjo sebagai salah satu tafsir terbaik di Indonesia.42
Ketiga, meskipun tafsirnya berorientasi pada penyajian tematik, akan tetapi
masih belum jelas metode tematik mana yang menjadi rujukan Rahardjo. Dawam
Rahardjo tidak menyebutkan secara eksplisit metode tematik siapa yang
digunakannya. Sementara ini dalam penelitian Islah Gusmian, karya Rahardjo
dikategorikan sebagai tafsir tematik modern plural.43 Namun, menilik dari beberapa
tulisannya, Rahardjo sering mengutip beberapa tokoh seperti Fazlur Rahman, Abu
A'la al-Maududi, dll.. Selain mengutip pemikiran beberapa tokoh tersebut, Rahardjo
juga mengkritisi metode mereka dan mulai mengembangkan metode tematik
menurut perspektifnya sendiri. Pandangan-pandangan Rahardjo terhadap al-Qur'an
terkumpul dalam buku Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir& Kritik Sosial.44
Keempat, pada judul buku tertulis Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci sekilas mengindikasikan bahwa tafsir Dawam
Rahardjo berorientasi pada aspek sosial. Sosok Dawam Rahardjo yang dikenal
sebagai sarjana ilmu-ilmu sosial sekaligus aktivis lembaga swadaya masyarakat
(LSM) juga memperkuat kesan tersebut. Namun, perlu penelusuran lanjutan seperti
apa bentuk tafsir sosialnya; apakah dalam tataran teoritis-tekstual saja atau praktis-
kontekstual. Penelusuran ini penting untuk mengetahui apakah penafsiran Rahardjo
dapat mengatasi kesenjangan penafsiran dan menjawab problematika masyarakat
pada masanya.
Kelima, karya Dawam Rahardjo terbit dalam konteks era Orde Baru di mana
hubungan pemerintah dengan umat muslim mengalami pasang surut saat itu. Pada
era Orde Baru, gerakan dakwah Islam tidak bisa leluasa karena ada tekanan dari
pemerintah. Akses media informasi juga dibatasi dan berada dalam pengawasan
pemerintah. Dalam konteks yang demikian, penulisan tafsir di Indonesia justru

39
Helmiati, ‘The Development of Quranic Exegesis In Indonesia A General
Typology’, h. 34-35.
40
Feener, ‘Notes Towards The History of Qur'anic Exegesis in Southeast Asia’, h. 66.
41
Lihat Kata Sambutan Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi al-Qur'an. M. Dawam
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, 1st edn
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. xxxiii.
42
Amirulloh Sain Asari, ‘History and Development of Tafsir In Southeast Asia
(Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore and Thailand)’, Waratsah, 1.2 (2016),
h. 176.
43
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 182 & 186.
44
Keterangan ini penulis dapatkan setelah membaca beberapa tulisan Dawam
Rahardjo tentang metodologi tafsir. Rahardjo sendiri mengakui sangat mengagumi karya
para tokoh tersebut. M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir &
Kritik Sosial (Jakarta: PSAP, 2005), h. 3.

8
menggeliat. 45 Salah satu karya tafsir yang berhasil terbit adalah Ensiklopedi Al-
Qur'an. Oleh karenanya, terkait bagaimana Rahardjo mendialogkan al-Qur'an
dengan masyarakat serta bagaimana ia menuliskan hasil pemahamannya menarik
untuk ditelaah lebih mendalam.
Keenam, subjektivitas Dawam Rahardjo dalam penafsiran al-Qur'an. Telah
disebutkan bahwa Rahardjo dikenal sebagai seorang sarjana ilmu-ilmu sosial dan
aktivis LSM. Secara keilmuan akademis, ia adalah seorang ekonom. Ia juga dikenal
sebagai intelektual muslim/ cendekiawan muslim progresif yang selalu
memperhatikan masalah-masalah sosial keagamaan dan pembinaan masyarakat. 46
Rahardjo sama sekali tidak memiliki latar belakang keilmuan tafsir. 47 Namun,
perhatiannya terhadap kondisi umat muslim sangat besar. Begitu pula perhatiannya
terhadap al-Qur'an juga cukup besar sehingga melahirkan karya Ensiklopedi Al-
Qur'an. Ia bahkan menyusun metodologi tafsirnya sendiri dalam beberapa tulisan
yang kemudian terkumpul dalam satu buku berjudul Paradigma Al-Qur'an:
Metodologi Tafsir & Kritik Sosial. Sejauh ini, latar belakang keilmuan Rahardjo
tersebut berdampak pada status karyanya yang problematis dan kontroversial. Di
satu sisi ada yang menggolongkan Ensiklopedi Al-Qur'an sebagai karya tafsir, di sisi
yang lain ada pula yang menganggapnya hanya sebatas pemahaman al-Qur'an dari
seorang sarjana ilmu-ilmu sosial.48
Berdasarkan beberapa poin di atas, penulis menyimpulkan bahwa penelitian
terhadap Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an penting dilakukan untuk
mengetahui seperti apakah tafsir tematik-sosial menurut Dawam Rahardjo; apakah
dalam tingkatan corak, metode, atau yang lainnya secara ontologis, epistemologis,
atau aksiologis. Penelitian ini didasari oleh asumsi bahwa tafsir tematik-sosial
adalah tafsir yang dibutuhkan oleh masyarakat zaman sekarang. Hal inilah yang
penulis kaji dari dua karya tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis
melakukan penelitian dengan judul "Tafsir Tematik Sosial: Studi atas Ensiklopedi
Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an Karya M. Dawam Rahardjo".

45
Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an & Kekuasaan Di Indonesia: Peneguhan,
Kontestasi, Dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: Salwa, 2019) , h. 2-4.
46
Ngainun Naim, ‘Pluralisme Sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M.
Dawam Rahardjo’, Salam, 15.2 (2012), h. 276. Lihat juga: Ahmad Dafit, ‘Islam Progresif
Dalam Gerakan Sosial M. Dawam Rahardjo (1942-2016)’, Jurnal Pemberdayaan
Masyarakat: Media Pemikiran Dan Dakwah Pembangunan, 1.1 (2017), 37–62.
47
Walaupun demikian, Rahardjo mengaku memiliki modal untuk bisa memahami al-
Qur'an karena pernah belajar bahasa Arab dan ilmu tafsir al-Qur'an di madrasah diniyah dan
juga dari buku-buku yang ia baca. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. xx.
48
Menurut pengakuan Rahardjo, banyak orang yang berkeberatan menganggap
karyanya sebagai sebuah tafsir. M. Quraish Shihab menganggap karyanya lebih tepat disebut
sebagai pemahaman terhadap al-Qur'an. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. xx. Namun, para pengkaji karya tafsir biasanya
memasukkannya sebagai literatur tafsir Indonesia.

9
B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi beberapa
masalah sebagaimana berikut.
a. Adanya kesenjangan antara penafsiran dan realitas di masyarakat.
b. Tafsir klasik tidak dapat merespon problematika umat zaman modern
dengan baik.
c. Ulama dan sarjana muslim masih mencari formula metodologi yang tepat
untuk dapat diterapkan.
d. Keberadaan metode tematik tidak menjamin hasil penafsiran yang
kontekstual.
e. Penerapan metode tematik perlu diimbangi dengan pendekatan ilmu lainnya.
f. Pemilihan metode tematik berpengaruh pada hasil penafsiran. Tawaran
metode tematik yang lebih mengutamakan penafsiran dari realitas ke teks
perlu diterapkan.
g. M. Dawam Rahardjo tidak memiliki latar belakang keilmuan tafsir tapi
menulis karya tafsir Ensiklopedi Al-Qur'an dan metodologi tafsir
Paradigma Al-Qur'an.
h. Langkah metodis Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an tidak mengikuti
metode mauḍū'ī yang dirumuskan oleh al-Farmāwī atau tokoh lainnya.
i. Aspek sosial dalam Ensiklopedi Al-Qur'an perlu dikaji mengingat Rahardjo
sebagai sarjana ilmu-ilmu sosial dan praktisi lembaga swadaya masyarakat.
j. Penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an pada era Orde Baru memungkinkan
adanya wacana yang diusung oleh Rahardjo.
2. Rumusan Masalah
Dari sekian masalah yang teridentifikasi, penulis memilih topik tafsir
tematik-sosial yang berkaitan dengan karya tafsir M. Dawam Rahardjo. Topik
masalah ini dipilih karena penulis melihat letak permasalahan ada pada tema metode
tafsir tematik yang berorientasi pada sosial. Dengan menjadikan Ensiklopedi Al-
Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an sebagai contoh kasus, penulis ingin melihat
bagaimana tafsir tematik-sosial yang diterapkan oleh Dawam Rahardjo dalam
konteks Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis
membuat rumusan masalah: "bagaimana M. Dawam Rahardjo menerapkan tafsir
tematik-sosial di Indonesia?". Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan dengan
tiga pertanyaan di bawah ini.
a. Bagaimana konstruksi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an?
b. Wacana apa yang diusung oleh M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-
Qur'an?
c. Apa relevansi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dengan
perkembangan tafsir di Indonesia?
3. Batasan Masalah
Penelitian yang baik adalah penelitian yang terukur. Untuk itu, penulis perlu
membatasi beberapa term yang menjadi masalah penelitian. Pertama, term "tafsir
tematik" mengacu pada tafsir mauḍū'ī sebagai salah satu dari metode penafsiran al-

10
Qur'an dan bukan yang lain.49 Kedua, term "sosial" merujuk pada corak penafsiran
yang juga dikenal sebagai ijtimā'ī.50 Ketiga, Ensiklopedi Al-Qur'an yang dimaksud
adalah buku karya M. Dawam Rahardjo yang diterbitkan oleh Paramadina pada
tahun 1996 dengan judul lengkap Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. 51 Keempat, Paradigma Al-Qur'an juga merupakan buku
karya Dawam Rahardjo yang diterbitkan oleh PSAP Muhammadiyah pada tahun
2005 dengan judul lengkap Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik
Sosial. 52 Kelima, nama M. Dawam Rahardjo yang dimaksud merupakan salah
seorang cendekiawan muslim yang lahir di Solo pada tanggal 20 April 1942 dan
meninggal di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2018.53
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penafsiran M.
Dawam Rahardjo terhadap al-Qur'an. Secara khusus, berdasarkan rumusan masalah
yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. menganalisis konstruksi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an,
2. menganalisis wacana yang diusung oleh M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi
Al-Qur'an,
3. menganalisis relevansi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dengan
perkembangan tafsir di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis, penelitian tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo
diharapkan dapat memperkaya kajian tafsir tematik yang sudah ada sekaligus kajian
literatur tafsir Indonesia. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
model penafsiran kontemporer dalam menjawab permasalahan umat.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Menurut Alan Bryman, kajian pustaka dilakukan agar peneliti mengetahui
apa yang telah dicapai oleh orang lain dalam bidang minat kajian penelitian yang ia
usung sehingga tidak mengulangi pembahasan yang sama. 54 Salah satu prinsip
dalam kajian pustaka adalah bahwa penelitian ilmiah merupakan upaya kolektif di
mana banyak peneliti berkontribusi dan berbagi hasil satu sama lain. Walaupun
beberapa studi mungkin sangat penting dan beberapa peneliti individu mungkin

49
Shihab, "Membumikan" al-Qur'an, h. 174.
50
Rosihon Anwar and Asep Muharom, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.
174.
51
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci.
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial.
52
53
Diakses pada 18 Juli 2020 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rahardjo_Rahardjo
54
Alan Bryman, Social Research Methods, 4th edn (New York: Oxford University
Press, 2012), h. 98.

11
menjadi terkenal, satu studi hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan proses
penciptaan pengetahuan.55
Tema masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tafsir
tematik-sosial dengan studi kasus Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an
karya M. Dawam Rahardjo. Pembahasan tafsir tematik berkaitan dengan metode
penafsiran. Sedangkan tafsir sosial merupakan bagian dari pembahasan corak
penafsiran. Sementara itu, sosok M. Dawam Rahardjo lebih dikenal sebagai
cendekiawan muslim melalui pemikiran-pemikirannya. Sedangkan Ensiklopedi Al-
Qur'an adalah satu dari sekian banyak literatur tafsir Indonesia era 1990-an.
Paradigma Al-Qur'an juga salah satu buku metodologi tafsir yang menjadi rujukan
para peneliti yang mengkaji pandangan Dawam Rahardjo terhadap al-Qur'an.
Berdasarkan deskripsi di atas, penulis mengakui bahwa penelitian ini bukan
suatu kajian yang benar-benar baru. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang
mengangkat tema serupa, baik terkait tafsir tematik, sosial, pemikiran M. Dawam
Rahardjo atau Ensiklopedi Al-Qur'an. Adapun penelitian khusus terhadap
Paradigma Al-Qur'an sejauh ini belum ditemukan. Namun, hal tersebut bukan
berarti Paradigma Al-Qur'an luput dari perhatian para peneliti. Biasanya buku itu
dirujuk dalam penelitian-penelitian Ensiklopedi Al-Qur'an.
Berdasarkan hasil literatur review, berikut penulis paparkan satu persatu
penelitian terdahulu yang relevan sekaligus memberikan persamaan dan
perbedaannya:
Penelitian tentang metode tematik pernah dilakukan oleh banyak peneliti. Di
antaranya adalah Ahmad Taufik yang meneliti genealogi, signifikansi, dan
sistematika penafsiran metode mauḍū'ī. Taufik menyatakan bahwa metode mauḍū'ī
memiliki argumentasi yang kuat karena berasal dari tradisi penafsiran ulama klasik.
Metode mauḍū'ī dapat mengurai masalah lebih efektif dan komprehensif dari metode
tafsir lainnya. Metode itu juga sangat relevan digunakan pada abad kini untuk
menghadapi masalah sosial-keagamaan kontemporer. 56 Sesuai dengan judul
penelitiannya, artikel hasil penelitian Taufik ini berisi argumen-argumen ilmiah
penggunaan metode tafsir tematik baik dari tinjauan historis maupun
metodologisnya. Diskursus perkembangan tafsir tematik juga dipaparkan dengan
baik. Namun, artikel ini belum membahas setiap detail pemikiran para tokoh
pengusung metode tersebut.
Penelitian mengenai argumentasi tafsir tematik juga pernah dilakukan oleh
Aisyah yang membahas tentang signifikansi tafsir mauḍū'ī dalam perkembangan
penafsiran al-Qur'an57, Makhfud yang membahas urgensi tafsir mauḍū'ī58, Muslimin
yang membahas kontribusi tafsir mauḍū'ī dalam memahami al-Qur'an59, dan Didi
Junaedi yang memaparkan lebih komprehensif dari pada penelitian yang disebut

55
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches, 7th edn ((Edinburgh: Pearson Education Limited, 2014), h. 126.
56
Taufik, ‘Argumen Metode Tafsir Mawdu’i’.
57
Aisyah, ‘Signifikansi Tafsir Maudhu’i Dalam Perkembangan Penafsiran Al-
Qur’an’, Tafsere, 1.1 (2013).
58
Makhfud, ‘Urgensi Tafsir Maudhu’i (Kajian Metodologis)’, Tribakti, 27.1 (2016).
59
Muslimin, ‘Kontribusi Tafsir Maudhu'i Dalam Memahami al-Qur'an’.

12
sebelumnya. 60 Semua penelitian tersebut menurut penulis lebih tampak sebagai
pengantar mengenai tafsir tematik dan belum ada unsur kebaruannya.
Selanjutnya, ada penelitian tentang varian metode tematik yang dilakukan
oleh Solehudin, Yayan Mulyana, dan Andi Nurlela. Mereka melakukan penelitian
terhadap macam-macam varian metode tematik dengan merujuk pada pemikiran
beberapa tokoh seperti Toshihiko Izutsu, Musṭafā Muslim, dan 'Abd al-Sattar
Fatḥulāh. Dalam penelitian ini, mereka memformulasikan tiga varian metode
tematik, yaitu: (1) metode tematik atas kosa-kata al-Qur'an yang berhubungan
dengan ilmu semantik, (2) metode tematik pada surat tertentu yang fokus pada
penemuan tema pokok dan sub-sub tema pada surat tertentu, dan (3) metode tematik
keseluruhan al-Qur'an yang menentukan tema/ judul lalu mengumpulkan ayat-ayat
dari berbagai surat. 61 Penelitian ini cukup komprehensif karena pembahasannya
mencakup paradigma, teori, dan metode beberapa varian tafsir tematik. Hanya saja,
karena fokus penelitian yang lebih tertuju pada sisi metodologis, para peneliti belum
menyinggung soal keterkaitan metode tersebut dengan pengaplikasiannya dalam
menghadapi realitas masyarakat.
Selain penelitian di atas, kajian tentang pemikiran tokoh tafsir tematik juga
tidak sedikit. Di antaranya adalah Miftah Khilmi Hidayatullah yang membahas
metode tafsir tematik al-Kūmī dan Muṣṭafā Muslim, Muslimin yang mengkaji
pemikiran al-Farmāwī, Kaltsum yang mengkaji konsep tafsir tematik versi Bāqir
Ṣadr, dan Adang Kuswaya yang mengkaji tafsir tematik perspektif Hassan Hanafi,
dll..
Miftah Khilmi Hidayatullah melakukan studi komparasi tafsir tematik antara
al-Kūmī dan Muṣṭafā Muslim. Miftah membandingkan penerapan metode tematik
dalam dua karya tokoh tersebut dan mencari persamaan serta perbedaannya. Hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan antara pemikiran al-Kūmī
dan Muṣṭafā Muslim. Keduanya memiliki jalur pemikiran yang sama. Al-Kūmī
menstrukturasi ilmu metode tematik sedangkan Muṣṭafā Muslim mengembangkan
dan menyempurnakannya.62 Dalam penelitian ini, Miftah cukup detail menganalisis
konsep metode tafsir tematik kedua tokoh tersebut. Miftah juga menggambarkan
perkembangan konsep tafsir tematik yang menjadi konteks pemikiran mereka.
Hanya saja, ia fokus terhadap konsep metodologis dan belum menyinggung aspek
penerapannya, terutama terkait fungsionalitas konsep tafsir tematik kedua. Oleh
karenanya, aspek aksiologis konsep al-Kūmī dan Musṭafā Muslim belum tampak.
Selanjutnya ada penelitian Muslimin yang sekilas hanya menjelaskan tafsir
mauḍu'i perspektif al-Farmāwī. Dalam penelitian ini, Muslimin tidak menyatakan
secara eksplisit metode tafsir tematik al-Farmāwī. Ia hanya mengutip al-Farmāwī

60
Didi Junaedi, ‘Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudhu’i’, Diya Al-Afkar, 4.1
(2016).
61
Solehudin, Yayan Mulyana, and Andi Nurlela, ‘Tiga Varian Metode Tematik
(Mawdū’ī) Dalam Menafsirkan Al-Qur’an’ <http://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/30669> .
Diakses dari Digital Library UIN Sunan Gunung Djati pada Minggu, 12 Juli 2020, pukul
21.41 WIB.
62
Miftah Khilmi Hidayatulloh, ‘Konsep Dan Metode Tafsir Tematik (Studi
Komparasi Antara Al-Kumi Dan Mushthofa Muslim)’, Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-
Qur’an Dan Tafsir, 3.2 (2019), <https://doi.org/10.15575/al-bayan.v3i2.4116>.

13
dalam catatan kakinya tanpa melakukan analisis mendalam. Kemudian ada
penelitian Ummu Hafidzoh yang mengkaji metode tafsir tematik Muḥammad al-
Ghazali. Dalam penelitian ini, Ummu menganalisis kitab Naḥwa Tafsīr Mauḍū'ī li
Suwar al-Qur'ān al-Karīm yang membahas tafsir tematik dalam surah beserta
langkah-langkahnya. 63 Sebagai penelitian skripsi, wajar jika penelitian ini hanya
sebatas deskripsi saja tanpa analisis yang mendalam. Namun, usaha Ummu sudah
cukup menggambarkan pemikiran al-Ghazali terhadap al-Qur'an dan metode tafsir
tematik surah yang ditawarkan.
Sebagai catatan, pada penelitian Miftah, Muslimin, dan Hafidzoh di atas,
tokoh tafsir yang menjadi objek kajian hanya menawarkan metode tematik yang
normatif. Ditinjau dari pembahasan langkah-langkah metodisnya, belum ada satu
pun yang menyinggung pengaplikasian tafsir tematik tersebut untuk menjawab
problematika sosial di masyarakat. Hal ini akan tampak berbeda dengan kajian tokoh
tafsir tematik yang dilakukan oleh Kaltsum, Kuswaya, Anggoro, dan beberapa
penelitian lainnya.
Sebagaimana telah disinggung di latar belakang, Lilik Ummi Kaltsum
mengkaji metode tematik yang ditawarkan oleh Muḥammad Bāqir al-Ṣadr. Al-Ṣadr
menawarkan penafsiran tematis yang tidak terpaku pada sisi tekstualitasnya saja
namun lebih kepada pemecahan problem masyarakat. Penafsiran terhadap tema-
tema tertentu dalam al-Qur'an harus dikaitkan dengan problem riil yang terjadi di
masyarakat dan tidak hanya dikaji secara konseptual belaka.64 Al-Ṣadr menawarkan
metodologi tafsir tematik dengan prinsip yubdau min al-wāqi' wa yantahī ila al-
Qur'ān, yakni berangkat dari realitas menuju teks. Metodologi ini bukan berarti
penafsiran menjadi subjektif. Bāqir menekankan bahwa penafsiran tematis tersebut
bersifat objektif karena pemahaman terhadap realitas berfungsi sebagai pengayaan
wawasan mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an.65
Sebelumnya, Kaltsum juga menulis sebuah artikel yang menawarkan
penafsiran tematik yang berangkat dari realitas ke teks. Ia mengungkap adanya
kesenjangan dalam penerapan metode tematis yang bersifat tekstual dan
problematika masyarakat, yaitu penafsiran yang tidak realistis dan tidak aplikatif. 66
Oleh karenanya, ia menawarkan metode tafsir tematik yang sekiranya dapat
menanggapi problematika sosial di masyarakat. Metode ini berangkat dari realitas ke
teks. Pada tahun 2019, M. Wiyono menggunakan metode tersebut untuk membahas
tema pemerataan ekonomi. Berdasarkan penelitiannya, Wiyono mendukung tawaran
Kaltsum.67
Sehubungan dengan penelitian di atas, Adang Kuswaya menawarkan sebuah
metode bernama sosio-tematik. Metode ini tidak hanya fokus pada penjelasan
seluruh al-Qur'an sebagai teks, tapi juga pemecahan problem dalam masyarakat.

63
Ummu Hafizoh, ‘Metode Tafsir Mawdū’ī Muhammad Al-Ghazali (Analisa
Terhadap Kitab Nahwa Tafsīr Mawdū’ī Li Suwar Al-Qur’ān Al-Karīm)’ (Skripsi Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
64
Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-Sadr’, h. 159.
65
Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-Sadr’, h. 166.
66
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 354.
67
Wiyono, Paradigma Penafsiran dari Realitas Menuju Teks: Studi Aplikatif Manhaj
Tawḥīdi Bāqir Ṣadr.

14
Dengan mengutip banyak pemikiran Hasan Hanafi, ia mengkritik penafsiran al-
Qur'an yang pembahasannya didominasi tentang pengirim dan isi teks. Padahal
sebagai proses komunikasi, penafsiran terdiri dari tiga komponen yaitu, pengirim,
informasi, dan penerima. Melalui tafsir sosio-tematik, Adang melihat penafsiran al-
Qur'an di Indonesia akan menjadi lebih baik.68
Selanjutnya, Taufan Anggoro juga menawarkan metode tematik-
kontekstual. Ia mengkaji metode tafsir tematik-kontekstual Ziauddin Sardar melalui
karyanya yang berjudul Reading the Qur'an: The Contemporary Relevance of the
Sacred Text of Islam.69 Hasil kajiaannya menunjukkan bahwa penafsiran kontekstual
Ziauddin Sardar berbentuk operasi hermeneutik yang mengarah pada aspek konteks
dan kontekstualisasi al-Qur'an. Sementara itu, metodologi yang diterapkan Sardar
dipengaruhi oleh teori double movement Fazlur Rahman dan ethico legal Abdullah
Saeed serta "hermeneutika pembebasan" Farid Esack. Penafsirannya yang
menggabungkan penyajian tematik surat (hanya al-Fātiḥah dan al-Baqarah) dan
tematik tema sekaligus menjadi kritik sosial al-Qur'an atas fenomena keberagamaan
masa kini. Namun, dalam penelitian ini Taufan tidak terlalu menyoroti aspek tafsir
tematik yang digunakan Sardar. Ia lebih fokus pada kontekstualisasi penafsirannya.
Penelitian lain yang menawarkan perspektif baru dalam metode tafsir
tematik adalah Musholli Ready. Ia mengusulkan kombinasi penggunaan tafsir
tematik dengan pendekatan hermeneutika. Dalam penelitiannya ia menemukan
bahwa dua metode tersebut menjadi pilihan para pengkaji tafsir kontemporer dalam
menginterpretasi al-Qur'an. Kelebihan pendekatan hermeneutika dan pengaplikasian
metode tematik yang praktis dan aplikatif secara bersamaan diharapkan dapat
melengkapi metodologi tafsir di masa kini. Sebagai catatan, seperti penelitian
Kuswaya, metode tematik yang diangkat oleh Ready dalam penelitiannya merujuk
pada paradigma tafsir tematik Hassan Hanafi.70
Kritik atas metode tafsir tematik kemudian dilanjutkan oleh Moh. Yardho.
Meskipun menganggap tafsir tematik sebagai salah satu metode alternatif dan solutif
untuk menjawab persoalan kontemporer, Yardho melakukan rekonstruksi terhadap
metode tersebut agar semakin sesuai dengan kebutuhan. Dalam hasil kajiannya, ia
mencantumkan keharusan mengaplikasikan pendekatan khusus dari berbagai
keilmuan sesuai tema pembahasan agar hasil penafsiran tetap relevan dengan realitas
di masyarakat. Langkah pamungkas ini merupakan kunci dari keberhasilan tafsir
tematik.71 Sebagaimana juga ditawarkan oleh Nur Arfiyah Febriani yang menggagas
tafsir tematik-multidisipliner.72

68
Kuswaya, ‘Tafsir al-Qur'an Sosio-Tematik: Tawaran Metode Penafsiran al-Qur'an
di Indonesia’.
69
Taufan Anggoro, ‘Tafsir Alquran Kontemporer: Kajian Atas Tafsir Tematik-
Kontekstual Ziauddin Sardar’, Al Quds, 3.2 (2019),
<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29240/alquds.v3i2.1049>.
70
Musholli Ready, ‘Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer’, Journal of
Qur’an and Hadith Studies, 1.1 (2012).
71
Yardho, ‘Rekonstruksi Tafsīr Mawdū'ī: Asumsi, Paradigma, dan Implementasi’.
72
Febriani, ‘Metode Tematik Multidisipliner: Aplikasi Pada Tafsir Ekologi
Berwawasan Gender’.

15
Adapun penelitian yang mengkaji penggunaan metode tematik pernah
dilakukan oleh Uun Yusufa. Ia membahas sejumlah disertasi di UIN Jakarta dan
UIN Yogyakarta yang mengangkat tafsir tematik sebagai tema penelitian. Hasilnya,
ditinjau dari kerangka paradigmatis, terdapat 6 macam paradigma metode tafsir
tematik, yaitu: al-Qur'an sebagai hudan, kesatuan tema al-Qur'an, historisitas al-
Qur'an, kesastraan dan tekstualitas al-Qur'an, al-Qur'an sebagai subjek penelitian
kualitatif, dan korelasi antara ayat qauliyah dan ayat kauniyah.73
Ada juga Anwar Mujahidin yang membahas beberapa artikel tafsir tematik
bercorak sosial. Dalam penelitian ini, Mujahidin menganalisis bagaimana para
mufassir mendialogkan al-Qur'an dengan konteks sosial menggunakan pendekatan
teori-teori yang dikembangkan oleh ilmuwan. Dengan menggunakan teori
epistemologi ilmu dan revolusi ilmu pengetahuan, Mujahidin menemukan bahwa
ada tiga pola hubungan al-Qur'an dan sains. Pertama, al-Qur'an adalah sumber ilmu
di mana teori-teori ilmu sosial humaniora identik dan sejalan. Kedua, al-Qur'an
adalah sumber nilai universal yang tidak bertolak belakang dengan ilmu sosial dan
humaniora dan bahkan turut mengkontruksinya. Ketiga, al-Qur'an memiliki cara
pandang berbeda dalam melihat suatu objek sehingga dapat berkontribusi dalam
membangun suatu paradigma ilmu. Mujahidin lantas menyimpulkan bahwa terjadi
hubungan paradigmatik dialektik antara al-Qur'an dengan ilmu-ilmu sosial di mana
kajian berkisar dialog dari teks ke konteks atau konteks ke teks.74
Selanjutnya, terdapat banyak penelitian yang mengkaji pemikiran M.
Dawam Rahardjo. Namun sedikit sekali yang khusus mengkaji pandangannya
terhadap al-Qur'an atau karya-karyanya yang mengkaji al-Qur'an seperti Ensiklopedi
Al-Qur'an. Oleh karena itu, di sini penulis hanya menampilkan beberapa literatur
yang khusus mengkaji pandangan Rahardjo terhadap al-Qur'an.
Sejauh penelusuran penulis, penelitian awal terhadap Ensiklopedi Al-Qur'an
dilakukan oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia. Dalam
penelitiannya, Gusmian sebenarnya mengkaji literatur tafsir yang terbit pada era
1990-an, termasuk Ensiklopedi Al-Qur'an. Gusmian berhasil memetakan
karakteristik karya Rahardjo tersebut mulai dari teknik penulisan hingga ideologi
penafsir. Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian Gusmian ini cukup
komprehensif. Ia memetakan karya Rahardjo sebagai karya tafsir tematik modern-
plural yang disajikan secara ilmiah. Gusmian juga berhasil menyingkap adanya
wacana dalam penafsiran Rahardjo yang berkaitan dengan konteks Orde Baru.
Selanjutnya, penelitian yang lebih khusus dilakukan oleh M. Samsul Hady.
Hady meninjau Ensiklopedi Al-Qur'an dari berbagai aspek secara kritis. Sama
seperti penelitian Gusmian, beberapa aspek yang ia kritik ialah seputar penulisnya,
latar belakang dan tujuan penulisan, sumber-sumber penulisan, corak penafsiran,
dan beberapa pemikiran penulis. Salah satu hasil penelitiannya adalah ia
menemukan bahwa latar belakang dan tujuan penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an

73
Uun Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta’.
74
Anwar Mujahidin, ‘The Dialectic of Qur’an and Science: Epistemological Analysis
of Thematic Qur’an Interpretation Literature in the Field of Social Sciences of Humanities’,
Esensia, 19.2 (2018).

16
dimaksudkan untuk tiga hal. Pertama adalah menyuguhkan kepada umat Islam dari
berbagai kalangan sebuah pemahaman al-Qur'an yang digali dengan ketulusan dan
keterbukaan hati untuk berkomunikasi dengan petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang
memang ditujukan untuk seluruh manusia. Kedua adalah mendekonstruksi tafsir al-
Qur'an yang sudah berkembang di dunia muslim. Ketiga adalah mewujudkan masa
depan dengan nilai al-Qur'an dengan salah satu caranya adalah menciptakan metode-
metode baru dalam pemahaman dan penafsiran al-Qur'an sehingga nilai-nilai al-
Qur'an dapat dibudayakan. Namun, terlepas dari berbagai kritikannya, Hady
menyatakan bahwa melalui tafsirnya yang berbentuk tafsir mauḍū'ī-ijtimā'ī,
Rahardjo telah membuka perspektif baru bagi proses pengkayaan khazanah tafsir
Indonesia.75
Berkaitan dengan penelitian Gusmian dan Hady, penelitian Kusmana
semakin memperjelas struktur penafsiran M. Dawam Rahardjo. Penelitian Kusmana
menemukan bahwa pendekatan yang digunakan Rahardjo dalam memahami al-
Qur'an adalah pendekatan analisis sosial. Pendekatan tersebut diterapkan dalam tiga
hal, yaitu: sebagai media penjelas, media pengkayaan dan media untuk penurunan
ajaran agama normatif ke level sosial atau fungsional. Ilmu-ilmu sosial dijadikan
perangkat untuk membaca realitas sosial. Menurut pandangan ini, ilmu bersifat
netral. Selama teori yang dibangun tidak berdasar pada golongan atau kepentingan
tertentu, maka kebenaran akan tercapai. Kebenaran tersebut juga harus dibangun
berdasar pertimbangan-pertimbangan obyektif-empiris. Menurut Kusmana, untuk
menelusuri pemikiran Rahardjo, maka peneliti harus berangkat dari dua wilayah
yang menjadi minatnya, yaitu: wilayah empirisisme ilmu sosial dan wilayah
normatif kajian Islam.76
Penelitian Kusmana di atas diperkuat oleh penelitian Nasaruddin Umar.
Dalam artikel berjudul "Refleksi Sosial dalam Memahami al-Qur'ān: Menimbang
Ensiklopedi al-Qur'ān Karya M. Dawam Rahardjo", Umar menguraikan karya M.
Dawam Rahardjo dengan pembacaan hermeneutis-kritis. Umar tidak banyak
mempermasalahkan kekurangan Ensiklopedi Al-Qur'an secara metodologis 'ulumul
qur'ān. Sebaliknya, ia mengapresiasi pendekatan ilmu-ilmu sosial yang digunakan
Rahardjo dalam memahami al-Qur'an sehingga menghasilkan pemahaman yang
mudah dicerna dan aplikatif di masyarakat. Bahkan, dengan memberikan beberapa
bukti hasil penelitiannya, Umar menyatakan bahwa karya Rahardjo lebih dari
sekadar tafsir mauḍū'ī karena juga memuat banyak teori-teori dari berbagai ahli.
Menurutnya, inilah yang perlu dipertimbangkan oleh para pengkaji tafsir dalam
melihat karya Rahardjo tersebut.77
Kajian terbaru dilakukan oleh Maula Sari dalam artikel berjudul "Pemikiran
Kontemporer Tafsir al-Qur'an di Indonesia (Analisis Terhadap Ensiklopedi Al-
Qur'an Karya Muhammad Dawam Rahardjo)". Dalam kajiannya, Sari cukup

75
M. Samsul Hady, ‘Tafsir Qur’an Kontemporer: Pembacaan Awal Terhadap
Ensiklopedi Al-Qur'an M. Dawam Rahardjo’, El-Harakah, 7.1 (2005).
76
Kusmana, ‘Dimensi Sosial Pemahaman Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, Mimbar:
Jurnal Agama & Budaya, 23.1 (2006).
77
Nasaruddin Umar, ‘Refleksi Sosial Dalam Memahami Al-Qur’ān: Menimbang
Ensiklopedi Al-Qur’ān Karya M. Dawam Rahardjo’, Jurnal Studi Al-Qur’an, 1.3 (2006).

17
komprehensif mengulas aspek penulisan tafsir dan metodologinya. Namun,
kajiannya lebih mengarah pada penyajian kitab tafsir dan tidak fokus pada tafsir
tematiknya.78
Beberapa penelitian terhadap penafsiran Rahardjo kemudian lebih banyak
muncul di bidang akademik, mayoritas dari UIN Yogyakarta seperti Adnan dengan
tesis berjudul Penafsiran al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku
Ensiklopedi Al-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci) yang
mengkaji konstruksi dan kontribusi penafsiran M. Dawam Rahardjo. 79 , Ulfa
Munifah dengan tesis berjudul Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Telaah Terhadap Kesinambungan Kata-kata Kunci Dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an Karya Dawam Rahardjo) yang membahas kesinambungan
susunan tema dalam Ensiklopedi Al-Qur'an 80 , Firman dalam skripsi berjudul
Interaksi Sosial Muslim dan Non-Muslim dalam al-Qur'an Surah al-Hujurat Ayat
11-12 Menurut Dawam Rahardjo81 yang mengkaji penafsiran Rahardjo atas ayat 11-
12 surah al-Hujurat, Yeni Fajriaturrahmi dengan skripsi berjudul Metode Tafsir
Maudhu'i M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an82, dan Azizurrochim
dengan skripsi berjudul Metode Tafsir Maudhu'i (Studi Komparatif antara M.
Quraish Shihab dan M. Dawam Rahardjo).83
Penelitian terhadap karya M. Dawam Rahardjo juga pernah dilakukan oleh
penulis sendiri pada tahun 2018. Penelitian ini hanya fokus pada dimensi makna
dhikr ayat-ayat ulil albāb. Penelitian ini tidak menyinggung secara komprehensif
metodologi tafsirnya. Namun, hasil penelitian ini mengindikasikan adanya
kontekstualisasi ayat al-Qur'an dengan wacana yang berkembang di masa
penulisannya.84
Beberapa penelitian di atas berkaitan erat dengan pokok masalah yang
penulis angkat pada penelitian ini. Namun, dari berbagai penelitian terdahulu yang

78
Maula Sari, ‘Pemikiran Kontemporer Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia (Analisis
Terhadap Ensiklopedi Al-Qur'an Karya Muhammad Dawam Rahardjo)’, in Tafsir Al-Qur’an
Di Nusantara (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu ALembaga Ladang Kata, 2020), h. 251–70.
79
Adnan, ‘Penafsiran Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku
Ensiklopedi Al-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci)’ (Tesis S2
Program Studi Agama dan Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
80
Ulfa Munifah, ‘Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci (Telaah Terhadap Kesinambungan Kata-Kata Kunci Dalam Ensiklopedi Al-Qur'an
Karya Dawam Rahardjo’ (Tesis S2 Konsentrasi Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017).
81
Firman, ‘Interaksi Sosial Muslim Dan Non-Muslim Dalam Al-Qur’an Surah Al-
Hujurat Ayat 11-12 Menurut Dawam Rahardjo’ (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
82
Yeni Fajriaturrahmi, ‘Metode Tafsir Maudhu’i M. Dawam Rahardjo Dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an’ (Skripsi S1 UIN Imam Bonjol Padang, 2018).
83
Azizurrochim, ‘Metode Tafsir Maudhu’i (Studi Komparatif Antara M. Quraish
Shihab Dan M. Dawam Rahardjo)’ (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah,
IAIN Tulungagung, 2016).
84
Faris Maulana Akbar, ‘Dimensi Makna Dzikr Ulil Albāb: Studi Atas Pemikiran M.
Dawam Rahardjo)’ (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018).

18
relevan tersebut belum ada yang melakukan pengkajian khusus terhadap tafsir
tematik-sosial M. Dawam Rahardjo. Secara umum, sudah banyak peneliti yang
mengkaji tafsir tematik-sosial seperti yang dilakukan oleh Kaltsum dan Kuswaya,
akan tetapi mereka tidak mengacu pada Rahardjo atau tokoh penafsir/pemikir
Indonesia lainnya. Begitu pula banyak peneliti yang mengkaji pemikiran Rahardjo
seperti Gusmian, Hady, Kusmana, Umar, Adnan, dll., akan tetapi tidak mengkaji
tafsir tematik-sosialnya. Penelitian Adnan, Fajriaturrahmi, dan Azizurrochim
mungkin bisa dianggap lebih mendekati apa yang hendak penulis kaji. Perbedaannya
adalah Adnan hanya sekadar menemukan konstruksi tematik-sosial pada penafsiran
Rahardjo tanpa mendiskusikannya ke ranah perdebatan tafsir tematik. Begitu pula
Fajriaturrahmi dan Azizurrochim.
Selain itu, penelitian ini mencoba untuk menyingkap wacana yang ada
dalam Ensiklopedi Al-Qur'an sebagaimana yang dilakukan oleh Gusmian serta
pembacaan hermeneutis-kritis seperti yang dilakukan oleh Umar. Kajian semacam
itu tidak terdapat pada kajian Adnan karena ia sebatas membahas persoalan
relevansinya saja. Adapun penelitian Fajriaturrahmi dan Azizurrochim tidak sampai
ke tahapan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengisi
kekosongan ini untuk melengkapi penelitian-penelitian terdahulu, terutama dalam
ranah metodologi tafsir dan literatur tafsir Indonesia.
F. Metodologi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di
awal, penelitian ini merupakan penelitian tokoh. 85 Penelitian ini mengkaji
pemikiran, gagasan, konsep, dan teori penafsiran tematik-sosial M. Dawam
Rahardjo Objek kajian tersebut berada pada tataran konsep/abstraksi yang
menggunakan karya tulis sebagai sumber data. Oleh karenanya, untuk menjawab
rumusan masalah tersebut penulis menerapkan penelitian kualitatif 86 berupa studi
pustaka. 87 Berdasarkan penelitian ini, data yang dikumpulkan harus lengkap agar

85
Menurut Abdul Mustaqim, hakikat studi tokoh adalah studi kajian secara
mendalam, sistematis, kritis mengenai sejarah tokoh, ide atau gagasan orisinal, serta konteks
sosio-historis yang melingkupi tokoh yang dikaji. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-
Qur’an Dan Tafsir, 5th edn (Yogyakarta: Idea Press, 2019), h. 32.
86
Penelitian kuallitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll. secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 35th edn (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2015), h. 6. Penelitian ini dilakukan ketika seorang peneliti ingin
mengeksplorasi lebih detail tentang suatu problem yang mejadi objek kajian. John W.
Cresswell and Cheryl N. Poth, Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among
Five Approaches, 4th edn (London: Sage, 2018), h. 84.
87
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan referensi kepustakaan
sebagai sumber datanya. Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 40.

19
penelitiannya benar-benar berkualitas. Data tersebut terdiri dari data primer dan data
sekunder.88
2. Sumber Data
Data primer dalam penelitian ini adalah dua karya M. Dawam Rahardjo.
Yang pertama adalah Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci yang berisi 27 tema penafsiran M. Dawam Rahardjo. 27 tema itu
dalam Ensiklopedi Al-Qur'an dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi spiritual-
keagamaan sebanyak 12 tema dan dimensi sosial-keagamaan sebanyak 15 tema.89
Yang kedua adalah buku Paradigma Al-Qur'an untuk mengetahui konsep metode
tematik M. Dawam Rahardjo. Data primer ini kemudian didukung dengan data
sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan tema penelitian.
3. Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Sedangkan
analisis data dilakukan dengam metode deskriptif-analitik. Berdasarkan metode ini,
penulis akan menempuh beberapa langkah penelitian sebagaimana di bawah ini.
a. Mengidentifikasi setiap karya yang berhubungan dengan penelitian.
b. Mengumpulkan data-data dari sumber primer dan sumber sekunder yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
c. Mengidentifikasi metode penafsiran tematik-sosial M. Dawam Rahardjo.
d. Mendeskripsikan hasil identifikasi terhadap metode penafsiran tematik
sosial M. Dawam Rahardjo.
e. Menganalisis metode penafsiran tematik-sosial dan penafsiran M. Dawam
Rahardjo.
f. Menyimpulkan hasil analisis penulis tentang konsep metode tafsir tematik-
sosial M. Dawam Rahardjo.
Untuk membantu proses analisis data, secara umum penulis menggunakan
teori tafsir tematik (mauḍū'ī) sebagai pijakan awal penelitian. Di samping itu,
penulis juga menggunakan pendekatan hermeneutika dan analisis wacana.

88
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara
lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya (subjek
penelitian/ informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (table, catatan notulen rapat, SMS,
dll.), foto-foto, film, rekaman video, dan lainnya yang dapat memperkaya sumber primer.
Sumber data kualitatif berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan
benda-benda yang dicermati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang tersirat
dalam dokumen dan bendanya. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik, 15th edn (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), h. 22.
89
Tema-tema dimensi spiritual-keagamaan adalah Fithrah, Hanīf, Ibrāhīm, Dīn,
Islām, Taqwā, 'Abd, Amānah, Rahmah, Rūh, Nafs, dan Syaithān. Sedangkan tema-tema
dimensi sosial-keagamaan adalah Nabī, Madīnah, Khalifah, 'Adl, Zhālim, Fāsiq, Syūrā, Ūlū
al-Amr-i, Ummah, Jihād, 'Ilm, Ūlū al-Albāb, Rizq, Ribā, dan Amr Ma'rūf Nahy Munkar.
Lihat daftar isi pada halaman awal: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci.

20
Hermeneutika adalah salah satu metode untuk memahami teks secara mendalam.90
Sedangkan analisis wacana adalah salah satu metode untuk menganalisis suatu teks.
Biasanya metode ini digunakan untuk menelaah teks media. Pada penerapannya,
metode ini juga bisa digunakan untuk teks-teks lainnya untuk mengungkap
bagaimana pesan disampaikan. Analisis wacana membantu pembaca untuk
mengetahui isi teks sekaligus bagaimana teks itu disampaikan serta melihat makna
yang tersembunyi dari suatu teks.91
Pendekatan hermeneutika yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
hermeneutika W.C. Ludwig Dilthey yang mempunyai teori bahwa suatu teks dapat
dipahami dengan menempatkannya di dalam konteks kehidupan penulisnya yang
terdiri atas masyarakat, kebudayaan, dan sejarah. 92 Penggunaan hermeneutika
Dilthey tersebut berfungsi untuk memahami tafsir tematik-sosial yang ditulis oleh
M. Dawam Rahardjo, konteks sosio-historis pemikirannya, serta relevansinya
dengan perkembangan ilmu tafsir di Indonesia.
Pendekatan analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis wacana kritis Teun A. van Dijk untuk mengungkap wacana yang diusung
Rahardjo dalam penafsirannya. Analisis wacana kritis van Dijk memiliki lima
karakteristik penting yang menjadi lima prinsip acuan dalam menganalisis suatu
teks, yaitu terkait (1) tindakan, (2) konteks, (3) historis, (4) kekuasaan, dan (5)
ideologi. Dalam prinsip pertama, wacana diposisikan sebagai sebuah tindakan yang
merupakan bentuk interaksi penulis teks dengan pembacanya. Dalam prinsip kedua,
wacana dipahami tidak terlepas dari konteks tertentu. Teks dan konteks
digambarkan secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Pada prinsip ketiga,
wacana ditempatkan pada konteks sosial tertentu sehingga suatu teks hanya bisa
dimengerti dengan menyertakan konteks historisnya. Pada prinsip keempat, wacana
dipandang sebagai bentuk pertarungan kekuasaan yang mengandung kontestasi-
kontestasi makna tertentu. Sedangkan pada prinsip kelima, wacana dianggap
memiliki afiliasi dengan ideologi tertentu.93
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan. Pembahasan
dimulai dari Bab 1 yang berisi pendahuluan. Pada bab ini penulis memaparkan latar
belakang masalah, identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.

90
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), h. 8.
91
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 3rd edn (Yogyakarta:
LKiS, 2011), h. xv.
92
F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai
Derrida, 8th edn (Yogyakarta: PT Kanisius, 2020), h.63-96.
93
Lihat: Teun A. van Dijk, "Discourse as Interaction in Society", dalam Teun A. van
Dijk (ed.), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary
Introduction (London: Sage Publication, 1997), v. 2, h. 1-37 sebagaimana dikutip oleh
Eriyanto dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 7-14.

21
Pada Bab II, penulis akan menjelaskan paradigma tafsir tematik-sosial di
kalangan pengkaji tafsir. Ada tiga bahasan pokok yang penulis kaji. Pertama,
penulis membahas pergeseran epistemologi tafsir. Bahasan ini meliputi kritik
epistemologi tafsir tekstual yang menyebabkan terjadinya evolusi dari tafsir bi al-
ma'thūr ke tafsir bi al-ra'yi. Dilanjutkan pada bahasan tentang pembaruan
metodologi tafsir di abad modern sebagai cikal bakal lahirnya tafsir modern.
Kemudian pada bahasan tentang paradigma tafsir kontekstual sebagai buah dari
pembaruan metodologi tersebut pada masa kontemporer.
Kedua, penulis mengkaji diskursus tafsir tematik di kalangan tokoh-
tokohnya. Pembahasan ini dimulai dari evolusi metode tafsir dari taḥlīlī, ijmālī,
muqāranī, hingga mauḍū'ī. Pembahasan dilanjutkan dengan paradigma tafsir
mauḍū'ī serta karya-karya yang membahas metode tersebut, termasuk juga sekilas
pemikiran tokoh pengarangnya. Beberapa tokoh yang akan dikaji adalah al-Kūmī,
al-Farmāwī, Fazlur Rahman, Bāqir al-Ṣadr, Hassan Hanafi, dan M. Quraish Shihab.
Ketiga, penulis akan memaparkan kajian para peneliti terhadap pemikiran
para tokoh tafsir tematik sekaligus menjelaskan urgensi pendekatan sosial dalam
metode tafsir tematik. Dalam hal ini, ada dua bahasan yang diangkat sebagai hasil
kajian para peneliti tersebut, yaitu: diskursus mengenai arah gerak penafsiran dari
teks ke realitas dan realitas ke teks. Semua pembahasan ini disajikan secara dialektis
sehingga tampak adanya perdebatan teoritis-akademik yang melingkupi diskursus
tafsir tematik-sosial ini.
Pada Bab III, penulis mengkaji profil singkat M. Dawam Rahardjo,
Ensiklopedi Al-Qur'an, dan Paradigma Al-Qur'an. Pembahasan dimulai dari latar
belakang ketokohan Dawam Rahardjo lalu dilanjutkan dengan pemaparan biografi
Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an seperti sistematika penyajian dan
karakteristik lainnya.
Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil analisis terhadap penafsiran M.
Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an
berdasarkan metodologi tafsir yang ia tawarkan serta mendiskusikan posisinya
dalam perdebatan keilmuan tafsir tematik yang telah dibahas pada Bab II. Pada bab
ini penulis juga memaparkan wacana sosial apa saja yang diangkat oleh Rahardjo
dalam Ensiklopedi Al-Qur'an. Selanjutnya penulis menjelaskan relevansi tafsir
tematik-sosial M. Dawam Rahardjo terhadap perkembangan tafsir di Indonesia.
Pada Bab V, penulis memberi kesimpulan pembahasan dengan mengacu
pada rumusan masalah yang ada. Kesimpulan tersebut berupa jawaban atas rumusan
masalah disertai argumen inti hasil temuan penelitian ini. Setelah itu, penulis
memberikan saran atas apa yang telah dicapai dan yang masih belum dicapai oleh
penelitian ini sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

22
BAB II
PARADIGMA TAFSIR TEMATIK-SOSIAL

Bab ini mendiskusikan paradigma1 tafsir tematik-sosial yang menjadi tema


keilmuan dalam penelitian. Diskusi dimulai dari pembahasan pergeseran
epistemologi tafsir yang menjadi cikal bakal lahirnya tafsir modern-kontemporer.
Kemudian pembahasan dilanjutkan mengenai diskursus tafsir tematik sebagai salah
satu usaha dalam penafsiran kontemporer. Selanjutnya akan dibahas persoalan
dikotomi tafsir tematik yang menentukan pijakan awal penafsiran. Pijakan awal
inilah yang kemudian menjadi landasan dalam penelitian ini.
Topik pergeseran epistemologi tafsir penting dikaji di awal pembahasan bab
ini untuk meninjau rekam jejak dinamika perkembangan tafsir. Tinjauan ini
diperlukan agar dapat mengetahui posisi tafsir tematik dalam history of idea
perkembangan tafsir. Dengan mengetahui posisi tersebut, secara umum akan
tergambar bagaimana epistemologi tafsir yang melandasinya. Dengan demikian,
keberadaan tafsir tematik baik dari segi latar belakang kemunculannya hingga
perkembangannya dapat lebih mudah dipahami.
Pembahasan diskursus tafsir tematik juga menjadi topik penting yang perlu
dihadirkan dalam bab ini. Selain menjelaskan latar belakang kemunculannya,
pembahasan diskursus tafsir tematik ini secara khusus bertujuan untuk memberikan
gambaran ruang lingkup yang meliputi kajian tafsir tematik. Oleh karenanya, penulis
tidak hanya memberikan pengertian dan cara kerja tafsir tematik menurut satu tokoh
saja melainkan dari berbagai tokoh yang turut menggagas tafsir tematik tersebut.
Bahasan ini penting untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam perkembangan
tafsir tematik itu sendiri.
Selanjutnya, setelah mengetahui dinamika perkembangan tafsir tematik
adalah penting menyajikan hasil penelitian terkini dari para pengkaji tafsir tersebut.
Pada bagian ini penulis menguraikan perbedaan pijakan awal penafsiran para
penafsir tematik yang mengerucut menjadi dua kelompok, yakni yang berangkat dari
teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pembahasan ini menjadi sangat
penting sebagai landasan penelitian karena pilihan pijakan awal menentukan arah
penafsiran dan berimplikasi pada aplikasi tafsir di masyarakat. Dari sinilah nantinya
akan tampak pentingnya tafsir tematik-sosial yang menjadi tema keilmuan dalam
penelitian ini sekaligus sebagai pengantar untuk mengkaji Ensiklopedi Tafsir yang
menjadi objek penelitian.

1
Yang dimaksud dengan "paradigma" dalam penelitian ini adalah suatu model dalam
teori ilmu pengetahuan. Selain itu, "paradigma" di sini juga dapat dimaknai sebagai kerangka
berpikir. Pengertian ini sesuai dengan yang diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Keterangan diakses pada 27 Agustus 2020 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/paradigma . Bandingkan dengan Pius Partanto and M.
Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola), h. 574 dan Tim Penulis,
Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, 1st edn (Bandung: Mizan, 2009), h. 422.

23
A. Pergeseran Epistemologi2 Tafsir: Tekstual-Kontekstual
Tafsir selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Salah satu teori
yang dianut oleh para ulama tafsir adalah taghayyur wa taṭawwur al-tafsīr bi
taghayyur al-zamān wa al-makān. Artinya adalah perubahan dan perkembangan
tafsir terjadi karena perubahan zaman dan tempat. Teori ini dibuktikan oleh
beberapa peneliti yang mengkaji literatur tafsir lintas zaman. Misalnya adalah
Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī yang meneliti produk-produk tafsir sejak zaman
klasik hingga kontemporer. Ia membagi penafsiran ke dalam beberapa periode. Hasil
penelitiannya tersebut menunjukkan berbagai macam tipologi tafsir beserta latar
belakangnya.3
Teori lain menyebutkan bahwa taghayyur wa taṭawwur al-tafsīr bi
taghayyur wa taṭawwur nuẓum al-ma'rifah. Artinya adalah perubahan dan
perkembangan tafsir terjadi karena perubahan dan perkembangan cara berpikir
(episteme). Menurut teori ini, walaupun zaman dan tempat berubah sementara cara
berpikirnya tidak berubah, maka perubahan zaman dan tempat itu tidak akan
berdampak pada perkembangan tafsir.4
Kedua teori di atas tidak saling menihilkan. Masing-masing teori memiliki
kebenarannya sendiri. Teori pertama bersifat eksternal dengan menjadikan konteks
di luar mufassir sebagai faktor yang mempengaruhi penafsiran. Sementara itu, teori
kedua bersifat internal dengan menjadikan cara berpikir mufassir sebagai faktor
utama yang mempengaruhi penafsiran. Jika diperhatikan secara saksama, kedua
teori itu sebenarnya saling melengkapi karena baik faktor internal maupun eksternal
memiliki keterkaitan yang kuat.5

2
Yang dimaksud dengan epistemologi di sini adalah cabang dari ilmu filsafat yang
menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan. Partanto and Barry, Kamus Ilmiah
Populer, h. 162. Bandingkan dengan Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 105.
3
Muḥammad Ḥusain Al-Dhahabī, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 2000). Hasil penelitian al-Dhahabī sering dijadikan rujukan oleh para pengkaji
tafsir hingga sekarang. Beberapa peneliti yang melakukan kajian serupa adalah Ignaz
Goldziher melalui karyanya Madhāhib al-Tafsīr al-Islāmī, Muhammad Hādi Ma'rifah
dengan karya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fi Thaubihi al-Qashīb, 'Abd al-Qadīr Muhammad
Ṣāliḥ dengan karya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī 'Aṣr al-Ḥadīth, dll. termasuk peneliti Barat
seperti J.M.S. Baljon dengan karya Modern Muslim Koran Interpretation. Abdul Mustaqim,
Metode Penelitian Al-Qur’an Dan Tafsir, 5th edn (Yogyakarta: Idea Press, 2019), h. 17.
4
Teori kedua ini dirumuskan oleh Abdul Mustaqim dalam penelitian disertasinya
yang berjudul Epistemologi Tafsir Kontemporer. Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an
Dan Tafsir, h. 25.
5
Misalnya, di dalam fiqh ada qaul jadīd dan qaul qadīm. Dalam perubahan dan
perkembangan nalar fiqh tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan
munculnya qaul jadīd adalah perpindahan tempat yang dilakukan oleh Imam al-Shāfi'ī.
Namun, dapat pula dikatakan bahwa faktor utamanya adalah perubahan epistemologi fiqh
yang dialami oleh Imam al-Shāfi'ī. Dua faktor tersebut dapat dipahami bahwa perpindahan
tempat dapat menyebabkan perubahan nalar di mana perubahan nalar itu kemudian
menyebabkan kemunculan qaul jadīd. Namun, penulis tidak menyangkal bila ada salah satu
faktor yang menonjol sehingga tampak lebih dominan dari yang lain.

24
Sehubungan dengan hal di atas, penelitian-penelitian tafsir sejauh ini
melibatkan perdebatan ontologis tentang hakikat tafsir. Pertanyaan mendasar seperti
apa yang disebut tafsir ini dirasa penting untuk menjadi pijakan ilmiah kajian tafsir.
Dengan mengetahui dan memahaminya secara terukur, maka pengetahuan tersebut
akan mempermudah peneliti dalam melakukan pengkajian. Sebagaimana dalam
filsafat ilmu, epistemologi dan aksiologi tidak akan berarti tanpa adanya ontologi.6
Secara etimologis, kata "tafsir" berasal dari bahasa Arab, yaitu tafsīr. Ahli
bahasa Arab memaknainya sebagai olahan kata dari kata lain, yaitu safara atau
fasara. Keduanya memiliki makna yang sama, yaitu menyingkap. Namun, makna
yang umum dipakai oleh ulama adalah tafsīr yang berasal dari fasara, yang berarti
al-iḍāh wa al-tabyīn. Makna inilah yang kemudian dijadikan pengertian
terminologis dari tafsir, yaitu: bayān kalām-llāh atau al-mubayyin li alfādh al-
Qur’ān wa mafhumātu-hā. Artinya adalah menjelaskan firman Allah atau yang
menjelaskan lafaz-lafaz al-Qur'an beserta pemahamannya. 7 Menurut M. Quraish
Shihab, salah satu definisi singkat tetapi cukup mencakup pengertian tafsir adalah
"penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan
manusia."8
Mengutip Abdul Mustaqim, ada dua paradigma utama dalam melihat
hakikat tafsir, yaitu: tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk.9 Tafsir sebagai
proses adalah aktivitas berpikir yang terus-menerus dilakukan untuk mendialogkan
teks al-Qur'an dengan realitas yang berkembang.10 Sebagai hasil proses dialektika
antara teks, akal, dan konteks, tafsir ini dapat dikritisi. Tafsir sebagai proses juga
membawa konsekuensi logis bahwa al-Qur'an harus selalu dikaji ulang dan
ditafsirkan. 11 Oleh karenanya, menurut pengertian ini tafsir tidak pernah final.
Dengan demikian, bersikap kritis terhadap hasil penafsiran al-Qur'an yang ada
selama ini penting dilakukan.12
Menurut Mustaqim, memandang tafsir sebagai sebuah proses dialektika dan
dinamis sangat penting sehingga penafsiran tidak akan berhenti. 13 Tafsir sebagai
proses meniscayakan dialektika antara wahyu, akal, dan realitas yang terus-menerus.

6
Ontologi adalah kajian tentang hakikat sesuatu. Tanpa status ontologis yang jelas,
maka suatu objek akan sulit dikaji. Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: IPB Press,
2016), h. 84. Menurut Jujun S. Suriasumantri, epistemologi ilmu berkaitan dengan ontologi
dan aksiologinya. Ketiganya saling berkaitan sebagai landasan ilmu pengetahuan.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, h. 105.
7
Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 2000), h. 12.
8
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, 3rd edn (Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 9.
9
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
5. Bandingkan dengan Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-
Qur’an, 1st edn (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 264.
10
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 3rd edn (Yogyakarta: LKiS,
2012), h. 32.
11
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 7.
12
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 9.
13
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 11.

25
Hubungan ketiganya adalah hubungan fungsional dan bukan struktural yang
berproses secara dialektik dan dinamis.14 Dengan menghargai proses, maka kegiatan
penafsiran akan lebih dinamis dan pengembangan metodologi pun akan lebih kaya.15
Sementara itu, tafsir sebagai produk adalah hasil pemikiran (muntaj al-fikr)
dari seorang mufassir sebagai respons terhadap kehadiran al-Qur'an. Hampir sama
dengan pengertian tafsir sebagai proses, tafsir sebagai produk merupakan hasil
dialektika antara teks, pembaca, dan realitas. Meskipun al-Qur'an bersifat suci, tafsir
al-Qur'an sebagai hasil campur tangan manusia tidak dapat disamakan dengannya.
Kebenaran tafsir tidak bersifat ilahiah seperti kebenaran al-Qur'an. Oleh karena itu,
tafsir dapat dikritik bahkan jika perlu didekonstruksi sesuai kebutuhan zaman.16
Berdasarkan pengertian di atas, maka tafsir sebagai produk bersifat historis,
relatif, dan tentatif. Produk tafsir selalu mencerminkan konteks pada zaman
pembuatannya. Bisa jadi penafsiran pada masa klasik sudah jauh berbeda dengan
konteks masa kontemporer. Dengan begitu, produk tafsir tersebut perlu ditinjau
ulang untuk menguji relevansinya dengan perkembangan zaman apakah masih
relevan atau tidak. 17 Namun, menurut Mustaqim, yang menjadi masalah terbesar
adalah meninggalkan produk tafsir klasik yang mungkin memiliki banyak "mutiara"
tetapi menghambat laju perkembangan tafsir.18
Tafsir sebagai produk tidak universal dan tidak netral. Hal tersebut dapat
dijadikan alasan untuk melakukan kritik terhadapnya. Sebagai produk, tolak ukur
kebenaran tafsir adalah sejauh mana suatu penafsiran menangkap gagasan ideal
moral yang disesuaikan dengan konteks atau semangat zamannya. Tafsir juga
bersifat transformatif yang mampu untuk melakukan perubahan positif terhadap
situasi yang sedang dihadapi.19
Berdasarkan dua pengertian ontologis tafsir di atas, Abdul Mustaqim
menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran epistemologi tafsir sejak era klasik
hingga kontemporer. Ia membagi era penafsiran menjadi tiga20, yaitu: era formatif,

14
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 15.
15
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 17.
16
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 18.
17
Salah satu contoh adalah perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang poligami
antara ulama klasik yang mendukung praktik poligami dan sarjana kontemporer yang
cenderung memahaminya sebagai anjuran monogami. Wely Dozan, ‘Analisis Pergeseran
Shifting Paradigm Penafsiran: Studi Komparatif Tafsir Era Klasik Dan Kontemporer’, At-
Tibyan, 5.1 (2020), <https://doi.org/10.32505/tibyan. v5i1.1631>, h. 47-48.
18
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 19.
19
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 20-21.
20
Secara umum, periodisasi tafsir yang dijadikan rujukan oleh para pengkaji tafsir
adalah periodisasi masa klasik, pertengahan, dan modern-kontemporer. Namun, para peneliti
tafsir mencoba membuat tipologi tafsir berdasarkan aspek-aspek hermeneutis seperti aspek
penafsir dan kitab tafsirnya. Periodisasi semacam ini pernah dilakukan oleh al-Dhahabī
dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn yang memetakan perkembangan tafsir ke dalam empat
fase, yaitu (1) fase Rasulullah dan para sahabat, (2) fase tabiin, (3) fase pembukuan (tadwīn),
dan (4) fase modern. Berbeda dengan al-Dhahabī, Abdullah Saeed hanya membagi masa
perkembangan tafsir dalam dua periode, yaitu (1) periode klasik yang meliputi tafsir Sunni,
tafsir Syi'ah, tafsir Khawarij, tafsir teologis, tafsir hukum, tafsir sufi, dan tafsir falsafi dan (2)
periode modern yang mencakup tafsir modernis, tafsir ilmiah, tafsir sosio-politik, tafsir

26
era afirmatif, dan era reformatif.21 Era formatif adalah era klasik di mana penafsiran
al-Qur'an lebih didominasi oleh model tafsir bi al-ma'thūr yang kental dengan nalar
bayānī.22 Pada era ini, tafsir diterima apa adanya tanpa adanya kritikan. Era afirmatif
merupakan era penafsiran yang berlangsung pada Abad Pertengahan. Pada awalnya
era ini muncul karena ketidakpuasan terhadap tafsir bi al-ma'thūr sehingga
melahirkan tradisi tafsir bi al-ra'yi. Namun, tafsir bi al-ra'yi tersebut kemudian
didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi dan sering dijadikan justifikasi
dan legitimasi ideologi tersebut. Adapun era reformatif adalah era penafsiran pada
zaman modern-kontemporer. Kemunculannya disebabkan karena ketidakpuasan
terhadap produk tafsir era afirmatif yang dinilai ideologis, otoriter, hegemonik, dan
sektarian. Oleh karena itu, pada era ini produk tafsir banyak dikritisi sehingga
dikenal sebagai nalar kritis.23
Sementara itu, ditinjau dari pendekatannya dari masa ke masa, U. Syafrudin
menegaskan ada dua paradigma tafsir, yaitu tekstual dan kontekstual. Tafsir tekstual
adalah tafsir yang berorientasi pada pemahaman harfiah-tekstual al-Qur'an tanpa
melihat konteks yang melingkupinya. Sedangkan tafsir kontekstual adalah tafsir
yang tidak hanya memperhatikan aspek teks al-Qur'an saja melainkan juga
mempertimbangkan sisi kontekstualnya. Tafsir kontekstual berbentuk pemahaman
teks al-Qur'an sebagai bingkai realitas yang bersifat historis dengan menggunakan
medium bahasa kultural di mana teks tersebut diturunkan.24

tematik, dan tafsir kontekstual. Beberapa tokoh lain yang membuat pemetaan berdasarkan
tipologi penafsir adalah Abū Ḥamīd al-Ghazalī, al-Syāṭibī, dan Syahiron Syamsuddin.
Sedangkan pemetaan berdasarkan tipologi tafsir dilakukan oleh Ignaz Goldziher, Hassan
Hanafi, Amina Wadud, dll. Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah
Perkembangannya (Jakarta: Kencana, 2019), h. 6-28.
21
Menurut pengakuannya, ketiga istilah tersebut merupakan hasil ramuan Mustaqim
dari hasil pembacaan atas pemikiran beberapa tokoh seperti Kuntowijoyo dan Jurgen
Habermas. Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 24. Bandingkan dengan Abdul-
Raof yang membuat tiga fase penafsiran, yaitu formative phase (fase formatif), recording
phase (fase rekaman), dan modern phase (fase modern). Hussein Abdul-Raof, Schools of
Qur’anic Exegesis: Genesis and Development (New York: Routledge, 2010), h. 111.
22
Nalar bayānī adalah metode pemikiran khas Arab yang memprioritaskan otoritas
teks baik secara langsung atau tidak dan dipertimbangkan oleh akal kebahasaan melalui
istidlāl. Singkatnya, nalar ini bersifat tekstualis di mana teks adalah pengetahuan jadi dan
bisa diaplikasikan tanpa pemikiran. Meskipun menggunakan rasio, nalar ini menekankan
agar rasio tersebut disandarkan pada teks. Dalam Islam, sasaran nalar ini biasanya berupa
syariat yang bersifat eksoteris di mana al-Qur’an dan hadis menjadi sumber pengetahuannya.
Nalar ini memiliki dua metode, yaitu: berpegang pada redaksi teks (lafẓ) dan analogi teks
(qiyās). Imam Zamroni Latief, ‘Islam Dan Ilmu Pengetahuan’, Islamuna: Jurnal Studi Islam,
1.2 (2014), h. 154. Bandingkan dengan Ahmad Baso, Al-Jabiri, Eropa Dan Kita: Dialog
Metodologi Islam Nusantara Untuk Dunia, 2nd edn (Ciputat: Pustaka Afid, 2017), h. 39-44.
23
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. vi-viii.
24
U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur’an, 2nd (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 7. Bandingkan
denganAmer Ali, ‘A Brief Review of Classical and Modern Tafsir Trends and the Role of
Modern Tafsir in Contemporary Islamic Thought’, Australian Journal of Islamic Studies, 3.2

27
1. Kritik Epistemologi Tafsir Tekstual (Evolusi Tafsir bi al-Ma'thūr- bi al-Ra'yi)
Seiring perkembangan zaman, model penafsiran tekstual yang berusaha
mempertahankan makna asli teks al-Qur'an sebagaimana pada saat diturunkan
menghasilkan penafsiran yang cenderung bersifat eksklusif dan doktrinal. 25 Jika
dihubungkan dengan pemetaan epistemologi tafsir oleh Abdul Mustaqim, maka
penafsiran tekstual tersebut terjadi pada era formatif di mana model tafsir bi al-
ma'thūr umumnya digunakan dengan menggunakan nalar bayānī. Nalar bayānī yang
lebih mengandalkan tekstualitas merupakan faktor utama di balik penafsiran tekstual
tersebut. Penafsiran inilah yang kemudian menuai kritik lantaran hanya
memperhatikan makna tekstual al-Qur'an saja tanpa memperhatikan konteks yang
melingkupinya.26
Menilik gambaran di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi masalah
adalah penggunaan nalar bayānī dalam pemahaman al-Qur'an an sich. Pemilihan
sumber riwayat yang menjadi ciri utama tafsir bi al-ma'thūr tampaknya tidak
mempunyai pengaruh apa-apa. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Mustaqim, era
formatif adalah era di mana para pengkaji al-Qur'an hanya melakukan penerimaan
atas riwayat-riwayat tanpa melakukan kritik. Oleh karena itu, secara tidak langsung
metode tafsir bi al-ma'thūr pada era formatif tidak dapat dilepaskan dari nalar
bayānī. Hal inilah yang kemudian mendapat kritikan dan diperbarui oleh ulama
tafsir era afirmatif.27
Pada era afirmatif, tafsir berkembang dari yang semula hanya menggunakan
sumber riwayat (tafsir bi al-ma'thūr) kemudian memasukkan akal sebagai sumber
kedua penafsiran (tafsir bi al-ra'yi).28 Dengan begitu, nalar bayānī tidak lagi menjadi
satu-satunya cara memahami al-Qur'an. Para ulama juga mulai menggunakan nalar
burhānī di mana kebenaran tidak tergantung pada tekstual saja, tetapi juga akal
pikiran melalui logika.29 Sayangnya, penggunaan nalar burhānī pada tafsir bi al-ra'yi

(2018), 39–52 <https://ajis.com.au/index.php/ajis/tncs>, h. 42-43 dan Abdullah Saeed, Al-


Qur'an Abad 21: Tafsir Kontekstual (Bandung: Mizan, 2014), h. 28.
25
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 7.
26
Perlu dicatat bahwa tekstual di sini bukan seperti yang digambarkan oleh Nasr
Hamid Abū Zaid. Meskipun mencetuskan teori tekstualitas al-Qur'an, pandangan Abū Zaid
terhadap al-Qur'an sebagai teks tidak terlepas dari konteks yang meliputinya. Lihat: Moch.
Nur Ichwan, ‘Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks Dalam Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid
Abu Zayd)’, in Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,
ed. by Abdul Mustaqim and Sahiron Syamsudin, 1st edn (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
2002), h. 159.
27
Pergeseran epistemologi ini terjadi pada abad III-VII/VIII H bersamaan dengan
masa pencerahan (renaisans) dalam dunia Islam di mana ilmu pengetahuan berkembang
pesat. Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir Dari
Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, 2nd edn (Yogyakarta: Idea
Press, 2016), h. 90.
28
Perkembangan ini tidak terlepas dari terjadinya pergeseran peradaban lisan menuju
peradaban tulisan dan penalaran. Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi
Aliran-Aliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, h. 91.
29
Nalar burhānī lebih menekankan penggunaan rasio melalui dalil-dalil logika.
Prinsip logis tersebut menjadi acuan sehingga dalil agama bisa diterima selama sesuai
dengannya. Latief, ‘Islam dan Ilmu Pengetahuan’, h. 157.

28
kemudian menghadirkan masalah lain, yaitu dijadikan alat legitimasi ideologi. Inilah
alasan mengapa pada era setelahnya bentuk penafsiran ini juga menuai kritikan
sehingga diperbarui lagi oleh ulama masa modern dengan nalar kritisnya.30
2. Pembaruan Metodologi Tafsir di Abad Modern
Meninjau hasil penelitian Ignaz Goldziher dan Muḥammad Ḥusain al-
Dhahabī, pembaruan metodologi tafsir terjadi pada abad 19 M. 31 Pembaruan
metodologi tafsir di abad modern ini dimulai oleh Muḥammad Abduh, salah seorang
tokoh pemikir muslim berkebangsaan Mesir.32 Kondisi sosial-politik jazirah Arab,
khususnya umat muslim saat itu membawanya mencari solusi atas kesenjangan
penafsiran yang terjadi di masyarakat.33 Melalui gagasan-gagasannya, lahir berbagai
model studi al-Qur'an modern yang berusaha mengontekskan al-Qur'an dengan
tuntutan zaman.34
Abduh mengkritik penafsiran al-Qur'an pada era sebelumnya. Menurutnya,
penafsiran klasik tersebut sudah tidak relevan dengan kebutuhan umat muslim saat
itu. Penafsiran klasik yang cenderung bersifat ideologis tidak mampu menjawab
permasalahan sosial yang terjadi seperti kemiskinan, keterbelakangan, kolonialisme,
dll.. Oleh karenanya, Abduh menyeru agar penafsiran dikembalikan pada tujuan
diturunkannya al-Qur'an, yakni sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia.35
Dalam mengeksekusi gagasannya, Abduh menafsirkan al-Qur'an dengan
perspektif baru, yaitu menggunakan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang
sebagai pendekatan untuk memahami ayat-ayat. Selain itu, Abduh juga membuat
orientasi baru yang kemudian dikenal sebagai tafsir ijtimā'ī atau tafsir sosial. Tafsir
tersebut memang disusun untuk menjawab permasalahan di masyarakat. Dalam
penerapannya, Abduh tidak menjadikan tafsir-tafsir klasik sebagai rujukan kecuali
seperlunya saja.36

30
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir Dari
Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, h. 147.
31
Ignaz Goldziher, Madhāhib Al-Tafsīr Al-Islāmī, ed. by ’Abd al-Ḥalīm Al-Najjār
(al-Qāhirah: Maktabah al-Khanji, 1955), h. 337-396. Muhammad Ḥusain al-Dhahabī, al-
Tafsīr wa al-Mufassirūn, j. 2 (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000), h. 363-447.
32
Sebenarnya ada tokoh lain yang sezaman dengan 'Abduh seperti Aḥmad Khān dari
India. Namun, pemikiran 'Abduh lebih populer dan menjadi pelopor para pengkaji tafsir
setelahnya. Hal ini tidak terlepas dari ketokohan 'Abduh sebagai pendidik di Mesir yang
merupakan salah satu pusat studi Islam di dunia. Affani, Tafsir al-Qur'an Dalam Sejarah
Perkembangannya, h. 208.
33
Affani, Tafsir al-Qur'an Dalam Sejarah Perkembangannya, h. 207-208.
34
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 3-4, 33-34.
35
Affani, Tafsir al-Qur'an Dalam Sejarah Perkembangannya, h. 200. Bandingkan
dengan M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20.
36
Al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 402. Abduh sangat selektif dalam
merujuk kitab-kitab tafsir klasik. Beberapa kitab tafsir yang ia anggap dapat dijadikan
pegangan adalah Tafsīr al-Zamakhsharī, Tafsīr al-Thabarī, Tafsīr al-Qurthūbī dan tafsir
karya Abū Muslim al-Aṣfahānī. Kitab-kitab tersebut terpilih karena para penulisnya
dianggap telah berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat
mereka. Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar, h. 21.

29
Semenjak gagasan Abduh mengemuka, arah metodologi tafsir pun berubah.
Kecenderungan tafsir juga tidak lagi mengarah pada nilai-nilai ideologis.
Perkembangan tafsir modern menurut hasil riset J.J.G. Jansen saat itu meliputi: tafsir
'ilmī (ilmiah), tafsir linguistik dan filologis, dan tafsir praktis. Tafsir 'ilmī berupaya
mendiskusikan ayat-ayat al-Qur'an dengan temuan-temuan teori ilmiah mutakhir.
Salah satu tujuannya adalah untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur'an dalam
bidang ilmu pengetahuan. Tafsir linguistik dan filologis adalah penafsiran al-Qur'an
dengan menggunakan analisis linguistik dan pendekatan filologis. Tujuannya adalah
meneguhkan keindahan bahasa al-Qur'an dan menunjukkan kemukjizatannya dalam
aspek bahasa. Tafsir praktis adalah penafsiran al-Qur'an yang berkaitan dengan
persoalan umat. Tujuannya adalah agar al-Qur'an memberi jawaban dan solusi
terkait permasalahan yang sedang dihadapi umat.37
Pada perkembangan selanjutnya, kecenderungan penafsiran yang ketiga
mendapat banyak perhatian oleh tokoh kontemporer. Berangkat dari upaya tafsir
yang berbasis pada masalah sosial masyarakat (ijtimā'ī), metodologi tafsir kemudian
berkembang menjadi tafsir kontekstual. Tafsir kontekstual inilah yang sampai saat
ini masih didiskusikan oleh para pengkaji al-Qur'an.38
3. Paradigma Tafsir Kontekstual
Istilah kontekstual merupakan istilah baru yang populer pada era penafsiran
kontemporer. Sebelumnya istilah ini tidak dikenal, baik dalam penafsiran klasik atau
abad pertengahan. 39 Menurut Syafrudin, istilah "kontekstual" dapat dipahami
sebagai paradigma berpikir baik cara, metode maupun pendekatan yang mengacu
pada dimensi konteks. Artinya, segala kecenderungan yang mengacu pada dimensi
konteks dapat disebut "kontekstual". Dalam penafsiran al-Qur'an, kontekstualisasi
terjadi ketika seorang mufassir menafsirkan al-Qur'an tidak semata-mata bertumpu
pada makna ẓāhir ayat, tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis yang
melingkupi ayat tersebut serta keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas
penafsirannya. Dengan pengertian ini, maka sebenarnya tafsir kontekstual tidak
terikat dengan masa tertentu. 40 Misalnya, penafsiran 'Umar ibn Khaṭṭāb tentang
pembagian zakat pada bangsawan Arab. 41 Hanya saja, tafsir kontekstual ini

37
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir Dari
Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, h. 148.
38
Berdasarkan corak tafsir ijtimā'ī, penafsiran difokuskan terhadap berbagai persoalan
yang terjadi di masyarakat. Menurut penulis, dengan memperhatikan realitas yang sedang
berlangsung, maka tafsir ijtimā'ī merupakan benih kemunculan gagasan tafsir kontekstual.
39
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 43.
40
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 48.
41
Disebutkan bahwa 'Umar ibn Khaṭṭāb pernah mengkontekstualisasikan term
muallifati qulūbuhum pada QS. al-Taubah (9): 60 sejak zaman Nabi Saw hingga
pemerintahan Abu Bakar. Bentuk kontekstualisasi tersebut adalah dengan dimasukkannya
pemimpin suku yang memiliki kontribusi politik pada masa awal Islam ke dalam kelompok
mustaḥiq zakāt. Pemaknaan tersebut tidak diterapkan di masa pemerintahannya karena
mereka dianggap sudah tidak memiliki kontribusi lagi. Abdullah Saeed menyebut perilaku
'Umar tersebut sebagai 'proto-contextualist interpretation'. Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an: Towards a Contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), h. 126.

30
mendapat perhatian khusus pada era kontemporer di mana Fazlur Rahman menjadi
pelopor utamanya yang kemudian dikembangkan oleh Abdullah Saeed.42
Salah satu prinsip yang dipegang erat oleh kalangan kontekstualis adalah al-
Qur'an ṣāliḥ li kulli zamān wa makān. Artinya, al-Qur'an relevan dengan segala
zaman dan tempat. Selain itu, prinsip al-'ibrah bi khuṣūṣ al-sabab lā bi 'umūm al-
lafẓ juga menjadi acuan. Artinya, pengambilan 'ibrah berdasarkan sebab yang
khusus dan bukan lafadz yang umum. 43 Melalui dua prinsip tersebut, kalangan
kontekstualis berusaha menjadikan tafsir relevan dengan konteks kekinian yang
sedang dihadapi tanpa melepaskan konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Hal ini berbeda dengan tafsir tekstual yang meskipun menganut prinsip al-Qur'an
ṣāliḥ li kulli zamān wa makān tetapi di sisi lain juga menggunakan prinsip al-'ibrah
bi 'umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab. Prinsip kalangan tekstualis tersebut sama-
sama menyinggung konteks turunnya ayat, tetapi yang dijadikan pegangan adalah
keumuman lafadz yang merupakan teks itu sendiri.
Selain dua prinsip di atas, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal
Panggabean menyebutkan setidaknya ada delapan prinsip tafsir kontekstual. Prinsip-
prinsip itu adalah:
a. menetapkan bahwa al-Qur'an adalah kitab petunjuk;
b. pesan-pesan al-Qur'an bersifat universal;
c. al-Qur'an diturunkan dalam situasi kesejarahan yang konkret;
d. perlunya pemahaman terhadap konteks sastra al-Qur'an terkait ayat-ayat
muḥkam, mutashābih, dan nāsikh-mansūkh;
e. pentingnya pemahaman konteks kesejarahan dan konteks sastra dalam
menafsirkan al-Qur'an;
f. memahami tujuan al-Qur'an melalui kajian konteks sejarah dan konteks
sastra;
g. tujuan-tujuan moral al-Qur'an dijadikan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan problem sosial di masyarakat.44
Berdasarkan delapan prinsip ini, penafsiran kontekstual dibangun atas dua konsep
dasar, yaitu (1) memahami al-Qur'an sesuai konteksnya -baik secara historis dan
harfiahnya- dan memproyeksikan hasil pemahaman tersebut ke dalam situasi masa
kini kemudian (2) membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan tujuan-
tujuan al-Qur'an. Dua konsep ini merupakan inti dari teori double movement yang
digagas oleh Fazlur Rahman selaku pelopor tafsir kontekstual.45
Sebagai konsekuensinya, secara epistemologis-paradigmatik tafsir yang
berorientasi kontekstual didasarkan pada kerangka pikir yang berkembang dalam

42
Uraian lebih detail dapat dilihat dalam: Lien Iffah Naf’atu Fina, ‘Interpretasi
Kontekstual Abdullah Saeed: Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur
Rahman’, Hermeneutik, 9.1 (2015), h. 65–90. Di Indonesia, gagasan tafsir kontekstual Fazlur
Rahman dipopulerkan oleh Taufik Adnan Amal and Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir
Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, 3rd edn (Bandung: Mizan, 1413 H).
43
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 49-50.
44
Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada Bab III dalam: Amal and Panggabean,
Tafsir Kontekstual al-Quran, h. 34-62.
45
Penjelasan secara terperinci dapat dilihat dalam: Amal and Panggabean, Tafsir
Kontekstual al-Qur'an, h. 63-64.

31
metode-metode sosial kontemporer. Kebenaran tafsir ini diukur dari kesesuaiannya
dengan teori ilmu pengetahuan dan kemampuannya dalam menjawab persoalan
sosial-keagamaan.46 Hal ini tidak terlepas dari teori double movement. Menurut teori
tersebut, penafsiran merupakan suatu upaya dalam menjawab problematika sosial di
masyarakat. Oleh karena itu, perangkat ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi
serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan mutlak digunakan.47
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, tafsir kontekstual mulai banyak
diminati dan disorot oleh kalangan pengkaji tafsir. Berbeda dengan tafsir tekstual
yang dianggap sebagai penyebab stagnansi penafsiran, tafsir kontekstual dianggap
sebagai tafsir produktif yang akan membawa perkembangan tafsir. Menilik
perkembangannya, tafsir kontekstual ini sering disajikan dalam bentuk tematik.
Penyajian tematik ini sendiri kemudian menjadi tren penafsiran di era kontemporer
saat ini sebagaimana dijelaskan pada sub-bab berikut.
B. Diskursus Tafsir Tematik
Tafsir tematik merupakan salah satu wujud dari perkembangan tafsir
kontemporer. 48 Kemunculan tafsir tematik tidak terlepas dari adanya pergeseran
epistemologi tafsir sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Berangkat dari kebutuhan
masyarakat dan tuntutan zaman, tafsir ini hadir sebagai bentuk jawaban para ulama
dalam menanggapi permasalahan di masyarakat.49
1. Evolusi Metode Tafsir: Taḥlīlī-Mauḍū'ī
Jika dirunut secara genealogis, bentuk tafsir tematik telah ditemukan sejak
masa Rasulullah Saw dalam bentuk penafsiran ayat dengan ayat. Salah satu
contohnya adalah penafsiran ẓulm pada QS. al-An'ām (6): 82 dengan shirk pada QS.
Luqmān (31): 13. Penafsiran semacam ini kemudian dikenal dengan tafsir bi al-
ma'thūr. Benih-benih tafsir tematik tersebut lalu dilanjutkan oleh para sahabat dan
tabiin dengan menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain yang serupa. Penafsiran
tersebut kemudian menjadi tren di masanya sampai masa kodifikasi tafsir. 50
Selanjutnya, sejarah kemunculan tafsir tematik dapat diketahui melalui dialektika
perkembangan tafsir mulai dari taḥlīlī, ijmālī, muqāran, hingga mauḍū'ī.
a. Taḥlīlī
Metode tafsir taḥlīlī merupakan metode tafsir yang pertama kali digunakan
oleh ulama klasik. Metode ini menekankan pada penafsiran yang bersifat analitis
ayat per ayat dengan mengikuti urutan mushaf. Dengan menggunakan metode
taḥlīlī, seorang penafsir menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti dari
berbagai aspek dan menyingkap seluruh artinya, baik dari kosa kata, makna kalimat,

46
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 8, 35.
47
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, h. 47.
48
Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia, ed. by Abdullah Saeed
(New York: Oxford University Press, 2005), h. 5.
49
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 88.
50
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 38.

32
maksud setiap ungkapan, munasabah antar ayat atau bagian al-Qur'an dengan
bantuan sabab nuzul berupa riwayat-riwayat dari Nabi.51
Menurut al-Kūmī yang kemudian dikutip oleh al-Farmāwī, para penafsir
taḥlīlī memiliki kecenderungan dan penafsiran bermacam-macam. Ada yang
menguraikan suatu ayat dengan panjang lebar ada pula yang menjelaskan secara
singkat. Al-Farmāwī mengklasifikasikan tafsir tahlīlī sebanyak tujuh macam, yaitu:
tafsir bi al-ma'thūr, tafsir bi al-ra'yi, tafsir al-ṣūfī, tafsir al-fiqhī, tafsir al-falsafī,
tafsir al-'ilmī, dan tafsir al-adāb al-ijtimā'ī.52
b. Ijmālī
Tafsir ijmālī adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat al-Qur'an dengan
makna global. Cara kerja metode ini hampir mirip dengan tafsir taḥlīlī di mana
penafsiran dilakukan sesuai urutan mushaf. Penjelasan sabab nuzūl, hadis Nabi, atau
athār sahabat diutarakan seperlunya tanpa panjang lebar. Perbedaannya adalah tafsir
ijmālī menerangkan kandungan ayat secara ringkas dan global.
Penafsir ijmālī menafsirkan lafadz al-Qur'an dengan lafadz yang serupa
sehingga tampak mirip dengan lafadz asalnya. Cara penafsiran tersebut membuat
tafsir mudah dipahami. Selain itu, cara tersebut juga menunjukkan adanya hubungan
erat antara tafsir dengan susunan bahasa al-Qur'an sehingga seakan-akan al-Qur'an
sendiri yang berbicara dan bukan penafsir. 53
c. Muqāran
Metode tafsir muqāran adalah metode tafsir yang mengemukakan penafsiran
ayat-ayat al-Qur'an yang ditulis oleh sejumlah mufassir. Cara kerja metode ini
adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an dan mengkajinya melalui
sejumlah tafsir yang membahas ayat-ayat tersebut. Setelah itu, metode ini
mengharuskan penggunanya untuk membandingkan hasil kumpulan sejumlah
penafsiran tersebut dan menganalisisnya sehingga diketahui seluk beluk latar
belakangnya. Pengetahuan latar belakang tersebut penting untuk melihat perbedaan
antar penafsiran, misalnya penafsiran siapa yang dipengaruhi oleh perbedaan
madzhab dan siapa yang mempunyai tendensi untuk memperkuat madzhab. Metode
tafsir ini juga dapat diaplikasikan terhadap penafsiran antar ayat tentang suatu tema
tertentu atau ayat dengan hadis yang tampak bertentangan.54
d. Mauḍū'ī
Sampai dengan tahun 1960, para penafsir al-Qur'an pada umumnya masih
menafsirkan al-Qur'an ayat demi ayat sesuai urutan mushaf. Sebagai
konsekuensinya, penafsiran tersebut menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur'an tidak
utuh dan tidak menyeluruh karena penyajiannya yang terpisah-pisah. Ini disebabkan
karena tidak semua pembahasan diungkapkan oleh al-Qur'an di dalam satu tempat.
Ada beberapa pembahasan yang disebutkan secara terpisah di tempat yang berbeda.
Hal ini kemudian menjadi masalah tersendiri bagi umat muslim di mana untuk

51
Rosihon Anwar and Asep Muharom, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.
163.
52
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 12.
53
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 29-30.
54
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 30-31.

33
mengetahui pandangan al-Qur'an secara menyeluruh diperlukan penafsiran yang
mencakup ayat-ayat yang terpisah-pisah tersebut.55
Salah satu ulama abad pertengahan, al-Shāṭibī (w. 1388 M), berpendapat
bahwa ada satu maksud yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang
berbeda-beda dalam setiap surah al-Qur'an. 56 Pandangan al-Shaṭibī tersebut
kemudian direalisasikan oleh Mahmūd Shaltut melalui kitab tafsirnya yang berjudul
Tafsīr al-Qur'ān al-Karīm. Dalam tafsirnya, Shaltut membahas surah demi surah
atau bagian tertentu di dalamnya lalu merangkainya berdasarkan tema sentral yang
meliputi surat tersebut. Metode penafsiran Shaltut ini kemudian dikenal sebagai
metode mauḍū'ī.57
Namun, metode mauḍū'ī Mahmud Shaltut masih menyisakan masalah lain.
Metode tersebut belum berhasil untuk menggambarkan suatu masalah berdasarkan
pandangan al-Qur'an secara menyeluruh karena hanya terbatas pada satu surah saja.
Oleh karena itu, metode mauḍū'ī tersebut dikembangkan lagi oleh Aḥmad Sayyid al-
Kūmī dengan menghimpun semua ayat yang membahas suatu tema tertentu,
mengaitkan bahasan antar ayat, dan menafsirkan tema tersebut berdasarkan ayat-
ayat tadi secara menyeluruh dan utuh.58
Berdasarkan perkembangan tafsir di atas, M. Quraish Shihab
mendefinisikan metode tafsir mauḍū'ī dalam dua pengertian. Pertama adalah suatu
metode penafsiran yang "menyangkut satu surah dalam al-Qur'an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya,
serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surah
tersebut antara satu dan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surah
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu-kesatuan yang tidak
terpisahkan". Kedua adalah metode penafsiran "yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat al-Qur'an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surah al-Qur'an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk al-Qur'an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu".59
Kedua pengertian di atas merupakan dua macam bentuk tafsir mauḍū'ī yang
telah berkembang. 60 Namun, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Farmāwī,

55
M. Quraish Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 109.
56
Dalam al-Muwāfaqāt al-Shāthibī berkata, "Satu surat meskipun mengandung
banyak masalah, sebenarnya masalah-masalah tersebut adalah satu, pada hakikatnya
menunjuk kepada satu maksud, atau berusaha untuk melengkapinya kendati pun
mengandung berbagai makna." Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 34.
57
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 110.
58
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 110.
59
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 111.
60
Hussein Abdul-Raof menyebutkan banyak sekali macam penafsiran tematik. Ia
mengklasifikasi tafsir tematik pada tiga level, yaitu (1) tematik kata, (2) tematik ayat, dan (3)
tematik teks. Dari ketiga level tersebut, Raof mengidentifikasi 11 macam tafsir tematik yang

34
istilah tafsir mauḍū'ī yang dikenal dan lumrah digunakan oleh ulama kontemporer
adalah dalam bentuknya yang kedua. Bentuk tafsir mauḍū'ī yang kedua itu pula yang
dikembangkan olehnya dan kemudian menjadi populer serta marak digunakan oleh
para pengkaji tafsir hingga sekarang.61
'Abd al-Sattār Fatḥullāh Sa'īd mencoba meringkas keempat tafsir di atas
menjadi dua kategori, yaitu mauḍi'ī dan mauḍū'ī. Tafsir mauḍi'ī adalah tafsir al-
Qur'an pada satu tempat yang mengikuti susunan tertib ayat. Tafsir mauḍi'ī dapat
berupa tafsir bi al-ma'thūr atau bi al-ra'yi, dapat berbentuk taḥlīlī, ijmālī atau
muqāran. Sementara itu, tafsir mauḍū'ī adalah tafsir al-Qur'an berdasarkan tema
dengan mengumpulkan ayat-ayat dari berbagai tempatnya. Tafsir mauḍū'ī dapat
berupa tafsir bi al-ma'thūr jika menggunakan riwayat yang sahih; berupa tafsir bi al-
ra'yi jika penafsir melibatkan pemikiran dan ijtihadnya; berbentuk taḥlīlī jika
dibutuhkan penjelasan detail mengenai mufradāt dan tarkīb ayat-ayat; berbentuk
ijmālī jika yang dibutuhkan adalah menetapkan makna umum untuk sebagian ayat.62
Berdasarkan pengertian di atas, tafsir mauḍū'ī memiliki makna umum dan
makna khusus. Maknanya yang umum menunjukkan tafsir mauḍū'ī sebagai
penyajian tafsir secara tematik sedangkan maknanya yang khusus menunjukkan
metode tafsir yang baru berkembang. Dalam pembahasan ini, tafsir tematik yang
penulis maksud adalah pengertiannya sebagai metode baru dalam penafsiran al-
Qur'an.63
2. Paradigma Tafsir Mauḍū'ī
Secara ontologis, tafsir tematik merupakan bentuk penafsiran dari kumpulan
ayat-ayat terkait tema tertentu. Dengan begitu, maka komponen yang harus ada
dalam tafsir tematik adalah tema yang akan dibahas serta ayat-ayat yang
menjelaskan tentang tema tersebut. Tanpa adanya tema, maka tafsir tematik tidak
dapat dilakukan. Begitu pula meskipun tema sudah ditentukan namun tidak ada ayat-
ayat yang membahasnya, maka tafsir tematik gagal diterapkan. Oleh karenanya,
seorang mufassir yang hendak menggunakan metode ini harus mengetahui persoalan
yang diangkat untuk menentukan tema yang akan dikaji dalam al-Qur'an.
Sebagai metode yang muncul belakangan, tafsir mauḍū'ī lebih dari sekadar
sistematika penyajian. 64 Metode tafsir mauḍū'ī memiliki paradigma baru dalam

berkembang. Di antaranya adalah tafsir tematik ayat-ayat hukum, tafsir tematik ayat-ayat
mutashābihāt, dll.. Menurut penulis, identifikasi Raof lebih tepat dikatakan sebagai corak
tafsir dan bukan sebagai bentuk tafsirnya. Abdul-Raof, Schools of Qur'anic Exegesis:
Genesis and Development, h. 95-96.
61
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 36.
62
’Abd al-Sattār Fatḥullāh Sa’īd, Al-Madkhal Ilā Al-Tafsīr Al-Mauḍū’ī, 2nd edn (al-
Qāhirah: al-Dār al-Tauzī’ wa al-Nashr al-Islāmiyah, 1991), h. 17-18.
63
Pembahasan detail tentang pengertian tafsir mauḍū'ī diuraikan dengan baik oleh
Fatḥullāh Sa'īd. Lihat: Sa’īd, al-Madkhal ilā al-Tafsīr al-Mauḍū'ī, h. 20-21.
64
Menurut Miftah Khilmi Hidayatullah, tafsir mauḍū'ī adalah metode penafsiran dan
bukan hanya sekadar sistematika penyajian sebagaimana dijelaskan oleh Islah Gusmian.
Miftah Khilmi Hidayatulloh, ‘Konsep Dan Metode Tafsir Tematik (Studi Komparasi Antara
Al-Kumi Dan Mushthofa Muslim)’, Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir, 3.2
(2019), <https://doi.org/10.15575/al-bayan.v3i2.4116>., h. 131 dan Islah Gusmian,

35
penafsiran al-Qur'an yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Paradigma baru
tersebut terkait prinsip dan tujuan dikembangkannya metode tematik. Salah satu
tujuannya adalah untuk menjawab permasalahan umat yang semakin kompleks. Jika
dibandingkan dengan metode tafsir sebelumnya, metode tematik jelas lebih praktis,
simplistis, dan taktis.65
Paradigma tafsir tematik menganggap bahwa semua ayat dalam al-Qur'an
memiliki hikmahnya tersendiri. Meskipun terpisah-pisah, ayat-ayat al-Qur'an
memiliki keterhubungan tema yang jika dikumpulkan akan memberikan gambaran
utuh tentang tema tersebut. Oleh karena itu, pengumpulan ayat-ayat yang
membicarakan masalah yang sama serta menafsirkannya menjadi sesuatu hal yang
penting. Pandangan al-Qur'an terhadap suatu tema dengan utuh itu diyakini dapat
menjawab problematika umat. Hal ini juga tidak terlepas dari keyakinan umat
muslim bahwa al-Qur'an merupakan kitab petunjuk yang ṣāliḥ li kulli zamān wa
makān.66
Adapun epistemologi tafsirnya secara umum masih terpengaruh dengan
epistemologi tafsir era formatif, yaitu menggunakan nalar bayānī di mana yang
diandalkan dalam pemahaman adalah ayat-ayat al-Qur'an secara tekstual. Hal ini
dikarenakan tafsir tematik berbentuk penafsiran ayat dengan ayat sebagaimana tafsir
bi al-ma'thūr.67 Namun, tidak menutup kemungkinan adanya penggunaan nalar lain
seperti yang terjadi pada era afirmatif dan terutama era reformatif mengingat metode
ini muncul pada zaman kontemporer. Penggunaan nalar bayānī dapat terlihat pada
beberapa hal yang disebutkan oleh al-Farmāwī untuk diperhatikan oleh pengguna
agar tidak melakukan kesalahan dalam memahami ayat al-Qur'an, yaitu:
Pertama, penggunaan metode tematik tidak berarti bahwa seorang penafsir
telah menafsirkan al-Qur'an sepenuhnya. Hal ini dikarenakan makna yang
dikandung al-Qur'an sangat dalam. Akal manusia tidak dapat mencapai keseluruhan
maknanya. Oleh karenanya, ia harus membatasi diri dengan satu sasaran kajian yang
jelas.
Kedua, penafsir harus senantiasa ingat sasaran kajian yang telah ditentukan.
Ia harus fokus pada masalah yang dibahas dan tidak menyimpang dengan membahas
masalah lain dalam penafsirannya. Metode tematik akan gagal jika penafsir sampai
mencampur lebih dari satu kajian selain dari sasaran kajian yang telah ditetapkan
sejak awal.
Ketiga, penafsir harus memperhatikan tahapan-tahapan al-Qur'an dalam
menurunkan hukum. Kajian ini menyangkut sabab al-nuzūl dan ilmu lain seperti
ayat mana yang pertama dan terakhir turun, mana yang muṭlaq dan mana yang

Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013),
h. 291-293.
65
Lihat kelebihan tafsir tematik dari metode lainnya dalam Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu'i, h. 48-51.
66
Aḥmad al-Sayyid Al-Kūmī and Muḥammad Aḥmad Yūsuf Al-Qāsim, Al-Tafsīr Al-
Mauḍū’ī Li Al-Qur’ān Al-Karīm, 1982, h. 5-9.
67
Al-Farmāwī menyebut penafsiran ayat dengan ayat sebagai salah satu prinsip dalam
tafsir tematik. Ia mengutip pendapat Ibn Kathīr dan al-Suyūṭī untuk menguatkan argumennya
tersebut. Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h, 47.

36
muqayyad. Tanpa pengetahuan tersebut, penafsir dapat melakukan kesalahan dalam
menentukan hukum al-Qur'an.
Keempat, penafsir harus selalu konsisten dalam menerapkan semua prinsip
dan langkah metode tematik. Hal ini bertujuan agar penafsir benar-benar
mendapatkan penafsiran yang komprehensif terkait tema yang diangkat.68
Berdasarkan batasan-batasan di atas, tampak sekali bahwa metode tematik
atau mauḍū'ī sedari awal sudah diorientasikan sebagai penafsiran yang lebih
cenderung menjadikan teks al-Qur'an sebagai parameter kebenaran. Di samping itu,
metode tafsir tematik sebagai metode ilmiah pada satu sisi menawarkan cara
penafsiran yang lebih praktis dan taktis. Namun, pada sisi yang lain, ketidaktepatan
penerapan metode tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
penafsiran. Jadi, keberhasilan dalam memperoleh petunjuk al-Qur'an melalui ayat-
ayat tematis tersebut tergantung juga pada ketepatan dan konsistensi penafsir. Oleh
karenanya, untuk mencapai tujuan penafsiran yang dimaksud, maka perlu diketahui
dan diperhatikan langkah-langkah kajian yang dirumuskan oleh para tokoh tafsir
tematik tersebut.
3. Tokoh-tokoh Penggagas Tafsir Mauḍū'ī dan Metode Tafsir Tematiknya
Sejauh pengamatan penulis, di antara sekian banyak tokoh tafsir modern-
kontemporer, ada segelintir sarjana muslim yang dikenal sebagai pelopor tafsir
tematik. Gagasan-gagasan mereka kemudian menjadi rujukan para pengkaji tafsir
hingga saat ini. Menariknya, meskipun sama-sama mengusung tafsir tematik,
gagasan mereka tampak berlainan dan memiliki distingsinya sendiri. Segelintir
tokoh tersebut yang penulis angkat di sini adalah al-Kūmī (l. 1912), al-Farmāwī
(1942-2017), Fazlur Rahman (1919-1988), Bāqir al-Ṣadr (1935-1980), Hassan
Hanafi (1935-sekarang), dan M. Quraish Shihab (1944-sekarang).
a. Al-Kūmī
Aḥmad al-Kūmī adalah seorang ulama tafsir berkebangsaan Mesir. Ia
merupakan orang pertama yang mengarang kitab yang menjelaskan prinsip-prinsip
dasar tafsir tematik.69 Menurut al-Kūmī, tafsir mauḍu'i adalah menjelaskan ayat-ayat
al-Qur'an terkait suatu tema sekalipun berbeda ibarat dan terdapat di banyak tempat
disertai dengan menyingkap aspek-aspek tema tersebut sehingga mufassir dapat
memahami semuanya dan mengumpulkan setiap aspeknya. Apabila penafsir sulit
mencapainya, maka ia akan mencari hadis-hadis yang berkaitan dengan tema untuk
menambah keterangan dan penjelasannya.70
Di dalam al-Tafsīr al-Mauḍū'ī li al-Qur'ān al-Karīm, al-Kūmī menyebutkan
lima langkah metodis dalam menerapkan tafsir tematik.71
Pertama, menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung suatu tema.
Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan hafalan, melihat mushaf, atau merujuk pada
kitab-kitab yang berisi kumpulan ayat-ayat tematis atau ayat-ayat yang memiliki
kemiripan sesuai huruf kamus seperti kitab al-Mufradāt karya al-Rāghib al-Aṣfihānī

68
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 54-57.
69
Sa’īd, al-Madkhal ilā al-Tafsīr al-Mauḍū'ī, h. 7.
70
Al-Kūmī and Al-Qāsim, al-Tafsīr al-Mauḍū'ī li al-Qur'ān al-Karīm, h. 17.
71
Al-Kūmī and Al-Qāsim, al-Tafsīr al-Mauḍū'ī li al-Qur'ān al-Karīm, h. 23-24.

37
(w. 502 H), Iṣlāḥ al-Wujūh wa al-Naẓāir fī al-Qur'ān al-Karīm karya al-Dāmighānī,
Mu'jam Alfāẓ al-Qur'ān al-Karīm karya al-Majma' al-Lughghah al-'Arabiyyah, dll..
Kedua, menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan nuzūl-nya, seperti ayat-
ayat yang diturunkan di Mekkah kemudian turun di Madinah, lalu dipilah lagi
berdasarkan ayat-ayat yang turun pertama atau terakhir pada dua masa tersebut.
Ketiga, menghilangkan kemungkinan adanya perbedaan dan pertentangan
antar ayat dengan memperhatikan faktor-faktor perbedaan waktu dan tempat turun,
kejelasan redaksi ayat, atau lain sebagainya.
Keempat, menafsirkan ayat-ayat yang telah terkumpul sehingga hikmah dan
tujuan pensyariatan dipahami dengan memperkaya tafsir dengan sunnah nabawi,
perkataan al-salaf al-ṣāliḥ, serta sabab al-nuzūl dan kisah-kisah nabi dan umat
terdahulu jika ada. Selain itu, penafsir juga memperhatikan syarat-syarat mufassir
ketika membahas tema yang diangkat.
Kelima, mengeluarkan tema dalam bentuk yang sempurna dengan
memperhatikan syarat-syarat kajian ilmiah dan menampakkan petunjuk-petunjuk
serta kebaikan-kebaikan al-Qur'an untuk mengayomi masyarakat.
b. Al-Farmāwī
'Abd al-Hayy al-Farmāwī merupakan seorang ulama berkebangsaan Mesir.
Ia adalah murid al-Kūmī. Al-Farmāwī dikenal sebagai orang pertama yang
meletakkan langkah-langkah metode tafsir tematik secara sistematis. Dibandingkan
dengan al-Kūmī, langkah-langkah yang digagas oleh al-Farmāwī lebih komplet.
Langkah-langkah tersebut adalah sebagaimana di bawah ini.
Pertama, memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji
secara tematik. Al-Farmāwī menganjurkan merujuk kitab Tafṣīl Ayat al-Qur'ān al-
Karīm karya Muḥammad Fuād al-Bāqī.
Kedua, melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Al-Farmāwī menganjurkan
merujuk pada kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān al-Karīm yang juga
disusun oleh Muḥammad Fuād 'Abd al-Bāqī.
Ketiga, menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut secara kronologis nuzūl
(masa turunnya), disertai pengetahuan sabab al-nuzūl (latar belakang turun ayat). al-
Farmāwī menganjurkan merujuk pada kitab Asbāb al-Nuzūl karya al-Wāḥidī, dan
kitab-kitab tafsir.
Keempat, mengetahui munāsabah (korelasi) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
Kelima, menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna, dan utuh.
Keenam, bila perlu melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
Ketujuh, mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang 'ām (umum) dan yang khāṣ (khusus),
antara yang muṭlaq dan muqayyad mensinkronkan ayat-ayat yang tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut

38
bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.72
c. Fazlur Rahman
Sebagaimana disebutkan di awal, Fazlur Rahman adalah tokoh penggagas
tafsir kontekstual. Dalam karyanya, Major Themes of al-Qur'an, secara implisit
Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa metode penafsiran lama tidak dapat
memberikan pengertian yang kohesif tentang suatu masalah. Oleh karenanya, ia
mengusulkan agar pembahasan dilakukan secara tematik dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki topik yang sama dan
memahaminya secara kontekstual.73 Oleh karenanya, metode tafsir yang dilakukan
oleh Rahman itu dikenal sebagai metode tafsir tematik-kontekstual.74 Rahman tidak
menyebutkan secara eksplisit langkah-langkah metodis yang diterapkan. Secara
umum, metode ini menggunakan bentuk penyajian tematik dalam pengumpulan
ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian, kumpulan ayat-ayat tersebut dipahami dengan
pendekatan kontekstual di mana Rahman mengaplikasikan teori double movement-
nya.
Dalam Islam and Modernity, Rahman memaparkan teori gerakan dua ganda
sebagai penafsiran dari (1) realitas-teks dan (2) teks-realitas. Dalam gerakan
pertama, penafsir harus mengkaji latar belakang historis ayat al-Qur'an untuk
memahami maknanya. Pengkajian terhadap latar belakang historis ayat tersebut
tidak hanya bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab yang khusus, tetapi juga
memahami makna al-Qur'an secara keseluruhan. Setelah itu, penafsir melakukan
gerakan kedua yang menggeneralisasi sebab-sebab yang khusus tersebut dan
meramunya sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum. Berdasarkan
pengertian ini, gerakan pertama dimulai dari persoalan-persoalan spesifik untuk
menggali prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjang.
Sementara itu, gerakan kedua merupakan pengaplikasian dari hasil generasilasi
nilai-nila langkah pertama ke dalam realitas kekinian yang lebih spesifik.75
d. Muḥammad Bāqir al-Ṣadr
Muḥammad Bāqir al-Ṣadr76 dikenal sebagai tokoh yang ahli dalam bidang
filsafat berkat karyanya yang berjudul Falsafatunā. Di samping itu, ia juga termasuk
tokoh pembaru di bidang metode tafsir tematik. Dalam metode tematik yang

72
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. 45-46.
73
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1994), h. v.
74
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 98.
75
Fazlur Rahman, Islam Dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, ed. by
Ahsin Mohammad, 1st edn (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), h. 6-7. Ali Masrur, ‘Ahli
Kitab Dalam Al-Qur’an’, in Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, ed. by Abdul Mustaqim and Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2002), h. 49.
76
Ia lahir di Kazimiah, Irak pada 01 Maret 1935. Ia berasal dari keluarga alim yang
termasyhur di dunia Syi'ah. Lihat biografi selengkapnya: Chibli Mallat, ‘Muhammad Baqir
Ash-Shadr’, in Para Perintis Zaman Baru Islam, ed. by Ali Rahnema, 2nd edn (Bandung:
Penerbit Mizan, 1996), h. 245–64.

39
digagasnya, Bāqir al-Ṣadr lebih menekankan penafsiran yang berorientasi pada
pemecahan masalah masyarakat. Orientasi ini dianggap penting dari pada sekadar
berfokus pada tekstualitas al-Qur'an. Dengan mengedepankan pemecahan problem
sosial, produk tafsir tematis yang dikehendaki Bāqir al-Ṣadr adalah tafsir yang
berkaitan langsung dengan realitas dan bukan hanya berupa konsep al-Qur'an
tentang tema-tema tertentu saja. Oleh karenanya, metode tafsir tematik yang
ditawarkan olehnya dikenal berangkat dari realitas ke teks.77
Bāqir al-Ṣadr menyebut tafsir mauḍū'ī sebagai metode tauḥīdī. Penamaan ini
berlandaskan pengertian tafsir mauḍū'ī mempunyai tiga makna. Yang pertama
bermakna objektifitas yang merupakan antonim subjektifitas; yang kedua bermakna
memulai pembahasan dari tema realitas sosial lalu didialogkan dengan ayat-ayat al-
Qur'an sehingga ditemukan jawaban yang sesuai dengan realitas tersebut; yang
ketiga adalah penisbatan segala sesuatu terhadap suatu tema. Berdasarkan makna
kedua dan ketiga inilah konsep tafsir tematik al-Ṣadr dirumuskan, yaitu upaya
mengumpulkan ayat-ayat setema di mana tema tersebut harus menyatu dengan
realitas di masyarakat. Inilah distingsi metode tafsir tematik al-Ṣadr dibanding tokoh
tafsir tematik lainnya.78
Secara umum, Bāqir al-Ṣadr menyebutkan dua langkah cara kerja metode
tafsir tematik yang digagasnya. Dua langkah tersebut ia sebut sebagai yubda'u min
al-wāqi' wa yantahī ilā al-qur'ān. Dua langkah itu meliputi: pertama, meneliti
problematika realitas yang terjadi dengan cara mengumpulkan berbagai gagasan dan
pengalaman manusia, dan kedua, mendialogkan permasalahan-permasalahan yang
telah diteliti kepada al-Qur'an dengan menuntut peran aktif mufassir untuk
menghasilkan konsep Qur'ani berbasis pengamalan manusia.79 Melalui dua tahapan
ini, diharapkan penafsiran yang dihasilkan mampu menjawab persoalan umat secara
aplikatif dan bukan normatif.
e. Hassan Hanafi80
Hassan Hanafi adalah salah seorang pembaru metodologi al-Qur'an
berkebangsaan Mesir. Menurutnya, penafsiran bukan sekadar upaya membaca teks
melainkan harus menjadi upaya transformasi dan solusi bagi problem sosial.
Penafsiran harus bertujuan untuk melakukan perubahan atas problem sosial yang
dihadapi penafsir. Oleh karenanya, Hanafi menawarkan metode tafsir yang
menjadikan realitas sebagai acuan bahan pertimbangan dalam penafsiran al-Qur'an.
Metode tafsir tersebut kemudian dikenal sebagai metode tafsir realis (al-tafsīr al-

77
Lilik Ummi Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-
Sadr’, Refleksi, 13.2 (2012), h. 159.
78
Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-Sadr’, h. 162-
164; Muḥammad Bāqir Al-Ṣadr, Al-Madrasah Al-Qur’āniyyah (Dār al-Kitāb al-Islāmī,
2013), h. 11.
79
Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-Sadr’, h. 166.
80
Hassan Hanafi adalah seorang filosof dan teolog yang lahir di Kairo pada tanggal
13 Februari 1935. Ia dikenal populer berkat karyanya yang berjudul al-Yasar al-Islāmī. Ia
termasuk salah seorang pembaru pemikiran Islam yang menekankan pentingnya pembacaan
realitas dalam memahami teks agama. Uraian lebih panjang dapat dilihat dalam: Adang
Kuswaya, Metode Tafsir Alternatif: Kritik Hassan Hanafi Terhadap Metode Tafsir Klasik
(Yogyakarta: Mitra Cendekia, 2009), h. 14.

40
shu'ūr). Berdasarkan metode ini, tafsir bersifat temporal sehingga belum tentu
relevan dengan realitas lain yang tidak sama dengan realitas yang dihadapi oleh
mufassir.81
Meski tidak menolak gagasan gerakan ganda dari realitas ke teks dan dari
teks menuju realitas yang digagas Fazlur Rahman, Hassan Hanafi berpendapat
bahwa mengaitkan realitas kontemporer dengan realitas yang menyebabkan
turunnya ayat al-Qur'an tidak mungkin dilakukan. Alasannya adalah jarak yang
terbentang antara keduanya sangat jauh. Makna objektif tidak akan ditemukan
karena penafsiran kontemporer selalu diliputi oleh kepentingan penafsir dan
weltanschauung-nya sendiri. Oleh karena itu, Hanafi menggagas penafsiran yang
harus memihak, solutif, dan transformatif di masyarakat.82
Selain dikenal sebagai pencetus tafsir realis, Hassan Hanafi juga dikenal
sebagai tokoh yang menggagas tafsir tematik dengan orientasi sosial.83 Gagasannya
terkait tafsir tematik berorientasi sosial tersebut tertuang dalam beberapa karya
tulisnya.84 Para peneliti yang mengkaji karyanya kemudian menyimpulkan beberapa
langkah berikut.
Pertama, mufassir harus mempunyai keprihatinan dan komitmen untuk
melakukan perubahan atas kondisi sosial tertentu.
Kedua, merumuskan tujuan penafsiran.
Ketiga, menginventarisasi ayat-ayat yang terkait dengan tema yang menjadi
kebutuhannya.
Keempat, mengklasifikasikan ayat-ayat tersebut atas dasar bentuk-bentuk
linguistiknya.
Kelima, membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju.
Keenam, mengidentifikasi problem aktual dalam realitas.
Ketujuh, menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan
problem faktual melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
Kedelapan, menghasilkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses
penafsiran yang transformatif.85

81
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 73.
82
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 74.
83
Salah satu karya yang membahas model tafsir tematik Hassan Hanafi secara
komprehensif adalah Metode Tafsir Kontemporer: Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-
Tematik dalam Tafsir Al-Qur'an Hassan Hanafi yang ditulis oleh Adang Kuswaya. Hampir
sama dengan karya sebelumnya, Metode Tafsir Alternatif, dalam karya ini Kuswaya
menguraikan metode tafsir sosio-tematik model Hassan Hanafi serta hermeneutika yang
menjadi dasar pemikirannya. Selain itu, buku ini juga dilengkapi contoh aplikasi
hermeneutika al-Qur'an Hassan Hanafi. Adang Kuswaya, Metode Tafsir Kontemporer:
Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-Tematik Dalam Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi
(Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2011).
84
Kuswaya, Metode Tafsir Alternatif: Kritik Hassan Hanafi Terhadap Metode Tafsir
Klasik, h. 131.
85
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 74. Bandingkan dengan
Misbakhudin, ‘Al-Tafsīr Al-Yasāri (Tafsir Tematik Revolusioner Hassan Hanafi)’, Religia,
21.1 (2018), <https://doi.org/https://doi.org/10.28918/religia.v21i1.1498>, h. 42-43.

41
f. M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab merupakan salah satu mufassir kebanggan Indonesia.
Ialah tokoh yang mempelopori tren tafsir tematik di Indonesia sehingga menjadi
corak khas penafsiran kontemporer yang banyak diminati masyarakat. Sebenarnya
Quraish Shihab mengikuti langkah-langkah metodis al-Farmāwī. Namun, ia
memberikan beberapa catatan tambahan terkait langkah kelima, yakni pada tahap
pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.86
Pertama, penetapan masalah yang dibahas. Menurut Quraish Shihab,
masalah yang diangkat lebih baik merupakan persoalan yang menyentuh masyarakat
dan dirasakan langsung oleh mereka. Penafsir diharapkan terlebih dahulu
mempelajari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat atau ganjalan-ganjalan
pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al-Qur'an seperti masalah
kemiskinan, keterbelakangan, dsb..87
Kedua, menyusun runtutan ayat sesuai dengan tartīb nuzūl-nya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur'an mengenai topik
yang sedang dibahas, terutama bagi penafsir yang meyakini adanya nāsikh-mansūkh
atau yang hendak menguraikan suatu kisah atau kejadian di dalam al-Qur'an. 88
Ketiga, memahami arti kosakata dengan merujuk pada penggunaan al-
Qur'an. Pemahaman ini meliputi pengamatan terhadap bentuk dan timbangan kata
yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Pengamatan
tersebut mengacu pada ilmu bahasa Arab seperti kedudukan i'rāb dan bentuk ism/
fi'l yang mana setiap penggunaannya memiliki implikasi makna tertentu. Beberapa
kitab seperti Tafṣīl Āyat al-Qur'ān, al-Hayat, dan al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāẓ al-
Qur'ān dapat dijadikan rujukan untuk membantu dalam menetapkan masalah yang
hendak dibahas.89
Keempat, mengetahui sabab nuzūl. Menurut Quraish Shihab, pengetahuan
terhadap sebab diturunkannya suatu ayat mempunyai peranan yang sangat besar
dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Oleh karenanya, pengetahuan sabab nuzūl
tidak dapat diabaikan oleh penafsir tematik meski tidak harus diuraikan dalam
pembahasan tafsirnya.90
Menilik empat langkah tambahan di atas, tampak sekali bahwa Quraish
Shihab sangat berhati-hati dalam menentukan langkah-langkah penafsiran. Empat

86
Lihat langkah kelima yang ditawarkan al-Farmāwī sebelumnya.
87
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 177. Di dalam Kaidah Tafsir, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa bisa
jadi tema yang diangkat oleh penafsir tidak ditemukan dalam al-Qur'an karena al-Qur'an
tidak membicarakan segala sesuatu. Oleh karenanya, seharusnya penafsir pandai-pandai
memilih tema dan mengutamakan persoalan yang menyentuh masyarakat. M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Al-Qur’an, 3rd edn (Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 390.
88
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 177.
89
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 178.
90
Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 179.

42
langkah di atas mengindikasikan urgensi penerapan 'ulūm al-Qur'ān dalam
penafsiran sebagaimana yang diterapkan oleh ulama klasik demi tercapainya
pemahaman yang komprehensif.
C. Dikotomi Tafsir Tematik: Urgensi Tafsir Tematik Berorientasi Sosial
Meninjau diskusi sebelumnya, tampak jelas bahwa keberadaan tafsir tematik
merupakan buah dari dialektika perkembangan tafsir modern-kontemporer. Penulis
melihat adanya keterkaitan dan keterhubungan genealogis tafsir tematik dengan
gagasan awal pembaruan tafsir yang dipelopori oleh Muḥammad 'Abduh. Buktinya
adalah prinsip-prinsip pada paradigma tafsir tematik sejalan dengan prinsip-prinsip
paradigma tafsir modern. Singkatnya, metode tematik lahir dari wacana
pembaharuan tafsir modern.91
Sebagai produk wacana tafsir modern-kontemporer, tafsir tematik
seharusnya bersifat lebih praktis dan kontekstual. Kepraktisan dan relevansi tafsir
dengan konteks menjadi acuan untuk melihat sejauh mana metode ini berhasil
menjawab tantangan zaman. Oleh sebab itu, secara logis tafsir tematik dituntut harus
mampu memberikan solusi atas problematika yang dihadapi oleh masyarakat.
Dengan kata lain, tafsir tematik juga harus bersifat lebih realistis dan aplikatif.
Berangkat dari sini, maka wajar bila kemudian terdapat beberapa kritikan terhadap
tafsir tematik yang berkembang di kalangan pengkaji tafsir hingga saat ini.92
Sebagaimana disinggung sebelumnya, tafsir tematik pada dasarnya
berorientasi sosial di mana realitas menjadi acuannya. Di sinilah penulis melihat
adanya dikotomi tafsir tematik di mana golongan pertama yang menekankan arah
penafsiran dari teks menuju realitas sedangkan golongan kedua menekankan arah
penafsiran dari realitas menuju teks. 93 Sekilas tampak golongan pertama yang
menjadikan teks sebagai pijakan pertama menggambarkan tafsir tekstual dan
golongan kedua yang menjadikan realitas sebagai pijakan pertama sebagai tafsir
kontekstual.

91
Pendapat penulis ini dapat dikuatkan dengan pernyataan al-Farmāwī. Menurutnya,
Muhammad 'Abduh merupakan pelopor tafsir mauḍū'ī melalui Tafsīr al-Manār yang
meskipun bercorak taḥlīlī tetapi cenderung membahas dan memperhatikan tema tertentu.
Shaltut yang disebut-sebut sebagai pembangun pondasi dasar metode tematik ini juga
diketahui sebagai pengikut setia madzhab 'Abduh. Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h.
58.
92
Lilik Ummi Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, ,
Islamica, 5.2 (2011), h. 1. Lihat pula: Uun Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir
Tematik Akademik: Kasus Disertasi UIN Yogyakarta Dan Jakarta’, Journal of Quran and
Hadith Studies, 4.2 (2015), h. 194. Bandingkan dengan Moh. Yardho., ‘Rekonstruksi Tafsīr
Mawdū'ī: Asumsi, Paradigma, dan Implementasi’, Islamuna, 6.1, (2019), h. 51.
93
Penulis merujuk pada kesimpulan Lilik Ummi Kaltsum yang menyatakan bahwa
ada dua macam tafsir tematik, yaitu yang berangkat dari teks menuju realitas dan dari realitas
menuju teks. Namun, di sini penulis menekankan adanya dikotomi tafsir tematik tersebut
sementara Kaltsum hanya menganggapnya sebagai varian dari aliran tafsir tematik.
Berangkat dari konsep dikotomi tafsir tematik tersebut, penulis hendak melihat keterkaitan
paradigma tafsir tekstual dan kontekstual atau normatif dan aplikatif yang menjadi aliran
para tokoh tafsir tematik. Kaltsum, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir
Al-Sadr’, h. 171.

43
1. Teks-Realitas
Kalangan tekstualis biasanya berpegang erat pada prinsip yang menyatakan
bahwa al-Qur'an ṣāliḥ li kulli zamān wa makān, al-Qur'an selalu relevan dengan
segala zaman. Dengan prinsip tersebut, mereka memandang bahwa ajaran al-Qur'an
secara tekstual dapat diterapkan pada semua keadaan. Untuk menguatkan pandangan
ini, mereka mempunyai prinsip al-'ibrah bi 'umūm al-lafẓ wa lā bi khuṣūṣ al-sabab.
Mereka menjadikan keumuman lafadz al-Qur'an sebagai nilai-nilai abadi sehingga
dalam konteks apapun nilai-nilai tersebut menjadi tolak ukur.
Sementara itu pada sisi yang lain, sebuah teks pasti memiliki konteks.
Konteks tidak dapat dipisahkan dari teks karena ialah yang melahirkan teks. Oleh
karena itu, membahas teks tanpa menyertakan konteksnya akan membuat
pemahaman terhadap teks menjadi tidak sempurna. Bahkan di dalam hermeneutika,
konteks tersebut terbagi menjadi dua, yakni konteks pengarang teks dan konteks
penerima teks. Pemahaman terhadap suatu teks tanpa mengikutsertakan kedua
konteks tersebut akan menjadi timpang.
Memandang al-Qur'an sebagai teks berkonsekuensi pada adanya pengarang
dan pembaca teks. Dalam kerangka ini, pengarang teks adalah Allah Swt di mana
pembacanya adalah umat manusia. Dalam kasus al-Qur'an, pemahaman al-Qur'an
biasanya dilandaskan atas pemahaman konteks penurunan ayat di mana umat
muslim menjadi objeknya. Artinya, untuk memahami al-Qur'an maka seorang
pembaca al-Qur'an masa kini seharusnya mengetahui konteks penurunan al-Qur'an
tersebut. Kemudian, untuk merelevansikannya pada masa sekarang, maka ia harus
mengkontekstualisasikan pemahamannya tersebut terhadap konteks kekinian.94
Berdasarkan pengertian di atas, maka menjadikan pemahaman al-Qur'an
sesuai konteks penurunannya saja sebagai solusi problematika sosial -seperti metode
tematik yang ditawarkan oleh al-Kūmī dan al-Farmāwī- tidaklah cukup untuk
menjawab permasalahan umat yang kompleks. Penafsiran tersebut butuh
dikontekstualisasikan dengan konteks masa kini agar relevan sehingga dapat
merespon permasalahan yang terjadi. Apalagi realitas sosial yang terjadi di
masyarakat selalu berubah.95
Metode tafsir tematik yang dirancang oleh al-Kūmī dan dikembangkan oleh
al-Farmāwī merupakan penafsiran yang menjadikan teks sebagai pijakan awal dalam
penafsiran. Jika mengikuti arah penafsiran dari teks ke realitas, tekslah yang menjadi
acuan. Teks menjadi norma yang akan diterapkan pada realitas. Dengan begitu,
realitas tunduk pada kehendak teks tanpa ada dialog yang mencoba
mengompromikannya. Padahal, tujuan dirumuskannya metode tematik adalah untuk
menyatukan antara al-Qur'an dengan masyarakat serta menghidupkan produk tafsir
agar masih relevan dengan perkembangan zaman.96

94
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 355. Sebuah teks
sangat dipengaruhi oleh historisitas dan subyektifitas yang mengitarinya. Karakter dan corak
suatu teks juga selalu menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya dan alam pikiran
sesuai konteks pembentukan teks tersebut. al-Qur'an menggambarkan kondisi sosio-kultural
masyarakat Arab yang banyak mempengaruhi pembentukan teks al-Qur'an.
95
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 355.
96
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 355.

44
Penafsiran yang berawal dari teks sebagaimana dimaksud di atas dikenal
dengan sebutan min al-naṣ ilā al-wāqi' yang berarti dari teks ke realitas. Para ulama
pemegang prinsip ini meyakini bahwa penafsiran al-Qur'an harus dimulai dari
pembacaan, penelitian, dan pengkajian teks al-Qur'an hingga menemukan sikap atau
pandangan al-Qur'an tentang tema tertentu. Pandangan al-Qur'an tersebut lantas
disosialisasikan agar menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menghadapi
permasalahan yang mereka hadapi. Menurut pemegang prinsip ini, pemahaman
agama yang bersumber langsung dari al-Qur'an tersebut mampu mengantar mereka
mencapai kesempurnaan agama dan kesempurnaan perjalanan hidup.97
Selain faktor di atas, para ulama berargumen bahwa peninjauan realitas
sebelum melakukan penafsiran akan menjadikan penafsiran tersebut bersifat
subjektif karena adanya pra konsepsi sebelum tafsir. Subjektifitas tersebut akan
merusak pemahaman terhadap al-Qur'an. Jika hal demikian terjadi, maka penafsiran
yang dihasilkan cenderung mengikuti pra konsepsi yang dimiliki oleh mufassir.98
Pada sisi yang lain, para ulama juga beralasan bahwa al-Qur'an adalah
pedoman hidup manusia. Pandangan al-Qur'an sangat dalam dan jauh melebihi
kemampuan manusia. Al-Qur'an tidak hanya meluruskan pengalaman-pengalaman
hidup, tetapi juga memberikan suatu konsep komprehensif agar diikuti dan dijalani
oleh manusia. Oleh karenanya, wajar jika manusia dan realitasnya mengikuti
tuntunan teks al-Qur'an.99
2. Realitas-Teks
Argumen ulama yang menjadikan teks sebagai acuan penafsiran
sebagaimana disebutkan di atas ternyata tidak sepenuhnya diterima oleh ulama lain.
Ada sebagian tokoh mempunyai prinsip yang bertolak belakang dengan mereka.
Meskipun sama-sama menganggap al-Qur'an sebagai pedoman hidup, mereka
mengambil langkah penafsiran dari realitas menuju teks. Proses penafsiran tersebut
diawali dengan mengkaji permasalahan-permasalahan realitas sosial yang terjadi
terlebih dahulu baru kemudian mencari petunjuk mengenai permasalahan tersebut

97
Tokoh-tokoh yang menganut aliran ini seperti al-Kūmī, al-Farmāwī, dan para
muridnya seperti Musṭafā Muslim dan 'Abd al-Sattār, dll.. Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas
Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 358; Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, h. 175. Menurut al-Farmāwī dalam
mukadimah kitabnya, ada tiga hal yang tampak jelas bagi pengkaji al-Qur'an, yaitu: (1) umat
muslim adalah umat paling kaya dengan hukum dan peraturan yang relevan dengan segala
zaman dan tempat, (2) petunjuk yang dikandung al-Qur'an tidak hanya bersifat teoritis tetapi
juga praktis dalam menghadapi persoalan umat, dan (3) umat muslim mampu melahirkan
hukum universal bagi masyarakat yang bersumber dari al-Qur'an dalam bentuk yang praktis,
mudah dipahami, dan aplikatif. Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, h. xiv-xv.
98
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 358. Menurut M.
Quraish Shihab, beberapa faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran adalah (1)
subjektivitas mufasir, (2) penerapan metode atau kaidah tafsir yang keliru, (3)
ketidakmahiran ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), (4) kedangkalan pengetahuan tentang
pembicaraan ayat, (5) tidak memperhatikan konteks, dan (6) tidak memperhatikan siapa yang
subjek dan objek pembicaraan. Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, h. 119.
99
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 359.

45
dalam al-Qur'an sehingga produk tafsirnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Proses penafsiran ini disebut yubda'u min al-wāqi' wa yantahī ilā al-qur'ān, yakni
dimulai dari realitas kemudian berakhir pada al-Qur'an. Penafsiran semacam ini
tampak jelas dalam metode tafsir tematik model Fazlur Rahman, Hassan Hanafi dan
Muḥammad Bāqir al-Ṣadr.100
Seperti paradigma kontekstual, metode tafsir tematik yang melangkah dari
realitas menuju teks ini tidak menjadikan universalitas teks al-Qur'an ('umūm al-lafẓ)
sebagai pijakan penafsiran. Pembacaan realitas-teks lebih mengutamakan konteks
atau realitas yang melingkupi ayat al-Qur'an sebagai pedoman. Oleh karenanya,
mengkaji realitas sosial di mana penafsir tinggal menjadi penting. Hasil kajian itu
lalu dicarikan pembahasannya dalam al-Qur'an agar menemukan petunjuk sebagai
solusi terhadap realitas tersebut. Dengan cara ini, masalah sosial dapat teratasi.101
Implementasi tafsir tematik yang berangkat dari realitas akan berimplikasi
pada produk tafsir yang realistis-aplikatif. Tafsir yang realistis-aplikatif berarti tafsir
yang berangkat dari realitas yang terjadi di lingkungan sosial dan hasil
penafsirannya mampu menjelaskan, menjawab, atau mengkritik problem realitas
tersebut sehingga dapat diaplikasikan. Hal ini berbeda dengan tafsir tematik yang
kajiannya berangkat dari teks. Produk tafsir tersebut lebih bersifat idealis-normatif
di mana tafsir berangkat dari idealisme al-Qur'an dan hasil penafsirannya
mengharuskan realitas mengikuti norma al-Qur'an.102
Penafsir yang menjalankan prinsip min al-wāqi' ilā al-naṣ akan lebih aktif
dalam mengkaji ayat-ayat tematis yang berhubungan dengan masalah sosial. Ia tidak
sekadar berhenti pada pemahaman al-Qur'an berdasarkan konteksnya sehingga
terkesan normatif saja. Ia akan meneruskan hasil pemahaman tersebut dengan
berbagai analisis sosial atau ilmu pengetahuan lainnya untuk merespons realitas di
masyarakatnya. Melalui pendekatan ini, bisa dipastikan penafsiran seorang mufassir
akan berbeda dengan mufassir lainnya yang memiliki latar belakang sosial yang
berbeda. Pada akhirnya aktifitas penafsiran semakin produktif dan memperkaya
khazanah tafsir sebelumnya.103
Sebagai catatan, terkait subjektifitas mufassir yang menjadi kekhawatiran
para ulama yang memilih jalan min al-naṣ ilā al-wāqi' bisa terjadi. Hal ini
dikarenakan metode tematik yang menekankan realitas mengharuskan mufassir
melebur dengan realitas dan tidak mengabaikannya. Sikap mufassir terhadap realitas
tersebut akan sangat menentukan penafsiran, apakah ia murni membimbing umat
atau mungkin memiliki maksud dan kepentingan tertentu dalam penafsiran, atau

100
Perhatikan lagi langkah-langkah metode ketiga tokoh tersebut dalam uraian
sebelumnya. Tampak ada upaya penafsiran kontekstual pada metode masing-masing tokoh.
Fazlur Rahman dengan langkah kedua dalam teori double movement-nya, Hassan Hanafi
dalam langkah 1, 6, 7, dan 8, sedangkan Bāqri al-Ṣadr dalam langkah pertamanya.
101
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 360.
Bandingkan dengan Kuswaya, Metode Tafsir Kontemporer: Model Pendekatan
Hermeneutika Sosio-Tematik Dalam Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi, h. 192.
102
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 363; Kuswaya,
Metode Tafsir Kontemporer: Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-Tematik Dalam Tafsir
Al-Qur’an Hassan Hanafi, h. 192.
103
Kaltsum, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, h. 364.

46
tujuan-tujuan lain yang menyimpang dari tujuan penafsiran. Jika yang demikian
terjadi, maka faktor utama kekeliruan dalam penafsiran adalah subjektifitas penafsir
tersebut dan bukan pada metode tafsirnya.104
Selain subjektifitas penafsir, konsekuensi penerapan langkah min al-wāqi'
ilā al-naṣ adalah penafsiran yang dihasilkan tidak dapat diterapkan pada semua latar
belakang sosial umat manusia. Tafsir tematik tersebut hanya relevan dengan kondisi
sosial penafsir atau masyarakat yang memiliki konteks sosial yang sama. Menurut
penulis, inilah kelemahan metode tafsir tematik yang melangkah dari realitas
menuju teks. Namun, kelemahan itu pula yang menjadi kekuatannya.
3. Urgensi Tafsir Tematik-Sosial
Berdasarkan diskursus tafsir tematik di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pada dasarnya metode tematik dirumuskan untuk menjawab permasalahan umat
zaman kontemporer. Secara konseptual, metode tafsir tematik bertujuan untuk
mengatasi problematika sosial yang terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, metode
tematik sedari awal sudah diorientasikan sebagai tafsir ijtimā'ī atau tafsir yang
bercorak sosial. Maka tidak heran jika secara genealogis tafsir tematik dikaitkan
dengan gagasan Muḥammad 'Abduh yang merupakan pelopor corak tafsir ijtimā'ī.
Selain itu, sebagai tafsir yang ditujukan untuk menjawab persoalan
masyarakat, tafsir tematik selalu berkaitan dengan realitas. Hanya saja seiring
perkembangannya, tafsir tematik mengarah pada dua macam penafsiran. Pertama
adalah metode tematik yang menjadikan teks sebagai langkah awal penelitian.
Metode ini didukung oleh al-Kūmī, al-Farmāwī, dan tokoh-tokoh yang mengikuti
langkah mereka seperti M. Quraish Shihab. Kedua adalah metode yang menjadikan
realitas sebagai titik awal penelitian. Metode ini dipelopori oleh Fazlur Rahman,
Hassan Hanafi, Muḥammad Bāqir al-Ṣadr, dan tokoh-tokoh yang mengikuti metode
mereka.
Baik metode tematik teks-realitas atau pun realitas-teks, keduanya sama-
sama menunjukkan pentingnya memperhatikan permasalahan sosial. Perbedaannya,
metode tematik tipe pertama bersifat normatif dan tidak aplikatif sedangkan tipe
kedua bersifat aplikatif. Terlepas dari perbedaan tersebut, keduanya merupakan
metode tematik yang menyajikan penafsiran secara praktis dan sistematis.
Akhirnya, setelah uraian yang cukup panjang di atas, penulis menegaskan
bahwa karya tafsir tematik-sosial perlu dikaji. Kepentingan mengkaji tafsir tematik-
sosial adalah karena ia merupakan produk pemikiran pada masanya (muntaj al-fikr)
yang tidak terlepas dari konteks sosial-budaya dalam penulisannya. Dalam
penelitian ini, penulis menelaah salah satu karya tafsir tematik berbahasa Indonesia,

104
Terkait hal ini, wajar jika Quraish Shihab menempatkan faktor subjektivitas
mufassir pada nomor urut pertama dan kesalahan metode tafsir pada nomor urut dua dalam
urutan faktor-faktor kegagalan penafsiran. Jika menilik ke belakang, problem tafsir pada era
pertengahan adalah kuatnya subjektivitas penafsir dan bukan pada metode tafsirnya. Shihab,
‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, h.
119. Sementara itu, metode tematik pada sisi yang lain merupakan hasil upaya rekonstruksi
sistematis metodologi tafsir al-Qur'an yang digagas oleh para ulama dengan tujuan agar
meminimalisirkan unsur subjektivitas penafsir. Riyadi, Tafsir Emansipatoris, h. 257.

47
Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo. Pada bab selanjutnya penulis
mendiskusikannya ke dalam diskursus metode tematik seperti yang telah diuraikan
di atas. Dengan begitu, penulis berharap penelitian ini dapat menggambarkan secara
jelas bagaimana tafsir tematik-sosial itu digunakan, terutama perkembangannya di
Indonesia.***

48
BAB III
M. DAWAM RAHARDJO DAN KARYA PEMIKIRANNYA TENTANG AL-QUR'AN

Bab ini membahas profil singkat M. Dawam Rahardjo dan dua karya
pemikirannya tentang al-Qur'an, yaitu Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-
Qur'an. Pembahasan profil Dawam Rahardjo dimulai dari latar belakang keluarga,
pendidikan, karir, hingga karya-karyanya. Sedangkan pembahasan Ensiklopedi Al-
Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an meliputi aspek penulisan, aspek hermeneutika,
dan distingsinya.
Pembahasan profil diperlukan untuk mengetahui kepribadian dan konteks
sosial yang membentuk intelektualitas M. Dawam Rahardjo. Informasi mengenai
keluarga, pendidikan, karir, serta karyanya merupakan data penting dalam
memahami kepribadian dan pemikirannya. Secara hermeneutis, langkah ini dalam
rangka upaya membaca tokoh secara objektif. Selain itu, langkah ini merupakan
langkah awal sebelum masuk ke dalam pemikiran tokoh melalui karyanya. Bahasan
ini juga akan membuktikan bahwa Dawam Rahardjo memiliki antusiasme yang
besar terhadap al-Qur'an dan masalah-masalah sosial.
Sementara itu, pembahasan Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-
Qur'an juga diperlukan untuk mengetahui lebih mendalam objek kajian penelitian.
Pengetahuan tentang aspek penulisan dan hermeneutika dapat membantu
memetakan jenis dan karakteristik karya tafsir M. Dawam Rahardjo. Hasil pemetaan
itu kemudian juga dapat digunakan untuk menentukan distingsinya dengan karya-
karya lainnya.
A. Profil M. Dawam Rahardjo
1. Keluarga
Menurut salah satu teori pendidikan, keluarga merupakan lakon utama
dalam mencetak kepribadian seseorang. 1 Teori ini dapat dilihat pada sosok M.
Dawam Rahardjo. Keluarga tampaknya menjadi salah satu faktor utama dalam
pembentukan intelektualitas Dawam Rahardjo. Terbukti dalam beberapa tulisannya
secara implisit dapat ditangkap bahwa keluarganya memiliki peranan besar akan
kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, terutama al-Qur'an.
Mohammad Dawam Rahardjo lahir pada tanggal 20 April 1942 di
Baluwarti, salah satu kampung yang berada di Solo, Jawa Tengah. Ia tumbuh besar
dalam lingkungan keluarga yang agamis, berpendidikan dan cukup berada. Ayahnya
yang bernama Mohammad Zuhdi Rahardjo adalah seorang guru Muhammadiyah
yang kemudian menjadi pengusaha batik dan tenun. Zuhdi Rahardjo pernah
menimba ilmu di sekolah Manba'ul Ulum sekaligus Pesantren Jamsaren, dua
lembaga yang cukup terkenal karena melahirkan banyak tokoh ulama terkemuka.2

1
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), h. 6.
2
Manba’ul Ulum merupakan sebuah madrasah yang didirikan pada tahun 1913 atas
prakarsa Sunan Pakubuwono X. Madrasah ini terletak di Solo dan dikenal sebagai tempat
menimba ilmu yang mencetak ulama besar sekaliber Kiai Arwani Kudus dan Kiai Zarkasyi
pendiri Gontor. Sedangkan Pesantren Jamsaren merupakan salah satu pesantren tertua di

49
Berkat kesuksesan usahanya, ia mampu mendonasikan dana bantuan pada Perguruan
Al-Islam yang merupakan salah satu perguruan terbaik di Solo saat itu.3 Selain itu, ia
juga dekat dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam lainnya seperti
Pondok Pesantren Jamsaren, Pesantren Krapyak, atau organisasi Islam perkotaan
Muhammadiyah, serta tokoh-tokoh berpengaruh seperti K.H. Imam Ghozali, K.H.
Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman yang kemudian mengajarkan Rahardjo ilmu-
ilmu agama seperti Bahasa Arab, Fikih, Tafsir, Hadis, dan Tajwid di tingkat dini.4
Ibu Dawam Rahardjo bernama Mutmainnah. Ia juga merupakan seorang
guru yang mengajar Sekolah Rakyat di Ambarawa. Dalam buku biografi Rahardjo
disebutkan bahwa Mutmainnah adalah seorang "putri Solo". Oleh karenanya,
Mutmainnah dibanggakan oleh mertuanya, yakni kakek dan nenek Rahardjo.
Mereka selalu berpesan agar Rahardjo Rahradjo menjaga sikap terhadap ibunya
tersebut.
Kakek Dawam Rahardjo bernama Ngali Rahardjo. Ia seorang petani
tembakau yang kaya dan sudah menunaikan ibadah haji. Pada zaman itu, tidak
sembarang orang dapat berhaji. Lumrahnya, hanya orang yang benar-benar mampu
secara finansial yang bisa melakukan ibadah tersebut. Selain itu, predikat "haji"
memiliki tempat khusus di masyarakat, terutama dalam status keagamaan. Terkait
hal ini, Ngali Rahardjo tertarik pada pikiran modern Muhammadiyah dan Perguruan
Al-Islam.5
Dawam Rahardjo memiliki seorang paman, kakak ayahnya yang bernama
Haji As'ad. As'ad adalah seorang juragan batik yang sukses. Ia juga seorang santri
dan menjadi mantu seorang bangsawan. Ia menjabat sebagai bendahara di Perguruan
Al-Islam. Ada juga bibi Rahardjo bernama Ba'diyah. Di dalam biografi Rahardjo
disebutkan bahwa Ba'diyah berperan dalam mengenalkan dongeng-dongeng pada
Rahardjo sekaligus mengajarinya al-Qur'an. Selain Ba'diyah, ada kakak angkat
Rahardjo bernama Widodo yang juga suka mendongenginya serta kakak sepupunya
bernama Tahrir yang turut membantu Rahardjo dalam belajar membaca dan
menghafal al-Qur'an.6
Di antara keluarganya, kenangan Rahardjo terhadap ayahnya, Zuhdi
Rahardjo, yang paling membekas. Dalam beberapa tulisannya, Rahardjo menyebut
bahwa ayahnya telah berjasa mengenalkan al-Qur'an padanya. Menurutnya, ayahnya
merupakan seorang alim ilmu agama. Ia bahkan menganggap ayahnya sebagai

Indonesia. Pesantren ini didirikan oleh seorang kiai berasal dari Banyumas bernama Jamhari
pada tahun 1750. Berbagai ilmu keislaman diajarkan di pesantren ini termasuk ilmu Tajwid,
Qira’āt, Ushūl Fiqh, Tafsir, Hadits, Falak, Balāghah, dll.. M. Solahudin, Ulama Penjaga
Wahyu (Kediri: Pustaka Zamzam, 2017), h.127-128.
3
Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J.H.
Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 3.
4
M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lemba
Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999), h. x.
5
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 4.
6
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.

50
seorang mufassir karena tahu banyak tentang ayat-ayat al-Qur'an dan mampu
memahaminya. Berkat ayahnya, Rahardjo mulai tertarik mendalami al-Qur'an.7
Zuhdi Rahardjo juga berperan besar pada perkembangan intelektualitas
Dawam Rahardjo. Mulanya Rahardjo diharapkan dapat melanjutkan usaha keluarga
sehingga sejak kecil dididik menjadi pengusaha. Untuk tujuan tersebut, Zuhdi selalu
memberikan fasilitas terbaik untuk anaknya. Salah satunya adalah selalu memberi
uang untuk membeli buku. Rahardjo mengakui bahwa sejak kecil ia suka membaca
dan ayahnya tidak pernah menolak ketika ia ingin membeli buku bacaan. Hal inilah
yang kemudian membuat Rahardjo memiliki banyak wawasan. Kegemaran
membaca sejak kecil itu berlanjut hingga akhir hayatnya. 8 Selain itu, Zuhdi juga
pernah memberinya mesin tulis kecil. Rahardjo membawa mesin tulis kecil itu ke
mana pun ia pergi. Kemampuan menulis Rahardjo pun tidak diragukan hingga
menghasilkan banyak karya tulis semasa hidupnya.9
2. Pendidikan
Sebagaimana diuraikan di atas, M. Dawam Rahardjo telah mendapatkan
pendidikan dasar dari keluarganya secara langsung. Kondisi ekonomi keluarga yang
tergolong mampu dan berpendidikan turut membangun karakter serta kepribadian
Rahardjo Rahradjo. Namun, seiring pertumbuhannya, ruang lingkup keluarga
bukanlah satu-satunya faktor penentu. Selain keluarga, secara umum faktor
pendidikan di lembaga -baik formal atau pun non-formal- juga mempengaruhi
kepribadian dan intelektualitasnya.
Rahardjo pertama kali mengenyam pendidikan di Bustanul Athfal
Muhammadiyah di Kauman. Kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyyah
Muhammadiyah di Masjid Besar Solo dan sekolah umum di Al-Robithoh al-
Allawiyah kelas satu, sekolah yang juga pernah dihuni oleh Haidar Bagir. Rahardjo
kemudian pindah dan masuk kelas dua Sekolah Rakyat Loji Wetan (lulus tahun
1954) pada pagi hari dan pada sore hari di Madrasah Diniyah Al-Islam dari kelas 3
hingga tamat. Di sekolah ini, kecerdasan Rahardjo sudah tampak. Ia mendapat nilai
baik sehingga dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama I (lulus
tahun 1957) yang saat itu merupakan sekolah elit. Di samping itu, Rahardjo juga
melanjutkan sekolah diniyahnya ke Tsanawiyah Al-Islam.10
Sebelum masuk SMP dan Tsanawiyah, Dawam Rahardjo sempat menyantri
di Pesantren Krapyak selama sebulan untuk belajar mengaji al-Qur'an. Setamat
Tsanawiyah, Rahardjo tidak melanjutkan pendidikan diniyah karena harus masuk
Sekolah Menengah Atas C V di Manahan, Solo (lulus 1960). SMA tersebut
mengadakan kelas pada sore hari sehingga jadwalnya bertabrakan dengan jam

7
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, 1st edn (Jakarta: Paramadina, 1996), h. xxii.
8
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.
9
Imam Ahmad, ‘Brahmana Dari Solo’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. by
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H. Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), h.
75.
10
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 6.

51
pelajaran diniyah. 11 Oleh karenanya, Rahardjo mengaku bersekolah agama hanya
sampai tingkat tsanawiyah kelas dua di Madrasah Diniyah Al-Islam Solo.12
Setelah SMA, pada tahun 1961 Rahardjo mendapat kesempatan mengikuti
program American Field Service (AFS) berkat keterampilan bahasa Inggris yang
baik. Ia belajar di Borah High School, Idaho, Amerika Serikat. Sepulang dari
Amerika, ia masuk kuliah di Jurusan Uang dan Bank (Ekonomi Moneter), Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1969. 13
Rahardjo kemudian tidak melanjutkan studinya ke jenjang magister. Namun, ia
mendapatkan dua gelar bergengsi, yakni pada tahun 1993 14 sebagai “guru besar”
oleh Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pada tahun 2000 sebagai
“Doktor H.C.” dalam Bidang Ekonomi Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 15 Ini membuktikan kapasitas keilmuan M. Dawam Rahardjo tidak perlu
diragukan lagi.
Selain itu, yang menarik adalah melihat pergaulan Rahardjo sejak kecil yang
cukup beragam. Di sekolah Robithoh, ia bergaul dengan anak-anak keturunan Arab.
Ketika remaja, ia bergaul dengan para seniman dan sastrawan. Di Amerika, ia
bergaul dengan teman berbeda agama. Rahardjo juga bergaul dengan orang-orang
pesantren. (Pendidikan Rahardjo juga tidak terlepas dari pengaruh pesantren. Selain
Al-Islam, ia pernah belajar pada K.H. Ali Darokah.) Pendidikan yang dijalani
Dawam Rahardjo pun cukup kompleks. Ia tidak hanya mengenyam pendidikan
formal, tetapi juga non-formal. Rahardjo juga tidak hanya belajar pelajaran umum,
tetapi juga pelajaran agama. Pengalaman yang beragam inilah yang kemudian turut
mewarnai cara berpikirnya.
3. Karir
Sebagai akademisi, karir M. Dawam Rahardjo di dunia akademik cukup
mentereng. Sejak tahun 1986 Rahardjo menjadi dosen di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) dan menjabat sebagai Direktur Program Pasca
Sarjana UMM (1994-1997). Ia pernah menjabat sebagai pembantu rektor IV dan
rektor di Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi.16 Ia juga pernah menjabat sebagai
Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (2009- 2015).17
Hal yang paling menarik dari sosok Rahardjo ialah mengenai karirnya.
Rahardjo dikenal sebagai intelektual atau cendekiawan muslim sekaligus aktivis
pergerakan. Sebagai aktivis, ia bergelut dengan ilmu-ilmu sosial baik secara teori
maupun secara praktis.

11
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 6-7.
12
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial
(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 2.
13
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8.
14
Ada yang menyebut tahun 1992. Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, Dan Liberalisme Agama, 2nd edn
(Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 45.
15
M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme Dan Kebangkitan Islam (Jakarta:
Freedom Institute, 2012), h. 379-380.
16
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
17
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme Dan Kebangkitan Islam, h. 379.

52
Sebagai ilmuwan, Rahardjo tidak hanya berdiam diri di menara gading.
Sejak muda, ia turut aktif berpartisipasi di berbagai organisasi dan kegiatan sosial.
Dalam beberapa literatur, tercatat lebih dari sepuluh organisasi dan beberapa forum
kemasyarakatan yang pernah diikutinya. Rekam jejak petualangannya dimulai dari
keaktifannya di Pelajar Islam Indonesia (PII). Kemudian ketika menjadi mahasiswa
UGM, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selama di HMI, ia dikenal
sebagai pemikir dan ideolog. Ia belajar politik di salah satu organisasi mahasiswa
terbesar itu bersama Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Di HMI pula Rahardjo
mengenal ilmu-ilmu sosial. Bersama dua sahabatnya tersebut, ia sering pergi ke
desa-desa untuk training-training HMI.18 Dalam biografinya, dikatakan bahwa saat
itu ia telah menguasai Marxisme dan Neo-Marxisme.19
Aktivitas Rahardjo tidak hanya dilakukan dengan cara kajian dan training
saja. Rahardjo juga aktif menulis kolom di media massa sehingga namanya dikenal
secara nasional. Oleh karenanya, ia mendapat julukan "ideolog HMI dari Yogya". 20
Pada masa itu ia juga menjadi ketua redaksi majalah Dewan Mahasiswa UGM,
Gelora, selama periode 1968-1969.21
Selanjutnya, sebagaimana disebut di muka, Rahardjo juga merupakan
aktivis praktis. Ia dikenal sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).22
Kepeduliannya terhadap masyarakat membuatnya meninggalkan pekerjaan sebagai
pegawai Bank of America. Ia akhirnya masuk ke LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial). 23 Di lembaga ini ia aktif dalam
berbagai kegiatan dan mendapat kepercayaan dari atasannya. Salah satu proyek yang
dikerjakan oleh Rahardjo adalah terkait entrepreneurship dan pesantren. Melalui
proyek ini, Rahardjo kemudian memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan
orang-orang pesantren baik dari kalangan NU atau non-NU.24
Kegigihan dan keuletan Rahardjo dalam bekerja mengantarkannya menjadi
Direktur LP3ES. 25 Ia juga juga dipercaya memimpin majalah Prisma, majalah
populer terbitan LP3ES yang dikenal luas di kalangan intelektual saat itu. Selama

18
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8-9.
19
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 10.
20
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 11.
21
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45.
22
Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmedagri) No. 8 tahun 1990, LSM
adalah organisasi/ lembaga yang dibentuk oleh warga negara Indonesia secara sukarela atas
kehendak sendiri yang berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat.Ari Ganjar Herdiansah, ‘Peran Organisasi Masyarakat (Ormas) Dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menopang Pembangunan Di Indonesia’, Sosioglobal:
Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosiologi, 1.1 (2016),h. 50.
23
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12.
24
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14.
25
Pada mulanya, Rahardjo hanya menjadi seorang peneliti. Setelah dua tahun
terlewati (1971-1972), ia menjadi kepala bagian penelitian LP3ES (1972-1974), kemudian
naik lagi menjadi koordinator bagian penelitian dan pengembangan LP3ES (1974-1976),
wakil direktur LP3ES (1976-1978), dan puncaknya menjabat sebagai direktur LP3ES selama
enam tahun (1980-1986).

53
menjabat ia banyak mendidik kader-kader penelitian dan pengembangan masyarakat
serta intelektual muda.26 Bahkan tidak hanya di LP3ES, Rahardjo adalah salah satu
pendiri Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan menjadi Ketua Yayasan
LSAF sejak tahun 1991 dan masih aktif sampai tahun 2012. 27 Lembaga ini
kemudian menerbitkan jurnal ilmiah berskala nasional, yaitu Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an. Di jurnal inilah Rahardjo rutin menulis kolom
“Ensiklopedia Al Qur’an”. Kumpulan tulisannya dalam kolom tersebut lalu
dijadikan buku yang berjudul Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci.
Selain menjabat, Rahardjo juga aktif memprakarsai berdirinya berbagai
LSM seperti Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Sosial (LSIS), Lembaga Studi Pembangunan
(LSP), Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS), Pusat Pengembangan
Agribisnis (PPA), dan Yayasan Wakaf Paramadina.28 Di dunia LSM ini Rahardjo
berpengaruh begitu besar pada zamannya. Ia menjadi motor penggerak yang aktif
dan progresif saat itu. 29 Bersama sejumlah tokoh seperti Gus Dur dan Cak Nur,
Rahardjo mengembangkan organisasi dan lembaga berazaskan Islam yang pluralis,
demokratis, inklusif, moderat dan kulturalis. Islam baginya adalah rahmat bagi
semua orang di dunia yang membebaskan orang-orang tertindas dan kaum dhuafa
serta mengedepankan sistem sosial yang adil dan setara atas semua umat manusia.30
Salah satu peran besar Rahardjo juga tampak pada berdirinya Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Ia merupakan tokoh yang membidani
organisasi bergengsi tersebut. Sebagai petinggi ICMI, Rahardjo banyak
berkontribusi dalam mengadakan terobosan-terobosan baru dalam memberdayakan
umat muslim di Indonesia. Hal ini diakui oleh B.J. Habibie yang sempat menjadi
ketua ICMI pada masa awal dan presiden Indonesia di Era Reformasi.31
Berdasarkan beberapa lembaga yang diikutinya, sekilas tampak bahwa
Rahardjo aktif dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.32 Hal ini wajar karena memang
merupakan bidang keahliannya. Yang perlu disoroti adalah pengabdiannya pada

26
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14.
27
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme Dan Kebangkitan Islam, h. 379.
28
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 16.
29
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 274.
30
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 275.
Pandangan Rahardjo ini mencerminkan karakter pemikiran Islam progresif. Islam progresif
di kalangan akademisi dan aktivis dikenal sebagai "varian Islam yang merujuk pada
pemahaman dan aksi umat Islam yang memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai
humanis, melalui civil society, demokrasi, kedilan, kesetaraan gender, dan pluralisme, yang
berprinsip pada keadilan dan keberpihakan terhadap kaum tertindas." Islam progresif adalah
"gerakan yang mencoba memberi penafsiran baru ajaran Islam yang bersumber dari al-
Qur'an agar lebih sesuai dan selaras dengan tuntutan kemajuan dan perkembangan dunia saat
ini." Uraian lebih lengkapnya bisa dilihat pada: Ahmad Dafit, ‘Islam Progresif Dalam
Gerakan Sosial M. Dawam Rahardjo (1942-2016)’, Jurnal Pemberdayaan Masyarakat:
Media Pemikiran Dan Dakwah Pembangunan, 1.1 (2017), h. 39.
31
B. J. Habibie, ‘Dawam Rahardjo, ICMI, Dan Habibinomics’, in Demi Toleransi
Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H. Lamardy (Jakarta:
Democracy Project, 2012), pp. 31–33.
32
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 23.

54
masyarakat dan kepeduliannya terhadap situasi sosial masyarakat. Jika dilihat dari
beberapa aktivitas dan karya tulisnya, Rahardjo berusaha memperjuangkan
terjadinya transformasi sosial di masyarakat dengan menjadikan nilai-nilai Islam
sebagai dasar pijakannya.33
Pasca runtuhnya Orde Baru, Rahardjo aktif sebagai pelopor gerakan
membela kebebasan. Ia aktif melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, Jaringan Islam Liberal, dan Syi'ah.34
Ia bahkan ikut turun ke jalan dalam membela kebebasan selain juga pembelaan di
media massa serta berbagai forum. Ia juga sempat mendirikan Aliansi Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan serta Aliansi Bhineka Tunggal Ika. Namun, semenjak
kesehatannya menurun, Rahardjo hanya bisa berjuang melalui tulisan-tulisannya.35
Terakhir, atas konsistensi keintelektualannya serta kontribusinya dalam
memperjuangkan kesejahteraan masyakarat, Rahardjo mendapat penghargaan
langsung dari pemerintah. Beberapa tanda jasa yang pernah disematkan padanya,
yaitu: Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama (1999), Penghargaan
Tertinggi DEKOPIN “Hatta Nugraha” (1997), dan Bintang Satya Lencana
Pembangunan, dari Presiden RI (1995). 36 Ia juga menerima penghargaan Bakrie
Award (2012) dan Yap Thiam Hien Award (2013).37 Semua penghargaan tersebut
membuktikan kualitasnya sebagai cendekiawan muslim dan perjuangannya dalam
menerapkan nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat.
M. Dawam Rahardjo wafat dalam usia 76 tahun pada hari Rabu, 30 Mei
2018 di Jakarta. Ia dikebumikan pada hari Kamis, 31 Mei 2018 di Taman Makam
Pahlawan Nasional Utama Kalibata. Hingga akhir hayatnya, Rahardjo dikenal
sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak tokoh mengapresiasi kontribusinya
dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Mereka mengenangnya sebagai
salah seorang tokoh yang berpengaruh dan berjasa dalam pemberdayaan umat.38

33
Menurut pengakuan Rahardjo sendiri, perhatiannya tentang visi kemasyarakatan
telah berlangsug sejak lama yang berkaitan erat dengan perhatiannya terhadap gejala negara.
Ia menggeluti wacana kemasyarakatan tersebut terutama sejak tahun 80-an ketika menjadi
direktur LP3ES. M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, Dan
Perubahan Sosial (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999), h. ix.
34
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 23.
35
Ali-Fauzi, Hasyim, and Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 24.
36
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme Dan Kebangkitan Islam, h. 380.
37
Dafit, ‘Islam Progresif Dalam Gerakan Sosial M. Dawam Rahardjo (1942-2016)’,
h. 40.
38
Beberapa surat kabar nasional memuat pemberitaan tentang wafatnya M, Dawam
Rahardjo. Lihat selengkapnya: Fajar Pebrianto, ‘Cendekiawan Muslim Dawam Rahardjo
Tutup Usia’, Tempo.Co, 2018 <https://nasional.tempo.co/amp/1094023/cendekiawan-
muslim-dawam-rahardjo-tutup-usia> [accessed 23 November 2020]. Reza Jurnaliston,
‘Sebelum Meninggal Dunia, Dawam Rahardjo Minta Dimakamkan Sebelah Cak Nur’,
Kompas.Com, 2018 <https://amp.kompas.com/nasional/read/2018/05/31/21245721/sebelum-
meninggal-dunia-dawam-rahardjo-minta-dimakamkan-sebelah-cak-nur> [accessed 23
November 2020]. Reza Jurnaliston, ‘Yudi Latief: Rahardjo Rahardja Berjasa Besar
Tumbuhkan Nilai Pancasila’, Kompas.Com, 2018, p. 2
<https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/10363111/yudi-latief-Rahardjo-rahardja-
berjasa-besar-tumbuhkan-nilai-pancasila?page=2&source=autonext> [accessed 23

55
4. Karya M. Dawam Rahardjo
Selama hidupnya M. Dawam Rahardjo telah menulis berbagai macam karya,
baik dari yang bergenre ilmiah hingga sastra. Puluhan buku dan artikel telah ditulis
dari berbagai macam perspektif keilmuan. Berkat keluasan wawasannya tersebut,
Rahardjo kerap dianggap sebagai penulis ensiklopedis.
Mayoritas karya Rahardjo membahas persoalan ekonomi, sosial, dan politik.
Ketiga topik tersebut memang menjadi trademark yang ia usung dalam tulisan-
tulisannya. Misalnya, ia pernah menulis Esai-esai Ekonomi Politik (1983),
Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (1986), hingga yang terbaru
Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial (2015). Namun, ada juga di
antara beberapa karyanya yang membahas topik lain seperti agama meski tidak
terlepas dari pendekatan sosial seperti Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi
(1999) dan Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (2002). Sejauh penelusuran
penulis, di antara beberapa karyanya, hanya ada dua buku yang fokus membicarakan
soal agama, khususnya al-Qur'an, yaitu Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci dan Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir &
Kritik Sosial. Untuk Ensiklopedi Al-Qur'an, karya ini dianggap sebagai karya
Dawam Rahardjo yang paling monumental dan menjadi perintis tradisi tafsir
mauḍū'ī di Indonesia.39
B. Biografi Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-Qur'an
Ensiklopedi Al-Qur'an sebenarnya merupakan kumpulan tulisan M. Dawam
Rahardjo yang telah dimuat dan diterbitkan secara berkala oleh Jurnal Ulumul
Qur'an pada kolom "Ensiklopedi Al-Qur'an" selama tahun 1990-1995. Tulisan-
tulisan tersebut disatukan kemudian disunting oleh Budhy Munawar-Rachman
menjadi sebuah buku.40 Sebagai sebuah buku, karya ini tergolong baru dan tentu
berbeda dengan tulisan sebelumnya yang terpisah. Selain mendapat suntingan,
kumpulan tulisan tersebut mendapat penambahan di beberapa tempat. Oleh karena
itu, biografi buku penting untuk diutarakan.
Tabel 3.1. Biografi Ensiklopedi Al-Qur'an
Judul Ensiklopedi Al-Qur'an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
Pengarang Prof. M. Dawam Rahardjo, SE.
Penyunting Budhy Munawar-Rachman
Cetakan Pertama, September 1996
Penerbit PARAMADINA bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an dengan
biaya LAZIS PARAMADINA

November 2020]. Ihsan Ali-Fauzi, ‘Ensiklopedia Dawam Rahardjo’, Majalah.Tempo.Co,


2018 <https://majalah.tempo.co/read/obituari/155606/ensiklopedia-dawam-rahardjo>
[accessed 23 November 2020].
39
Budhy Munawar-Rachman, ‘Ensiklopedi Al-Qur'an: Sebuah Manifesto Islam
Inklusif’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and
J.H. Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 153.
40
Budhy Munawar-Rachman juga merupakan editor rubrik "Ensiklopedi Al-Qur'an"
di Jurnal Ulumul Qur'an selama 1990-1995. Munawar-Rachman, ‘Ensiklopedi Al-Qur'an:
Sebuah Manifesto Islam Inklusif’, h. 152.

