Anda di halaman 1dari 155

PERBANDINGAN GAYA BAHASA PADA PUISI IBU KARYA

MUSTOFA BISRI DENGAN LIRIK LAGU KERAMAT KARYA


RHOMA IRAMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan

Oleh:
Fahrudin Mualim
NIM 1110013000035

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-LABF-
211
UIN JAKARTA FORM (FR) Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Fahrudin Mualim
NIM : 1110013000035
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa
Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia
Dosen Penguji : 1. Djamal D. Rahman, M. Hum.
2. Dr.Darsita Suparno, M. Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat merupakan hasil
karya sendiri. Apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya,
maka saya siap menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 23 Desember 2014

Fahrudin Mualim
ABSTRAK

FAHRUDIN MUALIM. NIM: 1110013000035. Skripsi. Perbandingan


Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu
Keramat Karya Rhoma Irama serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Rosida
Erowati, M. Hum.
Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya
Rhoma ini sama-sama berbicara tentang ibu. Penelitian ini bertujuan untuk
menguraikan perbandingan mengenai gaya bahasa dari puisi Ibu dan lirik
lagu Keramat, serta implikasi kedua karya tersebut dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu peneliti dilibatkan dalam situasi
dan fenomena yang sedang dipelajari.
Peneliti menemukan adanya keterkaitan antara puisi Ibu dengan lirik
lagu Keramat, yaitu lirik lagu Keramat merupakan bentuk penguatan
penggambaran objek lirik yang dibicarakan oleh A. Mustofa Bisri dalam
puisi Ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persamaan dan
perbedaan gaya bahasa pada puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu
Keramat karya Rhoma Irama. Hal tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa
pada tiap pilihan katanya, keduanya sama-sama banyak menggunakan
istilah alam. Perbedaannya terletak pada fungsi dari istilah alam yang
digunakan. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan
pengorbanan seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan
keagungan seorang ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam
yang ia gunakan sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku
masyarakat yang keliru. Penelitian ini juga menjelaskan struktur yang
membangun puisi Ibu dan lirik lagu Keramat serta bagaimana analisis puisi
Ibu dan lirik lagu Keramat ini dapat memenuhi kompetensi pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia, yaitu sikap spiritual, sosial, dan tanggung
jawab. Melalui kegiatan menganalisis puisi juga dapat menambah
pemahaman siswa terhadap makna puisi, meningkatkan keterampilan
berbahasa, serta menumbuhkan sikap kritis siswa.

Kata kunci: Gaya Bahasa, puisi, lirik lagu, pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia

i
ABSTRACT

Fahrudin Mualim, 1110013000035, Comparation of Language Style


on Poetry ―Ibu― by Mustafa Bisri and Song Lyrics ―Keramat‖ by Rhoma
Irama, and Their Implication in Indonesian Language and Literature
Learning. Department Indonesian Language and Literature of Education,
Faculty of Tarbiya and Teachers Training, State Islamic University of Syarif
Hidayatullah Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.
A Poem by A. Mustafa Bisri and lyrics of this Keramat talking about
mother. This study aims to describe the comparison of the poetry‘s language
style from Poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and the implications of
both these arts in learning Indonesian language and literature at school. The
method used by the writer in this study is qualitative; it means that the
writer involved in the situations and phenomena is being studied by the
writer.
This study finds a relationship between Poetry ―Ibu‖ and song lyrics
―Keramat‖; song lyrics ―Keramat‖ is as strengthening lyrics objects
description which is discussed by A. Mustafa Bisri in poetry ―Ibu‖. The
result of this study shows the similarities and differences in language style
on poetry ―Ibu‖ by A. Mustafa Bisri and song lyrics ―Keramat‖ by Rhoma
Irama. It can be seen from the style of each words selection which use the
term of nature. The difference lies on the function of the term of nature that
is used. If Gus Mus uses the term of nature to describe a mother‘s sacrifice
or as a description of admiration for a mother‘s greatness, while Bang Haji
places the term of nature that he use as a form of rejection or criticism of the
wrong behavior of people. The study also describes the structure of the
poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and how analysis of poetry ―Ibu‖
and song lyrics ―Keramat‖ can fulfill the competency in learning Indonesian
language and literature, especially in the attitude of the spiritual, social, and
responsibility. Analyzing poetry can also increase students‘ understanding
of the meaning of poetry, improve language skills and students‘ critical
attitude.

