Anda di halaman 1dari 81

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU

TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

RINI SETIANI
NIM.106011000156

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H

ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka,
Nama : Rini Setiani, NIM. 106011000156, Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
M/1432 H, hlm. xi+75.
Pendidikan Islam dewasa ini sangat mengalami kemajuan dan perkembangan
yang signifikan, hal ini terlihat pendidikan saat ini banyak mengalami modifikasi,
transformasi bahkan metamorphosis ke dalam model atau bentuk pendidikan Islam
formal. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang
cerdas dan berakhlak mulia, memerlukan konsep yang matang. Ajaran Islam memiliki
dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteris (batiniyah) yang
seharusnya terintegrasi dalam pendidikan Islam. Hal yang bersifat esoteric dewasa
masih relatif sering diabaikan dalam dunia pendidikan saat ini, oleh karena itu
pembelajaran Islam hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah semata,
tetapi harus menyentuh ranah ruhani yang bisa membentuk peserta didik manjadi insan
yang memahami hakikat kehidupan.
Tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam
yang bisa diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam, terutama dalam bidang
ruhani dan akhlak. Dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf, pendidikan Islam akan
lebih kaya makna, lebih dari itu peserta didik tidak hanya mengetahui pokok-pokok
pendidikan Islam secara teoritis, tapi mereka juga dapat mengetahui ruh serta makna
pendidikan Islam.
Hamka adalah salah satu tokoh ulama Indonesia yang concern dalam kajian
keislaman salah satunya dalam bidang tasawuf. Dari beberapa karyanya ia menulis
tentang tasawuf, yang salah satu karyanya adalah buku Tasawuf Modern. Pada masanya
buku Tasawuf Modern adalah buku yang fenomenal dan mendapat animo yang luar
biasa dari masyarakat. Dalam buku Tasawuf Modern banyak ditemukan nilai-nilai yang
bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya juga dalam dunia
pendidikan Islam.
Dari buku tersebut setidaknya terdapat tiga pokok pembahasan mengenai nilainilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan pendidikan
spiritual. Memperteguh keimanan dengan cara memahami dan memperbanyak
membaca Al Quran, memahami hadist Nabi, serta bertafakur kepada Allah adalah
contoh nilai pendidikan keimanan yang dibahas dalam buku Tasawuf Modern. Nilai
pendidikan akhlak terlihat dengan penjelasan Hamka tentang macam-macam akhlak
terpuji diantaranya adalah malu, sidiq, qonaah, amanat, iklhlas dan tawakal. Sementara
mencegah penyakit hati dan mengobatinya serta menjadikan iman sebagai terapi untuk
menjaga kesehatan jiwa mendidik kita untuk memperkuat spiritualitas.
Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui tentang nilai-nilai pendidikan
Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern buya Hamka. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriftif
analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut
dianalisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan
gambaran dan penjelasan serta diuraikan.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan karunia yang tidak terhingga, sehingga penyusunan skripsi dengan
judul Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Buku Tasawuf Modern Hamka dapat
terselesaikan dengan baik.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman,
suri tauladan yang paling baik, dai

yang telah melakukan reformasi dari

kejahiliyahan kepada peradaban Islami, dengan menegakan ajaran Al Quran yang


suci, melalui gerakan dakwah yang hakiki. Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini merupakan proses yang panjang, diawali dengan niat
dan tekad, serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini bisa selesai.
Penulis menyadari keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai
pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepantasnya
penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag
3. Bapak Prof. Dr. H. M. Ardani dosen pembimbing yang telah tulus ikhlas
memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Zaimudin, MA dosen penasehat Akademik yang telah melayani
konsultasi dan memberikan arahan kepada penulis.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan yang dengan penuh kesabaran dan keihklasan
dalam mentransfer segala ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
kuliah
6. Kedua orang tuaku Bapak Nurrahman dan Ibu Juju Jubaedah serta adiku
tercinta Rita hardianti dan Rian Hardiana

yang telah memberikan

dukungan moril dan materil serta doa restunya kepada penulis.

vi

7. Terima kasih penulis haturkan kepada kanda Rahmi syauqi Ilahi yang
dengan sabar membimbing dan memberi motivasi kepada penulis.
8. Rekan rekan Mahasiswa PAI angkatan 2006 khususnya kelas D yang telah
menemani penulis belajar di kampus peradaban selama empat tahun, serta
kawan-kawan IMM Cabang Ciputat yang telah banyak memberikan
pembelajaran kepada penulis, terutama Irma Tazkiyya, Tsauroh Arrisalati,
Nursyakinah Nasution dan Mayang Maharani yang tinggal satu atap ,
terima kasih sudah bersedia menjadi tempat sharing dan berbagi cerita.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon perlindungan.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya penulis, dan
umumnya pembaca. Amin.
Jakarta, Februari 2011
Penulis

Rini Setiani

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi


DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................

B. Penegasan Istilah ........................................................................

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 10


D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 10

BAB II

TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM


A. Pengertian Pendidikan Islam ...................................................... 13
B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam ...................................................... 18
C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam ............................................. 19
D. Tujuan pendidikan Islam ............................................................ 22

viii

BAB III

KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA


HAMKA
A. Sekilas Biografi Buya Hamka .................................................... 25
B. Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern ...................... 28
C. Tasawuf dalam Persfektif Pemikiran Hamka ............................. 29
D. Bahagia Menurut Hamka ............................................................ 35

BAB IV

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG


DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA
A. Nilai Pendidikan Keimanan ........................................................ 43
B. Nilai Pendidikan Akhlak ............................................................ 49
C. Nilai Pendidikan Spiritual .......................................................... 58
D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai ............... 66
E. Pendidikan Islam ......................................................................... 65

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 68
B. Saran ........................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72


LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 76

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran
Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam.

Harun

Nasution, Barmawi Umarie dan para ahli ilmu tasawuf lainnya, umumnya
mengemukakan bahwa tasawuf berasal dari kata sufi, maknanya orang yang
suci atau diliputi kesucian, tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah.1
Al-Junaid menyebutkan bahwa tasawuf ialah keluar dari budi, perangai
yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.2Dan seseorang
yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, dalam bahasa Arab , kata sufi berasal
dari kata sufah, siffah, sofie dan suffah. Masing-masing kata memiliki makna
yang berbeda, namun secara mendasar berarti kesucian dan keikhlasan
menerima segala ketentuan Allah yang di ekspresikan dengan berbagai cara.3
Dalam perkembanganya tasawuf dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam, Departemen Agama (Depag) dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) seperti dikutip oleh Muhammad Solikhin dalam
buku Tasawuf Aktual (2004), mengklasifikasikan tasawuf menjadi tiga

Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h.

Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. 13.


Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press,2007), h. 7.

56.
3

macam, yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf amaly dan tasawuf falsafi.4 Tasawuf
akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian
jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku.
Taswauf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah, yang konotasinya adalah thariqoh. Sedangkan
tasawuf falsafy adalah bentuk tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan
visi rasional, baik dalam kerangka teoritis maupun praktis. Meskipun
demikian, dalam prakteknya ketiganya tidak dapat dipisahkan. Hal ini
sebagaimana kasyaf yang dialami oleh sufi falsafy tetap melakukan latihan
rohani dengan mengendalikan kekuatan syahwat serta menggairahkan ruh
dengan jalan melakukan zikir.
Para ilmuwan sejarah umumnya menyimpulkan bahwa tasawuf adalah
sebagai dimensi mistik dalam Islam. Menurut mereka kemunculan tasawuf
berawal pada abad ke-9 masehi, atau sekitar dua ratus tahun sesudah kelahiran
Islam.5 Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman
tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabiin,
kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah
muncul, pada saat itu ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek
lahiriyah dan aspek batiniyah. Pengalaman dan pendalaman aspek dalamnya
mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek
luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa.6
Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara jenis penghayatan
keagamaan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Di kalangan umat Islam
tidak sedikit yang menyebutkan bahwa tasawuf telah menyimpang dari ajaran
Islam, bahkan ada para pemikir dan peneliti yang menyebutkan bahwa salah
satu yang menjadi sebab mundurnya umat Islam adalah tasawuf. 7 Hal ini
dikarenakan ajaran tasawuf ada yang bercampur dengan mistis budaya lokal
4

Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004), h. 10.


Khalil, Merengkuh, h. 7.
6
Rosihon Anwar dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.
5

49.
7

SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo


Persada, 1997), h. 18.

tertentu,

sehingga mereka meninggalkan kehidupan dunia dan banyak

menyimpang dari syariat Islam.


Padahal Islam tidak mengharamkan kedudukan dan kenikmatan dunia,
bahkan memandang harta kekayaan dan pangkat atau kedudukan sebagai
sarana ibadah

yang paling mulia. Selain itu ajaran-ajaran seperti

Manunggaling Kawula Gusti dan sejenisnya yang dipopulerkan oleh beberapa


ahli sufi adalah salah satu ajaran tasawuf yang dianggap sesat oleh sebagian
umat Islam. Namun demikian gerakan tasawuf juga mendapat sambutan luas
dari kalangan umat Islam bahkan penyebaran Islam menjadi lebih mudah
berkat dakwah yang dilakukan oleh para sufi.
Buya

Hamka

adalah

seorang

intelektual

muslim

Indonesia

kontemporer yang concern dalam berbagai pemikiran Islam, salah satunya


dalam bidang ilmu tasawuf. Salah satu karya Hamka dalam bidang ilmu
tasawuf termaktub dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern (139).
Tasawuf Modern merupakan karya Buya Hamka yang sangat fenomenal,
sebelum dijadikan buku, Tasawuf Modern merupakan salah satu rubrik
dalam majalah Pedoman Masayarakat (1937). Akan tetapi respon
masayarakat sangat baik sehingga ada sebagian masyarakat yang menganggap
bahwa tasawuf modern merupakan obat yang bisa menentramkan jiwanya.
Hamka juga memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di
dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya,
meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf
(klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf
yang telah dipermodern.
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban
Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Tasawuf
Modern Hamka sangat penting artinya bagi dunia saat ini, karena masyarakat
telah terperangkap dalam pola pikir rasional dan mencampakkan dimensi
batin, hingga melahirkan gaya hidup yang materialis dan hedonis, dalam arti
masyarakat hanya berfikir kehidupan duniawi semata tanpa menghiraukan
kehidupan ukhrawi.

Dari fenomena disorientasi paradigma kehidupan masyarakat tersebut,


telah mengakibatkan lahirnya berbagai penyimpangan kemanusian yang
terjadi di segala sektor kehidupan, seperti: korupsi, penindasan terhadap kaum
lemah, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
eksploitasi sumberdaya alam hingga menimbulkan kerusakan lingkungan,
dekadensi moral dan lain sebagainya.
Di sisi lain ada sebagian orang yang terlalu terlena dengan tradisi
sufisme mistik, mereka meyakini dengan meninggalkan kehidupan dunia akan
mendapatkan kebahagian batin yang akhirnya menghantarkan mereka pada
singgasana kemuliaan kelak di akhirat. Dengan pemahaman tersebut,
mengakibatkan mereka tidak mau tahu terhadap berbagai penyimpangan yang
terjadi di sekeliling mereka. Mereka acuh terhadap hiruk pikuk keramaian
zaman, karena mengurusi yang demikian dianggap sebagai kesiasiaan belaka.
Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan
merupakan jantung dari ke-Islaman. Oleh karena itu, sangat tepat jika
pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik diterimanya Islam di
Indonesia. Lebih jauh lagi tasawuf telah meniupkan spiritnya ke dalam hampir
seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi sebagai institusi terorganisasi,
memiliki peran signifikan dalam matriks masyarakat muslim yang lebih besar,
eksistensinya telah memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur
masyarakat.
Dalam refleksinya Hamka sering memperkenalkan konsep neo zuhud,
yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak
proposional merupakan kenistaan. Dalam buku Tasawuf Modern, Hamka
mengutip perkataan K.H Mas Mansur 80 % didikan Islam kepada
keakhiratan dan 20 % kepada keduniaan. Tetapi kita lupa memenangkan yang
tinggal 20 % lagi itu sehingga menjadi hina.8
Zuhud sendiri pada dasarnya berarti Manahan diri dari sesuatu yang
mubah karena kekhawatiran kita terikat padanya. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa alasan bagi perlunya zuhud terletak pada ketidakbolehan kita
8

Hamka, Tasawuf Modern, h. 16.

terikat pada sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan kata lain tidak ada
salahnya bila terlibat terhadap hal-hal yang bersifat duniawi selama masih
bersifat proporsional.9
Hal ini dengan gamblang di dukung oleh firman Allah pada surat al
Qasash ayat 77





Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnhya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.
Karunia Allah di

dunia sangat banyak diantaranya, kesehatan,

kekuatan dan kesejahteraan. Manusia tidak dilarang untuk memiliki harta akan
tetapi yang tidak boleh adalah terlalu sibuk dan tenggelam mengurus harta
sehingga lupa kewajibannya sebagai makhluk kepada khaliknya. Jadi inti dari
zuhud kuncinya adalah kata proposionalitas.
Dalam memaknai pengertian tasawuf, Hamka sepakat dengan definisi
tasawuf menurut Al Junaid yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan
masuk pada budi pekerti yang terpuji. Menurut Hamka tasawuf yang suci dan
murni bukanlah lari dari gelombang hidup, tasawuf yang sejati adalah paduan
dalam menempuh hidup. Tasawuf yang sejati bukanlah lari ke hutan,
melainkan lebur ke dalam masyarakat, sebab masyarakat perlu akan
bimbingan rohani. Tasawuf yang sejati bukanlah khilafayah dan ikhtilafiyah
(ilmu berselisih).

Khalil, Merengkuh, h. 67.

Hamka berpendapat, bertasawuf bisa dilakukan sambil melakukan


aktifitas duniawi, bahkan sambil berdagang sekalipun kita dapat bertasawuf
pada saat yang sama. Junaid Al Bagdadi yang bergelar Syaikh at Thaifah
membuka kedai kain di tengah kota Bagdad, ia telah mempraktekan
bertasawuf sambil berladang atau sambil bekerja.10
Hamka melihat bahwa tasawuf beroleh sumbernya yang otentik dari
ajaran-ajaran islam sendiri, seperti telah dijelaskan di atas. Tapi aliran-aliran
tasawuf yang ada sering menyimpang dari paham ortodoksinya. Sebagaimana
diketahui bahwa Hamka memang berusaha membersihkan tasawuf dari unsur
yang bertentangan dengan tauhid, namun demikian ia memang memilki
apresiasi terhadap tasawuf dan berpandangan bahwa taswauf diperlukan oleh
masyar akat.
Terhadap taswauf yang telah menyimpang dan mengalami deviasi,yang mengajarkan sikap-sikap yang mengharamkan pada diri sendiri dan
terhadap barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf
yang demikian tidaklah berasal dari islam. Selanjutnya ia berkata bahwa
zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan islam. Semangat Islam adalah
semangat bekerja, berjuang bukan semangat malas, rapuh dan melempem.
Menurut Hamka maksud dari tasawuf yang sebenarnya adalah membersihkan
jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi serta memerangi syahwat.
Muhammad Solihin dalam bukunya Tasawuf Aktual mengutip
pendapat Hasan Hanafi seorang pemikir Islam kontemporer tentang istilah
tasawuf progresif yang mengarahkan orang untuk bersikap progresif, aktif dan
produktif. Sebagai akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi
tasawuf setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti
kemoderenan, penghambat krativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan
menurut Hasan Hanafi tasawuf aplikatif, jika operasionalnya dilaksanakan
secara benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam
produk pemikiran maupun aksi seorang muslim.11
10
11

Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 49-50.


M. Solihin, Tasawuf Aktual., h. 20

Apabila tasawuf dimaknai dengan pemahaman yang lebih konstuktif,


edukatif dan progresif sebagaimana telah diutarakan para pemikir muslim
kontemporer di atas, maka tasawuf akan lebih memiliki peran signifikan
dalam khazanah pendidikan Islam, yang bertujuan mencetak generasi muda
yang cerdas, soleh dan berakhlak mulia.
Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan
proses sosialisasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang
terakumulasi dalam masyarakat. Dr. al Ala Afifi dalam studinya tentang
tasawuf

klasik

memaparkan

bahwa

tasawuf

berperan

besar

dalam

mewujudkan sebuah revolusi moral spiritual dalam masyarakat. Bertasawuf


yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual.
Dan bukankah aspek moral spiritual ini merupakan ethical basic atau al
asasiatul akhlakiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan.12
Hal tersebut senada dengan definisi pendidikan Islam, seperti yang
diungkapkan oleh

Mohamad Kanal

Hasan sebagaimana dikutip Taufiq

Abdullah Dan Sharon mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses


yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara
keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga
seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan
kehadirannya disisi Tuhan sebagai hamba dan wakilnya di muka bumi.
Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya.
Seutuhnya dalam arti keutuhan antara jasmani dan rohani. Pendidikan yang
merupakan derivasi (turunan dari) Education (inggris) , tarbiyah- tadib dan
talim (Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan bagi manusia.
Proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bila proses tidak berjalan secara simultan maka yang terjadi adalah split
personality (diri yang terpisah) pada setiap orang.13

12

Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h.

