Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TEORI SASTRA MAKRO

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA TERHADAP CERPEN DZAKIRAH AL-JIRAN


KARYA NAJIB MAHFUZ

Disusun untuk menunaikan tugas UTS Mata Kuliah Teori Sastra Makro

Dosen Pengampu : Dr. Ridwan, S.Ag. M.Hum.

Disusun oleh :

Misbahul Khoir

(20101010094)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
meyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya dinanti-nantikan di hari kiamat kelak.

Terimakasih penyusun sampaikan kepada dosen kami Dr. Ridwan, S.Ag. M.Hum.
selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra Makro. Atas bimbingan beliau kami dapat
menyelesaikan makalah ini, makalah yang berjudul Analisis Psikologi Sastra Terhadap
Cerpen Dzakirah al-Jiran Karya Najib Mahfuz. Tak lupa juga, semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang
membaca makalah ini, demi kebaikan di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 29 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................6
A. Sinopsis Cerpen.........................................................................................................................6
B. Hasil dan Pembahasan...............................................................................................................7
BAB III..................................................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................................................15
A. Simpulan..................................................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagai salah satu anggota badan kesenian, sastra menjadi barang seksi yang
menyolok banyak pasang mata dan telinga untuk menikmati keindahannya.
Lingkungan yang hidup dalamnya pun beragam, mulai dari sang sastrawan, sebagai
pelaku utama karya yang ditelurkan, pembaca, hingga kritikus dan pengkaji sastra.
Setiap variabel dalam himpunan ini memiliki fungsi dan peran dalam merealisasikan
visi misi kehadiran karya sastra.

Perbedaan peran masing-masing variable terletak pada masa mereka mengerjakan


tugasnya. Sastrawan sudah selesai tugasnya ketika ia menyelesaikan tulisannya,
sedang pembaca memiliki masa tugas sesuai dengan durasi ia membaca dan
memperbincangkan sebuah karya sastra di lingkungan sekitarnya. Yang menarik
adalah tugas kritikus dan pengkaji sastra, seolah di tangan mereka sebuah karya dapat
dituliskan takdirnya: mati muda atau abadi. Sebab hanya oleh mereka sebuah karya
akan tetap dibincangkan dan didiskusikan secara serius di sudut-sudut warung kopi
atau di ruang-ruang kelas perkuliahan.

Para pengkaji sastra memerlukan pisau yang tajam guna membedah dan
menganalisa suatu karya sastra secara mendalam. Perbincangan tentang teori
kesusastraan pun menjadi kewajiban bagi para pengkaji sastra sebelum mulai
memberikan catatan kritis terhadap suatu karya sastra. Tak cukup sampai situ,
pendalaman terhadap teori ini menyeret para pembelajarnya untuk mengintegrasikan
sastra dengan disiplin kelimuan lain di luar sastra. Di bangku perkuliahan diskursus
ini banyak dikenal sebagai teori sastra makro. Harapannya adalah analisis yang
dihasilkan terhadap suatu karya sastra dapat menjadi maksimal.

Suatu karya sastra dapat dipandang sebagai ilmu yang berkaitan dengan bidang
psikologi, karena di dalamnya terdapat aspek psikologi yang berhubungan dengan
tokoh, pengarang, maupun pembaca. Dalam penelitian ini, aspek psikologi yang
diteliti adalah psikologi tiga tokoh sentral pada cerpen.
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini menggunakan teori psikologi
behaviorisme Skinner, yang diaplikasikan pada cerpen karya Najib Mahfuz yang
berjudul Dzakirah al-Jiran, diterjemahkan menjadi Memori Tetangga. Karena di
dalamnya terdapat tokoh utama yang mengalami proses ‘belajar’ dan dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, yaitu syaikh al-haroh atau seorang kepala dukuh.

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini
ada tiga, yaitu :

1. Bagaimana stimulus tokoh Syaikh al-Harah pada cerpen Dzakirah al-Jiran.


2. Bagaimana responss tokoh Syaikh al-Harah pada cerpen Dzakirah al-Jiran.
3. Bagaimana efek tokoh Syaikh al-Harah pada cerpen Dzakirah al-Jiran.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik studi pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan seluruh data berupa penggalan kalimat dan paragraf yang sesuai
dengan kajian psikologi behaviorisme B.F Skinner pada cerpen Dzakirah al-Jiran
karya Najib Mahfuz, lantas mengklasifikasi data tersebut ke dalam aspek stimulus,
responss, dan efek.

C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini, di samping menunaikan tugas UTS, adalah
mendapatkan informasi lebih dalam terkait karakter tokoh-tokoh yang ada pada
cerpen Dzakirah al-Jiran.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sinopsis Cerpen

Pada satu malam tepat sebelum memasuki bulan Ramadhan, terjadi perkelahian hebat
antara dua keluarga, keluarga Burghuts dan keluarga Amirah. Perkelahian kedua keluarga ini
berlangsung secara turun temurun dari zaman kakek-buyut mereka. Keributan hari ini
berbeda dari hari-hari ribut sebelumnya, karena mengorbankan dua nyawa. Masing-masing
keluarga kehilangan satu orang. Para warga pun bergegas menutup warung-warung mereka,
perempuan dan anak-anak bersembunyi di balik kehangatan peluk orang tua mereka.

Seorang pemimpin masjid, yang dituakan di lokasi tersebut menyerukan masyarakat


untuk menyambut Ramadhan dengan tidak begini. Ramadhan mestinya disambut dengan
sukacita para pecinta Tuhan. Atas kefasihan retorika sang imam, syaikh al-haroh atau kepala
dukuh pun merasa perlu melakukan suatu maneuver guna mendamaikan kedua belah pihak,
lantas kedamaian di padukuhan tersebeut dapat tercipta kembali.

Dia pun memanggil perwakilan dari masing-masing keluarga, perwakilan yang dinilai
sepuh dan mengerti akar permasalahan keributan kedua keluarga tersebut. Pada perkumpulan
itu kepala dukuh mempertanyakan asal muasal keributan di antara kedua keluarga ini. Kedua
belah pihak hanya diam dengan wajah dingin, enggan mengeluarkan secuil kata pun guna
menjawab pertanyaan kepala dukuh.

Segala macam cara telah dilakukan kepala dukuh, seperti membuatkan kopi,
menggunakan kata yang tidak menyinggung satu pihak, diam menunggu jawaban, hingga dia
pun bersumpah atas nama cucu Nabi, Husain, untuk tidak menghukum mereka dengan diyat
dan memaafkan dampak keributan mereka asalkan mereka mau kooperatif dan menyebutkan
musabab perkelahian mereka. Yang didapati hanyalah diam, mereka tetap bungkam.

Puncaknya, sang kepala dukuh pun mengancam untuk membawa permasalahan ini ke
ranah yang lebih serius, kepolisian dan pengadilan. Tetapi, melihat kelelahan dan keputus
asaan yang tercermin pada wajah kedua perwakilan tersebut kepala dukuh mengurungkan
niatnya dan memutuskan untuk membubarkan dan menunda pertemuan.
Pada periode ini, ia menanyakan kepada setiap anggota keluarga dari kedua belah
pihak. Namun, lagi-lagi, yang ditemuinya hanya kebuntuan dan ketidak tahuan mereka atas
sebab permusuhan antar keluarga ini. Merasa buntu atas ketidak tahuan kedua belah pihak, ia
pun menelusuri buku catatan kepala-kepala dukuh sebelumnya tentang riwayat keributan.
Apakah ada penyebab tertentu dari permusuhan ini. Setelah membuka-buka catatan itu, ia tak
kunjung mendapat penyebab jelas nan spesifik dari permusuhan ini. Ia menyimpulkan bahwa
penyebab kemusuhan ini sudah bias, termakan perubahan-perubahan nilai sejak bermula
hingga bergeser ke generasi-generasi setelahnya.

Setelah mengetahui betul pokok permasalahan ini, dipanggillah kembali kedua


perwakilan tersebut ke rumahnya. Untuk pembuktian terakhir, bahwa mereka betul-betul
tidak mengerti penyebab, lantas menjabarkan apa yang sudah ditemuinya di buku catatan.

Ternyata keduanya benar tidak mengetahui, dan jelaslah bahwa permusuhan ini
hanyalah warisan buruk dari generasi-generasi sebelum mereka. Setelah menyingkap hal
tersebut kepada kedua perwakilan keluarga, dia pun tersenyum dan meminta kedua keluarga
untuk berdamai.