56
Penata Letak Muslih Hidayat
Pendisain Badruzaman
Kulit Muka
Pelaksana Amak Baldjun
Percetakan PT. Temprint, Jakarta
Tebal xxxiv + 764 halaman
Ensiklopedi Al-Qur'an dimulai dengan kata pengantar oleh M. Dawam
Rahardjo sendiri dan kata sambutan dari Nurcholish Madjid. Setelah itu, karya ini
berisi tiga bahasan utama, yaitu: pendahuluan, isi, dan penutup. Dalam pendahuluan,
Rahardjo menulis tentang metodologi tafsir dan akses terhadap al-Qur'an.
Metodologi tafsir ini tampaknya ia jadikan sebagai pijakan teoritis atas tulisan-
tulisannya. Di pendahuluan tersebut Rahardjo menyinggung fungsionalitas al-Qur'an
dalam kehidupan umat muslim dan perlunya sebuah tafsir corak baru yang mudah
dibaca oleh masyarakat. Rahardjo kemudian menawarkan sebuah metodologi
penulisan tafsir berbentuk entri atau ensiklopedi serta paradigma tafsir al-Fatihah
sebagai al-Qur'an in a nutshell.
Selanjutnya, Rahardjo membagi isi buku menjadi dua bagian. Bagian
pertama merupakan bagian dimensi spiritual-keagamaan. Pada bagian ini terdapat 12
tema yang mencakup nilai-nilai kedua dimensi tersebut, yaitu: Fiṭrah, Ḥanīf,
Ibrāhīm, Dīn, Islām, Taqwā, 'Abd. Amānah, Rahmah, Rūh, Nafs, dan Shaiṭān.
Kemudian pada bagian kedua berisi 15 tema yang berkaitan dengan dimensi sosial-
keagamaan. Tema-tema itu adalah Nabī, Madīnah, Khalīfah, 'Adl, Ẓālim, Fāsiq,
Shūrā, Ūlū al-Amr-i, Ummah, Jihād, 'Ilm, Ūlū al-Albāb, Rizq, Ribā, dan Amr Ma'rūf
Nahy Munkar.
Pada bab penutup, Rahardjo membahas pentingnya pendekatan historis
sebagai acuan dalam memahami al-Qur'an. Pendekatan historis memudahkan
penafsir untuk memahami konteks makro ayat sehingga mendapat gambaran umum
suatu konsep dalam al-Qur'an. Selain itu, Rahardjo kembali menyatakan
pendapatnya bahwa al-Fatihah adalah surat yang menjelaskan al-Qur'an. Rahardjo
juga menyinggung tugas ulama dalam membangun masyarakat melalui nilai-nilai al-
Qur'an.
Selanjutnya, pada bagian akhir, Ensiklopedi Al-Qur'an dilengkapi dengan
daftar pustaka dan indeks. Bagian ini memuat referensi yang dijadikan rujukan dan
daftar istilah yang digunakan beserta letak halaman penyebutannya.
Sementara itu, Paradigma Al-Qur'an juga merupakan sebuah kumpulan
artikel yang pernah ditulis oleh Dawam Rahardjo mengenai kajian al-Qur'an. Ada
tujuh artikel yang terkumpul di dalamnya. Beberapa tulisan berasal dari buku
Dawam Rahardjo yang telah terpublikasi sebelumnya seperti dari Ensiklopedi Al-
Qur'an dan Masyarakat Madani. Semua tulisan tersebut diedit oleh Izza Rahman
Nahrowi dan diterbitkan oleh PSAP Muhammadiyah pada tahun 2005
Paradigma Al-Qur'an dimulai dengan sebuah pengantar dari Dawam
Rahardjo yang membahas pengalamannya mengkaji al-Qur'an dan latar belakang
penerbitan buku. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan dengan penyajian tujuh
artikel. Ketujuh artikel secara berurutan yaitu (1) "Metodologi Tafsir: Beberapa
Tawaran Menuju Kemudahan Memahami Alquran", (2) "Al-Fātihah Sebagai

57
Paradigma: Akses dan Metode Pemahaman Alquran", (3) "Kerangka Referensi
dalam Penafsiran: Menuju Konsepsi Manusia Menurut Alquran", (4) "Manusia,
Tema Sentral Alquran: Dari Penciptaan, Rekonstruksi Sejarah, hingga Kritik
Sosial", (5) "Cita-cita Sosial dalam Alquran: Ke-Esaan Tuhan dan Kesatuan Umat
Manusia", (6) "Refleksi Sosiologi Alquran: Landasan Revolusi Sosial", dan (7)
"Islam Sebagai Ideologi Pembebasan: Jejak Kisah Para Nabi dalam Alquran".

Tabel 3.2. Biografi Paradigma Al-Qur'an


Judul Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial
Pengarang M. Dawam Rahardjo
Editor Izza Rahman Nahrowi
Cetakan Pertama, Mei 2005
Penerbit Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jakarta
Penyelaras Nasrudin
Bahasa
Pewajah pananganSae
Sampul
Pewajah Isi ayahNavi
Tebal vi + 218 halaman
Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian khusus yang dilakukan
oleh akademisi terhadap Paradigma Al-Qur'an. Biasanya para peneliti hanya
menjadikannya sebagai rujukan di catatan kaki. Hal ini berbeda dengan penelitian
terhadap Ensiklopedi Al-Qur'an yang sudah banyak dilakukan oleh para peneliti
tafsir baik dari dalam maupun luar negeri.
Di antara para peneliti itu, menurut penulis yang paling komprehensif adalah
hasil penelitian Islah Gusmian. Di dalam Khazanah Tafsir Indonesia, Islah cukup
detail mengkaji Ensiklopedi Al-Qur'an. Secara umum, ia membuat kerangka
penelitian yang mencakup unsur intrinsik dan ekstrinsik tafsir serta aspek
hermeneutiknya. Unsur-unsur intrinsik meliputi karya tafsir seperti sistematika
penyajian, bentuk penyajian, gaya bahasa, dan bentuk tulisan. Sementara itu, unsur-
unsur ekstrinsik adalah hal-hal di luar tafsir namun terikat dengan karya tafsir.
Dalam pemetaan Islah unsur ekstrinsiknya terdiri dari sifat mufassir, keilmuan
mufassir, asal usul tafsir, dan sumber rujukan mufassir. Adapun aspek hermeneutika
tafsir adalah konstruksi hermeneutik yang mempertimbangkan proses penafsiran
yang melibatkan teks, penafsir, dan audiens. Aspek hermeneutika terdiri dari
metode, nuansa, dan pendekatan tafsir.41 Untuk lebih lengkapnya, perhatikan tabel
3.3. di bawah ini.
Tabel 3.3. Kerangka Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian

41
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi
(Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 120. Sebagai catatan, pembagian unsur intrinsik dan ekstrinsik
merupakan tambahan dari penulis pribadi.

58
Aspek Teknis Penulisan Tafsir Aspek Hermeneutika Tafsir

Intrinsik 1 Sistematika Penyajian 1 Metode Tafsir

Runtut Berdasarkan urutan Metode Riwayat: penafsiran Nabi


mushaf sebagai sumber acuan

Berdasarkan urutan Metode Analisis


nuzūl pemikiran: Kebahasaan
intelektualitas
Tematik Modern Plural sebagai dasar Analisis Historis
tafsir
Singular Analisis
Antropologis

Klasik Ayat dan Analisis


surat Geografis
tertentu

Surat Dll
tertentu

Juz Metode Interteks


tertentu

2 Bentuk Penyajian 2 Nuansa Tafsir

Bentuk penyajian global Nuansa Kebahasaan

Bentuk penyajian rinci Nuansa Sosial Kemasyarakatan

3 Gaya Bahasa Nuansa Teologis

Kolom Ilmiah Dll. Nuansa Sufistik

Reportase Populer Nuansa Psikologis, dll.

4 Bentuk Penulisan 3 Pendekatan Tafsir

Ilmiah Non Ilmiah Pendekatan Tekstual

Ekstrinsik 5 Sifat Penafsir Pendekatan Kontekstual

Individual Kolektif/tim

6 Keilmuan Mufassir

Disiplin ilmu Disiplin ilmu non-tafsir


tafsir

7 Asal-usul Literatur Tafsir

59
Akademik Non Akademik

8 Sumber-sumber Rujukan

Literatur Literatur non-tafsir


tafsir klasik
atau modern

Berdasarkan kerangka metodologi kajian tafsir tersebut, Islah Gusmian


memetakan Ensiklopedi Al-Qur'an sebagai karya tafsir yang menggunakan
sistematika tafsir tematik modern, dengan penyajian rinci, gaya bahasa populer,
dalam bentuk tulisan ilmiah. Sementara itu, dalam unsur ekstrinsiknya Ensiklopedi
merupakan karya mufassir individual, yang disusun oleh seorang sarjana ekonomi
dan berasal dari tulisan non-akademik serta merujuk pada beberapa literatur tafsir
berbahasa Arab (terjemahan), Inggris, Indonesia, dan Jawa.
Tabel 3.4. Pemetaan Aspek Penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an oleh Islah Gusmian
Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
Karya M. Dawam Rahardjo
Sistematika Penyajian - Tematik Modern (h. 153)

Bentuk Penyajian - Rinci (h. 173)


Gaya Bahasa - Populer (h. 181)
Bentuk Tulisan - Ilmiah (h. 186)
Sifat Mufassir - Individual (h. 189)
Keilmuan Mufassir - Sarjana Ekonomi (h. 192)
Asal-usul Tafsir - Non Akademik, Jurnal (h. 197)
Sumber Rujukan - Literatur tafsir: Arab (Terjemahan), Inggris,
Indonesia, dan Jawa (201)

Ditinjau dari aspek hermeneutiknya, Islah menilai Dawam Rahardjo


menggunakan metode tafsir pemikiran berupa analisis sosio-kultural dan semiotik
sehingga penafsirannya bernuansa sosial-kemasyarakatan. Selain itu, menurutnya
Rahardjo menerapkan pendekatan tekstual karena tidak menjadikan konsep sosial
dan struktur budaya yang ada di Indonesia sebagai poros hermeneutiknya dalam
membangun suatu kesimpulan. 42 Ringkasan hasil kajian Islah dapat dilihat pada
tabel 3.5. di bawah ini.
Tabel 3.5. Pemetaan Aspek Hermeneutika Ensiklopedi Al-Qur'an Islah Gusmian
Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
Karya M. Dawam Rahardjo
Metode Tafsir - Pemikiran
- Analisis Sosio-kultural (h. 223-224)

42
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 276.

60
- Analisis semiotik (h. 234)
Nuansa Tafsir - Sosial-kemasyarakatan (264)
Pendekatan Tafsir - Tekstual (276)
Pada sub-bab ini penulis tidak serta merta mengikuti hasil penelitian Islah
Gusmian di atas. Penulis hanya menggunakan kerangka metodologi kajian tafsirnya
untuk mengklasifikasikan Ensiklopedi Al-Qur'an. Dalam banyak hal penulis
memang mempunyai kesimpulan yang sama dengan temuan Islah. Namun, tetap ada
perbedaan pada hasil kajian penulis terutama dalam aspek hermeneutikanya.
1. Aspek Penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an
Sejak awal, penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an dalam Jurnal Ulumul Qur'an
tampaknya sudah diniatkan untuk dijadikan sebuah buku. Ensiklopedi Al-Qur'an,
baik dalam bentuk artikel jurnal maupun kumpulan tulisan merupakan realisasi
gagasan M. Dawam Rahardjo tentang pengadaan tafsir berbentuk ensiklopedia.
Sejauh penelusuran penulis, embrio Ensiklopedi Al-Qur'an adalah artikel "Refleksi
Sosiologi al-Qur'an: Landasan Revolusi Sosial". Dalam tulisan itu, Rahardjo telah
membahas secara singkat tema-tema dalam al-Qur'an yang kemudian berkembang
menjadi artikel-artikel panjang di Jurnal Ulumul Qur'an dan dikumpulkan menjadi
sebuah buku. Dari sini penulis mencoba memahami penulisan Ensiklopedi Al-
Qur'an dalam bentuknya yang terakhir itu.43
Sebagai sebuah karya mandiri, Ensiklopedi Al-Qur'an mengalami banyak
penambahan untuk menjadi karya yang utuh. Salah satunya adalah adanya
penyusunan ulang tema-tema disertai dengan sedikit penjelasan yang berusaha
menghubungkan keterkaitan bahasan antar tema. Padahal, bentuk asalnya tidak
demikian. Oleh karena itu, penting diutarakan di sini bahwa yang dikaji oleh penulis
adalah aspek penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an secara keseluruhan. Jadi, kajian
belum difokuskan pada konstruksi tafsir tematik-sosial Rahardjo.
a. Sistematika Penyajian
Ditinjau dari sistematika penyajian, Ensiklopedi Al-Qur'an dapat
dikategorikan sebagai tafsir tematik yang mengacu pada tema tertentu yang
ditentukan sendiri oleh mufassir. Islah Gusmian menyebutnya dengan istilah
"tematik modern" untuk membedakannya dengan "tematik klasik" yang biasanya
membahas ayat atau surat tertentu.44 Jika dilihat pada masa penulisannya, penafsiran
semacam ini juga dilakukan oleh banyak penulis tafsir pada era 1990-an seperti M.
Quraish Shihab, Zaitunah Subhan, dll.. Namun, tulisan M. Dawam Rahardjo itu
termasuk pelopor dibanding karya-karya lainnya.
Rahardjo memulai penafsirannya dengan memberikan semacam pengantar
untuk menggambarkan letak permasalahan atau konteks tema yang akan dibahas.
Misalnya, sebelum menguraikan penafsirannya tentang "nabi", Rahardjo terlebih

43
Lihat: "Refleksi Sosiologi al-Qur'an: Landasan Revolusi Sosial" dalam M. Dawam
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial (Jakarta: PSAP, 2005),
h. 152-199. Artikel ini telah dikaji oleh Howard M. Federspiel. Lihat: Howard M. Federspiel,
Kajian al-Qur'an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung:
Mizan, 1996), h. 226-246.
44
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 131.

61
dahulu memaparkan wacana kenabian di dunia global dan di dunia Islam. Ia
menjelaskan:
"Timur Tengah, kerap kali disebut sebagai 'negeri para nabi', karena semua nabi
berasal dari kawasan ini. Hanya kawasan inilah yang melahirkan nabi-nabi.
Pemimpin-pemimpin agama dunia, yang melahirkan agama baru atau memperbarui
suatu agama dari kawasan lain, tidak lazim disebut nabi. Tokoh-tokoh seperti
Konfusius, Lao-tse dan Mencius dari Cina atau Sidharta Gauthama dari India, tidak
disebut sebagai nabi, karena memang tidak mengklaim diri sebagai penerima wahyu
atau diutus oleh Tuhan. Sekalipun ada kalanya tokoh seperti Konfusius disebut
sebagai 'nabi', istilah itu hanya berfungsi sebagai kiasan belaka." 45
Sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya, Rahardjo berpendapat
al-Qur'an dapat dipahami melalui pengalaman atau pengetahuan manusia. Dalam hal
ini, Rahardjo menjadikan wacana kenabian sebagai pemahaman awal untuk
mengkaji makna "nabi" dalam al-Qur'an. Setelah itu, barulah ia mengkaji konsep
"nabi" dalam al-Qur'an berdasarkan penelusuran ayat-ayat yang menyebut lafaz atau
turunannya serta ayat-ayat yang menyebut nama-nama nabi seperti Nūh, Ibāhīm,
Isḥāq, dan lainnya. Ia lalu menganalisis ayat-ayat tersebut dengan mengaitkan satu
ayat dengan ayat lain dan mendiskusikan hasil pemahamannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan serta konteks masa kini. Rahardjo kemudian
menguraikannya secara tematis ke dalam susunan sub-babnya. Dengan sistematika
penyajian tersebut, pembahasan mengalir menjelaskan kesatuan tema yang
diangkat.46
Secara keseluruhan, Ensiklopedi Al-Qur'an ditulis dalam struktur tulisan di
atas. Secara umum struktur tersebut terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup.
Pembahasan pada setiap bagian struktur diikat oleh tema yang dipilih dan bukan
pada ayat tertentu -seperti penyajian tafsir taḥlīlī atau ijmālī- sehingga tulisan benar-
benar fokus menjelaskan tema yang sedang dikaji. Misalnya, setelah menjelaskan
konsep Nabī dalam al-Qur'an, Rahardjo membahas Nabi Muhammad Saw dan Nabi
Ibrāhīm dengan mendiskusikan ayat-ayat yang juga memuat keterangan nabi-nabi
lain. Pemilihan Nabi Muhammad Saw didasarkan pada posisi beliau sebagai khātam
al-anbiyā' sedangkan Nabi Ibrāhīm sebagai "bapak semua agama". Dua tokoh
tersebut dijadikan sampel untuk menjelaskan secara kongkret konsep "nabi" dalam
al-Qur'an.47
Sistematika penyajian tematik modern akan lebih tampak seperti dalam tabel
3.6. sebagaimana berikut:
Tabel 3.6. Beberapa Contoh Tema dan Sub-Tema Bagian Dimensi Sosial-
Keagamaan
Tema Sub-Tema
Nabī - Kenabian dalam Sejarah

45
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 297.
46
Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada entri "Nabī" dalam Ensiklopedi al-
Qur'an.
47
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 323.

62
- Nabī dalam al-Qur'an
- Muhammad, Nabi Pamungkas
- Nabi Ibrāhīm
- Dari Nabī ke Madīnah
Madīnah - Madīnah dalam al-Qur'an
- Agama dan Peradaban
- Pembentukan Kota Madinah
- Dari Madīnah ke Khalīfah
Khalīfah - Khalīfah dalam al-Qur'an
- Manusia, khalīfah di Bumi
- Khilāfah dan Khalīfah
- Teori Politik Islam
- Dari Khalīfah ke 'Adl
'Adl - 'Adl dalam al-Qur'an
- Keadilan Ilahi
- Dimensi-dimensi Keadilan
- Dari 'Adl ke Ẓālim
Ẓālim - Antara Keadilan dan Kezaliman
- Ẓālim dalam al-Qur'an
- Perintah Menegakkan Keadilan
- Dari Ẓālim ke Fāsiq
Fāsiq - Terma-terma Etis al-Qur'an
- Fāsiq dalam al-Qur'an
- Antara Kāfir, Ẓālim dan Fāsiq
- Dari Fāsiq ke Shūrā
Shūrā - Shūrā dalam al-Qur'an
- Mushāwarah atau Demokrasi?
- Penafsiran tentang Shūrā: Studi Kasus
Khālifat al-Rāshidīn
- Dari Shūrā ke Ūlū al-Amr-i
Ūlū al-Amr-i - Ūlū al-Amr-i dalam Politik Indonesia
- Ūlū al-Amr-i dalam al-Qur'an
- Teori Islam tentang Negara dan
Masyarakat
- Dari Ūlū al-Amr-i ke Ummah
Ummah - Ummah dalam al-Qur'an
- Teori Kontrak Sosial
- Model Masyarakat Mandiri
- Universalisme dan Kosmopolitanisme
- Dari Ummah ke Jihād
Jihād - Jihād, Sebuah Perang Suci?
- Pandangan Orientalis tentang Jihād
- Jihād dalam al-Qur'an
- Jihād dan Ijtihād
- Dari Jihād ke 'Ilm
'Ilm - Etos Ilmu dalam Islam
- 'Ilm dalam al-Qur'an
- Agama dan Ilmu Pengetahuan
- Teori Ilmu dalam Islam
- Dari 'Ilm ke Ūlū al-Albāb

63
Ūlū al-Albāb - Ūlū al-Albāb dalam al-Qur'an
- Perihal Cendekiawan Muslim
- Ciri-ciri Ūlū al-Albāb
- Dari Ūlū al-Albāb ke Rizq
Rizq - Teori Ibn Khaldūn tentang Kerja
- Rizq dalam al-Qur'an
- Tauḥīd dan Demokrasi Ekonomi
- Moral Ekonomi al-Qur'an
- Dari Rizq ke Ribā
Ribā - Kontroversi Ribā
- Sejarah Ribā
- Ribā dalam al-Qur'an
- Ribā, Bunga dan Bank
- Dari Ribā ke Amr Ma'rūf Nahy Munkar
Amr Ma'rūf Nahy Munkar - Amr Ma'rūf Nahy Munkar dalam
Teologi
- Amr Ma'rūf Nahy Munkar dalam al-
Qur'an
- Tafsir tentang Amr Ma'rūf
- Tafsir tentang Nahy Munkar
- Masyarakat Utama
Sebagai catatan, dari penyajian tabel 3.6. di atas, diketahui bahwa Rahardjo
tidak selalu menguraikan konteks tema yang dibahas secara panjang lebar. Ada
kalanya ia hanya memberikan sedikit pengantar kemudian langsung membahas tema
kajian dalam al-Qur'an. Contohnya terdapat pada entri Madīnah, Khalīfah, 'Adl,
Shūrā, Ummah, dan Ūlū al-Albāb. Pada beberapa tema tersebut Rahardjo hanya
memberikan pengantar sekilas tanpa membuat sub-bab khusus seperti yang
dilakukannya pada tema-tema lain.
b. Bentuk Penyajian
Ditinjau dari bentuk penyajian, Ensiklopedi Al-Qur'an termasuk bentuk
penyajian rinci, yaitu penyajian yang menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran
secara detail, mendalam, dan komprehensif. Cara kerjanya adalah dengan
menganalisis terma-terma kunci pada setiap ayat untuk menemukan makna yang
tepat dan sesuai dengan konteks ayat. Penafsir kemudian menyimpulkan
penafsirannya berdasarkan hasil analisis pada ayat setelah memerhatikan sabab
nuzūl dengan pendekatan sosiologis, antropologis, atau analisis lainnya.48
Sebagai contoh, Rahardjo menjelaskan 13 bentuk tranformasi kata khalafa
dalam al-Qur'an saat membahas entri Khalīfah. 49 Setelah memaparkan bentuk-
bentuk transformasi itu, Rahardjo menulis:
"Dalam al-Qur'an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali,
dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar di antara kata kerja menggantikan,

48
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 159.
49
Ketiga belas kata itu yaitu adalah khalaf, khalf, khalīfah, khulafā', khawālif, khilāf,
khilfah, khallafa, khālafa, akhlafa, takhallafa, ikhtalafa, dan istakhlafa. Lihat rinciannya:
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 347-
348.

64
meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya
telah 'menyimpang,' seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam.
Guna memperoleh sedikit gambaran tentang arti khalīfah dalam konteks al-Qur'an,
berikut ini diturunkan beberapa ayat dari Q., s. al-A'rāf. Kata itu disebut sebanyak 7
kali."50
Kemudian Rahardjo menjabarkan secara rinci 7 ayat yang dimaksud. Yaitu,
QS. al-A'rāf (7): 17, 69, 74, 142, dan 169. Berdasarkan pembacaan tersebut,
Rahardjo kemudian mengambil kesimpulan.
"Dapat disimpulkan di sini, khalīfah bisa dipakai untuk menyebut suatu generasi atau
kaum dan dapat pula individu sebagaimana Hārūn adalah khalifah Mūsā. Pengganti
yang menerima kekuasaan serta wewenangnya dari orang lain ini bisa bersifat
sementara."51
Dawam Rahardjo juga menelaah kata khalīfah dan bentuk jamaknya pada
berbagai ayat seperti QS. al-Baqarah (2): 30, QS. al-An'ām (6) 165, QS. Yūnus (10):
14 dan 73, dll.. Dari berbagai konteks ayat tersebut, ia menyimpulkan tiga makna
khalīfah. Ia menulis:
"Dengan demikian, maka paling tidak kita telah mencatat tiga makna khalīfah.
Pertama adalah Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalīfah dalam kehidupan.
Kedua, khalīfah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khalīfah
diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Dan ketiga, khalīfah adalah kepala
negara atau pemerintahan."52
Berdasarkan uraian di atas, penafsiran Rahardjo telah memenuhi kriteria
bentuk penyajian rinci sebagaimana dirumuskan oleh Islah Gusmian.
c. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi
Al-Qur'an adalah gaya bahasa populer, yaitu model penulisan yang menempatkan
bahasa sebagai medium komunikasi dengan menggunakan kata yang sederhana dan
mudah.53 Menilik beberapa kutipan di atas, penjelasan Rahardjo mudah dipahami
karena pemilihan kata-katanya yang sederhana. Rahardjo jarang sekali
menggunakan kata-kata ilmiah yang menyulitkan pembaca awam untuk
memahaminya. Selain itu, Rahardjo juga tidak berbelit-belit dalam menguraikan
suatu permasalahan. Bahkan, ketika menjelaskan suatu teori pun Rahardjo tetap
konsisten dengan gaya bahasa populernya. Misalnya, ketika menjelaskan teori
politik Islam secara lugas dan sederhana Rahardjo menguraikan sejarah konsep
khalīfah dan khilāfah mulai dari teori Ibn Khaldūn hingga teori-teori beberapa tokoh

50
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 349.
51
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 353.
52
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 357.
53
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 180.

65
besar muslim seperti Abū Ḥasan al-Ash'arī, al-Mawardī, al-Ghazālī, dan kelompok
Mu'tazilah yang memperdebatkan dasar-dasar pembentukan khilāfah.54
Penggunaan gaya bahasa populer ini dapat dimaklumi karena Jurnal Ulumul
Qur'an memang ditujukan untuk khalayak umum. Sebagai media massa adalah
lumrah menggunakan gaya bahasa populer untuk menjangkau luas pembaca. Selain
itu, penggunaan gaya bahasa ini tidak terlepas dari kompetensi Rahardjo dalam
menulis dan kemampuannya mengolah bahasa. Sebagai pertimbangan, biasanya
tulisan akademisi murni terasa kaku karena begitu formal dan sering menggunakan
istilah-istilah ilmiah. Rahardjo sebagai akademisi tidak termasuk dalam anggapan
miring tersebut. Bahkan, fakta bahwa Rahardjo juga menulis karya sastra seperti
cerita pendek (cerpen) dan puisi di samping menulis karya tulis ilmiah seperti artikel
jurnal semakin menegaskan kemahirannya dalam menulis.
d. Bentuk Penulisan
Tulisan-tulisan dalam Ensiklopedi Al-Qur'an berasal dari artikel jurnal.
Jurnal sendiri merupakan salah satu macam karya ilmiah. Penulisan artikel jurnal
biasanya mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah seperti pembubuhan catatan
rujukan baik dalam bentuk catatan perut (bodynote) atau catatan kaki (footnote).
Dalam bentuk inilah M. Dawam Rahardjo menuliskan tafsirnya. Islah Gusmian
menyebutnya sebagai bentuk penulisan ilmiah, yaitu suatu penulisan tafsir yang
sangat ketat dalam memperlakukan mekanisme penyusunan redaksionalnya.55
Penulisan ilmiah ini sangat kental dalam Ensiklopedi Al-Qur'an. Dawam
Rahardjo selalu menyebut sumber rujukan keterangan atau pendapat tokoh yang
dikutipnya baik disebut secara langsung atau dalam bentuk catatan perut. Namun,
pencatatan tersebut tidak terlalu ketat. Terkadang Rahardjo hanya menyebutkan
nama tokoh tanpa menyebutkan karya yang dirujuk56 atau menyebutkan judul buku
tanpa disertai detail informasinya seperti halaman atau jilidnya. Selain itu, khusus
terkait keterangan yang bersumber dari kitab tafsir atau hadis Rahardjo bahkan tidak
menyebut dengan jelas siapa atau kitab apa yang menjadi rujukannya. Ia hanya
menyebutkan secara umum, misalnya dengan ungkapan "para ahli tafsir57 atau "ada
patokan sebuah hadis" dan semacamnya.58
Di samping penulisan catatan, hal terpenting dalam bentuk tulisan ilmiah
yang tidak disinggung oleh Islah adalah adanya struktur tulisan dengan mengikuti
alur logika deduktif atau induktif. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tulisan
Rahardjo terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Logika yang digunakan acapkali

54
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 357-364.
55
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 182.
56
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 363.
57
Beberapa contoh yang lain bisa dilihat pada: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 299, 304, 305, 331, 393, 433, 442, 455,
543 dan 570.
58
Beberapa contoh dapat dilihat pada: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 446, 444, 447, 468, dan 561.

66
berupa deduktif meski tak jarang pula induktif. Hal ini dapat dilihat dari susunan
sub-tema yang menunjukkan pembahasan umum-khusus atau khusus-umum.
Aspek yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan teori-teori dalam
pembahasan. Rahardjo selalu mendiskusikan hasil pemahamannya terhadap ayat-
ayat al-Qur'an dengan teori-teori ilmiah. Misalnya, pembahasan ummah dengan teori
kontrak sosial59 atau teori etos kerja dalam pembahasan rizq.60
e. Sifat Mufassir
Yang dimaksud dengan sifat mufassir adalah penyusunan karya tafsir oleh
mufassir baik secara individual, kolektif -dua orang atau lebih- atau tim. Jika suatu
karya tafsir ditulis seorang diri, Islah mengkategorikannya sebagai karya tafsir
individual. Sedangkan bila suatu karya ditulis oleh beberapa orang baik secara
kolektif atau tim, ia mengkategorikannya sebagai karya tafsir kolektif atau tim.
Dalam pengertian ini, Ensiklopedi Al-Qur'an masuk dalam kategori tafsir individual
karena ditulis oleh M. Dawam Rahardjo seorang diri.61
f. Keilmuan Mufassir
Keilmuan mufassir yang dimaksud di sini adalah latar belakang keilmuan
penafsir baik secara formal maupun non-formal. Ditinjau dari sudut pandang ini,
Ensiklopedi Al-Qur'an ditulis oleh M. Dawam Rahardjo, seorang sarjana ekonomi
yang juga menekuni bidang sosial-budaya dan politik. Sebagaimana telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, Rahardjo tidak memiliki latar belakang keilmuan
al-Qur'an atau tafsir secara formal yang dapat mengantarkannya disebut sebagai ahli
dalam kedua bidang keilmuan tersebut. Di dalam kata pengantar bukunya, Rahardjo
mengaku memiliki modal untuk bisa memahami al-Qur'an dari madrasah diniyah
yang dirangkap dengan sekolah umum. Di sekolah ia belajar bahasa Arab seperti
nahw-ṣarf, dan balāghah serta ilmu tafsir. Selebihnya, Rahardjo belajar otodidak
melalui buku-buku bacaannya.62 Ia juga terbantu dengan diskusi mengenai al-Qur'an
dan tafsirnya dengan para koleganya yang memiliki latar belakang keilmuan bahasa
Arab dan tafsir al-Qur'an di LSAF.63
Namun, meskipun tidak memiliki latar belakang keilmuan al-Qur'an dan
tafsir, Rahardjo memiliki minat dan perhatian besar terhadap al-Qur'an. Sebagai
sarjana ekonomi dan bergelut di bidang sosial-budaya-politik, tulisan-tulisannya
yang mengkaji isu-isu sosial tak jarang mengutip keterangan-keterangan dari al-
Qur'an. Hal ini tidak terlepas dari perhatiannya atas kondisi masyarakat Indonesia
yang mayoritas muslim di mana umat muslim menjadikan al-Qur'an sebagai
pedoman hidup. Latar belakang keilmuan ekonomi, sosial, budaya, dan politik inilah

59
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 494.
60
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 575.
61
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 187.
62
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xx.
63
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xxii.

67
yang kemudian menjadi nilai tambah Rahardjo ketika memahami al-Qur'an. Terlebih
lagi kegiatannya di LSM yang terjun langsung ke masyarakat menjadikannya tahu
betul kondisi dan realitas di sana.64
g. Asal-usul Literatur
Ada dua bentuk asal-usul literatur tafsir, yaitu akademik dan non-akademik.
Literatur tafsir akademik adalah karya tafsir yang awalnya ditulis untuk kepentingan
akademik seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Adapun literatur tafsir non-akademik
adalah karya tafsir yang ditulis bukan untuk kepentingan akademik, tetapi sebagai
bentuk apresiasi umat Islam atas kitab sucinya.65 Literatur tafsir non-akademik ini
dibagi lagi ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama adalah tulisan yang pernah
dipublikasi sebelum dibukukan, kedua adalah tulisan yang disusun oleh tim
kelembagaan tertentu, dan ketiga adalah tulisan yang mulanya berasal dari ceramah
yang disampaikan pada khalayak. 66 Berdasarkan pemetaan ini, Ensiklopedi Al-
Qur'an termasuk literatur tafsir non-akademik kategori pertama.
h. Sumber-sumber rujukan
Islah Gusmian mengklasifikasikan sumber-sumber rujukan ke dalam dua
kategori, yakni literatur tafsir dan literatur non-tafsir. Sayangnya, Islah hanya
menunjukkan hasil penelitian terhadap sumber rujukan dari literatur tafsir saja. Ia
tidak menampilkan literatur non-tafsir yang digunakan oleh tafsir yang dikaji.
Sebagaimana tampak pada tabel 3.4., M. Dawam Rahardjo dalam menulis
Ensiklopedi Al-Qur'an merujuk ke beberapa literatur tafsir baik berbahasa Arab,
Inggris, Indonesia, dan Jawa. Padahal, Rahardjo juga merujuk pada literatur non-
tafsir. Misalnya ketika menjelaskan ūlū al-amr dalam konteks Indonesia ia merujuk
Berangkat Dari Pesantren karya Saifuddin Zuhri. Ia mengutip penjelasan Saifuddin
Zuhri tentang keputusan Konferensi Ulama di Cipanas pada tahun 1952 yang
menjadikan Soekarno sebagai waliy al-amr ḍarūrī bi al-shaukah yang kemudian
disalahpahami oleh sebagian orang dengan memutarbalikkan istilah tersebut dengan
ūlū al-amr. Rahardjo bahkan menjadikan kutipan tersebut sebagai titik tolak
pembahasan ūlū al-amr dalam al-Qur'an.67
Jika dilihat dari sumber rujukan yang tertera dalam daftar pustaka, dapat
diketahui bahwa Rahardjo banyak merujuk pada buku-buku yang membahas al-
Qur'an. Mayoritas buku rujukan tersebut berupa karya luar negeri, baik yang
berbahasa Inggris atau yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

64
Misalnya adalah tulisan-tulisan dalam Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku
Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Dalam beberapa artikel ilmiah yang dimuat,
Dawam Rahardjo menyinggung ayat al-Qur'an atau hadis meskipun dalam porsi yang sangat
sedikit dibandingkan keseluruhan isi buku. Hanya pada artikel-artikel tertentu ia membahas
banyak ayat-ayat al-Qur'an sesuai tema bahasannya. Misalnya adalah artikel
"Kecendekiawan adalah Amanah" yang membahas konsep ūlū al-Albāb. M. Dawam
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, Dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan
Muslim (Bandung: Mizan, 1993).
65
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 193.
66
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 196.
67
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
462.

68
Rahardjo tampak tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir populer berbahasa Arab. Ia
juga tidak satu pun merujuk kitab-kitab induk hadis. Ia hanya mengutip buku-buku
keislaman yang membahas tema-tema tertentu.
Yang menjadi catatan penulis, Rahardjo memang sesekali merujuk pada
pendapat para ulama tafsir meski tidak menyebutkan secara jelas siapa tokoh dan
karya yang menjadi rujukannya. Rahardjo juga sempat merujuk hadis tanpa
menyebutkan sumbernya. Hal ini menunjukkan, kemungkinan besar keterangan
tafsir dan hadis tersebut didapat dari buku-buku lainnya, alias sumber kedua. Hal ini
menjadi salah satu faktor mengapa tulisan Rahardjo masih diragukan keabsahannya
sebagai tafsir dalam perspektif 'ulūmul Qur'an yang ketat. Terlepas dari sengaja atau
tidaknya, Rahardjo berupaya menjelaskan al-Qur'an dengan al-Qur'an itu sendiri.
Sesekali ia memang merujuk pemikiran tokoh muslim klasik, tetapi hanya sekadar
mendiskusikan teorinya dalam pembahasan tema yang diangkat. Misalnya, ia
mengangkat Ibn Khaldun dengan teori politiknya. Selebihnya, penulis belum
menemukan ia merujuk tokoh-tokoh sentral muslim seperti ulama mazhab atau
ulama penyusun kutub al-sittah.
Sebaliknya, Rahardjo banyak merujuk ulama kontemporer saat itu seperti
Abu al-A'lā al-Maudūdī, Sayyid Quṭb, Ali Shariati, dll.. Ia tak jarang pula mengutip
pendapat ilmuwan barat dalam mendiskusikan ayat-ayat seperti W. Montgomery
Watt. Penulisan Rahardjo semacam ini mempertegas posisinya yang sedang
mengusung penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an secara ilmiah dan kontemporer.
Inilah yang menjadi catatan sekaligus kesimpulan umum para peneliti sebelumnya.68
Menurut penulis pribadi, keberagaman literatur baik tafsir atau non-tafsir
yang menjadi rujukan Rahardjo semakin memperkuat fakta bahwa penafsirannya
berbentuk ensiklopedia. Penafsiran al-Qur'an secara ensiklopedis menuntut luasnya
wawasan keilmuan penafsir sehingga suatu tema dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandang keilmuan. Penafsiran semacam ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama,
mazhab, atau sekte. Buktinya, selain mengutip orientalis, Rahardjo juga merujuk
pendapat tokoh Syi'ah69 dan Ahmadiyah70 yang sering dianggap sebagai aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam oleh masyarakat muslim. Hal ini juga menunjukkan
usaha Rahardjo untuk menjadi peneliti yang objektif tanpa harus meninggalkan sisi
kritis.
2. Aspek Hermeneutika Ensiklopedi Al-Qur'an
a. Metode Tafsir
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja
yang digunakan dalam proses penafsiran al-Qur'an yang menyangkut aspek teks
dengan problem semiotik dan semantiknya dan aspek konteks dalam teks yang
merepresentasikan ruang sosial-budaya di mana teks muncul. Islah membaginya ke
68
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 198-
201, 208. M. Samsul Hady, ‘Tafsir Qur’an Kontemporer: Pembacaan Awal Terhadap
Ensiklopedi Al-Qur'an M. Dawam Rahardjo’, El-Harakah, 7.1 (2005), h. 7.
69
Lihat misalnya: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, h. 378 dan 445.
70
Lihat misalnya: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, h. 298,301, 328, 354, 391, 408, 409, dan 555.

69
dalam tiga kategori, yaitu metode tafsir riwayat, metode tafsir pemikiran, dan
metode tafsir interteks.
Metode tafsir riwayat sama seperti pengertian metode tafsir bi al-ma'thūr
sedangkan metode tafsir pemikiran hampir sama seperti pengertian metode tafsir bi
al-ra'yi dengan sedikit perbedaan.71 Metode pemikiran menurut Islah adalah suatu
penafsiran al-Qur'an yang didasarkan pada kesadaran bahwa dalam konteks bahasa
al-Qur'an tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Dalam metode ini, penafsiran
merupakan hasil proses intelektualisasi dengan langkah epistemologis yang berpijak
pada teks serta konteksnya baik konteks internal teks atau konteks sosio-kulturnya.72
Metode ini dapat berupa berbagai analisis seperti analisis kebahasaan, historis,
antropologis, dan lainnya. 73 Adapun metode interteks adalah penafsiran yang
menggunakan teks-teks tafsir lain yang muncul sebelumnya baik sebagai anutan
yang berfungsi sebagai penguat dalam proses penafsiran atau sebagai pembanding
untuk melakukan pembacaan baru yang lebih relevan.74
Berdasarkan pemetaan tersebut, penafsiran M. Dawam Rahardjo
menggunakan metode tafsir pemikiran dengan analisis sosial-kultural, semiotik,
semantik, dan lainnya. Contohnya adalah ketika Rahardjo mengartikan kata ūlū
dalam al-Qur'an sebagai kalangan elit. Ia menjelaskan:
"Dari berbagai istilah yang didahului dengan kata ūlū, artinya 'yang memiliki', maka
kita memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang kata ūlū al-albāb. Dari kata ūlū
ini tersirat makna bahwa tidak semua orang itu memiliki. Sebab dalam al-Qur'an
disebutkan juga orang-orang yang memiliki beberapa hal seperti kekuatan atau ūlū al-
ba's (Banī Isrā'il/ 17:5) atau yang memiliki kekayaan ūlū al-fadl (dalam surat al-Nur/
24:22). Jadi orang yang disebut 'memiliki' sesuatu itu adalah mereka yang memiliki
kelebihan atau keunggulan. Dalam sosiologi dikenal pengertian tentang orang-orang
yang memiliki kelebihan atau keunggulan (notion of superiority) yang disebut dengan
istilah elite (elit). Karena itu orang-orang kaya, penguasa atau kaum militer yang
memiliki kekuatan, jika mereka merupakan kelompok minoritas tetapi unggul, disebut
sebagai kaum elit. Demikian pula kelompok kecil dalam masyarakat yang memiliki
ilmu atau pengetahuan dan mempunyai pengaruh karena keunggulannya itu juga bisa
disebut kaum elit." 75
Pemilihan istilah "elit" untuk mengartikan kata ūlū di atas Rahardjo lakukan
setelah sebelumnya mengkaji ayat-ayat yang menyebut istilah ūlū al-'ilm, ūlū al-
abṣār, ūlū al-aid, dan ūlū al-albāb serta konteksnya. Misalnya, ungkapan ūlū al-
abṣār pada QS. Āli 'Imrān (3): 13 yang menjelaskan dua kelompok yang sedang
berperang, yang satu di jalan Allah dan yang lainnya di jalan kafir. Al-Qur'an
menyatakan bahwa terdapat pelajaran bagi orang yang mempunyai penglihatan.
Untuk memahami ayat tersebut, Rahardjo menjadikan keterangan tentang dua
kelompok yang saling berperang itu sebagai kasus empiris dengan melihat

71
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 211.
72
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 217-
218.
73
Lihat tabel 3.3. tentang pemetaan metodologi kajian tafsir Islah Gusmian.
74
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 249.
75
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
556.

70
keterangannya pada data sejarah. Di sini Rahardjo menggunakan sabab nuzūl ayat
sehingga diketahui bahwa ayat tersebut berbicara mengenai Perang Badr. Ia
kemudian menganalisisnya sebagai berikut:
"Dari asbāb al-nuzūl diketahui bahwa yang dimaksud Perang Badr, dimana pasukan
agresor dari Makkah berjumlah 1000 orang, sedangkan kaum Muslim yang bertahan
di Madīnah hanya berjumlah 313 orang. Tetapi, seperti yang tercatat dalam sejarah,
kaum kafir bisa dikalahkan. 'Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata-hati,' kata ayat itu. Bagi orang
kebanyakan, fakta empiris itu tidak berbicara apa-apa. Namun bagi ūlū al-abṣār,
mereka yang mempunyai penglihatan, peristiwa itu memberikan pelajaran. Di situ,
'mereka yang mempunyai mata' adalah suatu kiasan bagi mereka yang bisa
mengambil kesimpulan dan pelajaran dari penglihatan mereka. " 76
Untuk memperkuat pendapatnya, Rahardjo menggunakan ayat lain yang
memuat istilah serupa, yaitu ūlū al-abṣār pada QS. al-Nūr (24): 44. Ayat tersebut
mengungkapkan bahwa Allah membuat malam dan siang silih berganti dan pada
pergantian siang dan malam itu terdapat pelajaran bagi ūlū al-abṣār. Rahardjo
kemudian menganalisis ayat tersebut secara empiris untuk memahami konteks ayat.
"Dalam ayat ini, orang yang memiliki penglihatan akan emlihat bahwa gejala 'malam
dan siang yang silih berganti' itu mempunyai makna tertentu yang bisa memberikan
pelajaran.
Tetapi bukankah, selain yang buta, semua orang itu mempunyai mata dan
penglihatan? Hanya saja tidak semua orang bisa menarik pelajaran. Dan yang bisa
menarik pelajaran adalah mereka yang dengan penglihatannya itu berpikir,
mempelajari bagaimana siang itu bisa berganti dengan malam, secara ajeg sepanjang
masa sehingga menemukan teori-teori tentang hubungan antara matahari, bulan, dan
bumi. Orang lalu menghitung perjalanan bulan mengelilingi bumi serta bumi
mengitari matahari dan membagi-baginya dengan bilangan hari, bulan, dan tahun.
Keteraturan gerakan bumi, bulan dan matahari tentu membuat manusia kagum. Tetapi
dengan mempelajarinya pula, seorang ūlū al-albāb bisa mengetahui manfaatnya bagi
manusia." 77
Uraian Rahardjo di atas secara implisit ingin menunjukkan kepada pembaca
bahwa ūlū al-abṣār bukanlah orang biasa. Ungkapan Rahardjo "Tetapi bukankah,
selain yang buta, semua orang itu mempunyai mata dan penglihatan? Hanya saja
tidak semua orang bisa menarik pelajaran." mengindikasikan bahwa tidak semua
orang dapat disebut sebagai ūlū al-abṣār. Dengan kata lain, mereka yang masuk
kategori ūlū al-abṣār sebagaimana yang disebut al-Qur'an adalah orang-orang
khusus. Analisis Rahardjo ini kemudian ia tambahkan dengan memberi contoh ayat
lain yang menyebut istilah tersebut. Rahardjo menampilkan QS. Ṣād (38): 45 yang
secara terang-terangan menisbatkan ūlū al-abṣār pada sosok Nabi Ibrāhīm, Nabi
Isḥāq, dan Nabi Ya'qūb. Rahardjo menulis:
"Sekarang jelas, contoh dari orang-orang yang disebut sebagai ūlū al-abshār, yakni
tiga nabi berturut-turut, Ibrāhīm, lalu anaknya Isḥāq dan cucunya, Ya'qūb. Mereka itu
tidak hanya mempunyai 'mata' tetapi juga mempunyai 'tangan'. Keduanya adalah

76
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
553.
77
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
554.

71
kiasan untuk menggambarkan orang yang mempunyai ilmu (ūlū al-abshār) dan
kemampuan untuk bertindak (ūlū al-ayd)." 78
Berdasarkan hasil analisis di atas, maklum jika kemudian Rahardjo
mengartikan ūlū dengan istilah "elit". Pemaknaan tersebut telah melalui proses yang
cukup panjang mulai dari analisis kebahasaan, sejarah, hermenutika, hingga
semiotika. Hasil pemahaman Rahardjo dari konsep ūlū kemudian dicari padanannya
dalam keilmuan modern sehingga didapat istilah "elit" dalam sosiologi. Dari istilah
elit tersebut, Rahardjo kemudian melakukan kontekstualisasi makna sehingga
diketahui bahwa orang-orang kaya, penguasa, kaum militer, dan cendekiawan
merupakan golongan elit. Berangkat dari pengertian inilah Rahardjo menafsirkan
bahwa ūlū al-albāb adalah cendekiawan/ intelektual muslim yang memiliki berbagai
kualitas. Dengan hasil penafsiran itu, ia menanggapi diskursus cendekiawan muslim
yang saat itu cukup populer dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI), salah satu organisasi besar yang fokus pada pemberdayaan umat
masa itu. 79
Selain metode pemikiran, Dawam Rahardjo juga menggunakan metode
interteks. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Rahardjo menjadikan karya
tafsir klasik sebagai salah satu sumber penafsiran terutama dalam menganalisis suatu
istilah dalam al-Qur'an. Rahardjo juga menjadikan beberapa literatur tafsir modern
sebagai rujukan penafsiran, baik untuk menguatkan pendapatnya atau sebagai
pembanding. Bahkan ia juga merujuk keterangan dalam kitab agama lain seperti
Alkitab.80
b. Nuansa Tafsir
Nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya
tafsir seperti nuansa kebahasaan, teologi, sosial-kemasyarakatan, dan lainnya. 81
Ditinjau dari pengertian tersebut, penafsiran M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi
Al-Qur'an khususnya dimensi sosial-keagamaan bernuansa sosial-kemasyarakatan.
Nuansa sosial-kemasyarakatan mengandaikan sebuah penafsiran yang
menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur'an dari ketelitian redaksi, menyusun
kandungan ayat untuk memaparkan tujuan-tujuan al-Qur'an, dan penafsiran yang
dikaitkan dengan realitas masyarakat. 82 Secara epistemologis, metodologi tafsir
yang ditawarkan Rahardjo sudah mengindikasikan hasil penafsiran yang bernuansa
sosial-kemasyarakatan tersebut. Contoh konkretnya dapat dilihat pada pembahasan
bab setelah ini yang mengkaji aspek sosial sekaligus analisis wacana dalam
penafsiran Rahardjo.

78
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
555.
79
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
561.
80
Lihat contohnya pada: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, h. 318, 393, 408, dan 413. Menurut Budhy Munawar-Rachman,
alasan pengutipan kitab-kitab suci agama lain adalah karena sikap inklusif Dawam Rahardjo
melihat adanya kebenaran dalam semua kitab suci tersebut. Munawar-Rachman,
‘Ensiklopedi Al-Qur'an: Sebuah Manifesto Islam Inklusif’, h. 160.
81
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 253.
82
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 259.

72
c. Pendekatan Tafsir
Pendekatan tafsir adalah titik pijak keberangkatan dari proses tafsir.
Pendekatan yang berorientasi pada teks disebut pendekatan tekstual sedangkan yang
berorientasi pada konteks disebut pendekatan kontekstual. 83 Terkait hal ini, Islah
memasukkan Ensiklopedi Al-Qur'an ke dalam kategori pendekatan tekstual.
Alasannya adalah Rahardjo tidak mengarahkan gerak hermeneutiknya pada konsepsi
sosial dan struktur budaya di Indonesia dalam membangun kesimpulan. Islah
memberi contoh ketika Rahardjo menafsirkan kata kunci 'abd. Menurutnya,
Rahardjo hanya sebatas menjelaskan transformasi kata tersebut ke dalam bahasa
Indonesia seperti abdi bangsa, abdi negara, dan seterusnya. Dengan kata lain,
Rahardjo mengkaji term 'abd secara sosial-historis dalam analisis teks semata dan
belum masuk kepada konteksnya.84
Menurut penulis, pandangan Islah di atas kurang tepat. Pada pembahasan
entri 'abd, Dawam Rahardjo memang menjadikan kasus penggunaan istilah 'abd
dalam bahasa Indonesia seperti abdi bangsa secara sosial-historis sebagai titik tolak
pemahamannya terhadap konsep 'abd dalam al-Qur'an. Dari konteks tersebut muncul
masalah apakah menjadi abdi bangsa berarti menghamba kepada bangsa dan
menyalahi ajaran tauhid. Ia kemudian menguraikan berbagai macam konteks ayat
yang menyebut kata 'abd beserta turunannya. Berdasarkan hasil kajiannya, Rahardjo
menyimpulkan konsep 'abd mengajarkan bahwa penghambaan kepada Allah adalah
lambang pembebasan diri dari segala bentuk perbudakan. Menghamba kepada Allah
adalah suatu kemuliaan dan bukan penistaan, berbeda dengan menghamba kepada
selain-Nya.85 Dalam konteks ini, Rahardjo sejatinya berusaha menjawab masalah di
awal terkait penggunaan istilah abdi bangsa dan konsekuensinya. Ia
mengontekstualisasikan konsep 'abd tersebut terhadap konteks sosial masa kini. Ia
mengamini pendapat M. Quraish Shihab yang mengatakan bahwa pengabdian
kepada bangsa dan masyarakat bagi seorang muslim harus dijadikan pengabdian
kepada Allah Swt.86
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan tafsir yang digunakan oleh Rahardjo
adalah pendekatan kontekstual karena seperti yang dijelaskan oleh Islah sendiri,
pendekatan kontekstual melakukan gerakan penafsiran dari praksis (konteks)
menuju refleksi (teks). Dalam kasus di atas, Rahardjo memulainya dari persoalan
penggunaan kata "abdi" di masyarakat serta konteksnya kemudian direfleksikan
pada konsep 'abd dalam al-Qur'an. Namun, penulis mengakui bahwa uraian
Rahardjo pada entri 'Abd ini perlu dibaca dengan teliti karena model pembahasannya
yang secara umum terkesan normatif. Hal ini bisa jadi dikarenakan Rahardjo telah
menguraikan panjang lebar analisisnya di awal pembahasan sehingga tampak hanya

83
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 274.
84
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 276.
Lihat: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. 170.
85
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
189.
86
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
172.

73
berkutat dengan makna tekstual serta konteks ayat semata tanpa menghiraukan
konteks yang dihadapi Rahardjo sendiri. Untuk lebih jelasnya terkait pendekatan
kontekstual ini, dapat dilihat pada sub-bab selanjutnya.
3. Distingsi Ensiklopedi Al-Qur'an
Untuk mengetahui orisinalitas suatu karya maka perlu diketahui distingsi
yang membedakannya dengan karya-karya lain. Disingtisi tersebut dapat berupa
karakteristik yang dimiliki oleh suatu karya dan tidak dimiliki oleh karya lainnya.
Dalam pengertian ini, ada beberapa karakteristik khusus yang dimiliki Ensiklopedi
Tafsir karya M. Dawam Rahardjo.
a. Berbentuk Ensiklopedia/ Entri
Biasanya, penyajian tafsir mengikuti pola tahlīlī, ijmālī, muqāran, atau
mauḍū'ī. Berdasarkan pola-pola tersebut, karya M. Dawam Rahardjo lebih
mendekati pola mauḍū'ī. Penyajiannya yang berbentuk ensiklopedia dengan
mengumpulkan ayat-ayat setema memang lebih mendekati pada pola tersebut.
Namun harus diakui, meskipun sekilas tampak seperti mauḍū'ī, karya Rahardjo
tersebut sejatinya tidak memenuhi langkah-langkah mauḍū'ī yang dikemukakan oleh
al-Farmawī. Dengan kata lain, Ensiklopedi Al-Qur'an bergenre tematik namun
dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan tafsir tematik pada umumnya.
Sebagai tafsir yang ensiklopedis, penafsiran Rahardjo memuat banyak sudut
pandang keilmuan tanpa terpaku pada satu sudut pandang saja. Setiap entri biasanya
dimulai dengan pembahasan tema dalam al-Qur'an, kemudian dijabarkan dengan
analitis disertai wawasan umum.87 Jika perlu semacam pendahuluan, maka diberikan
satu atau dua sub-bab sebagai pengantar sebelum pembahasan dalam al-Qur'an.88 Ini
mengindikasikan adanya dialektika antara al-Qur'an sebagai objek, Rahardjo sebagai
subjek, dan konteks yang diangkat sebagai ruang lingkupnya.
Penafsiran berbentuk ensiklopedia ini pada masanya belum pernah
dilakukan oleh penulis lainnya di Indonesia. Oleh karenanya, Rahardjo dapat disebut
sebagai pencetus awal pengadaan karya tafsir model tersebut di Indonesia. Namun,
model penafsiran Rahardjo itu menuai kritikan karena dianggap memuat semua hal
kecuali tafsir itu sendiri. 89 Hal ini dapat dimaklumi karena Rahardjo memang
membahas satu istilah kunci dari berbagai perspektif dan literatur yang berbeda-beda
serta lintas mazhab pemikiran layaknya karya-karya ensiklopedia pada umumnya.

87
Bisa dilihat pada bagian sub-tema setiap tema seperti: Fithrah dalam al-Qur'ān,
Hanīf dalam al-Qur'an, Ibrāhīm dalam al-Qur'an, dan juga pada tema-tema lain (Rūh,
Madīnah, Khalīfah, 'Adl, Syūrā, Ummah, Ūlū al-Albāb). Dari 27 tema, 10 tema diterangkan
secara langsung dari al-Qur'an.
88
Seperti pada tema Dīn, Islām, Taqwā, 'Abd, Amānah, Rahmah, Nafs, Syaithān,
Nabī, Zhālim, Fāsiq, Ūlū al-Amr-i, Jihād, 'Ilm, Rizq, Ribā, dan Amr Ma'rūf Nahy Munkar.
Secara keseluruhan, ada 17 dari 27 tema yang tidak dibahas secara langsung kaitannya
dengan al-Qur'an.
89
Kritikan ini disampaikan oleh sebagian kalangan yang menilai karya Rahardjo
seperti penilaian Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī (w. 1505) terhadap Mafātiḥ al-Ghaib karya Fakhr al-
Dīn al-Rāzī (w. 1209). Taufik Adnan Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam
Rahardjo’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme2, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and
J. H. Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 276–89.

74
Faktor inilah yang jika dilihat dari kriteria ketat 'ulumul Qur'an menjadikan
penafsiran Rahardjo bukanlah suatu tafsir tetapi jika ditinjau dari konteks pada saat
itu merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan oleh umat.
b. Penjelasan munasabah antar tema
Pada setiap akhir pembahasan, M. Dawam Rahardjo selalu membuat
penjelasan singkat mengenai tema selanjutnya dan keterkaitannya dengan tema yang
sedang dikaji. Keberadaan penjelasan ini seakan merajut antar tema dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an sebagai satu kesatuan. Namun, bila ditinjau dari praktiknya,
korelasi yang dibuat oleh Dawam Rahardjo tidak seperti munāsabah dalam 'ulumul
Qur'an. Munāsabah dalam al-Qur'an biasanya berkaitan dengan korelasi antar ayat,
antar surat, antar awal dan akhir surat atau sebaliknya. Sedangkan penjelasan
mengenai munāsabah itu tidak diaplikasikan oleh Rahardjo. Jadi, penjelasan di akhir
pembahasan tersebut hanyalah upaya Dawam Rahardjo90 dalam menyusun bukunya
menjadi sebuah karya utuh yang saling berkaitan antar temanya. Usaha ini tergolong
baru dalam penulisan karya tafsir dan oleh karenanya patut diapresiasi.
Sementara itu, pada praktik penafsirannya Dawam Rahardjo juga melakukan
semacam munāsabah dalam artian mengaitkan ayat yang sedang dikaji dengan ayat
lainnya melalui padanan kata, lafaz yang semakna atau yang mengandung esensi
yang sama. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, metode tafsir
Rahardjo mengharuskan pencarian ayat-ayat yang memuat istilah kunci, baik dalam
bentuk morfologi, sinonim, atau yang berkaitan dengan esensinya. Rahardjo
kemudian menghubungkan konteks antar ayat tersebut sehingga membentuk suatu
gagasan utuh. Misalnya, untuk memahami konsep 'adl ia tidak hanya menelusuri
lafaz tersebut tetapi juga melalui istilah-istilah lain seperti qisṭ, qisṭās, aḥkām,
qawām, amthāl, iqtaṣada, ṣadaqa, ṣiddīq, dan barr.91 Istilah qawām yang berarti
"pendirian yang teguh" atau "berdiri tegak" ia artikan sebagai sikap adil. Contohnya,
dalam memahami QS. al-Furqān (25): 67, ia menjelaskan:
"Dari ayat ini, sifat adil itu dimanifestasikan dengan pertimbangan yang seimbang.
Umpamanya saja, dalam pembelanjaan kekayaan atau pendapatan, seseorang yang
adil itu tidak berlebih-lebihan, tidak terlalu kikir, melainkan di tengah-tengah antara
kedua kecenderungan itu. Orang yang bisa menahan diri dan tidak berlebih-lebihan
atau tidak ekstrem, adalah orang yang adil. Sifat adil itu bukan semata-mata bagi
kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga dengan mempertimbangkan kepentingan
orang lain."92
Rahardjo kemudian menghubungkan pengertian 'adl dengan muqtaṣidah
pada QS. al-Mā'idah (5): 66 yang ia artikan dengan makna "moderat, pertengahan,
jujur atau lurus".93 Ia juga mengaitkannya dengan ṣadaqa karena menurutnya dalam

90
Berdasarkan keterangan Islah Gusmian, upaya menjembatani isi tema di setiap entri
merupakan kreasi Budhy Munawar-Rachman. Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari
Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 142.
91
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
373.
92
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
374.
93
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
375.

75
kata adil terkandung "kebenaran" seperti pada QS. al-Isrā' (17): 80.94 Rahardjo juga
mengaitkan konsep adil dengan sifat al-Ḥakīm yang dimiliki Allah seperti pada QS.
Āli 'Imrān (3): 18 dan QS. Hūd (11): 45.95 Berdasarkan praktik tersebut, Rahardjo
melakukan munāsabah antar ayat dengan lebih menekankan esensinya daripada
tektualnya. Meskipun berisiko, Rahardjo cukup berhasil dalam mempraktikkan
metode tersebut.
c. Narasi esai ilmiah
Karya M. Dawam Rahardjo tergolong unik. Selain penyajian yang tematis-
ensiklopedis, Ensiklopedi Al-Qur'an juga memiliki ciri khas dalam penyampaian
gagasannya. Rahardjo menjelaskan pemahamannya dengan menggunakan narasi
esai ilmiah. Disebut narasi karena gaya penuturan Rahardjo seperti orang yang
sedang bercerita, mengalir apa adanya. Sementara itu, disebut esai karena bentuk
tulisannya yang mengikuti pola penulisan esai populer. Selain itu, penyebutan ilmiah
dikarenakan Rahardjo senantiasa menyisipkan teori-teori ilmiah dalam pembahasan,
salah satunya juga dengan memaparkan hasil-hasil riset para ilmuwan di seluruh
dunia. Penyampaian seperti ini bertujuan agar dapat dibaca khalayak umum tanpa
harus meninggalkan sisi keilmiahan yang diperlukan saat itu.
Penulis sepakat dengan Islah Gusmian yang mengungkap bahwa karya
Rahardjo mempunyai kekuatan dalam menjelaskan terma penting dalam al-Qur'an
secara terperinci, baik dari segi frekuensi, keragaman makna, serta
kontekstualisasinya dalam sejarah umat manusia.96 Contohnya adalah term rizq yang
diulas dalam konteks arus perubahan sosial dan pemikiran di dunia terutama di
dunia muslim. Rahardjo tidak hanya menjelaskan letak permasalahan mengapa term
itu penting dikaji untuk membangkitkan sektor ekonomi. Ia juga menerangkan
secara rinci teori-teori rezeki yang dicetuskan oleh beberapa tokoh lintas agama
mulai dari Ibn Khaldun, David Ricardo, sampai Karl Marx. 97 Setelah itu, terma
tersebut dilacak dalam al-Qur'an dari berbagai bentukan lafaznya. 98 Rahardjo
kemudian mendialogkan terma tersebut ke dalam teori-teori ilmiah seperti teori
komoditas milik Marx dan berbagai wacana ilmiah lainnya yang bersumber dari
berbagai literatur sehingga menghasilkan pandangannya tentang konsep tauḥīd dan
demokrasi ekonomi serta moral ekonomi dalam al-Qur'an.99
d. Berangkat dari Realitas Sosial
Salah satu karakteristik yang melekat pada Ensiklopedi Al-Qur'an adalah
pemilihan tema-tema yang diangkat dari realitas sosial. Tema-tema yang diangkat

94
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
376.
95
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
379.
96
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 169.
97
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
575.
98
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
576.
99
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
584.

76
M. Dawam Rahardjo merupakan hasil dari refleksi terhadap realitas sosial yang
terjadi pada masanya. Seperti dapat terlihat pada penjelasan pengantar pada setiap
entri, Rahardjo memilih tema-tema kunci dari pengalaman sosial yang dialaminya
atau yang menjadi wacana umum di mana tema tersebut relevan dengan masalah
yang sedang dihadapinya saat itu.
Kondisi tersebut berdampak pada proses analisis Rahardjo, yakni ketika
melakukan pemahaman konteks ayat menggunakan istilah-istilah yang umum
diketahui masa kini dan tidak menggunakan arti tekstualnya. Dengan cara seperti
itu, Rahardjo melakukan penafsiran terhadap teks dan konteks pada saat ayat
diturunkan dengan konteks masa kini secara langsung. Akibatnya adalah
pembahasan seakan-akan ditujukan untuk melegitimasi konteks masa kini. Padahal,
apa yang dilakukan Rahardjo adalah mencoba menganalisis konsep-konsep masa
kini dengan membandingkannya dengan konsep-konsep dalam al-Qur'an dengan
memperbandingkannya. Perbandingan tersebut kemudian memunculkan penafsiran
baik yang mendukung atau menggugat realitas sosial yang terjadi. Namun, Rahardjo
selalu berusaha untuk membuat penafsirannya relevan dengan problem nyata yang
dihadapi umat. Misalnya adalah tema 'adl dan zhālim yang muncul dari keresahan
akibat krisisnya keadilan atau tema 'ilm dan ūlū al-albāb yang diangkat dalam
menyikapi perubahan zaman.
Penafsiran yang berangkat dari realitas sosial masyarakat tersebut
menjadikan penafsiran Rahardjo dekat dan akrab dengan permasalahan di akar
rumput. Namun, perlu digarisbawahi di sini bahwa penyajian tafsir secara ilmiah
mungkin hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja. Pasalnya, tidak semua
orang paham teori-teori yang digunakan oleh Rahardjo dalam memahami suatu ayat.
Penafsiran Rahardjo lebih ditujukan kepada kalangan akademisi atau kaum
terpelajar yang masih awam dengan kajian al-Qur'an. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa penafsiran Rahardjo memang bertujuan untuk membumikan
kajian al-Qur'an khususnya tafsir di kalangan ilmuwan agar tercipta suatu kondisi
keilmuan yang seimbang antara agama dan ilmu-ilmu lainnya.100
Semua karakteristik distingtif Ensiklopedi Al-Qur'an di atas adalah wujud
usaha Rahardjo menjawab kebutuhan tafsir saat itu. Karakteristik tersebut
merupakan dampak dari wacana-wacana keilmuan yang berkembang di masanya.
Oleh karena itu, untuk membuktikan tesis ini, penulis menelusuri konstruksi tafsir
tematik-sosial, aspek sosial dan wacana yang ada pada Ensiklopedi Al-Qur'an pada
bab berikut.

100
Sehubungan dengan masalah ini, Rahardjo pernah menceritakan keluhan pembaca
jurnal Ulumul Qur'an (UQ) yang menganggap pembahasan jurnal UQ terlalu berat. Namun,
ia menegaskan bahwa penyajian jurnal UQ yang terkesan "berat" karena pembahasan yang
serius dan ilmiah merupakan jawaban atas adanya kesan bahwa pers Islam di Indonesia tidak
berbobot dan bermutu. M. Dawam Rahardjo, ‘Assalamualaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal
Ilmu Dan Kebudayaan, 5.5–6 (1994), h. 1.

77
BAB IV
KONSTRUKSI TAFSIR TEMATIK-SOSIAL M. DAWAM RAHARDJO

Bab ini merupakan bab inti dari penelitian tafsir tematik-sosial M. Dawam
Rahardjo. Pada bab ini, penulis memaparkan hasil analisis terhadap konstruksi
tafsir-tematik-sosial yang digagas Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an dan
Paradigma Al-Qur'an dimulai dari asumsi dasar, metodologi, aspek sosial dan
wacana dalam Ensiklopedi Al-Qur'an, serta relevansi tafsir tematik-sosial dalam
penafsiran al-Qur'an di Indonesia. Pembahasan asumsi dasar menerangkan konsep
tafsir dan mufassir menurut Rahardjo. Sedangkan metodologi tafsir tematik-sosial
memaparkan beberapa gagasan utama Rahardjo tentang tafsir tematik-sosial serta
langkah-langkah praktisnya. Adapun pembahasan aspek sosial dan wacana dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an menguraikan hasil pengkajian terhadap penafsiran, aspek-
aspek sosial dan wacana yang diangkat. Adapun pembahasan relevansi tafsir
tematik-sosial menguraikan posisi dan peran tafsir tematik-sosial M. Dawam
Rahardjo dalam perkembangan tafsir Indonesia.
Pembahasan asumsi dasar dan metodologi tafsir tematik-sosial merupakan
hasil kajian penulis untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang pertama,
yakni menganalisis bagaimana M. Dawam Rahardjo mengonstruksi tafsirnya.
Sedangkan pembahasan aspek sosial dan wacana penafsiran merupakan jawaban
untuk rumusan masalah yang kedua yaitu menganalisis wacana yang diangkat oleh
Dawam Rahardjo. Adapun pembahasan relevansi tafsir tematik-sosial untuk
menjawab rumusan masalah terakhir tentang pentingnya tematik-sosial yang digagas
Rahardjo dalam perkembangan tafsir di Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab awal, penulis menggunakan
pendekatan hermeneutika dan analisis wacana untuk mengkaji penafsiran M.
Dawam Rahardjo. Hermeneutika digunakan untuk memahami konteks penafsiran
sedangkan analisis wacana untuk menyingkap wacana apa saja yang melingkupi
penulisan tafsir termasuk juga kepentingan serta ideologi yang sedang diusung oleh
Rahardjo. Dua pendekatan tersebut diharapkan mampu membuktikan bahwa tafsir
tematik yang digagas olehnya berangkat dari realitas sosial dan penafsirannya
membahas isu-isu sosial yang relevan dengan masanya.
A. Asumsi Dasar: Landasan Ontologis Metodologi Tafsir M. Dawam Rahardjo
Berdasarkan keterangan dalam Paradigma Al-Qur'an, M. Dawam Rahardjo
mulai berminat menekuni al-Qur'an saat berusia 40-an tahun. Pada waktu itu,
Rahardjo menjabat sebagai direktur LP3ES. Ketertarikannya untuk mendalami al-
Qur'an terjadi setelah meraih banyak pengalaman dalam kajian ilmu pengetahuan
sosial, penelitian empiris, dan pengembangan masyarakat termasuk pengembangan
pesantren. Menurutnya, faktor usia atau pekerjaan mungkin menjadi penyebab
utamanya.1

1
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial
(Yogyakarta: PSAP, 2005), h. 1.

78
Berhubung tidak memiliki latar belakang keilmuan al-Qur'an dan tafsir,
dalam penelitian ini penting diuraikan asumsi dasar Rahardjo tentang dua hal pokok
tersebut. Selain untuk menelusuri rujukan penafsirannya, pengetahuan asumsi dasar
ini dapat digunakan sebagai pijakan memahami penafsiran yang dilakukan Dawam
Rahardjo. Oleh karena itu, dalam kajian ini, asumsi dasar tersebut menjadi landasan
ontologis penafsiran Dawam Rahardjo di samping uraian latar belakang pribadinya
yang telah penulis paparkan pada Bab III.
1. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap al-Qur'an
Menilik tulisan-tulisan dalam Ensiklopedi Al-Qur'an dan Paradigma Al-
Qur'an, penulis mendapati setidaknya ada dua pandangan pokok M. Dawam
Rahardjo terhadap al-Qur'an. Pertama, ia percaya bahwa al-Qur'an merupakan kitab
pedoman yang berisi petunjuk (al-hudā) bagi umat manusia. Kedua, berdasarkan
keyakinannya tersebut Rahardjo banyak membahas tentang fungsionalitas al-Qur'an
dalam memberikan petunjuk terhadap umat muslim dan bagaimana cara umat
muslim memperolehnya. Dua pandangan umum tersebut diuraikan berdasarkan hasil
perenungannya setelah melakukan pengamatan dan pembacaan terhadap realitas
interaksi umat muslim dengan al-Qur'an di dunia, khususnya Indonesia.
a. Al-Qur'an Kitab Petunjuk
M. Dawam Rahardjo termasuk salah satu pengkaji al-Qur'an modern-
kontemporer di Indonesia. Hampir semua pengkaji al-Qur'an modern-kontemporer
seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun, Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, Hassan Hanafi, Farid
Esack, dll. menjadikan sifat al-hudā sebagai basis pemikiran mereka tentang al-
Qur'an.2 Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, wacana al-Qur'an sebagai
al-hudā sekaligus ṣāliḥ li kulli zamān wa makān menjadi populer dalam upaya
melakukan pembaruan ajaran Islam. Begitu pula yang dilakukan Dawam Rahardjo
yang dikenal sebagai pemikir muslim progresif di Indonesia. Dalam Ensiklopedi Al-
Qur'an, ia menegaskan bahwa al-Qur'an merupakan kitab petunjuk yang berlaku
sepanjang zaman karena seluruh isinya bersifat potensial. Nilai-nilai al-Qur'an abadi
karena sesuai dengan fitrah manusia.3
Berdalil pada QS. al-Baqarah (2): 1854, Dawam Rahardjo mengungkapkan
bahwa ada tiga konsep mengenai al-Qur'an yang terkandung di dalam ayat tersebut.

2
Seperti yang telah penulis singgung pada Bab II, asas ini mula-mula dicetuskan oleh
Muḥammad 'Abduh kemudian menjadi karakteristik paradigma tafsir kontemporer. Lihat:
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 59.
Adapun penjelasan ringkas mengenai pemikiran masing-masing tokoh dapat dilihat pada
buku Studi Al-Qur'an Kontemporer karya Abdul Mustaqim, dkk.. Studi Al-Qur’an
Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. by Abdul Mustaqim and
Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), h. x-xi.
3
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. 8.
‫ات من ا ْْلُدى والْ ُف ْرقان فم ْن شهد منْ ُك ُم‬ ٍ ‫شهر رمضان الَّذي أُنْزل فيه الْ ُقرآ ُن ه ًدى للنَّاس وبـيِّـن‬
ُ ْ ُْ
4

ُ ‫يد اللَّهُ ب ُك ُم الْيُ ْسر وال يُر‬


‫يد ب ُك ُم الْعُ ْسر‬ ٍ
ُ ‫يضا أ ْو على سف ٍر فع َّدةٌ م ْن أيَّام أُخر يُر‬
ً ‫ص ْمهُ وم ْن كان مر‬ ُ ‫َّهر فـلْي‬
ْ ‫الش‬
‫ولتُكْملُوا الْعدَّة ولتُك ِّربُوا اللَّه على ما هدا ُك ْم ولعلَّ ُك ْم ت ْش ُك ُرون‬
79
Pertama, al-Qur'an sebagai kitab suci yang berisi hudan, yakni petunjuk, pedoman,
atau pimpinan. Kedua, al-Qur'an berisi bayān atau penjelasan mengenai petunjuk
tersebut. Ketiga, petunjuk al-Qur'an sebagai kriteria untuk menilai segala sesuatu
terutama dalam membedakan antara benar dan salah, buruk dan baik, serta jelek dan
indah.5
Sebagai kitab petunjuk, al-Qur'an merupakan rahmat bagi seluruh manusia.
Oleh karenanya, setiap manusia berhak mendapatkan petunjuk tanpa pengecualian.6
Adapun cara memperoleh petunjuk tersebut ialah dengan membaca al-Qur'an.
Meskipun tidak memberikan petunjuk secara mendetail, al-Qur'an telah
menyediakan petunjuk umum berbentuk pedoman moral. Menurut Rahardjo, melalui
petunjuk umum tersebut manusia harus menganalisis permasalahan yang mereka
hadapi.7
Adapun bayān dapat diketahui dengan mencarinya dalam al-Qur'an itu
sendiri. Pencarian bayān ini menimbulkan penafsiran suatu ayat dengan ayat lain
yang telah dikenal sebagai tafsir al-Qur'ān bi al-Qur'ān. 8 Selain itu, untuk
mengetahui dan memahami lebih dalam bagaimana al-Qur'an memberikan
penjelasan tentang suatu petunjuk, maka diperlukan ilmu tafsir. Melalui penjelasan/
bayān itulah al-Qur'an dapat berfungsi sebagai al-furqān yang memberikan kriteria
atau tolak ukur untuk membedakan sesuatu. 9
Berkaitan dengan uraian di atas, di dalam "Pendahuluan" Ensiklopedi Al-
Qur'an, Rahardjo menggambarkan bagaimana al-Qur'an telah menjadi sumber
agama dan kehidupan umat Islam. Mengutip pendapat Khurshid Ahmad 10 , ia
menyebutkan adanya hubungan segitiga antara al-Qur'an, agama, dan umat yang
saling berkaitan. Hubungan itu menjadikan al-Qur'an sebagai asal dan pembentuk
identitas, personalitas historis, kebudayaan dan peradaban kaum muslim. Oleh
karena itu, masa depan kaum muslim tergantung pada inspirasi al-Qur'an.11

5
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. xvii.
6
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. 11.
7
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. xviii.
Tafsir al-Qur'ān bi al-Qur'ān merupakan salah satu bentuk dari tafsir bi al-ma'thūr
8

dan menduduki posisi paling utama. Namun, dengan catatan bahwa keterangan tersebut
berasal dari riwayat yang sahih dari Rasulullah Saw. Lihat: Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, ed. by Mudzakir AS, 16th edn (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013),
h. 482.
9
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
h. xviii.
10
Khurshid Ahmad lahir di New Delhi pada tahun 1932. Ia adalah seorang ekonom
yang memiliki minat pada kajian Islam secara luas serta menjadi aktivis Jamaat-e Islami.
Lihat: Ataullah Siddiqui, Christian-Muslim Dialogue in the Twentieth Century (London:
Palgrave Macmillan, 1997), h. 123.
11
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 1-2.

80
Gambar 4.1. Hubungan Segitiga al-Qur'an-Agama-Umat

al-Qur'an

Agama Umat

Jika melihat gambar 4.1. di atas, tampak sekali betapa sentral posisi al-
Qur'an dalam kehidupan umat Islam. Al-Qur'an turut membentuk kondisi umat
karena umat membaca al-Qur'an dan menjadikannya pedoman hidup. Di samping
itu, al-Qur'an mengandung ajaran agama yang dianut dan ditaati oleh umat. Jadi, al-
Qur'an sebenarnya merupakan sumber utama dalam pembentukan umat Islam. Oleh
karena itu, dapat dipahami mengapa al-Qur'an dianggap menjadi asal dan
pembentuk identitas, personalitas historis, kebudayaan dan peradabaan serta dapat
menentukan masa depan kaum muslim. 12 Dalam hal inilah Dawam Rahardjo
mencoba untuk menjelaskan bagaimana selayaknya fungsi al-Qur'an tersebut
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
b. Fungsionalitas al-Qur'an: Sebuah Visi Sosial
Menurut KBBI, fungsionalitas berarti "upaya menjadi sesuatu yang
berguna". 13 Fungsionalitas al-Qur'an di sini bukan seperti fungsionalisme yang
disinggung oleh Farid Esack14, yakni al-Qur'an hanya akan dianggap sebagai kitab
suci jika ia telah lulus uji fungsional dan pragmatik tertentu.15 Kata ini penulis pilih
untuk menggambarkan bagaimana al-Qur'an -dalam pandangan M. Dawam
Rahardjo- dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Sejauh penelurusan penulis,
hampir dalam setiap tulisan Rahardjo yang membahas al-Qur'an menyinggung
masalah tersebut.
Fungsionalitas al-Qur'an sebenarnya masih berkaitan erat dengan sifat-sifat
yang melekat pada al-Qur'an. Selain al-hudā, sifat-sifat lain seperti al-furqān, al-
dhikr, al-shifā', dan lainnya secara umum termasuk dalam bahasan ini. Sebagai al-
dhikr, al-Qur'an dapat berfungsi sebagai peringatan yang menghasilkan analisis
kritis terhadap persoalan-persoalan yang berkembang. Sebagai al-shifā', al-Qur'an
dapat berfungsi sebagai obat bagi manusia modern yang menderita krisis

12
Hubungan segitiga ini menurut penulis menggambarkan proses terjadinya
"peradaban teks" yang disebut oleh Naṣr Ḥamid Abū Zaid. Nasr Hamid Abu Zaid,
Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 1-2.
13
Tim Penyusun, ‘KBBI Daring’, kbbi.kemdikbud.co.id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fungsionalitas> [accessed 29 November 2020].
14
Farid Esack adalah salah seorang pembaharu tafsir yang berasal dari Afrika Selatan.
Ia lahir di Cape Town pada tahun 1958. Ia dikenal sebagai pencetus tafsir pembebasan lewat
karyanya berjudul Qur'an, Liberation, Pluralism. Selengkapnya lihat: M. Abduh Wahid,
‘Tafsir Liberatif Farid Esack’, Tafsere, 4.2 (2016), h. 149–64.
15
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 84.