13

Abdurrahman, Meaningful Learning, (Yogyakarta: pustaka pelajar 2007), h.74.

53.

Pembelajaran bervisi spiritual diharapkan bisa mengantisipasi adanya


split personality dan mereposisi pendidikan pada tempatnya sebagai jalan
mencari hakikat esensial diri manusia.
Ajaran Islam dapat di bagi dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah)
dan aspek esoteric (batiniyaniah). Dan seharusnya pendidikan Islam
mementingkan kedua-duanya. Hal yang bersifat esoteric masih sering di
abaikan dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam mengajarkan ibdah misalnya,
seperti shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang
syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkanya. Sementara aspek esoteric
salat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih
kurang diperhatikan.
Aspek esoteric dalam Islam di sebut tasawuf . Dengan lemahnya
pengajaran aspek esoteris dalam Islam berarti juga bahwa pengajaran tasawuf
dalam pendidikan Islam masih kurang. Padahal seharusnya pengajaran
taswauf dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam. Karena
tanpa ada pengajaran tasawuf yang seimbang, maka anak didik kurang
menghayati makna ajaran Islam.14
Tasawuf modern Hamka adalah sebuah karya yang tidak hanya berisi
pelajaran tentang kesucian batin, tetapi juga berisi tentang kekuatan iman dan
jiwa yang merupakan pondasi dari pendidikan Islam. Buku Tasawuf Modern
sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan islam yang bisa di aplikasikan
dalam dunia pendidikan.
Dalam karya yang monumental ini ia memaparkan secara singkat
tentang tasawuf. Kemudian secara berurutan ia paparkan pula tentang makna
kebahagiaan disertai pendapat para ilmuan, bahagia dan agama, bahagia dan
utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qanaah,
kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dengan keindahan
alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.

14

Sudirman Tebba, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari,


(Ciputat: Penerbit pustaka Irvan: 2003), h.

Dari pembahasan sekilas di atas, penulis melihat bahwa begitu banyak


nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern
karya Hamka yang perlu dikaji lebih dalam. Maka dari itu dalam penulisan
skripsi ini penulis mengambil judul NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM BUKU TASAWUF MODEREN BUYA HAMKA .

B. Penegasan Istilah
Agar mempermudah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam
memahami penelitian kami yang berjudul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam
buku Tasawuf Modern Buya Hamka, penulis menyertakan penegasan istilah
dalam judul tersebut.
1. Nilai Pendidikan Islam
Nilai, Inggris (value); Latin (valere) berarti: berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal
itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek
kepentingan Pendidikan diartikan pengubahan cara berfikir atau tingkah
laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan latihan. Sedangkan Islam
dalam pendidikan Islam menunjukkan hasil pendidikan tertentu yang
sesuai dengan ajaran Islam.
2. Tasawuf Modern
Buku Tasawuf Modern adalah buku karya Buya Hamka tahun 1939
sebagai karangan bersambung dalam majalah pedoman masyarakat yang
terbit di Medan. Atas permintaan pembaca tasawuf Modern diterbitkan
sebagai sebuah buku pada tahun 1939.
Dari penegasan istilah di atas maksud dari penilitian yang berjudul
nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka
yaitu nilai pendidikan Islam adalah kualitas suatu hal yang menjadikan
berguna, untuk mengubah cara berfikir atau tingkah laku dengan cara
pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.

10

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.


Adapun batasan masalahnya adalah:
1. Tasauf dalam pandangan Buya Hamka
2. Makna nilai-nilai pendidikan Islam, landasan serta tujuan pendidikan Islam
3. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf
Modern, yaitu nilai pendidikan keimanan, akhlak dan spiritual
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran tasawuf dalam persfektif Hamka
2. Nilai-nilai pendidikan Islam apa yang terkandung dalam buku Tasawuf
Modern Buya Hamka.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilainilai pendidikan Islam dalam buku tasawuf modern Buya Hamka
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan
sikap-sikap yang seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan
manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
pendidikan Islam.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak
pelajaran yang didapatkan dari buku Tasawuf Modern yang bisa
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Teknik atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan atau study literature (library research) yaitu

11

dengan melakukan penelitian pada buku, artikel dan dokumen yang


berhubungan dengan tema skripsi. Penelitian kepustakaan dimaksudkan
untuk menelaah, mengkaji dan mempelajari berbagai literature yang erat
kaitanya dengan masalah yang dibahas.
Sebagai sumber data penulis menggunakan sumber data primer dan
sekunder sumber data primer diperoleh dari buku Tasawuf Modern karya
Hamka, sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku yang relevan
dengan pembahasan baik karya Hamka seperti, Renungan Tasawuf,
Pandangan Hidup Muslim, Tasawuf perkembangan dan pemurnianya,
maupun karya orang lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Metode Analisis Data
Penelitian yang penulis lakukan tergolong pada penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara berfikir
secara induktif, artinya penelitian kualitatif bergerak dari bawah, peneliti
mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang persoalan

penelitian,

kemudian data-data tersebut dicari pola, hukum dan prinsip-prinsip.15


Proses menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang terdiri dari tiga kegiatan, diantaranya adalah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Pertama, setelah
pengumpulan data selesai, maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data
yang telah diperoleh, yaitu dengan menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data, dengan demikian
maka dapat ditarik kesimpulan.
Tahap kedua, data akan disajikan dalam bentuk narasi, kemudian
tahap ketiga akan dilakukan penarikan kesimpulan dari data yang
diperoleh.
Kemudian penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (Content
analysis). Content analysis adalah teknik analisis terhadap berbagai sumber
informasi termasuk bahan cetak dan bahan non cetak.
15

Prasetya Irawan, Penelitian kulaitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2007), Cet. 1, h. 10

12

3. Teknik Penulisan
Teknik atau metode penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

BAB II
TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam


Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan education.
Menurut Frederick J. MC. Donald pendidikan adalah : Education in the sense
used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable
changes in the behavior of human being1 (pendidikan adalah proses yang
berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah
laku manusia).
Istilah pendidikan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu
paedagogy yang dimaknai dengan seseorang yang tugasnya membimbing
anak pada masa pertumbuhanya sehingga menjadi anak yang mandiri dan
bertanggung jawab.2
Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.3

Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication


LTD,1959), h. 4.
2
Dr. Zurinal Z dan Wahdi Sayuti S. Ag, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar
Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), h. 2.
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka,
1994).

13

14

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam bukunya ilmu Pendidikan


(2001) telah mengemukakan beberapa pengertian pendidikan, diantaranya; 1).
John

Dewey,

mangartikan

pendidikan

sebagai

proses

pembentukan

kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah


alam dan sesama manusia. 2). SA. Bratanata dkk, mengartikan pendidikan
sebagai usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang
tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya menuju
kedewasaan. 3). Kihajar Dewantara, mengartikan pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.4
Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 tentang sisdiknas pada
pasal satu menyebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.5
Menurut H. M. Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara
sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan
dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.6
Dan menurut Prof Dr. Moh Ardani pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7
Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia
untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi
4

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001),

h.69.
5

Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003), h. 3.


H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,
1976) h. 12.
7
Moh. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra
cahayaUtama), h. 4.
6

15

pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik)


dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang
sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna
dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya
ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh
ulama dalam memberikan pengertian tentang pendidikan Islam dan sekaligus
diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.8
Pendidikan Islam menurut Langgulung setidaknya tercakup dalam
delapan pengertian, yaitu al tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan),
talim al-din (pengajaran agama), al talim al diny (pengajaran keagamaan), al
talim al islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah almuslimin (pendidikan
orang-orang Islam), al tarbiyah fi al islam (pendidikan dalam Islam), al
tarbiyah inda almuslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al
tarbiyah al islamiyah (pendidikan Islami).9
Dalam bahasa arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan
dalam pengertian pendidikan, seperti kata talim (), tarbiyah (), dan
kata tadib ().
Talim (), berarti pengajaran, seperti dalam firman Allah SWT
dalam al-Quran yang berbunyi:



Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar." (QS. Al- Baqarah: 31).

Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 36.
9
Muhaimin, Paradigma, h. 36.

16

Tarbiyah ( )berarti pendidikan, dengan kata kerja rabba ()


berarti mendidik.10 Sebagaimana firman Allah SWT :

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".
(al-Isra:24).
Tadib ( )berarti pendidikan yang berhubungan dengan prilaku
atau akhlak dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat
manusia.11 Seperti sabda Rasul yang berbunyi :
Dari abu Burdah Abu Musa al-Asyari ra Nabi saw bersabda: laki-laki
manapun yang memiliki perempuan hendaknya ia mendidiknya.(HR.
Bukhari).
Apabila uraian di atas kita perhatikan, terdapat perbedaan pemaknaan
di antara istilah-istilah tersebut. Talim lebih bersifat informatif, yaitu usaha
pemberian ilmu pengetahuan sehingga seseorang menjadi berilmu (tahu).
Istilah tadib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika
dalam kehidupan yang lebih mengacu kepada peningkatan martabat manusia.
Sedangkan tarbiyah mengandung makna lebih luas, tercakup didalamnya
pengertian talim dan tadib.
HAMKA memposisikan pendidikan sebagai proses talim dan
menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatanya
mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam,
baik vertical maupun horizontal. Prosesnya merujuk kepada pemeliharaan dan
pengembangan seluruh potensi fitrah peserta didik, baik jasmaniyah maupun
rohaniyah.
Misi pendidikan Islam menitikberatkan pada tujuan penghambaan dan
kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap
makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai
10

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen
Lembaga Islam Depag RI, 1992), h. 25.
11
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
8.

17

khalifah dimuka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan
alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian
interaksi edukatif, pandangan Hamka tentang tarbiyah mengandung makna:
1). Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk
mencapai kedewasaan. 2). Mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya,
dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya). 3).
Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan
dan kesempurnaan seoptimal mungkin. 4). Kesemua proses tersebut kemudian
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan peserta
didik.12
Hamka

membedakan

pengertian

pendidikan

dan

pengajaran.

Menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan


pendidik. Untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian
peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang buruk dan mana
yang baik. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.13
Secara Terminologi pendidikan Islam menurut Ahmad D Marimba adalah
bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.14
Achmadi dalam bukunya Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan,
(1992),

mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk

memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang
berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya
kepribadian muslim.15
Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah untuk
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,
12

Samsul Nizar, Memperbincangkan dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang


Pendidikan Iislam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 109-110.
13
Nizar, Memperbincangkan ,h. 111.
14
Marimba, Pengantar Filsafat ., h. 21.
15
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,1992), h. 14.

18

mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur


pikiranya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya
baik dengan lisan atau tulisan.16
Dari beberapa pengertian pendidikan Islam di atas, pendapat yang
lebih terperinci adalah hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia
tanggal 7 sampai dengan 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor, menyatakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan
rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,
melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.17
Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli,
namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik,
pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani
pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah
manusia berdasarkan

hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia

ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta
taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam


Nilai adalah substansi, esensi atau sifat-sifat yang melekat pada sebuah
hakikat atau objek. Dalam kajian filsafat, nilai adalah salah satu kajian dari
aksiologi yang membahas tentang ada (being) dengan nilai (value), kalau
dirumuskan ada = sesuatu + nilai. Tidak ada sebuah nilai apabila tidak ada
sesuatu yang menyemat nilai tersebut, jadi sebuah nilai akan sangat tergantung
pada penegembannya, yaitu sesuatu.
Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam Kapita
Selekta Pendidikan (1996), Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia
ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan
salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang

16
17

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002), h. 3.


Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cet.2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 16.

19

dikehendaki dan tidak dikehendaki.18 Sedang menurut Chabib Thoha nilai


merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah
berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).19
Jadi nilai adalah sesuatu yang besifat objektif dan tetap, sesuatu yang
menerangkan tentang baik, buruk, indah atau buruknya sesuatu yang terlebih
dahulu telah diketahui. Nilai-nilai pendidikan Islam berarti sifat-sifat objektif
Islam yang melekat pada sebuah system, model, metode ataupun aktifitas
pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam .
Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan
pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat
dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam seperti
nilai keimanan, akhlak dan spiritual yang mendukung dalam pelaksanaan
pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai
tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa peserta didik sehingga bisa
memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat
luas.

C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam


Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan
social yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam
secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang
dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus kita maknai secara rinci. Landasan
Pendidikan Islam adalah fundamen atau asas agar pendidikan Islam dapat
berdiri tegak dan tidak mudah roboh. Dasar Pendidikan Islam secara garis
besar ada dua yaitu Al Quran dan sunnah.

18

HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 61.
19
Thoha, Kapita Selekta, h. 61.

20

1. Al Quran
Al-Quran adalah kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan
sebagai wahyu dan merupakan mukjizat agung kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril. Al-Quran ini juga dipandang sebagai
keagungan (majid) dan penjelasan (mubin). Kemudian seringkali di sebut
petunjuk (hidayah) dan buku (kitab).20
Kedudukan Al Quran sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan
surat Al Baqarah ayat 2 :


Ialah Kitab (al-Quran) yang tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-baqoroh : 2).
Selanjutnya firman Allah SWT dalam surat Asy Syura ayat 17 :

Allah SWT yang telah menurunkan kitab dengan membawa
kebenaran dan menurunkan neraca keadilan (QS. Asy Syura: 17).
Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam sudah barang tentu harus
dijadikan dasar pijakan atau asas bagi pendidikan Islam. Banyak sekali
terma-terma tentang pendidikan yang dapat kita temukan di dalam AlQur`an baik secara eksplisit maupun implisit. Abul Ala al-Maududi
menjelaskan bahwa mendidik dan memelihara merupakan salah satu dari
sekian banyak makna implisit yang terkandung di dalam kata rabb. Allah
adalah rabbul alamin yang universal dan tiada batas. Karena manusia
berkomunikasi dan menitikberatkan pendidikan bagi manusia yang ada di
muka bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini yang telah
mengajar manusia di muka bumi ini dengan nama-nama dari segala
sesuatu yang ada.21

20

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Quran,


(Jakarta:Rieneka Cipta, 2007), h. 17.
21
Abdullah, Teori-Teori , h. 19.

21

Al-Quran

memberikan

pandangan

yang

mengacu

kepada

kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk


kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara
tentang pendidikan Islam apabila tanpa mengambil Al-Quran sebagai
salah satu rujukan. Salah satu contohnya di dalam Al-Quran terdapat
ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau
usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman
yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.22
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang apabila dipelajari akan
membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai
problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan
karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.23

2. Al-Sunnah
Selain Al-Quran yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan prinsip
pendidikan Islam, Al-Sunnah sebagai tuntunan hidup rasulullah Saw
adalah sumber ke dua yang sama-sama memiliki peranan vital dalam
membangun dasar-dasar dan prinsif pendidikan Islam. Secara harfiah
sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah
perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa
perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana Al-Quran, al-sunnah berisi petunjuk-petunjuk untuk
kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia
menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan, al-sunnah
memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu :
1). Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Quran
atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.

22
23

Daradjat, ,Ilmu Pendidikan, h. 20.


M. Qurais Shihab, wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.

22

2). Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan rasulullah Saw


bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang
dilakukannya. 24
D. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan
selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan
pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah
mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana
individu hidup.25
Adapun tujuan pendidikan Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang
dikemukakan para ahli, menurut Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah
sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk
Allah SWT yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.26 Firman Allah
SWT dalam Al Quran:


Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka
menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56).27
Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada:
a. Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT
b. Membentuk insan purna yang untuk mendapat kebahagiaan hidup baik
dunia dan akhirat.28

24

Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:


Diponegoro, 1992), h. 47.
25
Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159.
26
Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,1992), h. 63.
27
RHA Soenardjo, et. al, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Al Waah, 1993), h.
862.
28
Fatiyah Hasan Sulaeman, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj.
Fathurrahman, (Bandung : Al maarif, 1986), h. 24.

