Robiatul Adawiyah Al-Qosh
Robiatul Adawiyah Al-Qosh
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Disusun Oleh:
Robiatul Adawiyah Al-Qosh
NIM. 11170340000016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Disusun Oleh:
Robiatul Adawiyah Al-Qosh
NIM. 11170340000016
Di Bawah Bimbingan:
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Pembimbing,
vii
viii
ABSTRAK
ix
x
KATA PENGANTAR
xi
xii
7. Saudari-saudari penulis Kak Kiki, Kak Ziza, dan Eva atas dukungan
yang terlihat maupun tidak terlihat. Juga keponakan penulis tercinta
Izul dan Oi yang menjadi hiburan tersendiri bagi penulis.
8. Farah, Jara, Irma, yang selalu jadi teman makan siang saat istirahat,
terima kasih untuk dukungan dan hiburannya.
9. Teman-teman penulis yang berada jauh di negeri orang, Mas Tio
Bubu, Kak Mphi, Bang Agus, Dek Bowo dan lainnya atas motivasi,
semangat, serta yang sering menemani dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Ba Arini, Riyadh, Kak Jihan, Kak Syarif, Bella, Vayumi, dan Elok
yang sudah membantu memverifikasi skripsi ini.
11. Ka Nani, Shivi, Piw, Bilqis, Ilafi, Alpi, dan lainnya atas informasi dan
bantuan yang sangat berharga bagi jalannya skripsi ini.
12. Teman-teman LDK Syahid FU, khususnya Ba Dewi, Neneng, Muti,
Wardah, Lubna, Teh Rini, Very, Haris, Uta, Ihsan, Muhdi, dan yang
lainnya, atas pengalaman organisasi yang luar biasa.
13. Teman-teman IAT A, kelas pertama dan teman-teman pertama di
UIN, serta teman-teman seperjuangan Prodi IAT khususnya angkatan
2017, yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu.
14. Teman-teman KKN 128 “Amorfati” yang berjuang bersama dalam
pengabdian di masa pandemi covid-19.
Dan terakhir, penulis ucapkan terima kasih untuk orang tua tercinta
Umi dan Abi atas segalanya yang telah diberikan untuk penulis, dari yang
yang tak tahu baca tulis hingga dapat menyusun skripsi yang semoga dapat
menjadi karya tulis yang layak dan bermanfaat bagi para pembaca. Āmīn…
xiii
xiv
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau
monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal
tunggal sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ
ا Fatḥah a a
ِا Kasrah i i
ُ Ḍammah u u
ا
Adapun vokal rangkap sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷي ai a dan i
ﹷو au a dan u
Dalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mād)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﯨﺎ ā a dengan garis di atas
xv
3. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf:
syamsiyah dan qamariyah.
ِ
Al-Qamariyah ُاﳌُﻨ ْﲑ Al-Munīr
Al-Syamsiyah ﺎل ِّ
ُ اﻟﺮ َﺟ Al-Rijāl
4. Syaddah (Tasydid)
Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
5. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi
adalah (t), sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah (h), jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang (al), bacaan kedua kata
itu terpisah, maka ta marbūtah ditransliterasikan dengan ha (h) contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1
ُاﻟﻄﱠ ِﺮﻳْـ َﻘﺔ Ṭarīqah
xvi
2
ُاﻹ ْﺳ َﻼ ِﻣﻴﱠﺔ ِْ ُا ْﳉَ ِﺎﻣ َﻌﺔ Al-Jāmi’ah al-Islāmiah
6. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika Nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hamīd, al-Gazālī, al-Kindī.
Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-
palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak
Nur al-Din al-Raniri.
7. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia,
tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata al-Qur’an
(dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum, namun bila mereka harus
ditransliterasi secara utuh.
Contoh: Fī Żilāl al-Qur’ān, Al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafżi lā bi khusūs al-
sabab.
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................ix
KATA PENGANTAR ................................................................................xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................... xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 8
E. Metode Penelitian ........................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II DISKURSUS MUNĀSABAH DALAM AL-QUR’AN ................. 13
A. Pengertian Munāsabah ................................................................... 13
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Munāsabah ....................................... 15
C. Macam-macam Munāsabah dalam Al-Qur’an ............................... 16
D. Faedah Munāsabah Al-Qur’an ....................................................... 23
E. Pandangan Ulama terhadap Kajian Munāsabah Al-Qur’an ........... 25
BAB III KISAH-KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW. DALAM
AL-QUR’AN ............................................................................................. 27
A. Kisah Al-Qur’an ............................................................................. 27
B. Istri-istri Rasulullah SAW. ............................................................. 30
C. Ayat-ayat Kisah tentang Istri-istri Rasulullah SAW. ..................... 37
BAB IV TAFSIR QS. AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN
MUNĀSABAH............................................................................................ 43
A. Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ................................................................. 43
B. Asbāb al-Nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ........................................ 44
xvii
xviii
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang selalu
dijadikan pedoman bagi umat Islam. Kitab suci ini masih mempertahankan
keorisinalitasannya dari awal ia diturunkan kepada Nabi Muḥammad SAW.
hingga saat ini. Di mana hal itu terbilang menakjubkan mengingat usia kitab
suci tersebut sudah mencapai kurang lebih empat belas abad, dan tidak ada
satu huruf pun yang berubah. Fenomena ini boleh jadi dikarenakan jaminan
yang Allah SWT. berikan atas pemeliharaan kitab suci ini, seperti firman-
Nya dalam Qs. al-Hijr/ 15: 9.
1
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 159.
1
2
اﺣﺎ َْ َ َ ْ َ َ َ ﻚ اِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ
ِ َﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊ ٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎوِزﻳـﻨَـﺘَـﻬﺎ ﻓَـﺘَـﻌﺎﻟ
ً ﲔ اَُﻣﺘّ ْﻌ ُﻜ ﱠﻦ َواُ َﺳِّﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ َﺳَﺮ
ِ ِ ِٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎاﻟﻨ
َ ﱠﱯ ﻗُ ْﻞ ّﻻَْزَواﺟ
َ ﱡ
َِ
٢٨ﲨ ْﻴ ًﻼ
Artinya:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu
menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah
agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik’.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28)
Ayat ini berisi pilihan terhadap dunia, yang mana jika istri Nabi
memilihnya, maka ia akan diberikan mut’ah oleh Rasulullah SAW., namun
juga akan diceraikan oleh Nabi.
ِﻋ
٢٩ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ ِ اﻻ ِﺧﺮةَ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ
ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا ٰ ﱠار
ﺪ اﻟ
و ࣳ واِن ﻛﻨﱳ ﺗ ِﺮدن ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟ
ﻪ
َ ْ ُ َ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ ُ ﱠ
ْ
Artinya:
2
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 387-388.
3
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 5692.
3
ِ ﱳ ﻓَ َﻼ َﲣْﻀﻌﻦ ِﺎﺑﻟْ َﻘﻮِل ﻓَـﻴﻄْﻤﻊ اﻟﱠ ِ ِﱳ َﻛﺎَﺣ ٍﺪ ِﻣﻦ اﻟﻨِّﺴ ۤﺎ ِءا ۤ ِ
ٌ ﰲ ﻗَـ ْﻠﺒِﻪࢭ َﻣَﺮ
ض ِ يﺬ
ْ ْ ََ َ ْ َْ َ ﱠ ﻴ
ُْ ﻘ
َ ﱠ
ـﺗ ا ن ﺴ
َ َ ّ َ ۚ ُ ْ ّ َ ﻳٰﻨ َﺴ
ﱠ ﻟ
َ ﱠﱯ
ِ ِﻨ اﻟ ء ﺎ
٣٢ﻦ ﻗَـ ْﻮًﻻ ﱠﻣ ْﻌﺮْوﻓًﺎ
َ ﱠوﻗُـ ْﻠ
ُ
Artinya:
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
(melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik.”(Qs. al-Aḥzāb/33: 32)
4
َاﻪﻠﻟ
ِ ِ ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ ْاﻻُْو ٰﱃ َواَﻗِ ْﻤ َﻦ اﻟ ﱠ
َ ْ ﺼ ٰﻠﻮةَ َواٰﺗ
ّٰ ﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ َواَﻃ ْﻌ َﻦ
ِ وﻗَـﺮ َن ِﰲ ﺑـﻴـﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ
َ ََ َْ َ َ ْ ُُ ْ ْ َ
ۚ ِ ِ ِ ِ ِ ِࣳ
٣٣ ﲑا ً ْ ﺲ اَ ْﻫ َﻞ اﻟْﺒَـْﻴﺖ َوﻳُﻄَ ّﻬَﺮُﻛ ْﻢ ﺗَﻄْﻬ ِّ ﺐ َﻋﻨْ ُﻜﻢ
َ اﻟﺮ ْﺟ ُ ّٰ َوَر ُﺳ ْﻮﻟَﻪ ۗاﱠﳕَﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ
َ اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ
Artinya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan
laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33)
Sedangkan pada ayat ke-33 ini berisi perintah dan larangan Allah
sebagai tuntunan terhadap tingkah laku umm al-mu‘minīn. Apa saja yang
harus mereka lakukan dan tidak boleh mereka lakukan selama menjadi istri
Rasulullah SAW. Ayat ini juga menyebutkan tujuan dari perintah dan
larangan Allah SWT. kepada mereka
4
Muḥammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,
jilid 14, terj. Muhyiddin Masridha, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 434.
5
5
Munāsabah yang dibuat-buat maksudnya adalah memaksakan hubungan pada ayat
yang letaknya jauh serta tidak dalam satu pembahasan seperti berusaha menemukan
keterkaitan antara Qs. Fāṭir/ 35: 15 dan Qs. al-Ḥujurāt/ 49: 13, yang kedua ayat tersebut
berjauhan dan tidak memiliki pembahasan yang sama.
6
Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, 119-120.
6
berdasarkan kajian munāsabah ini masih tergolong sedikit. Hal ini bisa jadi
dikarenakan pro dan kontra yang ada terkait ilmu munāsabah, ataupun
karena halusnya ilmu ini membuat peminatnya lebih sedikit dibandingkan
metode penafsiran lainnya. Terlebih kajian munāsabah melalui kisah al-
Qur’an yang jarang ditemui dalam literatur skripsi. Padahal munāsabah
dapat melengkapi kisah dalam al-Qur’an, dari segi makna dan maksud.
Dari pemaparan-pemaparan diatas, penulis rasa penafsiran dengan
kajian munāsabah dirasa cocok untuk Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34, mengingat
ayat-ayat tersebut berada dalam satu tema dan pembahasan yang
mengisahkan istri-istri Nabi SAW. Maka dari, penulis lalu mengangkat
“Kisah Istri-istri Rasulullah SAW. pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam
Kajian Munāsabah” sebagai judul dari skripsi ini.
7
Endad Musaddad, “Munāsabah dalam Tafsir Mafātih Al-Ghaib” (Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
8
Nelfi Westi, “Munāsabah dalam Sūrah Al-Jumu’ah: Kajian Munāsabah pada
Tafsir Al-Asas Karya Sa’id Hawwa” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017).
9
Hasiolan, “Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Ḥusna sebagai Penutup
Ayat dalam Surah An-Nisā’ menurut Al-Marāghi” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020).
10
M. Sarifudin, “Kajian Teori Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an: Tela’ah
atas Surah Al-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Salatiga, 2017).
11
Noval Aldiana Putra, “Kisah Aşhāb Al-Sabt dalam Al-Qur’an: Analisis Semiotika
Roland Barthes” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
9
Nida 12, mengenai penafsiran ayat kisah tentang Ya’juj dan Ma’juj, siapa
mereka, dan tanda kiamat dengan mengkomparasikan penafsiran Quraish
Shihab, al-Marāghi, dan Buya Hamka; dan skripsi yang juga menggunakan
perspektif semiotika Roland Barthes sebagai metode interpretasi dari kisah
Nabi Sulaimān karya Siti Sobariah 13. Terdapat pula skripsi dalam bidang
tafsir ayat-ayat kisah dari universitas lainnya, seperti; skripsi karya Laila
Kurniasari 14, mengenai kisah Aṣhāb al-Qaryah dalam Qs. Yasīn dengan
mengkomparasikan Penafsiran dari Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab.
Adapun karya tulis yang mengangkat tema munāsabah dan kisah al-
Qur’an secara bersamaan dapat ditemukan pada skripsi karya Siti
Fatimah 15, yang membahas tentang kisah hal gaib di kehidupan masa depan
khususnya pada hari kebangkitan dalam Qs. al-Nabā’ yang kemudian dikaji
dalam bentuk munāsabah.
Sedangkan dalam pembahasan istri-istri Rasulullah SAW dan Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34, penulis tidak dapat menemukan banyak literatur yang
berkaitan, namun penulis menemukan; tesis karya Syaifudin 16 yang
membicarakan tentang pendidikan akhlak yang termuat dalam Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 untuk para istri Nabi SAW., ia menggunakan analisis
komparatif dari perspektif Ibn Kāṣīr dan Hamka dalam kitab tafsirnya; serta
12
Fildzah Nida, “Kisah Žulqarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-
Qur’an: Menurut Quraish Shihab, al-Maragi, dan Buya Hamka” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
13
Siti Sobariah, “Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Perspektif Semiotika
Roland Barthes” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020).
14
Laila Kurniasari, “Kisah Ashab Al-Qaryah dalam QS. Yasin [36]: 13-29: Studi
Komparasi Penafsiran Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab” (Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
15
Siti Fatimah, “Kronologis Kejadian Hari Kebangkitan dalam Surat An-Naba:
Kajian Munasabah Al-Qur’an” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2019).
16
Syaifudin, “Perspektif Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir Hamka dalam Al-Qur’an Surat
Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Tentang Pendidikan Akhlak Para Istri Rasulullah SAW.: Studi
Komparatif” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten,
2019).
10
jurnal karya Abdul Saipon, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri 17 yang
membahas tentang nilai-nilai pendidikan Islam bagi wanita yang terdapat
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-35 dan 59 disertai pengaplikasiannya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini menitikberatkan pada kepustakaan
(library research) dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Data
yang dikumpulkan berasal dari kitab, buku ilmiah, jurnal, artikel, dan
berbagai literatur lain yang berkaitan dengan tema penelitian.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua macam:
a. Pertama, data primer; yakni data yang menjadi sumber utama dalam
penulisan skripsi ini. Data primer yang dimaksud adalah Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34, yang menjadi bahasan pokok dalam penelitian.
b. Kedua, data sekunder; yaitu data yang menjadi sumber pelengkap
dalam penelitian ini, yakni; kitab, buku ilmiyah, jurnal, artikel, dan
berbagai bentuk literatur lain yang berkaitan. Seperti kitab tafsir
terdahulu, contohnya: Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Azhar karya Hamka, literatur munāsabah seperti jurnal
karya Ahmadiy berjudul Ilmu Munâsabâh Al-Qur’an (2018), dan
kitab/buku ‘ulūmul Qur’an yang membahas munāsabah dalam al-
Qur’an, seperti kitab Al-Itqān fī Ulūmil Qur’an bab Munāsabah al-
Qur’an karya Jalaluddin Al-Suyūṭī dan lain sebagainya.
17
Abdul Saipon, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri, “Nilai Pendidikan
Wanita dalam Surat Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Dan Ayat 59 serta Aplikasinya dalam
Pendidikan Islam”. Tawazun, vol.12, no.2 (Desember 2019).
11
18
Analisis interaktif dilakukan dalam proses siklus dengan mengkomparasikan
semua data yang diperoleh dengan data lain secara berkelanjutan. Penelitian bergerak pada
tiga komponen analisis, yaitu sajian data, reduksi data, dan verifikasi. Setiap kesimpulan
yang ditarik dalam proses analisis data selalu dimantapkan dengan pengumpulan data yang
berkelanjutan, sampai pada tahap akhir penelitian atau verifikasi. Lihat: Farida Nugrahani,
Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, (Surakarta, 2014), 174.
12
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibuat sebagai gambaran hal-hal pokok dalam
penulisan karya tulis agar lebih jelas dan terarah, sehingga pembaca dapat
lebih mudah untuk memahami dan mencerna maksud pembahasan skripsi
ini. Adapun sistematika penulisan skripsi akan disusun sebagai berikut:
BAB I; Merupakan pendahuluan yang berisikan uraian masalah
secara global. Pada bab ini kemudian diisi subbab-subbab terkait dengan;
latar belakang; identifikasi, batasan dan rumusan masalah; tujuan dan
manfaat penelitian; tinjauan kajian terdahulu; metode penelitian; dan
sistematika penulisan.
BAB II; Berisikan tentang diskursus munāsabah dalam al-Qur’an.
Bab ini dibagi menjadi subbab-subbab yang memuat; pengertian
munāsabah; sejarah perkembangan ilmu munāsabah; macam-macam
munāsabah dalam al-Qur’an; faedah munāsabah al-Qur’an; dan pandangan
ulama terhadap kajian munāsabah al-Qur’an.
BAB III; Pada bab ini dijelaskan mengenai kisah-kisah istri-istri
Rasulullah SAW. dalam al-Qur’an, yang akan dibagi menjadi beberapa
bagian. Adapun bagian tersebut dimuat dalam subbab-subbab terkait; kisah
al-Qur’an; istri-istri Rasulullah SAW.; serta ayat-ayat kisah tentang istri-
istri Rasulullah SAW.
BAB IV; Merupakan bagian inti yang menjelaskan tentang tafsir Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dalam kajian munāsabah antar ayatnya. Bab ini juga
akan dibagi per-subbab yang berisi; Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34; asbāb al-
nuzūl Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34; selayang pandang tafsir Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34; dan analisis munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
BAB V; Adalah penutup yang berisikan kesimpulan dalam penelitian
ini, juga saran untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
DISKURSUS MUNĀSABAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Munāsabah
1
Louis Ma’luf, Qamūs al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām (Beirut: Dār al-Syarqy,
1976), 803.
2
Masruchin, “Al-Razy dan Studi Munasabah dalam Tafsirnya”. Al-Dzikra vol.10,
no.2 (Juli-Desember 2016): 82-83.
3
Muḥammad Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 1 (Beirut: Dār Ṣādir, 1883), 755.
4
Dewi Murni, “Kaidah Munasabah”. Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur’ān dan
Keislaman, vol.7, no.2 (Oktober 2019): 91.
5
Jalaluddīn Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Resalah Publishers,
2008), 631.
13
14
6
Ari Hendri, “Problematika Teori Munasabah al-Quran”. Tafsere, vol.7, no.1
(Oktober 2019): 85.
7
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 119.
8
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an”. Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah Studi
Islam, vol.18, no.1 (Juli 2018): 79.
9
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 79.
15
kata Ta’alluq (keterkaitan), untuk munāsabah pada Qs. Hūd/ 11: 16-17;
kata Irtibaṭ (pertalian), menjadi kata ganti munāsabah dalam penafsiran
Sayyid Quṭb pada Qs. al-Baqarah/ 2: 188; Rasyid Riḍa memakai kata al-
Tiṣal dan al-Ta’lil (hubungan dan persesuaian), ini untuk menafsirkan Qs.
al-Nisā’/ 4: 30; dan kata al-Tartīb, digunakan al-Alusi untuk menafsirkan
keterkaitan antara Qs. Maryam dan Qs. Tāhā. 10 Meski begitu, mereka tetap
mengarah pada penjelasan keterkaitan, korelasi, dan hubungan antar ayat
dalam al-Qur’an, yang masyhur dengan nama ilmu munāsabah.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Munāsabah
Munculnya ilmu munāsabah diawali dengan sebuah kesadaran bahwa
susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an tidak sejalan dengan fakta sejarah
dan kronologi pewahyuan. Dimana faktanya, ayat pertama yang diturunkan
adalah Qs. al-‘Alaq/ 96: 1-5, sedangkan Qs. al-Fātiḥah menempati urutan
pertama dalam pembukuan al-Qur’an. Hal ini juga terjadi pada Qs. al-
Baqarah yang merupakan urutan kedua dalam daftar isi al-Qur’an, padahal
surat kedua yang turun dalam sejarah pewahyuan adalah Qs. al-
Muddaṡṡir. 11 Hal ini disadari oleh Al-Imām Abū Bakr al-Naisabūrī (w. 309
H.), orang pertama yang memperkenalkan munāsabah dalam al-Qur’an, ia
berangkat dari keyakinan bahwa susunan ayat dan surat dalam mushaf
‘Uṡmani bersifat tauqīfī dan tanpa adanya unsur ijtihad di dalamnya. 12
Kajian tentang munāsabah al-Qur’an kemudian dilanjutkan oleh para
ulama sesudahnya. Salah satunya adalah Abū Ja’far bin Zubair, guru Abū
Hayyan, ia menyusun kajian munāsabah dalam sebuah kitab tersendiri yang
diberi judul Al-Burhan fī Munāsabati Tartībi Suwar al-Qur’an. Ada pula
10
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 79-80.
11
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran: Dalam Tafsir Al-Misbah
(Jakarta: Amzah, 2015), 33.
12
John Supriyanto, “Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif antar Surat Bacaan
Shalal-shalat Nabi”. Intizar, vol.19, no.1 (Maret 2013): 51.
16
13
Ah.Fauzul Adlim, “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an”. Al
Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, vol.1, no.1 (Juni 2018): 18.
14
Hendri, “Problematika Teori Munasabah Al-Quran,” 88.
15
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 631.
17
benar pada waktu haji umat Islam dilarang berperang, namun jika dalam
masa haji ia diserang terlebih dahulu maka ia boleh menyerang sebagai
pertahanan diri selama tidak melewati batas. 16
2. Munāsabah dari Segi Sebabnya
Dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, al-Suyūṭī menyebutkan bahwa
ada tiga sebab ditemukannya munāsabah dalam al-Qur’an. Tiga sebab
munāsabah tersebut adalah al-tanẓīr, al-muḍāddah dan al-istiṭrād. Pada
bagian al-istiṭrād, al-Suyūṭī kemudian menambahkan satu sebab lagi yaitu
husnu al-takhalluṣ atau hanya disebut dengan al-takhalluṣ, yang mana itu
17
menambah jumlah sebab munāsabah tersebut menjadi empat. Berikut
adalah empat sebab dalam kajian munāsabah al-Qur’an dan penjelasannya:
a. Al-Tanẓīr
Yang pertama adalah al-tanẓīr artinya pemadanan atau perbandingan.
Yaitu menyepadankan dan membandingkan satu ayat dengan ayat lain yang
sepadan/sebanding, sehingga ditemukan hubungan dari keduanya. Contoh
munāsabah ini adalah dalam Qs. al-Anfāl/ 8: 1-4 yang memiliki
pembahasan semakna, dengan Qs. al-Anfāl/ 8: 5.
ِ ۚ ِ ِ ۗ
َّٰ ات ﺑـَْﻴﻨِ ُﻜ ْﻢ ۖ َواَ ِﻃﻴْـﻌُﻮا
اﻪﻠﻟ ذ ا
ﻮ ﺤﻠ ﺻ ا
و ٰ ا
ﻮ ﻘـﺗ ﺎﻓ ِ
ل ﻮ ﺳﺮ اﻟ
و ٰ
َ َ ْ ُ ْ ََ َّ ُ َ ْ ُ ﻚ َﻋ ِﻦ ْاﻻَﻧْـ َﻔ ُ َْ َ ّ َ ﱠ
اﻪﻠﻟ ﱠ ﻪﻠﻟ ﺎل
ُ ﻔ ـﻧ اﻻ
ْ ِ
ﻞ ﻗ ﺎلِ َ َﻳَ ْﺴٔـَﻠُ ْﻮﻧ
ِِ ِࣳ
١ﲔ َ ْ َوَر ُﺳ ْﻮﻟَٓﻪ ا ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ ﱡﻣ ْﺆﻣﻨ
Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu (Muḥammad) tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik
Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-
orang yang beriman.”( Qs. al-Anfāl/ 8: 1)
ِِ ِ ِ ۖ ۢ
٥ﻟَ ٰﻜ ِﺮُﻫ ْﻮ َن ﲔ َ ِﻚ ِﻣ ْﻦ ﺑـَْﻴﺘ
َ ْ ﻚ ِﺎﺑ ْﳊَ ِّﻖ َوا ﱠن ﻓَ ِﺮﻳْـ ًﻘ ّﺎﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ َ ﻚ َرﺑﱡ
َ َﻛ َﻤﺎٓاَ ْﺧَﺮ َﺟ
Artinya:
16
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 294.
17
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 632.
19
18
M. Sarifudin, “Kajian Teori Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an: Tela’ah
atas Surah Al-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Salatiga, 2017), 24.
19
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 632.
20
c. Al-Istiṭrād.
Sebab munāsabah ketiga adalah al-istiṭrād, yaitu penyebutan secara
beruntun. Munāsabah yang bercirikan al-istiṭrād terlihat dalam penjelasan
tambahan dari sebuah ayat. Contohnya Qs. al-A’rāf/ 7: 26.
ﻚ ِﻣ ْﻦِﻳٰـﺒ ِٓﲏ اٰدم ﻗَ ْﺪ اَﻧْـﺰﻟْﻨﺎ ﻋﻠَﻴ ُﻜﻢ ﻟِﺒﺎﺳﺎ ﻳـﱡﻮا ِري ﺳﻮ ٰءﺗِ ُﻜﻢ وِرﻳﺸ ۗﺎ وﻟِﺒﺎس اﻟﺘﱠـ ْﻘ ٰﻮى ٰذﻟِﻚ ﺧ ۗﲑ ٰذﻟ
َ ٌْ َ َ ُ َ َ ً ْ َ ْ َْ ْ َ ً َ ْ ْ َ ََ ََ ْ َ
ﺖ ِّٰ ﱠ ﱠ ِ ٰاٰﻳ
ُ اﻪﻠﻟ ﻟَ َﻌﻠ ُﻬ ْﻢ ﻳَﺬ ﱠ
٢٦ ﻛﺮْو َن
Artinya:
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi
pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-
tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (Qs. al-
A’rāf/ 7: 26)
Menurut Al-Zamakhsyarī, ayat ini turun setelah adanya pembahasan
tentang aurat Adam-Hawa yang terbuka dan kemudian mereka menutupnya
dengan dedaunan. Keterkaitan dalam ayat ini bertujuan untuk menunjukkan
bahwa keberadaan pakaian adalah karunia dari Allah SWT., dan
ketelanjangan dan aurat yang terbuka merupakan suatu perbuatan yang
hina, serta menutupnya merupakan sebagian besar dari takwa. 20
d. Al-Takhalluṣ
Munāsabah al-takhalluṣ bermakna estetika dalam menghindarkan
diri. Maksudnya adalah saat seseorang berpindah dari awal percakapan ke
percakapan lainnya yang merupakan pokok pembahasan secara mudah
dengan makna yang halus hingga pendengar tidak merasakan perubahan
arah percakapan dari maksud yang pertama ke yang kedua, karena eratnya
kaitan antara keduanya. Misalnya pada Qs. al-Syu’arā’/ 26: 87 dan 88-89.
ِ ۙ
٨٩ ۗ ﺳﻠِْﻴ ٍﻢ ٍ اﻪﻠﻟَ ﺑَِﻘ ْﻠ
ّٰ اﱠﻻ َﻣ ْﻦ اَﺗَﻰ٨٨ ۙ ﺎل ﱠوَﻻ ﺑـَﻨُـ ْﻮ َن ِ
َ ﺐ ْ َوَﻻ ُﲣِْﺰ
ٌ ﻳـَ ْﻮَم َﻻ ﻳـَْﻨـ َﻔ ُﻊ َﻣ٨٧ ﱐ ﻳـَ ْﻮَم ﻳـُْﺒـ َﻌﺜـُ ْﻮ َن
Artinya:
“(87) Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka
dibangkitkan, (88) (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak
20
Najibah Nida Nurjanah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran al-Qur’an”.
Jurnal al-Fath, vol.14, no.1 (Januari-Juni 2020): 122.
21
Qur’an. Atau dengan kata lain; sebanyak apapun pelajaran dari al-
Qur’an yang diambil oleh manusia, pada hakikatnya mereka hanya
mempelajari sebagian kecil jika bahkan sangat kecil dibandingkan
dengan kandungannya.” 23
d. Hubungan Surat dengan Surat Berikutnya
Surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’an juga memiliki
munāsabah satu sama lain, antara surat sebelumnya dengan surat
sesudahnya. Karena surat sesudahnya, kebanyakan juga memaparkan hal
yang telah disebutkan – meski sedikit – di surat sebelumnya. Misalnya
adalah Qs. al-Baqarah yang memberikan penjelasan bagi Qs. al-Fātiḥah.
Lalu QS. Āli Imrān yang merupakan surat setelah Qs. al-Baqarah juga
memberi penjelasan yang lebih rinci bagi kandungan surat tersebut. 24
e. Hubungan Awal Surat dengan Akhir Surat
Munāsabah yang menghubungkan antara awal dan akhir surat ini
berarti dapat dikatakan bahwa ayat permulaan/pembuka suatu surat
berhubungan dengan ayat penutupnya atau apa yang disebutkan dalam akhir
surat tersebut. Contohnya adalah Qs. al-Baqarah diawali dengan membahas
kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk (al-Hudā) bagi orang-orang yang
beriman terhadapnya, juga kepada kitab-kitab suci sebelum al-Qur’an.
Kemudian di bagian akhir surat ini, menyebutkan tentang keimanan
Rasulullah SAW. beserta kaum mukminīn terhadap al-Qur’an juga kitab-
kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi terdahulu. 25
f. Hubungan Nama Surat dengan Tema Utamanya
Nama surat juga memiliki hubungan yang erat dengan kandungan dan
tema dari surat tersebut. Karena judul tidak lepas dari topik tulisannya.
23
Dahliati Simanjuntak, “Munāsabāt Al-Qur’an Menurut Al-Biqā’i”. Jurnal El-
Qanuny, vol.4, no.1 (Desember 2018): 242-243.
24
Murni, “Kaidah Munasabah,” 96-97.
25
M. S. Yusuf, “Penggunaan Ilmu Munāsabah dalam Istinbāth Hukum”. Tajdid,
vol.26, no.2 (September 2019): 125.
23
Contoh munāsabah ini di dalam al-Qur’an dapat dilihat pada Qs. al-Lahab,
yang berisikan tentang ancaman Allah kepada Abu Lahab dan istrinya.
g. Hubungan Akhir Surat dengan Awal Surat Berikutnya
Bentuk munāsabah ini dimaksudkan pada hubungan antara bagian
penutup sebuah surat dengan bagian pembuka surat sesudahnya. Misalnya
seperti hubungan antara Qs. al-Kāfirūn dengan permulaan Qs. al-Naṣr.
Kedua memiliki keterkaitan makna berdekatan, sebagaimana dikatakan
oleh al-Rāzī: “Tatkala Nabi SAW. berlepas diri dari kekufuran dan bersikap
kasar terhadap orang kafir dalam firman Yā ayyuhā al-Kāfirūn, seakan-akan
Nabi takut kepada sebagian orang, lalu beliau mengurangi kekasaran itu
sebagaimana dalam firman lakum dīnukum wa liyadīn, maka selanjutnya
seolah Allah mengatakan: ‘Wahai Muḥammad , janganlah kau takut, Aku
sungguh tidak menghilangkan pertolongan untukmu, tetapi Aku akan
memberikan pertolongan itu kepadamu dengan Iżā Jā’a naṣrullah.” 26
26
Yusuf, “Penggunaan Ilmu Munāsabah dalam Istinbāth Hukum,” 126-127.
27
Murni, “Kaidah Munasabah,” 99.
24
indah dan tertata, yang mana jika dipotong maka keindahan, kehalusan, dan
keserasian dari ayat tersebut akan hilang. Untuk ini imam al-Rāzī berkata,
“Kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunannya,
dan susunan kalimat yang paling indah adalah yang saling berhubungan
antara satu dengan lainnya.” Kedua, munāsabah memberikan kemudahan
untuk dapat mengerti makna dari ayat atau surat, karena penafsiran al-
Qur’an beserta macamnya (bi al-ma’ṡur dan bi al-ra’yi) membutuhkan
pemahaman lebih pada hubungan dan keterkaitan antar ayatnya agar
penafsiran menjadi utuh. Akan sangat fatal akibatnya bila menafsirkan ayat
sepotong-potong karena dapat menghilangkan kesempurnaan makna. 28
Dari hal-hal tersebut, sangat jelas bahwa pengetahuan tentang ilmu
munāsabah dalam penafsiran al-Qur’an dapat mempermudah seseorang
dalam memahami makna ayat atau surat al-Qur’an dengan utuh. Sedangkan,
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dipenggal tanpa mengikutsertakan
munāsabah akan menghilangkan keutuhan dan kesempurnaan makna ayat,
bahkan bisa mengakibatkan penyimpangan dan kekeliruan pada penafsiran.
Namun tidak berarti semua ayat harus ditafsirkan melalui munāsabah,
karena tidak semua ayat memilikinya. Syekh Izzuddin bin Abdu al-Salām
berkata; bahwa munāsabah merupakan ilmu yang baik. Dengan catatan jika
hubungan antar ayat tersebut terletak pada satu hal yang senada atau yang
bersambungan dari awal hingga akhir. Tapi, jika terletak pada sebab yang
berbeda-beda, hubungan itu nihil. Dan jika tetap berusaha mengaitkannya,
sama saja dengan membuat-buat sesuatu yang tidak ada. Karena al-Qur’an
turun selama lebih dari dua puluh tahun, ia memuat hukum-hukum yang
berbeda, dan syariat yang sebab-sebabnya berbeda pula. Kenyatan ini
membuat adanya hubungan semua ayat dalam al-Qur’an sedikit mustahil. 29
28
Ahmadiy, “Ilmu Munasabah al-Qur’an,” 89.
29
Al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 2, terj, 624.
25
33
Affani, “Diskursus Munāsabah,” 411.
34
Adlim, “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an,” 17-18.
BAB III
KISAH-KISAH ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW.
DALAM AL-QUR’AN
A. Kisah Al-Qur’an
Dalam ‘ulūm al-Qur’ān, kisah-kisah dalam kitab suci agama Islam ini
dinamai dengan ( ﻗﺼﺺ اﻟﻘﺮآنqaṣaṣ al-Qur’ān, kisah-kisah dalam al-Qur’an)
yang terambil dari bentuk mufrad-nya ( ﻗﺼﺔkisah), seakar dengan kata ﻗﺺ
ّ
yang memiliki arti menelusuri. Banyak pula ulama mengartikan kisah
sebagai penelusuran kejadian/peristiwa dengan yang disampaikan dan
diceritakan secara bertahap menurut kronologi kejadiannya. Cara
penyampaian tersebut dapat dilakukan dengan menerangkannya dari awal
hingga akhir, atau mengelompokkannya ke dalam bentuk beberapa
bagian/episode-episode tertentu. 1 52F
1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 319.
2
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), 387.
27
28
3
Shihab, Kaidah Tafsir, 320.
4
Salahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara,
2002), 161-164.
29
5
Hamid, Study Ulumul Quran, 166.
30
٦...ۗ اﺟ ࣳٓﻪ اُﱠﻣ ٰﻬﺘُـ ُﻬ ْﻢ ِ ِ ِاَﻟﻨِﱠﱯ اَو ٰﱃ ِﺎﺑﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨ
ُ ﲔ ﻣ ْﻦ اَﻧْـ ُﻔﺴ ِﻬ ْﻢ َواَْزَو
َْ ُ ْ ﱡ
6
Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, 389-390.
7
Fildzah Nida, “Kisah Zulqarnain dan Ya’juj Wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-
Qur’ān: Menurut Quraish Shihab, al-Maragi, dan Buya Hamka” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 24-25.
31
Artinya:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka...” (Qs. al-
Aḥzāb/ 33:6)
Kedua belas perempuan hebat tersebut memiliki posisi yang sangat
fundamental sebagai salah satu pembimbing agama di generasi sahabat dan
tabi’īn, khususnya di kalangan wanita muslim. Ummahāt al-mu‘minīn
adalah rujukan utama bagi umat setelah wafatnya Nabi SAW. dalam
menanyakan persoalan-persoalan tertentu, terlebih masalah yang mengenai
perempuan dan keluarga. Sehingga eksistensi mereka menempati status
terpenting, baik selaku basis edukasi agama ataupun sebagai tokoh ideal
dalam keimanan terlebih bagi kaum muslimah. 8
1. Khadījah binti Khuwailīd
Khadījah binti Khuwailīd (555-623 M) adalah anak perempuan
Khuwailīd bin Asad bin Abdul Uzza bin Quṣay bin Kilab al-Qursyiyah al-
Asadiyah. Ia disebut al-Ṭāhirah yang memiliki arti suci atau bersih.
Khadījah dilahirkan kurang lebih lima belas tahun sebelum tahun gajah, 9
yang mana merupakan tahun kelahiran Nabi Muḥammad SAW. Khadījah
dikategorikan sebagai al-Sābiqūn al-Awwalūn (orang-orang pertama yang
memeluk Islam), juga perempuan pertama yang menjadi umm al-mu‘minīn.
Sebelumnya, Khadījah dinikahi oleh ‘Atiq bin ‘Ā‘idz. Namun,
suaminya wafat dengan mewariskan harta yang berlimpah. Kemudian
Khadījah menikah lagi dengan Hindun bin Banas, seorang pedagang dari
Bani Tamim, yang kemudian juga wafat. 10 Ada pula pendapat bahwa
Khadījah menikah dengan Abū Halah bin Zurarah al-Tamimī untuk kali
8
A. Rosmiaty Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Sibuku, 2016), 72.
9
Muhandis Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier”.
Muwāzāh, vol.1, no.2 (Mei 2009): 96.
10
Iqbal, “Peranan Khadijah terhadap Penyebaran Agama Islam di Mekah”. Jurnal
Rihlah, vol.5, no.1 (Juni 2017): 66.
32
pertama, dan setelah Abū Halah meninggal, Khadījah lalu menikah dengan
‘Atiq bin ‘Ā‘idz bin Abdullah al-Mahzumi dalam beberapa periode namun
akhirnya bercerai. 11 Akhirnya Khadījah menikah dengan Nabi di usia yang
keempat puluh tahun, sedangkan Rasulullah SAW. berumur dua puluh lima
tahun. Keduanya lalu dikaruniai dua orang putra (Qāsim dan ‘Abdullah) dan
empat orang putri (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kulṡūm dan Fāṭimah).
Setelah kurang lebih dua puluh empat tahun lamanya Khadījah hidup
bersama Rasulullah SAW., ia kemudian sakit keras. Hingga akhirnya pada
tahun ke-10 H, Khadijah meninggal dalam usia enam puluh empat tahun
dan enam bulan. 12 Dan tahun itu dinamakan ‘ām al-huzni (tahun kesedihan),
karena paman Rasulullah (Abū Ṭalib) sekaligus istrinya meninggal dunia.
2. Saudah binti Zam‘ah
Saudah binti Zam‘ah merupakan istri kedua Rasulullah SAW. setelah
Khadījah wafat, saat itu usianya sudah mencapai lima puluh lima tahun. 13
Saudah adalah istri Nabi yang termasuk al-Sābiqūn al-Awwalūn dan juga
orang yang ikut membela agama Islam dengan berhijrah ke Ethiopia. Nabi
menikahinya untuk meringankan penderitaannya memberikan tempat yang
setara dengan umm al-mu‘minīn setelah suaminya – Sakran bin Amr – wafat
dan meninggalkannya sendirian di kota Makkah seorang diri karena
keluarganya yang masih kafir tidak mau menerima dirinya yang beragama
Islam. Selain itu, Nabi Muḥammad SAW. menikahi Saudah dengan tujuan
agar umat muslim menyadari bahwa anak-anak dan istri-istri mereka tidak
akan dibiarkan hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan jikalau mereka
gugur dalam berjuang untuk agama Allah. 14
11
Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier,” 96.
12
Azzuhri, “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan Karier,” 99.
13
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami Rasulullah Dan Pelaksanaan
Poligami Pada Zaman Kekinian Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (Studi Kec. Mare)”. Jurnal Al-Dustur, vol.1, no.1 (Desember 2018): 83.
14
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 76.
33
15
Aisyah Tidjani, “Aisyah Binti Abū Bakr R.A.: Wanita Istimewa yang Melampaui
Zamannya”. Dirosat: Journal of Islamic Studies, vol.1, no.1 (Oktober 2016): 29-30.
16
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 79-80.
34
17
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 85-86.
18
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 86.
19
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 81.
20
Satriana, “Studi Komparatif Pelaksanaan Poligami...,” 87.
35
dari Allah melalui wahyu al-Qur’an, selain itu ia juga umm al-mu‘minīn
yang paling pertama wafat setelah kematian Rasulullah SAW., tepatnya
pada masa kekhalifahan Umar bin Khaṭṭab pada tahun 20 H. Ia wafat pada
umur 65 tahun dan dimakamkan di Jannatul Baqi’. 21
8. Juwairiyah binti Al-Ḥariṡ
Juwairiyah binti Ḥariṡ adalah janda dari Masafeah Ibn Safuan. Ia
merupakan anak perempuan dari al-Ḥariṡ bin Żirar, pemuka dari Bani
Muṣṭaliq yang berhasil ditaklukan setelah sebelumnya sempat berusaha
menewaskan Rasulullah SAW. Juwairiyah lalu dijadikan tawanan perang
oleh Ṡabit bin Qais bin Syammas, sebelum akhirnya ditebus dan dinikahi
oleh Rasulullah SAW. untuk mengambil hati Bani Muṣṭaliq terhadap Islam,
dan mengangkat derajat mereka. Setelah itu sahabat-sahabat yang memiliki
tawanan juga mengikuti Nabi untuk melepaskan mereka dan mengajak
mereka untuk masuk Islam. Juwairiyah menjadi umm al-mu‘minīn yang
membawa berkah bagi kaumnya, karena dengan pernikahannya, ratusan
keluarga dari kaumnya yang tadinya budak menjadi orang yang merdeka. 22
9. Ṣafiyah binti Ḥuyay
Ṣhafiyah merupakan umm al-mu‘minīn yang memiliki latar belakang
Yahudi. Karena telah mengingkari kesepakatan yang sudah disetujui
bersama kaum Muslimin sukunya diserang, dan Ṣhafiyah adalah salah satu
dari tawanan perang saat itu. Lalu Nabi berjanji menikahinya jika ia masuk
Islam maka ia akhirnya masuk Islam. Perkawinan Rasulullah SAW. dengan
seorang wanita Yahudi ini merupakan suatu langkah untuk menandakan
kesetaraan antara orang Arab dengan orang non Arab (‘ajamī). 23
21
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 82.
22
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 82-83.
23
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 83-84.
36
24
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 84-85.
25
Abdullah Hajjaj, Maria Al-Qibthiyah: The “Forgotten” Love of The Prophet,
(Jakarta: Mizan Pustaka, 2007), 39-40.
37
26
Azis, Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan Islam, 85-86.
38
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 256.
41
29
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 278.
42
30
Ismail Ibn Kaṡīr, Tafsīr Ibn Katsir, jilid 8, terj. M. Abdul Ghoffar E.M dan Abū
Ihsan al-Atsari (Jakarta: Pustaka Imam Al-Syafi’i, 2004), 226-227.
BAB IV
TAFSIR QS. AL-AḤZĀB/ 33: 28-34 DALAM KAJIAN
MUNĀSABAH
ﲔ اَُﻣﺘِّ ْﻌ ُﻜ ﱠﻦ َواُ َﺳِّﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠﻦ َ ْ َﱳ ﺗُِﺮْد َن ا ْﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ ﻓَـﺘَـ َﻌﺎﻟ ﻚ اِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ ِ ِ
َ ﱠﱯ ﻗُ ْﻞ ّﻻَْزَواﺟٰٓ�َﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨِ ﱡ
ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ِ اﻻ ِﺧﺮةَ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ ࣳ واِن ﻛﻨﱳ ﺗ ِﺮدن ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟ٢٨ ﲨﻴﻼ
ْ ُ َ َّ َ ٰ ْ ﱠار
َ ﺪ اﻟ
و َ ﻪ َ ْ ُ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ ُ ﱠ ً ْ َِ اﺣﺎً َﺳَﺮ
ِۗ ْ اب ِﺿ ْﻌ َﻔ ٍ ٍ ِ ِ ِ ۤ
ﲔ َوَﻛﺎ َن ُ ﻒ َﳍَﺎ اﻟْ َﻌ َﺬ ْ ٰﻌ َ ﱠﱯ َﻣ ْﻦ ﱠ�ْت ﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ﺑَِﻔﺎﺣ َﺸﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَﺔ ﻳﱡﻀ ِّ ِ ﻳٰﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ٢٩ اَ ْﺟًﺮا َﻋ ِﻈْﻴ ًﻤﺎ
ِۙ ْ َﺎﳊًﺎ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ
ِ ﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟِﻪࢭ وﺗَـﻌﻤﻞ ﺻ
َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ّٰ ﺖ ﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ
ِ ِ ِ ُ ۞ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨ٣٠ اﻪﻠﻟ ﻳ ِﺴﲑا۔ ِ ِ
َ ٰذﻟ
ﲔ َ ْ ْ ََ ً ْ َ ّٰ ﻚ َﻋﻠَﻰ
ۤ ۤ
ﻀ ْﻌ َﻦ ِﺎﺑﻟْ َﻘ ْﻮِل َ ْﱳ ﻓَ َﻼ َﲣ ﱳ َﻛﺎَ َﺣ ٍﺪ ِّﻣ َﻦ اﻟﻨِّ َﺴﺎ ِء اِ ِن اﺗﱠـ َﻘْﻴ ُ ﱠ ِّ ِ ﻳٰﻨِ َﺴﺎءَ اﻟﻨ٣١ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ ِرْزﻗًﺎ َﻛ ِﺮْﳝًﺎ
ﱠﱯ ﻟَ ْﺴ ُ ﱠ
ِ وﻗَـﺮ َن ِﰲ ﺑـﻴـﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ٣٢ ﻓَـﻴﻄْﻤﻊ اﻟﱠ ِﺬي ِﰲ ﻗَـﻠْﺒِﻪࢭ ﻣﺮض ﱠوﻗُـﻠْﻦ ﻗَـﻮًﻻ ﱠﻣﻌﺮوﻓً ۚﺎ
ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُُ ْ ْ َ ُْْ ْ َ ٌ ََ ْ ْ ََ َ
ࣳ
ِ ِ ٰ ﺼ ٰﻠﻮةَ واٰﺗِﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ واَ ِﻃﻌﻦ ٰاﻪﻠﻟ ورﺳﻮﻟَﻪ ۗاِﱠﳕَﺎ ﻳ ِﺮﻳ ُﺪ ِ
ﺲ اَ ْﻫ َﻞ َ اﻟﺮ ْﺟ
ِّ ﺐ َﻋْﻨ ُﻜﻢ
ُ َ اﻪﻠﻟُ ﻟﻴُ ْﺬﻫ ّ ُْ ْ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ ْاﻻُْو ٰﱃ َواَﻗ ْﻤ َﻦ اﻟ ﱠ
ِ ِۗ ﺖ ٰاﻪﻠﻟِ وا ْﳊِﻜ ِ ِ ِ ِ واذْ ُﻛﺮ َن ﻣﺎ ﻳـْﺘـ ٰﻠﻰ٣٣ ﺖ وﻳﻄَ ِﻬﺮُﻛﻢ ﺗَﻄْ ِﻬﲑۚا ِ
اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن ّٰ ْﻤﺔ ا ﱠن َ َ ّ ٰﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗ ُﻜ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اٰﻳ ْ ُ َ ْ َ ً ْ ْ َ ّ ُ َ اﻟْﺒَـْﻴ
٣٤ ࣖ ﲑا ِ ِ
ً ْ ﻟَﻄﻴْـ ًﻔﺎ َﺧﺒ
Artinya:
“(28) Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu
menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah
agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik.’ (29) Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya
dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala
yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu. (30) Wahai
istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua
kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. (31)
Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami
berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
yang mulia baginya. (32) Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (33) Dan hendaklah kamu tetap di
43
44
1
Jalaluddin al-Suyūṭī, Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl (Beirut: Lubnan, 2002),
207-208.
45
2
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 5692.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 255.
46
4
Ismail Ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Adzīm, jilid 6 (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1998), 362.
5
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, terj, As’ad Yasin dan Abdul Aziz
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 259.
6
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5709.
47
7
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5710.
8
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 264.
9
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5712.
48
munāsabah antar kata dalam satu ayat; (2) munāsabah ayat dengan ayat
sebelumnya; (3) munāsabah ayat dengan ayat sesudahnya; (4) serta
hubungan nama surat dengan tema utamanya.
Analisis munāsabah antar kata dalam satu ayat pada Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-34 merupakan bagian yang hampir ada dalam setiap ayatnya. Yang
mana analisis ini melibatkan kata yang memiliki makna serupa namun
dengan redaksi yang berbeda, ataupun kata berantonim yang jelas memiliki
makna berbeda. Pada analisis ini juga mempertanyakan susunan bahasa
dalam ayat sehingga menemukan keterkaitan diantaranya. Sedangkan
analisis munāsabah ayat dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya
berlangsung sepanjang Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 yang juga melibatkan Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 27 dan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35. Analisis ini mencari tema dari
ayat yang secara tersirat ataupun tersurat memiliki hubungan dengan ayat
lain baik itu sebelum dan sesudahnya. Adapun analisis hubungan nama
surat dengan tema utamanya akan berfokus pada kisah istri-istri Nabi SAW.
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan nama surat “al-Aḥzāb”.
Dari analisis-analisis tersebut, kemudian terlacak jenis munāsabah
apa yang termuat dalam setiap hubungan yang ditemukan. Selain itu untuk
memudahkan penggambaran dari analisis yang sudah dikaji, munāsabah-
munāsabah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 ini kemudian diklasifikasikan
dan dibagi ke dalam beberapa tema serta pembahasan, sehingga terlihat
jelas hubungan antar ayatnya. Kurang lebih terdapat sembilan tema yang
ditemukan, yakni; (1) Pilihan antara Dunia dan Akhirat; (2) Perbedaan
Panggilan Allah kepada Istri-istri Rasulullah SAW. Sebelum dan Sesudah
Pilihan antara Dunia dan Akhirat: (3) Dua Kali Lipat Azab atau Dua Kali
Lipat Pahala; (4) Perintah dan Larangan Allah kepada Istri-istri Rasulullah
SAW. beserta Tujuan atas Perintah dan Larangan-Nya; (5) Asmā’ al-Husnā
sebagai Penutup Ayat dan Kisah; (6) Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33:
49
28-34 dengan Ayat Sebelumnya; (7) Hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33:
28-34 dengan Ayat Sesudahnya; (8) Kesesuaian Isi Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-
34 dengan Nama Surat; (9) Garis Besar Kelompok-kelompok Ayat pada Qs.
al-Aḥzāb. Tema terakhir bukanlah tema pokok dalam pembahasan ini,
melainkan sebagai tambahan dan penyempurna dalam kajian munāsabah
al-Qur’an pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34.
1. Pilihan antara Dunia dan Akhirat
Tema pertama dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 yang akan dibahas
berkaitan dengan pilihan yang diberikan Allah SWT. kepada para istri
Rasulullah SAW. yang sebelumnya meminta tambahan nafkah, seperti yang
telah disebutkan dalam asbāb al-nuzūl. Pilihan itu berbicara antara dunia
dan akhirat, dan setiap pilihan yang mereka ambil memiliki konsekuensi.
Pilihan yang diberikan Allah beserta konsekuensinya ini termuat di Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-29, di mana ayat ke-28 menjelaskan pilihan atas dunia dan
konsekuensinya, sedangkan ayat ke-29 menjelaskan mengenai pilihan
akhirat dan apa yang akan diterimanya jika memilih akhirat.
bertujuan pada kehidupan dunia dan perhiasannya (syarat), dan jika kalimat
syarat tidak dilakukan, maka talak tidak berlaku dan dianggap tidak ada.
10
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 257.
51
”اُ َﺳ ِﺮ ْﺣ ُﻜ ﱠ
yang dinamai mut‘ah bagi wanita yang dicerai. 11 Sedangkan kata “ﻦ
ّ
berasal dari kata “ح
َ ” َﺳﱠﺮyang berarti melepaskan , kemudian ayat ini
12
َِ
diakhiri dengan kata “ﲨ ْﻴ ًﻼ اﺣﺎ
ً ” َﺳَﺮ yang mensifati perceraian/pelepasan
َِ ” yang berarti baik. Ini dapat bermakna bahwa
tersebut dengan kata “ﲨ ْﻴﻞ
memberikan mut‘ah sebagai pelipur lara atas perceraian sebelum
perpisahan merupakan hal yang indah dan baik.
Pilihan kedua yang ditawarkan Allah SWT. kepada istri-istri Nabi
SAW., yakni pilihan akan akhirat pada Allah dan Rasul-Nya tertuang pada
ayat selanjutnya yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 29. Pada ayat ini juga memiliki
hubungan sebab akibat seperti pada ayat sebelumnya, karena terdapat
penggunaan “ ”اِ ْنsyarat serta fā’ jawab syarat di dalamnya. Yang mana
kalimat pertama; “َاﻻ ِﺧﺮة
َْٰ َ اﻪﻠﻟَ َوَر ُﺳ ْﻮﻟَﻪ َواﻟﺪ
ﱠار َواِ ْن ُﻛْﻨ ُ ﱠ
ّٰ ﱳ ﺗُِﺮْد َن /Dan jika kamu
menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat”, menjadi sebab dari
ِﻋ
kalimat selanjutnya; “ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ ِ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ/sesungguhnya
ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا
َ ْ ُ َ َّ
Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara
kamu”. Yang mana konsekuensi dari pilihan atas akhirat ini adalah tidak
akan dicerai oleh Rasulullah SAW. seperti pilihan atas dunia, selain itu juga
mendapat pahala bagi yang berbuat baik. Maksud dari yang berbuat baik
ِ ” ُْﳏ ِﺴﻨ, yakni orang-orang yang berbuat iḥsan. Sebagaimana yang
adalah “ٰﺖ
diketahui bahwa iḥsan berarti beribadah dengan seolah-olah melihat Allah,
dan jikalau pun tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Melihat. 13
Dari sini sudah diketahui bahwa menjadi muḥsin itu merupakan hal yang
amat sulit, maka hadiah dari padanya pun adalah pahala yang bukan hanya
ِ ”ﻋagung, mulia dan luhur 14.
besar, tetapi juga “ﻈ ْﻴﻢ َ 95F
11
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Progressif, 1997), 1307.
12
Munawwir, Al-Munawwir, 624.
13
Lihat H.R. Bukhārī, kitab Iman, No. 48.
14
Munawwir, Al-Munawwir, 947.
52
Kedua ayat yang berisi pilihan yang Allah SWT. berikan kepada
ummahāt al-mu‘minīn ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28 dan 29) memiliki
hubungan yang sangat jelas terlihat (ẓāhir al-irtibaṭ), bisa dilihat dari kata
“ ”اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎdan “َاﻻ ِﺧﺮة
ٰ ْ ” yang jelas menggambarkan adanya pertentangan dalam
َ
dua ayat ini, ditambah lagi dengan huruf ‘aṭaf “ ” َوpada ayat ke-29
memeperkuat adanya munāsabah antara kedua ayat, dan kategori
munāsabah yang dimaksud adalah munāsabah al-muḍāddah
(bertentangan/berlawanan). Hubungan al-muḍāddah dalam ayat ini
dimaksudkan sebagai pilihan bagi istri-istri Rasulullah antara dunia atau
akhirat. Yang mana jika memilih dunia, maka konsekuensi yang diterima
adalah perceraian namun juga akan mendapatkan mut‘ah yang layak dari
Nabi. Dan apabila memilih akhirat, maka harus menerima kesusahan hidup
di dunia semata-mata untuk Allah dan Rasul-Nya, namun diberikan pahala
yang besar sebagai balasannya. Atas pilihan itu, maka kemudian ayat ini
dinamai dengan ayat takhyīr 15 (ayat pilihan).
96F
15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5692.
53
pada bagian permulaan ayat. Yang mana pada ayat ke-28 firman Allah
dimulai dengan panggilan kepada Rasulullah SAW. untuk mengatakan pada
semua istrinya; “ﻚ ِ ِ ِ ٰٓ�َﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨ/Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-
َ ﱠﱯ ﻗُﻞ ّﻻَْزَواﺟ
َ ﱡ ْ
istrimu”, seakan-akan Allah marah sehingga tidak mau menyebut dan
berbicara langsung pada istri-istri Nabi. Kemudian setelah para istri
Rasulullah SAW. menetapkan pilihan yang seperti yang tertera pada Qs. al-
Aḥzāb/ 33:28-29 dengan memilih Allah dan Rasul-Nya yang dimulai dari
‘Āisyah R.A., sebagaimana yang tertera dari asbāb al-nuzūl 16, maka Allah
ۤ
memulai firman-Nya di Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dengan kalimat nidā’ “ ﻳٰﻨِ َﺴﺎ َء
ِّ ِ”اﻟﻨ
ﱠﱯ (Wahai istri-istri Nabi!) yang merupakan panggilan langsung yang
akrab, seakan-akan Allah sudah memaafkan kesalahan ummahāt al-
mu‘minīn sebelumnya yang menginginkan dunia berupa tambahan nafkah.
3. Dua Kali Lipat Azab atau Dua Kali Lipat Pahala
Tema selanjutnya yang terdapat dalam kelompok ayat Qs. al-Aḥzāb/
33: 28-34 adalah tentang “dua kali lipat” yang diperoleh para istri Nabi
SAW. Yang mana kategori “dua kali lipat” ini menjadi sebuah keterkaitan
antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dan 31. Perbedaan “dua kali lipat” dalam dua
ayat tersebut terletak dari objek yang digandakan. Pada Qs. al-Aḥzāb/ 33:
30 objek yang digandakan adalah azab, sedangkan pada Qs. al-Aḥzāb/ 33:
31 objek yang digandakan adalah pahala.
ِ ْ ِﺿ ْﻌ َﻔ
“ﲔ اب
ُ ﻒ َﳍَﺎ اﻟْ َﻌ َﺬ
ْ ﻳُﻀ َٰﻌ/niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali
lipat kepadanya”, yang mana “ﻒ ْ ”ﻳُﻀ َٰﻌmenjadi jawab syarat dengan status
i‘rab jazm/sukun. Lafaz “ﻒ ْ ”ﻳُﻀ َٰﻌsendiri merupakan fi‘il muḍāri‘ mabnī
majhul (kalimat pasif). Adapun fi‘il muḍāri‘yang terdapat dalam ayat ini
ِ ْ�” dan “ﻒ
(“ت ْ )”ﻳُﻀ َٰﻌmemakai kata ganti orang ketiga laki-laki tunggal
ّ
ِ ْ�” walaupun ditunjukkan
(ḍamīr mufrād mużakkar ghaib), karena kata “ت
ۤ ِ ّ
ِ ِاﻟﻨ
kepada “ﱠﱯ
ّ ء
َ ﺎ”ﻧ َﺴ, ini karena kedua dua fi‘il muḍāri‘ tersebut merujuk
kepada kata “ َﻣ ْﻦ/barangsiapa” yang dinisbatkan pada laki-laki tunggal,
sedangkan kata “ﻒ ْ ٰﻌ
َ ”ﻳُﻀmenjadi fi‘il dari fā‘il “اب
ُ ”اﻟْ َﻌ َﺬ.
ِ ِٰ ﻚ ﻋﻠَﻰ ِ
Ayat ini kemudian ditutup dengan kalimat “ﺴ ْﲑا
ً َاﻪﻠﻟ ﻳ ّ َ َ َوَﻛﺎ َن ٰذﻟ/Dan
yang demikian itu, mudah bagi Allah”, yang menegaskan bahwa
memberikan azab kepada istri-istri dari Rasul-Nya bukanlah hal sulit, Allah
tidak segan untuk memberikan azab dua kali lipat untuk mereka yang
berbuat keji, semata-mata karena mereka merupakan wanita-wanita
istimewa yang harus menjaga diri dari perbuatan tercela. Dan ayat ini juga
sebagai pematah stereotip umat bahwa ahlulbait merupakan ma‘ṣum (lepas
dari dosa), karena pada nyatanya keluarga Nabi harus menerima balasan
dua kali lipat dari dosa yang diperbuat, bukan malah bebas dari dosa.
Berbanding terbalik dengan ayat ke-30, ayat ke-31 menjelaskan
tentang penggandaan pahala bagi istri-istri Rasulullah SAW. yang menaati
Allah dan Rasul-Nya serta melakukan kebaikan. Yang mana pada hal ini
hubungan sebab akibat dalam ayat ini memiliki keserupaan susunan dengan
ayat sebelumnya. Di mana keduanya sama-sama menggunakan ism syarat
“ ” َﻣ ْﻦyang memberikan status jazm pada fi‘il-fi‘il dalam ayatnya. Fi‘il
“ﺖ ِ وﻣﻦ ﻳـﱠ ْﻘﻨﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ ِٰﻪﻠﻟِ ورﺳﻮﻟِﻪ وﺗَـﻌﻤﻞ/Dan
ْ ُ ”ﻳـَ ْﻘﻨdan “ ”ﺗَـ ْﻌ َﻤﻞdalam kalimat “ﺻﺎﳊًﺎ
ْ َ َ ْ َ ْ ُ ََ ّ
ْ ْ ُ ْ ََ
barangsiapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mengerjakan kebajikan” memiliki status jazm karena berposisi sebagai
55
َ ِرْزﻗًﺎ
syarat yakni sebab dari kalimat “ﻛ ِﺮْﳝًﺎ ِۙ ْ َ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ/niscaya
ﲔ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ َ
Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki
ِ ”ﻧـ ْﱡﺆdan “�َ ”اَ ْﻋﺘَ ْﺪjuga
yang mulia baginya”. Dan fi‘il dalam kalimat kedua “ت
berstatus jazm karena berposisi sebagai jawab syarat.
Lafaz “ﺖ
ْ ُ ”ﻳـَ ْﻘﻨdan “ ”ﺗَـ ْﻌ َﻤﻞpun memiliki keterkaitan satu sama lain.
ْ
“ﺖ ِ
ْ ُ ”ﻳـَ ْﻘﻨyang memiliki arti taat berasal dari akar kata ﻳَﻘ َﻦyang berarti yakin,
lafaz ini diikuti dengan kalimat “ﺳ ْﻮﻟِﻪ
ُ َوَر
ِ”ِٰﻪﻠﻟ, maka ini bisa berarti meyakini
ّ
Allah dan Rasul-Nya dapat dikategorikan sebagai ketaatan. Kata kerja
“ﺖ ِ
ْ ُ ”ﻳـَ ْﻘﻨdiletakkan sebelum “ﺻﺎﳊًﺎ
َ ﺗَـ ْﻌ َﻤ ْﻞ/mengerjakan kebajikan”, hal ini
dapat bermakna bahwa taat lebih didahulukan dari mengerjakan kebajikan,
meskipun keduanya berhubungan erat dan saling melengkapi.
ِ ﻧـ ْﱡﺆ/Kami berikan” dan “�َ اَ ْﻋﺘَ ْﺪ/Kami sediakan” dalam
Kata kerja “ت
َ ِرْزﻗًﺎ
“ﻛ ِﺮْﳝًﺎ ِۙ ْ َ ﻧـ ْﱡﺆِﻬﺗَﺎٓ اَ ْﺟﺮَﻫﺎ َﻣﱠﺮﺗ/niscaya Kami berikan pahala kepadanya
ﲔ َواَ ْﻋﺘَ ْﺪ َ� َﳍَﺎ َ
dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya”, juga memiliki
keterkaitan yang mana keduanya memiliki keselarasan makna, yakni
memberi, namun dengan cara yang berbeda. Kata “Kami berikan” berarti
memberi sesuatu yang sudah ada ketentuannya dari si pemberi, baik itu
jumlah, bentuk, ukuran, dan lain sebagainya, lalu yang diberi akan
ِ ”ﻧـ ْﱡﺆdilengkapi
menerima pemberian tersebut apa adanya, maka dari kata “ت
ِ ْ َ َﻣﱠﺮﺗ/dua kali” sebagai takaran pemberian dari Allah SWT.
dengan lafaz “ﲔ
Lain halnya dengan kata “Kami sediakan” yang berarti pemberian atas
sesuatu yang jumlah, bentuk, ukuran, dan lain sebagainya berdasarkan
kehendak/keinginan yang diberi, meskipun pemberian itu sebelumnya
sudah diatur oleh pemberi. Pemberian dengan cara “menyediakan” juga
sebagai bentuk penghormatan kepada yang diberi, karena ada kebebasan
untuk memilah dan memilih pemberian tersebut, maka wajar saat lafaz
“�َ ”اَ ْﻋﺘَ ْﺪkemudian disifati “ﻛ ِﺮْﳝًﺎ
َ /mulia”.
56
Kedua ayat ini (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 30 dan 31) memiliki hubungan yang
terlihat pada perumpamaan jika istri-istri Rasulullah SAW. melakukan
perbuatan buruk dan baik serta konsekuensi apa yang didapatkannya.
Dalam ayat ke-30, dikatakan bahwa istri-istri Rasulullah SAW.
mendapatkan azab ganda jikalau mereka yang melakukan tindakan keji
yang nyata, ini dapat disetarakan dengan pemberian pahala dua kali lipat
bilamana mereka menaati Allah dan Rasul-Nya dan melakukan kebajikan
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ke-31. Hubungan keduanya dapat
dikategorikan sebagai bentuk munāsabah al-tanẓīr, meskipun sekilas
hubungan dari kedua ayat ini terlihat seperti al-muḍāddah karena memiliki
pertentangan pada baik dan buruk, namun kesetaraan balasan Allah
terhadap perbuatan baik dan buruk dengan “dua kali lipat” menjadikan
pemadanan (al-tanẓīr) sebagai pola muāsabah kedua ayat ini.
bisa saja memberikan satu pahala untuk satu kebajikan, namun pula dengan
ِ ْ َ َﻣﱠﺮﺗ/dua kali lipat” untuk
rahmat-Nya pahala tersebut digandakan menjadi “ﲔ
setiap kebajikan.
4. Perintah dan Larangan Allah kepada Istri-istri Rasulullah SAW.
beserta Tujuan atas Perintah dan Larangan-Nya
mendidik lisan para istri Rasulullah SAW. dengan melarang istri-istri Nabi
melemahlembutkan suara dan memerintahkan mereka untuk berucap
dengan ucapan yang baik, maka pada ayat ini Allah mendidik perilaku
mereka dengan perintah dan larangan-Nya.
Perintah yang pertama adalah agar istri-istri Nabi SAW. berdiam diri
َوﻗَـ ْﺮ َن ِ ْﰲ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗِ ُﻜ ﱠ/Dan hendaklah kamu tetap
di rumah, dapat dilihat dari lafaz “ﻦ
di rumahmu”. Yang mana perintah ini diikuti dengan larangan untuk ber-
tabarruj dalam lafaz “ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ ْاﻻُْو ٰﱃ
ِ وَﻻ ﺗَ ﱠﱪﺟﻦ ﺗَﱪﱡج ا ْﳉ/Dan janganlah kamu berhias
َ ََ َْ َ َ
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu”. Keduanya
sedikit banyak memiliki hubungan yang dapat digolongkan ke dalam
munāsabah khāfī al-irtibaṭ, karena keterkaitan samar antara keduanya. Jika
dilihat sepintas kedua lafaz ini tidak berhubungan, namun perintah untuk
berdiam diri di rumah dan larangan untuk ber-tabarruj memiliki tujuan
yang sama, yakni untuk menghindarkan fitnah.
Kata tabarruj sendiri berasal dari fi‘il ج
َ ﺑـَﱠﺮyang bisa diartikan dengan
menampakkan atau memperlihatkan. 17 Kata tabarruj kemudian menjadi
populer dengan makna memperlihatkan perhiasan pada perempuan atau
dapat diartikan dengan berhias. Hal ini merujuk kepada QS. An-Nūr/ 24:
60 18 yang memuat lafaz “ﺑِ ِﺰﻳـﻨَ ٍﺔ
ۡ ﺖ
ٍ ﻣﺘَـﺒ ِـﺮ ٰﺟ /menampakkan perhiasan”, dapat
َّ ُ
dilihat bahwa yang ditampakkan setelah kata tabarruj adalah perhiasan
(baik itu perhiasan yang sudah ada pada tubuh ataupun yang datang dari
1976), 31.
ٍۭ ﻣﺘَ ِﱪ ٰﺟ
“ﺖ ِ َ وٱﻟْ َﻘ ٰﻮ ِﻋ ُﺪ ِﻣﻦ ٱﻟﻨِّﺴﺎ ِٓء ٱ ٰﻟﱠِﱴ َﻻ ﻳـﺮﺟﻮ َن ﻧِ َﻜﺎﺣﺎ ﻓَـﻠَﻴﺲ ﻋﻠَﻴ ِﻬ ﱠﻦ ﺟﻨَﺎح أَن ﻳ
ّ ﻀ ْﻌ َﻦ ﺛﻴَ َﺎﻬﺑُ ﱠﻦ َﻏ ْ َﲑ
18
َ َُ َ ٌ ُ َْ َ ْ ً ُ َْ َ َ َ َ
ِ
ﻴﻊ َﻋﻠ ٌﻴﻢ ِ ﱠ ِ ٍ ِ ِ
ٌ ٱﻪﻠﻟُ َﲰ
”ﺑﺰﻳﻨَﺔ ۖ َوأَن ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻌﻔ ْﻔ َﻦ َﺧ ْﲑٌ ﳍُ ﱠﻦ ۗ َو ﱠ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nūr/ 24:60).
60
luar tubuh). Dan penisbatan perilaku tabarruj pada perempuan karena pada
kedua ayat ini – yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33 dan QS. An-Nūr/ 24: 60 –
merujuk pada perempuan, selain itu adalah fitrah bagi perempuan menyukai
keindahan dan berhias. Adapun pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 33 lafaz “ج
َ ”ﺗََﱪﱡ
disandarkan kepada kata “ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ
ِ ”ا ْﳉyang disifati dengan lafaz “ْاﻻُو ٰﱃ
َ ْ
/terdahulu” yang merupakan zaman kebodohan sebelum Islam datang. 19
Yang mana maksud dari “ْاﻻُْو ٰﱃ ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ
ِ ”ﺗَﱪﱡج ا ْﳉadalah perilaku orang-orang
َ ََ
jahiliah terdahulu yang berhias dan memperlihatkan perhiasan mereka
secara berlebihan, dengan maksud pemer dan menggoda.
Lalu perintah Allah kepada istri-istri Nabi SAW. untuk berdiam diri
di rumah dan larangan ber-tabarruj ini dilanjutkan dengan tiga perintah
pokok yaitu mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menaati Allah dan
ﲔ اﻟﱠﺰٰﻛﻮةَ َواَ ِﻃ ْﻌ َﻦ ِ واَﻗِﻤﻦ اﻟ ﱠ/dan laksanakanlah salat,
ّٰ
ُ اﻪﻠﻟَ َوَر
Rasul-Nya; “ﺳ ْﻮﻟَﻪ َ ْ ﺼ ٰﻠﻮةَ َواٰﺗ َْ َ
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”. Dua perintah pertama,
yaitu salat dan zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang sering kali
digandengkan dalam al-Qur’an karena keterkaitan kedua ibadah tersebut
yang begitu erat, keduanya merupakan ibadah yang memperkuat hubungan,
jika salat adalah kepada Allah maka zakat adalah kepada sesama, kedua
ibadah ini merupakan bentuk keseimbangan dalam beragama. Sedangkan
perintah terakhir untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya adalah melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang disampaikan oleh Rasul-
Nya., termasuk di antaranya perintah dan larangan yang terdapat dalam Qs.
al-Aḥzāb/ 33: 32 dan 33, mulai dari larangan melemahlembutkan suara,
perintah untuk berucap dengan ucapan yang baik, perintah untuk berdiam
Dikatakan bahwa “jāhiliyah al-ūlā” adalah pada masa antara Nabi Isa dan Nabi
19
Muhammad, atau masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh, atau pula antara Nabi Nuh dan
Nabi Idris. Lihat; Abu Ja’far Muḥammad bin Jarir Al-Ṭabārī, Tafsir Ath-Thabari, jilid 21,
terj. Abdul Somad, Yusuf Hamdani, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 117-119.
61
Semua perintah dan larangan yang termuat sebelumnya tak lain dan
tak bukan bertujuan untuk menghapus dosa dan menyucikan para istri Nabi
SAW. dengan sebersih-bersihnya, dapat dilihat dari lafaz “ اﻪﻠﻟُ ﻟِﻴُ ْﺬ ِﻫﺐ ِ
ّٰ اﱠﳕَﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ
َ
ِ اﻟﺮﺟﺲ اَ ْﻫﻞ اﻟْﺒـﻴ
ﺖ َوﻳُﻄَ ِّﻬَﺮُﻛ ْﻢ ﺗَﻄْ ِﻬ ْ ًﲑا ِ ﻢ ﻜ ﻨ ﻋ
ْ َ َ َ ْ ّ ُ ُ َْ /Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. Kata “ﺟﺲ ِ ” yang dapat diartikan dengan perbuatan
ْ اﻟﺮ َ ّ
jelek, hukuman, dan gangguan setan, 20 namun dengan singkat dapat
ُ ” َﻋْﻨdan “”ﻳُﻄَ ِّﻬﺮُﻛ ْﻢ, Allah
dimaknai dengan dosa. Sedangkan untuk kata “ﻜﻢ
ُ َ
menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki majemuk (ḍamīr jama‘
ِ اﻟْﺒـﻴ
mużakkar ghaib) untuk merepresentasikan kata“ﺖ اَ ْﻫ َﻞ/ahlulbait”.
َْ
Ahlulbait secara harfiah berarti “penghuni rumah” (rumah Nabi
Muḥammad SAW.), namun yang dimaksud ahlulbait merupakan keluarga
Rasulullah SAW., baik istri-istrinya, serta anak dan cucu beliau, baik laki-
laki ataupun perempuan, contohnya seperti keluarga ‘Ali bin Abū Ṭalib –
termasuk istrinya Fāṭimah binti Muhammad, Ḥasan, dan Ḥusain. Meskipun
begitu fokus utama dalam ayat ini tertuju pada istri-istri Nabi SAW., yakni
Saudah binti Zam‘ah, ‘Āisyah binti Abū Bakr, Ḥafṣah binti ‘Umar, Ummu
Salamah, Zainab binti Jaḥsy, Juwairiyah binti al-Ḥariṡ, Ṣafiyah binti Ḥuyay,
Ummu Ḥabībah dan Maimunah binti al-Ḥariṡ. 21
22
Ma’luf, Qamūs al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, 236.
63
Kisah tentang istri-istri Rasulullah SAW. yang terdapat dalam Qs. al-
Aḥzāb/ 33: 28-34 dimulai dengan menyebutkan perihal “َوِزﻳْـﻨَـﺘَـ َﻬﺎ ا ْﳊَٰﻴﻮةَ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ
64
/kehidupan dunia dan perhiasannya” pada ayat ke-28, yang mana memiliki
keterkaitan yang cukup jelas untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk
munāsabah ẓāhir al-irtibaṭ dengan ayat yang berada tepat sebelumnya,
yakni Qs. al-Aḥzāb/ 33: 27.
23
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 249.
65
lelaki, dan setahuku kaum wanita tidak disebut sama sekali, lalu
turunlah ayat ini: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin…” 24
Selain Ummu Umarah al-Anṣariyyah, ada beberapa nama lain dari
muslimah zaman Nabi yang juga mempertanyakan perihal yang sama
terkait tidak adanya penyebutan wanita dalam al-Qur’an, seperti Ummu
Salamah dan Asma’ binti ‘Umais. 25 Hingga turunlah Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35
yang menyandingkan laki-laki dan perempuan dalam setiap sifatnya.
Adapun keterkaitan ayat ini dengan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terletak
ِﻋ
pada akhir ayatnya, yakni “ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ اَ ْﺟًﺮا /pahala yang besar”, yang mana
َ
kalimat serupa juga disebutkan sebagai penutup dari Qs. al-Aḥzāb/ 33: 29,
ِﻋ
yang berbunyi “ﻈ ْﻴ ًﻤﺎ ِ ﻓَﺎِ ﱠن ٰاﻪﻠﻟ اَﻋ ﱠﺪ ﻟِْﻠﻤﺤ ِﺴﻨ/maka sesungguhnya
ٰﺖ ِﻣْﻨ ُﻜ ﱠﻦ اَ ْﺟًﺮا
َ ْ ُ َ َّ
Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara
kamu”. Dari kedua ayat tersebut (ayat ke-29 dan 35) yang berbeda kepada
24
al-Suyūṭī, Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl, 208.
25
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 270.
26
Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 9, 265.
67
siapa “pahala yang besar” itu diberikan, jika pada ayat ke-35, Allah akan
memberikan pahala yang besar kepada orang yang memenuhi sepuluh sifat,
sedangkan pada ayat ke-29 pahala yang besar diberikan kepada istri Nabi
yang berbuat iḥsan/baik.
Dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 35, sifat pertama adalah islam, yang
merupakan bentuk penyerahan diri, sifat kedua merupakan iman yang
dimaknai dengan pembenaran dan kepercayaan, dan sifat ketiga hingga
terakhir merupakan bagian dari iḥsan. Ini menjawab pertanyaan mengapa
untuk mendapat pahala yang besar itu pada ayat-35 membutuhkan sepuluh
sifat, sedangkan pada ayat ke-29 hanya butuh satu syarat yakni iḥsan?
Karena untuk melakukan iḥsan, seseorang membutuhkan islam dan iman.
Jadi entah itu ayat ke29 atau ke-35, keduanya menyuarakan hal yang sama,
yang mana Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang yang
berislam, beriman, dan ber-iḥsan yang dengan kata lain memiliki sifat taat,
jujur, sabar, khusyu’, bersedekah, berpuasa, menjaga kemaluannya, dan
banyak berzikir kepada Allah SWT.
8. Kesesuaian Isi Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan Nama Surat
Al-Aḥzāb merupakan kata jama’ dari kata hizb, yang berarti satu
golongan atau satu partai, maka dari itu aḥzāb memiliki arti banyak
golongan atau banyak partai. 27 Lafaz aḥzāb ini ditemukan beberapa kali
dalam al-Qur’an, di antaranya dalam Qs. Hūd/ 11: 17, Qs. al-Ra’d/ 13: 36,
Qs. Maryam/ 14: 37, Qs. Ṣād/ 38: 11 dan 13, Qs. al-Mu’min/ 40: 5 dan 30,
dan Qs. al-Zukhruf/ 43: 65. 28 Al-Aḥzāb sendiri kemudian menjadi nama
dari surat al-Qur’an ke-33. Dinamai demikian, karena dalam surat ini
mengandung kisah peperangan Rasulullah SAW beserta kaum muslim
27
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5624.
28
Zadeh Faidullah, Fathur Rahman li Thalibi Ayatil-Qur'an (Bandung: Maktabah
Dahlan, 1987), 101.
68
29
Terdapat pula riwayat yang menyebutkan 700 orang. Lihat; Hamka, Tafsir Al-
Azhar, jilid 8, 5642.
30
Wulan Sariningsih, Tri Yuniyanto, dan Isawati, “Perang Khandaq (Tahun 627
M): Studi Tentang Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Relevansinya dengan Materi Sejarah
Islam”. Jurnal Candi, vol.19, no.1, (Maret 2019): 129-130.
69
dingin yang tiba di Madinah yang diiringi angin kencang, serta habisnya
persediaan, membuat pasukan Aḥzāb akhirnya mundur dari peperangan. 31
Atas kemenangan pada perang Khandaq tersebut, kaum muslimin
mendapat perolehan besar berupa harta rampasan perang, terutama dari
Bani Quraiẓah yang diperangi Rasulullah SAW. karena mengingkari
perjanjian bersama. Ditambah harta kekayaan dari Bani Naẓir yang juga
mengkhianati Rasulullah SAW. yang kemudian jatuh ke tangan kaum
muslim. Kekayaan yang melimpah yang diperoleh kaum muslim, membuat
istri-istri Rasulullah SAW. mengira mereka akan mendapatkan tambahan
nafkah dari Nabi, seperti istri-istri lainnya apabila suami mereka mendapat
harta lebih. Sebelum peristiwa ini, sebenarnya istri-istri Rasulullah itu, tidak
sekalipun menuntut tambahan nafkah, mereka merasa cukup dengan nafkah
yang diberikan Rasulullah SAW. Namun sesudah Allah menetapkan bahwa
dari harta rampasan perang Rasul mendapat seperlimanya, maka harapan
untuk mendapat nafkah tambahan muncul begitu saja. 32
Setelah para istri Rasulullah SAW. menyampaikan keinginan mereka
akan tambahan nafkah itulah turun Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-29 diiringi dengan
kelompok ayatnya hingga Qs. al-Aḥzāb/ 33: 34, yang berisi teguran Allah
SWT. kepada istri-istri Rasulullah SAW. disertai dengan tuntunan Allah
kepada mereka. Dengan penjelasan tersebut dapat dilihat hubungan yang
mengaitkan Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan judul surat “Al-Aḥzāb”. Yang
mana kisah dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terjadi tepat setelah kemenangan
umat Islam atas perang Khandaq melawan pasukan Aḥzāb.
9. Garis Besar Kelompok-kelompok Ayat pada Qs. al-Aḥzāb
Selain hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan nama surat
ini, menariknya kelompok-kelompok ayat lain dalam Qs. al-Aḥzāb pun
31
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5644-5648.
32
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 11, 255.
70
dapat dihubungkan dengan sebuah garis besar. Yang mana pada permulaan
surat ini menyuguhkan hebatnya perjuangan yang dihadapi Rasulullah
SAW. bertahan dari kepungan pihak musuh yang telah bersekutu untuk
menghancurkan Islam. Kemudian pada sambungan ayat ke-28 hingga ayat
ke-34, terlihat luar biasanya Nabi dalam mengurusi rumah tangga. Dari sini
dapat terlihat sosok Rasul sebagai pemimpin yang tangguh luar dalam.
Isi dari Qs. al-Aḥzāb mulai dari ayat ke-28 sampai akhir surat
sebagian besar memuat panduan membentuk masyarakat islami, seperti
pernikahan antara muslim dan muslimah, serta kewajiban-kewajiban yang
harus dijaga terutama dalam cara berpakaian bagi seorang muslimah,
terlebih tentang rumah tangga Rasulullah SAW. Ayat ke-36 membicarakan
Zaid bin Ḥariṡah (anak angkat Nabi) yang dinikahkan dengan saudara
sepupu beliau Zainab bintu Jaḥsy, namun akhirnya mereka bercerai. Hingga
setelahnya, Allah memerintahkan Nabi untuk menikahi Zainab dengan
tujuan menghapus tradisi yang bekembang, bahwasanya seseorang tidak
boleh menikahi istri yang telah diceraikan oleh anak angkatnya karena
status hukum anak angkat menurut mereka memiliki kedudukan yang sama
dengan anak kandung. Hal ini termuat pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 37-40.
Penutup di akhir surat Al-Aḥzāb dimulai dari ayat ke-72, ayat ini
membahas tentang amanah yang Allah letakkan ke atas pundak manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Yang sebelumnya amanat ini ditawarkan
kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka merasa berat dan tidak
sanggup memikulnya. Lalu manusia menawarkan diri untuk memikul
amanat itu dan menyia-nyiakannya sampai disebut zalim dan bodoh. Dan di
ayat ke-73 Allah memberi peringatan bahwa orang-orang yang musyrik dan
munafik akan diazab, dan sekaligus harapan untuk orang-orang beriman,
bila mereka bertaubat, niscaya akan diterima juga taubatnya. 33
33
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, 5688-5689.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis munāsabah yang terdapat
dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 pada bab sebelumnya, dan untuk menjawab
rumusan masalah pada penelitian ini, maka disimpulkan bahwa terdapat
munāsabah atau keterkaitan dalam ayat-ayat ini, baik jelas maupun samar,
antara ayat satu dengan yang lainnya. Yang mana penafsiran dalam
munāsabah ini menemukan keterkaitan pada; ayat 28-29, kedua ayat
tersebut memerintahkan para istri nabi untuk memilih dunia (bercerai) atau
akhirat (bersama Nabi), jika memilih akhirat, tetap menjadi umm al-
mu‘minīn dengan konsekuensi; Kemudian pembahasan mengenai Dua kali
lipat azab jika berbuat keji dan dua kali lipat pahala jika berbuat baik seperti
pada ayat 30-31; Adapun perbuatan baik yang dibahas pada ayat
sebelumnya dapat berupa menaati perintah dan larangan Allah pada ayat
32-33, yaitu larangan melemahlembutkan suara, perintah berkata baik,
perintah berdiam di rumah, larangan tabarruj, dan perintah salat, zakat serta
menaati Allah dan Rasul-Nya; Yang mana kemudian perintah-perintah dan
larangan-larangan pada ayat 32-33 dijelaskan alasannya pada ayat 34;
Sedangkan pembahasan mengenai hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-
34 dengan ayat sebelumnya (ayat 27) tentang dunia dan perhiasannya; Dan
pembahasan mengenai hubungan antara Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 dengan
ayat sesudahnya (ayat 35) berupa iḥsan dan pahala yang besar; Adapun
nama al-Aḥzāb sendiri adalah nama musuh Nabi di perang Khandaq, dan
peristiwa dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28-34 terjadi pasca kemenangan Nabi
melawan Ahzāb.
71
72
B. Saran
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna,
meskipun karya tulis ini telah dikerjakan dengan usaha dan doa yang
semaksimal mungkin dalam melakukan penelitian dan analisis munāsabah
terkait kisah istri-istri Rasulullah SAW. dalam Qs. al-Aḥzāb/ 33: 28.
Adapun saran dari penulis untuk penelitian selanjutnya yang dapat
melengkapi kekurangan karya tulis ini berkaitan dengan tema skripsi ini
adalah; Pertama, penelitian terkait munāsabah dalam ayat-ayat kisah al-
Qur’ān, karena minimnya penelitian terkait munāsabah al-Qur’an dalam
ayat-ayat kisah pada skripsi, terlebih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Kedua, penelitian terkait kisah perang Khandaq pada Qs. al-Aḥzāb/ 33: 9-
27 yang menjadi prolog kisah dalam skripsi ini dapat menjadi ruang untuk
karya tulis baru.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Kitab:
Azis, A. Rosmiaty. Leadership Ummahatul Mukminin dalam Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Sibuku, 2016.
Faidullah, Zadeh. Fathur Rahman li Thalibi Ayatil-Qur'an. Bandung:
Maktabah Dahlan, 1987.
Hajjaj, Abdullah. Maria Al-Qibthiyah: The “Forgotten” Love of The
Prophet. Jakarta: Mizan Pustaka, 2007.
Hamid, Salahuddin. Study Ulumul Quran. Jakarta: PT Intimedia
Ciptanusantara, 2002.
Hamka. Tafsir Al-Azhar, jilid 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Kaṡīr, Ismail Ibn. Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Adzīm, jilid 6. Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1998.
——. Tafsīr Ibn Katsir, jilid 6 dan 8, terj. M. Abdul Ghoffar E.M dan Abu
Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.
Ma’luf, Louis. Qamūs al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām. Beirut: Dār al-
Syarqy, 1976.
Manẓūr, Muḥammad Ibn. Lisān al-‘Arab, jilid 1. Beirut: Dār Ṣādir, 1883.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Progressif, 1997.
Al-Qaṭṭan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017.
Al-Qurṭubi, Muḥammad bin Ahmad Abi Bakr Abi ‘Abdullah. Tafsir Al-
Qurthubi, jilid 14, terj. Muhyiddin Masridha, dkk. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Quṭb, Sayyid. Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 8 dan 9. Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Alquran: Dalam Tafsir Al-
Misbah. Jakarta: Amzah, 2015.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2015.
73
74
——. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 11.
Tangerang: Lentera Hati, 2002.
Al-Suyūṭī, Jalaluddin. Lubāb an-Nuqul fī Asbāb an-Nuzūl. Beirut: Lubnan,
2002.
——. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Resalah Publishers, 2008.
——. Studi Al-Qur’an Komprehensif, jilid 2, terj. Tim Editor Indiva. Solo:
Indiva Media Kreasi, 2008.
Al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 21,
terj. Abdul Somad, Yusuf Hamdani, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Jurnal/Artikel:
Adlim, Ah.Fauzul. “Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an.”
Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir. Vol. 1, no. 1 (Juni 2018):
14-30.
Affani, Syukron. “Diskursus Munāsabah: Problem Tafsīr al-Qur’an bi’l-
Qur’an." Jurnal Theologia. Vol. 28, no. 2 (Desember 2017): 391-418.
Ahmadiy. “Ilmu Munasabah Al-Qur’an.” Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah
Studi Islam. Vol. 18, no. 1 (Juli 2018): 77-90.
Azzuhri, Muhandis. “Khadijah Binti Khawailid Ra. Sosok Perempuan
Karier.” Muwāzāh. Vol. 1, no. 2 (Mei 2009): 91-99.
Hendri, Ari. “Problematika Teori Munasabah Al-Quran.” Tafsere. Vol. 7,
no. 1 (Oktober 2019): 81-101.
Masruchin. “Al-Razy dan Studi Munasabah dalam Tafsirnya.” Al-Dzikra.
Vol. 10, no. 2 (Juli-Desember 2016): 63-94.
Murni, Dewi. “Kaidah Munasabah.” Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan
Keislaman. Vol. 7, no. 2 (Oktober 2019): 89-102.
Nurjanah, Najibah Nida. “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran al-
Qur’an.” Jurnal al-Fath. Vol. 14, no. 1 (Januari-Juni 2020): 107-130.
Saipon, Abdul, Didin Hafidhuddin, dan Ulil Amri Syafri. “Nilai Pendidikan
Wanita dalam Surat Al-Aḥzāb Ayat 28-35 Dan Ayat 59 serta
75
Skripsi/Tesis/Disertasi
Fatimah, Siti. “Kronologis Kejadian Hari Kebangkitan dalam Surat An-
Naba: Kajian Munasabah Al-Qur’an.” Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2019.
Hasiolan. “Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Ḥusna sebagai
Penutup Ayat dalam Surah An-Nisā’ menurut Al-Marāghi.” Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
Kurniasari, Laila. “Kisah Ashab Al-Qaryah dalam QS. Yasin [36]: 13-29:
Studi Komparasi Penafsiran Ibn Katsir dan M. Quraish Shihab.”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015.
76