Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/367392479

NILAI BUDAYA DALAM CERPEN "ROBOHNYA SURAU KAMI" KARYA ALI AKBAR
NAVIS: KAJIAN NILAI BUDAYA KOENTJARANINGRAT

Preprint · December 2022

CITATIONS READS

0 323

1 author:

Adhyatma Akbar
Universitas Negeri Surabaya
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Adhyatma Akbar on 25 January 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


NILAI BUDAYA DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”
KARYA ALI AKBAR NAVIS: KAJIAN NILAI BUDAYA
KOENTJARANINGRAT

Adhyatma Akbar
adhyatmaakbar.20016@mhs.unesa.ac.id
Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa. Sebuah
puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan keindahan dengan melanggar kaidah bahasa.
Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi puitis atau lisensi artistik. Antropologi sastra
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Metode analisis yang digunakan ialah deskriptif kualitatif dan data yang digunakan oleh peneliti
dalam artikel ini merupakan cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis
dengan menggunakan teori Nilai Budaya Koentjaraningrat. Hasil dari penelitian ini terdapat nilai-
nilai budaya yang antara lain ialah hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu antara kakek yang
berdoa dan percaya jika Tuhan akan mengasihi orang yang sabar. Hubungan manusia dengan alam,
yaitu menggambarkan kondisi Indonesia yang memiliki alam yang kaya akan sumber daya
alamnya. Hubungan manusia dengan diri sendiri, yaitu tokoh "Kakek" yang menjadi penjaga
surau. Hubungan manusia dengan manusia lain, yaitu tokoh "Kakek" yang membantu orang lain
dengan keahliannya, yaitu mengasah pisau. Hubungan manusia dengan masyarakat, yaitu
pengabdian tokoh "Kakek" kepada masyarakat sekitar dengan menjadi satu-satunya penjaga surau.
Kata kunci: sastra, antropologi sastra, cerpen.

