Anda di halaman 1dari 148

TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN PADA

MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Disusun oleh:
Hidayat Salam
NIM 11150340000294

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/ 1442 H

0
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN PADA MASYARAKAT
BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Hidayat Salam
NIM: 11150340000294

Pembimbing:

Syahrullah, MA
NIP:19780818 200901 1 016

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/ 1442 H
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN PADA


MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Juli 2021. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 29 Juli 2021
Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

19730520 200501 1 003

Penguji I, Penguji II,

Moh. Anwar Syarifuddin, MA


NIP. 19720518 199803 1 003 19710607 200501 1 002

Pembimbing,

Syahrullah, MA
NIP. 19780818 200901 1 016
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : Hidayat Salam
NIM : 11150340000294
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
Judul Skripsi :Tradisi Batamat Al-Qur’an Pada Masyarakat
Banjar Kalimantan Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya
sendiri atau merupakan hasil plagiasi dari karya orang lain maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Ciputat, 1 Juni 2021

Hidayat Salam
ABSTRAK

Hidayat Salam, NIM 11150340000294


Tradisi Batamat Al-Qur’an Pada Masyarakat Banjar Kalimantan
Selatan
Dalam perkembangan kajian living Qur’an akhirnya berfokus pada
penelitian yang menggabungkan kajian al-Qur’an dengan kajian sosial.
Fenomena pemaknaan al-Qur’an diartikan bagi kalangan studi al-Qur’an
sebagai metode living Qur’an dengan mengambil fenomena unik seperti
tradisi yang melekat di tengah masyarakat Muslim. Masyarakat Banjar
merupakan masyarakat Muslim yang menetap di Kalimantan Selatan.
Pelaksanaan tradisi batamat al-Qur’an merupakan tradisi yang melekat oleh
masyarakat Banjar yang meliputi perayaan syukuran seperti anak-anak telah
selesai membaca seluruh al-Qur’an 30 juz.
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana al-
Qur’an dipahami dan dimaknai oleh masyarakat Banjar dalam tradisi
batamat al-Qur’an? Penelitian ini masuk ke dalam penelitian field research
(penelitian lapangan) dengan metode yang digunakan ialah metode
deskriptif-kualitatif. Adapun langkah penelitian dengan melalui observasi,
wawancara dan dokumentasi. Lalu data dikumpulkan dan dianalisis yang
diolah dari pendekatan fenomenologi Edmund Husserl untuk menghasilkan
kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat
setempat menemukan bahwa praktik pembacaan ayat al-Qur’an dalam
tradisi batamat dengan membaca surah aḍ-Ḍuḥa hingga an-Nās.
Masyarakat Banjar mempraktikkan tradisi batamat al-Qur’an dalam
perayaan anak-anak yang telah selesai membaca seluruh al-Qur’an 30 juz,
mempelai yang ingin melangsungkan perkawinan, hingga praktik membaca
al-Qur’an secara berjamaah atau tadarusan. Adapun dari tradisi batamat al-
Qur’an ini juga melahirkan nilai-nilai lokal yang telah terjaga hingga saat
ini. Terdapat juga pemahaman dari masyarakat Banjar terhadap tradisi
batamat di dalam kehidupan sehari-hari meliputi nilai-nilai sosial berupa
sikap gotong royong, saling menolong hingga sebagai ajang membangun
komunikasi atau warga atau saling silaturahmi. Sementara makna al-Qur’an
dalam tradisi batamat bagi masyarakat Banjar adalah sebagai bentuk untuk
mengharap keberkahan dan keselamatan dari kegiatan membaca al-Qur’an.
Baik itu keselamatan untuk dirinya ataupun untuk keluarganya

Kata Kunci: Batamat, Living Qur’an, Fenomenologi Edmund Husserl

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur atas nikmat yang Allah


Subḥanahu wa Ta‘āla berikan berupa nikmat sehat jasmani maupun rohani
serta hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan judul “TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN
PADA MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN”.
Shalawat dan salam yang selalu terucap, semoga senantiasa disampaikan
kepada Nabi Muhammad Saw. semoga syafaat beliau selalu bersama umat
Islam di Padang Mahsyar nanti.
Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini,
yaitu:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta: Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar
Lubis, M.A., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya dan Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dekan Fakultas
Ushuluddin. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., Ketua Program Studi
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc.,
MIRKH, Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
2. Bapak Syahrullah, M.A., pembimbing skripsi yang selalu bersedia
meluangkan waktu disela-sela kesibukannya serta konsisten
memberikan arahan agar laporan penelitian ini dapat selesai dengan
baik.
3. Bapak Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH., pembimbing akademik yang
telah bersedia memberikan masukan dalam perkuliahan selama ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen Prodi Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir yang tak pernah berhenti berbagi ilmu kepada
penulis.
iv
v

5. Kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan kasih sayang yang
tulus kepada penulis.
6. Teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2015 yang sama-sama
sedang berjuang menyelesaikan studinya, sama seperti penulis.
7. Teman-teman pengurus dan anggota Lembaga Pers Mahasiswa
Institut UIN Jakarta.
8. Nurlely Dhamayanti yang telah membantu dan memberikan
motivasi kepada penulis.
9. Seluruh informan yang bersedia meluangkan waktu untuk
diwawancarai demi mendukungnya kelancaran penulisan skripsi ini.
10. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan
proses skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu.
Akhir kata, penulis hanya bisa berdoa supaya Allah Swt. berkenan
membalas kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis
menyadari bahwa skripsi yang telah dibuat ini masih memiliki banyak
sekali kekurangan. Oleh sebab itu, penulis berharap di kemudian hari skripsi
ini dapat dikembangkan dengan lebih baik.

Ciputat, 1 Juni 2021

Hidayat Salam
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini


menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan

Huruf
Nama Huruf Latin Nama
Arab
Tidak
‫ا‬ Alif -
dilambangkan

‫ب‬ Ba b Be

‫ت‬ Ta t Te
Es (dengan titik di
‫ث‬ Ṡa ṡ
atas)
‫ج‬ Jim j Je
Ha (dengan titik di
‫ح‬ Ḥ ḥ
bawah)
‫خ‬ Kha kh Ka dan Ha
‫د‬ Dal d De
Zet (dengan titik
‫ذ‬ Ż ż
di atas)
‫ر‬ Ra r Er
‫ز‬ Zai z Zet
‫س‬ Sin s Es
‫ش‬ Syin sy Es dan Ye

vi
vii

Es (dengan titik di
‫ص‬ Ṣad ṣ
bawah)
De (dengan titik di
‫ض‬ Ḍ ḍ
bawah)
Te (dengan titik di
‫ط‬ Ṭ ṭ
bawah)
Zet (dengan titik
‫ظ‬ Ẓ ẓ
di bawah)
‫ع‬ ‘Ain ‘ koma terbalik
‫غ‬ Gain g Ge
‫ف‬ Fa f Ef
‫ق‬ Qof q Qi
‫ك‬ Kaf k Ka
‫ل‬ Lam l El
‫م‬ Mim m Em
‫ن‬ Nun n En
‫و‬ Wau w We
‫ھ‬ Ha h Ha
‫ء‬ Hamzah ` Apostrop
‫ي‬ Ya y Ye

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal disebut


juga monoftong dan vokal rangkap atau disebut diftong. Untuk vokal
tunggal sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫أ‬ A Fatḥah
viii

‫إ‬ I Kasrah
ُ‫أ‬ U Ḍhammah

Adapun untuk vokal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ُ‫ئ َي‬ Ai A dan I


ُ‫ئ َو‬ Au A dan U

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ىَا‬ Ā a dan topi di atas


‫ىِي‬ Ī i dan topi di atas
ُ‫ىو‬ Ū u dan garis di atas

C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.
al-Qamariyah ُ‫المنِير‬ al-Munīr

al- Syamsiyah ‫ال ِر َجا ُل‬ al-Rijāl

D. Syaddah atau Tasydîd


Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan “ ُّ“
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:
al-Qamariyah ُ‫الق َّوة‬ al-Quwwah

al- Syamsiyah ‫ضرو َرُة‬


َ ‫ال‬ al-Ḍarurah
ix

E. Ta Marbûṯah
Ta marbūṭah, dalam aksaranya terdapat pada kata yang berisi sendiri.
Ta marbūṭah dialihaksarakan menjadi huruf “h”. Hal yang sama juga
berlaku jika ta marbûṯah diikuti oleh kata sifat (na‘at). Namun, jika huruf
ta marbūṭah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t”. Contohnya:
No Kata Arab Alih Aksara
1 َ
‫ط ِريقَ ُة‬ Ṭarīqah
2 ُ‫ال َجامِ عَةُا ِإلسالَمِ يَّة‬ al-Jāmi’ah
3 ُ‫َوحدَةُالوجو ِد‬ Waḥdat al-Wujūd

F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Kindi.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak
‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-
Rānīrī.

G. Singkatan-singkatan

Singkatan Keterangan
Q.S. al-Qur`an Ṣurah
Swt. Subḥanahu wa Ta‘āla
x

Saw. Ṣallallāhu ‘Alaihi Wasallam


terj. Terjemah
M. Masehi
H. Hijriah
DAFTAR ISI
ABSTRAK...................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................... ivv

PEDOMAN TRANSLITERASI................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................. xi

DAFTAR TABEL .......................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................ 1


B. Permasalahan ........................................................... 5
1. Identifikasi Masalah .......................................... 5
2. Pembatasan Masalah ......................................... 6
3. Rumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................... 7
D. Kajian Pustaka ......................................................... 8
E. Metode Penelitian .................................................... 15
1. Jenis Penelitian .................................................. 16
2. Lokasi dan Waktu Penelitian............................. 16
3. Sumber Data ...................................................... 17
4. Teknik Pengumpulan Data ................................ 17
5. Teknik Pengolahan Data ................................... 20
6. Pendekatan Teori ............................................... 22
7. Tahapan Penelitian ............................................ 24
8. Teknik Penulisan ............................................... 25
F. Sistematika Penelitian ............................................. 25

xi
xii

BAB II DISKURSUS UMUM KAJIAN LIVING QUR’AN DAN


TRADISI MASYARAKAT

A. Al-Qur’an dan Tradisi Masyarakat ......................... 26


B. Perkembangan Living Qur’an.................................. 29
C. Pendekatan dalam Penelitian Living Qur’an ........... 34
1. Antropologi Etnografi ....................................... 35
2. Fenomenologi .................................................... 36
D. Khataman Al-Qur’an di Tengah Kaum Muslim Modern
................................................................................. 38

BAB III ULASAN TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN

A. Tinjauan Umum Tradisi Khataman Al-Qur’an di Indonesia


................................................................................. 42
B. Sejarah Batamat Al-Qur’an ..................................... 49
C. Proses Pelaksanaan Batamat Al-Qur’an ................. 57
D. Tujuan dan Manfaat Batamat Al-Qur’an ................ 60

BAB IV POLA PEMAKNAAN MASYARAKAT BANJAR


TERHADAP AL-QUR’AN

A. Praktik Pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam Tradisi


Batamat ................................................................... 62
B. Nilai-Nilai Lokal yang Terkandung dalam Pelaksanaan
Batamat Al-Qur’an .................................................. 71
C. Respons dan Resepsi Masyarakat Banjar terhadap Ayat-
Ayat Al-Qur’an ....................................................... 74
D. Pemahaman Masyarakat Banjar terhadap Tradisi Batamat
Al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-hari ................ 78
E. Makna Al-Qur’an dalam Tradisi Batamat Bagi Masyarakat
Banjar ...................................................................... 81
xiii

F. Dampak Pembacaan Ayat-Ayat Berdasarkan Fungsi Nama-


Nama Al-Qur’an ...................................................... 91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................. 96
B. Saran ....................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 98

LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kategorisasi makna-makna al-Qur’an di dalam tradisi batamat


.................................................................................................................88

Tabel 4.2 Fungsi Al-Qur’an Bagi Masyarakat Banjar ............................92

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

1. Transkrip wawancara Masyarakat Banjar di Kecamatan Kandangan


Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan
2. Profil Wilayah Kandangan
3. Dokumentasi Penelitian
4. Surat Laporan Telah Melakukan Penelitian dari pemerintah
setempat
5. Surat Pengantar Wawancara dari Kampus Untuk Kecamatan
Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan
Selatan

xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fenomena pemahaman keagamaan terkait dengan pembacaan al-


Qur’an sebagai sebuah respons dan apresiasi umat Islam hingga kini sangat
beragam. Mulai yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman makna
maupun yang hanya sekedar membaca al-Qur’an sebagai ibadat ritual atau
untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan belakangan, telah banyak juga
pembacaan al-Qur’an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis
(supranatural) ataupun yang digunakan sebagai medium terapi pengobatan
dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari memang masyarakat Muslim umumnya


telah berinteraksi dengan al-Qur’an. Melakukan praktik respons dan
apresiasi terhadap al-Qur’an baik dengan bentuk membaca, memahami dan
mengamalkan. Ada juga yang merespon dalam bentuk sosio-kultural.1 Hal
ini dapat disimpulkan bahwa kesemuanya karena mempunyai rasa
keyakinan bahwa berinteraksi dengan al-Qur’an secara maksimal akan
memperoleh kebahagiaan tersendiri.

Lalu di era saat ini, banyak ditemukan tradisi yang menunjukan


respon sosial suatu kelompok masyarakat Muslim tertentu sebagai wujud
apresiasi terhadap kehadiran al-Qur’an. Dalam kaitan ini, sebagai contoh
adalah tradisi khataman al-Qur’an.

Dengan apresiasi dan ekspresi terhadap al-Qur’an seperti tersebut


sebagai rangka menjaga dan melestarikan al-Qur’an serta mengambil
makna agar benar-benar bermakna dalam kehidupan umat manusia. Cara

1
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, cet.III (Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2017), 103.

1
2

seperti inilah yang sering disebut dengan living Qur’an (al-Qur’an yang
hidup dalam fenomena sosial dan budaya). 2 Living Qur’an inilah yang
bertugas untuk menangkap pemahaman atau pandangan masyarakat
terhadap al-Quran dengan mengedepankan penelitian terhadap tradisi yang
terjadi di masyarakat.

Fenomena sosial yang tergambar dari tradisi khataman al-Qur’an ini


sudah sekian lama terjadi dalam masyarakat Muslim Indonesia. Praktik ini
dilakukan setelah pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan membaca teks al-
Qur’an maupun secara hafalan karena selesai membaca 30 juz al-Qur’an.
Secara umum, proses tradisi ini dimulai dari membaca al-Qur’an dan
didengar oleh guru mengaji atau dihadiri serta diperdengarkan bacaan al-
Qur’an dalam lingkup khalayak umum, selanjutnya doa khataman al-
Qur’an dan terakhir syukuran berupa makan bersama dan semacamnya.3

Selain itu, pelaksana khataman al-Qur’an di Indonesia juga telah


tergambar dalam nilai-nilai kebudayaan lokal seiring dengan terjadinya
akulturasi antara nilai budaya lokal serta nilai-nilai keislaman yang terjadi
dalam beberapa praktik khataman al-Qur’an. Di mana dalam hal ini
menurut Kuntowijoyo bahwa agama telah mempengaruhi kebudayaan
dalam setiap perkembanganya yang dilihat dari nilai agama dan
kebudayaan. Keduanya ini juga dapat saling mempengaruhi antara simbol
agama ampun kebudayaan yang dapat menggantikan sistem nilai dan
simbol agama.4

2
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta:
Teras, 2007), 50.
3
Ainun Hakiemah dan Jazilus Sakhok, "Khataman Alquran di Pesantren Sunan
Pandanaran Yogyakarta: Kajian Living Hadis," Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadith vol.9, no.1 (2019): 126.
4
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Essai-essai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), 197.
3

Seperti yang terdapat dalam praktik tradisi batamat al-Qur’an yang


menjadi kebudayaan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat
Banjar hingga kini. Umumnya tradisi batamat al-Qur’an pada masyarakat
Banjar dilakukan seperti pada momen di mana anak-anak baru saja
menyelesaikan bacaan al-Qur’an, batamat acara pernikahan, ritual
kematian, tadarus bulan puasa hingga perayaan Maulid Nabi dan lain-
lainnya.5 Pelaksanaan batamat al-Qur’an ini dapat ditemukan di seluruh
wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, tak terkecuali dengan wilayah
Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Walaupun demikian, perubahan dan perkembangan zaman juga telah


membuat pelaksanaan tradisi batamat al-Qur’an ini mengalami pasang
surut. Apalagi seperti datangnya wabah Covid-19 ini membuat perayaan
batamat tidak lagi semeriah perayaan terdahulu. Oleh karena itu, penting
untuk disikapi dengan lebih memperhatikan nilai-nilai dan makna yang bisa
dijaga di dalam tradisi batamat al-Qur’an. Namun keunikan pelaksanaan
tradisi batamat al-Qur’an masih dapat dijumpai di beberapa wilayah
termasuk di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Tradisi batamat al-Qur’an bagi anak-anak misalkan terdapat adat


istiadat yang masih dipertahankan hingga kini seperti perlakuan khusus
seperti seorang raja dan putri yang duduk di singgasana beralaskan sarung
batik. Acara batamat ini juga dihiasi dengan berbagai perlengkapan seperti
payung kambang tiga tingkat yang dibalut oleh bunga kenanga, melati, serta
uang kertas yang digantungkan. Bahkan terdapat hidangan wajib yang mesti
disiapkan seperti ketan dengan gula merah, telur dan buah-buahan lainnya.6

5
Riza Saputra, "Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Batamat al-
Qur’an Urang Banjar," Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hadis Vol.3, No.1 (2021):
3.
6
Riza Saputra, "Dialektika Islam dan Budaya Lokal, 3.
4

Apalagi dalam wilayah masyarakat Banjar Kalimantan Selatan,


memiliki banyak figur dan ulama masyhur di Indonesia pada abad ke-18.
Sosok ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M)
misalkan turut berkontribusi sebagai seorang pembaharu dalam
mengembalikan masyarakat Banjar kepada ajaran syariat Islam. Sehingga
tradisi-tradisi setempat pun ikut berubah dan sesuai dengan ajaran agama
Islam.7

Sementara itu dalam penelitian disertasi yang berjudul “The


Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of Place of the Qur’an
in a Non-Arabic Speaking Community,” karya Ahmad Rafiq juga telah
menyinggung tradisi masyarakat Banjar dalam menerima ajaran Islam.
Namun dalam penelitiannya kali ini, ia menemukan bahwa umat Islam
sebagai komunitas non-arab memandang al-Qur’an sebagai teks tertulis dan
juga dibacakan, yang mana masing-masing memiliki struktur yang berbeda
tetapi tetap terkait untuk diterima.

Bahkan pada disertasi tersebut, digambarkan pola masyarakat Banjar


dalam menerima al-Qur’an yakni melalui bacaan, yang berarti penekanan
pada tradisi lisan al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cara oleh masyarakat
Banjar untuk menghargai al-Qur’an, dan mengundang akan keberkahan
yang tergantung dalam nilai-nilai yang dimiliki oleh al-Qur’an. Tak hanya
menerima al-Qur’an saja, masyarakat Banjar telah menjadikan al-Qur’an ke
dalam bagian dari sendi kehidupan sehari-hari mereka, sehingga hal itu
tidak lagi hadir tanpa makna apapun. Melainkan al-Qur’an akan menjadi
simbol yang memiliki arti dan dapat dimaknai.8

7
Miftahul Jannah, “Batamat Al-Qur’an Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan”
(Makalah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), 4.
8
Ahmad Rafiq, “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of Place
of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community” (Disertasi S3., Temple University,
2014), iii-v.
5

Oleh karena itu, dengan memanfaatkan penelitian living Qur’an,


peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap tradisi yang terjadi di
masyarakat seperti dalam tradisi batamat al-Qur’an. Sehingga, dengan
kajian living Qur’an, penelitian ini berupaya ntuk menjelaskan mengenai
pemahaman masyarakat Muslim terhadap tradisi al-Qur’an, terutama pada
masyarakat Banjar. Dalam penelitian ini kemudian akan dikaji perihal pola-
pola pemaknaan terhadap al-Qur’an serta pelaksanaan tradisi batamat al-
Qur’an itu sendiri yang merupakan sebuah tradisi turun temurun.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah

Kajian mengenai tradisi batamat al-Qur’an pada masyarakat Banjar


Kalimantan Selatan menguraikan fenomena hubungan al-Qur’an dengan
masyarakat setempat. Melalui hubungan tersebut muncul kemudian
permasalahan-permasalahan dalam lingkup studi al-Qur’an.

Sejumlah permasalahan yang terkait fokus persoalan yang ditemukan


yakni sebagai berikut:

a. Al-Qur’an hadir dalam setiap kegiatan masyarakat terutama untuk


memperoleh keberkahan dan sebagai petunjuk.
b. Fungsi al-Qur’an sebagai pedoman hidup dipraktikkan oleh
masyarakat seperti berupa potongan-potongan tulisan ayat-ayat
maupun surat-surat dalam menangkal bahaya maupun berbagai
tradisi yang berkaitan dengan al-Qur’an.
c. Al-Qur’an dibaca pada acara-acara tertentu semisal tradisi
setempat di masyarakat
d. Potongan ayat-ayat tertentu dijadikan jimat untuk melindungi dari
bala musibah.
6

e. Sebagian umat Islam menjadikan al-Qur’an sebagai media


pengobatan.
f. Tradisi baayun maulid dilaksanakan untuk meneladani sifat-sifat
Rasulullah Saw.
g. Tradisi batumbang merupakan sebuah upacara guna memperoleh
keberkahan dengan membaca surat Yāsīn dan shalawat atas Nabi
Muhammad Saw.
h. Tradisi batamat al-Qur’an oleh masyarakat Banjar dalam
memperingati perayaan besar semisal pernikahan ataupun anak-
anak yang pertama kali selesai membaca al-Qur’an secara
sempurna.

2. Pembatasan Masalah
Dari sejumlah permasalahan yang dijelaskan sebelumnya, maka perlu
membatasi pada satu persoalan yakni pemahaman kitab suci dalam
tradisi batamat al-Qur’an oleh masyarakat Banjar yang berlokasi di
wilayah Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Lebih lanjut
tradisi batamat al-Qur’an sebagai tradisi yang telah lama dipertahankan
oleh masyarakat Banjar yang terkenal dengan masyarakat yang sangat
agamis. Maka dalam pelaksanaan tradisi tersebut juga dilakukan dengan
menggunakan adat dan budaya setempat sehingga pelaksanaannya
dibarengi dengan pakaian adat atau kostum tertentu dan lain sebagainya.

Sehingga bagian yang menjadi fokus penelitian dalam tradisi batamat


al-Qur’an adalah pola pemaknaan masyarakat Banjar terhadap kitab suci
umat Islam yang kemudian dipahami sebagai kegiatan yang masuk ke
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, guna penelitian ini tidak
melebar, maka peneliti sangat membutuhkan yang namanya pokok
permasalahan.
7

3. Rumusan Masalah

Adapun pokok masalah yang akan dijadikan acuan penelitian ini


adalah bagaimana al-Qur’an dipahami dan dimaknai oleh masyarakat
Banjar dalam tradisi batamat al-Qur’an.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan


sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

Kajian ini dimaksudkan untuk menggambarkan prosesi tradisi


batamat al-Qur’an dengan membaca surat-surat pilihan yang biasa
dibaca oleh masyarakat Banjar, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan.

Dalam kajian ini juga dimaksudkan untuk menemukan makna serta


nilai-nilai yang terkandung dari prosesi tradisi batamat al-Qur’an yang
di dalamnya terdapat pembacaan surat pilihan dari surat juz ‘Amma oleh
masyarakat Banjar, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan wacana baru dalam dunia


akademis serta menambah bahan pustaka sekaligus memperkaya
bentuk tulisan dalam Islam, terutama untuk Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir. Selain itu, juga penelitian ini diharapkan dapat
menjadi motivasi bagi para kalangan akademisi untuk lebih peka
terhadap fenomena tradisi keagamaan.

b. Manfaat Praktis
8

Penelitian ini dimaksudkan untuk membantu memperkenalkan


salah satu bentuk keanekaragaman sosial-budaya masyarakat
muslim di Indonesia, serta guna meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjadikan al-Qur’an ke dalam
bagian tatanan dalam kehidupan sehari-hari.

D. Kajian Pustaka
Dari berbagai literatur karya ilmiah, peneliti sadari bahwa kajian
tentang topik-topik yang berkaitan dengan Living Qur’an telah banyak
mendapat apresiasi di kalangan masyarakat maupun akademisi, baik itu
berupa penelitian ataupun sekedar opini dan sebagainya. Peneliti pun telah
menemukan beberapa kajian penelitian yang berkaitan dengan topik-topik
tersebut.

Pertama, karya dari Imroatussholihah dengan judul “Resepsi


Terhadap Pembacaan Surah Al-Lahab Sebagai Penangkal Hujan” di
Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin Jambi dari Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2018.
Fokus penelitian ini membahas pada fenomena dan pemaknaan masyarakat
terhadap pembacaan al-Qur’an. Dengan mempraktekkan tradisi unik yang
berkenaan pada pembacaan surat Al-Lahab yang bertujuan agar cuaca
bagus dan tidak terjadi hujan ketika hendak menyelenggarakan kegiatan
besar di pesantren. Pada kajian Living Qur’an, penulis tersebut juga
melakukan pendekatan dari salah satu dari teori sosiologi Karl Mannheim
yakni objektif, ekspresif dan dokumenter untuk mencoba mengungkapkan
pemaknaan yang dilaksanakan oleh pengasuh dan santri. Hasil penelitian
secara garis besar menyimpulkan bahwa pemaknaannya pada banyak tradisi
sudah biasa dilakukan oleh lingkungan pesantren yang tanpa sadar
9

merekonstruksi pikiran mereka dengan menganut pemahaman dari


keutamaan al-Qur’an yang diamalkan dalam kehidupan praksis.9

Kedua, oleh Muhammad Fauzan Nashir dengan judul “Pembacaan


Tujuh Surat Pilihan Al-Qur’an Dalam Tradisi Mitoni” di Dusun Sumberjo,
Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Karya tulis
skripsi dari IAIN Surakarta tahun 2016 ini dalam penelitiannya berfokus
tentang upaya masyarakat dalam berinteraksi dengan al-Qur’an melalui
tradisi budaya setempat yakni upacara tradisi mitoni di Dusun Sumberjo.
Dengan menggunakan penelitian lapangan (field research) dan sumber data
utama yakni ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca dalam tradisi mitoni. Pada
penelitian tersebut ditemukan tiga fungsi dalam resepsi pembacaan al-
Qur’an yakni al-Qur’an dipandang sebagai kitab suci, sebagai obat dan
sebagai sarana perlindungan, sehingga menjadi sebagai bagian dalam
kehidupan mereka.10

Ketiga, oleh Umi Nuritayatur Rohmah dengan judul “Penggunaan


Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam Ritual Rebo Wekasan” di Desa Sukoreno
Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Karya tulis skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2014 ini berfokus pada praktik ayat-ayat al-Qur’an dan penggunaan makna
dalam ritual Rebo Wekasan tersebut. Dalam penelitian tersebut
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi.
Tak hanya itu, untuk mengkaji makna penggunaan ayat-ayat al-Qur’an,
penulis menggunakan teori pengetahuan Karl Mannheim. Sehingga penulis

9
Imroatussholihah, “Resepsi Terhadap Pembacaan Surah Al-Lahab Sebagai
Penangkal Hujan” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2018).
10
Muhammad Fauzan Nasir, “Pembacaan Tujuh Surat Pilihan Al-Qur’an Dalam
Tradisi Mitoni” (Skripsi S1 Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2016).
10

menemukan bahwa praktik tersebut dilaksanakan setiap satu tahun sekali


dengan tujuan menolak musibah.11

Keempat, oleh Yudi Mulyadi dengan judul “Al-Qur’an dan Jimat


Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten.”
Karya tulis tesis konsentrasi Tafsir Program Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 ini berfokus pada masalah yang
muncul ketika masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten
menggunakan al-Qur’an sebagai Jimat. Mereka meyakini bahwa ayat-ayat
atau huruf-huruf al-Qur’an mengandung kekuatan magis untuk tujuan
tertentu. Walau al-Qur’an pada dasarnya berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia. Dengan menggunakan metode etnografi James P. Spradley yakni
bersifat deskriptif-kualitatif untuk memahami cara-cara kehidupan
masyarakat. Penulis tersebut menemukan masyarakat dalam
mempraktikkan jimat al-Qur’an karena memiliki ragam manfaat seperti
menyelamatkan diri, penghormatan, maupun pemuliaan masyarakat
terhadap al-Qur’an.12

Kelima, oleh Siti Fauziah yang berjudul “Pembacaan Al-Qur’an


Surat-Surat Pilihan di Pondok Pesantren Putri Daar Al-Furqon Janggalan
Kudus.” Karya ini merupakan artikel ilmiah dari Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-
Qur’an dan Hadis Vol. 15 tahun 2014. Dengan berfokus pada diskursus
terhadap pembacaan al-Qur’an di pondok pesantren. Metode yang
digunakan dari Emile Durkheim dan Karl Mannheim untuk menemukan
maksud makna dari pembacaan al-Qur’an dengan perspektif fenomena
sosial. Penulis berkesimpulan dengan mengklasifikasikan ke dalam tiga

11
Umi Nuritayatur Rohmah, “Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam Ritual Rebo
Wekasan” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
12
Yudi Mulyadi, “Al-Qur’an dan Jimat Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat
Wewengkon Lebak Banten” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017).
11

bagian. Pertama, pelaku pembacaan secara komunal dan individu. Kedua,


bentuk kegiatannya menunjukkan bentuk ritual dan sosial. Ketiga, dari
konteks pembacaannya beragam bentuk.13

Tak hanya topik mengenai Living Qur’an saja, peneliti juga


menemukan berbagai literatur kajian terdahulu mengenai tradisi batamat al-
Qur’an ataupun secara umum dalam makna Bahasa Indonesia Khataman
Al-Qur’an yang telah berlangsung lama di Indonesia. Hal ini perlu
ditelusuri lebih lanjut agar peneliti dapat menemukan perbedaan dari
penelitian sebelumnya dan menemukan hal kebaruan dalam topik penelitian
ini.

