UTS TSM Sem 5
UTS TSM Sem 5
Disusun untuk menunaikan tugas UTS Mata Kuliah Teori Sastra Makro
Disusun oleh :
Misbahul Khoir
(20101010094)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
meyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya dinanti-nantikan di hari kiamat kelak.
Terimakasih penyusun sampaikan kepada dosen kami Dr. Ridwan, S.Ag. M.Hum.
selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra Makro. Atas bimbingan beliau kami dapat
menyelesaikan makalah ini, makalah yang berjudul Analisis Psikologi Sastra Terhadap
Cerpen Dzakirah al-Jiran Karya Najib Mahfuz. Tak lupa juga, semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang
membaca makalah ini, demi kebaikan di masa yang akan datang.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................6
A. Sinopsis Cerpen.........................................................................................................................6
B. Hasil dan Pembahasan...............................................................................................................7
BAB III..................................................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................................................15
A. Simpulan..................................................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu anggota badan kesenian, sastra menjadi barang seksi yang
menyolok banyak pasang mata dan telinga untuk menikmati keindahannya.
Lingkungan yang hidup dalamnya pun beragam, mulai dari sang sastrawan, sebagai
pelaku utama karya yang ditelurkan, pembaca, hingga kritikus dan pengkaji sastra.
Setiap variabel dalam himpunan ini memiliki fungsi dan peran dalam merealisasikan
visi misi kehadiran karya sastra.
Para pengkaji sastra memerlukan pisau yang tajam guna membedah dan
menganalisa suatu karya sastra secara mendalam. Perbincangan tentang teori
kesusastraan pun menjadi kewajiban bagi para pengkaji sastra sebelum mulai
memberikan catatan kritis terhadap suatu karya sastra. Tak cukup sampai situ,
pendalaman terhadap teori ini menyeret para pembelajarnya untuk mengintegrasikan
sastra dengan disiplin kelimuan lain di luar sastra. Di bangku perkuliahan diskursus
ini banyak dikenal sebagai teori sastra makro. Harapannya adalah analisis yang
dihasilkan terhadap suatu karya sastra dapat menjadi maksimal.
Suatu karya sastra dapat dipandang sebagai ilmu yang berkaitan dengan bidang
psikologi, karena di dalamnya terdapat aspek psikologi yang berhubungan dengan
tokoh, pengarang, maupun pembaca. Dalam penelitian ini, aspek psikologi yang
diteliti adalah psikologi tiga tokoh sentral pada cerpen.
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini menggunakan teori psikologi
behaviorisme Skinner, yang diaplikasikan pada cerpen karya Najib Mahfuz yang
berjudul Dzakirah al-Jiran, diterjemahkan menjadi Memori Tetangga. Karena di
dalamnya terdapat tokoh utama yang mengalami proses ‘belajar’ dan dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, yaitu syaikh al-haroh atau seorang kepala dukuh.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini
ada tiga, yaitu :
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik studi pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan seluruh data berupa penggalan kalimat dan paragraf yang sesuai
dengan kajian psikologi behaviorisme B.F Skinner pada cerpen Dzakirah al-Jiran
karya Najib Mahfuz, lantas mengklasifikasi data tersebut ke dalam aspek stimulus,
responss, dan efek.
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, di samping menunaikan tugas UTS, adalah
mendapatkan informasi lebih dalam terkait karakter tokoh-tokoh yang ada pada
cerpen Dzakirah al-Jiran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sinopsis Cerpen
Pada satu malam tepat sebelum memasuki bulan Ramadhan, terjadi perkelahian hebat
antara dua keluarga, keluarga Burghuts dan keluarga Amirah. Perkelahian kedua keluarga ini
berlangsung secara turun temurun dari zaman kakek-buyut mereka. Keributan hari ini
berbeda dari hari-hari ribut sebelumnya, karena mengorbankan dua nyawa. Masing-masing
keluarga kehilangan satu orang. Para warga pun bergegas menutup warung-warung mereka,
perempuan dan anak-anak bersembunyi di balik kehangatan peluk orang tua mereka.
Dia pun memanggil perwakilan dari masing-masing keluarga, perwakilan yang dinilai
sepuh dan mengerti akar permasalahan keributan kedua keluarga tersebut. Pada perkumpulan
itu kepala dukuh mempertanyakan asal muasal keributan di antara kedua keluarga ini. Kedua
belah pihak hanya diam dengan wajah dingin, enggan mengeluarkan secuil kata pun guna
menjawab pertanyaan kepala dukuh.
