Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/367392666

REPRESENTASI SURABAYA DALAM PUISI "SURABAYA" KARYA CAHYA


MEIDINA AYU: KAJIAN SIMBOLIK CLIFFORD GEERTZ

Preprint · December 2022

CITATIONS READS

0 154

1 author:

Adhyatma Akbar
Universitas Negeri Surabaya
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Adhyatma Akbar on 25 January 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


REPRESENTASI SURABAYA DALAM PUISI “SURABAYA” KARYA
CAHYA MEIDINA AYU: KAJIAN SIMBOLIK CLIFFORD GEERTZ

Adhyatma Akbar
adhyatmaakbar.20016@mhs.unesa.ac.id
Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa. Sebuah
puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan keindahan dengan melanggar kaidah bahasa.
Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi puitis atau lisensi artistik. Antropologi sastra
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Metode analisis yang digunakan ialah deskriptif kualitatif dan data yang digunakan oleh peneliti
dalam artikel ini merupakan puisi yang berjudul “Surabaya” karya Cahya Meidina Ayu yang
kemudian akan dianalisis dengan teori simbolik Clifford Geertz. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam puisi tersebut terdapat empat makna simbolik, yaitu simbolik kota
pahlawan, simbolik surabaya, simbolik sura dan baya, dan simbolik bambu runcing.
Kata kunci: sastra, antropologi sastra, puisi.

Abstract
Literature is a tool that can ignite someone's desire to learn a language. A poem, short story, or
novel can convey beauty by violating the rules of language. Poets or writers have a right called
poetic license or artistic license. Literary anthropology is the analysis and understanding of literary
works in relation to culture. The analytical method used is descriptive qualitative and the data used
by researchers in this article is a poem entitled "Surabaya" by Cahya Meidina Ayu which will then
be analyzed with Clifford Geertz's symbolic theory. The results of this study indicate that in the
poem there are four symbolic meanings, namely the symbolic city of heroes, the symbolic of
Surabaya, the symbolic of Sura and Baya, and the symbolic of sharp bamboo.
Keywords: literature, literary anthropology, poetry.

PENDAHULUAN
Sastra adalah salah satu sarana yang bisa memantik hasrat seseorang dalam belajar bahasa.
Dalam The Routledge Handbook of Language and Creativity (2015), Gillian Lazar menjelaskan
bahwa teks sastra telah dianggap mampu menstimulasi semangat pemerolehan bahasa,
mengekspos budaya dan fenomena bahasa kepada pelajar, serta mengajak pelajar untuk aktif
berpartisipasi secara kognitif dan emosional. Sastra juga dinilai mampu memberi contoh penulisan
gramatika yang baik dan penggunaan kosakata yang beragam. Lebih dari itu, Lazar menambahkan
bahwa sastra bisa melibatkan emosional pelajar dengan cerita yang dikemas lewat estetika bahasa.
Akan tetapi, tentu saja ada perdebatan dalam diskursus ini. Karya sastra memiliki larasnya sendiri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra tentu tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada
tugas-tugas di sekolah.
Karya sastra tidak bertumpu sepenuhnya pada kata yang baku, pasangan idiomatis yang
telah ditetapkan, bahkan efektivitas kalimat. Sebuah puisi, cerpen, atau novel dapat menyampaikan
keindahan dengan melanggar kaidah bahasa. Penyair atau sastrawan memiliki hak bernama lisensi
puitis atau lisensi artistik. Istilah ini diambil dari bahasa latin, licentia poetica, yang kemudian
diserap ke dalam bahasa Inggris, poetic license. Jika merujuk pada Encyclopedia Britannica, poetic
license berarti ‘hak yang diambil oleh penyair untuk mengubah sintaksis standar atau menyimpang
dari diksi atau pelafalan secara umum guna mencapai tona atau nada tertentu dalam karya mereka’.
Kemudian, dalam Kamus Istilah Sastra (1990), Panuti Sudjiman menuliskan bahwa entri licentia
poetica mengartikan ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan, untuk mencapai suatu efek’. Agaknya, pengertian dari Sudjiman lebih luas. Pengarang
bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk
menyimpang dari kenyataan. Perlu diketahui pula, lisensi puitis yang sering disamakan dengan
lisensi artistik membuktikan bahwa hak ini bukan cuma milik sastrawan atau penulis. Pelukis,
pemahat, dan pelaku seni lainnya memiliki kebebasan yang serupa.
Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya
dengan kebudayaan. Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengandung aspek tertentu yaitu,
hubungan dengan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
definisi antropologi sastra. Sebagai mata rantai terakhir perkembangan antropologi dan
antropologi budaya di satu pihak, psikologi sastra dan sosiologi sastra di pihak lain, antropologi
sastra dianggap sebagai memiliki nilai tersendiri sehingga mutlak perlu didefinisikan,
dikembangkan, dan dilembagakan. 1) Pertama, antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi
analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. 2) Kedua, antropologi sastra
berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil karya
sastra, di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal. 3) Ketiga, antropologi
sastra jelas diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya
terkandung beraneka ragam adat kebiasaan, seperti: mantra, pepatah, lelucon, motto, pantun, dan
sebagainya, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis, dalam bentuk sastra. 4)
Keempat, antropologi sastra merupakan wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang
selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi dan sastra. 5) Kelima, antropologi
sastra dengan sendirinya mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan
multidisiplin.
Objek yang dianalisis dalam artikel ini ialah puisi yang berjudul “Surabaya” karya Cahya
Meidina Ayu dengan menggunakan teori Simbolik Clifford Geertz. Tujuan dari penelitian ini ialah
diharapkan menjadi khazanah dalam bidang analisis Antropologi Sastra dan menambah wawasan
serta referensi bagi pembaca yang juga ingin melakukan penelitian khususnya terkait Antropologi
Sastra.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan oleh peneliti dalam artikel ini merupakan puisi yang berjudul
“Surabaya” karya Cahya Meidina Ayu yang kemudian akan dianalisis dengan teori simbolik
Clifford Geertz. Sumber data terbagi menjadi dua, sumber data primer, yaitu objek ini sendiri,
yaitu puisi yang berjudul “Surabaya” karya Cahya Meidina Ayu dan sumber data sekunder berupa
buku, artikel jurnal, laman pemerintah, dan sumber lain yang bersifat resmi. Pengumpulan data
menggunakan dokumentasi sebagai metode utama. Terakhir, metode analisis akan menggunakan
deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN
Objek yang dianalisis dalam artikel ini ialah puisi yang berjudul “Surabaya” karya Cahya
Meidina Ayu. Berikut ialah puisinya.
Engkau disebut sebagai Kota Pahlawan

Kota yang menjadi saksi perjuangan, melawan penjajahan

Surabaya
Dirimu dikenal dengan dengan lambang ikan Sura dan Buaya
Tugu Pahlawan menjadi simbol keberadaanmu

Kini, kau dikenal jadi kota yang sangat indah


Kota yang penuh dengan kenangan
Penuh dengan cinta dan harapan

Jembatan merah menjadi saksi sejarah


Bambu runcing menjadi bukti keberanian
Kota Pahlawan akan tetap melekat menjadi predikat

Jayalah Surabaya
Majulah warganya
Mengukir sejarah lebih indah, bagi generasi bangsa
-Surabaya, 9 September 2020

1. Makna Simbolik Kota Pahlawan


Kota Surabaya sebutannya adalah “Kota Pahlawan”. Alasannya disebut “Kota Pahlawan”
karena banyaknya dukungan masyarakat Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Heroisme masyarakat Surabaya paling tergambar dalam pertempuran 10
Nopember 1945. Arek-arek Suroboyo, sebutan untuk orang Surabaya, dengan berbekal
bambu runcing berani melawan pasukan sekutu yang memiliki persenjataan canggih.
Puluhan ribu warga meninggal membela tanah air. Peristiwa heroik ini kemudian
diabadikan sebagai peringatan Hari Pahlawan, sehingga membuat Surabaya dilabeli
sebagai Kota Pahlawan.

2. Makna Simbolik Surabaya


Di balik nama Surabaya, kabarnya diambil dari cerita dongeng yang merupakan bagian
cerita rakyat Jawa Timur yang terkenal hingga melegenda. Cerita Sejarah Kota Surabaya
kental dengan nilai kepahlawanan. Sejak awal berdirinya, kota ini memiliki sejarah panjang
yang terkait dengan nilai-nilai heroisme. Nilai kepahlawanan tersebut salah satunya
mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol
pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga
tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu 31
Mei.

3. Makna Simbolik Sura dan Baya


Kota Surabaya mengandung mitos tentang cerita pertarungan antara ikan suro (sura) dan
boyo (buaya). Diperkirakan kata tersebut muncul setelah adanya pertarungan tersebut.
Berdasarkan mitos tersebut, terbentuklah simbol kota Surabaya berbentuk tugu yang
dikelilingi oleh ikan suro dan buaya sedang bertarung. Walikota madya Kepala Daerah
Tingkat II Surabaya, Mr. Soeparno membuat Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang Hari
Jadi Kota Surabaya. Surat keputusan tersebut memutuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293
adalah Hari Jadi Kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan berdasarkan keputusan
beberapa sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah Surabaya, bahwa kota Surabaya berasal
dari kata suro ing baya, artinya keberanian menghadapi bahaya yang berasal dari kalahnya
pasukan Mongol oleh pasukan Jawa yang dipimpin oleh Raden Wijaya pada tanggal 31
Mei 1293.

4. Makna Simbolik Bambu Runcing


Bambu runcing adalah senjata yang terbuat dari bahan bambu yang diruncingkan. Senjata
ini dulu digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai alat untuk melawan para penjajah.
Senjata bambu runcing pertama kali diperkenalkan oleh seorang ulama bernama Kiai
Subkhi asal Temanggung. Penggunaan bambu runcing sebagai senjata sendiri bermula dari
ketiadaan dan kekurangan peralatan perang yang tersedia, sementara perjuangan masih
harus terus dilanjutkan. Kali pertama senjata bambu runcing dijadikan sebagai alat
perjuangan Indonesia adalah ketika pertempuran 10 November 1945 sedang berlangsung.
Saat ini, lambang bambu runcing banyak digunakan di berbagai daerah Indonesia sebagai
lambang keberanian dan pengorbanan dalam meraih kemerdekaan.

PENUTUP
Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa seperti yang orang pada umumnya
katakan, yaitu mengenai puisi itu memang pendek, tetapi isinya amat kompleks dan tidak
sesederhana itu. Hal tersebut tergambar jelas dalam puisi yang menjadi objek penelitian ini. Dalam
puisi itu menunjukkan sejarah, antropologi masyarakat Surabaya dengan kota yang ditinggalinya.
Mulai dari bagaimana kota itu terbentuk, mengapa bisa disebut “kota pahlawan”, mengapa bambu
runcing dipilih sebagai senjata, dan mengapa sura dan baya menjadi simbol dari kota Surabaya.
Hal itu semua merupakan makna simbolik yang terdapat dalam puisi “Surabaya” karya Cahya
Meidina Ayu.

DAFTAR PUSTAKA
Aspahani, Hasan. 2018. “Lisensi Puitika dan Kebebasan Berbahasa”. Majalah Tempo. April,
Jakarta.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Jones, Rodney H. (ed). 2015. The Routledge Handbook of Language and Creativity. Abingdon:
Routledge.
Yudhistira. 2021. "Batas Lisensi Puitis", https://narabahasa.id/keterampilan-
bahasa/menulis/batas-lisensi-puitis, diakses pada 14 Desember 2022.
Yudhistira. 2021. "Hasrat untuk Belajar Bahasa", https://narabahasa.id/linguistik-terapan/hasrat-
untuk-belajar-bahasa, diakses pada 14 Desember 2022.
Maulina, Meilisna. 2022. "Apa Itu Antropologi? Bagaimana Hubungannya Dengan Sastra?",
https://www.indonesiana.id/read/154382/apa-itu-antropologi-bagaimana-hubungannya-
dengan-sastra, diakses pada 14 Desember 2022.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. "Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik",
https://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN/article/download/197/166, diakses
pada 14 Desember 2022.
Sukamto, Any. 2020. "Puisi: Surabaya",
https://www.kompasiana.com/anysukamto/5f5862d5838cc65f93134e02/puisi-surabaya,
diakses pada 15 Desember 2022.
Pemerintah Kota Surabaya. Tanpa tahun. “Sejarah Kota Surabaya”,
https://surabaya.go.id/id/page/0/4758/sejarah-kota-%09%09surabaya, diakses pada 15
Desember 2022.
Kompas.com. 2021. “Sejarah Bambu Runcing, Senjata Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”,
https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/10/150000379/sejarah-bambu-runcing-senjata-
perjuangan-kemerdekaan-indonesia?page=all, diakses pada 15 Desember 2022.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai