HASIL PENELITIAN
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH
SITI MARLANI
A1M118042
HASIL PENELITIAN
Oleh:
SITI MARLANI
A1M118042
Telah diperiksa secara teliti dan disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke
hadapan Panitia Seminar Hasil penelitian pada Jurusan/Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Halu Oleo.
Mengetahui,
a.n. Dekan FKIP
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
ii
ABSTRAK
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
iv
v
1. Prof. Dr. Muhamma Zamrun Firihu, S.Si., M.Si., M.Sc., selaku Rektor
Universitas Halu Oleo.
2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Halu Oleo.
3. Dr. La Ode Sahidin, S.Pd., M.Hum., selaku ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
4. Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum., selaku sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
5. Ibu Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum. selaku penasihat akademik sekaligus
pembimbing II, dan Dr. La Yani Konisi, M.Hum. selaku pembimbing I,
yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan serta nasihat dan
motivasi kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia terima kasih atas ilmu dan bimbingannya selama penulis
menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan staf
administrasi di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Halu Oleo.
7. Segenap pemerintah Republik Indonesia terima kasih penulis hanturkan
atas program bantuan pendidikan Bidikmisi yang memungkinkan penulis
untuk mengenyam ilmu-ilmu yang berharga di pendidikan tinggi.
8. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh
keluarga, kakak tersayang penulis La Ode Alam Damai, S.p, Siti
Mardiani, S. Farm, adik tersayang penulis La Ode Aldimas Rizki dan La
Ode Al Wahab, semoga kita menjadi kebanggan orang tua.
9. Kakak senior di jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, yang selalu
memberikan motivasi dan arahan terkait dengan materi yang digunakan
dalam penyusunan skripsi ini.
10. Keluarga besar Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2018
11. Teman-teman seperjuangan PBSI 2018 kelas B di kala suka maupun duka
selama perkuliahan yang saya tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima ka
v
vi
sih atas canda tawa dan bantuannya selama ini, terima kasih sudah
menjadi teman yang baik dalam penyelesaian skripsi ini, semoga kita
semua bisa sukses sesuai apa yang dicita-citakan.
12. Sahabat Sukses Sama-sama, Hesti, Sitti, Megi, Dirhan, yang selalu ada
membantu dan menemani serta berjuang bersama dari awal perkuliahan
hingga saat ini dan saling memberi semangat.
13. Sahabat Keluaga Berencana, yang selalu ada membantu dan menemani
serta berjuang bersama dari awal perkuliahan hingga saat ini dan saling
memberi semangat.
14. Teman-teman VenceRemos, terima kasih selalu memberikan motivasi dan
dukungan.
15. Teman-teman KKN Kemaraya, kota kendari, yang selalu memberikan
motivasi dan semangat demi kelancaran penulisan skirpsi.
penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. ii
ABSTRAK.................................................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................... iv
DAFTAR ISI............................................................................................... v
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 6
1.5 Batasan Operasional...................................................................... 6
vii
viii
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan....................................................................................... 51
5.2 Saran.............................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 51
LAMPIRAN.................................................................................................... 51
viii
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN
→ = menjadi
= = sama dengan
+ = penggabungan unsur
O = Objek
P = predikat
S = subjek
Pel = pelengkap
Ket = keterangan
KB = kata benda
KS = kata sifat
= tidak berterima
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1................................................................................................
Sinopsis......................................................................................................
Lampiran 2................................................................................................
Data.............................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
untuk dikaji karena perkembangan kata-kata baru yang muncul dalam pemakaian
bahasa sering berbenturan dengan kaidah-kaidah yangy ada pada bidang ini. Oleh
karena itu perlu dikaji ruang lingkup morfologi agar ketidak sesuaian antara kata-
kata yang digunakan oleh para pemakai bahasa dengan kaidah tersebut. Jika
terjadi kesalahan sampai pada tataran makna, hal itu akan mengganggu
komunikasi yang berlangsung. Bila terjadi gangguan pada kegiatan komunikasi
maka gugurlah fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi.
Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena
pertemuan morfem dengan morfem lain. Salah satu gejala dalam bidang tata
bentukan kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki peluang permasalahan dan
menarik untuk dikaji adalah kaidah morfofonemik. Permasalahan dalam
morfofonemik cukup variatif, pertemuan antara morfem dasar sering membuat
kekeliruan bahkan menimbulkan variasi-variasi yang kadang membingungkan
bagi para pemakai bahasa. Sering timbul pertanyaan dari pemakai bahasa
bentukan kata yang sesuai dengan kaidah morfologi dan yang menarik adalah
munculnya pendapat yang berbeda dari ahli bahasa yang satu dengan ahli bahasa
yang lain. Fenomena inilah yang menarik untuk melakukan penelitian dan
memaparkan masalah Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah ( Novel Sogi
Karya Faika Burhan).
Peristiwa morfofonemik pada dasarnya merupakan proses berubahnya
suatu fonem dalam pembentukan kata, yang terjadi karena proses afiksasi, yaitu
pembentukan morfem dasar dengan afiks. Oleh karena itu jika dalam penelitian
ini ingin mencerminkan ketaatan pada kaidah morfofonemik, berarti yang harus
dilakukan yaitu mengetahui dan mempelajari kaidah yang berlaku dalam bahasa
Indonesia.
Proses morfofonemik dibagi menjadi tiga, yaitu suatu proses perubahan
fonem, penambahan fonem, dan hilangnya fonem (Ramlan, 2009: 84-105). Proses
perubahan fonem merupakan akibat terjadinya pertemuan antara afiks dengan
kata dasar, sehingga mengubah bentuk bunyi kata dasar. Proses penambahan
fonem adalah proses munculnya fonem akibat dari proses afiksasi, sedang proses
hilangnya fonem adalah proses pertemuan antara afiks dengan kata dasar yang
3
sebuah nilai yang tergerus oleh zaman. Novel ini terdiri dari 187 halaman. Novel
Sogi karya Faika Burhan hanya semata-mata sebagai sumber data dan hanya
mau diuji kaidah morfofonemik pada novel tersebut. Peneliti mau melihat
bagaimana penulis menggunakan kaidah morfofonemik.
Pemilihan verba proses dijadikan sebagai kajian didasari sebagai
pertimbangan bahwa (1) kata verba merupakan faktor penting dalam memberikan
makna suatu kalimat ada berapa kalimat bahasa Indonesia tidak dapat dijelaskan
tanpa adanya kata verba sebagai dasar, (2) verba pada kelas kata berdasarkan
dapat diamati sebagai perilaku bahasa pada pemakain bahasa Indonesia
(Kridalaksana, 1994: 46). Pentingnya verba proses dalam novel Sogi karya Faika
Burhan diteliti karena materi kalimat novel ini merupakan materi dasar dari
keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa dalam suatu tulisan berupa
rangkain-rangkain kata di setiap kalimat.
Menganalisis Kaidah Morfofonemik Verba Proses Telaah Novel Sogi
Karya Faika Burhan, peneliti harus membaca novel secara berulang-ulang. Dari
kegiatan membaca novel secara keseluruhan dan secara berulang-ulang itu, maka
peneliti dapat menemukan kaidah morfofonemik verba proses yang terkandung
didalamnya.
Verba proses telaah novel Sogi karya Faika Burhan, sangat sering terjadi
karena verba proses dalam tulisan sangat penting dan materi dalam kalimat,
bagian dari apa yang terjadi pada subjek dalam sebuah cerita, penelitian ini juga
sangat penting karena bisa memberikan pengetahuan bahwa verba tidak itu-itu
saja seperti yang diketahui orang awam, tetapi verba memiliki beragam klasifikasi
terutama verba dari sisi semantiknya, yaitu verba proses
Data sementara verba proses yang terdapat dalam novel Sogi karya Faika
Burhan, yaitu, bergerak, tersentak, terkejut, teratur, pendarahan, meregang,
tertarik, menumpuk, berdatangan, menyala, terperanjat, tersenyum, menumpuk,
telungkup, meninggi, terdiam, mematung, terbentuk, mempatuhi, menetes.
Berdasarkan data sementara dalam penelitian ini diperoleh,
5
8
9
fonem, dan (3) proses penghilangan fonem. Elson dan Picket (1962),
menjelaskan bahwa dalam proses morfofonemik terdapat proses perubahan
fonem, penghilang fonem, peloncatan fonem, dan penambahan fonem, dalam
proses fonemis.
Bila proses morfofonemik yang dikemukakan oleh Kridalaksana di
sejajarkan dengan proses morfofonemik yang dikemukakan oleh para pakar
yang lain, proses morfofonemik secara mandiri yang dilaksanakan oleh
Kridalaksana adalah pemunculan fonem, pengekalan fonem, pergeseran posisi
fonem, perubahan fonem, pelepasan fonem dan peluluhan fonem.
Proses pemunculan fonem sejajar dengan yang dikatakan Ramlan.
Yang termasuk dalam hal ini adalah pemunculan bunyi /y/ dan /w/ ,ataupun /?/.
akan tetapi dalam memandang representasi dasar suatu morfem keduanya
berbeda, akibatnya pengelompokan proses morfofonemik yang terjadi pada
morfemis tertentu bagi keduanya dapat saja berbeda. Karena Kridalaksana
menganggap representasi dasar morfem terikatnya adalah {me-} dan Ramlan
menganggapnya {meN}.
Proses pengekalan fonem tidak memiliki padanan dalam versi Ramlan.
Kenyataan itu tidak terjadi karena ruang lingkup atau batasan tentang
proses morfofonemik yang dikemukakan keduanya berbeda. Kridalaksana
mengungkapkan bahwa proses morfofonemik menyangkut seluruh proses
fonologis. Ramlan membatasinya pada proses fonologis yang didalamnya
terdapat perubahan fonem. Oleh karena itu, proses pengekalan fonem berdasarkan
uraian Ramlan, tidak dianggap sebagai salah satu proses morfofonemik.
Morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul
sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Morfem ber- misalnya
terdiri dari tiga fonem, yakni /b, e, r/. Akibat pertemuan morfem itu dengan
morfem ajar, fonem /r/ berubah menjadi /l/, hingga pertemuan morfem ber-
dengan morfem ajar menghasilkan kata belajar. Demikian di sini terjadi proses
morfofonemik yang berupa perubahan fonem , yakni perubahan fonem /r/, pada
ber-menjadi /l/ (Ramlan, 1979: 52). Dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia
tertulis bahwa proses yang mengubah suatu fonem menjadi fonem lain sesuai
12
Contoh:
ber- + ajar = belajar
per- + ajar = pelajar
Kaidah II: peN- → pen- : Morfem peN- berubah menjadi pen- apabila
diikuti oleh bentuk dasar yang berawal dengan
fonem /d, s, t/.
Misalnya
peN- + diam → pendiam
peN- + support → pensupport
peN- + tusuk → penusuk
Kaidah III: peN- → peny- : Morfem peN- berubah menjadi peny- apabila
diikuti bentuk dasar atau dasar kata yang
berawal dengan fonem /s, c, j/. Fonem /s/
hilang.
Misalnya:
peN- + sita → penyita
peN- + cabut → pencabut/peñcabut
peN- + jaga → penjaga/p”ñjaga
Kaidah IV: peN- → peng- : Morfem peN- berubah menjadi peng- apabila
diikuti bentuk dasar yang berawal fonem /g, h,
k, x, vokal/. Dalam proses ini fonem /k/ hilang.
Misalnya:
PeN- + gerak → penggerak
PeN- + harum → pengharum
PeN- + konsep→ pengonsep
Kaidah V: peN- → pe- : Morfem peN- berubah menjadi pe- apabila diikuti
oleh bentuk dasar yang berawal fonem /l, r, w, y, /
Misalnya:
peN- + lupa → pelupa
peN- + rusak → perusak
peN- + warna → pewarna
peN- + yakin → peyakin
peN- + macet → pemacet
17
Kaidah VI: peN- → penge- : Morfem peN- berubah menjadi penge- apabila
diikuti bentuk dasar yang terdiri dari satu suku.
Misalnya:
peN- + bor → pengebor
peN- + cat → pengecat
peN- + pak → pengepak
peN- + las → pengelas
Kaidah II: ter- → ter- : Morfem ter- tetap saja merupakan morfem ter-
apabila diikuti bentuk dasar yang tidak berawal
dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang suku
pertamanya tidak berakhir dengan fonem /∂r/.
Misalnya:
ter- + angkut → terangkut
ter- + bukti → terbukti
ter- + maju → termaju
ter- + desak → terdesak
ter- + lihat → terlihat
ter- + gusur → tergusur.
jika digabungkan dengan bentuk konstruksi penguji tadi akan tercipta arti yang
jelas.
Verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat, dalam
beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis, seperti ciri kala, aspek..
persona, atau jumlah (Kridalaksana,2011: 254). Kridalaksana juga menambahkan
bahwa kata kerja secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui
berkategori verba dari perilakunya dari satuan yang lebih besar: jadi sebuah kata
dapat dikatakan berkategori verba hanya dilihat dari perilakunya dalam frasa,
yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam
konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya: seperti sangat, lebih, atau
agak. itu dengan partikel di- atau partikel agak di- atau partikel seperti sangat,
lebih, atau agak.
Verba atau kata kerja biasanya dibatasi dengan kata-kata yang menyatakan
perbuatan atau tindakan. Namun batasan ini masih kabur karena tidak
mencangkup kata-kata seperti tidur dan meninggal yang dikenal sebagai kata
kerja tetapi tidak menyatakan perbuatan atau tindakan. Sehingga verba di
disempurnakan dengan menambah kata-kata yang menyatakan gerak badan atau
terjadinya sesuatu sehingga batasan itu menjadi kata kerja adalah kata-kata yang
menyatakan perbuatan, tindakan, proses , gerak, keadaan, dan terjadinya sesuatu
(Keraf, 1991: 72).
Menurut Sudaryanto (1991: 6) yang dimaksud dengan verba adalah kata
yang menyatakan perbuatan dapat dinyatakan dengan modus perintah, dan
bervalensi dengan aspek keberlangsungan yang dinyatakan dengan kata “lagi”
(sedang) seperti halnya dengan kata benda untuk menentukan apakah sebuah
kata adalah kata kerja (verba) atau tidak, kita mengikuti dua prosedur , penetapan
dengan kriteria praseologi (Keraf, 1991: 13).
Verba menurut Kridalaksana (1993: 226) adalah kelas kata yang biasanya
berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri
morfologis seperti ciri kala, aspek, persona atau jumlah. Sebagian besar verba
mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses ; kelas ini dalam bahasa
21
Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan
tidak mungkin diawali dengan kata seperti, sangat, lebih dsb.
Sebagai salah satu kelas kata dalam tuturan kebahasaan verba mempunyai
frekuensi yang tinggi pemakaiannya dalam suatu kalimat. Selain itu verba
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyusunan kalimat. Perubahan
struktur pada kalimat sebagian besar ditentukan oleh perubahan bentuk verba.
Pendapat lain, dikemukakan oleh Harimurti Kridalaksana (1993: 226)
menyatakan bahwa verba adalah kelas kelas kata yang biasanya berfungsi
sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain. Verba mempunyai ciri morfologis
seperti kata, aspek, dan pesona atau jumlah, sebagian verba memiliki unsur
semantiK perbuatan, keadaan, dan proses, kelas kata dalam bahasa Indonesia
ditorang tuai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan tidak
mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pengertian verba menurut para ahli, dapat
disimpulkan bahwa verba adalah kelas kata yang menyatakan perbuatan atau
tindakan dan mempunyai fungsi utama sebagai predikat.
Bagian yang dicetak miring adalah predikat, yaitu bagian yang menjadi
pengikat bagian lain dari kalimat itu. Fungsi dari bagian yang dicetak miring di
atas adalah sebagai inti predikat.
(2) Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi). proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas.
(3) Verba khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang
berarti 'paling', misalnya verba mati atau suka tidak dapat diubah menjadi termati
atau tersuka.
(4) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti agak belajar, sangat
pergi, dan bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat berbahaya, agak
menecewakan, dan mengharapkan sekali.
subjek. Pada umumnya verba yang berfungsi sebagai subjek adalah verba inti.
tanpa pewatas belakang. Jika verba ini memiliki unsur lain seperti objek dan
keterangan, unsur itu menjadi bagian dari subjek. Lihatlah contoh berikut.
1. Membaca telah memperluas wawasan pikirannya.
2. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
3. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
4. Makan sayur-sayuran dengan teratur dapat meningkatkan kesehatan.
Dalam kalimat pertama, subjeknya ialah verba membaca, sedangkan
dalam kalimat kedua dan ketiga subjeknya adalah frasa verba bersenam setiap
pagi dan makan sayur-sayuran dengan teratur. Verba membaca dan verba berolah
raga dalam kedua kalimat tersebut menempati fungsi sebagai subjek.
(3) Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
Dalam kalimat berikut verba dan frasa verbal dengan perluasannya
berfungsi sebagai objek.
1. Guru itu sedang mengajarkan menyanyi kepada murid-muridnya.
2. Doni mencoba makan tanpa nasi.
Yang menempati fungsi objek pada kedua kalimat di atas adalah menyanyi
dan makan. Verba menyanyi adalah objek dari predikat sedang mengajarkan.
Verba makan diikuti oleh keterangan tanpa nasi.
(4) Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
Verba dan frasa verbal beserta perluasannya dapat berfungsi sebagai
pelengkap dalam kalimat seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
1. Ia tidak merasa beruntung.
2. Orang itu sudah berhenti mencopet.
Beruntung dan mencopet adalah verba yang berfungsi sebagai pelengkap
dari predikat merasa dan berhenti. Masing-masing predikat itu tidak lengkap
sehingga tidak dapat diterima bila tidak diikuti oleh pelengkap.
(5) Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Dalam kalimat berikut verba dan perluasannya berfungsi sebagai
keterangan,
24
contoh pertama. Tetapi juga boleh berdiri sendiri tanpa objek seperti pada contoh
kedua. Jadi, objek untuk verba semitransitif bersifat manasuka.
Verba berjumlah, adalah, mulai, dan kedapatan adalah verba pelengkap
verba itu harus ada dalam kalimat. Jika pelengkap itu tidak hadir, kalimat yang
bersangkutan tidak sempurna dan tidak bertema. Pelengkap seperti dua puluh
30
buah dan suatu dugaan mengikuti verba tersebut. Karena pelengkap harus hadir,
maka verba itu disebut juga verba taktransitif berpelengkap wajar. Verba
berpendapat juga merupakan verba yang berpelengkap wajib, tetapi pelengkap
verba seperti itu bukan berupa kata atau suatu frasa, melainkan frasa yang
didahului oleh konjungsi bahwa. Verba menjadi, bernilai, dan berwarna juga
merupakan verba berpelengkap. Namun. dalam konteks pemakainan yang lain,
ketiga verba itu dapat juga tidak diikuti oleh pelengkapnya, seperti yang tampak
pada contoh berikut.
1. Makin tua makin menjadi.
2. Pikiran yang dikemukakannya bernilai.
3. Film itu berwarna.
Karena pelengkap itu tidak selalu hadir, maka verba yang berpelengkap manasuka
seperti itu disebut verba taktransitif berpelengkap manasuka.
Verba tersipu-sipu dan tumbuh adalah verba yang tidak dapat diberi
pelengkap. Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan bahwa di antara verba seperti
itu ada yang diikuti oleh kata atau frasa tertentu yang kelihatannya seperti
pelengkap, tetapi sebenarnya adalah keterangan.
Bibit kelapa itu tumbuh subur
Kata subur dalam kalimat di atas bukan pelengkap, melainkan keterangan.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa subur dapat diparafrasakan menjadi
dengan subur.
lain. Makna inheren juga tidak selalu berkaitan dengan status ketransitifan suatu
verba. Suatu verba taktransitif dapat memiliki makna inheren perbuatan
(misalnya. pergi) atau proses (misalnya, menguning). Sementara itu, verba
transitif pada umunya memang mengandung makna inheren perbuatan meskipun
tidak semuanya demikian. Verba transitif mendengar atau melihat, misalnya, tidak
menyatakan perbuatan. Berikut ini beberapa makna inheren verba menurut Alwi,
dkk (2010)
(1) Perbuatan
Makna inheren perbuatan dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa
yang dilakukan oleh subjek?" semua verba perbuatan dapat dipakai dalam kalimat
perintah.
(2) Proses
Makna inheren proses dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa yang
terjadi pada subjek?". Verba proses juga menyatakan adanya perbuatan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain. tidak semua verba proses dapat dipakai dalam
kalimat perintah.
(3) Keadaan
Verba yang mengandung makna keadaan pada umumnya tidak dapat
menjawab pertanyaan "Apa yang dilakukan oleh subjek?” maupun "Apa yang
terjadi pada subjek?” dan tidak dapat dipakai untuk membentuk kalimat perintah.
Verba keadaan menyatakan acuan verba berada dalam situasi tertentu. Verba
keadaan sering sulit dibedakan dari adjektiva karena kedua jenis kata itu
mempunyai banyak persamaan. Satu ciri yang umumnya dapat membedakan
keduanya ialah prefiks adjektiva ter- yang berarti 'paling dapat ditambahkan pada
adjektiva, tetapi tidak pada verba keadaan.
kelas achievement Vendler (Foley dan Van Valin, 1984: 37-38; Mourelatos,
1981: 19--192, 201; Shirai dan Andersen, 1995: 744), atau kelas performansi
(performance) Kenny (Mourelatos,· 1981: 192-193), atau kelas (inseptif) Leech
(1981: 210-211).
Verba proses mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu keadaan
menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama telah
dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan keadaan yang baru itu tidak
dipersoalkan, yang dipersoalkan hanyalah batas yang dilintasinya .
Verba proses merupakan verba yang menyatakan adanya suatu perubahan
yang terjadi dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Verba proses adalah verba
yang secara inheren menyatakan proses Alwi, dkk (2010). Verba ini biasanya
dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek? Tidak semua verba
proses dapat dipakai dalam kalimat perintah. Perhatikan contoh berikut.
a. Bunga itu layu.
b. Bunga itu sedang layu.
Keterangan yang dapat diberikan untuk contoh tersebut adalah bunga itu
berubah dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Adanya perubahan ini
menunjukkan kedinamisan verba proses. Ciri semantis ini terungkap pada (b)
dengan mengizinkan peranti sintaktis untuk memperluas temporal. Ciri dinamis
juga terdapat pada mekar dan terbit (sedang mekar, sedang terbit), tetapi ciri ini
gagal dipenuhi oleh hangus dan putus (sedang hangus, sedang putus) padahal
keduanya mengekspresikan perubahan keadaan entitasnya. Terhadap fakta ini,
muncul pertanyaan : Apakah ini sebuah indikasi bahwa hangus dan putus bukan
bagian dari verba proses.
Hangus dan putus untuk menyebut beberapa contoh cenderung ditafsirkan
statis dalam bahasa Indonesia. Inilah alasan mendasar mengapa keduanya
menolak pemarkah progresif. Di satu sisi, hangus dan putus tidak bisa
digolongkan verba keadaan, sebab ekspresi temporalnya memiliki batas akhir,
suatu ciri yang memungkinkannya menerima pemarkah perfektif (seperti sudah
hangus, sudah putus). Di sisi lain, hangus dan putus juga kurang tepat
ditempatkan di bawah label verba tindakan sebab makna dasarnya bukan
33
menyatakan suatu tindakan, melainkan suatu proses, proses yang berakhir. Atas
dasar itu, keduanya dikelompokkan sebagai verba proses. Perhatikan konstruksi
diberikut ini.
a. Buah randu telah menghitam kulitnya
b. Jantung saya sudah membesar
Tampak bahwa pemarkah perfektif berterima pada verba proses. Hal ini
mengindikasikan bahwa makna yang dicakup oleh perfektif bahasa Indonesia
adalah makna. Lebih dari itu, infleksi perfektif yang terbentuk dengan adjektiva
prototype dapat pula menghasilkan makna yang mengacu pada permulaan
keadaan. Buktinya, verba .menghitam dan membesar pada contoh menerima
pemarkah mulai, seperti pada contoh berikut.
a. Buah randu mulai menghitam kulitnya.
b. Jantung saya mulai membesar.
Karena ciri perfektif, dan juga pungtual, dalam kajian ini sudah dikaji
dalam pengertian bahwa kedua ciri ini berfokus pada apa yang terjadi pada
subjek. verba menghitam pada konstruksi (a) dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan : apa yang terjadi pada buah randu?. Selain itu kata itu juga
mengisyaratkan adanya “perubahan dari tidak hitam menjadi hitam atau agak
hitam”. Demikian pula dengan verba mengering, pada konstruksi (b) digunakan
untuk menjawab pertanyaan : apa yang terjadi pada jantung saya ?. Membesar
juga mengandung makna adanya perubahan dari keadaan yang kecil ke keadaan
yang tidak kecil lagi atau agak besar.
Verba proses adalah verba yang secara inheren menyatakan proses. Verba
ini biasanya dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek?"
Umpamanya kata meledak pada kalimat berikut adalah verba proses,
a. Bom itu seharusnya tidak meledak
sebab bisa menjadi jawaban atas pertanyaan "Apa yang terjadi pada bom itu?"
kata meledak pada contoh tersebut, mengandung makna adanya perubahan dari
tidak meledak menjadi meledak. Selain itu ini dibuktikan dengan, komponen
34
keterangan:
S:subjek
P: predikat
37
Ket: keterangan.
Pel: pelengkap
O: objek
kehadiran unsur objek, pelengkap, dan/atau keterangan wajib sangat
bergantung pada bentuk dan jenis predikatnya". (Alwi, 1998: 323)
Pernyataan ini tentunya mempunyai implikasi bahwa dalam buku ini harus
dibicarakan mengenai klasifikasi semantik verba bahasa Indonesia. Hal ini
dibicarakan dalam subbab berjudul "verba dari segi perilaku semantiknya".
pada kalimat (1) hanya mewajibkan kehadiran fungsi subjek dan mengapa
verba duduk pada kalimat (2) mewajibkan kehadiran fungsi subjek dan fungsi
keterangan. Baiklah kita bicarakan satu per satu perilaku semantik verba-verba
dari kalimat (1) sampai kalimat (5).
Verba jatuh pada kalimat (1) secara semantik menyatakan suatu keadaan
berupa suatu kejadian, maka sebagai suatu keadaan dalam bentuk kejadian verba
ini hanya memerlukan sebuah nomina yang menduduki fungsi subjek yang
mengalami kejadian itu. Jadi, verba ini tidak memerlukan fungsi lain, meskipun
fungsi keterangan/waktu, tempat, atau sebab bisa ditambahkan, tetapi sifatnya
opsional. Verba duduk pada kalimat (2) secara semantik menyatakan suatu
perbuatan yang memerlukan tempat. Oleh karena itu, verba ini memerlukan
sebuah fungsi subjek berkategori nomina yang melakukan perbuatan itu, dan
sebuah fungsi keterangan yang menyatakan tempat. Verba lain yang sekategori
semantik dengan verba duduk, antara lain, adalah pergi, tinggal, dan masuk.
Verba menduduki pada kalimat (3) secara semantik menyatakan 'perbuatan atau
tindakan bersasaran'. Maka, verba ini mewajibkan hadimya sebuah fungsi subjek
berkategori nomina yang berperan pelaku, dan sebuah fungsi objek berkategori
nomina berperan sasaran berfitur semantik [tempat] 2. Secara opsional bisa saja
ditambahkan fungsi keterangan (tempat, cara, dan sebagainya). Verba
mendudukkan pada kalimat (4) secara semantik menyatakan perbuatan atau
tindakan bersasaran benefaktif dan tempat. Oleh karena itu, verba ini mewajibkan
hadimya sebuah fungsi subjek berkategori nomina yang berperan pelaku, sebuah
fungsi objek yang berperan sasaran benefaktif, dan sebuah fungsi keterangan yang
38
berperan lokatif. Terakhir verba membelikan pada kalimat (5) secara semantik
menyatakan perbuatan atau tindakan bersasaran benefaktif berpelengkap. Maka
verba membelikan ini mewajibkan hadirnya sebuah fungsi subjek berkategori
nomina yang berperan pelaku, sebuah objek berkategori nomina berperan
benefaktif, dan sebuah fungsi pelengkap yang berperan melengkapi.
Pemaparan tersebut jelas terlihat bahwa fungsi wajib dalam setiap kalimat
bukanlah hanya subjek dan predikat saja seperti pendapat para penulis tata bahasa
tradisional; tetapi fungsi keterangan pun bisa wajib hadir sesuai dengan tipe dan
jenis verba yang menduduki fungsi predikat di dalam kalimat itu.
Dalam mendeskripsikan jenis tipe atau klasifikasi semantik verba, Buku
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia secara umum menyatakan ada tiga macam
verba, yaitu verba perbuatan (aksi), verba proses, dan verba keadaan. Ketiga jenis
verba itu dijelaskan berdasarkan kedudukan semantik verba itu di dalam kalimat.
Verba perbuatan adalah verba yang secara inheren mengandung makna
perbuatan. Verba ini biasanya dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan "Apa
yang dilakukan oleh subjek?" Umpamanya verba lari dan belajar pada kalimat (6)
dan (7) berikut adalah verba perbuatan,
(6) Pencuri itu lari
(7) Mereka sedang belajar di kamar
sebab bisa menjadi jawaban untuk pertanyaan " Apa yang dilakukan pencuri itu?"
untuk kalimat (6), dan pertanyaan "apa yang mereka lakukan di kamar ?" untuk
kalimat (7). Verba perbuatan lainya yang diberikan sebagai contoh adalah;
mendekat, mencuri, mandi, memberhentikan, membelikan, memukuli, menakut-
nakuti, naik haji
Verba proses adalah verba yang secara inheren menyatakan proses. Verba
ini biasanya dapat menjadi jawaban atas apa yang terjadi pada subjek?"
Umpamanya kata meledak pada kalimat (8) adalah verba proses,
(8) Bom itu seharusnya tidak meledak
sebab bisa menjadi jawaban atas pertanyaan "Apa yang terjadi pada bom itu?"
Contoh verba proses lain yang diberikan adalah:
mati, jatuh, meninggal, kebanjiran, mengering, terbakar, terdampar, mengecil.
39
seperti yang dikemukakan oleh Nida (1975) atau Larson (1989). Maka dengan
mengacu pada kerangka kerja Tampubolon yang digabung dengan teori fitur
semantik kiranya untuk bahasa Indonesia kita dapat menetapkan adanya 12 tipe
dasar verba bahasa Indonesia, sebagai berikut.
Tipe I, adalah verba-tindakan, yakni verba yang menyatakanntindakan
seperti verba makan, baca, dan tulis. Verba ini mewajibkan hadirnya sebuah
fungsi subjek yang berperan sebagai 'pelaku' dan sebuah fungsi objek yang
berperan sebagai 'sasaran'. Verba tipe I ini pun bisa diperinci lagi menjadi (1)
verba tindakan yang pelakunya berfitur semantik [+insan], seperti verba
membaca, menulis, dan mencuri (2) verba tindakan yang pelakunya berfitur
semantik [+makhluk hidup] seperti verba makan, minum, dan menendang; (3)
verba tindakan yang pelakunya berfitur semantik [-insan], seperti verba memagut,
mematuk, dan melindas. Berikut contoh-contoh penggunaannya.
Selain menentukan fitur semantik dari subjek, verba tindakan itu juga
menentukan fitur semantik dari objeknya. Perhatikan dua contoh kalimat berikut
yang tidak berterima karena fitur semantik objeknya tidak seperti yang
dikehendaki verbanya.
(15) Pak Lurah makan *semen
(16) Kucing itu menelan *rumah
Verba makan menghendaki objek berfitur semantik [+makanan], dan
verba menelan menghendaki objek berfitur semantik [+kecil].
41
jawabannya adalah subjek itu layu. Jelas layu adalah verba proses. Namun, bila
diuji dengan pertanyaan "Bagaimana keadaan subjek?", maka jawabnya adalah
layu. Jelas, di sini layu adalah verba keadaan.
Tipe VI, adalah verba proses-pengalaman. Verba ini mewajibkan
kehadiran sebuah subjek yang mengalami proses perubahan yang dinyatakan oleh
verba tersebut. Misalnya, verba bosan, cemas, dan kagum pada kalimat-kalimat
berikut.
(30) Rupanya kau sudah bosan padaku.
(31) Ibu cemas akan keselamatanmu.
(32) Saya kagum dengan keberanianmu.
Pada kalimat (30) proses bosan terjadi pada subjek kau; pada kalimat (31)
verba cemas di alami oleh ibu, berproses dari tidak cemas ke cemas; sedangkan
pada kalimat (32) verba kagum berproses dari keadaan tidak kagum menjadi
kagum dialami oleh subjek saya.
Tipe VII, adalah verba proses-benefaktif. Verba ini mewajibkan kehadiran
sebuah fungsi subjek yang berperan sebagai pengalami dan memiliki (atau tidak
memiliki). Misalnya, verba menang, kehilangan, dan memperoleh dalam kalimat-
kalimat berikut.
(33) PSSI menang 2-0 atas Singapura.
(34) PSSI kehilangan pemain andalannya.
(35) Kami memperoleh untung dua juta rupiah.
Verba menang pada kalimat (33) merupakan proses kejadian yang secara
sekaligus juga berupa pemilik pada subjek PSSI; verba kehilangan pada kalimat
(34) juga merupakan proses yang terjadi pada subjek dan sekaligus menyatakan
ketidakmilikan, sedangkan verba memperoleh pada kalimat (35) menyatakan
proses yang terjadi pada subjek serta sekaligus menyatakan kepemilikan.
Tipe VIII, adalah verba proses-lokatif. Verba ini mewajibkan hadirnya
sebuah subjek yang mengalami proses perubahan dan lokasi sekaligus. Misalnya,
verba terbenam, berangkat, dan jatuh pada kalimat-kalimat berikut.
(36) Perahu kecil itu terbenam di tengah laut.
(37) Kami berangkat ke Singapura besok pagi.
44
Novel berasal dari bahasa Itali, novella berarti sebuah hal baru yang kecil,
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa oleh abrems
(Nurgiyanto, 2009: 9).
Novel merupakan suatu bentuk karya satra yang dapat dijadikan seagai
sarana untuk menyampaikan idea tau gagasan pengarang ( Adhar, 1997: 9). Novel
adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan
jalan hidup aginya (Wellek dan Austin, 1990: 182-183).
Secara etimologi, novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan
dari kata novles yang berarti baru. Secara istilah, novel sebagai salah satu jenis
karya sastra dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang
menimbulkan rasa seni pada pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo
(1984:3) sebagai berikut: “ Novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia
merupakan pengalaman pemikiran, perasaan ide, semangat, keyakinan dalam
suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat
bahasa”.
Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan
berkesinamungan ditandai dengan adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya
antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988: 36).
“Fiksi novel merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita:
karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi dengan deskripsi adalah
aksi, tindak tanduk atau pelaku”. Clara Reeve ( dalam Wellek, 1993: 282).
Pendapat tersebut dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita kehidupan
tokoh yang diciptakan secara fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata.
Nyata yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah hal yang merujuk pada fakta
yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat
diterima secara logis hubungan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lain
dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada
peminat sastra.
Bedasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas yang menyajikan lebih dari
47
(Nazir 2005: 93). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
topik penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Riski Amalia (2018), yang Membahas tentang penelitian ini adalah apa
bentuk morfologis, perilaku sintaksis, dan perilaku semantis yang dominan pada
teks bergenre penceritaan, tanggapan, dan faktual, serta bagaimanakah ciri
kebahasaan berdasarkan verba yang terdapat pada setiap genre teks bahasa
Indonesia kurikulum 2013. Penelitian ini termasuk penelitian deskripstif
kualitatif. Data yang digunakan berupa kalimat yang mengandung verba. Sumber
data diperoleh dari teks bahasa Indonesia genre penceritaan, tanggapan, dan
faktual. Langkah-langkah penelitian didasarkan pada tiga tahap, yaitu (1)
penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian analisis data.
Rahmad Hidayat (2018), penelitian ini meneliti tentang hal yang sama
dengan yang peneliti angkat mengenai kaidah morfofonemik bahasa Sumbawa.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kaidah morfofonemik bahasa Sumbawa
dialek Sumbawa Besar. Uraian proses morfofonemik dalam penelitian ini
berfokus pada kaidah morfofonemik berdasarkan seluruh kelompok morfem afiks
yang terdapat dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode instrospektif dan teknik catat. Penganalisisan data
menggunakan teknik hubung-banding menyamakan dan hubung-banding
membedakan dari metode badan intralingual. Penyajian hasil analisis data mengg
unakan metode formal dan informal.
Eva Fitrianti ()Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa Kerinci secara
empiris berdasarkan situasi atau fakta yang ada dilapagan dan dipaparkan dengan
apa adanya. Informan adalah penutur asli bahasa Kerinci. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik rekam, teknik elisitas dan teknik simak ,
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
mentranskripsikan data ke dalam bahasa tulis, menerjemahkan data ke dalam
bahasa Indonesia, dan menganalisis data. Untuk mempermudah analisis, data
yang sudah dituliskan dan diterjemahkan ke dalam sudah dituliskan dan
49
50
51
53
54
keadaan ke keadaan yang lain. tidak semua verba proses dapat dipakai dalam
kalimat perintah.
Secara semantik yang menyatakan proses, verba-verba ini mewajibkan
hadirnya sebuah fungsi subjek yang mengalami kejadian atau suatu proses
perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Verba ini biasanya menjadi
pertanyaan atas apa yang terjadi pada subjek?
4.2 Kaidah Morfofonemik Verba Proses (Telaah Novel Sogi Karya Faika
Burhan)
Data
4. Tutur Ogi dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes dari pipinya.
Data (4)
7. Aku belajar menatap Kak Alex dengan mata menyala. Data (7)
9. Siti baru akan terlihat di pondok jika hari minggu tiba. Data (9)
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter-
13. Kami bercerita banyak dan kerap tertawa kecil karena selera humor kami yang
nyambung. Data (13)
15. Ah. Lakon ini, seolah membuat langkahku akan berbelok arah. Data (15)
18. Lalu, seketika hening. Kami semua terdiam agai di tarik sudut-sudut berbeda.
Data (18)
19. Mungkin sama seperti pikiranku, kapan semua ini memuncak dan apa hasil
akhirnya. Data (19)
20. Menurut Daeng Kana, ibunya telah menikah dengan orang lain setelah itu
meninggalkan Makassar. Data (20)
21. Aku bersama rekan-rekan tutor yang lain juga telah berusaha
menguruskannya akta kelahiran. Data (21)
22. Aku tersentak dan berusaha keluar dari kegalauanku memikirkan Rahul.
Data (22)
23. Kulihatnya satu persatu, hingga tersadar jika Rahulku tak ada dalam barisan
anak-anak ini. Data (23)
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter -
24. Malam semakin beranjak ketika pikiran-pikiran Sartre dan Beauvoir hampir
memasuki lembaran terakhir. Data (24)
25. Aku tertegun ketika menyadari kesemua panggilan dan sms itu berasal dari
satu orang kak Alex . Data (25)
26. Hanya hitungan detik handphoneku sudah bergetar pertanda panggilan masuk.
Data (26)
28. Sepuluh menit kemudian aku sudah mengayuh sepeda menuju kampus yang
jaraknya tak jauh dari pondoku. Data (28)
29. Ogi, hapemu bergetar, Tenri menegurku dengan cuek. Data (29)
32. Aku belajar menatap kak alex dengan mata menyala. Data (32)
33. Selama kita terpisah kemarin, kamu gak pernah cek HP? Tanyanya lagi.
(D33)
37. Aku menerimanya dan melihat nama kak Alex tertera di layar. Data (37)
38. Begitu melihat kami, anak-anak itu berhamburan menyerbu. Data (38)
bersuara /s, k, p, dan t/.dalam hal ini konsonan /s/ diluluhkan dan disenyawakan
dengan fonem nasal /ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan
berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : meN- → meny-
39. Dan, perasaan ku semakin kalut ketika mendengar Daeng Kana terkena
Bronkitis. Data (39)
40. Ia tersenyum lemah ketika melihat kami bermunculan dari balik pintu.
Data (40)
/r/ dan bentuk dasar anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
44. Belakangan aku baru tau, kedap suaranya itulah yang menyebabkan perasaan
pusing lantaran gelombang suara tidak merambat normal. Data (44)
dengan konsonan / r, l, w, y, n, ng, dan ny/. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah
morfofonemik akan berbentuk sebagai berikut:
/r/ dan bentuk dasar anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik
akan berbentuk sebagai berikut:
Kaidah : ter- → ter -
47. Sosok kharismatik sang God Father membuatku terpukau. Data (47)
51. Lalu aku kembali menatap wajah Indri yang kini masih tertunduk di
hadapanku. Data (51)
52. Aku terperanjat melihat wajah fira yang pucat seperti sudah tak bernyawa.
Data (52)
53. Anak-anak pondok yang datang bersamaku sontak menangis histeris. Data
(53)
54. Aku mengerti ini mustahil menghentikan gairah seorang laki-laki laki yang
sedang memanas. Data (54)
55. sms dari Pak Alex membuat mataku terbelalak. Data (55)
komunikasi menjadi tidak sambung atau berakhir. Jika di buat dalam bentuk
kaidah morfofonemik verba terputus akan mengalami proses morfofonemik yaitu
pengekalan fonem /r/ pada prefiks ter- tetap menjadi /r/ apabila prefiks ter- itu
diimbuhkan pada bentuk dasar dimulai dengan konsonan /r/ dan bentuk dasar
anjur. jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-
57. Seperti biasa, semuanya terdiam dengan gaya bebas untuk membaca buku
bacaan masing-masing. Data (57)
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-
59. Suara terisak itu semakin terdengar, dan itu suara isak tangisku. Data (59)
60. Mereka lalu bermasalah bodoh dan semakin menyulap dirinya menjadi
sampah. Data (60)
61. Rasa kantuk pun juga tak kunjung datang menggodaku untuk terlelap. Data
(61)
65. Pernah ia tertidur sampai pagi di lorong masuk saat pulang subuh. Data (65)
anjur. Jika dibuatkan dalam bentuk kaidah morfofonemik akan berbentuk sebagai
berikut:
Kaidah : ter- → ter-
67. "Ini apa Yuda? " Suaraku mulai meninggi. Data (67)
68. Aku melihat ia bergegas masuk dan memberi beberapa instruksi ke perawat.
Data (68)
70. Anak-anak pondok yang datang bersamaku sontak menangis histeris. Data
(70)
73. Di tengah jalan terjadi polusi udara akibat debu dan asap kendaraan yang
mengepul. Data (73)
74. Siang itu angin memang bertiup kencang dan udara terasa sesak. Data (74)
75. Aku memilihnya karena ada hal menarik darinya. Data (75)
5.1 Simpulan
89
90
5.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah dipaparkan, selanjutnya
dikemukakan beberapa saran yang terkait dengan penelitian ini, Adapun
pemaparannnya adalah sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hendaknya
melestarikan dan memperkaya kajian morfologi terutama kaidah
morfofonemik verba proses.
2. Kata dasar yang mengalami kaidah morfofonemik terhadap verba proses
memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia serta sudah banyak digunakan
pada zaman globalisasi ini, perlu adanya panduan khusus dalam memahami
kaidah morfofonemik verba proses.
3. Bagi penikmat bahasa dan sastra, membaca sebuah novel merupakan salah
satu upaya untuk memperluas bahasa dalam dunia tulis menulis serta
memperluas pengetahuan dan pengalaman sehingga apa yang tercermin
dalam bacaan tersebut dapat diteladani.
4. Bagi penikmat bahasa dan sastra, perlu membaca lebih mendalam sehingga
tidak menimbulkan yang spekulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ke-3. Jakarta:
Balai Pustaka.
Alwi, Hasan dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa dan Balai Pustaka.
Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The
University of Chicago Press.
Chaer, Abdul. 2012. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Foley dan Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar.
Cambridge: Cambride University Press.
Hidayat. 2018. Kaidah Morfofonemik Bahasa Sumbawa Dialek Sumbawa Besar,
Genta Bahtera,vol. 4, no.1, hh. 12-13.
Hopper, P.J. dan S.A. Thompson. 1980. Transitivity in Grammar and Discourse.
Dalam Language 56 : 251-299.
91
92
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat
Pendidikan Menengah. Jakarta: Gramedia Widiasrana Indonesia.
Kridalaksana. 2007:183. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mulyono, Iyo. 2013. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Teori Dan Sejumput
Problematika Terapannya. Bandung: CV Yrama Widya.
Ramlan, M. 1978. Kata Verbal dan Proses vebalisasi dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gajah Mada.
Sailan, Zalili., dan Hasan, Sakka. 2018. Ihwal Metodologi Penelitian Bahasa.
Malang: PT Cita Intrans Selaras.
Sudaryanto et al. (Penyunting). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Cetakan
ke-1. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sumardjo. 1984. Morfologi: Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
LAMPIRAN
94
SINOPSIS
Data