Segala macam cara telah dilakukan kepala dukuh, seperti membuatkan kopi,
menggunakan kata yang tidak menyinggung satu pihak, diam menunggu jawaban, hingga dia
pun bersumpah atas nama cucu Nabi, Husain, untuk tidak menghukum mereka dengan diyat
dan memaafkan dampak keributan mereka asalkan mereka mau kooperatif dan menyebutkan
musabab perkelahian mereka. Yang didapati hanyalah diam, mereka tetap bungkam.
Puncaknya, sang kepala dukuh pun mengancam untuk membawa permasalahan ini ke
ranah yang lebih serius, kepolisian dan pengadilan. Tetapi, melihat kelelahan dan keputus
asaan yang tercermin pada wajah kedua perwakilan tersebut kepala dukuh mengurungkan
niatnya dan memutuskan untuk membubarkan dan menunda pertemuan.
Pada periode ini, ia menanyakan kepada setiap anggota keluarga dari kedua belah
pihak. Namun, lagi-lagi, yang ditemuinya hanya kebuntuan dan ketidak tahuan mereka atas
sebab permusuhan antar keluarga ini. Merasa buntu atas ketidak tahuan kedua belah pihak, ia
pun menelusuri buku catatan kepala-kepala dukuh sebelumnya tentang riwayat keributan.
Apakah ada penyebab tertentu dari permusuhan ini. Setelah membuka-buka catatan itu, ia tak
kunjung mendapat penyebab jelas nan spesifik dari permusuhan ini. Ia menyimpulkan bahwa
penyebab kemusuhan ini sudah bias, termakan perubahan-perubahan nilai sejak bermula
hingga bergeser ke generasi-generasi setelahnya.
Ternyata keduanya benar tidak mengetahui, dan jelaslah bahwa permusuhan ini
hanyalah warisan buruk dari generasi-generasi sebelum mereka. Setelah menyingkap hal
tersebut kepada kedua perwakilan keluarga, dia pun tersenyum dan meminta kedua keluarga
untuk berdamai.
Berdasarkan asumsin tersebut, wajar saja kalau kedua belah pihak, bahkan segenap
anggota dari masing-masing keluarga tidak mengetahui sebab. Permusuhan tersebut adalah
pengaruh kuat dari fungsi keluarga yang merupakan wadah utama pembentukan watak dan
tingkah laku bagi anak.
Stimulus yang dialami tokoh kepala dukuh dalam cerpen Dzakirah al-Jiran karya
Najib Mahfuz diperoleh dari berbagai peristiwa. Stimulus tersebut berupa stimulus yang
sifatnya terkondisi dan tidak terkondisi. Peristiwa yang terjadi di lingkungannya memberikan
pengaruh terhadap perilaku kepala dukuh, sehingga ia mengalami perubahan tingkah laku
yang dapat diamati secara nyata.
Stimulus terkondisi adalah suatu rangsangan dari luar individu yang dapat dibentuk
oleh manusia sendiri dengan harapan agar individu tersebut menghasilkan perilaku tertentu
yang diharapkan. Adapun stimulus terkondisi yang diterima kepala dukuh berasal dari
lingkungan dan perwakilan dari masing-masing keluarga yang bertengkar.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Alwisol (2016:340) yang menyatakan bahwa
kepedulian utama dari teori Skinner adalah tentang teori belajar, bagaimana individu menjadi
memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, dan menjadi lebih tahu. Kehidupan terus
menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan individu harus belajar untuk
meresponss situasi tersebut. Berdasarkan data yang telah diuraikan, ketika dihadapkan
dengan situasi ekternal berupa ucapan retoris imam masjid dan tekanan kegelisahan dari
keluarga-keluarga setempat, kepala dukuh belajar meresponssnya. Bentuk responss yang ia
peroleh dari lingkungan resebut adalah ia mulai belajar untuk mendamaikan dua keluarga
yang bertengkar.
Adapun stimulus yang diberikan oleh lingkungan tersebut dapat masuk ke dalam
kategori stimulus yang tekondisi, karena stimulus tersebut sengaja dibentuk sendiri oleh
imam masjid dan desakan keluarga-keluarga setempat yang merasa ketenangan bulan
Ramadhannya akan terganggu oleh keributan yang berlangsung. Hal tersebut dibuktikan dari
data “Oleh karena ucapan retoris sang imam masjid dan tekanan para keluarga setempat,
kepala dukuh memutuskan untuk memanggil satu tetua dari kedua keluarga ke rumahnya.”
Stimulus terkondisi dari mereka adalah penolakan untuk berperilaku kooperatif pada
saat berkumpul bersama kepala dukuh. Mereka bersembunyi dalam kebisuan dan begitu keras
kepala. Ini dibuktikan dari data, “Lantas keduanya bersembunyi di balik wajah dingin
mereka. Suasana rapat pun menjadi beku dan mentok.”
Saat manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berbentuk suatu paparan
peristiwa atau perilaku manusia lain yang sifatnya tidak biasa, hal tersebut dapat menjadi
stimulus bagi diri seseorang itu sendiri. Data yang telah diuraikan menunjukkan bahwa kedua
lawan bicara memberikan stimulus kepada kepala dukuh dengan sikap dingin dan bungkam
ketika diajak berbicara. Perilaku yang bagi kepala dukuh tidak biasa tersebut memunculkan
tingkah laku tertentu pada kepala dukuh. Bersumpahnya atas nama Husain dan terlontarnya
kalimat takjub dari mulut kepala dukuh merupakan bentuk tingkah laku tertentu yang
menunjukkan bahwa sebelumnya ia belum pernah memeroleh perlakuan semacam itu.
Berdasarkan uraian tersebut, maka bentuk stimulus yang diberikan oleh kedua lawan
bicara juga dapat termasuk ke dalam stimulus yang sifatnya terkondisikan, karena dibentuk
oleh manusia sendiri dengan harapan untuk menghasilkan perilaku tertentu yang diharapkan.
Keduanya bungkam dan menolak menjawab kepala dukuh dengan harapan agar rapat segera
dibubarkan.
Kebalikan dari stimulus yang terkondisi adalah stimulus yang tidak terkondisi.Jika
dalam stimulus yang terkondisi pengaruh sengaja dibentuk sendiri oleh lingkungan, maka
berbeda dengan stimulus ini. Stimulus yang tidak terkondisikan sifatnya alami dan tanpa
adanya pengondisian dari lingkungan. Satu di antara ciri yang menonjol dalam stimulus ini
adalah suatu stimulus yang sudah dikenal dapat dipastikan mampu membangkitkan responss
tersebut walaupun pengondisian belum dimulai.
Responss ialah perilaku atau tingkah laku yang terjadi pada manusia setelah ia
mendapatkan stimulus atau objek yang terdapat di lingkungan (Iskandar, 2012:18). Perilaku
atau tingkah laku manusia yang muncul, sebagai akibat oleh adanya stimulus yang diterima.
Dengan demikian, hubungan antara stimulus dan respons adalah hubungan sebab-akibat.
Suatu respons atau tingkah laku muncul karena adanya rangsangan yang diberikan oleh
lingkungan.
Tingkah laku atau respons yang ditunjukkan oleh tokoh kepala dukuh setelah
memeroleh stimulus dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah dapat dibagi ke
dalam dua aspek, yakni respons positif dan negatif.
Respons positif adalah respons yang terjadi akibat adanya kesesuaian seseorang
melakukan respons terhadap stimulus yang ada. Adapun respons positif yang ditunjukkan
kepala dukuh dalam menanggapi stimulus yang diberikan oleh lingkungannya dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tingkah laku responsden dan tingkah laku operan.
Tingkah laku responsden yang ditunjukkan oleh kepala dukuh terjadi ketika ia
berhasil menyingkap pokok permasalahan antara kedua kubu. Mencari latar belakang
permusuhan lantas mendamaikan kedua belah pihak adalah asa kepala dukuh. Ketika asa
tersebut diperoleh oleh seseorang, seseorang akan gembira. Hal tersebut tercermin melalui
data berikut. “Ia pun tersenyum di hadapan keduanya karena ia meredakan kejadian peristiwa
ini.”
Tingkah laku responsden adalah suatu respons yang dihasilkan individu untuk
menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respons tersebut. Respons
reflek termasuk dalam kelompok ini, seperti merasa malu saat dipuji dan mengeluarkan air
liur saat melihat makanan. Melalui data yang telah diuraikan, terlihat bahwa kepala dukuh
menunjukkan suatu respons reflek terhadap stimulus yang diberikan oleh suasana yang
dibangun oleh perkumpulan antara dia dengan kedua lawan bicaranya. Respons tersebut
ditunjukkan dengan senyuman seberes ia menyelesaikan pembicaraannya tentang pokok
permasalahan.
Tanpa adanya sebuah pengondisian dari lawan bicara, kepala dukuh telah
memunculkan respons dengan sendirinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Skinner
(Supratiknya, 2001:332-333) bahwa satu di antara ciri pengondisian klasik adalah suatu
stimulus yang sudah di kenal dapat dipastikan mampu membangkitkan respons walaupun
pengondisian belum dimulai.