Abstract
Literature is a tool that can ignite someone's desire to learn a language. A poem, short story, or
novel can convey beauty by violating the rules of language. Poets or writers have a right called
poetic license or artistic license. Literary anthropology is the analysis and understanding of literary
works in relation to culture. The analytical method used is descriptive qualitative and the data used
by researchers in this article is a short story entitled “Robohnya Surau Kami” by Ali Akbar Navis
using the theory of Koentjaraningrat's Cultural Values. The results of this research show that there
are cultural values, which include the human relationship with God, namely between grandfathers
who pray and believe that God will love those who are patient. Human relations with nature, which
describes the condition of Indonesia which has a nature that is rich in natural resources. The
relationship between humans and oneself, namely the character "Kakek" who is the guardian of
the surau. Human relations with other humans, namely the character "Kakek" who helps others
with his expertise, namely sharpening knives. Human relations with the community, namely the
dedication of the "Kakek" character to the surrounding community by being the sole guardian of
the surau.
Keywords: literature, literary anthropology, short story.
PENDAHULUAN
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa.
Dalam The Routledge Handbook of Language and Creativity (2015), Gillian Lazar menjelaskan
bahwa teks sastra telah dianggap mampu menstimulasi semangat pemerolehan bahasa,
mengekspos budaya dan fenomena bahasa kepada pelajar, serta mengajak pelajar untuk aktif
berpartisipasi secara kognitif dan emosional. Sastra juga dinilai mampu memberi contoh penulisan
gramatika yang baik dan penggunaan kosakata yang beragam. Lebih dari itu, Lazar menambahkan
bahwa sastra bisa melibatkan emosional pelajar dengan cerita yang dikemas lewat estetika bahasa.
Akan tetapi, tentu saja ada perdebatan dalam diskursus ini. Karya sastra memiliki larasnya sendiri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra tentu tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada
tugas-tugas di sekolah.
Karya sastra tidak bertumpu sepenuhnya pada kata yang baku, pasangan idiomatis yang
telah ditetapkan, bahkan efektivitas kalimat. Sebuah puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan
keindahan dengan melanggar kaidah bahasa. Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi
puitis atau lisensi artistik. Istilah ini diambil dari bahasa latin, licentia poetica, yang kemudian
diserap ke dalam bahasa Inggris, poetic license. Jika merujuk pada Encyclopedia Britannica, poetic
license berarti ‘hak yang diambil oleh penyair untuk mengubah sintaksis standar atau menyimpang
dari diksi atau pelafalan secara umum guna mencapai tona atau nada tertentu dalam karya mereka’.
Kemudian, dalam Kamus Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman menuliskan bahwa entri licentia
poetica mengartikan ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan, untuk mencapai suatu efek’. Agaknya, pengertian dari Sudjiman lebih luas. Pengarang
bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk
menyimpang dari kenyataan. Perlu diketahui pula, lisensi puitis yang sering disamakan dengan
lisensi artistik membuktikan bahwa hak ini bukan cuma milik sastrawan atau penulis. Pelukis,
pemahat, dan pelaku seni lainnya memiliki kebebasan yang serupa.
Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya
dengan kebudayaan. Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengandung aspek tertentu yaitu,
hubungan dengan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
definisi antropologi sastra. Sebagai mata rantai terakhir perkembangan antropologi dan
antropologi budaya di satu pihak, psikologi sastra dan sosiologi sastra di pihak lain, antropologi
sastra dianggap sebagai memiliki nilai tersendiri sehingga mutlak perlu didefinisikan,
dikembangkan, dan dilembagakan. 1) Pertama, antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi
analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. 2) Kedua, antropologi sastra
berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil karya
sastra, di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal. 3) Ketiga, antropologi
sastra jelas diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya
terkandung beraneka ragam adat kebiasaan, seperti: mantra, pepatah, lelucon, motto, pantun, dan
sebagainya, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis, dalam bentuk sastra. 4)
Keempat, antropologi sastra merupakan wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang
selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi dan sastra. 5) Kelima, antropologi
sastra dengan sendirinya mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan
multidisiplin.
Objek yang dianalisis dalam artikel ini ialah cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami”
karya Ali Akbar Navis dengan menggunakan teori Nilai Budaya Koentjaraningrat. Tujuan dari
penelitian ini ialah diharapkan menjadi khazanah dalam bidang analisis Antropologi Sastra dan
menambah wawasan serta referensi bagi pembaca yang juga ingin melakukan penelitian
khususnya terkait Antropologi Sastra.

METODE PENELITIAN
Data yang digunakan oleh peneliti dalam artikel ini merupakan cerpen yang berjudul
“Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis yang kemudian akan dianalisis dengan teori Nilai
Budaya Koentjaraningrat. Sumber data terbagi menjadi dua, sumber data primer, yaitu objek ini
sendiri, yaitu cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis dan sumber
data sekunder berupa buku, artikel jurnal, laman pemerintah, dan sumber lain yang bersifat resmi.
Pengumpulan data menggunakan dokumentasi sebagai metode utama. Terakhir, metode analisis
akan menggunakan deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN
1. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan
Suatu kepercayaan terhadap Tuhan di latar belakangi oleh ajaran agama yang dianut oleh
setiap masing-masing individu. Dari adanya rasa percaya terhadap Tuhan, hal tersebut
menyebabkan manusia melakukan segala bentuk penyembahan terhadap Tuhannya. Hal tersebut
adanya rasa penghormatan atau pengabdian terhadap Tuhan. Kepercayaan terhadap Tuhan
tentunya berkaitan dengan dirinya beriman atau tidak. Adapun bentuk percaya kepada Tuhan pada
cerpen Robohnya Surau Kami tampak pada data sebagai berikut :
Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau
imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-
Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal. (Navis, 2: 1956)
Dari data tersebut, Kakek yang selalu meredam amarah karena ia takut jika amal ibadah
selama hidupnya akan sia-sia. Kakek merasa jika ia selalu meredam amarah hal tersebut membuat
Tuhan mengurangi amalan ibadahnya dan menggantinya dengan dosa. Selain itu Kakek percaya
jika Tuhan akan mengasihi orang yang senantiasa sabar dan tawakal.

2. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Alam


Pemanfaatan alam berfokus pada pelestarian alam. Jika alam dieksploitasi tentu akan
menimbulkan malapetaka seperti masalah lingkungan atau bencana alam yang akan timbul. Aspek
pemanfaatan alam tampak pada cerpen Robohnya Surau Kami dimana lingkungan di sekitar surau
masih terjaga tampak pada data sebagai berikut :
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan,
yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (Navis, 1: 1956)
Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan? (Navis, 5: 1956)
Dari data tersebut, menggambarkan suasana lingkungan di sekitar surau. Dimana terdapat
sebuah kolam ikan mas di pelataran depan surau. Di pelataran tersebut, Kakek biasa duduk
termenung disana. Enam bulan sekali ikan-ikan mas itu akan dipanen dan Kakek akan
mendapatkan seperempatnya. Kolam itu kemudian mengalir empat pancuran yang digunakan
untuk keperluan mandi atau berwudhu. Hal tersebut menunjukkan adanya pemanfaatan alam yang
berkaitan dengan sumber daya alam yang di manfaatkan oleh manusia demi menunjang hidup.
Kemudian pada data berikutnya, menggambarkan kondisi alam Indonesia yang kaya akan sumber
daya alamnya dimana terdapat bahan tambang seperti logam dan minyak. Adapun hasil tambang
tersebut juga dimanfaatkan oleh manusia.

3. Nilai Budaya Manusia Dengan Diri Sendiri


Keinginan suatu manusia dapat diraih jika manusia Memiliki suatu keinginan dan cita-cita
yang harus diraihnya. Keinginan tersebut hendaknya diikuti dengan sifat-sifat cerdas, berani, jujur,
waspada, rendah diri, teguh pendirian, serta senantiasa memahami dan memperhatikan orang lain.
Nilai-nilai budaya yang paling menonjol dalam hubungan manusia dengan diri sendiri yaitu
tanggung jawab, kerja keras, kejujuran, kesabaran, dan harga diri. Berikut kutipan nilai budaya
manusia dengan diri sendiri :
Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.
Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan
dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawaka.
Pada kutipan di atas menunjukkan nilai budaya manusia dengan diri sendiri. Yaitu pada
tokoh “Kakek” yang mempertanyakan kepada dirinya sendiri padahal dirinya sendirilah yang tau
akan jawabannya.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana
dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Dari kutipan di atas menggambarkan sebuah suasana desa yang di dalamnya
menggambarkan masyarakat yang taat beribadah. Hal ini ditandai dengan adanya seorang kakek
penjaga surau yang taat beribadah. Selain itu penggalan kalimat tersebut menggambarkan
kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan seorang kakek sebagai penjaga surau. Hal ini ditandai
dengan adanya Kakek yang telah menjadi penjaga surau selama bertahun-tahun.

4. Nilai Budaya Manusia Dengan Manusia Lain


Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain dikatakan lebih
mengutamakan keselarasan hidup yang bersifat positif. Namun hal-hal yang bersifat negatifpun
sudah pasti muncul dan dialami oleh manusia. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan
manusia lain adalah cinta kasih, harapan, tolong menolong, pengorbanan, dan ikhlas. Berikut
kutipan nilai budaya manusia dengan manusia lain :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan
di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah suaru tua.
Pada kutipan di atas terdapat nilai budaya manusia dengan orang lain. yaitu antara tokoh
“Aku” dengan “Tuan”. Tokoh “Tuan” tidak menunjukan cukup jelas bahwa siapa, lalu yang pasti
tokoh “Aku” disini sangat menghormati dan sopan terhadap “Tuan” hingga dipanggil sosok tuan.
Sehingga dua tokoh tersebut dapat menimbulkan interaksi satu sama lainnya.
... Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka meminta tolong padanya,
sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
meminta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terimakasih dan sedikit senyum.
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kakek membantu
orang lain dengan keahliannya, yaitu mengasah pisau. Dengan keahliannya itu, kakek telah
membuat dirinya berguna di dalam masyarakat. Dapat dilihat pada kutipan di atas bahwa kakek
membantu orang lain tanpa pamrih, artinya dirinya membantu orang lain dengan tulus ikhlas.
Dengan demikian nilai tersebut dapat diambil hikmahnya bahwa sebagai anggota masyarakat
sudah sepantasnya saling tolong menolong tanpa mengharapkan pamrih.

5. Nilai Budaya Manusia Dengan Masyarakat


Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai yang berhubungan
dengan suatu kepentingan masyarakat, nilai ini dianggap penting dalam suatu anggota sbagai
individu dan sebagai pribadi. Individu berusaha untuk mematuhi nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat karena ia berusaha mengelompokan diri dengan anggota masyarakat yang ada dan
sangat mementingkan kepentingan Bersama bukan kepentingan sendiri, nilai budaya yang ada
dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai tanggung jawab, keadilan, pengorbanan,
dan musyawarah. Berikut nilai budaya manusia dengan masyarakat :
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan
ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitah Id kepadanya. Tapi
sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu
mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah
minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya
imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum.
Pada kutipan diatas menunjukan nilai budaya manusia dengan masyarakat. Pada kutipan
di atas merupakan bentuk pengabdian terhadap tokoh “Kakek” yang menjaga surau, namun pada
suatu sisi lain “Kakek” lebih dikenal sebagai pengasah pisau dan serta banyak warga yang meminta
tolong kepadanya untuk mengasah pisau tersebut.

PENUTUP
Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis antara lain ialah hubungan manusia
dengan Tuhan, yaitu antara kakek yang berdoa dan percaya jika Tuhan akan mengasihi orang yang
sabar. Hubungan manusia dengan alam, yaitu menggambarkan kondisi Indonesia yang memiliki
alam yang kaya akan sumber daya alamnya. Hubungan manusia dengan diri sendiri, yaitu tokoh
"Kakek" yang menjadi penjaga surau. Hubungan manusia dengan manusia lain, yaitu tokoh
"Kakek" yang membantu orang lain dengan keahliannya, yaitu mengasah pisau. Hubungan
manusia dengan masyarakat, yaitu pengabdian tokoh "Kakek" kepada masyarakat sekitar dengan
menjadi satu-satunya penjaga surau.

DAFTAR PUSTAKA
Aspahani, Hasan. 2018. “Lisensi Puitika dan Kebebasan Berbahasa”. Majalah Tempo. April,
Jakarta.
Jones, Rodney H. (ed). 2015. The Routledge Handbook of Language and Creativity. Abingdon:
Routledge.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Navis, Ali Akbar. 1955. Robohnya Surau Kami. Jakarta
Yudhistira. 2021. "Batas Lisensi Puitis", https://narabahasa.id/keterampilan-
bahasa/menulis/batas-lisensi-puitis, diakses pada 17 Desember 2022.
Yudhistira. 2021. "Hasrat untuk Belajar Bahasa", https://narabahasa.id/linguistik-terapan/hasrat-
untuk-belajar-bahasa, diakses pada 17 Desember 2022.
Maulina, Meilisna. 2022. "Apa Itu Antropologi? Bagaimana Hubungannya Dengan Sastra?",
https://www.indonesiana.id/read/154382/apa-itu-antropologi-bagaimana-hubungannya-
dengan-sastra, diakses pada 17 Desember 2022.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. "Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik",
https://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN/article/download/197/166, diakses
pada 17 Desember 2022.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai