Anda di halaman 1dari 99

ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA

AHMAD TOHARI ( SOSIOLOGI SASTRA )

Oleh

IRNAYANTI
A11118022

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana


Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
ANALYSIS OF AHMAD TOHARI'S NOVEL
RONGGENG DUKUH PARUK
(SOCIOLOGY OF LITERATURE)

IRNAYANTI

SKRIPSI

Submitted as a partial fulfillment of the requirements for the degree of


Sarjana Pendidikan at Indonesian Language Education Study Program
Language and Art Education Department
Teacher Training and Education Faculty
Tadulako University

INDONESIAN LANGUAGE EDUCATION STUDY PROGRAM


LANGUAGE AND ART EDUCATION DEPARTMENT
TEACHER TRAINING AND EDUCATION FACULTY
TADULAKO UNIVERSITY
2022
ii
vi
ABSTRAK

Irnayanti, 2022. Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad


Tohari(Sosiologi Sastra). Skripsi, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Tadulako. Pembimbing Dr. Agustan, M.Pd
Permasalahan penelitian ini adalah memaparkan nilai-nilai sosiologi sastra
yang terdapat pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Penelitian menggunakan teori struktural meliputi. Alur, perwatakan, latar, sudut
pandang, tema, dan sosiologi sastra yang akan melihat nilai-nilai kemanusiaan
yang terdapat didalamnya yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan
politik. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu membuat fakta-
fakta penginderaan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-
sifat populasi atau daerah tertentu. Teknik penelitian adalah studi perpustakaan
(library research) yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada
penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui
buku-buku. Tema novel ini adalah lika-liku kehidupan seorang ronggeng. Cerita
disusun dalam bentuk alur flash back dengan sudut pandang multiple (campur
aduk).

Kata Kunci : Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk ( Sosiologi Sastra )

iv
ABSTRACT

Irnayanti. 2022. Analysis of Ahmad Tohari's Novel Ronggeng Dukuh Paruk


(Sociology of Literature). Skripsi. Bachelor Degree. Indonesian Language
Education Study Program, Language and Art Education Department, Teacher
Training and Education Faculty, Tadulako University. Under the supervision of
Agustan.

The research objective is to describe the sociological values of literature


discovered in Ahmad Tohari's novel Ronggeng Dukuh Paruk. This research
employed structural theory entails plot, character, setting, point of view, theme,
and sociology of literature that will perceive the human values inherent in it,
notably the environment, love, marriage, culture, and politics. The descriptive
approach was adopted, which is used to make sense of facts about a specific
population or location thoroughly and accurately. The research employed the
library method, which was done in the library room. The novel was used to
collect data and information regarding the subject of investigation for this study.
The novel's theme is the ups and downs of a ronggeng's existence. The plot is
structured as a flashback plot with many (mixed) points of view.

Keywords: analysis, Ronggeng Dukuh Paruk novel, sociology of literature.

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirahmanirahim

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas petunjuk dan
kehendak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai karya
tulis utama dalam menyelesaikan studi S-1 pada Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas
Tadulako. Tugas akhir ini berjudul “ Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari ( Sosiologi Sastra )”.
Selama dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari
pihak, baik berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk
praktis, maupun bantuan material,dari dosen pembimbing, khususnya peran
mama, kakak, adik, serta keluarga terdekat sangat besar pengaruhnya dalam setiap
hari yang penulis lewati selama penyusunan skripsi ini.Oleh sebab itu, dengan
rasa bangga dan haru penulis mengucapkan terima kasih kepada Alm. Papa dan
Mama tercinta dan terkasih Alm. Irwan dan Badaria yang selama ini sudah
banyak bersusah payah menyekolahkan hingga diperguruan tinggi, kasih sayang
yang selama ini sudah diberikan, membimbing, serta telah berusaha menyediakan
fasilitas serta dukungan doa motivasi untuk tetap terus melanjutkan kuliah
hinggah akhir.
Sebagai wujud rasa bangga dan bahagia, dengan penuh kerendahan hati
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Mahfudz M.P., Rektor Universitas Tadulako.


2. Dr. Ir. Amiruddin Kade, S.Pd., M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Tadulako.
3. Dr. H. Nurhayadi, M.Si Wakil Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Tadulako.
4. Abdul Komaruddin, S.Pd., M.Ed., Ph.D. Wakil Dekan Bidang Umum dan
Keuangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

vi
5. Dr. Iskandar M. Hum. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
6. Dr. Hj. Sriati Usman, M. Hum. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
7. Dr. Ida Nur‟aeni, S.Pd.,M.Pd. Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
8. Dr. Ulinsa, M.Hum., Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, atas kesempatan yang diberikan dalam mengikuti
Program S-1 di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
9. Dr. Agustan, M.Pd., pembimbing yang telah membantu penulis dalam
mengikuti dan menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Tadulako.
10. Drs. Efendi, M.Pd., dosen wali dan penguji I yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan dan arahan selama seminar maupun
ujian skripsi.
11. Drs. Pratama Bayu Santosa, M.Si., penguji II yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan dan arahan selama seminar maupun
ujian skripsi.
12. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Tadulako yang telah memberikan ilmu pengetahuan
yang tak ternilai selama penulis menempuh Pendidikan di Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
13. Kedua orangtua penulis, Alm. Irwan dan Badaria, yang selalu memberikan
dukungan maupun doa serta atas kesabaranya yang luar biasa dalam setiap
langkah penulis.
14. Pihak Bidikmisi yang telah membiayai penulis dalam masa studi di
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tadulako.
15. Muhamad Mulia dan Yani Irmawanthy orang tua ke dua penulis
diperantauan yang selalu memberikan nasehat dan tempat tinggal di kota
palu .

vii
16. Adrina S.Pd, kakak bagi penulis yang selalu memberikan motivasi, arahan
maupun masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
17. Saimul, teman baik penulis yang selalu memberikan dukungan serta
semangat bagi penulis untuk selalu optimis terhadap segala hal agar bisa
membanggakan kedua orang tua penulis.
18. Teman-Teman penulis di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, fivin, Hizkia Sampelobo, Itapuspa, Devi Rizki Amalia Putri,
dan Warga kelas A Bastra yang selalu membersamai penulis dan
memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
19. Noviantika teman kamar diperantauan. Terimakasih atas dukungannya,
dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas-tugas di masa
Studi.
20. Keluarga tersayang Om, tante, nenek, kakek,adik-adik penulis yang selalu
mendukung dan memberikan doa, sehingga penulis mampu mencapai
tahap ini.
21. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebut, atas segala bantuan dan
motivasi bagi penulis mengucapkan terima kasih.

Meyadari sebagai manusia yang tidak terlepas dari kesalahan kekhilapan,


wajar kiranya penulisan karya tulis ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, saran, dan kritik demi penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan dari
segenap pembaca. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi perkembangan
Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya di Palu.
Akhirnya kepada Allah penulis kembalikan segalanya dan semonga Allah
SWT meridai segala kegiatan kita. Amin!

Palu, April 2022

Penulis

IRNAYANTI
A 111 18 022

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACK v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 7

1.4 Manfaat Penelitian 7

1.5 Batasan Istilah 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan 9

2.2 Kajian Pustaka 11

2.2.1 Pengertian Analisis 11

2.2.2 Pengertian Sosiologi Sastra 11

2.2.3 Konsep Sosiologi Sastra 14

2.2.4 Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat 15

2.2.5 Pengertian Strukturalisme 17

ix
2.2.6 Pengertian Ekstrinsik 18

2.3 Kerangka Pemikiran 21

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian 22

3.2 Jenis dan Sumber Data 23

3.3 Teknik Pengumpulan Data 23

3.4 Teknik Analisis Data 23

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil disertai Pembahasan 25

4.1.1 Analisis Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk 25

4.1.1.1 Alur 25

4.1.1.2 Perwatakan 33

4.1.1.3 latar 46

4.1.1.4 Sudut Pandang 49

4.1.1.5 Tema 50

4.1.2 Analisis Sosiologi Sastra 54

4.1.2.1 Lingkungan 54

4.1.2.2 Cinta 57

4.1.2.3 Perkawinan 59

4.1.2.4 Budaya 61

4.1.2.5 Politik 65

x
BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan 67

5.2 Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 72

ix
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar

2.1 Bagan Kerangka Pemikiran 21

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran

1. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari 72

2. Biografi Pengarang 80

3. Sk Penetapan Pembimbing 82

4. Surat Pernyataan Keaslian Penulisan 84

5. Biodata Penulis 85

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu karya sastra diciptakan oleh para sastrawan untuk dapat dinikmati,

dipahami dan dimanfatkan masyarakat.Karya sastra disamping sebagai alat untuk

menghibur juga dipakai alat pendidikan atau dengan kata lain ,karya sastra juga

dapat menjadi sarana moral bagi manusia.

Sastra sebagai sebuah teks tidak dapat melepaskan diri dari peran pengarang

dan lingkungan terciptanya karya sastra. Elemen-elemen karya sastra, seperti

pengarang dan lingkungannya yang terintegrasi dengan budaya yang diangkatnya

menjadikan karya sastra dapat dipandang sebagai gambaran sosial masyarakat

pada waktu tertentu yang berhubungan dengan masalah sosial. Novel menjadi

salah satu karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar di sekolah, khususnya

kelas XII Sekolah Menangah Atas. Melalui novel, siswa dapat memetik hal-hal

positif yang terkandung dalam novel tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai

pendidik selain guru. Materi ajar novel secara tersurat dimuat dalam komposisi

Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum 2013 revisi 2016. Materi tersebut termuat

dalam KD 3.1 dan 4.1. KD 3.1 memuat materi yang mengharuskan siswa

memenuhi kompetensi dalam mengidentifikasi informasi, yang mencakup

orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi,

dalam cerita sejarah (novel) lisan atau tulis, dan KD 4.1 siswa diharuskan

memenuhi kompetensi mengonstruksi nilai-nilai dari informasi cerita sejarah

dalam sebuah teks eks-planasi.

1
Karya sastra merupakan cerminan dari sebuah realitas kehidupan

masyarakat.Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat–sifat yang abadi dengan

memuat kebenaran–kebenaran yang hakiki yang selalu ada selama manusia masih

ada (Sumardjo dan Saini K.m, 1991;9) kenyataan yang ada didalam karya sastra

tidak harus sama dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat karena karya

sastra merupakan dunia yang dituangkan dalam bentuk kata–kata, hal ini tidak

lepas dari misi atau amanat dalam karya sastra itu sendiri yaitu sebagai hiburan

yang bermanfaat.

Kesadaran para sastrawan untuk mentransformasikan nilai–nilai budaya

kedalam karya sastra mengungkapkan dasar tradisional dan konflik nilai budaya

dalam penghayatan manusia moderen (Teeuw,1988:12). Salah satu ciri tradisional

yang masih tercermin adalah digunakannya bahasa daerah serta bahasa asing

untuk mengungkapkan atau mengucapkan istilah–istilah tertentu. Permasalahan–

permasalahan istilah pada sebuah karya sastra yang berbahasa daerah maupun

bahasa asing dapat dilakukaan dengan cara memberikan catatan kaki.Ciri

tradisional lain yang masih dijumpai dalam karya sastra adalah pola pikir yang

masih dipengaruhi adat atau kebudayaan daerah. Pertentanggan adat sering timbul

jika memandangnya dari sudut yang berbeda. Adat istiadat daerah tidak dapat

ditinggalkan, tetapi bukan bearti adat–istiadat tersebut menjadi pasangan hidup

yang harus dipegang teguh karena terbentur perkembangan zaman. Oleh karena

itu beberapa penggarang kita selalu meletakkan budaya dan adat istiadat suatu

daerah kedalam karya sastra yang diciptakannya .

2
Pada dasarnya, karya sastra mengungkapkan persoalan manusia. Dalam hal

ini seorang sastrawan membutuhkan pengetahuan sosiologi secara teoritis untuk

mengungkapkan atau memecahkan masalah itu dalam karyanya Sastrwan adalah

anggota masyarakat yang secara langsung mengetahui bagaimana keadaan atau

apa yang telah terjadi dilingkungan sosial. Kondisi dan permasalahan sosial yang

terjadi dalam kenyataan sehari–hari itu membangkitkan rangsangan imajinasi sang

sastrawan untuk megungkapkan permasalahan sosial itu dengan sudut pandang

tertentu sehingga lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Dengan kata lain,

sebuah karya sastra tidak mutlak, mencerminkan seluruh aspek kehidupan atau

kenyataan sosial sehari– hari. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan

masyarakat merupakan pengkajian sosiologi sastra.

Berangkat dari kerangka hubungan pengarang, karya sastra, dan masyarakat,

berapa ahli telah mencoba membuat suuatu klasifikasi atau ruang lingkup

pendekatan sosiologi sastra. Para ahli tersebut sepakat bahwa sosiologi sastra

dapat menelaah tiga faktor yaitu :1).keadaan sosial pengarang, 2) keadaan sosial

yang tergambar dalam karya sastra,3) keadaan sosial pembaca sastra. Ruang

lingkup ini secara lengkap akan dijelaskan melalui pendapat ahli Rene Wellek dan

Austin Warren (dalam Damano, 1984 : 3) yang membuat klasifikasi sosiologi

sastra sebagai berikut .

1.Sosiologi pengarang yang memasalahkan sttus sosial , ideologi sosial ,dan lain–

lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra .

3
2.Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan menjadi

pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang

menjadi tujuannnya .

3.Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra

Berdasarkan klasifkasi tersebut diatas peneliti ini akan menitikberatkan

permasalahan pada klasifikasi yang kedua yaitu Sosiologi karya sastra yang

memasalahkan karya sastra itu sendiri sebagai objek kajian dan penelitian. Objek

kajian penelitian ini adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.

Yang diterbitkan pada tahun 1981. Ahmad Tohari lahir didesa Tinggar Jaya

,Banyumas, 13 Juni 1948. Novelnya yang pertama Di Kaki Bukit cibalak ditulis

pada 1977.Kemudian novel Kubah terbit pada 1980 yang dinyatakan sebagai

karya fiksi terbaik tahun tersebut oleh Yayasan Buku Utama. Pada tahun 2003

novel trilogi menjadi satu novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Sebelum

gramedia berani menerbitkan novel tersebut lengkap dengan bagian yang hilang,

pada 2002 novel ini telah diterbitkan di Swedia.

Didalamnya mengisahkan tetang sebuah desa Dukuh Paruk yang

mengaggap bahwa ronggeng merupakan simbol harkat, derajat, dan martabat dari

desa tersebut. Seorang ronggeng merasa bangga jika ia bisa tidur dengan banyak

lelaki dan mampu menaklukannya. Bahkan seorang ayah yang mempunyai anak

laki – laki yang akan menikah bersediah menyerahkan anaknya untuk tidur

dengan seorang ronggeng untuk mendapatkan keahlian sebagai suami ditempat

tidur agar dapat melayani dan memuaskan istrinya. Masyarakat Dukuh Paruk

4
tidak ingin mengubah pola hidup desanya yang kuno dan lekat dengan

kemelaratan serta kesegsaraan.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad tohari berhasil menunjukkan

kepada pembaca bahwa seorang perempuan menghibur yang mengumbar erotisme

tidak termarjimalkan masyarakat setempat. Banyumas sebagai kota kelahiran

Ahmad Tohari dikenal dengan ronggeng atau lengger yang sering kali mejadi

kebanggaan desanya, terutama sebelum peristiwa politik 1965. Seksualitas

perempuan yang biasanya tabu untuk tampil di hadapan publik, menjadi ajang

pengakuan bagi seorang ronggeng dalam trilogi ini.Masyarakat sangat terbuka

menerima ronggeng dalam kehidupan mereka, bahkan dianggap sebagai duta

perempuan dalam dunia laki – laki. Kenyataan bahwa para isrti tidak cemburu jika

suami menari ataupun berhubungan dengan ronggeg bukanlah hanya cerita

fiksi.Ahmad Tohari menjelaskan memang realitas masyarakat saat itu memang

membolehkan suami berhubungan dengan ronggeng.Seorang laik – laki yang

berhubungan dengan roggeng sudah pasti memiliki kejantanan dan uang, dua hal

inilah yang dibanggakan istri dimata masyarakat saat itu. Ahmad Tohari

mengatakan :” Bagi perempuan saat itu, yang penting suaminya tidak dibawah

pergi sang Ronggeng “.

Melalui novel ini Ahmad Tohari menggambarkan toleransi masyarakat

yang tinggi dalam perbedaan elemen yang ada.Keberadaan Ronggeng tidak

terganggu ataupun mengganggu kelompok masyarakat lain,yaitu agamawan.

Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir diseluruh Jawa dan Betawi

dengan bentuk nama yang berlainan. Dalam sejarah jawa yang terkenal, Stamford

5
Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis tentang ronggeng.

Menurutnya Ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad – abad

di Jawa dan sangat populer dikalangan petani, kesenian ini digelar untuk

mensyukuri panen yang melimpah ( Koentjoroningrat , 1994:45 ).

Fakta dan fiksi dalam cerita Ahmad Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa

tayub dimanfaatkan lekra merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi.

Pembataian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi penelitian para ahli.

Oleh karena itu, kisah ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara

sosiologi sastra dengan memandang unsur intrinsik, ekstrinsik maupun nilai–nilai

kemanusian yang terdapat dalam novel tersebut .Penelitian ini akan sangat

menarik mengingat cara hidup masyarakat yang dituangkan dalam novel tersebut

sangat bertentangan dengan budaya yang ada pada masyarakat indonesia yang

terkenal dengan budaya timurnya. Hal inilah yang membuat peneliti merasa yakin

bahwa peneliti ini layak diangkat.

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah yang

dikaji dalam penulisan ini adalah :

1. Menguraikan unsur – unsur intrinsik ( Struktural ) yang terdapat dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari .

2. Menguraikan unsur – unsur ekstrinsik berupa nilai – nilai kemanusian yaitu

lingkungan , cinta, perkawinan, budaya dan politik yang terdapat dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah pengkajian objek dengan cara mencari unsur –

unsur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (

Pendekatan Sosiologi Sastra).

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini :

1. Mengenalkan novel Ronggeng Dukuh Paruk pada pembaca sebagai karya

sastra yang merupakan novel terbaik sepanjang tahun dan tetap digemari

peminatnya .

2. Mengetahui ragam budaya masyarakat pada saat diciptakannya novel

Ronggeng Dukuh Paruk .

3. Menambah wawasan pembaca khususnya pembaca sastra tentang nilai – nilai

sosiologi sastra dalam novel Ronggeng Duku Paruk.

7
1.5 Batasan Istilah .

1. Analisis adalah suatu upaya untuk memudahkan serta memahami karya sastra

dengan menjiwai dan mengguraikan karya tersebut atas bagian – bagiannya .

2. Sosiologi sastra menurut Sapardi Djoko Damono dalam buku sosiologi sastra

yang mempertimbangkan segi – segi kemasyarakatan,oleh beberapa penulis,

disebut sebagai sastra Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup

berbagai macam pendekatan yang didasarkan pada pandangan teoritis tertentu

Namun, semua pendekatan tersebut menunjukan satu kesamaan yaitu

perhatian terhadap sastra sebagai lembanga sosial yang diciptakan oleh

sastrawan sebagai anggota masyarakat yang hidup didalam sebuah lembanga

sosial tertentu .

3. Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sebuah karya sastra

dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Seperti misalnya , sastra

yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat–cermatnya,

mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian

juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan mencerminkan

masyarakat masih dapat dipergunakan untuk mengetahui keadaan masyarakat.

Hal ini disebabkan karena pandangan sosial pengarang masih diperhitungkan

sebagai cerminan masyarakatnya .

8
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan

Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, namun dalam

penulisan karya ilmiah selalu ada penelitian terdahulu yang mendasarinya.

Penelitian relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penilitian dan

analisis sebelumnya yang telah dilakukan.

Ocviyanti Ahadah (2009) dengan Judul “ Nilai-Nilai Pendidikan dalam

novel ”Mengejar Matahari“ karya Titien Wattimena: Tinjauan Sosiologi Sastra

.Penelitian tersebut berkesimpulan berdasrkan analisis struktural, unsur-unsur

novel tersebut menunjukkan kepaduan dan hubungan yang harmonis dalam

mendukung totalitas makna.Struktur yang membangun novel Mengejar Matahari

antara lain tema,penokohan, alur, dan latar. Nilai–nilai pendidikan yang menonjol

dalam novel Mengejar Matahari karya Titien Wattimene adalah 1.Nilai cinta dan

kasih sayang yang meliputi (a) kasih sayang terhadap sesama, (b) kasih sayang

terhadap keluarga, 2.Nilai Toleransi,3.Nilai kesabaran (mampu mengendalikan

diri),4.Nilai Tanggung jawab.

Titick Purwaningsih (2006) dengan judul “ Perbandingan Nilai Edukatif

dan Karateristik Tokoh Wanita dalam Novel La barka karya N.H Dini dengan

Larung karya Ayu Utami. Tinjauan intertekstual.Penelitian tersebut

berkesimpulan berdasrkan analisis struktur, unsur-unsur kedua novel tersebut

menunjukkan panduan dan hubungan yang harmonis dalam mendukung totalitas

makna.Struktur yang membangun kedua novel tersebut antara lain tema,

9
penokohan, alur, dan latar.Adapun berdasarkan perbandingan nilai edukatif dan

karakter tokoh wanita melalui tinjauan intertekstualitas dapat dikemukakan

kesimpulan bahwa nilai edukatif dalam novel La Barka dan Larung adalah nilai

pendidikan agama, sosial, ,moral, estetika.

Zaroroh (2013) meneliti “ nilai – nilai edukasi dalam novel Perahu Kertas

karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi sastra”. Penelitian ini membahas latar

sosial,dalam penelitian ini adalah latar sosial kehidupan keluarga yang sederhana.

Analisis terhadap novel Perahu Kertas dengan menggunakan pendekatan sosiologi

sastra menemukan nilai-nilai edukasi menonjol diantranya adalah nilai cinta dan

kasih berupa cinta kepada keluarga dan kepada sesama.Nilai penghargaan

ditunjukan oleh penghargaan Kugy kepada keenam yang telah membuatkan

ilustrasi gambar untuk dongengnya: nilai tanggung jawab ditunjukkan oleh sikap

keenam yang bertanggung jawab terhadap keluargannya dan Kugy bertanggung

jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya. Nilai kesederhanaan ditunjukan oleh

sikap Kugy yang menabung untuk membeli buku-buku donggeng .Nilai

kebahagiaan tampak pada sikap Adri dan Lena yang mengetahui bahwa keenam

lulus ujian SNMPTN dan kebahagiaan yang ditunjukkan Kugy saat memberikan

majalah saat memuat cerpennya .

Dalam penelitian terdahulu dan penelitian yang akan dilakukan ini sama-

sama mengkaji tentang Sosiologi Sastra tetapi pada penelitian saat ini akan

memfokuskan dua sisi pendekatan yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik karya

sastra tersebut. Pertama, analisis struktural.Analisis ini melihat unsur – unsur yang

terdapat dalam suatu karya sastra (unsur intrinsik) seperti sinopsis, alur,

10
perwatakan, latar, sudut pandang, dan tema. Kemudian membongkar dan meneliti

karya sastra berdasarkan teks untuk melihat keterkaitan dan keterjalinan semua

unsur dan semua aspek karya sastra ( Teeuw,1988:135 ). Analisis struktural dapat

dijadikan titik tumpu proses penelitian. Selanjutnya analisis struktural merupakan

penelitian yang menganalisis suatu karya satra secara keseluruhan ,baik unsur-

unsur dalam karya sastra ,maupun unsur – unsur diluar karya sastra .

Kedua ,analisis sosiologi sastra . Nilai- nilai sosiologi sastra yang akan

diungkapkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengacu pada unsur

ekstrinsik dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel tersebut yakni

lingkungan ,cinta, perkawinan, budaya, ideologi, dan poitik. Analisis sosilogi

sastra ini akan dilakukan dengan salah satu pendekatan yang diturunkan oleh

Luxemburg dkk (1992:24)yaitu yang diteliti adalah hubungan antara ( aspek-

aspek ) teks sastra dan susunan masyarakatnya. Selain itu juga diteliti sejauh mana

sistem masyarakat serta perubahanya tercermin didalam sastra . Sastrapun

dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat .

Nilai–nilai kemanusian berupa lingkungan, cinta, perkawinan, budaya dan

politik dibahas dalam peneliian ini karena bagian – bagan tersebut sangat

mendominasi isi cerita dan turut serta dalam mengembangakan keseluruhan cerita.

Bagian–bagian tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat yang

membangunnya . Lingkungan merupakan tempat dimana masyarakat berkembang,

cinta, dan perkawinan merupakan media berketurunan, sedangkan budaya dan

politik merupakan bagian yang telah ada semenjak manusia hidup berkelompok .

11
2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Pengertian Analisis

Analisis berasal dari bahasa Yunani, analisis suatu pemeriksaan dan

penafsiran mengenai hakikat dan makna. Pemisah dari satu keseluruhan kedalam

bagian-bagian komponennya.Suatu pemeriksaan terhadap keseluruhan untuk

menggungkapkan unsur–unsur dan hubungan Putrayasa, (2010:19), Analisis

adalah penguraian pokok persoalan atas bagian–bagian tersebut dengan hubungan

entar bagian–bagian untuk mendapat pengertian yang tepat dengan pemahaman

secara keseluruhan.

2.2.2 Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan

masyarakat. Sosiologi berasal dari dua kata Latin yakni Socius yang berarti

„Kawan, masyarakat‟ dan logos bearti „ilmu:kata: berbicara ( Soekanto, 1982:3).

Masyarakat merupakan objek dalam sosiologi yang menghasilkan dalam

suatu kebudayaan yang lahir dari tata cara kehidupan. Dalam sosiologi , kita juga

mempelajari perubahan–perubahan soial dari kelompok manusia tersebut, baik itu

struktur , maupun proses sosialnya. Soemarjan dan Soemardi( dalam Soekanto,

1982 : 17) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur

sosial dalam masyarakat dan proses sosialnya , termaksud perubahan – perubahan

sosial yang ada dalam masyarakat.Sorikin (dalam Soekanto, 1982 : 17)

menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan

pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial ( misalnya antara gejala

ekonomi, dan agama keluarga dan moral, hukum dan ekonomi serta politik)

12
Hubungan timbal balik antara gejala sosial dan nonsisial ( seperti gejala geografis

dan politik, biologi, ekonomi, dan sebagainya).

Selain mempelajari naska, puisi, majalah, dan buku, sastra juga

membicarakan karakteristik seorang tokoh maupun karakteristik suatu bangsa

bahkan kelompok manusia (masyarakat). Melalui sastra, pembaca pada

hakikatnya lebih baik menghayati permasalahan kehidupan dari pada mereka

harus membaca tulisan sosiologi (Teeuw, 1988 : 237). Beberapa ahli

mendefinisikan bahwa sastra adalah pengungkapan dari apa dilihat dan dirasakan

oleh manusia tentang kehidupan ( hardjana, 1981 : 10 ). Menurut Damono ( 1984 :

5),sastra adalah lembanga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya

dan sastra menggambarkan kehidupan yang merupakan kenyataan sosial. Kedua

pendapat tersebut masih sejalan dengan Semi (1988 : 8) yang menyatakan bahwa

sastra adalah suatuu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah

manusia dan kehidupannya denganmenggunakan bahasa sebagai mediumnya .

Dengan demikian kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra

adalah sama–sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Tetapi tidak berarti

kedua bidang tersebut disamakan bengitu saja. Seorang sosiolog hanya dapat

melihat fakta berdasrkan kenyataan yang terjadi didalam masyarakat atau dengan

kata lain hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya. Seorang

sastrawan mampu menembus jauh dari balik kenyataan tersebut. Hal ini terjadi

karena seorang sastrawan dengan kedalaman imajinasi mampu mengungkapkan

keberadaan manusia dalam sebuah kenyataan.

13
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang meempertimbangkan nilai –

nilai sosiologi pada karya sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984 : 4-5)

menjelaskan bahwa kaarya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan

tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilaknnya.

Selanjutnya Wellek dan Austin Warren ( 1989 : 80 ) menyatakan bahwa metode

yang dilakukan dalam menganalisis sebuah karya sastra tidak mungkin dilakukan

hanya satu faktor saja, melainkan juga harus menganalisis karya sastra tersebut

dengan latar belakangnya secara keseluruhan .

2.2.3 Konsep Sosiologi Sastra

Secara etimologis, konsep berasal dari kata theoria (Yunani), berarti

kontemplasi kosmos atau realitas. Setelah mengalami perluasan makna, secara

definitive, konsep diartikan sebagai kumpulan teori yang telah teruji

keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan para ilmuwan

pada satu pihak dan aplikasi dalam penelitian praktis pada penelitian yang lain.

Dalam penelitian, konsep sosial sastra berfungsi untuk mengarahkan dan

petunjuk jalan agar suatu penelitian tidak kehilangan arah. Oleh karena itulah,

menurut Goldmann (dalam Elizabeth dan Tom Burns, 1973 : 111), apabila terjadi

ketidak sesuaian dengan objek dan data penelitian, hal yang dimodifikasikan

adalah konsep, bukan objeknya. Dalam suatu penelitian hendaknya hanya ada satu

konsep dan apabila memanfaatkan lebih dari satu konsep, konsep-konsep lain

berfungsi sebagai subkonsep. Konsep yang valid dapat dioperasikan dibalik gejala

sehingga penelitian memberikan hasil secara maksimal.

14
Konsep penelitian sosiologi sastra sering rancu (berat seblah), antara konsep

sastra dan konsep sosiologi sastra. Banyak penelitian yang mulai binggung ketika

berhadapan dengan penelitian konsep tersebut. Maksudnya apakah akan

menggunakan konsep sastra atau konsep sosiologi sastra. Ratna (2003 : 17-18)

memaparkan masalah konsep sosiologi sastra. Ia juga merunut etimologi kata

konsep itu. Dalam implikasi pernutan, ia mengemukakan beberapa konsep sosial

dan konsep sosiologi sastra yang dapat dipadukan.

Menurut W.B. Yeats (dalam Watt, 1964 : 313), dasar pemahaman sosiologi

sastra, khususnya fungsi sastra, yaitu seni dan sastra adalah refleksi tindakan

sosial manusia. Sastra menjadi potret keadaan sosial maka tugas penelitian

sosiologi sastra adalah menentukan fungsi ajaran dan hiburan karya sastra dalam

bermasyarakat. Tidak hanya fungsi sastra sebagai kebutuhan pribadi, tetapi juga

fungsi sastra yang berhubungan dengan aspek sosial.

2.2.4 Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat.

Sastra merupakan karya kreatif dari sebuah proses pemikiran untuk

menyampaikan ide, pengalaman, dan sistem berfikir atau teori. Hal ini sejalan

dengan yang diungkapkan Hardjan (1981 : 10) bahwa sastra sebagai

pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami dipermenungkan, dan

dirasakan orang mengenai segi–segi kehidupan. Pada hakikatnya, sastra

menggambarkan pada keaadaan manusia dalam masyarakatnya. Permasalahan

kehidupan lebih dapat dirasakan dalam novel dari pada kita harus membaca

catatan biografi. Walaupun kenyataan yang ditafsirkan dan bermakna subjektif,

15
kenyataan itu dapat dipandang sebagai kenyataan dalam masyarakat

pendukungnya.

Contohnya Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang merupakan penggabungan

antara kenyataan dan imajinasi. Dengan keutuhan ide dan imajinasinya, pengarang

mampu melukiskan sosok Srintil yang telah kemasukan roh ’indang‘ sehingga

mampu menjadi seorang ronggeng. Seorang ronggeng pada masa itu merupakan

simbol dari harkat dan martabat suatu desa yang bernama Dukuh Paruk.Tidak

semua wanita yang ada di Dukuh Paruk bisa menjadi ronggeng. Hanya seorang

wanita yang mendapat roh „indang„ yang mampu menjadi seorang ronggeng,

Srintil. Ketika pada 1965 srintil terpaksa masuk penjara karena dituduh ikon atau

lambang dari suatu partai politik.Padahal Srintil hanya menari untuk menghibur

para anggota partai politik yang saat itu sedang gencar melaksanakan kampanye.

Setiap partai berusaha untuk mencari dukungan dari masyarakat hingga kedesa –

desa agar memenangkan pemilu nantinya. Karena saat itu bengitu banyak

pergolakan, Srintil pun dikira membela suatu partai sehingga dianggap

membahayakan seorang ronggeng yang dibanggakan menjadi tidak aada arti

lagi.Pada saat yang bersamaan itupulah Dukuh Paruk hancur dan Hampir tidak

terdengar lagi namanya.

16
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah sastra adalah produk masyarakat yang

menggambarkan kehidupan mereka. Seperti apa yang dikatakan Swingewood

( dalam Damono, 1984:13) bahwa sastra merupakan cerminan masyarakat atau

cerminan dari suatu zaman. Maka novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan

produk masyarakat pada zamannya dan tempat karya itu diciptakan. Dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk, kita mendapatkan suatu gambaran keadaan masyarakat

pada masa itu tentang budaya yang tidak terlepas dari adat ketimuran.

2.2.5 Pengertian Strukturalisme

Secara etimologis struktur berasal dari kata sructura, kata Latin, yang

berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme dapat dilacak dalam

Poetice Aritoteles dalam kaitanya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam

pembicaraannya mengenai plot (Kutha Ratna, 2004 : 88). Hawkes

(dalam Pradopo, 2002 : 93) mengatakan bahhwa karya sastra itu merupakan

sebuah struktur yang unsur- unsurnya atau bagian- bagiannya saling berjalinan

erat. Dalam struktur itu unsur-unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya,

maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur–unsur lainnya

dengan keseluruhan atau totalitasnya. Dalam sebuah novel atau cipta sastra,

terdapat pengelompokan–pengelompokan yang didasarkan atas keterkaitan atau

hubungan. Keteraturan dari urutan–urutan hubungan tersebut menunjukan bahwa

karya sastra itu mempunyai struktur. Hubungan yang saling terkait itu bersifat

tetap.Artinya, tidak bergantung pada sebuah novel atau cipta sastra tertentu saja.

Menurut Luxemburg ( 1992 : 36), struktur atau strukturalisme adalah sesuatu yang

17
saling berkaitan dan teratur.Kaitan itu dilakukan oleh penelitian berdasrkan

observasinya. Didalam keterkaitan dan keterpaduan struktur akan terkandung

keseluruhan makna yang ada.

Teeuw (1988 : 133) mengatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk

membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan

semua anasir dan aspek karya sastra yang sama-sama menghaslkan makna

menyeluruh.Selanjutnya, Luxembung (1992 : 38) menyatakan bahwa sebuah

karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya

relasi timbal balik antara bagian-bagian dan antara bagian dan keseluruhan. Hal

senada pula diungkapkan oleh Lane ( dalam Sukada,1987 : 52) bahwa struktur

adalah sesuatu yang memiliki hubangan abstrak anatara yang satu dengan yang

lain. Struktur ini memiliki isi yang tidak tertentu dan hanya dapat dipahami

melalui organisasi akal dan memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata

secara wajar.

2.2.6 Pengertian Ekstrinsik

Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang menekankan unsur-unsur

luar yang mempengaruhi pengarang didalam menciptakan karya sastra. Wallek

dan Werren (1993 : 109 ) mengatakan bahwa pendekatan ekstrinsik biasannya

mempermasalahkan sesuatu diputaran sastra dan situasi sosial tertentu, system

ekonomi, sistem sosial, adat istiadat dan politik. Lebih lanjut Luxembung (1992 :

24) menyatakan bahwa penelitian dilakukan dengan melihat hubungan antara

aspek teks sastra dan susunan masyarakat, sistem masyarakat serta perubahannya

18
tercermin didalam karya sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber

menganalisis system yang ada didalam masyarakat. Sastra sebagai institusi sosial

yang menggunakan bahasa sebagai medium selalu menyajikan kehidupan dan

kehidupan itu sendiri Merupakan bagian dari kenyataan sosial.

Nurgiyantoro ( 1998 : 23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur

yang berada diluar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi

bangunan atau sistem organisme karya sastra . Bagaimana pun juga, memahami

unsur – unsur dalam suatu karya sastra akan sangat membantu kita dalam

memahami makna karya sastra tersebut, karena karya sastra tidak muncul dari

situasi kekosongan budaya.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan penjelasan yang kuat tentang

kepribadian dan kehidupan wilayah pengarang dan tokoh utamnya. Namun, kita

tidak boleh terjebak oleh pernyataan bahwa seni adalah ekspresi jiwa yang murni

dan polos ini berarti perwujudan pengalaman pribadi dan perasaan yang tercermin

dalam sastra tidaklah mutlak atau fotokopi dari kehidupan iu sendiri. Walaupun

karya itu sendiri sangat erat dengan kehidupan pengarang atau tokoh dalam karya

tersebut. Oleh karena itu, unsur Ekstrisik pada pembahas novel ini mengacu pada

nilai–nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan,

cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

19
2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan suatu cara kerja yang penelitian lakukan

untuk menyelesaikan permaslahan yang akan diteliti. Awal Analisis Novel

Ronggeng Dukuh Paruk dianalisis dari unsur–unsur yang ada dalam karya sastra

.Setelah dilakukan penganalisisan tersebut kemudian dihubungkan dengan nilai–

nilai kemanusiaan dengan menggunakan Pendekatan Sosiologi Sastra. Pada

dasarnya setiap karya sastra selalu berhubungan dengan unsur-unsur sosial.

Unsur Intrinsik dari penelitian ini meliputi alur, perwatakan, latar, sudut

pandang,dan tema.Sedangkan unsur Ekstrinsik akan mengacu pada nilai-nilai

kemanusiaan yaitu lingkungan, perkawinan, budaya, politik.dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra yang terdapat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

20
Analisis Novel
Ronggeng Dukuh
Paruk

Pendekatan Sosiologi
Sastra

Unsur Intrinsik Unsur Ekstrinsik


- Alur - Lingkungan
- Perwatakan - Cinta
- Latar - Perwatakan
- Sudut - Budaya
pandang - Politik
- Tema

HASIL

Gambar 2.1 Bagan Alur Kerangka Pemikiran

21
BAB III

METEDO PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

yaitu membuat fakta–fakta penginderaan secara sistematis dan akurat mengenai

fakta–fakta dan sifat–sifat populasi atau daerah tertentu (Semi,1988 : 24).

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang berasumsi pada perilaku manusia yang dipengaruhi oleh latar,

situasi, dan budaya dimana perilaku itu muncul ( 1988 : 24). Metode kerja yang

pertama diterapkan yaitu pendekatan intrinsik. Lalu agar lebih mudah melihat

nilai-nilai sosiologi sastra pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, dilakukan

pendekatan ekstrinsik . Selain itu nilai–nilai kemanusiaan yang terkandung dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk seperti tradisi, adat, perasaan berupa percintaan dan

perkawinan,kepercayaan, dan keyakinan harus dibuat batasanya untuk mencapai

sasaran penelitian. Sedangkan unsur intrinsik dalam novel ini yakni alur,

perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, dan tema. Lalu unsur ekstrinsiknya

mengacu pada nilai–nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut

seperti lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

22
3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit pertama tahun

1981.Sedangkan data sekunder berupa naskah sumber,seperti buku-buku teori

sastra , penelitian kajian sastra yang relevan, dan jurnal ilmiah atau internasional .

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mencapai sasaran yang diinginkan, maka teknik pengumpulan data

dilakukan penulis adalah sebagai berikut :

1. Membaca keseluruhan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dijadikan sebagai

bahan penelitian secara berulang – ulang sehingga dapat dipahami .

2. Mengumpulkan dan mempelajari teori – teori yang relevan

3. Mencatat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting sesuai

dengan permasalahan yang akan dibahas.

3.4 Teknik Analisis Data

Langkah – langkah dalam menganalisis data novel Ronggeng Dukuh Paruk

dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa tahap sebagai berikut :

1. Penulis membaca kembali keselurhan naskah novel untuk dianalisis

berdasrkan masalah penelitian .

2. Menganalisis data yang sesuai dengan nilai – nilai sosiologi sastra yang

terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari .

3. Menganalisis data yang sesuai dengan kajian pendekatan Sosiologi sastra

23
4. Menyimpulkan tentang nilai- nilai sosiologi sastra dalam novel Ronggeng

Dukuh Paruk,seperti lingkungan,cinta, perkawinan, budaya,dan politik .

24
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV ini di sajikan data berupa hasil penelitian dan pembahasan

mengenai unsur intrinsik yaitu, Analisis Struktural dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk(Alur, perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, tema ) dan unsur ekstrinsik

yaitu Analisis Sosiologi Sastra ( Lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, politik ).

Adapun hasil temuan penelitian tentang Analisis Novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari adalah sebagai berikut :

4.1 Hasil disertai Pembahasan

4.1.1 Analisis Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari

4.1.1.1 Alur

Alur yang baik adalah alur yang dapat membangun satu cerita, sehingga

pembaca ingin membaca cerita itu hingga akhir dapat dapat memahaminya. Alur

yang baik juga memiliki kejelasan dan kesederhanaan, sebagaimana dijelaskan

oleh Nurgiyantoro ( 1998:110 ) kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan

kesederhanaan alur berarti kejelasan cerita untuk dipahami.

Alur diwujudkan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh

( utama ) cerita, bahkan umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak

lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Alur merupakan cerminan

dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berfikir, berperasaan,

25
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan ( Nurgiyantoro,

1998: 114 ).

Banyak cara bagi pengaarang untuk melukiskan jalan cerita, diantaranya ada

yang menggunakan alur sorot balik dan ada juga yang secara kronologis. Sorot

balik atau flas back adalah jika urutan peristiwa-peristiwa yang disajikan disisipan

dengan peristiwa sebelumnya. Sorotan balik biasanya ditampilkan pengarang

dengan bentuk dialong, dalam bentuk mimpi, lamuan, atau teringat kembali pada

sesuatu hal atau peristiwa. Sedangkan secara kronologis adalah peristiwa yang

bergerak dari awal hingga akhir dan tersusun menurut urutan waktu kejadinya.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memakai alur flas back. Secara umum

unsur terdiri dari tiga hal, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Akan tetapi,

penggarang biasanya memperhalus bagian-bagian tersebut hingga menjadi

beberapa unsur lagi.

Pembagian dari sebuah cerita rekaan telah terperinci oleh Mochtar Lubis (

1981:17 ) dalam 5 bagian:

1. Situation ( pengarang mulai melukiskan suatu keadaan )

2. Generating Circumtances ( peristiwa yang bersangkutan paut mulai bergerak )

3. Rising Action ( keadaan mulai memuncak )

4. Climax ( peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya )

5. Denouement ( pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa )

Demikianlah jika ditinjau dari dalam ceritanya, alur novel Ronggeng Dukuh

Paruk adalah flas back. Hal ini terlihat karena Ahmad Tohari Memulai cerita

langsung dengan melukiskan keadaan Dukuh Paruk, lalu peristiwa-peristiwa

26
dalam cerita tersebut mulai bergerak diselingi dengan menceritakan kejadian yang

telah lalu, diteruskan dengan keadaan memuncak, dan setelah peristiwa-peristiwa

mencapai puncaknya, maka Ahmad Tohari memberikan pemecahan masalah dari

semua peristiwa yang terjadi.

Lengkapnya , alur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh paruk ini,

terlihat sebagai berikut :

1. Situation ( pengarang mulai melukiskan suatu kejadian )

Dukuh Paruk adalah suatu daerah yang kecil dan menciptakan kehidupan

tersendiri. Sebagai pusat kebatinan warga Dukuh Paruk, adalah kuburan Ki

Secamenggala yang terletak dipunggung bukit di tengah Dukuh Paruk. Dulunya

Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah yang mencari daerah paling sunyi

sebagai tempat penghabisan sisa hidupnya.

Tradisi dan kepercayaan alam sangat dipengang teguh oleh anak cucu Ki

Secamenggala, Mereka sangat percaya kepada hukum alam yang berlaku dan

sangta menghormati kuburan Ki Secamenggala.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil ditengah


dukuh paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu
kemenyan pada nisan kuburan Ki Secamenggala membuktikan polah
tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat disana. (hal.10)

Masyarakat Dukuh Paruk juga terkenal karena Ronggengnya. Namun sudah

hamper sebelas tahun lamanya mereka tidak memiliki seorang ronggeng.

Akhirnya seorang gadis kecil bernama Srintil menunjukan gerak-geriknya sebagai

seorang ronggeng.

27
Sakarya tersenyum . Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala
itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang
ronggeng di sana.” Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk.
Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan
ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. ( hal.15)

2. Generating Circumtances ( peristiwa-peristiwa yang bersangkutan paut mulai

bergerak)

Malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sekitar tahun 1946 atau sebelas

tahun yang lalu membuat Dukuh Paruk gempar. Santayib, ayah Srintil adalah

seorang pembuat tempe bongkrek di pedukuhan itu. Namun malangnya baginya,

pagi itu tempe yang dijual mengandung racun. Sembilan orang dewasa dan

sebelas anak-anak Dukuh Paruk meninggal, termasuk di dalamnya Santayib dan

istrinya yang nekat menelan tempe buatannya sendiri guna membuktikan bahwa

tempenya tidak beracun.

Dalam haru biru kepanikan itu kata-kata “ wuru bongkrek “ mulai


diteriakan orang.keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuatan tempe
bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian. Hatinya ingin dengan
sengit membantahnya. Namun nuraninya juga berbicara,” Santayib,
bongkrekmu akan membunuhmu banyak orang di Dukuh Paruk ini.”
(hal.25)

Kemunculan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat masyarakat

Dukuh Paruk kembali ingat pada kejadian tersebut dan membuat hati Rasus,

teman sepermainannya menjadi gellisa. Emak dan ayah Rasus adalah salah satu

korban malapetaka tempe bongkrek. Ayahnya mati pada saat itu juga, sementara

ibunya dalam keadaan tidak sadar dibawa oleh mantra ke kota. Semenjak itu ia

tidak pernah lagi mengetahui apakah ibunya sudah mati atau kawin lari dengan

mantra itu.

28
Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak
merasakan kengerian. Ini pengangkuanku yang jujur. Sebab bayangan
demikian masih lebih baik bagiku dari pada bayangan lain yang juga
mengusik angan-anganku. Itu andaikan emak meninggal, melainkan
pergi bersama si mantra entah kemana. (hal.35)

Rasus menyadari bahwa ia menemukan bayangan emak pada Srintil.

Namun, semenjak Srintil dipuja oleh banyak orang ia mulai menyadari bahwa

Srintil bukanlah milik dirinya semata melainkan milik semua warga Dukuh Paruk.

Tidak bias kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai

kecintaan atau seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau

kedua-keduanya. Tetapi jelas, penampilan Srintil membantuku mewujudkan

angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan juga

bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang

bangus seperi Srintil. Suaranya lembut , sejuk, suara seorang perempuan sejati.

Tetapi aku tidak bias memastikan apakah emak mempunyai cambang


halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau, apakah ada juga
lesung pipi pada pipi kiri emak. Srintil bertambah manis dengan lekuk
kecil di pipi kirinya, bila ia sedang tertawa. Hanya secara umum emak
mirip Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah
melihat emak. Persamaan itu aku gabungkan sendiri sedikit demi sedikit.
Lama-lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan kepastian dalam
hidupku. ( hal.45)

Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya


kembali dan mencium ronggeng itu penuh berani. Penonton bersorak.
Mereka bertepuk tanggandengan gembira. Tetapi aku diam terpaku.
Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun
kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal.
( hal.48)

29
3. Rising Action ( keadaan mulai memuncak )

Keadaan mulai memuncak ketika Rasus menyadari bahwa di samping upacara

pemandian, masih ada satu lagi syarat menjadi seorang ronggeng. Srintil harus

menjalankan upacara “ bukak klambu “ yaitu upacara penyerahan keperawan

seorang ronggeng kepada seorang laki-laki. Sebagai salah satu syarat, laki-laki

yang memenangkan sayembara tersebut harus menyerahkan sekeping ringgit

emas. Dengan di adakannya sayembara tersebut, Rasus semakin membenci tradisi

Dukuh Paruk dalam memperlakukan Srintil sebagai seorang Ronggeng.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam


bukak kelambu bagi Srintil, tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian.
Atau lebih menjijikan lagi. Di sana, tiga hari lagi akan berlangsung
penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak berbicara atas
kepentingan berahi atau sebangsanya. Di sana, didalam kurung kelambu
yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika
yang selama ini amat kuhargai. ( hal.53)

Upacara bukak kelambu itu merupakan suatu tradisi yang harus dijalankan

oleh setiap wanita yang akan menjadikan ronggeng. Sebenarnya Sritil merasa tak

berdaya dengan malam bukak kelambu yang akan dilaluinya. Namun ia tidak bias

berbuat apa-apa selain menjalankan semua persyaratan.

“ Tentu kamu senang karena kau akan memiliki ringgit emas. Kukira
begitu.”
“Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun
yang akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak kelambu.
Kau sudah tahu itu, bukan?” ( hal.55)

4. Climax ( peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)

Puncak cerita ini adalah terjadinya malam bukak klambu. Artinya Srintil

resmi menjadi seorang ronggeng baru yang sah. Dengan demikian semua lelaki

30
berhak atas dirinya dengan memberikan uang sebagai imbalannya. Yang

memenangkan sayembara tersebut adalah Dower, pemuda dari pecikalan. Tetapi

kelicikan Kartareja dan Nyai Kartareja membuat pemenang sayembara menjadi

dua pemuda dan pemuda yang lain bernama Sulam. Tanpa diketahui oleh

pasangan Kartareja, sebenarnyan Srintil pada malam itu menyelinap keluar dan

menyerahkan keperawanannya kepada Rasus.

“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau
tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan
pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal.76)

5. Denouement (pengarang memberi pemecahan soal dari semua peristiwa)

Ahmat Tohari memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil pun di puja oleh banyak orang dan hidupnya

bergelimang harta namun sesungguhnya hati kecilnya masih ingat pada Rasus.

Dalam perantauannya, Rasus bertemu denga Srintil dan ia merasakan bahwa

Srintil tidak pernah melupakannya.

Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil


berbicara, dari caranya duduk di sampingku, dan dari sorot matanya, aku
tahu Srintil mencatat kejadian di belakang rumah Kartareja itu secara
khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang
bahwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya
sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan kata-kata yang pernah
kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia
mengharapkan seorang kecintaan. (hal.89)

Ketika Srintil berusia dua puluh tahun, ia menyadari keberadaannya sebagai

wanita utuh. Ia mulai berani menolak lelaki dan melakukan kehendakan tanpa izin

Nyai Kartareja. Ketika ia menjadi seorang gowok. Ia merasa tidak semua laki-laki

menginginkan kewanitaannya.

31
Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak
terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa
kepada suatu ketika keperempuannya sama sekali tidak berarti, hal mana
pernah sekali pun terbayangkan. (hal.224)

Ketenaran Srintil membawanya ke dalam sebuah kampanye politik.

Kebodohan warga DukuhParuk dimanfaatkan oleh pak Bakar dan rombongannya.

Rombongan ronggeng Srintik pun dianggap sebagai kelompok komunis. Srintil

dipenjara selama dua tahun. Hidup dipenjara membuat Srintil menyadari

kodratnya sebagai seorang wanita.

“ Oalah Gusti Pangerang,” tagis Srintil dalam ratap tertahan.”Nyai, kamu


ini kebangetan! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak
membac zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang?
Oalah, Gusti….”(hal.288)

Ketika Rasus kembali, Srintil masih berharap agar Rasus mau menjadi

suaminya. Semua warga Dukuh Paruk mendukungnya, namun Rasus menolaknya

dan akhirnya ia kembali meninggalkan Dukuh Paruk. Selepas kepergian Rasus,

Srintil berteman akrab dengan Bajus. Srintil berharap berharap kelak Bajus akan

menikahinya. Namun, Srintil hanya diperalat Bajus untuk mendapatkan proyek

dari Pak Blengur bosnya.

“Anu Srin. Kamu sudah kuperkenalkan pada pak Blengur. Percayalah,


dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya,
berapapun harganya, akan dia kabulkan. Nanti diakan bermalam di sini.
Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” (hal.381)

Kejadian tersebut membuat Srintil shock dan menjadi gila. Pada saat itulah

Rasus kembali datang. Ia membawa Srintil pergi berobat dan berharap kelak jika

Srintil sembuh, akan menjadikannya sebagai istri.

32
Kepala bangsal memanggilku untuk meminta keterangan dan data tentang

Srintil. Kukatakan semuannya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala

biaya perawatan. Tetapi tiba-tiba lidahku kelu ketika petungas bertanya tentang

hubunganku dengan Srintil.

“Istri?”
“Bukan. Aku masih bujangan.”
“Hanya saudara?”
Aku diam dan menunduk.
“Wah, saying. Sungguh saying. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa
kubayangkan kecantikannya dikala dia sehat. Lalu, maafkan aku Mas.
Dia bukan istriku, bukan pula adik sampean. Maaf , pasien itu calon istri
sampean barangkali?”
Ya !”(hal.402)

4.1.1.2 Perwatakan

Perwatakan dalam sebuah cipta sastra tidak terlepas dari tokoh atau pelaku

dalam suatu cerita. Sehingga segala kejadian atau peristiwa di dalam karya sastra

berlangsung sedemikian rupa karena adanya tokoh.

Sudjiman (1988:17) membedakan fungsi tokoh dalam cerita atas dua

bagian, yakni tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama masih dapat

dibedakan lagi atas protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh

utama yang menjadi pusat sorotan dalam cerita. Tokoh antagonis merupakan

penentang utama tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam novel ini adalah

pasangan Kartareja.

Sudjiman (1988:18-19) mengatakan bahwa biasanya tokoh protagonis

menjadi pusat sorotan cerita dan sekaligus memberi kemungkinan menempati

kedudukan sebagai tokoh utama. Ada beberapa kriteria yang dapat kita

33
pergunakan untuk menentukan tokoh utama, (1) Bagaimana intensitas keterlibatan

tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang

paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang

paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4) Tokoh utama selalu bisa

mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul, sebab ada kalanya judul cerita

mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan

bab penutup dilakukan oleh tokoh yang sama (Sudjiman 1988:19, Luxemburg,

1992:132) .

Adapun fungsi kedua tokoh adalah tokoh bawahan yang kedudukannya

tidak sentral di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk

menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh sentral dalam novel ini adalah

Rasus.

Dalam hal cara menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cipta sastra

Sudjiman (1988:20) menggunakan istilah tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh

datar bersifat statis, lakuan atau karakter tokoh ini sedikit sekali mengalami

perubahan bahkan cenderung tidak berubah sama sekali. Sebaliknya watak atau

karakter tokoh yang menampilkan lebih dari satu segi atau ciri adalah tokoh bulat.

Yang menjadi tokoh datar atau tokoh bulat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

adalah Sakarya, kakek Srintil dan Sakum. Sedangkan Bajus dan Rasus termasuk

kedalam tokoh bulat.

Sudjiman (1988:23-24) memberikan metode penyajian watak tokoh, yakni

metode langsung atau metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui

pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya. Metode

34
kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau metode

dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,

cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari

gambaran lingkungan sekeliling maupun penampilan fisik tokoh. Dalam novel ini,

pengarang menggunakan kedua metode tersebut yaitu metode analitis dan metode

dramatik.

1) Srintil

Srintil merupakan tokoh utama dalam novel ini. Intensitas keterlibatan

Srintil dalam cerita ini dimulai dari awal hingga akhir. Srintil menjadi tokoh yang

menjalankan alur cerita, yang mengemban tema, dan yang mengembangkan

peristiwa demi peristiwa. Di samping itu Srintil juga merupakan salah satu dari

struktur itu sendiri. Sebagai tokoh utama, peran Srintil sangat menentukan dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintillah yang membawa pola kehidupan di

Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil pulalah yang menghidupkan kembali tradisi

ronggeng yang telah lama tenggelam di Dukuh Paruk.

Pada saat Srintil berusia sebelas tahun, ia mampu menari seperti ronggeng

sungguhan. Srintil mampu menyanyikan lagu-lagu ronggeng dan menari laiknya

ronggeng sejati.

”Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil


berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama.
Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-
lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil
mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: senggot timbane rante,
tiwas ngegot ning ora suwe.” (hal. 11)

35
”Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng
yang sebenarnya, juga diperbuat Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik
matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau
laki-laki dewasa mana pun yang meliriknya.” (hal.13)

Sebelum Srintil menjadi seorang ronggeng, ia harus menjalankan beberapa

persyaratan. Diantarnya adalah bukak klambu yaitu penyerahan keperawanan

Srintil. Srintil sebenarnya ragu, tetapi ini merupakan suatu keharusan untuk

menerima keadaan karena ia tunduk pada tradisi dan bersikap pasrah terhadap apa

yang terjadi. Persyaratan itu tidak bisa ditolaknya dan ia sangat menyukai Rasus

dan akhirnya ia menyerahkan keperawanannya pada Rasus.

Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa
sebuah ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan
menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.
”Bagaimana?” tanyaku mengulang.
”Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan
kepala.
”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas.
Kukira begitu.”
”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun
yang akan menjadi seorang ronggeng harus mengalami malam bukak
klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”.(hal.55)
Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena
aku pun tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat
dan gemetar. ”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus,
sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini
bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal. 76)

Status Srintil sebagai seorang ronggeng menjadikan dirinya begitu tenar dan

menjadi pusat perhatian orang banyak di mana pun ia berada. Di samping itu juga

Srintil dengan mudah memperoleh harta hingga hidupnya menjadi senang

dibanding dengan warga lainnya. Tetapi itu semua tidaklah membuat hidupnya

36
bahagia. Nalurinya tidak dapat dibohongi untuk hidup layak dengan laki-laki yang

dicintainya.

Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang


sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap
tanpa sebutan apa pun, baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan
Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan
utuh. Dia ingin sungguh-sungguh melahirkan anakku dari rahimnya.
(hal.171)

Kodrat Srintil sebagai seorang ronggeng membuat ia harus menjunjung

tradisi dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Itulah watak Srintil sebagai

wanita yang berwatak nrimo (tunduk kepada keadaan), rila (kesanggupan untuk

melepaskan hak milik), dan ihklas (bersedia untuk melepaskan individualitas dan

mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah

menjadi tradisi).

2) Rasus

Rasus sebenarnya pria yang cerdas, tetapi Rasus masih tunduk kepada

tradisi walaupun dalam hatinya ia menguntuk kebodohan, kemelaratan dan

kesengsaraan Dukuh Paruk. Watak ini terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Boleh jadi dengan cara ditanam seperti itu keringatku yang pasti
mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori di kulit
tubuhku. Dengan demikian kekuatan racun cepat berkurang. Ah, tetapi
teori demikian sangat tidak patut dan hanya akan mengundang tawa
orang-orang pandai. Maka lebih baik kuikuti keyakinan nenek, bahwa
aku selamat karena roh Ki Secamenggala belum menghendaki
kematianku.”(hal.33-34)

37
Rasus sangat merindukan sosok emak yang telah pergi meningggalkannya

ketika umur tiga tahun. Ketika terjadi peristiwa tempe bongkrek, emak dibawa

mantra ke kota untuk berobat. Namun emak tak pernah kembali. Rasus hanya

membayangkan bahwa wujud emak ada dalam diri Srintil.

“Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya
hidup dalam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang
tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga
mewakili emak, walau aku tak pernah tau dia dimana.”(hal.41)

Dengan perginya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk tersebut, maka

terjadilah perubahan wataknya. Dirinya tidak lagi menganggap Srintil sebagai

bayangan emaknya dan ia juga telah mampu hidup tanpa bayangan emaknya.

Pandangannya semakin kritis terhadap tradisi yang berlaku di Dukuh Paruk.

“Aku, Rasus, sudah sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk


dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku
yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah
tidak memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tangganku.
Bahkan lebih dari itu. Akan memberikan kesempatan kepada
pendukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan
menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang
paling berharga bagi Dukuh Paruk, ronggeng!.” (hal.88)

Setelah Rasus keluar dari Dukuh Paruk ia diangkat menjadi seorang tobang,

berkat keberaniannya melawan perampok kemudian dia diangkat menjadi seorang

tentara. Tentu saja keberadaan Rasus sebagai seorang tentara membuat bangga

warga Dukuh Paruk. Apalagi Rasuslah warga Dukuh Paruk yang pertama sekali

menjadi tentara. Katika Srintil berada di dalam tahanan, Rasus pulalah yang

diharapkan mampu menolong Srintil.

38
“Eh, itukah Rasus? Kamu masih ingat padaku? Aku Sakum.”
“Sakum! Panggil dia „Pak‟. Tidak pantas kau ber-kamu kepadanya
sekarang,” ujar Nyai Kartareja.
“Oh, maafkan aku, Rasus, eh Pak Rasus. Sampean sudah beristri, bukan?
Cantik mana dengan Srintil?”
“Aku masih sendiri Kang Sakum.”
“Sendiri? Malah kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Tetapi dia
sekarang entah di mana. Nah sampean tentara, Kan?”
“Ya, Kang.”
“Nah, jadi sampean bisa menolong Srintil. Kasihan dia. Hanya sampean
yang bisa menolong. Sampean mau, bukan?”
Sakum tidak dapat melihat Rasus yang lansung terpekur. Tetapi dia bisa
merasakan suasana yang mendadak janggal. Maka dia tidak berani
berkata-kata lebih jauh. (hal.257)

Ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk, dan mendapati Srintil dalam

keadaan gila, ia menyesali segala perbuatannya. Kenapa ia justru pergi dari Dukuh

Paruk ketika warganya membutuhkan pertolongan untuk keluar dari kemelaratan

dan kebodohan.

Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tidak berani melihat mata
Sakum yang buta. Tiba-tiba aku menjadi inti kedunguan Dukuh Paruk
kepada siapa tadi malam aku mengumumkan perang. Dan Sakum dengan
bahasa yang amat bersahaja menunjukkan bahwa kunci utama untuk
menembus kedunguan tanah airku yang kecil justru berada pada
genggamanku. (hal.399)

Itulah watak Rasus, seorang pemuda yang kritis menilai lingungannya

sehingga harus melepaskan diri dari tradisinya itu walaupun belum berniat dalam

hatinya untuk merombak tradisi warganya.

39
3) Kartareja

Kartareja adalah seorang dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Katareja

berwatak licik dan mata duitan. Watak ini tergambar jelas dalam kutipan berikut

ini :

”Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus
datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak apa boleh buat. Kau
kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
”Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku
hilang?” tanya Dower.
”Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya.
”kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Aku akan menunggu pemuda
yang lain”. (hal.59)

Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa
senang. Seekor kerbau betina yang besar di tambah dengan dua keping
rupiah perak. Dukun ronggeng itu terbahak-bahak dalam hati. Hanya
karena Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia dapat
mengendalikan perasaannya.” (hal.70)

Demikianlah dengan kelicikannya, Kartareja telah mengeruk keuntungan

yang besar dari peminat sayembara “ bukak klambu” yang diselengarakannya itu.

Dalam hal ini Srintil telah diperalatnya dan ia mengenyampingkan perasaan

Srintil.

4) Nyai Kartareja

Nyai Kartareja juga tidak berbeda wataknya dengan suaminya Kartareja.

Nyai Kartareja ini seorang wanita tua yang bergaya mucikari. Dengan segala

kelicikannya, ia membantu suaminya mendapatkan keuntungan besar dari

sayembara ”bukak klambu” dengan cara memperalat Srintil. Tindakannya yang

sewenang-wenang terhadap Srintil, terlihat dalam kutipan di bawah ini:

40
Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil.
”Tak mengapa bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang
memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.”
”Tetapi perutku sakit, nek. Amat sakit”.
”Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku.
Semuanya tak mengapa kau lakukan. Ingat, Sebuah ringgit emas!
Istirahatlah sekarang selagi Sulam masih mendengkur.”(hal.77)

Dalam memilih lelaki pun, Srintil tidak turut mencampuri lelaki mana yang

akan tidur dengannya. Yang mengaturnya adalah Nyai Kartareja.

”Wong ayu,” kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak


Srintil. ”Tak baik menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah
pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana kau akan dibawanya.
Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali
ini.” (hal.147)

5) Sakarya

Sakarya adalah kakek Srintil. Sakarya adalah seorang kamitua di pedukuhan

itu. Ia sangat memegang teguh budaya dan adat yang ditinggalkan oleh Ki

Secamenggala. Keberadaan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat

Sakarya bangga.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala


itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang
rongggeng di sana.” Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh
Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya
pedukuhan ini,” kata Sakarya pada dirinya sendiri. (hal.15)

Ketika mengetahui Srintil Kerasukan Indang ronggeng, maka Sakarya

menyerahkan Srintil kepada keluarga Kartareja untuk diasuh menjadi ronggeng.

Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu
hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng.
Keluarga calon harus menyerahkan kepada dukun ronggeng, menjadi
anak akuan. (hal.17)

41
Ketika hari kematian Sakarya sudah dekat, ia merasakan hal-hal aneh da ia

menyadari bahwa sebentar lagi kematian akan datang padanya.

Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil


namun baginya penuh makna. Kemarin, seekor burung trimulkan terbang
secepat angin menerobos pintu rumahnya yang terbuka, membentur keras
cermin lemari kacanya. Burung itu runtuh ke lantai dan mati seketika.
Dari paruhnya yang mungil menetes darah. (Hal.158)

Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk pikuk


bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar yang
menyilaukan yang menusuk matanya. Matahari pagi muncul dari balik
awan. ”Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat,” gumam Sakarya.
(Hal.160)

6) Sakum

Sakum adalah penabuh calung yang buta. Tetapi ia dapat menyesuaikan

gerak gerik ronggeng dengan calung yang dipukulnya. Sakum selalu meneriakkan

kata-kata cessss! Saat ronggeng menggerakkan pinggulnya.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesyaduhan upacara sakral itu


hilang. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah
lupa akan tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan
cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul. Cessss...cessss.

Ketika Srintil berkeinginan untuk berhenti menjadi seorang ronggeng,

Sakumlah yang memperingatinya agar jangan terjerumus pada perasaan yang

menyakiti hati sendiri. Sakum berusaha meyakinkan Srintil bahwa ia masih

seorang ronggeng, indang ronggeng masih melekat di badannya, Srintil harus

berhati-hati karena hal itu dapat membahayakannya. Sakum memberikan contoh

ronggeng yang pernah melanggar dunia peronggengan.

42
”Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang
kukenal. Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan
sampean adalah bau badan ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa
ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang ronggeng. Kelak pada
suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila
indang telah meninggalkan diri sampean.” (hal.115)

7) Emak dan Mantri

Emak dan Mantri merupakan tokoh-tokoh hasil ciptaan Rasus. Kedua tokoh

ini tidak pernah ada secara nyata, namun sangat berpengaruh terhadap Rasus dan

jalan cerita. Semua hal tentang emak dan mantri hanya dalam angan Rasus belaka.

Gambaran mengenai emak dalam angan Rasus pada mulanya identik dengan

Srintil yang cantik dengan memiliki cambang halus di pipinya, berlesung pipit

kiri, suaranya lembut, kulitnya putih, dan senyumnya menawan hati. Tetapi

akhirnya gambaran ini telah digantikan dengan citra perempuan Dukuh Paruk

pada umumnya, seperti berambut kusut dengan ujung kemerahan, wajah lesu dan

pucat, telapak kaki yang lebar dan penuh kotoran, kata-katanya yang kasar diiringi

dengan ucapan cabul.

Gambaran mantri dalam angan Rasus adalah seorang pria berkumis panjang,

bertopi gabus, berpakaian putih, dan telah mengawini emaknya. Ketika gambaran

tentang emaknya berubah, maka gambaran tentang mantripun ikut berubah yaitu

pria sinting dan bodoh karena mau mengawini warga Dukuh Paruk.

43
8) Dower

Dower adalah seorang pemuda yang berambisi untuk segera memenangkan

sayembara ”bukak klambu”. Keambisiannya untuk memenangkan sayembara

”bukak klambu” tersebut, bukanlah hanya masalah keperawanan ronggeng saja,

tetapi juga merupakan suatu kebanggaan. Didorong oleh hal inilah maka tidak

disadarinya bahwa ia telah ditipu oleh suami istri Kartareja.

”Memenangkan sayembara ”bukak klambu” bukan hanya menyangkut


rencana berahi. Bukan pula hanya menyangkut suka cita mewisuda
seorang perawan, melainkan juga kebanggaan. Dower sungguh-sungguh
berharap kelak orang akan bergunjing, ternyata Dower bukan pemuda
semabarangan. Dialah orangnya yang memenangkan sayembara ”bukak
klambu” bagi ronggeng Srintil”.

9) Waras

Waras adalah anak seorang petani kaya dari Pecikalan. Sebagai seorang

keturunan yang diharapkan mampu meneruskan silsilah keluarga, Pak Sentika

menginginkan agar Waras bisa menikah sekalipun Waras mempunyai kekurangan.

Pak Sentika berkeinginan agar Srintil menjadi gowok yaitu seorang perempuan

yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa

dan menjelang kawin.

Waras, lelaki berusia tujuh belas tahun yang sangat lugu membuat Srintil

merasa tertantang. Namun, bagaimanapun usaha Srintil tidak ada sedikitpun nafsu

berahi pada Waras.

Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya


bermain tidur-tiduran. Konsep tentang tidur terlalu sederhana. Yakni
merebahkan diri di samping emak, miring-meringkuk. Tangan kanan
bersembunyi di ketiak emak dan tangan kiri bermain kain kutangnya.

44
Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang
dilakukannya terhadap Srintil.
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu
dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan
yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan kepentingan pribadi
di sana. Tetapi penantian itu tawar, bahkan kosong. Waras hanya berhenti
pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin
lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar
dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang
bocah. (Hal. 222-223)

10) Bajus

Bajus adalah orang kota yang sedang menangani proyek di Dawuan. Setelah

Srintil keluar dari penjara, ia tidak lagi mempunyai keberanian untuk dekat

dengan laki-laki. Namun Bajus dapat memulihkan kepercayaan Srintil. Tetapi

malangnya, Bajus pulalah yang sangat mengecewakan hidupnya. Bajus hanya

berpura-pura baik kepada Srintil agar ia bisa memberikan Srintil kepada bosnya

dan Bajus bisa memenangkan proyek tersebut.

Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia
menjatuhkan diri ke kasur dan merasa terhempas ke balik tabir antah-
barantah. Dalam sekejap dunianya yang penuh bunga bersemi berubah
menjadi padang kerontang dan sangat gersang. ”Oalah, Gusti Pangeran,
oalah, Biyung, kaniaya temen awakku....” (Hal.382)

”Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau
menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku
tidak bisa melakukannya?” (Hal.383)

45
4.1.1.3 Latar

Latar merupakan salah satu unsur novel ataupun cerita pendek yang dapat

memberikan suatu informasi kepada pembaca, dengan sendirinya latar dapat

memperkaya pengetahuan pembaca tersebut. Nurgiyantoro (1998:223)

mengatakan bahwa unsur latar mampu mempengaruhi keseluruhan unsur lainnya

sehingga tampak bahwa berbagai unsur dan cerita bergantung pada latar.

Sumardjo (1981:41) menyatakan setting menerangkan dimana sebuah

kejadian berlangsung dalam sebuah cerita. Selanjutnya Sudjiman (1988:44)

mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan

dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra

membangun latar.

Menurut Hudson dalam Sudjiman (1988:44) latar dapat di bagi dua, yakni:

Latar Sosial dan Latar Fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan

masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,

bahasa, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat

dalam wujud fisiknya, yaitu daerah, bangsawan, dan sebagainya.

Hubungan Srintil dengan latar Ronggeng Dukuh Paruk tentunya sangat erat,

karena perkembangan kehidupan Srintil ada kaitannya dengan latar Ronggeng

Dukuh Paruk secara keseluruhan. Secara umum pengarang memberi gambaran

tentang latar waktu dan tempat dalam novel ini. Latar waktu peristiwa ini terjadi

di Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan pada 1946, 1957, 1960 an dan 1971.

Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia


dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun
1946. (hal.21)

46
Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di
lapangan Kecamatan Dawuan. (hal.180)

Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan
ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar.
Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar. Ronggeng
Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. (hal. 232)

Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka
berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kapala seperti
itu.(hal. 236)

Latar Dukuh Paruk sangat terikat dengan tradisi dan kebudayaan.

Masyarakat Dukuh Paruk sangat percaya akan pengaruh dan tanda-tanda yang

ditimbulkan oleh alam.

Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu telah terlihat berbagai


pertanda. Pancuran di Dukuh Paruk mengeluarkan air berbau busuk.
Pohon-pohon puring di pekuburan Melayu, tetapi pohon semboja malah
berbunga. Meskipun belum waktunya, anjing-anjing berdatangan ke
Dukuh Paruk. Anjing-anjing jantan berebut betina dalam kegaduhan yang
mngerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam tiba sampai terbit
fajar. (hal. 33)

”Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar.
”Takkan ada orang yang melihat kita disini. ”Srin, ini tanah pekuburan.
Dekat makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,” jawabku.
Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku. (hal.67)

Keberadaan Dukuh Paruk yang melarat juga terlihat jelas dalam kutipan

berikut.

Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi


Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepaasang burung bangau itu
takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki.
Sawah berubah menjadi padang kering bewarna kelabu. Segala jenis
rumput mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah
kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik.

47
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu
kemarau berjaya. (hal.9)

Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh
Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus
dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah.
(hal.79)

Di pedukuhan itulah Srintil hidup dan dibesarkan dengan pola kehidupan

yang bodoh, miskin, dan terbelakang. Latar seperti itulah yang menciptakan

Srintil harus mengikuti aturan-aturan yang sudah digariskan oleh nenek moyang

mereka. Kemelaratan dan kesengsaraan warga Dukuh Paruk juga diakui dan

disadari oleh masyarakat di luar pedukuhan itu. Bahkan warga di luar Dukuh

Paruk menyatakan bahwa pedukuhan tersebut adalah simbol kemelaratan.

Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang
senang berkata misalnya, ”Jangan mengabadikan kemelaratan seperti
orang Dukuh Paruk.” atau, ”Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak
nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak
Dukuh Paruk!” (Hal.15-16)

Lukisan suasana atau kedaerahan yang masih diwarnai adat Jawa ini sangat

ditonjolkan oleh Ahmad Tohari. Lukisan suasana menggambarkan budaya

Banyuwangi khususnya sebagai daerah kelahiran pengarang.

Jadi, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada novel tersebut dari 1946-1971,

selama dua puluh lima tahun, hampir semua peristiwa berkaitan dengan Srintil,

dan bisa dikatakan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah kisah hidup Srintil dari

usia lima bulan hingga ia menjadi dewasa dan gila.

48
4.1.1.4 Sudut Pandang

Sudut pandang mengandung arti hubungan antara tempat pencerita berdiri

dengan ceritanya. Hubungan tersebut dapat diartikan di sisi mana pengarang

berdiri, apakah di dalam atau di luar cerita. Sudut pandang pengarang dalam

mengisahkan ceritanya dibagi dalam empat cara oleh Mochtar Lubis (1981:21):

(1) Author ominiscient ( orang ketiga ). Cara ini yang biasa dipakai. Si pengarang

menceritakan ceritanya dengan mempergunakan kat-kata “dia” untuk pelakon

utama, akan tetapi ia turut hidup dalam pribadi lakonnya.

(2) Author participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ada dua

kemungkinan, atau pengarang menjadi pelakon “aku” main character atau ia

hanya mengambil bagian kecil saja subordinate character.

(3) Author observer (ini hampir sama dengan cara kesatuan, bedanya pengarang

hanya sebagai peninjau, seolah-oleh ia tidak dapat menegetahui jalan pikiran

pelakunya)

(4) Multiple (campur aduk).

Sudut pandang yang dipergunakan Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng

Dukuh Paruk ini adalah dengan cara multiple (campur aduk). Hal ini disebabkan

Ahmad Tohari memakai cara Author ominiscient dan juga memakai Author

participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ini berawal karena

novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan trilogi, antara novel yang pertama,

kedua dan ketiga memakai sudut pandang yang berbeda.

49
Pada bagian yang pertama, Catatan Buat Emak, pengarang menggunakan

Author Participant yaitu pengarang mengambil bagian dalam cerita. Dalam hal ini

pengarang memakai perkataan ”aku” (main character).

Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena


aku pun tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat
dan gemetar.(hal.76)

”Sesungguhnya aku menginginkan jeruk koprok,” kata Srintil dingin.


”Tetapi buah pepaya pun tak mengapa.” aku diam karena kecewa, dan
sedikit malu. Namun aku mendapat akal untuk menolong keadaan.
Pikiranku itu mendadak muncul setelah kuluhat gigi Srintil telah
berubah. (hal.37)

Pada bagian yang kedua, Lintang Kemukus Dini Hari dan bagian yang

ketiga Jantera Bianglala, pengarang menggunakan Author Ominiscient yaitu

pengarang mengisahkan ceritanya dengan bertindak sebagai orang ketiga akan

tetapi pengarang turut hidup dalam pribadi tokoh-tokohnya.

Srintil tidak tertawa meski hatinya tergelitik bukan main. Ada


malapetaka tertentu yang telah menghimpit hidup Waras. Srintil dapat
merasakan tapak kaki bencana itu pada postur tubuh dan perilaku Waras.
(hal.214)

Srintil bangkit hendak menghentikan ucapan Nyai Sakarya. Namun


gerakannya terhenti pada sikap setengah berdiri. Lalu duduk lagi dan
tersedu lagi. Rasus pun terkejut sehingga sukar baginya menanggapi
ucapan Nyai Sakarya. (hal.349)

4.1.1.5 Tema

Tema adalah gagasan utama atau masalah yang mendasari sebuah karya

sastra. Dalam mengangkat sebuah tema dalam karyanya, pengarang biasanya

menerima dari apa yang dilihat, didengar, atau dirasakannya dari peristiwa-

50
peristiwa disekelilingnya. Hal ini merupakan pengalaman hidupnya sendiri atau

hasil dari pengamatannya dari kehidupan suatu masyarakat tertentu.

Sudjiman (1988:50) mengatakan bahwa gagasan, ide, atau pilihan utama

yang mendasari suatu karya sastra itu yang disebut tema. Lebih lanjut Sudjiman

mengatakan bahwa tema terkadang di dukung oleh pelukisan latar, dapat pula

tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan, atau bahkan tema dapat pula menjadi

faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur. Namun, adakalanya juga

kekuatan tema mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama

membangun karya sastra.

Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman)

kehidupan. Pengarang menawarkan makna tertentu dari kehidupan, mengajak

pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna kehidupan tersebut

dengan memandang persoalan itu seperti yang ia alami. Selesai membaca sebuah

karya sastra (novel). Kemungkinan sekali kita akan merasakan sesuatu yang

belum pernah dirasakan, mungkin berupa keharuan, ikut merasakan penderitaan

atau kebahagiaan seperti yang dialami tokoh cerita atau berbagai reaksi emotif

yang lain yang dapat menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menyikapi

hidup dan kehidupan ini (Nurgiyantoro, 1998:71)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini temanya berhubungan erat dengan

Srintil sebagai tokoh utama. Srintillah yang ditugasi pengarang untuk

menyampaikan temanya. Maka tema dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah

lika-liku kehidupan seorang ronggeng.

51
Mengutip istilah Sudjiman (1988:56) tentang adanya tema sentral dan tema

sampingan maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memenuhi kedua jenis

tema tersebut. Adapun tentang tema sentralnya, yakni tentang seorang ronggeng

yang mendapatkan indang dan harus menjalani aturan-aturan menjadi seorang

ronggeng tanpa memikirkan keinginannya sendiri. Kematangan usia Srintil dan

pengalamannya sebagai tahanan politik membawanya pada kedewasaan dalam

menentukan sikap. Hingga timbullah konflik maupun persoalan sosial dan cinta di

lingkungan tokoh utama novel ini.

Berbagai peristiwa maupun persoalan yang ada dalam novel ini pada

akhirnya memiliki kekuatan untuk mendukung persoalan pokok yang menjadi

tema dalam novel ini. Srintil adalah seorang gadis berusia sebelas tahun. Pada

usianya yang masih sangat muda ia sudah hapal lagu-lagu yang biasa dibawakan

oleh seorang ronggeng tanpa pernah mempelajarinya. Srintil juga mampu menari

dan melenggak-lenggokkan badannya seperti seorang ronggeng sungguhan.

Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil


berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama.
Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-
lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil
mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante,
tiwas ngengot ning ora suwe. (hal.11)

Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil
menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekalipun
Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh
Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan
Darsun, Srintil menari dengan baiknya.

Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng


yang sebenarnya, juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya,
lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan

52
memukau laki-laki dewasa manapun yang melihatnya. Seorang gadis
kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya
seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran. (Hal.13)

Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil

pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng

kecuali roh indang telah merasuki tubuhnya.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap


penonton. Banyakorang terharu dan kagum bagaimana Srintil melempar
sampur. (hal.20)

Awalnya, Srintil sangat senang menjadi seorang ronggeng karena ia dipuja

banyak orang, namun kedewasaannya dan malapetaka yang membawanya

menjadi tahanan politik membuat ia sadar bahwa ia adalah wanita biasa yang

menginginkan sebuah keluarga. Akan tetapi, roh indang masih bersemayam

ditubuhnya dan ia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti aturan-aturan yang

telah ditetapkan sebagai seorang ronggeng.

Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali
Srintil menyuruh, jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di
tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi rencana
jiwanya, rencana hatinya, dan rencana sistem ragawinya. Maka alam
jangan disalahkan bila dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja
meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan dan bukan pula dalam
masa menyusui. Ketika Srintil pertama kali sadar teteknya mengeluarkan
air susu maka dia berurai air mata. Namun semangat hidupnya bangkit
segera. Srintil kini banyak makan, banyak minum air sayur, bahkan minta
diramukan jamu pelancar air susu. Hanya dalam beberapa hari tubuhnya
kembali segar dan kelihatan lebih hidup. (hal.139)

Keinginan-keinginan Srintil untuk menjadi wanita utuh akhirnya harus

kandas karena laki-laki yang diharapkannya ternyata hanya memanfaatkan dirinya

53
semata. Harapan yang besar pada diri Srintil untuk menikah membuat ia

kehilangan akal ketika impiannya runtuh.

Akhir dari novel ini digambarkan bagaimana Rasus berusaha menolong

Srintil dengan membawanya ke rumah sakit jiwa. Rasus bertekad untuk

membimbing Dukuh Paruk dari keterpurukan. Ahmad Tohari melalui tokoh Rasus

bukan melarang tradisi ronggeng itu, tetapi perbuatan, sikap, dan tingkah laku

masyarakat yang membuat tradisi ronggeng itu jadi berubah makna.

4.1.2 Analisis Sosiologi Sastra Novel Ronggeng Dukuh Paruk

4.1.2.1 Lingkungan

Salah satu ciri masyarakat Jawa dalam memandang dunia adalah

keyakinannya tentang realitas kehidupan dunia. Dunia tidaklah terdiri atas

beberapa bidang yang saling terpisah tanpa hubungan sama sekali, tetapi realitas

dalam pandangan mereka merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh

serta saling berhubungan. Dalam alam pemikiran modern, pembagian bidang-

bidang realitas dapat dilihat secara jelas dan tajam yakni, dunia, masyarakat, dan

alam adikodrati. Namun bagi orang Jawa tiga hal tersebut tidak berdiri sendiri

melainkan satu kesatuan yang terkait.

Lingkungan adalah keadaan (kondisi, kekuatan sekitar) yang mempengaruhi

perkembangan dan tingkah laku organisme (Ali, 1986:526). Dari pengertian

tersebut kita dapat mengartikan bahwa kondisi atau kekuatan yang ada di dalam

lingkungan berpengaruh bagi perkembangan prilaku manusia.

54
Lingkungan dalam pandangan Jawa menjadi sesuatu yang sangat penting.

Magnis (1996:93) menyatakan bahwa tempat yang tepat mempunyai arti yang

sangat besar bagi orang Jawa. Keselamatannya tergantung dari apakah ia

menemukan tempat yang tepat diharapkan agar tercapailah keberhasilan usaha-

usahanya, pemenuhan keinginan-keinginannya, dan pemuasan kepentingannya.

Di daerah Banyuwangi, tempat kelahiran pengarang yang terkenal dengan

ronggengnya sekaligus sebagai latar novel ini, memiliki dua golongan yaitu

golongan abangan atau rakyat biasa dan golongan santri atau alim ulama dan

pengarang termasuk kedalam golongan yang kedua. Walaupun di daerah tersebut

terdapat golongan santri, namun keberadaannya tidak pernah mengganggu

keberadaan para ronggeng. Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu

keyakinan yang kuat akan hal-hal yang serba gaib seperti umumnya masyarakat

yang masih berada dalam alam mistis. Ini digambarkan dengan kejadian- kejadian

alam serta kepercayaan yang sengaja digambarkan pengarang dari awal cerita

hingga akhir cerita.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah


Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu
kemenyan pada nisan kuburan Ki Secamenggala membuktikan polah
tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. (hal.10)

Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih
naif, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru
kasatmata setelah dia membuat jantera bianglala di seputar bulan.
Mendiang Sakarya mengatakan, bulan berkalang bianglala adalah
pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk percaya kata-kata
kamituanya.(hal.404)

55
Lingkungan Dukuh Paruk yang terpencil dan terasing membuat warganya

selalu terbelakang dan senantiasa hidup dalam kemelaratan ditambah lagi dengan

kuatnya tradisi dan kepercayaan yang mereka anut. Ronggeng mereka anggap

sebagai simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil menjadi seorang

ronggeng, ia dipuja oleh warganya. Srintil merasa senang, ia menjadi duta bagi

perempuan dipedukuhannya walaupun secara naluri ada sedikit perasaan tidak

nyaman karena segala sesuatunya ditentukan oleh dukun ronggeng.

”Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. ”Kalau boleh
aku ingin menggendongnya sampai lelap di pangkuanku.”
”Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya
besok pagi,” kata perempuan lainnya.
”Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya
kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku
mau minta izin kepada Nyai Kartareja.”
”Engkau mau apa?”
”Memijit Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai
sebelum tidur.”
”Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari
perutku!” kata perempuan lainnya lagi. Berkata demikian, perempuan itu
mengusap matanya sendiri. Kemudian membersihkan air mata yang
menetes dari hidung. (Hal.20)

Leni (1973:20-25, 102-105) dalam karyanya The State and Revolution,

meyakini bahawa revolusi sosial hanya akan terjadi apabila kelas proletariat

tertindas dengan jalan revolusioner atau mengudete negara secara paksa sehingga

proses transmisi masyarakat baru ( komunis ) dapat terwujud melalui pembasmian

kelas borjuis serta kelompok-kelompok oposisi.

Kebodohan warga Dukuh Paruk terlihat ketika mereka diperdaya oleh

lingkungan sekitarnya. Ronggeng mereka bukan lagi sebagai wadah seni tapi

berubah haluan menjadi ronggeng penarik massa dan diberi nama ronggeng

56
rakyat. Keberadaan Srintil yang dipuja sebagai ronggeng oleh warga Dukuh Paruk

justru membawa malapetaka dan ketakutan bagi warganya. Karena Srintillah,

Dukuh Paruk dianggap sebagai orang-orang komunis. Sawah warga hancur

dibabat oleh orang-orang yang tak dikenal, rumah mereka pun hangus terbakar.

Semua hidup dalam ketakutan. Srintil yang pada saat itu ditahan, karena

kecantikannyalah maka ia tidak diperlakukan semena-mena di dalam penjara.

Lingkungan dan masyarakat yang mendukung tidak hanya menjadikan

ronggeng sebagai sarana hiburan seni semata melainkan dijadikan sebagai tarian

cabul dan penuh berahi. Siapa yang mampu membayar maka dipersilahkan

baginya untuk tidur dengan Srintil. Wanita-wanita di Dukuh Paruk pun tak pernah

keberatan dan seolah-olah sangat mendukung jika suaminya berhubungan dengan

ronggeng Srintil. Lingkungan yang menghalalkan kebodohan, sumpah serapah

dan seloroh cabul inilah yang menjadikan segala gerak-gerik Srintil tidak lagi

aneh dan melanggar etika dan moral bagi masyarakat disekitarnya.

4.1.2.2 Cinta

Dalam cerita, seorang ronggeng dilarang jatuh cinta, begitu juga peran

Srintil sebagai seorang gowok. Srintil dan Rasus memang saling mencintai

walaupun pengarang tidak pernah mengungkapkannya. Percintaan mereka selalu

mendapatkan rintangan yang datangnya dari luar dan dalam diri mereka sendiri,

sehingga percintaan itu merupakan percintaan yang gagal. Rasus mencintai Srintil

tetapi merelakannya untuk menjadi ronggeng demi keaslian Dukuh Paruk. Srintil

rela untuk tidak meronggeng tetapi Dukuh Paruk menuntutnya untuk tetap

57
menjadi ronggeng. Namun, kedekatan perasaan mereka membawa Srintil untuk

menyerahkan keperawanannya pada Rasus, bukan kepada Dower, laki-laki yang

memenangkan sayembara tersebut. Gunawan (2000:55) mengatakan bahwa

seseorang yang dengan sadar dan tanpa paksaan menyerahkan keperawanannya

pada orang yang dicintainya serta atas dasar keinginan bersama adalah sebuah

pikiran sadar yang harus dihormati. Tidak menjadi soal apakah mereka kemudian

akan menikah atau tidak.

Rintangan yang sangat kuat sebenarnya ada pada kemunafikan Rasus. Rasus

benci ronggeng tetapi ia memberikan keris kepada Srintil, malam bukak klambu

tidak disukainya, tetapi justru dialah yang mengambil keperawanan Srintil.

Kemunafikan Rasus terus berlanjut, setelah ia meninggalkan Dukuh Paruk dan

tinggal di pasar Dawuan. Dia sering melihat Srintil datang ke pasar Dawuan dan

melihat Srintil selalu digoda oleh pedagang dengan menyentuh pantat atau

pipinya. Rasus hanya dapat menggerutu dalam hati.

”Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau
bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” berkata demikian, tangan
Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti,
Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!

Babah pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya


ikut berbicara. Juga dengan wajah beringas dan mata berkilat. Seperti
juga Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul Srintil
yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini Srintil pun tak berusaha
menolak. Bangsat lagi! (hal.83)

Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat
yang tiada beda. (hal.84)

58
Kemunafikan Rasus ini mempengaruhi karakteristik Srintil. Ia merasa

dihina, dipermainkan dan dikecewakan. Srintil menjadi terombang-ambing antara

menanti cinta Rasus atau tetap mengemban tradisi untuk menjadi ronggeng di

Dukuh Paruk. Di samping itu Srintil mulai merasakan bahwa haknya sebagai

pribadi telah dikungkung oleh tradisi itu. Sejak saat Rasus meninggalkan Dukuh

Paruk, mereka berdua berusaha hidup dalam kenangan masing-masing. Srintil tak

ingin berharap terlalu jauh lagi akan cinta Rasus, hingga ia menemukan kembali

cintanya pada Bajus, laki-laki kota yang sangat diharapkannya akan menjadi

suaminya kelak. Namun nasib berkata lain, cintanya bertepuk tangan karena Bajus

hanya memanfaatkannya. Dalam hidup Srintil ia tidak pernah mendapatkan

cintanya secara utuh. Ketidakwarasannyalah yang kemudian membawanya

kembali pada pelukan Rasus.

4.1.2.3 Perkawinan

Tidak ada perkawinan dalam novel ini. Tapi ada keinginan yang kuat dari

tokoh utama untuk kawin dengan Rasus ataupun Bajus keinginan itu tidak

terwujud.

Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dis tidak tahu
betul setiap rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia
membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan uang.
Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tantang bayi, tentang
perkawinan. (hal.89)

Keinginan Srintil untuk menikah, harus dikuburnya dalam-dalam karena

dalam tradisi, seorang ronggeng tidak boleh menikah. Jika ia melanggarnya, maka

malpetaka akan menimpa dirinya. Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk menambah

59
keyakinan diri Srintil bahwa ia tidak akan pernah menikah. Srintil pun terus

meronggeng dan memendam harapannya.

”Ya, kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari
lagi, kang. Tetapi hatiku, kang, hatiku!”
”Hati?”
”Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari.”
”Bisa,” ujar Sakum cepat. ”Aku percaya indang ronggeng masih tetap
bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati
bila sampean melupakan dia.”
”Dia?”
”Ya, Rasus.” (hal.165)

Keinginan Srintil untuk menikah mulai dikhawatirkan oleh dirinya jikalau ia

tidak akan pernah memiliki anak.

Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai


Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya.
Suami istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab
hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak
kehamilannya yang pertama. (hal.90)

Keinginan yang kuat dari Srintil untuk memiliki anak, membuatnya ingin

mengasuh seorang anak dari temannya Tampi, yang bernama Goder.

Hari-hari selanjutnya Srintil makin larut dalam dunia Goder, larut dalam
ocehan bayi yang lucu menawan. Sentuhan kulit bayi itu menggugah
perasaan aneh pada dirinya. Demikian, maka entah apa yang dirasakan
Srintil ketika ia membenamkan hidung dalam-dalam ke pipi goder.
(hal.139)

Ketika ia keluar dari penjara dan roh indang tidak lagi bersemayam dalam

dirinya, ia kembali melambungkan harapan untuk segera menikah. Kedatangan

seorang Bajus memberinya keyakinan bahwa pernikahan pasti akan terjadi.

”Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? Sekiranya selama ini mas
menutup-nutupi kenyataan bahwa sebenarnya mas sudah punya istri,

60
maka aku mau menjadi istri kedua. Dan biarlah aku menjadi pelayan istri
pertama serta anak-anak mas.” (hal.381)

Kekecewaan Srintil yang tidak jadi menikah membuat ia menjadi gila.

Bahkan ketika ia sudah hilang ingatan pun, Srintil masih saja berceloteh tentang

pernikahan.

”Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan? Maka ayo mandi,” bujuk
Nyai Kartareja. Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.
”He, Kang Rasus gagah.”
”Memang. Kamu juga cantik.”
”He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?” Semua diam. Semua
menghujam pandang ke mataku. ”Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi
penganten,” kataku
”Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus.
Kamu mau memandikan aku?”
”Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi.” (hal.399)

Rasus pun, kemudian menyadari, bahwa kesalahannya adalah pergi dari

Dukuh Paruk dan meninggalkan Srintil. Ia pun berniat mengawini Srintil

sekalipun Srintil dalam keadaan gila.

Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik
keputusanku. Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang
demikian dalam maka aku memutuskan hendak mengawini Srintil meski
dia kini dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan. Itu pikiran umum
dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian amat sepele dan terlalu
bersahaja. ”Ya” yang kuucapkan terbit dari jiwa yang bening dan dalam,
dari pergulatan rasa yang telah mengendap. (hal.403)

4.1.2.4 Budaya

Kebudayaan adalah semua tindakan dan hasil karya yang dilakukan oleh

manusia untuk memberikan arti kepada alam sekitarnya serta juga memberikan

bentuk baru kepada alam. Dengan kata lain kebudayaan tidak lain dari usaha dan

61
hasil manusia mengatasi alam dengan daya pikirnya (Poedjawijatna, 1987:134).

Manusia lahir, tumbuh, dan berkembang bukan ditentukan oleh lingkungannya,

melainkan oleh kebudayaannya.

Dalam kebudayaan Jawa juga dikenal adanya dua bentuk kesenian, yakni

kesenian keraton dan kesenian rakyat (Koentjoroningrat, 1994:212). Kesenian

keraton dikenal dengan kesenian halus sedangkan kesenian rakyat dianggap

sebagai kesenian kasar (Geerzt, 1989:350). Akan tetapi tidak jarang kesenian

rakyat diambil alih oleh seniman-seniman keraton dengan cara memperhalus dan

segi artistiknya, sehingga kesenian itu dapat dipertunjukkan di istana raja atau

keraton, seperti tayuban misalnya. Kesenian keraton itu, misalnya wayang,

gamelan, lakon, joged, tembang, batik, dan sebagainya, sedangkan kesenian

rakyat seperti ludruk, jaranan, dongeng, dan ronggeng.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini kita mengenal adanya istilah

tayuban. Tayuban atau ronggeng adalah salah satu kesenian rakyat tradisional.

Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis

dan bisa pula erotis.

Penari tayub (ronggeng) biasanya mengenakan kostum kain biasa dan kain

setagen sebagai penutup dada (kemben), rambutnya disanggul gaya Jawa. Di

samping itu, seorang ronggeng memakai selendang yang digunakan untuk menari

atau sampur. Para pengibing biasanya berpakaian Jawa lengkap yaitu memakai

blangkon, baju surjan, kain, setagen sebagai pengikat keris. Para pengibing adalah

pria dewasa yang berumur 30-60 tahun. Setiap pengibing menggunakan teknik tari

62
Jawa gagah atau halus dengan gaya-gaya improvisasi, makin kaya gerak yang

dikuasainya akan membuat adegan duet semakin meriah (Suharyoso, 2000:66-67)

Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan

bagaimana seorang ronggeng di atas pentas dan bagaimana di luar pentas.

Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Srintil yang masih berusia sebelas

tahun, dapat menari seperti seorang ronggeng walaupun tidak ada yang

mengajarinya. Hal itu diyakini bahwa Srintil telah dirasuki oleh indang ronggeng.

Sebelum menjadi seorang ronggeng, Srintil harus menjalankan syarat-

syarat atau tahap-tahap yang harus dijalankannya agar menjadi ronggeng. Tahap

pertama, Srintil diserahkan ke dukun ronggeng untuk dijadikan anak akuan dan

akan dilatih menjadi ronggeng sejati. Saat itu Srintil didandani, dimantrai, dan

diberi susuk emas. Ini dilakukan agar Srintil kelihatan cantik.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap


penonton. Banyak orang terharu, dan kagum melihat bagaimana Srintil
melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari-jari tangan,
sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng.
Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum.(hal.38)

Tahap kedua, Srintil harus dimandikan di depan makam Ki Secamenggala.

Orang Dukuh Paruk percaya upacara memandikan seorang ronggeng adalah

upacara sakral, peristiwa yang sangat penting, sehingga pada saat upacara itu

diadakan semua warga mengikutinya. Pada saat upacara berlangsung, Kartareja

kemasukan roh Ki Secamenggala, yang ingin bertayub.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang.
Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan
tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada
saat Srintil menggoyang pinggul, cess......cess.

63
Kartareja menari semakin menjadi-jadi. Berjoged dan melangkah makin
mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul
tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan,
Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya
kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi. (hal.48)

Tahap ketiga adalah upacara bukak klambu. Tahap ini sebenarnya tidak

bermoral dan sangat asusila jika ditinjau dari sudut agama, etika dan moral. Akan

tetapi jika ditinjau dari sudut tradisi, maka tahap itu merupakan suatu kewajaran.

Dalam bukak klambu itu yang disayembarakan adalah keperawanan calon

ronggeng, yakni Srintil. Dalam hal ini Srintil harus menerima kenyataan itu,

walaupun sebenarnya pada saat itu Srintil sudah tidak perawan lagi, karena ia

telah menyerahkan keperawanannya kepada Rasus.

Setelah melalui tiga tahap ini, maka resmilah Srintil menjadi ronggeng

yang sah. Selain adanya ritual yang dilakukan untuk menjadi seorang ronggeng,

masih ada lagi satu kebudayaan yang menarik dalam novel ini, yaitu pergowokan.

Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak laki-

lakinya yang akan kawin. Pergowokan ini berlangsung selama seminggu. Tugas

gowok ini adalah mengajari perjaka tersebut untuk menjadi seorang suami yang

baik termasuk didalamnya melayani istri berhubungan badan. Seorang gowok

akan mendapatkan upah dalam pekerjaannya itu. Ketika Srintil menjadi gowok, ia

berpura-pura berhasil di depan Pak Sentika, ayah dari Waras. Ini dikarenakan

Waras mempunyai kekurangan dalam usianya yang remaja tetapi sifatnya masih

terlalu kanak-kanak.

Tiga malam berikutnya adalah pengulangan malam yang pertama. Tetapi


Srintil masih ada sesuatu di luar kamarnya. Dia mencium bau sirih.
Dalam kelengangan yang hampir sempurna itu Srintil juga mendengar

64
suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar, sesuatu harus
diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga
menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang
sedang lelap. Waras melenguh dan Srintil melenguh profesional.
(hal.224)

4.1.2.5 Politik

Politik tumbuh dan berkembang dengan tatanan yang dilakukan oleh

masyarakatnya. Tatanan politik disebut juga budaya politik. Budaya politik

merupakan suatu hal yang wajar dalam proses sosial suatu masyarakat (negara).

Budaya politik sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial atau sebaliknya.

Andrain (1992:36) mengatakan agar perubahan sosial terjadi, maka orang harus

diyakinkan bahwa perubahan itu dimungkinkan dan diinginkan dalam suatu

masyarakat.

Salah satu sektor yang ada kaitannya dengan budaya politik adalah sastra.

Sastra dipandang sebagai salah satu cara untuk membicarakan atau

menyebarluaskan politik. Garcia Marquez (Dewanto, 1996:133) mengatakan

bahwa tidak ada sastra yang tidak bernilai politik, karena tidak ada manusia yang

tidak berpolitik.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki gambaran tentang suasana politik

di Indonesia.

Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai denngan upacara pagi hari di
lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang
dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-
pohon, tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat
manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti
pemandangan di ladang tembaku yang ditiup angin. Acungan seribu
tangan yang diiringi pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir
yang terjadi di hutan jati meranggas. (hal.180)

65
Setelah perayaan Agustusan itu, tatanan politik mulai masuk ke Dukuh

Paruk, walaupun warga tidak memahami apa itu politik. Gambar-gambar partai

dipampangkan dan ditempelkan di daerah itu, bahkan di rumah Kartareja

terpampang gambar salah satu partai. Tatanan politik itu dimasukkan oleh Pak

Bakar (PKI) ke Dukuh Paruk. Rombongan ronggeng Dukuh Paruk diganti

namanya menjadi ronggeng rakyat. Pak Bakar telah menghubungkan warga

Dukuh Paruk dengan rakyat tertindas.

Kepolosan warga Dukuh Paruk telah diwakili oleh Sakarya, kamitua di

pedukuhan itu. Ketidaktahuan akan politik, karena semua warga buta huruf,

dimanfaatkan oleh kelompok Bakar. Jadi, tatanan politik telah mempengaruhi dan

mengubah suasana di Dukuh Paruk, terutama rombongan ronggeng. Setiap

mengadakan pentas, rombongan itu dilarang untuk membakar kemenyan dan

memasang sesaji. Lirik-lirik lagu telah diubah dengan menyelipkan kata-kata

”rakyat” dan ”revolusi” untuk ”pembakar” semangat massa.

Peritiwa G 30 S PKI merupakan pemberontakan kepada pemerintahan yang

sah yang berakibat fatal bagi Dukuh Paruk. Warga hanya mendengar di Jakarta

terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan orang-orang seperti Pak Bakar.

Puncak dari peristiwa politik tersebut adalah ditahannya rombongan ronggeng

Srintil. Warga dituduh sebagai antek-antek PKI. Dan ketika Srintil keluar dari

tahanan, ia dicap sebagai tahanan politik dan wajib lapor ke kecamatan seminggu

sekali. Kejadian ini menimbulkan luka yang mendalam bagi diri Srintil.

66
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Novel Indonesia mengalami masa gemilang dalam dekade 1970-an. Ahmad

Tohari yang namanya muncul sekitar tahun 1970-an mampu menyumbangkan

sesuatu yang berharga bagi kesusastraan Indonesia, khususnya novel. Novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini sangat erat hubungannya dengan

budaya yang berada di tanah kelahiran pengarang, yaitu Banyuwangi yang

terkenal dengan ronggengnya. Ahmad Tohari telah mengangkat tema yang

sederhana dalam novelnya ini. Kehidupan seorang ronggeng di atas pentas dan di

luar pentas. Banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh beliau dalam novel

ini. Diantaranya adalah masalah kehidupan suatu masyarakat yang terbelakang

dan masih menjunjung tinggi tradisi dan kepercayaannya. Kejadian politik yang

terjadi pada tahun 1965 di Indonesia, turut serta pula mewarnai alur cerita. Oleh

karenanya, novel ini banyak menyampaikan nilai-nilai sosiologi masyarakat

pendukungnya yang akan menambah mantapnya pelukisan latar dan suasana

dalam novel ini.

67
5.2 Saran

Berdasarkan analisis diatas telah dicapai pada penelitian ini, penulis dapat,

menyarankan:

1. Bagi pembaca novel ini bukan hanya menarik sebatas struktural dan sosiologi

saja, tetapi dapat dilihat dari aspek lainnya. Misalnya, aspek psikologis yaitu

menganalisis perwatakan tokoh-tokoh dalam Ronggeng Dukuh Paruk yang

masing-masing memiliki beban psikologi sendiri, baik akibat kejadian-

kejadian dan masalah yang menimpa tokoh-tokohnya.

2. Bagi mahasiswa hendaknya melestarikan dan mengapresiasi sastra. Untuk

menambah wawasan tentang penelitian Sosiologi Sastra, terutama penelitian

sosiologi dalam karya sastra.

3. Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan rujukan untuk melakukan

penelitian selanjutnya khususnya yang membahas sosiologi dalam karya

sastra.

68
DAFTAR PUSTAKA

Kutha Ratna, 2004. Teori, Metode , dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Effendi, S. 1979. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Endraswara, Suwardi.2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan.


Jakarta: Pustaka.

Escarpit, Robert.2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hardjana, Andre.1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta Gramedia.

Hartoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta Gramedia.

Goldmann, Ratna.2003. Konsep Sosiologi Sastra. Bandung. Pustaka Setia.

Jafferson, Ann dan David Rubey. 1988. Teori Kesusastraan Moderen. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka.

Jayawati, Maini Trisna. 1986.”Nilai-Nilai Sastra yang Terdapat dalam Novel


Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari“.Medan: Universitas
Sumatra Utara.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

69
Kalsum, Umi. 2007. Eksistensi Perempuan dalam Fiksi Tohari. Harian Kompas 5
Februari.

Koentjoro ningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kutha Ratna, Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Belajar.

Leni, V. 1. (1973). The State and Revolution. Peking:Foreign Languages Press.

Luxembung, Jan van, 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Magnis, Franz Suseno. 1996. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Nurgiyantoro, Burham. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Poedjawijatna, I.R.1987. Manusia dan Alamnya. Jakarta: Bina Aksar.

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2002. Metedologi Penelitian Sastra. Yogyakarta


Hanindita Graha Widya.

Semi, Antar. 1988. Metedo Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Soekanto, Soerjono. 1982 Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali.

Sumardjo, 1981 Sosiologi Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

70
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1991. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.
1981. Segi

Teeuw, A. 1988.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Wareen. 1989. Teori Kesusastraan( Terjemahan).


Jakarta: Gramedia.

71
Lampiran 1

SINOPSIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk


Penggarang : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota Terbit : Jakarta
Cetakan : Ketiga
Tahun Terbit : 2007
Jumlah Halaman : 408
Ukuran Buku : 21 cm
Ringkasan Cerita :

Sebuah pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk hidup penuh dengan

kebodohan, kemelaratan, dan kemiskinan. Di pedukuhan tersebut hanya terdapat

23 rumah yang kesemuanya adalah keturunan Ki Secamenggala. Dahulunya, Ki

Secamenggala adalah seorang bromocorah, yaitu perampok, pembunuh, dan

pemerkosa. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya dia menghabiskan sisa hidupnya.

Walaupun dahulunya Ki Secamenggala menjadi musuh masyarakat tetapi orang-

orang di Dukuh Paruk sangat memujanya. Hal ini ditandai dengan dijadikannya

kuburan Ki Secamenggala sebagai pusat kebatinan mereka.

72
Ketika musim kemarau, tiga anak laki-laki Dukuh Paruk bernama Warta,

Darsun dan Rasus serta seorang gadis berusia sebelas tahun yang bernama Srintil

sedang asyik-asyiknya bermain di bawah pohon nangka. Srintil sangat pintar

menari dan menyanyi layaknya seorang ronggeng sehingga ketiga anak lakilaki

itu sangat senang hatinya.

Tanpa disadari mereka, gerak-gerik Srintil diperhatikan oleh Sakarya,

seorang kamitua di Dukuh Paruk sekaligus kakek Srintil. Setelah Sakarya melihat

Srintil menari dan menyanyi, maka yakinlah dia bahwa cucunya Srintil telah

dirasuki roh indang untuk menjadi seorang ronggeng. Betapa gembiranya hati

Sakarya melihat kenyataan ini karena selama dua belas tahun pedukuhan tersebut

tidak mempunyai seorang ronggeng. Ronggeng adalah simbol keberadaan Dukuh

Paruk. Maka dengan munculnya Srintil akan mengembalikan Dukuh Paruk

kepada keasliannya. Akhirnya, Sakarya menyerahkan Srintil kepada seorang

dukun ronggeng bernama Kartareja. Penyerahan ini adalah suatu hukum di Dukuh

Paruk.

Suatu senja yang sangat dinantikan warga Dukuh Paruk karena pada saat itu

mereka akan menyaksikan penampilan perdana Srintil, seorang ronggeng yang

sangat diharapkan kehadirannya tampil dengan sangat memukau. Hampir semua

warga Dukuh Paruk memuji penampilan Srintil. Tapi sebelum Srintil tampil

menunjukkan kebolehannya maka Nyai Kartareja terlebih dahulu merias Srintil

seperti seorang ronggeng dewasa. Untuk menambah kecantikannya, Nyai

Kartareja meniupkan mantera ke ubunubun Srintil dan memasang susuk di tubuh

gadis itu.

73
Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali kejadian sebelas tahun

yang lalu. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek. Namun

naas menimpa dirinya. Pada 1946, tempe bongkrek yang dibuatnya mengandung

asam tembaga hingga orang-orang yang membeli tempenya keracunan dan mati

seketika. Beberapa warga yang tidak ikut memakan tempenya terlihat segar bugar.

Mereka menuntut pertanggungjawaban Santayib. Santayib membuktikan bahwa

tempe bongkrek buatannya tidak mengandung racun. Seketika ia menelan tempe

buatannya sendiri. Istri Santayib, ibu Srintil menyaksikan suaminya meregang

nyawa, ia pun tak mau ketinggalan. Ditelannya tempe bongkrek tersebut dan

akhirnya ibu Srintil meninggal sambil memeluk Srintil yang saat itu berusia lima

bulan.

Malapetaka yang menimpa Dukuh Paruk ini selalu dihubungkan warganya

atas kehendak Ki Secamenggala, tetapi bagi seorang laki-laki bernama Rasus, hal

ini tidak bisa diterimanya. Rasus adalah salah satu dari sekian banyak anak yatim

piatu yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya akibat malapetaka tempe

bongkrek. Namun yang menjadi persoalan bagi Rasus adalah perihal keberadaan

emaknya yang tidak pernah pulang dari puskesmas kecamatan semenjak kejadian

malam itu. Ada berita yang mengabarkan kepada Rasus bahwa ibunya dibawa

pergi oleh sang mantri dan kawin lari. Namun kabar lain mengatakan bahwa

ibunya mati setelah keracunan tersebut dan mayatnya dipotong-potong untuk

dijadikan bahan penelitian dokter. Cerita-cerita tentang nasib emaknya membuat

Rasus semakin bingung akan sosok emaknya. Rindunya Rasus pada emaknya

dapat terobati dengan hadirnya Srintil. Dalam diri Srintillah Rasus menemukan

74
bayangan emaknya. Tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, Rasus tidak bisa lagi

berdekatan dengan Srintil. Ini karena Srintil sudah menjadi milik semua warga

Dukuh Paruk.

Sebagai seorang ronggeng Srintil harus melalui upacara ataupun syarat agar

resmi menjadi ronggeng. Maka pada waktu yang telah ditentukan Srintil

melakukan upacara pemandian di kuburan Ki Secamenggala. Setelah upacara

pemandian selesai maka ada satu lagi syarat yang harus ditempuh yaitu upacara

bukak klambu. Syarat inilah yang dibenci Rasus karena dalam upacara bukak

klambu, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang bisa

memberikan sekeping ringgit emas. Sebenarnya Srintil sendiri lebih senang

menyerahkan keperawanannya kepada Rasus tetapi Srintil tahu Rasus adalah

pemuda miskin yang tak punya apa-apa. Tetapi secara diam-diam, pada malam

upacara bukak klambu, Srintil bertemu dengan Rasus di belakang rumah Nyai

Kartareja. Srintil akhirnya menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Kejadian

ini hanya mereka berdua yang mengetahui. Pemenang sayembara yang bernama

Dower pun tidak mengetahui bahwa Srintil baru saja menyerahkan keperawannya

pada Rasus.

Peristiwa di atas menjadikan Rasus berniat meninggalkan Dukuh Paruk.

Dukuh Paruk telah bertindak semena-mena terhadapnya karena sejak peristiwa

bukak klambu, ia tidak pernah lagi menemukan sosok emak dalam diri Srintil.

Rasus akhirnya pindah ke wilayah kecamatan Dawuan. Ketika terjadi

perampokan di Dawuan, Rasus diangkat menjadi seorang tobang oleh salah satu

sersan yang menjaga kecamatan itu berkat keberaniannya melawan perampok.

75
Semakin lama Rasus tinggal di Dukuh Paruk, semakin mampu ia menilai

kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Sementara Srintil berkembang menjadi

seorang ronggeng yang sangat terkenal. Siapa pun bisa tidur dengannya asal

memiliki cukup uang. Ia tidak hanya dipuja di Dukuh Paruk, tetapi juga di luar

wilayah itu. Ketika ia berbelanja ke pasar, orang-orang berlomba-lomba untuk

melayaninya. Ketika usia dua puluh tahun, Srintil mulai mempertanyakan harga

dirinya sebagai wanita. Ia menginginkan kehidupan yang normal sebagai wanita

yang ingin mempunyai suami dan anak. Srintil mulai berani menampik laki-laki

yang tidak disukainya. Pada suatu ketika, tawaran datang pada dirinya untuk

menjadi seorang gowok. Gowok adalah wanita yang disewa oleh seorang ayah

yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah. Selama seminggu Srintil

diharuskan memberi pelajaran kepada anak laki-laki tersebut bagaimana menjadi

suami yang baik dan melayani istri, termasuk di dalamnya masalah seks. Berperan

menjadi gowok, membangkitkan gairah dan semangatnya menjadi seorang wanita.

Ia merasa dirinya sangat diperlukan.

Setelah selesai berperan sebagai gowok, tawaran meronggeng kembali

datang pada Srintil. Awalnya Srintil menolaknya, tetapi Sakarya membujuknya

karena mereka diminta mengisi pementasan pada acara tujuh belasan di

kecamatan. Penampilan Srintil pada acara tersebut memikat hati Bakar, seorang

politisi pada saat itu. Srintil kemudian ditawari untuk tampil pada acara

kampanye. Rombongan ronggeng Srintil pun diberi nama ronggeng rakyat oleh

Bakar. Di depan rumah Sakarya dipasang sebuah papan yang berisi simbol. Tidak

ada satupun warga yang tahu apa makna dari simbol tersebut. Ketika Bakar

76
berkampanye, Srintil juga harus meneriakkan yel-yel kepada massa yang datang.

Kebodohan Srintil, rombongan ronggeng, dan warga Dukuh Paruk membuat

malapetaka bagi mereka. Peristiwa politik pada 1965 menbuat rombongan

ronggeng Srintil dan warga Dukuh Paruk dituduh sebagai biang kerusuhan karena

ronggeng Srintil menarik massa saat berkampanye. Padi warga Dukuh Paruk

dibabat habis oleh orang-orang tak dikenal. Kuburan Ki Secamenggala diletakkan

caping dan arit. Hal ini membuat kemarahan warga Dukuh Paruk. Namun

sebenarnya yang meletakkan caping itu adalah Bakar sendiri. Ia ingin

melimpahkan semua kesalahan pada Dukuh Paruk. Akhirnya Srintil, Kartareja,

Nyai Kartareja dan Sakum pergi ke kantor polisi kecamatan untuk minta

perlindungan diri. Bukan perlindungan yang didapatkan mereka, melainkan

mereka ditahan sebagai tahanan politik. Banyak di antara tahanan yang dibunuh.

Karena kecantikannyalah maka Srintil tidak diperlakukan semena-mena.

Kartareja, Nyai Kartareja, dan Sakum hanya ditahan selama dua minggu,

seterusnya mereka diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan.

Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk untuk melihat neneknya yang sedang sakit

dan akhirnya meninggal dunia, semua warga mengharapkannya agar mau menjadi

pengayom bagi mereka. Sebenarnya Rasus ingin tinggal kembali di Dukuh itu,

namun tugasnya sebagai tentara tidak bisa ia tinggalkan. Rasus berjanji akan

mencari tahu dimana Srintil ditahan dan sebisa mungkin membebaskannya. Srintil

bebas setelah dua tahun dipenjara. Ia kembali ke Dukuh Paruk dengan perubahan

sikap yang luar biasa. Ia menjadi seorang gadis yang pendiam. Srintil menyadari

bahwa bagaimanapun ia seorang perempuan yang menginginkan sebuah keluarga.

77
Srintil ingin meninggalkan semua pekerjaannya yang dulu, baik sebagai ronggeng

maupun pelacur.

Pada suatu ketika, ada pengembangan proyek irigasi di Dawuan. Orang-

orang proyek sering melewati Dukuh Paruk dan datang kesana. Pimpinan proyek

yang bernama Bajus berkenalan dengan Srintil. Bajus mulai menyukai Srintil dan

mempekerjakan beberapa warga Dukuh Paruk. Orang-orang yang awalnya sinis

terhadap Srintil yang dianggap mantan tahanan politik dan warga Dukuh Paruk

sebagai biang kerusuhan 1965, mulai menaruh hormat kepada Srintil dan warga

Dukuh Paruk karena Srintil dan warga Dukuh Paruk dekat dengan Bajus, orang

pemerintah. Artinya, mereka sudah digandeng dan dimaafkan pemerintah. Ketika

Rasus pulang ke Dukuh Paruk, Srintil berharap Rasus mau mengawininya, tetapi

ia tidak mampu mengungkapkannya. Srintil merasa malu atas perbuatannya

selama ini.

Ketika Rasus mau kembali ke kesatuannya, ia tidak memberi keputusan

yang tegas meskipun ia mencintai Srintil. Sementara itu, Bajus semakin dekat

dengan Srintil. Bajus bersikap ramah, baik dan tidak pernah berbuat senonoh

kepada Srintil. Hal ini membuat Srintil yakin bahwa Bajus adalah lelaki yang baik

dan ia menaruh harapan yang besar pada Bajus walaupun Bajus tidak pernah

menyatakan cintanya. Apa yang diharapkan Srintil ternyata tidak terjadi. Bajus

hanya memanfaatkan Srintil. Bajus menginginkan Srintil melayani bosnya agar ia

memenangkan proyek. Akan tetapi Srintil menentang dan menolaknya. Bajus

marah dan mengancam akan memasukkan Srintil kembali ke penjara. Hal ini

membuat Srintil kecewa, marah, sedih dan shock. Akibatnya Srintil menjadi gila.

78
Rasus sangat kecewa ketika kembali ke Dukuh Paruk mendapati Srintil menjadi

gila karena Bajus. Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa dan Rasus

mengatakan kepada pegawai rumah sakit bahwa Srintil adalah calon istrinya.

Rasus pun berjanji pada dirinya untuk memperbaiki Dukuh Paruk dari

kemelaratan, kesengsaraan, dan kemiskinan.

79
Lampiran 2

Biografi Pengarang

Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah,

13 Juni 1948. Beliau adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia.

Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh

Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar

lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangkuh kuliah, yakni Fakultas

Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Jendral Soedirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya

berisi gagasan kebudayaan dimuat diberbagai media massa. Ia juga menjadi

pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.

Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian

Merdeka, majalah keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam

karier kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah

melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara

lain trilogy Ronggeng Dukuh Paruk telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman,

Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang punya hobi mincing ini mengikuti

80
International Writing Programme di lowa City, Amerika Serikat dan memperoleh

penghargaan The Fellow Of The University Of lowa.

Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah

tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil, Dukuh Paruk pada masa

pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap kekiri-kirian oleh pemerintah Order

Baru, sehingga Ahmad Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu. Hingga

akhirnya Ahmad Tohari menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas

dari intimidasi dan jerat hukum.

Bagian ketiga trilogi, berjudul Jentera Bianglala, diterjemahkan kedalam

bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices

terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan

tidak dimuat dalam edisi bahasa Indonesia.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh

sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari(2011). Tohari memberikan

apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan

jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana

dalam film-film sebelumnya.

Karya Tulis: Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari,

Jantera Bianglala, Dikaki Bukit Cibalak, Senyum Karyamin, Bekisar

Merah, Berlantik, Orang-Orang Proyek, Lingkar Tanah Lingkar Air,

Nyanyian Malam, Rusmin Ingin Pulang Ronggeng Dukuh Paruk

Banyumas.

81
82
83
84
Lampiran 5
BIODATA PENULIS

1. UMUM
1. Nama Lengkap : Irnayanti
2. Tempat / Tanggal Lahir : Lahuafu, 30 Desember 2000
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Nama Orang Tua : a. Ayah : Alm. Irwan
b. Ibu : Badaria
5. Agama : Islam
6. Alamat : Btn Tinggede

2. PENDIDIKAN
1. SD : SDN LAHUAFU
2. SMP : SMPN 2 BUNGKU TIMUR
3. SMA : SMAN 1 BUNGKU TENGAH
4. PT : UNIVERSITAS TADULAKO

85

Anda mungkin juga menyukai