81
psikologis. 16 Namun, di dalam tulisan-tulisan Rahardjo, fungsi al-hudā menjadi
sorotan utama, khususnya dalam menyikapi perkembangan zaman, terutama yang
berhubungan dengan perkara sosial yang memerlukan banyak analisis spekulatif-
empiris untuk memahami masalah yang kompleks. Menurutnya, kedudukan al-
Qur'an yang paling fungsional adalah al-hudā yang berfungsi sebagai sumber nilai
yang membuka cakrawala baru dan mendinamiskan masyarakat.17 Hal tersebut dapat
terlihat dalam Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial. Pada karya
tersebut, ada tiga tulisan yang menyinggung fungsionalitas al-Qur'an.
Pertama, manusia sebagai tema sentral al-Qur'an. Pada artikel berjudul
"Manusia, Tema Sentral al-Qur'an: Dari Penciptaan, Rekonstruksi Sejarah, hingga
Kritik Sosial" ini Dawam Rahardjo menguraikan konsep manusia dalam al-Qur'an
dan bagaimana al-Qur'an memberikan petunjuk bagi manusia untuk kehidupan di
dunia dan akhirat. Mengutip hasil penelitian Dirk Bakker, Rahardjo sepakat bahwa
al-Qur'an telah menggambarkan manusia secara komplet dari berbagai dimensi
mulai dari soal kejadiannya, keterkaitannya dengan dunia dan manusia, hingga
hubungannya dengan Tuhan. Rahardjo juga merujuk pada Abū al-A'lā al-Maudūdī
yang menyatakan bahwa pokok pembicaraan al-Qur'an adalah manusia. 18 Oleh
karena itu, Rahardjo menekankan pentingnya memikirkan dan merenungi al-Qur'an.
Menurutnya, ayat-ayat al-Qur'an yang berisi banyak petunjuk tidak akan berfungsi
jika tidak direnungkan.19
Dalam tulisan tersebut, Rahardjo membahas ayat-ayat kauniyyah dan ayat-
ayat yang bermuatan sejarah. Ayat-ayat tersebut merupakan objek berpikir yang
harus dipikirkan oleh manusia sebagai subjeknya.20 Melalui ayat-ayat itu al-Qur'an
memberikan pengajaran dan pedoman hidup bagi manusia secara dialogis 21 baik
berupa kritik sosial atau rekonstruksi sejarah. 22 Oleh karenanya, al-Qur'an perlu
dibaca dengan pendekatan sosial-historis agar menghasilkan suatu makna/ pelajaran
yang dapat diaplikasikan pada masa sekarang. 23
Kedua, cita-cita sosial dalam al-Qur'an. Dalam artikel berjudul "Cita-cita
Sosial dalam al-Qur'an" ini Dawam Rahardjo mengkaji konsep masyarakat dalam al-
Qur'an. Setelah menganalisis beberapa surat yang turun pada masa awal dengan
sejarah dakwah Nabi Muhammad Saw di Mekkah dan Madinah, Rahardjo

16
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 31.
17
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 32. Masalah
fungsi al-hudā ini menjadi masalah utama yang dialami umat. Menurut Ahmad Syafii
Maarif, meski masih diimani sebagai kitab suci yang tak lekang oleh zaman, sebenarnya al-
Qur'an sudah lama tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk urusan-urusan besar umat
Islam. Misalnya, urusan kenegaraan, ekonomi, hubungan internasional, dll.. Faktanya, al-
Qur'an tidak dijadikan acuan dalam memecahkan problematika umat. Ahmad Syafii Maarif,
Al-Qur’an Dan Realitas Umat (Jakarta: Republika, 2010), h. 1.
18
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 87-88.
19
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 95.
20
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 97.
21
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 126.
22
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 134.
23
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 110, 112,
114, 118, 123, 129, 131.

82
menemukan bahwa al-Qur'an telah memberikan petunjuk tentang pembentukan
masyarakat ideal. Pembentukan masyarakat tersebut didasarkan pada QS. Āli 'Imrān
(3): 103-104. Berdasarkan dua ayat tersebut, konsep serta nilai- nilai masyarakat
dalam al-Qur'an dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masa sekarang. 24
Ketiga, refleksi sosiologi al-Qur'an. Dalam artikel berjudul "Refleksi
Sosiologi al-Qur'an: Landasan Revolusi Sosial" ini Rahardjo menggali petunjuk al-
Qur'an tentang revolusi sosial. Dengan menggunakan pendekatan sejarah dan ilmu
sosial, Rahardjo berusaha menelaah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai sosial
seperti QS. al-Anbiyā' (21): 51, 73, 74, QS. Hūd (11): 84-87, dll.. Dari tulisannya
ini, tampak bahwa al-Qur'an merupakan sumber nilai sekaligus petunjuk yang
menimbulkan terjadinya revolusi sosial pada zaman Nabi Muhammad Saw. Oleh
karena itu, dalam beberapa kesempatan Rahardjo menyinggung pembentukan
masyarakat dengan mengkontekstualisasikan nilai-nilai sosial dalam al-Qur'an 25
Berdasarkan uraian di atas, Dawam Rahardjo sebagai seorang aktivis sosial
memiliki pandangan lebih mengenai al-Qur'an. Sebagai kitab petunjuk bagi umat
manusia, Rahardjo melihat al-Qur'an mengandung nilai-nilai sosial yang perlu
diaktualisasi untuk membantu masyarakat dalam menghadapi masalah kehidupan.
Berkaitan dengan itu, fungsionalitas al-Qur'an sangat diperlukan dengan cara
melakukan pembacaan, pemahaman, dan pemaknaan al-Qur'an yang lebih
mendalam. Hal tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak pada gagasan
Rahardjo mengenai tafsir al-Qur'an.
2. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap Tafsir
a. Tafsir Menurut M. Dawam Rahardjo
Sejauh penelusuran penulis, M. Dawam Rahardjo tidak pernah menjelaskan
secara definitif apa yang ia sebut sebagai tafsir. Dalam beberapa tulisannya,
Rahardjo hanya membahas perkembangan tafsir dan lebih banyak menyinggung
fungsi tafsir itu sendiri. Tafsir merupakan hasil upaya interaksi umat muslim dengan
al-Qur'an untuk menjawab persoalan kehidupan yang mereka hadapi baik di masa
sekarang maupun masa depan.26
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, menurut Rahardjo, tafsir diperlukan
untuk memahami petunjuk al-Qur'an. Seiring perkembangan zaman, tafsir

24
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 136-151.
Tulisan ini juga dimuat dalam Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Wacana yang diangkat oleh Rahardjo dalam buku ini salah satunya adalah
perihal masyarakat madani. Sebagai catatan, pembahasan cita-cita sosial dalam al-Qur'an
masuk dalam Bagian II: Gagasan Masyarakat Ideal dalam Islam. Selain cita-cita sosial, ada
dua sub tema bahasan lain yang diangkat, yaitu: "Etos Masyarakat Utama" dan "Perwujudan
Masyarakat Khairu Ummah". Yang menarik di sini adalah bagaimana Rahardjo memaparkan
konsep masyarakat dalam Islam dengan merujuk al-Qur'an. Pembahasan tersebut
mengangkat tema yang pernah ia tulis dalam Ensiklopedi al-Qur'an, terkait "ummah" dan
"musyawarah". (Lihat: Madani, 97-130)Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas
Menengah, Dan Perubahan Sosial, h. 81-130.
25
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 152-199.
26
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 2.

83
mengalami perubahan. Dalam perubahan itu tidak jarang terdapat perbedaan.
Rahardjo mencontohkan kata qalam dulu digambarkan sebagai alat tulis tertentu.
Pada zaman modern qalam dapat ditafsirkan secara simbolis dengan komputer. Oleh
karena itu, penafsiran mufassir kontemporer seperti Fazlur Rahman, al-Maudūdī
atau Muḥammad Asad terhadap suatu istilah atau ayat al-Qur'an berbeda dengan
penafsiran ulama klasik seperti al-Ṭabarī dan al-Suyūṭī. Hal ini disebabkan oleh dua
alasan. Alasan pertama adalah karena istilah al-Qur'an menimbulkan gambaran yang
berubah. Alasan kedua adalah karena berubah dan berkembanganya pengetahuan
manusia baik yang bersifat spekulatif atau empiris.27
Rahardjo mengakui perbedaan penafsiran memang tidak dapat dihindarkan.
Namun, untuk menghindari perbedaan yang sangat mencolok -yang kemudian dapat
membingungkan umat-, penafsiran baru harus melalui proses rekonsiliasi. Rahardjo
menyebut ada tiga fase dalam proses tersebut. Pertama, penafsiran baru mengacu
kepada kata demi kata seiring dengan perkembangan bahasa. Kedua, penafsiran baru
muncul karena adanya penjelasan lain yang ditemukan dalam al-Qur'an. Ketiga,
penafsiran baru berasal dari informasi sabab al-nuzūl.28
Sehubungan dengan uraian di atas, menurut Rahardjo yang terpenting dalam
tafsir adalah penggunaan metodologi sehingga menghasilkan tafsir yang ilmiah. 29
Salah satu asumsi pokoknya adalah berkaitan dengan keuniversalan al-Qur'an.
Misalnya, ketika mencoba mencari konsep manusia dalam al-Qur'an, Rahardjo
mempermasalahkan kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran dalam perspektif
ilmiah.30
"Salah satu soal yang menjadi teka-teki ilmiah adalah, mungkinkah terjadi perbedaan
penafsiran tentang konsep manusia atau yang lain, sekalipun acuannya sama-sama
Alquran? Jawaban singkatnya: mungkin. Lebih dari itu, perbedaan penafsiran itu
dimungkinkan. Bila tidak, maka hal itu akan bertentangan dengan bahwa Alquran
adalah petunjuk yang universal, berlaku di segala tempat dan zaman. Selain itu,
bahasa, sebagai alat komunikasi, mengalami perkembangan. Kata-kata yang sama
bisa mengalami perubahan arti berkali-kali atau memberikan kesan yang berubah dari
waktu ke waktu. Sebagai simbol, kata-kata mewakili makna yang relatif dalam waktu
dan tempat."
Dari pernyataan Rahardjo di atas, ada tiga hal yang menjadi catatan penulis.
Pertama, Rahardjo berusaha melakukan penafsiran seilmiah mungkin. Ia
menegaskan berdasarkan logika yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah petunjuk
universal yang berlaku di segala tempat dan zaman memungkinkan adanya
perbedaan. Kedua, Rahardjo menganggap bahasa al-Qur'an sama dengan bahasa
pada umumnya dalam hal fungsinya sebagai alat komunikasi. Dengan anggapan ini,
menurutnya kata-kata al-Qur'an mengalami perkembangan di mana sebuah kata bisa
berubah-ubah artinya. Ketiga, Rahardjo menganggap kata sebagai simbol yang
maknanya bersifat relatif mengikuti waktu dan tempat. Berdasarkan ketiga poin

27
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 8.
28
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 9.
29
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 24.
30
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 81.

84
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rahardjo menjadikan bahasa sebagai alasan
berkembangnya penafsiran.31
Rahardjo melanjutkan bahwa salah satu yang memengaruhi penafsiran
adalah persepsi yang berasal dari pengalaman hidup penafsir. Lebih jelasnya,
Rahardjo menulis:
"Menurut epistemologi maupun sosiologi pengetahuan, persepsi yang terdapat pada
seseorang dan merupakan cermin dari realitas, sebenarnya adalah pengalaman yang
terstruktur yang terbentuk melalui suatu proses yang dipengaruhi oleh suatu kerangka
pemikiran tertentu yang bisa disebut sebagai 'teori'. Orang akan melihat dan
memberikan arti terhadap pengalamannya berdasarkan 'teori' di kepalanya. Ayat-ayat
Alquran dapat juga menjadi 'data', walaupun berupa teks. Maka, dalam
menginterpretasikan 'data' tersebut, orang juga akan mempergunakan teori sebagai
kerangka referensinya, jika ia seorang sarjana yang sadar. Mereka yang bukan sarjana
akan mempergunakan pengalaman terstrukturnya dalam membaca sesuatu. Demikian
pula halnya ketika membaca Alquran."32
Rahardjo mengungkapkan pentingnya teori yang ia sebut sebagai "konsetrat
dari pengalaman yang banyak atau intensif yang dilakukan dengan penelitian." Hal
ini dikarenakan salah satu kendala dalam memahami al-Qur'an adalah kesulitan
menghubungkan apa yang dibaca -dari al-Qur'an- dengan kerangka referensi yang
dibentuk oleh pengalamannya. Untuk itu, Rahardjo memaklumi anjuran para ulama
agar mempelajari sabab al-nuzūl sebagai pengganti pengalaman sendiri untuk
membantu memahami ayat. Namun, Rahardjo menekankan perlunya pengalaman
pribadi -terutama yang luas dan komparatif- dalam melakukan pemahaman tersebut.
Menurutnya, semakin banyak pengalaman hidup seseorang maka pemahamannya
terhadap al-Qur'an semakin dalam. Oleh karenanya, Rahardjo berasumsi bahwa
pengalaman tersebut dapat diganti dengan teori yang merupakan himpunan
(konsentrat) pengalaman yang sudah teruji secara ilmiah.33
Menanggapi penawaran di atas, ada dua hal yang disoroti oleh Rahardjo.
Pertama, pengalaman mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap al-Qur'an.
Kedua, penggunaan teori dapat mempermudah pemahaman terhadap al-Qur'an.
Sekilas tampak keduanya berkaitan dan berkesinambungan. Pernyataan bahwa
pengalaman diperlukan dalam pemahaman al-Qur'an menjadi legitimasi penggunaan
teori dalam melaksanakan pemahaman tersebut. Menurut penulis, dua hal itu
merupakan dua perkara yang berbeda. Yang pertama merupakan pengalaman
individu sedangkan yang kedua merupakan pengalaman kolektif.

31
Pemahaman Rahardjo tentang bahasa al-Qur'an sebagai bentuk komunikasi dan
kata-katanya sebagai simbol hampir menyerupai gagasan Mohammed Arkoun dalam
meneliti al-Qur'an. Dengan pendekatan semiotik, Arkoun menganggap al-Qur'an adalah
suatu komunikasi yang meniscayakan adanya interaksi antara pengirim-penerima dan subjek-
objek. Arkoun juga menganggap al-Qur'an memuat simbol-simbol yang memiliki makna
mendalam yang dapat diungkap melalui kajian historis antropologis. St. Sunardi, ‘Membaca
Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun’, in Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed
Arkoun, ed. by Johan Henrik Meuleman (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 85–138.
32
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 81-82.
33
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 82.

85
Jika menilik kesimpulan yang diberikan oleh Rahardjo, bahwa penafsiran al-
Qur'an akan berubah dari waktu ke waktu karena kerangka referensi seseorang
berkembang sejalan dengan perubahan masyarakat, maka sepertinya Rahardjo
menjadikan kondisi masyarakat sebagai barometer penafsiran. Padahal, ia juga
mengungkapkan bahwa perbedaan penafsiran disebabkan berbedanya kerangka
referensi yang dimiliki individu, termasuk dalam hal ini adalah perbedaan teori dan
kerangka pengalaman yang terstruktur. Berdasarkan penjelasan tersebut, Rahardjo
kemudian berpendapat bahwa dalam memahami ayat al-Qur'an yang sama, pembaca
dapat menggunakan berbagai sudut pandang atau teori yang berbeda. Dengan kata
lain, Rahardjo tidak mempermasalahkan adanya ragam pembacaan dan pendekatan
terhadap al-Qur'an.34
Di sini, Rahardjo membedakan antara "perkembangan" dan "perbedaan"
tafsir. Dalam perkembangan tafsir, ia menjadikan masyarakat sebagai acuan.
Sedangkan dalam perbedaan tafsir, Rahardjo menjadikan faktor-faktor internal
individu sebagai acuan. Contohnya, dalam memahami ajaran al-Qur'an tentang
manusia, seorang sosiolog mungkin cenderung memperhatikan ayat-ayat yang
terdapat term bermuatan sosiologis seperti mustaḍ'afūn, seorang ahli biologi
cenderung memahami manusia sebagai makhluk biologis sehingga membahas ayat
tentang asal-usul manusia, dsb.. Penafsiran yang dilakukan oleh sosiolog dan biolog
tersebut tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun perbedaan
cara pandang mereka dikarenakan berbedanya sudut pandang yang mereka miliki.35
Rahardjo mengakui keragaman aliran tafsir al-Qur'an. Dengan melihat sudut
pandang keilmuan yang ditonjolkan penafsir, perbedaan dalam penafsiran dapat
diidentifikasi. Misalnya, tafsir-tafsir klasik yang kaya dengan keilmuan Islam
tradisional seperti tasawuf, fikih, ilmu kalam, dan bahasa. Sementara itu, tafsir-tafsir
modern menggunakan sudut pandang keilmuan lain seperti politik dalam Tafsīr Fī
Ẓilal al-Qur'ān karya Sayyid Quṭb (1326-1374 H), sains dalam Tafsīr al-Jawāhir
karya Ṭanṭawī Jauharī (1287-1358 H), dan sosial dalam Tafsīr al-Manār karya
Muḥammad 'Abduh (1266-1323 H) dan Rashīd Riḍā (1282-1354 H). 36 Menurut

34
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 83.
35
Sebagai catatan, penulis tidak melihat contoh tepat yang diberikan oleh Rahardjo.
Terkait konsep umum yang menyangkut tema manusia, mungkin contoh tersebut tepat.
Namun, jika kembali pada bahasan awal tentang penafsiran suatu ayat, maka timbul
pertanyaan apakah seorang sosiolog dan biolog -seperti yang dicontohkan Rahardjo- akan
memiliki pemahaman yang sama? Dalam artian, apakah satu ayat dianggap memiliki
berbagai dimensi yang dapat digali oleh keahlian mereka? Terlepas dari itu, perkembangan
dan perbedaan yang dimaksud Rahardjo sepertinya lebih ditujukan kepada perkembangan
ilmu pengetahuan. Sehingga, pada intinya, suatu ayat dapat dipahami dengan berbagai ilmu
dan oleh berbagai ahli. Secara tidak langsung, Rahardjo tidak mempermasalahkan berbagai
penafsiran yang dilakukan oleh berbagai ahli ilmu, selama ia berkonsentrasi terhadap
keilmuannya. Hal ini kemudian berimplikasi pada pandangan Rahardjo terhadap "mufassir".
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 83.
36
Untuk penjelasan ringkas mengenai masing-masing tafsir tersebut dapat dilihat
dalam: A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir Dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer) (Depok: eLSiQ, 2013), h. 151-160,
161-168, dan 177-184.

86
Rahardjo, penelitian terhadap suatu ayat dengan berbagai sudut pandang itu perlu
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang suatu konsep yang
sedang dikaji. 37
Berdasarkan pemaparan di atas, bisa ditarik sebuah benang merah bahwa
tafsir yang dimaksud oleh Rahardjo adalah tafsir ilmiah, yakni suatu pemahaman
terhadap al-Qur'an dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmu tertentu. Ilmu
di sini tidak mengharuskan satu macam keilmuan, tetapi mencakup segala ilmu
pengetahuan. Dengan pengertian ini, maka setiap hasil pemahaman terhadap suatu
ayat dapat dikatakan sebagai tafsir asalkan telah melalui rangkaian metode dan
pendekatan yang dimaksud. 38 Pengertian semacam ini sedikit banyak berdampak
pada pandangan Rahardjo mengenai mufassir.
b. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap Mufassir
Di dalam kitab-kitab 'ulūm al-Qur'ān, penulis belum menemukan definisi
tentang mufassir. Para ulama seperti al-Suyūṭī, al-Zarqanī, hingga Mannā' Khalīl al-
Qaṭṭān tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai definisi term tersebut.
Walaupun demikian, mereka memaparkan ilmu apa saja yang dibutuhkan oleh siapa
saja yang hendak menafsirkan al-Qur'an serta syarat-syarat yang harus mereka
penuhi. Misalnya, al-Suyūṭī menyebutkan lima belas syarat keilmuan yang harus
dikuasai seorang mufassir seperti ilmu bahasa Arab, nahwu, ṣarf, ishtiqāq, ma'ānī,
bayān, dll.. 39 Oleh karena banyaknya syarat tersebut, tidak sedikit orang
menganggap bahwa menjadi mufassir atau menafsirkan al-Qur'an sangatlah berat.
Dalam konteks inilah Rahardjo mengutarakan pendapatnya tentang mufassir.
Menurut Rahardjo, sebuah tafsir perlu diberikan oleh seorang yang ahli.
Secara formal, ahli tafsir disebut mufassir. Sebelum menafsirkan keseluruhan al-
Qur'an, seorang mufassir dituntut untuk memiliki keluasan ilmu. Oleh karena itu,
Rahardjo memaklumi adanya persyaratan yang begitu berat untuk mendapatkan
pengakuan dan memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur'an. Namun, dengan
merujuk QS. al-Baqarah (2): 185 yang menerangkan bahwa petunjuk al-Qur'an
ditujukan untuk seluruh manusia, Rahardjo berpendapat setiap manusia mempunyai
potensi untuk mendapatkan petunjuk dengan syarat mengetahui bahasa al-Qur'an.
Dengan kata lain, meskipun bukan seorang mufassir, seseorang memiliki peluang

37
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 83-84.
38
Menilik kriteria tafsir menurut Rahardjo, tampaknya ia lebih menekankan kelogisan
penafsiran. Jika dilihat dari teori kebenaran tafsir, mungkin teori yang cocok untuk kriteria
tersebut adalah teori koherensi, yaitu di mana "sebuah produk tafsir dikatakan benar apabila
ada konsistensi logis-filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya". Hal ini
berbeda dengan teori korespondensi yang kebenarannya bergantung pada kesesuaian produk
tafsir dengan kenyataan empiris di lapangan atau teori pragmatisme yang kebenarannya
bergantung pada fungsionalitas penafsiran sebagai solusi alternatif untuk memecahkan suatu
masalah sosial. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hasil penafsiran Dawam sendiri
dapat dilihat dari tiga teori tersebut sekaligus. Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
h. xiii.
39
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 395-396.
Bandingkan dengan penjelasan al-Zarqānī dalam Muḥammad ’Abd al-’Aẓīm Al-Zarqānī,
Manāhil Al-’Irfān Fī ’Ulūm Al-Qur’ān (II), 1st edn (Bairūt: Dār al-Kitāb al-’Arabī, 1995).

87
untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an selama memiliki kecakapan bahasa yang
mendalam.40
Sehubungan dengan uraian di atas, tampaknya Rahardjo tidak membedakan
antara menafsirkan dan memahami al-Qur'an. Yang menjadi gagasan utama
Rahardjo adalah bagaimana seseorang mendapatkan petunjuk al-Qur'an.
Sebagaimana dijelaskan, ia berpendapat setiap orang memiliki potensi untuk
mendapatkan petunjuk dari al-Qur'an karena kitab tersebut merupakan hudan li al-
nās. Namun, ia tidak mengelak perlunya penguasaan bahasa Arab agar mengetahui
makna dan maksud ayat secara mendalam dan tajam. Ia memegang prinsip bahwa
bahasa merupakan simbol yang mengandung makna atau narasi terpendam.41
Hanya saja, memiliki pengetahuan bahasa Arab tidaklah cukup. Rahardjo
beralasan, pada dasarnya bahasa al-Qur'an memang dimudahkan oleh Allah
berlandaskan QS. al-Dukhān (44): 58.42 Untuk menegaskan statemennya, Rahardjo
membandingkan al-Qur'an dengan puisi gelap yang marak beredar saat itu. 43
Namun, meskipun mudah dipahami, perlu kajian khusus untuk mendalami makna al-
Qur'an. Kajian tersebut berupa melakukan pemahaman dengan menggunakan
metode tertentu. Sebagai penguat, Rahardjo menambahkan bahwa al-Qur'an dapat
diterima oleh manusia dari berbagai tingkat berpikir. Orang yang memiliki tingkat
berpikir lebih baik akan mendapat makna yang lebih mendalam.44
Sementara itu, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan bahasa Arab,
mereka dapat menggunakan terjemahan al-Qur'an untuk memahami makna al-
Qur'an. Membaca terjemahan, menurut Rahardjo, merupakan salah satu metode
memahami al-Qur'an. Ia mengkritik pandangan sinis ahli tafsir yang seringkali
menganggap orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu yang berkaitan dengan
suatu ayat tetapi tidak banyak tahu bahasa Arab tidak akan mampu memahami
makna apalagi menafsirkan al-Qur'an.45
Pendalaman makna al-Qur'an juga dapat dilakukan dengan menggunakan
metode tafsir disertai dengan analisis yang mendalam. Terkait hal ini, Rahardjo
antusias dengan penyusunan metodologi tafsir berdasarkan keterangan-keterangan

40
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix & 3.
41
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix.
42
‫فإََّّنا ي َّس ْرناهُ بلسانك لعلَّ ُه ْم يـتذ َّك ُرون‬
43
Puisi gelap adalah salah satu jenis puisi yang banyak mengandung majas, kias, dan
lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Puisi ini sulit
ditafsirkan oleh pembacanya. Tim Penyusun, ‘Puisi Gelap’, Ensiklopedia.Kemdikbud.Go.Id,
2020 <http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Puisi_Gelap> [accessed 29
November 2020].
44
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix.
45
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 11. Terkait pendapat Rahardjo tentang ketidakmampuan bahasa Arab seseorang
bukanlah halangan untuk mengkaji al-Qur'an ini menurut Carool Kersten sepaham dengan
Ziauddin Sardar. Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam
Indonesia Era Reformasi, 1st edn (Bandung: Penerbit Mizan, 2018), h. 127.

88
dari al-Qur'an sendiri. Menurutnya, metode yang dikenal dengan istilah tafsir al-
Qur'ān bi al-Qur'ān itu merupakan salah satu keistimewaan al-Qur'an.46
Namun, terlepas dari semua persyaratan atau langkah-langkah formal
maupun informal di atas, Rahardjo menekankan pentingnya sikap hati dalam
memahami atau menafsirkan al-Qur'an. Menurutnya, orang yang pandai dan
menguasai bahasa Arab belum tentu dapat memahami al-Qur'an secara tepat dan
baik jika hatinya menolak al-Qur'an. Contohnya adalah para orientalis yang tidak
mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw. Meskipun mahir berbahasa Arab,
mereka seringkali gagal melakukan pemaknaan atau penafsiran al-Qur'an.47
Sikap hati yang dimaksud Rahardjo adalah sikap hati yang menyerah kepada
kebenaran (al-Ḥaqq). Seorang pengkaji al-Qur'an hendaknya berserah diri kepada
Allah dan membiarkan hatinya mendapat petunjuk dari lafaz-lafaz al-Qur'an.
Mengutip QS. 'Abasa (80): 1-448, Rahardjo menggambarkan orang yang berserah
diri akan mendapatkan keterbukaan yang memudahkannya memahami al-Qur'an.
Sementara itu, orang yang bersikap sombong terhadap kebenaran, baik karena
kedudukan atau merasa serba cukup dalam pengetahuan, tidak akan mendapatkan
kemudahan itu karena hatinya telah tertutup.49
Berdasarkan penjelasan di atas, meskipun Rahardjo menyatakan tidak
menolak persyaratan untuk memahami dan menafsirkan al-Qur'an yang dirumuskan
oleh para ulama, ia tampaknya tidak terlalu mempersoalkan personalitas mufassir
termasuk kriteria-kriteria khusus yang wajib dimiliki. Bahkan, Rahardjo seakan
bersikap longgar dalam hal ini dengan mengatakan orang awam bahasa Arab dapat
memahami al-Qur'an dari terjemahan dan pentingnya keterbukaan hati untuk
menerima kebenaran. Dalam pandangan Rahardjo, semua orang bisa saja memahami
al-Qur'an selama mendapatkan petunjuk dan menggunakan akal dengan sebaik-

46
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix.
47
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 12.
ِّ ُ‫) أ ْو ي َّذ َّكر فـتـْنـفعه‬3( ‫) وما يُ ْدريك لعلَّهُ يـَّزَّكى‬2( ‫) أ ْن جاءهُ ْاأل ْعمى‬1( ‫عبس وتـوَّىل‬
)4( ‫الذ ْكرى‬ ُ
48

49
Pendapat Rahardjo ini berangkat dari sabab al-nuzūl ayat yang berkaitan dengan
salah seorang sahabat bernama 'Abdullah ibn Ummi Maktūm atau yang dikenal sebagai Ibn
Ummi Maktūm. Suatu saat, Ibn Ummī Maktūm datang kepada Nabi Muhammad Saw
sementara Nabi sedang berbicara dengan tokoh-tokoh Quraisy seperti 'Utbah ibn Rabī'ah dan
Abū Jahl seraya mengajak mereka masuk Islam. Ibn Ummi Maktūm kemudian menyela
pembicaraan Nabi Saw dengan mereka dan meminta Nabi Saw agar mengajarinya agama.
Akan tetapi Nabi Saw tersinggung dan berpaling darinya kemudian meneruskan
pembicaraannya dengan pembesar Quraisy. Abū al-Ḥasan ’Alī ibn Aḥmad Al-Wāḥīdī, Asbāb
Nuzūl Al-Qur’ān, 1st edn (Bairūt: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991), h. 471.
Menurut Rahardjo, tamsil Ibn Ummi Maktūm melambangkan seorang yang kurang
pengetahuan namun hatinya terbuka untuk menerima pengajaran sehingga mendapatkan
manfaat darinya. Sementara itu, para pemuka Quraisy yang merasa dirinya serba cukup tidak
mendapatkan manfaat apapun dari pengajaran yang diberikan oleh Nabi Saw. Dengan dua
tamsil ini, Rahardjo menyimpulkan bahwa sikap sombong dapat menutup pikiran dan hati
walaupun seseorang lebih berpengetahuan. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 12-13.

89
baiknya. Sikap Rahardjo ini berbanding terbalik dengan para ulama yang umumnya
sangat ketat dalam menerapkan kriteria-kriteria mufassir sebagaimana telah
disinggung.
Sehubungan dengan uraian tersebut, Rahardjo sendiri dengan rendah hati
mengaku secara formal tidak layak disebut mufassir. Pernyataannya ini bisa
diartikan bahwa secara tidak formal ia layak disebut mufassir. 50 Mungkin ini
berkaitan dengan responnya terhadap M. Quraish Shihab yang menganggap
karyanya bukan tafsir dan dirinya bukan mufassir.51 Sikap Rahardjo itu tampaknya
berhubungan dengan pandangannya tentang "ulama" yang menjadi konteks latar
belakang pemikirannya.
Memahami ulama dalam perspektif Rahardjo ini penting. Ulama bukan saja
mereka yang ahli agama atau ilmu agama. Menurut Rahardjo, para pakar ilmu
pengetahuan termasuk ulama. 52 Oleh karena itu, mereka juga merupakan pewaris
Nabi yang mewarisi misi Islam termasuk visi-visi al-Qur'an. Inilah yang menjadi
catatan Rahardjo.53
Tujuan Rahardjo menulis Ensiklopedi Al-Qur'an adalah untuk meningkatkan
penghayatan umat muslim terhadap nilai-nilai Islam agar nilai-nilai tersebut menjadi
kekuatan yang memotivasi dan mendasari kegiatan sehari-hari serta menjadi alat
perjuangan di bidang kemasyarakatan atau keilmuan. Rahardjo berharap agar
peningkatan penghayatan tersebut dapat berdampak pada peningkatan kajian tafsir
al-Qur'an yang menjadi dasar dan titik tolak pengembangan teori dan praktik
konsep-konsep Islam.54
Rahardjo mengakui, apa yang diharapkannya menemui beberapa kendala
besar di masyarakat. Kendala tersebut menyangkut masalah personalitas individu
umat. Pertama, para cendekiawan yang memiliki peluang dan kapabilitas keilmuan
untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan pengkajian al-Qur'an sering kali
merasa tidak mampu sehingga tidak melakukan pengkajian tafsir. Kedua, orang-
orang yang merasa tahu tentang tafsir atau pengantar ilmu tafsir selalu menyebarkan
momok persyaratan tafsir yang berat dipenuhi sementara mereka sendiri tidak
melakukan upaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam peralatan ilmu
tafsir yang memudahkan masyarakat awam untuk mengakses al-Qur'an. Selain itu,
orang-orang yang merasa telah memenuhi prasyarat tafsir juga tidak melakukan
banyak hal. Tafsir yang mereka sajikan tidak memuaskan baik karena tidak relevan
atau kurang komunikatif. Ketiga, tidak adanya usaha untuk mengatasi masalah ilmu
tafsir sehingga perkembangan ilmu tafsir tidak begitu signifikan. Sementara itu,
minat terhadap ilmu tafsir pada saat itu, terutama di kalangan awam, sangat minim.55

50
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
xxii.
51
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. xx.
52
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
698.
53
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
704.
54
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 15.
55
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 15.

90
Menghadapi situasi di atas, Rahardjo menyinggung amanat cendekiawan
muslim dalam menjawab seruan Allah pada QS. Ṣad (38): 29. 56 Ayat tersebut
menyeru agar kaum yang berpikir melakukan pengkajian sesuai bidang keahlian
masing-masing. Situasi yang sedang dihadapi Rahardjo saat itu mencerminkan
kondisi cendekiawan muslim yang tidak melaksanakan amanat tersebut.
Menurutnya, kendala besar di atas dapat diatasi dengan cara mencari jalan keluar
yang dapat memudahkan orang-orang mengakses al-Qur'an dan bukan menghantui
mereka dengan persyaratan ilmu tafsir yang berat.57
Berdasarkan pengalaman Rahardjo sebagai peneliti sosial, ia menemukan
bahwa nilai-nilai al-Qur'an telah membudaya di Indonesia. Fenomena yang sering ia
temui adalah penggunaan istilah-istilah al-Qur'an di masyarakat. Dengan mendalami
istilah-istilah tersebut serta menghayatinya melalui pengalaman hidup, Rahardjo
meyakini bahwa masalah pengkajian al-Qur'an akan teratasi. Oleh karena itu, untuk
turut andil dalam upaya meningkatkan dan memudahkan akses al-Qur'an, termasuk
juga tafsir, Rahardjo merancang suatu metodologi dan menawarkannya kepada
khalayak umum. Metodologi yang digagas Rahardjo beranjak dari istilah-istilah
dalam al-Qur'an. Uraian mengenai metodologi tersebut akan dijelaskan dalam sub-
bab berikut.
B. Metodologi Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo
Metodologi merupakan komponen utama dalam melakukan penelitian.
Begitu pula dalam penafsiran, metodologi tafsir memiliki peranan penting untuk
mencapai pemaknaan ayat-ayat al-Qur'an. Penggunaan metodologi tafsir tertentu
akan berdampak pada hasil penafsiran.
Sehubungan dengan hal di atas, M. Dawam Rahardjo merasa metodologi
tafsir yang membahas seluruh al-Qur'an dengan memberikan komentar pada setiap
ayat mulai dari surat al-Fātiḥah sampai al-Nās secara naratif seperti yang dilakukan
oleh ulama besar yang memenuhi syarat mufassir dalam 'ulūmul Qur'ān kurang tepat
diterapkan pada zaman modern. Hal ini dikarenakan pembahasan yang beragam dan
melompat-lompat yang biasanya terdapat pada surat-surat panjang. Menurutnya,
tafsir yang tepat pada zaman modern adalah tafsir yang memberikan catatan kaki
pada ayat-ayat tertentu seperti karya Maulānā Muḥammad 'Ālī (The Holy Qur'ān),
Muḥammad Asad (The Message of the Qur'ān), atau M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Al-
Bayan).58
Berangkat dari masalah di atas, Rahardjo menawarkan beberapa gagasannya
tentang metodologi tafsir sebagai upaya mengatasi kesenjangan yang ada. Beberapa
gagasan tersebut merupakan hasil pembacaannya terhadap berbagai buku pengantar
seperti Sejarah Pengantar Ilmu Tafsir karya M. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Sejarah
Tafsir Qur'an karya terjemahan Aḥmad al-Shirbashī, Modern Moslem Koran

56
‫اب أنْـزلْناهُ إلْيك ُمبارٌك لي َّدبـَُّروا آياته وليتذ َّكر أُولُو ْاأللْباب‬
ٌ ‫كت‬
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
57

Kunci, h. 16.
58
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 33.

91
Interpretation karya J. M. S. Baljon59, dan The Qur'an and It's Exegetes karya Gort
Helmut60 . Gagasan-gagasan tersebut juga merupakan hasil diskusi wawancaranya
dengan sejumlah ahli baik formal maupun informal terkait pengajaran dan
pembelajaran ilmu tafsir di berbagai tempat. 61
Sebelum menguraikan tawarannya, Rahardjo terlebih dahulu mengulas
perkembangan tafsir pada masa modern-kontemporer. Ia menjelaskan secara
kronologis perkembangan tafsir modern-kontemporer mulai dari tafsir seluruh ayat
al-Qur'an, tafsir persurat, hingga kemunculan tafsir mauḍū'ī beserta contoh-contoh
karya dan ulasannya. Pada akhirnya, ia lebih tertarik membahas tafsir mauḍū'ī yang
menurutnya telah dipengaruhi konsep ilmu-ilmu sosial dan perkembangan teori
modernisasi. 62 Melalui pembacaannya terhadap tafsir mauḍū'ī tersebut Rahardjo
menemukan gagasannya.
Dawam Rahardjo menyebutkan ada tiga macam titik tolak dalam melakukan
tafsir mauḍū'ī. Pertama, bertolak dari konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya atau
filsafat sosial. Misalnya adalah konsep demokrasi yang memiliki pengertian
"pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat". Konsep tersebut dapat
dicari landasan teologisnya dalam al-Qur'an seperti yang dilakukan oleh Fazlur
Raḥman. Di dalam Major Themes of the Qur'an, Rahman membahas konsep
demokrasi melalui istilah shūrā dalam al-Qur'an.63 Penafsiran terhadap istilah shūrā
tersebut kemudian menjelaskan konsep demokrasi dalam Islam berdasarkan al-
Qur'an.64
Kedua, bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur'an. Misalnya adalah istilah
taqwā, islām, iḥsān, amānah, dan ṣabr yang merupakan istilah-istilah padat makna
yang perlu ditelusuri maknanya lewat ayat-ayat dalam al-Qur'an. Cara ini
dipraktikkan oleh Rahardjo dalam tulisan-tulisannya pada rubrik "Ensiklopedi Al-
Qur'an" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an. Berdasarkan
pengalamannya, pada umumnya beberapa istilah yang menjadi tema dalam al-Qur'an
bersifat multi-dimensional. Satu bahasan tema tidak hanya terkait dengan sosial-
budaya, tetapi dapat mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan.65
Ketiga, bertolak dari istilah-istilah dan pengertian yang ada dalam ilmu-ilmu
keislaman klasik/ tradisional. Misalnya adalah istilah tauḥīd, 'aqīdah, sharī'ah, ṣūfī,
tasāmuḥ, tamaddun, dan lain sebagainya. Beberapa istilah tersebut tidak disebutkan

59
J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J.
Brill, 1968).
60
Berdasarkan pencarian penulis, nama yang benar adalah Helmut Gatje dengan judul
karya The Qur'an and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and Modern Muslim
Interpretations.
61
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 23.
62
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 3-4.
63
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, ed. by Ahmad Baiquni, 1st edn
(Bandung: Mizan, 2017), h. 63.
64
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 5.
65
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 6.

92
dalam al-Qur'an. Namun, konsepnya dapat ditelusuri melalui ayat-ayat yang
menyinggung persoalan tema tersebut.66

Gambar 4.2. Tiga Titik Tolak Tafsir Mauḍū'ī

Istilah-istilah
al-Qur'an

Konsep Ilmu- Istilah-istilah


ilmu Sosial Keilmuan
dan Budaya Islam Klasik

Tafsir
Tematik

Berdasarkan tiga titik tolak tersebut, kerangka tafsir mauḍū'ī bisa berbeda-
beda. Masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri sesuai dengan titik tolak yang
dipilih. Rahardjo memilih macam yang kedua, yaitu bertolak pada istilah-istilah al-
Qur'an, meski pada praktiknya -sebagaimana akan penulis uraikan pada sub-bab
selanjutnya- ia menggunakan ketiga-tiganya.
Sub-bab ini berusaha menjelaskan dan menggambarkan tawaran metodologi
tafsir mulai dari bentuk, paradigma, pendekatan, serta gagasan-gagasan Rahardjo
terkait pemahaman dan penafsiran al-Qur'an. Penulis membaginya pada empat
bahasan utama, yaitu, pertama tafsir ensiklopedis, kedua al-Fātiḥah in a nutshell,
ketiga pendekatan sosial-historis terhadap al-Qur'an, dan keempat langkah-langkah
penafsiran tematik-sosial.
1. Tafsir Ensiklopedis
M. Dawam Rahardjo mengakui al-Qur'an merupakan kitab unik dan istimewa.
Satu dari banyak keistimewaan dan keunikan al-Qur'an yang disoroti oleh Rahardjo
adalah apabila seseorang bertanya tentang taqwā, misalnya, maka al-Qur'an
menjawabnya langsung melalui ayat-ayatnya. Oleh karena itu, Rahardjo menyebut
al-Qur'an semacam ensiklopedia. Menurutnya, penafsiran dengan cara menelusuri
suatu istilah dari dan dengan ayat-ayat al-Qur'an sendiri tersebut jarang diketahui
bahkan tidak pernah dilakukan oleh ulama tafsir sebelumnya.67 Meskipun ahli tafsir

66
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 7.
67
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xxiv. Pernyataan ini menjadi salah satu yang paling disoroti oleh pengkaji
Ensiklopedi al-Qur'an. Pernyataan Rahardjo tersebut dinilai berani dan tanpa landasan kuat
karena pada praktiknya ulama tafsir yang menafsirkan al-Qur'an secara taḥlīlī sudah
melakukannya, yaitu menafsirkan satu kata dengan merujuk pada ayat lain yang berkaitan.
Ungkapan al-Qur'ān yufassiru ba'ḍu-hu ba'ḍan dan tafsir ayat dengan ayat sudah lumrah di
kalangan mufassir. Secara ilmiah dalam 'ulumul Qur'an juga ditegaskan melalui ilmu

93
mengaku mengetahuinya, sebenarnya mereka belum tahu. Gagasan inilah yang
hendak ditunjukkan oleh Rahardjo melalui Ensiklopedi Al-Qur'an.68
Salah satu tawaran Rahardjo adalah tafsir berbentuk ensiklopedia. Inilah yang
membedakannya dengan tafsir tematik lainnya pada saat itu. "Ensiklopedia" berarti
"karya rujukan yang berisi keterangan atau uraian tentang berbagai hal dalam bidang
ilmu pengetahuan, biasanya disusun menurut abjad atau tema". 69 Sedangkan
"ensiklopedis" adalah "mencakup (meliputi) berbagai bidang ilmu; mempunyai
pengetahuan luas" dan "menurut (mengikuti) cara ensiklopedia; berdasarkan
ensiklopedia". 70 Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa tafsir
ensiklopedis adalah tafsir yang disusun berdasarkan prinsip ensiklopedia, yakni
tentang suatu tema dari berbagai perspektif keilmuan. Dalam hal ini Rahardjo
menjelaskan:
"Yang merupakan kebutuhan sangat mendesak pada saat ini adalah penyusunan
sebuah Ensiklopedi Al-Qur'an, yang membahas tema-tema dan istilah-istilah dari
berbagai bagian al-Qur'an yang memerlukan penjelasan. Ensiklopedi seperti ini akan
sangat bermanfaat bagi penulis yang ingin menafsirkan al-Qur'an lebih lanjut
berdasarkan tema-tema khusus."71
Menilik penjelasan di atas, ensiklopedia al-Qur'an yang dimaksud Rahardjo
bukanlah sebuah tafsir al-Qur'an, tetapi sebuah karya awal untuk bahan penafsiran.
Meskipun demikian, karena pembahasannya memerlukan penjelasan, maka
sebenarnya dapat dianggap sebagai tafsir. Lebih tepatnya tafsir tematik meskipun
tidak menyerupai tafsīr mauḍū'ī seperti yang dicetuskan oleh al-Farmāwī. 72
Rahardjo kemudian menyebutkan beberapa tafsir yang menurutnya menggunakan
metode baru dan membahas tema-tema tertentu dengan analisis yang luas,
mendalam dan terperinci seperti al-Insān fī al-Qur'ān karya 'Abbās Maḥmūd al-
'Aqqād, īḍāḥ Ibdā' Ḥikmat al-Ḥakīm fī Bayān Bi-smi-llāhi al-Raḥmān al-Raḥīm
karya Muḥammad 'Ulaisy, dan Āyāt al-Birr min Āyāt al-Qur'ān al-'Aẓīm karya
'Abbās al-Jamāl.73

munāsabah. Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, h. 243.
68
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 19.
69
Tim Penyusun, ‘KBBI Daring’, Kbbi.Kemdikbud.Co.Id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ensiklopedia> [accessed 30 November 2020].
70
Tim Penyusun, ‘KBBI Daring’, Kbbi.Kemdikbud.Co.Id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ensiklopedis> [accessed 30 November 2020].
71
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 33-34.
72
Padahal, berdasarkan penelitian Uun Yusufa, metode tematik al-Farmāwī umumnya
dipilih oleh para pengkaji al-Qur'an. Lihat: Uun Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode
Tafsir Tematik Akademik: Kasus Disertasi UIN Yogyakarta Dan Jakarta’, Journal of Quran
and Hadith Studies, 4.2 (2015), h. 194.
73
Dalam tulisan aslinya, Rahardjo menyebut nama al-Iḥsān fī al-Qur'ān dan bukan
al-Insān sebagaimana penulis kutip di atas. Hal ini sesuai dengan hasil penelusuran penulis
bahwa 'Abbās Maḥmūd al-'Aqqād tidak memiliki kitab yang disebut Rahardjo itu. Begitu
pula dengan kitab īḍāḥ Ibdā' Ḥikmat al-Ḥakīm fī Bayān Bi-smi-llāhi al-Raḥmān al-Raḥīm
karya Muḥammad 'Ulaisy, Rahardjo menulisnya sebagai Idah Ibdā' Himmat al-Ḥākim fī

94
Pada konsep tafsir ensiklopedis Rahardjo, suatu istilah seperti taqwā dan
islām tidak hanya cukup dicarikan penjelasannya dalam al-Qur'an. Pemahaman al-
Qur'an membutuhkan proses dan penghayatan yang terus-menerus seiring
pengalaman hidup. Dengan melakukan penghayatan tersebut, istilah taqwā dan
islām, misalnya, akan mengalami perkembangan makna yang semakin meluas dan
mendalam. Melalui proses pengkayaan makna istilah yang bersumber dari al-Qur'an
itu, seseorang pada akhirnya akan senantiasa mendapatkan manfaat dalam
perjalanan hidupnya.Oleh karenanya, memulai mengkaji al-Qur'an dari istilah-istilah
al-Qur'an yang telah menjadi milik umum dan digunakan sebagai bahasa keseharian
sangat membantu dalam memahami al-Qur'an.74 Untuk membantu penerapan kajian
istilah al-Qur'an ini, seorang pengkaji dapat menggunakan buku indeks al-Qur'an
seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān karya Muḥammad Fuād 'Abd al-
Bāqī, Fatḥ al-Raḥmān karya 'Ālī Zādah Faiḍullāh, atau buku lain seperti Kamus al-
Qur'an karya Nazwar al-Syams dll..75
Pada praktiknya, Dawam Rahardjo menggagas kajian al-Qur'an berdasarkan
urutan nuzūl ayat. Pertama, memperhatikan ayat-ayat yang turun lebih awal.
Misalnya diketahui bahwa beberapa ayat yang turun di awal adalah QS. al-'Alaq
(96): 1-5, kemudian QS. al-Qalam (68), QS. al-Muzzammil (73), QS. al-
Muddaththir (74), al-Fātiḥaḥ, dan seterusnya. Terkait urutan nuzūl ini, Rahardjo
merujuk pada al-Qur'an dari Masa ke Masa karya Moenawar Chalil.
Selanjutnya adalah mendeteksi istilah-istilah kunci pada ayat-ayat. Misalnya
pada QS. al-'Alaq (96): 1-5 terdapat kata kunci iqra', ism, rabb, khalaqa, insān,
'alaq, akram, 'allama, dan qalam. Setiap istilah kunci tersebut dicari keterangan dan
maksudnya pada ayat-ayat yang menyebut istilah yang sama atau turunannya pada
ayat yang turun setelahnya sesuai urutan nuzūl. Dengan cara demikian, Rahardjo
meyakini seorang pengkaji akan memperoleh arti dan makna suatu istilah atau ayat
secara mendalam dengan pengertian dan persepsi yang semakin luas.76

Bayān Bi ism al-Lāh al-Raḥmān al-Raḥīm karya Muḥammad Ulayah. Sementara itu, penulis
tidak berhasil melacak keberadaan kitab Āyāt al-Birr min Āyāt al-Qur'ān al-'Aẓīm karya
'Abbās al-Jamāl.
74
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 19.
75
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 20.
76
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 20. Gagasan Dawam mengenai kajian al-Qur'an berdasarkan urutan nuzūl al-Qur'an
ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, ulama tafsir telah menggunakan ilmu Makkī dan
Madānī untuk mengetahui karakteristik suatu ayat beradasarkan urutan nuzūl-nya. Kemudian
kajian tersebut mendapat perhatian dari para orientalis seperti Gustav Weil, Theodor
Noldeke, dll.. Mereka mengembangkan konsep Makkī-Madānī ke dalam beberapa fase yang
lebih terperinci. Pada perkembangan selanjutnya, kajian ayat berdasarkan urutan nuzūl ini
menjadi cikal bakal salah satu macam tafsir yang bernama tafsir nuzūlī. Lihat penjelasan
kajian kronologis ayat al-Qur'an pada "Appendiks" dalam Taufik Adnan Amal and Syamsu
Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, 3rd edn
(Bandung: Mizan, 1413), h. 87-107. Lihat juga terkait perkembangan tafsir nuzūlī dalam
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah (Bandung: Mizan, 2016), h. 41-126.

95
Rahardjo mencontohkan, kata rabb pada ayat pertama surat al-'Alaq dapat
dicari perkembangan makna dan maksudnya dengan menelaah QS. al-'Alaq (96): 1-
3, QS. al-Muzzammil (73): 8, 9, 19 dan 20, QS. al- Muddaththir (74): 3 dan 7, QS.
al-Inshirāḥ (94): 877, dst.. Dengan cara tersebut, ia menemukan makna kata rabb
sebagai Tuhan Pencipta; Yang Memelihara dan Dimuliakan; Yang Mendidik dan
Mengajarkan ilmu kepada manusia; Tuhan tempat manusia mengabdi; Tuhan timur
dan barat78, satu-satunya pelindung; Yang Memberi jalan; Yang Menentukan ukuran
siang dan malam, hanya untuk-Nya kita bersabar dan berjuang; Tuhan Yang Maha
Agung dan patut diagungkan; Tuhan Yang Mengetahui siapa yang sesat dan yang
diberi petunjuk; Yang Memberi ganti kerugian; tempat mengajukan permohonan;
Yang Memberi nikmat di surga; Yang Memberi keputusan; Tuhan semua bangsa;
Tuhan Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan; Menyempurnakan, Memberi ukuran
dan Memberi Petunjuk; dan seterusnya.79
Contoh lainnya adalah QS. al-Anbiyā' (21): 107, yakni "wa mā arsal-nā-ka
illā raḥmatan li al-'ālamīn". Terjemahannya adalah "Dan tiada Kami mengutus
engkau kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam". Dalam mengkaji ayat ini,
Rahardjo menganjurkan untuk membuat worksheet atau catatan yang memuat
istilah-istilah kunci yang terdapat pada ayat. Rahardjo memilih kata arsal-nā
(Allah), ka (Muhammad), raḥmah, dan 'ālamīn. Sama seperti contoh sebelumnya,
setiap istilah tersebut ditelaah pada ayat-ayat lain sehingga diketahui apa itu risālah
(berkaitan dengan arsala), siapa Muhammad, seperti apa raḥmatan dan 'alamīn.
Baru kemudian akan dipahami bagaimana Muhammad yang membawa risalah
menjadi rahmat bagi sekalian alam.80
Pada contoh terakhir, Rahardjo membahas QS. al-'Aṣr (103). Ia memilih
lafaz al-'aṣr, insān, khusr, īmān, 'amal ṣāliḥ, tawāṣau, haqq,dan ṣabr sebagai kata
kunci. Menurutnya, dengan cara sebelumnya, yaitu dengan mentabulasi kata dan
lokus kata dalam ayat dan surat sesuai urutan nuzūl, kemudian mencari
penjelasannya pada ayat tersebut, seorang pengkaji akan memiliki banyak bahan
analisis untuk memahami setiap konsep yang terkandung pada istilah-istilah kunci
tersebut. Dalam proses analisis, mengetahui sabab al-nuzūl ayat juga sangat penting
bagi pengkaji agar mendapat gambaran utuh mengenai ayat yang dibahas.81
Berdasarkan uraian di atas, Dawam Rahardjo belum memberikan gambaran
utuh tentang tafsir ensiklopedis yang diinginkannya. Sekilas memang sudah tampak
bahwa yang ia maksud dengan ensiklopedia di sini adalah dengan menelusuri istilah

77
Pada teks asli Rahardjo menulis "al-Insyirāḥ/94: 31". Penulis menggantinya karena
tidak sesuai dengan yang dimaksud. Surah al-Inshirāh hanya memiliki 8 ayat. Sedangkan
ayat yang menyebut kata rabb adalah ayat ke-8.
78
Rahardjo menulis kata "timur" dan "barat" dengan huruf kapital di awalnya. Jadi,
Tuhan Timur dan Barat. Konotasinya berbeda dengan yang penulis pilih dengan
menggunakan huruf kecil di awalnya, Tuhan timur dan barat.
79
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 21.
80
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 21.
81
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 22.

96
kunci dalam al-Qur'an dan mencari penjelasannya melalui ayat-ayat yang menyebut
istilah kunci atau turunan istilah kunci tersebut. Namun, secara metodologis, bentuk
pencarian dan proses pengolahan data yang sesungguhnya belum dijelaskan secara
detail. Penjelasannya terkait proses analisis masih belum menemukan bentuknya
yang baku. Sejauh ini, yang dapat diterapkan adalah metode pencarian dan
pengumpulan data yang ia tawarkan.
Namun, terlepas dari masalah tersebut, berkenaan dengan gagasan tafsir
ensiklopedis, Rahardjo menginginkan suatu tafsir yang merupakan hasil penafsiran
al-Qur'an dari berbagai perspektif keilmuan. Menurutnya, pada zaman modern ini
para ahli ilmu pengetahuan yang menguasai betul suatu masalah dalam al-Qur'an
perlu ikut serta dalam pembuatan tafsir.82 Hal ini dikarenakan tafsir al-Qur'an yang
disusun oleh ahli bahasa atau ahli 'ulūmul Qur'an saja belum cukup. Rahardjo
memberi contoh dua karya Hazairin83 berjudul 'Īsā al-Masīh dan Nūḥ dan Ayyām al-
Qur'ān84. Dalam dua karya tersebut Hazairin membahas dan menafsirkan ayat-ayat
al-Qur'an secara ilmiah berdasarkan ilmu yang dikuasainya. Oleh sebab itu, menurut
Rahardjo, dua karya tersebut dianggap baik dan tepat untuk saat itu.85
Rahardjo kemudian mengajukan tawaran menarik dalam merealisasikan
gagasannya tersebut. Tawaran itu adalah dengan mengadakan pertemuan bersama
para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan modern untuk membahas suatu
masalah berdasarkan perspektif al-Qur'an atau menafsirkan suatu hal yang menarik
perhatian dalam al-Qur'an. Dengan demikian, suatu masalah dalam al-Qur'an
mungkin dapat dilihat dari perspektif fisika, biologi, psikologi, sosial, atau ilmu
modern lainnya. Rahardjo bahkan mempunyai gagasan untuk membentuk
laboratorium al-Qur'an untuk mengelola kajian al-Qur'an dengan perspektif berbagai
ilmu atau membentuk kelompok-kelompok diskusi yang mengkaji al-Qur'an dengan
cara yang ia tawarkan itu. Ia berharap, hasil kajian atau penelitian dari kegiatan itu
dapat dipresentasikan di khalayak umum, baik seminar atau muktamar al-Qur'an.86

82
Pandangan tersebut menguatkan statemen bahwa perkembangan zaman membawa
para penafsir tidak hanya mengandalkan riwayat saja, tetapi juga dengan ijtihadnya masing-
masing. Pandangan tersebut juga menjadi bukti bahwa periode 1990-an adalah awal mula
periode kontemporer di Indonesia. HS and Fatimah, ‘Tren Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Di
Indonesia: Antara Perkembangan Dan Pergeseran’, h. 137. Surahman, ‘Pergeseran Pemikiran
Tafsir di Indonesia: Sebuah Kajian Bibliografis’, h. 219.
83
Hazairin adalah salah seorang tokoh pembaharu hukum Islam di Indonesia dan
menulis banyak karya tulis. Ia adalah seorang birokrat sekaligus akademisi. Lihat: Abu
Bakar, ‘Pemikiran Hukum Kewarisan Bilateral: Studi Pemikiran Hazairin’, Al-Banjari, 6.11
(2007), h. 24.
84
Berdasarkan penelusuran penulis, judul yang benar adalah Isa Almasih dan Ruh
yang diterbitkan oleh Penerbit Tintamas di Jakarta pada tahun 1969. Penerbit Tintamas pula
yang menerbitkan Ajjamul-Qur'an.
85
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 34.
86
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 34. Gagasan Rahardjo ini selaras dengan gagasan Quraish Shihab yang ingin
mengadakan komputerisasi al-Qur'an dan penafsiran al-Qur'an oleh sebuah tim yang terdiri
atas beberapa pakar dari berbagai disiplin keilmuan. Ide ini ia sampaikan dalam Musyawarah
Kerja Ulama Al-Qur'an XV yang berlangsung selama 23-25 Maret 1989. M. Quraish Shihab,

97
Beberapa gagasan terkait metodologi penelitian al-Qur'an sebagaimana
uraian di atas ternyata berhubungan dengan masalah dan kritikan yang Rahardjo
tujukan terhadap realitas tafsir di masyarakat. Menurutnya, sudah banyak tafsir yang
disusun oleh ulama terkenal yang kurang relevan dengan masalah-masalah yang
sedang dihadapi umat. Melalui metodologi yang ia tawarkan, Rahardjo berharap
dapat membuka perspektif baru untuk lebih membudayakan al-Qur'an ke dalam
masyarakat. Selain itu, ia juga berharap agar akan ada lebih banyak sarjana atau
ilmuwan yang turut berpartisipasi dalam merefleksikan wahyu dan mengembangkan
kajian al-Qur'an sehingga mereka dapat mengaplikasikan pemikiran dan
pengetahuan yang mereka miliki yang bersumber dari wahyu ilahi.87
2. al-Fātiḥah in a nutshell
Salah satu gagasan utama yang ditawarkan M. Dawam Rahardjo dalam
metodologi tafsirnya adalah menjadikan QS. al-Fātiḥah sebagai paradigma tafsir al-
Qur'an. Gagasan ini secara panjang lebar dijelaskan dalam Ensiklopedi Al-Qur'an
dan Paradigma Al-Qur'an. Gagasan itu lahir dari perenungan Rahardjo terhadap QS.
al-Ḥijr (15): 87. 88 Berdasarkan ayat tersebut, menurut Rahardjo, para mufassir
sepakat bahwa yang dimaksud dengan "tujuh ayat yang diulang-ulang" adalah surat
al-Fātiḥaḥ sedangkan yang dimaksud dengan "berulang-ulang" pada ayat tersebut
adalah berulang kali dibaca pada waktu salat.89

‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat


(Bandung: Mizan, 2014), h. 319 dan 632.
87
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 35. Gagasan Rahardjo tampaknya menunjuk suatu tafsir yang didekati dari
berbagai perspektif keilmuan. Berkaitan dengan gagasan ini, pada tahun 2019 Febriani
berusaha menawarkan tafsir tematik-multidisipliner beserta langkah-langkahnya. Lihat:
Febriani.
88
‫س ْبعًا مِ نَ ْال َمثَانِي َو ْالقُرْ آنَ ْالعَظِ يم‬
َ َ‫َولَقَدْ آتَ ْينَاك‬
89
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 23. Berdasarkan penelusuran penulis dari Tafsīr al-Ṭabarī, setidaknya ada tiga
pendapat mengenai tafsir sab'an min al-mathānī pada QS. al-Ḥijr (15): 87. Pendapat pertama
mengatakan bahwa artinya adalah tujuh surat panjang. Ada banyak riwayat yang
menyebutkan ketujuh surat tersebut secara terperinci. Sementara itu, pendapat kedua
mengatakan bahwa yang dimaksud sab'an min al-mathānī adalah tujuh ayat surat al-Fātiḥah.
Pendapat kedua ini kemudian dipilih oleh para mufassir seperti al-Suyūṭī, Ibn Kathīr, al-Rāzī,
dan al-Ṭabarī sendiri. Adapun pendapat ketiga mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
tujuh makna al-Qur'an. Namun, tampaknya Rahardjo merujuk pada pendapat al-Rāzī yang
menyatakan bahwa mayoritas mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bilangan
tujuh pada QS. al-Ḥijr (15): 87 adalah surat al-Fātiḥah. Lihat penjelasan lebih lengkapnya:
Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kathīr ibn Ghālib al-Āmalī Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’
Al-Bayān Fī Ta’wīl Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad Muḥammad Shākir, 1st edn (Muassisah al-
Risālah, 2000), j. 17, h. 128-140. Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kaṡīr al-Qarashī Al-
Dimashqī, Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm, ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmah, 2nd edn (Dār
Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tauzī’, 1999), j. 4, h. 547. Muḥammad al-Rāzī Fakhr Al-Dīn,
Tafsīr Al-Fakh Al-Rāzī, 1st edn (Bairūt: Dār al-Fikr, 1981), j. 19, h. 211. Jalāl al-Dīn Al-
Suyūṭī and Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain (al-Manṣūrah: Maktabah al-Īmān), h.
288.

98
Menanggapi pandangan para mufassir, Rahardjo berpendapat bahwa
kandungan al-Fātiḥah juga diulang-ulang dalam al-Qur'an. Dalam memahami QS.
al-Ḥijr (15): 87, Rahardjo melakukan beberapa hipotesis. Pertama, tujuh ayat surat
al-Fātiḥaḥ dijelaskan berulang-ulang dalam al-Qur'an. Kedua, intisari al-Qur'an
adalah surat al-Fātiḥaḥ. Ketiga, seluruh kandungan al-Qur'an menjelaskan surat al-
Fātiḥaḥ. Keempat, seluruh kandungan al-Qur'an dibagi habis oleh tujuh ayat al-
Fātiḥaḥ. Kelima, penyebutan al-Fātiḥaḥ sebagai "al-Qur'an yang agung"/ al-qur'ān
al-'aẓīm dikarenakan ia merupakan esensi al-Qur'an, atau bahasa Rahardjo al-Qur'an
in a nutshell (al-Qur'an dalam esensi).90
Untuk membuktikan hipotesisnya, Rahardjo menawarkan komputerisasi al-
Qur'an dengan memetakan satu persatu istilah kunci dalam surat al-Fātiḥaḥ.
Komputerisasi di sini sama seperti tawaran tafsir ensiklopedis pada pembahasan
sebelum ini. Misalnya, pendaftaran beberapa istilah seperti hamdalah, rabb, 'ālamīn,
raḥmān, raḥīm, mālik, yaum, dīn, 'ibādah, ista'īn, ṣirāṭ, mustaqīm, dan lainnya.
Beberapa istilah ini kemudian dicari padanannya dalam al-Qur'an sehingga
didapatkan istilah-istilah yang masih berkaitan. Hasil pencarian itu kemudian dikaji
untuk mendapatkan struktur makna dari istilah kunci tersebut serta dimensi
evolusinya.91
Gambar 4.3. Proses Pencarian Istilah Kunci

Kata Kunci Istilah yang Berkaitan

•Struktur Makna •Dimensi Evolusi

Rahardjo memberi contoh istilah ṣirāṭ sebagai kata kunci menghasilkan


istilah lain yang serupa seperti sabīl dan ṭarīq.92 Keterkaitan antara istilah kunci dan
istilah lain diharapkan menghasilkan struktur makna sekaligus dimensi-dimensi
evolusinya, sebagaimana contoh penelusuran kata rabb pada pembahasan

90
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 23.
91
Tawaran komputerisasi al-Qur'an juga pernah disampaikan oleh Quraish Shihab
pada tahun 1989. Dibanding tawaran Rahardjo, tawaran Quraish Shihab lebih komprehensif
karena bukan hanya terkait kosa kata al-Qur'an, tetapi juga mencakup sejarah al-Qur'an,
qira'ah, klasifikasi ayat, tafsir, mukjizat al-Qur'an, 'ulumul Qur'an, dan bibliografi tentang
al-Qur'an. Lihat selengkapnya: Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, h. 316-320.
92
Menurut Ahmad Husnul Hakim, kata ṣirāṭ dan sabīl memiliki perbedaan makna
dan penggunaan. Dua kata tersebut termasuk dalam pembahasan kaidah tafsir tentang kata
yang serupa tapi tidak sama. Dalam memahami QS. al-Mā'idah (5): 16, misalnya, Hakim
memberi ilustrasi ṣirāt sebagai jalan tol dan subul (jamak sabīl) sebagai jalan-jalan kecil
menuju tol. Dengan begitu, maka dapat dipahami bahwa untuk menuju ṣirāṭ al-mustaqīm ada
banyak jalan/ subul untuk mencapainya. Ahmad Husnul Hakim IMZI, Kaidah-Kaidah
Penafsiran Pedoman Bagi Para Pengkaji Al-Qur’an (Depok: eLSiQ, 2017), h. 86-88.

99
sebelumnya. Dalam hal ini, seorang pengkaji dapat menggunakan penafsiran ulama
klasik sebagai referensi atau bahan analisisnya. 93

Tabel 4.1. Contoh Kolom Pencarian Istilah Kunci


(Struktur Makna) ‫صراط‬ Ayat Kata Kunci
(Evolusi Makna) ‫طريق‬
(Evolusi Makna) ‫سبيل‬
Setelah melakukan pengumpulan data melalui cara di atas, penafsiran harus
dilakukan dengan menerapkan metode tafsir tertentu agar menjadi ilmiah. Konsep
al-Qur'an in a nutshell menawarkan sebuah metode penafsiran yang menjadikan al-
Fātiḥah sebagai kacamata dalam melihat seluruh isi al-Qur'an. Dalam bahasa
Rahardjo, al-Fātiḥah di sini berfungsi sebagai alat pembuka atau kunci memahami
keseluruhan ayat al-Qur'an. Rahardjo menganggap al-Fātiḥah sebagai tujuh ayat
yang secara sederhana dapat dipahami maknanya tetapi memiliki makna substantif
yang begitu dalam. Oleh karenanya, al-Fātiḥah dianggap sebagai ayat-ayat
muḥkamāt karena memiliki arti yang jelas. Sementara itu, ayat-ayat lain selain pada
surat al-Fātiḥah dianggap sebagai ayat-ayat mutashābihāt, yaitu ayat-ayat yang
"menyerupai" yang berfungsi menjelaskan ayat-ayat surat al-Fātiḥah.94
Pemahaman Rahardjo mengenai muḥkam dan mutashābih di atas tidak jauh
berbeda dengan definisi yang lumrah dikenal dalam 'ulūmul Qur'ān.95 Perbedaannya
adalah Rahardjo menganggap al-Fātiḥah sebagai muḥkam dan ayat-ayat lain sebagai
mutashābih. Inilah yang tampak baru meskipun ada sedikit kerancuan. Pasalnya
adalah ketika ayat-ayat lain berfungsi untuk menjelaskan al-Fātiḥah, maka
seharusnya ayat-ayat tersebut merupakan muḥkam dan al-Fātiḥah berposisi sebagai
mutashābih. Jika mengikuti logika Rahardjo, maka seharusnya al-Fātiḥah-lah yang
menjelaskan ayat-ayat lain. Di sinilah letak titik tolak memahami paradigma al-
Fātiḥah yang digagas oleh Rahardjo.

93
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 23.
94
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 24.
95
Di dalam 'ulūmul Qur'an, dalam pengertian yang umum, seluruh ayat dalam al-
Qur'an dapat dikatakan sebagai muḥkam karena kata-katanya yang kokoh dan jelas atau
mutashābih karena kesamaan dan kesesuaian perkataan dan sebagiannya membetulkan
sebagian yang lain. Namun, dalam pengertian yang khusus terdapat banyak perbedaan
pendapat mengenai muḥkam dan mutashābih. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa
muḥkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya sedangkan mustashābih adalah ayat
yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah; muḥkam adalah ayat yang mengandung satu
wajh (makna) sedangkan mutashābih mengandung banyak wajh; muḥkam adalah ayat yang
dapat diketahui secara langsung sedangkan mutashābih memerlukan penjelasan melalui ayat-
ayat lain. Uraian lengkapnya lihat: Jalāl al-Dīn ’Abd al-Raḥmān Al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī
’Ulūm Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad ibn ’Alī (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ, 2006), j 3, h. 5.

100
Alasan Rahardjo menyebut al-Fātiḥah sebagai muḥkamāt adalah QS. Āli
'Imrān (3): 796 yang menyatakan ayat-ayat muḥkamāt disebut sebagai umm al-kitāb
yang berfungsi sebagai landasan, sumber, atau induk referensi ayat-ayat
mutashābihāt. Rahardjo menghubungkan QS. Āli 'Imrān (3): 7 dengan sebuah Hadis
Nabi Muhammad Saw yang menyebut al-Fātiḥah sebagai umm al-Qur'ān, umm al-
kitāb, sab'u al-mathānī, dan al-Qur'ān al-'Aẓīm. Berdasarkan dalil-dalil tersebut,
Rahardjo melihat al-Fātiḥah berfungsi sebagai paradigma untuk membaca ayat-ayat
lainnya.97 Begitu juga sebaliknya, ayat-ayat dalam al-Qur'an dapat dirujuk kepada
al-Fātiḥah sebagai induk al-Qur'an. Meminjam istilah Rahardjo, ayat-ayat yang
bersifat mutashābihāt itu harus dikonfrontasikan dengan al-Fātiḥah selaku ayat-ayat
muḥkamāt.98

96
‫ات فأ َّما الَّذين يف‬
ٌ ‫ات ُه َّن أ ُُّم الْكتاب وأُخ ُر ُمتشاِب‬ ٌ ‫ات حمُْكم‬ ٌ ‫ُهو الَّذي أنْـزل علْيك الْكتاب منْهُ آي‬
َّ ‫قُـلُوِب ْم زيْ ٌغ فـيتَّبعُون ما تشابه مْنهُ ابْتغاء الْفْتـنة وابْتغاء تأْويله وما يـ ْعل ُم تأْويلهُ إَّال اللَّهُ و‬
‫الراس ُخون يف الْعلْم‬
‫يـ ُقولُون آمنَّا به ُكلٌّ م ْن عْند ربـِّنا وما ي َّذ َّك ُر إَّال أُولُو ْاأللْباب‬
97
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 24. Penulis tidak menemukan riwayat Hadis yang dimaksud oleh Rahardjo dalam
penafsiran QS. Āli 'Imrān (3): 7 al-Ṭabarī, Ibn Kathīr, dan al-Suyūṭī. Namun, riwayat
tersebut pernah disebut oleh Ibn Kathīr ketika menjelaskan sab'an min al-mathānī pada QS.
al-Ḥijr (16): 87 sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya. Menurut catatan muḥaqqiq,
riwayat tersebut terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Oleh karena itu, menurut penulis,
tampaknya Rahardjo mencoba mengaitkan Hadis tersebut karena memiliki keterangan yang
sama, yakni tentang al-Fātiḥah sebagai umm al-qur'ān. Lihat: Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn
’Umar ibn Kathīr al-Qurshī Al-Dimashqī, Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm, ed. by Sāmī ibn
Muḥammad Salāmah, 2nd edn (Dār Ṭaibah li al-Nashr wa al-Tauzī’, 1999), j. 4, h. 457.
Muḥammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah Al-Bukhāri, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ
(Qāhirah: Dār al-Shi’b, 1987), j. 6, h. 102.
Jika ditelisik lebih dalam, apa yang diuraikan oleh Rahardjo pernah dijelaskan oleh
Ibn Ḥajar al-'Asqalānī dalam mensyarahi Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Dalam Fatḥ al-Bārī, al-'Asqalānī
menjelaskan bahwa penamaan al-Fātiḥah sebagai umm al-qur'ān karena surat tersebut
mencakup banyak pembahasan. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara
penyebutan nama umm al-qur'ān atau umm al-kitāb sebagaimana ditentang oleh beberapa
tokoh pada masanya yang lebih sepakat menyebutnya sebagai fātiḥat al-kitāb. Aḥmad ibn
’Alī ibn Ḥajar Abū al-Faḍl al-’Asqalānī Al-Shāfi’ī, Fatḥ Al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī
(Bairūt: Dār al-Ma’rifah, 1379), j. 8, h. 156, dan j. 8, h. 381-382.
98
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 25 & 654. Cara pandang Rahardjo terhadap kasus Abū Lahab dan istrinya sebagai
kasus umum penentang kebenaran yang bisa dikontekstualisasikan ke siapa saja ini
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan aplikasi kaidah sabab al-nuzūl, yaitu al-'ibrah bi
khuṣūṣ al-sabab lā bi 'umūm al-lafẓ. Jadi, pemahaman ayat didasarkan pada sebabnya dan
bukan keumuman redaksinya. Lihat penjelasan kaidah ini dalam Shihab, Kaidah Tafsir:
Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, h.
241.
Begitu pula ketika Rahardjo mengaitkan konteks Abu Lahab dan istrinya dengan al-
maghḍūbi 'alai-him dalam QS. al-Fātiḥah (1): 7 merupakan aplikasi kaidah tersebut. Padahal,
sekilas tampak Rahardjo lebih menggunakan pemahaman yang didasarkan pada redaksi yang
umum sehingga lebih memungkinkan kaidah yang digunakan adalah al-'ibrah bi 'umūm lafẓ

101
Sebagai contoh, Rahardjo mencoba menggunakan paradigma al-Fātiḥah
terhadap surat al-Lahab yang turun setelah al-Fātiḥah. Menurutnya, QS. al-Lahab
bersifat mutashābihāt karena berdasarkan keterangan sabab al-nuzūl dan penjelasan
dari ayat diketahui bahwa sosok Abū Lahab dan istrinya menggambarkan penentang
kebenaran. Oleh sebab status mutashābihāt, maka ayat tersebut tidak berlaku khusus
mereka saja, tetapi berlaku terhadap siapa pun tanpa terikat tempat dan waktu.
Rahardjo menganggap surat tersebut berkaitan dengan konteks maghḍūb pada QS.
al-Fātiḥah (1): 7, yaitu termasuk orang-orang yang dimurkai Allah karena
menentang kebenaran. Konteks maghdūb juga terdapat pada QS. al-Mā'ūn (107) dan
QS. al-Fīl (105).99
Contoh lainnya ialah konteks an'am-ta 'alai-him yang merupakan golongan
yang diberi nikmat oleh Allah. Keterangan mengenai golongan tersebut dapat
ditemukan pada QS. al-'Aṣr (103): 3, QS. al-Bayyinah (98): 5, QS. al-Infiṭār (82):
13, dan QS. al-Muṭaffifīn (83): 22. Contoh-contoh serupa yang menjelaskan bagian
lain QS. al-Fātiḥah dapat ditemukan pada surat-surat pendek Makkiyyah seperti QS.
al-Ikhlāṣ (112) yang menjelaskan tentang Allah pada QS. al-Fātiḥah (1): 1-2; QS. al-
Kāfirūn (106) yang menerangkan QS. al-Fātiḥah (1): 5; QS. al-Kauthar (108)
menjelaskan QS. al-Fātiḥah (1): 2; QS. al-Falaq (113) dan QS. al-Nās (114)
menerangkan QS. al-Fātiḥah (1): 5; dan QS. al-Raḥmān (55) yang menguraikan sifat
rahmah pada QS. al-Fātiḥah (1): 1 dan 3. Contoh-contoh tersebut menunjukkan
bahwa keterangan dalam QS. al-Fātiḥah diulang-ulang pada batang tubuh al-
Qur'an.100
Rahardjo mengakui, paradigma al-Fātiḥah yang diujinya belum mencakup
keseluruhan al-Qur'an. Seperti contoh di atas, paradigma al-Fātiḥah baru teruji
dalam penafsiran surat-surat pendek. Sementara itu, dalam menafsirkan surat-surat
panjang yang berisikan beraneka ragam masalah, Rahardjo membuat pendekatan
berbeda. Menurutnya, paradigma al-Fātiḥah dapat diterapkan dengan melihat surat
demi surat, kelompok surat, atau kelompok kalimat dan bagian keterangannya. Ia
memberi contoh hasil pembacaannya atas QS. al-Baqarah (2): 1-5. Menurutnya,

lā bi khuṣūṣ al-sabab. Akan tetapi, jika menilik penafsiran umum para mufassir terhadap
ayat terakhir surat al-Fātiḥah itu, didapati bahwa Rasulullah Saw menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan al-maghḍūb adalah orang-orang Yahudi. Menurut Husnul Hakim,
keterangan tersebut dapat dipahami menggunakan kaidah al-'ibrah bi khuṣūṣ al-sabab
dengan melihat konteks sosio-historis kaum Yahudi pada masa Nabi Saw. Berdasarkan
pembacaan kontekstual itu, diketahui bahwa orang-orang Yahudi menentang kebenaran.
Oleh karena itu, siapa saja yang menentang kebenaran dapat dimasukkan dalam kategori al-
maghḍūb. Lihat: Ahmad Husnul Hakim IMZI, Kaidah-Kaidah Penafsiran Pedoman Bagi
Pengkaji Al-Qur'an, h. 157-159.
Sampai di sini, menurut penulis, Rahardjo sudah melakukan analisis yang mendalam.
Hanya saja, yang membedakannya dengan mufassir lain adalah terkait pandangan muḥkam
dan mutashābih yang tidak lumrah dalam 'ulūmul Qur'ān.
99
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 26.
100
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 27.

102
kelompok ayat tersebut menjelaskan konteks ṣirāṭ al-mustaqīm pada QS. al-Fātiḥah
(1): 6 dan an'am-ta 'alai-him pada QS. al-Fātiḥah (1): 7.101
Sampai di sini, paradigma al-Fātiḥah yang ditawarkan oleh Dawam
Rahardjo di atas kiranya cukup jelas dan terperinci. Gagasan tersebut juga memiliki
pijakan metodologis yang cukup kuat. Selain itu, relevansinya dengan ajaran Islam
juga tampak nyata, sebagaimana yang diterangkan oleh Rahardjo:
"Islam, seperti dicerminkan dalam seluruh al-Qur'an, adalah suatu gagasan yang utuh.
Tetapi, keutuhan itu harus dijelaskan secara sederhana. Al-Fātiḥah itulah yang
mencerminkan gagasan sederhana tentang keutuhan itu. Al-Fātiḥah mengikat untaian
ayat-ayat menjadi satu gagasan yang terpadu. Dengan al-Fātiḥah sebagai kunci, kita
membuka keterangan yang termuat dalam al-Qur'an. Dengan al-Fātiḥah yang
muḥkamāt, ayat-ayat yang mutasyābihāt menjadi jelas. Itulah sebabnya, dalam
menafsirkan suatu ayat, kita berusaha mencari dan menemukan pokok gagasan,
dengan al-Fātiḥah sebagai kriteria atau mikroskopnya. Dengan cara itu, maka
penyimpangan tafsiran dari gagasan pokok, sejauh mungkin dapat dihindari. " 102
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa paradigma al-Fātiḥah berfungsi
sebagai barometer keabsahan penafsiran suatu ayat karena sifatnya yang muḥkamāt
dan sebagai induk kitab atau umm al-kitāb. Selama suatu penafsiran tidak
menyimpang dari gagasan pokok surat al-Fātiḥah, maka bisa dianggap sah. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan kerancuan mengingat dalam 'ulūm al-Qur'ān
ayat-ayat muḥkām bukan surat al-Fātiḥah saja.
Sebagai catatan, persoalan status muḥkamāt yang dibicarakan Rahardjo
kemudian menjadi cukup kompleks. Setelah menggagas al-Fātiḥah sebagai
muḥkamāt dan batang tubuh al-Qur'an yang lain sebagai mutashābihāt, Rahardjo
kemudian menyadari dan mengakui bahwa ayat-ayat lain bisa berupa muḥkam
karena memiliki kejelasan dan ketegasan makna.103 Pada bab terakhir Ensiklopedi
Al-Qur'an, ia mengaitkan muḥkam dan mustashābih seperti dependent variable dan
independent variable dalam kamus penelitian dan statistik. Dependent variable
adalah variabel yang dijelaskan sedangkan independent variable adalah variabel
yang menjelaskan. Dengan membandingkan konsep itu pada QS. Āli 'Imrān (3): 7,
Rahardjo menyimpulkan bahwa dalam penelitian yang harus dicari adalah mana
yang dependent variable (muḥkamāt) dan mana yang independent variable
(mutashābihāt).104
Misalnya, QS. al-Ikhlāṣ yang membicarakan keesaan Allah dapat dijelaskan
dengan ayat-ayat lain yang membahas topik serupa. Rahardjo juga mengakui ayat-
ayat lain seperti QS. al-'Aṣr, QS. al-'Alaq, atau QS. al-Baqarah (2): 1-5 merupakan

101
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 28.
102
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 28.
103
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 30.
104
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 653.