Keywords: Language style, poetry, song lyrics, learning Indonesian


language and literature

ii
KATA PENGANTAR

Seraya mengucap puja dan puji serta syukur ke hadirat Ilahi Robbi
yang selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga saya mampu
menyelesaikan skripsi ini, yang memang sedikit terlambat alias tidak tepat
waktu. Pemilihan tema skripsi ini terinspirasi dari obrolan santai bersama
seorang dosen sekitar satu setengah tahun silam di salah satu mata kuliah.
Berawal dari obrolan santai, kemudian berakhir dengan penelitian serius.
Alhasil, tersusunlah karya tulis ini untuk menjelma menjadi
pertanggungjawaban akademik sebagai Sarjana Pendidikan FITK-UIN
Jakarta.
Saya haturkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin FITK
dengan jiwa profesionalismenya sehingga kinerja FITK lebih baik dan
profesional. Rasa terimakasih juga saya sematkan kepada Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah memimpin dengan penuh perhatian dan kesabaran demi
kemajuan prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FITK-UIN Jakarta, saya haturkan rasa terimakasih kepada
‗mas, mbak, pak, ibu‘ dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
yang selama sembilan semester masa studi tidak bosan-bosannya mengajar,
menasihati, dan mengingatkan saya. Wabil khusus kepada pembimbing
saya, Rosida Erowati, M.Hum. Berkat pengarahan, catatan, hingga coretan
beliau pada skripsi saya telah membantu meluruskan jalan penyusunan
skripsi ini. Di sini saya memahami bahwa beliau itu seperti sungai, mengalir
dan bercabang menjadi anak-anak sungai. Semoga saya menjadi anak
sungai yang mampu mengalirkan air pengetahuan ini.

iii
iv

Terimakasih kepada Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd. Segala


nasihat-nasihatnya membuka mata hati saya bahwa tingginya suatu ilmu
justru karena ditopang oleh kerendah-hatian. Kepada Dra. Hindun, M.Pd,
yang mengajari betapa pentingnya komitmen dalam menjalankan tugas.
Kepada Jamal D. Rahman, penyair ulung yang mengenalkan saya tentang
dunia puisi dan hakikatnya yang kental dengan dulce et utile. Kepada
Ahmad Bahtiar, M.Hum, dosen yang menginspirasi saya untuk terus
membaca, sekalipun dalam kesempatan waktu yang sedikit. Kepada Novi
Diah Haryanti, M.Hum, dengan gayanya yang bersahabat, dosen yang
sangat menginspirasi sekaligus membuka semangat saya untuk terus
menulis. Kepada Makyun Subuki, M.Hum, dosen nyentrik yang juga
menginspirasi saya dengan keahliannya di bidang bahasa dan musik.
Sungguh tiada yang lebih berharga yang bisa saya berikan kecuali ucapan
terimakasih.
Terimakasih kepada para punguji saya, Jamal D. Rahman, M.Hum
atas segala perbaikannya, yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
Sungguh tak terpikirkan sebelumya jika skripsi ini akan diuji langsung oleh
salah seorang sastrawan. Kemudian kepada penguji kedua, Dr. Darsita
Suparno, M.Hum atas segala masukkannya, khususnya mengenai metode
penelitian yang saya lakukan, sehingga lebih memahami apa sebenarnya
hakikat metode penelitian serta peranannya yang sangat penting dalam
sebuah penelitian. Hal ini juga tidak terpikirkan sebelumnya oleh saya
bahwa skripsi ini akan diuji langsung oleh ahli bahasa.
Saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada orang-perorang
yang telah membantu dan membuka kemudahan pada masa pencarian
sumber. Kepada bang Sulaiman Yudha Harahap, peneliti sejarah sekaligus
ketua Studio Sejarah. Berkat petunjuk, masukan, dan pemberian sumber dari
beliau skripsi ini terbantu. Kepada ‗kak Ria Fidiyanti, penulis lantunkan
terimakasih atas ketersediaan waktunya untuk membantu dari awal
penulisan skripsi ini
v