Pertama, karya tulis skripsi yang dibuat oleh Sadiyan dengan judul
“Fenomena Pengamalan Surah Al-Insyirah pada Masyarakat Kecamatan
Bajuin Pelaihari Kalimantan Selatan.” Karya tulis skripsi dari Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin tahun 2017 ini
berfokus pada penelitian pengamalan Surat Al-Insyirah yang dilakukan oleh
masyarakat setempat dan mencari motivasi yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Termasuk ke dalam jenis penelitian lapangan (field
research) maka setelah dilakukan penelitian tersebut memperoleh
pengamalan surah al-Insyirah dikategorikan amalan yang dilakukan secara
rutin dan momentum. 14

Selanjutnya, karya tulis skripsi dengan judul “Resepsi Al-Qur’an


dalam Tradisi Mappanre Temme Studi Living Qur’an di Kelurahan Buloa,

13
Siti Fauziah, "Pembacaan Al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di Pondok Pesantren
Putri Daar Al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur’an)," Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-
Qur'an dan Hadis 15.1 (2014): 159-180.
14
Sadiyan, “Fenomena Pengamalan Surah Al-Insyirah pada Masyarakat Kecamatan
Bajuin Pelaihari Kalimantan Selatan” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin, 2017).
12

Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan” karya dari Marwah


Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2018. Fokus penelitian penulis yakni pada tradisi mengkhatamkan al-
Qur’an yang mulai berkembang sejak proses Islamisasi di Kerajaan Gowa-
Makassar. Sehingga tradisi itu hadir kemudian pada saat terbentuknya
lembaga khusus bidang pendidikan dasar al-Qur’an. Dengan penelitian
yang menggunakan pendekatan teori sosiologi pengetahuan Peter L Berger
dan Thomas Luckman yang menekankan pada tiga proses yakni
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dalam menggunakan teori
tersebut penulis menemukan pemahaman dan pemaknaan yakni adanya
proses adaptasi terhadap agama Islam, kemudian masyarakat mencari dasar
legitimasi atas tradisi tersebut, yang akhirnya dilakukan secara terus
menerus.15

Ketiga, adalah artikel ilmiah yang ditulis oleh Noorthaibah dengan


judul “Refleksi Budaya Muslim pada Adat Perkawinan Budaya Banjar di
Kota Samarinda.” Diterbitkan dari Jurnal ilmiah Fenomena Vol. IV tahun
2012 ini berfokus pada pelaksanaan tata cara adat perkawinan secara
deskriptif yang dilakukan oleh masyarakat Banjar di wilayah Samarinda.
Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi naturalistik dalam
metodenya, penulis hendak mencari data yang dapat menggambarkan
budaya dalam adat perkawinan tersebut. Hasil temuan dalam penelitian ini
dapat diketahui dari enam komponen, yakni peminangan, upacara petalian,
upacara mandi pengantin, upacara khatam al-Qur’an, upacara akad nikah
dan upacara resepsi perkawinan.16

15
Marwah , “Resepsi Al-Qur’an Dalam Tradisi Mappanre Temme’ (Studi Living
Qur’an di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan)” (Skripsi
S1., Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
16
Noorthaibah, “Refleksi Budaya Muslim pada Adat Perkawinan Budaya Banjar di
Kota Samarinda” Fenomena V. IV, No.1 (2012),
13

Keempat, ditulis oleh Kusuma W dengan judul “Motivasi Masyarakat


Palangka Raya dalam Pelaksanaan Tradisi Menunggu Kuburan dalam
Tinjauan Hukum Islam.” Artikel ilmiah yang terdapat dalam Jurnal Studi
Agama dan Masyarakat Vol.11 tahun 2015 ini memiliki fokus penelitian
pada tradisi menunggu kuburan yang sudah dipraktekkan masyarakat
setempat di wilayah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dengan
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif berusaha untuk
mengerti dan memahami suatu topik yang jadi masalah dari penelitian ini.
Hasil penelitian ini pun menunjukkan adanya tata cara dan proses yang
dilakukan masyarakat dalam tradisi menunggu kubur, salah satunya
dilaksanakannya acara batamat al-Qur’an.17

Kelima, oleh Kamrani Buseri dengan judul “Budaya Spiritual


Kesultanan Banjar Historisitas dan Relevansinya di Masa Kini.” Dalam
penelitian ini, penulis berfokus untuk mendeskripsikan tentang budaya
spiritual dengan menggunakan sisi sejarahnya saja. Ia juga berupaya untuk
merekonstruksi ulang relevansi budaya Banjar yang erat dengan spiritual
dengan masa kini.18

Sedangkan dalam bentuk makalah ialah dari karya Miftahul Jannah


dengan judul “Batamat Al-Qur’an Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan.”
Makalah dari mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2014 ini hanya berfokus dalam memaparkan serta menjelaskan
dengan pendekatan gejala sosio-kultural masyarakat dalam tradisi batamat

17
Kusuma, "Motivasi Masyarakat Palangka Raya Dalam Pelaksanaan Tradisi
Menunggu Kuburan Dalam Tinjauan Hukum Islam." Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 11.2 (2015): 174-190.

18
Kamrani Buseri, “Budaya Spiritual Kesultanan Banjar Historisitas dan
Relevansinya di Masa Kini” Seminar Penguatan Budaya Banjar dan Peran Kesultanan
dalam Menjawab Tantangan Zaman. Vol. 8. 2011.
14

al-Qur’an tersebut. Sehingga penulis tersebut menemukan fenomena dan


mengkategorikan ke dalam bentuk bahwa tradisi ini tidak terlacak asal-
usulnya, bahkan tata cara tradisinya hasil dari akulturasi Islam dan budaya
setempat.19

Terakhir, karya Ahmad Rafiq dengan judul “The Reception of the


Qur’an in Indonesia: A Case Study of Place of the Qur’an in a Non-Arabic
Speaking Community.” Karya disertasi dari Universitas Temple, Amerika
Serikat tahun 2014 ini memiliki fokus yang menyinggung tentang tradisi
masyarakat Banjar dalam menerima ajaran Islam. Dalam penelitiannya
tersebut ditemukan bahwa umat Islam sebagai komunitas non-arab
memandang al-Qur’an sebagai teks yang tertulis dan yang dapat dibacakan,
yang mana masing-masing memiliki struktur yang berbeda tetapi saling
terkait untuk diterima oleh masyarakat setempat. Dengan menggunakan
metode pendekatan fenomenologi untuk mengungkapkan entitas sosial yang
ada pada masyarakat Banjar serta mengulas dalam perspektif sastra dari
sebuah kitab suci.20

Tak hanya, jurnal, skripsi, tesis maupun disertasi yang peneliti


temukan dalam kajian terdahulu yang berkaitan dengan topik yang
diangkat. Peneliti juga menemukan buku yang berjudul “Sejarah
Kesultanan dan Budaya Banjar” karangan Sahriansyah. Buku tahun 2015
terbitan IAIN Antasari Press Banjarmasin secara spesifik pembahasannya
melingkupi sejarah tentang wilayah Kalimantan Selatan. Sedangkan yang
terkait pelaksanaan tradisi masyarakat Banjar yakni batamat al-Qur’an

19
Miftahul Jannah, “Batamat Al-Qur’an Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan”
(Makalah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014).
20
Ahmad Rafiq, “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of Place
of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community” (Disertasi S3., Temple University,
2014).
15

hanya menggambarkan secara deskripsi adat istiadatnya tanpa mengaitkan


penelitian Living Qur’an dan berbagai pendekatan sosial dan sebagainya.21

Berdasarkan beberapa karya ilmiah berupa skripsi dan tesis maupun


jurnal ilmiah, peneliti belum menemukan pembahasan tentang tema yang
akan diangkat oleh peneliti. Sedangkan dalam bentuk makalah sebagai
tugas perkuliahan pascasarjana, peneliti menemukan ada kemiripan tema
yang dibahas tentang penelitian ini, akan tetapi ada perbedaan dari makalah
yang disebutkan di atas, yakni dari pendekatan teori yang digunakan dalam
membedah tema tersebut. Dalam makalah tersebut hanya menjelaskan
perihal gejala-gejala sosial-budayanya saja. Di samping itu, tempat lokasi
penelitian juga berbeda. Dan setiap tempat penelitian tidak bisa disamakan
karena setiap masyarakat memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda.

E. Metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan


untuk mendekati masalah dan mencari jawaban dari masalah. 22 Metode
sendiri merupakan langkah awal yang akan digunakan oleh peneliti sebelum
melakukan penelitian, hal ini untuk memberikan warna atau corak yang
berbeda dan lebih sistematis dalam melaksanakan penelitian. Metode dalam
kajian al-Qur’an yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam
kajian Living Qur’an karena menekankan pada aspek respon masyarakat
terhadap kehadiran al-Qur’an atau disebut juga everyday life of the Qur’an
(al-Qur’an hidup dalam tatanan praktis masyarakat).

1. Jenis Penelitian

21
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar (Banjarmasin: IAIN
Antasari Press, 2015).
22
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), 145-146 .
16

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research)


dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Penelitian deskriptif
adalah dengan eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau
kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.23 Sedangkan penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami objek penelitian seperti perilaku, resepsi,
motivasi, tindakan dan lain-lain.24

Karena termasuk dalam penelitian lapangan (field research) dengan


sudah ditentukan sebelumnya. Yang mana dalam proses kerjanya untuk
merekonstruksi ulang realitas sosial dan mengeksplorasi praktik tradisi
batamat al-Qur’an masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Dan berusaha
untuk mendeskripsikan apa adanya tentang kegiatan ritual, pemahaman
dan pemaknaan terhadap al-Qur’an yang ada pada masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi diadakannya penelitian ini di Kecamatan Kandangan,


Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Lama
waktu penelitian kurang lebih satu setengah bulan.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai sumber data, dibagi


menjadi dua. Sumber primer seperti guru ngaji kampung, tokoh
masyarakat, ustad atau kiai, tetua kampung atau sesepuh masyarakat
guna menjelaskan sisi historis, tata cara pelaksanaannya, dan lainnya.

23
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), 20.
24
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial
(Jakarta: Salemba, 2010), 9.
17

Berikutnya kepada masyarakat setempat atau yang terlibat langsung


dalam tradisi ini di tempat penelitian. Kemudian sumber sekunder
penulis peroleh dari sumber pihak-pihak lain yang tidak langsung seperti
literatur tertulis, arsip-arsip, data dokumentasi dan data administrasi
untuk mendukung data-data yang didapatkan dari hasil wawancara.

4. Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan catatan sesuatu objek dengan


sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan
sesaat ataupun mungkin dapat diulang. Dalam observasi melibatkan
dua komponen yaitu si pelaku observasi yang lebih dikenal sebagai
observer dan objek yang diobservasi yang dikenal dengan observe.25
Menurut Chadwick, dkk dalam buku Metode Penelitian Ilmu
Pengetahuan Sosial, terdapat empat tipe observer. Pertama menjadi
partisipan penuh (complete participation); kedua, partisipan sebagai
pengamat (participant as observer); ketiga, pengamat sebagai
partisipan (observer as participant); dan keempat, menjadi
pengamat penuh (complete observer).26

Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai tipe yang ketiga


yakni observer dalam pengertian pengamat sebagai partisipan yang
berarti masuk ke dalam kelompok dan secara terbuka menyatakan
identitas sebagai pengamat. Pengamat sebagai partisipan ini
mengacu pada aktivitas observasi terhadap subjek penelitian dalam
periode sangat pendek seperti melakukan wawancara terstruktur.

25
Sukandarrumidi, Metode Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 69.
26
Hasyim Hasanah, "Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode
pengumpulan data kualitatif ilmu-ilmu sosial)" At-Taqaddum 8.1 (2017): 30.
18

Maka itu dengan penelitian kali ini, peneliti akan melakukan


aktivitas observasi di wilayah Kecamatan Kandangan, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Proses observasi
dimulai sejak tanggal 1 Februari-20 Maret 2020 yang peneliti
gunakan seperti mendatangi lokasi penelitian mulai dari taman
pendidikan al-Qur’an seperti TPQ Al-Minnah, TPQ Al-Falah, TPQ
Al-Muqarrabin hingga ke lokasi lainnya yang berkaitan dalam
penelitian ini. Dengan begitu peneliti dapat memahami situasi dan
kondisi masyarakat saat melaksanakan tradisi batamat al-Qur’an.
Lebih lanjut, jika suatu data diperoleh kurang meyakinkan maka
peneliti dapat menanyakan kembali kepada subjek penelitian yakni
pada masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan.

b. Wawancara

Wawancara sebagai cara pengumpulan data yang cukup efektif


serta efisien bagi peneliti dan kualitas sumbernya termasuk dalam
data primer. 27 Dalam penelitian ini peneliti akan menerapkan
wawancara dalam bentuk non-formal seperti berbincang-bincang
biasa untuk menggali informasi dari narasumber, baik masyarakat
pelaku tradisi batamat al-Qur’an, tokoh masyarakat, tetua kampung
dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Dan sebelumnya telah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang
sesuai pada tujuan penelitian.

c. Dokumentasi

Dalam penggalian sumber data, peneliti dapat menggunakan


peralatan yang dapat membantu dalam pengumpulan data seperti
tape recorder, alat potret, video shooting, kamera digital dan lain

27
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 59.
19

sebagainya. Dengan begini, peneliti bisa secara leluasa melihat


seluruh rekaman aktivitas kegiatan tersebut, sehingga dapat
ditafsirkan dan dianalisa secara hati-hati dan mendalam.28

Dalam hal ini peneliti memperoleh data-data dokumentasi


pelaksanaan batamat al-Qur’an yang dilaksanakan dari tahun 2019
dan periode sebelumnya. Hal ini agar dapat menggambarkan secara
menyeluruh prosesi pelaksanaan tradisi batamat al-Qur’an melalui
aktivitas dokumentasi tersebut. Sehingga dalam penelitian tersebut
tidak melenceng dari tujuan arah penelitian.

5. Teknik Pengolahan Data

Segala bentuk informasi data yang didapat baik dari observasi,


wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis sehingga diperoleh
gambaran dari hasil penelitian. Adapun tahap-tahap pengolahan data
dalam penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan Data

Pada tahapan ini, jika permasalahan penelitian yang diangkat telah


layak dijadikan penelitian maka peneliti akan menemui beberapa
orang di lokasi yang telah memiliki kriteria sebagai seorang informan.
Setelah peneliti menemukan sejumlah informan maka kemudian
peneliti mulai menentukan siapa yang akan menjadi informan kunci
atau informan awal. Dan selain mereka peneliti juga mendatangi
tokoh-tokoh yang disegani penduduk setempat. Pengumpulan data ini
akan berhenti jika diyakini telah tidak ditemukan lagi informasi
baru.29

28
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 60.
29
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 76.
20

Adapun setelah data-data itu terkumpul, peneliti melakukan


kategorisasi hasil wawancara maupun observasi dan dokumentasi
pada praktik tradisi batamat al-Qur’an oleh masyarakat Banjar,
Kalimantan Selatan.

b. Penyajian Data

Dalam tahap ini, peneliti mencoba melakukan analisis data dalam


penelitian dengan pendekatan kualitatif yang pada prinsipnya
berproses secara induksi-interpretasi-konseptualisasi. Data akan
dikumpulkan dan dianalisis setiap meninggalkan lapangan. Secara
umum proses analisis ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan
fokus, permasalahan dan lokasi penelitian kemudian menjadi intensif
ketika turun ke lapangan.30

Oleh karena itu, pada penelitian al-Qur’an yakni konteks tradisi


batamat al-Qur’an peneliti kemudian menguraikan data-data yang
sudah terkumpul. Selanjutnya membentuk hasil kategori dan pola
pemahaman masyarakat Banjar terhadap al-Qur'an dalam kehidupan
sehari-hari.

c. Analisis Data

Pada tahap akhir ini, peneliti melakukan analisis terhadap


keseluruhan data yang diperoleh sehingga data tersebut memiliki
makna. Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lainnya, sehingga dapat mudah dipahami
dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data
dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam

30
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 77.
21

unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, lalu memilih


mana yang terpenting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.31

Dalam tahap ini juga peneliti melakukan verifikasi kesimpulan


agar terdapat kesesuaian antara fakta dari data-data yang terkumpul
dengan hasil penelitian itu sendiri.

6. Pendekatan Teori

Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menggunakan teori


pendekatan antropologi etnografi James P. Spradley. Etnografi ditinjau
secara harfiah dapat berarti tulisan atau laporan tentang suku bangsa. Ciri
khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang
menyeluruh dan terpadu (holistic-integratif), deskripsi yang kaya (thick
description) dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan cara
pandang pemilik kebudayaan (native’s point of view).32 Dengan metode
Etnografi Spradley, secara spesifik mengartikan budaya sebagai sistem
pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar. Untuk
mereka gunakan dalam menginterpretasikan dunia di sekeliling mereka.
Sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia
sekalipun.

Pendekatan ini peneliti gunakan untuk dapat menggambarkan proses


yang terjadi pada tradisi batamat al-Qur’an yang dilaksanakan oleh
masyarakat Banjar. Melalui pendekatan antropologi etnografi, peneliti
dapat menghadirkan fenomena sosial yang lahir dengan kehadiran al-

31
Prof.Dr. Sugiyono, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2016), 244.
32
Mohammad Siddiq dan Hartini Salama, “Etnografi Sebagai Teori Dan
Metode”, Kordinat Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam 18.1 (2019):
24.
22

Qur’an di masyarakat setempat. Tak hanya itu, untuk melengkapi hasil


penelitian dalam mengungkap makna yang terkandung dalam tradisi
batamat al-Qur’an dengan pendekatan fenomenologi. Dengan metode
reduksi fenomenologi dari Edmund Husserl ini, di mana berfokus pada
objek yang membicarakan dengan apa adanya, serta peneliti mencari
tahu ada apa dibalik fenomena yang tampak serta menelusuri apa yang
dialami oleh objek pada alam kesadaran tersebut33.

Dalam hal ini, peneliti berupaya untuk mendapatkan hakikat dari


fenomena sebenarnya. Maka dalam rangka mendapatkan kemurnian
fenomena tersebut, ketika penelitian memasuki lapangan, harus
melepaskan segala atribut seperti adat istiadat, jabatan, agama dan
pandangan ilmu pengetahuan. Artinya menunda untuk tidak menilai
objek yang diteliti dan tidak mencampuradukkan pandangan penulis ke
dalam objek penelitian yang diteliti.

Maka dengan menggunakan pendekatan fenomenologi objek


materiil dalam kajian tersebut dapat mencakup berbagai macam
pemaknaan al-Qur’an sehingga dapat dikaitkan dalam tradisi batamat al-
Qur’an di kehidupan sehari-hari. 34 Dalam pendekatan fenomenologi
sangat mengandalkan metode partisipatif, agar peneliti dapat memahami
tindakan religius tersebut dari dalam. Sebab kalau tidak demikian, hanya
akan memberi kesan seolah kita memasuki pikiran orang lain lewat suatu
proses misterius.

33
Hardiansyah A, "Teori Pengetahuan Edmund Husserl," Substantia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin 15.2 (2013): 226-236.
34
Heddy Shri Ahimsa-Putra, "The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi," Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20.1 (2012): 235-260.
23

Sebab itu dengan pendekatan penelitian fenomenologi, ia tidak untuk


menghakimi (judgment) fenomena yang terjadi dengan label “benar’
atau “salah”, sunnah-bid’ah, shar’iyyah- ghairu shar’iyyah. Penelitian ini
semata-mata berusaha melakukan “pembacaan” obyektif terhadap
fenomena keagamaan yang berkaitan langsung dengan al-Qur’an.35

Oleh karena itu, peneliti kemudian berusaha pula memahami pola-


pola pemaknaan terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat
Banjar. Dengan demikian setiap individu dapat belajar dari individu lain
tentang tafsir-tafsir yang berbeda. Dan tidak keluar dari konteks
pemaknaan sehingga dapat dimengerti mengapa pemaknaan yang
diberikan adalah sebagaimana yang ditemukan oleh peneliti.

7. Tahapan Penelitian

Adapun tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut:

a. Menentukan fokus penelitian yang diangkat yakni tentang


penggunaan serta pemaknaan al-Qur’an oleh masyarakat Banjar
lewat tradisi batamat al-Qur’an.
b. Mengumpulkan data-data terkait melalui observasi, wawancara
maupun dokumentasi tentang penggunaan serta pemaknaan al-
Qur’an dalam tradisi batamat al-Qur’an.
c. Mengolah data yang sudah terkumpul, dengan cara
mengklasifikasikan data tersebut tentang penggunaan serta
pemaknaan al-Qur’an dalam tradisi batamat al-Qur’an.

35
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an
(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab.
Cirebon)," Journal Of Qur'an And Hadith Studies 4.2 (2015): 183.
24

d. Menganalisa data yang sudah peneliti peroleh mengenai


penggunaan serta pemaknaan al-Qur’an dalam tradisi batamat al-
Qur’an.
e. Membuat kesimpulan tentang pola-pola pemaknaan dan
penggunaan al-Qur’an oleh masyarakat Banjar dalam tradisi
batamat al-Qur’an.
8. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan pada penelitian ini, mengacu pada pedoman


penulisan hasil keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No.
507 tahun 2019 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis
dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian untuk
pedoman transliterasi mengacu pada SKB 2 Menteri.

F. Sistematika Penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menggunakan sistematika


yang di dalamnya terdiri dari bab-bab yang satu sama lain saling
berhubungan, yaitu:

BAB I pendahuluan. Bab ini yang menjadi pengantar umum


penelitian ini. Berisi latar belakang, identifikasi masalah dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II menguraikan tentang pengertian maupun diskursus Living


Qur’an menurut para ahli dalam kajian tersebut. Selanjutnya diuraikan
pendekatan teori yang dipakai oleh peneliti dalam menyelesaikan topik
yang akan dikaji.

BAB III peneliti berusaha menggali lebih jauh perihal mulai dari
tinjauan umum Khataman Al-Qur’an di Indonesia. Kemudian pengertian
25

secara umum mengenai batamat al-Qur’an. Peneliti akan menjelaskan


tentang definisi batamat, sejarah serta deskripsi pelaksanaan batamat dalam
tradisi masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Selain itu juga mencari
fungsi serta tujuan pelaksanaan tradisi batamat al-Qur’an secara lebih
mendalam.

BAB IV merupakan inti dari pembahasan Living Qur’an yakni pola


pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an dalam tradisi batamat al-Qur’an di
masyarakat Banjar Kalimantan Selatan dan respons serta pemahaman
masyarakat setempat terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

BAB V penutup. Bagian ini merupakan kesimpulan dan saran.


Kesimpulan merupakan hasil dari keseluruhan data, kemudian ditarik
menjadi sebuah jawaban dari rumusan masalah yang diuraikan oleh peneliti
sebelumnya. Adapun saran berisi rekomendasi guna memberikan informasi
pada peneliti selanjutnya dan khususnya pada masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan.
BAB II
DISKURSUS UMUM KAJIAN LIVING QUR’AN DAN TRADISI
MASYARAKAT

A. Al-Qur’an dan Tradisi Masyarakat

Seluruh umat Islam di dunia meyakini bahwasanya al-Qur’an


merupakan kitab suci yang menjadi dasar dan pedoman dalam menjalani
kehidupan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari tersebut, umat Islam pada
umumnya melakukan praktik resepsi terhadap al-Qur’an. Ketika menerima
kitab suci, mereka melakukannya ke dalam berbagai bentuk seperti
membaca, memahami maupun mengamalkan hingga berbentuk resepsi
sosio-kultural. Hal tersebut disebabkan karena keyakinan mereka tentang
berinteraksi dengan al-Qur’an guna memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat.1

Mengikuti perkembangannya, perilaku masyarakat tersebut kemudian


membentuk sebuah tradisi yang dilaksanakan turun temurun. Dalam
pandangan Islam, tradisi merupakan segala hal yang datang atau
dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam. Dengan kata lain,
kehadiran Islam menjadi kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi
2
masyarakat. Namun secara umum, tradisi dapat diartikan sebagai
pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktik, dan sebagainya yang diwariskan
turun temurun baik dengan cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan
praktik tersebut.3

1
Dewi Murni, "Paradigma Umat Beragama tentang Living Quran (Menautkan
antara Teks dan Tradisi Masyarakat)." Syahadah 4.2 (2016).
2
Muchtar Rusdi, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009), 15-16.
3
Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), 11-12.

26
27

Di samping itu, tradisi dan kaitannya dengan kebudayaan manusia


merupakan jiwa dan juga tolak ukur dari kualitas manusia tersebut. Sebab,
manusia memiliki unsur budayanya dan dengan berbudaya juga sebagai
wujud dari manusia dalam proses kreatifitas dan produktifitas manusia
tersebut. Sedangkan al-Qur’an memiliki keistimewaan semenjak
diturunkan salah satunya berguna untuk memecahkan persoalan
kemanusiaan dari berbagai segi. Misal dari segi kehidupan, baik yang
berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, bahkan ekonomi dan
politik.4 Dengan demikian, al-Qur’an akan selalu aktual di setiap tempat
dan waktu.

