Anda di halaman 1dari 2

Peringatan hari tani: 62 Tahun diperingati, 62 tahun petani dikhianati

Berangkat dari keprihatinan terhadap sedikitnya sisa lahan yang dimiliki rakyat untuk
bertani, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) bersama beberapa komunitas mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga dan UMY menuntut pelaksanaan reformasi undang-undang pokok agraria. Hal ini
diungkapkan oleh Aco, Koordinator Umum aksi di Titik 0 Km Yogyakarta pada Sabtu (24/09/2022),
bertepatan dengan Hari Tani Nasional.

Massa aksi menggelar aksi damai dengan mengusung tema ”Jogja Istimewa, Tapi Petaninya
Menderita”. Tuntutan utama massa aksi adalah pelaksanaan undang-undang pokok agraria, guna
mengkatrol kesejahteraan petani dan memenuhi haknya sebagai manusia. Seluruh rangkaian aksi,
berupa long march, orasi politik, dan aksi teatrikal, dijunjung atas dasar simpati dan perjuangan
kemanusiaan.

“Kenapa kok belakangan ini banyak penggusuran lahan? Banyak petani yang belum
berdaulat? Karena pemerintah Indonesia sendiri dan, terkhususnya, pemerintah DIY belum
melaksanakan yang namanya tugas-tugas reformasi agraris itu sendiri.”, Pungkas Wisnu, salah satu
massa aksi.

Pemerintah dinilai kurang piawai dalam mensosialisasikan hari tani kepada masyarakat dan
petani itu sendiri. Padahal hari tani tersebut sudah diresmikan sejak 62 tahun lalu.

“Begitu hari buruh, banyak yang turun, rame euforia dan macem-macem. Lah petani,
mereka enggak tau, kasihan. Karna, ya, ini juga kealpaan pemerintah dalam hal menyampaikan
kepada petani bahwa mereka punya hari besar.” Ujar Aco.

Massa aksi juga menyinggung beberapa kebijakan pemerintah yang dipandang salah kaprah.
Manuver pemerintah untuk mengesahkan Undang-undang Omnibus Law dan Undang-undang Cipta
Kerja, secara tidak langsung, menggiring masyarakat untuk menjadi buruh dan memandang sinis
kegiatan bertani. Terlebih lagi, sikap abai pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang pokok
agraria. Masyarakat pun kehilangan martabatnya sebagai manusia yang bebas dan alami, lantas
terjangkit alienasi.

Kerangka apriori tersebut dimadahkan Aco, “Pekerjaan merdeka dia (petani) itu sebenarnya.
Mereka engga tau itu loh, dia ngatur waktu, mau nanam apa (tanpa intervensi pihak lain), merdeka
dia. Dia tidak teralienasi. Beda dengan buruh. Hasil kerjanya bukan atas namanya, tapi atas nama
pabrik.”

Bentuk ketidak berpihakan pemerintah kepada petani juga dapat terlihat pada maraknya
penggusuran lahan di Indonesia belakangan ini. Di antaranya pertambangan besar-besaran di
Wadas, proyek pembangunan Bendungan Jati Gede di Sumedang, Bandara Internasional Jawa Barat
Kertajati, PLTU Indramayu, PLTU Cirebon, sampai Kereta Cepat Bandung-Jakarta. Konflik agrarian
dan kriminalisasi petani maupun pejuang lingkungan banyak terjadi.

Hal senada diucapkan Sadik selaku penanggung jawab lapangan, “Di masa korona sendiri itu,
konflik agrarian meningkat. Selagi kita PSBB, selagi orang-orang dirumahkan, pembebasan lahan itu
tetap massif terjadi.”

Sehingga tidak berlebihan ketika muncul pernyataan bahwa pengkhianatan pemerintah


terhadap amanat Undang-undang Pokok Agraria, sejak 62 tahun sebelumnya, menjadi penghambat
utama kesejahteraan petani.
Akan tetapi berdasarkan peninjauan lebih lanjut, ternyata problem-problem yang didalangi
oleh pemerintah ini merupakan domino effect dari kebijakan pemerintah memasukan 13 Proyek
Strategis Nasional (PSN) baru di tahun 2022 dan keberpihakan pemerintah kepada korporasi
kehutanan, perkebunan sawit, serta pariwisata yang berambisi memonopoli lahan subur Indonesia.
Lahan yang sebelumnya produktif beralih menjadi lahan pembangunan, perumahan, korporasi,
pariwisata, dan lain-lain. Di mana yang terjadi setelahnya adalah meningkatnya angka deforestasi.

“Latar belakangnya sebenarnya itu karena, kita lihat secara nasional, terjadi perampasan
lahan secara besar-besaran, dan itu didalangi oleh PSN, Proyek Strategis Nasional, (serta) alih fungi
lahan yang diberikan pemerintah kepada korporasi kehutanan,Weekend kemudian korporasi
perkebunan sawit, kemudian korporasi wisata. Akhirnya kan lahan petani secara nasional ini kan
makin sempit.” Jelas Aco.

Lebih lanjut Aco mengatakan, “Alih fungsi lahan, perampasan tanah untuk pembangunan,
sawit, dan macam-macam. Pada akhirnya kita akan kelabakan ketika terjadi krisis pangan, karena
kita sudah tidak punya lahan. Sedangkan penjaga pangan kita, dari dulu sampe sekarang, dari nenek
moyang kita sampai sekarang, itu adalah petani. Nah ini bahaya ini kalau tidak diperhatikan.”

Anda mungkin juga menyukai