Anda di halaman 1dari 105

KAIDAH MORFOFONEMIK VERBA PROSES

TELAAH ( NOVEL SOGI KARYA FAIKA BURHAN )

HASIL PENELITIAN

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH

SITI MARLANI
A1M118042

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

HASIL PENELITIAN

KAIDAH MORFOFONEMIK VERBA PROSES


TELAAH ( NOVEL SOGI KARYA FAIKA BURHAN)

Oleh:
SITI MARLANI
A1M118042

Telah diperiksa secara teliti dan disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke
hadapan Panitia Seminar Hasil penelitian pada Jurusan/Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Halu Oleo.

Kendari, Januari 2022


Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. La Yani Konisi, M.Hum. Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum.


NIP 19671231 199303 1 021 NIP 19671101 199303 2 001

Mengetahui,
a.n. Dekan FKIP
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Dr. La Ode Sahidin, S.Pd., M.Hum.


NIP 19750510 200812 1 003

ii
ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah


Novel Sogi Karya Faika Burhan”. Penelitian Kaidah Morfofonemik Verba Proses
Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan sangat menarik diteliti karena kaidah
morfofonemik merupakan proses perubahan-perubahan fonem yang timbul akibat
pertemuan morfem dengan morfem lain dan kaidah morfofonemik terjadi pada
verba. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kaidah morfofonemik
verba proses telaah novel Sogi karya Faika Burhan Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kaidah morfofonemik verba proses telaah novel Sogi Karya
Faika Burhan. Serta menjelaskan makna kaidah morfofonemik verba proses telaah
novel Sogi Karya Faika Burhan. Manfaat penelitian ini diharapkan mampu
memperluas kajian tata bahasa deskriptif dalam hal mengenai kaidah
morfofonemik verba proses, dan dapat menambah wawasan kita semua mengenai
seperti apa itu kaidah morfofonomik dan verba proses dalam kegiatan menulis
dalam sebuah tulisan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik baca catat dan teknik dokumentasi. Hasil penelitian dan pembahasan
terhadap kaidah morfofonemik verba proses telaah novel sogi karya faika burhan
dapat disimpulkan, telah diketahui bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan
fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain dan
dalam verba proses terjadi perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
Proses kaidah morfofonemik yang terjadi pada telaah novel sogi karya faika
burhan adalah kaidah morfofonemik afiks meN-, ber-, dan afiks ter-. Sebagai
pertemuan morfem meN-, ber-, dan ter- dengan kata dasar. Penulis novel
cenderung menggunakan kaidah morfofonemik berafiks ter- . Afiks ter- yang
terdapat pada kaidah morfofonemik verba proses tersebut mengandung makna
inheren proses, dengan proses pengekalan fonem, dan peluluhan fonem. Hal ini
menunjukan bahwa kaidah morfofonemik verba proses yang berhubungan dengan
afiks ter- sangat dominan digunakan dalam novel Sogi karya Faika Burhan.
Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan dapat
memberikan dampak terhadap pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan
tujuan kompetensi kurikulum nasional.

Kata kunci: Kaidah Morfofonemik, Verba Proses, Novel.

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis


panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya.
penyusunan skripsi ini yang berjudul “Kaidah Morfofonemik Verba Proses
(Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan)” ini dapat diselesaikan guna memenuhi
salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan program Sarjana Pendidikan
pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu pendidikan, Universitas Halu Oleo.
Penulisan skripsi ini merupakan hasil kerja maksimal sesuai dengan tenaga
dan kemampuan penulis. Namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, didalamnya masih terdapat kesalahan dan kekurangan serta
kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca penulis sangat harapkan
demi kesempurnaan karya tulis ini.
Di dalam penyusunan skripsi ini, berbagai kesulitan dan hambatan banyak
dialami oleh penulis, namun berkat Rahmat Allah SWT, dan bimbingan-Nya yang
melahirkan dorongan, tekat dan ketekunan dari dalam diri penulis, sehingga
skripsi ini dapat teerselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini
tidak lepas dari bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis menyampaikan banyak terima kasih terutama kepada Dra.
Sri Suryana Dinar, M.Hum. selaku penasihat akademik sekaligus pembimbing II,
dan Dr. La Yani Konisi, M.Hum. selaku pembimbing I, yang dengan ikhlas
memberikan bimbingan dan arahan serta nasihat dan motivasi kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Secara khusus dengan rasa hormat dan bakti yang mendalam peneliti
ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, yang telah mengasuh,
membesarkan dan mendidik tanpa rasa lelah, semoga mereka selalu dalam
lindungan dan mendapat kebaikan disisi Allah SWT Aamiin.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada:

iv
v

1. Prof. Dr. Muhamma Zamrun Firihu, S.Si., M.Si., M.Sc., selaku Rektor
Universitas Halu Oleo.
2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Halu Oleo.
3. Dr. La Ode Sahidin, S.Pd., M.Hum., selaku ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
4. Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum., selaku sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
5. Ibu Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum. selaku penasihat akademik sekaligus
pembimbing II, dan Dr. La Yani Konisi, M.Hum. selaku pembimbing I,
yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan serta nasihat dan
motivasi kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia terima kasih atas ilmu dan bimbingannya selama penulis
menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan staf
administrasi di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
7. Segenap pemerintah Republik Indonesia terima kasih penulis hanturkan
atas program bantuan pendidikan Bidikmisi yang memungkinkan penulis
untuk mengenyam ilmu-ilmu yang berharga di pendidikan tinggi.
8. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh
keluarga, kakak tersayang penulis La Ode Alam Damai, S.p, Siti
Mardiani, S. Farm, adik tersayang penulis La Ode Aldimas Rizki dan La
Ode Al Wahab, semoga kita menjadi kebanggan orang tua.
9. Kakak senior di jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, yang selalu
memberikan motivasi dan arahan terkait dengan materi yang digunakan
dalam penyusunan skripsi ini.
10. Keluarga besar Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2018
11. Teman-teman seperjuangan PBSI 2018 kelas B di kala suka maupun duka
selama perkuliahan yang saya tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima ka

v
vi

sih atas canda tawa dan bantuannya selama ini, terima kasih  sudah
menjadi teman yang baik dalam penyelesaian skripsi ini, semoga kita
semua bisa sukses sesuai apa yang dicita-citakan.
12. Sahabat Sukses Sama-sama, Hesti, Sitti, Megi, Dirhan, yang selalu ada
membantu dan menemani serta berjuang bersama dari awal perkuliahan
hingga saat ini dan saling memberi semangat.
13. Sahabat Keluaga Berencana, yang selalu ada membantu dan menemani
serta berjuang bersama dari awal perkuliahan hingga saat ini dan saling
memberi semangat.
14. Teman-teman VenceRemos, terima kasih selalu memberikan motivasi dan
dukungan.
15. Teman-teman KKN Kemaraya, kota kendari, yang selalu memberikan
motivasi dan semangat demi kelancaran penulisan skirpsi.

Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan penulis hingga dapat


menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis mengucapkan begitu banyak terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan karya tulis ini,
semoga kebaikan semua pihak selama penyusunan skripsi ini mendapatkan
balasan kebaikan dari Allah SWT. Teriring doa dan harapan semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Kendari, Januari 2022

penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. ii
ABSTRAK.................................................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................... iv
DAFTAR ISI............................................................................................... v
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 6
1.5 Batasan Operasional...................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori.............................................................................. 8
2.1.1 Pengertian Morfologi........................................................ 8
2.1.2 Pengertian Morfofonemik................................................. 9
2.1.3 Proses Morfofonemik........................................................ 10
2.1.4 Kaidah Morfofonemik....................................................... 13
2.1.5 Pengertian Verba............................................................... 19
2.1.6 Ciri-Ciri Verba.................................................................. 21
2.1.7 Fungsi Verba..................................................................... 22
2.1.8 Pengelompokan Verba...................................................... 25
2.1.9 Verba Proses .................................................................... 31
2.1.9.1 Komponen Semantik Verba........................................ 34
2.1.10 Pengertian Novel............................................................... 45
2.1.11 Gambaran Novel Sogi Karya Faika Burhan...................... 47
2.2 Penelitian Relevan......................................................................... 47

vii
viii

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis dan Metode Penelitian......................................................... 50
3.2 Data dan Sumber Data ................................................................. 50
3.3 Teknik Pengumpulan Data............................................................ 51
3.4 Teknik Analisis data...................................................................... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil.............................................................................................. 51
4.1.1 Ciri-Ciri Verba Proses.......................................................... 51
4.1.2 Kaidah Morfofonemik.......................................................... 51
4.2 Kaidah Morfofonemik Verba Proses (Telaah Novel Sogi
Karya Faika Burhan) .................................................................... 51
4.3 Relevansi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Di Sekolah.. 51

BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan....................................................................................... 51
5.2 Saran.............................................................................................. 51

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 51
LAMPIRAN.................................................................................................... 51

viii
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN

→ = menjadi
= = sama dengan
+ = penggabungan unsur
O = Objek
P = predikat
S = subjek
Pel = pelengkap
Ket = keterangan
KB = kata benda
KS = kata sifat
= tidak berterima

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1................................................................................................
Sinopsis......................................................................................................
Lampiran 2................................................................................................
Data.............................................................................................................

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang paling utama. Bahasa
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
digunakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi sesama manusia. Dengan
bahasa, manusia dapat menyampaikan berbagai informasi, berita, pikiran, gagasan
pendapat, perasaan dan sebagainya.
Salah satu kunci sukses dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
adalah ketepatan dan keteraturan berbahasa. Keteraturan dan ketepatan bahasa itu
tentu saja memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang luas mengenai ilmu
kebahasaan. Salah satu ilmu kebahasaan yang perlu dikuasai adalah morfologi.
Bahasa dari masa ke masa telah mewadahi pemikiran yang ada dalam
masyarakat, sehingga dalam perkembangan kata-kata baru yang muncul dalam
pemakaian bahasa sering berbenturan dengan kaidah-kaidah yang ada pada bidang
ini.
Menurut Ramlan (1978: 19) morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang
membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata, serta pengaruh
perubahan bentuk kata terhadap golongan kata dan arti kata, atau dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari bentuk kata serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal maupun fungsi
semantik. Tataran morfologi mengkaji bentuk satuan terkecil dalam suatu bahasa,
yaitu kata, bagian-bagian kata, dan kejadian kata. Tataran morfologi ini menarik

1
2

untuk dikaji karena perkembangan kata-kata baru yang muncul dalam pemakaian
bahasa sering berbenturan dengan kaidah-kaidah yangy ada pada bidang ini. Oleh
karena itu perlu dikaji ruang lingkup morfologi agar ketidak sesuaian antara kata-
kata yang digunakan oleh para pemakai bahasa dengan kaidah tersebut. Jika
terjadi kesalahan sampai pada tataran makna, hal itu akan mengganggu
komunikasi yang berlangsung. Bila terjadi gangguan pada kegiatan komunikasi
maka gugurlah fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi.
Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena
pertemuan morfem dengan morfem lain. Salah satu gejala dalam bidang tata
bentukan kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki peluang permasalahan dan
menarik untuk dikaji adalah kaidah morfofonemik. Permasalahan dalam
morfofonemik cukup variatif, pertemuan antara morfem dasar sering membuat
kekeliruan bahkan menimbulkan variasi-variasi yang kadang membingungkan
bagi para pemakai bahasa. Sering timbul pertanyaan dari pemakai bahasa
bentukan kata yang sesuai dengan kaidah morfologi dan yang menarik adalah
munculnya pendapat yang berbeda dari ahli bahasa yang satu dengan ahli bahasa
yang lain. Fenomena inilah yang menarik untuk melakukan penelitian dan
memaparkan masalah Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah ( Novel Sogi
Karya Faika Burhan).
Peristiwa morfofonemik pada dasarnya merupakan proses berubahnya
suatu fonem dalam pembentukan kata, yang terjadi karena proses afiksasi, yaitu
pembentukan morfem dasar dengan afiks. Oleh karena itu jika dalam penelitian
ini ingin mencerminkan ketaatan pada kaidah morfofonemik, berarti yang harus
dilakukan yaitu mengetahui dan mempelajari kaidah yang berlaku dalam bahasa
Indonesia.
Proses morfofonemik dibagi menjadi tiga, yaitu suatu proses perubahan
fonem, penambahan fonem, dan hilangnya fonem (Ramlan, 2009: 84-105). Proses
perubahan fonem merupakan akibat terjadinya pertemuan antara afiks dengan
kata dasar, sehingga mengubah bentuk bunyi kata dasar. Proses penambahan
fonem adalah proses munculnya fonem akibat dari proses afiksasi, sedang proses
hilangnya fonem adalah proses pertemuan antara afiks dengan kata dasar yang
3

mengakibatkan luluhnya fonem tertentu. Kaidah morfofonemik yang dimaksud itu


aturan-aturan mengenai proses morfofonemik yang meguraikan variasi tiap-tiap
anggota suatu morfem. Salah satu yang sering terjadi dalam proses kaidah
morfofonemik ini adalah verba.
Verba merupakan kelas kata utama yang dimiliki berbagai bahasa di dunia,
termasuk bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Verba bahasa
Indonesia dapat dikenali dengan mengamati bentuk morfologis, sintaksis, dan
semantis secara menyeluruh dalam kalimat (Moeliono dan Dardjowidjojo, Ed.
1992: 76). Seperti halnya mengidentifikasi verba dalam sebuah novel .
Penelitian ini difokuskan pada verba proses. Verba proses sangat menarik
untuk dipahami lebih mendalam karena verba tersebut dapat mengubah suatu
keadaan ke keadaan yang lain. Morfofonemik biasanya terjadi pada verba. Verba
merupakan predikat yang berfungsi pada kalimat. Verba juga merupakan sebuah
peristiwa dalam cerita, seperti yang kita ketahui secara semantik kata-kata yang
termasuk kelas verba dapat dibedakan ada 3 yaitu, verba proses, verba keadaan
dan verba tindakan.
Verba proses merupakan verba yang menyatakan adanya suatu perubahan
yang terjadi dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Oleh karena itu, verba
proses ini sangat menarik dipahami lebih mendalam. Selain itu alasan penelitian
ini ingin memberi perhatian kepada penulis diluaran sana untuk mengetahui
kaidah morfofonemik verba proses dalam proses penulisan suatu karya sastra
berupa novel. Karena sering tanpa kita sadar dalam menulis, pengarang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah morfofonemik dalam menulis sebuah karya.
Verba proses bergerak dari suatu keadaan menuju ke keadaan yang lain.
Verba proses ini memiliki ciri (dinamis), dimana peristiwa verba proses ini penuh
semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri
dengan keadaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dilakukan penelitian
mengenai kaidah morfofonemik verba proses, dalam novel Sogi karya Faika
Burhan.
Novel Sogi karya Faika Burhan, merupakan sebuah novel yang berkisah
tentang penjelajahan dan penaklukan untuk melakukan pembuktian tentang
4

sebuah nilai yang tergerus oleh zaman. Novel ini terdiri dari 187 halaman. Novel
Sogi karya Faika Burhan hanya semata-mata sebagai sumber data dan hanya
mau diuji kaidah morfofonemik pada novel tersebut. Peneliti mau melihat
bagaimana penulis menggunakan kaidah morfofonemik.
Pemilihan verba proses dijadikan sebagai kajian didasari sebagai
pertimbangan bahwa (1) kata verba merupakan faktor penting dalam memberikan
makna suatu kalimat ada berapa kalimat bahasa Indonesia tidak dapat dijelaskan
tanpa adanya kata verba sebagai dasar, (2) verba pada kelas kata berdasarkan
dapat diamati sebagai perilaku bahasa pada pemakain bahasa Indonesia
(Kridalaksana, 1994: 46). Pentingnya verba proses dalam novel Sogi karya Faika
Burhan diteliti karena materi kalimat novel ini merupakan materi dasar dari
keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa dalam suatu tulisan berupa
rangkain-rangkain kata di setiap kalimat.
Menganalisis Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi
Karya Faika Burhan, peneliti harus membaca novel secara berulang-ulang. Dari
kegiatan membaca novel secara keseluruhan dan secara berulang-ulang itu, maka
peneliti dapat menemukan kaidah morfofonemik verba proses yang terkandung
didalamnya.
Verba proses telaah novel Sogi karya Faika Burhan, sangat sering terjadi
karena verba proses dalam tulisan sangat penting dan materi dalam kalimat,
bagian dari apa yang terjadi pada subjek dalam sebuah cerita, penelitian ini juga
sangat penting karena bisa memberikan pengetahuan bahwa verba tidak itu-itu
saja seperti yang diketahui orang awam, tetapi verba memiliki beragam klasifikasi
terutama verba dari sisi semantiknya, yaitu verba proses
Data sementara verba proses yang terdapat dalam novel Sogi karya Faika
Burhan, yaitu, bergerak, tersentak, terkejut, teratur, pendarahan, meregang,
tertarik, menumpuk, berdatangan, menyala, terperanjat, tersenyum, menumpuk,
telungkup, meninggi, terdiam, mematung, terbentuk, mempatuhi, menetes.
Berdasarkan data sementara dalam penelitian ini diperoleh,
5

Pembuktian kaidah morfofonemik verba proses dari data sementara novel


Sogi karya Faika Burhan, tersebut dilihat dari komponen verba secara semantik
seperti kutipan berikut.
1. Siti yang terkejut.
2. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
3. Suaraku mulai meninggi.
4. Tutur Ogi dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes dari
pipinya.

Secara semantik yang menyatakan proses, verba-verba ini mewajibkan


hadirnya sebuah fungsi subjek yang mengalami kejadian atau suatu proses
perubahan dari suatu keadaan ke keadaaan yang lain . Verba ini biasanya dapat
menjadi pertanyaan apa yang terjadi pada subjek?. Pada konstruksi (1) verba
terkejut, mengisyaratkan adanya perubahan dari keadaan tenang, menjadi kaget.
konstruksi (2) verba tersenyum, mengisyaratkan adanya perubahan dari
cemberut/diam menjadi memberikan senyum. konstruksi (3) verba meninggi,
mengisyaratkan adanya perubahan dari rendah menjadi tinggi. Konstruksi (4)
verba menetes, mengisyaratkan adanya perubahan dari keadaan diam/tidak jatuh,
menjadi jatuh titik-titik.
Konstruksi (1) dan (2) verba terkejut dan tersenyum mengalami proses
morfofonemik pengekalan fonem /r/ pada prefix ter- tetap menjadi /r/ apabila
prefix ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar yang bukan bentuk dasar dimulai
dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur.
ter + kejut = terkejut
ter + senyum = tersenyum
Konstruksi (3) meninggi tersebut mengalami proses morfofonemik peluluhan
fonem yang terjadi dalam afiksasi prefix meN-. Bunyi awal dari bentuk dasar
tinggi luluh ke dalam bunyi nasal (N), sehingga menjadi meninggi. Dengan bukti
akan muncul nasal /n/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /d/ atau /t/.
Data penelitian sementara didapatkan 6 kaidah morfofonemik dalam novel
Sogi Karya Faika Burhan, yaitu kaidah morfofonemik afiks meN-, kaidah
6

morfofonemik afiks ter-, kaidah morfofonemik afiks ber-, kaidah morfofonemik,


kaidah morfofonemik afiks peN-, kaidah morfofonemik afiks me- kaidah
morfofonemik meny-.
Berdasarkan data sementara Penulis novel cenderung menggunakan kaidah
morfofonemik berafiks ter- . Afiks ter- yang terdapat pada kaidah morfofonemik
verba proses tersebut mengandung makna inheren proses. Ini menunjukan bahwa
kaidah morfofonemik verba proses yang berhubungan dengan afiks ter- sangat
dominan digunakan dalam novel Sogi karya Faika Burhan. Verba tersebut
mengandung makna setara secara psikologis, berbicara masalah makna tiap kata
perlu diketahui maknanya, karena makna inheren suatu verba tidak terikat dengan
wujud verba tersebut artinya apakah suatu verba berwujud kata dasar, kata yang
tanpa afiks atau kata dengan afiks.
Pemilihan judul Kaidah Morfofonemik Verba Proses dalam Novel Sogi
Karya Faika Burhan, yaitu untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh
dibangku kuliah, disamping itu pula pemakaian bahasa Indonesia terutama dalam
penggunaan kata sangat penting untuk dipahami, apa lagi dalam berkomunikasi
perlu diperhatikan pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah morfologi
sehingga munculah proses pengkajian ini terutama kaidah morfofonemik verba
proses .

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaiamanakah kaidah
morfofonemik verba proses telaah novel Sogi karya Faika Burhan?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak di capai dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kaidah morfofonemik verba proses
telaah novel Sogi Karya Faika Burhan.
7

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan mampu memperluas kajian tata bahasa deskriptif
dalam hal mengenai kaidah morfofonemik verba proses, dan bisa menambah
wawasan kita semua mengenai seperti apa itu kaidah morfofonomik dan verba
proses dalam kegiatan menulis dalam sebuah tulisan.

Berdasarkan tujuan penelitian ini maka diharapkan dapat:


1. Memperkaya kajian morfologi khususnya dalam pembahasan materi mengenai
kaidah morfofonemik verba proses .
2. Menjadi inspirasi dalam melakukan penelitian sejenis
3. Melanjutkan penelitian, bermanfaat sebagai bahan perbandingan dengan karya
ilmiah lainnya.

1.5 Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran istilah yang digunakan


dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan sebagai berikut:
1. Novel yang ditelaah dalam penelitian ini adalah Novel Sogi karya Faika
Burhan sebagai sumber data.
2. Kaidah morfofonemik adalah proses perubahan-perubahan fonem yang timbul
dalam pembentukan kata akibat pertemuan morfem dengan morfem lain.
3. Verba proses adalah verba yang menyatakan adanya suatu perubahan yang
terjadi dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Pengertian Morfologi
Secara etimologis, kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti
bentuk dan kata logy (logos) yang berarti ilmu. Kata morfologi merupakan kata
serapan dari bahasa Inggris morphology. Jadi, secara harfiah kata morfologi
berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti ilmu
mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata (Chaer, 2008: 3).
Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk
kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan
bentuk kata itu, baik gramatikal maupun fungsi semantik (Ramlan dalam Falah,
2016: 20).
Dari beberapa pengertian morfologi dapat disimpulkan bahwa morfologi
adalah sebuah ilmu atau kajian dari cabang linguistik yang mempelajari
pembentukan kata serta pengaruh perubahannya terhadap kata itu sendiri dengan
kata yang lain atau golongan dan kategori yang lain serta fungsi-fungsi bentuk
perubahan itu baik dari segi gramatikal maupun semantik.

8
9

2.1.2 Pengertian Morfofonemik


Morfofonemik adalah suatu proses morfologis berupa proses perubahan
fonem akibat pertemuan morfem dengan morfem lainnya. Pertemuan morfem
yang dimaksud yaitu pertemuan antara morfem bebas dan morfem terikat.
(Ramlan, 1985: 75). Morfofonemik mempelajari perubahan perubahan fonem
yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Dalam
bahasa Indonesia, misalnya: morfem ber- yang terdiri dari fonem /b,e,r/, bila
bertemu dengan morfem ajar, fonem /r/ berubah menjadi /l/ sehingga
pertemuan morfem ber- dengan morfem ajar akan menghasilkan kata belajar.
Istilah proses morfofonemik banyak dipergunakan untuk merujuk ke
pengertian perubahan fonemis akibat proses morfemis. Istilah pengertian itu
digunakan oleh Kridaksana (1989), dan Chaer (1994). Pada tataran morfologi,
morfofonemik merupakan subsistem dari ilmu bahasa yang menghubungkan
antara morfologi dengan fonologi, atau antara morfenemis dengan fonemis.
Subsistem itu mempelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat
fonologi (Kridalaksana, 1984: 129 dan 1989: 183).
Proses morfofonemik dipandang sebagai proses perubahan fonem sebagai
akibat pertemuan morfem dengan morfem (Ramlan, 1985: 75). Proses pertemuan
morfem dengan morfem itu disebut dengan proses morfemis. Dengan kata
lain, proses morfofonemik merupakan proses perubahan fonem akibat proses
morfemis.
Morfofonemik merupakan subsistem yang dibentuk dari dua sistem yang
berbeda tetapi memiliki keterkaitan dan hubungan dalam pembentukan kata
bahasa Indonesia. Pengertian mengenai morfofonemik dan prosesnya banyak
diungkapkan para ahli, dibawah ini akan dipaparkan mengenai morfofonemik,
proses morfofonemik, jenis perubahan dan proses morfofonemik prefiks me-,
ber, ter-, dan di-.
Arifin dan Junaiyah (2009: 16), morfofonemik berkaitan dengan
perubahan fonem akibat pertemuan antara morfem yang satu dan morfem lainnya,
morfofonemik merupakan sistem yang berkaitan dengan morfologi dan fonologi.
Keterkaitan tersebut dapat mengalami perubahan pada pembentukan kata.
10

Chaer  mengemukakan  bahwa  morfofonemik,  atau morfofonologi


adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem akibat
dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, reduplikasi ataupun proses
komposisi (Chaer, 2008: 43).
Morfofonemik atau morfofonologi adalah studi tentang berbagai wujud
atau realisasi dari sebuah morfem akibat pertemuan morfem tersebut dengan
morfem lain ( Iyo Mulyono, 2013: 87).

2.1.3 Proses Morfofonemik


Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena
pertemuan morfem dengan morfem lainnya. Proses morfonemik dalam bahasa
Indonesia hanya terjadi dalam pertemuan realisasi morfem dasar dengan realisasi
afiks, baik prefiks, sufiks, infiks, maupun konfiks (Kridalaksana, 2007: 183).
Proses morfofonemik yang otomatis mecakup enam macam, yaitu proses
pemunculan fonem, pengekalan fonem, perubahan fonem, pergeseran fonem,
pelepasan fonem, dan peluluhan fonem. Proses morfofonemik yang tidak
otomatis mencakup tiga macam antara lain proses pemunculan fonem secara
historis, proses pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa asing, dan variasi
fonem bahasa sumber.
Kridalaksana (1989: 185) melihat proses morfofonemik hanya terjadi jika
ada pertemuan antara morfem dasar dengan realisasi afiks, berbeda Abdul
Chaer (2007: 194) melihat bagaimana perubahan bunyi atau fonem ini dari
proses morfologi selain afiksasi. jadi, sistem mofologi dan fonologi saling
melengkapi, dimana morfologi ilmu yang mengkaji bagaimana terjadinya sebuah
kata atau pembentukan kata dapat dibantu oleh fonemik. Begitu pula pada proses
morfofonemik, pembentukan kata atau morfologi hanya dapat bisa dijelaskan
dengan sistem fonologi. Contoh: kata mengonfigurasi dibentuk dari prefiks me-
dan kata konfigurasi. Kata konfigurasi mengalami perubahan setelah bergabung
dengan prefiks me- dapat dijelaskan melalui sudut pandang fonologi.
Menurut Ramlan (1983: 73), dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses
Morfofonemik, yaitu (1) proses perubahan fonem, (2) proses penambahan
11

fonem, dan (3) proses penghilangan fonem. Elson dan Picket (1962),
menjelaskan bahwa dalam proses morfofonemik terdapat proses perubahan
fonem, penghilang fonem, peloncatan fonem, dan penambahan fonem, dalam
proses fonemis.
Bila proses morfofonemik yang dikemukakan oleh Kridalaksana di
sejajarkan dengan proses morfofonemik yang dikemukakan oleh para pakar
yang lain, proses morfofonemik secara mandiri yang dilaksanakan oleh
Kridalaksana adalah pemunculan fonem, pengekalan fonem, pergeseran posisi
fonem, perubahan fonem, pelepasan fonem dan peluluhan fonem.
Proses pemunculan fonem sejajar dengan yang dikatakan Ramlan.
Yang termasuk dalam hal ini adalah pemunculan bunyi /y/ dan /w/ ,ataupun /?/.
akan tetapi dalam memandang representasi dasar suatu morfem keduanya
berbeda, akibatnya pengelompokan proses morfofonemik yang terjadi pada
morfemis tertentu bagi keduanya dapat saja berbeda. Karena Kridalaksana
menganggap representasi dasar morfem terikatnya adalah {me-} dan Ramlan
menganggapnya {meN}.
Proses pengekalan fonem tidak memiliki padanan dalam versi Ramlan.
Kenyataan itu tidak terjadi karena ruang lingkup atau batasan tentang
proses morfofonemik yang dikemukakan keduanya berbeda. Kridalaksana
mengungkapkan bahwa proses morfofonemik menyangkut seluruh proses
fonologis. Ramlan membatasinya pada proses fonologis yang didalamnya
terdapat perubahan fonem. Oleh karena itu, proses pengekalan fonem berdasarkan
uraian Ramlan, tidak dianggap sebagai salah satu proses morfofonemik.
Morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul
sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Morfem ber- misalnya
terdiri dari tiga fonem, yakni /b, e, r/. Akibat pertemuan morfem itu dengan
morfem ajar, fonem /r/ berubah menjadi /l/, hingga pertemuan morfem ber-
dengan morfem ajar menghasilkan kata belajar. Demikian di sini terjadi proses
morfofonemik yang berupa perubahan fonem , yakni perubahan fonem /r/, pada
ber-menjadi /l/ (Ramlan, 1979: 52). Dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia
tertulis bahwa proses yang mengubah suatu fonem menjadi fonem lain sesuai
12

dengan fonem awal atau fonem yang mendahuluinya dinamakan proses


morfofonemik. Berbicara mengenai proses morfofonemik dalam bahasa
Indonesia maka terdapat tiga hal yang penting, yaitu a) proses perubahan fonem,
b) proses penambahan fonem, c) proses penaggalan fonem:
a) Proses Perubahan Fonem
Apabila kita menyinggung perubahan fonem dalam bidang proses
morfofonemik dalam bahasa Indonesia , maka ada dua hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu: perubahan fonem, /N/ dan perubahan fonem /r/.
1. Perubahan fonem /N/ adapun kaidah-kaidah perubahan fonem /N/ yang
terpenting dapat kita rangkum sebagai berikut:
a. Fonem /N/ pada morfem {meN-} dan morfem {peN-} berubah menjadi
fonem /m/ kalau dasar kata yang mengikuti berawal dengan /b, f, p/.
misalnya:
meN- + pakai = memakai
b. Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-} berubah menjadi fonem /n/ kalau
dasar kata yang mengikutinya berawal denga fonem /d, s, t/. perlu kita
catat disini bahwa fonem /s/ hanya khusus bagi sejumlah dasar kata yang
berasal dari bahasa asing .misalnya:
meN- + tahan = menahan
c. Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-} berubah menjadi /ny/ apabila dasar
kata yang mengikutinya berawal dengan / c, j, s, s^. misalnya :
meN - + sewa = menyewa
d. Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-} berubah menjadi /ng/ apabila dasar
kata yang mengikutinya berfonem awal /g, h, k x/, dan vocal misalnya :
meN- + ganti = mengganti
2. Perubahan Fonem /R/
Fonem /r/ pada morfem { ber-} dan morfem {per-} berubah menjadi
fonem /I/ sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan dasar kata yang
berupa morfem {ajar}. Perlu dicatat bahwa proses perubahan fonem /r/ ini tidak
produktif dalam bahasa Indonesia
13

Contoh:
ber- + ajar = belajar
per- + ajar = pelajar

b.) Proses Penambahan Fonem


Proses penambahan fonem biasanya terjadi pada dasar kata yang bersuku
satu atau bersuku tunggal, hal ini pun sangat terbatas dan jadi sebagai akibat
pertemuan dasar kata yang bersuku tunggal dengan morfem { meN-} dan
morfem {peN-}. Fonem tambahannya itu ialah /ǝ/, sehingga berubah menjadi
{meȠǝ-} dan {peȠǝ-} misalnya : meN- + bom = mengebom.

c.) Proses Penanggalan Fonem


Bidang proses penanggalan fonem ini ada tiga hal yang perlu dibicarakan,
yaitu :
1. Proses penanggalan fonem /N/ pada dasar kata yang berawal fonem-fonem / l,
r, y, w, N/ .
2. Proses penanggalan fonem/r/ pada morfem –morfem {ber-, per-, ter-, } pada
dasar kata yang berawal dengan fonem / ǝ/ dan dasar kata yang suku
pertamanya berakhir dengan / ǝr/.
3. Proses penghilangan fonem-fonem /k, p, t, s/ sebagai akibat pertemuan dengan
morfem-morfem {meN-, peN-} dengan dasar kata yang bermula dengan
fonem-fonem tersebut.

2.1.4 Kaidah Morfofonemik


Menurut (Mulyono, 2013: 91-95) Kaidah-kaidah morfofonemik yang
terpenting adalah: kaidah morfofonemik afiks meN-, kaidah morfofonemik afiks
peN-, kaidah morfofonemik afiks ber-, kaidah morfofonemik afiks per-, dan
kaidah morfofonemik afiks ter-.
14

1. Kaidah Morfofonemik Afiks meN-


Afiks meN- memiliki enam alomorf atau enam bentuk, yakni me-, men-,
meny-, meng-, dan menge-, dengan kaidah morfofonemik sebagai berikut:
Kaidah I: meN- → mem- : jika melekat pada bentuk dasar yang diawali
dengan fonem konsonan /p, b, f/
Misalnya:
meN- + bawa → membawa
meN- + fitnah → memfitnah
meN- + putar → memutar
Kaidah II: meN- → men- : jika bentuk dasar yang dilekatinya diawali dengan
fonem konsonan / d, t, s/
Misalnya:
meN- + didik → mendidik
meN- + support → mensupport
meN- + tumpuk → menumpuk
Kaidah III: meN- → meny- : jika melekat pada bentuk dasar yang diawali
dengan fonem konsonan / s, c, j/
Misalnya:
meN- + sucikan → menyucikan
meN- + cubit → mencubit/meňcubit
meN- + jaga → menjaga/m”ňjaga
Kaidah IV: meN- → meng- : jika melekat pada bentuk dasar yang fonem
awalnya adalah fonem konsonan / k, h, g. kh/
dan fonem vocal
Misalnya:
meN- + garami → menggarami
meN- + hukum → menghukum
meN- + kirim → mengirim
meN- + akui → mengakui
meN- + ikat → mengikat
meN- + uap → menguap
15

meN- + emban → mengemban


meN- + olah → mengolah
Kaidah V: meN- → me- : Fonem meN- berubah menjadi me-, apabila
diikuti oleh bentuk dasar yang berawal dengan
fonem /l, r, w, y, n, ny/.
Misalnya:
meN- + lupakan → melupakan
meN- + rusak → merusak
meN- + wajibkan → mewajibkan
meN- + yakinkan → meyakinkan
meN- + nyanyi → menyanyi
meN- + matikan → mematikan
meN- + nasihati → menasihati
meN- + ngaung → mengaung
Kaidah VI: meN- → menge- : Morfem meN- berubah menjadi menge-
apabila diikuti oleh bentuk dasar atau dasar kata
yang terdiri dari satu suku.
Misalnya:
meN- + cat → mengecat
meN- + las → mengelas
meN- + bom → mengebom

2. Kaidah Morfofonemik Afiks peN-


Kaidah morfofonemik morfem afiks peN- pada umumnya sama dengan
kaidah morfofonemik morfem afiks meN-.
Kaidah I: peN- → pem- : jika melekat pada bentuk dasar yang diawali
dengan fonem /b, f, p, m /.
Misalnya:
peN- + besar → pembesar
peN- + fitnah → pemfitnah
peN- + puja → pemuja
16

Kaidah II: peN- → pen- : Morfem peN- berubah menjadi pen- apabila
diikuti oleh bentuk dasar yang berawal dengan
fonem /d, s, t/.
Misalnya
peN- + diam → pendiam
peN- + support → pensupport
peN- + tusuk → penusuk
Kaidah III: peN- → peny- : Morfem peN- berubah menjadi peny- apabila
diikuti bentuk dasar atau dasar kata yang
berawal dengan fonem /s, c, j/. Fonem /s/
hilang.
Misalnya:
peN- + sita → penyita
peN- + cabut → pencabut/peñcabut
peN- + jaga → penjaga/p”ñjaga
Kaidah IV: peN- → peng- : Morfem peN- berubah menjadi peng- apabila
diikuti bentuk dasar yang berawal fonem /g, h,
k, x, vokal/. Dalam proses ini fonem /k/ hilang.
Misalnya:
PeN- + gerak → penggerak
PeN- + harum → pengharum
PeN- + konsep→ pengonsep

Kaidah V: peN- → pe- : Morfem peN- berubah menjadi pe- apabila diikuti
oleh bentuk dasar yang berawal fonem /l, r, w, y, /
Misalnya:
peN- + lupa → pelupa
peN- + rusak → perusak
peN- + warna → pewarna
peN- + yakin → peyakin
peN- + macet → pemacet
17

Kaidah VI: peN- → penge- : Morfem peN- berubah menjadi penge- apabila
diikuti bentuk dasar yang terdiri dari satu suku.
Misalnya:
peN- + bor → pengebor
peN- + cat → pengecat
peN- + pak → pengepak
peN- + las → pengelas

3. Kaidah Morfofonemik Morfem Afiks ber-


Afiks ber memiliki tiga alomorf atau tiga bentuk, yakni be-, bel-,
dan ber-, dengan kaidah morfofonemik sebagai berikut:
Kaidah I: ber- → be- : Morfem ber- berubah menjadi be- apabila diikuti
bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/, dan
beberapa bentuk dasar yang suku pertamanya
berakhir dengan /∂r/.
Misalnya:
ber- + roda → beroda
ber- + serta → beserta
ber- + derma → bederma
ber- + kerja → bekerja
ber- + ternak → beternak
Kaidah II: ber- → bel- : Morfem ber- menjadi bel- apabila diikuti oleh
bentuk dasar ajar.
Misalnya:
ber- + ajar → belajar
Kaidah III: ber- → ber- : jika bentuk dasarnya tidak diawali dengan
fonem /r/ atau suku pertama bentuk dasarnya
tidak berbunyi /er/, atau bentuk dasarnya bukan
morfem ajar.
Misalnya:
ber- + awal → berawal
18

ber- + iman → beriman


ber- + ekor → berekor
ber- + fantasi → berfantasi
ber- + khutbah → berkhutbah

4. Kaidah Morfofonemik Morfem Afiks per-


Afiks per memiliki tiga alomorf atau tiga bentuk, yakni pe-, pel-,
dan per-, dengan kaidah morfofonemik sebagai berikut:
Kaidah I: per- → pe- : Morfem per- berubah menjadi pe- apabila diikuti
bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/.
Misalnya:
per- + ringan → peringan
per- + ternak → peternak
Kaidah II: per- → pel- : Morfem per- berubah menjadi pel- apabila diikuti
bentuk dasar ajar.
Misalnya:
per- + ajar → pelajar
Kaidah III: per- → per- : Morfem per- tetap saja merupakan per-, apabila
diikuti oleh bentuk dasar yang tidak berawal
dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang bukan
morfem ajar.
Misalnya:
per- + lambat → perlambat
per- + teguh → perteguh
per- + indah → perindah
per- + mudah → permudah
19

5. Kaidah Morfofonemik Morfem Afiks ter-


Afiks ter memiliki dua alomorf atau tiga bentuk, yakni te-, dan
ter-, dengan kaidah morfofonemik sebagai berikut:
Kaidah I: ter- → te- : Morfem ter- berubah menjadi te- apabila diikuti
bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/, dan
bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir
dengan /∂r/.
Misalnya:
ter- + rasa → terasa
ter- + perdaya → teperdaya

Kaidah II: ter- → ter- : Morfem ter- tetap saja merupakan morfem ter-
apabila diikuti bentuk dasar yang tidak berawal
dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang suku
pertamanya tidak berakhir dengan fonem /∂r/.
Misalnya:
ter- + angkut → terangkut
ter- + bukti → terbukti
ter- + maju → termaju
ter- + desak → terdesak
ter- + lihat → terlihat
ter- + gusur → tergusur.

2.1.5 Pengertian Verba


Menurut Finoza (2004: 65-66) verba adalah kata yang menyatakan
perbuatan, atau tindakan, proses, dan keadaan yang bukan merupakan sifat. Kata
kerja pada umumnya berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Untuk mengenali
jenis kata kerja, kita dapat mengujinya dengan menambahkan dengan +KB (kata
benda)/ KS (kata sifat) di belakang kata yang diuji. Kata tulis, pergi, bicara, lihat,
menulis, bepergian, berbicara, dan melihat tergolong sebagai kata kerja karena
20

jika digabungkan dengan bentuk konstruksi penguji tadi akan tercipta arti yang
jelas.
Verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat, dalam
beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis, seperti ciri kala, aspek..
persona, atau jumlah (Kridalaksana,2011:  254). Kridalaksana juga menambahkan
bahwa kata kerja secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui
berkategori verba dari perilakunya dari satuan yang lebih besar: jadi sebuah kata
dapat dikatakan berkategori verba hanya dilihat dari perilakunya dalam frasa,
yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam
konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya: seperti sangat, lebih, atau
agak. itu dengan partikel di- atau partikel agak di- atau partikel seperti sangat,
lebih, atau agak.
Verba atau kata kerja biasanya dibatasi dengan kata-kata yang menyatakan
perbuatan atau tindakan. Namun batasan ini masih kabur karena tidak
mencangkup kata-kata seperti tidur dan meninggal yang dikenal sebagai kata
kerja tetapi tidak menyatakan perbuatan atau tindakan. Sehingga verba di
disempurnakan dengan menambah kata-kata yang menyatakan gerak badan atau
terjadinya sesuatu sehingga batasan itu menjadi kata kerja adalah kata-kata yang
menyatakan perbuatan, tindakan, proses , gerak, keadaan, dan terjadinya sesuatu
(Keraf, 1991: 72).
Menurut Sudaryanto (1991: 6) yang dimaksud dengan verba adalah kata
yang menyatakan perbuatan dapat dinyatakan dengan modus perintah, dan
bervalensi dengan aspek keberlangsungan yang dinyatakan dengan kata “lagi”
(sedang) seperti halnya dengan kata benda untuk menentukan apakah sebuah
kata adalah kata kerja (verba) atau tidak, kita mengikuti dua prosedur , penetapan
dengan kriteria praseologi (Keraf, 1991: 13).
Verba menurut Kridalaksana (1993: 226) adalah kelas kata yang biasanya
berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri
morfologis seperti ciri kala, aspek, persona atau jumlah. Sebagian besar verba
mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses ; kelas ini dalam bahasa
21

Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan
tidak mungkin diawali dengan kata seperti, sangat, lebih dsb.
Sebagai salah satu kelas kata dalam tuturan kebahasaan verba mempunyai
frekuensi yang tinggi pemakaiannya dalam suatu kalimat. Selain itu verba
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyusunan kalimat. Perubahan
struktur pada kalimat sebagian besar ditentukan oleh perubahan bentuk verba.
Pendapat lain, dikemukakan oleh Harimurti Kridalaksana (1993: 226)
menyatakan bahwa verba adalah kelas kelas kata yang biasanya berfungsi
sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain. Verba mempunyai ciri morfologis
seperti kata, aspek, dan pesona atau jumlah, sebagian verba memiliki unsur
semantiK perbuatan, keadaan, dan proses, kelas kata dalam bahasa Indonesia
ditorang tuai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan tidak
mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pengertian verba menurut para ahli, dapat
disimpulkan bahwa verba adalah kelas kata yang menyatakan perbuatan atau
tindakan dan mempunyai fungsi utama sebagai predikat.

2.1.6 Ciri-ciri Verba


Menurut Alwi dkk (2010: 91) ciri-ciri verba dapat diketahui dengan
mengamati (1) perilaku semantik. (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk
morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan
berdasarkan kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva karena ciri-ciri sebagai
berikut.
(1) Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat atau
sebagai inti predikat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. Contoh:
1. Pencuri itu lari.
2. Mereka sedang belajar di kamar.
3. Bom itu seharusnya tidak meledak.
4. Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia
22

Bagian yang dicetak miring adalah predikat, yaitu bagian yang menjadi
pengikat bagian lain dari kalimat itu. Fungsi dari bagian yang dicetak miring di
atas adalah sebagai inti predikat.
(2) Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi). proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas.
(3) Verba khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang
berarti 'paling', misalnya verba mati atau suka tidak dapat diubah menjadi termati
atau tersuka.
(4) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti agak belajar, sangat
pergi, dan bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat berbahaya, agak
menecewakan, dan mengharapkan sekali.

2.1.7 Fungsi Verba


Menurut Alwi dkk (2010: 167-171) jika ditinjau dari segi fungsinya, verba
(maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian.
verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan
(dengan perluasannya berupa objek, pelengkap, dan keterangan).
(1) Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat
Telah dikemukakan bahwa verba berfungsi terutama sebagai predikat
sebagai inti predikat kalimat. Marilah kita amati fungsi itu lebih lanjut.
1. Mereka bersalam-salaman dengan akrab.
2. Pekerjaannya bertani.
3. Rompi yang dikenakannya anti peluru.
Verba bersalam-salaman, bertani, anti peluru berfungsi sebagai predikat.
Verba bersalam-salaman adalah verba reduplikasi yang diikuti dengan keterangan
cara dengan akrab, sedangkan verba anti peluru adalah verba majemuk yang
terdiri dari dua kata yang manjadi satu kesatuan.
(2) Verba dan Frasa Verbal sebagai Subjek
Pada kalimat-kalimat di bawah ini terlihat bahwa verba dan perluasannya.
(yang berupa objek, pelengkap, dan/atau keterangan) dapat berfungsi sebagai
23

subjek. Pada umumnya verba yang berfungsi sebagai subjek adalah verba inti.
tanpa pewatas belakang. Jika verba ini memiliki unsur lain seperti objek dan
keterangan, unsur itu menjadi bagian dari subjek. Lihatlah contoh berikut.
1. Membaca telah memperluas wawasan pikirannya.
2. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
3. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
4. Makan sayur-sayuran dengan teratur dapat meningkatkan kesehatan.
Dalam kalimat pertama, subjeknya ialah verba membaca, sedangkan
dalam kalimat kedua dan ketiga subjeknya adalah frasa verba bersenam setiap
pagi dan makan sayur-sayuran dengan teratur. Verba membaca dan verba berolah
raga dalam kedua kalimat tersebut menempati fungsi sebagai subjek.
(3) Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
Dalam kalimat berikut verba dan frasa verbal dengan perluasannya
berfungsi sebagai objek.
1. Guru itu sedang mengajarkan menyanyi kepada murid-muridnya.
2. Doni mencoba makan tanpa nasi.
Yang menempati fungsi objek pada kedua kalimat di atas adalah menyanyi
dan makan. Verba menyanyi adalah objek dari predikat sedang mengajarkan.
Verba makan diikuti oleh keterangan tanpa nasi.
(4) Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
Verba dan frasa verbal beserta perluasannya dapat berfungsi sebagai
pelengkap dalam kalimat seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
1. Ia tidak merasa beruntung.
2. Orang itu sudah berhenti mencopet.
Beruntung dan mencopet adalah verba yang berfungsi sebagai pelengkap
dari predikat merasa dan berhenti. Masing-masing predikat itu tidak lengkap
sehingga tidak dapat diterima bila tidak diikuti oleh pelengkap.
(5) Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Dalam kalimat berikut verba dan perluasannya berfungsi sebagai
keterangan,
24

1. Andi pergi berekreasi.


2. Ibu baru saja pulang berbelanja.
Dua kalimat di atas menunjukkan adanya dua verba yang letaknya
berurutan. Verba pertama merupakan predikat, sedangkan verba kedua adalah
keterangan.
(6) Verba yang Bersifat Atributif
Verba (bukan frasa) juga bersifat atributif, yaitu memberikan keterangan
tambahan pada nomina. Dengan demikian, sifat itu ada pada tataran frasa.
Perhatikan contoh berikut.
1. Anjing tidur tidak boleh diganggu.
2. Negara itu sedang berada dalam situasi berbahaya.
3. Emosi tak terkendali sangat merugikan.
Verba tidur, berbahaya, mendesak, dan tak terkendali bersifat atributif
dalam frasa nominal anjing tidur, situasi berbahaya, dan emosi tak terkendali.
Setiap verba tersebut menerangkan nomina inti anjing, situasi, dan emosi. Verba
yang berfungsi atributif seperti ini merupakan kependekan dari bentuk lain yang
memakai kata yang. Dengan demikian, bentuk panjangnya adalah (anjing) yang
tidur, (situasi) yang berbahaya, dan (emosi) yang tak terkendali. Perlu dicatat di
sini bahwa verba yang berfungsi atributif itu tidak dapat diperluas tanpa adanya
penghubung yang. Contoh-contoh herikut tidak dapat diterima.
1. Anjing tidur nyenyak tak boleh diganggu.
2. Negera itu sedang berada dalam situasi berbahaya untuk kamu.
(7) Verba yang Bersifat Apositif
Verba dan perluasannya dapat juga bersifat apositif, yaitu sebagai
keterangan yang ditambahkan atau diselipkan, seperti yang terdapat dalam kalimat
berikut.
1. Pekerjannya, mengajar, sudah ditinggalkan
2. Usaha Pak Suroso, berdagang kain, tidak begitu maju.
3. Sumber pencarian penduduk desa itu, bertani dan berternak, sudah
lumayan.
25

Verba dan perluasannya mengajar, berdagang kain, dan bertani dan


berternak dalam kalimat-kalimat di atas berfungsi sebagai aposisi. Konstruksi
tersebut masing-masing menambah keterangan pada nomina pekerjaannya, dan
frasa nominal usa8ha Pak Suroso dan sumber pencarian penduduk desa itu.
Sebagaiamana dapat dilihat, verba (dengan perluasannya) yang berfungsi sebagai
aposisi tersebut terletak di antara koma. Dalam membaca. notasi keterangan yang
ditambahkan seperti itu biasanya direndahkan.

2.1.8 Pengelompokan Verba


1. Verba Menurut Perilaku Morfologi
Verba dilihat dari segi perilaku morfologisnya dibagi menjadi dua (Alwi,
dkk. 2010: 98) yaitu sebagai berikut.
(1) Verba Asal
Verba asal adalah verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks. Hal itu
berarti bahwa dalam tataran yang lebih tinggi seperti klausa ataupun kalimat, baik
dalam bahasa formal maupun informasl, verba seperti itu dapat dipakai.
Perhatikan contoh berikut.
1. Di mana Bapak tinggal?
2. Segera setelah tiba di Jawa, kirimlah surat ke mari.
3. Kita perlu tidur sekitar enam jam sehari?
Makna leksikal, yakni makna yang melekat pada kata, telah dapat pula
diketahui verba semacam itu. Dalam bahasa Indonesia jumlah verba asal tidak
banyak. Contoh: Ada,bangun, cinta, datang, duduk, naik, paham, pecah, pergi,
pulang, gugur, hancuri, hidup, hilang, ikut, rasa, jatuh, kalah, lahir, lari, makan,
tenggelam, terbit , tiba, tidur, tinggal, mandi, mati, menang, minum, masak,
tumbang, tumbuh, turun, tamat, sadar, suka, tahan, tahu, yakin, pulang, tahu,
tinggal, yakin
Daftar ini mengandung juga sejumlah kata yang mempunyai ciri verba dan
adjektiva sekaligus, misalnya hancur dan pecah.
26

(2) Verba Turunan


Verba turunan adalah verba yang dibentuk melalui transposisi..
pengafiksan, reduplikasi (pengulangan), atau pemajemukan (pemaduan). Transpos
isi adalah suatu proses penurunan kata yang memperlihatkan suatu kata dari
kategori sintaktis yang satu ke kategori sintaktis yang lain tanpa mengubah
bentuknya. Dari nomina jalan, misalnya, diturunkan verba jalan. Contoh berikut
merupakan transposisi dari nomina ke verba.
Dasar Verba Turunan
telepon telepon
cangkul cangkul
gunting gunting
sikat sikat

Pengakfiksan adalah penambahan afiks pada dasar. Contoh:


Dasar Verba Turunan
beli membeli
darat mendarat
temu bertemu
sepeda bersepeda
restu merestui
besar memperbesar
berhenti memberhentikan

Reduplikasi adalah pengulangan suatu dasar. Contoh:


Dasar Verba Turunan
lari lari-lari
makan makan-makan
tembak tembak-menembak
terka menerka-nerka
27

Kata turunan yang dibentuk dengan proses reduplikasi dinamakan kata


berulang. Dengan demikian, verba turunan seperti yang digambarkan sebelumnya.
Kata turunan yang dibentuk dengan proses reduplikasi dinamakan kata berulang.
Dengan demikian, verba turunan seperti yang digambarkan tersebut dapat juga
disebut berulang. Seperti terlihat pada contoh sebelumnya, pengakfiksan dapat
juga terjadi pada verba berulang, misalnya, tembak-menembak dan Pemajemukan
adalah penggabungan atau pemaduan dua dasar atau lebih,sehingga menjadi satu
satuan makna. Contoh: jual, beli (jual beli), jatuh, bangun (jatuh bangun), salah,
sangka (salah sangka), salah, hitung (salah hitung), hancur, lebur (hancur lebur).
Kata turunan yang terbentuk melalui pemajemukan disebut kata majemuk.
Dengan demikian, verba turunan seperti digambarkan sebelumnya dapat juga
disebut verba majemuk. Pengafiksan dan reduplikasi dapat terjadi pada veba
majemuk, misalnya memperjualbelikan, menghancurkan, dan jatuh-jatuh.

2. Verba Menurut Perilaku Sintaksisnya


Dari segi sintaksisnya, ketransitifan verba ditentukan oleh dua faktor: (1)
adanya nomina yang berdiri di belakang verba yang berfungsi sebagai objek
dalam kalimat aktif dan (2) kemungkinan objek itu berfungsi sebagai subjek
dalam kalimat pasif. Dengan demikian, pada dasarnya verba terdiri atas verba
transitif dan verba taktransitif. Verba taktransitif ada pula yang berpreposisi
(Alwi, dkk. 2010: 90).

(1) Verba Transitif.


Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai objek
dalam. kalimat aktif, dan objek itu dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat
pasif. Perhatikan contoh berikut.
1. Ibu sedang membersihkan kamar itu.
2. Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur.
3. Pemerintah akan memberlakukan peraturan itu segera.
4. Polisis harus memperlancar arus lalu lintas.
5. Sekarang orang sukar mencari pekerjaan.
28

Verba transitif dapat berupa:


a. Verba Ekatransitif
Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh suatu objek.
Perhatian contoh-contoh berikut:
1. Saya sedang mencari pekerjaan.
2. Ibu akan membeli baju baru.
Mencari dan membeli pada konstruksi 1 dan 2 adalah verba ekatransitif
karena kedua verba ini hanya memerlukan sebuah objek (pekerjaan dan baju).
Objek dalam kalimat yang mengandung verba ekatrnsiitif dapat diubah fungsinya
sebagai subjek dalam kalimat pasif.
b. Verba Dwitransitif
Verba dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti.
oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai pelengkap.
Perhatikan contoh berikut:
1. Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.
2. Ibu akan membelikan kakak baju baru.
Verba mencarikan dan membelikan pada konstruksi 1 dan 2 adalah verba
dwitransitif karena masing-masing memiliki objek (adik saya dan kaka) dan
pelengkap (pekerjaan dan baju baru), objek dapat saja tidak dinyatakan secara
eksplisit, tetapi yang tersirat di dalam kedua makna. kalimat itu tetap
menunjukkan adanya objek tadi. Jadi, kalimat Saya sedang mencarikan pekerjaan
megandung arti bahwa pekerjaan itu bukan untuk saya, tetapi utnuk orang lain.
Demikian pula dalam kalimat Ibu akan membelikan baju haru tersirat pengertian
bahwa haju yang dibeli oleh Ibu untuk orang lain.
c. Verba Semitransitif
Verba semitransitif ialah verba yang objeknya boleh ada dan boleh juga
tidak, perhatikanlah contoh berikut.
Ayah sedang membaca koran
Ayah sedang membaca Pada contoh menunjukkan bahwa verba membaca
adalah verba semitransitif karena verba itu boleh memiliki objek (koran) seperti
29

contoh pertama. Tetapi juga boleh berdiri sendiri tanpa objek seperti pada contoh
kedua. Jadi, objek untuk verba semitransitif bersifat manasuka.

(2) Verba Taktransitif


Verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di
belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
1. Maaf Pak. Ayah sedang mandi.
2. Kami harus bekerja keras untuk membangun negara.
3. Petani di pegunungan bertanam jagung.
Verba mandi dan bekerja pada contoh kalimat tersebut adalah verba
taktransitif karena dapat diikuti. Verba memang diikuti olel nomina jagung, tetapi
nomina itu bukanlah objek dan karenanya tidak dapat menjadi subjek dalam
kalimat pasif. Karena itu, bertanam disebut verba taktransitif, sedangkan jagung
merupakan pelengkap. Pelengkap tidak harus berupa nomina. Dengan demikian,
verba taktransitif dapat dibagi atas dua macam, yaitu verba yang berpelengkap
dan verba yang tak berpelengkap.
Marilah kita amati kalimat-kalimat berikut.
1. Rumah orang kaya itu berjumlah dua puluh buah.
2. Yang dikemukakannya adalah suatu dugaan.
3. Dia sudah mulai bekerja.
4. Anak itu kedapatan merokok.
5. Dia berpendapat (bahwa) ekonomi negara itu akan membaik.
6. Nasi telah menjadi bubur.
7. Kekayaannya bernilai seratus miliar rupiah.
8. Bajunya berwarna kuning.
9. Gadis itu tersipu-sipu.
10. Bibit kelapa itu sudah tumbuh.

Verba berjumlah, adalah, mulai, dan kedapatan adalah verba pelengkap
verba itu harus ada dalam kalimat. Jika pelengkap itu tidak hadir, kalimat yang
bersangkutan tidak sempurna dan tidak bertema. Pelengkap seperti dua puluh
30

buah dan suatu dugaan mengikuti verba tersebut. Karena pelengkap harus hadir,
maka verba itu disebut juga verba taktransitif berpelengkap wajar. Verba
berpendapat juga merupakan verba yang berpelengkap wajib, tetapi pelengkap
verba seperti itu bukan berupa kata atau suatu frasa, melainkan frasa yang
didahului oleh konjungsi bahwa. Verba menjadi, bernilai, dan berwarna juga
merupakan verba berpelengkap. Namun. dalam konteks pemakainan yang lain,
ketiga verba itu dapat juga tidak diikuti oleh pelengkapnya, seperti yang tampak
pada contoh berikut.
1. Makin tua makin menjadi.
2. Pikiran yang dikemukakannya bernilai.
3. Film itu berwarna.
Karena pelengkap itu tidak selalu hadir, maka verba yang berpelengkap manasuka
seperti itu disebut verba taktransitif berpelengkap manasuka.
Verba tersipu-sipu dan tumbuh adalah verba yang tidak dapat diberi
pelengkap. Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan bahwa di antara verba seperti
itu ada yang diikuti oleh kata atau frasa tertentu yang kelihatannya seperti
pelengkap, tetapi sebenarnya adalah keterangan.
Bibit kelapa itu tumbuh subur
Kata subur dalam kalimat di atas bukan pelengkap, melainkan keterangan.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa subur dapat diparafrasakan menjadi
dengan subur.

3. Verba Menurut Perilaku Semantisnya.

Setiap verba memilki makna inheren yang terkandung di dalamnya.


Makna inheren suatu verba tidak terlihat dengan wujud verba tersebut. Artinya,
apakah suatu verba berwujud dasar, kata yang tanpa afiks, atau yang memiliki
afiks, hal ini tidak mempengaruhi makna inheren yang terkandung di dalamnya.
Misalnya verba membesar, menyatakan perubahan dari keadaan yang kecil ke
keadaan yang tidak kecil lagi. Verba membesar mengandung makna inheren
proses yang menyatakan adanya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang
31

lain. Makna inheren juga tidak selalu berkaitan dengan status ketransitifan suatu
verba. Suatu verba taktransitif dapat memiliki makna inheren perbuatan
(misalnya. pergi) atau proses (misalnya, menguning). Sementara itu, verba
transitif pada umunya memang mengandung makna inheren perbuatan meskipun
tidak semuanya demikian. Verba transitif mendengar atau melihat, misalnya, tidak
menyatakan perbuatan. Berikut ini beberapa makna inheren verba menurut Alwi,
dkk (2010)
(1) Perbuatan
Makna inheren perbuatan dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa
yang dilakukan oleh subjek?" semua verba perbuatan dapat dipakai dalam kalimat
perintah.
(2) Proses
Makna inheren proses dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa yang
terjadi pada subjek?". Verba proses juga menyatakan adanya perbuatan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain. tidak semua verba proses dapat dipakai dalam
kalimat perintah.
(3) Keadaan
Verba yang mengandung makna keadaan pada umumnya tidak dapat
menjawab pertanyaan "Apa yang dilakukan oleh subjek?” maupun "Apa yang
terjadi pada subjek?” dan tidak dapat dipakai untuk membentuk kalimat perintah.
Verba keadaan menyatakan acuan verba berada dalam situasi tertentu. Verba
keadaan sering sulit dibedakan dari adjektiva karena kedua jenis kata itu
mempunyai banyak persamaan. Satu ciri yang umumnya dapat membedakan
keduanya ialah prefiks adjektiva ter- yang berarti 'paling dapat ditambahkan pada
adjektiva, tetapi tidak pada verba keadaan.

2.1.9. Verba Proses


Istilah verba proses di sini secara sederhana merujuk pada anggota verba
di luar ranah verba keadaan dan verba tindakan (perbuatan). Boleh dikatakan
bahwa semua anggota verba yang tidak termasuk verba keadaan dan verba
tindakan tergolong verba proses. Secara umum istilah ini hampir sama dengan
32

kelas achievement Vendler (Foley dan Van Valin, 1984: 37-38; Mourelatos,
1981: 19--192, 201; Shirai dan Andersen, 1995: 744), atau kelas performansi
(performance) Kenny (Mourelatos,· 1981: 192-193), atau kelas (inseptif) Leech
(1981: 210-211).
Verba proses mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu keadaan
menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama telah
dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan keadaan yang baru itu tidak
dipersoalkan, yang dipersoalkan hanyalah batas yang dilintasinya .
Verba proses merupakan verba yang menyatakan adanya suatu perubahan
yang terjadi dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Verba proses adalah verba
yang secara inheren menyatakan proses Alwi, dkk (2010). Verba ini biasanya
dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek? Tidak semua verba
proses dapat dipakai dalam kalimat perintah. Perhatikan contoh berikut.
a. Bunga itu layu.
b. Bunga itu sedang layu.

Keterangan yang dapat diberikan untuk contoh tersebut adalah bunga itu
berubah dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Adanya perubahan ini
menunjukkan kedinamisan verba proses. Ciri semantis ini terungkap pada (b)
dengan mengizinkan peranti sintaktis untuk memperluas temporal. Ciri dinamis
juga terdapat pada mekar dan terbit (sedang mekar, sedang terbit), tetapi ciri ini
gagal dipenuhi oleh hangus dan putus (sedang hangus, sedang putus) padahal
keduanya mengekspresikan perubahan keadaan entitasnya. Terhadap fakta ini,
muncul pertanyaan : Apakah ini sebuah indikasi bahwa hangus dan putus bukan
bagian dari verba proses.
Hangus dan putus untuk menyebut beberapa contoh cenderung ditafsirkan
statis dalam bahasa Indonesia. Inilah alasan mendasar mengapa keduanya
menolak pemarkah progresif. Di satu sisi, hangus dan putus tidak bisa
digolongkan verba keadaan, sebab ekspresi temporalnya memiliki batas akhir,
suatu ciri yang memungkinkannya menerima pemarkah perfektif (seperti sudah
hangus, sudah putus). Di sisi lain, hangus dan putus juga kurang tepat
ditempatkan di bawah label verba tindakan sebab makna dasarnya bukan
33

menyatakan suatu tindakan, melainkan suatu proses, proses yang berakhir. Atas
dasar itu, keduanya dikelompokkan sebagai verba proses. Perhatikan konstruksi
diberikut ini.
a. Buah randu telah menghitam kulitnya
b. Jantung saya sudah membesar

Tampak bahwa pemarkah perfektif berterima pada verba proses. Hal ini
mengindikasikan bahwa makna yang dicakup oleh perfektif bahasa Indonesia
adalah makna. Lebih dari itu, infleksi perfektif yang terbentuk dengan adjektiva
prototype dapat pula menghasilkan makna yang mengacu pada permulaan
keadaan. Buktinya, verba .menghitam dan membesar pada contoh menerima
pemarkah mulai, seperti pada contoh berikut.
a. Buah randu mulai menghitam kulitnya.
b. Jantung saya mulai membesar.

Karena ciri perfektif, dan juga pungtual, dalam kajian ini sudah dikaji
dalam pengertian bahwa kedua ciri ini berfokus pada apa yang terjadi pada
subjek. verba menghitam pada konstruksi (a) dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan : apa yang terjadi pada buah randu?. Selain itu kata itu juga
mengisyaratkan adanya “perubahan dari tidak hitam menjadi hitam atau agak
hitam”. Demikian pula dengan verba mengering, pada konstruksi (b) digunakan
untuk menjawab pertanyaan : apa yang terjadi pada jantung saya ?. Membesar
juga mengandung makna adanya perubahan dari keadaan yang kecil ke keadaan
yang tidak kecil lagi atau agak besar.
Verba proses adalah verba yang secara inheren menyatakan proses. Verba
ini biasanya dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek?"
Umpamanya kata meledak pada kalimat berikut adalah verba proses,
a. Bom itu seharusnya tidak meledak
sebab bisa menjadi jawaban atas pertanyaan "Apa yang terjadi pada bom itu?"
kata meledak pada contoh tersebut, mengandung makna adanya perubahan dari
tidak meledak menjadi meledak. Selain itu ini dibuktikan dengan, komponen
34

semantis pada verba tersebut berkomponen semantik (+dinamis) yang


menunjukan dengan ada tidaknya perubahan dan juga berlangsung pada kurun
waktu tertentu. Contoh verba proses lain yang diberikan adalah:
mati, jatuh, meninggal, kebanjiran, mengering, terbakar, terdampar, mengecil.
Verba proses mengandung pengertian perubahan dari suatu keadaan! pada
keadaan lain, misalnya verba membesar mengandung pengertian adanya
perubahan dari keadaan yang kecil ke keadaan yang tidak kecil lagi. Dengan
keterangan ini, kiranya contoh-contoh yang diberikan di atas perlu dipersoalkan
keanggotaannya sebagai verba proses.
Beda verba perbuatan dengan verba proses, kalau verba perbuatan dapat
digunakan dalam kalimat imperatif, sedangkan verba proses tidak dapat
digunakan dalam kalimat imperatif.

2.1.9.1 Komponen Semantis Verba


Setiap verba yang dianalisis berdasarkan kajian semantik tentu saja
terdapat komponen semantis yang dimiliki oleh verba tersebut. Komponen
semantis yang dimiliki oleh verba berperan penting karena dapat menjadi
pembeda antara jenis verba yang satu dengan jenis verba lainnya. Komponen
semantis dapat dimiliki dan juga tidak dapat dimiliki oleh verba. Hal tersebut
dapat menjadi indikator untuk menentukan jenis verba tersebut. Komponen
semantis juga menggambarkan lebih terperinci tentang peristiwa yang
digambarkan oleh verba tersebut. Berikut dipaparkan beberapa perbedaan dari
verba keadaan, proses, tindakan, dilihat dari komponen semantik dari masing-
masing jenis verba yang oleh Ekasriadi (2004: 52) dikembangkan dari pendapat
Hopper dan Thompson (1980: 252).

Tabel tersebut menjelaskan komponen semantis yang dimiliki oleh verba.


Komponen Tipe Verba
Semantis Keadaan Proses Tindakan
Dinamis - + +
Kesengajaan - - +
Kepungtualan - -/+ -/+
35

Aspek / Telik - -/+ -/+


Kinesis - - -/+
Ada lima komponen semantis, yaitu : dinamis, kesengajaan, kepungtualan,
aspek/telik dan kinesis. Komponen tersebut dapat dimiliki dan juga tidak dapat
dimiliki oleh sebuah verba. Dinamis berkaitan dengan ada tidaknya perubahan
dan juga berlangsung pada kurun waktu tertentu. Kesengajaan berkaitan dengan
peristiwa atau kejadian yang digambarkan oleh verba tersebut sengaja atau tidak
sengaja dilakukan oleh pelaku. Kepungtualan berhubungan dengan peristiwa yang
dijelaskan oleh verba terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga tidak terlihat
perubahan dari awal kejadian dan juga akhirnya. Aspek atau telik berhubungan
dengan kejadiaan verba tersebut sudah selesai atau verba tersebut sedang
berlangsung. Kemudian yang terakhir adalah kinesis berkaitan dengan peristiwa
yang digambarkan verba, ada atau tidaknya transfer tindakan tersebut ke
partisipan lain.
[+dinamis] menunjukkan bahwa verba tersebut bersifat dinamis.
[-dinamis] mempunyai arti bahwa verba tersebut tidak bersifat dinamis.
[+kesengajaan] menunjukkan bahwa peristiwa yang digambarkan oleh verba
sengaja dilakukan dan dikehendaki oleh pelaku. [-kesengajaan] menunjukkan
bahwa peristiwa yang digambarkan oleh verba tidak sengaja dilakukan dan bukan
kehendak pelaku. [+kepungtualan] mempunyai arti bahwa peristiwa yang
digambarkan oleh verba berlangsung dalam waktu singkat, sehingga tidak tampak
adanya transisi antara awal dan akhir peristiwa. [-kepungtualan] menunjukkan
bahwa peristiwa yang digambarkan tidak terjadi dalam waktu singkat, sehingga
tampak adanya transisi antara awal dan akhir peristiwa. [+aspek/telik]
menunjukkan bahwa peristiwa yang digambarkan oleh verba telah selesai. [-
aspek/telik] menjelaskan bahwa peristiwa yang digambarkan oleh verba belum
selesai atau masih berlangsung. [+kinesis] menunjukkan bahwa peristiwa yang
digambarkan oleh verba mengindikasikan terdapat tindakan yang ditransfer ke
partisipan lain. [-kinesis] menunjukkan bahwa peristiwa yang digambarkan oleh
verba mengindikasikan tidak terdapat tindakan yang ditransfer ke partisipan lain.
36

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa verba proses bersifat


dinamis. Peristiwa yang digambarkan oleh verba proses tidak terjadi secara
sengaja. Selanjutnya, peristiwa yang digambarkan oleh verba proses dapat terjadi
dalam waktu singkat maupun tidak. Verba proses juga menggambarkan peristiwa
yang masih berlangsung atau sudah selesai. Yang terakhir, peristiwa yang
digambarkan oleh verba proses tidak terdapat tindakan yang ditransfer ke
partisipan lain.
Chafe (1970), menyatakan bahwa verba atau kata kerja memegang
peranan utama dalam struktur kalimat, sebab verba inilah (yang di dalam bahasa
Inggris selalu menduduki fungsi predikatif) yang menentukan hadir tidaknya
fungsi yang lain (objek, pelengkap, keterangan) serta menentukan jenis semantik
dari kategori pengisi fungsi-fungsi lain. Sebagai contoh verba jatuh hanya
menghadirkan fungsi subjek; verba duduk akan menghadirkan fungsi subjek dan
fungsi keterangan tempat; verba membeli akan menghadirkan fungsi subjek dan
fungsi objek; sedangkan verba membelikan akan menghadirkan fungsi subjek,
fungsi objek, dan fungsi pelengkap', perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.

(1) Anak itu jatuh.


S P
(2) Anak itu duduk di kursi.
S P Ket
(3) Anak itu menduduki kursi direktur.
S P O
(4) Anak itu mendudukkan adiknya di kursi direktur.
S P O Ket
(5) Anak itu membelikan adiknya kue
S P O Pel

keterangan:
S:subjek
P: predikat
37

Ket: keterangan.
Pel: pelengkap
O: objek
kehadiran unsur objek, pelengkap, dan/atau keterangan wajib sangat
bergantung pada bentuk dan jenis predikatnya". (Alwi, 1998: 323)
Pernyataan ini tentunya mempunyai implikasi bahwa dalam buku ini harus
dibicarakan mengenai klasifikasi semantik verba bahasa Indonesia. Hal ini
dibicarakan dalam subbab berjudul "verba dari segi perilaku semantiknya".
pada kalimat (1) hanya mewajibkan kehadiran fungsi subjek dan mengapa
verba duduk pada kalimat (2) mewajibkan kehadiran fungsi subjek dan fungsi
keterangan. Baiklah kita bicarakan satu per satu perilaku semantik verba-verba
dari kalimat (1) sampai kalimat (5).
Verba jatuh pada kalimat (1) secara semantik menyatakan suatu keadaan
berupa suatu kejadian, maka sebagai suatu keadaan dalam bentuk kejadian verba
ini hanya memerlukan sebuah nomina yang menduduki fungsi subjek yang
mengalami kejadian itu. Jadi, verba ini tidak memerlukan fungsi lain, meskipun
fungsi keterangan/waktu, tempat, atau sebab bisa ditambahkan, tetapi sifatnya
opsional. Verba duduk pada kalimat (2) secara semantik menyatakan suatu
perbuatan yang memerlukan tempat. Oleh karena itu, verba ini memerlukan
sebuah fungsi subjek berkategori nomina yang melakukan perbuatan itu, dan
sebuah fungsi keterangan yang menyatakan tempat. Verba lain yang sekategori
semantik dengan verba duduk, antara lain, adalah pergi, tinggal, dan masuk.
Verba menduduki pada kalimat (3) secara semantik menyatakan 'perbuatan atau
tindakan bersasaran'. Maka, verba ini mewajibkan hadimya sebuah fungsi subjek
berkategori nomina yang berperan pelaku, dan sebuah fungsi objek berkategori
nomina berperan sasaran berfitur semantik [tempat] 2. Secara opsional bisa saja
ditambahkan fungsi keterangan (tempat, cara, dan sebagainya). Verba
mendudukkan pada kalimat (4) secara semantik menyatakan perbuatan atau
tindakan bersasaran benefaktif dan tempat. Oleh karena itu, verba ini mewajibkan
hadimya sebuah fungsi subjek berkategori nomina yang berperan pelaku, sebuah
fungsi objek yang berperan sasaran benefaktif, dan sebuah fungsi keterangan yang
38

berperan lokatif. Terakhir verba membelikan pada kalimat (5) secara semantik
menyatakan perbuatan atau tindakan bersasaran benefaktif berpelengkap. Maka
verba membelikan ini mewajibkan hadirnya sebuah fungsi subjek berkategori
nomina yang berperan pelaku, sebuah objek berkategori nomina berperan
benefaktif, dan sebuah fungsi pelengkap yang berperan melengkapi.
Pemaparan tersebut jelas terlihat bahwa fungsi wajib dalam setiap kalimat
bukanlah hanya subjek dan predikat saja seperti pendapat para penulis tata bahasa
tradisional; tetapi fungsi keterangan pun bisa wajib hadir sesuai dengan tipe dan
jenis verba yang menduduki fungsi predikat di dalam kalimat itu.
Dalam mendeskripsikan jenis tipe atau klasifikasi semantik verba, Buku
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia secara umum menyatakan ada tiga macam
verba, yaitu verba perbuatan (aksi), verba proses, dan verba keadaan. Ketiga jenis
verba itu dijelaskan berdasarkan kedudukan semantik verba itu di dalam kalimat.
Verba perbuatan adalah verba yang secara inheren mengandung makna
perbuatan. Verba ini biasanya dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa
yang dilakukan oleh subjek?" Umpamanya verba lari dan belajar pada kalimat (6)
dan (7) berikut adalah verba perbuatan,
(6) Pencuri itu lari
(7) Mereka sedang belajar di kamar
sebab bisa menjadi jawaban untuk pertanyaan " Apa yang dilakukan pencuri itu?"
untuk kalimat (6), dan pertanyaan "apa yang mereka lakukan di kamar ?" untuk
kalimat (7). Verba perbuatan lainya yang diberikan sebagai contoh adalah;
mendekat, mencuri, mandi, memberhentikan, membelikan, memukuli, menakut-
nakuti, naik haji
Verba proses adalah verba yang secara inheren menyatakan proses. Verba
ini biasanya dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek?"
Umpamanya kata meledak pada kalimat (8) adalah verba proses,
(8) Bom itu seharusnya tidak meledak
sebab bisa menjadi jawaban atas pertanyaan "Apa yang terjadi pada bom itu?"
Contoh verba proses lain yang diberikan adalah:
mati, jatuh, meninggal, kebanjiran, mengering, terbakar, terdampar, mengecil.
39

Verba keadaan adalah verba yang secara inheren menyatakan 'keadaan',


verba keadaan tidak bisa menjawab "Apa yang dilakukan oleh subjek?", yang kita
berikan pada verba perbuatan maupun pertanyaan "Apa yang terjadi pada
subjek?" yang kita ajukan pada verba proses. Misalnya kata suka pada kalimat (9)
adalah verba keadaan,
(9) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia.
sebab tidak bisa digunakan untuk menjawab kedua pertanyaan di atas.
Verba keadaan ini menurut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sering kali
sukar dibedakan dari kata berkategori adjektiva, sebab antara keduanya saling
bertumpang-tindih. Namun, ada satu ciri umum yang dapat membedakannya, ciri
itu adalah verba keadaan tidak bisa diimbuhi prefiks ter- yang berarti 'paling
sedangkan yang berkategori adjektiva selalu dapat. Misalnya adjektiva dingin dan
sulit bisa dibentuk menjadi terdingin 'paling dingin' dan tersulit 'paling sulit';
sedangkan dari verba keadaan suka tidak bisa menjadi tersuka. Ini memang aneh,
apakah ketidakberterimaan bentuk tersuka merupakan data potensial atau
bagaimana, sebab frasa paling suka bisa berterima seperti dalam
kalimat.
Apa yang dijelaskan Chaer (2012: 167), sebenarnya masih terlalu
sederhana. Pembagian verba secara semantik menjadi tiga, yaitu verba perbuatan,
verba proses, dan verba keadaan belum bisa, misalnya, menjawab pertanyaan
mengapa kalimat,
Teori Chafe (1970) yang membagi verba bahasa Inggris secara semantik
atas 9 tipe, kemudian oleh Tampubolon (1981 dan 1979) dimodifikasi untuk
bahasa Indonesia menjadi 12 tipe, kiranya bisa digunakan. Tampubolon (1981 dan
1979) dalam mendeskripsikan tipe-tipe semantik verba bahasa Indonesia
memanfaatkan teori Chafe (1970) yang digabung dengan teori tata bahasa kasus
Fillmore (1971) telah menetapkan adanya 12 tipe verba bahasa Indonesia dengan
fungsi-fungsi yang bisa dihadirkan oleh tipe-tipe verba tersebut. Namun, yang
dilakukan Tampubolon ini pun belum bisa menjelaskan mengapa kalimat (11)
secara semantik tidak berterima. Oleh karena itu, teori Chafe dan Fillmore ini
perlu digabungkan dengan teori tentang fitur semantik atau komponen makna
40

seperti yang dikemukakan oleh Nida (1975) atau Larson (1989). Maka dengan
mengacu pada kerangka kerja Tampubolon yang digabung dengan teori fitur
semantik kiranya untuk bahasa Indonesia kita dapat menetapkan adanya 12 tipe
dasar verba bahasa Indonesia, sebagai berikut.
Tipe I, adalah verba-tindakan, yakni verba yang menyatakanntindakan
seperti verba makan, baca, dan tulis. Verba ini mewajibkan hadirnya sebuah
fungsi subjek yang berperan sebagai 'pelaku' dan sebuah fungsi objek yang
berperan sebagai 'sasaran'. Verba tipe I ini pun bisa diperinci lagi menjadi (1)
verba tindakan yang pelakunya berfitur semantik [+insan], seperti verba
membaca, menulis, dan mencuri (2) verba tindakan yang pelakunya berfitur
semantik [+makhluk hidup] seperti verba makan, minum, dan menendang; (3)
verba tindakan yang pelakunya berfitur semantik [-insan], seperti verba memagut,
mematuk, dan melindas. Berikut contoh-contoh penggunaannya.

(12) Pak lurah


*Kucing itu membaca komik.

(13) Pak lurah


Kucing itu makan dendeng.

(14) Ular itu


*Orang itu memagut kaki Pak Lurah.

Selain menentukan fitur semantik dari subjek, verba tindakan itu juga
menentukan fitur semantik dari objeknya. Perhatikan dua contoh kalimat berikut
yang tidak berterima karena fitur semantik objeknya tidak seperti yang
dikehendaki verbanya.
(15) Pak Lurah makan *semen
(16) Kucing itu menelan *rumah
Verba makan menghendaki objek berfitur semantik [+makanan], dan
verba menelan menghendaki objek berfitur semantik [+kecil].
41

Tipe II adalah verba tindakan pengalaman. Verba tipe ini mewajibkan


hadimya sebuah fungsi subjek yang berperan sebagai pelaku dan pengalaman;
serta sebuah fungsi objek yang berperan sebagai sasaran, atau sebuah fungsi
pelengkap atau keterangan yang berperan sebagai pengalami. Misalnya verba
menaksir, menjawab, dan mengancam pada kalimat berikut:
(17) Dika menaksir harga mobil itu.
(18) Beliau menjawab pertanyaan para wartawan.
(19) Penjahat itu mengancam kami dengan pistol.
Pada kalimat (17) Dika menjadi pelaku dan mengalami tindakan menaksir,
pada kalimat (18) beliau menjadi pelaku dan pengalami tindakan menjawab;
sedangkan pada kalimat (19) penjahat itu menjadi pelaku, dan kami menjadi
pengalami tindakan mengancam itu.
Tipe III adalah verba tindakan-benefaktif. Verba ini mewajibkan hadimya
sebuah fungsi subjek yang berperan sebagai pelaku atau juga penerima/pemilik.
Sebuah fungsi objek yang berperan sebagai sasaran, atau bisa juga sebagai
penerima/pemilik; dan sebuah fungsi keterangan sebagai penerima/pemilik.
Misalnya verba membeli, membantu dan menerima dalam kalimat-kalimat berikut.
(20) Nita membeli mobil dari Pak Fuad.
(21) Pemerintah akan membantu para korban kebakaran.
(22) Kami belum menerima bantuan itu.
Pada kalimat (20) Nita menjadi penerima/pemilik mobil itu, sedangkan
pak Fuad tidak memiliki lagi. Pada kalimat (21) para korban kebakaran menjadi
penerima/pemilik dari bantuan itu; dan pada kalimat (22) kami menjadi penerima
bantuan itu, meskipun dalam hal ini belum diterimakan.
Tipe IV, adalah verba tindakan lokasi. Verba ini mewajibkan hadimya
sebuah fungsi subjek yang berperan sebagai pelaku dan sebuah fungsi keterangan
yang berperan lokatif (tempat keberadaan, tempat tujuan, atau tempat asal
kedatangan). Misalnya verba pergi, verba duduk, dan verba datang dalam
kalimat-kalimat berikut.
(23) Wulan pergi ke sekolah.
(24) Hanif duduk di lantai.
42

(25) Mereka datang dari India.


Meskipun secara gramatikal kehadiran frasa ke sekolah pada kalimat (23),
di lantai pada kalimat (24), dan dari India pada kalimat (25) bisa dilesapkan, tetapi
pergi, duduk, dan datang itu tetap "menyarankan" kehadiran fungsi keterangan
itu. Berbeda halnya dengan frasa restoran dalam kalimat,
(26) Dia sudah makan nasi di restoran.
yang jelas bersifat mutlak opsional, artinya boleh hadir boleh tidak.
Tipe V, adalah verba proses. Verba ini mewajibkan hadirnya sebuah
fungsi subjek yang mengalami kejadian atau proses perubahan dari suatu keadaan
ke keadaan lain. Misalnya verba mengering, tumbuh, dan mencair dalam kalimat
berikut.
(27) Lukanya mulai mengering.
(28) Pohon durian banyak tumbuh di sana.
(29) Jika dipanasi lilin itu akan mencair.
Pada kalimat (27) lukanya berubah dari keadaan basah menjadi kering,
pada kalimat (28) pohon durian berada dalam keadaan kecil berubah menjadi
besar atau tinggi; sedangkan pada kalimat (29) lilin itu berada dalam proses beku
menjadi cair (tidak beku).
Sebenarnya mengenai verba proses ini, termasuk verba proses lainnya
(tipe VI, VII, VIII ) masih ada tiga persoalan yakni: pertama, proses perubahan
yang disandang oleh suatu verba-keadaan bisa berlangsung cepat bisa pula relatif
lama. Oleh karena itu, ada verba proses yang dapat diberi keterangan "sedang"
seperti sedang tumbuh, sedang terbit, dan sedang turun tetapi ada pula yang tidak,
seperti sedang layu, sedang pecah, dan sedang luka. Kedua, proses perubahan
bukan hanya terjadi pada verba proses, tetapi dapat pula terjadi pada verba
tindakan. Hanya bedanya, pada verba proses, subjek mengalami perubahan sesuai
dengan pertanyaan "Apa yang terjadi pada subjek?", sedangkan pada verba
tindakan subjek itu melakukan aksi yang menyebabkannya berubah sesuai dengan
pertanyaan "Apa yang dilakukan oleh subjek?" Ketiga, verba proses sering juga
sukar dibedakan dari verba keadaan (verba tipe IX, X, XI, dan XII). Misalnya,
verba layu, jika diuji dengan pertanyaan "Apa yang terjadi pada subjek?", maka
43

jawabannya adalah subjek itu layu. Jelas layu adalah verba proses. Namun, bila
diuji dengan pertanyaan "Bagaimana keadaan subjek?", maka jawabnya adalah
layu. Jelas, di sini layu adalah verba keadaan.
Tipe VI, adalah verba proses-pengalaman. Verba ini mewajibkan
kehadiran sebuah subjek yang mengalami proses perubahan yang dinyatakan oleh
verba tersebut. Misalnya, verba bosan, cemas, dan kagum pada kalimat-kalimat
berikut.
(30) Rupanya kau sudah bosan padaku.
(31) Ibu cemas akan keselamatanmu.
(32) Saya kagum dengan keberanianmu.
Pada kalimat (30) proses bosan terjadi pada subjek kau; pada kalimat (31)
verba cemas di alami oleh ibu, berproses dari tidak cemas ke cemas; sedangkan
pada kalimat (32) verba kagum berproses dari keadaan tidak kagum menjadi
kagum dialami oleh subjek saya.
Tipe VII, adalah verba proses-benefaktif. Verba ini mewajibkan kehadiran
sebuah fungsi subjek yang berperan sebagai pengalami dan memiliki (atau tidak
memiliki). Misalnya, verba menang, kehilangan, dan memperoleh dalam kalimat-
kalimat berikut.
(33) PSSI menang 2-0 atas Singapura.
(34) PSSI kehilangan pemain andalannya.
(35) Kami memperoleh untung dua juta rupiah.
Verba menang pada kalimat (33) merupakan proses kejadian yang secara
sekaligus juga berupa pemilik pada subjek PSSI; verba kehilangan pada kalimat
(34) juga merupakan proses yang terjadi pada subjek dan sekaligus menyatakan
ketidakmilikan, sedangkan verba memperoleh pada kalimat (35) menyatakan
proses yang terjadi pada subjek serta sekaligus menyatakan kepemilikan.
Tipe VIII, adalah verba proses-lokatif. Verba ini mewajibkan hadirnya
sebuah subjek yang mengalami proses perubahan dan lokasi sekaligus. Misalnya,
verba terbenam, berangkat, dan jatuh pada kalimat-kalimat berikut.
(36) Perahu kecil itu terbenam di tengah laut.
(37) Kami berangkat ke Singapura besok pagi.
44

(38) Pekerja itu jatuh dari lantai 13 gedung Bank Indonesia.


Verba terbenam pada kalimat (36) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu
perahu kecil itu berada dalam proses terbenam di tengah laut, verba berangkat
menyatakan bahwa subjeknya, yaitu kami berada dalam proses keberangkatan ke
Singapura, sedangkan verba jatuh menyatakan bahwa subjeknya, yaitu pekerja itu
berada dalam proses jatuh dari lantai 13 gedung Bank Indonesia.
Tipe IX, adalah verba keadaan. Verba ini mewajibkan hadirnya sebuah
subjek yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba itu.
Misalnya, verba bingung, gemetar, dan sengsara kalimat-kalimat berikut.
(39) Rakyat bingung dalam menghadapi kenaikan harga sembako.
(40) Tubuhnya gemetar karena takut.
(41) Sejak dulu kami hidup sengsara.
Verba bingung pada kalimat (39) menyatakan bahwa subjeknya dalam
keadaan bingung; verba gemetar menyatakan bahwa subjeknya berada dalam
keadaan gemetar, sedangkan sengsara menyatakan bahwa subjeknya berada
dalam keadaan sengsara.
Tipe X, adalah verba keadaan-pengalaman. Verba ini mewajibkan
hadimya subjek yang berada dalam keadaan dan mengalami sesuatu yang
disebutkan oleh verba tersebut. Misalnya, verba gugup, sedih, dan mual pada
kalimat-kalimat berikut.
(42) Waktu itu saya memang gugup.
(43) Kami sedih melihat nasib anak itu..
(44) Perutku mual sehabis makan obat itu.
Verba gugup pada kalimat (42) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu saya,
berada dalam keadaan mengalami gugup; verba sedih pada kalimat (43)
menyatakan bahwa subjeknya, yaitu kami berada dalam keadaan mengalami
sedih; dan verba mual pada kalimat (44) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu
perutku, berada dalam keadaan mengalami mual.
Tipe XI, adalah verba keadaan-benefaktif. Verba ini mewajibkan
kehadiran sebuah subjek yang berada dalam keadaan benefaktif (memiliki,
45

memperoleh, kehilangan). Misalnya, verba punya, berhasil, dan kehilangan pada


kalimat berikut.
(45) Pak kusnadi belum punya istri.
(46) Dia berhasil dalam ujian itu.
(47) BuTuti kehilangan dompet di pasar.
Verba punya pada kalimat (45) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu Pak
Kusnadi, berada dalam keadaan belum memiliki istri; verba berhasil pada kalimat
(46) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu dia berada dalam keadaan memiliki hasil
ujian; dan verba kehilangan pada kalimat (47) menyatakan bahwa subjeknya,
yaitu Bu Tuti, berada dalam kehilangan dompetnya.
Tipe XII, adalah verba keadaan-lokatif. Verba ini mewajibkan kehadiran
sebuah subjek yang berada dalam suatu keadaan atau kondisibeserta lokasinya.
Misalnya, diam, berhenti, dan berserakan pada kalimat berikut.
(48) Petani itu diam di gubuk itu.
(49) Bus kami berhenti di pinggir jalan.
(50) Buku-bukunya berserakan di lantai.
Verba diam pada kalimat (48) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu petani
itu, berada dalam keadaan diam (bertempat tinggal) di gubuk itu; verba berhenti
pada kalimat (49) menyatakan bahwa subjeknya, yaitu bus kami, dalam keadaan
berhenti di pinggir jalan; sedangkan verba berserakan pada kalimat (50)
menyatakan bahwa subjeknya, yaitu buku bukunya berada dalam keadaan
berserakan di lantai.
Sebagai penutup dari pembahasan ini bisa disimmpulkan bahwa,
perbedaan verba dari segi semantik menjadi verba tindakan, verba proses, dan
verba keadaan bisa diterima asal saja diperinci lebih lanjut atas beberapa subkelas
dengan mengaitkannya dengan teori fitur semantik atau teori komponen makna.
Dengan klasifikasi yang lebih rinci keberterimaan atau ketidakberterimaan
bentuk-bentuk ujaran dapat dijelaskan, bukan hanya sekadar keterangan "tidak
lazim"; atau "belum lazim".
46

2.1.10 Pengertian Novel

Novel berasal dari bahasa Itali, novella berarti sebuah hal baru yang kecil,
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa oleh abrems
(Nurgiyanto, 2009: 9).
Novel merupakan suatu bentuk karya satra yang dapat dijadikan seagai
sarana untuk menyampaikan idea tau gagasan pengarang ( Adhar, 1997: 9). Novel
adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan
jalan hidup aginya (Wellek dan Austin, 1990: 182-183).
Secara etimologi, novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan
dari kata novles yang berarti baru. Secara istilah, novel sebagai salah satu jenis
karya sastra dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang
menimbulkan rasa seni pada pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo
(1984:3) sebagai berikut: “ Novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia
merupakan pengalaman pemikiran, perasaan ide, semangat, keyakinan dalam
suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat
bahasa”.
Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan
berkesinamungan ditandai dengan adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya
antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988: 36).
“Fiksi novel merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita:
karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi dengan deskripsi adalah
aksi, tindak tanduk atau pelaku”. Clara Reeve ( dalam Wellek, 1993: 282).
Pendapat tersebut dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita kehidupan
tokoh yang diciptakan secara fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata.
Nyata yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah hal yang merujuk pada fakta
yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat
diterima secara logis hubungan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lain
dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada
peminat sastra.
Bedasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas yang menyajikan lebih dari
47

objek bedasarkan struktur tertentu. Dengan demikian, sangat penting dipelajari


dan dikaji untuk mendapatkan pengetahuan tentang hal yang diungkapkan
pengarang.

2.1.11 Gambaran Novel Sogi Karya Faika Burhan


Novel Sogi berkisah tentang persahabatan empat mahasiswa di kota
Makassar. Tenri, Linda , Rosa dan Ogi adalah empat gadis berdarah bugis yang
memiliki latar kehidupan yang berbeda. Meski berbeda, tetapi rasa mereka
tersimpul menjadi satu dalam semangat keperempuanan. Rasa keperempuanan
itulah yang kemudian menyatukan langkah mereka selama menjalani rutinitas
sebagai mahasiswa di sebuah universitas besar di kota Makassar.
Rasa itu berupa nilai-nilai hidup seseorang perempuan bugis yang
bergelut di kehidupan kota besar. Gempuran modernitas dan pergaulan bebas
berusaha mereka jejali dengan bermacam-macam aksi. Mereka bermain band
bersama, lalu sewaktu-waktu lain penjelajahan untuk melakukan pembuktian
tentang sebuah nilai yang kian tergerus zaman. Dalam fase pencarian itu
berbagai lakon mereka perankan bersama, dan dimasa penelusuran itu pula
berbagai riak menghadang langkah mereka.
Lalu, ketika masa pencarian mereka nyaris berakhir, tiba-tiba rahasia masa
lalu terungkap dan membuat mereka nyaris tercerai berai. Kembalinya sebuah
jejak masa lalu membuat mereka terperangah luka lama yang bertahun-tahun
tertutupi kini terkuak menembus batas permukaan. tapi kisah lama itu tak
mengakhiri penjelajahan mereka, bagi mereka yang tersimpul dalam la error, tak
ada perjalanan yang patut disia-siakan.

2.2 Penelitian Relevan


Penelitian relevan digunakan untuk mengetahui relevansi penelitian yang
sudah pernah dilakukan dengan penelitian ini. Dalam hal ini berarti kajian
pustaka diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan
dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan
generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan diperoleh
48

(Nazir 2005: 93). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
topik penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh 
Riski Amalia (2018), yang Membahas tentang penelitian ini adalah apa
bentuk morfologis, perilaku sintaksis, dan perilaku semantis yang dominan pada
teks bergenre penceritaan, tanggapan, dan faktual, serta bagaimanakah ciri
kebahasaan berdasarkan verba yang terdapat pada setiap genre teks bahasa
Indonesia kurikulum 2013. Penelitian ini termasuk penelitian deskripstif
kualitatif. Data yang digunakan berupa kalimat yang mengandung verba. Sumber
data diperoleh dari teks bahasa Indonesia genre penceritaan, tanggapan, dan
faktual. Langkah-langkah penelitian didasarkan pada tiga tahap, yaitu (1)
penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian analisis data.
Rahmad Hidayat (2018), penelitian ini meneliti tentang hal yang sama
dengan yang peneliti angkat mengenai kaidah morfofonemik bahasa Sumbawa.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kaidah morfofonemik bahasa Sumbawa
dialek Sumbawa Besar. Uraian proses morfofonemik dalam penelitian ini
berfokus pada kaidah morfofonemik berdasarkan seluruh kelompok morfem afiks
yang terdapat dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode instrospektif dan teknik catat. Penganalisisan data
menggunakan teknik hubung-banding menyamakan dan hubung-banding
membedakan dari metode badan intralingual. Penyajian hasil analisis data mengg
unakan metode formal dan informal.
Eva Fitrianti ()Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa Kerinci secara
empiris berdasarkan situasi atau fakta yang ada dilapagan dan dipaparkan dengan
apa adanya. Informan adalah penutur asli bahasa Kerinci. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik rekam, teknik elisitas dan teknik simak ,
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
mentranskripsikan data ke dalam bahasa tulis, menerjemahkan data ke dalam
bahasa Indonesia, dan menganalisis data. Untuk mempermudah analisis, data
yang sudah dituliskan dan diterjemahkan ke dalam sudah dituliskan dan
49

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian diklasifikasi berdasarkan


kategori kata.
Pradipta Rismarini (2016) meneliti tentang hal yag sama yag mengangkat
judul tentang Menganalisis Proses Morfofonemik Dan Kesalahan Berbahasa
Pada Mini Project Pembelajaran Bipa Kelas Menengah Program Darmawisma
Dan Knb Di Universitas Negeri Yogyakarta. mendeskripsikan pemerolehan
proses morfofonemik pada pebelajar BIPA kelas menengah yang belajar di
Universitas Negeri Yogyakarta, dan (2) analisis kesalahan berbahasa para
pebelajar BIPA program Darmasiswa dan Kemitraan Negara Berkembang (KNB)
di level menengah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
dengan sampel data berupa tujuh mini project pebelajar BIPA kelas menengah
tahun 2015. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumen tertulis
dan kuesioner wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode
agih dengan teknik bagi unsur langsung sebagai teknik lanjutan. Subjek
penelitian ini adalah pebelajar BIPA kelas menengah yang berjumlah tujuh orang
pebelajar yang memiliki bahasa ibu yang berbeda. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, analisis dokumen mini project dan
wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif yang
didukung dengan data kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah
lembar instrumen pemerolehan morfofonemik, lembar instrumen analisis
kesalahan berbahasa dan pedoman wawancara.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian


3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan atau library Research. Dikatakan penelitian kepustakaan karena data
dalam penelitian ini diperoleh dari bahan pustaka berupa novel Sogi karya Faika
Burhan.

3.1.2 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Dikatakan kualitatif karena penelitian ini mendeskripsikan data yang akan
peneliti lihat apakah sesuai dengan kaidah morfofonemik verba proses telaah
novel Sogi Karya Faika Burhan. Sedangkan, kualitatif merupakan kajian atau
penelitian yang berusaha mengamati dan menafsirkan sesuatu yang menjadi
sebuah fokus dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh sebuah
pemahaman pada unsur yang dianalisis dalam suatu karya tepatnya pada kaidah
morfofonemik verba proses. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan
analisis induktif.

3.2 Data dan Sumber Data


3.2.1 Data
Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks Novel Sogi
Karya Faika Burhan yang memuat kaidah morfofonemik verba proses.

50
51

3.2.2 Sumber Data


Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Sogi Karya Faika Burhan
yang diterbitkan oleh penerbit rumah bunyi, November 2019 dan terdiri atas 187
halaman.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam
penelitian. Penelitian tidak akan dilakukan tanpa adanya pengumpulan data
terlebih dahulu. Cara pengambilan suatu data akan menetukan kualitas data yang
terkumpul dan kualitas penelitian yang dihasilkan (Hikmat, 2011: 71).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik baca catat dan teknik dokumentasi. Teknik baca catat, yakni membaca
secara keseluruhan dengan berulang-ulang novel Sogi Karya Faika Burhan.
Kemudian mencatat data-data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
tentang kaidah morfofonemik verba proses yang terdapat dalam novel Sogi Karya
Faika Burhan. Teknik dokumentasi adalah salah satu pengumpulan data kualitatif
dengan menganalisis dokumen-dokumen yang sesuai dengan masalah penelitian.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti barang tertulis,
metode dokumentasi berarti tata cara pengumpulan data dengan mencatat data-
data yang sudah ada. Dokumen tentang orang atau sekelompok orang , peristiwa
atau kejadian dalam situasi sosial yang sangat berguna dalam penelitian kualitatif
(Yusuf, 2014).
1. Mengumpulkan data dan menyimpan data atau informasi dari beragai sumber
yang berkaitan erat dengan penelitian ini.
2. Membaca sumber data yaitu Novel Sogi karya Faika Burhan.
3. Mencatat tentang hasil penelitian dan pengamatan terhadap Kaidah
Morfofonemik Verba Proses dalam Novel Sogi Karya Faika Burhan.

3.4 Teknik Analisis Data


Dari data yang telah dikumpulkan, langkah selanjutnya, dilakukan proses
menganalisis data tersebut dengan cara memahami secara keseluruhan data
52

penelitian. Dengan demikian akan tampak Kaidah Morfofonemik Verba Proses


dalam Novel Sogi Karya Faika Burhan
Adapun langkah-langkah menganalisis data sebagai berikut:

1. Membaca berulang-ulang dan memahami cerita novel Sogi karya Faika


Burhan.
2. Menjelaskan Kaidah Morfofonemik Verba Proses Dalam Novel Sogi
Karya Faika Burhan.
3. Menelaah seluruh data yang diperoleh berupa Kaidah Morfofonemik
Verba Proses dalam Novel Sogi Karya Faika Burhan.
4. Mengungkapkan Kaidah Morfofonemik Verba Proses yang terdapat
dalam Novel Sogi Kara Faika Burhan.
5. Menganalisis hasil penelitian yang sudah dianggap sesuai, kemudian hasil
tersebut dianggap hasil akhir.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang ditemukan, maka dapat diberikan pernyataan


bahwa dalam pembentukan kata bahasa Indonesia mengalami proses
morfofonemik terutama terjadi dalam proses afiksasi dan proses kata kerja. Untuk
Lebih jelasnya pada bab ini disajikan data-data Kaidah Morfofonemik Verba
Proses Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan. Data yang ditemukan akan
dilakukan proses menganalisis data dengan cara memahami secara keseluruhan
data penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis induktif.
4.1 Hasil penelitian
4.1.1 Ciri-Ciri Verba Proses
Berdasarkan komponen semantis bahwa verba proses bersifat dinamis.
Peristiwa yang digambarkan oleh verba proses tidak terjadi secara sengaja.
Selanjutnya, peristiwa yang digambarkan oleh verba proses dapat terjadi dalam
waktu singkat maupun tidak. Verba proses juga menggambarkan peristiwa yang
masih berlangsung atau sudah selesai. Yang terakhir, peristiwa yang digambarkan
oleh verba proses tidak terdapat tindakan yang ditransfer ke partisipan lain.
Verba proses mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu
keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama
telah dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan keadaan yang baru itu tidak
dipersoalkan, yang dipersoalkan hanyalah batas yang dilintasinya.
Makna inheren proses dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa yang
terjadi pada subjek?". Verba proses juga menyatakan adanya perbuatan dari suatu

53
54

keadaan ke keadaan yang lain. tidak semua verba proses dapat dipakai dalam
kalimat perintah.
Secara semantik yang menyatakan proses, verba-verba ini mewajibkan
hadirnya sebuah fungsi subjek yang mengalami kejadian atau suatu proses
perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Verba ini biasanya menjadi
pertanyaan atas apa yang terjadi pada subjek?

4.1.2 Kaidah Morfofonemik


Penelitian ini membahas kaidah morfofonemik telaah novel sogi karya
faika burhan diantaranya dalam proses afiksasi data yang akan di analisis yaitu :
a. Kaidah morfofonemik afiks meN-
b. Kaidah morfofonemik afiks ter-
c. Kaidah morfofonemik afiks ber-
d. Kaidah morfofonemik afiks peN-
e. Kaidah morfofonemik afiks per-

4.2 Kaidah Morfofonemik Verba Proses (Telaah Novel Sogi Karya Faika
Burhan)
Data

1. Siti yang terkejut. Data (1)

Analisis Pada konstruksi (1) verba terkejut mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tenang menjadi kaget. Jika di buat dalam bentuk kaidah
morfofonemik verba terkejut akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter -
ter- + kejut → terkejut
55

2. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Data (2)

Analisis pada konstruksi (2) verba tersenyum mengisyaratkan adanya


perubahan dari cemberut atau diam menjadi memberikan senyum. Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tersenyum akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + senyum → tersenyum

3. Suaraku mulai meninggi. Data (3)

Analisis pada konstruksi (3) verba meninggi, mengisyaratkan adanya


perubahan dari rendah menjadi tinggi. Jika dibuat dalam bentuk kaidah
morfofonemik verba meninggi akan mengalami proses morfofonemik peluluhan
fonem yang terjadi dalam afiksasi prefiks meN-. Bunyi awal dari bentuk dasar
tinggi luluh ke dalam bunyi nasal (N), sehingga menjadi meninggi. Dengan bukti
akan muncul nasal /n/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /d/ atau /t/. jika
dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tinggi → meNtinggi


men- + tinggi →mentinggi
men- + ninggi → menninggi
me- + ninggi →meninggi
56

4. Tutur Ogi dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes dari pipinya.
Data (4)

Analisis pada konstruksi (4) verba menetes, mengisyaratkan adanya


perubahan dari diam atau tidak jatuh menjadi jatuh menitik. Jika dibuat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba menetes akan mengalami proses
morfofonemik peluluhan fonem yang terjadi dalam afiksasi prefiks meN-. Bunyi
awal dari bentuk dasar tetes luluh ke dalam bunyi nasal (N), sehingga menjadi
menetes. Dengan bukti akan muncul nasal /n/ bila bentuk dasarnya mulai dengan
fonem /d/ atau /t/. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan
berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tetes → meNtetes


men- + tetes → mentetes
men- + netes → mennetes
me- + netes → menetes

5. Mahasiswa yang sebelumnya malas bergerak seperti mendapat komando


untuk bersih-bersih. Data (5)

Analisis pada konstruksi (5) verba bergerak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak gerak menjadi gerak pada subjek. Jika dibuat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba bergerak akan mengalami pengekalan fonem terjadi
bila afiks ber- bergabung dengan kata dasar, kecuali kata ajar, anjur, atau yang
diwakili konsonan /r/ atau suku kata pertamanya mengandung /r/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: ber- → ber-

ber + gerak → bergerak


57

6. Ketika tangannya mengerek tinta berisi air, Ia tersentak. Data (6)

Analisis Pada konstruksi (6) verba tersentak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidur menjadi terbangun atau tersadar tiba-tiba. Jika dibuat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba tersentak akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + sentak→ tersentak

7. Aku belajar menatap Kak Alex dengan mata menyala. Data (7)

Analisis pada konstruksi (7) verba menyala mengisyaratkan adanya


perubahan dari redup menjadi bersinar menyorot tajam. Jika dibuat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba menyala akan mengalami proses morfofonemik yaitu
Pengekalan fonem, di sini artinya tidak ada fonem yang berubah, tidak ada yang
dilesapkan atau ditambahkan. Hal ini terjadi apabila bentuk dasarnya diawali
dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: meN- → me-

meN- + nyala → meNnyala


me- + nyala → menyala

8. Luka lama yang bertahun-tahun tertutupi kini terkuak menembus batas


permukaan. Data (8)

Analisis pada konstruksi (8) verba terkuak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tertutup menjadi terbuka. Jika di buat dalam bentuk kaidah
58

morfofonemik verba terkuak akan mengalami proses morfofonemik yaitu


pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + kuak → terkuak

9. Siti baru akan terlihat di pondok jika hari minggu tiba. Data (9)

Analisis pada konstruksi (9) verba terlihat mengisyaratkan perubahan dari


keadaan tidak terlihat menjadi kelihatan. Jika di buat dalam bentuk kaidah
morfofonemik verba terlihat akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + lihat → terlihat

10. Mereka lalu tertawa renyah. Data (10)

Analisis pada konstruksi (10) verba tertawa mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira , senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tertawa akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
59

/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + tawa→ tertawa

11. Jantung sang bayi perempuan berdetak. Data (11)

Analisis pada konstruksi (11) verba berdetak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak berbunyi menjadi berbunyi seperti berdetik, tetapi lebih
berat. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba berdetak akan
mengalami proses morfofonemik yaitu mengalami pengekalan fonem terjadi bila
afiks ber- bergabung dengan kata dasar, kecuali kata ajar, anjur, atau yang
diwakili konsonan /r/ atau suku kata pertamanya mengandung /r/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: ber- → ber-

ber + detak→ berdetak

12. Kini aku setiap pagi terperanjat. Data (12)

Analisis pada konstruksi (12) verba terperanjat mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tenang tibatiba menjadi terlonjak karena kaget. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terperanjat akan mengalami
proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi
/r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan
konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + peranjat → terperanjat


60

13. Kami bercerita banyak dan kerap tertawa kecil karena selera humor kami yang
nyambung. Data (13)

Analisis pada konstruksi (13) verba tertawa mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tertawa akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + tawa → tertawa

14. Dan akan dibalasnya dengan tersenyum. (D14)

Analisis pada konstruksi (14) verba tersenyum mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tersenyum akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + senyum → tersenyum


61

15. Ah. Lakon ini, seolah membuat langkahku akan berbelok arah. Data (15)

Analisis pada konstruksi (D15) verba berbelok mengisyaratkan adanya


perubahan dari posisi lurus ke depan menjadi perlahan-lahan beralih arah ke
kanan atau ke kiri. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba
berbelok mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada
prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar
dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk
kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ber- → ber-

ber- + belok → berbelok

16. Aku harus pulang, tugas-tugas kuliahku menumpuk. Data (16)

Analisis pada konstruksi (16) verba menumpuk mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan menyimpan sedikit menjadi menimbun atau menyimpan
banyak-banyak. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menumpuk
akan mengalami proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem
terjadi apabila prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan
konsonan bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan
nasal /n/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk
sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tumpuk → meNtumpuk


men- + tumpuk → mentumpuk
men- + numpuk → menumpuk
me- + numpuk → menumpuk
62

17. Mendengar kata Hotel, tiba-tiba mataku menyala. Data (17)

Analisis pada konstruksi (17) verba menyala mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan redup menjadi perlahan tampak dan keluar nyalanya. Jika
di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menyala akan mengalami
proses morfofonemik yaitu Pengekalan fonem, di sini artinya tidak ada fonem
yang berubah, tidak ada yang dilesapkan atau ditambahkan. Hal ini terjadi apabila
bentuk dasarnya diawali dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika
dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: meN- → me-

meN- + nyala → meNnyala


me- + nyala → menyala

18. Lalu, seketika hening. Kami semua terdiam agai di tarik sudut-sudut berbeda.
Data (18)

Analisis pada konstruksi (18) verba terdiam mengisyaratkan adanya


perubahan dari bersuara menjadi berhenti berbunyi (berkata, bersuara). Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik maka verba terdiam akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + diam → terdiam


63

19. Mungkin sama seperti pikiranku, kapan semua ini memuncak dan apa hasil
akhirnya. Data (19)

Analisis pada konstruksi (19) verba memuncak mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan rendah menjadi sangat tinggi atau menuju puncak. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba memuncak akan mengalami proses
morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me-
diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p,
dan t/.dalam hal ini konsonan /p/ diluluhkan dengan nasal /m/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → mem-

meN- + puncak → menpuncak


mem- + puncak → mempuncak
mem- + muncak → memmuncak
me- + muncak → memuncak

20. Menurut Daeng Kana, ibunya telah menikah dengan orang lain setelah itu
meninggalkan Makassar. Data (20)

Analisis pada konstruksi (20 ) verba menikah mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan sendiri belum ada ikatan menjadi melakukan nikah. Jika
dibuat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menikah akan mengalami proses
morfofonemik yaitu Pengekalan fonem, di sini artinya tidak ada fonem yang
berubah, tidak ada yang dilesapkan atau ditambahkan. Hal ini terjadi apabila
bentuk dasarnya diawali dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika
dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: meN- → me-

meN- + nikah→ meNnikah


me- + nikah→ menikah
64

21. Aku bersama rekan-rekan tutor yang lain juga telah berusaha
menguruskannya akta kelahiran. Data (21)

Analisis pada konstruksi (21) verba berusaha mengisyaratkan adanya


perubahan dari malas-malasan atau tidak ada usaha menjadi melakukan suatu
usaha. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tertawa akan
mengalami proses morfofonemik yaitu mengalami pengekalan fonem terjadi bila
afiks ber- bergabung dengan kata dasar, kecuali kata ajar, anjur, atau yang
diwakili konsonan /r/ atau suku kata pertamanya mengandung /r/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: ber- → ber-

ber + usaha→ berusaha

22. Aku tersentak dan berusaha keluar dari kegalauanku memikirkan Rahul.
Data (22)

Analisis pada konstruksi (22) verba tersentak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidur menjadi terbangun atau tersadar tiba-tiba. Jika dibuat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba tersentak akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + sentak→ tersentak

23. Kulihatnya satu persatu, hingga tersadar jika Rahulku tak ada dalam barisan
anak-anak ini. Data (23)

Analisis pada konstruksi (23) verba tersadar mengisyaratkan adanya


perubahan dari belum sadar menjadi sudah sadar. Jika dibuat dalam bentuk kaidah
morfofonemik verba tersadar akan mengalami proses morfofonemik yaitu
65

pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + sadar→ tersadar

24. Malam semakin beranjak ketika pikiran-pikiran Sartre dan Beauvoir hampir
memasuki lembaran terakhir. Data (24)

Analisis pada konstruksi (24) verba beranjak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tetap atau menetap menjadi berpindah sedikit. Jika di buat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba beranjak mengalami proses morfofonemik
yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter-
itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ber- → ber-

ber- + anjak → beranjak

25. Aku tertegun ketika menyadari kesemua panggilan dan sms itu berasal dari
satu orang kak Alex . Data (25)

Analisis pada konstruksi (25) verba tertegun mengisyaratkan adanya


perubahan dari perasaan biasa atau normal bergerak berubah menjadi tiba-tiba
berdiri tegak atau tidak bergerak. Jika dibuat dalam bentuk kaidah morfofonemik
verba tertegun akan mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/
pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk
dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam
bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
66

Kaidah : ter- → ter -

ter- + tegun → tertegun

26. Hanya hitungan detik handphoneku sudah bergetar pertanda panggilan masuk.
Data (26)

Analisis pada konstruksi (26) verba bergetar mengisyaratkan adanya


perubahan dari diam menjadi bergerak berulang-ulang dengan cepat. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba bergetar akan mengalami proses
morfofonemik yaitu mengalami pengekalan fonem terjadi bila afiks ber-
bergabung dengan kata dasar, kecuali kata ajar, anjur, atau yang diwakili
konsonan /r/ atau suku kata pertamanya mengandung /r/. Jika dibuatkan dalam
bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: ber- → ber-

ber + getar → bergetar

27. Dan percakapan terhenti. Data (27)

Analisis pada konstruksi (9) verba terhenti mengisyaratkan perubahan dari


keadaan bergerak menjadi tiba-tiba berhenti atau tidak berlanjut. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terhenti akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + henti → terhenti


67

28. Sepuluh menit kemudian aku sudah mengayuh sepeda menuju kampus yang
jaraknya tak jauh dari pondoku. Data (28)

Analisis pada konstruksi (28) verba menuju mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak ada arah menjadi pergi ke arah atau pergi ke suatu tempat.
Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menuju akan mengalami
proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila
prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan
bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/.
Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tuju → meNtuju


men- + tuju → mentuju
men- + nuju → mennuju
me- + nuju → menuju

29. Ogi, hapemu bergetar, Tenri menegurku dengan cuek. Data (29)

Analisis pada konstruksi (29) verba bergetar mengisyaratkan adanya


perubahan dari posisi diam menjadi bergerak berulang-ulang dengan cepat. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba bergetar akan mengalami proses
morfofonemik yaitu mengalami pengekalan fonem terjadi bila afiks ber-
bergabung dengan kata dasar, kecuali kata ajar, anjur, atau yang diwakili
konsonan /r/ atau suku kata pertamanya mengandung /r/. Jika dibuatkan dalam
bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: ber- → ber-

ber + getar → bergetar


68

30. Kataku mengiyakan, lalu percakapan kami terputus. Data (30)

Analisis pada konstruksi (30) verba terputus mengisyaratkan adanya


perubahan dari terjalin komunikasi menjadi tidak sambung. Jika di buat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba terputus akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + putus → terputus

31. Aku hanya tersenyum kalah. Data (31)

Analisis pada konstruksi (31) verba tersenyum mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira , senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tersenyum akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + senyum → tersenyum


69

32. Aku belajar menatap kak alex dengan mata menyala. Data (32)

Analisis pada konstruksi (32) verba menyala mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan redup menjadi perlahan tampak dan keluar nyalanya. Jika
di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menyala akan mengalami
proses morfofonemik yaitu Pengekalan fonem, di sini artinya tidak ada fonem
yang berubah, tidak ada yang dilesapkan atau ditambahkan. Hal ini terjadi apabila
bentuk dasarnya diawali dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika
dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: meN- → me-

meN- + nyala → meNnyala


me- + nyala → menyala

33. Selama kita terpisah kemarin, kamu gak pernah cek HP? Tanyanya lagi.
(D33)

Analisis pada konstruksi (33) verba terpisah mengisyaratkan adanya


perubahan dari bersatu atau bersama-sama menjadi tidak menjadi satu atau tidak
berdekatan. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terpisah akan
mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter-
tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai
dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + pisah→ terpisah

34. Dia lalu tersenyum sambil menggelengkan kepala. Data (34)


70

Analisis pada konstruksi (34) verba tersenyum mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira , senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tersenyum akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + senyum → tersenyum

35. Mencium aromanya, membuatku merasa lapar. Data (35)

Analisis pada konstruksi (35) verba merasa mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak merasa apa-apa menjadi mengalami ransangan yang
mengenai atau menyentuh indra. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik
verba merasa akan mengalami proses morfofonemik yaitu Pengekalan fonem, di
sini artinya tidak ada fonem yang berubah, tidak ada yang dilesapkan atau
ditambahkan. Hal ini terjadi apabila bentuk dasarnya diawali dengan konsonan / r,
l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan
berbentuk sebagai berikut:
Kaidah: meN- → me-

meN- + rasa → meNrasa


me- + rasa → merasa

36. Pertanyaan-pertanyaan mereka rasanya ingin membuatku terkapar lalu tidur.


Data (36)
71

Analisis pada konstruksi (36) verba terkapar mengisyaratkan adanya


perubahan dari terbaring beraturan menjadi terbaring tidak di perhatikan atau
tidak beraturan. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terkapar
akan mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks
ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar
dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk
kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + kapar → terkapar

37. Aku menerimanya dan melihat nama kak Alex tertera di layar. Data (37)

Analisis pada konstruksi (37) verba tertera mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak ada menjadi tercantum atau ada. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba tertera akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + tera → tertera

38. Begitu melihat kami, anak-anak itu berhamburan menyerbu. Data (38)

Analisis pada konstruksi (38) verba menyerbu mengisyaratkan adanya


perubahan dari datang sendiri-sendiri menjadi mendatangi atau masuk beramai-
ramai. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menyerbu akan
mengalami proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi
apabila prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan
72

bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /s/ diluluhkan dan disenyawakan
dengan fonem nasal /ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan
berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → meny-

meN- + serbu → meNserbu


men- + serbu → menserbu
men- + nyerbu → mnnyerbu
me- + nyerbu → menyerbu

39. Dan, perasaan ku semakin kalut ketika mendengar Daeng Kana terkena
Bronkitis. Data (39)

Analisis pada konstruksi (39) verba terkena mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak ada apa-apa menjadi sudah kena sesuatu atau sudah di
kenakan. Jika Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terkena
akan mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks
ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar
dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk
kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-
ter- + kena→ terkena

40. Ia tersenyum lemah ketika melihat kami bermunculan dari balik pintu.
Data (40)

Analisis pada konstruksi (40) ) verba tersenyum mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ungkapan rasa senang mengeluarkan suara pelan menjadi
rasa gembira , senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tersenyum akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
73

/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:

Kaidah : ter- → ter-

ter- + senyum → tersenyum


41. Seketika kedua anak itu terdiam sambil membekap mulut masing-masing.
Data (41)

Analisis pada konstruksi (41) verba terdiam mengisyaratkan adanya


perubahan dari bersuara atau berkata menjadi berhenti berbunyi. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terdiam akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:

Kaidah : ter- → ter-

ter- + diam → terdiam

42. Ia masih menunduk. Data (42)

Analisis pada konstruksi (42) verba menuduk mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tegak menjadi condong ke depan dan ke bawah. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menunduk akan mengalami
proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila
prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan
bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/.
Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : meN- → men-
74

meN- + tunduk → meNtunduk


men- + tunduk → mentunduk
men- +nunduk → menunduk
me- +nunduk → menunduk

43. Tapi dia bisa menjadi pengacara terkenal. Data (43)

Analisis pada konstruksi (43) verba terkenal mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak diketahui menjadi dikenal atau diketahui umum. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tertera akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + kenal→ tertkenal

44. Belakangan aku baru tau, kedap suaranya itulah yang menyebabkan perasaan
pusing lantaran gelombang suara tidak merambat normal. Data (44)

Analisis pada konstruksi (44) verba merambat mengisyaratkan adanya


perubahan dari sedikit menjadi bertambah banyak. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba merambat akan mengalami proses morfofonemik
yaitu Pengekalan fonem, di sini artinya tidak ada fonem yang berubah, tidak ada
yang dilesapkan atau ditambahkan. Hal ini terjadi apabila bentuk dasarnya diawali
75

dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:

Kaidah: meN- → me-

meN- + rambat→ meNrambat


me- + rambat → merambat

45. Tiba-tiba ada perasaan takut yang menelusuk. Data (45)

Analisis pada konstruksi (45) verba menelusuk mengisyaratkan adanya


perubahan dari perasaan biasa masuk menjadi masuk dalam-dalam. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menelusuk akan mengalami proses
morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me-
diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p,
dan t/.dalam hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + telusuk → meNtelusuk


men- + telusuk → mentelusuk
me- + nelusuk → menelusuk

46. Mobil kemudian terhenti di parkiran cafe baca. Data (46)

Analisis pada konstruksi (46) verba terhenti mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan bergerak menjadi tidak berjalan lagi. Jika dibuat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba terhenti akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
76

/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + henti→ terhenti

47. Sosok kharismatik sang God Father membuatku terpukau. Data (47)

Analisis pada konstruksi (47) verba terpukau mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak tertarik menjadi tertarik hati atau terpesona. Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terpukau akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + pukau→ terpukau


49. Aku lama terdiam. Data (49)

Analisis pada konstruksi (49) verba terdiam mengisyaratkan adanya


perubahan dari bersuara atau berkata menjadi berhenti berbunyi. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terdiam akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + diam → terdiam


77

50. Ia hanya menunduk sambil mengunyah permen karetnya. Data (50)

Analisis pada konstruksi (50) verba menuduk mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tegak menjadi condong ke depan dan ke bawah. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menunduk akan mengalami
proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila
prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan
bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/.
Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tunduk → meNtunduk


men- + tunduk → mentunduk
men- + nunduk → menunduk
me- + nunduk → menunduk

51. Lalu aku kembali menatap wajah Indri yang kini masih tertunduk di
hadapanku. Data (51)

Analisis pada konstruksi (51) verba tertunduk mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan menghadap wajah ke depan atau tegap ke depan menjadi
tunduk. Jika dibuat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba tertunduk akan
mengalami proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter-
tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai
dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + tunduk→ tertunduk


78

52. Aku terperanjat melihat wajah fira yang pucat seperti sudah tak bernyawa.
Data (52)

Analisis pada konstruksi (52) verba terperanjat mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tenang tiba-tiba menjadi terlonjak karena kaget. Jika di
buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terperanjat akan mengalami
proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi
/r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan
konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + peranjat → terperanjat

53. Anak-anak pondok yang datang bersamaku sontak menangis histeris. Data
(53)

Analisis pada konstruksi (53) verba menangis mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak sedih menjadi melahirkan perasaan sedih, kecewa
dan sebagainnya. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba
menangis akan mengalami proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem.
Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang
dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p, dan t/, dalam hal ini konsonan /t/
diluluhkan dengan nasal /n/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tangis → meNtangis


men- + tangis → mentangis
men- + nangis → mennangis
me- + nangis → menangis
79

54. Aku mengerti ini mustahil menghentikan gairah seorang laki-laki laki yang
sedang memanas. Data (54)

Analisis pada konstruksi (54) verba memanas mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan sedang dingin menjadi panas. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba memanas akan mengalami proses morfofonemik
yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me- diimbuhkan
pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p, dan t/.dalam
hal ini konsonan /p/ diluluhkan dengan nasal /m/. Jika dibuatkan dalam bentuk
kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → mem-

meN- + panas → meNpanas


mem- + panas → mempanas
me- + manas → memanas

55. sms dari Pak Alex membuat mataku terbelalak. Data (55)

Analisis pada konstruksi (55) verba terbelalak mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan terbuka menjadi terbuka lebar-lebar. Jika dibuat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba terbelalak akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -

ter- + belalak→ terbelalak

56. Lalu, percakapan kami terputus. Data (56)

Analisis pada konstruksi (56) verba terputus mengisyaratkan adanya


perubahan bdari keadaan mengisyaratkan adanya perubahan dari terjalin
80

komunikasi menjadi tidak sambung atau berakhir. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba terputus akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + putus → terputus

57. Seperti biasa, semuanya terdiam dengan gaya bebas untuk membaca buku
bacaan masing-masing. Data (57)

Analisis pada konstruksi (57) verba terdiam mengisyaratkan adanya


perubahan dari bersuara menjadi berhenti berbunyi (berkata, bersuara). Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik maka verba terdiam akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + diam → terdiam

58. Tiba- tiba aku rasanya tercekat. Data (59)

Analisis pada konstruksi (58) verba tercekat mengisyaratkan adanya


perubahan dari lambat tidak cekat menjadi paling cekat. Jika dibuat dalam bentuk
kaidah morfofonemik maka verba tercekat akan mengalami proses morfofonemik
yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter-
itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
81

anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + cekat→ tercekat

59. Suara terisak itu semakin terdengar, dan itu suara isak tangisku. Data (59)

Analisis pada konstruksi (59) verba terdengar mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak di dengar menjadi dapat di dengar. Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik maka verba terdengar akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + dengar→ terdengar

60. Mereka lalu bermasalah bodoh dan semakin menyulap dirinya menjadi
sampah. Data (60)

Analisis pada konstruksi (60) verba menyulap mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaantidak dapat mengubah menjadi mengubah sesuatu dengan
cepat,. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menyulap akan
mengalami proses morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi
apabila prefiks me- diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan
bersuara /s, k, p, dan t/, dalam hal ini konsonan /s/ diluluhkan dengan nasal /ny/.
Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : meN- → meny-
82

meN- + sulap → meNsulap


meny- + sulap → menysulap
men- + nyulap→ menyulap

61. Rasa kantuk pun juga tak kunjung datang menggodaku untuk terlelap. Data
(61)

Analisis pada konstruksi (61) verba terlelap mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak tidur menjadi mulai tidur atau tertidur. Jika dibuat
dalam bentuk kaidah morfofonemik maka verba terlelap akan mengalami proses
morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/
apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + lelap→ terlelap

62. Dari tahun ke tahun jumlahnya semakin membludak, termasuk presentase


yang semakin meningkat. Data (62)

Analisis pada konstruksi (62) verba membludak seharusnya kata kerja


yang benar di tulis membeludak,sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
sehingga kalimat yang benar penulisannya di tulis:

Dari tahun ke tahun jumlahnya semakin membeludak, termasuk presentase


yang semakin meningkat. Data (62)

Analisis pada konstruksi (62) verba membeludak mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak penuh atau tidak banyak menjadi banyak sekali atau telalu
penuh. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba membeludak akan
mengalami proses morfofonemik yaitu penambahan fonem. Penambahan fonem
terjadi pada foenm nasal /m, n, ng, dan nge /. Penambahan fonem nasal /m /terjadi
apabila bentuk dasarnya dimulai dengan konsonan /b/ dan /f/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
83

Kaidah : meN → mem-

meN- + beludak → meNbeludak


mem- + beludak → membeludak
63. Kata Etta sambil menjulurkan tanganya meminta jemariku. Aku menyerah.
Data (63)

Analisis pada konstruksi (63) verba menyerah mengisyaratkan adanya


perubahan dari mampu berbuat sesuatu menjadi berserah atau pasrah. Jika di buat
dalam bentuk kaidah morfofonemik verba menyulap akan mengalami proses
morfofonemik yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me-
diimbuhkan pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p,
dan t/, dalam hal ini konsonan /s/ diluluhkan dengan nasal /ny/. Jika dibuatkan
dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → meny-

meN- + serah → meNserah


meny- + serah→ menyserah
men- + nyerah→ menyerah

64. Data (64)

65. Pernah ia tertidur sampai pagi di lorong masuk saat pulang subuh. Data (65)

Analisis Pada konstruksi (65) verba tertidur mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak tidur menjadi mulai tidur. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba terkejut akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
84

anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + tidur → tertidur

66. data (66)

67. "Ini apa Yuda? " Suaraku mulai meninggi. Data (67)

Analisis pada konstruksi (67) verba meninggi mengisyaratkan adanya


perubahan dari tidak tinggi menjadi tinggi. Jika di buat dalam bentuk kaidah
morfofonemik verba meninggi akan mengalami proses morfofonemik yaitu
peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me- diimbuhkan pada
bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p, dan t/, dalam hal ini
konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-

meN- + tinggi → meNtinggi


men- + tinggi → mentinggi
men- + ninggi → meninggi

68. Aku melihat ia bergegas masuk dan memberi beberapa instruksi ke perawat.
Data (68)

Analisis pada konstruksi (68) verba bergegas mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak cepat menjadi bercepat-cepat. Jika di buat dalam
bentuk kaidah morfofonemik verba bergegas mengalami proses morfofonemik
yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter-
itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
85

Kaidah : ber- → ber-

ber- + gegas → bergegas

69. Aku termangu. Data (69)

Analisis Pada konstruksi (69) verba termangu mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan ceria dan bahagia menjadi termenung atau terdiam. Jika
di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba termangu akan mengalami
proses morfofonemik yaitu pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi
/r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan
konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + mangu → termangu

70. Anak-anak pondok yang datang bersamaku sontak menangis histeris. Data

(70)

Analisis pada konstruksi (70) verba menangis mengisyaratkan adanya


perubahan dari perasaan tidak sedih menjadi melahirkan perasaan sedih dengan
mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba menangis akan mengalami proses morfofonemik
yaitu peluluhan fonem. Peluluhan fonem terjadi apabila prefiks me- diimbuhkan
pada bentuk dasar yang dimulai dengan konsonan bersuara /s, k, p, dan t/, dalam
hal ini konsonan /t/ diluluhkan dengan nasal /n/. Jika dibuatkan dalam bentuk
kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → men-
86

meN- + tangis → meNtangis


men- + tangis → mentangis
me- + nangis → menangis

71. Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Data (71)

Analisis Pada konstruksi (71) verba terasa mengisyaratkan adanya


perubahan dari keadaan tidak dirasa menjadi dapat dirasa atau berasa dengan
tiba-tiba. Jika di buat dalam bentuk kaidah morfofonemik verba terasa akan
mengalami proses morfofonemik yaitu pelesapan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap
menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan
konsonan /r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-

ter- + rasa → termangu

72. Kakaknya pun hanya membisu. Data (72)

73. Di tengah jalan terjadi polusi udara akibat debu dan asap kendaraan yang
mengepul. Data (73)

74. Siang itu angin memang bertiup kencang dan udara terasa sesak. Data (74)

75. Aku memilihnya karena ada hal menarik darinya. Data (75)

4.3 Relevansi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Di Sekolah

Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan mengenai Kaidah


Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan, memang
tidak terimplementasikan secara langsung dalam pembelajaran di sekolah, tetapi
87

lebih kepada bagaimana materi tentang isi dan kebahasaan novel di


implementasikan ke dalam pembelajaran. Pembahasan terkait hubungan penelitian
tentang Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi Karya Faika
Burhan dengan pembelajaran di Sekolah sejatinya memang ada. pada kurikulum
2013 edisi revisis 2018 kelas XII semester ganjil sudah mempelajari menganalisis
kebahasaan teks cerita (Novel) sejarah. Proses penerapan penggunaan Kaidah
Morfofonemik Verba Proses pada novel dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut.
Setelah mengetahui kaidah morfofonemik verba proses dari hasil
penelitian ini. Selanjutnya dihubungkan dengan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah. Kurikulum nasional ini mengenalkan beberapa jenis teks
pada pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaranpun tidak hanya mencakup
pengetahuan dan keterampilan, tatapi tujuan kurikulum Nasional ini mencakup
empat kompetensi inti, yaitu (1) menghargai dan menghayati ajaran agama yang
dianutnya, (2) menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli (toleransi, gotong royong ), santun, percaya diri, dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan social dan alam dalam jangkauan pergaulan
dan keberadaannya, (3) memahami dan menerapkan pengetahuan (factual,
konseptual, dan procedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak
mata, dan (4) mengelola, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan rana
abstrak (menulis, membaca, menghitung , menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yag dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang
atau teori
Kurikulum 2013 (K13) dengan teks pokok menganalisis kebahasaan teks
cerita (Novel) sejarah. Kompetensi Dasar (KD) 3.4 menganalisis kebahasaan
dalam cerita atau novel sejarah. Kompetensi dasar (KD) 4.4 menulis cerita sejarah
pribadi dengan memerhatikan kebahasaan. Indikator pencapaian kompetensi 3.4.1
menyebutkan unsur-unsur kebahasaan cerita atau novel. Indikator pencapaian
kompetensi 3.4.2. mengidentifikasi unsur-unsur kebahasaan cerita atau novel
88

sejarah. Indikator pencapaian kompetensi 3.4.3 mengklasifikasi kebahasaan


cerita atau novel sejarah. Indikator pencapaian kompetensi 4.4.1 merinci kejadian-
kejadian penting dalam sejarah pribadi dengan memerhatikan kebahasaan.
Indikator pencapaian kompetensi 4.4.2 menyeleksi kejadian-kejadian penting
dalam sejarah pribadi dengan memerhatikan kebahasaan. Indikator pencapaian
kompetensi 4.4.3 menulis sejarah pribadi dengan memerhatikan kebahasaan.
Kompetensi dasar dan indikator pencapaian tersebut terpilih sebagai bentuk
pemanfaatan hasil penellitian ini dalam jenjang pendidikan dan proses
pembelajaran.
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap kaidah


morfofonemik verba proses telaah novel sogi karya faika burhan dapat
disimpulkan, telah diketahui bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan fonem
yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain dan dalam
verba proses terjadi perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Proses
kaidah morfofonemik yang terjadi telaah novel sogi karya faika burhan adalah
kaidah morfofonemik afiks meN-, ber-, dan afiks ter-. Sebagai pertemuan morfem
meN-, ber-, dan ter- dengan kata dasar. Penulis novel cenderung menggunakan
kaidah morfofonemik berafiks ter- . Afiks ter- yang terdapat pada kaidah
morfofonemik verba proses tersebut mengandung makna inheren proses, dengan
proses pengekalan fonem, dan peluluhan fonem. Hal ini menunjukan bahwa
kaidah morfofonemik verba proses yang berhubungan dengan afiks ter- sangat
dominan digunakan dalam novel Sogi karya Faika Burhan.
Penelitian Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi Karya
Faika Burhan ini bisa menjadi alternatif bahan ajar pembelajaran bahasa yang
berguna untuk siswa khususnya siswa XII SMA. Selain itu Kaidah Morfofonemik
Verba Proses Telaah Novel Sogi Karya Faika Burhan dapat memberikan dampak
terhadap pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan tujuan kompetensi
kurikulum nasional khususnya memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual,

89
90

konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu


pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
dan mengelola, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan rana abstrak (menulis,
membaca, menghitung , menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yag
dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang atau teori

5.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah dipaparkan, selanjutnya
dikemukakan beberapa saran yang terkait dengan penelitian ini, Adapun
pemaparannnya adalah sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hendaknya
melestarikan dan memperkaya kajian morfologi terutama kaidah
morfofonemik verba proses.
2. Kata dasar yang mengalami kaidah morfofonemik terhadap verba proses
memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia serta sudah banyak digunakan
pada zaman globalisasi ini, perlu adanya panduan khusus dalam memahami
kaidah morfofonemik verba proses.
3. Bagi penikmat bahasa dan sastra, membaca sebuah novel merupakan salah
satu upaya untuk memperluas bahasa dalam dunia tulis menulis serta
memperluas pengetahuan dan pengalaman sehingga apa yang tercermin
dalam bacaan tersebut dapat diteladani.
4. Bagi penikmat bahasa dan sastra, perlu membaca lebih mendalam sehingga
tidak menimbulkan yang spekulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ke-3. Jakarta:
Balai Pustaka.

Alwi, Hasan dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa dan Balai Pustaka.

A. Muri Yusuf. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian


Gabungan. Jakarta : prenadamedia group.
Arifin dan Junaiyah. 2009. Sintaksi Untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa
atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK. Jakarta: PT
Grasindo.

Burhan, Faika. 2019. Sogi (Sebuah Novel) : Rumah Bunyi.

Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The
University of Chicago Press.
Chaer, Abdul. 2012. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2015. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:


Rineka Cipta.

Depertemen Pendidikan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: balai Pustaka.

Elson, F. Benjamin & Velma B. Picket. 1962. Introduction o morphology and


sintax. Mexico Cityum: The Summer Institute Of Linguistics.
Finoza, L. (2004). Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Insan Mulia

Fitrianti, Morphofonemical Verba In Kerinci Language, Jurnal Ilmiah Langue


and Parole, vol.1, no.1, hh.250-251.

Foley dan Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar.
Cambridge: Cambride University Press.
Hidayat. 2018. Kaidah Morfofonemik Bahasa Sumbawa Dialek Sumbawa Besar,
Genta Bahtera,vol. 4, no.1, hh. 12-13.

Hopper, P.J. dan S.A. Thompson. 1980. Transitivity in Grammar and Discourse.
Dalam Language 56 : 251-299.

91
92

Ino, la. 2018. Pengantar Linguistic. Kendari: LDKJ

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat
Pendidikan Menengah. Jakarta: Gramedia Widiasrana Indonesia.
Kridalaksana. 2007:183. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.


Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Mulyono, Iyo. 2013. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Teori Dan Sejumput
Problematika Terapannya. Bandung: CV Yrama Widya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Madah


Universitas Press.

Ramlan, M. 1978. Kata Verbal dan Proses vebalisasi dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gajah Mada.

Ramlan, M. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV


Karyono.

Sailan, Zalili., dan Hasan, Sakka. 2018. Ihwal Metodologi Penelitian Bahasa.
Malang: PT Cita Intrans Selaras.

Semi, M. Atar. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Sudaryanto et al. (Penyunting). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Cetakan
ke-1. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sumardjo. 1984. Morfologi: Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Wellek, Rene dan Weren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan).


Jakarta: PT. Gramedia.

Wellek, dkk. 1993. Teori kesusastraan (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia


93

LAMPIRAN
94

SINOPSIS

NOVEL SOGI KARYA FAIKA BURHAN

Novel Sogi berkisah tentang persahabatan empat mahasiswa di kota


Makassar. Tenri, Linda , Rosa dan Ogi adalah empat gadis berdarah bugis yang
memiliki latar kehidupan yang berbeda. Meski berbeda, tetapi rasa mereka
tersimpul menjadi satu dalam semangat keperempuanan. Rasa keperempuanan
itulah yang kemudian menyatukan langkah mereka selama menjalani rutinitas
sebagai mahasiswa di sebuah universitas besar di kota Makassar.
Rasa itu berupa nilai-nilai hidup seseorang perempuan bugis yang
bergelut di kehidupan kota besar. Gempuran modernitas dan pergaulan bebas
berusaha mereka jejali dengan bermacam-macam aksi. Mereka bermain band
bersama, lalu sewaktu-waktu lain penjelajahan untuk melakukan pembuktian
tentang sebuah nilai yang kian tergerus zaman. Dalam fase pencarian itu
berbagai lakon mereka perankan bersama, dan dimasa penelusuran itu pula
berbagai riak menghadang langkah mereka.
Lalu, ketika masa pencarian mereka nyaris berakhir, tiba-tiba rahasia masa
lalu terungkap dan membuat mereka nyaris tercerai berai. Kembalinya sebuah
jejak masa lalu membuat mereka terperangah luka lama yang bertahun-tahun
tertutupi kini terkuak menembus batas permukaan. tapi kisah lama itu tak
mengakhiri penjelajahan mereka, bagi mereka yang tersimpul dalam la error, tak
ada perjalanan yang patut disia-siakan.
95

Data

No Data Kaidah Verba Proses


Morfofonemik
1

Anda mungkin juga menyukai