103
ayat-ayat muḥkamāt.105 Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya
Rahardjo memiliki dua macam konsep muḥkam, yaitu pertama al-Fātiḥah sebagai
muḥkam bagi batang tubuh al-Qur'an dan kedua adalah ayat-ayat lain yang bersifat
muḥkam sebagaimana dipahami oleh jumhur ulama, yakni ayat yang jelas
maknanya. Fungsi muḥkam yang pertama adalah sebagai paradigma, yaitu menjadi
tolak ukur gagasan pokok ayat-ayat lain dalam al-Qur'an secara keseluruhan
sedangkan fungsi muḥkam yang kedua hanya sebatas tolak ukur gagasan pokok yang
dikandungnya saja.
Sebagai konsekuensi, klompeksitas status muḥkam dan mutashābih
kemudian mengaburkan gagasan paradigma al-Fātiḥah sebagaimana telah dijelaskan
di awal. Pada akhirnya, uraian Rahardjo mengenai muḥkam memunculkan
gagasannya yang lain, bahwa ayat muḥkam mengandung konsep tertentu melalui
istilah-istilah kuncinya. Dengan begitu, penelitian yang dilakukan selanjutnya
kurang lebih sama seperti gagasannya tentang tafsir ensiklopedis, yakni mencari
penjelasan melalui istilah-istilah kunci, termasuk yang terdapat pada surat al-Fātiḥah
.
3. Pendekatan Sosial-Historis
Pendekatan sosial-historis merupakan salah satu gagasan utama yang
ditawarkan oleh M. Dawam Rahardjo. Secara metodologis, pendekatan sosial-
historis ini merupakan metode analisis tafsir yang diterapkannya. Berbeda dengan
tafsir ensiklopedis dan paradigma al-Fātiḥah yang lebih berfungsi untuk
pengumpulan dan pengolahan data, pendekatan sosial-historis digunakan untuk
menelaah lebih jauh maksud suatu ayat, terutama konsep yang dikandungnya.
Pendekatan sosial-historis di sini sebenarnya dapat juga dikatakan sebagai
upaya Rahardjo dalam mengontekstualisasi ayat. Pendekatan ini ia dapatkan dari
perjumpaannya dengan Abbas Dasuki, seorang kiai tokoh Al-Islam Solo yang
memiliki kelompok pengajian tafsir. Rahardjo tertarik pada cara pengajaran Dasuki
yang tidak menerangkan tafsir al-Qur'an secara runtut dari awal sampai akhir.
Meskipun menggunakan tafsir Fī Ẓilal al-Qur'ān karya Sayyid Quṭb, Dasuki hanya
menjelaskan beberapa surat dan ayat yang dianggap penting. Selain itu, Dasuki
selalu memulai penjelasannya dengan memberikan gambaran sejarah Rasulullah
Saw sebagai dasar pemahaman ayat yang hendak dibahas.106
Dalam praktiknya, Dasuki mengonfrontasikan teks dengan konteks historis
berdasarkan riwayat sabab al-nuzūl dan sumber-sumber lainnya. Rahardjo tidak
menjelaskan sumber apa saja yang digunakan oleh Dasuki. Ia menjelaskan bahwa
pendekatan historis tersebut menyajikan pemaknaan ayat yang lebih luas dari sabab
al-nuzūl. Menurutnya, dengan membaca sejarah Rasulullah Saw, sebab-sebab yang
lebih luas akan terungkap dan berbeda dengan jika hanya menggunakan sabab al-
nuzūl yang bersifat khusus. Ia berargumen bahwa suatu ayat diturunkan kepada

105
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 31.
106
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 24.

104
Rasulullah Saw sebagai jawaban dan petunjuk bagi beliau dalam menghadapi
masalah yang konkret.107
Selain Dasuki, Rahardjo juga merujuk pada beberapa karya seperti Sejarah
Hidup Muhammad (Hayāt Muḥammad) yang ditulis oleh Ḥusain Haikal dan
Prinsip-prinsip Utama dalam Memahami al-Qur'an karya Abū al-A'lā al-Maudūdī.
Haikal dan al-Maudūdī mencantumkan banyak ayat terkait peristiwa sejarah
tertentu. Menurutnya, dengan penyajian seperti itu, pembaca tidak hanya dihadapkan
pada rentetan peristiwa, tetapi sekaligus kandungan tafsir berbagai ayat.108
Di samping pengetahuan sejarah, Rahardjo juga menekankan pentingnya
mempelajari historiografi sejarah Nabi Muhammad Saw, termasuk juga sejarah
bangsa Arab, bangsa-bangsa Semit, serta peradaban dunia saat al-Qur'an diturunkan.
Ia merekomendasikan beberapa karya sebagai referensi tafsir yang baik dalam
bidang ini. Misalnya, Bangsa Arab sebelum Islam dan Aqidah Tauhid dalam Islam
dan Bangsa-bangsa Purbakala dan Filsafat Lama karya Mochtar Yahya109, Sejarah
Geografi Qur'an karya Sayid Muzaffaruddin Nadvi, The Venture of Islam karya
Marshall G. S. Hodgson. 110 Selebihnya, Rahardjo juga menekankan pentingnya
mempelajari referensi sejarah yang bercorak antropologis dan menjelaskan
perkembangan agama di dunia. Menurutnya, referensi sejarah semacam itu akan
sangat membantu para pengkaji al-Qur'an untuk memahami dasar-dasar ajaran Islam
berdasarkan konteks historis-antropologis 111

107
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 25.
Sebagaimana penulis singgung sebelumnya, sebenarnya penjelasan ini sekilas mirip dengan
teori sabab al-nuzūl, yakni apakah yang dijadikan pedoman adalah sabab yang khusus atau
lafal yang umum. Namun, yang dimaksud Rahardjo jelas berbeda. Penulis memahaminya
sebagai pembacaan hermeneutika terhadap sabab al-nuzūl, atau bahkan terhadap al-Qur'an
mengingat tidak semua ayat memiliki sabab al-nuzūl. Jadi, melihat konteks ayat tidak
dengan sudut pandang yang sempit, tetapi menggunakan scope yang lebih luas. Pembacaan
seperti ini bisa jadi bertentangan dengan teori sabab al-nuzūl yang harus berdasarkan riwayat
sahih tanpa peranan akal. Alasannya sangat jelas, yaitu jika keterangan historis didapati dari
riwayat-riwayat yang oleh ulama dianggap lemah atau tidak sahih. Lihat penjelasan Quraish
Shihab terkait persyaratan riwayat sabab al-nuzūl: Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan,
Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an. Dalam pembacaan ini,
menurut penulis, penggunaan riwayat-riwayat Hadis beserta keilmuannya sangat diperlukan
mengingat riwayat-riwayat itulah sumber data sejarah kehidupan Nabi Saw. Sayangnya,
Rahardjo tidak menyinggung sedikit pun terkait hal penting ini.
108
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 25.
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 648.
109
Berdasarkan penelusuran penulis, dua judul buku karya Mochtar Yahya yang tepat
adalah Sejarah Bangsa Arab Sebelum Islam dan Aqidah Tauhid dalam Agama Bangsa-
bangsa Purbakala dan Filsafat Lama.
110
Yang dimaksud Rahardjo di sini adalah buku The Venture of Islam jilid pertama
yang membahas masa klasik Islam. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Mulyadhi Kertanegara. Lihat: Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman Dan
Sejarah Dalam Peradaban Dunia Jilid Pertama: Masa Klasik Islam, ed. by Mulyadhi
Kertanegara, 2nd edn (Jakarta: Paramadina, 2002).
111
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 25-26.
Sepertinya pandangan ini merujuk pada pandangan al-Maudūdī yang berulang kali

105
Selain historis-antropologis, Rahardjo juga sering menyebut dan
menggunakan pendekatan sejarah dari perspektif sosiologi. Pendekatan ini
digunakan untuk memahami situasi sosial tokoh-tokoh yang disebut dalam al-
Qur'an. Contohnya ketika memahami QS. al-Fātiḥah (1): 6-7, Rahardjo
menganalisisnya dengan kategori-kategori sosiologis. Menurutnya, jalan yang lurus
yang dimaksud ayat 6 adalah jalan yang ditempuh oleh golongan yang telah
dikaruniai nikmat dan bukan yang mendapat murka dan yang tersesat. Golongan
yang diberi nikmat (an'amta 'alaihim) adalah para Nabi dan orang-orang saleh yang
namanya disebut dalam al-Qur'an seperti Luqmān, 'Imrān, dan Maryām. Sementara
itu, golongan yang mendapat murka adalah tokoh-tokoh seperti Abū Lahab,
Namrūd, Hāman, Qārūn, atau Fir'aun. Adapun golongan yang tersesat adalah
golongan yang berlebih-lebihan dalam agama secara tidak benar seperti sebagian
ahli kitab. Dengan perspektif sosiologis, ayat-ayat yang menyebut tokoh-tokoh
tersebut dapat menjelaskan seperti apa jalan yang mereka tempuh sehingga mereka
mendapat nikmat atau murka Allah.112
Berdasarkan keterangan di atas, Rahardjo tidak menolak ilmu asbāb al-
nuzūl. Hanya saja, menurutnya ilmu tersebut masih perlu disempurnakan dengan
pendekatan historis. Ia beralasan bahwa meskipun dengan mengetahui sabab al-
nuzūl suatu ayat dapat diletakkan dalam konteksnya, tetapi hal tersebut akan
menyebabkan penyempitan arti karena maksud suatu ayat dan interpretasinya
dibatasi oleh kaitan peristiwanya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Rahardjo
mengutip pendapat Muhammad 'Abduh yang mengatakan bahwa al-Qur'an harus
dipahami makna universal dan khususnya.113
Rahardjo kemudian memberikan contoh istilah qaryah yang berarti "kota"
pada QS. al-Baqarah (2): 58. Kata qaryah tidak mesti ditafsirkan dengan kota
tertentu secara pasti. 114 Langkah terbaik dalam memahaminya adalah dengan
menggali konsep yang dimaksud berdasarkan pendekatan historis. Rahardjo
menyebutkan bahwa sabab al-nuzūl masih diperlukan dalam pendekatan ini, tetapi

menyatakan bahwa tema sentral al-Qur'an adalah manusia. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 655. Bandingkan dengan Sunardi,
‘Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun’, h. 120-125.
112
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 651-652. Lihat juga contoh lain pada halaman 661-679.
113
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 158.
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 649.
114
Jumhur mufassir seperti al-Ṭabarī, al-Qurṭubī, Ibn Kaṡīr, dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi
menafsirkan al-qaryah pada QS. al-Baqarah (2): 58 dengan Baitul Maqdis atau Arīḥā. Lihat:
Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kathīr ibn Ghālib al-Āmalī Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’
Al-Bayān Fī Ta’wīl Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad Muḥammad Shākir, 1st edn (Muassisah al-
Risālah, 2000), j. 2, h. 102. Abū ’Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farḥ al-
Anṣārī al-Khazrajī Shams al-Dīn Al-Qurṭubī, Al-Jāmi’ Li Aḥkām Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad
Al-Bardūnī and Ibrāhīm Aṭfīsh, 2nd edn (al-Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1964), j. 1,
h. 409. Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kaṡīr Al-Dimashq, Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm,
ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmat (Dār Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tauzī’), j. 1, h. 273.
Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī and Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain (al-Manṣūrah:
Maktabah al-Īmān), h. 19.

106
maknanya bersifat mikro. Sementara yang diinginkan Rahardjo adalah meletakkan
istilah itu dalam kerangka historis sehingga pemaknaan mikro berkembang menjadi
konsep makro. Misalnya, kata al-ummah akan memiliki arti yang berbeda jika
dilihat dari pembagian ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. 115
Pendekatan historis yang ditawarkan oleh Rahardjo di atas menurut penulis
dapat diperbandingkan dengan kaidah 'āmm dan khāṣ.116 Secara umum juga dapat
ditinjau dari kaidah asbāb al-nuzūl, yakni al-'ibrah bi 'umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-
sabab. Sejauh penelusuran penulis, Rahardjo memang tidak pernah membahas
kaidah-kaidah tersebut. Namun, tawaran pendekatan historis Rahardjo bukan berarti
tidak dapat digunakan. Bahkan, tawaran tersebut dapat dikatakan melengkapi
kaidah-kaidah tersebut. Hal ini dikarenakan fokus keduanya berbeda. Jika pada
kaidah sabab al-nuzūl yang dijadikan acuan adalah kajian bahasa, maka pendekatan
historis merupakan pengaplikasian lanjutan dari hasil kajian bahasa itu. Di sinilah
peran ilmu sejarah dalam memahami ayat. Sebagaimana yang diungkapkan
Rahardjo, kajian sejarah dalam memahami ayat akan memperkaya pemaknaan
karena melihat suatu permasalahan dari konteks makro.
Gambar 4.4. Perbandingan Penggunaan Sabab al-Nuzūl dan Pendekatan Historis

Pendekatan Historis (Makro)

Pendekatan Sabab al-Nuzūl Ayat


(Mikro)

Di samping itu, sebagaimana telah disinggung pada pembahasan tafsir


ensiklopedis, Dawam Rahardjo menawarkan pembacaan ayat sesuai urutan nuzūl.
Dari sini dapat dilihat upaya awalnya untuk melakukan pendekatan historis. Maka
tidak heran jika dalam beberapa tulisannya, Rahardjo menyinggung karya
Montgomery Watt yang berjudul Muhammad: Prophet and Statesman 117 atau
Moenawar Cholil dengan karyanya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw118,
terutama al-Maudūdī dengan karya berjudul Prinsip-prinsip Utama dalam
Memahami al-Qur'an. Ia juga sempat menyinggung beberapa tokoh orientalis
seperti Theodor Noldeke dan Richard Bell yang melakukan penelitian urutan surat
al-Qur'an. Rahardjo mengapresiasi karya mereka yang mencoba meletakkan ayat-

115
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 159.
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 650.
116
Lihat penjelasan 'āmm dan khāṣ dalam Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan,
Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, h. 179-188.
117
Menurut W. Montgomery Watt, untuk memahami sejarah Nabi Muhammad Saw
adalah dengan mengetahui isi ayat-ayat yang pertama kali diturunkan. W. Montgomery Watt,
Muhammad: Prophet and Statesman (London: Oxford University Press, 1961), h. 22.
118
Dalam menerangkan sejarah Nabi Muhammad Saw, Moenawar Chalil sering
mengutip ayat-ayat al-Qur'an yang turun berkaitan dengan suatu kejadian. Lihat
selengkapnya: Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, 1st edn
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

107
ayat al-Qur'an sebagai penjelas sejarah Nabi Saw. Menurutnya, mengkaji ayat-ayat
melalui urutan kronologis turunnya berdasarkan sejarah Nabi akan memberikan
pemahaman yang kontekstual.119
Sebagai contoh pendekatan sosial-historis ini, Rahardjo menguraikan tafsir
dari istilah maghḍūb pada QS. al-Fātiḥah (1): 7. Berdasarkan keterangan hadis
riwayat al-Tirmidhī, disebutkan bahwa orang-orang yang terkena murka adalah
kaum Yahudi dan orang-orang yang tersesat adalah kaum Nasrani. 120 Menurut
Rahardjo, istilah tersebut perlu dijelaskan dengan sejarah. Ia lalu mencoba
mengaitkan istilah maghḍūb dengan QS. al-Baqarah (2): 61 dan 90, QS. Āli 'Imrān
(3): 111, dan QS. al-Mā'idah (5): 60. Setelah itu, perlu ditelaah sejarah kaum
Yahudi sehingga mendapat murka Allah seperti merusak perjanjian dengan Allah
dan berbuat kerusakan di Bumi. Selanjutnya, yang paling penting adalah
menyelidiki pola perbuatan yang menyebabkan murka tersebut dengan asumsi
bahwa kemurkaan Allah bisa saja menimpa pada siapa saja sedangkan kaum Yahudi
hanya sebagai ilustrasi.121
Dengan proses pemahaman tersebut, yakni melalui pendekatan sosial-
historis, kontekstualisasi pesan kandungan ayat ke masa sekarang akan tercapai. Di

119
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 154-157.
Theodor Noldeke menulis sebuah karya tentang susunan kronologis al-Qur'an berjudul Die
Geschichte des Qorans yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan judul
Tārikh al-Qur'ān. Karya Noldeke ini menjadi rujukan para pengkaji yang ingin memahami
al-Qur'an berdasarkan susunan kronologis turunnya. Noldeke membagi kelompok surat
dalam al-Qur'an menjadi empat fase, Mekkah pertama, Mekkah kedua, Mekkah ketiga, dan
Madinah. Fase Mekkah pertama dimulai sejak surat pertama turun hingga tahun kelima
kenabian. Fase ini terdiri dari 48 surat. Fase Mekkah kedua dan ketiga sama-sama terdiri dari
21 surat dengan karakter yang berbeda. Fase Madinah juga terdiri dari 21 surat yang turun di
Madinah. Lihat: Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, h. 47-51. Amal and Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur'an Sebuah Kerangka
Konseptual, h. 96-98. Sementara itu, Richard Bell menyusun sebuah karya berjudul The
Qur'an Translated with a Critical Re-arrangement of the Suras sebanyak dua jilid pada
tahun 1937 dan 1939. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal adalah bagian-bagian pendek
al-Qur'an sedangkan sisanya merupakan usaha pengumpulan al-Qur'an oleh Nabi
Muhammad Saw berdasarkan "inspirasi ilahi". Bell memandang bahwa susunan al-Qur'an
saat ini adalah bentuk revisi. Lihat: Amal and Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur'an
Sebuah Kerangka Konseptual, h. 102-104.
120
Dengan menggunakan aplikasi Maktabah Syāmilah, penulis tidak menemukan
hadis ini dalam Sunan al-Tirmidhī. Riwayat hadis ini terdapat dalam Musnad Aḥmad ibn
Ḥanbal dan al-Mu'jam al-Kabīr li al-Ṭabrānī. Keterangan bahwa hadis tersebut diriwayatkan
oleh al-Tirmīdhī terdapat dalam Tafsir Ibn Katsīr, al-Dur al-Manṡūr fī Tafsīr al-Ma'ṡūr, dan
beberapa kitab tafsir lainnya. Lihat: Aḥmad ibn Ḥanbal Abū ’Abd-llāh Al-Shaibānīm,
Musnad Al-Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal (Qāhirah: Muassisah Qurṭubah), j. 4, h. 378; Sulaimān
ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭir al-Lakhmī al-Shāmī Abū al-Qāsim Al-Ṭabrānī, Al-Mu’jam
Al-Kabīr, j. 12, h. 20; Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kaṡīr al-Qarashī Al-Dimashqī,
Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm, ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmah, 2nd edn (Dār Ṭayyibah li
al-Nashr wa al-Tauzī’, 1999), j. 1, h. 142; ’Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Al-Suyūṭī, Al-Dur
Al-Manṡūr Fī Tafsīr Al-Ma’ṡūr (Miṣr: Dār Hijr, 2003), j. 1, h. 86.
121
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 29.

108
sini, penulis melihat gagasan Dawam Rahardjo tidak jauh berbeda atau mungkin
memang dipengaruhi oleh teori double movement 122 Fazlur Rahman. Keduanya
sama-sama melakukan pembacaan ke masa penurunan al-Qur'an untuk memahami
konteks ayat kemudian mencari pesan intinya untuk dibawa ke masa sekarang agar
dapat diaplikasikan sesuai konteks kekinian.
4. Langkah-langkah Penafsiran M. Dawam Rahardjo
M. Dawam Rahardjo cukup serius dalam mengupayakan pemahaman
komprehensif terhadap al-Qur'an. Selain bab khusus metodologi al-Qur'an dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an, Rahardjo memiliki buku khusus dengan bahasan serupa,
yakni Paradigma Al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial. Dalam buku
tersebut, Rahardjo secara gamblang menyebutkan enam langkah penafsiran yang
ditawarkannya. Langkah-langkah penafsiran (Rahardjo menyebutnya metode) itu
saling berurutan dan mewakili beberapa gagasan yang ditawarkannya.
Pertama, meletakkan ayat-ayat dalam konteks historis untuk mendapatkan
makna yang lebih luas. Sebagaimana yang telah diuraikan, Rahardjo menekankan
agar seorang penafsir memperhatikan aspek historis-antropologis sejarah Nabi
Muhammad Saw dan historiografi sejarah bangsa Arab dan Semit.123
Kedua, memahami istilah kunci yang mengandung konsep atau makna
mendalam seperti taqwā, rabb, dll. dengan melihat konteksnya dalam suatu ayat
atau surat serta mempertimbangkan kemungkinan evolusi maknanya. Caranya
adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat istilah kunci tersebut dan
menyusunnya secara kronologis berdasarkan waktu turunnya.124
Ketiga, sama seperti langkah kedua, langkah ketiga adalah mengumpulkan
ayat-ayat yang memuat istilah kunci. Namun, pengumpulan ini menggunakan
analisis bahasa, yaitu perubahan bentuk kata dari istilah kunci. Misalnya, taqwā
berasal dari huruf W-Q-Y, maka ayat-ayat yang memuat kata-kata lain yang
merupakan perubahan bentuk darinya seperti wiqāyah, waqā, qi, yattaqī, dll. juga
dikumpulkan, dikelompokkan, serta dianalisis sehingga tampak perbedaan artinya.125
Adapun yang keempat adalah mencari istilah-istilah kunci itu sendiri seperti
islām, īmān, ihsān, dll. Pemilihan itu bisa didapatkan dengan mencari kata-kata yang
berhubungan dengan maksud, tujuan, atau hakikat al-Qur'an dalam suatu ayat dan
mencari penjelasan kata kunci itu dari ayat lainnya. Misalnya, salah satu ayat surah
al-'Aṣr "inna al-insān lafī khusr" memiliki beberapa kata kunci. Maka, kata-kata
kunci tersebut merupakan sumber tafsir yang harus dicari penjelasannya melalui
ayat-ayat lain yang menjelaskannya.126
Langkah keempat di atas dilanjutkan dengan langkah kelima, yaitu menggali
definisi dan keterangan istilah kunci dari ayat-ayat yang lain tadi. Contohnya, kata
khusr yang terdiri dari KH-S-R diperoleh tasrifnya dalam al-Qur'an berupa khasira

122
Penjelasan selengkapnya lihat: Fazlur Rahman, Islam Dan Modernitas Tentang
Transformasi Intelektual, ed. by Ahsin Mohammad, 1st edn (Bandung: Penerbit Pustaka,
1985), h. 5-8.
123
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 25.
124
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 26.
125
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 27.
126
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 28.

109
(15 kali), yakhsaru (1 kali), khusr (2 kali), khasar (3 kali), khusrān (3 kali), khasīr
dan jamaknya, akhsar (37 kali), khassara (1 kali), dan akhsara (3 kali). Maka
konsep "khusr" atau "rugi" dapat dilihat dari penggalian dan pendalaman makna
semua hasil pencarian tersebut. 127
Langkah terakhir adalah menafsirkan al-Fātiḥah sebagai al-Qur'an in a
nutshell dengan sisa bagian al-Qur'an seluruhnya. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, Rahardjo berhipotesis bahwa al-Fātiḥah sebagai surat pembuka dan
induk al-Qur'an memiliki keterhubungan dengan batang tubuh al-Qur'an. Semua
surat selain al-Fātiḥah hanyalah penjelasan darinya. Setiap bagian al-Fātiḥah
dijelaskan oleh ayat-ayat lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui intisari
pemahaman ayat-ayat al-Qur'an harus dikembalikan kepada induknya. 128
Berdasarkan enam prinsip di atas, Rahardjo menawarkan program
komputerisasi al-Qur'an serta penyusunan kamus dan ensiklopedia al-Qur'an dengan
bantuan komputer. Dua program tersebut ia canangkan untuk mengembangkan
konsep-konsep baru baik dalam teologi, pendidikan, ideologi, etika, dan lain
sebagainya. Hanya saja, ia mewanti-wanti hasil program tersebut akan berbeda
dengan hasil ijtihad ulama dan fuqaha klasik yang berupa kitab-kitab hukum syariat.
Rahardjo berargumen bahwa pengkajian al-Qur'an dilakukan sebagai respon
terhadap kebutuhan masyarakat. Ulama dan fuqaha klasik menghasilkan kitab-kitab
hukum sebagai solusi atas feodalisme yang terjadi di masa lalu. Sementara masa
modern masalahnya berbeda. Oleh karena itu, menurutnya, konsep umat terhadap al-
Qur'an dapat menentukan apakah kitab suci itu dapat dijadikan pegangan untuk
melakukan perubahan fundamental atau tidak.129 Seperti yang diuraikan di awal bab
ini, konsep yang paling fungsional pada masa kini adalah al-Qur'an sebagai kitab
petunjuk, dan bukan sumber hukum. Sebagai kitab petunjuk, Rahardjo berharap
dapat menggunakannya dalam melakukan analisis spekulatif-empiris untuk
memahami masalah yang kompleks.130
Terlepas dari gagasan komputerisasi tersebut, perlu penulis utarakan di sini
bahwa langkah-langkah penafsiran Dawam Rahardjo di atas masih belum mencakup
keseluruhan metode penafsiran yang dilakukannya. 131 Dalam praktiknya, langkah
penafsiran Dawam Rahardjo lebih dari enam langkah penafsiran di atas. Enam
langkah yang disebutkan oleh Rahardjo tadi hanyalah prinsip-prinsip umum dalam
mengkaji ayat-ayat al-Qur'an secara tekstual an sich. Bila diperhatikan secara
saksama, selain melakukan enam langkah di atas ada proses lain yang harus
dilakukan, yaitu pembacaan realitas yang Rahardjo sebut sebagai pengalaman
empiris dalam memahami al-Qur'an. Meskipun ini merupakan asumsi dasar
Rahardjo terhadap tafsir, tetapi benar-benar ia praktikkan dalam Ensiklopedi Al-
Qur'an baik berupa uraian pengantar pembahasan suatu tema atau pada tahapan

127
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 29.
128
Rahardjo, Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 29-30.
129
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 31.
130
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 32.
131
Rahardjo berkata, "Saya tak akan membongkar seluruh metode penafsiran di sini."
Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, h. 30.

110
kontekstualisasinya. Di sinilah metode penafsiran Rahardjo menemukan
relevansinya dengan realitas sosial.132
Menurut hasil pengamatan penulis, ada dua gerakan yang Dawam Rahardjo
lakukan dalam menafsirkan al-Qur'an di Ensiklopedi Al-Qur'an. Dua gerakan
tersebut berkaitan erat dengan aktivitas membaca, memahami, dan menafsirkan
yang melibatkan dua komponen utama, yakni pembaca teks dan teks yang dibaca.
Jika dijabarkan, maka yang harus ada pada setiap komponen adalah pembaca
memiliki pengalaman empiris sedangkan teks memiliki konteks sosio-historisnya.
Dengan kata lain, ketika pembaca berhadapan dengan teks, masing-masing memiliki
entitas yang berbeda. Peniadaan entitas salah satu di antaranya atau bahkan dua-
duanya akan menghasilkan penafsiran yang gagal.

Gambar 4.5. Komponen Pembaca dan Teks

Adapun dua gerakan yang penulis maksud adalah pembacaan yang


dilakukan pembaca terhadap realitas dan teks. Gerakan pertama adalah pembacaan
pembaca terhadap realitas. Pembacaan ini mengandaikan seorang pembaca mampu
mengenali pengalaman empiris yang dialaminya atau mengetahui dan memahami
teori-teori yang dipelajarinya. Gerakan kedua adalah pembacaan pembaca terhadap
teks. Pembacaan yang kedua ini mengandaikan seorang pembaca mampu memahami
teks sesuai konteks sosial-historisnya. Dua model pembacaan ini menempatkan
masing-masing objek relevan dengan dirinya. Pembacaan realitas menyebabkan
penulis sadar akan realitas kekiniannya sedangkan pembacaan teks menyebabkan
penulis memahami realitas yang melingkupi teks.
Gambar 4.6. Dua Gerakan Pembacaan

132
Lihat uraian sub-bab A. 2. a. tentang asumsi tafsir pada bab ini.

111
Selanjutnya, untuk menghasilkan sebuah penafsiran yang relevan, maka
dibutuhkan proses pembacaan lanjutan yang mengkonfrontasikan antara realitas
pembaca dan realitas teks. Di sinilah gagasan tiga titik tolak tafsir tematik tawaran
Rahardjo mendapatkan relevansinya. Sebagaimana telah disebutkan, Rahardjo
menawarkan tiga titik tolak tafsir tematik, yaitu konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya,
istilah-istilah al-Qur'an, dan istilah-istilah keilmuan Islam klasik.133 Berdasarkan tiga
macam titik tolak tersebut, penulis menyimpulkan adanya dua proses penafsiran,
yaitu dari realitas ke teks dan dari teks ke realitas.
Proses penafsiran dari realitas ke teks mengandaikan suatu pembacaan yang
berangkat dari realitas kemudian dirujuk pada al-Qur'an seperti yang ditunjukkan
oleh Hassan Hanafi dan Muḥammad Bāqir al-Ṣadr. Menurut penulis, titik tolak yang
berasal dari konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya dan istilah-istilah keilmuan Islam
klasik termasuk dalam kategori ini. Berbeda dengan titik tolak yang berasal dari
istilah-istilah al-Qur'an yang sekilas lebih condong pada proses penafsiran dari teks
ke realitas seperti yang ditunjukkan oleh al-Farmawī. Penafsiran dari teks ke realitas
mengandaikan suatu pembacaan tekstual yang kemudian diterapkan pada realitas.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.7. di bawah ini.
Gambar 4.7. Proses Penafsiran Realitas-Teks

Penafsiran yang berawal dari realitas ke teks dimulai dengan pembacaan


realitas. Setelah itu, masalah yang didapatkan dari realitas itu dihadapkan pada teks.
Dalam memahami teks, pengkaji melakukan pembacaan terhadap konteks sosial-
historis teks. Hasilnya kemudian didialogkan dengan realitas pembaca. Hal ini
berbeda dengan penafsiran yang berawal dari teks baru ke realitas seperti pada
gambar 4.8. berikut.
Gambar 4.8. Proses Penafsiran Teks-Realitas

Pada gambar 4.8. di atas, tampak bagaimana proses penafsiran dimulai dari
teks al-Qur'an kemudian dipahami konteks sosial-historisnya. Setelah itu, baru

133
Lihat keterangan pada awal sub-bab ini.

112
konteks tersebut didialogkan dengan realitas. Dibandingkan dengan proses
penafsiran yang pertama, proses yang kedua ini tampak terputus dari realitas
pembaca sejak awal sehingga memungkinkan tidak adanya relevansi dengan
pembaca.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, penafsiran yang dilakukan oleh
Rahardjo merupakan gabungan dari kedua proses tersebut. Dalam beberapa tema
tampak bahwa penafsiran Rahardjo lebih condong berangkat dari realitas menuju
teks meskipun Rahardjo sendiri mengaku menggunakan titik tolak dari istilah-istilah
al-Qur'an. Hal ini dibuktikan dengan kuatnya latar belakang penafsiran (realitas)
yang memengaruhi proses hingga hasil penafsiran. Dalam Ensiklopedi Al-Qur'an,
proses ini dipraktikkan oleh Rahardjo dengan memberikan wacana tema yang
sedang dikaji. Misalnya, tema 'Ilm dimulai dengan memaparkan wacana keilmuan
yang berkembang pada masa sekarang berikut dengan problematika yang dihadapi.
Begitu pula tema-tema lain seperti 'Adl dan Zhālim yang dimulai dengan pengenalan
konteks penggunaan kata "adil" dan "zalim" oleh masyarakat Indonesia.
Sementara itu, pada beberapa tema juga tampak bagaimana Rahardjo lebih
menggunakan teks al-Qur'an sebagai titik tolak penafsiran namun ia berhasil
mendialogkan konteks ayat tersebut dengan realitas kekinian. Menurut penulis, hal
itu disebabkan dari pribadi Dawam Rahardjo yang sangat akrab dengan realitas
sosial. Misalnya pada pembahasan tema Nabī, Ibrāhīm, dan Ḥanīf. Pada tiga tema
tersebut, sekilas tampak Rahardjo berangkat dari istilah-istilah al-Qur'an. Namun,
bila ditelisik lebih jauh ternyata istilah tersebut masih berkaitan dengan realitas yang
melingkupi Rahardjo sebagai pembaca teks. Jadi, meskipun ia melakukan penafsiran
dengan menggunakan proses teks-realitas, aspek realitasnya lebih menonjol
dibanding aspek tekstualnya. Di sini, Rahardjo sebagai subjek menempati posisi
sentral dalam penafsiran.
Jika dicermati secara saksama, cara penafsiran Rahardjo tersebut
mengingatkan penulis pada praktik pembacaan hermeneutika Hans Georg Gadamer
(1900-2002). Berdasarkan hermeneutika Gadamer, dalam pembacaan teks terjadi
peleburan dua horizon, yaitu horizon pembaca dan horizon teks. Peleburan tersebut
melahirkan penafsiran yang universal sehingga makna teks dapat diterapkan pada
masa kini.134 Hanya saja, Rahardjo tidak pernah menyebut tokoh-tokoh atau metode
hermeneutika yang digunakannya dalam penafsiran. Oleh karena itu, menurut hemat
penulis, mungkin lebih tepat menggambarkan langkah penafsiran Rahardjo sebagai
berikut:
- melakukan pembacaan realitas dan mengidentifikasi masalah,
- mencari konsep masalah tersebut dalam al-Qur'an,

134
Selengkapnya baca: F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari
Schleiermacher Sampai Derrida, 8th edn (Yogyakarta: PT Kanisius, 2020), h. 180-197.
Pembacaan ala Gadamer ditentang oleh Fazlur Rahman karena dianggap pembacaan yang
subjektif. Jika Gadamer berpendapat bahwa pemahaman terhadap sejarah pasti dipengaruhi
oleh pra-anggapan subjek pembaca, sebaliknya Rahman mengusung pemahaman objektif
dengan anggapan bahwa subjek pembaca mampu mendapatkan makna asli dari sejarah.
Lihat: Rahman, Islam Dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, h. 10-11. Inilah
kiranya yang menjadikan penafsiran Rahardjo berbeda dengan Rahman meskipun ia banyak
dipengaruhi oleh pemikirannya.

113
- melakukan pengumpulan ayat dan pemahamannya sesuai prinsip enam
langkah yang telah disebutkan,
- mendialogkan konsep dari al-Qur'an dengan realitas kekinian,
- menyimpulkan hasil penafsiran.
Gambar 4.9. Proses Penafsiran M. Dawam Rahardjo

Membaca realitas Mencari konsep


Mengumpulkan dan
dan mengidentifikasi masalah dalam al-
memahami ayat
masalah Qur'an

Mendialogkan
konsep dari al- Menyimpulkan hasil
Qur'an dengan penafsiran
realitas kekinian

Demikianlah metodologi tafsir yang digagas dan dipraktikkan oleh M.


Dawam Rahardjo. Gagasan tersebut tampaknya dipengaruhi oleh latar belakang
kiprahnya sebagai peneliti sosial sekaligus aktivis LSM. Oleh sebab itu, metodologi
yang digagasnya tidak terlepas dari tujuan menjawab masalah sosial yang terjadi di
masyarakat. Bila dibandingkan dengan gagasan metode tafsir mauḍū'ī tokoh lainnya,
tampak gagasan Rahardjo menyerupai gagasan Fazlur Rahman dalam hal tematisasi
dan kontekstualisasi ayat ke masa kini serta Hassan Hanafi dan Muḥammad Bāqir
al-Ṣadr dalam gerak penafsiran yang lebih mengutamakan realitas. Dengan begitu,
dapat dikatakan bahwa metode tafsir tematik Dawam Rahardjo menjadikan realitas
sebagai titik tolak penafsirannya.135
C. Aspek Sosial dan Wacana dalam Ensiklopedi Al-Qur'an
Aspek sosial dalam tafsir yang penulis maksud di sini ialah suatu sudut
pandang yang dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan atau
kecenderungan mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Pendekatan ini
berdampak pada nuansa atau corak tafsir. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, analisis yang digunakan M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-
Qur'an adalah analisis sosial. Analisis ini tampak jelas pada pembahasan tema-tema
dalam Ensiklopedi Al-Qur'an yang menjadi objek penelitian ini di mana Rahardjo
sering menggunakan teori-teori sosial atau rujukan buku-buku sosial dalam
mengelaborasi suatu konsep dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

135
Selengkapnya lihat: Bab II, sub-bab B. 3 tentang metode tafsir tokoh-tokoh
tersebut. Dalam suatu penelitian juga disebutkan bahwa metode tafsir M. Dawam Rahardjo
hampir sama dengan Hassan Hanafi dalam upaya menginduksi realitas. Menurutnya,
Ensiklopedi al-Qur'an merupakan buah karya sarjana muslim yang memiliki kesadaran
cukup tinggi terhadap realitas dan suatu upaya melepaskan diri dari penafsiran tekstual. M.
Wiyono, Paradigma Penafsiran Dari Realitas Menuju Teks: Studi Aplikatif Manhaj Tawhidi
Baqir Sadr (Sidoarjo: Genta Group Production, 2019), h. 94-96.

114
bahwa dimensi sosial yang digunakan oleh Dawam Rahardjo selain pada tataran
ontologis juga berada pada tataran epistemologis.136
Adapun wacana137 yang penulis maksud di sini adalah isu-isu sosial yang
dibahas oleh Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an. Sebagaimana telah diketahui,
Ensiklopedi Al-Qur'an merupakan kumpulan tulisan Rahardjo yang telah dimuat
secara berkala dalam Jurnal Ulumul Qur'an dalam rentang waktu 1989-1996.
Sebagai kumpulan karya, maka untuk memahaminya tidak bisa serta merta
disamakan dengan penulisan buku biasa, apalagi kumpulan tulisan tersebut dibuat
pada rentang waktu yang berbeda. Dalam pembacaan hermeneutis, masing-masing
tulisan harus dibaca dengan memperhatikan waktu pembuatannya. Hal ini penting
agar tulisan tersebut tidak tercerabut dari konteksnya karena masing-masing tulisan
memiliki konteks historisnya sendiri. Terutama yang harus diperhitungkan di sini
adalah wacana atau tema besar yang sedang diangkat oleh Jurnal Ulumul Qur'an.
Biasanya, penerbitan majalah atau jurnal semacam itu selalu up to date dan berusaha
menjawab dan membahas persoalan sosial yang terjadi di masanya. Di sinilah titik
berangkat penulis untuk mengkaji aspek sosial penafsiran Dawam Rahardjo.
Mengutip keterangan Bahtiar Effendy, ada beberapa tema besar yang
menjadi perbincangan hangat di kalangan para cendekiawan muslim era 1970-
1980an. Di antaranya, ada empat tema besar yang mendapat sorotan dalam
konferensi The Islamic Conference for Asia and Pasific di Jakarta pada akhir tahun
1987, sebuah konferensi yang ditujukan untuk menyambut abad ke-15 H sebagai
abad kebangkitan kembali Islam/ renaisans Islam. Empat tema itu disinggung oleh
Rahardjo dalam pengantar redaksi penerbitan edisi pertama Jurnal Ulumul Qur'an,
No. 1/Th.1/1988.138
Pertama, menafsirkan kembali al-Qur'an dengan kaidah atau metode
pemahaman baru. Pemahaman baru yang dimaksud itu adalah pemahaman al-Qur'an

136
Dalam pengertian ini, menurut Kusmana, kajian teks yang bersifat deduktif dan
analisis sosial yang induktif dapat dipadukan secara terbuka. Tokoh seperti Kuntowijoyo dan
Dawam Rahardjo adalah contoh yang melakukan pembacaan al-Qur'an dengan
menggunakan teori ilmu-ilmu sosial agar pesan al-Qur'an dapat teraplikasikan tidak hanya
secara normatif tetapi juga fungsional. Kusmana, ‘Dimensi Sosial Pemahaman Al-Qur’an M.
Dawam Rahardjo’, Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, 23.1 (2006), h. 44.
137
Ada banyak pengertian wacana. Berhubung penelitian ini ingin mencermati
konteks sosial yang menjadi latar belakang penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an, maka penulis
memilih untuk menggunakan pengertian wacana dalam perspektif sosiologi, yaitu yang
menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian
Hawthorn, sebagaimana dikutip oleh Eriyanto, wacana adalah "komunikasi kebahasaan yang
terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah
aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya". Eriyanto, Analisis
Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 3rd edn (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 2-3.
138
Di dalam kata pengantar ini, Dawam Rahardjo menyampaikan tujuan penerbitan
jurnal Ulumul Qur'an adalah untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan membawa umat
Islam menggapai peradaban sebagaimana diserukan dalam QS. al-'Alaq (96): 1, iqra'.
Rahardjo juga mengatakan bahwa jurnal Ulumul Qur'an ingin tampil secara artistik sekaligus
populer dan komunikatif untuk memenuhi harapan para pembacanya yang beragam. M.
Dawam Rahardjo, ‘Assalamu’alaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 1.1
(1989), h. 2.

115
dengan menggunakan sistem pengetahuan baru yang sedang berkembang seperti
ekonomi, hukum, politik, pendidikan dan kebudayaan, dll.. Hal ini diperlukan untuk
menghadapi perubahan zaman, terutama Indonesia yang tengah menghadapi
tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik,
pendidikan, dan kebudayaan. 139 Rahardjo membahasakannya sebagai "memahami
al-Qur'an dalam cahaya baru", yakni hermeneutika baru untuk dapat memahami
dunia yang sedang berubah dan cara baru dalam menangkap ilmu-ilmu al-Qur'an
untuk bisa menangkap isyarat zaman. Gerakan ini sudah dilakukan oleh beberapa
tokoh muslim seperti Ṭabaṭaba'i, Yusuf Ali, Muhammad Asad, dan Fazlur
Rahman.140
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tema ini dicetuskan
oleh Ismail Faruqi dan menjadi kontroversi di kalangan cendekiawan muslim.
Rahardjo mendukung dinamika ilmu pengetahuan yang muncul akibat bergulirnya
wacana tersebut. Ia mengharap islamisasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat
dikembangkan hingga meliputi bidang ilmu pengetahuan yang luas.
Ketiga, pengaktualan tradisi ilmu pengetahuan Islam klasik dan modern
dengan melihat relevansinya dan dikembangkan dengan pengetahuan-pengetahuan
baru. Tujuannya adalah agar peradaban kaum muslim modern tidak kehilangan akar
sejarahnya. Misalnya adalah aktualisasi kitab-kitab kuning. Selain itu, agar mereka
tidak merasa rendah diri menghadapi arus peradaban dan kebudayaan Barat sebagai
akibat globalisasi.
Keempat, masa depan Islam atau futurologi Islam misalnya dengan cara
mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi dan berdampak pada
masyarakat dunia terutama umat Islam.141 Tema ini ditujukan untuk menyelamatkan
umat manusia dari krisis global.142
Berdasarkan empat tema 143 yang menjadi isu utama di atas, penulis
memahami artikel-artikel pada kolom "Ensiklopedi Al-Qur'an" yang ditulis oleh
Rahardjo sebagai bagian dari Ulumul Qur'an merupakan salah satu bentuk
pengejewantahan tema-tema besar tersebut. Apalagi secara struktural, Dawam

139
M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 2002), h. xix. Usaha penafsiran al-Qur'an dengan pemahaman baru
dimulai sejak era 1970-an oleh sarjana muslim Indonesia lulusan Barat seperti Harun
Nasution, Kuntowijoyo, dll.. Lihat: Surahman, 'Pergeseran Pemikiran Tafsir di Indonesia:
Sebuah Kajian Bibliografis', h. 221.
140
Rahardjo, ‘Assalamu’alaikum’, h. 2.
141
Rahardjo, Islam Dan Transformasi Budaya, h. xx.
142
Rahardjo, ‘Assalamu’alaikum’, h. 2.
143
Carool Kersten dalam penelitiannya menyebutkan lima tema, yaitu: reinterpretasi
al-Qur'an, aktualisasi tradisi, islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, pribumisasi Islam,
dan orientasi ke masa depan. Ia menambahkan tema pribumisasi Islam yang sejatinya
merupakan gagasan orisinil dari Abdurrahman Wahid dan berbeda dengan yang dimaksud
Rahardjo. Menurutnya, kelima tema tersebut berkaitan dengan cara muslim Indonesia
menafsirkan agamanya di tengah pertarungan masyarakat, gagasan, dan nilai. Kersten,
Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi, h. 27. Terkait
penjelasan pribumisasi Islam, lihat: Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, Dan
Kebudayaan, 2nd edn (Depok: Desantara, 2001), h. 117-136.

116
Rahardjo menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus penanggung jawab jurnal.144
Secara implisit, Rahardjo juga menyinggungnya dalam pendahuluan Ensiklopedi Al-
Qur'an dengan membahas pembaharuan tafsir. 145 Hal tersebut juga tampak jelas
ketika tema-tema bahasan yang diangkat Rahardjo dikaitkan dengan topik utama
Ulumul Qur'an. Setelah penulis telusuri dan amati, dari 12 entri bagian dimensi
spiritual-keagamaan, hampir semua memiliki relevansinya dengan topik utama
bahasan kecuali entri Taqwā dan Amānah yang merupakan bagian dari dua edisi
awal Ulumul Qur'an. Pada dua edisi awal tersebut, Ulumul Qur'an tidak menentukan
topik bahasan secara khusus. Sementara itu, dari 15 entri bagian dimensi sosial-
keagamaan, hanya entri 'Adl dan Ūlū al-Albāb saja yang tidak memiliki keterkaitan
dengan topik utamanya. Sisanya membicarakan topik utama yang diangkat oleh
jurnal. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan publikasi 27 entri dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an di Ulumul Qur'an. Penentuan topik utama pada tabel 4.2. di
bawah ini penulis simpulkan berdasarkan judul yang disorot pada sampul depan
jurnal serta beberapa artikel utama yang dimuat di dalamnya.
Tabel 4.2. Rangkuman Asal Publikasi 27 Tema Ensiklopedi Al-Qur'an pada Jurnal
Ulumul Qur'an serta Topik Utamanya
Bagian Tema EQ Terbit Topik UQ
Dimensi Fiṭrah UQ Vol. III, No. 3, 1992 Tradisi
Spiritual-
Ḥanīf UQ Vol. II, No. 5, 1990 Haji
Keagamaan
Ibrāhīm UQ Vol. IV, No. 4, 1993 Dialog Agama-agama
Dīn UQ Vol. III, No. 2, 1992 Orientalis
Islām UQ Vol. III, No. 4, 1992 Islamisasi
Taqwā UQ Vol. I, No. 1, 1989 -
'Abd UQ Vol. V, No. 1, 1994 Pascamodernisme
Amānah UQ Vol. I, No. 2, 1989 -
Raḥmah UQ Vol VI, No. 3, 1995 Pembaruan Islam
Rūḥ UQ, Vol. V, No. 6, 1994 Feminisme
Nafs UQ, Vol. II, No. 8, 1991 Psikologi/ Jiwa Manusia
Shaiṭān UQ Vol. V, No. 2, 1994 Pembangunan
Dimensi Sosial- Nabī UQ Vol. IV, No. 1, 1993 Pembaruan Islam
Keagamaan
Madīnah UQ Vol. IV, No. 5, 1993 Benturan Peradaban
Khalīfah UQ Vol. VI, No. 1, 1995 Demokratisasi
'Adl UQ Vol. V, No. 3, 1994 Studi Islam Timur atau Barat

144
M. Dawam Rahardjo menjabat sebagai pimpinan redaksi sekaligus penanggung
jawab sejak edisi awal sampai terbitan terakhir jurnal Ulumul Qur'an, yakni edisi volume Vi
nomor 6 tahun 1997. Selama itu, Rahardjo secara konsisten memberikan kata pengantar pada
setiap edisi sekaligus menulis kolom "Ensiklopedi Al-Qur'an".
145
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 2.

117
Ẓālim UQ Vol V, No. 4, 1994 Psikologi dan Agama
Fāsiq UQ Vol. IV, No. 3, 1993 Fundamentalisme Islam
Shūrā UQ Vol. 1, No. 3, 1989 Musyawarah
Ūlū al-Amr- - -
i
Ummah UQ Vol. III, No. 1, 1992 Politik Islam
Jihād UQ Vol. II, No. 7, 1990 Kebangkitan Nasional Kedua
'Ilm UQ Vol. I, No. 4, 1990 Ilmu dan Islam
Ūlū al- UQ Vol. VI, No. 4, 1995 Syi'ah
Albāb
Rizq UQ Vol. II, No. 6, 1990 Manajemen & Etika Bisnis
Ribā UQ Vol. II, No. 9, 1991 Ekonomi Islam
Amr Ma'rūf UQ Vol. VI, No. 2, 1995 Muhammadiyah dan Politik
Nahy
Munkar

Menilik data pada tabel 4.2. di atas, ada kesinambungan tema penafsiran
yang dipilih oleh Rahardjo dengan topik utama yang sedang diangkat. Artinya,
pemilihan tema tersebut bukan semena-mena melainkan memang dipilih
berdasarkan suatu kebutuhan. Dalam konteks jurnal Ulumul Qur'an, kebutuhan
tersebut adalah mengaplikasikan empat tema besar yang disebutkan di awal
sekaligus menjawab masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya, ketika
topik utamanya membahas konsep musyawarah, Rahardjo memilih tema shūrā
untuk ditulis pada edisi yang sama. Contoh lainnya ketika membahas keterkaitan
ilmu dan agama, ia memilih tema 'ilm. Oleh sebab itu, mengetahui konteks
penafsiran dan wacana di balik penulisannya dapat membantu untuk mengetahui
apakah penafsiran Dawam Rahardjo tersebut benar-benar merespon realitas sosial
yang ada. Di sinilah perlu memetakan aspek sosial yang diangkat oleh Rahardjo
dalam pemilihan tema-tema penafsiran.
Berdasarkan keseluruhan tema yang dikaji, penulis memetakannya pada
lima tema besar berdasarkan wacana sosial yang diangkat. Beberapa tema tersebut
meliputi masalah keilmuan, kemasyarakatan, kepemerintahan, perekonomian, dan
keadaban. Pada uraian berikut ini, penulis akan paparkan masing-masing wacana
sosial tersebut berikut contoh penafsiran yang terkait.
1. Keilmuan: Usaha Menjembatani antara Ilmu dan Agama
Secara umum, hubungan antara ilmu dan agama menjadi perbincangan
hangat umat muslim di dunia sejak abad ke-19 M. Dalam konteks Indonesia, wacana
ini semakin ramai diperbincangkan pada akhir abad ke-20 M. Hal ini
dilatarbelakangi adanya sistem budaya dan sistem pendidikan dikotomis yang
memisahkan ilmu dari iman. Ada kerancuan dalam konsep nilai, teori, atau
paradigma ilmu di kalangan para ahli kontemporer. Pemisahan antara ilmu agama
yang direpresentasikan sebagai ilmu akhirat dan ilmu umum yang direpresentasikan
sebagai ilmu dunia saat itu menimbulkan gerakan "desekularisasi" dan
"desakralisasi". Gerakan desekularisasi digawangi oleh cendekiawan muslim lulusan
pendidikan sekuler. Mereka menggemakan slogan "islamisasi saintek", "islamisasi

118
pemikiran", dan islamisasi-islamisasi dalam bentuk lainnya. Sementara itu, gerakan
desakralisasi yang diwakili oleh cendekiawan muslim pesantren menggemakan
slogan "saintifikasi Islam", "sekulersasi Islam", dan lainnya. Masing-masing gerakan
berusaha untuk memadukan antara agama dan ilmu. Pada akhirnya, kedua kubu
tersebut bertemu pada satu titik yang sama, yaitu amal saleh.146
Wacana memadukan ilmu dan agama kemudian mendapatkan
momentumnya dengan lahirnya sebuah organisasi bernama ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang merupakan perkumpulan para
cendekiawan muslim dari seluruh Indonesia. Momentum kelahiran ICMI
membangkitkan gairah keilmuan kalangan muslim saat itu. Optimisme masyarakat
muslim dalam menyongsong peradaban baru mulai muncul. Secara tidak langsung,
ICMI menjadi harapan umat saat itu dan cendekiawan muslim menjadi simbol
perpaduan antara orang yang berilmu dan beragama.147
Terkait kondisi di atas, ada dua entri dalam Ensiklopedi Al-Qur'an yang
merekam jejak wacana keilmuan tersebut sekaligus meresponnya, yaitu 'ilm dan ūlū
al-albāb. Yang disebut pertama ditulis sebelum berdirinya ICMI sedangkan yang
disebut terakhir ditulis ketika ICMI telah menjadi organisasi besar dan memiliki
pengaruh di Indonesia.
Entri 'Ilm yang membahas konsep 'ilm dalam al-Qur'an dipublikasikan di
Jurnal Ulumul Qur'an No. 4 tahun 1990. Saat itu, topik yang diangkat Ulumul
Qur'an ialah tentang ilmu pengetahuan dan agama.148 M. Dawam Rahardjo memulai
penafsiran konsep 'ilm dalam al-Qur'an dengan menerangkan konteks pengertian
ilmu di Indonesia dan dunia. Ia menjelaskan bahwa kata "ilmu" yang berasal dari
bahasa Arab itu sudah menjadi bahasa sehari-hari. Di kalangan masyarakat Jawa,
kata itu dikenal sebagai ngelmu. Meskipun berasal dari kata yang sama, ilmu
dipahami sebagai pengetahuan umum sedangkan ngelmu sebagai pengetahuan yang
berkaitan dengan soal kebatinan. Pengertian tersebut semakin beragam ketika
dikaitkan dengan istilah dari bahasa lain seperti science dalam bahasa Inggris,
wissenschaft dalam bahasa Jerman, dan wetenschap dalam bahasa Belanda yang
intinya mendefinisikan ilmu sebagai sejenis pengetahuan khusus yang diperoleh
dengan cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan para ilmuwan.149
Setelah menguraikan pengertian umum ilmu yang populer diketahui di
dunia modern, Rahardjo kemudian menyinggung pentingnya konsep ilmu yang
berasal dari al-Qur'an. Ia menulis:

146
A. M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, 4th edn
(Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 7. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1987. Buku
ini membicarakan usaha perpaduan antara agama dan ilmu pengetahuan. A. M. Saefuddin
menyebutnya sebagai "mengagamakan pikiran dan memikirkan agama, mengquranikan
kultur dan mengkulturkan Quran".
147
ICMI Dan Harapan Umat: Kumpulan Tulisan Dalam Mass Media Cetak Tentang
ICMI, ed. by Abrar Muhammad (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Ruhama, 1991), h. v.
148
Lihat bagian daftar isi dan kata pengantar edisi ini. M. Dawam Rahardjo,
‘Assalamu’alaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 1.4 (1990), h. 2.
149
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 527-528.

119
"Ilmu, yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekadar bahasa Arab,
tetapi juga tercantum dalam al-Qur'an. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum
turunnya al-Qur'an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tetapi melalui ayat-ayat
al-Qur'an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan
pengertian tersendiri, yang terstruktur."150
Rahardjo menjelaskan, pengertian ilmu di dalam al-Qur'an dapat berkembang dari
sekadar bermakna "pengetahuan" tergantung pada pemahaman orang terhadap
makna kata tersebut. Bila dikaji secara mendalam, makna ilmu dapat berkembang
menjadi sebuah etos keilmuan sebagaimana yang terkandung dalam anjuran agama.
Rahardjo menjelaskan:
"Jika pemahaman itu dilakukan dengan mempelajari dan memahami implikasi
maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam al-Qur'an, kata-
kata itu bisa berkembang menjadi etos. Hal itu kemungkinan besar berkembang
karena pernyataan Nabi yang mengandung anjuran, bahkan perintah, seperti yang kita
kenal, 'Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,' 'Carilah ilmu walaupun sampai ke
negeri Cina,' 'Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat,' 'Barangsiapa
mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di Surga
ia sederajat di bawah para Nabi,' 'Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para Nabi';
'Ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mu'min yang hilang, di mana saja ia
mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain'. Pernyataan-
pernyataan Nabi ini diperkuat firmah Allah dalam al-Qur'ān s. al-Mujādalah/58:11:
Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa
derajat."151
Berdasarkan uraian di atas, Rahardjo mulai menyinggung keterkaitan antara
ilmu dan agama. Rahardjo menunjukkan betapa pentingnya ilmu dengan
menampilkan hadis-hadis dan ayat yang sudah populer di masyarakat tentang
kewajiban dan anjuran menuntut ilmu. Ia kemudian mengutip penjelasan Franz
Rosenthal yang mengatakan bahwa ilmu sudah berkembang menjadi konsep sentral
dalam masyarakat muslim Abad Pertengahan. Konsep tersebut berpengaruh besar
dalam sejarah peradaban Islam. Oleh karena itu, ilmu menempati kedudukan yang
istimewa dalam peradaban Islam. Rahardjo menghubungkannya dengan QS. al-'Alaq
(96): 1-5. Dari rangkaian ayat tersebut, Rahardjo menyimpulkan al-Qur'an sejak
awal membawa dua semangat kembar, yaitu tauḥīd dan keilmuan. 152

150
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 529.
151
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 529.
152
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 530-531. Bandingkan dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa
ada tiga hal pokok dalam hubungan al-Qur'an dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat manusia, yaitu terkait tujuan, cara, dan pembuktian. Dalam tujuannya, al-Qur'an
memiliki tiga kandungan, yaitu (1) akidah, (2) budi pekerti/ akhlak untuk mewujudkan
keharmonisan hidup bermasyarakat, dan (3) hukum-hukum/ syariat untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia lain, dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Sementara terkait cara untuk mencapai tiga tujuan tersebut di dalam al-Qur'an terkandung
empat cara, yaitu: (1) menganjurkan untuk memperhatikan alam raya, (2) menceritakan
peristiwa-peristiwa sejarah, (3) merangsang manusia untuk melakukan pemikiran filosofis

120
Uraian Dawam Rahardjo terkait ilmu dan agama menurut penulis adalah
bentuk aplikasi dari metode tafsirnya yang mengharuskan pembaca al-Qur'an
memiliki pengalaman atau setidaknya pengetahuan dasar tentang tema yang akan
dibahas. Dalam praktiknya, pengetahuan pra-pembacaan tersebut digunakan sebagai
bahan penafsiran ayat-ayat yang dikaji. Dalam entri ini, setelah memberikan
pengantar tentang pengertian ilmu, Rahardjo kemudian menelusuri konsep 'ilm
dalam al-Qur'an melalui berbagai akar kata 'a-l-m dan beberapa kata yang memiliki
pengertian "tahu" seperti 'arafa, darā, khabara, sha'ara, ya'isa, ankara, baṣīrah, dan
ḥakīm serta kata kunci lain yang berkaitan seperti lafaz āyah dan ūlū al-albāb.153
"Sebagai contoh, kalau kita berbicara mengenai kata 'tanda' atau 'alamat' yang
merupakan sasaran dari pengetahuan, maka kita akan teringat kepada kata 'āyah'
(jamak, āyāt) Kata ini disebut sebanyak 392 kali dalam al-Qur'an. kata ini sering
ditafsirkan dua macam, yaitu ayat-ayat yang merupakan wahyu Allah yang tersurat
dalam al-Qur'ān, tetapi juga yang diartikan sebagai tanda-tanda atau simbol-simbol
yang terdapat dalam alam semesta dan diri manusia (sebagai makhluk biologis yang
merupakan bagian dari alam semesta) yang disebut sebagai ayat-ayat kauniyyah." 154
Berdasarkan penelusurannya, Rahardjo menemukan kata āyah yang terdapat
pada suatu ayat atau serangkaian ayat al-Qur'an berkaitan dengan aktivitas mental
manusia. Aktivitas mental tersebut berupa pikir dan dzikr. Dua aktivitas mental
tersebut hanya dilakukan oleh ūlū al-albāb seperti yang disebut pada QS. Āli 'Imrān
(3): 190-191 berikut:
ٍ ‫السماوات و ْاألرض واختالف اللَّيل والنـَّهار َلي‬
‫) الَّذين ي ْذ ُكُرون‬190( ‫ات ألُويل ْاأللْباب‬ َّ ‫إ َّن يف خلْق‬
ْ ْ ْ
َّ ‫ودا وعلى ُجنُوِب ْم ويـتـف َّك ُرون يف خلْق‬
‫السماوات و ْاأل ْرض ربـَّنا ما خل ْقت هذا باط ًال‬ ً ُ‫اللَّه قي ًاما وقـُع‬
)191( ‫ُسْبحانك فقنا عذاب النَّار‬
"(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
berakal, (191) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami
dari azab neraka."

yang telah disediakan jawabannya dalam al-Qur'an, dan (4) memberikan janji dan ancaman
baik di dunia dan akhirat. Setelah itu, dalam pembuktiannya ada tiga hal pokok yang menjadi
mukjizat al-Qur'an, yaitu: (1) susunan redaksi yang merupakan puncak tertinggi sastra
bahasa Arab, (2) isyarat-isyarat berbagai macam ilmu pengetahuan, dan (3) ramalan-ramalan
yang diungkapkan. Shihab, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 90-91.
153
Semua kata yang disebut oleh Rahardjo memang mengandung pengertian "tahu"
kecuali ya'isa. Ya'isa dalam bahasa Arab berarti putus asa. Artian tersebut menurut penulis
tidak berkaitan dengan "tahu". Rahardjo juga tidak memberikan contoh ayat yang
menyebutnya.
154
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 533.

121
Menanggapi dua ayat itu, Rahardjo mengutip penafsiran Maulānā Muḥammad 'Alī.
Ia mengatakan bahwa konsekuensi aktivitas pikir dan dzikr dalam ayat tersebut
adalah menuntut ilmu. Ia lalu menyoroti sabab al-nuzūl ayat tersebut.
Rahardjo tidak merujuk kitab-kitab yang secara khusus membahas sabab al-
nuzūl seperti Asbāb al-Nuzūl karya al-Wāḥidī atau Lubāb Manqūl fī Asbāb al-Nuzūl
karya al-Suyūṭī. Keterangan sabab al-nuzūl dirujuk pada penjelasan yang tertera
dalam Tafsir al-Qur'an al-Hakim karya H.M. Kasim Bakry, Imam M. Nur Idris dan
A. Dt. Madjoindo. Diceritakan bahwa suatu saat 'Āisyah pernah melihat Rasulullah
Saw menangis menjelang subuh. Bilāl kemudian datang seraya meminta izin untuk
mengumandangkan azan. Ketika melihat Nabi Saw menangis, ia bertanya apa
gerangan yang menyebabkan beliau berlinangan air mata sementara Allah telah
mengampuni segala dosa beliau. Rasulullah Saw menjawab, "Wahai Bilāl,
sesungguhnya aku adalah hamba Allah yang bersyukur." Kemudian Rasulullah
membaca dua ayat Āli 'Imrān tadi dan berkata, "Sungguh celaka orang yang
membaca ayat itu, tetapi tidak memikirkan maknanya."155
Rahardjo lantas mengaitkan riwayat di atas dengan teori kebudayaan yang
dicetuskan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan yang menggambarkan tiga
proses kebudayaan manusia, yaitu tahap mitis, ontologis, dan fungsional.
"Dalam tahap mitis, manusia masih merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan
gaib sekitarnya, yang dilihatnya sebagai kekuatan kekuasaan dewa-dewa alam raya.
Pada tahap ontologis, manusia sudah terbebas dari kekuasaan mitis dan mulai
mengambil jarak dengan segala sesuatu yang ditatapnya. Ia mulai berpikir dan
meneliti. Pada tahap ini manusia telah melahirkan ilmu; dan ilmu inilah yang
membebaskan sikap dan alam pikirannya. Ketika manusia mulai masuk ke dalam
tahap fungsional, ia tidak lagi terpesona oleh lingkungannya, tetapi juga tidak
mengambil jarak, melainkan berusaha mencari relasi-relasi baru dan kebertautan
segala sesuatu dalam alam sekitarnya." 156
Berdasarkan uraian ini, Rahardjo sedang menafsirkan ucapan Nabi Muhammad Saw
yang menghimbau siapa saja yang membaca QS. Āli 'Imrān (3): 190-191 agar
memikirkan maknanya. Ia melihat himbauan tersebut sebagai salah satu dari proses
kebudayaan dari yang semula mitis menuju fungsional.

155
Berdasarkan penelusuran penulis, keterangan tersebut terdapat dalam Tafsir al-
Qurṭubī. Keterangan serupa diriwayatkan oleh Ibn Ḥibbān. Sejumlah ulama hadis seperti al-
Bukhārī, Muslim, dan Abū Dāwud juga meriwayatkannya tetapi dengan konteks yang
berbeda. Lihat: Al-Qurṭubī, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān, v. 4, h. 310. Muḥammad ibn
Ḥibbān ibn Aḥmad ibn Ḥibbān ibn Mu’ādh ibn Ma’bad Al-Tamīmī, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān Bi
Tartīb Ibn Bulbān (Muassisah al-Risālah), j. 2, h. 387. Muḥammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm
ibn al-Mughīrah Al-Bukhāri, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ (Qāhirah: Dār al-Shi’b, 1987), j. 6, h. 51 & j.
8, h. 59. Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushairī Al-Naisābūrī, Al-Jāmi’
Al-Ṣaḥīḥ (Beirut: Dār al-Jail & Dār al-Afāq al-Jadīdah), j. 2, h. 182.Abū Dāwud Sulaimān
ibn al-Ash’at Al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī), j. 1, h. 21.
Aḥmad ibn Ḥanbal Abū ’Abdillāh Al-Shaibānī, Musnad Al-Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal
(Qāhirah: Muassisah Qurṭubah), j. 1, h. 275, 350, & 373. Aḥmad ibn Shu’aib Abū ‘Abd al-
Raḥmān Al-Nasāī, Al-Mujatabā Min Al-Sunan (Halb: Maktab al-Matbū’āt al-Islāmiyyah,
1986), j. 3, h. 237. Bandingkan dengan riwayat al-Wāḥidī: Al-Wāḥīdī, Asbāb al-Nuzūl, h. 98.
156
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 535.

122
Rahardjo lalu mengkorelasikan keterangan di atas dengan QS. al-Baqarah
(2): 164. Menurutnya, ayat ini memberi contoh cara pemikiran yang bersifat
fungsional, yaitu suatu alam pikiran di mana manusia mulai melihat dunia sebagai
suatu keberaturan yang saling bertautan antara yang satu dengan lainnya dan
penciptaannya mengandung tujuan-tujuan fungsional bagi kehidupan manusia. Pada
tahap alam pikiran fungsional tersebut, manusia mampu memikirkan manfaat-
manfaat alam dan oleh karenanya dapat mencapai dan menciptakan teknologi dan
etika. Untuk sampai pada taraf ini, Allah telah membekali manusia dengan
kemampuan menjelaskan (al-bayān) segala gejala yang terjadi di alam semesta
sebagaimana tertera pada QS. al-Raḥmān (55): 4-5 melalui proses penalaran dan
perenungan mendalam sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Naḥl (16): 11.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Rahardjo mengatakan bahwa lafaz-lafaz seperti
fahhama, 'aqala, baṣir, faqiha, ḥalam, khabara, albāb, atau nuhā dalam al-Qur'an
menunjukkan metodologi ilmu pengetahuan. Dari beberapa konteks lafaz tersebut ia
menyimpulkan:
"...intinya adalah bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh melalui observasi (baṣīr)
terhadap segala sesuatu yang merupakan dasar dari pemikiran, penalaran,
perhitungan, pengukuran dan perenungan. Dengan perkataan lain, ilmu adalah suatu
pengetahuan yang dapat dijelaskan, dan ada penjelasannya menurut aturan-aturan
tertentu yang perlu disepakati dalam suatu masyarakat ilmu." 157
Rahardjo kemudian mengidentifikasi hubungan antara ilmu dan agama. Dari
QS. al-A'rāf (7): 187, ia menyimpulkan adanya keterbatasan akal manusia untuk
mengetahui sesuatu seperti kapan datangnya hari kiamat yang dikabarkan oleh
agama. Contoh lainnya adalah pengetahuan tentang ruh dalam QS. al-Isrā' (17): 85
yang menunjukkan sedikitnya pengetahuan manusia terhadap hal-hal tertentu.
Namun, Rahardjo memberi catatan khusus:
"Jadi, menurut al-Qur'an memang benar adanya bidang-bidang, di mana jangkauan
pengetahuan manusia terbatas. Tetapi dalam hal ruh umpamanya, objek ini
sebenarnya masih berada dalam jangkauan ilmu pengetahuan, walaupun kemampuan
ilmu juga terbatas. Dalam hal kiamat, manusia memang tidak tahu kapan datangnya,
tetapi kemungkinan kejadian seperti itu masih berada dalam jangkauan ilmu untuk
menjelaskannya, misalnya jika terjadi perang nuklir. Hal ini dijelaskan umpamanya
dalam al-Qur'an s. al-Takāthur/102 'Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin.'"158
Rahardjo menafsirkan 'ilm al-yaqīn sebagai keyakinan ilmiah (teoritis). Hal
ini berkaitan dengan konteks surat al-Takāthur yang menunjukkan manusia tidak
harus membuktikan akibat menumpuk-numpuk harta dengan fakta empiris ('ain al-
yaqīn) untuk mengetahui kebenaran, tetapi bisa dengan 'ilm al-yaqīn. Dengan
penjelasan ini, Rahardjo ingin menerangkan perbedaan antara ranah pengetahuan
agama dan ilmu. Ia menegaskan bahwa kesadaran akan keterbatasan ilmu sangat
penting untuk menghindari bencana bagi manusia. Maksudnya, seperti dalam surat
tersebut, mereka yang mengabaikan dan tidak percaya pada hari kiamat akhirnya

157
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 537.
158
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 539.

123
celaka. Oleh karena itu, mengutip pembagian ilmu oleh John Neville Keynes,
Rahardjo menyimpulkan bahwa al-Qur'an mengakui ilmu normatif dan ilmu positif.
Jadi, di dalam Islam ilmu pengetahuan termasuk bagian dari agama. Rahardjo
menyandarkan pendapatnya pada dua hadis Nabi Saw. Ia menulis:
"Ada sebuah Ḥadīṡ Nabi yang mengatakan: 'Sesungguhnya, Allah ditaati dan
disembah dengan ilmu. Begitu juga kebaikan dunia dan akhirat bersama ilmu,
sebagaimana kejahatan dunia dan akhirat karena kebodohan.' Sebuah Ḥadīṡ yang
lain mengatakan hal yang serupa: 'Barangsiapa menginginkan kebaikan di dunia ini,
hendaklah mencari dengan ilmu, barangsiapa menginginkan kebaikan di akhirat,
mencari dengan ilmu, dan barangsiapa menginginkan keduanya, hendaklah mencari
ilmu.'"159
Setelah menjelaskan posisi ilmu dan hubungannya dengan agama, Dawam
Rahardjo kemudian mengulas sekilas perkembangan ilmu di dunia modern mulai
dari ilmu sebagai identik dengan pengetahuan hingga ilmu yang membedakan diri
dengan pengetahuan biasa yang memunculkan dikursus filsafat ilmu. Menanggapi
konteks tersebut, Rahardjo lalu mengidentifikasi lebih mendalam konsep ilmu dalam
al-Qur'an dengan memfokuskan pada objek yang dapat dan tidak dapat diketahui
oleh manusia di dalam al-Qur'an.
Rahardjo lalu menjelaskan perangkat/ alat yang dapat digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan dalam al-Qur'an. Berdasarkan QS. al-Aḥqāf (46): 23 dan
26, ia menyimpulkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan kalbu adalah alat untuk
memperoleh ilmu dan memahami kebenaran ayat-ayat yang diturunkan Allah. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan dapat dicapai melalui cara empiris dan intuisi (qalb).
Hal ini sama seperti yang pernah dinyatakan oleh Albert Einstein.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, ada beberapa ayat yang disorot oleh
Rahardjo. Misalnya tentang suatu yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan
manusia seperti hari kiamat pada QS. al-Aḥzāb (33): 63, atau sesuatu yang dapat
diketahui secara terbatas seperti ruh pada QS. al-Isrā' (17): 85 yang hanya diketahui
oleh Allah Swt. Rahardjo juga menyoroti bahwa pengetahuan Allah tidak terbatas
sebagaimana dijelaskan oleh QS. al-A'rāf (7): 19160, QS. al-Ra'd (13): 9, dan QS.
Luqmān (31): 27. Sementara itu, jangkauan ilmu manusia sangat terbatas dan tidak
sempurna seperti yang dijelaskan oleh QS. Yūnus (10): 39.
Namun, keterbatasan ilmu manusia bukan berarti mereka tidak mampu
mendapatkan ilmu. Rahardjo merujuk QS. al-Baqarah (2): 31-33 yang menjadi
rujukan para mufassir sebagai bukti bahwa manusia diberi kemampuan untuk
mendapatkan pengetahuan. Rangkaian ayat tersebut menceritakan bagaimana nabi
Adam diajarkan oleh Allah Swt mengenali nama-nama segala benda sehingga dapat
menyebutkannya di hadapan para malaikat sehingga mereka sujud kepadanya.
"Dengan kemampuan itulah maka manusia memiliki ilmu. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan: ilmu itu bersumber dari kemampuan manusia, yang tidak terdapat pada
makhluk lain, untuk mengidentifikasikan segala sesuatu yang merupakan obyek
pengetahuan, dengan indra dan intuisinya. Dengan kemampuan itu pula manusia bisa

159
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 540.
160
Penulis tidak menemukan ketepatan pada ayat ini dalam konteks penjelasan
Rahardjo kecuali ayat 7.

124
melakukan komunikasi dan transfer pengetahuan kepada orang lain, tidak saja di
antara yang hidup dalam satu generasi, melainkan juga ke generasi berikutnya. "
Meskipun ilmu bersumber dari kemampuan manusia, melalui QS. al-An'ām
(6): 143 Rahardjo menemukan ciri khusus ilmu yang membedakannya dengan
pengetahuan biasa. Pada ayat tersebut, Rahardjo menilai ilmu merupakan suatu
pengetahuan yang diperoleh melalui suatu penalaran tertentu. Penilaian ini
didasarkan pada analisis sejarah yang diterapkannya untuk mengetahui konteks ayat
tersebut.
"Konteks ayat ini adalah mengenai berbagi hukum yang berdasarkan kepercayaan
yang tidak masuk akal, seperti yang terdapat dalam hukum yang berlaku pada
kalangan kaum Yahudi. Dalam hukum itu terdapat larangan mempergunakan,
mengambil manfaat, atau memakan berbagai jenis binatang dan tanaman, tetapi tidak
ada dasar penalarannya. Maka pada ayat berikutnya dikatakan: 'Maka siapakah yang
lebih ẓālim daripada orang-orang yang membuat dusta (kebohongan) terhadap Allah,
untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?'"161
Pada persoalan di atas, begitu pula persoalan yang sama seperti masalah
pengorbanan anak laki-laki yang paling dicintai sebagai kurban yang menjadi tradisi
bangsa Arab waktu itu tanpa didasari ilmu dan suatu bentuk kebodohan atau contoh
lain yang disebutkan dalam QS. al-An'ām (6): 136-151, menurut Rahardjo dapat
dijadikan sebagai kasus ontologis untuk dibahas dan diberi penilaian. Pembahasan
dan penilaian tersebut berguna bagi masyarakat untuk menyusun pedoman hidup
dan sistem hukum yang rasional.162 Selain itu, melalui QS. al-An'ām (6): 143 dan
148 ditemukan dasar epistemologis berupa argumen yang rasional. Sementara itu
dari QS. al-An'ām (6): 141-142 memperkenalkan cara berpikir fungsional terhadap
alam dan dari QS. al-An'ām (6): 151 mengajarkan dasar-dasar aksiologis ilmu
berupa etik dan moral. Rahardjo menjelaskan:
"Keseluruhan ayat-ayat dalam surat ini menyajikan berbagai ciri 'ilmiah' atau dasar-
dasar pengertian ilmu seperti: Bukti tertulis (ayat 7 dan 92), adanya tanda bukti,
kesaksian indrawi, dapat diketahui, dilakukan dengan jalan justifikasi atau
pembenaran (taṣdīq), adanya olah pikir (ayat 50), pertimbangan (ayat 153), melihat
kegunaannya (ayat 143), dan argumentasi (ḥujjah), memakai takaran dan timbangan
(ayat 53), melakukan perhitungan (ayat 97), dan mengandung penjelasan (ayat 99 dan
155). Sebaliknya, hal-hal yang bukan atau dapat dipertentangkan dengan ilmu
dikaitkan dengan hal-hal seperti mengacaukan (fitnah), melakukan dugaan-dugaan
(spekulasi) yang tidak berdasar, kabur, menyesatkan, mendustakan kebenaran,
kebodohan, kebohongan, mengikuti hawa nafsu, membingungkan, tindakan yang
membabi buta dan bertentangan dengan kemanusiaan."163
Terakhir, Rahardjo menyinggung QS. al-An'ām (6): 48 yang memuat lafaz
iṣlāh. Menurutnya, kata iṣlāh yang berarti "perbaikan" atau "pembaruan" merupakan
fungsi ilmu. Ayat tersebut menjelaskan bahwa "Barang siapa yang beriman dan
mengadakan perbaikan (iṣlāh), maka tiada kekhawatiran dan tiada pula kesedihan".

161
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 545.
162
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 546.
163
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 548.

125
"Dari ayat itu kita bisa menarik kesejajaran antara ilmu dengan motivasi yang berdiri
di balik usaha-usaha perbaikan dan mencapai kemajuan, yang tidak lain adalah
kreativitas."164
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara
keseluruhan Rahardjo menafsirkan konsep 'ilm dari berbagai aspek. Namun, yang
lebih ditekankan adalah aspek fungsionalnya. Ilmu merupakan bagian dari agama
yang berfungsi untuk kemaslahatan manusia, termasuk mencapai kemajuan.
Kemaslahatan tersebut akan tercapai selama manusia memaksimalkan potensi
mereka dalam meneliti objek-objek yang ada di dunia seperti yang telah disebutkan
beberapa contohnya dalam al-Qur'an secara rasional. Menurut penulis, penafsiran
Rahardjo terhadap konsep ilmu dalam pengertian ini relevan dengan konteks sosial
saat itu di mana umat muslim dihadapkan pada perubahan zaman yang menuntut
kecakapan ilmu pengetahuan sementara masyarakat masih terbelakang akibat
pendikotomian ilmu pengetahuan.
Perbincangan mengenai hubungan antara ilmu dan agama serta wacana
mengintegrasikannya menjadi satu kesatuan terus berlanjut. Konsep 'ilm dalam al-
Qur'an kemudian dikaitkan dengan konsep ūlū al-albāb yang dilekatkan pada sosok
cendekiawan muslim, sosok yang dianggap mampu memadukan ilmu dan agama.
Secara khusus, Rahardjo menuliskan hasil kajiannya mengenai sosok ūlū al-albāb
dalam entri Ūlū al-Albāb.
Artikel Ūlū al-Albāb ditulis pada tahun 1995 dan dimuat di Jurnal Ulumul
Qur'an nomor 4 volume VI pada tahun yang sama. Topik yang diangkat oleh Jurnal
Ulumul Qur'an edisi tersebut ialah Syi'ah di Indonesia. Sekilas tampak tidak ada
keterkaitan antara entri yang dibahas Rahardjo dengan topik tersebut. Namun,
ternyata di sisi lain yang menjadi sorotan atau highlight pada edisi jurnal kala itu
adalah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang sudah berusia lima
tahun. Dalam konteks inilah sepertinya tulisan Rahardjo menemui relevansinya.165
Rahardjo memulai pembahasan ūlū al-albāb dengan menjelaskan konteks
"cendekiawan muslim" yang menjadi perbincangan hangat di Indonesia pada awal
dasawarsa tahun 1990-an seiring berdirinya ICMI. Rahardjo bercerita bagaimana
istilah "cendekiawan muslim" yang menjadi kata kunci organisasi tersebut dicarikan
padanannya dalam al-Qur'an. Ada yang mengartikannya sama dengan istilah 'ālim
atau 'ulamā' yang berarti orang yang berilmu. Namun, pengertian tersebut dirasa
belum tepat karena penggunaan istilah 'ulamā' di Indonesia identik dengan
seseorang yang ahli dalam bidang agama saja, sedangkan "cendekiawan muslim"
diharapkan lebih dari kualitas tersebut.
Rahardjo kemudian merujuk pada beberapa pandangan mengenai
pengertian yang sepadan dengan "cendekiawan muslim". Salah satunya merujuk
artikel Ismail Ya'kub yang menemukan kata ūlū al-albāb yang sering diterjemahkan
dengan "orang yang mempunyai akal". Menurut Ya'kub, berdasarkan berbagai ayat
al-Qur'an, ciri-ciri ūlū al-albāb menunjukkan pengertian esensial "cendekiawan

164
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 549.
165
Lihat sampul depan dan daftar isi Jurnal Ulumul Qur'an. Ulumul Qur’an: Jurnal
Ilmu Dan Kebudayaan, 6.4 (1995).

126
muslim". Istilah tersebut juga sering disebut tokoh-tokoh muslim lainnya seperti
oleh Muhammad Imaduddin Abdurrahim, Ali Yafie, Amin Aziz, M. Quraish
Shihab, dan Chabib Chirzin di kalangan terbatas jauh sebelum kelahiran ICMI.
Selain ūlū al-albāb, ada yang memperkenalkan istilah fakkar yang berasal
dari kata kerja fakkara atau tafakkara dalam al-Qur'an. Namun, kata yang berarti
"ahli pikir" dan telah menjadi bahasa Indonesia dengan istilah "pakar" identik
dengan pemikir di bidang umum saja dan bukan agama. Menanggapi diskursus
tersebut, Rahardjo menjelaskan:
"Dalam diskursus tentang cendekiawan Muslim, orang cenderung ingin
mengkombinasikan unsur-unsur 'ulamā' dan pemikir. Ketika ditemukan istilah ūlū al-
albāb-yang memang merupakan 'penemuan' baru di Indonesia dalam diskursus
keagamaan itu-agaknya ditemukan kombinasi itu. Sebenarnya jika kita mau meneliti,
'ulamā' itu tidak hanya menyangkut pengetahuan agama saja, melainkan juga
pengetahuan pada umumnya. Tetapi pengertian baku yang berkembang dalam
masyarakat telah menjurus kepada pengertian itu. karena itu orang cenderung mencari
istilah lain seperti ūlū al-albāb. Hanya saja kata ūlū al-albāb tersebut agak sulit
dilafalkan oleh lidah Indonesia sehingga hanya disebut di lingkungan khusus. " 166
Berangkat dari konteks di atas, Rahardjo memulai penafsirannya dengan
menelusuri konsep ūlū al-albāb dalam al-Qur'an. Ia mengkaji variasi kombinasi kata
ūlū yang banyak disebut dalam beberapa ayat seperti ūlū al-amr, ūlū al-'ilm, ūlū al-
abṣār, ūlū al-aid, ūlū al-ba's, dan ūlū al-faḍl beserta konteksnya. Dari hasil kajian
tersebut, Rahardjo menyimpulkan bahwa sebutan ūlū melekat pada orang-orang elite
karena memiliki keunggulan.167 Setelah itu, ia menjelaskan makna al-albāb secara
etimologis.
"Kata albāb, berasal dari kata l-b-b, yang membentuk kata al-lubb yang artinya 'otak'
atau 'pikiran' (intellect). Kata albāb adalah bentuk jamak dari kata al-lubb tersebut.
Albāb di sini bukan mengandung arti otak atau pikiran beberapa orang, melainkan
hanya dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian, ūlū al-albāb artinya orang yang
memiliki otak berlapis-lapis. Ini sebenarnya membentuk arti kiasan tentang orang
yang memiliki otak tajam." 168
Secara terminologis, Rahardjo merujuk beberapa pengertian ūlū al-albāb
dari A Concordance of the Qur'an yang memberikan pengertian berdasarkan konteks
penggunaannya. Ada enam pengertian yang dihasilkan, yaitu: (1) orang yang
mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam; (2) orang yang mempunyai
perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya; (3) orang yang
memiliki daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat; (4) orang yang memiliki
pandangan dalam atau wawasan (insight) yang luas dan mendalam; (5) orang yang
memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas; dan (6) orang
yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran, dengan
pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil. Dari beberapa pengertian

166
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 552-553.
167
Pembahasan ini seperti yang telah penulis singgung pada bab sebelumnya. Lihat
halaman 67.
168
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 557.

127
tersebut, Rahardjo menyimpulkan bahwa ūlū al-albāb adalah orang yang memiliki
otak berlapis-lapis dan perasaan yang peka terhadap sekitarnya. Dalam diskursus
"cendekiawan", ia mengartikan ūlū al-albāb merupakan cendekiawan yang memiliki
bermacam kualitas.
Rahardjo kemudian menguraikan sejarah perkembangan istilah cendekiawan
di Indonesia dan dunia. Menurutnya, kata "cendekiawan" atau yang dalam bahasa
Inggris disebut "intellectual" berasal dari kata cerdik-cendekia dalam budaya
Minangkabau. Kata tersebut bermakna sebagai orang pintar seperti guru dan kaum
terpelajar. Dari kata "cerdik-cendekia" dipilih kata "cendekia" dan mendapat
imbuhan "wan" pada akhir kata sehingga menjadi "cendekiawan". Kata cerdik
dihindari karena berkonotasi negatif. Berdasarkan pengertian asal kata cendekiawan
tersebut, Rahardjo memberi catatan bahwa cendekiawan tidak mesti orang yang
berpendidikan dan bergelar sarjana. Seorang cendekiawan mungkin saja bukan
seorang sarjana seperti Sudjatmoko yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari
beberapa universitas sebagai pengakuan atas kecendekiawannya meski mengalami
drop-out dalam proses belajarnya.
Selanjutnya, Rahardjo membandingkan kata "cendekiawan" dengan
"intelektual". Menurutnya, kata yang disebut terakhir lebih mudah ditangkap
esensinya dalam al-Qur'an karena memiliki kata yang sepadan, yaitu al-'aql. Namun,
pengertian al-'aql dalam al-Qur'an menurutnya tidak pas dengan esensi
cendekiawan. Oleh karenanya, ia lebih memilih pengertian "intelektual" yang
berasal dari Rusia yang juga disebut "intelegensia". Pengertian tersebut dinilai
sebanding dengan ūlū al-albāb. Untuk menjelaskan keterkaitannya antara kedua kata
itu, Rahardjo menguraikan evolusi makna "intelektual" dalam sejarah Barat.
Merujuk The Harper Collins Dictionary of Sociology, Rahardjo
menerangkan bahwa kata "intelektual" pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris
pada abad ke-19 M yang mengalami peyorasi. Rahardjo berkata:
"Kata itu muncul sebagai sebutan kelompok masyarakat yang mempunyai peran dan
ciri-ciri tersendiri yang disebut intelektual itu. Di Indonesia pun kata cendekiawan
baru muncul setelah berkembang kelompok tertentu dengan ciri tertentu pula."169
Secara sosio-historis, ada tiga fase penggunaan kata "intelektual" di sejarah Barat.
Pertama digunakan pada awal abad ke-19 M oleh Saint-Simon untuk menunjuk
kepada kelompok saintis yang mempelopori gerakan mengembangkan dan
menggunakan pengetahuan positif dalam membentuk suatu masyarakat industri di
Perancis dan negeri-negeri lain. Kedua, digunakan pada tahun 1896 oleh
Clemencaeau untuk para pembela Dreyfus, seorang yang mengalami ketidakadilan
politik karena memiliki ras Yahudi. Ketiga, digunakan pada tahun 1927 oleh Julia
Benda untuk para intelektual yang berkhianat demi mencari kebenaran dan keadilan
universal.
Berdasarkan keterangan tersebut, Rahardjo menyimpulkan secara harfiah
intelektual sebagai orang yang memiliki intelek yang kuat atau intelegensi yang
tinggi. Intelegensi yang merupakan kemampuan memahami dalam berpikir dan
bertindak secara rasional itu bisa diperoleh berkat faktor keturunan atau pengalaman

169
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 559.

128
sosial dengan masyarakat. Namun, Rahardjo kemudian menambahkan untuk dapat
disebut sebagai intelektual maka seseorang harus melakukan tiga hal. Ia
menjelaskan:
"Tetapi apakah hanya intelegensi ini yang membuat seseorang itu disebut intelektual?
Tentu saja tidak, karena intelektual itu adalah julukan terhadap seseorang atau
kelompok tertentu sebagai kehormatan, karena jasa dan peranan dalam memajukan
kehidupan manusia. Pada tingkat pertama adalah orang yang mempergunakan
kekuatan intelegensinya untuk perubahan sosial. Kedua, karena sikap dan
perbuatannya untuk mencari kebenaran dan keadilan yang universal. Dan ketiga
karena keberaniannya untuk membela kebenaran. Karena itu, di sini ada tiga unsur
yang membentuk kecendekiawanan, yakni pengetahuan, orientasi, dan keberanian
yang ada pada seseorang."170
Untuk memberi gambaran konkret, Rahardjo menyebut para Nabi dan filsuf seperti
Konfusius, Lao-tze, Zoroaster dan Shidarta Gautama sebagai orang-orang yang
memiliki tiga peranan tersebut. Selain itu adalah sekelompok masyarakat seperti
pendeta, ulama, atau pastor yang perannya menyerupai para nabi. Sayangnya,
mereka hanya bergerak di bidang rohani saja sedangkan nabi selain mengurusi
bidang rohani juga terlibat aktif dalam sosial dan politik. Rahardjo memberi kritikan
sebagaimana berikut:
"Dalam Hadīst Nabi dikatakan bahwa ''ulamā' itu ahli waris para nabi.' Tetapi pada
umumnya, kualitas mereka tidak komprehensif seperti nabi. Jika dikombinasikan
kualitas rohaniawan dan intelektual, maka itu membentuk kepribadian nabi sehingga
benar-benar bisa berperan sebagai pengganti dan penerus misi para nabi dari generasi
ke generasi."171
Dari pengertian cendekiawan beserta contoh konkretnya, Rahardjo
kemudian mulai membahas diskursus cendekiawan muslim dengan ūlū al-albāb
dalam al-Qur'an. Ia menyinggung QS. Āli 'Imrān (3): 190-191 yang menjadi
semboyan ICMI dan selalu dibaca setiap kali ada acara pertemuan. Pada dua ayat
tersebut ada dua kualitas yang melekat pada ūlū al-albāb yaitu dhikr dan fikr yang
kemudian dikenal sebagai konsep zikir dan pikir. Cendekiawan muslim dianggap
memiliki keduanya.
Terkait QS. Āli 'Imrān (3): 190, Rahardjo memahami ūlū al-albāb sebagai
orang yang mengaitkan akal dengan fakta empiris yang menyangkut pengetahuan
positif. Pada ayat tersebut, gejala alam merupakan kenyataan ontologis yang
menjadi objek pemikiran mereka. Pada tahapan ini, pengertian ūlū al-albāb sama
seperti ūlū al-abṣār. Sebagai contoh, Rahardjo menghubungkan dengan isi QS.
Yāsīn (36): 40 yang mengungkap adanya garis edar (orbit) matahari dan bulan. Ayat
tersebut turun pada abad ke-7 M di mana pengetahuan bangsa Arab saat itu belum
maju. Namun, berkat petunjuk dari ayat tadi mereka lalu menekuni bidang
astronomi dan melakukan penelitian sehingga berhasil mencapai puncak
pengetahuan yang berkembang di negara-negara Islam pada zaman itu.

170
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 560.
171
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 561.

129
Rahardjo kemudian melanjutkan pembahasan pada QS. Āli 'Imrān (3): 191
yang mengandung penjelasan substansial tentang ūlū al-albāb yaitu dhikr dan fikr.
Untuk memahami dua kata tersebut, ia memperhatikan letak penyebutan dhikr yang
disebut pertama kali dalam ayat. Berdasarkan letak penyebutan tersebut, Rahardjo
membuat dua spekulasi. Pertama, dhikr mencakup pikir atau pikir terkandung dalam
pengertian dhikr. Alasannya adalah karena dalam dhikr terkandung unsur pikir.
Kedua, sebaliknya, dhikr terkandung dalam pikir. Rahardjo beralasan urut-urutan
pada ayat 191 menunjukkan kegiatan pikir mencakup dhikr. Dua spekulasi ini
mungkin tampak membingungkan. Namun, pada intinya, Rahardjo menggambarkan
dua aktivitas ūlū al-albāb, baik zikir dahulu kemudian pikir atau pikir dahulu
kemudian zikir. Terkait hal ini, ia mengomentari konteks sosial yang terjadi di
masyarakat.
"Seringkali kita mendengar interpretasi bahwa pikir itu harus diimbangi dengan dhikr,
seolah-olah pikir itu hanya menyangkut kegiatan rasional saja, sedangkan dhikr itu
bersifat supra-rasional atau mungkin tidak rasional, karena menyangkut īmān. Pada
waktu pikir tidak lagi berbicara maka īmān tampil berbicara mengenai kebenaran.
Karena itu seorang cendekiawan Muslim bukan hanya orang yang memiliki kualitas
pikir, tetapi juga dhikr.
Dari ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ūlū al-albāb itu adalah
orang yang berdzikir dan berpikir. Hanya saja, dhikr itu merupakan bagian dari
berpikir, yang tingkatannya lebih tinggi, karena mengarah kepada transendensi. "172
Rahardjo kemudian memberi contoh bagaimana ciri-ciri ūlū al-albāb yang
diungkapkan dalam beberapa ayat. Misalnya, pada QS. al-Zumar (39): 21 terkait
fenomena hujan yang memuat gejala fisika dan botani, ūlū al-albāb digambarkan
lebih dari sekadar pemerhati alam. Rahardjo menjelaskan:
"Mereka yang mengambil pelajaran dari gejala alam ini tentunya akan melakukan
sesuatu, misalnya membuat irigasi, bendungan atau kanal untuk mendistribusikan air
hujan ke daerah-daerah yang bisa ditanami. Seorang yang mempunyai kualitas ūlū al-
albāb bisa berkembang menjadi ahli teknik, botanikus atau petani biasa yang bisa
memanfaatkan air. Tetapi ia tidak berhenti di situ saja. Seorang ūlū al-albāb akan
merenung juga bahwa semua tetumbuhan itu mempunyai masa hidup tertentu, lalu
akan layu dan akhirnya mati. Demikian pula kehidupan manusia. Di sini maka
seseorang melakukan transendensi, berpikir lebih jauh tentang hakekat hidup. "173
Contoh lainnya adalah ūlū al-albāb sebagai pemerhati gejala sejarah seperti
tertera pada QS. Yūsuf (12): 111. Rahardjo menerangkan:
"Bagi ūlū al-albāb, berbagai kejadian di masa lampau adalah sebuah bahan sejarah.
Sejarah itu tidak menceritakan seluruh riwayat, tetapi hanya kejadian-kejadian yang
penting saja untuk bisa diambil pelajaran. Sejarah disusun dengan historiografi.
Dengan itu maka kisah masa lampau itu bukan hanya 'kisah yang dibuat-buat' atau
rekayasa sejarah belaka. Dan yang bisa menarik pelajaran, yakni sejarawan adalah
mereka yang mempunyai ūlū al-albāb. Tetapi berbeda dengan sejarawan biasa,

172
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 564.
173
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 565.

130
seorang ūlū al-albāb dapat mengambil pelajaran dari sejarah, sebagai petunjuk dan
rahmat sebagai orang yang beriman kepada Kebenaran."174
Selain dua ciri di atas, dalam QS. al-Baqarah (2): 269 disebutkan bahwa ūlū
al-albāb adalah mereka yang mendapatkan ḥikmah atau kebijakan. Selain itu, ūlū al-
albāb juga memiliki amal konkret seperti yang disebutkan dalam QS. al-Ra'd (13):
19-22. Rahardjo memetakannya sebagai berikut:175
Tabel 4.3. Ringkasan Karakteristik ūlū al-albāb pada QS. al-Ra'd (13): 19-
22
Ayat Kualitas
19 - Mempunyai pengetahuan
20 - Memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak akan ingkar
(yaitu beriman, berbuat baik, dan menjauhi yang keji dan
yang munkar)
21 - Menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk
disambung (seperti ikatan cinta kasih)
- Takut kepada Allah (jika berbuat dosa) karena takut
kepada hasil perhitungan yang buruk
22 - Sabar karena ingin mendapat rida Allah
- Menegakkan salat
- Membelanjakan rezeki yang diperoleh untuk kemanfaatan
orang lain, baik secara terbuka atau tersembunyi
- Menolak kejahatan dengan kebaikan
Berdasarkan beberapa kualitas tersebut, Rahardjo menyimpulkan bahwa ūlū al-
albāb adalah seseorang yang memiliki keterikatan moral, komitmen sosial, dan
melaksanakan sesuatu dengan cara-cara yang baik.
Rahardjo kemudian menghubungkan uraian di atas dengan kualitas ūlū al-
albāb yang mampu berpikir fungsional seperti tertera pada QS. Āli 'Imrān (3): 191.
Bahkan meurutnya mereka telah melampaui tahap tersebut karena telah mencapai
tahap transendensi di mana segala sesuatu yang dialami dihubungkan ke atas, yakni
kebenaran yang universal.
Selain itu, merujuk QS. Āli 'Imrān (3): 7 yang berbicara tentang ayat-ayat
muḥkamāt dan mutashābihāt, Rahardjo menegaskan bahwa ūlū al-albāb adalah
mereka yang memiliki ilmu mendalam dan beriman. Sebagai orang beriman, ūlū al-
albāb harus menafsirkan al-Qur'an dengan mengacu kebenaran yang jelas, yaitu
esensi al-Qur'an (muḥkamāt).
Setelah menguraikan beberapa kualitas ūlū al-albāb, Rahardjo
mengungkapkan bahwa menemukan sosok seperti ūlū al-albāb sangatlah sulit.
Namun, ia mengingatkan tentang keberadaan para nabi dan rasul, terutama yang
disebut sebagai ūlū al-'azm pada QS. al-Aḥqāf (46):35 yang memiliki keteguhan hati

174
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 566-567.
175
Rahardjo tidak menampilkan keterangan ayat yang dirujuk. Keterangan ayat di sini
merupakan tambahan dari penulis pribadi.

131
dan mampu mengambil keputusan dengan segala risiko. Rahardjo kemudian
menyatakan optimismenya dalam pernyataan berikut:
"Sungguhpun demikian, dengan menjalankan syarat-syarat yang telah dikemukakan
dalam al-Qur'an itu, maka orang-orang biasa pun dapat mencapai kualitas ūlū al-
albāb. Jika tidak, mengapa berkali-kali kata itu disebut dalam al-Qur'an, yakni
sebanyak 16 kali, untuk diteladani, jika kualitas itu tidak dapat dicapai. Namun
begitu, ūlū al-albāb memang hanya kecil jumlahnya dan ia merupakan elite, yakni
mereka yang memiliki kelebihan dalam masyarakat dan karena itu besar
pengaruhnya."176
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa mencapai kualitas ūlū al-albāb tidaklah
mustahil.
Pada bagian akhir pembahasan, Rahardjo menyinggung karakter kritis yang
dimiliki oleh ūlū al-albāb. Sebagaimana telah penulis uraikan pada sub-bab yang
lalu, daya kritis ūlū al-albāb menurut Rahardjo terkandung dalam aktivitas dhikr.
Orang yang melakukan dhikr akan memiliki watak mengingatkan. Tindakan
mengingatkan merupakan ciri orang yang bersikap kritis. Oleh karenanya, ūlū al-
albāb tentu memiliki karakter kritis karena selalu ber-dhikr. Adapun bentuk
konkretnya, Rahardjo menjelaskan:
"Seorang yang melakukan dzikr tentu akan merespon seruan Allah untuk membentuk
kelompok yang berorientasi kepada kebajikan (al-khayr) dan kemudian melakukan
amr ma'rūf nahy al-munkar (Ālu 'Imrān/3:103 dan 110). Dari sinilah seorang ūlū al-
albāb akan bersikap kritis sebagai dasar dari tindakan amr ma'rūf nahy al-munkar.
Tetapi sikap kritis itu mengandung juga tanggung-jawab ketika ia mengingat kepada
nilai kebajikan dan amr ma'rūf."177
Selepas menguraikan keterangan di atas, Rahardjo menganjurkan pembaca
untuk mengkaji kata ūlū al-albāb dengan meneliti ayat-ayat lain agar mengetahui
lebih jauh kualitas "cendekiawan muslim". Menurutnya, ada banyak ayat-ayat al-
Qur'an yang mendorong dan membangkitkan kepekaan sosial seseorang seperti QS.
al-Mā'ūn. Ayat-ayat tersebut akan lebih dipahami oleh orang yang memiliki
kelebihan pengetahuan.
Penafsiran Rahardjo terkait tema 'īlm dan ūlū al-albāb di atas berhubungan
erat dengan kondisi umat Islam Indonesia yang sedang menghadapi peralihan zaman
sebagaimana disebut di awal. Sejak tahun 1980-an, diskursus mengenai ilmu
pengetahuan atau sains menjadi perhatian para tokoh. Selain itu, gelombang
pemikiran pembaharu Islam dari kalangan sarjana muslim yang menimba ilmu di
Barat mulai bermunculan dan ikut mengambil peran. Dalam konteks ini, timbullah
masalah sosial terkait integrasi ilmu dan agama. Posisi Dawam Rahardjo saat itu
dikenal sebagai cendekiawan muslim yang kritis terhadap isu-isu sosial.
Menghadapi realitas yang terjadi antara kubu yang mendukung islamisasi
pengetahuan dan kubu saintifikasi Islam, Dawam Rahardjo muncul sebagai tokoh
yang berusaha menengahi antara keduanya. Sebagai tokoh ICMI, Rahardjo
memberikan wacana ūlū al-albāb, yaitu sebuah karakter yang disebut dalam al-

176
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 570-571.
177
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 571.

132
Qur'an yang dianggap memiliki kemampuan menggabungkan ilmu dan agama.
Dalam tubuh ICMI sendiri ūlū al-albāb disebut sebagai "cendekiawan muslim" yang
menjadi kata dan konsep kunci organisasi tersebut. Dalam penafsiran di atas, tampak
bagaimana Rahardjo berusaha menjadikan konsep 'ilm dan ūlū al-albāb dalam al-
Qur'an untuk dapat diterapkan ke dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, Rahardjo
sering kali mengaitkan pembahasan ayat dengan contoh-contoh konkret dengan
bahasa penyampaian yang mudah dikenali oleh kalangan pembaca yang terdiri dari
berbagai latar belakang.
Apa yang dilakukan oleh Rahardjo tersebut hampir sama dengan pendapat
Kuntowijoyo terkait aktualisasi nilai-nilai normatif agama. Menurut Kuntowijoyo
dalam Paradigma Islam sebagaimana dikutip oleh Abdul Samad Kamba, pada
dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif. Ada dua cara agar
menjadikannya operasional, yaitu dengan aktualisasi nilai secara langsung menjadi
perilaku seperti yang dikembangkan oleh fikih atau dengan mentransformasikan
nilai-nilai normatif menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasi ke dalam perilaku.
Dalam konteks masyarakat industrial, cara yang terakhir lebih relevan dilakukan
oleh masyarakat muslim.178
Sementara itu, pada sisi yang lain, penulis melihat penafsiran Dawam
Rahardjo menunjukkan bagaimana masalah keilmuan dapat diangkat tanpa harus
menyinggung pemerintah. Dalam pengkategorian Islah Gusmian, tulisan-tulisan
Dawam Rahardjo dibuat dan dipublikasikan pada era akomodasi, di mana rezim
Orde Baru mulai melakukan pendekatan kepada masyarakat, khususnya muslim.
Pada era ini, baik pemerintah maupun umat Islam saling mengakomodasi
kepentingan masing-masing. 179 Terkait hal ini, Dawam Rahardjo sebagai petinggi
ICMI yang saat itu dekat dengan pemerintah wajar saja bila memberikan keterangan
yang tidak mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan, wacana yang
dibawakan Rahardjo dalam entri 'Ilm dan Ūlū al-Albāb turut mendukung negara
dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat.
2. Kemasyarakatan: Usaha Mewujudkan Masyarakat Madani
Pada masa Orde Baru, para cendekiawan ramai memperbincangkan masalah
demokratisasi di Indonesia. Salah satu bahasan dari demokratisasi adalah pentingnya
civil society atau masyarakat sipil untuk menegakkan dan memperkuat demokrasi.
Namun, wacana civil society yang berasal dari Barat tidak diterapkan secara
menyeluruh. Bahkan, muncul konsep-konsep baru tentang masyarakat di kalangan
para pemikir. Salah satunya adalah wacana masyarakat madani.180
Di dalam Ensiklopedi Al-Qur'an, ada beberapa entri yang menyinggung
masalah ini baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, dalam entri Nabī,
Ḥanīf dan Ibrāhīm secara tidak langsung M. Dawam Rahardjo mengusung wacana

178
Abdul Samad Kamba, ‘Analisis Historis-Antropologis Terhadap Alqur’an’, in
Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. by Pahruroji M. Bukhori and Sabroer
(Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), pp. 17–49.
179
Gusmian, Tafsir Al-Qur’an & Kekuasaan Di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi,
Dan Pertarungan Wacana, h. 69.
180
Masroer C Jb and Lalu Darmawan, ‘Wacana Civil Society (Masyarakat Madani)
Di Indonesia’, Sosiologi Reflektif, 10.2 (2016), h. 53.

133
pluralisme dan kerukunan beragama yang merupakan salah satu faktor pendukung
terwujudnya masyarakat madani.
Dalam entri Nabī181 Rahardjo memaparkan beberapa ayat yang menyebut
kata nabī serta nama-nama nabi dengan konteksnya. Kemudian, berdasarkan QS.
Yūsūf (12): 111, Rahardjo menjelaskan bagaimana konsep nabī dapat diterapkan di
masa kini. Ia menulis:
"Dalam menyebarkan ajaran-ajarannya yang bersumber dari wahyu Allah itu,
Rasulullah s.a.w. sudah tentu akan selalu merujuk pada ajaran-ajaran para nabi
sebelumnya, karena memang begitulah perintah Tuhan. Analog dengan ini, maka
pengalaman para nabi juga bermanfaat bagi para ulama dan cendekiawan yang
mewarisi risalah nabi."182
Pada uraian di atas, Rahardjo menganalogikan dakwah para ulama dan
cendekiawan sebagai pewaris risalah nabi dengan pengalaman para nabi. Penulis
memahami bahwa pengalaman para nabi yang beragam dalam menghadapi umatnya
dapat bermanfaat untuk diteladani oleh para pendakwah masa kini. Rahardjo juga
menjelaskan QS. Ibrāhīm (14): 11. Ia berkata:
"Para nabi dapat dijadikan contoh bagi para pejuang kontemporer, karena nabi adalah
manusia biasa (Q., s. Ibrāhīm/14:11). Pernyataaan bahwa para nabi itu adalah manusia
biasa juga karena orang-orang kafir itu mengharapkan hal yang tidak-tidak pada nabi
dan rasul. Kelebihan para nabi dan rasul hanyalah karena mereka itu mendapat wahyu
tentang ke-Esa-an Tuhan (Q., s. al-Kahfi/18:110)" 183
Dalam penjelasan tersebut, Rahardjo menyebut salah satu faktor alasan mengapa
para pendakwah bisa meniru para nabi adalah karena mereka juga manusia biasa.
Namun, ia juga menggarisbawahi perbedaan yang sangat signifikan antara nabi dan
manusia biasa, yaitu penerimaan wahyu.
Setelah membahas dakwah nabi yang bermacam-macam, Rahardjo
kemudian mulai menyinggung wacana pluralisme agama. Hal ini berlandaskan
ajaran para nabi yang mengusung tauḥīd, tetapi menyebut Tuhan dengan nama yang
berbeda-beda.
"Pertanyaannya mungkin adalah, apakah nama Tuhan itu berbeda-beda dari satu
bangsa ke bangsa lain? Dalam bahasa Ibrani, Tuhan itu bernama y-h-w-h, atau
Yahweh. Itulah Tuhan yang dikenal oleh Mūsā, Dāwūd, Sulaymān, dan 'Īsā dari
kalangan Yahudi. Sedangkan di kalangan bangsa Arab Tuhan itu disebut Allāh atau
al-Raḥmān, seperti disebut dalam al-Qur'an s. al-Isrā'/17:110"184
Berdasarkan tauḥīd tersebut, Rahardjo mengatakan bahwa konsekuensi meyakini
semua nabi sebagai kesatuan adalah al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh

181
Topik ini dapat dilihat dari sampul depan dan daftar isi serta kata pengantar yang
disampaikan oleh M. Dawam Rahardjo. M. Dawam Rahardjo, ‘Assalamu’alaikum’, Ulumul
Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 4.1 (1993), h. 2.
182
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 315.
183
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 315-316.
184
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 316.

134
manusia.185 Kemudian, merujuk QS. al-An'ām (6) 161 dan QS. al-Naḥl (16): 123, ia
menyimpulkan:
"Karena itu tidak ada salahnya jika ada seseorang yang menyerukan 'kembali pada
kepercayaan Ibrāhīm.' Lebih-lebih jika seruan itu dilakukan dalam konteks
perbincangan tentang agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen, karena
seperti itu pulalalah seruan Allah pada Rasulullah s.a.w. guna mencari common
platform yang sama, yaitu kepercayaan tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam rangka kajian ilmiah, istilah millah Ibrāhīm dapat diformulasikan ke dalam
suatu teori tentang kepercayaan monoteisme yang murni, sebagai dasar analisis
perbandingan agama." 186
Lebih jelasnya, dalam entri Ḥanīf, Rahardjo menyebut Nabi Ibrāhīm sebagai
"Bapak Monoteisme" yang mengajarkan tauḥīd. Berdasarkan QS. al-Bayyinah (98):
5, Rahardjo menjelaskan kata ḥanīf sebagai berikut:
"Selain condong kepada Allah, sebagai suatu kecenderungan yang benar, ḥanīf dalam
ayat tersebut dikaitkan juga dengan konsekuensi tindakannya: yang pertama
berdimensi horisontal, yaitu dengan membersihkan pendapatan dan kekayaan untuk
kepentingan sesama manusia, sebagai perwujudan dari solidaritas sosial." 187
Sehubungan dengan penjelasan di atas, dalam entri Ibrāhīm Rahardjo
menjadikan bahwa ajaran tauḥīd yang disampaikan oleh Nabi Ibrāhīm dapat
dijadikan sebagai dasar kerukunan umat beragama. Ketika membahas QS. Āli 'Imrān
(3): 67 yang menceritakan perdebatan kaum Yahudi dan Nasrani tentang status
agama Nabi Ibrāhīm, Rahardjo memberikan komentar sebagaimana berikut:
"Dalam perselisihan di sekitar klaim terhadap Ibrāhīm itu, al-Qur'an meletakkan
dasar-dasar yang objektif. Masing-masing bisa mengukur dirinya. Setiap agama dari
ketiga agama besar itu tentu mengakui bahwa Ibrāhīm adalah seorang yang lurus,
cenderung kepada Kebenaran. Dia adalah seorang penganut kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dewasa ini memang telah disepakati oleh siapa saja bahwa
Ibrāhīm adalah menegakkan kepercayaan monoteisme. " 188
Rahardjo kemudian menghubungkan pemahaman di atas dengan QS. Āli
'Imrān (3): 64 yang menerangkan ajakan Rasulullah Saw terhadap ahli kitab untuk
bersepakat menyembah Allah semata. Rahardjo menjelaskan:
"Jika demikian halnya, maka al-Qur'ān menyuruh Muḥammad s.a.w., dan kaum
Muslim untuk mengajukan preposisi tentang kerukunan antar umat beragama (Q., s.
Ālū 'Imrān/3:64)
Jadi titik temu antara ketiga agama itu adalah pada agama Ibrāhīm yang meng-Esa-
kan Tuhan." 189

185
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 317.
186
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 322-323.
187
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 74.
188
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 104.
189
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 105-106.

135
Rahardjo lantas mengkontekstualisasikan pemahaman tersebut ke dalam
konteks Indonesia, terutama dalam menjelaskan ungkapan kalimat sawā' yang
disebut dalam ayat sebelumnya. Ia menulis:
"Kejadian seperti itu sebenarnya telah dialami bangsa Indonesia ketika telah
disepakati bersama bahwa 'Negara Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa' (pasal 27 ayat 1 UUD 1945.) Bagi umat Islam ini adalah sebuah kalimatun
sawā'-un bayn-a nā wa bayn-a kum, kesepakatan bersama antara kita yang harus
dianggap sebagai suatu yang suci." 190
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya Rahardjo mencoba menyikapi
masalah kerukunan beragama di Indonesia. Wacana kerukunan beragama ini sangat
dibutuhkan saat itu mengingat sudah berkali-kali terjadi perselisihan antar umat
agama. Pada masa Orde Baru, masalah SARA (suku, agama, ras, antar golongan)
menjadi masalah sosial yang umum terjadi. Oleh karenanya, bisa dipahami mengapa
Rahardjo mengusung wacana kerukunan beragama. Selain itu, kerukunan akan
menciptakan stabilitas sosial sehingga memungkinkan terwujudnya masyarakat
madani.
Pada entri yang lain, Dawam Rahardjo dengan terang-terangan dan secara
langsung menyinggung wacana masyarakat madani. Misalnya dalam entri Madīnah,
setelah menelusuri dan mengkaji ayat-ayat yang memuat kata madīnah beserta
konteksnya, Rahardjo melihat ada keterkaitan antara agama dan peradaban. Secara
implisit Rahardjo menyampaikan bahwa kota yang dilandaskan sistem nilai agama
akan sampai pada peradaban puncaknya.
"Pembangunan kota agaknya berkaitan erat dengan agama. Seperti telah diutarakan,
agama yang dibawa para nabi dan rasul, selalu disebarkan di antara penduduk kota,
termasuk ke kalangan elite politik dan pemerintahannya. Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad s.a.w. juga disebarkan di antara penduduk kota perdagangan
Makkah, di sebelah selatan, dan agropolitan Madinah, di sebelah utara. Sebuah kota
yang baru, dalam arti fisik memang tidak timbul. Tetapi kota yang lama bernama
Yatsrib itu memang telah digantikan dengan sebuah kota dengan nama baru, Madīnat
al-Nabī, Kota-Nabi yang diberi julukan Madīnat al-Munawwarah, Kota Cahaya.
Hasil dari penyebaran Islam itu adalah terbentuknya sebuah masyarakat baru dan
sebuah negara, sebuah kekuasaan politik yang mengayomi masyarakat. Dalam
penyebaran agama itu telah terjadi sebuah transformasi dari masyarakat jahiliyah
yang gelap ke masyarakat pencerahan. Dengan perkataan lain, sebuah peradaban
(tamaddun) telah timbul. Sebuah peradaban terutama dicerminkan oleh perilaku
manusianya. Masyarakat kota Madinah memang telah dibentuk secara nyata oleh
agama." 191
Menilik uraian di atas, Rahardjo melihat bahwa suatu peradaban dimulai
dari pembangunan kota yang akan membawa perubahan pada masyarakat. Demikian
pula peradaban yang terbentuk itu akan tercermin pada tingkah laku masyarakat.
Sehubungan dengan ini, Rahardjo kemudian menyinggung wacana civil society
ketika membahas sejarah pembentukan Madinah. Ia menganalisa pembentukan
Madinah dengan pendekatan sosial-historis.

190
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 105.
191
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 335-336.

136
"Secara empiris, perkembangan agama yang diajarkan oleh Nabi s.a.w. langsung
diikuti dengan perkembangan kebudayaan lebih lanjut. Sebagai contoh, Nabi s.a.w.-
berdasarkan wahyu yang diterimanya-memperkenalkan sistem distribusi pendapatan
dan kekayaan dalam bentuk zakat, shadaqah, infaq dan waqaf. Dengan sistem tersebut
terciptalah masyarakat yang lebih egaliter yang didukung oleh solidaritas. Berbeda
dengan corak masyarakat kota Makkah ketika itu yang hirarkis menurut kekuatan
fisik dan kepemilikan kekayaan, Madinah adalah sebuah warga kota yang memiliki
persamaan hak di depan hukum, sebuah masyarakat egaliter yang didukur oleh sistem
keadilan distributif." 192
Penjelasan Rahardjo di atas menggambarkan wacana masyarakat madani
yang mulai diperbincangkan di publik pada era 1990-an. Masyarakat yang
direpresentasikan oleh masyarakat Madinah adalah masyarakat yang demokratis dan
menjunjung nilai keadilan sosial. Gambaran ini berbeda dengan masyarakat Makkah
yang direpresentasikan sebagai masyarakat yang "hirarkis menurut kekuatan fisik
dan kepemilikan kekayaan". Secara tidak langsung, wacana itu memang
menggambarkan situasi Indonesia saat itu di mana masyarakat unggul adalah
mereka yang memiliki kekuatan fisik (militer) dan yang memiliki kekayaan (pemilik
modal). Sementara itu, wacana masyarakat madani yang mengaca pada masyarakat
Madinah dijadikan sebagai wacana tandingan agar terjadi transformasi sosial yang
menjunjung tinggi keadilan. Rahardjo menjelaskan:
"Perkembangan masyarakat di Madinah selanjutnya melahirkan sebuah lembaga
kekuasaaan pemerintahan yang lebih formal, berdasarkan musyawarah. Madinah
bukan hanya merupakan masyarakat tetapi terus berkembang menjadi sebuah negara-
kota. Berbeda dengan negara-kota Makkah yang diatur berdasarkan kekuasaan, yaitu
kekuasaan plutokrasi-yang terdiri dari kelas pedagang yang berkuasa-negara-kota
Madinah diatur sebagai negara hukum berdasarkan suatu konstitusi tertentu, yaitu
Konstitusi Madinah."193
Wacana masyarakat madani yang diusung Rahardjo semakin tampak ketika
ia menerangkan bahwa telah terjadi clash of civilization atau perbenturan antara
peradaban negara-kota Makkah dengan peradaban negara-kota Madinah.
Perbenturan peradaban yang dimaksud di sini adalah persaingan dua sistem nilai
yang berbeda di mana pemenangnya dianggap lebih unggul karena mampu
berkembang dan mampu bekerja di masyarakat. Dalam konteks ini, Rahardjo
merujuk keterangan dalam QS. Āli 'Imrān (3): 110 dan menganggap masyarakat
Madinah adalah masyarakat yang unggul.
"Ayat 110 surat Ālu 'Imrān/3, di atas mengisyaratkan bahwa ummah atau peradaban
yang sedang dibangun di Madinah itu adalah sebuah peradaban yang unggul,
dibangun dengan sebuah sistem nilai tertentu, yaitu kegairahan untuk meraih yang
terbaik (al-khayr). Sistem yang terbaik itu dilakukan dengan tiga cara: menegakkan
yang ma'ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah. Dalam tafsiran Dr.
Kuntowidjojo, amr ma'rūf adalah sebuah proses humanisasi, nahy munkar adalah

192
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 340.
193
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 340-341.

137
liberasi (pembebasan) dan iman kepada Allah adalah transendensi. Proses-proses itu
melahirkan sebuah peradaban." 194
Dalam penjelasan di atas, Rahardjo menganggap sistem yang terbaik dalam
membangun peradaban adalah beriman kepada Allah dan melaksanakan amr ma'rūf
serta nahy al-munkar. Sekilas penjelasan ini memang terdapat pada ayat 110 tadi.
Namun, bila ditelisik lebih jauh, penulis melihat ada keterkaitan penjelasan Rahardjo
dengan wacana "masyarakat utama" yang dicetuskan oleh Muhammadiyah yang
pada intinya juga merujuk ayat yang sama. Prinsip yang ditawarkan juga sama, yaitu
beriman, amr ma'rūf, dan nahy munkar. Hal ini secara gamblang dijabarkan secara
panjang lebar oleh Rahardjo pada entri Ummah dalam pembahasan "Model
Masyarakat Mandiri" dan pada entri Amr Ma'rūf Nahy Munkar, terutama dalam
pembahasan "Masyarakat Utama". Keduanya sama-sama menyinggung ayat yang
sama, yakni QS. Āli 'Imrān (3): 110.195
Dalam entri Ummah, Rahardjo menjelaskan:
"Kata ummah dalam Konstitusi Madinah memang bisa ditafsirkan sebagai 'negara,'
dengan mengacu pada al-Qur'an s. Ālu 'Imrān/3:104 dan 159. Tetapi, dengan melihat
kenyataan pada masa hidup Rasulullah s.a.w., dapat pula kata ummah ditafsirkan
sebagai kesatuan 'masyarakat'. Hal ini bisa dipahami dengan memakai teori tentang
masyarakat sipil (civil society), seperti yang diungkapkan pada al-Qur'ān s. Ālu
'Imrān/3:110, yang berbunyi:
....
Pada ayat 104, tingkat satuan ummah adalah sekelompok masyarakat (group atau
community), sedangkan pada ayat 110 tingkat satuan ummah adalah masyarakat
(society), seperti ummah yang terbentuk dari Piagam Madinah di atas. Pada ayat
terdahulu, jawaban terhadap imbauan bisa berbentuk organisasi, pemerintahan
(government) atau negara (state) sebagai bagian dari masyarakat. K.H. Ahmad
Dahlan, Yang tergugah memenuhi imbauan ayat ini, kemudian membentuk gerakan
kemasyarakatan Muhammadiyah dengan misi yang dirumuskannya, al-amr bi al-
ma'rūf dan al-nahy 'an al-munkar. Pada ayat kedua, imbauan itu akan menimbulkan
respons berupa upaya pembentukan suatu masyarakat, dimana pemerintah dan negara
merupakan bagiannya. Masyrakat yang dimaksud adalah masyarakat dengan ciri-ciri
tertentu, yaitu penduduknya beriman dan di dalamnya terdapat mekanisme
kelembagaan yang bisa berfungsi melaksanakan al-amr bi al-ma'rūf dan al-nahy 'an
al-munkar." 196
Sepertinya penjelasan di atas sudah cukup jelas menggambarkan wacana
masyarakat yang diusung oleh Rahardjo adalah seperti yang juga diwacanakan oleh

194
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 341.
195
Bandingkan dengan Quraish Shihab yang tidak menyebut QS. Āli 'Imrān (3): 110
ketika membahas "umat" atau "masyarakat". M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1992), h. 319-324 dan 325-329. Shihab memasukkan ayat tersebut dalam
pembahasan unsur kebangsaan, yakni sebagai adat istiadat ('urf) dan dikaitkan dengan QS.
al-A'rāf (7): 199. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 342.
196
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 497-498.

138
Muhammadiyah. 197 Hal ini dapat dimaklumi karena Rahardjo merupakan orang
Muhammadiyah. 198 Jika ditelisik lebih jauh lagi, penulis melihat adanya
kemungkinan keterkaitan penjelasan ini dengan kedekatan golongan
Muhammadiyah dengan pemerintah Orde Baru. Maka tidak heran jika Rahardjo
menuliskan penafsiran QS. Āli 'Imrān (3): 104 dan 110 tersebut dalam perspektif
Muhammadiyah. Namun, ini bukan berarti suatu kesalahan. Dalam beberapa
tulisannya yang lain, Rahardjo memang sering mengangkat diskursus masyarakat
madani (civil society) dan gencarnya LSM membentuk jaringan community
development dalam upaya pemberdayaan masyarakat luas dalam pembangunan.199
3. Kepemerintahan: Menanggapi Isu Demokratisasi
Wacana paling populer selama masa pemerintahan Orde Baru adalah
demokratisasi. Wacana ini merupakan respon dari para tokoh di Indonesia
menghadapi rezim Orde Baru yang otoriter. Demokratisasi merupakan proses
pendemokrasian yang berupa transisi dari rezim otoriter ke rezim yang lebih
demokratis. Rezim yang demokratis digambarkan dengan keikutsertaan masyarakat
dalam kegiatan berpolitik dalam negara.
M. Dawam Rahardjo sering menyinggung wacana demokratisasi dalam
Ensiklopedi Al-Qur'an. Yang paling menonjol di antara pembahasan lainnya
terdapat pada entri Khalīfah200, Ūlū al-Amr201, dan Shūrā. Misalnya, ketika memulai
pembahasan konsep shūrā dalam al-Qur'an, Rahardjo menjelaskan bagaimana kata
tersebut berkembang menjadi wacana politik di masa modern. Ia menulis:
"Penafsiran terhadap istilah syūrā atau musyāwarah agaknya mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang
kata yang padat makna ini mengalami evolusi. Dan seperti dijelaskan oleh ulama
modern terkemuka Indonesia, Hamka, dalam Tafsir al-Azhar-nya, evolusi itu terjadi
sesuai dengan 'perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu.' Dewasa ini, pengertian
musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik,
demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur, dan berbagai konsep yang
berkaitan dengan sistem kepemerintahan 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.' Ini
bersangkut-paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah, dan diperintah,
antara elite dan massa, antara rakyat dan pemerintah, atau antara orang awam dan

197
Uraian selengkapnya dapat dilihat pada entri Ummah dan Amr Ma'rūf Nahy
Munkar. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 622-623.
198
Mengenai kapasitas Dawam Rahardjo sebagai orang Muhammadiyah dan
bagaimana ia memegang teguh semangat KH. Ahmad Dahlan baca: Soetrisno Bachir,
‘Rahardjo: Putra Muhammadiyah Yang Merdeka’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed.
by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J.H. Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), h.
80–86.
199
M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 2002), h. xxi. Salah satu contoh tulisan Rahardjo yang khusus membahas
masyarakat madani adalah Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial.
200
Selengkapnya lihat: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, h. 360-364.
201
Selengkapnya lihat: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, h. 470-480.

139
ahli. Dalam al-Qur'an, pengertian mengenai syūrā, juga berkaitan dengan hubungan
horizontal di antara orang yang sederajat." 202
Rahardjo kemudian memulai penafsirannya dengan membandingkan QS.
Āli 'Imrān (3): 159 dan QS. al-Shūrā (42): 38. Ayat yang pertama disebut turun di
Madinah ketika sudah terbentuk masyarakat Islam. Meskipun turun pada konteks
Perang Uhud 203 , para ahli tafsir menjadikannya sebagai dasar atau prinsip
kemasyarakatan dan kenegaraan. Sedangkan ayat yang kedua merupakan ayat yang
turun pada periode Makkah. Konteksnya adalah saat permusuhan masyarakat
Makkah memuncak sehingga menyebabkan sebagian sahabat berhijrah ke
Abesinia.204 Menanggapi dua ayat tersebut, Rahardjo menjelaskan:
"Kalau hendak dicari perbedaan antara kedua ayat tersebut di atas, maka ayat pertama
bersifat perintah dalam hubungan vertikal, khususnya antara Nabi dan para
sahabatnya. Sepintas lalu, musyawarah seperti ini terjadi karena inisiatif dari atas.
Tetapi kalau kita melihat kepada istilahnya sendiri, maka kata musyawarah (dari kata-
kata wa syāwir hum) di sini mengandung konotasi 'saling' atau 'berinteraksi,' antara
yang di atas dan yang di bawah. Sebaliknya, dalam istilah syūrā (dari kata-kata wa
amr-u hum syūrā bayn-a hum), terkandung konotasi 'berasal dari suatu pihak tertentu.'
Tetapi rangkaian kalimatnya itu mengisyaratkan makna 'bermusyawarah di antara
mereka' atau 'di antara mereka perlu ada (lembaga) syūrā.' Karena itu, istilah syūrā di
sini, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'musyawarah'. " 205
Pada penjelasan di atas, Rahardjo menyinggung perlunya lembaga
musyawarah. Ide tentang lembaga tersebut tampaknya merupakan penafsirannya
berdasarkan sejarah Nabi Muhammad Saw. Ia menerangkan bahwa para pemikir
modern menganggap musyawarah sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan
yang pokok karena nash-nya sudah jelas dalam al-Qur'an dan dalam sunnah Nabi.
Hanya saja, mereka kesulitan mengkontekstualisasikan arti dan makna musyawarah
yang dimaksud karena praktik musyawarah yang berkembang pada zaman
kontemporer tidak ditemukan pada zaman Nabi. 206 Misalnya adalah musyawarah
dalam bentuk lembaga parlemen yang belum ada sebelum zaman modern. Namun,
ketiadaan tersebut bukan berarti tidak adanya lembaga musyawarah pada zaman
Nabi. Rahardjo menerangkan:
"Lembaga musyawarah itu sendiri memang ada pada zaman Nabi, walaupun
bentuknya berbeda-beda. Bahkan di lembaga ini sudah ada pada masa sebelum Islam
dan juga sudah dikenal tidak hanya di jazirah Arabia, dimana Islam dilahirkan.
Pemikiran di sekitar konsep ini, dapat dijumpai di berbagai tempat, misalnya di

202
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 440.
203
Dalam penjelasan Quraish Shihab yang tepat adalah setelah Perang Uhud. M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 475.
204
Dalam keterangan Quraish Shihab, konteksnya adalah pujian untuk kaum Anshar
karena telah membela Nabi. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
1992), h. 471.
205
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 442.
206
Bandingkan dengan Quraish Shihab yang membebaskan makna "musyawarah".
Menurutnya, musyawarah diserahkan pada masyarakat. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-
Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 484.

140
Yunani dan Romawi kuna. Pada zaman itu, gagasan tentang suatu pemerintahan
republik atau demokrasi perwakilan timbul dan selalu hidup di berbagai negara-kota,
dalam rangka menentang pemerintahan tiran di dalam negeri, dan dalam melawan
despotisme Timur yang diwakili oleh imperium Parsi. Sekalipun cara pemilihan
pemimpin dan proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan republik bisa
berbeda-beda, namun intinya adalah bahwa penguasa tertinggi atau kelompok yang
memegang tampuk pemerintahan dalam gagasan itu, tidak bersifat turun-temurun,
melainkan dipilih oleh rakyatnya, baik langsung maupun tidak langsung. " 207
Pada uraian di atas, Rahardjo mencoba menunjukkan bahwa kegiatan
musyawarah adalah suatu kegiatan yang lumrah terjadi di mana-mana dan telah
berlangsung sejak dahulu. Fungsi musyawarah tersebut adalah untuk menentang
pemerintahan tiran dan despotisme atau sewenang-wenang. Dengan gambaran ini,
Rahardjo mengarahkan pemaknaan shūrā melalui pemaknaan sejarah yang
mengarah pada makna demokrasi yang dikenal saat ini. Untuk memberikan model
yang lebih jelas, Rahardjo menyebut Republik Athena sebagai contoh konkret
sistem demokrasi yang berlaku di masa silam.
"Dalam kaitan ini, orang sudah mengenal karya Plato yang berjudul Republik, yang
mengutarakan gagasannya tentang suatu pemerintahan yang adil, sesuai dengan
kepentingan mereka yang diperintah, dan yang dipimpin oleh orang-orang yang
bijaksana. Contoh konkret sistem demokrasi (dari perkataan Yunani, demos, rakyat;
kratien, pemerintahan) yang dikenal dalam sejarah adalah Republik Athena, pada
abad ke-6 dan 5 S.M. Dalam sistem itu, rakyat berkumpul untuk bermusyawarah
dalam membuat undang-undang dan memilih pimpinan pemerintahan, walaupun yang
diakui sebagai demos pada waktu itu hanyalah penduduk yang merdeka dan bukan
budak." 208
Rahardjo kemudian menambahkan bukti bagaimana para ahli tafsir juga
menafsirkan shūrā dengan kegiatan musyawarah. Ia merujuk salah satu mufassir
Syi'ah bernama Syaikh Abū 'Alī al-Faḍl terkait tafsirannya terhadap QS. al-Shūrā
(42): 38. Al-Faḍl menyebutkan bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad
Saw ke Madinah, masyarakat Madinah telah biasa melakukan musyawarah.
Rahardjo menambahkan, penduduk Makkah juga sudah biasa melakukan
musyawarah baik dalam memecahkan suatu masalah atau memilih pemimpin.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, Rahardjo menyimpulkan bahwa al-Qur'an
melegitimasi tradisi yang sudah ada dan dianggap baik tetapi dengan memberikan
pemaknaan baru. Bahkan, ia kemudian menyebut beberapa bukti bahwa
musyawarah juga merupakan sunnah Nabi Saw. Rahardjo menulis:
"Wahyu yang tercatat dalam al-Qur'ān di atas kemudian dikukuhkan oleh sabda Nabi
sendiri, dalam rangka menjalankan perintah Allah. Diriwayatkan oleh al-Dlaḥāk
umpamanya, bahwa Nabi pernah bersabda: 'Tidak ada seorang pun yang
bermusyawarah, kecuali Allah memberikan petunjuk kepada kebenaran.' Kata-kata
Nabi ini memberikan pengertian bahwa musyawarah adalah salah satu cara untuk
mencapai kebenaran. Ḥadīts ini selaras dengan al-Qur'ān, s. al-Naḥl/16:125 yang
mengatakan: 'Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu (kebenaran) dengan hikmah

207
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 444.
208
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 445.

141
(kebijaksanaan, ilmu pengetahuan) dan anjuran yang baik. Dan lakukanlah diskusi
dengan mereka dengan metode yang baik pula.' Salah satu kunci dalam ayat ini
adalah mujādalah atau berdiskusi yang merupakan salah satu bentuk musyawarah. "
209

Dalam uraian di atas, Rahardjo tidak merujuk hadis dari sumbernya


langsung, tetapi kemungkinan besar melalui sumber kedua. 210 Ia juga merujuk
komentar al-Qurṭubī atas QS. Āli 'Imrān (3): 159 yang mengatakan bahwa tidak ada
seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya kecuali
Rasulullah Saw.211 Penjelasan Rahardjo ini semakin menguatkan argumennya bahwa
musyawarah merupakan sunnah Nabi Saw.
Selanjutnya, Rahardjo mengajak pembaca dengan mempertanyakan apakah
konsep shūrā sebagai lembaga dan pranata kenegaraan di zaman modern dapat
ditafsirkan sebagai demokrasi. Ia lalu menghadirkan 10 poin perdebatan para
pemikir muslim kontemporer sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman.
Secara umum, perdebatan tersebut memperbandingkan konsep shūrā dalam Islam
dengan konsep demokrasi ala Barat. Di sini Rahardjo tidak banyak mengomentari
perdebatan tersebut. Ia justru menyoroti faktor-faktor penyebab terjadinya
perdebatan itu.
Menurut Rahardjo, faktor pertama timbulnya perdebatan mengenai
penerapan demokrasi Barat adalah karena tidak ada penjelasan terperinci dalam al-
Qur'an dan sunnah yang konkret baik tentang bentuk shūrā, proses pembentukannya,
serta fungsi dan tugasnya. Pemerintahan pada masa al-khulafā' al-rāshidīn memang
mengisyaratkan suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis, tetapi
memiliki banyak variasi.
Faktor kedua adalah fakta bahwa tidak semua negeri Islam yang
menerapkan sistem kenegaraan dan pemerintahan dalam bentuk republik
demokratis. Negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Maroko, Jordania, Kuwait,
Malaysia dan Brunei Darussalam masih menggunakan sistem monarki. Dalam
konteks ini, secara halus penulis menangkap kritikan halus Rahardjo terhadap
kondisi sosial yang terjadi saat itu.
"Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih
banyak diambil dari Barat. Bahkan, di negara-negara republik tertentu secara
temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator. " 212

209
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 446.
210
Penulis telah menelusuri Tafsīr al-Ḍaḥḥāk tentang penafsiran QS. al-Shūrā (42):
38 dan QS. al-Nahl (16): 125 tetapi tidak menemukan riwayat tersebut. Lihat: Muḥammad
Shukrī Aḥmad Al-Zāwītī, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk, 1st edn (al-Qāhirah: Dār al-Salām, 1999), h.
524 dan 741.
211
Penulis tidak menemukan riwayat tersebut dalam al-Jāmi' li Aḥkām al-Qur'ān
dalam penafsiran QS. Āli 'Imrān (3): 159. Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī
Bakr ibn Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī Shams al-Dīn Al-Qurṭubī, Al-Jāmi’ Li Aḥkām Al-
Qur’ān, ed. by Aḥmad al-Bardūnī & Ibrāhīm Aṭfîsh (Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah,
1964), v. 4, h. 251.
212
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 449.

142
Pada uraian di atas, secara implisit Rahardjo menyindir kondisi negara
republik yang tidak menerapkan demokrasi karena pemerintahnya bersikap otoriter
dan diktator. Di sini Rahardjo memang tidak menyebut nama-nama negara secara
langsung, berbeda dengan sebelumnya ketika ia menyebut Saudi Arabia dan negara-
negara yang menerapkan sistem monarki lainnya. Padahal, menilik konteks sosial
yang terjadi pada saat itu, Orde Baru merupakan representasi dari pemerintahan
yang otoriter dan diktator meskipun bernaung di dalam negara republik. 213 Yang
menjadi perhatian penulis adalah mengapa Rahardjo tidak menyinggung langsung
konteks sosial Indonesia saat itu? Padahal, meskipun tidak menyebut nama
'Indonesia', tetapi penjelasan Rahardjo memberikan gambaran yang nyata tentang
situasi masa itu. Uraian lanjutan berikut mungkin dapat menjadi bukti tersebut.
Rahardjo menulis:
"Sementara itu, terbukti pula bahwa bentuk negara kerajaan tidak selalu menghasilkan
keburukan, sebagaimana bentuk republik demokratis yang tidak selalu menghasilkan
kebaikan bagi rakyatnya. Beberapa negara modern di Barat yang kini dikenal maju,
ternyata masih berbentuk kerajaan, seperti Inggris, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia
dan Jepang. Mungkin lebih tepat dikatakan di sini bahwa di negara-negara kerajaan
itu, tidak mesti tidak ada demokrasi. Negara-negara itu adalah kerajaan yang bersifat
konstitusional-demokratis dan memiliki parlemen. Di lain pihak, negara-negara yang
menyatakan dirinya republik-demokratis, bahkan lebih ditekankan lagi dengan nama
'demokrasi rakyat' (people's democracy), belum tentu memiliki sistem demokrasi,
setidak-tidaknya menurut perasaan rakyat mereka sendiri." 214
Bagian terakhir pada paragraf di atas menurut penulis mengindikasikan
adanya suatu kesaksian dari pribadi Dawam Rahardjo atas realitas yang terjadi. Bila
dicermati dengan saksama, paragraf tersebut lebih bersifat emosional. Di sisi lain,
ungkapan "demokrasi rakyat" sangat familiar karena menjadi wacana umum yang
diusung oleh Orde Baru saat itu. Terlebih lagi, ungkapan "setidak-tidaknya menurut
perasaan rakyat mereka sendiri" menunjukkan bahwa Rahardjo menyaksikan apa
yang dirasakan oleh rakyat. Tidak hanya itu, Rahardjo juga mengungkapkan:
"Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa
yang mengekang demokrasi. Secara formal para penguasa di banyak negara Islam
menolak 'demokrasi liberal' atau 'demokrasi Barat' yang tidak atau kurang sesuai
dengan kepribadian atau nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang
diterapkan adalah demokrasi 'terbatas' atau demokrasi 'terpimpin' dalam satu dan lain
bentuk. Dalam situasi seperti itu, kebebasan mengeluarkan pendapat juga terbatas.
Dalam kondisi tertekan, para ulama dan cendekiawan di negeri yang bersangkutan itu
cenderung membela pandangan resmi." 215
Pada penjelasan di atas, Rahardjo mempersoalkan penerapan sistem
demokrasi yang masih jauh dari harapan. Jika dikaitkan dengan pembahasan

213
Tim Redaksi, ‘Karakteristik Demokrasi Periode Orde Baru’, Kompas.Com, 2020,
pp. 1–2 <https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/13/110000969/karakteristik-
demokrasi-periode-orde-baru?page=2> [accessed 8 January 2020].
214
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 449.
215
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 450.

143
sebelumnya di mana shūrā merupakan salah satu ajaran Islam, maka di sini penulis
melihat Rahardjo sedang mengkritik kondisi sosial umat muslim secara umum yang
pada kenyataannya masih belum bisa menerapkannya. Dalam konteks ini, tampak
bagaimana Rahardjo mendukung sistem demokrasi sebagai pelaksanaan konsep
shūrā di zaman modern. Namun, ia menngungkapkan bahwa pelaksanaan tersebut
mendapat rintangan. Ia menulis:
"Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini-dari Sunnah
Rasul, teladan Khulafā' al-Rāsyidīn, timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih
bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di kawasan Islam, juga dengan
melihat kepada negara-negara kerajaan (yang menganut demokratis-konstitusional
berparlemen) serta situasi politik di dalam negeri sendiri, maka kebanyakan ulama
dan cendekiawan Muslim cenderung berhati-hati dalam berpendapat bahwa syūrā-
dalam arti demokrasi-populis, untuk meminjam istilah Rahman, adalah suatu
ketentuan agama. Lembaga syūrā itu sendiri memang tidak bisa dibantah siapa pun,
sebagai perintah Allah dan Sunnah Rasul, tetapi bentuk dan sifatnya tidak dijelaskan
secara rinci." 216
Rahardjo selanjutnya mendiskusikan konsep shūrā dengan
mengkomparasikan pandangan pemikir muslim modern seperti Muḥammad 'Abduh
dan Fazlur Rahman serta melakukan analisis historis penerapan musyawarah pada
masa pemerintahan al-khulafā' al-rāshidīn. Pada akhirnya, ia menyimpulkan bahwa
konsep shūrā berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan
metode ijtihad dan pemikiran terkait teori-teori sosial. Hal tersebut menyebabkan
munculnya pengertian-pengertian baru tentang konsep shūrā. Berdasarkan hasil
pembacaannya, Rahardjo menemukan konsep shūrā sebagai konsep
kemasyarakatan. Ia memaparkan:
"Salah satu lengkung cakrawala baru itu adalah, tidak hanya menginterpretasikan
syūrā dan musyawarah dalam kerangka berpikir fiqih dan dalam kaitannya dengan
hukum ketatanegaraan dan teori politik, tetapi juga sebagai suatu konsep
kemasyarakatan. Di sini, musyawarah bisa dilakukan di mana-mana, di segala
tingkatan dan dalam berbagai persoalan. Yang dianggap mampu melakukan
musyawarah, bukan hanya para ulama dan cerdik cendekia atau di antara elite
penguasa, tetapi bisa dilakukan dan dikembangkan di kalangan masyarakat biasa,
termasuk kalangan bawah. Di kalangan ini, musyawarah bahkan merupakan senjata
ampuh untuk memecahkan persoalan yang mungkin terlalu sulit untuk bisa dihadapi
oleh seseorang secara individu." 217
Pada paragraf di atas dijelaskan bahwa Rahardjo mencoba
mengkontekstualisasikan konsep shūrā pada kondisi sosial saat itu. Setelah melihat
bagaimana shūrā sejak dahulu dipraktikkan oleh orang-orang elit, maka dalam
konteks demokrasi ia melihat adanya kemungkinan konsep tersebut dilakukan oleh
masyarakat biasa. Lebih jelasnya, Rahardjo memberikan gambaran konkret
sebagaimana berikut:
"Dengan mempergunakan metode qiyās (analogi), maka lembaga syūrā dapat
diwujudkan dalam berbagai situasi. Syūrā, dalam perspektif penafsiran baru, dapat

216
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 450.
217
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 458.

144
disebut sebagai metode partisipatoris. Metode ini dapat dilaksanakan dalam penelitian
dan pengembangan masyarakat. Kalau pada masa lalu, syūrā ditafsirkan sebagai
lembaga demokrasi parlementer, maka dalam teori sosial sekarang ini, syūrā dapat
dikembangkan sebagai lembaga demokrasi partisipatoris. " 218
Menilik penjelasan di atas, penulis melihat contoh yang ditawarkan oleh
Rahardjo relevan dengan wacana demokratisasi di mana masyarakat turut berperan
aktif dalam meyukseskan proses demokratisasi. Sebagai lembaga demokrasi
partisipatoris, masyarakat dituntut berperan aktif dalam menyuarakan dan
memperjuangkan kemaslahatannya sendiri dengan cara mengadakan forum-forum
sebagai wadah perjuangan mereka. Melalui forum-forum tersebut, mereka dapat
menekan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan begitu, maka pemerintah tidak
dapat bertindak sewenang-wenang.
Berdasarkan hasil pembacaan ini, penulis melihat Rahardjo menggunakan
teori-teori sosial yang dikuasainya untuk memahami konsep shūrā dalam al-Qur'an.
Pengalamannya sebagai aktivis LSM sepertinya turut mempengaruhi pandangannya
terkait kontekstualisasi shūrā pada saat itu. Dengan melihat konteks sosial-politik
yang terjadi, wacana yang tersebar, posisi Rahardjo, dan pembaca jurnal Ulumul
Qur'an yang mayoritas terdiri dari orang berpendidikan, maka tawaran penafsiran
Rahardjo terkait shūrā sebagai lembaga demokrasi partisipatoris kiranya sudah jelas
dan relevan. Artinya, penafsiran Rahardjo memang berangkat dari realitas sosial
yang dialaminya dan oleh karenanya kiranya dapat menjawab permasalahan sosial
yang terjadi di masanya.
4. Perekonomian: Wacana Ekonomi Islam untuk Keadilan Sosial
Pada akhir abad 20 M, ekonomi menjadi salah satu sektor yang diperhatikan
oleh dunia. Baik negara-negara maju maupun negara berkembang saling bahu
membahu bekerja sama untuk meningkatkan perekonomian negara mereka. Ada dua
aliran besar yang dianut kala itu, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme
mengandaikan ada sekelompok kecil masyarakat yang menjalankan roda
perekonomian sehingga memberi pemasukan pada negara. Sementara itu, sosialisme
mengandaikan adanya pemerataan ekonomi di masyarakat. Indonesia sebagai negara
berkembang saat itu memilih aliran kapitalisme sehingga terjadi ketimpangan sosial
antara orang kaya dan orang miskin.219
Perbincangan mengenai ekonomi di kalangan para cendekiawan saat itu
menjadi wacana besar yang marak dilakukan, tak terkecuali oleh cendekiawan
muslim. Di awal pembahasan entri Rizq, M. Dawam Rahardjo menyinggung hal
tersebut. Ia menerangkan bahwa sektor ekonomi menjadi primadona dalam arus
perubahan sosial maupun pemikiran. Sektor ekonomi merupakan bagian penting dari
obyek pemikiran kembali konsep-konsep Islam. Rahardjo merujuk pada Ismā'īl
Farūqī yang menghimbau agar ada pemikir muslim yang menyatakan bahwa

218
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 459. Bandingkan dengan uraian Quraish Shihab: M. Quraish Shihab, Wawasan Al-
Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h.475 dan 484.
219
Nurcholish Madjid and others, Demokratisasi Politik, Budaya, Dan Ekonomi:
Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. by Elza Peldi Taher (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 1994), h. xiii.

145
"tindakan ekonomi adalah ungkapan spiritualitas Islam" sebagai antitesis pemikiran
Muḥammad Iqbāl yang menyatakan bahwa "tindakan politik adalah merupakan
ungkapan spiritual Islam". Terkait hal ini, Rahardjo mengonfirmasi adanya tindakan
nyata dan pemikiran umat Islam di bidang ekonomi seperti yang dimaksud Ismā'īl
Farūqī. Namun, ia juga mengkritisi fenomena tersebut. Menurutnya, para ulama dan
para pemikir muslim modern tidak memberikan perhatian khusus pada konsep rizq
dalam al-Qur'an. Padahal, Rahardjo menilai konsep rizq sangat penting dalam
kehidupan. Pengertian rizq yang telah dikenal di masyarakat sebagai "rezeki" perlu
diaktualisasikan.220 Ia menjelaskan:
"Dan memang, kini telah timbul berbagai tindakan nyata maupun pemikiran umat
Islam dibidang ekonomi yang dapat disebut sebagai ungkapan spiritualitas Islam.
Namun, tindakan dan pemikiran mereka itu pada umumnya hanya berkisar pada
konsep riba dan zakat. Padahal konsep itu sebenarnya sudah berada pada tingkat
kebijaksanaan (policy), tanpa atau kurang melihat kepada konsep-konsep yang lebih
mendasar dalam wujud teori-teori ekonomi murni. Pengertian riba maupun zakat
sebenarnya berasal dari atau mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang dapat ditarik
dari teori tentang rezeki."221
Sebelum membahas konsep rizq dalam al-Qur'an, Rahardjo terlebih dahulu
menjelaskan teori Ibn Khaldūn (1337-1404) tentang etos kerja dan
mendiskusikannya dengan pemikiran tokoh ekonom modern seperti teori nilai kerja
(labour theory of value) yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823) dan
Karl Max (1818-1883) hingga teori manfaat marginal (marginal utility theory) yang
dikemukakan oleh Leon Walras (1837-1910), Karl Manger (1840-1921), dll..
Singkatnya, pengertian rizq oleh Ibn Khaldūn adalah segala keuntungan atau
penghasilan yang dimanfaatkan baik untuk diri sendiri atau untuk kemanfaatan
orang lain. Adapun penghasilan atau keuntungan yang sama sekali tidak
dimanfaatkan tidak termasuk rezeki. Selain itu, rezeki juga hanya bisa diperoleh
apabila seseorang bekerja atau terjun ke dalam lapangan kehidupan (ma'āyish), tidak
peduli apakah ia seorang yang beriman atau tidak. Jadi, syarat untuk mendapatkan
rezeki adalah dengan berusaha atau bekerja. Ibn Khaldūn hanya membedakan antara
rezeki yang diperoleh dengan cara yang baik dan rezeki yang diperoleh dengan cara
sebaliknya.
Setelah menguraikan teori etos kerja Ibn Khaldūn, Rahardjo memulai
penafsirannya dengan memaparkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa rezeki
berasal dari Allah seperti QS. al-Baqarah (2): 22 dan 57, QS. al-Nūr (24): 38, QS.
Sabā' (34): 39, dll.. Rahardjo kemudian mulai menyinggung ekonomi ketika
membahas QS. al-Ḥijr (15): 20-21. Pada ayat 20, al-Qur'an menjelaskan bahwa
Allah telah menjadikan segala keperluan hidup manusia di bumi dan menegaskan
bahwa manusia bukan pemberi rezeki bagi makhluk-makhluk lain. Sementara itu,
pada ayat 21 dijelaskan bahwa Allah memiliki segala sesuatu dan
menganugerahkannya dengan ukuran tertentu. Dalam memahami dua ayat ini,
Rahardjo memfokuskan diri pada ayat terakhir. Ia mencoba merefleksikan maksud

220
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 574.
221
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 575.

146
ayat 21 dengan merelasikannya pada ayat sebelumnya dan ayat-ayat lain yang
menyebut Allah sebagai Pemberi rezeki. Ia menyampaikan:
"Ayat kedua sebenarnya menyimpulkan maksud ayat yang pertama, yaitu bahwa
Allah sebenarnya merupakan sumber (khazanah) rezeki manusia dan makhluk-
makhluk lainnya. Jadi, secara implisit dinyatakan bahwa makhluk-makhluk lain
ciptaan Allah, juga mempunyai hak atas rezeki. Di sini timbul keterangan tambahan
dari ayat-ayat terdahulu, bahwa sekalipun rezeki Allah itu melimpah tidak terbatas,
namun kesemuanya mempunyai takaran." 222
Sampai di sini, Rahardjo mencoba memberikan pemahaman bahwa setiap makhluk
Allah memiliki hak atas rezekinya sendiri. Untuk memberikan pemahaman lanjutan,
Rahardjo lantas mengkontekstualisasikan kandungan ayat tersebut ke dalam
kehidupan sehari-hari dengan pendekatan ekonomi. Ia menjelaskan:
"Karena itu, manusia perlu berhitung dalam mengambil manfaat terhadap sumber
bahan keperluan hidup. Mereka perlu pula memperhatikan hak makhluk-makhluk
hidup lainnya dan melakukan kalkulus dalam memanfaatkan sumber-sumber yang
tersedia. Dengan istilah ekonomi, manusia diperingatkan tentang adanya kelangkaan
dalam sumber-sumber, karena alat-alat pemuas kebutuhan itu harus dibagi dengan
makhluk-makhluk lainnya, yaitu alam itu sendiri yang diberi 'rezeki' sendiri oleh
Allah untuk bisa mempertahankan kelestariannya." 223
Untuk memahami penjelasan Rahardjo di atas, penulis merujuk contoh
makhluk yang rezekinya ditanggung oleh Allah. Menurut Ibn Kathīr, binatang
melata dan binatang ternak termasuk kategori tersebut. 224 Bahkan, al-Ṭabarī
menyebut budak laki-laki dan perempuan juga termasuk. 225 Semua makhluk
tersebut, memiliki hak atas rezekinya masing-masing yang diberikan oleh Allah
melalui sumber-sumber rezeki di bumi. Apabila sumber-sumber rezeki dimonopoli
oleh manusia atau bahkan segolongan manusia seperti yang dilakukan oleh golongan
kapitalis, maka kelestarian mereka bisa jadi terancam. Contoh yang paling mudah
adalah seperti terjadinya pembabatan atau pembakaran hutan untuk membuka lahan
usaha, pengerukan gunung untuk dijadikan bahan material, dan semacamnya yang
mengganggu bahkan merusak ekosistem alam. Mengutip pendapat al-Suyūṭī, yang
dimaksud dengan bi-qadr ma'lūm atau "kadar tertentu" adalah berdasarkan kadar
kemaslahatan ('ala ḥasb al-maṣāliḥ). 226 Dengan pengertian ini, anjuran Rahardjo
agar manusia perlu berhitung dalam mengambil manfaat terhadap sumber bahan
keperluan hidup ini adalah tepat.
Selanjutnya, setelah menjelaskan hasil refleksinya, Rahardjo lalu
menjelaskan bagaimana seharusnya seorang yang beriman bersikap dalam
mengelola rezeki. Ia menulis:

222
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 583.
223
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 583.
224
Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kathīr al-Qurshī Al-Dimashqī, Tafsīr Al-
Qur’ān Al-’Aẓīm, ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmah, 2nd edn (Dār Ṭaibah li al-Nashr wa
al-Tauzī’, 1999), j. 4, h. 529.
225
al-Ṭabarī, Jāmi’ Al-Bayān Fī Ta’wīl Al-Qur’ān, j. 17, h. 82.
226
Al-Suyūṭī and Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain, h. 284.

147
"Setelah disadarkan bahwa sumber rezeki itu adalah Allah, maka, bagi orang yang
ber-īmān Allah adalah orientasi kegiatan manusia dalam upayanya memperoleh
penghidupan. Sebagai konsekuensinya, timbul kata imperatif 'urzuq.' Imperatif
pertama datang dari Allah kepada manusia, misalnya agar membagi rezeki yang
diperoleh seseorang dengan seseorang wanita yang dikawini, seperti yang terdapat
dalam al-Qur'ān s. al-Nisā'/4: 5."227
Menanggapi penjelasan Rahardjo di atas, perlu digarisbawahi bahwa QS. al-
Nisā' (4): 5 sebenarnya menjelaskan tentang larangan memberi harta pada al-
sufahā', yakni orang-orang baik laki-laki, perempuan, atau anak-anak yang suka
mubazir dan perintah memberi rezeki berupa memberi makan dan pakaian serta
perintah melakukan komunikasi yang baik. 228 Pernyataan Rahardjo di atas yang
hanya menyebut istri saja bisa jadi karena merujuk ayat sebelumnya, yakni QS. al-
Nisā' (4): 4 yang membicarakan pemberian mahar untuk istri.
Selanjutnya, Rahardjo menjelaskan bahwa kata imperatif urzuq yang kedua
dari pihak manusia kepada Tuhannya seperti QS. al-Baqarah/2: 126 yang merupakan
bagian dari doa Nabi dan Rasul Allah Ibrāhīm. Dalam menafsirkan ayat tersebut,
Rahardjo menulis:
"Petikan doa Nabi Ibrāhīm a.s. tersebut menunjukkan bahwa cita-cita seorang nabi itu
bukan hanya bersifat ruhaniyah semata-mata, tetapi juga bersifat material. Ini
mencerminkan pula cita-cita Islam. Apabila ada anjuran untuk ber-īmān dan ber-
'ibādah kepada Allah, ini tidak berarti bahwa orang harus melupakan aspek
perekonomian. Nabi Ibrāhīm dalam doa itu mencita-citakan stabilitas politik dan
keamanan di satu sisi, dan kemakmuran negeri di lain sisi yang mencerminkan
idaman kaum ber-īmān." 229
Menilik penjelasan di atas, Rahardjo mengaitkan isi doa Nabi Ibrāhīm
tentang "negeri yang aman" dengan "stabilitas politik dan keamanan" dan tentang
permohonan rezeki untuk penduduk negeri yang beriman dengan "kemakmuran
negeri di lain sisi yang mencerminkan idaman kaum ber-imān". Pernyataan
Rahardjo tersebut tampak sedikit berbeda dengan ayat yang ia kutip. Pertama, terkait
doa untuk keamanan negeri. Nabi Ibrāhīm hanya berdoa, "Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman". Di dalam kitab-kitab tafsir klasik umumnya
disebutkan bahwa baladan dalam ayat tersebut adalah Makkah. 230 Sementara itu,
yang dimintakan doa adalah keamanan secara umum. Rahardjo mengartikan
baladan sebagai sebuah negeri dan āminan sebagai stabilitas politik dan keamanan.
Menurut penulis, pengertian semacam itu tidak relevan ketika Rahardjo
mengaitkannya dengan Nabi Ibrāhīm yang ia sebut "mencita-citakan stabilitas
politik dan keamanan". Mungkin makna baladan masih dapat dimengerti secara

227
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 583.
228
Al-Suyūṭī and Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain, h. 98.
229
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 584.
230
Dalam Tafsīr Ibn Kathīr dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw turut mendoakan
kota Madinah dan penduduknya sebagaimana Nabi Ibrāhīm mendoakan kota Makkah dan
penduduknya. Dalam keterangan itu, istilah yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw adalah
ḥarrama. Mungkin karena itulah sampai saat ini kota Makkah dan Madinah disebut al-
ḥaramain. Al-Dimashqī, Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm, j. 1, h. 422.

148
lughawī, tetapi penambahan "stabilitas politik" dalam konteks Nabi Ibrāhīm tidaklah
tepat dan teks aslinya tidak menyebutkan hal itu serta tidak ada indikasi ke arah
pembicaraan politik. Namun, pernyataan tersebut mungkin dapat dihubungkan
dengan penafsiran al-Ṭabarī yang menafsirkan āminan dengan "āminan min al-
jabābirah wa ghairi-him, an yusallaṭū 'alai-hi" yang artinya "selamat dari orang-
orang yang bertindak sewenang-wenang dan selain mereka, (berupa) mereka
diberikan kekuasaan atas kota".231
Kedua, man āmana min-hum yang disebut di belakang merupakan badl ba'ḍ
min kull atau sebagai pengganti keseluruhan dari ungkapan sebelumnya, yakni ahla-
hu. Dalam ilmu nahwu, jika suatu kata disebutkan badl atau penggantinya, maka
yang menjadi acuan adalah penggantinya tersebut. Jadi, berdasarkan analisis bahasa,
pengertian yang tepat adalah Nabi Ibrāhīm berdoa khusus untuk kaum beriman agar
mereka diberikan rezeki oleh Allah. Menurut al-Suyūṭī pemahaman ini selaras
dengan firman Allah yang menyatakan bahwa orang-orang zalim tidak akan meraih
janji-Nya.232 Pemahaman ini akan berbeda jika diartikan seperti yang ditulis oleh
Rahardjo, yakni kemakmuran negeri yang menjadi idaman kaum beriman. Menurut
penulis, ada distorsi makna yang terjadi bila dirujuk pada teks aslinya. Ungkapan
"idaman kaum beriman" yang ditulis Rahardjo masih tidak jelas merujuk pada Nabi
Ibrāhīm atau kaum beriman yang disebut setelahnya. Jika yang dimaksud adalah
Nabi Ibrāhīm, maka masih dapat dimengerti bahwa doanya diartikan sebagai cita-
cita. Namun, bila yang dimaksud adalah man āmana min-hum yang merupakan
pengganti dari ahla-hu yang menjadi objek doa Nabi Ibrāhīm, maka pengertian ini
menimbulkan kerancuan. Selain itu, di dalam tulisannya, Rahardjo hanya
mencantumkan ayat sampai doa Nabi Ibrāhīm, padahal masih ada kelanjutannya
yang membahas kondisi kaum tidak beriman yang hanya diberikan rezeki oleh Allah
hanya sebatas kehidupan dunia saja kemudian dimasukkan ke neraka.
Penafsiran Rahardjo di atas dapat dipahami dengan mengaitkannya pada
situasi sosial-politik pada saat ia menuliskan tafsirnya. Pada masa Orde Baru, kaum
muslim acapkali menjadi golongan yang tertindas. Suaranya banyak dibungkam.
Kondisinya tidak terlalu diperhatikan. Bahkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap
dapat membahayakan pemerintah terus mendapat pengawasan ketat dari aparat. Hal
ini berhubungan dengan pemerintah yang sedang berupaya mengadakan stabilitas
dalam segala aspek untuk menyukseskan proyek pembangunan, termasuk stabilitas
politik dan ekonomi. Demi kelancaran pembangunan -termasuk pembangunan
ekonomi, pemerintah Orde Baru mengambil alih pengelolaan negara yang mana
dalam hal ini dilakasanakan oleh kalangan militer.233 Dalam konteks ini, stabilitas
politik termasuk wujud keamanan bagi negara yang sedang berjuang melakukan
pembangunan. Berdasarkan situasi tersebut, pemaknaan Rahardjo terhadap baladan
āminan lebih relevan dan dapat dimengerti. Selain itu, tampaknya Rahardjo ingin
memberikan pengertian pada khalayak umum di kalangan muslim Indonesia bahwa

231
al-Ṭabarī, Jāmi’ Al-Bayān Fī Ta’wīl Al-Qur’ān, j. 2, h. 44.
232
Al-Suyūṭī and Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain, h. 32.
233
Nurcholish Madjid and others, Demokratisasi Politik, Budaya, Dan Ekonomi:
Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. by Elza Peldi Taher (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 1994), h. xv.

149
sektor perekonomian begitu penting untuk mencapai kemakmuran. Oleh karenanya,
ia tidak menyinggung dampak negatif yang ditimbulkan oleh penerapan stabilitas
politik dan lebih menekankan pembahasan hubungan antara tauḥīd dan demokrasi
ekonomi dan pembahasan moral ekonomi dalam al-Qur'an.
Dalam menerangkan hubungan tauḥīd dengan ekonomi, Rahardjo
membahas QS. al-Fajr (89): 16 yang merupakan ayat pertama kali turun yang
memuat kata rizq. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Rahardjo mengkaji konteks
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Berdasarkan konteks beberapa ayat sebelumnya,
Rahardjo melihat bahwa ayat rizq tersebut dimulai dengan fragmen kisah bangsa-
bangsa kuno yang berhasil menciptakan peradaban tinggi seperti bangsa 'Ād, Iram,
Thamūd, dan Mesir pimpinan Fir'aun. Mereka mampu mendirikan bangunan-
bangunan tinggi dan angkatan bersenjata yang kuat untuk menyokong kekuasaan
negara. Namun, mereka bertindak semena-mena dan berbuat banyak kerusakan
dalam negeri seperti sistem perbudakan. Keterangan ini terdapat pada ayat 6-14.
Selanjutnya, Rahardjo menghubungkan konteks tersebut dengan rangkaian
ayat 15-20. Ia merujuk penafsiran Muḥammad Asad yang mengutip pendapat al-
Rāzī bahwa ayat 15 menggambarkan sikap sosial seseorang dalam mengelola rezeki.
Jika mendapat keuntungan, ia menganggap bahwa itu merupakan haknya. Sementara
itu, jika rezekinya menyempit, ia menganggap Allah tidak adil. Menurut Rahardjo,
sikap seperti itu hanyalah alasan untuk menghindari dan menolak tanggung jawab
sosialnya. Padahal, rezeki hanya dapat diperoleh dengan cara bekerja baik dengan
dilakukan oleh diri sendiri secara mandiri, orang lain, atau kerja sama dalam suatu
sistem. Rahardjo menjelaskan:
"Dalam sistem perbudakan umpamanya, yang melakukan pekerjaan adalah kaum
budak yang dikuasai dan dipaksa. Sedangkan dalam sistem feodal, para petanilah
yang melakukan kerja untuk para pemilik tanah. Dalam sistem kapitalis yang bekerja
adalah kaum buruh bebas yang mendapat upah dengan menjual tenaga kerjanya.
Dalam terminologi Marxis, suatu komoditi itu dibentuk oleh 'kerja masyarakat' (social
labour). Islam sendiri berpendapat bahwa 'dalam kekayaan seseorang terdapat
sebagian hak bagi yang miskin dan membutuhkan' (Q., s. al-Dzāriyāt/51:19), karena
seseorang itu tidak mungkin memperoleh suatu penghasilan dan keuntungan, apalagi
kekayaan yang besar, tanpa bekerja sama dengan orang lain (Q., s. al-Zukhruf/43-32).
Jadi, hak setiap orang untuk memperoleh rezeki dari Allah itu sekaligus juga
mengandung suatu tanggung jawab sosial." 234
Pada keterangan di atas, Rahardjo tampaknya mencoba mengkorelasikan
konsep dalam ilmu sosial dengan ajaran Islam. Yang penulis pahami dari penjelasan
di atas adalah meskipun sumber rezeki semua berasal dari Allah, tetapi dalam
pelaksanaannya ada peranan manusia yang telah diberikan kelebihan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Gambaran petani yang bekerja untuk pemilik tanah dan buruh yang mendapat upah
berkat tenaganya adalah contoh konkret bagaimana masing-masing bekerja sama
dalam memperoleh rezeki. Pemilik tanah butuh petani untuk mengerjakan ladangnya
sedangkan pemilik modal butuh buruh untuk menjalankan usahanya.

234
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 586.

150
Namun, Rahardjo memberikan catatan kritis terhadap sistem-sistem yang
disebutkan di atas. Menurutnya, prinsip bahwa sumber rezeki adalah Allah
meniadakan persepsi bahwa rezeki itu bersumber dari tuan pemilik budak, kaum
feodal, depot, atau tiran. Prinsip tauḥīd itu juga berimplikasi pada pandangan bahwa
setiap orang berhak dan mempunyai akses terhadap rezeki. Satu-satunya cara meraih
rezeki tersebut adalah dengan bekerja. Lebih dari itu, menurut Rahardjo, landasan
tauḥīd yang menyertai setiap keterangan rezeki dalam al-Qur'an juga
mengimplikasikan tiga hal menyangkut demokratisasi ekonomi.235 Ia menjelaskan:
"Implikasi pertama adalah diletakkannya hak asasi bagi setiap orang terhadap
kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pokok. Implikasi kedua menyangkut peranan
manusia sebagai pengelola sumber daya 'yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya' (Q., s. al-Ḥadīd/57:7). Pengelolaan atau manajemen mengandung arti
bahwa sumber daya yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu
harus dilakukan menurut prinsip-prinsip tertentu, berdasarkan kriteria-kriteria tertentu
(al-mīzān), baik kriteria rasionalitas ekonomi (Q., s. al-Furqān/25:67 dan al-
Syūra/42:27), maupun kriteria etis (Q., s. al-Nisā'/4:29). Implikasi ketiga adalah
ketentuan untuk menafkahkan surplus penghasilan dan kekayaan untuk berbagai
golongan dalam masyarakat, yang karena berbagai hal berada dalam posisi lemah
(dlu'afā') dan perlu dibantu (Q., s. al-Tawbah/9:60; al-Isrā'/17:26)." 236
Berangkat dari tiga implikasi di atas, Rahardjo menyimpulkan bahwa
konsep rezeki dalam al-Qur'an mengandung moral atau syarat etis ekonomi yang
berlandaskan nilai-nilai tauḥīd. Misalnya, dalam QS. al-Dhāriyāt (51): 58 disebutkan
bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki. Berdasarkan ayat tersebut, seorang yang
beriman tidak akan menggantungkan rezekinya pada selain Allah seperti pada
sistem tirani yang dapat terjadi dalam kekuasaan raja, penguasa feodal, partai,
negara, dll.. Contoh lainnya adalah dalam QS. al-Nūr (24): 38 disebutkan bahwa
Allah memberikan rezeki yang tak terhitung bagi orang yang dikehendaki-Nya dan
QS. al-Isrā' (17): 70 yang menerangkan bahwa Allah menganugerahi rezeki pada
manusia melebihi makhluk-makhluk lainnya. Dari kedua ayat tersebut Rahardjo
melihat bahwa hubungan antara manusia sebagai pencari dan penerima rezeki adalah
kerja sama yang memungkinkan masing-masing memperoleh akses ke sumber
rezeki. Untuk itu, perlu diadakan suatu pengaturan yang menjamin hak setiap orang
untuk mendapatkan lapangan kerja dan taraf penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Keterangan Rahardjo sebagaimana penulis paparkan di atas sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di Indonesia saat itu. Pada zaman Orde Baru, ketidakadilan
ada di mana-mana termasuk dalam sektor ekonomi. Orang kaya semakin kaya
dengan penghasilannya sedangkan kaum menengah ke bawah mendapatkan upah
yang tidak seberapa dibanding pekerjaannya. Maka tidak heran jika Rahardjo
menyinggung perlunya suatu pengaturan atau hukum yang menjamin hak

235
Ia memberikan contoh berbagai macam lapangan hidup bagi manusia mulai dari
produksi barang, penyediaan jasa, dan lainnya yang termaktub pada QS. al-Naḥl (16): 5-18
untuk menjadi bahan pemikiran manusia. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 587.
236
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 587.

151
mendapatkan lapangan kerja dan taraf penghidupan yang layak. Ia juga
menyinggung agar kaum beriman tidak menggantungkan rezekinya pada setiap
konsep dan bentuk tirani yang bisa jadi mewujud dalam negara, partai, dll.. Intinya,
Rahardjo mengajak masyarakat muslim untuk mengadakan ekonomi sendiri
berlandaskan ajaran tauhid, yakni dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah
diatur oleh agama seperti tidak mengeksploitasi sumber-sumber alam secara
berlebihan, selalu berkomunikasi dengan Allah dalam mencari rezeki, tidak
merugikan orang lain dan tidak merusak lingkungan.
Rahardjo juga menghimbau agar dalam upaya pencarian rezeki tidak sampai
terjadi kecemburuan sosial. Merujuk QS. al-Nisā' (4): 32, Rahardjo menjelaskan
bahwa perbedaan kemampuan dan situasi yang dimiliki seseorang merupakan faktor
yang menimbulkan perbedaan dalam hasil perolehan. Namun, Rahardjo menegaskan
berdasarkan QS. al-Naḥl (16): 71, pada kenyataannya orang yang diberi kelebihan
rezeki tidak mensyukurinya sehingga tidak berbagi dengan orang lain yang
membutuhkan. Rahardjo mengecam perbuatan tersebut.
"Padahal, dalam kekayaan mereka itu terdapat hak bagi yang miskin dan
membutuhkan, karena semua kekayaan yang berhasil diperoleh seseorang itu
sebenarnya terjadi karena proses sosial juga. Itulah yang merupakan latar belakang
dari turunnya ayat pertama yang membahas masalah rezeki (Q., s. al-Fajr/89:16). Ini
merupakan pernyataan al-Qur'an bahwa rezeki itu berfungsi sosial, baik dalam proses
produksi, distribusi maupun konsumsinya." 237
Berdasarkan keterangan di atas, Rahardjo tampaknya mengusung wacana
keadilan sosial sebagaimana terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara. Salah
satu praktik yang diajarkan oleh al-Qur'an dan dapat dilaksanakan adalah
memberikan sebagian rezeki pada orang-orang yang berhak menerimanya seperti
orang miskin, lemah, tertinggal atau mempunyai kesulitan hidup. Hal ini ia tegaskan
lagi di akhir pembahasan bahwa:
"Rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat, baik bagi seseorang, maupun bagi
masyarakat umumnya. Oleh sebab itulah maka karunia Allah itu harus dibelanjakan
(infāq), yang dampaknya bermanfaat bagi semuanya."238
Sampai di sini, penulis menyimpulkan konsep rizq yang dimaksud oleh
Rahardjo adalah suatu konsep pengelolaan rezeki yang diatur berlandaskan ajaran
tauḥīd. Jika dihadapkan pada konteks sosial Indonesia pada masa itu, maka dapat
dilihat bahwa konsep tersebut merupakan anti-tesis praktik ekonomi yang tirani
sebagaimana disinggung oleh Rahardjo. Perekonomian yang tidak merata antara
desa dan kota, Jawa dan luar Jawa serta kesenjangan yang terjadi antara yang kaya
dan miskin merupakan masalah sosial serius yang dihadapi oleh Indonesia. 239 Hanya
saja, Rahardjo tidak menyebutkan secara gamblang siapa tokoh dan masalah apa

237
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 591.
238
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 592.
239
Untuk keterangan lebih lengkapnya bisa dirujuk ke tulisan Nurcholish Madjid
berjudul "Pembangunan Nasional: Dilema Antara Pertumbuhan dan Keadilan Sosial" dalam
Nurcholish Madjid and others, Demokratisasi Politik, Budaya, Dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru, h. 3-13.

152
yang sedang terjadi. Hal ini dapat disebabkan beberapa kemungkinan. Pertama,
sosok Rahardjo dikenal sebagai penulis yang suka tidak menampakkan
permasalahan secara gamblang dalam tulisannya. Sebagai seorang yang menyukai
sastra dan juga menulis sastra, hal ini wajar terjadi karena masalah tidak selalu
diungkapkan dengan jelas, tetapi cukup dengan sindiran-sindiran. 240 Kedua,
pengawasan ketat media oleh pemerintah sehingga perlu berhati-hati dalam
menuliskan kritik terhadap pemerintah. Ketiga, posisi strategis Rahardjo yang dekat
dengan pemerintah.
Terlepas dari beberapa kemungkinan tersebut, penulis pribadi menilai
tulisan Rahardjo tentang konsep rizq telah berhasil mewacanakan sistem ekonomi
berbasis tauḥīd yang menjadi solusi alternatif dalam mengembangkan perekonomian
di Indonesia. Apa yang dituliskannya sesuai dengan konteks sosial-politik serta
keilmuan yang berlangsung saat itu. Oleh karenanya, menurut penulis, tulisan ini
relevan dengan masanya dalam menanggapi permasalahan sosial yang terjadi,
khususnya dalam bidang ekonomi.
5. Keadaban: Menerapkan Etika dalam Keseharian
Keadaban yang penulis maksud di sini adalah berkaitan dengan kebaikan
budi pekerti manusia. Keadaban menyangkut akhlak yang mencerminkan moralitas
pelakunya. Dalam pengertian ini, persoalan adab sebenarnya sering disinggung oleh
Rahardjo berbarengan dengan empat kategori sebelumnya. Namun, ada pula
beberapa entri yang membahasnya secara mandiri seperti yang termuat dalam
pembahasan 'adl, ẓālim, dan fāsiq.
Dalam entri 'Adl, misalnya, Rahardjo mengangkat konteks penggunaan kata
"adil" di Indonesia. Menurutnya, kata tersebut bisa dianggap sebagai budaya
subversif yang menentang sistem sosial dalam masyarakat hierarkis seperti tampak
pada penggunaan tingkatan bahasa. Kata "adil" juga menjadi nilai sentral dalam
budaya Indonesia modern sebagaimana termaktub dalam Pancasila, yaitu "Keadilan
Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia" sebagai sila kelima. Intinya, ada banyak
konteks dalam sejarah panjang Indonesia yang berkaitan dengan keadilan seperti
mitos Ratu Adil, penindasan rakyat oleh pemerintah kolonial, dll.. Namun, dari
berbagai konteks tersebut Rahardjo menyimpulkan bahwa konsep adil berasal dari
ajaran Islam. Ia menjelaskan:
"Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini adalah
serapan dari kata Arab 'adl. Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan sebagai
justice. Arti kata Inggris itu kira-kira sama dengan yang dimaksud oleh kata adil,
dalam bahasa Indonesia. Tetapi, dalam al-Qur'an, pengertian adil atau justice itu
ternyata tidak hanya diwakili oleh kata 'adl. Sebagai kata benda, paling tidak ada dua
kata yang artinya justice, yakni 'adl itu sendiri dan qisth. Dari akar kata 'a-d-l, sebagai

240
Kemahiran Rahardjo mengolah kata diakui oleh banyak orang. Bahkan, ketika ia
menulis artikel "Seandainya Saya..." yang secara halus mengkritik kebijakan B.J. Habibie
terkait peniadaan posisi sekjen dalam ICMI, ada yang mengkritiknya. Pengkritik itu
menyebut bahwa tulisan Rahardjo tersebut bersifat sarkastis dan penuh sinisme.Muhammad,
ICMI dan Harapan Umat, h. 117, 240-244.

153
kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur'an. sedangkan kata qisth
berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda."241
Pada uraian di atas, Rahardjo memetakan adanya dua kosa kata yang
bermakna adil dalam al-Qur'an, yaitu 'adl dan qisṭ. Melalui dua lafaz tersebut ia
memulai penafsirannya terhadap beberapa ayat yang menyebut 'adl atau qisṭ.
Namun, Rahardjo tidak menjelaskan perbedaan antara keduanya. Padahal, jika
merujuk pada kajian al-wujūh wa al-naẓāir mungkin saja ada perbedaan antara
keduanya. 242 Terlepas dari masalah tersebut, seperti biasa Rahardjo menjelaskan
konteks pada setiap ayat yang dikutip kemudian membuat suatu kesimpulan.
Misalnya, ketika mengutip QS. al-Infiṭār (82): 7, Rahardjo menyertakan ayat 6 dan 8
untuk mendapatkan konteks ayat. Dari hasil pembacaannya, ia mengungkapkan:
"Dalam ayat tersebut, 'adala berarti 'membuat seimbang.' Di situ diinformasikan
kepada manusia bahwa tubuh manusia itu secara keseluruhan disusun menurut
prinsip-prinsip keseimbangan. Dengan prinsip-prinsip itu manusia mencapai susunan
yang sempurna. Keseimbangan dapat digambarkan dengan susunan sistem tubuh
manusia yang serba seimbang. Dengan demikian, salah satu dimensi keadilan adalah
keseimbangan."243
Dengan pengertian adil sebagai keseimbangan, Rahardjo lalu menelusuri
ayat-ayat lain yang berkaitan atau mengandung makna adil. Ia menemukan bahwa
makna adil dapat ditemukan pada beberapa lafaz seperti aḥkām, qawām, iqtaṣada,
ṣadaqa, dll.. Contohnya adalah kata qawām pada QS. al-Furqān (25): 67. Rahardjo
menjelaskan:
"Dari ayat ini, sifat adil itu dimanifestasikan dengan pertimbangan yang seimbang.
Umpamanya saja, dalam pembelanjaan kekayaan atau pendapatan, seseorang yang
adil itu tidak berlebih-lebihan, tidak terlalu kikir, melainkan di tengah-tengah antara
kedua kecenderungan itu. orang yang bisa menahan diri dan tidak berlebih-lebihan
atau tidak ekstrem, adalah orang yang adil. Sifat adil itu bukan semata-mata bagi
kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga dengan mempertimbangkan kepentingan
orang lain."244
Arti qawām yang sebenarnya berarti "berdiri tegak" atau "pendirian yang
teguh" oleh Rahardjo dimasukkan dalam dimensi adil. Begitu juga kata qawwām
yang terdapat dalam QS. al-Nisā' (4): 135 sebenarnya berarti "seorang penegak" atau
"yang bertugas menegakkan sesuatu". Menurut Rahardjo, karena kata qawwām
diiringi oleh kata qisṭ, maka seharusnya seorang penegak memiliki karakter adil.
Pada ayat tersebut Rahardjo juga mengomentari makna shuhadā' (saksi) dan
mengkontekstualkannya dengan sikap adil.
"Seorang yang disebut saksi itu bukan hanya saksi dalam pengadilan, tetapi juga saksi
dalam berbagai hal. Seorang pengamat atau wartawan juga seorang saksi atas
kejadian. Sebagai saksi, ia harus bersikap adil. Lebih-lebih dalam pengadilan yang

241
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 369.
242
Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Al-Qur’an.Kaidah tafsir, 119.
243
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 373.
244
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 374.

154
langsung berhubungan dengan soal hukuman. Seorang yang benar-benar bertindak
adil adalah yang tetap jujur, sekalipun hal itu menyangkut dirinya sendiri, ibu, bapak,
atau kerabatnya. Artinya, dalam bersaksi itu tidak bohong atau tidak berpihak kepada
seseorang yang telah menyimpang dari kebenaran." 245
Pada uraian di atas, Rahardjo menyebut bahwa saksi bukan hanya dalam
pengadilan, tetapi juga pada berbagai hal. Ia mencontohkan pengamat atau
wartawan. Menurutnya, mereka harus adil dengan tetap menjaga kejujuran sekalipun
menyangkut kerabat sendiri dan tidak boleh berpihak pada orang yang salah.
Menurut penulis, secara implisit Rahardjo menyindir realitas sosial yang terjadi pada
masa Orde Baru di mana kerap terjadi praktik kolusi dan nepotisme di berbagai
bidang sehingga memungkinkan keberpihakan pada oknum yang bersalah dan
mengakibatkan sulitnya penegakan hukum. Terkait wartawan, sebagaimana umum
diketahui bahwa pers di masa Orde Baru mengalami pembungkaman jika
berseberangan dengan pemerintah. Untuk itu, wartawan sebagai anggota pers tentu
diuji kejujurannya ketika memberikan laporan, apakah sesuai dengan hasil
pengamatannya atau sebaliknya. Dalam konteks ini, Rahardjo menegaskan bahwa
wartawan harus tetap bersikap adil dalam melaksanakan tugasnya.246
Wacana keadilan yang disinggung oleh Rahardjo kembali diutarakannya
ketika menjelaskan dimensi-dimensi keadilan. Ia mengungkapkan:
"Dari berbagai ayat yang telah ditampilkan, terkesan bahwa keadilan itu berkaitan
erat dengan pengadilan. Beban keadilan terletak pada pundak hakim. Keadilan juga
berkaitan dengan saksi. Seseorang, jika dibutuhkan perlu tampil sebagai saksi. Dan
apabila bersaksi, hendaklah ia tidak memutarbalikkan fakta, melainkan bersaksi
dengan jujur. Kejujuran merupakan salah satu dimensi keadilan."247
Tidak hanya hakim yang disorot oleh Rahardjo. Dalam pembahasan QS. al-
Nisā' (4): 58, ia juga menyoroti pemerintah. Dengan merujuk tafsir The Holy
Qur'ān, Rahardjo mengomentari sikap adil pemerintah.
"Menurut Mawlānā Muḥammad 'Ali, dalam The Holy Qur'ān-nya, yang dimaksud
dengan 'amanat' dalam ayat 58 ini adalah pemerintahan dan urusan negara.
Berdasarkan sebuah Ḥadīts Nabi, maka amanat itu harus diserahkan kepada ahlinya,
kalau tidak, maka yang terjadi bisa kehancuran. Apabila seseorang telah diserahi
amanat pemerintahan, maka ia harus memerintah dengan adil.
Pemerintah atau pemimpin, selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri dari
kelompok-kelompok. Proses politik juga berhadapan dengan berbagai kelompok dan

245
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 375.
246
Syu'bah Asa juga memiliki pandangan yang sama dengan Rahardjo. Di dalam
Dalam Cahaya Al-Qur'an, ia menulis satu artikel berjudul "Pers yang Fasik dan yang
Berpahala". Dalam artikel tersebut, Asa menggambarkan pers yang fasik sebagai media yang
tidak mementingkan kemaslahatan rakyat dan tidak menjunjung keadilan. Pers yang fasik
adalah media yang berusaha menutupi kebenaran demi kepentingan pribadi. Sebaliknya, pers
yang berpahala adalah media dapat berlaku adil untuk menampilkan atau tidak menampilkan
suatu kebenaran berdasarkan kemaslahatan bersama. Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-
Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta: PT Gramediia Pustaka Utama, 2000), h.
393-401.
247
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 380.

155
golongan. Seorang yang terpilih menjadi pemimpin haruslah bisa berdiri di atas
semua golongan. Untuk itu, diperlukan sifat keadilan." 248
Menilik uraian di atas, Rahardjo menekankan kewajiban pemerintah atau
pemimpin untuk bersikap adil. Ia memaknai lafaz al-nās yang secara terminologis
bermakna umum sebagai "manusia" dengan "masyarakat" yang bermakna khusus.
Mayarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan golongan harus diperlakukan
secara adil oleh pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah seharusnya tidak condong
pada salah satu di antara kelompok dan golongan yang banyak itu. Sehubungan
dengan pemahaman ini, pada saat menjelaskan QS. al-Māidah (5): 8 ia berkata:
"Perintah yang sangat menarik di sini adalah, kita harus selalu berbuat adil ketika
menjadi saksi, dalam arti luas. Ketika seseorang sedang berkedudukan sebagai
pemerintah atau hakim umpamanya, maka dia akan bertindak sebagai saksi. Ketika
bertindak sebagai saksi, kita harus berbuat adil. Tidak boleh-karena kita misalnya
kebetulan sedang tidak senang kepada seseorang atau suatu kelompok- bertindak
tidak adil. Sikap ini memang sulit dilakukan, apalagi jika kita sedang terlibat dalam
suatu masalah politik, sehingga kita bisa terlibat ke dalam suatu sikap tidak adil,
lebih-lebih kepada seseorang atau kelompok yang tidak kita sukai. " 249
Pada penjelasan tersebut, menurut penulis sebenarnya Rahardjo
menyinggung konteks sosial yang terjadi pada Orde Baru. Meskipun pada paragraf
selanjutnya ia buru-buru mengalihkan pembicaraan pada konteks ketika Nabi Saw
menghadapi golongan musyrik, Nasrani, dan Yahudi, dan bagaimana mereka
menentang ajarannya, penjelasan Rahardjo tersebut tetap merupakan kritikan halus
yang akan terasa oleh para pembaca. Hal ini dikarenakan contoh konteks Nabi Saw
diletakkan di akhir. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa Rahardjo mampu
mengambil intisari pelajaran dari konteks ayat melalui pendekatan sosial-historis.
Contoh kritikan lain yang mengangkat isu sosial adalah saat Rahardjo
mengomentari praktik korupsi di masa sekarang ketika menjelaskan QS. Hūd (11):
84-85. Dua ayat tersebut menceritakan kisah Nabi Shu'aib yang diutus oleh Allah
untuk menegakkan keadilan ekonomi di antara kaumnya. Rahardjo kemudian
mengkontekstualisasikannya ke masa sekarang dengan wacana HAM (Hak Asasi
Manusia). Ia menerangkan:
"Dalam ayat di atas keadilan dapat dipahami dengan pengertian yang berlawanan.
Lawan dari keadilan adalah tindakan yang merugikan manusia, yang merampas hak-
hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada
masyarakat. Apabila kita meletakkan masalah keadilan itu dalam konteks sekarang,
maka perjuangan hak-hak asasi manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan.
Demikian pula perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Semua kegiatan
yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan hak-hak
rakyat, dapat disebut sebagai perjuangan menegakkan keadilan. Lembaga-lembaga
seperti LBH (bantuan hukum), YLKI (konsumen), Walhi (lingkungan hidup),

248
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 381.
249
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 384.

156
SKEPHI (Kehutanan), LKBHWK (keluarga dan kewanitaan) dan semacamnya,
adalah lembaga-lembaga yang memperjuangkan keadilan."250
Menilik keterangan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa Rahardjo
menggambarkan kondisi sosial di Indonesia saat itu di mana marak terjadi
pelanggaran HAM. Rahardjo telah menyebutkan sendiri dalam paragraf di atas
bahwa adanya LBH (Lembaga Bantuan Hukum), YLKI (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), SKEPHI
(Sekretariat Kerjasama untuk Pelestarian Hutan Indonesia), dan LKBHWK
(Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga) merupakan
organisasi yang berjuang meniadakan kerugian pada masyarakat dan
mengembalikan hak-hak rakyat. Penulis memahaminya sebagai kepanjangan dari
adanya pelanggaran-pelanggaran hak rakyat terkait masing-masing bidang tersebut
pada masa Orde Baru.
Berdasarkan pembahasan di atas, wacana keadilan yang diusung oleh
Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an merupakan salah satu respon
Rahardjo dalam menyikapi masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.
Wacana yang menyangkut moralitas masyarakat ini juga sering ia singgung di entri-
entri lainnya meskipun hanya sekilas saja seperti yang telah penulis bahas pada
beberapa kategori wacana sebelumnya. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya
wacana keadilan bagi Rahardjo untuk diperbincangkan pada khalayak umum,
terutama dalam perspektif al-Qur'an. Pada bagian akhir entri 'Adl ia menyimpulkan:
"Dengan demikian, keadilan, dalam konteks al-Qur'an, tidak lepas dari moralitas.
Realisasi keadilan, pertama-tama berpedoman kepada wahyu Ilahi. Keadilan itu
sendiri bisa dipahami sebagai realisasi yang setia terhadap hukum-hukum Ilahi.
Allah, sebagai Yang Maha Adil, memerintahkan manusia bersikap adil, baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Keadilan adalah sendi pergaulan sosial yang paling
fundamental. Dengan nilai keadilan itulah sesungguhnya masyarakat tercipta. Jika
keadilan dilanggar, maka sendi-sendi masyarakat akan goyah. Seorang yang
melanggar keadilan, barangkali akan mendapatkan suatu keuntungan bagi dirinya
sendiri. Tetapi dalam jangka panjang, ketidakadilan akan merugikan semua orang,
termasuk yang melanggar keadilan." 251
Kesimpulan Rahardjo tersebut tampaknya sudah menjadi alasan mengapa ia
menyuarakan wacana keadilan. Pilihan Rahardjo untuk melihat wacana tersebut dari
perspektif al-Qur'an kiranya tepat untuk disampaikan pada masyarakat Indonesia
yang mayoritas muslim. Pembahasan konsep keadilan dalam al-Qur'an dengan
konsep keadilan sosial juga kiranya merupakan cara terbaik untuk menjelaskan pada
masyarakat awam tentang asas negara yang rupanya sesuai dengan ajaran Islam
sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan perjuangan untuk menegakkan
keadilan. Terkait hal ini, pada akhir entri 'Adl, Rahardjo memberikan contoh konkret
yang dapat diaplikasikan dan dijadikan perhatian oleh masyarakat.
"Dalam kehidupan sehari-hari, keadilan tampak dalam berbagai bentuknya. Keadilan
berarti menghukum orang sesuai kesalahannya, atau memberi ganjaran sesuai

250
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 386-387.
251
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 389.

157
perbuatan baiknya. Orang yang adil adalah yang tidak berbuat curang untuk
kepentingan sendiri. Keadilan berarti juga pembagian hasil sesuai dengan kebutuhan
dan sumbangannya dalam proses sosial. Keadilan tampak dalam sikap hakim atau juri
yang memutuskan perkara berdasarkan hukum dan kebenaran. Dan keadilan atau
kezaliman bisa sangat tampak pada perilaku pemimpin dan pemerintahan yang
mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan dan hak-hak masyarakat
banyak. Keadilan sangat tampak dalam permasalahan pemenuhan atau pelanggaran
hak asasi manusia atau dalam pemeliharaan atau perusakan lingkungan hidup. " 252
Pemaparan Rahardjo di atas jika dilepaskan dari konteks penulisannya,
maka hanya akan memberikan pesan umum yang bersifat normatif dan tidak
aplikatif. Sebaliknya, jika dikaitkan dengan konteks dan wacana yang
melatarbelakanginya seperti maraknya pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan
hidup pada masa Orde Baru, maka pemaparan tersebut sangat aktual dalam
menyikapi permasalahan yang ada.253 Dengan kata lain, penafsiran Dawam Rahardjo
terhadap konsep 'adl dan beberapa konsep lainnya dalam al-Qur'an bukanlah sekadar
penafsiran normatif saja. Lebih dari itu, Rahardjo telah melakukan suatu pembacaan
yang menghasilkan penafsiran solutif dan aplikatif untuk merespon masalah sosial di
masyarakat. Artinya, secara tidak langsung, Rahardjo turut menghidupkan nilai-nilai
al-Qur'an di tengah masyarakat dengan segala keterbatasannya sebagai seorang
ekonom dan aktivis sosial.
D. Relevansi Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo dalam Penafsiran al-
Qur'an di Indonesia
Sebagai produk pemikiran manusia, karya tafsir tidak bisa terlepas dari
cakupan ruang dan waktu. Ia tidak lahir dari ruang hampa. Oleh karenanya,
pengetahuan dan pemahaman tentang latar belakang kepengarangan suatu karya
biasanya berdampak pada resepsi para pembacanya. Sejauh mana pembaca
mengenal sebuah karya akan menentukan apresiasinya terhadap karya tersebut.
Namun, pengetahuan dan pemahaman pembaca terhadap suatu karya tidak lantas
menjadikan seseorang sepakat terhadap apa yang tertuang dalam karya itu. Sangat
dimungkinkan timbulnya perbedaan resepsi antar pembaca, baik yang mendukung,
mengkritisi, atau bahkan mengecam karya tersebut.
Sebagai upaya menjelaskan relevansi tafsir tematik-sosial M. Dawam
Rahardjo dalam penafsiran al-Qur'an di Indonesia, penulis akan mendiskusikan
resepsi para pembaca Ensiklopedi Al-Qur'an. Pertama-tama penulis akan
memulainya dari resepsi umum yang diberikan oleh para akademisi khususnya dari
kalangan pengkaji tafsir Indonesia, yaitu terkait kontroversi Ensiklopedi Al-Qur'an.
Setelah itu, penulis akan mendiskusikannya dengan hasil resepsi penulis pribadi.
1. Kontroversi Ensiklopedi Al-Qur'an
Ada tiga persoalan yang menjadikan Ensiklopedi Al-Qur'an kontroversial.
Tiga persoalan itu terkait dengan status mufassir, status tafsir, dan metode tematik

252
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 389-390.
253
Hendri F. Isnaeni, ‘Lingkungan Dalam Kungkungan’, Historia.Id, 2017
<https://historia.id/politik/articles/lingkungan-dalam-kungkungan-PGjrB/page/1> [accessed
8 January 2020].

158
yang diterapkan Rahardjo. Persoalan pertama dan kedua saling berhubungan. Ada
kalangan yang mempertanyakan status kepengarangan dan karya Dawam Rahardjo
apakah ia dapat disebut mufassir atau tidak dan apakah karyanya tergolong tafsir
atau bukan. Dua persoalan ini muncul karena Rahardjo tidak memiliki latar belakang
keilmuan tafsir dan yang terlebih penting -yang sering dibahas dan menjadi kritikan
terhadap Rahardjo- ia tidak memenuhi kualifikasi syarat-syarat mufassir.
Sebagaimana telah disebutkan, Rahardjo mengakui bahwa dirinya tidak
memenuhi syarat-syarat mufassir yang diajukan oleh para ulama klasik.
Menurutnya, syarat-syarat itu terlalu berat untuk dipenuhi. Ia bahkan menerima
dengan lapang dada keberatan sebagian orang atas penamaan karyanya sebagai
sebuah tafsir. Ia menerima penilaian M. Quraish Shihab yang menyebut karyanya
sebagai "pemahaman terhadap al-Qur'an dari seorang sarjana ilmu-ilmu sosial".254
Namun, menilik pemaparannya dalam kata pengantar dan pendahuluan Ensiklopedi
Al-Qur'an serta beberapa tulisan lainnya yang membahas metodologi tafsir,
tampaknya Rahardjo tetap menganggap karyanya sebagai sebuah tafsir dengan
paradigma "al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi semua orang" dan oleh karenanya
"siapapun memiliki potensi untuk mendapatkan petunjuk itu". 255 Singkatnya,
metodologi tafsir yang dibangun oleh Dawam Rahardjo memungkinkan karyanya
dapat digolongkan sebagai karya tafsir.
Dalam sebuah artikel penelitian disebutkan bahwa ada tiga masalah yang
melatarbelakangi penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an. Pertama, cendekiawan muslim
yang memiliki potensi dan kemampuan dalam menafsirkan al-Qur'an sering merasa
tidak mampu sehingga tidak melakukan penafsiran. Kedua, kalangan yang mampu
dan menguasai keilmuan tafsir selalu mewanti-wanti perihal persyaratan tafsir yang
berat untuk dipenuhi. Mereka tidak melakukan apapun yang berarti untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam peralatan ilmu tafsir yang
memudahkan masyarakat awam untuk mengakses al-Qur'an. Mereka juga tidak
memberikan tafsir yang komprehensif. Ketiga, ilmu tafsir tidak berkembang karena
sedikit orang yang berminat menggelutinya. 256 Terkait hal ini, Dawam Rahardjo
merasa mempunyai bekal yang cukup untuk memahami al-Qur'an dan memiliki
minat yang besar untuk mengkajinya. Ia bahkan membuat metodologi tafsir
tersendiri sebagai upaya memecahkan beberapa masalah tadi.
Berdasarkan latar belakang di atas, setidaknya ada tiga misi Rahardjo dalam
penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an. Pertama, menyuguhkan pemahaman al-Qur'an
berdasarkan petunjuk-petunjuknya kepada seluruh umat Islam dari berbagai tingkat
berpikir dan ragam keahlian tanpa batasan sekat sosial dan intelektual. Kedua,

254
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xx.
255
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix.
256
M. Samsul Hady, ‘Tafsir Qur’an Kontemporer: Pembacaan Awal Terhadap
Ensiklopedi Al-Qur'an M. Dawam Rahardjo’, El-Harakah, 7.1 (2005), h. 3-4. Rahardjo,
Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. xix.

159
mendekonstruksi kemapanan ilmu tafsir yang sudah ada. Ketiga, mewujudkan masa
depan dengan nilai-nilai al-Qur'an. 257
Upaya Rahardjo mewujudkan ketiga misinya melalui sebuah karya
merupakan tindakan yang berani dan berpotensi menuai kritik. Menurut penulis,
identitas Rahardjo sebagai intelektual muslimlah yang membuat dirinya tetap rendah
hati dan teguh atas pendiriannya. Berkat tekad yang kuat dan pendirian yang kokoh,
Ensiklopedi Al-Qur'an hadir dan meramaikan kajian tafsir al-Qur'an meski masih
menimbulkan kontroversi.
Islah Gusmian, misalnya, mengapresiasi karya Dawam Rahardjo itu.
Buktinya adalah ia memasukkan Ensiklopedi Al-Qur'an ke dalam objek
penelitiannya. Ia mengatakan bahwa karya tersebut memiliki karakteristik yang
unik. Namun meskipun begitu, Islah juga tidak menutup mata pada sisi
kontroversialnya. Setidaknya ia mempermasalahkan dua hal. Yang pertama adalah
argumen Rahardjo bahwa tafsir dapat dilakukan dengan hati. Menurut Islah,
pendapat itu rancu dan tidak ilmiah karena tidak bisa diukur. Sedangkan yang kedua
adalah minimnya sumber-sumber berbahasa Arab. Dari jumlah 237 rujukan, hanya
ada 13 sumber tafsir yang dirujuk oleh Rahardjo. Beberapa menggunakan versi
terjemahan dan bukan versi bahasa Arab asli. Itu mengindikasikan ketidakmahiran
Rahardjo dalam bahasa Arab.258
Terkait hal ini, penulis sendiri melihat ada beberapa kerancuan dalam
penjelasan Rahardjo, baik terkait metodologi tafsirnya atau hasil pemahaman al-
Qur'annya. Secara umum, penulis melihat kurangnya wawasan Rahardjo terhadap
sejarah ilmu tafsir dan tafsir itu sendiri sehingga dalam beberapa tulisan terkesan
ahistoris. Ia kadang mengatakan bahwa ide atau pembahasannya belum pernah
dikaji oleh ulama terdahulu. Padahal, jika merujuk pada tafsir-tafsir klasik populer,
maka ia akan menemukan apa yang menurutnya belum dibahas. Contohnya adalah
gagasan bahwa al-Fatihah mencakup seluruh isi kandungan al-Qur'an di mana al-
Fatihah sebagai induk dari surat-surat lain. Rahardjo menyebutnya "al-Qur'an in a
nutsell". Gagasan ini bukanlah hal baru, tetapi Rahardjo menganggapnya baru atau
berbeda dengan tafsir-tafsir al-Fatihah kontemporer. Bahkan, pernyataannya bahwa
al-Fatihah bersifat muhkamāt sedangkan surat lain bersifat mutashābihāt juga
ahistoris dengan teori muhkamāt-mutasyābihāt dalam 'ulum al-Qur'an.259
Contoh lainnya adalah ide tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an. Rahardjo tidak
menjelaskan lebih detail apakah yang dimaksudnya sebagai "tafsir al-Qur'an dengan
al-Qur'an" sama dengan tafsīr bi al-ma'thūr. Menilik dari metodologi tafsirnya,
Rahardjo juga tidak memasukkan teori nāsikh-mansūkh atau 'ām-khāsh atau teori-
teori lainnya yang membahas relasi susunan kebahasaan dalam al-Qur'an. Secara
umum, Rahardjo hanya menyebut bahwa kumpulan ayat-ayat tematik diurut sesuai
kronologisnya dan kemudian dianalisis dari sisi historisnya. Dalam praktiknya,
Rahardjo memang melakukannya. Namun, penjelasan Rahardjo terhadap kumpulan

257
Hady, ‘Tafsir Qur’an Kontemporer: Pembacaan Awal Terhadap Ensiklopedi Al-
Qur'an M. Dawam Rahardjo’, h. 4.
258
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, h. 313.
259
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 23-24.

160
ayat-ayat sangat minim dibanding penjelasannya terhadap teori-teori umum yang
dianggap berkaitan dengan tema yang diangkat. Ini sekaligus menunjukkan
persoalan metode tematik yang diterapkan oleh Rahardjo. Jika merujuk pada metode
tematik yang dirumuskan oleh al-Kūmī, pencetus metode ini, maka Dawam
Rahardjo belum memenuhinya.260
Selain itu, pandangan Rahardjo bahwa al-Qur'an dapat dipahami melalui
terjemahannya juga merupakan suatu kerancuan. Jika yang dimaksudkan adalah
pemahaman al-Qur'an sebagai memahami pesan ayat, maka pandangan Rahardjo
dapat dibenarkan. Salah satu tujuan diadakannya penerjemahan adalah untuk
memudahkan orang awam memahami al-Qur'an. Namun, bila maksud pandangan
Rahardjo adalah memahami untuk menafsirkan al-Qur'an, maka hal tersebut tidak
tepat, bahkan membahayakan. Karena mau bagaimana pun, yang menjadi objek
tafsir adalah al-Qur'an dan bukan terjemahannya. Secara tekstual, jelas ada
perbedaan mencolok antara al-Qur'an dengan terjemahan.261
Fenomena di atas menegaskan bahwa pengetahuan bahasa Arab dan ilmu
tafsir penting (wajib) dimiliki oleh seorang yang hendak menafsirkan al-Qur'an.
Penguasaan keduanya membantu penafsir dalam mengetahui dan memahami makna
ayat al-Qur'an secara tekstual. Pengetahuan dan pemahaman tersebut kemudian
dijadikan pijakan untuk melakukan penafsiran secara kontekstual. Oleh karena itu,
untuk sementara ini jika menggunakan kualifikasi tafsir yang ketat dalam 'ulūmul
Qur'ān, maka karya Rahardjo belum bisa dikatakan sebagai tafsir. Namun, jika yang
digunakan adalah definisi tafsir secara umum (al-bayān wa al-ibānah), maka karya
tersebut bisa dianggap sebagai tafsir. Dengan sudut pandang ini, dapat dimaklumi
jika M. Quraish Shihab menamakan karya Rahardjo sebagai "pemahaman terhadap
al-Qur'an" dan bukan "penafsiran" sementara Islah memasukkan karya Rahardjo
sebagai literatur tafsir.
Selain beberapa poin di atas, ada beberapa kritikan Taufik Adnan Amal
yang merespon metodologi tafsir M. Dawam Rahardjo. Ia memetakan metodologi
penafsiran Dawam Rahardjo ke dalam tiga komponen utama, yaitu konteks literer,
kronologi al-Qur'an, dan konteks historis.262 Ia kemudian memberikan empat catatan
kritis terhadap metodologi tafsir Dawam Rahardjo. Pertama, adanya faktor
subjektivitas penafsir dalam menentukan konteks literer ayat untuk membahas suatu
tema. Menurutnya, keterkaitan antara suatu ayat dengan ayat lain merupakan
masalah yang pelik. Subjektivitas penafsir sangat berperan dalam cara kerja ini yang
mana di dalam 'ulūmul Qur'ān dikenal sebagai ilmu munāsabah. Namun, menurut
Adnan, masalah ini dapat ditangani dengan menjadikan prinsip-prinsip umum

260
Al-Kūmī memasukkan pembahasan 'ām-khāṣ, muṭlaq-muqayyad, dan ilmu-ilmu
relasi antar ayat lainnya dalam prosedur metode tematiknya. Ia juga menyertakan hadis-hadis
yang relevan dengan tema bahasan untuk menguatkan penafsiran. Rosihon Anwar dan Asep
Muharom, Ilmu Tafsir Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 165.
261
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xix.
262
Taufik Adnan Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, in Demi
Toleransi Demi Pluralisme2, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H. Lamardy
(Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 282.

161
tentang kesatuan gagasan, persamaan rima dan gaya bagian-bagian al-Qur'an yang
diamati sebagai pijakan untuk mengurangi subjektivitas.263
Kedua, terkait konteks sabab al-nuzūl ayat. Meskipun Rahardjo lebih
menekankan konteks historis makro, tetapi konteks mikro juga tidak dapat
diabaikan. Sayangnya, konteks mikro melalui sabab al-nuzūl ayat memiliki
permasalahan yang cukup mendasar, yaitu berhubungan dengan kelengkapan,
konsistensi dan validitas riwayat. Satu ayat dapat memiliki beberapa riwayat sabab
al-nuzūl yang berbeda.264
Ketiga, masalah kronologi al-Qur'an. Metodologi Rahardjo mengandalkan
kronologi ayat berdasarkan nuzūl-nya. Metode ini mengandaikan penafsiran
berdasarkan urutan ayat-ayat yang disusun secara kronologis. Menurut Adnan,
hingga sekarang belum ada aransemen kronologis yang dapat dijadikan pijakan
dalam kajian tafsir. Minimnya informasi akurat mengenai susunan kronologis ayat
ini menjadi masalah serius dalam metodologi Rahardjo. Oleh karena itu, penyusunan
unit-unit al-Qur'an secara detail dan berdasarkan kronologisnya sangat
dibutuhkan.265
Keempat, tidak adanya perbandingan dengan teks-teks selain al-Qur'an.
Adnan melihat bahwa Rahardjo tidak memperhatikan urgensi dan signifikansi
keragaman tradisi teks bacaan al-Qur'an resmi. Padahal, keberadaan berbagai
macam bacaan menyajikan banyak pemaknaan yang mungkin membantu dalam
memahami suatu ayat.266
Sehubungan uraian di atas, penulis mengakui kebenaran kritikan terhadap
Ensiklopedi Al-Qur'an tentang adanya beberapa kerancuan di dalamnya. Menurut
penulis adalah hal normal dan sah bila para pengkritik tersebut melihat karya
Rahardjo dari perspektif 'ulūmul Qur'ān an sich. Hal tersebut dapat dimaklumi
karena keterbatasan pengetahuan Rahardjo terhadap ilmu-ilmu al-Qur'an dan semua
ilmu yang terkait seperti bahasa Arab dan lainnya. Namun, dengan adanya
kekurangan itu bukan berarti karya Rahardjo tidak memiliki nilai atau relevansi
dengan perkembangan tafsir di Indonesia. Sebaliknya, penulis melihat apa yang
dilakukan Rahardjo melalui Ensiklopedi Al-Qur'an justru berdampak besar pada
perkembangan tafsir di masa sekarang.
2. Menimang Tafsir Tematik-Sosial M. Dawam Rahardjo
Izza Rohman menyebut ada dua premis yang menjadi pijakan pemikiran
para pengkaji al-Qur'an kontemporer di Indonesia, yaitu bahwa realitas telah

263
Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, h. 283.
264
Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, h. 284.
265
Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, h. 285. Terkait hal ini,
mungkin ada banyak sekali peneliti yang sudah mencoba menyusun tartīb nuzūlī ayat al-
Qur'an. Namun, banyaknya versi tartīb nuzūlī akan mempengaruhi cara kerja metodologi
tafsir Rahardjo ini. Menarik jika metodologi Rahardjo tersebut disandingkan dan
diperbandingkan dengan metode tafsir nuzūlī seperti yang diutrakan oleh Aksin Wijaya
dalam bukunya berjudul Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah.
266
Amal, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, h. 286.

162
berubah dan realitas harus diubah.267 Kedua premis ini sama-sama berangkat dari
realitas sosial di masyarakat. Beberapa sarjana muslim melihat perubahan realitas,
yakni akibat modernisasi, nyatanya menimbulkan beberapa tantangan dan masalah
baru yang menuntut respon yang tepat. Untuk menjawab masalah ini, mereka
mencoba untuk membaca ulang pendekatan-pendekatan terhadap al-Qur'an agar
kitab suci tersebut tetap relevan dengan konteks kekinian. Oleh karena itu, masalah
yang mereka sadari adalah bagaimana cara mengatasi jarak sosio-historis antara
masa turunnya al-Qur'an dan masa modern saat ini. Menurut Rohman, Rahardjo
termasuk dari sarjana muslim yang berusaha menjawab permasalahan tersebut selain
Quraish Shihab, Kuntowijoyo, Taufik Adnan Amal, dan Syamsu Rizal Panggabean.
Mereka mengusung pembaharuan metodologi al-Qur'an untuk menjawab tantangan
dan permasalahan yang ditimbulkan oleh modernitas.268
Sementara itu, ada pula sarjana muslim yang memandang realitas harus
diubah. Berbeda dengan golongan sebelumnya yang menawarkan pembaharuan
metodologi al-Qur'an, golongan ini menawarkan cara pembacaan baru terhadap al-
Qur'an. Golongan ini juga berbeda dengan paham ortodoksi Islam 269 yang ingin
menjadikan realitas sesuai dengan teks al-Qur'an. Golongan ini berusaha melakukan
pembacaan realitas sosial terlebih dahulu -seperti keterbelakangan, marjinalisasi,
dan ketidakadilan- sebelum mengkaji teks al-Qur'an sehingga diharapkan
pengetahuan tentang realitas tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran
Islam dalam al-Qur'an ke kondisi kekinian. Jadi, masalah yang mereka sadari adalah
bagaimana mengatasi kesenjangan besar yang ada antara teks al-Qur'an dan realitas
sosial. Contoh pembacaan baru yang mereka gagas adalah tafsir emansipatoris dan
tafsir transformatif. 270
Sebagaimana dinyatakan oleh Rohman, berdasarkan latar belakang di atas
maka dapat dimaklumi jika para sarjana muslim Indonesia kontemporer meletakkan
pembacaan sosial (social reading) dan tujuan sosial (social aims) dalam
memformulasikan metodologi alternatif penafsiran al-Qur'an. 271 Meskipun begitu,
menurut penulis, dua pemetaan Rohman tersebut bukan berarti menjadi patokan
baku dalam menilai pemikiran masing-masing tokoh. Dalam pemetaan tersebut,
golongan pertama ditampilkan sebagai kalangan yang sekadar mementingkan
pembacaan sosial saja tanpa ada usaha melakukan perubahan realitas. Sementara itu,
golongan kedua ditampilkan sebagai kalangan yang mementingkan tujuan sosial.

267
Dalam ungkapan Rohman adalah reality has changed dan reality has to be
changed. Izza Rohman, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary
Indonesia’, Studia Islamika, 14.2 (2007), h. 208.
268
Rohman, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary
Indonesia’, h. 209.
269
Menurut penulis, penyebutan ortodoksi Islam atau dalam bahasa Rohman "Islamic
orthodoxy" adalah kurang tepat. Sebutan "paham tradisional" atau "paham tekstualis"
tampaknya lebih tepat.
270
Rohman, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary
Indonesia’, h. 209-210.
271
Rohman, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary
Indonesia’, h. 210.

163
Dalam kasus Rahardjo, misalnya, penulis melihat adanya pembacaan sosial dan
tujuan sosial sekaligus.
Berkaitan dengan uraian di atas, Nasaruddin Umar berpandangan bahwa
Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo merupakan autokritik terhadap
penafsiran ulama saat itu. Terlepas dari kekurangan yang ada, menurutnya, Rahardjo
telah memberikan pendekatan baru dalam memahami al-Qur'an. Usaha Rahardjo
tersebut dapat melengkapi kekurangan dari penafsiran yang sudah tersedia. Dalam
pembacaannya terhadap Ensiklopedi Al-Qur'an, Umar menyoroti dua hal, yaitu
apakah Rahardjo melakukan penafsiran karena berasal dari lingkungan keluarga
agamis atau karena sebagai sarjana yang menguasai ilmu-ilmu sosial sekaligus
aktivis sosial menemui gap antara ajaran al-Qur'an dengan realitas yang ada.272
Pandangan Nasaruddin Umar tampaknya menanggapi pernyataan Rahardjo.
Dalam "kata pengantar" bukunya, Rahardjo menyatakan bahwa Ensiklopedi Al-
Qur'an ditujukan khusus untuk pembaca pemula yang baru berkenalan dengan al-
Qur'an agar tumbuh rasa cinta di hati mereka. Secara halus ia mengkritik 'ulūmul
Qur'ān. Ia menyampaikan harapannya agar Ensiklopedi Al-Qur'an tidak terlalu
rumit sebagaimana kesan terhadap ulumul Qur'an sehingga pembaca dapat
menikmati Ensiklopedi Al-Qur'an. Selain itu, tujuan pembuatan karya ini ialah agar
menjadi sumbangan "sederhana" dalam wacana metodologi tafsir dan aksesnya
terhadap al-Qur'an.273
Namun, menurut penulis asumsi Nasaruddin Umar kurang tepat meskipun
secara umum dapat dibenarkan. Perhatian Rahardjo terhadap masalah sosial,
termasuk penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an, tidak terlepas dari latar belakangnya.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Bahtiar Effendy, ada tiga hal penting yang
dapat menggambarkan alasan Rahardjo minat pada kajian keislaman bercorak sosial.
Pertama adalah situasi sosial-keagamaan dan politik Indonesia yang
mempertentangkan antara Islam dan negara. Hal ini disebabkan oleh idealisme dan
aktivisme para pemikir dan praktisi politik muslim generasi pertama yang
mengakibatkan kerugian sosial-politik bagi komunitas Islam. Kondisi tersebut
memicu terjadinya dialektika pemikiran dan aktivisme baru di kalangan generasi
yang lebih muda. Mereka mencoba menyintesiskan hubungan antara agama dan
negara. Oleh karenanya, mereka mengkaji bagaimana posisi Islam dalam kehidupan
sosial-ekonomi dan politik keseharian di Indonesia.
Kedua adalah keterlibatan Rahardjo dalam HMI Yogyakarta. Para aktivis
HMI memainkan peranan penting dalam merespons situasi sosial-politik Indonesia
sebagaimana disebut di atas. Aktivis HMI Yogyakarta dan Jakarta kompak
mengembangkan wacana yang berusaha mengaitkan Islam dengan persoalan-
persoalan keseharian yang bersifat lebih empirik.
Ketiga adalah aktivitas Rahardjo dalam kelompok diskusi Limited Group.
Kelompok diskusi di bawah asuhan Prof. Dr. Mukti Ali ini dihadiri oleh beberapa

272
Nasaruddin Umar, ‘Refleksi Sosial Dalam Memahami Al-Qur’ān: Menimbang
Ensiklopedi Al-Qur’ān Karya M. Dawam Rahardjo’, Jurnal Studi Al-Qur’an, 1.3 (2006), h.
488-489.
273
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xxiv-xxv.

164
tokoh seperti Syu'bah Asa, Kuntowijoyo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
sejumlah nama lainnya. Secara rutin Limited Group mengkaji masalah-masalah
keagamaan, sosial, politik, dan berbagai hal lainnya secara terbuka dan bebas, dalam
artian tanpa perlu merasa takut dicap telah keluar dari kaidah-kaidah religius dan
teologis yang lazim.
Menurut Bahtiar Effendy, ketiga faktor di atas memberi kesempatan bagi
Dawam Rahardjo untuk melihat realitas keislaman dalam konteks Indonesia secara
lebih empiris. Hal tersebut kemudian menyebabkan Rahardjo lebih tertarik mengkaji
Islam dalam konteks yang berkembang di Indonesia dan tidak lagi mengkajinya
secara konteks tekstualnya saja. 274 Sehubungan dengan keterangan ini, dapat
dimaklumi jika karya Rahardjo mendapat pengakuan dari Nurcholish Madjid dalam
kata pengantar bukunya. Madjid menyatakan bahwa Ensiklopedi Al-Qur'an
memberikan sumbangsih dalam pemahaman ajaran Islam khususnya al-Qur'an
dengan corak budaya Indonesia. 275 Menurut penulis, keterangan ini membuktikan
bahwa tulisan-tulisan dalam Ensiklopedi Al-Qur'an lahir dalam konteks sosial yang
cukup kompleks. Karya itu ditulis sebagai respon Rahardjo terhadap hasil
pergulatannya dengan realitas sosial.
Berkaitan dengan masalah di atas, dalam kajian mengenai dinamika
penafsiran al-Qur'an, Sunarto menyatakan bahwa tafsir berdimensi sosial di
Indonesia pertama kali tampak pada Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka dan
kemudian mulai marak pada tahun 1990-an. Ia menyebut tiga contoh karya tafsir
sosial, yaitu Ensiklopedi Al-Qur'an karya M. Dawam Rahardjo, Wawasan al-Qur'an
karya M. Quraish Shihab, dan Dalam Cahaya al-Qur'an karya Syu'bah Asa. 276
Selain itu, berkaitan dengan tafsir tematik, R. Michael Feener dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa penafsiran di Indonesia memasuki era baru dan berkembang
pesat sejak dasawarsa 1980-an dengan pendekatan tematik.277
Menyambung keterangan Sunarto dan Feener tersebut, dalam pengantar
buku Syu'bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur'an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik,
Kuntowijoyo memberikan gambaran tiga tipe tafsir tematik sosial yang berkembang
di Indonesia berdasarkan perkembangan Islam. Dalam perkembangan Islam ada tiga
kategori, yaitu substansi, demografi, dan eventualitas. Perkembangan substansi
adalah perkembangan Islam berupa kemajuan dalam ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu
kemanusiaan, dan kesenian. Kemajuan ilmu tafsir termasuk kategori ini.
Selanjutnya, perkembangan demografi adalah perkembangan Islam berupa
penyebaran secara geografis, pertambahan populasi, dan pertumbuhan institusional.

274
M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h. x-xii. Dalam suatu tulisan, Rahardjo mengkritik penafsiran
Quraish Shihab yang menurutnya tidak menyinggung visi kemasyarakatan dan hal-hal lain
yang relevan dan dibutuhkan oleh umat. Rahardjo, Islam Dan Transformasi Budaya, h. 325.
275
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. xxxiii.
276
Sunarto, ‘Dinamika Tafsir Sosial Indonesia’, Mumtaz, 3.1 (2019), h. 94.
277
R. Michael Feener, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in Southeast
Asia’, Studia Islamika1, 5.3 (1998), h. 64. Namun, terkait hal ini, Izza Rohman memberi
catatan bahwa tafsir klasik masih diminati oleh kalangan penulis dan pembaca tafsir.
Rohman, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary Indonesia’, h. 218.

165
Dakwah termasuk dalam kategori ini. Terakhir, perkembangan eventualitas adalah
perkembangan Islam berupa peristiwa-peristiwa sehari-hari di permukaan, maju-
mundur tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan Islam
secara keseluruhan. Peristiwa politik termasuk dalam kategori ini.
Berdasarkan tiga kategori di atas, Kuntowijoyo menganggap bahwa semua
tafsir termasuk pada perkembangan substansi. Ia menyebut Ensiklopedi Al-Qur'an
karya Rahardjo sebagai perkembangan substansi ilmu-ilmu agama sekaligus dapat
meningkatkan perkembangan substansi itu sendiri karena berisi konsep-konsep
kunci yang mampu merangsang berkembangnya ilmu pengetahuan perpektif Islam.
Kuntowijoyo juga menyebut Wawasan Al-Qur'an karya M. Quraish Shihab sebagai
perkembangan substansi juga sekaligus dapat digunakan untuk perkembangan
demografi karena dapat digunakan dalam berdakwah. Terakhir, karya Syu'bah Asa
sebagai perkembangan substansi sekaligus yang memberi penerangan pada
eventualitas.278
Penulis sependapat dengan Kuntowijoyo. Berdasarkan hasil pembacaan
selama ini, objek Ensiklopedi Al-Qur'an adalah masyarakat ilmu. Artinya, meskipun
yang dibahas adalah masalah-masalah akar rumput, tetapi Rahardjo menyajikannya
untuk para pemikir atau cendekiawan untuk direnungkan bersama-sama dengan
harapan mereka akan melakukan pergerakan berdasarkan renungan tersebut. Oleh
karena itu, Dawam Rahardjo fokus mengkaji konsep dan bukan praktik. Hal ini
dapat dimaklumi karena praktik membutuhkan konsep. Dari konsep yang jelas maka
akan lahir praktik yang jelas pula. Dari sini, penulis mungkin bisa menyimpulkan
bahwa penafsiran Rahardjo sebenarnya kontekstual dan praktis bagi kalangan
tertentu, yakni masyarakat ilmiah tadi. Selebihnya, seperti yang diungkapkan Islah
Gusmian, penafsiran Rahardjo tidak kontekstual.
Tampilan atau bentuk tafsir seperti Ensiklopedi Al-Qur'an tentu tidak
terlepas dari asal-usul pun juga konteks penulisannya yang mana dalam hal ini
adalah jurnal Ulumul Qur'an. Hal ini membuktikan bahwa konteks sosial dapat
memengaruhi bentuk dan corak suatu tafsir yang bersifat kontekstual. Konteks
masyarakat Indonesia pada masa penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an sedang
membutuhkan sajian ilmiah di mana jurnal Ulumul Qur'an hadir untuk menjawab
kebutuhan tersebut dan Ensiklopedi Al-Qur'an termasuk salah satu bagian darinya.
Singkatnya, Ensiklopedi al-Qur'an dalam segala bentuknya dapat dipahami dan
diterima karena relevan dengan konteksnya. Ensiklopedi Al-Qur'an merupakan satu
realitas dalam sejarah penafsiran al-Qur'an di Indonesia yang membuktikan
banyaknya faktor dari luar ilmu tafsir mempengaruhi bentuk dan hasil penafsiran.
Dengan hasil kajian ini, menurut penulis relevansi tafsir tematik-sosial M.
Dawam Rahardjo terletak pada gagasan-gagasannya mengenai pengangkatan isu-isu
sosial sebagai bahan kajian al-Qur'an. Pencarian konsep-konsep kunci seperti yang
dipraktikkan Rahardjo dibutuhkan untuk mengembangkan tafsir masa kini
mengingat isu-isu sosial yang baru terus bermunculan demikian juga perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat. Selain itu, metodologi yang
ditawarkan oleh Rahardjo juga dapat pula dipraktikkan untuk menguji tema atau

278
Asa, Dalam Cahaya al-Qur'an: Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, h.xiv-xvi.

166
konsep yang sama dengan asumsi adanya perbedaan dalam realitas masyarakat
zaman sekarang.
Adapun terkait segala kekurangan Rahardjo, baik dalam bidang bahasa Arab
maupun keilmuan tafsir, maka dapat disempurnakan oleh mereka yang ahli di
bidangnya. Kekurangan Rahardjo bukan berarti metodologi yang digagasnya tidak
dapat diterapkan sama sekali lantas ditinggalkan. Bagi penulis, tentunya setelah
mengkaji secara mendalam, metodologi Rahardjo dapat terus dikembangkan
sehingga menghasilkan metodologi tafsir tematik-sosial yang lebih komprehensif.279
Akhirnya, sebagai statement terakhir, salah satu hal yang dapat dijadikan
pelajaran dari tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo adalah al-Qur'an akan selalu
relevan selama pembacanya mampu mendialogkannya dengan realitas. Seorang
penafsir al-Qur'an setidaknya harus mengetahui situasi dan kondisi realitasnya
sendiri di samping juga mengetahui realitas yang melingkupi al-Qur'an. Dengan
begitu, al-Qur'an dapat hidup di tengah-tengah kita sebagai kitab petunjuk yang
memberikan solusi nyata bagi kehidupan di mana pun dan kapan pun berada.***

279
Hal ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Taufik Adnan Amal dan Syamsu
Rizal Panggabean dalam pendahuluan buku Tafsir Kontekstual, "Harapan kedua penulis
adalah agar tulisan ini tidak dipandang sebagai bid'ah yang harus dibasmi, tetapi sebagai
suatu ijtihād yang, walaupun keliru, akan bermanfaat dalam merangsang munculnya upaya-
upaya strategis di bidang ini." Lihat: Taufik Adnan Amal and Syamsu Rizal Panggabean,
Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, 3rd edn (Bandung: Mizan,
1413), h. 11.

167
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan rumusan masalah
penelitian yang diajukan di awal, penulis menyimpulkan tiga hal. Pertama, terkait
konstruksi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur'an
dan Paradigma Al-Qur'an ditemukan bahwa tafsir tematik-sosial tersebut adalah
tafsir tematik yang menjadikan realitas sosial sebagai titik tolak penafsiran. Dalam
praktiknya, ada kalanya penafsiran dimulai dari realitas ke teks seperti yang
diperkenalkan oleh Hassan Hanafi dan Muḥammad Bāqir al-Ṣadr dan dari teks ke
realitas seperti yang dirumuskan oleh al-Kūmī dan al-Farmāwī. Namun, Rahardjo
lebih banyak menggunakan langkah penafsiran yang pertama, yaitu dari realitas ke
teks.
Adapun bentuk konstruksi tafsir tematik-sosial ialah berupa tafsir
ensiklopedis yang menjadikan kata-kata kunci sebagai pijakannya. Penentuan kata-
kata kunci itu diambil dari tiga titik tolak, yaitu: konsep ilmu-ilmu sosial dan
budaya, istilah-istilah al-Qur'an, dan istilah-istilah keilmuan Islam klasik. Semua
titik tolak tersebut pada praktiknya diambil dari realitas di mana Rahardjo
menentukan konsep berdasarkan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Oleh karenanya, pendekatan yang digunakan dalam penafsiran tafsir tematik-sosial
adalah pendekatan kontekstual berupa sosial-historis. Pada praktiknya, pendekatan
sosial-historis tersebut hampir sama seperti teori double movement yang digagas
oleh Fazlur Rahman.
Kedua, terkait wacana yang diusung oleh M. Dawam Rahardjo dalam
penulisan Ensiklopedi Al-Qur'an secara umum adalah wacana pembaharuan tafsir.
Pembaharuan tafsir itu berupa penafsiran kembali al-Qur'an dengan metode
pemahaman baru berbasis ilmu-ilmu modern seperti sosial, ekonomi, budaya, dll..
Sementara itu, tulisan-tulisan dalam Ensiklopedi Al-Qur'an juga mengangkat
wacana-wacana yang menjadi perbincangan hangat masa itu. Dari 27 entri,
setidaknya ada lima wacana besar yang sering disinggung oleh Dawam Rahardjo,
yaitu terkait keilmuan, kemasyarakatan, kepemerintahan, perekonomian, dan
moralitas. Wacana keilmuan berbicara mengenai integrasi ilmu dan agama. Wacana
kemasyarakatan memperbincangkan realisasi masyarakat madani atau civil society.
Wacana kepemerintahan membahas pengaplikasian demokrasi. Wacana
perekonomian menawarkan penerapan ekonomi Islam. Terakhir, wacana keadaban
menyinggung pembangunan karakter masyarakat seperti keadilan.
Ketiga, terkait relevansi tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo dalam
perkembangan tafsir di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian penulis, dapat dilihat
bagaimana Ensiklopedi Al-Qur'an relevan dengan konteks sosial pada masa
penulisannya. Melalui metode tafsir tematik-sosialnya, Rahardjo berhasil
mendialogkan antara teks al-Qur'an dengan realitas yang dihadapinya. Dalam
sejarah perkembangan tafsir di Indonesia, Ensiklopedi Al-Qur'an termasuk karya
awal yang mempopulerkan tafsir tematik bercorak sosial. Metode tafsir tematik-

168
sosial yang digagas Rahardjo kemudian memicu lahirnya tafsir-tafsir baru dengan
model serupa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik sebuah tesis bahwa Ensiklopedi Al-
Qur'an adalah model tafsir tematik-sosial yang kontekstual dan sesuai dengan
realitas sosial masyarakat.
B. Saran dan Rekomendasi
Pengembangan metodologi tafsir terus mengalami pembaharuan seiring
perkembangan ilmu pengetahuan. Wacana penafsiran juga akan mengalami
perubahan sesuai dengan realitas sosial yang mengikuti arus perubahan zaman.
Penelitian ini hanyalah satu bentuk pembacaan terhadap sebuah karya tafsir yang
merupakan salah satu produk pemikiran pada masanya. Penelitian ini hanya
berfokus pada tafsir tematik-sosial M. Dawam Rahardjo serta wacana-wacana dalam
tafsirnya yang dikonstruksi dalam konteks sosial selama era 1990-an. Masih banyak
karya lain yang perlu diteliti untuk menguak bagaimana cara para ulama atau
cendekiawan muslim Indonesia dalam mendialogkan al-Qur'an dengan realitas
sosialnya. Penelitian semacam ini penting dilakukan untuk memperkaya metodologi
tafsir berbasis konteks lokal atau keindonesiaan. Hasil penelitian tersebut mungkin
dapat digunakan oleh siapa saja yang membutuhkan pengkajian al-Qur'an untuk
menghadapi realitas sosial yang sama.
Selain itu, penelitian ini telah mengungkapkan bahwa ketidaksempurnaan
suatu metodologi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, untuk tidak mengulangi
kritikan yang sama, alangkah lebih baiknya bila mengambil manfaat dari kelebihan
suatu metodologi dan berusaha menyempurnakan kekurangannya. Dalam penelitan
ini kelebihan metodologi tafsir M. Dawam Rahardjo terletak pada kemampuannya
mendialogkan teks dengan realitas sosial menggunakan pendekatan ilmu-ilmu
modern. Sedangkan kekurangannya adalah minimnya penggunaan kajian linguistik,
terutama bahasa Arab yang selama ini menjadi kajian wajib dan penting dalam
proses penafsiran. Untuk itu, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang
bertujuan mengembangkan atau menyempurnakan metode tafsir tematik-sosial
Dawam Rahardjo. Penelitian tersebut bisa dilaksanakan dengan melakukan
perbandingan metode tafsir tematik-sosial Dawam Rahardjo dengan metode tafsir
tematik-sosial yang digagas oleh tokoh lainnya, terutama model tafsir tematik
kekinian seperti yang marak dipraktikkan dalam pengajian-pengajian, baik secara
tatap muka seperti di masjid-masjid atau daring seperti yang tersebar di media
sosial.
Terakhir, kesulitan yang penulis alami dalam penelitian ini adalah dalam
melakukan analisa wacana. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan penulis
terkait isu-isu sosial-politik yang banyak disinggung dalam Ensiklopedi Al-Qur'an
secara mendalam. Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada peneliti yang hendak
melakukan kajian yang sama agar terlebih dahulu menyiapkan data pendukung
selengkap mungkin demi menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasi
data.
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dalam berbagai aspek.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian.

169
170
DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Raof, Hussein, Schools of Qur’anic Exegesis: Genesis and Development


(New York: Routledge, 2010)
Adnan, ‘Penafsiran Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku
Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci)’
(Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)
Affani, Syukron, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya (Jakarta:
Kencana, 2019)
Aḥmad al-Sayyid al-Kūmī, and Muḥammad Aḥmad Yūsuf Al-Qāsim, Al-Tafsīr Al-
Mauḍū’ī Li Al-Qur’ān Al-Karīm, 1st edn, 1982
Ahmad, Imam, ‘Brahmana Dari Solo’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. by
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H. Lamardy (Jakarta: Democracy
Project, 2012), pp. 63–75
Aisyah, ‘Signifikansi Tafsir Maudhu’i Dalam Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an’,
Tafsere, 1.1 (2013), 23–35
Akbar, Faris Maulana, ‘Dimensi Makna Dzikr Ulil Albāb: Studi Atas Pemikiran M.
Dawam Rahardjo)’ (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
Ali-Fauzi, Ihsan, ‘Ensiklopedia Dawam Rahardjo’, Majalah.Tempo.Co, 2018
<https://majalah.tempo.co/read/obituari/155606/ensiklopedia-dawam-
rahardjo> [accessed 23 November 2020]
Ali-Fauzi, Ihsan, Syafiq Hasyim, and J.H. Lamardy, eds., Demi Toleransi Demi
Pluralisme (Jakarta: Democracy Project, 2012)
Ali, Amer, ‘A Brief Review of Classical and Modern Tafsir Trends and the Role of
Modern Tafsir in Contemporary Islamic Thought’, Australian Journal of
Islamic Studies, 3.2 (2018), 39–52 <https://ajis.com.au/index.php/ajis/tncs>
Amal, Taufik Adnan, ‘Metode Tafsir Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, in Demi
Toleransi Demi Pluralisme2, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H.
Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), pp. 276–89
Amal, Taufik Adnan, and Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran:
Sebuah Kerangka Konseptual, 3rd edn (Bandung: Mizan, 1413)
Anggoro, Taufan, ‘Tafsir Alquran Kontemporer: Kajian Atas Tafsir Tematik-
Kontekstual Ziauddin Sardar’, Al Quds, 3.2 (2019), 199–220
<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29240/alquds.v3i2.1049>
Anwar, Rosihon, and Asep Muharom, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2015)
Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 15th edn
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013)
Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta:
PT Gramediia Pustaka Utama, 2000)
Asari, Amirulloh Sain, ‘History and Development of Tafsir In Southeast Asia
(Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore and Thailand)’,
Waratsah, 1.2 (2016), 171–85
Azizurrochim, ‘Metode Tafsir Maudhu’i (Studi Komparatif Antara M. Quraish
Shihab Dan M. Dawam Rahardjo)’ (IAIN Tulungagung, 2016)
Bachir, Soetrisno, ‘Dawam: Putra Muhammadiyah Yang Merdeka’, in Demi
Toleransi Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J.H.

171
Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), pp. 80–86
Bakar, Abu, ‘Pemikiran Hukum Kewarisan Bilateral: Studi Pemikiran Hazairin’, Al-
Banjari, 6.11 (2007), 21–38
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J.
Brill, 1968)
Baso, Ahmad, Al-Jabiri, Eropa Dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara
Untuk Dunia, 2nd edn (Ciputat: Pustaka Afid, 2017)
Bryman, Alan, Social Research Methods, 4th edn (New York: Oxford University
Press, 2012)
Al-Bukhāri, Muḥammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ
(Qāhirah: Dār al-Shi’b, 1987)
Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, 1st edn (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001)
Cresswell, John W., and Cheryl N. Poth, Qualitative Inquiry & Research Design:
Choosing Among Five Approaches, 4th edn (London: Sage, 2018)
Dafit, Ahmad, ‘Islam Progresif Dalam Gerakan Sosial M. Dawam Rahardjo (1942-
2016)’, Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran Dan Dakwah
Pembangunan, 1.1 (2017), 37–62
Al-Dhahabī, Muḥammad Ḥusain, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn (al-Qāhirah:
Maktabah Wahbah, 2000)
Al-Dimashq, Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-’Aẓīm,
ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmat (Dār Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tauzī’)
Al-Dimashqī, Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ’Umar ibn Kaṡīr al-Qarashī, Tafsīr Al-Qur’ān
Al-’Aẓīm, ed. by Sāmī ibn Muḥammad Salāmah, 2nd edn (Dār Ṭayyibah li al-
Nashr wa al-Tauzī’, 1999)
Al-Dīn, Muḥammad al-Rāzī Fakhr, Tafsīr Al-Fakh Al-Rāzī, 1st edn (Bairūt: Dār al-
Fikr, 1981)
Dozan, Wely, ‘Analisis Pergeseran Shifting Paradigm Penafsiran: Studi Komparatif
Tafsir Era Klasik Dan Kontemporer’, At-Tibyan, 5.1 (2020), 37–55
<https://doi.org/10.32505/tibyan. v5i1.1631>
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 3rd edn (Yogyakarta:
LKiS, 2011)
Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme,
ed. by Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000)
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005)
Fajriaturrahmi, Yeni, ‘Metode Tafsir Maudhu’i M. Dawam Rahardjo Dalam
Ensiklopedi Al-Qur’an’ (UIN Imam Bonjol Padang, 2018)
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Sebuah Pengantar (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1994)
Febriani, Nur Arfiyah, ‘Metode Tematik Multidisipliner: Aplikasi Pada Tafsir
Ekologi Berwawasan Gender’, Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hadis,
1.2 (2019), 1–32 <https://doi.org/10.15548/MASHDAR.V1I2.1016>
Federspiel, Howard M., Kajian Al-Qur’an Di Indonesia: Dari Mahmud Yunus
Hingga Quraish Shihab, 1st edn (Bandung: Mizan, 1996)
Feener, R. Michael, ‘Notes Towards The History of Qur’anic Exegesis in Southeast

172
Asia’, Studia Islamika1, 5.3 (1998), 47–76
Fina, Lien Iffah Naf’atu, ‘Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed: Sebuah
Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman’, Hermeneutik, 9.1
(2015), 65–90
Firman, ‘Interaksi Sosial Muslim Dan Non-Muslim Dalam Al-Qur’an Surah Al-
Hujurat Ayat 11-12 Menurut Dawam Rahardjo’ (UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2018)
Goldziher, Ignaz, Madhāhib Al-Tafsīr Al-Islāmī, ed. by ’Abd al-Ḥalīm Al-Najjār (al-
Qāhirah: Maktabah al-Khanji, 1955)
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi
(Yogyakarta: LKiS, 2013)
———, Tafsir Al-Qur’an & Kekuasaan Di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, Dan
Pertarungan Wacana (Yogyakarta: Salwa, 2019)
Habibie, B. J., ‘Dawam Rahardjo, ICMI, Dan Habibinomics’, in Demi Toleransi
Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, and J. H. Lamardy
(Jakarta: Democracy Project, 2012), pp. 31–33
Hady, M. Samsul, ‘Tafsir Qur’an Kontemporer: Pembacaan Awal Terhadap
Ensiklopedi Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, El-Harakah, 7.1 (2005), 1–10
Hafizoh, Ummu, ‘Metode Tafsir Mawdū’ī Muhammad Al-Ghazali (Analisa
Terhadap Kitab Nahwa Tafsīr Mawdū’ī Li Suwar Al-Qur’ān Al-Karīm)’ (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme, Dan Liberalisme Agama, 2nd edn (Jakarta: Hujjah Press, 2007)
Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai
Derrida, 8th edn (Yogyakarta: PT Kanisius, 2020)
Hasan, Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2008)
Helmiati, ‘The Development of Quranic Exegesis In Indonesia A General
Typology’, Asia Pasific Journal On Religion and Society, 2.1 (2018), 29–38
<http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/asiapacific/index>
Herdiansah, Ari Ganjar, ‘Peran Organisasi Masyarakat (Ormas) Dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menopang Pembangunan Di Indonesia’,
Sosioglobal: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosiologi, 1.1 (2016), 49–67
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman Dan Sejarah Dalam
Peradaban Dunia Jilid Pertama: Masa Klasik Islam, ed. by Mulyadhi
Kertanegara, 2nd edn (Jakarta: Paramadina, 2002)
HS, Muhammad Alwi, and Teti Fatimah, ‘Tren Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Di
Indonesia: Antara Perkembangan Dan Pergeseran’, Hermeneutik, 14.1 (2020),
129–40 <https://doi.org/10.1234/hermeneutik.v14i1.6773>
Ichwan, Moch. Nur, ‘Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks Dalam Hermeneutik
Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd)’, in Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. by Abdul Mustaqim and Sahiron
Syamsudin, 1st edn (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002)
IMZI, A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir Dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer) (Depok: eLSiQ, 2013)
IMZI, Ahmad Husnul Hakim, Kaidah-Kaidah Penafsiran Pedoman Bagi Para

173
Pengkaji Al-Qur’an (Depok: eLSiQ, 2017)
Isnaeni, Hendri F., ‘Lingkungan Dalam Kungkungan’, Historia.Id, 2017
<https://historia.id/politik/articles/lingkungan-dalam-kungkungan-
PGjrB/page/1> [accessed 8 January 2020]
Jb, Masroer C, and Lalu Darmawan, ‘Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) Di
Indonesia’, Sosiologi Reflektif, 10.2 (2016), 35–64
Junaedi, Didi, ‘Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudhu’i’, Diya Al-Afkar, 4.1
(2016), 19–35
Jurnaliston, Reza, ‘Sebelum Meninggal Dunia, Dawam Rahardjo Minta
Dimakamkan Sebelah Cak Nur’, Kompas.Com, 2018
<https://amp.kompas.com/nasional/read/2018/05/31/21245721/sebelum-
meninggal-dunia-dawam-rahardjo-minta-dimakamkan-sebelah-cak-nur>
[accessed 23 November 2020]
———, ‘Yudi Latief: Dawam Rahardja Berjasa Besar Tumbuhkan Nilai Pancasila’,
Kompas.Com, 2018, p. 2
<https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/10363111/yudi-latief-dawam-
rahardja-berjasa-besar-tumbuhkan-nilai-pancasila?page=2&source=autonext>
[accessed 23 November 2020]
Kaltsum, Lilik Ummi, ‘Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Muhammad Bāqir Al-
Sadr’, Refleksi, 13.2 (2012), 157–78
———, ‘Studi Kritis Atas Metode Tafsir Tematis Al-Qur’an’, Islamica, 5.2 (2011),
354–66
Kamba, Abdul Samad, ‘Analisis Historis-Antropologis Terhadap Alqur’an’, in
Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. by Pahruroji M. Bukhori and
Sabroer (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), pp. 17–49
Kersten, Carool, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era
Reformasi, 1st edn (Bandung: Penerbit Mizan, 2018)
Khilmi Hidayatulloh, Miftah, ‘Konsep Dan Metode Tafsir Tematik (Studi
Komparasi Antara Al-Kumi Dan Mushthofa Muslim)’, Al-Bayan: Jurnal Studi
Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir, 3.2 (2019), 130–42 <https://doi.org/10.15575/al-
bayan.v3i2.4116>
Al-Kūmī, Aḥmad al-Sayyid, and Muḥammad Aḥmad Yūsuf Al-Qāsim, Al-Tafsīr Al-
Mauḍū’ī Li Al-Qur’ān Al-Karīm, 1982
Kusmana, ‘Dimensi Sosial Pemahaman Al-Qur’an M. Dawam Rahardjo’, Mimbar:
Jurnal Agama & Budaya, 23.1 (2006)
Kuswaya, Adang, Metode Tafsir Alternatif: Kritik Hassan Hanafi Terhadap Metode
Tafsir Klasik (Yogyakarta: Mitra Cendekia, 2009)
———, Metode Tafsir Kontemporer: Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-
Tematik Dalam Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi (Salatiga: STAIN Salatiga
Press, 2011)
———, ‘Tafsir Al-Qur’an Sosio-Tematik: Tawaran Metode Penafsiran Al-Qur’an
Di Indonesia’, in Proceedings Internasional Conference on Indonesian Islam,
Education and Science (ICIIES): The Prospects and Challenges in the East
and Tje West, ed. by Roko Patrio Jati and Faizal Risdianto (Salatiga: FTIK
IAIN Salatiga, 2017), pp. 383–90
Latief, Imam Zamroni, ‘Islam Dan Ilmu Pengetahuan’, Islamuna: Jurnal Studi

174
Islam, 1.2 (2014), 151–69
Maarif, Ahmad Syafii, Al-Qur’an Dan Realitas Umat (Jakarta: Republika, 2010)
Madjid, Nurcholish, Jakob Oetama, Umar Kayam, Nico Daryanto, Emil Salim,
Albert Hasibuan, and others, Demokratisasi Politik, Budaya, Dan Ekonomi:
Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. by Elza Peldi Taher (Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1994)
Makhfud, ‘Urgensi Tafsir Maudhu’i (Kajian Metodologis)’, Tribakti, 27.1 (2016),
13–24
Mallat, Chibli, ‘Muhammad Baqir ASh-Shadr’, in Para Perintis Zaman Baru Islam,
ed. by Ali Rahnema, 2nd edn (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), pp. 245–64
Masrur, Ali, ‘Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an’, in Studi Al-Qur’an Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. by Abdul Mustaqim and
Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002)
Misbakhudin, ‘Al-Tafsīr Al-Yasāri (Tafsir Tematik Revolusioner Hassan Hanafi)’,
Religia, 21.1 (2018), 30–48
<https://doi.org/https://doi.org/10.28918/religia.v21i1.1498>
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, 35th edn (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2015)
Muhammad, Abrar, ed., ICMI Dan Harapan Umat: Kumpulan Tulisan Dalam Mass
Media Cetak Tentang ICMI (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Ruhama,
1991)
Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kathīr ibn Ghālib al-Āmalī Abū Ja’far al-Ṭabarī,
Jāmi’ Al-Bayān Fī Ta’wīl Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad Muḥammad Shākir, 1st
edn (Muassisah al-Risālah, 2000)
Mujahidin, Anwar, ‘The Dialectic of Qur’an and Science: Epistemological Analysis
of Thematic Qur’an Interpretation Literature in the Field of Social Sciences of
Humanities’, Esensia, 19.2 (2018), 209–27
Munawar-Rachman, Budhy, ‘Ensiklopedi Al-Qur’an: Sebuah Manifesto Islam
Inklusif’, in Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. by Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq
Hasyim, and J.H. Lamardy (Jakarta: Democracy Project, 2012), pp. 152–78
Munifah, Ulfa, ‘Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci (Telaah Terhadap Kesinambungan Kata-Kata Kunci Dalam Ensiklopedi
Al-Qur’an Karya Dawam Rahardjo’ (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017)
Muslimin, Muslimin, ‘Kontribusi Tafsir Maudhu’i Dalam Memahami Al-Quran’,
Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 30.1 (2019), 75–84
<https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i1.662>
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir
Dari Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, 2nd edn
(Yogyakarta: Idea Press, 2016)
———, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 3rd edn (Yogyakarta: LKiS, 2012)
———, Metode Penelitian Al-Qur’an Dan Tafsir, 5th edn (Yogyakarta: Idea Press,
2019)
———, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Mustaqim, Abdul, and Sahiron Syamsudin, eds., Studi Al-Qur’an Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
2002)

175
Naim, Ngainun, ‘Pluralisme Sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M.
Dawam Rahardjo’, Salam, 15.2 (2012), 275–90
Al-Naisābūrī, Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushairī, Al-Jāmi’
Al-Ṣaḥīḥ (Beirut: Dār al-Jail & Dār al-Afāq al-Jadīdah)
Al-Nasāī, Aḥmad ibn Shu’aib Abū ‘Abd al-Raḥmān, Al-Mujatabā Min Al-Sunan
(Halb: Maktab al-Matbū’āt al-Islāmiyyah, 1986)
Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches, 7th edn ((Edinburgh: Pearson Education Limited, 2014)
Nirwana, Andri, Tafsir Tematik Al-Qur’an (Banyumas: Cv. Pena Persada, 2019)
‘No Titl’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 6.4 (1995)
Partanto, Pius, and M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola)
Pebrianto, Fajar, ‘Cendekiawan Muslim Dawam Rahardjo Tutup Usia’, Tempo.Co,
2018 <https://nasional.tempo.co/amp/1094023/cendekiawan-muslim-dawam-
rahardjo-tutup-usia> [accessed 23 November 2020]
Penulis, Tim, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, 1st edn (Bandung: Mizan, 2009)
Penyusun, Tim, ‘KBBI Daring’, Kbbi.Kemdikbud.Co.Id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fungsionalitas> [accessed 29 November
2020]
———, ‘KBBI Daring’, Kbbi.Kemdikbud.Co.Id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ensiklopedia> [accessed 30 November
2020]
———, ‘KBBI Daring’, Kbbi.Kemdikbud.Co.Id, 2020
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ensiklopedis> [accessed 30 November
2020]
———, ‘Puisi Gelap’, Ensiklopedia.Kemdikbud.Go.Id, 2020
<http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Puisi_Gelap> [accessed 29
November 2020]
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, ed. by Mudzakir AS, 16th edn
(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013)
Al-Qurṭubī, Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farḥ al-Anṣārī
al-Khazrajī Shams al-Dīn, Al-Jāmi’ Li Aḥkām Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad al-
Bardūnī & Ibrāhīm Aṭfîsh (Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1964)
Al-Qurṭubī, Abū ’Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farḥ al-Anṣārī
al-Khazrajī Shams al-Dīn, Al-Jāmi’ Li Aḥkām Al-Qur’ān, ed. by Aḥmad Al-
Bardūnī and Ibrāhīm Aṭfīsh, 2nd edn (al-Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah,
1964)
Rahardjo, M. Dawam, ‘Assalamu’alaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan
Kebudayaan, 1.1 (1989), 2
———, ‘Assalamu’alaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 1.4
(1990)
———, ‘Assalamu’alaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 4.1
(1993)
———, ‘Assalamualaikum’, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, 5.5–6
(1994), 1
———, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
1st edn (Jakarta: Paramadina, 1996)

176
———, Intelektual, Intelegensia, Dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993)
———, Islam Dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2002)
———, Islam Dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2002)
———, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lemba Studi Agama dan
Filsafat (LSAF), 1999)
———, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999)
———, Kritik Nalar Islamisme Dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom Institute,
2012)
———, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, Dan Perubahan Sosial
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999)
———, Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005)
Rahman, Fazlur, Islam Dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, ed. by
Ahsin Mohammad, 1st edn (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985)
———, Major Themes of The Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994)
———, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, ed. by Ahmad Baiquni, 1st edn (Bandung:
Mizan, 2017)
Ready, Musholli, ‘Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer’, Journal of
Qur’an and Hadith Studies, 1.1 (2012), 85–117
Redaksi, Tim, ‘Karakteristik Demokrasi Periode Orde Baru’, Kompas.Com, 2020,
pp. 1–2
<https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/13/110000969/karakteristik-
demokrasi-periode-orde-baru?page=2> [accessed 8 January 2020]
Riyadi, Hendar, Tafsir Emansipatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur’an, 1st edn
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2005)
Rohman, Izza, ‘New Approaches in Interpreting The Qur’an in Contemporary
Indonesia’, Studia Islamika, 14.2 (2007), 201–64
Sa’īd, ’Abd al-Sattār Fatḥullāh, Al-Madkhal Ilā Al-Tafsīr Al-Mauḍū’ī, 2nd edn (al-
Qāhirah: al-Dār al-Tauzī’ wa al-Nashr al-Islāmiyah, 1991)
Al-Ṣadr, Muḥammad Bāqir, Al-Madrasah Al-Qur’āniyyah (Dār al-Kitāb al-Islāmī,
2013)
Saeed, Abdullah, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual (Bandung: Penerbit Mizan,
2016)
———. , ed., Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia (New York:
Oxford University Press, 2005)
———, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (New York:
Routledge, 2006)
Saefuddin, A. M., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, 4th edn
(Bandung: Penerbit Mizan, 1998)
Sari, Maula, ‘Pemikiran Kontemporer Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia (Analisis
Terhadap Ensiklopedi Al-Qur’an Karya Muhammad Dawam Rahardjo)’, in
Tafsir Al-Qur’an Di Nusantara (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu ALembaga Ladang

177
Kata, 2020), pp. 251–70
Al-Shāfi’ī, Aḥmad ibn ’Alī ibn Ḥajar Abū al-Faḍl al-’Asqalānī, Fatḥ Al-Bārī Sharḥ
Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī (Bairūt: Dār al-Ma’rifah, 1379)
Al-Shaibānī, Aḥmad ibn Ḥanbal Abū ’Abdillāh, Musnad Al-Imām Aḥmad Ibn
Ḥanbal (Qāhirah: Muassisah Qurṭubah)
Al-Shaibānīm, Aḥmad ibn Ḥanbal Abū ’Abd-llāh, Musnad Al-Imām Aḥmad Ibn
Ḥanbal (Qāhirah: Muassisah Qurṭubah)
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, 3rd edn (Ciputat: Lentera Hati,
2015)
———, ‘Membumikan’ Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2014)
———, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera
Hati, 2006)
———, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992)
Siddiqui, Ataullah, Christian-Muslim Dialogue in the Twentieth Century (London:
Palgrave Macmillan, 1997)
Al-Sijistānī, Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Ash’at, Sunan Abī Dāwud (Beirut: Dār al-
Kitāb al-‘Arabī)
Solahudin, M., Ulama Penjaga Wahyu (Kediri: Pustaka Zamzam, 2017)
Solehudin, Yayan Mulyana, and Andi Nurlela, ‘Tiga Varian Metode Tematik
(Mawdū’ī) Dalam Menafsirkan Al-Qur’an’
<http://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/30669>
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: IPB Press, 2016)
Sunardi, St., ‘Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun’, in Membaca Al-
Qur’an Bersama Mohammed Arkoun, ed. by Johan Henrik Meuleman
(Yogyakarta: LKiS, 2012), pp. 85–138
Sunarto, ‘Dinamika Tafsir Sosial Indonesia’, Mumtaz, 3.1 (2019), 83–95
Surahman, Cucu, ‘Pergeseran Pemikiran Tafsir Di Indonesia:Sebuah Kajian
Bibliografis’, Afkaruna, 10.2 (2014), 217–32
<https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2014>
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2009)
Al-Suyūṭī, ’Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr, Al-Dur Al-Manṡūr Fī Tafsīr Al-Ma’ṡūr
(Miṣr: Dār Hijr, 2003)
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn ’Abd al-Raḥmān, Al-Itqān Fī ’Ulūm Al-Qur’ān, ed. by
Aḥmad ibn ’Alī (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ, 2006)
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, and Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī, Tafsīr Al-Jalālain (al-
Manṣūrah: Maktabah al-Īmān)
Syafrudin, U., Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur’an, 2nd edn (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017)
Al-Ṭabrānī, Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭir al-Lakhmī al-Shāmī Abū al-
Qāsim, Al-Mu’jam Al-Kabīr
Tafsir, Ahmad, Pendidikan Agama Dalam Keluarga (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017)
Al-Tamīmī, Muḥammad ibn Ḥibbān ibn Aḥmad ibn Ḥibbān ibn Mu’ādh ibn

178
Ma’bad, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān Bi Tartīb Ibn Bulbān (Muassisah al-Risālah)
Taufik, Ahmad, ‘ARGUMEN METODE TAFSIR MAWDU ’ I ( Geneologi ,
Signifikansi , Dan Sistematika Penafsiran )’, At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an
Dan Tafsir, 2.1 (2019), 74–89
Taufikurrahman, ‘Kajian Tafsir Di Indonesia’, Mutawātir, 2.1 (2012), 1–26
Umar, Nasaruddin, ‘Refleksi Sosial Dalam Memahami Al-Qur’ān: Menimbang
Ensiklopedi Al-Qur’ān Karya M. Dawam Rahardjo’, Jurnal Studi Al-Qur’an,
1.3 (2006)
Uun Yusufa, ‘Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta Dan Jakarta’, Journal of Quran and Hadith Studies,
4.2 (2015), 191–214
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, Dan Kebudayaan, 2nd edn
(Depok: Desantara, 2001)
Wahid, M. Abduh, ‘Tafsir Liberatif Farid Esack’, Tafsere, 4.2 (2016), 149–64
Al-Wāḥīdī, Abū al-Ḥasan ’Alī ibn Aḥmad, Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān, 1st edn (Bairūt:
Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991)
Watt, W. Montgomery, Muhammad: Prophet and Statesman (London: Oxford
University Press, 1961)
Wijaya, Aksin, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah (Bandung: Mizan, 2016)
Wiyono, M., Paradigma Penafsiran Dari Realitas Menuju Teks: Studi Aplikatif
Manhaj Tawhidi Baqir Sadr (Sidoarjo: Genta Group Production, 2019)
Yardho, Moh, ‘REKONSTRUKSI TAFSÎR MAWDÛ‘Î: Asumsi, Paradigma, Dan
Implementasi’, Islamuna: Jurnal Studi Islam, 6.1 (2019), 44
<https://doi.org/10.19105/islamuna.v6i1.2274>
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: LKiS, 2001)
Al-Zarqānī, Muḥammad ’Abd al-’Aẓīm, Manāhil Al-’Irfān Fī ’Ulūm Al-Qur’ān (II),
1st edn (Bairūt: Dār al-Kitāb al-’Arabī, 1995)
Al-Zāwītī, Muḥammad Shukrī Aḥmad, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk, 1st edn (al-Qāhirah: Dār
al-Salām, 1999)
Zuhdi, M. Nurdin, Pasaraya Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi Hingga
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014)

179
GLOSARIUM

Analisis Wacana: Salah satu metode ilmiah untuk menganalisis suatu wacana pada
teks.
Demokratisasi: Upaya untuk mewujudkan demokrasi.
Diskursus: Pengungkapan pemikiran secara formal dan teratur; wacana
Ensiklopedia: Salah satu jenis karya tulis yang memuat segala aspek dan disajikan
secara alfabetis atau tematis.
Fungsional: Penilaian sesuatu berdasarkan fungsinya.
Kontekstual: Berhubungan dengan konteks.
Kontekstualisasi al-Qur'an: Upaya dan proses mengkaji al-Qur'an berdasarkan
konteksnya lalu mengkomunikasikannya sesuai dengan konteks tertentu.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): Lembaga non-pemerintah yang mewakili
aspirasi masyarakat.
Mufassir: Orang yang melakukan penafsiran terhadap al-Qur'an.
Orde Baru: Tata pemerintahan dengan sistem baru di Indonesia yang berlangsung
selama kepemimpinan presiden Soeharto.
Rekonsiliasi: Perbuatan menyelesaikan perbedaan.
Sabab Nuzul: Suatu hal yang mengiringi turunnya suatu ayat.
Tafsir Ijmali: Tafsir yang menggunakan metode penyajian sesuai dengan urutan
mushaf mulai dari surat al-Fātiḥah sampai al-Nās dengan analisis global. Uraiannya
biasanya singkat.
Tafsir Ijtima'i: Salah satu macam corak tafsir yang berorientasi sosial.
Tafsir Maudhu'i: Tafsir yang menggunakan metode penyajian sesuai tema tertentu
yang dibahas. Biasa juga disebut tafsir tematik.
Tafsir Muqaran: Tafsir yang menggunakan metode perbandingan mulai dari al-
Qur'an dengan al-Qur'an, al-Qur'an dengan hadis Nabi, hingga penjelasan para
mufassir.
Tafsir Tahlili: Tafsir yang menggunakan metode penyajian sesuai dengan urutan
mushaf mulai dari surat al-Fātiḥah sampai al-Nās dengan analisis yang menyeluruh.
Uraiannya biasanya panjang.
Tafsir bi al-Ma'thūr: Penafsiran al-Qur'an yang mendasarkan pada penjelasan al-
Qur'an, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya dan pendapat
tabi'in.
Tafsir bi al-Ra'yi: Penafsiran al-Qur'an yang penjelasannya diambil berdasarkan
ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya,

188
dalil hukum yang ditunjukkan, serta problem penafsiran, seperti asbāb al-nuzūl dan
nāsikh mansūkh.
Tafsir Tekstual: Penafsiran al-Qur'an yang menggunakan pendekatan tekstual
dengan menjadikan teks sebagai basis penafsiran.
Tafsir Kontekstual: Penafsiran al-Qur'an yang menggunakan pendekatan
kontekstual dengan menjadikan realitas sebagai basis penafsiran.
Tafsir: Penjelasan ayat-ayat al-Qur'an/ Suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan
ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam al-
Qur'an.
Ulumul Qur'an: Ilmu-ilmu yang membahas segala yang berkaitan dengan al-
Qur'an, termasuk tafsir.
Wacana: Pertukaran ide secara verbal/ Komunikasi kebahasaan yang terlihat
sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah
aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.

189
INDEKS
'Abd al-Sattar Fatḥulāh

Abdul Mustaqim

Abdullah Saeed

Adang Kuswaya

al-Farmāwī

al-hudā

al-Kūmī

al-Maudūdī

Al-Suyūṭī

Al-Ṭabarī

analisis wacana

aplikatif

Arab

Arkoun

cendekiawan muslim

civil society

Demokrasi

Demokratisasi

deskriptif-analitik

Ekonomi

Ensiklopedi al-Qur'an

ensiklopedis

Epistemologi

era afirmatif

era formatif

190
era reformatif

Farid Esack

Fazlur Rahman

Federspiel

Hadis

HAMKA

Harun Nasution

Hassan Hanafi

hermeneutika

Ibn Kathīr

Ideologi

Ijmālī

in a nutshell

Indonesia

Islah Gusmian

Jalaluddin Rakhmat

keadilan

Kontekstual

kontekstual

Kontekstualisasi

kontemporer

Kuntowijoyo

Lilik Ummi Kaltsum

LSM

M. Dawam Rahardjo

M. Syahrur

191
Mahmud Shaltūt

Mahmud Yunus

masyarakat

Membumikan al-Qur'an

metode

Metodologi

moralitas

Mufassir

Muḥammad Abduh

Muḥammad Bāqir al-Ṣadr

muqāran

Musṭafā Muslim

Nabi Muhammad

nalar

Nasaruddin Umar

Nasr Hamid Abu Zaid

normatif

Nurcholis Madjid

Orde Baru

Orientalis

Paradigma al-Qur'an

Pemerintah

pemerintah

problematika sosial

progresif

R. Michael Feener

192
Rasulullah

Realistis

realitas

Relevansi

Sabab Nuzūl

ṣāliḥ li kulli zamān wa makān

sejarah tafsir

sosial-historis

Subjektivitas

Sunnah

Syu'bah Asa

tafsir kontekstual

Tafsir Mauḍū'ī

Tafsir sosial

tafsir tematik

Tahlīlī

tauḥīdī

teks

Tekstual

tematik-kontekstual

tematik-multidisipliner

tematik-realis

Tematik-Sosial

teoritis

Toshihiko Izutsu

Ūlū al-Albāb

193
Wacana

Wawasan al-Qur'an

Yusuf Ali

Ziauddin Sardar

194
‫‪INDEKS AL-QUR'AN‬‬

‫‪Bab II‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-Taubah (9):‬‬
‫‪60‬‬
‫وِبُ ْم ويف ِّ‬
‫الرقاب‬ ‫ات للْ ُفقراء والْمساكني والْعاملني علْيـها والْ ُمؤلَّفة قـُلُ ُ‬ ‫الصدق ُ‬‫إََّّنا َّ‬
‫يم (‪)60‬‬
‫يم حك ٌ‬ ‫السبيل فريضةً من اللَّه واللَّهُ عل ٌ‬ ‫والْغارمني ويف سبيل اللَّه وابْن َّ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 82‬‬ ‫الَّذين آمنُوا وَلْ يـلْب ُسوا إمياهنُ ْم بظُلْ ٍم أُولئك ْلُ ُم ْاأل ْم ُن وُه ْم ُم ْهت ُدون (‪)82‬‬
‫َن ال تُ ْشرْك باللَّه إ َّن الش ِّْرك لظُْل ٌم عظ ٌ‬
‫يم‬ ‫وإ ْذ قال لُْقما ُن البْنه وُهو يعظُهُ يا بُ َّ‬
‫‪QS. Luqmān (31): 13‬‬

‫(‪)13‬‬

‫‪Bab III‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-A'rāf (7): 17,‬‬ ‫َّه ْم م ْن ب ْني أيْديه ْم وم ْن خلْفه ْم وع ْن أ ْمياهن ْم وع ْن َشائله ْم وال جت ُد‬ ‫ُُثَّ َلتيـنـ ُ‬
‫‪69, 74, 142, dan 169‬‬
‫أ ْكثـرُه ْم شاكرين (‪)17‬‬
‫أوعجْبتُ ْم أ ْن جاء ُك ْم ذ ْكٌر م ْن ربِّ ُك ْم على ر ُج ٍل مْن ُك ْم ليُـْنذرُك ْم واذْ ُك ُروا إ ْذ‬
‫اخل ْلق ب ْسطةً فاذْ ُك ُروا آالء اللَّه‬ ‫وح وزاد ُك ْم يف ْ‬ ‫جعل ُك ْم ُخلفاء م ْن بـ ْعد قـ ْوم نُ ٍ‬
‫لعلَّ ُك ْم تـُ ْفل ُحون (‪)69‬‬
‫واذْ ُك ُروا إ ْذ جعل ُك ْم ُخلفاء م ْن بـ ْعد ع ٍاد وبـ َّوأ ُك ْم يف ْاأل ْرض تـتَّخ ُذون م ْن‬
‫اْلبال بـُيُوتًا فاذْ ُك ُروا آالء اللَّه وال تـ ْعثـ ْوا يف ْاأل ْرض‬ ‫ص ًورا وتـْنحتُون ْ‬ ‫ُس ُهوْلا قُ ُ‬
‫ُم ْفسدين (‪)74‬‬
‫ات ربِّه أ ْربعني لْيـلةً وقال‬ ‫وواع ْدنا ُموسى ثالثني لْيـلةً وأ ْْت ْمناها بع ْش ٍر فـت َّم ميق ُ‬
‫صل ْح وال تـتَّب ْع سبيل الْ ُم ْفسدين‬ ‫اخلُ ْفَن يف قـ ْومي وأ ْ‬ ‫ُموسى ألخيه ه ُارون ْ‬
‫(‪)142‬‬
‫ف ورثُوا الْكتاب يأْ ُخ ُذون عرض هذا ْاأل ْدَن ويـ ُقولُون‬ ‫فخلف م ْن بـ ْعده ْم خلْ ٌ‬
‫اق الْكتاب أ ْن‬ ‫ض مثْـلُهُ يأْ ُخ ُذوهُ أَلْ يـُ ْؤخ ْذ علْيه ْم ميث ُ‬‫سيُـ ْغفُر لنا وإ ْن يأِْت ْم عر ٌ‬
‫َّار ْاَلخرةُ خ ْريٌ للَّذين يـتَّـ ُقون‬ ‫احل َّق ودر ُسوا ما فيه والد ُ‬ ‫ال يـ ُقولُوا على اللَّه إَّال ْ‬
‫أفال تـ ْعقلُون (‪)169‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2):‬‬ ‫وإ ْذ قال ربُّك للْمالئكة إ ِِّّن جاع ٌل يف ْاأل ْرض خليفةً قالُوا أ ْجتع ُل فيها م ْن‬
‫‪30‬‬
‫ك الدِّماء و َْن ُن نُسبِّ ُح ِب ْمدك ونـُقد ُ‬
‫ِّس لك قال إ ِِّّن أ ْعل ُم ما‬ ‫يـُ ْفس ُد فيها وي ْسف ُ‬
‫‪195‬‬
‫ال تـ ْعل ُمون (‪)30‬‬
‫‪QS. al-An'ām (6) 165‬‬ ‫ض درج ٍ‬
‫ات‬ ‫وُهو الَّذي جعل ُك ْم خالئف ْاأل ْرض ورفع بـ ْعض ُك ْم فـ ْوق بـ ْع ٍ‬
‫يم (‪)165‬‬ ‫ور رح ٌ‬ ‫ليْبـلُوُك ْم يف ما آتا ُك ْم إ َّن ربَّك سر ُ‬
‫يع الْعقاب وإنَّهُ لغ ُف ٌ‬
‫‪QS. Yūnus (10): 14‬‬ ‫ُُثَّ جعلْنا ُك ْم خالئف يف ْاأل ْرض م ْن بـ ْعده ْم لنـنْظُر كْيف تـ ْعملُون (‪)14‬‬
‫‪dan 73‬‬
‫اه ْم خالئف وأ ْغرقْـنا الَّذين ك َّذبُوا‬‫فك َّذبُوهُ فـن َّجْيـناهُ وم ْن معهُ يف الْ ُفلْك وجعلْن ُ‬
‫بآياتنا فانْظُْر كْيف كان عاقبةُ الْ ُمْنذرين (‪)73‬‬
‫ُخرى كافرةٌ يـرْوهنُ ْم‬ ‫ق ْد كان ل ُك ْم آيةٌ يف فئت ْني الْتـقتا فئةٌ تـُقات ُل يف سبيل اللَّه وأ ْ‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3):‬‬
‫‪13‬‬
‫صره م ْن يشاءُ إ َّن يف ذلك لع ْربةً ألُويل ْاألبْصار‬ ‫مثْـلْيه ْم رأْي الْع ْني واللَّهُ يـُؤيِّ ُد بن ْ‬
‫(‪)13‬‬
‫‪QS. al-Nūr (24): 44‬‬ ‫ب اللَّهُ اللَّْيل والنـَّهار إ َّن يف ذلك لع ْربًة ألُويل ْاألبْصار (‪)44‬‬‫يـُقلِّ ُ‬
‫‪QS. Ṣād (38): 45‬‬ ‫واذْ ُك ْر عبادنا إبْـراهيم وإ ْسحاق ويـ ْع ُقوب أُويل ْاأليْدي و ْاألبْصار (‪)45‬‬
‫‪QS. al-Furqān (25):‬‬ ‫والَّذين إذا أنْـف ُقوا َلْ يُ ْسرفُوا وَلْ يـ ْق ُرتُوا وكان ب ْني ذلك قـو ًاما (‪)67‬‬
‫‪67‬‬
‫‪QS. al-Mā'idah (5):‬‬ ‫ول ْو أ َّهنُ ْم أق ُاموا التـ َّْوراة و ْاإل ْْنيل وما أُنْزل إلْيه ْم م ْن رِِّب ْم ألكلُوا م ْن فـ ْوقه ْم‬
‫‪66‬‬
‫وم ْن ْحتت أ ْر ُجله ْم مْنـ ُه ْم أ َُّمةٌ ُم ْقتصدةٌ وكثريٌ مْنـ ُه ْم ساء ما يـ ْعملُون (‪)66‬‬
‫اجع ْل يل م ْن ل ُدنْك‬ ‫ٍ‬ ‫ٍ‬
‫ب أ ْدخلَْن ُم ْدخل ص ْدق وأ ْخر ْجَن ُمُْرج ص ْدق و ْ‬ ‫وقُ ْل ر ِّ‬
‫‪QS. al-Isrā' (17): 80‬‬

‫ُس ْلطانًا نص ًريا (‪)80‬‬


‫‪QS. Āli 'Imrān (3):‬‬ ‫شهد اللَّهُ أنَّهُ ال إله إَّال ُهو والْمالئكةُ وأُولُو الْعلْم قائ ًما بالْق ْسط ال إله إَّال‬
‫‪18‬‬
‫يم (‪)18‬‬ ‫احلك ُ‬ ‫ُهو الْعز ُيز ْ‬
‫‪QS. Hūd (11): 45‬‬ ‫احل ُّق وأنْت أ ْحك ُم‬‫ب إ َّن ابَْن م ْن أ ْهلي وإ َّن و ْعدك ْ‬ ‫وح ربَّهُ فـقال ر ِّ‬ ‫ونادى نُ ٌ‬
‫احلاكمني (‪)45‬‬ ‫ْ‬

‫‪Bab IV‬‬

‫‪Sub-Bab A‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2):‬‬ ‫ات من ا ْْلُدى والْ ُف ْرقان‬ ‫شهر رمضان الَّذي أُنْزل فيه الْ ُقرآ ُن ه ًدى للنَّاس وبـيِّـن ٍ‬
‫‪185‬‬ ‫ْ ُ‬ ‫ُْ‬
‫يضا أ ْو على سف ٍر فع َّدةٌ م ْن أيَّ ٍام‬ ‫ص ْمهُ وم ْن كان مر ً‬ ‫َّهر فـ ْلي ُ‬
‫فم ْن شهد مْن ُك ُم الش ْ‬
‫يد ب ُك ُم الْعُ ْسر ولتُكْملُوا الْعدَّة ولتُك ِّربُوا اللَّه‬
‫يد اللَّهُ ب ُك ُم الْيُ ْسر وال يُر ُ‬
‫أُخر يُر ُ‬
‫على ما هدا ُك ْم ولعلَّ ُك ْم ت ْش ُك ُرون (‪)185‬‬
‫‪196‬‬
‫و ْاعتص ُموا ِبْبل اللَّه َج ًيعا وال تـفَّرقُوا واذْ ُك ُروا ن ْعمت اللَّه علْي ُك ْم إ ْذ ُكنْتُ ْم أ ْعداءً‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3):‬‬
‫‪103-104‬‬
‫صب ْحتُ ْم بن ْعمته إ ْخوانًا وُكْنتُ ْم على شفا ُح ْفرةٍ من النَّار‬ ‫فألَّف ب ْني قُـلُوب ُك ْم فأ ْ‬
‫ني اللَّهُ ل ُك ْم آياته لعلَّ ُك ْم ِتْت ُدون (‪ )103‬ولْت ُك ْن‬ ‫فأنْـقذ ُك ْم مْنـها كذلك يـُب ِّ ُ‬
‫اخل ْري ويأْ ُم ُرون بالْم ْعُروف ويـْنـه ْون عن الْ ُمنْكر وأُولئك‬ ‫منْ ُك ْم أ َُّمةٌ ي ْدعُون إىل ْ‬
‫ُه ُم الْ ُم ْفل ُحون (‪)104‬‬
‫‪QS. al-Anbiyā' (21):‬‬ ‫ولق ْد آتـْيـنا إبْـراهيم ُر ْشدهُ م ْن قـْب ُل وُكنَّا به عالمني (‪)51‬‬
‫‪51, 73, 74‬‬
‫الصالة وإيتاء‬ ‫اخل ْريات وإقام َّ‬ ‫اه ْم أئ َّمةً يـ ْه ُدون بأ ْمرنا وأ ْوحْيـنا إلْيه ْم ف ْعل ْ‬
‫وجع ْلن ُ‬
‫ْما وعلْ ًما وْنَّْيـناهُ من الْق ْرية‬ ‫الزكاة وكانُوا لنا عابدين (‪ )73‬ولُوطًا آتـْيـناهُ ُحك ً‬ ‫َّ‬
‫اخلبائث إ َّهنُ ْم كانُوا قـ ْوم س ْوٍء فاسقني (‪)74‬‬ ‫ت تـ ْعم ُل ْ‬ ‫الَّيت كان ْ‬
‫‪QS. Hūd (11): 84-87‬‬ ‫اه ْم ُشعْيبًا قال يا قـ ْوم ْاعبُ ُدوا اللَّه ما ل ُك ْم م ْن إل ٍه غ ْريُهُ وال‬ ‫وإىل م ْدين أخ ُ‬
‫اف علْي ُك ْم عذاب يـ ْوٍم‬ ‫صوا الْمكْيال والْميزان إ ِِّّن أرا ُك ْم ِب ٍْري وإ ِِّّن أخ ُ‬ ‫تـْنـ ُق ُ‬
‫يط (‪ )84‬ويا قـ ْوم أ ْوفُوا الْمكْيال والْميزان بالْق ْسط وال تـْبخ ُسوا النَّاس‬ ‫ُحم ٍ‬
‫ت اللَّه خ ْريٌ ل ُك ْم إ ْن ُكْنتُ ْم‬
‫أ ْشياء ُه ْم وال تـ ْعثـ ْوا يف ْاأل ْرض ُم ْفسدين (‪ )85‬بقيَّ ُ‬
‫ب أصالتُك تأْ ُم ُرك أ ْن ن ْرتُك‬ ‫ٍ‬
‫ُم ْؤمنني وما أنا علْي ُك ْم ِبفيظ (‪ )86‬قالُوا يا ُشعْي ُ‬
‫يد‬
‫الرش ُ‬ ‫احلل ُ‬
‫يم َّ‬ ‫ما يـ ْعبُ ُد آب ُاؤنا أ ْو أ ْن نـ ْفعل يف أ ْموالنا ما نشاءُ إنَّك ألنْت ْ‬
‫(‪)87‬‬
‫‪QS. al-Dukhān (44):‬‬ ‫فإََّّنا ي َّس ْرناهُ بلسانك لعلَّ ُه ْم يـتذ َّكُرون (‪)58‬‬
‫‪58‬‬
‫‪QS. 'Abasa (80): 1-4‬‬ ‫عبس وتـوَّىل (‪ )1‬أ ْن جاءهُ ْاأل ْعمى (‪ )2‬وما يُ ْدريك لعلَّهُ يـَّزَّكى (‪ )3‬أ ْو ي َّذ َّكُر‬
‫الذ ْكرى (‪)4‬‬ ‫فـتـْنـفعهُ ِّ‬
‫‪QS. Ṣad (38): 29‬‬ ‫اب أنْـزلْناهُ إلْيك ُمبارٌك لي َّدبـَُّروا آياته وليتذ َّكر أُولُو ْاأللْباب (‪)29‬‬
‫كت ٌ‬
‫‪Sub-Bab B‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-'Alaq (96): 1-5‬‬ ‫اسم ربِّك الَّذي خلق (‪ )1‬خلق ْاإلنْسان م ْن عل ٍق (‪ )2‬اقْـرأْ‬ ‫اقْـرأْ ب ْ‬
‫وربُّك ْاأل ْكرُم (‪ )3‬الَّذي علَّم بالْقلم (‪ )4‬علَّم ْاإلنْسان ما َلْ يـ ْعل ْم‬
‫(‪)5‬‬
‫‪QS. al-Muzzammil‬‬ ‫ب الْم ْشرق والْمغْرب ال إله‬
‫َّل إلْيه تـْبت ًيال (‪ )8‬ر ُّ‬
‫اسم ربِّك وتـبت ْ‬ ‫واذْ ُكر ْ‬
‫‪(73): 8, 9, 19 dan 20‬‬
‫إَّال ُهو ف َّاخت ْذهُ وك ًيال (‪)9‬‬

‫‪197‬‬
‫إ َّن هذه تذْكرةٌ فم ْن شاء َّاختذ إىل ربِّه سب ًيال (‪ )19‬إ َّن ربَّك يـ ْعل ُم أنَّك‬
‫صفهُ وثـُلُثهُ وطائفةٌ من الَّذين معك واللَّهُ‬ ‫وم أ ْدَن م ْن ثـُلُثي اللَّْيل ون ْ‬‫تـ ُق ُ‬
‫صوهُ فـتاب علْي ُك ْم فاقْـرءُوا ما تـي َّسر‬ ‫ِّر اللَّْيل والنـَّهار علم أ ْن ل ْن ُْحت ُ‬‫يـُقد ُ‬
‫ضربُون يف ْاأل ْرض‬ ‫من الْ ُق ْرآن علم أ ْن سي ُكو ُن منْ ُك ْم م ْرضى وآخ ُرون ي ْ‬
‫ضل اللَّه وآخ ُرون يـُقاتلُون يف سبيل اللَّه فاقْـرءُوا ما تـي َّسر‬ ‫يـْبتـغُون م ْن ف ْ‬
‫ِّموا‬
‫ضا حسنًا وما تـُقد ُ‬ ‫ضوا اللَّه قـ ْر ً‬ ‫الصالة وآتُوا َّ‬
‫الزكاة وأقْر ُ‬ ‫يموا َّ‬ ‫مْنهُ وأق ُ‬
‫ألنْـ ُفس ُك ْم م ْن خ ٍْري جت ُدوهُ عْند اللَّه ُهو خ ْ ًريا وأ ْعظم أ ْجًرا و ْ‬
‫استـ ْغف ُروا اللَّه‬
‫يم (‪)20‬‬ ‫ور رح ٌ‬ ‫إ َّن اللَّه غ ُف ٌ‬
‫‪QS. al- Muddaththir‬‬ ‫وربَّك فك ِّْرب (‪)3‬‬
‫‪(74): 3 dan 7‬‬
‫اص ْرب (‪)7‬‬
‫ولربِّك ف ْ‬
‫‪QS. al-Inshirāḥ (94): 8‬‬ ‫ب (‪)8‬‬ ‫وإىل ربِّك ف ْارغ ْ‬
‫‪QS. al-Anbiyā' (21):‬‬ ‫وما أ ْرسلْناك إَّال ر ْْحةً للْعالمني (‪)107‬‬
‫‪107‬‬
‫)‪QS. al-'Aṣr (103‬‬ ‫صر (‪ )1‬إ َّن ْاإلنْسان لفي ُخ ْس ٍر (‪ )2‬إَّال الَّذين آمنُوا وعملُوا‬ ‫والْع ْ‬
‫الص ْرب (‪)3‬‬
‫احل ِّق وتـواص ْوا ب َّ‬
‫الصاحلات وتـواص ْوا ب ْ‬
‫َّ‬
‫‪QS. al-Ḥijr (15): 87‬‬ ‫ولق ْد آتـْيـناك سْبـ ًعا من الْمثاِّن والْ ُق ْرآن الْعظيم (‪)87‬‬
‫ات ُْحمكم ٌ‬
‫ات ُه َّن أ ُُّم الْكتاب‬ ‫ُهو الَّذي أنْـزل علْيك الْكتاب مْنهُ آي ٌ‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 7‬‬

‫ات فأ َّما الَّذين يف قُـلُوِب ْم زيْ ٌغ فـيتَّبعُون ما تشابه مْنهُ ابْتغاء‬ ‫وأُخ ُر ُمتشاِب ٌ‬
‫الراس ُخون يف الْعلْم‬ ‫الْفْتـنة وابْتغاء تأْويله وما يـ ْعل ُم تأْويلهُ إَّال اللَّهُ و َّ‬
‫يـ ُقولُون آمنَّا به ُكلٌّ م ْن عنْد ربـِّنا وما ي َّذ َّك ُر إَّال أُولُو ْاأللْباب (‪)7‬‬
‫‪QS. al-Bayyinah (98): 5‬‬ ‫سال ٌم هي ح ََّّت مطْلع الْف ْجر (‪)5‬‬
‫‪QS. al-Infiṭār (82): 13‬‬ ‫إ َّن ْاألبْـرار لفي نعي ٍم (‪)13‬‬
‫‪QS. al-Muṭaffifīn (83):‬‬ ‫إ َّن ْاألبْـرار لفي نعي ٍم (‪)22‬‬
‫‪22‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 1-5‬‬ ‫اب ال ريْب فيه ُه ًدى ل ْل ُمتَّقني (‪ )2‬الَّذين يـُ ْؤمنُون‬ ‫اَل (‪ )1‬ذلك الْكت ُ‬
‫اه ْم يـُنْف ُقون (‪ )3‬والَّذين يـُ ْؤمنُون ِبا‬
‫الصالة وِمَّا رزقْـن ُ‬
‫يمون َّ‬ ‫بالْغْيب ويُق ُ‬
‫أُنْزل إلْيك وما أُنْزل م ْن قـْبلك وب ْاَلخرة ُه ْم يُوقنُون (‪ )4‬أُولئك على‬
‫ُه ًدى م ْن رِِّب ْم وأُولئك ُه ُم الْ ُم ْفل ُحون (‪)5‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 58‬‬ ‫ث شْئتُ ْم رغ ًدا و ْاد ُخلُوا‬
‫وإ ْذ قُـ ْلنا ْاد ُخلُوا هذه الْق ْرية ف ُكلُوا مْنـها حْي ُ‬

‫‪198‬‬
‫يد الْ ُم ْحسنني‬ ‫الْباب ُس َّج ًدا وقُولُوا حطَّةٌ نـغْف ْر ل ُك ْم خطايا ُك ْم وسنز ُ‬
‫(‪)58‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 61‬‬ ‫صرب على طع ٍام واح ٍد ف ْادعُ لنا ربَّك ُخيْر ْج لنا‬ ‫وإ ْذ قُـ ْلتُ ْم يا ُموسى ل ْن ن ْ‬
‫‪dan 90‬‬
‫ض م ْن بـ ْقلها وقثَّائها وفُومها وعدسها وبصلها قال‬ ‫ت ْاأل ْر ُ‬ ‫ِمَّا تـُنْب ُ‬
‫صًرا فإ َّن ل ُك ْم ما‬ ‫أت ْستْبدلُون الَّذي ُهو أ ْدَن بالَّذي ُهو خ ْريٌ ْاهبطُوا م ْ‬
‫ب من اللَّه ذلك‬ ‫الذلَّةُ والْمسكنةُ وباءوا بغض ٍ‬ ‫ت علْيهم ِّ‬ ‫ضرب ْ‬ ‫سألْتُ ْم و ُ‬
‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬
‫احل ِّق ذلك ِبا‬ ‫بأ َّهنُ ْم كانُوا ي ْك ُف ُرون بآيات اللَّه ويـ ْقتُـلُون النَّبيِّني بغ ْري ْ‬
‫عص ْوا وكانُوا يـ ْعت ُدون (‪)61‬‬
‫بْئسما ا ْشرتْوا به أنْـ ُفس ُه ْم أ ْن ي ْك ُفُروا ِبا أنْـزل اللَّهُ بـغْيًا أ ْن يـُنـِّزل اللَّهُ م ْن‬
‫ب وللْكافرين‬ ‫ب على غض ٍ‬ ‫ضله على م ْن يشاء م ْن عباده فـباءوا بغض ٍ‬ ‫فْ‬
‫ُ‬ ‫ُ‬
‫ني (‪)90‬‬ ‫اب ُمه ٌ‬‫عذ ٌ‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 111‬‬ ‫ضُّروُك ْم إَّال أذًى وإ ْن يـُقاتلُوُك ْم يـُولُّوُك ُم ْاأل ْدبار ُُثَّ ال يـُنْصُرون‬ ‫ل ْن ي ُ‬
‫(‪)111‬‬
‫‪QS. al-Mā'idah (5): 60‬‬ ‫قُ ْل ه ْل أُنـبِّئُ ُك ْم بشٍّر م ْن ذلك مثُوبةً عْند اللَّه م ْن لعنهُ اللَّهُ وغضب‬
‫اخلنازير وعبد الطَّاغُوت أُولئك شٌّر مكانًا‬ ‫علْيه وجعل مْنـ ُه ُم الْقردة و ْ‬
‫السبيل (‪)60‬‬ ‫وأض ُّل ع ْن سواء َّ‬
‫‪Keilmuan‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 164‬‬ ‫اختالف اللَّْيل والنـَّهار والْ ُفلْك الَّيت ْجتري‬ ‫السماوات و ْاأل ْرض و ْ‬ ‫إ َّن يف خلْق َّ‬
‫السماء م ْن م ٍاء فأ ْحيا به‬ ‫يف الْب ْحر ِبا يـْنـف ُع النَّاس وما أنْـزل اللَّهُ من َّ‬
‫السحاب‬ ‫الرياح و َّ‬‫صريف ِّ‬ ‫ٍ‬
‫ث فيها م ْن ُك ِّل دابَّة وت ْ‬ ‫ْاأل ْرض بـ ْعد م ْوِتا وب َّ‬
‫ات لق ْوٍم يـ ْعقلُون (‪)164‬‬ ‫السماء و ْاألرض َلي ٍ‬
‫ْ‬ ‫الْ ُمس َّخر ب ْني َّ‬
‫‪QS. al-Raḥmān (55): 4-‬‬ ‫علَّمه الْبـيان (‪ )4‬الشَّمس والْقمر ِبسب ٍ‬
‫ان (‪)5‬‬
‫‪5‬‬ ‫ُ ُْ‬ ‫ْ ُ‬ ‫ُ‬
‫‪QS. al-Naḥl (16): 11‬‬ ‫الزيْـتُون والنَّخيل و ْاأل ْعناب وم ْن ُك ِّل الثَّمرات إ َّن يف‬ ‫الزْرع و َّ‬
‫ت ل ُك ْم به َّ‬ ‫يـُنْب ُ‬
‫ذلك َليةً لق ْوٍم يـتـف َّك ُرون (‪)11‬‬
‫‪QS. al-A'rāf (7): 187‬‬ ‫الساعة أيَّان ُم ْرساها قُ ْل إََّّنا علْ ُمها عْند رِِّّب ال ُجيلِّيها‬ ‫ي ْسألُونك عن َّ‬
‫السماوات و ْاأل ْرض ال تأْتي ُك ْم إَّال بـ ْغتةً ي ْسألُونك‬
‫ت يف َّ‬ ‫لوقْتها إَّال ُهو ثـ ُقل ْ‬

‫‪199‬‬
‫كأنَّك حف ٌّي عْنـها قُ ْل إََّّنا علْ ُمها عنْد اللَّه ولك َّن أ ْكثـر النَّاس ال يـ ْعل ُمون‬
‫(‪)187‬‬
‫‪QS. al-Isrā' (17): 85‬‬ ‫وح م ْن أ ْمر رِِّّب وما أُوتيتُ ْم من الْع ْلم إَّال قل ًيال‬
‫الر ُ‬
‫الروح قُل ُّ‬ ‫وي ْسألُونك عن ُّ‬
‫(‪)85‬‬
‫قال إََّّنا الْعلْ ُم عْند اللَّه وأُبـلِّغُ ُك ْم ما أ ُْرسلْ ُ‬
‫ت به ولك َِّن أرا ُك ْم قـ ْوًما ْجتهلُون‬
‫‪QS. al-Aḥqāf (46): 23‬‬
‫‪dan 26‬‬
‫(‪)23‬‬
‫َّاه ْم فيما إ ْن م َّكنَّا ُك ْم فيه وجع ْلنا ْلُ ْم َسْ ًعا وأبْص ًارا وأفْئد ًة فما‬ ‫ولق ْد م َّكن ُ‬
‫أ ْغَن عْنـ ُه ْم َسْعُ ُه ْم وال أبْص ُارُه ْم وال أفْئد ُِتُ ْم م ْن ش ْي ٍء إ ْذ كانُوا ْجيح ُدون‬
‫بآيات اللَّه وحاق ِب ْم ما كانُوا به ي ْستـ ْهزئُون (‪)26‬‬
‫‪QS. al-Aḥzāb (33): 63‬‬ ‫الساعة قُ ْل إََّّنا ع ْل ُمها عْند اللَّه وما يُ ْدريك لع َّل‬ ‫َّاس عن َّ‬ ‫ي ْسألُك الن ُ‬
‫الساعة ت ُكو ُن قريبًا (‪)63‬‬ ‫َّ‬
‫‪QS. al-Isrā' (17): 85‬‬ ‫وح م ْن أ ْمر رِِّّب وما أُوتيتُ ْم من الْعلْم إَّال قل ًيال‬
‫الر ُ‬‫الروح قُل ُّ‬ ‫وي ْسألُونك عن ُّ‬
‫(‪)85‬‬
‫‪QS. al-A'rāf (7): 19‬‬
‫اْلنَّة ف ُكال م ْن حْي ُ‬
‫ث شْئتُما وال تـ ْقربا هذه‬ ‫اس ُك ْن أنْت وزْو ُجك ْ‬
‫ويا آد ُم ْ‬
‫الشَّجرة فـت ُكونا من الظَّالمني (‪)19‬‬
‫‪QS. al-Ra'd (13): 9‬‬ ‫عاَلُ الْغْيب والشَّهادة الْكبريُ الْ ُمتـعال (‪)9‬‬
‫‪QS. Luqmān (31): 27‬‬ ‫ول ْو أََّّنا يف ْاأل ْرض م ْن شجرٍة أقْال ٌم والْب ْح ُر ميُدُّهُ م ْن بـ ْعده سْبـعةُ أ ِْبُ ٍر ما‬
‫يم (‪)27‬‬ ‫ات اللَّه إ َّن اللَّه عز ٌيز حك ٌ‬
‫ت كلم ُ‬ ‫نفد ْ‬
‫‪QS. Yūnus (10): 39‬‬ ‫ب ْل ك َّذبُوا ِبا َلْ ُحييطُوا بعلْمه ول َّما يأِْت ْم تأْويلُهُ كذلك ك َّذب الَّذين م ْن‬
‫قـْبله ْم فانْظُْر كْيف كان عاقبةُ الظَّالمني (‪)39‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 31-‬‬ ‫وعلَّم آدم ْاأل َْساء ُكلَّها ُُثَّ عرض ُه ْم على الْمالئكة فـقال أنْبئُوِّن بأ َْساء‬
‫‪33‬‬
‫ه ُؤالء إ ْن ُكنْتُ ْم صادقني (‪ )31‬قالُوا ُسْبحانك ال علْم لنا إَّال ما علَّ ْمتـنا‬
‫يم (‪ )32‬قال يا آد ُم أنْبْئـ ُه ْم بأ َْسائه ْم فـل َّما أنْـبأ ُه ْم‬ ‫احلك ُ‬‫يم ْ‬ ‫إنَّك أنْت الْعل ُ‬
‫السماوات و ْاأل ْرض وأ ْعل ُم ما‬ ‫بأ َْسائه ْم قال أَلْ أقُ ْل ل ُك ْم إ ِِّّن أ ْعل ُم غْيب َّ‬
‫تـُْب ُدون وما ُكنْتُ ْم تكْتُ ُمون (‪)33‬‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 143‬‬ ‫آلذكريْن حَّرم أم‬ ‫الضأْن اثْـن ْني ومن الْم ْعز اثْـن ْني قُل َّ‬ ‫َثانية أ ْزو ٍاج من َّ‬
‫ْ‬
‫ت علْيه أ ْرح ُام ْاألُنْـثـي ْني نـبِّئُوِّن بعلْ ٍم إ ْن ُكْنتُ ْم صادقني‬ ‫ْاألُنْـثـي ْني أ َّما ا ْشتمل ْ‬

‫‪200‬‬
‫(‪)143‬‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 148‬‬ ‫ول الَّذين أ ْشرُكوا ل ْو شاء اللَّهُ ما أ ْشرْكنا وال آب ُاؤنا وال حَّرْمنا م ْن ش ْي ٍء‬ ‫سيـ ُق ُ‬
‫كذلك ك َّذب الَّذين م ْن قـْبله ْم ح ََّّت ذاقُوا بأْسنا قُ ْل ه ْل عْند ُك ْم م ْن ع ْل ٍم‬
‫صون (‪)148‬‬ ‫فـتُ ْخر ُجوهُ لنا إ ْن تـتَّبعُون إَّال الظَّ َّن وإ ْن أنْـتُ ْم إَّال ختُْر ُ‬
‫ٍ‬ ‫ٍ‬ ‫ٍ‬
‫الزْرع ُمُْتل ًفا‬ ‫وُهو الَّذي أنْشأ جنَّات م ْع ُروشات وغ ْري م ْع ُروشات والن ْ‬
‫َّخل و َّ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 141-‬‬
‫‪142‬‬
‫الرَّمان ُمتشاِبًا وغ ْري ُمتشاب ٍه ُكلُوا م ْن َثره إذا أَْثر وآتُوا‬ ‫الزيْـتُون و ُّ‬‫أُ ُكلُهُ و َّ‬
‫ب الْ ُم ْسرفني (‪ )141‬ومن ْاألنْـعام‬ ‫حقَّهُ يـ ْوم حصاده وال تُ ْسرفُوا إنَّهُ ال ُحي ُّ‬
‫ْحُولةً وفـ ْر ًشا ُكلُوا ِمَّا رزق ُك ُم اللَّهُ وال تـتَّبعُوا ُخطُوات الشَّْيطان إنَّهُ ل ُك ْم‬
‫ني (‪)142‬‬ ‫ع ُد ٌّو ُمب ٌ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 151‬‬ ‫قُ ْل تـعال ْوا أتْ ُل ما حَّرم ربُّ ُك ْم علْي ُك ْم أَّال تُ ْشرُكوا به شْيئًا وبالْوالديْن إ ْحسانًا‬
‫اه ْم وال تـ ْقربُوا الْفواحش ما‬ ‫ٍ‬
‫وال تـ ْقتُـلُوا أ ْوالد ُك ْم م ْن إ ْمالق َنْ ُن نـ ْرُزقُ ُك ْم وإيَّ ُ‬
‫ظهر مْنـها وما بطن وال تـ ْقتُـلُوا النَّـ ْفس الَّيت حَّرم اللَّهُ إَّال ب ْ‬
‫احل ِّق ذل ُك ْم‬
‫صا ُك ْم به لعلَّ ُك ْم تـ ْعقلُون (‪)151‬‬ ‫و َّ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 7 dan‬‬ ‫اس فـلم ُسوهُ بأيْديه ْم لقال الَّذين كف ُروا إ ْن‬ ‫ول ْو نـَّزلْنا علْيك كتابًا يف ق ْرط ٍ‬
‫‪92‬‬
‫هذا إَّال س ْحٌر ُمب ٌ‬
‫ني (‪)7‬‬
‫ِّق الَّذي ب ْني يديْه ولتُـنْذر أ َُّم الْ ُقرى وم ْن‬ ‫اب أنْـزلْناهُ ُمبارٌك ُمصد ُ‬ ‫وهذا كت ٌ‬
‫ح ْوْلا والَّذين يـُ ْؤمنُون ب ْاَلخرة يـُ ْؤمنُون به وُه ْم على صالِت ْم ُحيافظُون‬
‫(‪)92‬‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 50‬‬ ‫ول ل ُك ْم عنْدي خزائ ُن اللَّه وال أ ْعل ُم الْغْيب وال أقُ ُ‬
‫ول ل ُك ْم إ ِِّّن‬ ‫قُ ْل ال أقُ ُ‬
‫يل قُ ْل ه ْل ي ْستوي ْاأل ْعمى والْبصريُ أفال‬ ‫ك إ ْن أتَّب ُع إَّال ما يُوحى إ َّ‬ ‫مل ٌ‬
‫تـتـف َّك ُرون (‪)50‬‬
‫السبُل فـتـفَّرق ب ُك ْم ع ْن سبيله‬ ‫وأ َّن هذا صراطي ُم ْستق ً‬
‫يما فاتَّبعُوهُ وال تـتَّبعُوا ُّ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 153‬‬

‫صا ُك ْم به لعلَّ ُك ْم تـتَّـ ُقون (‪)153‬‬


‫ذل ُك ْم و َّ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 53‬‬ ‫ض ليـ ُقولُوا أه ُؤالء م َّن اللَّهُ علْيه ْم م ْن بـْيننا ألْيس‬
‫وكذلك فـتـنَّا بـ ْعض ُه ْم ببـ ْع ٍ‬
‫اللَّهُ بأ ْعلم بالشَّاكرين (‪)53‬‬
‫ُّجوم لتـ ْهت ُدوا ِبا يف ظُلُمات الْربِّ والْب ْحر ق ْد‬ ‫وُهو الَّذي جعل ل ُك ُم الن ُ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 97‬‬

‫صلْنا ْاَليات لق ْوٍم يـ ْعل ُمون (‪)97‬‬ ‫ف َّ‬

‫‪201‬‬
‫ٍ‬ ‫وُهو الَّذي أنْـزل من َّ‬
‫السماء ماءً فأ ْخر ْجنا به نـبات ُك ِّل ش ْيء فأ ْخر ْجنا منْهُ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 99‬‬
‫خضرا ُُنْرج مْنه حبًّا مرتاكبا ومن النَّخل من طلْعها قْنـوا ٌن دانيةٌ وجن ٍ‬
‫َّات‬ ‫ْ ْ‬ ‫ُ ً‬ ‫ً ُ ُ‬
‫ٍ‬
‫الرَّمان ُم ْشتب ًها وغ ْري ُمتشابه انْظُُروا إىل َثره إذا أ َْثر‬ ‫الزيْـتُون و ُّ‬
‫اب و َّ‬‫من أ ْعن ٍ‬
‫ْ‬
‫ٍ‬
‫ات لق ْوم يـُ ْؤمنُون (‪)99‬‬ ‫ويـنْعه إ َّن يف ذل ُكم َلي ٍ‬
‫ْ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 155‬‬ ‫َّ‬
‫اب أنْـزلْناهُ ُمبارٌك فاتَّبعُوهُ واتـَّ ُقوا لعل ُك ْم تـُ ْرْحُون (‪)155‬‬
‫وهذا كت ٌ‬
‫ف‬
‫صلح فال خ ْو ٌ‬ ‫وما نـُْرس ُل الْ ُم ْرسلني إَّال ُمبشِّرين وُمْنذرين فم ْن آمن وأ ْ‬
‫‪QS. al-An'ām (6): 48‬‬

‫علْيه ْم وال ُه ْم ْحيزنُون (‪)48‬‬


‫‪QS. Yāsīn (36): 40‬‬ ‫ك‬‫ال الشَّمس يـنْبغي ْلا أ ْن تُ ْدرك الْقمر وال اللَّيل سابق النـَّهار وُكلٌّ يف فـل ٍ‬
‫ُْ ُ‬ ‫ْ ُ‬
‫ي ْسب ُحون (‪)40‬‬
‫‪QS. al-Zumar (39): 21‬‬ ‫ج به‬‫السماء ماءً فسلكهُ يـنابيع يف ْاأل ْرض ُُثَّ ُخيْر ُ‬ ‫أَلْ تـر أ َّن اللَّه أنْـزل من َّ‬
‫صفًّرا ُُثَّ ْجيعلُهُ ُحط ًاما إ َّن يف ذلك لذ ْكرى‬ ‫زْر ًعا ُمُْتل ًفا ألْوانُهُ ُُثَّ يه ُ‬
‫يج فرتاهُ ُم ْ‬
‫ألُويل ْاأللْباب (‪)21‬‬
‫‪QS. Yūsuf (12): 111‬‬ ‫لق ْد كان يف قصصه ْم ع ْربةٌ ألُويل ْاأللْباب ما كان حديثًا يـُ ْفرتى ولك ْن‬
‫صديق الَّذي ب ْني يديْه وتـ ْفصيل ُك ِّل ش ْي ٍء وُه ًدى ور ْْحةً لق ْوٍم يـُ ْؤمنُون‬ ‫تْ‬
‫(‪)111‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 269‬‬ ‫احلكْمة فـق ْد أُوِت خ ْ ًريا كث ًريا وما ي َّذ َّك ُر‬ ‫احلكْمة م ْن يشاءُ وم ْن يـُ ْؤت ْ‬ ‫يـُ ْؤِت ْ‬
‫إَّال أُولُو ْاأللْباب (‪)269‬‬
‫‪QS. al-Ra'd (13): 19-22‬‬ ‫احل ُّق كم ْن ُهو أ ْعمى إََّّنا يـتذ َّك ُر أُولُو‬ ‫أفم ْن يـ ْعل ُم أََّّنا أُنْزل إلْيك م ْن ربِّك ْ‬
‫ضون الْميثاق (‪ )20‬والَّذين‬ ‫ْاأللْباب (‪ )19‬الَّذين يُوفُون بع ْهد اللَّه وال يـْنـ ُق ُ‬
‫احلساب‬ ‫يصلُون ما أمر اللَّهُ به أ ْن يُوصل وخيْش ْون رَِّبُ ْم وخيافُون ُسوء ْ‬
‫اه ْم‬ ‫(‪ )21‬والَّذين صربُوا ابْتغاء و ْجه رِِّب ْم وأق ُاموا َّ‬
‫الصالة وأنْـف ُقوا ِمَّا رزقْـن ُ‬
‫السيِّئة أُولئك ْلُ ْم عُ ْقَب الدَّار (‪)22‬‬ ‫احلسنة َّ‬‫سًّرا وعالنيةً وي ْدرءُون ب ْ‬
‫ات ُه َّن أ ُُّم الْكتاب وأُخ ُر‬ ‫ات ُْحمكم ٌ‬ ‫ُهو الَّذي أنْـزل علْيك الْكتاب مْنهُ آي ٌ‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 7‬‬

‫ات فأ َّما الَّذين يف قُـلُوِب ْم زيْ ٌغ فـيتَّبعُون ما تشابه مْنهُ ابْتغاء الْفْتـنة‬ ‫ُمتشاِب ٌ‬
‫الراس ُخون يف الْع ْلم يـ ُقولُون آمنَّا به‬ ‫وابْتغاء تأْويله وما يـ ْعل ُم تأْويلهُ إَّال اللَّهُ و َّ‬
‫ُكلٌّ م ْن عنْد ربـِّنا وما ي َّذ َّك ُر إَّال أُولُو ْاأللْباب (‪)7‬‬
‫‪QS. al-Aḥqāf (46):35‬‬ ‫الر ُسل وال ت ْستـ ْعج ْل ْلُ ْم كأ َّهنُ ْم يـ ْوم يـرْون‬ ‫اص ْرب كما صرب أُولُو الْع ْزم من ُّ‬ ‫ف ْ‬

‫‪202‬‬
‫ما يُوع ُدون َلْ يـلْبثُوا إَّال ساعةً م ْن هنا ٍر بالغٌ فـه ْل يـُ ْهل ُ‬
‫ك إَّال الْق ْوُم‬
‫الْفاس ُقون (‪)35‬‬

‫‪Kemasyarakatan‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. Yūsūf (12): 111‬‬ ‫لق ْد كان يف قصصه ْم ع ْربةٌ ألُويل ْاأللْباب ما كان حديثًا يـُ ْفرتى ولك ْن‬
‫صديق الَّذي ب ْني يديْه وتـ ْفصيل ُك ِّل ش ْي ٍء وُه ًدى ور ْْحةً لق ْوٍم يـُ ْؤمنُون‬ ‫تْ‬
‫(‪)111‬‬
‫ت ْلُ ْم ُر ُسلُ ُه ْم إ ْن َْن ُن إَّال بشٌر مثْـلُ ُك ْم ولك َّن اللَّه ميُ ُّن على م ْن يشاءُ‬ ‫قال ْ‬
‫‪QS. Ibrāhīm (14): 11‬‬

‫ان إَّال بإ ْذن اللَّه وعلى اللَّه‬ ‫من عباده وما كان لنا أ ْن نأْتي ُكم بسلْط ٍ‬
‫ْ ُ‬ ‫ْ‬
‫فـلْيتـوَّكل الْ ُم ْؤمنُون (‪)11‬‬
‫‪QS. al-An'ām (6) 161‬‬ ‫اط ُم ْستقي ٍم دينًا قي ًما ملَّة إبْـراهيم حني ًفا وما‬ ‫قُل إنََّن هداِّن رِِّّب إىل صر ٍ‬
‫ْ‬
‫كان من الْ ُم ْشركني (‪)161‬‬
‫‪QS. al-Naḥl (16): 123‬‬ ‫ُُثَّ أ ْوحْيـنا إلْيك أن اتَّب ْع ملَّة إبْـراهيم حني ًفا وما كان من الْ ُم ْشركني (‪)123‬‬
‫الصالة ويـُ ْؤتُوا‬
‫يموا َّ‬ ‫وما أُم ُروا إَّال ليـ ْعبُ ُدوا اللَّه ُمُْلصني لهُ الدِّين ُحنـفاء ويُق ُ‬
‫‪QS. al-Bayyinah (98): 5‬‬

‫ين الْقيِّمة (‪)5‬‬ ‫الزكاة وذلك د ُ‬ ‫َّ‬


‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 67‬‬ ‫صرانيًّا ولك ْن كان حني ًفا ُم ْسل ًما وما كان من‬ ‫يم يـ ُهوديًّا وال ن ْ‬
‫ما كان إبْـراه ُ‬
‫الْ ُم ْشركني (‪)67‬‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 64‬‬ ‫قُ ْل يا أ ْهل الْكتاب تـعال ْوا إىل كلم ٍة سو ٍاء بـْيـنـنا وبـْيـن ُك ْم أَّال نـ ْعبُد إَّال اللَّه‬
‫ضا أ ْربابًا م ْن ُدون اللَّه فإ ْن تـولَّ ْوا‬ ‫ضنا بـ ْع ً‬
‫وال نُ ْشرك به شْيئًا وال يـتَّخذ بـ ْع ُ‬
‫فـ ُقولُوا ا ْشه ُدوا بأنَّا ُم ْسل ُمون (‪)64‬‬
‫ت للنَّاس تأْ ُم ُرون بالْم ْع ُروف وتـْنـه ْون عن الْ ُمنْكر‬ ‫ٍ‬
‫ُخرج ْ‬ ‫ُكنْتُ ْم خ ْري أ َُّمة أ ْ‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 110‬‬

‫وتـُ ْؤمنُون باللَّه ول ْو آمن أ ْه ُل الْكتاب لكان خ ْ ًريا ْلُ ْم مْنـ ُه ُم الْ ُم ْؤمنُون‬
‫وأ ْكثـ ُرُه ُم الْفاس ُقون (‪)110‬‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 104‬‬ ‫اخل ْري ويأْ ُم ُرون بالْم ْع ُروف ويـْنـه ْون عن‬ ‫ولْت ُك ْن مْن ُك ْم أ َُّمةٌ ي ْدعُون إىل ْ‬
‫الْ ُمنْكر وأُولئك ُه ُم الْ ُم ْفل ُحون (‪)104‬‬

‫‪Kepemerintahan‬‬

‫‪203‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. Āli 'Imrān (3): 159‬‬ ‫ضوا م ْن‬ ‫فبما ر ْْح ٍة من اللَّه لْنت ْلُ ْم ول ْو ُكْنت فظًّا غليظ الْقلْب النْـف ُّ‬
‫استـ ْغف ْر ْلُ ْم وشاوْرُه ْم يف ْاأل ْمر فإذا عزْمت فـتـوَّك ْل‬ ‫ف عْنـ ُه ْم و ْ‬ ‫اع ُ‬ ‫ح ْولك ف ْ‬
‫على اللَّه إ َّن اللَّه ُحي ُّ‬
‫ب الْ ُمتـوِّكلني (‪)159‬‬
‫الصالة وأ ْم ُرُه ْم ُشورى بـْيـنـ ُه ْم وِمَّا رزقْـن ُ‬
‫اه ْم‬ ‫استجابُوا لرِِّب ْم وأق ُاموا َّ‬ ‫والَّذين ْ‬
‫‪QS. al-Shūrā (42): 38‬‬

‫يـُْنف ُقون (‪)38‬‬

‫‪Ekonomi‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-Baqarah (2): 22 dan‬‬
‫‪57‬‬ ‫السماء ماءً‬ ‫السماء بناءً وأنْـزل من َّ‬ ‫اشا و َّ‬‫الَّذي جعل ل ُك ُم ْاأل ْرض فر ً‬
‫فأ ْخرج به من الثَّمرات رْزقًا ل ُك ْم فال ْجتعلُوا للَّه أنْد ًادا وأنْـتُ ْم تـ ْعل ُمون‬
‫(‪)22‬‬
‫السلْوى ُكلُوا م ْن طيِّبات‬ ‫وظلَّلْنا علْي ُك ُم الْغمام وأنْـزلْنا علْي ُك ُم الْم َّن و َّ‬
‫ما رزقْـنا ُك ْم وما ظل ُمونا ولك ْن كانُوا أنْـ ُفس ُه ْم يظْل ُمون (‪)57‬‬
‫‪QS. al-Nūr (24): 38‬‬ ‫ضله واللَّهُ يـ ْرُز ُق م ْن‬ ‫لي ْجزيـ ُه ُم اللَّهُ أ ْحسن ما عملُوا ويزيد ُه ْم م ْن ف ْ‬
‫اب (‪)38‬‬ ‫يشاء بغ ْري حس ٍ‬
‫ُ‬
‫‪QS. Sabā' (34): 39‬‬ ‫الرْزق لم ْن يشاءُ م ْن عباده ويـ ْقد ُر لهُ وما أنْـف ْقتُ ْم‬ ‫ط ِّ‬ ‫قُ ْل إ َّن رِِّّب يـْب ُس ُ‬
‫الرازقني (‪)39‬‬ ‫م ْن ش ْي ٍء فـ ُهو ُخيْل ُفهُ وُهو خ ْريُ َّ‬
‫‪QS. al-Ḥijr (15): 20-21‬‬ ‫وجعلْنا ل ُك ْم فيها معايش وم ْن ل ْستُ ْم لهُ برازقني (‪ )20‬وإ ْن م ْن ش ْي ٍء‬
‫إَّال عنْدنا خزائنُهُ وما نـُنـِّزلُهُ إَّال بقد ٍر م ْعلُ ٍوم (‪)21‬‬
‫وه ْم فيها‬ ‫السفهاء أ ْموال ُك ُم الَّيت جعل اللَّهُ ل ُك ْم قي ًاما و ْارُزقُ ُ‬ ‫وال تـُ ْؤتُوا ُّ‬
‫‪QS. al-Nisā' (4): 5‬‬

‫وه ْم وقُولُوا ْلُ ْم قـ ْوًال م ْع ُروفًا (‪)5‬‬‫وا ْك ُس ُ‬


‫‪QS. al-Nisā' (4): 4‬‬ ‫وآتُوا النِّساء ص ُدقاِت َّن َنْلةً فإ ْن ط ْْب ل ُك ْم ع ْن ش ْي ٍء منْهُ نـ ْف ًسا‬
‫ف ُكلُوهُ هنيئًا مريئًا (‪)4‬‬
‫‪QS. al-Baqarah/2: 126‬‬ ‫اجع ْل هذا بـل ًدا آمنًا و ْارُز ْق أ ْهلهُ من الثَّمرات‬ ‫ب ْ‬ ‫يم ر ِّ‬
‫وإ ْذ قال إبْـراه ُ‬
‫م ْن آمن مْنـ ُه ْم باللَّه والْيـ ْوم ْاَلخر قال وم ْن كفر فأُمتـِّعُهُ قل ًيال ُُثَّ‬
‫ضطُّرهُ إىل عذاب النَّار وبئْس الْمصريُ (‪)126‬‬ ‫أْ‬
‫‪QS. al-Fajr (89): 16‬‬ ‫ول رِِّّب أهانن (‪)16‬‬
‫وأ َّما إذا ما ابْـتالهُ فـقدر علْيه رْزقهُ فـيـ ُق ُ‬

‫‪204‬‬
‫‪QS. al-Dhāriyāt (51): 58‬‬ ‫ني (‪)58‬‬ ‫َّاق ذُو الْ ُق َّوة الْمت ُ‬ ‫إ َّن اللَّه ُهو َّ‬
‫الرز ُ‬
‫‪QS. al-Nūr (24): 38‬‬ ‫ضله واللَّهُ يـ ْرُز ُق م ْن‬ ‫لي ْجزيـ ُه ُم اللَّهُ أ ْحسن ما عملُوا ويزيد ُه ْم م ْن ف ْ‬
‫اب (‪)38‬‬ ‫يشاء بغ ْري حس ٍ‬
‫ُ‬
‫‪QS. al-Isrā' (17): 70‬‬ ‫َّ‬
‫اه ْم من الطيِّبات‬ ‫اه ْم يف الْربِّ والْب ْحر ورزقْـن ُ‬‫ولق ْد كَّرْمنا بَن آدم وْحلْن ُ‬
‫اه ْم على كث ٍري ِم َّْن خل ْقنا تـ ْفض ًيال (‪)70‬‬ ‫ضلْن ُ‬
‫وف َّ‬
‫‪QS. al-Naḥl (16): 5-18‬‬ ‫فءٌ ومناف ُع ومْنـها تأْ ُكلُون (‪ )5‬ول ُك ْم‬ ‫و ْاألنْـعام خلقها ل ُك ْم فيها د ْ‬
‫ال حني تُرحيُون وحني ت ْسر ُحون (‪ )6‬وحتْم ُل أثْـقال ُك ْم إىل‬ ‫فيها َج ٌ‬
‫يم (‪)7‬‬ ‫وف رح ٌ‬ ‫بـل ٍد َلْ ت ُكونُوا بالغيه إَّال بش ِّق ْاألنْـ ُفس إ َّن ربَّ ُك ْم لرءُ ٌ‬
‫احلمري ل ْرتكبُوها وزينةً وخيْلُ ُق ما ال تـ ْعل ُمون (‪)8‬‬ ‫اخلْيل والْبغال و ْ‬ ‫وْ‬
‫السبيل ومْنـها جائٌر ول ْو شاء ْلدا ُك ْم أ َْجعني (‪)9‬‬ ‫ص ُد َّ‬ ‫وعلى اللَّه ق ْ‬
‫اب ومنْهُ شجٌر فيه‬ ‫السماء ماءً ل ُك ْم منْهُ شر ٌ‬ ‫ُهو الَّذي أنْـزل من َّ‬
‫الزيْـتُون والنَّخيل و ْاأل ْعناب‬ ‫الزْرع و َّ‬
‫ت ل ُك ْم به َّ‬ ‫يمون (‪ )10‬يـُنْب ُ‬ ‫تُس ُ‬
‫وم ْن ُك ِّل الثَّمرات إ َّن يف ذلك َليةً لق ْوٍم يـتـف َّك ُرون (‪ )11‬وس َّخر‬
‫ات بأ ْمره إ َّن يف‬ ‫وم ُمس َّخر ٌ‬ ‫ُّج ُ‬
‫َّمس والْقمر والن ُ‬ ‫ل ُك ُم اللَّْيل والنـَّهار والش ْ‬
‫ات لق ْوٍم يـ ْعقلُون (‪ )12‬وما ذرأ ل ُك ْم يف ْاأل ْرض ُمُْتل ًفا‬ ‫ذلك َلي ٍ‬
‫ألْوانُهُ إ َّن يف ذلك َليةً لق ْوٍم ي َّذ َّك ُرون (‪ )13‬وُهو الَّذي س َّخر الْب ْحر‬
‫لتأْ ُكلُوا مْنهُ حلْ ًما طريًّا وت ْست ْخر ُجوا مْنهُ حلْيةً تـلْب ُسوهنا وتـرى الْ ُفلْك‬
‫ضله ولعلَّ ُك ْم ت ْش ُك ُرون (‪ )14‬وألْقى يف‬ ‫مواخر فيه ولتْبتـغُوا م ْن ف ْ‬
‫ْاأل ْرض رواسي أ ْن ْتيد ب ُك ْم وأ ْهن ًارا و ُسبُ ًال لعلَّ ُك ْم ِتْت ُدون (‪)15‬‬
‫َّجم ُه ْم يـ ْهت ُدون (‪ )16‬أفم ْن خيْلُ ُق كم ْن ال خيْلُ ُق‬ ‫ٍ‬
‫وعالمات وبالن ْ‬
‫صوها إ َّن اللَّه لغ ُف ٌ‬
‫ور‬ ‫أفال تذ َّكُرون (‪ )17‬وإ ْن تـعُ ُّدوا ن ْعمة اللَّه ال ُْحت ُ‬
‫يم (‪)18‬‬ ‫رح ٌ‬
‫‪QS. al-Nisā' (4): 32‬‬ ‫يب ِمَّا‬
‫ض ل ِّلرجال نص ٌ‬ ‫وال تـتمنـ َّْوا ما فضَّل اللَّهُ به بـ ْعض ُك ْم على بـ ْع ٍ‬
‫ضله إ َّن اللَّه‬ ‫اسألُوا اللَّه م ْن ف ْ‬ ‫يب ِمَّا ا ْكتس ْْب و ْ‬ ‫ا ْكتسبُوا وللنِّساء نص ٌ‬
‫يما (‪)32‬‬ ‫ٍ‬
‫كان ب ُك ِّل ش ْيء عل ً‬
‫‪QS. al-Naḥl (16): 71‬‬ ‫ضلُوا بر ِّادي‬ ‫الرْزق فما الَّذين فُ ِّ‬ ‫ض يف ِّ‬ ‫واللَّهُ فضَّل بـ ْعض ُك ْم على بـ ْع ٍ‬
‫ت أ ْميا ُهنُ ْم فـ ُه ْم فيه سواءٌ أفبن ْعمة اللَّه جيْح ُدون‬ ‫رْزقه ْم على ما ملك ْ‬

‫‪205‬‬
‫(‪)71‬‬

‫‪Keadaban‬‬
‫‪Surat‬‬ ‫‪Ayat‬‬
‫‪QS. al-Infiṭār (82): 7‬‬ ‫الَّذي خلقك فس َّواك فـعدلك (‪)7‬‬
‫‪QS. al-Furqān (25): 67‬‬ ‫والَّذين إذا أنْـف ُقوا َلْ يُ ْسرفُوا وَلْ يـ ْق ُرتُوا وكان ب ْني ذلك قـو ًاما (‪)67‬‬
‫‪QS. al-Nisā' (4): 135‬‬ ‫يا أيـُّها الَّذين آمنُوا ُكونُوا قـ َّوامني بالْق ْسط ُشهداء للَّه ول ْو على‬
‫أنْـ ُفس ُك ْم أو الْوالديْن و ْاألقْـربني إ ْن ي ُك ْن غنيًّا أ ْو فق ًريا فاللَّهُ أ ْوىل ِبما‬
‫ضوا فإ َّن اللَّه كان ِبا‬ ‫فال تـتَّبعُوا ا ْْلوى أ ْن تـ ْعدلُوا وإ ْن تـلْ ُووا أ ْو تـُ ْعر ُ‬
‫تـ ْعملُون خب ًريا (‪)135‬‬
‫‪QS. al-Nisā' (4): 58‬‬ ‫إ َّن اللَّه يأْ ُمُرُك ْم أ ْن تـُؤُّدوا ْاألمانات إىل أ ْهلها وإذا حك ْمتُ ْم ب ْني النَّاس‬
‫أ ْن ْحت ُك ُموا بالْع ْدل إ َّن اللَّه نع َّما يعظُ ُك ْم به إ َّن اللَّه كان َس ًيعا بص ًريا‬
‫(‪)58‬‬
‫‪QS. al-Māidah (5): 8‬‬ ‫يا أيـُّها الَّذين آمنُوا ُكونُوا قـ َّوامني للَّه ُشهداء بالْق ْسط وال ْجيرمنَّ ُك ْم‬
‫ب للتَّـ ْقوى واتـَّ ُقوا اللَّه إ َّن‬ ‫ٍ‬
‫شنآ ُن قـ ْوم على أَّال تـ ْعدلُوا ْاعدلُوا ُهو أقْـر ُ‬
‫اللَّه خبريٌ ِبا تـ ْعملُون (‪)8‬‬
‫ٍ‬
‫اه ْم ُشعْيبًا قال يا قـ ْوم ْاعبُ ُدوا اللَّه ما ل ُك ْم م ْن إله غ ْريُهُ‬ ‫وإىل م ْدين أخ ُ‬
‫‪QS. Hūd (11): 84-85‬‬

‫اف علْي ُك ْم‬ ‫صوا الْمكْيال والْميزان إ ِِّّن أرا ُك ْم ِب ٍْري وإ ِِّّن أخ ُ‬ ‫وال تـْنـ ُق ُ‬
‫يط (‪ )84‬ويا قـ ْوم أ ْوفُوا الْمكْيال والْميزان بالْق ْسط وال‬ ‫عذاب يـوٍم ُحم ٍ‬
‫ْ‬
‫تـْبخ ُسوا النَّاس أ ْشياء ُه ْم وال تـ ْعثـ ْوا يف ْاأل ْرض ُم ْفسدين (‪)85‬‬

‫‪206‬‬
BIODATA PENULIS

Faris Maulana Akbar lahir di Bangkalan, 11 Mei 1995. Mulai mengenyam


pendidikan baca-tulis al-Qur'an dari orang tuanya sendiri sejak usia dini. Pendidikan
dasar formalnya ditempuh di TK Muslimat NU Siti Khadijah (1999-2001) dan SDN
Kemayoran 01 (2000-2007) pada pagi hari dan menjadi santri TPQ Muslimat NU
Siti Khadijah Bangkalan (1999-2005) pada sore hari. Setelah lulus SD, ia merantau
ke Probolinggo dan melanjutkan pendidikannya di PP. Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo. Di pesantren tersebut, ia menamatkan bangku Tsanawiyah dan Aliyah
dari MTs Nurul Jadid (2007-2010) dan MA Nurul Jadid (2010-2013). Setelah itu,
penulis melanjutkan perantauannya ke Ciputat dengan menyantri di Pesantren Darus
Sunnah Ciputat sekaligus menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia
lulus dari Pesantren Darus Sunnah pada tahun 2017 dan juga mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S.Ag.) dari Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Selama kuliah, penulis pernah mengikuti sejumlah kegiatan baik yang


diadakan oleh pihak kampus atau luar kampus. Ia pernah mengikuti Pengkaderan
Mufassir Pemula (PMP) di Pesantren Bayt al-Qur'an Pondok Cabe pada tahun 2017
yang diadakan oleh Jurusan Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Jakarta. Ia juga pernah
mengikuti Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI Provinsi DKI Jakarta pada tahun
2018. Penulis juga pernah mengikuti penelitian bersama dosen, yaitu Pengabdian
Kepada Masyarakat Oleh Dosen (PpMD) pada tahun 2018 dengan bahasan
pendidikan karakter di sekolah dan pesantren di Tangerang Selatan. Pada tahun yang
sama, penulis menjadi presenter dalam Internasional Conference on Qur'ān and
Ḥadīth Studies (ICON QUHAS) 2018 di Bandung. Pada tahun berikutnya penulis
mengikuti penelitian di bawah naungan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Jakarta tentang literasi radikalisme di masjid di lima kota besar Jawa.
Pada tahun ini penulis juga mengikuti Internasional Colloquium on Interdisciplanary
Studies (ICIIS) 2019 di SPs UIN Jakarta.
Di luar bidang akademik, penulis menekuni bidang literasi. Beberapa karya
penulis berupa artikel, resensi, cerpen, dan puisi pernah dimuat di sejumlah surat
kabar harian cetak maupun online seperti Radar Madura, Koran Madura, Radar
Surabaya, Radar Mojokerto, Radar Tarakan, Kompas, Tangsel Pos, NU.Online,
Islami.co, dll.. Sejumlah karya penulis juga dimuat dalam buku antologi bersama
penulis lain yang diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti Diva Press, Grasindo,
dll.. Berkat menekuni di bidang di literasi ini, penulis mendapat Student Acievement
Award (SAA) UIN Jakarta pada tahun 2015 dan 2016.
Kini, penulis merupakan mahasiswa aktif SPs UIN Jakarta dan sedang
menjalani Program Magister Lanjut Doktor (PMLD) yang merupakan program
beasiswa dari Kementerian Agama.

207

Anda mungkin juga menyukai