Oleh :
SYAMSUL ARIFIN
NPM: 056401080230
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, penulisan yang berjudul “ANALISIS SETTING DAN
FENOMENA SOSIAL DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK”
KARYA AHMAD TOHARI SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS” dapat
terselesaikan. Dengan harapan bahwa hasil penulisan penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pikiran bagi pemahaman karya sastra dan pengajarannya.
Dalam penulisan ini, penulis banyak mendapat bantuan serta
dorongan semangat dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan rendah hati
penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Kanjuruhan Malang yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas demi terselesainya penelitian ini.
2. Dekan Universitas Kanjuruhan Malang yang banyak memberikan
kemudahan dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
3. Kepala Perpustakaan Universitas Kanjuruhan Malang yang telah
memberikan sumber-sumber buku untuk penunjang penyelesaian
penelitian ini.
4. Teman-teman yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan pada
penulis hingga terselesainya penelitian ini.
Dan pihak-pihak lain yang tak mungkin penulis sebutkan satu
persatu disini, semoga apa yang mereka berikan memperoleh pahala dan karunia
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk menyertai ucapan diatas, maka segala tegur sapa tentang
saran dan kritik kami harapkan sebagai penyempurnaan isi dan penulisan
penelitian ini.
Peniliti
ABSTRAKSI
Arifin. Syamsul. 2012. Analisis Setting dan fenomena Sosial Dalam Novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari Suatu tinjauan
Sosioligis
Peniliti
DAFTAR ISI
BAB IV PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Ahmad Tohari Dan Hasil Karyanya ……….. 33
B. Sinopsis Novel “Ronggeng Dukuh paruk” Karya Ahmad Tohari .. 34
C. Analisis Setting Novel Ronggeng Dukuh paruk” Karya
Ahmad Tohari ……………………………………………………. 36
D. Analisa Fenomena Sosial Novel Ronggeng Dukuh paruk”
Karya Ahmad Tohari …………………………………………….. 46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 53
B. Saran …………………………………………………………….. 54
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
………….
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu
merasakan hambarnya Dukuh Paruk karenatidak terlahirnya seorang
ronggeng disana. “Dukuh Paruk tanpa Ronggeng, bukanlah Dukuh Paruk.
Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pendukuhan
ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki
Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di
Dukuh paruk.
………….
Sastra merupakan salah satu hasil kreativitas manusia yang berasal dari
perenungan dan pertikaian batin seseorang pengarang. Sebagai suatu hasil
perenungan dan pertikaian batin seseorang pengarang. Sebagai suatu hasil
perenungan, pengarang tidak terlepas dari masalah sosial, yang diangkat dari
suatu realitas kehidupan. Dalam hal ini pengarang mampu merefleksikan
situasi sosial kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk perasaan
kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral, dengan sentuhan
kesucian, keluasan pandang dalam bentuk yang indah dan mempesona.
Disamping itu sastra juga merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, perasaan, semangat, pemikiran, ide dan keyakinan yang disusun
dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan suatu pesona
tersendiri bagi masyarakat pembaca karyanya.
Sastra tidak saja lahir karena fenomena kehidupan nyata tetapi juga
dari kesadaran penulis sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif harus
mampu mewakili misi-misi yang dapat dipetanggungjawabkan. Sastrawan
ketika menciptakan karyanya bukan hanya didorong oleh hasrat untuk
menciptakan keindahan, melainkan unuk menyampaikan gagasan, pikiran
dan kesan terhadap sesuatu. Borris Peternak menyatakan bahwa satrawan
harus berdiri dalam nilai-nilai yang terangkum dalam kehidupan semesta.
(Suyitno, 1986 : 3)
Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena yang saling
melengkapi dalam kehadiran mereka sebagai sesuatu yang eksistensial.
Sebagai bentuk seni kelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang ibuat
dengan kesungguhan tentu mengandung keterkaitan yang kuat dengan
kehidupan, kehidupan pengarang, sebagai pelahir cipta seni. Sastra sebagai
produk-produk kehidupan mengambil nilai-nilai sosial dan religious yang
bertolak pada pengungkapan kembali maupun penyodoran konsep baru.
Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini sangat menarik, yang ditulis oleh
Ahmad Tohari kehidupan di Jawa. Masalahnya sekarang seberapa jauh
transformasi nilai-nilai budaya Jawa yang telah dilakukannya. Dan seberapa
besar novel tersebut member peluang kepada pembaca untuk menafsirkannya
atas dasar lingkungan kesusastraannya, sejarahnya dan latar belakang sosial
budaya yang tepat dan sesuai.
Karya sastra berbeda dengan bacaan yang lain, karena karya sastra
dikemas dalam bahasa yang menarik. Juga karya sangat menarik karena gaya
penceritaannya yang luar biasa, ataupun karena menampilkan suatu informasi
yang kaya. Sering pula sebuah novel menarik karena kesegaran informasinya
yang kaya. Sering pula sebuah novel menarik karena kesegarannya
settingnya, kesegeran dunia yang diciptakan oleh pengarang, sebuah dunia
baruyang memberi warna khas bagi pembaca. Agaknya novel “Ronggeng
Dukuh Paruk” termasuk tokoh-tokoh orang-orang desa yang sederhana dalam
dunianya tersendiri secara sangat menarik.
B. Identifikasi Masalah
1) Masalah Kehidupan
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
F. Kegunaan Penelitian
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Novel
Novel adalah salah satu dari sekian bentuk karya sastra, yang dalam
penciptaannya mempunyai hakekat yang sama sebagai karya sastra
imajinatif. Pengertian novel hampir sama dengan roman, bahkan sering
digunakan dalam pengertian yang sama.
B. Macam-macam Novel
1) Novel Percintaan, yaitu novel yang melibatkan peranan tokoh pria dan
wanita dan secara seimbang, bahkan kadang-kadang peranan tokoh
wanita lebih dominan.
3) Novel fantasi, yaitu novel yang bercerita tentang segala hal yang tidak
realistis dan sebab tidak mungkin dapat dilihat dari pengalaman sehari-
hari. Novel fantasi menggunakan karakter yang tidak realistis. Sdan
plot juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisannya.
Novel jenis ini hanya mementingkan ide, konsep dan gagasan
sastrawan yang hanya dapat jelas jika diutarakan dalam bentuk cerita
fantastic, artinya menyimpang dari hukum empiris, hukum
pengalaman sehari-hari
Sedangkan bila dilihat dari isinya novel dibedakan menjadi beberapa
jenis. Menurut H.J. Waluyo (1987:144), jenis novel ditinjau dari segi isinya
dapat dibedakan menjadi enam, yaitu : (1) petualangan atau avonturis, (2)
novel psikologis, (3) novel sosial, (4) novel politik, (5) novel bertendens, (6)
novel sejarah.
C. Unsur-unsur Pembagunan
Karya sastra sebagai sebuah bacaan tidak cukup dipahami lewat analisis
kebahasaannya, lewat text grammar, atau text linguistic, tetapi juga melalui
studi khusus yang berhubungan dengan literary text, karena teks sastra
bagimanapun memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan
lainnya.
1. Unsur Intrinsik
Ditinjau dari segi intrinsik, karya sastra adalah sebuah struktur yang
otonom sebagai satu kesatuan yang utuh yang didalamnya terdapat unsur-
unsur pembangunan yang saling bekaitan menurut A. Teeuw (1983:135),
bahwa analisis struktur bertujuan untuk menganalisis dan memaparkan secara
cermat dan mendalam semua aspek karya sastra yang secara bersamaan
menghasilkan makna yang menyeluruh.
a. Tema
1) Eksposisi
3) Klimaks
F. Gaya Bahasa
Istilah gaya diangkat dari istilah style, yang berasal dari Latin
“stilus” dan mengandung arti leksikal “alat unuk menulis”. Dalam karya
sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarng
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah
dan harmonis serta menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminudin, 1987:72).
Dalam menalaah karya sastra, kita tidak bisa lepas dari kenyataan-
kenyataan mengenai data-data di luar karya sastra, sejarah ada kaitannya
dengan karya sastra itu. Jadi aspek ekstrinsiknya struktur karya sastra melihat
hubungan isi karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Unsur-unsur di luar karya sastra itu meliputi hubungan karya sastra dengan
sejarah, hubungan karya sastra dengan sosiologis, hubungan karya sastra
dengan psikologi dan hubungan karya sastra dengan religi.
Agama tanpa karya sastra tidak akan mempunyai mutu dan tidak sesuai
dengan kodrat sastra. Demikian juga sebaliknya, agama tanpa adanya
sastra kereligiusan oleh pembaca sulit diketahui.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan
B. Metode Penelitian
E. Prosedur Penelitian
1) Tahap persiapan
2) Tahap pelaksanaan
3) Tahap penyelesaian
1) Tahap persiapan
2) Tahap pelaksanaan
3) Tahap penyelesaian
PEMBAHASAN
Seperti apa yang disampaikan diatas bahwa latar atau setting dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu latar fisikal dan latar psikologis. Latar
fisikal ialah latar yang berhubungan dengan tempat, waktu, peristiwa atau
benda-benda dalam lingkungan tertentu yang menggambarkan makan
tertentu, yang hanya terbatas pada sesuatu yang berbentuk atau bersifat fisik
dan diungkapkan secara tersurat. Sedangkan latar psikologis yaitu yang
mampu menuansakan atau menggambarkan suatu makna tertentu serta
menyulut emosi pembaca.
1. Latar Fisikal
Lebih lanjut dalam pelukisan setting atau latar yang berupa tempat,
pengarangan seolah-olah sudah sangat memahami tentang kondisi
obyektif dukuh tersebut, sehingga dalam pelukisan settingnya sangat
beragam.
………………………
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi
Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. (Hal 5)
………………………
Di tepi kampong, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah
mencabut sebatang singkong. (Hal :7)
………………………
Di bawah pohon nangka itu mereka melihat sedang asyik, bermain
seorang diri. (Hal:9)
………………………
Hari mulai terang. Di halaman rumah Santayib seekor kodok melompat
satu dua mencari tempatnya yang gelap di kolong balai-balai. (Hal:28)
Tiga hari sebelum Sabtu malam. Sebuah lampu minyak yang terang
telah dinyatakan di rumah Kartareja. Pintu sebuah kamar sengaja dibiarkan
terbuka. Dengan demikian sebuah tempat tidur berkelambu yang masih baru
bisa dilihat orang dari luar. (Hal:79)
………………………
Ada sebuah gardu ronda di perempatan jalan kecil Dukuh Paruk, Dower
mendengar gumam beberapa pemuda dari dalam gardu itu. (Hal:88)
………………………
Tak mengetahui atau membuntutinya, Srintil terus berjalan.
Langkahnya berkelok menghindari tonggak-tonggak nisan atau pohon
kamboja yang tumbuh rapat. Setelah berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus
menuju cungkup makan Ki Secamenggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh
sesaji di depan makam. (Hal:100)
………………………
Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk terletak di sebelah
kota kecamatan. Akan terbukti nanti, Pasar Dawuan merupakan tempat
melarikan diri
38
Dari beberapa kutipan diatas dapat kita lihat adanya pelukisan setting
atau latar fisikal yang berbentuk nyata, dalam hal ini tempat yang beragam.
Keragaman pelukisan settingnya tampak pada banyaknya tempat terjadinya
peristiwa, ada yang di sawah, rumah, halaman rumah, tepi kampung, hutan,
gardu ronda, makam, dan masih banyak lagi.
Selain keragaman setting atau latar yang beerupa tempat, dalam novel
ini masih diramaikan atau dikuatkan dengan banyak tampilanya jenis
binatang dan tumbuhan yang semakin membuat nuansa desa yang
digambarkan semakin tampak alami. Lebih jelas tersebut dapat kita lihat pada
kutipan dibawah ini :
………………………
Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar tinggi di
langit. Telah lama mereka merindukan hamparan lumpur tempat mereka
mencari mangsa : katak, ikan, udang, atau serangga air lainnya.
………………………
Yang menjadi bercak-bercak hujan di sana-sini adalah kerokot, sajian
alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Di bagian lain, seekor burung
pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. (Hal:5)
………………………
Hilangnya cahaya matahari telah dinantikan oleh kelelawar dan kalong,
satu-satu mereka keluar dari sarang, dilubang-lubang kayu, ketiak daun
kelapa atau kuncup daun pisang yang masih menggulung. (Hal:14)
………………………
Bunyi keletak-keletak terdengar bila butir hujan menimpa daun pisang
atau daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap tenang pada sebuah dahan
yang rendah. Matanya yang awas menatap ke permukaan air kubangan. Bila
melihat katak, burung malam itu menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi
dengan korban di mulutnya. (Hal:26-27)
………………………
Dan burung hantu yang mndadak berbunyi bersahutan. Dari rimbun
beringin di atas makam Ki Secamenggala itu burung-bururng hantu
meneriakkan bunyi berwibawa. Juga embik kambing yang mulai lapar. Hujan
yang tinggal rinai gerimis menciptakan bianglala di timur. Hanya suara
kodok yang sejak sore hari tetap ramai. Kokok ayam dan cicit tikus busuk
yang mencari sarangnya di balik batu besar. (Hal:28)
………………………
Seekor burung sikatan mencecet menyambar makanannya, lalat hijau.
………………………
Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus. Serangga kotor
ini mempunyai cara yang aneh bila hendak membawa tinja ke liangnya. Ia
berjalan mundur sambil menarik bulatan kotoran manusia sebesar buah jarak
dengan kaki-kaki belakangya. (Hal:29)
………………………
Pohon-pohon puring di pekuburan melayu, tetapi pohon kamboja malah
berbunga. Meskipun belum waktunya, anjing-anjing jantan berebut betina
dalam kegaduhan yang mengerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam
tiba sampai terbit fajar. (Hal:45)
………………………
Siapa yang menebang pisang akan menyediakan sesisir yang terbaik buat
Srintil.
………………………
Teman-teman sebaya, Warta dan Darsun, rela menempuh sarang semut
burangrang diatas pohon asalkan mereka dapat mencuri mangga atau bambu.
(Hal:51)
………………………
Seekor tupai meluncur turun dari atas pohon.
………………………
Dalam kerimbunan tumbuhan benalu, sepasang burung madu
berkejaran. Janta yang berwarna merah saga mengejar betinanya.
………………………
Selesailah hidupnya karena seekor ular hijau langsung menangkap
memasangnya istana burung.
………………………
Pohon beringin besar yang menjadi mahkota perkuburan Dukuh Paruk
menjadi istana burung
………………………
Hanya burung kucica yang kecil berani mengusik raja burung malam
itu. Burung-burung seling yang hitam pekat dan burung katik yang hijau,
hinggap dalam kelompok-kelompok. (Hal:65-66)
………………………
Burung Bluwak, kuntu dan trintit muncul kembali.
………………………
Sebentar rumpun-rumpun bamboo di Dukuh Paruk akan ramai oleh
berbagi burung air.
………………………
Lumut akan tumbuh pada dinding bambu atau tiang kayu yang basah.
Jamur akan tumbuh pada kayu mati atau dalam kapuk. Cacing menjalar di
emper-emper. Orang-orang membuat galur-galur di bawah tanah, menerobos
bawah dinding dan berakhir bawah balai. (Hal:86)
………………………
Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket.
Salah seekor induk burung itu segera menukik melihat capung atau belalang
terbang, kemudian hinggap lagi di tempat semula. (Hal:96)
………………………
Celeng sama sekali tak terlihat barang seekor. Kijang menerjang terlihat
tapi sersan Slamet yang menjadi algojo gagal menembak sasarannya. Satu
lagi untuk menembak seekor ular sanca sebesar paha yang bergelung diatas
pohon. (Hal:153)
Dari kutipan diatas dapat kita lihat betapa kayanya Ahmad Tohari
tentang pemahaman dunia dauna dan flora, baik yang ada sekeliling kita
maupun yang ada di hutan-hutan. Dan penggambaran setting kita oleh
pembaca secara baik tidak langsung dapat lebih memahami tentang dunia flora
dan fauna.
………………………
Demikian, sore Srintil menari dengan mata setengah tertutup. (Hal:12)
………………………
Tidak, tidak. Awal malam yang ceria itu tidak berhias lengking anak-
anak Dukuh Paruk. Kemarau terlamapu panjang tahun ini. Dua bulan terakhir
tiada lagi padi tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk. (Hal:15)
………………………
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir
sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun Ronggeng di Dukuh Paruk.
Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Diapun sudah bertahun-tahun
menunggu kedatang seorang calon ronggeng untuk desanya Belasan tahun
sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. (Hal:17)
………………………
Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja selalu mengintip Srintil
menari dibawah pohon nangka. (Hal:18)
………………………
Seandainya ada seseorang Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia
dapat mengira-ira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, yahun 1946.
(Hal:26)
………………………
Matahari naik. Panasnya mulai menyengat. Panas yang telah mengubah
warna rambut orang dan anak Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit kehitaman
bersisik. Dukuh Paruk yang tadi malam basah kuyub kini terjerang. Panas
dan lembab. (Hal:31)
………………………
Seiap hari bila matahari sudah naik, suami istri Sakarya pergi ke lading
mereka. Pada saat seperti itu Srintil seorang diri di rumah. (Hal:58)
………………………
Sudah dua bulan Srintil menjadi Ronggeng. Pagi itu Dukuh PAruk
berhias bunga mawar ungu yang semarak menghias hampir semua sudut
pedukuhan sempit itu. (Hal:64)
………………………
Jauh-jauh Kartareja sesudah menentukan malam hari Srintil harus
kehilangan keperawanannya. Sementara waktu suara calung lenyap dari
Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat membuat persiapan pelaksanaan malam
bukak klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk
menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersirat kabar tentang
malam bukak klambu bagi ronggeng Srintil. (Hal:78)
………………………
Hari Sabtu tiba. Hari yang sangat mengesankan karena batinku ternista
luar biasa. (Hal:95)
………………………
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman.
………………………
Ternyata hingga dua tahun berikutnya kau belum juga datang melihat
Dukuh Paruk. (Hal:145)
………………………
Sebelum sejak kedatangan pasukan tentara tak terdengar peristiwa
perampokan di wilayah Dawuan. Meskipun tentara siaga dan berpatoli di
malam hari, tetap setidaknya aku merasakan suasana yang tenang diantara
mereka. (Hal:150)
………………………
Ya Tuhan! Detik berikutnya aku mendengar Sersan Slamet dan kedua
temannya terbangun. Sedetik lagi aku mendengar hadirkan yang amat keras
disusul sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. Bedil di tangan
direnggunya dengan begitu kasar. (Hal:157)
Dari beberapa kutipan di atas dapat kita lihat betapa jelinya, Ahmad
Tohari mengalokasikan waktu sebagai setting. Hal tersebut menggambarkan
bahwa peristiwa yang ada dalam novel tersebut hampir terjadi di setiap saat
secara berkesinambungan.
2. Latar Psikologis
Di atas telah disebutkan bahwa setting latar atau latar yang mampu
menyulut emosi pembaca adalah yang disebut dengan setting atau latar yang
bersifat psikologis. Latar atau setting ini disebut juga latar sosial yang dalam
pengungkapan secara tersirat. Biasanya digambarkan atau dilukiskan melalui
suatu peristiwa atau keadaan, sehingga membuat pembaca untuk bernuansa
dengan daya imajinasinya sendiri.
………………………
………………………
Sebuah sisi hatiku yang mampu menangkap bentuk-bentuk keindahan
tertutup oleh rasa gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil bukan lagi
Srintil. (Hal:106-107)
………………………
Semua orang Dukuh Paruk Ki Secamenggala moyang mereka, dahulu
menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki
Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk
menjadi kiblat kehidupan mereka. (Hal:7)
………………………
Disamping pendukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng
sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari seorang perawan tak bisa
menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah
semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. (Hal:12)
………………………
Segumpal cahaya kemerahan dari langit menuju Dukuh Paruk. Sampai
diatas pedukuhan cahaya itu pecah menyebar segala arah.
………………………
Cahaya alami yang dipercaya sebagai pembawa petaka datang tanpa
seorangpun melawannya dengan tolak bala. (Hal:27)
………………………
Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu terlihat berbagai pertanda.
Pancuran di Dukuh Paruk mengeluarkan air berbau busuk. Pohonpohon
puring di pekuburan melayu, tetapi kamboja malah berbunga. (Hal:45)
………………………
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat yang harus
dipenuhi Srintil bernama bukak klambu.
………………………
Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki
manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng.
(Hal:77)
………………………
Konon menurut dongeng tersebur pernah ada sepasang manusia mati
dipekuburan dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk setelah
berjinah diatas makam Ki Secamenggala. (Hal:105)
Dari sini kita dapat melihat bahwa Ahmad Tohari sangat luas
pengetahuannya terhadap fenomena sosial budaya suatu masyarakat yang
masih terbelakang. Selain itu Ahmad Tohari juga berusaha mengungkapkan
tata kehidupan seorang ronggeng. Seperti dalam kutipan dibawah ini :
………………………
………………………
Aku tak mengerti, Rasus yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun
yang menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. (Hal:84)
………………………
“Tetapi kau pasti belum tahu siapa yang member Srintil sebuah
kalung”, ujar perempuan lainnya. “Dari Lurah Pecikalan yang sedang
menggendaknya?”
………………………
Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur kea rah Srintil, aku
melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan laki-laki itu. (Hal:132)
………………………
“Karena engkau telah sah menjadi ronggeng. Selamanya aku tak ingin
bertemu lagi denganmu kecuali aku mempunyai uang.” (Hal:143)
………………………
Dari kutipan diketahui tata cara kehidupan seorang ronggeng. Dalam perilaku
seknya seorang ronggeng adalah milik orang banyak, orang yang berduit
banyak berhak meniduri ronggeng. Dalam hal ini dia bisa menjadi kayak
arena predikatnya sebagai seorang ronggeng. Disini juga terlihat Ahmad
Tohari begitu mendetail dalam menggambarkan perilaku seksual ronggeng
ini, yang sudah tidak mengindahkan norma-norma kesopanan didepan umum,
sehingga orang bisa dengan bebas memperlakukan pelecehan seksual
terhadapnya, namun sebagai ronggeng, Srintil tetaplah seorang yang
mempunyai naluri kewanitaan, yang menginginkan suatu perkawinan dan
juga bayi yang ingin didapatnya dari Rasus.
………………………
Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu
kebanggaan para ronggeng : Senggot timbane rante, tiwas ngengot ning ora
suwe. (Hal:9-10)
………………………
Dukuh Paruk hanya lengkap bila disana ada keramat Ki Secamenggala,
ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, ada ronggeng bersama perangkat
calungnya. (Hal:16)
……………………
“Santayib. Engkau anjing ! Asu bunting. Lihat bokor ini biru karena
beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau ……..
engkau aaassuu ….” (Hal:34)
Dasar kalian semua, asu buntung !
………………………
Kalian memang asu buntung yang sepantasnya mampus ! (Hal:3&)
………………………
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-
laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“Jangan besar cakap” kata yang lain. Pilihan seorang ronggeng akan
jatuh kali pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam
hal ini suamiku tau bakal dikalahkan. (Hal:55)
………………………
Sedikitpun aku tak merasa berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang
usiaku mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi
dosa. (Hal:135)
………………………
Lain benar keadaannya dengan Dukuh PAruk. Disana seorang suami
misalnya tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya
sedang tidur dengan laki-laki tetangganya. Suami tersebut telah punya cara
bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri tetangga itu dan menidurinya,
habis segala urusan. (Hal:136)
Disana, di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan
mandul. Obat itu bernama lingga, kependekan dari dua kata yang berarti
penis tetangga. (Hal:137)
………………………
Dari sini kita bisa memahami bahwa masyarakat Dukuh Paruk juga
belum mendalam pengetahuannya tentang norma-norma, baik norma agama
ataupun norma kesantunan. Seorang bocah digambarkan sudah terbiasa
menyanyikan lagu cabul, terbiasa mengumpat, berlaku kasar, karena orang
tua mereka tidak berusaha untuk memberi peringatan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
b. setting atau latar yang berbentuk tempat diantaranya, yaitu saat atau
kondisi (pagi, siang, sore, malam), detik, menit, jam, hari, bulan dan
tahun.
b. Kesedihan dan kegundahan hati Rasus ketika dengan berat hati dia
harus rela menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika
kekasihnya hampir kehilangan keperawanan dengan cara yang
menyedihkan.
3. Analisis Fenomena Sosial yang muncul dalam novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” Karya Ahmad Tohari meliputi :
B. Saran
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, bandung CV. Sinar Baru, 1987
Darmono, Sapardi Djoko, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979
Harjana, Andre, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Jaya, 1981
Sujiman, panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Jaya, 1984
Sujiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Jaya,
1988
Sumarjo, Jakob dan K.M Saini, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Jaya, 1984
Suyitno, Sastra Tata Niali dan Eksgesis, Yogyakarta : PT. hanidia, 1986