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama yang menjadi tempat


berpijaknya individu dalam suatu proses pembelajaran. Keluarga merupakan agen eksternal
individu yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk kepribadian, karena secara garis
besar individu akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Sejalan dengan hal
tersebut, Wahib (2015:2) menyatakan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat besar
dalam kehidupan dan perilaku anak, karena kedudukan dan fungsi keluarga merupakan
wadah pembentukan watak dan tingkah laku yang pertama bagi anak.

Berdasarkan asumsin tersebut, wajar saja kalau kedua belah pihak, bahkan segenap
anggota dari masing-masing keluarga tidak mengetahui sebab. Permusuhan tersebut adalah
pengaruh kuat dari fungsi keluarga yang merupakan wadah utama pembentukan watak dan
tingkah laku bagi anak.

B. Hasil dan Pembahasan

Stimulus pada Tokoh Kepala Dukuh


Stimulus adalah agen eksternal, suatu pengaruh dari luar individu, baik berupa
lingkungan sosial maupun perilaku manusia yang dapat menyebabkan terbentuknya suatu
serangkaian perilaku. Ketika manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berbentuk
paparan peristiwa atau tingkah laku manusia lain yang sifatnya tidak biasa, hal tersebut dapat
menjadi stimulus bagi diri seseorang itu sendiri. Faktor tersebut dapat memengaruhi tingkah
laku manusia dan jika terjadi dalam kurun waktu yang lama, maka dapat pula memengaruhi
kepribadiaannya.

Skinner (Koeswara, 1991:72) menyatakan bahwa teori-teori tentang tingkah laku


manusia harus memahami keterkaiatan antara tingkah laku manusia yang muncul dengan
anteseden-anteseden atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Hal ini berarti
bahwa faktor dari luar diri individu menjadi pengaruh yang sangat penting dalam menentukan
besar kecilnya suatu perubahan.

Stimulus yang dialami tokoh kepala dukuh dalam cerpen Dzakirah al-Jiran karya
Najib Mahfuz diperoleh dari berbagai peristiwa. Stimulus tersebut berupa stimulus yang
sifatnya terkondisi dan tidak terkondisi. Peristiwa yang terjadi di lingkungannya memberikan
pengaruh terhadap perilaku kepala dukuh, sehingga ia mengalami perubahan tingkah laku
yang dapat diamati secara nyata.

Stimulus terkondisi adalah suatu rangsangan dari luar individu yang dapat dibentuk
oleh manusia sendiri dengan harapan agar individu tersebut menghasilkan perilaku tertentu
yang diharapkan. Adapun stimulus terkondisi yang diterima kepala dukuh berasal dari
lingkungan dan perwakilan dari masing-masing keluarga yang bertengkar.

Dalam teori behaviorisme, lingkungan merupakan faktor penting yang dapat


menentukan atau mengendalikan perilaku manusia. Pada kondisi lingkungan yang damai dan
tentram, keberadaan beberapa keluarga yang bermusuhan menjadi sesuatu yang asing dan
berbenturan hebat dengan kehidupan masyarakat, termasuk kepala dukuh.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Alwisol (2016:340) yang menyatakan bahwa
kepedulian utama dari teori Skinner adalah tentang teori belajar, bagaimana individu menjadi
memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, dan menjadi lebih tahu. Kehidupan terus
menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan individu harus belajar untuk
meresponss situasi tersebut. Berdasarkan data yang telah diuraikan, ketika dihadapkan
dengan situasi ekternal berupa ucapan retoris imam masjid dan tekanan kegelisahan dari
keluarga-keluarga setempat, kepala dukuh belajar meresponssnya. Bentuk responss yang ia
peroleh dari lingkungan resebut adalah ia mulai belajar untuk mendamaikan dua keluarga
yang bertengkar.

Adapun stimulus yang diberikan oleh lingkungan tersebut dapat masuk ke dalam
kategori stimulus yang tekondisi, karena stimulus tersebut sengaja dibentuk sendiri oleh
imam masjid dan desakan keluarga-keluarga setempat yang merasa ketenangan bulan
Ramadhannya akan terganggu oleh keributan yang berlangsung. Hal tersebut dibuktikan dari
data “Oleh karena ucapan retoris sang imam masjid dan tekanan para keluarga setempat,
kepala dukuh memutuskan untuk memanggil satu tetua dari kedua keluarga ke rumahnya.”

Selain dari lingkungan masyarakat, kepala dukuh juga mendapatkan stimulus


terkondisi dari lawan bicaranya, Mahmud al-Burghutsi dan an-Nasih Amirah. Mahmud al-
Burghutsi adalah tetua yang mewakili keluarga Burghuts, sedang an-Nasih Amirah adalah
tetua yang mewakili keluarga Amirah. Mereka adalah orang-orang terpilih dari masing-
masing keluarga yang dinilai dapat menjadi kunci perdamaian kedua pihak keluarga.

Stimulus terkondisi dari mereka adalah penolakan untuk berperilaku kooperatif pada
saat berkumpul bersama kepala dukuh. Mereka bersembunyi dalam kebisuan dan begitu keras
kepala. Ini dibuktikan dari data, “Lantas keduanya bersembunyi di balik wajah dingin
mereka. Suasana rapat pun menjadi beku dan mentok.”

Saat manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berbentuk suatu paparan
peristiwa atau perilaku manusia lain yang sifatnya tidak biasa, hal tersebut dapat menjadi
stimulus bagi diri seseorang itu sendiri. Data yang telah diuraikan menunjukkan bahwa kedua
lawan bicara memberikan stimulus kepada kepala dukuh dengan sikap dingin dan bungkam
ketika diajak berbicara. Perilaku yang bagi kepala dukuh tidak biasa tersebut memunculkan
tingkah laku tertentu pada kepala dukuh. Bersumpahnya atas nama Husain dan terlontarnya
kalimat takjub dari mulut kepala dukuh merupakan bentuk tingkah laku tertentu yang
menunjukkan bahwa sebelumnya ia belum pernah memeroleh perlakuan semacam itu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka bentuk stimulus yang diberikan oleh kedua lawan
bicara juga dapat termasuk ke dalam stimulus yang sifatnya terkondisikan, karena dibentuk
oleh manusia sendiri dengan harapan untuk menghasilkan perilaku tertentu yang diharapkan.
Keduanya bungkam dan menolak menjawab kepala dukuh dengan harapan agar rapat segera
dibubarkan.
Kebalikan dari stimulus yang terkondisi adalah stimulus yang tidak terkondisi.Jika
dalam stimulus yang terkondisi pengaruh sengaja dibentuk sendiri oleh lingkungan, maka
berbeda dengan stimulus ini. Stimulus yang tidak terkondisikan sifatnya alami dan tanpa
adanya pengondisian dari lingkungan. Satu di antara ciri yang menonjol dalam stimulus ini
adalah suatu stimulus yang sudah dikenal dapat dipastikan mampu membangkitkan responss
tersebut walaupun pengondisian belum dimulai.

Responss pada Tokoh Kepala Dukuh

Responss ialah perilaku atau tingkah laku yang terjadi pada manusia setelah ia
mendapatkan stimulus atau objek yang terdapat di lingkungan (Iskandar, 2012:18). Perilaku
atau tingkah laku manusia yang muncul, sebagai akibat oleh adanya stimulus yang diterima.
Dengan demikian, hubungan antara stimulus dan respons adalah hubungan sebab-akibat.
Suatu respons atau tingkah laku muncul karena adanya rangsangan yang diberikan oleh
lingkungan.

Tingkah laku atau respons yang ditunjukkan oleh tokoh kepala dukuh setelah
memeroleh stimulus dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah dapat dibagi ke
dalam dua aspek, yakni respons positif dan negatif.

Respons positif adalah respons yang terjadi akibat adanya kesesuaian seseorang
melakukan respons terhadap stimulus yang ada. Adapun respons positif yang ditunjukkan
kepala dukuh dalam menanggapi stimulus yang diberikan oleh lingkungannya dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tingkah laku responsden dan tingkah laku operan.

Skinner (Alwisol, 2016:340) menyatakan bahwa dalam mengontrol perilaku manusia,


terdapat dua strategi yang dapat digunakan, yaitu pengondisian klasik dan pengondisian
operan.Adapun yang dimaksud dengan pengondisian klasik adalah suatu pengondisian
tingkah laku yang dipelajari dengan memanfaatkan hubungan antara stimulus-respons yang
bersifat reflek bawaan. Tingkah laku yang muncul dari pengondisian ini disebut dengan
tingkah laku responsden.

Tingkah laku responsden yang ditunjukkan oleh kepala dukuh terjadi ketika ia
berhasil menyingkap pokok permasalahan antara kedua kubu. Mencari latar belakang
permusuhan lantas mendamaikan kedua belah pihak adalah asa kepala dukuh. Ketika asa
tersebut diperoleh oleh seseorang, seseorang akan gembira. Hal tersebut tercermin melalui
data berikut. “Ia pun tersenyum di hadapan keduanya karena ia meredakan kejadian peristiwa
ini.”

Tingkah laku responsden adalah suatu respons yang dihasilkan individu untuk
menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respons tersebut. Respons
reflek termasuk dalam kelompok ini, seperti merasa malu saat dipuji dan mengeluarkan air
liur saat melihat makanan. Melalui data yang telah diuraikan, terlihat bahwa kepala dukuh
menunjukkan suatu respons reflek terhadap stimulus yang diberikan oleh suasana yang
dibangun oleh perkumpulan antara dia dengan kedua lawan bicaranya. Respons tersebut
ditunjukkan dengan senyuman seberes ia menyelesaikan pembicaraannya tentang pokok
permasalahan.

Tanpa adanya sebuah pengondisian dari lawan bicara, kepala dukuh telah
memunculkan respons dengan sendirinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Skinner
(Supratiknya, 2001:332-333) bahwa satu di antara ciri pengondisian klasik adalah suatu
stimulus yang sudah di kenal dapat dipastikan mampu membangkitkan respons walaupun
pengondisian belum dimulai.

Bermula dari ketidakyakinan Skinner bahwa porsi utama dari tingkah laku manusia
adalah terdiri dari respons yang diperoleh melalui pengondisian klasik, Skinner selanjutnya
meyakini bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah terdiri dari tingkah laku operan.
Adapun yang dimaksud dengan tingkah laku operan itu sendiri adalah respons yang
dimunculkan individu tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya
respons tersebut.

Perilaku operan pertama ditunjukkan kepala dukuh ketika dihadapkan dengan situasi
ekternal berupa ucapan retoris imam masjid dan tekanan kegelisahan dari keluarga-keluarga
setempat. Bentuk responss yang ia peroleh dari lingkungan resebut adalah ia mulai belajar
untuk mendamaikan dua keluarga yang bertengkar. Yaitu dengan memanggil perwakilan dari
kedua keluarga Burghuts dan Amirah ke rumahnya. Respons yang muncul akibat stimulus
tersebut adalah responss positif. Oleh karena ucapan retoris imam masjid dan tekanan dari
banyak keluarga untuk mendamaikan situasi di bulan Ramadhan, kepala dukuh pun memiliki
inisiatif mengundang kedua perwakilan keluarga ke rumahnya. Hal tersebut dibuktikan dari
data “Oleh karena ucapan retoris sang imam masjid dan tekanan para keluarga setempat,
kepala dukuh memutuskan untuk memanggil satu tetua dari kedua keluarga ke rumahnya.”
Perilaku operan selanjutnya terjadi ketika kedua perwakilan keluarga dipanggil
pertama kalinya ke rumah kepala dukuh. Di mana kedua perwakilan tersebut tidak
mengeluarkan satu patah kata pun dan tetap bungkam. Atas stimulus terkondisi ini, kepala
dukuh meresponss dengan membubarkan rapat dan hendak mengatur ulang jadwal
pertemuan. Responss yang muncul dari stimulus ini termasuk responss positif karena sesuai
dengan harapan atau cita-cita stimulus, yang mana dalam konteks ini adalah pembubaran
rapat. Dan karena muncul dari suatu proses pembelajaran yang dilakukan secara operan,
tingkah laku ini disebut juga tingkah laku operan. Responss ini tercermin pada data sebagai
berikut. “Ketika sang kepala dukuh membaca kemuakkan pada kedua wajah lawan bicaranya,
ia pun membubarkan kumpulan lantas bergumam untuk melakukan pertemuan kembali
kelak.”

Respons negatif adalah kebalikan dari respons positif. Respons ini terjadi akibat
stimulus yang diberikan tidak menghasilkan respons yang diharapkan. Sejalan dengan
pengertian tersebut, J.F. Herbart (Sujanto, 2009:4) menyatakan bahwa manusia dilahirkan
dengan keadaan kosong dan akan berisi jika alat indera manusia tersebut telah mampu
menangkap sesuatu yang masuk ke dalam kesadaran. Dalam hal ini, hasil tangkapan tadi akan
meninggalkan suatu bekas sehingga memunculkan tanggapan atau responss.

Tanggapan tersebut bisa bersifat saling tarik menarik atau justru tolak menolak. Yang
bersifat tarik menarik adalah respons yang sejenis, sedangkan yang tolak-menolak adalah
yang tidak sejenis, sehingga kelak akan timbul suatu penguatan atau peruntuhan. Respons
yang sejenis dapat dikategorikan ke dalam respons positif, karena berkesimbangungan
dengan stimulus yang diberikan, sedangkan yang tidak sejenis dapat dikategorikan ke dalam
respons negatif, karena tidak terjadi kesesuaian dengan stimulus yang diberikan oleh
lingkungan.

Hal ini berarti bahwa terjadi ketidaksesuaian antara respons dengan stimulus yang
diberikan agen eksternal, yang memberikan stimulus kepada kepala dukuh, sehingga
menghasilkan responss negatif yang berasal dari lawan bicararanya. Ini terjadi ketika kedua
lawan bicara bersembunyi di balik kebisuan dan sikap dinginnya. Responss yang diberikan
kepala dukuh adalah tetap melanjutkan rapat, bahkan memberikan tawaran baru agar mereka
mau berbicara. Tingkah laku operan ini tergolong negatif, karena tidak sejalan dengan
harapan yang dicitakan stimulus. Hal ini tercermin pada data sebagai berikut.
“ Lantas keduanya bersembunyi di balik wajah dingin mereka. Suasana rapat pun
menjadi beku dan mentok. Kepala dukuh berkata, “Silahkan utarakan penyebab-
penyebeb permusuhan, meskipun ada diyyat yang harus dibayar, dan kesalahan yang
harus ditebus, Tidak ada penyakit yang tak memiliki obat, pun keburukan harus
dihentikan.””

Bentuk respons kepala dukuh tersebut termasuk ke dalam tingkah laku operan.
Meskipun respons yang dihasilkan negatif, namun pada dasarnya respons tersebut diperoleh
dari pengondisian yang diberikan oleh kedua lawan bicaranya. Bentuk pengondisian tersebut
berupa sikap mereka yang dingin dan tidak kooperatif agar kepala dukuh membubarkan
perkumpulan.

Efek pada Tokoh Kepala Dukuh

Setiap perilaku yang dilakukan oleh individu memiliki efek bagi dunia sekitarnya.
Efek dari suatu perilaku bisa jadi masuk kembali ke dalam individu, sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa perilaku yang dihasilkan tersebut akan terulang kembali di masa
mendatang. Oleh karena itu, efek dalam hal ini dapat disebut dengan istilah akibat atau
konsekuensi yang mengikuti respons.

Skinner (Koeswara, 1991:82) selanjutnya menyatakan bahwa hukum-hukum


fungsional dari tingkah laku paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-
faktor yang meningkatkan atau mengurangi probabilitas kemunculan respons di lain waktu
daripada menciptakan stimulus spesifik yang memacu responss. Hal inilah yang selanjutnya
disebut dengan efek. Efek hadir sebagai suatu hasil dari adanya respons yang distimulus oleh
lingkungan sekitar. Hadirnya efek dalam suatu peristiwa tersebut dapat diperkuat atau
diperlemah oleh beberapa faktor akibat yang berasal dari respons. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Skinner bahwa kekuatan dari respons dapat diubah oleh efek yang
ditimbulkan. Efek menjadi suatu penyebab apakah respons yang sama akan muncul kembali
atau justru mengalami peruntuhan.

Efek ada dua jenis, penguatan dan pemadaman. Adapun yang dimaksud dengan efek
penguatan adalah peristiwa atau sesuatu yang membuat tingkah laku yang dikehendaki
berpeluang untuk diulangi lagi atau justru sebaliknya. Penguatan memegang peranan ketiga
sebagai kompleksitas dari intervensi behaviorisme, karena terjadi setelah individu
menunjukkan respons terhadap stimulus yang diberikan. Dengan kata lain, penguat
berhubungan dengan respons, bukan dengan stimulus. Hal ini dikarenakan penguat terjadi
setelah adanya respons. Respons yang dimaksudkan adalah respons yang dilakukan, bukan
respons yang ditimbulkan.

Efek yang terlihat pada tokoh kepala dukuh dalam cerpen ini adalah efek pemadaman.
Pemadaman adalah kecenderungan respons yang sudah diperoleh sebelumnya untuk menjadi
progresif dan melemahkan respons sesudahnya yang sudah tidak lagi mendapat penguatan.
Dengan kata lain, pemadaman ini terjadi apabila adanya pencabutan penguat dari situasi
pengondisian operan.

Pemadaman operan yang dialami oleh kepala dukuh tercermin dalam data berikut.

“Kepala dukuh mendapatkan waktu untuk berhenti dan mengurangi kebuntuannya. Ia


bertanya kepada banyak orang anggota dari masing-masing keluarga tentang
penyebab pertengkaran kedua keluarga ini. Tapi ia tak mendapat jawaban. Justru
menjadi jelas baginya, bahwa mereka tidak mengetahui latar belakang pertengkaran
ini. Sebagaimana dikatakan juga oleh imam masjid bahwa mereka memang
mengingat betul pertengkaran mereka satu sama lain, akan tetapi mereka semua tidak
ada yang tahu latar belakang pertengkaran tersebut. Ia dirundung kebingungan, lantas
membuka buku catatan kriminal generasi-generasi sebelumnya.”

Data tersebut menunjukkan bahwa kepala dukuh mengalami pemadaman operan dari
stimulus yang diberikan oleh imam masjid. Pemadaman operan tersebut berupa
penelusurannya ke alternative lain yaitu buku catatan kriminal yang dimiliki generasi-
generasi kepala dukuh sebelumnya. Pemadaman ini terjadi karena setiap anggota keluarga
dari anggota Burghuts dan Amirah, sebagai objek yang memberikan penguatan kepada
tingkah laku operan kepala dukuh tidak banyak membantu usahanya mendamaikan. Sehingga
penguatan itu tidak lagi diberikan.

Meskipun telah dipelajari, suatu respons akan masih bisa mengalami pemadaman
karena beberapa alasan. Pertama, respons bisa dilupakan setelah beberapa waktu. Kedua,
respons akan hilang jika ada campur tangan dari proses pembelajaran lain sebelum atau
sesudahnya. Ketiga, respons dapat hilang akibat penghukuman. Hal ini berarti bahwa respons
masih bisa dipelajari meskipun sudah dipelajari sebelumnya.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Berdasarkan penelitian terhadap cerpen Dzakirah al-Jiran karya Najib Mahfuz dengan
menggunakan teori psikologi behaviorisme B. F. Skinner pada bab sebelumnya, terdapat tiga
hal yang dapat disimpulkan.

Pertama, tokoh kepala dukuh yang merupakan tokoh utama dalam cerpen tersebut
mengalami suatu proses belajar yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Baik itu imam
masjid, keluarga-keluarga setempat, dan kedua keluarga Burghuts dan Amirah. Stimulus
yang ditemukan dalam cerpen ini berupa stimulus yang terkondisi.

Kedua, berbagai stimulus yang diterima kepala dukuh menjadikan ia mengalami


sebuah perubahan perilaku yang daoat diamati secara nyata dalam sudut pandang
behaviorisme B. F. Skinner. Akibat dari stimulus yang diberikan oleh berbagai variable
tersebut menghasilkan respons pada perilaku kepala dukuh. Respons yang ditunjukkan
berupa responss positif dan responss negatif. Stimulus yang mendapat responss positif antara
lain adalah 1) Stimulus dari imam masjid yang berkhotbah dengan bahasa retoris bahwa tidak
seperti ini seharusnya bulan Ramadhan disambut. Kepala dukuh pun mengamini stimulus
tersebut dengan mengundang perwakilan dari kedua keluarga. 2) Stimulus dari Mahmud dan
an-Nasih yang terus menerus bungkam dan mengharapkan pembubaran. 3) Stimulus dari
kedua lawan bicara ketika ia berhasil menyingkap pokok permaslahan kepada mereka.
Adapun Stimulus negatif yang ditunjukkan oleh kepala dukuh antara lain adalah stimulus dari
perwakilan lawan bicara di awal-awal pertemuan mereka.

Ketiga, efek yang diperoleh kepala dukuh berupa efek pemadaman. Kepala dukuh
menunjukkan efek pemadaman operan ketika ia menunjukkan respons baru dari stimulus
baru yang mempengaruhinya. Stimulus tersebut berasal dari lingkungan sekitarnya, yaitu
kedua anggota keluarga Burghuts dan Amirah.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2016. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Koeswara. 1991. Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Skinner, B. F.2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku Manusia, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai