Anda di halaman 1dari 298

SASTRA DAN NASIONALISME;

STUDI ATAS PUISI-PUISI MAHJAR ALÎ AHMAD BÂKATSÎR

Disertasi ini
diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
dalam Bidang Pengkajian Islam

Pembimbing :
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA

Disusun oleh :
Minatur Rokhim
NIM : 31151200000060

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB


PROGRAM DOKTOR STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wa syukrulillah, atas rampungnya disertasi ini. Saya menyadari


bahwa banyak pihak telah membantu saya dalam proses penyelesaian disertasi
ini. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Amani Lubis, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mengabdikan waktu dan potensinya untuk UIN ini;
2. Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Didin
Saepudin, MA dan Dr. Asmawi, MA selaku Ketua dan wakil Program
Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para dosen SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta civitas akademika SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas berbagai pelayanan dan kemudahan yang
diberikan oleh SPs kepada Penulis, baik yang sifatnya administratif
maupun akademik, selama saya kuliah di SPs Program Doktor UIN ini;
3. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA
selaku Promotor Penulis;
4. Prof. Dr. HD. Hidayat, MA, Prof. Dr. Achmad Satori, MA, dan Dr. Tb.
Ade Asnawi, MA selaku Penguji Disertasi Penulis;
5. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA (Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Periode 2015-2019) dan Saiful Umam, Ph.D
(Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Periode 2019-2023) yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk
melanjutkan studi S3 di SPs UIN Syarif Hidayatullah;
6. Ishom Bâkatsîr, Abdullah Baraja, Abdul Kadir Baraja (Keluarga besar
Alî Ahmad Bâkatsîr), KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), dan
Nabiel A. Karim Hayaze‘ (Direktur Menara Center: Pusat Kajian
Keturunan Arab di Indonesia) yang bersedia meluangkan waktunya
untuk Penulis wawancarai dalam rangka penggalian data disertasi ini;
7. Habib Ali Hasan Albahar, MA, Mus‘ab Bakatsir, dan Dr. Ulil Abshar,
M.Hum (Komisaris PT Indonesia Power) yang telah memberikan
bantuan finansial untuk studi Program Doktor Penulis di SPs UIN
Syarif Hidayatullah;
8. Kepada dosen dan sahabat yang turut menyemangati Penulis untuk
segera menyelesaikan studi; Prof, Dr. Ahmad Bachmid, Dr. Saidun
Derani, MA, Pungki Purnomo, MLIS, Dr. Yaniah Wardani, M.Ag, Dr.
Siti Amsariah, M.Ag, dan Drs. Nawawi, M.Ag;
9. Penulis juga memberikan apresiasi khusus kepada yang istri tercinta,
Emilia dan anak-anakku, Aulia, Nada, dan Keisya yang selalu
menyemangati saya dalam menyelesaikan studi S3 Penulis;
10. Ayahanda almarhum H. Muhafidzin dan Ibunda Munihah atas kasih
sayang, doa, dan ridlanya yang senantiasa mengiringi langkah Penulis.

vii
Akhirnya, atas berbagai bantuan tersebut, Penulis memohon kepada Allah
SWT agar membalas kepada semua pihak yang telah membantu Penulis
dengan balasan yang sebesar-besarnya, amin ya rabbal alamin.
Ciputat, 1 April 2021
Penulis,

Minatur Rokhim

viii
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan interaksi antara sastra, islam, dan
nasionalisme dalam karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr, Indûnîsiyâ Yâ Jannah
al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ. Penelitian ini juga akan membuktikan bahwa
karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr menunjukkan akan nasionalisme mahjar
Hadrami. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah gagasan nasionalisme
keindonesiaan dan keislaman dalam karya sastranya, konsep dan wawasan
sastranya, serta pengaruh yang ditimbulkannya.
Dalam mengkaji permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan
teori sosiologi sastra Robert Escarpit. Adapun sumber data primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah puisi Alî Ahmad Bâkatsîr dalam dua
qashidahnya yang berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ
Hattâ. Dan untuk melengkapi dan mendukung dua data primer tersebut,
peneliti juga menggunakan data sekunder. Adapun data sekunder tersebut
berupa karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr lainnya baik berupa novel, drama,
puisi – di antaranya tonil Audatul al-Firdaus – serta disertasi, tesis, jurnal,
prosiding, artikel, buku, yang berkaitan dengan Alî Ahmad Bâkatsîr.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah
al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ mempunyai karakteristik keIndonesiaan yang
sangat kental baik dari unsur instrinsik maupun unsur ekstrinsiknya. Unsur
instrinsik; secara umum, bentuk puisi dalam kedua kasidah ini tidak beda
dengan puisi-puisi Arab lainnya, namun ada satu puisi pada masing-masing
kasidah kata ‗merdeka‘. Dari unsur ekstrinsiknya, Alî Ahmad Bâkatsîr begitu
‗fasih‘ berbicara tentang Indonesia; penggambaran alam Indonesia, kekayaan
alam yang mengundang penjajah, rakyat Indonesia melawan penjajah,
nasionalisme dan cinta tanah air, harapan dan kegembiraan akan kemerdekaan
Indonesia, persaudaraan dan kemanusiaan, dan perhatian terhadap dunia
internasional
Kesimpulan disertasi ini menolak pernyataan L.W.C. (Lodewijk
Williem Christian) van den Berg dalam bukunya Orang Arab di Nusantara,
bahwa Orang Arab Hadrami selalu terpacu untuk tanah asalnya, yakni Yaman,
dan cenderung menganggap Hindia Belanda sebagai tanah untuknya mencari
nafkah serta tidak peduli dengan keaadaan Indonesia, terpatahkan.
Kata Kunci : Sastra, Islam, Nasionalisme, Mahjar, dan Alî Ahmad Bâkatsîr

ix
‫الملخص‬
‫تػهدؼ ىذه الدراسة إىل الكشف عن التفاعل بُت األدب واإلسالـ والوطنية يف القصيدتُت لعلي‬
‫أمحد باكثَت‪" ،‬إندونيسيا يا جنة الدنيا" و "بالدؾ يا حتا"‪ .‬وستثبت ىذه الدراسة أيضا أف‬
‫األعماؿ األدبية لعلي أمحد باكثَت تظهر وطنية ادلهجر احلضرمي‪ .‬وأف مشكلة ىذا البحث‬
‫تدور حوؿ الفكرة الوطنية اإلندونيسية واإلسالمية يف مؤلفاتو األدبية ومفاىيمو وآفاقو األدبية‬
‫والتأثَت الذي تسببو‪.‬‬
‫ويف ىذا البحث سلك الباحث مقاربتُت‪ ،‬ومها مقاربة داخلية بأف يعتمد على علم‬
‫العروض والقوايف وعلم البالغة‪ ،‬ومقاربة خارجية بأف يستخدـ نظرية األدب االجتماعي ونظرية‬
‫النسب العريب بإندونيسية‪ .‬أما ادلصدر األساسي ذلذا البحث فهو القصيدتاف‪" :‬إندونيسيا يا‬
‫جنة الدنيا" و "بالدؾ يا حتا"‪ .‬وإلكماؿ ودعم ادلصدر األساسي‪ ،‬استخدـ الباحث ادلصدر‬
‫الثانوي‪ :‬األعماؿ األخرى لعلي أمحد باكثَت يف شكل روايات ومسرحيات وقصائد – ومن بينها‬
‫رواية عودة الفردوس – وكذلك األطروحات واجملالت والوقائع وادلقاالت والكتب ادلتعلقة هبذا‬
‫البحث‪.‬‬
‫يكشف ىذا البحث أف القصيدتُت لعلي أمحد باكثَت "إندونيسيا يا جنة الدنيا" و‬
‫"بالدؾ يا حتا" تتمتعاف خبصائص إندونيسية دتتّعا كبَتا‪ ،‬من حيث عناصرمها الداخلية و‬
‫اخلارجية‪ .‬وأما من حيث العناصر الداخلية فإهنما بصفة عامة الختتلفاف يف الشكل عن غَتمها‬
‫من القصائد العربية‪ ،‬إال أف يف كل منهما كلمة "مرديكا" ىي اليت التوجد يف غَتمها من القصائد‬
‫العربية‪ ،‬ومن خالؿ العناصر اخلارجية يوجد فيهما أف باكثَت يتحدث جيدا عن إندونيسيا‬
‫كتصويره حاؿ الطبيعة اإلندونيسية وثرواهتا اليت دعت ادلستعمرين‪ ،‬وعن كفاح الشعب‬
‫اإلندونيسي ض ّد االستعمار‪ ،‬وعن الوطنية وحب الوطن‪ ،‬واألمل والفرح الستقالؿ إندونيسيا‪،‬‬
‫وكذلك يتحدث عن األخوة اإلسالمية واإلنسانية‪ ،‬باإلضافة إىل اىتمامو بالقضايا العادلية‪.‬‬
‫ورفضت نتيجة ىذه الدراسة رأي ‪( LWC‬لودوجيك ويليم كريستياف) فاف دف بَتغ يف‬
‫دائما مدفوعُت إىل وطنهم األصلي‪ ،‬وىو اليمن‪،‬‬ ‫كتابو العرب يف األرخبيل‪ ،‬أف احلضارـ كانوا ً‬
‫كما أهنم كانوا دييلوف إىل اعتبار جزر اذلند الشرقية اذلولندية أرضا ذلم لكسب العيش‪ ،‬ومل‬
‫يهتموا بالظروؼ اليت دتر بػها إندونيسيا‪.‬‬
‫الكلمات ادلفتاحية‪ :‬األ دب‪ ،‬اإلسالـ‪ ،‬الوطنية‪ ،‬ادلهجر‪ ،‬علي أمحد باكثَت‪.‬‬

‫‪x‬‬
ABSTRACT

This study aims to discuss the interaction among literature, Islam, and
nationalism on Ali Ahmad Bakatsir‘s literary works, Indûnîsiyâ Yâ Jannah
al-Dunyâ and Bilâduk Yâ Hattâ. This study will also prove that Alî Ahmad
Bâkatsîr's literary works show mahjar Hadrami's nationalism. The problem in
this research is the idea of Indonesian nationalism and Islam in his literary
works, concept and literary insight, as well as the influence they cause.
In examining the problems above, the researcher uses two approaches,
first, the intrinsic approach: arûd wa qawâfî and balâghah theory, and second,
the extrinsic approach: the sociology of literature and Arab descent in
Indonesia theory. The primary data used in this study is the poetry of Alî
Ahmad Bâkatsîr in his two qashidahs entitled Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ
and Bilâduk Yâ Hattâ. In order to complement and support the two-primary
data, the researcher also use secondary data. The secondary data is another
works of Alî Ahmad Bâkatsîr in the form of novels, dramas, poetry—among
them are tonil Audatul al-Firdaus—as well as dissertations, theses, journals,
proceedings, articles, books, which were related to Alî Ahmad Bâkatsîr.
This study reveals that the qashidah of Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ
and Bilâduk Yâ Hattâ have very strong Indonesian characteristics, both from
their intrinsic and extrinsic elements. The intrinsic element; in general, the
form of poetry in these two qashidahs have no difference from other Arabic
poetry, but in each qashidah there is a poem which contains the word
‗merdeka‘ (freedom). From the extrinsic element, Alî Ahmad Bâkatsîr speaks
―fluently‖ about Indonesia; depiction of Indonesian nature, natural wealth that
invites colonizers, Indonesian people against colonizers, nationalism and love
the homeland, hope and joy for Indonesian independence, fraternity and
humanity, and attention to the international world.
The conclusion of this dissertation rejects the statement of L.W.C.
(Lodewijk Williem Christian) van den Berg in his book Orang Arab di
Nusantara (Arabs in the Archipelago), who said that the Arab Hadrami were
always motivated for their native land, Yemen, and tended to consider the
Dutch East Indies only as a place to earn a living and did not care about
Indonesia's condition.
Keywords: Literature, Islam, Nationalism, Mahjar, and Alî Ahmad Bâkatsîr.

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan
Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ b Be
‫ت‬ t Te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j Je
‫ﺡ‬ h h dengan garis bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z Zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis di bawah
‫ض‬ d de dengan garis di bawah
‫ط‬ t te dengan garis dibawah
‫ظ‬ z zet dengan garis bawah
‫ع‬ ‗ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f Ef
‫ق‬ q Ki
‫ك‬ k Ka
‫ل‬ l El
‫و‬ m Em
‫ن‬ n En
‫و‬ w We
‫ھـ‬ h Ha
‫ء‬ ` Apostrof
‫ي‬ y Ye

2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

xiii
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
‫ــَـ‬ a Fathah
‫ــِـ‬ i Kasrah
‫ــُـ‬ u Dlammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
‫ــَـ ي‬ ai a dan i
‫ــَـ و‬ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
‫ـَــــﺎ‬ â a dengan topi di atas
‫ــي‬
ْ ِ ‫ــ‬ î i dengan topi di atas
ْ‫ــ ُـــى‬ û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (‫ )ــّـ‬dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
(‫ )انﻀﺮورة‬tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‗t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

xiv
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طﺮﯾﻘﺔ‬ Tarîqah
2 ‫انﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ‬ al-jâmî‘ah al-islâmiyyah
3 ‫وﺣﺪة انىﺟىد‬ wahdat al-wujûd

xv
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................................. iii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PROMOSI DOKTOR ..............................viii
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
ABSTRAK .................................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................ xvii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 14
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 14
D. Pembatasan Masalah ................................................................... 15
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 15
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan .............................................. 16
G. Metodologi Penelitian ................................................................. 22
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 26
BAB II: PUISI, ISLAM, NASIONALISME DAN KETURUNAN ARAB28
A. Sastra dan Macamnya ................................................................. 28
B. Sosiologi Sastra........................................................................... 37
C. Relasi Islam dan Nasionalisme .................................................... 53
D. Teori Keturunan Arab ................................................................. 58
BAB III: BIOGRAFI ALÎ AHMAD BÂKATSÎR .................................... 69
A. Lingkungan dan Keluarga Alî Ahmad Bâkatsîr ........................... 69
B. Latar Pendidikan dan Proses Kepengarangan Alî Ahmad Bâkatsîr72
C. Mesir sebagai Tempat Revolusi Diri dan Aktivitas Kepenulisan Alî
Ahmad Bâkatsîr .......................................................................... 78
D. Akhir Hayat Alî Ahmad Bâkatsîr ................................................ 81
BAB IV: INSPIRASI SASTRA DAN TELAAH DUA QASIDAH ALÎ
AHMAD BÂKATSÎR................................................................. 86
A. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi Alî Ahmad Bâkatsîr 86
B. Karya Sastra Alî Ahmad Bâkatsîr .............................................. 106
C. Pandangan Alî Ahmad Bâkatsîr tentang Islam ........................... 118
D. Teks Lengkap dan Terjemahan Qasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-
Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ..................................................... 132
E. Keindahan Puisi Alî Ahmad Bâkatsîr; Irama, Sajak, dan Bahasa 148

xvii
A. Unsur-Unsur Sosiologi Sastra ..................................................... 173
1. Penggambaran Alam Indonesia.............................................. 176
2. Kekayaan Alam yang Mengundang Penjajah ........................ 185
3. Rakyat Indonesia Melawan Penjajah ..................................... 193
4. Nasionalisme dan Cinta Tanah Air ........................................ 204
5. Harapan dan Kegembiraan akan Kemerdekaan Indonesia ..... 210
6. Persaudaraan dan Kemanusiaan ............................................. 216
7. Perhatian terhadap Dunia Internasional ................................. 217
B. Nasionalisme Mahjar ................................................................... 218
C. Patahnya Karakteristik Arab Hadrami; Sanggahan atas L. W. C.
Van den Berg............................................................................... 232
BAB VI: PENUTUP ................................................................................... 238
A. Kesimpulan ................................................................................. 238
B. Saran ............................................................................................ 239
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 241
GLOSARIUM .............................................................................................. 278
INDEKS ....................................................................................................... 283
DOKUMENTASI ........................................................................................ 289

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Karya sastra merupakan salah satu tradisi manusia yang dinilai sebagai
kemajuan peradaban.1 Pada hakikatnya, manusia menyukai keindahan. Apa
yang ditangkap melalui indra penglihatan, kemudian diolah, dipikiran dan
disisipi oleh kecenderungan yang intim yang bersumber dari emosi seseorang.
Proses ini kemudian ditampikan dalam serangkum untaian kata-kata indah
yang diproduksi melalui sejumlah hasil cipta verbal seperti puisi, sajak, novel
dan lain sebagainya. Seringkali, karya sastra merupakan cerminan dari
pembuatnya.
Di dunia Arab pra-Islam, sastra menjadi media temu-dengar yang selalu
dihadiri oleh para pembesar suatu kabilah. Di masa prakenabian, secara
berkala, tujuh karya sastra terindah berupa puisi dan sajak, kerap digantung di
sisi Mekkah yang dalam istilah setempat bernama al-mu‟allaqât. Bangsa Arab
termasuk puak yang menjunjung tinggi tradisi sastranya, sehingga tidak
jarang karya-karya mereka abadi dan dapat dinikmati hingga masa kini seperti
dalam kisah Alf al-Lailah wa al-Lailah (Kisah Seribu Satu Malam) dan lain
sebaginya.2
Pembuatan karya sastra hampir tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
dan peristiwa yang mengitari para penggubahnya. Seringkali, sastra dijadikan
semacam pengejawantahan kekaguman akan suatu keindahan seperti terlihat
dalam kekaguman Kahlil Gibran dalam pesona cinta universal yang tersemat
dalam The Prophet3 atau dalam konteks politik, disuarakan sebagai peluru
perlawanan atas suatu kuasa politik yang dinilai despot sebagaimana banyak
dijumpai dalam karya sastra Russia, salah satunya Alexander Solzenitsyin
dalam The Gulag Archipelago.4 Di sisi lain, sastrawan juga kerap menjadikan
sastra sebagai pembangkit kekuatan massa sebagaimana terekam dalam suatu
puisi Emha Ainun Najib yang berjudul Muhammadkan Hamba Yâ Rabb. Puisi

1
Srashti Srivastava dan Satendra Kumar Mishra, "Critical Study of Indian and
French Philosophical Literature: in Search of Wisdom, Spirituality and Rationalism",
dalam International Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 1, 2019, hal. 1-3.
2
Andras Hamori, On the Art of Medieval Arabic Literature, (Princetown:
Princeton University Press, 2015), hal. 3 – 30.
3
Kahlil Gibran, The Prophet and The Other Writing, (New York: Chartwell
Book, 2019).
4
Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, (New York: Harper 3,
1975).

1
ini mengajak pendengarnya untuk merenungkan sifat Nabi Muhammad pada
diri umat Islam.5
Orang Arab mempunyai selera yang cukup tinggi dalam bidang sastra.
Selera ini semacam kecenderungan bawaan sehingga terus dilestarikan bahkan
pada orang-orang Arab yang tinggal di perantauan atau yang berdarah
peranakan. Sejak 1258, yakni ketika ibu kota Abbasiyah, Baghdad, diserang
bangsa Tartar, terjadi migrasi orang Arab yang besar keluar dari kantung-
kantung peradaban kekuasaan Islam ke wilayah lainnya, termasuk ke
Nusantara. Di tempat yang baru ini, mereka berperan sebagai ulama,
pedagang dan beberapa ada yang menjadi penasehat kerajaan. Sebelum tahun
itu, memang sudah ada pemukiman bangsa Arab di luar Timur Tengah,
namun gejala ini menunjukkan peningkatannya setelah serangan bangsa
Tartar itu terjadi. Motif utama keluarnya mereka dari Baghdad atau kampung
halamannya adalah menyelamatkan diri dari serbuan pasukan Tartar.6
Fase migrasi sosial bangsa Arab lainnya, dalam konteks sejarah
Indonesia, dapat dilihat ketika memasuki pendudukan Hindia Belanda pada
abad 19. L. W. C. Van den Berg menyebutkan bahwa di periode ini banyak
pendatang Arab yang tiba di Nusantara yang didorong oleh motif perubahan
nasib atau ekonomi. 7 Banyak dari para pendatang itu adalah para
pengangguran korban perang antarsuku atau memang sosok-sosok yang
tergerak mencari peruntungan di negeri rantau, atau dalam istilah khas
Indonesia disebut ―mencari cincin Nabi Sulaiman‖.8 Pendapat Van den Berg
sempat dikoreksi oleh Snouck Hurgronje yang menyebutkan bahwa dalam
visi perantuan masyarakat Arab tersemat keinginan untuk menyebarkan ajaran
Islam selain motif ekonomi.9 Tidak dapat dipungkiri, konversi kepercayaan
yang masif di Nusantara dimotori oleh dakwah orang-orang Arab. Kedatangan
mereka di Nusantara dielu-elukan penduduk pribumi bahkan banyak pula di

5
Lihat https://www.caknun.com/2018/muhammadkan-hamba-ya-rabbi-1988/,
diunduh pada pukul 16.17 WIB, Senin, 12 Agustus 2019.
6
Muhammad Abdul Karim,"Baghdad‘s Fall and Its Aftermath: Contesting the
Central Asian Political Background and the Emergence of Islamic Mongol
Dynasties", dalam Al-Jami'ah, Vol. 56, No. 1, 2018, hal. 187-224; lihat juga Kenneth
R. Hall, "Commodity Flows, Diaspora Networking, and Contested Agency in the
Eastern Indian Ocean c. 1000–1500", dalam TRaNS: Trans-Regional and-National
Studies of Southeast Asia, Vol. 4, No. 2, 2016, hal. 387-417.
7
L. W. C. van den Berg, "De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch-
Indie", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie,
1901, hal. 1-80.
8
Suzanne Pinckney Stetkevych, "Solomon and Mythic Kingship in the Arab-
Islamic Tradition: Qashidah, Qur‘an and Qishash al-Anbiya", dalam Journal of
Arabic Literature, Vol. 48, No. 1, 2017, hal. 1-37.
9
Lebih lanjut lihat Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, (Leiden: EJ
Brill, 1915)

2
antara penduduk pribumi yang mengkeramatkan orang Arab, khususnya
kelompok Sayyid, yakni para keturunan Nabi Muhammad. 10 Pemuliaan ini
tentu saja juga berpangkal pada pemahaman ajaran agama dan bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar memahami korpus keislaman dari para sayyid yang
biasanya lebih tinggi di banding orang-orang Nusantara sendiri.
Para pendatang Arab di Nusantara menjadi objek dari diberlakukannya
kebijakan rasial yakni penggolongan mereka sebagai vreemde oosterlingen
(masyarakat Timur Asing) dan wijkenstelsel atau lokalisasi pemukiman dan
beraktivitas. Para administratur Hindia Belanda meyakini bahwa kedudukan
orang Arab di mata pribumi amat istimewa, sehingga kerap ditemukan
fanatisme berlebihan yang dimotori kelompok Arab yang dapat berimbas pada
terancamnya politik penertiban dan keteraturan (rust en orde) yang diterapkan
pemerintah agar ruang publik tetap kondusif.11 Kebijakan vreemde
oosterlingen merupkaan bagian dari pemilahan rasial yang dilakukan untuk
memisahkan pemukiman dan pergaulan orang Eropa, orang Timur Asiang dan
orang prubumi. Orang Eropa termasuk dalam kelas pertama yang menerima
hak sebagai warga negara Hindia Belanda. Orang Arab, orang Tionghoa,
orang India, orang Jepang dan orang Asia lainnya termasuk dalam warga
negara kelas dua atau golongan vreemde oosterlingen. Kelompok ketiga atau
yang terbawah adalah masyarakat pribumi atau inlander.12
Pengelompokkan pemukiman orang Arab tidak serta merta membuat
mereka terpasung dalam pergaulan sosial. Mereka tetap bisa beraktivitas
melalui profesi yang ditekuninya, yakni sebagai pedagang dan pendakwah.
Melalui dua kegiatan ini, mereka masih bisa berhubungan dengan para
kelompok pribumi, orang Tionghoa atau bahkan dengan pemerintah Hindia
Belanda sendiri. Keterbukaan ini kerap dimanfaatkan oleh mereka untuk
mendakwahkan ajaran Islam sekaligus memberikan pengajaran simultan
kepada para pengkaji Islam ataupun masyarakat Islam yang memang
berkeinginan mengaji ilmu agama secara khusus dengan ulama dari kalangan
orang Arab seperti yang terlihat di Masjid Langgar Tinggi di Pekojan,
Batavia.13

10
Yusof A. Talib, "Les Hadramis et le Monde Malais", dalam Archipel, Vol. 7,
No. 1, 1974, hal. 41-68.
11
F. G. P. Jaquet, "Mutiny en Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19e Eeuwse
Bronnen", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1980, hal. 283-312.
12
Lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan komunalisasi ras Timur Asing
(vreemde oosterlingen) lihat F. Fokkens, Afschaffing van Pachten op Java en
Madoera en in Verband Daarmede: Verscherping van het Toezicht op de Beweging
der Vreemde Oosterlingen, (Batavia: Indisch Genootschap, 1897).
13
Langgar Tinggi merupakana tempat shalat (mushalla) yang terdapat di
Pekojan. Di abad 19, tempat ini digunakan seagai ibadah harian, mengaji agama dan
penginapan sementara bagi para pendatang. Lokasinya terletak di pinggir sungai
Pekojan yang di masa itu masih berfungsi sebagai sarana transportasi air. Para

3
Beberapa kota besar di Jawa, seperti Batavia, Semarang dan Surabaya,
mempunyai pemukiman orang Arab tersendiri. Jika di Batavia dan Semarang,
kampung orang Arab dinamakan Pekojan, maka orang Arab di Surabaya
tinggal di Kampung Ampel. Sama dengan kota besar lain di Hindia Belanda,
Surabaya menjadi salah satu destinasi pendatang Arab dari Hadramaut,
Yaman. Menginjak abad 19, intensitas kedatangan mereka kian meninggi,
sehingga membutuhkan rumah serta lahan profesi yang lebih banyak
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akibat masih diberlakukan kebijakan
wijkenstelsel, maka para pendatang ini pun hidup dengan kerabat atau kenalan
mereka sesama orang Arab di kampung-kampung tersebut. Para pendatang
pun memperoleh wawasan umum hidup di Hindia Belanda serta kemungkinan
untuk memperoleh penghidupan di tanah rantau itu dari para kerabat maupun
kenalannya. Tidak jarang, orang yang disinggahi tersebut kemudian
mencarikan pekerjaan bagi pendatang itu bahkan meminjamkan modal untuk
memulai usaha.14
Di antara kelompok Arab dari Hadramaut (selanjutnya disebut Arab
Hadrami) terdapat keluarga yang berfam Bâkatsîr. Keluarga Alî Ahmad
Bâkatsîr yang tinggal di Surabaya, seperti juga keluarga Arab Hadrami
lainnya, berkeinginan untuk menetap dan mengembangkan profesinya di
tanah rantau. Kendati demikian, ingatan mereka tentang kampung halaman
selalu dipelihara melalui tradisi dan budaya Arab Hadrami yang masih
dilestarikan. Ahmad Bâkatsîr, seorang Arab berfam Bâkatsîr, menyadari
bahwa untuk merawat tradisi Hadrami serta keilmuan yang muttasil
(bersambung dengan para ulama yang teruji kealiman dan pengetahuannya)
tidak cukup hanya mendidik anak-anaknya di Surabaya. Ia pun mengirim
seorang anaknya Alî bin Ahmad Bâkatsîr (selanjutnya Alî Ahmad Bâkatsîr)
untuk menimba ilmu di Hadramaut, tepatnya di kota Seiwun. Alî Ahmad
Bâkatsîr inilah yang di lembaran-lembaran berikutnya akan dikaji riwayat
serta karya sasatranya.
Alî Ahmad Bâkatsîr lahir pada 21 Desember 1910. Ia dikenal sebagai
sastrawan kenamaan Mesir yang lahir di Surabaya. sampai menginjak 13
tahun, Alî Ahmad Bâkatsîr menghabiskan hidupnya di Surabaya. Di umur

pengajar di masjid ini umumnya adalah etnis Arab kelompok Sayyid yang tinggal di
sekitar Pekojan. Lebih lanjut mengenai fungsi tempat ibadah ini, lihat artikel pekojan
di Batavia dalam Henri Chambert-Loir dan Jacques Dumarçay, "Le Langgar Tinggi
de Pekojan, Jakarta", dalam Archipel, Vol. 30, No. 1, 1985, hal. 47-56; Lihat juga
Johan Wahyudi dan M. Dien Madjid, "Pekojan: Image of an Arab Kampong during
the 18th to 19th Centuries Batavia" dalam Insaniyat, Vol. 3, No. 2, 2019, hal. 99 –
110.
14
Memulai kehidupan di lokasi yang baru (Hindia Belanda) menjadi masalah
yang harus dipecahkan para pendatang Arab Hadrami. Mereka banyak mendapat
bimbingan dari para keluarga maupun kenalannya. Mengenai bagaimana kehidupan
serta profesi orang Arab di Hindia Belanda lebih lanjut lihat L.W.C. Van den Berg,
Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hal. 95 - 113.

4
tersebut ayahnya mengirimnya ke Seiwun, Hadramaut, Yaman untuk
memperdalam ilmu agama. Di sana, Alî Ahmad Bâkatsîr mendaftar di suatu
pesantren yang bernama al-Nahdah al-Ilmiyyah. Ia memperdalam fiqih dan
ilmu bahasa Arabnya kepada Syekh Besar al-Qadhi Muhammad bin
Muhammad Bâkatsîr. Semasa muda, Alî Ahmad Bâkatsîr sudah menekuni
sastra Arab. Ia rajin menulis puisi, sajak, prosa maupun novel dengan bahasa
Arab. Hobinya inilah yang mengantarkannya menjadi salah seorang raksasa
sastra Arab yang fenomenal.15
Bandul nasib membawa Alî Ahmad Bâkatsîr tidak pulang ke negeri
asalnya, melainkan menetap di Mesir. Di sini ia banyak bergaul dengan para
cendikiawan Mesir seperti Najîb Mah}fûz, Ah{mad Syauqî, T{âhâ H{usain,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Di tahun 1950-an, iklim
intelektual di Mesir terbilang cukup modern. Banyak ide-ide pembaruan dari
Barat dikaji, ditelaah bahkan diperdebatkan dalam forum-forum
kemahasiswaan atau di momen temu para cendikiawan.16 Alî Ahmad Bâkatsîr
menikmati iklim positif itu sembari terus menekuni sastra Arab. Kegiatan ini
membuatnya betah untuk berlama-lama di Mesir hingga akhirnya ia
memutuskan untuk menjadi warga negara Mesir. 17
Alih-alih menekuni ilmu agama, hingga menjadi seorang faqih (ulama
ahli fiqih), belajar di Yaman justru membuat Alî Ahmad Bâkatsîr semakin
tertarik di dunia sastra Arab.18 Di tengah pendidikannya, ia banyak
mencurahkan waktu membaca karya sastra Arab klasik dan modern. Bâkatsîr
mulai menekuni penulisan novel, naskah drama (tonil) atau syair-syair Arab.
Novel dan tonil dapat dikategorikan sebagai bentuk karya sastra modern 19,
sedangkan syair Arab, biasanya disusun dalam dua syathr dengan rima,
merupakan salah satu bentuk seni sastra Arab klasik20 yang masih populer di
saat Alî Ahmad Bâkatsîr masih di Yaman. Jika didalami kisah hidupnya,
sebenarnya sudah sejak di Surabaya, Bâkatsîr telah jatuh hati pada gubahan

15
Sangidu, "Ad-Dûdah Wats-Tsu‘bân (Cacing dan Ular) Karya Alî Ahmad
Bâkatsîr: Analisis Struktural Model Badr", dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol.
20, No. 1, 2008, hal. 56-68.
16
Nadav Safran, Egypt in Search of Political Community: an Analysis of the
Intellectual and Political Evolution of Egypt, 1804-1952. No.5, (Harvard: Harvard
University Press, 1961), hal. 209 – 231.
17
Sangidu, ― Ad-Dûdah …..‖, hal. 58.
18
Sangidu, ― Ad-Dûdah …..‖, hal. 58.
19
G. Hillocks, "The Territory of Literature", dalam English Education, Vol.
48, No. 2, 2016, hal. 109-126; Lihat juga Christof Schoch, "Topic Modeling Genre:
An Exploration of French Classical and Enlightenment Drama", dalam DHQ: Digital
Humanities Quarterly, Vol. 11, No. 2, 2017.
20
Yahya Saleh Hasan Dahami, "The Arabic Tongue: A Worthy Language",
dalam European Journal of Language and Literature, Vol. 4, No. 4, 2019, hal. 80-89.

5
sastra Arab.21 Pengembaraan intelektualnya di Yaman menjadi semacam
kawah candradimuka yang memoles rasa dan pemahaman sastra Alî Ahmad
Bâkatsîr menjadi lebih matang. 22
Terdapat beberapa alasan mengapa Seiwun atau Yaman pada umumnya
menempa jiwa sastra Bâkatsîr. Pertama, pergumulan di Seiwun dianggap
Ba>kathi>r semacam perjalanan menjumpai kampung halaman yang sejak
lama dirindukannya, sehingga dengan menapakkan kaki di sana, membawa
aura tersendiri yang membangkitkan nalar dan rasa sastranya. Sudah bukan
rahasia lagi, jika kesan yang mendalam akan suatu keadaan atau tempat,
seringkali ditangkap seorang sastrawan atau setidaknya seorang sastrawan
pemula untuk menuangkannya dalam suatu karya sastra.23 Dalam kumpulan
cerita pendek Sitor Situmorang yang berjudul Salju di Paris24 misalnya,
merupakan tumpahan dari kerinduan Sitor akan Paris yang setelah terobati
ketika ia datang ke sana, lantas mengolah rasa rindu itu ke dalam karya sastra
berbentuk cerita pendek.
Kedua, sebagai seorang keturunan Arab yang melanjutkan kehidupan di
Arab ia merasa bahwa tubuhnya seperti terdiri dari dua bagian, yakni
kearabannya yang menemukan tempat persemayamannya yang nyaman di
Yaman, namun di sisi lain, ia juga terganggu dengan identitasnya yang tidak
memiliki jiwa Arab yang murni, karena ia merupakan keturunan Arab yang
lahir di Surabaya.25 Pergumulan identitas ini semakin kompleks teraduk,
manakala mengetahui bahwa negeri kelahirannya sedang berada di zaman
yang tidak menguntungkan, karena harus menyerah di bawah himpitan
kekuatan kolonialisme Belanda. Dengan kata lain, ungkapan sastrawi yang
disampaikan Bâkatsîr, di beberapa tema dan sisi, ada yang mencerminkan
perlawanannya pada kekuatan kolonial Hindia Belanda melalui citra dirinya

21
Sangidu, ―Ad-Du>dah …..‖, hal. 58.
22
Sangidu, ―Ad-Du>dah …..‖, hal. 59.
23
Stefan Leder dan Hilary Kilpatrick, "Classical Arabic Prose Literature: a
Researchers' Sketch Map", dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 23, No. 1, 1992,
hal. 2-26.
24
Salju di Paris merupakan kumpulan cerita pendek Sitor Situmorang yang
ditulisnya saat ia berada di Prancis. Terlihat dalam penyusunannya, Sitor ingin
mencoba menjadi penulis eksistensialis semacam Jean Paul Sartre atau Albert Camus
sehingga narasi sastra yang dikembangkannya cenderung absurdis dan seidikit
beraroma nihilisme, mirip dengan karya sastra Sartre yang terekam dalam The Age of
Reason atau Camus dalam A Happy Dead. Lebih lanjut lihat Sitor Situmorang, Salju
di Paris (Jakarta: Gramedia 1994); Jean Paul Sartre, The Age of Reason, (Australia:
Penguin Group, 1945); dan Albert Camus, A Happy Dead, (New York: Knopf, 1972).
25
Mengenai pergumulan para keturunan Arab terkait bagaiman keputusan
mereka membela Indonesia atau hanya menjadikan itu sebagai tanah perantuan dapat
dilihat dalam Hamid Algadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di
Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988), hal. 114 – 119.

6
sebagai seorang Arab yang di masa studinya justru harus bersinggungan
dengan tradisi kearaban Yaman yang dirasakannya sudah menjadi bagian dari
identitasnya, namun bukan merupakan tujuan final dari pengembaraan jiwa
sastranya.
Sekitar medio awal abad 20, Pemerintah Hindia Belanda semakin ketat
menekan pergerakan kelompok intelektual Indonesia. Di masa ini, perjuangan
fisik seperti yang terjadi pada Perang Diponegoro (1825 – 1830) atau Perang
Aceh yang terjadi (1873 – 1913) sudah mulai mengendur. Di sisi lain, muncul
gelombang perlawanan lain yang lebih diplomatis seperti ketika Budi Utomo,
Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Nahdhlatul Ulama didirikan. Perlawanan
melalui organisasi sejatinya menunjukkan betapa orang terpelajar baik yang
berasal dari pendidikan tradisional seperti pesantren, maupun sekolah modern
yang berwawasan Eropa sentris seperti School tot Opleiding van Indische
Artsen (STOVIA) mampu meminimalisir pertumpahan darah skala massal
dalam ruang diplomasi yang tidak kalah penting ketimbang perang. Pada
masa ini pula perlawanan dengan karya jurnalistik dan sastra mulai
diperhitungkan sebagai corong penggugah dan penyadaran masyarakat yag
sudah mengalami penjajahan dalam jangka waktu yang lama. 26
Alî Ahmad Bâkatsîr hidup dalam jiwa zaman yang berkecamuk di
Hindia Belanda. Berita tentang Kuasa kolonial yang mencoba membungkam
suara-suara perlawanan para penulis, wartawan atau para tokoh politik di
Tanah Air, agaknya ikut mengisi masa belia dan masa perantauan Alî Ahmad
Bâkatsîr di Yaman. Dengan media yang serba terbatas, Bâkatsîr menangkap
beragam peristiwa politik di Tanah Air dengan pemahaman seorang
sastrawan. Ia merenungkan kegetiran hidup di bawah derap penjajah, tentang
Nusantara, negeri yang kaya raya yang di masa studinya di Yaman, sedang
lunglai di bawah popor penguasa Hindia Belanda. Bâkatsîr mencerna penggal-
penggal dinamika politik Tanah Air lantas mencoba mengaitkannya dengan
harapan akan negerinya yang terbebas dari belenggu kolonial. Suara-suara
perlawanan serta harapan akan negeri yang merdeka akhirnya tertuang dalam
karya sastra Bâkatsîr saat ia masih di Yaman atau ketika ia di Mesir.
Sukron Kamil menyebutkan bahwa kolonialisme merupakan bentuk
pendudukan yang didasari oleh pemahaman orang Barat bahwa bangsa Timur
membutuhkan bantuan mereka untuk mengangkat derajat kemanusian

26
Seputar munculnya bibit intelektual pribumi di abad 20 dapat dilihat dalam
Robert van Niel, Munculnya Elite Modern di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya,
2009); Sedangkan mengenai bagaimana perlawanan perang semesta yang bergeser
melalui perlawanan melalui organisasi dan gerakan kepemudaan yang mengutamakan
perjuangan secara diplomasi dapat dilihat dalam figur Soekarno, presiden pertama
Indonesia, lihat Cindy Adams, Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta:
Yayasan Bung Karno, 2007); Mengenai perlawanan sastra di kancah politik kolonial
pada permulaan abad 20 dapat dilihat di Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia
Belanda dan Kita, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983).

7
menjadi terdidik dan mengerti hukum. 27 Dengan kata lain kehadiran kolonial
Eropa tidak ubahnya seperti nabi yang menyuarakan kebenaran di tengah
kesalahan dan ketidaktahuan. Anggapan semacam ini yang menjadi sasaran
Bâkatsîr bahwa penindasan atas nama pencerahan adalah suatu kejahatan
yang harus dihilangkan.
Mesir menjadi lokasi belajar dan berkiprah Alî Ahmad Bâkatsîr setelah
dari Yaman. Kehidupannya di negeri ini termasuk menarik untuk diikuti,
setidaknya mengenai pilihan Alî Ahmad Bâkatsîr untuk menjadi warga negara
Mesir. Masih banyak jejak-jejak Alî Ahmad Bâkatsîr yang harus diurai di
negeri ini, di antaranya Bakatsir pernah bekerja di Kementeri pendidikan dan
Kebudayaan Mesir. Bagi seorang yang lahir di luar negeri, yang kemudian
diangkat menjadi pejabat tinggi di suatu negara yang bukan tempat lahirnya,
tentu merupakan pengalaman yang menarik, dan tergolong jarang dialami
oleh kebanyakan orang. Bagian ini akan banyak dikupas di bab selanjutnya
yang mengangkat tentang biografi Alî Ahmad Bâkatsîr.28
Ruang jelajah di Yaman dan kemudian pilihan untuk menetap di Mesir,
nyatanya tidak membuat Alî Ahmad Bâkatsîr lupa akan tanah tumpah
darahnya. Ia tetap merawat kecintaan akan Indonesia dalam karya sastranya,
salah satunya dalam penyusunan naskah tonil (drama) berjudul Audatul
Firdaus yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kembalinya
Surga yang Hilang. Naskah drama ini mengambil setting di Jakarta menjelang
masa Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Para tokoh dalam naskah ini, yang
di antaranya mencerminkan Syahrir, Soekarno dan Hatta serta pelbagai peran
pembantu yang juga memainkan peran yang penting sedang terlibat dalam
intrik dan startegi menghadapi para penjajah Jepang. Dalam naskah ini
ditampilkan debat mengenai strategi apa yang harus digunakan untuk
menghadapi penjajah dari sesama Asia ini. Mimpi untuk mewujudkan
Indonesia yang merdeka terlihat dalam narasi besar naskah ini sehingga Alî
Ahmad Bâkatsîr tidak ragu untuk mewujudkan bangsa yang merdeka sama
dengan mengembalikan surga firdaus yang penuh dengan kenikmatan ke
pangkuan para penikmatnya, yang sempat hilang akibat pendudukan pasukan
Jepang. 29
Sepanjang permulaan abad 20 hingga tahun 1930-an, Mesir mengalami
sejumlah perubahan sosial yang mengemuka akibat perpindahan kuasa politik
dan lahirnya kelompok intelektual dan militer yang menginginkan perubahan.
Sebelumnya, Mesir merupakan bagian dari Turki Usmani. Kekuasaan politik
yang terpusat dan korup, membuat kelompok terpelajar Mesir menyuarakan

27
Sukron Kamil, "Critique and Development of Modernity: From Romantic
Criticism to Post-modernism" dalam Insaniyat, Vol. 1, No. 2, 2017, hal. 109-127.
28
Sangidu, ―Ad-Dûdah …..‖, hal. 59.
29
Lebih lanjut baca Alî Ahmad Bâkatsîr, Audatul Firdaus; Kembalinya Surga
yang Hilang, (Jakarta: Yayasan Menara Center, 2018).

8
perubahan. Di sisi lain, kekuatan Barat yang kian menguat merongrong Turki
dan Mesir juga dijadikan bahan untuk membakar bara perlawanan melalui
ideologi yang dikenal sebagai nasionalisme Arab, yakni kecintaan akan Tanah
Air orang Arab. Pada periode ini kearaban dipertanyakan, mengapa tidak
mampu bangkit, dengan kaki sendiri menentang dominasi Barat dan tidak
bergantung pada pendiktean Barat terkait restrukturisasi pemerintahah yang
sebelumnya dipegang kelompok tua yang pro-Turki.30
Di tengah haru biru perpolitikan Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr
mematangkan tradisi susastranya. Gegap gempita pencarian kembali identitas
orang Arab yang kemudian mengental menjadi nasionalisme Arab, ikut
mempengaruhi arah berpikir dan merasa dirinya akan fenomena yang tidak
menguntungkan suatu bangsa akibat munculnya gelombang ancaman baru
berupa penjajahan bangsa Barat. Di Hindia Belanda, tempatnya dilahirkan,
juga mengalami kondisi yang tidak kalah menyedihkan di banding Mesir.
Penduduknya meratap dalam kemiskinan dan hanya menjadi korban kebuasan
para penguasa Belanda. Gelora nasionalisme riuh rendah disuarakan
kelompok terpelajar di negerinya, namun itu belum cukup, Alî Ahmad
Bâkatsîr merasa terpanggil untuk menulis karya sastra yang berisi perjuangan
bangsanya yang masih terjajah, harapan akan kemerdekaan dan mimpi
menghadirkan tatanan yang adil dan bebas dari pengaruh penjajah. Sejak itu,
karya-karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr semakin tajam menguliti masalah
perjuangan orang Hindia Belanda dan kecintaan pada negara tempatnya
lahir.31 Semua itu dibingkai dalam model sastra Arab klasik juga modern. Ide
itu dituangkan Bâkatsîr dalam menulis sejumlah karyanya dalam bentuk
novel, naskah drama dan syair.
Dalam khazanah karya sastra Arab modern, syair, puisi serta sajak yang
digubah Alî Ahmad Bâkatsîr termasuk dalam jenis puisi mahjar. Puisi mahjar
sendiri merupakan jenis puisi yang ditulis oleh orang Arab yang tidak
bermukim di dunia Arab. Dalam makna lain, diketahui bahwa mahjar
mengandung arti diaspora, atau dengan kata lain syair yang dibuat oleh orang
Arab yang telah berdiaspora ke sejumlah kalangan di luar negeri Arab. 32 Alî
Ahmad Bâkatsîr sendiri memang merupakan orang yang telah lahir di Jawa,
namun orang tuanya berasal dari Yaman. Dengan kata lain, dalam periode
tahun hidupnya, apalagi dengan keputusannya pindah ke Mesir, ia termasuk
kelompok Arab yang melakukan diaspora.
Penulis memfokuskan diri pada penelaahan karya sastra berbentuk syair
dari Alî Ahmad Bâkatsîr. Pilihan pada syair didasari oleh kecenderungan

30
Mengenai dinamika Mesir pada periode tersebut lihat Lothrop Stoddard,
Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia Baru Islam, 1966), hal. 171 – 178.
31
Sangidu, ―Ad-Dûdah …..‖, hal. 59.
32
Taufiq A. Dardiri, "Perkembangan Puisi Arab Modern", dalam Adabiyyat:
Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. 10, No. 2, 2011, hal. 283-308.

9
penulis yang menganggap bahwa karya syair merupakan bentuk sastra klasik
Arab yang masih relevan dihadirkan di era modern, termasuk di masa Alî
Ahmad Bâkatsîr menyusunnya. Novel, cerita pendek maupun naskah drama
merupakan bentuk karya sastra modern yang kendati mempunyai citra
sastrawi tersendiri, namun merupakan maket sastra yang dipengaruhi oleh
unsur-unsur di luar tradisi sastra Arab. Pilihan meneliti syair atau novel
sebenarnya bukan menjadi poin yang dipermasalahkan, namun lebih pada
pilihan pribadi penulis yang menganggap syair merupakan bentuk sastra yang
menjanjikan lebih banyak makna dan metafor yang perlu diurai, tidak sekedar
meneliti latar, maksud atau tujuan cerita sebagaimana tertangkap saat meneliti
novel, cerita pendek ataupun naskah drama.
Pendekatan yang penulis gunakan dalam disertasi ini ada dua macam;
intrinsik dan ekstrinsik. Untuk menelaah keindahan nilai sastra Bakatsir ini,
penulis menggunakan teori arud wa qawafi dan balaghah. Sedangkan untuk
menelaah unsur luaran sastra Bakatsir, penulis menggunakan teori sosiologi
sastra dan teori keturunan Arab di Indonesia. Alasan menggunakan sosiologi
sastra adalah ketika melihat objek kajian penulis, yakni karya Alî Ahmad
Bâkatsîr, yang mempunyai pertautan yang intim dengan gejala sosial yang
mengitarinya. Sastra tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial, bahkan dari
ruang berpikir sang sastrawan.
Pendekatan yang penulis gunakan adalah sosiologi sastra. Penulis akan
meminjam skema pemikiran kritikus sastra yang mengetengahkan teori
sosiologi sastra, lantas menjadikan teori itu sebagai pisau analisa untuk
membahas objek kajian yang dipilih. Alasan menggunakan sosiologi sastra
adalah ketika melihat objek kajian penulis, yakni karya Alî Ahmad Bâkatsîr,
yang mempunyai pertautan yang intim dengan gejala sosial yang
mengitarinya. Sastra tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial, bahkan dari
ruang berpikir sang sastrawan.33
Lebih lanjut dikatakan bahwa ketika seseorang mencipta sastra, ini
tidak bisa dilepaskan dari banyak persinggungan dengan kehidupan di
sekitarnya. Misalnya, ketika sang sastrawan kebetulan adalah aktivis politik,
maka ia kerap menjadikan debat-debat perbedaan pendapat tatkala harus
menentukan strategi pemenangan partainya, maka bentuk sastra yang
dikedepankan akan jauh dari nuasan abstrak dan bias, sastra yang beraliran
politik akan lantang dan tegas sehingga pembaca dan pendengarnya mampu
menangkap maknanya secara cepat.34
Berbeda dengan kehidupan sastrawan yang dilingkupi oleh rasa
ketidakpercayaan yang tinggi akan dunia. Misalnya, kebetulan ia juga

33
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
hal. 3-4.
34
Ann Swinfen, In Defence of Fantasy: a Study of the Genre in English and
American Literature Since 1945, (London: Routledge, 2019), hal. 10 – 20.

10
pengkaji filsafat, di sisi lain ia hidup di sekitar zaman yang penuh dengan
pergolakan dan peperangan. Nalar filsafatnya tidak mampu memberikan
jawaban akan kehancuran yang diciptakan oleh manusia yang saling menebar
angkara, oleh sebab itu ia menyuarakan pendapat sunyinya lewat pandangan
pesimistik. Ini banyak dijumpai ketika menilik karya sastra absurdis seperti
yang ditemukan dalam karya milik Albert Camus maupun Frederich
Nietzsche. 35
Keterkaitan antara teks sastra dan zaman di mana karya itu diciptakan,
adalah inti dari kajian studi sosiologi sastra. Penekanannya terdapat dalam
sejauh mana inspirasi sosial yang melingkupi suatu karya sastra menemukan
relevansinya. Biasanya, karya sastra semacam ini akan mudah menemukan
ruang hinggapnya, terlebih karya sastra yang menyuarakan suatu perlawanan
terhadap musuh yang dianggapnya jelas, seperti pandangan umum orang
Indonesia yang meyakini dijajah oleh Belanda.
Terkait dengan sastra dan konteks sosialnya, Sukron Kamil
beranggapan bahwa perlu ada penjelasan yang meyakinkan ketika
menghubungkan karya sastra di dunia ilmiah. Tidak bisa dipungkiri, banyak
akademisi di luar sastra yang melihat sastra sebagai pandangan subjektif
seorang sastrawan akan sesuatu. Akademisi dapat berlindung di balik
keilmuan yang digelutinya dengan menyebutkan riset ilmiah dalam suatu
keilmuan, misalnya di bidang fisika atau kimia, lebih objektif ketimbang
sastra. Dengan kata lain, mereka menyanksikan sejauh mana kajian sastra
dapat meyakinkan publik bahwa dirinya juga mampu menghadirkan suatu
tinjauan yang objektif. 36
Oleh sebab itu, Sukron Kamil telah menyiapkan jawabannya dengan
menyitir pandangan dari Abdul Qâhir al-Jurjânî (1009–1078) yang
menyebutkan bahwa keindahan sastra sebetulnya tidak hanya dinilai dari
keelokan kata bahasa yang tersusun, melainkan sesuatu yang mendahuluinya,
yakni rasa, imajinasi dan gagasan si sastrawan. Dalam memunculkan tiga
aspek tersebut, maka seorang sastrawan harus bersentuhan dengan realita
sosialnya. Seorang sastrawan yang miskin wawasan, maka ia juga akan
kehilangan gagasan. Tidak ada gagasan maka tidak ada kata yang diuntai, atau
tidak ada karya sastra.37
Gagasan dan realita sosial merupakan dua aspek yang banyak
dibicarakan dalam sosiologi sastra. Keduanya adalah suatu pertalian yang
tidak bisa dipisahkan, sebagai perangkat melahirkan karya sastra. Di titik

35
Mordechai Gordon, "Teachers as Absurd Heroes: Camus‘ Sisyphus and the
Promise of Rebellion", in Educational Philosophy and Theory, Vol. 48, No. 6, 2016,
hal. 589-604.
36
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2008), hal. 73.
37
Sukron, Teori …, hal. 73.

11
inilah, sosiologi sastra menemukan relevansinya dan berdasar pemahaman ini
pula, penulis berketetapan memilih teori sosiologi sebagai alat pembahasa
karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr.
Syair-syair Alî Ahmad Bâkatsîr yang menyuarakan tentang
kemerdekaan Indonesia, perlawanan terhadap penjajahan Belanda serta
Jepang serta kerinduan akan terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi
rakyat di negara tersebut dibuat tidak terlepas dengan lingkungan tempat Alî
Ahmad Bâkatsîr hidup. Uniknya, meskipun Alî Ahmad Bâkatsîr tidak
bersentuhan langsung dengan rekan-rekannya di Indonesia yang langsung
berjumpa dengan musuh serta pelbagai kungkungan sosial yang
membelenggu kemerdekaan mereka, namun Alî Ahmad Bâkatsîr ikut
merasakan pergumulan itu.
Secara teoritis, nuansa sosial yang tersusun dalam karya Alî Ahmad
Bâkatsîr, jika dihubungkan dengan latar tempat Alî Ahmad Bâkatsîr hidup
tidak menemukan relevansi. Namun, ketidakterhubungan ini setidaknya
ternegasikan dengan bait-bait liris puisi Alî Ahmad Bâkatsîr yang seolah-olah
harapannya akan Indonesia merdeka itu melibatkan dirinya sebagai subyek
yang ikut memperjuangkannya. Tentu ini masih merupakan hipotesis, karena
di bab-bab berikutnya akan diungkap sedalam apa keterlibatan Alî Ahmad
Bâkatsîr dalam perjuangan memerdekakan Indonesia dari luar negeri. Oleh
sebab banyaknya syair Alî Ahmad Bâkatsîr yang mengutarakan maksud
tersebut, maka penulis menetapkan kasidah berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-
Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ sebagai objek kajian.
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ yang artinya Indonesia adalah Surga
Dunia digubah Alî Ahmad Bâkatsîr pada 1947. Kasidah ini mengandung
maksud perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Suasana
ketegangan melawan penjajah, disematkan oleh Alî Ahmad Bâkatsîr, bak
perlawanan menghadapi binatang buas yang harus ditundukkan. Ia juga
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negeri yang penduduknya
dikaruniai perbedaan ras maupun agama, namun itu bukanlah alasan untuk
saling memperuncing perbedaan. Sebaliknya energi perbedaan semacam ini,
sejatinya adalah sumber kekuatan untuk memupuk persatuan. Sedangkan
Bilâduk Yâ Hattâ yang berarti Negerimu wahai Hatta merupakan sanjungan
Alî Ahmad Bâkatsîr terhadap perjuangan rakyat Indonesia merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah serta kiprah para tokoh bangsa, seperti
Soekarno dan Hatta dalam menggalang persatuan rakyat menjemput
kebebasan dari ancaman pendudukan penjajah.
Merujuk pada G. J. H. Van Gelder, disebutkan bahwa dalam meneliti
sastra Arab, terdapat empat hal yang perlu diperhatikan, yakni metrum, rima,
lafaz (kata) dan makna. Kualitas suatu syair Arab berkaitan dengan elemen-
elemen tersebut serta bagaimana interelasi antara keempatnya. Metode
penyusunan syair merupakan langkah pertama yang perlu diungkap pengkaji

12
sastra. Setelah itu, maka analisa lain dapat dilakukan seperti melihat makna
dari syair itu, keterkaitannya dengan realita sosial dan lain sebagainya.38
Melalui kajian ini, penulis juga ingin membantah pendapat Van den
Berg bahwa orang Arab yang ada di Nusantara identik dengan pencarian
keuntungan di balik kegiatan ekonomi dan agama, tanpa memperdulikan nasib
bangsanya.39 Hindia Belanda merupakan negara dengan etnis yang majemuk.
Perjuangan melawan penjajah dilakukan oleh hampir seluruh puak bangsa,
termasuk kelompok Arab. Pandangan Van den Berg itu, berpotensi
mencederai identitas orang Arab yang juga mempunyai perhatian terhadap
perjuangan bangsa, seperti juga Alî Ahmad Bâkatsîr yang berjuang lewat
karya sastranya.
Guna memperoleh pemahaman latar belakang gaya sastra Alî Ahmad
Bâkatsîr maka perlu meninjau beberapa tema susastra yang relevan,
khususnya yang bertalian dengan nasionalisme dan keislaman. Sebagai
sastrawan yang lahir daru rahim kebudayaan Arab Hadrami, nuansa keislaman
sudah tentu menjadi atsmosfer yang berarak dalam ruang cipta sastra Alî
Ahmad Bâkatsîr. Tradisi syair Arab yang diperolehnya di Hadramaut, serta
seringnya ia mengikuti diskusi keagamaan yang digelar di rumah pamannya di
Hadramaut40, ikut menumbuhkan pengetahuan keislaman sebagai entitas yang
kelak akan mempengaruhi tema-tema serta kecenderungan sastra yang dipilih
Alî Ahmad Bâkatsîr. Pertalian antara Islam dan sastra dari Alî Ahmad
Bâkatsîr perlu untuk diungkap agar telaah sosiologi sastra yang nantinya akan
digunakan sebagai pisau analisa, menemukan relevansinya.
Di samping itu, keterkaitan antara sastra dengan nasionalisme juga
perlu dikemukakan. Tidak dapat dipungkiri, tema nasionalisme dalam
beberapa syair atau puisi Alî Ahmad Bâkatsîr menjadi bahasan yang diminati
Alî Ahmad Bâkatsîr. Pengembarannya di Yaman, Arab Saudi hingga berakhir
menjadi warga negara Mesir, rupanya tidak menyurutkan jiwa nasionalisme
Alî Ahmad Bâkatsîr atas Indonesia, negeri tempatnya dilahirkan. Pembahasan
mengenai sastra dan nasionalisme merupakan suatu keniscayaan guna
memahami konsepsi puisi nasionalisme Alî Ahmad Bâkatsîr. Diskursus ini
layak diutarakan guna menyelami unsur-unsur nasionalisme dalam syair Alî
Ahmad Bâkatsîr.
Sastra Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan salah satu khazanah sastra
Nusantara yang masih beluk banyak dikaji. Syair tentang nasionalisme, anti-
kolonialisme serta kemerdekaan Indonesia yang ditulis di luar negeri

38
G. J. H. Van Gelder, Beyond the Line: Classical Arabic Literary Critics on
the Coherence and Unity of The Poem. Vol. 8, (Leiden: Brill, 1982), hal. 4.
39
Van den Berg, Orang …, hal. 155 – 156.
40
Bankole Ajibabi Omotoso, Ali Ahmad Ba-Kathir, a Contemporary
Conservative Arab Writer-An Appraisal of His Main Novels and Plays, Disertasi,
(Edinburgh: University of Edinburgh, 1972), hal. 29.

13
merupakan keunikan tersendiri. Sama uniknya dengan sang penggubahnya
yang justru memilih untuk menjadi warga negara Mesir, bukan Indonesia,
negeri yang pada 1945 telah terbebas dari kungkungan penjajah Jepang, objek
yang menjadi sasaran syair-syair Alî Ahmad Bâkatsîr. Penulisan disertasi ini,
di samping ingin menampilkan wajah lain dari sastra Arab, dimaksudkan pula
untuk memperkaya kajian sastra Arab tulisan para penulis masa lampau yang
mempunyai pengaruh kuat dalam jiwa zaman saat karya itu ditulis.
Bagaimanapun, syair dan sastra Alî Ahmad Bâkatsîr mewakili apa yang
dikatakan sebagai sastra Islam. Meskipun konteks yang dibicarakan luas,
melampaui batas-batas hukum Islam, namun ini merupakan bentuk
pengejawantahan (aktualitas) dari seorang sastrawan Muslim akan pandangan
hidupnya, termasuk dengan agamanya. Mencintai tanah air dari kejauhan
merupakan sebagian dari keimanan. 41 Iman merupakan sesuatu yang esensial
bagi seorang Muslim. Tanpa iman, seseorang akan mengalami kegersangan,
karena nuansa agama sesungguhnya terpancar dari kepercayaan akan Tuhan
dan segala bentuk ciptaan-Nya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, terdapat sejumlah
masalah yang dapat dipetik, lalu dimungkinkan dibahas dan dianalisa secara
mendalam, yakni:
1. Alî Ahmad Bâkatsîr menulis syair bertemakan nasionalisme dan
kerinduan kemerdekaan Indonesia
2. Pengaruh sastra Arab dalam perjuangan rakyat Indonesia
3. Kiprah Alî Ahmad Bâkatsîr di Yaman dan Mesir dalam mengisi
perjuangan kemerdekaan Indonesia, melalui karya sastra
4. Teknik dan model syair yang ditulis Alî Ahmad Bâkatsîr dan
kaitannya dengan tema nasionalisme, anti-kolonialisme dan
kemerdekaan Indonesia
5. Pengaruh intelektual berdarah Indonesia di Mesir dalam pengakuan
kemerdekaan Indonesia

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dihadirkan dalam penelitian ini adalah;
1. Bagaimana konsep dan wawasan sastra Alî Ahmad Bâkatsîr?

41
Rochanah, "Menumbuhkan Sikap Hubbul Wathon Mahasiswa STAIN
Kudus melalui Pelatihan Belanegara", dalam Arabia, Vol. 9, No. 2, 2018; Lihat juga
Mujiwati, Yuniar dan Ana Ahsana El-Sulukiyyah. "Analisis Nilai-Nilai Sastra dan
Bentuk Nasionalisme dalam Lagu Yaa Lal Wathon Ciptaan KH. Abdul Wahab
Hasbullah", dalam Jurnal Educazione, Vol. 5, No. 1, 2017.

14
2. Bagaimana langkah Alî Ahmad Bâkatsîr dalam menyisipkan maksud
dan gagasan nasionalisme keindonesiaan dan keislaman dalam
syainya?

D. Pembatasan Masalah
Penelitian ini lebih condong untuk membahas teknik dan model sastra
yang ditulis Alî Ahmad Bâkatsîr yang bertemakan nasionalisme, anti-
kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia. Nuansa yang terpancar dari tema
yang dibahas mencakup paham nasionalisme yang terangkum dalam sastra.
Nasionalisme merupakan paham di mana kecenderungan akan kebangsaan
menguat. Nasionalisme dan kecintaan akan Tanah Air merupakan salah satu
ciri dari puisi mahjar. Puisi atau syair mahjar merupakan bentuk karya sastra
Arab modern yang dibuat oleh orang-orang Arab yang tinggal di tanah
perantauan. Istilah ini marak digunakan saat Kahlil Gibran memutuskan
pindah ke Amerika Serikat. Di sana ia membentuk liga penyair Arab bernama
al-Râbithah al-Qalamiyah (Liga Pena) pada 1920.42
Penulis tertarik membincangkan karakter puisi mahjar terutama dalam
temanya yang menyasar masalah nasionalisme dan kecintaan akan Tanah Air.
Dalam konteks keindonesiaan, kebangsaan dimaknai sebagai kesatuan suku-
suku bangsa yang ada di Indonesia yang kemudian melebur diri dalam arus
besar identitas sebagai orang atau bangsa Indonesia.43 Sedangkan sastra
merujuk pada kata yang mewakili objek kajian disertasi ini yang merupakan
syair-syair mahjar bertemakan nasionalisme, anti-kolonialisme dan
kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Alî Ahmad Bâkatsîr, dalam hal ini
dikerucutkan pada analisa kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr yang berjudul
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ yang digubahnya pada 1947 dan Bilâduk Yâ
Hattâ .

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menyibak makna syair mahjar Alî Ahmad Bâkatsîr yang bertemakan
nasionalisme, anti-kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia
2. Mengetahui secara mendalam motivasi penyusunan syair-syair Alî
Ahmad Bâkatsîr
3. Memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sastra sebagai
alat penyadaran masyarakat akan suatu tujuan

42
Taufiq, ―Perkembangan …‖, hal. 298.
43
Gina Lestari, "Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di
Tengah Kehidupan SARA", dalam Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Vol. 28, No. 1, 2016.

15
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1. Berkontribusi dalam kajian telaah sastra, khususnya sastra Arab yang
ditulis oleh orang Indonesia
2. Manambah koleksi literatur tentang telaah sastra Arab yang bertema
keindonesiaan
3. Menjadi rujukan bagi penelitian lain yang bertema serupa

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Terdapat sejumlah karya tulis, baik itu berbentuk tesis, disertasi, buku,
artikel dan lain sebagainya yang menelaah biografi serta karya-karya Alî
Ahmad Bâkatsîr. Bankole Ajibabi Omotoso tertarik mengulas sejarah drama,
sastra dan intelektual Alî Ahmad Bâkatsîr. Dalam ulasannya, Bankole
menyorot tentang karya-karya sastra berupa novel dan naskah drama yang
dibuat oleh Alî Ahmad Bâkatsîr. Sebelum bahasan tenetang Alî Ahmad
Bâkatsîr dan karyanya, Bankole mengemukakan tentang sejarah drama di
dunia Arab, termasuk sejarah teater di Mesir. Telaah Bankole ini berbeda
dengan lokus yang penulis pilih.44 Jika ia menitikberatkan bahasan tentang Alî
Ahmad Bâkatsîr di Mesir dan dunia Arab pada umumnya, penulis memotret
keterkaitan Indonesia dengan sosok Alî Ahmad Bâkatsîr melalui karya sastra
Alî Ahmad Bâkatsîr yang berhubungan dengan perjuangan Indonesia.
Lutpiyah Hakim menulis tesis berjudul Pandangan Dunia Alî Ahmad
Bâkatsîr dalam Novel Sallamah al-Qas Analisis Strukturalisme Genetik
Lucien Goldman yang berhasil dipertahankannya pada 2013. Dengan metode
strukturalisme genetik Lucien Goldman (1913 – 1970), Lutpiyah mengurai
ketokohan Abdurrahman, tokoh utama dalam novel Sallamah al-Qas, dalam
pergumulannya dengan gejolah politik di masa Dinasti Umayyah. Aspek yang
ditekankan oleh Lutpiyah adalah nuansa heroisme dari si tokoh utama
tersebut. Berbekal analisis strukturalisme genetik, Lutpiyah mengurai teks dan
konteks penulisan novel ini. Diketahui bahwa wawasan kearaban yang
dimiliki Bâkatsîr ikut membentuk latar sosial dalam novel karangannya ini. 45
Kendati mengkaji tokoh yang sama, namun objek kajian penulis berbeda
dengan Lupiyah. Penulis menjadikan syair tentang nasionalisme, anti-
kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia sebagai objek kajian bukan dari
novel Sallamah al-Qas.
Sebelum Lutpiyah Hakim, Nur Hidayah juga menjadikan karya Alî
Ahmad Bâkatsîr sebagai objek kajiannya. Berbeda dengan sebelumnya, Nur
44
Bankole Ajibabi Omotoso, „Ali Ahmad Bakathir, A Contemporary
Conservative Arab Writer – An Appraisal of His Main Plays and Novels, Disertasi,
(Edinburgh: University of Edinburgh, 1972).
45
Lebih lanjut lihat Lutpiyah Hakim, Pandangan Dunia Alî Ahmad Bâkatsîr
dalam Novel Sallamah al-Qas Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldman,
Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2013).

16
Hidayah memilih teks drama tulisan berjudul Hârût wa Mârût sebagai sasaran
analisanya. Setelah melakukan rangkaian penelitian dan penulisan, Nur
Hidayah pun menyelesaikan tugas akhir strata duanya berupa tesis yang
berjudul Konsep Malaikat dalam Hârût wa Mârût Karya Alî Ahmad Bâkatsîr
Analisis Semiotik yang selesai dipertahankannya pada 2009. Dalam tesis ini,
Nur Hidayah menyorot kedudukan tokoh malaikat dalam teks drama ini,
yakni Harut dan Marut. Berbekal metode analisa semiotik Michael Riffaterre
(1924 – 2006), Nur Hidayah berupaya mengartikan simbol-simbol aktivitas
Harut dan Marut sebagai malaikat yang menemukan banyak hal baru ketika
diturunkan ke dunia. Nur Hidayah menemukan bahwa melalui pengembaraan
dua malaikat itu, terlihat maksud dari Alî Ahmad Bâkatsîr yang ingin
mengedukasi para penelaah teks drama ini untuk mengenyampingkan paham
materialisme duniawi untuk selalu setia mengamalkan ajaran-ajaran agama
yang bermuara pada kebahagiaan akhirat.46
Mohamed Abubakr Hamid tertarik pada karya-karya sastra Alî Ahmad
Bâkatsîr dan menjadikan karyanya itu sebagai objek bagi disertasinya.
Mohamed menjadikan dua karya Alî Ahmad Bâkatsîr yakni The Secret of
Shahrazad (terbit 1952) dan Harut and Marut yang diterbitkan pada 1962
sebagai objek telaahnya. Dua karya ini menampilkan sisi lain yang dapat
diurai dari sosok Alî Ahmad Bâkatsîr, yakni mengenai sosoknya sebagai
pemimpi dan seseorang yang gemar memikirkan alam universal. Ia bertolak
dari cerita-cerita dalam suatu karya sastra klasik yakni Seribu Satu Malam
(The Arabian Nights) dan kisah al-Quran untuk menyajikan sisi-sisi
gagasannya yang berupaya menterjemahkan suatu pencarian akan hal-hal
yang diluar pemikiran manusia seperti peredaran bintang-bintang, luar
angkasa dan rahasia di balik planet-planet.47 Maksud dari disertasi ini
memiliki perbedaan dengan maksud penulis yang ingin mengurai syair Alî
Ahmad Bâkatsîr yang bertemakan nasionalisme, anti-kolonialisme dan
kemerdekaan Indonesia.
Eeqbal Hassim tertarik memotret ayat-ayat al-Quran yang tersemat
dalam dua prosa Alî Ahmad Bâkatsîr berjudul al-Silsilah wa al-Ghufrân dan
al-Duktûr Hâzim. Ia berkeyakinan bahwa dalam dua karya ini, Alî Ahmad
Bâkatsîr sebenarnya memasukkan beberapa makssud yang terilhami dari
sejumlah ayat-ayat al-Quran. Ini menunjukkan kepiawaian Alî Ahmad
Bâkatsîr yang mengemas tujuan utama dari kitab suci ini dalam prosa yang
sepintas samar, namun bagi para pembaca karya sastra yang memiliki

46
Lebih lanjut lihat Nur Hidayah, Konsep Malaikat dalam Hârût wa Mârût
Karya Ali Achmad Bâkatsîr Analisis Semiotik, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada, 2009).
47
Mohamed Abubakr Hamid, Two Plays by the Islamic Dramatist, Ali Ahmad
Bakathir Translated Into English With Critical Commentary, Disertasi, (Illinois:
University of Illinois at Urbana-Champaign, 1988).

17
wawasan tentang al-Quran dapat segera menangkap maksud ini. 48 Kajian
Eeqbal Hassim ini berbeda dengan maksud penulis yang tidak melibatkan
tinjauan al-Quran sebagai objek utama dalam disertasi penulis.
Sebagain karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr menyuarakan tentang gelora
anti-kolonialisme di Mesir dan Indonesia. Objek ini dijadikan bahan artikel
oleh Raad Kareem Abd-Aun dengan judul Anti-Coloniality in Ali Ahmad
Bakatheer‟s Mismar Juha and Imberatoriyya Fil Mazad yang diterbitkan pada
2016. Dalam karyanya ini Raad Kareem dua naskah drama Bâkatsîr yang
berjudul Mismar Juha (paku Juha) dan Imberatoriyya Fil Mazad (kekaisaran
yang terlelang). Di naskah yang pertama mengkisahkan tentang aktivitas
kolonisasi Inggris yang seperti paku, menghujam ke ruang publik Mesir,
sehingga menimbulkan aneka kesulitan bagi masyarakat. Di naskah yang
kedua, Alî Ahmad Bâkatsîr berbicara tentang visinya akan kejatuhan Inggris
di India melalui Konferensi Delhi dan Konferensi di Bandung (1955)49 atau
yang di Indonesia lebih dikenal dengan Konferensi Asia-Afrika. Bahasan
Raad Kareem ini mirip dengan yang disasar penulis. Yakni memotret tema
anti-kolonialisme dari karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr. Namun pilihan karya
sastra penulis berbeda dengan Raad Kareem, yakni Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-
Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ .
Karya Alî Ahmad Bâkatsîr yang berjudul Malhamat Umar, sempat
menjadi objek telaah yang menarik minat Fatin Masyhud. Alî Ahmad Bâkatsîr
menulis suatu naskah drama yang mengisahkan seputar kehidupan sahabat
Nabi Muhammad SAW, salah satunya Umar bin Khattab dalam karya ini.
Fatin tertarik membincangkan profil sang khalifah dengan membawanya pada
konstelasi pembicaraan yang lebih luas, dengan melibatkan karya sastra Arab
lainnya yang berupa puisi berjudul Abqariyah Umar yang ditulis oleh Abbas
al-Aqqad dan suatu puisi lain berjudul al-Umariyah karya Hafîz Ibrâhîm. Dari
ketiga telaah tulisan ini, Fatin ingin mengungkap seputar profil dan karakter
Umar bin Khattab.50 Telaah ini berbeda dengan maksud penulis yang ingin
mengurai benang kusut makna syair-syair khusus milik Alî Ahmad Bâkatsîr
dengan tanpa mengkomparasikannya dengan karya lain yang serupa.
Naskah tonil Alî Ahmad Bâkatsîr masih dianggap sebagai bahan
diskusi yang mengundang minat Siti Maisaroh dan Nurul Hidayah, utamanya

48
Eeqbal Hassim, ―The Significance of Qur‘anic Verses in the Literature of
Ali Ahmad Bakathir‖ dalam National Centre of Exellence for Islamic Studies
(NCEIS) Research Papers, Vol. 1, No. 3, hal. 1 – 9.
49
Raad Kareem Abd-Aun, ―Anti-Coloniality in Ali Ahmad Bakatheer‟s
Mismar Juha and Imberatoriyya fil Mazad‖, dalam The International Academic
Forum (IAFOR) International Conference on Arts and Humanities 2016, Dubai, UAE,
hal. 55 – 58.
50
Fatin Masyhud, ―Figur Umar bin Khattab dalam Pandangan Sastrawan Arab
Modern (Telaah Karya Abbas al-Aqqad, Hafidz Ibrahim dan Alî Ahmad Bâkatsîr)‖,
dalam Madaniyya, Vol. 11, No. 1, 2012, hal. 111 – 125.

18
dalam membahas aspek leksikologi dan sintaksisnya. Dalam hal ini, Siti ingin
mengungkap khazanah kebahasaan Arab yang digunakan oleh Alî Ahmad
Bâkatsîr dalam menyusun naskah drama berjudul Al-Asîr al-Karîm. Naskah
ini menceritakan tentang kisah hidup seorang tokoh yang bernama Khobib.
Latar kisah ini berkisar di penjara tempat Khobib ditahan dan menjalani hari-
harinya sebagai narapidana. Keikhlasan seorang tahanan menekuni hari-hari
hukumannya menjadi tema utama dalam naskah tonil ini, dan Siti Maisaroh
tertarik untuk mengurai aspek kebahasaannya. 51 Objek kajian Siti Maisaroh
berbeda dengan objek penulis yang menysara syair-syair bertemakan
nasionalisme, anti-kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia.
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai perhatian yang mendalam terhadap
sejarah tanah air ketiganya setelah Yaman dan Indonesia, yakni Mesir. Ia
membaca sejarah Mesir masa pendudukan Prancis di penghujung abad 18,
lalu menyerapnya, dan menurunkannnya menjadi naskah drama berjudul al-
Dûdah wa al-Tsu‟bân (Cacing dan Ular). Tujuan naskah ini adalah
membicarakan keterkejutan orang Mesir akan datangnya orang-orang Prancis,
yang di satu sisi membebaskan dari belenggu-belenggu kuasa lama yang
despot, namun menghadirkan suatu keraguan baru terkait tawaran nilai-nilai
Barat yang tidak sesuai dengan tabiat dan tradisi orang-orang Mesir. Sangidu
tertarik untuk membahas naskah ini dalam konteks ilmu kebahasaan. Ia
mengulas naskah ini menggunakan metode strukturalisme dalam kajian
sastra.52 Maksud dari Sangidu ini berbeda dengan yang dikerjakan penulis
yang lebih tertarik menelaah keterkaitan antara sejarah dengan analisis sastra
dalam syair-syair Alî Ahmad Bâkatsîr, bukan pada naskah dramanya.
Reflinaldi dan kawan-kawan masih terpukau dengan kejembaran
pengetahuan Alî Ahmad Bâkatsîr di bidang penulisan naskah drama. Mereka
terdorong untuk mengurai wacana nasionalisme ketimuran yang menjadi
musuh bagi wacana pembaratan sebagaimana yang ditampilkan Alî Ahmad
Bâkatsîr dalam naskah drama tulisannya yang berjudul Abtâl al-Yarmûk.
Naskah drama ini menceritakan tentang kerja-kerja besar yang dilakukan
salah satu panglima umat Islam di zaman Nabi Muhammad, Khalid bin
Walid. Reflinaldi dan kawan-kawan melihat bahwa dalam naskah ini, Alî
Ahmad Bâkatsîr sengaja membubuhkan paham nasionalisme ketimuran yang
menjadi penantang utama peradaban Barat yang digalang bangsa-bangsa
Eropa. untuk mempertajam analisanya, Reflinaldi dan kawan-kawan

51
Siti Maisaroh dan Nurul Hidayah. "Analisis Unsur Intrinsik Drama ―Asirul
Karim‖ Karya Alî Ahmad Bâkatsîr", dalam Al-Lahjah, Vol. 2, No. 1, 2019, hal. 1-18.
52
Sangidu, ‖ Ad-Dûdah wats-Tsu‘bân (Cacing Dan Ular) Karya Alî Ahmad
Bâkatsîr: Analisis Struktural Model Badr‖, dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol.
20, No. 1, hal. 56-68.

19
menggunakan teori oksidentalisme yang dikemukakan oleh Hassan Hanafi. 53
Oksidentalisme sendiri merupakan suatu paham yang bertujuan mengkaji
bangsa-bangsa Barat. Paham ini merupakan lawan balik dari orientalisme
yang banyak digeluti para peneliti Barat dengan tujuan mengetahui sedalam
mungkin aneka informasi peradaban ketimuran. Tujuan penulisan artikel ini
berbeda dengan objek penulis yang lebih tertarik membicarakan tema sejarah
seputar tahun 1945, tahun di mana Indonesia merdeka. Di satu sisi, tulisan ini
mempunyai kesamaan, yakni sama-sama memotret peristiwa sejarah, namun
di sisi lain terdapat distingsi yang besar utamanya dari segi objek penelitian.
Reflinaldi dan kawan-kawan mengangkat naskah tonil dan penulis membahas
syair Alî Ahmad Bâkatsîr.
Marvin Carlson menulis tentang kerja Alî Ahmad Bâkatsîr di bidang
drama dalam artikel ―The Religious Drama of Egypt‘s Alî Ahmad Bâkatsîr‖.
Sama dengan disertasi Mohamed Abubakr Hamid, pembahasan di artikel ini
menyasar tentang kepakaran Alî Ahmad Bâkatsîr dalam menyusun naskah
drama Arab. Yang membedakan keduanya adalah karya Carlson
penjelasannya lebih sederhana, karena hanya merupakan satu artikel dari
kumpulan artikel yang dihimpun dalam suatu buku. Carlson menyerukan pada
dramawan Barat untuk membaca naskah-naskah drama Alî Ahmad Bâkatsîr
guna mendapat pemandangan yang baik tentang bagaimana orang Arab
menyusun dramanya.54 Uraian biografis yang disajikakan Carlson ini menjadi
satu bagian dalam disertasi penulis, namun bukan menjadi fokus utama.
Fokus utama penulis mengetengahkan telaah syair atau kasidah gubahan Alî
Ahmad Bâkatsîr.
Terdapat beberapa artikel tematik yang mengupas perhatian Alî Ahmad
Bâkatsîr terhadap isu feminisme. A. A. Al-Zabidi memotret tentang
keterlibatan Alî Ahmad Bâkatsîr yang melalui karya-karyanya berupaya
mengangkat martabat perempuan yang dalam tradisi Arab selalu tertinggal
selangkah dari kaum laki-laki.55 Khusus dalam bidang karya novel Alî Ahmad
Bâkatsîr, Ibrahim Ali Al-Shami tertarik untuk menengok masalah perempuan
yang juga ditonjolkan Alî Ahmad Bâkatsîr dalam beberapa novelnya seperti
Wa Islamâh, al-Tsâir al-Ahmar dan Sîrah al-Syujâ‟. Al-Shami menemukan
bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr tertarik membicarakan perempuan dalam citranya

53
Lebih lanjut lihat Reflinaldi dkk, "Tipologi Sikap Masyarakat Timur
terhadap Hegemoni Barat dalam Naskah Drama Abthal Al-Yarmuk: Analisis
Oksidentalisme Hassan Hanafi", dalam Diwan, Vol. 11, No. 1, 2019, hal. 46-65.
54
Marvin Carlson, ―The Religious Drama of Egypt‘s Ali Ahmed Bakathir‖,
dalam Lance Gharavi, Religion, Theathre, and Performance, (London: Routledge,
2011), hal. 131- 140.
55
A. A. Al-Zabidi, ―Ali Ahmad Bakathir the Writer who does Justice to
Woman‖, dalam Retrived, Juli 2008, 2018.

20
yang positif dan sosok yang memiliki masa depan cemerlang. 56 Senada
dengan dua penulis sebelumnya, Redwhan Qasem Ghaleb Rashed juga
tertarik melihat nuansa keperempuanan dalam karya-karya Alî Ahmad
Bâkatsîr. Redwhan tidak memungkiri, Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok
yang mencintai dunia perempuan dalam karya-karyanya. Namun, ia melihat
satu celah kontradiktif dalam alur ideologi yang dibangun Alî Ahmad
Bâkatsîr. Di satu sisi, ia menampilkan diri sebagai sosok yang taat dengan
ideologi Islam, namun di sisi lain, pandangannya tentang perempuan agak
bertentangan dengan beberapa hukum Islam yang memang menomorduakan
perempuan.57 Ketiga artikel ini tidak berkaitan secara langsung dengan objek
yang dikaji penulis. Jikapun ada, maka itu bersifat komplementer, yakni untuk
menakar kepakaran yang mendalam dari sosok Alî Ahmad Bâkatsîr akan
fenomena-fenomena yang menurutnya masih layak diperjuangkan dalam
sistem sosial Mesir atau dunia Arab pada umumnya.
Lucien Goldman memiliki pandangan teoritis tentang sosiologi sastra
yang dituliskannya dalam buku berjudul Essays and Method in Sociology of
Literature (terbit 1980). Buku ini membahas tentang kedudukan ilmu sosial
dan sains dalam pembicaraan ilmiah. Goldman mengungkapkan bahwa segala
bentuk perbuatan manusia dan masyarakat termasuk dalam studi sosiologi.
Teks sastra yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia
lainnya, atau dengan suatu masyarakat dengan sendirinya juga menjadi teks
sosiologi. Mereka merupakan lahan terbuka untuk ditelaah, seperti ketika
menelaah perkembangan kehidupan masyarakat kota dengan konsep-konsep
sosiologis seperti perubahan sosial, konflik atau peran.58 Penulis
menggunakan buku ini sebagai tambahan pemahaman dari konsepsi sosilogi
sastra. Konsep yang ditawarkan Goldmann mempunyai model yang berbeda
dengan teori sosiologi sastra Escarpit.
James F. English dalam artikelnya berjudul The Sociology of Literature
After "the Sociology of Literature yang dimuat dalam jurnal New Literary
History, Volume 41, Nomor 2, (Tahun 2010), menyebutkan bahwa sosiologi
sastra mempunyai hubungan dengan kajian sejarah sastra. Kajian ini tidak
bisa bertolak terlalu jauh dengan kritisisme, suatu aktivitas sastra lainnya,
yang termasuk penopang dari tradisi sastra yang sudah muncul. Kritisisme

56
Ibrahim Ali Al-Shami, ―The Portrayal of Woman in Ali Ahmad Bakathir‘s
Literary Works,‖ dalam International Journal of Scientific and Research
Publications, Vol. 6, No. 5, 2016, hal. 304-310.
57
Redhwan Qasem Ghaleb Rashed, ―The Image of Woman in Ali Ahmad
Bakathir‘s Literary World: A Study of Selected Plays‖, dalam AWEJ for Translation
and Literary Studies, Vol. 3, No. 1, 2019.
58
Lucien Goldmann dan William Q. Boelhower, Essays on Method in the
Sociology of Literature, (UK: Telos Press, 1980), hal. 35-55.

21
adalah bagian dari metode lama melihat suatu karya sastra, dan ini masih
relevan dibicarakan dalam konteks sosiologi sastra.59
David Ian Hanauer memberikan penjelasan yang cukup baik tentang
bagaimana memperlakukan puisi sebagai suatu kajian saintifik. Dalam
artikelnya berjudul What We Now about Reading Poetry; Theoritical
Positions and Empirical Research, ia menjelaskan bahwa puisi atau karya
sastra yang lain merupakan objek yang bisa dikaji secara empirik. Di
dalamnya terdapat gejala sosial yang menjadi objek bagi sosiologi dan
fenomena atau kesadaran yang dapat pula didekati oleh psikologi. Sebelum
melakukan penelitian empirik, Hanauer menyarankan agar para peneliti
melakukan pembacaan holistik atas suatu karya sastra. Membaca adalah suatu
pekerjaan dialogis yang menghubungkan pembaca dengan pemahaman
akumulatif sang pembaca. Ini adalah suatu proses yang melahirkan
pemahaman latar yang kemudian dapat dieksekusi menjadi objek penelitian
sosilogi atau psikologi. 60 Ulasan Hanauer ini menjadi bahan bacaan yang
penting untuk melihat bagaimana penelitian ini bekerja. Hanauer mempunyai
perhatian yang besar di bidang penelitian psikologi sastra, ini yang berbeda
dari penulis, yang memilih pendekatan sosiologi sastra.

G. Metodologi Penelitian
1. Kerangka Teori
Penelitian ini akan menggunakan dua pendekatan, pertama studi
sosiologi sastra, yang kedua studi keturunan Arab di Nusantara. Studi
sosiologi sastra digunakan untuk menelaah syair-syair yang berkenaan dengan
nasionalisme, anti-kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia dalam perpektif
sosiologis. Penulis tertarik untuk membedah lebih dalam mengenai kasidah
Alî Ahmad Bâkatsîr berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ
Hattâ melalui sudut pandang teori sosiologi sastra. Gagasan yang terkandung
di dalam dua kasidah ini menarik untuk diungkap, utamanya
keterhubungannya dengan realita sosial Alî Ahmad Bâkatsîr, termasuk
pandangannya tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah.
Beberapa aspek yang akan diungkap dalam sosiologi sastra mencakup
latar belakang penyusunan kasidah khususnya dari aspek sosialnya. Robert
Escarspit menyebutkan bahwa dalam menelurkan suatu karya sastra, biasanya
sang sastrawan akan bersinggungan dengan sejumlah unsur yang mengitari

59
James F. English, "Everywhere and Nowhere: The Sociology of Literature
After" the Sociology of Literature" ", dalam New Literary History, Vol. 41, No. 2,
2010, hal. v-xxiii.
60
David Ian Hanauer, ―What We Now about Reading Poetry; Theoritical
Positions and Empirical Research”, dalam Dick Schram dan Gerard J. Steen, ed, The
Psychology and Sociology of Literature: In Honor of Elrud Ibsch. Vol. 35,
(Amsterdam: John Benjamins Publishing, 2001).

22
kehidupannya termasuk apa yang ia pikirkan. Pancaran akan pemikiran dan
penilaiannya akan suatu keadaan menjadi bahan baku untuk memproduksi
sastra. Oleh sebab itu, merupakan langkah penting menilik bagaimana peta
pemikiran sastrawan, kemudian menjelajahi aktivitas sastranya sebagai suatu
pertautan yang utuh. Ini merupakan bagian dalam bahasan dalam teori
sosiologi sastra.61
Umar Junus menyebutkan bahwa sosiologi sastra berkaitan dengan
objek dari para penikmat sastra (resepsi sastra). Suatu karya sastra yang
mempunyai maksud tertentu, maka akan diterima dengan meriah di kalangan
yang memiliki maksud serupa. Misalnya, suatu novel, sajak atau prosa yang
berhubungan dengan semangat relijius, maka akan menemukan relevansinya
di tengah komunitas relijius. Contoh lain, suatu puisi atau naskah drama yang
mengangkat tema perjuangan kelompok tani yang menyuarakan independensi
dan penolakan akan kelompok korporat yang akan menggusur lahan mereka,
maka akan diterima dengan baik di kalangan petani yang mengalai
penderitaan yang sumbernya sama dengan maksud pusi atau naskah drama
tersebut. Umar melihat hubungan antara produk sastra dan audiensnya
merupakan skup yang menjadi telaah sosiologi sastra.62
Selanjutnya, penulis juga menggunakan dua terma korelasi sastra
dengan dua hal, yakni Islam dan nasionalisme, untuk mengetahui latar
belakang syair dan puisi Alî Ahmad Bâkatsîr, khususnya yang ada dalam
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ . Kecenderungan Alî
Ahmad Bâkatsîr akan Islam tidak bisa dikesampingkan begitu saja, meskipun
karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr banyak terinspirasi pada karya sastrawan
Inggris seperti Byron atau Shakespere, namun tema keislaman masih menjadi
salah satu andalan Ali> Ah}mad Ba>kathi>r. Kelihatannya, Alî Ahmad
Bâkatsîr masih mempunyai penjagaan yang baik terhadap perhatiannya pada
masalah keislaman. Ini merupakan buah dari masa studinya di Yaman dan
Arab Saudi.
Sastra dan nasionalisme menjadi konsepsi yang juga tidak lepas dalam
perhatian Alî Ahmad Bâkatsîr. Kendati ia tinggal di Mesir, dan belakangan
sudah menjadi warga negera Mesir, kecintaannya pada tanah air tempat
tumpah darahnya, Indonesia, tidak kunjung luruh. Alî Ahmad Bâkatsîr seakan
menemukan pengobatan akan sakit rindunya tatkala tidak bisa bersua dengan
tanah airnya atau segala bentuk ingatannya akan masa belianya di Surabaya
dan Indonesia, dengan mengekespresikannya melalui gubahan syair, puisi
maupun naskah drama. Nuansa ini tentu saja merupakan puncak gunung es
dari hasil merasa seorang sastrawan, namun ini tentu saja masih dangkal jika

61
Escarpit, Sosiologi …, hal. 3 – 5.
62
Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985)
hal. 84-87.

23
tidak dibekali oleh pemahaman yang memadai tentang ketertakitan antara
sastra dan nasionalisme itu sendiri.
Kemudian, penulis juga tertarik membicarakan konsepsi sastra Alî
Ahmad Bâkatsîr dalam konstruk teori keturunan Arab di Nusantara,
sebagaimana yang diperkenalkan oleh L. W. C. Van den Berg. Sosok ini
merupakan salah seorang sarjana kenamaan Belanda yang mempunyai
perhatian terhadap diaspora Arab Hadrami di Nusantara. tidak hanya itu saja,
ia juga telah melakukan studi intensif di Yaman, untuk mengetahui karakter,
budaya serta kondisi keagamaan masyarakat Hadrami. Salah satu teori yang
unik yang diungkapkan Van den Berg adalah ketika orang Arab datang di
suatu wilayah. Dalam dunia bisnis, mereka lebih memilih membuat kerjasama
dengan sesama Arab Hadrami ketimbang dengan etnis lainnya. mereka juga
merupakan sosok yang gemar beradu argumen keagamaan dengan para ahli
agama pribumi, karena mereka menganggap bahwa merekalah pengguna
bahasa Arab yang sebenarnya. Penguasaan bahasa menjadi kunci perasaan
jumawa para ulama Arab Hadrami dibanding para ulama pribumi. 63
Menarik untuk diikuti, apakah sejumlah penggambaran orang Arab
Hadrami sebagaimana yang disebutkan oleh Van den Berg ada pada diri Alî
Ahmad Bâkatsîr. Temuan dari kajian ini berpotensi mematahkan atau bahkan
meneguhkan pandangan Van den Berg tersebut.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini akan melewati empat fase mendasar dari tahap-tahap
penelitian sebelum berakhir pada penulisan laporan penelitian. Pertama,
adalah tahap pengumpulan data atau referensi. Jenis sumber terbagi dalam dua
bentuk, sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud
adalah sumber yang langsung bertalian dengan kerja Alî Ahmad Bâkatsîr.
Naskah teks kasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ
merupakan sumber primer yang akan menjadi bahan analisa penulis. Di
samping itu, terdapat sumber-sumber lain yang berkenaan dengan karya sastra
Alî Ahmad Bâkatsîr yang memiliki kesamaan tema maupun yang bertemakan
hal lain. Penilaian akan sejumlah karya Alî Ahmad Bâkatsîr lainnya tentu
penting untuk mengetahui susur galur model sastra yang dimiliki Alî Ahmad
Bâkatsîr. Di samping itu, termasuk sumber primer adalah sumber oral yang
didapat dari sejumlah narasumber yang memiliki hubungan dengan Alî
Ahmad Bâkatsîr, seperti dari kalangan keluarga, sejawat, teman belajar dan
lain-lain yang sempat mengenal dan berjumpa dengan Alî Ahmad Bâkatsîr.
Kesan-kesan mereka akan tokoh sastra ini tentu membantu penulis, selain
dalam penyusunan biografi, tapi juga untuk memperkaya hal-hal lain yang
berkenaan dengan gaya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr, misalnya terkait bahan

63
L. W. C. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas
Bambu, 2010), hal. 121, 155 – 159.

24
bacaan Bâkatsîr maupun kebiasaan-kebiasaannya yang berhubungan dengan
pencarian inspirasi untuk menelurkan suatu karya sastra.
Sumber kedua disebut pula sumber sekunder. Jenis-jenis sumber ini
mencakup buku, artikel, catatan atau bentuk tulisan lain yang membahas
tentang karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr. Di samping itu, sumber oral yang
tidak langsung berhubungan dengan Bâkatsîr juga termasuk dalam sumber ini,
seperti pendapat seorang pengamat sastra akan karya-karya Alî Ahmad
Bâkatsîr atau komentar-komentar dari para sarjana terdahulu yang pernah
meneliti serta menulis suatu tinjauan atas karya Alî Ahmad Bâkatsîr.
Penulis memperoleh sejumlah besar karya Alî Ahmad Bâkatsîr dari
seorang pengamat karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr bernama Nabil Karim
Hayadze. Ia juga merupakan kawan diskusi yang banyak memberikan
keterangan seputar Alî Ahmad Bâkatsîr dan kiprah keturunan Arab di
Indonesia, terutama di bidang kepengarangan. Selanjutnya, beberapa karya
Alî Ahmad Bâkatsîr juga telah dialihmediakan menjadi data digital dan dapat
diunduh di situs www.bakatheer.com. Situs ini dibuat oleh seorang dermawan
dari Kuwait yang mempunyai perhatian besar terhadap karya-karya Alî
Ahmad Bâkatsîr. Di samping itu, penulis mendapatkan sejumlah buku-buku
yang relevan dengan mengunjungi sejumlah perpustakaan di Jakarta seperti di
Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan
lainnya.
Kedua, adalah tahap verifikasi data. Pada tahap awal, penulis akan
melakukan pengumpulan sumber dalam media apapun guna memperoleh
kelengkapan referensi serta sumber oral tentang karya-karya Alî Ahmad
Bâkatsîr. Di tahap kedua, mulai dilakukan pemilahan-pemilahan, sumber
mana yang termasuk kategori primer serta sumber yang tergolong sekunder.
Di samping itu, di tahap ini, sumber-sumber juga akan dikelompokkan
menurut jenisnya sehingga perlahan kentara, sumber mana yang memang
relevan untuk digunakan serta bagian mana yang tidak relevan sebagai sumber
penelitian. Tidak berhenti sampai di situ, penulis juga akan melakukan
tinjauan secara mendalam untuk menilai sedalam apa informasi yang terdapat
dalam suatu sumber tertulis atau mendengarkan dengan seksama terhadap
rekaman suara yang dikumpulkan untuk menentukan suatu narasi serta
pemahaman yang nantinya digunakan di tahap selanjutnya.
Ketiga, adalah tahap analisa data. Sebagaimana telah diketahui,
penelitian sastra merupakan suatu penelitian yang penuh dengan subjektivitas.
Karya sastra merupakan hasil pemahaman seseorang akan suatu keadaan yang
menyangkut apa yang didengar dan dilihat oleh sastrawan, kemudian ia
produksi dalam ruang pemahaman yang menyangkut nalar dan rasa, lantas ia
tuliskan dalam media-media sastra seperti sajak, puisi, kasidah, novel, cerita
pendek dan lain sebagainya. Pada tahap inilah, penulis akan menerapkan
kritik sastra sebagai model interpretasi atau analisa atas dua kasidah Alî
Ahmad Bâkatsîr yang telah ditentukan sebagai objek penelitian. Model kritik
yang dipilih adalah mengurai makna dari setiap kandungan kalimat dalam

25
kasidah tersebut, serta bagaimana kaitannya dengan konteks atau alam
berpikir dan perasaan Alî Ahmad Bâkatsîr dalam sebelum dan ketika
menuangkan dua karya tersebut.
Karya sastra sejatinya merupakan ekspresi dari pikiran, jiwa dan
perasaan manusia. Penjelasan tentang karya sastra akan menemukan relevansi
jika meminjam perangkat analisa lainnya, misalnya dengan kerangka
sosiologi sastra. Dengan memperhatikan kondisi sosial seputar ditulisnya
suatu karya sastra, maka maksud serta segala hal yang mendorong lahirnya
suatu karya sastra menjadi lebih kentara terlihat. Jan van Luxemberg dan
kawan-kawan menyebutkan bahwa membahas suatu karya sastra akan
berhubungan dengan fakta-fakta sosial. Suatu fakta dapat diungkap, saat para
peneliti sastra mendapatkan gambaran yang jernih dan luas mengenai latar
belakang intelektual serta motivasi yang terbabar sebelum suatu karya sastra
berhasil dituliskan.64 Di samping itu, penulis juga tertarik menengok akar
pemikiran Alî Ahmad Bâkatsîr berkaca pada latar belakang kehidupan
keturunan Arab di Nusantara. dengan menilik hal ini, diharapkan dapat
memperoleh gambaran yang luas mengenai bagaimana tradisi intelektual serta
pandangan keturunan Arab akan beberapa hal, termasuk masalah
nasionalisme.
Keempat, hasil dari analisa akan objek penelitian serta uraian lain yang
menyangkut dengan alur penelitian terkait akan disusun sesuai dengan model
pembahasan yang telah ditentukan. Tahap ini juga dimakanai sebagai tahap
terakhir dari penelitian, yakni penulisan laporan penelitian. 65

H. Sistematika Penulisan
Sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri dari enam bab sebagai
berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Rumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Kegunaan dan Manfaat
Penelitian, Penelitian Terdahulu yang Relevan, Metodologi Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II Puisi, Islam, Nasionalisme dan Keturunan Arab berisi Puisi:
Pengertian, Jenis, dan Unsurnya, Sosiologi Sastra, Relasi Sastra dan Islam,
Relasi Islam dan Nasionalisme, dan Teori Keturunan Arab.
Bab III Biografi Alî Ahmad Bâkatsîr dan Latar Sosial-Politiknya berisi
Lingkungan dan Keluarga Alî Ahmad Bâkatsîr, Latar Pendidikan dan Proses
64
Jan van Luxemberg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1986),
hal. 67 – 68.
65
Keempat langkah-langkah penelitian sastra ini dikutip dari Suwardi
Endraswara, Metodologi, Penelitian Sastra; Epistemelogi, Model, Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: CAPS, 2013), hal. 160 – 165.

26
Kepengarangan, Mesir sebagai Tempat Revolusi Diri dan Aktivitas
Kepenulisannya, dan Akhir Hayat Alî Ahmad Bâkatsîr. Bagian ini juga
memaparkan tentang inspirasi dan Pandangan Keagamaan Alî Ahmad
Bâkatsîr berisi Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi Alî Ahmad
Bâkatsîr, Karya Sastra Alî Ahmad Bâkatsîr, dan Pandangan Alî Ahmad
Bâkatsîr tentang Islam.
Bab IV Telaah Dua Syair Alî Ahmad Bâkatsîr berisi Teks Lengkap dan
Terjemahan Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ,
Keindahan Puisi Alî Ahmad Bâkatsîr; Irama, Sajak, dan Bahasa, Unsur-Unsur
Sosiologi Sastra, Nasionalisme Mahjar, dan Patahnya Karakteristik Arab
Hadrami; Sanggahan atas L. W. C. Van den Berg.
Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran.

27
BAB II

PUISI, ISLAM, NASIONALISME DAN KETURUNAN ARAB

A. Sastra dan Macamnya


1. Pengertian Puisi Arab
Kata puisi dalam bahasa Arab dikenal dengan nama syi‟r. Kata syi‟r
yang secara etimologi berasal dari bahasa Arab sya‟ara yang bentuk jamaknya
adalah asy‟ar yang berarti puisi. Sedangkan akar kata syi‟r adalah sya‟ara –
yasy‟uru – sya‟ran dan syu‟ûran yang berarti mengetahui, merasa, sadar, dan
mengarang sebuah syi‘r.1
Secara terminologis, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
para ahli bahasa dan sastra tentang pengertian syair, di antaranya yang
dikemukakan oleh Louis Ma‘luf yang mengemukakan bahwa syi‟r (syair)
adalah perkataan yang sengaja disusun dengan menggunakan irama (wazan)
dan sajak (qâfiyah).2 Senada dengan Louis Ma‘luf, al-Iskandari juga
menambahkan bahwa syair adalah perkataan yang berirama (ber-wazan),
bersajak (ber-qâfiyah) dan biasanya mengekspresikan bentuk-bentuk imajinasi
yang indah.3 Ahmad Hasan al-Zayyât menyatakan bahwa syair adalah suatu
kalimat berirama dan bersajak yang mengungkapkan khayalan yang indah dan
melukiskan suatu peristiwa yang terjadi. 4

2. Unsur-Unsur Puisi
Dari beberapa defini tentang puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
puisi arab terdiri dari unsur-unsur berikut:
a. Irama (wazan)
Keberadaan irama dalam puisi Arab adalah suatu keniscayaan. Tanpa
irama, karya sastra tidak dapat disebut puisi. Dengan irama, puisi yang
menggunakan aturan tertentu, maka akan tercipta keserasian, keseimbangan,
dan keindahan dalam balutan untaian kata demi kata. Dengan adanya

1
Ibn Mandûr, Lisân al-Arab, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990) hal. 409; Lihat
juga Louis Ma‘luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lâm (Beirut: Dâr al-Masyriq,
1998) hal. 391
2
Louis Ma‘lûf, al-Munjid …, hal: 391.
3
Ahmad al-Iskandarî dan Mustafâ ‗Inânî, al-Wasît, (Kairo: Matba‘ah al-
Ma‘ârif, 1927) hal. 42.
4
Ahmad Hasan al-Zayyât, Târîkh al-Adab al-Arabî, (Kairo: Dâr al-Nahdah,
t.th) hal. 28.

28
ketentuan-ketentuan dalam irama suatu puisi, maka kata-kata atau kalimat
tidak sebebas seperti kalimat prosa.5
Irama adalah unit atau bagian yang menjadi patokan atau standar bagi
karya puisi. Dari pengulangan irama-irama dengan mengikuti aturan-aturan
tertentu (dalam ilmu arûd) akan terbentuklah suatu puisi yang dinamakan
bahar.
Satuan irama dalam ilmu arûd ada sepuluh, yaitu :6

،‫ متفاعلن‬،‫ مستفعلن‬،‫ فاعالتن‬،‫ فاعلن‬،‫ فاع التن‬،‫ مفاعلنت‬،‫ مفاعيلن‬،‫فعولن‬


‫ مستفع لن‬،‫مفعوالت‬
Pengulangan satuan irama tersebut dengan ketentuan khusus akan membentuk
sebuah syi‘r yang disebut bahar. Sedangkan jumlah bahar yang terdapat
dalam ilmu arud ada enam belas macam, yaitu:
1) Tawîl
‫فعولن مفاعي ػػلن فع ػولن مفاعي ػ ػ ػػلن * فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن‬
‫ػزوِد‬ ِ ِ
ّ ‫ماكنت جاىال * ويأتي ػ ػػْك باألخ ػ ػبػ ػػار مػ ػػا لػم تػُػ ػ ػ‬
َ ‫ستبدي لك األياـ‬
2) Madîd
‫فاعالتن فاعػلن فاعػ ػ ػػالتن * فاع ػ ػػالتن فاعػ ػػلن فاعالتن‬
‫أنضجت نار الػهوى كبدي * ودوم ػ ػ ػ ػػوعي تطػ ػ ػ ػػفئ الن ػ ػ ػ ػ ػػارا‬
3) Basît
‫مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن * مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن‬
‫واخل ػ ػ ػ ػػَت والشر مقرون ػ ػ ػ ػػاف يف ق ػ ػ ػ ػػرف * واخل ػ ػ ػ ػػَت متب ػ ػ ػ ػػع والش ػ ػ ػ ػػر زل ػ ػ ػ ػػذور‬
4) Wâfir
‫مفاعلنت مفاعلنت فعولن * مفاعلنت مفاعلنت فعولن‬
‫تستطيع‬
ُ ‫وجاوزه إىل ما‬
ْ * ‫فدعو‬
ْ ‫تستطع شيئا‬
ْ ‫إذا لػم‬
5) Kâmil
‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن* متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬

5
J.S. Badudu, Seri Kesusastraan Indonesia, (Bandung: Pustaka Prima, 1982)
hal. 8.
6
Ahmad al-Hâsyimî, Mizân al-Dzahab fi Shinâ‟ah Syi‟r al-Arab, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) hal. 6-7.

29
‫ومرارةُ الدني ػ ػ ػَػػا لِ َػم ْن عق ػ ػػَػػال‬ ‫ِ‬
‫وح ػ ػ ػ ػػالوةُ الدنيا لػجاىلها * َ‬
‫‪6) Hazj‬‬
‫مفاعي ػ ػ ػ ػػلن مفاعي ػ ػ ػ ػػلن * مفاعي ػ ػ ػ ػػلن مفاعي ػ ػ ػ ػػلن‬
‫القلب * ولػَم يعلم جوى ِ‬
‫القلب‬ ‫الـ يف ِ‬ ‫أيا َم ْن َ‬
‫ْ َ‬
‫‪7) Rajaz‬‬
‫مست ػ ػ ػ ػػفعلن مست ػ ػ ػ ػػفعلن مست ػ ػ ػ ػػفعلن * مستفعلن مستػػفعلن مست ػػفعلن‬
‫من ذا يداوي القلب من داء اذلوى * إذ ال دواء لله ػ ػ ػ ػػوى موج ػ ػ ػ ػػود‬
‫‪8) Ramal‬‬
‫فاعالتن فاع ػ ػ ػ ػػالتن فاع ػ ػ ػ ػػالتن * فاع ػ ػ ػػالتن فاع ػ ػ ػػالتن فاعالتن‬
‫ىل لػمح ػ ػ ػ ػػزوف كئ ػ ػ ػ ػػيب قب ػ ػ ػ ػػلة * منك يشفي بردىا حر الغليل‬
‫‘‪9) Sarî‬‬
‫مستفعلن مستفعلن فاعلن * مستفعلن مستفعلن فاعلن‬
‫ياطوؿ ِ‬
‫ليل ال ُػمبتلى باذلوى * وصبحػ ػ ػػو من ليػ ػ ػػلو أط ػ ػ ػ ػػوؿ‬ ‫َ‬
‫‪10) Munsarih‬‬
‫مستفعلن مفعوالت مستفعلن * مستفعلن مفعوالت مستفعلن‬
‫أمت يف ىػػوى مػخ ّدرة * تع ػ ػ ػ ػػلق نفػسي بػها عالئ ػ ػ ػ ػػقها‬
‫دعن ػػي ْ‬
‫‪11) Khafîf‬‬
‫فاعالتن مستفعلن فاعالتن * فاعالتن مستفعلن فاعالتن‬
‫أنت دائي ويف يديك دوائي * يا شفائي من اجلوى وبالئي‬
‫‘‪12) Mudâri‬‬
‫مفاعيلن فاع التن * مفاعيلن فاع التن‬
‫وإ ْف تد ُف منو ِشربا * يُق ػ ػ ػ ػ ّػربْك منوُ باع ػ ػ ػ ػػا‬
‫‪13) Muqtadab‬‬
‫مفعوالت مستفعلن * مفعوالت مستفعلن‬
‫هم‬‫ِ ِ ٍ ِ‬ ‫ِ‬
‫ىل َلدي ػ ػ ػْػك من َفرٍح * من س ػ ػ ػػهاـ َغيب ػ ػ ػػت ْ‬
‫ْ‬
‫‪14) Mujtats‬‬
‫مستفع لن فاعالتن * مستفع لن فاعالتن‬
‫البطن منها خ ػ ػ ػػميص * والوجػ ػ ػػو مثػ ػػل اذلالؿ‬

‫‪30‬‬
15) Mutaqârib
‫فعولن فعولن فعولن فعولن * فعولن فعولن فعولن فعولن‬
‫ت‬
ْ ‫نفي‬
ْ ‫أسلت ونومي‬
َ ‫ت * ودمعي‬ ْ ‫سبي‬
ْ ‫رميت وعقلي‬
َ ‫فؤادي‬
16) Mutadârik
‫فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن * فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن‬
‫لسنػ ػػا ن ػ ػػَػدري ما قػ ػ ػ ػ ّدمػ ػ ػ ػن ػ ػ ػػا * إال أنّػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػا ق ػ ػ ػػد فػ ػ ػ ػ ػ ػّرطػ ػ ػ ػنػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػا‬
ْ

b. Sajak (Qâfiyah)
Selain irama, unsur penting yang membangun karya puisi adalah sajak.
Sajak dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qâfiyah. Secara etimologis
qâfiyah , yang bentuk jamaknya qawâf , bermakna belakang leher atau
tengkuk.7 Di kalangan ahli prosodi puisi Arab, sajak berpusat pada unit-unit
suara yang terletak di akhir bait puisi, yakni jenis unit suara yang harus
diulang-ulang di setiap akhir bait puisi. 8 Dengan demikian, maka apabila
huruf akhir yang terdapat pada syat}r kedua permulaan kasidah berupa huruf
nun misalnya, maka semua huruf akhir syat}r kedua di bait kasidah ini harus
berupa huruf nun.
Di samping harus sama hurufnya, sajak juga harus sama dalam segi
hidup dan matinya huruf, termasuk jenis harakatnya. Jika huruf akhir bait
permulaan kasidah berupa nun mati, maka semua kasidah selanjutnya harus
diakhiri dengan huruf nun mati. Demikian juga apabila akhir bait permulaan
kasidah berupa huruf hidup dengan harakat dammah misalnya, maka semua
akhir bait selanjutnya harus diakhiri dengan huruf hidup yang berharakat
dammah.9 Dengan istilah lain, sajak adalah persesuaian huruf akhir; baik

7
Louis Ma‘lûf, Al-Munjid …, hal. 647; Lihat juga Ahmad al-Hâsyimî, Mîzân
al-Dzahab fî Shinâ‟ah Syi‟r al-Arab, (T.tp: Maktabah Dâr al-Bairut, 2006), hal.127.
8
Abdullah Darwîsy, Dirâsât fi Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah, (Makkah:
Maktabah al-T{alib al-Jâmî‘, 1987), hal. 93; Lihat juga Abd al-Azîz Atîq, Ilm al-Arûd
wa al-Qâfiyah, (Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1987), hal. 134; Lihat juga
Muhammad Ali al-Hâsyimî, Al-Arûd al-Wâdih wa Ilm al-Qâfiyah, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1991), hal.135.
9
Atiq, Ilm al-Arûd …, hal. 135.

31
fathah, kasrah maupun dammah pada susunan puisi yang terdiri dari minimal
dua bait.10
Menurut Al-Khalîl, secara terminologis, sajak adalah dua huruf mati di
akhir bait puisi beserta huruf hidup yang terdapat di antara keduanya, serta
satu huruf hidup yang terletak sebelum huruf mati yang pertama. Sedangkan
menurut al-Akhfasy, sajak adalah merupakan kata terakhir di setiap bait
puisi. 11

c. Imajinasi
Imajinasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah khayâl. Imajinasi
adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau
menciptakan gambaran-gambaran kejadian (lukisan, karangan, dan
sebagainya) berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. 12 Panuti
Sudjiman menyatakan bahwa imajinasi itu sebagai kemampuan menciptakan
citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh
panca indra atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan.13 Di Pihak lain,
Ahmad al-Syâyib menjelaskan bahwa imajinasi adalah merupakan
kelengkapan bagi seorang penulis, penyair, orator, novelis, dan seniman. 14
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
imajinasi adalah kekuatan jiwa yang mampu membangkitkan rasa dan
melahirkan angan-angan yang tinggi dan filosofis yang sulit ditangkap oleh
panca indra dan bahkan belum dialami sebelumnya. Abdul Mun‘in Khafâjî
mengatakan bahwa imajinasi itu dapat berhubungan dengan hal-hal atau
peristiwa yang belum pernah dialami atau dilihat sebelumnya. Misalnya,
seseorang yang belum pernah masuk ke dalam hutan, namun ia mempunyai
kemampuan berangan-angan dan berimajinasi sehingga ia mampu
menghadirkan berbagai macam komunitas yang ada di dalam hutan (binatang
buas, pohon raksasa, semak belukar dan lain-lain) dalam pikirannya. Maka

10
Mahdî Allâm, al-Naqd wa al-Balâghah, (Kairo: Wizârah al-Tarbiyah wa al-
Ta‘lîm, 1961), hal. 112.
11
Emîl Badî‘ Ya‟qub, al-Mu‟jam al-Mufassal fî Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah wa
Funûn al-Syi‟r, (Beirût: Dâl al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), hal. 347.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), hal. 325.
13
Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1997), hal. 36.
14
Ahmad al-Syâyib, Ushûl al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-
Mishriyyah, 1994), hal. 211.

32
itulah yang dinamakan imajinasi. 15 Unsur imajinasi inilah yang membedakan
karya ini dengan nazam.

d. Tema atau Makna


Puisi merupakan salah satu medium yang digunakan oleh penyair untuk
mengekspresikan kandungan jiwanya kepada pendengar dan penikmatnya.
Peristiwa dan tragedi yang penyair alami dalam kehidupannya kemudian
dituangkan dalam untaian kata-kata yang indah dan tinggi nilainya.
Puisi adalah karya yang sudah pasti mengandung subject matter atau
makna yang hendak disampaikan dan ditonjolkan. Penonjolan subject matter
bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah falsafah hidup,
lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan penyair, dan lain-lain. Tidak
mungkin suatu karya puisi yang terlahir tanpa subject matter. Terkadang, sang
penyair sangat lihai menyembunyikan subject matter karyanya, sehingga para
pembaca dan penikmat harus pandai dan jeli untuk menangkapnya.16
Adapun tema-tema yang lazim diangkat dalam puisi Arab adalah:
hamâsah (spirit), ghazl (cinta), fakhr (kebanggaan), madh (eulogi), ritsâ‟
(elegi), hijâ‟ (satir), i‟tidzâr (apologi), wasf (deskripsi), hikmah (nasihat),
matsal (peribahasa), dan lain-lain. 17
3. Jenis Puisi Arab dan perkembangannya
Jenis syair Arab ada tiga macam, yaitu: syair „amûdî (tradisional),
syair mursal (puisi neo klasik), dan syair hurr (puisi bebas). Untuk lebih
jelasnya, dipaparkan sebagai berikut:

a. Syair „amûdî (Puisi Tradisional)


Syair „amûdî / multazam/ taqlîdî (klasik) adalah puisi yang terikat
dengan aturan irama dan sajak. 18 Pada bentuk ini, para penyair diharuskan
mengikuti aturan-aturan yang ada di dalam ilmu arûd dan qâfiyah. Di antara
aturan-aturan tersebut adalah ketika seseorang menggubah syair, maka ia
harus mengikuti dan memilih salah satu irama yang ada dan juga harus
mengikuti sajak tertentu. Dengan demikian, maka antara bait yang satu

15
Muhammad Abdul Mun‘im Khafâjî, Madâris al-Naqd al-Adabî al-Hadîts,
(Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, 1995), hal. 50.
16
Henri Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa,
1993), hal. 10.
17
Abd al-Azîz bin Muhammad al-Faisal, al-Adab al-Arabî wa Târîkhuh; al-
Asr al-Jâhilî wa „Asr Sadr al-Islam wa al-Asr al-Umawî, (T. tp: Wizârah al-Ta‘lîm
al-Alî Jâmi‘ah al-Imâm Muhammad bin Su‘ûd al-Islâmiyyah, 1402 H), hal. 23-25;
Lihat juga Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Adab, Jilid 2, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.t), hal.
343.
18
Mas‘an Hamid, Ilmu Arûd dan Qawafi, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995) hal. 55.

33
dengan bait selanjutnya harus ada kesamaan dalam irama dan sajak. Misalnya
puisinya Ka‘b bin Zuhair sebagai berikut:
‫بانت سعاد فقليب اليوـ متبوؿ * متيػمم إثػػرىا لػم يفػػد مكبػ ػ ػػوؿ‬
‫وما سعاد غداة البُت إذرحلوا * إال أغن غضيض الطرؼ مكحوؿ‬
Pada dua puisi di atas, tampak adanya kesamaan irama (bahar basît}) dan
sajak (diakhiri dengan huruf lam).

b. Syair Mursal (Puisi Neo Klasik)


Syair mursal adalah puisi yang terikat dengan irama yang berlaku (syi‟r
„amûdî) tetapi tidak terikat dengan sajak. 19 Jenis puisi ini hanya terikat
dengan satuan irama sebagaimana yang terdapat di dalam syi‟r „amûdî.
Sedangkan sajaknya tidaklah menjadi sebuah keharusan. Misalnya, syair
karya al-Zahâwî berikut ini :

‫دلوت الفىت خَت لو من معيشة * يكوف هبا عبئا ثقيال على الناس‬
‫وأنكد من قد صاحب الناس عامل * يرى جاىال يف العز وىوحقَت‬
‫يعيش نعيم الباؿ عشر من الورى * وتسعػػة أعش ػ ػ ػػار الورى بؤسػاء‬
Jika dilihat dari segi irama, ketiga puisi di atas adalah sama, yakni
menggunakan bahar tawîl dengan pola irama berikut :
‫فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن * فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن‬
Jika diamati lebih teliti, diketahui bahwa bentuk sajak ketiga puisi tersebut
berbeda-beda, padahal iramanya sama.

c. Syair Hurr (Puisi Bebas)


Puisi bebas adalah adalah puisi yang tidak terikat dengan satu qâfiyah
dalam satu kasidah, dan tidak ada keharusan batasan jumlah taf‟ilah (lafaz
yang dijadikan wazan syair) tertentu dalam suatu kasidah. Hal ini berbeda
dengan ketentuan yang telah dibuat oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Perbedaan juga terlihat dalam pokok-pokok atau kaidah-kaidah puisi
tradisional yang telah disepakati oleh para ulama.20
Dalam bentuk ini, ikatan irama dan sajak yang terdapat di dalam ilmu
arûd dan qâfiyah sudah tidak diperhatikan lagi oleh para penyair. Mereka

19
Abdullah Muhammad al-Ghadzdzâmî, al-Saut al-Qadîm al-Jadîd, (Kairo:
Dâr al-Ard, 1991), hal. 15.
20
Hâsyim Sâlih Mannâ‘, al-Syâfi fî al-„Arûd wa al-Qawâfî, (Beirut: Dâr al-
Fikr al-‗Arabî, 1995), hal. 285.

34
menggunakan taf‟ilah sesuai dengan dengan keinginan dan kebutuhan yang
dikehendakinya. Misalnya syair Nâzik al-Malâikah berikut ini :

‫إلى العام الجديد‬


‫طيوؼ‬
ْ ‫تقرب مساكننا فنحن ىنا‬
ْ ‫يا عاـ ال‬
‫من عالػم األشباح ينكرنا البشر‬
‫القدر‬
ْ ‫ويفر منا الليل وادلاضي وجيهلنا‬
‫تطوؼ‬
ْ ‫ونعيش أشباحا‬
‫حنن الذين نسَت الذكرى لنا‬
........
Jika diperhatikan, deretan kalimat di atas disusun berdasarkan satuan-satuan
taf‟ilah, maka akan tersusun sebagai berikut:

‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬


‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬
‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬
‫متفاعلن متفاعلن‬
‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬
........
Dari beberapa deretan bait puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa taf‟ilah
pada puisi bebas tidak memiliki patokan secara pasti tentang berapa
jumlahnya pada tiap baitnya. Bisa saja pada bait pertama terdapat empat
taf‟ilah, bait kedua terdapat tiga taf‟ilah, bait ketiga terdapat empat taf‟ilah,
dan selanjutnya.
Pada puisi bebas, tidak dikenal istilah penggalan pertama dan
penggalan kedua sebagaimana yang terdapat di dalam puisi tradional. Hal ini
dikarenakan puisi bebas adalah merupakan puisi yang setiap baitnya hanya
terdiri dari satu penggalan saja, meskipun tidak ada batasan atau ketentuan
berapa panjangnya.Di samping tidak adanya keharusan dalam jumlah taf‟ilah
pada tiap baitnya, qâfiyah pada puisi bebas ini juga berbeda-beda.
Setelah memaparkan pengertian dari puisi Arab, unsur-unsur yang
membangun puisi Arab, dan jenis puisi Arab, maka selanjutnya perlu

35
dijelaskan apa itu sastra mahjar.21 Istilah sastra mahjar erat kaitannya dengan
Kahlil Gibran dan kawan-kawan, sastrawan Arab yang hijrah ke Amerika
atau negara Barat lainnya. Tujuan hijrah para sastrawan Arab itu sejatinya
tidak hanya ke Amerika atau Eropa saja, melainkan juga ada yang menuju ke
negara lain seperti Indonesia dan negara-negara Timur lainnya. Sehubungan
dengan ini, maka penulis mengklasifikasi sastra mahjar menjadi dua, pertama:
sastra mahjar gharbi (Barat), yaitu sastra yang terlahir dari sastrawan Arab
yang hijrah ke Amerika atau negara Barat lainnya, dan kedua: sastra mahjar
syarqi (Timur) yaitu sastra yang terlahir dari sastrawan Arab yang hijrah ke
Indonesia atau negara Timur lain-lainnya. Sastra mahjar yang kedua inilah
yang menjadi obyek penelitian penulis.
Sastra mahjar syarqi adalah sastra yang terlahir dari sastrawan Arab
yang bermigrasi dari negara Arab ke negara Timur; Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan India.22 Para imigran Arab yang datang ke negara
Timur ini ada yang menetap (menjadi warga negara) dan ada pula yang hanya
singgah beberapa waktu dan kemudian meninggalkan negara Timur tersebut. 23
Muhammad bin Abdurrahman al-Rabi‘ memberikan ciri-ciri dari pada sastra
mahjar syarqi sebagai berikut : (1) Keterasingan dan kerinduan, (2) Reformasi
agama dan sosial, (3) Melukiskan alam perantauan, dan (4) Konflik
kelompok. 24
Sedangkan Ahmad Qabisy di dalam bukunya yang berjudul Târîkh al-
Syi‟r al-Arabî al-Hadîts mencirikan puisi mahjar sebagai berikut 25 : (1)
Terbebas dari kaidah-kaidah lama, (2) Ungkapan perasaan pribadi sastrawan,
(3) Kerinduan akan tanah airnya, (4) Perenungan (ta‟ammul), (5)
Kemanusiaan, (6) Cinta alam, (7) Memandang alam sebagai obyek dengan
perasaan yang mendalam, (8) Kebebasan, dan (9) Deskripsi dan
penggambaran.

21
Mahjar berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat pindah atau tempat
perantauan. Lihat Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: KP Al-
Munawwir, 1984), hal. 1590.
22
Muhammad bin Abdurrahman al-Rabî‘, Adab al-Mahjar al-Syarqî,
(Qâhirah: Markaz al-Dirâsât al-Syarqiyyah Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1999), hal. 4
23
Muhammad bin Abdurrahmân al-Rabî‘, Adab al-Mahjar al-Syarqî, hal. 11
24
Muhammad bin Abdurrahman al-Rabi‘, Adab al-Mahjar al-Syarqi, hal. 73.
25
Ahmad Qabisy, Târîkh al-Syi‟r al-Arabî al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Jil, 1971),
hal 355 – 357.

36
B. Sosiologi Sastra
Sastra merupakan ekspresi kejiwaan dan pemikiran seseorang akan
suatu objek.26 Ini merupakan suatu reaksi dari manusia yang ingin
ditampilkannya sebagai wujud dari kegelisahannya akan suatu realita.
Munculnya karya sastra hampir tidak bisa dilepaskan dari gagasan atau cara
pandang seorang sastrawan akan sesuatu. Ia memproduksi penglihatan dan
perasaan yang berasal dari luar dirinya, kemudian disesuaikan dengan forma-
forma tertentu dalam alam sastranya, lantas dikeluarkan dalam pelbagai telaah
sastra seperti sajak, prosa, puisi, novel, naskah tonil dan lain sebagainya.
Keterkaitan antara karya sastra dengan lingkungan yang mengitarinya
amat erat.27 Pemahaman umum yang berlaku adalah manusia tidak dapat
hidup tanpa hadirnya manusia lainnya. Antara satu manusia dengan manusia
lainnya akan tercipta suatu interaksi yang berujung pada timbulnya
kenyamanan dalam dialog. 28 Intensitas pertemuan semakin memantapkan
persepsi di antara keduanya bahwa satu di antara mereka tidak dapat hidup
tanpa bantuan satu yang lainnya. Ini menjadi keniscayaan, mengingat tidak
semua kebutuhan hidup seorang manusia mampu dipenuhi secara mandiri.
Kesadaran ini terus membesar hingga menyentuh pergaulan maunusia yang
lainnya, hingga menghubungkan seorang manusia dengan kelompok
masyarakat.29
Hubungan individu dengan masyarakat terjalin dengan kompleks, lebih
rumit dengan hubungan antara dua manusia. Dua manusia yang betemu,
memang tidak selalu menciptakan aura yang harmonis. Dalam satu dan lain
kesempatan, keduanya tentu pernah berseteru, misalnya dalam hal pemilihan
warna dalam baju kesayangannya. Seseorang akan bebas menyatakan tertarik
pada warna kuning, karena dianggapnya kuning melambangkan keceriaan,
keterbukaan dan mencerminkan hati yang terang. 30 Di pihak lain, seserang

26
Barry Gerhart dan Meiyu Fang, "Pay, Intrinsic Motivation, Extrinsic
Motivation, Performance, and Creativity in The Workplace: Revisiting Long-Held
Beliefs", dalam Annu. Rev. Organ. Psychol. Organ. Behav, Vol. 2, No. 1, 2015, hal.
489-521.
27
David Daiches, "Literature and Social Mobility" dalam Istvan Meszaros, ed,
Aspects of History and Class Consciousness, (New York: Routledge, 2016), hal. 152-
172.
28
Aino Koivisto dan Elise Nykanen, "Fictional Dialogue and the Construction
of Interaction in Rosa Liksom‘s Short Stories", dalam International Journal of
Literary Linguistics, Vol. 5, No. 2, 2016.
29
Knud Illeris, "A Comprehensive Understanding of Human Learning", dalam
Knud Illeris, ed, Contemporary Theories of Learning, (USA: Routledge, 2018), hal.
1-14.
30
Milica Stojanović, "The Colour Yellow and Its Immortal and Mortal
Beauty,‖ dalam Komunikacija i Kultura online, Vol. 9, No. 9, 2018, hal. 262-276.

37
akan leluasa mengatakan bahwa ia lebih menyukai warna merah, karena
memunculkan aura keberanian, identik dengan darah, dan keluarnya darah
dari tubuh manusia, menandakan pengorbanan. Pengorbanan inilah yang
dianggap sebagai satu ekspresi keberanian. 31 Perbedaan semacam ini dapat
terus dipersengketakan.
Di sisi lain, hubungan manusia dengan masyarakat tidak selalu
berhubungan dengan suka atau tidak suka akan sesuatu. Ini bisa mencakup
suatu keadaan yang lebih besar ketimbang mempersoalkan warna pakaian.
Masyarakat merupakan entitas yang bergerak dan dinamis. 32 Persinggungan di
antara mereka bukan lagi persinggungan antarindividu, namun dapat
mengarah ke persinggungan antarkelas. 33 Dalam perpektif sosiologis, kelas
diperbincangkan secara serius dan terperinci. Tentu saja, kelas di sini tidak
berkaitan dengan ruang tempat para siswa atau mahasiswa belajar, melainkan
suatu komunitas tertentu yang mempunyai kesamaan keadaan dan nasib. 34
Karl Marx berkeyakinan bahwa sejarah eksistensi umat manusia tidak
bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas. Para penguasa tanah,
agamawan, petani, buruh, para pelancong serta orang dari profesi lainnya,
telah membentuk kelas yang mengidentifikasi dirinya dan kelompok
seprofesinya. Dalam perjalanannya, kelas-kelas ini akan bersinggungan
karena kepentingan tertentu. Misalnya saja kelas orang yang berpunya (The
Have) dengan yang tidak berpunya (The Have‟nt), akan selalu ada bentrokan
di antara mereka, terlebih bagi mereka yang memiliki pertalian lintas profesi,
seperti petani dan pemilik tanah. 35
Di masa pra-industrial, para pemilik tanah (landlord) mempunyai
kekuasaan dalam artian yang sesungguhnya atas masyarakat di sekitarnya. Ini
merupakan model kuasa kuno yang masih bertahan sampai mendekati abad
19. Para tuan tanah mempunyai hubungan politik yang luas dengan para raja
dan pendeta, sehingga patronasenya dalam lingkungan tempat tinggalnya
demikian kuat. Tidak jarang, masyarakat yang berlatar ekonomi rendah,
menjadi pekerja mereka. Mereka berprofesi sebagai pengurus kebun para tuan

31
Niki Hynes, "Colour and Meaning in Corporate Logos: An Empirical Study"
dalam Journal of Brand Management, Vol. 16, No. 8, 2009, hal. 545-555.
32
John W, Meyer, dkk, "World Society and the Nation-State", dalam
American Journal of Sociology, Vol. 103, No. 1, 1997, hal. 144-181.
33
Andra Serban, dkk, "Assassination of Political Leaders: The Role of Social
Conflict", dalam The Leadership Quarterly, Vol. 29, No. 4, 2018, hal. 457-475.
34
Deborah J. Schildkraut, "White Attitudes About Descriptive Representation
in The US: The Roles of Identity, Discrimination, and Linked Fate", dalam Politics,
Groups, and Identities, Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 84-106.
35
Karl Marx, ―Classes in Capitalism and Pre-Capitalism‖ dalam David B,
Grusky, Sosial Stratification; Class, Race, Gender in Sociological Perspectives 2nd
Edition, (New York: Routledge, 2019), hal. 81 – 82.

38
tanah, mengurus ternak, menjadi pelayan serta berbagai pelayanan lainnya.
Jarak yang terbentuk di antara tuan tanah dan rakyat yang bekerja di kebun
dan rumahnya terlampau luas. Para tuan tanah merasa seperti memiliki jiwa
dan raga pelayannya, sehingga mentalitas penguasa dan pekerja ini kemudian
semakin terbentuk dari dekade ke dekade hingga munculnya persepsi orang
tidak punya harus tunduk pada kepentingan orang yang punya, jika mereka
ingin terus melanjutkan hidupnya.36
Kelas yang terpisah ini perlahan terbawa ke masa industri di abad 19.
Penemuan mesin uap dianggap sebagai tonggak penting perkembangan di
Eropa.37 Mereka dapat mendongkrak hasil industri dalam tempo yang lebih
cepat. Pesanan barang semakin banyak, seiring dengan tumbuhnya
masyarakat kota dan negeri jajahan. Pabrik-pabrik di Eropa mulai
mempertimbangkan pentingnya kerjasama dengan negeri-negeri jajahan untuk
mendatangkan bahan mentah38, seperti kapas yang berasal dari India bagi
Inggris39, serta pemasaran gula di Jawa yang dianggap penting mengisi kas
Kerajaan Belanda.40 Perkembangan ini memantik perubahan peran para
landlord menjadi para industrialis dan para petani menjadi pekerjanya. Demi
efisiensi pekerjaan, para pekerja pun diharuskan bekerja hingga waktu kerja
yang dianggap oleh sebagian pengamat sosial sebagai bentuk eksploitasi
kemanusiaan. Di sini pula tumbuh budaya masyarakat industri di mana
pemilik usaha menjadi penguasa atas para pekerjanya. Perbedaan kelas
penguasa (ruling class) dan kelas pekerja (worker class) semakin terpolarisasi
menjadi gejala sosial yang ikut membentuk definisi kelas itu sendiri. 41
Dalam paradigma Weberian, kelas dipahami sebagai akumulasi atau
kombinasi dari variasi posisi sosial, seperti prestis, properti, pendapatan,
kesempatan, pendidikan dan otoritas. Baik secara subjektif, maupun objektif,
kelas dapat dimasukkan ke alam konsumsi, dan tidak melulu di alam

36
Richard Smith, "Some Emerging Issues in the Demography of Medieval
England and Prospects for their Future Investigation", dalam Local Population
Studies, Vol. 100, No. 1, 2018, hal. 13-24.
37
Leslie Tomory, The History of the London Water Industry, 1580–1820,
(Baltimore: JHU Press, 2017), hal. 115.
38
Christopher Hill, Reformation to Industrial Revolution: 1530-1780,
(London: The Macmillan Press, 2018), hal. 21 – 29.
39
Stephen Broadberry, dkk, "India and the Great Divergence: An Anglo-
Indian Comparison of GDP Per Capita, 1600–1871", dalam Explorations in Economic
History, Vol. 55, 2015, hal. 58-75.
40
Andreas Zangger, "Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in
Colonial Java, 1830-1885", dalam Tijdschrift voor Sociale en Economische
Geschiedenis, Vol. 13, No. 3, 2016, hal. 123-125.
41
E. P. Thompson, The Making of The English Working Class, (Ne York:
Pantheon Book, 1963), hal. 10 – 20.

39
produksi. Dalam skema Weberian, produksi dan properti saling berhubungan
meskipun bukan selalu menjadi faktor yang determinan. Konspetualisasi
Weberian menolak peran antagonistik dari relasi sosial kapitalis di dunia
produksi dan menggambarkan kelas dalam terma pertukaran dan relasi pasar.
Paradigma Weber ini dekat dengan perpektif ekonomi dalam kehidupan
sosial. Jika ditelusuri lebih lanjut, Weber memang tidak terlalu tertarik
membincangkan kelas dalam perpektif pertempuran kelas pekerja dengan para
industruialis sebagaimana yang disuarakan Marx di terma sebelumnya. 42
Definisi kelas semakin menemukan relevansinya dalam konteks
keindonesiaan, ketika membicarakannya dalam periode kolonialisme.
Sebagaimana diketahui, Belanda menjadi bangsa Eropa terlama yang
menduduki sebagian besar wilayah Indonesia. Kedatangan mereka sebagai
pedagang, rupanya tidak terpuaskan hanya dengan memeperoleh untung
berkat hasil perniagannya. Memasuki abad 19, Kerajaan Belanda menganggap
penting penguasaan air dan tanah dalam artian sebenarnya di Nusantara.43
Sejak itulah mereka mulai berusaha melakukan penaklukkan-penakklukkan
para penguasa lokal dan menyuruh mereka yang kalah untuk menandatangani
korte verklaring (pernyataan singkat) atau lange verklaring (pernyataan
panjang) mengai pengakuan mereka atas kekuasaan Kerajaan Belanda di atas
wilayahnya. Hal ini terlihat misalnya ketika para raja di Jawa, termasuk di
Yogyakarta dan Surakarta yang harus menandatangai dokumen perjanjian
semacam itu yang disodorkan pemerintah kolonial. 44
Penduduk negeri yang telah diduduki harus menyatakan kesetiaan dan
ketundukkan kepada hukum pemerintah Hindia Belanda. Di periode ini
terkenal suatu istilah yang dicanangkan pemerintah Hindia Belanda di negeri
jajahannya, yakni pemberlakukan kebijakan rust en orde. Dua kata tersebut
diambil dari Bahasa Belanda yang artinya adalah ―ketenangan‖ dan
―ketertiban‖. Pemerintah Hindia Belanda menginginkan agar penduduk
pribumi menjalankan kewajiban sebagai warga negara sebagaimana yang
telah digariskan dalam hukum kolonial. Keadaan ini dapat dianggap sebagai
realisasi dari penertiban sebagaimana yang dimaksud dalam istilah di atas.
Jika ketertiban sudah terjadi, maka dengan sendirinya ketenangan dapat
tercipta. Tentu saja, keadaan tersebut merujuk pada kepentingan pemerintah
Eropa dan warga negara Eropa, sedangkan bagi warga pribumi, itu semua
hanya alat politik untuk menekan mereka dan sebagai alat untuk melakukan
eksploitasi tenaga mereka di perkebunan milik orang Eropa atau proyek-

42
Scott G. McNall, ed, Bringing Calass Back In; Contemporary and Historical
Perspectives, (New York: Routledge, 2018), hal. 1 – 2.
43
David Jenkins, "The Invasion of the Dutch East Indies Transed. by Willem
Remmelink", dalam Indonesia, Vol. 102, No. 1, 2016, hal. 129-135.
44
John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku
Buwono IX of Yogyakarta. Vol. 504, (Singapoe: Institute of Southeast Asian Studies,
2015), hal. 69.

40
proyek pembangunan fasilitas umum yang menguntungkan perusahaan dan
perkebunan orang Eropa, seperti pelabuhan dan jalan raya. 45
Dari latar sejarah Indonesia di atas diperoleh pemahaman bahwa
terdapat dua kelas yakni kelas penjajah yakni pemerintah Belanda yang
mewakili ruling class dan kelas terjajah yakni warga pribumi atau dalam
terma Marxian disebut working class. Memang, tidak seluruh penduduk
pribumi menjadi pekerja di pabrik, layaknya para buruh di Eropa. Namun,
kerja paksa yang dilakukan mereka di kebun milik tuan tanah Eropa, sama
halnya dengan penderitaan yang diterima kelas pekerja Eropa. Mereka tidak
mempunyai hak untuk mengajukan keberatan mereka atas jam kerja yang
tinggi dan merampas hampir keseharian mereka. Belum lagi, upah kerja yang
dibayarkan tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Posisi yang serba
tertekan ini semakin menunjukkan gejala sosiologis, bahwa di Indonesia pun,
pembentukan kelas sosial pun terjadi, meskipun berbeda objek seperti yang
ditampilkan Marx sebelumnya.
Marx meramalkan bahwa polarisasi kelas sosial mengakibatkan adanya
suatu medan pertempuran antarkeduanya. Pertarungan antarkelas (the classes
struggle) menjadi keniscayaan manakala para buruh atau pekerja mendapati
himpitan kepentingan industrial telah sedemikian rapat menindih mereka.
Akan tiba waktunya, di mana kelas buruh bergerak dan mengoyak kanting-
kantong kekayaan penguasa. Pabrik mereka akan digembosi oleh mogok kerja
para karyawannya. Dengan sendirinya, negara akan dipusingkan oleh masalah
ini sehingga keadaan semakin memarak dengan munculnya kelompok buruh
yang mulai melirik kudeta pemerintahan, lantas mendirikan pemerintahan
yang menyokong masyarakat tanpa kelas. Dalam beberapa segi, pertarungan
antarkelas dapat berimbas bukan hanya pada perdebatan ideologis, namun
juga menyulut peperangan. 46
Apa yang digambarkan tidak terjadi dalam sejarah Indonesia. Di masa
kolonial, pertarungan antarkelas disimbolkan lewat beragam cara, mulai dari
perang sampai dengan benturan gagasan. Ini bisa dilihat dalam kasus
penolakan kelompok santri atas kedatangan tentara Belanda yang ikut serta
dalam barisan pasukan Sekutu (Allied Forces) yang datang menggunakan
nama NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Barisan
Administrai Sipil Hindia Belanda). Para pejuang di bantu santri dari sejumlah
pesantren di Jawa bergabung dalam perang di Surabaya yang dikenal sebagai

45
Robert Cribb, "Convict Exile and Penal Settlement in Colonial Indonesia",
dalam Journal of Colonialism and Colonial History, Vol. 18, No. 3, 2017.
46
Pendapat Marx tentang pertempuran antarkelas lihat Karl Marx, dkk, The
Class Struggles in France, 1848-1850, (New York: International Publishers, 1964)

41
Peristiwa 10 November 1945. Perang ini merupakan wujud perlawanan kelas
antara penjajah dan orang yang pernah dan akan dijajah kembali. 47
Di dunia sastra, kelas mendapat tempat yang subjektif, tergantung pada
bagaimana sang sastrawan atau penyaji sastra membentuk opininya tentang
kelas dalam karyanya. Salah satu kasus dalam sastra Amerika Serikat
misalnya, Eric Shocket membicarakan sastra kelas pekerja sebagai satu
ekspresi sastra yang marak di Amerika pada dekade tertentu. Bentuk-bentuk
sastra yang dibuat kaum pekerja mencerminkan muatan etis dan ideologis
yang merupakan bentuk dari kekecewaan atas Janji Amerika (American
Promises). Dalam keadaan lain, sastra kelas pekerja merupakan bantahan dari
paham eksepsionalisme yang berkembang di Amerika Serikat. Paham ini
menyatakan bahwa Amerika Serikat harus menjadi negara yang terbuka bagi
semua kelas sosial. Nyatanya, ini hanyalah sebatas seruan, dan di tataran
ruang publik, masih ditemukan banyak kelas-kelas yang memasung satu
golongan dengan golongan lainnya. Kelompok buruh menyuarakan
kegetirannya melalui sastra.48 Dengan kata lain, sastra dalam kasus ini dekat
dengan kelas dalam perpektif masyarakat industrialis, sebagaimana yang
ditemukan dalam kasus-kasus kelas buruh lainnya.
Dalam sastra Indonesia, utamanya di era kolonialisme Belanda, sastra
juga menjadi pilihan untuk menyuarakan pendapat. Sebagai kelas terjajah,
para sastrawan mengutarakan kegelisahannya akan nasib bangsa Hindia yang
belum mampu keluar dari kungkungan kolonialisme dan budaya patriarki-
elitis yang kuat, terlebih di wilayah Jawa. Multatuli atau Edward Douwes
Dekker memotret keterbelakangan dan penderitaan rakyat melalui karya Max
Havelaar. Salah satu kisah yang menarik adalah cerita jalinan kasih antara
Saijah dan Adinda, di mana tali cinta mereka harus putus, karena Adinda
menikah dengan seorang Belanda atas dalih kelas penguasa lebih tinggi dari
kelas yang dikuasai.49 Karya sastra ini sempat menyentak perhatian
pemerintah kolonial di Batavia hingga Kerajaan Belanda, namun karya ini

47
Salah satu kajian terbaru yang mengupas tentang perang Surabaya [ada 1945
lihat William Bradley Horton, History Unhinged: World War II and the Reshaping of
Indonesian History, Disertasi, (Tokyo: Waseda University, 2016); Sedangkan tentang
kiprah santri atau kalangan masyarakat pesantren Jawa dalam perang tersebut lihat
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan
Menegakkan Indonesia, 1945-1949, (Jakarta: Pustaka Compass, 2014).
48
Eric Shocket, Vanishing Moment; Class and American Literature, (USA:
The University of Michigan Press, 2006), hal. 5 – 7.
49
Salah satu terbitan awal Max Havelaar adalah edisi Multatuli, Max
Havelaar, (Amsterdam: K. H. Schadd, 1871)

42
tidak cukup kuat meruntuhkan bangunan besar kolonialisme yang tertanam
kuat di Tanah Hindia.50
Dalam bentuknya yang lain, kelas sosial muncul dalam novel Memang
Jodoh karya Marah Rusli. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa tokoh utama
novel ini yang berdarang Minangkabau harus menghadapi dilema stratifikasi
sosial, karena dihadapkan pada dua masalah yang pelik. Ia ingin menikah
dengan seorang wanita Sunda asal Bogor, namun di sisi lain ia sudah
disiapkan pasangan oleh keluarganya yang sama-sama berlatar suku Minang.
Di Minangkabau, masalah perjodohan bukan menjadi urusan individu, karena
harus melibatkan keluarga besar termasuk ninik mamak (kakek, nenek dan
para paman). Di sisi lain, pernikahan dalam adat Sunda, khususnya di Bogor
cenderung lebih terbuka dengan kelompok lain. Dua masalah ini juga
menunjukkan adanya kelas dalam masyarakat Indonesia, yakni kelas
berdasrkan adat istadat primordial. Pemilihan pasangan hidup nyatanya dapat
ditampilkan oleh Marah Rusli sebagai telaah akan pertarungan kelas,
meskipun bukan ranah perang yang sesungguhnya, namun lebih pada
pertempuran batin si tokoh utama. Jika ia memilih menikah dengan
perempuan pilihannya, maka ia dianggap telah memutus tali silaturahim
dengan keluarganya di Sumatera Barat. Sebaliknya, ia akan menjalani hidup
dengan penuh kepalsuan, karena harus memainkan sandiwara cinta dengan
pasangan dari sukunya sendiri, yang tidak ia cintai.51
Dari beberapa uraian tentang kelas dalam dunia sastra di atas, penulis
tertarik untuk membicarakan ini dalam konteks kelas bangsa penjajah dan
bangsa yang terjajah di Indonesia. Tema tersebut agaknya tersemat dalam dua
kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr yakni Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan
Bilâduk Yâ Hattâ . Dua syair ini menyuarakan perlawanan kepada bangsa
Belanda dan Jepang, bangsa asing yang pernah menduduki kota-kota penting
di negeri ini. Penulis tertarik untuk membincangkan dua kelas tersebut
sebagai pengejawantahan dari teori sosiologi sastra yang dipilih. Tentu saja,
teori ini tidak dapat berdiri sendiri, dan harus ditopang oleh teori lainnya yang
relevan yang akan di jelaskan di bagian setelah ini.
Alan Swingewood menyebutkan bahwa pada tingkat dasar, antara
sosiologi dan sastra membicarakan persoalan yang sama, yakni manusia.
Sosiologi adalah suatu telaah obyektif tentang manusia dan hubungannya
dengan institusi dan proses sosial yang dilakukannya untuk menampilkan
keadaannnya dan pola aktivitasnya. Di sisi lain, karya sastra, seperti halnya
sosiologi, juga menyinggung tentang kehidupan manusia termasuk metode
adaptasinya serta hasrat untuk berubah. Sebagai hasil kerja estetik, karya

50
Paul Eggert, "The Dutch-Australian Connection: Willem Siebenhaar, DH
Lawrence, Max Havelaar and Kangaroo", dalam Australian Literary Studies, Vol. 21,
No. 1, 2003.
51
Dian Nathalia Inda, "Memang Jodoh: Pemberontakan Marah Rusli Terhadap
Tradisi Minangkabau", dalam Kandai, Vol. 11, No. 2, 2017, hal. 217-233.

43
sastra tidak bisa dikategorikan sebagai fenomena sosiologis belaka. Karya
sastra justru melampaui batasan deskripsi analisa ilmiah yang obyektif. Ia
mempunyai daya untuk menembus kehidupan masyarakat, bahkan hingga
menyinggung pengalaman seseorang yang ditampilkan dalam suatu
kelompok. 52
Di Inggris, sosiologi dan sastra terlibat dalam pergumulan yang
panjang. T. S. Eliot (1888 – 1965), seorang sastrawan, dalam artikelnya
berjudul Notes Toward the Definition of Culture menyebutkan bahwa para
pelajar yang tertarik di dunia sastra perlu menambah pengetahuannya dengan
membaca buku-buku sosiologi, salah satuya buku-buku karangan Karl
Manheim (1893 – 1947), seorang sosiolog Hongaria. Ini adalah bekal penting
untuk memasuki periode Paska Perang (Perang Dunia II) di mana banyak
negara-nengara yang menjadi korbannya sedang berlomba-lomba
memperbaiki kondisi sosialnya.
Di akhir abad 20, W. G. Runciman, seorang sosiologi Inggris yang juga
menjabat Presiden British Academy menyebutkan bahwa era Post-modern
telah mundur, dengan membawa serta pengkajian behavioral manusia.
Termasuk dalam termin itu adalah sains dan sastra. Ia menyebutkan pula
bahwa paradigma evolusioner yang sedang bergolak adalah hipotesis tentang
sejarah dan studi dialektika budaya. Beberapa standarisasi muncul, dan patron
standarisasi yang paling kuat adalah pengkajian akan kedudukan manusia,
siapa mereka? dan apa yang mereka lakukan?
S. K. Ratclife, seorang jurnalis dan pengajar di Cinway Halla Ethical
Society London, dalam artikelnya berjudul Sociology in the English Novel
menyebutkan bahwa fiksi modern adalah sosiologi deskriptif dalam konteks
yang lebih luas dan lebih jujur ketimbang berlindung dibalik terma-terma
saintifik, seperti dengan meminjam pendapat-pendapat Herbert Spencer (1820
– 1903), seorang evolusionis, misalnya. Sastra dapat menampilkan suatu
perbincangan yang murni dan dua arah, ketimbang bacaan saintifik yang
hanya satu arah. Ketika membaca sastra ada suatu masalah yang dipikirkan.
Ada pembicaraan yang akan memberikan solusi atasnya. Oleh sebab
pembicaraan itu dilakukan oleh dua atau lebih orang, maka terlihat seperti
problem umum kemanusiaan yang sesungguhnya. Hal serupa tentu tidak
dijumpai dalam buku-buku telaah saintifik.53
Dalam pembicaraan yang lebih luas, sosiologi berguna untuk
mengungkap hubungan sastra dengan penulisnya. Di Eropa, inspirasi adalah
hal yang utama bagi para pekerja seni. Untuk memunculkan suatu imaji,
gambaran atau keadaan subjektif yang dinikmati oleh mereka, penggunaan

52
Tri Wahyudi, "Sosiologi Sastra Alan Swingewood Sebuah Teori", dalam
Jurnal Poetika, Vol. 1, No. 1, 2013.
53
Albert Henry Halsey, A History of Sociology in Britain: Science, Literature,
and Society, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 15 – 16.

44
obat-obatan terlarang menjadi suatu kelaziman. Inspirasi artistik dan narkoba
mempunyai hubungan yang kontroversial di sini. Tentu saja ini bukanlah
suatu hal yang begitu saja disetujui. Bagi kelompok seniman yang memuja
perbendahaan sastra atau seni Yunani, di mana Plato dan Aristoteles adalah
figur yang selalu dikup dalam setiap pembicaraan, penggunaan narkoba
adalah suatu kesalahan. Narkoba memang tidak selalu diakui sebagai
penghalang munculnya proses kretif, namun itu adalah suatu pemenggalan
dari jalan hidup seorang Aristotelian yang menjunjung tinggi kesehatan,
rasional, aktif dan berbudi luhur.54
Wendy Griswold memiliki pandangan evolutif terkait sosiologi sastra.
Dalam kertas kerjanya, ia mengungkapkan bahwa suatu ketika ia dan
beberapa koleganya membicarakan tentang sosiologi sastra. Ia
mengungkapkan bahwa pembicaraan itu seperti bunga, karena umumnya
orang mengetahui bahwa karya sastra adalah susunan kalimat-kalimat indah
yang bermakna, yang dapat menyita kehidupan orang dari rutinitasnya. Itu
adalah sesuatu yang dapat membuat orang terjerat dalam keindahan kata.
Namun, jika menimbang kondisi perubahan dunia yang kian cepat, akan
muncul suatu pemaknaan lain tentangnya. Dahulu, orang menyaksikan
pembicaraan dua orang secara langsung, maupun lewat tulisan. Kini, mereka
juga dapat menyaksikannya dengan media film. Dengan sendirinya ungkapan-
ungkapan indah dari dua orang manusia yang berbicara akan terlihat di sana.
Griswold meyakini suatu perspektif bahwa sosiologi sastra seperti amuba
yang dapat membentuk aneka ragam forma saat mendekati suatu objek. 55
Dari perkataan Ruggierio dan Griswold diapahami bahwa sosiologi
sastra akan menyesuaikan diri dengan objek yang akan dikajinya. Keputusan
itu tidak semata-mata akibat dorongan akomodatif semata, melainkan karena
adanya pengaruh yang kuat dari sastra itu sendiri. Jika membicarakan
sosiologi dari aspek teoritis saja, maka kita akan berjumpa dengan serangkain
temuan ahli yang kemudian dijadikan suatu pakem dalam menelaah persoalan
sosial lain di ruang dan waktu yang berbeda. Namun, dalam sosiologi sastra
hal demikian mungkin akan sedikit terlihat. Orang-orang yang menekuni
bidang studi ini, justru akan mencoba mengenal objeknya secara lebih
mendalam, sebelum mendeteksi teori atau pendekatan sosiologi sastra yang
mana yang digunakan. Sama halnya ketika penulis memilih teori sosiologi
sastra Escarpit, maka penulis terlebih dahulu melakukan pembacaan yang
mendalam terhadap karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr dan mengenal profilnya.
Lucien Goldmann mengingatkan bahwa kendati sosiologi sastra tidak
mempunyai bentuk yang baku sebagai suatu pendekatan penelitian, namun ia
tetapkan termasuk dalam sains humanistik. Sastra, terlepas dari keindahan

54
Vincenzo Ruggiero dan Vincent Ryan Ruggiero, Crime in Literature:
Sociology of Deviance and Fiction, (New York: Verso, 2003), hal. 53.
55
Wendy Griswold, "Recent Moves in the Sociology of Literature", dalam
Annual Review of Sociology, Vol. 19, No. 1 (1993), hal. 455-467.

45
bahasa dan keseruan kisah yang ddituliskan, adalah kumpulan aktivitas
manusia. Di dalam sastra, ada pembicaraan, baik yang berifat monolog atau
dialog. Didalamnya juga terdapat penilaian seseorang akan suatu keadaan.
Hal-hal demikian adalah suatu kelumrahan yang dilakukan oleh manusia.
Tidak selalu seorang tokoh yang dibicarakan dalam sastra hidup menyendiri,
beberapa sastra membicarakan tentang komunitas, seperti Emile Zola yang
menyinggung tentang para pekerja tambang miskin di novelnya Germinal.
Dengan kata lain, pendekatan teoritis tetap bisa digunakan untuk membedah
suatu permasalahan dalam karya sastra.56
Penulis tertarik untuk menggunakan teori sosiologi sastra yang
dikemukan oleh Robert Escarpit. Robert Escarpit merupakan sosok penulis
terkenal di surat kabar Le Monde. Secara ideologis, ia dekat dengan para
aktivis Partai Komunis. Ia memiliki pergaulan yang luas dengan para novelis,
penulis esai, penulis buku anak-anak dan kalangan penulis lainnya.
Pemikirannya tentang komunikasi menyumbang gagasan yang signifikan
dalam pendirian suatu ilmu pengetahuan bernama ilmu informasi dan
komunikasi di Prancis. 57
Escarpit dilahirkan pada 1918, di Saint-Macaire, Gironde, Prancis.
Ayah dan ibunya adalah guru. Pada 1938, ia belajar bahasa Yunani dan
Inggris di Ecole Normale. Pada 1943, ia menerima agregasi (sertifikasi)
bahasa Inggris dan mengajar di SMA Arcachon. Pada 1945, ia diminta Croix
de Guerre, suatu perkumpulan perlawanan Prancis melawan Nazi-Jerman,
untuk menulis suatu tulisan yang mengungkapkan fakta-fakta perlawanan para
pemuda Prancis dalam salah satu artikel pertama Escarpit yang berjudul le
jeune homme et la nuit atau Pemuda dan Malam. Di tahun yang sama, ia pergi
ke Meksiko untuk memenuhi tugasnya sebagai sekretaris jenderal lantas
menjadi direktur atas Institut Prancis Amerika Latin (l‟Institut français
d‟Amérique latine). Pada 1949, ia kembali ke Prancis dan diminta menjadi
juru bahasa Inggris lalu menjadi dosen bahasa Inggris di Fakultas Sastra
Bordeaux. Pada 1949 sampai 1979, atas sokongan Hubert Beuve-Méry,
Escarpit ditunjuk sebagai kolumnis tetap di harian Le Monde dan di sana ia
menulis dengan gaya tulisan yang jenial, memadukan humor dan intelegensia.
Dalam rentang waktu itu, ia menulis sekitar 9000 artikel. Pada 1952, ia
merengkuh gelar doktor di bidang sastra, khususnya sastra perbandingan.
Pada 1958, ia menulis buku berjudul sosiologi sastra (Sociologie de la
Littérature), buku ini diterjemahkan ke dalam 23 bahasa. Buku ini sekaligus
menjadi pencapaian internasional yang penting bagi Escarpit. Pada 1960, ia
mendirikan Pusat Sosiologi Sastra Faktual yang pada 1965 berubah menjadi

56
Lucien Goldmann dan William Q. Boelhower, Essays on Method in the
Sociology of Literature, (UK: Telos Press, 1980), hal. 35 – 36.
57
https://www.reseau-canope.fr/savoirscdi/societe-de-linformation/le-monde-
du-livre-et-de-la-presse/histoire-du-livre-et-de-la-documentation/biographies/robert-
escarpit.html, diunduh pada Pukul 11.33, Selasa, 1 Oktober 2019.

46
Institus Sastra dan Seni Massa (l‘Institut de Littérature et de Techniques
Artistiques de Masse, atau ILTAM).
Pada 1964, Escarpit menerbitkan roman berjudul Littératron. Setahun
berselang, novelnya yang lain terbit berjudul Révolution. Pada 1967, ia
mendirikan Institut Teknologi di Bordeaux. Ia menjadi dewan pengarah di
sana sejak 1971 hingga 1975. Pada 1969, ia mendirikan pluridisciplinaire des
sciences de l‟information et de la communication (UPTEC) atau Unit
Multidisiplin Kajian Informasi dan Komunikasi. Pada 1972, bersama
sejumlah ilmuwan seperti Jean Meyrat dan Roland Barthes, Escarpit
membentuk Société française des sciences de l‟information et de la
communication, suatu perkumpulan profesi ilmuwan yang menekuni bidang
studi informasi dan komunikasi. Pada 1975, novelnya yang berjudul Appelez
moi Thérèse (Panggil Aku Teresa) terbit.
Escarpit memiliki perhatian yang besar pada perkembangan ilmu
informasi dan komunikasi. Ia menerbitkan buku teori informasi dan
komunikasi pada 1976. Buku ini menghadirkan tinjauan umum tentang ilmu
informasi dan komunikasi. Pada 1975 – 1978, Escarpit terpilih sebagai rektor
Universitas Bordeux dan dalam kurun itu juga ia mendapat gelar sebagai
profesor di bidang ilmu informasi dan komunikasi. Pada 1978, ILTAM
berubah menjadi laboratoire des sciences de l‟information et de la
communication (LASIC) atau Laboratorium Ilmu Informasi dan Komunikasi.
Pada 1982, para penggiat komunias Prancis memilihnya untuk duduk di
Dewan Regional Komunis di Aquitaine. Di tahun yang sama Buku Putih
Komunikasi-nya juga diterbitkan. Pada 1983, Escarpit menerima lencana
penghormatan de Chevalier de la légion d‟honneur. Pada 1984, ia
memutuskan pensiun dan menjadi profesor emiritus. Ia mengisi hari tuanya
dengan menulis sejumlah novel dan membuat cerita anak-anak yang
ilustrasinya ia gambar sendiri, salah satunya adalah serial Rouletabosse. Pada
2000, ia meninggal di Langon, Gironde dekat Saint Macaire, daerah masa
kecilnya.58
Sumber lain menyebutkan bahwa Robert Escarpit merupakan sastrawan
yang menghabiskan masa kecilnya di kawasan desa Prancis yang berdiri sejak
Abad Pertengahan, Sant-Macaire. Ia merupakan anak seorang kepala sekolah.
Ia tumbuh di tengah keluarga akademisi yang perlahan ikut membentuk
kepribadiannya sebagai seorang penulis dan sastrawan. pada 1939, di usia
yang sangat muda, Escarpit menjadi jurnalis di Brigade Internasional
(Brigades Internationales). Escarpit lahir sebagai seorang Anglikan dan
menaruh minat yang besar pada karya-karya Lord Byron. Tulisan Escarpit
menjangkau banyak tema, dan tema politik termasuk yang menonjol. Ia
sempat melayangkan protes kepada agitasi yang dialami siswa di Paris dalam

58
https://www.reseau-canope.fr/savoirscdi/societe-de-linformation/le-monde-
du-livre-et-de-la-presse/histoire-du-livre-et-de-la-documentation/biographies/robert-
escarpit.html, diunduh pada pukul 11.35 WIB, Rabu, 2 Oktober 2019.

47
artikel C‟est la faute à Voltaire yang artinya Itulah Kesalahan Voltaire, dan
melayangkan protes kepada kebijakan politik kaum Girondin dalam artikel
Othon contre Sorbon. Escarpit juga merupakan jurnalis di surat kabar malam
bergengsi di Paris dan koresponden aktif intuk UNESCO. Escarpit senang
dengan kehidupannya yang bebas, bahkan ia tidak jarang mengembara ke
tempat-tempat yang dianggapnya unik sebagai aktualisasi dari pemahamannya
akan kebebasan manusia.59
Escarpit merupakan pribadi yang unik. Memulai kiprah sebagai jurnalis
dan kolumnis. Menekuni sastra di tengah rutinitasnya, dibuktikan dengan
sejumlah terbitan novelnya. Mempunyai kedekatan dengan kelompok
Komunis Prancis, bahkan menjadi salah satu penasehat gerakan politik ini di
Aquitaine. Menjadi dosen, pakar di ilmu informasi dan komunikasi. Setelah
jenuh dengan hiruk pikuk kegiatannya, masa tua Escarpit diisi dengan menulis
sejumlah cerita anak-anak bergambar, yang hebatnya dia adalah penulis cerita
sekaligus ilustratornya. Ia menampilkan sosok sebagai sastrawan, sarjana,
politikus juga komikus.
Di Prancis, profesi seorang Escarpit memang tidak aneh, karena banyak
profesi serupa yang ditekuni orang-orang tersohor lainnya. Albert Camus dan
Jean Paul-Sartre misalnya, berangkat dari jurnalis namun lebih dikenal
sebagai kepiawaiannya di dunia sastra. Bahkan, seperti Escarpit, Sartre juga
terlibat dalam gerakan Komunis yang mengutuk keras keputusan Prancis
menginvasi Vietnam. 60 Berbeda dengan Camus, yang memilih diam
memperhatikan invasi Prancis atas Algeria, negeri kelahirannya sendiri. 61 Di
bidang sejarah, dikenal tokoh Mazhab Annales, March Bloch, yang selain
menjadi peneliti sejarah juga terlibat dalam gerakan bawah tanah menentang
pendudukan Nazi-Jerman atas Prancis62, dan lain sebagainya. Daftar ini akan
semakin panjang jika terus diceritakan. Persinggungan ini hanya
penggambaran yang menegaskan bahwa profesi seperti Escarpit lumrah
dijumpai di Prancis, negeri yang memang terkenal dengan seniman, filsuf dan
sastrawannya63
Berkaca pada sekelumit kisah hidup dan penjelasan singkat tentang
alam multiaspek di Prancis di atas, penulis tertarik untuk menilik teori

59
Anne-Marie Laulan, "Autour de Robert Escarpit: l'effervescence Bordelaise
(1960-1972)", dalam Hermès, La Revue 2, 2007, hal. 95-100.
60
Michael Scriven, Jean-Paul Sartre: Politics and Culture in Postwar France,
(London: The Macmillan Press, Ltd., 2016), hal. 14.
61
David Carroll, Albert Camus the Algerian: Colonialism, Terrorism, Justice,
(New York: Columbia University Press, 2007), hal. 5 – 6.
62
George Huppert, "Lucien Febvre and Marc Bloch: The Creation of the
Annales", dalam The French Review, Vol. 55, No. 4, 1982, hal. 510-513.
63
Hannah Williams, "Artists and the City: Mapping the Art Worlds of
Eighteenth-Century Paris", dalam Urban History, Vol. 46, No. 1, 2019, hal. 106-131.

48
sosiologi sastra yang dikemukakan Escarpit. Konsepnya tentang sosiologi
sastra mempunyai relevansi dengan karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr.
Terlebih, beberapa kasidah atau syair yang dipilih memang memiliki kesan
sosiologis yang kuat, khususnya di bidang pertentengan antarkelas.
Escarpit mengemukakan dalam menelaah unsur sosiologis dalam karya
sastra, maka para pengkaji akan menemukan tiga elemen; 1) penulis sastra
atau sastrawan; 2) karya sastra; 3) pembaca. Ketiganya harus ada, dan
diperbincangkan dalam bahasan sosiologis sastra. Ketiadaan salah satunya,
menyebabkan pembahasan sosiologi sastra menjadi pincang. 64 Penulis karya
sastra atau sastrawan memiliki seperangkat gagasan yang bersumber dari
pemahamannya akan peristiwa, penilaiannya akan sesuatu, serta
penghayatannya akan suatu emosi sehingga ketiganya menjadi modal
menampilkan karya sastra. Sebagai produk, sastra adalah jembatan yang
menghubungkan antara maksud sastrawan dengan pembacanya. Sastra
menjadi telaah yang menjadi titik temu bagi keduanya. Karya ini pula yang
kerap menyatukan penulis dengan para penggemarnya, ketika di masa kini
kita melihat maraknya pertemuan bedah buku, atau launching (peresmian)
suatu buku baru. Pembaca sebagai konsumen sastra juga harus dilibatkan.
Tanpa mereka, sastrawan dan karyanya hanya menjadi benda mati. Gagasan
sastrawan akan hidup sepanjang orang lain membaca dan memperbincangkan
sastranya. Karya George Orwell berjudul 1984 misalnya, mendapat relevansi
ketika Haruki Murakami, dengan kepiawaiannya sendiri menulis trilogi novel
IQ84. Orwell menuangkan penglihatannya tentang kebijakan politik negara
yang menghimpit kebebasan warganya, bahkan sampai urusan kamar tidur
pun, ingin diketahui negara. Sebagai produsen, Orwell menghadirkan
gagasannya lewat novel 1984. 1984 dibaca secara serius oleh Murakami, yang
juga seorang sastrawan kenamaan Jepang. Inspirasi novel ini ini rupanya
mengilhami Murakami menulis novel yang bertema serupa dengan 1984.65
Sastra bertemakan perlawanan akan selalau mempunyai pembaca
setianya, terutama di era ketika peristiwa perjuangan itu berlangsung.
Perlawanan di tengah kekuatan despot akan menjadi semakin membara,
tatkala sejumlah penulis mendemontrasikan pemikirannya, lalu dibaca oleh
orang banyak. 66 Di zaman ketika kebebasan informasi ditekan, dan yang boleh
disiarkan hanya informasi berdasarkan versi pemerintah, seperti yang pernah
terjadi di masa pendudukan Belanda di Indonesia, maka sudah tentu kehadiran

64
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
hal. 3 – 5.
65
Mengenai dua novel ini lebih lanjut baca George Orwell, 1984, Terj.
Landung Simatupang, (Yogyakarta: Bentang, 2003); Lihat juga trilogi Haruki
Murakami, IQ84, (Jakarta: Gramedia, 2013)
66
Jean Gelman Taylor, "The Sewing-Machine in Colonial-Era Photographs: a
Record from Dutch Indonesia", dalam Modern Asian Studies, Vol. 46, No. 1, 2012,
hal. 71-95.

49
tulisan atau karya sastra yang ditulis oleh penulis dan sastrawan dari bangsa
yang juga terjajah menjadi asupan penting untuk memperkuat basis
perlawanan dari segi pemenuhan kebutuhan gagasan serta bahan diskusi
bersama untuk menentukan strategi politik berikutnya. 67
Selanjutnya, Escarpit menilai melihat ke dalam ruang pemikiran
seorang sastrawan juga diperlukan dalam sosiologi sastra. Tidak mungkin
suatu karya sastra lahir tanpa adanya proses penalaran. Bagaimana cara
pandang dunia seseorang (weltanschaung) akan sesuatu mempunyai
serangaian metode dan sistem berpikir yang dapat dipilah. 68 Oleh sebab itu,
studi akan latar belakang intelektual serta aktivitasnya di kehidupan sosial
dibutuhkan untuk melihat bagaimana pemikirannya merespon sesuatu, lantas
ketertarikannya untuk mengelola respon itu menjadi suatu karya sastra.
Penulis melihat ini berkaitan dengan studi biografis dari sastrawan yang
dipilih dan kebetulan di bagian selanjutnya, bahasan ini akan bertalian dengan
teori sejarah intelektual.
Escarpit termasuk sosok yang menolak anggapan bahwa sastra adalah
hiburan semata. Pandangan ini pernah populer di Paris pada abad 18 hingga
19, seiring dengan keterpisahan ilmu sastra dengan ilmu-ilmu lainnya yang
mengalami sistematisasi, seperti antropologi, sosiologi, politik dan ilmu sosial
lainnya. keterpisahan inilah yang menyebabkan sastra seperti anak yang
ditinggal orang tuanya, terasing dan hampir terlupakan, sehingga sebagian
kalangan inetelektual Prancis menganggapnya sebagai bacaan hiburan.
Escarpit percaya bahwa dalam setiap karya sastra mengandung fakta sosial
yang ketika mulai dipisahkan dari teks sastra itu sendiri menjadi inti yang bisa
disambungkan dengan beragam alat analisa sosiologis ataupun antropologis. 69
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ, dua kasidah
Bakasir yang akan diulas oleh penulis, mengandung muatan fakta sosial yang
kuat. Dua kasidah ini bukan hanya karya pengantar tidur, namun suatu
ekspresi sastra akan keadaan negeri yang terjajah. Jiwa penulis yang terkoyak
akibat tanah airnya direnggut bangsa asing, kentara dalam bait-bait liris dua
karya ini. Di sisi lain, dalam bab sejarah Indonesia, fakta sosial yang tersaji
dalam dua kasidah ini terekam dalam aneka ragam kisah pendudukan Belanda
dan Jepang di Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia. Maksud penulis dan
realita sejarah merupakan dua hal yang mewakili apa yang dimaksud Escarpit
sebagai fakta sosial.
Fakta sosial merupakan ornamen faktual yang terdapat salam suatu
peristiwa. Peristiwa yang telah terjadi adalah fakta sosial. Untuk itu, Escarpit

67
Susan Rodgers, "Folklore with a Vengeance: a Sumatran Literature of
Resistance in the Colonial Indies and New Order Indonesia" dalam Journal of
American folklore, 2003, hal. 129-158.
68
Escarpit, Sosiologi …, hal. 4 – 5.
69
Escarpit, Sosiologi …, hal. 5 – 12.

50
melihat urgensi kajian sejarah dalam sosiologi sastra sebagai keharusan yang
dilakukan untuk menggenapi analisa akan suatu karya sastra. Tidak semua
karya sastra mempunyai fakta sosial yang mudah diungkap. Sebagian
sastrawan yang gemar menuliskan syair-syair metafor tentu akan menyimpan
rapat-rapat fakta sosial itu di dalam jalin jemalin permainan kata dan kalimat
yang tersusun. Belum lagi, bagi sastrawan yang kurang mengindahkan
kedudukan struktur kalimat, maka akan lebih sulit lagi menemukan fakta
sosial di dalamnya.
Penulis melihat gejala-gejala lain dari dua kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr,
yakni muatan paham anti-kolonialisme dan nasionalisme yang kuat dalam dua
kasidah yang diteliti. Sebagaimana diketahui, paham anti-kolonialisme
tumbuh dari kebencian dan kelelahan akibat penjajahan bangsa asing yang
telah merenggut hampir semua potensi kehidupan suatu bangsa. Kebanyakan
bangsa terjajah terdapat di Afrika, Asia serta Amerika Latin. Bangsa Asia dan
Afrika cukup beruntung, para penjajah tidak sampai mengambil alih tanah
jajahan secara utuh.70 Ini berbeda dengan sejumlah negara di Amerika Latin,
di mana orang Spanyol dan Portugal, sebagai bangsa penjajah, dewasa ini
menjadi the ruling class di negeri-negeri semacam Argentina, Chile, Brazil,
Kolombia dan lain sebagainya.71
Bagi Escarpit, gagasan seorang sastrawan adalah hal yang penting
untuk diulas. Pikiran adalah kotak memori yang menyimpan apa yang
dianggap oleh manusia penting untuk diingat. Sesuatu yang sedari awal
diterima sebagai suatu yang tidak penting, maka dengan sedirinya akan
terlupa dan hilang dari memori setiap manusia. Munculnya suatu karya sastra
akan didahului oleh proses penalaran yang merupakan pabrik yang mengelola
bahan-bahan baku yang berasal dari luar tubuh Manusia. Sebagai sesuatu
yang tertangkap di pancaindera, atau segala sesuatu yang menggugah emosi si
sastrawan, sehingga ia menilai itu sebagai suatu yang penting untuk
dipikirkan, dirasakan serta ditimbang sebagai inspirasi menulis suatu karya
sastra.
Alam berpikir seorang tokoh, sebagai produsen gagasan, hendaknya
juga tidak luput dari pengulas sosiologi sastra. Sebagai suatu ruang kerja yang
hampir tidak terbatas, menyimpan banyak hal yang dianggap penting dari
kehidupan seorang sastrawan, maka dapat dipastikan di ruangan ini juga
tersimpan informasi lain dari kecenderungan seorang sastrawan akan suatu
tema. Misalnya ketika kita melihat sajak-sajak Chairil Anwar yang termaktub
dalam Aku, terlihat sekali nuansa pergumulan tokoh dengan zamannya atau

70
Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa (New York: Verso
Trade, 2018), hal. 35 – 85; Lihat juga Arhan Ertan dkk, "Who was Colonized and
When? A Cross-Country Analysis of Determinants", dalam European Economic
Review, Vol. 83, 2016, hal. 165-184.
71
Claudio Veliz, The Centralist Tradion of Latin America, (Princeton:
Princeton University Press, 2014), hal. 16 – 29.

51
keadaan yang sedang melingkupi kehidupannya. Dalam puisi Jakarta-
Krawang-Bekasi misalnya, Chairil Anwar ingin memotret bagaimana hiruk
pikuk rombongan prang Jakarta yang pergi ke Bekasi dan terus ke Krawang
untuk menghindari bentrokan antara pasukan Sekutu dan tentara Indonesia.
Keterkaitan antara produk sastra dengan kondisi sosial yang mengitari
sastrawan tidak bisa dielakkan. Dalam sosiologi sastra, itu bukan lagi menjadi
pembicaraan di belakang meja, sebaliknya itu mulai penting untuk
diungkapkan dan perlu dianalisa kontinuitasnya. 72
Escarpit menganggap penting peran ingatan sejarah dalam menelaah
sosiologi sastra. Hal demikian diungkapkannya dalam uraiannya mengenai
keterkaitan antara sejarah Prancis dan kemungkinan untuk menyinggung
sastra di dalamnya. Bagi para pengkaji sastra, sejarah seorang tokoh sastra
penting untuk diketahui. Hal tersebut dapat membantu sejarawan untuk
mengenali maksud di balik bait-bait karya sastra yang membutuhkan tafsir
lanjutan, seperti yang terlihat dalam prosa, puisi, sajak, syair maupun kasidah.
Untuk menemukan suatu keterhubungan antara analisa dengan karya sastra,
maka kajian riwayat hidup dan kiprah sang sastrawan perlu pula diperhatikan.
Riwayat hidup sang sastrawan tentu tidak hanya tersemat dalam biografi yang
sempat ditulis, namun juga kesan-kesan dari orang-orang yang pernah
bersinggungan dengan si sastrawan. oleh sebab itu, pencarian sumber lisan
dari para keluarga, teman sejawat atau orang-orang lain yang pernah
bersinggungan dengannya.
Bentuk penjelasan yang dipilih, adalah dengan menggunakan analisa
sosiologi sastra Escarpit pada setiap bait syair Alî Ahmad Bâkatsîr yang
terdapat dalam Indûnisiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ.
Potongan syair yang relevan dengan tema nasionalisme dan keindonesiaan
akan dikutip, kemudian diikuti dengan eksplanasi analisa, dilihat dari tiga
aspek yang mencakup bahasan sosiologi sastra Escarpit, yakni latar belakang
intelektual si penyair menyusun bait sastra tersebut, syair itu sendiri, dan
objek dari sastra itu, yakni masyarakat Indonesia.
Tidak semua syair dalam dua kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr yang dipilih
mengandung nuansa nasionalisme dan keindonesiaan. Oleh sebab itu, di bab
lima atau bab yang mengetengahkan tentang bahasan syairnya, akan
ditampilkan syair-syair pilihan dari dua kasidah tersebut yang mempunyai
tema yang relevan dengan objek kajian. Syair-syair tersebut juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga memudahkan para
pembaca dalam mengetahui makna dari tafsir itu.
Analisa yang akan ditampilkan terdiri dari dua bentuk, yakni pedapat
penulis serta kutipan terhadap referensi-referensi terkait. Tidak bisa
dipungkiri, syair Alî Ahmad Bâkatsîr dibuat untuk merespon perjuangan
orang Indonesia melawan penjajah Belanda dan Jepang. Untuk itu, jika

72
Escarpit, Sosiologi …, hal. 3 – 4.

52
berkaca pada masa kini, latar dari syair tersebut sudah termasuk dalam masa
silam. Untuk itu, referensi yang membahas tentang sejarah perjuangan rakyat
Indonesia adalah salah satu sumber yang otoritatif dalam melihat latar sosial
yang melingkupi Alî Ahmad Bâkatsîr di Mesir serta latar sosial di Indonesia.
Penulis tidak hanya menyajikan model analisa secara satu arah. Yang
dimaksud dalam sebutan itu adalah, penyajian berupa teks dan catatan integral
seputarnya, seperti penyajian ayat al-Quran beserta tafsirnya. Dalam beberapa
bagian, akan ada beberapa penilaian berupa kritik atas syair Alî Ahmad
Bâkatsîr itu sendiri, jika memang pada perjalanannya ditemukan konten syair
yang berseberangan dengan referensi tertentu. Ini juga dapat dimaknai sebagai
salah satu wujud perdebatan intelektual dalam sajian tugas akhir ini.

C. Relasi Islam dan Nasionalisme


Nasionalisme merupakan paham yang berangkat dari perspektif
kecintaan pada negara dan bangsa. Seorang yang memiliki semangat
nasionalisme, berarti memiliki pandangan bahwa entitas bangsa yang terikat
dalam jati dirinya merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dijadikan
sebagai falsafah kehidupannya. Paham nasionalisme kerap dihubungkan
dengan seruan untuk mencintai Tanah Air sebagai tempatnya dilahirkan dan
beraktivitas. Dengan demikian, dimensi paham ini bukan hanya berkaitan
pada hal-hal yang bersifat kognitif, melainkan juga berkelindan dengan aspek
di luar manusia, utamanya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Salih Bicakci menjelaskan bahwa nasionalisme merupakan suatu
ideologi modern yang meneguhkan kepatuhan seseorang pada negara bangsa
mendahului kepentingan lainnya. Paham ini lahir dari latar belakang wilayah,
sejarah, kultur dan sistem politik yang berbeda. Anatomi dan bentuk
nasionalisme tidak statis, dalam perjalanan sejarahnya, banyak yang menjadi
faktor perubahnya. Hampir tidak ada pengertian yang baku mengenai
nasionalisme, oleh sebab setiap wilayah mempunyai kekhasan latar belakang
yang memunculnya sikap tersebut. Sederhananya, paham ini bertitik tolak
pada bangsa dan negara (nation).73
Ian Adams menyebutkan bahwa di antara ideologi politik modern, tidak
ada yang lebih sukses dibanding nasionalisme, setidaknya selama 200 tahun
terakhir. Paham ini mampu menyatukan kehendak kelompok elit dan rakyat
untuk berbareng bergerak mengusung suatu kemandirian dalam membentuk
negara berdasar pada sejumlah kesamaan, baik secara rasial, agama maupun
pandangan hidup tertentu. Nasionalisme lahir dari kesadaran masyarakat

73
Saleh Bicakci, ―Nasionalisme‖ dalam John T. Ishiyama dkk, Ilmu Politik
dalam Paradigma Abad ke-21, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 1020.

53
untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri. Negara-bangsa merupakan
satu-satunya unit politik yang sah sebagai penjaga identitas bangsa.74
Bennedict Anderson (1936 – 2015) mengungkapkan bahwa
nasionalisme merupakan suatu paham yang sebenarnya tidak bisa dimaknai
secara teoritis. Setiap kelompok masyarakat mempunyai wewenang untuk
membentuk paham kebangsaan mereka sendiri, dan seringkali ditemukan
suatu ornamen atau identitas kebangsaan yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Paham akan bangsa memang merupakan sesuatu yang kuno, lahir
dari kesepakatan kelompok manusia akan suatu ikatan yang mampu merawat
kebersamaannya. Seiring berjalannya waktu, akibat pengaruh politik internal
maupun eksternal, paham ini semakin dinamis. Polanya yang tidak tetap
inilah yang menegaskan bahwa nasionalisme dianggap Anderson sebagai
suatu anomali dalam sejarah manusia, berangkat dari bentuknya yang tidak
tetap.
Anderson sendiri meyakini bahwa nasionalisme terbentuk karena
adanya bayangan kebersamaan dari alam berpikir sekumpulan entitas politik
yang terbatas, inheren dan menjunjung suatu kedaulatan. Bayangan ini
menempati peran dominan, bahkan tidak jarang mengental menjadi suatu cara
berpikir bahwa bangsa mereka terbentuk sesuai dengan keniscayaan dan
realitanya. Bayangan ini seperti dihidupkan karena para manusia penciptanya
tidak mempunyai umur panjang, sehingga mereka berkepentingan
mewariskan bayangan ini ke generasi setelahnya.75
Nurcholis Madjid mengutip pengertian nasionalisme yang diutarakan
oleh Stanley Benn yang menyebutkan bahwa terdapat lima sokoguru dari
pengertian nasionalisme, antara lain; 1) Adanya semangat kepatuhan pada
suatu bangsa (layaknya patriotisme); 2) Dalam perpektif politik, paham ini
bertumpu pada pengutamaan kepentingan bangsa sendiri, terlebih lagi jika ada
kekuatan yang mengancam bangsanya itu; 3) Penonjolan ciri dari suatu
bangsa; 4) Adanya konsep kebudayaan yang menjadi urgensi bagi hadirnya
bangsa tersebut; dan, 5) Nasionalisme adalah teori politik dan teori
antropologi yang mengetengahkan adanya perbedaan antara satu bangsa
dengan bangsa lainnya.76
Di Indonesia, bentuk nasionalisme yang ada, berbeda dengan di negara
lainnya. Jika nasionalisme di negara lain ada yang hanya mengandalkan
kesamaan visi politik dan kecintaan pada Tanah Air sebagai intinya, maka
beberapa kelompok masyarakat, baik yang diikat oleh kesamaan sosial,

74
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik dan Masa
Depannya, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004), hal. 119.
75
Bennedict Anderson, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas
Terbayang, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2008), hal. 5 – 10.
76
Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2008), hal. 5 – 6.

54
budaya, maupun politik, ada yang menandaskan Islam atau agama sebagai
bagian integral di dalamnya. Dalam beberapa konsepsi yang mengutarakan
tentang keindonesiaan, khususnya di wilayah yang mempunyai basis kultur
Islam yang kuat, Islam menjadi bagian tidak tergantikan dari jalan hidup
penduduk daerah tersebut. Pemaknaan Islam bukan hanya pada taraf religio-
ritualistik, melainkan built in dalam kebudayaan dan identitas penduduk
setempat.77
Dalam masyarakat Betawi misalnya, Islam menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam budaya Betawi sendiri. Terdapat tradisi mengaji al-Quran
setiap selesai menunaikan salat Maghrib. Anak-anak yang tidak mengaji,
maka akan malu dengan temannya yang berbondong-bondong pergi ke guru
mengaji selepas Magrib. Dengan demikian, kebutuhan mengkaji al-Quran
bukan hanya demi memenuhi keingintahuan untuk memperdalam ajaran Islam
melalui korpusnya, melainkan adalah tradisi yang tidak bisa dilepaskan dalam
daur hidup orang Betawi. 78 Contoh lain terlihat dalam memilih calon
pengantin bagi seorang wanita. Dalam kebiasaan orang Betawi di masa silam
terdapat nasehat bahwa diperbolehkan meminang perempuan Betawi asal
dapat memimpin salat jamaah dan membaca al-Quran.79 Sulit untuk
memisahkan Islam dalam tradisi orang Betawi, sama halnya dengan suku-
suku bangsa yang lain seperti orang Aceh dan Melayu pada umumnya. Jejak
budaya ini pula yang mewarnai konsepsi nasionalisme yang ada di Indonesia.
Persemaian bibit nasionalime berangkat dari berbagai macam cara yang
dilakukan oleh kelompok terdidik Indonesia. Sartono Kartodirdjo
mengungkapkan bahwa beberapa tokoh pergerakan Indonesia yang berdiam di
Bandung seperti Iskaq, Soedjadi, Tjokroadisoerjo dan Boediarto rajin
mengadakan beberapa studieclub yang dihadiri banyak tokoh muda, di
antaranya Soekarno untuk membahas kondisi bangsa yang sedang dijajah
Belanda. Setelah beberapa kali pertemuan, dan para anggota studieclub
semakin memahami arah dan perpektif nasionalisme yang khas yang lahir dari
jati diri bangsa Indonesia, maka pada 4 Juli 1927, Partai Nasional Indonesia
didirikan dengan dihadiri oleh Soekarno, Iskaq, Boediarto, Tjipto
Mangoenkoesoemo, Tilaar, Soedjadi, Soenarjo dan lain sebagainya.80

77
Khabibi Muhammad Luthfi, "Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya
Lokal", dalam Shahih, Vol. 1, No. 1, 2016, hal. 1-12.
78
Arief Hidayat dkk, "Keluarga-Keluarga di Pedesaan Pinggiran Selatan
Jakarta 1904-1960," artikel dipresentasikan dalam Seminar Nasional Riset Inovatif.
Vol. 4. 2016.
79
Asaas Putra dan Shabrina Shanaz. "Etnografi Komunikasi pada Upacara
Pernikahan Betawi." Jurnal Ilmiah LISKI, (Lingkar Studi Komunikasi), Vol. 4, No. 2,
2018, hal. 104-114.
80
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional, (Yogyakarta: Ombak, 2018), hal. 185 – 186.

55
Chiara Formichi menyebutkan bahwa latar belakang pertemuan paham
nasionalisme dan Islam terjadi sekitar 1920-an, saat Soekarno (1901 – 1970)
dan H.O.S. Tjokroaminoto (1882 – 1934) mengepalai suatu organisasi
pergerakan bernama Perserikatan Nasional Indonesia (Organisasi ini
merupakan embrio dari Partai Nasional Indonesia, partai yang didirikan
Soekarno pada 1928), dan Sarekat Islam Indonesia antar 1911 – 1912. Dua
organisasi ini memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Belanda dari
Indonesia. Usaha-usaha ini dilakukan dua tokoh tersebut dengan mengeliminir
arogansi antar ideologi politik dan kebangsaan, lantas berupaya
menyintesakan nasionalisme, Islam dan sosialisme. Soekarno menggunakan
peleburan tiga idelogi sebagai upaya untuk melawan dominasi unifikasi
politik yang diketengahkan Pemerintah Hindia Belanda. sedangkan
Tjokroaminoto bertujuan sama, namun melalui penyesuasian sosialisme
dengan Islam. Kendati aktivitas Tjokroaminoto dibayang-bayangi oleh
ketokohan Agus Salim (1884 – 1954), dan dapat dikatakan menjadi orang
kedua di Syarikat Islam, namun ketokohannya sebagai orator yang berupaya
memberikan penjelasan pada kader-kader yang lebih muda mengenai Islam
dan paham-paham dari Barat seperti nasionalisme dan sosialisme tidak bisa
dielakkan. 81
Kelompok Islam tradisional memahami nasionalisme dalam perspektif
yang berbeda dengan elit terdidik Indonesia yang terbiasa bersinggungan
dengan paham-paham serta literatur Barat. Kendati memiliki formasi
keilmuan yang berbeda dengan ragam intelektual kaum cerdik pandai
perkotaan, para kyai serta santri memiliki pemahaman yang khas tentang
bagaimana menghubungkan Islam dengan perjuangan bangsa. Meskipun
dalam setiap aksinya, misalnya dalam pertempuran di Surabaya pada bulan
November 1946, mereka tidak melabeli aktivitasnya dengan ―aksi
nasionalisme‖ atau ―barisan kelompok nasionalisme-Islam‖ namun formasi
kecenderungan pada paham kebangsaan dan kenegaraan sudah terbentuk
dalam pikiran mereka. Kembali pada ungkapan Bicakci di atas, nasionalisme
dapat tumbuh dalam latar yang beragam. Ini terjadi pula dalam pemikiran para
santri yang ikut serta mengusir penjajah Belanda yang ingin kembali
meduduki Jawa kala itu. Justru wawasan keislaman yang telah terinstal dalam
pikiran dan perilaku mereka, membuat nasionalisme yang dipahami mereka
terasa lebih endemik dan jarang dijumpai di belahan dunia lainnya. 82

81
Chiara Formichi, "Pan-Islam and Religious Nationalism: the Case of
Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia", dalam Indonesia, Vol. 90, 2010, hal. 125-
146.
82
Lebih lanjut mengenai model nasionalisme kelompok santri yang
termanifestasi dalam pertempuran Surabaya pada 1945 lihat Zainul Milal Bizawie,
Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia, 1945-
1949, (Ciputat: Pustaka Compass, 2014)

56
Ketika Indonesia merdeka, Soekarno yang ditunjuk sebagai presiden
berupaya mendudukkan kelompok-kelompok politik yang tergabung dalam
ideologi nasionalisme, sosialisme, Islam dan komunis dalam satu wadah.
Keempat ideologi ini saling berkontestasi dan mempunyai key person dan
akar sejarah yang sama kuat dalam perjuangan melawan Belanda dan Jepang.
Untuk itu, Soekarno menginginkan agar keempatnya mampu dikumpulkan
dalam suatu wadah bersama yang dikenal dengan nama Nasakom (nasionalis,
Islam dan komunis). Persinggungan politik yang kuat di tataran politisi
merembes ke ruang-ruang lain termasuk ke ruang kebudayaan.
Tidak bisa dipungkiri, seni dan budaya menjadi lapangan yang teruji
dalam mengumpulkan massa. Terlebih lagi, kondisi negara yang merdeka,
menyebabkan tumbuh suburnya kelompok-kelompok seniman dan sastrawan
yang semakin menemukan urgensinya di ruang publik. Para sastrawan
berfungsi sebagai penyadar dan pengkabar semangat perjuangan melalui
puisi, sajak, novel maupun pementasan drama. Oleh sebab keterkaitan mereka
akan ideologi-ideologi tertentu yang memang sedang ramai dipertentangkan
di kalangan elit, menyebabkan para budayawan dan sastrawan membentuk
lembaga kebudayaan tersendiri dan beberapa di antaranya merupakan
underbouw dari partai-partai politik besar saat itu.83
Beberapa partai politik yang mempunyai lini kegiatan di bidang
keseniaan dan kesusastraan antara lain; Partai Nasional Indonesia (PNI) partai
Soekarno, membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Partai
Komunis Indonesia (PKI) membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
Partai Nahdhlatul Ulama (Partai NU) membentuk Lembaga Seni Budaya
Muslimin Indonesia (LESBUMI), Partai Majelis Syura Islam A‘la Indonesia
(Masyumi) mempunyai lini seni budaya dan sastra bernama Himpunan Seni
Budaya Islam (HSBI).84 Beberapa seniman dan sastrawan dalam hal ini
banyak menciptakan karya seni dan sastra yang bernafaskan nasionalisme,
misalnya dapat dilihat dari novel Hamka, yakni Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck. Meskipun nuansa percintaan dalam novel ini kuat, namun di bagian
akhir novel ini memuat harapan dari penulisnya tentang kecintaan Tanah Air
dan cita-cita bahwa kelak Indonesia dapat memperoleh kemerdekaan yang
sebenarnya.
Hamka merupakan salah satu tokoh agama terkemuka dan dikenal
sebagai sastrawan yang piawai menghadirkan karya-karya sastra dengan tema
yang memang diminati di tahun 1955 – 1960 hingga seterusnya. Ia dianggap
mewakili sastrawan Islam karena pandangannya yang moderat dan tidak
segan memasukkan nuansa keindonesiaan dalam novel-novelnya. Dalam
novel Memang Jodoh misalnya, ia bicara tentang keislaman yang
dipadupadankan dengan keindonesiaan dan nasionalisme. Ia membingkai
83
Dwi Susanto, Lekra, Lesbumi dan Manifes Kebudayaan; Sejarah Sastra
Indonesia Periode 1950 – 1966, (Yogyakarta: CAPS, 2018), hal. 6.
84
Dwi, Lekra …, hal. 5.

57
ideologi-ideologi berat tersebut, dalam format cerita yang unik, sehingga para
pembaca hampir tidak merasa bahwa mereka sedang digiring memahami
kondisi keislaman yang menjadi latar belakang para tokoh serta bagaimana
menumbuhkan semangat nasionalisme dalam bingkai yang masih terkait
dengan alur cerita itu.
Sukron Kamil menegaskan bahwa pembahasan mengenai sastra dan
politik akan lebih relevan jika diperbincangkan dalam konteks sosiologi
sastra. Bidang keilmuan itu mengkaji seputar relasi antara pengarang dengan
kelas sosialnya, ideologi dengan status sosialnya, profesi dan latar belakang
ekonominya serta lapisan pembaca yang disasar karyanya. Dalam membahas
sosiologi sastra maka bahasan mengenai karya sastra yang menjadi objek
penelitian, harus bersinggungan dengan lingkungan serta kekuatan sosial pada
kurun tertentu.85

D. Teori Keturunan Arab


Orang keturunan Arab menempati posisi yang penting dalam struktur
masyarakat Indonesia. Di kota-kota besar, termasuk di Jakarta dan Surabaya,
mereka digolongkan dalam masyarakat kelas menengah ke atas. Aktivitas
utama mereka adalah berdagang dan agen penyebar ajaran Islam (muballigh).
Dua aktivitas ini merupakan pekerjaan turunan yang diwariskan sejak masa
silam. 86 Dalam sejarah Indonesia, mereka dikenal sebagai pihak yang
memperkenalkan Islam pada bangsa Indonesia yang di abad 15 masih
menganut agama Hindu- Budha. Corong ini mereka manfaatkan pula untuk
menjalin hubungan kekerabatan sekaligus melebarkan peluang bisnis mereka
di Nusantara.87
Secara umum, kedatangan orang Arab di Nusantara dibagi dua
kelompok besar, yakni masa prakolonial dan masa kolonial. Di masa
prakolonial, orang Arab datang secara mandiri atau dengan kelompok kecil
untuk berdagang di Nusantara. Sejak tahun-tahun sebelum masehi, orang
Arab mengunjungi gugusan negeri kepulauan ini untuk memperoleh aneka
barang dagang yang bernilai tinggi di pasar negeri-negeri mereka. 88 Di
samping berdagang, mereka juga mengenalkan ajaran Islam pada para

85
Sukron, Najib …, hal. 86.
86
Mudzakkir Ali dan Mehmet Toprak, "The Interrelationship of Indonesia-
China-India in Religion from Arabian Islam to Nusantara Islam", dalam Proceeding
Of The International Seminar and Conference on Global Issues, Vol. 1, No. 1, 2015.
87
Abdurrohman Kasdi, "The Role of Walisongo in Developing the Islam
Nusantara Civilization", dalam Addin, Vol. 11, No. 1, 2017, hal. 1-26.
88
Imran bin Tajudeen, "Trade, Politics, and Sufi Synthesis in the Formation of
Southeast Asian Islamic Architecture", dalam A Companion to Islamic Art and
Architecture, 2017, hal. 996-1022.

58
penduduk dan penguasa lokal. Sebagian dari mereka dikabarkan sudah
mendirikan gilda (perkumpulan pedagang) di beberapa pelabuhan Nusantara,
termasuk di Jawa.89
Setelah abad 13, motivasi para pendatang Arab ke Nusantara menjadi
kian kompleks, terlebih paska diserbunya Baghdad, ibukota kekhilafahan
Abbasiyah pada 1258.90 Penyerbuan itu mengakibatkan banyak penduduk
melarikan diri, termasuk para ulama dan cendikiawan, ke hampir seluruh
penjuru dunia Islam, termasuk ke Nusantara. khusus yang ke Nusantara,
mereka menumpangi armada dagang yang sudah memiliki jalur dagang
reguler. Kapal orang Arab bukan hanya diisi oleh kelompok pedagang
maupun pendakwah. Melalui para saudagar inilah para ulama Arab
mendapatkan pemahaman awal mengenai masyarakat Nusantara yang mereka
jumpai nantinya.91 Masa-masa di pelayaran, tidak ubahnya seperti masa
training bagi para pendatang awal untuk mengenal masyarakat dan budaya
Nusantara.
Kelompok orang Arab yang berlatarbelakang sarjana, membutuhkan
beberapa waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan lokal. Di wilayah
pesisir, pergaulannya relatif inklusif, sehingga para ulama Arab tidak
membutuhkan waktu lama untuk menjalin keakraban dengan mereka. 92
Masalah timbul ketika mereka datang dan berjumpa dengan penduduk
pedalaman, terlebih yang komunitasnya bersifat tertutup, maka mereka
membutuhkan waktu untuk memperkenalkan diri dan berinteraksi dengan
mereka. Rupa orang Arab yang berbeda dengan penduduk Nusantara lainnya,
tentu menjadi salah satu faktor penarik orang -orang yang tinggal di
pedalaman tertarik untuk berkawan dengan orang Arab.93
Sebagian orang Arab diterima sebagai tamu istana di kerajaan-kerajaan
Nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa nisan di makam Troloyo
menunjukkan bahwa terdapat sebagian orang Arab yang dianggap sebagai

89
Y.Subbarayalu, "Trade Guilds of South India up to the Tenth Century",
dalam Studies in People‟s History, Vol. 2, No. 1, 2015, hal. 21-26.
90
Yasuhiro Yokkaichi, "The Maritime and Continental Networks of Kish
Merchants under Mongol Rule: The Role of the Indian Ocean, Fārs and Iraq", dalam
Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 62, No. 2-3, 2019, hal.
428-463.
91
Kenneth R. Hall, "Commodity flows, Diaspora Networking, and Contested
Agency in the Eastern Indian Ocean c. 1000–1500", dalam TRaNS: Trans-Regional
and-National Studies of Southeast Asia, Vol. 4, No. 2, 2016, hal. 387-417.
92
Jajat Burhanudin, "The Triumph of Ruler: Islam and Statecraft in Pre-
Colonial Malay-Archipelago", dalam Al-Jami'ah, Vol. 55, No. 1, 2017, hal. 211-240.
93
Berenice Bellina dkk, "Southeast Asian early Maritime Silk Road Trading
Polities‘ Hinterland and the Sea-Nomads of the Isthmus of Kra" dalam Journal of
Anthropological Archaeology, Vol. 54, 2019, hal. 102-120.

59
sekumpulan orang penting di Majapahit. Nisan mereka terbuat dari batu yang
berukir matahari atau Surya Majapahit, lambang kerajaan Majapahit. 94
Makam mereka ditempatkan dalam lokasi tersendiri. Di dalam istana
Majapahit serta istana Nusantara lainnya, orang Arab diberi peluang untuk
mengembangkan bisnisnya. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk
memperkenalkan ajaran Islam ke masyarakat Jawa bagian pedalaman. 95
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, merupakan sosok
pendatang Arab yang mampu mengintegrasikan diri dengan lingkungan
tempatnya bermukim. Gresik abad 15, merupakan pemukiman nelayan dan
pasar yang cukup ramai. Kendati demikian, di abad 15, hubungan dengan
Jawa bagian pedalaman berada dalam situasi yang rumit, karena di pedalaman
sedang terjadi perang saudara yang dilakukan antarpenguasa Majapahit.
Peperangan ini mengakibatnya lumpuhnya sejumlah elemen strategis,
termasuk komunikasi dengan pemerintahan lokal yang ada di pesisir.
Hubungan yang semakin merenggang ini, menyebabkan masyarakat menjadi
lebih terbuka karena kontrol dari pusat cenderung melemah. Masyarakat yang
semakin jauh dari perhatian istana inilah yang kemudian menjadi murid
Maulana Malik Ibrahim. 96
Kesuksesan dakwah orang Arab di Jawa memang tidak bisa dilepaskan
dari kondisi kehidupan masyarakat Jawa yang porak poranda akibat perang.
Para bangsawan Majapahit tenggelam dalam kubangan konflik pendakuan
bahwa kekuasaannyalah yang sah disebut pewaris Majapahit. Akibat perang
panjang ini, masyarakat semakin tidak terurus dan banyak dari mereka yang
memutuskan mengungsi dari desanya, karena khawatir pasukan Majapahit
akan menjadikan desanya sebagai medan perang dan berakhir dengan
rusaknya desa atau bahkan korban berjatuhan di kalangan penduduk desa.
Di samping itu, ikatan keagamaan yang menyatukan keempat kasta
masyarakat Hindu-Budha semakin tidak relevan dengan zaman. Perang
menyebabkan tatanan sosial Majapahit hancur, sehingga menyebabkan para
pendeta Hindu atau Budha ikut melarikan diri, sehingga fungsi mereka
sebagai guru agama sekaligus tokoh masyarakat semakin jauh dari umatnya.
Di samping itu, telah ada kesadaran sebagian penduduk Majapahit bahwa
ketika ia menyaksikan visi profetik yang ditawarkan orang Arab, salah

94
Slamet Sujud Purnawan Jati dan Deny Yudo Wahyudi. "The Ancient Grave
of Troloyo in Trowulan", dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 7,
No. 4, 2016, hal. 512.
95
Dikdik Adikara Rachman, "Majapahit Terracotta Figurines: Social
Environment and Life", dalam Humaniora, Vol. 7, No. 1, 2016, hal. 29-36.
96
Syarifah Wardah el Firdausy dkk, "Kiprah Syaikh Maulana Malik Ibrahim
pada Islamisasi Gresik Abad Ke-14 dalam Babad Gresik I", dalam Suluk, Vol. 1, No.
1, 2019, hal. 1-11.

60
satunya adalah tercitanya masyarakat yang adil dan berdayaguna, banyak
orang Jawa yang kemudian mmeutuskan masuk Islam. 97
Ketika sejumlah kawasan di Nusantara diduduki pemerintahan VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), Kongsi Dagang Belanda di Dunia
Timur, kedudukan orang Arab menempati kelas menengah dalam tata
masyarakat kolonial. Untuk menciptakan keteraturan di ruang publik,
pemerintah VOC menerbitkan peraturan stratifikasi sosial, yang membagi
masyarakat di bawah kedudukannya dalam tiga kelas. Pertama adalah
kelompok penduduk berkebangsaan Belanda. Termasuk pula di dalamnya
penduduk Eropa lainnya, yakni orang Inggris, Prancis, Denmark dan lainnya.
Kelompok kedua diisi oleh kelompok masayarakat Timur Asing atau
vreemde oosterlingen. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang Tionghoa,
Arab, India, Jepang dan lainnya. Kelompok ketiga, atau yang terbawah, diisi
oleh orang pribumi atau inlander.
Pembagian kelas berdasarkan ras membawa pada munculnya sejumlah
kebijakan di bidang lain, seperti di bidang kependudukan, pemukiman, pajak
serta hak dan kewajiban sebagai warga negara bawahan VOC. Aturan ini
umumnya hanya berlaku di kota-kota besar seperti di Batavia, Semarang,
Surabaya dan lainnya. Secara umum, peraturan ini ingin menunjukkan bahwa
bangsa Eropa adalah bangsa yang paling berperadaban dan tugas mereka
adalah membimbing bangsa-bangsa lainnya untuk mencapai peradaban
sebagaimana yang mereka gariskan. Mereka tidak melihat pemilahan kelas ini
sebagai diakriminasi sosial, melainkan sebagai upaya unyuk mengamankan
kebutuhan dan kepentingan mereka di negeri jajahan.
Memasuki akhir abad 18, VOC mengalami kebangkrutan. Penyebab
dari kemunduran ini beragam. Pertama, adanya korupsi yang merajalela di
segenap lapisan pemerintahan. Tidak bisa dipungkiri, ketika ditunjuk sebagai
pejabat VOC, banyak karyawan VOC yang berupaya memupuk kekayaan
pribadi dengan melakukan penggelapan-penggelapan bisnis, termasuk
pemotongan keuntungan hasil perdagangan. Jumlah keuntungan niaga yang
dikirim ke Belanda, selalu lebih kecil dibanding keuntungan aslinya di negeri
jajahan. Kedua, banyaknya peperangan lokal yang terjadi di Nusantara
membuat kas VOC mengalami penyusutan. Adapun pemasukan yang mereka
terima tidak sesuai dengan pengeluaran. Ketiga, kepemimpinan yang tidak
lagi berorientasi untuk kepentingan sesama pedagang Belanda, berbuntut pada
salah urus administrasi. Kelumpuhan sistem pengawan, menyebabkan korupsi
yang mewabah dari tingkat atas hingga bawah. 98

97
Joel C. Kuipers dan Askuri. "Islamization and Identity in Indonesia: The
Case of Arabic Names in Java", dalam Indonesia, Vol. 103, 2017, hal. 25-49.
98
Markus Vink, "From the Cape to Canton: The Dutch Indian Ocean World,
1600-1800—A Littoral Census", dalam The Journal of Indian Ocean World Studies,
Vol. 3, No. 1, 2019, hal. 13-37.

61
Memasuki abad 19, kontrol atas orang Arab, Tionghoa dan kelas Timur
Asing lainnya diperketat. Di abad ini muncul gejala baru berupa semakin
banyaknya para imigran dari arab maupun dari Tiongkok. Mereka yang
datang dari Arab, umumnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Belakangan para
pendatang ini disebut Arab Hadrami. 99 Motivasi kedatangan mereka adalah
memperoleh kehidupan yang layak dengan cara berniaga atau melakukan
pekerjaan lain di Nusantara. Para pendatang dari Tiongkok, oleh para
keturunan Tionghoa yang sejak lama sudah bermukim di Nusantara disebut
Sing keh atau Tamu Baru. Istilah ini merujuk pada kedatangan mereka yang
lebih belakangan ketimbang kelompok orang Tionghoa sebelumnya. 100
Motivasi kedatangan orang Tionghoa ini adalah untuk merubah nasib mereka
karena di negeri asal mereka tidak mendapatkan penghidupan yang layak,
akibat kondisi tanah yang tidak subur untuk ditanami, atau juga karen Faktor
keamanan. Di abad 19, Dataran Tiongkok banyak dipenuhi dengan peristiwa
perang saudara.101
Baik orang Arab maupun orang Tionghoa, tinggal di pemukiman
khusus yang dihuni oleh sebangsanya. Di Batavia, tempat tinggal orang Arab
disebut Pekojan, sedangkan tempat tinggal orang Tionghoa disebut
Pecinan. 102 Sebutan dan fungsi yang sama juga ditemukan di Semarang. 103 Di
Surabaya, orang Arab tinggal di Kampung Arab, lokasinya tidak jauh dari
daerah Ampel, sedangkan orang Tionghoa tinggal di kawasan yang juga
bernama Pecinan. 104 Penyebutan pekojan awalnya berasal dari kata ―koja‖.
Kata ini merujuk pada keberadaan komunitas pedagang India Muslim yang
sejak sebelum abad 19, sudah tinggal di kota-kota besar di Jawa. Seiring
dengan banyaknya pedagang Arab dan diberlakukannya kebijakan
wijkenstelsel (penataan kampung berdasarkan ras) maka banyak mereka yang

99
Abdalla Bujra, "Political Conflict and Stratification in Hadramaut." J.
Middle Eastern Studies, Vol. 3, 1967, hal. 355-375.
100
Ratya Anindita dkk, "Boekhandel Tan Khoen Swie, Press Movement, and
Javanese Public Sphere in the Colonial Age 1915-1950", dalam Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Vol. 30, No. 4, 2017, hal. 389-405.
101
Lingbo Xiao dkk, "Famine, Migration and War: Comparison of Climate
Change Impacts and Social Responses in North China Between the Late Ming and
Late Qing Dynasties", dalam The Holocene, Vol. 25, No. 6, 2015, hal. 900-910.
102
Johan Wahyudi dan Dien Madjid "Pekojan: Image of an Arab Kampong
during the 18th to 19th Centuries Batavia" dalam Insaniyat, Vol. 3, No. 2, 2019, hal.
99 – 110
103
Afina Kurniasari dan Nurini, "Kajian Pelestarian Kampung Pekojan
Sebagai Kawasan Bersejarah di Kota Semarang", dalam Ruang, Vol. 2, No. 4, 2016,
hal. 283-292.
104
Yahya, "Arab Keturunan di Indonesia; Tinjauan Sosio-Historis tentang
Arab Keturunan dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia", dalam Ulul
Albab, Vol. 4, No. 2, 2018, hal. 113-126.

62
diminta untuk mendiami kawasan khusus tersebut. Lama-kelamaan, jumlah
para pendatang Arab ini lebih banyak dibanding keturunan India Islam,
namun nama pemukiman mereka tetap dan tidak mengalami perubahan. 105
Orang Arab Hadrami membentuk entitas budaya Arab di
pemukimannya. Mereka menghias rumah mereka dengan ornamen-ornamen
yang sama dengan yang ditemukan di kampung halamannya. Mereka
memfungsikan rumah mereka bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga
sebagai peluang usaha, seperti toko.106 Sebagian yang lain ada yang mengatur
ruang di kediamannya sebagai pengajian tempat memberikan pelajaran
agama.107 Seni musik Arab juga berkembang di kampung mereka, dan
belakangan seni ini juga digemari oleh penduduk pribumi. 108
Orang Hadrami yang datang ke Nusantara terbagi dalam dua golongan,
kelompok Sayyid dan non-Sayyid. Kelompok Sayyid merupakan kelompok
Arab Hadrami yang memiliki sambungan darah dengan Nabi Muhammad.
Sejak di Hadramaut, kelompok ini menempati posisi yang tinggi di mata
orang-orang Yaman, atau di kalangan orang Arab pada umumnya.
Penghormatan atas mereka sama dengan menghormati Nabi Muhammad
sendiri. Kebiasaan ini terbawa hingga ke Nusantara. Di sini, mereka juga
dimulyakan karena darah dan karena keluasan mereka akan ilmu agama.
Tidak heran, mereka banyak yang menjadi ulama terkenal yang pengajiannya
menarik murid dari banyak penjuru. Profil seorang Sayyid terkenal di masa
kolonial, terlihat dalam kisah kehidupan Sayyid Usman bin Yahya.
Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya merupakan seorang ulama yang
terkenal di Batavia pada abad 19. Keluasan ilmu yang dimilikinya membuat
banyak santri untuk datang padanya guna belajar ilmu agama. Ketenarannya
bukan hanya terdengar di sesama orang Arab atau pribumi, melainkan juga ke
ruang dengar bangsa Eropa. Di mata pemerintah kolonial, Sayyid Usman
dikenal karena pergaulannya yang inklusif. Ia merupakkan kawan akrab
indolog dan kepala jawatan orang pribumi dan orang Arab, C. Snouck
Hurgronje. Snouck menghormati Sayyid Usman sebagai ulama juga sebagai

105
Johan, ―Pekojan …‖, hal. 99 – 110.
106
Ahmad Athoillah, "Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di
Batavia Abad XVIII-XX", dalam Lembaran Sejarah, Vol. 14, No. 2, 2018, hal. 150-
170.
107
Idan Dandi, "Sayyid Usman dan Pandangan Kontroversialnya tentang
Pemerintah Kolonial Belanda", dalam Jurnal Tamaddun, Vol. 5, No. 2, 2017.
108
Zulkarnen, "Diaspora Masyarakat Keturunan Arab di Jakarta", dalam Jurnal
Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, Vol. 4, No. 3, 2018, hal. 136-142.

63
sahabat. Banyak masalah-masalah sosial yang menyangkut umat Islam dan
orang Arab dipecahkan oleh keduanya.109
Kelompok non-Sayyid dikenal juga dengan penamaan masyayikh atau
qaba‟il (diambil dari kata kabilah atau suatu perkumpulan orang Arab yang
mempunyai ikatan darah yang sama). Kelompok non-Sayyid merupakan Arab
Hadrami yang tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad.
Dalam tata masyarakat Arab di Hadramaut, mereka berada di kelas kedua
setelah kelompok Sayyid. Stratifikasi ini tetap berlaku di Nusantara. Secara
tradisi, kelompok non-Sayyid juga harus menghormati kelompok Sayyid
bahkan penghormatan yang ditunjukkan terkesan berlebihan, termasuk adanya
tradisi bahwa setiap kelompok non-Sayyid yang bertemu dengan Sayyid,
maka diharuskan mencium tangan si Sayyid meskipun mereka masih berusia
muda, dan si non-Sayyid sudah berusia tua. Di awal abad 19, kelompok non-
Sayyid yang bergabung dengan Al-Irsyad yang didirikan oleh Syekh Ahmad
Surkati, seorang ulama asal Sudan yang merasa kecewa dengan perlakukan
para Sayyid di suatu sekolah yang didirikan oleh para Sayyid di Batavia,
bernama Jamiat Khair. Al-Irsyad melantarkan kritik keras kepada budaya-
budaya Arab Hadrami yang cenderung memulyakan kelompok Sayyid dan
menomorduakan kelompok lainnya. di masa itu, Al-Irsyad menjadi organisasi
Islam basis kelompok non-Sayyid yang resisten terhadap budaya Arab yang
ditunjukkan kelompok Sayyid110
Di antara sarjana Belanda yang tertarik untuk meneliti kehidupan serta
budaya orang Arab adalah L.W.C. van den Berg. Hasil pengamatannya
mengenai orang Arab di Hadramaut dan di Nusantara terekam dalam buku
Orang Arab di Nusantara (terbit pada 2010). Buku tersebut merupakan
terjemahan dari versi aslinya yang berbahasa Prancis, yakni Le Hadhramaout
et les Colonies Arabes Dans l‟Archipel Indien (terbit 1886). Buku ini menjadi
salah satu rujukan utama dalam memotret sejarah perkembangan orang Arab
di Nusantara. Yang menarik, L.W.C. van den Berg mengawali
pembahasannya dengan memberikan telaah antropologis mengenai keseharian
dan tradisi orang Hadramaut di negerinya sendiri. 111 Dengan demikian, para
pembaca mendapatkan gambaran yang cukup luas, mengenai bagaimana
kehidupan mereka di Hadramaut, apa yang melatarbelakangi kepergian
mereka ke luar Tanah Airnya serta, bagaimana mereka beraktivitas di negeri-

109
Nico Kaptein, "The Sayyid and The Queen: Sayyid ʿUthman on Queen
Wilhelmina's Inauguration On The Throne of the Netherlands in 1898", dalam
Journal of Islamic Studies, Vol. 9, No. 2, 1998, hal. 158-177.
110
Sri Suryana, "Peranan Ahmad Surkati Dalam Gerakan Pembaharuan Islam
Melalui Perhimpunan Al-Irsyad 1914-1943", dalam Medina-Te: Jurnal Studi Islam,
Vol. 13. No. 2, 2017, hal. 106-118.
111
L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas
Bambu, 2010), hal. 13 – 61.

64
negeri yang mempunyai perbedaan budaya dengan tempat asalnya, seperti di
Kepulauan Nusantara.
L.W.C. van den Berg dilahirkan di Harlem pada 10 Oktober 1845.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia melanjutkan ke sekolah
menengah Gymnasium yang memiliki tradisi pembelajaran bahasa Yunani
dan Latin. Pada 12 September 1864, ia menjadi mahasiswa di Fakultas
Hukum, Universitas Leiden. Masa studi yang ditempuhnya cukup singkat.
Pada 20 November 1868, ia mempertahankan disertasinya dan berhasil meraih
gelar doktornya. Tema disertasinya adalah tentang kontrak jual beli (ba‟iah)
dalam hukum Islam. Studinya cukup unik, karena biasanya mahasiswa
doktoral di fakultasnya mengambil tema-tema bahasan tentang hukum Eropa.
Dalam menyelesaikan disertasinya, L.W.C. van den Berg sempat belajar
bahasa Arab. Pengalamannya belajar bahasa Ibrani agaknya mempermudah
dirinya menekuni bahasa Arab yang memang satu rumpun dengan bahasa
tersebut. Salah satu sumber yang dirujuknya adalah kitab tentang hukum
Islam bernama Fathul Wahab karya Abu Zakaria al-Ansari, karya Abu Syuja,
Asy-Syarkawi dan Al-Syirazi.
Prestasi L.W.C. van den Berg yang cemerlang di Leiden, membuat
L.W.C. van den Berg diterima bekerja di Departemen Kehakiman dan
Departemen Dalam Negeri dalam rentang 1870 – 1877. Ia berkesempatan
melanjutkan karirnya di Hindia Belanda pada 1878, ia diangkat menjadi
Ambtenaar voor de beofening van Indische Talen, Adviseur voor Oostersche
Talen en het Mohammedaansche Regt atau pegawai untuk Studi Hindia
Belanda, Penasihat untuk Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam. Dengan
diangkatnya ia menjadi pegawai di bagian ini, L.W.C. van den Berg menjadi
kader muda dari para ahli-ahli budaya Hindia Belanda lainnya seperti K. F.
Holle, Hermann Neubronner Van der Tuuk, J. L. A. Brandes dan J.G.J.
Gunning (tiga nama terakhir adalah ahli bahasa). Jabatan ini juga
membawanya ke salah satu puncak karir kepegawaiannya, yakni sebagai
penasehat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk urusan pribumi dan
keislaman.
Di sela-sela aktivitas, L.W.C. van den Berg kerap melakukan aktivitas
akademik. Ia sadar bahwa pekerjaan kantor akan perlahan melemahkan daya
kritisnya dan akan menyumbat rasa ingin tahunya akan sesuatu, terutama
bidang yang ditekuninya. Salah satu penelitiannya yang berkontribusi penting
di dunia ilmu sosial adalah tinjauannya yang mendalam tentang sejarah dan
kehidupan orang Arab Hadramaut di Nusantara. Menariknya, ia juga
melengkapi keterangan ini dengan ulasan yang cukup informatif tentang
kehidupan orang Arab di Hadramaut, sebelum kedatangannya ke Nusantara.
Nilai lebih saat membaca laporan penelitiannya ini, adalah para pembaca
memperoleh kelengkapan dalam mendapatkan informasi tentang sejarah dan
aktivitas orang Arab sejak di Hadramaut maupun saat mereka sudah menetap

65
di Nusantara. Penelitian ini dilakukan dalam kurun 1884 hingga 1886. 112
Buku ini akhirnya sampai di masyarakat Indonesia dan semakin terkenal luas
ketika sudah diterjemahkan oleh penerbit Komunitas Bambu dengan judul
Orang Arab di Nusantara.
Terdapat suatu tinjauan yang menarik mengenai karakteristik L.W.C.
van den Berg tentang karakteristik orang Arab di Nusantara. Ia menyebutkan
bahwa orang Arab selalu termotivasi menjadi tokoh di tempat yang
didiaminya. Melalui pengaruh di bidang dakwah dan perdagangannya, ia
berupaya memperkuat pengaruhnya dan ada kecenderungan ia ingin
menguasai daerah tersebut. Di abad 19, saat orang Arab Hadrami banyak
berdatangan ke Nusantara, termasuk pula leluhur dari Alî Ahmad Bâkatsîr,
mereka termotivasi untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan tidak
berniat bermukim di Nusantara. persepsi bahwa kedatangan mereka sebagai
penyebar agama Islam hanyalah akibat dari intensitas mereka bersentuhan
dengan penduduk lokal dan bukan menjadi tujuan utama mereka ke gugusan
kepulauan ini. 113
Belakangan memang dijumpai, munculnya tren baru di antara orang
Arab bahwa orientasi mereka tidak lagi ke kampung halamannya, Hadramaut.
Mereka yang telah sukses di Nusantara, memutuskan untuk terus berdiam dan
bermukim di negeri rantau tersebut. Bahkan, ditemukan gejala di antara
mereka sudah tidak lagi mencintai Hadramaut. Mereka yang saat merantau
seorang diri, dan meninggalkan istri mereka di kampung halaman, terkadang
menengok istri dan anak-anak mereka di sana. Beberapa di jumpai, orang
Arab ada yang sukses dan mempunyai rumah dan kebun kurma di Hadramaut.
Kian kemari, tradisi pulang kampung ini menipis, karena banyak istri-istri
mereka yang tidak betah berlama-lam tinggal di Nusantara. Di samping itu,
keadaan Yaman yang tidak aman karena perang, menyebabkan semakin
bulatnya tekad orang-orang Arab untuk bermukim di Nusantara dan
menyedikitkan hubungan dengan kampung halamannya.114
L.W.C. van den Berg melihat kedudukan orang Arab sebagai warga
negara kelas dua yang posisinya berada di atas orang inlander, dimanfaatkan
oleh mereka untuk memperoleh ketenaran dan keuntungan semata. Dalam
berbisnis misalnya, mereka cenderung akan mengajak kawan-kasan sesama
Arab Hadrami dan tidak melibatkan orang-orang pribumi. Mereka juga
dikenal dengan profesi peminjaman uang, dan konsumen mereka banyak dari
kalangan pribumi. Meskipun uang dari mereka menjadi cukup menjadi solusi
sesaat bagi permasahan orang pribumi, namun bunga yang harus dibayarkan
(jika jumlahnya besar) bertentangan dengan hukum Islam. Bisnis mereka

112
Kata Pengantar dari Kareel Steenbrink dalam L.W.C. van den Berg, Orang
…, hal. ix - xxvi
113
L.W.C. van den Berg, Orang …, hal. 113.
114
L.W.C. van den Berg, Orang …, hal. 121.

66
berjalan dengan prinsip keuntungan, tidak semata-mata dimotori oleh
kepentingan agama.
Secara umum, orang Arab Hadramaut yang mempunyai pemahaman
terhadap tata kehidupan masyarakat kolonial di Nusantara, mengakui
kekuasaan Belanda atas bangsa-bangsa lainnya. Mereka tidak tertarik
mendirikan negara Islam dan mengganti kekuasaan orang Eropa, karena hal
itu bukan saja tidak mungkin, namun berpotensi merugikan diri sendiri.
Mereka telah menikmati posisi mereka sebagai masyarakat kelas dua. Hampir
di setiap lini kehidupan, kecuali di bidang keagamaan, orang Arab Hadrami
mengakui dominasi orang Eropa. Mereka hanya merasa kasihan kenapa orang
Eropa yang dianggap sebagai kelas penguasa dan kelas yang menekuni segala
bentuk bidang ilmu pengetahuan modern tidak memahami dan memeluk
Islam.115
Orang Arab Hadrami sangat membanggakan kepakaran mereka akan
ilmu agama. Mereka tidak mudah menerima pendapat keagamaan dari para
ahli-ahli agama pribumi (termasuk dari kelompok kyai, tuan guru, ajengan
dan lain sebagainya), karena keunggulan penguasaan dalam bahasa Arab
ketimbang mereka. Orang Arab tidak segan untuk menantang dan
mengobarkan persengketaan dengan para ahli-ahli Islam pribumi atas suatu
perkara sosial atau keagamaan. Aktivitas ini bahkan sampai mengganggu
kepentingan kolonial karena dianggap beprotensi menyulut kerusuhan
horizontal di antara pendukung mereka.116
Beberapa gambaran karakter di atas menjadi teori tersendiri yang
ditunjukkan oleh L.W.C. van den Berg dalam meneliti sikap dan karakter
orang Arab Hadrami. Penulis tertarik membincangkan teori tersebut dalam
diri seorang Alî Ahmad Bâkatsîr, melalu dua kasidah yang ditulisnya. Tentu
akan muncul banyak pembahasan, baik berupa pembenaran atau bahkan
penyangkalan terkait beberapa sifat dan orang Arab yang ditandai L.W.C. van
den Berg dengan temuan yang ada pada profil dan karya Alî Ahmad Bâkatsîr.
Penulis menggunakan teori ini untuk mengungkap lebih dalam, sebenarnya
bagaimana pribadi Alî Ahmad Bâkatsîr terbentuk, bagaimana pandangannya
tentang lingkungan yang ia hadapi serta tentu saja yang terpenting, relevansi
dua syairnya dengan beberapa karakter orang Arab Hadrami yang
diungkapkan L.W.C. van den Berg.

115
L.W.C. van den Berg. Orang …, hal. 155 – 159.
116
L.W.C. van den Berg, Orang …, hal. 120.

67
68
BAB III
BIOGRAFI ALÎ AHMAD BÂKATSÎR

A. Lingkungan dan Keluarga Alî Ahmad Bâkatsîr


Alî Ahmad Bâkatsîr lahir pada 21 Desember 1910 di Surabaya, Jawa
Timur. Dia adalah putra sulung dari keluarga Arab Hadrami yang bermigrasi
dari Hadramaut ke Surabaya untuk berdagang. Pada usia 10 tahun, Alî Ahmad
Bâkatsîr dikirim ke Hadramaut (sekarang termasuk dalam Republik Yaman
Selatan) untuk memperdalam pendidikan agamanya. Di sana, ia menelaah
aneka ragam ilmu keislaman di bawah bimbingan pamannya, Abdus Samad
Bâkatsîr. Ketika Alî Ahmad Bâkatsîr berumur 18 tahun, ia menikah dengan
perempuan berumur dua tahun di bawahnya. Setelah beberapa lama di
Hadramaut, Alî Ahmad Bâkatsîr memutuskan untuk melakukan beberapa
kunjungan ilmiah di Hijâz, istrinya pun diajak menyertainya.1
Surabaya menjadi tempat yang membekas di benak Alî Ahmad
Bâkatsîr. Kendati ia tinggal di kota ini tidak lama, setidaknya pendidikan dari
keluarga ikut mbentuk karakternya. Di samping itu, lingkungan tempat
tinggalnya juga ikut membangun ingatannya akan budaya-budaya Arab
migran. Di masa kolonial, pemukiman orang Arab biasanya dikelompokkan
secara mandiri. Di Surabaya, Kampung tempat tinggal para orang Arab
disebut Kampung Arab. Di sini, mereka melakukan kegiatan ekonomi berupa
perdagangan serta pendidikan agama. Di samping itu, mereka juga kerap
menggelar tradisi seni budaya Arab dengan permainan alat-alat musik Arab
sebagai salah satu wahana penyegaran. Mereka membentuk sendiri ingatan
akan kampung halaman yang jauh di lingkungannya.2 Meskipun tidak lama,
kelihatannya Bâkatsîr cukup menikmati suasana tersebut.
Menurut Ishom Bâkatsîr , kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, banyak di
antara keluarga dekat Alî Ahmad Bâkatsîr hidup di Jember. Alî Ahmad
Bâkatsîr sendiri lahir di Surabaya. Rumah tempat kelahirannya masih dapat
ditemukan hingga kini. Sekarang, rumah ini menjadi milik salah seorang
kerabatnya, Abdul Kadir Baraja. Alî Ahmad Bâkatsîr banyak menghabiskan
masa kecilnya di Jember. Hingga hari ini, masih terdapat tempat bermain Alî

1
Bankole Ajibabi Omotoso, Ali Ahmad Ba-Kathir, a Contemporary
Conservative Arab Writer-An Appraisal of His Main Novels and Plays, Disertasi
(Edinburgh: University of Edinburgh, 1972) hal. 29 – 30
2
Dhika Puspitasari, "Pengaruh Budaya terhadap Sistem Sapaan Antar Etnis di
Perkampungan Arab Ampel Surabaya", dalam Widyabastra, Vol. 2, No. 2, 2018, hal.
78-90.

69
Ahmad Bâkatsîr. Sebagian bisnis Alî Ahmad Bâkatsîr juga dilakukan di
Surabaya.3
Orang Arab yang tinggal di Nusantara pada abad 19, memang banyak
yang berprofesi sebagai pedagang. Seperti orang tua Alî Ahmad Bâkatsîr,
mereka melihat perdagangan sebagai sektor yang mampu memperbaiki taraf
hidup mereka di negeri perantauan. Di samping itu, usaha ini juga
memungkinkan mereka untuk mendatangkan kembali sanak keluarga mereka
dari Hadramaut sehingga dapat ikut serta mengembangkan usaha bisnisnya.
Biasanya, orang Arab yang mempunyai lapangan usaha yang sudah settled
akan memberikan modal kepada orang Arab lainnya yang belum memiliki
modal. Ini terus dilakukan secara berantai, sehingga perlahan mereka
membentuk ekosistem para pedagang Arab. Di samping membuka usaha di
Kampung Arab atau pemukiman yang dikhususnya untuk orang Arab lainnya,
beberapa orang Arab juga melakukan kontak perdagangan dengan dunia luar.
Kedekatan agama dengan masyarakat pribumi, tidak dapat dipungkiri,
menjadi latar belakang kesuksesan perdagangan orang Arab.4
Ketika masih di Hadramaut, istri Alî Ahmad Bâkatsîr meninggal.
Peristiwa ini amat menggoyahkan kesadaran Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia jatuh
dalam kesedihan yang pekat. Tidak lama kemudian, ia mendapat kabar
ayahnya wafat di Surabaya. Berita ini bagaikan pukulan telak bagi jiwanya
yang saat itu masih berupa batang yang rapuh. Tidak ada lagi cinta yang
tersisa, yang ada hanyalah kehampaan pada setiap harinya. Periode itu adalah
tahun kesedihan bagi Alî Ahmad Bâkatsîr. Setelah beberapa lama ia
menguatkan diri, ia pun memutuskan untuk pergi ke Surabaya.
Kepegiannya ke Surabaya merupakan kunjungan satu-satunya Alî
Ahmad Bâkatsîr ke Indonesia. Baik Abdullah Baraja maupun Ishom Bâkatsîr
yang merupakan dua tokoh kunci informan Alî Ahmad Bâkatsîr di Surabaya
tidak dapat memastikan kapan Alî Ahmad Bâkatsîr pulang ke Surabaya.
Mereka hanya mendengar kisah itu dari para orang tua mereka, yakni para
saudara kandung Alî Ahmad Bâkatsîr. Diceritakan bahwa ketika Alî Ahmad
Bâkatsîr sampai di Surabaya, suasana kesedihan dan kegemberiaan becampur
sehingga menimbulkan semacam kesemarakan yang temaram.
Ishom Bâkatsîr menyebutkan bahwa ada kemungkinan kepulangan Alî
Ahmad Bâkatsîr didorong oleh semangat menghapus kesedihan akibat
ditinggal istri dan anaknya. Kematian keduanya tidak berselang lama. Anak
Alî Ahmad Bâkatsîr meninggal karena tenggelam di suatu kolam. Setelah
kedua orang terkasihnya meninggal, hidup Alî Ahmad Bâkatsîr tidak menentu

3
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
4
Sumanto Al Qurtuby, "Arabs and" Indo-Arabs" In Indonesia: Historical
Dynamics, Social Relations and Contemporary Changes", dalam International
Journal of Asia-Pacific Studies, Vol. 13, No. 2, 2017.

70
di Hadramaut. Para saudaranya di Surabaya kemudian memintanya untuk
pulang dan melakukan kunjungan ke kampung halamannya, sembari
mengenang masa-masa kecilnya.
Alî Ahmad Bâkatsîr memanfaatkan kedatangannya berkunjung ke
rumah saudara-saudaranya yang terdapat di sekitar Kampung Arab Ampel,
Surabaya. rumahnya sendiri terletak tidak jauh dari Makam Sunan Ampel.
Saat itu, ibu Alî Ahmad Bâkatsîr masih hidup dan tinggal di Jember. Setelah
beberapa waktu di Surabaya, ia pun bergegas ke Jember. Ishom Bâkatsîr
mengenang kunjungan ini adalah obat penawar bagi kesedihan Alî Ahmad
Bâkatsîr. Seluruh anggota keluarga Alî Ahmad Bâkatsîr menyadari bahwa
saudaranya yang datang dari Hadramaut ini sedang berada dalam keadaan
sedih, dan mereka mempunyai niat yang tulus untuk menghiburnya. 5
Kendati Alî Ahmad Bâkatsîr jarang ke Indonesia, namun ia sempat
beberapa kali mengirim surat ke saudaranya di Surabaya, yakni ke adiknya
yang bernama Hasan Ahmad Bâkatsîr. Ishom Bâkatsîr yang merupakan anak
Hasan Bâkatsîr menjelaskan bahwa sempat beberapa kali ayahnya dan
pamannya itu berbalas surat. Sebagian surat itu masih disimpannya di suatu
ruang penyimpanan khusus. Selain membicarakan keadaan masing-masing, isi
surat itu juga membahas tentang sekelumit keadaan kehidupan keduanya dan
lingkungan sekitar mereka. Pembicaraan tentang pergolakan politik di
Surabaya dan Hadramaut, menjadi salah satu materi yang mereka singgung. 6
Hasan Bâkatsîr sendiri merupakan adik Alî Ahmad Bâkatsîr yang
mempunyai perhatian terhadap keilmuan. Ia pernah menempuh studi di
Universitas Kairo (sebelumya bernama Universitas King Fuad). Sekembalinya
ke Surabaya, ia berprofesi sebagai pengusaha pabrik karton di Sepanjang. Di
sela-sela kesibukannya, ia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah. Di
kalangan keluarga, Hasan Bâkatsîr dikenal sebagai orang yang gemar sastra
Arab. Oleh sebab itu, tidak aneh kiranya jika ia sering berkirim surat ke
kakaknya menggunakan Bahasa Arab yang memukau. 7
Abdullah Baraja, kerabat Bâkatsîr (masih terhitung cucu menantu Alî
Ahmad Bâkatsîr) mengungkapkan bahwa Hasan Bâkatsîr merupakan sosok
yang memiliki penguasaan Bahasa Arab yang baik. di waktu muda, Hasan
kerap mengajak Abdullah saling bercakap dengan Bahasa Arab. Oleh sebab
terbiasa, maka ia pun menjadi lancar berbahasa Arab, padahal ia tidak

5
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
6
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
7
Wawancara dengan Abdul Kadir Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 07.00 WIB, Senin, 10 Februari 2020; Wawancara dengan Ishom
Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada pukul 20.00 WIB,
Minggu, 9 Februari 2020.

71
menempuh pendidikan formal di sekolah Islam.8 Penguasaan Bahasa Arab ini
juga diaplikasikan Hasan Bâkatsîr dalam tulisan-tulisan suratnya kepada Alî
Ahmad Bâkatsîr.9

B. Latar Pendidikan dan Proses Kepengarangan Alî Ahmad Bâkatsîr


Kepergiannya ke Hadramaut tentu saja membawa banyak harapan. Di
samping ingin memperdalam ilmu agama, serta berjumpa dengan sanak
keluarga, Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai motivasi tersendiri untuk
menjenguk Tanah Air leluhurnya. Di masa kolonial, hubungan antara orang
Arab Hadrami perantauan dengan mereka yang masih tinggal di Hadramaut
masih kuat. Terdapat semacam tradisi keinginan menyekolahkan anak-anak
keturunan Arab ke Hadramaut untuk memperdalam ilmu agama. Upaya ini
juga menjadi wahana perekat kekerabatan dari keluarga yang terpisah secara
geografis. Sebagai seorang Hadrami, Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai harapan
untuk dapat menjejakkan kaki di tanah leluhurnya dan motivasi ini
melatarbelakangi karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr di waktu-waktu
kemudian.10
Pola pendidikan di Hadramaut mempunyai kemiripan dengan
pendidikan pesantren di Indonesia. Di sana terdapat sejumlah ulama yang
mashur menguasai bidang-bidang keilmuan tertentu, yang banyak menerima
murid di sekitar rumahnya serta murid dari luar negeri. Kegiatan mengkaji
beberapa kitab di bidang tauhid, fiqih, hadis, ulumul qur‘an, tafsir dan lain
sebagainya menjadi keseharian Bâkatsîr serta para santri di Hadramaut
lainnya. Umumnya, para santri dari luar Hadramaut telah mempunyai bekal
pengetahuan dasar ketika melanjutkan pendidikan di sini. Mereka telah
memahami ilmu-ilmu alat atau seputar gramatika bahasa Arab, sehingga
mereka dapat membaca aneka kitab dan menguasai bahasa Arab. Meskipun
Alî Ahmad Bâkatsîr tinggal di Surabaya, setidaknya ia sudah mengenal
bahasa Arab dan membaca teks-teks Arab. Pembelajaran ini tentu bukan
menjadi kesulitan karena biasanya keluarga Arab menjadi proliferasi dari

8
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
9
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
10
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 28.

72
kebudayaan Arab itu sendiri11, terlebih di masa ketika politik identitas
menguat di masa kolonial. 12
Di masa belia, Alî Ahmad Bâkatsîr amat menyukai gubahan puisi atau
syair dengan gaya Arab tradisional. Ia mulai menulis syair ketika beranjak
usia 13 tahun. Perkembangan sastranya semakin membaik ketika ia sampai di
Hadramaut. Pamannya, Abdus Samad Bâkatsîr ikut mempengaruhi paradigma
susastra Alî Ahmad Bâkatsîr. Dari pamannya, Alî Ahmad Bâkatsîr
mendapatkan banyak wawasan tentang sastra Arab, bagaimana menyusunnya,
hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan, serta bagaimana memaknai dan
menikmati sastra Arab. Pamannya mempunyai perpustakaan yang besar dan
Alî Ahmad Bâkatsîr banyak pula menghabiskan waktu membaca koleksi
bukunya. Aktivitas ini amat dinikmati Alî Ahmad Bâkatsîr, sehingga tradisi
literasi ini juga ikut membentuk latar belakang intelektualnya.
Ishom Bâkatsîr menyampaikan bahwa paman Alî Ahmad Bâkatsîr itu
bernama Muhammad Bobsaid. Senada dengan Ishom, Abdullah Baraja
mengungkapkan bahwa nama paman Alî Ahmad Bâkatsîr adalah Muhammad
Bobsaid. 13 Sewaktu masih di Hadramaut, Ahmad (ayahnya Alî Ahmad
Bâkatsîr) dan Muhammad Bobsaid dikenal sebagai saudara yang saling bahu
membahu. Keduanya mempunyai minat yang tinggi untuk memperdalam ilmu
agama. Namun, niat tersebut tidak sebanding dengan keadaan ekonomi
mereka. Di tengah kebingungan tersebut, Ahmad meminta kakaknya,
Muhammad, untuk terus belajar ilmu agama, sedangkan dirinya (Ahmad)
memutuskan untuk bekerja sembari berdakwah. Kegiatan ini terus
dilakoninya sampai tiba di Surabaya.
Para keluarga Bâkatsîr yang berdiam di Surabaya dan Jember
memanggil nama Muhammad Bobsaid dengan sebutan Tuk Mamak yang
merupakan kepanjangan dari Datuk Mamak. Kata Mamak identik dengan kata
Muhammad, dan bukan merujuk pada nama lainnya, apalagi nama Abdul
Samad. Jika memang yang dimaksudkan oleh Bankole Ajibabi Omotoso
bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr berguru pada pamannya yang mempunyai suatu
majlis keilmuan, maka itu tidak lain adalah Muhammad Bobsaid bukan Abdul
Samad Bâkatsîr.14

11
Roma Dona Wulandari dan Listyaningsih, "Strategi Orang Tua Etnis Arab
dalam Membentuk Moral Anak di Perkampungan Ampel Kota Surabaya", dalam
Kajian Moral dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 3, 2015.
12
Heri Susanto, "Kolonialisme dan Identitas Kebangsaan Negara-negara Asia
Tenggara", dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 10, No. 2, 2016, hal. 144-155.
13
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
14
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.

73
Muhammad Bobsaid memang mempunyai perhatian yang besar
terhadap kehidupan intelektual kemenakannya, Alî Ahmad Bâkatsîr di
Hadramaut. Di sana, Alî Ahmad Bâkatsîr sudah mulai belajar berbagai macam
ilmu agama, sekaligus membuat syair. Namun, lazimnya anak-anak usia belia
kala itu, pelajaran lebih banyak difokuskan pada pelajaran ilmu-ilmu agama,
khususnya fiqih. 15 Menurut Abdullah Baraja, Muhammad Bobsaid
mendirikan sekolah di Hadramaut, dan Alî Ahmad Bâkatsîr tercatat sebagai
salah satu siswa di sekolah itu. 16
Di Hadramaut, klan Bâkatsîr dikenal sebagai kelompok keluarga yang
terpelajar. Banyak di antara orang berfam Bâkatsîr yang menjadi ulama atau
penyair. Muhamad Bobsaid pun tergerak untuk melanjutkan kepakaran itu.
Dana yang dikirim kakaknya, Ahmad Bâkatsîr digunakan untuk membiayai
pendidikannya sampai ia mempunyai pengakuan keilmuan sebagai salah
seorang ulama yang mempunyai reputasi terkenal di Hadramaut. 17
Muhammad Bobsaid dikenal pula sebagai guru bagi sejumlah penuntut
ilmu asal Indonesia. Saat masih muda, Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri, pendiri
lembaga pendidikan Islam al-Khairat Palu pernah berguru padanya. Ini
menjadi kenangan yang disimpan Sayyid Idrus sampai ia telah menjadi
seorang ulama terkenal di kemudian hari. Sewaktu masih kecil, Ishom
Bâkatsîr bercerita bahwa kakaknya pernah menghadiri suatu pertemuan
penyambutan Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri di Surabaya. Dalam pertemuan
itu, masing-masing tamu memperkenalkan diri sambil bersalaman dengan
pendakwah dari Palu itu. Ketika tiba giliran kakaknya Ishom, ia pun
memperkenalkan diri dengan nama keluarga Bâkatsîr. seketika, ulama itu
bangkit dan memeluknya. Kemudian, ia mengatakan bahwa dirinya pernah
berguru dengan Syeikh Muhammad Bobsaid di Hadramaut.18
Abdus Samad Bâkatsîr, atau yang menurut pihak keluarga Alî Ahmad
Bâkatsîr di Surabaya adalah Muhammab Bobsaid, merupakan sosok yang
gemar mengundang ulama Hadramaut lainnya ke kediamannya untuk
membincangkan suatu perkara. Biasanya, hampir setiap pembahasan tidak
terlepas dari rujukan-rujukan pendapat ulama terdahulu, termasuk kitab-
kitabnya. Di samping untuk memelihara nuansa intelektual di rumahnya,
Abdus Samad juga menggunakan kegiatan itu untuk mendidik Alî Ahmad
Bâkatsîr agar terbiasa dalam pembicaraan seputar keilmuan dengan ulama

15
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
16
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
17
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
18
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.

74
lainnya. Dengan demikian, ilmu atau pengetahuan yang didapatnya setiap
hari, tidak mengendap dan terlupa. Di masa-masa awal, Alî Ahmad Bâkatsîr
hanya mendengar perbincangan para ulama, namun perlahan, Abdus Samad
memberikan kesemptan pada Alî Ahmad Bâkatsîr untuk menyampaikan
pendapatnya. Semula Alî Ahmad Bâkatsîr sempat ragu akan kemampuannya,
namun setelah membiasakan diri, ia semakin percaya diri menyuarakan
pandangannya. Tidak lupa, ia menyitir beberapa pendapat ulama untuk
mendukung gagasannya.19
Semasa di Yaman, Alî Ahmad Bâkatsîr mulai membuat puisi dan syair
lantas menerbitkannya dalam beberapa media massa di sana. Beberapa
majalah yang pernah memuat karya Alî Ahmad Bâkatsîr adalah al-Fath, al-
Tsaqâfah dan Apollo. Beberapa puisinya diterbitkan dalam suatu Ontologi
Sastra Penyair Yaman Kontemporer. Buku ini disunting oleh Hilal Naji dan
diterbitkan di Beirut pada 1966. Semasa di Yaman, Alî Ahmad Bâkatsîr selalu
merasa dirinya terpacu untuk mengadirkan karya sastra yang tidak saja
memenuhi pakem sastra Arab tradisional. Ia mendambakan membuat karya
yang baru, namun ia sendiri belum tahu apa bentuknya. Di titik inilah ia
merasa bahwa dirinya harus keluar Hadramaut agar pengalaman sastranya
dapat berkembang.
Dari kegelisahan Alî Ahmad Bâkatsîr dapat diketahui bahwa model
sastra masa awal Alî Ahmad Bâkatsîr sama dengan gaya sastra Arab
tradisional pada umumnya. Beberapa genre sastra Arab tradisional yang
memang terkesan kaku dan harus memenuhi sejumlah pakem. Hal ini tidak
bisa dilepaskan dari tradisi para penyair terdahulu di sana yang memang
mempunyai langgam tersendiri, sehingga tidak mudah berganti langgam dari
wilayah lainnya. Ketidakpuasan Alî Ahmad Bâkatsîr, murni didorong oleh
motivasinya ingin mencipta suatu karya yang dianggap belum banyak dilirik
para penyair kala itu.
Alî Ahmad Bâkatsîr sangat menikmati masa hidupnya di Hadramaut. Ia
mengabadikan kesannya selama di Hadramaut dalam novelnya Humâm fî
„Asimah al-Ahqâf. Novel ini berkisah tentang seseorang yang bernama
Humam yang sangat menikmati kehidupannya di Hadramaut beserta problem
yang dihadapinya.20
Keinginan revolusi sastra Arab tradisional Alî Ahmad Bâkatsîr
tentunya amat dipengaruhi dengan jejak rekam intelektual serta bagaimana
hubungannya dengan milleu lingkungannya. Sebagaimana diketahui, Alî
Ahmad Bâkatsîr sempat menetap di Hindia Belanda selama beberapa waktu.
Ia dididik di tengah keluarga Arab Hadrami yang lebih plural dalam

19
Boncole, Ali Ahmad …, hal. 29.
20
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.

75
menyikapi perbedaan budaya di Surabaya.21 Ingatan-ingatan ini agaknya
masih mengendap di alam bawah sadar Alî Ahmad Bâkatsîr sehingga ia
terdorong untuk menghadirkan suatu karya yang tidak melulu mengikuti gaya
Arab tradisional. Pengalamannya bersentuhan dengan masyarakat heterogen
di Surabaya, sepertinya membekas di rekaman intelektual Bâkatsîr sehingga
ikut terbawa saat dirinya merantau ke Hadramaut.
Yaman atau Hadramaut merupakan tempat yang penting bagi
perkembangan karya sastra Arab klasik. Badri Yatim menyebutkan bahwa
munculnya kisah-kisah israiliyat dalam khazanah sastra orang Arab salah
satunya berasal dari Yaman. Selain Persia yang mempunyai model budaya
Arab yang dinamis dan mengadopsi unsur-unsur lokal yang di antaranya
merupakan serapan dari zaman Persia pra-Islam, Yaman juga memiliki
karakter dinamis tersebut. Kisah-kisah seperti Samson dan Delilah misalnya,
selain populer di Persia, juga populer di Yaman. Untuk itu, tidak heran
kiranya, jika tradisi sastra Arab juga berkembang di sini, karena unsur lokal
ikut membantu tumbuhnya genre yang endemik dan senantiasa mendorong
hadirnya suatu pembaruan di dalamnya.22
Hijâz merupakan wilayah tempat tujuan para pelajar Muslim dari
seluruh dunia. Banyak dari mereka yang pergi ke sini untuk memperdalam
ilmu agama yang didapat dari masing-masing negerinya, tidak terkecuali Alî
Ahmad Bâkatsîr. Di tengah masa belajarnya di sini, ia mendapatkan rasa
kehilangan saat mengetahui istrinya meninggal dunia setelah melahirkan anak
pertamanya. Kematian ini membuat Alî Ahmad Bâkatsîr berada dalam tahun
kesedihannya. Ia sulit sekali bangkit dari keterpurukan. Bahkan, karena terlalu
banyak kenangan yang dirasa menggelayutinya akan bayangan istrinya, ia
sempat memutuskan untuk tidak lagi kembali ke Hadramaut.
Setelah beberapa waktu dalam kesedihan, Alî Ahmad Bâkatsîr pun
mampu memugar diri dan melanjutkan aktivitasnya. Banyaknya orang yang
belajar di Hijâz, mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang tegar. Ia
tersadar bahwa banyak orang yang merasakan kehilangan di sekitarnya,
namun mereka berhasil bangkit dari ketakutan akan bayang-bayang
kehilangan dari masa silam. Alî Ahmad Bâkatsîr pun mulai menyibukkan diri
dalam pengajian di sejumlah rumah ulama atau di masjid-masjid yang
mengagendakan suatu pengajian. Tentu saja, Masjidil Haram menjadi salah
satu tempat favoritnya. Di sana ia bisa belajar sambil beribadah.

21
Ujianto Singgih Prayitno dan Purnawan Basundoro, "Etnisitas dan Agama di
Kota Surabaya: Interaksi Masyarakat Kota Dalam Perspektif Interaksionisme
Simbolik", dalam Jurnal Aspirasi, Vol. 6, No. 2, 2015, hal. 119-130.
22
Badri Yatim, Historiografi Islam (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal.
70 – 90; Lihat juga Nuryamsu, "Masuknya Isriliyat dalam Tafsir al-Qur‘an", dalam
Al-Irfani, Vol. 1, No. 1, 2015, hal. 1-29.

76
Azyumardi Azra menyebut Hijâz sebagai tujuan utama para pengkaji
ilmu-ilmu keislaman dari seluruh dunia sampai dengan abad 20. Banyak
ulama Nusantara, termasuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh
Mahfud Termas, Syekh Abdul Gani Bima, K.H. Hashim Asy‘ari, K.H.
Ahmad Dahlan dan lain sebagainya ingin menyambungkan jaringan
keilmuannya dengan para ulama yang tinggal di Hijâz. Keberangkatan mereka
umumnya bersamaan dengan waktu keberangkatan ibadah haji, sehingga
keberangkatan ini bukan hanya dinilai sebagai kepergian dalam rangka
mempertebal pengetehuan keislaman namun juga terdapat unsur ibadah di
dalamnya. Di sana mereka akan bergabung dengan kawan-kawan dari
Nusantara lainnya.23 Di mata orang Hijâz, para ulama serta para santri yang
datang ke sana kerap dilabeli dengan laqab ―al-Jawi‖ atau orang yang berasal
dari Jawa. Pada kenyataannya panggilan ini berlaku untuk semua ulama dan
santri yang datang dari seluruh penjuru Nusantara.24
Di Hijâz, Alî Ahmad Bâkatsîr banyak membaca dan menelaah karya-
karya Ahmad Syawqi (1868 – 1932), seorang sastrawan Mesir. Diketahui
bahwa di Mesir, Ahmad Syawqi terkenal dengan julukan amir al-syu‟arâ
(pangeran para sastrawan). Ia dikenal sebagai pioner dalam syair Arab
modern dan penulisan naskah drama Arab modern. Syawqi merupakan
anggota keluarga khedive Mesir. Ia dikirim oleh ayahnya ke Prancis, untuk
belajar di Montpellier dan Paris. Sekembalinya, jalannya menjadi seorang
sastrawan terbuka lebar karena latar belakang keluarganya. Pada 1914, ia
sudah dikenal sebagai salah seorang sastrawan berpengaruh di Mesir. Karena
suatu masalah politik, Syawqi pernah diasingkan di Spanyol antara 1914
hingga 1919. Sepulangnya, ia segera menulis banyak karya sehingga namanya
mulai dikenal kembali. Pada 1927, ia dikukuhkan dengan julukan amir al-
syu‟arâ.
Syawqi dikenal sebagai sastrawan yang prolifik. Ia dikenal mahir
memadukan antara rima dan diksi. Tema-tema yang disukainya berkisar
tentang eulogi (sanjungan) kovensional sampai dengan pengutaraan puitis
semacam yang digubah William Shakespeare, Corneile dan Racine. Dalam
beberapa kesempatan, ia membicarakan tentang masa-masa penting
kebangkitan sastra Arab modern. Menurutnya sastrawan ketika ia hidup, harus
mempertimbangkan memasukkan unsur-unsur modernitas Eropa. Sastra Arab
tradisional tidak sukses dalam mengakomodir pengaruh ini, sehingga
dibutuhkan langgam sastra baru. Syawqi mengadaptasi metrum puitis untuk

23
Zumrotul Mukaffa, "Ulama Hijaz-Jawa Pertengahan Abad XIX M", dalam
Al Qalam, Vol. 34, No. 1, 2017, hal. 39-58.
24
Ahmad Sanusi, "The Contributions of Nawawi al-Bantani In the
Development of National Law of Indonesia", dalam Al-'Adalah, Vol. 15, No. 2, 2018,
hal. 415-436.

77
menyusun dialog yang dramatis dalam teks drama sebagaimana dapat dilihat
dalam Masra‟ Kliyubatra (Kejatuhan Cleopatra).25
Alî Ahmad Bâkatsîr jatuh hati pada karya-karya Syawqi. Di Hijâz, ia
membaca karya-karya penyair Mesir ini berulang-ulang. Ia sangat terpukau
dengan kemampuan Syawqi dalam merevolusi syair menjadi dialog yang
lantas dikembangkan menjadi cerita. Dalam suasana intelektual yang masih
didominasi oleh pengaruh Syawqi, Bâkatsîr menulis suatu teks drama Humâm
fî „Asimah al-Ahqâf yang diterbitkan di Kairo pada 1934.

C. Mesir sebagai Tempat Revolusi Diri dan Aktivitas Kepenulisan Alî Ahmad
Bâkatsîr
Setelah beberapa lama tinggal di Hijâz, Alî Ahmad Bâkatsîr
melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke sejumlah tempat seperti Somalia
dan Ethiopia. Di sela-sela masa belajar, ia selalu mencari informasi untuk
memperoleh izin tinggal di Mesir dari pemerintah Inggris yang saat itu masih
menduduki pemerintahan Mesir.
Pada 1934, ia memperoleh izin dari pemerintahan Inggris di Mesir
untuk bermukim dan belajar. Namanya tercatat sebagai mahasiswa di
Departemen Bahasa Inggris di suatu Fakultas Kesenian (Departement of
English of the College of Arts). Di sana, ia menempuh pendidikan hingga
kelulusannya pada 1939. Di tahun yang sama, ia menikah untuk kedua kalinya
dengan seorang janda beranak dua. Pada 1940, ia memperoleh diploma di
Fakultas Pendidikan Guru (Teacher‟s Training College). Antara 1940 hingga
1955, ie mengajar Bahasa Inggris di al-Mansura dan Kairo.26
Semasa studi bahasa Inggris di Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr tertarik
untuk memperdalam pengetahuannya tentang sastra Inggris, khususnya
mengenai karya para dramawan terkenal seperti Shakespere dan Berdnard
Shaw. Suatu ketika, saat berada dalam suatu perkuliahan bahasa Inggris,
dosennya menjelaskan tentang adanya satu lubang ekspresi drama yang tidak
dijumpai dalam teks-teks drama Arab, namun dimiliki oleh teks-teks drama
Inggris. Alî Ahmad Bâkatsîr melihat masalah ini memang menjadi satu hal
yang perlu dibenahi dan drama Arab tidak mempunyai perangkat untuk itu,
namun ia menolak jika itu sama sekali tidak bisa direvisi.
Di Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr tinggal di suatu flat lantai tujuh di Mani
al-Raudhah Street, Kairo. Flat ini berdiri tepat di pinggir Sungai Nil yang
airnya berwarna biru. Di flatnya terdapat suatu balkon yang menghadap
langsung ke sungai ini. Beberapa syair Alî Ahmad Bâkatsîr ada yang
menyinggung tentang Sungai Nil. Besar kemungkinan, ungkapan itu muncul
25
https://www.britannica.com/biography/Ahmad-Shawqi, diakses pada Rabu,
6 November 2019.
26
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 30.

78
karena kesehariannya di flatnya yang tidak lepas dari pemandangan Sungai
Nil. Ishom Bâkatsîr dan beberapa kerabatnya sempat mengunjungi flatnya dan
bertemu dengan istri dan anak angkat Alî Ahmad Bâkatsîr. Sayangnya, ketika
ia berkunjung ke Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr sudah beberapa tahun
sebelumnya wafat. Di flat ini juga tersimpan dengan rapi aneka pengharagaan
yang diterima Alî Ahmad Bâkatsîr.27
Rumah Alî Ahmad Bâkatsîr selalu terbuka bagi mahasiswa Indonesia
yang kuliah di Mesir. Hubungan dirinya dengan para mahasiswa relatif baik
dan bersahabat. Tidak jarang, Alî Ahmad Bâkatsîr menjadikan dirinya
layaknya ayah bagi para mahasiswa tersebut. Ishom Bâkatsîr menyebutkan
bahwa kendati sudah menjadi warga negara Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr tidak
melupakan jati dirinya sebagai orang Surabaya. Ia mengobati rasa rindunya
terhadap Tanah Airnya melalui perjumpaan dengan para mahasiswa asal
Indonesia. Beberapa kali, Alî Ahmad Bâkatsîr juga ikut mensponsori
kegiatan-kegiatan mahasiswa Indonesia di Mesir.28
Alî Ahmad Bâkatsîr kerap menghabiskan waktu dengan membaca
karya sastra dan teks-teks drama Inggris di perpustakaan-perpustakaan Mesir.
Ini merupakan periode transmisi yang penting dalam diri Bâkatsîr, sehingga ia
memutuskan untuk merombak pemahamannya tentang tradisi ketat sastra
Arab dan memperindahnya dengan model syair atau penyadian drama yang
mengadopsi tema-tema yang menjadi tren di Eropa. Kendati saat itu di Mesir
pengenalan model drama dan syair Eropa belum populer, Alî Ahmad Bâkatsîr
sudah mempunyai sejumlah gagasan untuk menyuarakan itu di kemudian hari.
Ia memperoleh pemahaman tentang penyajian suatu karya sastra yang
realistik baik dalam syair dan puisi serta dalam penyusunan teks drama. Dunia
Arab mempunyai segudang tema yang dapat dikembangkan dengan model
penyajian seperti itu.29
Dalam kuliah-kuliahnya, ia kerap mengingatkan pada mahasiswanya
untuk memperbanyak pengetahuan tentang drama Eropa, seperti memahami
struktur pertunjukan drama Romeo dan Juliet. Bâkatsîr dikenal sebagai sosok
pertama dalam sastra Arab yang memperkenalkan cerita itu ke publik. Ia
menerjemahkan naskah drama Romeo dan Juliet lantas menerbitkannya pada
1939. Karya ini mendapat tanggapan yang dingin dan kritikan yang minim
dari para pengamat sastra, seakan mereka tidak peduli dan menutup mata
dengan kerja Alî Ahmad Bâkatsîr. Terdapat seorang pengamat sastra yang
tertarik berkomentar tentang kerja Alî Ahmad Bâkatsîr, namanya Ibrahim al-
Mazini (1889–1949). Alî Ahmad Bâkatsîr tidak terlalu memperhatikan

27
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
28
Wawancara dengan Abdul Kadir Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 07.00 WIB, Senin, 10 Februari 2020.
29
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 30.

79
komentarnya. Ia justru melanjutkan kerjanya dengan menerbitkan naskah
drama Akhnâtûn wa Nafirtîtî.
Peristiwa penguasaan Palestina oleh Israel mengejutkan hati Alî Ahmad
Bâkatsîr. Ia kecewa dengan Inggris karena dengan ditandatanganinya
Deklarasi Balfour pada 1917, seolah-olah pasukan Israel memperoleh lampu
hijau untuk menggusur pemukiman-pemukiman orang Arab yang sudah lama
berdiam di Palestina. Ini menimbulkan kemarahan dalam diri Bâkatsîr. Ia
mulai memandang penting bangsa Arab sebagai entitas yang perlu
diperjuangkan atas ketidakadilan tersebut. Dalam salah satu teks drama yang
disusunnya, Ma‟sâb Ûdîb (cerita ini diambil dari mitologi Yunani), Alî
Ahmad Bâkatsîr mendudukkan Balfour seperti pendeta Delphi, sosok yang
telah membuka celah agar para dewa menurunkan kutukannya pada Raja
Oedipus.30 Alî Ahmad Bâkatsîr juga menulis sejumlah puisi satir yang
menyinggung tentang kejahatan umat Yahudi, Zionis, serta orang-orang yang
telah membuat peristiwa itu terjadi seperti Harry Truman dan Winston
Churcill.
Setelah 1940, Alî Ahmad Bâkatsîr lebih banyak menulis cerita drama
berdasarkan iklim politik saat itu yang sedang menghangat. Konflik Arab
dengan Israel menjadi latar yang sering dieksekusi Alî Ahmad Bâkatsîr untuk
melahirkan naskah-naskah dramanya. Beberapa drama Alî Ahmad Bâkatsîr
memperoleh sambutan yang meriah. Tidak bisa dipungkiri ini merupakan
salah satu pencapaian penting dalam hidup Alî Ahmad Bâkatsîr. Setidaknya
kebahagian ini dapat mengobati sejenak rasa kesedihan yang menghantui
akibat ditinggal mati istrinya saat masih di Hijâz dulu.
Ia memperoleh kewarganegaraan Mesir pada 1945. Ketika ia
memperoleh pengakuan kependudukan itu, ia sama sekali tidak berpikir untuk
kembali ke Hadramaut atau Indonesia. Ia menikmati kehidupannya di Mesir
dan telah mempunyai banyak kolega dari kalangan para penulis maupun tokoh
politik Mesir. Pada 1942, Alî Ahmad Bâkatsîr berkenalan dengan penulis
Mesir yang sudah mencapai ketenarannya, Najib Mahfouz. Di berbagai
kesempatan, ia banyak bertukar pandangan dengan Najib seputar sastra dan
politik Mesir yang di saat-saat itu banyak mengalami perubahan.
Pada 1952, terjadi revolusi di Mesir. Pemerintahan khedive yang
dijabat oleh pemimpin terakhirnya, Raja Farouk, diambil alih oleh
sekelompok perwira militer pimpinan Gamal Abdul Nasser.31 Seperti para
penulis Mesir lainnya, harus membuat kesepatakan terkait tema-tema puisi
dan drama yang nantinya ditampilkan. Pemerintahan Revolusioner meminta

30
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 31.
31
Gerasimos Tsourapas, "Nasser‘s Educators and Agitators across al-Watan
al-‗Arabi: Tracing the Foreign Policy Importance of Egyptian Regional Migration,
1952-1967", dalam British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 43, No. 3, 2016,
hal. 324-341.

80
kelompok sastrawan dan dramawan harus mempertunjukkan tema-tema yang
mendukung pemerintahan baru itu. Selain al-Tsâ‟ir al-Ahmar (1953), sejak itu
Alî Ahmad Bâkatsîr memilih tema-tema seputar peristiwa sejarah Mesir,
mitologi Yunani dan Islam.
Di 1955, ia menjadi salah satu pegawai Kementerian Kebudayaan dan
Pertahanan Nasional. Antara 1954 hingga 1968, Alî Ahmad Bâkatsîr
melakukan perjalanan seorang diri atau secara kedinasan sebagai anggota
delegasi Mesir ke luar negeri, seperti ke Prancis, Rumania, Russia dan
Inggris. Ia juga melakukan sejumlah perjalanan ke sejumlah negeri-negeri di
Timur Tengah. Perjalanan-perjalanan ini amat berkesan bagi Alî Ahmad
Bâkatsîr, karena ikut membentuk imajinya tentang sesuatu tema yang banyak
ia tuangkan dalam karya-karya sastranya. Ia meninggal di Kairo pada 10
November 1969.32
Wakaupun terlihat sudah nyaman tinggal di Mesir, sebenarnya, Alî
Ahmad Bâkatsîr mempunyai keinginan kuat untuk datang ke Indonesia.
Dalam karya syair, novel maupun naskah dramanya tergambar bahwa dirinya
seperti mempunyai ketersambungan rasa degan para pejuang di Indonesia. Dia
mempunyai hasrat untuk datang dan berjuang melawan kolonialisme Belanda
dan Jepang. Sayangnya, niat ini urung terlaksana, karena gerak geriknya
diawasi di Mesir. Ia tidak diperkenankan keluar negeri dengan bebas.
Sepertinya, pihak Inggris sudah mengetahui sedikit profilnya bahwa Alî
Ahmad Bâkatsîr mempunyai hubungan darah dan keluarga dengan orang-
orang di Indonesia, sehingga aktivitasnya perlu diawasi.33
Abdul Kadir Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, menambahkan
bahwa ketika rombongan delegasi Indonesia pimpinan Agus Salim datang ke
Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr termasuk orang yang menyambut mereka. Saat
itu, kebetulan cuaca Mesir sedang memasuki musim dingin. Para delegasi dari
Indonesia itu tidak ada yang membawa jas tebal. Alî Ahmad Bâkatsîr pun
segera berinisiatif mencari jas-jas tebal untuk mereka. Bantuan ini pun sangat
berkesan di benak Agus Salim dan delegasi yang lain, setidaknya mereka
dapat terbebas dari ancaman hawa dingin. 34

D. Akhir Hayat Alî Ahmad Bâkatsîr


Ishom Bâkatsîr menceritakan bahwa kehidupan Alî Ahmad Bâkatsîr di
Mesir tidak selalu berada dalam keadaan senang. Masa-masa ketika karir
kepengarangannya berkibar, justru merupakan pintu bagi cobaan hidupnya.

32
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 29.
33
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
34
Wawancara dengan Abdul Kadir Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 07.00 WIB, Senin, 10 Februari 2020.

81
Ketika orang semakin banyak yang membaca karyanya dan menjadikannya
sebagai idola sastra, muncul orang-orang yang tidak suka dengan karya-karya
Alî Ahmad Bâkatsîr. Alasan ketidaksukaan mereka adalah Alî Ahmad
Bâkatsîr bukan orang Arab Mesir asli sehingga tidak layak diberi aneka
ganjaran hadiah yang terlalu berlebihan.
Kelompok pembenci Alî Ahmad Bâkatsîr tersebar tidak hanya ada di
kalangan para penyair, namun juga di kalangan wartawan dan pemilik media
massa. Mereka mempunyai kesepahaman bahwa tidak seharusnya Alî Ahmad
Bâkatsîr memperoleh penghargaan yang tinggi di bidang sastra Arab Mesir.
Pengakuan atasnya adalah bukti kalahnya para sastrawan asli Mesir terhadap
seorang sastrawan pendatang. Beberapa dari mereka menolak menerbitkan
karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr, sesuatu yang membuat dirinya terpukul.
Lama kelamaan, gelombang ketidaksukaan akan karya Alî Ahmad Bâkatsîr
terdengar olehnya sendiri. Hal ini membuat jiwa Alî Ahmad Bâkatsîr
terguncang.35
Abdullah Baraja mengungkapkan bahwa kebencian sebagian besar
sastrawan maupun wartawan akan karya Alî Ahmad Bâkatsîr membuat
dirinya terkucil dari pergaulan orang-orang yang seprofesi dengannya di
Mesir.36 Alî Ahmad Bâkatsîr sendiri akhirnya mengetahui kebencian ini dan
seketika kehidupan sehari-harinya berlangsung dengan penuh kemurungan.
Terlihat sekali, memang sosok Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai jiwa yang
lembut dan mudah rapuh. Jiwa yang memang menjadi ciri dari sebagian
sastrawan yang jujur dalam mengungkapkan perasaannya dalam menyusun
karya sastranya. Oleh sebab tidak tahan lagi dengan suasana terasing ini, Alî
Ahmad Bâkatsîr memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya,
dan menerima uang pensiun. Dari uang ini, Alî Ahmad Bâkatsîr kemudian
menulis salah satu karya panjangnya, yakni suatu novel berjudul Malhamah
Umar. Novel ini terdiri dari 19 jilid. 37
Hasan Bâkatsîr dan keluarga lainnya yang mendengar tentang musibah
yang dialami kakaknya merasa iba. Tidak lama berselang, muncul kabar
bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr akan berkunjung ke Surabaya. Hasan Bâkatsîr pun
gembira, dan ia segera menyiapkan kamar khusus untuk Alî Ahmad Bâkatsîr
dan keluarganya di rumahnya. Namun berita itu tidak sampai terjadi. Tidak
lama berselang, datang kabar bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr meninggal dunia.
kenyataan itu membuat Hasan Bâkatsîr amat terpukul. Sekitar dua bulan
kemudian, Hasan Bâkatsîrpun juga meninggal dunia. Ishom Bâkatsîr

35
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
36
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
37
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.

82
menyebutkan bahwa ayahnya itu adalah sastrawan, sehingga wajar jika
kematian kakaknya amat diratapi sehingga saat mendengar berita duka itu,
perasaannya sangat terpukul dan dibawanya sampai ia meninggal. 38
Alî Ahmad Bâkatsîr wafat pada pada bulan Sya‘ban 1389, bertepatan
dengan 10 November 1969, Dubes Indonesia untuk Mesir, Ahmad Yunus
Mokogenta turut hadir dalam pemakan Alî Ahmad Bâkatsîr. Dubes berkata
kepada salah satu pelayat yang pulang sebelum jenazah sampai ke
pemakaman: Bagaimana hal ini dapat saya lakukan wahai Ustadz Sibaa-'ie?
Almarhum dalam sepanjang hidupnya menemani kami dalam perjalanan
perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bukankah sepatutnya jika kami
menghantarkannya sampai akhir perjalannya menghadap Allah SWT? Pintu-
pintu Kedutaan Besar Indonesia pada malam harinya terbuka sepenuhnya
untuk menerima para tamu yang mengucapkan perasaan duka (bela
sungkawa) mereka untuk Alî Ahmad Bâkatsîr. Dalam kata sambutan Duta
Besar yang singkat tapi berkesan beliau mengatakan: Sesungguhnya saya
telah kehilangan seorang anak bangsa Indonesia sebagai seorang Budayawan
dan Sastrawan Muslim yang cemerlang, tulus, ikhlas, dan gigih
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selama hidupnya, Alî Ahmad
Bâkatsîr mengorbankan tenaga dan pikirannya melalui tulisan dan lisannya
dalam untaian bait-bait syairnya demi kebebasan bangsa dan kemerdekaan
Tanah Air Indonesia dari kezaliman penjajah yang tidak kita temukan pada
diri Sastrawan lain yang manapun.39
Dalam acara peringatan 40 hari meninggalnya Alî Ahmad Bâkatsîr
yang di selenggarakan oleh Organisasi Sastrawan Mesir di Cairo, Mesir pada
30 Desember 1969; kemudian tibalah giliran Duta Besar Indonesia untuk
Mesir menyampaikan sambutan singkat tapi mengandung arti yang sangat
mendalam dan berkesan, setelah diawalinya dengan membaca bismillah,
kemudian bersyukur memuji Allah swt dan berdo'a salawat serta salam untuk
Junjungan Rasulullah SAW lalu mengatakan: Seandainya saya dapat
membawa seluruh bangsa Indonesia untuk hadir bersama saya dalam
kesempatan ini, dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menyatakan
perasaan cinta dan bukti kesetiaan kami kepada (Almarhum) Sang Sastrawan
yang cemerlang Alî Ahmad Bâkatsîr, tentu akan saya lakukan. Namun
apakah daya saya, karena seluruh bangsa Indonesia telah menunjuk saya
sebagai Duta Besar untuk mereka di negeri Mesir, untuk menyampaikan atas
nama lebih dari seratus juta anak bangsa Indonesia kepada anda semua, tanda
setia dan rasa duka yang sedalam-dalamnya untuk (almarhum) Alî Ahmad
Bâkatsîr. Dan seandainya pada suatu hari Indonesia bermaksud melaksanakan

38
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
39
Muhammad Abu Bakar Hamîd, Indûnîsiyâ Malhamah al-Hubb wa al-
Hurriyyah fî Hayâh Alî Ahmad Bâkatsîr wa Adabih, (Kairo: Dâr al-Kutub al-
Mishriyyah, 2017), hal. 16-17

83
peringatan untuk para Sastrawan yang telah berkorban di masa-masa
perjuangan demi kemerdekaan, tentulah yang paling utama dan pertama-tama
akan dilakukan untuk (almarhum) Alî Ahmad Bâkatsîr, sungguhpun bukan
yang pertama secara keseluruhan.40

40
Muhammad Abû Bakar Hamîd, Indûnîsiyâ Malhamah...., hal.19

84
85
BAB IV
INSPIRASI SASTRA DAN TELAAH DUA QASIDAH ALÎ AHMAD
BÂKATSÎR

A. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi Alî Ahmad Bâkatsîr


Alî Ahmad Bâkatsîr mendapatkan inspirasi bersyairnya tatkala ia
tinggal di Hadramut. Kendati Abdus Samad Bâkatsîr, paman Alî Ahmad
Bâkatsîr, tidak memperkenalkan karya-karya sastra Arab modern atau karya
sastra Barat pada umumnya, namun perpustakaan yang dimiliki oleh
pamannya itulah yang menjadi penghubung secara tidak langsung bahwa
periode ketika ia berada di Hadramaut, menjadi momen penting dirinya
mengenal pelbagai ilmu pengetahuan dunia, salah satunya di dunia sastra.
Sebenarnya, Abdus Samad Bâkatsîr, atau dari pihak keluarga Alî
Ahmad Bâkatsîr di Surabaya adalah Muhammad Bobsaid1, menginginkan
agar Alî Ahmad Bâkatsîr menjadi seorang ulama yang memiliki pengetahuan
yang luas di bidang hukum Islam. Tujuan itu pula yang diinginkan Ahmad
Bâkatsîr menyekolahkan anaknya hingga ke Hadramaut. Namun, pergumulan
intelektual Alî Ahmad Bâkatsîr tidak mengarah ke jurusan itu. Ia justru
tertarik mendalami karya-karya sastra dunia, yang besar kemungkinan
ditemukan di perpustakaan milik pamannya. Tujuan pamannya memperkaya
perpustakaannya dengan buku-buku sastra, sebenarnya bukan menjadi
maksud yang khusus. Hanya sekedar memperkaya koleksi referensinya.
Buku-buku utama yang dimiliki pamannya berkisar pada tema-tema seputar
hukum Islam.
Keberadaan diskusi keagamaan yang kerap dihelat di rumah Abdus
Samad Bâkatsîr menjadi penanda penting, betapa iklim keilmuan yang
berkutat di sekitar kehidupan Alî Ahmad Bâkatsîr, dilingkupi oleh iklim
eksoterik yang kuat. Hadramaut memang menjadi kota bagi para pencari ilmu
agama sejak masa yang lama. Maka wajar jika lini ilmu pengetahuan hukum
Islam berkembang pesat di sana. Iklim ini pula yang mendorong larisnya
kitab-kitab fiqih yang dimiliki oleh para ulama maupun santri yang mengaji
dengannya. Kepemilikan akan kitab menjadi salah satu kebanggan tak terkira
bagi para penuntut ilmu agama.2
Terdapat perbedaan identitas yang signifikan jika membicarakan posisi
ahli agama di Indonesia dan di Yaman. Di Indonesia, para keturunan Arab

1
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
2
Bankole Ajibabi Omotoso, Alî Ahmad Bâkatsîr, A Contemporary
Conservative Arab Writer_An Appraisal of His Main Plays and Novels, Disertasi
(Edinburgh: University of Edinburgh, 1972) hal. 28.

86
Hadrami, baik mereka yang berlatarbelakang Sayyid maupun non-Sayyid
relatif sukses di dunia dakwah dan pengajaran ilmu agama. 3 Profesi ini
ditekuninya dari generasi ke generasi hingga membentuk semacam persepsi di
kalangan masyarakat luas bahwa para keturunan Arab Hadrami mempunyai
dua kemuliaan, pertama kemuliaan mengalirnya darah Nabi Muhammad bagi
kalangan Sayyid, dan kedua, kemuliaan yang berlatar dari kepakaran mereka
akan bahasa Arab dan tentu saja ilmu agama yang ditekuninya. 4
Di Yaman, utamanya ketika abad 19, klasifikasi peran sebagaimana
yang ada di Indonesia tidak terlihat. Kelompok Sayyid menempati posisi
selaku kelompok bangsawan. Mereka menerima penghormatan dan disegani
oleh kelompok masyarakat non-Sayyid dikarenakan adanya aliran darah Nabi
Muhammad dalam dirinya. Kehadiran mereka dianggap sebagai pelipur lara
ketiadaan Nabi Muhammad. Bahkan muncul keyakinan bahwa termasuk
dalam penghormatan kepada Nabi Muhammad adalah mencintai dan
mengkasihi para keturunannya. Kelompok masyarakat yang dikenal karena
kepakarannya di bidang agama, atau yang berhak menyandang pakar hukum
Islam, justru bukan kelompok Sayyid, melainkan kelompok syekh atau
masyayikh. Di Indonesia, kelompok ini lazim disebut keturunan non-Sayyid. 5
Rupanya, fungsi sosial turunan yang biasa diampu oleh kelompok Alî
Ahmad Bâkatsîr di Hadramaut, tidak mampu meyakinkan Alî Ahmad
Bâkatsîr untuk menekuni bidang hukum Islam dan kelak dirinya akan dikenal
sebagai ulama kenamaan. Fungsi ini sama sekali tidak dianggap Alî Ahmad
Bâkatsîr sebagai dunia yang perlu diselaminya, dan hanya sekedar diketahui,
namun dengan tidak memiliki minat yang lebih untuk memahaminya, atau
membandingkannya dengan hukum-hukum Islam lainnya. Fungsi sosial
kelompok masyayikh yang beredar di Hadramaut tersebut, agaknya dimaknai
Alî Ahmad Bâkatsîr sebagai profesi yang boleh dikejar atau justru
ditinggalkan. Di sinilah bibit-bibit kejujuran Alî Ahmad Bâkatsîr menemukan
titik persimpangannya. Tekadnya yang kuat untuk mendalami sastra pula yang
sepertinya mendorong Alî Ahmad Bâkatsîr untuk keluar Hadramaut, dan
mencari sumber keilmuan lainnya, yang mendukung kecenderungan Alî
Ahmad Bâkatsîr akan sastra. Kegelisahan ini pula yang membawa Alî Ahmad

3
Jajat Burhanudin, "Islam dan Kolonialisme: Sayyid Usman dan Islam di
Indonesia Masa Penjajahan", dalam Studia Islamika, Vol. 22, No. 1, 2015, hal. 185-
208.
4
Fashihuddin Arafat, "Potret Kafa‘ah dalam Pernikahan Kaum Alawiyyin
Gresik (Pandangan Al Habib Husein Abdullah Assegaf)", dalam Miyah: Jurnal Studi
Islam, Vol. 15, No. 2, 2019, hal. 214-234.
5
A. S. Bujra, "Political Conflict and Stratification in Hadramaut", dalam
Middle Eastern Studies, Vol. 3, No. 4, 1967, hal. 355-375.

87
Bâkatsîr keluar Hadramaut dan memilih Hijâz sebagai pelabuhan keilmuan
berikutnya.6
Hadramaut mempunyai hubungan yang dekat dengan Hindia Belanda.
Di abad 19 hingga abad 20, banyak di kalangan Arab Hadrami yang
melakukan perjalanan pulang dari dan ke kampung halamannya ini. Kendati
beberapa orang Hadrami kerasan dan memutuskan untuk tinggal di kota-kota
di Hindia Belanda, namun hubungan mereka dengan sanak saudara yang ada
di negeri asal terus terjaga. Mereka juga mempunyai cara lain untuk
menyalurkan rasa rindu ketika mereka tidak memiliki cukup biaya untuk
pulang. Para keturunan Arab Hadrami mengembangkan seni budaya berupa
musik maupun tari di pemukiman-pemukimannya. Dalam acara-acara
tertentu, seperti pernikahan atau peringatan Hari Besar Islam, seni musik khas
Arab senantiasa menjadi hiburan yang ditunggu. 7 Bagi orang Hadrami sendiri,
seni merupakan saluran yang tepat untuk mengisi kala istirahat mereka dari
rutinitas harian sekaligus sebagai pengingat akan kampung halamannya. 8
Seni drama menjadi salah satu yang berkembang di pemukiman orang
Arab. Di tahun 1930-an, drama Arab menjadi salah satu tontonan yang
mengundang penonton yang banyak. Di samping sebagai hiburan, beberapa
kelompok Arab Hadrami menjadikan drama sebagai saluran kritik mereka
akan suatu pandangan politik, sosial, maupun kultural. Husein Bafagih, salah
seorang Arab yang pandai dalam kepengarangan dan menulis naskah drama
sekaligus anggota PAI (Persatuan Arab Indonesia) menulis suatu naskah
drama yang menggusarkan lingkungan hidup orang Arab Hadrami. Naskah
drama ini berjudul Fatimah.
Naskah Fatimah mengangkat isu tentang keterbelakangan kaum
perempuan keluarga Arab Hadrami. di banding laki-laki, Posisi mereka selalu
tidak diuntungkan karena hampir tidak mempunyai kesempatan untuk
mengutarakan pendapat maupun memenuhi haknya. Mereka selalu menjadi
korban suami mereka yang berlatar keturunan Arab. Di bidang pernikahan
umpamanya, keturunan Arab Hadrami diperbolehkan memilih calon
pengantinnya, baik itu dari kalangan orang Arab sendiri, maupun orang
pribumi. Sedangkan perempuan Arab tidak diperbolehkan dalam hal serupa.
Mereka hanya diizinkan menikah dengan sesama orang Arab Hadrami.
Kekhususan juga dialami perempuan Arab dari kalangan Sayyid. Mereka
hanya diperbolehkan menikah dengan laki-laki yang berlatar keluarga Sayyid.

6
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 28.
7
Alfathul Mukarram, "Identitas Budaya Musik Gambus Di Palembang",
dalam Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, Vol. 15, No. 1, 2017, hal. 9-23; Lihat
juga N. Nurdin, "Perkembangan Fungsi dan Bentuk Tari Zapin Arab di Kota
Palembang (1991-2014)", dalam Gelar: Jurnal Seni Budaya, Vol. 12, No. 2, 2014.
8
Victor Ganap, "Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian
Seni‖, dalam Humaniora, Vol. 24, No. 2, 2012, hal. 156-167.

88
Tidak ada tempat bagi laki-laki Arab Hadrami non-Sayyid atau pribumi.
Akibat pembatasan ini, banyak perempuan Arab Hadrami yang menjadi
perawan tua karena sulit memperoleh jodoh. Pada akhirnya, mereka akan
diperistri oleh orang Arab tua atau dalam sebutan lokal disebut ―bandot tua‖
yang kadang-kadang mempunyai istri lebih dari satu. Kegemaran ganti
pasangan yang tengah membudaya di kalangan orang Hadrami berusia senja
juga menjadi sasaran tembak Bafagih dalam karyanya.9
Keberanian Bafagih melabrak tradisi orang Arab Hadrami tidak bisa
dilepaskan dari pertentangan sosial, kultural dan politik di kalangan orang
Arab Hadrami sendiri. Antara tahun 1910 – 1945, orang Arab Hadrami
menghadapi problem yang sulit terkait keputusan mereka untuk memilih
dientitas negaranya. Sebagian orang Arab Hadrami mempunyai orientasi
bahwa Hindia Belanda hanyalah tempat untuk mencari rezeki, hasilnya
mereka akan bawa ke Hadramut. Terdapat suatu tradisi bahwa orang Hadrami
yang telah sukses di perantauan, diharuskan memberikan sebagian rezekinya
untuk sanak saudaranya di Hadramaut. Kelompok ini berpikir bahwa Tanah
Air utama mereka hanyalah Hadramaut. Umumnya mereka tidak mengamati
secara serius tentang geliat kaum pribumi yang sedang gigih memperjuangkan
kemerdekaan mereka.10
Husein Bafagih dinilai sebagai orang yang multitalenta. Ia merupakan
sosok keturunan Arab yang mampu keluar dari selubung kaku budaya Arab
Hadrami, serta berani menampilkan suatu kegiatan yang berbeda dengan
orang-orang dari lingkungannya sendiri, khususnya di bidang kepengarangan
dan penyajian drama. Drama atau tonil memang menjadi salah satu
keahliannya. Bafagih merasa, tonil merupakan sarana yang tepat untuk
menyuarakan suatu protes sosial. Fatimah adalah suatu pembuktian bagi
tumpahan kegelisahan Bafagih terhadap kaumnya yang menganggap diri lebih
baik dibanding kelompok lain, terlebih mereka yang mempunyai hubungan
dengan darah Nabi Muhammad. Penyampaian drama Fatimah menggunakan
bahasa Melayu Tinggi. Bahasa ini lebih halus digunakan ketimbang bahasa
Melayu lain yang digunakan dalam keseharian orang Indonesia. Di sini,
Bafagih ingin menegaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia merupakan
ikhtiar dari PAI untuk mengintegrasikan diri dalam arus besar budaya dan
kebiasaan orang Indonesia.11

9
Huub de Jonge, Mencari Identitas; Orang Arab Hadhrami di Indonesia
(1900 – 1950), (Jakarta: Gramedia, 2019), hal. 143 – 170.
10
Latifah Abdul Latiff dan Mohammad Redzuan Othman, "Hadhrami Sayyids
in Malaya, 1819-1940", dalam Jurnal Usuluddin, Vol. 38, 2013, hal. 147-170.
11
Nabiel A. Karim Hayaze, Kumpulan Tulisan dan Pmeikiran Hoesin
Bafahieh, Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan Arab, (Jakarta: Menara, 2017), hal.
31 – 36.

89
Di kalangan Arab Hadrami, penggunaan bahasa Indonesia hanya
sebagai alat percakapan sehari-hari. Jika bertemu dengan sesama orang
Hadrami, mereka akan menggunakan bahasa Arab. Di tengah euforia bangsa-
bangsa Indonesia yang gencar mengampanyekan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan dan alat perjuangan menghadapi kolonialisme Belanda,
sebagian orang Arab Hadrami memilih untuk bungkam akan hal itu. Mereka
tetap menggunakannya namun hanya sebatas formalitas pergaulan, bukan
sebagai alat politik apalagi memaknainya sebagai saran mengintegrasikan diri
pada persatuan semua suku bangsa, sebagaimana yang disosialisasikan
banyak tokoh-tokoh pendiri bangsa. Orang Arab Hadrami menganggap
Bahasa Arab sebagai bahasa mulia yang lebih terhormat ketimbang bahasa
lainnya. Apalagi jika keyakinan ini dipertautkan dengan jati diri Nabi
Muhammad yang merupakan seorang Arab yang menggunakan bahasa Arab,
tentu gengsi yang ditampilkan mereka semakin meninggi. 12 Kecongkakan
kesukuan ini menjadi salah satu sasaran utama tulisan dan tonil yang
ditampilkan Bafagih.
Sebagian orang Hadrami lainnya, utamanya yang bersimpati pada
kelompok PAI, dengan tiada keraguan memilih Hindia Belanda yang kelak
menjadi Indonesia sebagai Tanah Airnya. Mereka menyadari bahwa dirinya
lahir, berkehidupan hingga menutup hayat di negeri ini. Memperjuangkan
harkat dan martabat negeri yang mereka diami adalah suatu keharusan. Cerita
mengenai hubungan mereka dengan Hadramaut serta sanak saudara mereka di
sana tidak lantas dilupakan, namun bukan berarti mereka harus ikut memilih
Hadramaut sebagai Tanah Air mereka. Umumnya, kelompok ini bersimpati
dengan perjuangan kelompok masyarakat lainnya.13 PAI hadir sebagai wadah
para keturunan Arab Hadrami dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia sekaligus memberikan penyadaran bagi kalangan mereka sendiri
untuk mencoba memahami arti kebebasan Tanah Air, Hindia Belanda, yang
selama ini mereka jadikan tumpuan hidup.14
Dalam masa-masa sekitar Sumpah Pemuda, sekitar tahun 1920 – 1940,
banyak organisasi maupun kelompok masyarakat di Hindia Belanda yang
mencari identitas guna meneguhkan eksistensinya. 15 Sebagaian kalangan

12
R. Michael Feener, "Hybridity and the" Hadhrami Diaspora" in the Indian
Ocean Muslim Networks", dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 32, No. 3,
2004, hal. 353-372.
13
De Jonge, Mencari …, hal. 171 – 196.
14
Fida Amatullah dan Yon Machmudi, "Konflik Masyarakat dan Budaya
dalam Koran Terbitan Hadrami 1929–1935", dalam Jurnal Middle East and Islamic
Studies, Vol. 5, No. 1, 2018, hal. 67-83.
15
Keith Foulcher, "Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol
of Indonesian Nationhood", dalam Asian Studies Review, Vol. 24, No. 3, 2000, hal.
377-410.

90
berpandangan bahwa Bahasa Indonesia menjadi salah satu lambang utama
yang menjadi identitas itu. Bahasa menjadi sarana untuk memperkuat
persatuan bagi kelompok masyarakat Hindia Belanda yang beraneka ragam.
Memang, benih persatuan bukan hanya berasal dari hal itu an sich, melainkan
dimulai dari perkumpulan para pemuda sesuku atau sebangsa seperti Jong
Sumatran Bond, Jong Java maupun Jong Minahasa16, namun itu saja belum
cukup untuk mempersatukan aspirasi mereka, utamanya sebagai pembeda
bagi garis politik budaya dan bahasa yang digariskan pemerintah kolonial.
Dengan Bahasa Indonesia, maka manifesto perlawanan dapat digalang,
utamanya di bidang percakapan sehari-hari dan bukti adanya identitas
bersama 17 sebagai pembeda dari percakapan dengan Bahasa Belanda yang
gigih diperkenalkan pemerintah kolonial sebagai alat pemecah belah,
menciptakan kelas berbahasa Belanda yang lebih tinggi dibanding mereka
yang tidak bisa berbahasa Belanda.18
Kehadiran para Hadrami perantauan ke negeri asalnya tentu
menumbuhkan berbagai pergumulan tersendiri. Umumnya, mereka akan
mengunjungi sanak saudara mereka, lantas membantu kaumnya yang
kesejahteran hidupnya belum tercapai. Yang lain, akan menggunakan waktu
kedatangannya untuk membentuk keakraban yang lebih intim dengan istri dan
anak-anaknya. Beberapa perantau Hadrami meninggalkan istri dan anaknya di
negeri asal. Yang lain, ada yang segera tenggelam dalam rutinitas merenovasi
rumahnya, atau ada yang mulai berpikir untuk membeli lahan yang dapat
diolah dan menghasilkan keuntungan. 19
Tidak menutup kemungkinan, ada di antara perantau Hadrami yang
pernah berjumpa dengan Alî Ahmad Bâkatsîr. Tidak bisa dipungkiri,
keterkaitan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan Surabaya, kota kelahirannya, memang
tidak terlalu besar. Namun, ia tentu tidak bisa menampik bahwa saudara-
saudaranya, banyak yang masih berdiam di kota itu, atau wilayah lain di
Nusantara. Pertemuan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan para perantau ini, mulanya
tentu didorong oleh keinginan memperoleh kabar dari sanak saudara, lantas
akan bergulir pada pembicaraan-pembicaraan lain, semisal masalah politik,
ekonomi, sosial maupun budaya. Besar kemungkinan, dari dialog ini Alî
Ahmad Bâkatsîr juga mulai mengenal berita bahwa komunitas Arab di Hindia
Belanda, dan mengembangkan aneka jenis tradisi dan kebudayaan, termasuk

16
Sutejo K. Widodo, "Memaknai Sumpah Pemuda di Era Reformasi", dalam
Humanika, Vol. 16, No. 9, 2012.
17
Sutan Takdir Alisjahbana, "The Indonesian Language-By-product of
Nationalism‖, artikel, 1949, hal. 388-392.
18
J. Joseph Errington, "On the Ideology of Indonesian Language
Development: The State of a Language of State", dalam Pragmatics, Vol. 2, No. 3,
1992, hal. 417-426.
19
De Jonge, Mencari …, hal. 13 – 16.

91
di bidang kepengarangan. Berita mengenai adanya drama seperti Fatimah
yang teks dramanya ditulis oleh Husein Bafagih, bukan tidak mungkin pernah
pula didengar oleh Alî Ahmad Bâkatsîr, bahkan tidak menutup kemungkinan
menjadi inspirasi Alî Ahmad Bâkatsîr untuk membuat naskah drama di hari
kelak. 20
A. S. Bujra mengingatkan bahwa antara 1905 sampai 1940-an,
masyarakat Hadramaut menghadapi krisis politik. Kelompok Sadah (Sayyid)
dan kelompok non-Sadah (non-Sayyid) terlibat perbedaan pandangan
keagamaan dan sosial. Kelompok non-Sadah mengkritik eksklusivitas yang
ditunjukkan kelompok Sadah yang terlihat dalam hukum perkawinan antara
golongan mereka, kewajiban untuk memuliakan Sadah seperti memuliakan
kakek mereka, Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Beberapa penulis
berdarah Hadrami yang ada di Hindia Belanda dan Mesir saling berbalas opini
terkait masalah ini.21 Kelihatannya, Alî Ahmad Bâkatsîr tidak terlibat dalam
masalah ini. Meskipun ia berasal dari kalangan non-Sadah, kecenderungan
tentang konflik ini bukan menjadi sesuatu yang dianggap serius olehnya.
Bankole Ajibabi Amotoso mengungkapkan suatu temuan yang menarik
dari diri Alî Ahmad Bâkatsîr. Sesungguhnya, ia tidak benar-benar mencinati
Tanah Airnya, Hadramaut. Lebih jauh, Alî Ahmad Bâkatsîr banyak
melontarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait struktur sosial
Hadramaut yang serba kastais, di mana kelompok Sayyid menjadi golongan
yang berada di atas awan karena kesucian darahnya, lantas kelompok non-
Sayyid harus menghormati mereka, tanpa syarat. Ini adalah suatu
ketidaknyamanan dalam bermasyarakat. Ingatan masa kecil Alî Ahmad
Bâkatsîr di Surabaya, setidaknya menemukan dinding tebal tatkala
menyaksikan fenomena masyarakat Hadramaut yang dalam beberapa segi,
berbeda jauh dengan yang ada dalam kenangannya. Di sini, semua serba
terikat dengan golongannya. Mereka menjalankan fungsi sosial dan formal
sesuai kadar yang ditentukan oleh para pendahulu mereka. Ini menjadi suatu
kehidupan yang amat membosankan, sehingga ikut mendorong Alî Ahmad
Bâkatsîr agar segera pindah dari tempat leluhurnya.22
Ibrahim Ali al-Shami meyakini bahwa di Hadramaut, tepatnya di
Seiwun, Alî Ahmad Bâkatsîr menekuni bidang sastra untuk pertama kali. Saat
itu, usianya menginjak 13 tahun. Ia tinggal di tengah masyarakat Seiwun yang
mempunyai kecenderungan yang tinggi pada sastra Arab. Lingkungan tempat
tinggalnya akrab dengan kegiatan membuat puisi. Alî Ahmad Bâkatsîr
mempelajari dengan seksama suasana tersebut, hingga akhirnya ia
memberanikan diri menulis puisi. Pada 3 Februari 1925, ayah Alî Ahmad
Bâkatsîr meninggal. Alî Ahmad Bâkatsîr mencurahkan kesedihannya dengan
20
Bankole, Ali Ahmad .., hal. 28.
21
Bujra, "Political …‖, hal. 2-28.
22
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 37

92
menulis puisi elegi penuh emosi sebanyak lebih dari 70 baris. Tidak bisa
dipungkiri, lingkungan Seiwun ikut membentuk karakter sastrawan dalam diri
Alî Ahmad Bâkatsîr. Pendapat al-Shami ini seakan menantang pandangan
Bancole Omotoso yang tidak mempunyai cukup data menjelaskan kehidupan
Alî Ahmad Bâkatsîr selama di Hadramaut.23
Ketika Alî Ahmad Bâkatsîr memutuskan akan ke Hijâz untuk menimba
ilmu pengetahuan, setidaknya ia sudah mempunyai pemahaman tentang
drama di Hindia Belanda. Meskipun ia belum mempunyai kesempatan untuk
menulis teks naskah sendiri, namun ketertarikan itu telah tumbuh. Memang,
tidak serta merta seorang yang mempunyai kecenderungan dalam bidang
sastra, dapat menulis karya serupa dalam waktu dekat. Terdapat rentang
waktu yang relatif panjang, bisa pula pendek, sehingga dirinya mempunyai
keberanian untuk menuliskan karyanya sendiri. Mereka membutuhkan waktu
dalam pembacaan dan pemaknaan model-model penyajian sastra itu sendiri,
di samping memahami gagasan si penulis sastra tersebut.24
Hijâz menjadi kota yang relatif terbuka bagi perkembangan sastra Alî
Ahmad Bâkatsîr. Di kota ini, ia memperoleh beberapa novel berbahasa Arab
modern salah satunya yang ditulis oleh Naguib Mahfouz. Alî Ahmad Bâkatsîr
terkesima dengan model penyajian Mahfouz, yang telah mengadopsi model
bercerita a la sastrawan besar Eropa namun dengan racikan bahan kisah yang
berlatar lingkungan budaya orang Arab. Tidak bisa dipungkiri, karya Mahfouz
cukup menjadi sumber imajinasi bagi Alî Ahmad Bâkatsîr dalam membentuk
seni berpikir dan kejiwaannya sehingga ikut mempengaruhi cara cipta Alî
Ahmad Bâkatsîr akan suatu karya sastra di kemudian hari.25
Naguib Mahfouz (Najib Mahfuz) dilahirkan pada 1911 di Kairo. Sejak
usia 17 tahun, ia sudah menulis. Novel pertamanya diterbitkan pada 1939 dan
seterusnya lebih dari 10 buah yang diterbitkan sebelum Revolusi Mesir pada
Juli 1952. Di waktu itu, ia berhenti menulis selama beberapa tahun ke depan.
Satu novel diterbitkan ulang pada 1953 dan 1957. Mahfouz dikenal sebagai
ahli yang mampu menjelaskan keadaan masyarakat urban Arab melalui tiga
novelnya (dikenal juga dengan Trilogi Kairo) yakni Bayn al-Qasrayn, Qasr
al-Shawq dan Sukkariya (Between the Palaces, Palace of Linging dan
Sugarhouse). Pada 1959, Ia menulis Aulad Harakatina (The Children of
Gebelewi atau judul aternatifnya The Children of Our Alley). Sejak itu, ia
mulai rutin menulis lagi. Mahfouz merupakan penulis yang gemar
mengangkat latar belakang politik dibalik permainan alegori dan simbolisme
dalam ceritanya. Dalam periode kepengarangan keduanya, Mahfouz

23
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 28.
24
Heila Lotz-Sisitka dan Jane Burt, "Being Brave: Writing Environmental
Education Research Texts", dalam Canadian Journal of Environmental Education,
Vol. 7, No. 1, 2002, hal. 132-151.
25
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 35.

93
menerbitkan sejumlah novel, di antaranya Thief and the Dogs (1961), Autumn
Quail (1962), Small Talk on the Nile (1966) dan Miramar (1967). Di samping
itu, ia juga mengisi hari-harinya dengan menulis beberapa koleksi kisah-kisah
pendek.
Sampai dengan 1972, Mahfouz dipercaya menduduki sejumlah jabatan
sipil. Pertama, di Kementerian Dana Abadi, sebagai direktur di lembaga
Sensor yang termasuk kewenangan Biro Keseniaan, sebagai direktur di suatu
lembaga perfilman, dan sebagai konsultan kebudayaan di Kementerian
Kebudayaan. Setelah pensiun dari birokrasi Mesir, ia banyak menghabiskan
waktu dalam kepengarangannya. Ia menapaki diri sebagai simbol sastra
Mesir, setidaknya bagi yang mengakuinya demikian. Ia dikenal sebagai sosok
yang menulis setidaknya 30 novel, lebih dari seratus cerita pendek, dan lebih
dari dua ratus artikel. Setengah dari novelnya diadaptasi ke layar lebar, dan
selalu menjadi film yang ditunggu di negara-negara penutur Bahasa Arab. Di
Mesir, hampir setiap even budaya serta diskusi-diskusi sastra hampir tidak
pernah melewatkan namanya. Nama Mahfouz bahkan sering disebut mulai
Gibraltar sampai dengan negara-negera Teluk.26
Naguib Mahfouz sendiri sudah merangkak menjadi salah satu
sastrawan besar Arab modern ketika Alî Ahmad Bâkatsîr sedang berada di
Hijâz. Mahfouz mampu mengintrodusir kehidupan sosial politik Mesir di
permulaan abad 20 sebagai bahan yang menarik dan perlu untuk disampaikan
ke khalayak. Tidak bisa dipungkiri, gaya sastra Mahfouz sebenarnya juga
dipengaruhi oleh sastrawan besar Eropa yang hidup di era-era sebelumnya.
Karya-karya sastra Prancis semisal Germinal tulisan Emile Zola27, Madame
Bovary karya Gustave Flaubert28 atau karya-karya Mark Twain29, Joseph
Conrad30 dan lain sebagainya menjadi bahan-bahan bacaan yang lumrah
dijumpai di Mesir sehingga tidak aneh kiranya, jika Mahfouz terinspirasi dari
karya-karya tersebut.31

26
https://www.nobelprize.org/prizes/literature/1988/mahfouz/biographical/,
diunduh pada 11.10 WIB, Selasa, 10 Desember 2019.
27
Lebih lanjut lihat Emile Zola, Germinal, (London: Penguin, 2014)
28
Lebih lanjut lihat Gustave Flaubert, Madame Bovary, (London: Bantam
Classics, 1981).
29
Salah satu novel Mark Twain adalah Mark Twain, Adventures of
Huckleberry Finn. Vol. 20, (California: University of California Press, 2003).
30
Lebih lanjut lihat Joseph Conrad, The Cambridge Companion to Joseph
Conrad, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996)
31
Mengenai peredaran buku-buku penulis Barat di Mesir lihat Elisabeth
Kendall, Literature, Journalism and the Avant-Garde: Intersection in Egypt,
(London: Routledge, 2006)

94
Novel-novel Naguib Mahfouz banyak yang membicarakan tentang
kehidupan dirinya sendiri di Jamaliyya, tempat kelahirannya. Beberapa novel
masterpiece-nya seperti Trilogi Kairo, yakni Children of Gebelawi, Fountain
and Tomb dan the Epic of Harafish, mengambil set di Jamaliyya, dan
berbicara kehidupan seorang pemuda di kota ini dengan berbagai macam
pergumulan sosial serta problem hidupnya. Mahfouz mempunyai kenangan
yang baik dan istimewa tentang tempat kelahiran dan kehidupannya semasa
kecil, sehingga ia menjadikan itu sebagai inspirasi bagi karya-karyanya.
Ingatan itu kemudian diolah sedemikian rupa oleh Mahfouz dengan
penokohan dan alur cerita yang kompleks dan menampilkan kehidupan
seorang anak manusia yang lekat dengan kehidupan khas masyarakat urban
Mesir.32
Bagi para pembaca Mahfouz, tentu tidak akan melewatkan suatu karya
yang membawa sastrawan Mesir ini ke era kegemilangannya, yang berjudul
Aulad Haratina (Children of Gabelawi). Melalui karya ini, Mahfouz ingin
mengetengahkan budaya patriarki yang kuat menghujam dalam keseharian
orang Arab di Mesir. Perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua, yang
kedudukannya selalu berada di bawah laki-laki. Suara mereka tidak didengar,
eksistensi mereka ada namun dianggap tidak ada. Harkat feminisme tidak
lebih hanya sekedar aib yang harus ditutupi. Mahfouz berupaya membongkar
paradigma itu melalui pandangan-pandangan kesetaraan gender yang
disisipkan melalui dialog-dialog para tokoh di dalamnya. Tidak bisa
dipungkiri, novel ini menjadi pembuka dan penyadar bangsa Arab sehingga
mereka memperoleh wawasan baru yakni pemulyaan kepada hakikat
perempuan. Novel ini sempat dibredel di Mesir karena membicarakan sesuatu
yang tabu dan cenderung melawan adat dan tradisi yang telah terbangun di
Mesir.33
Alî Ahmad Bâkatsîr tentu tidak melewatkan novel Aulad Haratina
dalam pengembaraan intelektualnya. Bukan tidak mungkin, karya ini menjadi
pemberi informasi baru akan suatu perspektif feminisme yang mulai
dikenalnya. Tidak bisa dipungkiri, isu ini sedemikian tertutup dalam budaya
masyarakat Arab, sehingga untuk menyampaikannya saja, dibutuhkan energi
yang besar dan kesabaran yang tinggi. Masyarakat Arab tentu saja dibuat
tidak senang dengan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan. Bahkan,
penolakan bisa saja juga muncul dari kalangan perempuan sendiri, yang
merasa bahwa kedudukan mereka memang sudah demikian diatur dalam adat
istiadat dan bukan merupakan sesuatu yang harus dipertentangkan. Akan
muncul dalih bahwa isu itu hanya dihembuskan oleh para emansipator Barat

32
Rasheed El-Enany, Naguib Mahfouz: the Pursuit of Meaning, (London:
Routledge, 2003), hal. 1 – 6.
33
Ida Nursida, "Isu Gender dan Sastra Feminis dalam Karya Sastra Arab;
Kajian Atas Novel Aulad Haratina karya Najib Mahfudz", dalam Alfaz (Arabic
Literatures for Academic Zealots), Vol. 3, No. 1, 2015, hal. 1-35.

95
yang memang menyasar budaya dan tradisi Arab lama yang dianggap telah
lapuk, tidak relevan serta sumber segala ketidakadilan humanis. Terlepas dari
itu, Alî Ahmad Bâkatsîr tentu menaruh perhatian yang besar terhadap karya
ini, setidaknya ia memahami semesta berpikir Mahfouz, dari karya ini. Jika
dipertautkan, nuansa pembebasan yang dikemukakan Mahfouz dalam novel
ini mempunyai kemiripan dengan keinginan untuk terbebas dari kungkungan
budaya Arab Hadrami yang serba ketat. Sesuatu yang memang menjadi
inspirasi Alî Ahmad Bâkatsîr melahirkan karya-karyanya.
Pandangan Alî Ahmad Bâkatsîr tentang perempuan mirip dengan upaya
yang dihadirkan Mahfouz dalam novelnya di atas. Alî Ahmad Bâkatsîr
menghargai perempuan sebagaimana ia menghormati laki-laki. Perempuan
mempunyai hak untuk beraktivitas di luar rumah. Saat mereka bekerja dan
belajar, kedudunya tidak sedikitpun berada di bawah laki-laki. Mereka setara.
Uniknya, Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok sastrawan yang mempunyai
disiplin yang tinggi terhadap perintah-perintah agama Islam. terdapat
sejumlah hukum Islam yang memang mendahulukan kepentingan laki-laki
ketimbang perempuan, seperti tergambar dalma hukum waris. Alî Ahmad
Bâkatsîr terlihat tidak ingin terhanyut pada pandangan hukum Islam yang
lebih mendudukkan laki-laki ketimbang perempuan. Ia memilah hukum itu,
menelaahnya, lantas melihat relevansi dengan konteks tertentu. Untuk kasus
Mesir, seorang perempuan yang lebih memilih beraktivitas di luar dan
menitipkan anaknya pada pengasuh menjadi suatu pilihan yang layak
dihormati. Kota ini membutuhkan tenaga perempuan, sama besarnya dengan
tenaga laki-laki.34
Dalam novelnya yang berjudul al-Tsâir al-Ahmar (Red Rebel), Alî
Ahmad Bâkatsîr mengeksploitasi peran perempuan dalam karakter Aliyah
sebagai perempuan yang serba bisa. Ia dikenalkan sebagai seorang perempuan
yang gigih bekerja di suatu peternakan. Di tengah perebutan dominasi
sosialisme dan kolonialisme, Aliyah bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Di masa ketika novel ini diterbitkan, perempuan bekerja keras di ruang
terbuka merupakan aib yang tidak bisa dibiarkan serta dianggap menyalahi
kodrat. Bukan hanya itu saja, Aliyah juga digambarkan sebagai pribadi yang
relijius. Ia kerap membaca al-Quran dan diceritakan selalu dekat dengan al-
Quran saat dirinya sedang dirundung kedukaan. Alî Ahmad Bâkatsîr juga
melengkapi karakter Aliyah dengan gambaran bahwa perempuan juga
merupakan agen perubahan politik. Hal ini juga merupakan ketidaklaziman,
mengingat lapangan politik menjadi ladang yang digeluti laki-laki.35

34
Ibrahim Ali Al-Shami, "The Portrayal of Woman in Ali Ahmad Bakathir's
Literary Works", dalam International Journal of Scientific and Research
Publications, Vol. 6, No. 5, 2016, hal. 305 – 306.
35
Ibrahim, ―The Portrayal …‖, hal. 308.

96
Di samping Naguib Mahfouz, Alî Ahmad Bâkatsîr juga membaca
sejumlah karya sastra Ahmad Syawqi. Bankole Ajibabi Omotoso
menyebutkan bahwa syair-syair Ahmad Syawqi termasuk yang digandrungi
oleh Alî Ahmad Bâkatsîr muda. Ia akan membaca syair itu berkali-kali.
Kelihatannya, syair sastrawan Mesir ini menjadi salah satu inspirasi bagi Alî
Ahmad Bâkatsîr dalam menulis karya-karyanya.36
Ahmad Syawqi dilahirkan di Kairo pada 1868. Ia berasal dari keluarga
yang cukup kaya sehingga ia mampu memperoleh pendidikan yang tinggi.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Syawqi berangkat ke
Prancis untuk mendalami studi hukum dan sastra. Di tengah-tengah masa
belajar inilah, ia gemar mengunjungi teater-teater sastra di Prancis. Suatu
kegiatan yang amat memperngaruhi karirnya sebagai sastrawan. Syawqi
berguru kepada seorang guru bahasa Arab di Kairo bernama Muhammad
Rajab al-Bayumi. Sang guru mengetahui bahwa Syauqi mempunyai keinginan
yang tinggi untuk menulis syair Arab. Oleh sebab itu, ia merasa terdorong
untuk mengkader Syawqi sebagai sastrawan yang mempunyai jiwa cipta yang
tinggi. Sejak itu, ia kerap diajak gurunya untuk menghadiri diskusi-diskusi
sastra dan budaya di sekitar Kairo.
Syawqi menulis banyak syair dan mengumpulkan dalam bentuk buku
yang diberi judul al-Syauqiyyat. Ia terus menulis syair dan mengumpulkan
syair-syairnya dalam buku ini hingga mencapai empat jilid. Syair-syair
Syawqi banyak bertemakan tentang cita-cita bangsa Arab, kemerdekaan serta
ketidaksetujuan pada kehadiran bangsa Barat di negeri-negeri Arab. Syair-
syair ini dikonsumsi oleh para politikus-politikus yang di kemudian hari
banyak berperan sebagai pejuang kemerdekaan di masing-masing negeri
Arab. Dalam dunia sastra Arab, ia dikenal sebagai sastrawan Arab modern. Ia
diyakini merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan teater di Dunia
Arab dan penggubah naskah-naskah drama berbahasa Arab.37
Saat berada di Hijâz, hari-hari Alî Ahmad Bâkatsîr dipenuhi dengan
mengkaji sejumlah ilmu agama, namun juga menyibukkan diri dalam
pembacaan karya-karya sastra. Ia harus berbagi waktu dengan istrinya. Segala
kebutuhan harian Alî Ahmad Bâkatsîr, disiapkan oleh sang istri, sosok yang
amat dikasihi Alî Ahmad Bâkatsîr. Di kemudian waktu, takdir berkata lain.
Alî Ahmad Bâkatsîr harus rela kehilangan istrinya di Tanah Suci ini. Ratapan
tangis dan jiwa hancur Alî Ahmad Bâkatsîr mengiringi pemakaman istri Alî
Ahmad Bâkatsîr. Momen ini adalah masa tersulit bagi Alî Ahmad Bâkatsîr,
karena di tengah pengembaraan intelektual yang melelahkan, ia harus
kehilangan pelipur lara terpenting dalam hidupnya. Alî Ahmad Bâkatsîr pun

36
Rahmat Hidayat, "Pandangan Dunia dalam Naskah Drama Harut wa Marut
Karya Ali Achmad Bakatsir", dalam Jurnal CMES, Vol. 7, No. 1, hal. 30-35.
37
Bahrudin Achmad, Sastrawan Arab Modern, (Jakarta: Guepedia, 2019), hal.
69–70.

97
jatuh dalam kesedihan. Hari-harinya dipenuhi dengan kesenduan dan rasa
patah hati yang mendorongnya ke kehidupan asosial. 38
Kematian istri Alî Ahmad Bâkatsîr amat membekas dalam jiwa Alî
Ahmad Bâkatsîr. Setelah beberapa waktu, ia mencoba ikhlas dan memugar
kepercayaan dirinya. Rupanya, setelah beberapa waktu hanyut dalam
renungan, Alî Ahmad Bâkatsîr menemukan energi besar yang datang dari
lubuk jiwanya. Rasa kehilangan belahan jiwa dalam diri Alî Ahmad Bâkatsîr
berevolusi menjadi dorongan kuat untuk menciptakan sesuatu. Alî Ahmad
Bâkatsîr dibuat risau akan perubahan drastis dalam jiwanya. Ia merasa bahwa
kegalauan ini harus ditumpahkan, dan ia mulai menimbang untuk mengalirkan
derasnya alur kesenduan ini dalam karya satsra. Hijâz menjadi awal
kepengarangan Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia mulai menuliskan sajak, prosa, puisi
berkaca pada kisah sedihnya ditinggal mati sang istri. Dalam hal ini, istri Alî
Ahmad Bâkatsîr menempati posisi penting sebagai pihak yang memberikan
inspirasi besar dan dorongan agar Alî Ahmad Bâkatsîr bukan hanya menjadi
penikmat karya-karya sastra yang semula dibacanya, melainkan mulai
memberanikan diri dalam menciptakan karya sastra sendiri.
Dalam dunia sastra Arab, posisi perempuan sebagai sumber sastra
bukan menjadi sesuatu yang jarang ditemui. Di tengah budaya patriarki Arab
yang ketat, di masa ketika dunia maskulinitas selalu berada di atas dunia
feminim, rupanya tidak menyumbat imajinasi sastrawan dalam
mengungkapkan kekagumannya atau bahkan mengutarakan rasa perihnya
akan perbuatan perempuan. Salah seorang sastrawan modern Arab lainnya,
Kahlil Gibran, banyak menjadikan perempuan sebagai sumber inspirasi karya-
karya sastranya. Surat-surat Gibran pada Mai Ziadeh dianggap sebagai salah
satu bukti ketertarikan Gibran pada perempuan. Aneka sanjung, pujian dan
perlambang betebaran di hampir di setiap surat ini, seakan ingin menunjukkan
bahwa Ziadeh adalah keindahan yang pantas untuk dibicarakan melalui kata-
kata yang puitis. 39
Tidak bisa dipungkiri, Hadramaut dan Hijâz merupakan pelabuhan ilmu
agama yang penting bagi para pengkaji dari seluruh dunia Islam.40 mereka
yang belajar di sana, bukan hanya mendalami hukum Islam, melainkan juga
mempelajari pengetahuan akan sesuatu yang lebih dalam, yakni ilmu tentang
hakikat, pembiasaan diri pada laku prihatin, sabar dan menerima keadaan
yang ada padanya. Oleh sebab itu, penghayatan akan ilmu agama semacam ini

38
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 28.
39
Wafa Stephan, "The Personality of Khalil Gibran: A Psychological Study of
His Life and Work", dalam Al-Raida Journal, 1983, hal. 7-9.
40
Ismail Suardi Wekke, "Arabian Society in Kaili Lands, Central Sulawesi:
Arabic Education and its Movement", dalam Tawarikh, Vol. 7, No. 1, 2015; Lihat
juga Sally Findlow, "Islam, modernity and education in the Arab States", dalam
Intercultural Education, Vol. 19, No. 4, 2008, hal. 337-352.

98
agaknya mmepengaruhi cara pandang Alî Ahmad Bâkatsîr untuk memilih
tema-tema sosio-keagamaan dalam budaya Arab sebagai objek sastranya.
Identitas kearaban dan keislaman Alî Ahmad Bâkatsîr banyak ditempa di dua
tempat ini. Adapun unsur-unsur Barat dalam karya sastranya, sebagaimana
yang ditemukan ketika ia berdiam di Mesir, merupakan tambahan yang tidak
sampai merusak batang pokok pemikirannya yang bersandar pada tema-tema
keislaman dan kearaban.
Martin van Bruinessen mengungkapkan bahwa Hijâz, khususnya
Mekkah, menjadi kiblat keilmuan Dunia Islam yang penting di abad 20.
Banyak pelajar dari seluruh dunia berangan-angan dapat melabuhkan
pencarian ilmunya hingga ke sini. Bagi orang dari Nusantara, sampai di
Mekkah bukan hanya berarti kesempatan menambah ilmu agama, namun juga
merengkuh legitimasi keilmuan. Untuk itu, mereka rela melakukan perjalanan
panjang dengan kapal layar, melewati rute-rute pelayaran yang
membahayakan hidupnya dan berada dalam masa penantian angin yang akan
membawa layar kapalnya ke tujuan. Itu semua dilakukan untuk sampai ke
lokus yang dianggap sebagai pusat ilmu-ilmu keislaman berada. Di sana
mereka bebas dan leluasa memilih segala macam ilmu agama yang
dianggapnya menarik. Para pelajar hukum Islam akan berguru pada syekh
yang menekuni bidang itu. Para pencari ajaran ketenangan hidup dan sarana
pendekatan diri pada Tuhan maka akan mendatangi para syekh yang
menekuni bidang tasawwuf. Bagi mereka yang ingin menyambungkan diri
dalam suatu ordo kesufian yang khusus (tarekat) maka ia pun akan leluasa
memilih mursyid (syekh pembina tarekat).41
Pandangan Van Bruinessen yang serba romantik, justru disanggah oleh
Abdullah yang menyatakan bahwa pada periode 1900 sampai 1930, Mekkah
bukan merupakan tempat yang aman bagi para pencari ilmu. Pada kurun
waktu tersebut, Mekkah tengah mengalami perubahan iklim politik, karena di
satu sisi kekuasaan Turki Usmani atas wilayah Hijâz melemah, dan para tokoh
politik lokal yang berasal dari suku-suku sekitar Hijâz saling berebut
pengaruh untuk menguasai Mekkah dan Madinah. Pada 1912, Abdul Azîz bin
Saûd memproklamirkan diri sebagai penguasa Nejd yang merdeka dari Turki
Usmani, ia mulai melakukan penyebaran kekuasaan ke kota-kota penting di
Semenanjaung Arab. Berita mengenainya cukup mengganggu keamanan di
Hijâz sehingga menyebabkan para pencari ilmu menkhawatirkan
keamanannya. Hukum Islam yang diterapkan di Mekkah juga berada dalam
keadaan yang terombang ambing sehingga memperkeruh keadaan di
Mekkah. 42

41
Martin Van Bruinessen, "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang
Nusantara Naik Haji", dalam Ulumul Quran, Vol. 2, No. 5, 1990, hal. 42-49.
42
Abdullah, Abdullah, "Perkembangan Islam di Arab Saudi.", dalam Jurnal
Ilmiah Al-Jauhari: Jurnal Studi Islam dan Interdisipliner, Vol. 4, No. 1, 2019, hal.
152-171.

99
Alî Ahmad Bâkatsîr memiliki perhatian yang sedikit di dunia politik
lokal Hijâz maupun Hadramaut. Besar kemungkinan ia masih menyibukkan
hari-harinya dengan menelaah sejumlah ilmu agama di dua kota tersebut.
Periode ini menjadi penting dalam perjalanan sastra dan kepengarangan Alî
Ahmad Bâkatsîr. Tema-tema agama yang kerap digunakan untuk menulis
drama maupun puisinya terbentuk di kesempatan belajar di dua kota itu.
Kendati Alî Ahmad Bâkatsîr belum menulis karya-karya yang monumental
ketika masih berada di dua kota ini, setidaknya kecenderungan untuk
mengupas masalah agama dan menghadirkannya dalam forma-forma sastrawi
mulai terbentuk di ruang imajinatifnya.
Ibrahim Ali al-Shami mengungkapkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
meninggalkan Hijâz dalam keadaan hati yang hancur akibat kematian istrinya.
Kebiasaan intelektualnya terbengkalai. Ia baru dapat memugar kesadarannya
kembali saat ia berada di Aden dan berjumpa dengan Ali Muhammad
Luqmân. Sepertinya, perjumpaan ini menjadi pembicaraan yang mendalam
terkait bagaimana Alî Ahmad Bâkatsîr berjuang menatap kehidupan ke depan,
dan berupaya mengkonversikan rasa kehilangan akan istrinya ke dalam energi
untuk memperbaiki diri menjadi seorang sastrawan yang kembali bergeliat.
Saat itu, Ali Muhammad sudah dikenal sebagai salah satu sastrawan
terkemuka di Aden, dengan demikian ia menjadi lawan bicara yang sepadan
bagi Alî Ahmad Bâkatsîr, terlebih keduanya dipertautkan dengan gagasan
sastra yang hampir sama, terutama dalam fokus mereka memandang realita
masyarakat Yaman. Keduanya terlibat dalam penerbitan dua kumpulan puisi
yang setelah diterbitkan berjudul The Magic of Aden dan The Pride of
Yemen. 43
Muhammad Ali Luqmân (1898 – 1966) adalah salah seorang tokoh
sastra dari Semenanjung Arab yang terkenal di masanya. Ia adalah penerang,
penulis, aktivis sosial dan jurnalis pada awal abad 10. Ia dilahirkan pada 6
November 1898 di Aden Inggris (British Aden). Di negeri ini, ia
menghabiskan masa studi tingkat dasar hingga tingkat menengah atas. Pada
1922, Luqmân menerima sertifikat Senior Cambridge di bidang pendidikan.
Antara 1924 hingga 1928, Luqmân bekerja di Adeni School Administration.
Dalam masa kerja ini, ia menerbitkan buku pertamanya yang mengupas
tentang sistem pendidikan di Aden sebagai salah satu koloni Inggris. Pada
1936, Luqmân bertolak ke India untuk menekuni studi hukum. Ia lulus dari
Universitas Mumbai pada 1938, ia kembali ke Aden dan bekerja untuk Aden‘s
British-administered court. Saat itu, ia menjadi hakim pertama yang
berlatarbelakang suku bangsa Arab di Yaman Selatan.44

43
Ibrahim, ―The Portrayal …‖ , hal. 304.
44
https://forumluqman.org/muhammad-ali-luqman/, diunduh pada pukul 14.22
WIB, Senin, 9 Desember 2019.

100
Pada 1929, Luqmân membentuk suatu komite yang menyelenggarakan
suatu pertunjukan drama Arab pertama di Aden. Beberapa waktu kemudian, ia
menulis naskah drama berjudul Cinta Sang Komandan (The Love of
Commander) yang ditampilkan pada 1933. Ia juga menerbitkan sejumlah seri
puisi. Novelnya yang berjudul Saeed (diterbitkan pada 1939) merupakan
novel kedua yang situlis orang Yaman. Novel pertama, berjudul Fatât Qârut
(Gadis Darut) ditulis oleh Ahmad Abdullah al-Saqqâf (meninggal pada 1950)
pada 1928. Pada novel Luqmân lainnya, yang berjudul Jejak Kesakitan (The
Path of Pain), dikemukakan model perkembangan model narasi gaya Yaman.
Sejak 1940, Luqmân telah menerbitkan surat kabar independen berbahasa
Arab di Semenanjung Arab bernama Fatat al-Jazeera. Ia pernah menulis
suatu artikel berjudul The Girl of Peninsula dalam bahsa Inggris, yang
menunjukkan ketidakpercayaannya akan komitmen emansipasi wanita,
khususnya di bidang pendidikan.
Beberapa karya tulis Luqmân lainnya adalah; Hal Hadzih Qassâsah wa
Ruqiyyah (1923), Bimâdzâ Taqaddam al-Gharbiyyûn? (1932), Jaulah fî Bilâd
al-Sûmâl wa al-Habasyah (1934), Risâlah Rajab, Al-Sya‟b al-Barîtânî (1940),
Ard al-Zâhir (1945), Intisâr al-Fikr fî al-Tsaurah al-Faransiyyah al-Kubrâ
(1947), Qissah al-Dustûr al-Lahjî (1952), „Adn Tatlub al-hukm al-Dzâtî
(1954), Qissah al-Tsaurah al-Yamaniyyah (1962) dan banyak artikel yang
diterbitkan di surat kabar Fatat al-Jazeera.45
Perjumpaan dengan Alî Muhammad Luqmân adalah sesuatu yang
istimewa bagi Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia tidak saja terbebaskan dari belenggu
kesedihan akibat ditinggal mati istrinya, namun juga banyak memperoleh
wawasan baru tentang perkembangan sastra di dunia Arab kontemporer.
Melihat pada rekam jejak Luqmân yang juga merupakan penulis naskah
drama, bukan tidak mungkin, Alî Ahmad Bâkatsîr juga mempelajari materi
pembuatan naskah drama dari sosok Luqmân. Bagaimanapun, terdapat teknik-
teknik atau ketentuan dasar dalam menyusun cerita serta dialog dalam teks
drama yang harus diketahui. Perjumpaan dengan Luqmân menjadi hari-hari
yang menyibukkan, karena Alî Ahmad Bâkatsîr memperhatikan bagaimana
Luqmân menyusun naskah drama, sembari menanyakan hal-hal yang tidak
dimengerti langsung pada penyusun naskahnya. Dialog yang terjalin antara
keduanya seperti mentor yang memberikan materi pada muridnya.
Pengetahuan sastra Alî Ahmad Bâkatsîr menemukan perubahan dan
pengayaan ketika ia sampai di Mesir. Iklim intelektualitas yang baik serta
banyak kaum intelektual yang berpikiran terbuka, membuat pribadi Alî
Ahmad Bâkatsîr tumbuh berkembang, menjadi sosok yang tidak ragu
mengetahui pengetahuan lainnya, termasuk sastra Barat. Ketika ia kuliah di
Departemen Bahasa Inggris di suatu Fakultas Kesenian (Departement of

45
https://forumluqman.org/muhammad-ali-luqman/, diunduh pada pukul 14.22
WIB, Senin, 9 Desember 2019.

101
English of the College of Arts), keinginannya untuk mendalami model-model
drama Inggris berkembang. Ia kerap mengisi harinya dengan mengunjungi
perpustakaan dan membaca drama Shakespeare untuk melihat bagaimana
sosok dramawan Inggris itu menyusun plot-plot cerita dan membangun dialog
yang menarik.
Mereka yang mendalami dunia drama, hampir pasti akan bersentuhan
dengan karya sastra Shakespeare. Sastrawan yang dikenal gemar menulis
naskah drama ini, dikenang sebagai sosok yang piawai di bidangnya. Ia
dikenal sebagai sastrawan yang pandai membangun narasi yang menggugah
dalam teks drama. Ia menyisipkan metafor dalam seni retorika sehingga
dialog-dialog yang terjalin menjadi suatu pembicaraan tinggi, yang sarat
kedermawanan dalam berbahasa. Dalam membangun dialog, ia juga terbiasa
dengan gaya penyajian retorika yang mengalir. Dialog menjadi sesuatu yang
kontinyu mengiringi mimik para pemain drama yang disesuaikan dengan
suasana cerita. Ia juga tidak segan memasukkan unsur tradisional khas
perkampungan Inggris sebagai latar bagi ceritanya.
Untuk mempercantik jalan cerita, sekaligus menghadirkan suasana
yang liris, Shakespeare juga kerap menyisipkan prosa atau puisi dalam
dramanya. Ketika datang suatu suasana yang romantis, sendu atau ceria, maka
para pemain drama akan mengambil posisi dan mendeklamasikan suatu puisi
yang berkaitan dengan keadaan di sekitarnya. Model ini berpotensi
membangkitkan penghayatan para penonton, sehingga mereka bukan lagi
menikmati jalan cerita, melainkan juga ikut merasakan apa yang dirasakan
pemain yang mendeklamasikan puisi tersebut. Maksud utamanya, tentu saja
adalah menumbuhkan kesan yang mendalam ketika para penonton beranjak
dari teater dan terdorong untuk menyaksikan karya-karya Shakespeare di
waktu lain.
Shakespeare membangun cerita dengan memadukan bermacam
perasaan yang tersimpan dalam tiap plotnya. Ia memang ahli dalam bidang
merubah suasana biasa saja, seperti yang dialami oleh para penonton ketika ia
masuk teater hingga ke masa tunggu ketika teater di mulai. Dengan cermat,
cerita akan digulirkan dengan penekanan pada peristiwa-peristiwa yang
menjurus pada penyitaan pandangan para penonton, sehingga tanpa sadar,
mereka terdorong untuk menikmati jalan cerita. Suasana tenang dan nyaman
dalam teater tercipta ketika sang dramawan lihai dalam menempatkan adegan-
adegan yang menyita perhatian atau menghadirkan perasaan emosional
dengan segera. Ini merupakan kunci dari permainan drama Shakespeare. 46
Alî Ahmad Bâkatsîr tentu tidak akan melewatkan cerita Romeo dan
Juliet, drama legendaris yang digubah oleh Shakespeare. Sebagaimana
diketahui, cerita ini kerap digambarkan sebagai salah satu kisah cinta terbaik

46
https://www.biography.com/writer/william-shakespeare, diunduh pada pukul
06. 12, Kamis, 5 Desember 2019.

102
di dunia. Dua tokoh ini menghiasi perbincangan-perbincangan seputar
percintaan dua insan yang saling memadu kasih. Jika dilihat secara mendalam,
dari dialog-dialog antara Romeo dan Juliet, maka diperoleh beberapa
permisalan yang menggunakan simbol-simbol relijius di dalamnya.
Sebagaimana yang terlihat di bawah ini:
Romeo : If I profane with my unworthiest hand, this Holy Shrine, the
gentle fine is this. My lips, two blushing pilgrims, ready stand.
Too smooth, that rough touch with a tender kiss.
Juliet : Good pilgrim, you do wrong your hand too much, which
mannerly devotion shows in this; For Saints have hands that
pilgrims‟ hand do touch, And palm to palm in Holy palmers‟
kiss.
Romeo : Have not Saints lips, and holy palmers too?
Juliet : Ay, pilgrims, lips that they must use in prayer.
Romeo : O, then, dear saints, let lips do what hands do; They pray,
grant thou, lest faith turn to despair.
Juliet : Saints do not move, though grant for prayer‟s sake.
Romeo : Then, move not, while my prayer‟s effect I take. Thus from my
lips, by yours my sins in purged (kissing her).47
Artinya :
Romeo : Jika saya mencemarkan dengan tangan saya yang tidak layak,
Kuil Suci ini, denda yang lembut adalah ini. Bibirku yang
bagaikan dua peziarah memerah, siap berdiri. Terlalu halus,
sentuhan kasar dengan ciuman lembut.
Juliet : Peziarah yang baik, kamu terlalu banyak berbuat salah pada
tanganmu, yang ditunjukkan dengan pengabdian dengan sopan;
Karena para Orang Suci memiliki tangan yang disentuh tangan
para peziarah, Dan telapak tangan ke telapak tangan dalam
ciuman para orang palem yang suci (penduduk padang pasir)
Romeo : Saya tidak punya bibir Orang Suci, dan juga bukan penduduk
palem.
Juliet : oh, peziarah, bibir yang biasa digunakan ketika berdoa
Romeo: Oo, selanjutnya, wahai para Orang Suci, biarkan bibir
melakukan apa yang tangan lakukan; Mereka berdoa,
mengabulkan Engkau, agar iman tidak berputus asa.
Juliet : Para Orang suci tidak akan bergerak, meskipun mengabulkan
demi doa.
Romeo : Kemudian, jangan bergerak, sementara efek doaku, aku ambil.
Demikian dari bibirku, demi dosamu, dosaku di dibersihkan
(Romeo mencium Juliet).

47
William Shakespeare, The Complete Works of William Shakespeare
(Hertfordshire: Wordsworth Editions, 2007) hal. 252.

103
Petikan dialog antara Romeo dan Juliet di atas merupakan dialog
mengenai percintaan. Keduanya saling melepas kalimat-kalimat
pengungkapan bahwa diri mereka saling memerlukan. Ungkapan yang mereka
ucapkan dibalut dengan beberapa simbol keagamaan yang menampilkan
sesuatu yang agung, suci dan tinggi. Di sini, Shakespeare menempatkan kata
yang dekat dengan nuansa rilijiusitas, seperti Orang Suci (saint), air suci
(Holy shrine), doa, peziarah di padang pasir (ditunjukkan dengan penyebutan
tumbuhan palem yang tumbuh di padang pasir) dan lain sebagainya. Dalam
dimensi Katolik, beberapa orang melakukan pekerjaan lebih berat ketimbang
manusia lainnya dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang
banyak. 48 ketika wafat, orang semacam ini dianggap sebagai orang suci yang
namanya kerap disebut dalam doa-doa liturgi. 49 Beberapa nama saint terkenal
misalnya Santo Petrus, yang dikenal sebagai murid utama Yesus Kristus 50,
Santo Ambrosius, tokoh yang gigih menyebarkan dan menanamkan ajaran
Kristus di Milan51, dan lain sebagainya. Penyamaan bibir sebagai dua peziarah
merah, menandaskan bahwa suatu ciuman antara laki-laki dan perempuan,
dekat maknanya dengan perjalanan menuju tujuan yang suci.
Terlihat dalam teks di atas, Shakespeare ingin menampilkan adegan
percintaan atau suasana kasih mengasihi antara dua manusia, dengan ornamen
keagamaan. Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai pengetahuan yang luas seputar
hukum keislaman dan keadaan sosial masyarakat Arab. Model penjelasan
Shakespeare agaknya menjadi salah satu pilihan atau setidaknya inspirasi
dalam membangun cerita yang kuat berdasarkan dialog yang mengalir serta
penyisipan unsur-unsur keislaman di dalamnya. Tentu saja, Alî Ahmad
Bâkatsîr akan melakukan sejumlah penyesuaian dengan konteks masyarakat
Arab, karena bagaimanapun model percintaan seperti yang tergambar dalam
Romeo dan Juliet, tentu amat berbeda dengan budaya masyarakat Mesir atau
Arab pada umumnya.
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai perhatian yang besar akan karya-karya
Shakespeare. Ialah yang menerjemahkan naskah drama Romeo dan Juliet ke
dalam bahasa Arab.52 Tentu saja, penerjemahan ini bukan tanpa tujuan. Alî
Ahmad Bâkatsîr ingin agar masyarakat Arab melihat suatu format drama yang

48
Andrew Greely, Catholic Imagination, (California: University of California
Press, 2000), hal. 152.
49
Lawrence S. Cunningham, "Saints and Martyrs: Some Contemporary
Considerations", dalam Theological Studies, Vol. 60, No. 3, 1999, hal. 529-537.
50
Mengenai kisah hidup Santo Petrus lihat Martin Hengel, Saint Peter: The
Underestimated Apostle, (Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing, 2010)
51
Tentang kisah hidup Santo Ambrosius atau Saint Ambrose lihat John
Moorhead, Ambrose: Church and Society in the Late Roman World, (London:
Routledge, 2014)
52
Ibrahim, The Portrayal …, hal. 305.

104
sedang digandrungi dan populer di Eropa. Kisah percintaan yang terjalin tentu
bukan dimaknai secara picisan, melainkan sebagai pemanis dari dialog-dialog
penuh metafor, hiperbolik dan membedah nuansa hati yang terdalam. Cinta
dibicarakan dengan serius. Bukan hanya masalah rasa ingin memiliki dan
bagaimana cara untuk memperoleh sosok yang dicintai, melainkan lebih
menekankan pada ungkapan-ungkapan romantis yang sebenarnya sudah lazim
ditemukan dalam tradisi Arab, namun dalam beberapa keadaan, masih
dianggap tabu diungkapkan. Kisah cinta yang ditawarkan Shakespeare
melalui teks drama ini begitu memukau, menghanyutkan, serta memberikan
perpektif baru dalam hubungan antarmanusia, khususnya laki-laki dan
perempuan.
Sekitar tahun 1950-an, karya-karya Shakespeare banyak diminati oleh
masyarakat Mesir. Teater-teater di sekitar Kairo, maupun kota-kota lain,
banyak yang menggelar pertunjukan drama dari cerita Shakespeare. Kisah-
kisah drama Othello, Macbeth, Hamlet, The Merchant of Venice, Romeo dan
Juliet, digemari oleh para penonton yang rela berdesakan dan mengantre tiket
dalam waktu yang lama untuk menyaksikan pertunjukan ini. Gejala ini
menunjukkan adanya perubahan dalam masyarakat Mesir, dari masyarakat
yang sebelumnya tertutup, hanya mengenal pelbagai kesenian dan
kebudayaan lokal, menjadi masyarakat yang semakin terbuka menerima
pembaruan dari luar negeri. Meskipun, pembaruan itu datang dari Eropa,
sepertinya tidak lagi dipersoalkan. Fenomena ini tentu saja membuat Alî
Ahmad Bâkatsîr semakin bergairah dalam menghadirkan karya-karya berupa
teks-teks drama yang mengadopsi model luar negeri, namun dengan dibubuhi
oleh kearifan lokal khas Arab Mesir.53
Pada 1954 sampai dengan 1968, Alî Ahmad Bâkatsîr berkunjung ke
sejumlah negara-negara Arab dan Eropa. beberapa negara Eropa yang pernah
dikunjunginya adalah Inggris, Prancis dan Rumania.54 Tidak bisa dipungkiri,
bagi seseorang dari Timur (Arab), terlebih bagi mereka yang berpofesi
sebagai sastrawan, penulis, sejarawan, filsuf serta profesi lain yang berkaitan
dengan dunia humaniora, kunjungan ke negeri-negeri yang mempunyai
sejumlah pemikir, seniman, sastrawan dan sejarawan besar, yang gaungnya
terdengar hingga ke Benua Asia serta dunia pada umumnya, adalah
kebanggaan tersendiri. Alî Ahmad Bâkatsîr setidaknya merasakan hal itu,
sehingga tidak aneh mengapa ia mempunyai sifat terbuka bagi masuknya
pengaruh Barat dalam gaya menyusun naskah drama atau paradigmanya
tentang eksistensi manusia atau hal-hal filosofis lain dalam media sastranya.

53
Mohamed Enani, ―On Translating Shakespeare into Arabic‖, dalam Sirkku
Aaltonen dan Areeg Ibrahim, ed, Rewriting Narratives in Egyptian Theatre (New
York: Routledge, 2016) hal. 157 – 158.
54
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 29.

105
Siti Maisaroh dan Nurul Hidayah menyebutkan bahwa Alî Ahmad
Bâkatsîr mempunyai kemiripan dengan sastrawan Mesir lainnya yang
bernama Taufîk Al-Hakîm. Keduanya gemar mengeklporasi sejarah dan
legenda masyarakat Mesir sebagai bahan untuk menyusun naskah drama atau
syair. Keduanya juga menganggap penting kisah-kisah lama yang beredar
pada masa Mesir Kuno. Memang, tidak dapat dipungkiri, secara umum,
masyarakat Mesir sangat bangga dengan sejarah kebesaran Mesir kuno.
Dalam perbincangan sejarah dunia, peradaban Mesir kuno hampir tidak
terlewatkan. Rasa bangga inilah yang ditangkap para penulis drama untuk
kemudian dibuat teks drama yang membahas seputar tema itu. 55
Kisah tentang Fir‘aun dan kerajaan Mesir Kuno umumnya tidak akan
mendapat simpati yang tinggi di kalangan masyarakat Indonesia. Narasi-
narasi yang diketengahkan mengenai sejarah Fir‘aun kerap berhubungan
dengan perwujudan sosok raja Mesir yang lalim, sombong dan mengingkari
hukum-hukum ketuhanan. Di antara Fir‘aun bahkan ada yang diabadikan
dalam al-Quran sebagai sosok yang gemar menyiksa umat Nabi Musa
sehingga segala bentuk perangai keburukan layak disematkan pada Fir‘aun. 56
Hal demikian agaknya akan berbeda jika kita bandingkan di tengah
masyarakat Mesir. Di sana, sejarah Fir‘aun justru dikenang sebagai sejarah
masa silam yang layak dibanggakan. 57 Oleh sebab itu pula, para sastrawan
seperti Ali Bakatsri mengambil tema-tema Mesir Kuno sebagai latar dari
naskah dramanya.

B. Karya Sastra Alî Ahmad Bâkatsîr


Tidak diketahui dengan pasti, kapan Alî Ahmad Bâkatsîr mulai menulis
karya sastra yang diterbitkan dan dibaca oleh khalayak. Ibrahim Ali al-Shami
mengungkapkan bahwa karya pertama Alî Ahmad Bâkatsîr diterbitkan saat
dirinya berada di Aden, yakni kumpulan puisi yang ditulisnya bersama Ali
Muhammad Luqmân dan diterbitkan dalam judul The Magic of Aden dan The
Pride of Yemen. Ketika bermukim di Ethiopia, ia sempat menyusun naskah
drama berjudul Humâm fî Âsimah al-Ahqâf. Dalam naskah ini, Alî Ahmad
Bâkatsîr menyusun sejumlah dialog puitis yang berpadu dengan jalan cerita

55
Siti Maisaroh dan Nurul Hidayah, "Analisis Unsur Intrinsik Drama ―Asirul
Karim‖ Karya Alî Ahmad Bâkatsîr", dalam Al-Lahjah, Vol. 2, No. 1, 2019, hal. 1-18.
56
Effendi, "Historisitas Kisah Fir'aun Dalam Perspektif Islam", dalam Al-
Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, Vol. 13, No. 1, 2018, hal. 71-96.
57
Tarmo Kulmar, "On a Possible Characteristic of the Governing System of
Pharaoh Amenhotep IV (Akhenaten)", dalam Folklore: Electronic Journal of
Folklore, Vol. 74, 2018, hal. 115-128.

106
yang berlatar kehidupan bermasyarakat. Di samping itu, ia juga menulis
sejumlah puisi yang akan diterbitkannya di waktu mendatang. 58
Bankole Ajibabi Omotoso menyebutkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
sudah mulai menulis puisi pada usia 13 tahun saat ia berada di Hadramaut. Ia
sudah menerbitkan puisinya di sejumlah terbitan lokal seperti di al-Fath, al-
Tsaqâfah dan Apollo. Gaya puisi yang ditulis Alî Ahmad Bâkatsîr masih
mengacu pada model puisi Arab tradisional. Di masa-masa ini, Alî Ahmad
Bâkatsîr amat dipengaruhi oleh pamannya Abdus Samad Bâkatsîr. Meskipun
bukan merupakan sastrawan yang mempunyai karya-karya sastra monumental
dan dikenal oleh orang banyak, kelihatannya paman Alî Ahmad Bâkatsîr
mempunyai minat yang cukup baik dan wajar terhadap sastra Arab, sehingga
ia mampu memberikan pemahaman mendasar tentang bagaimana menulis
puisi tradisional Arab. Tentu saja, bagi seorang yang baru mempunyai
kecenderungan di bidang sastra, pembicaraan dengan Abdus Samad Bâkatsîr
menjadi sesuatu yang berharga dalam karir awal Alî Ahmad Bâkatsîr.59
Diterbitkannya karya puisi Alî Ahmad Bâkatsîr di sejumlah media lokal
dapat dimaknai sebagai sesuatu yang penting bagi jati diri seorang sastrawan
pemula. Bagaimanapun, menerbitkan suatu karya tulis di media massa, oleh
sejumlah kalangan, dianggap merupakan kesulitan tersendiri. Jika itu
merupakan karya sastra, maka seorang penulis sastra sudah harus mempunyai
selera sastra yang baik, pembacaan yang luas akan karya-karya sastra
terdahulu serta keberanian untuk menuliskan suatu karya yang original. Jika
itu adalah karya sastra Arab, maka ia sudah mempunyai kepiawaian dalam
menyusun syair dengan rima yang tepat serta simbolisasi atau perlambang
yang mampu menyampaikan makna sebenarnya kepada pembacanya. Belum
lagi, menimbang antrean karya-karya sastra serupa yang menunggu giliran
diterbitkan. Sepertinya, beberapa keahlian itu sudah dikuasasi oleh Alî Ahmad
Bâkatsîr.
Siti Maisaroh dan Nurul Hidayah menyebutkan bahwa Alî Ahmad
Bâkatsîr banyak menulis karyanya berdasarkan pada kegiatan dalam
perjalannya ke luar negeri. Pengalamannya ini menjadi sumber kreativitas
yang kemudian digabungkan dengan bacaannya yang luas terhadap literatur
sastra Barat dan Arab. Beberapa naskah drama Alî Ahmad Bâkatsîr
mengangkat tema-tema politik,sosial dan sejarah. Bagi Alî Ahmad Bâkatsîr,
pengalaman ketika menyaksikan opera atau teater adalah sesuatu yang
berharga, karena akan banyak inspirasi dari pertunjukan itu yang bisa
dimodifikasi menjadi sajian yang unik di tangannya. Tentu saja, Alî Ahmad
Bâkatsîr tidak menafikan fungsi sejarah dan legenda sebagai aspek penting

58
Ibrahim, "The Portrayal …‖, hal. 305 – 306.
59
Bankole, Alî Ahmad …, hal. 29.

107
dalam cerita dramanya. Dengan demikian, dalam satu pertunjukan teater Alî
Ahmad Bâkatsîr akan tersembul nuansa kelampauan dan kekinian. 60
Alî Ahmad Bâkatsîr menulis 5 novel antara lain Salâmah al-Qass
(diterbitkan secara berseri di majalah al-Tsaqâfah dari Juni sampai Desember
1942 dan versi lengkapnya diterbitkan pada 1944), Wâ Islamâh (Diterbitkan
pada 1945), Lailah al-Nahar, Sîrah al-Syuja‟ (diterbitkan 1952) dan Al-Tsâir
al-Ahmar (diterbitkan 1953).
Empat novel Alî Ahmad Bâkatsîr di atas, kecuali Lailah al-Nahar,
mengambil latar dari peristiwa-peristiwa sejarah di Mesir dan dunia Arab
lainnya. Salâmah al-Qass mengambil tempat di Mekkah pada masa
pemerintahan Dinasti Umayyah sekitar abad 8 M. Wâ Islamâh dan Sîrah al-
Syuja‟ memengambil tempat di Mesir sebelum era invasi pasukan Mongol
dan sekitar Perang Salib. Al-Tsâir al-Ahmar mengambil latar tentang upaya
kudeta yang digalang federasi komunitas Arab dan orang Nabatea yang
menggunakan sistem komunistik setelah Perang Zanj sekitar tahun 877 SM.
Bankole Omotoso menyebutkan bahwa dialog dan jalan cerita yang
disajikan Alî Ahmad Bâkatsîr dalam novelnya seakan mempunyai kemiripan
dengan teks-teks drama yang dibuatnya, namun jika ditelaah lebih lanjut,
ternyata keduanya mempunyai model yang berbeda. Alî Ahmad Bâkatsîr
tidak akan meletakkan gagasan utama dari cerita yang dibangunnya di awal
pertunjukan, melainkan akan menyisipkannya di tengah-tengah, saat cerita
mulai dipentaskan. Drama Alî Ahmad Bâkatsîr akan dimulai dengan
semacam pengantar yang kerap menyitir ayat-ayat al-Quran. Kebiasaan itu
rupanya tidak terlihat dalam novel Alî Ahmad Bâkatsîr . Ia akan menampilkan
sejelas mungkin maksud dan tujuan cerita di bagian permulaannya, sehingga
pembaca dapat segera memahami secara sepintas garis besar cerita dalam
novelnya.61
Alî Ahmad Bâkatsîr telah banyak menorehkan karya sastra, dalam
kasidah, beliau menciptakan karya yang berjudul Bilâduk yâ Hattâ, Sharkhah
al-Aqyâl, Indûnîsiya Yâ Jannah al-Dunyâ, Filastîn al-Mujâhidah, Nidâ‟ al-
„Arûbah wa al-Dîn, Immâ Nakûn Abadan au La Nakûn Abadan, „Imrân
Hadlramaut, Bain al-Shahw wa al-Dzahûl, Nadî al-Ittifaq bi al-Habasyah, Fî
Zalam al-Sijn, Tahiyyah li al-Mujâhid „Ilal al-Fâsî, Tahiyyah li Tsaurah al-
Yaman 1948, al-„Udw al-Lazi Fasad, Ya Man li Lail al-„Arab, „Alâ Lisân
Syahid, Ah Yâ Misr Uhibbuk, dan Tahiyyah al-„Ahd al-Jadîd.62 Selain
kasidah, juga banyak karya Alî Ahmad Bâkatsîr yang berbentuk drama,
misalnya Humâm fî „Âsimah al-Ahqâf, al-Duktûr Hâzim, al-Dunyâ Faudlâ,
Mismâr Juhâ, Qathath wa Fi‟rân, Habl al-Ghâsil, Ambaraturiyyah fî al-

60
Maisaroh, ―Analisis …‖, hal. 3.
61
Bankole, Alî Ahmad …, hal. 36 – 37.
62
www.bakatheer.com.

108
Mazâd, Audatul Firdaus, Ma‟sâh Udîb, Sya‟b Allah al-Mukhtâr, Ilâh Isrâil,
Syilûk al-Jadîd, al-Dûdah wa al-Tsu‟bân, Ibrâhîm Bâsyâ, Umar al-Mukhtâr,
Fâris al-Balqâ‟ (Abu Muljim al-Tsâqîfî, Akhnâtûn wa Nafartîtî, Qashr al-
Haudaj, al-Fir‟aun al-Mau‟ûd, al-Silsilah wa al-Ghufrân, al-Falâh al-Fâshih
dan Malhamah Umar.63
Naskah Romeo dan Juliet yang diterjemahkan oleh Alî Ahmad Bâkatsîr
menjadi salah satu kiprah penting dalam kepengarangannya. Bisa dikatakan,
karya ini adalah pembuktian bagi Alî Ahmad Bâkatsîr bahwa dirinya adalah
sosok yang memiliki perhatian yang besar terhadap karya-karya sastra dunia
yang di luar Mesir sudah terkenal. Ia memiliki niat untuk memasyarakatkan
karya sastra Barat ke publik Mesir agar mereka juga dapat mengetahui bahwa
di belahan dunia lainnya, telah ada sejumlah cerita drama yang legendaris
yang telah dikategorikan sebagai cerita yang abadi (timeless story) dan layak
diketahui oleh para penikmat sastra dan drama. Kendati dalam dialog-dialog
karya Shakespeare ini banyak perkataan yang tidak cocok dengan budaya
Arab, khsususnya dalam adegan pria yang sedang merayu atau bermesraan
dengan wanita, namun Alî Ahmad Bâkatsîr mampu menyajikan suatu
suguhan dialog yang setidaknya mendekati budaya masyarakat Arab urban,
khas Kairo.
Alî Ahmad Bâkatsîr juga mempunyai minat yang tinggi pada sastra,
sejarah dan budaya Yunani. Ia menulis naskah drama Ma‟sâh Ûdîb (Tragedi
Oedipus) pada 1949 sebagai bukti kecintaannya pada kisah tragedi masa silam
khas Yunani. Sebagaimana diketahui, tragedi Yunani seperti cerita tentang
Herkules, petualangan Illiad dan Odissey serta Perang Troya, merupakan
tema-tema yang tidak lekang oleh waktu. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena
peradaban Yuanani kuno adalah muara bagi lahirnya kesenian drama.64 Oleh
sebab itu, masih banyak para penulis naskah drama yang berkeinginan
menghadirkan kembali kisah-kisah itu, seakan mereka berlomba dalam arus
besar sejarah drama atau teater dunia, termasuk Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia
memang mempunyai selera yang baik dalam mengolah masalah-masalah
politik Arab dalam tragedi-tragedi Yunani.
Di dalam Tragedi Oedipus, Alî Ahmad Bâkatsîr memasukkan sejumlah
pembaruan cerita.65 Di masa ketika ia sedang menyusun naskah drama ini,
Mesir sedang dikoyak oleh pertentangan politik antara kelompok Islam dan
Komunis. Ia mengemas pertentangan politik itu ke dalam cerita drama ini.
Oedipus diceritakan sebagai pencari keadilan sosial yang banyak mempelajari
dan menekuni ajaran-ajaran Marxis. ia tidak sadar, langkahnya itu sudah

63
Bahrudin, Sastrawan …, hal. 193 – 194.
64
Lebih lanjut lihat J. Michael Walton, The Greek Sense of Theatre: Tragedy
and Comedy, (London: Routledge, 2015)
65
Lebih lanjut mengenai kisah Oedipus versi Alî Ahmad Bâkatsîr lihat Alî
Ahmad Bâkatsîr, Ma‟sâh Ûdîb, (Mesir: Dâr Misr al-Thibâ‘ah, t. t).

109
menyulitkan penduduk negerinya dan menciptakan kehancuran di antara
mereka. keadilan sosial berupa kesetaraan dan pembebasan masyarakat dari
kelas-kelas lama yang mengikat, sebagaiamana banyak dikampanyekan oleh
aktivis Marxis bukan merupakan jawaban yang dibutuhkan. Sebaliknya, nilai-
nilai ajaran islam yang dikemas dan disesuaikan Alî Ahmad Bâkatsîr secara
apik dalam drama ini, adalah obat mujarab atas masalah sosial yang dihadapi
masyarakatnya. Solusi penting juga ditunjukkan dengan takdir Tuhan atas diri
manusia. Lewat drama ini, Alî Ahmad Bâkatsîr mengingatkan agar manusia
tidak melupakan entitas ketuhanan sebagai pencipta dan penggerak dunia
ini. 66
Oedipus memang menjadi salah satu tema yang menarik banyak
sastrawan dan dramawan Mesir untuk membuat berbagai versi teks drama
mengenainya. Teks drama pertama yang dibuat dalam versi drama Arab
adalah teks Oedipus tulisan Taufîk Al-Hakîm. Al-Hakîm menyadari bahwa
Oedipus merupakan karya Yunani yang mengedepankan pertentangan
antarmanusia. Jika mengacu pada teks aslinya, Oedipus berkaitan dengan
bagaimana manusia bergulat dengan masalahnya, muncul manusia-manusia
lainnya, yang berhubungan dengannya, cerita mengarah ke klimaks, hingga
berujung pada penyelesaian. Al-Hakîm bertolak dari gaya penceritaan seperti
itu, dan memasukkan unsur keislaman. Berkaca pada kisah Nabi Adam,
sesungguhnya masalah manusia memang berasal dari dirinya sendiri dengan
orang lain. Namun jangan terlupa, adanya masalah itu adalah buah dari
kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, pelibatan ajaran agama di dalamnya,
merupakan suatu variasi yang justru dapat menyempurnakan kisah pencarian
kebenaran Oedipus.67
Raphael Cormack dalam tesisnya tentang perkembangan cerita
Oedipus dalam lima drama Arab menegaskan bahwa sejatinya terdapat suara
yang tidak menyetujui hadirnya teater Yunani di Kairo. Suara itu datang dari
kelompok Islam ortodoks. Alasan utama dari penyangkalan itu adalah karena
Oedipus menampilkan seni pagan yang dapat membahayakan keyakinan
orang Islam. merespon hal itu, Taufîk Al-Hakîm melakukan pembelaan
bahwa tidak seharusnya penolakan datang dari umat Islam. Banyak karya
sastra pagan lainnya yang justru diterima dengan tangan terbuka oleh
masyarakat Islam, bahkan diakui sebagai bagian dari kebudayaan Islam itu
sendiri, seperti Kalilah dan Dimnah serta Shahnameh.

66
Mohammad Almohanna,. "Greek Drama in the Arab World." Dalam Betine
Van Zyl Smit, ed, A Handbook to the Reception of Greek Drama (London:
Routledge, 2016) hal. 364-381.
67
Philip F. Kennedy, "The Arab Oedipus: Ancient Categories, Modern
Fiction", dalam Middle Eastern Literatures, Vol. 20, No. 1, 2017, hal. 64-77.

110
Sebenarnya, banyak kritik datang ke Dunia Arab terkait dengan seni
pertunjukan peran dalam tradisi Islam.68 Pelarangan-pelarangan pementasan
kerapkali masih terdengar, karena seni ekspresi ini dikategorikan sebagai seni
pagan. Merepresentasikan manusia ke hadapan publik, memang bukan
merupakan salah satu seni budaya yang tumbuh dalam masyarakat Arab. Ini
merupakah hal yang baru, dan tidak selalu yang baru dibenarkan oleh hukum
Islam. Terlebih saat menampilkan adegan dialog laki-laki dan perempuan,
yang dianggap menjadi semacam pukulan sendiri pada keimanan orang-orang
yang menyaksikannya. Tema-tema yang didalamnya terdapat peran
ketuhanan, baik yang ditampilkan oleh manusia maupun hanya melalui suara,
dianggap sebagai pelecehan agama. Itu sama dengan perbuatan menyerupai
Tuhan dan dianggap dekat dengan usaha mengadakan Tuhan selain Tuhan
yang esa.69
Dalam al-Asîr al-Karîm, Alî Ahmad Bâkatsîr terlihat ingin
menunjukkan maksud bahwa dalam sosok seorang yang salah sesungguhnya
juga terdapat kebaikan yang bisa dituai. Pembunuhan merupakan salah satu
kejahatan yang sulit dimaafkan oleh keluarga korban yang ditinggal mati.
Khobib, tokoh utama dalam cerita drama ini, merupakan seorang yang telah
membunuh seorang pembesar dari keluarag Quraisy karena suatu
persengketaan. Pihak keluarga pun menuntut kematian kerabatnya dan
menjebloskan Khobib ke dalam penjara. Setelah melewati persidangan,
akhirnya putusan atas kasus Khobib di dapat, ia harus dihukum mati. Sebelum
dieksekusi, Khobib meminta kepada dewan hakim serta keluarga korban agar
dirinya diperkenankan menunaikan salat dua rakaat. Bagian ini dieksplorasi
secara mendalam di drama ini, sehingga ingin menampilkan nuansa relijius di
tengah seseorang yang akan menghadapi hari terakhirnya di dunia. 70
Teks drama di atas membicarakan tentang tragedi yang kerap terjadi
dalam kehidupan manusia di belahan dunia manapun. Pembunuhan memang
suatu kejahatan yang buruk, karena penghilangan nyawa seseorang tentu akan
meninggalkan duka yang mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Pelaku pembunuhan sudah tentu menjadi sasaran yang harus segera ditangkap
dan segera dijatuhi hukuman setimpal. Adagium ―hutang nyawa, dibayar
nyawa‖, yang sudah populer di masyarakat, kerap dijadikan simbol bahwa
seorang pelaku pembunuhan juga harus merasakan nyawanya dihilangkan dari
tubuhnya. Maka pantas jika pelaku pembunuhan adalah sosok-sosok yang
dilabeli sebagai orang yang paling jahat dan kejam serta segala bentuk
sebutan sadistik lainnya.

68
John Bell, "Islamic Performance and the Problem of Drama", dalam
TDR/The Drama Review, Vol. 49, No. 4, 2005, hal. 5-11.
69
Raphael Christian Cormack, "Oedipus on the Nile: Translations and
Adaptations of Sophocles‘ Oedipus Tyrannos in Egypt, 1900-1970", artikel, 2017.
70
Maisaroh, "Analisis …‖, hal. 1-18.

111
Di balik rundungan dan kemarahan yang meliputi seorang pembunuh,
Bâkatsîr mengeksploitasi scelah sempit ini, untuk menciptkan suatu adegan
yang meneguhkan suatu kemuliaan redup dalam pekatnya suatu tindak
krmiminalitas. Ia mengetuk kesadaran para penonton drama, bahwa bahkan
seorang pelaku nista pun, juga merupakan manusia yang lahir dari kemurahan
Tuhan. Hukuman sudah pasti harus ditegakkan. Putusan hakim harus
dijalankan. Namun, itu semua bukan berarti gunjingan dan aneka pandangan
rendah layak disematkan pada sang pembunuh. Dalam satu adegan
digambarkan bahwa Khobib telah ikhlas menerima keputusan hakim,
khususnya tentang hukuman matinya. Makna dari salat dua rakaat sebelum
dieksekusi, tentu merupakan punch line salah satu adegan yang berpotensi
mengoyak kesadaran para penonton. Seakan, ini menunjukkan bahwa seorag
pendosa pun mempunyai kesadaran ilahiah untuk dekat dengan Tuhannya, di
hari terakhir kehidupannya di dunia. Ini merupakan suatu tindakan yang layak
diberikan tempat terhormat. Adegan ini tentu saja seperti upaya untuk
merubah emosi penonton dari yang semula amat membenci tokoh antagonis,
dengan segera berubah, menjadikan tokoh antagonis sebagai sosok yang
paling penting dalam cerita ini. Suatu kejeniusan khas yang dimiliki Alî
Ahmad Bâkatsîr.
Naskah drama ini adalah contoh manis dari kelihaian Alî Ahmad
Bâkatsîr memadukan pandangan keagamaannya dengan tragedi manusia.
Tidak selalu yang berlabelkan jahat dan culas, akan membawa pada penggal
hidup yang serupa di kemudian hari. Kebaikan tentu tidak akan bosan bertemu
dengan para pelaku kejahatan. Para penonton yang terlanjur teraduk emosinya
bahkan mulai tergiring untuk membenci sosok Khobib, seakan menemui
pencerahan di bagian akhir drama ini. Dalam suasana benderang itu, Bâkatsîr
mengharapkan para penonton akan tersadar betapa ritual keagamaan
merupakan suatu aktivitas yang menunjukkan kebaikan. Setidaknya, kebaikan
di hadapan Tuhan. Seluruh penonton boleh saja menghakimi dan menuding
Khobib, namun jangan lupakan bahwa kesadaran ilahiah boleh jadi muncul di
antara kepingan-kepingan perbuatan buruk yang telah dilakukan. Monolog
mengenai kepasrahan di hadapan Tuhan menjadi semacam manifestasi bahwa
hidup manusia tidak lebih hanya bayangan yang dugerakkan Tuhan selaku
Sang Penggerak. Kepasrahan inilah yang ditunjukkan Alî Ahmad Bâkatsîr
sebagai suatu penghambaan tertinggi akan Tuhan yang kerap tidak terlalu
dihiraukan oleh manusia yang telah bergelimang dengan kehidupan serba
materi dan perlahan melupakan hubungan dengan Tuhan sebagai suatu dzat
immateri yang nyata keberadaannya.
Redwhan Qasem Ghaleb Rashed menjelaskan bahwa tulang punggung
utama dalam karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr di bidang puisi, naskah drama,
syair dan novel adalah keahliannya mengawinkan prinsip agama dengan
keindahan sastra. Tidak bisa dipungkiri, Bâkatsîr adalah seseorang yang
komitmen dengan ajaran Islam. Ia tidak segan menampilkan
kecenderungannya mengutip ayat suci al-Quran sebagai pengingat dan

112
penegas dalam setiap adegan dan dialog maupun dalam tulisannya. Ia juga
kerap menghadirkan tokoh-tokoh yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai
sosok yang gemar menyebarkan kebajikan dan menampilkan diri sebagai
pemimpin atau panutan yang setia menjalankan ajaran Islam, menjadi
pengingat bagi orang-orang yang mulai lalai menjalankan ajaran agama dan
sosok yang berbicara layaknya seorang guru Islam dalam adegan drama
maupun dalam novelnya. Puisi Alî Ahmad Bâkatsîr juga akan tegas
mengutarakan suatu penilaian agama akan sesuatu permasalahan. Penjelasan
yang tidak dibubuhi dengan suatu metafor, melainkan suatu persepsi yang
memang telah digariskan sedemikian jelas dalam hukum agama.71
Kehidupan Kairo yang kompleks oleh pertarungan politik dan gesekan
kebudayaan, rupanya tidak membuat Alî Ahmad Bâkatsîr lupa akan tanah
tumpah darahnya. Dari jauh, ia masih mengamati Indonesia, mencermati
ketegangan politik di sana. Beberapa syair dan tulisan teks dramanya
mengambil inspirasi dari kondisi perpolitikan di Indonesia, di antaranya
adalah teks drama berjudul Audatul Firdaus dan dua syair yakni Indûnîsiyâ
Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ. Terkait dengan ketiga karya ini,
jika dihubungkan dengan Bâkatsîr sebagai penyusunnya, merupakan suatu
keanehan tersendiri. Seseorang sastrawan dan dramawan yang terlanjur
dikepung oleh kehidupan sastra dan budaya yang sudah kompleks di Mesir
justru kembali menengok ke identitas masa silamnya, yakni sedikit ingatan
Alî Ahmad Bâkatsîr tentang Indonesia. Di tengah tren sastra Mesir yang
condong ke Barat dan ada pula yang mulai membangkitkan kisah-kisah masa
silam masa Mesir Kuno atau Yunani, Alî Ahmad Bâkatsîr masih mempunyai
energi untuk mengeksplorasi politik negeri yang jauh dari jangkauan
pemikiran orang Mesir pada umumnya. Ini berarti, di kedalaman daya cipta
Alî Ahmad Bâkatsîr, masih tersimpan keterkaitan dengan Indonesia, dan dari
sini rasa ingin tahu muncul yang kemudian terus dipelihara dan diolah
menjadi daya cipta melahirkan karya sastra dan drama yang berkaitan dengan
ingatan itu.
Versi bahasa Indonesia dari Audatul Firdaus sudah diedarkan di
Indonesia sejak 2018 oleh penerbit Menara.72 Penerbit yang mempunyai misi
memperkenalkan karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr di negeri kelahirannya.
Dalam naskah ini, Alî Ahmad Bâkatsîr memadukan tokoh sejarah seperti
Soekarno dan Sutan Syahrir dengan tokoh-tokoh rekaan. Latar cerita diambil
pada tahun-tahun ketika Indonesia sedang berada di bawah penjajahan Jepang.
Alur cerita sedemikian menarik, karena terdapat dua tokoh Belanda, yang satu
menjadi rekan para pejuang Indonesia, sedang yang lain merupakan orang

71
Redhwan Qasem Ghaleb Rashed, "The Image of Woman in Ali Ahmad
Bakathir‘s Literary World: A Study of Selected Plays", dalam AWEJ for Translation
& Literary Studies, Vol. 3, No. 1, 2019.
72
Lebih lanjut lihat Alî Ahmad Bâkatsîr, Audatul Firdaus; Kembalinya Surga
yang Hilang, Sebuah Epos Lahirnya Bangsa Indonesia, (Jakarta: Menara, 2018).

113
Belanda berpaham Nazi yang mencoba menjadi perantara bagi para pasukan
Jepang menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan Indonesia.
Kehadiran dua tokoh Belanda ini menimbulkan beragam emosi, antara
kebanggaan di satu sisi, dan kebencian di sisi lain, namun dua perasaan itu
dihadirkan dalam waktu yang bersamaan.
Menurut Nabil Karim Hayaze, disebutkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bangsa Indonesia.
Nabil mengutip suatu hasil wawancara dari AR Baswedan yang menyebutkan
bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr, seorang keturunan Arab yang lahir di Surabaya,
di masa silam merupakan kawan sebangku AR Baswedan saat sekolah dasar.
Ketika berada di Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok yang gigih
memperkenalkan Indonesia melalui jalur kesenian, terutama drama. Melalui
seni pertunjukan, Alî Ahmad Bâkatsîr seakan ingin memberikan pemahaman
pada bangsa Arab, bahwa di belahan dunia lainnya, terdapat sekelompok
orang Islam yang juga sedang berjuang menghadapi kekuasaan penjajah.
Abdullah Baraja menjelaskan bahwa ketika Alî Ahmad Bâkatsîr ada di
Mesir, negara itu sedang berada dalam tekanan dunia internasional yang
besar. Inggris mempunyai pengaruh yang kuat atas pemerintahan Raja Faruk,
sehingga pihak Mesir tidak bebas dalam menjalankan politik aktif di dunia
internasional. Termasuk ketika Indonesia merdeka, Mesir awalnya tidak
langsung menyatakan dukungannya, meskipun sudah ada sosialisasi dari
bawah, yakni dari kalangan mahasiswa yang sekolah di sana. Raja Faruk
masih mengutamakan keamanan negerinya sendiri dari ancaman Inggris,
ketimbang mendukung negara yang baru terbentuk yang merupakan bekas
jajahan Belanda. Di dunia internasional, Belanda mempunyai persamaan
persepsi di bidang kolonialisme dengan Inggris.
Alî Ahmad Bâkatsîr menjadi sosok yang penting dalam mengedukasi
orang Mesir termasuk jajaran pemimpinnya tentang kemerdekaan indonesia.
Melalui karya-karya sastranya yang dimuat dalam media cetak Mesir, Alî
Ahmad Bâkatsîr terus menerus melakukan usaha memperkenalkan Indonesia,
dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.73 Dalam
suatu ketika, Alî Ahmad Bâkatsîr dan mahasiswa Indonesia mengadakan
perhelatan acara peringatan kemerdekaan Indonesia di Mesir yang disiarkan
langsung oleh Radio Kairo Mesir dan dihadiri oleh pembesar-pembesar Mesir
dan Arab dan beberapa korps diplomatik Arab serta pemimpin-pemimpin
surat kabar dan wartawan-wartawan lainnya. Dalam acara perhelatan tersebut
ditampilkannya drama Audatul Firdaus dan dilantunkannya laga kemerdekaan
Indonesia, baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab yang telah digubah
oleh Alî Ahmad Bâkatsîr.74 Audatul Firdaus adalah di antara karya sastra Alî
73
A.R Baswedan, ―Catatan dan Kenangan‖, dalam Sekitar Perjanjian
Persahabatan Indonesia Mesir 1947, (Jakarta: T.p, 1978), hal. 57.
74
M. Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Perjoangan
Pemuda / Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah), Hal. 153-155

114
Ahmad Bâkatsîr yang menjadi alat untuk menyuarakan Indonesia di seluruh
penjuru Tanah Arab. Buku ini memberikan informasi awal bagi para
pemimpin Arab untuk mengenal suatu negeri yang masyarakatnya adalah
umat Islam yang saat itu sedang berjuang mendapatkan pengakuan dari luar
negeri. 75
Abdullah Baraja mengungkapkan bahwa narasi sastra Alî Ahmad
Bâkatsîr mempunyai kecocokan dengan selera bacaan orang Mesir. Ia adalah
sosok yang jenial dalam memadukan unsur Barat dengan nuansa Arab yang di
satu sisi terbuka, namun di didi yang lain juga tertutup. Kemudahan dalam
mencerna maksud dan tujuan dari suatu karya menjadikan karya-karya Alî
Ahmad Bâkatsîr nikmat diikuti termasuk bagi kalangan cendikiawan Mesir
atau Dunia Arab pada umumnya. Menjadi sesuatu yang wajar jika karyanya
ikut memberikan pemahaman para pemerintah Dunia Arab untuk
memperhatikan dan mendukung kemerdekaan Indonesia.76
Soekarno merupakan salah satu tokoh yang disorot dalam Audatul
Firdaus. Karena alasan tertentu, Alî Ahmad Bâkatsîr menambahkan nama
―Ahmad‖ di depan Soekarno, menjadi Ahmad Soekarno. Penambahan ini
dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan Soekarno sebagai pemimpin
umat Islam Indonesia yang kala itu sedang disibukkan dengan agenda rapat
guna merumuskan perjuangan Indonesia menghadapi Jepang. Saat itu, para
pemimpin Indonesia terbelah menjadi dua kelompok terkait penyusunan
strategi perjuangan yang dipilih. Sebagian ada yang memilih untuk kooperatif
dengan Jepang, sebagian menyatakan non-kooperatif. Ahmad Soekarno
merupakan tokoh yang memilih untuk berdikusi dengan musuh terkait
pemecahan masalah bangsanya. Sampai di sini, Alî Ahmad Bâkatsîr terlihat
ingin menampilkan dinamika terkait upaya perjuangan Indonesia sesuai
dengan fakta yang ia kumpulkan. 77
Di Mesir, nama Soekarno populer sebagai pemimpin negara Islam
besar bernama Indonesia. Kepopuleran itu sedikit banyak ditunjang dengan
penambahan nama ―Ahmad‖ di depan nama Persesiden pertama Indonesia itu.
Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok yang pertama kali menambahkan nama
itu sebagai kepanjangan nama Soekarno. Penyematan nama ini dimaksudkan
agar publik Mesir ataupun Dunia Arab pada umumnya mempeorleh
pemahaman bahwa Soekarno adalah pemimpin Mesir, dan identitas itu dapat

75
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
76
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
77
Kata pengantar Nabil A. Karim Hayaze dalam Ali Audah…, hal. x – vi

115
dilihat dari namanya. Nama Ahmad Soekarno pertama kali diperkenalkan di
naskah drama Audatul Firdaus.78
Dalam dua syairnya, Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ
Hattâ, Alî Ahmad Bâkatsîr menyisipkan model penulisan yang berbeda
dengan sajian sastra Arab pada umumnya, ia menampilkan bahasa-bahasa
Indonesia dalam dua karya ini. Kata-kata seperti merdeka, ia tuliskan dengan
aksara Arab, seakan penulisnya ingin menampilkan bahwa kata ini mewakili
geliat zamannya. Kata yang memang ingin ditunjukkan bahwa aktivitas orang
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya, harus ditonjolkan dari
segi keaslian bahasanya. Meskipun terdapat padanan kata merdeka dalam
bahasa Arab, yakni al-hurr atau huriyah, Alî Ahmad Bâkatsîr tetap
mempertahankan kata tersebut.
Abdullah Hasan al-Saqqâf menjelaskan bahwa ketika seorang Hadrami
sudah bermukim lama, bahkan menurunkan generasi kedua dan ketiga, maka
dengan sendirinya beberapa bentuk tradisi dan kebiasaan yang dimilikinya
telah mengikuti penduduk lokal. Ia juga tertarik menengok perubahan ini dari
aspek kebahasaan. Dalam risetnya ke sejumlah negara di Afrika berbahasa
Swahili, Bahasa Arab yang digunakan antar orang Hadrami menyerap Bahasa
Swahili. Penyerapan ini hanya terjadi dalam kata-kata tertentu, namun tidak
sampai merubah konstruksi Bahasa Arab. Ketika melantunkan doa, biasanya
orang Hadrami menggunakan Bahasa Arab, namun al-Saqqâf menemukan
beberapa bait doa yang diungkapkan orang Hadrami di sana juga
menggunakan beberapa kata dalam Bahasa Swahili. 79 Berkaca pada informasi
ini, maka penyisipan bahasa lokal yang dilakukan Alî Ahmad Bâkatsîr
ternyata bukan menjadi keanehan tersendiri, karena kelompok Hadrami di
belahan dunia lainnya juga melakukan hal itu.
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah
sastra orang Afrika, terutama yang berlatar Bahasa Swahili. Meskipun Alî
Ahmad Bâkatsîr tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dan kompleks
dengan para sastrawan Afrika berbahasa Swahili, namun karya Alî Ahmad
Bâkatsîr cukup mengilhami para sastrawan berbahasa Swahili untuk berani
menampilkan diri ke panggung dunia, dengan bakat dan kepunyaan yang
dimiliki. Dalam beberapa kesempatan ceramahnya, Alî Ahmad Bâkatsîr
menekankan tentang pentingnya sastrawan yang mengusung Bahasa Swahili
dan bahasa lokal Afrika lainnya untuk mencari bentuk dan percaya diri
dengan khazanah ingatan sosial yang dimiliki. Mengambil inspirasi dari Barat
diperbolehkan, namun jangan sampai ini membuat budaya lokal berada dalam

78
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
79
Abdullah Hassan Al-Saqqaf, "The Linguistics of Loanwords in Hadrami
Arabic", dalam International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, Vol.
9, No. 1, 2006, hal. 75-93.

116
inferioritas. Sebaliknya, khazanah kisah yang sudah ada, hendaknya diungkap
dan diformat sedemikian rupa, dengan sentuhan sastra modern, sehingga
mampu manunjukkan wujud asli sastra Afrika.
Seorang sastrawan berbahasa Swahili, Mathias Myampara,
menyampaikan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai kepedulian yang
tinggi terhadap tradisi lisan lokal. Ia menulis kisah-kisah Arab berdasarkan
kultur lokal, sebaik dengan tulisan sastra berbahasa Inggris. Ia selalu
mendorong para penulis Afrika untuk segera keluar dari selubung membran
keterpasungan akan budaya sastra Barat. Karyanya berupa terjemahan Romeo
dan Juliet serta kampanyenya atas sejumlah karya sastra Shakespeare
membuat publik sastra Afrika seperti menerima udara harum tentang
perkembangan sastra dunia. Model cerita atau narasi yang ditampilkan Alî
Ahmad Bâkatsîr terasa kental dengan gaya Shakerpearean, sehingga dirinya
layak memperoleh sebutan sebagai ―Shakespeare dari Afrika‖.80
Di Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr tidak hanya dikenal sebagai penulis
syair, novel maupun drama, melainkan juga seorang kritikus sastra. Abdullah
Baraja pernah menyaksikan sejumlah artikel yang merupakan penilaian Alî
Ahmad Bâkatsîr terhadap sejumlah karya sastra yang ditulis para sastrawan
Mesir. Ini mengindikasikan bahwa posisi Alî Ahmad Bâkatsîr amat dihargai
sebagai salah satu tokoh sastra yang dijadikan tempat bertanya, sekaligus
inspirasi bagi para sastrawan-satrawan pemula di Mesir. Seorang kritikus
sastra tentu mempunyai patron-patron sastra yang dianggapnya ideal,
sehingga ia berkuasa menilai suatu karya sastra baik atau buruk. 81
Karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr yang populer di negeri-negeri Arab,
banyak disadur ke dalam media pertunjukkan, salah satunya adalah di media
film. Ini membuat dirinya menjadi semakin terkenal di negeri ini. Sayang
sekali, banyak pihak yang tidak suka dengan prestasi ini, sehingga ketika film
Alî Ahmad Bâkatsîr diputar, penulis ceritanya sering dicetak kecil di poster
film, sehingga para penonton tidak mengetahui bahwa banyak dari cerita film
yang mereka saksikan adalah karya Alî Ahmad Bâkatsîr. Beberapa penggiat
perfilman Mesir sepertinya terpengaruh dengan kebencian sebagian sastrawan
dan jurnalis yang membenci populartitas Alî Ahmad Bâkatsîr, sehingga
melakukan penyembunyian hak cipta tersebut. 82

80
Lyndon Harries, ―Vernacular Literature in African Language Teaching‖,
dalam Prosiding of Conference of African Language and Literature di NorthWestern
University pada 28 – 30 April 1966, hal. 64 – 65.
81
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
82
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di
Surabaya pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.

117
C. Pandangan Alî Ahmad Bâkatsîr tentang Islam
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai perhatian yang besar terhadap Islam,
melalui jalur sastra dan drama. Sejak berada di Hadramaut dan Hijâz, ia
menampilkan diri sebagai sosok yang gemar mengenyam pelbagai ilmu
pengetahuan agama. Bahkan, saat di Hadramaut, ia mengaji sejumlah ilmu
agama kepada para syekh yang memang di mata penduduk Hadramaut adalah
ulama yang pantas dimintaii pendapat mengenai masalah agama. Ia berguru
kepada Abdus Samad Bâkatsîr, ulama kenamaan Hadramaut, yang tidak lain
adalah paman Alî Ahmad Bâkatsîr.
Kecenderungan pada Islam, rupanya tidak hilang, meskipun dalam
perjalanannya, Alî Ahmad Bâkatsîr bersentuhan dengan gaya hidup dan
literatur Eropa. Ketika berada di Mesir, Alî Ahmad Bâkatsîr gemar membaca
buku-buku sastra Eropa. Secara tidak langsung, ia telah mengenal struktur
budaya Eropa yang bebas dan lentur yang tentu amat berbeda dnegan struktur
budaya Arab yang serba patriarkis. Sederhananya, Alî Ahmad Bâkatsîr lebih
banyak memperoleh pandangan tentang kebebasan manusia baik di tataran
lingkungannya, maupun hubungannya dengan agama yang dianut, dalam
gambaran sosial dalam sastra-satra Barat, ketimbang kehidupan yang telah
dilaluinya dalam masyarakat Islam. Dalam isu-isu tertentu, seperti di bidang
gender, Alî Ahmad Bâkatsîr juga memperoleh gambaran bahwa laki-laki dan
perempuan berhak mengambil peran yang setara, berbeda dengan struktur
masyarakat Arab yang didominasi oleh peran laki-laki dan cenderung
menomorduakan kedudukan perempuan.83
Drama merupakan alat penyampai pesan yang penting dalam kondisi
masyarakat di mana televisi belum ditemukan. 84 Para penonton tidak saja akan
menikmati cerita, melainkan juga seni peran yang dimainkan para artis.
Kebebasan berekspresi tentu saja menjasi syarat bagi para aktor untuk
berimprovisasi diri, sehingga dalam beberapa adegan ditemukan dialog
romantis antara laki-laki dan perempuan, atapun kegiatan yang
mempertemukan keduanya. Dalam hukum keislaman, hubungan antara laki-
laki dan perempuan menjadi satu hal yang perlu diperhatikan. Keduanya harus
menjaga diri dari kegiatan saling memandang yang berpotensi
membangkitkan birahi pada laki-laki yang apabila tidak dikontrol, maka
menjadi pangkal atas pelecehan seksual yang dialami perempuan. 85 Adegan

83
Nina Nurmila, "Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama
Dan Pembentukan Budaya", dalam KARSA: Journal of Social and Islamic Culture,
Vol. 23, No. 1, 2015, hal. 1-16.
84
Lez Cooke, British Television Drama; A History (London: Bloomsbury
Publishing, 2015) hal. 7 – 10.
85
Miftahul Jannah "Remaja dan Tugas-Tugas Perkembangannya Dalam
Islam", dalam Psikoislamedia, Vol. 1, No. 1, 2017.

118
percintaan antara laki-laki dan perempuan berpotensi mengundang syahwat
dan ini merupakan satu tindakan yang dicegah oleh agama.
Sebenarnya, drama merupakan hal yang diperdebatkan dalam hukum
Islam. Sebagian kalangan termasuk Muhammad Abduh, ulama pembaharu
Mesir, meyakini bahwa dalam beberapa seni budaya yang ada pada manusia,
terdapat unsur penyerupaan (taswir) di dalamnya. Seni patung dan lukisan
misalnya, dalam beberapa bentuk, menggambarkan manusia, bahkan tokoh-
tokoh penting dalam Islam yang tidak seharusnya digambarkan seperti
gambaran Nabi Muhammad dalam lukisan Persia. Seni drama termasuk dalam
taswir. Sesuatu yang amat dilarang dari seni ini adalah penampilan hal-hal
yang berkaitan dengan ketuhanan dan rasul-Nya. Para dramawan dituntut
untuk berpikir original penuh totalitas dalam berkarya. Ini merupakan sesuatu
yang profesional. Namun, jika ia sedang menggarap teks naskah yang
berhubungan dengan Islam, lantas menampilkan sosok Tuhan (baik dalam
rupa maupun suara) kemudian juga sosok Nabi Muhammad, maka berpotensi
menimbulkan kegaduhan. Bagaiamapun Tuhan dan Rasulnya, Muhammad,
merupakan entitas yang tidak boleh digambarkan dan diwakilkan melalui
seorang artis drama.86
Yûsuf Qardawî menyebutkan bahwa tidak semua taswîr diharamkan
oleh hukum Islam. Taswîr yang diharamkan adalah yang mempunyai bentuk
fisik dan bayangan. Sedangkan taswîr melalui media lukis, baik lukisan di
atas kertas atau dinding, yang tidak mempunyai bayangan atau fisik termasuk
diperbolehkan. 87 Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi SAW sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abi al-Nadhr dari Ubaidillah bin Abdullah bin
Utbah, bahwa dia pernah mengunjungi Abu Talhah al-Ansari dan
melihat Sahal bin Hunaif di sisinya. Selanjutnya, Abu Talhah
memerintahkan seseorang mengambil permadani yang ada di
bawahnya. Sahal bertanya kepada Abu Talhah: ―Mengapa harus
diambil? Abu Talhah menjawab: ―Karena permadani ini ada
gambarnya, dan Nabi Muhammad telah bersabda mengenai hal ini,
sebagaimana engkau juga ketahui‖. Sahal bertanya lagi: ―Tidakkah
Nabi Muhammad juga pernah menyampaikan: ―Kecuali ukiran yang
ada di kain?‖ Abu Talhah kemudian menjawab: ―Benar! Tetapi hal
tersebut menjadikan hatiku lebih nyaman‖ (Menurut Imam al-Tirmizi,
hadisi ini termasuk hasan sahih).88

86
Cormack, "Oedipus …‖, hal. 159.
87
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1980), hlm. 145; Lihat juga Tarmizi, ―Membuat Gambar dalam Perpektif Hukum
Islam‖, dalam Dusturiyah, Vol. 9, No. 1, 2019, hal. 3
88
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan al-Tirmidzi jilid 2, Terj.
Fachrurazi (Jakarta; Pustaka Azzam, 2006) hal. 414.

119
Berkaca pada pandangan di atas, drama bukanlah bagian dari taswîr.
Namun ini akan berbeda jika berhadapan dengan ulama lainnya. Pada 1911,
seorang dramawan Suriah, Arif Shihabi sukses mementaskan drama berjudul
Zuhair al-Andalusî. Sebelumnya, Shihabi sudah memahami bahwa drama di
negerinya itu masih menjadi polemik karena dianggap bukan berasal dari seni
Islam. Untuk itu, sebelum waktu pementasan, ia sempat mendatangi sejumlah
ulama untuk berdiskusi dan meminta semacam pengesahan untuk dramanya.
Dukungan beberapa ulama, masih dianggap belum cukup oleh Shihabi. Ia
menambah lagi dengan mengampanyekan bahwa drama ini kental dengan
nuansa relijius yang akan menambah pengetahuan agama bagi penontonnya.
Hingga waktu pementasan, tidak ada masalah. Respon positif ditunjukkan
oleh pata penonton. Beberapa hari kemudian, Shihabi menunaikan Salat
Jumat di sebuah masjid. Ketika khatib Jumat menyampaikan khutbahnya,
Shihabi dibuat syok dengan pernyataan menohok sang khatib yang
menyebutkan bahwa drama Zuhair al-Andalusî sebenarnya adalah
pementasan yang haram dan tidak dibenarkan dalam Islam. 89
Para sastrawan Islam tertarik dengan nilai keagamaan, kemanusiaan
dan alam semesta. Mereka memilih tema-tema ini sebagai bahan untuk
dikerjakan dalam pelbagai bentuk karya sastra. Ini merupakan karaktreistik
sastra Arab. Seperti Alî Ahmad Bâkatsîr, kecintaannya pada Islam akan
ditampilkan, baik dalam bentuk nyata maupun tersirat. Sastra Islam
menampilkan keakuratan dan stabilitas. Kata demi kata akan disusun dengan
runut, dengan pemaknaan yang cenderung tepat guna. Para penikmat sastra
Arab, dapat dengan mudah mengungkap makna di balik susunan kata-kata
dalam syair Arab. Ini berbeda dengan sastra Barat yang cenderung
mempunyai jarak antara kata yang digunakan dan maknanya. 90
Alî Ahmad Bâkatsîr sepertinya tidak terlalu mempedulikan anjuran di
atas. Ia terampil menyusun adegan demi adegan sesuai dengan porsinya.
Hubungan dan dialog antara laki-laki dan perempuan pun diatur sedemikian
rupa, sehingga anggapan bahwa drama adalah sarana ―yang dianggap boleh‖
untuk menampilkan hubungan lawan jenis, mampu diminimalisir. Alî Ahmad
Bâkatsîr juga menyusun kisah percintaan yang sopan dan sebisa mungkin
tidak bertentangan dengan norma budaya Arab atau hukum Islam. Seorang
penyusun naskah drama, terbiasa dengan seuatu yang detil 91, dan ini pula yang
dapat dilihat dari cara Alî Ahmad Bâkatsîr menyusun naskah dramanya. Ia
menempatkan bagian dengan bagian dengan kronologis.
89
Cormack, "Oedipus …‖, hal. 161.
90
Rashad Mohammed Moqbel Al Areqi, "Rise of Islamic Literature Between
Fact and Fiction", dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol. 7, No. 4,
2016, hal. 682-689.
91
Sonja P. Brubacher, dkk, "Guidelines for Teachers to Elicit Detailed and
Accurate Narrative Accounts from Children", dalam Children and Youth Services
Review, Vol. 63, 2016, hal. 83-92.

120
Romeo dan Juliet merupakan naskah drama yang penuh dengan
ungkapan percintaan antara laki-laki dan perempuan. Dialog-dialognya
sedemikian intim, sehingga dianggap sebagai kisah cinta yang benar-benar
menjanjikan kesyahduan, keindahan dan meluapnya rasa kasih sayang dari
lubuk hati laki-laki ke perempuan ataupun sebeliknya. Alî Ahmad Bâkatsîr
menyadari bahwa terdapat perbedaan bentuk dan gaya percintaan antara
penduduk Inggris dan Mesir, atau Arab pada umumnya. Untuk itu, ia tidak
menerjemahkan dialog-dialog yang intim dan vulgar cenderung bebas
sebagaimana makna harfiahnya. Justru, ia memanfaatkan dialog percintaan ini
untuk mengembangkan seni sastra Arabnya, dengan penyesuaian-penyesuaian
tertentu agar lebih familier dengan penonton Arab.
Rashad Mohammed Moqbel A-Areqi berpandangan bahwa para
penyair atau sastrawan Arab mempunyai kepedulian yang besar terhadap
Tanah Air dan agamanya. Dalam menyusun atau menulis suatu karya sastra,
mereka akan mempertimbangkan dengan matang sebelum mengerjakannya
dan memperkirakan bagaimana respon publik Arab atas karyanya. Terlebih
dalam masalah keagamaan, mereka akan menghindari menyusun syair-syair
yang berpotensi mengundang kontroversi di kalangan para pemuka Agama.
Jika ini terjadi, maka kontroversi akan menyebar dan dapat menimbulkan
kekisruhan sosial, seperti ketika Salman Rushdie, penulis Persia, menulis The
Satanic Verses. Secara umum, para penulis Arab akan menjaga agar karyanya
justru dapat menopang kehidupan beragama yang kondusif. 92
Redhwan Qasem Ghaleb Rashed menyebutkan bahwa Alî Ahmad
Bâkatsîr mempunyai perhatian yang besar dengan unsur Islam dalam
karyanya. Ia tidak segan mengutip ayat-ayat al-Quran sebagai pembuka atas
karya drama, novel atau syairnya. Melalui cara ini, seakan Alî Ahmad
Bâkatsîr ingin menampilkan bahwa segala tragedi, kemajuan, kemunduran
yang dialami umat manusia harus didasarkan pada pandangan bahwa semua
adalah kehendak Tuhan. Melalui utusannya, Muhammad, Allah telah
menetapkan Islam sebagai solusi bagi segala bentuk masalah kemanusiaan.
Al-Quran merupakan pedoman dalam menjalani kehidupan. Meskipun di
dalamnya, tidak selalu didapat jawaban atas setiap problem sosial, namuan
berdasarkan kisah dari masa silam, atau dengan membaca tafsir al-Quran,
diharapkan akan muncul penyelesaian atas masalah tersebut. 93
Dalam salah satu naskah dramanya yang berjudul Noisy Neighbour, Alî
Ahmad Bâkatsîr menyusun suatu permulaan adegan drama dengan suatu
keadaan yang kontemplatif. Salah satu peran yang ada dalam drama ini adalah

92
Al Areqi, "Rise …‖, hal. 682-689.
93
Redhwan. "The Image …‖ hal. 115.

121
Imam Abû Hanîfah, seorang ulama ahli fiqih dan termasuk Imam Mazhab
Empat. Naskah drama ini dituliskan sebagai berikut: 94
Adegan 1
Latar: Suatu ruangan yang diterangi cahaya lampu kecil.
Terdapat Imam Abû Hanîfah yang sedang duduk di atas karpet sambil
mendengar tetangganya menyenandungkan lagu dengan lirik:
―Suatu hari … dalam suatu perang, aku ditinggalkan‖.
Wajah Imam Abû Hanîfah terlihat sedih dan merasa kasihan,
kemudian, ia tersenyum. Lalu ia melantunkan doa:
―Oh Allah, tolong ampuni dosa tetanggaku. Terimalah taubatnya.
Sesungguhnya, Engkalulah yang Maha Tinggi dan yang pantas
menerima taubatnya.‖
Kemudian, Imam Abû Hanîfah mendirikan shalat dengan
khusyu‘ dan berkata: ―Allahuakbar‖. Suara tetangganya masih
terdengar jelas di sisi rumahnya. Imam Abû Hanîfah terus melanjutkan
salatnya, seakan tidak mendengar suara apapun.
Dapat dilihat di atas, Alî Ahmad Bâkatsîr memulai dramanya dengan
pembentukan suasana yang relijius. Tokoh Imam Abû Hanîfah merupakan
salah satu dari banyak tokoh sejarah Islam yang diangkat ke pentas drama
oleh Alî Ahmad Bâkatsîr. Memang, ia mempunyai ketertarikan tersendiri
pada tokoh-tokoh sejarah. Melalui pementasan drama, tokoh-tokoh itu serasa
hidup kembali dan berbicara bukan saja dengan lawan mainnya, namun juga
pada para pemirsa. Di bagian ini, Alî Ahmad Bâkatsîr berupaya menghadirkan
tokoh tersebut sebagai pengingat sekaligus bukti bahwa di masa silam, banyak
tokoh Islam yang masih layak untuk diperbincangkan di era modern.
Terkait dengan dialog yang dibangun, Alî Ahmad Bâkatsîr memulai
drama di atas dengan bagaimana seorang tokoh besar Islam menghadapi
kesehariannya. Di balik kealiman dan keluasan ilmu, bagaimanapun, Imam
Abû Hanîfah adalah manusia yang juga mempunyai problem sehari-hari. Di
atas, kita dihadirkan dengan keadaan di mana ibadah malam ahli fiqih ini
terganggu dengan nyanyian tetangganya. Alih-alih meluapkan kemarahan,
Imam Abû Hanîfah justru mendoakannya agar ia dimaafkan. Kehadiran gestur
berdoa di awal drama dimaksudkan untuk mengajak suasara riuh penonton
untuk menyurutkan kebisingannya. Diharapkan, mereka terusik dari
pembicaraannya, lantas menyaksikan adegan di hadapannya. Selain dapat
dimaknai sebagai suatu ide relijius yang disisipkan dalam drama, adegan ini

94
Naskah drama ini diambil dari versi onlie naskah drama Alî Ahmad Bâkatsîr
yang terdapat dalam alamat web http://www.bakatheer.com/english/noisy.htm,
diakses pada pukul 10.36 WIB, Minggu, 15 Desember 2019.

122
juga dapat dimaknai sebagai strategi Alî Ahmad Bâkatsîr menghadirkan fokus
pada penonton dengan seketika, melalui adegan-adegan yang segera dapat
menyita perhatian mereka.
Bankole Ajibabi Omotoso menyebutkan bahwa ketika di Mesir, Alî
Ahmad Bâkatsîr amat bersimpati pada gerakan politik Islam yang digalang
oleh organisasi Ikhwânul Muslimîn. 95 Organisasi ini didirikan oleh sejumlah
kalangan yang dikepalai Hasan al-Bannâ (1906 – 1949), seorang guru yang
memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan rakyat Mesir. Antara 1926
hingga 1945, Ikhwânul Muslimîn menjadi aktor penting dalam kancah politik
Mesir. Sewaktu Mesir masih berada dalam bawahan para Gubernur Turki
Usmani, aktivitas Ikhwânul Muslimîn rajin melayangkan kritik kepada
pemerintah atas sejumlah kebijakan yang dianggap menyengsarakan
masyarakat kecil. Mereka juga kerap menuding kemesraan Turki Usmani
dengan negera-negera Eropa, seperti Inggris, sebagai pangkal salah urus
negara. Agenda politik Ikhwânul Muslimîn adalah beragam produk kebijakan
yang berfungsi merevitalisasi unsur kehidupan dasar rakyat Mesir seperti di
bidang dakwah Islam dan pendidikan. 96
Para pemikir Ikhwânul Muslimîn dipengaruhi oleh gagasan para
pemikir pelopor pembaharu seperti Jamâluddin al-Afghânî, Muhammad
Abduh dan Rasyîd Rîda. Mereka mengemas pemikiran tokoh-tokoh itu dalam
konsep berpolitik, sehingga menampilkan citra politik yang kuat dengan
ideologi keislaman dan kemodernan.97 Mereka mendambakan kemajuan
Mesir yang tidak dibayang-bayangi kekuatan kolonialisme Barat, yang terlihat
dalam aktivitas Inggris di negeri ini. Jika ditelusuri ke belakang, gagasan anti-
kolonialimse merupakan serapan dari paham Pan-Islamisme yang digagas
oleh al-Afghâni. Tokoh pembaharu Islam ini mendambakan bahwa umat
Islam harus mandiri dan terbebas dari tipu daya bangsa Barat yang sengaja
tampil sebagai penguasa yang ramah, namun seterusnya akan menciptakan
kesengsaraan dan berujung pada keterbelakangan umat Islam di negeri
tersebut.98
Noman Sattar menyebutkan bahwa lahan pendidikan Islam sebenarnya
adalah bidang yang dierjuangkan oleh para aktivis Ikhwânul Muslimîn,
sebelum mereka terjun secara lebih dalam ke bidang politik. Al-Bannâ merasa
iklim sekularisme dan liberalisme Barat sudah merasuk ke segenap ruang

95
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 33.
96
Umma Farida, "Peran Ikhwanul Muslimin dalam Perubahan Sosial Politik di
Mesir", dalam Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, 2014, hal. 45-70.
97
Umma, ―Peran …‖, hal. 56.
98
Andi Saputra, "Pan-Islamisme dan Kebangkitan Islam: Refleksi Filsafat
Sosial-Politik Jamaluddin al-Afghani", dalam Akademika: Jurnal Keagamaan dan
Pendidikan, Vol. 14, No. 2, 2018, hal. 68-84.

123
hidup masyarakat Mesir. Pengaruh ini bukan hanya melingkupi gaya hidup,
tapi juga di bidang pendidikan. Di Mesir, hadirnya sekolah-sekolah Barat
menimbulkan keresahan sendiri, karena berimplikasi pada kemunduran
pendidikan Islam, sebagai salah satu bidang yang sejak lama mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan. Diberlakukannya model pendidikan model
Barat yang digariskan pada amandemen konstitusi Mesir tahun 1932, menjadi
puncak kegelisahan aktivis ikhwanul Muslim, sehingga mereka menganggap
penting berpartisipasi di kancah politik Mesir secara luas.99
Berbeda dengan Sattar, Raphael Cormack justru menyebutkan bahwa
meskipun Ikhwânul Muslimîn tidak mempunyai agenda kebudayaan yang
rinci, Hasan Al-Bannâ justru mempunyai pandangan yang positif tentang seni
drama. Al-Bannâ meyakini bahwa drama merupakan cara yang paling efisien
untuk memperkenalkan kisah-kisah hidup para tokoh-tokoh besar Islam.
Dengan melihat para artis memainkan peran seorang tokoh Islam, maka akan
menumbuhkan kecintaan pada sang tokoh, dan yang paling penting, dapat
menumbuhkan inspirasi di kalangan penontonnya. Drama dapat dijadikan
semacam alat untuk menunjukkan kegemilangan Islam. 100
Belum ditemukan sumber yang sangat kuat yang memberitakan
keterlibatan lebih jauh Alî Ahmad Bâkatsîr dalam aktivitas Ikhawanul
Muslimin. Bankole hanya menyebutkan sepintas mengenai hal ini. Tidak
menutup kemungkinan jika Alî Ahmad Bâkatsîr hanya sekedar kagum, dan
tidak berniat untuk terjun dalam aktivitas politik organisasi ini. Kemungkinan,
model aktivitas Alî Ahmad Bâkatsîr yang lebih banyak menyisir dunia sastra
dan drama mempunyai perbedaan bentuk dengan apa yang digagas oleh para
aktivis Ikhwânul Muslimîn. Ruang perjuangan yang disasar mereka umumnya
di bidang politik, sosial, ekonomi dan hanya sedikit ruang di bidang budaya.
Seni drama di Mesir, seperti yang dikerjakan Alî Ahmad Bâkatsîr, tidak bisa
dipungkiri, merupakan serapan dari seni drama Barat. Ada kekhawatiran Alî
Ahmad Bâkatsîr jika teks drama yang ditulisnya dan pagelaran drama yang di
dalamnya ia ikut berkecimpung, justru dianggap sebagai salah satu produk
kolonialis Eropa yang menjadi sasaran kritik Ikhwânul Muslimîn.
Alî Ahmad Bâkatsîr menggambarkan kegandrungannya pada paham
politik Islam di atas politik lainnya, terutama yang berkembang dari Barat,
melalui karyanya al-Tsâir al-Ahmar. Melalui latar cerita yang mengambil
sekitar Mesir pra-Masehi, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin menunjukkan bahwa
strategi politik sebagaimana yang dilakukan kelompok komunis akan
membawa pada kehancuran. Meskipun, di perjumpaan awal komunisme
tampil sebagai paham politik yang berpihak pada rakyat terjajah, namun pada

99
Noman Sattar, " Al Ikhwan Al Muslimin"(Society of Muslim Brotherhood)
Aims and Ideology, Role and Impact", dalam Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, 1995,
hal. 7-30.
100
Cormack, ―Oedipus …‖, hal. 163.

124
prinsipnya mereka akan menetapkan sejumlah kebijakan yang akan
menyusahkan rakyat. Komunisme merupakan paham yang anti-Islam. Ini
mengindikasikan bahwa aktivis komunis akan senantiasa menganggap
kelompok yang setia pada ajaran Islam sebagai lawan politik yang harus
disingkirkan. Harmoni di atas keragaman politik adalah utopia yang tidak
akan diwujudkan oleh pemerintah komunis. Dalam komunisme juga
terkandung unsur-unsur politik Barat yang dalam beberapa hal, berseberangan
dengan politik Islam. Seyogyanya, politik yang digunakan untuk
mengumpulkan simpati warga harus sejalan dengan ajaran Islam. Di novel ini,
dalam bentuk yang lain, Alî Ahmad Bâkatsîr memotret pertikaian antara
Ikhwânul Muslimîn sebagai simbol politik Islam melawan aktivis komunis. 101
Selma Botman melihat bahwa komunisme Mesir menghadapi tantangan
serius dalam memperkenalkan program kerjanya ke masyarakat Mesir.
Awalnya, para aktivis komunis mengira dengan jumlah masyarakat urban
yang besar di Mesir, maka akan lebih mudah menanamkan ideologi
komunisme di tengahnya. Namun, nyatanya justru bekebalikan. Terdapat tiga
faktor mengapa gerakan komunisme melambat berkembang di Mesir.
Pertama, kelompok komunis Mesir terbagi dalam beberapa kelompok yang
minim rasa persatuannya. Masing-masing kelompok saling berlomba
menunaikan agendanya sendiri-sendiri. Akibatnya, mereka kerap kalah
bersaing dibanding organisasi politik lain, seperti Ikhwânul Muslimîn, yang
mempunyai visi persatuan yang kuat. Kondisi ini justru memperlemah
organisasi mereka sendiri. Kedua, tidak adanya dukungan yang signifikan
dari penduduk Mesir. Tenaga para aktivis komunis terus dikuras dalam
kampanye yang hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga,
aktivis komunis Mesir tidak mengagendakan gerakan massa untuk
mengusung ideologi mereka, dengan menggabungkan animo para intelektual
Mesir dan para pekerja-pekerja menengah ke bawah di kota ini.102
Merujuk pada penjelasan Botman sebelumnya, sepertinya kelompok
komunisme di Mesir tidak mengalami perkembangan yang pesat dan
menyaingi Ikhwânul Muslimîn. Ikhwânul Muslimîn mempunyai jaringan kuat
di kota maupun daerah. Anggota mereka berasal dari kelas menengah ke atas,
terutama para guru, intelektual, ahli agama, politikus Islam dan lain
sebagainya. Dengan akses sedemikian terbuka ke kelas-kelas masyarakat
tersebut, membuat Ikhwânul Muslimîn relatif lebih mudah menjaring aspirasi
politiknya. Guru-guru agama menaruh harapan mereka ke pundak organisasi
ini. Setiap guru mempunyai tanggung jawab untuk memberi pelajaran pada
muridnya. Setiap murid terhubung dengan keluarganya. Si guru dapat
berbicara tentang banyak hal, termasuk agenda Ikhwânul Muslimîn pada

101
Muhammad Mustafa Badawi, "Islam in Modern Egyptian Literature",
dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 2, 1971, hal. 176.
102
Selma Botman, The Rise of Egyptian Communism, 1939 – 1970 (New
York: Syracuse University Press, 1988) hal. xx.

125
orang tua murid dan mendapatkan simpati atau dukungan dari mereka.
Dengan sumber daya manusia semacam ini, Ikhwânul Muslimîn dapat
bertumbuh melampaui kelompok komunis.103
Bankole Ajibabi Amotoso menyebutkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
juga mempunyai perhatian yang mendalam terhadap penderitaan kelompok
Palestina yang sejak awal abad 21, sudah mengalami penindasan kelompok
Yahudi yang diberi angin segar oleh Inggris guna mendirikan negara sendiri,
Israel. Alî Ahmad Bâkatsîr menjadikan peristiwa terusirnya Palestina dari
kampung halamannya dalam sejumlah syair. Ia sangat tidak setuju dengan
agresi pasukan Yahudi atas penduduk Muslim Palestina. 104 Itu merupakan
suatu kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan. Kehadiran Inggris di
balik suksesnya pendirian negara Israel juga menambah kebencian Alî Ahmad
Bâkatsîr atas negara yang juga telah menciptakan pengaruh buruk dalam
pemerintahan Mesir itu.
Sebagaimana diketahui, peristiwa pendirian negara Israel sebagai
negara yang khusus dihuni oleh orang Yahudi, menyisakan penderitaan
berkepanjangan bagi orang Arab Palestina. Pendirian negara ini berdasar pada
klaim bahwa Yerusalem merupakan kota suci orang Yahudi, dan penguasaan
atasnya merupakan bukti kesungguhan iman mereka. Para pendiri negara
Israel, seperti David Ben Gurion dan lainnya, meyakini bahwa orang Yahudi
mempunyai tanah yang dijanjikan oleh Tuhan untuk ditinggali (The
Promising Land) dan tanah itu adalah Yerusalem. 105 Sebagai konsekuensi
logis atas pendirian negara khusus orang Yahudi ini, maka para penduduk
pendahulu, yang kebanyakan adalah orang Arab Muslim, terpaksa harus
hengkang karena para tentara Israel dengan disokong oleh Inggris, melakukan
cara-cara kekerasan atas mereka. Peristiwa ini menyentak perhatian banyak
pemimpin negara Arab untuk ikut membela bangsa Palestina yang terusir.
Mesir menjadi salah satu negara yang serius ingin membela kepentingan
orang Palestina hingga mereka pun menyatakan perang dengan angkatan
bersenjata Israel. Beberapa episode perang Mesir dan Israel pun tersaji, antara
lain Perang Lima Hari (1965) dan Perang Yom Kippur (1973). 106
Perang Mesir dengan Israel ikut membangkitkan kembali gelora
nasionalisme Arab di kalangan banyak intelektual Arab. Sebenarnya,

103
Novi Maria Ulfah, "Sejarah dan Strategi Dakwah Ikhwanul Muslimin (The
History and Strategy Da‘wah of Ikhwanul Muslimin)", dalam Jurnal SMART (Studi
Masyarakat, Religi, dan Tradisi), Vol. 2, No. 2, 2016, hal. 213-214.
104
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 32.
105
Jamal Khader, "Countering Violence in the Name of God in Present Day
Palestine/Israel", dalam The Ecumenical Review, Vol. 68, No. 1, 2016, hal. 81-95.
106
Rami Rom dkk, "The Yom Kippur War, Dr. Kissinger, and the Smoking
Gun", dalam International Journal of Intelligence and CounterIntelligence, Vol. 31,
No. 2, 2018, hal. 357-373.

126
nasionalisme Arab telah muncul sejak sebelum peristiwa ini. Ketika Mesir
berada pada akhir kuasa Turki Usmani, sebagian cedikiawan dan tokoh militer
Mesir tersadar bahwa mereka harus mengampanyekan suara politik yang
berasal dari masyarakat mereka sendiri. Seruan yang kelak dapat
membangunkan persatuan di antara orang Arab, tidak hanya yang bermukim
di Mesir namun juga di negara Arab lainnya. Mereka sudah tidak lagi
meyakini Turki sebagai penyelamat mereka, karena nyatanya Turki tidak
mampu mengangkat martabatnya sendiri di hadapan negara-negara Barat,
seperti Inggris, Prancis atau Rusia. Munculnya beragam organisasi yang
mengusung pembaruan bernegara seperti yang dilakukan Turki Muda yang
gencar melontarkan kritik pada pihak Kesultanan Turki, ikut membakar
semangat para tokoh Mesir untuk memutuskan nasib mereka sendiri.
Nasionalisme Arab menjadi jawaban atas kebutuhan akan suatu
ideologi pemersatu di kalangan intelektual dan tokoh militer di Mesir. Dengan
menanamkan kecintaan pada Tanah Air di atas kesamaan etnisitas, mereka
mulai mengupayakan persatuan visi dan misi bernegara di dalam tubuh Mesir
sehingga mampu mendulang dukungan besar dari masyarakat Mesir baik yang
tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Keberhasilan revolusi tahun 1952
dengan digulingkannya Raja Faruk merupakan pembuktian dari kekuatan
masyarakat yang sama, yakni sama-sama mendukung nasionalisme Arab.
Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok intelektual Mesir yang
mempunyai kecenderungan dengan nasionalisme Arab.107 Ini merupakan
keunikan sendiri, karena biasanya, banyak di kalangan pendukung
naisonalisme Arab termasuk kelompok sosialis dan komunis Mesir. 108 Telah
dijelaskan sebelumnya, Ikhwânul Muslimîn, organisasi yang diikuti Alî
Ahmad Bâkatsîr, justru berseberangan dengan kelompok komunis.
Kemungkinan, ini merupakan suatu pengecualian dalam pemikiran keislaman
Alî Ahmad Bâkatsîr. Dalam kerja yang lebih besar, yakni kepentingan
bernegara, ia justru mendukung suatu ideologi yang terbukti mampu
menyatukan semua kalangan, tanpa harus mengkhususkan diri pada organisasi
kelompok Islam tertentu. Di sini terlihat, wawasan keislaman Alî Ahmad
Bâkatsîr ternyata juga dapat didudukkan sebaik wawasan ideologi pemersatu
Mesir, yakni nasionalisme Arab.
Stephan Milich menyebutkan bahwa dimensi kelahiran nasionalisme
Arab juga muncul dari ranah budaya dan sastra. Keuatnya kolonialisme Eropa
di Mesir membuat sebagian sastrawan dan budayawan gusar. Mereka merasa
bahwa proyek politik yang dicanangkan para kolonialis yang berkolaborasi
dengan sistem politik lokal, akan melahirkan banyak penggusuran ekspresi
sastra dan budaya, khususunya di kalangan seniman lokal. Oleh sebab itu,

107
Bankole, Ali Ahmad …, hal. 32.
108
Sune Haugbolle, "The New Arab Left and 1967", dalam British Journal of
Middle Eastern Studies, Vol. 44, No. 4, 2017, hal. 497-512.

127
mereka merasa perlu untuk menunjukkan dukungan yang nyata pada para
tokoh-tokoh politik yang gencar mengampanyekan nasionalisme Arab, agar
eksistensi sastra dan budaya lokal tetap terjaga.109
Nabi Muhammad merupakan salah satu figur yang diagungkan dalam
dunia sastra Alî Ahmad Bâkatsîr. Tidak bisa dipungkiri, sosok ini memang
dianggap sebagai tokoh kunci perkembangan Islam di segenap penjuru dunia.
Dalam teks drama Audatul Firdaus, Alî Ahmad Bâkatsîr menyisipkan suatu
dialog bahwa upaya meraih kemerdekaan yang diperjuangkan oleh segenap
pejuang Indonesia sejatinya merupakan jalan menuju kemaslahatan bersama.
Terjungkalnya raksasa besar bernama Jepang, akan menjadi pintu bagi
munculnya suasana baru yang penuh dengan kebebasan. Setiap bentuk
kemajuan dalam perjuangan, adalah tapak harapan dan permohonan atas
kemuliaan Nabi Muhammad. Melalui seorang tokoh perempuan setengah
baya bernama Hamidah, Alî Ahmad Bâkatsîr menuliskan dialog: ― (Sambil
berdiri) Ya Allah … benar wahai putriku, sesungguhnya kita telah berada di
tengah-tengah pertempuran. Ya Allah lindungilah kami berkat kemuliaan
Maqam Nabi Muhammad SAW‖.
Dialog di atas sejatinya dapat dimaknai dalam ruang lain, yakni
mengenai tradisi tawassul dalam Islam. Tawassul berasal dari kata Bahasa
Arab tawassala yang artinya meminta. Tawassul disebut juga wasîlah yang
bermakna alat, media, medium, perangkat, perkakas, pesawat, perantara, dan
lain-lain. Kata ini merujuk pada penyebutan kalimat, biasanya dalam doa,
dengan menyandarkan pada kebaikan atau kemuliaan tokoh besar Islam.
Contohnya, dalam doa sebagai berikut: ―Ya Allah, dengan ketinggian akhlak
Nabi Muhammad, kabulkanlah permohonan kami untuk panjang umur, sehat
selalu dan diberi keberkahan dalam kehidupan.‖ Penggalan doa ini adalah
penyampaian permintaan pada Tuhan dengan menyertakan Nabi Muhammad
sebagai sosok yang disandari kalimat doa.
Terdapat sejumlah pemikiran, mengapa orang Islam perlu melakukan
tawassul. Pertama, adanya kepercayaan bahwa diri manusia sejatinya adalah
tempat kesalahan dan dosa. Ada pandangan bahwa tubuh yang masih gemar
melakukan dosa, maka doa yang diutarakan, adalah doanya seorang hamba
yang biasa saja di mata Tuhan. Orang yang paling dekat dengan Tuhan dan
didengar doanya, adalah mereka yang menyerahkan kehidupannya di dunia
untuk kepentingan Tuhan. Sedangkan mereka yang masih berkutat pada
urusan dunia, belum dikategorikan dekat dengan Tuhan. Kualitas doa umat
Islam semacam ini tidak terlalu istimewa.

109
Stephan Milich, ―Heimsuchungen; Writing Watan in Modern Arabic
Poetry‖, dalam Sebastian Gunter dan Stephan Milich,ed, Representations and Visions
of Homeland in Modern Arabic Literature (Hildesheim: Georg Olms Verlag, 2016)
hal. 119.

128
Terdapat suatu cara agar doanya diyakini mempunyai pesona yang
istimewa, yakni dengan menyematkan nama-nama tokoh besar dan suci, yang
teruji dalam sejarah, sebagai sosok yang pernah berjasa besar bagi umat
manusia, dan dikenang oleh manusia sepanjang zaman. Pilihan pada Nabi
Muhammad adalah suatu pilihan atas penilaian-penilaian tersebut. Dengan
menyambungkan doa pada sosok orang suci ini, maka doanya seorang yang
biasa, dapat menjadi luar biasa dan menerbitkan optimisme agar cepat sampai
ke Tuhan. Dalam hal ini, tawassul adalah upaya untuk mewujudkan hal itu. 110
Kedua, tawassul telah menjadi tradisi masyarakat Islam, sehingga
melakukan hal itu adalah bagian dari menjaga tradisi ini. 111 Dalam beberapa
buku zikir yang biasa diamalkan oleh kelompok Arab Hadrami, terdapat satu
buku saku zikir yang berisi tentang bebagai macam zikir yang di dalamnya
terdapat pula tawassul kepada segenap para habib pendahulu yang dianggap
mempunyai kesalehan rohani dan sosial yang patut dikenang dalam doa. Buku
zikir ini bernama Miftâh al-Sa‟âdah. Dalam momen doa bersama, baik di
kalangan masyarakat Hadrami sendiri, atau ketika diadakannya pengajian atau
pertemuan ilmiah yang di dalamnya terdapat seorang Sayyid yang ahli agama,
maka kegiatan zikir dengan tawassul menjadi momen yang kerap dijumpai.
Kitab Miftâh al-Sa‟âdah menjadi salah satu pegangan di mana bacaan
tawassul di dalamnya menjadi salah satu penghadir momen yang syahdu khas
yang ditemukan dalam suasana doa berjamaah.
Dalam Miftâh al-Sa‟âdah terdapat beberapa nama orang suci yang
dianggap keramat oleh kelompok Sayyid. Umumnya mereka adalah ulama-
ulama yang tinggal di Tanah Arab, meliputi Hijâz, Irak, Iran, Yaman dan
sebagainya. Beberapa yang bisa disebutkan misalnya adalah Syekh Abdul
Qadir Jailani, seorang tokoh tasawuf yang berasal dari Jailan, Irak. Dalam
dunia tasawuf, sosok ini menepati kedudukan yang penting. Terlebih beberapa
tulisannya, salah satunya Sirr al-Asrâr dianggap sebagai rujukan dalam
mengkaji dunia tasawuf. Kemudian, ada nama Syekh Abu Bakar bin Sâlim. Ia
adalah sosok ulama yang tinggal di Yaman. Semasa hidup ia dikenang karena
akhlaknya yang terpuji serta pengetahuannya akan hukum Islam yang luas.
Nama ketiga yang juga penting, adalah Syekh Muhammad bin Isâ yang
bergelar al-Faqîh al-Muqaddam, seorang ulama Tarim, Yaman yang sangat
dimuliakan dalam sejarah Hadramaut. Terdapat banyak lagi nama-nama lain
dari kalangan fam al-Haddâd, al-Atâs, al-Seggaf yang punya keistimewaan
karena kelebihan ibadahnya dibanding manusia pada umumnya, sehingga
layak nama-namanya disebut dalam doa.

110
Ahmad Zarkasyi dan Abdul Halim. "Telaah Kualitas Hadist tentang
Tawassul", dalam Qolamuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 4, No. 1, 2018, hal. 43-56.
111
Mengenai tawassul sebagai bagian dari kebudayaan kelompok Sayyid di
Indonesia lihat Taufik Ilham Fauzi, Makna Perilaku Keagamaan Bagi Para Peziarah
Makam Habib Abdurrahman Bin Alwi Bafaqih (Mbah Sayyid), (Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2019)

129
Kehidupan sosial di Hadramaut dengan di Kairo tentu berbeda.
Hadramaut adalah kota di mana tradisi Arab Hadrami masih banyak
ditemukan. Budaya yang eksis di sana, dapat dikatakan masih legitim dan
beberapa endemik, hanya bisa ditemukan di Yaman. Kairo adalah
kebalikannya. Kota ini adalah rumah singgah bagi beragam budaya yang
dalam beberapa dekade menjadi tren, biasanya merupakan hasil pengaruh di
Barat. Dalam kesempatan lain, budaya dari Barat ini dapat luntur, berganti
dengan kebudayaan lainnya. Kota ini menyajikan dialog yang semarak antara
budaya pendatang dan budaya tempatan. Tradisi ziarah kubur misalnya, dapat
bergaul dengan cukup rapat dengan budaya minum kopi di kafe, sebagaimana
yang ditemukan di Paris atau Roma. Antara budaya Timur dan Barat menjalin
suatu kesepakatan dalam menciptakan ruang publik di Kairo.
Budaya tawassul setidaknya masih eksis dalam masyarakat Muslim di
Kairo. Alî Ahmad Bâkatsîr cukup beruntung, karena ia dilahirkan ditengah
budaya Hadrami yang kental, dan tawassul menjadi salah satu ciri khasnya.
Dengan demikian, ketika ia masuk dalam pergaulan kosmopolit ibukota Mesir
ini, ia tidak mengalami keterkejutan budaya (cultural shock). Di satu sisi,
Mesir sedang dikepung dengan nuansa gaya hidup Barat. Di sisi lain, budaya
ketimuran khas Arab juga masih pekat mewarnai kehidupan masyarakat.
Ingatan akan tradisi tawassul dan doa bersama tentu masih mengendap, dan
menemukan titik bangkitnya, ketika ia menyaksikan acara doa bersama
dengan menyertakan tawassul di dalamnya. Banyak tokoh besar yang
dimakamkan di Kairo atau Mesir pada umumnya. Dalam satu penggal
kehidupan, Alî Ahmad Bâkatsîr pernah mendengar atau bahkan menyaksikan
orang yang berdoa secara intim di pinggir makam seorang ulama terkenal.
Jika tidak menyaksikan langsung, setidaknya ia mendengar dari percakapan-
percakapan dari lawan bicaranya sewaktu membahas tentang tradisi Islam
orang Mesir.
Tentu merupakan keanehan tersendiri, mengapa Alî Ahmad Bâkatsîr
menyisipkan dialog tawassul dalam karyanya. Padahal, ia merupakan
sastrawan yang bersimpati pada aktivitas Ikhwânul Muslimîn. Tradisi umat
terdahulu, seperti berdoa bersama, membaca maulid Nabi Muhammad atau
membaca zikir-zikir tertentu ketika berziarah kubur memang bukan bagian
dari konsenstrasi Ikhwânul Muslimîn. Mereka tampil sebagai gerbong politik
Islam modern yang cenderung menyasar ruang vital yang lebih menarik
perhatian umat Islam dengan menggulirkan isu-isu seputar pembaruan
pendidikan Islam dan politik Islam. Adapun perhatian mereka akan budaya
dan tradisi Islam bukan merupakan pekerjaan utama. Ini merupakan suatu
anomali dalam formasi pengetahuna Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia mempunyai
ketegasan untuk memilih mana yang perlu ditampilkan, dan yang tidak.
Karyanya cenderung jauh dari grand design perjuangan Ikhwânul Muslimîn,
karena dalam beberapa segi, ia menyokong kebebasan berekpresi westernis.
Sebagaimana diketahui, Ikhwânul Muslimîn menyatakan penyangkalannya

130
pada kekuatan-kekuatan Barat yang mengintervensi Mesir, termasuk dalam
ruang kebudayaan.112
M.M. Badawi menyebutkan bahwa tema kenabian menjadi salah satu
tema utama yang dipilih sastrawan Mesir modern. Kendati kehidupan mereka
telah dipengaruhi oleh model demostrasi sastra Barat, namun tidak serta merta
mereka meninggalkan ekspresi dan penghayatan akan Islam. Alih-alih
pemunggungan terhadap peran agama, para sastrawan Mesir justru
mengelaborasi pemahaman mereka tentang agama sebagai bahan untik
dituangkan dalam pelbagai seni sastra seperti syair, novel, teks drama dan lain
sebagainya. Hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa terjadi dengan
sedemikian dekat, sebelum sang manusia mengetahui ajaran Islam
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah melalui hadis-hadisnya.
Pemahaman manusia tentang kalam Tuhan dalam al-Quran juga tidak dapat
langsung dimengerti, tanpa diiringi oleh penelaahan hadis-hadis Nabi
Muhammad. Para sastrawan Mesir sudah mafhum bahwa kedudukan
Muhammad sebagai Nabi, adalah pembawa obor kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan.113

112
Mona El-Ghobashy,"The Metamorphosis of the Egyptian Muslim
Brothers", dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 37, No. 3, 2005,
hal. 373-395.
113
Muhammad Mustafa Badawi, "Islam in Modern Egyptian Literature",
dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 2, 1971, hal. 161.

131
D. Teks Lengkap dan Terjemahan Qasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ
dan Bilâduk Yâ Hattâ
Kasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ adalah salah satu karya sastra
yang berbentuk puisi (syair) yang disusun oleh Alî Ahmad Bâkatsîr pada
tahun 1947.1 Secara garis besar, kasidah ini berisi tentang kisah perjuangan
rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan di Indonesia. Berikut
terjemahan qashidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ.

‫إندونيسيا يا جنة الدنيا‬


Indonesia Wahai Surga Dunia

‫ُس ػ ػ ِػد‬ ِ
ْ ‫ض ػ ػةَ الػمػجػػد * سػ ػػالـٌ غػػابػػة األ‬
َ ‫سػ ػػالـٌ َرْو‬
Salam, wahai taman keagungan,
salam, wahai kandang macan
ِ ‫ػاف وال ػ ػ‬
‫ػورد‬ ِ ‫ػاس * مػ ػػن الػري ػحػ‬ ِ ‫ن ػح ػيِّ ػي ػ‬
ٍ ‫ػك ب ػػأنػ ػفػ ػ‬
Kami ucapkan hormat pada Anda
sebab jiwa-jiwa yang harum dan wangi
‫ػات‬
ُ ‫سػػالـٌ مػػن ُربػُػو ِع الػنػي ػ * ػػل ت ػػزجػ ػي ػػو ال ػص ػبػػاب ػ‬
Salam dari rakyat sungai Nil (Mesir)
dengan penuh kerinduan
‫ػات‬ ِ ِ
ُ ‫ػات * بػ ػه ػػيّ ػػات ش ػ ػػذيّػ ػ‬
ٌ ‫وتُػثْػػنػ ػي ػػو تػ ػحػ ػػيّػ ػ‬
Menyanjung penuh hormat
dengan suara gemuruh angin kencang
‫إلػ ػػى سػبػعػي َػن ِمػلػيػونػاً * م ػ ػػن الػتػالػيػ َػن لػلػػذك ػ ِر‬
Untuk tujuh puluh juta (rakyat Indonesia)
yang mengiringi kemerdekaan
‫مػػن ادلعػلػيػن لػإلسػػال * ـ والػ ػم ػػردي ػ َػن ل ػل ػك ػفػ ػ ِر‬
dari para penegak Islam
dan pembasmi kekufuran
‫أرض أندونػي ػ * ػسػيػا ي ػ ػ ػػا جػ ػن ػ ػةَ الػ ُػدنْػ ػي ػػا‬
َ ٌ‫س ػػالـ‬
Salam wahai bumi Indonesia, surga dunia
‫ػت ال ػعػ ّػز * مػ ػ ػػن أك ػفػػانػػوِ َح ػػيّػ ػػا‬
ِ ‫سػ ػػالـ إذ بػعػثْػ‬
َ ٌ
Salam, ketika engkau bangkitkan rasa izzah
dari kafannya menjadi hidup

1
http://www.bakatheer.com/poems_details.php?id=162

132
ً‫َمضػى عػػاـٌ عػلػى بعػث ػ * ػك م ػ ػػا أم ػج ػ َػدهُ ع ػػامػ ػا‬
Sudah setahun berlalu atas kebangkitanmu
(kemerdekaanmu), betapa mulianya tahun itu
ً‫ػسػػام ػا‬ ِ ِ ِ
ّ َ‫بػػدا فػػي ظُػلػم األح ػػدا * ث ط ػ ْلػ َػق الػػوجػػو ب‬
Dalam kegelapan tampak wajah berseri
dengan tersenyum
ٍ ‫كػنػبػر‬
‫اس عػلػػى الػتػاري ػ * ػخ يػهدي الػج ْػي َػل فػالػجػيػال‬
Bagai lentera sepanjang sejarah
mengarahkan setiap generasi turun temurun
‫ػف قػػد أوحػػى * إل ػي ػػك الػ ػع ػ ّػز إن ػج ػيػػال‬
َ ‫الس ْػي‬
َ ‫بػػأف‬
Pedang itu sungguh menginspirasi padamu
tentang kemuliaan begitu jelas
ِ ‫وأف الػ ػح ػػق ال ي ػػرجػ ػ * ػج للمػسػتػضػع‬
‫ػف الػعػػانػػي‬ ُ ُ َ ُْ
Kebenaran tak akan tertukar
bagi orang lemah yang payah
‫وأ ّف ال ػظُّػل ػ َػم ال يُػ ْػدفَػ ػ * ػ ُػع إال بػ ػػالػ ػػدِـ الػ ػق ػػان ػػي‬
Kezaliman tak bisa dicegah
kecuali dengan titik darah penghabisan
‫ػب وم ػػن ُم ػ ْػرِد‬
ٍ ‫ػاؤؾ األب ػطػػا * ُؿ م ػػن ِش ْػيػ‬
َ ‫َخػطَػػا أب ػنػ‬
Putra-putramu yang patriotik melangkah,
baik tua maupun muda
‫ػج ِػد‬
ْ ‫ػصػ ِر إلػػى ادل‬ ِ ‫مػػن الػػذؿ إل ػػى الػحػ‬
ْ ‫ػرب * إلػػى الن‬
Dari hina dina menuju perang,
menang, dan kemuliaan
‫س ػػالـٌ أرض إندونػي ػ ػ ػ ػ * ػسػيػا ي ػ ػ ػػا جػ ػن ػ ػةَ الػػدنػ ػي ػػا‬
Salam wahai bumi Indonesia, surga dunia
ِ ‫سػ ػػالـ إ ْذ بػعػثْػ‬
‫ػت ال ػع ػ ػ ػػز * مػ ػ ػػن أك ػف ػ ػ ػػانػػو ح ػػيّػ ػػا‬ ََ ٌ
Salam, ketika engkau bangkitkan rasa izzah
dari kafannya menjadi hidup
‫ػك ت ػح ػنػػا ُف‬ ٍ ‫ػك ب ػػأك ػ ػبػ ػ‬
ِ ‫ػاد * بػ ػ ػ ػ ػ ػراى ػػا لػ ػ ػ‬ ِ ‫ن ػح ػيِّػ ػيػ ػ ػ ػ‬
Kami ucapkan hormat pada Anda
dengan hati yang penuh dengan kelembutan
ِ ‫و أذكػػاى ػػا غ ػ ػ ػ ػرامػ ػاً بػ ػ ػ * ػ‬
‫ػك إسػ ػ ػ ػ ػػالـٌ وإيػ ػ ػم ػ ػػا ُف‬
Ikatan eratmu adalah Islam dan iman

133
‫ػك فػ ػػي الػػربْػػوةِ والػ ػ ػوادي‬
ِ * ‫جػرى الػقػرآف مػػن أرضػ‬
ََ
Al-Quran berlaku di bumimu; bukit dan lembah
ِ ِ‫ػك ال ػهػػادر * وفػػي سلسػال‬
‫ػك الػهػادي‬ ِ ِ‫وفػ ػػي ش ػالّلػ‬
ْ
Pada air terjun yang jatuh bebas;
air jernih yang tenang
‫س األخض ْػر‬ ِ
ُ ‫السْن ُػد‬
ُّ ‫اىا‬
َ ‫وفػ ػػي ُشػ ػ ّػم رواس ػيػػك * َك َس‬
Ketinggian gunung yang kokoh
berbalut sutra hijau
‫ػس ْػبػحػا َف الػ ػػذي نَػػضػ ْػر‬ ِ
ُ َ‫إلػ ػػى ب ػيػػض شػواطػيػػك * ف‬
Menuju pantai yang cerah,
Maha Suci Dzat Pembuat Cahaya
ِ ‫ػص‬
‫ػب‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫فػيا مػا أجػمل اإليػمػػا * ف فػػي ف ْػرَدوسك الػخ‬
Betapa indah iman berada di Firdausmu yang subur
ِ ‫ػس * َشيػاطػيػن مػ ػػن الػػغَػػر‬
‫ب‬ ِ ‫ػت بػ ػػو أمػ ػ‬
ْ َ‫وإ ْف عػػاثػ‬
ْ ٌ َ
Walaupun kemarin ada yang merusaknya,
yaitu setan-setan dari Barat
‫أتػ ػ ػوا كػػالػػوبػػأ ال ػػنَ ػػا ِز * ِؿ يَ ْسػتَػ ْشػري ويػسػتػشػري‬
Mereka datang bagai wabah
yang menjalar dan (terus) menjalar
ِ ‫فػكػان ػوا رس ػ ػػل الػف ػ ْق ػ ِر * إلػ ػػى أىػل ػيػ‬
‫ػك وال ػش ػ ِّػر‬ َ ُُ
Mereka menjadi delegasi kemiskinan
dan keburukan bagi pendudukmu
‫ػوىػ ْػم وم ػ ػ ْػن َك ػ ػ ِّػد * ِىػ ػ ُػم حػ ػػازوا ال ْػمػاليػيػنػا‬
ُ ‫أجػاع‬
Menyebabkan kelaparan, dari jerih payah pendudukmu,
mereka merampok jutaan (harta kekayaan)
‫ل ػكػػي تُػْت ِػخػ َػم ىػول ػنػػدا * قُػ ػػوى طُػغػيػانػِهػا فػيػػنَػػا‬
Agar Belanda kenyang
karena kezaliman dahsyatnya terhadap kita
ِ ‫فػجػاش الػشػر ُؽ باليػابػا‬
‫*ف تػجػػزي الػظػل َػم بػالػظُّػ ْلػ ِم‬ َ
Cahaya terbit di Jepang,
membalas kezaliman dengan kezaliman
‫وتػرمػػي بَػ ْغػ َػي ىػولػنػػدا * وأىػ َػل البػغػي فػػي الػي ِّػم‬
Mencampakkan kebengisan Belanda
dan para pelaku zalim ke laut

134
ِ ‫ػش ػػاةِ ك ػػال ػػذئػ ػ‬
‫ػب‬ ّ ‫ػرت أفػوا * ىػهػا لػ ػل ػ‬
ْ ‫ػوش فػغػ‬
ٌ ‫وحػ‬
Mulut hewan buas mangap
bagaikan serigala menerkam kambing
ِ ‫أؼ بػمػنػكػ‬
‫ػوب‬ ْ ‫ػاغ * ولػ ػػم تػ ػ ػر‬
ٍ ‫فػلػ ْػم تُْػبػػق عػلػػى ط ػ‬
Tak membiarkan orang zalim;
tidak kasihan pada korban musibah
‫ػاىػػن * م ػػذا ُؽ الػظػل ػ ِم والػ َػعػ ْػد ِؿ‬
ُ ‫ػاوى فػ ػػي لػه‬
َ ‫ت ػسػ‬
Bagi mereka, cita rasa kezaliman
dan keadilan sama saja
ِ
َ ‫وطػعػ ُػم الػحػ ِّػق والػبػ ْغ ػ ِي * وطَ ْػعػ ُػم الػحػ ْلػ ِم وال‬
‫ػج ْػه ِػل‬
Cita rasa kebenaran dan kezaliman,
dan cita rasa kepintaran dan kebodohan
‫ػرب بػاأللػمػا * ِف يػبػغػو َف ع ػلػػى الػبػاغػػي‬
ُ ‫ػاش الػغػ‬
َ ‫وجػ‬
َ
Kegelapan menyelimuti Jerman,
perlawan terhadap pelaku zalim dilakukan
‫ػاف والػطّػاغِػي‬
ِ ‫ويطػغػو َف عػلػى الشػاكػي * مػػن الطػغػي‬
Mereka mengejami penghunus pedang
dan orang kejam karena kekejamannya
‫ػوىػ ػػا‬
َ ‫داس ػ‬
ُ ‫َغ ػ ػ َػزْوا تُػ ْػربَػ ػةَ ى ػول ػنػػدا * وب ػػاألقػ ػػداـ‬
Mereka memerangi tanah Belanda,
dan menginjakkan kaki di sana
‫ػوى ػػا‬ ُ ‫ػوىػػا * عػ ػ ػ ِن ال ػ ػػدا ِر‬
َ ‫وآسػ‬ َ ‫ػامػ‬
ُ ‫ف ػم ػػا داف ػ ػ َػع َحػ‬
Para penjaganya tidak mampu mempertahankan negeri
dan mereka masuk secara paksa
‫ػضػ ػرا‬ ِ * ‫جلػوا عنػهػا وعػػن أ ْكػنػا‬
ْ َ‫ؼ إن ُػدونػيػسػػيا اخلػ‬ َ
Jepang mengusir Belanda
dari daerah-daerah Indonesia yang subur
‫ػف * َوم ػ ػ ْػن ال َذ َوَم ػ ػ ْػن ف ػ ػ ػرا‬
َ ‫فمنػهػم مػػن رأى الػحػْت‬
Di antara mereka ada yang mati,
ada yang bersembunyi, dan ada yang melarikan diri
ِ ‫ِسػوى َمػ ْػن مػػاأل األلػمػا * ف وال ػي ػػاب ػػا َف ل ػ ْل ػ َكػػسػ‬
‫ػب‬ ْ
Kecuali mereka yang menetap di Jerman
dan Jepang untuk usaha
ِ ‫فهػذا خػػا َف فػػي الػش‬
ِ ‫ػرؽ * وىػػذا خػػا َف فػػي الػغَػػر‬
‫ب‬ ْ
Pengkhianatan terjadi di Timur dan Barat

135
‫وش ػ ػ ػػاءَ اللُ أف ي ػن ػه ػػا * ر طػ ػغػ ػي ػػا ٌف وطُػ ػغػ ػيَػ ػػا ُف‬
Allah berkendak menjatuhkan
semua orang-orang zalim
‫ل ػك ػػي تُػع ػتػ َػق أح ػ ػ ػر ٌار * وتػرضػػى الػ ػ ِّػرؽ ُعػ ْػبػػدا ُف‬
Supaya semua orang dimerdekakan,
biarkan budak yang hanya ingin diperbudak
‫ ُك ْػن ُحػ ّػرا‬:ُ‫ػاؿ الل‬ ِ ‫فػمػن ثَػػار عػلػى‬
َ ‫الباغػي ػ * ػ َػن ق‬ َ
Mereka yang bergelora melawan orang zalim,
Allah (akan) berkata: “Jadilah orang merdeka!”
‫وقػ ػ ػ ػػاؿ اللُ ل ػل ػخػػانِػ * ػ ِع ُكػ ػ ْػن عػب َػدىػ ُػم الػػد ْى ػ َػرا‬
Allah (akan) berkata pada pecundang:
“Biarlah Anda menjadi budak mereka selamanya”
‫ػضػػى أمػ َػرْه‬
َ َ‫تػعػالػى ال ػواحػ ُػد الػق ّػهػػا * ُر م ػػا ش ػػاءَ ق‬
Allah Yang Maha Esa dan Perkasa
itu sangat mulia sekali berkehendak akan terwujud
‫ػحػ ّػرْة‬ ِ
ُ ‫ػت م ْػن ُحطاـ الب ْغ ػ * ػ ػ ػػي إنػدونػيػسػػيا ال‬
ْ ‫فقام‬
Dari reruntuhan kelaliman,
berdirilah Indonesia merdeka
ِ ‫ك ػمػػا يػنػػدلػػع الػبػػركػػا * ُف مػ ػػن ذي فػػوىػػةٍ خػ ػ‬
‫ػاب‬ ُ
Bagaikan larva yang menyembur
dari kawah kosong
ِ ‫أحػ ػق ػػاب ػ ػاً ألحػ ػ ػق ػ ػ‬ ِ ِِ
‫ػاب‬ ْ ‫قَضػى فػي طبعػو الػهػاد * ِئ‬
Ia habiskan dengan perangainya
yang tenang, masa demi masa
‫ػار‬
ُ ‫ػوؿ وال ػ ػ ػنػ ػ ػ‬
ُ ‫ػاش ال ػ ػ ػهػ ػ ػ‬
َ ‫لمػا جػػاء أمػ ُػر الل ػ ػ * ػ ػػو جػ‬
ّ َ‫ف‬
Maka apabila tiba perintah Allah,
bergejolaklah bencana dan api
ِ
ُ ‫غػػدا فػػي َد َع ػػة الػطػف ِػل * و ْأم ػسػػى وى ػ ػػو جػػبّ ػ‬
‫ػار‬
Ia berangkat dalam kasih seorang anak,
lalu pulang sebagai seorang perkasa
ِ ‫أال مػ ػ ػ ػػا أروع ال ػج ػػب ػػا * ر إ ْذ يػطْػلُػع ف ػػي ال ػشػ‬
‫ػرؽ‬ ُ َ َ ّ َ َْ
Alangkah indahnya yang Maha
Perkasa ketika ia terbit dari Timur
‫ػسػلػ ِم * ويػحػمػي الػحػػق لػلػح ِّػق‬
ِّ ‫يػريػ ُػد الػسػلػ َػم لػل‬
Ia ingin keselamatan bagi keselamatan,

136
dan menjaga kebenaran untuk kebenaran
ِ ‫ويػبػغػػي الػخػيػ َػر لػل ُّػدنػيَػا * وال يبػغػي عػلػػى الػنػ‬
‫ػاس‬
Ia mau mencari kebaikan untuk dunia (skala besar)
dan ia tidak mau mencari kebaikan hanya
untuk orang (skala kecil)
‫ػجػبَػ ِػل الػر ِاسػػي‬ ِ
َ ‫ػحػ ّدى العاصػفات ال ُػهػو * ِج مػثػ َػل ال‬
َ َ‫ت‬
Dia laksana gunung yang tidak bergerak (kokoh)
yang menghadapi badai yang menderu-deru
‫قػ ػػوي ديػػنُػػوُ اإلس ػ ػػال * ُـ دي ػ ػ ُػن ال ػح ػ ِّػق وال ػق ػ ّػوْة‬
Dia adalah orang yang kuat, agamanya Islam,
agama kebenaran dan kekuatan
ِّ ‫ػف َم ْػسػلػوالً * وآي‬
‫الذكػ ِر مػتػل ّػوْة‬ َ ‫يقػي ُػم الػسػي‬
َ
Dia memanggul senjata dan membaca al-Quran.
‫أرض إندونػي ػ * ػسػيػاي ػ ػ ػػا َج ػػنّ ػ ػةَ الػ ُّػدنْػػيَ ػػا‬
َ ٌ‫س ػػالـ‬
Salam wahai bumi Indonesia, surga dunia
‫ػت ال ػعػ ّػز * مػ ػ ػػن أك ػفػػانػػوِ َح ػػيّػ ػػا‬
ِ ‫سػ ػػالـ إذ بػعػثػ‬
Salam, ketika Engkau bangkitkan rasa izah
dari kafannya menjadi hidup
‫ػاد ْه‬
َ ‫ػج ػ‬ ِ ِ
َ ‫ػرؽ أف يػحػيَػػا * ب ػ ػػك يَػ ْػومػ ػاً َو ْأم ػ‬
َ ‫لػعػ ّػل الػشػ‬
Semoga Dunia Timur dan kemuliaannya
– di suatu hari – akan menjadi milikmu
‫ػاد ْه‬ ِ ِ
َ ‫وأ ْف يػغ ُػد َو أى ػػلُ الػشػ ْػر * ؽ فػ ػػي أوطػانػهػػم َسػ ػ‬
Dan semoga penduduk Dunia Timur
menjadi tuan di negerinya
ِ‫أال يػ ػػا قػلػع ػةَ اإلسػ ػػال * ِـ ف ػػي الػمػشػ ِرِؽ صػونػيػػو‬
Ingat! Wahai penjaga Islam,
jagalah Dunia Timur
ِ‫وإف قُػ ػ ػػدِّر لػ ػػإلسػ ػػال * ِـ سػ ػلػ ػط ػػا ٌف ف ػكػػونِػي ػػو‬
ْ َ
Jika islam ditakdirkan,
maka jadilah penguasa (di negerinya)
‫ػاؿ‬ ِ ‫قفػي دو َف قُػػوى الطُ ْغػيػا * ِف ال َخيْ ػ َػد ْع‬
ُ ‫ك َد ّج‬
Jaga (Dunia Timur) tanpa adanya orang-orang zalim;
jangan sampai kamu tertipu oleh Dajjal
ُ ‫يػ ػػرى ال ػحػ ّػق َدداً وىػ ػػو * بػلػح ػ ِن ال ػح ػ ِّػق طَػػبّ ػ‬
‫ػاؿ‬
Dia melihat kebenaran hanyalah permainan belaka,

137
padahal ia bernyayi dengan nada kebenaran
‫َش َكػا مػن نػػزوة (الػنػازي) * َوَمػ ػ ػػا َع ػلّػ َػمػػوُ غػ ػيػ ػ َػرْه‬
Dia mengeluh tentang tingkah Nazi
dan apa yang Nazi ajarkan kepada orang lain
‫وقػػد سػػاواهُ فػػي الػشػ ِّػر * ول ػك ػ ْػن ف ػػات ػػو َخػ ػي ػ ُػرْه‬
Ia menandinginya dalam kejahatan,
tapi dengan kebaikan ia tertinggal
ٍ ‫إذا رؽ لػ ػػصػ ػػه ػ ػػي ػ ػ‬
ِ ‫ػوف * حػػب ػػاه وطَػ ػػن ال ػػع ػػر‬
‫ب‬ ُْ َ َ ََ ُُْ َ
Apabila ia telah melunak kepada Zionis,
maka ia memberikan seluruh negara Arab
ِ ‫ص ْهػيُػو * ف يػػوماً ثَػمػن الػغ ػصػ‬
‫ػب‬ ُ ‫ػض مػن‬
َ ‫لكػي يقب‬
ََ
Supaya pada suatu saat
dia dapat merebut rampasan Zionis
ِ
ُ‫ػخ ػػونػُ ػػوه‬
ُ ‫إذا خػ ػػاف ام ػ ػرأً أوصػ ػػى * بػ ػنػ ػي ػػو أف ي ػ‬
Ketika dia menghianati seseorang,
maka ia menasehati anak-anaknya
untuk menghianati orang lain (juga)
ِ
ُ‫ػصػ ػونػُػػوه‬
ُ ‫صػ ػػا * َف نَػ ػ ػ ػػذالً أف يَػ‬
َ ‫ويُوص ْػيػه ْػم إذا م ػػا‬
(Zionis) menasehati anak-anaknya
ketika memelihara penjahat, maka jagalah ia
‫ػوع ِػد‬
ْ ‫ػرد الػػدي ػ َػن بػػالػػدي ػ ِن * ويػقػضػي ال َػو ْعػ َػد بػال‬
ُّ ‫ي ػ ػ‬
Hutang dibalas dengan hutang,
janji dibayar dengan janji
‫ػاس بػػالػ َػعػ ْػه ػ ِػد‬ ُّ
َ ‫ػاىػ َػد َع ْػهػػداً قَ ػػط * إال خػ ػ ػ ػ‬
َ ‫وم ػػا ع‬
(Zionis) tidak menepati janji
kecuali dia yang merusak janji
‫ػشػ ْػوَى ِاء ُىػ ْػولَػ ػْن َػدا‬ ِ
َ ‫أَفيػقػي َج ػػاءَ ذو ال َق ْػرنػي ػ * ػ ػ ِن بػالػ‬
Waspadalah, Belanda yang mempunyai dua tanduk
datang dengan wanita yang buruk
‫ػحػلَ ػهػػا عػػيَ ػن ػاً * وقػ ػ ػػد َوّرَدىػ ػ ػػا خػ ػ ػ ػ ّدا‬
ّ ‫وق ػ ػ ػ ْد َك‬
Dan dia menghiasi (celak) matanya
dan dia menghiasi (bedakan) pipinya
‫ػحػا‬ َ ‫ي أبػػنَاءَ * ِؾ حػتّػػى يَػ ْع‬
َ ‫ػشػ ُقػوا ال ُق ْػب‬ َ ‫لك ْػي تُػ ْغػ ػ ِو‬
Harapannya mereka dapat menyesatkan anak-anak kalian
dengan menyukai keburukan

138
ً‫ص ْػب ػح ػا‬
ُ ‫ت َس ْػوآتػُهػػا‬
ْ ‫ػت لػ ػيػ ػالً * بَػ ػ َػد‬
ْ ‫إذا م ػ ػػا فَػػتَػػنَػ‬
Ketika dia diuji malamnya,
maka esoknya akan tampak kejelekannya
‫ُخػ ِػذ ْي ِحػ ْػذ َرِؾ م ػػن قَ ػ ْػوٍـ * تَػ َػعػػالَػػى اللُ بػػاريػ ػه ػ ْػم‬
Perhatikanlah kaumnya – Maha Suci Allah,
sang Pencipta mereka
‫ػس * ع ػل ػػى ِع ػالّتِػػوِ فػي ػهػ ْػم‬
َ ‫ػورَة إبػل ػيػ‬
َ ‫صػػ‬
ُ ‫نَػ ػ َػرى‬
Kita melihat sosok iblis
atas kesalahannya kepada mereka
‫منهم ِش ْر * ِش َل ال ػطػػاغ ػيػ ػةَ ال ػ ػغ ػ ػػا ِوي‬
ْ ‫اىم أ ّف‬
ُ ‫َك َف‬
Di antara mereka ada Churchil,
diktator yang sesat
‫ػار النصػ * ػ ِر ِصْنػ َػو اذلِػْتػلَ ػ ِر ال ػثػا ِوي‬
َ ‫صػ ِرع‬
ْ ‫الع‬
ِ
َ ‫َمسي َػخ‬
Monster zaman, hinanya penolong,
kembarannya Hitler
‫ػحػ ِػد‬ ِ
ْ ‫ػالـ * ِـ ال َػم ْػهػػد إلػ ػػى الػل‬
ِ ‫ُى ػػم األع ػػداء لػػإلسػ‬
ُ ُ
Mereka musuh Islam dari lahir sampai mati
‫يُػب ػيػ ػن ػػو َف لَػ ػ ػنػ ػ ػػا ُوّداً * ويػ ْغػلػػو َف ِم ػ ػ َػن ال ِػح ػ ْقػ ِػد‬
Mereka menampakkan sayang kepada kita
padahal mereka sangat keterlaluan karena iri
‫ػك أف تُػ ػ ْكػ ػ ِػدي‬ ِ
ُ ‫ إف إنْ ُػدونػي ػ * ػسػيػا تُػ ػػوشػ ػ‬:‫وقػػالػ ػوا‬
Mereka berkata:
Bahwasanya Indonesia hampir bangkrut
‫ػك ْأى ػل ػػوى ػػا * مػ ػ َػن ال ػ ػػألو ِاء والػج ػهػ ِػد‬ ِ
َ ‫وأف يَػ ْػهػػل ػ‬
Penduduknya hancur karena paceklik (hidup susah)
dan (penuh) perjuangan
‫رعى اجلػو ِع فػي اذلِْن ِػد‬
َ‫ص‬
ِ
َ ‫ َىػػاك ػ ُػم قػػومػ ػاً * ل‬:‫فػقػلػنػػا‬
Kita berkata: Lihatlah rakyat yang (mati) bergelimpangan
karena kelaparan di Hindia Belanda
ِ ‫ومػ ػػن ذا ج ػ ػػوع الػ ِه ػنػ َػد * س ػػوى ج ػ ّال ِدىػػا ال ػفػ‬
‫ػرد‬ َ َ َ ْ َ
Tidak ada yang membuat
lapar orang Hindia Belanda kecuali algojonya
‫ص ػلْػ ِػد‬ ِ
َ ‫ إنػنػػا شػػتػػى * فَم ػ ْػن لػي ػ ٍن ومػ ػ ْػن‬:‫وقػال ػوا‬
Mereka mengatakan bahwa kita (bercerai berai karena)
kita majemuk (penduduknya): ada yang lembut dan kasar

139
ِ ‫ػوؾ وال ػ‬
‫ػورد‬ َ ‫ ب ْػل تػآلػ ْفػػنَػػا ائْػ ػ * ػ ػػتِػ‬:‫فػقػ ْل ػنػػا‬
ِ ‫ػالؼ الػشػ‬
Kita jawab (bahwa kita, Indonesia bukan bercerai berai),
tetapi kita harmonis bagaikan simponi duri dan mawar
‫ػورْه‬
َ ‫ػأج ػ ػ‬
ُ ‫ تػلػػك ُج ْػمػهػور * يّػةُ الػ ػي ػػابػ ػػاف م ػ ػ‬:‫وقػال ػوا‬
Mereka berkata: Jepang dibayar
‫ػورْه‬ ِ
َ ‫ َىػػا ُكػ ُػم الػيػابػػا * ُف ف ػػي األغ ػػالؿ مػػأسػ‬:‫فػقػلػنػا‬
Kita berkata: Lihat! Mereka (tentara) Jepang
(kami) borgol dan penjara
‫ػارا‬
َ ‫ػوت والػػن ػ‬ َ ‫فَ ػلَػػمػػا بُػ ِهػػتُػوا‬
َ ‫صػ ػبُّػ ػوا * َعػلَػيػنػا ال ػمػ‬
Apabila mereka menyamar,
mereka lemparkan pada kita kematian dan api
‫ػارا‬ ِ
َ ‫ػاىػ ُػم َعػ ػ ػ ػ ػ‬
ُ ‫والى ػػنّػ ػػا * َو َجػل ػ ْلػػنَػ‬
ُ ،‫فَ ػ َػم ػػا دنّػ ػ ػػا‬
Maka kita tidak rendah,
tidak pula hina, bahkan kita telanjangi mereka
‫أرض إندونػي ػ * ػ ػسػيػا ي ػ ػ ػػا َج ػػن ػ ػةَ الػ ُّػدنْػػيَ ػػا‬
َ ٌ‫س ػػالـ‬
Salam wahai bumi Indonesia, surga dunia
ِ ‫سػ ػػالـ إ ْذ بػعػثْػ‬
‫ػت ال ػعػػز * مػ ػ ػػن أك ػفػػانػػو َح ػػيػ ػػا‬ ََ ٌ
Salam, ketika engkau bangkitkan rasa izzah
dari kafannya menjadi hidup
ِ ‫ػب وم ػػن م ػ‬
‫ػرد‬ ٍ ‫مػشػى أبػنَػػاؤؾ األبػطػػا * ُؿ م ػػن ِش ْػيػ‬
Anak-anak patriotmu (berangkat);
baik tua maupun muda
‫ػج ِػد‬ ِ ‫مػػن الػ‬
ِ ‫ػذؿ إل ػػى الػحػ‬
ْ ‫ػرب * إلػػى النػصػ ِر إلػػى ادل‬
Dari hina dina menuju perang,
kemenangan, dan (tercapai) kemuliaan
‫ػك َى ػ ِػذي اللػي ػ * ػلػةَ ال ػػغَ ػ ّػراءَ فػ ػ ػػي عػ ػيػ ػ ِػد‬
ِ ‫كػأنػا ب ػ‬
Saya menagis bahagia,
(seakan-akan) malam ini malam hari raya
‫ػس * وت ػك ػب ػيػ ػ ٍر وت ػح ػمػ ػي ػ ٍػد‬
ٍ ‫تبػيػتػي َػن ع ػل ػػى أنْ ػ ػ‬
(kita) malam ini (berada) dalam ketenangan,
takbir, dan tahmid
‫ػوـ ف ػػي ِح ػ ِّػل‬ ِ ِ
َ ‫أقيمػي العػي َػد مػػا شػئػت * فػأَنْػت الػيػ‬
Laksanakanlah hari raya ini dengan suka ria
karena hari ini kamu dalam kemerdekaan

140
‫ػف ف ػػي ال ػ ُّػذ ِّؿ‬
ُ ‫َح ػ َػراـٌ أ ْف يػقػيػ َػم الػع ْػي ػ * ػ َػد مػػن ي ْػر ُس‬
Haram bagi orang yang melaksankan hari raya
tapi dalam kehinaan
‫ػصػ ِر‬ ِ ‫أقيمػي العػي َػد مػػا ِشػْئ‬
ْ ‫الع‬
َ ‫الص ْػب ِػح إلػػى‬
ُّ ‫ػت * مػػن‬
Laksanakan hari raya (kemerdekaan) sesukamu
dari pagi hingga sore

ْ ‫وأح ػيػػي لػي ػل ػةَ ال ػ َق ػ ْػد ِر * إل ػ ػػى مػنػبَػلَػ ِػج الػ َفػ‬
‫ػج ػ ِر‬
Hidupkanlah malam lailatul qadar
hingga munculnya fajar
ً‫ػج ػ َػده ع ػػام ػ ػا‬ ِ ِ
َ ‫ضػى عػػاـٌ عػلػى بَػ ْعػث ػ * ػك مػ ػ ػػا ْأم ػ‬
َ ‫َم‬
Tahun berlalu atas pengangkatanmu,
alangkah mulianya tahun (ini)
‫ػامػػا‬ ِ ِ ِ
َ ‫ػسػ‬
ّ ‫بػدا فػػي ظُْل َػمػة األحػػدا * ث طَػلْػ َػق الػ َػو ْجػػو ب‬
Tampak di dalam kegelapan
peristiwa keceriaan wajah yang tersenyum
‫وإنّػ ػ ػػا كػػل ػن ػػا أفْ ػػئِ ػ ػ * ػدةٌ تػ ػه ػ ػفػ ػػو لِػ ػػذكػ ػ ػ َػر ِاؾ‬
Hati kami (rakyat Mesir) selalu merindukanmu
‫ػجػ ػ َػو ِاؾ‬ ِ ِ ‫وأسػ ػمػ ػػاع لػتػك ػب ػيػػر * ِؾ تُػ‬
ْ ‫ػص ػػغ ػػي ل ػػنَ ػ‬
ْ ٌ
Telinga kita selalu mendengar bisikan takbirmu
‫ػج ػ ِػد * ؾ ف ػػي َعػ ْلػيَػػائػِػوِ تَػرنُػػو‬
ْ ‫ػار إلػ ػػى َمػ‬
ٌ ‫وأب ػصػ‬
Mata kita selalu memandangi
kemuliaan dan keagunganmu
‫وش ْػعػبػاً م ػنػػو ُسػوَكػرنػُػو‬
َ * ‫نػحػيِّػي وجػ ػػوَ ُسػوَك ْػرنػػو‬
Kami mengucapkan selamat
kepada Soekarno dan rakyatnya
‫ػحػ ُػن الػػعِػ ِّػز يُ ْش ِػجػيػنَػا‬ ِ
ْ ‫ػحػ ُػن ُمػرديػكػا * ولَػ‬
ْ َ‫َش َجػانػا ل‬
Pekik merdeka
dan lagu kemuliaan menggetarkan (jiwa) kami
ِ ‫فػ ػم ػػا أعػ ػ َذب ػػو ص ػػوتػ ػاً * إلػ ػ ػػى ال ػػعِػ ِّػز يػن‬
‫ػاديْػػنَػػا‬َُ َ َُ ْ
Alangkah merdunya suara (pekikan „merdeka‟)
Yang menyeru kepada kami untuk mencapai kemuliaan
‫ػح ُػن عػلػػى الػبػع ِػد * نػحػيّػػي لَػيػلَ ػةَ الػ ِػذ ْكػ َػرى‬
ْ َ‫فػهػا ن‬
(sekarang) kami (walau) jauh (dari Indonesia)
namun kami memperingati malam kemerdekaan

141
‫ونُػهػ ِػدي فَػ ْػر َح ػةَ الػن ػيػ ػ * ػ ِػل إلنػدونػيػسػيػػا ال ػ ُكػ ْػب ػ َػرى‬
Kami hadiahkan kegembiraan penduduk Nil
untuk Indonesia Raya

Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai perhatian khusus pada kisah


perjuangan bangsa Indonesia, termasuk pada para tokoh pejuangnya. Di mata
Alî Ahmad Bâkatsîr, peran-peran mereka demikian memukau, sehingga ia
tergerak untuk mengabadikan kekuatan karakter mereka dalam drama yang
menjadi corong pengenalan kemerdekaan Indonesia di hadapan para pemirsa
di dunia Arab, yakni melalui penyelenggaraan drama Audatul Firdaus. Alî
Ahmad Bâkatsîr meminjam karakter mereka sebagai bagian untuk membentuk
dunia drama ini yang dramatis dan mampu menciptakan kesan yang
mendalam bagi bangsa Mesir atau negeri-negeri Arab lain pada umumnya.
Syair menjadi media lain yang dipilih Alî Ahmad Bâkatsîr untuk
memperkenalkan perjuangan orang Indonesia. Di antara banyak pejuang
Indonesia, Muhammad Hatta, Sang Proklamator sekaligus Wakil Presiden
Indonesia, menyita perhatian Alî Ahmad Bâkatsîr. Dari kisah perjuangannya,
Alî Ahmad Bâkatsîr seakan memperoleh ilham untuk mengabadikannya ke
dalam kasidah yang dapat dinikmati sebagai suatu karya sastra yang
melapangkan hati serta meluaskan pemikiran pendengarnya. Melalui gubahan
kasidah Bilâduk Yâ Hattâ, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin menunjukkan bahwa di
negeri seberang lautan, yakni di Indonesia, terdapat pula seorang negarawan
yang patut dikenang dunia sebagai pejuang kemanusiaan. Seseorang yang
cerdas pemikirannya dan dikenal sebagi teknokrat ulung di negerinya, bahkan
namanya harum sampai ke Belanda.
Muhammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada
1902. Masa kecilnya penuh dengan kegiatan akademik. Keluarganya yang
beralatar belakang keluarga berkecukupan terhitung mampu memberikan
keperluan pelajaran Hatta kecil.2 Ketika beranjak remaja, Hatta masuk dalam
rijkschool atau Sekolah Raja di Bukittinggi. Sekolah ini didirikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda di Padang, dan hanya diperuntukkan bagi
kelompok penduduk Eropa dan para bangsawan Minangkabau. Hatta
beruntung karena bersekolah di sini. Ini memberi kesempatan baginya untuk
belajar bahasa Belanda sebagai bekal untuk membaca buku-buku ilmu
pengetahuan yang saat itu memang masih banyak yang berbahasa Belanda. 3
Hatta sempat bersekolah di Belanda. di sana ia tergabung dalam
perkumpulan politik yang membahas tentang kemungkinan Indonesia

2
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung
Hatta, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hal. 30 – 31.
3
Ahmad Zubaidi, "Landasan Aksiologis Pemikiran Bung Hatta Tentang
Demokrasi", dalam Jurnal Filsafat, Vol. 21, No. 2, 2011, hal. 87-98.

142
merdeka.4 Setelah kembali ke Indonesia, ia segera tergabung dengan para
pejuang Indonesia, termasuk dengan Soekarno, Sjahrir, Ahmad Soebardjo dan
lain sebagainya.5
Jika Soekarno kerap dilabelkan sebagai figur teladan para pejuang6,
maka Hatta adalah sosok yang mengisi bobot Soekarno. 7 Hatta memang tidak
terlalu pandai dalam pidato-pidato yang menggelegar seperti Soekarno,
namun pendapatnya selalu menjadi pertimbangan Soekarno. Pengalamannya
bergaul dengan orang Belanda dan mengetahui garis politik Kerajaan Belanda
termasuk negeri jajahannya, Hindia Belanda 8, membuat Soekarno merasa
perlu mengunduh ilmu pengetahuan dari Hatta, kemudian memperkayanya
dengan ungkapan-ungkapan yang menyentuh hati rakyat Indonesia saat ia
berpidato. Hatta mempunyai wawasan politik intrenasional yang cukup baik,
sehingga ia juga menjadi konseptor ide-ide besar yang kemudian
diaplikasikan dalam roda pemerintahan Indonesia, termasuk gagasan untuk
menyelenggarakan negara dengan azas demokrasi. 9
Alî Ahmad Bâkatsîr menaruh kekaguman pada sosok Hatta. Hatta
adalah pribadi akademik yang mengerti bertindak untuk rakyatnya yang
sedang berada dalam kesulitan di bawah belenggu kolonial. Latar belakang
keluarga berkecukupan, nyatanya tidak menghalangi Hatta untuk bergaul dan
memikirkan kesulitan orang di bawahnya. Dedikasi pemikirannya bagi proses
pendewasaan Indonesia cukup besar. Gagasannya terngiang dan dilanjutkan
oleh para generasi pejuang bangsa. Bersama Soekarno, ia menjadi dwitunggal
yang memandu rakyat Indonesia yang masih belia dalam bernegara. Wawasan
keislaman Muhammad Hatta juga menjadi indikator bahwa ia merupakan
4
Sri Soeprapto, "Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila
dalam Perspektif Etika Pancasila", dalam Jurnal Filsafat, Vol. 23, No. 2, 2013, hal.
99-116; Lihat juga Klaas Stutje, "Indonesian Identities Abroad: International
Engagement of Colonial Students in the Netherlands, 1908-1931", dalam BMGN-Low
Countries Historical Review, Vol. 128, No. 1, 2013, hal. 151-172; Lihat juga
Atiqoh,"Perhimpunan Indonesia sebagai Organisasi Pergerakan Indonesia yang
Revolusioner (1922-1930)", dalam Risalah, Vol. 2, No. 6, 2016.
5
Gili Argenti dan Dini Sri Istiningdias, "Soekarno's Political Thingking About
Guided Democracy", dalam Jurnal Politikom Indonesiana, Vol. 3, No. 2, 2018, hal.
46-63.
6
Herbert Feith, "President Soekarno, the Army and the Communists: the
Triangle Changes Shape", dalam Asian Survey, 1964, hal. 969-980.
7
Ahmad Ali Nurdin, "Revisiting Discourse on Islam and State Relation in
Indonesia: the View of Soekarno, Natsir and Nurcholish Madjid", dalam Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 6, No. 1, 2016, hal. 63-92.
8
Stutje, "Indonesian …‖, hal. 151-172.
9
Pangeran Nagari Hutabarat dkk, "Pemikiran Politik Mohammad Hatta
Tentang Demokrasi", dalam Journal of Politic and Government Studies, Vol. 4, No.
2, 2015, hal. 146-160.

143
tokoh bangsa yang condong para perjuangan orang Islam, meskipun tidak
harus ia menerapkannya dalam politik kenegaraan.
Kasidah Bilâduk Yâ Hattâ adalah salah satu karya sastra yang
berbentuk puisi (syair). Kasidah ini didendangkan pada tahun 1949, dalam
rangka perayaan penyambutan Muhammad Hatta di Mesir setiba dari Belanda
dalam rangka menghadiri Komperensi Meja Bundar (KMB). 10 Secara garis
besar, kasidah ini berisi tentang kisah perjuangan rakyat Indonesia dalam
menghadapi penjajahan di Indonesia. Berikut terjemahan qashidah Bilâduk Yâ
Hattâ. Berikut syairnya:

‫بالدك ياحتا‬
Negerimu, Wahai Hatta

‫ب ػ ػ ػ ػػالدؾ ياحتػ ػ ػػا جنػ ػ ػ ػ ػ ػػاف وأن ػ ػ ػػهار * وقومك يا حتا مغاويػ ػ ػ ػػر أحػ ػ ػ ػ ػرار‬
Negreimu - wahai Hatta – adalah surga dan telaga,
rakyatnya – wahai Hatta – adalah para pejuang yang gagah berani
‫تآلػ ػ ػ ػ ػ ػوا ليب ػ ػ ػ ػ ػػغن احليػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػاة كػ ػري ػ ػ ػم ػ ػػة * وإال فإف ادلػ ػػوت لل ػ ػ ػ ػ ػ ػػذؿ ست ػ ػ ػ ػػار‬
Hiduplah mulia * atau (jika tidak),
maka matilah (dalam keadaan) syahid
‫وصاحوا مجيعا مرديكا فتجاوبت * بذي الصيحة الكربى جنود وأغوار‬
Dan mereka para pejuang (cendekiawan dan pejuang) menjawab
dengan pekikan suara yang membahana: Merdeka!
‫وىبػ ػ ػ ػوا فهبت عاصف ػ ػ ػػات رواعد * وثجت غيػ ػ ػ ػ ػػوث من دم ػ ػ ػػاء وأمػطار‬
Mereka bergerak laksana tiupan badai bencana,
dan (kalau sudah demikian) akan banjir darah
‫دماء األىػ ػ ػ ػ ػ ػػايل واألعادي ت ػ ػػمازجت * تشحط فيها صال ػ ػ ػػحوف وفج ػػار‬
Darah penduduk dan musuh bercampur;
mengalirlah darah orang baik dan orang durhaka
‫فللص ػ ػ ػ ػػاحلُت اخلل ػ ػ ػػد قد وعػ ػ ػػدوا بو * وللػ ػ ػػظادلُت الن ػ ػ ػػار يا بئست النػ ػ ػ ػ ػ ػػار‬
Orang-orang baik dijanjikan akan langgeng,
dan orang-orang yang zalim maka tempatnya adalah sejelek-jeleknya api
‫ومن عاش منػػا فاز بالن ػ ػػصر وادل ػ ػ ػ ػػٌت * ومن عاش منػ ػ ػػهم فاذلزيػ ػ ػػمة والع ػ ػػار‬
Barang siapa yang hidup dari kita maka beruntung mendapatkan pertolongan
dan harapan, dan barang siapa yang hidup dari mereka maka mereka akan
lari dan terlantar

10
Muhammad Abu Bakar Hamîd, Indûnîsiyâ Malhamah al-Hubb wa al-
Hurriyyah fî Hayâh Alî Ahmad Bâkatsîr wa Adabih, hal. 16-17

144
‫ىنػ ػ ػ ػ ػػالك قامت دولة مشػ ػػرقيػ ػ ػػة * ل ػ ػػها العز دستػ ػ ػ ػػور ل ػػها الػمجد مضػ ػ ػػمار‬
Di sana berdiri Negara Timur yang mempunyai undang-undang yang
bermartabat
‫ث ػ ػ ػ ػ ػػمانػ ػ ػػوف مليػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػونػ ػ ػػا أب ػ ػػاة بواسػ ػ ػػل * يػ ػ ػ ػػؤي ػ ػ ػ ػ ػػدىػ ػػم دي ػ ػػن من الل م ػ ػ ػخػ ػت ػ ػ ػ ػػار‬
Delapan puluh juta orang pemberani yang membela agamanya Allah
‫ب ػ ػ ػ ػػالدؾ ياحػ ػ ػتػ ػ ػػا جػ ػنػ ػ ػ ػ ػ ػػاف وأنػ ػ ػ ػهػ ػػار * وق ػػومػ ػػك يا حػ ػ ػت ػ ػػا مغ ػ ػ ػػاويػ ػ ػ ػػر أحػ ػ ػ ػ ػرار‬
Negarimu – wahai Hatta – adalah surga dan telaga,
rakyatnya – wahai Hatta – adalah para pejuang yang gagah berani
‫فػ ػ ػ ػػأي كم ػ ػ ػ ػػاؿ اليتػ ػ ػ ػ ػػاح ألمة * زكت روحػ ػ ػ ػػها واخص ػ ػػوصب الرب ػ ػ ػػع وال ػ ػ ػ ػ ػػدار‬
Banyak keistimewaan (yang dimiliki oleh Indonesia)
yang tidak diberikan kepada bangsa lain
‫لقد طمع الباغوف يف خصب أرضها * وغ ػ ػ ػ ػ ػػرى ػ ػػم مػ ػن ػ ػ ػػها ن ػ ػ ػعػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػيم وإيس ػ ػ ػ ػ ػ ػػار‬
Para penjajah tergiur atas kesuburan Indonesia,
mereka tertarik akan keindahan dan kekayaannya
‫وطاؿ ل ػ ػ ػػهم فيػ ػ ػ ػػها مػ ػقػ ػ ػ ػ ػػاـ فأيػ ػ ػ ػقػ ػ ػ ػ ػن ػ ػوا * ب ػ ػ ػ ػ ػػأنػ ػ ػ ػػهم ب ػ ػ ػ ػػاقػ ػ ػ ػػوف وال ػ ػ ػػدى ػ ػ ػ ػػر دوار‬
Mereka berlama-lama tinggal di Indonesia
dan berkeyakinan bahwa mereka selamanya tinggal di Indonesia
‫نسػ ػ ػوا أن ػ ػػها أرض الب ػ ػ ػراكُت إف ت ػ ػ ػه ػػج * فلي ػ ػػس ل ػ ػػهم واؽ وليػػس ل ػ ػػهم ج ػ ػػار‬
Mereka lupa bahwa (Indonesia) adalah daerah „gunung berapi‟ maka
jika(gunung tersebut) meletus maka tiada tempat berlindung dan penolong
bagimu
‫إىل أف أتى األمػ ػ ػ ػػر اإللػ ػػهي فالتػ ػ ػ ػ ػػظت * يؤج ػ ػ ػجػ ػػها من غض ػ ػ ػ ػػبة الل إعص ػ ػ ػ ػػار‬
Sampai datanglah perintah Ilahi maka berkobarlah (Indonesia); (jika) Allah
murka, maka topan akan memporak-porandakannya
‫فأضحت ىولنػ ػ ػ ػػدا بُت يػ ػ ػ ػ ػػوـ ولي ػ ػ ػ ػػلة * كأسط ػ ػ ػ ػ ػػورة لػ ػ ػ ػػم ي ػ ػ ػ ػػروىػ ػ ػ ػػا بعد س ػ ػ ػػمار‬
Jelaslah Belanda antara siang dan malam,
seperti legenda yang belum pernah diceritakan oleh para pendongeng
‫أراد بػ ػ ػ ػغ ػ ػ ػػاة الػ ػ ػ ػغ ػ ػ ػػرب إحي ػ ػ ػػاءىا س ػ ػ ػػدى * وصب ستػ ػ ػ ػرلي ػ ػ ػػن ع ػ ػ ػػلي ػ ػ ػػها ودوالر‬
Penjajah Barat berusaha untuk menguasai (Indonesia) tapi (usaha tersebut)
sia-sia, padahal mereka (berani) menggelontorkan pounsterling dan dolar
ِ ‫وجاؤا علي ػ ػ ػػها بالت ػ ػ ػػعاويذ وال ػ ػ ػػرقي * فلم يػ ػ ػ ػ‬
‫جد ما طبػ ػ ػ ػوا ول ػ ػ ػػم يغػ ػ ػ ػ ِن ما م ػ ػ ػػاروا‬ُ
Mereka datang dengan membawa jimat dan mantera, (tapi semua itu) tidak
berguna (padahal) mereka telah berbuat berbuat baik
‫ق ػ ػ ػػضى الل إندون ػ ػ ػػيسيا الي ػ ػ ػػوـ ح ػ ػ ػػرة * أق ػ ػ ػػر ب ػ ػ ػػها ال ػ ػ ػػمخ ػ ػ ػػذوؿ أـ من ػ ػ ػػو إن ػ ػ ػػكار‬
Pada hari ini (17 Agustus 1945) Indonesia telah ditakdirkan merdeka,

145
pecundang itu mau mengakui atau mengingkari
‫إذا آم ػ ػ ػػن الش ػ ػ ػػعب األب ػ ػ ػػي ب ػ ػ ػػحق ػ ػ ػػو * فلي ػ ػ ػػس ل ػ ػ ػػو ف ػ ػ ػػوؽ الب ػ ػ ػػسي ػ ػ ػػطة قػ ػ ػ ػه ػ ػ ػػار‬
Ketika warga negara seayah percaya akan haknya,
maka tidak ada orang yang bisa memaksanya?
‫على الط ػ ػ ػػائر ادلي ػ ػ ػػموف ياخ ػ ػ ػػَت ق ػ ػ ػػادـ * من الغ ػ ػ ػػرب ن ػ ػ ػػحو الشرؽ حتدوه أنوار‬
Perjalanan yang berkah, wahai sebaik-baiknya orang yang datang
dari Barat ke arah Timur yang disinari cahaya
‫حتي ػ ػ ػػيك يا حػ ػ ػ ػت ػ ػ ػػا ال ػ ػ ػػكن ػ ػ ػػانة كل ػ ػ ػػها * ويرع ػ ػ ػػاؾ حب م ػ ػ ػػن بن ػ ػ ػػيه ػ ػ ػػا وأكب ػ ػ ػػار‬
Semua warga Mesir (Kinanah) akan menyambutmu dengan hangat wahai
Hatta, dan kecintaan dari (warga Mesir) tua dan muda akan selalu
menjagamu
‫ومص ػ ػ ػػر ت ػ ػ ػػحب الب ػ ػ ػػاذل ػ ػ ػػُت نفوس ػ ػ ػػهم * ألوطان ػ ػ ػػهم مه ػ ػ ػػما تن ػ ػ ػػاءت ب ػ ػ ػػهم دار‬
Orang-orang Mesir mencintai orang-orang yang berkorban dengan sepenuh
jiwa demi tanah airnya walaupun jauh dari rumah tinggalnya
‫إذا ىب ػ ػ ػػطوى ػ ػ ػػا ع ػ ػ ػػائ ػ ػ ػػذين من األذى * ف ػ ػ ػػفي ػ ػ ػػها ل ػ ػ ػػهم أم ػ ػ ػػنٌ وج ػ ػ ػػود وإيػ ػ ػ ػث ػ ػ ػػار‬
Ketika mereka kembali ke Tanah Airnya maka mereka terlindungi dari
gangguan, di Tanah Airnya mereka aman, tenteram, dan peduli pada orang
lain
‫ػالت ل ػ ػ ػػو يف الش ػ ػ ػػرؽ والغ ػ ػ ػػرب أخبػ ػ ػ ػار‬
ْ ‫فكي ػ ػ ػػف برم ػ ػ ػػز للج ػ ػ ػػهاد مظػ ػ ػ ػفػ ػ ػ ػر * تع ػ ػ ػ‬
Bagaimana menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia
ke Dunia Timur dan Barat
‫ػمر ب ػ ػ ػػها حل ػ ػ ػػما ج ػ ػ ػػمي ػ ػ ػػال مػ ػ ػ ػح ػ ػ ػػببا * ت ػ ػ ػػجي ػ ػ ػػش ل ػ ػ ػػها من ػ ػ ػػو أم ػ ػ ػػاؿ وأوط ػ ػ ػػار‬
ّ ‫يػػػ‬
Informasi-informasi menembus mimpi yang indah dan dicintai;
dari mimpi itu maka berkobarlah cita-cita dan banyak harapan.
‫نص ػ ػ ػػَت سوكرنو فػ ػػي ال ػ ػ ػػجهاد وصن ػ ػ ػػوه * كص ػ ػ ػػاحب ط ػ ػ ػػو ي ػ ػ ػػوـ ضم ػ ػ ػػهما الغار‬
Persahabatan Soekarno dan sahabatnya (Hatta) dalam berperang,
bagaikan Nabi dan sahabatnya (Abu Bakar) di gua (Hira)
‫س ػ ػ ػػالـ علي ػ ػ ػػهم ما استم ػ ػ ػػات م ػ ػ ػػجاىد * ف ػ ػ ػػفاز ب ػ ػ ػػما يب ػ ػ ػػغي وم ػ ػ ػػا م ػ ػ ػػاؿ جبار‬
Salam wahai pejuang yang berani mati, beruntunglah ia (dapat menemukan)
apa yang iacari dan tidak (berlaku) sewenang-wenang
‫س ػ ػ ػػالما ف ػ ػ ػػىت األحػ ػ ػ ػرار من إندوني ػ ػ ػػسيا * جه ػ ػ ػػادؾ مش ػ ػ ػػكور وفض ػ ػ ػػلك سي ػ ػ ػػار‬
Salam, wahai pemuda pejuang (kemerdekaan) Indonesia, Kesungguhanmu
(patut) disyukuri, dan kelebihanmu banyak terdengar (tersiar)
‫ووجهػ ػ ػ ػ ك نبػ ػ ػ ػراس من ال ػ ػ ػػحق ت ػ ػ ػػهتدي * قل ػ ػ ػػوب ب ػ ػ ػػو للػ ػ ػ ػح ػ ػ ػػائػ ػ ػ ػرين وأبػ ػ ػ ػص ػ ػ ػػار‬
Wajahmu laksana pelita kebenaran yang bisa mengarahkan mata hatinya
orang-orang yang bimbang (bingung)

146
‫إذا جئت إندوني ػ ػ ػػسي ػ ػ ػػا فارع رل ػ ػ ػػدىا * وثبت خط ػ ػ ػػاىا وىي بال ػ ػ ػػحق تسػ ػ ػ ػت ػ ػ ػػار‬
Jika kamu datang ke Indonesia, maka jagalah kemuliaannya (Indonesia) dan
mantapkanlah langkahnya karena (langkahnya tersebut) telah sesuai dengan
kebenaran.
‫وص ػ ػ ػػن رح ػ ػ ػػم اإل س ػ ػ ػػالـ فهي وشيػ ػ ػ ػج ػ ػ ػػة * تش ػ ػ ػػابك أقػ ػ ػ ػواـ علي ػ ػ ػػها وأقػ ػ ػ ػط ػ ػ ػػار‬
dan jagalah tali keislaman (silaturahim) karena hal itu (silaturahim) adalah
konektor yang dapat menghubungkan rakyat (negara) dan (rakyat) dari
banyak penjuru.
‫ىي العروة الوثقى ىي القوة اليت * يتم هبا للسلم يف األرض إقرار‬
Konektor tersebut adalah merupakan ikatan yang kuat; kekuatan yang dapat
dipergunakan untuk mencapai pengakuan dunia (internasional) atas
kemerdekaan (Indonesia)
‫والتن ػ ػ ػػس أبن ػ ػ ػػاء العروب ػ ػ ػػة إن ػ ػ ػػهم * ألمة إندوني ػ ػ ػػسيا الدى ػ ػ ػػر أنصار‬
Jangan kamu lupakan anak-anak Arab karena mereka adalah penolong
rakyat Indonesia selalu
‫حرى ذلوؿ الذي صاروا‬
ّ ‫عيوهنم ق ػ ّػرت ببشرى هنوضها * وأكبادىم‬
Orang-orang Arab gembira atas kebangkitan Indonesia, dan hati mereka
akan merasakan sakit manakala kalian tertimpa musibah
‫تداعت ذئاب الغرب طرا عليهم * وديست بأق ػ ػ ػػداـ اليهود ذلم دار‬
Serigala-serigala Barat telah menghancurkan semua,
rumah (negara) mereka diinjak-injak dengan telapak (kaki) Yahudi
‫فلسطُت ياعظم ادلصاب استحلها * مناكيد من رجس اخلليقة أشرار‬
Palestina – bencana besar – yang dijajah oleh makhluk yang keji dan jahat
‫كسا ادلسجد األقصى ب ػ ػ ػػها اليوـ ذلة * وع ػ ػ ػػاث بآثار النب ػ ػ ػػيُت فج ػ ػ ػػار‬
Hari ini, (makhluk) yang hina tersebut merusak Masjid Aqsha
(para) durjana merusak jejak-jejak (peninggalan) para Nabi
‫وأجلي أىلوىا فأض ػ ػ ػػحوا يروع ػ ػ ػػهم * شق ػ ػ ػػاء وتشػ ػ ػ ػريد وذؿ وإعس ػ ػ ػػار‬
Warga (Palestina) terusir sehingga warganya menjadi korban.
Dia menakut-nakuti (warga Palestina): dipersulit, diusir,
dihinakan, dan dibangkrutkan.
‫أذؿ شعوب األرض صار ل ػ ػ ػػهم هبا * كياف وسل ػ ػ ػػطاف وطب ػ ػ ػػل ومزم ػ ػ ػػار‬
(Palestina) Bangsa yang paling hina di dunia,
padahal mereka mempunyai tanah air, kekuasaan, drum, dan seruling
‫فإف مل يغث ػ ػ ػػها ادلسلم ػ ػ ػػوف بنجدة * صالحية ت ػ ػ ػػروى ل ػ ػ ػػها الدىر أخب ػ ػ ػػار‬
Jika dia tidak ditolong oleh orang Islam dengan pertolongan
yang baik maka dia tinggal cerita

147
‫فإ يعود ب ػ ػ ػػها احلق الصػ ػ ػ ػريح ألىل ػ ػ ػػو * ودتحى خطي ػ ػ ػػئات وتغ ػ ػ ػػفر أوزار‬
Kebenaran yang nyata akan kembali kepada yang pemiliknya;
kesalahan akan dihapuskan dan dosa-dosa akan dimaafkan
‫فلن يرت ػ ػػجى للمسلم ػػُت كرام ػ ػػة * ولن ينمحي عنهم إىل األب ػ ػ ػػد الع ػ ػػار‬
Tidak akan diharapkan kemuliaan bagi orang islam dan tidak akan terhapus
dari orang islam selamanya noda (yang ditinggalkan)
‫ب ػ ػ ػ ػػالدؾ ياح تػ ػ ػػا جنػ ػ ػ ػ ػ ػػاف وأن ػ ػ ػػهار * وقومك يا حتػ ػ ػ ػػا مغاويػ ػ ػ ػػر أحػ ػ ػ ػ ػرار‬
Negarimu - wahai Hatta – adalah surga dan telaga,
rakyatnya – wahai Hatta – adalah para pejuang yang gagah berani
‫لعػ ػ ػ ػػل قوى اإلسالـ تنػ ػ ػ ػػمو هبم غدا * فتسمو هبم منو شعوب وأقػ ػ ػ ػػطار‬
Semoga, di suatu saat nanti, Islam yang kuat akan muncul di Indonesia, dan
Islam Indonesia menjadi kiblat dari berbagai Negara di penjuru dunia
‫وختفق رايػ ػ ػ ػػات وتسػ ػ ػ ػػري جحافل * وتطلع يف الدنيا شػ ػ ػ ػػموس وأقمار‬
Berkibarlah bendera (kemerdekaan Indonesia), sirnalah tentara (penjajah
dari bumi Indonesia) maka muncullah „matahari‟ dan „bulan‟ di belahan
dunia

E. Keindahan Puisi Alî Ahmad Bâkatsîr; Irama, Sajak, dan Bahasa


Ahmad Hasan al-Zayyât mengemukakan bahwa puisi (syi‟r) adalah suatu
kalimat yang berirama (wazan) dan bersajak (qâfiyah) yang mengungkapkan
khayalan yang indah (balâghah) dan melukiskan suatu peristiwa yang
terjadi. 11 Berkaca dari definisi ini maka penulis berusaha menganalisa puisi
Alî Ahmad Bâkatsîr dari aspek irama, sajak, dan keindahannya dari aspek
ilmu balâghah. Termasuk dalam unsur intrinsik, antara lain irama (ilmu arûd),
sajak (ilmu qâfiyah) dan keindahan bahasa (balâghah). Sedangkan yang
terhimpun dalam unsur ekstrinsik, dalam hal ini adalah analisa sosiologi sastra
yang akan dibahas setelah bagian ini.
1. Irama dan sajak
a) Irama dan sajak syair Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ

‫ُس ػ ػ ػ ػ ػ ِػد‬ ِ
ْ ‫ض ػ ػ ػةَ الػمػ ػ ػ ػ ػ ػجػػد * سػ ػ ػ ػػالـٌ غػػاب ػ ػ ػػة األ‬ َ ‫سػ ػ ػ ػػالـٌ َرْو‬
. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ ا‬.‫ ا‬.‫ * ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ا‬. ‫ا ا‬
‫م ػ ػ ػ ػ ػػفاعيػلن م ػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػاعػ ػ ػ ػ ػيػ ػػلن * مػ ػ ػ ػ ػػفاعي ػ ػ ػػلن مػ ػف ػ ػ ػ ػػا عيػ ػلػػن‬

11
Ahmad Hasan al-Zayyât, Târîkh al-Adab al-„Arabî, (Kairo: Dâr al-Nahdlah,
T.t), hal.28.

148
‫ػاف والػػو ْر ِد‬‫ػاس * م ػ ػ ػػن الػريػ ػ ػح ػ ػ ِ‬ ‫ن ػح ػيِّ ػ ػ ػي ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ِ‬
‫ػك ب ػ ػػأن ػ ػ ػفػ ػ ػ ػ ػ ػ ٍ‬ ‫ْ‬
‫ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا‪ * .‬ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ‪.‬‬
‫مفا عيػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػل م ػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػػلن * م ػ ػ ػ ػ ػف ػػا عي ػ ػػلن م ػ ػفػػا عي ػػلن‬

‫ػات‬
‫س ػ ػ ػ ػ ػػالـٌ مػػن ُربُػ ػ ػ ػ ػ ػػو ِع الػن ػ ػ ػ ػي ػ * ػػل ت ػ ػ ػػزجػ ػي ػ ػ ػ ػػو ال ػص ػبػ ػػاب ػ ُ‬
‫ا ا ‪.‬ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ * .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪.‬ا‪ .‬ا‪.‬‬
‫مػ ػ ػ ػ ػ ػفػػاعي ػػلن مػ ػف ػ ػ ػ ػ ػػا عيػ ػ ػ ػػلن * م ػ ػ ػ ػ ػف ػػا عيػ ػ ػ ػ ػ ػػلن م ػ ػ ػف ػػاعيلن‬

‫ػات‬ ‫ِ ِ‬
‫ػات * ب ػ ػ ػهػ ػ ػ ػػيّػ ػ ػ ػ ػػات ش ػ ػ ػ ػػذيػّ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ُ‬
‫وتُػ ػ ػ ػ ػثْػ ػ ػ ػ ػػن ػ ػ ػ ػيػ ػ ػ ػ ػػو تػ ػحػ ػػيّػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ٌ‬
‫ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ا ‪ .‬ا ‪.‬ا ‪ * .‬ا ا ‪.‬ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪.‬ا ‪.‬‬
‫مفػ ػ ػػا ع ػ ػ ػ ػي ػ ػػل مػ ػ ػ ػفػ ػػا عيػػلن * م ػ ػ ػف ػ ػ ػػاع ػ ػيػلن مػ ػ ػ ػ ػ ػ ػف ػػا عيلػن‬

‫إلػ ػػى سػب ػ ػ ػ ػعػ ػ ػي َػن ِمػ ػ ػلػي ػ ػ ػ ػػون ػ ػ ػ ػاً * م ػ ػػن ال ػ ػ ػ ػت ػ ػ ػ ػ ػػالػيػ َػن لػلػ ػ ػ ػ ػػذكػ ػ ػ ػ ِر‬
‫ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ * .‬ا ا ‪ .‬ا ‪.‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا‪.‬‬
‫مفا عي ػ ػ ػ ػ ػػلن مػ ػ ػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػػلن * م ػ ػ ػف ػ ػ ػػا عػ ػ ػ ػ ػػيلن م ػ ػف ػػا عي ػػلن‬

‫مػ ػ ػ ػ ػػن ال ػ ػػمع ػ ػ ػلػيػن لػ ػػإلسػ ػ ػػال * ـ والػ ػ ػ ػم ػ ػ ػػردي ػ ػ ػ ػ َػن ل ػل ػك ػ ػ ػ ػف ػ ػ ػ ػ ِر‬
‫ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪.‬ا ‪ .‬ا ‪ * .‬ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪.‬ا ‪.‬‬
‫م ػ ػ ػ ػ ػفػػا عي ػ ػ ػ ػػلن م ػفػػاعي ػ ػ ػػلن * م ػ ػ ػػفا ع ػ ػ ػيػ ػػلن مػ ػف ػػا عيػ ػ ػلػن‬

‫ػسػ ػ ػيػا ي ػػا جػ ػن ػ ػ ػ ػ ػةَ ال ػ ػ ػ ُػدنْػ ػ ػ ػيػ ػ ػػا‬ ‫*‬ ‫أرض أن ػ ػ ػ ػػدونػ ػ ػ ػ ػي ػ‬‫س ػ ػػال ـٌ َ‬
‫ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪.‬‬ ‫*‬ ‫ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪.‬‬
‫م ػػفا عي ػ ػ ػػلن مػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػلػػن‬ ‫*‬ ‫م ػ ػ ػ ػػفا عيػػلن مػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػػلن‬
‫ز م ػػن أك ػف ػ ػ ػػا ن ػ ػ ػ ػ ػػو َح ػػيّ ػ ػ ػػا‬ ‫*‬ ‫ػت ال ػعػػز‬ ‫سػ ػ ػ ػ ػػالـ إ ْذ بػ ػ ػ ػػعػ ػ ػثْػ ِ‬
‫َ‬ ‫ٌ‬
‫ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا ‪.‬ا ‪.‬‬ ‫*‬ ‫ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ‪.‬‬
‫م ػػفا عي ػ ػ ػػلن مػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػلػػن‬ ‫*‬ ‫م ػ ػ ػ ػػفا عيػػلن مػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػا عي ػ ػ ػػلن‬

‫‪149‬‬
ً‫َم ػضػى ع ػ ػ ػ ػػاـٌ ع ػ ػ ػ ػ ػ ػلػى ب ػ ػ ػعػ ػ ػث ػ * ػك م ػ ػػا أمػ ػ ػ ػ ػجػ ػ ػ ػ َػدهُ عػ ػ ػ ػػامػ ػ ػ ػا‬
. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا * ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ا ا‬
‫مػ ػ ػف ػ ػ ػػا عػ ػ ػيػػلن مػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػا عيػػل * مػ ػ ػ ػ ػ ػ ػفػػا عي ػ ػػل م ػفػا عػ ػ ػ ػ ػي ػلػػن‬

ً‫ػسػػام ػا‬ ِ ِ ِ
ّ ‫ب ػ ػ ػ ػ ػػدا فػػي ظُػ ػ ػ ػل ػ ػ ػ ػم األح ػ ػ ػ ػػدا * ث طػ ػ ػ ػ ْلػ ػ ػ َػق الػػوج ػػو بَػ ػ‬
. ‫ ا‬. ‫ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ * ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا ا‬. ‫ ا‬.‫ا ا‬
‫م ػ ػ ػ ػػفا ع ػ ػي ػػل م ػ ػفػ ػػا عي ػػلن * مػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػ ػػا ع ػ ػي ػػلن مػ ػفػ ػػاعيػ ػلػػن‬
Dengan melihat irama qashidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ yang
menggunakan pola irama mafa‟ilun mafa‟ilun * mafa‟ilun mafa‟ilun,
maka bahar qashidah ini adalah bahar hazj.
Emil Badi‘ Ya‘qub dalam bukunya, al-Mu‟jam al-Mufashshal fi Ilm
al-Arûd wa al-Qâfiyah wa Funûn al-Syi‟r menyatakan bahwa bahar
hazj adalah bahar yang kurang bagus digunakan untuk puisi-puisi yang
bergenre masalah-masalah serius, seperti genre perjuangan. Bahar
hazj hanya cocok dinikmati sebagai keindahan syair saja.12
Qashidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ pada masing-masing
bait puisinya terdiri dari dua syatr (penggalan) yang seimbang; masing-
masing penggalan terdiri dari dua taf‟ilah (irama). Dengan demikian,
maka taf‟ilah pada masing-masing bait puisi terdiri dari empat. Irama
dalam qashidah ini ada yang shahih13 ada pula yang zihaf14 atau illat15,
yaitu:

1) Bait puisi yang semua iramanya shahih


‫ُس ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ِػد‬ ِ
ْ ‫ض ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػةَ الػمػ ػ ػ ػ ػ ػجػػد * سػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػالـٌ غػػا بػ ػ ػ ػ ػ ػػة األ‬
َ ‫سػ ػ ػ ػ ػ ػػالـٌ َرْو‬

12
Emîl Badî‘ Ya‘qûb, al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah
wa Funûn al-Syi‟r, (Beirût: Dâr al-Kutub, 1991), cet.1, hal. 156
13
Shahih adalah irama yang tidak ada zihaf dan illat. Lihat Emîl Badî‘
Ya‘qûb, al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah wa Funûn al-Syi‟r,
hal.300
14
Zihaf adalah perubahan yang terjadi pada huruf kedua dari sabab. Lihat Emil
Badî‘ Ya‘qûb, al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah wa Funûn al-
Syi‟r, hal. 254
15
Illat adalah perubahan yang terjadi pada huruf kedua pada sabab dan watad
yang berada di ‗arud dan darb. Lihat Mas‘an Hamid, Ilmu Arûd dan Qawafi,
(Surabaya: Al_ikhlas, 1995), hal. 149.

150
. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ ا‬.‫ * ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ا‬. ‫ا ا‬
‫مفاعي ػ ػ ػ ػ ػ ػػلن مػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػا عيػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػلن * مػ ػ ػ ػ ػػفاعيػ ػػلن م ػ ػ ػف ػ ػ ػ ػػا عيػ ػ ػ ػ ػل ػػن‬
‫صحيح‬ ‫صحيح‬ ‫صحيح صحيح‬
Semua taf‟ilah yang terdapat di bait puisi tersebut di atas hurufnya
utuh tidak ada yang hilang atau berkurang, alias tidak berzihaf
maupun berillat; ‫( ﻣفﺎعﯿـهه‬terdiri dari tujuh huruf).

2) Kaff (membuang huruf ketujuh yang mati) 16

‫ػج ِػد‬
ْ ‫ب * إلػػى الن ػ ػ ػ ػ ػص ػ ػ ِر إلػػى ال ػ ػ ػم‬ ِ ‫مػػن ال ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػذؿ إل ػػى الػ ػ ػ ػ ػح ػ ػ ػ ػػر‬
ْ
.‫ا‬.‫ا‬. ‫ ااا‬. ‫ا‬.‫ * ا ا‬.‫ا‬.‫ ا‬.‫اا ا‬.‫ ا‬. ‫ا ا‬
‫مػ ػفػ ػ ػ ػػا عيػ ػ ػ ػ ػػل م ػ ػفػ ػػا عيػ ػ ػ ػ ػلػ ػػن * م ػ ػف ػػا عيػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػل مػف ػ ػ ػػا عيػ ػ ػل ػػن‬
‫صحيح‬ ‫كف‬ ‫صحيح‬ ‫كف‬
Taf‟ilah yang pertama, ‫ ﻣفﺎعﯿم‬asalnya ‫ﻣفﺎعﯿهه‬, itu huruf ketujuhnya
dibuang. Pembuangan huruf ketujuh seperti ini disebut dengan zihaf
kaff
3) Tasbîgh (menambah satu huruf mati di akhir sabab khafîf)17

‫ػح ػ ػ ػ ػ ِػد‬ ِ ِ
ْ ‫ػالـ * من ال َػم ْػه ػ ػ ػ ػػد إلػ ػػى الػل‬ ْ ‫ُى ػ ُػم األعػ ػ ػ ػ ػ ػػداءُ لػػإلس ػ ػ ػ ػ‬
. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ * ا ا‬..‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬. ‫ا‬. ‫ا ا‬
‫م ػف ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػاعي ػ ػ ػ ػ ػ ػػلن م ػ ػ ػ ػ ػفػ ػػا عيػ ػ ػ ػػال ْف * مػ ػ ػفػ ػػا عيػ ػ ػ ػػل مػفػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػا عي ػ ػ ػ ػل ػػن‬
‫صحيح‬ ‫كف‬ ‫تسبيغ‬ ‫صحيح‬
ْ
Taf‟ilah yang kedua, ‫ﻣفﺎعﯿﻼن‬ asalnya ‫ﻣفﺎعﯿهه‬, itu huruf mati yang
berada di akhir itu adalah huruf tambahan. Penambahan satu huruf
di akhir taf‟ilah seperti ini disebut dengan tasbîgh
4) Qabd (membuang huruf kelima yang mati) 18

16
Khatibul Umam, Al-Muyassar fî Ilm al-Arûd, (Jakarta: Syirkah Hikmah
Syahîd Indah, 1992), cet.2, hal. 53
17
Muhammad bin Hasan bin Utsmân, al-Mursyid fî al-Arûd wa al-Qawâfî,
(Beirût: Dâr al-Kutub, 2004), cet. 1, hal. 33
18
Khatibul Umam, Al-Muyassar fî Ilm al-Arûd, hal. 52

151
ِ
ُ‫ػخ ػ ػ ػ ػ ػػونػُ ػ ػ ػ ػ ػػوه‬
ُ ‫إذا خػ ػ ػ ػ ػ ػػاف امػْػ ػ ػ ػ ػرأً أوصػ ػ ػ ػ ػ ػػى * بػ ػػَػ ػ ػنػ ػ ػ ػ ػ ػي ػ ػ ػ ػ ػػو أف ي ػ‬
.‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا ا‬. ‫ * ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا‬.‫ا ا‬
‫مػفا عػ ػ ػ ػيػ ػ ػ ػلػ ػ ػ ػ ػ ػػن م ػفػا عيػ ػ ػ ػ ػ ػلػ ػػن * م ػ ػ ػ ػ ػ ػف ػ ػ ػػا عػ ػػلن م ػ ػف ػ ػ ػ ػ ػػا عػ ػيػػلن‬
‫صحيح‬ ‫قبض‬ ‫صحيح‬ ‫صحيح‬
Taf‘ilah yang ketiga, ‫ ﻣفـﺎعهه‬asalnya ‫ﻣفﺎعﯿهه‬, itu huruf kelimanya
dibuang. Pembuangan huruf kelima seperti ini disebut dengan zihaf
qabd
5) Gabungan qabd dan kaff (membuang huruf kelima dan ketujuh yang
mati)

‫ب‬ِ ‫لػ ػػصػ ػ ػ ػ ػ ػ ْػه ػ ػػيػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػو ٍف * حػػب ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػاه وطَػ ػػن ال ػػع ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػر‬ ‫إذا َرؽ‬
ْ ُ َ َ ََ ُ ُ
.‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا ا ا‬. ‫ * ا ا‬.‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ا ا‬ ‫ا‬. ‫ ا‬.‫ا ا‬
‫مػ ػ ػفػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػا ع ػ ػ ػ ػ ػ ػي ػ ػػلن * م ػ ػف ػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػا عػل مػف ػ ػ ػػا ع ػ ػ ػ ػ ػيػل ػػن‬ ‫م ػفػا عيػػل‬
‫كف صحيح‬+‫قبض‬ ‫صحيح‬ ‫كف‬
Taf‟ilah yang ketiga, ‫ ﻣفـﺎعم‬asalnya ‫ﻣفﺎعﯿهه‬, huruf kelima dan
ketujuhnya dibuang. Pembuangan huruf kelima seperti ini disebut
dengan zihaf qabd dan dan pembuangan huruf ke tujuh disebut kaff.
Dalam kasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ banyak
ditemukan bait-bait puisi yang mudawwar (satu kata yang terdapat di
dua taf‟ilah; taf‟ilah di baris pertama/ sadr dan taf‟ilah baris kedua/
ajuz 19). Misalnya puisi berikut :
‫ات‬
ُ ‫سػ ػالـٌ من ُربػُ ػو ِع النيػ * ػل تػ ػزجػ ػيػ ػ ػو الصبػ ػابػ ػ‬
‫من الػ ػمعػلُت لإلسال * ـ والػ ػمرديػ ػ َػن للك ػ ػف ػ ػ ِر‬
‫أرض أنػ ػدوني ػ ػ * سػيػا يا جػن ػ ػ ػةَ الػ ػ ُدنْػيػ ػ ػ ػا‬
َ ٌ‫سػ ػالـ‬
‫بسػ ػ َامػ ػا‬ ِ ِ ِ
ّ ‫الو ْجػ ػو‬
َ ‫بدا يف ظُْل َمػ ػة األحػ ػدا * ث طَلْ َق‬
‫ػف الػعػانػي‬ ِ ‫وأف الػ ػح ػػق ال ي ػػرجػ ػ * ػج للمػسػتػضػع‬
ُ ُ َ ُْ
19
Muhammad bin Hasan bin Utsmân, al-Mursyid fî al-Arûd wa al-Qawâfî, hal.
25. Lihat juga Muhammad bin Fallah al-Mutairî, Al-Qawâid al-Arûdiyyah wa Ahkâm
al-Qâfiyah al-Arabiyyah, (Kuwait: Maktabah Ahl al-Atsar, 2004), cet.1, hal. 27. Lihat
juga Nazik al-Malaikah, Qadâyâ al-Syi‟r al-Mu‟âshir, (Baghdad: Maktabah al-
Nahdah, 1965), cet.2, hal. 91.

152
‫وأ ّف ال ػظُّػل ػ َػم ال يُػ ْػدفَػ ػ * ػ ُػع إال بػ ػػالػ ػػدِـ الػ ػق ػػان ػػي‬
‫ػب وم ػػن ُم ػ ْػرِد‬
ٍ ‫ػاؤؾ األب ػطػا * ُؿ م ػػن ِش ْػيػ‬ َ ‫َخػطَػػا أب ػنػ‬
‫ػالـ وإيػ ػ ػم ػ ػػا ُف‬ ِ
ٌ ‫و أذكػػاى ػػا غ ػ ػ ػرامػ ػاً بػ ػ ػ * ػػك إس ػ ػ ػ‬
ِ ‫ػص‬
‫ػب‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫فػيا مػا أجػمل اإليػمػػا *ف يف ف ْػرَدوسك الػخ‬
‫أتػ ػ ػوا كػػالػػوبػ ػ ػ ػػأ ال ػػنَ ػػا ِز * ِؿ يَ ْسػتَػ ْشػري ويػسػتػشػري‬
Kata ‫انىﯿــم‬, ‫نإلﺳﻼو‬, ‫ك‬ ِ ‫بـ‬, ‫األبطﺎ ُل‬, ‫ال ﯾُ ْﺪفَـ ُع‬, ‫ال ﯾﺮْ َﺟ ُج‬, ‫ث‬
ِ ‫األﺣﺪا‬, ‫أوﺪووﯿسﯿﺎ‬,
‫اﻹﯾـمﺎن‬, dan ‫َﺎز ِل‬
ِ ‫ى‬ ‫انـ‬ terletak dalam dua taf‟ilah; taf‟ilah di baris pertama
(sadr) dan taf‟ilah baris kedua („ajuz).
Dalam syair Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ terdapat beberapa
kata yang karena harus mengikuti irama, maka kata-kata tersebut
mengabaikan aturan kaidah bahasa Arab.20 Dalam ilmu arûd, hal ini
dikenal dengan istilah darûrat syi‟r. Adapun darûrat syi‟r dalam syair
ini adalah sebagai berikut:
1) Mematikan huruf yang hidup (taskîn harf al-mutaharrik)21
‫اؿ‬ ِّ ‫وىػو * بلح ِن‬
ُ ‫احلق طَبّػ ػ ػ ػ‬ ْ ً‫احلق َددا‬
ّ ‫يرى‬
Kata ‫ و ْھـى‬terdiri dari dua kata; ‫ و‬huruf ataf dan ‫ ھُـى‬isim damir.
Huruf ha‟ pada kata itu dibaca dammah. Akan tetapi huruf ha‟-nya
dibaca mati karena mengikuti irama.
2) Menghidupkan mim jama‟ (tahrîk mim jam‟ )22
‫ومن َك ِّد * ِى ُػمو حازوا ادلاليينا‬
ْ ‫أجاعوى ْم‬
ُ
Huruf mim pada kata ‫ كَﺪ ِھ ُمى‬yang hidup dibaca dammah itu mim
jama‟ yang biasanya dibaca mati. Akan tetapi, karena mengikuti
irama, maka dibaca hidup
3) Menampakkan (memecah) huruf yang idghâm (idzhâr al-
mudghâm)23

20
Emîl Badî‘ Ya‘qûb, al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah
wa Funûn al-Syi‟r, hal. 304. Lihat juga Ibn ‗Usfûr al-Isybilî, Darâir al-Syi‟r, (T.tp:
Dâr al-Andalus, 1980 ), cet.1, hal. 13
21
Muhammad bin Hasan bin Utsmân, al-Mursyid fî al-Arûd wa al-Qawâfî, hal.
200
22
Muhammad bin Hasan bin Utsmân, al-Mursyid fî al-Arûd wa al-Qawâfî, hal.
200
23
Abû Sa‘îd al-Sairafî, Darûrah al-Syi‟r, (Beirut: Dâr al-Nahdlah al-
Arabiyyah, 1985), hal. 57-58

153
‫ػثت العِ ْػز * َز من أكفػ ػ ػ ػانوِ َحيّا‬
ِ ‫سالـ إذ بع‬
ْ ‫ ان ِﻌ‬yang semula di-idghâm-kan, akan
Dua huruf zai pada kata َ‫ـز * ز‬
tetapi dipecah menjadi dua yang terpisah, karena harus mengikuti
irama; huruf zai pertama masuk di taf‟ilah baris pertama, sedangkan
huruf zai yang kedua berada di taf‟ilah baris kedua
4) Memunculkan huruf ya‟ dari kasrah (insyâ‟ al-yâ‟ an al-kasrah)24
‫الشرؽ أف حييَا * بِ ِكي يَػ ْوماً َو ْأرلَ َاد ْه‬
َ ‫لعل‬ ّ
Huruf kaf pada kata ‫ ِب ِكي‬harus dibaca panjang karena untuk
mengikuti irama. Dan untuk memanjangkan huruf kaf, maka harus
ditambah dengan huruf yang sesuai dengan harakat kasrah, yaitu
huruf ya‟
Adapun sajak syair ini tidak seragam/ sama dari awal hingga
akhir. Walapun berbeda, tapi sajaknya berpasangan; dua bait – dua bait
yang sama hurufnya. Berikut beberapa bait puisinya :

‫ ياجنة الدنيا‬،‫إندونيسيا‬
‫ُس ػ ػ ِػد‬ ِ
ْ ‫ض ػ ػةَ الػمػجػػد * سػ ػػالـٌ غػػابػػة األ‬ َ ‫سػ ػػالـٌ َرْو‬
ِ ‫ػاف و ال ػ‬
‫ػورد‬ ِ ‫ػاس * مػػن الػري ػحػ‬ ِ ‫ن ػح ػيِّ ػي ػ‬
ٍ ‫ػك ب ػػأنػ ػفػ ػ‬
‫ػابات‬
ُ ‫سػػالـٌ من ُربػُػو ِع الػنػيػ ػ ػ * ػػل ت ػػزج ػيػو ال ػص ػب‬
‫ػات‬ ِ ِ
ُ ‫ػات * بػ ػه ػػيّ ػػات ش ػ ػػذيػّ ػ ػ ػ ػ‬ ٌ ‫وتُػثْ ػ ػ ػ ػػنػ ػي ػػو تػ ػحػ ػػيّػ ػ‬
‫إلػ ػػى سػبػعػي َػن ِمػلػيػ ػػونػاً * م ػ ػػن الػتػالػيػ َػن لػلػػذك ػ ِر‬
‫مػػن ادلعػلػيػن لػإلسػ ػػال * ـ والػ ػم ػػردي ػ َػن لػل ػك ػفػ ػ ِر‬
‫أرض أندونػيػ ػ * سػيػا يػ ػػا جػ ػن ػ ػةَ الػ ُػدنْػ ػي ػػا‬َ ٌ‫س ػػالـ‬
‫ػت ال ػعػ ْػز * َز م ػػن أك ػفػػانػػوِ َح ػػيّػ ػػا‬ ِ ‫سػ ػػالـ إذ بػعػثْػ‬
َ ٌ
ً‫َمضػى عػػاـٌ عػلػى بعػث ػ * ػك م ػ ػػا أم ػج ػ َػدهُ ع ػػامػ ػا‬
ً‫ػسػػامػا‬ ِ ِ ِ
ّ َ‫بػػدا فػي ظُػلػم األحدا * ث طػ ْل َػق الػوجو ب‬
Sebagaimana diketahui bahwa jenis puisi Arab itu terdiri dari
tiga macam, di antaranya adalah puisi mursal. Jenis puisi ini masih
terikat irama dari awal hingga akhir, akan tetapi sajaknya tidak sama
semuanya, dari awal hingga akhir. Dengan demikian, apabila syair

24
Ibn ‗Usfûr al-Isybilî, Darâir al-Syi‟r, hal.36

154
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dilihat dari segi irama dan sajaknya,
maka syair ini dapat dikatagorikan dalam puisi mursal.
Dengan melihat irama dan sajak kasidah Ali Ahmad Bakatsir
yang berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ ini bila dibandingkan
dengan sastra mahjar lainya, terdapat perbedaan. Sebagai contoh puisi 25
karya sastrawan mahjar yang bernama Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri 26
(Guru Tua) berikut ini :

‫إىل العلم أدعػ ػ ػ ػوا والتقى كل مسلم * بػ ػ ػ ػحالػ ػ ػ ػي ومالػ ػ ػ ػي واليػ ػ ػ ػراع وبالفػ ػ ػ ػم‬
‫إىل الل أدعػ ػ ػ ػوىػ ػ ػ ػم وىػ ػ ػ ػذا كتػ ػ ػ ػابو * يُبِػ ػ ػ ػُت لػ ػ ػ ػهم مػ ػ ػ ػن نػ ػ ػ ػوره كػ ػ ػ ػل مظػ ػ ػ ػلم‬
‫وسنػ ػ ػ ػة خَت الرسل أدعو لدرسها * ففيها اذلدى والنػ ػ ػ ػور والعػ ػ ػ ػلم فاعػ ػ ػ ػلم‬
‫ىنيػ ػ ػ ػئا لػ ػ ػ ػمن لَبػ ػ ػ ػى وسارع يبتػ ػ ػ ػغى * رضى الل والػ ػ ػ ػزلفى لفػ ػ ػ ػوز ومغنػ ػ ػ ػم‬
‫فإين رأيت اجلهل يف الناس فاشيا * فػ ػ ػ ػال خوؼ من موىل وال من جهنم‬
Cuplikan puisi dari kasidah karya Sayyid Idrus (dari 25 bait puisi)
semua berirama bahar thawil dan bersajak huruf rawi berupa mim.
Serasi dalam irama dan sajak. Jenis puisi ini disebut dengan puisi amudi
(tradisional). Berikut contoh kasidah Sayyid Idrus lainnya:

‫راي ػ ػ ػ ػػة العز رفريف يف سػ ػ ػ ػػماء * أرضها وجبػ ػ ػ ػػالػ ػ ػ ػػها خضراء‬
‫اف يوـ طلعها يوـ ف ػ ػ ػ ػخػ ػ ػ ػػر * عظمتػ ػ ػ ػػو اآلبػ ػ ػ ػػاء واألبنػ ػ ػ ػػاء‬
‫كل عاـ يكوف لليوـ ذكرى * يظخر الشكر منهم والثناء‬
‫لإللو الكرًن يدعوف جهرا * حيث نالوا الػ ػػمٌت وزاؿ العناء‬
‫كل أمػ ػ ػ ػػة لػ ػ ػ ػػها رمز عػ ػ ػ ػػز * ورمز عزنػ ػ ػ ػػا احلمراء والبيضاء‬

25
Rustam Arsyad, Diwan Syi‟r li al-Sayyid Idrus al-Jufri, (Palu: P.B. Al-
Khairat, 1980)
26
Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri lahir di Tarim, Yaman pada 15 Maret 1891
bertepatan 14 Sya‘ban 1309. Ayahnya bernama Sayyid Salim al-Jufri (Tarim, Yaman)
dan ibunya bernama Syarifah Nur Aljufri (Kemudian beliau menetap di Indonesia
hingga akhir hayatnya (Wajo, Sulawesi). Pada tahun 1911, untuk pertama kalinya
Sayyid Idrus datang ke Indonesia diajak oleh Ayahnya berkunjung ke Indonesia
hanya beberapa waktu terus kembali ke Yaman. Akan tetapi pada tahun 1925, Sayyid
Idrus datang ke Indonesia untuk yang kedua kalinya hingga dan menjadi warga
negara Indonesia. Sayyid Idrus tutup usia di Palu, Sulawesi pada tanggal 22
Desember 1969. Lihat hal. Ahmad Bachmid, Aspek Balaghah dalam Syair-Syair
Sayyid Idrus al-Jufri, Disertasi, (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, 1999), hal 38-93.

155
Cuplikan puisi dari kasidah karya Sayyid Idrus (dari 13 bait puisi)
semua berirama bahar khafif dan bersajak huruf rawi berupa hamzah.
Serasi dalam irama dan sajak. Jenis puisi ini disebut dengan puisi
amudi (tradisional). Berikut contoh kasidah Sayyid Idrus lainnya:

‫ذكرين أياـ مرت يف الغلوب العلية * لإلنس فيها زلل‬


‫تريس ماشي كماىا اجلهو احلضرمية * مىت إليها نصل‬
‫فيها إذلنا وادلٌت فيها مجاؿ السريػ ػػة * كم من عامل بطل‬
‫أىل التقى والنقا أىل النفوس الزكية * احملسنوف العمل‬
‫عسى ب ػػهم ربنا حيظى بشربو ىنيػػة * هبا يزوؿ الكػػسل‬
Cuplikan puisi dari kasidah karya Sayyid Idrus (dari 9 bait puisi)
semua berirama bahar thawil dan bersajak huruf rawi berupa lam.
Serasi dalam irama dan sajak. Walaupun irama dan sajaknya sama,
akan tetapi jumlah taf‟ilah pada syathrnya (penggalan) berbeda
jumlahnya. Penggalan pertama terdiri 4 taf‟ilah, penggalan kedua
terdiri dua taf‟ilah. Jenis puisi ini disebut dengan puisi mursal.
Selain Sayyid Idrus, ada sastrawan mahjar lainnya ada yang
bernama Salîh bin Alî al-Hâmid 27. Berikut beberapa kasidah Salîh bin
Alî al-Hâmid :
‫يا بالدا فخ ػ ػ ػػر الشرؽ ب ػ ػ ػػها * صاغها اخلالق يف الدنيا جنانا‬
‫أمػ ػ ػ ػر البػ ػ ػ ػ ػارىء إذا أبػ ػ ػ ػرزىا * كل حسن ليكن فيها فكانا‬
‫يف ريػ ػ ػ ػاض ومػيػ ػ ػ ػاه وربػ ػ ػ ػي * وجبػ ػ ػ ػاؿ تلهم الشعر افتنػ ػ ػ ػانا‬
‫ال تلومػ ػ ػ ػوين إذا مػ ػ ػ ػجػدتػها * إف يل بُت رباىا اخلضر شان ػ ػا‬
!‫لػ ػ ػي من تلك اجملايل والرؤى * ملهم يلهم روحي واجلنسػ ػ ػ ػانا‬
‫حي إندونيسػ ػ ػ ػػي ػ ػا يا قل ػمي * وأروىػ ػ ػ ػا عنػي أشع ػ ػاري احلسانا‬
ٕ8
‫أعل ذكػراىا ومػجد عيدىا * التدع شأواً وال جتذب عنانا‬
Cuplikan puisi dari qasîdah karya Salîh bin Alî al-Hâmid di atas
adalah berirama bahar ramal dan bersajak rawi berupa huruf nun
mutlaqah. Serasi dalam irama dan sajak. Jenis puisi ini disebut dengan

27
Salîh bin Alî al-Hâmid (1320-1387 H) adalah sastrawan kelahiran Yaman.
28
Salîh bin Alî al-Hâmid, al-A‟mâl al-Syi‟riyyah al-Kâmilah, Alâ Syâti‟ al-
Hayâh, (Yaman: Tarîm li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 2002), cet. Ke-1, hal. 84

156
puisi amudi (tradisional). Berikut contoh qasîdah Sayyid Idrus
lainnya:

‫ومىت ألػػح بو لػهيب * القػ ػ ػػفر صاح ووحوحا‬


‫وزنا فأرشػ ػ ػػده اذلجيػ ػ * ػ ػػر إىل السراب ادلؤتلق‬
‫حتػ ػ ػػى إذا وافػ ػ ػػاه بع ػ ػ * ػػد اجلهد أسفر وأزلى‬
‫فشكا وما من سامع * وبكى ولكن من يرؽ‬
ٕ9
‫ياويػػح لألحػالـ طا * حت فوؽ أعتاب الغراـ‬
Cuplikan puisi dari kasidah karya Shalih bin Ali al-Hamid di atas
semua berirama kamil majzu‟ akan tetapi sajaknya berbeda-beda. Jenis
puisi ini disebut dengan puisi mursal. Berikut juga ada contoh puisi
mursal karya Shalih dalam versi lain:
‫أخذ الزورؽ وانسال إىل اخلضرـ * ساعة للصب جاءت غاية ادلغنم‬
‫أدركا الوصل ولكن بعد طوؿ النوى‬
‫وغراـ صلي الصب بو وأكتوى‬
‫وسهاد أحنل اجلسم وى ّد القوى‬
‫ل ّذة يا بردىا ! بعد التياح اجلوى‬
ٖٓ
‫ليس يدريها سوى من ذاؽ طعم اذلوى‬
Cuplikan kasidah Shalih bin Ali al-Hamid di atas (terdiri dari 79 bait
puisi) berirama bahar ramal; jumlah syathrnya (penggalannya)
berbeda, ada yang dua syathr, ada pula yang satu syathr. Tetapi jumlah
taf‟ilah-nya sama pada tiap syathr-nya (masing-masing berjumlah 4
taf‟ilah). Sajak dari kasidahnya juga tidak seragam dari awal hingga
akhir. Jenis puisi ini disebut dengan puisi mursal.
Selain Shalih bin Ali al-Hamid, ada sastrawan mahjar lainnya
yang bernama Illiya Abu Madi31. Berikut beberapa kasidah Illiya Abu
Madi :

29
Salîh bin Alî al-Hâmid, al-A‟mâl al-Syi‟riyyah al-Kâmilah, Alâ Syâti‟ al-
Hayâh, hal. 15
30
Salîh bin Alî al-Hâmid, al-A‟mâl al-Syi‟riyyah al-Kâmilah, Nasamat al-
Rabi‟, (Yaman: Tarîm li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 2002), cet. Ke-1, hal. 25
31
Illiya Abu Madhi (1889-1957) adalah sastrawan kelahiran Libanon. Pada
waktu usianya 11 tahun, Illiya dan keluarganya pindah ke Alexadria, Mesir. Di Mesir
ini, Illiya belajar, bekerja, dan berkarya. Berselang beberapa tahun kemudian,

157
‫ب‬ِ‫ص‬ِّ ‫نت بِالغاوي َوال ادلتَػ َع‬ ُ ‫ذىيب * ما ُك‬
َ ‫ب ُك ِّل ُحٍّر َم‬ ُ ‫ذى‬
َ ‫ُحر َوَم‬
‫ب‬ِ ‫غض‬
َ َ‫ػوـ َمن َمل ي‬ ُ ‫نوش ػ ػ ػػوُ * َمن دونَوُ َوأَل ػ ػ ػ‬
ُ َ‫رًن ي‬ ِ ‫َغضب لِل َك‬ ِ
ُ َ ‫إ ّين َأل‬
‫ب‬ِ ‫ب ولَو اَن ػ ػ ػػوُ * َخصمي وأَرحم ُكل َغ َِت مهذ‬
َُ َُ َ
ٍ
َ ‫ب ُكل ُم َهذ‬ ُّ ‫َوأ ُِح‬
‫ب‬ِ ‫باع العقر‬ ِ ِ ِ ِ ُّ ‫يأىب فُؤادي أَف َدييل إِىل األَذى * ح‬
َ َ ِ ‫ب األَذية من ط‬ ُ َ َ
ٖٕ ِ
‫رؽ ُخ ػػلب‬ ٍ ‫يل أَف أَرد مساءةً بػ ػ ػػِمس ػ ػ ػػاءةٍ * لَو أَن ػ ػ ػػٍت أَرضى بِبػ ػ ػ ػ‬
َ َ َ َ َ ُ
Cuplikan puisi dari kasidah karya Illiya Abu Madli (dari 16 bait puisi)
semua berirama bahar kamil dan bersajak huruf rawi berupa ba‟. Serasi
dalam irama dan sajak. Jenis puisi ini disebut dengan puisi amudi
(tradisional).

‫ين عاماً ذو نػُهى‬ ِ ِ َ ‫ك‬ ِ


َ ‫ىت * قَد يَبلُ ُغ العشر‬ ً َ‫الروض األَ َغ ِّن بَدى ف‬ َ ‫يف َذل‬
‫َكالبَػ ػ ػ ػػد ِر إِّال أَنّػ ػ ػػَوُ ُمتَػ ػ ػ ػ َكػ ػ ػ ػتِّ ػ ػ ػ ٌػم * َوالغُ ػ ػ ػػص ِن إِّال أَن ػ ػ ػػوُ غُص ػ ػ ػ ٌػن ذَوى‬
‫ؤوؿ إِىل ال َفن ػ ػ ػػا‬ ُ َ‫كاد الغَػ ػ ػ ػر ُاـ بِِو ي‬َ * ‫الضٌت يف َوج ِهو َىذا الذي‬
ِ
َ ‫ب‬ َ َ‫َكت‬
‫ػيم إِذا َج ػ ػػرى‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ف تػَُرِّو ُعوُ الغُصو ُف إذا انثَػنَت * طََرباً َويُق ػ ػ ػػلقُوُ النَس ػ ػ ػ‬ ٌ ‫َدن‬
ٖٖ ِ ‫حػ ػ ػ ػَتا ُف يقعِ ُده اذل ػ ػ ػػوى ويقي ػ ػ ػػمو * فَ ػ َكأَن ػ ػ ػػو علَ ػ ػ ػػم يػ ػ‬
‫ػداعبُػ ػ ػػوُ الػهػَوا‬ ٌُ َُ ُ ُ َُ َ ُ ُ َ
Cuplikan puisi dari kasidah karya Illiya Abu Madli (dari 35 bait puisi)
semua berirama bahar kamil akan tetapi sajaknya berbeda-beda. Jenis
puisi ini disebut dengan puisi mursal.

pada tahun 1911, Illiya pindah ke Amerika. Di Amerika, Illiya bertemu dengan orang-
orang Arab yang tinggal di sana, di antaranya Khalil Gibran. Di Amerika, Illiya
bersama Khalil Gibran dan kawan-kawan membentuk kelompok sastra, di antaranya
adalah kelompok Rabithah Qalamiyah.
32
Diwan Illiya Abu Madi, (Beirut: Dar al-Audah, T.th), hal. 145-146
33
Diwan Illiya Abu Madi, hal. 128-130

158
ِ ِ
ُ‫ال بَ َشٌر ال ط ػػائ ػ ٌػر مائ ػ ػ ػ ػػل‬
ِ
ُ‫عجباً نُط ػػق َوال قائ ػ ػػل‬ َ ‫يا‬
ِ ‫ِمن أَين جاء الصوت ال أَدري * لَ ِكن ػ ػػما‬
‫ناس ػ َك ػ ػةُ البَػ ػ ػ ػ ػ ِّػر‬ ُ َ َ َ
ٖٗ
‫ىامتَها لِ َلعالء‬ َ ‫قَد َرفَػ َعت‬
Cuplikan puisi dari kasidah karya Illiya Abu Madli (dari 20 bait puisi)
semua berirama bahar sari‟ akan tetapi jumlah penggalan pada bait
puisinya berbeda, ada yang satu penggalan ada pula yang dua
penggalan. Masing-masing penggalan terdiri dari tiga taf‟ilah;
mastaf‟ilun mustaf‟ilun fa‟ilun. Di samping itu, sajak dalam kasidah
ini juga tidak sama.
Di antara sastrawan mahjar adalah Kahlil Gibran35. Berikut
beberapa kasidah karya Gibran :

‫سكويت إنش ػ ػ ػػاد وجوعي تػُخمةٌ * ويف عطشي ماء ويف صحويت ُسك ُْر‬
ِ
ُ‫رس ويف غُربَيت لًُقا * ويف باطٍت كشف ويف مظهري سًت‬ ٌ ُ‫ويف لوعيت ع‬
‫ػري يَفػ ػ ػ ػتَػُّر‬
َ ‫ وكم أب ػ ػ ػػكي وثَغ ػ ػ ػ‬،‫مفاخر * ب َػه ِّمي‬
ٌ ‫وكم أشتكي َمهًّا وقليب‬
‫وخلِّي جبانيب * وكم أبت ػ ػ ػػغي أم ػ ػ ػ ًػرا ويف حػ ػػوزيت األمر‬ ِ ‫وكم أرتػجي ِخ ًّال‬
ٖ6
‫جر‬ ِ
ُ ‫وقد ينثر الليل البهيم منازعي*على بَسط أحالمي فيجمعها ال َف‬
Cuplikan puisi dari kasidah Gibran di atas (dari 9 bait puisi) semua
berirama bahar tawil dan bersajak huruf rawi berupa huruf ra‟. Serasi

34
Diwan Illiya Abu Madi, hal. 186-187
35
Gibran sastrawan kelahiran Libanon pada tanggal 6 Januari 1888. Pada
tahun 1894, Gibran beserta Ibu dan saudaranya merantau ke Amerika. Gibran di
Amerika hingga akhir hayatnya (1931) dan kemudian dikebumikan di tanah
kehirannya, di Lebanon pada 23 Juli 1931. Gibran banyak menorehkan banyak karya
sastra, di antaranya adalah al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap-Sayap Patah), The
Prophet, dan lain-lain. Gibran juga mengepalai Grop Mahjar di Amerika. Grop
Mahjar ini kemudian membentuk sebuah lingkaran sastra baru yang diberi nama al-
Rabithah al-Qalamiyah. Lihat Suheil Bushrui dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran,
Manusia dan Penyair, Terj. (Jakarta: Grasindo, 2000), hal.1. Lihat juga Muhammad
Abdul Mun‘im Khafaji, al-Adab al-Arabi al-Hadits, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah, T.th), Juz 3, hal.24
36
Jibran Khalil Jibran, al-Bada‟i‟ wa al-Tharaif, (Mesir: Muassasah Handawi
li al-Ta‘lim wa al-Tsaqafah, 2013), Hal. 87

159
‫‪dalam irama dan sajak. Jenis puisi ini disebut dengan puisi amudi‬‬
‫‪(tradisional).‬‬
‫ىو ذا الفجر فقومي ننصرؼ * عن ديا ٍر ما لنا فيها صديق‬
‫ما عسى يرجو نبات خيتػ ػػلف * زىػ ػػره عن كل ورد وشق ػ ػي ػ ػػق‬
‫كل ما فيػ ػػها عتػ ػػيق‬ ‫وجديػ ػػد القػ ػػلب أىن يأتػ ػػلف * مع قلوب ُّ‬
‫ىو ذا الصبح ينادي فامسعي * وىلػ ػػمي نقػ ػ ػ ػػتفي ُخ ػ ػط ػ ػواتػ ػػو‬
‫‪ٖ7‬‬
‫ػاء يػ ػػدعي * أف نور الصبح من آياتو‬ ‫قد كفػ ػػانا من مسػ ػ ٍ‬
‫َ‬
‫)‪Cuplikan puisi dari kasidah karya Gibran (terdiri dari 20 bait puisi‬‬
‫‪semua berirama bahar ramal akan tetapi sajaknya berbeda-beda. Jenis‬‬
‫‪puisi ini disebut dengan puisi mursal.‬‬

‫الشر يف الناس ال يفٌت وإِف قربُوا‬ ‫اخلَت يف الناس مصنوعٌ إذا ُجربوا * و ُّ‬
‫تنكسر‬
‫ُ‬ ‫آالت تػح ػ ػ ػػرك ػ ػ ػػها * أصابع ال ػ ػ ػػدىر يومػ ػ ػ ػاً ث ػ ػ ػػم‬ ‫وأكثر الن ػ ػ ػػاس ٌ‬
‫الوقُػ ػ ػ ُػر‬
‫ػلم * وال تقػ ػ ػ ػولن ذاؾ السي ػ ػ ػػد َ‬ ‫فػ ػ ػػال تقػ ػ ػ ػولن ىذا عال ػ ػػم ع ػ ػ ػ ٌ‬
‫يندثر‬
‫ػمش ُ‬ ‫فأفض ػػل الناس قطعا ٌف يسَت هبا * صوت الرعاة ومن مل ي ػ ػ ػ ِ‬
‫القطيع‬
‫ْ‬ ‫ليس يف الغابات ر ٍاع * ال وال فيها‬
‫فالشتا ديشي ولكن * ال يػ ػ ػػُجار ِيو الربي ػ ػ ػ ْػع‬
‫اخلضوع‬
‫ْ‬ ‫لق الناس عبي ػ ػ ػػداً * للذي يأْىب‬ ‫ُخ َ‬
‫اجلميع‬
‫ْ‬ ‫فإذا ما ىب ي ػ ػ ػػوماً * سائػ ػ ػ ػراً سار‬
‫العقوؿ‬
‫ْ‬ ‫وغن * فالغنا ي ػ ػ ػػرعى‬
‫الناي ِّ‬ ‫أعط ػ ػ ػػٍت َ‬
‫‪38‬‬ ‫وأنػ ػػُت الناي أبقى * من مػ ٍ‬
‫ػجيد وذلي ػ ػ ػ ْػل‬ ‫ُ‬
‫‪Cuplikan kasidah Gibran di atas (terdiri dari 81 bait puisi) terdapat dua‬‬
‫‪irama bahar; tawil dan ramal. Sajak dari qashidah tersebut juga tidak‬‬
‫‪seragam dari awal hingga akhir. Jenis puisi ini disebut dengan puisi‬‬
‫‪mursal.‬‬

‫‪37‬‬
‫‪Jibran Khalil Jibran, al-Bada‟i‟ wa al-Tharaif, (Mesir: Muassasah Handawi‬‬
‫‪li al-Ta‘lim wa al-Tsaqafah, 2013), Hal. 93‬‬
‫‪38‬‬
‫‪Jibran Khalil Jibran, Al-Majmu‟ah al-Kamilah li Mu‟allafat Jibran Khalil‬‬
‫‪Jibran, (Mesir: Dar al-Ma‘arif, T.th), Juz.2, Hal. 239‬‬

‫‪160‬‬
‫لف احلِجاب‬
ِ ‫كوف الل ِيل لَما تَنثٍَت * يقظَة ا ِإلنساف ِمن َخ‬
َ ّ
ِ ‫يف س‬
ُ
‫الًتاب‬
ُّ ‫لب‬ ِ
ِ َ‫الع ُزـ الذي * أَنبَتَتوُ الشمس من ق‬
ُ َ ‫يَصر ُخ الغاب أَنا‬
ً‫حر يَبقى ساكِتا‬ َ َ‫َغَت أَ ّف الب‬
‫ػزـ يل‬ ِِ ِ
ُ ‫العػ ػ ػ‬
َ ‫قائ ػ ػ ػالً يف نَفسو‬
ٖ9
‫ػادين َرمػزاً إِىل يَ ِوـ احلِساب‬َ ‫قوؿ الصخر إِف الدىر قَػد * ش‬ ُ َ‫َوي‬
Cuplikan kasidah Gibran di atas (terdiri dari 19 bait puisi) adalah
berirama bahar ramal. Pada bait pertama, kedua, dan kelima, masing-
masing baitnya terdiri dari dua penggalan yang seimbang (enam
taf‟ilah), sedangkan bait yang ketiga dan keempat, hanya terdiri satu
penggalan (tiga taf‟ilah). Di samping itu, sajak dari kasidah tersebut
juga tidak seragam dari awal hingga akhir kasidah.
Di antara sastrawan mahjar lainnya adalah Amin al-Rihani40.
Berikut beberapa kasidah karya Amin al-Rihani 41:

‫القلب يف يدي‬
ُ ‫أصافحو و‬
ُ
‫فعوؿ مفاعيلن مفاعلن‬
‫لساين‬
ْ ‫الروح على‬ُ ‫أحييو و‬
‫فعولن فعولن فعلن فعولن‬
ِ ‫أقف أمامو فتنكشف أمامي أعاجيب‬
‫الزماف‬ ُ ُ ُ
‫فعلن مفاعلن مفاعلت فعولن مفاعيلن فعولن‬
‫دتيت‬
ْ ‫ ولو أُخرى حتيي و‬،‫ ولو كلمةٌ تُثَت‬،‫لو كلمةٌ ُختيف‬
‫ مفعلنت فعولن مفعلنت مفعو فعالتن‬، ‫فعولن فعلن فعولن‬

39
Jibran Khalil Jibran, al-Bada‟i‟ wa al-Tharaif, (Mesir: Muassasah Handawi
li al-Ta‘lim wa al-Tsaqafah, 2013), Hal. 101
40
Amin al-Rihani adalah sastrawan kelahiran Frayka, Libanon pada tanggal 24
November 1876 dan meninggal pada tahun 1940 di Libanon. Amin al-Rihani
tergabung dalam al-Rabithah al-Qalamiyyah bersama Gibran dan kawan-kawan Arab
lainnya di Amerika. Lihat Isa al-Na‘uri, Adab al-Mahjar, (Mesir: Dar al-Ma‘arif,
1977), cet.3, hal. 334. Lihat juga Hartoyo Andangdjaja, Puisi Arab Modern, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983), hal. 189
41
Ahmad Qabisy, Târîkh al-Syi‟r al-Arabî al-Hadîts, hal. 289

161
‫وىو يسَت يف سبيلو ىادئًا مطمئنًا‬
‫مستفعلن متفعلن فعولن فعولن فعولن‬
‫حيمل اخلَت من الشماؿ إىل اجلنوب‬
‫فاعالتن متفاعلن متفاعالتن‬
Puisi karya Amin al-Rihani di atas menunjukkan pola irama
(wazan) yang sangat variatif sekali, terlepas sama sekali dari ikatan
prosodi lama imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Dari beberapa contoh puisi dari beberapa sastrawan mahjar, bila
penulis bandingkan kasidah Ali Ahmad Bakatsir (Indûnîsiyâ Yâ
Jannah al-Dunyâ) dengan kasidah-kasidah sastrawan tersebut, maka
bisa disimpulkan bahwa puisi Ali Ahmad Bakatsir mempunyai
karakter irama puisi yang konsisten mengikuti kaidah puisi amudi
(tradisional) meskipun sajaknya tidak seragam. Walaupun sajaknya
tidak seragam dari awal hingga akhir, akan tetapi sajak kasidahnya
terlihat berpasangan dua-dua. Terkesan sajak qashidah Ali Ahmad
Bakatsir ini seperti bentuk puisi lama Indonesia yang bernama
gurindam42 dalam hal penyusunan sajaknya.

b) Irama dan syair Bilâduk Yâ Hattâ


‫ب ػ ػ ػ ػػالدؾ ياحتػ ػ ػػا جنػ ػ ػ ػ ػ ػػاف وأنػ ػ ػ ػه ػ ػػار * وقومك يا حػػتا مغاويػ ػ ػ ػػر أحػ ػ ػ ػ ػرار‬
.‫ا‬.‫ ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ا‬.‫ ا ا‬.‫ا‬.‫ ا‬.‫ا ا ا‬.‫ * ا ا‬.‫ا‬. ‫ ا‬.‫ ا ا‬.‫ا‬. ‫ ا ا‬.‫ا‬.‫ ا‬.‫ا ا ا‬.‫ا ا‬
‫ف ػ ػ ػػعوؿ مفاعيلن فع ػ ػ ػولن مفاعي ػػلن * فعوؿ مفاعيلن فعولن مف ػ ػ ػػاعيلن‬

‫تػ ػ ػػآلػ ػ ػ ػ ػ ػوا ليب ػ ػ ػ ػ ػػغن احليػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػاة كػ ػري ػ ػ ػم ػ ػػة * وإال فػ ػ ػػإف ال ػمػػوت للػ ػ ػ ّذ ّؿ ستػّػ ػػار‬

42
Gurindam adalah puisi lama yang berisi dua bait, dalam setiap baitnya ada
dua baris kalimat dengan rima yang sama, yang satu kesatuan secara utuh. Contoh :
Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang
Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat
Lihat Akmal, ―Kebudayaan Melayu Riau (Pantun, Syair, Gurindam)‖, dalam Jurnal
Risalah, Vol. 26, No. 4, 2015, hal. 159-165

162
‫ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ‪.‬ا ا ‪.‬ا ا ا ‪ .‬ا ا‪ * .‬اا‪.‬ا‪ .‬ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪.‬ا ا ‪.‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فعول ػ ػ ػػن مفا عي ػػلن فعػ ػ ػ ػ ػػوؿ مفػػاعػلن * فعولن مفاعػ ػ ػي ػػلن فػ ػ ػع ػولن مفاعيلن‬

‫وصاحوا جػميعػا مػ ػػردكا فػ ػتػ ػػجاوبت * بذي الصيحة الكربى نػجود وأغػوار‬
‫ا ا ‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ‪.‬ا ا‪ .‬ا ا ا ‪ .‬ا ا ‪ * .‬ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪.‬ا‪ .‬ا ا‪.‬ا‪ .‬ا ا‪.‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فػ ػ ػػعولن م ػ ػػفاعيلػن فعوؿ مفػ ػػاعػػلن * فع ػ ػ ػ ػ ػ ػولػػن مفػ ػػاعيلن فعولن مفاعيلن‬

‫ت غي ػػوث من دم ػ ػ ػػاء وأمػ ػطػ ػػار‬


‫وثج ْ‬
‫ػت عاصف ػ ػ ػػات رواع ػ ػ ػ ػػد * ّ‬
‫وىبػػّػ ػوا فهبّػ ػ ْ‬
‫ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ا ا‪.‬ا ا‪ * .‬ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪.‬ا‪ .‬ا ا‪ .‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فػعولن مفاع ػ ػ ػ ػيػػلن فػ ػع ػ ػػوؿ مفاعلن * فعول ػ ػػن مفػا عيلن فعػ ػ ػولن مفاعيلن‬

‫تشحط فيها صال ػ ػ ػػحوف وفج ػ ػ ػ ػػار‬


‫دماء األىػ ػ ػ ػ ػ ػػايل واألعادي ت ػ ػػمازجت * ّ‬
‫ا ا‪.‬ا ‪.‬ا ا ‪.‬ا‪ .‬ا‪.‬ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ا ‪.‬ا ا ‪ * .‬ا ا ‪.‬ا ا ا‪.‬ا‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ا ا ‪.‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فػعولػ ػػن مفػ ػ ػ ػ ػػاعيلن فعولن مف ػػاعػلػ ػػن * فػ ػعػوؿ مفاعيػ ػػلن ف ػ ػ ػ ػع ػػوؿ مفػاعيلن‬

‫فللص ػػالػحُت اخللػ ػ ػػد قد وعػ ػ ػػدوا بػ ػ ػ ػػو * وللػػظالػمُت الن ػ ػ ػػار يا بئست الن ػ ػ ػػار‬
‫ا ا‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ا ا ‪ .‬ا ا‪ * .‬ا ا‪.‬ا‪ .‬اا‪ .‬ا ‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فػعولن مفا عي ػػلن فعػ ػػوؿ م ػ ػ ػف ػػاعػلن * فعولن مفاعيلن فػ ػػعولن مػفػ ػػاعيلن‬

‫ومن عاش مػ ػنػػا فػػاز بالن ػػصر والػم ػ ػ ػ ػػٌت * ومن عاش منػ ػػهم فالػهزي ػػمة والع ػػار‬
‫ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪.‬ا‪ .‬ا‪.‬ا ا ‪.‬ا ‪ .‬ا ا‪ .‬ا ا ‪ * .‬ا ا‪ .‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا‪ .‬ا ا‪ .‬ا ا ا‪ .‬ا‪.‬ا‪.‬‬
‫فػ ػػعولن مػ ػ ػف ػػاعيلن فعػ ػولن مػ ػػفا علن * ف ػػعولن م ػ ػ ػف ػػاعيلن فعوؿ مفاعيلن‬

‫العز دستػػور ذلا الػمجد مضػمار‬ ‫ىنػ ػ ػ ػػالك قػ ػ ػػامت دولػ ػػة مشػ ػػرق ػ ػ ػيػ ػ ػػة * لػػها ّ‬
‫ا ا ‪ .‬ا ا ا ‪.‬ا ‪ .‬ا‪ .‬ا ا‪ .‬ا ‪ .‬ا ا‪.‬ا ا‪ * .‬ا ا ‪ .‬ا‪.‬ا ا ‪ .‬ا‪.‬ا‪ .‬ا ا ‪ .‬ا ‪ .‬ا ا ‪ .‬ا‪ .‬ا‪.‬‬
‫فػ ػػعوؿ مػ ػف ػػاع ػ ػػيلن فعػ ػولن مػػفاعلن * ف ػػعولن مػفاعيلن فعػ ػ ػولن مفػا عيلن‬

‫‪163‬‬
‫ث ػ ػ ػ ػ ػػمانػ ػ ػػوف مليػ ػ ػ ػ ػ ػ ػػونػ ػ ػػا أب ػ ػػاة بواسػ ػ ػػل * ي ػ ػ ػ ػؤي ػ ػػّػ ػػدىػ ػػم دي ػ ػػن من الل م ػخػ ػتػ ػ ػػار‬
.‫ا‬. ‫ ا‬. ‫ا ا‬.‫ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا‬. ‫ ا‬. ‫ ا ا ا‬. ‫ * ا ا‬.‫ا ا‬.‫ ا ا ا‬.‫ ا ا‬. ‫ا‬. ‫ا‬.‫ا ا‬. ‫ ا‬.‫ا ا‬
‫فػ ػ ػ ػ ػػعولن م ػفػاع ػ ػ ػ ػ ػػيلن فع ػػوؿ مفاعلن * ف ػ ػ ػ ػع ػػوؿ مػفػا عػ ػػيلن فعولن مفػػاعيلن‬

‫ب ػ ػ ػ ػػالدؾ ياحتػ ػ ػػا جنػ ػ ػ ػ ػ ػػاف وأنػ ػ ػ ػه ػ ػػار * وقومك يا حػػتا مغاويػ ػ ػ ػػر أحػ ػ ػ ػ ػرار‬
.‫ا‬.‫ ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ا‬.‫ ا ا‬.‫ا‬.‫ ا‬.‫ا ا ا‬.‫ * ا ا‬.‫ا‬. ‫ ا‬.‫ ا ا‬.‫ا‬. ‫ ا ا‬.‫ا‬.‫ ا‬.‫ا ا ا‬.‫ا ا‬
‫ف ػ ػ ػػعوؿ مفاعيلن فع ػ ػ ػولن مفاعي ػػلن * فعوؿ مفاعيلن فعولن مف ػ ػ ػػاعيلن‬
Dengan melihat irama kasidah Bilâduk Yâ Hattâ yang menggunakan
pola irama faûlun mafâ‟îlun faûlun mafâ‟îlun * faûlun mafâ‟îlun faûlun
mafâ‟îlun, maka bahar kasidah ini adalah bahar tawîl.
Alî Ahmad Bâkatsîr dalam kasidah Bilâduk Yâ Hattâ yang
menggunakan bahar tawîl cocok sekali. Biasanya, tema dari irama
bahar tawîl itu adalah untuk perjuangan, pujian, kebanggaan, ratapan,
permintaan maaf, sejarah, dan lain-lain. 43 Tema puisi itu terkait dengan
irama.44 Misalnya, puisi yang bertemakan perjuangan dilantunkan
dengan irama yang berkarakter serius juga. Tentunya tidak tepat ketika
ada puisi yang bertemakan perjuangan dilantunkan dengan irama yang
santai atau gembira. Mestinya puisi yang bertemakan perjuangan atau
masalah-masalah yang serius, misalnya, tema perjuangan, ratapan, dan
lain-lain, dinyanyikan dengan irama yang serius pula.
Pada masing-masing bait puisinya, kasidah Bilâduk Yâ Hattâ
terdiri dari dua syatr (penggalan) yang seimbang; masing-masing
penggalan terdiri dari empat taf‟ilah (irama). Dengan demikian, maka
taf‟ilah pada masing-masing bait puisi terdiri dari delapan. Irama dalam
kasidah ini ada yang shahih ada pula yang zihaf atau illat, yaitu:
1) Bait puisi yang iramanya shahih

‫ت خطاىا وىي بالػحق تس ػتػار‬ ْ ّ‫إذا جئت إندوني ػسيػػا فارع رلدىا * وثب‬
.‫ا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬. ‫ ا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬. ‫ا‬.‫ * اا‬.‫ ا ا‬.‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬.‫ ا‬.‫ا‬.‫ ا ا‬. ‫ ا‬.‫اا‬

43
Ahmad al-Syâyib, Ushûl al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-
Mishriyyah, 1994), Hal. 221, lihat juga Emîl Badî‘ Ya‘qûb, Al-Mu‟jam al-Mufassal fî
„Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah wa Funûn al-Syi‟r, hal.103.
44
Ahmad al-Syâyib, Ushûl al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-
Mishriyyah, 1994), Hal. 324

164
‫فػعولن مػ ػفػاعيلن فعػ ػولن مػػفاعلن * فعولن مػفاعيلن ف ػ ػػعولن مفاعيلن‬
‫صحيح صحيح صحيح قبض صحيح صحيح صحيح صحيح‬
Semua taf‟ilah yang terdapat di puisi tersebut adalah shahih
kecuali taf‟ilah yang keempat. Taf‟ilah yang shahih tersebut, semua
hurufnya aman; ‫فﻌىنه ﻣفﺎعﯿهه‬.
2) Kaff (membuang huruf ketujuh yang mati45)

‫لعػ ّػل قوى اإلسال ـ تنمو هبم غدا * فتسمو هبم منو شعوب وأقػطار‬
.‫ا‬.‫ ا‬.‫ اا‬.‫ ا‬. ‫ ا ا ا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬. ‫ ا‬.‫ * اا‬.‫ ا ا‬. ‫ اا‬.‫ ا‬.‫ ا ا‬.‫ ا‬. ‫ا‬. ‫ا ا ا‬.‫ا ا‬
‫فعوؿ مف ػ ػ ػػاعػيػ ػػلن فعولن مػفاعلن * فعولن مفا عيل فعولن مفاعيلن‬
‫قبض صحيح صحيح قبض صحيح كف صحيح صحيح‬
Taf‟ilah yang keenam, ‫ ﻣفﺎعﯿم‬asalnya ‫ﻣفﺎعﯿهه‬, itu huruf
ketujuhnya dibuang. Pembuangan huruf ketujuh seperti ini disebut
dengan zihaf kaff
3) Qabd (membuang huruf kelima yang mati) 46
‫ضمهما الغار‬
ّ ‫نصَت ُسكرنو يف الػجهاد وصنػوه * كصاحب طو يوـ‬
.‫ا‬.‫ا‬. ‫ا ا ا‬. ‫ ا ا‬.‫ ا ا‬.‫ ا ا ا‬. ‫ * ا ا‬.‫ اا‬.‫ا ا ا‬. ‫ ا ا‬. ‫ ا‬.‫ا‬. ‫ا ا ا‬. ‫ا ا‬
‫فعوؿ مػػفاعػي ػلػػن فعوؿ مػفاعلن * فعػوؿ مػػفاعلن فعػػوؿ مفاعيلن‬
‫قبض صحيح قبض قبض قبض قبض قبض صحيح‬
Taf‟ilah yang pertama, ketiga, kelima, dan ketujuh, ‫ فﻌىل‬yang
asalnya ‫ فﻌىنه‬dan taf‟ilah yang keempat dan keenam, ‫ ﻣفﺎعﯿهه‬yang
asalnya ‫ ﻣفﺎعﯿهه‬itu huruf kelimanya dibuang. Pembuangan huruf
kelima seperti ini, baik di taf‘ilah ‫ فﻌىنه‬dan ‫ ﻣفﺎعﯿهه‬disebut dengan
zihaf qabd
Dalam syair Bilâduk Yâ Hattâ, terdapat beberapa kata yang
karena harus mengikuti irama, sehingga kata tersebut mengabaikan
aturan dalam kaidah bahasa Arab.47 Dalam ilmu arûd, hal ini dikenal
dengan istilah darûrat syi‟r. Adapun darûrat syi‟r dalam syair ini
adalah sebagai berikut:
45
Khatibul Umam, Al-Muyassar fî Ilm al-Arûd, hal. 53
46
Emîl Badî‘ Ya‘qûb, Al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah
wa Funûn al-Syi‟r, hal. 258
47
Emîl Badî‘ Ya‘qûb, Al-Mu‟jam al-Mufassal fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah
wa Funûn al-Syi‟r, hal. 304. Lihat juga Ibn ‗Usfûr al-Isybilî, Darâir al-Syi‟r, hal. 13

165
1) Mematikan huruf yang hidup (taskîn al-mutaharrik)
‫وصن َرِحم اإلسالِـ فَػ ْه َي وشيجة * تشابػك أقْ ػو ٌاـ عليػها وأقػػطار‬
ْ
‫فعػ ػػوؿ مػػفاعيلن فعوؿ مػفاعلن * فعوؿ مفاعيلن فعولن مفاعيلن‬
Huruf ha‟ pada kata ‫ي‬َ ‫ ف ْه‬itu adalah isim dlamir ‫ي‬
َ ‫( ِھ‬huruf ha‟-
nya hidup). Akan tetapi huruf ha‟-nya dibaca mati karena mengikuti
irama
2) Menghidupkan huruf yang mati (tahrîk al-sâkin) 48
‫حرى ذلوؿ الذي صاروا‬
ّ ‫ت ببشرى هنوضها * وأكبادىم‬ ْ ‫ُعيُػ ْونُ ُػه ُمو ق ّػر‬
‫فعوؿ مػػفاعػي ػلػػن فعوؿ مػفاعلن * فعػوؿ مػػفاعلن فعوؿ مفاعيلن‬
Huruf mim pada kata ‫ عﯿىوه ُمى‬yang hidup, dibaca dammah itu
mim jama‟ yang biasanya dibaca mati. Akan tetapi karena mengikuti
irama, maka dia harus dibaca hidup
3) Memunculkan huruf ya‘ dari kasrah (insyâ‟ al-wâw ‟an al-dammah)
49

‫الدىر د ّوا ر‬
ْ ‫ذلم فيػها مػقػ ػ ػ ػػاـ فأيْقن ػوا * بأنّػ ػ ُػه ُم ْو باقوف و‬
ْ ‫وطاؿ‬
‫فعػوؿ مفاعػيلن فعوؿ مفاعلن * فعوؿ مفاعيلن فػعولن مػفاعيلن‬
Huruf wâwu yang terletak di akhir kata ‫ بأوّـهمى‬itu muncul
karena memanjangkan huruf mim jama‟. Dalam puisi Arab, ketika
ada huruf mim jama‟ yang dibaca hidup, maka huruf tersebut akan
memunculkan huruf ilat yang sesuai dengan harakat mim jama‟.
Karena huruf mim jama‟ tersebut berharakat dammah, maka huruf
yang cocok dengan dammah adalah huruf wawu
4) Memendekkan huruf yang panjang (qasr al-mamdûd) 50
‫كأسطورةٍ ل ػ ػ ْم ْيروىا ْبعد مس ػػّػار‬ ٍ
ْ * ‫حت ُىلَْن ػ ػدا بيػػن يوـ و ليػػلة‬
ْ ‫فأض‬
ْ
‫فعولن مفاعيلن فعولن مفاعلن * فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن‬
Huruf ha‟ pada kata ‫ ھُهىﺪا‬51 seharusnya panjang (ada wawu-
nya) akan tetapi dibuang (dipendekkan) karena mengikuti irama.

48
Muhammad bin Fallâh al-Mutairî, Al-Qawâid al-Arûdiyyah wa Ahkâm al-
Qâfiyah al-Arabiyyah, hal. 24.
49
Ibn ‗Usfûr al-Isybilî, Darâir al-Syi‟r, hal. 36
50
Ibn ‗Usfûr al-Isybilî, Darâir al-Syi‟r, hal. 16
51
Huruf setelah ha‘ dalam kata ‫ – ھُهىﺪا‬sebagaimana yang tersebut di dalam
kamus Al-Mujid – itu ada wawu mati; ‫ھُىنىﺪا‬. Lihat Louis Ma‘luf, Al-Munjid fî al-
Lughah wa al-A‟lâm, (Beirût: Dâr al-Masyriq, 1986), cet. 33, hal. 603

166
Adapun sajak syair Bilâduk Yâ Hattâ ini berupa huruf ra dari
awal hingga hingga akhir.
‫بالدك ياحتا‬
‫بػ ػ ػ ػالدؾ ياحػػتػ ػ ػ ػا جن ػػاف و أهن ػػار * و قوم ػػك يا حػػتا مغػػاوي ػ ػ ػ ػ ػر أحػ ػرار‬
‫تآلػ ػوا ليبػ ػػغػ ػ ػ ػن الػحػيػ ػػاة كري ػػمػ ػ ػ ػة * و إال فػ ػ ػ ػإف ادلػ ػػوت لل ػ ػذؿ ست ػ ػ ػ ػ ػػار‬
‫وصاحوا مجيعا مردكا فتجػاوبت * بذي الصيحة الكربى جنود وأغوار‬
‫وثجت غػيػػوث من دمػاء وأمطػػار‬ ّ * ‫وىبّػ ػوا فهبّت عاصػػفات رواعػ ػػد‬
‫دماء األىايل واألعادي دتازجت * تشحػػّط فيػػها صالػحوف و فجػػار‬
‫فللصػػاحلُت اخلػػلد قد وعػدوا بو * و للظادل ػػُت النػػار يا بئست الن ػ ػار‬
‫ػوس و أقمػػار‬ ٌ ‫ػات وتسػ ػػري جحافػل * وتطلػع يف الدنيػػا شػم‬ ٌ ‫وختفػػق راي‬
Sebagaimana diketahui, bahwa jenis puisi Arab itu terdiri
dari tiga macam, di antaranya adalah puisi amudi (tradisional). Jenis
puisi ini mengharuskan adanya kesamaan irama dan sajak dari awal
hingga akhir. Dengan demikian, maka syair Bilâduk Yâ Hattâ dapat
dikategorikan dalam puisi amudi (tradisional); berirama bahar tawîl
dan bersajak rawi berupa huruf ra dari awal hingga akhir.
Sajak dari qashidah ini berupa rawi huruf ra yang
muthlaqah52. Ahmad al-Syayib dalam bukunya al-Naqd al-Adabi
meyatakan bahwa di antara huruf yang bagus nadanya dan enak
dinyanyikan adalah huruf ra yang muthlaqah.53
2. Keindahan Bahasanya (Balâghah)
Puisi Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan bahasa citraan visual
(tasybîh), metafora (isti‟ârah), figuratif (majâz), dan bahasa dekoratif
(badî‟) seperti tibâq (penyajian dua kata atau kalimat yang berlawanan
dalam suatu kalimat). Apa yang dimaksud dengan tasybîh54, adalah
metafor lengkap dan isti‟ârah 55 adalah metafor sebagian.56 Sedangkan
52
Muthlaqah adalah sajak yang huruf rawinya berharakat (hidup). Lihat Al-
Sikaki, Miftâh al-Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), cet.2, hal. 572.
53
Ahmad al-Syâyib, Ushûl al-Naqd al-Adabî, hal. 325.
54
Tasybîh adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki
kesamaan dengan menggunakan adat tasybîh secara tersurat maupun tersirat. Lihat
Ali al-Jârim dan Mustafa Amin, Al-Balâghah al-Wâdihah, (Beirût: Al-Maktabah al-
Ilmiyyah, T.t), hal. 21
55
Isti‟ârah adalah peminjaman makna suatu kata dari makna aslinya (makna
hakiki/ denotatif) kepada makna baru (makna majâzi/ konotatif).

167
majâz adalah kata atau kalimat yang digunakan pada
selain makna aslinya, karena adanya keterkaitan makna disertai indikator
yang mencegah dari pemahaman makna aslinya. Jika tasybîh, isti‟ârah,
dan majâz melahirkan estetika makna, maka badi‟ melahirkan lahir
(bentuk). Adapun contoh puisi-puisi Alî Ahmad Bâkatsîr yang
mengandung tasybîh, isti‟ârah, majâz, dan badi‟ adalah sebagaimana
tersebut di bawah ini:

1) Tasybîh , misalnya terdapat dalam puisi Alî Ahmad Bâkatsîr berikut :


‫ػب‬ ِ ‫ػشػ‬
ِ ‫ػاة كػالػذئػ‬ ّ ‫فغرت أفوا * ىها لل‬
ْ ‫وحوش‬
ٌ
Mulut hewan buas ternganga bagaikan serigala menerkam kambing
Dalam puisi ini, Alî Ahmad Bâkatsîr menyerupakan kebengisan
Belanda dengan serigala. Wajah syibih-nya (aspek persamaan) adalah
sifat rakus dan bengis yang ada pada keduanya. Karena wajah syibih-
nya berbentuk mufrad (bukan surah) maka tasybîh seperti ini disebut
tasybîh ghair tamtsîl.

‫تداعت ذئاب الغرب طرا عليهم * وديست بأقداـ اليهود ذلم دار‬
Serigala-serigala Barat telah menghancurkan semua,
rumah (negara) mereka diinjak-injak dengan telapak (kaki) Yahudi
Pada bait ini, Alî Ahmad Bâkatsîr menyerupakan orang Barat
(musyabbah) dengan serigala (musyabbah bih). Pada ungkapan ini
terdapat tasybîh. Di lihat dari segi adat tasybîh dan wajah syibih,
tasybih model ini disebut tasybîh balîgh karena adat tasybîh dan wajah
syibihnya tidak disebutkan. Diperkirakan bahwa wajah syibih atau
kesamaan sifat antara keduanya adalah rakus, kejam atau membuat
kemadaratan. Dengan tasybîh model ini, artinya penyair benar-benar
menganggap orang Barat seperti halnya serigala yang berbuat keonaran.

2) Isti‟ârah, misalnya puisi Alî Ahmad Bâkatsîr berikut :

‫العز إجنيػال‬
ّ ‫ػف قػد أوحى * إلػيك‬
َ ‫الس ْػي‬
َ ‫بأف‬
Pedang itu sungguh menginspirasi padamu
tentang kemuliaan yang begitu jelas
Pada bait ini, Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan gaya bahasa
isti‟ârah makniyah mutlaqah. Ia menyerupakan al-saif yang artinya
sebilah pedang (musta‟âr) dengan wahyu atau ilham (musta‟âr bih).
Namun musta‟âr bih-nya tidak disebutkan. Ia juga menyebutkan kata
qad auha yang merupakan sifat khas bagi wahyu atau ilham. Ia

56
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra: Klasik dan Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hal. 82

168
beranggapan bahwa wahyu dan pedang sama-sama menginspirasi. Jadi,
alâqah (kaitan) antara keduanya adalah musta‟âr dan qarînah-nya
adalah hâliyah.

‫وختفق رايات وتسري جحافل * وتطلع يف الدنيا مشوس وأقمار‬


Berkibarlah bendera (kemerdekaan Indonesia), sirnanya tentara
(penjajah dari bumi Indonesia) maka muncullah „matahari‟
dan „bulan‟ di belahan dunia
Dalam puisi ini, musyabbah-nya tidak disebutkan, yang
disebutkan musyabbah bih. Karena itu, forma ini disebut isti‟ârah
tasrihiyah. Isti‟ârah ini adalah asliyah karena kata yang digunakan
sebagai isti‟ârah berupa isim jamid, yakni syumûs wa aqmâr dan
isti‟ârah ini juga disebut mutlaqah karena tidak disertai penyebutan
kata-kata yang mulûimah (relevan) baik dengan musyabbah maupun
dengan musyabbah bih. Jadi, ungkapan tersebut adalah isti‟ârah
tasrîhiyah asliyah mutlaqah.

3) Majâz, misalnya dalam puisi Alî Ahmad Bâkatsîr berikut :

‫وش ْػعػباً منػو ُسوَكػرنُػو‬


َ * ‫وجو ُسػوَك ْػرنػػو‬
َ ‫حنػيِّي‬
Kami ucapkan hormat pada Anda
sebab jiwa-jiwa yang harum dan wangi
Dalam puisi di atas, kalimat nuhayyi wajh Soekarno itu majâz
mursal. Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan kata wajh yang berarti
muka, maksudnya adalah diri pribadi atau nafs atau dzat. Wajh
merupakan sebagian dari nafs. Penggunaan kata muka untuk nafs
adalah majâz, alâqahnya juziyah, yakni kata yang diucapkan adalah
sebagian, tapi yang dimaksudkan adalah seluruhnya.
‫ألمػ ػػة إنػ ػػدونيػ ػػسيا الدىػ ػػر أنصػ ػػار‬
ّ * ‫والتنػ ػػس أبنػ ػػاء العػ ػػروبػ ػػة إنػ ػػهم‬
Jangan kamu lupakan anak-anak Arab
karena mereka adalah penolong rakyat Indonesia selalu
‫حرى ذلوؿ الذي صاروا‬
ّ ‫عيوهنم ق ّػرت ببشرى هنوضها * وأكبادىم‬
Orang-orang Arab gembira atas kebangkitan Indonesia,
dan hati mereka akan merasakan sakit
manakala kalian tertimpa musibah
Dalam puisi ini terdapat majâz mursal. Penyair menggunakan
kata 'uyûnuhum, bentuk jama' dari kata ain yang berarti mata.
Maksudnya adalah diri orang-orang Arab/ bangsa Arab atau abnâ‟ al-
„arûbah. Mata merupakan sebagian dari diri seseorang. Penggunaan
kata ‗uyûn untuk bangsa Arab adalah majâz mursal, alâqahnya
juz‟iyah, yakni kata yang tertera adalah sebagian, tapi yang
dimaksudkan adalah seluruhnya.

169
4) Bahasa dekoratif (badî‟) dengan bentuk tibâq57, misalnya dalam puisi
berikut:

‫ب ومن ُم ْرِد‬
ٍ ‫األبطاؿ * من ِش ْػي‬
ُ ‫ػناؤؾ‬
َ ‫َخطَا أب‬
Putra-putramu yang patriotik
melangkah, baik tua maupun muda
‫النص ِر إىل اجملْ ِد‬ ِ ‫من الذؿ إىل‬
ْ ‫احلرب * إىل‬
Dari hina dina menuju perang,
menang, dan kemuliaan
‫احلق والػب ْغ ِي * وطَ ْع ُػم احلِلْ ِم واجلَ ْه ِػل‬
ِّ ‫وطع ُػم‬
Cita rasa kebenaran dan kezaliman,
dan cita rasa kepintaran dan kebodohan
‫صػلْ ِد‬ ٍ ‫ إننا شػىت * فَ ِمػن لػ‬:‫وقالوا‬
َ ‫ُت وم ْػن‬ ْ
Kita adalah majemuk (penduduknya):
ada yang santun dan kasar
ْ * ‫فكيف برم ٍز للجهاد مظفر‬
‫تعالت لو يف الشرؽ والغرب أخبار‬
Bagaimana menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia
ke dunia timur dan barat
Dalam bait-bait puisi di atas, Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan
kata-kata yang berlawanan, seperti kata syibb (tua) dan murd (muda),
al-dzull (hina) dan al-majd (mulia), al-hilm (pintar) dan al-jahl (bodoh),
lin (halus/ santun) dan sald (kasar), al-syarq (dunia Timur) dan al-
gharb (dunia Barat58)
Ada hal yang menari dalam dua kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr -
mungkin ini tidak dapat ditemukan dalam kasidah-kasidah Arab manapun -
yaitu penggunaan kata ‗merdeka‘ dalam puisi yang terdapat di kasidahnya,
yaitu:

‫ػحػ ُػن الػػعِػ ِّػز يُ ْش ِػجػيػنَػا‬ ِ ‫شجػانػا لَػحػػن‬


ْ ‫(مػرديػكػا) * ولَػ‬
ُ ُْ ََ
Lagu Indonesia menggetarkan (jiwa) kami
‫وصاحوا مجيعا (مرديكا) فتجاوبت * بذي الصيحة الكربى جنود وأغوار‬
Dan mereka para pejuang (cendekiawan dan pejuang) menjawab
dengan pekikan suara yang membahana: Merdeka!

57
Tibâq adalah kumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat.
Lihat Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Balâghah, (Beirut: Al-Maktabah al-Asriyyah,
T.t), hal. 303, Alî al-Jârim dan Mustafâ Amîn, Al-Balâghah al-Wâdihah, hal. 258, Al-
Sikâkî, Miftâhul Ulûm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), cet.2, hal. 423.
58
Ahmad Mukhtâr Umar, Mu‟jam al-Lugah al-„Arabiyyah al-Mu‟âsirah,
(Kairo: Âlam al-Kutub, 2008), cet.1, hal.1603.

170
Dalam dua puisi tersebut (puisi pertama terdapat dalam kasidah Alî Ahmad
Bâkatsîr yang berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan puisi kedua
terdapat dalam kasidah yang berjudul Bilâduk Yâ Hattâ) terdapat kata
‗merdeka‘.
Kata ‗merdeka‘ mungkin menjadi kata yang populer di Mesir kala itu,
karena ketika mahasiswa dan warga Indonesia yang berada di Mesir
mengadakan perhelatan-perhelatan acara dalam rangka menggalang dukungan
kemerdekaan Indonesia di Mesir, kata ini selalu diyel-yelkan oleh mereka. Di
sela-sela pementasan drama karya Alî Ahmad Bâkatsîr dalam peringatan hari
kemerdekaan Indonesia tersebut, terdengar teriakan riuh mengeluk-elukkan
Indonesia Merdeka dan Republik Indonesia.59
Di masa ketika Indonesia merdeka, muncul suatu semboyan yang
mengatakan ―merdeka atau mati‖. Susunan kata – kata ini masih dapat
ditemukan di berbagai media penulisan, mulai dari cetak maupun elektronik
hingga saat ini. Di beberapa media seni, seperti dalam mural maupun momen
menghias gapura, semboyan ini juga masih dapat dijumpai, khususnya ketika
menjelang bulan kemerdekaan Indonesia, yakni Agustus.60
Kata ―merdeka atau mati‖ adalah semacam susunan frasa yang menjadi
pantulan dari gelora kemerdekaan rakyat Indonesia yang terbukti mampu
melewati derap waktu, hingga masih selalu dianggap relevan untuk
dibicarakan. Selain alasan penegasan akan pemaknaan kemerdekaan, estetika
dan media penyuaraan gagasan Kemerdekaan, tentu saja kata ini mempunyai
kekuatan dan daya tarik tersendiri, sehingga orang Indonesia yang membaca
atau mendengarkannya, akan muncul suatu dorongan emosional, dan dengan
segera dapat memancing imajinasi kesadaran berbangsa dan bernegara dari
kilasan historis.
Kemampuan suatu barisan kata untuk membangkitkan ingatan tertentu,
menjadi salah satu fungsi simbolisasi kata. Kata menjadi simbol yang
menghembuskan suatu pemaknaan yang lebih dalam. Ini dapat dipadankan,
dalam beberapa segi, dengan aneka bentuk karya sastra yang sederhana dalam
pembuatan, seperti syair, puisi atau sajak. Deretan kata sederhana, terkadang
menyimpan makna yang kuat.61
Belum ditemukan referensi yang memadai terkait kapan penggunaan
semboyan ―merdeka atau mati‖ sebagai salah satu media penyuaraan

59
M. Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), cet.1, Hal.154
60
Fitria Erviani dan A. Erwin, "Potret Pahlawan dalam Karya Tapestri", dalam
Serupa The Journal of Art Education, Vol. 6, No. 1, 2017.
61
Yuval Katz dan Limor Shifman, "Making Sense? The Structure and
Meanings of Digital Memetic Nonsense", dalam Information, Communication &
Society, Vol. 20, No. 6, 2017, hal. 825-842.

171
Kemerdekaan Indonesia. Dalam suatu literatur, kata ini lahir ketika arek –
arek (orang – orang) Surabaya berhasil mengusir tentara aliansi NICA dan
Belanda dari Surabaya pada Oktober 1945.62 Jika membuka kembali sejarah
peperangan melawan NICA di Surabaya, tentu akan banyak informasi yang
memperkuat persepsi bahwa perjuangan mempertahakan kemerdekaan
memang dilakukan dengan gigih dan sengit. Para pejuang di Surabaya
merupakan satu dari banyak kelompok pejuang di Indonesia yang melakukan
hal serupa, yakni sama – sama melakukan penjagaan bagi Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing. 63
Dalam ilmu sastra, rangkaian kata ―merdeka atau mati‖ termasuk dalam
jenis faksimini. Faksimini merupakan bentuk sastra yang terdiri dari rangkain
kata pendek yang biasanya jumlahnya tidak lebih dari 140 kata.64 Di era
media sosial, faksimini banyak ditemukan sebagai salah salah satu bentuk
ekspresi budaya populer. Netizen atau warganet mempunyai ketertarikan
tersendiri pada rangkaian kata – kata yang diungkapkan oleh figur publik atau
yang bisa dikenal dengan sebutan quote.65 Meskipun quote bukan termasuk
dalam faksimini, namun apabila dirangkai dalam gaya bahasa yang indah.
Bentuknya simpel dan sederhana, namun mempunyai makna yang kuat, ini
bisa menjadi faksimini.

62
Dini Dewi Heniarti, "Amanat dari Surabaya", artikel, 2009.
63
Keetie Sluyterman, "Decolonisation and the Organisation of the
International Workforce: Dutch Multinationals in Indonesia, 1945–1967" dalam
Business History, 2017, hal. 1-20.
64
Amry Nur Hidayat, "Kalimat Anomali dalam Fiksimini", dalam Prosiding
Setali, 2017, hal. 46.
65
Asriyani Sagiyanto dan Nina Ardiyanti, "Self Disclosure Melalui Media
Sosial Instagram (Studi Kasus pada Anggota Galeri Quote)", dalam Nyimak: Journal
of Communication, Vol. 2, No. 1, 2018, hal. 81-94.

172
BAB V
TELAAH SOSIOLOGI SASTRA DAN NASIONALISME

A. Unsur-Unsur Sosiologi Sastra


Merujuk pada penjelasan Robert Escarpit bahwa audiens atau sasaran dari suatu
karya sastra merupakan aspek yang tidak bisa ditinggalkan dalam kajian sosiologi
sastra.1 Syair Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dibuat dalam rangka partisipasi terhadap
perjuangan rakyat Indonesia dari seorang yang berada jauh dari lokasi pergolakan
tersebut. Kendati pengaruhnya di Indonesia cenderung minim, namun setidaknya syair
ini mempunyai gaung di pergaulan internasional. 2 Melalui syair ini, para pendengar dari
pelbagai negara Arab mengetahui, bahwa jauh di Asia Tenggara, terdapat suatu
kumpulan entitas kemasyarakatan yang sedang memperjuangan nasib hidupnya dari
kungkungan penjajah.
Di masa ketika Alî Ahmad Bâkatsîr menggubah kasidah ini, tepatnya sekitar masa
Kemerdekaan, kondisi Indonesia belum sepenuhnya dapat dianggap sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat.3 Ungkapan tersebut, baru sekedar kampanye untuk meyakinkan
penduduk akan lahirnya suatu republik baru yang terbebas dari kuasa kolonial. Di
sejumlah daerah, masih berlangsung kontak senjata, baik dengan pihak Jepang, tentara
Belanda lantas belakangan tentara Sekutu (Allied Forces).4
Terdapat dua sasaran pembaca dari kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr ini, yakni
kalangan penduduk Mesir dan orang Indonesia. Dengan adanya syair ini, penduduk
Mesir atau Dunia Arab mengetahui bahwa terdapat suatu negara yang masih berumur
muda, yang sedang bergeliat mengupayakan pemerintahan yang independen yang
terbebas dari pengaruh asing. Jepang dan Belanda menjadi dua negara yang bertindak

1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 3 – 5.
2
Wisnu Mintargo, "Peran Lagu Perjuangan dan Pendidikan Kesadaran Nasionalisme di
Indonesia", dalam Promusika, Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 41-46.
3
Agus Susilo, "Sejarah Perjuangan Jenderal Soedirman dalam Mempertahankan
Indonesia (1945-1950)", dalam Historia Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No.
1, 2018, hal. 57-68; Lihat juga Hutri Limah dkk, "Poster dan Upaya Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta Tahun 1945-1949", dalam Journal of Indonesian History,
Vol. 7, No. 1, 2018, hal. 35-44; Lihat juga Atno dan Nanda Julian Utama. "Dari Rakyat Untuk
Rakyat: Benih, Cikal-Bakal, dan Kelahiran Tentara Indonesia 1945-1947", dalam Journal of
Indonesian History, Vol. 7, No. 1, 2018, hal. 12-18.
4
Salah satu episode perang mempertahankan kemerdekaan yang heroik terdapat di
Yogyakarta. Lebih lanjut lihat Kuswono, "Peran Taruna Akademi Militer Yogyakarta dalam
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (1945-1946)", dalam Historia Jurnal Program Studi
Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 1, 2018, hal. 117-128; Beberapa pergolakan dalam skala yang
lebih kecil juga banyak terjadi di penjuru Nusantara, salah satunya di Pekalongan. Lebih lanjut
lihat Adhi Wahyu Nugraha dan Cahyo Budi Utomo, "Peristiwa 03 Oktober 1945 di Kota
Pekalongan (Analisis Dampak Sosial dan Dampak Politik)", dalam Journal of Indonesian
History, Vol. 7, No. 1, 2018, hal. 82-87.
173
sebagai penguasa despotik atas negeri ini. Tekanan politik yang dilakukan penjajah,
membuat sebagian rakyat Indonesia memutuskan angkat senjata melawan mereka.
Diharapkan, dengan membaca kasidah ini, para pembaca dari kalangan penduduk
negeri-negeri Arab tidak saja mengetahui, namun juga ikut merasakan saudara mereka
yang masih memenuhi hari-hari mereka dengan perang raya melawan penjajah, di
samping upaya sosialisasi yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang kuliah di
Mesir.5
Bagi kalangan penduduk Indonesia, syair ini dimaknai sebagai bentuk kepedulian
seorang sastrawan Mesir kepada perjuangan mereka. Bagaimanapun, secara
administratif, Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan warga negara Mesir. Hanya segelintir
orang di kalangan elit politik Indonesia, termasuk Abdurrahman Baswedan, yang
mengetahui bahwa di dalam dirinya mengalir darah keluarga Arab Hadrami dari
Surabaya, yang dengan demikian di dalam dirinya terkandung jiwa dan raga orang
Indonesia. Gubahan kasidah semacam ini mempunyai makna yang lebih dari sekedar
rasa ikut berpartisipasi dari seorang dari negeri yang sangat jauh di seberang lautan,
melainkan adalah suatu bentuk alat perjuangan yang mempunyai fungsi penyadaran bagi
anak-anak bangsa yang kebetulan belum mempunyai perhatian yang besar terhadap
perjuangan sesamanya dalam mengusir penjajah sekaligus upaya mendirikan
pemerintahan yang berdaulat.
Tidak dapat dipungkiri, terdapat sebagian kalangan di antara masyarakat
Indonesia yang belum mempunyai kesadaran untuk berpartisipasi dalam kerja besar
pembebesan negara Indonesia.6 Huub de Jonge menyebutkan di antara elemen yang
masih mempunyai keraguan akan pendirian Indonesia, adalah sebagian dari kalangan
Arab Hadrami itu sendiri. Di dalam sub etnis Arab ini, masih terdapat pertentangan di
antara para tokoh mereka tentang kesamaan visi dengan para pejuang lainnya di luar
kelompok Arab Hadrami, yang sedang marak menggalang suara masyarakat bawah
untuk menyatukan tekad mengursir penjajah. Sejumlah keluarga Arab berkeyakinan
bahwa upaya ini adalah suatu kesia-siaan. Lebih baik, jika para pejuang itu
mengurungkan niatnya dan menerima saja kekuasaan asing, karena melawan mereka
dengan berbekal persediaan senjata seadanya, yang kerap disimbolkan dengan bambu
kuning, adalah suatu langkah bunuh diri.
De Jonge bahkan mendapatkan sejumlah data bahwa terdapat tokoh Arab
Hadrami yang justru menjadi pihak-pihak kontra revolusioner. Seorang sayyid dari
Maluku misalnya, diketahui mendirikan suatu perkumpulan Arab Hadrami yang
mendukung pemerintahan Belanda. Ia tidak hanya bertekad ingin menyebarkan
menyamakan visi ini di kalangan kelompok Arab yang hanya ada di Maluku, namun
berkeinginan untuk menyebarkan perkumpulan serupa di wilayah-wilayah lain di
Indonesia.7

5
Iva Rachmawati, "Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian Diplomasi Publik Indonesia",
dalam Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 2, 2016, hal. 113-123.
6
Huub de Jonge, Mencari Identitas; Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900 – 1950),
(Jakarta: KPG, 2019), hal. 68 – 69.
7
De Jonge, Mencari …, hal. 20 dan 94.
174
Penulis melihat keengganan sebagian kelompok Arab Hadrami berpartisipasi
dalam perjuangan rakyat Indonesia, adalah satu bukti keberhasilan politik rasial yang
memisahkan kelompok Arab dari orang pribumi (inlander). Sebagai bagian dari
masyarakat Vreemde Oosterlingen (kelas masyarakat Timur Asing), masyarakat Arab
Hadrami sedikit banyak sudah merasakan fasilitas dan kelonggaran yang lebih banyak
dibanding warga pribumi. Aspirasi sosial, politik dan ekonomi mereka lebih tersalurkan
dengan aplikatif. Orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang, dapat merasakan
regulasi-regulasi yang setidaknya tidak memberati mereka, apalagi sampai mematikan
usaha mereka. Kemudahan berniaga membuat mereka cenderung berada di tingkat
kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan para pribumi yang memang mempunyai
derajat di bawah mereka. Derajat yang lebih rendah, berimbas pada peluang-peluang
usaha yang tidak terlalu banyak didapat sehingga upaya untuk mendapatkan
kesejahteraan dengan cara seperti orang Arab agaknya sulit dilakukan. 8
Selanjutnya, Escarpit meyakini bahwa sebelum membuat suatu karya sastra,
seorang penyair atau pengarang mempunyai ingatan-ingatan tertentu yang terpendam
dalam alam kesadarannya. Meskipun Alî Ahmad Bâkatsîr hanya tinggal sebentar di
Surabaya, dan mempunyai ingatan yang serba sedikit tentang Indonesia, setidaknya ia
masih mempunyai keinginan untuk mengetahui perkembangan negara itu baik melalui
media cetak, media elektronik maupun dalam pertemuan-pertemuan yang kebetulan
membahas tentang Indonesia.9
Ishom Bâkatsîr menjelaskan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr tentu saja mempunyai
perhatian terhadap Indonesia. Hubungan ini diperkuat dengan masih adanya banyak
saudara, yakni adiknya, kemenakannya dan keluarga besar lainnya. Alî Ahmad Bâkatsîr
tetap merawat rasa kerinduannya dengan saling berkirim surat dan bertanya kabar
keluarga. Hasan Bâkatsîr yang kebetulan adalah ayah Ishom Bâkatsîr adalah adik Alî
Ahmad Bâkatsîr. Ayahnya inilah yang kerap berkirim surat pada Alî Ahmad Bâkatsîr.
Besar kemungkinan, kondisi Indonesia atau Surabaya didapat dari surat menyurat ini.10
Ingatan seorang sastrawan menjadi aspek penting yang disorot Escarpit.
Instrumen ini merupakan alat yang melahirkan imaji yang nantinya menjadi bahan bakar
penting dalam penyusunan suatu karya sastra. Penggalan-penggalan peristiwa yang
tersimpan dalam pemikiran, pada suatu ketika akan dipanggil kembali, dan hadir dalam
bentuknya yang masih mendekati sempurna. Terdapat kesan yang diakibatkan dari

8
Reni Dikawati, "Pemikiran dan Peranan RMT Koesoemo Oetoyo dalam Pergerakan
Nasional Indonesia di Bidang Politik, Sosial, Ekonomi Tahun 1908-1942", dalam Risalah, Vol.
2, No. 5, 2016.
9
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
10
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
175
penggalan ingatan ini, sehingga seorang sastrawan merasa perlu untuk mengabadikan
ingatan ini dalam format materil. Karya sastra adalah format materil itu. 11
Dalam membuat syair Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ, Alî Ahmad Bâkatsîr
setidaknya sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kisah perjuangan bangsa
Indonesia. Ini terlihat dari ungkapan-ungkapan yang terbangun di dalamnya, yang
setidaknya mencerminkan semangat zaman ketika banyak orang di Indonesia sedang
menggeluti pelbagai aktivitas yang muaranya adalah memerdekakan negeri yang
dicintainya itu. Setelah mengumpulkan, Alî Ahmad Bâkatsîr akan memeriksa dengan
cermat informasi tersebut. Pemilahan sumber bukan hanya mengenai informasi tertulis
apa yang ia dapat, melainkan juga pemilahan secara kognitif. Pikirannya akan
memproses sejumlah ingatan dan informasi yang pantas untuk dilibatkan sebagai bahan
pembuatan syair ini.
Proses berpikir, tidak melulu akan berhubungan dengan nalar. Dalam beberapa
keadaan, utamanya dalam kerja sastra, emosi dan perasaan memainkan peran yang juga
penting. 12 Kesan-kesan sentimentil, penilaian yang subjektif, merupakan temuan yang
hanya didapat saat seorang penyair atau sastrawan mengaktifkan perasaannya dalam
membuat suatu karya sastra.13 Adanya pergulatan dalam dada, merupakan pertanda akan
munculnya semacam gerak lain, tentu saja bukan gerak dalam artian fisik, melaikan
suatu gerak rasa yang hanya dapat dirasakan secara pribadi. Dari sini, inspirasi dapat
lahir, sebelum kemudian gumpalan perasaan ini dituliskan dalam bait-bait syair.
Penulis akan membahas kandungan sosiologi sastra dari bait – bait dua syair Alî
Ahmad Bâkatsîr secara tematik. Pola analisa yang diketengahkan adalah dengan
menyitir syair tersebut, berikut terjemahannya, lantas kemudian dianalisa sosiologi
sastranya.
1. Penggambaran Alam Indonesia
‫ُس ػ ػ ِػد‬
ْ ‫ػالـ غػػابػػة األ‬
ِ
ٌ ‫ض ػ ػ َة الػمػجػػد * سػ ػ‬
َ ‫ػالـ َرْو‬
ٌ ‫سػ ػ‬
Salam, wahai taman keagungan, salam, wahai kandang macan
Salam raudlah al-majd yaitu kinayah nisbat. Ali Ahmad Bakatsir menisbatkan
kemuliaan kepada orang yang berada di taman (Indonesia). Namun, penisbatannya tidak
secara lagsung kepada orangnya, melainkan kepada sesuatu yang berkaitan dengan
Indonesia, yaitu taman. Salam ghabah al-usd. Ali Ahmad Bakatsir menisbatkan
keberanian kepada orang yang berada di kandang. Penisbatan seperti ini juga termasuk
bentuk kinayah nisbat.

11
Jason Donald Ensor, "Reprints, International Markets and Local Literary Taste: New
Empiricism and Australian Literature", dalam Journal of the Association for the Study of
Australian Literature, 2008, hal. 198-218.
12
Maria-del-Carmen Yanez-Prieto, "Sense and Subjectivity: Teaching Literature from a
Sociocultural Perspective", dalam Language and Sociocultural Theory, Vol. 1, No. 2, 2014, hal.
179-203.
13
Naaima Boudad dkk, "Sentiment Analysis in Arabic: A Review of the Literature",
dalam Ain Shams Engineering Journal, Vol. 9, No. 4, 2018, hal. 2479-2490.
176
Pada ungkapan di atas juga terdapat majaz lughawi, yaitu kata usud digunakan
untuk makna orang yang berani. Hubungan antara keduanya adalah keserupaan
(musyabbahah). Pada ungkapan majaz ini, musyabbah-nya tidak disebutkan, tapi yang
disebutkan itu musyabbah bih-nya. Ini disebut isti'arah tashrihiyah. Isti‘arah ini adalah
ashliyah karena kata yang digunakan sebagai isti‟arah berupa isim jamid; dan isti‟arah
ini juga disebut mutlaqah karena tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah bih maupun musyabbah-nya. Jadi, ungkapan tersebut adalah
isti‟arah tashrihiyah ashliyah muthlaqah.
Simbol taman kemuliaan dan kandang macan atau harimau mempunyai makna
tersendiri. Ungkapan selamat dengan sebutan taman, sejatinya mengindikasikan
pemahaman Alî Ahmad Bâkatsîr tentang iklim tropis yang dimiliki Indonesia. Di mata
orang Arab, negeri-negeri Muslim beriklim tropis dianggap sebagai keindahan
tersendiri. 14 Suasana serba hijau, hawa yang sejuk dan pemandangan yang variatif
agaknya ikut mempengaruhi persepsi orang Arab akan negeri-negeri tropis seperti
Indonesia, sehingga terbentuklah dalam pemikirannya tentang arti keindahan alam
dalam perpektif yang umum, yang hidup di tengah orang Arab. Tidak aneh kiranya, jika
kemudian banyak orang Arab yang termotivasi datang ke Indonesia.15
Secara geografis, tempatan orang Arab terbentuk dari padang pasir dan perbukitan
batu yang didominasi oleh warna kuning pudar. Adapun pohon dan tumbuhan yang ada
disekitarnya, tidak mampu menghadirkan iklim sejuk. Terik matahari yang panas, kerap
membuat kehidupan di negeri-negeri Arab sedemikian sulit. Ini belum ditambah dengan
adanya badai pasir berupa angin kencang yang menghadirkan butiran pasir di
pemukiman-pemukiman mereka. Di malam hari, suhu sekitar padang pasir akan turun
dengan ekstrem. Udara panas akan berganti dengan udara tinggi yang menusuk tulang.
Suasana suhu dan cuaca yang ekstrem seperti itu sudah menjadi keseharian orang Arab.
Pengalaman datang ke kawasan tropis menimbulkan kesan yang mendalam bagi
orang Arab. Suasana alam yang serba hijau oleh sebab daun pohon yang lebat. Angin
semilir yang datang dari sela pepohonan rindang menjadi pengalaman menakjubkan
yang tidak dijumpainya di negeri asalnya. Bayangan-bayangan inilah yang tumbuh dan
mengental dalam pemikiran orang Arab bahwa kondisi alam ini adalah gambaran yang
ideal bagi pemukiman orang-orang yang sudah mencapai tahap kenyamanan dalam
hidup. Oleh sebab itu, pilihan simbolisasi ―taman‖ untuk menyebut Indonesia yang
digunakan Alî Ahmad Bâkatsîr seakan ingin meneguhkan pada pembacanya bahwa
Indonesia memang negeri yang iklimnya patut dibanggakan. Taman-taman yang ada di
sana adalah bukti keindahan yang nyata dari gambaran negara yang subur.
Penggambaran taman menunjukkan kemurahan alam atas penduduk negeri ini.

14
Hala Ewaidat, "Al-Sharqawy‘s Al-Ardd (The Land): An Ecocritical Exploration in
Arabic Literature: A Cultural Approach", dalam ISLE: Interdisciplinary Studies in Literature and
Environment, 2019.
15
Ahmad Baso, "―Angajawi‖, or, On Being Muslim Nusantara: The Global Argument for
Islam (ic) Nusantara", dalam Heritage of Nusantara: International Journal of Religious
Literature and Heritage (e-Journal), Vol. 8, No. 1, 2019, hal. 18-46.
177
Harimau menjadi simbol bagi keberanian. 16 Sejak lama, dalam tradisi pembuatan
coat of arm atau perisai lambang suatu daerah, keluarga 17 atau lembaga tertentu,
harimau atau singa menunjukkan keberanian, utamanya berhubungan dengan
peperangan dan kiprah dalam dunia militer. 18 Dalam dunia sastra, penggambaran
harimau atau singa tentu tidak terbentuk dengan baik. itu hanyalah deret kata dan bukan
gambar sebagaimana yang terlihat dalam coat of arm. Namun, antara kata dan gambar
senantiasa mempunyai kesinambungan19, dan pikiran atau pemahaman manusia, dapat
menerima itu sebagai suatu makna.
Indonesia dan beberapa negara di Asia lainnya seperti India 20 dan Malaysia 21
merupakan negeri tempat habitat harimau. Penyebutan binatang ini dimaksudkan untuk
memperkuat kekhasan yang ada di Indonesia, sebagai suatu identitas, namun dengan
tidak menyebutkan secara langsung nama negaranya. Kata harimau digunakan sebagai
pengganti sebutan Indonesia. Dalam keseharian orang Arab, pemberian julukan atau
laqb merupakan suatu tradisi. 22 Jika hal itu berkaitan dengan seseorang maka julukan
baginya diambil dari sifat, tempat lahir dan lain sebagainya. Misalnya saja salah satu
pendiri dinasti Abbasiyah bernama Abul Abbas yang mendapat gelar al-saffah yang
bermakna penumpah darah. Laqb ini diberikan padanya karena ia gemar sekali
berperang dan membunuh musuhnya.23
Harimau hidup sebagai simbol yang dalam beberapa hal dikaitkan dengan dunia
mistik. Di Sumatra, terdapat kepercayaan akan adanya seseorang yang mempunyai
kelebihan merubah diri menjadi harimau. Keyakinan tersebut juga ada di beberapa
tempat di Jawa.24 Seorang raja besar Sunda, yakni Prabu Siliwangi juga dekat dengan

16
Hung-Shu Chen, "Translation of Cultural Images of Wolf and Tiger", dalam Fu Jen
Studies: Literature & Linguistics, Vol. 49, 2016, hal. 77-93.
17
Michael Hoskin, "William Herschel‘s Application for a Coat of Arms", dalam Journal
for the History of Astronomy, Vol. 47, No. 2, 2016, hal. 210-213.
18
Jui-sung Yang, "Where Does the ―Lion‖ Come From? On the Origin of Liang Qichao‘s
―Sleeping Lion‖ Symbol", dalam The Chinese Historical Review, Vol. 24, No. 2, 2017, hal. 131-
145.
19
Joanna Rączaszek-Leonardi, "How Does a Word Become a Message? An Illustration on
a Developmental Time-Scale", dalam New Ideas in Psychology, Vol. 42, 2016, hal. 46-55.
20
Janmejay Sethy dan Netrapal PS Chauhan, "Dietary Preference of Malayan Sun Bear
Helarctos Malayanus in Namdapha Tiger Reserve, Arunachal Pradesh, India", dalam Wildlife
Biology, Vol. 1, 2018.
21
Kassandra Campbell dkk, "Two Species, one Snare: Analysing Snare Usage and the
Impacts of Tiger Poaching on a Non-Target Species, the Malayan Tapir", dalam Biological
Conservation, Vol. 231, 2019, hal. 161-166.
22
Shlomo Dov Goitein, "Nicknames as Family Names", dalam Journal of the American
Oriental Society, 1970, hal. 517-524.
23
Huzaifa Aliyu Jangebe, "Abu Muslim Al-Khurasani: The Legendary Hero of Abbasid
Propaganda", dalam Journal of Humanities and Social Sciences, Vol. 19, No. 1, 2014, hal. 5-13.
24
Harley Harris Bartlett, "A Tiger Charm with Inscribed Invocation: From the
Pardembanan Batak of Silo Maradja, Asahan, Sumatra", dalam Ethnos, Vol. 16, No. 1-2, 1951,
178
simbolisasi harimau. Hubungan keduanya bukan hanya karena faktor kekuatan yang
dimilikinya, namun juga terdapat keyakinan bahwa sang raja dapat berubah menjadi
harimau.25 Dari sini pula masyarakat Jawa Barat mengambil harimau sebagai suatu
lambang akan sesuatu hal, misalnya saja klub sepakbola Persib Bandung yang
memperoleh julukan Maung Bandung.26 Julukan ini tentu saja tidak muncul begitu saja,
tanpa didahului oleh suatu keyakinan yang sudah membentuk persepsi masyarakat.
ِ ‫ػص‬
‫ػب‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫فػيػا م ػػا أجػمػػل اإليػمػػاف * فػػي ف ْػرَدوسػػك الػخ‬
Betapa indah iman berada di Firdausmu yang subur
Alî Ahmad Bâkatsîr kerap menyebutkan Indonesia sebagai Surga Firdaus.
Sebagaimana yang ditemukan dalam al-Quran, penggambaran surga identik dengan
taman yang indah. Layaknya taman dalam pandangan manusia pada umumnya, sesuatu
tempat bidang yang ditumbuhi aneka ragam tumbuhan besar maupun kecil yang ditata
dengan rapi. Penataan taman dilakukan oleh ahli taman yang mempunyai jiwa estetika
tersendiri di bidangnya.27 Meskipun tidak mesti seorang ahli taman digelari sebagai
seniman, namun tidak bisa dipungkiri, ia mempunyai keahlian yang lebih dibanding
manusia lainnya, dalam mengkonsep bagaimana suatu taman terlihat indah dan
menimbulkan keteduhan dan kenikmatan memandangnya. Tidak salah memang jika ahli
taman, termasuk dalam kategori seniman, namun dalam bidang yang lebih spesifik,
bertumpu pada keahlian yang dimilikinya. 28
Surga Firdaus seperti juga surga yang lain, adalah tempat yang indah, yang
dijanjikan bagi orang-orang yang banyak melakukan kebajikan semasa di dunia. 29
Dalam bahasa Arab, surga disebut jannah. Kata ini terbentuk dari bentuk masdar dari

hal. 71-82.; Lihat juga Peter Boomgaard, "Death to the Tiger! The Development of Tiger and
Leopard Rituals in Java, 1605–1906", dalam South East Asia Research, Vol. 2, No. 2, 1994, hal.
141-175.
25
Robert Wessing, "A Change in the Forest: Myth and History in West Java", dalam
Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 24, No. 1, 1993, hal. 1-17.
26
Aulia Hadi, "―Bobotoh Persib‖ dan Konstruksi Identitas di Era Digital", dalam Jurnal
Masyarakat dan Budaya, Vol. 19, No. 1, 2017, hal. 131-152.
27
Galih Pranata dan Hertiari Idajati, "Konsep Tourism Area Life Cycle Dalam
Mengidentifikasi Karakteristik Taman Wisata di Bantaran Sungai Kalimas Surabaya", dalam
Jurnal Teknik ITS, Vol. 7, No. 2, 2018, hal. 74-80.
28
Nor Zalina Harun dkk, "The Physical Characteristics of an Islamic Garden: Studies of
the Andalusian Gardens", dalam Advanced Science Letters, Vol. 23, No. 4, 2017, hal. 2757-2760;
Mengenai estetika dan masalah kesenian menata taman, dalam hal ini taman di Tiongkok,
sebagai perbandingan, lihat juga Chenglin Yang. "Cultivating Sentiment and Soul and Poetically
Living The Creation Thought and Aesthetic Features of Ancient Chinese Garden Architecture",
dalam International Conference on Contemporary Education, Social Sciences and Ecological
Studies (CESSES 2018), Atlantis Press, 2018.
29
Lebih lanjut mengenai kedudukan surga dan neraka dalam tradisi Islam lihat Christian
Lange, Paradise and Hell in Islamic Traditions, (Cambridge: Cambridge University Press,
2016).
179
kata janna-yajunnu-jannan. Dalam bentuk awal, kata ini berrarti menutupi atau
melingkupi. Misalnya dalam kalimat janaana al-lail yang artinya kegelapan malam atau
penutup. Sedangkan kata jannah mempunyai dua makna yakni kebun yang di dalamnya
terdapat pohon-pohon yang daunnya menjuntai hingga menutupi tanah dan surga itu
sendiri.
Dalam al-Quran, kata al-jannah disebut sebanyak 143 kali dan terletak di berbagai
surat, baik dalam bentuk tunggal (al-mufrad), bentuk kata dua (al-mutsannâ), dan dalam
bentuk plural (jamak). Dalam beberapa bentuk, kata jannah kerap dihubungkan dengan
kata-kata lain sebagaimana berikut ini:
1. Jannah-Adn yang berarti Surga Adn/ Eden, penyebutan ini terdapat dalam: QS.
al-Nahl (16): 31, QS. al-Kafhi (18): 31, QS. Tâhâ (20): 76, QS. Maryam (19):
61, QS. Fâtir (35): 33, QS. Shâd (38): 50, QS. al-Mu‘minûn (40): 8.
2. Jannah-Naîm yang berarti Surga penuh Nikmat: QS. al-Hajj (22): 56, QS.
Luqmân (31): 8, QS. al-Shâffât (37): 43, QS. al-Ma‘ârij (70): 38, QS. Yûnus
(10): 9, QS. al-Qalam (68): 34, QS. al-Infitâr (82): 13, QS. al-Bayyinah (98): 8.
3. Jannah al-Khuld yang berarti Surga Kekekalan: QS. al-Furqân (25): 15
4. Jannah al-Ma‟wâ yang berarti Surga penuh ketenteraman: QS. al-Najm (53):
15, QS. al-Sajdah (32): 19, QS. al-Nâzi‘ât (79): 41.
5. Jannah Firdaus yang berarti Surga Firdaus: QS. al-Mu‘minûn (23): 11.
Surga merupakan suatu pemberian dari Allah bagi mukmin yang telah melakukan
perbuatan baik sepanjang hidupnya. Kata jannah yang dimaknai surga, harus
mempunyai penyertaan kata lainnya, sebagaimana yang terlihat dalam lima poin di atas.
Jika kata jannah berdiri sendiri, maka artinya tidak selalu atau tidak harus diartikan
dengan surga. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah pembuktian bahwa kata al-jannah
diumpamakan melalui suatu tempat (biasanya yang berhubungan dengan kebun atau
taman), misalnya kata jannah dengan kebun kurma sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Baqarah (2): 266; al-Ra‘d (13): 4, al-Mu‘minûn (23): 19, al-Isrâ‘ (17): 91. Kata
jannah sebagai kebun anggur seperti dalam surat al-Kahfi (18): 32, al-Baqarah (2): 266,
al-An‘âm (6): 99, al-Mu‘minûn (23): 19, al-Isrâ‘ (17): 91. Kata jannah disebut sebagai
kebun di lereng bukit seperti dalam surat al-Baqarah (2): 265, atau hanya disebut kebun
saja sebagaimana dalam al-Syu‘arâ (26): 134, al-An‘âm (6): 141, al-Kahfi (18): 33, 35,
39, 40 dan di surat bagian lain hanya disebut sebagai taman, seperti dalam al-Dukhân
(44): 26 dan Saba‘ (34): 15 – 16. Dalam keseharian orang Arab, penyebutan jannah
merujuk pada tiga arti kebun, taman atau surga.30
Surga Firdaus merupakan satu dari sekian banyak nama surga. Ibnul Qayyim al-
Jauziyyah menyebutkan bahwa firdaus adalah nama semua surga, namun kata ini lebih
sering diucapkan untuk menyebut surga yang paling tinggi dan paling agung. 31 Asal kata
firdaus adalah bustân yang bermakna kebun. Al-Jauziyyah mengutip pendapat Ka‘ab
bahwa kebun yang dimaksud adalah kebun anggur. Dalam penyebutan kebun anggur

30
Muhammad Zulfikarullah, "Surga Dalam Literatur Al-Quran", dalam al-Burhan, Vol.
17, No. 1, 2017, hal. 89-110; Lihat juga Mansyur, Saidin. "Konsep Al-Qur‘an Tentang Surga",
dalam AL ASAS, Vol. 1, No. 2, 2018, hal. 1-13.
31
Ilyas Daud, "Surga di Dalam Hadis", dalam Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic
Thought, Vol. 15, No. 1, 2018, hal. 1-13.
180
lainnya dikenal nama karamun mufardas yang mempunyai makna kebun anggur yang
dahannya terangkat. Merujuk pada penjelasan al-Dahhak bahwa firdaus adalah taman
yang mempunyai pepohonan berhawa sejuk. Biasanya, orang Arab akan menyebut
taman yang mempunyai pepohonan dan mengalirkan udara rimbun dengan firdaus. Jenis
pepohonan atau tanaman yang membuat taman ini rimbun biasanya adalah pohon
anggur. Sulur pohon ini merambat sehingga membentuk kanopi alami yang mengalirkan
udara sejuk bagi orang-orang yang lewat atau berdiam di bawahnya.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa bentuk jamak dari kata firdaus adalah
farâdîs. Sejauh mana hubungan kata farâdîs dengan kata surga dalam bahasa Inggris
yang disebut paradise atau dalam bahasa Latin disebut paradiso32 masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Salah satu pintu gerbang Kota Syam bernama farâdîs dan ciri
paling menonjol dari gerbang ini adalah di sekitarnya ditumbuhi tanaman anggur.
Mujahid menyebutkan bahwa dalam bahasa Romawi, kebun disebut firdaus. Seorang
sarjana Islam lain bernama al-Zujâj menyebutkan bahwa firdaus sejatinya adalah
bahasa Arab yang diserap dari bahasa Romawi, dan maknanya adalah kebun serta segala
sesuatu yang ada di dalamnya.33
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai pemahaman yang cukup, setidaknya sama
dengan umumnya orang Muslim, bahwa surga, jika merujuk para keterangan al-Quran,
identik dengan kebun yang penuh tanaman dan menghasilkan kesejukan. Namun di sini,
firdaus yang dimaksud Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai makna Indonesia. Dengan
demikian, terdapat upaya menghubungkan dua entitas yang semula berlainan, ke dalam
suatu istilah, firdaus yang berarti surga juga bermakna kebun, dan Indonesia merupakan
negeri yang banyak ditumbuhi tetumbuhan, sama dengan gambaran kebun dalam
perpektif orang Arab yang juga banyak ditumbuhi tetumbuhan.
Selain Alî Ahmad Bâkatsîr, memang masih banyak orang Arab yang menulis
tentang Indonesia. Di antaranya adalah Ibnu Batûtah kelahiran Maroko pada tahun 1307
34
menulis buku yang berjudul Rihlah Ibn Batûtah; Tuhfah al-Nuzzâr fi Gharâib al-
Amsâr wa „Ajâib al-Asfâr yang di salah satu sub judulnya terdapat judul Dzikr Sultan al-
Jâwâ (Memori Raja Jawa). Di sub judul ini berbicara tentang Raja al-Malik al-Zâhir,
Raja Kerajaan Samudra Pasai di Sumatera.35
Al-Tantâwî, kelahiran di Damaskus pada tahun 1909 menulis buku yang
berjudul Suwar min al-Syarq fî Indûnîsiyâ (Gambaran dari Timur di Indonesia). Di buku
ini terdapat satu sub judul, Yaum fî al-Jannah (Suatu Hari di Surga) yang
menggambarkan Jawa sebagai surga. Selain itu, di buku ini juga terdapat banyak sub-

32
Marguerite Mills Chiarenza, "The Imageless Vision and Dante's Paradiso", dalam
Dante Studies, with the Annual Report of the Dante Society, 1972, hal. 77-91.
33
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Surga yang Allah Janjikan, (Jakarta: Qisthi Press, 2016),
hal. 114 – 115.
34
Khair al-Din al-Zirikli, Al-A‟lam: Qamus Tarajum li Asyhur al-Rijal wa al-Nisa‟ min
al-Arab wa al-Musta‟ribin wa al-Mustsyriqin, (Beirut: Dar Ilm li al-Malayin, 2002), jilid 6,
cet.15, hal. 235.
35
Ibnu Batûtah, Rihlah Ibn Batûtah; Tuhfah al-Nuzzâr fi Gharâib al-Amsâr wa „Ajâib
al-Asfâr, (Beirût: Dâr li Hayâ‘ al-Ulûm, 1987), Bab II, cet.1, hal. 630-633
181
sub judul lain yang berbicara tentang daerah-daerah di Jawa, di antaranya fî Jâkartâ,
Bûjûr (Bogor), fî Jukjâ (Yogyakarta), Surâbâyâ, Karâsîk (Gresik), Nuzhah fî Atrâf
Surabaya, dan lain-lain.36
Ahmad bin Abdullah Assegaf, kelahiran Yaman menulis novel yang berjudul
Fatât Qârût (Gadis Garut). Abdullah Salih al-‗Arainî kelahiran Arab Saudi menulis
novel yang berjudul Mahmâ Ghalâ al-Tsaman (Berapapun Mahal Harganya). Buku ini
berbicara tentang Indonesia pasca kemerdekaan, khususnya pada masa orde baru. 37
Mahmûd Syauqî al-Ayyûbî, sastrawan kelahiran Kuwait menulis karya yang
berjudul Jamâl al-Tâbi‟ah (Keindahan Alam). Karya ini berbentuk syair yang terdapat
di dalam bukunya yang berjudul al-Mawâzîn yang berbicara tentang Indonesia dari
aspek keindahan alamnya yang sangat menarik dan mengagumkan. 38 Mahmûd Syauqî
al-Ayyûbî kelahiran Kuwait menulis karya yang berjudul al-Ayyâm al-Saudâ‟ fî al-
Firdaus al-Istiwâ‟î: al-Indûnîsiyâ! (Hari-Hari Kelabu di Surga Katulistiwa Indonesia). 39
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai keharusan untuk menjembatani pemahaman
orang Arab tentang Indonesia, melalui kebun dan taman. Ini tidak bisa dilepaskan dari
latar belakang kehidupan Alî Ahmad Bâkatsîr yang memang pernah hidup di dua tempat
dengan keadaan alam berbeda. Indonesia negeri tropis, dan Yaman, Arab Saudi, Sudan
dan Mesir yang cenderung berklim kontinental dan sebagian mempunyai kondisi iklim
yang cenderung panas. Dalam sosiologi sastra Escarpit, latar belakang pengalaman dan
pemahaman seseorang, termasuk ingatan tentang tempat-tempat yang pernah
didatanginya, akan menerbitkan kesan tersendiri, yang sewaktu-waktu dapat dipanggil
kembali, ketika mengerjakan suatu syair, novel, cerita atau bentuk-bentuk sastra lainnya.

‫بػ ػػالدؾ ياحتػ ػػا جناف وأنػ ػػهار * وقومك يا حتػ ػػا مغاويػ ػػر أح ػ ػرار‬
Negerimu - wahai Hatta – adalah surga dan telaga,
rakyatnya – wahai Hatta – adalah para pejuang yang gagah berani
‫فأي كماؿ اليتاح ألمة * زكت روحها واخصوصب الربع والدار‬
Banyak keistimewaan (yang dimiliki oleh Indonesia)
yang tidak diberikan kepada bangsa lain
Alî Ahmad Bâkatsîr memulai syainya dengan pujian kepada alam Indonesia
dengan berkah berupa kondisi alam yang sejuk dan rimbun. Sama dengan di syair
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ , Alî Ahmad Bâkatsîr menyebut alam Indonesia sama
dengan kondisi di surga. Ia ingin menegaskan pada pendengar dan pembaca kasidahnya
bahwa Indonesia memang menjadi negeri yang alamnya hijau, sama seperti gambaran

36
Ali Al-Tantâwî, Suwar min al-Syarq fî Indûnîsiyâ, (Jedah: Dâr al-Manârah, 1992),
cet.1, hal. 199-200
37
Siti Amsariah, Relasi Kuasa Arab-Indonesia dalam Dua Teks Sastra Arab Mahjar
Indonesia, Disertasi, (Depok: Universitas Indonesia, 2017), hal.5
38
Muhammad bin Abdullah al-Rubayyi‘, Adab al-Mahjar al-Syarqî, (T.tp: Markaz al-
Dirasat al-Syarqiyyah Jami‘ah al-Qahirah, 1999), hal. 125-126.
39
Muhammad bin Abdullah al-Rubayyi‘, Adab al-Mahjar al-Syarqî, hal. 126-127.
182
surga yang ada dalam pemikiran orang Arab, sebagaimana yang ditemukan pula dalam
Kitab Suci keagamaan.40
Terlihat, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin memberikan suatu penanda bagi penyimak
dan pembaca syairnya akan gambaran Indonesia. Melalui kata surga, ia ingin agar di
pemikiran mereka segera tergambar imaji tentang surga. Gagasan yang ditampilkan
cukup kuat, karena surga adalah dambaan setiap orang Muslim, di mana keteduhan dan
kesejukan dirasakan dengan abadi. 41 Di sisi lain, ini merupakan pantulan dari
penghayatan agama dari Alî Ahmad Bâkatsîr. Sebagai sosok yang gandrung akan ajaran
Islam, ia merasa perlu memberikan suatu penanda yang identik dengan simbol positif
dari Islam. Surga menjadi simbol positif yang penting untuk melebeli suatu hal yang
juga positif. 42
Hatta merupakan sosok yang lahir di Indonesia, di tanah yang disebut Alî Ahmad
Bâkatsîr sebagai tanah surga. Kalimat ini disambungkan dengan ungkapan bahwa rakyat
yang melingkupi kehidupan Hatta adalah para pejuang. Di masyarakat yang senantiasa
bergerak itu Hatta lahir. Citra ini juga terlihat kuat, karena Alî Ahmad Bâkatsîr
menyebutkan sosok nama yang coba dihubungkan dengan latar sosial yang bergolak, di
mana masyarakatnya sedang bergumul dalam suatu upaya-upaya pembebasan akan
suatu kekuatan yang dianggap menekan mereka. Dengan demikian, pada bait kedua itu,
Alî Ahmad Bâkatsîr ingin pula menegaskan bahwa Hatta adalah bagian dari masyarakat
yang berjuang.
Dalam dunia sastra, pengabadian seorang tokoh dalam suatu karya sastra adalah
suatu kekhususan tersendiri. Awalnya, gagasan ini timbul karena adanya simpati dari si
penulis karya sastra akan kiprah seseorang yang kemudian mendorong di sastrawan
untuk mengabadikannya lewat bait-bait syair, novel atau cerpen. 43 Ini merupakan hal
yang lumrah ditemukan, seperti juga Ramadhan KH, penulis novel dan biografi
nasional, yang menulis kekagumannya pada ketegaran Inggit Ganarsih yang
mendampingi Soekarno di masa-masa perjuangan dalam novel Kuantar Kau Ke
Gerbang.44

40
Brian Doyle, "Heaven, Earth, Sea, Field and Forest: Unnatural Nature in Ps 96", dalam
Journal of Northwest Semitic Languages, Vol. 27, No. 2, 2001, hal. 23-44; Lihat juga Ray
Stevens, "Scripture and the Literary Imagination: Biblical Allusions in Byron's Heaven and
Earth" dalam Wolf Z. Hirst ed, Byron, the Bible, and Religion, (London: University of Delaware,
1991), hal. 118-35.
41
Dorothy Fahs Beck, "The Changing Moslem Family of the Middle East", dalam
Marriage and Family Living, Vol. 19, No. 4, 1957, hal. 340-347.
42
Olof Linton, "The Demand for a Sign from Heaven: (Mk 8, 11–12 and Parallels)",
dalam Studia Theologica, Vol. 19, No. 1-2, 1965, hal. 112-129.
43
Kirstie Blair, "Spasmodic Affections: Poetry, Pathology, and the Spasmodic Hero",
dalam Victorian Poetry, Vol. 42, No. 4, 2004, hal. 473-490.
44
Lebih lanjut lihat Ramadhan KH dkk, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit
dengan Bung Karno, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981).
183
Terdapat kesamaan antara sosok Hatta dan Inggit Ganarsih. Keduanya pernah
menjadi orang yang paling dekat dalam kehidupan Sokarno, sekaligus menjadi sosok
yang paling dikecewakan dalam keputusan Soekarno. Inggit pernah menjadi istri
Soekarno ketika ia masih berjuang di Bandung, bahkan sampai ia dibuang ke Flores dan
Bengkulu. Dengan kedewasaan seorang ibu dan kelembutan seorang istri, Inggit
mendampingi Soekarno. Sampai ketika Soekarno jatuh hati dan memperistri Fatmawati,
itulah ujung pengabdian Inggit.45 Di sisi lain, Hatta juga menjadi kawan seperjuangan
Soekarno yang paling dekat. Ia mendampingi Sang Bung Besar dalam orasi dan rapat-
rapat perjuangan, hingga dirinya ikut pula mencicipi masa pembuangan ke Banda
Neira.46 Kebersamaan mereka terus terbentuk sampai rakyat Indonesia mempercayakan
mereka untuk menjadi pemimpin biduk negara Indonesia yang baru terlahir. Di puncak
kemesaraan hubungan mereka, saat Hatta menjadi Wakil Presiden, keduanya harus
berpisah, karena perbedaan cara pandang manajemen pemerintahan. 47
Penyebutan bahwa Indonesia mempunyai banyak keistimewaan yang tidak
dimiliki bangsa lain, merupakan salah satu pantulan nasionalisme yang tidak terelakkan.
Ini tidak hanya sebatas pujian, melainkan adalah suatu penegasan yang sering dijumpai
ketika seseorang ditanyakan pendapatnya tentang negara asalnya. Dalam pembicaraan
seperti ini, akan muncul banyak narasi subyektif yang mengatakan bahwa negara asal
kita mempunyai kebaikan yang tidak ditemukan di negara lainnya, dan ini adalah
lumrah. Yang menjadi persoalan, adalah ketika pandangan seperti ini diungkapkan oleh
seorang warga negara selain negara yang dipujinya.
Tentu saja, pendapat di atas, akan dengan mudah dipatahkan, dengan dalih bahwa
pembelaan akan negara yang sedang bergumul dalam perjuangan melawan penjajahan
merupakan suatu empati yang biasa disampaikan negara lainnya. Wajah kemanusiaan
kadangkala dapat muncul di dunia internasional, lantas berubah menjadi isu global yang
dapat menuntut negeri-negeri penjajah untuk menghentikan langkah eksploitatifnya di
negeri jajahannya.48
Salih Bicakci meyakini bahwa nasionalisme dapat tumbuh di jiwa siapapun warga
negara yang secara administratif terikat dengan suatu negara.49 Poin di sini adalah sisi
administratifnya, yang bermakna bahwa ia merupakan warga negara setempat. Namun

45
Devina Widya Putri, "Inggit Garnasih and Her Big Role as Soekarno's Wife", dalam
International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 5, 2015, hal. 491; Lihat juga
Andi Suwirta, "Inggit Garnasih, Soekarno and the Age of Motion in Indonesia", dalam Tawarikh,
Vol. 1, No. 1, 2009.
46
Malikul Kusno, "Bung Hatta, dari Era Kolonial Hingga Orde Baru: Sebuah Refleksi",
dalam Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi dan Perubahan Sosial, Vol. 1, No. 1, 2012, hal.
53-66.
47
Lebih lanjut mengenai perbedaan pandangan Hatta dan Soekarno lihat Wawan Tunggul
Alam, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003).
48
Marharyta Fabrykant, "Russian-Speaking Belarusian Nationalism: An Ethnolinguistic
Identity Without a Language?", dalam Europe-Asia Studies, Vol. 71, No. 1, 2019, hal. 117-136.
49
Bicakci, ―Nationalism …‖, hal. 633 – 634.
184
termin ini dapat saja berubah jika menilik kembali kondisi sejarah, sistem sosial serta
tradisi dari suatu negara, karena memang tidak ada definisi baku tentang nasionalisme.
Kenyataan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr bukan warga negara Indonesia yang berupaya
memuji Indonesia dan berupaya melemparkan pujian itu ke seantero para pembaca yang
mengerti bahasa Arab adalah suatu upaya keras yang tentu saja jarang ditemukan. Ini
suatu ketidaknormalan yang kasusnya sangat minim ditemukan di dalam waktu dan
kondisi yang berbeda.
2. Kekayaan Alam yang Mengundang Penjajah

ِ ‫ػس * َشيػاطػيػن مػ ػػن الػػغَػػر‬


‫ب‬ ِ ‫ػت بػ ػػو أمػ ػ‬
ْ َ‫وإ ْف عػػاثػ‬
ْ ٌ َ
Walaupun kemarin ada yang merusaknya,
yaitu setan-setan dari Barat
Alam Nusantara yang mengandung banyak komoditas yang bernilai jual tinggi,
mengundang banyak saudagar dan pelancong Eropa untuk datang ke sana. Belanda
menjadi negeri yang mempunyai rekam jejak terpanjang terkait hubungan mereka
dengan penguasa lokal Nusantara. Di penghujung abad 16, mereka datang ke pelabuhan
Aceh dan Banten sebagai pedagang. 50 Setelah menetapkan jadwal keberangkatan yang
reguler, mereka mulai memantapkan hubungan dengan penguasa lokal, dan meminta
diperbolehkan membangun loji atau gudang bagi barang-barang mereka. Lambat laun,
mereka mulai mendatangkan tentara terlatih dan persenjataan ke loji tersebut. 51
Ketika para penguasa lokal terlibat konflik internal, para pedagang Belanda pun
masuk ke kancah konflik itu. Bukan sebagai mediator, mereka datang untuk mendukung
pihak yang mau bekerjasama dengannya, sekaligus menjamin konsesi perdagangan
baginya ketika pihak yang didukungnya itu memenangkan konflik. Belanda akan
dengan senang hati memberikan bantuan berupa pasukan terlatih dan persenjataan,
bantuan yang tentu saja signifikan untuk menekan pihak lawan yang kebanyakan hanya
bersenjatakan keris, tombak, lembing dan sebagainya.52 Meriam adalah senjata Belanda
yang mempunyai reputasi menakutkan. Meskipun mobilitasnya lambat, Senjata ini

50
Douglas A. Irwin, "Mercantilism as Strategic Trade Policy: the Anglo-Dutch Rivalry
for The East India Trade", dalam Journal of Political Economy, Vol. 99, No. 6, 1991, hal. 1296-
1314; Lihat juga Ingrid S. Mitrasing, "Negotiating a New Order in the Straits of Malacca (1500-
1700)", dalam Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, Vol. 21, No. 2, 2014; Lihat juga
Arun Saldanha, "The Itineraries of Geography: Jan Huygen van Linschoten's Itinerario and
Dutch Expeditions to the Indian Ocean, 1594–1602", dalam Annals of the Association of
American Geographers, Vol. 101, No. 1, 2011, hal. 149-177.
51
Hasanuddin, "Politik dan Perdagangan Kolonial Belanda di Pontianak", dalam
Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 8, No. 2, 2016, hal. 203-218.
52
Kundharu Saddhono dan Siti Supeni, "The Role of Dutch Colonialism in the Political
Life of Mataram Dynasty: A Case Study of the Manuscript of Babad Tanah Jawi", dalam Asian
Social Science, Vol. 10, No. 15, 2014, hal. 1.
185
kerap menjadi faktor penentu jalannya kemenangan. Senjata ini pula yang
menyebabkan kontribusi Belanda dihargai dengan tinggi oleh para penguasa lokal. 53
Di samping kemampuan berperang secara taktikal menggunakan senjata modern,
para penjajah Belanda terkenal karena kepandaian melihat suasana, lantas melancarkan
diplomasinya untuk meluluskan rencananya. Cara ini kerap digunakan mereka ketika
mengetahui dalam suatu pemerintahan lokal sedang berlangsung konflik dengan eskalasi
yang tajam, misalnya perebutan suksesi pemerintahan, maka Belanda akan datang
menawarkan bantuan persenjataan dan pengadaan personel bagi pihak istana yang
mampu menjanjikan keuntungan bagi mereka. Monopoli perdagangan, biasanya menjadi
kompensasi yang pantas sebagai balasan bantuan mereka. 54 Adu domba, pembusukan
nama baik serta menghasut menjadi kegiatan yang digunakan Belanda untuk meluluskan
rencananya.55 Agaknya inilah yang menyebabkan Alî Ahmad Bâkatsîr menyebut bangsa
Belanda atau bangsa Barat pada umumnya sebagai setan.
Sebagai sosok yang lahir dari, komunitas keturunan Arab di Nusantara, sudah
tentu Alî Ahmad Bâkatsîr pernah merasakan atau setidanya mendengar bagaimana
ketidakdailan Belanda memperlakukan para keturunan Arab.56 Meskipun kedudukan
orang Arab berada di peringkat kedua dalam tata kependudukan colonial, 57 namun
mereka sering menjadi sasaran kecurigaan, utamanya tuduhan menyulut pemberontakan
atau tindak makar atas dasar pengaruh agama.58 Tuduhan sebagai agen penyebar Pan-
Islamisme yang salah satu inti ajarannya adalah penolakan terhadap pemerintahan Barat

53
Ahmad Ferdi Abdullah, "Blambangan People's Resistance To VOC Year 1767-1773",
dalam Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora, Vol. 3, No. 2, 2019, hal. 46-55.
54
Nicole Ulrich, "Time, Space and the Political Economy of Merchant Colonialism in the
Cape of Good Hope and VOC World", dalam South African Historical Journal, Vol. 62, No. 3,
2010, hal. 571-588; Lihat juga Supaporn Ariyasajsiskul, "The So-Called Tin Monopoly in Ligor:
The Limits of VOC Power Vis à Vis a Southern Thai Trading Polity", dalam Itinerario, Vol. 28,
No. 3, 2004, hal. 89-106.
55
J. Van Goor, "India and the Indonesian Archipelago from the Generale Missiven der
VOC (Dutch East India Company)", dalam Itinerario, Vol. 16, No. 2, 1992, hal. 23-37; Lihat
juga Thomas Gibson, "Islamic Martyrdom and the Great Lord of the VOC, 1705–1988", dalam
T. Gibson, ed, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia (New York: Palgrave
Macmillan, 2007) hal. 85-109.
56
Hermanus Johannes de Graaf, "De Regenten van Semarang ten tijde van de VOC,
1682-1809", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Vol. 2/3de, 1978, hal. 296-
309; Lebih lanjut mengenai hubungan pemerintahan Belanda dengan masyarakat Arab di
Surabaya lihat Maslakhatul Khurul Aini, Masyarakat Arab Islam di Ampel Surabaya dalam
Struktur Kota Bawah (Kota Belanda) 1816-1918, Disertasi (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2013).
57
Purnawan Basundoro, "AR Baswedan: dari Ampel ke Indonesia", dalam Lakon Jurnal
Kajian Sastra dan Budaya, Vol. 1, No. 1, 2012.
58
Arif Subekti, "Ekspansi Kompeni Hingga Sanad Kiai-Santri: Sejarah Islamisasi Ujung
Timur Pulau Jawa Abad XVII—XX", dalam Shahih: Journal of Islamicate Multidisciplinary,
Vol. 2, No. 1, 2017, hal. 1-20.
186
atau Eropa59, menjadi alasan mengapa pemerintah Hindia Belanda menganggap
komunitas Arab berbahaya dan layak diwaspadai setiap aktivitasnya.60
Orang Arab Hadrami mempunyai keistimewaan sehingga mereka dihormati oleh
penduduk pribumi. Bagi kelompok Sayyid, mereka mempunyai kesinambungan darah
dengan Nabi Muhammad. Kedudukan mereka dengan segera menjadi lokus
berkumpulnya orang-orang pribumi yang terdorong oleh motivasi ingin menimba ilmu
agama padanya, karena biasanya kelompok Sayyid mempunyai pemahaman agama yang
lebih tinggi di banding warga pribumi pada umumnya, dan meminta berkah. 61 Kesucian
mereka yang berpotensi mengumpulkan massa yang besar inilah yang menjadi
kekhawatiran pihak kolonial. 62 Belakangan, rasa khawatir ini bukan hanya merambah ke
kelompok Sayyid, namun juga ke kelompok non-Sayyid.
Sejumlah pembatasan dilakukan pemerintah Hindia Belanda kepada orang Arab
Hadrami. Mereka tidak diperkenankan untuk bermukim berdampingan dengan
penduduk pribumi dan diharuskan tinggal di pemukiman khusus orang Arab.63 Mereka
juga tidak diizinkan meninggalkan pemukimannya tanpa terlebih dahulu melapor
kepada pemerintah Hindia Belanda. Upaya ini mengasingkan mereka dari penduduk
pribumi, sehingga hubungan keduanya renggang. Belanda sangat mengharapkan dengan
adanya pembatasan ini, orang Arab Hadrami semakin sedikit bergaul dengan orang
pribumi. Lebih jauh, mereka mengharapkan terputusnya hubungan ini, sehingga
memudahkan pemerintah mengatur keduanya secara terpisah.64
Keterputusan hubungan sosial semacam di atas berimplikasi pada munculnya
individualisme di antara orang pribumi dengan orang Arab. Dakwah Islam yang semula
lancar dilaksanakan oleh orang Arab Hadrami, dengan orang pribumi sebagai muridnya,
menjadi terhambat.65 Lebih jauh, ini memunculkan fenomena lain, berupa
ketidakpercayaan warga pribumi pada kelompok Arab, khususnya mengenai

59
Andi Saputra, "Pan-Islamisme dan Kebangkitan Islam: Refleksi Filsafat Sosial-Politik
Jamaluddin al-Afghani", dalam Akademika: Jurnal Keagamaan dan Pendidikan, Vol. 14, No. 2,
2018, hal. 68-84.
60
Siti Nurul Izza Hashim dan Ermy Azziaty Rozali, "Perjuangan Rashid Rida dalam
Gagasan Pan-Islamisme", dalam International Journal of West Asian Studies, Vol. 5, No. 1,
2013.
61
Ahmad Athoillah, "Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad
XVIII-XX", dalam Lembaran Sejarah, Vol. 14, No. 2, 2018, hal. 150-170.
62
Agus Permana dan H. Mawardi, "Jaringan Habaib di Jawa Abad 20", dalam Al-
Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, Vol. 15, No. 2, 2018, hal. 155-180.
63
Johan Wahyudi dan Dien Madjid, "Pekojan: Image of an Arab Kampong during XVIII
to XIX Centuries Batavia", dalam Insaniyat: Journal of Islam and Humanities, Vol. 3, No. 2,
2019, hal. 99-110.
64
Mona Lohanda, "The Passen-en Wijkenstelsel. Dutch Practice of Restriction Policy on
the Chinese", dalam Jurnal Sejarah, 2005, hal. 58-76.
65
Sri Suryana, "Peranan Ahmad Surkati dalam Gerakan Pembaharuan Islam Melalui
Perhimpunan Al-Irsyad 1914-1943", dalam Medina-Te: Jurnal Studi Islam, Vol. 13, No. 2, 2017,
hal. 106-118.
187
kesungguhan mereka dalam mengusir Belanda dari Nusantara. Ketika masa pergerakan
nasional, di sebagian kalangan Arab muncul sikap apatis terhadap jaringan perjuangan
yang rajin dihubungkan dari kota ke kota oleh kaum Republiken, seperti Soekarno dan
Hatta. Mereka merasa tidak perlu ikut serta, karena itu hanya akan membahayakan
posisi ekonomi dan sosialnya.66
PAI yang digawangi oleh Abdurrahman Baswedan, Husein Bafagih dan lain-lain
melihat keadaan di atas sebagai ancaman akan keruntuhan eksistensi Arab. Mereka
menyerukan agar para keturunan Arab Hadrami memandang Indonesia sebagai Tanah
Air mereka yang harus diperjuangan kemerdekaannya. Hadramaut memang adalah tanah
asal mereka, namun dalam konteks kesadaran berbangsa dan bernegara, maka
seyogyanya masyarakat keturunan Arab bersatu pada dengan arus perjuangan yang
sebelumnya telah digalang kalangan pribumi. Kemerdekaan yang nantinya akan digapai,
sejatinya bukan untuk orang pribumi semata, melainkan juga akan dinikmati oleh para
keturunan Arab. Sosialisasi semacam ini rajin dilakukan oleh para akivias PAI melalui
tulisan yang diterbitkan dalam terbitan berkala atau surat kabar, maupun dipentaskan
dalam suatu pertunjukkan drama.67
Krisis identitas di kalangan orang Arab seperti di atas itulah yang merupakan
buah dari politik ras yang dicanangkan pemerintah kolonial. Kecurigaan antara orang
Arab dan pribumi bersumber dari tersumbatnya komunikasi di antara mereka, terhitung
sejak kebijakan pemisahan penduduk digulirkan pemerintah kolonial. Keadaan semacam
inilah yang ikut membentuk kebencian Alî Ahmad Bâkatsîr terhadap keberadaan
pemerintah kolonial di Indonesia, dan bukan tidak mungkin, ia juga sempat
merasakannya atau setidaknya mendengar dari orang keturunan Arab Hadrami lainnya,
yang dijumpainya saat di Yaman, Mekkah atau di Mesir. Ingatan demi ingatan kelam
tentang aktivitas Belanda semacam ini menjadi latar belakang Alî Ahmad Bâkatsîr
menyebut aktivitas para penjajah layaknya setan.
Penyebutan setan yang dialamatkan pada orang Belanda dan Jepang meupun
penjajah negeri-negeri Islam lainnya, adalah pembuktian kritik radikal Bakatsir akan
perbuatan buruk mereka atas negeri-negeri Islam. Nafsu tamak di bidang ekonomi dan
kekuasan politik membuat para penjajah lupa daratan, hingga menggunakan cara-cara
penghancuran satu dengan lainnya, melalui adu domba dan perang. Dalam spektrum
keislaman, perilaku demikian sama halnya dengan sikap setan yang gemar pada
keburukan. Niat penguasaan sepihak dan monopoli ekonomi 68, kemudian berlanjut pada
eksploitasi tenaga kerja pribumi melalui proyek tanam paksa69 adalah cara-cara Belanda

66
De Jonge, Mencari …, hal. 20.
67
De Jonge, Mencari …, hal. 65 – 74.
68
Lillyana Mulya, "Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah Komersil Pemerintah
Kolonial", dalam Mozaik, Vol. 7, No. 1, 2014, hal. 1-18.
69
Sejumlah kasus tanam paksa menjadi suatu kajian yang serius. Beberapa referensi
mengenai hal ini antara lain Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem
Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014); Lihat juga Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa: Kumpulan Tulisan,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003).
188
menangguk keuntungan sepihak, dan tentu saja ini dibangun di atas keresahan dan
kesulitan orang lain. Ini tidak ubahnya perilaku setan.

‫لقد طمع الباغوف يف خصب أرضها * وغرىم منها نعيم وإيسار‬


Para penjajah tergiur atas kesuburan Indonesia,
mereka tertarik akan keindahandan kekayaannya
‫وطػ ػػاؿ لػ ػػهم فيهػ ػػا مقػ ػػاـ فأيقن ػ ػوا * بأنػ ػػهم باقػ ػػوف والػ ػػدىػ ػػر دوار‬
Mereka berlama-lama tinggal di Indonesia dan
berkeyakinan bahwa mereka selamanya tinggal di Indonesia
‫نسوا أهنا أرض الرباكُت إف هتج * فليس ذلم واؽ وليس ذلم جار‬
Mereka lupa bahwa (Indonesia) adalah daerah „gunung berapi‟
maka jika (gunung tersebut) meletus maka tiada tempat berlindung
dan penolong bagimu
Jawaban atas keunikan tanah Indonesia di banding negeri yang lain, terjawab di
bait selanjutnya, yakni kelima dan keenam. Di dalamnya disebutkan bahwa indonesia
dianugerahi kesuburan alam yang indah dilihat mata dan mengandung keuntungan yang
besar jika dijual.70 Inilah anugerah yang ingin diungkapkan Alî Ahmad Bâkatsîr.
Dengan pengalamannya yang sudah mengunjungi sejumlah negara di Asia, Afrika dan
Eropa, rasanya sulit bagi Alî Ahmad Bâkatsîr untuk menghilangkan kesan subur, indah
dan bernilai tinggi bagi alam Indonesia. Suatu negara tentu saja mempunyai kawasan
konservasi alam yang hijau, namun apakah itu bernilai tinggi di pasaran dunia.71 Negara
lain mempunyai cadagangan kekayaan mineral yang besar, seperti Irak dan Arab Saudi
yang mempunyai sumur minyak72, namun kondisi alamnya tidak bisa dikatakan sejuk
dan indah seperti Indonesia.73

70
Minako Sakai, "Creating a New Centre in the Periphery of Indonesia: Sumatran Malay
Identity Politics", dalam Glen Banks dan Minako Sakai, ed, The Politics of the Periphery in
Indonesia: Social and Geographical Perspectives, (Singapore: National University of Singapore
Press, 2009), hal. 62-83.
71
Getachew Mamo dkk, "Economic Dependence on Forest Resources: A Case from
Dendi District, Ethiopia", dalam Forest Policy and Economics, Vol. 9, No. 8, 2007, hal. 916-927.
72
Hussein A. Kazem dan Miqdam T. Chaichan, "Status and Future Prospects of
Renewable Energy in Iraq", dalam Renewable and Sustainable Energy Reviews, Vol. 16, No. 8,
2012, hal. 6007-6012; Lihat juga Rayed Krimly, "The Political Economy of Adjusted Priorities:
Declining Oil Revenues and Saudi Fiscal Policies", dalam The Middle East Journal, 1999, hal.
254-267.
73
Sitti Halumiah dkk., "Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Dampak Industri Pariwisata
Taman Safari Indonesia ditinjau dari Konsep Pembangunan Berkelanjutan", dalam Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and
Environmental Management), Vol. 4, No. 2, 2014, hal. 126.
189
Kondisi alam yang subur dan bernilai jual tinggi, menarik perhatian bangsa Barat
ke Nusantara.74 kapal-kapal mereka berdatangan ke pelabuhan Nusnatara, membawa
serta para saudagar, petualang, panglima perang untuk menjelajahi punggung bukit
hingga pesisir pantai negeri ini.75 Setelah merasa yakin bahwa di gugusan kepulauan ini
tumbuh aneka barang dagang internasional seperti lada, cengkeh, pala dan lain
sebagainya, mereka pun memutuskan tinggal. 76 Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, setelah melewati dialektika yang kompleks, sehingga berhasil
menundukkan para penguasa lokal, Bangsa Barat yang diwakili oleh kerajaan Eropa
(Belanda dan Inggris) menjadi penguasa di beberapa wilayah Nusantara.77 mereka
mengalirkan keuntungan perdagangan dari Nusantara untuk membangun negerinya
sendiri.78
Sepeninggal kongsi dagang VOC, para saudagar dan penguasa Belanda di
Nusantara merasa enggan melepaskan Nusantara yang subur ini.79 Setelah didahului
oleh periode singkat pendudukan Inggris80, Kompeni datang kembali dan mendirikan
negeri bahawahan bernama Hindia Belanda di abad 19. Jika dulu komando tertinggi
VOC ditentukan oleh para saudagar yang tergabung di dalamnya, maka kini wewenang
pengelolaan Nusantara berada di tangan Kerajaan Belanda. Dengan kata lain, Hindia
Belanda atau disebut juga Hindia Timur sejak saat itu berada di bawah kuasa Kerajaan
Belanda.81
Keberadaan Belanda di Nusantara dalam rentang waktu yang lama
mengindikasikan mereka tidak rela jika gugusan kepulauan ini lepas dari genggaman
mereka. Kepulauan ini adalah pemicu keuntungan yang dinikmati orang Belanda selama

74
John N. Miksic, "Traditional Sumatran Trade", dalam Bulletin de l‟Ecole Française
d'Extreme-Orient, 1985, hal. 423-467.
75
Fernando Rosa, The Portuguese in the Creole Indian Ocean, (New York: Palgrave
Macmillan, 2015), hal. 135-165.
76
Kenneth R. Hall, "European Southeast Asia Encounters with Islamic Expansionism,
circa 1500-1700: Comparative Case Studies of Banten, Ayutthaya, and Banjarmasin in the Wider
Indian Ocean Context", dalam journal of world history, 2014, hal. 229-262.
77
Julia Adams, "Principals and Agents, Colonialists and Company Men: The Decay of
Colonial Control in the Dutch East Indies", dalam American sociological review, 1996, hal. 12-
28.
78
Alec Gordon, "Netherlands East Indies: The Large Colonial Surplus of Indonesia,
1878‐ 1939", dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 40, No. 3, 2010, hal. 425-443.
79
Justus M. Van Der Kroef, "The Decline and Fall of the Dutch East India Company",
dalam The historian, Vol. 10, No. 2, 1948, hal. 118-134.
80
George F. Bartle, "The Role of the British and Foreign School Society in Elementary
Education in India and the East Indies 1813‐ 75", dalam History of Education, Vol. 23, No. 1,
1994, hal. 17-33.
81
Van Klaveren, The Dutch …, hal. 96 – 108.
190
beradab-abad.82 Alî Ahmad Bâkatsîr dengan perlambang bahwa lamanya mereka
berdiam di Nusantara, sejatinya adalah jalan derita yang dialami oleh penduduk pribumi.
Mereka tinggal di atas gunung api yang akan menghancurkan mereka. Sistem Tanam
Paksa, perampasan dan pembunuhan menjadi pemandangan yang kerap menghiasi
keseharian petugas dan pasukan Kompeni. Kejahatan yang sudah dilakukan berbuntut
pada rangkaian perang lokal yang saling sambung menyambung, dari Aceh 83, Jawa 84
sampai ke Maluku 85. Perang-perang inilah yang dimaksud Alî Ahmad Bâkatsîr sebagai
jajaran gunung api yang membahayakan kedudukan Belanda.
Ketika gunung api yang dipijak meletus, maka kekhawatiran akan segera
menyergap para penjajah kolonial. Agaknya demikian yang tergambar dalam imaji Alî
Ahmad Bâkatsîr. Tidak cukup sampai di situ, para kolonialis juga akan mendapati
bahwa kepadanya tidak ada pertolongan dan bantuan, sehingga bayangan kekalahan
yang dihadapinya adalah suatu kenyataan. Bagian iini mengandung nuansa hiperbolik
yang kuat. Pada kenyataannya, Belanda dan Jepang masih bercokol di Nusantara,
meskipun disibukkan dengan rantai perang yang tersulut di beberapa tempat di
Nusantara. Setidaknya, kedudukan Belanda tidak tergoyahkan di beberapa kota besar
seperti Batavia, Semarang dan Surabaya hingga pergantian kuasa ke tangan Jepang pada
1942.86

‫أراد بغاة الغرب إحياءىا سدى * وصب سًتلُت عليها ودوالر‬


Penjajah Barat berusaha untuk menguasai (Indonesia)
tapi (usaha tersebut) sia-sia, padahal mereka (berani)
menggelontorkan pounsterling dan dolar
Nilai penting yang ingin ditegaskan dari syair di atas adalah betapa para penjajah
Barat telah menghabiskan biaya yang besar untuk menduduki Indonesia. 87 Pendengar
atau pembaca kasidah ini akan segera mendapat informasi bahwa pendudukan
Indonesia, sejatinya bukan sekedar sisipan materi dalam sejarah kolonialisme dunia.
Masalah penjajahan di negeri itu merupakan sesuatu yang serius diperhatikan, sebab
musuh menggunakan beragam cara untuk mencabik-cabik persatuan sosial yang telah

82
Agus Susilo dan Isbandiyah Isbandiyah, "Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya
Pergerakan Bangsa Indonesia", dalam Historia: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, Vol.
6, No. 2, 2018, hal. 403-416.
83
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), hal. 210 – 214.
84
A. Adaby Darban, "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah", dalam Humaniora, Vol. 16,
No. 1, 2010, hal. 27-34.
85
Yance Zadrak Rumahuru, "Dinamika Identitas Komunitas ―Muslim Hatuhaha‖ di Pulau
Haruku Maluku Tengah." Masyarakat Indonesia, artikel, 2010, hal. 101.
86
John Ingleson, "Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java", dalam
Pacific Affairs, Vol. 54, No. 3, 1981, hal. 485-501.
87
Edward Aspinall dan Mark T. Berger. "The Break-Up of Indonesia? Nationalisms After
Decolonisation and the Limits of the Nation-State in Post-Cold War Southeast Asia", dalam
Third World Quarterly, Vol. 22, No. 6, 2001, hal. 1003-1024.
191
digalang oleh para tokoh lokal, dan ketika sudah tercerai-berai, maka rencana
penundukkan lebih mudah dijalankan. 88
Belanda, Inggris89 dan belakangan Jepang, senantiasa menjadikan perang
melawan para pejuang sebagai ajang menampilkan persenjataan terbaru dan terkuat di
masanya. Ketika para pejuang Nusantara masih menggunakan kelewang, lembing,
pedang dan keris90, musuh sudah menggunakan meriam, senapan, bayonet dan lain
sebagainya. Tentu saja, di antara senjata yang efektif adalah senjata api jarak jauh.
Pasukan profesional juga dipersiapkan agar pernyerangan atau operasi militer berjalan
dengan efektif dan efisien. Semua persiapan itu, tentu saja membutuhkan biaya yang
besar.91 Pemerintah Hindia Belanda tentu sudah memikirkan segala bentuk logistik dan
pendanaan rutin akan hal ini, termasuk pula gaji rutin bagi para pasukan. Ini adalah
pengeluaran yang besar, dan agaknya memang pantas dihabiskan dalam upaya
menegakkan kuasa kolonial di tanah jajahan. 92
Keadaan berbeda akan ditemukan dalam barisan para pejuang. Di masa ketika
kerajaan masih eksis, pasukan kerajaan akan berperang sesuai dengan petunjuk raja atau
panglimanya.93 Mereka tetap membutuhkan pembiayaan dan logistik, namun tidak
sebesar pembiayaan pasukan Belanda atau Inggris. 94 Di masa revolusi fisik, yakni
setelah 1945, persediaan perang bagi pasukan Indonesia sedemikian minim. Mereka
tidak lagi memikirkan berapa upah yang diperoleh setiap bulan, namun hanya ingin jika

88
Frances Gouda, "The Gendered Rhetoric of Colonialism and Anti-Colonialism in
Twentieth-Century Indonesia", dalam Indonesia, Vol. 55, 1993, hal. 1-22.
89
Tessel Pollmann, "The Unreal War: The Indonesian Revolution Through the Eyes of
Dutch Novelists and Reporters", dalam Indonesia, Vol. 69, 2000, hal. 93-106; Lihat juga Mark
Phythian, "―Batting for Britain‖: British Arms Sales in the Thatcher Years", dalam Crime, Law
and Social Change, Vol. 26, No. 3, 1996, hal. 271-300.
90
Lebih lanjut mengenai persenjataan orang Nusantara, lihat Donn F. Draeger, Weapons
& Fighting Arts of Indonesia, (Vermont: Tuttle Publishing, 2012); Lihat juga Geoffrey Hodgson,
"Keris Types and Terms", dalam Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society,
Vol. 29, No. 4, 1956, hal. 68-90.
91
Oscar Gelderblom dan Joost Jonker, "Completing a Financial Revolution: The Finance
of the Dutch East India trade and the rise of the Amsterdam Capital Market, 1595–1612", dalam
The Journal of Economic History, Vol. 64, No. 3, 2004, hal. 641-672; Lihat juga J. Laurence
Laughlin, "The Gold-Exchange Standard", dalam The Quarterly Journal of Economics, Vol. 41,
No. 4, 1927, hal. 644-663.
92
Alexander Morrison, "Camels and Colonial Armies: The Logistics of Warfare in
Central Asia in the Early 19th Century", dalam Journal of the Economic and Social History of
the Orient, Vol. 57, No. 4, 2014, hal. 443-485.
93
Sartono Kartodirdjo, "Bureaucracy and Aristocracy. The Indonesian Experience in the
XlXth Century", dalam Archipel, Vol. 7, No. 1, 1974, hal. 151-168.
94
Peter Carey, "The Origins of the Java War (1825-30)", dalam The English Historical
Review, Vol. 91, No. 358, 1976, hal. 52-78.
192
perjuangan mereka terbayar dengan kemerdekaan Indonesia dalam arti sebenarnya, yang
ditandai dengan lenyapnya jejak penjajah dari negeri ini. 95

3. Rakyat Indonesia Melawan Penjajah


Alî Ahmad Bâkatsîr menyinggung perang melawan kaum penjajah sebagai
sesuatu yang epik untuk didemostrasikan. Ia memadupadankan konten majas dan
realisme untuk melukiskan bagaimana orang Indonesia berjuang mengusir kaum
penjajah bangsa Barat maupun Jepang. Sebagaimana terlihat dalam syair – syair di
bawah ini.

‫وأ ّف ال ػظُّػل ػ َػم ال يُػ ْػدفَػ ػ ُػع * إال بػ ػػالػ ػػدِـ الػ ػق ػػان ػػي‬
Kezaliman tak bisa dicegah
kecuali dengan (perjuangan sampai) titik darah penghabisan
Puisi di atas menjelaskan tentang tangkapan keadaan Baktsir tentang kondisi
Indonesia saat syair ini dibuat. Belanda ditampilkan sebagai suatu kezaliman yang
menjadi elemen jahat sehingga membuat Indonesia menjadi alat untuk memperoleh
keuntungan bagi Belanda, namun meninggalkan rakyat yang sudah hidup secara turun
menurun di atasnya.96 Penjajahan di hampir segenap bidang penting kehidupan sosial
membuat rakyat demikian tersiksa. 97 Kendati telah muncul segelintir pihak yang
berjuang untuk kebebasan rakyat pribumi, namun perjuangan itu tidak lantas mampu
meluluhlantakkan kekuatan penjajah.
Pada episode perjuangan Indonesia, terdapat dua jenis pola pejuangan, yakni
perjuangan kooperatif dan non-kooperatif. Perjuangan kooperatif memungkinkan para
aktivisnya menjalin dialog dan diskusi dengan para penjajah untuk berbareng
membenahi kerusakan sosial yang ada. Mereka akan menjadi pengingat bahwa di balik
keberaturan politik dan pemerintahan, terdapat banyak warga pribumi yang kesulitan
dalam berkehidupan.98 Para pejuang jenis ini memang sengaja menghindari perang,
karena menurut mereka jalan itu hanyalah upaya untuk menciptakan kesusahan lain,
yakni semakin banyaknya rakyat yang berguguran. Menurut kelompok pejuang non-
kooperatif, langkah bekerja sama dengan penjajah adalah omong kosong. Itu merupakan
jalan yang ditempuh oleh orang-orang pengecut. Untuk menciptakan kesejahteraan bagi

95
Heinzpeter Znoj, "Hot Money and War Debts: Transactional Regimes in Southwestern
Sumatra", dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 40, No. 2, 1998, hal. 193-222.
96
Nugroho Nur Susanto, "Eksploitasi Hutan dan Tambang Pada Masa Kolonial di
Kalimantan Bagian Utara (Forest and Mining Exploitation During the Colonial Period in The
Northern Part of Kalimantan)", dalam Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi, Vol. 4, No. 1,
2019.
97
Wafiyah, "Prioritas Berdakwah pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia", dalam
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 35, No. 2, 2017, hal. 269-285.
98
Boy Anugerah, "Strategi Diplomasi Republik Indonesia Guna Mencapai Kepentingan
Nasional dalam Rangka Ketahanan Nasional: Pendekatan Historis dan Futuristis", dalam Jurnal
Kajian Lemhannas RI, 2017, hal. 31.
193
Indonesia, tidak ada jalan lain untuk selalu memasang panji peperangan untuk mengusir
pemerintah penjajah secara paksa dari negeri mereka. 99
ِ ‫فػجػاش الػشػر ُؽ باليػاب‬
‫ػاف * تػجػػزي الػظػل َػم بػالػظُّػلْػ ِم‬ َ
Cahaya terbit di Jepang, membalas kezaliman dengan kezaliman
‫وتػرمػػي بَػ ْغػ َػي ىػولػنػػدا * وأىػ َػل البػغػي فػػي الػي ِّػم‬
Mencampakkan kebengisan Belanda
dan para pelaku zalim ke laut
Dalam bait di atas, Alî Ahmad Bâkatsîr kelihatannya mempunyai serangkum
informasi tentang sejarah Indonesia kaitannya dengan pendudukan Jepang. Sebagaimana
diketahui, menjelang 1942, kedudukan Belanda semakin terancam dengan ekspansi
Jepang yang sudah menyentuh Filipina dan Semenanjung Malaya. Seperti rekan mereka
di Eropa, Jerman, Jepang menjadi negeri yang ingin meraup kekuasaan seluas-luasnya
dan menjadi kampiun Perang Dunia II di kawasan Asia. Kepentingan startegis Jepang di
Asia Tenggara, adalah memperoleh energi mineral serta persediaan pasukan yang
nantinya akan berpartisipasi dalam Perang Asia Timur Raya melawan Amerika Serikat.
Aiko Kurasawa menyebutkan bahwa Jepang memandang Indonesia sebagai negeri
tempat aneka sumber mineral dan manusia yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam
perang-perang pelebaran pengaruh Jepang. Pasukan Jepang tiba di pantai-pantai
Indonesia dengan meneriakkan slogan bahwa mereka adalah saudara tua orang
Indonesia, karena mereka adalah sesama penghuni Benua Asia. Dengan segera, warga
Indonesia menaruh simpati pada mereka, dan menaruh harapan bahwa kelak mereka
akan membantu perjuangan rakyat Indonesia mengalahkan Belanda, musuh yang sudah
sejak lama menancapkan kesengsaraan di kehidupan masyarakat.100
Jepang sangat termotivasi dengan gerakan Fasisme-Nazi yang digagas oleh
Jerman. Para pejabat dua negara kerap mengadakan lawatan timbal balik 101 untuk
memantapkan pengaruh mereka di masing-masing teritorial, sembali mendiskusikan
kemungkinan menjatuhkan lawan-lawan kuatnya.102 Jika Nazi Jerman menjadikan
Inggris sebagai negara yang patut diwaspadai dan penguasaan atasnya adalah cita-cita

99
Maryam, "Gerakan Politik Islam Versus Belanda", dalam Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal
Kebudayaan dan Sejarah Islam, Vol. 2, No. 2, 2017, hal. 181-188.
100
Aiko Kurasawa, "Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945", dalam
Indonesia, Vol. 44, 1987, hal. 59-116.
101
Di pihak Jepang, terdapat seorang nama yang berpengaruh dalam menciptakan
harmonisasi hubungan Jepang dengan Jerman, ia adalah perdana menteri Jepang di era Perang
Dunia II, Hideki Tojo. Lebih lanjut lihat, Peter Mauch, "Prime Minister Tojo Hideki on the Eve
of Pearl Harbor: New Evidence from Japan", dalam Global War Studies, Vol. 15, No. 1, 2018,
hal. 35-46.
102
Brian Daizen Victoria, "A Zen Nazi in Wartime Japan: Count Dürckheim and His
Sources—DT Suzuki, Yasutani Haku‘un, and Eugen Herrigel", dalam Asia-Pacific Journal:
Japan Focus, Vol. 12, 2014.
194
yang dijunjung tinggi103, maka Jepang menantang kebesaran pasukan Amerika Serikat 104
yang telah membangun instlasi militer di Pulau Guam 105 dan Filipina 106. Mereka juga
mempunyai visi kolonisasi yang sama. Kedua negara terhitung lambat melakukan
kolonisasi di banding negara-negara Eropa lainnya. Di tahun 1930 – 1940-an, Jerman
bergeliat dalam kolonisasi di Afrika, sedangkan Jepang mencoba peruntungannya
dengan mengambil hati masyarakat Asia Tenggara107, termasuk rakyat Indonesia, dan
menjadikan Belanda sebagai musuh yang harus diperangi bersama. 108
Dengan menggandeng Indonesia, Jepang ingin membangun suatu kekuatan yang
disebut Alî Ahmad Bâkatsîr sebagai Blok Timur. Untuk diketahui, sebelum melakukan
invasi ke Asia Tenggara, Jepang terlebih dahulu sudah menundukkan negara-negara
Asia Timur lainnya seperti Tiongkok, Semenanjung Korea 109, Taiwan, Taipei110, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai Blok Timur
membentang dari jepang hingga ke Indonesia. Suatu teritori yang luas dan pantas
disebut sebagai suatu kekuatan yang menjadi kompetitor kekuatan besar lain semacam
Amerika Serikat dan Inggris. Kemenangan Jepang melawan Rusia, atau dikenal sebagai
Perang Russo-Japan, pada 1904 – 1905111 juga agaknya menjadi bahan bakar semangat
perang orang-orang Jepang, sehingga mereka mempunyai visi penguasaan yang besar.
Ketika Jepang sedang memulai operasinya di Indonesia, kenyamanan mereka
terusik dengan hadirnya pasukan Sekutu. Pasukan gabungan ini berencana
mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda, dengan dalih menciptakan ketertiban dan

103
Dan Stone, "―The Greatest Detective Story in History‖: The BBC, the International
Tracing Service, and the Memory of Nazi Crimes in Early Postwar Britain", dalam History and
Memory, Vol. 29, No. 2, 2017, hal. 63-89.
104
Boyd Dixon dkk, "Pagan: the Archaeology of a WWII Battle Never Fought in the
Northern Mariana Islands", dalam Journal of Conflict Archaeology, Vol. 13, No. 1, 2018, hal.
37-58.
105
Michael Lujan Bevacqua, "Guam: Protests at the Tip of America's Spear", dalam South
Atlantic Quarterly, Vol. 116, No. 1, 2017, hal. 174-183.
106
Daniel Immerwahr, "The Greater United States: Territory and Empire in US History",
dalam Diplomatic History, Vol. 40, No. 3, 2016, hal. 373-391.
107
Fauziah Fathil dan Fathiah Fathil, "Japanese Propaganda in War-Time Malaya: Main
Issues in Malai Shinpo and Syonan Shinbun", dalam Journal of Media and Information Warfare,
Vol 10, 2017, hal. 1-23.
108
Thee Kian Wie, "The Indonesian Economy During the Japanese Occupation", dalam
Masyarakat Indonesia, Vol. 39, No. 2, 2017, hal. 327-340.
109
Sung Deuk Hahm dan Uk Heo, "History and Territorial Disputes, Domestic Politics,
and International Relations: An Analysis of the Relationship Among South Korea, China, and
Japan", dalam Korea Observer, Vol. 50, No. 1, 2019, hal. 53-80.
110
June Teufel Dreyer,"Taiwan and Japan in the Tsai Era", dalam Orbis, Vol. 60, No. 4,
2016, hal. 592-608.
111
Philip Streich dan Jack S. Levy, "Information, Commitment, and the Russo-Japanese
War of 1904–1905", dalam Foreign Policy Analysis, Vol. 12, No. 4, 2016, hal. 489-511.
195
keamanan dengan mengusir Jepang. Jepang pun segera menggelar peperangan
menghadang laju pasukan Sekutu, salah satunya di wilayah perairan Papua pada 1944.
Wilayah ini mempunyai kondisi geografis perairan terbuka, sehingga memungkinkan
kapal-kapal Sekutu dari Filipina atau dari Australia masuk dan mengancam kantong
kekuasaan Jepang. Jepang pun tidak tinggal diam, dalam kuasanya yang singkat di
Nusantara, mereka berhasil membangun sejumlah bangker pengamanan untuk
perlindungan pasukan dan penyimpanan amunisi untuk berperang, salah satunya bisa
dijumpai di Pulau Madura.112
Kapal-kapal Jepang bertemu dengan kapal Sekutu di perairan Jayapura. Kejar
mengejar terjadi, sembari saling melemparkan misil. Pertempuran di laut menjadi
penting dilakukan, karena pihak yang memenangkan pertempuran ini dapat membuka
jalan atas penguasaan darat. Ketika pasukan Sekutu berhasil memenangkan satu episode
pertempuran melawan Jepang, mereka pun segera memacu kapal mereka dan
mendaratkan pasukan pasukan di bibir pantai Papua. Pasukan mereka pun segera
dimobilisir ke Bandara Sentani di Hollandia, dan segera membersihkan sisa tentara
Jepang. 113
Gambaran kemenangan dan kekalahan perang yang dialami Jepang yang
mengambil setting di perairan, menggambarkan pentingnya arti laut dan politik
internasional. Hal ini agaknya dipahami oleh Alî Ahmad Bâkatsîr, sehingga ia tergerak
untuk memasukkan episode pertempuran laut sebagai materi syairnya. Tentu, Alî
Ahmad Bâkatsîr mempunyai pengalaman yang serba sedikit mengenai keberadaan
Jepang di Indonesia. Ia hanya mendengar berita dan mendapat informasi lisan dari para
mahasiswa atau orang Indonesia yang kebetulan bertandang ke Mesir. 114 Kendati
demikian, pilihan untuk memasukkan gambaran perang laut merupakan suatu
pembuktian, bahwa kendati jarak memisahkan antara dirinya dengan Indonesia, ia masih
mengikuti berita-berita yang datang dari Tanah Airnya itu.
Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari peristiwa politik yang mengitarinya.
Keberadaan penjajah Jepang yang berupaya menguatkan kuku kolonialismenya,
sebagaimana yang disinggung Alî Ahmad Bâkatsîr di syair di atas, termasuk dalam
tampilan nasionalisme keindonesiaan yang disampaikan si penyair. Benedict Anderson
menyebutkan bahwa internasionalisasi dari suatu peristiwa politik masa silam yang
kemudian berimplikasi meningkatkan kepercayaan dari para korban politik di wilayah
tersebut, menjadi salah satu akar munculnya nasionalisme. Indonesianis ini mengutip
suatu peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat Hongaria sekitar 1780-an. Raja
Hongaria, Jozep II, menginginkan agar administrasi Kerajaan Hongaria mengadopsi
bahasa Jerman sebagai bahasa pengantar pemerintahannya, menggantikan bahasa

112
Muhammad Chawari, "Spesifikasi dan Asal Sarana Pertahanan Asing yang Ada di
Pulau Madura: Bunker Jepang vs Bunker Belanda", dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala, Vol.
19, No. 1, 2017, hal. 58-74.
113
Hari Suroto, "Jayapura Pada Era Perang Pasifik", dalam Jurnal Penelitian Arkeologi
Papua dan Papua Barat, Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 91-100.
114
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
196
Magyar. Keputusan ini ditentang oleh masyarakatnya, yang berdalih bahwa bahasa
Magyar sudah digunakan dari generasi ke generasi, dan telah menjadi identitas suku
bangsa Magyar (orang Hongaria) itu sendiri. Peristiwa politik bahasa ini semakin
menguat menjadi pertentangan antara raja dan rakyat Hongaria.115
Dengan demikian, wacana politik yang ditampilkan Alî Ahmad Bâkatsîr dalam
sastranya, mempunyai unsur kecenderungan sang penyair pada negeri yang sedang ia
bicarakan. Terdapat semacam emosi ketika menyinggung kondisi masyarakat Indonesia
yang mengalami ketidakadilan yang diberlakukan pasukan Jepang. Memang, jika
menggunakan sudut pandang lain, ungkapan Alî Ahmad Bâkatsîr lumrah disampaikan
oleh orang-orang yang menganggap kedudukan penjajah Jepang laiknya penguasa
despot yang menindas rakyatnya. Namun jika kita lihat biografi Alî Ahmad Bâkatsîr
yang mempunyai ikatan biologis dengan Indonesia, rasanya ungkapan simpati di atas
bukan sekedar muncul dari rasa kasihan semata, melainkan adalah pantulan dari rasa
kecintan dan semangat bela negara yang ditunjukkan lewat tulisan syairnya.

‫ػضػ ػرا‬
ْ ‫ػخػ‬ ِ
َ ‫جلػوا عنػهػا وعػػن أ ْكػنَػاؼ * إن ُػدونػيػس ػيػػا الػ‬
Jepang mengusir Belanda
dari daerah-daerah Indonesia yang subur
‫ػف * َوم ػ ػ ْػن ال َذ َوَم ػ ػ ْػن ف ػ ػ ػرا‬
َ ‫فمنػهػم مػػن رأى الػحػْت‬
Di antara mereka ada yang mati, ada yang bersembunyi,
dan ada yang melarikan diri
Dilihat dalam konstruk penataan kalimat, Alî Ahmad Bâkatsîr menghadirkan suatu
pemandangan yang tidak biasa. Berbeda dengan penyematan ornamen hiperbolik di
beberapa baik sebelumnya, nuansa realisme dalam bait ini begitu jelas. Menyebut bahwa
dalam perang, pasukan Jepang berhasil mengalahkan Belanda, ternyata tidak cukup bagi
Alî Ahmad Bâkatsîr, ia ingin menegaskan bahwa kekalahan Belanda ditandai oleh
sejumlah pasukan yang mati, sebagian yang lain bersembunyi dan ada pula yang
melarikan diri. Alî Ahmad Bâkatsîr ingin menunjukkan bahwa keadaan di medan perang
agaknya tidak cukup jika hanya berhenti dengan penyematan kata ―berdarah-darah‖, tapi
juga perlu ditegaskan dalam kalimat-kalimat yang realis.
Dalam kesusastraaan, penempatan nuansa realisme dalam syair atau kasidah
memang menjadi salah satu citra yang kerap ditampilkan sastrawan. 116 Setelah mereka
mencerna bahan-bahan atau materi yang sedianya akan digunakan sebagai kumpulan
pengetahuan merumuskan bait syair, maka terdapat beberapa materi yang memang ingin
ditampilkan secara realistik dalam syair. Biasanya, ini sering dijumpai ketika
menggambarkan suatu keadaan atau latar.117 Ketika ingin melukiskan latar belakang

115
Anderson, Imagined …, hal. 156 – 158.
116
Scott Newman, "From Marvellous Realism to World Literature: Rethinking the Human
with Jacques Stephen Alexis", dalam Francosphères, Vol. 8, No. 1, 2019, hal. 1-21.
117
Shikoh Mohsin Mirza, "Influences and Passageways: Arabic Prose Narrative and the
Western Novel", dalam IJELLH (International Journal of English Language, Literature in
Humanities), Vol. 6, No. 12, 2018, hal. 12-12.
197
hutan misalnya, maka kata-kata yang relevan dengan seperti barisan pohon, rimbunnya
dedaunan atau gemerisik angin yang menerpa ranting, akan diungkapkan dengan jelas,
tanpa dibungkus melalui kata-kata metafor. Tujuan sastrawan menampilkan bagian ini,
adalah agar para pendengar atau pembaca karyanya dapat segera menghadirkan imaji
tentang hutan dengan cepat118, tanpa didahului oleh kegiatan meraba-raba yang
cenderung abstrak dalam pikiran mereka. 119
Sampai di sini, didapati bahwa dalam menyusun syair, Alî Ahmad Bâkatsîr tidak
hanya setia pada satu genre. Dalam beberapa syair ia ingin menghadirkan suasana yang
berlebihan (hiperbolik), namun di bagian yang lain ia juga merasa perlu menampilkan
bait syair yang jelas menggambarkan suatu adegan kemanusiaan. Agaknya, ini juga
menjadi salah satu ciri khas dari sastra Alî Ahmad Bâkatsîr, dimana ia menggunakan
metode mutidimensional dalam menempatkan kata-kata. Ia menunjukkan bahwa
sastrawan sudah selaiknya memiliki wawasan yang luas, bukan hanya dalam dunia
menyusun kata, namun juga cermat dalam menempatkan suatu episode penting yang
relevan dengan syair-syair sebelum dan setelahnya.120
Perang merupakan sesuatu yang mempunyai pemandangan yang luas. Iring-iringan
pasukan yang bertempur, tidak saja secara keseluruhan semuanya terlibat baku hantam
dengan lawannya. Sebagian ada yang bertempur dari jarak jauh, seperti menggunakan
kapal selam atau pesawat121, sebagian yang lain ada yang menyerbu langsung ke markas
musuh, menggunakan strategi kamuflase, dengan menggunakan pakaian atau
perlengkapan yang menyerupai kondisi alam sekitar. Ini bisa ditemukan dalam seragam
pasukan modern yang didominasi warna belang hijau, hitam, coklat dan krem. Warna
tersebut cenderung dekat dengan warga keadaan alam di daerah tropis. Bagi mereka
yang diterjunkan dalam medan perang daerah padang pasir, maka mereka akan
menggunakan seragam berwarna krem atau kuning pucat.122
Penyebutan Indonesia sebagai tanah yang hijau, tentu saja menyemburatkan
keanekaragaman alam negeri ini yang sudah terkenal seantero dunia. Tanah hijau ini
menjadi tempat melenggangnya kekuatan kolonialis yang berebut kuasa ingin menjadi

118
Salahuddin Mohd. Shamsuddin dan Siti Sara Binti Hj Ahmad, "Theatrical Art in
Classical European and Modern Arabic Literature", dalam International Educational Research,
Vol. 1, No. 1, 2018.
119
Don Adams, "The Creativity that Drives the World: Prophetic Realism", dalam
Process Studies, Vol. 48, No. 2, 2019, hal. 219-238.
120
Alexandre Johnston, "Knowledge, Suffering and The Performance of Wisdom in
Solon's Elegy To The Muses and The Babylonian Poem Of The Righteous Sufferer", dalam The
Cambridge Classical Journal, 2019, hal. 1-21.
121
Gerald Berk,"State Building through Mediation: The US Anti-Submarine Warfare
Operations Research Group in World War II", in Polity, Vol. 51, No. 3, 2019.
122
C. Wilkinson, "Distortion, Illusion and Transformation: The Evolution of Dazzle
Painting, a Camouflage System to Protect Allied Shipping from Unrestricted Submarine Warfare,
1917–1918 War", dalam Journal of the Faculty of Art, Pedagogical University of Krakow, Vol.
14, 2019.
198
pemeran utama di negeri ini.123 Hal serupa agaknya terjadi dalam penggal kisah
kolonisasi Belanda dan Jepang yang pada 1942, terlibat aktif dalam berebut pengaruh,
menjadi penguasa tunggal atas negeri yang hijau ini. 124 Alî Ahmad Bâkatsîr memaknai
negeri ini sebagai tanah yang menarik perhatian para penakluk sehingga pada saatnya,
akan muncul dua atau tiga kekuatan yang memperebutkannya.
Sebagaimana orang Arab pada umumnya, ingatan Alî Ahmad Bâkatsîr kepada
Indonesia atau negeri-negeri tropis di kawasan Asia lainnya, akan selalu didominasi
dengan warna hijau. Secara semiotik, hijau memang dekat dengan nuansa keteduhan dan
kesegaran, dan ini melulu berhubungan dengan keberadaan alam tempat pohon yang
berjajar dengan daun rimbun, air sungai yang mengalir yang menghidupinya di tambah
dengan udara dingin yang menyelimutinya. 125 Pendek kata, warna hutan yang hijau
menyumbang pengertian paling mendasar bahwa warna hijau mewakili kesegaran dan
kesejukan. Dalam membicarakan kondisi alam, warna hijau lebih mewakili dibanding
biru. Warna biru yang diidentikkan dengan air atau gunung 126 memang menjanjikan
makna kesegaran, namun tidak sekuat hijau.
Benedict Anderson mengungkapkan bahwa bahasa-tulis-cetak, yakni bahasa yang
digunakan dalam tulisan suatu negara merupakan salah satu ciri dari nasionalisme.
Seseorang yang menggunakan bahasa negaranya dalam menulis gagasannya, dapat
dikatakan sebagai seseorang yang mencintai Tanah Airnya. Keterangan ini berbanding
terbalik dengan yang dilakukan Alî Ahmad Bâkatsîr. Melalui bahasa dan aksara Arab, ia
menuliskan tentang kecintaannya pada Indonesia, dengan memberikan kabar-kabar
penting tentang negara ini yang harus diketahui dunia, yakni tentang pendudukan
Belanda atau Jepang atas masyarakat Indonesia.127
Dalam konsepsi Anderson, Alî Ahmad Bâkatsîr dianggap sebagai pembuat sesuatu
yang tidak normal. Bagaimana mungkin, ia hidup di tengah masyarakat Mesir yang
berbahasa dan menulis dengan aksara Arab, lantas mengabarkan negeri lain yang tidak
berkaitan secara historis dengan Mesir. Ini adalah suatu temuan anomali dari suatu
nasionalisme dalam bidang bahasa-tulis-cetak. Hal ini justru akan dapat melahirkan
ragam pendapat seperti pertanyaan akan kadar nasionalisme Alî Ahmad Bâkatsîr
terhadap Mesir, serta apakah dirinya lebih mencintai Indonesia ketimbang Mesir.
Alî Ahmad Bâkatsîr menggambarkan barisan pejuang Indonesia dengan bait
berikut:

123
Hendrik E. Niemeijer, "Maritime Connections and Cross-Cultural Contacts Between
The Peoples of The Nusantara and The Europeans In The Early Eighteen Century", dalam Jurnal
Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, hal. 3-10.
124
Wies Platje, "Dutch Sigint and the Conflict with Indonesia 1950-62", dalam
Intelligence & National Security, Vol. 16, No. 1, 2001, hal. 285-312.
125
James Fairhead dkk, "Green Grabbing: a New Appropriation of Nature?", dalam
Journal of Peasant Studies, Vol. 39, No. 2, 2012, hal. 237-261.
126
Gilbert N. Plass dkk, "Color of the Ocean", dalam Applied Optics, Vol. 17, No. 9,
1978, hal. 1432-1446.
127
Anderson, Imagined …, hal. 100 – 101.
199
‫قػ ػػوي ديػػنُػػوُ اإلس ػ ػػال * ُـ دي ػ ػ ُػن ال ػح ػ ِّػق وال ػق ػ ّػوْة‬
Dia adalah orang yang kuat, agamanya Islam,
agama kebenaran dan kekuatan
‫وآي الػ ػ ِّػذك ػ ػ ِر مػ ػتػ ػل ػ ّػوْة‬
َ * ً‫ػف َم ْػسػلػوال‬
َ ‫يقػي ُػم الػسػي‬
Dia memanggul senjata dan membaca al-Quran.
Barisan pejuang Indonesia melawan pasukan Hindia Belanda dengan keadaan
yang serba kekurangan. Secara umum, para pejuang Indonesia tidak mempunyai
keahlian militer yang terpadu dan sesuai standar militer internasional. Mereka hampir
tidak pernah mengikuti kelas serta latihan militer yang kurikulumnya tersusun dengan
baik dan berkelanjutan.128 Yang mereka miliki hanyalah semangat dan rasa
ketidakrelaan jika kesulitan hidup yang berpangkal dari penjajahan bangsa asing terus
menerus mendera mereka, dan tidak ada ujungnya. Satu-satunya jalan untuk menyudahi
penindasan ini adalah melakukan perlawanan. 129
Bambu runcing merupakan simbol dari minimnya persiapan para pejuang di
medan pertempuran. Mereka menggunakan senjata ini, dikarenakan logistik di bidang
persenjataan tidak memadai. Berbeda dengan pasukan Hindia Belanda yang
menggunakan peralatan perang lengkap, dan hampir setiap diterjunkan dalam setiap
operasi, dibekali dengan pasukan terlatih dan senjata modern, pasukan Indonesia tidak
menggunakan atribut militer yang standar, dan hanya menggunakan bambu runcing dan
taktik persembunyian dan lari cepat untuk menghindari sergapan lawan. 130 Taktik seperti
ini yang dinamakan siasat perang gerilya. 131 Dengan cara ini, pasukan Belanda kerap
kesulitan, karena mereka tidak menguasai geografi sekitar. Di sini letak kemenangan
startegi gerilya, sehingga mampu meredam laju eksplosif pasukan Hindia Belanda. 132
Banyak dari para barisan pejuang Indonesia adalah pelajar agama di pesantren,
utamanya dalam kasus-kasus perang Jawa.133 Para kyai dan dewan pengajar pesantren di
Jawa sudah mafhum, bahwa musuh terbesar pelajar Islam saat itu bukan hanya

128
Ari Sapto, "Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa Revolusi
dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini", dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 7, No. 1, 2015.
129
Michael L. Ross, "Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia", dalam Understanding
Civil War, Vol. 2, 2005, hal. 35-58.
130
Ahmad Adaby Darban, "Sejarah Bambu Runcing", suatu artikel, 1988.
131
Robert Cribb, "Military Strategy in the Indonesian Revolution: Nasution's Concept of
‗Total People's War‘in Theory and Practice", dalam War & Society, Vol. 19, No. 2, 2001, hal.
143-154.
132
Edward Aspinall dan Mark T. Berger, "The Break-Up of Indonesia? Nationalisms
After Decolonisation and the Limits of the Nation-State in Post-Cold War Southeast Asia",
dalam Third World Quarterly, Vol. 22, No. 6, 2001, hal. 1003-1024.
133
Ronald Lukens-Bull, "The Traditions of Pluralism, Accommodation, and Anti-
Radicalism in the Pesantren Community", dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 2, No. 1,
2008, hal. 1-15.
200
kebodohan, namun juga pasukan Belanda yang menjadi musuh nyata mereka.134 Untuk
itu, pesantren di Jawa kerap membentuk milisi santri untuk bergabung dengan pejuang
lain dalam memperjuangkan dan belakangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
sebagaimana yang terlihat dalam keikutsertaan mereka dalam Perang Surabaya pada 10
November 1945.135
Zainul Milal Bizawie menyebutkan bahwa dalam Perang Surabaya, para santri
digerakkan menjadi pasukan yang membendung kedatangan tentaran NICA. Mereka
adalah barisan berani mati, yang telah membentuk diri dalam menelaah pelajaran agama
sekaligus mengisi hari mereka dengan berlatih fisik, supaya kelak berguna di medan
laga.136 Dalam Perang Surabaya, mereka menggunakan senjata berupa batu yang
dilempar dan bambu runcing. Dalam milisi santri, bambu runcing mempunyai kegunaan
yang praktis, karena dapat membuat luka yang besar di tubuh lawan. 137 Dalam
mengintai musuh dan mengelabuhi musuh, para santri juga mempunyai keahliannya
sendiri dan semuanya hanya dibekali dengan seringnya mereka diterjunkan ke medan
tempat dan naluri survival (bertahan hidup) mereka sendiri.
Alî Ahmad Bâkatsîr tentu saja sudah memahami tentang posisi para ahli agama
dalam perjuangan Indonesia. Mereka bukan hanya melakoni tugas hidup sebagai
penyadar umat Islam dengan ilmu agamanya, namun juga mengajari mereka akan cinta
kepada Tanah Air dengan melakukan pembelaan saat Tanah Air mereka berada dalam
ancaman penjajah. Penglihatan Alî Ahmad Bâkatsîr akan aktivitas para pejuang
termasuk cukup mendalam, sehingga ia terdorong untuk memadankan perilaku berjuang
atas kepentingan Tanah Air sebagai salah satu tugas penting, sama pentingnya dengan
mengkaji al-Quran.

‫ل ػك ػػي تُػع ػتػ َػق أح ػ ػ ػر ٌار * وتػرضػػى الػ ػ ِّػرؽ ُعػ ْػبػػدا ُف‬
Supaya semua orang dimerdekakan,
biarkan budak yang hanya ingin diperbudak
Dalam penggalan syair ini, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin berbicara pada para serdadu
Jepang yang telah melakukan pembunuhan pada Belanda, lantas menduduki Indonesia,
bahwa apa yang mereka lakukan tidak lebih adalah warisan buruk bagi generasi mereka
sendiri. Bagaimanapun kolonialisme merupakan inti keburukan yang akan melahirkan
keburukan-keburukan lainnya. Ingatan ini akan terus hidup, mengingat penduduk yang
terjajah akan mewariskan cerita buruk tentang penjajahan kepada anak cucunya. Bukan

134
Sulasman, "Kyai and Pesantren in the Islamic Historiography of Indonesia", dalam
Tawarikh, Vol. 4, No. 1, 2012.
135
Ronald Lukens-Bull, "Madrasa by Any Other Name: Pondok, Pesantren, and Islamic
Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region", dalam Journal of Indonesian Islam,
Vol. 4, No. 1, 2010, hal. 1-21.
136
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, (Jakarta: Pustaka
Compass, 2014), hal. 30 – 50.
137
, Ari Widyati Purwantiasning dkk, "Understanding Historical Attachment Through Oral
Tradition as a Source of History", dalam Journal of Urban Culture Research, Vol. 18, 2019, hal.
36-51.
201
hanya cerita pengantar tidur atau pengisi waktu senggang, namun kisah kelam ini akan
diabadikan dalam kurikulum pelajaran sejarah, yang akan ditelaah secara serius mulai
dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 138
Mempelajari sejarah atau setidaknya membincangkan masa silam, dapat
menyebabkan kebencian pada peran antagonis yang dimainkan oleh suatu pihak. 139
Bayangan akan kebaikan dan keburukan senantiasa tersemat dalam cerita masa silam.
Pihak baik akan mulia dengan kebaikannya, lantas pihak jahat akan mengkonstruk diri
dengan aneka ragam perbuatan kejahatan yang melulu ingin menganiaya dan
menundukkan kebaikkan. 140 Peranan serupa agaknya juga tersemat ketika
membicarakan tentang sejarah perjuangan Indonesia. Pihak kolonial, baik itu Jepang 141
maupun Belanda142 ditempatkan sebagai kejahatan yang selalu memaksakan kehendak
kuasanya pada rakyat Indonesia yang mewakili kebaikan.
Kilasan-kilasan peristiwa yang disinggung Alî Ahmad Bâkatsîr, lambat laun,
medekati masa kini, akan menjadi sejarah. Bagi bangsa yang terjajah, era pendudukan
kolonial Belanda dan Jepang, merupakan periode kelam yang selalu diingat. Namun,
bagi para bangsa penjajah, dalam beberapa kasus, memunculnya sejumlah pemaknaan
yang berbeda. Terdapat kelompok yang menganggap keberhasilan suatu negara
menancapkan pengaruhnya di negeri asing adalah suatu prestasi yang patut
dibanggakan, dan sulit diwujudkan di era modern seperti sekarang ini. 143 Sebagian yang
lain, menganggap kegemilangan yang ditorehkan di luar negeri tidak lebih adalah
kebanggaan semu, karena tahta emas itu didirikan di atas darah penduduk pribumi yang

138
Ketut Sedana Arta, "Kurikulum dan Kontroversi Buku Teks Sejarah Dalam KTSP",
dalam Media Komunikasi FIS, Vol. 11, No. 2, 2012; Lihat juga Marlina, "Pengaruh Zeitgeist
Terhadap Muatan Sejarah di Buku Teks Pelajaran Sejarah SMA Kurikulum 1975-2004", dalam
Indonesian Journal of History Education, Vol. 4, No. 1, 2016.
139
Robert J. Sternberg, "A Duplex Theory of Hate: Development and Application to
Terrorism, Massacres, and Genocide", dalam Review of General Psychology, Vol. 7, No. 3, 2003,
hal. 299-328.
140
John U. Ogbu, "Collective Identity and the Burden of ―Acting White‖ in Black
History, Community, and Education", dalam The Urban Review, Vol. 36, No. 1, 2004, hal. 1-35.
141
Muhammad Rikaz Prabowo, "Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 di Kalimantan Barat:
Suatu Pembunuhan Massal di Masa Penduduk Jepang", dalam Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah
Dan Ilmu Sejarah, Vol. 2, No. 1, 2019.
142
Oleh Nurhadi, "Pembunuhan Massal Etnis Cina 1740 dalam Drama Remy Sylado:
Kajian New Historisisme", dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 14, No. 75, 2008,
hal. 1197-1225.
143
Nigel Worden, "New Approaches to VOC History in South Africa", dalam South
African Historical Journal, Vol. 59, No. 1, 2007, hal. 3-18.
202
tersiksa.144 Umumnya, suara seperti itu diteriakkan oleh para aktivis hak asasi manusia
yang memang mempunyai basis massa yang besar di Eropa.145
Alî Ahmad Bâkatsîr seakan mengingatkan pada para pemegang kekuasaan
kolonial di negeri asalnya, bahwa apa yang mereka perbuat akan dilihat dan diketahui
oleh anak cucu mereka kelak. Memang, para tuan kolonial dianggap berjasa
membangun negeri dengan keuntungan yang didapat dari tanah koloni. Pertempuran
yang dilalui oleh mereka akan dikenang melalui kilatan medali yang mereka peroleh. 146
Namun, perlu diingat, itu semua dilakukan bukan dengan dalih menegakkan keadilan
dan membasmi kejahatan, melainkan menciptakan kejahatan itu sendiri di balik jubah
keadilan. 147 Mereka mengaku sebagai penguasa yang berhak menggelar semua operasi
militer untuk menertibkan gejolak di tengah masyarakat pribumi dengan dalih
memadamkan pemberontakan atas pemerintahan yang sah. Klaim mereka tidak lebih
hanyalah pantulan dari hasrat kuasa pribadi. 148
Alî Ahmad Bâkatsîr yang saat itu sudah menjadi penduduk Mesir merasa
terpanggil untuk menyuguhkan sesuatu yang lain dan berkesan bagi seorang Bapak
Pendiri Bangsa Indonesia ini. Mereka adalah sosok yang tidak kenal lelah berjuang,
mulai dari masa revolusi fisik hingga masa diplomasi. Soekarno dan Hatta adalah dua
orang yang diabadikan oleh Alî Ahmad Bâkatsîr di syair berikut ini:

‫نصَت سوكرنو يف اجلهاد وصنوه * كصاحب طو يوـ ضمهما الغار‬


Persahabatan Soekarno dan sahabatnya (Hatta) dalam berperang,
bagaikan Nabi dan sahabatnya (Abu Bakar) di gua (Hira)
Merupakan suatu keunikan tersendiri tatkala menampilkan suatu persamaan
seorang tokoh yang terkenal dalam skala nasional dengan tokoh yang terkenal di kancah
internasional. Alî Ahmad Bâkatsîr mengibaratkan Soekarno dan Hatta seperti Nabi
Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar al-Siddîq. Hatta yang merupakan sosok
intelektual-negarawan dianggap sebagai kawan sepadan, sahabat di kala senang dan

144
Peter Borschberg, "The Dark Space of Singapore History (c. 1400–1800)", dalam
Passage, 2015, hal. 12.
145
Andrew Moravcsik, "Explaining International Human Rights Regimes: Liberal Theory
and Western Europe", dalam European Journal of International Relations, Vol. 1, No. 2, 1995,
hal. 157-189.
146
Graham Wilson, "Nederlandse Onderscheidingen 1945-62 (Dutch Combat Awards
1945-62)", dalam Sabretache, Vol. 52, No. 2, 2011, hal. 35.
147
T. Walter Wallbank, "British Colonial Policy and Native Education in Kenya", dalam
Journal of Negro Education, 1938, hal. 521-532.
148
Homi Bhabha, "Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse",
dalam October, Vol. 28, 1984, hal. 125-133.
203
susah, serta tokoh yang kerap memberi nasehat dan pemecahan ketika Soekarno
membutuhkan jawaban atas persoalan yang dihadapinya.149
Peran Hatta tidak ubahnya seperti Abu Bakar yang mendampingi Nabi Muhammad
dalam menyebarkan risalah Islam di abad 7 M150. Kendati banyak kemulyaan yang
ditujukan pada Nabi Muhammad, tidak lantas membuatnya terbebas dari kelemahan-
kelemahan yang dirasakan manusia pada umumnya. Ia juga pernah merasa marah, sedih,
lelah dan terpuruk, sehingga membutuhkan sosok sahabat yang mampu menguatkan
hatinya dan mengembalikan semangatnya 151. Peran itu diampu oleh sosok Abu Bakar al-
Siddîq. Sebagai sosok yang lebih tua dari Nabi Muhammad, Abu Bakar kerap
memberikan nasehat dan petuahnya ketika Nabi Muhammad sedang berada di bawah
performa kepemimpinannya.152 Dengan tanpa menyakiti perasaan Nabi Muhammad,
Abu Bakar membeirkan teladan dengan menyampaikan pandangan-pandangannya dan
solusi jawaban ketika Rasulullah sedang dalam keadaan galau. 153

4. Nasionalisme dan Cinta Tanah Air


‫ص ػ ْلػ ِػد‬ ِ
َ ‫ إنػنػػا شػػتػػى * فَم ػ ْػن لػي ػ ٍن ومػ ػ ْػن‬:‫وقػال ػوا‬
Mereka mengatakan bahwa kita (bercerai berai karena)
kita majemuk (penduduknya): ada yang lembut dan kasar
ِ ‫ػوؾ وال ػ‬
‫ػورد‬ َ ‫ ب ْػل تػآلػ ْفػػنَػػا ائْػ ػ * ػ ػػتِػ‬:‫فػقػ ْل ػنػػا‬
ِ ‫ػالؼ الػشػ‬
Kita jawab (bahwa kita, Indonesia bukan bercerai berai),
tetapi kita harmonis bagaikan simponi duri dan mawar
Penjajah mengira bahwa rakya Indonesia akan mudah bercerai-berai karena
rakyatnya yang majemuk; terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa, dan banyak hal,
sehingga susah untuk bersatu. Anggapan penjajah ini salah besar, walaupun Rakyat
Indonesia itu majemuk, akan tetapi rakyat Indonesia satu padu. Dalam puisi tersebut, Alî
Ahmad Bâkatsîr menggambarkan bagimana harmonisnya rakyat Indonesia laksana
simfoni duri dan mawar. Alî Ahmad Bâkatsîr memberikan penjabarannya, yakni
sebagian rakyat Indonesia ada yang lembut dan ada pula yang kasar. Kata kasar di sini
dimaksudkan untuk memberikan pandangan bahwa sebagian masyarakat Indonesia ada

149
Heddy Shri Ahimsa Putra, "Remembering, Misremembering and Forgetting: The
Struggle over" Serangan Oemoem 1 Maret 1949" in Yogyakarta, Indonesia", dalam Asian
Journal of Social Science, Vol. 29, No. 3, 2001, hal. 471-494.
150
William Wagner, "A Comparison of Christian Missions and Islamic Da'wah", dalam
Missiology, Vol. 31, No. 3, 2003, hal. 339-347.
151
Moh. Wardi, "Interpretasi Kenabian (Peran Ganda Nabi Muhammad Sebagai Manusia
Biasa dan Rasul)", dalam Al-Ulum: Jurnal Penelitian dan Pemikiran Keislaman, Vol. 2, No. 1,
2015, hal. 36-46.
152
Muhammad Rahmatullah, "Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-Siddîq", dalam
Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies, Vol. 4, 2014.
153
Muhammad Dahlan, "Kontribusi Abu Bakar terhadap Perkembangan Islam", dalam
Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2, 2018, hal. 126-136.
204
yang mempunyai karakter yang keras dan tegas, seperti umumnya ditemukan pada
masyarakat di luar Jawa.154
Jika ditinjau dari pengalaman hidup Alî Ahmad Bâkatsîr, maka syair di atas adalah
suatu keanehan. Alî Ahmad Bâkatsîr merupakan sosok yang jarang hidup dalam realitas
yang benar-benar beragama masyarakatnya. Ketika di Surabaya, ia tinggal di Kampung
Arab, di mana secara umum masyarakatnya terbentuk dari kesamaan ras dan budaya,
yakni orang-orang Arab Hadrami. 155 ketika ia berada di Hadramaut dan Hijâz pun
demikian ia juga tinggal di tengah masyarakat Arab. Perbedaan mulai terasa saat
menyibak kehidupan Alî Ahmad Bâkatsîr di Sudan dan Mesir.156 Namun, pola hidup
heterogen di dua negara itu, tidak bisa disandingkan dengan Indonesia. Di Mesir
misalnya, meskipun penduduknya memeluk agama yang berbeda, namun suku bangsa
yang dominan tetaplah Arab.157
Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan perumpamaan tumbuhan, lewat kata bunga dan
duri untuk menegaskan kembali bersatunya masyarakat Indonesia yang mempunyai
sikap halus dan kasar, sebagaimana disebut dalam bait sebelumnya. Bentuk bunga yang
merekah dengan warna-warna yang mencolok, tentu akan mengundang binatang atau
bahkan manusia untuk mendekati dan menyentuhnya. Beberapa spesies bunga, seperti
mawar, mempunyai pertahanan alami di batangnya, yakni duri untuk melindungi
bunganya.158 Tumbuhnya duri memang bukan semata-mata untuk melindungi keindahan
bunga, melainkan sebagai pelengkap dari tumbuhan itu semua. Ini bukan menjadi suatu
standarisasi dari tumbuhan dengan bunga yang indah dan cantik. Manusia tetap dapat
memetik mawar dengan hati-hati tanpa terkena durinya.

‫وإنّػ ػ ػػا كػػل ػن ػػا أفْ ػػئِ ػ ػ * ػدةٌ تػ ػه ػ ػفػ ػػو لِػ ػػذكػ ػ ػ َػر ِاؾ‬
Hati kami (rakyat Mesir) selalu merindukanmu
154
Rina Suciati dan Ivan Muhammad Agung, "Perbedaan Ekspresi Emosi pada Orang
Batak, Jawa, Melayu dan Minangkabau", dalam Jurnal Psikologi, Vol. 12, No. 2, 2017, hal. 99-
108; Sebagai perbandingan, lihat juga Debora Simbolon, "Memahami Komunikasi Beda Budaya
Antara Suku Batak Toba dengan Suku Jawa di Kota Semarang", dalam Jurnal The Messenger,
Vol. 4, No. 2, 2012, hal. 43-49.
155
Yahya, "Arab Keturunan di Indonesia; Tinjauan Sosio-Historis tentang Arab
Keturunan dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia", dalam Ulul Albab Jurnal
Studi Islam, Vol. 4, No. 2, 2018, hal. 113-126.
156
Merethe Skaras dkk, "The Ethnic/ Local, the National and the Global: Global
Citizenship Education in South Sudan", dalam British Journal of Educational Studies, 2019, hal.
1-21; Lihat juga Tyson EJ Marsh dan Christopher B. Knaus, "Fostering Movements or Silencing
Voices: School Principals in Egypt and South Africa", dalam International Journal of
Multicultural Education, Vol. 17, No. 1, 2016, hal. 188-210.
157
Kevin Koehler, "State and Regime Capacity in Authoritarian Elections: Egypt Before
the Arab Spring", dalam International Political Science Review, Vol. 39, No. 1, 2018, hal. 97-
113.
158
E. J. Woltering, "The Effects of Leakage of Substances from Mechanically Wounded
Rose Stems on Bacterial Growth and Flower Quality", dalam Scientia horticulturae, Personality
and Brain Disorders, Vol. 33, No. 1-2, 1987, hal. 129-136.
205
‫ػجػ ػ َػو ِاؾ‬ ِ ِ ‫وأسػ ػمػ ػػاع لػتػك ػب ػيػػر * ِؾ تُػ‬
ْ ‫ػص ػػغ ػػي ل ػػنَ ػ‬
ْ ٌ
Telinga kita selalu mendengar bisikan takbirmu
‫ػج ػ ِػد * ؾ ف ػػي َعػ ْلػيَػػائػِػوِ تَػرنُػػو‬
ْ ‫ػار إلػ ػػى َمػ‬
ٌ ‫وأب ػصػ‬
Mata kita selalu memandangi
kemuliaan dan keagunganmu
‫ػحػ ُػن الػػعِػ ِّػز يُ ْش ِػجػيػنَػا‬ ِ
ْ ‫ػحػ ُػن ُمػرديػكػا * ولَػ‬
ْ َ‫َش َجػانػا ل‬
Pekik merdeka
dan lagu kemuliaan menggetarkan (jiwa) kami
ِ ‫فػ ػم ػػا أعػ ػ َذب ػػو ص ػػوتػ ػاً * إلػ ػ ػػى ال ػػعِػ ِّػز يػن‬
‫ػاديْػػنَػػا‬َُ َ َُ ْ
Alangkah merdunya suara (pekikan „merdeka‟)
Yang menyeru kepada kami untuk mencapai kemuliaan
‫ػح ُػن عػلػػى الػبػع ِػد * نػحػيّػػي لَػيػلَ ػةَ الػ ِػذ ْكػ َػرى‬
ْ َ‫فػهػا ن‬
(sekarang) kami (walau) jauh (dari Indonesia)
namun kami memperingati malam kemerdekaan
‫ونُػهػ ِػدي فَػ ْػر َح ػةَ الػن ػيػ ػ * ػ ِػل إلنػدونػيػسػيػػا ال ػ ُكػ ْػب ػ َػرى‬
Kami hadiahkan kegembiraan penduduk Nil
untuk Indonesia Raya

Kumpulan bait di atas adalah ilustrasi masyarakat Mesir yang mendengar


kemerdekaan Indonesia melalui lagu Indonesia Raya. Lagu Indonesia Raya memang
membahana di seantero Mesir dan negara Arab lainnya, karena lagu ini
dikumandangkan oleh warga Indonesia dalam acara yang dihadiri oleh para pembesar
Mesir dan negara Arab lainnya. Dan untuk memudahkan supaya Lagu kebangsaan
Indonesia Raya dipahami oleh warga negara Mesir dan negera-negara Arab lainnya, Alî
Ahmad Bâkatsîr menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Berikut ini gubahan lagu
Indonesia Raya tersebut: 159

‫إندنوسيا الكبرى‬
‫إندنوسيا مسقط رأسي*ب ػح ػيػػاتػػي أفػػديػ ػه ػػا‬
‫ فسوؼ أبقى*دوف أم ػ ػػي أحػمػي ػهػػا‬،‫ىي أمي‬
‫إندنوسػيػا بػػالد قػومػي*زادى ػػا الػرحػمػن ع ػ ػزا‬

159
Lagu ―Indonesia Raya‖ diterjemahkan oleh Alî Ahmad Bâkatsîr ke dalam bahasa Arab
dan ditampilkan dalam drama Audatul Firdaus. Lihat Muhammad Abû Bakar Hamîd, Indonesia
Malhamah al-Hubb wa al-Hurriyyah fi Hayah Alî Ahmad Bâkatsîr wa Adabih, hal. 128. Lihat
juga http://www.bakatheer.com/poems_details.php?id=90 (a‟mal Bakatsir – diwan bakatsir – al-
qashaid – anasyid – indunisiya al-kubra – mutarjam „an al-andanusiyah)
206
‫ىػيػا هنػتػف‪ :‬إندنوسػيػا* وحػ ػ ػ ػػدة ال تػ ػتػ ػجػ ػزا‬
‫فػل ػي ػعػػش م ػن ػب ػتػػي* ول ػت ػع ػػش دول ػ ػتػ ػػي‬
‫ولتعش أميت مجيعا‬
‫ع ػ ػ ػ ػ ػػز ب ػن ػيػػانػ ػه ػػا * ع ػ ػ ػ ػػز س ػل ػطػػان ػهػػا‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي* احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
‫يػ ػ ػػا مػ ػن ػػاط دمػ ػ ػػي* يػ ػ ػ ػ ػ ػػا ب ػ ػ ػ ػ ػ ػػالدي‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي* احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
‫إندنوسيا الكربى لنػا‬
‫إندنوسيا ثرى ادلعالػي* أرض ػنػػا أرض الػخ ػصػ ِ‬
‫ػب‬
‫حيث أحيا مدى الليالػي* وىػي حتيػا فػي قلػبػي‬
‫ػدود * ق ػ ػػد تػوارث ػنػػا ث ػراى ػػا‬ ‫إندنوسػيػا عػػن الػج ْ‬
‫ػود * فػلػي ػبػػارؾ مػػرعػػاى ػػا‪:‬‬ ‫ىػيػػا نػضػػرع للػمػعػب ْ‬
‫فػل ػي ػعػػش م ػن ػب ػتػػي * ول ػت ػع ػػش دول ػ ػتػ ػػي‬
‫ولتعش أميت مجيعا‬
‫ع ػ ػ ػ ػ ػػز ب ػن ػيػػانػ ػه ػػا * ع ػ ػ ػ ػػز س ػل ػطػػان ػهػػا‬
‫إندنوسيا الكربى لنػا‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي * احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
‫يػ ػ ػػا مػ ػن ػػاط دمػ ػ ػػي * يػ ػ ػ ػ ػ ػػا ب ػ ػ ػ ػ ػ ػػالدي‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي * احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
‫إندنوسيا الكربى لنػا‬
‫إندنوسيػا ثػرى مػقػدس * كػ ػػل ذي ظػ ػػل فػيػهػػا‬
‫لن ترى الذؿ مػا تنفػس * بػاسػػل مػ ػػن أىػلػيػهػا‬
‫إنػدنػوسػيػػا أعػ ػ ػػز درة * تػرسػػل ال ػػألالء طػه ػرا‬
‫ىيا نقسم باسم القدرة * لػتػعػي ػشػػن ال ػػدى ػ ػرا‬

‫‪207‬‬
‫فػل ػي ػعػػش م ػن ػب ػتػػي * ول ػت ػع ػػش دول ػ ػتػ ػػي‬
‫ولتعش أميت مجيعا‬
‫ع ػ ػ ػ ػ ػػز ب ػن ػيػػانػ ػه ػػا * ع ػ ػ ػ ػػز س ػل ػطػػان ػهػػا‬
‫إندنوسيا الكربى لنػا‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي * احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
‫يػ ػ ػػا مػ ػن ػػاط دمػ ػ ػػي * يػ ػ ػ ػ ػ ػػا ب ػ ػ ػ ػ ػ ػػالدي‬
‫إنػدنػوسػيػػا اح ػك ػمػػي * احػك ػمػػي واسػل ػمػػي‬
ٔ6ٓ
‫إندنوسيا الكربى لنػا‬
Kata ―-mu‖ di atas kembali pada diri Alî Ahmad Bâkatsîr dan orang Mesir pada
umumnya, sama dengan bait syair sebelumnya. Di sini, Alî Ahmad Bâkatsîr masih ingin
menegaskan kerinduannya. Menariknya, di sini Alî Ahmad Bâkatsîr juga menampilkan
kata ―takbir‖ yakni ucapan Allahu akbar yang artinya Allah Maha Besar sebagai
penanda bahwa penduduk yang sedang berjuang dan penderitaan mereka adalah suara
umat Islam, sama dengan orang Mesir yang beragama Islam. Penggunaan mata sebagai
alat memandang keagungan adalah bentuk metafor yang ingin diungkapkan Alî Ahmad
Bâkatsîr. Maknanya, adalah meskipun dirinya dan orang Mesir dan Indonesia terlampau
jarak yang jauh, namun mereka masih dapat mendengar kabar tentang perjuangan
Indonesia. Mereka seperti mempunyai mata yang mampu menembus tempat yang jauh
untuk menyaksikan aktivitas-aktivitas pembebesan yang dilakukan para pejuang
Indonesia. Mereka melakukan kerja yang mengagumkan dan layak diapresiasi menjadi
suatu keagungan.
Di bait keempat pertama, Alî Ahmad Bâkatsîr menyematkan kata merdeka dalam
bahasa Arab. Ini merupakan suatu ciri khas dalam karya Alî Ahmad Bâkatsîr di mana ia
berupaya menciptakan kata yang tidak dikenal orang Arab menjadi suatu yang pantas
untuk dikenal oleh mereka. Tentu saja, orang Mesir secara umum tidak mengenal kata
merdeka. Para pendengar kata ini, akan tergerak untuk menanyakan arti dari kata ini
kepada orang Indonesia, atau orang yang mengerti tentang kata ini. Ini menjadi suatu
ciri khas dari sastra Alî Ahmad Bâkatsîr yang tentu saja membawa khazanah baru dalam
dunia sastra Arab. Penggunaan kata lokal dalam sastra memang mempunyai nuansa
tersendiri, selain sebagai ciri khas dari seorang sastrawan. 161
Perasaan bangga mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia, bukan hanya
dipunyai oleh Alî Ahmad Bâkatsîr, melainkan juga warga Mesir pada umumnya. Alî

160
Lihat juga di Alî Ahmad Bâkatsîr, Audah al-Firdaus, (T.tp: Maktabah Mishr, T.t), hal.
153-155.
161
Gloria Velez‐ Rendon, "Second Language Teacher Education: A Review of the
Literature", dalam Foreign Language Annals, Vol. 35, No. 4, 2002, hal. 457-467.
208
Ahmad Bâkatsîr memposisikan diri dalam dua bangsa yakni Indonesia dan Mesir.
Artinya, ketika ia menyinggung warga Mesir yang bangga saat mendengar lagu
kebangsaan ini, maka ia menampilkan diri sebagai seorang warga Mesir yang juga ikut
senang dengan lagu itu. Dukungan Mesir atas kemerdekaan Indonesia di kancah
internasional, tentu bukan dukungan yang bersifat legal kenegaraan semata, melainkan
sudah dilakukan semacam uji kebenaran informasi di internal pemerintahan Mesir,
sehingga mereka layak menaruh bangga dan menyatakan kebanggan itu dengan
penyokongan hasil perjuangan rakyat Indonesia itu. Dengan kata lain, di luar alam
berpikir Alî Ahmad Bâkatsîr, memang sudah ada denyut-denyut dukungan dan
kekaguman pemerintah Mesir yang juga mewakili warganya untuk mendukung
Indonesia.
Benedict Anderson menyebutkan bahwa dalam satu negara, subyek pembentuk
nasionalisme terdiri dari dua kelompok, bangsawan dan rakyat. Indonesianis ini
mencontohkan dengan keberadaan dinasti-dinasti di Eropa yang memimpin dua sampai
tiga kerajaan yang mempunyai entitas kerakyatan yang berbeda. Dinasti Habsburg
misalnya, pernah mendudukkan anggota keluarganya sebagai raja di Kerajaan Jerman,
Italia juga Spanyol. Ikatan kekeluargaan mereka tetap dijaga, meskipun mereka
memimpin pemerintahan yang berbeda. Terkadang, mereka harus memainkan peran
tengah, sebagai penghubung kepentingan keluarga dengan kepentingan kerajaannya.
Untuk memperkuat kedudukannya, mereka berupaya menjadi pamong atas rakyatnya,
dan sebisa mungkin menarik perhatian dan dukungan rakyat atasnya. Ini merupakan tipe
nasionalisme klasik yang dipompa oleh kaum bangsawan.
Adapun nasionalisme kerakyatan muncul akibat adanya desakan yang kuat dari
rakyat akan kepentingan negeri dan bangsanya. Di masa ketika kerajaan-kerajaan
berkuasa, suara rakyat lebih kecil terdengar. Kedudukan mereka mulai diperhatikan
ketika di antara mereka ada yang telah menjadi cendikiawan yang mampu
menggerakkan massa sehingga dianggap sebagai lawan politik pihak kerajaan. Ini mirip
dengan keadaan Lenin yang menjadi lawan Tsar Nicholas III dari Rusia. Sosok
cendekiawan ini akan menggalang persatuan berbasis pada humanisme dan
egalitarianisme sehingga kepentingan rakyat akan bersinggungan pula pada pemahaman
akan kesamaan identitas, sejarah dan bahasa sebagai faktor-faktor pengikatnya.
Senada dengan Anderson, Salih Bicakci menyetujui bahwa sebenarnya
nasionalisme terbentuk dari pemahaman sekelompok borjuis akan kondisi negerinya.
Pendidikan, komunikasi politik serta media massa menjadi tiga faktor yang
menyebarkan nasionalisme ke luar tembok pergaulan para borjuis. Masyarakat luas,
sebenarnya tidak terlalu memahami konsep nasionalisme, ini pula yang meyakinkan
Anderson bahwa masyarakat luas adalah realitas bayangan ketika memahami
nasionalisme. 162 Apalagi mengingat kondisi negara-negara yang sedang berjuang
melawan kolonialisme Eropa, belum mempunyai pranata sosial yang sesuai dengan
kondisi mereka dan solutif bagi masalah sosial mereka.
Adapun dalam syair di atas, Alî Ahmad Bâkatsîr lebih memilih membicarakan
nasionalisme kerakyatan. Ia menyinggung rakyat Mesir dan Indonesia dalam lapisan

162
Bicakci, ―Nationalism …‖, hal. 635.
209
yang setara. Rakyat Indonesia adalah motor dari kemerdekaan negerinya yang dengan
demikian pula mereka bertindak sebagai penganjur nasionalisme atas dirinya dan
generasi setelahnya. Jika diperhatikan lebih lanjut, memang perjuangan yang terjadi di
Indonesia, tidak hanya melibatkan kelompok elit, melainkan juga kelompok rakyat
bawah. Kendati kelompok rakyat juga tidak mungkin bertindak tanpa adanya
pencerahan melalui pidato-pidato atau tulisan kelompok elit, namun kedudukan mereka
tidak cukup hanya dianggap sebagai objek, melainkan subyek yang setara sebagai
pejuang kemerdekaan. Ini yang coba dipotret Alî Ahmad Bâkatsîr dalam penggal syair
di atas.

5. Harapan dan Kegembiraan akan Kemerdekaan Indonesia

ُ ‫سػػالـٌ مػػن ُربػُػو ِع الػنػي ِػل * ت ػػزجػ ػي ػػو ال ػص ػبػػاب ػ‬


‫ػات‬
Salam dari rakyat sungai Nil (Mesir)
dengan penuh kerinduan
‫إلػ ػػى سػبػعػي َػن ِمػلػيػونػاً * م ػ ػػن الػتػالػيػ َػن لػلػػذك ػ ِر‬
Untuk tujuh puluh juta (rakyat Indonesia)
yang mengiringi kemerdekaan
Makna rubu‟ al-nil yaitu perkampungan yang ada di sekitar Sungai Nil. Namun
yang dimaksudkan adalah orang-orang yang tinggal di sekitar Sungai Nil. Ungkapan ini
disebut majaz mursal. Hubungan antara kedua makna tersebut adalah mahaliyah.
Mesir mempunyai sejumlah monumen atau simbol kenegaraan yang dikenal
dunia. Selain piramida, Spinx, Bendungan Aswan, Alexandria, Sungai Nil merupakan
suatu hal yang disematkan sebagai identitas Mesir. Penyebutan Sungai Nil dalam syair
di atas, tentu saja berkaitan dengan diri Alî Ahmad Bâkatsîr dan masyarakat Mesir pada
umumnya. Penyebutan ini juga sekaligus mengimbangi simbolisasi harimau dan taman
sebagaimana yang sebelumnya disematkan di syair sebelumnya.
Bagi bangsa Mesir, Sungai Nil adalah dunia itu sendiri. Sungai ini adalah muasal
dari segala hal. 163 tidak akan ada peradaban Mesir yang gilang gemilang dan abadi
dikenang zaman, jika tidak ada sungai ini. 164 Sejak masa silam, sungai ini menjadi
tulang punggung peradaban dan dianggap sebagai jalur air yang menghidupi sumber
makanan penduduk (persawahan dan perkebunan), sekaligus menyediakan makanan
bagi penduduk sekitarnya. Melalui sungai ini pula, penduduk dari pedalaman dapat
memperoleh komoditas dari pesisir atau sebaliknya.165 Di tengah beberapa bagian Mesir

163
Fekri A. Hassan, "The Dynamics of a Riverine Civilization: a Geoarchaeological
Perspective on the Nile Valley, Egypt", dalam World Archaeology, Vol. 29, No. 1, 1997, hal. 51-
74.
164
Mark G. Macklin dan John Lewin, "The Rivers of Civilization", dalam Quaternary
Science Reviews, Vol. 114, 2015, hal. 228-244.
165
Abdel-Fattah dkk, "Sand Transport in Nile River, Egypt", dalam Journal of Hydraulic
Engineering, Vol. 130, No. 6, 2004, hal. 488-500.
210
yang tandus dan gersang, sungai ini seperti urat yang menghidupkan tanah dari saat-saat
kematiannya.
Ishom Bâkatsîr berkesempatan mengunjungi flat kediaman Alî Ahmad Bâkatsîr di
Mesir. Kebetulan sekali, flatnya terletak di lantai tujuh, mempunyai balkon yang
menghadap ke Sungai Nil yang berair biru. Besar kemungkinan, semasa hidup, Alî
Ahmad Bâkatsîr kerap menghabiskan waktu di balkon ini, dan inspirasi untuk
memasukkan konten Sungai Nil dalam syairnya, di antaranya adalah seringnya ia
menatap sungai ini. 166
Selanjutnya, kerinduan seorang Alî Ahmad Bâkatsîr akan negerinya, agaknya
tersampaikan lewat penggalan syair ini. Menderetkan rakyat Mesir dengan kerinduan,
tidak lebih adalah pantulan perasaan penulis akan objek yang disasarnya. Sebagai
sastrawan perantauan, meskipun telah memperoleh kewarganegaraan Mesir, Alî Ahmad
Bâkatsîr tetap memelihara rasa cinta pada negeri kelahirannya. Penyematan kata rindu
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dibanding kesukaan. Suka tentu bukan berarti
tumbuh dari kecintaan, akan berbeda halnya dengan rindu yang memang muncul dari
rasa cinta. Ketika seseorang tidak berjumpa dengan sosok yang dicintainya, maka yang
tumbuh adalah rasa rindu, demikian pula yang tergambar dalam sikap Alî Ahmad
Bâkatsîr akan tanah asalnya.
Jumlah 70 juta rakyat Indonesia (1940-an) yang disebut oleh Alî Ahmad Bâkatsîr
dalam puisinya ini setidaknya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sayyid Idrûs al-
Jufrî 167 dalam salah satu puisinya dalam kasidah berikut:168

‫خذ ﺇلى ﺍألماﻡ للمعالي بأيدﻱ * سبعين مليونا ﺃنت ﻭﺍلزعمآﺀ‬


Bergandengan tanganlah menuju ke depan untuk kemuliaan,
tujuh puluh juta jiwa dan para pemimpin akan bersamamu.
Kasidah ini disusun oleh Sayyid Idrûs Aljufrî dalam rangka menyongsong momen
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Di samping itu, Marwati Djoened
Poesponegoro dalam bukunya menyatakan bahwa penduduk Indonesia pada menjelang

166
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
167
Sayyid Idrûs Aljufrî – dipanggil juga Guru Tua – adalah sayyid kelahiran Tarim,
Hadramaut pada 15 Maret 1981 dan tutup usia pada 22 Desember 1969 di Palu, Indonesia. Beliau
adalah pendiri Madrasah Alkhairat di Palu, Sulawesi Tengah. Alkhairat pada tahun 2007 tercatat
telah mempunyai 1551 madrasah (sekolah), pondok pesantren berjumlah 41 buah, dan sebuah
perguruan tinggi. Ini semua tersebar di 732 cabang di kawasan timur Indonesia. Lihat Gani
Jumat, Nasionalisme Ulama; Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid „Idrûs bin Salim Aljufri,
1891-1969, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), hal. 48-68. Lihat juga
Arif Syibromalisi, Dede Burhanuddin dan Zubair, ―Karya Ulama di Lembaga Pendidikan
Keagamaan di Sulawesi Tengah‖ dalam Buletin Al-Turas, Vol. 20, No.1, 2014, hal. 120.
168
Ahmad Bachmid, Sang Bintang dari Timur, Sayyid „Idrûs Aljufrî Sosok Ulama dan
Sastrawan, (Jakarta : Studia Press, 2007), hal. 39.
211
kemerdekaan berkisar 70,4 juta.169 Dengan demikian maka Alî Ahmad Bâkatsîr dalam
bait puisinya ini ingin menegaskan bahwa rakyat Indonesia bukan sekumpulan manusia
yang berjumlah sedikit. Sebutan ini tentu saja juga sebagai bahan informasi kepada para
pendengar atau pembaca puisi Alî Ahmad Bâkatsîr di dunia Arab bahwa jauh di seberang
Samudra Hindia sana terdapat negara Indonesia yang jumlah penduduknya besar.
Kaitannya dengan bait Alî Ahmad Bâkatsîr di atas, ini merupakan suatu paduan
yang estetik. Alî Ahmad Bâkatsîr mengemas karya sastranya dengan pilihan kalimat
yang menandaskan suatu data kependudukan. Ia seperti ingin menunjukkan pada
masyarakat Mesir bahwa telah ada suatu bangsa yang besar yang hidup berpayung pada
ideologi kebangsaan tertentu. Ini menjadi penting, mengingat bangsa Arab yang menjadi
bangsa yang dominan di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat justru tidak bisa hidup
dalam suatu paham kenegaraan yang sama, dan sudah tentu mempunyai persepsi
nasionalisme masing-masing. Tergantung pada anjuran atau gagasan negarawan-
negarawan di negerinya masing-masing. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara
dengan banyak bangsa yang mampu menyelesaikan pertentangan identitas kesukuannya
masing-masing, untuk bersama-sama menerima konsep nasionalisme yang diamini
bersama di bawah payung satu negara.
Susunan syair berbahasa Arab yang di dalamnya terdapat informasi tentang profil
Indonesia merupakan suatu pengingat yang ditampilkan penyair tentang negeri yang
menarik perhatiannya. Berkaca pada pandangan Anderson, ini merupakan pantulan dari
pemikiran nasionalisme Alî Ahmad Bâkatsîr.

‫قضى الل إندونيسيا اليوـ حرة * أقر هبا ادلخذوؿ أـ منو إنكار‬
Pada hari ini (17 Agustus 1945) Indonesia
telah ditakdirkan merdeka,
pecundang itu mau mengakui atau mengingkari
‫تعالت لو يف الشرؽ والغرب أخبار‬
ْ * ‫فكيف برمز للجهاد مظفر‬
Bagaimana menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia
ke dunia Timur dan Barat
‫ومصر حتب الباذلُت نفوسهم * ألوطاهنم مهما تناءت هبم دار‬
Orang-orang Mesir mencintai orang-orang yang berkorban
dengan sepenuh jiwa demi Tanah Airnya
walaupun jauh dari rumah tinggalnya
Alî Ahmad Bâkatsîr kembali menampilkan kesungguhannya dengan menyebut
suatu peristiwa bersejarah yakni kemerdekaan Indonesia lewat syair di atas. Berita
Kebebasan yang menurutnya harus diketahui publik pendengar dan pembaca syair Arab.
Ketegasan menunjukkan informasi ini memperkuat suatu anggapan bahwa Alî Ahmad
Bâkatsîr memang termotivasi dengan perjuangan dan yang hasil dicapai oleh para
pejuang Indonesia. Kemerdekaan bagi negeri yang terjajah adalah janji bagi

169
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), cet.2, hal. 91
212
penduduknya yang senantiasa sabar dan bertahan dari penderitaan. Alih-alih pasrah
dalam tekanan penjajah, rasa sabar justru dikonversikan menjadi semangat perlawanan
yang berakhir dengan hasil yang manis yakni suatu kemerdekaan.
Di zaman ketika berita dan informasi belum sampai dengan cepat, laiknya di era
global170, maka syair dapat menjadi wahana pemberitaan yang efektif. 171 Alî Ahmad
Bâkatsîr menggunakan fungsi tersebut untuk memasyarakatkan kemerdekaan Indonesia
ke publik Arab. Penyebutan Timur dan Barat, diartikan sebagai penyebaran suatu
informasi ke seluruh penjuru dunia. Dalam pandangan geografis orang Arab, mereka
kerap menyebut kalimat seantero dunia atau seluruh dunia dengan sebutan geografis
Timur ke Barat (minal masyrik ila al-maghrib). Adapun wilayah geografis di antara
keduanya adalah Dunia Arab.172
Penyematan konten kemerdekaan atau kebebebasan dari suatu keadaan yang
terkungkung akibat penjajahan bangsa Asing adalah semacam penunjukkan
keseungguhan ekspresi dari pemahaman yang sebelumya disesaki oleh pembatasan.
Kendati hidup di luar Indonesia, Alî Ahmad Bâkatsîr merasa bahwa penjajahan yang
telah sekian lama menghantui negeri itu, menjadi hal yang mengisi pikirannya. Ia
terobsesi untuk menunjukkan ekspresi bahwa akan datang suatu masa di mana
kebebasan dalam bernegara dan bermasyarakat, dengan pemerintahan yang mandiri,
akan hadir di Indonesia. Narasi seperti itu ingin pula dibagikan olehnya ke hadapan
khalayak Dunia Arab.
Keadaan Dunia Arab yang sejatinya mempunyai riwayat kolonialisme yang juga
memprihatinkan dan menjadi catatan merah bagi warganya. Maroko, Aljazair dan
Tunisa yang pernah diduduki Prancis 173 merasakan kesulitan yang sama seperti
Indonesia. Demikian pula Mesir yang sempat dikuasai Prancis dan Inggris, juga
merasakan hal serupa174. Melalui bait kemerdekaan, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin
mengetuk kesadaran historis pada pendengar dan pembaca kasidahnya bahwa warga
Arab juga pernah merasakan rasa terjajah. Beberapa dari mereka sudah merdeka, namun
sebagian yang lain belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh Barat di bidang
pemerintahannya. Ingatan ini diabadikan dalam syair Alî Ahmad Bâkatsîr dan ia merasa
perlu untuk membangunkan memori ini.

170
Xiaoling Shu dkk, "Telecommunication Ties and Gender Ideologies in the Age of
Globalization: International Telephone Networks and Gender Attitudes in 47 Countries", dalam
Chinese Journal of Sociology, Vol. 6, No. 1, 2020, hal. 3-34.
171
Tanya Clement, "The Poem Electric: Technology and the Lyric by Seth Perlow",
dalam Information & Culture: A Journal of History, Vol. 54, No. 3, 2019, hal. 381-384.
172
Muhammad Rikza Muqtada, "Contradiction of the Social and Political Classes at The
Beginning of Islamic Emergence", dalam Jurnal Penelitian, 2018, hal. 51-58.
173
Diana K. Davis, "Desert ‗Wastes‘ of the Maghreb: Desertification Narratives in French
Colonial Environmental History of North Africa", dalam Cultural Geographies, Vol. 11, No. 4,
2004, hal. 359-387.
174
Mohammad A. Chaichian, "The Effects of World Capitalist Economy on Urbanization
in Egypt, 1800–1970", dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 20, No. 1, 1988,
hal. 23-43.
213
Pada bagian ini, Alî Ahmad Bâkatsîr ingin membangun jembatan penghubung
ingatan historis Mesir dan Indonesia. Kendati berjauhan, sebenarnya keduanya
mempunyai suatu perasaan yang sama atas sustau kejadian di masa silam, yakni sama-
sama pernah merasakan kejahatan penjajahan Barat. Dengan adanya desain sastra
pengubung ini, maka pemahaman orang Mesir dan Indonesia mengenai kemerdekaan
akan hadir dalam seketika, sewaktu menyaksikan pembacaan kasidah ini atau
membacanya secara personal. Pemaknaan akan syair ini adalah munculnya kesadaran
bahwa kemerdekaan bagi suatu negara merupakan suatu pengalaman getir dan manis
yang panjang. Terdapat banyak ingatan kelam di dalamnya yang tentu saja akan menjadi
sesuatu yang menarik bagi sastrawan karena dapat digunakan sebagai inspirasi
pembuatan karya sastranya.

‫لعل قوى اإلسالـ تنمو هبم غدا * فتسمو هبم منو شعوب وأقطار‬
Semoga, di suatu saat nanti, Islam yang kuat akan muncul di Indonesia
Dan Islam Indonesia menjadi kiblat dari berbagai Negara di penjuru dunia
Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai penilaiannya terhadap kemajuan Indonesia.
Melalui bait syair di atas, ia berkeyakinan bahwa suatu ketika Indonesia akan menjadi
negeri pemimpin Muslim dunia. Ini merupakan suatu syair yang menarik. Kendati Alî
Ahmad Bâkatsîr sudah memutuskan menjadi warga negara Mesir, namun ia menaruh
harapan bahwa kelak Indonesia akan memimpin negeri-negeri Muslim lainnya,
termasuk yang ada di Timur Tengah, untuk menjemput kemajuan. Suatu ketika,
Indonesia akan menjadi tumpuan dan harapan negeri-negeri Muslim dunia. Bait setelah
ini, tidak menyentuh peran Mesir dalam hal serupa. Demikian pula dalam syair sebelum
dan sesudahnya, juga tidak disinggung mengenai harapan agar Mesir menjadi pemimpin
dunia. Tentu ini bukan merupakan suatu pemikiran yang final, karena dapat saja, syair
ini diperuntukkan sebagai bentuk penghormatan kepada warga Indonesia, dan Hatta
khususnya. Penyebutan ini bisa dimaknai sebagai bukti penghargaan Alî Ahmad
Bâkatsîr terhadap perjuangan rakyat Indonesia yang nantinya akan dapat berbuah manis,
bukan hanya dirasakan bagi masyarakatnya, namun juga penduduk Muslim di
mancanegara.
Dalam ingatan Alî Ahmad Bâkatsîr, berkaca pada dua bait syair di atas, Indonesia
adalah negeri tempat umat Islam yang jumlahnya besar. Mereka yang masih berjuang
mempertahakan kedaulatan Indonesia adalah juga orang Islam. Meskipun orang
Indonesia bukan penutur Bahasa Arab, bahasa pengantar untuk memahami sumber
hukum Islam, yakni al-Quran dan hadis, namun mereka beriman pada Allah dan
mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah penyebar Islam yang memperoleh perintah
dakwah Islam dari Allah. 175 Predikat itu sudah cukup untuk menyebut mereka adalah
negara Islam, kendati undang-undang dan falsafah kehidupan yang berlaku tidak

175
Saeful Anam, "Karakteristik dan Sistem Pendidikan Islam: Mengenal Sejarah
Pesantren, Surau dan Meunasah di Indonesia", dalam Jalie; Journal of Applied Linguistics and
Islamic Education, Vol. 1, No. 1, 2017, hal. 146-167.
214
menggunakan syariat Islam. 176 ditilik dari syair sebelumnya yang mengetengahkan
tentang perjuangan rakyat Indonesia menghadapi penjajah Eropa dan Jepang, maka daya
juang itu dapat menginspirasi negeri-negeri Muslim lain, sehingga mereka dapat
mengatasi problemnya masing-masing, khususnya bagi mereka yang masih bermasalah
dengan pendudukan kolonial Eropa.
Katrin Bandel menyebutkan bahwa dalam khazanah sastra nasionalisme
Indonesia paska-kolonial, terdapat salah satu ciri umum yang dapat diketahui, yakni
ketegasan dalam menyuarakan posisi Indonesia sebagai negara berdaulat dan
merdeka.177 Hal tersebut agaknya juga terlihat dalam dua bait syair Alî Ahmad Bâkatsîr
di atas. Ia sedemikian tegas menyebutkan peluang Indonesia untuk menjadi pandu bagi
negeri-negeri Muslim lainnya. Kejelasan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan menyebut
Indonesia adalah calon pemimpin dunia Islam adalah suatu wajah yang ditampilkan oleh
seorang sastrawan mahjar. Dengan ingatan yang minim di kota masa kecilnya, tidak
lantas memmbuat Alî Ahmad Bâkatsîr lupa atau abai terhadap perkembangan negeri
asalnya yang sedang bergolak karena perang melawan Belanda. Ini poin yang menarik
untuk dieksekusi menjadi suatu telaah sastra yang menjanjikan aura nasionalisme dari
seorang sastrawan perantauan.

‫وختفق رايات وتسري جحافل * وتطلع يف الدنيا مشوس وأقمار‬


Berkibarlah bendera (kemerdekaan Indonesia), sirnanya tentara (penjajah dari bumi
Indonesia) maka muncullah „matahari‟ dan „bulan‟ di belahan dunia
Nuansa Islam dan patriotisme dalam bait di atas sedemikian kental. Hal tersebut
terlihat dari penyebutan kata bendera (al-râyah) yang dimaksudkan untuk mewakili
Indonesia dan munculnya suatu gerak zaman lainnya, yakni terbitnya suatu kekuatan
Islam. Ini menjadi suatu keunikan, karena Alî Ahmad Bâkatsîr meyakini bahwa
Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi pemimpin Islam yang mampu membawa
tinggi peradaban yang dahulu pernah berjaya, namun mendekati abad 20 lumpuh karena
searangan kolonialisme Eropa.
Penulis meyakini bahwa sebutan dua benda langit, yakni matahari dan bulan
merujuk pada kedatangan munculnya kekuatan Islam. Di samping karena bait ini
merupakan kelanjutan integral dari bait sebelumnya, simbolisasi ini juga kerap
digunakan para penyair Islam dalam bentuk syair lainnya salah satunya dalam syair
salawat tala‟al badru „alainâ yang mempersonifikasikan bulan purnama (al-badr)
sebagai Nabi Muhammad yang datang ke tengan orang Arab yang sedang membutuhkan
pembaruan kehidupan sosial akibat skrup-skrup budaya Arab lama yang dianggap tidak
bisa lagi menciptakan suatu keadilan sosial di tengah orang Arab.178

176
Kiki Muhamad Hakiki, "Islam dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim dan
Penerapannya di Indonesia", dalam Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1,
No. 1, 2016, hal. 1-17.
177
Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, (Yogyakarta: Pustaha Hariara,
2013), hal. 43.
178
Rohani Md Yousoff, "Manifestation of the Divine in Malay Poetic Arts", dalam Al-
Shajarah, 2010, hal. 85-104.
215
6. Persaudaraan dan Kemanusiaan
‫وصن رحم اإلسالـ فهي وشيجة * تشابك أقواـ عليها وأقطار‬
dan jagalah tali keislaman (silaturahim) karena hal itu (silaturahim) adalah konektor
yang dapat menghubungkan rakyat (negara) dan (rakyat) dari banyak penjuru.
‫ىي العروة الوثقى ىي القوة اليت * يتم هبا للسلم يف األرض إقرار‬
Konektor tersebut adalah merupakan ikatan yang kuat; kekuatan yang dapat
dipergunakan untuk mencapai pengakuan dunia (internasional) atas kemerdekaan
(Indonesia)
Alî Ahmad Bâkatsîr menyisipkan penglihatannya akan bagaimana kemerdekaan
Indonesia dapat diakui oleh Mesir. Jika dalam beberapa referensi seperti yang disebut di
atas, pengakuan itu terwujud berkat kerja para pelajar Indonesia di Mesir, kemudian
dikukuhkan dengan diplomasi delegasi Indonesia di bawah pimpinan Agus Salim, maka
Alî Ahmad Bâkatsîr menampilkan wajah perjuangan yang dialogis, yang mendahului
kesepakatan itu. Silarurahmi yang terjalin antara warga Indonesia dengan orang Mesir
disebut Alî Ahmad Bâkatsîr adalah dasar dari tumbuhnya pohon dialogis yang
berpuncak pada pengakuan kemerdekaan Indonesia. Kendati berbeda perpektif, Alî
Ahmad Bâkatsîr tidak menampik bahwa terdapat peran vital dari orang Indonesia di
Mesir. Seakan, Alî Ahmad Bâkatsîr hanya ingin menandaskan bahwa di dalamnya juga
ada peran warga Mesir. Terdapat pengakuan bahwa memang warga Mesir tergerak
untuk mengakui kemerdekaan Indonesia, terlepas dari ungkapan resmi yang
disampaikan secara kenegaraan oleh pemimpin Mesir.
Syair ini mengandung unsur ingatan dan pengalaman dari penulisnya. 179 Alî
Ahmad Bâkatsîr ingin menunjukkan suatu fakta masa silam yang berlainan dari yang
sebelumnya beredar di Indonesia. Keberadaan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh
Agus Salim di Mesir memang diakui sebagai suatu narasi yang lebih familiar didengar
oleh publik Indonesia. Terlepas dari tahu atau tidaknya Alî Ahmad Bâkatsîr mengenai
delegasi ini, ia justru ingin menampilkan suatu peristiwa lainnya mengenai latar
belakang pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Mesir, yakni keberadaan semacam
kesepakatan di sebagian warga Mesir terhadap dukungannya atas kemerdekaan
Indonesia. Alî Ahmad Bâkatsîr menyebutkan bahwa antara orang Indonesia dan Mesir
terlebih dahulu sudah saling kenal dan berkunjung sehingga hajat Indonesia untuk
merdeka sudah dimafhumi oleh kawan-kawannya, yakni warga Mesir. Besar
kemungkinan ini adalah pengalaman yang dirasakan dan dilihat Alî Ahmad Bâkatsîr,
kemudian diolah menjadi suatu bait syair.
Wilhelm Dilthey menyebutkan bahwa dalam penyusunan puisi atau syair,
pengalaman dan ekspresi adalah dua unsur yang berkaitan. Cara kerja ini juga mirip
ditemukan ketika para musisi mengaransemen suatu nada. Ia mengambil beragam

179
Louise M. Rosenblatt, "What Facts Does this Poem Teach You?", dalam Language
Arts, Vol. 57, No. 4, 1980, hal. 386-394; Gary Collier dan Don Kuiken, "A Phenomenological
Study of the Experience of Poetry", dalam Journal of Phenomenological Psychology, Vol. 7, No.
2, 1977, hal. 209.
216
inspirasi dari pengalamannya sendiri atau orang lain. ketika ingin menyusun nada yang
dimaknai sebagai kesedihan, maka ia akan menampilkan perasaan, baik darinya sendiri
atau penghayatannya akan kisah sedih orang lain, untuk mencocokkannya dengan suatu
nada-nada yang dirasa mewakili keadaan sendu. Refeksi puitik juga demikian, tercipta
karena adanya interpretasi perasaan sastrawan akan suatu pengalaman dan salah satu
dari yang dikatakan sebagai pengalaman adalah event atau peristiwa.180

7. Perhatian terhadap Dunia Internasional

‫تداعت ذئاب الغرب طرا عليهم * وديست بأقداـ اليهود ذلم دار‬
Serigala-serigala Barat telah menghancurkan semua,
rumah (negara) mereka diinjak-injak dengan telapak (kaki) Yahudi
‫فلسطُت ياعظم ادلصاب استحلها * مناكيد من رجس اخلليقة أشرار‬
Palestina – bencana besar – yang dijajah
oleh makhluk yang keji dan jahat
‫كسا ادلسجد األقصى هبا اليوـ ذلة * وعاث بآثار النبيُت فجار‬
Hari ini, (makhluk) yang hina tersebut merusak Masjid Aqsha
(para) durjana merusak jejak-jejak (peninggalan) para Nabi
‫وأجلي أىلوىا فأضحوا يػ ػػروعهم * شقػ ػػاء وتشريد وذؿ وإعسػ ػػار‬
Warga (Palestina) terusir sehingga warganya menjadi korban.
Dia menakut-nakuti dengan (warga Palestina): dipersulit, diusir, dihinakan, dan
dibangkrutkan.
‫أذؿ شعوب األرض صار ذلم هبا * كياف وسلطاف وطبػ ػػل ومزمار‬
(Palestina) Bangsa yang paling hina di dunia,
padahal mereka mempunyai tanah air,
kekuasaan, drum, dan seruling
Alî Ahmad Bâkatsîr terlihat ingin agar para pendengar dan pembaca karyanya
untuk mengetahui akan ketidaksetujuannya pada pendudukan Israel atas Palestina.
Protes ini adalah suatu kemutlakan, dan terdapat keyakinan di diri Alî Ahmad Bâkatsîr
untuk menampikannya di setiap kesempatan. Tidak menutup kemungkinan, dalam
membaca dan menyusun kiprah perjuangan Hatta melawan penjajah Belanda dan
Jepang, ingatan Alî Ahmad Bâkatsîr juga terlempar dalam pemberitaan di Mesir saat itu,
di mana Israel sedang gencar melakukan penggusuran atas pemukiman Palestina. 181
Perbincangan mengenai itu, perlahan ikut masuk dalam ruang cipta Alî Ahmad Bâkatsîr,

180
Rudolf A. Makkreel dan Frithjof Rodi, ed, Wilhelm Dilthey Selected Works, Volume V;
Experience and Poetry, (Princetown: Princetown University Press, 1985), Hal. 23.
181
James Jankowski, "Egyptian Responses to the Palestine Problem in the Interwar
Period", dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 12, No. 1, 1980, hal. 1-38.
217
lalu ditangkap oleh Alî Ahmad Bâkatsîr sebagai suatu materi yang bisa dimasukkan
dalam syair ini.
Terdapat suatu garis kesamaan pemaknaan antara Palestina dan Indonesia, yakni
masyarakatnya sama-sama berjuang melawan tirani kekuasaan Eropa. Agaknya,
pertautan ini sudah terngiang di pikiran Alî Ahmad Bâkatsîr, sebelum ia memutuskan
menyusun Bilâduk Yâ Hattâ. Dua rakyat dari dua bangsa itu mengalami nasib yang
sama, yakni pedihnya dilakukan tidak seharusnya, dan telah banyak korban yang jatuh
akibat perlawanan terhadap pemerintahan negeri penjajah. Tidak menutup
kemungkinan, ini juga merupakan strategi Alî Ahmad Bâkatsîr untuk mempertautkan
perjuangan rakyat Indonesia sepertu perjuangan bangsa Palestina yang melawan tentara
Israel. Tema terakhir mempunyai gaung yang lebih populer di Mesir. Respon sebagian
besar masyarakat Mesir juga tegas, yakni mempersalahkan pendudukan Israel dan
memberikan dukungan kepada pasukan Palestina untuk bertahan dan melakukan
serangan kepada tentara musuh.
Dengan adanya konten konflik Palestina dan Israel, mengindikasikan bahwa syair
ini, di samping sebagai salah satu bukti adanya nasionalisme dari keturunan Indonesia di
mancanegara, juga mengikutsertakan pula tentang ekspresi kebencian terhadap suatu
tindak penjajahan bangsa Eropa atas negara di mana orang Islam banyak di dalamnya.
Tidak bisa sepenuhnya ditetapkan bahwa syair ini adalah suatu bantahan atas peristiwa
politik internasional, dikarenakan di dalamnya sang penyair menulis sanjungannya pada
tokoh Indonesia, yakni Moh. Hatta. Penggabungan konten ini sepertinya sengaja
ditampilkan Alî Ahmad Bâkatsîr untuk merebut perhatian publik Arab yang sedang
geram terhadap aktivitas militer Israel di Palestina 182, lantas mengalirkan luapan amarah
itu adalah melihat suatu fakta penjajahan di negeri lain, yakni Indonesia. Dengan
semikian, saat menyimak atau membaca syair ini, akan ada dua pergumulan kejahatan
politik yang dapat diketahui dan dipahami.
Robert Escarpit menyatakan bahwa suatu karya sastra adalah pergulatan ide
penyair atau penulis dengan publiknya. Oleh sebab itu, banyak penyair dan penulis yang
menjadikan karyanya sebagai publikasi atas kegelisahan atau buah pikirannya. Mereka
sama sekali tidak bisa hidup tanpa mengandalkan respon publik. Suatu karya sastra akan
menemukan urgensinya tatkala dimaknai oleh penikmat dan pembacanya. Biasanya, jika
pemandangan itu sudah dilihat oleh si penyair atau penulis, maka akan memunculkan
suatu perasaan bahwa dirinya dibutuhkan oleh masyarakatnya, sehingga ia semakin rajin
melahirkan karya-karya tulisanya.183

B. Nasionalisme Mahjar
Dalam tata pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kelompok masyarakat Arab
dikategorikan sebagai kelompok kelas dua. Mereka digolongkan sebagai masyarakat
Vreemde Oosterlingen atau masyarakat Timur Asing. Biasanya, kelompok ini tidak

182
Stephen A. Kocs, "Territorial Disputes and Interstate War, 1945-1987", dalam The
Journal of Politics, Vol. 57, No. 1, 1995, hal. 159-175.
183
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 115.
218
mempunyai hak dalam politik, dan memilih berniaga sebagai profesi kesehariannya.
Sistem ekonomi orang Arab di Nusantara cenderung tertetutup. Mereka akan
memperkerjakan orang-orang dari suku bangsanya sendiri untuk memperlebar jejaring
usaha mereka.184
Profesi sebagai penyair, sebagaimana yang ditekuni Alî Ahmad Bâkatsîr, jarang
dijumpai di kalangan orang Arab di Nusantara. Jika ada yang tertarik di dunia syair,
maka biasanya mereka berlatar belakang ahli agama atau seorang guru. Dengan
demikian, profesi yang menonjol adalah di bidang pendidikannya dan bukan syairnya. 185
Penerbitan karya mereka pun terbatas, hanya berskala kecil. Besar kemungkinan, jika
Alî Ahmad Bâkatsîr tetap hidup di Surabaya maka bakat kepenyairannya tidak
menemukan ekosistem yang baik untuk berkembang. Terlebih setelah berdirinya PAI,
tempat berkumpulnya orang Arab yang mempunyai kecenderungan membela Tanah
Airnya, yakni Indonesia. Melihat pada paradigma nasionalisme dalam dua syair Alî
Ahmad Bâkatsîr di atas, bukan tidak mungkin Alî Ahmad Bâkatsîr juga akan
menggabungkan diri di PAI.
Kehidupan di Hadramaut, Hijâz serta Mesir merupakan suatu ekosistem yang baik
bagi penyair Arab. Di tempat-tempat ini, bakat seorang penyair Arab akan terasah.
Terlebih lagi di Hadramaut, yang menurut Ishom Alî Ahmad Bâkatsîr, masyarakatnya
mempunyai minat yang tinggi akan syair. Anak-anak di sana terbiasa saling berbalas
syair. Suatu keadaan yang tidak ditemukan Alî Ahmad Bâkatsîr di Surabaya.186 Di
Hadramaut, Alî Ahmad Bâkatsîr membina kemampuannya hingga menjadi sosok yang
piawai dalam menyusun bait syair. Mesir, tentu saja, adalah surga bagi para penyair
Arab. Di negeri ini, terdapat sederet nama besar para penyair Arab mulai dari Ahmad
Syauqi, Taufiq Hakim sampai dengan Naguib Mahfouz. Kesempatan ini yang dikatakan
sebagai lokus yang baik bagi seorang penyair untuk mengembangkan bakat sastranya,
yakni karena didukung oleh instrumen serta pergaulan di dunia yang digelutinya.
Baik Abdullah Baraja maupun Ishom Bâkatsîr mengatakan bahwa sedikit sekali
pengaruh syair Bâkatsîr terhadap perjuangan rakyat Indonesia melawan pejajah Jepang
atau Belanda. Hal tersebut dikarenakan, sedikitnya karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr
yang sampai ke Tanah Air. Kelihatannya, Alî Ahmad Bâkatsîr mengkhususkan karya-
karya sastranya untuk bangsa Arab secara umum. Syair-syair yang bertemakan
perjuangan rakyat Indonesia, dibuat sebagai media sosialisasi kepada para penduduk
penutur Bahasa Arab, utamanya bagi para pemimpin mereka, agar mengerti bahwa jauh

184
Latifah Abdul Latiff, "The Hadhrami Arabs in Malaya before the Second World War",
dalam Sejarah: Journal of the Department of History, Vol. 23, No. 1, 2017.
185
Nico JG. Kaptein, "Arabic as a Language of Islam Nusantara: The Need for an Arabic
Literature of Indonesia", dalam Heritage of Nusantara: International Journal of Religious
Literature and Heritage (e-Journal), Vol. 6, No. 2, 2017, hal. 237-251.
186
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
219
di seberang lautan terdapat banyak bangsa yang beragama Islam yang berdiam di satu
negara multi etnik bernama Indonesia, yang sedang mengusahakan kemerdekaannya. 187
Ishom Bâkatsîr pernah menyebutkan bahwa terdapat drama Alî Ahmad Bâkatsîr
yang pernah dipentaskan di al-Irsyad atau di Yayasan Al-Khairiyah. Sayang sekali, ia
lupa judul apa yang ditampilkan. 188 Di sini, penulis tidak bisa menilai lebih jauh, apakah
drama itu berpotensi memberikan pemahaman pada penontonnya tentang nasionalisme
dan keteguhan untuk membela Indonesia, jika memang tema drama yang ditampilkan
adalah seputar nasionalime dan perjuangan Indonesia, atau hanya sekedar tontonan atau
hiburan saja. Al-Irsyad merupakan organisasi Islam yang besar di Surabaya, dan para
aktivisnya banyak berasal dari kalangan kelompok Arab Hadrami Non-Sayyid atau
masyayikh. Tentu saja, jika suatu drama dihelat oleh organisasi Islam yang berpengaruh
di suatu daerah, maka hampir tidak mungkin jika suatu pertunjukan yang disponsorinya
tidak mempunyai nilai dan makna yang dapat dirasakan bersama.
Ahmad Mustofa Bisri, penyair Indonesia yang mempunyai perhatian terhadap
sastra Arab menyebutkan hal yang sama dengan Ishom. Alî Ahmad Bâkatsîr
mempunyai pengaruh yang besar di dunia Arab. Karya sastranya yang melukiskan
tentang keadaan politik Indonesia ikut membentuk persepsi orang Arab terhadap
Indonesia. Dari sini dapat dilihat bahwa kontribusi penting dalam mengisi kemerdekaan
Indonesia yang dilakukan oleh Alî Ahmad Bâkatsîr lebih terlihat di dunia internasional.
Mustofa tidak mempunyai cukup data mengenai pengaruh karya-karya Alî Ahmad
Bâkatsîr di Indonesia. Kendati demikian, ini bukan persoalan mengkotak-kotakan
pengaruh di Indonesia atau di Mesir, melainkan efektifitas karyanya dalam
menyuguhkan suatu pemahaman tentang keadaan Indonesia yang kemudian mampu
menarik perhatian para pemimpin Arab untuk membulatkan tekad dan mendukung
kemerdekaan Indonesia.189
Dari sejumlah penelusuran sumber oral dari para keluarga serta pengamat karya-
karya Alî Ahmad Bâkatsîr didapat suatu pemahaman bahwa pengaruh karya Alî Ahmad
Bâkatsîr lebih terasa di Dunia Arab. Keberadan drama Alî Ahmad Bâkatsîr yang
ditampilkan di Surabaya, segaimana yang disinggung oleh Ishom Bâkatsîr, tentu
menjadi pengecualian tersendiri. Namun, jika diperhatikan perkembangan selanjutnya,
memang pengaruhnya di Indonesia tidak terlampau besar. Karyanya masih asing di
kalangan para pembaca Indonesia. Bahkan, Ahmad Mustofa Bisri sampai meragukan
para sastrawan Indonesia yang mempunyai perhatian di bidang sastra Arab, seperti Ali

187
Wawancara dengan Abdullah Barajâ, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya
pada pukul 16.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020; Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr,
kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
188
Wawancara dengan Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, di Surabaya pada
pukul 20.00 WIB, Minggu, 9 Februari 2020.
189
Wawancara dengan Ahmad Mustofa Bisri, Kepala Pengasuh Pondok Pesantren
Raudhatut Thalibin Rembang dan sastrawan nasional, pada pukul 11.00 WIB, Sabtu, 14 Maret
2020.
220
Audah, telah membaca banyak karya Alî Ahmad Bâkatsîr serta menyebarkannya ke para
pembaca di Indonesia.190
Saat Alî Ahmad Bâkatsîr di Mesir, negeri ini sedang mengalami pergoalakan
politik yang cukup panas. Masing-masing kekuatan politik yang mewakili islam,
nasionalis dan komunis saling bertarung untuk memperebutkan suara rakyat. Alî Ahmad
Bâkatsîr yang dalam beberapa literatur dikelompokkan sebagai penyair yang dekat
dengan kelompok Islam (Ikhwânul Muslimîn) nyatanya mampu keluar dari selubung
pertarungan ini, dan hadir dengan karya-karya yang profetik. Perhatiannya tentang
Indonesia, adalah suatu keistimewaan tersendiri. Ia masih menyempatkan diri untuk
mempelajari Indonesia 191, dan ini merupakan pertanda bahwa di dalam dirinya
mempunyai perhatian terhadap perkembangan negeri kelahirannya.
Berkaca dari keterangan Ishom Bâkatsîr tentang pementasan karya Alî Ahmad
Bâkatsîr di Surabaya, maka dapat pula dipahami bahwa sebagian masyarakat Arab
Surabaya, terutama yang tergabung dalam kru penyelenggara sandiwara Arab tersebut,
sudah memahami tentang nilai-nilai perjuangan Indonesia dalam karya Alî Ahmad
Bâkatsîr tersebut. Di tahun 1950-an, pementasan drama menjadi salah satu ajang dalam
menyampaikan suatu hiburan juga anjuran paham politik tertentu di Surabaya. 192
Sepertinya, segelintir orang Arab di Surabaya sudah mempunyai kesadaran bahwa
drama adalah salah satu corong yang signifikan dalam menyampaikan suatu pesan.
Nuansa persatuan, perjuangan melawan kolonialisme Belanda, ungkapan cinta Tanah
Air yang terekam dalam beberapa teks drama tulisan Alî Ahmad Bâkatsîr, adalah sautu
suguhan yang bermanfaat untuk merawat nasionalisme di kalangan penduduk Arab
Surabaya.
Sastra Alî Ahmad Bâkatsîr yang tertuang dalam dua karya yang diteliti adalah
bagian dari sastra mahjar. Uniknya, ia berbicara dalam konteks masyarakat Indonesia,
dan tidak menonjolkan identitas kehadramiannya. Di Hindia Belanda, identitas Asia
Timur sudah terkoooptasi dalam kanalisasi ras yang dibentuk oleh pemerintah Belanda.
Secara tata kemasyarakatan, orang Arab adalah golongan yang lebih tinggi dibanding
orang pribumi. Beberapa dari mereka punya perhatian terhadap apa yang dilakukan oleh
penduduk pribumi, elemen yang menjadi faktor pengendali perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda. Namun aktivitas mereka (orang PAI) tidak cukup untuk
dikatakan mewakili suara orang Arab Hadrami terhadap upaya-upaya perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Jadi, apa yang dilakukan Alî Ahmad Bâkatsîr adalah kesadaran
dirinya sebagai orang Mesir yang punya ikatan dengan Hindia Belanda (Surabaya) dan
memiliki dorongan kuat untuk menjadikan ingatan itu sebagai bagian dari karyanya. Ia

190
Wawancara dengan Ahmad Mustofa Bisri, Kepala Pengasuh Pondok Pesantren
Raudhatut Thalibin Rembang dan sastrawan nasional, pada pukul 11.00 WIB, Sabtu, 14 Maret
2020.
191
Wawancara dengan Ahmad Mustofa Bisri, Kepala Pengasuh Pondok Pesantren
Raudhatut Thalibin Rembang dan sastrawan nasional, pada pukul 11.00 WIB, Sabtu, 14 Maret
2020.
192
S. Samidi, "Identitas Budaya Masyarakat Kota: Teater Tradisi di Kota Surabaya Pada
Awal Abad XX", dalam Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No. 1, 2019, hal. 1-16.
221
bukan merupakan perwakilan dari kelompok Hadrami yang terbentuk di Indonesia.
Hubungan kehadramian yang ada di dirinya hanya sebatas pertalian biologis.
Sastra mahjar yang ditampilkan Alî Ahmad Bâkatsîr sama halnya dengan seorang
Indonesia, baik dia berlatar belakang suku Jawa, Minangkabau, atau bahkan Papua yang
lahir dan besar, atau hanya sebatas berkarir di luar negeri, lantas menuliskan suatu karya
sastra yang berhubugan dengan negeri kelahirannya atau negeri tempat nenek
moyangnya 193. Dalam dua syair yang menjadi obyek penelitian, tidak ditemukan suatu
redaksi, baik diungkapkan secara langsung maupun tidak langsung (tersirat dalam suatu
perumpamaan) tentang posisinya yang mewakili orang Arab Hadrami. Ia justru
mendudukkan diri sebagai orang Mesir dalam kata-kata ―penduduk Nil‖. Ini
menandaskan bahwa identitas kehadramian dalam diri Alî Ahmad Bâkatsîr sudah
berganti dengan identitas sebagai warga Mesir yang memang mayoritas berlatar
belakang suku bangsa Arab.
Sepertinya, Alî Ahmad Bâkatsîr sangat menggandrungi sosok Hatta Dalam syair
Bilâduk Yâ Hattâ, ketakjubannya akan sosok berdarah Minangkabau ini amat besar.
Gelora nasionalisme sangat pekat ditampilkan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan meminjam
sosok Hatta. Bapak Proklamator ini memang menjadi kecintaan kaum Republiken. Jika
banyak orang yang takjub pada Soekarno dengan pidatonya yang berapi-api dan
pembawaannya yang selalu bersemangat, maka sebagian orang yang lain mengagumi
Hatta sebagai sosok konseptor pendiam, namun mempunyai keluasan pengetahuan yang
menjadi daya tariknya. Hatta mewakili sosok kaum intelektual dalam sejarah Indonesia,
sedangkan Soekarno lebih dekat mewakili kaum aplikator yang senantiasa memimpin
para penggerak bangsa untuk menuntaskan pekerjaan rumah kemerdekaan Indonesia.
Hatta di balik meja, dan Soekarno di lapangan. 194
Keterhubungan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan sosok Hatta, jika ditelisik lebih
lanjut, tentu berkenaan dengan profesi yang digeluti oleh mereka. Baik Alî Ahmad
Bâkatsîr dan Hatta merupakan tokoh intelektual di negerinya. Hatta lebih dikenal
dengan pemikiran politik dan ekonominya, sedangkan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan
karya sastranya. Keduanya dapat menggerakkan massa dengan produk pemikirannya.
Jika Hatta mampu mengikat visi perjuangan para mahasiswa Indonesia di Belanda
dengan tulisan-tulisannya yang berbahasa Belanda dan langsung dialamatkan ke jantung
koloniaslisme Belanda, maka Bâkatsîr mampu menyihir warga Mesir dengan karya
sastra serta pertunjukan sandiwaranya. Baik tulisan maupun teater merupakan senjata
ampuh untuk memperkenalkan suatu gagasan pada khalayak.
Dalam menggelar pertunjukan sastra, Bâkatsîr memang tidak melulu mengambil
objek sejarah Indonesia untuk ditampilkan di Mesir, melainkan dari sejarah Yunani atau
Mesir itu sendiri. Bagi Alî Ahmad Bâkatsîr, sejarah merupakan objek luas yang cocok
untuk dijadikan bahan membuat karya sastra dan sandiwara. Dalam kisah masa lalu,
terkandung banyak kebanggaan yang layak untuk dikenang. Jika kebesaran sejarah

193
Taufiq A Dardiri,. "Perkembangan Puisi Arab Modern", dalam Adabiyyat: Jurnal
Bahasa dan Sastra, Vol. 10, No. 2, 2011, hal. 283-308.
194
Mikhael Dua dan Clara RP Ajisuksmo. "Indonesian Student Perspectives on A
Humanity-Based Nationalism", dalam Prajna Vihara, Vol. 20, No. 1, 2019.
222
hanya bisa dirasakan secara individu oleh pembaca buku sejarah, maka melalui seni
drama, rasa kebanggaan pada kisah masa lalu dapat dirasakan bersama-sama, sehingga
menimbulkan kesan yang mendalam bagi penontonnya.195 Ini yang disasar Bâkatsîr,
sehingga ia mempunyai usaha berlebih untuk menyusun naskah drama.
Benedict Anderson mengungkapkan bahwa rasa kecintaan akan suatu negara,
yang menjadi pangkal dari nasionalisme, terbentuk dalam proses yang panjang. Ini tidak
semudah dideskripsikan dengan seorang atau sekumpulan orang yang memutuskan
untuk membaktikan diri pada suatu negara, dengan memberikan apa yang dia miliki
bagi kepentingan negara. Ini merupakan suatu ikatan yang ditempa lewat kesadaran
historis yang panjang masanya.
Sebagaimana diketahui, tidak semua negara yang berdiri, didahului oleh suatu
pendirian kuasa yang aman dan terstruktur. Beberapa negara memugas pandangan
nasionalistiknya setelah porak poranda dihancurkan hukum dan perundang-undangan
bangsa asing. Ada kompetisi yang nyata antara penduduk pribumi yang dipimpin,
dengan para pemimpinnya. Biasanya, dalam ruang kuasa kolonialisme Eropa di Asia,
Afrika atau Amerika Tengah dan Selatan, terdapat usaha untuk menanamkan
penerimaan pada administrasi utara di tengah penduduk pribumi atau penduduk mestizo
atau kreol (penduduk campuran asing (biasanya Eropa) dengan pribumi). Di sini muncul
suatu pangkal masalah, akankah dua masyarakat yang terhubung lewat jalur opresi dan
penindasan mampu membentuk rasa kecintaan antarsesama yang berimplikasi pula pada
rasa bersama mencintai tanah yang mereka diami.
Para administratur Eropa datang ke negeri jajahan, seperti orang Spanyol yang ke
Kolombia atau orang Belanda yang ke Hindia Timur dalam status sebagai pegawai.
Kecintaan dan keterkaitan mereka dengan Tanah Air asal masih sangat kuat, meskipun
banyak dari mereka yang menghabiskan masa hidupnya di negeri jajahan. Para pegawai
senior yang tua selalu menyimpan kenangan akan negeri asal dalam benak mereka,
sehingga ini membuat kecintaan yang mereka tunjukkan pula pada tempat kerja mereka
menjadi bias. Jikapun mereka kerap mengutarakan kecintaan pada profesinya selalu abdi
negara serta tempat pekerjaannya, itu hanyalah sebatas retorika untuk menyenangkan
lawan bicaranya.
Kendati sudah bertugas lama di tanah jajahan, para administratur Eropa, masih
menganggap orang kreol atau orang pribumi sebagai pihak yang tidak pantas diberi
tugas mengemban kepemimpinan atas daerahnya sendiri. Aneka gunjingan dan kalimat
merendahkan hampir selalu terujar dari mulut orang Eropa yang semuanya menyatakan
bahwa penduduk pribumi adalah orang bodoh, tidak cakap, buas sehingga tidak layak
diberi tugas administrasi pemerintahan. Hal ini sejurus dengan pendidikan modern yang
dielenggarakan oleh sekolah-sekolah Eropa yang juga seperti detengah hati memberikan
aneka ilmu pengetahuan kepada warga pribumi.
Gereja Katolik yang menjadi salah satu institusi penting di negara jajahan
memainkan peran yang penting dalam membina hubungan kaum penjajah Eropa dengan

195
Nuria Cordero Ramos dan Manuel Munoz Bellerin. "Social Work and Applied
Theatre: Creative Experiences with a Group of Homeless People in the City of Seville," dalam
European Journal of Social Work, Vol. 22, No. 3, 2019, hal. 485-498.
223
pribumi. Lewat aneka pelayanan agama dan kemanusiaan, kelompok pendeta dan suster
mampu meyakinkan penduduk pribumi untuk mau menerima kehadiran orang Eropa di
tanah mereka. aneka khutbah keagamaan yang diarahkan untuk merekatkan hubungan
mereka, lalu dibubuhi dengan petikan-petikan ayat Alkitab, menjadi lem ampuh untuk
mendekatkan jemaat Gereja dengan pemerintah.
Di balik keberhasilam misi, Ben Anderson menyorot sejumlah masalah di balik
lembaga keagamaan ini. Uskup dan para pendeta di Spanyol di abad 18 sampai 19
misalnya, tetap tidak yakin bahwa orang pribumi Mexico yang paling saleh dan paham
Alkitab sekalipun, mampu menjadi pendeta. Mereka masih berkeyakinan untuk tetap
mengirim tenaga misi ke Mexico, padahal di wilayah itu, susah hampir 100 tahun
warganya memeluk Katolik. Di negeri ini Katolikisme dan kolonisasi Spanyol berjalan
beriringan, sehingga mampu bersinergi untuk menanamkan pengaruh Spanyol yang kuat
di negeri tersebut. Sampai mendekati pertengahan abad 19, para pendeta Spanyol masih
belum yakin orang pribumi layak memimpin misa atau aneka ritual dan peribadatan
Katolik lainnya.
Ketidakpercayaan administratur dan agamawan Eropa pada rakyat negeri jajahan
membuat pembentukan paham kecintaan akan negeri menjadi abtsrak. Secara parsial,
masyraakat pribumi telah memperoleh pemahaman akan kesatuan sejak masa purba,
yang diwariskan secara turum temurun. Sebab itu, Ben Anderson meyakini bahwa
mitos, tradisi dan nilai lokal merupakan perangkat penting dalam menciptakan proto-
nasionalisme. Namun, wawasan inheren ini akan tertabrakan dengan maksud yang
digagas para penjajah Eropa yang menganggap bahwa kerja sama yang terbangun antara
warga pribumi dan pemeirntah Eropa harus berdasarkan pada konsinyasi serta
keuntungan. Rasa persatuan di kalangan pribumi, mengalami reposisi ke arah yang lebih
pragmatis dan berpotensi menghadirkan entitas lainnya, sebagai faktor integral dalam
upaya internasionalisasi wilayah mereka.
Membicarakan kesadaran membela negeri di masa ketika kolonialisme Eropa ada
di Asia, Eropa atau Amerika Latin, menjadi sesuatu yang berbayang. Di satu sisi,
pemerintahan kolonial ingin agar tercipta suatu kesepahaman di antara mereka dengan
penduduk lokal, sehingga tercipta persatuan untuk membina kepentingan bersama.
Namun, hubungan taktikal ini, tidak berjalan lurus dengan pemakaan bahwa kehadiran
pegawai atau agamawan kolonial hanyalah sebatas bertugas memenuhi kewajiban
semata, namun tidak tumbuh semacam kebersamaan yang sebenarnya untuk menerima
realitas liyan, yakni keberadaan pribumi itu sendiri.
Untuk itu, dalam beberapa kasus, seperti yang ditemukan di Indonesia, rasa
kesatuan dan persatuan di antara suku bangsa yang berbeda mengental menjadi paham
nasionalisme yang dimaknasi bersama. Ikatan kebersamaan ini bertitik tolak pada
kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Ini hanya terbentuk di kalangan warga
pribumi yang saling dipisahkan oleh kondisi geografis Indonesia yang merupakan
negara kepulauan. Uniknya, kecintaan pada negeri hanya muncul di kalangan penduduk
pribumi dan umumnya tidak ditemukan di kalangan para pegawai kolonial. meskipun
mereka sudah bekerja lama di Nusantara, dan sudah pula menyadari Nusantara
merupakan wilayah bawahan Belanda, mereka tetap tidak mempunyai rasa cinta dan rela
berkorban bagi kepentingan seluruh penduduk negeri kepulauan ini.

224
Alî Ahmad Bâkatsîr menyadari bahwa penduduk Mesir mempunyai keterikatan
besar dengan masa lalu, seperti pada era kebesaran para Fir‘aun. Ia menjadikan itu
sebagai bahan untuk menciptakan karya sastra seperti Ikhnâtûn wa Nafartîtî serta Al-
Tsâir al-Ahmar sebagai bentuk penghargaan pada masa lalu sekaligus sarana
menumbuhkan kecintaan warga Mesir yang mendalam pada sejarahnya. Lebih dari itu,
tentu saja, membaca karya sejarah, meskipun dikemas melalui tulisan sastrawi, akan
menumbuhkan semangat nasionalisme pada pembacanya. Tidak bisa dielakkan, bahwa
karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr, utamanya yang bersinggungan dengan masa lalu
Mesir, adalah usaha penyadaran bagi masyarakat bahwa dahulu Mesir pernah berjaya
memimpin peradaban, dan bukan tidak mungkin di masa yang lain, Mesir akan
mengambil kembali tampuk pemerintahan dunia.
Berkaca pada ungkapan di atas, sepertinya paham nasionalisme telah menjadi satu
varian objek tersendiri dalam karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr. Nasionalisme ganda
yang ditonjolkannya, ketika harus menyatakan cinta dan sanjungannya pada Indonesia
di syair Bilâduk Yâ Hattâ atau yang lainnya, semata-mata merupakan buah dari
kecenderungan pada negeri yang pernah menjadi tempat kelahirannya, yang juga banyak
mempunyai keterikatakan batin dengannya. Alî Ahmad Bâkatsîr mempunyai cukup
saluran perasaan untuk tidak mencampuradukkan nasionalisme Mesir-nya dengan
kecintaan pada Indonesia. Pembatas keduanya hanya pada keterangan administratif
bahwa dia adalah warga Mesir, namun jika ditinjau dari segi kehidupan pribadi serta
pemikirannya, dirinya juga dekat dengan Indonesia.
Tentu akan ada ruang yang tegas, saat membicarakan kecintaan pada suatu negeri
yang ditampilkan warga negara Indonesia atau warga negara asing. Terkadang, hanya
dengan menunjukkan kartu kependudukan atau dokumen paspor suatu negara, maka
cukup untuk mewakili bahwa seseorang berasal dari mana, dan tentu saja mempunyai
ikatan yang kuat dengan negara asalnya. 196 Terlepas apakah dia sebelum menjadi warga
negara asing, atau memang sejak lahir telah menjadi seorang warga negara yang baik di
negerinya, itu adalah penanda dari adanya gelora keterhubungan individunya dengan
isntitusi negaranya. Namun ini akan berbeda, manakala pembicaraan diarahkan tentang
sejauh mana ia mencintai negerinya? Dan, apakah dalam dirinya terdapat sautu nuansa
nasionalisme yang ditampilkan melalui suatu karya yang juga mampu mempengaruhi
orang lain? Dua pertanyaan ini, secara umum, hanya dapat dijawab oleh kaum
intelektual suatu bangsa.197
Milan Ismangil menyebutkan bahwa banyak sekali cara untuk menunjukkan
nasionalisme, kendati dilakukan oleh orang yang bukan berasal dari suatu negeri yang
dijunjungnya secara historis. Di masa mondial, melalui perangkat gim on line, seseorang
dapat menunjukkan nasionalismenya. Misalnya saja, kesediaan seorang etnis Tionghoa,
yang kebetulan bukan warga negara Tiongkok, namun bersedia bergabung dalam suatu

196
Robin White, "The Nationality and Immigration Status of the" Windrush Generation"
and the Perils of Lawful Presence in a" Hostile Environment"‖, dalam Journal of Immigration,
Asylum & Nationality Law, Vol. 33, No. 3, 2019, hal. 218-239.
197
Kristin Hanson dan Emma O‘Dwyer. "Patriotism and Nationalism, Left and Right:
AQ‐ Methodology Study of American National Identity", dalam Political Psychology, Vol. 40,
No. 4, 2019, hal. 777-795.
225
tim yang mewakili negara Tiongkok. Dia tidak harus menjadi warga negara Tiongkok,
dan pindah ke Tiongkok. Kesediaan bermain gim di tim Tiongkok menunjukkan dirinya
mempunyai nasionalisme pada Tiongkok, meskipun dalam kasus-kasus tertentu tidak
selalu demikian. Besar kemungkinan, kesediaannya juga dilatarbelakangi oleh kesamaan
etnis dirinya dengan orang Tiongkok. 198
Formasi pemikiran anti-kolonialisme Alî Ahmad Bâkatsîr, yang kemudian
berkembang menjadi nasionalisme, beririsan dengan paham keislaman yang digagas
Ikhwânul Muslimîn. Kebencian dengan penjajahan Belanda atau Jepang atas Indonesia,
sama dengan kebenciannya terhadap penjajahan Palestina. Ikhwânul Muslimîn sendiri
merupakan organisasi Islam Mesir yang menentang pendudukan Israel atas tanah warga
Palestina.199 Paham ini sebenarnya mempunyai kemiripan dengan pemikiran anti-
kolonialisme yang berkembang di Indonesia, yakni ketika munculnya ketidaksepakatan
dengan cara-cara Belanda yang ingin mendirikan koloni di Indonesia.
Terdapat suatu momen yang mempertemukan para tokoh Ikhwânul Muslimîn
dengan para pemimpin Indonesia yang melawat ke Mesir. Sekitar 1947, terdapat
delegasi Indonesia yang berkunjung ke Mesir. Satu di antaranya adalah Sutan Syahrir.
Tokoh pejuang Indonesia ini menyempatkan diri berjumpa dengan pemimpin Ikhwânul
Muslimîn, Hasan al-Bannâ. Kepada Syahrir, al-Bannâ menyatakan dukungannya pada
Indonesia untuk berjuang melawan aksi penjajahan kembali yang dilakukan Belanda.
Pendirian Ikhwânul Muslimîn menolak tegas kolonialisme atas negara Asia dan Afrika.
Pertemuan ini seakan memperkokoh paham nasionalisme yang mempunyai irisan
dengan politik Islam anti-kolonialisme Eropa.200 Bâkatsîr juga sempat memasukkan
nama Syahrir sebagai salah satu penokohan dalam naskah drama Audatul Firdaus.
Benedict Anderson meyakini bahwa bahasa-tulis-nasional menjadi alat yang
ampuh menunjukkan nasionalisme. Kegiatan menulis dengan bahasa yang digauli oleh
si penulis, bukan hanya sekedar kegiatan akademik semata, aktivitas ini akan
mengirimkan energi positif bagi masyarakat yang sedang gamang membicarakan jati
diri mereka serta hubungan mereka dengan negara yang mereka diami. 201 Pemandangan
ini menjadi semakin relevan, ketika melihat adanya beberapa kelompok masyarakat
Arab keturunan Hadrami di Indonesia yang masih menyanksikan Tanah Air mereka
sebagai negeri yang harus mereka cintai dan mereka bela, apabila ada kekuatan asing
yang datang mengancam.
Dua karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr ditulis menggunakan bahasa Arab.
Beberapa karya lainnya, seperti naskah drama Audatul Firdaus, ditulis juga
198
Milan Ismangil, "Subversive Nationalism Through Memes: A Dota 2 Case Study",
dalam Studies in Ethnicity and Nationalism, Vol. 19, No. 2, 2019, hal. 227-245.
199
Mulawarman Hannase, "The Dilemma Between Religious Doctrine and Political
Pragmatism: Study of Hamas in Palestine", dalam Religio: Jurnal Studi Agama-agama, Vol. 10,
No. 1, 2020, hal. 54-70.
200
Sahrasad Herdi dkk. "Sutan Sjahrir's Footprint in Egypt, Middle East: A History that is
Almost Forgotten", dalam Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi dan Perubahan Sosial, Vol. 7,
No. 2, 2020, hal. 105-115.
201
Anderson, Imagined …, hal. 100.
226
menggunakan bahasa Arab. Ini mengindikasikan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
berkeinginan agar karyanya dibaca oleh bangsa Arab atau orang yang mengerti bahasa
Arab yang tidak hanya tinggal di Mesir, namun juga di belahan bangsa lain seperti
Indonesia. Kebetulan sekali, kendati telah berdiam sejak abad 19, atau bahkan sejak
abad-abad sebelumnya, komunitas Arab Hadrami di Nusantara masih banyak yang
mentradisikan pembelajaran bahasa Arab, sehingga sangat dimungkinkan jika di antara
mereka ada yang mengakses lantas menyebarkan ide-ide Alî Ahmad Bâkatsîr.
Dalam pada itu, transmisi gagasan Alî Ahmad Bâkatsîr tentang keindonesiaan
dalam dua karya sastranya atau yang terdapat di karya lainya, merupakan bagian dari
jejak paradigma nasionalisme akan Indonesia. Kendati terpisah jarak yang jauh dengan
negara ini, ia tetap mengikuti, memikirkan lantas menjadikannya suatu inspirasi dalam
melahirkan produk-produk kesusastraan. Uniknya, ia tidak hanya menjadikan Indonesia
sebagai objek, namun juga ekspresi dari sikap bela Tanah Air serta kecintaannya pada
negeri tersebut. Dengan demikian, dua karya Alî Ahmad Bâkatsîr tidak hanya
mengeksploitir hal ihwal keindonesiaa termasuk sejarah kelamnya yang sempat menjadi
jajahan Belanda dan Jepang, melainkan lebih dari itu, sebagai pengejawantahan dari
tindak perjuangan intelektualnya. Bagi kelompok masyarakat Hadrami yang membaca
atau menyaksikan drama Alî Ahmad Bâkatsîr, boleh tentu akan memperoleh suatu
pemandangan yang meyakinkan bahwa keberadaan mereka penting dalam mengisi
kemerdekaan Indonesia. Jika mereka menyaksikannya setelah negeri ini merdeka, maka
keberadaan mereka tetap penting dalam usaha mengisi pembangunan Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan saluran dialektika yang relevan bagi
kalangan komunitas terbayang. Sekelompok masyarakat baru bisa merasakan kesatuan
di antara mereka, lalu kebersamaan untuk berbuat lantas menjaga sesuatu, setelah
mendapat pemahaman dari hasil mereka membaca sesuatu atau mendengar kabar atau
pembicaraan dari orang yang dianggap terdidik. Untuk itu, nasionalisme, menurut
Benedict Anderson, tidak akan benar-benar terbentuk jika tidak ada saluran pendidikan
di dalam suatu masyarakat. Ini dapat dibuktikan di semua sejarah modern, mulai di
Filipina, Indonesia bahkan sampai di Hongaria.202
Dalam suatu keterangan lain, disebutkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr pernah
menjadi penengah atas perselisihan antara kelompok Sayyid dan non-Sayyid, yang
disebutnya sebagai Alawiyah melawan al-Isryad di Hindia Belanda. belum ada
keterangan waktu yang lengkap kapan peristiwa ini terjadi. Informasi ini terdapat dalam
salah satu syair Alî Ahmad Bâkatsîr, sebagai berikut:203

‫أنا ال أعرؼ إرشادية * ال وال رابطة أو جنفا‬


Saya tidak kenal Al-Irsyad, saya tidak kenal
Rabithah Alawiyah, atau condong (salah satunya)
‫إنػما أعرؼ إسالمية * جتمع الناس على عهد الصفا‬
Saya hanya tahu islam; yang menyatukan

202
Anderson, Imagined …, hal. 214.
203
Ali Ahmad Bakatsir, Humam fi Bilad al-Ahqaf (t.t: Maktabah Mishr, t.th), hal. 30
227
orang pada masa yang murni
‫جتعل الناس سواء ال ترى * فيهم ربا وال مستضعفا‬
(Islam) memandang orang adalah sama;
tidak melihat yang kuat ataupun yang lemah

Tentu saja, pekerjaan menyatukan dua kelompok keturunan Arab Hadrami yang
berbeda, merupakan kesulitan tersendiri. Hal ini bersandar pada bagaimana konflik yang
telah terbangun sejak pendirian Al-Irsyad pada 1914. Keinginannya dalam upaya
rekonsiliasi kedua kelompok ini merupakan salah satu bukti bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr
masih mempunyai ikatan dengan Hindia Belanda. Seakan ia tersadar, bahwa dirinya
dapat berbuat lebih untuk mendamaikan saudara-saudaranya yang terlibat pertikaian
institusional tersebut. ini juga menjadi penanda bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr tidak abai
dengan perkembangan politik di Hindia Belanda. Ia masih menunjukkan perhatian dan
harapan bahwa keduanya dapat hidup kembali dalam suasana yang kembali harmonis.
Komitmen ini tentu langka dijumpai pada tahun-tahun ketika Alî Ahmad Bâkatsîr hidup,
dikarenakan baik kondisi politik di Hindia Belanda atau di Mesir sedang berada dalam
suasana yang memanas, akibat adanya perjuangan melawan kekuatan Eropa.
Pertikaian dan perselisihan antara Rabithah Alawiyah dan al-Irsyad – sebagai
anak bangsa – yang terjadi pada awal abad dua puluh turut mengundang keprihatinan
Alî Ahmad Bâkatsîr. Sampai-sampai Alî Ahmad Bâkatsîr rela meminta tolong kepada
warga Hadrami di Adis Ababa, Ethiopia untuk memberikan pelajaran kepada anak
bangsa (Jawa) Hindia Belanda agar bisa hidup rukun. Berikut puisi Alî Ahmad Bâkatsîr:
204
‫أديس أبابا أال تلقُت درسا * على جاوا وجَتتػها مبينا‬
Wahai (warga Hadrami) yang berada di Adis Ababa,
(ingatlah) berikan 'pelajaran' (orang Hadrami)
yang berada di Jawa (Indonesia) dan sekitarnya.

Ini penulis anggap sebagai bentuk perhatian dan kecintaannya Alî Ahmad Bâkatsîr
terhadap Indonesia, demi terbinanya persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Alî
Ahmad Bâkatsîr meminta kepada orang Arab Hadrami yang berada di Adis Ababa,
Ethiopia untuk memberikan ‗pelajaran‘ agar orang Hadrami yang berada di Indonesia
dapat hidup rukun demi terbinanya kerukunan dan kedamaian warga Indonesia.
Perlu diperhatikan, konsep nasionalisme yang terpancar dari pemikiran Alî
Ahmad Bâkatsîr, tentu berbeda dengan konsep nasionalisme sebagaimana yang
dipahami masyarakat umum dewasa ini. Di zaman sekarang, nasionalisme bertalian
dengan rasa cinta tanah air, yang juga dihubungkan dengan keterikatan seseorang,
secara administratif, dengan dokumen kewarganegaraannya. Cotohnya, seorang yang
berjiwa nasionalistik di Indonesia, harus orang yang berwarganegara Indonesia. Kendati
ia banyak melakukan kegiatan di luar Indonesia, maka tetap, ikatan administratifnya

204
Muhammad Abu Bakar Hamîd, Indûnîsiyâ Malhamah al-Hubb wa al-Hurriyyah fî
Hayâh Alî Ahmad Bâkatsîr wa Adabih, hal. 99
228
sebagai warga negara Indonesia adalah penghubung dirinya dengan asal usulnya. Orang
yang bukan warga negara Indonesia, namun mengaku berjiwa nasionalisme
keindonesiaan, tentu masih disanksikan. Ia hanya dianggap sebagai seorang
indonesianis, yakni orang yang mengetahui hal ihwal keindonesiaan, namun masih
diragukan seputar pembuktian dan baktinya terhadap negara tersebut.
Alî Ahmad Bâkatsîr, dengan segala aktivitasnya yang berkaitan dengan
nasionalismenya pada Indonesia, menempati bentuk nasionalisme yang berbeda dengan
pemerian di atas. Ketika ia hidup, Gamal Abdul Nasser sedang menjadi salah satu
pemimpin Arab paling disegani di dunia. Ia berhasil menciptakan negara Mesir-Suriah.
Bukan hanya di Mesir, kedudukannya sebagai presiden atau kepala negara berikut
kepala pemerintahan juga diakui di Suriah. Dalam periode tertentu, penduduk Suriah
pernah menjadi bagian dari Mesir. Tidak menutup kemungkinan, pikiran dan perbuatan
mereka juga pernah mengarah pada Mesir, baik itu dalam wujud rasa kebanggaan,
kecintaan, sikap rela berkorban karena menjadi bagian dari Mesir. Dalam satu kasus, ini
bisa dikatakan sebagai salah satu contoh nasionalisme pada Mesir.205
Contoh lain yang dapat memperkuat bahwa apa yang ditunjukkan Alî Ahmad
Bâkatsîr terhadap Indonesia merupakan suatu bentuk nasionalisme, juga ditunjukkan
oleh para korban politik Indonesia yang berada di luar negeri pada masa awal
kepemimpinan Presiden Soeharto. Ibrahim Isa, salah satu pegawai Kantor Kedutaan
Indonesia di Mesir, pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan terkait hal ini.
Tanpa didahului oleh suatu klarifikasi, dan hanya berdasarkan pada anggapan segelintir
pihak bahwa dirinya adalah Sukarnois, maka status kewarganegaraanya dan keluarga
yang menyertainya di Mesir dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Selama beberapa
waktu, ia hidup terkatung-katung di luar negeri, dari negara ke negara sebagai orang
yang tidak mempunyai negara (nationless).206
Dalam suatu kesempatan di tahun 2011, Ibrahim Isa sempat mengunjungi
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia datang untuk
memenuhi undangan dalam rangka bedah buku tentang pengalamannya selama menjadi
eksil (orang yang diasingkan) di Mesir dan beberapa negara Eropa, hingga akhirnya
mendapat kewarganegaraan Belanda. Ia menerangkan bahwa sejatinya dirinya, dan
orang-orang yang eksil di luar Indonesia akibat diasingkan pemerintah Hindia Belanda
atau Indonesia pada masa kepemimpinan Soeharto, mengalami banyak kesulitan dalam
kehidupannya. Pencabutan warga negara Indonesia, membuat mereka tidak memperoleh
pelayanan dasar di negara yang ditempati, seperti di bidang kesehatan dan pendidikan.
Belum lagi, banyak dari mereka yang tidak mempunyai pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hariannya. Namun, penderitaan itu tidak membuat mereka patah arah dalam
mencintai Indonesia. Mereka tetap memelihara rasa hormat dan cinta pada Tanah Air,
melalui banyak kegiatan, seperti menulis buku memberikan kuliah umum bagi warga

205
Maqbool Ahmad Awan, "Gamal Abdel Nasser‘s Pan-Arabism and Formation of the
United Arab Republic: An Appraisal", dalam Journal of Research Society of Pakistan, Vol. 54,
No. 1, 2017, hal. 107-128.
206
Ibrahim Isa, Isa, Bui Tanpa Jerajak Besi: Pikiran Seorang Eksil Indonesia di Luar
Negeri (Jakarta: Klik Books, 2011); Lihat juga Ibrahim Isa, Suara Seorang Eksil (Jakarta:
Pustaka Pena, 2001)
229
Indonesia di mancanegara dan lain sebagainya. Aneka kegiatan itu menunjukkan adanya
keterikatan yang mendalam antara diri mereka dengan Indonesia, meskipun banyak di
antara mereka yang telah menjadi warga negara asing. 207
Alî Ahmad Bâkatsîr mewakili kalangan terdidik dari bangsanya, yakni kelompok
masyarakat Arab Hadrami. Meskipun ia tidak intensif membangun hubungan dengan
kelompok Arab Hadrami di Indonesia, namun berbekal tulisannya, banyak dari orang
Arab Hadrami, atau orang Arab pada umumnya, mengerti arti berkorban untuk
perjuangan Indonesia. Perangkat penulisan menjadi modul penting sebagai media
penyampai gagasan nasionalisme yang coba disebarkan Alî Ahmad Bâkatsîr melalui
syair-syairnya yang bernuansakan keindonesiaan.
Jika membicarakan kelompok Arab Hadrami sebagai realitas terbayang, niscaya
kedudukannya akan lebih abstrak dibanding masyarakat pribumi Indonesia. Orang
Hadrami adalah kelompok pendatang yang masuk ke Nusantara, puncaknya, pada abad
19. Ikatan mereka dengan Tanah Airnya, yakni Hadramaut, masih sangat kuat. Natalie
Mobini-Kesheh menyebutkan bahwa mereka masih menurunkan kebiasaan serta tradisi
mereka ke anak cucu yang lahir di tanah perantauan, termasuk yang ditemukan di
Indonesia. Sudah ada semacam pemahaman bahwa Indonesia hanyalah tempat mengais
rezeki, untuk membangun kehidupan yang lebih baik di Hadramaut.208
Tidak bisa dipungkiri, dua syair Alî Ahmad Bâkatsîr di atas adalah satu modul
pendidikan bagi keturunan Arab Hadrami. Lewat karya sastra ini, masyarakat keturunan
Arab di Indonesia diajak untuk memikirkan kembali realita mereka di tengah negeri
yang sedang berada di bawah bayang-bayang penjajahan. Suasana yang serba sulit itu,
membutuhkan kehadiran mereka. Tangan dan kaki mereka akan sangat berguna untuk
menyelamatkan Indonesia dari ancaman penjajah, dan memimpin masyarakat Indonesia
lainnya ke pintu gerbang kemerdekaan. Tidak aneh kiranya, mengapa Alî Ahmad
Bâkatsîr menuliskan kata merdeka dengan aksara Arab, seolah ingin memberikan
pandangan bahwa keadaan ini akan bisa dinikmati pula oleh para pembaca Arab
Hadrami di Indonesia.
Alî Ahmad Bâkatsîr memiliki kecenderungan nasionalisme pada indonesia.
Kendati ini tidak ditunjukkannya dalam hal administrasi kenegaraan, seperti menjadi
warga negara Indonesia, dan tetap menjadi warga negara Mesir, namun itu tidak
menutupi kenyataan bahwa ia amat menjunjung kecintaan pada tanah tumpah darahnya
itu. Ekspresi-ekspresi sastrawi yang ditunjukkan melalui dua syairnya, menjadi penegas
anggapan itu. Pilihan kata yang natural dan tidak klise, yang menggambarkan urgensi
akan kecintaan pada negerinya yang ditampilkan melalui kekaguman pada para pejuang
hingga sanjungan-sanjungan akan kondisi alam Indonesia yang indah adalah sebagian
pembuktiannya.

207
Henri Chambert-Loir, "Bibliography of Exile Literature (Sastra Eksil)", dalam
Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, Vol. 91, 2016, hal. 177-183.
208
Natalie Mobini-Kesheh, "The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-
1942", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde/ Journal of the Humanities and
Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 152, No. 2, 1996, hal. 236-256.
230
Terdapat suatu peta pemikiran yang kompleks dalam rangka intelektualitas Alî
Ahmad Bâkatsîr. ia mempunyai kecenderungan pada ideologi Islam Ikhwanul
Muslimin, namun juga mempunyai kegandrungan yang sama pada nasionalisme Arab,
yang di samping menjadi paradigma resmi politik kenegaraan Mesir di era Gamal Abdul
Nasser, namun juga di bidang kebudayaan, termasuk sastra. Karya-karya seni di Mesir
harus bernuansakan sosialisme 209, sedikit mirip dengan yang ditemukan dalam karya-
karya seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang
menjadi underbow dari PKI di Indonesia 210. Itupun bukan menjadi muara dari karya
Bakatsir, dikarenakan dari dua syair ini ditemukan nuansa naturalisme yang kuat.
Dengan demikian, ideologi seninya adalah ―seni untuk seni‖ bukan semata-mata ―seni
untuk politik‖. 211 Istilah terakhir lebih dekat pemaknaannya pada penggabungan seni
dengan satu unsur politik semata, dan cenderung bersifat monolitik. 212
Penggambaran ideologi berkarya di atas memang menjadi kekhasan tersendiri
dalam model bersastra Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia tampil sebagai seorang sastrawan yang
berkarakter khusus, tapi juga umum. Di satu sisi ia akan fasih menyuarakan kepentingan
politik orang Islam yang dicederai oleh kelompok non-Muslim sebagaimana yang
ditemukan dalam konflik Palestina-Israel, sebagaimana terlihat dalam Ma‟sâh Udîb. Ia
juga tajam memotret dan memposisikan diri sebagai seorang sosialis dalam al-Tsâir al-
Ahmar. Atau, dalam kesempatan lain, ia justru mencurahkan perhatian dan rasa cintanya
pada perkembangan sejarah dan kondisi terkini Indonesia, negeri yang menjadi tempat
kelahirannya melalui naskah qasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ, Bilâduk Yâ Hattâ
dan drama Audat al-Firdaus.
Nasrudin Ibrahim dan Abdullah Al-Syami menyebutkan bahwa karya-karya Alî
Ahmad Bâkatsîr, terutama yang ada kaitannya dengan sejarah, biasanya ditampilkan
dengan tingkat objektivitas yang tegas. Ia cenderung tidak banyak menggunakan
kepiawaian sastrawi dalam membungkus maksud dan tujuan dari kata-kata yang
dipilih.213 Ini terlihat dalam dua kasidah yang menjadi kajian penulis. Model seperti ini,
dalam perkataan lain, adalah kuatnya gaya naturalisme dalam sastra Alî Ahmad

209
Zeina G. Halabi, "The literary lives of Umm Kulthūm: Cossery, Ghali, Negm, and the
critique of Nasserism", dalam Middle Eastern Literatures, Vol. 19, No. 1, 2016, hal. 77-98.
210
Matthew Woolgar, "A ‗cultural Cold War‘? Lekra, the left and the arts in West Java,
Indonesia, 1951–65", dalam Indonesia and the Malay World, Vol. 48.140, 2020, hal. 97-115.
211
Eko Priyantoro, "Evolusi Imajinasi dalam Penciptaan Seni dan Mitos Kekuasaan",
dalam Gestalt, Vol. 1, No. 2, 2019, hal. 241-254.
212
Nurmalia Susanti dkk, "Lekra Vs Manikebu: Perlawanan Majalah Sastra terhadap
Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964)", dalam Factum:
Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejara, Vol. 8, No. 1, hal. 97-112.
213
Nasr el-Din Ibrahim Ahmed Hussein, and Abdul Halim Sami, Al-Riwayah al-
Tarikhiyyah baina al-Maudlu‟iyyah wa al-Fanniyyah inda Ali Ahmad Bakatsir wa Jurji Zaidan
(Historical Novels between Objectivity and Art according to Ali Ahmad Bakathir and Jurji
Zaydan), al-Tajdid, al-Mujallad 23, al-Adad 45, (2019): 61-93.
231
Bâkatsîr. besar kemungkinan, pengaruh ini didapatnya dari pembacaan serta
pendalamannya akan karya-karya sastra Eropa yang memang kental dengan semangat
humanisme, terutama Prancis, yang puisi maupun karya sastra lainnya, seperti novel dan
cerita pendeknya, menyuarakan fenomena-fenomena keseharian yang terjadi di sekitar
umat manusia 214, seperti karya-karya Gustave Flaubert.215
Keluasan tema penulisan dan naturalisme yang ditampilkan Alî Ahmad Bâkatsîr
adalah pengaruh yang tidak didapatkannya dalam tradisi sastra Arab tradisional. Puisi
Arab Tradisional sangat kental dengan majas dan permainan lafal. Makna atau maksud
tersimpan dalam keelokan syair.216 Tema-temanya pun terbatas, hanya mengenai agama,
kesukuan, alam yang kesemuanya melingkupi bangsa Arab khas urban atau di kawasan
pedesaan.217 Adapun model sastra Alî Ahmad Bâkatsîr, merupakan hasil pergulatannya
dengan bacaan sastra Barat. Jikapun ada sastrawan Arab Mesir yang menjadi
inspirasinya, misalnya karya – karya Naguib Mahfouz, itu merupakan sosok yang juga
terpengaruh dengan tradisi sastra Barat, bukan sastrawan yang masih mempertahakan
gaya sastra Arab tradisional. Inilah kiranya yang menjadikan langgam sastra Alî Ahmad
Bâkatsîr sangat dekat dengan gaya sastra Mahfouz di satu sisi, terutama ketika ia
memotret tentang problematika kehidupan manusia urban, namun di sisi lain, lebih
berani untuk menampilkan tema-tema yang lebih heterogen. Ikatan akan Indonesia
adalah salah satu sumber heterogenitas dari pemilihan tema Alî Ahmad Bâkatsîr.

C. Patahnya Karakteristik Arab Hadrami; Sanggahan atas L. W. C. Van den Berg


Bertolak dari pemahaman di atas, maka karakteristik Arab Hadrami sebagaimana
yang dikemukakan oleh L.W.C. Van den Berg yang menyebutkan bahwa orang Arab
Hadrami adalah biang keladi kerusuhan sosial, pelit, bersifat monopolistik dalam
kegiatan ekonomi, dan kerap bersitegang dengan para pemuka agama pribumi
terpatahkan.218 Alî Ahmad Bâkatsîr mewakili sosok orang Arab sebagaimana orang
Arab umumnya dalam tata dunia ketika ia hidup. Ini seperti menjelaskan hubungan
orang Arab yang lahir dan tinggal di Arab dengan Indonesia sebagai suatu pengetahuan

214
Thomas E. Hunt, "The Influence of French Colonial Humanism on the Study of Late
Antiquity: Braudel, Marrou, Brown", dalam International Journal of Francophone Studies, Vol.
21, 2018, hal. 255-278.
215
Pierre Bourdieu dan Priscilla Parkhurst Ferguson, "Flaubert's Point of View", dalam
Critical Inquiry, Vol. 14, No. 3, 1988, hal. 539-562.
216
Mengenai karakteristik syair Arab tradisional, lebih lanjut lihat Ahmad Khaldun
Kinany,.The Development of Ghazal in Arabic Literature (Pre-Islamic and Early Islamic
Periods), Disertasi (London: SOAS University of London, 1948)
217
Tarek El-Ariss, "Return of the Beast: From Pre-Islamic Ode to Contemporary Novel",
dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 47, No. 1-2, 2016, hal. 62-90.
218
L. W. C. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara.Terj. Rahayu Hidayat. Judul asli: Le
Hadhramout et les Colonies Arabes Dans I‟Archipel Indien, (Depok: Komunitas Bambu, 2010),
cet.2, hal. 120.
232
akan adanya suatu negara Muslim lain di luar negeri-negeri Arab. Artinya, pengetahuan
ini adalah semacam pengetahuan umum tentang bangsa-bangsa di luar negerinya. Hal
yang berbeda adalah dalam diri Alî Ahmad Bâkatsîr terdapat ikatan kekerabatan dengan
orang Arab Hadrami lainnya namun tidak terhubung dalam ikatan sosio-kemasyarakatan
khas Arab Hadrami sebagaimana yang terbentuk di Hindia Belanda. Ia hadir seperti
orang Arab yang mengunjungi Indonesia, dan mempunyai ketertarikan dengan negeri
ini.
Ismail Hakki Kadi dan A. C. S. Peacock mengemukakan bahwa sumber
kekhawatiran lain pemerintah Hindia Belanda pada para peranakan Hadrami adalah
karena kedekatan mereka dengan Konsulat Turki Usmani di Batavia. Beberapa orang
Arab Hadarami di kota ini atau di kota lain di Nusantara mempunyai koneksi yang
cukup baik dengan Konsuler Turki. Beberapa dari mereka bahkan memegang paspor
Turki Usmani. Ketika mereka terlibat suatu permasalahan dengan pemerintah Belanda,
mereka dapat mengaktifkan bantuan hukum dari Konsuler Turki. Pemerintah Belanda
menganggap hubungan ini seperti bara dalam sekam. Di satu sisi, Belanda berkeinginan
menjaga hubungan baik dengan Turki, namun di sisi lain kasus per kasus Arab Hadrami,
terutama yang memegang paspor Turki, kerap menimbulkan kerumitan tersendiri. 219
Penilaian yang dikemukakan van den Berg sesungguhnya adalah bias terhadap
kedudukan orang Arab. Di satu sisi kehadiran mereka dibutuhkan sebagai salah satu
pilar ekonomi di negeri jajahan Belanda, seperti Hindia Timur.220 Di sisi lain, mereka
dibenci karena dianggap sebagai agen penyebar paham Pan-Islamisme yang erat
berkaitan dengan paham anti-kolonial. Kedudukan syair Bâkatsîr sama dengan produk
tulisan kelompok peranakan Arab lainnya, yakni sebagai suatu upaya untuk
mendudukkan bangsa Indonesia yang memang terdiri dari aneka ragam suku bangsa,
sebagai negara yang mandiri dan berdaulat, sehingga tidak diperlukan lagi kehadiran
negeri pendamping sebagai Belanda atau Jepang sebagai negara yang menuntun rakyat
Indonesia untuk menyerap modernitas.221 Produk intelektual semacam ini, tentu saja
dilarang dalam tata kuasa kolonial. Jika saja karya Alî Ahmad Bâkatsîr ini sudah lebih
awal masuk ke Indonesia, niscaya akan mengalami pembredelan seperti karya-karya
tulis lain yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap keberadaan pemerintah Belanda
atau Jepang.222
Kesempitan yang dialami orang Arab Hadrami di bidang sosial, merupakan buah
dari pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda atasnya.

219
Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock, ed, Ottoman – Southeast Asia Connection, Vol.
1, (Leiden: Brill, 2020), hal. 769 – 876.
220
Fajar Syarif, "Defining Arabism: The Contestation of Arab Identity in the Hadrami
Community in Betawi‖, dalam Paramita: Historical Studies Journal, Vol. 29, No. 2, 2019, hal.
190-203.
221
Abdul Wahid Hasyim, "Becoming Indonesia: Political Gait of the Arabs in the Pre-
Independence Period", dalam Insaniyat: Journal of Islam and Humanities, Vol. 4, No. 2, 2020,
hal. 89-102.
222
Susie Protschky, Photographic Subjects: Monarchy and Visual Culture in Colonial
Indonesia, (Manchester: Manchester University Press, 2019), hal. 1 – 25.
233
Sebenarnya, orang Arab mempunyai peluang untuk mampu menciptakan suatu gerakan
massa dengan modal kesamaan agama dengan penduduk pribumi. Ini merupakan modal
mereka untuk dapat melebur ke dalam gelora perjuangan bangsa Indonesia. Namun,
kesempatan ini tidak melulu berjalan dengan baik, karena dalam kasus-kasus tertentu,
gerak gerik mereka amat terbatas, hanya diperbolehkan menggeluti dunia bisnis atau
usaha perdagangan. Ini yang membuat komounitas Arab seperti terpasung dalam
kegiatan hariannya, dan tidak mempunyai kesempatan yang luas untuk mengisi
perjuangan kemerdekaan Indonesia secara utuh.
Hoesin Bafagih menjadi salah satu contoh orang Arab Hadrami yang mempunyai
perhatian yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Bersama dengan A. R.
Baswedan ia mengampanyekan integrasi orang Arab Hadrami ke dalam perjuangan
masyarakat Indonesia. Melalui media Partai Arab Indonesia dan tulisan-tulisannya, ia
menyadarkan masyarakat Arab Hadrami akan arti penting membela Tanah Air yang
mereka pihak, yakni Indonesia. Di antara Indonesia dan Yaman sudah tidak ada
perbedaan lagi. Orang Arab Yaman yang lahir lantas berkehidupan di Indonesia sudah
selayaknya menjadi orang Indonesia dan berjuang untuk negerinya, ketika tanah yang
dipijaknya berada dalam keadaaan berbahaya, akibat kedatangan para musuh yang ingin
dijajahnya.223
Umar Manggus, menjadi contoh lain, betapa seorang usahawan Arab di Batavia,
juga mempunyai kesempatan untuk mendermakan hartanya di jalan kebajikan. Orang
Arab yang dikatakan sebagai pribadi yang pelit atau kikir, tidak terlihat dalam jadi diri
Umar Mangkus. Ia merupakan tokoh di balik layar dari berdirinya organisasi Al-Irsyad
yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati pada 6 September 1914 di Batavia.
Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan. Umar Manggus menguatkan hati Syekh
Ahmad Surkati yang sebelumya harus keluar dari sekolah Jamiat al-khair, lembaga
pendidikan Arab lainnya, yang dianggap Syekh Ahmad Surkati sudah tidak lagi menjadi
tempat yang cocok baginya untuk mengabdi. Al-Irsyad menjadi salah satu pilar penting
pendidikan di Batavia saat itu, bersama degan Jamiat al-Khair. Umar Manggus
menyisihkan hartanya untuk perkembangan Al-Irsyad di masa awal, hingga organisasi
ini mampu membuka cabang di kota – kota lainnya.224
Salah satu ciri yang menonjol dari pembacaan van den Berg lainnya adalah
pemisahan orang Arab dari identitas kepribumian Hindia Belanda. Mereka dianggap
sebagai orang Timur Asing yang mempunyai perbedaan fisik dan orientasi hidup. Orang
Arab selalu terpacu untuk tanah asalnya, yakni Yaman, dan cenderung menganggap
Hindia Belanda sebagai tanah untuknya mencari nafkah225, tidak peduli dengan keadaan
Indonesia.226 Penggambaran ini tidak terlihat dalam diri Alî Ahmad Bâkatsîr, setidaknya
dari banyak karya yang telah ditorehkannya. Alih-alih mengedepankan satu golongan

223
Amaruli, "Sumpah Pemuda Arab, 1934: Pergulatan Identitas Orang Arab-Hadrami di
Indonesia", dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hal. 122-132.
224
Muh Dahlan Thalib, "Peranan Lembaga Keagamaan Al-Irsyad dalam Pendidikan di
Indonesia", dalam Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 16, No. 1, 2018, hal. 1-10.
225
Van den Berg, Orang …, hal. 113
226
Van den Berg, Orang …, hal. 159
234
saja, yakni kelompok Arab Hadrami, justru ia mengalamatkan banyak karya dan
perhatiannya dengan serius untuk masyarakat Indonesia..
Ahmad Ibrahim Ali Muhammad dan kawan-kawan menegaskan bahwa dalam
karya-karya Bâkatsîr terdapat nuansa kerakyatan yang kental. Hal tersebut dapat dilihat
dalam novel berjudul Ikhnâtûn wa Nafartîtî (Ikhnâtûn dan Nafartîtî), Ma‟sâh Ûdîb
(Tragedi Oedipus), Dâr Ibnu Luqmân (Rumah Ibnu Luqmân), al-Fira‟un al-Mau‟ûd
(Fir‘aun yang Dijanjikan), dan Al-Dûdah wa al-Tsu‟bân (Cacing dan Ular). Dalam
karya-karya itu, Alî Ahmad Bâkatsîr menyatakan bahwa rakyat bukanlah mayoritas
yang diam. Mereka dapat menjelma menjadi kekuatan yang menakutkan, dan menjadi
lawan yang kuat bagi suatu pemerintahan yang despotik. 227
Keterangan di atas, agaknya ikut membentuk pemahaman penulis mengenai
keterhubungan Alî Ahmad Bâkatsîr dengan Indonesia. Meskipun Alî Ahmad Bâkatsîr
hanya mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia melalui prosa dan syair, namun itu
tidak mengabaikan perhatiannya pada kekuatan rakyat. Sama dengan penggambaran
dalam novel-novel Alî Ahmad Bâkatsîr di atas, kekuatan besar yang menyengsarakan
masyarakat, akan menemui jalan yang luar biasa terjal, ketika mendapati masyarakat
penderita itu mengonsolidasikan kekuatannya, lantas mengorganisasikan kekuatan untuk
melancarkan serangan balik.
Tema-tema politik dan kerakyatan menyita perhatian Alî Ahmad Bâkatsîr. Ia
meramu dua tema itu dengan wacana atau narasi yang pernah terjadi di masa lampau. Ia
memiliki kedekatan dengan Mesir, dan ia memahami bahwa masyarakat Mesir sangat
cinta pada kebesaran sejarah masa Pharaoh. Untuk itulah, ia banyak menggunakan
narasi sejarah klasik, dengan mengetengahkan masa Mesir Kuno atau Yunani. Landasan
ini agaknya mempunyai koneksi strategis dengan pemahamannya tentang perjuangan
rakyat Indonesia, bangsa yang juga mempunyai sejarah panjang para penguasa besar
dari masa silam, seperti Raden Wijaya di Majapahit atau Sri Baduga Maharaja di
Pajajaran. Belum diketahui secara pasti, apakah tema-tema sejarah kuno Indonesia juga
menghiasi karya-karya sastra Bâkatsîr. Namun setidaknya, dari perhatian Alî Ahmad
Bâkatsîr tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda dan Jepang, ia cukup
mempunyai perhatian terhadap tema kesejarahan Indonesia yang kemudian
diskemakannya menjadi suatu alat diplomasi228 di Dunia Arab.
Nasionalisme yang ditunjukkan Alî Ahmad Bâkatsîr adalah suatu model
nasionalisme hibrid yang memadukan kesadaran biologis bahwa dirinya mempunyai
keterkaitan dengan Indonesia sekaligus rasa simpati yang mendalam dengan negeri
kelahirannya itu. Ia tidak terjun langsung dalam barisan para pelajar Indonesia yang ikut
berjuang mengampanyekan kemerdekaan Indonesia di Mesir atau negeri Arab lainnya.
Ini bukan berarti ia abai, namun ia sengaja memilih cara lain yang menurutnya lebih

227
Ahmad Ibrahim Ali Muhammad dkk, al-Sya‟b wa al-Aduww fi al-Khithab al-Masrahi
„ind „Alî Ahmad Bâkatsîr‖, dalam Majalah al-Bahts al-„Alami fi al-Adab, Vol. 21, No. 1, 2020,
hal. 95 – 70.
228
Tobias Wille, "Representation and Agency in Diplomacy: How Kosovo Came to Agree
to the Rambouillet Accords", dalam Journal of International Relations and Development, Vol.
22, No. 4, 2019, hal. 808-831.
235
efektif dalam memperkenalkan Indonesia kepada para pemimpin Arab tentang suatu
negara yang sedang bergeliat melawan penjajah Eropa, dan sebagian besar
masyarakatnya adalah Muslim. Drama Audatul Firdaus dan karya Alî Ahmad Bâkatsîr
lainnya, adalah cara ia menunjukkan rasa nasionalismenya yang bergelora di balik
identitas kebangsaannya yang telah beralih menjadi warga negara Mesir.

236
237
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alî Ahmad Bâkatsîr adalah sastrawan keturunan Arab yang lahir di Indonesia dan
kemudian menjadi warga negara Mesir. Kiprah hidupnya yang lebih banyak dihabiskan
di Mesir, tidak membuat ingatannya akan Indonesia luntur atau hilang. Kabar dan
informasi tentang Indonesia senantiasa diikutinya, baik dari media massa, elektronik,
maupun dari percakapan-percakapan orang yang datang dari Indonesia ke Mesir.
Penglihatannya tentang Indonesia ditampilkannya dalam banyak media sastra, di
antaranya adalah dua kumpulan syairnya yang berjudul Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ
dan Bilâduk Yâ Hattâ.
Dua karya Alî Ahmad Bâkatsîr di atas adalah contoh dari sastra mahjar.
Keduanya dibuat oleh sosok yang mempunyai ikatan batin dengan negeri asalnya
(Indonesia). Nuansa nasionalisme dan antikolonialisme melekat dalam dua karya ini.
Kendati Alî Ahmad Bâkatsîr jarang sekali datang ke Indonesia, namun pengetahuannya
tentang perjuangan negeri ini diikutinya dengan baik.
Kasidah Alî Ahmad Bâkatsîr Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ berirama bahar hazj
dan Bilâduk Yâ Hattâ berirama bahar tawil. Adapun jenis kedua kasidah ini berbeda;
kasidah Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ termasuk puisi mursal (iramanya sama, tetapi
rimanya berbeda-beda), dan kasidah Bilâduk Yâ Hattâ termasuk puisi amudi (irama dan
rima sama).
Konsep sastra yang ditawarkan Alî Ahmad Bâkatsîr dalam kedua kasidahnya;
Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ dan Bilâduk Yâ Hattâ, secara umum tidak berbeda
dengan puisi-puisi Arab lainnya, akan tetapi ada beberapa karakteristik yang identik
dengan Indonesia, baik dari unsur instrinsik maupun ekstrinsiknya. Unsur instrinsiknya,
Alî Ahmad Bâkatsîr menggunakan kata ‗merdeka‘ dalam kedua kasidahnya tersebut.
‗Merdeka‘ adalah kata yang sangat populer di kalangan rakyat Indonesia kala itu. Kata
yang digunakan rakyat Indonesia dalam mengobarkan semangat perjuangan dalam
melawan penjajahan demi tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Unsur ekstrinsiknya, Alî Ahmad Bâkatsîr sangat ‗fasih‘ berbicara tentang
Indonesia; (1) penggambaran alam Indonesia, (2) kekayaan alam yang mengundang
penjajah, (3) rakyat Indonesia melawan penjajah, (4) nasionalisme dan cinta tanah air,
(5) harapan dan kegembiraan akan kemerdekaan Indonesia, (6) persaudaraan dan
kemanusiaan, dan (7) perhatian terhadap dunia internasional. Dalam kasidahnya, Alî
Ahmad Bâkatsîr membahas tentang bagaimana geliat Indonesia memperjuangan
kemerdekaannya. Ia mengulas masalah ini melalui kacamata warga Mesir. Pujian-pujian
akan kebesaran Indonesia dengan ungkapan alamnya yang seperti surga, kebesaran
negaranya yang seperti kandang harimau, atau pejuangnya yang gagah berani, seakan
menunjukkan bahwa Alî Ahmad Bâkatsîr merasa perlu memperkenalkan kekhasan-
kekhasan dari negeri ini, kepada para pembaca di dunia Arab.

238
Karya-karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr berfungsi untuk memperkenalkan
perjuangan orang Indonesia di kalangan para pemimpin Arab. Jauh sebelum
kemerdekaan Indonesia, beliau sangat rajin menulis banyak karya sastra yang
berbincang tentang Indonesia di media Mesir. Sangat jelas bahwa beliau memiliki peran
besar dalam pembentukan opini umum di Mesir terkait dengan Indonesia, sebelum
pengakuan kedaulatan oleh Mesir. Walaupun Beliau telah menjadi warga negara Mesir,
akan tetapi kecintaan terhadap Indonesia tidak pernah luntur bahkan sebaliknya.
Kebersediaan negera-negara Arab seperti Mesir dalam pengakuan kemerdekaan
Indonesia, sebelumnya diinisiasi oleh karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr tentang
Indonesia. Dengan demikian, informasi mengenai bagaimana bentuk perjuangan dan
upaya pendirian Indonesia, relatif sudah dikenal terlebih dahulu di kalangan para
pemimpin Arab. Sejauh yang diketahui, karya Alî Ahmad Bâkatsîr lainnya, salah
satunya adalah suatu naskah drama yang pernah dipentaskan di Surabaya pada sekitar
tahun Kemerdekaan Indonesia, menunjukkan adanya penerimaan di kalangan orang
Indonesia, khususnya orang Arab Hadrami tentang pentingnya membela kepentingan
Indonesia dan menanamkan kecintaan akan negeri ini di benak mereka.
Berdasarkan temuan ini, maka teori orientalis Belanda, L.W.C. van den Berg,
bahwa Orang Arab selalu terpacu untuk tanah asalnya, yakni Yaman, dan cenderung
menganggap Hindia Belanda sebagai tanah untuknya mencari nafkah serta tidak peduli
dengan keaadaan Indonesia, terpatahkan. Penggambaran ini tidak terlihat dalam diri Alî
Ahmad Bâkatsîr, setidaknya dari banyak karya yang telah ditorehkannya. Alih-alih
mengedepankan satu golongan saja, yakni kelompok Arab Hadrami, justru ia
mengalamatkan banyak karya dan perhatiannya dengan serius untuk masyarakat
Indonesia.

B. Saran
Mengingat masih banyak karya Alî Ahmad Bâkatsîr; baik yang berupa drama/
tonil, puisi, prosa, dan lain-lain yang lingkup cakupannya meliputi banyak tidak hanya
Indonesia akan tetapi melintas melanglang-buana ke banyak negara; Mesir, Yaman,
Palestina, Ethiopia, dan lain-lain. Oleh karena itu saya menyarankan kepada penggiat
sastra untuk mengkaji karya Alî Ahmad Bâkatsîr. Di tengah berkecamuknya permasalah
sosial di indonesia saat ini, menarik untuk menerapkan nilai-nilai nasionalismenya yang
terdapat di dalam karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr pada warga masyarakat Indonesia.
Khusus kepada keluarga besar Alî Ahmad Bâkatsîr, agar membentuk tim khusus
untuk melacak dan mengumpulkan karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr, agar dapat dibaca
oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Memang sudah ada sastrawan yang bernama
Abdul Hakim Abdullah Zubaidi yang telah mengoleksi karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr
dan penelitian-penitian yang bertalian dengan Alî Ahmad Bâkatsîr. Justeru Zubaidi ini
adalah bukan warga negara Indonesia, Mesir, atau Yaman, akan tetapi warga negara Uni
Emirat Arab. Sejalan dengan perihal ini, adalah Gus Mus – sastrawan dan Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Pati, Jawa Tengah – pernah menyampaikan pesan
kepada penulis agar keluarga Alî Ahmad Bâkatsîr (yang mempunyai penerbitan buku)
untuk menerjemahkan karya-karya Alî Ahmad Bâkatsîr supaya karya-karya tersebut
dikenal oleh banyak masyarakat Indonesia.
239
Khusus kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan penghargaan kepada
sastrawan Alî Ahmad Bâkatsîr atas karya-karya sastranya yang turut serta
memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional, khususnya negara Mesir dalam
rangka untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

240
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abbas, Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqashid al
Syari‟ah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010)
Achmad, Bahrudin, Sastrawan Arab Modern, (Jakarta: Guepedia, 2019)
Adams, Cindy, Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta: Yayasan Bung
Karno, 2007)
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004)
Alam, Wawan Tunggul, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Albani (al-), Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan al-Tirmidzi, Jilid 2, Terj.,
Fachrurazi, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2006)
Albani (al-), Muhammad Nashiruddin, Silsilah Hadis Sahih, Jilid 1, 1 – 250, (Solo:
Pustaka Mantiq, 1995)
Algadri, Hamid, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia,
(Jakarta: CV Haji Masagung, 1988)
Allâm, Mahdî, al-Naqd wa al-Balâghah, (Kairo: Wizârah al-Tarbiyah wa al-Ta‘lîm,
1961)
Almohanna, Mohammad, "Greek Drama in the Arab World." Dalam Betine Van Zyl
Smit, ed, A Handbook to the Reception of Greek Drama, (London: Routledge,
2016)
al-Rabî‘, Muhammad bin Abdurrahman, Adab al-Mahjar al-Syarqî, (Qâhirah: Markaz
al-Dirâsât al-Syarqiyyah Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1999)
Anderson, Bennedict, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang,
(Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2008)
Atîq, Abd al-Azîz, ‗Ilm al-„Arûd wa al-Qâfiyah, (Beirût: Dâr al-Nahdah al-Arabiyyah,
1987)
Azîz (al-), Abd bin Muhammad al-Faisal , al-Adab al-Arabî wa Târikhuh; al-„Ashr al-
Jâhilî wa „Ashr Sadr al-Islâm wa al-Ashr al-Umawi, (T.tp: Wizârah al-Ta‘lim al-
Ali Jâmi‘ah al-Imâm Muhammad bin Su‘ûd al-Islâmiyyah, 1402 H)
Aziz, M. A., Japan‟s Colonialism and Indonesia, (Dordrecht: Springer, 1955)
Bachmid, Ahmad, Sang Bintang dari Timur, Sayyid „Idrûs Aljufrî Sosok Ulama dan
Sastrawan, (Jakarta : Studia Press, 2007)
Badudu, J.S., Seri Kesusastraan Indonesia, (Bandung: Pustaka Prima, 1982)
Bâkatsîr, Ali Ahmad, Audatul Firdaus, (T.tp: Maktabah Misr, T.t)
__________, Audatul Firdaus; Kembalinya Surga yang Hilang, Sebuah Epos Lahirnya
Bangsa Indonesia, terj. (Jakarta: Menara, 2018).
__________ , Ma‟sâh Udib, (Mesir: Dâr Mishr al-Tibâ‘ah, T.t).
__________ , Humâm fi Bilâd al-Ahqâf (T.tp: Maktabah Mishr, T.t)
241
Bandel, Katrin, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, (Yogyakarta: Pustaha Hariara,
2013)
Batûtah, Ibnu, Rihlah Ibn Batûtah; Tuhfah al-Nuzzâr fi Gharâib al-Amsâr wa „Ajâib al-
Asfâr, (Beirut: Dar li Haya‘ al-Ulum, 1987)
Berg, L. W. C. van den, Orang Arab di Nusantara.Terj. Rahayu Hidayat. Judul asli: Le
Hadhramout et les Colonies Arabes Dans I‟Archipel Indien, (Depok: Komunitas
Bambu, 2010), cet.2
Bizawie, Zainul Milal, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan
Menegakkan Indonesia, 1945-1949, (Jakarta: Pustaka Compass, 2014).
Boogaart, Ernst Van Den dan Emmer, Pieter C., "Colonialism and Migration: An
Overview", dalam Piet emmer, ed, Colonialism and Migration; Indentured
Labour Before and After Slavery, (Dordrecht: Springer,1986)
Botman, Selma, The Rise of Egyptian Communism, 1939 – 1970 (New York: Syracuse
University Press, 1988)
Boyce, Mary, Middle Persian Literature, (Leiden: Rill, 1968)
Breman, Jan, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam
Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2014).
Bruijn, J. T. P de, Persian Sufi Poetry: An Introduction to the Mystical Use of Classical
Persian Poems, (London: Routledge, 2014)
Bustam, Betty Mauli Rosa, Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015)
Camus, Albert, A Happy Dead, (New York: Knopf, 1972).
Carroll, David, Albert Camus the Algerian: Colonialism, Terrorism, Justice, (New
York: Columbia University Press, 2007)
Conrad, Joseph, The Cambridge Companion to Joseph Conrad, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996)
Cooke, Lez, British Television Drama; A History, (London: Bloomsbury Publishing,
2015)
Darwîsy, Abdullah, Dirâsât fî „Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah, (Makkah: Maktabah al-Tâlib
al-Jâmî‘, 1987)
Draeger, Donn F., Weapons & Fighting Arts of Indonesia, (Vermont: Tuttle Publishing,
2012)
Enany (el-), Rasheed, Naguib Mahfouz: the Pursuit of Meaning, (London: Routledge,
2003)
Endraswara, Suwardi, Metodologi, Penelitian Sastra; Epistemelogi, Model, Teori dan
Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013)
Escarpit, Robert, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Flaubert, Gustave, Madame Bovary, (London: Bantam Classics, 1981)
Fokkens, F., Afschaffing van Pachten op Java en Madoera en in Verband Daarmede:
Verscherping van het Toezicht op de Beweging der Vreemde Oosterlingen,
(Batavia: Indisch Genootschap, 1897)
242
Garcia, Danilo, dkk, "The Future of Personality Research and Applications: Some
Latest Findings", dalam Danilo Garcia ed, Personality and Brain Disorders,
(Cham: Springer, 2019)
Gayo, M. H., Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka,
1983).
Gharavi, Lance, Religion, Theathre, and Performance, (London: Routledge, 2011)
Ghadzdzâmî (al-), Abdullah Muhammad, al-Shaut al-Qadîm al-Jadîd, (Kairo: Dâr al-
Ard, 1991)
Gibran, Kahlil, The Prophet and the Other Writing, (New York: Chartwell Book,
2019).
Gibson, Thomas, "Islamic Martyrdom and the Great Lord of the VOC, 1705–1988",
dalam T. Gibson, ed, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia, (New
York: Palgrave Macmillan, 2007)
Glen Banks dan Minako Sakai, ed, The Politics of the Periphery in Indonesia: Social
and Geographical Perspectives, (Singapore: National University of Singapore
Press, 2009)
Goldmann, Lucien dan Boelhower, William Q., Essays on Method in the Sociology of
Literature, (UK: Telos Press, 1980)
Greely, Andrew, Catholic Imagination, (California: University of California Press,
2000)
Hadi, Amirul, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010)
Halsey, Albert Henry, A History of Sociology in Britain: Science, Literature, and
Society, (Oxford: Oxford University Press, 2004)
Hamid, Mas‘an, Ilmu Arûd dan Qawafi, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995).
Hamid, Muhammad Abû Bakar, Indûnîsiyâ Malhamah al-Hubb wa al-Hurriyyah fî
Hayâh Alî Ahmad Bâkatsîr wa Adabih, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah,
2017).
Hamori, Andras, On the Art of Medieval Arabic Literature, (Princetown: Princeton
University Press, 2015).
Hassan, M. Zein, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Perjoangan Pemuda/
Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet.1
Hâsyimî (al-), Ahmad, Jawâhir al-Adab, Jilid 2, (T.tp: Dâr al-Fikr, T.t).
__________, Jawâhir al-Balâghah, (Beirût: Al-Maktabah al-Ashriyyah, T.t)
__________, Mîzân al-Dzahab fi Shinâ‟ah Syi‟r al-Arab, (Beirût: Dâr al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1990)
Hâsyimî (al-), Muhammad Âlî, al-Arûd al-Wâdih wa „Ilm al-Qâfiyah, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1991)
Hayaze, Nabiel A. Karim, Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafaqieh, Tokoh
PAI dan Nasionalis Keturunan Arab, (Jakarta: Menara, 2017)
Hengel, Martin, Saint Peter: The Underestimated Apostle, (Cambridge: Wm. B.
Eerdmans Publishing, 2010)
243
Hill, Christopher, Reformation to Industrial Revolution: 1530-1780, (London: The
Macmillan Press, 2018)
Hirst, Wolf Z., ed, Byron, the Bible, and Religion, (London: University of Delaware,
1991)
Hurgronje, Snouck, Nederland en de Islam, (Leiden: EJ Brill, 1915)
Illeris, Knud, ed, Contemporary Theories of Learning, (USA: Routledge, 2018)
__________, Suara Seorang Eksil, (Jakarta: Pustaka Pena, 2001)
Isa, Ibrahim, Bui Tanpa Jerajak Besi: Pikiran Seorang Eksil Indonesia di Luar Negeri,
(Jakarta: Klik Books, 2011)
Ishiyama, John T., dkk, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21, Jilid 2 (Jakarta:
Kencana, 2013)
Iskandarî (al-), Ahmad dan ‗Inânî, Mustâfâ, al-Wasîth, (Kairo: Matba‘ah al-Ma‘ârif,
1927)
Istvan Meszaros, ed, Aspects of History and Class Consciousness, (New York:
Routledge, 2016)
Isybilî (al-), Ibn ‗Usfûr, Darâir al-Syi‟r, (T.tp: Dâr al-Andalus, 1980 ), cet.1.
Jârim (al-), Alî dan Amîn, Mustâfâ, Al-Balâghah al-Wâdihah, (Beirût: Al-Maktabah al-
Ilmiyyah, T.t).
Jauziyah (al-), Ibnul Qayyim, Membersihkan Hati dari Gangguan Setan, (Jakarta:
Gema Insani, 2004)
__________, Surga yang Allah Janjikan, (Jakarta: Qisthi Press, 2016)
Johnson, Walter Ralph, Horace and the Dialectic of Freedom: Readings in Epistles 1.
Vol. 53, (Ithaca: Cornell University Press, 1993)
Jones, Prudence J., Reading Rivers and Roman Literature and Culture, (Lanham:
Lexington Books, 2005)
Jonge, Huub de, Mencari Identitas; Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900 – 1950),
(Jakarta: Gramedia, 2019)
Jonge, Walentina Waluyanti de, Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra
Sang Fajar yang Tak Terungkap, (Yogyakarta: Galang Press Publisher, 2013)
Junus, Umar, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985)
Kadi, Ismail Hakki dan Peacock, A.C.S. ed, Ottoman – Southeast Asia Connection, Vol.
1, (Leiden: Brill, 2020)
Kamil, Sukron, Najib Mahfuz, Sastra, Islam dan Politik; Studi Semiotik terhadap Novel
Aulad Haratuna, (Jakarta: Dian Rakyat, 2013)
__________, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, (Ciputat: UIN Jakarta Press,
2008)
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional, (Yogyakarta: Ombak, 2018)
Kendall, Elisabeth, Literature, Journalism and the Avant-Garde: Intersection in Egypt
(London: Routledge, 2006)

244
KH, Ramadhan, dkk, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
Khafaji, Muhammad Abdul Mun‘im, Madaris al-Naqd al-Adabi al-Hadits, (Kairo: al-
Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah, 1995)
Klaveren, J. J. van, The Dutch Colonial System in the East Indies, (Dordrecht: Springer,
1983)
Koentjaraningrat, Manusia dan Kabudayaan di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1988).
Lange, Christian, Paradise and Hell in Islamic Traditions, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2016)
Lewis, Bernard, Arabs in History, (Oxford: Oxford University Press, 2002)
Luxemberg, Jan van, dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1986)
Ma‘luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1998)
Majid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka,
2008)
Makkreel, Rudolf A. dan Rodi, Frithjof, ed, Wilhelm Dilthey Selected Works, Volume
V; Experience and Poetry, (Princetown: Princetown University Press, 1985)
Mandzur, Ibn, Lisan al-Arab, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990)
Mannâ‘, Hâsyim Shâlih, al-Syâfî fî al-„Arûd wa al-Qawâfî, (Beirût: Dâr al-Fikr al-
‗Arabî, 1995)
Marx, Karl, dkk, The Class Struggles in France, 1848-1850, (New York: International
Publishers, 1964)
__________, ―Classes in Capitalism and Pre-Capitalism‖ dalam David B, Grusky, Sosial
Stratification; Class, Race, Gender in Sociological Perspectives 2 nd Edition,
(New York: Routledge, 2019)
McGuire, Mary Ann C., "The Cavalier Country-House Poem: Mutations on a Jonsonian
Tradition", dalam Studies in English Literature, 1500-1900, 1979.
McNall, Scott G., ed, Bringing Calass Back In; Contemporary and Historical
Perspectives, (New York: Routledge, 2018)
Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006)
Monfries, John, A prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of
Yogyakarta. Vol. 504, (Singapoe: Institute of Southeast Asian Studies, 2015)
Moorhead, John, Ambrose: Church and Society in the Late Roman World, (London:
Routledge, 2014)
Muhammad bin Hasan bin Utsman, al-Mursyid fî al-Arûd wa al-Qawâfî, (Beirût: Dâr
al-Kutub, 2004), cet. 1.
Multatuli, Max Havelaar, (Amsterdam: K. H. Schadd, 1871)
Munawwir, Ahmad Warsun, Al-Munawwir, (Yogyakarta: KP Al-Munawwir, 1984),
Murakami, Haruki, IQ84, (Jakarta: Gramedia, 2013)
Mutairî (al-), Muhammad bin Fallâh, Al-Qawâid al-Arûdiyyah wa Ahkâm al-Qâfiyah
al-Arabiyyah, (Kuwait: Maktabah Ahl al-Atsar, 2004), cet.1.
245
Niel, Robert van, Munculnya Elite Modern di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009)
__________, Sistem Tanam Paksa di Jawa, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003).
Nimwegen, Van, The Dutch Army and the Military Revolutions, 1588-1688. Vol. 31,
(Suffolk: Boydell & Brewer, 2010)
Oktarina, Yetty dan Abdullah, Yudi, Komunikasi dalam Perspektif Teori Dan Praktik,
(Sleman: Deepublish, 2017)
Oktorino, Nino, Seri Nusantara Membara: Hancurnya Knil Minahasa, (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2018)
Orwell, George, 1984, Terj. Landung Simatupang, (Yogyakarta: Bentang, 2003)
Penders, Christian Lambert Maria, The West New Guinea Debacle: Dutch
Decolonisation and Indonesia, 1945-1962, (Honolulu: University of Hawaii
Press, 2002) .
Poesponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), cet.2.
Protschky, Susie, Photographic Subjects: Monarchy and Visual Culture in Colonial
Indonesia, (Manchester: Manchester University Press, 2019).
Qabisy, Ahmad, Târîkh al-Syi‟r al-Arabî al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Jil, 1971)
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980).
Rosa, Fernando, The Portuguese in the Creole Indian Ocean, (New York: Palgrave
Macmillan, 2015)
Rose, Mavis, Indonesia Free: a Political Biography of Mohammad Hatta, (Singapore:
Equinox Publishing, 2010)
Rubayyi‘ (al-), Muhammad bin Abdullah, Adab al-Mahjar al-Syarqî, (T.tp: Markaz al-
Dirâsât al-Syarqiyyah Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1999)
Ruggiero, Vincenzo dan Ruggiero, Vincent Ryan, Crime in Literature: Sociology of
Deviance and Fiction, (New York: Verso, 2003)
Safran, Nadav, Egypt in Search of Political Community: an Analysis of the Intellectual
and Political Evolution of Egypt, 1804-1952. No. 5., (Harvard: Harvard
University Press, 1961)
Sairâfî (al-), Abû Sa‘îd, Darûrah al-Syi‟r, (Beirût: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, 1985).
Sartre, Jean Paul, The Age of Reason, (Australia: Penguin Group, 1945)
Sastrowardoyo, Subagio, Sastra Hindia Belanda dan Kita, (Jakarta: Balai Pustaka,
1983).
Scriven, Michael, Jean-Paul Sartre: Politics and Culture in Postwar France, (London:
The Macmillan Press, Ltd., 2016)
Shakespeare, William, The Complete Works of William Shakespeare, (Hertfordshire:
Wordsworth Editions, 2007)
Shihab, M. Quraish, Yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Quran, (Ciputat:
Lentera Hati, 2010)
Shocket, Eric Shocket, Vanishing Moment; Class and American Literature, (USA: The
University of Michigan Press, 2006)

246
Sikâkî (al-), Miftâhul Ulûm, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), cet.2.
Sirkku Aaltonen dan Areeg Ibrahim, ed, Rewriting Narratives in Egyptian Theatre,
(New York: Routledge, 2016)
Situmorang, Sitor, Salju di Paris, (Jakarta: Gramedia 1994)
Solzhenitsyn, Aleksandr, The Gulag Archipelago, (New York: Harper 3, 1975).
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia Baru Islam,
1966)
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1997)
Sularto, Bambang, Wage Rudolf Supratman, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan,
2012).
Suleman, Zulfikri, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010)
Susanto, Dwi, Lekra, Lesbumi dan Manifes Kebudayaan; Sejarah Sastra Indonesia
Periode 1950 – 1966, (Yogyakarta: CAPS, 2018)
Swinfen, Ann, In Defence of Fantasy: a Study of the Genre in English and American
Literature since 1945, (London: Routledge, 2019)
Syâyib (al-), Ahmad, Usul al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-
Misriyyah, 1994)
Tarigan, Henri Guntur, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993)
Tantâwî (al-), Alî, Suwar min al-Syarq fî Indunîsiyâ, (Jedah: Dâr al-Manârah, 1992),
cet.1.
Thompson, E. P., The Making of The English Working Class, (Ne York: Pantheon
Book, 1963)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996)
Tim Tempo, Jejak Yang Melampaui Zaman, (Jakarta: Tempo, 2018)
Tomory, Leslie, The History of the London Water Industry, 1580–1820, (Baltimore:
JHU Press, 2017)
Turnbull, Stephen, Katana: The Samurai Sword, (Oxford: Bloomsbury Publishing,
2011).
__________, The Samurai Swordsman: Master of War, (South Yorkshire: Frontline
Books, 2008)
__________, The Samurai, (Oxford: Bloomsbury Publishing, 2016).
Twain, Mark, Adventures of Huckleberry Finn. Vol. 20, (California: University of
California Press, 2003)
Umam, Khatibul, Al-Muyassar fî „Ilm al-„Arûd, (Jakarta: Syirkah Hikmah Syahîd Indah,
1992), cet.2.
Umar, Ahmad Mukhtâr, Mu‟jam al-Lughah al-„Arabiyyah al-Mu‟âsirah, (Kairo: ‗Âlam
al-Kutub, 2008), cet.1.
Vaughan, Megan ed, Psychiatry and Empire, (London: Palgrave Macmillan, 2007)
247
Veliz, Claudio, The Centralist Tradion of Latin America, (Princeton: Princeton
University Press, 2014).
Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa, (New York: Verso Trade, 2018)
Walton, J. Michael, The Greek Sense of Theatre: Tragedy and Comedy, (London:
Routledge, 2015)
Ya‘qub, Emîl Badî‘, al-Mu‟jam al-Mufassal fî Ilm al-Arûd wa al-Qâfiyah wa Funûn al-
Syi‟r, (Beirût: Dâl al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991)
Yatim, Badri, Historiografi Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Zayyât (al-), Ahmad Hassân, Târikh al-Adab al-„Arabî, (Kairo: Dâr al-Nahdah, T.t).
Ziriklî (al-), Khair al-Dîn, Al-A‟lâm: Qâmûs Tarâjum li Asyhur al-Rijâl wa al-Nisâ‟ min
al-Arab wa al-Musta‟ribîn wa al-Mustasyriqîn, (Beirut: Dâr Ilm li al-Malâyîn,
2002), jilid 6, cet. Ke-15
Zoetmulder, P. J., Manunggaling Kawula Gusti, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000)
Zola, Emile, Germinal, (London: Penguin, 2014)

Jurnal, Prosiding, dan Artikel


Abd-Aun, Raad Kareem, ―Anti-Coloniality in Ali Ahmad Bakatheer‘s Mismar Juha and
Imberatoriyya Fil Mazad‖, dalamThe International Academic Forum (IAFOR)
International Conference on Arts and Humanities 2016, Dubai, UAE
Abdullah, Abdullah, "Perkembangan Islam di Arab Saudi.", dalam Jurnal Ilmiah AL-
Jauhari: Jurnal Studi Islam dan Interdisipliner, Vol. 4, No. 1, 2019.
Abdullah, Ahmad Ferdi, "Blambangan People's Resistance To VOC Year 1767- 1773",
dalam Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan dan Humaniora, Vol. 3, No. 2, 2019.
Abeyasekere, Susan, "Partai Indonesia Raja, 1936–42: A Study in Cooperative
Nationalism", dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 3, No. 2, 1972.
Abul, Rabi, Ibrahim M., "Modern Trends in Islamic Education", dalam Religious
Education, Vol. 84, No. 2, 1989.
Adams, Don, "The Creativity that Drives the World: Prophetic Realism", dalam
Process Studies, Vol. 48, No. 2, 2019
Adams, Julia, "Principals and Agents, Colonialists and Company Men: The Decay of
Colonial Control in the Dutch East Indies", dalam American Sociological Review,
1996
Adnan, "Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah", dalam
Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic Thought, Vol. 11, No. 1, 2014
Ahmadi, Shahla dan Husain, Akbar, "Effectiveness of Psychosocial and Spiritual
Interventions in the Management of Depression", dalam Indian Journal of Health
& Wellbeing, Vol. 8, No. 7, 2017.
Alfadhilah, Jauharotina, "Interpretasi Konsep Tuhan Perspektif Maulana Makhdum
Ibrahim dalam Kitab Primbon Bonang dan Suluk Wujil", dalam Islamika Inside,
248
Vol. 4, No. 2, 2018.
Ali, Fachry, "Sunda-―Java‖ and The Past: A Socio-Historical Reflection", dalam
Insaniyat: Journal of Islam and Humanities, Vol. 1, No. 1, 2016.
Ali, Mudzakkir dan Toprak,Mehmet, "The Interrelationship of Indonesia-China- India
in Religion from Arabian Islam to Nusantara Islam", dalam Proceeding of The
International Seminar and Conference on Global Issues, Vol. 1, No. 1, 2015.
Alisjahbana, Sutan Takdir, "The Indonesian Language-By-Product of Nationalism‖,
artikel, 1949
Al-Krenawi, Aleandan Graham, John R., "Conflict Resolution Through a Traditional
Ritual Among the Bedouin Arabs of the Negev", dalam Ethnology, 1999.
Amaruli, "Sumpah Pemuda Arab, 1934: Pergulatan Identitas Orang Arab-Hadrami di
Indonesia", dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018
Amatullah, Fida dan Machmudi, Yon, "Konflik Masyarakat dan Budaya dalam Koran
Terbitan Hadrami 1929–1935", dalam Jurnal Middle East and Islamic Studies,
Vol. 5, No. 1, 2018
Amir, Muhammad, "Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824", dalam
Jnana Budaya: Media Informasi dan Publikasi Sejarah dan Nilai Tradisional,
Vol. 19, No. 2, 2017
Amyuni, Mona Takieddine, "The Arab Artist's Role in Society. Three Case Studies:
Naguib Mahfouz, Tayeb Salih and Elias Khoury", dalam Arabic & Middle
Eastern Literature, Vol. 2, No. 2, 1999.
Anam, Saeful, "Karakteristik Dan Sistem Pendidikan Islam: Mengenal Sejarah
Pesantren, Surau Dan Meunasah Di Indonesia", dalam Jalie; Journal of Applied
Linguistics and Islamic Education, Vol. 1, No. 1, 2017.
Anindita, Ratya, dkk, "Boekhandel Tan Khoen Swie, Press Movement, and Javanese
Public Sphere in the Colonial Age 1915-1950", dalam Masyarakat, Kebudayaan
dan Politik, Vol. 30, No. 4, 2017.
Anugerah, Boy, "Strategi Diplomasi Republik Indonesia Guna Mencapai Kepentingan
Nasional dalam Rangka Ketahanan Nasional: Pendekatan Historis dan
Futuristis", dalam Jurnal Kajian Lemhannas RI, 2017.
Anwar, Choirul, "Islam dan Kebhinekaan di Indonesia: Peran Agama dalam Merawat
Perbedaan", dalam Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 2, 2018.
Arafat, Fashihuddin, "Potret Kafa‘ah dalam Pernikahan Kaum Alawiyyin Gresik
(Pandangan Al Habib Husein Abdullah Assegaf)", dalam Miyah: Jurnal Studi
Islam, Vol. 15, No. 2, 2019.
Areqi (al-), Rashad Mohammed Moqbel, "Rise of Islamic Literature Between Fact and
Fiction", dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol. 7, No. 4,
2016.
Argenti, Gili dan Istiningdias, Dini Sri, "Soekarno's Political Thingking About Guided
Democracy", dalam Jurnal Politikom Indonesiana, Vol. 3, No. 2, 2018.
Ariyasajsiskul, Supaporn, "The So-called Tin Monopoly in Ligor: The Limits of VOC
Power vis à vis a Southern Thai Trading Polity", dalam Itinerario, Vol. 28, No. 3,
2004.
249
Arta, Ketut Sedana, "Kurikulum dan Kontroversi Buku Teks Sejarah dalam KTSP",
dalam Media Komunikasi FIS, Vol. 11, No. 2, 2012.
Asani, Ali S., "Sufi Poetry in the Folk Tradition of Indo-Pakistan", dalam Religion &
Literature, 1988.
Ashworth, Lucian, "The 1945-1949 Dutch-Indonesian Conflict: Lessons and
Perspectives in the Study of Insurgency", dalam Journal of Conflict Studies, Vol.
10, No. 1, 1990.
Aspinall, Edward dan Berger, Mark T., "The Break-Up of Indonesia? Nationalisms
after Decolonisation and the Limits of the Nation-State in Post-Cold War
Southeast Asia", dalam Third World Quarterly, Vol. 22, No. 6, 2001.
Astuti, Sri, "Agama, Budaya dan Perubahan Sosial Perspektif Pendidikan Islam di
Aceh", dalam Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian Pendidikan Agama Islam, Vol.
7, No. 1, 2017.
Athoillah, Ahmad, "Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia
Abad XVIII-XX", dalam Lembaran Sejarah, Vol. 14, No. 2, 2018.
Atiqoh,"Perhimpunan Indonesia sebagai Organisasi Pergerakan Indonesia yang
Revolusioner (1922-1930)", dalam Risalah, Vol. 2, No. 6, 2016.
Atno dan Utama, Nanda Julian, "Dari Rakyat untuk Rakyat: Benih, Cikal-Bakal, dan
Kelahiran Tentara Indonesia 1945-1947", dalam Journal of Indonesian History,
Vol. 7, No. 1, 2018.
Awan, Maqbool Ahmad. "Gamal Abdel Nasser‘s Pan-Arabism and Formation of the
United Arab Republic: An Appraisal", dalam Journal of Research Society of
Pakistan, Vol. 54, No. 1, 2017.
Azmeh (al-), Aziz, "Barbarians in Arab Eyes", dalam Past & Present, Vol. 134, 1992.
Badawi, Muhammad Mustafa, "Islam in Modern Egyptian Literature", dalam Journal of
Arabic Literature, Vol. 2, 1971
Bagmanova, Nargis I.,dkk, "Western and Eastern Traditions of Rose Image's Symbolic
Reflection in the Vladimir Soloviev's Poetry", dalam Journal of Organizational
Culture, Communications and Conflict, Vol. 20, 2016
Baidhawy, Zakiyuddin, "Muatan Nilai-Nilai Multikultural dan Anti Multikultural dari
Mimbar Masjid di Kota Solo", dalam Analisa: Journal of Social Science and
Religion, Vol. 21, No. 2, 2014,
Banindro, Baskoro Suryo, "Daya Gagas Poster dalam Pergerakan dan Kebebasan
Revolusi Indonesia 1945-1965", dalam Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain, Vol.
21, No. 1, 2018
Barber, Benjamin dan Miller, Charles, "Propaganda and Combat Motivation: Radio
Broadcasts and German Soldiers‘ Performance in World War II", dalam World
Politics, Vol. 71, No. 3, 2019
Barker, Joshua, "Beyond Bandung: Developmental Nationalism and (Multi) Cultural
Nationalism in Indonesia", dalam Third World Quarterly, Vol. 29, No. 3, 2008
Bartle, George F., "The role of the British and Foreign School Society in Elementary
Education in India and the East Indies 1813‐ 75", dalam History of Education,
Vol. 23, No. 1, 1994.
250
Bartlett, Harley Harris, "A Tiger Charm with Inscribed Invocation: From the
Pardembanan Batak of Silo Maradja, Asahan, Sumatra", dalam Ethnos, Vol. 16,
No. 1-2, 1951.
Baso, Ahmad, "―Angajawi‖, or, On Being Muslim Nusantara: The Global Argument for
Islam (ic) Nusantara", dalam Heritage of Nusantara: International Journal of
Religious Literature and Heritage (e-Journal), Vol. 8, No. 1, 2019.
Basundoro, Purnawan, "AR Baswedan: dari Ampel ke Indonesia", dalam Lakon Jurnal
Kajian Sastra dan Budaya, Vol. 1, No. 1, 2012.
Beck, Dorothy Fahs, "The Changing Moslem Family of the Middle East", dalam
Marriage and Family Living, Vol. 19, No. 4, 1957.
Bell, John, "Islamic Performance and the Problem of Drama", dalam TDR/ The Drama
Review, Vol. 49, No. 4, 2005.
Bellina, Berenice, dkk, "Southeast Asian Early Maritime Silk Road Trading Polities‘
Hinterland and The Sea-Nomads of The Isthmus of Kra" dalam Journal of
Anthropological Archaeology, Vol. 54, 2019
Benda, Harry J., "The Pattern of Administrative Reforms in the Closing Years of Dutch
Rule in Indonesia", dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 25, No. 4, 1966
Berg, L. W. C. van den, "De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch- Indie",
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië,
1901
Berk,Gerald, "State Building Through Mediation: The US Anti-Submarine Warfare
Operations Research Group in World War II", in Polity, Vol. 51, No. 3, 2019.
Bevacqua, Michael Lujan, "Guam: Protests at the Tip of America's Spear", dalam South
Atlantic Quarterly, Vol. 116, No. 1, 2017
Beye, Charles Rowan, "Jason as Love-Hero in Apollonios‘ Argonautica", dalam Greek,
Roman, and Byzantine Studies, Vol.10, No. 1, 1969
Bhabha, Homi, "Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse",
dalam October, Vol. 28, 1984
Blair, Kirstie, "Spasmodic Affections: Poetry, Pathology, and the Spasmodic Hero",
dalam Victorian Poetry, Vol. 42, No. 4, 2004
Blusse, Leonard, "Labour takes Root; Mobilization and Immobilization of Javanese
Rural Society under the Cultivation System", dalam Itinerario, Vol. 8, No. 1,
1984
Bollu, Pradeep C., dan Kaur, Harleen, "Sleep Medicine: Insomnia and Sleep", dalam
Missouri Medicine, Vol. 116, No. 1, 2019
Boomgaard, Peter, "Death to the Tiger! The Development of Tiger and Leopard Rituals
in Java, 1605–1906", dalam South East Asia Research, Vol. 2, No. 2, 1994
Boudad, Naaima, dkk, "Sentiment Analysis in Arabic: A Review of The Literature",
dalam Ain Shams Engineering Journal, Vol. 9, No. 4, 2018
Bourdieu, Pierre dkk. "Flaubert's point of view", dalam Critical Inquiry, Vol. 14, No. 3,
1988.
Bowen, John R., "On Scriptural Essentialism and Ritual Variation: Muslim Sacrifice in

251
Sumatra and Morocco", dalam American Ethnologist, Vol. 19, No. 4, 1992
Braginsky, Vladimir I., "Two Eastern Christian Sources on Medieval Nusantara", dalam
Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Vol. 154, No. 3, 1998
Broadberry, Stephen, dkk, "India and the Great Divergence: An Anglo-Indian
Comparison of GDP Per Capita, 1600–1871", dalam Explorations in Economic
History, Vol. 55, 2015
Brubacher, Sonja P., dkk, "Guidelines for Teachers to Elicit Detailed and Accurate
Narrative Accounts from Children", dalam Children and Youth Services Review,
Vol. 63, 2016
Bruinessen, Martin Van, "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara
Naik Haji", dalam Ulumul Quran, Vol. 2, No. 5, 1990
Bujra, A. S., "Political Conflict and Stratification in Hadramaut", dalam Middle Eastern
Studies, Vol. 3, No. 4, 1967
Bunnell, Tim, "Multiculturalism's Regeneration: Celebrating Merdeka (Malaysian
Independence) in a European Capital of Culture", dalam Transactions of the
Institute of British Geographers, Vol. 33, No. 2, 2008
Burhanudin, Jajat, "Islam dan Kolonialisme: Sayyid Usman dan Islam di Indonesia
Masa Penjajahan", dalam Studia Islamika, Vol. 22, No. 1, 2015
__________, "The Triumph of Ruler: Islam and Statecraft in Pre-Colonial Malay-
Archipelago", dalam Al-Jami'ah, Vol. 55, No. 1, 2017
Campbell, Kassandra, dkk, "Two Species, one Snare: Analysing Snare Usage and The
Impacts of Tiger Poaching on A Non-Target Species, The Malayan Tapir", dalam
Biological Conservation, Vol. 231, 2019
Carey, Peter, "The Origins of the Java War (1825-30)", dalam The English Historical
Review, Vol. 91, No. 358, 1976
Chaichian, Mohammad A., "The Effects of World Capitalist Economy on Urbanization
in Egypt, 1800–1970", dalam International Journal of Middle East Studies, Vol.
20, No. 1, 1988
Chambert-Loir, Henri dkk. "Le Langgar Tinggi de Pekojan, Jakarta", dalam Archipel,
Vol. 30, No. 1, 1985
Chaplin, Chris, "Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and
Doctrinal Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse",
dalamAustrian Journal of South-East Asian Studies, Vol. 7, No. 2, 2014
Chawari, Muhammad, "Spesifikasi dan Asal Sarana Pertahanan Asing yang Ada di
Pulau Madura: Bunker Jepang vs Bunker Belanda", dalam Berkala Arkeologi
Sangkhakala, Vol. 19, No. 1, 2017
Chen, Hung-Shu, "Translation of Cultural Images of Wolf and Tiger", dalam Fu Jen
Studies: Literature & Linguistics, Vol. 49, 2016
Chiarenza, Marguerite Mills, "The Imageless Vision and Dante's Paradiso", dalam
Dante Studies, with the Annual Report of the Dante Society, 1972
Chittick, William C., "The Perfect Man as the Prototype of the Self in the Sufism of
Jami", dalam Studia Islamica, 1979

252
Christiansen, Johanne Louise, "‗Stay up During the Night, Except for a Little‘(Q 73: 2):
The Qur‘anic Vigils as Ascetic Training Programs", dalam Religion, 2019
Clarence-Smith, William G., "The Rise and Fall of Hadhrami Shipping in the Indian
Ocean, c. 1750-c. 1940", dalam Ships and the Development of Maritime
Technology in the Indian Ocean, 2002
Clark, Robert H, "A Narrative History of African American Marching Band: Toward A
Historicultural Understanding", dalam Journal of Historical Research in Music
Education, 2019.
Clement, Tanya, "The Poem Electric: Technology and the Lyric by Seth Perlow",
dalam Information & Culture: A Journal of History, Vol. 54, No. 3, 2019
Collier, Garydan Kuiken, Don, "A Phenomenological Study of the Experience of
Poetry", dalam Journal of Phenomenological Psychology, Vol.7, No. 2, 1977
Cormack, Raphael Christian, "Oedipus on the Nile: Translations and Adaptations of
Sophocles‘ Oedipus Tyrannos in Egypt, 1900-1970", artikel, 2017.
Cribb, Robert, "Convict Exile and Penal Settlement in Colonial Indonesia", dalam
Journal of Colonialism and Colonial History, Vol. 18, No. 3, 2017.
__________, "Military Strategy in the Indonesian Revolution: Nasution's Concept of
‗Total People's War‘in Theory and Practice", dalam War &Society, Vol. 19, No.
2, 2001
Cunningham, Lawrence S., "Saints and Martyrs: Some Contemporary Considerations",
dalam Theological Studies, Vol. 60, No. 3, 1999
Dahami, Yahya Saleh Hasan, "The Arabic Tongue: A Worthy Language", dalam
European Journal of Language and Literature, Vol. 4, No. 4, 2019
Dahlan, Muhammad, "Kontribusi Abu Bakar Terhadap Perkembangan
Islam", dalam Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2, 2018
Dandi, Idan, "Sayyid Usman dan Pandangan Kontroversialnya tentang Pemerintah
Kolonial Belanda", dalam Jurnal Tamaddun, Vol. 5, No. 2, 2017.
Darban, A. Adaby, "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah", dalam Humaniora, Vol.
16, No. 1, 2010
__________, "Sejarah Bambu Runcing", suatu artikel, 1988.
Dardiri, Taufiq A., "Perkembangan Puisi Arab Modern", dalam Adabiyyat: Jurnal
Bahasa dan Sastra, Vol. 10, No. 2, 2011
Daud, Ilyas, "Surga di dalam Hadis", dalam Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic
Thought, Vol. 15, No. 1, 2018
Davidovitch, Nitza dan Khyhniak, Kateryna, "Language Personality in the Conditions
of Cross-Cultural Communication: Case-Study Experience", dalam International
Education Studies, Vol. 11, No. 2, 2018
Davis, Diana K., "Desert ‗Wastes‘ of the Maghreb: Desertification Narratives in French
Colonial Environmental History of North Africa", dalam Cultural Geographies,
Vol. 11, No. 4, 2004
Dikawati, Reni. "Pemikiran dan Peranan RMT Koesoemo Oetoyo dalam Pergerakan
Nasional Indonesia di Bidang Politik, Sosial, Ekonomi Tahun 1908-1942", dalam

253
Risalah, Vol. 2, No. 5, 2016.
Dixon, Boyd, dkk, "Pagan: the Archaeology of a WWII Battle Never Fought in the
Northern Mariana Islands", dalam Journal of Conflict Archaeology, Vol. 13, No.
1, 2018
Downey, Harris, "TS Eliot-Poet as Playwright", dalam The Virginia Quarterly Review,
Vol. 12, No. 1, 1936
Doyle, Brian, "Heaven, Earth, Sea, Field and Forest: Unnatural Nature in Ps 96", dalam
Journal of Northwest Semitic Languages, Vol. 27, No. 2, 2001
Dreyer, June Teufel, "Taiwan and Japan in the Tsai Era", dalam Orbis, Vol. 60, No.
4, 2016
Dua, Mikhael dan Ajisuksmo, Clara RP, "Indonesian Student Perspectives on A
Humanity-Based Nationalism", dalam Prajna Vihara, Vol. 20, No. 1, 2019
Effendi, "Historisitas Kisah Fir'aun dalam Perspektif Islam", dalam Al-Adyan: Jurnal
Studi Lintas Agama, Vol. 13, No. 1, 2018
Eggert, Paul, "The Dutch-Australian Connection: Willem Siebenhaar, DH Lawrence,
Max Havelaar and Kangaroo", dalam Australian Literary Studies, Vol. 21, No. 1,
2003.
El-Ariss, Tarek. "Return of the Beast: From Pre-Islamic Ode to Contemporary Novel",
dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 47, No. 1-2, 2016.
El-Ghobashy,Mona, "The Metamorphosis of the Egyptian Muslim Brothers", dalam
International Journal of Middle East Studies, Vol. 37, No. 3, 2005
English, James F., "Everywhere and Nowhere: The Sociology of Literature After" the
Sociology of Literature"", dalam New Literary History, Vol. 41, No. 2, 2010
Ensor, Jason Donald, "Reprints, International Markets and Local Literary Taste: New
Empiricism and Australian Literature", dalam Journal of the Association for the
Study of Australian Literature, 2008
Errington, J. Joseph, "On the Ideology of Indonesian Language Development: The State
of a Language of State", dalam Pragmatics, Vol. 2, No. 3, 1992
Errington, J. Joseph, "Self and Self‐ Conduct Among the Javanese Priyayi Elite", dalam
American Ethnologist, Vol. 11, No. 2, 1984
Ertan, Arhan, dkk, "Who was Colonized and When? A Cross-Country Analysis of
Determinants", dalam European Economic Review, Vol. 83, 2016
Erviani, Fitria dan Erwin, A., "Potret Pahlawan dalam Karya Tapestri", dalam Serupa
The Journal of Art Education, Vol. 6, No. 1, 2017
Ess, Charles, "Ethical Pluralism and Global Information Ethics", dalam Ethics and
Information Technology, Vol. 8, No. 4, 2006
Ewaidat, Hala, "Al-Sharqawy‘s Al-Ardd (The Land): An Ecocritical Exploration in
Arabic Literature: A Cultural Approach", dalam ISLE: Interdisciplinary Studies
in Literature and Environment, 2019.
Fabrykant, Marharyta, "Russian-Speaking Belarusian Nationalism: An Ethnolinguistic
Identity Without a Language?", dalam Europe-Asia Studies, Vol. 71, No. 1, 2019

254
Fadli, Muhammad Rijal dan Kumalasari, Dyah, "Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang", dalam Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya,
dan Pengajarannya, Vol. 13, No. 2, 2019
Fairhead, James, dkk, "Green Grabbing: a New Appropriation of Nature?", dalam
Journal of Peasant Studies, Vol. 39, No. 2, 2012
Faiz, Fahruddin, "Sufisme-Persia dan Pengaruhnya Terhadap Ekspresi Budaya Islam
Nusantara", dalam Esensia, Vol. 17, No. 1, 2016
Farida, Umma, "Peran Ikhwânul Muslimîn dalam Perubahan Sosial Politik di Mesir",
dalam Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, 2014
Farzan, Massud, "The Neo-Sufic Poetry of Sohrab Sepehri", dalam Books Abroad, Vol.
47, No. 1, 1973
Fathil, Fauziah dan Fathil, Fathiah, "Japanese Propaganda in War-time Malaya: Main
Issues in Malai Shinpo and Syonan Shinbun", dalam Journal of Media and
Information Warfare, Vol 10, 2017
Fattah, Abdel, dkk, "Sand Transport in Nile River, Egypt", dalam Journal of Hydraulic
Engineering, Vol. 130, No. 6, 2004
Feener, R. Michael, "Hybridity and the" Hadhrami Diaspora" in the Indian Ocean
Muslim Networks", dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 32, No. 3, 2004
Feith, Herbert, "President Soekarno, The Army and The Communists: The Triangle
Changes Shape", dalam Asian Survey, 1964
Findlow, Sally, "Islam, Modernity And Education in the Arab States", dalam
Intercultural Education, Vol. 19, No. 4, 2008
Fitriani, Mohamad Iwan, "Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas Islam Pribumi
Versus Islam Salafi di Sasak Lombok", dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Vol. 5, No. 2, 2015
Formichi, Chiara, "Pan-Islam and Religious Nationalism: the Case of Kartosuwiryo and
Negara Islam Indonesia", dalam Indonesia, Vol. 90, 2010
Foulcher, Keith, "Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of
Indonesian Nationhood", dalam Asian Studies Review, Vol. 24, No. 3, 2000
Fuady, Mirza, "Peremajaan Kawasan Makam Kerkhoff sebagai Objek Bersejarah di
Banda Aceh", dalam Tataloka, Vol. 14, No. 3, 2016
Gallagher, Kent G., "Emotion in Tragedy and Melodrama", dalam Educational Theatre
Journal, 1965
Ganap, Victor, "Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni‖,
dalam Humaniora, Vol. 24, No. 2, 2012
Geertz, Clifford, "Comments on Benjamin White's" Demand for Labor and Population
Growth in Colonial Java"", dalam Human Ecology, 1973
Gelder,G. J. H. Van, Beyond the Line: Classical Arabic Literary Critics on the
Coherence and Unity of the Poem. Vol. 8 (Leiden: Brill, 1982)
Gelderblom,Oscar dan Jonker, Joost, "Completing a Financial Revolution: The Finance
of the Dutch East India Trade and the Rise of the Amsterdam Capital Market,
1595–1612", dalam The Journal of Economic History, Vol. 64, No. 3, 2004

255
Gerdén, Mara Lee, "Journeys into the Night", dalam Lambda Nordica, Vol. 23, No. 1-2,
2018
Gerhart, Barry dan Fang, Meiyu, "Pay, Intrinsic Motivation, Extrinsic Motivation,
Performance, and Creativity in The Workplace: Revisiting Long-Held Beliefs",
dalam Annu. Rev. Organ. Psychol. Organ. Behav, Vol.2, No. 1, 2015
Gilboa, Avi dan Bodner, Ehud, "What are Your Thoughts when the National Anthem is
Playing? An Empirical Exploration", dalam Psychology of Music, Vol. 37, No. 4,
2009
Goddard, Cliff, "" Cultural Scripts" and Communicative Style in Malay (" Bahasa
Melayu")", dalam Anthropological Linguistics, 2000
Goitein, Shlomo Dov, "Nicknames as Family Names", dalam Journal of the American
Oriental Society, 1970
Goodman, Giora, "‗Local Repercussions‘: the Impact of Staff ‗Bias‘ and Market
‗Sensitivity‘on Reuters Coverage of the Arab-Israeli Conflict, 1967–73", dalam
The International History Review, Vol. 38, No. 3, 2016
Goor, J. Van, "India and the Indonesian Archipelago from the Generale Missiven der
VOC (Dutch East India Company)", dalam Itinerario, Vol. 16, No. 2, 1992
Gordon, Alec, "Netherlands East Indies: The Large Colonial Surplus of Indonesia,
1878‐ 1939", dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 40, No. 3, 2010
Gordon, Mordechai, "Teachers as Absurd Heroes: Camus‘ Sisyphus and the Promise of
Rebellion", in Educational Philosophy and Theory, Vol. 48, No. 6, 2016
Gouda,Frances, "The Gendered Rhetoric of Colonialism and Anti-Colonialism in
Twentieth-Century Indonesia", dalam Indonesia, Vol. 55, 1993
Graaf, Hermanus Johannes de, "De Regenten van Semarang ten Tijde van de VOC,
1682-1809", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Vol. 2/3de,
1978
Griswold, Wendy, "Recent Moves in the Sociology of Literature", dalam Annual
Review of Sociology, Vol. 19, No. 1 (1993)
Gunawan, "Peta Kemunculan Pemikiran Modern dalam Islam", dalam Ath Thariq, Vol.
3, No. 1, 2019
Gunawan, Rudy, "Pembelajaran Nilai-nilai Pahlawan Kemerdekaan Soekarno Dalam
Rangka Mengembalikan Karakter Bangsa Indonesia", dalam E-Journal Widya
Non-Eksakta, Vol. 1, No. 1, 2013.
Gusmian, Islah, "KH Raden Muhammad Adnan (1889-1969 M): Ulama dan Pejuang di
Bidang Pendidikan, Politik, dan Agama dari Kauman Surakarta", dalam Jurnal
Lektur Keagamaan, Vol. 15, No. 1, 2017
Hadi, Aulia, "‖Bobotoh Persib‖ dan Konstruksi Identitas di Era Digital", dalam Jurnal
Masyarakat dan Budaya, Vol. 19, No. 1, 2017
Hahm, Sung Deuk danHeo, Uk, "History and Territorial Disputes, Domestic Politics,
and International Relations: An Analysis of the Relationship among South Korea,
China, and Japan", dalam Korea Observer, Vol. 50, No. 1, 2019

256
Hakiki, Kiki Muhamad, "Islam dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim dan
Penerapannya di Indonesia", dalam Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya, Vol. 1, No. 1, 2016
Halabi, Zeina G. "The literary lives of Umm Kulthūm: Cossery, Ghali, Negm, and the
critique of Nasserism", dalam Middle Eastern Literatures, Vol. 19, No. 1, 2016
Hall, Kenneth R., "Commodity Flows, Diaspora Networking, and Contested Agency in
the Eastern Indian Ocean c. 1000–1500", dalam TRaNS: Trans- Regional and-
National Studies of Southeast Asia, Vol. 4, No. 2, 2016
Hall, Kenneth R., "European Southeast Asia Encounters with Islamic Expansionism,
circa 1500-1700: Comparative Case Studies of Banten, Ayutthaya, and
Banjarmasin in the Wider Indian Ocean Context", dalam Journal of World
History, 2014
Halumiah,Sitti, dkk., "Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Dampak Industri Pariwisata
Taman Safari Indonesia ditinjau dari Konsep Pembangunan Berkelanjutan",
dalam Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of
Natural Resources and Environmental Management), Vol.4, No. 2, 2014
Hammond, Kilby, "The Question of Japanese-ness: Repatriation and Guilt in Postwar
Japan", dalam Asia Pacific Perspectives, Vol. 13, No. 1, 2015.
Hanafi, Imam, "Dinamika Kebijakan Pendidikan di Mesir; Telaah atas Perjalanan
Pendidikan Pasca Ekspansi Napoleon Bonaparte", dalam Madania, Vol. 6, No. 2,
2018
Hanauer, David Ian, ―What We Now about Reading Poetry; Theoritical Positions and
Empirical Research”, dalam Dick Schram dan Gerard J. Steen, ed, The
Psychology and Sociology of Literature: In Honor of Elrud Ibsch. Vol. 35,
(Amsterdam: John Benjamins Publishing, 2001)
Handayani, Sri Ana, "Nasionalisme di Indonesia", dalam Jurnal Historia, Vol. 1, No. 2,
2019
Hannase, Mulawarman, "The Dilemma Between Religious Doctrine and Political
Pragmatism: Study of Hamas in Palestine", dalam Religio: Jurnal Studi Agama-
agama, Vol. 10, No. 1, 2020
Hanson, Kristin dan Emma O‘Dwyer. "Patriotism and Nationalism, Left and Right:
AQ‐Methodology Study of American National Identity", dalam Political
Psychology, Vol. 40, No. 4, 2019
Harries, Lyndon, ―Vernacular Literature in African Language Teaching‖, dalam
Prosiding of Conference of African Language and Literature di North Western
University pada 28 – 30 April 1966
Hartadi, Yohanes, "Criticisms toward Javanese Culture in Pramoedya Ananta Toer's
Bumi Manusla: An Analysis on The Dominant Culture of The Priyayi", dalam
Celt: A Journal of Culture, English Language Teaching & Literature, Vol. 1, No.
1, 2017
Harun, Nor Zalina, dkk, "The Physical Characteristics of an Islamic Garden: Studies of
the Andalusian Gardens", dalam Advanced Science Letters, Vol. 23, No. 4, 2017
Haryadi, Aswandan Muthia, Nurhasanah, "Gerakan Politik Negara Islam Irak dan

257
Suriah (ISIS) dan Pengaruhnya terhadap Indonesia", dalam Jurnal Transborders,
Vol. 1, No. 1, 2017.
Haryanto, Sri, "Pendekatan Historis dalam Studi Islam", dalam Manarul Qur'an, Vol.
17, No. 1, 2017
Hasanuddin, "Politik Dan Perdagangan Kolonial Belanda di Pontianak", dalam
Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 8, No. 2, 2016
Hashim, Siti Nurul Izza dan Rozali, Ermy Azziaty, "Perjuangan Rashid Rida
dalam Gagasan Pan-Islamisme", dalam International Journal of West Asian
Studies, Vol. 5, No. 1, 2013.
Hasiah, "Mengungkap Jejak Iblis dan Setan dalam Alquran", dalam Studi
Multidisipliner: Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 5, No. 1, 2018
Hassan, Fekri A., "The Dynamics of a Riverine Civilization: a Geoarchaeological
Perspective on the Nile Valley, Egypt", dalam World Archaeology, Vol. 29, No.
1, 1997
Hassim, Eeqbal, ―The Significance of Qur‘anic Verses in the Literature of Ali Ahmad
Bakathir‖ dalam National Centre of Exellence for Islamic Studies (NCEIS)
Research Papers, Vol. 1, No. 3
Hasyim, Abdul Wahid, "Becoming Indonesia: Political Gait of the Arabs in the Pre-
Independence Period", dalam Insaniyat: Journal of Islam and Humanities, Vol.
4, No. 2, 2020
Haugbolle, Sune, "The New Arab Left and 1967", dalam British Journal of Middle
Eastern Studies, Vol. 44, No. 4, 2017
Heniarti, Dini Dewi, "Amanat dari Surabaya", artikel, 2009
Henkel, Heiko, "‗Between Belief and Unbelief Lies the Performance of Salāt‘: Meaning
and Efficacy of a Muslim Ritual", dalam Journal of the Royal Anthropological
Institute, Vol. 11, No. 3, 2005
Hennida, Citra, dkk. "Budaya dan Pembangunan Ekonomi di Jepang, Korea Selatan dan
China", dalam Global & Strategis, Vol. 10, No. 2, 2017
Herdi, Sahrasad, dkk. "Sutan Syahrir's Footprint in Egypt, Middle East: A History that
is Almost Forgotten", dalam Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi dan
Perubahan Sosial, Vol. 7, No. 2, 2020
Herdiansah, Ari Ganjar, "Politisasi Identitas dalam Kompetisi Pemilu di Indonesia
Pasca 2014", dalam Jurnal Bawaslu, Vol. 3, No. 2, 2017
Hidayat, Amry Nur, "Kalimat Anomali dalam Fiksimini", dalam Prosiding Setali, 2017
Hidayat, Arief, dkk, "Keluarga-Keluarga di Pedesaan Pinggiran Selatan Jakarta 1904-
1960," artikel dipresentasikan dalam Seminar Nasional Riset Inovatif (SENARI)
ke-4 tahun 2016.
Hidayat, Rahmat, "Pandangan Dunia dalam Naskah Drama Hārūt Wa Mārūt Karya Alī
Achmad Bākatsīr", dalam Jurnal CMES, Vol. 7, No. 1
Hill, Hal, "Regional Development in a Boom and Bust Petroleum Economy: Indonesia
Since 1970", dalam Economic Development and Cultural Change, Vol. 40, No.
2, 1992

258
Hillocks, G., "The Territory of Literature", dalam English Education, Vol.48, No. 2,
2016
Hodges, Paul, "They Don't Like it Up'em!: Bayonet Fetishization in the British Army
During the First World War", dalam Journal of War & Culture Studies, Vol. 1,
No. 2, 2008
Hodgson, Geoffrey, "Keris Types and Terms", dalam Journal of the Malayan Branch of
the Royal Asiatic Society, Vol. 29, No. 4, 1956
Hoskin, Michael, "William Herschel‘s Application for a Coat of Arms", dalam
Journal for the History of Astronomy, Vol.47, No. 2, 2016
Hunt, Thomas E. "The influence of French colonial humanism on the study of late
antiquity: Braudel, Marrou, Brown", dalam International Journal of Francophone
Studies, Vol. 21, 2018
Huppert, George, "Lucien Febvre and Marc Bloch: The Creation of the Annales",
dalam The French Review, Vol. 55, No. 4, 1982
Hussein, Nasr el-Din Ibrahim Ahmed, and Abdul Halim Sami, Al-Riwâyah al-
Târîkhiyyah baina al-Maudlu‟iyyah wa al-Fanniyyah inda Alî Ahmâd Bâkatsîr wa
Jurjî Zaidân (Historical Novels Between Objectivity and Art according to Ali
Ahmad Bakathir and Jurji Zaydan), al-Tajdîd, al-Mujallad 23, al-Adad 45.
Hutabarat, Pangeran Nagari, dkk, "Pemikiran Politik Mohammad Hatta Tentang
Demokrasi", dalam Journal of Politic and Government Studies, Vol. 4, No. 2,
2015
Hynes, Niki, "Colour and Meaning in Corporate Logos: An Empirical Study" dalam
Journal of Brand Management, Vol.16, No. 8, 2009
Immerwahr, Daniel, "The greater United States: Territory and Empire in US History",
dalam Diplomatic History, Vol. 40, No. 3, 2016
Imran bin Tajudeen, "Trade, Politics, and Sufi Synthesis in the Formation of Southeast
Asian Islamic Architecture", dalam A Companion to Islamic Art and
Architecture, 2017
Inda, Dian Nathalia, "Memang Jodoh: Pemberontakan Marah Rusli Terhadap Tradisi
Minangkabau", dalam Kandai, Vol. 11, No. 2, 2017
Ingleson, John, "Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java", dalam
Pacific Affairs, Vol. 54, No. 3, 1981
Irwin, Douglas A., "Mercantilism as Strategic Trade Policy: the Anglo-Dutch Rivalry
for the East India Trade", dalam Journal of Political Economy, Vol. 99, No. 6,
1991
Iskandar, Mohammad, "Nusantara dalam Era Niaga Sebelum Abad ke-19", dalam
Wacana, Vol. 7, No. 2, 2005
Ismangil, Milan, "Subversive Nationalism Through Memes: A Dota 2 Case Study",
dalam Studies in Ethnicity and Nationalism, Vol. 19, No. 2, 2019
Jacobsen, Frode, "Marriage Patterns and Social Stratification in Present Hadrami Arab
Societies in Central and Eastern Indonesia", dalam Asian Journal of Social
Science, Vol. 35, No. 4-5, 2007
Jacobson, Neil S., "Beyond Empiricism: The Politics of Marital Therapy", dalam
259
American Journal of Family Therapy, Vol. 11, No. 2, 1983
Jangebe, Huzaifa Aliyu, "Abu Muslim Al-Khurasani: The Legendary Hero of
Abbasid Propaganda", dalam Journal of Humanities and Social Sciences, Vol.
19, No. 1, 2014
Jankowski, James, "Egyptian Responses to the Palestine Problem in the Interwar
Period", dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 12, No. 1,
1980
Jannah, Miftahul, "Remaja dan Tugas-Tugas Perkembangannya dalam Islam", dalam
Psikoislamedia, Vol. 1, No. 1, 2017.
Jaquet, F. G. P., "Mutiny en Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19e Eeuwse Bronnen",
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1980
Jati, Slamet Sujud Purnawan dan Wahyudi,Deny Yudo, "The Ancient Grave of Troloyo
in Trowulan", dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 7, No. 4,
2016
Jenkins, David, "The Invasion of the Dutch East Indies Transed. by Willem
Remmelink", dalam Indonesia, Vol. 102, No. 1, 2016
John W, Meyer, dkk, "World Society and the Nation-State", dalam American Journal of
Sociology, Vol. 103, No. 1, 1997
Johnston, Alexandre, "Knowledge, Suffering and The Performance of Wisdom in
Solon's Elegy To The Muses and The Babylonian Poem Of The Righteous
Sufferer", dalam The Cambridge Classical Journal, 2019
Jonge, Huub De, "Discord and Solidarity Among the Arabs in the Netherlands East
Indies, 1900-1942", dalam Indonesia, Vol. 55, 1993
Junaedi, Didi, "Memahami Teks, Melahirkan Konteks: Menelisik Interpretasi Ideologis
Jamaah Tabligh", dalam Journal of Qur'an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1,
2013
Kadir, Abdul, dkk, "Seni dalam Islam: Kajian Khusus Terhadap Seni Ukir", dalam
Journal of Islamic Thought and Understanding, Vol. 1, No. 1, 2018
Kagan, Susan, "Live in Ramallah/West-Eastern Divan Orchestra/Daniel
Barenboim/Beethoven Symphony no. 5/Mozart Sinfonia Concertante, K.
297b", dalam The Beethoven Journal, Vol. 21, No. 1, 2006.
Kamil, Sukron, "Critique and Development of Modernity: From Romantic Criticism to
Post-modernism" dalam Insaniyat, Vol. 1, No. 2, 2017
Kaptein, Nico, "The Sayyid and The Queen: Sayyid ʿUthmān on Queen Wilhelmina's
Inauguration on the Throne of the Netherlands in 1898", dalam Journal of
Islamic Studies, Vol. 9, No. 2, 1998
Karim, Muhammad Abdul, "Baghdad‘s Fall and Its Aftermath: Contesting the Central
Asian Political Background and the Emergence of Islamic Mongol Dynasties",
dalam Al-Jami'ah, Vol. 56, No. 1, 2018
Kartodirdjo, Sartono, "Bureaucracy and Aristocracy. The Indonesian Experience in the
XlXth Century", dalam Archipel, Vol. 7, No. 1, 1974
Kasdi, Abdurrohman, "The Role of Walisongo in Developing the Islam Nusantara
Civilization", dalam Addin, Vol. 11, No. 1, 2017
260
Katz, Yuval dan Shifman, Limor, " Making Sense? The Structure and Meanings of
Digital Memetic Nonsense", dalam Information, Communication & Society, Vol.
20, No. 6, 2017.
Kazem, Hussein A. dan Chaichan, Miqdam T., "Status and Future Prospects of
Renewable Energy in Iraq", dalam Renewable and Sustainable Energy Reviews,
Vol. 16, No. 8, 2012
Kazemi, Sona, "Disabling Power of Class and Ideology: Analyzing War Injury through
the Transnational Disability Theory and Praxis", dalam Disability Studies
Quarterly, Vol. 39, No. 3, 2019.
Kennedy, Philip F., "The Arab Oedipus: Ancient Categories, Modern Fiction", dalam
Middle Eastern Literatures, Vol. 20, No. 1, 2017
Khader, Jamal, "Countering Violence in the Name of God in Present Day
Palestine/Israel", dalam The Ecumenical Review, Vol. 68, No. 1, 2016
Khamdan, Muh. dan Wiharyani, "Mobilisasi Politik Identitas dan Kontestasi Gerakan
Fundamentalisme", dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 18, No. 1,
2018
Khan, Tareq, "A Deep Learning Model for Snoring Detection and Vibration
Notification Using a Smart Wearable Gadget", dalam Electronics, Vol. 8, No. 9,
2019
Khusnin, Mukhamad, "Gaya Bahasa Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El
Shirazy dan Implementasinya terhadap Pengajaran Sastra di SMA", dalam
Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2012
Kocs, Stephen A., "Territorial Disputes and Interstate War, 1945-1987", dalam The
Journal of Politics, Vol. 57, No. 1, 1995
Koehler, Kevin, "State and Regime Capacity in Authoritarian Elections: Egypt Before
the Arab Spring", dalam International Political Science Review, Vol. 39, No. 1,
2018
Koivisto, Aino dan Nykänen, Elise, "Fictional Dialogue and the Construction of
Interaction in Rosa Liksom‘s Short Stories", dalam International Journal of
Literary Linguistics, Vol. 5, No. 2, 2016.
Krimly, Rayed, "The Political Economy of Adjusted Priorities: Declining Oil Revenues
and Saudi Fiscal Policies", dalam The Middle East Journal, 1999
Kroef, Justus M. Van Der, "The Decline and Fall of the Dutch East India Company",
dalam The Historian, Vol. 10, No. 2, 1948
Kuipers, Joel C. dan Askuri, "Islamization and Identity in Indonesia: The Case of
Arabic Names in Java", dalam Indonesia, Vol. 103, 2017
Kulmar, Tarmo, "On a Possible Characteristic of the Governing System of Pharaoh
Amenhotep IV (Akhenaten)", dalam Folklore: Electronic Journal of Folklore,
Vol. 74, 2018
Kumalasari, Dyah, "Pendidikan Karakter Berbasis Agama", dalam Jurnal Penelitian
Pendidikan, Vol. 4, No. 2, 2012.
Kurasawa, Aiko, "Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945", dalam
Indonesia, Vol. 44, 1987
261
Kurniasari, Afina dan Nurini, "Kajian Pelestarian Kampung Pekojan Sebagai Kawasan
Bersejarah di Kota Semarang", dalam Ruang, Vol. 2, No. 4, 2016
Kusno, Malikul, "Bung Hatta, Dari Era Kolonial Hingga Orde Baru: Sebuah Refleksi",
dalam Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi dan Perubahan Sosial, Vol. 1, No.
1, 2012
Kuswono, "Peran Taruna Akademi Militer Yogyakarta dalam Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia (1945-1946)", dalam Historia Jurnal Program Studi
Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 1, 2018
Laksono, Leonard Bayu, "Pendidikan Kewarganegaraan Mengusung Pancasila sebagai
Konsensus Sosial, Kontrak Sosial, dan Social Imaginary", dalam Integralistik,
Vol. 30, No. 2, 2019
Lane, Belden C., "In Quest of the King: Image, Narrative, and Unitive Spirituality in a
Twelfth-Century Sufi Classic", dalam Horizons, Vol. 14, No. 1, 1987
Latiff, Latifah Abdul dan Othman, Mohammad Redzuan, "Hadhrami Sayyids in
Malaya, 1819-1940", dalam Jurnal Usuluddin, Vol. 38, 2013
Laughlin, J. Laurence, "The Gold-Exchange Standard", dalam The Quarterly Journal of
Economics, Vol. 41, No. 4, 1927
Laulan, Anne-Marie, "Autour de Robert Escarpit: l'effervescence Bordelaise (1960-
1972)", dalam Hermès, La Revue 2, 2007
Leder, Stefan dan Kilpatrick, Hilary, "Classical Arabic Prose Literature: A Researchers'
Sketch Map", dalam Journal of Arabic Literature, Vol. 23, No. 1, 1992
Lestari, Gina, "Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah
Kehidupan SARA", dalam Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Vol. 28, No. 1, 2016.
Limah, Hutri, dkk, "Poster dan Upaya Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di
Yogyakarta Tahun 1945-1949", dalam Journal of Indonesian History, Vol. 7, No.
1, 2018
Linton, Olof, "The Demand for A Sign from Heaven: (Mk 8, 11–12 and Parallels)",
dalam Studia Theologica, Vol.19, No. 1-2, 1965
Lohanda, Mona, "The Passen-en Wijkenstelsel. Dutch Practice of Restriction Policy on
the Chinese", dalam Jurnal Sejarah, 2005
Lotz-Sisitka, Heila danBurt, Jane, "Being Brave: Writing Environmental Education
Research Texts", dalam Canadian Journal of Environmental Education, Vol. 7,
No. 1, 2002
Lubis, Ilhamsyah, "Pemikiran Filusuf Mazhab Sejarah Hukum di dalam Pembentukan
Kesadaran Hukum dan Karakter Empat Pilar Kebangsaan", dalam Jurnal Surya
Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 6, No. 2, 2017
Lukens-Bull, Ronald, "Madrasa by any Other Name: Pondok, Pesantren, and Islamic
Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region", dalam Journal of
Indonesian Islam, Vol. 4, No. 1, 2010
Lukens-Bull, Ronald, "The Traditions of Pluralism, Accommodation, and Anti-
Radicalism in the Pesantren Community", dalam Journal of Indonesian Islam,
Vol. 2, No. 1, 2008
262
Lutfi, Mohamad Alwi, "Role of Nahdlatul Ulama in Fostering Indonesian Nationalism
in Effort to Realize Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghofur", dalam Jurnal
Civicus, Vol. 14. No. 2, 2014.
Luthfi, Khabibi Muhammad, "Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal", dalam
Shahih, Vol. 1, No. 1, 2016
Lysandrou, Mike, "Fruit Flies in the Mediterranean and Arab World: How Serious A
Threat Are They and How Can We Minimize Their Impact", dalam Arab Journal
of Plant Protection, Vol. 27, No. 2, 2009
Macklin, Mark G. Dan Lewin, John, "The Rivers of Civilization", dalam Quaternary
Science Reviews, Vol. 114, 2015
Maddison, Angus, "Dutch Income in and from Indonesia 1700–1938", dalam Modern
Asian Studies, Vol. 23, No. 4, 1989
Mahayana, Maman S., "Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-
Malaysia", dalam Hubs-Asia, Vol. 10, No. 1, 2010
Mahendradhani, Gusti Ayu Agung Reisa, "Animisme dan Magis EB Tylor dan JG
Frazer (Sebuah Analisis Wacana Agama)", dalam Vidya Samhita: Jurnal
Penelitian Agama, Vol. 3, No. 2, 2017.
Mahroes, Serli, "Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah
Pendidikan Islam", dalam Jurnal Tarbiya, Vol. 1, No. 1, 2015
Maisaroh, Siti dan Hidayah, Nurul, "Analisis Unsur Intrinsik Drama ―Al-Asir al-
Karim‖ Karya Alî Ahmad Bâkatsîr", dalam Al-Lahjah, Vol. 2, No. 1, 2019
Maisel, Sebastian, "Tribalism and Family Affairs in the Arabian Peninsula", dalam
Hawwa, Vol. 16, No. 1-3, 2018
Mammeri, Moulouddan Bourdieu, Pierre, "Dialogue on Oral Poetry", dalam
Ethnography, Vol. 5, No. 4, 2004
Mamo, Getachew, dkk, "Economic Dependence on Forest Resources: A Case from
Dendi District, Ethiopia", dalam Forest Policy and Economics, Vol. 9, No. 8,
2007
Manuel, Peter, "Music as Symbol, Music as Simulacrum: Postmodern, Pre- Modern,
and Modern Aesthetics in Subcultural Popular Musics", dalam Popular Music,
Vol. 14, No. 2, 1995
Marlina, "Pengaruh Zeitgeist Terhadap Muatan Sejarah di Buku Teks Pelajaran Sejarah
SMA Kurikulum 1975-2004", dalam Indonesian Journal of History Education,
Vol. 4, No. 1, 2016.
Marsh, Tyson EJ dan Knaus, Christopher B., "Fostering Movements or Silencing
Voices: School Principals in Egypt and South Africa", dalam International
Journal of Multicultural Education, Vol. 17, No. 1, 2016
Maryam, "Gerakan Politik Islam Versus Belanda", dalam Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal
Kebudayaan dan Sejarah Islam, Vol. 2, No. 2, 2017
Masri, Hairul, dkk, "War Strategy Done by Gayo and Alas People Against Dutch
Colonial (1901-1912)", dalam Budapest International Research and Critics
Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, Vol. 1, No. 2, 2018
Masyhud, Fatin, ―Figur Umar bin Khattab dalam Pandangan Sastrawan Arab Modern
263
(Telaah Karya Abbas al-Aqqad, Hafidz Ibrahim dan Alî Ahmad Bâkatsîr)‖,
dalam Madaniyya, Vol. 11, No. 1, 2012
Matsumoto, David dan Hwang, Hyi Sung C., "Culture, Emotion, and Expression",
dalam Cross‐ Cultural Psychology: Contemporary Themes and Perspectives,
2019
Mauch, Peter, "Prime Minister Tōjō Hideki on the Eve of Pearl Harbor: New Evidence
from Japan", dalam Global War Studies, Vol. 15, No. 1, 2018
Maulidayah, dkk, "Problematika Menganalisis Wacana Secara Tekstual dan
Kontekstual Mahasiswa FKIP UNA", dalam Jurnal Bindo Sastra, Vol. 1, No. 2,
2017
McCulloch, Gallagher, dkk, "The Socioeconomic Burden of Pain From War", dalam
American Journal of Public Health, Vol. 109, No. 1, 2019
Meaney,Neville, "The End Of ‗White Australia‘and Australia's Changing Perceptions
Of Asia, 1945–1990", dalam Australian Journal of International Affairs, Vol. 49,
No. 2, 1995
Medina, Richard M., "From Anthropology to Human Geography: Human Terrain and
the Evolution of Operational Sociocultural Understanding", dalam Intelligence
and National Security, Vol. 31, No. 2, 2016
Michael, Leaf, "Land Rights for Residential Development in Jakarta, Indonesia: The
Colonial Roots of Contemporary Urban Dualism", dalam International Journal
of Urban Regional Research, Vol. 17, No. 4, 1993
Miksic, John N., "Traditional Sumatran Trade", dalam Bulletin de l'École Française
d'Extrême-Orient, 1985
Milich, Stephan, ―Heimsuchungen; Writing Watan in Modern Arabic Poetry‖, dalam
Sebastian Gunter dan Stephan Milich,ed, Representations and Visions of
Homeland in Modern Arabic Literature, (Hildesheim: Georg Olms Verlag, 2016)
Mintargo, Wisnu, "Peran Lagu Perjuangan dan Pendidikan Kesadaran Nasionalisme di
Indonesia", dalam Promusika, Vol. 5, No. 1, 2017
Mintargo, Wisnu, dkk, "Kontinuitas dan Perubahan Bentuk serta Makna Lagu
Kebangsaan Indonesia Raya", dalam Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan
dan Karya Seni, Vol. 14, No. 1, 2012
Mirza, Shikoh Mohsin, "Influences and Passageways: Arabic Prose Narrative and the
Western Novel", dalam IJELLH (International Journal of English Language,
Literature in Humanities), Vol. 6, No. 12, 2018
Mitrasing, Ingrid S., "Negotiating a New Order in the Straits of Malacca (1500- 1700)",
dalam Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, Vol. 21, No. 2, 2014
Mobini-Kesheh, Natalie, "The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-
1942", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde/ Journal of the
Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 152, No. 2, 1996
Moravcsik, Andrew, "Explaining International Human Rights Regimes: Liberal Theory
and Western Europe", dalam European Journal of International Relations, Vol.
1, No. 2, 1995

264
Morrison, Alexander, "Camels and Colonial Armies: The Logistics of Warfare in
Central Asia in the Early 19th Century", dalam Journal of the Economic and
Social History of the Orient, Vol. 57, No. 4, 2014
Mubarak, Haris, "Pandangan Jamaah Tabligh dan Salafi Terhadap Khilafah, Demokrasi
dan Monarki (Satu Tinjauan Jambi)", dalam Al-Risalah, Vol. 15, No. 2, 2015
Muchariman, Randi, "The Power of Language in Indonesia‘s Reformation", dalam
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, Vol. 4, No. 1, 2019
Muhammad, Ahmad Ibrahim Ali, dkk, al-Sya‟b wa al-Aduww fi al-Khithab al-Masrahi
„ind „Alî Ahmad Bâkatsîr‖, dalam Majalah al-Bahts al-„Alami fi al-Adab, Vol.
21, No. 1, 2020
Mujiwati, Yuniar, dan El-Sulukiyyah, Ana Ahsana, "Analisis Nilai-Nilai Sastra dan
Bentuk Nasionalisme dalam Lagu Yaa Lal Wathon Ciptaan KH. Abdul Wahab
Hasbullah", dalam Jurnal Educazione, Vol. 5, No. 1, 2017.
Mukaffa, Zumrotul, "Ulama Hijâz-Jawa Pertengahan Abad XIX M", dalam Al Qalam,
Vol. 34, No. 1, 2017
Mukarram, Alfathul, "Identitas Budaya Musik Gambus di Palembang", dalam Imaji:
Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, Vol. 15, No. 1, 2017
Muksin, Asep, "Shalat Malam dalam al-Qur‘an dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan
Mental", dalam Jurnal Mitra Kencana Keperawatan dan Kebidanan, Vol. 3, No.
1, 2019
Mulya, Lillyana, "Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah Komersil Pemerintah
Kolonial", dalam Mozaik, Vol. 7, No. 1, 2014
Mundiri, Akmaldan Zahra, Irma, "Corak Representasi Identitas Ustadz dalam Proses
Transmisi Pendidikan Karakter di Pesantren", dalam Jurnal Pendidikan Islam
Indonesia, Vol. 2, No. 1, 2017
Munthe, Bermawy, "Najib Mahfuz‘s Thought: Approach to A Change of Role of
Egyptian Women in Thulathiyah (Trilogy)" dalam Sunan Kalijaga, Vol. 1, No.
2, 2018
Muqtada, Muhammad Rikza, "Contradiction of The Social and Political Classes at The
Beginning of Islamic Emergence", dalam Jurnal Penelitian, 2018
Newman, Scott, "From Marvellous Realism to World Literature: Rethinking the Human
with Jacques Stephen Alexis", dalam Francosphères, Vol. 8, No. 1, 2019
Niemeijer, Hendrik E., "Maritime Connections and Cross-Cultural Contacts Between
the Peoples of the Nusantara and the Europeans in the Early Eighteen Century",
dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1
Nijland, C., "Naguib Mahfouz and Islam. An Analysis of Some Novels", dalam Die
Welt des Islams, 1984
Noakes, Lucy, "Valuing the Dead: Death, Burial, and the Body in Second World War
Britain", dalam Critical Military Studies, Vol. 2019
Nugraha, Adhi Wahyu dan Utomo, Cahyo Budi, "Peristiwa 03 Oktober 1945 di Kota
Pekalongan (Analisis Dampak Sosial dan Dampak Politik)", dalam Journal of
Indonesian History, Vol. 7, No. 1, 2018

265
Nurdin, Ahmad Ali, "Revisiting Discourse on Islam and State Relation in Indonesia: the
View of Soekarno, Natsir and Nurcholish Madjid", dalam Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies, Vol. 6, No. 1, 2016
Nurdin, N., "Perkembangan Fungsi dan Bentuk Tari Zapin Arab di Kota Palembang
(1991-2014)", dalam Gelar: Jurnal Seni Budaya, Vol. 12, No. 2, 2014.
Nurhadi, "Pembunuhan Massal Etnis Cina 1740 dalam Drama Remy Sylado: Kajian
New Historisisme", dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 14, No. 75,
2008
Nurmila, Nina, "Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan
Pembentukan Budaya", dalam Karsa: Journal of Social and Islamic Culture,
Vol. 23, No. 1, 2015
Nursida, Ida, "Isu Gender dan Sastra Feminis dalam Karya Sastra Arab; Kajian Atas
Novel Aulad Haratina Karya Najib Mahfudz", dalam Alfaz (Arabic Literatures
for Academic Zealots), Vol. 3, No. 1, 2015
Nursyamsu, "Masuknya Isriliyat dalam Tafsir al-Qur‘an", dalam Al-Irfani, Vol. 1, No.
1, 2015
Ogbu, John U., "Collective Identity and the Burden of ―Acting White‖ in Black History,
Community, and Education", dalam The Urban Review, Vol. 36, No. 1, 2004
Olenka, Eva, "Perjuangan AR Baswedan pada Masa Pergerakan Sampai Pasca
Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934-1947", dalam Avatara, Vol. 2, No. 3, 2014.
Olufadi, Yunusa, "Muslim Daily Religiosity Assessment Scale (MUDRAS): A New
Instrument for Muslim Religiosity Research and Practice", dalam Psychology of
Religion and Spirituality, Vol. 9, No. 2, 2017
Omar, Nizaita, dkk, "Mosques as an Agent for Community Developement in the
History of Islam", dalam International Journal of Academic Research in
Business and Social Sciences, Vol. 9, No. 9, 2019.
Oostindie, Gert dan Paasman, Bert, "Dutch Attitudes Towards Colonial Empires,
Indigenous Cultures, and Slaves", dalam Eighteenth-Century Studies, Vol. 31,
No. 3, 1998
Oostindie, Gert, dkk, "The Decolonization War in Indonesia, 1945–1949: War Crimes
in Dutch Veterans‘ Egodocuments.", dalam War in History, Vol. 25, No. 2, 2018
Pamungkas, Arie Setyaningrumdan Octaviani, Gita, "Aksi Bela Islam dan Ruang Publik
Muslim: dari Representasi Daring ke Komunitas Luring", dalam Jurnal
Pemikiran Sosiologi, Vol. 68, 2017.
Patria, Galang D., "Dinamika Hubungan Dwitunggal Soekarno Hatta dalam Revolusi
Indonesia 1945-1956", dalam Avatara, Vol. 2, No. 1, 2014.
Permana, Agus dan H. Mawardi, "Jaringan Habaib di Jawa Abad 20", dalam Al-
Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, Vol. 15, No. 2, 2018
Phythian, Mark, "―Batting for Britain‖: British Arms Sales in the Thatcher Years",
dalam Crime, Law and Social Change, Vol. 26, No. 3, 1996
Plass, Gilbert N., dkk, "Color of the Ocean", dalam Applied Optics, Vol. 17, No. 9,
1978
Platje, Wies, "Dutch Sigint and the Conflict with Indonesia 1950-62", dalam
266
Intelligence & National Security, Vol. 16, No. 1, 2001
Pollmann, Tessel, "The Unreal War: The Indonesian Revolution Through the Eyes of
Dutch Novelists and Reporters", dalam Indonesia, Vol. 69, 2000
Prabowo, Muhammad Rikaz, "Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 di Kalimantan Barat:
Suatu Pembunuhan Massal di Masa Penduduk Jepang", dalam Bihari: Jurnal
Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, Vol. 2, No. 1, 2019.
Pranata, Galih dan Idajati, Hertiari, "Konsep Tourism Area Life Cycle dalam
Mengidentifikasi Karakteristik Taman Wisata di Bantaran Sungai Kalimas
Surabaya", dalam Jurnal Teknik ITS, Vol. 7, No. 2, 2018
Prayitno, Ujianto Singgih dan Basundoro, Purnawan, "Etnisitas dan Agama di Kota
Surabaya: Interaksi Masyarakat Kota Dalam Perspektif Interaksionisme
Simbolik", dalam Jurnal Aspirasi, Vol. 6, No. 2, 2015
Printina, Brigida Intan, "Strategi Pembelajaran Sejarah Berbasis Lagu-lagu Perjuangan
dalam Konteks Kesadaran Nasionalisme", dalam Agastya: Jurnal Sejarah dan
Pembelajarannya, Vol. 7, No. 01, 2017.
Priyantoro, Eko. "Evolusi Imajinasi dalam Penciptaan Seni dan Mitos Kekuasaan",
dalam Gestalt, Vol. 1, No. 2, 2019.
Purwantiasning, Ari Widyati, dkk, "Understanding Historical Attachment Through Oral
Tradition as a Source of History", dalam Journal of Urban Culture Research,
Vol. 18, 2019
Puspitasari, Dhika, "Pengaruh Budaya terhadap Sistem Sapaan Antar Etnis di
Perkampungan Arab Ampel Surabaya", dalam Widyabastra, Vol. 2, No. 2, 2018
Putra, Asaas dan Shanaz, Shabrina, "Etnografi Komunikasi pada Upacara Pernikahan
Betawi." Dalam Jurnal Ilmiah LISKI (Lingkar Studi Komunikasi), Vol. 4, No. 2,
2018
Putra, Heddy Shri Ahimsa, "Remembering, Misremembering and Forgetting: The
Struggle Over" Serangan Oemoem 1 Maret 1949" in Yogyakarta, Indonesia",
dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 29, No. 3, 2001
Putri, Devina Widya, "Inggit Garnasih and Her Big Role as Soekarno's Wife", dalam
International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 5, 2015.
Qurtuby (al-), Sumanto, "Arabs and" Indo-Arabs" in Indonesia: Historical Dynamics,
Social Relations and Contemporary Changes", dalam International Journal of
Asia-Pacific Studies, Vol. 13, No. 2, 2017.
Rachman, Dikdik Adikara, "Majapahit Terracotta Figurines: Social Environment and
Life", dalam Humaniora, Vol. 7, No. 1, 2016
Rachmawati, Iva, "Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian Diplomasi Publik
Indonesia", dalam Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 2, 2016
Rączaszek-Leonardi,Joanna, "How Does a Word Become a Message? An Illustration
on a Developmental Time-Scale", dalam New Ideas in Psychology, Vol. 42, 2016
Rahman, Abdul,"Peran Diplomasi Hadji Agus Salim dalam Kemerdekaan Indonesia
(1942-1954)", dalamTitian: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2, No. 1, 2018
Rahman, Suranta Abd., "Diplomasi RI di Mesir dan Negara-Negara Arab Pada Tahun
1947", dalam Wacana, Vol. 9, No. 2, 2007
267
Rahmatullah, Muhammad, "Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq", dalam
Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies, Vol. 4, 2014.
Ramachandran, K. N., "US-USSR-China Triangle: Impact on Southeast Asia", dalam
China Report, Vol. 12, No. 1, 1976
Ramos, Nuria Cordero dan Bellerin, Manuel Munoz, "Social Work and Applied
Theatre: Creative Experiences with a Group of Homeless People in the City of
Seville," dalam European Journal of Social Work, Vol. 22, No. 3, 2019
Rashed, Redhwan Qasem Ghaleb, "The Image of Woman in Ali Ahmad Bakathir‘s
Literary World: A Study of Selected Plays", dalam AWEJ for Translation &
Literary Studies, Vol. 3, No. 1, 2019.
Rasuanto, Bur, "Keadilan Sosial Dua Pemikiran Indonesia: Soekarno dan Hatta", dalam
Wacana, Vol. 2, No. 1, 2000
Razzaq, Abdur, dkk, "The Kingdom of Sriwijaya in the Development of Islamic
Civilization and the Economy in Nusantara before 1500 AD", dalam Journal of
Malay Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, 2017
Reflinaldi, dkk, "Tipologi Sikap Masyarakat Timur terhadap Hegemoni Barat dalam
Naskah Drama Abthal Al-Yarmuk: Analisis Oksidentalisme Hassan Hanafi",
dalam Diwan, Vol. 11, No. 1, 2019
Richardson, Kristina, "Tracing a Gypsy Mixed Language Through Medieval and Early
Modern Arabic and Persian Literature", dalam Der Islam, Vol. 94, No. 1, 2017
Ridwan, M. K., "Penafsiran Pancasila Dalam Perspektif Islam: Peta Konsep Integrasi",
dalam Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 15, No. 2, 2017
Riyanto, Bedjo, "Gaya Indies: Gaya Desain Grafis Indonesia Tempo Doeloe", dalam
Nirmana, Vol. 7, No. 2, 2005
Rochanah, "Menumbuhkan Sikap Hubbul Wathon Mahasiswa STAIN Kudus melalui
Pelatihan Belanegara", dalam Arabia, Vol. 9, No. 2, 2018;
Rodgers, Susan, "Folklore with a Vengeance: a Sumatran Literature of Resistance in the
Colonial Indies and New Order Indonesia" dalam Journal of American Folklore,
2003
Rom, Rami, dkk, "The Yom Kippur War, Dr. Kissinger, and the Smoking Gun", dalam
International Journal of Intelligence and Counter Intelligence, Vol. 31, No. 2,
2018
Romijn, Peter, "Learning on ‗the job‘: Dutch War Volunteers Entering the Indonesian
War of Independence, 1945–46", dalam Journal of Genocide Research, Vol. 14,
No. 3-4, 2012
Rosen, Ehud, "The Muslim Brotherhood‘s Concept of Education", dalam Current
Trends in Islamist Ideology, Vol. 7, No. 85, 2008
Rosenblatt, Louise M., "What Facts Does this Poem Teach You?", dalam Language
Arts, Vol. 57, No. 4, 1980
Ross, Michael L., "Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia", dalam Understanding
Civil War, Vol. 2, 2005
Roth, Wolff-Michael, "Challenging the Cause–Effect Logic: Toward a Transactional
Approach for Understanding Human Behavior in Crisis Situations", dalam
268
Human Arenas, Vol. 1, No. 3, 2018
Royani, Ahmad, "Pesantren Dalam Bingkai Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia", dalam Jurnal Islam Nusantara, Vol. 2, No. 1, 2020
Russell, Roxanne, dkk, "Cultural Influences on Suicide in Japan", dalam Psychiatry and
Clinical Neurosciences, Vol. 71, No. 1, 2017
Sabarudin, Muhammad, "Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan", dalam Tarbiya: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 1,
No. 1, 2015
Saddhono, Kundharu dan Supeni, Siti, "The Role of Dutch Colonialism in the Political
Life of Mataram Dynasty: a Case Study of the Manuscript of Babad Tanah Jawi",
dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 15, 2014
Sagiyanto, Asriyani dan Ardiyanti, Nina, "Self Disclosure melalui Media Sosial
Instagram (Studi Kasus pada Anggota Galeri Quote)", dalam Nyimak: Journal of
Communication, Vol. 2, No. 1, 2018
Saidin, Mansyur, "Konsep Al-Qur‘an tentang Surga", dalam Al Asas, Vol. 1, No. 2,
2018
Sakdullah, Muhammad, "Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga dalam
Kajian Teologis", dalam Jurnal Theologia , Vol. 25, No. 2, 2014
Salam, Abdul Jalil, "Jejak Integrasi Indonesia dari Kilometer Nol: Melacak Akar
Budaya Nasional Bangsa", dalam Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik
Islam, Vol. 3, No. 1, 2014.
Saldanha, Arun, "The Itineraries of Geography: Jan Huygen van Linschoten's Itinerario
and Dutch Expeditions to the Indian Ocean, 1594–1602", dalam Annals of the
Association of American Geographers, Vol. 101, No. 1, 2011
Samidi, S., "Identitas Budaya Masyarakat Kota: Teater Tradisi di Kota Surabaya Pada
Awal Abad XX", dalam Jurnal Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No. 1,
2019
Sangidu, "Ad-Dûdah Wats-Tsu ‗Bân (Cacing Dan Ular) Karya Alî Ahmad Bâkatsîr:
Analisis Struktural Model Badr", dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20,
No. 1, 2008
Sanusi, Ahmad, "The Contributions of Nawawi al-Bantani In the Development of
National Law of Indonesia", dalam Jurnal Al-'Adalah, Vol. 15, No. 2, 2018
Sapto, Ari, "Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa Revolusi
dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini", dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol.
7, No. 1, 2015.
Saputra, Andi, "Pan-Islamisme dan Kebangkitan Islam: Refleksi Filsafat Sosial- Politik
Jamaluddin al-Afghani", dalam Jurnal Akademika: Jurnal Keagamaan dan
Pendidikan, Vol. 14, No. 2, 2018
Saqqaf (al-), Abdullah Hassan, "The Linguistics of Loanwords in Hadrami Arabic",
dalam International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, Vol. 9,
No. 1, 2006
Saring, Arianto, "Dari Siasat Ekonomis Menuju Siasat Politik dan Militer: Orang-Orang
Jepang di Jawa (1900-1942)", dalam Jurnal Perennial Pedagogi, Vol. 1, No. 1,
269
2019
Sattar, Noman, "Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and
Ideology, Role and Impact", dalam Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, 1995
Schiefenhovel, Wulf dan Vanhaeren, Marian, "A Window Into Papua‘s Past:
Archaeological and Anthropological Status Quo in the Star Mountains, dalam
Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat, Vol. 9, No. 2, 2018
Schildkraut, Deborah J., "White Attitudes About Descriptive Representation in the US:
The Roles of Identity, Discrimination, and Linked Fate", dalam Politics, Groups,
and Identities, Vol. 5, No. 1, 2017
Schöch, Christof, "Topic Modeling Genre: An Exploration of French Classical and
Enlightenment Drama", dalam DHQ: Digital Humanities Quarterly, Vol. 11, No.
2, 2017.
Semah, David, "Modern Arabic Zajal and the Quest for Freedom", dalam Journal of
Arabic Literature, Vol. 26, No. 1-2, 1995
Serban, Andra, dkk, "Assassination of Political Leaders: The Role of Social Conflict",
dalam The Leadership Quarterly, Vol. 29, No. 4, 2018
Sethy, Janmejay dan Chauhan,Netrapal PS, "Dietary Preference of Malayan Sun Bear
Helarctos Malayanus in Namdapha Tiger Reserve, Arunachal Pradesh, India",
dalam Wildlife Biology, Vol. 1, 2018.
Shami (al-), Ibrahim Ali "The Portrayal of Woman in Ali Ahmad Bakathir's Literary
Works", dalam International Journal of Scientific and Research Publications,
Vol. 6, No. 5, 2016
Shamsuddin, Salahuddin Mohd., dan Sara, Siti Binti Hj Ahmad. "Theatrical Art in
Classical European and Modern Arabic Literature", dalam International
Educational Research, Vol. 1, No. 1, 2018.
Shofiyyah, Nilna Azizatus, dkk., "Model Pondok Pesantren di Era Milenial", dalam
Belajea: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 4, No. 1, 2019
Shoush (el-), Muhammad Ibrahim, "Some Background Notes on Modern Sudanese
Poetry", dalam Sudan Notes and Records, Vol. 44, 1963
Shu, Xiaoling, dkk, "Telecommunication Ties and Gender Ideologies in the Age of
Globalization: International Telephone Networks and Gender Attitudes in 47
Countries", dalam Chinese Journal of Sociology, Vol. 6, No. 1, 2020
Simbolon, Debora, "Memahami Komunikasi Beda Budaya Antara Suku Batak Toba
dengan Suku Jawa di Kota Semarang", dalam Jurnal The Messenger, Vol. 4, No.
2, 2012
Skaras, Merethe, dkk, "The Ethnic/ Local, the National and the Global: Global
Citizenship Education in South Sudan", dalam British Journal of Educational
Studies, 2019
Sluyterman, Keetie, " Decolonisation and the Organisation of the International
Workforce: Dutch Multinationals in Indonesia, 1945–1967" dalam Business
History, 2017
Smith, J. Brock dan Colgate,Mark, "Customer Value Creation: a Practical Framework",
dalam Journal of marketing Theory and Practice, Vol. 15, No. 1, 2007
270
Smith, Richard, "Some Emerging Issues in the Demography of Medieval England and
Prospects for their Future Investigation", dalam Local Population Studies, Vol.
100, No. 1, 2018
Soeprapto, Sri, "Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila dalam
Perspektif Etika Pancasila", dalam Jurnal Filsafat, Vol. 23, No. 2, 2013
Springhall, John, "‗Disaster in Surabaya‘: The death of Brigadier Mallaby During the
British Occupation of Java, 1945–46", dalam The Journal of Imperial and
Commonwealth History, Vol. 24, No. 3, 1996
Srivastava, Srashti dan Mishra, Satendra Kumar, "Critical Study of Indian and French
Philosophical Literature: in Search of Wisdom, Spirituality and Rationalism",
dalam International Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 1, 2019
Stephan, Wafa, "The Personality of Khalil Gibran: A Psychological Study of his life
and Work", dalam Al-Raida Journal, 1983
Sternberg, Robert J., "A duplex Theory of Hate: Development and Application to
Terrorism, Massacres, and Genocide", dalam Review of General Psychology,
Vol. 7, No. 3, 2003
Stetkevych, Suzanne Pinckney, "Solomon and Mythic Kingship in the Arab- Islamic
Tradition: Qaṣīdah, Qurʾān and Qiṣaṣ al-Anbiyāʾ", dalam Journal of Arabic
Literature, Vol. 48, No. 1, 2017
Stojanović, Milica, "The Colour Yellow and Its Immortal and Mortal Beauty,‖ dalam
Komunikacija i Kultura online, Vol. 9, No. 9, 2018
Stone, Dan, "―The Greatest Detective Story in History‖: The BBC, the International
Tracing Service, and the Memory of Nazi Crimes in Early Postwar Britain",
dalam History and Memory, Vol. 29, No. 2, 2017
Streich, Philip dan Levy, Jack S., "Information, Commitment, and the Russo- Japanese
War of 1904–1905", dalam Foreign Policy Analysis, Vol. 12, No. 4, 2016
Stutje, Klaas, "Indonesian Identities Abroad: International Engagement of Colonial
Students in the Netherlands, 1908-1931", dalam BMGN-Low Countries
Historical Review, Vol. 128, No. 1, 2013
Subbarayalu, Y., "Trade Guilds of South India Up to the Tenth Century", dalam Studies
in People‟s History, Vol. 2, No. 1, 2015
Subekti, Arif, "Ekspansi Kompeni Hingga Sanad Kiai-Santri: Sejarah Islamisasi Ujung
Timur Pulau Jawa Abad XVII—XX", dalam Shahih: Journal of Islamicate
Multidisciplinary, Vol. 2, No. 1, 2017
Suciati, Rina dan Agung, Ivan Muhammad, "Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Orang
Batak, Jawa, Melayu dan Minangkabau", dalam Jurnal Psikologi, Vol. 12, No. 2,
2017
Sulasman, "Kyai and Pesantren in the Islamic Historiography of Indonesia", dalam
Tawarikh, Vol. 4, No. 1, 2012.
Sullivan, Jill M., "John Philip Sousa as Music Educator and Fundraiser during World
War I", dalam Journal of Historical Research in Music Education, Vol. 40, No.
2, 2019

271
Sunjayadi, Achmad, "Kebudayaan Indis; Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi",
dalam Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, Vol. 15, No. 1, 2015.
Surajaya, I Ketut, "Radicalization of Indonesian Independence Movement During
Japanese Military Occupation 1942-1945", dalam International Journal of
Science and Research (IJSR), 2017
Surinati, Dewi dan Kusuma, Dewi Ayu, "Karakteristik dan Dampak Siklon Tropis yang
Tumbuh di Sekitar Wilayah Indonesia", dalam Oseana, Vol. 43, No. 2, 2018
Suroto, Hari, "Jayapura Pada Era Perang Pasifik", dalam Jurnal Penelitian Arkeologi
Papua dan Papua Barat, Vol. 5, No. 1, 2017
Suryana, Sri, "Peranan Ahmad Surkati Dalam Gerakan Pembaharuan Islam Melalui
Perhimpunan Al-Irsyad 1914-1943", dalam Medina-Te: Jurnal Studi Islam, Vol.
13. No. 2, 2017
Susanti, Nurmalia, dkk, "Lekra Vs Manikebu: Perlawanan Majalah Sastra terhadap
Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964)", dalam
Factum: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 1.
Susanto, Heri, "Kolonialisme dan Identitas Kebangsaan Negara-Negara Asia
Tenggara", dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 10, No. 2, 2016
Susanto, Nugroho Nur, "Eksploitasi Hutan dan Tambang Pada Masa Kolonial di
Kalimantan Bagian Utara (Forest and Mining Exploitation During The Colonial
Period in The Northern Part of Kalimantan)", dalam Kindai Etam: Jurnal
Penelitian Arkeologi, Vol. 4, No. 1, 2019.
Susilo, Agus dan Isbandiyah, Isbandiyah, "Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya
Pergerakan Bangsa Indonesia", dalam Historia: Jurnal Program Studi
Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 2, 2018
Susilo, Agus, "Sejarah Perjuangan Jenderal Soedirman dalam Mempertahankan
Indonesia (1945-1950)", dalam HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan
Sejarah, Vol.6, No. 1, 2018
Suwirta, Andi, "Dua Negara-Bangsa Melihat Masa Lalunya: Konfrontasi Indonesia–
Malaysia (1963-1966) sebagaimana dikisahkan dalam Buku-Buku Teks
Sejarahnya di Sekolah", dalam Sosiohumanika, Vol. 3, No. 2, 2010.
Suwirta, Andi, "Inggit Garnasih, Soekarno and the Age of Motion in Indonesia", dalam
Tawarikh, Vol. 1, No. 1, 2009.
Suyanto, Isbodroini, "Soekarno and Sun Yat Sen Struggling For Liberty and
Nationalism", dalam Sociae Polites, 2017
Swietochowski, Norbert dan Rewak, Dariusz, "Modernization of the Missile Forces and
Artillery", dalam Scientific Journal of the Military University of Land Forces,
Vol. 51, 2019.
Syakir, M. dan Surmaini, E., "Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan
Pengembangan Kopi di Indonesia", dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Vol. 36, No. 2, 2017
Syarif, Fajar, "Defining Arabism: The Contestation of Arab Identity in the Hadrami
Community in Betawi‖, dalam Paramita: Historical Studies Journal, Vol. 29,
No. 2, 2019
272
Syibromalisi, Arif, dkk, ―Karya Ulama di Lembaga Pendidikan Keagamaan di Sulawesi
Tengah‖ dalam Buletin Al-Turas, Vol. 20, No.1, 2014
Talib, Yusof A., "Les Hadramis et le Monde Malais", dalam Archipel, Vol. 7, No. 1,
1974.
Tarmizi, ―Membuat Gambar dalam Perpektif Hukum Islam‖, dalam Dusturiyah, Vol. 9,
No. 1, 2019.
Taylor, Jean Gelman, "The Sewing-Machine in Colonial-Era Photographs: a Record
from Dutch Indonesia", dalam Modern Asian Studies, Vol. 46, No. 1, 2012.
Thalib, Muh Dahlan, "Peranan Lembaga Keagamaan Al-Irsyad dalam Pendidikan di
Indonesia", dalam Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 16, No. 1, 2018.
Tsourapas, Gerasimos, "Nasser‘s Educators and Agitators Across al-Watan al- ‗Arabi:
Tracing the Foreign Policy Importance of Egyptian Regional Migration, 1952-
1967", dalam British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 43, No. 3, 2016.
Ulfah, Novi Maria, "Sejarah dan Strategi Dakwah Ikhwânul Muslimîn (The History and
Strategy Da‘wah of Ikhwânul Muslimîn)", dalam Jurnal Smart (Studi
Masyarakat, Religi, dan Tradisi), Vol. 2, No. 2, 2016.
Ulrich, Nicole, "Time, Space and The Political Economy of Merchant Colonialism In
The Cape of Good Hope And VOC World", dalam South African Historical
Journal, Vol. 62, No. 3, 2010.
Vélez‐Rendón, Gloria "Second Language Teacher Education: A Review of the
Literature", dalam Foreign Language Annals, Vol. 35, No. 4, 2002.
Victoria, Brian Daizen, "A Zen Nazi in Wartime Japan: Count Dürckheim and His
Sources-DT Suzuki, Yasutani Haku‘un, and Eugen Herrigel", dalam Asia-Pacific
Journal: Japan Focus, Vol. 12, 2014.
Vink, Markus, "From the Cape to Canton: The Dutch Indian Ocean World, 1600- 1800
- A Littoral Census", dalam The Journal of Indian Ocean World Studies, Vol. 3,
No. 1, 2019
Wade, Geoffrey, "Maritime Routes Between Indochina and Nusantara to the 18th
Century", dalam Archipel, Vol. 85, No. 85, 2013
Wafiyah, "Prioritas Berdakwah pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia", dalam
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 35, No. 2, 2017
Wagner, William, "A Comparison of Christian Missions and Islamic Da'wah", dalam
Missiology, Vol. 31, No. 3, 2003
Wahyudi, Johan dan Madjid, Dien, "Pekojan: Image of an Arab Kampong During the
18th to 19th Centuries Batavia" dalam Insaniyat, Vol. 3, No. 2, 2019
Wahyudi, Johan, "Perlawanan Depati Parbo di Mata Kolonialis Belanda di Kerinci:
Suatu Kajian Sejarah Lokal", dalam Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Vol. 5, No. 1, 2017.
Wahyudi, Tri, "Sosiologi Sastra Alan Swingewood Sebuah Teori", dalam Jurnal
Poetika, Vol. 1, No. 1, 2013.
Walidin, Muhammad, "Menapak Tilas Kelisanan dan Keberaksaraan dalam
Kesusasteraan Arab Pra-Islam." dalam Tamaddun, Vol. 14, No. 2, 2014

273
Wallach, Jeremy dan Clinton,Esther, "History, Modernity, and Music Genre in
Indonesia: Popular Music Genres in the Dutch East Indies and Following
Independence", dalam Asian Music, Vol. 44, No. 2, 2013
Wallbank, T. Walter, "British Colonial Policy and Native Education in Kenya", dalam
Journal of Negro Education, 1938
Wardah, Syarifah, dkk, "Kiprah Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada Islamisasi Gresik
Abad Ke-14 dalam Babad Gresik I", dalam Suluk, Vol. 1, No.1, 2019
Wardi, Moh., "Interpretasi Kenabian (Peran Ganda Nabi Muhammad Sebagai Manusia
Biasa dan Rasul)", dalam Al-Ulum: Jurnal Penelitian dan Pemikiran Keislaman,
Vol. 2, No. 1, 2015
Wekke,Ismail Suardi, "Arabian Society in Kaili Lands, Central Sulawesi: Arabic
Education and its Movement", dalam Tawarikh, Vol. 7, No. 1, 2015
Wessing, Robert, "A Change in the Forest: Myth and History in West Java", dalam
Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 24, No. 1, 1993
Westheimer,Joel, "Thinking about Patriotism", dalam Educational Leadership, Vol. 65,
No. 5, 2008
White, Robin, "The Nationality and Immigration Status of the" Windrush Generation"
and the Perils of Lawful Presence in a" Hostile Environment"‖, dalam Journal of
Immigration, Asylum & Nationality Law, Vol. 33, No. 3, 2019
Widisuseno, Iriyanto, "Studi Tentang Identitas Jati Diri Bangsa Jepang dalam Kajian
Filosofis", dalam Kiryoku, Vol. 3, No. 3, 2019
Widodo, Sutejo K., "Memaknai Sumpah Pemuda di Era Reformasi", dalam Humanika,
Vol. 16, No. 9, 2012.
Wie, Thee Kian, "The Indonesian Economy During the Japanese Occupation", dalam
Masyarakat Indonesia, Vol. 39, No. 2, 2017.
Wilkinson, C., "Distortion, Illusion and Transformation: The Evolution of Dazzle
Painting, a Camouflage System to Protect Allied Shipping from Unrestricted
Submarine Warfare, 1917–1918 War", dalam Journal of the Faculty of Art,
Pedagogical University of Krakow, Vol. 14, 2019.
Wille, Tobias, "Representation and Agency in Diplomacy: How Kosovo Came to Agree
to the Rambouillet Accords", dalam Journal of International Relations and
Development, Vol. 22, No. 4, 2019.
Williams, Hannah, "Artists and the City: Mapping the Art Worlds of Eighteenth-
Century Paris", dalam Urban History, Vol. 46, No. 1, 2019.
Wilson,Graham, "Nederlandse Onderscheidingen 1945-62 (Dutch Combat Awards
1945-62)", dalam Sabretache, Vol. 52, No. 2, 2011
Woltering, E. J., "The Effects of Leakage of Substances from Mechanically Wounded
Rose Stems on Bacterial Growth and Flower Quality", dalam Scientia
Horticulturae, Personality and Brain Disorders, Vol. 33, No. 1-2, 1987
Woolgar, Matthew. "A ‗cultural Cold War‘? Lekra, the left and the arts in West Java,
Indonesia, 1951–65", dalam Indonesia and the Malay World, Vol. 48.140, 2020.
Worden, Nigel, "New Approaches to VOC History in South Africa", dalam South
African Historical Journal, Vol. 59, No. 1, 2007
274
Wulandari, Roma Dona dan Listyaningsih, "Strategi Orang Tua Etnis Arab dalam
Membentuk Moral Anak di Perkampungan Ampel Kota Surabaya", dalam Kajian
Moral dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 3, 2015.
Xiao, Lingbo, dkk, "Famine, Migration and War: Comparison of Climate Change
Impacts and Social Responses in North China Between The Late Ming and Late
Qing Dynasties", dalam The Holocene, Vol. 25, No. 6, 2015
Yahya, "Arab Keturunan di Indonesia; Tinjauan Sosio-Historis tentang Arab Keturunan
dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia", dalam Ulul Albab Jurnal
Studi Islam, Vol. 4, No. 2, 2018
Yance Zadrak Rumahuru, "Dinamika Identitas Komunitas ―Muslim Hatuhaha‖ di Pulau
Haruku Maluku Tengah." Masyarakat Indonesia, Artikel, 2010
Yáñez-Prieto, María-del-Carmen, "Sense and Subjectivity: Teaching Literature from a
Sociocultural Perspective", dalam Language and Sociocultural Theory, Vol. 1,
No. 2, 2014
Yang, Chenglin, "Cultivating Sentiment and Soul and Poetically Living the Creation
Thought and Aesthetic Features of Ancient Chinese Garden Architecture", dalam
International Conference on Contemporary Education, Social Sciences and
Ecological Studies (CESSES 2018), Atlantis Press, 2018.
Yang, Jui-Sung, "Where Does the ―Lion‖ Come From? On the Origin of Liang
Qichao‘s ―Sleeping Lion‖ Symbol", dalam The Chinese Historical Review, Vol.
24, No. 2, 2017
Yang, Sandra, "Strengthening the" History" in" Music History": An Argument for
Broadening the Cross-Disciplinary Base in Musicological Studies", dalam
College Music Symposium. Vol. 49, 2009
Yanty, Vega Febry, dkk, "Keberagaman dan Toleransi Sosial Siswa SMP di Jakarta",
dalam Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 6, No. 2, 2019
Yokkaichi, Yasuhiro, "The Maritime and Continental Networks of Kīsh Merchants
under Mongol Rule: The Role of the Indian Ocean, Fārs and Iraq", dalam Journal
of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 62, No. 2-3, 2019
Yono, Sri, dkk, "Pengaruh Amerika Serikat terhadap Pembebasan Irian Barat Tahun
1963", dalam Kalpataru Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah, Vol. 1, No.
2, 2016.
Yousef, Tarik M., "Development, Growth and Policy Reform in the Middle East and
North Africa Since 1950", dalam Journal of Economic Perspectives, Vol. 18, No.
3, 2004
Yousoff, Rohani Md., "Manifestation of The Divine in Malay Poetic Arts", dalam Al-
Shajarah, 2010
Yulita, Ona, dkk, "Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin dalam Menentang Kolonial
Belanda di Jambi (Tinjauan Historis 1855-1904 M)", dalam Hadharah, Vol.13,
No.2, 2019.
Yunus, Moch., "Sastra (Puisi) Sebagai Kebudayaan Bangsa Arab", dalam Humanistika,
Vol. 1, No. 1, 2016
Zabidi (al-), A. A., ―Ali Ahmad Bakathir the Writer Who Does Justice to Woman‖,
275
dalam Retrived, Juli 2008.
Zain, Shaharir Mohamad, "Penyebaran Orang Rumpun Melayu Pra-Islam dan
Perkembangan Tulisan Bahasa Melayu", dalam Sari, Vol. 21, 2003
Zangger, Andreas, "Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java,
1830-1885", dalam Tijdschrift voor Sociale en Economische Geschiedenis, Vol.
13, No. 3, 2016,
Zarkasyi, Ahmad dan Halim, Abdul, "Telaah Kualitas Hadist tentang Tawassul", dalam
Qolamuna: Jurnal studi islam, Vol. 4, No. 1, 2018
Zehfuss, Maja, "Military Refusers and the Invocation of Conscience: Relational
Subjectivities and the Legitimation of Liberal War", dalam Review of
International Studies, 2019
Znoj, Heinzpeter, "Hot Money and War Debts: Transactional Regimes in Southwestern
Sumatra", dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 40, No. 2,
1998
Zubaidi, Ahmad, "Landasan Aksiologis Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi",
dalam Jurnal Filsafat, Vol. 21, No. 2, 2011
Zulfikarullah, Muhammad, "Surga dalam Literatur Al-Quran", dalam al-Burhan, Vol.
17, No. 1, 2017
Zulkarnen, "Diaspora Masyarakat Keturunan Arab di Jakarta", dalam Jurnal Al- Azhar
Indonesia Seri Humaniora, Vol. 4, No. 3, 2018

Disertasi dan Tesis


Aini, Maslakhatul Khurul, Masyarakat Arab Islam di Ampel Surabaya dalam Struktur
Kota Bawah (Kota Belanda) 1816-1918, Disertasi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2013).
Amsariah, Siti, Relasi Kuasa Arab-Indonesia dalam Dua Teks Sastra Arab Mahjar
Indonesia, Disertasi, (Depok: Universitas Indonesia, 2017)
Hakim, Lutpiyah, Pandangan Dunia Alî Ahmad Bâkatsîr dalam Novel Sallamah al-Qas
Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldman, Tesis, (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2013).
Hamid, Mohamed Abubakr, Two Plays by the Islamic Dramatist, Ali Ahmad Bakathir
Translated Into English With Critical Commentary, Disertasi, (Illinois:
University of Illinois at Urbana-Champaign, 1988).
Hidayah, Nur, Konsep Malaikat dalam Harut wa Marut Karya Ali Achmad Bâkatsîr
Analisis Semiotik, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2009).
Horton, William Bradley, History Unhinged: World War II and the Reshaping of
Indonesian History, Disertasi, (Tokyo: Waseda University, 2016)
Jumat, Gani, Nasionalisme Ulama; Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid „Idrus Bin
Salim Aljufri, 1891-1969, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012)

276
Junaidi, Hindi, Studi Terhadap Konsep Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta
Menurut Perspektif Ekonomi Islam, Disertasi, (Pekanbaru: Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011)
Kinany, Ahmad Khaldun. The development of Ghazal in Arabic literature (pre-Islamic
and early Islamic periods), Disertasi, London: SOAS University of London,
1948.
Omotoso, Bankole Ajibabi, Ali Ahmad Ba-Kathir, a Contemporary Conservative Arab
Writer-an Appraisal of His Main Novels and Plays, Disertasi, (Edinburgh:
University of Edinburgh, 1972)
Suprapti, Pengaruh Pembiasaan Salat Tahajud dan Membaca al-Quran Terhadap
Kecerdasan Spiritual Santri di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'ien Klego
Tahun 2019, Disertasi, (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2019)

Website
https://forumLuqmân.org/muhammad-ali-Luqmân/, diunduh pada Senin, 9 Desember
2019.
https://forumLuqmân.org/muhammad-ali-Luqmân/, diunduh pada Senin, 9 Desember
2019.
https://www.biography.com/writer/william-shakespeare, diunduh pada Kamis, 5
Desember 2019.
https://www.britannica.com/biography/Ahmad-Shawqi, diakses pada Rabu, 6
November 2019.
https://www.nobelprize.org/prizes/literature/1988/mahfouz/biographical/, diunduh pada
Selasa, 10 Desember 2019.
https://www.reseau-canope.fr/savoirscdi/societe-de-linformation/le-monde-du-livre-et-
de-la-presse/histoire-du-livre-et-de-la- documentation/biographies/robert-
scarpit.html, diunduh pada Selasa, 1 Oktober 2019.
https://www.reseau-canope.fr/savoirscdi/societe-de-linformation/le-monde-du-livre-et-
de-la-presse/histoire-du-livre-et-de-la-documentation/biographies/robert-
escarpit.html, diunduh pada Rabu, 2 Oktober 2019.
https://www.caknun.com/2018/muhammadkan-hamba-ya-rabbi-1988/, diunduh pada
Senin, 12 Agustus 2019.
http://www.bakatheer.com/english/noisy.htm, diakses pada Minggu, 15 Desember
2019.

Wawancara
Ahmad Mustofa Bisri (K.H.), Sahabat Alî Ahmad Bâkatsîr, Rembang, 14 Maret 2020
Abdul Kadir Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, Surabaya, 9 Februari 2020
Abdullah Baraja, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, Surabaya, 9 Februari 2020
Ishom Bâkatsîr, kemenakan Alî Ahmad Bâkatsîr, Surabaya, 9 Februari 2020

277
GLOSARIUM
Abqariyah Umar Karya Aqqad yang ditulis ketika dia berada di
(kejeniusan Umar) Negara Sudan pada saat dia lari kesana dari kejaran
tentara Jerman. Aqqad menulis satu karya yang
mengangkat figur khalifah Islam kedua yaitu Umar
bin al-Khattab sebagai pemimpin Negara yang adil
dan bersahaja. Dia bercita-cita akan kembali ke
tanah airnya sebagai seorang pahlawan seperti
Umar yang dapat membebaskan dunia negerinya
dari cengkraman Nazi dan kolonialisme.
Ahmad Surkati (1875- Pendiri organisasi Jam'iyah al-Islah wa Al-Irsyad
1943) al-Arabiyah (Perkumpulan Arab untuk Reformasi
dan Pengajaran), yang kemudian berubah
menjadi Jam'iyah al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah,
yang lebih umum disebut sebagai al-
Irsyad di Batavia pada Agustus 1915
Ahmad Yunus Dubes indonesia untuk mesir tahun 1967–1970
Mokogenta
Ajuz Penggalan kedua dari bait puisi
Al-Irsyad Organisasi yang didirikan oleh Ahmad Surkati yang
bergerak di bidang pendidikan dan kegiatan
keagamaan. Organisasi ini didirikan pada tahun
1914 di Batavia.
Al-Khalil bin Ahmad Terkenal dengan sebutan al-Khalil. Ia adalah
al-Farahidi (718-789) seorang ulama di bidang bahasa Arab, sastra Arab,
dan juga penemu ilmu persajakan Arab (ilmu arûd),
yang ia ambil dari musik karena ia ahli dalam
bidang tersebut; dan penyusun kamus al-Ain. Ia
mempelajari berbagai ilmu dari Ibnu Abi
Ishaq yang merupakan guru dari Sibawaih.
Al-Rabitah Al- Sekelompok sastrawan emigrant dari Timur Tengah
Qalamiyah yang tinggal di Amerika. Anggota dari kelompok
ini adalah Jibran Khalil Jibran, Mikhail Nu‘aimah,
Iliya Abu Madhi, Rasyid Ayub, dan lain-lain
Amudi Jenis puisi Arab yang terikat dengan irama dan
sajak
Arûd ilmu yang membahas pola-pola syi‘ir Arab untuk
mengetahui wazan yang benar dan yang salah.
Audatul Firdaus Di antara karya sastra Alî Ahmad Bâkatsîr yang
berbentuk prosa yang berisi tentang perjuangan
Soekarno Hatta dan kawan-kawan dalam rangka
mencapai kemerdekaan Indonesia
Badi‘ badi‘ adalah salah satu cabang dari ilmu balâghah,
dimana badi‘ ini digunakan dalam rangka untuk
memperindah susunan kalimat; baik dari aspek arti
maupun kata.
278
Bahar Hasil pengulangan beberapa taf‟ilah dengan tujuan
untuk penyusunan puisi Arab
Balâghah kesesuaian antara konteks ucapan dan situasi dan
kondisi lawan biacara yang disertai dengan
penggunaan kalimat/ bahasa yang fashih, jelas, dan
mudah dipahami
Christiaan Snouck seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan
Hurgronje (1857- bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk
1936) pemerintah kolonial Hindia
Belanda (sekarang Indonesia)
Di Bawah Lindungan novel sekaligus karya sastra klasik Indonesia yang
Ka‘bah ditulis oleh Hamka. Novel ini diterbitkan pada
tahun 1938 oleh Balai Pustaka, penerbit
nasional Hindia Belanda.
Darurat Syi‟r Aturan yang menurut ilmu nahwu atau sharf itu
salah, akan tetapi karena harus mengikuti pola
irama puisi dalam ilmu arûd, maka pelanggaran
terhadap kaidan nahwu sharf diperbolehkan
Ende Daerah di Flores
Entitas Satuan yang berwujud; wujud
Ghazl Puisi yang bertemakan tentang percintaan
Hadramaut Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di
Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai
Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras
al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut
hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu
daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan
Ain Ba Ma‘bad dan Saihut beserta daerah
pegunungan yang terletak di belakangnya.
Hadrami Sekelompok penduduk nomaden yang berasal dari
wilayah Hadhramaut, Yaman
Hamasah Puisi arab yang bertemakan semangat perjuangan
Hazj Nama salah satu bahar karya al-Khalil dengan pola
irama mafa‟ilun empat kali
Hiperbolik Menyatakan sesuatu hal dengan berlebihan atau
melebih – lebihkan sehingga situasinya terlihat
lebih besar dari keadaan yang sebenarnya.
Hurr Jenis puisi arab yang tidak terikat dengan ilmu arûd
Inlander Masyarakat pribumi
Irama Wazan dalam ilmu arûd
Isti‟ârah Peminjaman makna suatu kata dari makna aslinya
(makna hakiki/ denotatif) kepada makna baru
(makna majâzi/ konotatif)
Ka‘b Bin Zuhair Penyair akhir Masa Jahiliyah (pra Islam) yang
hidup sampai masa awal Islam.
Kaff Membuang huruf ke tujuh yang mati
Kasidah Kesusastraan Arab yang berbentuk puisi (syair)
279
yang terdiri dari minimal tujuh bait
Kelindan Erat menjadi satu
Khabn Membuang huruf kedua yang mati
L. W. C. van den Berg Seorang orientalis asal belanda di zaman kolonial
Hindia Belanda yang terkenal dengan tulisan hasil
penelitiannya mengenai keturunan Arab Indonesia
Langgar Ruangan, tempat atau rumah kecil menyerupai
masjid yang digunakan sebagai tempat salat dan
mengaji bagi umat Islam. Langgar bisa disebut juga
musala. Memang ada beberapa daerah yang
menamakan musholla dengan sebutan langgar.
Mahjar Diaspora
Majâz Kata yang digunakan pada selain makna aslinya,
karena adanya keterkaitan makna disertai indikator
yang mencegah dari pemahaman arti aslinya
Merdeka atau Mati Semboyan yang dipakai oleh warga Indonesia
dalam rangka untuk mengobarkan semangat juang
rakyat Indonesia
Mohammad Dikenal dengan sebutan Bung Hatta adalah
Hatta (1902-1980) negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat
sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama.
Mu‟allaqat Nama sebuah penghargaan sastra tertinggi pada
zaman Jahiliah
Mudawwar (Satu kata yang terdapat di dua taf‟ilah; sebagian
kata berada di akhir shadr dan sebagian kata yang
lain berada di awal ajuz
Multazam Jenis puisi arab yang terikat dengan irama dan sajak
Mursal Jenis puisi arab yang terikat kesamaan dalam irama
akan tetapi tidak terikat harus sama dalam huruf
akhirnya/ sajak
Mursyid Pembina tarekat
Nadzam Susunan kata yang berirama dan bersajak akan
tetapi tidak ada khayalnya (imajinasi) dan biasanya
digunakan untuk hal ilmiah; ilmu fiqh, tajwid,
alfiyah, dll
NICA Organisasi semi militer yang dibentuk pada 3
April 1944 yang bertugas mengembalikan
pemerintahan sipil dan hukum pemerintah
kolonial Hindia Belanda selepas kapitulasi pasukan
pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda
(sekarang Indonesia) seusai Perang Dunia II (1939 -
1945)
Sungai Nil Sungai yang mengalir sepanjang 6.650 km dan
membelah tak kurang dari sembilan negara yaitu
Mesir, Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania,
Rwanda, Burundi, Sudan, dan Sudan Selatan.
PAI (Persatuan Arab Perkumpulan Arab Indonesia yang didirikan
280
Indonesia) oleh Abdurrahman Baswedan pada tahun 1934 di
Semarang untuk mendorong kesetiaan para imigran
Arab kepada Indonesia
Pekojan Di Batavia, tempat tinggal orang Arab disebut
Pekojan. Penyebutan pekojan awalnya berasal dari
kata ―koja‖. Kata ini merujuk pada keberadaan
komunitas pedagang India Muslim yang sejak
sebelum abad 19, sudah tinggal di kota-kota besar
di Jawa. Seiring dengan banyaknya pedagang Arab
dan diberlakukannya kebijakan wijkenstelsel
(penataan kampung berdasarkan ras) maka banyak
mereka yang diminta untuk mendiami kawasan
khusus tersebut. Lama-kelamaan, jumlah para
pendatang Arab ini lebih banyak dibanding
keturunan India Islam.
Prosa Dalam sastra arab, prosa dikenal dengan natsr.
Dalam susunannya, prosa terbebas dari aturan irama
dan sajak
Qabdl Membuang huruf kelima yang mati
Qâfiyah Sajak
Ritsa‟ Tema dalam puisi arab yang bersifat ratapan
Sajak Huruf terakhir
Sayyid Gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-
orang yang merupakan keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui cucu dia, Hasan bin
Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari
anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah
az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.
Keturunan wanita mendapatkan gelar
berupa Sayyidah, Alawiyah, Syarifah atau Sharifah
Sayyid Usman bin Mufti Batavia yang berasal dari Arab, ditahbiskan
Aqil bin Yahya (1822- oleh Christian Snouck Hurgronje sebagai penasihat
1914) kehormatan untuk urusan Arab dari 1891 sampai
kematiannya pada 1914. Sayyid Utsman merupakan
diaspora kaum hadrami.
Shadr Penggalan pertama dari bait puisi arab
Sing Keh Para keturunan Tionghoa yang sejak lama sudah
bermukim di nusantara
Sutan Syahrir (1909- lahir di Padang, Sumatra Barat, adalah seorang
1966) intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan
Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia
menjadi politikus dan perdana
menteri pertama Indonesia. Ia menjabat
sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14
November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sutan Syahrir
ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966
281
melalui Keppres nomor 76 tahun 1966
Taf‟ilah Bagian-bagian bait puisi Arab yang tersusun dari
beberapa satuan suara yang digunakan untuk
melantunkan puisi Arab
Tasybîgh menambah satu huruf mati di akhir sabab khafif
Tasybih Salah satu tema dalam ilmu balâghah yang
menyerupakan antara dua perkara atau lebih
yang memiliki kesamaan sifat (satu atau lebih)
dengan suatu alat, karena ada tujuan yang
dikehendaki oleh pembicara
Tenggelamnya Kapal Kapal van der Wijck adalah kapal mewah tahun
Van Der Wijck 1921 yang dinamai menurut Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck.
Kapal ini tenggelam pada tahun 1936 di Laut
Jawa dan melatarbelakangi penulisan
novel Tenggelamnya Kapal van der
Wijck oleh Hamka
Tawîl Adalah nama salah satu bahar karya al-Khalil
dengan pola irama fa‟ulun mafa‟ilun fa‟ulun
mafa‟ilun sebanyak dua kali
The Prophet Buku yang berisikan dongeng perumpamaan
dengan menggunakan puisi prosa yang tertulis
dalam bahasa Inggris oleh seorang penulis, ahli
filsafat dan seniman berkebangsaan Amerika
Serikat dengan keturunan Lebanon yaitu Khalil
Gibran
Thibaq Penyajian dua kata atau kalimat yang berlawanan
dalam suatu kalimat
Tonil Sandiwara
VOC Persekutuan Dagang asal Belanda yang
memiliki monopoli untuk
aktivitas perdagangan di Asia.
Vreemde Oosterlingen Kebijakan yang dilakukan belanda dalam rangka
untuk memisahkan pemukiman dan pergaulan
orang eropa, orang timur asing dan orang prubumi
Washf Tema dalam puisi arab yang bersifat deskriptif
Wazan Satuan-satuan bunyi tertentu yang meliputi huruf
hidup dan huruf mati yang melahirkan taf‘ilah-
taf‘ilah dan bahar syi‘ir.
Wijkenstelsel Lokalisasi pemukiman
William Shakespeare Seorang pujangga, dramawan, dan aktor Inggris,
(1564-1616) secara luas dianggap sebagai penulis drama
berbahasa Inggris terhebat dan dramawan
termasyhur di dunia. Ia sering disebut
sebagai penyair nasional Inggris. Salah satu
karyanya adalah Romeo and Juliet

282
INDEKS
A Balâghah, 30, 163, 165, 236, 238, 239,
274
Abdul Kadir Baraja, 67, 69, 76, 79, 272,
Bangsa, 1, 49, 110, 143, 185, 186, 198,
298
211, 236, 251, 264, 267, 269,
Abdullah Baraja, 68, 69, 71, 73, 79, 80,
270, 299
110, 111, 113, 114, 213, 214,
Bankole, 13, 15, 16, 67, 70, 71, 76, 77,
272, 287
78, 83, 84, 88, 89, 90, 93, 94,
Abdullah Barajâ, 69, 71, 73, 79, 80,
102, 103, 104, 105, 119, 120,
111, 113, 114, 214
122, 123, 272
Abdus Samad, 67, 70, 72, 83, 103, 114
Barat, 5, 7, 8, 9, 19, 34, 41, 54, 83, 91,
Agama, 73, 102, 114, 117, 209, 220,
92, 94, 95, 98, 102, 104, 105,
244, 245, 249, 251, 252, 256,
109, 111, 113, 114, 116, 119,
258, 261, 262
120, 123, 126, 127, 130, 131,
Agus Salim, 54, 79, 210, 262
138, 141, 142, 143, 163, 164,
Ahmad Mustofa Bisri, 214, 215, 272,
166, 174, 180, 181, 182, 185,
298
186, 188, 191, 197, 206, 207,
Ahmad Surkati, 61, 62, 183, 228, 267,
208, 211, 226, 262, 263, 265,
273
267, 270, 277
Al-Irsyad, 61, 62, 183, 214, 221, 222,
Batavia, 3, 4, 41, 59, 60, 61, 62, 182,
228, 267, 268, 273
183, 186, 227, 228, 237, 245,
Al-Quran, 117, 130, 176, 271
268, 273, 276, 277
Amudi, 32, 274
Belanda, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 11, 12, 23, 38,
Anderson, 52, 191, 194, 203, 204, 206,
39, 40, 41, 42, 48, 51, 53, 54, 55,
217, 218, 220, 221, 236
58, 59, 61, 62, 63, 64, 73, 78, 85,
Arab Klasik, 11, 239
86, 87, 88, 89, 110, 130, 131,
Arab Saudi, 13, 23, 96, 177, 178, 185,
134, 135, 138, 139, 140, 141,
243
163, 167, 169, 170, 180, 181,
Arûd, 30, 31, 32, 33, 146, 147, 148,
182, 183, 184, 185, 186, 187,
149, 160, 161, 236, 237, 238,
188, 189, 190, 191, 192, 193,
240, 242, 243, 274
194, 195, 196, 197, 209, 212,
Asia Tenggara, 70, 169, 189, 190, 267
213, 214, 215, 216, 217, 218,
Asing, 3, 59, 171, 191, 207, 213, 228,
220, 221, 222, 223, 226, 227,
247
228, 229, 233, 236, 238, 241,
Audatul Firdaus, 8, 105, 109, 110, 111,
244, 247, 248, 253, 258, 260,
112, 124, 138, 201, 220, 229,
268, 270, 271, 274, 275, 276,
236, 274
277, 278
Aulad Haratina, 92, 261
Betawi, 53, 227, 262, 267
B Biladuk ya Hatta, 12, 105, 112
Bafagih, 85, 86, 87, 88, 183, 228 Binatang buas, 12, 31
Bahar, 146, 274 Bobsaid, 71, 72, 83
Balaghah, 30, 151, 163, 165, 236, 238,
239
283
D Hatta, 8, 12, 15, 18, 22, 23, 26, 41, 48,
50, 105, 109, 112, 128, 138, 139,
Dialog, 98, 117, 124
140, 141, 142, 144, 159, 161,
Diaspora, 2, 57, 61, 87, 250, 252, 271,
162, 166, 178, 179, 180, 183,
275
198, 204, 208, 212, 216, 219,
Dunia, 8, 12, 16, 42, 58, 77, 93, 94, 95,
232, 236, 241, 242, 254, 257,
107, 111, 112, 128, 133, 142,
261, 263, 266, 271, 272, 274, 275
169, 189, 207, 211, 214, 229,
Hazj, 29, 275
242, 253, 271, 276, 299
Hijâz, 67, 74, 75, 78, 84, 89, 90, 91, 94,
E 95, 96, 114, 125, 199, 213, 260
Eksil, 223, 224, 239 Hindia Belanda, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 12, 39,
Eksploitasi, 188, 267 40, 54, 63, 73, 84, 86, 87, 88, 89,
Emosi, 199, 266 135, 138, 139, 182, 184, 185,
Eropa, 3, 7, 19, 34, 37, 38, 39, 43, 59, 187, 194, 195, 213, 215, 221,
61, 62, 64, 75, 77, 90, 91, 101, 222, 223, 226, 227, 228, 233,
102, 114, 119, 120, 123, 138, 241, 260, 274, 275, 276, 277
180, 182, 184, 185, 189, 190, Hukum, 62, 63, 96, 115, 257, 264, 268
197, 203, 204, 209, 212, 217, Hurr, 33, 275
218, 220, 222, 223, 225, 229 Hutan, 188, 267
Ethiopia, 75, 103, 184, 222, 233, 258, I
276
Ibrahim Isa, 223
F Identitas, 60, 70, 85, 86, 95, 170, 174,
Firaun, 102, 219, 228 182, 186, 215, 228, 239, 244,
245, 251, 253, 256, 260, 264,
G 267, 269, 270
Gamal Abdul Nasser, 78, 223, 225 Ideologi, 52, 236
Gibran, 1, 14, 34, 95, 152, 153, 155, Idrus, 72, 150, 151, 152, 271
156, 157, 238, 266, 277 Idrus bin Salim al-Jufri, 72
Ikatan, 129, 203, 218, 224, 226
H Illiya, 152, 153, 154
Hadramaut, 4, 13, 59, 61, 62, 63, 64, Indonesia Raya, 137, 138, 200, 201,
67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 78, 259
83, 84, 86, 87, 88, 89, 95, 96, Indûnîsiyâ Yâ Jannah al-Dunyâ, 12, 18,
103, 114, 125, 183, 199, 205, 22, 23, 26, 128, 144, 148, 149,
213, 224, 247, 274 150, 157, 166, 169, 178, 232
Hadrami, 4, 13, 23, 26, 59, 60, 61, 63, Inggris, 17, 22, 38, 42, 44, 59, 75, 76,
64, 65, 67, 70, 73, 83, 84, 85, 86, 77, 78, 97, 98, 102, 110, 113,
87, 88, 89, 92, 112, 125, 126, 117, 119, 122, 123, 176, 185,
170, 182, 183, 199, 214, 215, 187, 189, 190, 208, 277, 278
216, 220, 221, 222, 224, 226, Inspirasi, 26, 43, 47
227, 228, 233, 244, 254, 264, Intelektual, 209, 252
267, 275 Irama, 26, 27, 28, 144, 146, 158, 160,
Harimau, 173, 174 275
284
Ishom Bâkatsîr, 67, 68, 69, 71, 72, 76, K
79, 80, 83, 112, 171, 191, 205,
Kampung Arab, 60, 67, 68, 199
213, 214, 215, 272, 287
Karakter, 251, 256, 257, 260
Islam, 1, 2, 3, 6, 7, 8, 13, 19, 20, 22, 26,
Kasidah, 12, 128, 140, 206, 232, 275
32, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
Kebangsaan, 70, 206, 257, 259, 267,
60, 61, 62, 63, 64, 69, 72, 73, 74,
271
78, 83, 84, 85, 92, 95, 96, 102,
Kemanusiaan, 35, 181, 210, 259
106, 107, 109, 110, 111, 112,
Kemerdekaan, 8, 167, 169, 183, 204,
114, 115, 116, 117, 118, 119,
206, 207, 233, 251, 257, 258,
120, 121, 123, 124, 125, 126,
261, 262, 264
127,128, 129, 133, 135, 139, 143,
Kepulauan, 62, 186
144, 173, 175, 176, 178, 182,
Keturunan, 6, 26, 56, 60, 61, 86, 199,
183, 184, 189, 194, 195, 196,
236, 238, 270, 271, 276
198, 199, 202, 208, 209, 210,
Keturunan Arab, vii, 6, 26, 56, 61, 86,
212, 213, 214, 215, 220, 222,
236, 238, 271
224, 225, 227, 228, 236, 239,
Klasik, 11, 32, 163, 239
240, 241, 242, 243, 244, 245,
Kolonialisme, 70, 84, 247, 267
246, 247, 248, 249, 250, 251,
Komunikasi, 45, 53, 196, 199, 241,
252, 253, 255, 256, 257, 258,
245, 262, 265
260, 261, 263, 264, 265, 267,
Konflik, 35, 77, 87, 244
268, 270, 271, 272, 273, 275, 276
Israel, 77, 122, 212, 220, 225, 256 L
J L. W. C. Van den Berg, 2, 23, 26, 226
Langgar, 3, 247, 275
Jannah, 12, 15, 18, 22, 23, 26, 41, 48,
50, 105, 109, 112, 115, 128, 144, M
146, 148, 149, 150, 157, 166, Mahfouz, 5, 78, 90, 91, 92, 93, 213,
169, 171, 175, 176, 177, 178, 226, 237, 244, 260
225, 232, 255 Mahjar, 26, 34, 35, 155, 157, 177, 178,
Jawa, 4, 9, 38, 39, 40, 41, 54, 56, 58, 213, 236, 241, 271, 275
60, 67, 74, 174, 177, 182, 184, Majapahit, 57, 58, 229, 262
186, 195, 199, 216, 222, 233, Majâz, 164, 275
237, 241, 248, 260, 261, 264, Masyarakat Timur, 19, 263
265, 266, 276, 277, 299 Media, 167, 189, 190, 196, 241, 244,
Jember, 67, 69, 71 245, 250, 256, 264
Jepang, 3, 8, 11, 13, 42, 47, 49, 51, 55, Melayu, 53, 86, 158, 199, 251, 266, 271
59, 78, 110, 111, 124, 130, 131, Merdeka, 140, 166, 232, 247, 275
136, 169, 184, 186, 187, 188, Minangkabau, 41, 138, 199, 216, 254,
189, 190, 191, 192, 193, 194, 266
196, 197, 209, 212, 213, 220, Modern, 7, 9, 11, 18, 48, 94, 107, 121,
221, 227, 229, 247, 250, 253, 124, 127, 157, 163, 193, 216,
262, 264, 269, 276 236, 239, 241, 243, 245, 248,
Jerman, 44, 46, 131, 189, 191, 203, 273 251, 256, 258, 259, 263, 265, 268

285
Mokogenta, 80, 273 258, 259, 260, 261, 262, 264,
Mursal, 32, 276 265, 267, 268
Penduduk, 39, 197, 262
N
Penjajah, 141, 180, 186, 188
Narasi, 102, 207 Peradaban, 182, 261, 299
Nasionalisme, 13, 14, 26, 51, 52, 123, Perang, 6, 40, 42, 58, 104, 105, 122,
169, 191, 199, 206, 209, 213, 186, 189, 190, 191, 193, 195,
219, 229, 237, 252, 259, 260, 238, 264, 267, 276
262, 271 Perjuangan, 12, 169, 182, 188, 253,
Nazi, 44, 46, 110, 134, 175, 189, 190, 259, 261, 262, 264, 267, 270
266, 268, 273 Politik, 6, 51, 52, 60, 119, 138, 139,
NICA, 40, 167, 195, 276 169, 171, 181, 182, 186, 189,
Nil, 76, 128, 138, 200, 204, 205, 216, 206, 225, 236, 239, 242, 244,
276 248, 250, 251, 252, 253, 254,
Novel, 5, 9, 16, 42, 73, 80, 90, 91, 92, 256, 258, 260, 264, 267, 271
97, 192, 226, 239, 249, 256, 259, Prancis, 6, 18, 44, 45, 46, 47, 48, 50,
261, 271, 274 59, 62, 75, 78, 91, 93, 102, 123,
Nusantara, 2, 3, 4, 7, 12, 13, 22, 23, 25, 208, 225
38, 53, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, Pribumi, 85, 250, 274
64, 68, 74, 88, 95, 96, 169, 173,
Q
180, 182, 183, 185, 186, 187,
191, 193, 213, 218, 221, 224, Qâfiyah, 30, 31, 146, 148, 149, 160,
226, 227, 237, 241, 244, 246, 161, 236, 237, 238, 240, 243, 276
247, 250, 254, 255, 258, 260,
R
263, 264, 268, 270
Rakyat, 7, 55, 169, 188, 204, 225, 236,
O
239, 245
Oedipus, 77, 105, 106, 107, 115, 116, Revolusi, 26, 75, 90, 111, 166, 195,
120, 228, 248, 256 238, 243, 245, 261, 264, 267
Orang Arab, 2, 3, 4, 23, 60, 62, 63, 64, Romantic, 7, 255
68, 86, 87, 170, 171, 182, 226,
S
228, 233, 237, 239, 244
Sajak, 26, 30, 144, 153, 156, 163, 276
P
Sastrawan, 18, 26, 80, 81, 83, 94, 98,
PAI, 85, 86, 87, 183, 213, 215, 238, 276 105, 206, 236, 258
Palestina, 77, 122, 143, 211, 212, 220, Sayid, 3, 61, 72, 83, 84, 85, 88, 89, 125,
225, 233 151, 182, 205, 206, 214, 236,
Pekojan, 3, 4, 60, 183, 247, 257, 268, 247, 248, 255, 271, 276, 277
276 Sayid Idrus, 72, 151
Pendidikan, 15, 26, 31, 70, 76, 85, 119, Sayid Usman, 61, 247, 248, 277
169, 181, 182, 186, 197, 204, Sayyid, 3, 61, 72, 83, 84, 85, 88, 89,
206, 209, 225, 228, 242, 243, 125, 182, 206, 214, 236, 247,
244, 245, 251, 252, 256, 257, 248, 255, 271, 277
Sayyid Idrus, 72, 150, 151, 152
286
Sayyid Usman, 61, 84, 247, 248, 277 Timur Tengah, 2, 78, 111, 208, 238,
Seiwun, 4, 5, 89 274
Seni, 45, 55, 61, 85, 115, 120, 225, 245, Tionghoa, 3, 59, 60, 219, 277
250, 255, 259, 260, 261, 262 Tjokroaminoto, 54
Serigala, 143, 163, 211 Tropis, 267
Setan, 239, 241, 253
U
Shakespeare, 75, 98, 99, 100, 101, 102,
105, 113, 241, 278 Urban, 47, 196, 197, 259, 261, 262, 269
Shalih bin Ali al-Hamid, 152, 153 V
Snouck Hurgronje, 2, 61, 274, 277
Soekarno, 7, 8, 12, 53, 54, 55, 110, 111, Van den Berg, 2, 4, 12, 23, 26, 226, 228
112, 137, 139, 142, 164, 179, VOC, 58, 59, 181, 182, 185, 197, 238,
180, 183, 198, 216, 244, 250, 243, 244, 251, 268, 269, 278
251, 261, 262, 263, 267, 274 Vreemde Oosterlingen, 3, 171, 213,
Sosiologi, 10, 22, 26, 35, 42, 45, 47, 48, 237, 278
50, 169, 213, 237, 261, 268 W
Strategi, 70, 122, 188, 244, 262, 268,
270 Wilayah, 190, 267
Sukron Kamil, 7, 11, 56, 163 Y
Sungai Nil, 76, 204, 205, 276
Yaman, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 18, 23,
Surabaya, 4, 5, 6, 14, 23, 32, 40, 54, 56,
59, 61, 64, 67, 72, 73, 83, 84, 97,
59, 60, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
105, 125, 126, 151, 152, 177,
76, 79, 80, 83, 88, 89, 110, 111,
178, 183, 228, 233, 275
112, 113, 114, 115, 125, 146,
Yunani, 43, 44, 62, 77, 78, 105, 106,
167, 170, 171, 175, 177, 182,
107, 109, 216, 229
186, 191, 195, 199, 205, 213,
214, 215, 233, 238, 241, 253, Z
262, 264, 266, 270, 271, 272,
Zionis, 77, 134
283, 287, 298
Syair, 11, 13, 26, 32, 33, 50, 94, 138,
146, 151, 158, 160, 169, 210, 214
Syauqi, 5, 75, 93, 94, 177, 213
T
Taman, 173, 175, 185, 252, 262
Tasybih, 163, 277
Thibaq, 165, 278
Timur, 2, 3, 7, 19, 34, 35, 58, 59, 63,
67, 78, 102, 111, 126, 131, 132,
133, 141, 142, 166, 171, 177,
182, 186, 189, 190, 206, 207,
208, 213, 215, 217, 227, 228,
236, 238, 263, 266, 274
Timur Asing, 3, 59, 171, 213, 228
287

Anda mungkin juga menyukai