Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/367392482

NILAI BUDAYA DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI:


KAJIAN NILAI BUDAYA KOENTJARANINGRAT

Preprint · December 2022

CITATIONS READS

0 213

1 author:

Adhyatma Akbar
Universitas Negeri Surabaya
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Adhyatma Akbar on 25 January 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


NILAI BUDAYA DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD
FUADI: KAJIAN NILAI BUDAYA KOENTJARANINGRAT

Adhyatma Akbar
adhyatmaakbar.20016@mhs.unesa.ac.id
Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa. Sebuah
puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan keindahan dengan melanggar kaidah bahasa.
Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi puitis atau lisensi artistik. Antropologi sastra
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Metode analisis yang digunakan ialah deskriptif kualitatif dan data yang digunakan oleh peneliti
dalam artikel ini merupakan novel yang berjudul Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dengan
menggunakan teori Nilai Budaya Koentjoroningrat.. Hasil dari penelitian ini secara umum ialah
setelah membaca novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini timbul rasa untuk ingin
memperbaiki ilmu agama yang selama ini dirasa masih salah dan timbul rasa juga agar selalu
menghargai setiap budaya dari siapa pun itu yang membawanya. Dinamika sosial yang terjadi
antartokoh, mulai dari Alif, Atang, Baso, Dulmajid, Raja, dan Said ini begitu erat dan berwarna,
sehingga membuat pembaca ikut hanyut dalam cerita mereka.
Kata kunci: sastra, antropologi sastra, novel.

Abstract
Literature is a tool that can ignite someone's desire to learn a language. A poem, short story, or
novel can convey beauty by violating the rules of language. Poets or writers have a right called
poetic license or artistic license. Literary anthropology is the analysis and understanding of literary
works in relation to culture. The analytical method used is descriptive qualitative and the data used
by researchers in this article is a novel entitled Negeri 5 Menara by Ahmad Fuadi using the
Koentjoroningrat Cultural Values theory. The results of this study in general are after reading the
novel Negeri 5 Menara by Ahmad Fuadi this arises a feeling of wanting to improve religious
knowledge which so far is still wrong and a feeling also arises to always respect every culture from
whoever brought it. The social dynamics that occur between the characters, starting from Alif,
Atang, Baso, Dulmajid, Raja, and Said are so close and colorful that it makes the reader immersed
in their story.
Keywords: literature, literary anthropology, novel.

PENDAHULUAN
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa.
Dalam The Routledge Handbook of Language and Creativity (2015), Gillian Lazar menjelaskan
bahwa teks sastra telah dianggap mampu menstimulasi semangat pemerolehan bahasa,
mengekspos budaya dan fenomena bahasa kepada pelajar, serta mengajak pelajar untuk aktif
berpartisipasi secara kognitif dan emosional. Sastra juga dinilai mampu memberi contoh penulisan
gramatika yang baik dan penggunaan kosakata yang beragam. Lebih dari itu, Lazar menambahkan
bahwa sastra bisa melibatkan emosional pelajar dengan cerita yang dikemas lewat estetika bahasa.
Akan tetapi, tentu saja ada perdebatan dalam diskursus ini. Karya sastra memiliki larasnya sendiri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra tentu tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada
tugas-tugas di sekolah.
Karya sastra tidak bertumpu sepenuhnya pada kata yang baku, pasangan idiomatis yang
telah ditetapkan, bahkan efektivitas kalimat. Sebuah puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan
keindahan dengan melanggar kaidah bahasa. Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi
puitis atau lisensi artistik. Istilah ini diambil dari bahasa latin, licentia poetica, yang kemudian
diserap ke dalam bahasa Inggris, poetic license. Jika merujuk pada Encyclopedia Britannica, poetic
license berarti ‘hak yang diambil oleh penyair untuk mengubah sintaksis standar atau menyimpang
dari diksi atau pelafalan secara umum guna mencapai tona atau nada tertentu dalam karya mereka’.
Kemudian, dalam Kamus Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman menuliskan bahwa entri licentia
poetica mengartikan ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan, untuk mencapai suatu efek’. Agaknya, pengertian dari Sudjiman lebih luas. Pengarang
bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk
menyimpang dari kenyataan. Perlu diketahui pula, lisensi puitis yang sering disamakan dengan
lisensi artistik membuktikan bahwa hak ini bukan cuma milik sastrawan atau penulis. Pelukis,
pemahat, dan pelaku seni lainnya memiliki kebebasan yang serupa.
Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya
dengan kebudayaan. Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengandung aspek tertentu yaitu,
hubungan dengan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
definisi antropologi sastra. Sebagai mata rantai terakhir perkembangan antropologi dan
antropologi budaya di satu pihak, psikologi sastra dan sosiologi sastra di pihak lain, antropologi
sastra dianggap sebagai memiliki nilai tersendiri sehingga mutlak perlu didefinisikan,
dikembangkan, dan dilembagakan. 1) Pertama, antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi
analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. 2) Kedua, antropologi sastra
berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil karya
sastra, di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal. 3) Ketiga, antropologi
sastra jelas diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya
terkandung beraneka ragam adat kebiasaan, seperti: mantra, pepatah, lelucon, motto, pantun, dan
sebagainya, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis, dalam bentuk sastra. 4)
Keempat, antropologi sastra merupakan wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang
selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi dan sastra. 5) Kelima, antropologi
sastra dengan sendirinya mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan
multidisiplin.
Objek yang dianalisis dalam artikel ini ialah novel yang berjudul Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi dengan menggunakan teori Nilai Budaya Koentjoroningrat. Tujuan dari penelitian
ini ialah diharapkan menjadi khazanah dalam bidang analisis Antropologi Sastra dan menambah
wawasan serta referensi bagi pembaca yang juga ingin melakukan penelitian khususnya terkait
Antropologi Sastra.

METODE PENELITIAN
Data yang digunakan oleh peneliti dalam artikel ini merupakan novel yang berjudul Negeri
5 Menara karya Ahmad Fuadi yang kemudian akan dianalisis dengan teori Nilai Budaya
Koentjoroningrat. Sumber data terbagi menjadi dua, sumber data primer, yaitu objek ini sendiri,
yaitu novel yang berjudul Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dan sumber data sekunder berupa
buku, artikel jurnal, laman pemerintah, dan sumber lain yang bersifat resmi. Pengumpulan data
menggunakan dokumentasi sebagai metode utama. Terakhir, metode analisis akan menggunakan
deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN
Novel Negeri 5 Menara merupakan novel pertama karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan
oleh PT Gramedia Pusat Utama pada tahun 2009 di Jakarta. Novel Negeri 5 Menara adalah novel
pertama dari sebuah trilogi dan kabarnya sebagian royalti trilogi ini akan digunakan untuk
membangun Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan orang yang
tidak mampu dengan basis sukarelawan. Novel yang tebalnya mencapai 423 halaman ini pada
tahun 2012 telah diangkat ke film layar lebar yang berjudul sama dengan novelnya. Dikutip dari
bukunya langsung, sinopsisnya bisa disimak di bawah ini.
Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa
kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah dan
mandi di air biru Danau Mataninjau. Tiba-tiba dia harus melintasi punggung Sumatera menuju
sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin
menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya: belajar di pondok.
Di hari pertama di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan ‘’mantera’’ sakti man jadda
wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dipersatukan oleh hukuman jewer
berantai, Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep,
Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid, mereka menunggu Magrib
sambal menatap awan lembayung yang berarak ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi negara
dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang
mereka tahu adalah: jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh
Maha Mendengar.

Dalam novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini, peneliti akan memberikan kritik
intrinsik dan ekstrinsik beserta penjelasannya, setelah itu akan dianalisis lebih lanjut mengenai
nilai budaya Koentjoroningrat. Berikut ini merupakan kritik intrinsik dari novel Negeri 5 Menara
karya Ahmad Fuadi.

Pertama, dari segi tema. Tema dari novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini ialah
pendidikan, salah kaprah budaya pesantren, dan khususnya pendidikan agama. Alif yang sudah
dewasa dan sukses itu mengawali mimpinya saat dia sedang sekolah di pesantren bersama lima
temannya. Banyak sekali pelajaran pendidikan yang terjadi di pesantren itu. Dari segi alur cerita,
novel ini bisa dibilang memiliki alur campuran alias maju-mundur yang di mana dikisahkan Alif
kembali mengingat-ingat masa lalunya di Pondok Madani hingga membuatnya sukses saat dewasa.
Alur tersebut dapat dibagi menjadi enam bagian dasar cerita, yaitu (1) Alif yang bekerja sebagai
seorang wartawan VOA yang tengah berada di Washington DC itu suatu saat tidak sengaja
mengecek laptopnya yang tiba-tiba ada pesan masuk. Setelah berbalas-balas pesan dengan orang
yang tidak dia ketahui itu, ternyata orang itu adalah teman lama Alif yang bernama Atang dari
pesantren lamanya di Pondok Madani, (2) Ibu Alif tidak ingin anaknya masuk di sekolah umum
dan ingin anak laki-lakinya itu bersekolah agama di pesantren atau madrasah serta ingin anaknya
nanti jika kelak sudah dewasa menjadi pemimpin agama di masa depan, seperti Buya Hamka.
Namun, Alif tidak ingin bersekolah di madrasah atau pesantren dan ingin memiliki cita-cita yang
lebih tinggi lagi serta dia lebih ingin menjadi Habibie. Pada akhirnya dia dengan setengah hati
mengikuti perintah ibunya untuk belajar di pondok, (3) Suatu hari, Baso dengan muka yang terlihat
sedih dan muram itu bercerita kepada teman-temannya bahwa sepertinya dia harus meninggalkan
Pondok Madani duluan dibanding dengan teman-teman lainnya karena suatu hal. Hal itu ialah
Baso harus merawat neneknya yang sedang sakit parah, (4) Suatu ketika ada tiga siswa dari Pondok
Madani yang pergi tanpa izin terlebih dahulu untuk mencari dan mendapatkan barang yang mereka
inginkan di Surabaya. Pada akhirnya, mereka bertiga, yaitu Alif, Atang, dan Said diberi hukuman
oleh seorang ustaz, yaitu dicukur sampai habis rambut kepalanya, (5) Semua siswa Pondok Madani
yang sudah kelas enam itu pun berhasil menyelesaikan ulangan akhir yang digelar oleh Pondok
Madani yang gunanya untuk menilai apakah mereka layak lulus atau tidak. Kemudian mereka
semua pun berpisah dan akan menempuh jalannya masing-masing untuk menggapai impian
mereka di suatu hari kelak nanti, (6) Alif dan kawan-kawan Pondok Madani itu pada akhirnya
telah mencapai impiannya masing-masing dan mereka membuat rencana untuk mengadakan reuni
setelah tidak pernah bertemu setelah lulus dari Pondok Madani tersebut.

Kedua, dari segi tokoh dan penokohan. Tokoh di dalam novel ini bisa dibilang cukup banyak,
tetapi hanya enam saja yang menonjol dibanding yang lain. Mereka berenam adalah Alif, Atang,
Baso, Dumajid, Raja Lubis, dan Said. Alif merupakan seseorang yang penuh motivasi, semangat,
selalu pantang menyerah, dan berpikiran maju. Dia juga dikenal sebagai anak yang patuh dan
penurut kepada ibunya. Walau begitu, terkadang dia juga bisa tidak konsisten dengan pilihan yang
akan dia ambil atau putuskan. Atang ialah seseorang yang pendiam dan tidak berani melakukan
hal-hal yang sekiranya aneh. Namun, di lain sisi dia juga seorang yang humoris dan akan selalu
menepati janjinya bila dia sudah berucap. Selain itu, dia juga memiliki kesukaan, yaitu dia suka
terhadap hal-hal yang berbau seni, khususnya teater. Baso adalah seseorang yang bisa dibilang
auranya positif sekali. Mengapa? Karena dia ini adalah seseorang yang agamis: ingin
memperdalam agama dan salah satu cita-citanya ingin menjadi hafiz Al-Qur’an. Oleh karena itu,
bahasa Arab-nya bisa dibilang juga fasih. Selain itu dia termasuk orang yang peduli, baik itu
dengan teman-temannya atau guru-gurunya. Selain itu, dia juga berbakti kepada orangtuanya. Di
antara lima teman lainnya, dia adalah anak yang paling rajin dan paling bersemangat apabila
disuruh ke masjid. Tidak sampai situ saja, hebatnya lagi dia memiliki ingatan eidetic, yaitu
kemampuan untuk mengingat suatu peristiwa atau objek dalam kurun waktu yang tidak lama.
Dulmajid adalah seseorang yang digambarkan sebagai seorang serba mandiri, rajin belajar tentang
apa pun itu yang membuatnya tertarik. Selain mandiri dan suka belajar, dia termasuk orang yang
setia kawan kepada rekan-rekannya. Dia juga memiliki hobi, yaitu bermain bulutangkis. Biasanya
dia bermain dengan Ustaz Torik. Raja adalah seseorang yang bersifat percaya diri dan senang
berbagi. Hobi yang paling utama yang dia sering lakukan ialah membaca buku. Selain itu, dia juga
senang dengan literatur bahasa Inggris. Bisa dibilang meskipun dia penghafal Al-Qur’an yang
rajin, tetapi imannya terkadang goyah apabila melihat anak perempuan. Said adalah orang yang
memiliki pemikiran yang dewasa. Tidak hanya pemikirannya saja, tetapi tingkah lakunya pun
demikian. Uniknya, dia sangat tertarik dengan dunia bodybuilding dan ingin memiliki tubuh yang
kuat dan kekar. Mungkin itu karena dia mengidolakan sosok Arnold Schwarznegger. Meskipun
begitu, terkadang dia kurang percaya diri terhadap beberapa hal.

Ketiga, dari segi latar. Baik itu dari latar tempat, suasana, dan waktu semuanya beragam. Latar
tempat bisa terjadi di Surabaya, Minangkabau, bahkan sampai di luar negara, yaitu Washington
DC. Namun yang paling sering ialah berada di Pondok Madani. Suasana bisa mulai dari lucu,
mengundang gelak tawa, serius dan tegang, hingga merasakan nostalgia. Waktu terjadi pada pagi,
siang, sore, dan malam hari. Paling sering ialah pada saat sore hari menjelang azan Magrib. Dari
sisi sudut pandang, pengarang, Ahmad Fuadi, menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku
utama karena di setiap ceritanya, tokohnya menggunakan kata ganti ‘’Aku’’.

Keempat, bahasa yang digunakan Ahmad Fuadi di dalam novel ini terbilang ringan. Pembaca
dapat mudah mengerti alur cerita karena dari segi bahasanya pun mudah untuk dicerna. Pengarang
sangat lihai dalam memperlihatkan pesantren modern di dalam novel ini. Seakan pandangan-
pandangan orang di luar sana tentang pesantren akan berbeda 180 derajat. Selain itu yang penting
juga ialah pesan moral yang pengarang coba sampaikan lewat novel ini. Pertama, raihlah
pendidikan setinggi mungkin dan jangan pernah takut untuk bermimpi yang besar karena segala
hal dapat terjadi, Tuhan sungguh Maha Mendengar. Kedua, budaya dari masing-masing tempat
jika disatukan dapat menjadi kekuatan besar. Hal itu dibuktikan dari enam tokoh utama di sini
memiliki latar belakang tempat yang berbeda-beda dan mereka dapat membangun suatu kelompok
yang kuat, bahkan bisa dibilang berhasil mencapai konsolidasi. Selain itu novel ini juga
membuktikan bahwa budaya orang-orang terkait tentang pesantren itu tidak sepenuhnya benar.

Kelima, kelebihan dan kekurangan dalam novel ini. Kelebihan novel ini terletak pada
ceritanya yang memotivasi para pejuan muda untuk tidak meninggalkan pendidikan dan berani
untuk bermimpi yang setinggi-tingginya karena hal itu bisa saja kesampaian. Selain itu, novel ini
merubah pola pikir, pandangan, budaya atau stereotipe tentang pesantren yang hanya belajar
agama saja. Nyatanya di Pondok Madani ini mereka belajar banyak hal, mulai dari bahasa asing,
banyak ilmu pengetahuan, kedisiplinan, hingga kesenian atau menekuni hobi yang mereka punya.
Kekurangan novel ini, yaitu (1) Sebagai pelajar, setidaknya harus menabung yang cukup karena
harga buku ini bisa dibilang tidak murah, (2) Bagi yang konsentrasinya mudah terpecah, bisa jadi
sedikit bingung saat membaca novel ini karena awal cerita ini menceritakan Alif yang sudah besar
alias di masa kini, lalu kembali lagi ke ingatan Alif saat dia masih berada di Pondok Madani, (3)
Karena ini trilogi, memang akhir dari cerita ini tidak begitu terasa klimaksnya karena memang
belum berakhir.
Selain itu, berikut ini merupakan kritik ekstrinsik dari novel Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi.

Pertama, latar belakang penulis. Dikutip langsung dari bukunya, latar belakang penulis seperti
di bawah ini.

‘’Negeri 5 Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogy. Ditulis oleh Ahmad Fuadi,
mantan wartawan TEMPO & VOA, penerima 8 beasiswa luar negeri, penyuka fotografi, dan
terakhir menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi. Alumni Pondok Modern
Gontor, HI Unpad, George Washington University, dan Royal Holloway, University of London
ini meniatkan sebagian royalty trilogy ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah lembaga
sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu dengan basis sukarelawan.’’

Lebih detailnya, Ahmad Fuadi adalah seorang penulis Novel Negeri 5 Menara. Beliau lahir
tanggal 30 Desember 1972 di Nagari Bayur, Maninjau, Sumatra Barat. Selain menjadi penulis
novel, beliau juga menjalani profesi sebagai praktisi konservasi dan juga wartawan. Beliau
termasuk seorang yang punya motivasi tinggi dan pekerja keras. Orangtuanya berprofesi sebagai
guru, ibunya seorang guru SD, sedangkan ayahnya adalah guru sekolah madrasah. Buku-bukunya
yang terkenal ialah trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara.

Kelima, nilai sosial, budaya, dan agama. Nilai budaya dan agama yang terkandung dalam
novel ini sangat kental. Layaknya seorang ibu pada umumnya, ibu Alif pun ingin bahwa nantinya
suatu kelak anaknya menjadi pemimpin agama dan sukses sesuai keinginan sang ibu. Bisa dibilang
budaya ini telah dilakukan turun-temurun oleh orangtua mana pun. Niatnya memang baik, tetapi
pada akhirnya orangtua harus sadar bahwa semua keputusan itu harus berada di tangan anak
tersebut. Selain itu, budaya atau stereotipe yang beredar di masyarakat tentang pesantren ternyata
tidak benar. Tokoh Alif di sini pun sampai terkagum setelah belajar banyak di Pondok Madani.
Pesantren yang biasanya dipandang kuno dan hanya belajar agama saja itu pun ternyata salah total.
Padahal ternyata lebih dari itu, murid-murid itu diajarkan banyak hal, mulai dari kedisiplinan,
menekuni hobinya, sampai belajar bahasa asing. Nilai sosial di sini pun banyak. Masing-masing
dari tokohnya saja mempunyai latar belakang yang berbeda. Alif dari Minangkabau, Atang dari
Bandung, Baso dari Gowa, Dulmajid dari Sumenep, Raja dari Medan, dan Said dari Surabaya.
Tentu masing-masing dari mereka memiliki kebiasaan atau kebudayaannya masing-masing yang
dibawa dan diterapkan saat berada di Pondok Madani dan itulah yang membuat cerita ini berwarna.

1. Nilai Budaya Manusia dengan Tuhan


Hadist mengatakan: Innallaha jamiil wahuwa yuhibbul jamal. Sesungguhnya
Tuhan itu indah dan mencintai keindahan (Fuadi, 2013:34).
Kedatangan agama Islam ke Indonesia menjadi rahmat bagi masyarakatnya dan adatnya.
Ajaran Islam menjadikan Budaya menjadi semakin kuat. Setelah masyarakat Indonesia
menganut ajaran Islam, antara ajaran agama dan ajaran adat tidak pernah bertentangan,
namun tetap ada perbedaan. Islam sebagai agama langit yang bersumber dari Al Quran dan
Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan Budaya bersumber dari ketentuan alam
semesta. Meskipun demikian anjuran dan perintah Allah Swt dalam Al-Quran yang
menganjurkan manusia untuk mempelajari alam baik secara pribadi maupun
bermasyarakat dan berbangsa.
2. Nilai Budaya Manusia dengan Alam
Manusia dengan tuhan merupakan salah satu ajaran Minangkabau yang paling penting.
Masyarakat Minangkabau mengandung ajaran Islam. Ajaran Islam dan ajaran adat
Minangkabau seiring sejalan. Meskipun demikian terdapat perbedaan. Perbedaan itu
berdasarkan sumber ajarannya. Islam adalah agama langit yang bersumber dari ajaran Al-
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Sementara, adat Minangkabau bersumber dari ajaran-
ajaran yang mengambil ikhtibar dari ketentuan-ketentuan alam semesta.
Aku percaya Tuhan dan alam-Nya akan membantuku, karena imbalan
kesungguhan hanyalah kesuksesan. Bismillah (Fuadi, 2013:82).
Kutipan tersebut mengajarkan kepada pembaca bahwa manusia harus selalu mengingat
Allah dalam keadaan seperti apapun, dimanapun, dan kapanpun. Allah akan selalu ada
untuk umat-Nya.

3. Nilai Budaya Manusia dengan Diri Sendiri


Alhamdulillah, sesuai cita-cita aku diterima di SMA Bukittinggi, sekarang aku
sedang masa-masa perkenalan siswa. Kau tahu lif ternyata keindahan SMA yang
kita bayangkan dulu tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benar-
benar tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bergaul. Gurugurunya juga
yang paling terkenal di Sumatra Barat (Fuadi, 2013:101-102).
Kutipan diatas mengambarkan bahwa sebagai teman alif sangat senang sahabatnya
diterima disekolah yang diimpikan,dia tinggi hati dan mudah bergaul dengan yang lain.
Tapi hal ini benar-benar dimanfaatkan alif untuk menambah wawasannya untuk
bersosialisasi dengan teman-temannya di PM. Strategi ini membantunya dalam
mewujudkn membentuk pertemanan serta alif ikut aktif dalam organisasi dan bahkan
menjadi ketua dalam satu organisasi yang dilaksanakan PM. Maka dari situ, pengembangan
nilai moral sangat penting supaya manusia memahami dan menghayati etika ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan nilai-
nilai etika mampu menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan demikian akan
terwujud perasaan saling hormat, saling sayang, dan tercipta suasana yang harmonis.

4. Nilai Budaya Manusia dengan Manusia Lain


Adat Minangkabau mengatur hal-hal penting tentang hubungan sesama manusia, baik
hubungan perorangan, masyarakat dan berbangsa. Adat Minangkabau juga membedakan
secara tajam antara manusia dan hewan dalam tingkah laku dan perbuatan. Hidup saling
tolong menolong sesama manusia, hidup dalam kesamaan dan persamaan dalam kehidupan
sehari-hari juga telah ditetapkan Adat Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang. Adat
Minangkabau mengajarkan senantiasa membantu sesama manusia bila diperlukan dengan
tidak membedakan jauh dekatnya kekeluargaan.
Aku menumpangkan telapak tangan di bahunya, mencoba berbagi simpati. Begitu
juga kawan-kawanku yang lain (Fuadi, 2013:361).
Kutipan di atas juga mempunyai arah yang sama. Kutipan di atas menyebutkan bahwa Alif
menumpangkan tangannya sebagai rasa simpati kepada Baso. Ini merupakan bahwa Alif
dan kawan-kawan sahibul menara yang lain juga merasakan apa yang dirasakan Baso pada
saat itu.
5. Nilai Budaya Manusia dengan Masyarakat
Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita
semakin kuat lahir dan batin.” Katanya memberikan motivasi di depan kelas tanpa
ada yang meminta (Fuadi, 2013:45).
Dalam kutipan diatas digambarkan sikap untuk saling memahami teman, itulah yang
diterapkan para tokoh dalam novel negeri menara tersebut, dengan cara kita memahami
sesama, para tokoh dalam novel tersebut saling membantu satu sama lain seperti merekan
melihat Baso yang hampir setiap hari membaca buku pelajaran dan AlQuran dengan
sungguh-sungguh. Tapi mereka tetap saja menghabiskan waktu untuk belajar menghaji
shalat lalu belajar shalat.

PENUTUP
Simpulan yang dapat ditarik dari penjabaran-penjabaran di atas ialah setelah membaca novel
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini timbul rasa untuk ingin memperbaiki ilmu agama yang
selama ini dirasa masih salah dan timbul rasa juga agar selalu menghargai setiap budaya dari siapa
pun itu yang membawanya. Dinamika sosial yang terjadi antartokoh, mulai dari Alif, Atang, Baso,
Dulmajid, Raja, dan Said ini begitu erat dan berwarna, sehingga membuat pembaca ikut hanyut
dalam cerita mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Aspahani, Hasan. 2018. “Lisensi Puitika dan Kebebasan Berbahasa”. Majalah Tempo. April,
Jakarta.
Jones, Rodney H. (ed). 2015. The Routledge Handbook of Language and Creativity. Abingdon:
Routledge.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Fuadi, Ahmad. 2013, cetakan 21. Negeri 5 Menara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yudhistira. 2021. "Batas Lisensi Puitis", https://narabahasa.id/keterampilan-
bahasa/menulis/batas-lisensi-puitis, diakses pada 17 Desember 2022.
Yudhistira. 2021. "Hasrat untuk Belajar Bahasa", https://narabahasa.id/linguistik-terapan/hasrat-
untuk-belajar-bahasa, diakses pada 17 Desember 2022.
Maulina, Meilisna. 2022. "Apa Itu Antropologi? Bagaimana Hubungannya Dengan Sastra?",
https://www.indonesiana.id/read/154382/apa-itu-antropologi-bagaimana-hubungannya-
dengan-sastra, diakses pada 17 Desember 2022.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. "Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik",
https://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN/article/download/197/166, diakses
pada 17 Desember 2022.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai