Anda di halaman 1dari 56

ANALISIS SETTING DAN FENOMENA SOSIAL DALAM NOVEL

“RONGGENG DUKUH PARUK”

KARYA AHMAD TOHARI SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS

Oleh :

SYAMSUL ARIFIN

NPM: 056401080230

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, penulisan yang berjudul “ANALISIS SETTING DAN
FENOMENA SOSIAL DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK”
KARYA AHMAD TOHARI SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS” dapat
terselesaikan. Dengan harapan bahwa hasil penulisan penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pikiran bagi pemahaman karya sastra dan pengajarannya.
Dalam penulisan ini, penulis banyak mendapat bantuan serta
dorongan semangat dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan rendah hati
penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Kanjuruhan Malang yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas demi terselesainya penelitian ini.
2. Dekan Universitas Kanjuruhan Malang yang banyak memberikan
kemudahan dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
3. Kepala Perpustakaan Universitas Kanjuruhan Malang yang telah
memberikan sumber-sumber buku untuk penunjang penyelesaian
penelitian ini.
4. Teman-teman yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan pada
penulis hingga terselesainya penelitian ini.
Dan pihak-pihak lain yang tak mungkin penulis sebutkan satu
persatu disini, semoga apa yang mereka berikan memperoleh pahala dan karunia
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk menyertai ucapan diatas, maka segala tegur sapa tentang
saran dan kritik kami harapkan sebagai penyempurnaan isi dan penulisan
penelitian ini.

Peniliti
ABSTRAKSI

Arifin. Syamsul. 2012. Analisis Setting dan fenomena Sosial Dalam Novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari Suatu tinjauan
Sosioligis

Kata Kunci : Analisis Setting dan Fenomena Sosial

Peneliti berpendapat bahwa swasta tidak saja lahir karena


fenomena kehidupan nyata tetapi juga dari kesadaran penulis. Berdasarkan
hal diatas, penelitian ini dilakukan dengan latar belakang. Karya sastra
merupakan suatu cermin dari realitas sosial. Karya sastra tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan pengarang sebagaibagian dari masyarakat.
Dalam memahami karya sastra harus selalu utuh, baik melalui unsur-unsur
intrinsiknya maupun melalui pribadi pengarang. Pemahaman masalah
pendidikan masalah pendidikan dan sosial dapat dilakukan dengan cara
mengkaji karya sastra.Setting fisikal, meliputi : Setting yang berbentuk
tempat, yaitu sawah, rumah, halaman rumah, gardu ronda, hutan, warung,
pasar, makam. Setting yang berbentukwaktu, yaitu saat atau kondisi (pagi,
siang, sore, malam), detik, menit jam, hari, buan dan tahun. Setting yang
berbentuk benda, yaitu banyaknya jenis tumbuh-tumbuhan, ungga, reptile,
serangga, binatang buas.Suasana sedih yang dialami warga Dukuh Paruk
ketika sebagian warganya meninggal karena keracunan tempe bongkrek.
Kesedihan dan kegundahan hati Rasus ketika menyaksikan sendiri
kekasihnya harus kehilangan kegadisannya dengan cara yang tidak
baik.Fenomena sosial yang tercermi. Kehidupan masyarakat yang sulit
melepaskan diri dari cengkraman alam piker mitos yang telah mendasar
dan menjadi tradisi turun menurun. Kehidupan seorang ronggeng dengan
segala perilakunya. Kebobrokan moral dan kejahatan sosial yang dialami
sekelompok etnis tertentu dan di daerah tertentu.

Peniliti
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i


ABSTRAKSI ……………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………... 5
C. Pembatasan Masalah ………………………………………... 5
D. Rumusan Masalah …………………………………………... 6
E. Tujuan Masalah ……………………………………………… 6
F. Kegunaan Penelitian …………………………………………. 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Novel ……………………………………………... 8
B. Macam-macam Novel………………………………………… 10
C. Unsur-unsur Pembangunan Novel …………………………… 12
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan ………………………………………………….. 28
B. Metode Penelitian …………………………………………… 29
C. Tehnik Pengumpulan Data ………………………………….. 30
D. Tehnik Analisis Data ………………………………………… 30
E. Prosedur Penelitian …………………………………………… 31

BAB IV PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Ahmad Tohari Dan Hasil Karyanya ……….. 33
B. Sinopsis Novel “Ronggeng Dukuh paruk” Karya Ahmad Tohari .. 34
C. Analisis Setting Novel Ronggeng Dukuh paruk” Karya
Ahmad Tohari ……………………………………………………. 36
D. Analisa Fenomena Sosial Novel Ronggeng Dukuh paruk”
Karya Ahmad Tohari …………………………………………….. 46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 53
B. Saran …………………………………………………………….. 54

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

………….
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu
merasakan hambarnya Dukuh Paruk karenatidak terlahirnya seorang
ronggeng disana. “Dukuh Paruk tanpa Ronggeng, bukanlah Dukuh Paruk.
Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pendukuhan
ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki
Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di
Dukuh paruk.
………….

Sastra merupakan salah satu hasil kreativitas manusia yang berasal dari
perenungan dan pertikaian batin seseorang pengarang. Sebagai suatu hasil
perenungan dan pertikaian batin seseorang pengarang. Sebagai suatu hasil
perenungan, pengarang tidak terlepas dari masalah sosial, yang diangkat dari
suatu realitas kehidupan. Dalam hal ini pengarang mampu merefleksikan
situasi sosial kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk perasaan
kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral, dengan sentuhan
kesucian, keluasan pandang dalam bentuk yang indah dan mempesona.
Disamping itu sastra juga merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, perasaan, semangat, pemikiran, ide dan keyakinan yang disusun
dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan suatu pesona
tersendiri bagi masyarakat pembaca karyanya.

Dengan imajinasinya, pengarang menceritakan realitas yang bukan


harafiah. Misalnya nilai-nilai pendidikan agama, nilai moral, dalam
penampilan karya sastra tidak sama seperti apa yang diungkapkan dalam
buku agama. Dalam arti
bahwa setiap karya sastra mempunyai dunia sendiri yang tidak sama dengan
disiplin ilmu yang lain, karena sesuai dengan kehidupan karya sastra
meupakan rekaan pemikiran satrawan dan cara pemahamannya lewat
perenungan mendalam.

Sastra tidak saja lahir karena fenomena kehidupan nyata tetapi juga
dari kesadaran penulis sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif harus
mampu mewakili misi-misi yang dapat dipetanggungjawabkan. Sastrawan
ketika menciptakan karyanya bukan hanya didorong oleh hasrat untuk
menciptakan keindahan, melainkan unuk menyampaikan gagasan, pikiran
dan kesan terhadap sesuatu. Borris Peternak menyatakan bahwa satrawan
harus berdiri dalam nilai-nilai yang terangkum dalam kehidupan semesta.
(Suyitno, 1986 : 3)

Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena yang saling
melengkapi dalam kehadiran mereka sebagai sesuatu yang eksistensial.
Sebagai bentuk seni kelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang ibuat
dengan kesungguhan tentu mengandung keterkaitan yang kuat dengan
kehidupan, kehidupan pengarang, sebagai pelahir cipta seni. Sastra sebagai
produk-produk kehidupan mengambil nilai-nilai sosial dan religious yang
bertolak pada pengungkapan kembali maupun penyodoran konsep baru.

Sastra dapat befungsijuga sebagai daya penggoyang nilai-nilai yang


mapan. Gibran menyatakan bahwa karya sastra dapat menggoyahkan
kemapanan tata nilai sosial tertentu dalam masyarakat pembacanya (Suyitno,
1985 : 5). Selain itu seharusnya mempunyai makna bagi kehidupan,
dihadapan Sang Pencipta maupun kehidupan sesama umatnya.
Dengan membaca karya sastra, pembaca dapat memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru. Karena karya sastra selain dapat
berfungsi sebagai pengungkap suatu kehidupan juga menyodorkan suatu
konsep baru yang mungkin belum diketahui dan dialami oleh pembaca.
Dengan karya sastra pembaca dapat menilai dan mengambil suatu sikap,
seandainya pembaca mengalami sesuatu hal seperti dalam karya sastra,
karena karya sastra juga sebagai suatu cermin dari kehiduan. Misalnya
bagaimana kita akan bersikap seandainya suatu hal terjadi, seperti yang
dialami oleh tokoh Rasus dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari.

Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini sangat menarik, yang ditulis oleh
Ahmad Tohari kehidupan di Jawa. Masalahnya sekarang seberapa jauh
transformasi nilai-nilai budaya Jawa yang telah dilakukannya. Dan seberapa
besar novel tersebut member peluang kepada pembaca untuk menafsirkannya
atas dasar lingkungan kesusastraannya, sejarahnya dan latar belakang sosial
budaya yang tepat dan sesuai.

Karya sastra berbeda dengan bacaan yang lain, karena karya sastra
dikemas dalam bahasa yang menarik. Juga karya sangat menarik karena gaya
penceritaannya yang luar biasa, ataupun karena menampilkan suatu informasi
yang kaya. Sering pula sebuah novel menarik karena kesegaran informasinya
yang kaya. Sering pula sebuah novel menarik karena kesegarannya
settingnya, kesegeran dunia yang diciptakan oleh pengarang, sebuah dunia
baruyang memberi warna khas bagi pembaca. Agaknya novel “Ronggeng
Dukuh Paruk” termasuk tokoh-tokoh orang-orang desa yang sederhana dalam
dunianya tersendiri secara sangat menarik.

Berdasarkan uraian di atas, pada kesempatan ini peneliti memilih novel


“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari sebagai bahan analisis
difokuskan pada setting atau latar dan fenomena sosial yang terkandung di
dalamnya. Karena pada novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad
Tohari, didalamnya mempunyai kekuatan pelukisan tempat dan latar sosial
yang terasingkan dari desa lain sehingga karya sastra ini memiliki nilai
tersendiri. Juga dalam settingnya, cerita ini diramaikan oleh munculnya
bermacam jenis satwa yang terdapat di dalamnya, yang mungkin belum
pernah diketahui oleh pembaca. Dala khasanah novel Indonesia, barangkali
baru “Ronggeng Dukuh Paruk” saja yang berhasil menghimpun begitu
banyak jenis binatang di dalamnya, meski latar tempatnya hanya sebuah
gerumbul kecil ditengah lading persawahan yang sangat luas.

Ahmad Tohari tidak pernah melupakan dan melepaskan diri dari


pengalaman hidup desanya Oleh karena itu dalam ovel “Ronggeng Dukuh
Paruk”, ia sangat menonjolkan warna local. Nama-nama tokoh, status sosial,
sikap hidup, adat istiadat dan perilaku sehari-hari para tokoh dalam novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” merupakan perwujudan sosial sekelompok etnis
tertentu di Indonesia, yakni suku Jawa, khususnya komunitas suatu
masyarakat di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Oleh karena itu dalam
penulisan skripsi ini, peneliti tertarik untuk mencoba menelaah novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari yang sekaligus melatar
belakangi penulisan judul ANALISIS DAN FENOMENA SOSIAL DALAM
NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” KARYA AHMAD TOHARI,
SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS.

B. Identifikasi Masalah

Setiap karya sastra pada dasarnya mempunyai unsur yang penting,


untuk mengetahui makna karya sastra itu sendiri secara keseluruhan.
Sedangkan untuk menyelesaikan suatu masalah terlebih dahulu kita harus
menggunakan identifikasi masalah terhadap permasalah yang akan
dipecahkan. Berdasarkan pengalaman, penulis berupaya mengidentifikasi
masalah supaya lebih mempertegas penjelasan, sehingga permasalahan yang
diteliti tidak menyimpang dari tujuan.
Sedangkan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan oleh
peneliti yaitu :

1) Masalah Kehidupan

2) Masalah Sejarah Budaya

3) Pemahaman Pendidikan dan Sosiologi

4) Unsur kompletatif yang berhubungan dengan nilai atau renungan


tentang agama, filsafat serta bagaimana dan berbagai macam
kompleksitas problematik kehidupan

5) Unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan sastra itu sendiri


sebagaimana teks.

C. Pembatasan Masalah

1) Melihat masalah dalam suatu pembahasan sebuah karya sastra maka


dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi masalah pada analisis
unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah novel yakni :

2) Seting yang terkandung dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya


Ahmad Tohari

3) Fenomena sosial yang tercermin dalam novel “Ronggeng Dukuh


Paruk” karya Ahmad Tohari

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka masalah yang dibahas


dalam penelitian yang berjudul Analisis Setting dan Fenomena Sosial dalam
novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, Suatu Tinjauan
Sosiologis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Jenis setting apa saja yang terkandung dalam “Ronggeng Dukuh
Paruk” karya Ahmad Tohari ?

2) Fenomena Sosial apa sajakah yang tercermin dalam novel “Ronggeng


Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari ?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian yang berjudul Analisis Setting dan Fenomena Sosial dalam


novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari Suatu Tinjauan
Sosiologis bertujuan agar peneliti dapat :

1) Mendeskripsikan secara obyektif, setting yang ada dalam novel


“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari

2) Mendeskripsikan secara obyektif fenomena yang tercermin dalam


novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari

F. Kegunaan Penelitian

Ditinjau dari segi hakekat kebudayaannya kegunaan cipta sastra, sudah


barang tentu jauh dari hal-hal kebendaan. Orientasi hakekat pengalaman
sastra, selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat spritiual. Maka hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat :

1) Memberikan masukan yang bermanfaat serta dapat dipakai untuk


menentukan kebijakan pengajaran, khususnya yang berkaitan dengan
pengajaran sastra

2) Memberikan wawasan yang lebih luas dan kompleks sehingga dapat


mudah dalam mendalami sebuah karya sastra
3) Memberi masukan kepada semua pihak yang terkait, tentang perlunya
pengajaran sastra di sekolah secara teori dan praktek
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Novel

Novel adalah salah satu dari sekian bentuk karya sastra, yang dalam
penciptaannya mempunyai hakekat yang sama sebagai karya sastra
imajinatif. Pengertian novel hampir sama dengan roman, bahkan sering
digunakan dalam pengertian yang sama.

Kata novel berasal dari bahasa latin”novellus” yang diturunkan dari


kata “novies” yang berarti baru (Tarigan, 1984:164), dikatakan baru sebab
bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra yang lain sepeti puisi, drama dan
sebagainya maka novel muncul belakangan. Sesuai dengan sifatnya yang
baru maka pengertian novel yang lebih baik adalah novel yang mampu
memberikan suatu sentuhan akan kesadaran-kesadaran serta pemikiran-
pemikiran yang baru pula kepada pembaca.

Sapadi Djoko Damono (1979:3) menyatakan bahwa novel adalah jenis


sastra yang sedikit banyak memberi gambaran tentang masalah
kemasyarakatan, lebih dari puisi novel sering tidak lepas dari gejolak atas
keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan juga kadang-kadang
pembacanya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir pasti
perkembangan novel sebagai suatu karya sastra.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:168) terdapat keterangan


tentang pengertian novel yaitu karangan prosa yang panjang mengandun
rangkaian cerita kehidupan dan seseorang dan orang-orang di sekelilingnya
dengan
menonjolkan watak dan sifat pelaku, maksudnya bahwa yang diungkapkan
oleh pengarang biasanya tentang masalah hidup dan kehidupan, dengan
tujuan bahwa pembaca dapat memahami tentang kehidupan yang telah
dihadapi sesungguhnya. Karena kehidupan seseorang tidak akan lepas dari
apa yang ada di sekelilingnya.

Panuti Sujiman (1984:53) menyatakan bahwa novel adalah prosa


rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.

Dibandingkan dengan roman, novel lebih pendek, dalam pengertian


kalau roman menurut HE. Batos dan Tarigan (1984:164) di dalamnya
menceritakan pelaku-pelaku mulai dengan waktu masih muda, mereka
menjadi tua, mereka bergerak dari sebuah adegan ke adegan lain, dari suatu
tempat ke tempat yang lain, sedangkan di dalam novel melukiskan sebagian
saja dari kehidupan manusia yang dilukiskan secara lebih pendek dari roman,
juga ceritanya lebih mudah dipahami, Seperti yang dinyatakan J.Badudu
(1974:46), bahwa dalam novel hanya dilukiskan sebagian hidup dari tokoh
cerita, bagian hidup yang mengubah nasibnya.

Namun demikian pada hakekatnya novel maupun roman merupakan


cerita tentang kehidupan sehari-hari. Karya sastra yang bagaimanapun
bentuknya merupakan hasil rekaan pengarang yaitu imajinasi yang
berhubungan dengan kenyataan hidup. Sedikit perbedaannya hanya pada
panjang pendeknya bentuk, tetapi keduanya mempunyai ukuran luas cerita
yang hampir sama.

Berpijak dari beberapa rumusan tentang pengertian novel seperti


tersebut diatas, maka peneliti dapat mengambilkesimpulan bahwa novel
adalah sebuah karya sastra yang bebentuk prosa yang menceritakan tentang
kehidupan manusia, tentang isinya lebih sedikit bila dibandingkan dengan
roman dan hanya
menceritakan sebagian saja dari kehidupan manusia yang menarik. Dalam
novel diceritakan tentang suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan
tokohnya. Akibat dari kejadian itu timbulah suatu konflik, suatu pertikaian
yang menyebabkan pergolakan jiwa tokoh-tokohnya sehingga mengubah
nasib hidup tokoh-tokoh tersebut.

B. Macam-macam Novel

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1968:29-30) secara


keseluruhan novel dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :

1) Novel Percintaan, yaitu novel yang melibatkan peranan tokoh pria dan
wanita dan secara seimbang, bahkan kadang-kadang peranan tokoh
wanita lebih dominan.

2) Novel petualangan, yaitu novel yang didalamnya sedikit memasukkan


peranan wanita, jika ada penggambarannya kurang berperan. Meskipun
sering pula ada percintaan, hanya bersifat sampingan saja. Novel jenis
ini merupakan bacaan kaum pria, karena sebagian besar tokohnya
adalah pria. Novel jenis ini melibatkan banyak masalah dunia pria
yang tidak ada hubungannya dengan dunia wanita.

3) Novel fantasi, yaitu novel yang bercerita tentang segala hal yang tidak
realistis dan sebab tidak mungkin dapat dilihat dari pengalaman sehari-
hari. Novel fantasi menggunakan karakter yang tidak realistis. Sdan
plot juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisannya.
Novel jenis ini hanya mementingkan ide, konsep dan gagasan
sastrawan yang hanya dapat jelas jika diutarakan dalam bentuk cerita
fantastic, artinya menyimpang dari hukum empiris, hukum
pengalaman sehari-hari
Sedangkan bila dilihat dari isinya novel dibedakan menjadi beberapa
jenis. Menurut H.J. Waluyo (1987:144), jenis novel ditinjau dari segi isinya
dapat dibedakan menjadi enam, yaitu : (1) petualangan atau avonturis, (2)
novel psikologis, (3) novel sosial, (4) novel politik, (5) novel bertendens, (6)
novel sejarah.

1) Novel petualangan atau avonturis, yaitu novel yang mengisahkan


penggambaran seorang tokoh, yang memperlihatkan kencintaannya
terhadap alam. Isinya dalam novel tersebut menceritakan tentang
petualangan terhadap seorang tokoh yang mempunyai kepedulian
terhadap alam, sedangkan yang menjadi pelaku utama dalam novel
tersebut adalah tokoh itu sendiri.

2) Novel psikologis, yaitu novel yang berkisah pada kejiwaan yang


dialami para tokohnya. Dalam novel Indonesia ini ada kecenderungan
secara menyeluruh dari semua pikiran, sifat perasaan, motif, dan nilai-
nilai yang timbul dari tokoh.

3) Novel sosial, yaitu novel yang mngungkapkan masalah hidup sosial,


yaitu adat istiadat, kebudayaan dan seterusnya. Para tokoh dalam novel
ini tenggelam dalam masyarakat, dalam kelasnya atau golongannya.
Persoalan dilihat dari segi golongan dan masyarakat bukan dari segi
individu.

4) Novel politik, yaitu novel yang membayangkan unsur paham politik


tertentu dalam kehidupan masyarakat.

5) Novel bertendesi, yaitu novel yang berisi tujuan mendidik dan


menyampaikan pesan tertentu kepada pembaca, diharapkan setelah
membaca novel ini pembaca memperoleh pengertian dan nilai-nilai
pendidikan yang kelak bermanfaat untuk membentuk pribadi yang baik.
6) Novel sejarah, yaitu novel yang berlatar belakang sejarah. Novel lahir
karena adanya maksud dan tujuan mengungkapkan peristiwa tertentu
dalam bentuk penyajian yang harafiah.

C. Unsur-unsur Pembagunan

Karya sastra sebagai sebuah bacaan tidak cukup dipahami lewat analisis
kebahasaannya, lewat text grammar, atau text linguistic, tetapi juga melalui
studi khusus yang berhubungan dengan literary text, karena teks sastra
bagimanapun memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan
lainnya.

Untuk memhami sebuah karya sastra diperlukan pemahaman terhadap


unsur-unsur yang ada dalam karya sastra atau kita dituntut harus memiliki
kemampuan menganilisis unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Analisis
dibidang sastra berarti member pertimbangan dan menguraikan unsur-unsur
yang pening alam karya sastra. Kegiatan analisis ditentukan pada pengertian
unsur-unsur yang membangunkan karya sastra tersebut.

Sedangkan unsur pembangunan sebuah novel itu ada yaitu unsur


intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur atau elemen yang
membangun karya sastra dari dalam karya itu sendiri (unsur tetap yang pasti
ada). Unsur-unsur tersebut ialah tema, tokoh dan penokohan, stting atau latar,
alat atau plot, sudut pandang atau “point of view”, dan gaya bahasa. Adapun
unsur ekstrinsik adalah semua unsur yang membangun karya sastra itu dari
luar karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur ini meliputi hubungan karya sastra
dengan relig, sosiologi, psikologi, sejarah dan sebagainya.

1. Unsur Intrinsik

Ditinjau dari segi intrinsik, karya sastra adalah sebuah struktur yang
otonom sebagai satu kesatuan yang utuh yang didalamnya terdapat unsur-
unsur pembangunan yang saling bekaitan menurut A. Teeuw (1983:135),
bahwa analisis struktur bertujuan untuk menganalisis dan memaparkan secara
cermat dan mendalam semua aspek karya sastra yang secara bersamaan
menghasilkan makna yang menyeluruh.

Karya sastra berhubungan erat dengan bahasa yang digunakan, tema


atau isi karangan dan pengelolahannya. Ketiga faktor itu merupakan faktor
yang sangat penting dalam sebuah karya sastra, disamping plot, karakter,
sudut pandang dan amanat. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor unsur
intrinsik sebuah karya sastra khususnya novel, adapun uraian setiap unsur
adalah sebagai berikut :

a. Tema

Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya


bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada
pembacanya. Sesuatu yang mau dikatakannya itu bisa tentang masalah
kehidupan, pandangan hidup tentang kehidupan ini dan
sebagainya.kejadian dan perbuatan tokoh ceita dalam suatu karya sastra
semuanya didasari oleh ide pengarang.

Di dalam menulissuatu cerita pengarang harus berpijak pada tema


yang akan ditampilkan dalam cerita tersebut. Sementara pembaca di
dalam upaya memahami tema terlebih dahulu harus memahami unsur-
unsur signifikan yang membangun cerita, menyimpulkan makna yang
dikandungnya, serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan
pengarangnya.

Panuti Sujiman (1988:50) menyatakan, tema dalam cerita rekaan


berarti gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra.
Ide, gagasan atau pikiran utama tersebut disusun oleh pengarang dengan
imajinasi dan tehnik si pengarang, setelah hasilnya disuguhkan kepada
pembaca selaku konsumen ke dalam bentuk cerita.
Herman J. Waluyo (1987:106) berpendapat tema adalah gagasan
penyair atau “subject matter” yang akan dikemukakannya. Pengarang
dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi akan
mengatakan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang akan disampaikan
itu bisa mengungkapkan masalah kehidupan yang didasari oleh
pengarangnya tersebut.

Istilah tema menurut Scharburch berasal dari bahasa latin yang


berarti “tempat meletakkan suatu perangkat” (Aminuddin, 1987:91).
Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita
sehingga berperan juga sebagai pangkal olak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa tema


merupakan dasar utama dalam suatu karya sastra, karena tema merupakan
gagasan, ide dan pikiran pengarang yang dikembangkan dalam suatu cerita
melalui media bahasa. Selain itu tema juga merupakan keseluruhan
kejadian serta aspek-aspeknya yang diangkat oleh pengarang dari sejumlah
kejadian yang diintegrasikan menjadi perpaduan yang urut dalam sebuah
cerita. dengan demikian tema inilah yang menjadi dasar utama pengarang
untuk dapat merangkai segala kejadian dalam karya sastra.

b. Tokoh dan Pernokohan

Sebuah cerita atau karya fiksi memuat suatu peristiwa. Setiap


peristiwa dalam karya fiksi itu diemban pelaku-pelaku tertentu atau tokoh
tertentu. Pelaku-pelaku atau tokoh itulah yang mengemban peristiwa-
peristiwa pada setiap tahapan plot sehingga tercipta suatu cerita. Pelaku-
pelaku tersebut disebut tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan
tokoh disebut penokohan.

Tokoh atau pelaku adalah individual rekaan yang mengalami


peristiwa dalam cerita (Sujiman, 1991:16). Sedangkan wujud tokoh dalam
cerita yang bukan manusia merupakan simbol dari manusia. Namun pada
umumnya para pelaku pada cerita berwujud manusia, karena manusia
memiliki kemampuan dan kemungkinan yang dapat ditelusuri melalui
watak dan berbagai aspeknya, sehingga dalam mengikuti perkembangan
tokoh cerita seperti tokoh nyata.

Herman J. Waluyo (1987:102) menyatakan pernokohan adalah


sikap pelaku dalam cerita tersebut, serta bagaimana lukisan pelakunya.
Selain menunjukkan pelaku utama dalam cerita, pernokohan dapat
berperan dan diperlakukan dalam sebuah cerita merupakan unsur karakter,
dengan mengenali watak pelaku cerita maka akan memperjelas kita dalam
mengenai maksud dan tujuan cerita.

Aminuddin (1987:70) menyatakan bahwa para tokoh yang terdapat


dalam sebuah cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh
yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh
inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak
penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani mendukung
pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Cara menentukan tokoh utama dan tokoh bawahan dalam suatu


cerita, dapat ditentukan berdasarkan pada tingkat pemunculannya. Bila
lebih sering muncul dibandingkan dengan yang lain, maka itulah yang
disebut tokoh utama, Namum apabila tokoh tersebut jarang muncul dalam
cerita, maka disebut tokoh bawahan atau tokoh pembantu (Aminuddin,
1987:81).

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan


sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak tertentu (Aminuddin,
1987:80). Sehubungan dengan watak tentunya telah kita ketahui apa yang
disebut dengan pelaku prontagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak
yang baik dan selalu berperilaku positif sehingga disenangi pembaca
karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh
pembaca dan berperiaku yang negatif.
Dalam upaya untuk memahami watak atau karakter pelaku atau
tokoh, dapat ditelusuri melalui :

1) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya

2) Gambaran yang diberikan pengarang melalui gambaran lingkungan


kehidupannya maupun caranya berpakaian

3) Menunjukkan bagaimana perilakunya

4) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri

5) Memahami bagaimana jalan pikirannya

6) Melihat bagaimana tokoh lain bebicara tentangnya

7) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya

8) Melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi


terhadapnya

9) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya


(Aminuddin, 1987:80-81)

Dalam penokohan ada beberapa metode yang digunakan oleh


pengarang. Pertama, metode langsung atau metode analisis, yaitu
pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran
dan perasaannya. Kadang-kadang dengan menyisipkan pula komentar
pernyataan setuju tidaknya sifat-sifat tokoh itu, jadi pengarang
memaparkan langsung watak tokohnya, tetapi dapat menambahkan dengan
komentar tentang watak tokoh tersebut. (Sujiman, 1988:22-24)

C. Setting atau plot

Setiap peristiwa yang terjadidalam suatu peristiwa selalu dilatar


belakangi oleh tempat, waktu maupun situasi tertentu. Panuti Sujiman
(1988:49) menyatakan bahwa latar adalah segala keterangan, petunjuk
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya
peristiwa dalam suatu karya sastra. Suasana merupakan keadaan sekitar
atau perasaan yang abadidalam suatu peristiwayang ditimbulkan oleh latar
dalam cerita.

Setting atau latar berarti banyak yaitu tempat tertentu, orang-orang


tertentu dengan watak-watak akibat situasi lingkungan atau jamannya, cara
hidup tertentu, cara berpikir tertentu. Leo Hamalian dan Frederick R. Karel
menjelaskan bahwa setting atau latar dalam fiksi bukan hanya tempat,
waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu.
Tetapi juga dapat berupa suasana yang behubungan dengan sikap,jalan
pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam
menganggapi suatu problem tertentu. (Aminuddin, 1987:68).

Selanjutnya Aminuddin (1987:71), menyatakan bahwa setting juga


masih memerlukan penafsiran, karena seringkali pengarang tidak
mengungkapkan secara jelas, selain itu, setting juga mampu menyiratkan
makna-makna tertenu sehingga bersifat metafora.

Latar atau setting menurut Aminuddin dapat dibagi menjadi dua


kategori, yaitu latar fisik dan latar psikologis. Latar fisik yaitu latar yang
berhubungan dengan tempat yang menggambarkan makna tertentu, yang
hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik dan diungkapkan secara
tersurat. Sedangkan latar psikologis yaiu latar yang mampu
menggambarkan atau memberikan suasana suatu makna tertentu serta
mampu menyulut emosi pembacanya.

Adapun pendapat Husson seperti yang dikutip Sujiman (1988:44),


latar/setting dibedakan menjadi latar sosial dan latar fisik material. Latar
sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok,
kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup bahasa dan lain-
lain yang melatari peristiwa. Sedangkan latar fisik material tempat lain-
lain yang melatari peristiwa. Sedangkan latar fisik material tempat dalam
wujud fisiknya yaiu bangunan, daerah dan sebagainya.

Latar atau setting dalam cerita rekaan mempunyai fungsi sebagai


berikut :

1) Memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana


adanya.

2) Sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, latar menjadi metafora


dalam keadaan emosional dan spiritual tokoh.

Sedangkan kegunaan latar dalam cerita, biasanya bukan


hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita itu
terjadi,melainkan juga sebagai tempat mengambil nilai-nilai yang
diungkapkan pengarang melalui cerita tersebut. Setiap peristiwa dalam
kehidupan pada dasarnya selalu berhubungan dengan tempat atau ruang
tertentu pada waktu tertentu pula.

Berdasarkan batasan atau rumusan di atas, maka peneliti


dapat memberikan kesimpulan bahwa setting atau latar adalah gambaran
tempat, waktu dan keadaan terjadinya suatu peristiwa yang dilakukan oleh
para tokoh dalam suatu cerita.

d. Alur dan Plot

Alur merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur intrinsik


dalam suatu cerita. Alur ikut menentukan baik buruknya suatu cerita.
Seorang dalam membaca cerita dapat dikatakan paham apabila ia
mengetahui alur atau jalan cerita yang terdapat dalam cerita yang
dibacanya.
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Apresiasi karya Sastra,
Aminuddin (1987:83) mengatakan bahwa pengertian alur secara umum
adalah rangkaian cerita yang dibantu oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Istilah atau dalam hal ini sama dengan isilah plot maupun
struktur cerita.tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk
dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam. Loban dalam
(Aminuddin,1987:84-85) menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti
halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari :

1) Eksposisi

2) Komplikasi atau intrik-intrik awal yang berkembang hinnga


menjadi konflik.

3) Klimaks

4) Relevasi atau penyingkapan tabir suatu problema.

5) Denounment atau penyelesaian yang membahagian, yang berbeda


dengan catastrophe yakni penyelesaian yang mnyedihkan, dan
solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena
pembaca sendirilah yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya
imajinasinya.

Dari beberapa rumusan atau pendapat diatas, maka peneliti


menyimpulkan bahwa yang dimaksud alur atau plot adalah jalannya cerita
yang dijalin dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan yang
lainnya, sehingga terjadi hubungan sebab akibat dalam kepaduan yang
utuh.
E. Sudut Pandang

Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya


sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian
cerita. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang
sebagai pribadi, sebab suatu cerita sebenarnya adalah pandangan
pengarang terhadap kehidupan. Sehingga ia harus memilih karakter mana
dalam ceritanya yang disuruh bercerita.

Menurut aminuddin (1987:90) sudut pandang atau titk pandang


merupakan cara pengarang menampilkan pelaku cerita dalam cerita yang
dipaparkan. Titik pandang yang juga sering diistilahkan titik kisah atau
point of view tersebut meliputi : naratoromniscient, narrator obsever dan
naratorthe third person omniscient.

1) Narrator omniscient adalah pengisah sekaligus berfungsi sebagai


pelaku cerita. Karena sebagai pelaku dan juga pengisah, maka
pengisah adalah penutur yang serba tahu tentang segala hal yang
ada di benak pelaku utama maupun pelaku lain, baik secara lahir
maupun batin. Dengan demikian penutur mengetahui apapun yang
akan terjadi pada pelaku utama maupun pelaku lainnya sekalipun
masih berupa imajinasi, bahkan sampai pada nasib yang akan
diterima pelaku. Dalam hal ini pengarang menyebut pelaku utama
dengan sebutan “aku” atau “saya”.

2) Narrator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi selaku


pengamat munculnya para pelaku. Pengisah tidak mengetahui
secara keseluruhan perilaku batin pelaku utama dan pelaku lainnya.
Dalam hal ini penutur menyebut pelaku utama dan pelaku lainnya
dengan sebutan”ia”, “dia”, “mereka” atau nama-nama lain.

3) Pembuatan keterbatasan pemahaman pengarang terhadap gejala dan


karakteristik batin para pelaku, sebenarnya juga sesuai dengan
keterbatasan pemahaman kita terhadap karakteristik kejiwaan orang
lain yang kebetulan kita amati.

4) Narrator the third person omniscient ialah bila pengarang hadir


dalam cerita sebagai orang ketiga yang serba tahu. Pengarang masih
menyebutkan namanya sendiri, saya atau aku dalam cerita tersebut.

F. Gaya Bahasa

Istilah gaya diangkat dari istilah style, yang berasal dari Latin
“stilus” dan mengandung arti leksikal “alat unuk menulis”. Dalam karya
sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarng
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah
dan harmonis serta menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminudin, 1987:72).

Setiap pengarang dalam mengungkapkan gagasan atau idenya selalu


berbeda-beda, sekalipun mengungkapkan ide yang sama, terlebih ide atau
gagasan yang berbeda antara gagasan dalam wacana ilmiah dan gagasan
dalam sastra. Wacana ilmiah selalu diupayakan dengan diksi yang
bermakna denotatif dan tatanan kalimatnya adalah tatanan kalimat baku,
sedangkan wacana sastra justru berupaya menggunakan kata-kata yang
bermakna padat, reflektif, asosiatif dan bersifat konotatif. Tatanan
kalimatnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu
menghadirkan suasana atau nuansa keindahan.

Dari uraian diatas, karena gaya merupakan cara seseorang


mengungkapkan gagasan-gagasan juga merupakan perwujudan manusia
itu sendiri, makasetiap orang mempunyai bentuk penyampaian yang
berbeda. Hal semacam ini dalam cipta sastra diistilahkan dengan
individuasi, yakni keunikan dan kekhasan seorang pengarang dalam
penciptaan yang tidak pernah sama anatara yang satu dengan yang lain.
Dapat pula dikatakan sebagai ciri khas perorangan. (Aminuddin,1987:78)
2. Unsur Ekstrinsik

Dalam menalaah karya sastra, kita tidak bisa lepas dari kenyataan-
kenyataan mengenai data-data di luar karya sastra, sejarah ada kaitannya
dengan karya sastra itu. Jadi aspek ekstrinsiknya struktur karya sastra melihat
hubungan isi karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.

Menurut Made Sukada 91985:47), analisis aspek ekstrinsik ialah


analisa di luar karya sastra itu sendiri dan sepanjang mungkin mengkaitkan
dengan data di luar sastra, untuk mengethaui seberapa jauh karya sastra itu
memiliki dasar kesejarahan, sosiologis, psikologis, religious dan filosofis yang
sebenarnya.

Berdasarkan pendapat tentang analisis ekstrinsik tersebut diatas,


maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dalam penelitian atau penelaah
karya sastra dapat meliputi unsur-unsur di luar karya sastra.

Unsur-unsur di luar karya sastra itu meliputi hubungan karya sastra dengan
sejarah, hubungan karya sastra dengan sosiologis, hubungan karya sastra
dengan psikologi dan hubungan karya sastra dengan religi.

a) Hubungan Karya Sastra Dengan Pengarang

Penyebab utama dari kelahiran karya sastra adalah penciptanya


sendiri, yaitu pengarang. Sehingga apa yang melatar belakangi
kehidupan pengarang yang dilihat, didengar, dialami baik langsung
maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap proses penciptaan
karyanya. Sedangkan hubungan karya sastra dengan biografi pengarang
menurut, Made Sukada (1985:48), bahwa karya sastra dengan
pengarang memiliki hubungan batin yang sangat erat. Hubungan
tersebut mencerminkan segi kejiwaan, segi pendidikan, segi pandangan
hidup, bahkan menyangkut filsafat hidup dan pandangan tentang
keagamaan.
b) Hubungan Karya Sastra Dengan Sejarah

Faktor-faktor sejarah dan lingkungan memang bisa dianggap itu


membentuk proses penciptaan karya sastra, selanjutnya karya sastra
dikaitkan dengan situasi tertentu atau dengan sistem politik, ekonomi
dan sosial tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjabarkan pengaruh
masyarakat terhadap karya sastra dan kedudukan karya sastra dalam
masyarakat.

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1986;23) hubungan


karya sastra dengan sejarah dinilai sangat erat dan mempunyai
keterkaitan dengan jamannya. Karena sejarah merupakan cerita jaman
lampau, yang menyangkut suatu masyarakat berdasarkan sumber
tertulis maupun tak tertulis. Meskipun pada dasarnya karya sstra
mendasarkan diri pada fakta yang diperoleh dari berbagai sumber,
namun penyajiannya tidak dapat terlepas dari unsur khayali pengarang.
Lebih lanjut Willek dan Warren (1990:131), menjelaskan bahwa
masalah yang lebih bersifat simbolik dan bermakna.

c) Hubungan Karya Sastra Dengan Sosiologi

Pada prinsipnya karya sastra merupakan pencerminan dari suatu


masyarakat. Dengan melihat kehidupan sosial pengarang dan
masyarakat, kita akan mengetahui nilai atau tingkatan sosial yang
terkandung dalam karya sastra. Sebab itulah dengan mengutip pendapat
Grebstein, Sapardi Joko Damono dalam (Aminuddin, 1987:47),
mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-
lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.
Adapun menurut pendapat Wellek dan Warren (1990:12) hubungan
karya sastra dengan sosiologi dapat dipakai untuk menguraikan sejarah
sosial.

Ikhtisar tersebut dapat menyangkut segala permasalahan sosial,


kebudayaan, adat istiadat masyarakat serta cara-cara hidup manusia di
dalam masyarakat yang berusaha menyesuaikandiri dengan lingkungan,
mekanisme, kemasyarakatan serta proses kulturisasi manusia. Seperti
dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, di
dalamnya mempunyai kekuatan pelukisan latar belakang sosial yang
terasingkan dari desa lain, sehingga memiliki nilai-nilai tersendiri.
Penonjolan warna lokal tampak pada pelukisan nama-nama tokoh,
status sosial, sikap hidup, adat istiadat dan perilaku sehari-hari para
tokohnya.

d) Hubungan Karya Sastra Dengan Psikologi

Dari berbagai sumber adanya hubungan karya sastra dengan


psikologi, diantaranya bahwa teori dalam sebuah karya sastra
berhubungan dengan psikologi pengarang. Proses kreatifitas merupakan
wilayah penelitian dan penyelidikan psikologi. Kadang-kadang ada
teori psikologi tertentu yang dianut menjelaskan tokoh dan situasi
cerita. Pada pengarang tertentu menganggap psikologi membantu
mengenalkan kepekaan pikiran mereka pada kenyataan, mempertajam
kemampuan dan menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya.
Tetapi psikologi baru mempunyai nilai artistik jika ia
menambahkoherensi dan kompleksitas karya. Dengan kata lain, jika
kebenaran psikologi itu sendiri merupakan karya seni.

e) Hubungan Karya Sastra Dengan Religi Atau Agama

Y.B. Mangunwijaya (1982:11) menyatakan, bahwa pada awalnya


segala sastra adalah religious. Sebab menurutnya ada dua hal yang
membedakan antara agama dengan religious. Agama lebih
menunjukkan kelembagaan, kebakian kepada Tuhan atau kepada dunia
atas, dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
hokum-hukum serta keseluruhan oragnisasi tafsir alkitab dan
sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Selanjtnya Gunawan (1986:145) menjelaskan bahwa antara karya
sastra dengan agama mempunyai fungsi yang khusus yaitu fungsi untuk
membantu pembaca dalam menyelesaikan persoalan hidupnya sendiri.
Dari sini semakin jelas bahwa antara karya sastra dengan agama
mempunyai hubungan yang saling berkaitan.

Agama tanpa karya sastra tidak akan mempunyai mutu dan tidak sesuai
dengan kodrat sastra. Demikian juga sebaliknya, agama tanpa adanya
sastra kereligiusan oleh pembaca sulit diketahui.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perwujudan nilai


religius dalam sastra tercermin lewat aktifitas pengalaman hidup dari
pengarang maupun tokoh-tokoh dalam karya sastra yang mengacu pada
kebaktiannya kepada Tuhan, serta aktifitas yang lahir dari lubuk hatinya
yang mengandung ajaran Ke-Tuhanan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan

Untuk memahami suatu karya sastra, perlu adanya suatu


pendekatan. Dalam memilih suatu pendekatan ditentukan oleh suatu tujuan
dan apresiasi itu sendiri. Bertolak dari tujuan teori yang digunakan, maka
kegiatan analisis ini menggunakan pendekatan analisis structural dan
pendekatan sosiologis.

Pendekatan struktural yaitu pendekatan sastra yang menekankan


pada pemahaman terhadap struktural suatu ciptaan karya sastra. Pendekatan
struktur dapat dilaksanakan berdasarkan pendekatan obyektif, yaitu
pendekatan sastra yang menekankan pada segi intrinsik karya yang
bersangkutan (Yudiono K.S., 1989:53).

Jadi dengan pendekatan struktural merupakan salah satu


pendekatan dalam penelitian sastra, melalui pendekatan struktural ini satra
dapat dilihat sebagai suatu kesatuan yang dibangun oleh unsur-unsur yang
paling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Sedangkan pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang


berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan
masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan dan sikap pengarang terhadap
kehidupannya ataupun jalannya pada saat cipta sastra itu (Aminuddin,
198:46).

Sehubungan dengan pendekatan sosiologis ini, terdapat anggapan


bahwa cita rasa merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan
serta mampu menampilkan tanggapan evaluativ terhadapnya. Sebab itulah
dengan mengutip pendapat Grebstein, Sapardi Djokodarmono dalam
Aminuddin (1987:47) mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan mencapai


tujuan. Sebab itu metode yang digunakan oleh penulis disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

Penelitian yang berjudul “Analisa Setting Dan Fenomena Sosial


Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari, Suatu Tinjauan
Sosiologis’ bertujuan untuk mendeskripsikan secara obyektif setting dan
fenomena sosial yang tercermin dalam novel. “Ronggeng Dukuh Paruk”
karya Ahmad Tohari. Berpijak pada hasil yang diharapkan atau tujuan yang
dicapai, maka metode yang dianggap sesuai dalam penelitian ini adalah
diskriptif kualitif, karena dalam penelitian ini sasaran atau obyek yang diteliti
adalah sebuah buku (teks) yang dalam hal ini adalah novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” karya Ahmad Tohari.

Penggunaan metode diskriptif kualitatif diatas dengan


pertimbangan bahwa sistem bahasa dalam karya sastra itu bersifat kompleks.
Sistem bahasa dalam karya sastra sangat berkaitan dengan upaya
penggambaran dunia tertentu secara imajinatif, embanan pesan, serta
berbagai kreasi budaya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan
cerminan masyarakat, sekaligus merupakan cetusan endapan emosi
pengarang.

C. Tehnik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data merupakan kegiatan yang penting.


Kecermatan peneliti dalam mengumpulkan data sangat diperlukan. Kekurang
cermat peneliti akan mengakibatkan data-data yang diperoleh kurang akurat
dan bersifat subyektif.
Tehnik pengumpulan data adalah cara untuk memperoleh data yang
tepat, akurat dan obyektif. Adapun tehnik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tehnik kepustakaan, karena data yang ada kaitannya dengan novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.

Kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data meliputi :

1) Membaca buku-buku pustaka dan buku yang relevan.

2) Membuat ringkasan atau catatan kecil yang ada kaitannya dengan


penelitian.

3) Membuat kesimpulan pendapat para ahli sastra yang akan dipakai


sebagai landasan teori.

4) Mengumpulkan data yang ada kaitannya dengan masalah dalam


penelitian.

D. Tehnik Analisis Data

Obyek penelitian ini berupa buku sastra, yaitu “Ronggeng Dukuh


Paruk” karya Ahmad Tohari. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tehnik
analisis data yang peneliti gunakan cenderung kea rah tehnik analisis
kualitatif (non statistik). Hal tersebut didasarkan pada subyek penelitian yang
berupa bahasa atau kata-kata.Tahap pertama dalam analisis adalah membagi
data atas kelompok atau kategori-kategori sesuaidengan masalah. Di dalam
mengkategorikan data disesuaikan dengan masalah penelitian dalam
memecahkan masalah. Dengan demikian, analisis yang dibuat akan sesuai
dengan keinginan untuk memecahkan masalah.

Kategori yang dibuat juga harus dapat menghipotesis yang


dirumuskan. Adapun yang dipakai penulis, yakni tehnik analisis data yang
mengarah pada analisis diskriptif kualitatif. Analisis data yang dimaksud
ialah menganalisis unsur-unsur pembangunan novel tersebut, baik unsur
pembangunan yang bersifat intrinsik maupun unsur pembangunan yang
bersifat ekstrinsik. Dengan langkah tersebut, maka hasil yang diperoleh akan
bersifat deskriptif.

E. Prosedur Penelitian

Adapun beberapa tahapan kegiatan untuk menyelesaikan penelitian


ini sebagai berikut :

1) Tahap persiapan

2) Tahap pelaksanaan

3) Tahap penyelesaian

1) Tahap persiapan

Pada tahap ini peneliti mengadakan persiapan yang berkaitan


dengan keperluan dalam penelitian. Persiapan tersebut mempunyai
maksud agar pelaksanaan penelitiannya dapat berjalan dengan lancar,
sistematis dan memperoleh hasil yang memuaskan. Adapun persiapan
yang dilakukan dalam kegiatan ini, yakni ;

a. Penyusunan rencana penelitian

b. Studi pustaka, dan

c. Mengumpulkan data yang mendukung penelitian ini, misalnya


dengan membaca buku sastra.

2) Tahap pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian ini secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :


a. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan pernyataan-pernyataan
yang sesuai dengan fokus permasalahan.

b. Menyeleksi data yang telah terkumpul.

c. Mengolah data yang telah diseleksi, dan

d. Menafsirkan atau menginterprestasikan hasil pengolahan data

3) Tahap penyelesaian

Kegiatan-kegiatan yang peneliti lakukan dalam tahap


penyelesaian ini adalah sebagai berikut :

a. Merumuskan simpulan hasil penelitian obyek penelitian.

b. Member saran-saran yang relevan dan penutup, dan

c. Menyusun laporan akhir.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Ahmad Tohari Dan Hasil Karyanya

Ahmad Tohari lahir di desa Tinggar jaya, Kecamatan Jatilawang,


Kabupaten Banyumas, pada tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya
hanya mencapai SMTA I SMA Negeri 2 Purwokerto. Namun, demikian ia
pernah kuliah di beberapa fakultas, seperti Fakultas Ekonomi, Sospol dan
Kedokteran, namun semuanya tidak ada yang ditekuninya. Ia pernah
menjabat staf redaksi”Kelompok Merdeka”, selama dua tahun. Tetapi
akhirnya ia kembali ke daerah asalnya, desa Tinggarjaya yang berada di
tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan bebatuan di
desanya.

Ahmad Tohari tidak pernah melupakan dan melepaskan diri dari


pengalaman hidup desanya. Oleh karena itu hampir seluruh karyanya adalah
gambaran lapisan bawah dengan latar/setting yang begitu jelas pada karya-
karyanya. Dia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang luas, yang selalu
digambarkannya dalam novel-novelnya, walaupun kadang-kadang orang sulit
menangkap apa yang dimaksud dalam tersebut, karena memang tema
lingkungan ini sangat menonjol sekali. Bahkan karena hal ini, ia banyak
dikritik oleh sastrawan lain (Cakra Hadi, Jawa Pos 1993), bahwa Ahmad
Tohari sok-sokan dalam pengetahuan lingkungan, namun Ahmad Tohari
menolak anggapan tersebut.

Dalam majalah Horison, ia mengatakan bahwa kesantriannya


menyebabkan ia sadar lingkungan jauh sebelum ia mendapatkan pendidikan
umum. Ahmad Tohari memang berasal dari keluarga bawah, maka logislah
kalau ia memahami permasalahan-permasalahan di kalangan bawah.
Pernikahan Ahmad Tohari kepada orang-orang awam bukannya tanpa alas
an, ia selalu merekontruksikan permasalahan rakyat kecil lewat karyanya,
secara gamblang, jelas dan menyentuh. Keindahan alam, ia racik dengan
keluguan tokoh-tokoh yang ia perankan, sehingga menimbulkan kerinduan
pembaca terhadap keharmonisan hukum alam.

Dari kekuatan penggambaran suasana alam pedesaan ini, secara sadar


atau tidak sadar, nama Ahmad Tohari tergolong novelis yang kurang
produktif, meskipun menulis sejak awal 70-an sampai kini baru
menghasilkan beberapa novel. Hasil karyanya yang berupa novel “Dikaki
Bukit Cibalak” ditulisnya pada tahun 1980 dan dinyatakan sebagai hasil
karya fiksi terbaik pada tahun tersebut oleh Yayasan Buku Utama. Gramedia
Pustaka Utama menerbitkan novelnya yang ketiga “Ronggeng Dukuh Paruk”
(1982). Kemudian novel yang keempat “Lintang Kemukus Dini Hari” (1984),
dan “Jantera Bianglala” (1986). Ketiga novel ini ceritanya saling
berkaitandan merupakan trilogi tentang Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan
cerpennya dapat dinikmati dalam kumpulan cerpennya, “Senyum Karyamen”
(1988). Karya terbarunya sebuah novel yang berjudul “Bekisar Merah”.
Kritikus yang paling ia segani adalah Sapardi Djoko Damono dan
Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur.

B. Sinopsis Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari

Sudah sebelas tahun Dukuh Paruk tidak memiliki ronggeng tanpa


ronggeng, Dukuh paruk kehilangan jati dirinya, apalagi mereka percaya
bahwa ronggeng itu bukan hasil didikan, melainkan mereka merasa ronggeng
itu dilahirkan. Sementara itu malapetaka tempe bongkrek yang merenggut
nyawa banyak warga Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu masih terasa
mencekam, yang menyebabkan banyak anak-anak yatim piatu karena
ditinggal mati oleh ibunya. Begitu juga halnya dengan Srintil dan Rasus yang
ditinggal mati Bapak dan Emaknya sejak kecil. Dalam suasana seperti itu,
Srintil, 11 tahun, cucu Sakarya, kamituwa Dukuh Paruk diserahkan kepada
Kartareja dan istrinya, Nyai Kartareja, untuk diasuh menjadi ronggeng
supaya dapat menghangatkan kembali dukuh itu dengan keindahan tari
ronggengnya. Hal ini karena Sakarya juga merasa betanggung jawab
melestarikan ronggeng di dukuhnya karena peranannya sebagai kamituwa,
agar arwah Ki Secamenggala, nenek moyang warga dukuh Paruk tidak lagi
mengutuknya seperti pertiwi malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sebelas
tahun yang lalu.

Rasus, anak lelaki sepermainan Srintil juga merasakan bangkitnya


dukuh kecil itusetelah ada ronggengnya. Namun sekaligus ia merasakannya
ada sesuatu yang hilang dalam malapetaka tempe bongrek dulu selalu hadir
dalam diri Srintil yang sudah menjadi ronggeng itu. Hal ini terjadi karena
selama ini rasus mencari bayangan emaknya lewat figur Srintil, dia sangat
menghargai dan mencintai Srintil. Dia kecewa sekali Srintil menjadi
ronggeng, tetapi Rasus tak mampu melarang Srintil menjadi ronggeng,
karena keadaan masyarakat yang memintanya dan ternyata Srintilpun
menyenanginya. Ingatan Rasus ketika masih kecil selalu bermain bersama
Srintil, Darsun dan Warta di pelataran di tepian kampung menambah
kegundahan hatinya.

Untuk menghilangkan kekecewaannya, akhirnya rasus pergi


meninggalkan Dukuh paruk dan kemudian bergabung dengan para tentara
yang datang ke Pasar Dawuan tempat Rasus selama ini bekerja, pada tahun
1960. Waktu itu banyak terjadi perampokan dan pembunuhan, para tentara
ini bertugas untuk mengamankan suasana di wilayah kecamatan yang juga
membawahi wilayah Dukuh Paruk. Rasus mulanya diterima sebagai tobang
oleh Sersan Slamet, yang bertugas melayani para tentara dalam tugasnya.
Baru kemudian Rasus benar-benar diangkat menjadi tentara, dan merupakan
putra pertama Dukuh Paruk yang menjadi tentara.

Keadaan Dukuh Paruk dengan segala isinya terbaca semuanyadalam


corak hubungan antara Rasus dengan Srintil. Bahkan nasib pendukuhan yang
sengsara itu akhirnya ditentukan oleh sikap Rasus terhadap Srintil yang
kemudian menjadi korban geger besar tahun 1965.

C. Analisis Setting Novel “Ronggeng Dukuh PAruk” Karya Ahmad Tohari

Seperti apa yang disampaikan diatas bahwa latar atau setting dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu latar fisikal dan latar psikologis. Latar
fisikal ialah latar yang berhubungan dengan tempat, waktu, peristiwa atau
benda-benda dalam lingkungan tertentu yang menggambarkan makan
tertentu, yang hanya terbatas pada sesuatu yang berbentuk atau bersifat fisik
dan diungkapkan secara tersurat. Sedangkan latar psikologis yaitu yang
mampu menuansakan atau menggambarkan suatu makna tertentu serta
menyulut emosi pembaca.

1. Latar Fisikal

Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari mempunyai


kekuatan latar fisikal, dari yang berupa tempat, waktu dan peristiwa
sehingga novel tersebut terjadi dengan latar atau setting sebuah tempat
yang bernama Dukuh Paruk, yaitu sebuah gerumbul kedil di desa
Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa
tengah.

Lebih lanjut dalam pelukisan setting atau latar yang berupa tempat,
pengarangan seolah-olah sudah sangat memahami tentang kondisi
obyektif dukuh tersebut, sehingga dalam pelukisan settingnya sangat
beragam.

Perhatikan kutipan di bawah ini !

………………………
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi
Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. (Hal 5)
………………………
Di tepi kampong, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah
mencabut sebatang singkong. (Hal :7)

………………………
Di bawah pohon nangka itu mereka melihat sedang asyik, bermain
seorang diri. (Hal:9)

………………………
Hari mulai terang. Di halaman rumah Santayib seekor kodok melompat
satu dua mencari tempatnya yang gelap di kolong balai-balai. (Hal:28)

Tiga hari sebelum Sabtu malam. Sebuah lampu minyak yang terang
telah dinyatakan di rumah Kartareja. Pintu sebuah kamar sengaja dibiarkan
terbuka. Dengan demikian sebuah tempat tidur berkelambu yang masih baru
bisa dilihat orang dari luar. (Hal:79)

………………………
Ada sebuah gardu ronda di perempatan jalan kecil Dukuh Paruk, Dower
mendengar gumam beberapa pemuda dari dalam gardu itu. (Hal:88)

………………………
Tak mengetahui atau membuntutinya, Srintil terus berjalan.
Langkahnya berkelok menghindari tonggak-tonggak nisan atau pohon
kamboja yang tumbuh rapat. Setelah berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus
menuju cungkup makan Ki Secamenggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh
sesaji di depan makam. (Hal:100)

………………………
Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk terletak di sebelah
kota kecamatan. Akan terbukti nanti, Pasar Dawuan merupakan tempat
melarikan diri
38

yang tepat. Disana aku melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan


dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Duuh Paruk
menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut
dan seterusnya. (Hal:128)
………………………
Onggokan singkong dan karung-karung tetap menyembunyikan diriku
dari pandangan Srintil sampai ronggeng itu keluar dari pasar. (Hal:132)
………………………
Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil
berbicara, dari caranya duduk di sampingku dan dari sorot matanya, aku tahu
Srintil mencatat kejadian di belakang rumah Kartareja itu secara khusus
dalam hatinya. (Hal:142)

Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam dan barang-barang berat lainnya


kuangkat diatas pundak dan kubawa ke sebuah rumah batu yang ternyata
telah dipersiapkan sebagai markas tentara. (Hal:142)
………………………
Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini kecewa
karena tiga orang tentara yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman
dalam hal bnerburu. (Hal:153)

Dari beberapa kutipan diatas dapat kita lihat adanya pelukisan setting
atau latar fisikal yang berbentuk nyata, dalam hal ini tempat yang beragam.
Keragaman pelukisan settingnya tampak pada banyaknya tempat terjadinya
peristiwa, ada yang di sawah, rumah, halaman rumah, tepi kampung, hutan,
gardu ronda, makam, dan masih banyak lagi.

Selain keragaman setting atau latar yang beerupa tempat, dalam novel
ini masih diramaikan atau dikuatkan dengan banyak tampilanya jenis
binatang dan tumbuhan yang semakin membuat nuansa desa yang
digambarkan semakin tampak alami. Lebih jelas tersebut dapat kita lihat pada
kutipan dibawah ini :

………………………
Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar tinggi di
langit. Telah lama mereka merindukan hamparan lumpur tempat mereka
mencari mangsa : katak, ikan, udang, atau serangga air lainnya.
………………………
Yang menjadi bercak-bercak hujan di sana-sini adalah kerokot, sajian
alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Di bagian lain, seekor burung
pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. (Hal:5)
………………………
Hilangnya cahaya matahari telah dinantikan oleh kelelawar dan kalong,
satu-satu mereka keluar dari sarang, dilubang-lubang kayu, ketiak daun
kelapa atau kuncup daun pisang yang masih menggulung. (Hal:14)
………………………
Bunyi keletak-keletak terdengar bila butir hujan menimpa daun pisang
atau daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap tenang pada sebuah dahan
yang rendah. Matanya yang awas menatap ke permukaan air kubangan. Bila
melihat katak, burung malam itu menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi
dengan korban di mulutnya. (Hal:26-27)
………………………
Dan burung hantu yang mndadak berbunyi bersahutan. Dari rimbun
beringin di atas makam Ki Secamenggala itu burung-bururng hantu
meneriakkan bunyi berwibawa. Juga embik kambing yang mulai lapar. Hujan
yang tinggal rinai gerimis menciptakan bianglala di timur. Hanya suara
kodok yang sejak sore hari tetap ramai. Kokok ayam dan cicit tikus busuk
yang mencari sarangnya di balik batu besar. (Hal:28)
………………………
Seekor burung sikatan mencecet menyambar makanannya, lalat hijau.
………………………
Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus. Serangga kotor
ini mempunyai cara yang aneh bila hendak membawa tinja ke liangnya. Ia
berjalan mundur sambil menarik bulatan kotoran manusia sebesar buah jarak
dengan kaki-kaki belakangya. (Hal:29)
………………………
Pohon-pohon puring di pekuburan melayu, tetapi pohon kamboja malah
berbunga. Meskipun belum waktunya, anjing-anjing jantan berebut betina
dalam kegaduhan yang mengerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam
tiba sampai terbit fajar. (Hal:45)
………………………
Siapa yang menebang pisang akan menyediakan sesisir yang terbaik buat
Srintil.
………………………
Teman-teman sebaya, Warta dan Darsun, rela menempuh sarang semut
burangrang diatas pohon asalkan mereka dapat mencuri mangga atau bambu.
(Hal:51)
………………………
Seekor tupai meluncur turun dari atas pohon.
………………………
Dalam kerimbunan tumbuhan benalu, sepasang burung madu
berkejaran. Janta yang berwarna merah saga mengejar betinanya.
………………………
Selesailah hidupnya karena seekor ular hijau langsung menangkap
memasangnya istana burung.
………………………
Pohon beringin besar yang menjadi mahkota perkuburan Dukuh Paruk
menjadi istana burung
………………………
Hanya burung kucica yang kecil berani mengusik raja burung malam
itu. Burung-burung seling yang hitam pekat dan burung katik yang hijau,
hinggap dalam kelompok-kelompok. (Hal:65-66)
………………………
Burung Bluwak, kuntu dan trintit muncul kembali.
………………………
Sebentar rumpun-rumpun bamboo di Dukuh Paruk akan ramai oleh
berbagi burung air.
………………………
Lumut akan tumbuh pada dinding bambu atau tiang kayu yang basah.
Jamur akan tumbuh pada kayu mati atau dalam kapuk. Cacing menjalar di
emper-emper. Orang-orang membuat galur-galur di bawah tanah, menerobos
bawah dinding dan berakhir bawah balai. (Hal:86)
………………………
Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket.
Salah seekor induk burung itu segera menukik melihat capung atau belalang
terbang, kemudian hinggap lagi di tempat semula. (Hal:96)
………………………
Celeng sama sekali tak terlihat barang seekor. Kijang menerjang terlihat
tapi sersan Slamet yang menjadi algojo gagal menembak sasarannya. Satu
lagi untuk menembak seekor ular sanca sebesar paha yang bergelung diatas
pohon. (Hal:153)

Dari kutipan diatas dapat kita lihat betapa kayanya Ahmad Tohari
tentang pemahaman dunia dauna dan flora, baik yang ada sekeliling kita
maupun yang ada di hutan-hutan. Dan penggambaran setting kita oleh
pembaca secara baik tidak langsung dapat lebih memahami tentang dunia flora
dan fauna.

Untuk melengkapi pelukisan setting atau latar fisikal seperti tersebut


diatas, dalam novel “Ronggeng Fukuh Paruk” karya Ahmad Tohari juga
dilukiskan setting atau latar yang berbentuk waktu. Dalam pengungkapannya
dilukiskan secara lengkap atau kompleks, mulai dari saat, detik, jam, hari,
bulan bahkan sampai ukuran tahun.

Perhatikan kutipan dibawah ini :

………………………
Demikian, sore Srintil menari dengan mata setengah tertutup. (Hal:12)
………………………
Tidak, tidak. Awal malam yang ceria itu tidak berhias lengking anak-
anak Dukuh Paruk. Kemarau terlamapu panjang tahun ini. Dua bulan terakhir
tiada lagi padi tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk. (Hal:15)
………………………
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir
sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun Ronggeng di Dukuh Paruk.
Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Diapun sudah bertahun-tahun
menunggu kedatang seorang calon ronggeng untuk desanya Belasan tahun
sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. (Hal:17)
………………………
Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja selalu mengintip Srintil
menari dibawah pohon nangka. (Hal:18)
………………………
Seandainya ada seseorang Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia
dapat mengira-ira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, yahun 1946.
(Hal:26)
………………………
Matahari naik. Panasnya mulai menyengat. Panas yang telah mengubah
warna rambut orang dan anak Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit kehitaman
bersisik. Dukuh Paruk yang tadi malam basah kuyub kini terjerang. Panas
dan lembab. (Hal:31)
………………………
Seiap hari bila matahari sudah naik, suami istri Sakarya pergi ke lading
mereka. Pada saat seperti itu Srintil seorang diri di rumah. (Hal:58)
………………………
Sudah dua bulan Srintil menjadi Ronggeng. Pagi itu Dukuh PAruk
berhias bunga mawar ungu yang semarak menghias hampir semua sudut
pedukuhan sempit itu. (Hal:64)
………………………
Jauh-jauh Kartareja sesudah menentukan malam hari Srintil harus
kehilangan keperawanannya. Sementara waktu suara calung lenyap dari
Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat membuat persiapan pelaksanaan malam
bukak klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk
menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersirat kabar tentang
malam bukak klambu bagi ronggeng Srintil. (Hal:78)
………………………
Hari Sabtu tiba. Hari yang sangat mengesankan karena batinku ternista
luar biasa. (Hal:95)
………………………
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman.
………………………
Ternyata hingga dua tahun berikutnya kau belum juga datang melihat
Dukuh Paruk. (Hal:145)
………………………
Sebelum sejak kedatangan pasukan tentara tak terdengar peristiwa
perampokan di wilayah Dawuan. Meskipun tentara siaga dan berpatoli di
malam hari, tetap setidaknya aku merasakan suasana yang tenang diantara
mereka. (Hal:150)
………………………
Ya Tuhan! Detik berikutnya aku mendengar Sersan Slamet dan kedua
temannya terbangun. Sedetik lagi aku mendengar hadirkan yang amat keras
disusul sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. Bedil di tangan
direnggunya dengan begitu kasar. (Hal:157)

Dari beberapa kutipan di atas dapat kita lihat betapa jelinya, Ahmad
Tohari mengalokasikan waktu sebagai setting. Hal tersebut menggambarkan
bahwa peristiwa yang ada dalam novel tersebut hampir terjadi di setiap saat
secara berkesinambungan.

2. Latar Psikologis

Di atas telah disebutkan bahwa setting latar atau latar yang mampu
menyulut emosi pembaca adalah yang disebut dengan setting atau latar yang
bersifat psikologis. Latar atau setting ini disebut juga latar sosial yang dalam
pengungkapan secara tersirat. Biasanya digambarkan atau dilukiskan melalui
suatu peristiwa atau keadaan, sehingga membuat pembaca untuk bernuansa
dengan daya imajinasinya sendiri.

Ahmad Tohari dalam novelnya “Ronggeng Dukuh Paruk” ini, selain


mempunyai kekuatan melukiskan latar fisikal, juga menggunakan kekuatan
daya imaji dalam melukiskan setting atau latar psikologis. Hal ini dapat
terlihat pada adanya peristiwa keracunan tempe bongkrek yang menimpa
warga Dukuh Paruk, yang banyak menelan korban jiwa. Peristiwa tersebut
dapat mengajuk emosi pembaca, bagaiman dan sejauh mana tingkat
kesedihan masyarakat Dukuh Paruk, lebih lanjut dapat kita lihat kutipan di
bawah ini :
………………………
Bau kematian telah tercium oleh burung-burung gagak. Maut bekerja
dengan sabar dan pasti. Maut telah berpengalaman dalam pekerjaannya sejak
kematian yang pertama. Tanpa terganggu oleh jerit tangis, maut terus
menjemput orang-orang Dukuh Paruk. Hari itu Sembilan orang dewasa
meninggal. (hal:40)

Peristiwa lain yang lebih menuansakan cerita, yaitu bagaimana perasaan


Rasus dan juga Srinil saat menanti pelaksanaan upacara malam bukak klambu
bagi calon ronggeng yang sebenarnya kalau mau jujur Srintil adalah gadis
yang sangat disayangi Rasus. Rasus dengan berat hati harus rela menyaksikan
dengan mata kepala bahwa kekasihnya harus kehilangan keperawanannya
melalui upacara tersebut.

Perhatikan kutipan dibawah ini :

………………………

Sore yang paling getir yang pernah kualami.

………………………
Sebuah sisi hatiku yang mampu menangkap bentuk-bentuk keindahan
tertutup oleh rasa gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil bukan lagi
Srintil. (Hal:106-107)

Upacara memandikan calon ronggeng di dekat makam Ki


Secamenggala yang dianggap pepunden warga Dukuh Paruk, salah satu
tahapan yang harus dilalui atau dialami oleh seorang ronggeng, juga
merupakan peristiwa yang bisa menuansakan cerita. Bagaimana perasaan
Rasus pada sore itu, yang menyaksikan upacara pemandian tersebut dengan
perasaan masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya, yang menyambut upacara
tersebut sebagai sesuatu kegembiraan karena Dukuh Paruk telah bangkit
kembali dengan lahirnya Ronggeng Srintil.

Dari sini dapat kita lihat bagaimana sesungguhnya tingkat pengetahuan


dan keberadaan masyarakat. Dukuh Paruk terhadap norma-norma agama. Hal
ini menggambarkan latar belakang sosial budaya warga desa Dukuh Paruk
yang belum memahami norma-norma agama.

D. Analisa Fenomena Sosial Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya


Ahmad Tohari

Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” mengisahkan perjalanan hidup


seorang ronggeng bernama Srintil di Dukuh Paruk, sebuah gerumbul kecil di
tengah padang persawahan yang luas, yang ironisnya bukan milik warga
Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang kecil dan menyendiri, Dukuh Paruk yang
menciptakan kehidupannya sendiri, yang berbeda dan memisahkan diri dari
lingkungan sekitarnya. Dukuh Paruk sebuah pendukuhan kecil yang dihuni
oleh orang-orang seketurunan, yang mempunyai moyang orang bromocorah,
Ki Secamenggala yang dikuburkan dipunggung bukit kecil di tengah Dukuh
paruk yang kemudian menjadi akibat kehidupan mereka.

Ahmad Tohari dalam melukiskan kehidupan masyarakat ini sangatlah


menarik. Dia berusaha mengungkapkan fenomena sosial yang melatari
kehidupan Dukuh Paruk lewat kehidupan ronggeng Srintil. Dalam
melukiskan fenomena sosial ini Ahmad Tohari terlihat begitu memahami
corak kehidupan masyarakat Dukuh Paruk yang terbelenggu oleh tradisi
turun temurun yang sangat sulit untuk ditinggalkan. Seperti yang terlukis
pada kutipan di bawah ini :

………………………
Semua orang Dukuh Paruk Ki Secamenggala moyang mereka, dahulu
menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki
Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk
menjadi kiblat kehidupan mereka. (Hal:7)
………………………
Disamping pendukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng
sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari seorang perawan tak bisa
menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah
semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. (Hal:12)
………………………
Segumpal cahaya kemerahan dari langit menuju Dukuh Paruk. Sampai
diatas pedukuhan cahaya itu pecah menyebar segala arah.
………………………
Cahaya alami yang dipercaya sebagai pembawa petaka datang tanpa
seorangpun melawannya dengan tolak bala. (Hal:27)
………………………
Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu terlihat berbagai pertanda.
Pancuran di Dukuh Paruk mengeluarkan air berbau busuk. Pohonpohon
puring di pekuburan melayu, tetapi kamboja malah berbunga. (Hal:45)
………………………
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat yang harus
dipenuhi Srintil bernama bukak klambu.
………………………
Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki
manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng.
(Hal:77)
………………………
Konon menurut dongeng tersebur pernah ada sepasang manusia mati
dipekuburan dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk setelah
berjinah diatas makam Ki Secamenggala. (Hal:105)

Dari beberapa kutipan diatas, kita bisa melihat bagaimana kehidupan


sosial budaya masyarakat Dukuh Paruk yang digambarkan Ahmad Tohari.
Bahwa masyarakat Dukuh Paruk masih belum mempunyai tingkat
pengetahuan yang cukup. Terbukti bahwa masyarakat masih sulit melepaskan
diri dari tadisi dan mitos yang dipecayai secara turun menurun. Misalnya
mereka menganggap bahwa makam Ki Secamenggala dianggap sebagai
pepunden yang kemudian menjadi kiblat kebatinan mereka. Upacara yang
dianggap sebagai suatu ritual dilakukan di makam Ki Secamenggala.
Kemudian masyarakat masih menganggap bahwa seorang ronggeng
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, akrena kehadiran ronggeng itu
bbbukan hasil didikan tetapi ronggeng dilahirkan dengan indang
ronggengnya. Dan adanya suatu kepercayaan bahwa untuk menjadi ronggeng
harus melalui beberapa tahapan yang harus dilewati misalnya upacara
pemandian, dan wisuda ronggeng yakni yang disebut malam bukak klambu.
Mereka juga mempercayai bahwa suatu bencana selalu didahului dengan
adanya pertanda-pertanda.

Dari sini kita dapat melihat bahwa Ahmad Tohari sangat luas
pengetahuannya terhadap fenomena sosial budaya suatu masyarakat yang
masih terbelakang. Selain itu Ahmad Tohari juga berusaha mengungkapkan
tata kehidupan seorang ronggeng. Seperti dalam kutipan dibawah ini :

………………………

Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh


dukun ronggeng berhak menikmati virginitas itu. Keperawanan Srintil
disayembarakan. (Hal:77)

………………………

Aku tak mengerti, Rasus yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun
yang menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. (Hal:84)

………………………

“Tetapi kau pasti belum tahu siapa yang member Srintil sebuah
kalung”, ujar perempuan lainnya. “Dari Lurah Pecikalan yang sedang
menggendaknya?”

………………………

Ada seseorang asisten wedana yang sedang menggendaknya.


(Hal:129:130)
………………………

Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur kea rah Srintil, aku
melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan laki-laki itu. (Hal:132)

………………………

“Karena engkau telah sah menjadi ronggeng. Selamanya aku tak ingin
bertemu lagi denganmu kecuali aku mempunyai uang.” (Hal:143)

………………………

Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang


perkawinan. Lucu. Seorang ronggeng berceloteh tentang perkawinan, tentang
seorang bayi. (Hal:144)

Dari kutipan diketahui tata cara kehidupan seorang ronggeng. Dalam perilaku
seknya seorang ronggeng adalah milik orang banyak, orang yang berduit
banyak berhak meniduri ronggeng. Dalam hal ini dia bisa menjadi kayak
arena predikatnya sebagai seorang ronggeng. Disini juga terlihat Ahmad
Tohari begitu mendetail dalam menggambarkan perilaku seksual ronggeng
ini, yang sudah tidak mengindahkan norma-norma kesopanan didepan umum,
sehingga orang bisa dengan bebas memperlakukan pelecehan seksual
terhadapnya, namun sebagai ronggeng, Srintil tetaplah seorang yang
mempunyai naluri kewanitaan, yang menginginkan suatu perkawinan dan
juga bayi yang ingin didapatnya dari Rasus.

Peristiwa lain yang juga bisa menggambarkan fenomena sosial yang


melatari kehidupan masyarakat Dukuh Paruk secara umum, juga
diungkapkan secara detail oleh Ahmad Tohari. Bagaimana tingkah laku,
pandangan masyarakat tentang moral, akan terlihat dari ktuipan-kutipan
dibawah ini :

………………………
Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu
kebanggaan para ronggeng : Senggot timbane rante, tiwas ngengot ning ora
suwe. (Hal:9-10)
………………………
Dukuh Paruk hanya lengkap bila disana ada keramat Ki Secamenggala,
ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, ada ronggeng bersama perangkat
calungnya. (Hal:16)
……………………
“Santayib. Engkau anjing ! Asu bunting. Lihat bokor ini biru karena
beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau ……..
engkau aaassuu ….” (Hal:34)
Dasar kalian semua, asu buntung !
………………………
Kalian memang asu buntung yang sepantasnya mampus ! (Hal:3&)
………………………
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-
laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“Jangan besar cakap” kata yang lain. Pilihan seorang ronggeng akan
jatuh kali pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam
hal ini suamiku tau bakal dikalahkan. (Hal:55)
………………………
Sedikitpun aku tak merasa berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang
usiaku mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi
dosa. (Hal:135)
………………………
Lain benar keadaannya dengan Dukuh PAruk. Disana seorang suami
misalnya tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya
sedang tidur dengan laki-laki tetangganya. Suami tersebut telah punya cara
bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri tetangga itu dan menidurinya,
habis segala urusan. (Hal:136)

Disana, di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan
mandul. Obat itu bernama lingga, kependekan dari dua kata yang berarti
penis tetangga. (Hal:137)

………………………

Perkawinan yang sah, dosa besar, merupakan ungkapan yang baru


kudengar. (Hal:138)
Dari beberapa kutipan diatas kita mengetahui bagaimana fenomena
sosial suatu masyarakat tentang, kebebasan seksual yang digambarkan bahwa
pandangan-pandangan seperti itu sekarang ini masih berlaku juga pada
sekelompok masyarakat tertentu, lewat penggambaran kehidupan masyarakat
Dukuh Paruk. Yang menganggap sebuah lembaga perkawinan bukanlah suatu
lembaga yang sakral yang harus dijaga kesuciannya. Desa Dukuh Paruk
hubungan suami istri hanyalah cara untuk meneruskan keturunan. Para istri
merelakan suaminya meniduri seorang ronggeng, walaupun harus dengan
suatu kehormatan tersendiri, dan seorang suamipun tidak perlu marah melihat
istrinya tidur bersama lelaki lain, karena suami tahu cara bertindak yang
praktis. Di dukuh Paruk tidak dikenal ada perempuan mandul, karena ada
obat mujarab.

Dari sini kita bisa memahami bahwa masyarakat Dukuh Paruk juga
belum mendalam pengetahuannya tentang norma-norma, baik norma agama
ataupun norma kesantunan. Seorang bocah digambarkan sudah terbiasa
menyanyikan lagu cabul, terbiasa mengumpat, berlaku kasar, karena orang
tua mereka tidak berusaha untuk memberi peringatan.

Demikianlah Ahmad Tohari dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”


berusaha mengungkap sebuah sisi kehidupan dari sekelompok masyarakat
yang masih terasing, terisolir dan terbelakang baik tentang settingnya, setting
fisik maupun setting psikologis dan juga mengenai fenomena sosial yang
melatari kehidupan suatu masyarakat lewat penggambaran kehidupan
ronggeng. Srintil di Dukuh paruk.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan pada novl “Ronggeng


Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari yang telah dibahas peneliti pada bab
sebelumnya, maka disimpulkan sebagai berikut :

1. Analisis Setting Fisikal, meliputi :

a. Setting atau latar yang berbentuk tempat diantaranya, sawah, rumah,


halaman rumah, gardu ronda, hutan, warung, pasar, makam dan
lain-lain.

b. setting atau latar yang berbentuk tempat diantaranya, yaitu saat atau
kondisi (pagi, siang, sore, malam), detik, menit, jam, hari, bulan dan
tahun.

c. Setting atau latar yang berbentuk benda-benda yang ada di


lingkungan sebagai tempat penguat pelukisan setting, yaitu
banyaknya jenis tumbuh-tumbuhan, unggas, reptil, serangga dan
binatang buas.

2. Analisis Setting Psikologis, meliputi :

a. Suasana atau naunsa kesedihan yang dialami warga Dukuh Paruk


ketika sebagian warganya meninggal karena keracunan tempe
bongkrek.

b. Kesedihan dan kegundahan hati Rasus ketika dengan berat hati dia
harus rela menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika
kekasihnya hampir kehilangan keperawanan dengan cara yang
menyedihkan.
3. Analisis Fenomena Sosial yang muncul dalam novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” Karya Ahmad Tohari meliputi :

a. Fenomena sosial kehidupan masyarakat yang sulit untuk


melepaskan diri dari cengkraman alam pikiran mitos yang mendasar
pada nuraninya dan menjadi tradisi turun menurun.

b. Fenomena sosial kehidupan seorang ronggeng dengan segala


perilakunya. Tentang kebebasan seks sampai keinginan mengarungi
kehidupan wanita lainnya yang bukan ronggeng.

c. Fenomena sosial tentang kebobrokan moral dan kejahatan seksual


yang dialami sekelompok etnis tertentu dan di daerah tertentu.

B. Saran

Setelah memperhatikan beberapa pendapat dan kesimpulan diatas,


kitanya dipandang perlu peneliti menyampaikan saran sebagai berikut :

1. Kepada para pembaca, fenomena sosial yang ada di dalam novel


“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari dapat menilai dan dapat
mengambil hikmahnya sehingga bermanfaat.

2. Kepada semua pihak, khususnya kalangan pendidik atau pengajar


Bahasa dan Sastra Indonesia, kiranya sangatlah perlu mengajarkan atau
menyampaikan sastra secara teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, bandung CV. Sinar Baru, 1987

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta,


Bina Aksara, 1985

Darmono, Sapardi Djoko, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990

Harjana, Andre, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Jaya, 1981

Lubis, Muchtar, Tehnik Tengarang, Jakarta : Karunia, 1981

Sujiman, panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Jaya, 1984

Sujiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Jaya,
1988

Sukade, Made, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, Bandung : Angkasa, 1985

Sumarjo, Jakob dan K.M Saini, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Jaya, 1984

Suyitno, Sastra Tata Niali dan Eksgesis, Yogyakarta : PT. hanidia, 1986

Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prnsip Dasar Sastra, Bandung : Angkas, 1984

Tohari, Ahmad, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta : Gramedia, 1985

Anda mungkin juga menyukai