Terimakasih kepada orang-orang di keluarga saya, seperti ibu


(Latipah) dengan nasihat-nasihatnya dan pertanyaan-pertanyaannya seputar
skripsi saya, ―kapan skripsi?‖, ―kapan sidang?‖, ―skripsinya sudah?‖,
―wisudanya ikut bulan apa?‖. Bapak (Didi Suryadi) dengan kesabarannya
yang ditandai dengan sedikit bertanya tentang kuliah saya kepada ibu,
namun tetap terkesan memperhatikan dengan cara ‗unik‘, yang sulit
dijabarkan namun saya mengerti. Begitu juga dengan saudara-saudara saya,
kakak (Diana Eka Sari, Indah Purnama Sari, Fahril Husein, Dwiyono,
Suhendra) dan adik (Teguh Prasetyo, Ahmad Sholahudin), mereka menjadi
pelengkap dari keluarga saya yang telah memberi segala perhatian yang
tidak terbayarkan.
Kepada teman dan sahabat masa kuliah angkatan 2010, terimakasih
atas hari-hari penuh canda dan sedikit dukanya (Ahmad Fahrudin, Ahmad
Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti Nurasani, Ayu
Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas Albiyan, Dina
Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan, Herlina Wahyu,
Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang Akhlakulkharomah, Liza
Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur, Muhamad Zainal, Nur
Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat Fathiyah, Puguh Apria Rantau,
Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza Hernita, Septiara Lianasari, Sri
Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana, dan Yanti Nuryana).
Ucapan terimakasih tidak kurang saya sematkan pula kepada teman
dan sahabat di beragam komunitas dan universitas (Arif Maulana, Eko Mei
Sandi, Firmansyah, Gunawan, Pandu Soedibyo, Surtanto Adi Wicaksono,
Syaiful Bahri, dan Washil Arham). Semoga kita semakin produktif
menciptakan hal-hal yang baru. Perjuangan kita belum usai kawan, belum
apa-apa!
Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada manusia yang sempurna,
karena manusia bukanlah malaikat. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna. Bila ditemukan kekurangan dan kesalahan dalam
vi

karya tulis ini, harap disampaikan kepada saya, ini demi pengembangan
ilmu pengetahuan dan pembelajaran individual. Akhir kalam, atas segala
perhatian, dukungan, dan bantuan dari semuanya saya haturkan terimakasih.
Semoga karya ini dapat berfaedah bagi ilmu pengetahuan.

Ciputat, November 2014

Fahrudin Mualim
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

ABSTRACT ............................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................1


B. Identifikasi Masalah .....................................................................................6
C. Pembatasan Masalah ....................................................................................6
D. Rumusan Masalah ........................................................................................6
E. Tujuan Penelitian..........................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................7
G. Metode Penelitian ........................................................................................8

BAB II: KAJIAN TEORETIS


A. Gaya Bahasa ..............................................................................................17
B. Puisi............................................................................................................28
C. Musik dan Lirik Lagu ................................................................................38
D. Hakikat Pembelajaran Sastra .....................................................................43
E. Penelitian Relevan ......................................................................................46

vii
viii

BAB III: BIOGRAFI TOKOH


A. Ahmad Mustofa Bisri.................................................................................50
B. Rhoma Irama ..............................................................................................59
C. Ikhtisar Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat ................................................74

BAB IV: PEMBAHASAN

A. Analisis Struktur Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat .................................76


B. Analisis Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya Mustofa
Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ..........................101
C. Analisis Fungsi Gaya Bahasa Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan
Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ...............................................113
D. Implikasi Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa
Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .............................................115

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................119
B. Saran.........................................................................................................120

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................120

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI

PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL

Tabel I: Kata konkret dalam puisi Ibu ..............................................................83

Tabel II: Kata Abstrak dalam puisi Ibu ............................................................85

Tabel III: Imaji dalam puisi Ibu .........................................................................86

Tabel IV: Kata konkret dalam lirik lagu Keramat............................................96

Tabel V: Kata Abstrak dalam lirik lagu Keramat .............................................97

Tabel VI: Imaji dalam lirik lagu Keramat .........................................................98

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari, gaya memainkan peran yang
penting. Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau
dalam bentuk lisan maupun tulisan, seperti penggunaan gaya bahasa. Dapat
dikatakan, tidak akan ada suatu kegiatan tanpa menggunakan gaya. Hal
yang membedakan hanya terletak pada kualitas dari gaya yang digunakan.
Baik gaya secara umum maupun gaya bahasa berkaitan dengan
aspek keindahan. Perbedaannya terletak pada penggunaan gaya itu sendiri.
Jika dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam aktivitas yang tidak
berkaitan dengan seni, gaya hanya menduduki posisi sebagai sekunder.
Berbeda dengan gaya dalam aktivitas karya sastra dan karya seni yang pada
umumnya suatu keindahan, gaya menduduki posisi yang dominan, sebab
karya seni merupakan keindahan itu sendiri.
Proses penciptaan gaya bahasa jelas disadari oleh penelitinya. Di
dalam penelitian, gaya bahasa menjadi sangat penting dalam rangka
memperoleh aspek keindahan secara maksimal, misalnya hanya untuk
menemukan satu kata atau sekelompok kata yang dianggap tepat, peneliti
harus melakukannya secara berulang-ulang. Dalam sebuah karya seni atau
karya sastra, gaya bahasa merupakan aspek yang sangat penting, terlebih
dalam karya berbentuk puisi yang memang harus menggunakan bahasa yang
singkat dari bentuk karya sastra lainnya, namun tetap harus tersampaikan
isinya.
Setiap penyair memiliki gaya bahasa masing-masing, misalnya gaya
bahasa dalam puisi Sapardi Djoko Damono yang liris dengan puisi W. S.
Rendra yang lugas. Pemilihan gaya bahasa seperti itu disesuaikan dengan
tujuan yang ingin disampaikan melalui puisi yang ditulisnya. Misalnya, W.

1
2

S. Rendra banyak menyampaikan kritik sosial dalam puisinya menggunakan


bahasa yang lugas agar kritikannya dapat tersampaikan secara tegas. Contoh
lain dapat dilihat pada gaya bahasa yang ada pada puisi-puisi Mustofa Bisri.
Umumnya puisi-puisi Mustofa Bisri banyak berbicara tentang masalah
religiusitas dan kritik sosial. Mustofa Bisri juga menggunakan gaya bahasa
yang lugas dan sederhana dalam puisi-puisinya agar gagasan-gagasannya
yang relatif rumit dapat dipahami lebih mudah bagi pembacanya.
Penggunaan gaya bahasa menjadi sangat penting pada setiap karya
seni atau karya sastra. Penggunaan gaya bahasa berkaitan dengan
bagaimana pembaca memahami apa yang disampaikan melalui karya itu.
Karya seni pada dasarnya merupakan media untuk menyampaikan gagasan
penciptanya. Semua karya seni, entah seni sastra, seni tari, seni musik,
maupun jenis seni lainnya merupakan media yang mengantarkan gagasan
pengarangnya kepada khalayak umum.
Berkaitan dengan karya seni yang juga merupakan sebuah ―bahasa‖,
dengan demikian musik dapat disebut juga sebagai ―bahasa‖. Pada
hakikatnya musik merupakan bahasa atau media si pencipta untuk
menyampaikan gagasannya dengan medium nada-nada. Di dalam musik,
terdapat unsur-unsur seperti melodi, irama, birama, harmoni, tangga nada,
tempo, dinamika, dan timbre. Akan tetapi, ada juga jenis musik yang
dikemas dengan tambahan unsur lirik. Biasanya jenis musik yang populer
adalah musik yang disertai unsur lirik lagu. Lirik lagu pada dasarnya dapat
membantu seorang pencipta dalam menyampaikan sesuatu, sebab seorang
pencipta lagu tidak hanya dapat menyampaikannya melalui nada-nada tetapi
juga kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu.
Lirik lagu merupakan susunan dari bahasa dengan kandungan
gagasan yang dikombinasikan dengan estetika dan irama pelantunnya.
Gagasan yang disampaikan dalam lirik lagu memiliki fungsi yang hampir
sama dengan puisi. Hal tersebut dikarenakan lirik lagu memiliki beragam
3

fungsi di dalamnya, seperti sebagai ungkapan emosi, ungkapan rasa estetik,


serta fungsi hiburan.
Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu juga mementingkan
faktor linguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, seperti pilihan kata
(diksi) dan gaya bahasa. Faktor diksi dalam lirik lagu merupakan faktor
penting karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik
merupakan daya tarik dari sebuah lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa,
merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan
dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk
merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu
pada pesan yang disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan
kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Pemilihan kata yang tepat,
suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar.
Seorang pencipta ketika meciptakan lirik lagu harus bisa
menimbulkan efek keindahan, sehingga lirik tersebut mampu memberikan
kenikmatan tersendiri, terutama bagi pendengarnya. Kenikmatan suatu lirik
akan terlihat ketika pendengarnya ikut terbawa suasana yang diciptakan oleh
pencipta lagu tersebut. Misalnya jika lagu yang dibuat mengandung unsur
keindahan berupa rasa semangat, maka orang yang mendengarkannya pun
akan terbawa oleh perasaan semangat. Begitu pula jika dalam lagu
menggambarkan suasana kesedihan, kemudian orang yang mendengarkan
ikut merasakan kesedihan, bahkan membuat pendengarnya meneteskan air
mata. Secara tidak langsung seorang pencipta berhasil menimbulkan efek
keindahan lewat lirik lagu yang ia ciptakan.
Menimbulkan efek keindahan dalam membuat lirik lagu merupakan
sesuatu yang tidak mudah. Keindahan bukan hanya terlihat dari efek yang
ditimbulkan lagu kepada pendengarnya saja, namun suatu keindahan juga
dituntut dari gaya bahasa pada lirik lagu itu sendiri. Hal tersebut membuat
seorang pencipta lagu harus cermat dalam memilih kata yang tepat,
memiliki keselarasan nada maupun irama, serta memperhatikan nilai rasa.
4

Berdasarkan hal ini peneliti melihat adanya beberapa persamaan antara lirik
lagu dengan puisi.
Puisi dan lirik lagu, keduanya memiliki persamaan, yaitu sebuah
media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang. Baik dalam
puisi maupun lirik lagu, pemilihan kata harus dilakukan secara cermat
dalam hal rima, irama, maupun harmonisasinya. Hanya saja dalam
penelitian lirik lagu, penciptanya harus patuh terhadap rangkaian nada-nada
pada lagu tersebut. Sampai sejauh ini, peneliti melihat perbedaan antara
puisi dengan lirik lagu hanya pada hal tersebut. Selebihnya, dalam hal
penyesuaian rima, irama, maupun harmonisasi tidak ada perbedaaan.
Menjadi hal yang menarik apabila puisi dengan lirik lagu
dibandingkan dari segi persamaan maupun perbedaannya. Sudah dijelaskan
sebelumnya, semua karya seni termasuk puisi dan lirik lagu merupakan
media untuk menyampaikan ungkapan perasaan dan pikiran penciptanya.
Peneliti puisi maupun peneliti lirik lagu mempunyai maksud dan tujuan
tertentu yang ingin disampaikan melalui karyanya. Maksud dan tujuan yang
disampaikan oleh peneliti lagu maupun penyair rupanya memengaruhi gaya
bahasa yang digunakannya. Contohnya dapat dilihat pada Rhoma Irama
yang banyak menyampaikan kritik sosial maupun pandangannya tentang
agama melalui lagu-lagu yang ditulisnya. Dalam lagu-lagunya, Rhoma
Irama memilih gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, walaupun
sebenarnya isi yang disampaikannya itu kompleks, misalnya lagu Hak
Asasi Manusia, Judi, dan Qur’an dan Koran. Lagu-lagu tersebut sebenarnya
mengungkapkan sesuatu yang kompleks. Akan tetapi, Rhoma Irama
menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana, sehingga permasalahan
kompleks yang dibicarakan di dalam lirik lagunya menjadi mudah
dimengerti oleh para pendengarnya, sehingga karya-karya Rhoma Irama
digemari oleh berbagai kalangan, khususnya masyarakat menengah ke
bawah.
5

Melihat hal tersebut, peneliti tertarik kepada lirik lagu yang terdapat
dalam lagu Rhoma Irama. Bersama grup musik dangdut Soneta Grup,
Rhoma memang telah menunjukkan kelasnya sendiri. Jika dari sisi syair,
lirik-lirik lagu Rhoma Irama memiliki kekuatan yang khas dan sangat
bervariasi, mulai dari lirik-lirik yang berkisah tentang cinta, kritik sosial,
pesan moral (keagamaan), serta nasionalisme. Lirik-lirik lagu Rhoma Irama
juga kaya akan idiom-idiom baru, seperti yang terdapat pada judul lagu
Mirasantika. Selain itu, melalui lagu-lagunya, Rhoma Irama juga
mempopulerkan istilah-istilah baru, seperti yang terdapat pada judul lagu
Begadang, dan Santai.
Apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama melalui lirik lagunya,
peneliti melihat adanya persamaan dengan apa yang dilakukan Mustofa
Bisri melalui puisinya. Sama halnya dengan Rhoma Irama, Mustofa Bisri
juga memilih menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami untuk menyampaikan isi yang bersifat kompleks, seperti puisi-
puisi Mustofa Bisri yang berjudul Sujud, Bagimu, dan Kaum Beragama
Negri Ini. Begitupun dengan tema, Mustofa Bisri juga banyak menampilkan
tema yang bervariasi mulai dari religiusitas, maupun kritik sosial.
Melihat adanya persamaan seperti itu, peneliti tertarik untuk
melakukan perbandingan. Perbandingan yang ingin peneliti teliti meliputi
penggunaan gaya bahasa serta fungsinya, yang juga meliputi apa saja
persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam lirik lagu Rhoma Irama
dengan puisi Mustofa Bisri serta faktor yang menyebabkan adanya
persamaan dan perbedaan gaya bahasa tersebut. Adapun judul dari
penelitian ini adalah PERBANDINGAN GAYA BAHASA PADA PUISI
IBU KARYA MUSTOFA BISRI DENGAN LIRIK LAGU KERAMAT
KARYA RHOMA IRAMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA.
6

B. Identifikasi Masalah
1. Masih banyaknya anggapan, khususnya di kalangan siswa bahwa
puisi dengan lirik lagu adalah sama.
2. Minat siswa terhadap pembelajaran puisi masih sangat kurang.
3. Puisi-puisi karya Mustofa Bisri serta lagu-lagu Rhoma Irama kurang
populer di kalangan siswa.
4. Kurangnya kemampuan siswa dalam pembelajaran gaya bahasa di
sekolah.
5. Kurangnya variasi pembelajaran sastra di sekolah dalam
memanfaatkan media yang telah tersedia.

C. Pembatasan Masalah
1. Perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya
Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.
2. Fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri
dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.

D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu
karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama?
2. Bagaimana fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya
Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama?
3. Bagaimana implikasi perbandingan gaya bahasa dan lirik lagu dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu
karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.
2. Mengetahui fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya
Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.
7

3. Mengetahui implikasi perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada


puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma
Irama dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak,
baik secara teoretis maupun secara praktis, di antaranya sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
upaya meningkatkan pembelajaran penggunaan gaya bahasa yang lebih
kreatif dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai perkembangan
dunia sastra Indonesia khususnya pada tataran pembelajaran apresiasi
sastra.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada:
a. Siswa
Memperoleh pembelajaran penggunaan gaya bahasa dalam puisi dan
lirik lagu, serta dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya-
karya sastra, seperti puisi.
b. Guru
Khususnya guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai
informasi pentingnya menerapkan penggunaan gaya bahasa yang
bisa diterapkan pada bidang apa saja, seperti puisi maupun lirik lagu,
dan upaya peningkatan kreativitas siswa dalam penggunaan gaya
bahasa.
c. Penyusun
Memberikan pengalaman berpikir ilmiah melalui penyusunan dan
penelitian skripsi, sehingga dapat menambah pengetahuan,
pengalaman, dan menambah wawasan dalam bidang pendidikan
khususnya bahasa dan sastra Indonesia.
8

d. Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi penelitian
lebih lanjut yang berhubungan dengan gaya bahasa yang terdapat
pada puisi dan lirik lagu.

G. Metode Penelitian
Suatu penelitian tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Maka dari
itu, untuk mempermudah tujuan yang diinginkan, dibutuhkan suatu
pendekatan yang tepat. Pendekatan yang digunakan oleh seorang peneliti
akan menuntunnya dalam menggunakan metode yang harus digunakan.
Akan tetapi, seorang peneliti tidak bisa sembarangan dalam memilih metode
yang akan digunakan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang peneliti dalam memilih metode yang digunakan, seperti jenis data
yang akan diteliti, serta kerangka berpikir yang menyertainya, sehingga apa
yang menjadi tujuan peneliti dapat tercapai.
Sebelum membahas mengenai metode penelitian, peneliti terlebih
dahulu menjelaskan tahapan pelaksanaan penelitian. Penelitian yang
dilakukan peneliti tergolong ke dalam penelitian bahasa, sehingga tahapan
yang dilakukan oleh peneliti merujuk kepada yang dikemukakan oleh
Mahsun, di mana ia membagi tahapan penelitian menjadi tiga tahap, yaitu
prapenelitian, pelaksanaan penelitian, dan penelitian laporan penelitian.1
Tahapan prapenelitian dimaksudkan sebagai tahapan yang menuntun
peneliti untuk berusaha merumuskan secara jelas tentang masalah yang
hendak dipecahkan melalui penelitian, termasuk hipotesis dari peneliti.
Peneliti terlebih dahulu membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek
yang akan diteliti. Hal tersebut dilakukan setelah peneliti merumuskan
masalah yang akan diteliti. Langkah peneliti selanjutnya adalah mulai
memperkirakan hasil-hasil yang dapat dicapai melalui penelitian ini.
1
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2011), h. 31.
9

Dengan kata lain, peneliti mulai membuat rumusan jawaban yang sifatnya
sementara terhadap permasalahan yang akan diteliti.
Setelah tahapan prapenelitian, peneliti melanjutkan ke tahapan
pelaksanaan penelitian. Pada tahapan ini, Mahsun menjabarkannya dalam
tiga tahapan pokok, yaitu penyedian data, analisis data, dan membuat hasil
rumusan analisis yang diwujudkan dalam bentuk kaidah-kaidah.2 Ketiga
tahapan tersebut merupakan inti dari kegiatan penelitian (bahasa), di mana
ketiga tahapan tersebut masing-masing ditandai oleh kegiatan menyediakan
dan tersedianya data, analisis data, dan ditemukannya kaidah-kaidah tertentu
serta tersajinya kaidah-kaidah tersebut dalam rumusan-rumusan tertentu.3
Adapun tahapan penelitian laporan penelitian merupakan tahapan di
mana peneliti membuat laporan dari penelitian yang dilakukan, yaitu dalam
bentuk skripsi. Oleh karena itu, tahap ini ditandai oleh kegiatan membuat
dan terwujudnya sebuah laporan penelitian.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tahapan penelitian ini dimulai
dari tahap prapenelitian, yaitu pada tahap ini peneliti terlebih dahulu
membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek yang akan diteliti.
Berdasarkan hal tersebut, Mahsun mengungkapkan bahwa ada beberapa
cara pengungkapan hubungan antarvariabel, yaitu pengungkapan sebab-
akibat, pengungkapan hubungan korelasional, dan pengungkapan hubungan
pengukuran perbedaan.4 Sehubungan dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Mahsun, hipotesis yang dilakukan peneliti dalam penelitian kali ini
berkaitan dengan linguistik atau kemampuan berbahasa (pengajaran
bahasa). Peneliti memiliki pandangan bahwa penelitian ini dimungkinkan
untuk dilakukan jika ditemukan kenyataan bahwa gaya bahasa dan kosakata
mempunyai hubungan erat dan hubungan timbal balik, yaitu kian kaya
kosakata seseorang, kian beragam pula gaya bahasa yang dipakainya. Dari