23

Dari dua tujuan pendidikan Islam menurut Al Gahazali di atas dapat


dipahami bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak
hanya mementingkan kehidupan ukhrowi semata akan tetapi juga kebahagiaan
dunia.
Sedangkan tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun terbagi
menjadi dua yaitu:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia
menemui tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang di wajibkan
keatasannya.
2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang di ungkapkan oleh
pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk
hidup.29
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al insan
kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya
pendidikan Islam seyogyanya diarahkan pada dua dimensi yaitu: pertama,
dimensi dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan
vertical kepada Allah.30
Pada dimensi pertama pendidikan hendaknya mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama
manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan
dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap kehidupan.
Sementara pada dimensi kedua memberikan arti bahwa pendidikan sains dan
teknologi selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan
melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan dalam mencapai
hubungan yang abadi dengan sang pencipta. Untuk itu pelaksanaan ibbadah
dalam arti seluas luasnya adalah merupakan sarana yang dapat menghantarkan
manusia ke arah ketundukan vertical kepada khaliknya.
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal
dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia,
29
30

126.

Ramayulis, Ilmu , h. 71.


A.M. Saepudin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami, (Bandung: Mizan,1991), h.

24

serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di
tengah-tengah komunitas sosialnya.
Armai Arif dalam bukunya Pengantar Ilmu dan metodologi
Pendidikan Islam secara rinci menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam
terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan
operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan
sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum.
Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi
manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia mengahabisi sisa
umurnya. Sementara tujuan operasinal adalah tujuan praktis yang akan di capai
dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.31
Dari beberapa pemaparan dari para ahli tentang tujuan pendidikan
Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah bagian
dari perjalanan hidup dan tujuan diciptakannya manusia yaitu semata-mata
untuk beribadah (menghamba) kepada Allah Swt. Selain itu pendidikan Islam
juga bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia paripurna
(insan kamil), sesuai ajaran dan pribadi rasulullah Saw guna mendekatkan diri
kepada Allah SWT demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

31

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h. 18-19.

BAB III
KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

A. Sekilas Biografi Buya Hamka


Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah anak Minang
yang lahir di sungai Batang Maninjau (sumatera Barat) pada hari ahad, tanggal
16 februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang terkenal
sangat taat beragama.1Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering
disebut Haji Rasul bin syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin
Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang
pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo. Dan
tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti
Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari data di atas dapat
diketahui bahwa Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama dan
memilki hubungan dari generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir
abad XVIII dan awal abad XIX.
Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dan memebaca Al-Quran
langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang
Panjang. Pada usia 7 tahun , ia kemudian dimasukan ke sekolah desa --yang
hanya sempat dienyam sekitar tiga tahun-- dan malamnya Hamka belajar
mengaji dengan ayahnya sampai khatam.
Ketika berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua
orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika
1

HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), h. 9.

25

26

pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki minangkabau


yang menikah lebih dari satu perempuan (poligami), sebab menurut Hamka
hal tersebut sangat berpotensi untuk merusak ikatan dan keharmonisan rumah
tangga.2
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniah School Padang
panjang, serta Sumatera Thawalib padang Panjang dan di Parabek.3 Walaupun
pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak punya ijazah. Guru-gurunya
waktu itu antara lain4 Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul
Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El yunusi.
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari
pergerakan pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia mendapat kursus
pergerakan Islam dari H.O.S TJokroaminoto, H. Fakhrudin, RM suryo pranoto
dan iparnya sendiri A.R. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan.5
Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai
tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya
adalah bernama Khatibul Ummah. Di awal tahun 1927 dia berangkat pula
dengan kemauanya ke Mekkah, sambil menjadi koresponden dari harian
Islam Tanjung Pura Langkat, dan pembantu dari Bintang Islam dan
Suara Muhammadiyah Yogyakarta.
Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur ia kemudian di ajak pulang ke
Padang panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukanya.
Sesampainya di Padang Panjang, ia kemudian di nikahkan dengan Siti Raham
binti Endah Sutan, yang merupakan anak mamaknya (anak paman) pada
tanggal 5 april 1929. Pernikahan Hamka dengan Siti Raham berjalan harmonis
dan bahagia. Dari perkawinanya dengan Siti Raham, Hamka memiliki
beberapa putera dan peteri, yaitu: Zaki, Rusdy, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah,
Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib. Stelah istrinya meninggal dunia, satu
2

HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, h. 63-74


HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. xv.
4
HAMKA, Tasawuf, h. 2.
5
HAMKA, Tasawuf, h. 9.
3

27

setengah tahun kemudian, tepatnya tahun 1973, ia menikah lagi dengan


perempuan asal Cirebon yaitu Hj. Siti Khadijah.6
Pada tahun 1928 keluarlah buku romanya yang pertama dalam bahasa
Minangkabau berjudul Si Sabarariyah. Waktu itu pula ia memimpin majalah
Kemajuan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Di tahun 1929
keluarlah buku-bukunya antara lain, Agama dan perempuan, Pembela Islam,
Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Miraj
dan lain-lain.
Di tahun 1930 Hamka mulai menjadi penulis mengarang pada surat
kabar Pembela Islam Bandung, dan pada saat itu pula mulai berkenalan
dengan M. Natsir, A Hasan dan tokoh Islam lainnya. Ketika beliau pindah ke
Makassar diterbitkanya majalah Al Mahdi.7
Pada tahun 1934 ia meninggalkan Makasar dan kembali ke padang
panjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola kuliyatul mubalighin
antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para
mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti ilmu usul fiqh dan
mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib, ilmu tafsir dan ilmu arudh. Akan tetapi
karena honorarium tak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka bulan
januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan bersama
M Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari H Asbiran Yakub dan Muhamad
Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin
majalah mingguan Pedoman Masyarakat.
Meskipun banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran
majalah ini berkembang cukup pesat. Perkembangan majalah Pedoman
Masyarakat yang cukup menggembirakan ini telah ikut meningkatkan
ekonomi keluarganya. Melalui rubrik Tasawuf Modern, tulisanya telah
mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum
intelektual, untuk menantikan dan membaca setiap terbitan pedoman
masyarakat.
6

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka
Panjimas: 1983) h. ix, 34 dan 107.
7
HAMKA, Tasawuf , h. 10.

28

Pemikiran-pemikiranya yang cerdas yang dituangkan dalam majalah


Pedoman Masyarakat merupakan alat yang menjadi penghubung anatara
dirinya dengan kaum intelektual lainya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan
Muhammad Isa Ansari.
Ketika zaman pendudukan Jepang banyak terjadi kejadian yang
mengecewakan rakyat. Salah satu kekecewaannya yaitu diberangusnya
majalah pedoman masyarakat. Namun kebijakan Jepang yang merugikan
tersebut tidak membuat semangat HAMKA menjadi luntur, ia masih sempat
menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun demikian kehadiran majalah
ini tidak dapat menggantikan majalah pedoman masyarakat yang telah
demikian melekat di hati pembacanya.
Hamka juga dipercaya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada tahun 1975. Namun dua bulan sebelum wafatnya, Hamka mengundurkan
diri dari kepemimpinan MUI. Pengunduranya ini disebabkan adanya persepsi
yang berbeda antara pemerintah dengan MUI tentang perayaan natal bersama
antara umat Kristen dan umat Islam.
Setelah pengunduran dirinya dari MUI, Hamka masuk rumah sakit
karea serangan jantung yang cukup parah. Setelah kurang lebih satu minggu di
rawat di rumah sakit pusat Pertamina, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981,
Hamka menghembuskan nafas terakhirnya dengan di kelilingi oleh orangorang tercintanya, istrinya khadijah, putranya Afif Amrullah dan sahabatsahabat terdekatnya. Hamka berpulang ke rahmatullah pada usia 73 tahun.8

B. Sekilas Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern


Pada tahun 1936 ketika Hamka hijrah ke Medan, ia beserta M Yunan
Nasution mendapat tawaran dari H Asbiran Yakub dan Muhamad Rosami
(bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah
mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah ini Hamka juga dipercaya
menulis pada sebuah rubrik yang bertajuk Tasawuf Modern.
8

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka
Panjimas 1983), h. 195-196

29

Pada rubrik tersebut Hamka mulai menulis sebuah tulisan berseri sejak
tahun 1937 dengan mengambil judul Bahagia.9 Tulisan Hamka yang berjudul
Bahagia ini menerangkan tentang bentuk-bentuk dan cara-cara menggapai
kebahagiaan menurut ajaran Islam dan diperkaya dengan mengutip dari para
pemikir dan filosof barat dan kontemporer.
Bagi Hamka, tulisannya tersebut selain sebagai kekayaan ilmu
pengetahuan, tapi juga diharapkan dapat membantu setiap pembacanya yang
mengalami kegundahan dan keresahan untuk menemukan ketentraman jiwa.
Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa tulisannya tersebut kerap dibacanya
sendiri guna menasihati dan menentramkan jiwanya. Jadi tulisan Hamka ini
sesungguhnya lebih banyak bersifat tuntunan aplikatif dan mengambil
permasalahan kehidupan sehari-hari sebagai objek kajiannya.
Seiring berjalannya waktu, banyak dari pembaca majalah Pedoman
Masyarakat yang sangat menaruh perhatian apresiatif kepada artikel berseri
tersebut, bahkan setiap majalah Pedoman Masyarakat mengeluarkan edisi
baru, maka hampir semua mata pembaca tertuju pada rubric Tasawuf
modern.
Dengan animo yang cukup tinggi dari para pembaca, maka setelah seri
tulisan Bahagia ini berakhir pada tahun 1938 dengan edisi 43, banyak yang
meminta supaya Hamka membukukan tulisannya tersebut. Berkat dukungan
dari majalah Pedoman Masyarakat dan penerbit As-Syura, kumpulan
tulisan tersebut terbit untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1939 dalam
bentuk buku yang berjudul Tasawuf Modern yang diambil dari nama rubrik
majalah Pedoman Masyarakat yang telah membesarkan dan mempopulerkan
tulisan tersebut.

C. Tasawuf Dalam Persfektif Pemikiran HAMKA


Secara etimologi pengertian tasawuf dapat dilihat dari beberapa
pengertian, pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan
ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya
9

HAMKA, Tasawuf, h. 1.

30

banyak berdiam diserambi serambi masjid, dan mereka mengabdikan


hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata shafa, kata
shafa ini berbentuk fiil mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan
huruf ya nisbah , yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau
suci. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan
Tuhanya.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata
shaf yang bermakna harfiah barisan. Makna shaf ini dinisbahkan kepada orangorang yang ketika salat selalu berada di shaf (barisan) yang paling depan.
Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf dinisbahkan kepada
orang-orang bani shufah.10
Kelima , tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata dari bahasa
Grik atau Yunani, yakni saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata
hikmah.
Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf
yang berarti bulu domba atau wol.11
Pengertian tasawuf secara terminologi telah dikemukakan oleh
beberapa

ahli. Al-Junaid

mengungkapkan

pengertian tasawuf

adalah

membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk,


berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insthink) kita, memadamkan
sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa
nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat
kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal
hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.12
Tasawuf menurut Hamka adalah seperti apa yang dikatakan oleh Al
Junaid yaitu keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi
10

Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 2006 )

11

Anwar dan Solihin, Ilmu, h. 10.


Anwar dan Solihin, Ilmu, h. 13-14.

h. 9.
12

31

perangai yang terpuji.13 Lebih lanjut Hamka mendefinisikan tasawuf dengan


istilah membersihkan, yaitu membersihkan hati dari sifat khizit, khianat, loba.
tamak, takabbur dan sifat tercela lainnya dan mengisi jiwa dengan sifat-sifat
mulia.14
Sebagaimana diketahui bahwa Hamka bukanlah orang yang pertama
kali memperkenalkan tasawuf di Indonesia, tatapi beliau memperkenalkan
kembali tasawuf dalam bentuk yang berbeda, pemikiran tentang tasawuf
Hamka bisa dilihat dalam buku-bukunya yaitu Tasawuf Modern, Renungan
Tasawuf, Tasawuf Perkembangan dan Permunianya, dan Pandangan Hidup
Muslim.
Dalam majalah Pedoman Masayarakat yang dipimpinya dalam judul
rubric Tasawuf Modern ia menulis tulisanya hampir dua tahun dan mendapat
respon dari pembaca, karena dalam tulisanya itu dijumpai pembahasanpembahasan tentang soal-soal kesucian batin yang tadinya hanya dapat
dijumpai dalam teosofi. Di sinilah

letak keistimewaan Hamka dibanding

ulama-ulama lain, ia lebih menggunakan pendekatan tasawuf dalam


menyerukan Islam dari pada pendekatan fiqih atau hukum.
Dalam perjalannya tasawuf sering dihadapkan atau dibenturkan dengan
pendekatan fiqih yang legalistik. Dalam pendekatan fiqih, Islam digambarkan
sebagai agama peraturan. Keterangan mengenai iman dan ibadah pun disajikan
dalam logika dan argumen hukum, sehingga terkesan bahwa Islam adalah
agama yang kering dan kaku yang mementingkan formalitas dan yang lahir ,
demikian M Dawam

Rahardjo menjelaskan dalam bukunya Intelektual

Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.15


Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah tentu Hamka mengambil resiko
dalam memperkenalkan tasawuf.

Ia sudah tentu sadar tentang tujuan dan

kehadiran Muhammadiyah. Yaitu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur


tradisi yang sering mengandung bidah dan khurafat. Sasaranya adalah apa
13

HAMKA, Tasawuf,h. 13.


Hamka, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985) h. 21.
15
M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 203.
14

32

yang kemudian dikenal sebagai ajaran kebatinan. Terutama kebatinan jawa.


Selain adat istiadat dan nilai-nilai budaya setempat di daerah-daerah lain yang
sering tercampur dengan kepercayaan dinamisme dan animisme.
Islam seperti dikatakan Dawam Rahardjo yang mengutip dari berbagai
ahli sejarah seperti prof. Dr Priyono, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui
India dengan membawa unsur-unsur tasawuf. Dengan pendekatan tasawuf ini,
Islam jadi lebih mudah diterima, dengan konsekuensinya, Islam membiarkan
dirinya tecampur dengan budaya lokal. Muhammadiyah datang untuk
membersihkan dari unsur-unsur tersebut. Dengan keyakinan bahwa Islam yang
demikian itu akan membawa umat ke arah kemajuan. Memperkenalkan
tasawuf berarti melawan arus reformasi yang dibawa oleh Muhammadiyah.16
Hamka tidak seperti pembaharu-pembaharu Islam lain, karena beliau
tidak menentang tasawuf sebagai ajaran yang menyimpang, sebab kebanyakan
pembaharu beranggapan bahwa tasauf merupakan sumber kemunduran Islam,
sehingga hampir kebanyakan dari pembaharu-pembaharu tersebut tidak banyak
merespon ajaran-ajaran tasawuf.
Terhadap tasawuf yang menyimpang, yang mengajarkan sikap-sikap
yang mengharamkan pada diri sendiri barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka
mengatakan bahwa tasawuf yang demikian bukanlah berasal dari ajaran islam.
Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa zuhud yang melemahkan bukanlah
bawaan Islam. Semangat Islam adalah semangat berjuang, semangat
berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah rapuh dan melempem.
Timbulnya tasawuf yang keliru tersebut menurut Hamka adalah karena
perbuatan yang hendak menipu. Perbuatan ini disebut korupsi rohaniah. Kalau
dalam perkara yang terang banyak penipuan, apalagi dalam soal batin yang
tidak dapat di tangkap oleh panca indera.17
Dalam hal ini Hamka mengkritik agar tidak terjerumus kedalam ajaran
tasawuf yang keliru dengan jalan menghimbau untuk kembali kepada pokok
pangkal tasawuf yang sebenarnya, yaitu kembali kepada tauhid yakni
16

Raharjo, Intelektual, h. 204.


HAMKA, Pandanagn Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1960), h. 49.

17

33

kepercayaan bahwa Tuhan hanya satu. Kita tundukan jiwa hanya kepada Allah
tidak kepada guru atau syekh, tidak kepada benda dan berhala dan tidak kepada
makam-makan keramat. Hendaklah kita isi pribadi kita dengan sifat-sifatNya
yang dapat kita jadikan sifat kita menurut kesanggupan kita.18
Maka maksud Hamka menulis

tentang Tasawuf Modern adalah

meletakan tasawuf kepada rel-nya, dengan menegakan kembali maksud semula


tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus
perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan mempertinggi
derajat budi pekerti.19
Dengan bukunya Tasawuf Modern para pembaca bisa meletakan di
mana posisi Hamka di antara berbagai aliran tasawuf. Dia memang berusaha
untuk mengembalikan tasawuf kepada Al-Quran dan sunnah. Tidak hanya itu
dia berusaha membangun konsep baru tasawuf dalam kehidupan modern
sekarang ini. Maka di sini kita bisa mendudukan Hamka sebagai salah satu
tokoh Muhammadiyah terpenting yang mermberikan sumbangan yang unik
dalam pemikiran keagamaan.
Buya Hamkas Revitalisation and Sufism and Relevance in Modern
Indonesia demikian pengakuan seorang pengagum Hamka, Yulia Day
Howell, seorang sarjana Barat. Ia menyatakan bahwa pemahaman tasawuf
Hamka relevan dengan perkembangan kehidupan modern saat ini. 20
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Hamka berpendapat bertasawuf
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan tidaklah salah akan tetapi jalan
yang ditempuh untuk mendekatkan diri tersebut tidak lain adalah ibadah
sebagaimana yang diajarkan oleh agama kita, jalan inilah yang ditempuh oleh
Nabi dan para sahabat beliau.21 Para sufi menurut Hamka dalam bermujahadah
mempunyai kode-kode, istilah-istilah sendiri yang hampir mustahil dapat
dimengerti oleh orang lain. Analisa Hamka terhadap huruf ja, ha, kha, adalah
18

HAMKA, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993

h. 235
19

HAMKA, Pandangan, h. 205.


Disampaikan di forum Seminar Internasional tentang Hamka, bertempat di Hotel Atlet
Century Park, Jakarta Pusat, 8 April 2008.
21
Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008),h. 16.
20

34

bermakna : Takhalli=takhalli minal akhlak al madzmumah (lepaskan dirimu


dari perangai yang tercela). Tahalli = Tahalli nafsaka bil akhlak al mahmudah
(isilah akhlakmu dari jiwa yang terpuji). Tajalli = jelaslah Tuhan
dihadapanmu.22
Takhalli diartikan secara umum sebagai upaya untuk membuang segala
sifat tercela dalam diri manusia, dari maksiat lahir maupun bathin. Hal ini bisa
dicapai dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dan melenyapkan
dorongan hawa nafsu kotor dan sifat tercela. Sifat-sifat tercela itu antara lain,
Hasad, Hiqd, Takabbur, Nifaq, Kikir, suul Dzann, Riya, Ghadab, Ghibah.
Tahalli artinya berhias. Maka berhiaslah diri dengan sifat-sifat yang
terpuji, sehingga bertambah naiklah roh dan jiwa kita mencapai martabat yang
lebih tinggi. Bersihlah batin dari seluruh pengaruh yang buruk.
Maka menurut Hamka setelah huruf kha kemudian ha dan lama-lama
titiknya turun kebawah menjadi huruf jim (). Maka jadilah Tajalli artinya
jelas dan nyatalah jalan kepada Tuhan. Karena Tajalli Tuhan dalm pandangan
seorang hamba tidaklah mungkin kalau jiwa hamba itu masih belum kuat, dan
kekuatan jiwa hanya di capai setelah dia dibersihkan.23
Hamka menyatakan bahwa nur ilahi dimasukan Allah ke dalam hati
seseorang sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Untuk mendapatkan nur
kaum sufi mengadakan latihan jiwa yaitu berusaha mengosongkan dirinya dari
sifat-sifat tercela, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi
diri mereka dengan sifat terpuji, dan segala tindakanya selalu dalam rangka
ibadah dengan cara memperbanyak dzikir, menghindarkan diri dari segala yang
dapat mengurangi kesucian diri baik secara lahir maupun batin.24
Demikianlah pemikiran Hamka tentang bagaimana seorang sufi
mendekatkan diri kepada Allah melalui mujahadah, yang pasti untuk
mendekatkan diri kepada Allah ini harus melalui perilaku yang baik dan benar,
atau

akhlak al karimah. Inilah yang merupakan titik tekan dari ajaran


22

Ridjalaludin F.N, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat Kajian
Islam FAI UHAMKA, 2008), h.137.
23
HAMKA, Pandangan, h. 53-54.
24
Sobahussurur, Mengenang, h. 180.

35

tasawufnya, atau dengan kata lain bahwa corak pemikiran tasawuf Hamka
adalah tasawuf akhlaki.
Tentang posisi tasawuf dia berkata di akhir bukunya bahwa filsafat
adalah penjelasan hidup, kesusastraan adalah nyanyian hidup, kesenian adalah
perhiasan hidup, dan tasawuf adalah intisari hidup dengan ibadat sebagai
pegangan hidup.25

D. Bahagia Menurut Hamka


Sebagaimana diketahui bahwa buku Tasawuf Modern pada awalnya
adalah sebuah rubrik di sebuah majalah

Pedoman Masyarakat. Pada

mulanya tulisan tersebut berjudul Bahagia" yang menerangkan tentang konsep


bahagia dalam perpektif Islam, akan tetapi nama rubrik Tasawuf Modern di
mana tulisan tersebut di muat-- pada majalah Pedoman Masyarakat tersebut
pada waktu itu telah menjadi icon dan sudah sangat akrab dengan para
pembaca, sehingga nama Tasawuf Modern dijadikan judul bagi kumpulan
artikel Bahagia dalam versi buku.26
Hal yang menarik dari buku Tasawuf Modern adalah banyak dari para
pembaca yang menggunakan buku tersebut sebagai penentram jiwa. Seorang
dokter sahabat Hamka pernah menganjurkan kepada pasienya yang sedang di
rawat untuk membaca buku Tasawuf Modern untuk menentramkan jiwanya.
Beberapa suami istri yang sedang berbahagia mengatakan bahwa Tasawuf
Modern adalah sebagai patri dari kehidupan bahagia mereka.
Bagi Hamka buku Tasawuf Modern yang dikarangnya juga sebagai
nasehat bagi dirinya sendiri. Tidak jarang Hamka membaca buku Taswuf
Modern hasil tulisannya sendiri seagai cara menasehati dirinya sendiri dan
untuk menentramkan jiwanya.
Hamka mendefinisikan tasawuf sebagai upaya untuk membersihkan
jiwa, mempertinggi derajat budi dan menekan kerakusan maka ia menguraikan
tentang arti bahagia. Hidup bahagia menjadi tujuan hidup kita semua, hampir
25
26

Raharjo, Intelektual, h. 207.


HAMKA, TasawuF,h. 3.

36

tanpa kecuali. Sukses meraih hidup bahagia menjadi impian dalam gerak hidup
kita setiap hari. Para ilmuan sejak Aristoteles sampai psikologi William James
menyetujuinya. Tidak ada perbedaan mendasar, tujuan hidup kita adalah
bahagia.27
Namun faktanya banyak sekali orang yang sudah berkecukupan secara
material akan tetapi tidak mendapat ketenangan jiwa dan kebahagiaan, bahkan
pada sebagian masyarakat, karena tidak menemukan jalan yang benar untuk
tujuan dan kebahagiaan itu, larilah mereka kepada hal-hal yang dilarang
agama, seperti obat-obatan terlarang, minuman keras dan lain sebagainya. Hal
ini membuktikan jika bahagia tidak hanya cukup materi yang berlimpah, atau
karir terus menanjak, namun dalam hal ini ada hal lain yang bisa membuat
manusia tentram dan bahagia.
Kebahagiaan merupakan sesuatu yang abstrak, karena itu kebahagiaan
bersifat relatif. Setiap orang, masyarakat atau bangsa mempunyai pandangan
tersendiri tentang makna bahagia. Edward Spranger (Jerman) sebagai seorang
ahli psikologi kepribadian, menilai kebahagiaan hidup itu menggunakan
pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup seseorang. Menurut
Edward Spranger ada enam aspek yang mendasari pandangan hidup manusia
yaitu:28
1. Manusia ekonomi adalah mereka yang menilai bahwa kekayaan harta
benda sebagai sumber kebahagiaan.
2. Manusia sosial, adalah mereka yang menilai bahwa bakti dan pengabdian
untuk kepentingan social sebagai puncak kebhaagiaan hidup
3. Manusia estetis adalah mereka kebahagiaan bersumber dari segala yang
dapat memenuhi kepuasan akan rasa indah dan keindahan.
4. Manusia kuasa, adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan sebagai
kepemilikan terhadap kekuasaan
5. Manusia ilmu, yaitu yang menilai bahwa kebahagiaan dapat dicapai
dengan mengembangkan kemampuan nalar semaksmal mungkin.
27
28

Suakidi, Kecerdasan Spiritual, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 103.


Jalludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001), h. 81.

37

6. Manusia susila, yaitu mereka yang menlai bahwa kebahagiaan akan


diperoleh melalui cara hidup yang susila dan saleh.
Dari pendapat Edward di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa
kebahagiaan itu bersifat relative, tergantung dari segi mana manusia menilai,
karena setiap manusia, suku bangsa mempunyai pandangan dan penilaian
tersendiri tentang arti kebahagiaan hidup.
Hamka dalam

bukunya Tasawuf Modern memaparkan pengertian

bahagia dari beberapa ahli. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa bahagia itu
adalah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan
perikemanusiaan. Al ghazali berpendapat bahwa bahagia dan kelezatan sejati,
ialah bilamana dapat mengingat Allah. Menurut Al Ghazali kesempurnaan
bahagia itu tergantung pada tiga kekuatan yaitu kekuatan marah, kekuatan
syahwat, dan kekuatan ilmu. Maka sangatlah perlu manusia berjalan ditengahtengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebih-lebihan menurutkan
kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan
membawanya kepada binasa. Jangan pula

berlebih-lebihan pada kekuatan

syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq yang membawa kerusakan.


Setiap orang ingin bahagia dalam hidupnya, spiritualitas tasawuf
dipelajari dan diparaktekan dalam rangka mencari kebahagiaan, hal itu karena
ternyata harta benda, materi, dan kehidupan lahiriyah saja tidak dapat
menjamin kebahagiaan seseorang dengan cara menumpuk harta, rumah indah,
mobil mewah, segala keinginan terpenuhi tetapi kebahagiaan itu tidak
ditemukan. Kehidupan spiritual yang mapan mampu memenangi peperangan
melawan nafsu dan menahan kehendak yang berlebihan, itulah kebahagiaan,
Demikian pendapat Imam Al Ghazali.29
Hamka juga menguraikan dalam bukunya tentang dari apakah tersusun
bahagia, Dalam hal ini Hamka mengutip pendapat para filosof yaitu
Phitagoras, Socrates dan Plato, yang menyatakan bahwa bahagia tersusun dari
empat hal, yaitu hikmat, keberanian, iffah dan adil.
29
30

HAMKA, Tasawuf , h. 25.


HAMKA, Tasawuf , h. 37.

30

Alasanya adalah bahwa

38

segala keutamaan bahagia itu hanya dirasai oleh diri dan nafsu. Mereka setuju
bahwa barang siapa yang sudah terkumpul sifat yang empat itu maka tidak
perlu lagi mempunyai sifat lain. Karena sifat-sifat yang lain itu hanya sebagai
ranting saja. Sebab ke empat sifat tadi bukan sifat jasmani melainkan sifat
rohani. Golongan ini mengemukakan bahwa bahagia itu akan lebih bersih dan
suci jika jasmani telah berpisah dari rohani. Karena mereka berpendirian
bahwa bahagia itu hanya perasaan jiwa.
Sedangkan menurut Aristoteles bahagia itu tersusun karena badan
sehat, cukup kekayaan, indah sebutan diantara manusia, tercapai apa yang
dicita-citakan,

dan tajam pikiran.31Hal ini dikarenakan karena badan

merupakan salah satu bagian dari diri manusia. Sehingga kebahagiaan jiwa
tidak akan sempurna jika tidak tercapai terlebih dahulu kesempurnaan badan.
Tolstoy Membagi bahagia menjadi dua, yaitu bahagia untuk diri sendiri
dan bahagia yang sejati yakni bahagia yang berguna bagi masyarakat. Bahagia
yang sejati menurut Tolstoy adalah bahwa engkau cinta sesama manusia
sebagaimana cinta terhadap dirimu sendiri. Islam pun menyokong pendapat
filosof ini.32 Allah befirman dalam Al Quran:





Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali agama Allah dan
janganlah berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atasmu, seketika
kamu bermusuh-musuhan, lalu telah dipersatukanya hati kamu semuanya,
sehingga dengan segera kamu telah menjadi bersaudara dengan sebab
NikmatNya.(Ali Imran 103).
Kebahagiaan itu identik dengan kenikmatan, karena tidak mungkin
orang bahagia tanpa merasakan sesuatu yang nikmat. Demikian sebaliknya
penghayatan terhadap suatu kenikmatan, akan melahirkan kebahagiaan.

31
32

HAMKA, Tasawuf , h. 37.


HAMKA, Tasawuf , h. 40-41.

39

Menurut Ibnu Maskawaih kabahagiaan setiap eksistensi ada pada inti


perilakunya yang ia lakukan atas dasar kesempurnaan dan keutuhan, yaitu
dalam kemampuan membedakan, berfikir dan mengambil hikmah.
Untuk meraih kebahagiaan, Ibnu Maskawaih tidak lepas dari konsep
hikmah yang ia rumuskan, yaitu hikmah teoritis dan hikmah praktis. Barang
siapa menghendaki kebahagiaan, ia harus menyempurnakan kedua bagian
hikmah tersebut. Hikmah teoritis dapat diperoleh melalui proses pembelajaran
mengenal semua ilmu dan semua hal-hal yang maujud di alam ini, sehingga ia
mmapu melihat titik akhir dari semua maujudat yaitu Tuhan. Sedangkan
hikmah praktis dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak yang
mendidik jiwa dan melahirkan sikap-sikap yang mencerminkan kesempurnaan
akhlak. Jika manusia dapat menyempurnakan kedua hikmah tersebut, maka ia
akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna juga.33
Sedangkan Hamka mengungkapkan dalam bukunya Tasawuf Modern
bahwa menurut agama untuk mencapai bahagia perlu empat hal yaitu: itikad
yang bersih, yakin, Iman dan agama34Dengan agama, iman, yakin dan itikad
yang bersih maka kebahagiaan batin akan tercapai.
Sukidi dalam bukunya Kecerdasan Spiritual mengatakan bahwa faktor
spiritual merupakan sumber bahagia . Hal ini diperkuat dengan survey-survey
yang dilakukan oleh para peneliti yang dilaporkan oleh Howard C Cutler
bahwa orang-orang spiritual lebih banyak melaporkan rasa bahagia dan puas
dalam hidupnya daripada mereka yang religius.35
Hal tersebut karena bahagia muncul dari dalam diri sendiri berupa sikap
hidup, bukan dari luar seperti kekayaan, uang, kekuasaan dan popularitas.
Sikap hidup itu adalah sabar dan senang dengan keadaan hidupnya walau
kurang beruntung, merasa cukup dan mensyukuri apa yang diperoleh, optimis
dan mencintai kehidupanya. Semua sikap hidup itu diajarkan dalam tasawuf.
36

Misalnya bersabar dengan kondisi hidup disebut sabar, mensyukuri nikmat


33

HAMKA, Tasawuf , h. 33-35.


HAMKA, Tasawuf , h. 55.
35
Sukidi, Kecerdasan , h. 110.
36
Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Para sufi, (Jakarta:Pustaka Irvan, 2007), h. 1.
34

40

yang diperoleh di sebut syukur, senang dengan keadaan hidup walau sulit
disebut ridha dan ikhlas, merasa cukup disebut qonaah, optimis disebut raja
dan rasa cinta di sebut mahabbah. Dalam buku Tasawuf Modern Hamka juga
memaparkan beberapa sifat terpuji yang membuat hati menjadi tenang dan
bahagia, diantaranya qonaah, ikhlas dan tawakal.
Menurut Hamka

qonaah merupakan sebab kebahagiaan umat

terdahulu. Qonaah adalah menerima dengan cukup.

Ada lima perkara yang

terkandung dalam sifat qonaah yaitu; menerima dengan rela apa adanya,
memohon kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha, menerima
dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada Tuhan dan tidak
tertarik oleh tipu daya dunia.37
Qonaah bertujuan supaya orang tidak berkeluh kesah kalau rizkinya
kecil dan tidak terdorong berbuat curang atau korupsi. Selain itu qonaah juga
bermanfaat supaya orang merasa tenang dan bahagia dengan apa yang
diperoleh.
Selain Qonaah sifat yang jika dimiliki oleh manusia akan membuat
bahagia adalah tawakal. Tawakal menurut Hamka adalah menyerahkan
keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam.
Beliau menjelaskan bahwa bukanlah tawakal namanya, apabila ular hendak
menggigit, binatang besar hendak menerkam, kala mengejar kaki, kemudian
kita tidak menghindar. Orang yang bertawakal adalah orang yang keluar
terlebih dahulu mengunci pintu

sebelum keluar rumah, menutup kandang

ayam sebelum hari senja,. Karena menurut sunnatullah, dengan maksud


terkuncinya rumah baru maling tidak masuk, ditutupnya pintu kandang baru
musang tak masuk mencuri ayam.38
Menurut Nurcholis Majid, dalam agama tawakal ialah sikap bersandar
atau mempercayakan diri kepada Tuhan, karena mengandung makna
mempercayakan diri

maka tawakal implikasi langsung dari iman. Allah

berfirman:
37
38

Hamka, Tasawuf Modern, h. 219


HAMKA, Tasawuf, h.

41


Tawakal kepada Allah, jika kamu orang yang beriman. ( Al Maidah/5:23).
Dr

Aid

Abdullah

al-Qarni

dalam

bukunya

Berbahagialah

menyatakan bahwa jika Anda ditimpa musibah, maka bayangkan yang


terburuk darinya. Kemudian siapkan diri Anda untuk menanggungnya dengan
penuh tenang. Bertawakalah kepada Allah, karena sesungguhnya Dia telah
memberikan kecukupan kepada Anda sebelumnya dan mencukupi Anda di
masa depan.39
Menurut Ibnu Al-Qayim

Al-Jauziyah, tawakal ada beberapa

tingkatan;40Pertama, ialah makrifat kepada Tuhan beserta sifat-sifatnya.


Kedua, adalah ikhtiar. Orang harus beriktiar dahulu sebelum berserah diri.
Ketiga, adalah tauhid. Keempat, menyandarkan hati kepada Tuhan dan merasa
tenang denganya. Kelima, adalah berprasangka baik kepada Tuhan. Keenam,
adalah Istislam, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Dan
ketujuh, ialah ridha terhadap apapun yang dialami.
Dengan memenuhi tingkatan tawakal, maka orang tidak akan kecewa,
marah frustasi stress, menggerutu, panik, gelisah, sedih atau menyalahkan
orang lain kalau mengalami kegagalan

atau tujuanya tidak tercapai.

Demikianlah penjelasan salah satu sifat terpuji yang bisa membuat manusia
yang memilikinya bisa merasakan kebahagiaan.
Menurut Hamka penyakit jiwa seperti sombong akan memperhambat
bahagia, oleh karena itu penyakit-penyakit jiwa tersebut harus segera diobati,
maka menurut Hamka pendidikan dan pengajaran zaman sekarang harus
memperhatikan bagian dalam (jiwa) dan bagian luar.41 Sebagai manusia kita
juga harus menjaga kesehatan jiwa, Hamka menyatakan untuk menjaga
kesehatan jiwa harus diperhatikan lima perkara yaitu; bergaul dengan orang-

39

Aid Al Qarni, Berbahagialah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2006), h. 61-62.


Teba, Hidup Bahagia , h. 175-177.
41
Hamka,Tasawuf, h. 270.
40

42

orang budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah,


bekerja dengan teratur dan memeriksa cacat diri sendiri42
Al Ghazali pun mengistilahkan mensucikan jiwa dengan tazkiyatunnafs yang secara singkat berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan
cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai
akhlaknya, di samping ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan
membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan
kepada Rasulullah.43
Kebahagiaan adalah tujuan setiap manusia dalam menjalani hidup,
sebagaimana dalam harapan setiap muslim yang selalu dikumandangkan dalam
doa yang artinya ya Allah berilah kami kebahagiaan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka. Tidak
heran kalau Hamka menitik beratkan kajiannya tentang tasawuf terhadap
konsep bahagia yang hakiki, yaitu bahagia lahir dan batin.

42

Hamka, Tasawuf, h. 138.


Said Hawwa, Mensucikan Jiwa (Konsep tazkiyatun nafs Terpadu: Intisari Ihya
Ulumudin Al Ghazali, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 171.
43

BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM
BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang nilai-nilai


pendidikan Islam dan juga kajian singkat tentang kandungan buku Tasawuf
Modern yang ditulis oleh Hamka, berikut ini penulis akan menguraikansecara
spesifik tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku
tersebut.

A. Pendidikan Keimanan (Aqidah Islamiyah)


Kata Iman berasal dari bahasa Arab aamana-yu`minu-imaanan yang
berarti percaya atau yakin. Abul ala al-Maududi mendefinisikan iman
menurut bahasa yaitu mengetahui serta meyakini.1 Adapun menurut istilah,
Abu Ala al-Maududi mengatakan; iman ialah keyakinan yang mantap yang
muncul dari pengetahuan dan kepercayaan.2
Dr. Yusuf Al-Qordhawi mengatakan iman adalah kepercayaan yang
terhujam ke dalam hati dengan penuh keyakinan tak ada perasaan syak (raguragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian.3
Berarti bahwa iman di samping menuntut adanya pengetahuan, pemahaman

Abul Ala Al- Maududi, Menuju Pengertian Islam, Terj. Amirudin Jamil, cet 1
(Bandung: CV. Sulita, 1967), h. 27.
2
Abu Ala Maududi, Iman dan Ketaatan, Cet ke 1 (Darul Ulum Press, 1990), h. 40.
3
Yusuf Qordhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiyah, cet ke 2
(Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2000), h. 27.

43

44

dan keyakinan yang kuat, dia juga mensyaratkan adanya kepatuhan hati serta
kesediaan dan kerelaan menjalankan perintah dan ketentuan Allah Swt.
Dalam dunia pendidikan Islam, pendidikan keimanan termasuk aspek
pendidikan yang patut mendapat perhatian paling utama dan harus mendapat
perhatian khusus dari para pendidik. Allah SWT menggambarkan batapa
pentingnya pendidikan keimanan sebagaimana dikisahkan dalam kisah
Luqman dalam Al-Quran. Firman Allah dalam surat Luqman ayat 13:



Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar. (QS. Luqman: 13).

Adapun yang dimaksud pendidikan iman menurut Zakiyah Daradjat


adalah proses belajar mengajar tentang berbagai aspek kepercayaan.4 Dalam
konteks pendidikan iman dalam Islam, yang dimaksud dengan aspek
kepercayaan tersebut tentu saja kepercayaan menurut ajaran Islam, dan bentuk
kepercayaan itu terangkum dalam rukun iman. Namun menurut M. Ahmad
Qadir Muhammad, bahwa pendidikan keimanan dapat pula dilakukan dengan
membangkitkan orang agar berfikir tentang alam dan segala sesuatu tentang
kebesaran Allah.5
Dalam buku Tasawuf

Modern, Hamka sepakat dengan beberapa

pemikir yang mendefinisikan iman sebagai perkataan dan perbuatan (qaulun


wa amalun), yang berarti keselarasan antara perkataan hati dan lidah serta
perbuatan hati dan anggota badan.

Allah SWT berfirman dalam surat al

Hujurat ayat 15:

Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 63.
5
M. Ahmad Qadir Muhammad, Metodologi Pendidikan Agama islam, (Jakarta: Direktur
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, 1985) , h. 16.
6
Hamka, Tasawuf Modern,h. 59

45



Bahwasanya orang yang beriman dengan Allah dan Rasulnya, kemudian
tidak ada ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan harta benda dan
diri mereka sendiri pada jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar
pengakuanya (QS. Al-Hujurat: 15).
Selanjutnya Hamka menerangkan definisi iman, Islam dan ihsan
dengan mengutip hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Sayidina Umar Bin Khatab ra, bahwa seketika Jibril datang dan bertanya
kepada Nabi Saw:
Jibril: Apakah Islam?
Nabi: Islam ialah engkau ucapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusanya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
puasa bulan ramadhan, naik haji jika mampu.
Jibril: Apakah iman?
Nabi: iman ialah engkau percaya kepada Allah, percaya adanya malaikatmalakatNYa, Kitab-kitabnya,

Rasul-Rasulnya, percaya dengan

kebangkitan sesudah mati, dan percaya dengan takdir.


Jibril: Apakah ihsan?
Nabi: ihsan ialah engkau beribadat kepada Allah seakan-akan engkau melihat
Dia. Walaupun engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetap melihat
engkau.7
Menurut Hamka, Hadits di atas menerangkan bahwa iman merupakan
akar, pohonnya adalah Islam, dan disiram supaya subur dengan ihsan. Karena
tidak akan ada orang yang mengerjakan amal kalau hatinya sendiri belum
percaya. Demikian analogi Hamka tentang iman.

Hamka, Tasawuf Modern,h. 61

46

Hamka juga menjelaskan bahwa iman bisa subur dalam hati jika hati
bersih dari sifat-sifat tercela seperti takabur, hasad, dan mencari kemegahan.
Seperti ungkapanya:
Iman itu bisa subur dalam hati, hendaklah tersingkir hati dari sifat-sifat
takabur, hasad, dan mencari kemegahan.8
Kisah Firaun seorang raja yang takabur, iblis yang mempunyai sifat
hasad kepada Adam, dan Heraclius yang mempunyai sifat gila akan
kemegahan hingga ia tidak beriman, merupakan contoh dari sosok yang
mengingkari Allah (tidak mengimani Allah) karena tertutup oleh sifat-sifat
buruk yang diungkapkan dalam buku Tasawuf Modern.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan yang
menyatakan agar anak selalu mengingat Allah, pada setiap perasaannya,
hendaknya anak selalu mempelajari setiap perasaan yang bersih dan suci.
Jangan sampai ia berbuat hasad, dengki, mengadu domba, dan senang dengan
hal-hal yang kotor dan batil.9
Ada ungkapan menarik tentang iman yang ditulis Hamka di dalam
buku Taswauf Modern yaitu:
Hati itu hanya dapat membuat misalnya seratus benda, tidak dapat
dilebihi dan tidak dapat dikurangi. Muatan yang seratus itu adalah iman
dan ragu. Kalau telah dipenuhi oleh iman 25 % tandanya dipenuhi oleh
ragu 75 %. Dan telah ada iman 50 % tentu ditempati oleh ragu 50%.
Kalau iman cukup menjadi 100%, tentu tidak ada ragu lagi didalamnya.
Oleh sebab itu maka hendaklah iman yang telah tumbuh di dalam hati itu
dipupuk supaya subur dan bertambah, jangan dibiarkan begitu saja, takut
dia menjadi lemah dan tumbang, tumbuh rumput sekelilingnya, rumput ya
menyemakan, atau dikalahkan limau oleh benalu.10
Dari pernyataan Hamka di atas mengisyaratkan bahwa hati sebagai
tempat pertama berlabuhnya iman sangat mudah untuk berpindah-pindah dan
berganti antara iman dan ragu. Maka apabila iman telah tumbuh subur dalam
diri seorang muslim hendaknya dijaga, karena keimanan bersifat fluktuatif
pada setiap orang, kadang ia bertambah dan kadang berkurang.
8

Hamka, Tasawuf Modern, h. 62


Abdullah nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam,, ha. 169
10
Hamka, Tasawuf Modern.,h. 67

47

Untuk menjaga iman supaya terus bertambah dan meningkat, ada tiga
syarat yang dijelaskan Hamka dalam buku Tasawuf Modern tersebut, yaitu: 1).
Ditasdiqkan (diyakini ol;eh hati), 2). Diikrarkan (diucapkan), dan 3). Diikuti
dengan amalan. Jika ketiga syarat tersebut tidak sempurna maka tidak akan
sempurna pula iman seseorang.
Kalau seseorang mengerjakan suatu amal pebuatan tapi tidak percaya
maka orang tersebut adalah munafiq, jika lidah saja yang berucap, sementara
hati dan perbuatanya tidak maka jatuhlah dia menjadi kafir zuhud. Apabila dia
mengerjakan dan lidahnya pun mengakui, tetapi tidak megakui kaifiyatnya
maka ditakutkan Imanya akan jatuh pada kesalahan.11
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pendidikan keimanan merupakan
pendidikan yang sangat fundamental yang harus ditanamkan kepada setiap
peserta didik sejak dini, karena tanpa iman amal perbuatan manusia akan siasia. Maka seyogyanya selain peserta didik dibekali dengan ilmu keimanan,
peserta didik pun harus dilatih dan mengetahui bagaimana cara menjaga iman
supaya terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam hal ini Hamka
mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk menjaga keimanan adalah
dengan lebih banyak membaca Al-Quran, menelaaah hadits nabi, serta
memperhatikan alam dan seisinya.
Berikut adalah penjelasan Hamka tentang bagaimana menjaga keimanan:
Selain dari kesudian membaca Al-quran, Hadits nabi, kata hikmat dan
budiman, perhatikan pula alam dan seisinya, perhatikan manusia dengan
kejadian badanya yang ajaib, perhatikan matahari yang memberi cahaya
untuk manusia hidup, bulan yang timbul dan tenggelam, takjub atas
kekuasaan pembikinannya. Takjub itu ialah pintu yang pertama dari iman.
Di sana kelak akan aatang suara dari hati kita sendiri.12
Hamka juga menjelaskan bahwa kehidupan ini membuktikan bahwa
Allah itu ada. Karena segala alam ini ada yang menjadikan, kehidupan ini
bukan terjadi dengan tiba-tiba. Di waktu otak manusia jernih dan bersih, tidak
tercampur dengan kesombongan dan tidak hanya percaya kekuatan diri sendiri,

11
12

Hamka, Tasawuf Modern,h. 68


Hamka, Tasawuf Modern, h. 69

48

timbulah dalam hatinya perasaan bahwa ada yang mengatur alam ini.
Pengakuan atas adanya yang mengatur alam, adalah pengakuan asli manusia.
Perasaan itu mesti timbul bilamana dia memperhatikan alam seisinya.
Dari penuturan tersebut, Hamka ingin mennjelaskan bahwa ada fitrah
akal yang sangat berpengaruh terhadap proses bertambah kuatnya keimanan
seseorang. Dengan mengoptimalkan potensi akal yang hanif

untuk

merenungkan dan berfikir tentang penciptaan alam semesta, manusia dapat


membuktikan kebenaran

agama, sekaligus memperkuat keimananya. Dan

dengan bertambah kuatnya iman seseorang atau peserta didik maka segala apa
yang dilakukanya akan mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi ketundukan
vertical dan dialektika horizontal.
Iman kepada Allah yang ditegaskan dengan ucapan La ilaha illallah
(tiada Tuhan selain Allah) menimbulkan faham tauhid (montheis), yakni
mengesakan Tuhan.13 Dan tauhid dalam pendidikan Islam berfungsi untuk
mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi manusia tauhid yang
lebih ideal, dalam arti memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada
penegakan kebenaran dan keadilan. 14
Prof. Dr. Ardani mengemukakan bahwa tauhid bukanlah semata-mata
kepercayaan hampa akan wujud Allah yang maha Esa melainkan juga harus
direalisasikan dalam kehidupan nyata, maka dengan sendirinya ia akan
memberi pengaruh terhadap kehidupan itu sendiri, baik pengaruh yang bersifat
aqliyah, nafsiyah, dan ijtimaiyah.15
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa dalam buku Tasawuf Modern
Hamka menjelaskan tentang masalah keimanan secara cukup terperinci.
Hamka meletakan pembahasan tentang nilai-nilai dan pendidikan keimanan
bagi manusia sebagai hal penting yang menjadi fondasi kehidupan manusia.
Hal tersebut sejalan dengan semangat pendidikan Islam yang meniscayakan

13

Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 17.


Muhammad Irfan, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan Islam,
(Friska Agung Insani, 2000), h. 109.
15
Prof. Dr. H. M. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, h. 117-118
14

49

adanya nilai-nilai keiman yang harus ditanamkan dalam pendidikan Islam


sebagai salah satu upaya pemenuhan aspek afektif bagi peserta didik.

B. Pendidikan Akhlak
Sebagaimana diketahui bahwa tasawuf Hamka termasuk kepada
tasawuf akhlaki, Hal ini tercermin dalam pemaknaan tasawuf menurut Hamka
yang sependapat dengan definisi tasawuf yang dikemukakan al-Junaid, bahwa
tasawuf adalah membersihkan jiwa dan mempertinggi derajat budi,
menekankan segala kerakusan dan memerangi syahwat.
Tasawuf akhlaki berorientasi pada pembinaan akhlak yang mulia.
Terlebih Hamka menjelaskan bahwa tujuan dari tasawuf adalah untuk
membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi. Hal ini tentu
saja sangat relevan dengan definisi dan tujuan pendidikan akhlak yaitu suatu
usaha yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik melalaui proses
pengajaran, pembinaan, pelatihan, pengasuhan dan tanggung jawab untuk
diarahkan kepada suatu arah dan kebiasaan yang baik dan mulia, baik aspek
jasmani maupun rohani.
Pada buku yang sama, Hamka juga menjelaskan bahwa keutamaan
budi ialah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat
yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti di buang dan
mana yang mesti dipakai. Serta dibiasakan perangai-prangai yang terpuji, yang
mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang
adat yang mulia itu.16
Menurut Hamka kalau kita menjauhi apa yang dilarang dan
mengerjakan apa yang diperintahkan tetapi karena terpaksa dan bukan karena
ketulusan, maka yang demikian itu tandanya belum naik kepada tingkatan
budi. Oleh sebab itu hendaklah diri berperang dengan diri dan dalam
perjuangan yang hebat itulah kita dapat mencapai tujuan yang mulia. Menurut
Hamka, untuk mencapai keutamaan budi harus ada tiga rukun yang perlu

16

Hamka, Tasawuf Modern, h. 117

50

dicapai, yaitu: 1). Dengan tabiat, 2). Dengan pengalaman, 3). Dengan
pelajaran.17
Ketiga rukun di atas harus dilaksanakan, apabila hanya salah satu saja
yang dilaksanakan maka akan pincang keutamaannya. Dalam hal ini Hamka
menjelaskan bahwa banyak orang yang dari kecil bergaul dalam kalangan
yang utama, tetapi pengalaman tidak ada atau ilmu tidak ditambah, maka
keutamaan budi tidak akan tercapai.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Sidi Gazalba, bahwa
Kepribadian muslim sebagian besar berasal dari kapasitas atau predisposisi
tertentu yang dikuasai oleh keturunan, sebagian dari keadaan individu yang
diperolehnya selama hidupnya, dan sebagian lagi dari kebiasaan-kebiasaan
yang diberikan kepadanya oleh kebudayaan tertentu.18 Maka ketiga rukun
yang dikemukakan Hamka tersebut sangat baik untuk mendidik akhlak
manusia supaya budi semakin baik dan menjadi yang utama.
Selanjutnya Hamka menyatakan bahwa musuh yang senantiasa
menghalangi manusia mencapai keutamaan ialah hawa nafsu yang
menyebabkan marah, dengki, loba dan kebencian.19 Maka hawa nafsu yang
bisa menyebabkan kerusakan akhlak tersebut harus diperangi dan dihilangkan.
Dalam hal ini Hamka juga menjelaskan tentang hawa dan akal, menurut
Hamka hawa membawa sesat dan tidak berpedoman, dan akal menjadi
pedoman menuju keutamaan.
Untuk membedakan antara mana kehendak akal dan hawa amatlah
sulit, maka untuk dapat membedakannya perlu ilmu hakikat yang dalam. Akan
tetapi, meskipun pedoman itu telah ada, namun manusia masih sangat
berpotensi menjadi sesat, karena semua itu bergantung kepada taufiq dan
hidayat Ilahi, karena itu hendaklah lekas-lekas lari kepada Allah di waktu hati

17

Hamka, Tasawuf Modern.,h. 119


Sidi Gazalba, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid 1(Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), h.53.
19
Hamka, Tasauf Modern..,h. 119
18

51

telah mulai ragu. Minta pertimbangaNya, bentangkan kitabNya. Demikian


menurut Hamka.20
Dalam buku yang sama Hamka juga menyebutkan beberapa sifat yang
termasuk ke dalam keutamaan budi pekerti, yaitu syajaah, adil, iffah dan
hikmat. Dalam hal ini sepertinya Hamka sependapat dengan imam Al Ghazali
bahwa syajaah, adil, iffah dan hikmat adalah induk akhlak mulia, yang
denganya dapat diketahui mana yang benar dan mana yang salah. 21
Selain itu, Hamka juga menjelaskan secar spesifik tentang beberapa
perilaku terpuji yang ada dalam buku Tasawuf Modern, di antaranya yaitu
malu, amanat, sidiq, ikhlas, qonaah dan tawakal.
Pertama, malu. Perasaan malu menurut Hamka sangat berpengaruh
terhadap pergaulan hidup. Dengan malu, orang yang berakal akan enggan
untuk mengerjakan perbuatan jahat. Sebelum orang menggunakan undangundang lebih dahulu orang telah dilindungi oleh hukum malu yang telah
melekat dalam budi pekertinya. Lebih lanjut Hamka mengatakan bahwa rasa
malu tidak akan hidup dalam hati dan budi pekerti seorang manusia, kalau dia
tidak merasakan rasa kehormatan diri.22
Sifat malu membawa seseorang mengarungi lautan besar, memasuki
rimba belantara, ditimpa susah dan kepayahan untuk mencapai keutamaan.
Sifat malu menyebabkan manusia sanggup menahan hawa nafsu, mengekang
dirinya dan menempuh halangan lantaran menghindarkan diri dari perangai
yang durjana.
Kedua, amanat. Bisa dipercaya (amanat) adalah tiang kedua dari
masyarakat yang utama. Hamka mengutip pendapat Herbert Spencer yang
berpendapat bahwa hidup itu ialah kelancaran hubungan diri dengan luar diri23.
Sedang nasi sesuap, tak bisa masuk ke dalam mulut kalau tidak beribu bahkan
bermiliun orang yang mengerjakan. Dia mesti ditanam oleh para petani yang

20

Hamka, Tasauf Modern.,h. 124


Ahmad Muhammad Al Hufy, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan
Keluhuranya, (Jakarta: Bulan Bintang) h. 28.
22
Hamka, Tasawuf Modern..,h. 103
23
Hamka, Tasawuf Modern...,h. 105
21

52

begitu banyaknya, mesti ditumbuk oleh mesin penumbuk padi yang


mempunyai buruh beribu-ribu orang, semua itu dikerjakan oleh bermiliunmiliun orang.
Menurut Hamka, amanat adalah salah satu sifat yang harus dimiliki
terutama dalam konteks hubungan diri dengan luar diri atau sesama manusia
(hablum minannas). Kebalikan dari sifat amanat adalah sifat khianat, yaitu
menyia-nyiakan kepercayaan atau tidak dapat dipercaya, yang demikian itu
termasuk ke dalam salah satu tanda orang munafiq.
Hamka mengatakan, supaya masyarakat dapat hidup secara teratur,
perlu berdiri pemerintah yang bisa mengatur Negara, sedangkan negara hanya
dapat tegak di atas amanat. Kalau amanat telah runtuh atau para pemimpinnya
khianat, maka runtuhlah pemerintah,berarti runtuh pulalah masyarakat dan
umat.
Ketiga, sidiq. Sidiq yang berarti jujur atau benar merupakan dasar
pembinaan akhlak yang sangat penting dalam ajaran Islam. Dan bersikap
seperti ini memerlukan perjuangan yang tidak ringan, karena banyaknya
godaan dilingkungan sekitar yang menggoda kita untuk tidak bersikap jujur
(sidiq).
Hamka menjelaskan bahwa sidiq adalah tiang ketiga dari masyarakat.
Karena kejujuran sangatlah penting artinya bagi masyarakat. Dalam hal ini
Hamka mengilustrasikan seorang manusia yang diciptakan dimuka bumi, yang
awalnya tidak tau ke mana dia akan dibawa, hanya mempunyai panca indra
yakni penciuman, pendengaran, penglihatan, perasaan lidah dan kulit. Dan
manusia perlu pertolongan, baik pertolongan ilmu maupun akal. Dan semua
tidak akan tercapai kalau pertolongan itu tidak diterima dari sumber yang
benar.24
Keempat, ikhlas. Sifat ikhlas merupakan salah satu sifat terpuji yang
harus ditanamkan kepada peserta didik, Dalam ibadah misalnya, peserta didik
selain diajarkan tentang syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan ibadah,
juga perlu diajarkan tentang ruh ibadah yakni keikhlasan melaksanakan
24

Hamka, Tasawuf Modern., h. 107

53

ibadah. Ikhlas ialah melaksanakan sesuatu amal semata-mata karena Allah,


yakni semata-mata karena iman kepada yang maha pencipta, dan semata-mata
mengharap Ridhanya. Sesungguhnya ikhlas itu adalah ruh suatu amalan. Sabda
nabi :
Allah tiada menerima amalan, melainkan amalan yang khalis bagiNya dan
dituntut denganya keridhaan Allah (HR. Ibnu Majah).
Dalam buku risalah Al Qusairy karangan Qusyairy an naisabury,
dijelaskan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah SWT, sebagai
satu-satunya sesembahan. Sikap taat yang dimaksud adalah taqarrub kepada
Allah, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh
pujian ataupun penghormatan dari manusia. Dapat dikatakan, keikhlasan
berarti menyucikan amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.
Dikatakan juga, keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan
individu-individu manusia.25
Adapun ikhlas menurut Hamka adalah pekerjaan yang bersih terhadap
sesuatu . Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa Ikhlas dalam hal ini tidak
hanya berlaku untuk Allah, tetapi untuk siapa saja. Dalam penjelasanya bila
seseorang melakukan sesuatu untuk dipuji majikanya, maka ia berlaku ikhlas
untuk majikanya atau bila manusia berlaku sesuatu untuk kepentingan
perutnya, maka iapun ikhlas untuk perutnya.26 Orang yang melakukan sesuatu
untuk yang ditujunya, bila ia melakukan sesuatu untuk Allah semata berarti ia
ikhlas karena Allah. Oleh karena itu Hamka menjelaskan dalam buku Tasawuf
Modern tentang ikhlas kepada Allah, kitabullah, Rasulullah, dan ikhlas kepada
kaum muslimin. Berikut penjelasanya:
1. Ikhlas kepada Allah
Ikhlas kepada Allah maknanya adalah hanya semata-mata percaya
kepadanya.Ia tidak boleh dipersekutukan dengan yang lain, pada zat sifat
dan

25
26

pada

kekuasaanya.Hadapkan

kepadanya

segala

sifat-sifat

Imam Qusyairi An Naisabury, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf, h. 243.


Hamka, Tasauf Modern ,h. 127

54

kesempurnaan yang penuh, hindarkan dari pada persangkaan sifat-sifat


kekurangan.
2. Ikhlas kepada kitabullah
Ikhlas kepada kitabullah adalah percaya dengan sungguh-sungguh bahwa
kitab itu ialah kalamullah, yang tiada serupa dengan kalam makhluk.
Tidak seorangpun yang sanggup membuat kitab semacam ini, kitabullah
adalah kitab yang diturunkan Allah kepada rasulnya untuk menjadi
tuntunan kita sekalian. Kita baca dan kita fahamkan isinya, kita junjung
dan kita sucikan, kita perhatikan dengan hati yang khusu.
3. Ikhlas kepada Rasulullah
Ikhlas kepada Rasulullah adalah mengakui dengan sungguh-sungguh
risalahnya, percaya dengan segala yang dibawanya.
4. Ikhlas kepada imam kaum muslimin
Ikhlas kepada imam atau raja-raja dan pemerintah muslim ialah dengan
jalan membela dalam kebenaran, taat kepada mereka di dalam agama.
Hamka mengemukakan bahwa lawan dari ikhlas adalah isyrak, isyrak
artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Sedangkan tempatnya
ikhlas dan isyrak adalah hati.27 Maka jika seseorang berniat mengerjakan
sesuatu pekerjaan, mulai dari melangkah sudah dapat ditentukan ke mana arah
dan tujuannya, apakah niat karena faktor lain ataukah karena Allah SWT.
Ikhlas tidak dapat dipisahkan dari jujur atau dalam bahasa lainya
tulus.28 oleh sebab itu banyak orang mengatakan tulus ikhlas, padahal
ketulusan itu bukanlah dibuktikan oleh lidah saja, tetapi lebih dari itu adalah
hati. Ada sebuah syair yang diungkapkan oleh Hamka;
Jangan terpedaya oleh seorang ahli pidato lantaran pidatonya, sebelum
kelihatan bukti pada perbuatanya. Karena perkataan itu sumbernya
adalah hati. Lidah hanya dijadikan sebagai tanda dari hati.
Dalam menjelaskan tentang ikhlas Hamka merujuk surat Al Baqarah
ayat 177:

27
28

Hamka,Tasawuf Modern, h. 127


Hamka, Tasawuf Modern.., h. 129

55









Tidaklah jasa dan kebaikan itu, bahwa engkau palingkan mukamu ke
timur dan ke barat, tetapi jasa kebaikan ialah beriman kepada Allah dan
hari akhirat, dengan malaikat dan Nabi; dan memberikan harta kepada
yang berhak menerima dari kaum kerabat, anak yatim, orang miskin,
orang yang tak tentu rumah tangganya, budak yang ada harapan akan
dimerdekakan dan mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan
orang-orang yang menempati perjanjian bilaman mereka berjanji, dan
orang yang sabar di waktu kesusahan dan kesempitan, serta kesusahan
yang tiba-tiba. Mereka itulah orang-orang yang benar dan (tulus) dalam
pengakuanya, dan mereka itulah orang-orang yang muttaqin. (QS. AlBaqarah ayat 177).
Kelima, qonaah dan tawakal. Dewasa ini banyak sekali manusia yang
saling berebut jabatan dan kekayaan dengan saling menjatuhkan satu sama
lain, tentu saja hal ini

sangat mengkhawatirkan. Selain budaya rebutan

jabatan, budaya korupsi juga kian merajalela dewa ini yang membuat bangsa
ini semakin hancur. Para koruptor bukanlah orang yang tidak memiliki cukup
uang, bahkan kekayaan mereka relatif berlimpah, namun mereka tidak pernah
merasa cukup dengan apa yang telah mereka miliki, karena mereka
mengedepankan sifat tamak daripada sifat qonaah.
Qonaah dan tawakal merupakan salah satu materi dalam Pendidikan
Islam, Sifat qonaah dan tawakal hendaknya dimiliki oleh peserta didik,
karena Dengan sifat qonaah orang tidak akan tergila-gila untuk menindas
yang lain guna mendapatkan jabatan dan kekayaan, karena mereka yakin
bahwa rizki telah diatur oleh Tuhan, tugas manusia adalah berikhtiar. Maka

56

Dzu Nuun al Mishry mengatakan bahwa orang qonaah selamat dari orangorang semasanya dan berjasa atas semua orang.
Qonaah menurut Abu Abdullah bin khafif adalah

meninggalkan

keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan
menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki. Muhammad bin Ali at
Tirmidzi menegaskan, qonaah adalah kepuasan jiwa terhadap rizki yang
diberikan.29 Rasulullah SAW bersabda:qonaah itu adalah harta yang tidak
akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap
Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern menjelaskan bahwa qonaah
adalah menerima dengan cukup, dan qonaah mengandung lima perkara:
1. Menerima dengan rela apa yang ada
2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
4. Bertawakal kapada Tuhan
5. Tidak tertarik oleh tipu daya manusia30
Qonaah bukan berarti menerima saja apa yang ada, sehingga tidak ada
ikhtiar. Karena sejatinya agama menyuruh untuk qonaah hati bukan qonaah
ikhtiar. Rasulullah bersabda: Qonaah itu adalah harta yang tidak akan
hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap.
Hamka menjelaskan bahwa qonaah maknanya sangatlah luas.
Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi
kekuasaan kita., menyuruh sabar akan ketentuan ilahi jika ketentuan itu tidak
menyenangkan diri, dan bersyukur akan dipinjaminya Nikmat. Maka bekerja,
berusaha, bergiat sehabis tenaga adalah kewajiban manusia.31
Jadi qonaah bukan untuk melemahkan hati, memalaskan fikiran,
mengajak berpangku tangan. Tetapi qonaah adalah modal yang paling teguh
untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup.

29

Abul Qasim Al Qusyairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, induk ilmu Tasawuf,


Terj. Dari Arrisalatul Qusyairiyah fiilm At Tashawwufi oleh Muhammad Luqman Hakim,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet: 2, h. 174
30
Hamka,Tasawuf Modern, h. 219
31
Hamka, Tasawuf Modern, h. 221

57

Dalam pendidikan Islam sifat qonaah merupakan sifat yang terpuji


yang tentunya harus dimiliki oleh peserta didik, dengan sifat qonaah yang
mempunyai makna yang sangat luas maka peserta didik tidak akan malas
dalam berusaha dan belajar, karena sebagaimana dijelaskan Hamka bahwa
qonaah yang dimaksud adalah qonaah hati bukan qonaah ikhtiar.
Sejatinya qonaah adalah tiang kekayan yang sejati. Dan lawan
qonaah adalah gelisah, gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya.32 Agar
manusia tidak salah paham tentang qanaah yaitu merasa puas dengan yang
telah dimiliki. Maka Hamka membedakan qonaah dengan malas, karena
malas dan qonaah perbedaanya sangat tipis. Qonaah adalah berikhtiar
semaksimal mungkin untuk mendapatkan rizki dan merasa puas dengan rizki
yang telah dimilikinya, sedangkan malas adalah merasa puas dengan rizki
yang dimiliki tanpa melakukan ikhtiar.
Di dalam qonaah seperti yang telah dijelaskan di atas tersimpulah
tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha
kepada Tuhan

semesta alam. Syekh Muhammad Shalih al Muajjid

berpendapat bahwa tawakal merupakan tingkatan akhlak yang tinggi dan


mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pelakunya. Tawakal adalah bagian
dari hasil keimanan yang terbesar, amalan dan ibadah yang paling utama yang
dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah SWT.33
Menurut Hamka tawakal bukan semata-mata menyerahkan seluruhnya
kepada kehendak Allah tanpa berusaha sama sekali, tapi tawakal adalah
menyerahkan kepada ketetapan Allah setelah manusia melakukan ikhtiar
semaksimal mungkin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Hamka yaitu:
Maka orang yang menutup kandangnya, takut ayamnya ditangkap
musang, orang yang mengunci rumahnya takut maling masuk, orang yang
mengikat untanya takut akan dilarikan orang; mereka itulah mutawakil,
bertawakalh yang sejati, tawakal dalam teori dan praktek.34

32

Hamka, Tasawuf Modern, h. 222


Syekh Muhammad Shalih Al Munajjid, Jagalah Hati Raih Ketenangan, penerjemah:
Saat Mubarak, cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006), h. 35.
34
Hamka, Tasawuf Modern, h. 233-234
33

58

Kritikan Hamka tentang tawakal tersebut sejalan dengan pendirianya


tentang adanya kebebasan manusia dalam memilih takdir hidupnya.
Keterangan tawakal yang demikian mendorong orang untuk berusaha, tidak
hanya pasrah terhadap keadaan dengan dalih tawakal kepada Allah SWT.

C. Pendidikan Spiritual (Tazkiyatunnafs)


1. Pengertian Pendidikan spiritual
Pendidikan spiritual merupakan bagian pokok dalam pendidikan
Islam. Pendidikan ini berlandaskan pada kaidah-kaidah yang kuat dan
dasar-dasar yang kokoh yang berperan sebagai penguat dan pengokoh
relasi antara seorang muslim dengan Tuhanya, Allah SWT, serta sebagai
penghubung antara faktor-faktor yang bersifat duniawi dan factor-faktor
yang bersifat ukhrowi.
Menurut Said Hawwa pendidikan spiritual dalam Islam merupakan
pembersihan jiwa atau perjalan (al sair) menuju Allah SWT. Adapun
dalam buku-buku pendidikan spiritual, secara umum seluruhnya
dituangkan ke dalam satu wadah yang sama yakni perpindahan dari jiwa
yang kotor menuju jiwa yang bersih (al muzakka); dari akal yang belum
tunduk kepada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati
yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat, dari roh
yang jauh dari Allah, lalai dalam beribadah dan tidak sungguh-sungguh
melakukanya, menuju roh yang mengenal (arif) Allah SWT, senantiasa
melaksanakan hak-hak untuk beribadah kepadaNya, dari fisik yang tidak
mentaati aturan syariat menuju fisik yang senantiasa memegang aturanaturan syariat Allah SWT. Singkatnya dari yang kurang sempurna menuju
yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah Saw baik
perkataan, tingkah laku dan keadaanya.35
Selanjutnya pendidikan spiritual erat sekali kaitanya dengan istilah
tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Perlu dicatat bahwa istilah tazkiyatun
35

Said Hawwa, Tarbiyatuna Al Ruhiyah, (Kairo; Maktabah al wahbah,1992), h.69.

59

nafs adalah istilah yang paling umum dengan istilah pendidikan (al
Tarbiyah), apalagi istilah ini telah disebutkan dalam beberapa ayat alQuran yang menunjukan makna pendidikan, dan istilah ini menunjukan
pada introspeksi jiwa (muhasabah al nafs).
Said

Hawwa menyatakan bahwa kata

Tazkiyyah secara

terminologis punya dua makna, yaitu pensucian dan pertumbuhan.36Hal itu


ditegaskan pula oleh Muhammad al Ghazali, ia mengatakan bahwa
tazkiyah merupakan kata yang terdekat dari makna pendidikan (tarbiyah);
bahkan kata tarbiyah dan tazkiyah hampir sinonim dalam upaya perbaikan
jiwa dan pendidikan tabiat.37 Mir Valiuddin menyatakan bahwa tazkiyah
an nafs atau penyucian jiwa ini berarti menghiasi sifat-sifat terpuji dan
malakuti, sesudah membersihkanya dari sifat-sifat tercela dan hewani.38
Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern membahas tentang
kesehatan jiwa. Menurut Hamka jiwa adalah harta yang tiada ternilai
harganya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin,
maka itulah kekayaan sejati. 39
Hamka mengatakan, bahwa orang yang takut mengahadapi
kehidupan dan tidak berani menggosok dan mensucikan batinya, tidak
akan kenal arti lezat. Seorang pahlawan, mencapai titel pahlawan dengan
darah dan pedang. Seorang penganjur bangsa alim ulama dan sebagainya,
mereka duduk di singgasana kemuliaan dengan senangnya, padahal
mereka mencapai itu dengan susah payah. Demikianlah mencapai
kemuliaan batin. 40
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mensucikan jiwa dan
menuju ketenangan jiwa bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk
dilakukan, perlu latihan serta pendidikan mental yang panjang, banyak
36

Said Hawwa, Mensucikan jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu, Cet. Ke-25 (Jakarta:
Robbani Press, 2000), h. 2.
37
Muhammad Al Ghazali, Nazhariyah al Tarbiyah al-Islamiyah li al Fard wa al
Mujtama, (Makkah al Mukarramah; Jamiah Umm al Qura, 1400 H), h. 1.
38
Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam tasawuf, Cet. 2, (Bandung; Pustaka
Hidayah, 1997) h. 45.
39
HAMKA, Tasawuf, h. 145.
40
HAMKA, Tasawuf, h. 146.

60

sekali pengorbanan yang harus dilakukan, dan dengan pengorbanan susah


payah maka manusia akan merasakan ketenangan jiwa.
Selanjutnya Hamka menjelaskan bagaimana cara mengobati jiwa
yang sakit. Jiwa yang sehat tercermin dalam dirinya sifat syajaah (berani
pada kebenaran, takut pada kesalahan), iffah ( pandai menjaga kehormatan
batin), Hikmah (Tau rahasia dari pengalaman hidup) dan adaalah (adil).
Dan sebaliknya jiwa yang sakit timbul dalam dirinya sifat tahawur, jubun,
marah yang tercela, ujub dan takut.

2.

Penyakit Jiwa dan Obatnya


a. Tahawur
Lawan sifat syajaah (berani) adalah tahawur (nekad/gegabah)
yang berarti keberanian manusia menempuh suatu hal, padahal menurut
pertimbangan akal hal tersebut tidak bisa ditempuh. Maka untuk
mengobati penyakit tahawur, hendaklah orang yang telah terjangkit
penyakit ini, sadar akan akibat yang ditempuh jika melakukan tahawur.
Sadari bahayanya dan paksa diri surut ke belakang, maka hati tidak
akan merasa kecewa lagi jika ditimpa malapetaka dan tidak tercengang
melihat keganjilan kebenaran.41
b. Jubun
Jubun adalah penyakit yang di bawah derajat pertengahan.
Tabiat ini amat dingin. Sebab kematian hati ini karena tidak ada
martabat, tidak ada gengsi. Hal ini karena kurang kesabaran, kurang
kemauan, sehingga jadi pemalas. Orang yang mempunyai sifat jubun
suka saja menerima kehinaan, asal kesenangan jasmani jangan
terganggu. Menurut Hamka mengobati penyakit jiwa yang berbahaya
ini, ialah dengan jalan menimbulkan watak-watak yang ada dalam diri.
Karena sebenarnya perangai atau sifat sifat masih belum hilang dalam
jiwa.42
41
42

Hamka, Tasawuf , h. 150.


Hamka, Tasawuf , h. 151.

61

c. Marah
Marah berasal dari bahasa Arab amarah yaitu bersifat
memerintah atau mendorong.

43

Marah merupakan emosi dasar yang

tampak ketika salah satu motif dasar atau penting yang harus dipenuhi
terhambat. Menurut Hamka Marah ada yang terpuji dan ada yang
tercela. Marah yang terpuji

ada dua macam yaitu marah karena

mempertahankan kehormatan dan mempertahankan agama. 44


Allah Berfirman dalam Al-Quran:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku, sesungguhnya
Rabbku maha pengampun lagi maha penyayang.(Qs. 12:53),45
Ayat di atas menjelaskan bahwa nafsu yang ada pada diri
manusia memang selalu condong untuk melakukan perbuatan yang
jahat. Nafsu yang baik adalah nafsu yang diberi rahmat oleh Allah.
Marah yang tidak boleh dan menjadi penyakit bagi jiwa atau
marah yang terlarang adalah marah yang terbit dari takabur dan
sombong, congkak dan kebanggaan. Marah ini terjadi karena untuk
kepentingan diri sendiri bukan untuk agama dan dunia. Maka untuk
mengobati sifat ini perlu banyak maaf (hilm) dan banyak menahan hati (
Tahallum).46
d. Ujub dan Bangga
Ujub ialah merasa puas dengan diri sendiri. Ujub atau sombong
adalah sikap merasa lebih tinggi dari orang lain sekaligus merendahkan
mereka. Sedangkan bangga menurut Hamka adalah sifat suka
membanggakan kemuliaan diluar badan.47 al-Quran juga mencela dan
mengecam sikap berbangga diri sebagaimana dijelaskn dalam surat
Luqman ayat 18:
43

Sudirman Tebba, Sehat lahir batin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 96.
HAMKA, Tasawuf , h. 154.
45
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Jakarta
Khairul Bayan,2005), h. 42.
46
HAMKA, Tasawuf , h. 157.
47
HAMKA, Tasawuf., h. 158
44

62




Dan janganlah kamu memalingkan muka kamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membenggakan diri. (QS. Luqman: 18).
e. Takut
Sebenarnya rasa takut bermanfaat dalam kehidupan manusia. Ia
mendorong manusia untuk menjauhi situasi bahaya dan menghindari
sesuatu

yang

menyakiti

dirinya.

Penelitian

empiric

mutakhir

menunjukan bahwa takut yang seimbang dan tidak berlebihan, justru


bermanfaat dalam mendorong manusia untuk melakukan pekerjaanya
dengan baik. Sedangkan takut yang berlebihan, akan menimbulkan
keguncangan dan keresahan jiwa.
Menurut Hamka takut yang berlebihan adalah penyakit yang
timbul dari jubun. Hawa kemarahan badan sudah terlalu dingin dan
beku. Oleh sebab itu timbulah ketakutan. Misalnya ada Orang yang
enggan berniaga karena takut rugi, hendaklah diobati dengan perasaan,
bahwa jatuh miskin itu bukanlah penyakit, yang jadi penyakit disini
adalah ketakutan. 48

3. Menjaga Kesehatan jiwa


Gangguan kesehatan jiwa sebagian besar disebabkan oleh tekanan,
pengalaman-pengalaman emosional dan konflik batin. Penyakit jiwa yang
telah dijelaskan di atas apabila tidak diobati maka akan berakibat tidak
baik bagi perkembangan psikologis. Oleh karena itu sangat perlu adanya
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dari sifat-sifat tercela kemudian dihiasi
dengan sifat-sifat terpuji. Sebagaimana yang telah dijelaskan Hamka di
atas.
48

HAMKA, Tasawuf , h. 161.

63

Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa menjaga kesehatan jiwa


yang paling utama adalah dengan beriman kepada Allah. Berikut adalah
ungkapan Hamka tentang menjaga kesehatan jiwa dalam bukunya taswauf
Modern.
Rukunya yang pertama adalah beriman dengan Allah. Tetapi iman
itu tidak ada artinya kalau tidak kelihatan bayanganya, padahal
ehwal setiap hari, atau pada hubungan antara kehidupan dengan
alam. Tampak alamatnya pada kerinduan yang terbit dari cinta
dan cinta yang memperhubungkanya dengan hayat, dan dengan
cita-cita yang menghubungkan engkau dengan alam.49
Hal ini diperkuat oleh pendapat

Dr. M Usman Najati dalam

bukunya EQ dan SQ dari Sunnah Nabi yang mamaparkan bahwa iman


dapat memperkuat sisi ruhaniyah manusia. Iman, tauhid dan ibadah kepada
Allah menimbulkan sikap istiqomah dalam perilaku. Di dalamnya terdapat
pencegahan

dan

terapi

penyembuhan

terhadap

penyimpangan,

penyelewengan serta penyakit jiwa. 50


Belakangan sejumlah psikolog kontemporer seperti William James,
Carl G. Jung, A.A Brill, Henri Link, mulai menyadari pentingnya
memasukan

aspek

agama

dalam

kesehatan

jiwa.

Mereka

juga

mengisyaratkan peranan penting yang dilakukan oleh iman dalam


memberikan kedamaian dan ketenangan dalam jiwa dan dalam
menghancurkan perasaan gelisah serta keguncangan jiwa.51
Allah berfirman:



Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk (Q.S Al An am: 82).
49

HAMKA, Tasawuf , h. 275.


M Utsman Najati, Belajar SQ dan EQ dari sunah Nabi, Cet VI, (Jakarta: Hikmah,
2003) h. 100.
51
Najati, Belajar SQ dan EQ , h. 4.
50

64

Selanjutnya Hamka berpendapat bahwa untuk menjaga kesehatan jiwa


perlu diperhatikan lima perkara:
1. Bergaul dengan Orang-orang Budiman
Hamka menegaskan dalam buku tasawuf modern untuk menjaga
kesehatan jiwa, hendaklah begaul dengan orang-orang yang berbudi.
Orang-orang yang dapat dikutip manfaat daripadanya. Jangan bergaul
dengan orang-orang yang durjana, akan tetapi jika suatau saat kita terpaksa
bergaul dengan golongan itu, maka hendaklah membuat isyarat yang bisa
dipahamkan mereka, bahwa kita tidak setuju dengan perbuatan dan
kelakuan mereka. Karena biasanya kotoran budi yang kita saksikan akan
melekat kepada kita, dan amat susah buat membasuhnya sekaligus, Bahkan
kadang-kadang orang yang utama bisa tertarik oleh orang yang tidak
utama, apalagi bila keutamaan baru saduran, belum lekat sampai ke
sanubari.
Dari penjelasan Hamka diatas dapat dipahami bahwa menjaga
pergaulan amatlah penting untuk menjaga kesehatan jiwa, karena pergaulan
yang baik akan membawa kita baik, tapi jika bergaul dengan orang yang
tidak baik maka akan terbawa kepada hal yang buruk.
2. Membiasakan Pekerjaan Berfikir
Untuk menjaga kesehatan jiwa, maka perlu pengasahan otak setiap
hari, karena jika dbiarkan menganggur berfikir, akan ditimpa sakit dan
menjadi bingung. Orang yang kuat berfikir akan menjadi hikmat. Jika besar
kelak ia akan menjadi bintang pergaulan yang gemerlapan. Demikian
pendapat Hamka.
3. Menahan Syahwat dan Marah
Nafsu manusia tidak ubahnya seperti binatang tunggangan yang
tidak patuh yang hendak menguasai dan membangkang kepada
penunggangnya. Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa supaya batin
sehat, hendaklah dikungkung jangan sampai terpengaruh oleh kekuatan
syahwat dan marah.

65

Supaya nafsu terpelihara, hendaklah orang berjuang menyingkirkan


perangai yang rendah. Biasakan tidak menyetujui jika orang lain
mengerjakanya, biasakan membentuk diri dalam keutamaaan. Menurut
Hamka yang paling berbahaya untuk kesehatan rohani adalah memandang
murah kejahatan yang kecil, karena kejahatan yang kecil merupakan pintu
bagi kejahatan yang besar.
4. Memeriksa Cacat-cacat Diri Sendiri
Memeriksa cacat-cacat diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan
introspeksi adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat
yang penting bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahanya.Bila
orang tidak mempunyai penasihat dari dalam dirinya, maka nasihat apapun
tidak bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari
nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain.
Dialah yang lebih mengenal dirinya jauh dari siapapun.52
Hamka berpendapat tiap-tiap orang takut akan cacat dirinya. Di sini
nyata bahwa manusia tidak ingin kerendahan, semua suka kemuliaan.
Tetapi jarang orang yang tidak tahu akan aibnya, dan tidak tahu akan aib
diri sendiri menurut Hamka adalah aib yang sebesar-besarnya. Oleh karena
itu introspeksi adalah hal yang penting untuk dilakukan guna mendidik diri
dan membersihkan jiwa, Allah SWT berfirman di dalam surah al-Qiyamah
ayat 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia
mengemukakan alasan-alasanya.
5. Tadbir, menimbang sebelum mengerjakan (bekerja dengan teratur)
Sebelum masuk kepada pekerjaan hendaklah difikirkan dahulu
manfaat dan madhorotnya, akibat dan natijahnya. Hamka berpendapat
pekerjaan yang tidak dimulai dengan pertimbangan bisa menghabiskan
masa dan umur. Maka jika mengerjakan pekerjaan yang tidak berfaedah,
hendaklah hukum diri atas kesalahan tersebut. Dalam hal ini Hamka
52

Khalil Al Musawi, Bagimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep Sederhana


dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, penerj. Ahmad Subandi (Jakarta: Lentera,
1999), h. 67.

66

mencontohkan jika terdorong sembahyang terlalu cepat, sehingga


menghilangkan khusu hukumlah diri supaya sembahyang lebih lambat
dari yang biasa.

53

Demikian Hamka menjelaskan tentang kesehatan jiwa dan obatnya.


Hal ini sejalan dengan apa yang kemudian dikenal dalam dunia tasawuf
dengan istilah takhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat buruk), tahalli
(menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia) dan tajalli (membuka hijab
dengan Allah Swt), meskipun dalam hal ini buku Tasawuf Modern belum
terlalu menyentuh ke dalam ranah tajalli.
Jiwa (nafs) dalam diri manusia bersifat tidak tetap, sebagaimana
hati yang juga bias berubah-ubah, ia bisa menjadi nafsul muthmainnah
(jiwa yang bersih) atau nafsul lawwaamah (jiwa yang kotor). Supaya jiwa
tetap suci, maka manusia perlu menjaga kesehatan jiwanya. Pendidikan
spiritual yang lebih dikenal dengan istilah tazkiyyatun nafs adalah salah
satu cara untuk menjaga dan mensucikan kembali jiwa dari penyakitnya.
Meskipun dalam penjelasannya tentang tazkiatun nafs Hamka
hanya menyebutkan iman dan lima perkara sebagai cara untuk menjaga
kesehatan jiwa, tapi tentu saja dengan keimanan yang teguh kepada Allah
seorang manusia akan terus menghiasai dirinya dengan taat kepada Allah
dengan cara beribadah, dan dari ibadah yang ikhlas maka akan tercermin
pada dirinya sifat-sifat yang terpuji dan mulia.

D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam


Buku Tasawuf Modern karya Hamka yang pertama kali dibukukan
pada tahu 1939 ini memang tidak membahas tetang pendidikan secara spesifik.
Tidak ada bab ataupun sub bab yang menerangkan tentang teori pendidikan,
metode pendidikan ataupun hal lainnya yang berkaitan dengan pendidikan
formal secara eksplisit.
Buku yang pada awalnya adalah kumpulan tulisan pada sebuah rubrik
majalah Pedoman Masyarakat ini secara umum membahas tentang masalah53

Hamka, Tasawuf Modern., h. 142

67

masalah tasawuf dengan tema-tema seperti, iman, akhlak, bahagia, jiwa dan
lain sebagainya yang berhubungan dengan kajian tasawuf.
Dalam bukunya ini, Hamka memotret tentang fenomena banyaknya
ummat Islam yang mengalami kekeringan spiritual dan kebingungan dalam
menghadapi kehidupan dan cara menggapai kebahagiaan, meskipun secara
formal mereka mengaku sebagai penganut Islam. Di sisi lain banyak praktekpraktek spiritual atau tasawuf yang disinyalir berbenturan dengan syariat dan
ubudiah Islam. Maka dengan tulisan Tasawuf Modern yang banyak membahas
kehidupan keseharian mayoritas masyarakat ini Hamka bermaksud meluruskan
dan menyuguhkan Tasawuf yang sesungguhnya yang tidak berbenturan
dengan syariat. Hamka mendefinisikan tasawufnya dengan mengutip definisi
tasawuf dari al-Junaidi, yaitu keluar dari budi, perangai tercela dan kepada
budi, perangai terpuji.54
Sebagaimana penulis telah jelaskan pada bab I tentang perumusan dan
pembatasan masalah, penulis telah membatasi dan merumuskan penyusunan
skripsi ini seputar nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku
Tasawuf Modern karya Hamka.

Maka dari itu penulis melihat adanya

relevansi yang signifikan antara isi buku Tasawuf Modern dalam konteks nilainilai pendidikan Islam.
Sebagaimana kita ketahui, pendidikan Islam memiliki misi untuk
membentuk peserta didiknya menuju manusia paripurna (insan kamil), ialah
protope pribadi mulia secara lahir dan batin seperti pribadi Muhammad Saw.
Sebagai upaya mewujudkan misi besar tersebut, maka dalam prosesnya
setidaknya pendidikan Islam harus memiliki dua dimensi, yaitu pertama,
dimensi dialektika horizontal

terhadap sesama manusia. Kedua, dimensi

dialektika vertical (ketundukan kepada Allah).55


Selain itu, pendidikan Islam juga memiliki tujuan untuk semata-mata
hanya beribadah kepada Allah, sesuai dengan tujuan dan peranan hidup

54

HAMKA, Tasawuf , h. 13.


Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,2008), h. 116.
55

68

manusia di sisi Allah.56 Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat AdzDzariyat ayat 56 yang artinya: Dan tidaklah aku menciptakan jin dan
manusia melainkan supayamereka menyembahku.
Dari keterangan di atas, maka menjadi sebuah konsekuensi bahwa
dalam kerangka ideal pendidikan Islam, baik dalam materi, metode ataupun
proses pendidikannya harus memiliki muatan nilai-nilai Islam, sebagai upaya
mewujudkan misi dan tujuan pendidikan Islam. Terlebih Hamka banyak
mengutarakan metode bagaimana caranya memperkuat keimanan, akhlak dan
spiritual dalam bukunya Tasawuf Modern.
Dalam konteks tersebut, buku Tasawuf Modern sebagaimana telah
dibahas secara singkat pada bab sebelumnya mengandung penjelasan dan
pembahasan yang cukup eksplisit terhadap kajian nilai-nilai Islam. seperti
telah diuraikan sebelumnya, penulis mengklasifikasikan pembahasan nilainilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern ke
dalam tiga pokok pembahasan, yaitu penidikan keimanan (aqidah Islamiah),
pendidikan akhlak dan pendidikan spiritual (tazkiyatun nafs).
Penjelasan mengenai bahagia, keimanan, akhlak dan spiritual
sebagaimana telah penulis bahas pada bab ini dan bab sebelumnya adalah
beberapa tema yang merefresentasikan nilai-nilai pendidikan Islam, dan hal
tersebut sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan Islam yaitu untuk
mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk
berakhlak mulia.57

56

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya


media,1992), h. 14.
57
HAMKA, Lembaga Hidup, h. 190.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagaimana telah dibahas oleh penulis pada bab-bab sebelumnya,
dalam buku Tasawuf Modern Hamka menjelaskan beberapa nilai-nilai Islam
yang penting untuk dilaksanakan dan diajarkan, dan hal-hal tersebut secara
prinsip memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dalam pendidikan Islam.
Adapun nilai-nilai tersebut adalah:
1. Pendidikan Keimanan (aqidah Islamiyah)
Nilai pendidikan keimanan terlihat dalam pemaparan Hamka dalam
bab al-Iman, Hamka menjelaskan pengertian al-Iman dan bagaimana cara
untuk menjaga serta meningkatkan iman kita kepada sang khalik
diantaranya adalah dengan banyak membaca al quran, menelaah hadits
Nabi dan merenungkan penciptaan Allah yaitu alam semesta. Selain itu
Hamka juga memaparkan tentang inayat ilahi yang bisa membangkitkan
keimanan kita kepada Allah SWT.
2. Pendidikan Akhlak
Tasawuf Hamka merupakan tasawuf akhlaki, banyak sekali nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku ini. Hamka sependapat
dengan imam Al Ghazali bahwa syajaah, iffah, adil dan hikmat adalah
induk budi pekerti, Kemudian hamka menyebutkan bahwa untuk mencapai
keutamaan budi harus memenuhi tiga rukun yaitu dengan tabiat,

69

70

pengalaman dan pengajaran. Menurut Hamka Hawa nafsu yang bisa


merusak akhlak harus dikungkung dan diperangi.
Di dalam buku ini juga kaya dengan penjelasan macam-macam
akhlakul karimah seperti, malu, sidiq, amanat, ikhlas, qonaah dan
tawakal yang bisa dijadikan sumber dan memperkaya khazanah
pendidikan Islam.
3. Pendidikan Spiritual
Buku Tasawuf Modern terkenal dengan pengobat dan penentram
jiwa, menurut Hamka jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya.
Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Pendidikan
spiritual dalam buku Tasawuf Modern terlihat dalam pembahasan tentang
kesehatan jiwa, meskipun penjelasan Hamka tidak selengkap dan sejelas
ulama-ulama terdahulu dalam menjelaskan tazkiyatun nafs, tapi penjelasan
Hamka tentang kesehatan jiwa ini mudah dipahami dan mudah
diaplikasikan, karena uraianya mudah dimengerti dan sederhana.
Disini Hamka memaparkan bagaimana cara menjaga kesehatan
jiwa, serta tentang penyakit hati dan obatnya. Hamka juga menjelaskan
bahwa untuk menjaga kesehatan jiwa salah satu caranya adalah dengan
memperteguh keimanan kepada Allah SWT, bergaul dengan orang
budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah,
bekerja dengan teratur dan memeriksa cacat diri sendiri.
Dari semua pembahasan pada skipsi ini, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa buku Tasawuf Modern karya Hamka sangatlah kaya
dengan nilai-nilai Islam yang relevan dengan prinsip nilai-nilai yang
terkandung dalam pendidikan Islam, atau dengan kata lain terdapat nilai-nilai
pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern. Selain itu, buku tersebut juga
disuguhkan secara sederhana, sehingga sangat applicable untuk dipraktekan
oleh siapapun, termasuk bagi anak didik yang rata-rata berusia dini dan muda.

71

B. Saran
Sebagaimana tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah
mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk
berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak
dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya, penulis menyarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam saat ini hendaknya tidak hanya mementingkan aspek
jasmaniyah tetapi juga harus memperhatikan sisi rohaniyah, sehingga
pendidikan yang bervisi spiritual bisa terwujud.
2. Kepada para pendidik diharapkan tidak hanya mengajarkan nilai yang
bersifat teoritis, yang menekankan pada hafalan dan pemahaman saja,
tetapi lebih dari itu pendidik seharusnya mengajarkan nilai yang esensial
tentang makna serta ruh dari pembelajaran pendidikan Islam itu sendiri.
Maka perlu konsep serta perencanaan yang matang dari para pendidik.
3. Standar akhir dari sebuah proses pendidikan sudah selayaknya tidak lagi
diukur dari standar kuantitatif semata, tapi juga harus dilihat dari standar
kualitatif, yang salah satunya dari sejauh mana peserta didik dapat
menginternalisasi nilai-nilai pendidikan Islam ke dalam setiap individunya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Meaningful Learning, (Yogyakarta: pustaka pelajar 2007).


Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Quran,
(Jakarta:Rieneka Cipta, 2007).
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,1992).
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta,
2001).
Al-Ghazali, Muhammad, Nazhariyah al Tarbiyah al-Islamiyah li al Fard wa al
Mujtama, (Makkah al Mukarramah; Jamiah Umm al Qura, 1400 H).
Al-Hufy, Ahmad Muhammad, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan
Keluhuranya, (Jakarta: Bulan Bintang) .
Al-Maududi, Abul Ala, Menuju Pengertian Islam, Terj. Amirudin Jamil, cet 1
(Bandung: CV. Sulita, 1967).
Al-Munajjid, Syekh Muhammad Shalih, Jagalah Hati Raih Ketenangan,
penerjemah: Saat Mubarak, cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006).
Al-Musawi, Khalil, Bagimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep
Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, penerj.
Ahmad Subandi (Jakarta: Lentera, 1999).
Al Qarni, Aid, Berbahagialah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2006).
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1992).
An-Naisabury, Imam Qusyairi, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf,
Anwar, Rosihon dan. Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2006).
Aqil Siroj, Said, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2006).
Ardani, Moh, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra
cahayaUtama)
Arief, Armai Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002).

72

73

Arifin, H.M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan


Bintang, 1976).
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan
Dirjen Lembaga Islam Depag RI, 1992).
-------, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Jakarta
Khairul Bayan,2005).
F.N, Ridjalaludin, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat
Kajian Islam FAI UHAMKA, 2008).
Gazalba, Sidi, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid
1(Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979).
-------, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992).
-------, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985).
-------,Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1993).
-------, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987).
Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka
Panjimas: 1983) .
Hawwa, Said, Mensucikan Jiwa (KOnsep tazkiyatun nafs Terpadu: Intisari Ihya
Ulumudin Al Ghazali, (Jakarta: Rabbani Press, 1998).
-------, Said, Mensucikan jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu, Cet. Ke-25
(Jakarta: Robbani Press, 2000).
-------, Said, Tarbiyatuna Al Ruhiyah, (Kairo; Maktabah al wahbah,1992).
Ihsan, Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, cet.2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan
Islam, (Friska Agung Insani, 2000).
Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001).
Khalil, Ahmad, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press,2007).

74

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Maarif,


1989).
Maududi, Abu Ala, Iman dan Ketaatan, Cet ke 1 (Darul Ulum Press, 1990).
MC. Donald, Frederick J, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication
LTD,1959).
Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004).
Muhammad, M. Ahmad Qadir, Metodologi Pendidikan Agama islam, (Jakarta:
Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, 1985).
Nasution, Harun, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,
1973).
Najati, M Utsman, Belajar SQ dan EQ dari sunah Nabi, Cet VI, (Jakarta:
Hikmah, 2003).
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997).
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,2008).
Qordhawi, Yusuf, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiyah, cet ke 2
(Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2000).
Raharjo, M. Dawam , Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa,
(Bandung: Mizan, 1993).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002).
Saepudin, A.M, Desekularisasi Pemikiran
Mizan,1991).

Landasan Islami, (Bandung:

Shihab, M. Qurais wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996)


SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo
Persada, 1997).
Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008).
Soenardjo, RHA, et. al, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Al Waah,
1993).
Solikhin, Muhammad, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004).

75

Suakidi, Kecerdasan Spiritual, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).


Sulaeman, Fatiyah Hasan, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj.
Fathurrahman, (Bandung : Al maarif, 1986).
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Seharihari, (Ciputat: Penerbit pustaka Irvan: 2003).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II
(Jakarta:Balai Pustaka, 1994).
Tebba, Sudirman, Hidup Bahagia Para sufi, (Jakarta:Pustaka Irvan, 2007).
-------, Orientasi Sufistik Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2004).
-------, Sehat lahir batin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004).
Thoha, HM. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).
Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003).
Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam tasawuf, Cet. 2, (Bandung; Pustaka
Hidayah, 1997).
Z, Zurinal dan Sayuti, Wahdi, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar
Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press).
Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995).

Anda mungkin juga menyukai