Anda di halaman 1dari 131

RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA SUKU

KOKODA TERHADAP AL-QUR’AN

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh :

Dian Prabawati
NIM : 11170340000029

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H
RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA SUKU
KOKODA TERHADAP AL-QUR’AN

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Dian Prabawati
NIM: 11170340000029

Pembimbing

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A


NIP: 19690822 1999703 1 002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Dian Prabawati
NIM : 11170340000029
Program Studi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas : Ushuluddin
Judul Skripsi : “Resepsi Masyarakat Muslim Papua Suku Kokoda
Terhadap Al-Qur’an”

Dengan ini menyatakan bahwa :


1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Januari 2023

Dian Prabawati
NIM : 11170340000029

vii
viii
ABSTRAK

Dian Prabawati, 11170340000029


“RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA SUKU KOKODA
TERHADAP AL-QUR’AN”
Proses interaksi masyarakat terhadap al-Qur’an, selain pada
pemaknaan teksnya, juga pada aspek penerapan teks-teks al-Qur’an yang
kemudian menjadi tradisi yang melembaga dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Penelitian ini memfokuskan pada kajian resepsi atau respon
masyarakat muslim Papua Suku Kokoda terhadap al-Qur’an.
Ketika mendengar kata Papua, maka stigma yang seringkali muncul
di benak masyarakat bahwa Papua adalah tanah Kristen, padahal terdapat
penduduk asli (pribumi) Papua yang menyatakan identitasnya sebagai
muslim, salah satunya adalah Suku Kokoda. Menjadi minoritas di antara
penduduk asli beragama lain, Kokoda dihadapkan pada beberapa tantangan
dalam melaksanakan praktik keberagamaan. Hal ini menjadi menarik untuk
dibahas bagaimana masyarakat minoritas muslim merespon, memaknai,
berinteraksi dan menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupannya.
Melalui penelitian kualitatif dan pendekatan etnografi, penulis ingin
mengungkap bagaimana praktik resepsi masyarakat muslim Kokoda
terhadap al-Qur’an dan apa makna dibalik ragam praktik tersebut. Dengan
konsep tipologi resepsi Ahmad Rafiq dan teori sosiologi pengetahuan oleh
Karl Mannheim, hasil penelitian menyimpulkan: Pertama, praktik resepsi
Kokoda terhadap al-Qur’an dibagi menjadi tiga bentuk tipologi, yaitu
resepsi eksegesis, estetis dan fungsional. Kedua, Makna dibalik praktik-
praktik resepsi masyarakat terbagi tiga, yakni: (1) makna objektif, yaitu
masyarakat yang sadar bahwa al-Qur’an lah pedoman hidup dan masyarakat
yang menjalankan praktik keagamaan sebatas mengikuti tradisi turun
temurun, (2) makna ekspresif, yaitu bentuk kepatuhan terhadap pencipta
dan nenek moyang sebagai praktik keagamaan turun temurun, (3) makna
dokumenter, yaitu terbentuknya kebersamaan dan keakraban masyarakat
Kokoda serta sebagai wadah melestarikan budaya setempat. Ketiga, al-
Qur’an menjadi landasan perekat kebersamaan masyarakat Kokoda dalam
melestarikan tradisi dan menjalin hubungan baik dengan suku maupun
agama lain.
Kata Kunci : Resepsi al-Qur’an, Living Qur’an, Suku Kokoda, Papua

ix
x
KATA PENGANTAR

‫حم ِن ٱل ٰرِحي ِم‬ ِ‫بِس ِم ٰه‬


‫ٱَّلل ٱل ٰر ْ ه‬ ْ
Alḥamdulillāh, berjuta untaian rasa syukur yang mendalam penulis
panjatkan kehadirat Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang. Tak lupa Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad Ṣallāhu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya,
sahabat-sahabatnya, para tabi’in, dan seluruh umatnya. Semoga kita
mendapatkan syafa’at darinya, kelak di hari akhir. Aamiin.
Skripsi berjudul “RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA
SUKU KOKODA TERHADAP AL-QUR’AN” ini merupakan salah satu
tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi
ini, penulis telah mengeluarkan segenap kemampuan sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. Tentunya dalam penyusunan skripsi ini
masih terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karenanya, peneliti
masih sangat mengharapkan kritik dan saran.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis mengucapkan syukur, terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir. Dan tidak lupa juga kepada Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH,

xi
xii

Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, yang selalu


semangat memberikan dukungan serta motivasinya dalam proses
penyelesaian studi dan skripsi ini. Semoga kebaikan, keberkahan selalu
menyertainya dan semoga kebaikan tersebut senantiasa dibalas oleh
Allah SWT.
4. Dosen pembimbing, yaitu Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., yang
selalu sabar dan sangat perhatian dalam memberikan arahan dan
masukan dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga apa yang
diarahkan mendapatkan keberkahan serta pahala yang berlipat ganda
dari Allah SWT, semoga beliau senantiasa diberikan nikmat kesehatan,
umur yang panjang dari Allah SWT.
5. Seluruh dosen dan civitas akademik, khususnya Program Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, yang ikhlas, tulus dan sabar untuk mendidik kami
agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berintelektual. Semoga
semua ilmu yang diberikan kelak akan bermanfaat, baik untuk penulis
sendiri maupun masyarakat luas.
6. Para informan penelitian serta teman-teman di Kampung Kokoda yang
telah meluangkan banyak waktunya serta ikut mendukung suksesnya
penelitian ini. Terkhusus Kak Rifai Gogoba, Alfaris, dan Amina Agia
yang banyak membantu dan menemani penelitian penulis.
7. Teman-teman program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2017
terkhusus tim verifikator skripsi ini; Kak Nani dan Ariza serta teman
seperjuangan kelas IAT-A. Penulis ucapkan terima kasih, telah
menerima sebagai teman dan membantu dalam segala hal, bahkan
dalam penulisan skripsi ini.
8. Seluruh guru semasa sekolah, kakak-kakak mentor, dan guru mengaji
yang telah mengajarkan ilmu dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an
kepada penulis hingga saat ini.
xiii

9. Hamba-hamba Allah yang sungguh baik tidak bisa penulis sebutkan


satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, tulus membantu
pembiayaan penulis dalam menyelesaikan penyusunan hingga melewati
segala ujian.
10. Grup ‘makampuji’: Syarah, Tiara, Wulan yang mengisi hari-hari penulis
dan menjadi saksi perjuangan penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman diskusi: Kak Nani, Very, Alpi, Ayu, Dea, yang selalu
memberikan semangat, membersamai, baik dalam proses penyelesaian
studi maupun dalam proses penulisan skripsi.
12. Sahabat percuanan; Alifah Fadilah dan Namira Calista yang selalu ada,
memberikan semangat untuk kerja menghasilkan cuan.
13. Teman-teman dari HIQMA UIN Jakarta, LTTQ Fathullah, Bimbel
Andalusia, Hubbul Qur’an Sorong, dan teman-teman MTQ-ers serta
rekan-rekan guru di MI Al-Ma’arif Kota Sorong yang selalu
memberikan semangat dalam proses penyusunan skripsi sampai pada
tahap penyelesaian.
14. Seluruh teman dekat maupun jauh yang selalu mendoakan, mendukung,
dan menyaksikan segala perjuangan dan pencapaian penulis.
Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, bapak tersayang Alm.
Fachriadi yang selalu terindukan, semoga Allah lapangkan selalu kuburnya
dan turut berbahagia di sana. Dan untuk mama tersayang Nastri, yang
senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, serta doa yang selalu
dipanjatkan untuk penulis. Penulis sangat menyadari bahwa tanpanya,
penulis tidak akan bisa sampai seperti sekarang ini. Untuk adik-adikku
Luthfi Hadi, Zieda Syakir, Zalfa, Naifa Nuha, serta Ngatmin Family dan
Keluarga Banjar, terimakasih selalu ada untuk memberikan semangat serta
kebahagiaan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
xiv

Tiada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu dalam
serta untaian doa yang senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar
senantiasa segala kebaikannya dibalas oleh Allah. Akhirnya, penulis
berharap semoga penelitian ini senantiasa dapat memberikan wawasan
mengenai al-Qur’an dan bermanfaat bagi semuanya, khususnya bagi
penulis sendiri. Aamiin.

Jakarta, 04 Januari 2023

Dian Prabawati
NIM: 11170340000029
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab Latin yang digunakan dalam penelitian ini


merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor
0543b/u/1987. Adapun rinciannya sebagai berikut:
A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Arab Latin Keterangan

‫ا‬ tidak dilambangkan tidak dilambangkan

‫ب‬ b Be

‫ت‬ t Te

‫ث‬ ṡ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ j Je

‫ح‬ ḥ ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ kḥ ka dan ha

‫د‬ d De

‫ذ‬ ż zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ r Er

‫ز‬ z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ ṣ es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ ḍ de (dengan titik di bawah)

xv
xvi

‫ط‬ ṭ te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ ẓ zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘ Apostrof terbalik

‫غ‬ G Ge

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Qi

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ l El

‫م‬ m Em

‫ن‬ n En

‫و‬ w W

‫ه‬ h Ha

‫ء‬ ’ Apostrof

‫ي‬ y ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa


diberi tanda apa pun, jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’).
B. Tanda Vokal
Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau
monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal
tunggal sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫ام‬ Fatḥah A A
xvii

ِ‫ا‬
Kasrah I I

‫ا‬ Ḍammah U U

Adapun vokal rangkap sebagai berikut:


Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﹷي‬ Ai a dan i

‫ﹷو‬ Au a dan u

Dalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang


(mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫اى‬ ā a dengan garis di atas

‫ىي‬ ī i dengan garis di atas

‫ىو‬ ū u dengan garis di


atas

C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf:
syamsiyah dan qamariyah.
ِ
Al-Qamariyah ُ‫املُن ْي‬ Al-Munīr

Al-Syamsiyah ‫ال‬
ُ ‫الر َج‬ِ Al-Rijāl

D. Syaddah (Tasydid)
xviii

Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan


ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

ُ‫الْ ُق ِوة‬
Al-Qamariyah
Al-Quwwah

ُ‫الض َُّرْوَرة‬
Al-Syamsiyah
Al-Ḍarūrah

E. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta martujah yang
hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi
adalah (t), sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah (h), kalau pada kata yang berakhir dengan ta
marbūtah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al-ser bacaan
yang kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah ditransliterasikan dengan
ha (h) contoh:
No. Kata Arab Alih Aksara

1 ُ‫الطَّ ِريْ َقة‬ Ṭarīqah

2 ُ‫اْل ْس ََل ِميَّة‬


ِْ ُ‫ا ْْلَ ِام َعة‬ Al-Jāmi’ah al-Islāmiah

3 ‫َو ْح َدةُ الْ ُو ُج ْوِد‬ Waḥdat al-Wujūd

F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika nama diri
xix

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abu Hamid, al-Gāzalī, al-Kindi.
Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak
Nur al-Din al-Raniri.
G. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum baku dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia,
tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata al-Qur’an
(dari al-Qur’ān), Sunah, khusus dan umum, namun bila mereka harus
ditransliterasi secara utuh.
Contoh: Fī Zilāl al-Qur’ān, Al-‘Ibarat bi ‘umūm al-lafz la khusūs
al-sabab.
xx
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................. xv

DAFTAR ISI ...........................................................................................xxi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xxv

DAFTAR TABEL ............................................................................... xxvii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Permasalahan...................................................................................... 9

1. Identifikasi Masalah ..................................................................... 9

2. Batasan Masalah ........................................................................... 9

3. Rumusan Masalah......................................................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9

1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9

2. Manfaat Penelitian ...................................................................... 10

D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 10

E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 16

1. Jenis Penelitian ........................................................................... 16

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 17

3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 17

4. Teknik Analisis Data .................................................................. 18

xxi
xxii

5. Teknik Penulisan ........................................................................ 19

F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 20

BAB II PROFIL MASYARAKAT SUKU KOKODA ......................... 21

A. Sejarah Singkat dan Perkembangannya ........................................... 21

1. Masuknya Islam ke Kokoda ....................................................... 21

2. Perkembangan Suku Kokoda ..................................................... 24

B. Kondisi Geografis ............................................................................ 26

C. Kondisi Penduduk ............................................................................ 28

D. Kondisi Pendidikan .......................................................................... 29

E. Kondisi Ekonomi ............................................................................. 30

F. Keadaan Sosial Keagamaan ............................................................. 31

1. Kegiatan Keagamaan.................................................................. 31

2. Keberagamaan dan Keberagaman .............................................. 32

G. Keadaan Sosial Budaya ................................................................... 33

1. Interaksi Sosial ........................................................................... 34

2. Kepemimpinan dan adat ............................................................. 34

3. Konsep “Sapu Sodara” ............................................................... 35

BAB III TINJAUAN UMUM RESEPSI AL-QUR’AN........................ 37

A. Resepsi Al-Qur’an dalam Kajian Living Qur’an ............................. 37

B. Ruang Lingkup Kajian Resepsi Al-Qur’an ...................................... 41

1. Tipologi Resepsi Al-Qur’an ....................................................... 42

2. Simbolisasi Makna Resepsi Al-Qur’an ...................................... 48

C. Ragam Resepsi Al-Qur’an di masyarakat ........................................ 50


xxiii

BAB IV ANALISA RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA


SUKU KOKODA TERHADAP AL-QUR’AN...................................... 57

A. Ragam Praktik Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Kokoda ................. 57

1. Resepsi Eksegesis terhadap Al-Qur’an....................................... 57

2. Resepsi Estetis terhadap Al-Qur’an............................................ 62

3. Resepsi Fungsional terhadap Al-Qur’an..................................... 65

B. Makna Simbolik Ragam Praktik Resepsi Al-Qur’an Masyarakat


Kokoda ................................................................................................... 69

1. Makna Objektif ........................................................................... 70

2. Makna Ekspresif ......................................................................... 70

3. Makna Dokumenter .................................................................... 71

C. Analisis Ragam Praktik dan Makna Praktik Resepsi Al-Qur’an


Masyarakat Kokoda ............................................................................... 73

D. Resepsi Al-Qur’an sebagai Ekspresi Masyarakat Kokoda............... 76

BAB V PENUTUP ................................................................................... 83

A. Kesimpulan ...................................................................................... 83

B. Saran................................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 87

LAMPIRAN- LAMPIRAN ..................................................................... 95


xxiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1: Peta wilayah Kelurahan Klasabi.......................................... 27


Gambar 4. 1: Kajian' Akhwat Kokoda Community' ................................. 59
Gambar 4. 2: TPQ Masjid Babul Jannah Kokoda ..................................... 60
Gambar 4. 3: Khutbah Jum'at .................................................................... 61
Gambar 4. 4: Acara Maulid Keluarga ....................................................... 62
Gambar 4. 5: Kaligrafi di dinding Masjid Babul Jannah Kokoda ............. 63
Gambar 4. 6: Kaligrafi di rumah Kepala Suku Kokoda ............................ 65
Gambar 4. 7: Tadarrusan dan Sholawatan................................................. 66
Gambar 4. 8: Tahlilan kematian ................................................................ 67

xxv
xxvi
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1: Analisa Ragam Praktik dan Makna Resepsi Masyarakat ......... 74

xxvii
xxviii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Al-Qur’an sebagai teks yang sarat makna, memiliki muatan energi
yang sangat besar sehingga ketika ia dibunyikan, maka teks itu
mengalirkan energi yang sangat dahsyat dan mampu mempengaruhi
pendengarnya.”1
Sejatinya, al-Qur’an bukan hanya sekedar teks yang dibaca, tetapi
al-Qur’an menyatu kuat dengan kehidupan bersama orang-orang yang
mengimani dan menaatinya. Farid Esack mengungkapkan dalam bukunya
The Introduction to the Qur’an, bahwa al-Qur’an mampu memenuhi banyak
fungsi dalam kehidupan Muslim. Al-Qur’an bisa berfungsi sebagai
penentram hati, penggagas perubahan, penyemangat perubahan, pengentas
tindakan zalim, bahkan obat dan penyelamat dari malapetaka. Teks al-
Qur’an ditransformasikan menjadi sebuah objek yang bernilai dengan
sendirinya.2 Ingrid Matson, dalam bukunya yang berjudul The Story of the
Qur’an: Its History and Place in Muslim Life menyebutkan bahwa al-
Qur’an telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik
dalam bahasa, penamaan, hingga ungkapan sehari-hari yang membentuk
dan mempengaruhi budaya kaum Muslim di seluruh dunia.3
Abdul Aziz Abdur Ra’uf mengutip dalam tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
(Di Bawah Naungan al-Qur’an) pada muqadimah surah Al-An’a>m, Sayyid

1
Fahmi Riyadi, “Resepsi Umat Atas al-Qur’an: Membaca Pemikiran Navid
Kermani Tentang Teori Resepsi al-Qur’an,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, vol.11, no.1
(Juni 2014): 47.
2
Farid Esack, The Introduction to the Qur’an dalam Hilda Nurfuadah, “Living
Qur’an: Resepsi Komunitas Muslim Pada al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren at-
Tarbiyyatul Wathoniyyah Desa Mertapada Kulon, Kec. Astatana Japura, Kab. Cirebon),”
Jurnal Diya al-Afkar, vol.5, no.1 (Juni 2017): 126.
3
Ingrid Matson, The Story of the Qur’an: Its History and Place in Muslim Life
dalam Miftahur Rahman, “Resepsi terhadap Ayat Al-Kursī dalam Literatur Keislaman,”
MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, vol.3, no.2 (Juli-Desember 2018): 134.

1
2

Qut{b menjelaskan seorang manusia harus berinteraksi dengan al-Qur’an.4


Banyak yang dapat dilakukan untuk berinteraksi dengan al-Qur’an seperti,
rajin membacanya, memahami isi kandungannya, serta mengamalkannya
pada kehidupan sehari-hari. Karena dengan berinteraksi, manusia
merasakan keindahan al-Qur’an yang di dalamnya termuat ajaran moral dan
etika sehingga berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia untuk menuju jalan
yang diridhai Allah serta sebagai salah satu cara memahami ajaran Islam
secara sempurna. Disinilah al-Qur’an menyatu dan mempengaruhi aspek-
aspek kehidupan manusia.
Proses interaksi masyarakat terhadap al-Qur’an bukan hanya pada
pemaknaan teksnya, tetapi juga berkembang pada aspek penerapan teks-
teks al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman terhadap teks al-
Qur’an tidak hanya dibaca, dipahami, dan dipraktikkan sesuai dengan
makna yang terkandung di dalam teksnya. Akan tetapi juga ditemukan
berbagai pembacaan al-Qur’an yang dibaca dan dipraktikkan di luar makna
tekstualnya. Dapat diambil contoh salah satu ayat yang banyak dihafal oleh
umat Islam yaitu ayat kursi yang sering dibaca dan dipandang mampu
melindungi diri dari segala gangguan bersifat gaib. Dalam hal ini, S.H. Nasr
dalam bukunya “Islam dalam Cita dan Fakta” menjelaskan bahwa ayat-
ayat al-Qur’an dianggap mengandung kekuatan magic yang menyerupai
jimat dan diyakini dapat melindungi manusia. Dengan pemahaman tersebut,
al-Qur’an dibaca untuk berbagai tujuan dan dianggap mampu memberikan
keuntungan bagi pembacanya.5 Hal ini menunjukkan, ketika al-Qur’an
hadir ditengah masyarakat, kitab tersebut mengalami pergeseran paradigma
kemudian diperlakukan dan diekspresikan berbeda-beda sesuai dengan

4
Abdul Aziz Abdur Raˋuf, 17 Motivasi Berinteraksi dengan Al-Qur’an (Jakarta
Timur: MARKAZ AL-QUR’AN, 2015), 13-14.
5
Miftahur Rahman, “Resepsi terhadap Ayat Al-Kursī dalam Literatur
Keislaman,” 135.
3

keyakinan dan pengetahuan masing-masing.6 Penerapan teks-teks al-


Qur’an tersebut kemudian menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat. Penerimaan dan perlakuan masyarakat terhadap
teks-teks al-Qur’an inilah yang kemudian dikenal dengan konsep resepsi al-
Qur’an.
Ahmad Rafiq, seorang ahli yang konsen pada kajian living qur’an,
mendefinisikan resepsi al-Qur’an sebagai suatu kajian atau uraian tentang
cara individu dan masyarakat menerima dan bereaksi terhadap al-Qur’an
dengan menerima, merespon, memanfaatkan atau menggunakannya baik
sebagai teks atau sebagai mushaf yang memiliki maknanya sendiri.7 Maka
resepsi al-Qur’an akan berpusat pada sambutan atau respon pembaca
terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an telah menjadi bagian dari
kehidupan manusia sejak pertama kali diturunkan dan telah diresepsi oleh
masyarakat. Dalam memfungsikan al-Qur’an, fenomena pembacaan al-
Qur’an pada masyarakat dapat berbeda dari praktik dan pemahamannya.
Persinggungan antara budaya Islam dengan budaya lokal, kreatifitas yang
berkembang, serta pengetahuan suatu masyarakat di era tertentu
mempengaruhi berkembangnya resepsi terhadap al-Qur’an. Masyarakat
Muslim memiliki keyakinan bahwa al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab
petunjuk, tetapi juga secara fungsional mempunyai kekuatan.
Secara historis, al-Qur’an sejak diturunkan telah menghadirkan
ruang penerimaan atau resepsi. Hal ini tergambarkan dalam riwayat-riwayat
hadis di berbagai literatur klasik, terutama di dalam kitab-kitab hadis.
Beberapa riwayatnya, bahkan yang memiliki kualitas s}ah}īh} menunjukkan

6
Akhmad Roja, “Resepsi Al-Qur’an Di Pondok Pesantren Karangsuci
Purwokerto”, (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2019), 3.
7
Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan ke Resepsi (Sebuah
Pencarian Awal Metodologis)” dalam Sahiron Syamsudin (ed.), Islam, Tradisi dan
Peradaban (Yogyakarta: Suka Press, 2012), 57.
4

bahwa, praktik pembacaan al-Qur’an untuk tujuan tertentu di luar konteks


ibadah juga telah dilakukan di era Nabi Muhammad.8 Fenomena sosial-
keagamaan dengan membaca potongan ayat atau surah tertentu dalam al-
Qur’an untuk suatu tujuan praktis sebetulnya sudah dilakukan sejak masa
awal Islam. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah
meruqyah dirinya sendiri dengan membaca surah al-Falaq dan al-Na>s ketika
beliau sedang sakit. Dari riwayat tersebut, berkembang pemahaman
masyarakat tentang fadilah atau khasiat dari ayat atau surah tertentu di
dalam al-Qur’an yang bisa digunakan sebagai obat dalam arti yang
sesungguhnya, yaitu untuk menyembuhkan penyakit fisik.9 Selain itu, Abu>
‘Abdilla>h Muhammad ibn Isma’i>l al-Bukha>ri> (194 – 256 H.) mencatat
bahwa Rasulullah membenarkan tindakan sahabatnya yang menggunakan
al-Fa>tih}ah sebagai ruqyah atau media pengobatan bagi penyakit fisik. Ia
juga mencatat bahwa muʻawwiz\atain (al-Falaq dan al-Na<s) dipakai sebagai
tindakan pencegahan penyakit dan media pengobatan penyakit fisik dengan
cara ditiupkan ke telapak tangan lalu diusapkan ke seluruh badan. Beberapa
catatan di atas menunjukkan bahwa praktik-praktik tersebut telah dijalankan
dalam kehidupan keseharian sejak masa awal Islam yaitu oleh Nabi
Muhammad dan sahabatnya. Dalam kisah yang lain juga diriwayatkan
bahwa sahabat ʻAbdullāh ibn Mas’u>d mengamalkan membaca surah al-
Wa>qiʻah, dengan harapan diberi kecukupan dan dijauhkan dari kefakiran.
Selain itu, di antara Muslim ada juga yang menjadikan ayat tertentu sebagai
ayat favorit dan dijadikan motivasi untuk menjadi tegar dalam menghadapi
segala hal,10 yaitu:

8
Nilna Fadlillah, “Resepsi terhadap Al-Qur’an dalam Riwayat Hadis,” Jurnal
NUN, vol.3, no.2 (2017): 106.
9
Hilda Nurfuadah, “Living Qur’an: Resepsi Komunitas Muslim pada Al-Qur’an,
126-127.
10
Nilna Fadlillah, “Resepsi terhadap Al-Qur’an, 111-115.
5

ُ ْ ُْ َّ ُ ْ ُْ َّ َ
‫ف ِان َم َع العس ِر ي ْس ًراۙ ِان َم َع العس ِر ي ْس ًرا‬

“Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. 6.


Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan” (Qs. al-Insyirah/
94: 5-6).
Seiring perkembangan zaman, terlihat pula berkembangnya praktik
tradisi terhadap al-Qur’an di masyarakat. Praktik dan resepsi yang
demikian, terus mengalami transmisi, transformasi, termasuk praktik dan
resepsi masyarakat Indonesia terhadap al-Qur’an, bahwa secara sadar atau
pun tidak, masyarakat muslim Indonesia juga telah meresepsi al-Qur’an
dengan berbagai cara. Terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap
tindakan atau resepsinya tersebut, al-Qur’an telah hadir dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat muslim Indonesia.
Salah satu contoh respon atau interaksi masyarakat di Indonesia
terhadap al-Qur’an, yaitu sima’an al-Qur’an.11 Tradisi sima’an al-Qur’an di
masyarakat menambah kesadaran akan pentingnya berinteraksi dengan al-
Qur’an, sima’an al-Qur’an dilakukan untuk menghidupkan al-Qur’an pada
masyarakat, mendapat ketenangan batin, mencari keberkahan dari al-
Qur’an, serta untuk menjaga hafalan al-Qur’an. Kemudian ada juga
masyarakat yang mempraktekkan fungsi al-Qur’an dengan melaksanakan
ritual Rebo Wekasan,12 yaitu shalat tolak bala sebanyak empat rakaat
dengan tiap raka’atnya setelah membaca al-Fa>tihah membaca surah al-

11
Sima’an al-Qur’an adalah tradisi membaca dan mendengarkan pembacaan al-
Qur’an secara berjama’ah atau bersama-sama dalam rangka mencari keberkahan dan
menghidupkan al-Qur’an di masyarakat. Pada umumnya rutin dilaksanakan di kalangan
pondok pesantren. Lihat Maskur, “Tradisi semaan al-Qur’an di Pondok Pesantren”, dalam
Jurnal Al Liqo: Jurnal Pendidikan Islam, vol.6, no.1 (2021).
12
Rebo Wekasan adalah tradisi masyarakat Indonesia yang diyakini untuk
menolak musibah yang turun pada hari rabu terakhir bulan Safar. Tradisi ini diawali
dengan melaksanakan shalat tolak bala sebanyak empat raka’at kemudian membaca do’a
dan membuat jimat dari potongan ayat-ayat al-Qur’an tertentu. Lihat Umi Nuriyatur
Rohmah, “Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qurˋan Dalam Ritual Rebo Wekasan Studi Living
Qurˋan Di Desa Sukoreno, Kec. Kalisat, Kab. Jember” dalam Jurnal Al-Bayan: Jurnal Ilmu
Al-Qurˋan dan Hadist, vol.1, no.1 (Januari 2018).
6

Kaus\ar sebanyak tujuh belas kali, kemudian surah al-Ikhlās} sebanyak lima
kali, serta membaca surah al-Falaq dan al-Na>s satu kali, selanjutnya
kemudian membaca do’a dan membuat jimat dari potongan ayat al-Qur’an
tersebut. Tradisi ini diresepsi dan dipercaya dapat menolak musibah yang
turun pada hari rabu terakhir bulan Shafar.13
Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya transmisi dari
teks ke praktek terkait tradisi-tradisi dalam rangka penerapan al-Qur’an di
masyarakat. al-Qur’an ‘dilibatkan’ dalam berbagai lini kehidupan dan hidup
di tengah peradaban masyarakat. Heddy mengungkapkan dalam bukunya
“The Living Qur’an”, fenomena ini merupakan bentuk dari “qur’anisasi
kehidupan”, atau dalam kajian al-Qur’an disebut dengan living qur’an,
yaitu al-Qur’an yang hidup dalam masyarakat.14 Mengenai hal ini, ada
sebuah daerah yang menurut penulis menarik untuk dikaji secara mendalam
mengenai bagaimana al-Qur’an hidup dalam suatu masyarakat, yaitu pada
pemukiman masyarakat muslim Papua Suku Kokoda di Sorong Papua Barat
Daya.
Ketika mendengar kata Papua, maka stigma yang muncul dalam
benak yaitu Papua adalah tanah Kristen. Hal ini semakin menguat dengan
adanya usulan untuk mengukuhkan Manokwari, salah satu kota di Papua
Barat sebagai kota Injil. Seperti Aceh sebagai serambi Makkah dan
Gorontalo sebagai serambi Madinahnya. Padahal fakta di lapangan, tidak
semua yang tinggal di tanah Papua beragama Kristen. Beberapa suku
penduduk lokal Papua seperti Suku Kokoda, Irarutum, Arandai merupakan
penganut agama Islam secara turun temurun.15

13
Umi Nuriyatur Rohmah, “Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qurˋan Dalam Ritual
Rebo Wekasan Studi Living Qurˋan Di Desa Sukoreno, Kec. Kalisat, Kab. Jember,” Jurnal
Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qurˋan dan Hadist, vol.1, no.1 (Januari 2018): 29.
14
Nilna Fadlillah, “Resepsi terhadap Al-Qur’an, 126
15
Ismail Suardi Wekke. “Islam di Papua Barat: Tradisi dan Keberagaman,” Jurnal
Ulul Albab, vol.14, no.2 (2013): 118.
7

Komunitas Kokoda merupakan masyarakat muslim yang berasal


dari penduduk asli (pribumi) papua, sebagian kecil saja dari mereka yang
menjadi penganut Kristiani. Komunitas ini adalah suku tersisa yang tidak
terkena arus kristenisasi pada masa kolonialisme. Komunitas ini tersebar di
lima lokasi teritorial Kota Sorong, Papua Barat Daya dan menempati
wilayah di luar keramaian kota. Masyarakat Suku Kokoda berada di pinggir
kota, namun pola hidupnya jauh dari pengaruh budaya perkotaan, karena
karakter orang Kokoda yang naturalis atau bergantung pada alam.
Kedekatan geografis Suku Kokoda dengan perkotaan tidak membuat luntur
budaya aslinya.16 Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi dan harus
berpindah-pindah demi hidup yang layak, status sebagai muslim selalu
mereka pegang.
Sebagai populasi minoritas yang hidup berdampingan di tengah-
tengah mayoritas penganut agama lain, salah satu keunggulan dalam
komunitas Kokoda adalah mampu hidup menyatu dan melebur dalam
lingkungan yang sama. Adanya interaksi dengan umat lain, maka di satu
sisi terdapat kewajiban, dan sisi lain ada hak yang juga terbatasi oleh hak
penganut agama lain. Pertemuan antara hak dan kewajiban ini tentu
memberikan pengaruh tersendiri terhadap kehidupan beragama masyarakat
Suku Kokoda termasuk dalam berinteraksi dengan al-Qur’an selaku
minoritas.
Secara umum, kehidupan sosial keagamaan masyarakat Suku
Kokoda ini relatif aman, rukun dan damai. Tidak terdengar adanya konflik
besar yang diakibatkan karena perbedaan agama. Penyelenggaraan ritual
keagamaan tidak mendapatkan halangan. Ekspresi keberagamaan juga tidak
menemui hambatan. Cara dan aktivitas keagamaan yang dijalankan

16
Muhammad Rais, “Islam Dan Kearifan Lokal; Dialektika Faham dan Praktik
Keagamaan Komunitas Kokoda-Papua dalam Budaya Lokal,” Jurnal HIKMAH, vol.7,
no.1 (2011): 58.
8

dianggap relatif berbeda dengan sebagian suku bangsa atau masyarakat


beragama lainnya, terutama dalam memahami dan mempraktikkan norma
agama. Sikap toleransi dan kebersamaan yang dibangun antar umat
beragama merupakan bagian yang dipraktikkan dalam komunitas ini.17
Faktor kuatnya ikatan emosional kesukuan dan persaudaraan yang
dijunjung tinggi dan dijaga dengan baik menjadi pendukungnya, hingga
membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kokoda menyatukan
persepsi bahwa persaudaraan antar sesama di atas segalanya. Semua aspek
kehidupan, baik yang berbasis agama maupun budaya harus berangkat dari
semangat “persaudaraan” sebagaimana yang diwariskan dari leluhur.
Karenanya, ketika terjadi proses akulturasi agama dan kearifan lokal,
praktik keagamaan terkadang terkesan dikesampingkan demi sebuah
kebersamaan dalam konteks kekuatan kearifan lokal. Hal ini dimaksudkan
bahwa kehidupan yang damai dapat diwujudkan jika setiap perbedaan
disikapi dengan saling pengertian. Implikasinya tentu yang dapat dirasakan
yaitu keharmonisan sosial.18 Disinilah dirasa penting untuk dilakukan
penelusuran mengungkap bagaimana resepsi masyarakat muslim Papua
terkhusus Suku Kokoda terhadap teks dan isi kandungan al-Qur’an dalam
kehidupannya sebagai minoritas yang juga menjunjung tinggi nilai
“persaudaraan”.
Beranjak dari rasa penasaran seorang penulis yang ingin
mengangkat kearifan budaya lokal yang relevan dengan studi penulis yaitu
Ilmu al-Qur’an, secara kebetulan penulis sedang berada di kampung
halaman di Sorong, Papua Barat Daya. Kemudian penulis korelasikan
antara kearifan lokal yang berada di Suku Kokoda dengan kajian living
qur’an. Penulis akan berusaha mengungkap pemahaman atas perilaku-

17
Muhammad Rais, “Islam Dan Kearifan Lokal, 58.
18
Muhammad Rais,”Islam Dan Kearifan Lokal, 59.
9

perilaku masyarakat sehingga kemudian penulis dapat memahami makna


mengapa resepsi tersebut yang diwujudkan, bukan yang lain.
Dengan didasarkan latar belakang, penulis mencoba untuk mengkaji
lebih dalam dan membuat sebuah penelitian yang berjudul “Resepsi
Masyarakat Muslim Papua Suku Kokoda terhadap Al-Qur’an”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi
masalah sebagai berikut :
a. Interaksi masyarakat dengan al-Qur’an
b. Resepsi al-Qur’an di masyarakat dalam kajian living qur’an
c. Transmisi dan transformasi resepsi al-Qur’an dulu hingga kini
d. Komunitas muslim minoritas dan interaksinya dengan al-Qur’an
e. Praktik resepsi masyarakat muslim Papua Suku Kokoda terhadap al-
Qur’an
f. Makna praktik resepsi masyarakat muslim Papua Suku Kokoda
terhadap al-Qur’an
2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus dan mendalam maka
penulis membatasi penelitian ini hanya pada praktik dan makna resepsi
masyarakat muslim Papua Suku Kokoda yang bermukim di Sorong Papua
Barat Daya, terhadap al-Qur’an.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana
praktik dan makna resepsi al-Qur’an pada masyarakat muslim Papua Suku
Kokoda?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
10

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:


a. Untuk menjelaskan praktik resepsi al-Qur’an pada masyarakat muslim
Papua Suku Kokoda.
b. Untuk menjelaskan makna yang melekat dalam praktik resepsi al-
Qur’an pada masyarakat muslim Papua Suku Kokoda.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai pelengkap penelitian
sebelumnya di bidang al-Qur’an khususnya dalam kajian living qur’an
terutama pada daerah minoritas serta dapat menjadi salah satu referensi
untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan
kepada pembaca mengenai ragam resepsi al-Qur’an yang ada pada
masyarakat khususnya komunitas muslim Papua Suku Kokoda, serta
sebagai alat bantu bagi pembaca dalam memahami makna dan nilai-nilai
yang terkandung dalam ragam praktik resepsi al-Qur’an pada masyarakat
muslim Papua Suku Kokoda.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan tema
pembahasan skripsi ini. Beberapa penelitian tersebut akan dikelompokkan
berdasarkan tema pembahasannya. Ditinjau dari tema resepsi al-Qur’an di
masyarakat, yaitu :
11

Ridhoul Wahidi,19 artikel ini memilih beberapa ayat al-Qur’an n dan


Hadis yang kerap digunakan sehari-hari dengan tujuan tertentu. Hasil
penelitian ini yaitu terdapat sebuah pembacaan al-Qur’an secara fungsional
yang orientasi keuntungannya lebih bersifat duniawi. Persamaan artikel ini
dengan penelitian terletak pada objek yang diteliti yaitu fenomena interaksi
dan resepsi al-Qur’an di masyarakat. Sedangkan perbedaannya terletak
pada fokus dan cakupan penelitian. Pada artikel ini terfokus pada subjek
masyarakat Indragiri Hilir Riau, dan cakupan pembahasan lebih luas dengan
menambahkan aspek living hadis dalam variabel pembahasannya.
Sedangkan penelitian ini fokus pada kajian living qur’an pada masyarakat
muslim Papua Suku Kokoda.
Moh Nurun Alan,20 skripsi ini membahas tipologi dan simbolisasi
resepsi ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat di kelurahan Dinoyo
dalam perspektif resepsi al-Qur’an. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa, tipologi resepsi masyarakat Dinoyo dapat dikategorikan sebagai
tafsir realis dan transformatif, yaitu tafsir yang berdialektika dan
bernegosiasi dengan konteks sosial yang sedang berkembang di
masyarakat. Persamaan artikel ini dengan penelitian terletak pada objek
yang diteliti yaitu fenomena interaksi dan resepsi masyarakat terhadap al-
Qur’an. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek dan aspek yang
diteliti. Penulis memfokuskan penelitian pada praktik dan makna resepsi al-
Qur’an masyarakat muslim Papua Suku Kokoda di Sorong Papua Barat
Daya, sedangkan pada artikel tersebut terfokus pada pemetaan tipologi

19
Ridhoul Wahidi, “Hidup Akrab Dengan Al-Qur'an; Kajian Living Qur'an
dan Living Hadis Pada Masyarakat Indragiri Hilir Riau,” Turats: Jurnal Penelitian Dan
Pengabdian, vol.1, no.2 (2013): 103-113.
20
Moh Nurun Alan, “Tipologi Resepsi Al-Qur’an : Kajian Living Qur’an di
Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang”, (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2020).
12

resepsi tafsir realis dan transformatif dalam perspektif kajian resepsi al-
Qur’an.
Muh Amin,21 artikel ini membahas makna resepsi al-Qur’an serta
epistemologinya, bentuk resepsi al-Qur’an, serta langkah-langkah untuk
menciptakan kesadaran budaya khususnya budaya lokal yang menggunakan
al-Qur’an sebagai salah satu bagiannya. Maka diperlukan sebuah
metodologi kebudayaan khusus, yaitu metode living qur’an. Metode ini
merupakan kajian terhadap budaya dengan dua buah langkah yaitu analisis
historis-normatif dan analisis analisis sosial-budaya masyarakat pemilik
budaya tersebut. Persamaan artikel ini dengan penelitian terletak pada objek
yang diteliti yaitu resepsi al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya kajian ini
tidak fokus pada kajian lapangan berbeda halnya dengan penelitian ini yang
lebih mengedepankan unsur kajian lapangan.
Yani Yuliani,22 artikel ini membahas tipologi resepsi al-Qur’an di
masyarakat Desa Sukawana, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka
Jawa Barat, serta berupaya menggali makna yang melekat pada ragam
resepsi tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tipologi resepsi al-
Qur’an masyarakat Sukawana berupa resepsi eksegesis (pemahaman
masyarakat terhadap isi kandungan al-Qur’an dan diwujudkan dalam
perilaku kesehariannya), resepsi estetis (al-Qur’an dianggap memiliki unsur
keindahan sehingga dijadikan aksesoris), dan resepsi fungsional (al-Qur’an
dianggap memiliki kekuatan magic). Persamaan artikel ini dengan
penelitian terletak pada objek yang diteliti yaitu tipologi resepsi al-Qur’an.
Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek yang diteliti. Penulis

21
Muh Amin, “Resepsi Masyarakat Terhadap Al-Qur’an (Pengantar Menuju
Metode Living Qur’an),” Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Dotrin, Pemikiran, dan Fenomena
Agama, vol.21, no.2 (2020): 290-303.
22
Yani Yuliani, “Tipologi Resepsi Al-Qur’an dalam Tradisi Masyarakat
Pedesaan: Studi Living Qur'an di Desa Sukawana, Majalengka,” Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, vol.06, no.02 (2021): 321-338.
13

memfokuskan penelitian pada masyarakat minoritas muslim Papua Suku


Kokoda di Sorong Papua Barat Daya, sedangkan pada artikel tersebut pada
lokasi dengan masyarakat mayoritas muslim yaitu Desa Sukawana, Jawa
Barat.
Wahyu Dian Saputri,23 skripsi ini mengkaji resepsi masyarakat
terhadap al-Qur’an dari aspek informatif dan performatif serta ingin
menggali makna simbolik dari resepsi masyarakat tersebut. Fokus
penelitian ini adalah memetakan ragam resepsi masyarakat terhadap al-
Qur’an pada aspek informatif dan performatif, kemudian penelitian ini
meminjam teori antropologi interpretatif oleh Clifford Geertz untuk
mengungkap makna simbolik resepsi masyarakat terhadap al-Qur’an.
Persamaan artikel ini dengan penelitian terletak pada objek yang diteliti
yaitu tipologi resepsi al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya terletak pada
subjek dan aspek yang diteliti. Penulis memfokuskan penelitian pada
praktik dan makna resepsi al-Qur’an masyarakat muslim Papua Suku
Kokoda di Sorong Papua Barat Daya, sedangkan pada artikel tersebut
resepsi al-Qur’an pada masyarakat Kampung Pasar Batang, Lampung dari
aspek informatif dan performatif.
Beberapa penelitian di atas mempunyai relevansi dengan penelitian
ini tentang resepsi masyarakat terhadap al-Qur’an. Selanjutnya ditinjau dari
penelitian terhadap komunitas muslim Papua Suku Kokoda, yaitu :
Muhammad Rais,24 Penelitian ini mengkaji tentang sosio-kultural
pada masyarakat Islam di Suku Kokoda. Pada hasil penelitian ini ditemukan
bahwa bagi masyarakat Kokoda kepercayaan terhadap agama merupakan

23
Wahyu Dian Saputri, “Resepsi terhadap Al-Qur’an oleh Masyarakat Kampung
Pasar Batang Lampung”, (Skripsi S1., Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2021).
24
Muhammad Rais, “Islam dan Kearifan Lokal; Dialektika Faham dan Praktik
Keagamaan Komunitas Kokoda-Papua dalam Budaya Lokal,” Jurnal HIKMAH, vol.7,
no.1 (2011): 55-82.
14

turunan yang harus dijaga dan dipelihara. Konsep dasar kearifan yang
dibangun dari konstruksi budaya masyarakat Kokoda, yaitu
“persaudaraan”. Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian yang
akan dilakukan yaitu, membahas mengenai kehidupan agama Islam pada
masyarakat Suku Kokoda, untuk mencari tahu lebih dalam tentang perilaku
keagamaan dan pola kehidupan beragama mereka. Namun, yang
membedakan adalah fokus dari penelitian yang akan dilakukan yaitu aspek
resepsi al-Qur’an.
Ismail Suardi Wekke,25 Penelitian ini mengkaji tentang sosio
kultural masyarakat Islam di Papua Barat terkhusus pada suku-suku asli
Papua yang beragama Islam. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa umat
Islam minoritas di Papua Barat berusaha untuk mempertahankan identitas
sesuai dengan tuntunan beragama. Kehidupan sosial yang berlangsung
dalam aktivitas sehari-hari, senantiasa terlaksana sebagai keberlangsungan
tradisi yang sudah ada sebelumnya. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama membahas tentang
kehidupan beragama masyarakat Suku asli Papua Barat khususnya
komunitas muslim Suku Kokoda. Namun, dalam penelitian ini penulis lebih
mempersempit pembahasannya pada praktik dan makna resepsi al-Qur’an
masyarakat muslim Papua Suku Kokoda di Sorong Papua Barat Daya.
Efa Rubawati,26 Tesis ini membahas Suku Kokoda dalam kerangka
komunikasi yang mereka lakukan terkait identitas agama. Hasil penelitian
ini yaitu melahirkan Islam yang khas pada Suku Kokoda, terlihat dari
identitas yang mereka tampilkan melalui pakaian dan penggunaan jilbab

25
Ismail Suardi Wekke, “Islam di Papua Barat: Tradisi dan Keberagaman,” Jurnal
Ulul Albab, vol.14, no.2 (2013): 117-134.
26
Efa Rubawati, “Suku Minoritas Papua Dan Identitas Agama (Studi Etnografi
Komunikasi Pada Suku Kokoda Di Maibo, Kabupaten Sorong – Papua Barat)”, (Tesis S2.,
Universitas Airlangga, 2019).
15

bagi perempuan serta pemilihan nama Islam didepan nama marga yang
merujuk pada keislaman menurut mereka. Dari sisi budaya, identitas agama
hadir melalui kesenian dan adat serta ritual keagamaan. Persamaan
penelitian ini yaitu pada subjek penelitian, membahas komunitas muslim
Papua Suku Kokoda terutama kehidupan beragama mereka. Namun, dalam
penelitian ini penulis lebih mempersempit pembahasannya pada praktik dan
makna resepsi al-Qur’an masyarakat muslim Suku Kokoda di Sorong,
Papua Barat Daya.
Alifah Nurul Fadilah,27 Skripsi ini membahas dinamika sejarah
pendidikan agama Islam Suku Kokoda dalam kehidupannya sebagai
minoritas. Hasil penelitian ini adalah 1) Pendidikan agama Islam pada
masyarakat Suku Kokoda adalah pendidikan non formal berbentuk majelis
ta’lim atau biasa disebut pembinaan perempuan Kokoda. 2) Faktor yang
mempengaruhi ada faktor pendukung yaitu semangat belajar masyarakat
dan faktor penghambat yaitu tingkat ekonomi yang rendah. 3) Dinamika
sejarah pendidikan agama Islam pada masyarakat Suku Kokoda berawal
dari runtuhnya kerajaan Tidore dan Kristenisasi Belanda. Penelitian ini
memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu, membahas
mengenai perilaku keagamaan dan pola kehidupan beragama masyarakat
Suku Kokoda. Namun, yang membedakan adalah penelitian ini terfokus
pada aspek pendidikan agama Islam sedangkan penelitian yang akan
dilakukan yaitu aspek praktik dan makna resepsi al-Qur’an masyarakat
muslim Papua Suku Kokoda di Sorong, Papua Barat Daya.
Dari beberapa penelitian di atas, penulis menemukan relevansi
dengan penelitian penulis tentang resepsi masyarakat terhadap al-Qur’an.
Beberapa penelitian di atas memfokuskan penelitian pada resepsi

27
Alifah Nurul Fadilah, “Dinamika Sejarah Pendidikan Agama Islam pada
Masyarakat Suku Kokoda di Kabupaten Sorong, Papua Barat”, (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2020).
16

masyarakat atau kehidupan beragama masyarakat dari komunitas mayoritas


muslim, yang ditinjau dari beberapa aspek serta sudut pandang penelitian
yang berbeda. Sedangkan penulis akan membahas resepsi al-Qur’an dari
komunitas minoritas muslim. Dari klasifikasi penelitian di atas, penulis
ingin mengambil fokus dan subjek bahasan yang berbeda yaitu pada praktik
dan makna resepsi al-Qur’an masyarakat muslim Suku Kokoda di Sorong,
Papua Barat.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur
penelitian yang menekankan pemahaman berdasarkan kondisi realitas dan
pengungkapan fakta yang dapat diamati.28 Penelitian ini menggambarkan
tentang resepsi masyarakat muslim Papua Suku Kokoda terhadap al-
Qur’an.
Penelitian ini bersifat studi lapangan (field research) dimana penulis
secara langsung terjun ke lapangan untuk melakukan observasi
kemasyarakatan dengan Suku Kokoda, untuk memperoleh informasi yang
diperlukan guna mendapatkan hasil yang akurat dan pasti dari sumbernya
langsung.
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan etnografi. Etnografi merupakan suatu metode penelitian ilmu
sosial yang berfokus pada fenomena kebudayaan di suatu lingkungan.29
Dalam hal ini pendekatan etnografi digunakan untuk mengungkap
gambaran umum praktik tradisi serta makna resepsi al-Qur’an oleh
masyarakat Suku Kokoda.

28
Albi dan Johan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: Jejak, 2018), 9.
29
Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi, Pengantar dan Contoh
Penelitiannya (Bandung: Widya Padjadjaran, 2008), 65.
17

Penulis menggunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah


sumber data yang bisa langsung didapatkan pengumpul data.30 Data primer
dalam penelitian ini adalah kepala kampung Suku Kokoda, tokoh agama,
dan tokoh masyarakat serta masyarakat muslim Suku Kokoda. Sedangkan
data sekunder adalah sumber yang tidak langsung didapatkan pengumpul
data31. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, dokumen atau
arsip dan karya ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini difokuskan di komunitas induk Kampung
Suku Kokoda, Km 8 Kelurahan Klasabi, Distrik Sorong Manoi, Kota
Sorong, Papua Barat. Sedangkan subjek dari penelitian ini adalah kepala
kampung Suku Kokoda, tokoh agama, dan tokoh masyarakat serta
masyarakat komunitas muslim Suku Kokoda setempat. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 sampai November 2022.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi (Pengamatan)
Observasi yaitu teknik pengumpulan yang mengharuskan penulis
turun ke lapangan untuk menggali data dan mengamati langsung dari
sumber, hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa, tempat, benda, serta
rekaman dan gambar.32 Teknik ini digunakan untuk melihat atau mengamati
secara langsung ragam resepsi masyarakat muslim Papua Suku Kokoda
terhadap al-Qur’an.
b. Wawancara
Wawancara yaitu kegiatan pertemuan dan/atau perbincangan antara
pewawancara dan yang diwawancarai untuk memberikan atau menerima

30
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2013), 137.
31
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, 137.
32
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 199.
18

informasi tertentu serta mengetahui pengalaman dan makna pengalaman


tersebut33. Dalam wawancara ini penulis melakukan pertemuan langsung
dengan responden.
c. Dokumentasi
Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, penulis mencari dan
menyelidiki data mengenai hal-hal atau variabel berupa benda-benda
tertulis seperti buku-buku, surat kabar, majalah, dokumen, peraturan-
peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.34 Metode
dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi dan data-data
mengenai keadaan masyarakat Suku Kokoda Sorong Papua Barat, dalam
hal ini dokumen yang digunakan yaitu arsip monografi 2022 dari kelurahan
Klasabi.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi, dengan
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang mudah
dipahami.35
Pada dasarnya, analisis data dalam etnografi berjalan bersamaan
dengan pengumpulan data. Ketika penulis melengkapi catatan lapangan
setelah melakukan observasi, pada saat itu pula penulis melakukan analisis
data.36 Creswell dalam Kuswarno menyebutkan tiga teknik analisis data
dalam penelitian etnografi yaitu:37

33
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, 199.
34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, 201.
35
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), 244.
36
Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi, 70.
37
Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikas, 70.
19

1. Deskripsi, yaitu penulis menuliskan laporan dan menjabarkan hasil


penelitiannya dengan menggambarkan secara detail objek
penelitiannya.
2. Analisis, yaitu mempresentasikan data akurat mengenai penggambaran
objek penelitian yang biasanya melalui tabel, grafik, diagram, dan
model. Termasuk dalam tahap ini yaitu penjelasan pola-pola realitas,
membandingkan objek penelitian dengan objek lain dan
mengevaluasinya dengan nilai umum yang berlaku.
3. Interpretasi, yaitu tahap akhir analisis data dalam penelitian etnografi.
Pada tahap inilah etnografer mengambil kesimpulan dari hasil
penelitiannya.
Penulis menggunakan tiga teknis analisis data tersebut dengan
mendeskripsikan hasil penelitian, selanjutnya dianalisis dengan
membandingkan beberapa hasil temuan lapangan dan tahap terakhir adalah
menginterpretasi hasil analisis serta mengambil kesimpulan penelitian.
Untuk membantu menguatkan interpretasi analisis data, penulis
menggunakan analisis tipologi resepsi al-Qur’an oleh Ahmad Rafiq dan
teori Sosiologi Pengetahuan oleh Karl Mannheim. Sehingga dapat
dipaparkan ragam praktik dan makna simbolik dari resepsi masyarakat
Suku Kokoda terhadap al-Qur’an.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penelitian dan penyusunan skripsi ini berdasarkan
panduan Buku Pedoman Akademik 2017 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Pedoman penelitian karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 tahun 2017.
Untuk ayat-ayat al-Qur’an yang dicantumkan pada skripsi ini
mengutip dari Qur’an Kemenag in word versi 2.0 oleh Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kemenag.
20

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari
sub-sub bab. Adapun sistematika penelitiannya sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan yang bertujuan menjelaskan
mengenai latar belakang penelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan
sistematika penelitian.
Bab kedua bertujuan untuk menjelaskan gambaran umum mengenai
lokasi yang menjadi tempat penelitian yang berisi profil masyarakat muslim
Papua Suku Kokoda di Sorong Papua Barat berupa kondisi geografis, sosial
keagamaan, pendidikan, dan penduduknya.
Bab ketiga bertujuan untuk menjelaskan gambaran umum mengenai
resepsi al-Qur’an, yang berisi teori resepsi al-Qur’an, ragam resepsi al-
Qur’an di masyarakat, serta resepsi al-Qur’an sebagai bentuk ekspresi
masyarakat.
Bab keempat bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis yang berisi
ragam praktik dan makna resepsi al-Qur’an masyarakat muslim Papua Suku
Kokoda di Sorong, Papua Barat dalam kehidupannya sebagai minoritas.
Bab kelima adalah penutup yang bertujuan untuk memberikan
kesimpulan terhadap hasil penelitian yang dilakukan yang berisi
kesimpulan dan saran.
BAB II
PROFIL MASYARAKAT SUKU KOKODA

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai gambaran umum


kondisi struktural wilayah komunitas masyarakat Suku Kokoda, meliputi:
sejarah dan perkembangannya serta kondisi geografis, penduduk,
pendidikan, ekonomi, sosial agama, dan sosial budaya sehingga dapat lebih
memahami konteks sosial dalam rangka mengungkap ragam praktik resepsi
masyarakat Kokoda terhadap al-Qur’an.
A. Sejarah Singkat dan Perkembangannya (setiap subbab 1 cm)
Sejatinya, Suku Kokoda adalah salah satu sub dari suku IMEKO
(Inanwatan. Metemani, Kais dan Kokoda) yang merupakan suku asli Papua
dan mendiami wilayah Provinsi Papua Barat. Letak perkampungan asli
Suku Kokoda sangat jauh dan sulit untuk diakses. Mereka mendiami sebuah
pesisir muara diujung Sorong selatan. Selanjutnya pada tahun 1960-an,
terjadi migrasi besar-besaran oleh masyarakat Suku Kokoda demi mendapat
pekerjaan yang layak dan kesejahteraan hidup.1 Hingga kini, masyarakat
Suku Kokoda dapat dijumpai di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan
Kabupaten Sorong Selatan. Mereka membuat sebuah kompleks pemukiman
untuk komunitas mereka agar tidak terpisahkan.
Menurut riset sebelumnya, kata Kokoda berasal dari bahasa
Yamueti yaitu Kokodaya, yang berarti rawa atau telaga besar. Kata Kokoda
ini merujuk pada sebuah tempat dengan air berwarna hitam (rawa) dimana
terdapat pohon sagu yang mengelilingi kawasan tersebut.2
1. Masuknya Islam ke Kokoda

1
Idris Wugaje (Kepala Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati,
Sorong, 05 Juni 2022, Papua Barat.
2
Ismail Suardi dan Yuliana, “Tifa Syawat dan Entitas Dakwah dalam Budaya
Islam: Studi Suku Kokoda Sorong Papua Barat,” THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa,
Peradaban dan Informasi Islam, vol.13, no.1 (Juni 2012): 167.

21
22

Masyarakat suku IMEKO (Inanwatan. Metemani, Kais dan Kokoda)


mengakui Islam sebagai agama mereka. Pasalnya Islamlah agama yang
masuk pertama kali ke daerah mereka. Islam hadir dalam kehidupan suku
IMEKO khususnya Kokoda pada abad ke-16 dibawa oleh raja Tidore
bernama Syekh Alam Syah yang saat itu melakukan dakwah dari Maluku
hingga sampai pada pesisir Kabupaten Sorong Selatan. Dakwah Syekh
Alam Syah diawali dengan perdagangan rempah-rempah, tembakau, kacang
dan porna (sagu) di daerah pesisir dan masuk ke daratan di daerah Kokoda.
Kemudian Syekh Alam Syah mengutus para Imam untuk melanjutkan
misinya menyebarkan Islam, membimbing, dan membina masyarakat untuk
meningkatkan kualitas keimanan masyarakat setempat hingga masyarakat
mau menerima dan memahami ajaran Islam.3
Setelah Papua ditaklukkan dan menjadi bagian dari Kerajaan Tidore,
nenek moyang Suku Kokoda yang sebelumnya menganut paham animisme
kemudian beralih untuk memeluk agama Islam dan mewariskannya secara
turun temurun. Dari sinilah Islam mulai direspon dan perlahan
menunjukkan eksistensinya di tanah Kokoda. Hingga saat ini, Suku Kokoda
dianggap sebagai salah satu suku penduduk asli (pribumi) Papua yang
identik dengan Islam.
Namun kemudian, Belanda datang dan berhasil menduduki
Indonesia tidak terkecuali daerah Papua Barat. Selain menjajah wilayah,
Belanda memiliki misi khusus yaitu misionaris Kristen untuk
memperkenalkan agama baru kepada masyarakat. Belanda berhasil
menyebarkan ajaran Kristen dengan kuat, sehingga masyarakat terpecah
menganut dua agama, yaitu Islam dan Kristen. Tanah Papua pun selanjutnya
dikenal dengan masyarakatnya yang mayoritas Kristiani.4

3
Idris Wugaje, Wawancara.
4
Idris Wugaje, Wawancara.
23

Menurut penelitian sebelumnya, ada tiga faktor yang menyebabkan


Islam di Papua tidak terlalu kuat mengakar. Pertama, masyarakat Papua
adalah masyarakat suku, bukan masyarakat kerajaan. Kedua, pengaruh
misionaris Kristen yang kuat dari Kolonial Belanda, dimana Muslim pada
saat itu mendapat perlakuan keras dari pemerintah Belanda. Ketiga, faktor
kebudayaan. Sebelum agama masuk, masyarakat sudah memiliki tradisi,
terutama relasi kultural antara masyarakat suku Papua dengan babi. Pada
hampir semua suku pedalaman, babi memiliki tempat yang istimewa dalam
beberapa ritual. Sedangkan secara eksplisit, ajaran Islam mengharamkan
hewan ini. Sehingga Islam sulit berkembang pada beberapa suku di Papua.5
Tetapi, walaupun Belanda berhasil menjalankan tujuan misioner
Kristennya, masyarakat Kokoda tidak menjadikan ini sebagai permusuhan,
justru tetap teguh pendirian pada identitasnya sebagai seorang Muslim.
Sebagian masyarakat memilih sebagai Kristiani dan sebagian tetap memilih
sebagai Muslim. Mereka hidup berdampingan dengan damai di atas tanah
Kokoda. Inilah salah satu keunggulan masyarakat Suku Kokoda yaitu
mampu hidup bersama dengan penganut agama lain, tanpa menimbulkan
konflik. Padahal dapat dibayangkan, dengan adanya interaksi dengan
penganut agama lain, maka terdapat kewajiban yang perlu ditunaikan,
sedangkan ada hak yang terbatasi dengan hak penganut agama lain.
Pertemuan antara kewajiban dan hak ini kemudian menjadikan interaksi
keberagamaan antara komunitas masyarakat mayoritas muslim dengan
minoritas muslim tidak dapat disamakan.
Meskipun begitu masyarakat Kokoda sangat kuat berpegang teguh
pada keislamannya. Seperti keterangan dari bapak Ali Namugur selaku
tokoh agama Kokoda:

5
Saprillah, “Migrasi Kaum Muslim ke Sorong Papua Barat,” Jurnal Al-Qalam,
vol.17, no.2 (Desember 2011), 255.
24

“Dari dulu, walaupun di antara kita ini mungkin ada yang tidak bisa
baca al-Qur’an, tetapi tetap menerima dan mengakui al-Qur’an
adalah pedoman hidup kami. Dan kami pegang teguh dengan Islam
itu”6
Dengan keyakinan yang kuat, menerima dan mengakui al-Qur’an
sebagai pedoman hidup mereka, keislaman komunitas Kokoda tidak mudah
digoyahkan walaupun mereka sebagai minoritas, hidup berdampingan
dengan penganut agama lain.
2. Perkembangan Suku Kokoda
Ketika mendengar kata Papua, stigma masyarakat adalah
penduduknya yang penuh konflik, kekerasan, dan ketertinggalan. Padahal
jika lebih mengenali komunitas ini, maka akan didapati hal-hal menarik dan
khas di luar pemikiran orang-orang selama ini. Di dalamnya masyarakat
dapat hidup rukun dan damai penuh persaudaraan, saling menghargai
perbedaan, bahkan memberikan tempat tanpa diskriminasi kepada saudara-
saudara yang datang dari pulau lain, untuk hidup di tanah papua. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Ibu Jalila :
“Kalau kita terbuka sama mereka, mereka sudah kenal, akan terlihat
sekali sifat ramahnya. Mereka itu penyayang, kita akan dianggap
seperti sudah keluarga sendiri.”7
Masyarakat Kokoda adalah masyarakat yang kental dengan adat dan
memiliki rasa persaudaraan yang tinggi. Jika berkunjung ke Kokoda akan
disambut dengan ramah. Apalagi jika sudah kenal dan berperilaku sopan,
baik serta terbuka kepada warga setempat, maka mereka akan langsung
menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Secara umum, kondisi masyarakat Suku Kokoda saat ini mulai
berkembang. Sebagian penduduknya sudah memiliki kesadaran akan

6
Ali Syamsudin Namugur (tokoh agama), diwawancarai oleh Dian Prabawati,
Sorong, 12 Juni 2022, Papua Barat Daya.
7
Jalila Syarif, (Founder Akhwat Kokoda Comunity), diwawancarai oleh Dian
Prabawati, Sorong, 02 November 2022, Papua Barat Daya.
25

pentingnya pendidikan termasuk pendidikan keislaman dan al-Qur’an.


Sudah ada kesadaran tokoh agama dan masyarakat mengenai pentingnya
menegakkan dan menjalankan syariat. Jadi perlahan mulai mengikis hal-hal
yang dilarang, diganti dengan apa-apa yang sesuai syariat. Walaupun butuh
proses lebih karena keterbatasan pengetahuan dan daya tangkap, tetapi
mereka mulai berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.8
Namun yang menjadi kendala, walaupun sudah mulai memiliki
semangat belajar tetapi Kokoda belum didukung dengan fasilitas dan tenaga
pengajar yang cukup dan memadai. Faktor keterbatasan kompetensi dan
usaha juga akses informasi dan teknologi yang tidak cukup bersaing, serta
letaknya yang sulit dijangkau akibat jarak geografisnya yang jauh, menjadi
tantangan masyarakat Kokoda untuk meningkatkan taraf hidup mereka.9
Secara umum, potensi konflik keagamaan di Papua terdapat pada
fanatisme kesukuan yang telah menciptakan jarak dengan suku lain.
Beberapa konflik dipicu oleh hal-hal seperti pelanggaran batas desa,
pembunuhan binatang di suku tertentu, dan lainnya. Persoalan yang
sebenarnya bisa dimusyawarahkan ini dapat meledak menjadi konflik sosial
berdarah. Hal ini terjadi karena masyarakat kesukuan kurang terlatih dalam
pola pikir rasional, pola sosial demokratis, dan lintas kesukuan. Pola
kesukuan menjadikan warga yang tertutup, bernaung dalam zona aman
sukunya sendiri.10
Walaupun begitu, Kokoda juga memiliki kearifan lokal yang
mendukung keharmonisan hubungan antarumat beragama. Kearifan lokal
seperti semboyan “satu tungku tiga batu”, mengajarkan kesatuan

8
Jalila Syarif, Wawancara.
9
Ismail Agia (tokoh masyarakat), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 28
Oktober 2022, Papua Barat Daya.
10
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Peran Pemerintah Daerah
dan Kantor Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2013), 182.
26

masyarakat yang majemuk. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari bapak
Ismail Agia selaku tokoh masyarakat Kokoda:
“Di Kota Sorong ini termasuk kota yang mulai pesat
perkembangannya, kondisi majemuk dari berbagai suku, beberapa
agama tapi Alhamdulillah sampai saat ini bisa berjalan toleransinya
luar biasa. Dan saya anggap kota Sorong ini bisa jadi barometer
dimana kita bisa berkehidupan yang harmonis. Sudah jarang sekali
terdengar bahkan tidak ada lagi konflik karena masalah agama.
Masyarakat penuh toleransi dan matang.”11
Dalam kemajemukan, Kokoda tetap berupaya mengokohkan
kerukunan hidup dengan suku dan agama berbeda. Hal ini ditandai dengan
semakin membaiknya kesadaran beragama dan toleransi antar umat
beragama di Kota Sorong termasuk Kokoda.
B. Kondisi Geografis
Dari letak geografis, Suku Kokoda tersebar di Kota Sorong,
Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan, semuanya terletak di
Provinsi Papua Barat. Adapun masyarakat Suku Kokoda yang menjadi
objek penelitian kali ini adalah Suku Kokoda yang tinggal di Kota dan
Kabupaten Sorong, membentuk pemukiman atau kampung sendiri di
beberapa lokasi, yaitu : Rufei, Km 8, Km 9,5, Victory dan Kampung
Warmon Kabupaten Sorong.12 Dari beberapa lokasi tersebut, lokasi Km. 8
dijadikan induk komunitas Kokoda di Kota dan Kabupaten Sorong, yang
dikenal dengan “Kampung Kokoda”. Peneliti memfokuskan dan membatasi
wilayah penelitian yaitu di induk komunitas Kampung Kokoda Km 8
kelurahan Klasabi, Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong. Berikut data
monografi kelurahan Klasabi:13
1. Batas wilayah kelurahan
Sebelah Utara : Kelurahan Malaingkedi

11
Ismail Agia, Wawancara.
12
Idris Wugaje, Wawancara.
13
Arsip dokumen data monografi kelurahan Klasabi 2022.
27

Sebelah Selatan : Laut, Selat Dampir


Sebelah Barat : Kelurahan Remu Selatan
Sebelah Timur : Kelurahan Kladufu
2. Luas wilayah : 31,25 km2
3. Suhu rata-rata : 270 – 320 C
4. Jumlah RW :3
5. Jumlah RT : 14
6. Fasilitas bangunan
Masjid : 3 buah
Musholla : 3 buah
Gereja : 6 buah
Puskesmas : 1 buah
TK : 1 buah
SD : 2 buah
SMP : 1 buah
SMA : 1 buah

Gambar 2. 1 : Peta wilayah Kelurahan Klasabi14

14
Peta wilayah kelurahan Klasabi, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Google Maps:
maps kelurahan klasabii sorong - Search (bing.com) diakses pada 28 November 2022.
28

Secara geografis, posisi Kota dan Kabupaten Sorong cukup strategis


sebagai pintu gerbang wilayah Papua. Selain itu, kondisi alamnya masih
potensial untuk dikembangkan. Salah satu potensi alam yang dimiliki kota
ini adalah kandungan minyak dan lautnya serta tanaman obat-obatan yang
melimpah. Bagi masyarakat Kokoda kekayaan laut dijadikan sebagai
pekerjaan utama dalam mencari nafkah. Padahal, jika mengingat cuaca di
Kota ini tidak tergantung pada musim tertentu. Musim hujan dan kemarau
terkadang tidak kompromi tiba-tiba datang. Tetapi sumber daya dan
produktivitas manusianya yang umumnya hanya mampu pada sektor
kelautan, mampu mempertahankan eksistensi masyarakat Suku Kokoda.
Sebagai suku yang memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan, mereka
tetap memberdayakan laut tanpa merusak ekosistem lainnya.15
C. Kondisi Penduduk
Populasi Suku Kokoda setiap tahunnya meningkat. Jumlah
penduduk kampung Kokoda berdasarkan laporan kelurahan16 yaitu:
Jumlah penduduk : 11.750 jiwa
Laki-laki : 5.720 jiwa
Perempuan : 6.030 jiwa
Jumlah penduduk Kokoda berdasarkan kepercayaan yaitu:
Islam : 7.070 jiwa
Protestan : 4.590 jiwa
Katolik : 75 jiwa
Hindu : 8 jiwa
Budha : 7 jiwa
Penduduk Suku Kokoda terbagi atas dua jika dilihat dari
wilayahnya. Pertama, Suku Kokoda yang tinggal di daerah asal dan tidak
berbaur dengan pendatang, wilayah yang di dalamnya hanya ditinggali oleh

15
Idris Wugaje, Wawancara.
16
Arsip dokumen data monografi kelurahan Klasabi 2022.
29

masyarakat Suku Kokoda asli. Dan, kategori kedua dimana Suku Kokoda
yang bertransmigrasi dengan merantau ke kota dan berbaur dengan warga
pendatang maupun suku asli Papua lainnya.17 Komunitas induk Kokoda di
kelurahan Klasabi termasuk kategori kedua dimana masyarakat berbaur
dengan masyarakat lain.
D. Kondisi Pendidikan
Secara umum tingkat pendidikan masyarakat Kokoda masih relatif
rendah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan pun masih kurang. Hanya
sebagian kecil yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.
Kebanyakan anak Kokoda setelah menamatkan SD, langsung ikut orang tua
mereka bekerja mencari nafkah. Tetapi beberapa di antara mereka ada juga
yang berhasil melanjutkan sampai ke perguruan tinggi, namun biasanya
terjadi pada anak pemuka masyarakat. Beberapa anak yang memiliki
potensi juga disekolahkan ke Jawa untuk menempuh pendidikan di pondok
pesantren yang sudah bekerjasama dan memiliki program serta jalur khusus
putra daerah asli Kokoda.18
Saat ini sudah dibangun beberapa sarana pendidikan di sekitar
kampung Kokoda untuk membantu akses pendidikan gratis dan
meningkatkan semangat pendidikan bagi anak-anak kampung Kokoda. Di
antaranya yaitu: LabSchool UNIMUDA di Kampung Warmon Kokoda,
Yayasan Pendidikan Islam dan Pondok Pesantren Emeyodere khusus
masyarakat Kokoda, Pondok Cahaya Islam Papua (CIP) dengan program
khusus untuk muslim Kokoda, dan sekolah-sekolah negeri maupun swasta
di sekitar kompleks Kokoda, serta adanya keterlibatan dalam bidang

17
Raisa Anakota dkk, “Akulturasi Masyarakat Lokal dan Pendatang di Papua
Barat,” Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, vol.21, no.1 (Juni 2019): 29-30.
18
Ismail Agia, Wawancara.
30

pendidikan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah,


NU, Yapis. DDI, DDII, Hidayatullah, Darul Istiqomah.19
Pembinaan-pembinaan dan kegiatan yang membangun lainnya
mengenai bertani, beternak, dan melaut juga dilakukan untuk
pemberdayaan masyarakat. Walaupun partisipasi dan ketertarikan warga
terhadap hal-hal seperti ini masih minim dan tidak banyak diminati oleh
mereka. Padahal banyak masyarakat suku pendatang (seperti Jawa) yang
ingin berbagi ilmu, tetapi baru segelintir dari mereka yang bersemangat
belajar. Hal ini berlaku bagi semua kalangan, dari yang muda hingga yang
tua.20
E. Kondisi Ekonomi
Secara umum, mayoritas mata pencaharian masyarakat Kokoda
adalah pedagang kayu bakau dan batu yang dicari di hutan dan di pantai.
Ada juga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan yang memanfaatkan
sumber daya alam, seperti sagu dan ikan laut. Selain itu, beberapa ada yang
menjadi buruh kasar, buruh bangunan, dan juga serabutan. Produktivitas
kerajinan tangan juga menjadi ciri khas yang ditonjolkan dari masyarakat
Kokoda, seperti tas yang dibuat dari batang sagu, anyaman rotan maupun
dari rumput alang-alang yang disebut noken. Dengan demikian mereka bisa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama bagi perempuan
Kokoda juga mencukupi finansial mereka.21
Dilihat dari segi ekonomi, keadaan masyarakat Kokoda cukup
lemah. Hal ini ditunjukkan dengan daya beli yang rendah untuk pemenuhan
kebutuhan, bahkan cenderung berharap bantuan dari orang lain. Dapat
dikatakan, kemiskinan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, di antaranya;
karakteristik dan kebiasaan masyarakat yang kurang memperhatikan etos

19
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara
20
Ismail Agia, Wawancara.
21
Idris Wugaje, Wawancara.
31

kerja, dan penghasilan yang tidak menentu. Pasalnya, sifat ini berdampak
pada kualitas dan kuantitas penghasilan yang diperoleh. Hal ini diperparah
lagi oleh sebagian mereka yang suka melakukan perbuatan menyimpang,
seperti mabuk-mabukkan, berjudi, dan hidup boros.22 Seperti yang
diungkapkan bapak Ismail Agia, tokoh masyarakat setempat :
“Walaupun sudah menganut agama Islam tapi kebiasaan umum
sebagian masyarakat Kokoda sampai sekarang masih susah
dihilangkan, padahal melanggar norma agama. Belum lagi tingkat
kesadaran pada pendidikan yang rendah.”23
Belum ada kesadaran penuh dari individu untuk menghilangkan
kebiasaan ini sehingga upaya pembinaan moral dan agama juga berjalan
kurang maksimal.
F. Keadaan Sosial Keagamaan
1. Kegiatan Keagamaan
Islam berkembang di Kokoda bukan melalui pendidikan, tetapi
adanya akulturasi dengan budaya. Masyarakat mengenal Islam sebagai
agama nenek moyang yang harus mereka ikuti. Meski beragama Islam,
namun pemahaman keislaman masyarakat Suku Kokoda masih kurang.
Masih sedikit di antara mereka yang mampu membaca al-Qur’an dengan
fasih, serta rajin menjalankan ibadah. Masyarakat Kokoda belum
menganggap pendidikan keislaman menjadi agenda utama. Faktor masih
hidup dalam kondisi memprihatinkan menjadi salah satu penyebabnya.
Meskipun begitu, masyarakat Kokoda berpegang teguh pada
keislamannya.24
Suku Kokoda memiliki masjid sendiri di pemukiman mereka,
Namun, masjid tersebut masih jarang difungsikan. Meskipun begitu, tokoh

22
Muhammad Rais. ”Islam Dan Kearifan Lokal; Dialektika Faham dan Praktik
Keagamaan Komunitas Kokoda-Papua dalam Budaya Lokal,” Jurnal HIKMAH, vol.7, no.1
(2011): 60.
23
Ismail Agia, Wawancara.
24
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara.
32

agama setempat tetap berupaya mengisinya dengan kegiatan keagamaan,


seperti shalat berjamaah meskipun tidak banyak yang berjamaah, pengajian,
yasinan, perayaan hari besar Islam dan lain-lain.25
Untuk aktivitas keagamaan, warga Suku Kokoda biasanya
melaksanakannya bersama dengan sesama Suku Kokoda dan masih jarang
membaur dengan warga pendatang. Kegiatan keagamaan yang sifatnya
momentum atau temporal seperti maulid Nabi, mereka sangat antusias
mengikuti. Tetapi untuk kegiatan rutin sehari-hari dan keinginan mendalami
syariat Islam dapat dikatakan masih minim.
Salah satu yang unik dari komunitas ini yaitu dapat ditemukan dua
penganut agama berbeda hidup dalam satu atap tanpa terjadi permasalahan
agama di antara mereka. Justru perayaan agama seperti Natal dan Idul Fitri,
menjadi kesempatan untuk pertemuan keluarga besar, saling mengunjungi,
bertemu dan saling berbagi kebahagiaan. Hal ini sudah menjadi bagian
tradisi turun temurun sehingga perbedaan agama tidak menjadi persoalan
bagi setiap keluarga.26 Bukan hanya pada momen perayaan hari besar
agama, tetapi setiap hari anak-anak terlihat bergaul dengan sebayanya tanpa
mempermasalahkan urusan identitas agama. Oleh karenanya, mereka tetap
menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
2. Keberagamaan dan Keberagaman
Muslim bersama-sama dengan umat Kristiani-Protestan menjadi
pilar keberagamaan masyarakat Papua Barat. Sebagai masyarakat minoritas
selaku pemeluk Islam di tanah Papua, Suku Kokoda meyakini bahwa agama
tidak menjadi penghalang pembentukan kerukunan, justru agama ada untuk
membangun kesepahaman dan akhirnya bisa saling mendukung. Toleransi

25
Idris Wugaje, Wawancara.
26
Ismail Suardi, “Harmoni Sosial dalam Keberagaman dan Keberagamaan
Masyarakat Minoritas Muslim Papua Barat,” Jurnal Kalam, vol.10, no.2 (Desember 2016):
307.
33

terhadap penganut agama berbeda telah ditanamkan oleh masyarakat


Kokoda bahkan dari bagian terkecil yaitu individu dalam keluarga. Mereka
tidak mempermasalahkan pilihan agama tiap individu dalam keluarga.
Walaupun demikian, ikatan kekeluargaan mereka tetap baik dan tidak
menjadi renggang, justru saling memberikan dukungan terutama dalam
merayakan tradisi keagamaan. Hal ini diistilahkan sebagai ‘agama
keluarga’, yaitu dimana dalam satu keluarga atau satu atap terdapat dua
agama, yaitu Islam dan Kristen.27
Dari sini memberi kesan bahwa identitas agama adalah pilihan dan
urusan individu dengan Tuhan tanpa mempengaruhi hubungan sesama
manusia. Apabila bertemu dengan orang lain, maka agama tidak perlu
menjadi pembeda justru adanya agama untuk saling menghargai pilihan
yang berbeda.28
Secara umum, hubungan dan kehidupan sosial keagamaan
masyarakat Suku Kokoda relatif aman, rukun dan damai, tidak terdengar
adanya konflik berkepanjangan karena perbedaan agama. Suku Kokoda
memiliki cara dan aktivitas keagamaan yang sedikit berbeda dengan suku
lain, dalam rangka memahami dan menjalankan norma agama. Ikatan
kesukuan dan persaudaraan yang kuat dijaga menjadi kunci kedamaian
dalam masyarakat Kokoda dan sekitarnya.29.
G. Keadaan Sosial Budaya
Kokoda merupakan suku yang masih kental dengan adat istiadat
sebagai identitas kesukuannya. Kebudayaan itu telah ada sebelum Islam
datang. Tradisi yang diterima sebagai warisan tentu dipelihara dan
diperhatikan dengan baik, karena akan dilestarikan dari generasi ke
generasi. Menjadi tantangan tersendiri bagi para pendakwah Islam untuk

27
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara.
28
Ismail Suardi, “Harmoni Sosial, 308-310.
29
Muhammad Rais, ”Islam Dan Kearifan Lokal, 63.
34

mengkonstruksi metode dakwah di daerah Kokoda. Para penyiar agama


Islam memulai dakwahnya melalui kebudayaan masyarakat setempat,
sehingga terjadilah akulturasi Islam dengan budaya setempat, sehingga
Islam dapat diterima oleh masyarakat Suku Kokoda.30
1. Interaksi Sosial
Masyarakat Suku Kokoda relatif jarang berinteraksi dengan warga
suku lain karena jarak dan akses pemukiman yang berjarak. Selain itu,
warganya lebih suka hidup dengan sesama suku dengan membentuk
pemukiman sendiri. Walaupun begitu, masyarakat Kokoda tetap menjalin
hubungan baik dengan sekitarnya. Dikala ada kesempatan, mereka yang
dikenal ramah akan menyapa terlebih dahulu saat berpapasan.
Namun, ada saja tanggapan negatif dari masyarakat suku lain
terhadap warga Kokoda, seperti anggapan bahwa Suku Kokoda berwatak
keras, kasar, dan suka seenaknya. Padahal sifat yang dibawa turun temurun
oleh mereka adalah menganggap siapa saja sebagai saudara walaupun tidak
ada hubungan darah atau berbeda agama.31
2. Kepemimpinan dan adat
Kepemimpinan dalam Suku Kokoda terbagi atas dua:
kepemimpinan adat dan kepemimpinan agama. Masing-masing memiliki
peran dan tanggung jawab dalam masyarakat Kokoda. Kepala suku
bertanggung jawab pada persoalan adat dan kehidupan sehari-hari. Melalui
kepala suku, keperluan bersama baik internal maupun eksternal disuarakan.
Kepala suku juga berperan dalam melestarikan tradisi dan kearifan lokal
Suku Kokoda yang sudah turun temurun. Di luar itu, wilayah Kokoda tetap
terdata sebagai salah satu bagian wilayah teritorial Kota Sorong, sehingga
untuk urusan pemerintahan wilayah Kokoda tercatat di kelurahan Klasabi

30
Ismail Suardi dan Yuliana, “Tifa Syawat, 169.
31
Idris Wugaje, Wawancara.
35

sesuai lokasi dengan tetap berkomunikasi dan berkoordinasi melalui kepala


suku.32
Sementara untuk urusan agama dipimpin oleh imam masjid, guru
mengaji, atau pegawai kementerian agama. Kepala suku dan pemuka agama
bekerjasama dalam urusan sosial masyarakat. Sebagai contoh, dalam hal
pernikahan. Urusan akad nikah, mahar dan saksi pernikahan sepenuhnya
menjadi kewenangan imam. Tetapi untuk persiapan jamuan, prosesi
pernikahan dan juga hiasan pengantin ditangani oleh bagian adat.33
3. Konsep “Sapu Sodara”
Konsep persaudaraan Suku Kokoda “Sa pu sodara” sangat erat
melekat pada masyarakat Suku Kokoda. Secara historis, nenek moyang
Suku Kokoda yang lebih populer disebut Raja Lima, artinya terdiri dari lima
orang raja. Kelimanya, merepresentasikan lima marga dengan dua agama,
empat raja beragama Islam dan satu raja beragama Kristen. Kelima raja
tersebut mewariskan sebuah kearifan lokal yang hingga kini masih
diapresiasi oleh generasi Kokoda yaitu konsep “Sa pu sodara” yang
bermakna “saudara saya”, dimana konsep ini dianggap lebih tinggi daripada
apapun bahkan ajaran agama. Konsep persaudaraan ini mengajarkan untuk
sesama Suku Kokoda memiliki rasa persaudaraan yang tinggi sekalipun
tidak memiliki hubungan darah.34
Konsep “Sa pu Sodara” sudah menjadi bagian dari tradisi dan
kearifan lokal dari Suku Kokoda yang senantiasa dijaga turun temurun.
Pada perkembangannya, kecenderungan Suku Kokoda terhadap konsep
persaudaraan ini ditunjukkan dalam pemaknaan yang lebih luas terhadap
budaya dan agama. Semua aspek kehidupan, baik yang berbasis agama

32
Idris Wugaje, Wawancara.
33
Idris Wugaje, Wawancara.
34
Idris Wugaje, Wawancara.
36

maupun budaya harus berangkat dari semangat “persaudaraan”


sebagaimana yang diwariskan dari leluhur.
Konsep ini menjadi keunikan dari cara dan aktivitas keagamaan
masyarakat Suku Kokoda, sehingga mereka dapat hidup berdampingan
dengan masyarakat lain. Namun mengutip pada pendapat Rais, hal tersebut
berakibat pada kognitifitas keagamaan. Akhirnya, ketika terjadi proses
akulturasi agama dan kearifan lokal, praktik keagamaan terkadang terkesan
dikesampingkan demi sebuah kebersamaan dalam konteks kekuatan
kearifan lokal. Walaupun hal demikian dimaksudkan agar terciptanya
keharmonisan sosial Suku Kokoda dengan masyarakat lain.35
Dari paparan di atas, dapat kita pahami bahwa Suku Kokoda adalah
komunitas suku asli Papua yang beragama Islam. Sebagai masyarakat asli
minoritas selaku pemeluk Islam di tanah Papua, Suku Kokoda dapat hidup
berdampingan dengan masyarakat lain dengan tetap mempertahankan
prinsip, keyakinan serta tradisi turun temurun dengan segala kondisi dan
keunikan daerahnya. Hal ini menjadikan kehidupan Suku Kokoda sangat
strategis dan kondusif untuk mengakses isu-isu keberagamaan, terutama
kaitannya interaksi masyarakat dengan al-Qur’an.

35
Muhammad Rais. ”Islam dan Kearifan Lokal, 78-79.
BAB III
TINJAUAN UMUM RESEPSI AL-QUR’AN

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang berisikan nilai dasar dan


moral untuk mengarahkan umat Islam menuju jalan yang lurus. Ketika al-
Qur’an berada dalam ranah publik maka timbul beragam respon penerimaan
hingga melahirkan tindakan yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai asumsi dasar kajian resepsi
al-Qur’an sehingga dapat lebih memahami konsep penerimaan dan
pemaknaan al-Qur’an yang mengakar di masyarakat.
A. Resepsi Al-Qur’an dalam Kajian Living Qur’an
Kajian tentang resepsi al-Qur’an berdampingan erat dengan kajian
sosial humaniora. Fokus kajian dari resepsi al-Qur’an adalah perilaku
masyarakat dalam memaknai dan memperlakukan al-Qur’an. Karena al-
Qur’an bukan hanya sekedar teks untuk dibaca, tetapi ia dapat menyatu kuat
dengan kehidupan orang yang mengimaninya.
Secara umum, kajian studi al-Qur’an terbagi dalam empat model
penelitian.1 Pertama, penelitian yang objek kajiannya adalah teks al-
Qur’an. Sehingga menempatkan teks al-Qur’an untuk diteliti dan dianalisa
kemudian menemukan hasilnya. Amin al-Khuli menyebutnya dengan
istilah Dira>sah al-naṣ (studi tentang naskah/ teks al-Qur’an). Kedua,
penelitian mengenai hal-hal di luar teks al-Qur’an, namun masih
berhubungan dengan kehadiran al-Qur’an. Dalam hal ini dapat membantu
melakukan penelitian teks al-Qur’an, seperti kajian mengenai asba>b al-
nuzu>l, kodifikasi al-Qur’an, dan sejarah penulisan. Al-Khulli

1
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits
(Yogyakarta: Teras, 2007), xi.

37
38

menyebut kajian ini dengan Dira>sah ma> H}aul al-Qur’a>n (studi


tentang apa yang ada disekitar teks al-Qur’an). Ketiga, penelitian
mengenai penafsiran teks al-Qur’an. Sehingga objek kajiannya adalah
pemahaman al-Qur’an baik secara mushafi maupun tematik. Keempat,
penelitian yang membahas respon masyarakat terhadap al-Qur’an, baik
secara teks maupun dari hasil penafsiran, sehingga menghasilkan
fenomena sosial akibat dari interaksi masyarakat dan keberadaan al-
Qur’an. Respon masyarakat yang dimaksud adalah respon sosial
komunitas muslim melalui interaksi yang berkesinambungan dalam
rangka menghidupkan al-Qur’an.1
Model penelitian yang terakhir ini kemudian dikenal dengan
istilah living qur’an. Living qur’an merupakan sebuah pendekatan baru
dalam studi al-Qur’an yang terdiri dari kata living dan Qur’an. Living
berasal dari bahasa Inggris yang berarti hidup dan Qur’an yaitu kitab
suci umat Islam. Menurut terminologi, living qur’an yaitu fenomena al-
Qur’an yang hidup, tumbuh dan berkembang serta disikapi secara
teoritik maupun dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.2 Dengan
kata lain, fokus kajian ini bukan pada eksistensi tekstualnya melainkan
pada fenomena sosial yang berkembang dalam merespon kehadiran al-
Qur’an di wilayah dan waktu tertentu kaitannya dengan hubungan antara
al-Qur’an dan masyarakat Islam. Singkatnya, living Qur’an adalah
upaya memahami praktik kehidupan masyarakat yang berlandaskan al-
Qur’an.

1
Menghidupkan al-Qur’an maksudnya al-Qur’an tidak semata hanya dibaca,
dipelajari, dipahami teksnya. Tetapi juga perihal penerapan teks-teks al-Qur’an dalam
kehidupan sehari-hari sehingga ia menyatu kuat dan mempengaruhi setiap aspek hidup
manusia yang mengimaninya.
2
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living, xiv.
39

Secara antropologis, konsep living qur’an dipandang sebagai


fenomena sosial-budaya, yaitu berupa perilaku individu yang dihasilkan
dari pemahamannya terhadap al-Qur’an. Dari sudut pandang ini, fokus
kajian selanjutnya bukan lagi al-Qur’an sebagai sebuah kitab, melainkan
cara manusia menyikapi al-Qur’an, pola perilaku berdasarkan
pemahaman al-Qur’an, dan bagaimana al-Qur’an hadir dan
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.3
Selanjutnya dalam kajian living qur’an, dibahas pula mengenai
resepsi al-Qur’an. Kata resepsi mewakili perilaku interaksi antara al-
Qur’an dengan penganutnya. Pengertian secara etimologis, kata
“resepsi” berasal dari bahasa Latin yaitu ‘recipere’ yang berarti
penerimaan atau penyambutan pembaca.4 Sedangkan secara
terminologis, resepsi diartikan sebagai ilmu keindahan yang didasarkan
pada respon pembaca terhadap karya sastra.5 Dalam karya sastra,
makna teks dipengaruhi oleh posisi dan situasi pembaca. Sebuah teks
juga hanya dapat mempunyai makna setelah teks itu dibaca.6 Maka dapat
dipahami bahwa, resepsi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji peran
pembaca dalam merespon, memberikan reaksi, dan memaknai suatu teks
sesuai dengan pengetahuan dan ideologinya.
Apabila dikaitkan dengan kajian living qur’an, mengutip
pendapat Ahmad Rafiq, resepsi al-Qur’an adalah kajian tentang
bagaimana al-Qur’an diterima, direspon, dimanfaatkan, atau digunakan

3
Heddy Shri Ahimsa Putra, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi,” Jurnal Walisongo, vol.20, no.01 (Mei 2022): 250.
4
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 22.
5
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik dan
Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 7.
6
Rachmat Djoko Pradopo, “Beberapa Teori Sastra, 10.
40

oleh individu baik sebagai mushaf maupun teks yang memiliki makna
sendiri.7 Resepsi al-Qur’an dimaknai sebagai kajian tentang sambutan
atau respon pembaca terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an. Sambutan
tersebut bisa berupa cara masyarakat dalam menafsirkan pesan ayat-ayat
al-Qur’an, mengaplikasikan ajaran moralnya, ataupun cara masyarakat
membaca dan melantunkan ayat-ayatnya yang kemudian sambutan
tersebut diberi nilai dan makna sehingga menjadi dasar dan pedoman
hidup masyarakat yang mengimaninya.8
Dalam kajian resepsi, al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan,
melainkan sebagai teks yang hidup dalam keseharian masyarakat.
Dengan demikian, pergaulan dan interaksi pembaca dengan al-Qur’an
merupakan konsentrasi dari kajian resepsi ini, sehingga implikasi dari
kajian tersebut akan memberikan konsep tentang ciri khas dan tipologi
masyarakat dalam berinteraksi dengan al-Qur’an.9
Resepsi terhadap al-Qur’an telah dipahami dan dipraktekkan
sejak masa Nabi hingga generasi setelahnya, bahkan era kontemporer,
sehingga memunculkan fenomena-fenomena yang cukup menarik.
Fenomena yang mencerminkan everyday life of the Qur`an muncul
sebagai hasil upaya umat Islam berinteraksi dengan kitab sucinya hingga
melahirkan tradisi atau kebiasaan di masyarakat. Seperti merutinkan
membaca suatu surah yang diyakini mendatangkan manfaat, meyakini

7
Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan ke Resepsi (Sebuah
Pencarian Awal Metodologis)” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Islam, Tradisi dan
Peradaban,(Yogyakarta: Suka Press, 2012), 73.
8
M Ulil Abshor, “Tradisi Resepsi Al-Qur’an Di Masyarakat Gemawang
Sinduadi Mlati Yogyakarta (Kajian Living Qur'an),” Jurnal Qof, vol.03, no.01 (2019):
43.
9
Fathurrosyid, “Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur’an di Kalangan
Masyarakat Sumenep Madura,” Jurnal el Harakah, vol.17, no.2 (2015): 222.
41

beberapa ayat tertentu sebagai obat bahkan jimat, beberapa ayat atau
surah dibaca dalam tradisi adat sebagai bentuk akulturasi agama,
beberapa kutipan ayat dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, bahkan
makam, hingga al-Qur’an dilombakan dalam bentuk Tilawah dan
Tahfizh al-Qur’an, dan banyak lainnya. Berbagai fenomena sosial-
budaya ini terjadi karena adanya keyakinan bahwa berinteraksi dengan
al-Qur’an secara maksimal akan memperoleh kebahagiaan dunia
akhirat.
B. Ruang Lingkup Kajian Resepsi Al-Qur’an
Kajian di bidang living qur’an memberikan kontribusi yang
besar bagi pengembangan bidang kajian al-Qur’an. Kajian resepsi al-
Qur’an sebagai bagian dari living qur’an, dimaksudkan untuk
memahami apa sebenarnya yang memotivasi individu merespon al-
Qur’an, apa artinya bagi mereka dalam kehidupan, dan bagaimana
hubungan teks (ayat, hadis, atau aqwal ulama) yang mendasari praktik
resepsi al-Qur’an tersebut.10
Kajian resepsi al-Qur’an berkaitan dengan kajian ilmu sosial-
budaya seperti antropologi dan sosiologi, dimana peneliti bukan
mempermasalahkan kebenaran penafsiran al-Qur’an, karena tujuan
penelitian bukanlah ‘mengevaluasi’ atau ‘menghakimi’ sebuah
pemahaman atau pemaknaan (penafsirannya), tetapi melakukan
‘pembacaan’ objektif terhadap fenomena keagamaan yang terkait
langsung dengan al-Qur’an dalam keseharian masyarakat muslim
menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. Kemudian gejala-gejala

10
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta:
Idea Press, 2015), 104.
42

tersebut dipahami dan dijelaskan sebaik-baiknya.11 Karena tujuan


penelitian living qur’an adalah untuk menemukan makna dan nilai-nilai
(meaning and values) pada sebuah fenomena sosial-keagamaan yang
dikaji, berupa praktik ritual yang berkaitan langsung dengan al-
Qur’an.12 Arti penting kajian living qur’an, memberi pandangan baru
bagi pengembangan kajian al-Qur’an di era kontemporer. Sehingga
studi al-Qur’an tidak hanya pada wilayah kajian tekstual saja. Kajian
tafsir living qur’an akan lebih banyak mengapresiasi respon dan
tindakan masyarakat terhadap kehadiran al-Qur’an.13
1. Tipologi Resepsi Al-Qur’an
Tipologi merupakan aspek penting dalam ruang lingkup kajian
resepsi al-Qur’an. Tipologi menjadi pedoman dan konsep pokok untuk
melakukan kategorisasi atau pengelompokan ragam praktik tradisi
resepsi al-Qur’an di masyarakat. Secara teoritis, Ahmad Rafiq dalam
disertasinya membagi bentuk tipologi resepsi masyarakat terhadap al-
Qur’an menjadi tiga bentuk, yaitu:14
a. Resepsi Eksegesis terhadap Al-Qur’an
Eksegesis secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu
‘interpretasi atau penjelasan’. Maka resepsi eksegesis al-Qur’an
diartikan sebagai tindakan menerima al-Qur’an sebagai teks, lalu
menyampaikan makna tekstualnya yang diungkapkan melalui tindakan

11
Ahmad Farhan, “Living Al-Qur’an sebagai Metode Alternatif dalam Studi
Al-Qur’an,” Jurnal El-Afkar, vol.6, no.2 (Juli- Desember 2017): 92.
12
Didi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-
Qur’an,” Journal of Qur’an and Hadith Studies, vol.4, no.2 (2015): 184.
13
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, 109.
14
Ahmad Rafiq, The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of
the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community, (Disertasi Ph.D.,
Temple University Press, 2014), 146.
43

penafsiran. Resepsi eksegesis juga dipahami sebagai kajian interpretasi


teks dan aktivitas interpretasi teks itu sendiri.15
Contoh bentuk resepsi ini yaitu penafsiran teks al-Qur’an oleh
para ulama dengan beragam corak dan metode, pembelajaran al-Qur’an
yang biasa dilakukan di masjid atau surau, al-Qur’an dihafalkan baik
secara utuh 30 juz atau beberapa bagiannya saja, beberapa potongan kata
atau kalimat al-Qur’an dimasukkan dalam media pembelajaran al-
Qur’an baik secara tertulis seperti Iqra, Qira’ati dan Ummi, maupun
melalui media online, beberapa ayat atau surah al-Qur’an juga tak jarang
dikutip dan dijadikan bahan khutbah, kajian, ataupun kata-kata motivasi
sebagai dasar pedoman hidup.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa resepsi eksegesis terhadap
al-Qur’an yaitu bagaimana individu merespon al-Qur’an dengan dibaca,
dipahami, dan diajarkan.
b. Resepsi Estetis terhadap Al-Qur’an.
Resepsi estetis al-Qur’an adalah menerima al-Qur’an sebagai
suatu keindahan. Resepsi ini mengungkap proses penerimaan dengan
indera, pengalaman seni, serta perasaan akan sebuah objek.
Tindakannya bisa dalam dua cara, yaitu pertama saat pembaca dapat
menerima nilai estetika dalam penerimaannya ketika berinteraksi
dengan al-Qur’an, dan kedua adalah ketika dalam pembacaannya akan
al-Qur’an, seseorang melakukan pendekatan secara estetis
terhadapnya.16

15
Ahmad Rafiq, “Sejarah al-Qur’an, 75.
16
Imas Lu’ul Jannah, “Resepsi Estetik terhadap Al-Qur’an pada Lukisan
Kaligrafi Syaiful Adnan,” Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara, vol.3,
no.2 (2017): 26.
44

Bentuk resepsi estetis dapat berupa pembacaan al-Qur’an


dengan nada-nada tertentu atau dikenal dengan Tilawatil Qur’an,
berkembang pula seni penulisan indah ayat-ayat al-Qur’an atau
kaligrafi, biasanya kaligrafi ini ditempelkan di dinding rumah atau
masjid. Selain itu, adanya penerjemahan al-Qur’an dalam bentuk puisi
oleh ahli sastra seperti tokoh HB Yassin.
Dengan demikian, al-Qur’an diterima dengan cara estetis yaitu
al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, dan ditampilkan dengan cara
yang estetik.
c. Resepsi Fungsional terhadap Al-Qur’an
Pada resepsi ini, al-Qur’an di posisikan sebagai kitab yang
dipergunakan untuk tujuan tertentu. Kemudian dari tujuan tersebut
lahirlah dorongan untuk melakukan sikap atau perilaku tertentu. Resepsi
fungsional al-Qur’an juga dipahami sebagai penerimaan yang
membentuk kultur dan budaya masyarakat, karena tak jarang respon
masyarakat terhadap al-Qur’an melahirkan suatu tradisi baru yang
merupakan hasil akulturasi budaya dengan agama serta berlandaskan al-
Qur’an.17
Adapun bentuk resepsi fungsional, seperti pengajian rutin al-
Qur’an, yasinan, khataman al-Qur’an, beberapa bacaan al-Qur’an
dijadikan sebagai media pengobatan (ruqyah), potongan ayat al-Qur’an
dijadikan sebagai jimat, al-Qur’an dijadikan wirid, hingga bacaan al-
Qur’an dimasukkan dalam rangkaian tradisi atau ritual masyarakat.
Tindakan pada resepsi ini mendatangkan keyakinan pada
individu bahwa al-Qur’an mempunyai kekuatan magic. Seperti apabila

Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik terhadap Al-Qur’an: Antara


17

Penyimpangan dan Fungsi,” Jurnal Studi Qur’an dan Hadith, vol.4, no.1 (2004): 5.
45

potongan ayat-ayat al-Qur’an dibaca secara rutin dan konsisten, baik


waktu dan tempatnya, maka akan mendatangkan kekuatan, dapat
sebagai penolak bala, atau sebagai penarik rezeki dan lainnya.
Munculnya beragam resepsi-resepsi di atas disebabkan adanya
dua alur pemahaman dalam tradisi al-Qur’an, yakni transmisi dan
transformasi. Transmisi berarti pengalihan pengetahuan dan praktik dari
generasi ke generasi, sedangkan transformasi berarti perubahan bentuk
pengetahuan dan praktik sesuai kondisi masing-masing generasi.18
Sebagai contoh pada masa khalifah Us\man ibn ‘Affa>n, rasm al-
Qur’an diresmikan dengan istilah Rasm Us\mani. Dahulu, al-Qur’an
dikumpulkan dan ditulis dengan cara sederhana dan dengan alat
seadanya. Tujuannya murni untuk menjaga orisinalitas al-Qur’an.
Kemudian hal ini ditransmisikan melewati ruang dan waktu, sekaligus
mengalami transformasi terhadap bentuk-bentuk penulisan al-Qur’an.
Bisa dilihat sekarang, banyak bermunculan penulisan-penulisan al-
Qur’an yang menonjolkan sisi keindahannya. Berbagai terbitan mushaf
al-Qur’an bermunculan, ukuran dan gaya tulisan serta hiasannya pun
sangat beragam, belum lagi dilengkapi dengan terjemah, tafsir, petunjuk
tajwid, al-Qur’an for women yang penuh warna, al-Qur’an for kids yang
memuat gambar, dan lainnya. Tidak hanya dituliskan dalam bentuk
mushaf, ayat-ayat al-Qur’an juga dituliskan dalam bentuk pigura
sebagai pajangan. Artinya, pewahyuan al-Qur’an telah menghadirkan
sebuah tradisi penulisan al-Qur’an sejak masa diturunkannya dan
berkembang pesat hingga masa kini.19

18
Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik terhadap Al-Qur’an, 6.
19
Ibnu Santoso, “Resepsi Al-Qur’an dalam Berbagai Bentuk Terbitan,”
Jurnal Humaniora, vol.16, no.1 (Februari 2004): 78-87.
46

Bagi seseorang yang kurang memahami realita sosial


masyarakat, serta tidak melihat dari sudut pandang sosial humaniora,
akan dengan mudah mengatakan bid’ah atau bahkan sesat pada praktik-
praktik semacam ini. Padahal inilah transformasi atau perubahan atas
bentuk pengetahuan dan praktik yang ditransmisikan dari generasi ke
generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab sucinya.20
Lebih lanjut, pendapat Ahmad Rafiq memunculkan dua aspek
interaksi terhadap al-Qur’an,21 yaitu :
a) Aspek informatif, yakni upaya interaksi manusia terhadap al-Qur’an
melalui kajian teks mendalam, dari aspek ini kemudian melahirkan
kajian al-Qur’an, seperti ilmu tafsir.
b) Aspek performatif, yakni upaya interaksi manusia terhadap al-
Qur’an sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Aspek ini banyak
melahirkan ragam perilaku, ritual, tradisi umat Islam yang terus
berkembang dari waktu ke waktu.
Selain Ahmad Rafiq, seorang sarjana muslim lainnya yang
mengelompokkan interaksi terhadap al-Qur’an adalah Farid Esack.
Dalam buku The Qur’an: A Short Introduction, Esack menganalogikan
interaksi umat manusia dengan al-Qur’an sebagai seorang pecinta dan
kekasihnya, dalam hal ini pembaca al-Qur’an dan al-Qur’an itu sendiri
sebagai teks. Ia mengkategorikan interaksi dengan al-Qur’an ini menjadi
tiga tingkatan, sebagai berikut:22

20
Akhmad Roja, “Resepsi Al-Qur’an Di Pondok Pesantren Karangsuci
Purwokerto”, (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2019), 55.
21
Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik terhadap Al-Qur’an, 7.
22
Farid Esack, The Introduction to the Qur’an dalam Didi Junaedi, “Living
Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok
Pesantren As-Siroj Al Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon),” Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol.4, no.2 (Juni 2015): 174-175.
47

a) Pecinta tak kritis (the uncritical lover) dimana dalam konteks


pembaca al-Qur’an, pecinta tak kritis menganggap al-Qur’an adalah
sesuatu yang suci dan tak boleh dipertanyakan apalagi dikritisi.
Dalam pandangannya, al-Qur’an adalah segalanya, sudah sempurna
dan mencakup setiap aspek kehidupan, menjadi solusi atas setiap
masalah. Meskipun ia sendiri tidak tahu pasti bagaimana proses
untuk memperoleh jawaban atas solusi tersebut.
b) Pecinta ilmiah (the scholarly lover). Dalam ranah al-Qur’an, yang
dimaksud pecinta ilmiah adalah mereka yang tidak hanya terpesona
dengan keindahan al-Qur’an, tetapi juga mengkaji lebih jauh aspek
keindahan tersebut dari sisi ilmiah dengan kecerdasan dan
kemampuan intelektual yang dimiliki. Mereka mengkaji tentang
aspek keindahan al-Qur’an, baik dari sisi bahasa, sejarahnya, susun
redaksi kalimatnya, hingga keistimewaan dan isyarat-isyarat ilmiah
yang terkandung di dalamnya. Hasil dari kajian ilmiah tersebut
kemudian mereka tuangkan dalam karya-karya ilmiah.
c) Pecinta kritis (the critical lover). Sang pecinta yang kritis akan
memposisikan al-Qur’an sebagai objek kajian yang sangat menarik
dan patut dikaji lebih dalam untuk mengetahui makna tersirat dalam
al-Qur’an. Ilmu-ilmu kontemporer juga perangkat ilmiah modern
seperti linguistik, hermeneutika, psikologi, antropologi, sosiologi,
bahkan filsafat dikolaborasikan dengan maksimal, sehingga
menghasilkan karya ilmiah yang segar dan komprehensif serta dapat
menjawab tantangan dan problematika zaman.
Pemetaan yang dilakukan baik dari Ahmad Rafiq maupun
Essack ini, tidak bertujuan untuk menilai bahwa cara interaksi suatu
48

kelompok tertentu lebih baik daripada kelompok yang lain. Pemetaan


ini hanyalah deskripsi umum secara teoritis saja.
2. Simbolisasi Makna Resepsi Al-Qur’an
Dalam kajian antropologi budaya, resepsi merupakan upaya
simbolisasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap al-Qur’an.
Sebagai suatu simbol, terdapat beberapa lapisan makna yang perlu
dibongkar untuk mengetahui maksud-maksud yang terangkum di
dalamnya. Interpretasi terhadap simbolisasi tersebut bisa dilakukan
dengan cara melihat struktur luar (surface structure) dan struktur dalam
(deep structure). Struktur luar yaitu tradisi masyarakat yang
memperlakukan al-Qur’an dengan diresepsi secara eksegesis (dipahami
dan ditafsirkan), estetis (sisi keindahan) dan fungsional (dijadikan
instrumen mistis atau ritual). Sedangkan struktur dalamnya yaitu
ideologi yang dibangun oleh masyarakat terkait simbolisasi ayat-ayat al-
Qur’an dalam tradisi atau aktivitas kesehariannya tersebut.23
Untuk menguatkan interpretasi atas interaksi masyarakat
terhadap al-Qur’an dan semakin memahami makna-makna yang
melekat pada ragam resepsi al-Qur’an tersebut penulis
mengintegrasikan keilmuan lain sebagai alat bantu dalam memahami
makna dari ragam resepsi masyarakat. Dalam hal ini, teori sosiologi
pengetahuan yang dikemukakan oleh Karl Mannheim seorang sosiolog
kelahiran Hungaria, menarik untuk diaplikasikan guna menemukan dan
menentukan keterkaitan antara makna dan tindakan.
Teori ini membahas mengenai perilaku dan makna perilaku yang
terjadi dalam masyarakat karena dipengaruhi oleh kondisi sosial historis
tertentu. Menurut Karl Mannheim sosiologi pengetahuan mengkaji

23
Fathurrosyid, “Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur’an, 231.
49

tentang hubungan antara pengetahuan dengan masyarakat.24 Maksudnya


adalah dalam sosiologi pengetahuan, pengkaji dituntut untuk memahami
keterkaitan pemikiran manusia dengan konteks sosial daerahnya untuk
dapat memahami suatu objek secara utuh. Sosiologi pengetahuan adalah
suatu ilmu baru yakni cabang dari Ilmu Sosiologi. Sebagai kajian histori-
sosiologis, teori sosiologi pengetahuan berupaya menelusuri bentuk-
bentuk hubungan konteks sosial dengan perkembangan intelektual
manusia. Tujuan dari ilmu sosiologi pengetahuan yakni memahami
secara mendalam tentang hubungan masyarakat dengan pengetahuan.25
Karl Mannheim menyatakan bahwa dalam teori ini, tindakan
manusia dibentuk dari dua dimensi yaitu perilaku (behaviour) dan
makna (meaning). Dalam dimensi perilaku, tindakan manusia
dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti konteks sosial dan konteks
budaya masyarakat. Sedangkan dalam dimensi makna, Mannheim
memetakan tindakan manusia menjadi tiga makna, yaitu:26
1) Makna obyektif merupakan makna yang ditentukan oleh konteks
sosial dimana tindakan tersebut berlangsung. Pemahaman makna
yang akurat tentang karakteristik struktural wilayah diperlukan
dalam mengungkap makna ini.
2) Makna ekspresif adalah makna atau tindakan yang ditunjukkan oleh
pelaku tindakan atau individu sesuai dengan histori personalnya.

24
Hamka, “Sosiologi Pengetahuan: Telaah Atas Pemikiran Karl Mannheim,”
Jurnal Institut Agama Islam Negeri Palu, vol.3, no.1 (2020): 79.
25
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 49-56.
26
Grefory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativism: Agama,
Kebenaran, dan Sosiologi Pengetahuan, terj, Achmad Murtajib dan Masyhuri Arow
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), 15-16.
50

Makna ini mempertimbangkan tentang apa yang dimaksudkan atau


ingin diungkapkan oleh individu melalui tindakan tertentu.
3) Makna dokumenter yaitu makna yang tersirat atau tersembunyi,
sehingga individu tidak sepenuhnya menyadari bahwa suatu aspek
yang diekspresikan menunjukkan kepada kebudayaan secara
keseluruhan.
Terdapat dua prinsip dasar yang harus peneliti perhatikan saat
menggunakan teori sosiologi Karl ini. Prinsip dasar yang pertama yaitu
bahwa tidak ada cara berpikir (mode of thought) yang dapat dipahami
jika asal-usul sosialnya belum diklarifikasi. Hal ini berarti bahwa ide-
ide harus dipahami terlebih dahulu dalam hubungannya dengan
masyarakat yang melakukan suatu tindakan. Adapun prinsip kedua
sosiologi pengetahuan Karl Mannheim ini, yakni akan ada perubahan
ide-ide dan cara berpikir apabila terdapat perubahan historis yang
signifikan. Ketika terjadi pergeseran historis, maka makna dan gaya
pemikiran yang berhubungan dengannya akan berubah juga.27
Teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim ini menjadi acuan
dasar dalam memahami latar belakang ragam resepsi al-Qur’an yang ada
pada masyarakat muslim Papua Suku Kokoda, serta kemudian mampu
menjelaskan mengenai perilaku dan makna dari adanya varian resepsi
al-Qur’an oleh komunitas ini.
C. Ragam Resepsi Al-Qur’an di masyarakat
Ketika al-Qur’an hadir, dikonsumsi dan diresepsi oleh
masyarakat yang beragam, terjadi pemaknaan yang berbeda pula sesuai
dengan kapasitas pengetahuan dan ideologi masyarakat tersebut. Hal ini

27
Grefory Baum, “Agama dalam Bayang-bayang Relativism, 18.
51

kemudian terimplementasikan ke dalam berbagai ragam praktik resepsi


yang terus diekspresikan dan menjadi tradisi tertentu.28
Jika menelusuri sejarah, resepsi al-Qur’an sudah ada sejak masa
Nabi hingga saat ini. Rasulullah selaku sosok yang memiliki otoritas
dalam menginterpretasikan al-Qur’an, adalah orang pertama yang
meresepsi al-Qur’an secara eksegesis (penafsiran). Kemudian
interpretasi kandungan al-Qur’an tersebut disampaikan dan diajarkan
kepada sahabat dan umat.
Selain secara eksegesis, Rasulullah dalam kondisi tertentu juga
meresepsi al-Qur’an secara fungsional. Hal ini dijelaskan dalam
riwayat-riwayat hadis di berbagai literatur klasik. Beliau menjadikan
ayat-ayat suci al-Qur’an sebagai terapi penyakit atau ruqyah. Sebuah
riwayat menjelaskan saat Rasulullah sakit sebelum wafat, beliau pernah
membaca surah-surah tertentu, kemudian meniup telapak tangannya dan
digosokkan pada tubuhnya.29 Hal ini didasarkan atas sebuah hadis
shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukha>ri> dalam S}ah}īh} al-
Bukha>ri>. :
“Dari ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad saw. pernah
membaca surah al-Mu‘awwiz}atain, yaitu surah al-Falaq dan al-
Na>s ketika beliau sedang sakit sebelum wafatnya.”30
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ada seseorang yang
tersengat hewan berbisa dan diobati oleh sahabat Nabi dengan membaca
al-Fa>tihah. Abū ‘Abdilla>h Muḥammad ibn Ismā’i>l al-Bukha>ri> (194 –

28
Yani Yuliani. “Tipologi Resepsi Al-Qur’an dalam Tradisi Masyarakat
Pedesaan: Studi Living Qur'an di Desa Sukawana, Majalengka,” Al-Tadabbur: Jurnal
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, vol.06, no.02 (2021): 322.
29
Nilna Fadlillah. “Resepsi terhadap Al-Qur’an dalam Riwayat Hadis,”
Jurnal NUN, vol.3, no.2 (2017): 106.
30
Hadis bersumber dari riwayat al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, “Kitāb Faḍāil
al-Qur’ān”, no. 4630 dalam Nilna Fadillah. “Resepsi terhadap Al-Qur’an dalam
Riwayat Hadis,” Jurnal NUN, vol.3, no.2 (2017): 106.
52

256 H) mencatat bahwa Rasulullah tidak menyalahkan tindakan sahabat


yang menggunakan ayat al-Qur’an sebagai ruqyah atau media
pengobatan tersebut.31
Beberapa surah dalam al-Qur’an diyakini memiliki kekuatan dan
mendatangkan manfaat apabila rutin dibaca. Seperti diriwayatkan
bahwa sahabat ʻAbdullāh ibn Masʻu>d mengamalkan membaca surah al-
Wa>qiʻah, dengan harapan diberi kecukupan dan dijauhkan dari
kefakiran. Dalam riwayat lain disampaikan bahwa rumah yang
dibacakan surah al-Baqarah tidak mudah didekati oleh makhluk gaib.
Diceritakan pula tentang pengalaman sahabat terkait keutamaan salah
satu ayat yang ada di dalam surah al-Baqarah, yaitu ayat kursi. Selain
dapat melindungi diri dari gangguan setan, ayat al-Qur’an ini juga
dipercaya dapat digunakan untuk melindungi diri dari kekuatan sihir.32
Dari beberapa keterangan riwayat hadis di atas, menunjukkan
bahwa praktik resepsi al-Qur’an telah ada bahkan sejak masa awal
Islam. Tidak sebatas pemahaman teks semata, tetapi sudah menyentuh
aspek di luar teks. Jika dikaji lebih dalam, beberapa praktik yang Nabi
Muhammad dan para sahabat lakukan di atas, dari segi makna surah-
surah tersebut dengan tujuan yang ingin dicapai Nabi dan sahabat tidak
memiliki kaitan. Namun tetap saja dari praktik-praktik interaksi al-
Qur’an pada era awal tersebut berkembang pemahaman masyarakat
tentang keutamaan dan khasiat surah atau ayat tertentu dalam al-Qur’an.
Dari sini dapat dilihat bahwa praktik living qur’an sebetulnya sudah ada
sejak zaman Rasulullah, namun belum menjadi suatu kajian utuh.33

31
Nilna Fadlillah, “Resepsi terhadap Al-Qur’an, 107.
32
Nilna Fadlillah. “Resepsi terhadap Al-Qur’an, 108.
33
Yani Yuliani. “Tipologi Resepsi Al-Qur’an dalam Tradisi Masyarakat, 324.
53

Seiring perkembangan zaman, praktik resepsi al-Qur’an juga


terus ikut berkembang mengalami transmisi dan transformasi. Demikian
pula di Indonesia, secara sadar atau pun tidak, masyarakat muslim
Indonesia juga telah meresepsi al-Qur’an dengan berbagai bentuk.
Secara historis, proses penyebaran ajaran Islam di Indonesia
menggunakan pendekatan kultural. Para pedagang yang juga berdakwah
ini menanamkan nilai-nilai al-Qur’an ke dalam kebudayaan masyarakat
setempat. Proses ini menghasilkan ragam praktik keagamaan dan
pranata sosial kemasyarakatan. Pada masyarakat Islam Jawa misalnya,
terdapat berbagai macam upacara selametan, seperti selametan dalam
rangka kehamilan, kelahiran, hingga kematian. Dalam masyarakat
tradisional, tradisi ini sudah melembaga bahkan dianggap sebagai
bagian dari ajaran agama Islam. Tradisi-tradisi tersebut diislamkan
melalui proses adopsi, adaptasi, dan integrasi dengan konsep dan tata
cara pelaksanaannya disesuaikan dengan ajaran al-Qur’an. Hasil
interaksi antara tradisi dengan nilai-nilai al-Qur’an tersebut menjadi
realitas bagi masyarakat yang bersangkutan dan tentu berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sesuai dengan
kebudayaan lokal masing-masing.34
Terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap tindakan
resepsinya tersebut, al-Qur’an telah hadir dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat muslim Indonesia. Berikut dirangkum beberapa bentuk
interaksi masyarakat muslim Indonesia dengan al-Qur’an sebagai
cerminan everyday life of the Qur’an, antara lain:35

34
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu & Budaya
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 209-210.
35
Ahmad Farhan, “Living Al-Qur’an sebagai Metode Alternatif, 90-91.
54

1) Al-Qur’an rutin dibaca dan diajarkan di masjid, rumah, bahkan di


institusi. Seperti agenda rutin di pesantren-pesantren, al-Qur’an
wajib dibaca setelah shalat maghrib. Bahkan terdapat tradisi
pengkhususan seperti tiap malam jumat membaca surah-surah
tertentu seperti Ya>sin, al-Kahfi>, dan al-Wa>qi’ah.
2) Al-Qur’an senantiasa dihafal, baik secara utuh maupun sebagian,
atau hanya menghafal potongan ayat atau surah tertentu.
3) Menjadikan surah atau potongan ayat tertentu sebagai hiasan
kaligrafi di dinding rumah, masjid, bahkan makam.
4) Al-Qur’an dibaca oleh para Qa>ri’ (pembaca profesional) dengan
lantunan nada atau nag}am yang merdu dan indah dalam berbagai
acara, seperti acara pernikahan, khitanan, aqiqah, haul atau
peringatan hari-hari besar Islam.
5) Al-Qur’an dibaca pada acara kematian, seperti tradisi pengkhususan
pembacaan surah Ya>sīn yang disertai tahlil pada hitungan hari
tertentu sejak kematian, seperti hari ke-3, ke-7, ke-40, dan lainnya.
6) Potongan ayat al-Qur’an dijadikan sebagai bacaan para terapis
ruqyah untuk menghilangkan gangguan psikologis dan pengaruh
buruk lainya (setan atau jin). Selain itu, sebagai terapi jiwa untuk
mendoakan pasien yang sakit dalam pengobatan penyakit tertentu.
7) Potongan ayat al-Qur’an dijadikan sebagai jimat yang selalu dibawa
karena dipercaya sebagai perisai tolak bala atau penangkis serangan
musuh dan unsur jahat lainya. Bahkan ada pula yang menjadikannya
bacaan dalam menempuh ilmu bela diri, agar memperoleh kekuatan
tertentu yang diyakini datang dari Allah.
8) Potongan ayat al-Qur’an dijadikan sebagai wirid dalam bilangan
tertentu. Melalui jalan riya>d}ah, wirid tersebut diyakini dapat
55

memperoleh kemuliaan atau keberuntungan, meski terkadang


terpengaruh dengan unsur-unsur mistik dan magic.
9) Potongan ayat al-Qur’an digunakan oleh para da’i sebagai dalil dan
hujjah dalam rangka memantapkan khutbah atau ceramahnya.
10) Al-Qur’an dilombakan pada bidang Tilawah al-Qur’an, Tafsir al-
Qur’an, Tahfizh al-Qur’an, Syarh al-Qur’an, Fahm al-Qur’an, Khat
al-Qur’an, baik tingkat daerah, kabupaten atau kota, provinsi,
nasional maupun internasional.
11) Beberapa potongan ayat al-Qur’an dijadikan semboyan atau
motivasi hidup.
12) Potongan ayat al-Qur’an dikutip dan dicetak sebagai aksesoris pada
agenda tertentu dalam bentuk stiker, gantungan kunci, kartu ucapan,
dan kartu-kartu undangan.
13) Ayat al-Qur’an dijadikan sebagai justifikasi dan slogan berdaya tarik
politis, terutama oleh partai politik yang menyatakan diri berasaskan
keislaman.
14) Al-Qur’an dijadikan bagian dari sinetron atau film bahkan bait lagu
agar bernuansa religius dan berdaya estetik bagi pendengarnya.
15) Al-Qur’an didokumentasikan dalam bentuk kaset, hard disk, hingga
aplikasi pada smartphone, baik visual maupun audio visual yang
sarat dengan muatan hiburan dan seni.
Paparan di atas merupakan bukti bahwa al-Qur’an telah diresepsi
oleh umat Islam dalam berbagai bentuk praktik. Umat Islam telah
melakukan berbagai proses kreatif dalam memahami dan menerima
informasi yang berkaitan dengan keutamaan al-Qur’an. Keyakinan umat
Islam terhadap keutamaan dan kekuatan yang dimiliki oleh al-Qur’an
atas penerapan teks-teks al-Qur’an mendasari berbagai praktik resepsi
56

terhadap al-Qur’an. Praktik dan resepsi terhadap al-Qur’an yang


demikian, terus mengalami transmisi, transformasi dan kaderisasi
kepada generasi-generasi berikutnya, baik pada masa tabi’in hingga
generasi kita di masa kontemporer, termasuk oleh masyarakat muslim
Indonesia. Resepsi masyarakat ini kemudian menjadi tradisi yang
melembaga dalam kehidupan sehari-hari. Ragam praktik resepsi
masyarakat ini memperlihatkan apresiasi yang tinggi kepada al-Qur’an
oleh para pengikutnya.
BAB IV
ANALISA RESEPSI MASYARAKAT MUSLIM PAPUA SUKU
KOKODA TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah mempengaruhi


seluruh aspek kehidupan umat yang menaatinya. Selain al-Qur’an dibaca
dan dikaji untuk dipahami pesan moralnya, al-Qur’an diekspresikan sebagai
kitab suci yang punya kaitan erat dengan keseharian penganutnya, tak
terkecuali oleh masyarakat muslim Papua Suku Kokoda. Pada bab ini akan
dibahas mengenai interaksi dan ragam resepsi masyarakat Kokoda terhadap
al-Qur’an serta analisa makna dibalik bentuk-bentuk resepsi tersebut.
A. Ragam Praktik Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Kokoda
Dalam fenomena sosial-budaya, tradisi-tradisi di masyarakat
tercipta karena adanya penerimaan masyarakat terhadap al-Qur’an. Bentuk
resepsi al-Qur’an yang berkembang di masyarakat mengandung unsur-
unsur budaya lokal. Berdasarkan temuan di lapangan dan merujuk pada
konsep pemetaan tipologi resepsi oleh Ahmad Rafiq, perilaku masyarakat
muslim Papua Suku Kokoda dalam meresepsi al-Qur’an dijabarkan sebagai
berikut:
1. Resepsi Eksegesis terhadap Al-Qur’an
Dewasa ini, masyarakat meresepsi al-Qur’an secara eksegesis
dengan berbagai model. Resepsi eksegesis yang berkembang di masyarakat
tidak hanya diartikan dalam bentuk penafsiran saja tetapi juga bagaimana
al-Qur’an dibaca, dipahami, dan diajarkan, seperti membaca rutin surah
atau ayat dalam al-Qur’an baik hanya potongan, sebagian, atau keseluruhan.
Selain itu ada juga yang menerima bacaan al-Qur’an melalui pendengaran
dari audio, youtube atau pengeras suara masjid ketika akan

57
58

memasuki waktu shalat. Pembacaan aktif al-Qur’an oleh


masyarakat setempat adalah tindakan penerimaan terhadap teks al-Qur’an
itu sendiri.1
Al-Qur’an bagi masyarakat Kokoda menjadi suatu hal yang
dimuliakan. Apresiasi ini nampak saat al-Qur’an diresepsi secara eksegesis
yaitu al-Qur’an dibaca, dipahami dan diajarkan. Beberapa indikasi konkrit
ke arah resepsi eksegesis pada praktik keagamaan masyarakat Kokoda,
yaitu :
a. Ayat Al-Qur’an Dijadikan Dasar Kajian Rutin ‘Akhwat Kokoda
Community’
Komunitas ‘Akhwat Kokoda Community’ menjadi wadah bagi
wanita Kokoda mempelajari al-Qur’an dan ajaran Islam. Kajian biasanya
disampaikan oleh Ustadzah Jalila Syarif selaku founder komunitas ini.
Dalam kajian rutinnya, Ustadzah yang akrab disapa Ustadzah Ila,
menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat Kokoda. Materi yang disampaikan berupa tafsir al-
Qur’an dengan pedoman kitab tafsir Jalalain, fiqih wanita, sejarah
peradaban Islam, akhlak & adab, dan lainnya. Kajian ini rutin dilaksanakan
setiap Kamis sore dan diikuti oleh remaja akhwat dan ibu-ibu Kokoda,
bertempat di Masjid Babul Jannah, Kompleks Kokoda.
Salah satu kajian beliau yang sempat penulis ikuti yaitu mengenai
Islam rah}matan lil ‘a>lami>n dengan rujukan surah al-Anbiya>’ ayat 107:

َ َ ْٰ ً ْ َّ َ ٰ ْ َ
‫َو َمآ ا ْر َسلنك ِالا َرح َمة ِللعل ِم ْين‬

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai


rahmat bagi seluruh alam” (Qs. al-Anbiya>’/ 21: 107)

1
Uka Arisandi, “Resepsi Masyarakat Terhadap Teks Al-Qur’an (Studi Living
Qur’an di Desa Barambai Kolam Kanan, Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala)”,
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2019), 70.
59

Gambar 4. 1 : Kajian' Akhwat Kokoda Community'

Dengan merujuk pada tafsir Jalalain, beliau menerangkan mengenai


maksud ayat tersebut bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi
semesta alam melalui kerasulannya. Maka barangsiapa menerima rahmat
ini dan mensyukurinya maka ia mampu berbahagia di dunia dan akhirat.
Maksudnya, ajaran yang dibawa Nabi yaitu Islam dan ajaran al-Qur’an
merupakan rahmat atau anugerah bagi semesta alam baik manusia maupun
jin. Maka umat yang menerimanya sebagai suatu keniscayaan maka
bahagialah kehidupannya baik di dunia dan akhirat. Tentunya untuk
mencapai hal tersebut harus dengan mempelajari dan mengamalkan apa-apa
yang diperintahkan dan dilarang. Beliau menambahkan bahwa diutusnya
Nabi ialah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya umat muslim
yang mendapatkan anugerah tersebut, tetapi juga seluruh alam semesta dan
isinya. Allah begitu kasih dan sayangnya pada hamba dan ciptaan-Nya
bahkan kepada umat yang tidak menaati-Nya. Lantas kita sesama makhluk
ciptaan Allah, tentunya juga harus bisa menjadi rahmat bagi sekeliling kita.
Hal ini dapat dimulai pada lingkungan kita yang majemuk ini, maka sudah
sewajarnya kita untuk bisa hidup berdampingan dengan rukun dan damai,
kemudian setidaknya bisa menjadi penyejuk bagi sekitar kita.2

2
Kajian Akhwat Kokoda Community oleh Ustadzah Jalila Syarif, pada Kamis, 03
November 2022 pukul 16.30-17.50 WIT.
60

Dari sini terlihat bahwa Ustadzah Ila menyampaikan kajian pesan


ayat al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Kokoda yang
majemuk. Kajian pada kesempatan tersebut bisa dikategorikan dalam
resepsi eksegesis al-Qur’an karena di samping dibaca dan dipahami, juga
diajarkan dalam rangka mencari hidayah, rahmat, berkah serta kebahagiaan
hidup.
b. Ayat Al-Qur’an Dipelajari di Taman Pendidikan Qur’an (TPQ)
Resepsi eksegesis masyarakat Kokoda juga terlihat pada adanya
pembelajaran al-Qur’an sejak kecil baik itu di rumah yang diajarkan
langsung oleh orang tua masing-masing ataupun di masjid melalui lembaga
taman pendidikan al-Qur’an (TPQ). Al-Qur’an diajarkan dengan
diperkenalkan huruf-huruf hijaiyah terlebih dahulu oleh guru. Selanjutnya
belajar membaca al-Qur’an hingga lancar, sesuai dengan hukum-hukum
Tajwid. Selain itu, biasanya ditambah pula dengan pengajaran materi-
materi agama yang merujuk kembali kepada al-Qur’an. Tujuannya tentu
dalam rangka menyiapkan generasi yang cinta al-Qur’an dan memiliki
pemahaman Islam yang mendalam.3

Gambar 4. 2 : TPQ Masjid Babul Jannah Kokoda

3
Rifai Gogoba (Pengurus Masjid Babul Jannah), diwawancarai oleh Dian
Prabawati, Sorong, 02 November 2022, Papua Barat Daya.
61

c. Pesan Ayat Al-Qur’an Disampaikan di Khutbah Jum’at dan


Kegiatan Seremonial Keagamaan
Penyampaian pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an
nampak melalui khutbah Jum’at, kegiatan seremonial keagamaan, acara
hari besar Islam, pada rangkaian acara pernikahan, dan momen-momen
dimana keluarga besar berkumpul. Khutbah Jum’at menjadi momen
dakwah yang efektif untuk menyampaikan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
kepada remaja ikhwan dan bapak-bapak Kokoda.

Gambar 4. 3 : Khutbah Jum'at

Pada perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi memperlihatkan


antusias masyarakat Kokoda dalam menyelenggarakan kegiatan
keagamaan. Kegiatan maulid oleh masyarakat Kokoda biasa dilaksanakan
dua kali yaitu maulid umum dan maulid keluarga. Perbedaannya, untuk
maulid keluarga dilaksanakan oleh masing-masing marga/keluarga secara
sederhana dan khidmat. Pada maulid keluarga ini, semua warga yang
bermarga sama, bahkan non muslim sekalipun melibatkan diri dalam
persiapan maupun proses acara dan makan bersama. Acara ini sekaligus
dijadikan momen berkumpul keluarga besar sehingga mempererat rasa
kekeluargaan.4

4
Wahyu, (warga Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 05
November 2022, Papua Barat Daya.
62

Sedangkan maulid umum dilaksanakan secara gabungan beberapa


marga/keluarga muslim. Pada rangkaian acaranya, ada ceramah agama oleh
ustad atau tokoh agama untuk menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an.
Momen perayaan keagamaan seperti ini menjadi media dakwah paling
efektif untuk menyampaikan ajaran al-Qur’an, karena masyarakat akan
lebih mudah menerima dengan secara tidak langsung dan tidak sadar
mereka sedang mempelajari al-Qur’an. Apalagi rangkaian acara selanjutnya
diisi dengan hiburan ‘Tifa Syawat’, yaitu bersholawat dengan musik
tradisional Kokoda-Papua, yakni Tifa.5 Dibanding kegiatan keagamaan
rutinan, masyarakat Kokoda bersemangat dalam menyelenggarakan
kegiatan keagamaan yang sifatnya momentum atau temporal seperti ini.6

Gambar 4. 4 : Acara Maulid Keluarga

Beberapa praktik kegiatan tersebut dikategorikan dalam resepsi


eksegesis al-Qur’an karena dalam hal ini al-Qur’an tidak hanya menjadi
kitab suci yang dibaca, dikagumi dan dimuliakan, tetapi juga ditafsirkan dan
dipahami pesan-pesannya secara mendalam untuk diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari, sebagaimana fungsi al-Qur’an sebagai pedoman
hidup manusia.
2. Resepsi Estetis terhadap Al-Qur’an

5
Alat musik tradisional Papua, bentuknya seperti gendang. Tifa terbuat dari kayu
yang dilubangi tengahnya dan dimainkan dengan cara dipukul.
6
Wahyu, Wawancara.
63

Salah satu yang menarik dari Islam adalah Islam tidak pernah datang
ke suatu kebudayaan yang kosong. Islam diberi warna oleh berbagai budaya
lokal. Ajaran islam yang dipraktikkan di Indonesia adalah ajaran Islam yang
khas Indonesia.7 Salah satu contohnya al-Qur’an diresepsi secara estetik
oleh masyarakat Kokoda dengan kekhasan daerah Kokoda, yaitu:
a. Ayat Al-Qur’an Dijadikan Hiasan Dinding Masjid
Dalam hal ini, bisa dilihat pada dinding masjid Babul Jannah
Kokoda yang dipenuhi kaligrafi bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an dengan
corak khas Kokoda-Papua.

Gambar 4. 5 : Kaligrafi di dinding Masjid Babul Jannah Kokoda


Beberapa tulisan ayat al-Qur’an yang ditampilkan tersebut
bertemakan perintah Sholat yaitu Qs. al-Ankabu>t/ 29: 45; Qs. al-Baqarah/
2: 277; Qs. al-Anfa>l/ 8: 2; Qs. al-Jumuʻah/ 62: 9; Qs. Āli ʻImrān/ 3: 200;
Qs. as-Sajadah/ 32: 77. Pengurus masjid Babul Jannah menyatakan bahwa
semua tulisan kaligrafi yang diletakkan di dinding masjid tidak saja sebagai
bentuk seni keindahan, tetapi bermakna memberikan pencerahan spiritual
kepada masyarakat. Artinya, ketika seseorang melihat ayat tersebut, maka
diharapkan hatinya dapat tersentuh, seakan-akan ayat tersebut memberikan
peringatan kepada pembaca. Ditambah lagi dengan penampilan gambar

7
Agus Ahmad dan Nanih. Pengembangan Masyarakat Islam: Dari Ideologi,
Strategi, sampai Tradisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 279.
64

yang indah dan khas, diharapkan menambah rasa kecintaan masyarakat


terhadap al-Qur’an.8
b. Ayat Al-Qur’an Dijadikan Pajangan Hiasan Dinding Rumah
Selain di masjid, masyarakat Kokoda juga melengkapi rumahnya
dengan hiasan dinding berupa kaligrafi potongan ayat-ayat al-Qur’an.
Namun sepengamatan penulis, hanya warga menengah ke atas atau tokoh
masyarakat yang memiliki hiasan kaligrafi di rumahnya. Adapun ayat yang
dipajang kebanyakan merujuk pada potongan ayat dalam Qs. al-Baqarah/ 2:
255 yang populer dengan sebutan ayat kursi.

َْ َ ْ ْ َ ْ َ َ ُ َّ َ ٰ َ ‫َ ه‬
‫الس ٰم ٰو ِت َو َما ِفى الا ْر ِض َم ْن‬ َّ ‫لح ُّي ال َق ُّي ْو ُم ەَۚ َلا َتأ ُخ ُذ ٗه س َن ٌة َّو َلا َن ْو ٌم ل ٗه َما فى‬ ُ ‫ا‬
‫ّٰلل ل ٓا ِاله ِالا هوَۚ ا‬
ِ ِ
ْ َ َ ُ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َّ ٗ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َّ َ
‫ي ْيط ْون ِبش ْي ٍء ِم ْن ِعل ِم ٓه‬ ِ‫ذا ال ِذي يشفع ِعند ٓه ِالا ِب ِاذ ِنه يعلم ما بين اي ِدي ِهم وما خلفهمَۚ ولا ح‬
َْ َْ َ ُ َ ُ ُ ْ ٗ ُ ْ َ َ َْ ُ
‫الس ٰم ٰو ِت َوالا ْرضَۚ َولا َي ُٔـوده ِحفظهماَۚ َوهو الع ِل ُّي الع ِظ ْي ُم‬ َّ ‫اَّلا ب َما َشا َۤء َوس َع ك ْرس ُّي ُه‬
ِ ِ َۚ ِ ِ
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha hidup lagi terus-
menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk
dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-
Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak
mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia
kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit
dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah
yang Maha tinggi lagi Maha agung” (Qs. al-Baqarah/ 2: 255).
Model hiasan pigura dan peletakannya pun beragam, tetapi
kebanyakan diletakkan di ruang tamu yang terlihat dari pintu masuk. Hal
ini diyakini masyarakat selain untuk sisi keestetikan yaitu memperindah
rumah juga sebagai penjagaan dari hal-hal buruk yang ingin masuk ke
dalam rumah.9 Jika berkunjung ke rumah kepala Suku Kokoda, dari pintu

8
Rifai Gogoba, Wawancara.
9
Amina (warga Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 05
November 2022, Papua Barat Daya.
65

masuk akan langsung terlihat pajangan kaligrafi ayat kursi dan diapit dua
pajangan piring gantung khas Kokoda yang dipesan khusus bertuliskan
lafaz} Allah dan Muhammad, sehingga menambah keindahan ruangan
dengan tetap menampilkan kekhasan Kokoda.

Gambar 4. 6 : Kaligrafi di rumah Kepala Suku Kokoda


3. Resepsi Fungsional terhadap Al-Qur’an
Selain meresepsi al-Qur’an secara eksegesis dan estetis, masyarakat
Kokoda juga meresepsi al-Qur’an secara fungsional, yaitu al-Qur’an yang
difungsikan dalam keseharian untuk tujuan tertentu, di antaranya :
a. Ayat Al-Qur’an Dibaca Rutin pada Waktu Tertentu
Masyarakat Kokoda mempunyai tradisi membaca ayat-ayat al-
Qur’an dalam forum seremonial keagamaan, tahlilan, pernikahan, dan
beberapa hajatan lainnya. Selain itu, masyarakat juga menjadikan sebuah
kebiasaan yakni membaca beberapa surah tertentu di waktu tertentu.
Berdasarkan data yang didapat, surah-surah yang sering dibaca oleh
masyarakat Kokoda, yaitu Yāsīn dan al-Wa>qi’ah. Surah-surah ini dimaknai
oleh masyarakat apabila dibaca secara rutin dan konsisten, maka akan
mendatangkan keamanan, ketenangan hati, serta segala usaha akan sukses
dan menghasilkan.10

10
Ali Syamsudin Namugur (tokoh agama), diwawancarai oleh Dian Prabawati,
Sorong, 12 Juni 2022, Papua Barat Daya.
66

Kegiatan pembacaan al-Qur’an oleh remaja masjid Babul Jannah


sekarang mulai rutin dilaksanakan setiap malam Jum’at dan malam Senin.
Di malam Jum’at dilaksanakan pembacaan Ya>sīn dan tahlil serta
pembacaan Burdah, Sholawat, dan maulid Adhiyaulami. Di malam senin
diadakan tadarrusan dan pembacaan maulid serta sholawat-sholawat Nabi
diiringi Hadrah. Kegiatan ini diinisiasi oleh Ustadzah Jalila dan rekannya
serta pengurus masjid dalam rangka menghidupkan masjid dan
menanamkan kebiasaan rajin membaca al-Qur’an kepada remaja-remaja
Kokoda sehingga selalu dekat dengan al-Qur’an.11

Gambar 4. 7 : Tadarrusan dan Sholawatan

b. Ayat Al-Qur’an Dibaca pada Acara Kematian


Tradisi pembacaan al-Qur’an secara bersama-sama juga
dilaksanakan pada momen kematian yakni di malam pertama sampai malam
ketujuh kematian di kediaman keluarga yang sedang berduka. Hal ini dalam
rangka mendoakan mayyit agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya,
dimudahkan perjalanan akhiratnya, terlepas dari segala permasalahan dunia
sehingga tidak ‘bergentayangan’ di dunia. Selain itu juga mengharapkan
agar doa dan lantunan ayat yang dikirimkan menjadi pahala kebaikan juga

11
Afifah, (warga Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 05
November 2022, Papua Barat Daya.
67

untuk mayyit.12 Pada momen ini, surah yang dibaca yaitu surah Ya>sīn,
tadarrus al-Qur’an 30 Juz dalam tujuh hari, dan pembacaan tahlil.

Gambar 4. 8 : Tahlilan kematian

c. Ayat Al-Qur’an Dibaca pada Tradisi Magaomo


Pembacaan ayat-ayat al-Qur’an juga menjadi rangkaian acara pada
tradisi magaomo, yaitu ritual perayaan dan jamuan makan bersama.
Pelaksanaan magaomo ini pada awalnya hanya perayaan makan bersama
dan ‘pesta goyang’,13 tetapi setelah Islam masuk dan berkembang, hal-hal
yang tidak sesuai syariat dalam tradisi tersebut dihapuskan dan diganti
dengan syukuran doa. Magaomo diadakan pada momen kelahiran anak,
khitanan, dan pernikahan. Pada pelaksanaanya, rangkaian doa dipimpin
oleh imam atau tokoh agama setempat dengan membaca ayat-ayat al-
Qur’an yaitu, surah al-Fa>tiḥah, al-Falaq, al-Ikhla>ṣ, al-Na>s, al-Baqarah ayat
1-5, 255, 284-286, dan surah Al-Furqān ayat 74, terakhir membaca doa
selamat, tawassul dan doa penutup. Tujuan pembacaan ini adalah diyakini
bahwa ayat-ayat tersebut mendatangkan penjagaan dan keselamatan bagi

12
Nurhaya, (warga Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong,
05 November 2022, Papua Barat Daya.
13
Pesta goyang yaitu sebutan untuk acara ‘goyang’ atau menari dan bernyanyi
disertai dengan mabuk-mabukkan ditempat yang sedang melaksanakan hajat.
68

s}oh}ibul bait sekaligus sebagai bentuk rasa syukur pada momen-momen baik
tersebut.14
d. Ayat Al-Qur’an Dijadikan ‘Jimat’ Perlindungan Diri
Selanjutnya terdapat ayat al-Qur’an yang dijadikan seperti wirid
harian dan dinamakan doa ‘kunci diri’. Doa ini rutin dibaca tiap pagi hari
saat akan pergi keluar rumah dengan membaca Syahadat, Ayat Kursi, surah
al-Falaq tiga kali, doa dalam bahasa Kokoda yang intinya meminta
perlindungan, doa keluar rumah, tawassul, dan doa penutup. Berikut teks
doa ‘kunci diri’ dalam bahasa Kokoda :
Praktik ini tidak dijalankan oleh semua warga Kokoda, hanya
sebagian yang memiliki pemahaman ilmu mendalam saja dengan tujuan
mendapatkan perlindungan dan terhindar dari hal-hal ghaib, kejahatan
manusia, dan musibah atau bencana alam baik bagi yang membaca juga
seluruh penghuni rumah.15
e. Ayat Al-Qur’an Dijadikan ‘Obat’ Penyakit
Selain itu, surah al-Fa>tiḥah, al-Falaq, an-Na>s, menjadi surah populer
yang dipercaya masyarakat Kokoda untuk mengobati penyakit, seperti
demam, luka, hingga penyakit keras. Pembacaan surah-surah ini mengambil
contoh dari suatu riwayat Hadis yang menerangkan bahwa Nabi pernah
meruqyah dengan surah-surah ini. Apabila ada yang sakit segera dibawa ke
imam atau ustad setempat lalu dibacakan doa-doa, yaitu surah al-Fa>tihah,
al-Falaq, an-Na>s, doa selamat, dan doa yang berbunyi:
“Bismilla>hillaz}i> la> yad}urru ma ’asmihi> syai un fī al-ard}i wa la>
fissama> i wa huwassami>’ul ‘ali>m”
Lalu diusapkan pada bagian tubuh yang sakit, beberapa juga
ditiupkan pada segelas air dan yang sedang sakit diminta meminumnya.
Masyarakat Kokoda meyakini penyembuhan dengan doa dan ayat al-Qur’an

14
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara.
15
Wahyu, Wawancara.
69

ini ampuh menyembuhkan penyakit apabila dibacakan oleh orang yang


paham agama, sehingga tidak sembarang orang melakukan praktik ini.
Harapannya dapat menjadi perantara kesembuhan atas izin Allah16.
Mengenai surah al-Fa>tihah, masyarakat Kokoda sangat memuliakan
dan meyakini surah yang satu ini. Bahkan diceritakan, warga yang belum
dapat membaca atau menghafalkan al-Fa>tihah pun meyakini dan
menggunakan ayat ini sebagai pengobatan. Uniknya, karena tidak dapat
membaca ayat tersebut, yang digunakan untuk pengobatan justru tulisan
teks surah al-Fa>tihah lengkap yang ditulis di selembar kertas, maka kertas
tersebut yang diusapkan pada bagian tubuh yang sakit. Berdasarkan
keterangan kepala suku, dengan meyakini adanya kekuatan pada surah al-
Fa>tihah bahkan hanya pada tulisan teksnya tersebut, ampuh menyembuhkan
penyakit.17
Dari penjabaran ragam praktik serta kategori tipologi bentuk
resepsinya, maka terlihat bahwa al-Qur’an diterima dan diikuti oleh
masyarakat Kokoda sebagai sesuatu yang mulia. Walaupun pemahaman
akan al-Qur’an masih terbatas tetapi al-Qur’an telah hidup dalam
keseharian masyarakat Kokoda dan kini Kokoda mulai menunjukkan minat
dan antusias untuk mendalami al-Qur’an.
B. Makna Simbolik Ragam Praktik Resepsi Al-Qur’an
Masyarakat Kokoda
Berdasarkan data di atas, selanjutnya pada poin ini akan dijelaskan
mengenai makna dibalik ragam praktik resepsi masyarakat Kokoda
menggunakan teori sosiologi pengetahuan oleh Karl Manhein.
Sebagaimana yang disampaikan pada bab sebelumnya, Mannheim

16
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara.
17
Idris Wugaje (Kepala Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati,
Sorong, 05 Juni 2022, Papua Barat Daya.
70

membagi makna perilaku menjadi tiga macam makna, yaitu makna objektif,
makna ekspresif, dan makna dokumenter. Ketiga macam makna inilah yang
menjadi acuan penulis dalam membaca pemaknaan resepsi masyarakat
muslim Kokoda terhadap al-Qur’an, sebagai berikut:
1. Makna Objektif
Makna objektif yaitu makna berdasarkan konteks sosial yang
melatarbelakangi praktik tersebut diadakan. Dari beberapa praktik resepsi
dan tradisi masyarakat Kokoda, makna objektif terungkap pada praktik
tradisi magaomo, tahlilan, kegiatan seremonial keagamaan, dan praktik al-
Qur’an yang dijadikan jimat dan penyembuhan penyakit. Mengingat
kondisi masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat, masyarakat
menjalankan praktik tersebut dengan keyakinan adanya manfaat dari
praktik-praktik tersebut sebagaimana yang telah diajarkan turun temurun18.
Maka makna objektif yang ditangkap terbagi menjadi dua, yaitu
pertama, masyarakat yang sadar bahwa al-Qur’an merupakan pedoman
hidup dimana semua aspek kehidupan haruslah berlandaskan al-Qur’an dan
kedua, masyarakat yang menjalankan praktik keagamaan sebatas mengikuti
tradisi turun temurun. Hal ini terlihat pada pemahaman masyarakat
mengenai ajaran-ajaran al-Qur’an yang masih terbatas, tetapi mereka tetap
menjalankan praktik keagamaan yang berdasarkan pengakuan sudah
menjadi tradisi yang melekat dalam keseharian.
2. Makna Ekspresif
Makna ekspresif ialah makna berdasarkan apa yang menjadi tujuan
individu dalam melaksanakan suatu tindakan atau perilaku. Praktik resepsi
masyarakat Kokoda seperti membaca al-Qur’an rutin pada waktu tertentu,
mempelajari al-Qur’an, dan mengikuti kajian al-Qur’an merupakan praktik
resepsi yang mengarah pada makna ekspresif.

18
Nurhaya, Wawancara.
71

Dalam menjalankan beberapa praktik tersebut, masyarakat


menyadari bahwa manusia perlu tunduk kepada Tuhan untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti ajaran al-Qur’an
yang telah diwariskan nenek moyang.19
Maka, makna ekspresif yang ditangkap berdasarkan apa yang
menjadi tujuan masyarakat Kokoda dalam melaksanakan interaksi terhadap
al-Qur’an yakni sebagai bentuk kepatuhan terhadap pencipta dan nenek
moyang mereka sebagai praktik keagamaan turun temurun, sehingga
individu mampu menjalankan aktivitas kehidupan dengan baik, meski
dalam keadaan lapang ataupun sempit. Selain itu, setelah melaksanakan
praktik yang melibatkan al-Qur’an tersebut dapat merasakan kedamaian dan
ketenangan, mendapat keselamatan, serta terhindar dari penyakit dan bala.
3. Makna Dokumenter
Makna dokumenter yaitu makna tersembunyi yang hadir tanpa si
pelaku menyadari sepenuhnya makna tersebut. Pada pelaksanaan ragam
resepsi masyarakat Kokoda terungkap makna dokumenter yang terlihat dari
tradisi magaomo, tahlilan, dan kegiatan seremonial keagamaan, yaitu al-
Qur’an menjadi landasan terbentuknya kebersamaan dan keakraban
masyarakat Kokoda baik sesama mereka maupun antar komunitas bahkan
agama lain. Karena dalam pelaksanaanya, praktik-praktik tersebut
menghadirkan masyarakat untuk saling bertemu dan berkumpul sehingga
terjalin silaturahmi antar masyarakat. Selain itu juga al-Qur’an menjadi
wadah melestarikan budaya setempat. Hal ini terlihat pada ayat al-Qur’an
yang dijadikan pajangan hiasan dengan tetap mempertahankan ciri khas
budaya Kokoda di dinding masjid maupun rumah warga.

19
Afifah, Wawancara
72

Dari pemaknaan atas resepsi masyarakat terhadap al-Qur’an


tersebut kemudian melahirkan simbol-simbol tersendiri, yaitu al-Qur’an
menjadi media keseharian masyarakat Kokoda, di antaranya :
a. Media dakwah. Al-Qur’an merupakan kitab dakwah yang
membersamai dakwah Nabi Muhammad menyebarkan Islam. Untuk itu
al-Qur’an digunakan oleh para da’i sebagai dalil dan hujjah dalam
rangka memantapkan khutbah atau ceramahnya dalam rangka
berdakwah. Hal ini juga terlihat pada khutbah jumat dan kegiatan
seremonial keagamaan masyarakat Kokoda. Terlebih pada kegiatan
tersebut diiringi dengan hiburan ‘tifa syawat’ dan hadrah, semakin
menarik minat masyarakat untuk menerima dakwah Islam.
b. Media ta’lim. Sejatinya al-Qur’an merupakan kitab petunjuk pedoman
hidup manusia. Maka al-Qur’an lah yang menjadi rujukan utama
pembelajaran kehidupan bagi penganutnya. Masyarakat Kokoda
menjadikan al-Qur’an sebagai media belajar, seperti terlihat pada kajian
rutin Akhwat Kokoda dan pembelajaran al-Qur’an di TPQ Masjid Babul
Jannah Kokoda.
c. Media ibadah & peningkatan keimanan. Al-Qur’an diyakini
mendatangkan pahala bagi pembacanya, begitupun oleh masyarakat
Kokoda. Merutinkan membaca al-Qur’an (tadarrusan) oleh remaja
Masjid Babul Jannah Kokoda menjadi media mendekatkan diri kepada
Allah, meningkatkan keimanan dan menjadikan remaja Kokoda
semakin cinta dengan al-Qur’an dan Islam.
d. Media doa. Banyak ayat al-Qur’an yang dijadikan doa-doa dalam
rangka meminta suatu hajat kepada pencipta. Masyarakat Kokoda
menggunakan ayat al-Qur’an dalam berdoa, terlihat pada syukuran
Magaomo, membaca surah Al-Furqo>n: 74 sebagai doa meminta
dianugerahi keluarga yang Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah.
73

e. Media perlindungan. Al-Qur’an dipercaya memiliki kekuatan magic,


yang apabila dibaca dapat memberikan perlindungan kepada yang
mengamalkannya. Seperti pada tradisi doa ‘kunci diri’ yang dibaca tiap
pagi hari, ayat al-Qur’an yang dibaca diyakini menjadi media
perlindungan dari hal-hal ghaib dan musibah. Selain itu, ayat al-Qur’an
yang dijadikan hiasan dinding di rumah juga diyakini dapat
mendatangkan perlindungan untuk rumah dan penghuninya.
f. Media pengobatan. Salah satu fungsi al-Qur’an adalah sebagai Shifa>’
atau penyembuh. Begitupun masyarakat Kokoda meyakini bahwa ayat
al-Qur’an dapat menjadi media perantara kesembuhan yang datangnya
dari Allah, baik penyakit jasmani maupun rohani. Untuk itu beberapa
ayat al-Qur’an yang populer dipercaya masyarakat ampuh
menyembuhkan penyakit.
g. Media silaturahmi. Hal ini disebabkan setiap kegiatan ritual yang
dilahirkan dari resepsi atas al-Qur’an, seperti tradisi Magaomo
merupakan kegiatan yang melibatkan semua unsur-unsur masyarakat,
bahkan yang berbeda agama sekalipun. Hal ini sebagai bentuk
terwujudnya tingkat solidaritas masyarakat yang tinggi dalam
menjunjung persaudaraan antar sesama.
C. Analisis Ragam Praktik dan Makna Praktik Resepsi Al-Qur’an
Masyarakat Kokoda
Berdasarkan pemaparan mengenai ragam praktik serta makna dan
simbol dari praktik resepsi masyarakat Kokoda di atas, dapat disajikan
dalam bentuk tabel sebagai berikut :
74

Tabel 4.1: Analisa Ragam Praktik dan Makna Praktik Resepsi Masyarakat
Tipologi Praktik Simbol Makna
Resepsi
Kajian Akhwat
Kokoda Media Ta’lim
Ekspresif
Pembelajaran TPQ
Eksegesis
Khutbah Jum’at
Media
Kegiatan seremonial Dakwah Objektif dan
keagamaan Dokumenter
Estetis Hiasan dinding di Media
rumah & masjid Perlindungan Dokumenter

Bacaan al-Qur’an rutin Media Ibadah Ekspresif


Tahlilan Media Doa
Objektif dan
Tradisi Magaomo Media Dokumenter
Silaturahmi
Fungsional
Doa kunci diri Media
Perlindungan
Objektif
Penyembuhan Media
penyakit Pengobatan

Dari tabel diatas, ragam perilaku masyarakat Kokoda yang berkaitan


dengan al-Qur’an kemudian dikelompokkan ke dalam tiga bentuk tipologi
resepsi. Pertama, kegiatan kajian akhwat Kokoda dan pembelajaran TPQ
mengindikasikan adanya resepsi eksegesis al-Qur’an yang melahirkan
simbol bahwa al-Qur’an menjadi media ta’lim dan bermakna ekspresif.
Kemudian penyampaian pesan ayat al-Qur’an pada khutbah jum’at dan
kegiatan seremonial juga termasuk resepsi eksegesis al-Qur’an yang
melahirkan simbol bahwa al-Qur’an menjadi media dakwah masyarakat
Kokoda dan melahirkan makna objektif dan dokumenter.
75

Kedua, adanya ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi pajangan hiasan


dinding di masjid dan rumah mengindikasikan resepsi estetis al-Qur’an
dimana masyarakat Kokoda merespon al-Qur’an sebagai suatu keindahan
yang menampakkan ciri khas budaya Kokoda. Hal ini menunjukkan adanya
makna dokumenter yaitu al-Qur’an sebagai wadah melestarikan tradisi dan
budaya masyarakat Kokoda. Selain sebagai suatu keindahan, masyarakat
juga memaknai ayat al-Qur’an yang dipajang di dinding sebagai media
perlindungan bagi rumah dan penghuni rumah dari hal-hal yang
mendatangkan musibah.
Ketiga, beberapa praktik perilaku masyarakat yang
mengindikasikan adanya resepsi fungsional yaitu: (1) praktik pembacaan
al-Qur’an secara rutin pada waktu tertentu yang kemudian menjadi media
ibadah bagi masyarakat Kokoda serta melahirkan makna ekspresif. (2)
tradisi tahlilan pada acara kematian menjadi media doa untuk mayyit oleh
masyarakat Kokoda dan melahirkan makna objektif dan dokumenter. (3)
tradisi magaomo yang dalam praktiknya membaca ayat-ayat al-Qur’an
sebagai bentuk rasa syukur pada momen tertentu dan menghadirkan
keluarga besar melahirkan simbol bahwa al-Qur’an menjadi media
silaturahmi masyarakat Kokoda serta bermakna objektif dan dokumenter.
(4) adanya ayat al-Qur’an yang dijadikan doa ‘kunci diri’ melahirkan
simbol bahwa al-Qur’an menjadi media perlindungan yang bermakna
objektif. (5) adanya ayat al-Qur’an yang dijadikan ‘obat’ penyakit
menjadikan al-Qur’an menjadi media pengobatan atau penyembuh yang
diyakini ampuh oleh masyarakat Kokoda dan bermakna objektif.
Akhirnya terlihat bahwa bentuk tipologi resepsi dan pemaknaan
yang dihadirkan masyarakat Kokoda terhadap ayat al-Qur’an merupakan
pemahaman yang diperluas dari konteks sosial tradisi turun temurun dimana
76

ayat tersebut berada dalam lingkungan Kokoda, dalam rangka memberi


solusi terhadap problematika sosial yang dihadapi.
D. Resepsi Al-Qur’an sebagai Ekspresi Masyarakat Kokoda
Suku Kokoda sebagai masyarakat muslim yang menjadikan al-
Qur’an sebagai landasan kehidupannya, melahirkan beberapa bentuk
interaksi yang melibatkan al-Qur’an. Hingga kemudian telah mengakar
menjadi tradisi yang khas, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya. Mengingat mereka selaku minoritas muslim, bila
dibandingkan dengan suku asli Papua lainnya, tentu menghadirkan
tantangan dalam bermasyarakat.
Dalam praktik keagamaannya, Suku Kokoda tak hanya menghadapi
mayoritas penduduk asli Papua yang beragama Kristen. Dengan semakin
lancarnya transportasi dari dan ke Papua, jumlah orang keluar-masuk Papua
pun meningkat dan berkembang. Komunitas Kokoda dihadapkan dengan
masyarakat yang secara keseluruhan menjadi sangat majemuk baik dalam
hal suku, budaya, maupun agama yang datang dari berbagai pulau di
Indonesia dengan membawa corak etnis dan adat istiadatnya masing-
masing. Walaupun tak dapat dipungkiri ada saja potensi konflik seperti
fanatisme kesukuan hingga gerakan separatis, namun dalam kemajemukan
itu, Kokoda tetap berupaya membina kerukunan hidup antarumat beragama.
Hal ini ditandai dengan semakin membaiknya kesadaran beragama maupun
toleransi antarumat beragama di Kota Sorong umumnya.20
Salah satu keunggulan dari Suku Kokoda adalah dapat hidup damai
tanpa konflik bersama-sama dengan penganut agama lain. Hal ini dapat
terjadi karena ada tiga cara yang ditempuh oleh komunitas ini. Pertama,
menyatukan persepsi bahwa persaudaraan antar sesama di atas segalanya.

20
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Peran Pemerintah Daerah
dan Kantor Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2013), 180.
77

Kedua, mengokohkan prinsip bahwa susah dan senang dipikul bersama.


Ketiga, memelihara dan mempertahankan warisan (tradisi) leluhur. Bagi
masyarakat Kokoda, agama bukan penghalang untuk hidup rukun, justru
dengan agama itulah menjadi pondasi keberlangsungan masyarakat Papua.
Bahkan ini sudah ditanamkan kepada tiap individu dalam keluarga.
Ungkapan “Satu Tungku Tiga Batu” menjadi semangat persaudaraan
Kokoda. Diibaratkan seperti ketika sebuah tungku digunakan untuk
memasak, paling tidak memerlukan tiga batu, maksudnya untuk sebuah
pondasi yang kuat, suatu keniscayaan adanya keberagaman. Perumpamaan
ini menjadi lambang keragaman keyakinan.21 Identitas agama dianggap
sebagai pilihan dan tanggung jawab masing-masing individu kepada
Tuhannya dengan tidak mengurangi hubungan antar sesama manusia.22
Relasi keagamaan Kokoda tercipta atas dasar saling pengertian. Hal
ini merupakan pemaknaan masyarakat Kokoda terhadap ayat al-Qur’an
mengenai toleransi dan kebersamaan dalam surah al-Ka>firu>n (109) ayat 1-
6. Hal ini berdasarkan pernyataan dari bapak Ali selaku tokoh agama di
Kampung Kokoda,
“Kondisi sosial yang majemuk seperti ini, kuncinya harus hidup
saling mengerti saja biar rukun, hindari sifat fanatik. Saya rasa ini
juga salah satu pengamalan ayat “lakum di>nukum waliya di>n”.
Agamamu ya agamamu, agamaku agamaku, tidak ada paksaan.
Harusnya kita bisa tetap hidup dampingan. Allah juga perintahkan
untuk saling menghargai saling mengingatkan, saling menolong dan
sebagainya. Kalau kita tidak bisa saling mengerti, memaksakan
kehendak, tidak rukun dengan kerabat justru itu tidak sesuai dengan
ajaran al-Qur’an. Kerabat tidak harus muslim, boleh jadi Kristen,
Hindu, Budha. Sebenarnya kan semua sudah lengkap di dalam al-
Qur’an, tinggal penerapannya bagaimana.”23

21
Idris Wugaje, Wawancara.
22
Ismail Suardi, “Harmoni Sosial dalam Keberagaman dan Keberagamaan
Masyarakat Minoritas Muslim Papua Barat,” Jurnal Kalam, vol.10, no.2 (Desember 2016):
306.
23
Ali Syamsudin Namugur, Wawancara.
78

Bentuk resepsi pada ayat ini terlihat pada beberapa cara mereka
berinteraksi dengan non-muslim. Di Kokoda, menjadi hal yang lumrah
apabila dalam sebuah rumah terdapat dua atau lebih agama berbeda. Mereka
bisa saling mengingatkan bahkan memfasilitasi untuk beribadah, tetapi
tetap saling menjaga keyakinan masing-masing. Seperti cerita salah satu
warga Kokoda yang penulis wawancarai,
“Di rumah saya itu, kami bersaudara enam orang. Empat muslim,
dua kristiani. Tapi tetap saling jaga, saling hargai. Bahkan saya
punya bapak yang muslim, kalau mereka tidak melaksanakan ibadah
tetap ditegur. Kalau kamu yakini satu keyakinan ya harus kamu
jalani dengan baik begitu. Mereka pun mengerti dengan agama kita,
misal dalam Islam tidak boleh makan daging babi. Mereka menjaga
untuk supaya kami yang muslim tidak menyentuh hal-hal yang
dilarang. Tidak ada paksaan keyakinan, yang penting saling
mengerti.”24
Prinsip “Sa Pu Sodara” yang berarti “keluarga saya” menjadi dasar
ikatan sosial dalam masyarakat. Sehingga agama apapun, bukan hambatan
apalagi meruntuhkan persaudaraan yang sudah dibangun sejak awal. Seperti
pernyataan dari kepala suku Kampung Kokoda,
“Sudah turun temurun kita satu prinsip “Sa Pu Sodara”, yaitu “saya
punya keluarga”. Maksudnya ya itu tadi, persaudaraan itu di atas
kepentingan segala-galanya. Komitmen itu sudah warisan dari
leluhur. Dari kecil sudah diajarkan jadi sudah tertanam komitmen
itu. Akhirnya, rasa persaudaraan itu kami anggap sebagai budaya
kami.”25
Mengenai hal ini sempat dikomentari oleh salah satu Muballig}h
Kota Sorong, Ustad Adnan Firdaus, beliau mengatakan :
“Memang agama di Papua ini agak beda dengan di daerah lain.
Kalau perihal agama, di Kokoda ada diposisi kedua. Posisi pertama
itu keluarga kemudian posisi kedua baru agama. Makanya
perbedaan beragama itu biasa-biasa saja di kalangan mereka.
Karena yang diutamakan adalah keluarga. Jadi tidak boleh itu ada
bentrok antar keluarga gara-gara persoalan agama. Mereka lebih
24
Ahmad (warga Suku Kokoda), diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 03
November 2022, Papua Barat Daya.
25
Idris Wugaje, Wawancara.
79

utamakan untuk hargai sisi-sisi kekerabatan, sisi kemanusiaan


dibandingkan perbedaan agama. Ini yang jadi pemahaman dalam hal
beragama di Kokoda. Kalau dari segi tauhid ya mungkin bisa
dibilang kebablasan. Tapi kalau lihat dari sisi yang lain, ya mereka
katakan itu positif, tergantung dari kita punya sudut pandang lagi.
Terkadang adat lebih kuat daripada agama. Tapi tetap kalau internal
kita katakan lakum di>nukum waliyadi>n. Soal akidah kita hitam
putih, tetapi dalam soal lain kita bisa berwarna. Dan saya bisa
melihat bahwa masyarakat Kokoda khususnya, sudah sangat toleran
dan matang.”26
Selanjutnya dapat dilihat juga misalnya pada perayaan Natal dan
Idul Fitri menjadi bagian dari pertemuan keluarga besar dan kesempatan
untuk berkumpul, berbagi, bahkan turut membantu mempersiapkan
perayaan Idul Fitri bagi Kristiani atau sebaliknya pada saat Natal.
Keterangan salah satu warga, “Kami datang menghadiri undangan,
menghargai saudara kami, bukan menghadiri ritualnya.”27 Dengan cara
inilah masyarakat Kokoda mampu hidup rukun dan menjalankan toleransi
keberagamaannya. Persaudaraan ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-
hari. Anak-anak bergaul tanpa mempermasalahkan identitas agama. Warga
berbeda agama juga saling berkunjung satu sama lain. Dalam beberapa
kesempatan, pendirian gereja atau masjid justru didukung oleh masyarakat
lingkungan sekitar yang berbeda agama.
Di sisi lain, kondisi minoritas ini menjadi kesempatan masyarakat
Kokoda dalam menghadirkan desain khas arsitektur masjid yang tetap
memperhatikan kepentingan komunitas lain. Hal ini terlihat pada ornamen
dan kaligrafi masjid yang ditampilkan memiliki unsur ciri khas Kokoda-
Papua. Saat ini, pengurus dan remaja masjid Babul Jannah telah berupaya
meramaikan dan menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat,

26
Adnan Firdaus (Muballigh Kota Sorong), diwawancarai oleh Dirfan Kahar,
Sorong, 16 Juni 2021, Papua Barat dalam Dirfan Kahar, Persepsi Masyarakat Tentang
Ayat-Ayat Toleransi dan Korelasinya dengan Masalah Kerukunan Antar Ummat
Beragama (Ciputat: IIQ Jakarta Press, 2022), 90.
27
Ahmad, Wawancara.
80

tidak hanya sebagai tempat shalat. Hal ini menunjukkan semangat


keberagamaan minoritas muslim yang terekspresi melalui masjid.28
Bentuk toleransi yang dimunculkan oleh komunitas Kokoda
agaknya berbeda dengan sikap toleransi kebanyakan. Kesadaran beragama
lahir dari sebuah kearifan lokal. Segala aspek dalam kehidupan komunitas
kokoda semuanya harus berdasarkan “persaudaraan”. Hal ini dimaksudkan
agar kehidupan yang damai dapat diwujudkan jika setiap perbedaan disikapi
dengan saling pengertian.29 Maka implikasi dari kondisi sosial wilayah
Sorong yang majemuk dan Kokoda selaku minoritas, yaitu adanya
kompromi pada pelaksanaan paham-paham keagamaan demi terciptanya
masyarakat yang damai. Namun hal ini tidak mengurangi keteguhan
Kokoda dalam memeluk Islam dan menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an
sebagaimana terlihat dari interaksi dan praktik resepsi masyarakat Kokoda
terhadap al-Qur’an yang telah dijabarkan pada bab ini.
Jika ditelaah menggunakan teori Farid Essack mengenai tipologi
para pembaca dan pecinta al-Qur’an, masyarakat Kokoda dalam
mengekspresikan kecintaannya terhadap al-Qur’an berada di tahap pecinta
tidak kritis (uncritical lover). Interaksi yang ditunjukkan masyarakat masih
sekedar membaca, mengagumi, dan terkadang menganggap sekedar ajaran
turun temurun tanpa memahami secara utuh pesan-pesan dari setiap ayat
yang mereka baca. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan ibadah yang
motivasinya sebatas terselenggaranya kegiatan tersebut. Hal ini dimaknai
bahwa pemahaman komunitas Kokoda tentang agama tidak sampai pada
tingkat substansi, tapi lebih pada estetikanya.
Tipologi resepsi masyarakat Kokoda terhadap al-Qur’an termasuk
dalam kajian fungsi, yang ditinjau dari aspek informatif dan performatif.

28
Ismail Suardi, “Masjid di Papua Barat: Tinjauan Ekspresi Keberagamaan
Minoritas Muslim dalam Arsitektur,” Jurnal el Harakah, vol.15, no.2 (2013): 126.
29
Ismail Suardi, “Harmoni Sosial, 306.
81

Dari aspek informatif, menghadirkan praktik kajian Akhwat Kokoda,


pembelajaran TPQ, penyampaian kandungan al-Qur’an pada khutbah
Jum’at dan seremonial keagamaan. Selanjutnya, resepsi masyarakat
Kokoda terhadap al-Qur’an dari aspek performatif, menghadirkan praktik
tadarrusan, tahlilan, ayat al-Qur’an dibaca pada tradisi magaomo, al-
Qur’an diyakini sebagai penyembuh penyakit dan pelindung diri, serta al-
Qur’an diperlakukan secara estetis dengan dijadikan sebagai hiasan
dinding.
Ragam resepsi yang ditampilkan oleh masyarakat Kokoda ini dilihat
dari pemaknaan simbolisasi resepsi struktur luar (surface structure), al-
Qur’an ‘diperlakukan’ dengan diresepsi secara eksegetis,, estetis dan
fungsional sesuai dengan praktik-praktik yang telah dijabarkan pada sub
bab sebelumnya yang menunjukkan bahwa interaksi masyarakat yang
melibatkan al-Qur’an dilakukan dengan mengacu dan merujuk kembali
kepada ajaran al-Qur’an, walaupun ada juga pemahaman masyarakat yang
hanya sebatas mengikuti tradisi yang sudah turun temurun. Sedangkan
melihat simbolisasi struktur dalamnya (deep structure) yaitu karena ragam
resepsi terbentuk dari pedoman hidup yang penuh makna, sehingga
diharapkan keberkahan demi keberkahan senantiasa diperoleh masyarakat.
Selain itu, ajaran-ajaran al-Qur’an yang diresepsi oleh masyarakat Kokoda
menciptakan media silaturahmi dan kedamaian sosial.
Beberapa resepsi masyarakat Kokoda yang telah dipaparkan,
mengindikasikan bahwa al-Qur’an benar-benar diterima oleh masyarakat
Kokoda sebagai sesuatu yang hidup dalam keseharian mereka, baik yang
diresepsi secara eksegesis, estetis, maupun fungsional. Terlepas dari
pemahaman masyarakat terhadap interaksi mereka dengan al-Qur’an dan
dari adanya justifikasi benar-salah seputar rutinitas mereka dalam
menghidupkan atau menghadirkan al-Qur’an dalam kesehariannya, penulis
82

mengungkap hal-hal yang unik dan khas serta menangkap pemaknaan yang
mendalam dari aktivitas resepsi masyarakat Kokoda, apalagi mengingat
mereka selaku minoritas. Ajaran al-Qur’an menjadi landasan perekat
kebersamaan masyarakat Kokoda dalam melestarikan tradisinya dan
menjalin hubungan baik dengan suku ataupun agama lain.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan mengenai resepsi
masyarakat muslim Papua Suku Kokoda terhadap al-Qur’an, dapat ditarik
benang merah bahwa terdapat tiga poin penting yang menjadi kesimpulan
penulis dalam penelitian ini :
1. Ragam praktik resepsi masyarakat Kokoda dibagi menjadi tiga bentuk
tipologi, yaitu pertama, resepsi eksegesis yang terlihat pada kajian rutin
Akhwat Kokoda, pembelajaran TPQ, penyampaian pesan ayat al-Qur’an
pada khutbah Jum’at, dan pada seremonial keagamaan. Kedua, resepsi
estetis dimana ayat al-Qur’an dijadikan hiasan dinding di masjid dan
rumah. Ketiga, resepsi fungsional terlihat pada praktik tadarrusan,
tahlilan, ayat al-Qur’an dibaca pada tradisi magaomo, serta al-Qur’an
diyakini sebagai penyembuh penyakit dan pelindung diri.
Makna dibalik ragam praktik resepsi masyarakat Kokoda, penulis bagi
menjadi tiga makna, yakni pertama, makna objektif, yaitu masyarakat
yang sadar bahwa al-Qur’an merupakan pedoman hidup dimana semua
aspek kehidupan haruslah berlandaskan al-Qur’an dan masyarakat yang
menjalankan praktik keagamaan sebatas mengikuti tradisi turun
temurun. Kedua, makna ekspresif, yaitu bentuk kepatuhan terhadap
pencipta dan nenek moyang sebagai praktik keagamaan turun temurun.
Ketiga, makna dokumenter, yaitu terbentuknya kebersamaan dan
keakraban masyarakat Kokoda serta sebagai wadah melestarikan
budaya setempat. Dari pemaknaan ini melahirkan simbol-simbol
tersendiri, yaitu al-Qur’an menjadi media dakwah, ta’lim, ibadah dan

83
84

peningkatan keimanan, doa, perlindungan, pengobatan, serta media


silaturahmi.
2. Al-Qur’an benar-benar diterima oleh masyarakat Kokoda dalam
keseharian mereka. Penulis menangkap pemaknaan yang mendalam
dari aktivitas resepsi masyarakat Kokoda, apalagi mengingat mereka
selaku minoritas. Hal ini memberikan tantangan tersendiri dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat. Implikasi kondisi sosial yang
majemuk menjadikan adanya kompromi-kompromi pada pelaksanaan
praktik keagamaan masyarakat Kokoda demi terciptanya masyarakat
yang damai. Namun hal ini tidak mengurangi keteguhan Kokoda dalam
memeluk Islam dan menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an sebagaimana
terlihat dari interaksi dan praktik resepsi masyarakat Kokoda terhadap
al-Qur’an yang telah dijabarkan pada penelitian ini. Ajaran al-Qur’an
menjadi landasan perekat kebersamaan masyarakat Kokoda dalam
melestarikan tradisinya dan menjalin hubungan baik dengan suku
ataupun agama lain.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya penelitian lebih
lanjut yang memfokuskan pada salah satu bentuk resepsi masyarakat
terhadap al-Qur’an, ataupun penelitian lebih lanjut mengenai adat istiadat
dan interaksi serta pemahaman masyarakat Kokoda baik terhadap al-Qur’an
maupun teks hadis. Masih banyak ruang kosong yang dapat diteliti dari
kehidupan keberagamaan masyarakat Kokoda untuk melengkapi kajian
keislaman.
Selanjutnya, besar harapan penulis kepada warga Kokoda untuk
terus meningkatkan pemahaman ajaran-ajaran al-Qur’an agar tidak
berislam sebatas karena turunan atau budaya tetapi karena memang
85

menyadari dan meyakini Islam sebagai agama yang dianut. Sehingga dalam
bermasyarakat akan senantiasa dapat menjalankan syariat Islam serta terus
melestarikan kebudayaan setempat.
Penulis juga berharap penuh kepada pemerintah dan seluruh umat
muslim untuk sama-sama lebih memperhatikan dan mendukung masyarakat
Kokoda mengenai pendidikan keagamaan. Perlu adanya program jangka
panjang dalam rangka meningkatkan kesadaran semangat belajar dan
pemahaman keislaman mendalam kepada masyarakat Kokoda.
86
DAFTAR PUSTAKA

Buku/Kitab
Ahmad, Agus dan Nanih, Pengembangan Masyarakat Islam: Dari Ideologi,
Strategi, sampai Tradisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Albi dan Johan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: Jejak, 2018.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Peran Pemerintah
Daerah dan Kantor Kementerian Agama dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2013.
Baum, Grefory. Agama dalam Bayang-bayang Relativism: Agama,
Kebenaran, dan Sosiologi Pengetahuan, terj, Achmad Murtajib dan
Masyhuri Arow. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam, Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Irwan, et. al. Dialektika Teks Suci Agama, Strukturasi Makna Agama dalam
Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM,
2008.
Kahar, Dirfan. Persepsi Masyarakat Tentang Ayat-Ayat Toleransi Dan
Korelasinya Dengan Masalah Kerukunan Antar Ummat Beragama
(Studi Kasus Pada Masyarakat Kota Sorong Papua Barat). Ciputat:
IIQ Jakarta Press, 2022.
Kuswarno, Engkus. Etnografi Komunikasi, Pengantar dan Contoh
Penelitiannya, Bandung: Widya Padjadjaran, 2008.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta:
Idea Press, 2015.

87
88

Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik dan


Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Rafiq, Ahmad. “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan ke Resepsi (Sebuah
Pencarian Awal Metodologis)” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.),
Islam, Tradisi dan Peradaban. Yogyakarta: Suka Press, 2012.
Rahardjo, Dawam. Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2002.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Rauf, Abdul Aziz. 17 Motivasi Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta
Timur: Markaz Al-Qur’an, 2015.
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu & Budaya.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. cet. 19.
Bandung: Alfabeta, 2013.
Syamsuddin, Sahiron. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits.
Yogyakarta: Teras, 2007.

Artikel/Jurnal
Abshor, M Ulil. “Tradisi Resepsi Al-Qur’an Di Masyarakat Gemawang
Sinduadi Mlati Yogyakarta (Kajian Living Qur'an),” Jurnal Qof.
vol. 03, no. 01 (2019): 41-54
Amin, Muhammad. “Resepsi Masyarakat Terhadap Al-Qur’an (Pengantar
Menuju Metode Living Qur’an),” Jurnal Ilmu Agama : Mengkaji
Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama. vol. 21, no. 2 (2020):
290-303
Anakota, Raisa, et. al. “Akulturasi Masyarakat Lokal dan Pendatang di
Papua Barat,” Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya. vol. 21,
no. 1 (Juni 2019): 29-37
89

Dawing, Darlis. “Living Qur’an Di Tanah Kailli (Analisis Interaksi Suku


Kaili Terhadap Al-Qur’an Dalam Tradisi Balia Di Kota Palu,
Sulawesi Tengah),” Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir Di
Nusantara. vol. 3, no. 1 (2018): 61-87
Esack, Farid. The Introduction to the Qur’an dalam Hilda Nurfuadah,
“Living Qur’an: Resepsi Komunitas Muslim Pada Al-Qur’an,”
Jurnal Diya al-Afkar. vol. 5, no. 1 (Juni 2017): 126-139
Fadillah. Nilna. “Resepsi terhadap Al-Qur’an dalam Riwayat Hadis,”
Jurnal NUN, vol. 3, no. 2 (2017): 101-128.
Farhan, Ahmad. “Living Al-Qur’an sebagai Metode Alternatif dalam Studi
Al-Qur’an,” Jurnal El-Afkar. vol. 6, no. 2, (Juli-Desember 2017):
87-96.
Fathurrosyid, “Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur’an di Kalangan
Masyarakat Sumenep Madura,” Jurnal el Harakah, vol. 17, no.2
(2015): 218-239.
Hamka, “Sosiologi Pengetahuan: Telaah Atas Pemikiran Karl Mannheim,”
Jurnal Institut Agama Islam Negeri Palu, vol. 3, no. 1, (2020): 76-
84.
Jannah, Imas Lu’ul. “Resepsi Estetik terhadap Al-Qur’an pada Lukisan
Kaligrafi Syaiful Adnan,” Nun: Jural Studi Al-Qur’an dan Tafsir di
Nusantara, vol. 3, no. 2 (2017): 25-59.
Junaedi, Didi. “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-
Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al Hasan Desa
Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon),” Jurnal of Qur’an and
Hadith Studies. vol. 4, no. 2, (Juni 2015): 169-190.
Nugraha, Eva. “Ngalap Berkah Qur’an: Dampak Pembaca Al-Qur’an Bagi
Para Pembacanya,” Jurnal Ilmu Ushuluddin. vol. 5, no 2, (2018):
113-131.
90

Nurfuadah, Hilda. “Living Qur’an: Resepsi Komunitas Muslim Pada Al-


Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren at-Tarbiyyatul
Wathoniyyah Desa Mertapada Kulon, Kec. Astatana Japura, Kab.
Cirebon),” Jurnal Diya al-Afkar. vol. 5, no. 1, (Juni 2017): 125-139.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi,” Jurnal Walisongo. vol. 20, no 01 (Mei 2022): 235-
260.
Rafiq, Ahmad. “Pembacaan Atomistik terhadap Al-Qur’an: Antara
Penyimpangan dan Fungsi,” Jurnal Studi Qur’an dan Hadith, vol.
4, no. 2 (2004): 35-53.
Rahman, Miftahur. “Resepsi terhadap Ayat Al-Kursī dalam Literatur
Keislaman,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. vol. 3,
no. 2 (Juli-Desember 2018): 134-147.
Rais, Muhammad. ”Islam Dan Kearifan Lokal; Dialektika Faham dan
Praktik Keagamaan Komunitas Kokoda-Papua dalam Budaya
Lokal,” Jurnal HIKMAH. vol. 7, no. 1 (2011): 55-82.
Riyadi, Fahmi. “Resepsi Umat Atas Al-Qur’an: Membaca Pemikiran Navid
Kermani Tentang Teori Resepsi Al-Qur’an,” Hunafa: Jurnal Studia
Islamika. vol. 11, no.1 (Juni 2014): 43-60.
Rohmah, Umi Nuriyatur. “Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dalam Ritual
Rebo Wekasan Studi Living Qurˋan Di Desa Sukoreno, Kec.
Kalisat, Kab. Jember,” Jurnal Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qurˋan dan
Hadist. vol. 1, no. 1 (Januari 2018): 67-91.
Santoso, Ibnu. “Resepsi Al-Qur’an dalam Berbagai Bentuk Terbitan,”
Jurnal Humaniora. vol. 16, no. 1 (Februari 2004): 78-87.
Saprillah, “Migrasi Kaum Muslim ke Sorong Papua Barat,” Jurnal Al-
Qalam. vol. 17, no 2, (Juli-Desember 2011): 251-261.
91

Suardi, Ismail dan Yuliana. “Tifa Syawat dan Entitas Dakwah dalam
Budaya Islam: Studi Suku Kokoda Sorong Papua Barat,”
THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam.
vol. 13, no. 1, (Juni 2012): 163-186.
Wahidi, Ridhoul. “Hidup Akrab Dengan Al-Qur'an; Kajian Living Qur'an
Dan Living Hadis Pada Masyarakat Indragiri Hilir Riau,” Turats:
Jurnal Penelitian Dan Pengabdian, vol. 1, no. 2 (2013): 103-113.
Wekke, Ismail Suardi, “Masjid di Papua Barat: Tinjauan Ekspresi
Keberagamaan Minoritas Muslim dalam Arsitektur,” Jurnal el
Harakah. vol. 15, no. 2, (2013): 124-149.
Wekke, Ismail Suardi. “Harmoni Sosial dalam Keberagaman dan
Keberagamaan Masyarakat Minoritas Muslim Papua Barat,” Jurnal
Kalam, vol. 10, no. 2, (Desember 2016): 295-312.
Wekke, Ismail Suardi. “Islam Di Papua Barat: Tradisi dan Keberagaman,”
Jurnal Ulul Albab. vol. 14, no. 2 (2013): 117-134.
Yuliani, Yani. “Tipologi Resepsi Al-Qur’an dalam Tradisi Masyarakat
Pedesaan: Studi Living Qur'an di Desa Sukawana, Majalengka,” Al-
Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. vol. 06, no. 02 (2021):
321-338.

Skripsi/Tesis/Disertasi
Alan, Moh Nurun. “Tipologi Resepsi Al-Qur’an : Kajian Living Qur’an di
Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang”.
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2020.
Arisandi, Uka, “Resepsi Masyarakat Terhadap Teks Al-Qur’an: (Studi
Living Qur’an di Desa Barambai Kolam Kanan, Kecamatan
Barambai, Kabupaten Barito Kuala)”. Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Antasari Banjarmasin, 2019.
92

Fadilah, Alifah Nurul, “Dinamika Sejarah Pendidikan Agama Islam pada


Masyarakat Suku Kokoda di Kabupaten Sorong, Papua Barat”,
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2020.
Rafiq, Ahmad. The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of
the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community.
Disertasi Ph.D., Temple University Press, 2014.
Roja, Akhmad. “Resepsi Al-Qur’an Di Pondok Pesantren Karangsuci
Purwokerto”. Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Purwokerto,
2019.
Rubawati, Efa. “Suku Minoritas Papua Dan Identitas Agama (Studi
Etnografi Komunikasi Pada Suku Kokoda Di Maibo, Kabupaten
Sorong – Papua Barat)”. Tesis S2., Universitas Airlangga, 2019.
Saputri, Wahyu Dian. “Resepsi Terhadap Al-Qur’an oleh Masyarakat
Kampung Pasar Batang Lampung”. Skripsi S1., Institut Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta, 2021.

Wawancara
Afifah (warga Suku Kokoda), Diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong,
05 November 2022, Papua Barat Daya.
Agia, Ismail (tokoh masyarakat Kokoda), Diwawancarai oleh Dian
Prabawati, Sorong, 28 Oktober 2022, Papua Barat Daya.
Ahmad (warga Suku Kokoda), Diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong,
03 November 2022, Papua Barat Daya.
Amina (warga Suku Kokoda), Diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong,
05 November 2022, Papua Barat Daya.
Gogoba, Rifai (pengurus Masjid Babul Jannah Kokoda), Diwawancarai
oleh Dian Prabawati, Sorong, 02 November 2022, Papua Barat Daya.
Namugur, Ali Syamsudin (tokoh agama Kokoda), Diwawancarai oleh Dian
Prabawati. Sorong, 12 Juni 2022, Papua Barat Daya.
93

Nurhaya (warga Suku Kokoda), Diwawancarai oleh Dian Prabawati,


Sorong, 05 November 2022, Papua Barat Daya.
Syarif, Jalila (Founder ‘Akhwat Kokoda Community’), Diwawancarai oleh
Dian Prabawati, Sorong, 03 November 2022, Papua Barat Daya.
Wahyu (warga Suku Kokoda), Diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong,
05 November 2022, Papua Barat Daya.
Wugaje, Idris (Kepala Suku Kokoda, Kompleks Kokoda Km. 8).
Diwawancarai oleh Dian Prabawati, Sorong, 05 Juni 2022, Papua
Barat Daya.

Lain-lain
Arsip dokumen data monografi kelurahan Klasabi 2022.
Kajian Akhwat Kokoda Community oleh Ustadzah Jalila Syarif, pada
Kamis, 03 November 2022 pukul 16.30-17.50 WIT.
Peta wilayah kelurahan Klasabi, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Google
Maps: maps kelurahan klasabii sorong - Search (bing.com) diakses
pada 28 November 2022.
94
LAMPIRAN- LAMPIRAN

Lampiran 1 : Panduan Wawancara


Daftar Pertanyaan:
1. Bagaimana sejarah & perkembangan Suku Kokoda hingga sekarang?
*KS
2. Bagaimana keadaan sosial ekonomi agama & budaya masyarakat
Kokoda? *KS & *TA
3. Apa saja praktek keagamaan yang menggunakan ayat al-Qur’an? *M
*TA
4. Kapan & bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan? *M *TA
5. Mengapa ayat-ayat tersebut yang digunakan? *TA
6. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai ayat yang digunakan
dalam kegiatan-kegiatan tersebut? *TA & *M
7. Apa tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan ayat-ayat tersebut? *TA
& *M
8. Apa manfaat yang dirasakan dengan adanya bacaan al-Qur’an dalam
kegiatan tersebut? *M *TA
9. Bagaimana praktek keagamaaan dijalankan oleh masyarakat Kokoda
sebagai minoritas? *KS *TA
10. Bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai prinsip “sapu sodara”? *KS &
*TA
11. Bagaimana menyatukan ajaran al-Qur’an dengan tradisi setempat? *KS
& *TA
12. Apa yang dilakukan apabila terjadi persinggungan antara ajaran al-
Qur’an dengan tradisi setempat? *KS & *TA
13. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pentingnya al-Qur’an di
tengah-tengah masyarakat & kehidupan sehari-hari? *TA & *M

Keterangan :
KS : pertanyaan untuk Kepala Suku
TA : pertanyaan untuk Tokoh Agama
M : pertanyaan untuk Masyarakat

95
96

Lampiran 2 :

Transkrip Wawancara

Tanggal : 05 November 2022


Tempat : Kampung Kokoda Kota Sorong
Narasumber : Bapak Wahyu (Warga Kampung Kokoda Sorong)
1. Apa saja praktek keagamaan yang menggunakan ayat al-Qur’an?
Kapan & bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan?
Jawab : “Sekarang kita sudah coba kasih rutin tadarrus di masjid tiap
malam jumat dan malam senin, biasa anak-anak remaja masjid sekalian
pembacaan maulid dan sholawat. Kalau orang meninggal kita tahlilan
sampai hari ketujuh. Kalau kita perayaan syukuran, Magaomo namanya
itu kalau anak lahir, atau pernikahan atau anak sunat itu kita syukuran
doa-doa pake al-Qur’an juga, sekalian kumpul keluarga besar makan
bersama. Kalau ada yang sakit kita berdoa kita bacakan ayat-ayat
bahkan turun temurun itu ada doa ‘kunci diri’ namanya, baca ayat kursi
dan lain-lain untuk kita bisa jaga kita punya diri kalau mau keluar
rumah. Kita juga pajang-pajang ayat kursi di ruang tamu rumah. Saya
rasa itu semua bentuk hubungan kita dengan al-Qur’an sebagai
muslim”.
2. Bagaimana pemahaman anda mengenai ayat al-Qur’an yang
digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut?
Jawab: “Jadi memang al-Qur’an itu dekat dengan kehidupan kita
Kokoda karena sudah ditanamkan turun temurun kalau al-Qur’an ini
sudah petunjuk hidup. Jadi kami percaya saja bahwa ajaran al-Qur’an
itulah yang benar dan kita terapkan dalam kehidupan. Jadi hal-hal yang
kami kerjakan itu juga sebenarnya sudah ada sejak nenek moyang jadi
kami teruskan saja begitu”.
3. Apa tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan ayat-ayat tersebut?
Jawab: “Kita baca al-Qur’an pastikan tujuannya ya ibadah to,
mendekatkan diri sama Tuhan, kita doa minta yang baik-baik jauhkan
yang buruk. Misal kayak taruh ayat kursi jadi hiasan di ruang tamu, itu
semua tidak lain untuk minta penjagaan dan keberkahan sama Allah”
97

4. Apa manfaat yang dirasakan dengan adanya bacaan al-Qur’an


dalam kegiatan tersebut?
Jawab: “Manfaatnya kalau habis mengaji ya kita jadi tenang, pikiran
lebih terbuka, tapi memang ayat al-Qur’an itu dahsyat, bayangkan saya
punya nenek dulu tidak tau baca itu al-Qur’an, huruf hijaiyah saja tidak
tau. Tapi saking yakinnya sama al-Qur’an bahwa bisa sebagai perantara
meminta kepada Tuhan, ada kakak saya waktu sakit, nenek saya dengan
keyakinannya usap-usap itu tulisan al-Fatihah. Alhamdulillah kuasa
Allah, kakak saya membaik sembuh”.
5. Bagaimana pemahaman anda tentang pentingnya al-Qur’an di
tengah-tengah masyarakat & kehidupan sehari-hari?
Jawab: “Pasti kami sadar itu penting sekali. Sudah ditanamkan bahwa
dari al-Qur’an itu kita yakini, kita bisa hidup. Dari al-Qur’an itu sudah
kita bisa hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia.
Apalagi kita hidup campur-campur begini, harus tau berkasih sayang,
saling pengertian, itu semua diajar dalam al-Qur’an. Tapi sayang orang-
orang sekarang ini sudah susah mau belajar agama, anak-anak apalagi.
Kami semangat tapi ya tidak ada juga fasilitas, belum ada guru yang
cukup”.
98

Transkrip Wawancara

Tanggal : 12 Juni 2022


Tempat : Kampung Kokoda Kota Sorong
Narasumber : Bapak Ali Syamsudin Namugur (Tokoh Agama Kokoda)
1. Bagaimana praktek keagamaaan dijalankan oleh masyarakat
Kokoda sebagai minoritas?
Jawab : “Pastinya tetap kami jalankan sesuai ajaran al-Qur’an, yang
melanggar syari’at kami tinggalkan. Ya mungkin ada kompromi-
kompromi sedikit dalam interaksinya. Apalagi kita dengan kehidupan
yang majemuk begini. Justru dengan al-Qur’an itu kita bisa hidup rukun
bertetangga dengan suku lain, agama lain. Kan di dalam al-Qur’an ada
perintahnya untuk toleransi. Justru kalau tra bisa toleransi itu yang tidak
sesuai ajaran al-Qur’an lagi. Yang penting saling menghargai, mengerti,
memahami aturan agama lain jadi bisa saling jaga keyakinan masing-
masing”.
2. Bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai prinsip “sapu sodara”?
Jawab : “Ya. Jadi di Kokoda itu sudah dari jaman kita punya raja-raja.
Sudah diajar namanya rasa saudara yang tinggi. ‘Sa pu Sodara’ itu
artinya keluarga saya. Jadi semua masyarakat Kokoda biar lagi tidak ada
hubungan darah, tapi kami tinggal di tanah yang sama ya kami keluarga.
Namanya keluarga, susah senang sama-sama. Jadi keluarga atau saudara
itu nomor satu. Semua harus sesuai kepentingan persaudaraan. Kalau
ada urusan-urusan yang merusak persaudaraan itu lebih baik hindari”.
3. Bagaimana menyatukan ajaran al-Qur’an dengan tradisi
setempat?
Jawab : “Sebenarnya tradisi murni turun temurun yang kami lakukan
dari nenek moyang kami percaya kalau itu berdasar dari ajaran al-
99

Qur’an juga, jadi memang sudah menyatu begitu. Tentu saja ada apa
namanya ya, mungkin peleburan begitu kapa ya. Cuma ya kadang
masyarakat kalau sudah kontak dengan lingkungan lagi, kemurniaan
tradisi itu memudar, ada lagi pengaruh-pengaruh dari luar. Jadi memang
harus tetap dijaga kelestarian dan keasliannya”.

4. Apa yang dilakukan apabila terjadi persinggungan antara ajaran


al-Qur’an dengan tradisi setempat?
Jawab : “Sebenarnya tidak bertolak belakang ya. Kalaupun ada ya kami
tetap dahulukan agama. Kan beberapa tradisi sebelum Islam datang itu
mungkin ada yang tidak sesuai Islam, nenek moyang kami sudah
tinggalkan. Jadi sekarang pun yang mungkin kelihatan ada singgungan
antara ajaran al-Qur’an dengan adat itu sebenarnya bisa kita
kompromikan. Mungkin ada rangkaian acara dari suatu tradisi adat yang
ditunda tunggu sampai rangkaian keislaman selesai dulu biar tidak
menyalahi syari’at, atau diganti dengan yang lebih Islami atau bahkan
dihilangkan kalau memang sudah jauh sekali dari ajaran al-Qur’an. Jadi
tidak bisa juga kami lepas adat begitu saja, karena sudah sangat melekat
dengan kami. Jadi tentu kami mau dua-duanya jalan. Agama tetap
diamalkan sesuai syariat, budaya juga tetap kita lestarikan”

5. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pentingnya al-Qur’an


di tengah-tengah masyarakat & kehidupan sehari-hari?
Jawab : “Kokoda itu mudah menerima ajaran al-Qur’an, tapi kalau
untuk memahami setiap isinya sekaligus cara membaca yang baik, itu
butuh proses. Kalau kegiatan keagamaan yang momen atau temporal itu
mereka paling semangat sudah, tapi kalau mau suruh untuk belajar al-
Qur’an atau mengaji-mengaji rutinan itu sayangnya masih kurang. Tapi
100

mereka yakini bahwa Islam agama mereka, al-Qur’an kitab mereka,


sesuatu yang harus mereka pegang teguh. Saya rasa sekarang
masyarakat Kokoda sudah mulai berkembang dan lebih perhatian
terutama masalah agama. Mengingat dunia ini sudah semakin tua, sudah
banyak masalah-masalah, penyimpangan. Saya selalu sampaikan ke
jama’ah, kita kembali cari fitrah kita sebagai manusia, kembali kepada
al-Qur’an dan nilai-nilai Islam”.
101

Lampiran 3 : Surat Penelitian

Surat izin penelitian


102

Surat keterangan telah melaksanakan penelitian


103

Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai