Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/367392749

EMPAT TATARAN STRUKTURAL DALAM CERPEN "BIDADARI SERAYU" KARYA


SUNGGING RAGA: KAJIAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

Preprint · December 2022

CITATIONS READS

0 166

1 author:

Adhyatma Akbar
Universitas Negeri Surabaya
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Adhyatma Akbar on 25 January 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


EMPAT TATARAN STRUKTURAL DALAM CERPEN “BIDADARI
SERAYU” KARYA SUNGGING RAGA: KAJIAN STRUKTURALISME
LEVI-STRAUSS

Adhyatma Akbar
adhyatmaakbar.20016@mhs.unesa.ac.id
Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa. Sebuah
puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan keindahan dengan melanggar kaidah bahasa.
Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi puitis atau lisensi artistik. Antropologi sastra
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Metode analisis yang digunakan ialah deskriptif kualitatif dan data yang digunakan oleh peneliti
dalam artikel ini merupakan cerpen yang berjudul “Bidadari Serayu” karya Sungging Raga dengan
menggunakan teori Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil dari penelitian ini terdapat empat tataran
yang ada pada cerpen yang berjudul “Bidadari Serayu” karya Sungging Raga, yaitu sejarah sungai
Serayu sebagai tataran geografis, objek sungai Serayu sebagai tataran Techno-economic, kyai dan
para penduduk sungai Serayu sebagai tataran sosiologis, dan para bidadari serta makhluk lain yang
tidak diketahui sebagai tataran kosmologis.
Kata kunci: sastra, antropologi sastra, cerpen.

Abstract
Literature is a tool that can ignite someone's desire to learn a language. A poem, short story, or
novel can convey beauty by violating the rules of language. Poets or writers have a right called
poetic license or artistic license. Literary anthropology is the analysis and understanding of literary
works in relation to culture. The analytical method used is descriptive qualitative and the data used
by researchers in this article is a short story entitled "Bidadari Serayu" by Sungging Raga using
the Levi-Strauss Structuralism theory. The results of this study are that there are four levels in the
short story entitled "Bidadari Serayu" by Sungging Raga, namely the history of the Serayu river
as a geographical level, the object of the Serayu river as a Techno-economic level, the kyai and
the inhabitants of the Serayu river as a sociological level, and the nymphs and other creatures that
are not known as cosmological levels.
Keywords: literature, literary anthropology, short story.

PENDAHULUAN
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa.
Dalam The Routledge Handbook of Language and Creativity (2015), Gillian Lazar menjelaskan
bahwa teks sastra telah dianggap mampu menstimulasi semangat pemerolehan bahasa,
mengekspos budaya dan fenomena bahasa kepada pelajar, serta mengajak pelajar untuk aktif
berpartisipasi secara kognitif dan emosional. Sastra juga dinilai mampu memberi contoh penulisan
gramatika yang baik dan penggunaan kosakata yang beragam. Lebih dari itu, Lazar menambahkan
bahwa sastra bisa melibatkan emosional pelajar dengan cerita yang dikemas lewat estetika bahasa.
Akan tetapi, tentu saja ada perdebatan dalam diskursus ini. Karya sastra memiliki larasnya sendiri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra tentu tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada
tugas-tugas di sekolah.
Karya sastra tidak bertumpu sepenuhnya pada kata yang baku, pasangan idiomatis yang
telah ditetapkan, bahkan efektivitas kalimat. Sebuah puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan
keindahan dengan melanggar kaidah bahasa. Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi
puitis atau lisensi artistik. Istilah ini diambil dari bahasa latin, licentia poetica, yang kemudian
diserap ke dalam bahasa Inggris, poetic license. Jika merujuk pada Encyclopedia Britannica, poetic
license berarti ‘hak yang diambil oleh penyair untuk mengubah sintaksis standar atau menyimpang
dari diksi atau pelafalan secara umum guna mencapai tona atau nada tertentu dalam karya mereka’.
Kemudian, dalam Kamus Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman menuliskan bahwa entri licentia
poetica mengartikan ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan, untuk mencapai suatu efek’. Agaknya, pengertian dari Sudjiman lebih luas. Pengarang
bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk
menyimpang dari kenyataan. Perlu diketahui pula, lisensi puitis yang sering disamakan dengan
lisensi artistik membuktikan bahwa hak ini bukan cuma milik sastrawan atau penulis. Pelukis,
pemahat, dan pelaku seni lainnya memiliki kebebasan yang serupa.
Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya
dengan kebudayaan. Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengandung aspek tertentu yaitu,
hubungan dengan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
definisi antropologi sastra. Sebagai mata rantai terakhir perkembangan antropologi dan
antropologi budaya di satu pihak, psikologi sastra dan sosiologi sastra di pihak lain, antropologi
sastra dianggap sebagai memiliki nilai tersendiri sehingga mutlak perlu didefinisikan,
dikembangkan, dan dilembagakan. 1) Pertama, antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi
analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. 2) Kedua, antropologi sastra
berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil karya
sastra, di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal. 3) Ketiga, antropologi
sastra jelas diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya
terkandung beraneka ragam adat kebiasaan, seperti: mantra, pepatah, lelucon, motto, pantun, dan
sebagainya, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis, dalam bentuk sastra. 4)
Keempat, antropologi sastra merupakan wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang
selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi dan sastra. 5) Kelima, antropologi
sastra dengan sendirinya mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan
multidisiplin.
Objek yang dianalisis dalam artikel ini ialah cerpen yang berjudul “Bidadari Serayu” karya
Sungging Raga dengan menggunakan teori Strukturalisme Levi-Strauss. Tujuan dari penelitian ini
ialah diharapkan menjadi khazanah dalam bidang analisis Antropologi Sastra dan menambah
wawasan serta referensi bagi pembaca yang juga ingin melakukan penelitian khususnya terkait
Antropologi Sastra.

METODE PENELITIAN
Data yang digunakan oleh peneliti dalam artikel ini merupakan cerpen yang berjudul
“Bidadari Serayu” karya Sungging Raga yang kemudian akan dianalisis dengan teori
Strukturalisme Levi-Strauss. Sumber data terbagi menjadi dua, sumber data primer, yaitu objek
ini sendiri, yaitu cerpen yang berjudul “Bidadari Serayu” karya Sungging Raga dan sumber data
sekunder berupa buku, artikel jurnal, laman pemerintah, dan sumber lain yang bersifat resmi.
Pengumpulan data menggunakan dokumentasi sebagai metode utama. Terakhir, metode analisis
akan menggunakan deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN
Berdasarkan teori Strukturalisme Levi-Strauss, mitos adanya nasib buruk dan nasib baik yang
terdapat dalam cerpen “Bidadari Serayu” karya Sungging Raga dapat dianalisis menggunakan
empat tataran pemikiran Levi-Strauss meliputi: 1) tataran geografis, 2) tataran techno-economic,
3) tataran sosiologis, dan 4) tataran kosmologis yang dipaparkan sebagai berikut:
1. Tataran Geografis
Tataran Geografis ini berkaitan dengan bentuk alam dan keadaan sekitar untuk sebagai
tempat terjadinya mitos yang dijadikan latar pada sebuah Cerita Pendek tersebut.. Hal
tersebut terdapat dalam data sebagai berikut:
Di sungai Serayu, pada suatu pagi tahun 1886, ditemukan sesosok mayat lelaki
mengambang, tubuhnya tersangkut di salah satu besi penyangga bendungan.
Lelaki itu adalah Salimen, yang sejak malam sebelumnya dinyatakan menghilang
dari rumah.
Kutipan di atas merupakan tempat di mana semua fenomena yang ada pada cerita ini
bermula. Semua bermula di sungai Serayu dan dimulai dengan penduduk desa di wilayah
tersebut. Hal itu diperkuat dengan kutipan di bawah ini.
Sungai Serayu yang permukaannya berwarna hijau, luas, dan cantik, memang
sangat cocok jika disandingkan dengan sosok bidadari. Bahkan berdasarkan salah
satu riwayat yang dituturkan secara turun-temurun oleh sesepuh desa, nama
Serayu berasal dari Sirah Ayu atau Kepala Cantik.

2. Tataran Techno-economic
Tataran ini berkaitan dengan teknologi yang terdapat pada kegiatan ekonomi masyarakat
pemilik mitos seperti kemajuan teknologi yang dapat mempengaruhi kegunaan alat-alat
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terdapat dalam data berikut.
Warga memutuskan akan mengotori sungai itu, setidaknya sampai para bidadari
tak betah mandi di sana lagi.
”Kita harus sering-sering membuang sampah atau melakukan apa saja sampai
warna air sungai tidak lagi menjadi hijau, tapi coklat,” kata sang pemimpin rapat.
Keputusan yang sebenarnya kontroversial itu langsung dijalankan keesokan
harinya. Warga yang awalnya sangat mencintai sungai Serayu dan menjaga
keelokannya, tiba-tiba menjadikannya tempat untuk melakukan sebagian aktivitas
rumah tangga dan aktivitas tubuh manusia. Para ibu suka mencuci di sungai,
warga desa membuat saluran pembuangan yang mengarah ke sungai itu, berbagai
macam limbah desa mengalir ke sana.
Waktu demi waktu berlalu, warna sungai pun mulai berubah, hijaunya perlahan
memudar, berganti warna pekat. Dan mereka ternyata berhasil. Ketika air sungai
telah berubah coklat, tak seorang bidadari pun mau mandi di sungai itu. Menurut
kabar beberapa orang, para bidadari berpindah ke sungai Porong di Sidoarjo.
Dalam kutipan di atas, yang awalnya sungai Serayu dijaga kebersihannya dan hanya
dijadikan sebagai “alat” pemandangan kini para penduduk mengotorinya dengan
mengubah sungai tersebut menjadi wadah yang dapat digunakan secara sembarangan. Hal
itu mereka lakukan demi mencapai solusi masalah utama mereka, yaitu para bidadari yang
dirumorkan membunuh para penduduk di sana yang mana itu menuntun mereka kepada
solusi yang ada pada kutipan di atas. Namun, ternyata hal itu menjadi bumerang pada
mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
”Bidadari sudah pergi. Jadi, ada yang tahu bagaimana caranya membuat Serayu
kembali berwarna hijau?” Tanya salah seorang warga. Mereka saling berbisik,
seperti memikirkan sesuatu yang jauh lebih berat dari sebelumnya.
”Sejak bulan lalu kita sudah berhenti membuang sampah di sana, tapi airnya belum
berubah juga. Apakah ini semacam kutukan dari bidadari?”
”Sudah, jangan bicara kutukan lagi!” Balas warga lainnya.
”Mana Kyai Subale, dalam keadaan begini dia justru tidak muncul!”
”Kalau Sunan Kalijaga masih hidup, ia pasti tidak mengenali Serayu yang
sekarang.”
”Ayo, siapa yang waktu itu mengusulkan untuk mengotori sungai kita? Sekarang
harus bertanggung jawab!”
Suasana rapat berangsur ramai. Bahkan ada beberapa orang yang berdiri dari
kursinya. Pemimpin rapat coba melerai mereka.
”Tenang. Tenang. Itu adalah keputusan bersama. Serayu akan tetap menjadi
Serayu apapun warna airnya. Sekarang kita hanya perlu merawat apa yang masih
ada. Pohon-pohon pinus, sawah-sawah yang hijau di sekitar bantaran sungai, itu
tanggung jawab kita. Dan satu hal, sebaiknya jangan ceritakan pada keturunan
kita, bahwa dulunya sungai ini berwarna hijau. Setuju?”