Bermula dari ketidakyakinan Skinner bahwa porsi utama dari tingkah laku manusia
adalah terdiri dari respons yang diperoleh melalui pengondisian klasik, Skinner selanjutnya
meyakini bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah terdiri dari tingkah laku operan.
Adapun yang dimaksud dengan tingkah laku operan itu sendiri adalah respons yang
dimunculkan individu tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya
respons tersebut.
Perilaku operan pertama ditunjukkan kepala dukuh ketika dihadapkan dengan situasi
ekternal berupa ucapan retoris imam masjid dan tekanan kegelisahan dari keluarga-keluarga
setempat. Bentuk responss yang ia peroleh dari lingkungan resebut adalah ia mulai belajar
untuk mendamaikan dua keluarga yang bertengkar. Yaitu dengan memanggil perwakilan dari
kedua keluarga Burghuts dan Amirah ke rumahnya. Respons yang muncul akibat stimulus
tersebut adalah responss positif. Oleh karena ucapan retoris imam masjid dan tekanan dari
banyak keluarga untuk mendamaikan situasi di bulan Ramadhan, kepala dukuh pun memiliki
inisiatif mengundang kedua perwakilan keluarga ke rumahnya. Hal tersebut dibuktikan dari
data “Oleh karena ucapan retoris sang imam masjid dan tekanan para keluarga setempat,
kepala dukuh memutuskan untuk memanggil satu tetua dari kedua keluarga ke rumahnya.”
Perilaku operan selanjutnya terjadi ketika kedua perwakilan keluarga dipanggil
pertama kalinya ke rumah kepala dukuh. Di mana kedua perwakilan tersebut tidak
mengeluarkan satu patah kata pun dan tetap bungkam. Atas stimulus terkondisi ini, kepala
dukuh meresponss dengan membubarkan rapat dan hendak mengatur ulang jadwal
pertemuan. Responss yang muncul dari stimulus ini termasuk responss positif karena sesuai
dengan harapan atau cita-cita stimulus, yang mana dalam konteks ini adalah pembubaran
rapat. Dan karena muncul dari suatu proses pembelajaran yang dilakukan secara operan,
tingkah laku ini disebut juga tingkah laku operan. Responss ini tercermin pada data sebagai
berikut. “Ketika sang kepala dukuh membaca kemuakkan pada kedua wajah lawan bicaranya,
ia pun membubarkan kumpulan lantas bergumam untuk melakukan pertemuan kembali
kelak.”
Respons negatif adalah kebalikan dari respons positif. Respons ini terjadi akibat
stimulus yang diberikan tidak menghasilkan respons yang diharapkan. Sejalan dengan
pengertian tersebut, J.F. Herbart (Sujanto, 2009:4) menyatakan bahwa manusia dilahirkan
dengan keadaan kosong dan akan berisi jika alat indera manusia tersebut telah mampu
menangkap sesuatu yang masuk ke dalam kesadaran. Dalam hal ini, hasil tangkapan tadi akan
meninggalkan suatu bekas sehingga memunculkan tanggapan atau responss.
Tanggapan tersebut bisa bersifat saling tarik menarik atau justru tolak menolak. Yang
bersifat tarik menarik adalah respons yang sejenis, sedangkan yang tolak-menolak adalah
yang tidak sejenis, sehingga kelak akan timbul suatu penguatan atau peruntuhan. Respons
yang sejenis dapat dikategorikan ke dalam respons positif, karena berkesimbangungan
dengan stimulus yang diberikan, sedangkan yang tidak sejenis dapat dikategorikan ke dalam
respons negatif, karena tidak terjadi kesesuaian dengan stimulus yang diberikan oleh
lingkungan.
Hal ini berarti bahwa terjadi ketidaksesuaian antara respons dengan stimulus yang
diberikan agen eksternal, yang memberikan stimulus kepada kepala dukuh, sehingga
menghasilkan responss negatif yang berasal dari lawan bicararanya. Ini terjadi ketika kedua
lawan bicara bersembunyi di balik kebisuan dan sikap dinginnya. Responss yang diberikan
kepala dukuh adalah tetap melanjutkan rapat, bahkan memberikan tawaran baru agar mereka
mau berbicara. Tingkah laku operan ini tergolong negatif, karena tidak sejalan dengan
harapan yang dicitakan stimulus. Hal ini tercermin pada data sebagai berikut.
“ Lantas keduanya bersembunyi di balik wajah dingin mereka. Suasana rapat pun
menjadi beku dan mentok. Kepala dukuh berkata, “Silahkan utarakan penyebab-
penyebeb permusuhan, meskipun ada diyyat yang harus dibayar, dan kesalahan yang
harus ditebus, Tidak ada penyakit yang tak memiliki obat, pun keburukan harus
dihentikan.””
Bentuk respons kepala dukuh tersebut termasuk ke dalam tingkah laku operan.
Meskipun respons yang dihasilkan negatif, namun pada dasarnya respons tersebut diperoleh
dari pengondisian yang diberikan oleh kedua lawan bicaranya. Bentuk pengondisian tersebut
berupa sikap mereka yang dingin dan tidak kooperatif agar kepala dukuh membubarkan
perkumpulan.
Setiap perilaku yang dilakukan oleh individu memiliki efek bagi dunia sekitarnya.
Efek dari suatu perilaku bisa jadi masuk kembali ke dalam individu, sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa perilaku yang dihasilkan tersebut akan terulang kembali di masa
mendatang. Oleh karena itu, efek dalam hal ini dapat disebut dengan istilah akibat atau
konsekuensi yang mengikuti respons.
Efek ada dua jenis, penguatan dan pemadaman. Adapun yang dimaksud dengan efek
penguatan adalah peristiwa atau sesuatu yang membuat tingkah laku yang dikehendaki
berpeluang untuk diulangi lagi atau justru sebaliknya. Penguatan memegang peranan ketiga
sebagai kompleksitas dari intervensi behaviorisme, karena terjadi setelah individu
menunjukkan respons terhadap stimulus yang diberikan. Dengan kata lain, penguat
berhubungan dengan respons, bukan dengan stimulus. Hal ini dikarenakan penguat terjadi
setelah adanya respons. Respons yang dimaksudkan adalah respons yang dilakukan, bukan
respons yang ditimbulkan.
Efek yang terlihat pada tokoh kepala dukuh dalam cerpen ini adalah efek pemadaman.
Pemadaman adalah kecenderungan respons yang sudah diperoleh sebelumnya untuk menjadi
progresif dan melemahkan respons sesudahnya yang sudah tidak lagi mendapat penguatan.
Dengan kata lain, pemadaman ini terjadi apabila adanya pencabutan penguat dari situasi
pengondisian operan.
Pemadaman operan yang dialami oleh kepala dukuh tercermin dalam data berikut.
Data tersebut menunjukkan bahwa kepala dukuh mengalami pemadaman operan dari
stimulus yang diberikan oleh imam masjid. Pemadaman operan tersebut berupa
penelusurannya ke alternative lain yaitu buku catatan kriminal yang dimiliki generasi-
generasi kepala dukuh sebelumnya. Pemadaman ini terjadi karena setiap anggota keluarga
dari anggota Burghuts dan Amirah, sebagai objek yang memberikan penguatan kepada
tingkah laku operan kepala dukuh tidak banyak membantu usahanya mendamaikan. Sehingga
penguatan itu tidak lagi diberikan.
Meskipun telah dipelajari, suatu respons akan masih bisa mengalami pemadaman
karena beberapa alasan. Pertama, respons bisa dilupakan setelah beberapa waktu. Kedua,
respons akan hilang jika ada campur tangan dari proses pembelajaran lain sebelum atau
sesudahnya. Ketiga, respons dapat hilang akibat penghukuman. Hal ini berarti bahwa respons
masih bisa dipelajari meskipun sudah dipelajari sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian terhadap cerpen Dzakirah al-Jiran karya Najib Mahfuz dengan
menggunakan teori psikologi behaviorisme B. F. Skinner pada bab sebelumnya, terdapat tiga
hal yang dapat disimpulkan.
Pertama, tokoh kepala dukuh yang merupakan tokoh utama dalam cerpen tersebut
mengalami suatu proses belajar yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Baik itu imam
masjid, keluarga-keluarga setempat, dan kedua keluarga Burghuts dan Amirah. Stimulus
yang ditemukan dalam cerpen ini berupa stimulus yang terkondisi.
Ketiga, efek yang diperoleh kepala dukuh berupa efek pemadaman. Kepala dukuh
menunjukkan efek pemadaman operan ketika ia menunjukkan respons baru dari stimulus
baru yang mempengaruhinya. Stimulus tersebut berasal dari lingkungan sekitarnya, yaitu
kedua anggota keluarga Burghuts dan Amirah.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2016. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.