Oleh
IRNAYANTI
A11118022
SKRIPSI
IRNAYANTI
SKRIPSI
iv
ABSTRACT
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirahmanirahim
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas petunjuk dan
kehendak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai karya
tulis utama dalam menyelesaikan studi S-1 pada Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas
Tadulako. Tugas akhir ini berjudul “ Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari ( Sosiologi Sastra )”.
Selama dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari
pihak, baik berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk
praktis, maupun bantuan material,dari dosen pembimbing, khususnya peran
mama, kakak, adik, serta keluarga terdekat sangat besar pengaruhnya dalam setiap
hari yang penulis lewati selama penyusunan skripsi ini.Oleh sebab itu, dengan
rasa bangga dan haru penulis mengucapkan terima kasih kepada Alm. Papa dan
Mama tercinta dan terkasih Alm. Irwan dan Badaria yang selama ini sudah
banyak bersusah payah menyekolahkan hingga diperguruan tinggi, kasih sayang
yang selama ini sudah diberikan, membimbing, serta telah berusaha menyediakan
fasilitas serta dukungan doa motivasi untuk tetap terus melanjutkan kuliah
hinggah akhir.
Sebagai wujud rasa bangga dan bahagia, dengan penuh kerendahan hati
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
vi
5. Dr. Iskandar M. Hum. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
6. Dr. Hj. Sriati Usman, M. Hum. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
7. Dr. Ida Nur‟aeni, S.Pd.,M.Pd. Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
8. Dr. Ulinsa, M.Hum., Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, atas kesempatan yang diberikan dalam mengikuti
Program S-1 di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
9. Dr. Agustan, M.Pd., pembimbing yang telah membantu penulis dalam
mengikuti dan menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Tadulako.
10. Drs. Efendi, M.Pd., dosen wali dan penguji I yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan dan arahan selama seminar maupun
ujian skripsi.
11. Drs. Pratama Bayu Santosa, M.Si., penguji II yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan dan arahan selama seminar maupun
ujian skripsi.
12. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Tadulako yang telah memberikan ilmu pengetahuan
yang tak ternilai selama penulis menempuh Pendidikan di Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
13. Kedua orangtua penulis, Alm. Irwan dan Badaria, yang selalu memberikan
dukungan maupun doa serta atas kesabaranya yang luar biasa dalam setiap
langkah penulis.
14. Pihak Bidikmisi yang telah membiayai penulis dalam masa studi di
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tadulako.
15. Muhamad Mulia dan Yani Irmawanthy orang tua ke dua penulis
diperantauan yang selalu memberikan nasehat dan tempat tinggal di kota
palu .
vii
16. Adrina S.Pd, kakak bagi penulis yang selalu memberikan motivasi, arahan
maupun masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
17. Saimul, teman baik penulis yang selalu memberikan dukungan serta
semangat bagi penulis untuk selalu optimis terhadap segala hal agar bisa
membanggakan kedua orang tua penulis.
18. Teman-Teman penulis di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, fivin, Hizkia Sampelobo, Itapuspa, Devi Rizki Amalia Putri,
dan Warga kelas A Bastra yang selalu membersamai penulis dan
memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
19. Noviantika teman kamar diperantauan. Terimakasih atas dukungannya,
dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas-tugas di masa
Studi.
20. Keluarga tersayang Om, tante, nenek, kakek,adik-adik penulis yang selalu
mendukung dan memberikan doa, sehingga penulis mampu mencapai
tahap ini.
21. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebut, atas segala bantuan dan
motivasi bagi penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
IRNAYANTI
A 111 18 022
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACK v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I PENDAHULUAN
ix
2.2.6 Pengertian Ekstrinsik 18
4.1.1.1 Alur 25
4.1.1.2 Perwatakan 33
4.1.1.3 latar 46
4.1.1.5 Tema 50
4.1.2.1 Lingkungan 54
4.1.2.2 Cinta 57
4.1.2.3 Perkawinan 59
4.1.2.4 Budaya 61
4.1.2.5 Politik 65
x
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan 67
5.2 Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 72
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
2. Biografi Pengarang 80
3. Sk Penetapan Pembimbing 82
5. Biodata Penulis 85
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu karya sastra diciptakan oleh para sastrawan untuk dapat dinikmati,
menghibur juga dipakai alat pendidikan atau dengan kata lain ,karya sastra juga
Sastra sebagai sebuah teks tidak dapat melepaskan diri dari peran pengarang
pada waktu tertentu yang berhubungan dengan masalah sosial. Novel menjadi
salah satu karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar di sekolah, khususnya
kelas XII Sekolah Menangah Atas. Melalui novel, siswa dapat memetik hal-hal
positif yang terkandung dalam novel tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai
pendidik selain guru. Materi ajar novel secara tersurat dimuat dalam komposisi
Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum 2013 revisi 2016. Materi tersebut termuat
dalam KD 3.1 dan 4.1. KD 3.1 memuat materi yang mengharuskan siswa
dalam cerita sejarah (novel) lisan atau tulis, dan KD 4.1 siswa diharuskan
1
Karya sastra merupakan cerminan dari sebuah realitas kehidupan
masyarakat.Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat–sifat yang abadi dengan
memuat kebenaran–kebenaran yang hakiki yang selalu ada selama manusia masih
ada (Sumardjo dan Saini K.m, 1991;9) kenyataan yang ada didalam karya sastra
tidak harus sama dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat karena karya
sastra merupakan dunia yang dituangkan dalam bentuk kata–kata, hal ini tidak
lepas dari misi atau amanat dalam karya sastra itu sendiri yaitu sebagai hiburan
yang bermanfaat.
kedalam karya sastra mengungkapkan dasar tradisional dan konflik nilai budaya
yang masih tercermin adalah digunakannya bahasa daerah serta bahasa asing
permasalahan istilah pada sebuah karya sastra yang berbahasa daerah maupun
tradisional lain yang masih dijumpai dalam karya sastra adalah pola pikir yang
masih dipengaruhi adat atau kebudayaan daerah. Pertentanggan adat sering timbul
jika memandangnya dari sudut yang berbeda. Adat istiadat daerah tidak dapat
yang harus dipegang teguh karena terbentur perkembangan zaman. Oleh karena
itu beberapa penggarang kita selalu meletakkan budaya dan adat istiadat suatu
2
Pada dasarnya, karya sastra mengungkapkan persoalan manusia. Dalam hal
apa yang telah terjadi dilingkungan sosial. Kondisi dan permasalahan sosial yang
tertentu sehingga lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Dengan kata lain,
sebuah karya sastra tidak mutlak, mencerminkan seluruh aspek kehidupan atau
kenyataan sosial sehari– hari. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan
berapa ahli telah mencoba membuat suuatu klasifikasi atau ruang lingkup
pendekatan sosiologi sastra. Para ahli tersebut sepakat bahwa sosiologi sastra
dapat menelaah tiga faktor yaitu :1).keadaan sosial pengarang, 2) keadaan sosial
yang tergambar dalam karya sastra,3) keadaan sosial pembaca sastra. Ruang
lingkup ini secara lengkap akan dijelaskan melalui pendapat ahli Rene Wellek dan
1.Sosiologi pengarang yang memasalahkan sttus sosial , ideologi sosial ,dan lain–
3
2.Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan menjadi
pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannnya .
3.Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra
permasalahan pada klasifikasi yang kedua yaitu Sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri sebagai objek kajian dan penelitian. Objek
kajian penelitian ini adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.
Yang diterbitkan pada tahun 1981. Ahmad Tohari lahir didesa Tinggar Jaya
,Banyumas, 13 Juni 1948. Novelnya yang pertama Di Kaki Bukit cibalak ditulis
pada 1977.Kemudian novel Kubah terbit pada 1980 yang dinyatakan sebagai
karya fiksi terbaik tahun tersebut oleh Yayasan Buku Utama. Pada tahun 2003
novel trilogi menjadi satu novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Sebelum
gramedia berani menerbitkan novel tersebut lengkap dengan bagian yang hilang,
mengaggap bahwa ronggeng merupakan simbol harkat, derajat, dan martabat dari
desa tersebut. Seorang ronggeng merasa bangga jika ia bisa tidur dengan banyak
lelaki dan mampu menaklukannya. Bahkan seorang ayah yang mempunyai anak
laki – laki yang akan menikah bersediah menyerahkan anaknya untuk tidur
tidur agar dapat melayani dan memuaskan istrinya. Masyarakat Dukuh Paruk
4
tidak ingin mengubah pola hidup desanya yang kuno dan lekat dengan
Ahmad Tohari dikenal dengan ronggeng atau lengger yang sering kali mejadi
perempuan yang biasanya tabu untuk tampil di hadapan publik, menjadi ajang
perempuan dalam dunia laki – laki. Kenyataan bahwa para isrti tidak cemburu jika
berhubungan dengan roggeng sudah pasti memiliki kejantanan dan uang, dua hal
inilah yang dibanggakan istri dimata masyarakat saat itu. Ahmad Tohari
mengatakan :” Bagi perempuan saat itu, yang penting suaminya tidak dibawah
Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir diseluruh Jawa dan Betawi
dengan bentuk nama yang berlainan. Dalam sejarah jawa yang terkenal, Stamford
5
Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis tentang ronggeng.
di Jawa dan sangat populer dikalangan petani, kesenian ini digelar untuk
Fakta dan fiksi dalam cerita Ahmad Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa
Pembataian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi penelitian para ahli.
Oleh karena itu, kisah ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara
kemanusian yang terdapat dalam novel tersebut .Penelitian ini akan sangat
menarik mengingat cara hidup masyarakat yang dituangkan dalam novel tersebut
sangat bertentangan dengan budaya yang ada pada masyarakat indonesia yang
terkenal dengan budaya timurnya. Hal inilah yang membuat peneliti merasa yakin
6
1.2 Rumusan Masalah
lingkungan , cinta, perkawinan, budaya dan politik yang terdapat dalam novel
Tujuan penelitian ini adalah pengkajian objek dengan cara mencari unsur –
unsur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (
sastra yang merupakan novel terbaik sepanjang tahun dan tetap digemari
peminatnya .
7
1.5 Batasan Istilah .
1. Analisis adalah suatu upaya untuk memudahkan serta memahami karya sastra
2. Sosiologi sastra menurut Sapardi Djoko Damono dalam buku sosiologi sastra
sosial tertentu .
3. Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sebuah karya sastra
8
BAB II
Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, namun dalam
antara lain tema,penokohan, alur, dan latar. Nilai–nilai pendidikan yang menonjol
dalam novel Mengejar Matahari karya Titien Wattimene adalah 1.Nilai cinta dan
kasih sayang yang meliputi (a) kasih sayang terhadap sesama, (b) kasih sayang
dan Karateristik Tokoh Wanita dalam Novel La barka karya N.H Dini dengan
9
penokohan, alur, dan latar.Adapun berdasarkan perbandingan nilai edukatif dan
kesimpulan bahwa nilai edukatif dalam novel La Barka dan Larung adalah nilai
Zaroroh (2013) meneliti “ nilai – nilai edukasi dalam novel Perahu Kertas
karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi sastra”. Penelitian ini membahas latar
sosial,dalam penelitian ini adalah latar sosial kehidupan keluarga yang sederhana.
sastra menemukan nilai-nilai edukasi menonjol diantranya adalah nilai cinta dan
ilustrasi gambar untuk dongengnya: nilai tanggung jawab ditunjukkan oleh sikap
kebahagiaan tampak pada sikap Adri dan Lena yang mengetahui bahwa keenam
lulus ujian SNMPTN dan kebahagiaan yang ditunjukkan Kugy saat memberikan
Dalam penelitian terdahulu dan penelitian yang akan dilakukan ini sama-
sama mengkaji tentang Sosiologi Sastra tetapi pada penelitian saat ini akan
memfokuskan dua sisi pendekatan yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik karya
sastra tersebut. Pertama, analisis struktural.Analisis ini melihat unsur – unsur yang
terdapat dalam suatu karya sastra (unsur intrinsik) seperti sinopsis, alur,
10
perwatakan, latar, sudut pandang, dan tema. Kemudian membongkar dan meneliti
karya sastra berdasarkan teks untuk melihat keterkaitan dan keterjalinan semua
unsur dan semua aspek karya sastra ( Teeuw,1988:135 ). Analisis struktural dapat
penelitian yang menganalisis suatu karya satra secara keseluruhan ,baik unsur-
unsur dalam karya sastra ,maupun unsur – unsur diluar karya sastra .
Kedua ,analisis sosiologi sastra . Nilai- nilai sosiologi sastra yang akan
diungkapkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengacu pada unsur
ekstrinsik dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel tersebut yakni
sastra ini akan dilakukan dengan salah satu pendekatan yang diturunkan oleh
aspek ) teks sastra dan susunan masyarakatnya. Selain itu juga diteliti sejauh mana
politik dibahas dalam peneliian ini karena bagian – bagan tersebut sangat
mendominasi isi cerita dan turut serta dalam mengembangakan keseluruhan cerita.
politik merupakan bagian yang telah ada semenjak manusia hidup berkelompok .
11
2.2 Kajian Pustaka
penafsiran mengenai hakikat dan makna. Pemisah dari satu keseluruhan kedalam
secara keseluruhan.
masyarakat. Sosiologi berasal dari dua kata Latin yakni Socius yang berarti
suatu kebudayaan yang lahir dari tata cara kehidupan. Dalam sosiologi , kita juga
1982 : 17) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial ( misalnya antara gejala
ekonomi, dan agama keluarga dan moral, hukum dan ekonomi serta politik)
12
Hubungan timbal balik antara gejala sosial dan nonsisial ( seperti gejala geografis
mendefinisikan bahwa sastra adalah pengungkapan dari apa dilihat dan dirasakan
pendapat tersebut masih sejalan dengan Semi (1988 : 8) yang menyatakan bahwa
sastra adalah suatuu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
adalah sama–sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Tetapi tidak berarti
kedua bidang tersebut disamakan bengitu saja. Seorang sosiolog hanya dapat
melihat fakta berdasrkan kenyataan yang terjadi didalam masyarakat atau dengan
kata lain hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya. Seorang
sastrawan mampu menembus jauh dari balik kenyataan tersebut. Hal ini terjadi
13
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang meempertimbangkan nilai –
nilai sosiologi pada karya sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984 : 4-5)
menjelaskan bahwa kaarya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan
yang dilakukan dalam menganalisis sebuah karya sastra tidak mungkin dilakukan
hanya satu faktor saja, melainkan juga harus menganalisis karya sastra tersebut
pada satu pihak dan aplikasi dalam penelitian praktis pada penelitian yang lain.
petunjuk jalan agar suatu penelitian tidak kehilangan arah. Oleh karena itulah,
menurut Goldmann (dalam Elizabeth dan Tom Burns, 1973 : 111), apabila terjadi
ketidak sesuaian dengan objek dan data penelitian, hal yang dimodifikasikan
adalah konsep, bukan objeknya. Dalam suatu penelitian hendaknya hanya ada satu
konsep dan apabila memanfaatkan lebih dari satu konsep, konsep-konsep lain
berfungsi sebagai subkonsep. Konsep yang valid dapat dioperasikan dibalik gejala
14
Konsep penelitian sosiologi sastra sering rancu (berat seblah), antara konsep
sastra dan konsep sosiologi sastra. Banyak penelitian yang mulai binggung ketika
menggunakan konsep sastra atau konsep sosiologi sastra. Ratna (2003 : 17-18)
Menurut W.B. Yeats (dalam Watt, 1964 : 313), dasar pemahaman sosiologi
sastra, khususnya fungsi sastra, yaitu seni dan sastra adalah refleksi tindakan
sosial manusia. Sastra menjadi potret keadaan sosial maka tugas penelitian
sosiologi sastra adalah menentukan fungsi ajaran dan hiburan karya sastra dalam
bermasyarakat. Tidak hanya fungsi sastra sebagai kebutuhan pribadi, tetapi juga
menyampaikan ide, pengalaman, dan sistem berfikir atau teori. Hal ini sejalan
pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami dipermenungkan, dan
kehidupan lebih dapat dirasakan dalam novel dari pada kita harus membaca
15
kenyataan itu dapat dipandang sebagai kenyataan dalam masyarakat
pendukungnya.
antara kenyataan dan imajinasi. Dengan keutuhan ide dan imajinasinya, pengarang
mampu melukiskan sosok Srintil yang telah kemasukan roh ’indang‘ sehingga
mampu menjadi seorang ronggeng. Seorang ronggeng pada masa itu merupakan
simbol dari harkat dan martabat suatu desa yang bernama Dukuh Paruk.Tidak
semua wanita yang ada di Dukuh Paruk bisa menjadi ronggeng. Hanya seorang
wanita yang mendapat roh „indang„ yang mampu menjadi seorang ronggeng,
Srintil. Ketika pada 1965 srintil terpaksa masuk penjara karena dituduh ikon atau
lambang dari suatu partai politik.Padahal Srintil hanya menari untuk menghibur
para anggota partai politik yang saat itu sedang gencar melaksanakan kampanye.
Setiap partai berusaha untuk mencari dukungan dari masyarakat hingga kedesa –
desa agar memenangkan pemilu nantinya. Karena saat itu bengitu banyak
lagi.Pada saat yang bersamaan itupulah Dukuh Paruk hancur dan Hampir tidak
16
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah sastra adalah produk masyarakat yang
cerminan dari suatu zaman. Maka novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan
produk masyarakat pada zamannya dan tempat karya itu diciptakan. Dalam novel
pada masa itu tentang budaya yang tidak terlepas dari adat ketimuran.
Secara etimologis struktur berasal dari kata sructura, kata Latin, yang
berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme dapat dilacak dalam
Poetice Aritoteles dalam kaitanya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam
(dalam Pradopo, 2002 : 93) mengatakan bahhwa karya sastra itu merupakan
sebuah struktur yang unsur- unsurnya atau bagian- bagiannya saling berjalinan
erat. Dalam struktur itu unsur-unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya,
dengan keseluruhan atau totalitasnya. Dalam sebuah novel atau cipta sastra,
karya sastra itu mempunyai struktur. Hubungan yang saling terkait itu bersifat
tetap.Artinya, tidak bergantung pada sebuah novel atau cipta sastra tertentu saja.
Menurut Luxemburg ( 1992 : 36), struktur atau strukturalisme adalah sesuatu yang
17
saling berkaitan dan teratur.Kaitan itu dilakukan oleh penelitian berdasrkan
semua anasir dan aspek karya sastra yang sama-sama menghaslkan makna
karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya
relasi timbal balik antara bagian-bagian dan antara bagian dan keseluruhan. Hal
senada pula diungkapkan oleh Lane ( dalam Sukada,1987 : 52) bahwa struktur
adalah sesuatu yang memiliki hubangan abstrak anatara yang satu dengan yang
lain. Struktur ini memiliki isi yang tidak tertentu dan hanya dapat dipahami
melalui organisasi akal dan memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata
secara wajar.
ekonomi, sistem sosial, adat istiadat dan politik. Lebih lanjut Luxembung (1992 :
aspek teks sastra dan susunan masyarakat, sistem masyarakat serta perubahannya
18
tercermin didalam karya sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber
menganalisis system yang ada didalam masyarakat. Sastra sebagai institusi sosial
yang berada diluar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra . Bagaimana pun juga, memahami
unsur – unsur dalam suatu karya sastra akan sangat membantu kita dalam
memahami makna karya sastra tersebut, karena karya sastra tidak muncul dari
kepribadian dan kehidupan wilayah pengarang dan tokoh utamnya. Namun, kita
tidak boleh terjebak oleh pernyataan bahwa seni adalah ekspresi jiwa yang murni
dan polos ini berarti perwujudan pengalaman pribadi dan perasaan yang tercermin
dalam sastra tidaklah mutlak atau fotokopi dari kehidupan iu sendiri. Walaupun
karya itu sendiri sangat erat dengan kehidupan pengarang atau tokoh dalam karya
tersebut. Oleh karena itu, unsur Ekstrisik pada pembahas novel ini mengacu pada
nilai–nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan,
19
2.3 Kerangka Pemikiran
Ronggeng Dukuh Paruk dianalisis dari unsur–unsur yang ada dalam karya sastra
Unsur Intrinsik dari penelitian ini meliputi alur, perwatakan, latar, sudut
pendekatan sosiologi sastra yang terdapat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk.
20
Analisis Novel
Ronggeng Dukuh
Paruk
Pendekatan Sosiologi
Sastra
HASIL
21
BAB III
METEDO PENELITIAN
penelitian yang berasumsi pada perilaku manusia yang dipengaruhi oleh latar,
situasi, dan budaya dimana perilaku itu muncul ( 1988 : 24). Metode kerja yang
pertama diterapkan yaitu pendekatan intrinsik. Lalu agar lebih mudah melihat
novel Ronggeng Dukuh Paruk seperti tradisi, adat, perasaan berupa percintaan dan
sasaran penelitian. Sedangkan unsur intrinsik dalam novel ini yakni alur,
perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, dan tema. Lalu unsur ekstrinsiknya
mengacu pada nilai–nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut
22
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit pertama tahun
sastra , penelitian kajian sastra yang relevan, dan jurnal ilmiah atau internasional .
3. Mencatat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting sesuai
2. Menganalisis data yang sesuai dengan nilai – nilai sosiologi sastra yang
23
4. Menyimpulkan tentang nilai- nilai sosiologi sastra dalam novel Ronggeng
24
BAB IV
mengenai unsur intrinsik yaitu, Analisis Struktural dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk(Alur, perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, tema ) dan unsur ekstrinsik
4.1.1 Analisis Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
4.1.1.1 Alur
Alur yang baik adalah alur yang dapat membangun satu cerita, sehingga
pembaca ingin membaca cerita itu hingga akhir dapat dapat memahaminya. Alur
oleh Nurgiyantoro ( 1998:110 ) kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan
( utama ) cerita, bahkan umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak
lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Alur merupakan cerminan
dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berfikir, berperasaan,
25
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan ( Nurgiyantoro,
1998: 114 ).
Banyak cara bagi pengaarang untuk melukiskan jalan cerita, diantaranya ada
yang menggunakan alur sorot balik dan ada juga yang secara kronologis. Sorot
balik atau flas back adalah jika urutan peristiwa-peristiwa yang disajikan disisipan
dengan bentuk dialong, dalam bentuk mimpi, lamuan, atau teringat kembali pada
sesuatu hal atau peristiwa. Sedangkan secara kronologis adalah peristiwa yang
bergerak dari awal hingga akhir dan tersusun menurut urutan waktu kejadinya.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memakai alur flas back. Secara umum
unsur terdiri dari tiga hal, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Akan tetapi,
Pembagian dari sebuah cerita rekaan telah terperinci oleh Mochtar Lubis (
Demikianlah jika ditinjau dari dalam ceritanya, alur novel Ronggeng Dukuh
Paruk adalah flas back. Hal ini terlihat karena Ahmad Tohari Memulai cerita
26
dalam cerita tersebut mulai bergerak diselingi dengan menceritakan kejadian yang
Lengkapnya , alur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh paruk ini,
Dukuh Paruk adalah suatu daerah yang kecil dan menciptakan kehidupan
Tradisi dan kepercayaan alam sangat dipengang teguh oleh anak cucu Ki
Secamenggala, Mereka sangat percaya kepada hukum alam yang berlaku dan
seorang ronggeng.
27
Sakarya tersenyum . Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala
itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang
ronggeng di sana.” Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk.
Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan
ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. ( hal.15)
bergerak)
Malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sekitar tahun 1946 atau sebelas
tahun yang lalu membuat Dukuh Paruk gempar. Santayib, ayah Srintil adalah
pagi itu tempe yang dijual mengandung racun. Sembilan orang dewasa dan
istrinya yang nekat menelan tempe buatannya sendiri guna membuktikan bahwa
Dukuh Paruk kembali ingat pada kejadian tersebut dan membuat hati Rasus,
teman sepermainannya menjadi gellisa. Emak dan ayah Rasus adalah salah satu
korban malapetaka tempe bongkrek. Ayahnya mati pada saat itu juga, sementara
ibunya dalam keadaan tidak sadar dibawa oleh mantra ke kota. Semenjak itu ia
tidak pernah lagi mengetahui apakah ibunya sudah mati atau kawin lari dengan
mantra itu.
28
Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak
merasakan kengerian. Ini pengangkuanku yang jujur. Sebab bayangan
demikian masih lebih baik bagiku dari pada bayangan lain yang juga
mengusik angan-anganku. Itu andaikan emak meninggal, melainkan
pergi bersama si mantra entah kemana. (hal.35)
Namun, semenjak Srintil dipuja oleh banyak orang ia mulai menyadari bahwa
Srintil bukanlah milik dirinya semata melainkan milik semua warga Dukuh Paruk.
kecintaan atau seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau
bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang
bangus seperi Srintil. Suaranya lembut , sejuk, suara seorang perempuan sejati.
29
3. Rising Action ( keadaan mulai memuncak )
pemandian, masih ada satu lagi syarat menjadi seorang ronggeng. Srintil harus
seorang ronggeng kepada seorang laki-laki. Sebagai salah satu syarat, laki-laki
Upacara bukak kelambu itu merupakan suatu tradisi yang harus dijalankan
oleh setiap wanita yang akan menjadikan ronggeng. Sebenarnya Sritil merasa tak
berdaya dengan malam bukak kelambu yang akan dilaluinya. Namun ia tidak bias
“ Tentu kamu senang karena kau akan memiliki ringgit emas. Kukira
begitu.”
“Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun
yang akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak kelambu.
Kau sudah tahu itu, bukan?” ( hal.55)
Puncak cerita ini adalah terjadinya malam bukak klambu. Artinya Srintil
resmi menjadi seorang ronggeng baru yang sah. Dengan demikian semua lelaki
30
berhak atas dirinya dengan memberikan uang sebagai imbalannya. Yang
dua pemuda dan pemuda yang lain bernama Sulam. Tanpa diketahui oleh
pasangan Kartareja, sebenarnyan Srintil pada malam itu menyelinap keluar dan
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau
tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan
pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal.76)
Ahmat Tohari memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil pun di puja oleh banyak orang dan hidupnya
bergelimang harta namun sesungguhnya hati kecilnya masih ingat pada Rasus.
wanita utuh. Ia mulai berani menolak lelaki dan melakukan kehendakan tanpa izin
Nyai Kartareja. Ketika ia menjadi seorang gowok. Ia merasa tidak semua laki-laki
menginginkan kewanitaannya.
31
Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak
terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa
kepada suatu ketika keperempuannya sama sekali tidak berarti, hal mana
pernah sekali pun terbayangkan. (hal.224)
Ketika Rasus kembali, Srintil masih berharap agar Rasus mau menjadi
Srintil berteman akrab dengan Bajus. Srintil berharap berharap kelak Bajus akan
Kejadian tersebut membuat Srintil shock dan menjadi gila. Pada saat itulah
Rasus kembali datang. Ia membawa Srintil pergi berobat dan berharap kelak jika
32
Kepala bangsal memanggilku untuk meminta keterangan dan data tentang
biaya perawatan. Tetapi tiba-tiba lidahku kelu ketika petungas bertanya tentang
“Istri?”
“Bukan. Aku masih bujangan.”
“Hanya saudara?”
Aku diam dan menunduk.
“Wah, saying. Sungguh saying. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa
kubayangkan kecantikannya dikala dia sehat. Lalu, maafkan aku Mas.
Dia bukan istriku, bukan pula adik sampean. Maaf , pasien itu calon istri
sampean barangkali?”
Ya !”(hal.402)
4.1.1.2 Perwatakan
Perwatakan dalam sebuah cipta sastra tidak terlepas dari tokoh atau pelaku
dalam suatu cerita. Sehingga segala kejadian atau peristiwa di dalam karya sastra
bagian, yakni tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama masih dapat
dibedakan lagi atas protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh
utama yang menjadi pusat sorotan dalam cerita. Tokoh antagonis merupakan
penentang utama tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam novel ini adalah
pasangan Kartareja.
kedudukan sebagai tokoh utama. Ada beberapa kriteria yang dapat kita
33
pergunakan untuk menentukan tokoh utama, (1) Bagaimana intensitas keterlibatan
tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang
paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang
paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4) Tokoh utama selalu bisa
mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul, sebab ada kalanya judul cerita
mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan
bab penutup dilakukan oleh tokoh yang sama (Sudjiman 1988:19, Luxemburg,
1992:132) .
menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh sentral dalam novel ini adalah
Rasus.
Dalam hal cara menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cipta sastra
Sudjiman (1988:20) menggunakan istilah tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh
datar bersifat statis, lakuan atau karakter tokoh ini sedikit sekali mengalami
perubahan bahkan cenderung tidak berubah sama sekali. Sebaliknya watak atau
karakter tokoh yang menampilkan lebih dari satu segi atau ciri adalah tokoh bulat.
Yang menjadi tokoh datar atau tokoh bulat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
adalah Sakarya, kakek Srintil dan Sakum. Sedangkan Bajus dan Rasus termasuk
metode langsung atau metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui
34
kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau metode
dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,
cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari
gambaran lingkungan sekeliling maupun penampilan fisik tokoh. Dalam novel ini,
pengarang menggunakan kedua metode tersebut yaitu metode analitis dan metode
dramatik.
1) Srintil
Srintil dalam cerita ini dimulai dari awal hingga akhir. Srintil menjadi tokoh yang
peristiwa demi peristiwa. Di samping itu Srintil juga merupakan salah satu dari
struktur itu sendiri. Sebagai tokoh utama, peran Srintil sangat menentukan dalam
Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil pulalah yang menghidupkan kembali tradisi
Pada saat Srintil berusia sebelas tahun, ia mampu menari seperti ronggeng
ronggeng sejati.
35
”Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng
yang sebenarnya, juga diperbuat Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik
matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau
laki-laki dewasa mana pun yang meliriknya.” (hal.13)
Srintil. Srintil sebenarnya ragu, tetapi ini merupakan suatu keharusan untuk
menerima keadaan karena ia tunduk pada tradisi dan bersikap pasrah terhadap apa
yang terjadi. Persyaratan itu tidak bisa ditolaknya dan ia sangat menyukai Rasus
Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa
sebuah ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan
menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.
”Bagaimana?” tanyaku mengulang.
”Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan
kepala.
”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas.
Kukira begitu.”
”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun
yang akan menjadi seorang ronggeng harus mengalami malam bukak
klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”.(hal.55)
Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena
aku pun tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat
dan gemetar. ”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus,
sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini
bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal. 76)
Status Srintil sebagai seorang ronggeng menjadikan dirinya begitu tenar dan
menjadi pusat perhatian orang banyak di mana pun ia berada. Di samping itu juga
dibanding dengan warga lainnya. Tetapi itu semua tidaklah membuat hidupnya
36
bahagia. Nalurinya tidak dapat dibohongi untuk hidup layak dengan laki-laki yang
dicintainya.
tradisi dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Itulah watak Srintil sebagai
wanita yang berwatak nrimo (tunduk kepada keadaan), rila (kesanggupan untuk
melepaskan hak milik), dan ihklas (bersedia untuk melepaskan individualitas dan
menjadi tradisi).
2) Rasus
Rasus sebenarnya pria yang cerdas, tetapi Rasus masih tunduk kepada
kesengsaraan Dukuh Paruk. Watak ini terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“Boleh jadi dengan cara ditanam seperti itu keringatku yang pasti
mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori di kulit
tubuhku. Dengan demikian kekuatan racun cepat berkurang. Ah, tetapi
teori demikian sangat tidak patut dan hanya akan mengundang tawa
orang-orang pandai. Maka lebih baik kuikuti keyakinan nenek, bahwa
aku selamat karena roh Ki Secamenggala belum menghendaki
kematianku.”(hal.33-34)
37
Rasus sangat merindukan sosok emak yang telah pergi meningggalkannya
ketika umur tiga tahun. Ketika terjadi peristiwa tempe bongkrek, emak dibawa
mantra ke kota untuk berobat. Namun emak tak pernah kembali. Rasus hanya
“Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya
hidup dalam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang
tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga
mewakili emak, walau aku tak pernah tau dia dimana.”(hal.41)
bayangan emaknya dan ia juga telah mampu hidup tanpa bayangan emaknya.
Setelah Rasus keluar dari Dukuh Paruk ia diangkat menjadi seorang tobang,
tentara. Tentu saja keberadaan Rasus sebagai seorang tentara membuat bangga
warga Dukuh Paruk. Apalagi Rasuslah warga Dukuh Paruk yang pertama sekali
menjadi tentara. Katika Srintil berada di dalam tahanan, Rasus pulalah yang
38
“Eh, itukah Rasus? Kamu masih ingat padaku? Aku Sakum.”
“Sakum! Panggil dia „Pak‟. Tidak pantas kau ber-kamu kepadanya
sekarang,” ujar Nyai Kartareja.
“Oh, maafkan aku, Rasus, eh Pak Rasus. Sampean sudah beristri, bukan?
Cantik mana dengan Srintil?”
“Aku masih sendiri Kang Sakum.”
“Sendiri? Malah kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Tetapi dia
sekarang entah di mana. Nah sampean tentara, Kan?”
“Ya, Kang.”
“Nah, jadi sampean bisa menolong Srintil. Kasihan dia. Hanya sampean
yang bisa menolong. Sampean mau, bukan?”
Sakum tidak dapat melihat Rasus yang lansung terpekur. Tetapi dia bisa
merasakan suasana yang mendadak janggal. Maka dia tidak berani
berkata-kata lebih jauh. (hal.257)
keadaan gila, ia menyesali segala perbuatannya. Kenapa ia justru pergi dari Dukuh
dan kebodohan.
Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tidak berani melihat mata
Sakum yang buta. Tiba-tiba aku menjadi inti kedunguan Dukuh Paruk
kepada siapa tadi malam aku mengumumkan perang. Dan Sakum dengan
bahasa yang amat bersahaja menunjukkan bahwa kunci utama untuk
menembus kedunguan tanah airku yang kecil justru berada pada
genggamanku. (hal.399)
sehingga harus melepaskan diri dari tradisinya itu walaupun belum berniat dalam
39
3) Kartareja
berwatak licik dan mata duitan. Watak ini tergambar jelas dalam kutipan berikut
ini :
”Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus
datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak apa boleh buat. Kau
kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
”Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku
hilang?” tanya Dower.
”Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya.
”kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Aku akan menunggu pemuda
yang lain”. (hal.59)
Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa
senang. Seekor kerbau betina yang besar di tambah dengan dua keping
rupiah perak. Dukun ronggeng itu terbahak-bahak dalam hati. Hanya
karena Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia dapat
mengendalikan perasaannya.” (hal.70)
yang besar dari peminat sayembara “ bukak klambu” yang diselengarakannya itu.
Srintil.
4) Nyai Kartareja
Nyai Kartareja ini seorang wanita tua yang bergaya mucikari. Dengan segala
40
Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil.
”Tak mengapa bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang
memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.”
”Tetapi perutku sakit, nek. Amat sakit”.
”Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku.
Semuanya tak mengapa kau lakukan. Ingat, Sebuah ringgit emas!
Istirahatlah sekarang selagi Sulam masih mendengkur.”(hal.77)
Dalam memilih lelaki pun, Srintil tidak turut mencampuri lelaki mana yang
5) Sakarya
itu. Ia sangat memegang teguh budaya dan adat yang ditinggalkan oleh Ki
Sakarya bangga.
Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu
hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng.
Keluarga calon harus menyerahkan kepada dukun ronggeng, menjadi
anak akuan. (hal.17)
41
Ketika hari kematian Sakarya sudah dekat, ia merasakan hal-hal aneh da ia
6) Sakum
gerak gerik ronggeng dengan calung yang dipukulnya. Sakum selalu meneriakkan
42
”Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang
kukenal. Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan
sampean adalah bau badan ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa
ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang ronggeng. Kelak pada
suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila
indang telah meninggalkan diri sampean.” (hal.115)
Emak dan Mantri merupakan tokoh-tokoh hasil ciptaan Rasus. Kedua tokoh
ini tidak pernah ada secara nyata, namun sangat berpengaruh terhadap Rasus dan
jalan cerita. Semua hal tentang emak dan mantri hanya dalam angan Rasus belaka.
Gambaran mengenai emak dalam angan Rasus pada mulanya identik dengan
Srintil yang cantik dengan memiliki cambang halus di pipinya, berlesung pipit
kiri, suaranya lembut, kulitnya putih, dan senyumnya menawan hati. Tetapi
akhirnya gambaran ini telah digantikan dengan citra perempuan Dukuh Paruk
pada umumnya, seperti berambut kusut dengan ujung kemerahan, wajah lesu dan
pucat, telapak kaki yang lebar dan penuh kotoran, kata-katanya yang kasar diiringi
Gambaran mantri dalam angan Rasus adalah seorang pria berkumis panjang,
bertopi gabus, berpakaian putih, dan telah mengawini emaknya. Ketika gambaran
tentang emaknya berubah, maka gambaran tentang mantripun ikut berubah yaitu
pria sinting dan bodoh karena mau mengawini warga Dukuh Paruk.
43
8) Dower
tetapi juga merupakan suatu kebanggaan. Didorong oleh hal inilah maka tidak
9) Waras
Waras adalah anak seorang petani kaya dari Pecikalan. Sebagai seorang
Pak Sentika berkeinginan agar Srintil menjadi gowok yaitu seorang perempuan
yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa
Waras, lelaki berusia tujuh belas tahun yang sangat lugu membuat Srintil
merasa tertantang. Namun, bagaimanapun usaha Srintil tidak ada sedikitpun nafsu
44
Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang
dilakukannya terhadap Srintil.
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu
dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan
yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan kepentingan pribadi
di sana. Tetapi penantian itu tawar, bahkan kosong. Waras hanya berhenti
pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin
lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar
dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang
bocah. (Hal. 222-223)
10) Bajus
Bajus adalah orang kota yang sedang menangani proyek di Dawuan. Setelah
Srintil keluar dari penjara, ia tidak lagi mempunyai keberanian untuk dekat
berpura-pura baik kepada Srintil agar ia bisa memberikan Srintil kepada bosnya
Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia
menjatuhkan diri ke kasur dan merasa terhempas ke balik tabir antah-
barantah. Dalam sekejap dunianya yang penuh bunga bersemi berubah
menjadi padang kerontang dan sangat gersang. ”Oalah, Gusti Pangeran,
oalah, Biyung, kaniaya temen awakku....” (Hal.382)
”Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau
menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku
tidak bisa melakukannya?” (Hal.383)
45
4.1.1.3 Latar
Latar merupakan salah satu unsur novel ataupun cerita pendek yang dapat
sehingga tampak bahwa berbagai unsur dan cerita bergantung pada latar.
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra
membangun latar.
Menurut Hudson dalam Sudjiman (1988:44) latar dapat di bagi dua, yakni:
Latar Sosial dan Latar Fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
bahasa, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat
Hubungan Srintil dengan latar Ronggeng Dukuh Paruk tentunya sangat erat,
tentang latar waktu dan tempat dalam novel ini. Latar waktu peristiwa ini terjadi
di Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan pada 1946, 1957, 1960 an dan 1971.
46
Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di
lapangan Kecamatan Dawuan. (hal.180)
Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan
ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar.
Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar. Ronggeng
Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. (hal. 232)
Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka
berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kapala seperti
itu.(hal. 236)
Masyarakat Dukuh Paruk sangat percaya akan pengaruh dan tanda-tanda yang
”Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar.
”Takkan ada orang yang melihat kita disini. ”Srin, ini tanah pekuburan.
Dekat makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,” jawabku.
Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku. (hal.67)
Keberadaan Dukuh Paruk yang melarat juga terlihat jelas dalam kutipan
berikut.
47
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu
kemarau berjaya. (hal.9)
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh
Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus
dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah.
(hal.79)
yang bodoh, miskin, dan terbelakang. Latar seperti itulah yang menciptakan
Srintil harus mengikuti aturan-aturan yang sudah digariskan oleh nenek moyang
mereka. Kemelaratan dan kesengsaraan warga Dukuh Paruk juga diakui dan
disadari oleh masyarakat di luar pedukuhan itu. Bahkan warga di luar Dukuh
Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang
senang berkata misalnya, ”Jangan mengabadikan kemelaratan seperti
orang Dukuh Paruk.” atau, ”Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak
nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak
Dukuh Paruk!” (Hal.15-16)
Lukisan suasana atau kedaerahan yang masih diwarnai adat Jawa ini sangat
selama dua puluh lima tahun, hampir semua peristiwa berkaitan dengan Srintil,
dan bisa dikatakan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah kisah hidup Srintil dari
48
4.1.1.4 Sudut Pandang
berdiri, apakah di dalam atau di luar cerita. Sudut pandang pengarang dalam
mengisahkan ceritanya dibagi dalam empat cara oleh Mochtar Lubis (1981:21):
(1) Author ominiscient ( orang ketiga ). Cara ini yang biasa dipakai. Si pengarang
(2) Author participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ada dua
(3) Author observer (ini hampir sama dengan cara kesatuan, bedanya pengarang
pelakunya)
Dukuh Paruk ini adalah dengan cara multiple (campur aduk). Hal ini disebabkan
Ahmad Tohari memakai cara Author ominiscient dan juga memakai Author
participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ini berawal karena
novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan trilogi, antara novel yang pertama,
49
Pada bagian yang pertama, Catatan Buat Emak, pengarang menggunakan
Author Participant yaitu pengarang mengambil bagian dalam cerita. Dalam hal ini
Pada bagian yang kedua, Lintang Kemukus Dini Hari dan bagian yang
4.1.1.5 Tema
Tema adalah gagasan utama atau masalah yang mendasari sebuah karya
menerima dari apa yang dilihat, didengar, atau dirasakannya dari peristiwa-
50
peristiwa disekelilingnya. Hal ini merupakan pengalaman hidupnya sendiri atau
yang mendasari suatu karya sastra itu yang disebut tema. Lebih lanjut Sudjiman
mengatakan bahwa tema terkadang di dukung oleh pelukisan latar, dapat pula
tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan, atau bahkan tema dapat pula menjadi
dengan memandang persoalan itu seperti yang ia alami. Selesai membaca sebuah
karya sastra (novel). Kemungkinan sekali kita akan merasakan sesuatu yang
atau kebahagiaan seperti yang dialami tokoh cerita atau berbagai reaksi emotif
yang lain yang dapat menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menyikapi
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini temanya berhubungan erat dengan
menyampaikan temanya. Maka tema dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah
51
Mengutip istilah Sudjiman (1988:56) tentang adanya tema sentral dan tema
sampingan maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memenuhi kedua jenis
tema tersebut. Adapun tentang tema sentralnya, yakni tentang seorang ronggeng
menentukan sikap. Hingga timbullah konflik maupun persoalan sosial dan cinta di
Berbagai peristiwa maupun persoalan yang ada dalam novel ini pada
tema dalam novel ini. Srintil adalah seorang gadis berusia sebelas tahun. Pada
usianya yang masih sangat muda ia sudah hapal lagu-lagu yang biasa dibawakan
oleh seorang ronggeng tanpa pernah mempelajarinya. Srintil juga mampu menari
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil
menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekalipun
Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh
Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan
Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
52
memukau laki-laki dewasa manapun yang melihatnya. Seorang gadis
kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya
seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran. (Hal.13)
Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil
menjadi tahanan politik membuat ia sadar bahwa ia adalah wanita biasa yang
ditubuhnya dan ia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti aturan-aturan yang
Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali
Srintil menyuruh, jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di
tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi rencana
jiwanya, rencana hatinya, dan rencana sistem ragawinya. Maka alam
jangan disalahkan bila dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja
meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan dan bukan pula dalam
masa menyusui. Ketika Srintil pertama kali sadar teteknya mengeluarkan
air susu maka dia berurai air mata. Namun semangat hidupnya bangkit
segera. Srintil kini banyak makan, banyak minum air sayur, bahkan minta
diramukan jamu pelancar air susu. Hanya dalam beberapa hari tubuhnya
kembali segar dan kelihatan lebih hidup. (hal.139)
53
semata. Harapan yang besar pada diri Srintil untuk menikah membuat ia
membimbing Dukuh Paruk dari keterpurukan. Ahmad Tohari melalui tokoh Rasus
bukan melarang tradisi ronggeng itu, tetapi perbuatan, sikap, dan tingkah laku
4.1.2.1 Lingkungan
beberapa bidang yang saling terpisah tanpa hubungan sama sekali, tetapi realitas
dalam pandangan mereka merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh
bidang realitas dapat dilihat secara jelas dan tajam yakni, dunia, masyarakat, dan
alam adikodrati. Namun bagi orang Jawa tiga hal tersebut tidak berdiri sendiri
tersebut kita dapat mengartikan bahwa kondisi atau kekuatan yang ada di dalam
54
Lingkungan dalam pandangan Jawa menjadi sesuatu yang sangat penting.
Magnis (1996:93) menyatakan bahwa tempat yang tepat mempunyai arti yang
ronggengnya sekaligus sebagai latar novel ini, memiliki dua golongan yaitu
golongan abangan atau rakyat biasa dan golongan santri atau alim ulama dan
keyakinan yang kuat akan hal-hal yang serba gaib seperti umumnya masyarakat
yang masih berada dalam alam mistis. Ini digambarkan dengan kejadian- kejadian
alam serta kepercayaan yang sengaja digambarkan pengarang dari awal cerita
Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih
naif, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru
kasatmata setelah dia membuat jantera bianglala di seputar bulan.
Mendiang Sakarya mengatakan, bulan berkalang bianglala adalah
pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk percaya kata-kata
kamituanya.(hal.404)
55
Lingkungan Dukuh Paruk yang terpencil dan terasing membuat warganya
selalu terbelakang dan senantiasa hidup dalam kemelaratan ditambah lagi dengan
kuatnya tradisi dan kepercayaan yang mereka anut. Ronggeng mereka anggap
sebagai simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil menjadi seorang
ronggeng, ia dipuja oleh warganya. Srintil merasa senang, ia menjadi duta bagi
”Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. ”Kalau boleh
aku ingin menggendongnya sampai lelap di pangkuanku.”
”Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya
besok pagi,” kata perempuan lainnya.
”Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya
kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku
mau minta izin kepada Nyai Kartareja.”
”Engkau mau apa?”
”Memijit Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai
sebelum tidur.”
”Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari
perutku!” kata perempuan lainnya lagi. Berkata demikian, perempuan itu
mengusap matanya sendiri. Kemudian membersihkan air mata yang
menetes dari hidung. (Hal.20)
meyakini bahawa revolusi sosial hanya akan terjadi apabila kelas proletariat
tertindas dengan jalan revolusioner atau mengudete negara secara paksa sehingga
lingkungan sekitarnya. Ronggeng mereka bukan lagi sebagai wadah seni tapi
berubah haluan menjadi ronggeng penarik massa dan diberi nama ronggeng
56
rakyat. Keberadaan Srintil yang dipuja sebagai ronggeng oleh warga Dukuh Paruk
dibabat oleh orang-orang yang tak dikenal, rumah mereka pun hangus terbakar.
Semua hidup dalam ketakutan. Srintil yang pada saat itu ditahan, karena
ronggeng sebagai sarana hiburan seni semata melainkan dijadikan sebagai tarian
cabul dan penuh berahi. Siapa yang mampu membayar maka dipersilahkan
baginya untuk tidur dengan Srintil. Wanita-wanita di Dukuh Paruk pun tak pernah
dan seloroh cabul inilah yang menjadikan segala gerak-gerik Srintil tidak lagi
4.1.2.2 Cinta
Dalam cerita, seorang ronggeng dilarang jatuh cinta, begitu juga peran
Srintil sebagai seorang gowok. Srintil dan Rasus memang saling mencintai
mendapatkan rintangan yang datangnya dari luar dan dalam diri mereka sendiri,
sehingga percintaan itu merupakan percintaan yang gagal. Rasus mencintai Srintil
tetapi merelakannya untuk menjadi ronggeng demi keaslian Dukuh Paruk. Srintil
rela untuk tidak meronggeng tetapi Dukuh Paruk menuntutnya untuk tetap
57
menjadi ronggeng. Namun, kedekatan perasaan mereka membawa Srintil untuk
pada orang yang dicintainya serta atas dasar keinginan bersama adalah sebuah
pikiran sadar yang harus dihormati. Tidak menjadi soal apakah mereka kemudian
Rintangan yang sangat kuat sebenarnya ada pada kemunafikan Rasus. Rasus
benci ronggeng tetapi ia memberikan keris kepada Srintil, malam bukak klambu
tinggal di pasar Dawuan. Dia sering melihat Srintil datang ke pasar Dawuan dan
melihat Srintil selalu digoda oleh pedagang dengan menyentuh pantat atau
”Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau
bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” berkata demikian, tangan
Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti,
Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!
Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat
yang tiada beda. (hal.84)
58
Kemunafikan Rasus ini mempengaruhi karakteristik Srintil. Ia merasa
menanti cinta Rasus atau tetap mengemban tradisi untuk menjadi ronggeng di
Dukuh Paruk. Di samping itu Srintil mulai merasakan bahwa haknya sebagai
pribadi telah dikungkung oleh tradisi itu. Sejak saat Rasus meninggalkan Dukuh
Paruk, mereka berdua berusaha hidup dalam kenangan masing-masing. Srintil tak
ingin berharap terlalu jauh lagi akan cinta Rasus, hingga ia menemukan kembali
cintanya pada Bajus, laki-laki kota yang sangat diharapkannya akan menjadi
suaminya kelak. Namun nasib berkata lain, cintanya bertepuk tangan karena Bajus
4.1.2.3 Perkawinan
Tidak ada perkawinan dalam novel ini. Tapi ada keinginan yang kuat dari
tokoh utama untuk kawin dengan Rasus ataupun Bajus keinginan itu tidak
terwujud.
Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dis tidak tahu
betul setiap rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia
membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan uang.
Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tantang bayi, tentang
perkawinan. (hal.89)
dalam tradisi, seorang ronggeng tidak boleh menikah. Jika ia melanggarnya, maka
malpetaka akan menimpa dirinya. Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk menambah
59
keyakinan diri Srintil bahwa ia tidak akan pernah menikah. Srintil pun terus
”Ya, kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari
lagi, kang. Tetapi hatiku, kang, hatiku!”
”Hati?”
”Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari.”
”Bisa,” ujar Sakum cepat. ”Aku percaya indang ronggeng masih tetap
bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati
bila sampean melupakan dia.”
”Dia?”
”Ya, Rasus.” (hal.165)
Keinginan yang kuat dari Srintil untuk memiliki anak, membuatnya ingin
Hari-hari selanjutnya Srintil makin larut dalam dunia Goder, larut dalam
ocehan bayi yang lucu menawan. Sentuhan kulit bayi itu menggugah
perasaan aneh pada dirinya. Demikian, maka entah apa yang dirasakan
Srintil ketika ia membenamkan hidung dalam-dalam ke pipi goder.
(hal.139)
Ketika ia keluar dari penjara dan roh indang tidak lagi bersemayam dalam
”Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? Sekiranya selama ini mas
menutup-nutupi kenyataan bahwa sebenarnya mas sudah punya istri,
60
maka aku mau menjadi istri kedua. Dan biarlah aku menjadi pelayan istri
pertama serta anak-anak mas.” (hal.381)
Bahkan ketika ia sudah hilang ingatan pun, Srintil masih saja berceloteh tentang
pernikahan.
”Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan? Maka ayo mandi,” bujuk
Nyai Kartareja. Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.
”He, Kang Rasus gagah.”
”Memang. Kamu juga cantik.”
”He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?” Semua diam. Semua
menghujam pandang ke mataku. ”Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi
penganten,” kataku
”Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus.
Kamu mau memandikan aku?”
”Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi.” (hal.399)
Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik
keputusanku. Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang
demikian dalam maka aku memutuskan hendak mengawini Srintil meski
dia kini dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan. Itu pikiran umum
dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian amat sepele dan terlalu
bersahaja. ”Ya” yang kuucapkan terbit dari jiwa yang bening dan dalam,
dari pergulatan rasa yang telah mengendap. (hal.403)
4.1.2.4 Budaya
Kebudayaan adalah semua tindakan dan hasil karya yang dilakukan oleh
manusia untuk memberikan arti kepada alam sekitarnya serta juga memberikan
bentuk baru kepada alam. Dengan kata lain kebudayaan tidak lain dari usaha dan
61
hasil manusia mengatasi alam dengan daya pikirnya (Poedjawijatna, 1987:134).
Dalam kebudayaan Jawa juga dikenal adanya dua bentuk kesenian, yakni
sebagai kesenian kasar (Geerzt, 1989:350). Akan tetapi tidak jarang kesenian
rakyat diambil alih oleh seniman-seniman keraton dengan cara memperhalus dan
segi artistiknya, sehingga kesenian itu dapat dipertunjukkan di istana raja atau
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini kita mengenal adanya istilah
tayuban. Tayuban atau ronggeng adalah salah satu kesenian rakyat tradisional.
Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis
Penari tayub (ronggeng) biasanya mengenakan kostum kain biasa dan kain
samping itu, seorang ronggeng memakai selendang yang digunakan untuk menari
atau sampur. Para pengibing biasanya berpakaian Jawa lengkap yaitu memakai
blangkon, baju surjan, kain, setagen sebagai pengikat keris. Para pengibing adalah
pria dewasa yang berumur 30-60 tahun. Setiap pengibing menggunakan teknik tari
62
Jawa gagah atau halus dengan gaya-gaya improvisasi, makin kaya gerak yang
Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Srintil yang masih berusia sebelas
tahun, dapat menari seperti seorang ronggeng walaupun tidak ada yang
mengajarinya. Hal itu diyakini bahwa Srintil telah dirasuki oleh indang ronggeng.
syarat atau tahap-tahap yang harus dijalankannya agar menjadi ronggeng. Tahap
pertama, Srintil diserahkan ke dukun ronggeng untuk dijadikan anak akuan dan
akan dilatih menjadi ronggeng sejati. Saat itu Srintil didandani, dimantrai, dan
upacara sakral, peristiwa yang sangat penting, sehingga pada saat upacara itu
Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang.
Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan
tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada
saat Srintil menggoyang pinggul, cess......cess.
63
Kartareja menari semakin menjadi-jadi. Berjoged dan melangkah makin
mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul
tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan,
Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya
kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi. (hal.48)
Tahap ketiga adalah upacara bukak klambu. Tahap ini sebenarnya tidak
bermoral dan sangat asusila jika ditinjau dari sudut agama, etika dan moral. Akan
tetapi jika ditinjau dari sudut tradisi, maka tahap itu merupakan suatu kewajaran.
ronggeng, yakni Srintil. Dalam hal ini Srintil harus menerima kenyataan itu,
walaupun sebenarnya pada saat itu Srintil sudah tidak perawan lagi, karena ia
Setelah melalui tiga tahap ini, maka resmilah Srintil menjadi ronggeng
yang sah. Selain adanya ritual yang dilakukan untuk menjadi seorang ronggeng,
masih ada lagi satu kebudayaan yang menarik dalam novel ini, yaitu pergowokan.
Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak laki-
lakinya yang akan kawin. Pergowokan ini berlangsung selama seminggu. Tugas
gowok ini adalah mengajari perjaka tersebut untuk menjadi seorang suami yang
akan mendapatkan upah dalam pekerjaannya itu. Ketika Srintil menjadi gowok, ia
berpura-pura berhasil di depan Pak Sentika, ayah dari Waras. Ini dikarenakan
Waras mempunyai kekurangan dalam usianya yang remaja tetapi sifatnya masih
terlalu kanak-kanak.
64
suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar, sesuatu harus
diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga
menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang
sedang lelap. Waras melenguh dan Srintil melenguh profesional.
(hal.224)
4.1.2.5 Politik
merupakan suatu hal yang wajar dalam proses sosial suatu masyarakat (negara).
Budaya politik sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial atau sebaliknya.
Andrain (1992:36) mengatakan agar perubahan sosial terjadi, maka orang harus
masyarakat.
Salah satu sektor yang ada kaitannya dengan budaya politik adalah sastra.
bahwa tidak ada sastra yang tidak bernilai politik, karena tidak ada manusia yang
tidak berpolitik.
di Indonesia.
Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai denngan upacara pagi hari di
lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang
dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-
pohon, tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat
manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti
pemandangan di ladang tembaku yang ditiup angin. Acungan seribu
tangan yang diiringi pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir
yang terjadi di hutan jati meranggas. (hal.180)
65
Setelah perayaan Agustusan itu, tatanan politik mulai masuk ke Dukuh
Paruk, walaupun warga tidak memahami apa itu politik. Gambar-gambar partai
terpampang gambar salah satu partai. Tatanan politik itu dimasukkan oleh Pak
pedukuhan itu. Ketidaktahuan akan politik, karena semua warga buta huruf,
dimanfaatkan oleh kelompok Bakar. Jadi, tatanan politik telah mempengaruhi dan
sah yang berakibat fatal bagi Dukuh Paruk. Warga hanya mendengar di Jakarta
Srintil. Warga dituduh sebagai antek-antek PKI. Dan ketika Srintil keluar dari
tahanan, ia dicap sebagai tahanan politik dan wajib lapor ke kecamatan seminggu
sekali. Kejadian ini menimbulkan luka yang mendalam bagi diri Srintil.
66
BAB V
5.1 Simpulan
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini sangat erat hubungannya dengan
sederhana dalam novelnya ini. Kehidupan seorang ronggeng di atas pentas dan di
luar pentas. Banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh beliau dalam novel
dan masih menjunjung tinggi tradisi dan kepercayaannya. Kejadian politik yang
terjadi pada tahun 1965 di Indonesia, turut serta pula mewarnai alur cerita. Oleh
67
5.2 Saran
Berdasarkan analisis diatas telah dicapai pada penelitian ini, penulis dapat,
menyarankan:
1. Bagi pembaca novel ini bukan hanya menarik sebatas struktural dan sosiologi
saja, tetapi dapat dilihat dari aspek lainnya. Misalnya, aspek psikologis yaitu
3. Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan rujukan untuk melakukan
sastra.
68
DAFTAR PUSTAKA
Kutha Ratna, 2004. Teori, Metode , dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jafferson, Ann dan David Rubey. 1988. Teori Kesusastraan Moderen. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka.
69
Kalsum, Umi. 2007. Eksistensi Perempuan dalam Fiksi Tohari. Harian Kompas 5
Februari.
70
Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1991. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.
1981. Segi
Teeuw, A. 1988.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
71
Lampiran 1
orang di Dukuh Paruk sangat memujanya. Hal ini ditandai dengan dijadikannya
72
Ketika musim kemarau, tiga anak laki-laki Dukuh Paruk bernama Warta,
Darsun dan Rasus serta seorang gadis berusia sebelas tahun yang bernama Srintil
menari dan menyanyi layaknya seorang ronggeng sehingga ketiga anak lakilaki
seorang kamitua di Dukuh Paruk sekaligus kakek Srintil. Setelah Sakarya melihat
Srintil menari dan menyanyi, maka yakinlah dia bahwa cucunya Srintil telah
dirasuki roh indang untuk menjadi seorang ronggeng. Betapa gembiranya hati
Sakarya melihat kenyataan ini karena selama dua belas tahun pedukuhan tersebut
dukun ronggeng bernama Kartareja. Penyerahan ini adalah suatu hukum di Dukuh
Paruk.
Suatu senja yang sangat dinantikan warga Dukuh Paruk karena pada saat itu
warga Dukuh Paruk memuji penampilan Srintil. Tapi sebelum Srintil tampil
gadis itu.
73
Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali kejadian sebelas tahun
yang lalu. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek. Namun
naas menimpa dirinya. Pada 1946, tempe bongkrek yang dibuatnya mengandung
asam tembaga hingga orang-orang yang membeli tempenya keracunan dan mati
seketika. Beberapa warga yang tidak ikut memakan tempenya terlihat segar bugar.
nyawa, ia pun tak mau ketinggalan. Ditelannya tempe bongkrek tersebut dan
akhirnya ibu Srintil meninggal sambil memeluk Srintil yang saat itu berusia lima
bulan.
atas kehendak Ki Secamenggala, tetapi bagi seorang laki-laki bernama Rasus, hal
ini tidak bisa diterimanya. Rasus adalah salah satu dari sekian banyak anak yatim
piatu yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya akibat malapetaka tempe
bongkrek. Namun yang menjadi persoalan bagi Rasus adalah perihal keberadaan
emaknya yang tidak pernah pulang dari puskesmas kecamatan semenjak kejadian
malam itu. Ada berita yang mengabarkan kepada Rasus bahwa ibunya dibawa
pergi oleh sang mantri dan kawin lari. Namun kabar lain mengatakan bahwa
Rasus semakin bingung akan sosok emaknya. Rindunya Rasus pada emaknya
dapat terobati dengan hadirnya Srintil. Dalam diri Srintillah Rasus menemukan
74
bayangan emaknya. Tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, Rasus tidak bisa lagi
berdekatan dengan Srintil. Ini karena Srintil sudah menjadi milik semua warga
Dukuh Paruk.
Sebagai seorang ronggeng Srintil harus melalui upacara ataupun syarat agar
resmi menjadi ronggeng. Maka pada waktu yang telah ditentukan Srintil
pemandian selesai maka ada satu lagi syarat yang harus ditempuh yaitu upacara
bukak klambu. Syarat inilah yang dibenci Rasus karena dalam upacara bukak
pemuda miskin yang tak punya apa-apa. Tetapi secara diam-diam, pada malam
upacara bukak klambu, Srintil bertemu dengan Rasus di belakang rumah Nyai
ini hanya mereka berdua yang mengetahui. Pemenang sayembara yang bernama
Dower pun tidak mengetahui bahwa Srintil baru saja menyerahkan keperawannya
pada Rasus.
bukak klambu, ia tidak pernah lagi menemukan sosok emak dalam diri Srintil.
perampokan di Dawuan, Rasus diangkat menjadi seorang tobang oleh salah satu
75
Semakin lama Rasus tinggal di Dukuh Paruk, semakin mampu ia menilai
seorang ronggeng yang sangat terkenal. Siapa pun bisa tidur dengannya asal
memiliki cukup uang. Ia tidak hanya dipuja di Dukuh Paruk, tetapi juga di luar
melayaninya. Ketika usia dua puluh tahun, Srintil mulai mempertanyakan harga
yang ingin mempunyai suami dan anak. Srintil mulai berani menampik laki-laki
yang tidak disukainya. Pada suatu ketika, tawaran datang pada dirinya untuk
menjadi seorang gowok. Gowok adalah wanita yang disewa oleh seorang ayah
yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah. Selama seminggu Srintil
suami yang baik dan melayani istri, termasuk di dalamnya masalah seks. Berperan
kecamatan. Penampilan Srintil pada acara tersebut memikat hati Bakar, seorang
politisi pada saat itu. Srintil kemudian ditawari untuk tampil pada acara
kampanye. Rombongan ronggeng Srintil pun diberi nama ronggeng rakyat oleh
Bakar. Di depan rumah Sakarya dipasang sebuah papan yang berisi simbol. Tidak
ada satupun warga yang tahu apa makna dari simbol tersebut. Ketika Bakar
76
berkampanye, Srintil juga harus meneriakkan yel-yel kepada massa yang datang.
ronggeng Srintil dan warga Dukuh Paruk dituduh sebagai biang kerusuhan karena
ronggeng Srintil menarik massa saat berkampanye. Padi warga Dukuh Paruk
caping dan arit. Hal ini membuat kemarahan warga Dukuh Paruk. Namun
Nyai Kartareja dan Sakum pergi ke kantor polisi kecamatan untuk minta
mereka ditahan sebagai tahanan politik. Banyak di antara tahanan yang dibunuh.
Kartareja, Nyai Kartareja, dan Sakum hanya ditahan selama dua minggu,
Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk untuk melihat neneknya yang sedang sakit
dan akhirnya meninggal dunia, semua warga mengharapkannya agar mau menjadi
pengayom bagi mereka. Sebenarnya Rasus ingin tinggal kembali di Dukuh itu,
namun tugasnya sebagai tentara tidak bisa ia tinggalkan. Rasus berjanji akan
mencari tahu dimana Srintil ditahan dan sebisa mungkin membebaskannya. Srintil
bebas setelah dua tahun dipenjara. Ia kembali ke Dukuh Paruk dengan perubahan
sikap yang luar biasa. Ia menjadi seorang gadis yang pendiam. Srintil menyadari
77
Srintil ingin meninggalkan semua pekerjaannya yang dulu, baik sebagai ronggeng
maupun pelacur.
orang proyek sering melewati Dukuh Paruk dan datang kesana. Pimpinan proyek
yang bernama Bajus berkenalan dengan Srintil. Bajus mulai menyukai Srintil dan
terhadap Srintil yang dianggap mantan tahanan politik dan warga Dukuh Paruk
sebagai biang kerusuhan 1965, mulai menaruh hormat kepada Srintil dan warga
Dukuh Paruk karena Srintil dan warga Dukuh Paruk dekat dengan Bajus, orang
Rasus pulang ke Dukuh Paruk, Srintil berharap Rasus mau mengawininya, tetapi
selama ini.
yang tegas meskipun ia mencintai Srintil. Sementara itu, Bajus semakin dekat
dengan Srintil. Bajus bersikap ramah, baik dan tidak pernah berbuat senonoh
kepada Srintil. Hal ini membuat Srintil yakin bahwa Bajus adalah lelaki yang baik
dan ia menaruh harapan yang besar pada Bajus walaupun Bajus tidak pernah
menyatakan cintanya. Apa yang diharapkan Srintil ternyata tidak terjadi. Bajus
marah dan mengancam akan memasukkan Srintil kembali ke penjara. Hal ini
membuat Srintil kecewa, marah, sedih dan shock. Akibatnya Srintil menjadi gila.
78
Rasus sangat kecewa ketika kembali ke Dukuh Paruk mendapati Srintil menjadi
gila karena Bajus. Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa dan Rasus
mengatakan kepada pegawai rumah sakit bahwa Srintil adalah calon istrinya.
Rasus pun berjanji pada dirinya untuk memperbaiki Dukuh Paruk dari
79
Lampiran 2
Biografi Pengarang
Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar
lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangkuh kuliah, yakni Fakultas
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian
melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara
lain trilogy Ronggeng Dukuh Paruk telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman,
Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang punya hobi mincing ini mengikuti
80
International Writing Programme di lowa City, Amerika Serikat dan memperoleh
tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil, Dukuh Paruk pada masa
akhirnya Ahmad Tohari menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas
bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices
terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan
dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh
apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan
jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana
Karya Tulis: Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari,
Banyumas.
81
82
83
84
Lampiran 5
BIODATA PENULIS
1. UMUM
1. Nama Lengkap : Irnayanti
2. Tempat / Tanggal Lahir : Lahuafu, 30 Desember 2000
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Nama Orang Tua : a. Ayah : Alm. Irwan
b. Ibu : Badaria
5. Agama : Islam
6. Alamat : Btn Tinggede
2. PENDIDIKAN
1. SD : SDN LAHUAFU
2. SMP : SMPN 2 BUNGKU TIMUR
3. SMA : SMAN 1 BUNGKU TENGAH
4. PT : UNIVERSITAS TADULAKO
85