Hubungan antara al-Qur’an dengan aspek-aspek dalam sendi


kehidupan manusia seperti budaya juga erat berkaitan sehingga kajian
terhadap Al-Qur’an juga banyak dilakukan, yang kemudian melahirkan
berbagai macam cabang ilmu al-Qur’an seperti rasm, tafsīr Al-Qur’ān,
asbāb al-nuzul, dan lain sebagainya.5 Bukan hanya itu, ilmu Bantu yang
dipandang perlu dalam perkembangan ilmu al-Qur’an turut berkembang
seiring berjalannya waktu. Seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi,
antropologi bahkan komunikasi.

Selain berinteraksi dari jalur kajian dan penelitian, seorang Muslim


yang ingin mendapatkan petunjuk dari al-Qur’an juga dituntut dalam hal
membaca, menghayati maupun mengamalkan isi kandungannya. Biasanya,
interaksi Muslim dengan al-Qur’an dimulai dengan belajar membaca al-
Qur’an. Terkadang saat proses belajar semacam ini membutuhkan waktu
bertahun –tahun. Kemudian dilanjutkan dengan rutinitas membaca al-
Qur’an, terkadang dilakukan sendiri-sendiri maupun berkelompok. Ada

4
Manna’ Al-Qaththān, Mabāḥīts fi ‘Ulūm al-Qur’ān, terj. H. Aunur Rafiq,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 15.
5
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 5.
28

juga yang mengkhususkan membaca al-Qur’an pada waktu tertentu dan


pada tempat-tempat tertentu pula.6

Dari situ lah kemudian muncul pemahaman terhadap kitab suci al-
Qur’an. Bahkan ada banyak cara pula dalam mengkomunikasikan
pemahaman masyarakat terhadap al-Qur’an. Baik dalam bentuk kegiatan
tertentu yang melibatkan al-Qur’an ataupun yang berada di luar fungsi al-
Qur’an. Misalkan berobat dengan menggunakan al-Qur’an, pembacaan al-
Qur’an dalam acara kematian dan lain sebagainya.7

Namun dalam hal ini, pembacaan al-Qur’an yang dimaksudkan dalam


tradisi masyarakat Muslim adalah untuk mendatangkan berkah dari Allah
Swt. Dengan pembacaan al-Qur’an yang berfokus pada surat-surat yang
mengandung keutamaan serta menyiratkan sebagai aktivitas manusia yang
kompleks dan tidak mesti bersifat teknis ataupun rekreasional. Akan tetapi,
melibatkan model perilaku yang masuk ke dalam suatu hubungan sosial.8

Lebih lanjut bagi umat Islam, al-Qur’an yang dianggap sebagai kitab
suci sekaligus juga merupakan kitab petunjuk. Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt. dalam Qs. al-Baqarah (2) ayat 2 berikut:

‫ني‬ ِ ِ َِۛ ِ َۛ ‫ك الْكِتَاب ََل ري‬ ِ


َ ‫َٰذَل‬
َ ‫ب فيه ُه ًدى للْ ُمتَّق‬ َ َْ ُ
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa,” (Qs. al-Baqarah/2: 2)

Oleh karena itu, dalam kaitannya fenomena interaksi pada model


pembacaan masyarakat Muslim terhadap al-Qur’an bersifat dinamis dan

6
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 15.
7
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 12.
8
Raochmah Nur Azizah, “Tradisi Pembacaan Surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah
(Kajian Living Qur’an di PPTQ ‘Aisyiyah, Ponorogo” (Skripsi S1., STAIN Ponorogo,
2016), 18.
29

juga variatif. Berbagai bentuk dan model praktik dari resepsi dan respons
masyarakat dalam berinteraksi dengan al-Qur’an kemudian melahirkan
suatu kajian yang para sarjana Muslim menyebutnya dengan istilah Living
Qur’an (al-Qur’an yang hidup) di tengah kehidupan masyarakat.9

Walaupun selama ini memang orientasi kajian al-Qur’an lebih banyak


mengarah kepada kajian teks dan produk-produk kitab tafsir yang juga
cenderung lebih banyak ketimbang yang lain. Demikian pula yang berkaitan
dengan pengamalan masyarakat terhadap teks dapat dibilang sedikit sekali
ditemukan. Makanya dengan hadirnya kajian pada aspek respons
masyarakat terhadap al-Qur’an dapat disebut sebagai pembaharu yang baik
di kalangan pengkaji kitab suci al-Qur’an itu sendiri. 10

B. Perkembangan Living Qur’an

Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an merupakan gabungan dari


dua kata yang berbeda, yaitu istilah living yang berarti hidup dan Qur’an
yaitu kitab suci umat islam. Secara istilah Living Qur’an yakni teks al-
Qur’an yang hidup di masyarakat. Living Qur’an kemunculannya berawal
dengan hadirnya fenomena yang disebut sebagai Qur’an in Everyday Life
yang dialami oleh masyarakat muslim baik yang mengandung pada makna
maupun fungsi al-Qur’an. Misalkan tentang membaca al-Qur’an di lokasi
tertentu maupun pada penulisan bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sebagainya.11

Living Qur’an dalam istilah ini dijelaskan oleh Muhammad Mansur


yang mengacu pada fenomena Qur’an in everyday life. Artinya al-Qur’an
dalam makna dan fungsinya dialami dan dipahami secara nyata oleh

9
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta, 2014), 103 .
10
Dewi Murni, “Paradigma Umat Beragama, 76.
11
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 3.
30

masyarakat Muslim. Oleh karena itu, Muhammad Mansur menghubungkan


dari perilaku masyarakat kepada al-Qur’an dalam tataran realitas
kehidupan. Sederhananya, Living Qur’an diartikan sebagai fenomena yang
hidup di tengah masyarakat Muslim terkait dengan al-Qur’an yang sebagai
objek studinya. 12

Di samping itu, Didi Junaedi berkesimpulan bahwa living Qur’an


adalah suatu kajian ilmiah yang berada dalam ranah studi al-Qur’an.
Bertugas untuk meneliti dialektika antara al-Qur’an dengan kondisi realitas
sosial di masyarakat. Dengan kata lain, living Qur’an juga berarti praktik-
praktik pelaksanaan ajaran al-Qur’an di masyarakat dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Praktik-praktik yang dijumpai seringkali berbeda
dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an itu sendiri.
13

Dengan demikian, living Qur’an merupakan studi tentang al-Qur’an,


namun tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya. Melainkan sebuah studi
perihal fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran al-Qur’an
dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin masa tertentu pula.

Living Qur’an juga sering dipahami dalam berbagai macam bentuk


pengertian yang bersumber dari perspektif berbeda-beda. Menurut Heddy
Shri Ahimsa-Putra ungkapan pemaknaan terhadap Living Qur’an terbagi
menjadi tiga kategori.14 Pertama, Nabi Muhammad Saw. dianggap sebagai
sosok yang dimaknai oleh kalangan umat Islam. Hal ini karena keyakinan
umat Islam kepada akhlak Nabi Muhammad Saw. adalah al-Qur’an.
Terdapat pula hadits dari Siti Aisyah r.a yang mengatakan bahwa akhlak

12
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 5.
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an,
13

173.
14
Heddy Shri Ahimsa-Putra, "The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi, 236.
31

Nabi Muhammad Saw. adalah al-Qur’an, di samping dalam kitab al-Qur’an


itu sendiri yang menyebutkan bahwa pada diri Nabi Muhammad Saw.
merupakan contoh yang baik. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw.
adalah “al-Qur’an yang hidup,” atau al-Qur’an yang mewujud dalam sosok
manusia.

Kedua, ungkapan Living Qur’an bisa mengacu kepada suatu


masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-Qur’an
sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti ajaran dari al-
Qur’an yakni mengikut apa-apa yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan
menjauhi hal-hal yang dilarang. Mereka tersebut seperti “al-Qur’an yang
hidup”, karena berwujud ke dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, ungkapannya juga dapat berarti bahwa al-Qur’an bukanlah


hanya sebuah kitab, melainkan sebuah “kitab yang hidup”. Dalam
pengertiannya bahwa “kitab yang hidup” tersebut masuk ke dalam
kehidupan sehari-hari dan begitu nyata terasa. Selain itu juga dapat
beraneka ragam, tergantung pada bidang kehidupannya.

Namun ditelisik secara historis, bahwa praktik memperlakukan al-


Qur’an ataupun surat-surat atau ayat-ayat tertentu sehingga menjadi
bermakna telah ada pada zaman Nabi Muhammad Saw.15 Menurut laporan
riwayat, Nabi pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surah
al-Fātihah ataupun ketika menolak sihir dengan membaca surah al-
Mu’awwidhatain yakni Q.S al-Falaq (113) dan Q.S al-Nās (114)16.

ِ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم َكا َن إِذَا أَوى إِ ََل فِر‬


َ ‫اش ِه ُك َّل لَيْ لَ ٍة ََجَ َع َك َّفْي ِه ُُثَّ نَ َف‬ َّ َ ‫َِّب‬ َّ ‫َع ْن َعائِ َشةَ أ‬
‫ث‬ َ َ َ َ َ ْ َ َُّ ‫صلى‬ َّ ِ‫َن الن‬
ِ ‫ب الن‬
‫َّاس ُُثَّ َيَْ َس ُح‬ ِ ‫ب الْ َفلَ ِق و قُل أَعُوذُ بِر‬ ِ ‫اَّلل أَح ٌد و قُل أَعُوذُ بِر‬ ِِ ِِ
َ ْ َ َ ْ َ َ َُّ ‫فيه َما فَ َقَرأَ فيه َما قُ ْل ُه َو‬
15
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 4.
16
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab al-Raqa bi al-Qur’an, CD Rom,
Maktabah al-Shamilah, al-Isdaral-Thani, t.t.
32

ِ ِِ ِِ
َ ‫اع ِم ْن َج َسده يَْب َدأُ ِبِِ َما َعلَى َرأْ ِس ِه َوَو ْج ِه ِه َوَما أَقْ بَ َل ِم ْن َج َسده يَ ْف َع ُل ذَل‬
‫ك‬ َ َ‫استَط‬
ِِ
ْ ‫ِب َما َما‬
‫ات‬ٍ ‫ث مَّر‬
َ َ ‫ثَََل‬
“Dari aisyah bahwa biasa nabi saw. bila hendak beranjak ke tempat tidurnya
pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu
meniupnya dan membacakan, "qulhuwallahu ahad.." dan, "qul `a'uudzu
birabbil falaq…" serta, "qul `a'uudzu birabbin naas.." Setelah itu, beliau
mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang
terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada
anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali.”

Dalam riwayat lain pun telah disebutkan pula bahwa sahabat Nabi
pernah mengobati seseorang yang tersengat hewan berbisa dengan
membaca surah al-Fātihah.17

ِ ِ ِ ْ َ‫ت َجا ِريَةٌ فَ َقال‬ ِ ٍ ِ‫عن أَِِب سع‬


ٌ ‫ت إ َّن َسي َد ا ْْلَ ِي َسل‬
‫يم‬ ْ َ‫ال ُكنَّا ِِف َمس ٍري لَنَا فَنَ َزلْنَا فَ َجاء‬ َ َ‫يد ا ْْلُ ْد ِر ِي ق‬ َ َْ
ِ ٍ ٍ ِ
َ ‫ب فَ َه ْل مْن ُك ْم َراق فَ َق َام َم َع َها َر ُج ٌل َما ُكنَّا ََنْبُنُهُ بُِرقْ يَة فَ َرقَاهُ فََََبأَ فَأ ََمَر لَهُ بِثَ ََلث‬
‫ني‬ ِ
ٌ ‫َوإ َّن نَ َفَرََن َغْي‬
‫ت إََِّل ِِبُِم‬ ُ ‫ال ََل َما َرقَ ْي‬ َ َ‫ت تَ ْرقِي ق‬ ِ
َ ‫ت ُُْتس ُن ُرقْ يَةً أ َْو ُكْن‬ َ ‫اَن لَبَ نًا فَلَ َّما َر َج َع قُلْنَا لَهُ أَ ُكْن‬
َ ‫َشاةً َو َس َق‬
َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ َّما قَ ِد ْمنَا الْ َم ِدينَة‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َِّب‬
ِ
َّ ِ‫اب قُلْنَا ََل ُُْتدثُوا َشيْ ئًا َح ََّّت ََنِِْتَ أ َْو نَ ْسأ ََل الن‬ ِ َ‫الْكِت‬
ْ ‫ال َوَما َكا َن يُ ْد ِر ِيه أَ ََّّنَا ُرقْ يَةٌ اقْ ِس ُموا َو‬
‫اض ِربُوا ِِل بِ َس ْه ٍم‬ َ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ذَ َك ْرََنهُ لِلن‬
َ ‫َِّب‬
“Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Dalam perjalanan yang kami lakukan,
kami singgah di suatu tempat, lalu datanglah seorang wanita dan berkata,
"Sesungguhnya ada seorang kepala kampung sakit, sementara orang-orang
kami sedang tiada. Apakah salah seorang dari kalian ada yang bisa
meruqyah?" Maka berdirilah seorang laki-laki yang kami sendiri tidak tahu
bahwa ia bisa meruqyah. Ia beranjak bersama wanita itu, lalu meruqyah,
dan ternyata yang diruqyah sembuh. Kemudian sang kepala kampung
memerintahkan agar laki-laki itu diberi tiga puluh ekor kambing, dan kami
pun diberinya minuman susu. Setelah pulang, kami bertanya padanya,
"Apakah kamu memang seorang yang pandai meruqyah?" Ia menjawab,
"Tidak, dan tidaklah aku meruqyahnya, kecuali dengan Ummul Kitab."
Kami katakan, "Janganlah kalian berbuat apa-apa, hingga kita sampai
kepada Nabi saw. dan bertanya pada beliau." Ketika kami sampai di

17
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab al-Raqa bi Fatihat al-Kitab, CD Rom,
Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani, t.t.
33

Madinah, kami pun menuturkan hal itu pada Nabi saw. dan beliau bersabda,
"Lalu siapa yang memberitahukannya, bahwa itu adalah ruqyah.
Bagikanlah kambing itu, dan aku juga diberi bagian."

Jika dicermati bahwa praktik interaksi manusia terhadap al-Qur’an


pada masa awal Islam dapat dipahami pada pemahaman yang berkembang
di masyarakat tentang keutamaan dan khasiat. Bahkan keutamaan surat-
surat dan ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur’an dipahami sebagai obat yang
dapat menyembuhkan.18

Perlu dicatat terkait lahirnya cabang-cabang ilmu al-Qur’an tersebut


berakar pula kepada problem-problem tekstualitas. Sementara dalam
praktik tertentu yang berwujud pada kepentingan praktis kehidupan umat
Islam di luar tekstualitas tampaknya tidak menarik perhatian bagi para
peminat studi al-Qur’an klasik.19

Tampaknya pula, kegiatan studi al-Qur’an yang berlatar belakang


pada paradigma ilmiah murni malahan diawali oleh pemerhati studi Qur’an
non-Muslim. Mereka menemukan banyak hal menarik di sekitar al-Qur’an
yang hidup di tengah masyarakat Muslim dengan perspektif fenomena
sosial.

Sehingga yang dimaksud kajian living Qur’an artinya memahami dan


menjelaskan mengapa dan bagaimana al-Qur’an dipahami sebagaimana
adanya, bukan sebagaimana seharusnya menurut kaidah-kaidah tafsir. Ia
tidak mengkaji sejauh mana pemahaman dan penerapan al-Qur’an itu

18
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an
(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab.
Cirebon)," Journal Of Qur'an And Hadith Studies 4.2 (2015), 177.
19
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 5.
34

memenuhi sebagian atau tidak kaidah-kaidah penafsiran yang dianggap


otoritatif itu. 20

Dalam kaitannya penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa living


Qur’an adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa
sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di
sebuah komunitas tertentu. Oleh karena itu, model studi yang menjadikan
al-Qur’an sebagai fenomena yang hidup di tengah masyarakat pada intinya
tidak lebih dari studi sosial dengan keragamannya. Hingga kemudian
diinisiasi masuk ke dalam wilayah studi al-Qur’an dan belakangan dikenal
dengan istilah studi Living Qur’an.21

C. Pendekatan dalam Penelitian Living Qur’an

Living Qur’an adalah studi tentang al-Qur’an yang tidak hanya


bertumpu pada eksistensi tekstualnya tetapi juga studi tentang fenomena
sosial yang lahir terkait dengan kehadiran al-Qur’an dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya studi al-Qur’an, maka metode
penelitian Living Qur’an maupun pendekatan yang digunakan terbilang
relatif lantaran konseptual metode tersebut masih mencari bentuk yang
dapat dijadikan acuan.22

Untuk memudahkan dalam menjelaskan pola pemaknaan dari


pembacaan al-Qur’an di dalam tradisi batamat ini, maka diperlukan
kerangka yang dibangun berdasarkan fungsi al-Qur’an berdasarkan nama-
namanya. Berdasarkan penelitian terdahulu, nama-nama al-Qur’an yang
disimpulkan oleh para pengkaji al-Qur’an pada hakikatnya terdapat tiga

Muhammad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’an dan Living Hadith,”
20

Journal of Qur’an and Hadith Studies,Vol. 4, No. 2, (2015), 154.


21
M. Mansur dkk, Metodologi Penelitian Living, 7.
22
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an,
181.
35

kelompok. Ada nama yang menunjukkan dzat atau hakikat al-Qur’an, ada
yang menerangkan sifat al-Qur’an, dan ada nama yang menggambarkan
fungsi yang melekat pada al-Qur’an.23

Manna’ Al-Qaththān dalam Mabāḥīts fi ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan


nama-nama al-Qur’an yang menunjukkan fungsi atau peran yang melekat pada al-
Qur’an seperti al-Hudā (petunjuk) karena petunjuk bagi manusia untuk bisa
meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Nama ini terdapat Qs. Al-Baqarah (2) ayat
2, 97, 185 dan lainnya. Lalu disebut al- Furqān (pembeda) karena ia membedakan
antara yang benar dan yang batil, baik dan buruk serta halal dan haram. Nama ini
terdapat pada Qs. al-Furqān (25) ayat 1. Al-Syifā (obat yang menyembuhkan)
karena bisa menjadi obat yang menyembuhkan berbagai penyakit utamanya
penyakit hati, terdapat dalam Qs. Yunus (10) ayat 57. Adz-Dzikr (peringatan)
karena ia mengingatkan manusia akan ajaran Allah sekaligus menjadi media bagi
manusia untuk selalu mengingat Allah. Dapat ditemukan dalam Qs. al-Hijr (15)
ayat 9. Selanjutnya ada an-Nur (cahaya), al-Bayan (keterangan), al-Mau’idhah
(nasihat/pelajaran), al-Tadzkirah (pesan/nasihat), al-Mubarak (yang diberkati), al-
Busyra (berita gembira) dan al-Burhan (bukti yang nyata) 24

Selain itu guna melengkapi penelitian yang berbasis lapangan (field


research), maka dalam penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif-
deskriptif dengan pendekatan fenomenologi dan antropologi dapat
digunakan dalam penelitian Living Qur’an ini. Walaupun pendekatan
ilmiah lainnya juga dapat diterapkan dalam penelitian ini, semisal psikologi,
sosiologi dan beberapa pendekatan ilmiah lainnya.25

23
Agus Salim Syukran. "Fungsi Al-Qur'an bagi Manusia." Al-I’jaz: Jurnal Studi Al-
Qur’an, Falsafah dan Keislaman 1.2 (2019): 90-108.
24
Manna’ Al-Qaththān Mabāḥīts fi ‘Ulūm al-Qur’ān, 19-20.
25
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an,
182.
36

1. Antropologi Etnografi

Dalam buku berjudul Metode Etnografi karya James P. Spradley


menjelaskan bahwa etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan. Tujuan utama dari aktivitas ini yakni untuk memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Hal senada
juga dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi
merupakan cara memahami sudut pandangan dari penduduk setempat,
dan juga hubungannya dengan kehidupan guna memperoleh
pandangannya terhadap dunia. Oleh karena itu, inti dari etnografi
adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna dari tindakan yang
dilakukan oleh orang-orang yang ingin peneliti pahami. 26

Secara umum dengan pendekatan etnografi ini, penulis gunakan


dalam penelitian untuk mengungkapkan dan menemukan bagaimana
pandangan masyarakat Banjar dan mendeskripsikan proses
pelaksanaan tradisi batamat al-Qur’an oleh masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan.

2. Fenomenologi

Pendekatan fenomenologi bisa dikatakan sebagai langkah yang


lebih sistematis, komprehensif dan praktis dalam mengungkap berbagai
gejala dalam dunia. Dalam penilaian dan interpretasi terhadap objek
yang diamati, seringkali terjadi reduksi-reduksi. Dari sini lah penulis
mengajukan metode yang dipakai oleh Edmund Husserl yang
menawarkan reduksi sebagai langkah metodis yang dibaginya menjadi
tiga macam, sebagai berikut:27

26
Ahmad Zainuddin dan Faiqotul Hikmah, “Tradisi Yasinan (Kajian Living Qur’an
di Ponpes Ngalah Pasuruan),” Jurnal Mafhum Vol. 4 No. 1 Mei 2019, 16.
27
Hardiansyah A, "Teori Pengetahuan Edmund Husserl," Substantia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin 15.2 (2013), 236 .
37

Reduksi Fenomenologis, istilah lain yakni epoche (penundaan


semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Dari
langkah ini, menghadirkan fakta dari penelitian itu sendiri, seperti
pengalaman, peristiwa keadaan, individu dan lain sebagainya.

Dari penelitian yang dilakukan kepada masyarakat Banjar,


Kalimantan Selatan, maka yang dimaksud fakta adalah kegiatan
batamat al-Qur’an yang telah dilaksanakan secara turun temurun dan
menjadi kegiatan rutin pada peristiwa-peristiwa tertentu.

Reduksi Eidetik, ini sebagai reduksi yang ingin menemukan


intisari atau esensi dari objek yang dikaji, seperti substansi, kualitas,
relasi, kemungkinan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, usaha yang
paling pokok adalah menangkap esensi dari fenomena-fenomena objek
yang diteliti tersebut.

Esensi dari batamat al-Qur’an yang dilakukan oleh Masyarakat


Banjar Kalimantan Selatan ini lalu melahirkan pemahaman dalam sifat-
sifat tertentu dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam tradisi
tersebut.

Reduksi Transendental ini sebagai reduksi yang ketiga dan ia tidak


lagi mengenai objek, bukan pula mengenai hal-hal sejauh
menampakkan diri kepada kesadaran, tetapi reduksi transendental
khusus merupakan: wende zum subject (pengetahuan ke subjek) dan
mengenai terjadinya penampakan sendiri, dan mengenai akar-akar
kesadaran. Artinya transendental ini disebut juga sebagai makna itu
sendiri karena keterhubungan antara subjek dan objek.

Supaya mendapatkan kepastian makna tersebut menurut Husserl,


harus dicarinya dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan
sadar. Dalam pengalaman tersebut bisa dengan mengalami diri sendiri.
38

Langkahnya seperti pada pengalaman empiris untuk sementara waktu


diletakkan pada tanda kurung, kemudian melakukan penyaringan,
setelah itu tampaklah yang tertinggal adalah ”kesadaran murni” atau
transendental, tidak empiris lagi.

Di penelitian ini, penulis mencoba mengungkap pola pemaknaan


masyarakat mengenai tradisi batamat al-Qur’an yang menjadikan al-
Qur’an masuk ke dalam kehidupan sehari-hari.

D. Khataman Al-Qur’an di Tengah Kaum Muslim Modern

Pada masa modern, interaksi Muslim jauh berbeda dengan pada masa
Nabi Muhammad Saw. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, ada
perspektif bahwa seseorang tidak dianggap sempurna keislamannya, kalau
mereka tidak bisa membaca al-Qur’an, sehingga banyak daerah yang
menekankan belajar ilmu agama, khususnya al-Qur’an dibandingkan
dengan pendidikan umum.28

Interaksi masyarakat Muslim dengan al-Qur’an menghasilkan gejala


sosial yang bersifat keagamaan. Gejala tersebut timbul berdasarkan
tindakan-tindakan masyarakat dari al-Qur’an. Lebih lanjut masyarakat
Muslim Indonesia sangat perhatian dan menghormati al-Qur’an dari
berbagai kalangan usia. Gejala sosial-keagamaan dapat menjadi
karakteristik dari masyarakat Muslim Indonesia.

Hal ini terlihat dari fenomena yang mencerminkan “al-Qur’an yang


hidup” seperti sebagai berikut.

1. Al-Qur’an dibaca rutin dan diajarkan di tempat-tempat ibadah


ataupun tempat pendidikan seperti masjid atau taman baca al-
Qur’an.

28
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), 56-57.
39

2. Al-Qur’an senantiasa dibaca dalam acara kematian seseorang.


3. Al-Qur’an dibaca pada acara-acara tertentu semisal tradisi setempat
di masyarakat.
4. Potongan ayat-ayat tertentu dijadikan jimat untuk melindungi dari
bala musibah.
5. Sebagian umat Islam menjadikan al-Qur’an sebagai media
pengobatan.
6. Potongan ayat-ayat al-Qur’an juga dijadikan sebagai hiasan dinding
dan kaligrafi.

Berdasarkan kegiatan diatas menunjukan bahwa umat Islam


menjadikan “al-Qur’an yang hidup” di kehidupan sehari-hari mereka. Mulai
dari peringatan hari besar hingga sebagai hiasan. Dengan begitu umat Islam
percaya akan kehadiran al-Qur’an yang membawa kebaikan. 29

Di sisi lain, Farid Esack dalam bukunya The Qur’an A Short


Introdution telah menyinggung terkait praktik hubungan manusia dan al-
Qur’an dengan memetakan pola interaksinya melalui analogi pencinta dan
kekasihnya. Pemetaan ini sendiri tidak berdalih untuk menilai pola interaksi
suatu kelompok tertentu itu lebih baik dari kelompok lain. Melainkan
hanyakah pada sebagai deskripsi umum saja. Ada tiga tingkatan yang
dikategorikan oleh Farid Esack yang dikutip oleh Didi Junaedi dalam Jurnal
yang berjudul "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-
Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa
Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)," yakni pencinta tak kritis (the

29
Helmi Faridhatul, “Riwayat Surah Al-Fath dan Al-Taubah Dalam Rangkaian
Pembacaan Maulid Nabi (Studi Kasus Tradisi Maulid di Pulau Kelapa)” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 20.
40

uncritical lover), pencinta ilmiah (the scholarly love), dan pencinta kritis
(the critical lover). Berikut penjelasannya: 30

1. Pencinta tak kritis (the uncritical lover)

Dalam keterkaitan konteks pembaca al-Qur’an, mereka yang


tergolong pencinta tak kritis yakni selalu menyanjung, memuji dan
memuja al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an segala-galanya. Tidak ada
yang lebih cantik dan lebih mempesona ketimbang al-Qur’an. Dalam
kata lain, al-Qur’an merupakan sosok suci yang tak boleh dipertanyakan
apalagi dikritisi. Tak hanya itu, ia juga memposisikan al-Qur’an sebagai
suatu tempat yang sangat tinggi. Namun sering kali ia tidak dapat
menjangkau makna yang terkandung di dalam al-Qur’an.

Walaupun mereka juga menggunakan al-Qur’an ke dalam aspek


kehidupan mereka semisal penggunaan ayat tertentu untuk pengobatan,
penyemangat hidup, penghindar dari bahaya dan lain sebagainya.

2. Pencinta ilmiah (the scholarly lover)

Mereka yang termasuk dalam kategori ini yakni meskipun mencintai


sang kekasih namun mereka masih mempunyai sifat rasional. Dalam arti
bahwa mereka memiliki kecerdasan dan berusaha menggunakannya
agar tidak ‘cinta buta’. Keterkaitan dengan al-Qur’an, mereka terpesona
dengan keindahan al-Qur’an namun mereka juga tidak lupa untuk
mengkaji secara ilmiah dan lebih mendalam tentang keindahan dan
kemukjizatan al-Qur’an.

Sehingga dengan kecerdasan itu pula lah, pertanyaan-pertanyaan


yang muncul ketika mengkaji al-Qur’an secara ilmiah meliputi aspek

30
Didi Junaedi, "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an,
169-190.
41

bahasa, susunan redaksi kalimatnya, sejarahnya hingga isyarat ilmiah


yang terkandung di dalamnya. Yang kemudian berdasarkan kategori ini
pula muncul karya-karya ilmiah seperti buku-buku maupun karya tafsir
al-Qur’an. Tokoh-toko seperti Jalāl al-Dīn Al-Suyūţī, Badr al-Dīn Al-
Zarkashī, Al-Dhahabī, Ḥusin Ṭabāṭabā’i dan lain sebagainya termasuk
ke dalam kategori ini.

3. Pecinta kritis (the critical over)

Kategori yang ketiga ini adalah mereka yang meski terpesona


dengan kekasihnya, sangat mencintai, tetapi tetap kritis untuk
mempertanyakan hal-hal yang dianggap janggal dalam diri kekasihnya.
Dalam arti bahwa sang pencinta yang kritis akan memosisikan al-
Qur’an tidak sekedar sebagai kekasih yang sempurna tanpa cela, tetapi
menjadikannya objek kajian yang sangat menarik. Demi mengetahui
banyak hal yang ada dalam al-Qur’an, sang pencinta mau menggunakan
perangkat ilmiah modern seperti hermeneutic, antropologi, sosiologi
dan lain-lain sebagai pisau analisisnya. Maka dengan metode seperti
itulah kemudian para pencinta bisa mengkaji lebih dalam makna yang
tersirat dalam al-Qur’an.
BAB III
ULASAN TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN
A. Tinjauan Umum Tradisi Khataman Al-Qur’an di Indonesia

Tradisi merupakan segala sesuatu yang terdiri dari adat, kepercayaan


maupun kebiasaan yang secara turun temurun dilakukan dari para
pendahulu hingga ke generasi-generasi berikutnya. Tradisi yang menjadi
rutinitas masyarakat berevolusi menjadi sebuah budaya dan keduanya
merupakan saling terikat dan mempengaruhi. Dengan kata lain, budaya
adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar
kesepakatan bersama. 1

Sedangkan al-Qur’an dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab


petunjuk yang hendaknya dipahami. Di antara mereka, ada yang berpegang
pada pemahaman tekstual semata sebagaimana dipahami pada awal-awal
terbentuknya teks kitab suci tersebut. Sedangkan sebagian yang lain
berusaha menyesuaikan pemahaman mereka dengan konteks perubahan
zaman dan sebagian lagi membentuk cara pemahaman tersendiri yang
mungkin tidak populer pada masa lalu.2

Al-Qur’an di Indonesia awalnya berperan sebagai sarana bacaan di


mushola atau langgar desa ataupun masjid. Seiringnya waktu, masyarakat
Indonesia sudah tidak hanya membaca al-Qur’an, melainkan juga mencoba
untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga hal
tersebut berkembang dan kemudian menghasilkan karya-karya tafsir
Indonesia yang dikenal saat ini. Namun, dari itu semua terdapat fenomena
yang dikenal hingga saat ini dan juga masih berkaitan dengan al-Qur’an

1
Endah Supriyani, “Tradisi Khatam Al-Qur’an Pada Pernikahan Suku Bugis di
Palembang (Studi Kasus di 3 Iir Palembang)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang 2018), 51.
2
Munzir Hitami, Pengantar Studi Al-Qur'an: Teori Dan Pendekatan (Lkis Pelangi
Aksara, 2012), 1.

42
43

yakni khataman (sempurna) al-Qur’an di sebuah majelis. 3 Walaupun istilah


khatmul Qur’an sebagai praktik yang terjadi di Indonesia, namun secara
historis praktik tersebut tidak dikenal di era Nabi Muhammad Saw., dan al-
Qur’an masih dalam proses pewahyuan yang bertahap.

Fenomena pembacaan al-Qur’an atau lebih tepatnya khataman al-


Qur’an merupakan bentuk tradisi yang berasal dari pesantren tahfidz
kemudian berkembang di masyarakat luas. Walaupun khataman ini
biasanya dilakukan secara hafalan (bi al-ghayb) 30 juz, meski juga
diketahui banyak model khataman lain, seperti dengan membaca mushaf (bi
al-nazar) yakni dengan membagikan tiap juz kepada semua orang yang
mengikuti khataman.4

Adapun di setiap tempat dan daerah tertentu juga mempunyai adat


serta tradisi sendiri yang berbeda dalam fenomena pembacaan al-Qur’an.
Fenomena semacam ini sangatlah beragam modelnya. Misalnya saja yang
terdapat di daerah Tanete yakni oleh komunitas masyarakat Bugis. Dalam
pelaksanaan kegiatan membaca dan mengkhatamkan al-Qur’an dikenal
dengan tradisi Mappanre Temme’. Tradisi khataman al-Qur’an yang terjadi
di masyarakat Bugis tersebut merupakan dampak dari proses Islamisasi atau
pengembangan Islam yang terjadi di daerah tersebut. 5

Sedangkan di daerah lain seperti dalam acara Paret Kandung yang


dilaksanakan oleh masyarakat Madura di desa Poteran Kecamatan Talango,
Kabupaten Sumenep Madura. Mereka dalam melaksanakan upacara Paret
Kandung sebagai media doa untuk memohon keberkahan maupun

3
Ahmad Nailul Fauzi, "Komodifikasi Agama Terhadap Pembacaan (Khataman)
Alquran Air Kemasan Kh-Q Pt. Buya Barokah," Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran
Dan Al-Hadis 7.02 (2019): 289.
4
Ahmad Nailul Fauzi, "Komodifikasi Agama, 291.
5
Chaerul Mundzir, “Nilai-Nilai Sosial dalam Tradisi Mappanre Temme’ di
Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru,” Jurnal Rihlah vol. I no.2 (2014): 70.
44

keselamatan dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an. Dengan begitu apa yang


dilakukan oleh masyarakat Madura merupakan bentuk upaya masyarakat,
yang sebagai media perantaranya antara hamba dengan Tuhan-Nya agar
lebih dekat dan selalu ingat kepada sang pencipta.6

Dalam proses pelaksanaannya, khataman al-Qur’an merupakan


praktik membaca al-Qur’an secara bersama-sama. Namun ada juga
penjelasan mengenai praktik khataman al-Qur’an yang dilakukan secara
individu. Terkait praktik membaca al-Qur’an, yakni berkaitan dengan
tradisi khataman adalah kegiatan membaca yang dimulai dari surah al-
Fātihah hingga surah al-Nās. Namun bisa juga dilakukan secara berurutan
dari Juz 1 hingga Juz 30, atau dilakukan secara acak tergantung dengan
jumlah peserta yang mengikuti tradisi khataman al-Qur’an.7

Ada ragam praktek dari pelaksanaan khataman al-Qur’an yang terjadi


di Indonesia:

1. Khataman al-Qur’an online8

Membaca kitab suci al-Qur’an merupakan suatu aktivitas yang


dilakukan oleh umat Islam. Di kalangan umat Islam pula terdapat
tradisi khataman al-Qur’an, yang mana dalam proses membacanya
dari Juz 1 sampai dengan Juz 30 baik dibaca secara sendiri maupun
bersama-sama. Namun jika dilakukan bersama-sama justru setiap
orang akan mendapatkan bagian dari berapa Juz yang harus ia baca.

6
Ahmad Nailul Fauzi,. "Komodifikasi Agama, 289.
7
Fazat Laila, “Praktik Khataman al-Qur’an Berjamaah di Desa Suwaduk
Wedarijaksa Pati (Kajian Living Hadis)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang 2017), 28.
8
Agus Subhan Akbar dan Danang Mahendra, “Khataman Qur’an Berjamaah Secara
Online Berbasis Instant Messaging Server,” Nusantara Journali of Computers and Its
Applications vol. 2 no.2 (Desember 2017): 62.
45

Seiring dengan kesibukan setiap individu, khataman al-Qur’an secara


berjamaah ini pun harus disesuaikan baik tempat maupun waktu.

Namun dengan perkembangan teknologi, kemudian muncul


khataman al-Qur’an yang dilakukan secara online yang berfungsi agar
setiap masing-masing individu yang tidak bisa berkumpul dalam satu
tempat masih bisa melaksanakan tradisi khataman al-Qur’an.
Terdapat salah satu komunitas online yang anggotanya berkomitmen
membaca al-Qur’an satu Juz dalam satu hari yang dikenal dengan
komunitas One Day One Juz (ODOJ).

Proses pelaksanaan khataman al-Qur’an secara online dengan


memanfaatkan media sosial yang tumbuh pesat saat ini. Pemanfaatan
media sosial ini bisa dibilang sebagai aktivitas penunjang dalam
kegiatan khataman al-Qur’an. Media sosial yang umum digunakan
seperti aplikasi WhatsApp, Telegram dan BBM.

Ada pula komunitas khataman.org yang kali ini berbeda dengan


komunitas ODOJ. Dalam komunitas tersebut lebih menitikberatkan
pada khataman al-Qur’an secara berjamaah disamping juga tetap
mendata terkait bacaan per individu untuk mengkhatamkan al-Qur’an
secara pribadi.

2. Khataman al-Qur’an dalam berbagai tradisi

Tradisi-tradisi yang berkembang pada masyarakat merupakan


wujud dari kebudayaan. Ruth Benedict dalam bukunya berjudul
Pattern of Culture mengungkapkan bahwa tradisi merupakan salah
satu konstruksi kebudayaan suatu masyarakat dan di dalam
kebudayaan itu terdapat nilai-nilai dominan yang berkembang dan
46

mempengaruhi aturan tindakan serta tingkah laku masyarakat


sehingga membentuk pola kultural masyarakat.9

Sehubungan dengan tradisi khataman al-Qur’an di Indonesia,


ditemukan berbagai tradisi dalam proses pelaksanaan khataman al-
Qur’an. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tradisi khataman al-
Qur’an menurut Ahmad Nailul Fauzi merupakan bentuk tradisi dari
pondok pesantren tahfidz yang kemudian berkembang di masyarakat
luas. 10

Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren-pesantren al-Qur’an


secara faktual telah memberikan kontribusi penting dalam
pengembangan dan peningkatan interaksi masyarakat terhadap al-
Qur’an. Peranannya dalam menghasilkan ratusan bahkan ribuan
penghafal al-Qur’an sejak berdirinya dipandang sebagai bukti
eksistensi pondok pesantren dalam upaya pembumian al-Qur’an. 11
Oleh karena itu tradisi khataman al-Qur’an yang terjadi di Indonesia
tidak bisa lepas dari pengaruh pondok pesantren dalam pelaksanaan
membaca al-Qur’an.

Masyarakat pada umumnya melaksanakan tradisi khataman al-


Qur’an akan selalu berhubungan dengan akulturasi budaya lokal yang
terjadi di sana. Proses Islamisasi yang telah terjadi sejak dulu, dimulai
dengan kerajaan-kerajaan yang berkuasa sebelum Indonesia merdeka
bahkan lebih jauh ketimbang hal tersebut. Hal ini dibuktikan seperti

9
Wirdanegsih, “Makna dan Tradisi-Tradisi dalam Rangkaian Tradisi Khatam Quran
Anak-Anak di Nagari Balai Gurah Sumatera Barat,” Gender Equality: International
Journal of Child and Gender Studies, vol.5, no.1 (Maret 2019): 14.
10
Ahmad Nailul Fauzi, "Komodifikasi Agama, 289.
11
Anisah Indriati, “Ragam Tradisi Penjagaan Al-Qur’an di Pesantren (Studi Living
Qur’an di Pesantren al-Munawaar Krapyak, An-Nur Ngrukem dan Al-Asy’ariyyah
Kalibeber),” Al-Itqan, vol.8, no. 1 (Januari-Juli 2017): 3.
47

proses khatam al-Qur’an yang terjadi di Sulawesi Selatan. Masyarakat


setempat menyebut tradisi tersebut dengan Mappanre Temme’. 12

Bisa dikatakan bahwa Tradisi Mappanre Temme’ tidak bisa lepas


dari proses Islamisasi yang terjadi di Kerajaan Gowa pada abad XVII
M. Dalam prosesnya adanya tradisi tersebut dalam masyarakat
Muslim sebagai bentuk dan perannya dalam dunia pendidikan al-
Qur’an dari anak-anak hingga dewasa. Artinya bahwa tradisi tersebut
sebagai rangkaian puncak dari salah satu cara hidup orang Muslim
khususnya daerah Bugis karena memiliki arti yang sangat mendalam
bukannya hanya sekedar orang yang telah tamat mengaji.13

Berbeda dengan masyarakat Bugis, di daerah Jawa terutama suku


Betawi yang mana ketika melaksanakan khataman al-Qur’an sembari
melaksanakan rangkaian pernikahan. Dalam praktiknya calon
pengantin perempuan akan membaca Juz ‘amma yang akan dipandu
oleh guru ngajinya serta disaksikan oleh kerabat terdekat. Tujuan
kegiatan khataman al-Qur’an di Betawi sebagai pertanda bahwa yang
melaksanakan kegiatan tersebut dianggap telah menjadi orang yang
mengerti dengan ajaran agama Islam.14

Tradisi khataman al-Qur’an pada umumnya telah membudaya


hampir di semua sub etnik Indonesia yang beragama Islam dari
Sabang hingga Merauke. Hal yang sama juga terdapat dalam tradisi
khataman al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan. Masyarakat Banjar menyebut tradisi tersebut
dengan istilah batamat al-Qur’an. Mereka yang melaksanakan

12
Chaerul Mundzir, “Nilai-Nilai Sosial, 73.
13
Chaerul Mundzir, “Nilai-Nilai Sosial, 73.
14
Nurfarihah, “Perubahan Pelaksanaan Khataman Al-Qur’an Dalam Adat
Perkawinan Betawi (Studi Kasu di RW 02 Kelurahan Ceger Jakarta Timur)” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 24.
48

kegiatan tersebut adalah anak-anak yang baru pertama kali membaca


al-Qur’an secara menyeluruh, ataupun ketika rangkaian proses
pernikahan. Tradisi khataman al-Qur’an ini lah yang nanti menjadi
fokus dalam penelitian ini khususnya yang terjadi di masyarakat
Banjar Kalimantan Selatan.

Lebih lanjut tradisi tersebut merupakan bagian dari cara


masyarakat tradisional dalam memandang kitab sucinya. Ibaratnya
budaya tradisional banyak mengandung unsur magis, maka sama
halnya dengan demikian. Dalam tradisi khataman al-Qur’an bagi
masyarakat Islam tradisional juga tidak dapat dipisahkan dari cara
pandangan mereka terhadap kitab suci tersebut seperti yang
mengandung unsur supranatural atau dengan kata lain unsur magis.
Dan dalam konsep keagamaan, fenomena tersebut dikenal dengan
istilah mukjizat.15

3. Khataman al-Qur’an sebagai amalan rutin

Para sahabat dan juga para ulama salaf dahulu dengan keimanan
dan keikhlasan hati berlomba-lomba dalam hal membaca al-Qur’an
sampai khatam (tamat). Imam Syafi’i diceritakan beliau
membiasakan khatam al-Qur’an sepanjang bulan Ramadhan yakni
dua kali sehari. Bahkan para sahabat rata-rata khatam al-Qur’an
sekali dalam seminggu. Namun ada juga yang lain yang terbiasa
mengkhatamkan al-Qur’an yakni sepuluh hari, sebulan, 40 hari. Hal
ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan seseorang. 16

15
Nurfarihah, “Perubahan Pelaksanaan Khataman, 24.
16
Ahmad Syarifuddin, Mendidik Anak: Membaca, Menulis dan Mencintai Al-
Qur’an ( Gema Insani, 2004), 95.
49

Perkara membaca al-Qur’an karena banyak mengandung


keutamaan dalam membaca al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman
Tuhan dalam Qs. Faṭir (35) ayat 29-30:

ّٗ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َ َّ ْ ُ َ َ َ َ َٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َّ َ َٰ َ َ ُ ۡ َ َ َّ َّ
‫سار‬ ِ ‫إِن ٱَّلِين يتلون كِتب ٱَّللِ وأقاموا ٱلصلوة وأنفقوا مِما رزقنهم‬
ُ‫يد ُهم رمِن فَ ۡضلِهِۦ إنَّهۥ‬ َ ‫ور ِِلُ َو رف َِي ُه ۡم أُ ُج‬
َ ‫ور ُه ۡم َويَز‬ َ ‫ون ت َِجَٰ َر ّٗة لَّن َت ُب‬
َ ُ ۡ َ ّٗ َ َ َ َ
‫وعَلنِية يرج‬
ِ ٓۚ ِ
ٞ‫كور‬ُ َ ٞ َُ
‫غفور ش‬
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar
Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Qs. Faṭir /35: 29-30)

An-Nawawi berpendapat bahwa cara membaca al-Qur’an ialah


membacanya sesuai dengan urutan mushaf yang ada saat ini.
Dimulai dari surah al-Fātihah, kemudian al-Baqarah dan seterusnya
hingga surah terakhir yakni an-Naas. 17

B. Sejarah Batamat Al-Qur’an


1. Asal Mula Banjar
Suku Banjar merupakan penduduk asli sebagian wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu
merupakan masyarakat Kesultanan Banjar sebelum dihapuskan pada
tahun 1860 M. Berdirinya Kesultanan Banjar tak terpisahkan dengan
masuknya Islam ke Kalimantan Selatan. Diperkirakan telah ada
masyarakat Muslim di wilayah tersebut sejak awal abad ke-15. Namun
lebih tepatnya proses Islamisasi baru masuk momentumnya setelah

17
Ahmad Syarifuddin, Mendidik Anak, 25.
50

pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin membantu Pangeran


Samudra dalam perjuangannya terhadap elit istana Kerajaan Daha.18

Pendiri Kesultanan Banjar dikenal dengan nama Raden Samudera.


Setelah kemenangannya melawan elit istana Kerajaan Daha yang
dibantu oleh Kerajaan Demak, Pangeran Samudera kemudian memeluk
agama Islam sekitar tahun 1526 M/ 936 H. Ia pun diberi gelar Sultan
Suriansyah atau Suriah Allah oleh seorang dari Arab. Sebelum
kekuasaan jatuh kepada Pangeran Samudera dan kemudian bernama
Kesultanan Banjar dulunya merupakan wilayah Kerajaan Daha
(Negaradipa). 19

Kerajaan Daha merupakan kerajaan Hindu. Alfani Daud dalam


bukunya berjudul Islam dan Masyarakat Banjar mengungkapkan perihal
beberapa teori tentang asal-usul Banjar. 20 Pertama, orang Banjar
awalnya merupakan orang Melayu yang sebagian besar tinggal di Pulau
Sumatera. Hal ini berdasarkan bahwa Banjar adalah kelompok sub-
Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan lebih dari 1000 Tahun yang lalu.
Transformasi Melayu-Banjar melawati beberapa tahap seperti
pembuatan suku Banjar melalui migrasi dengan kasus bahwa Banjar dan
Dayak (orang bukit) di Kalimantan memiliki asal yang sama yakni
Melayu. Kemudian suku Banjar dicirikan secara geografis tinggal di
dataran rendah dan orang Dayak di Pegunungan Meratus di Kalimantan.
Terakhir setiap orang Dayak yang masuk Islam tidak lagi Dayak
melainkan orang Banjar.

18
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 1.
19
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 30.
20
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), 25-26.
51

Kedua bahwa orang Banjar dulunya merupakan orang Jawa. Hal ini
terjadi sekitar tahun 1300 M, yang mana kala itu tengah terjadi
kekacauan dalam peralihan kekuasaan di Jawa Timur. Sekelompok
imigran dari Keling diperintahkan menemukan tanah Baru, mereka
kemudian mendarat di Kalimantan Tenggara. Tanah Baru tersebut kini
dikenal dengan Amuntai Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Kerajaan baru tersebut nantinya berakhir pada masa Pangeran Samudera
dan kemudian berubah menjadi Kesultanan Banjar sekitar abad ke-15
M.

Hingga kini, mereka yang termasuk ke dalam etnis Banjar adalah


orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Banjar
sebagai bahasa ibu dalam sehari-hari. Meskipun saat ini orang-orang
yang berbahasa Banjar juga ditemukan di daerah lain, namun dapat
dipastikan bahwa tempat tinggal mereka semua dan terutama saat ini
adalah wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.21

Selain itu, tradisi yang terdapat di masyarakat Banjar hingga


sekarang merupakan proses dari Islamisasi dan juga akulturasi budaya
22
lokal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tradisi yang terus
dilaksanakan secara turun temurun antara lain Baayun Maulid yakni
tradisi pemberian nama kepada seorang anak dan juga mendoakan sang
anak agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.
Batumpang Apam merupakan upacara pemberkatan yang berhubungan
dengan upacara ulang tahun bagi sang anak. Batamat al-Qur’an

21
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 24.
Zulfa Jamalie, “Akulturasi dan Kearifan Lokal dalam Tradisi Baayun Maulid pada
22

Masyarakat Banjar,” el Harakah, vol. 16 no.2 (2014): 239.


52

merupakan budaya orang Banjar yang dilakukan ketika seseorang


menamatkan belajar al-Qur’an sebanyak 30 Juz.23

2. Masyarakat Banjar dan al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak mungkin bisa


terelakkan bersentuhan dengan masyarakat Banjar. Dari sisi sejarah,
masyarakat Banjar merupakan hasil transformasi kerajaan Hindu ke
Kesultanan Islam. Tradisi yang awalnya sangat kental dengan tradisi
Hindu kemudian terus bertransformasi menjadi tradisi baru yang
diwarnai dengan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Hal ini bisa
dibuktikan pada hampir seluruh tradisi yang ada sekarang terlihat sisi
Islamnya. Kebanyakan diantaranya berupa tradisi al-Qur’an.24

Dalam tradisi masyarakat Banjar, anak-anak yang berumur sekitar 6


atau 7 tahun sudah mulai belajar membaca huruf-huruf al-Qur’an
(mengaji). Penyerahan anak kepada seorang guru untuk diajar mengaji
tidak memerlukan formalitas tertentu, melainkan cukup disampaikan
maksud tersebut dan menyuruh anak bersangkutan pergi mengaji. Selain
mengajar mengaji, guru tersebut juga mengajarkan pokok-pokok ajaran
Islam, termasuk aspek kepercayaan (rukun iman), cara-cara shalat dan
puasa serta doa-doa. Pengajaran al-Qur’an terus berlanjut hingga ke
pondok pesantren dan instansi pendidikan lainnya. 25

Di samping itu, masyarakat Banjar tidak hanya bersentuhan dengan


al-Qur’an dari sisi pendidikan saja, melainkan juga dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam masyarakat Banjar, al-Qur’an biasa digunakan dalam
upacara keagamaan masyarakat. Fenomena tersebut menurut Mariasusai

23
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 137-150.
24
Wardatun Nadhiroh, Tradisi Kelisanan dan Keaksaraan Al-Qur’an di Tanah
Banjar (Banjarmasin: Antasari Press, 2018), 48.
25
Wardatun Nadhiroh, Tradisi Kelisanan, 49.
53

Dhavamony dalam bukunya Fenomenologi Agama memiliki makna di


dalamnya. Ada empat hal antara lain, sebagai tindakan magis seperti
mantra dan rajah, sebagai tindakan religius seperti bacaan shalat dan
bacaan doa sehari-hari, sebagai ritual konstitutif seperti pengangkatan
sultan dan lain-lain, terakhir ritual faktif seperti pelindung diri baik kebal
ataupun pelindung diri secara mental. 26

Dalam halnya yang berkaitan ke kehidupan sehari-hari terhadap al-


Qur’an adalah Yasinan yakni membaca surah Yasin. Bagi masyarakat
Banjar membaca surah Yasin secara komunal berfungsi menjadi nilai
sosial ketimbang sisi ritualnya. Sebab hal itu menjadi ajang silaturahmi
dan bercengkrama dengan tetangga, yang selama ini disibukkan dengan
kehidupannya masing-masing. Kegiatan ini biasanya diadakan satu kali
setiap seminggu.27

Oleh karena itu, persentuhan masyarakat Banjar terhadap al-Qur’an


sangatlah bervariatif. Dari model rajah dan mantra hingga fenomena
yang tumbuh di kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar.

3. Sejarah Batamat

Dalam kamus Banjar-Indonesia kata batamat diambil dari kata


tamat yang berarti khatam atau selesai. 28 Sedangkan awalan ba dalam
bahasa Banjar sama artinya dengan awalan be/ber dalam kamus Bahasa
Indonesia yang menandakan suatu pekerjaan/aktivitas.29 Istilah batamat
sama dengan khataman al-Qur’an bagi orang yang pertama kali
menyelesaikan bacaannya. Namun bukan berarti menyelesaikannya

26
Wardatun Nadhiroh, Tradisi Kelisanan, 51.
27
Wardatun Nadhiroh, Tradisi Kelisanan, 52.
28
Abdul Jebar Hapip, Kamus Banjar-Indonesia (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1977), 257.
29
“KBBI-online,” diakses pada tanggal 6 Februari 2020, http://kbbi.web.id/
54

dalam satu waktu melainkan hanya membaca bagian akhir dari


keseluruhan al-Qur’an sebagai simbol utama semua bagian al-Qur’an.30

Mengenai sejarah pertama kali munculnya tradisi batamat ini belum


diketahui secara pasti. Disinyalir, tradisi tersebut muncul setelah
penyebaran Islam di Kalimantan Selatan sekitar abad ke-14 M. Tidak
dipungkiri, bahwa tradisi ini mempunyai kemiripan dengan khataman al-
Qur’an di tempat lain semisal di wilayah Sumatera dan Sulawesi. Hal ini
karena tidak terlepas dari adanya pengaruh budaya, mengingat asal suku
Banjar berasal dari Sumatera yang melakukan migrasi dan berbaur
dengan suku Dayak di Kalimantan serta suku-suku pendatang lainnya.31

Akulturasi budaya juga disinyalir terjadi karena dalam tradisi


batamat yang mengadopsi budaya Dayak Kaharingan serta Hindu atau
Budha dari Jawa yakni Kerajaan Majapahit. Selain juga karena pengaruh
dari tradisi-tradisi raja-raja terdahulu yakni Kerajaan Negaradipa yang
bercorak Hindu.

Namun perkembangan agama Islam dan peningkatan ilmu


pengetahuan keislaman tampaknya mulai pada abad ke-18, yakni zaman
ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M). Ia
merupakan ulama termasyhur yang berasal dari Kalimantan Selatan yang
menuntut ilmu pengetahuan agama di Kairo Mesir. Guru-gurunya adalah
Syekh at-Thailah bi Ahmad al-Azhari, Syekh Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi, Syekh Seman, Iberahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusyasyi.
Pemikiran beliau meliputi bidang pendidikan, hukum Islam, tasawuf,
32
dakwah. Beliau adalah seorang pembaharu dan mengembalikan

30
Miftahul Jannah, Batamat Al-Qur’an, 4.
31
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
(Bandung : PT. al-Ma’arif, 1980), 47.
32
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 129
55

masyarakat Banjar kepada ajaran syariat Islam. Sehingga tradisi-tradisi


setempat pun ikut berubah dan sesuai dengan ajaran agama Islam.33

Tradisi batamat yang dilaksanakan di suku Banjar memiliki


kemiripan dengan tradisi yang ada di suku Melayu, Sumatera. Hal ini
mungkin terjadi karena pengaruh ulama setempat. Lebih lanjut Syekh
Muhammad Arysad al-Banjari mempunyai tali ikatan seperguruan
dengan Abdussamad bin Abdullaha al-Palimbani, Abdurrahman al-
Batawi dan Abdul Wahab al-Bugisi yang sama-sama menuntut ilmu ke
Timur Tengah seperti Mekkah, Madinah dan Kairo sebelum kembali ke
Nusantara. 34 Dari sinilah kemungkinan adanya kesamaan dalam hal
pengajaran dan mungkin saja tradisi-tradisi yang juga disesuaikan
dengan keadaan wilayah setempat.

Dan jika ditelusuri lebih lanjut, Kalimantan Selatan memang


mempunyai kemiripan dengan Sumatera dari segi adat dan istiadat
maupun tradisinya karena masih satu rumpun melayu. Namun tradisi
batamat ini tampaknya juga mirip dengan yang ada di Bugis, tetapi tentu
saja dengan penamaan dan tata cara pelaksanaan yang juga berbeda.35

4. Kondisi Sosio-Geografis Masyarakat Banjar di Wilayah Kandangan


Kabupaten Hulu Sungai Selatan36

Secara umum, kondisi dan keadaan demografi (kependudukan)


wilayah Kecamatan Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini
berjarak 135 km dari ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Daerah

33
Miftahul Jannah, Batamat Al-Qur’an, 4.
34
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama dan Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII (Bandung : Mizan, 1998), 243-253.
35
Miftahul Jannah, Batamat Al-Qur’an, 5.
36
Badan Pusat Statistik, “Kecamatan Kandangan Dalam Angka,” Diakses, 26 Juli
2021,https://hulusungaiselatankab.bps.go.id/publication/2019/09/26/9ad9d2f89e7682df11
cab7e3/kecamatan-kandangan-dalam-angka-2019.html
56

Kandangan ini memiliki luas wilayah yang mencapai 106,71 km2. Pada
tahun 2018, jumlah penduduk yang menetap 51.364 jiwa yang terdiri atas
25.55 jiwa penduduk laki-laki dan 25.809 jiwa penduduk perempuan
yang tersebar dalam 18 kelurahan/desa. Sedangkan untuk kondisi
perekonomian masyarakat cukup beragam. Dalam konteks ini terdapat
beberapa jenis perekonomian yang meliputi pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, perdagangan, pariwisata, jasa hingga
transportasi.

Adapun mengenai tingkat pendidikan, sesuai data yang dilampirkan


adalah SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana, Pascasarjana, dan pesantren.
Selain itu terdapat 39 taman pendidikan al-Qur’an dan terdapat banyak
organisasi keagamaan lainnya, karang taruna, lembaga adat, Badan
Usaha Milik Desa, organisasi perempuan, organisasi pemuda, kelompok
gotong royong, lembaga swadaya masyarakat, panti, yayasan dan
lainnya.

C. Proses Pelaksanaan Batamat Al-Qur’an

Batamat al-Qur’an merupakan tradisi agamis yang telah lama


dipertahankan oleh masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Selain itu, suku
Banjar juga terkenal dengan masyarakatnya yang sangat agamis, sehingga
seluruh sendi kehidupan mereka selalu berlandaskan keagamaan. Salah satu
tradisinya batamat al-Qur’an dilakukan oleh masyarakat Banjar ketika akhir
bulan Ramadhan setiap tahun, setelah para jamaah masjid mengadakan
tadarusan membaca al-Qur’an sebulan penuh. Di samping itu, batamat al-
Qur’an juga sering dilakukan ketika seseorang mau melaksanakan
perkawinan, baik mempelai laki-laki ataupun perempuan. 37

37
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 137.
57

Tak hanya itu, semenjak tahun 1990-an dengan adanya TK Al-Qur’an


BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia), budaya
batamat al-Qur’an diadakan secara meriah dengan gabungan wisuda
santri/wati lulusan TKA dan TPA yang bertempat di Masjid Agung di setiap
38
kota atau kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan.

Setiap daerah di Kalimantan Selatan memiliki cara-caranya sendiri


dalam melaksanakan tradisi batamat al-Qur’an. Bahkan terdapat perbedaan
pada waktu pelaksanaan, perangkat yang digunakan hingga tata cara
pelaksanaannya. Adapun sebagian masyarakat juga melaksanakan batamat
al-Qur’an pada saat acara pernikahan. Dalam prosesnya mempelai laki-laki
maupun perempuan yang melakukan batamat al-Qur’an. Dan ada juga
masyarakat yang melakukan pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Rabi
‘ul Awal. Namun semuanya merujuk pada kegiatan yakni membaca al-
Qur’an pada bagian akhir (Juz Amma).39

Pada pelaksanaan batamat al-Qur’an merupakan ritus perjalanan bagi


mereka yang ingin menikah. Pelaksanaannya diadakan pada satu malam
sebelum akad nikah dan dilaksanakan di rumah masing-masing. Ahmad
Rafiq dalam disertasinya beranggapan bahwa mempelai laki-laki maupun
perempuan yang melaksanakan batamat al-Qur’an itu menunjukkan akan
kehidupan sosial yang mandiri, tanggung jawab dalam berkeluarga. Namun
tradisi ini kian memudar. Padahal praktik seperti ini menyimpan elemen-
elemen transformasi dari penerimaan masyarakat Banjar terhadap al-
Qur’an. Dapat dikatakan secara tradisional, batamat al-Qur’an dalam
sebuah bagian dari pernikahan merupakan kelanjutan tradisi hidup al-
Qur’an diantara orang Banjar.40

38
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 137.
39
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 137.
40
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 129-131.
58

Mengutip dari buku Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar karangan


41
Sahriansyah terdapat contoh prosesi batamat al-Qur’an. Pelaksanaan
tersebut di Desa Simpang Mahar, Kecamatan Batu Benawa, Kabupaten
Hulu Sungai Tengah. Tradisi batamat al-Qur’an tersebut dilaksanakan pada
saat perayaan Hari Raya Idul Fitri ataupun Idul Adha. Peserta batamat al-
Qur’an bisa diikuti oleh siapapun baik anak-anak maupun orang dewasa
namun umumnya diikuti oleh anak-anak yang telah mengkhatamkan
membaca al-Qur’an yang mereka lakukan pada setiap malam.

Persiapan lainnya yakni adalah kostum dan perangkat yang mengikuti


prosesi tradisi batamat al-Qur’an. Kostum bagi laki-laki adalah baju gamis
(jubah khas timur tengah) lengkap dengan sorban dan patah kangkung yang
dipakai di kepala. Sedangkan untuk kostum perempuan memakai baju
sejenis jubah berenda dan bulang yang dipakai di kepala. Kostum ini adalah
pakaian yang biasa dipakai jamaah haji ketika mereka pulang ke kampung
halaman.

Selain kostum, juga disiapkan payung yang dibuat dari pelepah


bambu. Payung diberi hiasan kertas warna-warni dan ada kalanya tiang
payung adalah bambu yang berisi telur rebus yang telah matang. Selain itu,
juga disiapkan balai semacam miniatur masjid yang dibuat dari pelepah
bambu, yang diberi hiasan dengan kertas warna-warni. Di dalam balai itu
pula diletakkan berbagai macam aneka makanan seperti ketan putih, ketan
merah, telur dan makanan-makan kecil lainnya yang digantung. Di balai
tersebut diletakkan sebuah bendera dari kertas dan uang.

Prosesi ini dimulai saat anak keluar dari rumah untuk menuju masjid
tempat dilaksanakannya tradisi batamat al-Qur’an. Hal pertama adalah
pelaksanaan tersebut ialah saat berada di depan pintu rumah hendak menuju

41
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 137-140.
59

masjid, sang anak akan disambut dengan shalawat yang diiringi dengan
pelemparan beras kuning yang dicampur uang koin ke halaman rumah.
Selanjutnya anak-anak beserta rombongan menuju masjid. Iring-iringan
peserta khataman, mereka sembari dipayungi oleh balai yang diusung di
belakangnya masing-masing. Ketika sampai di masjid, mereka disambut
kembali dengan shalawat dan pelemparan beras kuning. Acara inti batamat
al-Qur’an dilaksanakan di masjid.

Pembacaan al-Qur’an dilaksanakan secara bergantian oleh para


peserta. Guru mengaji atau seorang ulama memulai upacara dengan
mengucapkan suatu formula, yang kemudian diiringi pembacaan surah al-
Fātihah. Lalu selanjutnya anak-anak tersebut berganti-ganti membaca dari
surah Aḍ-Ḍuḥa sampai pada surah an-Naas. Kemudian dilanjutkan lagi
dengan membaca surah al-Fātihah di bagian depan al-Qur’an. Hal ini
bertujuan agar membaca al-Qur’an terus menerus dilakukan walaupun telah
mengkhatamkan al-Qur’an. Terakhir dilanjutkan dengan pembacaan doa
khataman al-Qur’an.42

Seusai pelaksanaan batamat al-Qur’an, guru mengaji diberikan sajian


atau hadiah yang berupa kain putih, alat-alat makan dan minum, uang,
sajadah sholat, beras, gula, kelap dan sebilah pisau. Selain itu keluarga guru
mengaji juga diberikan nasi ketan baik di antar ataupun dibawa pulang ke
rumah sebagai berkat.43

D. Tujuan dan Manfaat Batamat Al-Qur’an

Pelaksanaan batamat al-Qur’an memiliki tujuan yakni untuk


menghidupkan nilai-nilai spiritual agama pada masyarakat setempat. Nilai-
nilai spiritual ini dibangun sejak masih anak-anak hingga dewasa. Hal dapat

42
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 250.
43
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 252.
60

dibuktikan ketika masyarakat Banjar ingin melangsungkan pernikahan.


Maka dalam proses pernikahan tersebut para calon mempelai pernikahan
melaksanakan batamat al-Qur’an untuk mengetahui ketaatan calon
mempelai terhadap agama Islam di hadapan guru ngaji mereka.

Adapun maksud dan tujuan batamat al-Qur’an yakni adalah:

1. Bagi orang tua yang mengikutkan anak-anak dalam


pelaksanaan batamat al-Qur’an ini, mereka berharap anak
tersebut sudah bisa memahami ajaran agama Islam melalui
kitab suci al-Qur’an. Serta dapat melaksanakan ajaran agama
dengan baik.
2. Untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyang
agar tidak hilang begitu saja dengan seiring waktu yang
berjalan.
3. Menciptakan rasa kekeluargaan dan silaturahmi karena dengan
melaksanakan tradisi batamat al-Qur’an maka seluruh
masyarakat berkumpul dan bekerja sama menyiapkan
keperluan dan memeriahkan tradisi tersebut.
4. Khusus bagi peserta tradisi batamat al-Qur’an dewasa, ada juga
yang melaksanakan tradisi tersebut untuk memperoleh
keberkahan selama hidupnya dan juga dapat mencapai tujuan
yang belum terlaksana.
BAB IV
POLA PEMAKNAAN MASYARAKAT BANJAR TERHADAP AL-
QUR’AN
A. Praktik Pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam Tradisi Batamat

Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan


kitab yang lebih sempurna dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya,
sehingga al-Qur’an diakui kebenarannya hingga sekarang. Al-Qur’an selalu
tumbuh dan hidup dalam kehidupan umat Islam dalam berbagai aktivitas
sehingga tanpa disadari menjadi bagian dari menghidupkan al-Qur’an.
Kegiatan seperti itu bisa berupa kegiatan kebudayaan, selamatan,
pernikahan maupun kegiatan lainnya.

Di samping itu al-Qur’an juga dijadikan untuk isyarat dan simbol


dalam keyakinan masyarakat yang bisa juga dimanfaatkan sebagai kebaikan
sehingga diapresiasikan dengan norma dan perilaku keagamaan masyarakat
setempat. Oleh karena itu, muncul kemudian penelitian mengenai fenomena
living Qur’an. Dalam penelitian living Qur’an ini lebih mengedepankan dan
mengutamakan penelitian pada tradisi yang berkembang di masyarakat
ketimbang mencari kebenaran agama dengan bukti ayat-ayat al-Qur’an.
Penelitian yang digunakan pun menggunakan kualitatif-deskriptif dengan
pendekatan antropologi etnografi dan fenomenologi agar dapat mengulas
praktik, pandangan, pemahaman hingga pemaknaan al-Qur’an yang
dilakukan oleh masyarakat.

1. Perayaan batamat al-Qur’an oleh anak-anak

Pada bab sebelumnya, telah dikemukakan mengenai praktik


keagamaan mengenai al-Qur’an yang dilaksanakan oleh masyarakat
Banjar Kalimantan Selatan. Dalam melakukan penelitian tersebut,
peneliti mengemukakan bahwa masyarakat Banjar yang berada di

61
62

wilayah Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan


sudah mulai mengaji ketika masih anak-anak yakni berusia sekitar 6
tahun hingga 7 tahun. Pada masa itu, orang tua biasanya
mengantarkan anak-anaknya untuk masuk ke Taman Pendidikan Al-
Qur’an (TPA) setiap sore hari, seusai dari sekolah dasar. Hal ini
terus berlanjut dalam pelajaran membaca al-Qur’an hingga ia
menyelesaikan seluruh bacaan al-Qur’an 30 juz. Setelah
menyelesaikan seluruh bacaan al-Qur’an, kemudian diadakan
sebuah perayaan yang dinamakan batamat al-Qur’an.1

Bagi masyarakat Banjar, terdapat rasa bangga ketika anak-anak


mereka selesai membaca keseluruhan al-Qur’an dan melaksanakan
proses batamat al-Qur’an. Sedangkan bagi anak-anak mereka akan
melaksanakan kegiatan batamat al-Qur’an di umur 9 tahun hingga
12 tahun, apabila merayakan perayaan tersebut pada umur yang
lebih tua maka mereka akan malu. 2

Di samping itu, batamat juga merupakan acara basalamatan


(upacara berdoa untuk kebaikan), dalam arti berdoa untuk kebaikan
setelah selesai membaca al-Qur’an secara keseluruhan. Dalam hal
upacara, biasanya dipimpin oleh para guru mengaji baik laki-laki
maupun perempuan untuk melaksanakan batamat di Masjid dan
dilaksanakan sesudah perayaan Idul Adha atau di bulan Agustus-
September tiap tahunnya. Biasanya guru akan memulai kegiatan
batamat dengan membaca surah al-Fātihah tiga kali. Selanjutnya
guru tersebut akan melafalkan dengan keras bacaan tahmid untuk

1
Zain Anwari (Sekretaris BKPRMI Kabupaten Hulu Sungai Selatan), diwawancarai
oleh Hidayat Salam, Kandangan, 15 Februari 2020, Kalimantan Selatan.
2
Ahmad Mawardhi (Guru Sekolah Dasar), diwawancarai oleh Hidayat Salam,
Kandangan, 1 Maret 2020, Kalimantan Selatan.
63

memberitahu anak-anak bahwa saatnya untuk memulai batamat al-


Qur’an.3

Sebelumnya, anak-anak yang mengikuti kegiatan batamat sudah


memperoleh bagian surah yang akan mereka baca masing-masing.
Pembacaan surah ini dimulai dengan surah Aḍ-Ḍuḥa hingga surah
al-Lahab. Ketika pergantian surah dan di akhir surah al-Lahab, guru
akan memimpin orang-orang yang hadir untuk membaca berulang-
ulang kalimat “Lā Illāha illā Allāhu Wa Allāhu Akbar Wa Lillāh al-
Ḥamdu.” Kemudian guru dan para orang-orang yang hadir bersama
anak-anak akan membaca surah al-Ikhlas sebanyak tiga kali, yang
diselanya oleh dibaca kalimat tahlil dan tahmid, “Lā Illāha illā
Allāhu Wa Allāhu Akbar Wa Lillāh al- Ḥamdu” dan dilanjutkan
dengan membaca surah al-Falaq dan surah an-Nās secara bersamaan
pula. Setelah semua dibaca, mereka kembali ke halaman awal
mushaf al-Qur’an dengan membaca surah al-Fātihah, diikuti
membaca lima ayat pertama pada surah al-Baqarah. Guru kembali
memimpin semua orang membaca Wa Illah Ḥukum Illah hu wāḥid
dan dilanjutkan membaca ayat kursi yakni dalam Qs. al-Baqarah (2)
ayat 255 sebagai berikut:

‫ت‬ َِٰ ‫ٱلس َم َٰ َو‬َّ ‫م َّ َُّلۥ َما ِف‬ٞ ‫ َو ََل نَ ۡو‬ٞ‫وم ََل تَأۡ ُخ ُذهُۥ س َِنة‬ ُ ‫َح ٱلۡ َق ُّي‬
ُّ َ ۡ‫ٱَّلل ََل إ َل َٰ َه إ ََّل ُه َو ٱل‬
ُ َّ
ِ ٓۚ ٓۚ ِ ِ
َ َ َۡ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ ۡ َّ َ َۡ
‫ۡي أيۡدِي ِه ۡم‬ ‫ِندهُۥ إَِل بِإِذنِهِۚٓۦ يعل ُم ما ب‬ ‫ۡرض َمن ذا ٱَّلِي يَشف ُع ع‬ ِِۗ ‫َو َما ِِف ٱۡل‬
ُ َ َّ ۡ ۡ َ ِ ‫ون ب‬ َ ُ ُ ََ ۡ ُ َۡ َ ََ
‫َش ٖء رم ِۡن عِل ِمهِۦ إَِل ب ِ َما شا َء ۚٓ َوس َِع ك ۡرس ُِّي ُه‬ ‫وما خلفهمۖۡ وَل ُيِيط‬
ُ ‫ِل ٱلۡ َع ِظ‬ ۡ
ُّ ِ ‫ُودهُۥ ح ِۡف ُظ ُه َما ۚٓ َو ُه َو ٱل َع‬
ُ َ ‫ۡرض َو ََل‬ َ َ ۡ َ َٰ َ َٰ َ َّ
٢٥٥ ‫يم‬ ٔٔ ‫ي‬ ۡۖ ‫ت وٱۡل‬ ِ ‫ٱلسمو‬
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak

3
Ahmad Mawardhi (Guru Sekolah Dasar), diwawancarai oleh Hidayat Salam,
Kandangan, 1 Maret 2020, Kalimantan Selatan.
64

mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di


bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. al-Baqarah/2: 255)

Akhirnya, setelah selesai membaca keseluruhan, mereka secara


bersama-sama melafalkan kalimat dalam Qs. al-An’ām (6) ayat 115
berikut:

ُ ‫يع ٱلۡ َعل‬


١١٥ ‫ِيم‬ َّ ‫ص ۡد ّٗقا َو َع ۡد َّٗل ََّل ُم َب رد َِل ل ََِك َِمَٰتِهِۦ َو ُه َو‬
ُ ‫ٱلس ِم‬ َ ُ ‫ت ََك َِم‬
ِ ‫ت َر ربِك‬ ۡ ‫َو َت َّم‬
ٓۚ ٓۚ
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat
yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-
kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Qs. al-An’ām/6: 115)

Kemudian, guru akan mengakhiri kegiatan batamat dengan


membaca doa khatam al-Qur’an. Di Indonesia, doa khatam al-Qur’an
terdapat diakhir lembar mushaf al-Qur’an yang beredar di
masyarakat.4

Untuk keperluan perayaan batamat, disiapkan berbagai macam


sebagai penunjang dalam kegiatan tersebut. Dalam hal pakaian, baik
laki-laki ataupun perempuan mengenakan baju haji (pakaian peziarah
khas timur tengah). Seorang anak laki-laki mengenakan gamis,
pakaian Arab yang meliputi gaun pria kain putih panjang dengan
hiasan kepala putih dan sorban putih. Tak jauh berbeda dengan laki-
laki, anak perempuan pun mengenakan gaun panjang wanita kain
putih dan penutup kepala putih. Selain pakaian, hiasan yang tak luput

4
Ahmad Mawardhi (Guru Sekolah Dasar), diwawancarai oleh Hidayat Salam,
Kandangan, 1 Maret 2020, Kalimantan Selatan.
65

diperhatikan yakni payung kambang yang terbuat dari kerangka


bambu. Pada kerangka bambu ini kemudian digantungkan berbagai
hiasan seperti untaian bunga, uang kertas, makanan-makanan kecil
dan juga ditempatkan ketan putih dan ketan merah.5

Untuk anak-anak seusai pelaksanaan pelaksanaan tradisi batamat


al-Qur’an, mereka akan menunggu untuk memperebutkan berbagai
hiasan-hiasan, kue-kue yang disediakan di dekat payung kambang
tersebut. Tak jarang juga, anak-anak yang tidak memperoleh
bagiannya akan menangis bahkan berkelahi. Sedangkan bagi
masyarakat yang hadir dipersilahkan menyantap hidangan yang
disediakan, seperti hidangan khas masyarakat Banjar yakni soto
Banjar, nasi sop atau masakan lainnya.6

2. Praktik batamat al-Qur’an secara komunal

Kegiatan batamat tidak hanya selalu diadakan sebagai kegiatan


yang berdiri sendiri, melainkan adakalanya digabungkan dengan
perayaan lain. Dalam masyarakat Banjar di wilayah kecamatan
Kandangan, Hulu Sungai Selatan terdapat kebiasaan mengkhatamkan
al-Qur’an pada saat akhir bulan suci Ramadhan. Bagi masyarakat
Banjar, tradisi ini biasanya disebut tadarus.7

Tadarus yang diadakan selama bulan Ramadhan dihadiri hanya


laki-laki saja. Setiap malam diadakan kegiatan tadarus setelah
melaksanakan sholat tarawih dan witir. Sedangkan untuk perayaan
batamat dilaksanakan pada malam terakhir Ramadhan. Untuk pola

5
Saidah (Guru Mengaji/Ibu rumah tangga), diwawancarai oleh Hidayat Salam,
Kandangan, 20 Februari, Kalimantan Selatan.
6
Ida Fauziah (Ibu Rumah Tangga), diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan,
1 Maret 2020, Kalimantan Selatan
7
H. Hilmi (Pensiunan), diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan, 20 Februari
2020, Kalimantan Selatan
66

pelaksanaan batamat tidak jauh berbeda seperti batamat untuk anak-


anak. Karena ini sebagai khatam berjamaah, maka masing-masing
peserta membacakan satu surah. Mulai dari surah Aḍ-Ḍuḥa hingga
surah al-Lahab.8

Adapun perlengkapan dan makanan yang disajikan lebih


sederhana ketimbang batamat untuk anak-anak. Di samping juga,
dalam batamat kali ini juga tidak memerlukan payung kambang.
Walaupun tidak menemukan alasan terkait, namun menurut Ahmad
Rafiq dalam disertasinya terkait penerimaan al-Qur’an di komunitas
Banjar, ia mengasumsikan bahwa tidak diperlukannya payung
kambang lantaran itu bukan batamat yang pertama, kedua, atau ketiga
kalinya namun lebih dari itu.9

Selain tadarusan di akhir Ramadhan, juga didapati model


tadarusan lain secara berjamaah. Biasanya selama perayaan tersebut,
para peserta tidak hanya mereka yang datang seperti tadarusan pada
umumnya. Melainkan pada malam batamat, dipersilahkan bagi
mereka untuk hadir, para tetangga sekitar yang mendapat undangan
perayaan batamat. Dari laki-laki, wanita, orang dewasa, remaja
hingga anak-anak. Yang menjadi berbeda yakni ada peserta yang
dibeda-bedakan dari tamu yang hadir. Untuk peserta reguler misalkan
mereka akan memegang al-Qur’an dan membaca surah satu demi
satu. Sedangkan tamu yang lainnya hanya mendengarkan dan
mengikuti bacaan yang ditunjukkan oleh guru, seperti membaca ujung

8
H. Hilmi, Wawancara.
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 126.
9
67

ayat setiap surah, membaca tahlil, takbir, ataupun tahmid saat


pergantian surah.10

Terakhir praktik khataman secara berjamaah dilakukan juga oleh


pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Sejak 2019,
melalui peraturan bupati bagi para pegawai Aparatur Sipil Negara
(ASN), seluruh SKPD terkait diwajibkan melaksanakan 15 menit
mengaji al-Qur’an sebelum memulai kerja. Praktik tadarusan ini baru
pertama kali diselenggarakan. Hal ini berbeda dengan tadarusan yang
dikemukakan sebelumnya.

Jika praktik tadarusan sebelumnya merupakan suatu tradisi yang


berkembang di masyarakat setempat dan tidak dapat dipisahkan dari
budaya sekitar, maka tadarusan yang dilaksanakan bagi ASN di
pemkab HSS merupakan implementasi dari visi misi bupati HSS itu
sendiri. Dengan gerakan mengaji sebelum bekerja, bupati
menginginkan masyarakatnya dekat dengan al-Qur’an. Lebih lanjut
para pegawainya merupakan contoh bagi masyarakat setempat.11

Dalam hal pelaksanaannya, batamat yang dilaksanakan oleh


seluruh ASN pemkab HSS dilakukan dengan berjenjang dimulai dari
SKPD masing-masing. Biasanya pelaksanaan batamat dilaksanakan
di setiap minggu ke dua. Sedangkan secara massal, perayaan batamat
akan dilaksanakan setiap bulan Ramadhan di malam Nuzulul Qur’an
(17 Ramadhan).

Untuk keperluan perayaan batamat, lokasinya berada di Masjid


Kota at-Taqwa. Adapun perlengkapan seperti payung kambang tetap

10
KH. Saifuddin (Ketua MUI Kec. Kandangan/ Penceramah), diwawancarai oleh
Hidayat salam, kandangan, 25 Februari 2020, Kalimantan Selatan
11
H M Taha (Kabag Kesra Kabupaten Hulu Sungai Selatan), diwawancarai oleh
Hidayat Salam, Kandangan, 24 Februari 2020, Kalimantan Selatan
68

disediakan namun lebih sederhana ketimbang batamat oleh anak-


anak. Sedangkan makanan yang disajikan seperti pada umumnya
yang sudah menjadi tradisi masyarakat Banjar yakni ketan merah,
ketan putih dan aneka kue-kue khas Banjar lainnya.12

Proses pelaksanaan batamat, seorang alim ulama akan diminta


untuk memimpin pelaksanaan batamat. Ia akan memulai membaca
surah al-Fātihah, kemudian surah Aḍ-Ḍuḥa yang akan diikuti oleh
seluruh tamu undangan yang hadir. Berikut seterusnya hingga surah
an-Nass selesai dibaca bersama. Sebagai penutup, ulama tersebut
kemudian akan memimpin pembacaan doa khataman al-Qur’an.
Kemudian, ulama tersebut juga akan diminta untuk mengisi ceramah
singkat sebelum seluruh agenda perayaan batamat tersebut selesai.13

3. Perayaan batamat pengantin

Acara perayaan batamat al-Qur’an ini digelar ketika seseorang


akan melangsungkan perkawinannya. Di dalam tradisi masyarakat
Banjar bahwa calon mempelai dalam melaksanakan kegiatan batamat
merupakan bagian dari prosesi perayaan pesta perkawinan. Maka dari
itu, seseorang yang akan melaksanakan pernikahan akan
melaksanakan kegiatan batamat al-Qur’an walaupun sejak kecil ia
sudah pernah melaksanakan maupun yang belum pernah sama sekali
melaksanakan kegiatan batamat.

Kegiatan batamat ini akan dilaksanakan sebelum acara resepsi


perkawinannya. Untuk peserta batamat selain calon mempelai, dapat
juga diikuti oleh beberapa saudara atau kerabat terdekat dan para
tetangga sekitar. Acara batamat pengantin ini dilaksanakan di rumah

12
H M Taha, Wawancara.
13
H M Taha, Wawancara.
69

mempelai sendiri dengan dihadiri oleh guru mengaji, tokoh


agama/masyarakat, tetangga, kerabat dan keluarga besar mempelai.

Proses pelaksanaannya dimulai dengan tokoh agama


mengucapkan surah al-Fātihah sebagai tanda pembukaan acara.
Setelah itu, calon mempelai dipersilahkan untuk membaca surah Aḍ-
Ḍuḥa hingga surah al-Nās. Setelah surah al-Nās, maka calon
mempelai akan membaca dan melafalkan ayat dalam Qs. al-An’ām
(6) ayat 115 berikut:

ُ ‫يع ٱلۡ َعل‬


١١٥ ‫ِيم‬ َّ ‫ص ۡد ّٗقا َو َع ۡد َّٗل ََّل ُم َب رد َِل ل ََِك َِمَٰتِهِۦ َو ُه َو‬
ُ ‫ٱلس ِم‬ َ ُ ‫ت ََك َِم‬
ِ ‫ت َر ربِك‬ ۡ ‫َو َت َّم‬
ٓۚ ٓۚ
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat
yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-
kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Qs. al-An’ām/6: 115)

Ayat tersebut dilafalkan sebanyak tiga kali. Kemudian dilanjutkan


lagi dengan membaca surah al-Fātihah pada bagian depan al-Qur’an
sampai kepada awal surah al-Baqarah. Barulah ditutup dengan
mengucapkan “Shadaqallahul’adziim” dan diakhir ditutup dengan
pembacaan doa khataman al-Qur’an. Setelah acara selesai, maka
aneka kue dan gunungan nasi ketan yang menjadi makanan khas
dalam tradisi batamat akan dibagikan kepada para tamu yang
mengikuti kegiatan batamat. Diakhiri dengan makan bersama
masyarakat dan tamu undangan yang hadir.

Meski demikian, menurut penelusuran dengan para informan


dapat diketahui sekarang bahwa masyarakat Banjar khususnya di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan sudah banyak yang mulai
meninggalkan kegiatan tradisi ini sebelum melangsungkan
pernikahan.
70

“Zaman bahari badua pangantin lalaki wan babanian melaksanakan


batamat di rumahnya saurang mun wayahini jarang ada pangantin
yang melaksanakan batamat, ada yang manggawi pengajian biasa
haja kadang di rumah babiniannya.”14

Namun beberapa narasumber menjelaskan masih melaksanakan


tradisi batamat ketika hendak melangsungkan pernikahan. Berikut
petikan wawancara dengan narasumber berikut:

“Masih hendak melaksanakan batamat mun gasan kawin sakira


kehidupan rumah tangga kita tu babarkah, lawan jua supaya rumah
tangga abadi nang harapannya al-Qur’an supaya menjadi pedoman
hidup dalam berumah tangga.”15

B. Nilai-Nilai Lokal yang Terkandung dalam Pelaksanaan Batamat


Al-Qur’an
Berdasarkan pada pembahasan praktik pelaksanaan batamat al-
Qur’an oleh masyarakat Banjar di wilayah Kandangan tersebut, penulis
menemukan keadaan-keadaan yang patut diperhatikan. Dalam hal ini,
dengan menggunakan kerangka deskriptif etnografi yang dipahami sebagai
penelitian untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan agar mengacu pada
fenomena-fenomena sosial budaya atas sudut pandangan masyarakat yang
menjadi objek kajian ini, yakni tradisi batamat al-Qur’an oleh masyarakat
Banjar.16

Dari hasil wawancara penulis dengan para informan dalam


melaksanakan tradisi batamat ini diketahui dengan melalui rentetan tahapan
antara lain: 1) tahap persiapan dan 2) tahap pelaksanaan.

14
Khairani (Ustadz/Penceramah), diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan, 5
Maret 2020, Kalimantan Selatan
15
Muhammad Fadhil (Honorer) diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan, 21
Februari 2020, Kalimantan Selatan
16
Anwar Mujahidin, "Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Quran Sebagai
Jimat Dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo," Kalam 10.1 (2016): 50.
71

Dalam rangkaian pelaksanaan tradisi batamat pada masyarakat


Banjar, terdapat properti yang tidak pernah ditinggalkan yakni payung
kembang. Setiap perayaan batamat akan disuguhkan dengan berbagai
hiasan menarik dari payung kembang untuk membuat pelaksana tradisi ini
semakin meriah dan menarik banyak orang. Payung kembang ini juga akan
diarak bersama anak-anak pada saat perayaan batamat massal. Dalam
kegiatan tersebut bisa dihubungkan nilai-nilai lokal dalam budaya
masyarakat Banjar yang disebut pada tradisi batamat al-Qur’an. Kegiatan
ini bahkan sampai saat ini masih dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

1. Tahap persiapan

Diketahui bahwa ada alat dan bahan tertentu yang harus


dipersiapkan terlebih dahulu untuk menunjang berlangsungnya
perayaan batamat al-Qur’an ketika dilaksanakan. Selain payung
kembang, sebagai ikon utama dalam tradisi batamat yang
dilaksanakan masyarakat Banjar, yang tak kalah penting baju atau
atribut pakaian yang digunakan laki-laki dan perempuan. Pakaian
para peserta yang biasa dipakai yakni pakaian jemaah haji ketika
mereka pulang ke kampung halaman.

Penulis pahami sebagai tujuan sebagai bentuk harapan dan


kebanggaan tersendiri bagi orang tua ketika sang anak telah berhasil
menamatkan bacaan al-Qur’an. Terselip juga doa karena agar sang
anak didoakan dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci,
sebagaimana ketika telah selesai membaca seluruh al-Qur’an.
Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa budaya batamat
merupakan paduan unsur budaya lokal dan budaya orang Arab yang
72

membawa Islam ke Indonesia karena terlihat dari pakaian khas


orang Arab tersebut.

Selanjutnya ditemukan balai-balai dan talam yang digunakan


untuk meletakkan berbagai hidangan wajib para peserta batamat al-
Qur’an seperti nasi ketan putih (lakatan), nasi ketan merah (wajik),
telur rebus dan makanan serta minuman lainnya. Nilai yang ingin
disampaikan bahwa hidangan tersebut tidak diletakkan secara
sembarangan, akan tetapi diletakkan di tempat yang khusus, rapi,
tinggi, dan bagus dipandang. Selain itu juga terdapat perlengkapan
lainnya seperti lapik yang digunakan sebagai tempat duduk para
peserta batamat, terdiri seperti kain, sajadah hingga sarung. Lapik
ini menandakan menjadi orang yang diistimewakan. Dilengkapi
dengan bunga rampai yang dilemparkan kepada masyarakat yang
hadir dan seserahan yang diberikan kepada guru mengaji

2. Tahap pelaksanaan

Dari hasil wawancara dan penelusuran literatur tertulis lainnya


bahwa terdapat tata cara tersendiri setiap daerah di Kalimantan
Selatan. Perbedaan pada waktu pelaksanaan, perangkat yang
digunakan hingga tata cara pelaksanaan. 17 Perayaan batamat al-
Qur’an yang dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah Kandangan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki perbedaan di dalam setiap
jenis perayaannya. Di dalam pembahasan sebelumnya, adanya
berbagai jenis perayaan ini bisa dipahami sebagai sebuah tradisi
yang tidak selalu dilaksanakan sebagai kegiatan berdiri sendiri
seperti batamat pengantin. Batamat sebelum melangsungkan

17
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 139.
73

pernikahan ini memiliki makna dan pesan yang dalam karena calon
mempelai harus berlandaskan pada ajaran dan kitab suci al-Qur’an.
Sehingga calon mempelai dapat menjadikan al-Qur’an sebagai
pedoman hidup dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.

Sementara tradisi batamat oleh anak-anak dilakukan secara


massal ini untuk memberikan motivasi kepada mereka agar rajin
belajar mengaji. Terlebih diperkuat dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang memuat salah satu syarat
wajib yang harus dipenuhi untuk bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang selanjutnya. Dibuktikan dengan mengikuti batamat dan
diberikan sertifikat dan bukti prestasi baca tulis al-Qur’an.

C. Respons dan Resepsi Masyarakat terhadap Ayat-ayat Al-Qur’an


dalam Tradisi Batamat

Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan tidak dapat dipisahkan


dengan fenomena keagamaan yang melekat dalam tradisi yang dilakukan
oleh mereka secara turun menurun. Merujuk buku Islam & Masyarakat
Banjar karya Alfani Daud bahwa ajaran Islam dan kegiatan ritual diajarkan
dan dibiasakan ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam tradisi
batamat tersebut merupakan bagian kecil dari fenomena keagamaan yakni
kebiasaan mengaji atau membaca al-Qur’an dimulai dari mereka ana-anak.
Sedangkan bagian lainnya seperti pengetahuan Islam ataupun ibadah ritual
seperti yang terdapat dalam rukun Islam misalnya juga turut dijadikan
kebiasaan sejak kecil oleh masyarakat Banjar.18

Hal ini diperkuat dalam tujuan etnografi yang dikemukakan oleh


Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi merupakan cara memahami

18
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 143.
74

sudut pandangan dari penduduk setempat, dan juga hubungannya dengan


kehidupan guna memperoleh pandangannya terhadap dunia.19

Dalam temuan selanjutnya adalah menggambarkan kehidupan


beragama Islam dalam masyarakat Banjar yang dilihat dari pandangan
mereka terhadap perayaan batamat. Gambaran tersebut baik dalam hal
bentuk kepercayaan berupa ungkapan rasa keagamaan oleh masyarakat
setempat serta metode belajar membaca al-Qur’an yang mereka praktikkan.

Bapak Khairani mengatakan bahwa tradisi batamat yang berkembang


di masyarakat Banjar merupakan tradisi yang dipengaruhi oleh budaya
ataupun tradisi sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengaruh-
pengaruh eksternal pada saat proses penyebaran Islam di Kalimantan
Selatan dengan bercampurnya ajaran Islam dengan budaya setempat yang
telah mengakar di masyarakat.20 Dengan masuknya nilai-nilai dari ajaran
keislaman dalam setiap tradisi di masyarakat Banjar menegaskan bahwa
cara dakwah tidak bisa dipisahkan dengan tradisi lokal setempat dan
fenomena ini saling terkait walaupun tradisi tersebut sudah berjalan ratusan
tahun.

Dalam pelaksanaan tradisi batamat banyak ditemukan hal-hal


menarik seperti dalam proses pelaksanaannya yang dilengkapi dengan
peralatan dan hiasan-hiasan tertentu. Adapula juga ditemukan aneka macam
kue yang diwajibkan sebagai bagian penting dalam proses batamat tersebut.
Bagi masyarakat Banjar terdapat makna dan pemahaman tertentu terkait
keperluan yang wajib disediakan dalam melaksanakan proses batamat
tersebut.

19
Ahmad Zainuddin dan Faiqotul Hikmah, “Tradisi Yasinan (Kajian Living Qur’an
di Ponpes Ngalah Pasuruan)”, 16
20
Kahirani, Wawancara.
75

Namun hal menarik lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini


adalah tentang pelafalan atau lisan masyarakat Banjar yang
menggabungkan bahasa Arab atau kata di dalam al-Qur’an ke dalam
percakapan sehari-hari atau dapat juga ditemukan dalam bentuk pantun dan
syair oleh masyarakat Banjar. Ahmad Rafiq mengungkapkan fenomena
tersebut merupakan sebuah penggunaan al-Qur’an dalam berbagai waktu
dan kesempatan, bacaan dianggap sebagai cara untuk mengundang berkah,
penghargaan, dan nilai-nilai yang tergantung dalam al-Qur’an. Oleh karena
itu, bagian manapun dari al-Qur’an yang dibacakan, terlepas dari
pemahaman makna pembaca juga mengandung khasiat untuk memenuhi
kebutuhan material dan spiritual mereka.21

Misalnya saja dalam tradisi batamat, yang dijelaskan dalam makalah


karya Miftahul Jannah bahwa terdapat pelafalan al-Qur’an yang menjadi
ciri khas dari masyarakat Banjar. 22 Ketika membaca surah al-Fil yang
semula berbunyi “alam tara kaifa…” kemudian dibaca menjadi “alam
tarakai fa…” karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banjar dalam
pelafalan sehari-hari yang tidak menggunakan huruf vokal seperti “e” dan
“o” sehingga terdengar bunyi “ra” ketimbang “ro’.23

Bapak Saifuddin menganggap bahwa fenomena pelafalan al-Qur’an


oleh masyarakat Banjar sedikit turutnya dipengaruhi oleh metode belajar al-
Qur’an yang dipakai oleh masyarakat Banjar. 24Secara umum, masyarakat
Banjar mulai membaca al-Qur’an sejak usia 6 tahun hingga 7 tahun.25 Para
orang tua akan mulai mendaftarkan anaknya untuk mengikuti belajar
membaca al-Qur’an di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Pada dasarnya,

21
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia, 186.
22
Miftahul Jannah, Batamat Al-Qur’an, 12.
23
Abdul Jebar Hapip, Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, ii-iii
24
KH. Saifuddin, Wawancara.
25
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 248.
76

di Kalimantan Selatan terdapat lembaga yang secara konsisten menaungi


lembaga-lembaga pengajaran al-Qur’an. Lembaga ini dikenal sebagai
Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI).

Bapak Saifuddin mengatakan dalam metode pembelajarannya adalah


dengan menggunakan metode iqra’. Dalam mengenalkan anak-anak untuk
belajar al-Qur’an dengan menggunakan metode iqra’ mendapat kecocokan
bagi masyarakat Banjar itu sendiri. Hal ini dikarenakan jenjang iqra iqra’
sangat jelas, dimulai dari metode iqra’ jilid 1-6, kemudian baca mushaf al-
Qur’an juz 1 hingga juz 30 dan terakhir dilaksanakan batamat serta wisuda.
Di samping itu, yang menjadikan metode iqra’ dipertahankan ialah karena
buku Iqra yang masih terus diperjualbelikan dan menjadi buku pedoman
bagi anak-anak masyarakat Banjar dalam belajar membaca al-Qur’an.26

Di samping itu, mengenai pandangan lainnya juga ditemukan dari


kalangan wanita. Ibu Husna kesehariannya sebagai ibu rumah tangga
mengungkapkan bahwa ia dalam melaksanakan tradisi batamat berharap
memperoleh kebajikan dan ungkapan rasa syukur dari kegiatan membaca
al-Qur’an tersebut. Lebih lanjut sebagai sosok seorang ibu, ia juga
mengharapkan anak-anaknya menjadi seorang anak yang soleh dan solehah
serta berbakti kepada orang tua. Dalam hal ini, ketika anak-anaknya telah
selesai dan menamatkan baca al-Qur’an maka kegiatan tradisi batamat
tersebut juga merupakan rasa syukur bagi ibu Husna.27

D. Pemahaman Masyarakat Banjar terhadap Tradisi Batamat Al-


Qur’an dalam Kehidupan Sehari-hari

26
KH. Saifuddin, Wawancara
27
Husna (Guru Honorer), diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan, 17
Februari 2020, Kalimantan Selatan.
77

Pengalaman interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Banjar


terhadap ayat-ayat al-Qur’an di dalam tradisi batamat tersebut kemudian
melahirkan pemahaman yang dialami di dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Pemahaman ini kemudian membentuk kesadaran secara bersama
serta melahirkan tindakan-tindakan kolektif dan terorganisasi. Untuk
mengetahui pemahaman ini diperlukan lah pendekatan fenomenologi,
dimana Husserl menyebut bahwa fenomenologi tidak membiarkan kita
untuk mencampur fenomena dengan apa yang ada di dalam pikiran kita, dan
membiarkan hal tersebut berjalan apa adanya.28

Dari pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa masyarakat Banjar,


Kalimantan Selatan, dalam melaksanakan kegiatan batamat al-Qur’an
dilakukan secara turun temurun dan menjadi kegiatan rutin pada peristiwa-
peristiwa tertentu.

Hal ini sejalan dengan metode reduksi fenomenologi atau dalam


istilah lain yakni epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Dari langkah ini, lalu menghadirkan fakta dari
penelitian itu sendiri, seperti pengalaman, peristiwa keadaan, individu dan
lain sebagainya. 29 Maka itu yang dimaksud fakta yang tampak dalam
penelitian ini adalah adanya kegiatan batamat al-Qur’an oleh Masyarakat
Banjar Kalimantan Selatan.

Lalu dengan metode reduksi eidetik ini dilakukan sebagai reduksi


yang ingin mencapai atau menemukan intisari atau esensi dari objek yang
dikaji, seperti substansi, kualitas, relasi, kemungkinan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, usaha ini yang paling pokok adalah menangkap esensi dari
fenomena-fenomena objek yang diteliti tersebut.

28
Hardiansyah A, "Teori Pengetahuan Edmund Husserl," 236
29
Hardiansyah A, "Teori Pengetahuan Edmund Husserl," 236
78

Esensi dari batamat al-Qur’an yang dilakukan oleh Masyarakat


Banjar Kalimantan Selatan ini lalu melahirkan pemahaman dalam sifat-sifat
tertentu dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam tradisi tersebut.
Nilai-nilai tersebut kemudian berlaku untuk individu yang hidup
bermasyarakat dan antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Nilai sosial tersebut yang terbentuk dari pemahaman yang lahir dari
tradisi batamat berupa tumbuhnya sikap gotong royong, saling menolong,
dan sebagai ajang silahturahmi atau saling berkomunikasi yang merupakan
nilai yang ditemukan dalam setiap prosesi kegiatan tradisi batamat.

Dalam pengamatan tersebut, bahwa pelaksanaan tradisi batamat


membutuhkan berbagai macam persiapan yang harus dipenuhi. Selain itu,
prosesi tradisi batamat juga membutuhkan kerja sama antar masyarakat,
sehingga gotong royong tersebut dapat dimaksimalkan antar individu
dengan masyarakat lainnya.

“Wayah hendak parak perayaan tradisi batamat banyak yang hendak


disiapkan, segala wadai lawan payung kambang samuan harus
disiapkan, yang manggani’i tetangga parak rumah sekitar datangan,
sakira persiapan tradisi batamat lakas tuntung”.30

Nilai berikutnya adalah sikap saling tolong menolong. Sikap tolong


menolong saling berkaitan dengan sikap sebelumnya yakni gotong royong.
Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dipisahkan. Konsep tolong
menolong yang terdapat dalam tradisi batamat yakni dari awal proses
hingga akhir perayaan batamat saling membantu antar masyarakat dengan
masyarakat lainnya.

“Saban kali masyarakat kita merayakan tradisi, samuan masyarakat


di desa kita, tetangga kita umpat jua manggani’i, ada yang
menyumbang tanaga mambantu menyiapkan sagala keperluan, itu

30
Saidah, Wawancara.
79

sudah yang manjadi ciri masyarakat kita nih, saling mambantu mun
ada yang handak baacaraan.”31

Selanjutnya, peneliti juga menemukan nilai sebagai ajang


silaturahmi. Silaturahmi juga bisa sebagai faktor saling berkomunikasi
sesama tetangga atau individu dengan masyarakat lainnya. Makna
silaturahmi dalam tradisi batamat ialah menyambung tali persaudaraan
pada saat acara pelaksanaan tersebut dicirikan dengan mengundang tamu
yang hadir baik itu dari keluarga besar, tetangga hingga berbagai elemen
masyarakat lainnya. Karena bagi masyarakat Banjar bahwa perayaan
batamat adalah bagian penting dari perjalanan hidup mereka. Dengan
terjalinnya komunikasi antar masyarakat maka perayaan batamat akan
terlaksana dengan lancar mulai dari tahapan demi tahapan.

“Satiap diadakan batamat ngini pasti ramai lawan datangnya sanak keluarga
yang jauh dan takumpulan tetangga-tetangga yang parak rumah gasan
mambantu perayaan batamat.”32

Bagi masyarakat Banjar, nilai-nilai sosial yang terdapat dalam tradisi


batamat tidaklah jauh berbeda dari ajaran Islam. Selain itu, ini juga
merupakan refleksi dan realitas dalam kehidupan keagamaan dalam praktik
budaya dan tradisi yakni tradisi batamat Al-Qur’an. Mereka juga
berkeyakinan bahwa tradisi ini merupakan ada kebiasaan yang sangat baik
untuk dilaksanakan serta turut dilestarikan secara turun temurun, dan bukan
sesuatu yang diwajibkan dalam keislaman sehingga apabila tidak dikerjakan
tidak mendatangkan dosa.

E. Makna Al-Qur’an dalam Tradisi Batamat Bagi Masyarakat


Banjar

31
KH. Saifuddin, Wawancara.
32
Ahmad Ridwan (Guru SMA), diwawancarai oleh Hidayat Salam, Kandangan, 11
Maret 2020, Kalimantan Selatan.
80

Dalam menggali sebuah makna diperlukan metode reduksi ketiga atau


reduksi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, bukan pula
mengenai hal-hal sejauh mana menampakkan diri kepada kesadaran, tetapi
reduksi trasendental khusus merupakan: wende zum subject (pengetahuan
ke subjek) dan mengenai terjadinya penampakkan sendiri, dan mengenai
akar-akar kesadaran. Oleh karena itu, diperlukan penyaringan terhadap
segala sesuatu yang tidak memiliki hubungan timbal balik antara subjek dan
objek. 33

Artinya dalam melakukan penyaringan tersebut makan makna dari


apa yang dilakukan masyarakat Banjar dalam tradisi batamat al-Qur’an ini
sebagai bentuk dalam menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang diimani dan
disakralkan, al-Qur’an merupakan pedoman hidup dan meraih keberkahan
serta menjadikan al-Qur’an untuk memperoleh ketentraman jiwa.

1. Al-Qur’an sebagai kitab yang sakral untuk diimani

Dalam tradisi batamat tersebut, bagi masyarakat Banjar tradisi


tersebut mendorong mereka untuk selalu membaca al-Qur’an setiap
saat, bukan hanya dilakukan pada perayaan tertentu saja. Dalam
beberapa sesi wawancara dengan masyarakat setempat, ditemukan
bahwa tradisi tersebut salah satunya merupakan motivasi untuk selalu
membaca al-Qur’an karena merupakan suatu ibadah yang mendapat
pahala.

“Karena al-Qur’an yang dibaca dalam tradisi batamat mendatangkan


pahala, al-Qur’an mun kawa dibaca setiap hari, kada dibawa waktu
perayaan batamat. Berkat dibaca, hidup kita di dunia dan di akhirat
akan ditolong oleh al-Qur’an.”34

33
Hardiansyah A, "Teori Pengetahuan Edmund Husserl," 236
34
KH. Saifuddin, Wawancara.
81

Dalam keyakinan masyarakat Banjar, terutama pada budaya


batamat al-Qur’an terdapat kegiatan membaca al-Qur’an pada surah-
surah tertentu dalam mushaf al-Qur’an. Oleh karena itu, masyarakat
meyakini keutamaan yang diperoleh dalam membaca al-Qur’an akan
diselamatkan di akhirat nanti.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qs. al- Faṭir (35) ayat 29
terdapat keutamaan dalam membaca al-Qur’an sebagai berikut:

َ َ َ َ َٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َّ َ َٰ َ َ ُ ۡ َ َ َّ َّ
‫نف ُقوا ْ م َِّما َر َز ۡق َنَٰ ُه ۡم ِ ّٗر‬
‫سا‬ ‫إِن ٱَّلِين يتلون كِتب ٱَّللِ وأقاموا ٱلصلوة وأ‬
َ ‫ون ت َِجَٰ َر ّٗة لَّن َت ُب‬
٢٩ ‫ور‬
َ ُ ۡ َ ّٗ َ َ َ َ
‫وعَلنِية يرج‬
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,”( Qs.
al- Faṭir/35: 29)

Di samping itu, keyakinan masyarakat Banjar dengan membaca al-


Qur’an memperoleh pahala juga diperkuat oleh Hadis Nabi Saw.:35

‫وب بْ ِن‬َ ُّ‫اك بْ ُن عُثْ َما َن َع ْن أَي‬ َّ ‫َّدثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن بَشَّا ٍر َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر ا ْْلَنَ ِف ُّي َحدَّثَنَا الض‬
ُ ‫َّح‬
‫ال‬
َ َ‫ول ق‬ ُ ‫ود يَ ُق‬ ٍ ‫اَّللِ بن مسع‬ ِ ِ ٍ ‫موسى قَال ََِسعت ُُم َّم َد بن َكع‬
ُ ْ َ َ ْ َّ ‫ت َعْب َد‬ ُ ‫ب الْ ُقَرظ َّي قَال ََس ْع‬ ْ َْ َ ُ ْ َ ُ
‫اَّللِ فَلَهُ بِِه َح َسنَةٌ َوا ْْلَ َسنَةُ بِ َع ْش ِر‬
َّ ‫اب‬ ِ َ‫اَّلل َعلَْي ِه وسلَّم من قَرأَ حرفًا ِمن كِت‬
ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َُّ ‫صلَّى‬
َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫َر ُس‬
‫ف‬
ٌ ‫يم َح ْر‬ ِ ٌ ‫ف وََلم حر‬
ٌ ‫ف َوم‬ ْ َ ٌ َ ٌ ‫ف َح ْر‬
ِ
ٌ ‫ف َولَكِ ْن أَل‬ ُ ُ‫أ َْمثَ ِاِلَا ََل أَق‬
ٌ ‫ول امل َح ْر‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah


menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Hanafi telah menceritakan
kepada kami Adl dlahhak bin Utsman dari Ayyub bin Musa ia
berkata; Aku mendengar Muhammad bin Ka'ab Al Quradli berkata;
Aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata; Rasulullah Saw.

35
Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab al-Fadhail bi al-Qur’an, CD Rom,
Maktabah al-Shamilah, al-Isdaral-Thani, t.t.
82

bersabda, "Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah (Al-


Qur'an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan
akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan
alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu
huruf dan miim satu huruf."

Selain membaca al-Qur’an bernilai pahala, menurut Bapak


Saifuddin bahwa tradisi batamat meningkatkan keimanan masyarakat
terhadap kitab Allah tersebut. Dengan melaksanakan tradisi batamat
menumbuhkan keimanan terhadap kitab suci sejak kecil hingga
dewasa kelak.

“Kegiatan batamat ini, bagi kita orang tua gasan melajari anak-anak
mencintai dan mengimani al-Qur’an dan jua berpegang pada al-
Qur’an selama hidupnya, waktu masih halus mereka sudah kita
kanalakan lawan al-Qur’an”.36

Allah Swt. memerintah kepada umat Islam untuk beriman kepada


al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana firman Allah
Swt. dalam Qs. al-Baqarah (2) ayat 4:

َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ َ ُ ۡ ُ َ َّ َ
٤ ‫نزل مِن ق ۡبل ِك َوبِٱٓأۡلخ َِرة ِ ه ۡم يُوق ُِنون‬
ِ ‫نزل إِِلك وما أ‬
ِ ‫وٱَّلِين يؤمِنون بِما أ‬
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum
mu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Qs. al-
Baqarah/2: 4)

Selanjutnya dari hasil penelusuran lainnya bahwa masyarakat


Banjar sebelum membaca al-Qur’an yakni kebiasaan adalah bersuci
ketika hendak memegang mushaf ataupun membacanya. Dalam
tradisi batamat, para peserta akan lebih dulu untuk berwudhu sebelum
melaksanakan perayaan tersebut. Adapun adab terhadap al-Qur’an

36
KH. Saifuddin, Wawancara
83

terdapat dalam firman Allah Swt. Qs. al-A‘rāf (7) ayat 204 sebagai
berikut:

َ ُ َ ۡ ُ ۡ ُ َّ َ َ ْ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ۡ َ ُ َ
٢٠٤ ‫نصتوا لعلكم ترَحون‬ ِ ‫ِإَوذا ق ِرئ ٱلقرءان فٱست ِمعوا َّلۥ وأ‬
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. al-
A‘rāf /7: 204)

“Tapi mun kita bawudu lebih dulu sebelum membaca al-Qur’an akan
terasa kehidupan kita lebih tenang dan kada merasa gelisah.”37
Sedangkan menurut penjelasan Bapak Mawardhi, berwudhu atau
bersuci sebelum membaca al-Qur’an merupakan salah satu adab bagi
umat Islam terutama masyarakat Banjar yang dikenal agamis. Di
samping itu, kebiasaan masyarakat Banjar lainnya yakni menyimpan
mushaf al-Qur’an di tempat yang tinggi semisal di lemari dan
sebagainya. Keyakinan hal tersebut mereka anggap sebagai salah satu
mengagungkan kitab suci al-Qur’an.

2. Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dan keberkahan

Adapun penggunaan al-Qur’an yang coba ditelusuri dalam tradisi


batamat yakni masyarakat Banjar dalam membaca al-Qur’an untuk
memperoleh keberkahan hidup. Selain itu, al-Qur’an bagi masyarakat
Banjar merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan dan
diamalkan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada salah satu
warga, Ibu Saidah. Ibu berusia 52 tahun dalam kesehariannya setiap
sore akan pergi mengajar baca al-Qur’an kepada anak-anak di
lingkungan tempat ia tinggal.

37
Ahmad Mawardhi, Wawancara.
84

Berdasarkan pengakuannya, Ibu Saidah setiap kali membaca al-


Qur’an niat utama yang ia pegang ialah untuk memperoleh
keberkahan selain karena membaca al-Qur’an bernilai ibadah di sisi
Allah Swt. Untuk itu, kebiasaannya sebelum membaca kitab suci
tersebut ialah dalam keadaan suci atau berwudhu. Menurutnya dalam
mengharapkan keberkahan tersebut mempengaruhi kehidupannya
sehari-hari baik sebagai ibu rumah tangga di keluarga maupun di
tetangga sekitar.

“Kita nang masih manggawi kegiatan batamat karena mangharapkan


berkah lawan Allah dan kesalamatan gasan anak cucu, dan jua ucap
syukur karna anak-anak kita sudah menamatkan al-Qur’an 30 juz.”38
Selain mengerjakannya adalah ibadah, salah satunya juga
mencoba memahami perihal masyarakat Banjar yang mengharapkan
keberkahan dari membaca al-Qur’an. Keberkahan yang dipahami
ialah keberkahan hidup dan berdampak pada manfaat yang didapat
setelah membaca al-Qur’an. Pemahaman ini sejalan dengan temuan
dari berbagai literatur yang membahas motivasi membaca al-Qur’an.
Salah satu literatur yang diperoleh adalah tulisan karya Eva Nugraha
salah seorang dosen UIN Jakarta yang menulis dengan judul Ngalap
Berkah Qur’an: Dampak Membaca Al-Qur’an Bagi Para
Pembacanya.

Dalam tulisan tersebut ditemukan dampak positif atau nilai-nilai


kebaikan bagi mereka yang membaca al-Qur’an dengan tujuan
memperoleh berkah. Nilai keberkahan yang dimaksud adalah adanya
kebaikan, manfaat, dan faedah yang ada di dalam al-Qur’an. Dan

38
Saidah, Wawancara.
85

siapa pun yang berinteraksi dengan al-Qur’an dengan pemahaman


seperti ini, mereka akan mendapatkan keberkahan al-Qur’an.39

Di samping itu, pendapat lainnya yang dalam sesi wawancara


berikutnya terhadap masyarakat sekitar adalah al-Qur’an diyakini
masyarakat sebagai petunjuk dalam kehidupan, yang dapat dijadikan
sebagai kegiatan amaliah sehari-hari. Hal ini agar memperoleh
keselamatan baik kehidupan di dunia ataupun di akhirat. Hal ini
berdasarkan pernyataan dari bapak Khairani.

“Oleh masyarakat kita ini, membaca al-Qur’an dijadikan amaliyah


dalam kehidupan sehari-hari untuk mengarungi kehidupan di dunia
dan gasan penyelamat untuk meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat.”40

3. Al-Qur’an untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa

Pengalaman masyarakat Banjar dalam penggunaan ayat-ayat al-


Qur’an dalam kehidupan sehari-hari yakni diyakini sebagai
penyembuhan dari segala penyakit. Dalam praktiknya, fenomena ini
digambarkan oleh salah seorang warga setempat ketika dilakukan sesi
wawancara. Bapak Khairani kini berusia 50 tahun. Dalam
pengalamannya tersebut, ia menceritakan bahwa masyarakat di
lingkungan ia tinggal sering ditemukan kebiasaan masyarakat yang
meminta doa kesembuhan kepada tuan guru atau kiai setempat.

Dalam penjelasannya, bahwa kebiasaan masyarakat di sekitarnya


sering ia temukan kegiatan meminta air yang dibacakan al-Fātihah
atau meminta didoakan oleh tuan guru/kiai setempat. Hal ini mereka
lakukan untuk meminta kesembuhan kalau ia menderita penyakit

Eva Nugraha, "Ngalap Berkah Qur’an: Dampak Membaca Al-Qur’an Bagi Para
39

Pembacanya," Ilmu Ushuluddin 5.2 (2018): 91-106.


40
Khairani, Wawancara.
86

yang dipercaya masyarakat bahwa air mempunyai khasiat setelah


dibacakan doa oleh tuan guru.

“Masyarakat kita yang sebagian mempercayai bahwa isi kandungan


al-Qur’an sebagai syifaun atau pengobat baik sifatnya media ataupun
mental, sehingga sering kita jumpai tetangga-tetangga ataupun kita
sendiri meminta air kepada tuan guru atau kiai untuk didoakan dan
dibacakan ayat-ayat al-Qur’an.”41

Dalam menjadikan al-Qur’an sebagai penyembuhan lewat


medium air untuk segala penyakit juga selaras dengan ayat al-Qur’an.
Firman Allah Swt. dalam Qs. Yūnus (10) ayat 57 sebagai berikut:

ُ ُّ َ ‫ ر‬ٞ َ َ ۡ ُ ‫ ر َّ ر‬ٞ َ ۡ َّ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ


ِ‫يأيها ٱلاس قد جاءتكم موعِظة مِن ربِكم وشِفاء ل ِما ِِف ٱلصدور‬
َ ۡ ۡ‫ ر‬َٞۡ ّٗ ُ
٥٧ ‫َوهدى َو َرَحة ل ِل ُمؤ ِمن ِۡي‬

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari


Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Yūnus/10: 57)

Air sebagai alat pengobatan yang telah dibacakan ayat al-Qur’an


bukanlah praktik yang baru dilakukan oleh masyarakat Muslim.
Dalam sejarahnya, Rasulullah Saw. dan para sahabat mengobati
penyakit dengan doa yang berasal dari ayat-ayat suci al-Qur’an. Nabi
Saw. bersabda:42

‫ال‬
َ َ‫ال ق‬ ُّ ‫اَّللِ بْ ُن الْ ُم َؤَّم ِل َع ْن أَِِب‬
َ َ‫الزبَِْري َع ْن َجابِ ٍر ق‬ َّ ‫ت َح َّدثَِِن َعْب ُد‬ ٍ ِ‫حدَّثَنَا علِي بن ََثب‬
ُ ْ ُّ َ َ
ِ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َماءُ َزْمَزَم ل َما ُش ِر‬
ُ‫ب لَه‬ َ َّ ‫ول‬ُ ‫َر ُس‬
“Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Tsabit Telah menceritakan
kepada ku Abdullah bin Al Mu'ammal dari Abu Az Zubair dari Jabir

41
Khairani, Wawancara.
42
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Vol 3 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1995), 357.
87

berkata; Rasulullah Saw. bersabda, "Air Zam Zam mempunyai


khasiat tergantung niat yang meminumnya".

Begitu pula halnya yang diyakini oleh masyarakat Banjar bahwa


air yang telah dibacakan ayat al-Qur’an mengandung berbagai macam
khasiat bila didoakan oleh orang yang saleh yakni yang ibadahnya
lurus dan akidahnya yang kuat yang tidak mengandung hal-hal negatif
dalam dirinya. Keyakinan bahwa Allah Swt. yang berhak atas segala
pemberi kesembuhan dari berbagai penyakit yang diderita manusia.
Melalui Allah pula kesembuhan itu diberikan.

Oleh keyakinan tersebut, banyak dari masyarakat Banjar selain


meminta kesembuhan dari segala penyakit juga sebagai solusi
terhadap masalah pribadi yang dialaminya sehingga dapat
terselesaikan. Masalah pribadi bisa meliputi yang berhubungan
masalah rumah tangga, masalah jodoh, gangguan makhluk gaib
hingga masalah anak yang malas belajar. Masyarakat Banjar
meyakini dengan meminta air yang dibacakan ayat al-Qur’an dan
telah didoakan oleh orang saleh tersebut yang diyakini telah
mengandung khasiat yang luar biasa.

Pada tabel 4.1 di bawah ini merupakan hasil analisis dalam


penelitian ini untuk mengetahui pola makna serta dampak interaksi
dari membaca al-Qur’an oleh masyarakat Banjar. Dari penjelasan
sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa apabila sebelum membaca
al-Qur’an yang dilakukan sebagai ibadah ataupun hanya
menggugurkan kewajiban saja dapat memberikan dampak positif bagi
pembacanya. Namun hal ini perlu dibarengi dengan adab membaca
al-Qur’an sebagai interaksi. Selanjutnya akan diperoleh dampak
langsung dan tidak langsung seperti memungkinkan untuk lebih
lancar bacaannya. Adapun yang memperoleh ketenangan jiwa,
88

petunjuk hidup dan lainnya yang bisa dirasakan pembaca dapat


diperoleh setelah membaca berulang kali dan berinteraksi dengan
bacaan al-Qur’an tersebut.

Tabel 4.1: Kategorisasi makna-makna al-Qur’an di dalam tradisi


batamat

Dampak
Makna Interaksi
Langsung Tidak Langsung

Ibadah - Niat Lancar - Mendapatkan - Perubahan


bacaan ketenangan perilaku ke
karena
- Diberikan arah yang
Allah kemudahan lebih baik
- Berwudhu - Selalu dekat - Bisa
menyelesaikan
-Adab dengan
masalah
Qur’an - Kebutuhan
membaca
- Istiqomah tercukupi
- Tartil
- Ta’awudz
&
basmallah
Petunjuk Sda Lancar Yakin dengan - Menjadi
Hidup bacaan keistimewaan kebutuhan
Qur’an -
Mengikhlaskan
- Yakin
Rejeki Sda Lancar - Mengetahui - Mudah dalam
bacaan letak dan mempelajari
tema ayat Ilmu al-Qur’an
- Mengetahui - Kelancaran
makna ayat hidup seperti
- Memahami dalam
isi pernikahan
89

- Mengimani - Pekerjaan

Memberi - Sda Lancar - Memberi - Sering


ketenangan - Khasiat bacaan kebahagiaan mengaji
- Sembuh dari - Rajin
jiwa air sakit beribadah
- - Bertambah
kebaikan

F. Dampak Pembacaan Ayat-ayat Berdasarkan Fungsi Nama-nama


Al-Qur’an
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan lebih lanjut mengenai
makna al-Qur’an di dalam tradisi batamat dengan pendekatan sosial yakni
fenomenologi. Hasilnya ditemukan pola-pola perilaku yang muncul dari
pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Agar hasil
analisis penelitian lebih mendalam dan elaboratif diperlukan kerangka
lainnya seperti fungsi al-Qur’an di dalam perspektif ayat-ayat yang ditelaah
dari nama-nama al-Qur’an yang dicatat dari ayat-ayatnya. Di antara nama-
nama al-Qur’an tersebut telah menjelaskan fungsinya sebagai kitab suci
yakni pedoman al-ahkam al-syari’ah umat Islam ataupun al-furqon sebagai
pembeda antara al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya dan masih
banyak lagi.43
Dalam hal ini, sebagai kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. sebagai petunjuk umat Islam ini maka setiap orang
memiliki cara pandang berbeda dalam memfungsikan al-Qur’an. Ada yang
memfungsikan al-Qur’an sebagai bacaan rutin agar diberikan keberkahan
dalam menjalani kehidupan, ada juga yang menjadikan al-Qur’an sebagai
sarana pengobatan dan masih banyak lagi. Dalam buku Mabahis Fii Ulumul

43
Dr. Muhammad Muhaisin, Fi Rihab al-Qur’an al-Karim, jili 1 (Beirut: Dar al-
Jail), 18-19.
90

Qur’an disebutkan fungsi al-Qur’an yang menggambarkan apa yang


melekat pada nama-nama al-Qur’an seperti al-Hudā, al-Syifā, al-Furqān,
44
dan lainnya. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim bahwa al-Qur’an
memiliki dampak yang besar dalam kehidupannya, khususnya dalam
perbuatan maupun pengambilan sikap.
Terkait dampak yang dirasakan oleh masyarakat Banjar setelah
membaca al-Qur’an tentunya menjadi pembahasan terakhir di dalam
penelitian ini yang mengungkap pola pemaknaan masyarakat Banjar di
dalam tradisi batamat al-Qur’an. Pada bagian ini penulis akan menjabarkan
terkait dampak yang dirasakan oleh masyarakat Banjar. Hasil penjelasan ini
penulis menggunakan kerangka dari fungsi al-Qur’an berdasarkan nama
lainnya yang diolah dari hasil wawancara kepada responden.
Secara umum, para informan mengetahui bahwa al-Qur’an memiliki
fungsi sebagai petunjuk atau al-hudā, hanya saja terdapat perbedaan dalam
memahami arti petunjuk di sini. Semisal menurut Khairani yang dimaksud
petunjuk adalah memperoleh keberkahan dan manfaat baik di dunia
maupun di akhirat. 45 Adapun informan lain yang menyebut petunjuk ini
yakni berupa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain juga sebagai
petunjuk, terdapat juga temuan lainnya yang berhubungan fungsi al-Qur’an
seperti al-syifā, al-mubarak, al-dzikir, dan al-hikmah. Bagi penulis, apa
yang disebutkan oleh para informan tersebut adalah karena mereka
meyakini bahwa al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam melanjutkan pembahasan sub bab di atas sebelumnya, penulis
di sini berupaya untuk menelaah apa yang dipahami para pembaca al-
Qur’an di dalam kehidupan sehari-hari. Berhubungan dengan berbagai

44
Manna’ Al-Qaththān, Mabāḥīts fi ‘Ulūm al-Qur’ān, terj. H. Aunur Rafiq,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 15.
45
Khairani, Wawancara.
91

fungsi al-Qur’an tersebut, menunjukkan dengan bahwa kegiatan membaca


al-Qur’an dengan tujuan yang beragam, akan tetapi juga tetap memiliki
pemahaman yang hampir serupa. Hal ini diketahui saat dilakukan dengan
pola-pola seperti syarat, definisi dan juga dampaknya. Hasilnya
menunjukkan seperti syarat dalam mendapatkan al-Syifā dari kegiatan
membaca al-Qur’an diperlukan keikhlasan dan yakin akan keistimewaan
dari al-Qur’an tersebut. Bahkan ada beberapa informan yang menyebut
kuncinya adalah dengan selalu dekat kepada al-Qur’an. Secara garis besar
syarat ini telah menjadi utama dalam melakukan interaksi kepada al-Qur’an
selain juga karena alasan ibadah membaca al-Qur’an.
Agar lebih mudah dalam menjabarkan temuan penelitian, dapat
dilihat pada tabel 4.2 pada kolom syarat telah dikelompokkan berdasarkan
fungsi al-Qur’an, di mana secara umum membaca sebagai ibadah adalah
yang paling umum disebutkan. Walaupun harus dibarengi dengan istiqomah
membaca al-Qur’an. Selain itu, penulis juga mencoba menguraikan
pemahaman fungsi al-Qur’an melalui definisi-definisi. Hasilnya cukup
beragam seperti memperoleh pahala yang dilipatgandakan, segala rezeki
hidup, ataupun sebagai petunjuk dunia dan akhirat. Lalu apabila menelaah
terkait dampak yang diterima dari kegiatan membaca al-Qur’an secara
umum bisa diperoleh menjadi dua bagian. Pertama, dampak yang dirasakan
mungkin yang bisa diterima di dunia seperti ketentraman hati atau
kemurahan rejeki atau bisa berupa perilaku baik dan terhindar dari sifat
batil. Kedua, adalah memperoleh pahala yang berlipat dari membaca al-
Qur’an, dalam hal ini berkaitan dengan akhirat.
92

Tabel 4.2 Fungsi Al-Qur’an Bagi Masyarakat Banjar


Istilah Definisi Syarat Tujuan Dampak
Al-Syifā Kesembuhan - Ikhlas - Ibadah - Ketenangan
rohani - Yakin -Kebutuhan dan
maupun fisik dengan ketentraman
keistimewaa jiwa
n al- Qur’an
- Selalu
dekat
dengan
Qur’an
Al-Hudā - Petunjuk sda Ibadah - Pahala
- Banyak berlipat
manfaat dan - Wasilah
keberkahan Syafaat
- Petunjuk
dunia dan
akhirat

Adz- - Mengingat - Dibaca - Ibadah Pahala


dzikir - Bersumber - Dekat dengan al- - Kebutuhan berlipat
dari Allah Qur’an
- Kebaikan - Istiqomah
dilipatgandak
an
Al- -Keberkahan Dibaca - Ibadah -Tercukupi
Hikmah di dunia dan - Belajar hidup
akhirat - makmur
- Berkembang
dan
bertambah
besar
manfaatnya
93

Al- - Keberkahan - Iman - Ibadah - keberkahan


Mubarak - Segala -Istiqamah - Belajar - Tercukupi
rezeki hidup - Dibaca dan hidup
dikaji - Makmur
kandungannya - Tidak batil
- Pahala
berlipat
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam perayaan tradisi


batamat al-Qur’an oleh masyarakat Banjar terutama di daerah Kandangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, penulis memaparkan hasil dari kajian
living Qur’an bahwa tradisi batamat merupakan sebuah tradisi masyarakat
muslim yang dilaksanakan turun temurun. Tradisi batamat al-Qur’an
sebagai kegiatan perayaan ketika masyarakat Banjar selesai atau tamat
membaca 30 juz al-Qur’an.

Dalam proses pelaksanaannya, semua perlengkapan dan hal-hal yang


dibutuhkan dipersiapkan agar tradisi batamat berjalan dengan lancar.
Dalam keperluan tersebut terdapat aneka kue-kue dan makanan khas suku
Banjar. Selain aneka kue tersebut, perlengkapan seperti payung kambang
dengan hiasan gantung seperti uang-uang kertas, cemilan kecil-kecil dan
berbagai hiasan lainnya. Guru mengaji akan memulai dengan membaca
surah al-Fātihah, yang dilanjutkan oleh para peserta membaca surah Aḍ-
Ḍuḥa sampai surah an-Nass. Di samping itu, setiap selesai membaca satu
surah diharuskan membaca tahlil dan tahmid. Selanjutnya guru mengaji
akan menutup kegiatan batamat dengan membaca doa khataman al-Qur’an.

Sementara itu, dari tradisi batamat al-Qur’an ini juga melahirkan


nilai-nilai lokal yang telah terjaga hingga saat ini. Pemahaman masyarakat
Banjar terhadap tradisi batamat al-Qur’an bagi kehidupan sehari-hari yakni
terbentuknya sikap untuk menjaga tali silaturahmi, saling tolong menolong
dan sikap gotong royong. Dengan adanya tradisi batamat al-Qur’an sesama
masyarakat menjadi semakin erat tali persaudaraannya. Adapun makna al-
Qur’an dalam tradisi batamat bagi masyarakat Banjar adalah sebagai

94
95

bentuk untuk mengharap keberkahan dan keselamatan dari kegiatan


membaca al-Qur’an. Baik itu keselamatan untuk dirinya ataupun untuk
keluarganya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini jauh dari kata sempurna,
sehingga diperlukan kajian-kajian lain yang tentunya dapat melengkapi
kekurangan-kekurangan yang ada dalam kajian ini. Penulis juga menyadari
masih banyak celah dalam kajian tersebut. Oleh karena itu, penulis berharap
akan muncul kajian-kajian baru yang serupa dan dilakukan dengan lebih
baik oleh para pengkaji studi al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama dan Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung : Mizan, 1998.

Badan Pusat Statistika. “Kecamatan Kandangan Dalam Angka.” Diakses,


26 Juli 2021,
https://hulusungaiselatankab.bps.go.id/publication/2019/09/26/9ad9d
2f89e7682df11cab7e3/kecamatan-kandangan-dalam-angka-
2019.html

Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 1997.

Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada. 2015

Hanbal, Ahmad ibn Muhammad. Musnad Imam Ahmad. Vol 3. Beirut:


Mu’assasah al-Risalah, 1995

Hapip, Abdul Jebar. Kamus Banjar-Indonesia. Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,1977.

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu


Sosial. Jakarta: Salemba. 2010.

Hitami, Munzir. Pengantar Studi Al-Qur'an: Teori Dan Pendekatan. Lkis


Pelangi Aksara, 2012.

Imam al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, Bab al-Raqa bi al-Qur’an. CD Rom,


Maktabah al-Shamilah, al-Isdaral-Thani, t.t..

Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan


Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung:
Mizan. 2001.

96
97

Mansur, M dkk. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis.


Yogyakarta: Teras, 2007.

Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon.


Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Muhaisin, Dr. Muhammad. Fi Rihab al-Qur’an al-Karim, jilid 1. Beirut:


Dar al- Jail.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya. 2010.

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta:


Idea Press Yogyakarta, 2014.

Nadhiroh, Wardatun. Tradisi Kelisanan dan Keaksaraan Al-Qur’an di


Tanah Banjar. Banjarmasin: Antasari Press, 2018.

Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta, 2016.

Al-Qaththān, Manna’. Mabāḥīts fi ‘Ulūm al-Qur’ān. terj. H. Aunur Rafiq.


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Rusdi, Muchtar. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta:


Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009.

Sahriansyah. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Banjarmasin: IAIN


Antasari Press, 2015.

Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005.

Sukandarrumidi. Metode Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti


Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2006.

Syarifuddin, Ahmad. Mendidik Anak: Membaca, Menulis d Mencintai Al-


Qur’an. Gema Insani, 2004.
https://books.google.co.id/books?id=IjYOx5X3NegC&printsec=fron
98

tcover&source=gbs_ge_summary_r&cad
=0#v=onepage&q&f=false

Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di


Indonesia. Bandung : PT. al-Ma’arif, 1980.

“KBBI-online”. diakses pada tanggal 6 Februari 2020.


http://kbbi.web.id/

Jurnal, Skripsi, Tesis dan Disertasi Terkait

A, Hardiansyah. "Teori Pengetahuan Edmund Husserl." Substantia: Jurnal


Ilmu-Ilmu Ushuluddin 15.2 (2013): 226-236.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. "The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif


Antropologi." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20.1
(2012): 235-260.

Akbar, Agus Subhan. "Khataman Qur’an Berjamaah Secara Online


Berbasis Instant Messaging Server." Njca (Nusantara Journal Of
Computers And Its Applications) 2.2 (2018).

Ali, Muhammad. “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’an dan Living
Hadith.” Journal of Qur’an and Hadith Studies Vol. 4, No. 2, (2015).
147-167

Azizah, Rochmah Nur. Tradisi Pembacaan Surat Al-Fatihah Dan Al-


Baqarah (Kajian Living Qur'an Di Pptq'aisyiyah Ponorogo). Diss.
Iain Ponorogo, 2016.

Buseri, Kamrani. "Budaya spiritual Kesultanan Banjar : Historisitas dan


relevansinya di masa kini." Seminar Penguatan Budaya Banjar dan
Peran Kesultanan dalam Menjawab Tantangan Zaman. Vol. 8. 2011.

Faridhatul, Helmi. Riwayat Surah Al-Fath dan Al-Taubah Dalam


Rangkaian Pembacaan Maulid Nabi (Studi Kasus Tradisi Maulid
di Pulau Kelapa). Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019.
99

Fauzan Nasir, Muhammad. Pembacaan Tujuh Surat Pilihan Al-Qur’an


Dalam Tradisi Mitoni. Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri
Surakarta, 2016.

Fauzi, Ahmad Nailul. "Komodifikasi Agama Terhadap Pembacaan


(Khataman) Alquran Air Kemasan Kh-Q Pt. Buya
Barokah." Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis 7.02
(2019): 281-298.

Fauziah, Siti. "Pembacaan Al-Qur’an Surat-Surat Pilihan di Pondok


Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living
Qur’an)." Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al- Qur’an dan Hadis 15.1
(2014).

Hakiemah, Ainun dan Jazilus Sakhok. "Khataman Alquran di Pesantren


Sunan Pandanaran Yogyakarta: Kajian Living Hadis." Mutawatir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith vol.9, no.1 (2019): 125-144.

Hasanah, Hasyim. "Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode


pengumpulan data kualitatif ilmu-ilmu sosial)." At-Taqaddum 8.1
(2017): 21-46.

Imroatussholihah. Resepsi Terhadap Pembacaan Surah Al-Lahab Sebagai


Penangkal Hujan. Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2018.

Indriati, Anisah. "Ragam Tradisi Penjagaan Al-Qur’an Di Pesantren (Studi


Living Qur’an Di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, An-Nur
Ngrukem, Dan Al-Asy’ariyyah Kalibeber)." Al Itqan: Jurnal Studi Al-
Qur'an 3.1 (2017).

Jamalie, Zulfa. "Akulturasi Dan Kearifan Lokal Dalam Tradisi Baayun


Maulid Pada Masyarakat Banjar." El Harakah Jurnal Budaya
Islam 16.2 (2014): 234-254.

Jannah, Miftahul. “Batamat Al-Qur’an Masyarakat Banjar Kalimantan


Selatan.” Makalah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2014.
100

Junaedi, Didi. "Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-
Qur’an (Studi Kasus Di Pondok Pesantren As- Siroj Al-Hasan Desa
Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)." Journal Of Qur'an And
Hadith Studies 4.2 (2015): 169-190.

Kusuma. “Motivasi Masyarakat Palangka Raya dalam Pelaksanaan Tradisi


Menunggu Kuburan dalam Tinjauan Hukum Islam”. Jurnal Studi
Agama dan Masyarakat V 11, no. 2 (Desember, 2015) Diakses pada
selasa 8 Oktober 2019

Laila, Fazat. Praktik Khataman al-Qur’an Berjamaah di Desa Suwaduk


Wedarijaksa Pati (Kajian Living Hadis). Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang, 2017.

Marwah. “Resepsi Al-Qur’an Dalam Tradisi Mappanre Temme’ (Studi


Living Qur’an di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan.” Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2018.

Mujahidin, Anwar. "Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Quran


Sebagai Jimat Dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo." Kalam 10.1
(2016): 43-64

Mulyadi, Yudi. Al-Qur’an dan Jimat Studi Living Qur’an pada Masyarakat
Adat Wewengkon Lebak Banten. Tesis S2., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

Mundzir, Chaerul. "Nilai Sosial Dalam Tradisi Mappanre Temme’ di


Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru." Rihlah: Jurnal
Sejarah Dan Kebudayaan 1.01 (2014): 69-80.

Murni, Dewi. "Paradigma Umat Beragama Tentang Living Quran


(Menautkan Antara Teks Dan Tradisi Masyarakat)." Syahadah:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Keislaman 4.2 (2016).

Noorthaibah. “Refleksi Budaya Muslim pada Adat Perkawinan Budaya


Banjar di Kota Samarinda.” Fenomena V. IV, No.1 (2012)
101

Nugraha, Eva. "Ngalap Berkah Qur’an: Dampak Membaca Al-Qur’an Bagi


Para Pembacanya." Ilmu Ushuluddin 5.2 (2018): 91-106.

Nurfarihah. Perubahan Pelaksanaan Khataman Al-Qur’an Dalam Adat


Perkawinan Betawi (Studi Kasus di RW 02 Kelurahan Ceger Jakarta
Timur). Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.

Rafiq, Ahmad. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of


Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community.” Disertasi
S3., Temple University Amerika Serikat, 2014.

Rohmah, Umi Nuritayatur. Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam Ritual


Rebo Wekasan. Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.

Sadiq, Mohammad dan Hartini. “Etnografi Sebagai Teori dan Metode.”


Kordinat Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam
18.1 (2019): 23-24.

Sadiyan. Fenomena Pengamalan Surah Al-Insyirah pada Masyarakat


Kecamatan Bajuin Pelaihari Kalimantan Selatan. Skripsi S1.
Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2017.

Saputra, Riza. "Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Batamat
al-Qur’an Urang Banjar." Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur'an dan
Hadis Vol.3, No.1 (2021): 1-32.

Supriyani, Endah. Tradisi Khatam Al-Qur’an Pada Pernikahan Suku Bugis


di Palembang (Studi Kasus di 3 Iir Palembang). Skripsi S1
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang 2018.

Syukran, Agus Salim. "Fungsi Al-Qur'an bagi Manusia." Al-I’jaz: Jurnal


Studi Al-Qur’an, Falsafah dan Keislaman 1.2 (2019): 90-108.

Wirdanengsih. "Makna Dan Tradisi-Tradisi Dalam Rangkaian Tradisi


Khatam Quran Anak-Anak Di Nagari Balai Gurah Sumatera
102

Barat." Gender Equality: International Journal Of Child And Gender


Studies 5.1 (2019): 9-24.

Zainuddin, Ahmad dan Faiqotul Hikmah. "Tradisi Yasinan (Kajian Living


Qur’an Di Ponpes Ngalah Pasuruan)." Mafhum 4.1 (2019): 9-26.

Wawancara

Ahmad Ridwan (Guru SMA). Diwawancarai oleh Hidayat Salam.


Kandangan, 11 Maret 2020, Kalimantan Selatan.

Anwari, Zain (Sekretaris BKPRMI Kabupaten Hulu Sungai Selatan).


Diwawancarai oleh Hidayat Salam. Kandangan, 15 Februari 2020,
Kalimantan Selatan.

Fauziah, Ida (Ibu Rumah Tangga). Diwawancarai oleh Hidayat Salam.


Kandangan, 1 Maret 2020, Kalimantan Selatan.

H. Hilmi (Pensiunan). Diwawancarai oleh Hidayat Salam. Kandangan, 20


Februari 2020, Kalimantan Selatan.

Husna (Guru Honorer). Diwawancarai oleh Hidayat Salam. Kandangan, 17


Februari 2020, Kalimantan Selatan.

KH. Saifuddin (Ketua MUI Kec. Kandangan/ Penceramah). Diwawancarai


oleh Hidayat salam. Kandangan, 25 Februari 2020, Kalimantan
Selatan.

Khairani (Ustadz/Penceramah). Diwawancarai oleh Hidayat Salam.


Kandangan, 5 Maret 2020, Kalimantan Selatan.

Mawardhi, Ahmad (Guru Sekolah Dasar). Diwawancarai oleh Hidayat


Salam. Kandangan, 1 Maret 2020, Kalimantan Selatan.

Muhammad Fadhil (Honorer). Diwawancarai oleh Hidayat Salam.


Kandangan, 21 Februari 2020, Kalimantan Selatan.
103

Saidah (Guru Mengaji/Ibu rumah tangga). Diwawancarai oleh Hidayat


Salam. Kandangan, 20 Februari, Kalimantan Selatan.

Taha, H M (Kabag Kesra Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Diwawancarai


oleh Hidayat Salam. Kandangan, 24 Februari 2020, Kalimantan
Selatan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

TRANSKRIP WAWANCARA

Nama: A. Mawardi
Alamat: Jl. Rantauan Desa Gambah dalam Rt.4 Rw. 2
Usia: 57 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Pekerjaan: Guru SD
Saya: “Bagaimana praktik tradisi Batamat al-Qur’an oleh masyarakat
setempat?”
Informan: “Jadi tradisi kita biasanya dipraktikkan oleh anak-anak usia 9
tahun sampai 12 tahun apabila sudah mencapai 25 juz membaca al-Qur’an.”
Saya: “Bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan?”
Informan: “Urang nang handak batamat gasan anak-anak tk al-Qur’an atau
nang kelas 6 sekolah dasar mamakai pakaian urang datang haji.
Kebiasaannya pelaksanaannya tu ada dua tempat bisa di masjid ar raudhah
atau bisa jua di masjid agung takwa.”
Saya: “Apa saja yang harus dibaca dalam tradisi tersebut?”
Informan: “pamulaan membaca surah ad-dhuha sampai surah an-nas, imbah
itu babulik pulang membaca surah al-fatihah dan lima ayat surah al-
baqarah lalu hanyar mambaca doa batamat atau khataman al-qur’an”
Saya: “Apakah ada makna tertentu dari pembacaan ayat tersebut?”
Informan: “Jadi dibuliki membaca surah-surah lagi ke awal surah di kitab
alquran sakira balanjut mangaji kada tuntung di situ haja, batarusan mangaji
sampai mati, maksud mambaca surah-surah itu supaya kada ampih mangaji
tapi batarusan mangaji kada ampih-ampih.”
Saya: “Apa tujuan dari pelaksanaan tersebut?”
Informan: “Nah jadi tujuan batamat quran ini tadi pertama sebagai bukti
bagi mereka yaitu tamat jadi sebagai tanda sukur mereka sudah
manamatkan alquran itu dan diharapkan bagi mereka yang sudah tamat ini

104
105

dapat melanjutkan untuk belajar baik itu tartil biasa atau pun biasanya
belajar tilawah.”
Saya: “Apa yang diharapkan setelah melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Diharapkan yang batamat alquran harus mengulang kembali dan
malanjutkan mangaji nang biasanya membaca tartil itu kami mengharapkan
supaya lebih baik lagi.”
106

Nama: H. M. Saifuddin Zuhri


Alamat: Jl Mayjen Sutoyo, Rt. 10 Rw. Kelurahan
Kandangan Kota
Usia: 54 Tahun
Jenis Kelamin: Laki- Laki
Pekerjaan: Ketua MUI Kecamatan Kandangan/ Tokoh
Masyarakat
Saya: “Bagaimana pandangan anda terhadap tradisi batamat al-Qur’an yang
biasa dilaksanakan oleh masyarakat Banjar?”
Informan: “Balajar mangaji dimulai TK al-qur’an nang dilajari sampai
tamat, imbah tuntung diadakan batamat oleh masyarakat kita, fungsinya itu
sakira kita bisa membaca alquran dengan bagus dan baik, dan itu dilajari jua
membaca tajwidnya. Namun mun dari masyarakat balajar diundang guru
ngajinya yang malajari nah langsung diadakan batamat”

Saya: “Bagaimana tradisi ini dimulai oleh masyarakat Banjar?”


Informan: “ujar kepercayaan urang tuha bahari ajaran Islam nang datang di
masyarakat kita dahulu berbaur dengan tradisi sebelumnya, makanya setiap
tradisi yang ada bacampur dengan ajaran islam, samisal tradisi al-Qur’an
nang mana ulama banjar seperti Syech Arsyad al-Banjari baiisi kitab Sabil
al-muhtadin yang jadi rujukan masyarakat kita banjar.”
Saya: “Menurut anda apa tujuan dari pelaksanaan batamat al-Qur’an?”
Informan: “Pertama mudah-mudahan hidup kita berkah, damai setiap
pekerjaan kita selingi hidupnya jadi berkah dan kemuliaan dan kebahagiaan.
Karena alquran yang dibaca ini karamatnya bagi hidup kita. Mun kawa
sahari ini dibaca lima baris atau satu halaman cuman rutin. Terus bisa juga
kita mengerti baca terjemahnya dan mengupas tafsirnya. Artinya berkat al-
qur’an membuat hidupnya nyaman dan tidak gelisah.”

Saya: “Bagaimana peran tokoh agama dalam tradisi tersebut?”


Informan: “Guru ngaji yang malajari anak-anak itu, diundang oleh orang
tuanya untuk memimpin tradisi batamat”
107

Saya: “Tradisi ini bisa disebut dengan khataman al-Qur’an, apa yang
membedakannya dengan khataman yang lainnya?”
Informan: “Batamat nang biasa kita adain mungkin kada di sini haja, di
tempat lain bisa haja ada jua, tapi nang ada di masyarakat kita itu upacara
pabila sorang anak sudah tuntung mangaji al-Qur’an lalu diadain lah itu
semacam basamalatan jar urang batamat.”
Saya: “Adakah makna tertentu dalam pelaksanaan tradisi ini?”
Informan: “Al-Qur’an dibaca ini dalam tradisi batamat mendatangkan
pahala, al-Qur’an mun kawa dibaca saban hari, kada dibawa waktu
perayaan batamat. Berkat dibaca, hidup kita di dunia dan di akhirat akan
ditolong oleh al-Qur’an.”
Saya: “Apakah tradisi ini merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat
setempat?”
Informan: “Kebiasaan masyarakat kita, anak-anak nang halus kira-kira
umur tujuh tahun sudah mulai disuruh kawitannya belajar mengaji, mun
kada umpat perayaan batamat ada bahanu rasa sopan bila balum manggawi
batamat.”
108

Nama: Zain Anwari


Alamat: Jl. Teluk Masjid Rt. 8 Kelurahan Kandangan Kota
Usia: 34 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki
Pekerjaan: Guru Honerer
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat Aal-Qur’an
dilaksanakan?”
Infroman: “Ada batamat masal kakanakan sakulah tk al-qur’an, bahanu
imbah hari raya idul fitri atau hari raya idul adha, lawan saban bulan puasa
ada jua maadakan batamat”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Kakanakan sakulah nang sudah tamat mangaji”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Sakira mangaji batarusan, malajari kakanakan mangaji saban
hari kada ampih pas sudah umpat batamat lawan sakira dapat berkah dan
keselamatan hidup di dunia berkat kita mengaji al-Qur’an”
Saya: “Bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan?”
Informan: “Bila batamat tu harus disipakan badahulu keperluannya samisal
payung kambang, wadai-wadai, nasi ketan. Imbah itu kakanakan mamakai
baju urang datang haji, guru ngaji mambaca al-fatihah, imbah itu kakanakan
bagantian mambaca surah mulai ad-dhuha sampai an-nas. Babulik pulang
mambaca al-fatihah lawan ayat pamulaan surah al-Baqarah,imbah tuntung
guru ngaji memimpin doa batamat al-Qur’an.”
109

Nama: H. Khairani
Alamat: Desa Pahampang No. 53 Padang Batung
Usia: 50 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki
Pekerjaan: Ketua Baznas Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Saya: “Bagaimana pandangan anda terhadap tradisi batamat al-Qur’an yang
biasa dilaksanakan oleh masyarakat Banjar?”
Informan: “Tradisi batamat sebagai animo dari masyarakat yang ingin
belajar al-Qur’an, ini sudah menjamur hingga tingkat wilayah-wilayah yang
terkecil artinya masyarakat dengan kaitannya alquran ini sudah sangat
antusias untuk mempelajari khususnya membaca ya walaupun kedua orang
tuanya belum bisa membaca, namun mereka tidak ingin anaknya tidak bisa
membaca seperti mereka oleh karena itu mereka mengharapkan ke depan
anaknya bisa membaca walaupun kedua orang tuanya masih terbata-bata.
Tapi anak cucunya dia kirimkan untuk belajar membaca alquran jadi ini luar
biasa di kalangan masyarakat”
Saya: “Bagaimana tradisi ini dimulai oleh masyarakat Banjar?”
Informan: “Bahari rancak ditemukan jimat-jimat panggalan al-Quran yang
disalahartikan seperti misalnya untuk supaya memancing datangnya rejeki,
maknanya tradisi itu kita sebarkan di masyarakat bahwa itu bertentangan
misiditurunkannya al-Quran. Imbah itu, karna urang bahari jua punya
tradisi sabalumnya ini, jadi ada bacampur lawan tradisi batamat yang kita
amalakan sampai wahini. Ada jua badua pangantin lalaki wan babanian
melaksanakan batamat di rumahnya saurang mun wayahini jarang ada
pangantin yang melaksanakan batamat, ada yang manggawi pengajian biasa
haja kadang di rumah babiniannya.””
Saya: Menurut anda apa tujuan dari pelaksanaan batamat al-Qur’an?
Informan: “Walaupun mereka lah tidak tahu isi kandungan alquran tapi
nilai-nilai alquran sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat baik
terpelajar ataupun awam sekalipun.”

Saya: “Bagaimana peran tokoh agama dalam tradisi tersebut?”


110

Informan: “Guru-guru malajari nah langsung batamat, itu acaranya dari


jiran tetangga.”
Saya: “Tradisi ini bisa disebut dengan khataman al-Qur’an, apa yang
membedakannya dengan khataman yang lainnya?”
Informan: “Keyakinan masyarakat kita ini dalam membaca al-Qur’an
dijadikan amaliyah dalam kehidupan sehari-hari untuk mengarungi
kehidupan di dunia dan gasan penyelamat untuk meraih kebahagiaan dunia
dan akhirat, karena itu mungkin tradisi kita sedikit berbeda dengan yang
lain”
Saya: “Adakah makna tertentu dalam pelaksanaan tradisi ini?”
Informan: “Jadi urang batamat bahari sebagian mempercayai bahwa al-
Qur’an itu adalah syifaun atau pengobat baik itu yang sifatnya medis
ataupun mental ini banyak masayarakat yang minta ditiupkan seperti air
yang ditiupkan isi alquran oleh guru agama.”
Saya: “Apakah tradisi ini berlangsung secara turun temurun?”
Informan: “Urang tuha bahari mangharapkan ke depan anak cucunya bisa
membaca walaupun kedua orang tuanya masih terbata-bata. Tapi anak
cucunya dia kirimkan untuk belajar membaca alquran jadi ini luar biasa di
kalangan masyarakat”
111

Nama: Saidah
Alamat: Jl Negara Desa Gambah Dalam Rt.3 Rw.2
Usia: 52 tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Diadakan pada acara batamat kakanakan sakolah mangaji tk al-
Qur’an, atau kakanakan sakolah dasar, imbah itu ada batamat pas bulan
puasa lawan batamat gasan diri saorang haja.”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Mun inya balum suah batamat pas kakanakan sakolah maka pas
handak kawin melaksanakan batamat, namun rajinnya pas kakanakan sudah
manggawi batamat pas masuk sakolah arab.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Menurutku menamatkan Alquran ini sebagai tanda kita
memuliakan kitab al-Qur’an, apalagi waktu batamat al-Qur’an pas
kakanakan digawi waktu maulid Nabi jadi kita menghormati Nabi
Muhammad yang membawa kita al-Qur’an.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Kita nang masih manggawi kegiatan batamat karena
mangharapkan berkah lawan Allah dan kesalamatan gasan anak cucu, dan
jua ucap syukur karna anak-anak kita sudah menamatkan al-Qur’an 30 juz.”
112

Nama: H. Hilmi
Alamat: Jl. Negara Desa Gambah Dalam Rt.3 Rw.2
Kecamatan Kandangan
Usia: 62 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Pekerjaan: Pensiunan Guru
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Bila bula puasa batamatan rajin di langgar. Di kampung kita nih
satiap tahun bila bulan puasa manggawi batamat. Ada jua yang
melaksanakan batamat pas bulan maulid atau rahat urang mayaratus. ”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Di kampung kita pabila sudah masuk bulan puasa buhan langgar
mangaji satiap malam imbah tarawih, makanya kita batamat satiap bulan
puasa.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Karna digawinya pas bulan puasa, kita marasakan manfaatnya,
barkah alquran, lawan pas bulan puasa, alquran diturunkan jadi baik banar
mun kita melaksanakan amalan ini.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Sakira kita mandapat rahmat wan karunia Allah taala, nan jua
supaya dapat barakatnya alquran.”
113

Nama: H. M Taha
Alamat: Jl Ahmad Ayani Desa Gambah Luar Muka
Usia: 57 Tahun
Jenis Kelamin: laki-laki
Pekerjaan: Kabag Kesra Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Nah khusus di Sekda ini, setiap minggu mengadakan khataman
al-Qur’an. Jadi setiap jumat tu batamat al- Qur’an. Biasanya ada orang
yang ditunjuk gasan memimpin acara ini. Lawan mun gasan ASN
keseluruhan di kabupaten HSS diadakan pas malam Nuzulul Qur’an
bulan Ramadan. Lokasinya di masjid Taqwa Kandangan. Jadi ini sebagai
implentasi dari visi misi Bupati HSS, untuk seluruh ASN diwajibkan
mengaji al-Qur’an dulu 15 menit sebelum memulai bekerja.”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Jadi seluruh ASN di Kabupaten HSS itu setelah apel pagi
serentak keseluruan sebelum bekerja untuk mengaji dulu sekitar 15 menit,
dan gasan batamat al-Qur’an ini di masing-masing SKPD nya.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Pengaruhnya itu luar biasa, ada merasakan ketentraman jiwa ada
yang merasa ketenangan setiap ada masalah dalam bekerja. Karna itu,
Bupati kita maolah program mengaji sebelum bekerja lalu dilanjutkan
batamat al-Qur’an dilingkungan pemerintahan ini.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Tradisi batamat di lingkungan kita ini memang berasal dari
program bupati yang mengikuti tradisi masayrakat setempat. Masyarakat
kita lalu muncul lah kaya aspek-aspek agama di masyarakat. Lalu dibawa
ke dalam lingkungan ASN. Banyak jua program dari bupati yang mengarah
kepada aspek agamis untuk mendukung kehidupan AS dan melaksanakan
tugas-tugasnya”
114

Nama: Husna
Alamat: Jl. Aluh Idut Kelurahan Kandangan Kota
Usia: 46 Tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Guru Honorer
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Rancak tu di sini urang batamat ni bubuhana kakanan TK al-
Qur’an, buhannya batamat biasa di masjid. Imbah tu ada jua yang batamat
pas bulan ramdan, dimalam tarakhir biasanya urang di masjid batamat.”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Bila bulan puasa batamat, rajin yang umpat bubuhan jamaah
langgar atau masjid, ada jua bubuhan kakanakan sakolah TK al-qur’an yang
juga batamat.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Satiap kita manggawi batamat ni mangharapakan supaya dapat
pahala dari Allah lawan jua kita maungkapakan rasa syukur kita satiap kali
mambaca al-Qur’an.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Supaya kakanakan kita tu jadi orang soleh solehah, lawan
supaya inya jua berbakti lawan orang tuha. Jadi satiap kakanakan kita
manggawi batamat perayaannya tu yang jadi ucapa rasa syukur kita, mudah-
mudahan kakanakan itu jadi orang yang soleh.”
115

Nama: Ida Fauziah


Alamat: jl Teluk Masjid Kelurahan Kandangan Kota
Usia: 53 Tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Mun batamat kakanakan sakolah TK al-Qur’an langsung rami
menyiapkan, mulai dari makanannya, wadai jar kita. Nang tuha manghiasi
perlengkapan batamat mun ibu-ibu rajin bamasak makanan kaya nasi sop
dan lainnya.”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan:“Kakananak habis melaksanakan batamat ni inya marabutakan
hiasan lawan wadai-wadai yang digantung payung kambang nang dibawa
ka masjid. Rami banar mun urang batamat al-qur’an di sini ada jua yang
maambil duit paikat nang dihiasi dipayung kambang itu.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: Batamat ni gasan kakanakan nang partama mulai inya mangaji
dari iqra sampai juz 30 makanya rajin kakanakan rami lawan kakawanannya
batamat di masjid. Makanya supan mun balum batamat mun kada baimbai
lawan kakawanannya sakulah tk al-Qur’an.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Mun manurut ku, batamat ni supaya harapan kita lawan anak
manjadiakan al-qur;an jadi pedoman hidup mereka. Jadi kita malajari
sajak inya halus supaya deket lawan kitab suci kita ini.”
116

Nama: Muhammad Fadhil


Alamat: Jl. Negara Desa Gambah Dalam Rt 3 RW 2 Kecamatan
Kandangan
Usia: 27 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Pekerjaan: Honorer
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Salain manggawi batamat wayah kakanakan sakulah TK al-
Qur’an, dikampung urang jua rajin batamat pas handak kawin, makanya
rami urang rajin batamat di sini.”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan: “Lalakian wan babinian nang handak kawin batamat di rumah
saurang, aku jua batamat pas handak kawin.”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Sabalum kawin manggawi batamat al-Qur’an ni supaya awit
lawan jua supaya manjadiakan kitab al-Qur’an itu pedoman barumah
tangga.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan:“Masih handak melaksanakan batamat mun gasan kawin sakira
kehidupan rumah tangga kita tu babarakah,lawan jua supaya rumah tangga
abadi nang harapannya al-Qur’an supaya manjadi pedoman hidup dalam
barumah tangga.”
117

Nama: Ahmad Ridwan


Alamat: Jl. Negara Desa Gambah Dalam Rt 3 RW 2
Kecamatan Kandangan
Usia: 48 Tahun
Jenis Kelamin: Lak-laki
Pekerjaan: Guru SMA
Saya: “Pada kegiatan apa biasanya tradisi batamat al-Qur’an
dilaksanakan?”
Informan: “Ada batamat rajin nang rutin digawi batamat bulan puasa, jadi
di kampung ni satiap tahun batamat di langgar. Ada jua batamat pas
pangantin tu rajin. ”
Saya: “Siapa saja yang melaksanakan tradisi tersebut?”
Informan:“Satiap diadakan batamat ngini pasti ramai lawan datangnya
sanak keluarga yang jauh dan takumpulan tetangga-tetangga yang parak
rumah gasan mambantu perayaan batamat”
Saya: “Apa yang dirasakan ketika mengikuti tradisi batamat al-Qur’an?”
Informan: “Batamat ini jua salain gasan mahadiahi padahal dari al- Qur’an
nang dibaca sampai ditamatkan, jadi pamulaan diniatakan pahalanya gasan
urang tuha dikaluarga nang sudah maninggal.”
Saya: “Menurut anda, mengapa dilaksanakan tradisi batamat al-Qur’an dan
motivasinya apa?”
Informan: “Banyak kalo pahala mun kita mambca al-Qur’an tu, lawan jua
amun rajin mangalaman baca al-Qur’an ini supaya kita makin mangimani
kitab suci lawan kacintaan kita.”
118

Profil Wilayah Kecamatan Kandangan


Letak geografis berada di Provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di
Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Provinsi
Kalimantan Selatan memiliki 11 kabupaten dan 2 kotamadya. Luas wilayah
Provinsi Kalimantan Selatan 37 530, 52 Ha.

Di wilayah Kecamatan Kandangan merupakan sebuah daerah yang


sangat strategis dan merupakan kota yang menjadi tulang punggung
Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan luas wilayah adalah 106, 71 Km2
dengan perbatasan sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Angkinang


b. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Sungai Raya
c. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Padang
Batung
d. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Simpur dan
Kalumpang

Wilayah Kecamatan Kandangan secara umum dapat dikategorikan


tanahnya ke dalam kelas II yakni yang dapat digunakan berbagai jenis usaha
pertanian dan tanaman pangan. Sedangkan sebagian wilayahnya adalah
tanah rawa yang sepanjang tahun selalu digenangi air yang bermanfaat
untuk masyarakat pencaharian di sektor perikanan contohnya.

Tabel Luas wilayah dan persentase luas wilayah Kecamatan


Kandangan per desa

Luas Wilayah
No Desa Persentase
(Km2)
1 Baluti 5.00 4.69
2 Jambu Hilir 4,80 4.50
119

3 Tibung Raya 3.00 2.81


4 Amawang Kanan 2,56 2.40
5 Sungai Paring 4,50 4.22
6 Amawang Kiri 4.00 3.75
7 Bariang 2,13 2.00
8 Amawang Kiri Muka 2,13 2.00
9 Kandangan Barat 3.00 2.81
10 Kandangan Kota 2,50 2.34
11 Kandangan Utara 2,50 2.34
12 Gambah Luar Muka 1,92 1.80
13 Gambah Luar 2,17 2.03
14 Gambah Dalam 6.00 5.62
15 Lungau 10.00 9.37
16 Sungai Kupang 27,10 25.40
17 Bangkau 27,10 25.40
18 Gambah Dalam Barat 4,30 4.03
JUMLAH 106.71 100
Sumber Data: Data Monografi Kecamatan Kandangan

Tabel

Jumlah penduduk dan rata-rata penduduk per km2/ per desa

Rata-rata
No Desa Penduduk (Jiwa) Jiwa per
Km2
1 Baluti 3.364 673
2 Jambu Hilir 4.135 861
3 Tibung Raya 2.679 893
120

4 Amawang Kanan 1.294 505


5 Sungai Paring 1.325 294
6 Amawang Kiri 1.900 475
7 Bariang 845 397
8 Amawang Kiri Muka 1.808 849
9 Kandangan Barat 4.871 1.624
10 Kandangan Kota 8.382 3.353
11 Kandangan Utara 3.314 1.326
12 Gambah Luar Muka 1.870 974
13 Gambah Luar 1.077 496
14 Gambah Dalam 1.896 316
15 Lungau 1.740 174
16 Sungai Kupang 2.790 103
17 Bangkau 1.591 83
18 Gambah Dalam Barat 1.243 289
JUMLAH 46.124 432
Sumber Data: Data Monografi Kecamatan Kandangan

Tabel

Jumlah Lembaga Pendidikan di Kecamatan Kandangan

No Pendidikan Jumlah
1 TK/ Raudhatul Athfal 39 buah
2 SD/MI 46 buah
3 SMP/MTs 11 buah
4 SMA/MA 7 buah
5 Perguruan Tinggi 1 buah
Total 104 buah
Sumber Data: Data Monografi Kecamatan Kandangan
121

Sarana pendidikan yang ada di kecamatan Kandangan baik yang formal


maupun non formal seperti Taman kanak-kanak berjumlah 38 buah, SD 44,
SLTP 8 dan SLTA 5 itu yang dibawah naungan Dinas Pendidikan,
sedangkan yang dibawah binaan Kementerian Agama Raudhatul Athfal 1
buah, MIN 2 Buah, MTsn 3 buah dan MAN 2 buah. Adapun Taman
Pendidikan Al-Qur’an berjumlah 33 buah dan Pondok Pesantren 3 buah.
Sedangkan tempat ibadah seperti Masjid berjumlah 20 buah dan
Langgar/Mushalla 123 buah
122

Dokumentasi

Perayaan Batamat

1. Batamat Massal 2019 Di Masjid Al-Minah

2. Batamat Massal 2019 Di Masjid Al-Minah


123

3. Batamat Massal 2019 Di Masjid Al-Minah

4.. Batamat Massal 2019 Di Masjid Al-Minah

5. Batamat Massal 2019 Di Masjid Al-Minah


124

Batamat Massal Di Lingkungan Pemerintah Tahun 2019

7. Batamat Massal Di Lingkungan Pemerintah Tahun 2019

8. Batamat Massal Di Lingkungan Pemerintah Tahun 2019


125
44

Anda mungkin juga menyukai