3. Tataran Sosiologis
Tataran ini berkaitan dengan struktur sosial atau relasi sosial pada kehidupan masyarakat.
Dalam hal yang terjadi dalam suatu masyarakat pasti terjadi suatu interaksi sosial yang
terdapat didalamnya, adapun hal tersebut antara lain.
”Jadi benar yang dikatakan Kyai Subale? Salimen mati karena mengintip bidadari
yang sedang mandi, seperti yang terjadi pada orang-orang sebelumnya?”
Begitulah kabar yang beredar di desa tepi Serayu, seorang kyai kharismatik
bernama Kyai Subale memberi penjelasan perihal kematian misterius yang terjadi
selama beberapa hari terakhir.
”Kalau kalian mengintip para bidadari yang sedang mandi di sungai Serayu,
apalagi mencuri selendangnya, kalian akan dibawa ke langit, dan hanya badan
saja yang akan kembali ke bumi, sementara jiwa kalian menjadi tawanan.
Percayalah dan ikuti nasihat saya.”
Awalnya warga tak begitu percaya dengan ucapan Kyai Subale, tapi kematian demi
kematian yang berurutan membuat penjelasan Kyai Subale terdengar masuk akal.
Warga pun mulai bertanya-tanya, sejak kapan para bidadari suka mandi di
Serayu?
Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa pada awalnya masyarakat seperti tidak memiliki
pemimpin, tetapi setelah kemunculan tokoh “Kyai Subale” datang, para penduduk pun
mulai mendengarkan dan menuruti nasihatnya. Hal itu membuktikan bahwa orang-orang
yang memiliki gelar kyai bisa dapat kepercayaan dan kehormatan. Selain itu, tataran
sosiologis lainnya dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Dari sore sampai isya’, tak terlihat aktivitas warga, jalan kampung yang menuju
jembatan Serayu menjadi lengang. Namun mereka tahu bahwa ini tidak
menuntaskan seluruh masalah. Warga sepanjang tepi sungai Serayu lalu
mengadakan pertemuan di balai desa untuk menemukan jalan keluar yang konkret.
Kepala desa dan semua tokoh masyarakat ikut berkumpul. Mereka berunding
cukup alot.
Rapat telah selesai setengah jam lalu, warga sudah bubar dan kembali ke rumah
masing-masing, ada yang melanjutkan perbincangan di pos ronda atau warung
kopi. Hasil perundingan itu menghasilkan keputusan yang kelak akan menjadi titik
balik sejarah sungai Serayu.

Dari kutipan tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa para penduduk sungai Serayu jika
ada permasalahan, hal pertama yang mereka lakukan cukuplah bijak, yaitu musyawarah
demi mencapai mufakat. Terlihat jelas bahwa ikatan antarorang atau tiap warganya cukup
erat dan dekat, sehingga mereka selalu mendiskusikan terlebih dahulu sebelum bertindak.
4. Tataran Kosmologis
Tataran ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap kejadian di luar nalar yang merujuk
hal-hal gaib bersifat supranatural di lingkungan masyarakat pemilik mitos. Hal ini terdapat
dalam data berikut.
Alkisah, dalam sudut pandang lain, dalam platform cerita yang berbeda, para
bidadari cantik dari dunia dongeng memang rajin berkunjung ke sungai Serayu
untuk mandi.
Setiap menjelang senja, para bidadari akan turun dari langit, mendarat lembut di
tanah basah, meletakkan selendang di atas batu, melepas ikat kepala sehingga
rambut mereka akan tergerai, lalu menceburkan diri ke sungai dan mandi
sepuasnya sambil tertawa-tawa. Kadang mereka saling mencipratkan air satu
sama lain, kadang sebagian dari mereka memanjat sebuah tebing yang cukup
tinggi, dari puncak tebing itu mereka melompat ke dalam sungai dengan gerakan
salto akrobatik menyerupai atlet lompat indah.
Dan sungguh para bidadari tak pernah tahu perihal manusia yang selalu mengintip
mereka, perihal laki-laki yang mengintip dan berharap mencuri selendang agar
bisa mewariskan namanya dalam cerita dongeng.
Juga satu hal yang penting, bidadari-bidadari itu ternyata tak pernah
mempermasalahkan perihal hilangnya selendang, mereka punya banyak selendang
di langit, kalau mereka tak mendapati selendang ketika selesai mandi, maka mereka
akan tetap melesat ke langit, tubuh-tubuh mereka yang serupa cahaya itu akan
sangat menyilaukan. Anatomi apakah yang bisa dilihat dalam cahaya selain
cahaya?
Jadi, sebenarnya bidadari-bidadari itu merasa tak punya hubungan apa-apa
dengan kasus warga yang mencuri selendang lalu ditemukan mati mengapung di
Serayu keesokan paginya. Mereka justru ikut bertanya-tanya, siapakah yang telah
melakukan pembunuhan dan mencemarkan nama baik bangsa bidadari? Adakah
makhluk di alam ini yang melakukannya karena cemburu pada kecantikan dan
kesempurnaan mereka?
Dalam kutipan tersebut, penulis cerpen secara eksplisit menjelaskan sedikit cerita tentang
kemunculan bidadari-bidadari itu yang tentunya dilihat dari sudut pandang lain. Selain itu,
penulis cerpen itu pun secara gamblang mengatakan bahwa yang yang membunuh
penduduk sungai Serayu itu jelas bukan bidadari-bidadari cantik itu, penulis itu hanya
memberi tanda bahwa ada makhluk supranatural lain yang ada dan hidup berdampingan
dengan manusia di latar cerita cerpen tersebut. Yang pasti pelakunya bukanlah bidadari-
bidadari itu dan penjabaran dari penulis tersebut mengisyaratkan bahwa memang dalam
dunia yang luas ini, makhluk-makhluk asing itu tidak hanya satu atau dua saja, melainkan
banyak sekali jumlahnya dengan bentuk yang berbeda-beda dan tentu sudah di luar akal
manusia, terlalu sulit untuk dicerna otak.
PENUTUP
Simpulan yang didapat dari penelitian ini ialah cerpen “Bidadari Serayu” karya Sungging
Raga mengusung mistis sebagai tema utamanya. Hal itu bisa dilihat secara jelas jika membaca
secara keseluruhan cerpen tersebut. Selain itu, terdapat empat tataran yang ada pada cerpen
tersebut, yaitu sejarah sungai Serayu sebagai tataran geografis, objek sungai Serayu sebagai tataran
Techno-economic, kyai dan para penduduk sungai Serayu sebagai tataran sosiologis, dan para
bidadari serta makhluk lain yang tidak diketahui sebagai tataran kosmologis.

DAFTAR PUSTAKA
Aspahani, Hasan. 2018. “Lisensi Puitika dan Kebebasan Berbahasa”. Majalah Tempo. April,
Jakarta.
Jones, Rodney H. (ed). 2015. The Routledge Handbook of Language and Creativity. Abingdon:
Routledge.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Raga, dkk. 2014. Karma Tanah & Cerita Lainnya: Kumpulan Cerpen KOMPAS 2014 . Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
Yudhistira. 2021. "Batas Lisensi Puitis", https://narabahasa.id/keterampilan-
bahasa/menulis/batas-lisensi-puitis, diakses pada 17 Desember 2022.
Yudhistira. 2021. "Hasrat untuk Belajar Bahasa", https://narabahasa.id/linguistik-terapan/hasrat-
untuk-belajar-bahasa, diakses pada 17 Desember 2022.
Maulina, Meilisna. 2022. "Apa Itu Antropologi? Bagaimana Hubungannya Dengan Sastra?",
https://www.indonesiana.id/read/154382/apa-itu-antropologi-bagaimana-hubungannya-
dengan-sastra, diakses pada 17 Desember 2022.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. "Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik",
https://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN/article/download/197/166, diakses
pada 17 Desember 2022.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai