Anda di halaman 1dari 94

KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. PADA QS.

AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN MUNĀSABAH

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Disusun Oleh:
Robiatul Adawiyah Al-Qosh
NIM. 11170340000016

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2021 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

“KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. PADA QS.


AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN MUNĀSABAH”

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Disusun Oleh:
Robiatul Adawiyah Al-Qosh
NIM. 11170340000016

Di Bawah Bimbingan:

Moh. Anwar Syarifuddin, M.A.


NIP. 19720518 199803 1 003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2021 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. PADA


QS. AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN MUNĀSABAH telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Desember
2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir.
Jakarta, 24 Januari 2022
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag. dc Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH


NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,
Penguji I, Penguji II,

Dr. Hasani Ahmad, MA. Muslih, M.Ag.


NIP. 19820221 200901 1 024 NIP. 19721024 200312 1 002

Pembimbing,

VT Moh. Anwar Syarifuddin, M.A.


NIP. 19720518 199803 1 003
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Robiatul Adawiyah Al-Qosh
NIM : 11170340000016
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang berjudul “Kisah Istri-istri Rasulullah SAW. pada Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam Kajian Munāsabah” adalah benar merupakan
karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya.
2. Adapun semua sumber dan kutipan yang ada dalam penyusunan karya
ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat
dari karya orang lain, maka saya bersedia sanksi yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 24 Desember 2021

Robiatul Adawiyah Al-Qosh


NIM. 11170340000016

vii
viii
ABSTRAK

Robiatul Adawiyah Al-Qosh (11170340000016).


“KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. PADA QS. AL-
AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN MUNĀSABAH,” 2021.
Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai sumber sejarah, karena kitab suci
ini memuat berbagai kisah yang terbukti kebenarannya. Salah satunya
adalah kisah tentang istri-istri Rasulullah SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34, saat Allah menegur mereka karena meminta tambahan nafkah pada
Nabi pasca kemenangan kaum muslim di perang Khandaq. Pada penelitian
ini kisah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 akan dibahas melalui kajian
munāsabah untuk menemukan keterkaitan antar ayat dan hubungannya
dengan peristiwa yang sedang terjadi. Hal ini dapat dikatakan menarik,
karena sedikitnya karya tulis yang membahas tentang analisis kisah dari
segi munāsabah al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
yang menitikberatkan pada kepustakaan yang berkaitan dengan kisah Nabi
SAW., tafsir al-Qur’an, munāsabah, istilah Bahasa Arab, dan lain-lain. Dari
penelitian ini, ditemukan adanya munāsabah antar ayatnya dalam Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34. Munāsabah tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa tema yang kebanyakan berupa lawan kata; seperti pilihan antara
dunia dan akhirat yang Allah berikan pada istri-istri Nabi; alasan
berbedanya panggilan yang diberikan Allah kepada istri-istri Rasulullah
SAW. sesudah dan sebelum memilih antara dunia dan akhirat; penggandaan
azab atau penggandaan pahala yang akan mereka terima sebagai
konsekuensi perbuatan buruk atau baik; perintah-perintah dan larangan-
larangan yang Allah berikan kepada mereka, dan yang terakhir adalah
menjelaskan mengapa penutup ayat dan kisah menggunakan asmā’ al-
ḥusnā. Penelitian ini juga menganalisis hubungan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34
dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 27 dan Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 35, serta hubungan antara kisah tentang istri-istri Rasulullah
SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan judul surat yang memuatnya,
yakni Aḥzāb yang merupakan musuh kaum muslim pada perang Khandaq.
Kata kunci: Tafsir kisah al-Qur’an, Munāsabah, Istri-istri Rasulullah
SAW., Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.

ix
x
KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāhi Rabb al-‘ālamīn, puja dan puji syukur kami ucapkan


atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hidayah dan karunia-
Nya sehingga skripsi yang berjudul “Kisah Istri-istri Rasulullah SAW. pada
Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam Kajian Munāsabah” ini dapat terselesaikan
dengan baik. Dan tak lupa juga, selawat dan salam kami haturkan kepada
Nabi Muḥammad SAW. yang menjadi inspirasi keilmuan terbesar bagi
umat manusia.
Penulisan skripsi ini tak lepas dari adanya bantuan langsung maupun
tidak langsung, moril dan materil, lahir maupun batin dari segala pihak.
Maka dari itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis MA.,
atas kesempatan berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.
Yusuf Rahman M.A., Ketua Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Dr. Eva
Nugraha, M.Ag., serta Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH Sekretaris Prodi
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
3. Dosen penguji proposal dan dosen pembimbing skripsi, Moh. Anwar
Syarifuddin, M.A. atas arahan, bimbingan dan motivasi dalam proses
pengerjaan skripsi ini dari awal hingga selesai.
4. Dr. Ahsin Sakho Bin Muhammad Asyrofuddin, dosen pembimbing
akademik, dan Dr. H. Mafri Amir M.Ag., dosen konsultasi proposal.
5. Dr. Hasani Ahmad, MA. dan Muslih, M.Ag., dosen penguji 1 dan 2
pada sidang munaqasyah skripsi ini.
6. Segenap guru besar yang telah mengajar dan membagi ilmunya
dengan ikhlas, serta seluruh civitas akademika yang telah membatu
jalannya perkuliahan.

xi
xii

7. Saudari-saudari penulis Kak Kiki, Kak Ziza, dan Eva atas dukungan
yang terlihat maupun tidak terlihat. Juga keponakan penulis tercinta
Izul dan Oi yang menjadi hiburan tersendiri bagi penulis.
8. Farah, Jara, Irma, yang selalu jadi teman makan siang saat istirahat,
terima kasih untuk dukungan dan hiburannya.
9. Teman-teman penulis yang berada jauh di negeri orang, Mas Tio
Bubu, Kak Mphi, Bang Agus, Dek Bowo dan lainnya atas motivasi,
semangat, serta yang sering menemani dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Ba Arini, Riyadh, Kak Jihan, Kak Syarif, Bella, Vayumi, dan Elok
yang sudah membantu memverifikasi skripsi ini.
11. Ka Nani, Shivi, Piw, Bilqis, Ilafi, Alpi, dan lainnya atas informasi dan
bantuan yang sangat berharga bagi jalannya skripsi ini.
12. Teman-teman LDK Syahid FU, khususnya Ba Dewi, Neneng, Muti,
Wardah, Lubna, Teh Rini, Very, Haris, Uta, Ihsan, Muhdi, dan yang
lainnya, atas pengalaman organisasi yang luar biasa.
13. Teman-teman IAT A, kelas pertama dan teman-teman pertama di
UIN, serta teman-teman seperjuangan Prodi IAT khususnya angkatan
2017, yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu.
14. Teman-teman KKN 128 “Amorfati” yang berjuang bersama dalam
pengabdian di masa pandemi covid-19.
Dan terakhir, penulis ucapkan terima kasih untuk orang tua tercinta
Umi dan Abi atas segalanya yang telah diberikan untuk penulis, dari yang
yang tak tahu baca tulis hingga dapat menyusun skripsi yang semoga dapat
menjadi karya tulis yang layak dan bermanfaat bagi para pembaca. Āmīn…

Jakarta, 24 Desember 2021

Robiatul Adawiyah Al-Qosh


PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan ini merupakan


hasil keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang tertulis di Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Arab Latin Keterangan


‫ا‬ Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
‫ب‬ b be
‫ت‬ t te
‫ث‬ ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ j je
‫ح‬ ḥ ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ ż zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ ṣ es (dengan titik di bawah)
‫ض‬ ḍ de (dengan titik di bawah)
‫ط‬ ṭ te (dengan titik dibawah)
‫ظ‬ ẓ zet (dengan titik di bawah)

xiii
xiv

‫ع‬ ‘ apostrop terbalik


‫غ‬ g ge
‫ف‬ F ef
‫ق‬ q qi
‫ك‬ k ka
‫ل‬ l el
‫م‬ m em
‫ن‬ n en
‫و‬ w w
‫ه‬ h ha
‫ء‬ ’ apostrop
‫ي‬ y ye

2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau
monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal
tunggal sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ
‫ا‬ Fatḥah a a
‫ِا‬ Kasrah i i
ُ Ḍammah u u
‫ا‬
Adapun vokal rangkap sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﹷي‬ ai a dan i
‫ﹷو‬ au a dan u
Dalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mād)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﯨﺎ‬ ā a dengan garis di atas
xv

‫ىﻲ‬ ī i dengan garis di atas


‫ﯨﻮ‬ ū u dengan garis di atas

3. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf:
syamsiyah dan qamariyah.
ِ
Al-Qamariyah ُ‫اﳌُﻨ ْﲑ‬ Al-Munīr

Al-Syamsiyah ‫ﺎل‬ ِّ
ُ ‫اﻟﺮ َﺟ‬ Al-Rijāl

4. Syaddah (Tasydid)
Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Al-Qamariyah ُ‫اﻟْ ُﻘ ﱠﻮة‬ Al-Quwwah

Al-Syamsiyah ُ‫اﻟﻀ ُﱠﺮْوَرة‬ Al-Ḍarūrah

5. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi
adalah (t), sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah (h), jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang (al), bacaan kedua kata
itu terpisah, maka ta marbūtah ditransliterasikan dengan ha (h) contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1
ُ‫اﻟﻄﱠ ِﺮﻳْـ َﻘﺔ‬ Ṭarīqah
xvi

2
ُ‫اﻹ ْﺳ َﻼ ِﻣﻴﱠﺔ‬ ِْ ُ‫ا ْﳉَ ِﺎﻣ َﻌﺔ‬ Al-Jāmi’ah al-Islāmiah

3 ‫َو ْﺣ َﺪةُ اﻟْ ُﻮ ُﺟ ْﻮِد‬ Waḥdah al-Wujūd

6. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika Nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hamīd, al-Gazālī, al-Kindī.
Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-
palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak
Nur al-Din al-Raniri.
7. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia,
tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata al-Qur’an
(dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum, namun bila mereka harus
ditransliterasi secara utuh.
Contoh: Fī Żilāl al-Qur’ān, Al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafżi lā bi khusūs al-
sabab.
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................ix
KATA PENGANTAR ................................................................................xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................... xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 8
E. Metode Penelitian ........................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II DISKURSUS MUNĀSABAH DALAM AL-QUR’AN ................. 13
A. Pengertian Munāsabah ................................................................... 13
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Munāsabah ....................................... 15
C. Macam-macam Munāsabah dalam Al-Qur’an ............................... 16
D. Faedah Munāsabah Al-Qur’an ....................................................... 23
E. Pandangan Ulama terhadap Kajian Munāsabah Al-Qur’an ........... 25
BAB III KISAH-KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. DALAM
AL-QUR’AN ............................................................................................. 27
A. Kisah Al-Qur’an ............................................................................. 27
B. Istri-istri Rasulullah SAW. ............................................................. 30
C. Ayat-ayat Kisah tentang Istri-istri Rasulullah SAW. ..................... 37
BAB IV TAFSIR QS. AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN
MUNĀSABAH............................................................................................ 43
A. Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ................................................................. 43
B. Asbāb al-Nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ........................................ 44

xvii
xviii

C. Selayang Pandang Tafsir Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ........................ 45


D. Analisis Munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 .................... 47
BAB V PENUTUP .................................................................................... 71
A. Kesimpulan..................................................................................... 71
B. Saran ............................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang selalu
dijadikan pedoman bagi umat Islam. Kitab suci ini masih mempertahankan
keorisinalitasannya dari awal ia diturunkan kepada Nabi Muḥammad SAW.
hingga saat ini. Di mana hal itu terbilang menakjubkan mengingat usia kitab
suci tersebut sudah mencapai kurang lebih empat belas abad, dan tidak ada
satu huruf pun yang berubah. Fenomena ini boleh jadi dikarenakan jaminan
yang Allah SWT. berikan atas pemeliharaan kitab suci ini, seperti firman-
Nya dalam Qs. al-Hijr/ 15: 9.

٩ ‫ﳊٰ ِﻔﻈُْﻮ َن‬


َ ‫اِ ﱠ� َْﳓ ُﻦ ﻧـَﱠﺰﻟْﻨَﺎ اﻟ ِّﺬ ْﻛَﺮ َواِ ﱠ� ﻟَ ࣳﻪ‬
Artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti
Kami (pula) yang memeliharanya.” (Qs. al-Hijr/ 15: 9)
Fakta tersebut membuat al-Qur’an seringkali dikatakan sebagai
sumber sejarah terlebih bagi umat muslim, mengingat keberadaannya yang
sudah sejak awal menyertai dakwah keislaman. Terlebih kitab ini juga
memuat berbagai kisah yang terbukti benar dan tidak bertentangan dengan
penelitian modern para arkeolog dan antropolog terkait sejarah. 1 Yang
mana dalam ‘ulūm al-Qur’ān, kisah-kisah tersebut dinamai dengan qaṣaṣ
al-Qur’ān yang memiliki arti kisah-kisah dalam al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an memuat berbagai kisah yang menurut Manna’ al-
Qaṭṭan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam ditinjau dari objek yang

1
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 159.

1
2

dikisahkan. 2 Yang pertama merupakan kisah para Nabi yang biasanya


menceritakan perjuangan dakwah mereka ataupun mukjizat yang mereka
miliki, seperti contohnya kisah Nabi Nūḥ. Kedua, kisah orang-orang di
masa lampau yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, seperti kisah Ṭālūt,
Jālūt, Maryam, keluarga ‘Imrān, dan lain-lain. Dan yang ketiga adalah kisah
mengenai peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muḥammad SAW.,
contohnya kisah istri-istri Rasulullah SAW. pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
Kisah istri-istri Rasulullah SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ini
diawali dengan keinginan mereka akan tambahan nafkah pasca kemenangan
Nabi pada perang Khandaq. Kelompok ayat yang mengisahkan istri-istri
Rasulullah SAW. ini terdiri dari tujuh ayat. Diawali dengan Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-29 yang merupakan respons Allah tindakan mereka. Ayat ini
dinamai dengan ayat-ayat takhyīr 3 (pilihan), yang mana para istri Nabi
SAW. diminta untuk memilih antara dunia dan akhirat.

‫اﺣﺎ‬ َْ َ َ ْ َ َ َ ‫ﻚ اِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ‬
ِ َ‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊ ٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎوِزﻳـﻨَـﺘَـﻬﺎ ﻓَـﺘَـﻌﺎﻟ‬
ً ‫ﲔ اَُﻣﺘّ ْﻌ ُﻜ ﱠﻦ َواُ َﺳِّﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ َﺳَﺮ‬
ِ ِ ِ‫ٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎاﻟﻨ‬
َ ‫ﱠﱯ ﻗُ ْﻞ ّﻻَْزَواﺟ‬
‫َ ﱡ‬
َِ
٢٨‫ﲨ ْﻴ ًﻼ‬
Artinya:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu
menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah
agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik’.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28)
Ayat ini berisi pilihan terhadap dunia, yang mana jika istri Nabi
memilihnya, maka ia akan diberikan mut’ah oleh Rasulullah SAW., namun
juga akan diceraikan oleh Nabi.

ِ‫ﻋ‬
٢٩‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ ِ ‫اﻻ ِﺧﺮةَ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ‬
‫ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا‬ ٰ ‫ﱠار‬
‫ﺪ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ࣳ ‫واِن ﻛﻨﱳ ﺗ ِﺮدن ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟ‬
‫ﻪ‬
َ ْ ُ َ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َّ َ ْ ُ ‫َ ْ ُ ْ ُ ﱠ‬
ْ
Artinya:

2
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 387-388.
3
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 5692.
3

“Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri


akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar
bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 29)
Sedangkan ayat ke-29 ini berisi pilihan kedua, yakni akhirat, yang
mana mereka memilih Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak akan Nabi
ceraikan dan tetap menjadi umm al-mu‘minīn.

ِٰ ‫ﲔ وَﻛﺎ َن ٰذﻟِﻚ ﻋﻠَﻰ‬


ِۗ ‫ﺎﺣﺸ ٍﺔ ﻣﺒـﻴِﻨ ٍﺔ ﻳﻀٰﻌﻒ ﳍﺎ اﻟﻌﺬاب ِﺿﻌﻔ‬
ِ ِ ِ ِ ۤ ِ
‫اﻪﻠﻟ‬
ّ َ َ َ ْ َ ‫ﱡ‬
َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ ‫ﱡ‬ ‫ﻔ‬‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬
‫ﱠ‬ ‫ﻜ‬
ُ ‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ت‬ ْ
�‫ﱠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ِ ِ
ْ َ ّ َ ‫ﻳٰﻨ َﺴ‬
‫ﱠﱯ‬ ‫ﻨ‬ ‫اﻟ‬ ‫ء‬ ‫ﺎ‬
٣٠‫ﺴ ْﲑا۔‬ ِ
ً َ‫ﻳ‬
Artinya:
“Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang
mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan
dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu,
mudah bagi Allah.”(Qs. al-Aḥzāb/33: 30)
Qs. al-Aḥzāb/33: 30 merupakan ayat ketiga dari kelompok ayat ini, ia
berisi konsekuensi menjadi umm al-mu‘minīn yang mendapat dosa dua kali
lipat jika berbuat keburukan.
ۙ ِ ‫۞ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨﺖ ِﻣﻨْ ُﻜ ﱠﻦ ِٰﻪﻠﻟِ ورﺳﻮﻟِﻪࢭ وﺗَـﻌﻤﻞ ﺻ‬
ِ ْ َ‫ﺎﳊًﺎ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ‬
َ ‫ﲔ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ ِرْزﻗًﺎ‬
٣١ ‫ﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬
َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ََ ّ ْ ُ ْ ََ
Artinya:
“Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami
berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
yang mulia baginya.”(Qs. al-Aḥzāb/33: 31)
Sedangkan ayat ke-31 ini adalah kebalikan dari ayat sebelumnya,
yang mana konsekuensi menjadi umm al-mu‘minīn adalah mendapat pahala
ganda saat berbuat kebaikan.

ِ ‫ﱳ ﻓَ َﻼ َﲣْﻀﻌﻦ ِﺎﺑﻟْ َﻘﻮِل ﻓَـﻴﻄْﻤﻊ اﻟﱠ‬ ِ ِ‫ﱳ َﻛﺎَﺣ ٍﺪ ِﻣﻦ اﻟﻨِّﺴ ۤﺎ ِءا‬ ۤ ِ
ٌ ‫ﰲ ﻗَـ ْﻠﺒِﻪࢭ َﻣَﺮ‬
‫ض‬ ِ ‫ي‬‫ﺬ‬
ْ ْ ََ َ ْ َْ َ ‫ﱠ‬ ‫ﻴ‬
ُْ ‫ﻘ‬
َ ‫ﱠ‬
‫ـ‬‫ﺗ‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ﺴ‬
َ َ ّ َ ۚ ُ ْ ّ َ ‫ﻳٰﻨ َﺴ‬
‫ﱠ‬ ‫ﻟ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
ِ ِ‫ﻨ‬ ‫اﻟ‬ ‫ء‬ ‫ﺎ‬
٣٢‫ﻦ ﻗَـ ْﻮًﻻ ﱠﻣ ْﻌﺮْوﻓًﺎ‬
َ ‫ﱠوﻗُـ ْﻠ‬
ُ
Artinya:
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
(melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik.”(Qs. al-Aḥzāb/33: 32)
4

Ayat ini membicarakan tentang tuntunan Allah terhadap lisan para


istri Nabi SAW. melalui perintah dan larangan-Nya mengenai bagaimana
seharusnya istri Nabi berbicara.

َ‫اﻪﻠﻟ‬
ِ ِ ‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ ْاﻻُْو ٰﱃ َواَﻗِ ْﻤ َﻦ اﻟ ﱠ‬
َ ْ ‫ﺼ ٰﻠﻮةَ َواٰﺗ‬
ّٰ ‫ﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ َواَﻃ ْﻌ َﻦ‬
ِ ‫وﻗَـﺮ َن ِﰲ ﺑـﻴـﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ‬
َ ََ َْ َ َ ْ ُُ ْ ْ َ
ۚ ِ ِ ِ ِ ِ ِࣳ
٣٣ ‫ﲑا‬ ً ْ ‫ﺲ اَ ْﻫ َﻞ اﻟْﺒَـْﻴﺖ َوﻳُﻄَ ّﻬَﺮُﻛ ْﻢ ﺗَﻄْﻬ‬ ِّ ‫ﺐ َﻋﻨْ ُﻜﻢ‬
َ ‫اﻟﺮ ْﺟ‬ ُ ّٰ ‫َوَر ُﺳ ْﻮﻟَﻪ ۗاﱠﳕَﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ‬
َ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ‬
Artinya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan
laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33)
Sedangkan pada ayat ke-33 ini berisi perintah dan larangan Allah
sebagai tuntunan terhadap tingkah laku umm al-mu‘minīn. Apa saja yang
harus mereka lakukan dan tidak boleh mereka lakukan selama menjadi istri
Rasulullah SAW. Ayat ini juga menyebutkan tujuan dari perintah dan
larangan Allah SWT. kepada mereka

٣٤ ࣖ ّٰ ‫ْﻤ ِۗﺔ اِ ﱠن‬


‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن ﻟَ ِﻄْﻴـ ًﻔﺎ َﺧﺒِ ْ ًﲑا‬ ِ ِٰ ‫ﺖ‬ ِ ِ ِ
ّ ٰ‫َواذْ ُﻛ ْﺮ َن َﻣﺎ ﻳـُﺘْـ ٰﻠﻰ ِ ْﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗ ُﻜ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اٰﻳ‬
َ ‫اﻪﻠﻟ َوا ْﳊﻜ‬
Artinya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha
Mengetahui.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 34)
Terakhir adalah ayat ke-34 yang merupakan penutup dari kelompok
ayat yang mengisahkan istri-istri Nabi. Ayat ini berisi peringatan bahwa
rumah mereka tinggali penuh dengan hikmah. Ini menjadi latar belakang
keistimewaan mereka, mereka lebih mengetahui daripada lainnya dan
mereka diwajibkan untuk menjalankan syariat lebih besar daripada para
wanita lainnya. 4 Yang mana mereka adalah panutan bagi wanita lainnya.

4
Muḥammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,
jilid 14, terj. Muhyiddin Masridha, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 434.
5

Ayat-ayat dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 memang berhubungan,


namun perintah dan petuah Allah di dalamnya terlihat berbeda dan tidak
memiliki kaitan yang lebih mendalam. Untuk itu, kajian munāsabah dapat
menjadi cara untuk menafsirkan kelompok ayat ini melalui penelusuran
kisah yang ada. Metode ini berguna untuk menemukan estetika serta
keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya dari kisah kisah istri-istri
Rasulullah SAW., serta untuk memahami makna yang utuh, baik yang
tersurat maupun tersirat dari penafsiran kisah tersebut.
Kajian munāsabah sendiri memiliki arti kesesuaian/kedekatan, ia
merupakan salah satu cabang dari ilmu tafsir al-Qur’an yang berusaha
menemukan sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam
satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, atau antara satu surat
dengan surat yang lain. Munāsabah sangat bermanfaat dalam memahami
mukjizat al-Qur’an secara balāghah, keserasian antar maknanya,
keteraturan susunan kalimatnya, keindahan gaya bahasanya, dan kejelasan
keterangannya. Namun ilmu ini bukanlah hal yang tauqifī (langsung
ditetapkan oleh Nabi) tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir. Yang
mana seorang mufassir tidak harus mencari kesesuaian setiap ayat, karena
terdapat ayat-ayat yang memiliki munāsabah, ada pula yang tidak. Karena
hal itu, seorang mufassir tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan
munāsabah dalam ayat-ayat al-Qur’an, karena jika memaksakannya juga,
maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat 5 dan hal ini tidak disukai. 6
Meskipun ditemui banyak manfaat dari ilmu munāsabah ini,
khususnya dalam penafsiran al-Qur’an, nyatanya penelitian yang

5
Munāsabah yang dibuat-buat maksudnya adalah memaksakan hubungan pada ayat
yang letaknya jauh serta tidak dalam satu pembahasan seperti berusaha menemukan
keterkaitan antara Qs. Fāṭir/ 35: 15 dan Qs. al-Ḥujurāt/ 49: 13, yang kedua ayat tersebut
berjauhan dan tidak memiliki pembahasan yang sama.
6
Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, 119-120.
6

berdasarkan kajian munāsabah ini masih tergolong sedikit. Hal ini bisa jadi
dikarenakan pro dan kontra yang ada terkait ilmu munāsabah, ataupun
karena halusnya ilmu ini membuat peminatnya lebih sedikit dibandingkan
metode penafsiran lainnya. Terlebih kajian munāsabah melalui kisah al-
Qur’an yang jarang ditemui dalam literatur skripsi. Padahal munāsabah
dapat melengkapi kisah dalam al-Qur’an, dari segi makna dan maksud.
Dari pemaparan-pemaparan diatas, penulis rasa penafsiran dengan
kajian munāsabah dirasa cocok untuk Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34, mengingat
ayat-ayat tersebut berada dalam satu tema dan pembahasan yang
mengisahkan istri-istri Nabi SAW. Maka dari, penulis lalu mengangkat
“Kisah Istri-istri Rasulullah SAW. pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam
Kajian Munāsabah” sebagai judul dari skripsi ini.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah


Masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian terkait Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 ini adalah:
1. Apa kisah dibalik Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
2. Bagaimana asbāb al-nuzūl dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
3. Siapa fokus utama dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
4. Bagaimana penafsiran Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
5. Bagaimana jalan kisah istri-istri Rasulullah SAW. yang termuat
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
6. Bagaimana keterkaitan antar ayat dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34?
7. Bagaimana penafsiran Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 melalui kajian
munāsabah?
Sedangkan batasan masalah untuk penelitian ini hanya akan berfokus
kepada kisah istri-istri Rasulullah SAW. dibalik Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34
serta menggunakan teori munāsabah berdasarkan kitab Al-Itqān fī Ulūmil
Qur’an karya Jalaluddin Al-Suyūṭī dalam kajian munāsabahnya.
7

Maka dari identifikasi dan batasan masalah diatas, penulis


merumuskan masalah dalam penelitian ini dengan; “Bagaimana penafsiran
kisah istri-istri Rasulullah saw. pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam kajian
munāsabah?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian dengan berjudul “Kisah Istri-istri Rasulullah SAW. pada
Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam Kajian Munāsabah” bertujuan untuk:
1. Menggambarkan kisah para istri Rasulullah SAW. yang berada
dibalik Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
2. Menjelaskan cara kerja munāsabah dalam menafsirkan keterkaitan
ayat dan kisah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini baik secara
teoritis maupun praktis, adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, manfaat dari penelitian ini adalah; untuk menambah
wawasan dan informasi bagi sarjana muslim terkait kisah al-Qur’an,
munāsabah ayat al-Qur’an, dan kolaborasi keduanya, yakni
penafsiran ayat-ayat kisah al-Qur’an yang dikaji dalam aspek
munāsabah antar ayatnya, terutama aspek munāsabah yang terdapat
dalam kisah pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
2. Secara praktis, manfaat dari penelitian ini adalah; yang pertama, bagi
penulis untuk dapat memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta
sebagai sarana mengimplementasikan pengetahuan penulis terkait
kisah dan munāsabah al-Qur’an. Kedua, bagi akademisi untuk
menambah bacaan baru dalam kajian tafsir al-Qur’an terkait kisah
dalam al-Qur’an dan munāsabah ayat. Dan ketiga, bagi peneliti
lanjutan diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan teori
terkait kisah dan munāsabah al-Qur’an pada penelitian selanjutnya.
8

D. Tinjauan Kajian Terdahulu


Meskipun penelitian dengan kajian munāsabah masih tergolong
sedikit, setidaknya terdapat beberapa literatur yang menggunakan metode
ini dalam penelitiannya. Yang mana kajian terkait munāsabah ini
sebelumnya pernah dilakukan oleh Endad Musaddad dalam tesisnya 7, ia
membahas teori munāsabah yang diterapkan oleh Fakhruddin al-Rāzī
dalam kitab tafsirnya Mafātīh Al-Ghaib. Kemudian terdapat sejumlah karya
tulis dengan metode yang serupa dengan tesis Endad Musaddad, namun
lebih membatasi pada sejumlah ayat dan kitab tafsir. Di antaranya dari
almamater yang sama; ada skripsi karya Nelfi Westi 8 mengenai munāsabah
dalam Qs. al-Jumu’ah, dan tesis karya Hasiolan 9 terkait munāsabah antara
kandungan ayat dan penutupnya pada Qs. al-Nisā’ dalam perspektif al-
Marāghi. Ada pula skripsi serupa dari universitas lainnya, seperti skripsi
karya M. Sarifudin 10 mengenai munāsabah pada Qs. al-Raḥmān pada Tafsir
Al-Mishbah.
Dalam bidang tafsir ayat-ayat kisah, terdapat beberapa skripsi/tesis
yang ditemukan. Di antaranya seperti; skripsi karya Noval Aldiana Putra 11,
yang berisikan tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam al-Qur’an dengan
menggunakan perspektif semiotika Roland Barthes; skripsi karya Fildzah

7
Endad Musaddad, “Munāsabah dalam Tafsir Mafātih Al-Ghaib” (Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
8
Nelfi Westi, “Munāsabah dalam Sūrah Al-Jumu’ah: Kajian Munāsabah pada
Tafsir Al-Asas Karya Sa’id Hawwa” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017).
9
Hasiolan, “Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Ḥusna sebagai Penutup
Ayat dalam Surah An-Nisā’ menurut Al-Marāghi” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020).
10
M. Sarifudin, “Kajian Teori Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an: Tela’ah
atas Surah Al-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Salatiga, 2017).
11
Noval Aldiana Putra, “Kisah Aşhāb Al-Sabt dalam Al-Qur’an: Analisis Semiotika
Roland Barthes” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
9

Nida 12, mengenai penafsiran ayat kisah tentang Ya’juj dan Ma’juj, siapa
mereka, dan tanda kiamat dengan mengkomparasikan penafsiran Quraish
Shihab, al-Marāghi, dan Buya Hamka; dan skripsi yang juga menggunakan
perspektif semiotika Roland Barthes sebagai metode interpretasi dari kisah
Nabi Sulaimān karya Siti Sobariah 13. Terdapat pula skripsi dalam bidang
tafsir ayat-ayat kisah dari universitas lainnya, seperti; skripsi karya Laila
Kurniasari 14, mengenai kisah Aṣhāb al-Qaryah dalam Qs. Yasīn dengan
mengkomparasikan Penafsiran dari Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab.
Adapun karya tulis yang mengangkat tema munāsabah dan kisah al-
Qur’an secara bersamaan dapat ditemukan pada skripsi karya Siti
Fatimah 15, yang membahas tentang kisah hal gaib di kehidupan masa depan
khususnya pada hari kebangkitan dalam Qs. al-Nabā’ yang kemudian dikaji
dalam bentuk munāsabah.
Sedangkan dalam pembahasan istri-istri Rasulullah SAW dan Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34, penulis tidak dapat menemukan banyak literatur yang
berkaitan, namun penulis menemukan; tesis karya Syaifudin 16 yang
membicarakan tentang pendidikan akhlak yang termuat dalam Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 untuk para istri Nabi SAW., ia menggunakan analisis
komparatif dari perspektif Ibn Kāṣīr dan Hamka dalam kitab tafsirnya; serta

12
Fildzah Nida, “Kisah Žulqarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-
Qur’an: Menurut Quraish Shihab, al-Maragi, dan Buya Hamka” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
13
Siti Sobariah, “Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Perspektif Semiotika
Roland Barthes” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020).
14
Laila Kurniasari, “Kisah Ashab Al-Qaryah dalam QS. Yasin [36]: 13-29: Studi
Komparasi Penafsiran Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab” (Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
15
Siti Fatimah, “Kronologis Kejadian Hari Kebangkitan dalam Surat An-Naba:
Kajian Munasabah Al-Qur’an” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2019).
16
Syaifudin, “Perspektif Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir Hamka dalam Al-Qur’an Surat
Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Tentang Pendidikan Akhlak Para Istri Rasulullah SAW.: Studi
Komparatif” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten,
2019).
10

jurnal karya Abdul Saipon, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri 17 yang
membahas tentang nilai-nilai pendidikan Islam bagi wanita yang terdapat
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-35 dan 59 disertai pengaplikasiannya.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini menitikberatkan pada kepustakaan
(library research) dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Data
yang dikumpulkan berasal dari kitab, buku ilmiah, jurnal, artikel, dan
berbagai literatur lain yang berkaitan dengan tema penelitian.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua macam:
a. Pertama, data primer; yakni data yang menjadi sumber utama dalam
penulisan skripsi ini. Data primer yang dimaksud adalah Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34, yang menjadi bahasan pokok dalam penelitian.
b. Kedua, data sekunder; yaitu data yang menjadi sumber pelengkap
dalam penelitian ini, yakni; kitab, buku ilmiyah, jurnal, artikel, dan
berbagai bentuk literatur lain yang berkaitan. Seperti kitab tafsir
terdahulu, contohnya: Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Azhar karya Hamka, literatur munāsabah seperti jurnal
karya Ahmadiy berjudul Ilmu Munâsabâh Al-Qur’an (2018), dan
kitab/buku ‘ulūmul Qur’an yang membahas munāsabah dalam al-
Qur’an, seperti kitab Al-Itqān fī Ulūmil Qur’an bab Munāsabah al-
Qur’an karya Jalaluddin Al-Suyūṭī dan lain sebagainya.

17
Abdul Saipon, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri, “Nilai Pendidikan
Wanita dalam Surat Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Dan Ayat 59 serta Aplikasinya dalam
Pendidikan Islam”. Tawazun, vol.12, no.2 (Desember 2019).
11

3. Teknik Pengumpulan Data


Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan studi pelacakan
dokumen. Pencarian pertama dalam penelitian ini, yakni menemukan
bentuk dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 beserta terjemahannya. Kemudian
mencari kitab tafsir terdahulu yang membahas Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34
(terutama dalam kajian munāsabah ), literatur kaidah bahasa arab dan
kamus arab, literatur terkait ‘ulūm al-Qur’an dan munāsabah ayat, serta
literatur lainnya dari perpustakaan online maupun offline sebagai bahan
rujukan dan sumber data yang dikira membantu dalam penelitian ini.
4. Metode Analisis dan Penyusunan Data
Data yang sudah dikumpulkan dalam penelitian ini kemudian akan
dianalisis menggunakan metode Analisis Interaktif 18 menyesuaikan dengan
materi munāsabah ayat yang dirujuk, selanjutnya penelitian ini akan
disusun ke dalam bentuk karya tulis yang sesuai dengan:
a. SK Rektor 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Jakarta.
b. Transliterasi Arab Latin SKB 2 Menteri No 158 tahun 1987.
c. Penulisan Catatan Kaki dan Daftar Pustaka model Turabian (Chicago
2) versi Pedoman Penulisan Catatan Kaki Prodi IAT 2021.
d. Ejaan Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016.
e. Penulisan ayat al-Qur’an dan terjemahannya menggunakan Qur’an
Kemenag in Word 2019

18
Analisis interaktif dilakukan dalam proses siklus dengan mengkomparasikan
semua data yang diperoleh dengan data lain secara berkelanjutan. Penelitian bergerak pada
tiga komponen analisis, yaitu sajian data, reduksi data, dan verifikasi. Setiap kesimpulan
yang ditarik dalam proses analisis data selalu dimantapkan dengan pengumpulan data yang
berkelanjutan, sampai pada tahap akhir penelitian atau verifikasi. Lihat: Farida Nugrahani,
Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, (Surakarta, 2014), 174.
12

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibuat sebagai gambaran hal-hal pokok dalam
penulisan karya tulis agar lebih jelas dan terarah, sehingga pembaca dapat
lebih mudah untuk memahami dan mencerna maksud pembahasan skripsi
ini. Adapun sistematika penulisan skripsi akan disusun sebagai berikut:
BAB I; Merupakan pendahuluan yang berisikan uraian masalah
secara global. Pada bab ini kemudian diisi subbab-subbab terkait dengan;
latar belakang; identifikasi, batasan dan rumusan masalah; tujuan dan
manfaat penelitian; tinjauan kajian terdahulu; metode penelitian; dan
sistematika penulisan.
BAB II; Berisikan tentang diskursus munāsabah dalam al-Qur’an.
Bab ini dibagi menjadi subbab-subbab yang memuat; pengertian
munāsabah; sejarah perkembangan ilmu munāsabah; macam-macam
munāsabah dalam al-Qur’an; faedah munāsabah al-Qur’an; dan pandangan
ulama terhadap kajian munāsabah al-Qur’an.
BAB III; Pada bab ini dijelaskan mengenai kisah-kisah istri-istri
Rasulullah SAW. dalam al-Qur’an, yang akan dibagi menjadi beberapa
bagian. Adapun bagian tersebut dimuat dalam subbab-subbab terkait; kisah
al-Qur’an; istri-istri Rasulullah SAW.; serta ayat-ayat kisah tentang istri-
istri Rasulullah SAW.
BAB IV; Merupakan bagian inti yang menjelaskan tentang tafsir Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam kajian munāsabah antar ayatnya. Bab ini juga
akan dibagi per-subbab yang berisi; Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34; asbāb al-
nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34; selayang pandang tafsir Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34; dan analisis munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
BAB V; Adalah penutup yang berisikan kesimpulan dalam penelitian
ini, juga saran untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
DISKURSUS MUNĀSABAH DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Munāsabah

Munāsabah berasal dari kata “ً‫ﺎﺳﺒﺔ‬ ِ


َ َ‫ﻣﻨ‬ – ‫ـﺐ‬
ُ ‫ﻳـُﻨَﺎﺳ‬- ‫ﺐ‬
َ ‫” َ� َﺳ‬
1
18F memiliki
makna saling berdekatan, menyamai/menyerupai. 2 Ibn Manẓūr dalam Lisān
19F

al-‘Arab, menyebutkan bahwa kata al-nasbu berarti nasab al-qarābāt


(kerabat), nasabahu berarti syarakahu fī nasabihī (sama nasabnya). 3 Secara 20F

etimologi munāsabah adalah hubungan antara dua pihak atau lebih.


Sedangkan definisi munāsabah dari segi terminologi adalah pengetahuan
tentang makna yang terkandung dalam serangkaian ayat al-Qur’an. 4 Ada 21F

pula beberapa ulama yang mengemukakan pendapatnya terkait definisi dari


munasabah, seperti al-Suyūṭī, al-Zarkasyī, dan al-Qaṭṭan.
1. Jalaluddīn al-Suyūṭī, beliau mengatakan:
“Munāsabah adalah kedekatan dan perpadanan, yakni tempat
kembalinya ayat-ayat kepada suatu makna yang menghubungkan
dengannya, baik yang umum maupun yang khusus, yang bersifat
indrawi, khayalan, atau logika, seperti antara sebab dengan akibat,
antara dua hal yang sepadan, dua hal yang berlawanan, maupun
hubungan-hubungan lain yang berkaitan dengannya.” 5
2. Al-Zarkasyī, menjelaskan munāsabah dengan:
“Al-munāsabah berarti al-muqārabah, yakni kesamaan/kesesuaian.
Apabila dikatakan “fulān yunāsib fulānan”, maka berarti ia
menyerupai atau mendekati si fulan. Munāsabah juga berarti yang
satu keturunan (nāsib), yaitu kedekatan dengan adanya hubungan dua

1
Louis Ma’luf, Qamūs al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām (Beirut: Dār al-Syarqy,
1976), 803.
2
Masruchin, “Al-Razy dan Studi Munasabah dalam Tafsirnya”. Al-Dzikra vol.10,
no.2 (Juli-Desember 2016): 82-83.
3
Muḥammad Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 1 (Beirut: Dār Ṣādir, 1883), 755.
4
Dewi Murni, “Kaidah Munasabah”. Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur’ān dan
Keislaman, vol.7, no.2 (Oktober 2019): 91.
5
Jalaluddīn Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Resalah Publishers,
2008), 631.

13
14

orang yang bersaudara. Lalu, kata mutanāsibayn artinya ialah adanya


keterkaitan antara keduannya, yakni kedekatan. Dalam pembahasan
qiyas, munāsabah diartikan dengan kesesuaian pada ‘illat (al-waṣfu
al-muqārib li al-hukm), yang artinya sifat yang berdekatan dengan
hukum, maksudnya adalah suatu hukum dapat diperoleh dengan
adanya dugaan tentang kedekatan sifat yang ingin dihukumi.” 6
3. Manna’ al-Qaṭṭan mengungkapkan term ini adalah:
“Yang mana hal ini senada dengan yang diungkapkan Manna’ al-
Qaṭṭan, bahwa munāsabah secara bahasa berarti kesesuaian atau
kedekatan, dan mengumpamakannya dengan kesesuaian ‘illat hukum
dalam bab qiyas. Sedangkan yang dimaksud dengan munāsabah
dalam ilmu tafsir al-Qur’an ialah korelasi yang terdapat antara satu
kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan
ayat-ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain.
Pengetahuan tentang munāsabah ini sangat bermanfaat dalam
memahami mukjizat al-Qur’an secara balāghah, keserasian antar
maknanya, keteraturan susunan kalimatnya, keindahan gaya
bahasanya, dan kejelasan keterangannya.” 7
Dalam istilah tafsir, munāsabah adalah ilmu yang membahas hikmah
korelasi dalam urutan ayat al-Qur’an, maksudnya munāsabah merupakan
upaya pemikiran manusia dalam menggali hubungan tak kasatmata antara
satu ayat dengan ayat lain hingga dapat diterima akal. Ilmu diharapkan ini
dapat menyingkap rahasia ketuhanan, disertai sanggahan bagi mereka yang
meragukan al-Qur’an sebagai wahyu. 8 Mengutip dari Ibn al-‘Arabī, ia
berpendapat bahwa munāsabah adalah hubungan/keterikatan ayat-ayat al-
Qur’an, hingga seakan-akan mereka adalah satu ungkapan yang memiliki
keteraturan redaksi dan kesatuan makna. 9
Namun tidak semua ulama tafsir menggunakan kata munāsabah
untuk merepresentasikan hubungan antar ayat ini. Al-Rāzī menggunakan

6
Ari Hendri, “Problematika Teori Munasabah al-Quran”. Tafsere, vol.7, no.1
(Oktober 2019): 85.
7
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 119.
8
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an”. Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah Studi
Islam, vol.18, no.1 (Juli 2018): 79.
9
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 79.
15

kata Ta’alluq (keterkaitan), untuk munāsabah pada Qs. Hūd/ 11: 16-17;
kata Irtibaṭ (pertalian), menjadi kata ganti munāsabah dalam penafsiran
Sayyid Quṭb pada Qs. al-Baqarah/ 2: 188; Rasyid Riḍa memakai kata al-
Tiṣal dan al-Ta’lil (hubungan dan persesuaian), ini untuk menafsirkan Qs.
al-Nisā’/ 4: 30; dan kata al-Tartīb, digunakan al-Alusi untuk menafsirkan
keterkaitan antara Qs. Maryam dan Qs. Tāhā. 10 Meski begitu, mereka tetap
mengarah pada penjelasan keterkaitan, korelasi, dan hubungan antar ayat
dalam al-Qur’an, yang masyhur dengan nama ilmu munāsabah.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Munāsabah
Munculnya ilmu munāsabah diawali dengan sebuah kesadaran bahwa
susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an tidak sejalan dengan fakta sejarah
dan kronologi pewahyuan. Dimana faktanya, ayat pertama yang diturunkan
adalah Qs. al-‘Alaq/ 96: 1-5, sedangkan Qs. al-Fātiḥah menempati urutan
pertama dalam pembukuan al-Qur’an. Hal ini juga terjadi pada Qs. al-
Baqarah yang merupakan urutan kedua dalam daftar isi al-Qur’an, padahal
surat kedua yang turun dalam sejarah pewahyuan adalah Qs. al-
Muddaṡṡir. 11 Hal ini disadari oleh Al-Imām Abū Bakr al-Naisabūrī (w. 309
H.), orang pertama yang memperkenalkan munāsabah dalam al-Qur’an, ia
berangkat dari keyakinan bahwa susunan ayat dan surat dalam mushaf
‘Uṡmani bersifat tauqīfī dan tanpa adanya unsur ijtihad di dalamnya. 12
Kajian tentang munāsabah al-Qur’an kemudian dilanjutkan oleh para
ulama sesudahnya. Salah satunya adalah Abū Ja’far bin Zubair, guru Abū
Hayyan, ia menyusun kajian munāsabah dalam sebuah kitab tersendiri yang
diberi judul Al-Burhan fī Munāsabati Tartībi Suwar al-Qur’an. Ada pula

10
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 79-80.
11
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran: Dalam Tafsir Al-Misbah
(Jakarta: Amzah, 2015), 33.
12
John Supriyanto, “Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif antar Surat Bacaan
Shalal-shalat Nabi”. Intizar, vol.19, no.1 (Maret 2013): 51.
16

Burhanuddin Abi al-Hasan Ibrahim al-Biqā’i dengan kitabnya Naẓm al-


Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa al-Suwar yang didedikasikan kepada kajian
munāsabah, serta al-Suyūṭī yang menyusun kitab Asrar al-Tanzīl yang
kemudian diringkas dan dinamai Tanasuq al-Durar fī Tanāsub al-Suwar. 13
Dalam bidang penafsiran al-Qur’an, beberapa ulama tafsir juga
menaruh pengkhususan dalam aspek munāsabah untuk menafsirkan al-
Qur’an, misalnya Abū Bakr bin al-‘Arabī al-Malikī (w. 543 H) dalam
Ahkām al-Qur’an. Selain itu, ada juga Fakhruddin al-Rāzī (w. 606 H), yang
merupakan mufasir yang paling baik di zamannya dalam kaitannya terhadap
penafsiran yang memperhatikan munāsabah. Adapun perkembangan terkini
konsep munāsabah al-Qur’an ditandai dengan kemunculan Tadabbur-i
Qur’an karya Amin Ahsan Iṣlahi yang berasal dari Indo-Pakistan, ia
menyempurnakan kerangka teoritis dasar milik Ḥamid al-Din ‘Abd al-
Ḥamid al-Faraḥi (1280-1349 H). Selain itu, terdapat pula nama-nama lain,
seperti Sayyid Quṭb (Mesir), Ashraf ‘Ali Ṭanavi (Indo-Pakistan), ‘Izzah
Darwazah (Mesir), dan Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabaṭaba’i (Iran). 14
C. Macam-macam Munāsabah dalam Al-Qur’an
Kajian munāsabah dalam al-Qur’an ada banyak macam jika ditinjau
dari berbagai segi, di antaranya yaitu dari segi sifat, sebab, dan materinya.
1. Munāsabah dari Segi Sifatnya
Ditinjau dari segi sifatnya, maka munāsabah dalam al-Qur’an terbagi
menjadi dua macam: 15
a. Ẓāhir Al-Irtibaṭ
Yakni hubungan yang nyata dan tampak jelas antara satu ayat dengan
ayat lainnya. Dikarenakan keterkaitan antar kalimat yang amat erat,

13
Ah.Fauzul Adlim, “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an”. Al
Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, vol.1, no.1 (Juni 2018): 18.
14
Hendri, “Problematika Teori Munasabah Al-Quran,” 88.
15
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 631.
17

sehingga semua ayat-ayat tersebut terlihat memiliki hubungan yang jelas.


Seperti hubungan antara Qs. al-Fātiḥah/ 1: 5 dan Qs. al-Baqarah/ 2: 2.
ۙ
٦ ‫ﺴﺘَ ِﻘ ْﻴﻢ‬ ِ ِ ِ
َ ْ ‫اﻟْ ُﻤ‬ ‫اﻟﺼَﺮا َط‬
ّ �َ ‫ا ْﻫﺪ‬
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (Qs. al-Fātiḥah/ 1: 5)
ِ ِۙ
٢‫ﲔ‬
َ ْ ‫ﻟّْﻠ ُﻤﺘﱠﻘ‬ ‫ﺐ ۛ ﻓِْﻴ ِﻪ ۛ ُﻫ ًﺪى‬
َ ْ‫ٰﺐ َﻻ َرﻳ‬
ِ َ ِ‫ٰذﻟ‬
ُ ‫ﻚ اﻟْﻜﺘ‬
Artinya:
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa” (Qs. al-Baqarah/ 2: 2)
Hubungan kedua ayat tersebut terlihat jelas melalui kata “tunjukilah”
yang mana berarti dalam ayat ini meminta akan petunjuk, lalu ada kata
petunjuk di ayat lain yang merupakan jawaban atas permintaan tersebut.
b. Khāfī al-Irtibaṭ
Khāfī al-Irtibaṭ adalah hubungan antar ayat yang tersembunyi, tidak
jelas, atau samar. Hal ini dikarenakan hubungan antara bagian ayat yang
satu dengan bagian ayat yang lain tak terlihat, seolah-olah setiap ayat berdiri
sendiri-sendiri, seperti tidak berhubungan satu sama lain. Contohnya seperti
munāsabah dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 189 dan 190.

‫اﻪﻠﻟ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ‬


ِٰ ‫وﻗَﺎﺗِﻠُﻮا ِﰲ ﺳﺒِﻴ ِﻞ‬
ّ َْ ْ ْ َ ١٨٩... ِ ‫ﺖ ﻟِﻠﻨ‬
ۗ ‫ﱠﺎس َوا ْﳊَ ِّﺞ‬ ِ ِ ِِ
ُ ‫ﻚ َﻋ ِﻦ ْاﻻَﻫﻠﱠﺔ ۗ ﻗُ ْﻞ ﻫ َﻲ َﻣ َﻮاﻗْﻴ‬ َ َ‫ﻳَ ْﺴٔـَﻠُ ْﻮﻧ‬
ِ ‫اﻪﻠﻟَ َﻻ ُِﳛ ﱡ‬ ِ ِ
١٩٠ ‫ﻦ‬ َ ْ‫ﺐ اﻟْ ُﻤ ْﻌﺘَﺪﻳ‬ ّٰ ‫ﻳـُ َﻘﺎﺗﻠُ ْﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ َوَﻻ ﺗَـ ْﻌﺘَ ُﺪ ْوا ۗ ا ﱠن‬
Artinya:
“(189) Mereka bertanya kepadamu (Muḥammad ) tentang bulan sabit.
Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah)
haji.”... (190) Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-
Baqarah/ 2: 189-190)
Ayat ke-189 menjelaskan tentang bulan sabit sebagai tanda-tanda
waktu dan jadwal untuk haji yang mana saat haji menurut hukum tidak
boleh untuk berperang, sedangkan ayat ke-190 menjelaskan perintah untuk
menyerang orang-orang yang menyerang umat Islam, maksudnya memang
18

benar pada waktu haji umat Islam dilarang berperang, namun jika dalam
masa haji ia diserang terlebih dahulu maka ia boleh menyerang sebagai
pertahanan diri selama tidak melewati batas. 16
2. Munāsabah dari Segi Sebabnya
Dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, al-Suyūṭī menyebutkan bahwa
ada tiga sebab ditemukannya munāsabah dalam al-Qur’an. Tiga sebab
munāsabah tersebut adalah al-tanẓīr, al-muḍāddah dan al-istiṭrād. Pada
bagian al-istiṭrād, al-Suyūṭī kemudian menambahkan satu sebab lagi yaitu
husnu al-takhalluṣ atau hanya disebut dengan al-takhalluṣ, yang mana itu
17
menambah jumlah sebab munāsabah tersebut menjadi empat. Berikut
adalah empat sebab dalam kajian munāsabah al-Qur’an dan penjelasannya:
a. Al-Tanẓīr
Yang pertama adalah al-tanẓīr artinya pemadanan atau perbandingan.
Yaitu menyepadankan dan membandingkan satu ayat dengan ayat lain yang
sepadan/sebanding, sehingga ditemukan hubungan dari keduanya. Contoh
munāsabah ini adalah dalam Qs. al-Anfāl/ 8: 1-4 yang memiliki
pembahasan semakna, dengan Qs. al-Anfāl/ 8: 5.

ِ ۚ ِ ِ ۗ
َّٰ ‫ات ﺑـَْﻴﻨِ ُﻜ ْﻢ ۖ َواَ ِﻃﻴْـﻌُﻮا‬
‫اﻪﻠﻟ‬ ‫ذ‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﺤ‬‫ﻠ‬ ‫ﺻ‬ ‫ا‬
‫و‬ ٰ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻘ‬‫ـ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻓ‬ ِ
‫ل‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺳ‬‫ﺮ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ٰ
َ َ ْ ُ ْ ََ َّ ُ َ ْ ُ ‫ﻚ َﻋ ِﻦ ْاﻻَﻧْـ َﻔ ُ َْ َ ّ َ ﱠ‬
‫اﻪﻠﻟ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﻪﻠﻟ‬ ‫ﺎل‬
ُ ‫ﻔ‬ ‫ـ‬‫ﻧ‬ ‫اﻻ‬
ْ ِ
‫ﻞ‬ ‫ﻗ‬ ‫ﺎل‬ِ َ َ‫ﻳَ ْﺴٔـَﻠُ ْﻮﻧ‬
ِِ ِࣳ
١‫ﲔ‬ َ ْ ‫َوَر ُﺳ ْﻮﻟَٓﻪ ا ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ ﱡﻣ ْﺆﻣﻨ‬
Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu (Muḥammad) tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik
Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-
orang yang beriman.”( Qs. al-Anfāl/ 8: 1)
ِِ ِ ِ ۖ ۢ
٥‫ﻟَ ٰﻜ ِﺮُﻫ ْﻮ َن‬ ‫ﲔ‬ َ ِ‫ﻚ ِﻣ ْﻦ ﺑـَْﻴﺘ‬
َ ْ ‫ﻚ ِﺎﺑ ْﳊَ ِّﻖ َوا ﱠن ﻓَ ِﺮﻳْـ ًﻘ ّﺎﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ‬ َ ‫ﻚ َرﺑﱡ‬
َ ‫َﻛ َﻤﺎٓاَ ْﺧَﺮ َﺟ‬
Artinya:
16
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 294.
17
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 632.
19

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan


kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang
beriman itu tidak menyukainya,” (Qs. al-Anfāl/ 8: 5)
Ayat-ayat ini menjelaskan perbedaan pendapat antara sahabat terkait
pembagian harta rampasan perang Badar. Yang akhirnya pembagian harta
tersebut diserahkan ke Rasulullah SAW. meski mereka tidak menyukainya.
Di sisi lain, Allah pernah memerintahkan Nabi dan kaum muslimin untuk
menghadang musuh yakni kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abū
Sufyān, yang mana mereka juga tidak menyukainya. Ketidaksukaan mereka
dalam kedua hal tersebut termasuk pemadanan dalam ilmu munāsabah. 18
b. Al-Muḍāddah
Yang kedua adalah al-muḍāddah, artinya penyebutan lawan kata.
Yaitu munāsabah yang timbul akibat ayat yang berdampingan namun
bertentangan atau berlawanan. Contohnya adalah hubungan dalam Qs. al-
Baqarah/ 2: 1-5 dan Qs. al-Baqarah/ 2: 6.
ۤ
٦ ‫اِ ﱠن اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ َﻛ َﻔ ُﺮْوا َﺳ َﻮاءٌ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ ءَاَﻧْ َﺬ ْرَﻬﺗُْﻢ اَْم َﱂْ ﺗـُْﻨ ِﺬ ْرُﻫ ْﻢ َﻻ ﻳـُ ْﺆِﻣﻨُـ ْﻮ َن‬
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau
(Muḥammad ) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan,
mereka tidak akan beriman.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 6)
Awal surat ini membahas mengenai al-Qur’an yang merupakan
hidayah serta petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Maka dari itu,
setelah al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat orang-orang yang beriman secara
sempurna, hal itu lalu disambung dengan menyebutkan sifat-sifat orang-
orang yang kafir, sehingga antara keduanya terdapat korelasi yang bersifat
abstrak, yang disajikan dalam bentuk pertentangan atau lawan kata. 19

18
M. Sarifudin, “Kajian Teori Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an: Tela’ah
atas Surah Al-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Salatiga, 2017), 24.
19
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 632.
20

c. Al-Istiṭrād.
Sebab munāsabah ketiga adalah al-istiṭrād, yaitu penyebutan secara
beruntun. Munāsabah yang bercirikan al-istiṭrād terlihat dalam penjelasan
tambahan dari sebuah ayat. Contohnya Qs. al-A’rāf/ 7: 26.

‫ﻚ ِﻣ ْﻦ‬ِ‫ﻳٰـﺒ ِٓﲏ اٰدم ﻗَ ْﺪ اَﻧْـﺰﻟْﻨﺎ ﻋﻠَﻴ ُﻜﻢ ﻟِﺒﺎﺳﺎ ﻳـﱡﻮا ِري ﺳﻮ ٰءﺗِ ُﻜﻢ وِرﻳﺸ ۗﺎ وﻟِﺒﺎس اﻟﺘﱠـ ْﻘ ٰﻮى ٰذﻟِﻚ ﺧ ۗﲑ ٰذﻟ‬
َ ٌْ َ َ ُ َ َ ً ْ َ ْ َْ ْ َ ً َ ْ ْ َ ََ ََ ْ َ
‫ﺖ ِّٰ ﱠ ﱠ‬ ِ ٰ‫اٰﻳ‬
ُ ‫اﻪﻠﻟ ﻟَ َﻌﻠ ُﻬ ْﻢ ﻳَﺬ ﱠ‬
٢٦ ‫ﻛﺮْو َن‬
Artinya:
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi
pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-
tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (Qs. al-
A’rāf/ 7: 26)
Menurut Al-Zamakhsyarī, ayat ini turun setelah adanya pembahasan
tentang aurat Adam-Hawa yang terbuka dan kemudian mereka menutupnya
dengan dedaunan. Keterkaitan dalam ayat ini bertujuan untuk menunjukkan
bahwa keberadaan pakaian adalah karunia dari Allah SWT., dan
ketelanjangan dan aurat yang terbuka merupakan suatu perbuatan yang
hina, serta menutupnya merupakan sebagian besar dari takwa. 20
d. Al-Takhalluṣ
Munāsabah al-takhalluṣ bermakna estetika dalam menghindarkan
diri. Maksudnya adalah saat seseorang berpindah dari awal percakapan ke
percakapan lainnya yang merupakan pokok pembahasan secara mudah
dengan makna yang halus hingga pendengar tidak merasakan perubahan
arah percakapan dari maksud yang pertama ke yang kedua, karena eratnya
kaitan antara keduanya. Misalnya pada Qs. al-Syu’arā’/ 26: 87 dan 88-89.
ِ ۙ
٨٩ ۗ ‫ﺳﻠِْﻴ ٍﻢ‬ ٍ ‫اﻪﻠﻟَ ﺑَِﻘ ْﻠ‬
ّٰ ‫ اﱠﻻ َﻣ ْﻦ اَﺗَﻰ‬٨٨ ۙ ‫ﺎل ﱠوَﻻ ﺑـَﻨُـ ْﻮ َن‬ ِ
َ ‫ﺐ‬ ْ ‫َوَﻻ ُﲣِْﺰ‬
ٌ ‫ ﻳـَ ْﻮَم َﻻ ﻳـَْﻨـ َﻔ ُﻊ َﻣ‬٨٧ ‫ﱐ ﻳـَ ْﻮَم ﻳـُْﺒـ َﻌﺜـُ ْﻮ َن‬
Artinya:
“(87) Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka
dibangkitkan, (88) (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak
20
Najibah Nida Nurjanah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran al-Qur’an”.
Jurnal al-Fath, vol.14, no.1 (Januari-Juni 2020): 122.
21

tidak berguna, (89) kecuali orang-orang yang menghadap Allah


dengan hati yang bersih.” (Qs. al-Syu’arā’/ 26: 87-89)
Awalnya ayat ini berisi perkataan Nabi Ibrāhīm AS, lalu pada ayat
selanjutnya selanjutnya tidak terasa berpindah kepada sifat hari kiamat. 21
3. Munāsabah dari Segi Materinya
Sekiranya terdapat tujuh bentuk munāsabah dalam al-Qur’an jika
ditinjau dari segi materinya: 22
a. Hubungan Antar Kata dalam Satu Ayat
Munāsabah antara satu kata dengan kata lainnya dalam satu ayat al-
Qur’an adalah yang paling mudah dan banyak ditemukan. Karena pada
dasarnya kalimat-kalimat yang membentuk ayat tersebut merupakan satu
kesatuan. Contohnya dalam Qs. al-Fātiḥah/ 1: 2, dikatakan “Segala puji bagi
Allah”, lalu di kalimat selanjutnya dijelaskan: “Tuhan semesta alam”.
b. Hubungan Ayat dengan Ayat Sesudahnya
Bentuk munāsabah antara ayat dengan ayat sesudahnya ini adalah
bentuk paling umum dalam kajian munāsabah. Contohnya pun sudah
banyak disebutkan pada contoh dari bentuk munāsabah sebelumnya.
c. Hubungan Kandungan Ayat dengan Penutupnya
Selanjutnya adalah munāsabah antara ayat dengan penutup ayatnya.
Contohnya seperti dalam Qs. al-A’rāf/ 7: 3;
ۤ
٣ ‫اِﺗﱠﺒِﻌُ ْﻮا َﻣﺎٓ اُﻧْ ِﺰَل اِﻟَْﻴ ُﻜ ْﻢ ِّﻣ ْﻦ ﱠرﺑِّ ُﻜ ْﻢ َوَﻻ ﺗَـﺘﱠﺒِﻌُ ْﻮا ِﻣ ْﻦ ُد ْوﻧِِٓﻪ اَْوﻟِﻴَﺎ ۗءَ ﻗَﻠِْﻴ ًﻼ ﱠﻣﺎ ﺗَ َﺬ ﱠﻛُﺮْو َن‬
Artinya:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan
janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali
kamu mengambil pelajaran.” (Qs. al-A’rāf/ 7: 3)
Munāsabah ayat ini menurut al-Biqā’i adalah:
Karena banyak sekali manusia yang tidak menaati Allah SWT. ayat
ini yang memuat tentang perintah menaati-Nya yang kemudian
ditutup dengan “sedikit sekali kamu mengambil pelajaran” dari al-
21
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 2, terj, 628-269.
22
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 244.
22

Qur’an. Atau dengan kata lain; sebanyak apapun pelajaran dari al-
Qur’an yang diambil oleh manusia, pada hakikatnya mereka hanya
mempelajari sebagian kecil jika bahkan sangat kecil dibandingkan
dengan kandungannya.” 23
d. Hubungan Surat dengan Surat Berikutnya
Surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’an juga memiliki
munāsabah satu sama lain, antara surat sebelumnya dengan surat
sesudahnya. Karena surat sesudahnya, kebanyakan juga memaparkan hal
yang telah disebutkan – meski sedikit – di surat sebelumnya. Misalnya
adalah Qs. al-Baqarah yang memberikan penjelasan bagi Qs. al-Fātiḥah.
Lalu QS. Āli Imrān yang merupakan surat setelah Qs. al-Baqarah juga
memberi penjelasan yang lebih rinci bagi kandungan surat tersebut. 24
e. Hubungan Awal Surat dengan Akhir Surat
Munāsabah yang menghubungkan antara awal dan akhir surat ini
berarti dapat dikatakan bahwa ayat permulaan/pembuka suatu surat
berhubungan dengan ayat penutupnya atau apa yang disebutkan dalam akhir
surat tersebut. Contohnya adalah Qs. al-Baqarah diawali dengan membahas
kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk (al-Hudā) bagi orang-orang yang
beriman terhadapnya, juga kepada kitab-kitab suci sebelum al-Qur’an.
Kemudian di bagian akhir surat ini, menyebutkan tentang keimanan
Rasulullah SAW. beserta kaum mukminīn terhadap al-Qur’an juga kitab-
kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi terdahulu. 25
f. Hubungan Nama Surat dengan Tema Utamanya
Nama surat juga memiliki hubungan yang erat dengan kandungan dan
tema dari surat tersebut. Karena judul tidak lepas dari topik tulisannya.

23
Dahliati Simanjuntak, “Munāsabāt Al-Qur’an Menurut Al-Biqā’i”. Jurnal El-
Qanuny, vol.4, no.1 (Desember 2018): 242-243.
24
Murni, “Kaidah Munasabah,” 96-97.
25
M. S. Yusuf, “Penggunaan Ilmu Munāsabah dalam Istinbāth Hukum”. Tajdid,
vol.26, no.2 (September 2019): 125.
23

Contoh munāsabah ini di dalam al-Qur’an dapat dilihat pada Qs. al-Lahab,
yang berisikan tentang ancaman Allah kepada Abu Lahab dan istrinya.
g. Hubungan Akhir Surat dengan Awal Surat Berikutnya
Bentuk munāsabah ini dimaksudkan pada hubungan antara bagian
penutup sebuah surat dengan bagian pembuka surat sesudahnya. Misalnya
seperti hubungan antara Qs. al-Kāfirūn dengan permulaan Qs. al-Naṣr.
Kedua memiliki keterkaitan makna berdekatan, sebagaimana dikatakan
oleh al-Rāzī: “Tatkala Nabi SAW. berlepas diri dari kekufuran dan bersikap
kasar terhadap orang kafir dalam firman Yā ayyuhā al-Kāfirūn, seakan-akan
Nabi takut kepada sebagian orang, lalu beliau mengurangi kekasaran itu
sebagaimana dalam firman lakum dīnukum wa liyadīn, maka selanjutnya
seolah Allah mengatakan: ‘Wahai Muḥammad , janganlah kau takut, Aku
sungguh tidak menghilangkan pertolongan untukmu, tetapi Aku akan
memberikan pertolongan itu kepadamu dengan Iżā Jā’a naṣrullah.” 26

D. Faedah Munāsabah Al-Qur’an


Kualitas pengetahuan seseorang dalam munāsabah ayat al-Qur’an
juga dapat mempengaruhi mutu penafsiran al-Qur’an dan pemahaman
konteks ayat atau surat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu
saja disebabkan karena ayat-ayat dalam al-Qur’an adalah kesatuan yang
membentuk estetika tersendiri, yang apabila diambil sepenggal-penggal
keestetikan tersebut tidak bisa sempurna. Ini merupakan bukti bahwa al-
Qur’an memang benar mukjizat dari Tuhan yang Maha Sempurna. 27
Secara garis besar, ada dua sisi dari kajian munāsabah yang
dianggap penting sebagai salah satu dari sekian banyak cara untuk
menafsirkan al-Qur’an. Pertama, sisi balāghah, korelasi antara ayat satu
dengan yang lainnya menjadikan bahasa al-Qur’an dalam ayat tersebut

26
Yusuf, “Penggunaan Ilmu Munāsabah dalam Istinbāth Hukum,” 126-127.
27
Murni, “Kaidah Munasabah,” 99.
24

indah dan tertata, yang mana jika dipotong maka keindahan, kehalusan, dan
keserasian dari ayat tersebut akan hilang. Untuk ini imam al-Rāzī berkata,
“Kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunannya,
dan susunan kalimat yang paling indah adalah yang saling berhubungan
antara satu dengan lainnya.” Kedua, munāsabah memberikan kemudahan
untuk dapat mengerti makna dari ayat atau surat, karena penafsiran al-
Qur’an beserta macamnya (bi al-ma’ṡur dan bi al-ra’yi) membutuhkan
pemahaman lebih pada hubungan dan keterkaitan antar ayatnya agar
penafsiran menjadi utuh. Akan sangat fatal akibatnya bila menafsirkan ayat
sepotong-potong karena dapat menghilangkan kesempurnaan makna. 28
Dari hal-hal tersebut, sangat jelas bahwa pengetahuan tentang ilmu
munāsabah dalam penafsiran al-Qur’an dapat mempermudah seseorang
dalam memahami makna ayat atau surat al-Qur’an dengan utuh. Sedangkan,
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dipenggal tanpa mengikutsertakan
munāsabah akan menghilangkan keutuhan dan kesempurnaan makna ayat,
bahkan bisa mengakibatkan penyimpangan dan kekeliruan pada penafsiran.
Namun tidak berarti semua ayat harus ditafsirkan melalui munāsabah,
karena tidak semua ayat memilikinya. Syekh Izzuddin bin Abdu al-Salām
berkata; bahwa munāsabah merupakan ilmu yang baik. Dengan catatan jika
hubungan antar ayat tersebut terletak pada satu hal yang senada atau yang
bersambungan dari awal hingga akhir. Tapi, jika terletak pada sebab yang
berbeda-beda, hubungan itu nihil. Dan jika tetap berusaha mengaitkannya,
sama saja dengan membuat-buat sesuatu yang tidak ada. Karena al-Qur’an
turun selama lebih dari dua puluh tahun, ia memuat hukum-hukum yang
berbeda, dan syariat yang sebab-sebabnya berbeda pula. Kenyatan ini
membuat adanya hubungan semua ayat dalam al-Qur’an sedikit mustahil. 29

28
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 89.
29
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 2, terj, 624.
25

Adapun yang dimaksud munāsabah yang “nihil” adalah hubungan


antar ayat yang tidak saling bersambungan atau berdekatan, tidak juga
berada dalam sebab yang sama ataupun membahas hal yang senada.
Contohnya seperti saat ingin menemukan munāsabah dari Qs. Fāṭir/ 35:
15 30 dan Qs. al-Ḥujurāt/ 49: 13 31. Yang mana kedua ayat tersebut diawali
dengan seruan kepada manusia. Namun letak keduanya sangat berjauhan,
ditambah tema yang dimiliki kedua ayat tersebut tidak selaras. Dimana Qs.
Fāṭir/ 35: 15 membahas kebutuhan manusia kepada Allah, sedangkan Qs.
al-Ḥujurāt/ 49: 13 memuat penciptaan manusia yang bermacam-macam.

E. Pandangan Ulama terhadap Kajian Munāsabah Al-Qur’an


Para ulama, dalam memandang kajian munāsabah al-Qur’an, tidak
semuanya selaras dan sepemikiran. Kehadiran munāsabah sebagai cara
baru memahami al-Qur’an menuai perbedaaan pendapat di kalangan para
ulama. Sebagian ulama meyakini bahwa suatu ayat tidak berkaitan dengan
ayat lain yang senada, karena ayat-ayat dalam al-Qur’an memiliki konteks-
konteks yang unik dan khas. 32 Salah satunya adalah Wali al-Dīn al-Malawī.
Menurutnya setiap ayat yang diturunkan diiringi dengan situasi yang
berbeda-beda juga dengan konteks berbeda pula, sehingga dalam
pemaknaan dan penafsiran ayatnya berbeda pula. Alasan senada juga
diungkapkan oleh al-Syawkānī yang menentang terhadap penggunaan
munāsabah. Ia bertanya-tanya mengapa menghubung-hubungkan hal yang

“‫اﳊَ ِﻤ ْﻴ ُﺪ‬ ِٰ ‫” ٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨﱠﺎس اَﻧْـﺘﻢ اﻟْ ُﻔ َﻘ ۤﺮاء اِ َﱃ‬


ْ ‫ﲏ‬ ّٰ ‫اﻪﻠﻟ َۚو‬
‫اﻪﻠﻟُ ُﻫ َﻮ اﻟْﻐَِ ﱡ‬ ّ ُ َ ُُ ُ
30
َ
Artinya: “Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah Yang
Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fāṭir/ 35: 15)
ۤ
31
“ۚ ‫ﱠﺎس اِ ﱠ� َﺧﻠَ ْﻘ ٰﻨ ُﻜ ْﻢ ِّﻣ ْﻦ ذَ َﻛ ٍﺮ ﱠواُﻧْـﺜٰﻰ َو َﺟ َﻌﻠْٰﻨ ُﻜ ْﻢ ُﺷﻌُ ْﻮًﺎﺑ ﱠوﻗَـﺒَﺎ ِٕﯨ َﻞ ﻟِﺘَـ َﻌ َﺎرﻓـُ ْﻮا‬
ُ ‫” ٰٓ�َﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨ‬
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...” (Qs. al-Ḥujurāt/ 49: 13)
32
Syukron Affani, “Diskursus Munāsabah: Problem Tafsīr al-Qur’ān bi’l-Qur’ān”.
Jurnal Theologia, vol.28, no.2 (Desember 2017): 393.
26

jelas berbeda, menurutnya munāsabah hanya membentuk prasangka bagi


orang-orang yang memiliki pemahaman dangkal. Ia juga menyindir
sebagian besar mufassir yang berusaha menjelaskan korelasi dalam ayat-
ayat al-Qur’an menurut konteks urutan-urutannya. Bagi al-Syawkānī solusi
ideal memahami al-Qur’an adalah dengan mendalami asbāb al-nuzūl ayat
dan sejarah Nabi, bukan dengan munāsabah al-Qur’an. 33
Namun, banyak pula ulama yang mengakui keberadaan munāsabah
al-Qur’an, mereka menyatakan adanya hubungan antar ayat serta antar surat
dalam al-Qur’an. Seperti Abū Bakr al-Naisabūrī (w. 324 H), ahli ilmu
bahasa dan syari’ah yang mengakui keberadaan munāsabah al-Qur’an. Ia
selalu menganalisis hubungan antara ayat dengan ayat lainnya. Kemudian,
Izzuddin bin Abd al-Salām (w. 660 H) menyebutkan bahwa munāsabah
merupakan ilmu yang menjelaskan tertatanya suatu pembicaraan (irtibaṭ al-
Kalam), adanya hubungan atau keterkaitan antara awal pembicaraan dengan
akhir pembicaraan yang membuatnya tersusun menjadi satu kesatuan. Ada
pula ‘Izzah Darwazah yang mengatakan pada awalnya orang mengira
bahwa antara ayat dengan ayat lainnya dan antara surat dengan surat lainnya
dalam al-Qur’an tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Namun, setelah
mereka melakukan penelitian, ternyata sebagian besar ayat dengan ayat dan
surat dengan surat itu memiliki hubungan.34 Dan masih banyak lagi ulama
lainnya yang pro terhadap kehadiran kajian munāsabah dalam dunia
penafsiran al-Qur’an, seperti contohnya al-Suyūṭī, al-Biqā’i, dan al-Rāzī
yang sampai membuat kitab tafsir dalam spesialisasi munāsabah.

33
Affani, “Diskursus Munāsabah,” 411.
34
Adlim, “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an,” 17-18.
BAB III
KISAH-KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW.
DALAM AL-QUR’AN

A. Kisah Al-Qur’an

Dalam ‘ulūm al-Qur’ān, kisah-kisah dalam kitab suci agama Islam ini
dinamai dengan ‫( ﻗﺼﺺ اﻟﻘﺮآن‬qaṣaṣ al-Qur’ān, kisah-kisah dalam al-Qur’an)
yang terambil dari bentuk mufrad-nya ‫( ﻗﺼﺔ‬kisah), seakar dengan kata ‫ﻗﺺ‬
ّ
yang memiliki arti menelusuri. Banyak pula ulama mengartikan kisah
sebagai penelusuran kejadian/peristiwa dengan yang disampaikan dan
diceritakan secara bertahap menurut kronologi kejadiannya. Cara
penyampaian tersebut dapat dilakukan dengan menerangkannya dari awal
hingga akhir, atau mengelompokkannya ke dalam bentuk beberapa
bagian/episode-episode tertentu. 1 52F

Manna’ al-Qaṭṭan menyebut bahwa qaṣaṣ adalah berita yang


berurutan dan al-qiṣṣah memiliki arti keadaan, berita, perkara atau urusan.
Sedangkan qaṣaṣ al-Qur’ān adalah pemberitaan al-Qur’an mengenai
kenabian sebelum Nabi Muḥammad, keadaan umat terdahulu, dan
peristiwa-peristiwa di masa lampau yang telah terjadi. Atau dapat pula
menerangkan tentang keadaan dan sejarah suatu negeri atau bangsa, dan
peninggalan atau jejak setiap umat manusia. Lalu semua kejadian tersebut
dikisahkan al-Qur’an dengan bahasa yang mempesona dan menarik. 2
Menurut M. Quraish Shihab, di dalam al-Qur’an penggunaan kata
qiṣṣah berkaitan dengan tiga objek yang dikisahkan. Yang pertama, yakni

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 319.
2
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 387.

27
28

peristiwa yang benar telah terjadi di kenyataan, misalnya kejadian yang


Mūsā ceritakan kepada Syu’aib (Qs. al-Qaṣaṣ/ 28: 25); kedua, Peristiwa
yang terjadi hanya secara empiris, seperti dalam bentuk mimpi, contohnya
mimpi Yūsuf tentang bintang, matahari, dan bulan yang berjumlah sebelas
bersujud kepadanya; dan yang ketiga adalah sesuatu yang tidak masuk ke
dalam kategori kejadian/peristiwa, tapi merupakan tuntunan atau ajaran,
misalnya seperti dalam Qs. al-An’ām/ 6: 57 dan Qs. al-Naḥl/ 16: 118. 3
Kisah dalam al-Qur’an cukup banyak, namun kisah-kisah tersebut
memiliki pola yang membedakan macam dan bentuknya. Macam dan
bentuk kisah al-Qur’an ini bisa dipahami dengan mengklasifikasikannya ke
dalam beberapa segi sebagai berikut: 4
1. Ditinjau dari segi waktu, terdapat tiga macam.
a. Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu, contohnya seperti
kisah penciptaan alam semesta.
b. Kisah hal gaib yang terdapat di masa kini (masa Nabi SAW.),
misalnya malaikat yang turun pada malam lailah al-qadr.
c. Kisah gaib yang terjadi di masa depan, contohnya seperti kisah
hari kiamat dan kehidupan setelah mati.
2. Ditinjau dari segi materi, terdapat tiga macam.
a. Kisah para Nabi dan Rasul, seperti Mūsā, Nūh, dan lainnya.
b. Kisah orang-orang di masa lalu yang tidak bisa dipastikan
kenabiannya. Contohnya kisah tentang Luqmān dan Imrān.
c. Kisah yang berkaitan dengan Nabi Muḥammad SAW. semasa
beliau hidup. Seperti kisah hijrahnya Nabi, kisah perang Badar,
perang Uhud, dan istri-istrinya.
3. Ditinjau dari segi bahasa, juga terdapat tiga macam.

3
Shihab, Kaidah Tafsir, 320.
4
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 161-164.
29

a. Deskriptif (akhbarī), contohnya kisah Aṣḥāb al-Kahf pada Qs.


al-Kahf/ 18: 9-26.
b. Percakapan (hiwar), seperti percakapan Ya’qub dan anak-
anaknya yang ingin membawa Yūsuf pergi terdapat dalam Qs.
Yūsuf/ 12: 11-14.
c. Debat (jadal), contohnya pada Qs. Hūd/ 11: 32-33 tentang
perdebatan nabi Nuh dan kaumnya.
Kisah dalam al-Qur’an tidak diturunkan tanpa tujuan, melainkan ia
memiliki manfaat yang cukup signifikan. Kisah dalam al-Qur’an ikut andil
dalam menerangkan landasan dakwah agama Allah, juga turut serta dalam
menjelaskan pokok syariat yang diajarkan oleh para Nabi. Ia juga
meneguhkan hati Rasulullah SAW. juga hati umat dalam beragama serta
meyakinkan bahwa pertolongan Allah pasti datang. Selain itu, kisah al-
Qur’an nyatanya juga mengabadikan usaha-usaha para Nabi dalam
mengajak manusia kepada ketauhidan. Dan yang paling penting ia
menunjukkan bahwa dakwah Nabi Muḥammad merupakan kebenaran
dengan cara menceritakan realita umat di masa sebelumnya dan
membongkar kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab
suci mereka yang masih murni. 5
Sering kali terjadi pengulangan kisah dalam al-Qur’an. Namun hal ini
tidaklah mengurangi kesempurnaan kitab suci ini, karena pengulangan ini
memiliki maksud dan hikmah yang menambah kekhasan al-Qur’an.
Maksud dan hikmah pengulangan kisah dalam al-Qur’an ini adalah;
Pertama, menunjukkan al-Qur’an dari segi balāghahnya berada di tingkat
teratas. Karena mengungkapkan suatu makna menggunakan berbagai
macam bentuk yang narasi yang berbeda merupakan salah satu
keistimewaan balāghah. Kedua, menampakkan hebatnya mukjizat yang

5
Hamid, Study Ulumul Quran, 166.
30

dimiliki al-Qur’an. Karena mengungkapkan berbagai bentuk susunan


kalimat yang merujuk pada satu makna, yang mana tidak satu pun bentuk
susunan kalimat tersebut dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, adalah hal
yang luar biasa dan hal ini membuktikan bahwa Allah lah yang menurunkan
al-Qur’an. Ketiga, memberikan atensi yang besar terhadap keberadaan
kisah tersebut supaya amanat yang terkandung di dalamnya lebih berkesan
dan melekat pada jiwa. Dan yang keempat adalah bahwa semua kisah
mempunyai arah tujuan yang berlainan, itulah sebabnya kisah-kisah
tersebut diungkapkan dalam diksi yang berbeda. Yang mana sebagian dari
makna-maknanya diperlukan, dan sebagian yang lain diutarakan di lain
tempat serasi dengan kondisi yang terjadi. 6
Perlu diingat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an
merupakan fakta, bukanlah fiktif atau karangan belaka. Kisah yang termuat
dalam al-Qur’an bersifat kredibel dan ekuivalen dengan sejarah yang
dilukiskan dengan bahasa indah nan menarik. Al-Qur’an suci dari sastra
rekaan yang tidak berdasarkan dengan realitas sejarah, dan kisah dalam al-
Qur’an bukanlah sebuah cerita artifisial maupun karya seni manusia. 7

B. Istri-istri Rasulullah SAW.


Menurut pendapat yang populer, istri-istri Rasulullah SAW. atau yang
disebut ummahāt al-mu‘minīn ada dua belas orang. Sebelum Nabi
mengawininya, mereka semua merupakan seorang janda kecuali Aisyah
binti Abū Bakr. Ummahāt al-mu‘minīn adalah terma berbahasa Arab yang
dipakai dalam ajaran agama Islam sebagai julukan mulia untuk istri-istri
Nabi Muḥammad SAW. Istilah ini diambil dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 6.

٦...ۗ ‫اﺟ ࣳٓﻪ اُﱠﻣ ٰﻬﺘُـ ُﻬ ْﻢ‬ ِ ِ ِ‫اَﻟﻨِﱠﱯ اَو ٰﱃ ِﺎﺑﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨ‬
ُ ‫ﲔ ﻣ ْﻦ اَﻧْـ ُﻔﺴ ِﻬ ْﻢ َواَْزَو‬
َْ ُ ْ ‫ﱡ‬
6
Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, 389-390.
7
Fildzah Nida, “Kisah Zulqarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-
Qur’ān: Menurut Quraish Shihab, al-Maragi, dan Buya Hamka” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 24-25.
31

Artinya:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka...” (Qs. al-
Aḥzāb/ 33:6)
Kedua belas perempuan hebat tersebut memiliki posisi yang sangat
fundamental sebagai salah satu pembimbing agama di generasi sahabat dan
tabi’īn, khususnya di kalangan wanita muslim. Ummahāt al-mu‘minīn
adalah rujukan utama bagi umat setelah wafatnya Nabi SAW. dalam
menanyakan persoalan-persoalan tertentu, terlebih masalah yang mengenai
perempuan dan keluarga. Sehingga eksistensi mereka menempati status
terpenting, baik selaku basis edukasi agama ataupun sebagai tokoh ideal
dalam keimanan terlebih bagi kaum muslimah. 8
1. Khadījah binti Khuwailīd
Khadījah binti Khuwailīd (555-623 M) adalah anak perempuan
Khuwailīd bin Asad bin Abdul Uzza bin Quṣay bin Kilab al-Qursyiyah al-
Asadiyah. Ia disebut al-Ṭāhirah yang memiliki arti suci atau bersih.
Khadījah dilahirkan kurang lebih lima belas tahun sebelum tahun gajah, 9
yang mana merupakan tahun kelahiran Nabi Muḥammad SAW. Khadījah
dikategorikan sebagai al-Sābiqūn al-Awwalūn (orang-orang pertama yang
memeluk Islam), juga perempuan pertama yang menjadi umm al-mu‘minīn.
Sebelumnya, Khadījah dinikahi oleh ‘Atiq bin ‘Ā‘idz. Namun,
suaminya wafat dengan mewariskan harta yang berlimpah. Kemudian
Khadījah menikah lagi dengan Hindun bin Banas, seorang pedagang dari
Bani Tamim, yang kemudian juga wafat. 10 Ada pula pendapat bahwa
Khadījah menikah dengan Abū Halah bin Zurarah al-Tamimī untuk kali

8
A. Rosmiaty Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Sibuku, 2016), 72.
9
Muhandis Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier”.
Muwāzāh, vol.1, no.2 (Mei 2009): 96.
10
Iqbal, “Peranan Khadijah terhadap Penyebaran Agama Islam di Mekah”. Jurnal
Rihlah, vol.5, no.1 (Juni 2017): 66.
32

pertama, dan setelah Abū Halah meninggal, Khadījah lalu menikah dengan
‘Atiq bin ‘Ā‘idz bin Abdullah al-Mahzumi dalam beberapa periode namun
akhirnya bercerai. 11 Akhirnya Khadījah menikah dengan Nabi di usia yang
keempat puluh tahun, sedangkan Rasulullah SAW. berumur dua puluh lima
tahun. Keduanya lalu dikaruniai dua orang putra (Qāsim dan ‘Abdullah) dan
empat orang putri (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kulṡūm dan Fāṭimah).
Setelah kurang lebih dua puluh empat tahun lamanya Khadījah hidup
bersama Rasulullah SAW., ia kemudian sakit keras. Hingga akhirnya pada
tahun ke-10 H, Khadijah meninggal dalam usia enam puluh empat tahun
dan enam bulan. 12 Dan tahun itu dinamakan ‘ām al-huzni (tahun kesedihan),
karena paman Rasulullah (Abū Ṭalib) sekaligus istrinya meninggal dunia.
2. Saudah binti Zam‘ah
Saudah binti Zam‘ah merupakan istri kedua Rasulullah SAW. setelah
Khadījah wafat, saat itu usianya sudah mencapai lima puluh lima tahun. 13
Saudah adalah istri Nabi yang termasuk al-Sābiqūn al-Awwalūn dan juga
orang yang ikut membela agama Islam dengan berhijrah ke Ethiopia. Nabi
menikahinya untuk meringankan penderitaannya memberikan tempat yang
setara dengan umm al-mu‘minīn setelah suaminya – Sakran bin Amr – wafat
dan meninggalkannya sendirian di kota Makkah seorang diri karena
keluarganya yang masih kafir tidak mau menerima dirinya yang beragama
Islam. Selain itu, Nabi Muḥammad SAW. menikahi Saudah dengan tujuan
agar umat muslim menyadari bahwa anak-anak dan istri-istri mereka tidak
akan dibiarkan hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan jikalau mereka
gugur dalam berjuang untuk agama Allah. 14

11
Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier,” 96.
12
Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier,” 99.
13
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami Rasulullah Dan Pelaksanaan
Poligami Pada Zaman Kekinian Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (Studi Kec. Mare)”. Jurnal Al-Dustur, vol.1, no.1 (Desember 2018): 83.
14
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 76.
33

3. ‘Āisyah binti Abū Bakr


‘Āisyah dilahirkan di Mekkah pada tahun ke-9 sebelum hijrah di
bulan Syawal, atau dalam kalender masehi tepat pada bulan Juli tahun 614
M yang tak lain merupakan akhir tahun ke-5 setelah Nabi Muḥammad
SAW. ditahbiskan menjadi Rasul. Ayahnya adalah Abū Bakr al-Ṣiddīq,
seorang sahabat Rasulullah SAW. yang sangat jujur dan terhormat,
sedangkan ibunya adalah wanita mulia bernama Ummu Ruman. ‘Āisyah
adalah istri ketiga Rasulullah SAW. yang mana dinikahi Nabi tiga tahun
setelah wafatnya Khadījah. Saat itu, ‘Āisyah baru berusia enam tahun, dan
ia hidup satu atap dengan Nabi pada usia sembilan tahun, namun kemudian
Rasulullah wafat ketika ‘Āisyah menginjak umur delapan belas tahun.
Pernikahan ‘Āisyah dan Nabi Muḥammad SAW. bukanlah semata-mata
keinginan Nabi untuk memiliki istri muda, namun merupakan bentuk
ketaatan Nabi dalam melaksanakan perintah langsung dari Allah SWT yang
diwahyukan lewat mimpi. 15
4. Ḥafṣah binti ‘Umar
Ḥafṣah yang merupakan anak perempuan dari salah satu sahabat
terdekat Nabi SAW., yakni ‘Umar bin Khaṭṭab. Ia merupakan janda dari
Khunais bin Huẓaifah yang mati syahid dalam perang badar. Nabi menikahi
Ḥafṣah untuk melipur hati ‘Umar atas kekecewaannya karena Abū Bakr dan
Uṣman menolak lamaran untuk menikahi Ḥafṣah. Keistimewaan umm al-
mu‘minīn ini adalah fakta bahwa Ḥafṣah merupakan orang pertama yang
memiliki muṣhaf al-Qur’an sebelum pada akhirnya dikodifikasi pada masa
Uṣman. Beliau wafat pada bulan Sya’ban tahun 45 H di kota Madinah, dan
dikuburkan di Baqi, di tempat penguburan para umm al-mu‘minīn. 16

15
Aisyah Tidjani, “Aisyah Binti Abū Bakr R.A.: Wanita Istimewa yang Melampaui
Zamannya”. Dirosat: Journal of Islamic Studies, vol.1, no.1 (Oktober 2016): 29-30.
16
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 79-80.
34

5. Zainab binti Khuzaimah


Zainab binti Khuzaimah merupakan wanita mujāhidah fī sabīl Allāh
yang turut serta dalam peperangan Islam untuk merawat dan mengurus para
mujahid yang terluka di medan perang, terlebih perang badar. Suaminya
‘Ubaidah bin Ḥariṡ bin Abdul Muṭallib meninggal pada awal perang badar
membuatnya menjadi janda dan tidak ada lagi yang menyediakan nafkah
untuknya. Mendengar hal itu, akhirnya Nabi SAW. menikahinya sebelum
akhirnya dia wafat terlebih dahulu dari Nabi Muḥammad . 17
6. Ummu Salamah
Hindun binti Abū Umayyah yang dikenal dengan Ummu Salamah
adalah janda dari Abū Salamah dengan meninggalkan dua anak laki-laki
dan dua anak perempuan, yakni; Barra, Salamah, Amrah dan Durrah. 18 Ia
dinikahi oleh Rasulullah SAW., karena suaminya gugur di perang Uhud,
dan Rasulullah SAW. berniat untuk menjaganya dan menafkahi anak-
anaknya. Hindun wafat pada tahun 20 H di usia enam puluh lima tahun, dan
ia adalah umm al-mu‘minīn kedua yang meninggal setelah Nabi wafat. 19
7. Zainab binti Jaḥsy
Awalnya, Nabi SAW. ingin menikahkan Zainab, yang merupakan
anak perempuan bibi Nabi Muḥammad dari bangsa Arab dan keturunan
Bani Hasyim dengan Zaid bin Ḥariṡah, putra angkatnya. Namun tak lama
setelah itu, karena ketidakcocokan keduanya akhirnya mereka bercerai.
Lalu ketika turun Qs. al-Aḥzāb/ 33: 37, Allah memerintahkan Rasulullah
SAW. untuk memperistri Zainab untuk menghapus tradisi larangan untuk
menikahi bekas istri anak angkat yang bekembang. 20 Zainab adalah satu-
satunya istri Nabi SAW. yang pernikahannya merupakan perintah langsung

17
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 85-86.
18
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 86.
19
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 81.
20
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 87.
35

dari Allah melalui wahyu al-Qur’an, selain itu ia juga umm al-mu‘minīn
yang paling pertama wafat setelah kematian Rasulullah SAW., tepatnya
pada masa kekhalifahan Umar bin Khaṭṭab pada tahun 20 H. Ia wafat pada
umur 65 tahun dan dimakamkan di Jannatul Baqi’. 21
8. Juwairiyah binti Al-Ḥariṡ
Juwairiyah binti Ḥariṡ adalah janda dari Masafeah Ibn Safuan. Ia
merupakan anak perempuan dari al-Ḥariṡ bin Żirar, pemuka dari Bani
Muṣṭaliq yang berhasil ditaklukan setelah sebelumnya sempat berusaha
menewaskan Rasulullah SAW. Juwairiyah lalu dijadikan tawanan perang
oleh Ṡabit bin Qais bin Syammas, sebelum akhirnya ditebus dan dinikahi
oleh Rasulullah SAW. untuk mengambil hati Bani Muṣṭaliq terhadap Islam,
dan mengangkat derajat mereka. Setelah itu sahabat-sahabat yang memiliki
tawanan juga mengikuti Nabi untuk melepaskan mereka dan mengajak
mereka untuk masuk Islam. Juwairiyah menjadi umm al-mu‘minīn yang
membawa berkah bagi kaumnya, karena dengan pernikahannya, ratusan
keluarga dari kaumnya yang tadinya budak menjadi orang yang merdeka. 22
9. Ṣafiyah binti Ḥuyay
Ṣhafiyah merupakan umm al-mu‘minīn yang memiliki latar belakang
Yahudi. Karena telah mengingkari kesepakatan yang sudah disetujui
bersama kaum Muslimin sukunya diserang, dan Ṣhafiyah adalah salah satu
dari tawanan perang saat itu. Lalu Nabi berjanji menikahinya jika ia masuk
Islam maka ia akhirnya masuk Islam. Perkawinan Rasulullah SAW. dengan
seorang wanita Yahudi ini merupakan suatu langkah untuk menandakan
kesetaraan antara orang Arab dengan orang non Arab (‘ajamī). 23

21
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 82.
22
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 82-83.
23
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 83-84.
36

10. Ummu Ḥabībah


Nama lengkapnya Ummu Ḥabībah adalah Ramlah binti Abū Sufyan,
ia merupakan janda dari ‘Ubaidillah bin Jaḥsy yang hijrah bersamanya ke
Habasyah karena menghindari ayahnya yang masih kafir. Namun suaminya
kemudian murtad untuk beralih agama ke nasrani dan tinggal di Habasyah,
sedangkan Ummu Ḥabībah tetap teguh dengan keislamannya. Akhirnya,
Rasulullah SAW. memperistrinya sebagai pelipur lara juga menjadi sosok
pengganti yang lebih baik untuknya, serta sebagai penghormatan kepada
Ummu Ḥabībah karena telah hijrah ke Habasyah bersama Nabi setelah
sebelumnya mengalami penderitaan yang sangat berat di Mekkah. 24
11. Maria Al-Qibṭiyah
Maria binti Syama’un merupakan budak wanita yang diberikan raja
Muqauqis, seorang penguasa suku Qibṭi di Alexandria Mesir, kepada
Rasulullah SAW., sebagai balasan dari surat Rasulullah SAW. yang
mengajak masuk Islam, namun sayangnya ia menolak.
Maria kemudian dibebaskan dari status budak dan dijadikan sebagai
istri Nabi setelah melahirkan anak laki-laki. Tujuh hari setelah putranya
lahir, Rasulullah SAW. menyembelih dua ekor domba yang besar yang
diniatkan sebagai aqiqah. Nabi juga memotong rambut putranya, dan
menyedekahkan perak seberat timbangan rambut tersebut kepada orang
miskin. Setelahnya beliau menamai anaknya dengan Ibrāhīm. 25
12. Maimunah binti Al-Ḥariṡ
Maimunah merupakan janda yang luluh hatinya untuk memeluk
agama Islam saat menyaksikan umat Islam beramai-ramai melaksanakan
ibadah haji pada tahun ke-7 H. Nabi SAW. menikahi Maimunah untuk

24
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 84-85.
25
Abdullah Hajjaj, Maria Al-Qibthiyah: The “Forgotten” Love of The Prophet,
(Jakarta: Mizan Pustaka, 2007), 39-40.
37

menghibur dan menghormati perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya


di medan jihad. Maimunah wafat pada masa Mu’awiyah, pada tahun 51 H.
Ia dikuburkan di Sarif, tempat Rasulullah SAW. pertama kali memiliki
hubungan dengannya saat dalam perjalanan dari Madinah ke Sarif. 26

C. Ayat-ayat Kisah tentang Istri-istri Rasulullah SAW.


Tidak banyak ayat al-Qur’an yang mengisahkan istri-istri Rasulullah
SAW., kecuali karena adanya kejadian besar yang membuat Allah
menurunkan kalam-Nya yang menyinggung mereka. Meski begitu, tidak
semua dari istri Nabi SAW dikisahkan dalam al-Qur’an. Berikut merupakan
beberapa ayat mengenai ummahāt al-mu‘minīn yang ditemukan:
1. Qs. al-Nūr/ 24: 11-16
ۗ ۗ ۗ ۤ ِ ِ
‫ﺼﺒَﺔٌ ِّﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻻ َْﲢ َﺴﺒُـ ْﻮﻩُ َﺷًّﺮا ﻟﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑَ ْﻞ ُﻫ َﻮ َﺧ ٌْﲑ ﻟﱠ ُﻜ ْﻢ ﻟِ ُﻜ ِّﻞ ْاﻣ ِﺮ ٍئ ِّﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ‬ ِ ِ
ْ ُ‫ا ﱠن اﻟﱠﺬﻳْ َﻦ َﺟﺎءُ ْو ِﺎﺑ ْﻻﻓْﻚ ﻋ‬
‫ ﻟَْﻮَﻻٓ اِ ْذ َِﲰ ْﻌﺘُ ُﻤ ْﻮﻩُ ﻇَ ﱠﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆِﻣﻨُـ ْﻮ َن‬١١ ‫اب َﻋ ِﻈْﻴ ٌﻢ‬ ࣳ ِ ࣳ ِ ٰ ِ ۚ ِ ِ ‫ﱠﻣﺎ ا ْﻛﺘَﺴ‬
ٌ ‫ﺐ ﻣ َﻦ ْاﻻ ِْﰒ َواﻟﱠﺬ ْي ﺗَـ َﻮّﱃ ﻛ ْﱪَﻩ ﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ﻟَﻪ َﻋ َﺬ‬ َ َ
ۚ ۤ ۤ ِ ۙ
‫ ﻟَ ْﻮَﻻ َﺟﺎءُ ْو َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ِﺎﺑَْرﺑـَ َﻌ ِﺔ ُﺷ َﻬ َﺪاءَ ﻓَﺎِ ْذ َﱂْ َ�ْﺗـُ ْﻮا‬١٢ ‫ﲔ‬ ٌْ ِ‫ﻚ ﱡﻣﺒ‬ٌ ْ‫ٰﺖ ِﺎﺑَﻧْـ ُۤﻔ ِﺴ ِﻬ ْﻢ َﺧ ْ ًﲑا ﱠوﻗَﺎﻟُْﻮا ٰﻫ َﺬآ اﻓ‬ ِ
ُ ‫َواﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ‬
ِ‫اﻻ ِﺧﺮة‬ ٰ ْ ‫و‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻴ‬
َ ‫ـ‬
ْ‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ﱡ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﰱ‬ ِ ‫اﻪﻠﻟِ َﻋﻠَْﻴ ُﻜﻢ ور ْﲪَﺘُ ࣳﻪ‬ ٰ
ّ ‫ﻞ‬ ‫ﻀ‬
ْ ‫ﻓ‬
َ ‫ﻻ‬ َ‫ﻮ‬ْ ‫ﻟ‬
َ‫و‬ ١٣ ‫اﻪﻠﻟِ ُﻫﻢ اﻟْ ٰﻜ ِﺬﺑـُ ْﻮ َن‬
ّٰ ‫ﺪ‬
َ ‫ﻨ‬
ْ ِ‫ﻚ ﻋ‬ َ ‫ﯩ‬ِٕ ٰ‫ﱡﻬ َﺪ ۤا ِء ﻓَﺎُو‬
‫ﻟ‬ َ ‫ِﺎﺑﻟﺸ‬
َ َ َ َ ْ ُ َ ُ
ِ ‫ اِ ْذ ﺗَـﻠَﻘﱠﻮﻧَ ࣳﻪ ِﺎﺑَﻟْ ِﺴﻨﺘِ ُﻜﻢ وﺗَـ ُﻘﻮﻟُﻮ َن ِﺎﺑَﻓْـﻮ‬١٤ ‫ﻀﺘﻢ ﻓِﻴ ِﻪ ﻋ َﺬاب ﻋ ِﻈﻴﻢ‬
‫ﺲ‬َ ‫ﻴ‬
َْ‫ﻟ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬
‫ﱠ‬ ‫ﻢ‬ْ ‫ﻜ‬ُ ‫اﻫ‬ َ ْْ َْ َ ْ ٌ ْ َ ٌ َ ْ ْ ُ ْ َ‫ﰲ َﻣﺎٓ اَﻓ‬ ْ ِ ‫ﻟَ َﻤ ﱠﺴ ُﻜ ْﻢ‬
ۙ ࣳ
‫ َوﻟَ ْﻮَﻻٓ اِ ْذ َِﲰ ْﻌﺘُ ُﻤ ْﻮﻩُ ﻗُـﻠْﺘُ ْﻢ ﱠﻣﺎ ﻳَ ُﻜ ْﻮ ُن ﻟَﻨَﺎٓ اَ ْن‬١٥ ۚ ‫اﻪﻠﻟِ َﻋ ِﻈْﻴ ٌﻢ‬ ِ ِ
ّٰ ‫ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻪࢭ ﻋﻠْ ٌﻢ ﱠوَْﲢ َﺴﺒُـ ْﻮﻧَﻪ َﻫﻴِّﻨًﺎ ﱠوُﻫ َﻮ ﻋْﻨ َﺪ‬
ۖ
١٦ ‫ﻈ ْﻴ ٌﻢ‬ ِ ‫ﻚ ٰﻫ َﺬا ُﻬﺑﺘَﺎ ٌن ﻋ‬
َ ْ َ َ‫ﻧـﱠﺘَ َﻜﻠﱠ َﻢ ِﻬﺑٰ َﺬا ُﺳْﺒ ٰﺤﻨ‬
Artinya:
“(11) Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu
buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka
akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa
di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang
diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula). (12) Mengapa
orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap
diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan
berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.’ (13) Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh

26
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 85-86.
38

karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam


pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta. (14) Dan
seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di
dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar,
disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang hal itu (berita bohong
itu). (15) (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari
mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak
kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal
dalam pandangan Allah itu soal besar. (16) Dan mengapa kamu tidak
berkata ketika mendengarnya, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan
ini. Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar’.” (Qs. al-
Nūr/ 24: 11-16)
Ayat ini membicarakan tentang hadiṡ al-ifki (berita bohong) tentang
‘Āisyah binti Abū Bakr. Hal ini bermula pada saat rombongan kaum muslim
ingin pulang dari peperangan yang saat itu diikuti ‘Āisyah. Namun di tengah
perjalanan kalung milik ‘Āisyah menghilang dan ia berusaha mencarinya
hingga ia tertinggal dari rombongan. Secara kebetulan, Ṣafwan bin al-
Mu’aṭṭal yang bertugas untuk berjaga di belakang pasukan menemukan
‘Āisyah sendirian, dan ia pun berniat mengantarkan istri Rasulullah tersebut
untuk menyusul rombongan yang sedang berkemah. Rupanya kedatangan
‘Āisyah beserta Ṣafwan bin al-Mu’aṭṭal mengejutkan orang banyak
sehingga timbul tuduhan keji kepada mereka. Tuduhan ini masih bertahan
dan menyebabkan penderitaan kepada Rasulullah SAW., ‘Āisyah, Abū
Bakr dan Ṣafwan bin al-Mu’aṭṭal selama sebulan penuh, hingga akhirnya
ayat ini turun menyucikan ‘Āisyah dan menyingkap kedok orang-orang
munafik yang berusaha menghancurkan Islam. 27
2. Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34

‫ﲔ اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠﻦ َواُ َﺳِّﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ‬


َ ْ َ‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬‫ﻚ اِ ْن ُﻛﻨْ ُ ﱠ‬ ِ ِ
َ ‫ﱠﱯ ﻗُ ْﻞ ّﻻَْزَواﺟ‬‫ٰٓ�َﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨِ ﱡ‬

‫ٰﺖ ِﻣﻨْ ُﻜ ﱠﻦ‬ ِ ‫اﻻ ِﺧﺮةَ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِﻠْﻤﺤ ِﺴﻨ‬
ْ ُ َ َّ َ ٰ ْ ‫ﱠار‬ ّٰ ‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن‬
َ ‫اﻪﻠﻟَ َوَر ُﺳ ْﻮﻟَﻪ َواﻟﺪ‬ ‫ َواِ ْن ُﻛﻨْ ُ ﱠ‬٢٨ ‫ﲨْﻴ ًﻼ‬
َِ ‫ﺳﺮاﺣﺎ‬
ً ََ
ۗ
ِ ْ ‫اب ِﺿ ْﻌ َﻔ‬ ٍ ٍ ِ ِ ِ ۤ ِ ِ
‫ﲔ َوَﻛﺎ َن‬ ُ ‫ﻒ َﳍَﺎ اﻟْ َﻌ َﺬ‬ ْ ‫ٰﻌ‬ َ ‫ﱠﱯ َﻣ ْﻦ ﱠ�ْت ﻣﻨْ ُﻜ ﱠﻦ ﺑَِﻔﺎﺣ َﺸﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَﺔ ﻳﱡﻀ‬ ِّ ِ‫ ﻳٰﻨ َﺴﺎءَ اﻟﻨ‬٢٩ ‫اَ ْﺟًﺮا َﻋﻈْﻴ ًﻤﺎ‬
27
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 8, terj, As’ad Yasin dan Abdul Aziz
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 213-224.
39

ِۙ ْ َ‫ﺎﳊًﺎ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ‬


ِ ‫ﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟِﻪࢭ وﺗَـﻌﻤﻞ ﺻ‬
َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ّٰ ‫ﺖ ﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ‬
ِ ِ ِ ُ‫ ۞ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨ‬٣٠ ‫اﻪﻠﻟ ﻳ ِﺴﲑا۔‬ ِ ِ
َ ‫ٰذﻟ‬
‫ﲔ‬ َ ْ ْ ََ ً ْ َ ّٰ ‫ﻚ َﻋﻠَﻰ‬
ۤ ۤ
‫ﻀ ْﻌ َﻦ ِﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮِل‬
َ ْ‫ﱳ ﻓَ َﻼ َﲣ‬ ‫ﱳ َﻛﺎَ َﺣ ٍﺪ ِّﻣ َﻦ اﻟﻨِّ َﺴﺎ ِء اِ ِن اﺗﱠـ َﻘْﻴ ُ ﱠ‬ ِّ ِ‫ ﻳٰﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ‬٣١ ‫َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ ِرْزﻗًﺎ َﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬
‫ﱠﱯ ﻟَ ْﺴ ُ ﱠ‬
ِ ‫ وﻗَـﺮ َن ِﰲ ﺑـﻴـﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ‬٣٢ ‫ﻓَـﻴﻄْﻤﻊ اﻟﱠ ِﺬي ِﰲ ﻗَـﻠْﺒِﻪࢭ ﻣﺮض ﱠوﻗُـﻠْﻦ ﻗَـﻮًﻻ ﱠﻣﻌﺮوﻓً ۚﺎ‬
‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ‬ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُُ ْ ْ َ ُْْ ْ َ ٌ ََ ْ ْ ََ َ

ِ ِ ٰ ‫ﺼ ٰﻠﻮةَ واٰﺗِﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ واَ ِﻃﻌﻦ ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟَﻪ ۗاِﱠﳕَﺎ ﻳ ِﺮﻳ ُﺪ‬ ِ
‫ﺲ اَ ْﻫ َﻞ‬ ِّ ‫ﺐ َﻋْﻨ ُﻜﻢ‬
َ ‫اﻟﺮ ْﺟ‬ ُ َ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ‬ ّ ُْ ْ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ ‫ْاﻻُْو ٰﱃ َواَﻗ ْﻤ َﻦ اﻟ ﱠ‬
ِ ِۗ ‫ﺖ ٰاﻪﻠﻟِ وا ْﳊِﻜ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ واذْ ُﻛﺮ َن ﻣﺎ ﻳـْﺘـ ٰﻠﻰ‬٣٣ ‫ﺖ وﻳﻄَ ِﻬﺮُﻛﻢ ﺗَﻄْ ِﻬﲑۚا‬ ِ
‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن‬ ّٰ ‫ْﻤﺔ ا ﱠن‬ َ َ ّ ٰ‫ﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗ ُﻜ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اٰﻳ‬ ْ ُ َ ْ َ ً ْ ْ َ ّ ُ َ ‫اﻟْﺒَـْﻴ‬
٣٤ ࣖ ‫ﲑا‬ ِ ِ
ً ْ ‫ﻟَﻄْﻴـ ًﻔﺎ َﺧﺒ‬
Artinya:
“(28) Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu
menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah
agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik.’ (29) Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya
dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala
yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu. (30) Wahai
istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua
kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. (31)
Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami
berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
yang mulia baginya. (32) Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (33) Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti
orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (34) Dan ingatlah apa
yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
Nabimu). Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui.” (Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34)
Menurut Quraish Shihab kelompok ayat-ayat ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-35) membahas tentang Rasulullah SAW. sebagai kepala keluarga yang
memimpin dan mengayomi istri-istri beliau. Kelompok ayat ini diawali
dengan seruan mulia kepada Nabi Muḥammad SAW. Hal itu dimaksudkan
40

untuk memperingati istri-istri beliau – yang kepada mereka ayat ini


ditujukan – agar menyadari posisi Nabi SAW. sebagai pembawa wahyu dari
Allah dan pemimpin agama, yang kedudukan jelas jauh berbeda dengan
orang lain. Posisi mengharuskan Nabi SAW, dan keluarga beliau, termasuk
istri-istrinya yaitu untuk menjadi versi terbaik dalam keimanan, ketaatan,
dan perbuatan. Istri-istri Nabi SAW. yang dimaksud dalam ayat ini adalah
Saudah binti Zam‘ah, ‘Āisyah binti Abū Bakr, Ḥafṣah binti ‘Umar, Ummu
Salamah, Zainab binti Jaḥsy, Juwairiyah binti al-Ḥariṡ, Ṣafiyah binti Ḥuyay,
Ummu Ḥabībah dan Maimunah binti al-Ḥariṡ. 28
3. Qs. al-Aḥzāb/ 33: 37

ِ ٰ ‫ﻚ ﻋﻠَﻴﻚ زوﺟﻚ واﺗ ِﱠﻖ‬


َ ‫اﻪﻠﻟَ َوُﲣْﻔ ْﻲ ِ ْﰲ ﻧـَ ْﻔ ِﺴ‬ ِ ِ ِ ٰ ‫واِ ْذ ﺗَـ ُﻘﻮ ُل ﻟِﻠﱠ ِﺬ ٓي اَﻧْـﻌﻢ‬
‫ﻚ‬ ّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ ‫ﺖ َﻋﻠَْﻴﻪ اَْﻣﺴ‬ َ ‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴﻪ َواَﻧْـ َﻌ ْﻤ‬
ّ ََ ْ ْ َ
ِ ۗ ِ ۚ ِ ِ
ّٰ ‫ﱠﺎس َو‬
‫اﻪﻠﻟُ اَ َﺣ ﱡﻖ اَ ْن َﲣْ ٰﺸﯩﻪُ ۗ ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻗَﻀٰﻰ َزﻳْ ٌﺪ ّﻣْﻨـ َﻬﺎ َوﻃًَﺮا َزﱠو ْﺟ ٰﻨ َﻜ َﻬﺎ ﻟ َﻜ ْﻲ‬ َ ‫اﻪﻠﻟُ ُﻣْﺒﺪﻳْﻪ َوَﲣْ َﺸﻰ اﻟﻨ‬ ّٰ ‫َﻣﺎ‬
ِٰ ‫ﰲ اَْزو ِاج اَدﻋِﻴ ۤﺎ ِٕﯨ ِﻬﻢ اِذَا ﻗَﻀﻮا ِﻣْﻨـﻬ ﱠﻦ وﻃَ ۗﺮا وَﻛﺎ َن اَﻣﺮ‬ ِِ
٣٧‫اﻪﻠﻟ َﻣ ْﻔ ُﻌ ْﻮًﻻ‬
ّ ُْ َ ً َ ُ َْ ْ َ ْ َ ْٓ ِ ‫ﲔ َﺣَﺮ ٌج‬ َ ْ ‫َﻻ ﻳَ ُﻜ ْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ‬
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muḥammad) berkata kepada orang
yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi
nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia,
padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 37)
Ayat ini melatarbelakangi pernikahan Rasulullah SAW. dengan
mantan istri Zaid bin Hariṡah, yaitu Zainab binti Jaḥsy, yang kemudian
menyebabkan reaksi negatif dari masyarakat arab pada saat itu. Awalnya
melalui mimpi, Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah SAW. untuk

28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 256.
41

menikahi Zainab, namun setelah dipertimbangkan beliau memilih untuk


tidak menyampaikan hal tersebut kepada siapapun mengingat konsekuensi
dan respons negatifnya. Selain itu, Rasulullah SAW. belum diperintahkan
Allah untuk menyampaikannya. Maka ayat ini kemudian turun untuk
memperingati beliau. Adanya perintah ini karena Allah bermaksud untuk
menghapuskan tradisi masyarakat yang melarang menikahi mantan istri dari
anak adopsi. Dengan harapan, umat mengerti bahwa tradisi tersebut harus
dihentikan dan dihapuskan setelah Nabi mencontohkannya. 29
4. Qs. al-Tahrīm/ 66: 1-5

ِ ۗ ِ ِ َۚ َ‫ٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨِﱠﱯ ِﱂ ُﲢ ِﺮم ﻣﺎٓ اَﺣ ﱠﻞ ٰاﻪﻠﻟ ﻟ‬


‫ض‬ َ ‫ ﻗَ ْﺪ ﻓَـَﺮ‬١ ‫اﻪﻠﻟُ َﻏ ُﻔ ْﻮٌر ﱠرﺣْﻴ ٌﻢ‬ ّٰ ‫ﻚ َو‬ َ ‫ﺎت اَْزَواﺟ‬ َ ‫ﺿ‬ َ ‫ﻚ ﺗَـْﺒـﺘَﻐ ْﻲ َﻣ ْﺮ‬ ُّ َ َ ُ َّ َ ‫َ ﱡ‬
ِ ‫ﱠﱯ اِ ٰﱃ ﺑـَ ْﻌ‬ ِ ۚ ۚ ِ
ࢭ‫ﺾ اَْزَو ِاﺟﻪ‬ ِ ِ
‫ َوا ْذ اَ َﺳﱠﺮ اﻟﻨِ ﱡ‬٢ ‫اﻪﻠﻟُ َﻣ ْﻮٰﻟﯩ ُﻜ ْﻢ َوُﻫ َﻮ اﻟْ َﻌﻠْﻴ ُﻢ ا ْﳊَﻜْﻴ ُﻢ‬
ِ
ّٰ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﲢﻠﱠﺔَ اَْﳝَﺎﻧ ُﻜ ْﻢ َو‬
ّٰ
ٍۚ ‫ض َﻋ ْۢﻦ ﺑـَ ْﻌ‬ ࣳ ‫ﺣ ِﺪﻳـﺜ ۚﺎ ﻓـﻠﻤﺎ ﻧـﺒﺎت ﺑِﻪࢭ واﻇﻬﺮﻩ ٰاﻪﻠﻟ ﻋﻠﻴ ِﻪ ﻋﺮف ﺑـﻌ‬
‫ﺖ‬ ْ َ‫ﺾ ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻧـَﺒﱠﺎَ َﻫﺎ ﺑِﻪࢭ ﻗَﺎﻟ‬ َ ‫ﻀﻪ َواَ ْﻋَﺮ‬ َ ْ َ َ ‫َ ْ ً َ َ ﱠ َﱠ َ ْ ََ ْ َ َُ ُّ ََْ َﱠ‬
ۚ ۗ ۢ
‫ﺖ ﻗُـﻠُ ْﻮﺑُ ُﻜ َﻤﺎ َواِ ْن ﺗَ ٰﻈ َﻬَﺮا‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻘ‬ ‫ـ‬‫ﻓ‬ ِ
ْ َ َ ْ َ َ ّ ۤ َ ْ َُ ْ ٰ
‫اﻪﻠﻟ‬ ‫ﱃ‬َ ِ‫ا‬ ‫ﺎﺑ‬
ٓ ‫ﻮ‬ ‫ـ‬‫ﺘ‬ ‫ـ‬ ‫ﺗ‬ ‫ن‬ ِ
‫ا‬ ٣ ‫ﲑ‬ ِ
‫ﺒ‬ ‫ﳋ‬
ْ ‫ا‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ‬ِ‫ﻠ‬ ‫ﻌ‬‫ﻟ‬
ْ
ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ‫َ َﱠ‬‫ا‬ ‫ﱐ‬ ِ‫ﺎ‬‫ﺒ‬ ‫ـ‬‫ﻧ‬ ‫ﺎل‬
َ ‫ﻗ‬ ‫ا‬ ‫ﺬ‬
َ ‫ﻫ‬ٰ ‫ك‬
َ ‫ﺎ‬ ‫ﺒ‬
َ ََْ‫َﻣ ْﻦ ا‬
‫ﻧ‬
ۚ ِِ
‫ َﻋ ٰﺴﻰ َرﺑﱡࣳٓﻪ اِ ْن‬٤ ‫ﻚ ﻇَ ِﻬ ٌْﲑ‬ ِ
َ ‫ﲔ َواﻟْ َﻤ ٰﻠ ِٕﯩ َﻜﺔُ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ٰۤذﻟ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻴ ِﻪ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ ﻫﻮ ﻣﻮٰﻟﯩﻪ وِﺟ ِﱪﻳﻞ و‬
َ ْ ‫ﺻﺎﻟ ُﺢ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ‬َ َ ُ ْ ْ َ ُ ْ َ َ ُ َّ َْ
ٍ ‫ﺖ ﺛـَﻴِٰﺒ‬ ٍ ۤ ٍ ٍ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ࣳ ِ
‫ﺖ‬ ّ ‫اﺟﺎ َﺧ ْ ًﲑا ّﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ُﻣ ْﺴﻠ ٰﻤﺖ ﱡﻣ ْﺆﻣﻨٰﺖ ٰﻗﻨﺘٰﺖ ٰﺗ ِٕﯩ ٰﺒﺖ ٰﻋﺒِ ٰﺪت ٰﺳ ِٕﯩ ٰﺤ‬ ً ‫ﻃَﻠﱠ َﻘ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْن ﻳـﱡْﺒﺪﻟَٓﻪ اَْزَو‬
٥ ‫ﺎرا‬ ً ‫ﱠواَﺑْ َﻜ‬
Artinya:
“(1) Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-
istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (2)
Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari
sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana. (3) Dan ingatlah ketika secara rahasia
Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya
(Ḥafṣah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada ‘Āisyah) dan
Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi)
memberitahukan (kepada Ḥafṣah) sebagian dan menyembunyikan
sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan
pembicaraan itu kepadanya (Ḥafṣah), dia bertanya, ‘Siapa yang telah
memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Yang

29
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 278.
42

memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui,


Maha Teliti.’ (4) Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka
sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebenaran); dan jika kamu berdua saling bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan
(juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya. (5) Jika dia (Nabi)
menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya
dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan
yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah,
yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (Qs. al-Tahrīm/ 66: 1-
5)
Asbāb al-nuzūl ayat di atas memiliki perbedaan pendapat di antara
para ulama. Ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
Maria al-Qibṭiyah, dan Rasulullah SAW. pernah mengharamkannya,
lantaran ingin menjaga hati istri-istrinya yang lain. Namun pendapat terkuat
adalah bahwasanya ayat itu berkaitan dengan tindakan Rasulullah SAW.
yang mengharamkan madu untuk dirinya sendiri. Hal ini karena pada suatu
saat Nabi singgah dan meminum madu di tempat Zainab binti Jaḥsy. Lalu
Nabi mengunjungi ‘Āisyah dan Ḥafṣah, mereka bersepakat akan
mengatakan “Sesungguhnya aku mencium bau maghāfir pada dirimu, pasti
engkau telah memakan maghāfir.” jika Nabi memasuki rumah salah satu
dari mereka. Saat Nabi menemui salah satu dari mereka, maka mereka
mengatakan hal yang sudah disepakati itu, dan sontak Nabi berkata: “Tidak,
tetapi aku telah meminum madu di rumah Zainab binti Jaḥsy, dan sekali-
kali tidak akan meminumnya lagi.” 30 Dan ayat ini kemudian turun untuk
memperingati Rasulullah SAW. agar tidak mengharamkan sesuatu yang
halal hanya untuk menyenangkan istrinya.

30
Ismail Ibn Kaṡīr, Tafsīr Ibn Katsir, jilid 8, terj. M. Abdul Ghoffar E.M dan Abū
Ihsan al-Atsari (Jakarta: Pustaka Imam Al-Syafi’i, 2004), 226-227.
BAB IV
TAFSIR QS. AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN
MUNĀSABAH

A. Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34

‫ﲔ اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠﻦ َواُ َﺳِّﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ‬ َ ْ َ‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬ ‫ﻚ اِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ‬ ِ ِ
َ ‫ﱠﱯ ﻗُ ْﻞ ّﻻَْزَواﺟ‬‫ٰٓ�َﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨِ ﱡ‬
‫ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ‬ ِ ‫اﻻ ِﺧﺮةَ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ‬ ࣳ ‫ واِن ﻛﻨﱳ ﺗ ِﺮدن ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟ‬٢٨ ‫ﲨﻴﻼ‬
ْ ُ َ َّ َ ٰ ْ ‫ﱠار‬
َ ‫ﺪ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ َ ‫ﻪ‬ َ ْ ُ َ َ َّ َ ْ ُ ‫َ ْ ُ ْ ُ ﱠ‬ ً ْ َِ ‫اﺣﺎ‬ً ‫َﺳَﺮ‬
ِۗ ْ ‫اب ِﺿ ْﻌ َﻔ‬ ٍ ٍ ِ ِ ِ ۤ
‫ﲔ َوَﻛﺎ َن‬ ُ ‫ﻒ َﳍَﺎ اﻟْ َﻌ َﺬ‬ ْ ‫ٰﻌ‬ َ ‫ﱠﱯ َﻣ ْﻦ ﱠ�ْت ﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ﺑَِﻔﺎﺣ َﺸﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَﺔ ﻳﱡﻀ‬ ِّ ِ‫ ﻳٰﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ‬٢٩ ‫اَ ْﺟًﺮا َﻋ ِﻈْﻴ ًﻤﺎ‬
ِۙ ْ َ‫ﺎﳊًﺎ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ‬
ِ ‫ﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟِﻪࢭ وﺗَـﻌﻤﻞ ﺻ‬
َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ّٰ ‫ﺖ ﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ‬
ِ ِ ِ ُ‫ ۞ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨ‬٣٠ ‫اﻪﻠﻟ ﻳ ِﺴﲑا۔‬ ِ ِ
َ ‫ٰذﻟ‬
‫ﲔ‬ َ ْ ْ ََ ً ْ َ ّٰ ‫ﻚ َﻋﻠَﻰ‬
ۤ ۤ
‫ﻀ ْﻌ َﻦ ِﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮِل‬ َ ْ‫ﱳ ﻓَ َﻼ َﲣ‬ ‫ﱳ َﻛﺎَ َﺣ ٍﺪ ِّﻣ َﻦ اﻟﻨِّ َﺴﺎ ِء اِ ِن اﺗﱠـ َﻘْﻴ ُ ﱠ‬ ِّ ِ‫ ﻳٰﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ‬٣١ ‫َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ ِرْزﻗًﺎ َﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬
‫ﱠﱯ ﻟَ ْﺴ ُ ﱠ‬
ِ ‫ وﻗَـﺮ َن ِﰲ ﺑـﻴـﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ‬٣٢ ‫ﻓَـﻴﻄْﻤﻊ اﻟﱠ ِﺬي ِﰲ ﻗَـﻠْﺒِﻪࢭ ﻣﺮض ﱠوﻗُـﻠْﻦ ﻗَـﻮًﻻ ﱠﻣﻌﺮوﻓً ۚﺎ‬
‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ‬ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُُ ْ ْ َ ُْْ ْ َ ٌ ََ ْ ْ ََ َ

ِ ِ ٰ ‫ﺼ ٰﻠﻮةَ واٰﺗِﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ واَ ِﻃﻌﻦ ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟَﻪ ۗاِﱠﳕَﺎ ﻳ ِﺮﻳ ُﺪ‬ ِ
‫ﺲ اَ ْﻫ َﻞ‬ َ ‫اﻟﺮ ْﺟ‬
ِّ ‫ﺐ َﻋْﻨ ُﻜﻢ‬
ُ َ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ‬ ّ ُْ ْ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ ‫ْاﻻُْو ٰﱃ َواَﻗ ْﻤ َﻦ اﻟ ﱠ‬
ِ ِۗ ‫ﺖ ٰاﻪﻠﻟِ وا ْﳊِﻜ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ واذْ ُﻛﺮ َن ﻣﺎ ﻳـْﺘـ ٰﻠﻰ‬٣٣ ‫ﺖ وﻳﻄَ ِﻬﺮُﻛﻢ ﺗَﻄْ ِﻬﲑۚا‬ ِ
‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن‬ ّٰ ‫ْﻤﺔ ا ﱠن‬ َ َ ّ ٰ‫ﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗ ُﻜ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اٰﻳ‬ ْ ُ َ ْ َ ً ْ ْ َ ّ ُ َ ‫اﻟْﺒَـْﻴ‬
٣٤ ࣖ ‫ﲑا‬ ِ ِ
ً ْ ‫ﻟَﻄﻴْـ ًﻔﺎ َﺧﺒ‬
Artinya:
“(28) Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu
menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah
agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik.’ (29) Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya
dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala
yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu. (30) Wahai
istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua
kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. (31)
Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami
berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
yang mulia baginya. (32) Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (33) Dan hendaklah kamu tetap di

43
44

rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti


orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (34) Dan ingatlah apa
yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
Nabimu). Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui.” (Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34)
B. Asbāb al-Nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34
Asbāb al-nuzūl dari kelompok ayat ini hanya ditemukan untuk
peristiwa yang melatarbelakangi Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29, meski begitu ayat
selanjutnya masih berhubungan erat dengan peristiwa ini:
“Diriwayatkan oleh Muslim, Aḥmad, dan an-Nasā’i, dari Abū al-
Zubair, yang berasal dari Jābir bahwasanya Abū Bakr memohon izin
untuk berbincang dengan Rasulullah SAW. tapi beliau menolaknya.
Begitu pula dengan ‘Umar yang tidak dibolehkan oleh beliau.
Kemudian tidak lama setelah itu, keduanya dibolehkan masuk oleh
Rasulullah SAW. saat itu beliau sedang duduk bersama dengan istri-
istrinya (mereka meminta nafkah serta perhiasan). Lalu ‘Umar
berkata dengan maksud menggoda Rasulullah agar beliau tertawa:
‘Ya Rasulullah, sekiranya putri Zaid (istri ‘Umar) minta belanja, akan
kupenggal lehernya.’ Maka Rasulullah SAW. tertawa dengan lebar
dan beliau bersabda: ‘Mereka yang ada di sekelilingku ini meminta
nafkah kepadaku.’ Abū Bakr sontak bangkit mendekati ‘Āisyah lalu
memukulnya, begitu juga ‘Umar yang menghampiri Ḥafṣah seraya
(keduanya) berucap: ‘Kalian meminta sesuatu yang tidak ada pada
Rasulullah?’ Maka Allah menurunkan ayat ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-
29) sebagai penerangan untuk Rasulullah SAW. supaya istri-istrinya
dapat menentukan sikap (memilih antara Rasul atau harta benda).
Rasulullah SAW. kemudian memulai dengan menanyakan ‘Āisyah
tentang apa yang dipilihnya dan memerintahkannya untuk berdiskusi
terlebih dulu dengan orang tuanya. ‘Āisyah menanggapi dengan
pertanyaan: ‘Apa yang mesti kupilih?’ Lalu Rasulullah SAW.
membacakan ayat ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29). Dan ‘Āisyah
menjawab: ‘Apakah soal yang berhubungan dengan tuan mesti aku
musyawarahkan dulu dengan ibu bapakku? Padahal aku sudah
menetapkan pilihan, yaitu aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.” 1

1
Jalaluddin al-Suyūṭī, Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl (Beirut: Lubnan, 2002),
207-208.
45

C. Selayang Pandang Tafsir Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34


Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29 ini dinamai dengan ayat-ayat takhyīr
(pilihan). Yang mana istri-istri Rasulullah SAW. diminta untuk
memutuskan pilihan mereka di antara kehidupan dan perhiasan dunia, atau
Allah dan utusan-Nya. Jika mereka menikah dengan Rasulullah SAW.
hanya untuk duniawi semata, maka Allah menyarankan untuk bercerai
bercerai baik-baik dengan Rasulullah SAW., dan Nabi akan memberikan
mut‘ah yang pantas sebagai pelipur hati atas perceraian itu. Tetapi jika
mereka ingin tetap bersama Rasulullah SAW., maka seharusnya mereka
membela Nabi dalam syi’arnya dan merasa cukup atas dunia apa adanya.
Karena tujuan Nabi adalah berdakwah untuk umat manusia, menuntun
mereka menuju jalan yang benar, agar mereka mendapat keselamatan di
dunia maupun akhirat, bukanlah untuk keduniawian. 2
Ayat ini berkenaan dengan perolehan kaum muslim atas harta
rampasan perang pasca kemenangan di perang Khandaq melawan pasukan
Aḥzāb terlebih dari Bani Quraiẓah dan Bani Naẓir, yang mana keduanya
diperangi Rasulullah SAW. karena mengkhianati beliau. Hal tersebut
membuat istri-istri Rasulullah SAW. mengira bahwa mereka akan
mendapatkan tambahan nafkah dari Nabi, karena sebelumnya Allah
menetapkan bahwa seperlima dari harta rampasan perang diperuntukkan
bagi Rasul. Sebelum peristiwa ini, sebenarnya istri-istri Rasulullah itu, tidak
sekalipun menuntut tambahan nafkah, mereka selalu merasa cukup dengan
nafkah yang diberikan Rasulullah SAW. 3
Ada sembilan dari istri Rasulullah SAW. yang dimaksudkan dalam
ayat ini. Hal ini disebutkan oleh Ibn Kaṣīr dalam kitab tafsirnya:

2
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 5692.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 255.
46

“‘Ikrimah berkata; “Pada waktu itu Nabi SAW. memiliki sembilan


istri. Lima istri dari Quraisy, yaitu; ‘Āisyah, Ḥafṣah, Ummu Ḥabībah,
Saudah dan Ummu Salamah raḍiyallaahu ‘anhunna. Dan beliau pun
memiliki Ṣafiyah binti Ḥuyay al-Naẓiriyah, Maimunah binti al-Ḥariṡ
al-Hilaliyah, Zainab binti Jaḥsy al-Asadiyah, Juwairiyah binti al-
Ḥariṡ al-Muṣṭaliqiyah raḍiyallaahu ‘anhunna.” 4
Setelah istri-istri Nabi menjawab pilihan yang Allah berikan pada
mereka dengan memilih Allah dan Rasul-Nya, ayat itu lalu dilanjutkan
dengan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30-31 yang merupakan beban dan konsekuensi
dari kedudukan yang mulia di mana mereka berada di dalamnya, yakni
sebagai istri-istri Rasulullah dan ummahāt al-mu‘minīn. Konsekuensi
tersebut adalah jika ada salah satu di antara mereka yang berbuat buruk dan
keji yang jelas dan nyata, serta tidak ada yang tersembunyi di dalamnya,
maka ia pasti akan mendapatkan azab dua kali lipat. Namun, saat mereka
berbuat kebajikan, mereka akan menerima pahala ganda. Semua itu
merupakan karunia Allah dan anugerah-Nya. 5
Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 32 berbicara tentang keistimewaan dari istri-
istri Rasulullah SAW., bahwa mereka berbeda dari wanita biasa, dengan
syarat mereka bertakwa. Ayat ini juga memuat tuntunan Allah mengenai
perkataan mereka. Jika berbicara, ucapannya haruslah tegas, santun, dan
tidak genit. Karena banyak perempuan dalam cara berbicaranya sengaja
dilemahlembutkan, baik dari nada suara, bahasa tubuh, hingga memberikan
kedip mata. Dan sebagai istri Nabi mereka dilarang berlaku demikian;
karena bisa membangkitan nafsu pada orang yang memiliki penyakit hati. 6
Setelah ayat sebelumnya memberi tuntunan pada istri-istri Rasulullah
SAW. mengenai perkataan, pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33 dilanjutkan dengan

4
Ismail Ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Adzīm, jilid 6 (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1998), 362.
5
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, terj, As’ad Yasin dan Abdul Aziz
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 259.
6
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5709.
47

bimbingan menyangkut tingkah laku dan perbuatan. Allah memerintahkan


mereka untuk tetap berdiam diri di rumah. Mereka juga tidak boleh
mengikuti cara berhias orang jahiliah di masa lalu. Di mana wanita di zaman
jahiliah berhias supaya terlihat lebih cantik, menonjol, dan menarik di
pandangan orang lain. Mereka berhias dengan tujuan menggoda. Maka
setelah ajaran Nabi ada, berhias diperbolehkan tetapi dengan basis Islami,
yakni hiasan santun dan tidak mencolok mata. 7 Kemudian dilanjutkan
dengan perintah untuk melaksanakan salat, menunaikan zakat dan menaati
Allah dan Rasul-Nya. Karena perintah itu merupakan landasan dari semua
perintah untuk membentuk akhlāq al-karīmah, yang mustahil terwujud
tanpa adanya ibadah dan ketaatan. Semua perintah dan larangan itu
memiliki hikmah, yang mana Allah bertujuan untuk menghapus dosa dan
menyucikan mereka para ahlulbait. 8
Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 34, Allah memperingatkan istri-istri
Rasulullah SAW. dengan halus dan lemah-lembut bagaimana pentingnya
kedudukan mereka, karena al-Qur’an diturunkan dan dibaca di dalam rumah
mereka, dan nasihat Nabi dapat terdengar dari beliau secara langsung, yang
mana semua itu tidak ada pada rumah orang lain. 9

D. Analisis Munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34


Dalam menganalisis munāsabah yang terdapat dalam Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-34, penulis menggunakan teori munāsabah pada bab sebelumnya,
yang mana berfokus pada sebab dan pola munāsabah menurut al-Suyūṭī
dalam kitab Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān pada bab munāsabah. Yang mana
jika dilihat dari segi materinya, kajian munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34 kurang lebih dapat tergolong ke dalam empat bagian, yakni; (1)

7
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5710.
8
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 264.
9
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5712.
48

munāsabah antar kata dalam satu ayat; (2) munāsabah ayat dengan ayat
sebelumnya; (3) munāsabah ayat dengan ayat sesudahnya; (4) serta
hubungan nama surat dengan tema utamanya.
Analisis munāsabah antar kata dalam satu ayat pada Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-34 merupakan bagian yang hampir ada dalam setiap ayatnya. Yang
mana analisis ini melibatkan kata yang memiliki makna serupa namun
dengan redaksi yang berbeda, ataupun kata berantonim yang jelas memiliki
makna berbeda. Pada analisis ini juga mempertanyakan susunan bahasa
dalam ayat sehingga menemukan keterkaitan diantaranya. Sedangkan
analisis munāsabah ayat dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya
berlangsung sepanjang Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 yang juga melibatkan Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 27 dan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35. Analisis ini mencari tema dari
ayat yang secara tersirat ataupun tersurat memiliki hubungan dengan ayat
lain baik itu sebelum dan sesudahnya. Adapun analisis hubungan nama
surat dengan tema utamanya akan berfokus pada kisah istri-istri Nabi SAW.
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan nama surat “al-Aḥzāb”.
Dari analisis-analisis tersebut, kemudian terlacak jenis munāsabah
apa yang termuat dalam setiap hubungan yang ditemukan. Selain itu untuk
memudahkan penggambaran dari analisis yang sudah dikaji, munāsabah-
munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ini kemudian diklasifikasikan
dan dibagi ke dalam beberapa tema serta pembahasan, sehingga terlihat
jelas hubungan antar ayatnya. Kurang lebih terdapat sembilan tema yang
ditemukan, yakni; (1) Pilihan antara Dunia dan Akhirat; (2) Perbedaan
Panggilan Allah kepada Istri-istri Rasulullah SAW. Sebelum dan Sesudah
Pilihan antara Dunia dan Akhirat: (3) Dua Kali Lipat Azab atau Dua Kali
Lipat Pahala; (4) Perintah dan Larangan Allah kepada Istri-istri Rasulullah
SAW. beserta Tujuan atas Perintah dan Larangan-Nya; (5) Asmā’ al-Husnā
sebagai Penutup Ayat dan Kisah; (6) Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33:
49

28-34 dengan Ayat Sebelumnya; (7) Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34 dengan Ayat Sesudahnya; (8) Kesesuaian Isi Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-
34 dengan Nama Surat; (9) Garis Besar Kelompok-kelompok Ayat pada Qs.
al-Aḥzāb. Tema terakhir bukanlah tema pokok dalam pembahasan ini,
melainkan sebagai tambahan dan penyempurna dalam kajian munāsabah
al-Qur’an pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
1. Pilihan antara Dunia dan Akhirat
Tema pertama dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 yang akan dibahas
berkaitan dengan pilihan yang diberikan Allah SWT. kepada para istri
Rasulullah SAW. yang sebelumnya meminta tambahan nafkah, seperti yang
telah disebutkan dalam asbāb al-nuzūl. Pilihan itu berbicara antara dunia
dan akhirat, dan setiap pilihan yang mereka ambil memiliki konsekuensi.
Pilihan yang diberikan Allah beserta konsekuensinya ini termuat di Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-29, di mana ayat ke-28 menjelaskan pilihan atas dunia dan
konsekuensinya, sedangkan ayat ke-29 menjelaskan mengenai pilihan
akhirat dan apa yang akan diterimanya jika memilih akhirat.

Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28 yang membahas tentang pilihan dunia


dapat ditemui hubungan sebab akibat dalam susunannya. Yang mana
kalimat “‫َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ‬ ‫ اِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ‬/Jika kamu menginginkan kehidupan
‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊَٰﻴﻮَة اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬
di dunia dan perhiasannya” menjadikan kalimat selanjutnya “‫ﲔ‬ َ ْ َ‫ ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬/maka
kemarilah” sebagai akibat. Keterkaitan ini dapat dilihat dari kalimat tersebut
yang diawali dengan “‫ ”اِ ْن‬yang merupakan huruf syarat, kemudian diikuti
dengan “‫ﲔ‬
َ ْ َ‫ ”ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬yang memuat huruf fā’ yang memiliki posisi sebagai jawab
syarat, kedua fi‘il tersebut memiliki status i‘rab jazm walaupun tidak
berubah dari bentuk rafa‘-nya karena mabnī. Namun kalimat jawab syarat
hanya akan terjadi jika syarat benar-benar terjadi, sebagaimana pada ayat
ini perceraian Rasulullah (jawab syarat) terjadi apabila istri-istrinya
50

bertujuan pada kehidupan dunia dan perhiasannya (syarat), dan jika kalimat
syarat tidak dilakukan, maka talak tidak berlaku dan dianggap tidak ada.

Hubungan sebab akibat di atas menandai sebuah adanya konsekuensi


yang akan diterima jika memilih “dunia serta perhiasannya”. Adapun
perhiasan dunia dapat berarti apapun yang bersifat kesenangan dalam dunia,
namun ayat ini lebih bermakna pada materi karena dilihat dari asal muasal
ayat disebabkan oleh permintaan tambahan nafkah. Dan konsekuensinya
adalah kalimat perintah “kemarilah” dari Nabi, yang berarti Nabi
menginginkan mereka yang memilih dunia mengahadapnya untuk beliau
‫ اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠ‬/kuberikan kalian mut‘ah” dan
ceraikan, dilihat dari kalimat “‫ﻦ‬
‫ اُ َﺳ ِﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠ‬/kuceraikan kalian” sebagai lanjutan dari “‫ﲔ‬
“‫ﻦ‬
ّ َ ْ َ‫”ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬.
Sedangkan untuk lafaz “‫ﲔ‬
َ ْ َ‫ ”ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬pernah dijelaskan oleh M. Quraish
Shihab dengan:
“Lafaz “‫ﲔ‬َ ْ َ‫ ”ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ‬sendiri berasal dari kata “‫ﺎﱄ‬ ْ ِ ‫ ” َﻋ‬berarti tinggi. Kata ini
awalnya merupakan panggilan untuk orang yang berkedudukan
rendah dari orang yang berada di atasnya, kemudian kata ini
berkembang menjadi kalimat panggilan secara mutlak. Dan
penggunaan kata “‫ﲔ‬ َ ْ َ‫ ”ﺗَـ َﻌﺎﻟ‬yang dimaksudkan untuk para istri
Rasulullah SAW. itu, memberi kesan ajakan Nabi Muḥammad SAW.
kepada mereka untuk beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi dari
posisi asal mereka sebelumnya. Yang dimaksud posisi yang rendah
adalah keadaan orang-orang yang terlena kepada kepuasan duniawi,
sedangkan mereka yang berada pada posisi tinggi adalah orang-orang
yang tidak menjadikan dunia sebagai tuntutan pokok tetapi selalu
bertujuan kepada Allah SWT.” 10 91F

‫ ”اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠ‬dan “‫ ”اُ َﺳ ِﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ‬ini dihubungkan dengan


Kemudian kalimat “‫ﻦ‬
ّ
huruf ‘aṭaf “‫ ” َو‬memiliki pola munāsabah al-tanẓīr (pemadanan) karena
‫ ”اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠ‬berasal
merujuk arti yang sepadan yakni pada perceraian. Lafaz “‫ﻦ‬
dari kata “‫ﱠﻊ‬
َ ‫ ” َﻣﺘ‬yang memiliki makna memberi kenikmatan/kesenangan

10
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 257.
51

‫”اُ َﺳ ِﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠ‬
yang dinamai mut‘ah bagi wanita yang dicerai. 11 Sedangkan kata “‫ﻦ‬
ّ
berasal dari kata “‫ح‬
َ ‫ ” َﺳﱠﺮ‬yang berarti melepaskan , kemudian ayat ini
12

َِ
diakhiri dengan kata “‫ﲨ ْﻴ ًﻼ‬ ‫اﺣﺎ‬
ً ‫” َﺳَﺮ‬ yang mensifati perceraian/pelepasan
َِ ” yang berarti baik. Ini dapat bermakna bahwa
tersebut dengan kata “‫ﲨ ْﻴﻞ‬
memberikan mut‘ah sebagai pelipur lara atas perceraian sebelum
perpisahan merupakan hal yang indah dan baik.
Pilihan kedua yang ditawarkan Allah SWT. kepada istri-istri Nabi
SAW., yakni pilihan akan akhirat pada Allah dan Rasul-Nya tertuang pada
ayat selanjutnya yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 29. Pada ayat ini juga memiliki
hubungan sebab akibat seperti pada ayat sebelumnya, karena terdapat
penggunaan “‫ ”اِ ْن‬syarat serta fā’ jawab syarat di dalamnya. Yang mana
kalimat pertama; “َ‫اﻻ ِﺧﺮة‬
َْٰ َ ‫اﻪﻠﻟَ َوَر ُﺳ ْﻮﻟَﻪ َواﻟﺪ‬
‫ﱠار‬ ‫َواِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ‬
ّٰ ‫ﱳ ﺗُِﺮْد َن‬ /Dan jika kamu
menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat”, menjadi sebab dari
ِ‫ﻋ‬
kalimat selanjutnya; “‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ ِ ‫ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ‬/sesungguhnya
‫ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا‬
َ ْ ُ َ َّ
Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara
kamu”. Yang mana konsekuensi dari pilihan atas akhirat ini adalah tidak
akan dicerai oleh Rasulullah SAW. seperti pilihan atas dunia, selain itu juga
mendapat pahala bagi yang berbuat baik. Maksud dari yang berbuat baik
ِ ‫” ُْﳏ ِﺴﻨ‬, yakni orang-orang yang berbuat iḥsan. Sebagaimana yang
adalah “‫ٰﺖ‬
diketahui bahwa iḥsan berarti beribadah dengan seolah-olah melihat Allah,
dan jikalau pun tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Melihat. 13
Dari sini sudah diketahui bahwa menjadi muḥsin itu merupakan hal yang
amat sulit, maka hadiah dari padanya pun adalah pahala yang bukan hanya
ِ ‫ ”ﻋ‬agung, mulia dan luhur 14.
besar, tetapi juga “‫ﻈ ْﻴﻢ‬ َ 95F

11
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Progressif, 1997), 1307.
12
Munawwir, Al-Munawwir, 624.
13
Lihat H.R. Bukhārī, kitab Iman, No. 48.
14
Munawwir, Al-Munawwir, 947.
52

Kedua ayat yang berisi pilihan yang Allah SWT. berikan kepada
ummahāt al-mu‘minīn ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28 dan 29) memiliki
hubungan yang sangat jelas terlihat (ẓāhir al-irtibaṭ), bisa dilihat dari kata
“‫ ”اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬dan “َ‫اﻻ ِﺧﺮة‬
ٰ ْ ” yang jelas menggambarkan adanya pertentangan dalam
َ
dua ayat ini, ditambah lagi dengan huruf ‘aṭaf “‫ ” َو‬pada ayat ke-29
memeperkuat adanya munāsabah antara kedua ayat, dan kategori
munāsabah yang dimaksud adalah munāsabah al-muḍāddah
(bertentangan/berlawanan). Hubungan al-muḍāddah dalam ayat ini
dimaksudkan sebagai pilihan bagi istri-istri Rasulullah antara dunia atau
akhirat. Yang mana jika memilih dunia, maka konsekuensi yang diterima
adalah perceraian namun juga akan mendapatkan mut‘ah yang layak dari
Nabi. Dan apabila memilih akhirat, maka harus menerima kesusahan hidup
di dunia semata-mata untuk Allah dan Rasul-Nya, namun diberikan pahala
yang besar sebagai balasannya. Atas pilihan itu, maka kemudian ayat ini
dinamai dengan ayat takhyīr 15 (ayat pilihan).
96F

Adapun lafaz “‫ ”اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬yang berada setelah “َ‫ﳊَٰﻴﻮة‬


ْ ‫( ”ا‬hidup) pada ayat ke-
28 dan lafaz “‫اﻻ ِﺧﺮَة‬
ٰ ْ ” setelah “‫ﱠار‬
َ ‫( ”اﻟﺪ‬rumah) pada ayat ke-29 menujukkan
َ
bahwa segala sesuatu yang bersifat keduniawian itu sama seperti halnya
hidup, yakni sementara atau dapat berakhir. Dan rumah memiliki makna
yang akrab, bersandingan dengan tempat pulang dan tempat asal. Maka
akhirat merupakan tempat asal dan berpulang yang mana berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang hingga selamanya.
2. Perbedaan Panggilan Allah kepada Istri-istri Rasulullah SAW.
Sebelum dan Sesudah Pilihan antara Dunia dan Akhirat

Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 rupanya juga memiliki keterkaitan yang


samar (khāfī al-irtibaṭ) dengan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28, hal ini dapat dilihat

15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5692.
53

pada bagian permulaan ayat. Yang mana pada ayat ke-28 firman Allah
dimulai dengan panggilan kepada Rasulullah SAW. untuk mengatakan pada
semua istrinya; “‫ﻚ‬ ِ ِ ِ‫ ٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨ‬/Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-
َ ‫ﱠﱯ ﻗُﻞ ّﻻَْزَواﺟ‬
‫َ ﱡ‬ ْ
istrimu”, seakan-akan Allah marah sehingga tidak mau menyebut dan
berbicara langsung pada istri-istri Nabi. Kemudian setelah para istri
Rasulullah SAW. menetapkan pilihan yang seperti yang tertera pada Qs. al-
Aḥzāb/ 33:28-29 dengan memilih Allah dan Rasul-Nya yang dimulai dari
‘Āisyah R.A., sebagaimana yang tertera dari asbāb al-nuzūl 16, maka Allah
ۤ
memulai firman-Nya di Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dengan kalimat nidā’ “ ‫ﻳٰﻨِ َﺴﺎ َء‬
ِّ ِ‫”اﻟﻨ‬
‫ﱠﱯ‬ (Wahai istri-istri Nabi!) yang merupakan panggilan langsung yang
akrab, seakan-akan Allah sudah memaafkan kesalahan ummahāt al-
mu‘minīn sebelumnya yang menginginkan dunia berupa tambahan nafkah.
3. Dua Kali Lipat Azab atau Dua Kali Lipat Pahala
Tema selanjutnya yang terdapat dalam kelompok ayat Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-34 adalah tentang “dua kali lipat” yang diperoleh para istri Nabi
SAW. Yang mana kategori “dua kali lipat” ini menjadi sebuah keterkaitan
antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dan 31. Perbedaan “dua kali lipat” dalam dua
ayat tersebut terletak dari objek yang digandakan. Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33:
30 objek yang digandakan adalah azab, sedangkan pada Qs. al-Aḥzāb/ 33:
31 objek yang digandakan adalah pahala.

Penggandaan azab yang terdapat dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 terjadi


hanya untuk istri-istri Nabi yang berbuat dosa yang keji dan nyata. Ini
ditandai dengan penggunaan ism syarat “‫ ” َﻣ ْﻦ‬yang berada pada kalimat “ ‫َﻣ ْﻦ‬
‫ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَ ٍﺔ‬
ِ ‫ت ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ﺑَِﻔ‬
ِ ْ�‫ﱠ‬ /Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan
ِ ْ�” ber-i‘rab jazm dengan membuang
perbuatan keji yang nyata”, lafaz “‫ت‬ ّ
huruf ‘illat. Kemudian kalimat pertama itu menjadi sebab dari kalimat
16
Lihat halaman 44, subbab B. Asbāb al-Nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34
54

ِ ْ ‫ِﺿ ْﻌ َﻔ‬
“‫ﲔ‬ ‫اب‬
ُ ‫ﻒ َﳍَﺎ اﻟْ َﻌ َﺬ‬
ْ ‫ ﻳُﻀ َٰﻌ‬/niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali
lipat kepadanya”, yang mana “‫ﻒ‬ ْ ‫ ”ﻳُﻀ َٰﻌ‬menjadi jawab syarat dengan status
i‘rab jazm/sukun. Lafaz “‫ﻒ‬ ْ ‫ ”ﻳُﻀ َٰﻌ‬sendiri merupakan fi‘il muḍāri‘ mabnī
majhul (kalimat pasif). Adapun fi‘il muḍāri‘yang terdapat dalam ayat ini
ِ ْ�” dan “‫ﻒ‬
(“‫ت‬ ْ ‫ )”ﻳُﻀ َٰﻌ‬memakai kata ganti orang ketiga laki-laki tunggal
ّ
ِ ْ�” walaupun ditunjukkan
(ḍamīr mufrād mużakkar ghaib), karena kata “‫ت‬
ۤ ِ ّ
ِ ِ‫اﻟﻨ‬
kepada “‫ﱠﱯ‬
ّ ‫ء‬
َ ‫ﺎ‬‫”ﻧ َﺴ‬, ini karena kedua dua fi‘il muḍāri‘ tersebut merujuk
kepada kata “‫ َﻣ ْﻦ‬/barangsiapa” yang dinisbatkan pada laki-laki tunggal,
sedangkan kata “‫ﻒ‬ ْ ‫ٰﻌ‬
َ ‫ ”ﻳُﻀ‬menjadi fi‘il dari fā‘il “‫اب‬
ُ ‫”اﻟْ َﻌ َﺬ‬.
ِ ِٰ ‫ﻚ ﻋﻠَﻰ‬ ِ
Ayat ini kemudian ditutup dengan kalimat “‫ﺴ ْﲑا‬
ً َ‫اﻪﻠﻟ ﻳ‬ ّ َ َ ‫ َوَﻛﺎ َن ٰذﻟ‬/Dan
yang demikian itu, mudah bagi Allah”, yang menegaskan bahwa
memberikan azab kepada istri-istri dari Rasul-Nya bukanlah hal sulit, Allah
tidak segan untuk memberikan azab dua kali lipat untuk mereka yang
berbuat keji, semata-mata karena mereka merupakan wanita-wanita
istimewa yang harus menjaga diri dari perbuatan tercela. Dan ayat ini juga
sebagai pematah stereotip umat bahwa ahlulbait merupakan ma‘ṣum (lepas
dari dosa), karena pada nyatanya keluarga Nabi harus menerima balasan
dua kali lipat dari dosa yang diperbuat, bukan malah bebas dari dosa.
Berbanding terbalik dengan ayat ke-30, ayat ke-31 menjelaskan
tentang penggandaan pahala bagi istri-istri Rasulullah SAW. yang menaati
Allah dan Rasul-Nya serta melakukan kebaikan. Yang mana pada hal ini
hubungan sebab akibat dalam ayat ini memiliki keserupaan susunan dengan
ayat sebelumnya. Di mana keduanya sama-sama menggunakan ism syarat
“‫ ” َﻣ ْﻦ‬yang memberikan status jazm pada fi‘il-fi‘il dalam ayatnya. Fi‘il
“‫ﺖ‬ ِ ‫ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ِٰﻪﻠﻟِ ورﺳﻮﻟِﻪ وﺗَـﻌﻤﻞ‬/Dan
ْ ُ‫ ”ﻳـَ ْﻘﻨ‬dan “‫ ”ﺗَـ ْﻌ َﻤﻞ‬dalam kalimat “‫ﺻﺎﳊًﺎ‬
ْ َ َ ْ َ ْ ُ ََ ّ
ْ ْ ُ ْ ََ
barangsiapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mengerjakan kebajikan” memiliki status jazm karena berposisi sebagai
55

َ ‫ِرْزﻗًﺎ‬
syarat yakni sebab dari kalimat “‫ﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬ ِۙ ْ َ‫ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ‬/niscaya
‫ﲔ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ‬ َ
Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
ِ ‫ ”ﻧـ ْﱡﺆ‬dan “�َ ‫ ”اَ ْﻋﺘَ ْﺪ‬juga
yang mulia baginya”. Dan fi‘il dalam kalimat kedua “‫ت‬
berstatus jazm karena berposisi sebagai jawab syarat.

Lafaz “‫ﺖ‬
ْ ُ‫ ”ﻳـَ ْﻘﻨ‬dan “‫ ”ﺗَـ ْﻌ َﻤﻞ‬pun memiliki keterkaitan satu sama lain.
ْ
“‫ﺖ‬ ِ
ْ ُ‫ ”ﻳـَ ْﻘﻨ‬yang memiliki arti taat berasal dari akar kata ‫ ﻳَﻘ َﻦ‬yang berarti yakin,
lafaz ini diikuti dengan kalimat “‫ﺳ ْﻮﻟِﻪ‬
ُ ‫َوَر‬
ِ‫”ِٰﻪﻠﻟ‬, maka ini bisa berarti meyakini
ّ
Allah dan Rasul-Nya dapat dikategorikan sebagai ketaatan. Kata kerja
“‫ﺖ‬ ِ
ْ ُ‫ ”ﻳـَ ْﻘﻨ‬diletakkan sebelum “‫ﺻﺎﳊًﺎ‬
َ ‫ ﺗَـ ْﻌ َﻤ ْﻞ‬/mengerjakan kebajikan”, hal ini
dapat bermakna bahwa taat lebih didahulukan dari mengerjakan kebajikan,
meskipun keduanya berhubungan erat dan saling melengkapi.
ِ ‫ ﻧـ ْﱡﺆ‬/Kami berikan” dan “�َ ‫ اَ ْﻋﺘَ ْﺪ‬/Kami sediakan” dalam
Kata kerja “‫ت‬
َ ‫ِرْزﻗًﺎ‬
“‫ﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬ ِۙ ْ َ‫ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ‬/niscaya Kami berikan pahala kepadanya
‫ﲔ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ‬ َ
dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya”, juga memiliki
keterkaitan yang mana keduanya memiliki keselarasan makna, yakni
memberi, namun dengan cara yang berbeda. Kata “Kami berikan” berarti
memberi sesuatu yang sudah ada ketentuannya dari si pemberi, baik itu
jumlah, bentuk, ukuran, dan lain sebagainya, lalu yang diberi akan
ِ ‫ ”ﻧـ ْﱡﺆ‬dilengkapi
menerima pemberian tersebut apa adanya, maka dari kata “‫ت‬
ِ ْ َ‫ َﻣﱠﺮﺗ‬/dua kali” sebagai takaran pemberian dari Allah SWT.
dengan lafaz “‫ﲔ‬
Lain halnya dengan kata “Kami sediakan” yang berarti pemberian atas
sesuatu yang jumlah, bentuk, ukuran, dan lain sebagainya berdasarkan
kehendak/keinginan yang diberi, meskipun pemberian itu sebelumnya
sudah diatur oleh pemberi. Pemberian dengan cara “menyediakan” juga
sebagai bentuk penghormatan kepada yang diberi, karena ada kebebasan
untuk memilah dan memilih pemberian tersebut, maka wajar saat lafaz
“�َ ‫ ”اَ ْﻋﺘَ ْﺪ‬kemudian disifati “‫ﻛ ِﺮْﳝًﺎ‬
َ /mulia”.
56

Kedua ayat ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dan 31) memiliki hubungan yang
terlihat pada perumpamaan jika istri-istri Rasulullah SAW. melakukan
perbuatan buruk dan baik serta konsekuensi apa yang didapatkannya.
Dalam ayat ke-30, dikatakan bahwa istri-istri Rasulullah SAW.
mendapatkan azab ganda jikalau mereka yang melakukan tindakan keji
yang nyata, ini dapat disetarakan dengan pemberian pahala dua kali lipat
bilamana mereka menaati Allah dan Rasul-Nya dan melakukan kebajikan
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ke-31. Hubungan keduanya dapat
dikategorikan sebagai bentuk munāsabah al-tanẓīr, meskipun sekilas
hubungan dari kedua ayat ini terlihat seperti al-muḍāddah karena memiliki
pertentangan pada baik dan buruk, namun kesetaraan balasan Allah
terhadap perbuatan baik dan buruk dengan “dua kali lipat” menjadikan
pemadanan (al-tanẓīr) sebagai pola muāsabah kedua ayat ini.

Adapun penggunaan kata untuk merepresentasikan “dua kali lipat”


ِ ْ ‫” ِﺿ ْﻌ َﻔ‬,
dalam kedua ayat berbeda. Pada ayat ke-30 menggunakan lafaz “‫ﲔ‬
ِ ْ ‫ ” ِﺿ ْﻌ َﻔ‬adalah
yang mana bentuk mufrād dari kata “‫ﲔ‬ ٌ ‫ِﺿ ْﻌ‬
‫ﻒ‬ artinya lipat
ganda, dan akan bermakna lebih banyak bahkan tidak terbatas jika tidak di-
ِ ْ ‫ ” ِﺿ ْﻌ َﻔ‬yang memiliki arti “dua kali
taṡniyah-kan. Dan penempatan lafaz “‫ﲔ‬
lipat” setelah kalimat “‫اب‬
ُ ‫اﻟْ َﻌ َﺬ‬ ‫ﻒ َﳍَﺎ‬
ْ ‫ﻳُﻀ َٰﻌ‬ /niscaya azabnya akan
dilipatgandakan kepadanya” berfungsi sebagai pembatas, yang mana jika
tidak ada lafaz tersebut maka azab yang akan dilipatgandakan menjadi tidak
terbatas jumlahnya. Sedangkan kata untuk merepresentasikan “dua kali
ِ ْ َ‫ ” َﻣﱠﺮﺗ‬yang bentuk mufrād-nya
lipat” pada ayat ke-31 menggunakan lafaz “‫ﲔ‬
adalah ‫( َﻣﱠﺮة‬sekali), merupakan takaran dari lafaz “‫ اَ ْﺟَﺮ‬/pahala” yang Allah
berikan. Maka dapat dimaksudkan penggunaan kata “‫ﲔ‬ ِ ْ ‫ ” ِﺿ ْﻌ َﻔ‬untuk
mewakili “dua kali lipat” terhadap dosa adalah Allah SWT. mudah saja
untuk melipatgandakan dosa ahlulbait hingga tak terbatas, namun dengan
rahmat-Nya dosa tersebut hanya dibatasi dengan “dua kali lipat”, dan Allah
57

bisa saja memberikan satu pahala untuk satu kebajikan, namun pula dengan
ِ ْ َ‫ َﻣﱠﺮﺗ‬/dua kali lipat” untuk
rahmat-Nya pahala tersebut digandakan menjadi “‫ﲔ‬
setiap kebajikan.
4. Perintah dan Larangan Allah kepada Istri-istri Rasulullah SAW.
beserta Tujuan atas Perintah dan Larangan-Nya

Perintah dan larangan Allah SWT. untuk istri-istri Nabi SAW.


dimulai dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 32. Sebagaimana Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30, ayat
ۤ
ini juga dimulai dengan seruan akrab kepada istri-istri Nabi dengan “ ‫ﻳٰﻨِ َﺴﺎ َء‬
ِّ ِ‫”اﻟﻨ‬, yang memuat pelajaran
‫ﱠﱯ‬ ketiga bila dihitung dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28.
ِۤ ِ ِ ٍ
Bagian depan ayat ini “‫ﺣﺪ ّﻣ َﻦ اﻟﻨّﺴﺎء‬
َ َ‫ﱳ َﻛﺎ‬
‫ ﻟَ ْﺴ ُ ﱠ‬/Kamu tidak seperti perempuan-
َ
perempuan yang lain”, mengatakan tentang keistimewaan mereka
dibandingkan dengan perempuan lainnya. Namun terdapat syarat atas
keistimewaan itu, yakni apabila para istri Rasulullah SAW. itu bertakwa
‫ اِ ِن اﺗﱠـ َﻘْﻴ ُ ﱠ‬/jika kamu bertakwa”, jika tidak maka
seperti dalam kelanjutannya “‫ﱳ‬
tidak ada bedanya dengan perempuan lainnya. Yang mana salah satu
keistimewaan dari istri-istri Rasulullah SAW. pun telah disinggung pada
ayat sebelumnya, yang mana jika mereka berbuat kebajikan maka
pahalanya akan dilipatgandakan, begitu pula jika mereka berbuat keji yang
nyata maka azabnya juga akan dilipatgandakan.

Pemberitahuan akan keistimewaan istri Nabi dibanding perempuan


lainnya diiringi dengan larangan yang terbalut dalam kalimat “ ‫ﻀ ْﻌ َﻦ‬
َ ْ‫ﻓَ َﻼ َﲣ‬
ِ
ٌ ‫ ِﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮِل ﻓَـﻴَﻄْ َﻤ َﻊ اﻟﱠﺬ ْي ِ ْﰲ ﻗَـﻠْﺒِﻪ َﻣَﺮ‬/Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
‫ض‬
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya”, yakni
larangan untuk melemahlembutkan suara dalam berbicara, mereka harus
tegas dalam bercakap-cakap karena suara yang mendayu-dayu bisa saja
menimbulkan nafsu syahwat untuk orang laki-laki yang mempunyai
penyakit hati. Larangan ini dituangkan ke dalam bentuk sebab akibat yang
58

direpresentasikan dengan susunan sababiyah, dapat dilihat dari adanya


huruf fa’ sababiyah dalam “‫ ”ﻓَـﻴَﻄْ َﻤ َﻊ‬sebelum larangan (nahy) yang
disebutkan dalam kalimat “‫ِﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮِل‬ ‫ﻀ ْﻌ َﻦ‬
َ ْ‫”َﻻ َﲣ‬. Dalam ayat ini larangan lemah
lembut diwakili oleh kata “‫ﻦ‬
َ ‫ﻀ ْﻌ‬
َ ْ‫ ” َﲣ‬yang berasal dari kata ‫ﻀ َﻊ‬ َ ‫ َﺧ‬berarti
tunduk, jika dalam suara atau ucapan maka berarti suara atau ucapan yang
lebih rendah/lemah. Sedangkan nafsu bagi orang yang mendengar suara
lemah lembut dalam ayat ini memakai kata “‫ ”ﻳَﻄْ َﻤ َﻊ‬yang mempunyai makna
keinginan yang besar atau juga dapat berarti tamak dan keserakahan yang
keduanya merupakan penyakit hati.
Adapun bagian ini, “‫ض‬
ٌ ‫َﻣﺮ‬ ِ ِ ِ‫ﱠ‬ ِ ِ َ ْ‫ ﻓَ َﻼ َﲣ‬/Maka
َ ‫ﻀ ْﻌ َﻦ ﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮل ﻓَـﻴَﻄْ َﻤ َﻊ اﻟﺬ ْي ْﰲ ﻗَـ ْﻠﺒﻪ‬
janganlah kamu tunduk – melemahlembutkan suara – dalam berbicara
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya” memiliki
ۤ
munāsabah dengan awal Qs. al-Aḥzāb/ 33: 32 “ ‫ﱳ َﻛﺎَ َﺣ ٍﺪ ِّﻣ َﻦ‬ ِّ ِ‫ٰﻳﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ‬
‫ﱠﱯ ﻟَ ْﺴ ُ ﱠ‬
ۤ
‫اﻟﻨِّ َﺴﺎ ِء اِ ِن اﺗﱠـ َﻘْﻴ ُ ﱠ‬
‫ﱳ‬ /Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-
perempuan yang lain, jika kamu bertakwa”, yang mana munāsabah tersebut
tergolong ke dalam al-takhalluṣ, dapat dilihat dari perpindahan
pembicaraan yang halus dari keistimewaan istri-istri Nabi SAW. ke
larangan untuk melemahlembutkan suara.

Kemudian larangan untuk melemahlembutkan suara dilanjutkan


dengan lafaz “‫ﻦ ﻗَـ ْﻮًﻻ ﱠﻣ ْﻌﺮْوﻓًﺎ‬
َ ْ‫ ” ﱠوﻗـُﻠ‬yang merupakan perintah untuk mengucapkan
ُ
kata-kata yang baik. Yang mana “baik” yang menyifati perkataan dalam
ayat ini menggunakan lafaz “‫ ” ﱠﻣ ْﻌﺮْوﻓًﺎ‬yang populer dengan arti dikenal atau
ُ
diketahui. Maka ini dapat dikatakan bahwa perkataan baik disini merupakan
perkataan yang dikenal dan diketahui banyak orang sehingga menjadi wajar
untuk dikatakan kepada khalayak.

Perintah dan larangan Allah pada istri-istri Rasulullah juga termaktub


dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 32, hanya saja pada ayat sebelumnya Allah SWT.
59

mendidik lisan para istri Rasulullah SAW. dengan melarang istri-istri Nabi
melemahlembutkan suara dan memerintahkan mereka untuk berucap
dengan ucapan yang baik, maka pada ayat ini Allah mendidik perilaku
mereka dengan perintah dan larangan-Nya.

Perintah yang pertama adalah agar istri-istri Nabi SAW. berdiam diri
‫ َوﻗَـ ْﺮ َن ِ ْﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗِ ُﻜ ﱠ‬/Dan hendaklah kamu tetap
di rumah, dapat dilihat dari lafaz “‫ﻦ‬
di rumahmu”. Yang mana perintah ini diikuti dengan larangan untuk ber-
tabarruj dalam lafaz “‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ ْاﻻُْو ٰﱃ‬
ِ ‫ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ‬/Dan janganlah kamu berhias
َ ََ َْ َ َ
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu”. Keduanya
sedikit banyak memiliki hubungan yang dapat digolongkan ke dalam
munāsabah khāfī al-irtibaṭ, karena keterkaitan samar antara keduanya. Jika
dilihat sepintas kedua lafaz ini tidak berhubungan, namun perintah untuk
berdiam diri di rumah dan larangan untuk ber-tabarruj memiliki tujuan
yang sama, yakni untuk menghindarkan fitnah.
Kata tabarruj sendiri berasal dari fi‘il ‫ج‬
َ ‫ ﺑـَﱠﺮ‬yang bisa diartikan dengan
menampakkan atau memperlihatkan. 17 Kata tabarruj kemudian menjadi
populer dengan makna memperlihatkan perhiasan pada perempuan atau
dapat diartikan dengan berhias. Hal ini merujuk kepada QS. An-Nūr/ 24:
60 18 yang memuat lafaz “‫ﺑِ ِﺰﻳـﻨَ ٍﺔ‬
ۡ ‫ﺖ‬
ٍ ‫ﻣﺘَـﺒ ِـﺮ ٰﺟ‬ /menampakkan perhiasan”, dapat
َّ ُ
dilihat bahwa yang ditampakkan setelah kata tabarruj adalah perhiasan
(baik itu perhiasan yang sudah ada pada tubuh ataupun yang datang dari

Louis Ma’luf, Qamūs al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām (Beirut: Dār al-Syarqy,


17

1976), 31.
ٍۭ ‫ﻣﺘَ ِﱪ ٰﺟ‬
“‫ﺖ‬ ِ َ ‫وٱﻟْ َﻘ ٰﻮ ِﻋ ُﺪ ِﻣﻦ ٱﻟﻨِّﺴﺎ ِٓء ٱ ٰﻟﱠِﱴ َﻻ ﻳـﺮﺟﻮ َن ﻧِ َﻜﺎﺣﺎ ﻓَـﻠَﻴﺲ ﻋﻠَﻴ ِﻬ ﱠﻦ ﺟﻨَﺎح أَن ﻳ‬
ّ ‫ﻀ ْﻌ َﻦ ﺛﻴَ َﺎﻬﺑُ ﱠﻦ َﻏ ْ َﲑ‬
18
َ َُ َ ٌ ُ َْ َ ْ ً ُ َْ َ َ َ َ
ِ
‫ﻴﻊ َﻋﻠ ٌﻴﻢ‬ ِ ‫ﱠ‬ ِ ٍ ِ ِ
ٌ ‫ٱﻪﻠﻟُ َﲰ‬
‫”ﺑﺰﻳﻨَﺔ ۖ َوأَن ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻌﻔ ْﻔ َﻦ َﺧ ْﲑٌ ﳍُ ﱠﻦ ۗ َو ﱠ‬
Artinya: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nūr/ 24:60).
60

luar tubuh). Dan penisbatan perilaku tabarruj pada perempuan karena pada
kedua ayat ini – yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33 dan QS. An-Nūr/ 24: 60 –
merujuk pada perempuan, selain itu adalah fitrah bagi perempuan menyukai
keindahan dan berhias. Adapun pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33 lafaz “‫ج‬
َ ‫”ﺗََﱪﱡ‬
disandarkan kepada kata “‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ‬
ِ ‫ ”ا ْﳉ‬yang disifati dengan lafaz “‫ْاﻻُو ٰﱃ‬
َ ْ
/terdahulu” yang merupakan zaman kebodohan sebelum Islam datang. 19
Yang mana maksud dari “‫ْاﻻُْو ٰﱃ‬ ‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ‬
ِ ‫ ”ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ‬adalah perilaku orang-orang
َ ََ
jahiliah terdahulu yang berhias dan memperlihatkan perhiasan mereka
secara berlebihan, dengan maksud pemer dan menggoda.
Lalu perintah Allah kepada istri-istri Nabi SAW. untuk berdiam diri
di rumah dan larangan ber-tabarruj ini dilanjutkan dengan tiga perintah
pokok yaitu mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menaati Allah dan
‫ﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ َواَ ِﻃ ْﻌ َﻦ‬ ِ ‫ واَﻗِﻤﻦ اﻟ ﱠ‬/dan laksanakanlah salat,
ّٰ
ُ ‫اﻪﻠﻟَ َوَر‬
Rasul-Nya; “‫ﺳ ْﻮﻟَﻪ‬ َ ْ ‫ﺼ ٰﻠﻮةَ َواٰﺗ‬ َْ َ
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”. Dua perintah pertama,
yaitu salat dan zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang sering kali
digandengkan dalam al-Qur’an karena keterkaitan kedua ibadah tersebut
yang begitu erat, keduanya merupakan ibadah yang memperkuat hubungan,
jika salat adalah kepada Allah maka zakat adalah kepada sesama, kedua
ibadah ini merupakan bentuk keseimbangan dalam beragama. Sedangkan
perintah terakhir untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya adalah melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang disampaikan oleh Rasul-
Nya., termasuk di antaranya perintah dan larangan yang terdapat dalam Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 32 dan 33, mulai dari larangan melemahlembutkan suara,
perintah untuk berucap dengan ucapan yang baik, perintah untuk berdiam

Dikatakan bahwa “jāhiliyah al-ūlā” adalah pada masa antara Nabi Isa dan Nabi
19

Muhammad, atau masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh, atau pula antara Nabi Nuh dan
Nabi Idris. Lihat; Abu Ja’far Muḥammad bin Jarir Al-Ṭabārī, Tafsir Ath-Thabari, jilid 21,
terj. Abdul Somad, Yusuf Hamdani, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 117-119.
61

diri di rumah, larangan ber-tabarruj seperti orang jahiliah dahulu, serta


perintah untuk mendirikan salat dan menunaikan zakat.

Semua perintah dan larangan yang termuat sebelumnya tak lain dan
tak bukan bertujuan untuk menghapus dosa dan menyucikan para istri Nabi
SAW. dengan sebersih-bersihnya, dapat dilihat dari lafaz “ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟِﻴُ ْﺬ ِﻫﺐ‬ ِ
ّٰ ‫اﱠﳕَﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ‬
َ
ِ ‫اﻟﺮﺟﺲ اَ ْﻫﻞ اﻟْﺒـﻴ‬
‫ﺖ َوﻳُﻄَ ِّﻬَﺮُﻛ ْﻢ ﺗَﻄْ ِﻬ ْ ًﲑا‬ ِ ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻋ‬
ْ َ َ َ ْ ّ ُ ُ َْ /Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. Kata “‫ﺟﺲ‬ ِ ” yang dapat diartikan dengan perbuatan
ْ ‫اﻟﺮ‬ َ ّ
jelek, hukuman, dan gangguan setan, 20 namun dengan singkat dapat
ُ ‫ ” َﻋْﻨ‬dan “‫”ﻳُﻄَ ِّﻬﺮُﻛ ْﻢ‬, Allah
dimaknai dengan dosa. Sedangkan untuk kata “‫ﻜﻢ‬
ُ َ
menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki majemuk (ḍamīr jama‘
ِ ‫اﻟْﺒـﻴ‬
mużakkar ghaib) untuk merepresentasikan kata“‫ﺖ‬ ‫ اَ ْﻫ َﻞ‬/ahlulbait”.
َْ
Ahlulbait secara harfiah berarti “penghuni rumah” (rumah Nabi
Muḥammad SAW.), namun yang dimaksud ahlulbait merupakan keluarga
Rasulullah SAW., baik istri-istrinya, serta anak dan cucu beliau, baik laki-
laki ataupun perempuan, contohnya seperti keluarga ‘Ali bin Abū Ṭalib –
termasuk istrinya Fāṭimah binti Muhammad, Ḥasan, dan Ḥusain. Meskipun
begitu fokus utama dalam ayat ini tertuju pada istri-istri Nabi SAW., yakni
Saudah binti Zam‘ah, ‘Āisyah binti Abū Bakr, Ḥafṣah binti ‘Umar, Ummu
Salamah, Zainab binti Jaḥsy, Juwairiyah binti al-Ḥariṡ, Ṣafiyah binti Ḥuyay,
Ummu Ḥabībah dan Maimunah binti al-Ḥariṡ. 21

Dalam kalimat “‫ﺗَﻄْ ِﻬ ْﲑا‬ ِ ‫اﻟﺮﺟﺲ اَ ْﻫﻞ اﻟْﺒـﻴ‬


‫ﺖ َوﻳُﻄَ ِّﻬَﺮُﻛ ْﻢ‬ ِ ِ ٰ ‫اِﱠﳕَﺎ ﻳ ِﺮﻳ ُﺪ‬
ً ْ َ َ َ ْ ِّ ‫ﺐ َﻋْﻨ ُﻜ ُﻢ‬
َ ‫اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ‬
ّ ُْ
/Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” juga dapat
dilihat keterkaitan antara “‫ﺟﺲ‬ ِ ِ ِ
ْ ‫اﻟﺮ‬ َ ّ ‫ﺐ َﻋْﻨ ُﻜ ُﻢ‬
َ ‫ ﻟﻴُ ْﺬﻫ‬/hendak menghilangkan dosa
dari kamu” dan “‫ﻛ ْﻢ ﺗَﻄْ ِﻬ ْﲑا‬
ُ‫ ﻳُﻄَ ِّﻬَﺮ‬/membersihkan kamu sebersih-bersihnya”,
ً
20
Ma’luf, Qamūs al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, 250.
21
Kaṡīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Adzīm, 362.
62

yakni Allah hendak membersihkan dan menyucikan mereka dengan


sebersih-bersihnya dan sesuci-sucinya dengan cara menghilangkan segala
kotoran dan dosa pada mereka. Dengan kata lain Allah hendak mengampuni
mereka dari kesalahan yang diperbuat dengan menaati-Nya dan Rasul-Nya.
Dan itu Allah lakukan dengan sengaja lewat lafaz “‫ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ‬/ingin/bermaksud”.

Perintah terakhir dalam kelompok ayat ini yang dimaksudkan untuk


istri-istri Rasulullah SAW. adalah; “‫ْﻤ ِﺔ‬ ِ ِٰ ‫ﺖ‬ ِ ِ ِ ِ ‫واذْ ُﻛﺮ َن ﻣﺎ ﻳـﺘْـ ٰﻠﻰ‬
ّ ٰ‫ﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗ ُﻜ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اٰﻳ‬
َ ‫اﻪﻠﻟ َوا ْﳊﻜ‬ ْ ُ َ ْ َ
/Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah”. Allah menggunakan kata “‫ﻛ ْﺮ َن‬
ُ ْ‫ اذ‬/ingatlah” yang merupakan fi‘il
amr (kata perintah) dan berasal dari akar kata ‫ ذ َﻛَﺮ‬yang memiliki makna
mengingat, namun dapat pula diartikan dengan menyebut, mengucapkan,
menyimpan dalam ingatan, menjaga dan tidak melewatkan, serta
melestarikannya. 22 Perintah untuk mengingat ini dimaksudkan kepada hal-
hal yang akrab dengan mereka karena seringnya dibacakan di dalam rumah
mereka, yakni “ِ‫اﻪﻠﻟ‬
ّٰ
ِ ٰ‫ اٰﻳ‬/ayat-ayat Allah” al-Qur’an dan “‫ ا ْﳊِﻜْﻤ ِﺔ‬/hikmah”
‫ﺖ‬ َ
berupa sunnah yang didapat dari Nabi Muḥammad SAW. yang tinggal
bersama mereka. Perintah ini terletak pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 34 yang
merupakan penutup dari kelompok ayat yang menceritakan tentang istri-
istri Rasulullah SAW. yang disertai dengan perintah dan larangan yang
bertujuan untuk memuliakan mereka pada ayat-ayat sebelumnya (Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-33). Ayat ini dapat dikatakan sebagai pengingat dan alasan
mengapa Allah SWT. begitu keras menegur istri-istri Rasulullah SAW.
yang hanya ingin meminta tambahan nafkah pada beliau. Yang mana alasan
tersebut karena mereka, istri-istri Rasulullah SAW. tinggal di rumah yang
di sanalah turun ayat-ayat suci al-Qur’an dan di sana pula mereka
mendapatkan hikmah dari Nabi yang tinggal bersama mereka. Dengan

22
Ma’luf, Qamūs al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, 236.
63

keakraban mereka terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi inilah yang


membuat mereka diistimewakan dan dibedakan dengan perempuan lain.
Pada tema ini memiliki bahasan yang sangat luas karena memuat
banyak pokok pembicaraan berupa perintah dan larangan yang terhubung
satu dengan yang lainnya. Hal ini membuat hubungan antar kalimat dalam
ayat ini dapat dikategorikan sebagai al-istiṭrād, yaitu penyebutan secara
beruntun, selain itu perintah dan larangan tersebut masih terkait pada satu
tujuan yakni mengistimewakan ummahāt al-mu‘minīn
5. Asmā’ al-Husnā sebagai Penutup Ayat dan Kisah

Kelompok ayat dan kisah tentang istri-istri Rasulullah SAW. yang


ِ
ّٰ ‫ا ﱠن‬
termuat dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29 ini kemudian ditutup dengan “ َ‫اﻪﻠﻟ‬
‫ َﻛﺎ َن ﻟَ ِﻄﻴْـ ًﻔﺎ َﺧﺒِ ْ ًﲑا‬/Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui” yang
ِ َ‫ ﻟ‬/Maha Lembut” dan
memuat dua bentuk asmā’ al-ḥusnā Allah yakni “‫ﻄ ْﻴـ ًﻔﺎ‬
“‫ﺧﺒِ ْﲑا‬ ِ
ً َ /Maha Mengetahui”. Adapun penyebutan sifat “‫ ”ﻟَﻄْﻴـ ًﻔﺎ‬adalah karena
kelembutan Allah terhadap istri-istri Nabi SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34, mulai dari menyebut mereka dengan panggilan akrab,
mengistimewakan mereka, hingga menyucikan mereka. Sedangkan
penyebutan sifat “‫ﺧﺒِ ْﲑا‬
َ ” tak lain adalah menunjukkan bahwa Allah
ً
mengetahui segala sesuatu sekecil apapun itu, bahkan sebuah masalah
rumah tangga Nabi SAW. yang terkesan halus, yang tidak diketahui oleh
orang lain di luar keluarga Nabi, jika saja Allah tidak menyebutkannya
dalam al-Qur’an sebagai peringatan, teguran, juga pelajaran kepada istri-
istri Rasulullah SAW. juga untuk umat manusia.
6. Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan Ayat
Sebelumnya

Kisah tentang istri-istri Rasulullah SAW. yang terdapat dalam Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 dimulai dengan menyebutkan perihal “‫َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ‬ ‫ا ْﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬
64

/kehidupan dunia dan perhiasannya” pada ayat ke-28, yang mana memiliki
keterkaitan yang cukup jelas untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk
munāsabah ẓāhir al-irtibaṭ dengan ayat yang berada tepat sebelumnya,
yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 27.

٢٧ ࣖ ‫ﺷﻲ ٍء ﻗَ ِﺪﻳْـﺮا‬ ِ ٰ ّٰ ‫ﺿﺎ ﱠﱂْ ﺗَﻄَٔـُْﻮَﻫﺎ َۗوَﻛﺎ َن‬ ِ


ً ْ َ ‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻠﻰ ُﻛ ّﻞ‬ ً ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ َود َ� َرُﻫ ْﻢ َواَْﻣ َﻮا َﳍُْﻢ َواَْر‬
َ ‫َواَْوَرﺛَ ُﻜ ْﻢ اَْر‬
Artinya:
“(27) Dan Dia mewariskan kepadamu tanah-tanah, rumah-rumah dan
harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak.
Dan Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33:
27)
Permulaan ayat ini menyebutkan kata “‫ﻜ ْﻢ‬
ُ َ‫ اَْوَرﺛ‬/Dia mewariskan
kepadamu”, sedangkan kata warisan lebih popular akan kaitannya terhadap
harta dunia yang termasuk ke dalam “‫ﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ‬
ْ ‫ ا‬/kehidupan dunia dan
perhiasannya” pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28. Lalu hubungan ini dipertegas
ِ
dengan kelanjutan yang menyebutkan “‫ﺗَﻄ َٔـُْﻮَﻫﺎ‬ ْ‫ﺿﺎ ﱠﱂ‬
ً ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ َود َ� َرُﻫ ْﻢ َواَْﻣ َﻮا َﳍُْﻢ َواَْر‬
َ ‫اَْر‬
/tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah
yang belum kamu injak”, yang semuanya merupakan harta benda dunia.

‫( ُﻫ ْﻢ‬mereka) dalam “ ْ‫ﺿﺎ ﱠﱂ‬ ِ


Adapun ism ḍamīr ً ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ َود َ� َرُﻫ ْﻢ َواَْﻣ َﻮا َﳍُْﻢ َواَْر‬
َ ‫اَْر‬
‫ ”ﺗَﻄَٔـُْﻮَﻫﺎ‬merujuk pada merujuk pada kaum Yahudi dari Bani Quraiẓah 23 yang 104 F

merupakan salah satu dari golongan-golongan musuh Nabi Muḥammad


SAW. pada perang Khandaq yang dikisahkan pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 9-27.
Namun pada akhirnya mereka dapat dikalahkan oleh pasukan muslim.
Kemenangan ini menghasilkan kekayaan yang melimpah dari harta
rampasan perang, sehingga menimbulkan pemikiran pada diri ummahāt al-
mu‘minīn bahwa mereka juga mendapat bagian (setidaknya tambahan
nafkah) mengingat suami mereka, Rasulullah SAW. adalah pemimpin

23
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 249.
65

perang. Kejadian tersebut melatarbelakangi kisah istri-istri Rasulullah


SAW. yang diangkat pada ayat selanjutnya.
7. Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan Ayat
Sesudahnya
Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35 merupakan ayat yang berada tepat setelah ayat
yang membahas tentang kisah istri-istri Rasulullah SAW. yakni Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34. Tak heran jika ayat ini memiliki hubungan yang erat
dengan kelompok yang dibahas. Bahkan banyak dari ahli tafsir yang
memasukkan ayat ke-35 ini menjadi bagian dari kelompok ayat Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam kitab tafsirnya, contohnya seperti Tafsir Al-Misbah
karya M.Quraish Shihab atau Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān karya Sayyid Quṭb.
Adapun ayat ini berbunyi sebagai berikut;

ِ ‫اﻟﺼ ِﺪ ٰﻗ‬ ِ ِ ٰ ‫ٰﺖ و‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ


‫ﺖ‬ ّٰۤ ‫ﲔ َو‬ َ ْ ‫اﻟﺼﺪﻗ‬ ّ َ ‫ﲔ َواﻟْ ٰﻘﻨﺘ‬ َ ْ ‫ﲔ َواﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨٰﺖ َواﻟْ ٰﻘﻨﺘ‬ َ ْ ‫ا ﱠن اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬
َ ْ ‫ﲔ َواﻟْ ُﻤ ْﺴﻠ ٰﻤﺖ َواﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ‬
ِ ‫اﻟﺼ ِٕﯩ ٰﻤ‬ ِ ‫ﺼ ۤﺎ ِٕﯨ‬ ِ ِ َ‫ﺖ واﻟْﻤﺘَﺼ ِّﺪﻗِﲔ واﻟْﻤﺘ‬ ِ ِ ِِ ِ ٰ ‫اﻟﺼِ ِﱪﻳﻦ و‬
‫ﺖ‬ ّٰ ‫ﲔ َو‬ َ ْ ‫ﺼ ّﺪ ٰﻗﺖ َواﻟ ﱠ‬
‫ﻤ‬ َ ُ َ َ ْ َ ُ َ ‫ﲔ َوا ْﳋٰﺸ ٰﻌ‬ َ ْ ‫اﻟﺼِ ٰﱪت َوا ْﳋٰﺸﻌ‬
ّ َ َ ْ ّٰ ‫َو‬
ِ ‫ت اَﻋ ﱠﺪ ٰاﻪﻠﻟ َﳍﻢ ﱠﻣﻐْ ِﻔﺮةً ﱠواَﺟﺮا ﻋ‬ِ ِ ٰ ِ ٰ ‫ﺖ واﻟ ّٰﺬﻛِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ ِ ِِ
٣٥ ‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ َ ً ْ َ ُْ ُّ َ ‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺜ ْ ًﲑا ﱠواﻟ ّﺬﻛ ٰﺮ‬ ّ َ ْ َ ‫ﲔ ﻓـُ ُﺮْو َﺟ ُﻬ ْﻢ َوا ْﳊٰﻔ ٰﻈ‬ َ ْ ‫َوا ْﳊٰﻔﻈ‬
Artinya:
“(35) Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-
laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35)
Latar belakang ayat ini disebutkan dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh Tirmiżi,
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdu bin Humaid telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin Kaṡir telah menceritakan
kepada kami Sulaiman bin Kaṡir dari Huṣain dari Ikrimah dari Ummu
Umarah al-Anṣariyyah ia mendatangi Nabi SAW. lalu berkata: Aku
tidak mengetahui segala sesuatu melainkan diperuntukkan kaum
66

lelaki, dan setahuku kaum wanita tidak disebut sama sekali, lalu
turunlah ayat ini: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin…” 24
Selain Ummu Umarah al-Anṣariyyah, ada beberapa nama lain dari
muslimah zaman Nabi yang juga mempertanyakan perihal yang sama
terkait tidak adanya penyebutan wanita dalam al-Qur’an, seperti Ummu
Salamah dan Asma’ binti ‘Umais. 25 Hingga turunlah Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35
yang menyandingkan laki-laki dan perempuan dalam setiap sifatnya.

Terdapat sepuluh sifat yang disebutkan dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35


yang mana menurut Sayyid Quṭb sifat-sifat ini merupakan sifat pokok
ِ ‫واﻟْﻤﺴﻠِ ٰﻤ‬
seorang muslim. 26 Sifat-sifat itu ialah islam “‫ﺖ‬ ‫ﲔ‬ ِِ
ُْ َ َ ْ ‫”اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬, iman
ِ ‫”اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨِﲔ واﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨ‬, taat “‫ٰﺖ‬ ِ ‫”اﻟْ ٰﻘﻨِﺘِﲔ واﻟْ ٰﻘﻨِﺘ‬, jujur “‫ﺖ‬ ِ ‫اﻟﺼ ِﺪ ٰﻗ‬ ِ ِ ٰ ”, sabar
“‫ٰﺖ‬ ُ َ َْ ُ َ َْ ّٰ ‫ﲔ َو‬ َ ْ ‫اﻟﺼﺪﻗ‬
ّ
ِ
“‫ﱪت‬ ِ ٰ
ٰ ‫اﻟﺼ‬ ِ ِ ٰ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫اﻟْﻤﺘ‬
ّ ‫اﻟﺼﱪﻳْ َﻦ َو‬ ّ ”, khusyu’ۤ “‫ﲔ َوا ْۤﳋٰﺸ ٰﻌﺖ‬ َ ْ ‫”ا ْﳋٰﺸﻌ‬, bersedekah “ ‫ﲔ‬ َ ْ ‫ﺼ ّﺪﻗ‬
َ َُ
ِ‫”واﻟْﻤﺘَﺼ ِّﺪ ٰﻗﺖ‬, berpuasa “‫ﺖ‬ ِ ‫اﻟﺼ ِٕﯩ ٰﻤ‬ ِ ِِ
َ ُ َ ّٰ ‫ﲔ َو‬ َ ْ ‫ﺼﺎ ِٕﯨﻤ‬
‫”اﻟ ﱠ‬, menjaga kemaluannya “ ‫ﲔ‬ َ ْ ‫ا ْﳊٰﻔﻈ‬
‫ﺖ‬ِ ‫”ﻓُـﺮوﺟﻬﻢ وا ْﳊٰ ِﻔ ٰﻈ‬, dan banyak berzikir kepada Allah “‫ت‬ ِ ‫”اﻟ ّٰﺬﻛِ ِﺮﻳﻦ ٰاﻪﻠﻟ َﻛﺜِﲑا ﱠواﻟ ّٰﺬﻛِ ٰﺮ‬.
َ ْ ُ َ ُْ ً ْ َّ َ ْ
Ayat ini ditutup dengan, “‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ ِ ‫ اَﻋ ﱠﺪ ٰاﻪﻠﻟ َﳍﻢ ﱠﻣ ْﻐ ِﻔﺮةً ﱠواَﺟﺮا ﻋ‬/Allah telah
َ ً ْ َ ُْ ُّ َ
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”, kalimat ini
menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di mata Allah
SWT. yang mana mereka akan mendapatkan ampunan-Nya serta pahala
yang besar jika tergolong ke dalam sepuluh sifat yang telah disebutkan.

Adapun keterkaitan ayat ini dengan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terletak
ِ‫ﻋ‬
pada akhir ayatnya, yakni “‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ ‫اَ ْﺟًﺮا‬ /pahala yang besar”, yang mana
َ
kalimat serupa juga disebutkan sebagai penutup dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 29,
ِ‫ﻋ‬
yang berbunyi “‫ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ‬ ِ ‫ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ‬/maka sesungguhnya
‫ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا‬
َ ْ ُ َ َّ
Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara
kamu”. Dari kedua ayat tersebut (ayat ke-29 dan 35) yang berbeda kepada

24
al-Suyūṭī, Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl, 208.
25
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 270.
26
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 265.
67

siapa “pahala yang besar” itu diberikan, jika pada ayat ke-35, Allah akan
memberikan pahala yang besar kepada orang yang memenuhi sepuluh sifat,
sedangkan pada ayat ke-29 pahala yang besar diberikan kepada istri Nabi
yang berbuat iḥsan/baik.
Dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35, sifat pertama adalah islam, yang
merupakan bentuk penyerahan diri, sifat kedua merupakan iman yang
dimaknai dengan pembenaran dan kepercayaan, dan sifat ketiga hingga
terakhir merupakan bagian dari iḥsan. Ini menjawab pertanyaan mengapa
untuk mendapat pahala yang besar itu pada ayat-35 membutuhkan sepuluh
sifat, sedangkan pada ayat ke-29 hanya butuh satu syarat yakni iḥsan?
Karena untuk melakukan iḥsan, seseorang membutuhkan islam dan iman.
Jadi entah itu ayat ke29 atau ke-35, keduanya menyuarakan hal yang sama,
yang mana Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang yang
berislam, beriman, dan ber-iḥsan yang dengan kata lain memiliki sifat taat,
jujur, sabar, khusyu’, bersedekah, berpuasa, menjaga kemaluannya, dan
banyak berzikir kepada Allah SWT.
8. Kesesuaian Isi Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan Nama Surat
Al-Aḥzāb merupakan kata jama’ dari kata hizb, yang berarti satu
golongan atau satu partai, maka dari itu aḥzāb memiliki arti banyak
golongan atau banyak partai. 27 Lafaz aḥzāb ini ditemukan beberapa kali
dalam al-Qur’an, di antaranya dalam Qs. Hūd/ 11: 17, Qs. al-Ra’d/ 13: 36,
Qs. Maryam/ 14: 37, Qs. Ṣād/ 38: 11 dan 13, Qs. al-Mu’min/ 40: 5 dan 30,
dan Qs. al-Zukhruf/ 43: 65. 28 Al-Aḥzāb sendiri kemudian menjadi nama
dari surat al-Qur’an ke-33. Dinamai demikian, karena dalam surat ini
mengandung kisah peperangan Rasulullah SAW beserta kaum muslim

27
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5624.
28
Zadeh Faidullah, Fathur Rahman li Thalibi Ayatil-Qur'an (Bandung: Maktabah
Dahlan, 1987), 101.
68

melawan musuh dari golongan-golongan yang bersekutu (Aḥzāb) melawan


Islam yang termuat pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 9-27. Peperangan tersebut
kemudian dinamai dengan perang Khandaq.
Kata khandaq sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti parit, hal
ini karena selama enam hari sebelum berperang Rasulullah SAW. dan para
kaum muslim menggali parit sebagai pertahanan untuk menghalau musuh
di sebelah utara benteng Madinah. Strategi ini dilakukan atas usul seorang
sahabat Nabi yang dikenal dengan Salmān al-Fārisī. Perang ini terjadi di
tahun ke-5 H atau 627 M antara kaum muslim yang berjumlah 3.000 29 orang
dengan 10.000 orang pasukan musuh yang mengepung di sekeliling
Madinah. Adapun pasukan musuh adalah golongan-golongan bersekutu
yang terdiri dari kabilah kaum Yahudi dari Bani Quraiẓah, Bani Naẓir,
Kabilah Quraisy, kaum Ghaṭafan dan beberapa kabilah lain. Golongan-
golongan yang bersekutu inilah yang dinamakan Aḥzāb. 30
Perang Khandaq tersebut akhirnya dimenangkan oleh Nabi
Muḥammad SAW. dan kaum muslim atas strategi perang yang baik. Karena
selain parit yang digali di utara Madinah, Nabi juga mengutus Nu’aim bin
Mas’ud untuk memecah belah pasukan Aḥzāb dari dalam. Dia—Nu’aim bin
Mas’ud—adalah salah seorang terkemuka dari kaum Ghaṭafan yang secara
sembunyi-sembunyi datang kepada Rasulullah SAW. untuk menyatakan
keislamannya yang belum diketahui kaum dan sekutunya. Ia kemudian
diperintahkan oleh Rasulullah SAW. untuk sementara tetap merahasiakan
keislamannya dari kaum dan sekutunya, lalu mendatangi mereka satu demi
satu untuk memecah persekutuan antara pasukan Aḥzāb. Ditambah musim

29
Terdapat pula riwayat yang menyebutkan 700 orang. Lihat; Hamka, Tafsir Al-
Azhar, jilid 8, 5642.
30
Wulan Sariningsih, Tri Yuniyanto, dan Isawati, “Perang Khandaq (Tahun 627
M): Studi Tentang Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Relevansinya dengan Materi Sejarah
Islam”. Jurnal Candi, vol.19, no.1, (Maret 2019): 129-130.
69

dingin yang tiba di Madinah yang diiringi angin kencang, serta habisnya
persediaan, membuat pasukan Aḥzāb akhirnya mundur dari peperangan. 31
Atas kemenangan pada perang Khandaq tersebut, kaum muslimin
mendapat perolehan besar berupa harta rampasan perang, terutama dari
Bani Quraiẓah yang diperangi Rasulullah SAW. karena mengingkari
perjanjian bersama. Ditambah harta kekayaan dari Bani Naẓir yang juga
mengkhianati Rasulullah SAW. yang kemudian jatuh ke tangan kaum
muslim. Kekayaan yang melimpah yang diperoleh kaum muslim, membuat
istri-istri Rasulullah SAW. mengira mereka akan mendapatkan tambahan
nafkah dari Nabi, seperti istri-istri lainnya apabila suami mereka mendapat
harta lebih. Sebelum peristiwa ini, sebenarnya istri-istri Rasulullah itu, tidak
sekalipun menuntut tambahan nafkah, mereka merasa cukup dengan nafkah
yang diberikan Rasulullah SAW. Namun sesudah Allah menetapkan bahwa
dari harta rampasan perang Rasul mendapat seperlimanya, maka harapan
untuk mendapat nafkah tambahan muncul begitu saja. 32
Setelah para istri Rasulullah SAW. menyampaikan keinginan mereka
akan tambahan nafkah itulah turun Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29 diiringi dengan
kelompok ayatnya hingga Qs. al-Aḥzāb/ 33: 34, yang berisi teguran Allah
SWT. kepada istri-istri Rasulullah SAW. disertai dengan tuntunan Allah
kepada mereka. Dengan penjelasan tersebut dapat dilihat hubungan yang
mengaitkan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan judul surat “Al-Aḥzāb”. Yang
mana kisah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terjadi tepat setelah kemenangan
umat Islam atas perang Khandaq melawan pasukan Aḥzāb.
9. Garis Besar Kelompok-kelompok Ayat pada Qs. al-Aḥzāb
Selain hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan nama surat
ini, menariknya kelompok-kelompok ayat lain dalam Qs. al-Aḥzāb pun

31
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5644-5648.
32
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 255.
70

dapat dihubungkan dengan sebuah garis besar. Yang mana pada permulaan
surat ini menyuguhkan hebatnya perjuangan yang dihadapi Rasulullah
SAW. bertahan dari kepungan pihak musuh yang telah bersekutu untuk
menghancurkan Islam. Kemudian pada sambungan ayat ke-28 hingga ayat
ke-34, terlihat luar biasanya Nabi dalam mengurusi rumah tangga. Dari sini
dapat terlihat sosok Rasul sebagai pemimpin yang tangguh luar dalam.
Isi dari Qs. al-Aḥzāb mulai dari ayat ke-28 sampai akhir surat
sebagian besar memuat panduan membentuk masyarakat islami, seperti
pernikahan antara muslim dan muslimah, serta kewajiban-kewajiban yang
harus dijaga terutama dalam cara berpakaian bagi seorang muslimah,
terlebih tentang rumah tangga Rasulullah SAW. Ayat ke-36 membicarakan
Zaid bin Ḥariṡah (anak angkat Nabi) yang dinikahkan dengan saudara
sepupu beliau Zainab bintu Jaḥsy, namun akhirnya mereka bercerai. Hingga
setelahnya, Allah memerintahkan Nabi untuk menikahi Zainab dengan
tujuan menghapus tradisi yang bekembang, bahwasanya seseorang tidak
boleh menikahi istri yang telah diceraikan oleh anak angkatnya karena
status hukum anak angkat menurut mereka memiliki kedudukan yang sama
dengan anak kandung. Hal ini termuat pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 37-40.
Penutup di akhir surat Al-Aḥzāb dimulai dari ayat ke-72, ayat ini
membahas tentang amanah yang Allah letakkan ke atas pundak manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Yang sebelumnya amanat ini ditawarkan
kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka merasa berat dan tidak
sanggup memikulnya. Lalu manusia menawarkan diri untuk memikul
amanat itu dan menyia-nyiakannya sampai disebut zalim dan bodoh. Dan di
ayat ke-73 Allah memberi peringatan bahwa orang-orang yang musyrik dan
munafik akan diazab, dan sekaligus harapan untuk orang-orang beriman,
bila mereka bertaubat, niscaya akan diterima juga taubatnya. 33

33
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5688-5689.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis munāsabah yang terdapat
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 pada bab sebelumnya, dan untuk menjawab
rumusan masalah pada penelitian ini, maka disimpulkan bahwa terdapat
munāsabah atau keterkaitan dalam ayat-ayat ini, baik jelas maupun samar,
antara ayat satu dengan yang lainnya. Yang mana penafsiran dalam
munāsabah ini menemukan keterkaitan pada; ayat 28-29, kedua ayat
tersebut memerintahkan para istri nabi untuk memilih dunia (bercerai) atau
akhirat (bersama Nabi), jika memilih akhirat, tetap menjadi umm al-
mu‘minīn dengan konsekuensi; Kemudian pembahasan mengenai Dua kali
lipat azab jika berbuat keji dan dua kali lipat pahala jika berbuat baik seperti
pada ayat 30-31; Adapun perbuatan baik yang dibahas pada ayat
sebelumnya dapat berupa menaati perintah dan larangan Allah pada ayat
32-33, yaitu larangan melemahlembutkan suara, perintah berkata baik,
perintah berdiam di rumah, larangan tabarruj, dan perintah salat, zakat serta
menaati Allah dan Rasul-Nya; Yang mana kemudian perintah-perintah dan
larangan-larangan pada ayat 32-33 dijelaskan alasannya pada ayat 34;
Sedangkan pembahasan mengenai hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-
34 dengan ayat sebelumnya (ayat 27) tentang dunia dan perhiasannya; Dan
pembahasan mengenai hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan
ayat sesudahnya (ayat 35) berupa iḥsan dan pahala yang besar; Adapun
nama al-Aḥzāb sendiri adalah nama musuh Nabi di perang Khandaq, dan
peristiwa dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terjadi pasca kemenangan Nabi
melawan Ahzāb.

71
72

B. Saran
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna,
meskipun karya tulis ini telah dikerjakan dengan usaha dan doa yang
semaksimal mungkin dalam melakukan penelitian dan analisis munāsabah
terkait kisah istri-istri Rasulullah SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28.
Adapun saran dari penulis untuk penelitian selanjutnya yang dapat
melengkapi kekurangan karya tulis ini berkaitan dengan tema skripsi ini
adalah; Pertama, penelitian terkait munāsabah dalam ayat-ayat kisah al-
Qur’ān, karena minimnya penelitian terkait munāsabah al-Qur’an dalam
ayat-ayat kisah pada skripsi, terlebih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Kedua, penelitian terkait kisah perang Khandaq pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 9-
27 yang menjadi prolog kisah dalam skripsi ini dapat menjadi ruang untuk
karya tulis baru.
DAFTAR PUSTAKA

Buku/Kitab:
Azis, A. Rosmiaty. Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Sibuku, 2016.
Faidullah, Zadeh. Fathur Rahman li Thalibi Ayatil-Qur'an. Bandung:
Maktabah Dahlan, 1987.
Hajjaj, Abdullah. Maria Al-Qibthiyah: The “Forgotten” Love of The
Prophet. Jakarta: Mizan Pustaka, 2007.
Hamid, Salahuddin. Study Ulumul Quran. Jakarta: PT Intimedia
Ciptanusantara, 2002.
Hamka. Tafsir Al-Azhar, jilid 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Kaṡīr, Ismail Ibn. Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Adzīm, jilid 6. Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1998.
——. Tafsīr Ibn Katsir, jilid 6 dan 8, terj. M. Abdul Ghoffar E.M dan Abu
Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.
Ma’luf, Louis. Qamūs al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām. Beirut: Dār al-
Syarqy, 1976.
Manẓūr, Muḥammad Ibn. Lisān al-‘Arab, jilid 1. Beirut: Dār Ṣādir, 1883.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Progressif, 1997.
Al-Qaṭṭan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017.
Al-Qurṭubi, Muḥammad bin Ahmad Abi Bakr Abi ‘Abdullah. Tafsir Al-
Qurthubi, jilid 14, terj. Muhyiddin Masridha, dkk. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Quṭb, Sayyid. Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 8 dan 9. Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Alquran: Dalam Tafsir Al-
Misbah. Jakarta: Amzah, 2015.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2015.
73
74

——. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 11.
Tangerang: Lentera Hati, 2002.
Al-Suyūṭī, Jalaluddin. Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl. Beirut: Lubnan,
2002.
——. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Resalah Publishers, 2008.
——. Studi Al-Qur’an Komprehensif, jilid 2, terj. Tim Editor Indiva. Solo:
Indiva Media Kreasi, 2008.
Al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 21,
terj. Abdul Somad, Yusuf Hamdani, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.

Jurnal/Artikel:
Adlim, Ah.Fauzul. “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an.”
Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir. Vol. 1, no. 1 (Juni 2018):
14-30.
Affani, Syukron. “Diskursus Munāsabah: Problem Tafsīr al-Qur’an bi’l-
Qur’an." Jurnal Theologia. Vol. 28, no. 2 (Desember 2017): 391-418.
Ahmadiy. “Ilmu Munasabah Al-Qur’an.” Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah
Studi Islam. Vol. 18, no. 1 (Juli 2018): 77-90.
Azzuhri, Muhandis. “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan
Karier.” Muwāzāh. Vol. 1, no. 2 (Mei 2009): 91-99.
Hendri, Ari. “Problematika Teori Munasabah Al-Quran.” Tafsere. Vol. 7,
no. 1 (Oktober 2019): 81-101.
Masruchin. “Al-Razy dan Studi Munasabah dalam Tafsirnya.” Al-Dzikra.
Vol. 10, no. 2 (Juli-Desember 2016): 63-94.
Murni, Dewi. “Kaidah Munasabah.” Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan
Keislaman. Vol. 7, no. 2 (Oktober 2019): 89-102.
Nurjanah, Najibah Nida. “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran al-
Qur’an.” Jurnal al-Fath. Vol. 14, no. 1 (Januari-Juni 2020): 107-130.
Saipon, Abdul, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri. “Nilai Pendidikan
Wanita dalam Surat Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Dan Ayat 59 serta
75

Aplikasinya dalam Pendidikan Islam.” Tawazun. Vol. 12, no. 2


(Desember 2019): 172-195.
Satriana. “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami Rasulullah Dan
Pelaksanaan Poligami Pada Zaman Kekinian Menurut Inpres Nomor
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (Studi Kec. Mare).”
Jurnal Al-Dustur. Vol. 1, no. 1 (Desember 2018): 73-91.
Sariningsih, Wulan, Tri Yuniyanto, dan Isawati. “Perang Khandaq (Tahun
627 M): Studi Tentang Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Relevansinya
dengan Materi Sejarah Islam”. Jurnal Candi. Vol. 19, no. 1, (Maret
2019): 125-137.
Simanjuntak, Dahliati. “Munāsabāt Al-Qur’an Menurut Al-Biqā’i.” Jurnal
El-Qanuny. Vol. 4, no. 1 (Desember 2018): 240-254.
Supriyanto, John. “Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat
Bacaan Shalat-shalat Nabi.” Intizar. Vol. 19, no. 1 (Maret 2013): 47-
68.
Tidjani, Aisyah. “Aisyah Binti Abu Bakr R.A.: Wanita Istimewa yang
Melampaui Zamannya.” Dirosat: Journal of Islamic Studies. Vol. 1,
no. 1 (Oktober 2016): 27-40.
Yusuf, M. S. “Penggunaan Ilmu Munāsabah dalam Istinbāth Hukum.”
Tajdid. Vol. 26, no. 2 (September 2019): 117-142.

Skripsi/Tesis/Disertasi
Fatimah, Siti. “Kronologis Kejadian Hari Kebangkitan dalam Surat An-
Naba: Kajian Munasabah Al-Qur’an.” Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2019.
Hasiolan. “Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Ḥusna sebagai
Penutup Ayat dalam Surah An-Nisā’ menurut Al-Marāghi.” Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
Kurniasari, Laila. “Kisah Ashab Al-Qaryah dalam QS. Yasin [36]: 13-29:
Studi Komparasi Penafsiran Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab.”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015.
76

Musaddad, Endad. “Munāsabah dalam Tafsir Mafātih Al-Ghaib.” Tesis S2.,


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Nida, Fildzah. “Kisah Zulqarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj dalam Kajian
Tafsir Al-Qur’an: Menurut Quraish Shihab, al-Maragi, dan Buya
Hamka.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019.
Putra, Noval Aldiana. “Kisah Aşhāb Al-Sabt dalam Al-Qur’an: Analisis
Semiotika Roland Barthes.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Sarifudin, M. “Kajian Teori Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an:
Tela’ah atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah.” Skripsi
S1., Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2017.
Sobariah, Siti. “Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Perspektif
Semiotika Roland Barthes.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
Syaifudin. “Perspektif Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir Hamka dalam Al-Qur’an
Surat Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Tentang Pendidikan Akhlak Para Istri
Rasulullah SAW.: Studi Komparatif.” Tesis S2., Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2019.
Westi, Nelfi. “Munāsabah dalam Sūrah Al-Jumu’ah: Kajian Munāsabah
pada Tafsir Al-Asas Karya Sa’id Hawwa.” Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Anda mungkin juga menyukai