2
Ibid., h. 32.
3
Ibid.
4
Ibid., h. 14.
10

kenyataan tersebut, peneliti membuat hipotesis melalui ketiga cara


pengungkapan antarvariabel yang dikemukakan oleh Mahsun. Pertama,
peneliti beranggapan bahwa pengajaran gaya bahasa pada siswa dapat
mengembangkan kosakata siswa. Kedua, peneliti berasumsi bahwa kian
kaya kosakata siswa ada korelasinya dengan pengajaran gaya bahasa.
Ketiga, peneliti berasumsi bahwa terdapat perbedaan terhadap pemahaman
gaya bahasa antara siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara
tepat dengan siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara kurang
tepat. Perlu diketahui bahwa hipotesis yang dilakukan peneliti sebagai
jawaban sementara terhadap persoalan yang diajukan dalam penelitian ini
tidak hanya disusun berdasarkan pengamatan (awal) terhadap objek
penelitian, melainkan juga didasarkaan pada hasil kajian terhadap
kepustakaan yang relevan.

1. Metode Penelitian
Secara umum, ada dua jenis metode penelitian yang digunakan oleh
para peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu penelitian kualitatif dan
penelitan kuantitatif. Selanjutnya, dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada beberapa
pendapat para ahli mengenai metode kualitatif. Moleong berpendapat bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.5 Sementara itu,
Mahsun memiliki pandangan bahwa metode yang bersifat kualitatif adalah
salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengelompokkan bahasa,
yaitu metode kesamaan ciri-ciri linguistik (shared of linguistic features).6
Lebih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa pada prinsipnya metode kualitatif
selain dapat digunakan untuk kajian pengelompokkan bahasa-bahasa

5
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 6.
6
Mahsun, op.cit., h. 219.
11

berkerabat dalam kajian linguistik historis komparatif, juga dapat digunakan


untuk pengelompokkan beberapa daerah pakai isolek ke dalam daerah
pemakai bahasa atau dialek yang sama atau berbeda, serta penentuan
kekerabatan antardialek atau subdialek dalam kajian dialektologi diakronis.7
Telah disebutkan sebelumnya bahwa metode yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif ini
berusaha mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang
menyeluruh dibalik objek yang diteliti, yang terbentuk dari keterhubungan
berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstraksi atau
turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh.8 Melalui metode ini
pula, peneliti dilibatkan dalam situasi dan fenomena yang sedang dipelajari.
Analisis kualitatif ini memfokuskan pada penunjukan makna, deskripsi,
penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan
sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada dalam bentuk
angka-angka. Dalam menganalisis data, peneliti memperkaya infomasi,
mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data
aslinya (tidak ditransformasikan dalam bentuk angka). Hasil analisis data
berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam
bentuk uraian naratif.9
Dalam mencari definisi yang lebih mendalam tentang penelitian
kualitatif, Bondan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.10 Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa pendekatan ini
diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik (utuh),
sehingga dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi

7
Ibid., h. 218.
8
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 86.
9
Ibid., h. 87.
10
Lexy J. Moleong, op.cit., h. 4.
12

ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian


dari suatu keutuhan.11
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sebuah
pendekatan penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif merupakan tempat
untuk melakukan suatu penelitian dalam berbagai bidang ilmu. Tak
terkecuali dalam penelitian bahasa. Oleh karena itu, penerapan pendekatan
metode kualitatif pada penelitian ini menurut peneliti sudah tepat. Akan
tetapi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan
penelitian ini tidak begitu saja bisa diterapkan, melainkan harus diiringi
dengan penggunaan metode-metode penelitian yang sesuai agar tujuan yang
diinginkan tercapai.

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan data langsung yang berkaitan
dengan karya yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan puisi Pahlawan dan
Tikus (yang memuat puisi Ibu) yang diterbitkan oleh Pustaka Firadus
Jakarta, Cetakan I: 1995, dengan tebal 108 halaman. Sementara itu, data
primer kedua berupa lagu Keramat terdapat di dalam album Santai (Volume
VII) tahun 1977 yang diproduksi oleh Yukawi. Sedangkan data sekunder
merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan
objek penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode simak kemudian diikuti dengan teknik lanjutan yaitu teknik
mencatat. Mahsun menjelaskan alasan metode tersebut diberi nama simak,
karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan cara
menyimak penggunaan bahasa, istilah menyimak di sini tidak hanya

11
Ibid.
13

berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan tetapi juga penggunaan bahasa


secara tertulis.12 Lenih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa metode ini
memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap.13 Hal tersebut dilakukan
karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan.
Artinya, dalam hal ini peneliti berupaya mendapatkan data dilakukan
dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang
menjadi informan. Perlu diketahui bahwa menyadap penggunaan bahasa
yang dimaksudkan menyangkut penggunaan bahasa baik secara lisan
maupun tertulis. Dalam hal ini peneliti hanya melakukan penyadapan
penggunaan bahasa secara tertulis. Hal tersebut karena peneliti dihadapkan
dengan penggunaan bahasa bukan dengan orang yang sedang berbicara,
tetapi berupa bahasa tulis, yaitu teks puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik
lagu Keramat karya Rhoma Irama.
Dalam praktik selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik
lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan
teknik rekam. Adapun peneliti memilih teknik simak bebas libat cakap.
Maksudnya, dalam hal ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat
penggunaan bahasa oleh para informannya. Peneliti tidak terlibat dalam
peristiwa pertuturan yang bahasanya sedang diteliti. Hal tersebut karena
peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa secara tertulis, yaitu puisi
Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama,
sehingga dalam penyadapan peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat
sebagai gandengan teknik bebas libat cakap, yaitu mencatat beberapa bentuk
yang relevan bagi penelitian dan penggunaan bahasa secara tertulis.
Teknik simak dan teknik catat digunakan dalam penelitian sesuai
dengan masalah dan tujuan pengkajian karya yang akan diteliti. Dalam hal
ini sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan
analisis struktur yang membangun serta perbandingan gaya bahasa yang
12
Mahsun, op.cit., h. 92.
13
Ibid.
14

terdapat dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat
karya Rhoma Irama. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara
cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu
Keramat untuk memperoleh data yang diperlukan. Pada penelitian ini
sumber datanya berupa gaya bahasa dalam Puisi Ibu karya Mustofa Bisri
dan dalam lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, maka proses menyimak
dilakukan dengan cara membaca cermat puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan
mendengarkan lagu Keramat karya Rhoma Irama. Selanjutnya, peneliti
memperjelas hasil simakan dengan membaca teks lirik lagu, setelah itu
peneliti mencatatnya. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara
cermat terhadap sumber primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat
untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut
kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan
dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang penelitian
yang akan dicapai.

4. Teknik Analisis Data


Setelah data diperoleh dengan metode simak yang diiringi dengan
teknik catat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka, data
penelitian pun diklasifikasikan menurut jenisnya untuk kemudian dianalisis.
Hal tersebut dilakukan karena dalam penelitian kualitatif, analisis isi
ditekankan pada keajekan isi komunikasi secara kualitatif, di mana peneliti
memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi
interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi.14
Pada penelitian ini jenis data yang menjadi objek penelitian berupa
struktur gaya bahasa yang tergolong sebagai data kualitatif atau bukan
dengan angka, maka metode analisis yang digunakan adalah analisis data
kualitatif dengan teknik analisis deskriptif.

14
H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 156.
15

Langkah awal dalam menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan
lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama adalah dengan membaca secara
heuristik kemudian dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Hal
ini dimaksudkan untuk memberi makna puisi dan lirik lagu secara struktural
semiotik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur
kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama.15 Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dan lirik
lagu dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Selanjutnya, untuk
memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-
katanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya
disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), atau
bila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Membaca dengan
heuristik ini bertujuan untuk mengetahui makna tersurat secara keseluruhan
dari puisi Ibu dan lirik lagu Keramat. Setelah itu, peneliti melanjutkan
membaca dengan cara hermeneutik. Pembacaan hermeneutik adalah
pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran
berdasarkan konvensi sastranya.16 Dalam pembacaan hermeneutik ini puisi
dan lirik lagu dibaca berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem
semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang dimaksud berdasarkan
pendapat yang dikemukakan Riffaterre dalam buku Metodologi Penelitian
Sastra adalah konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya
konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (puisi).17 Sehingga,
pembacaan hermeneutik ini bertujuan untuk menafsirkan teks puisi Ibu dan
lirik lagu Keramat.
Setelah menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu
Keramat karya Rhoma Irama dengan membaca secara heuristik kemudian

15
Rachmat Djoko Pradopo, Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme-Semiotik dalam
Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), h. 96.
16
Ibid.
17
Ibid., h. 97.
16

dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Analisis data dilanjutkan


dengan menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu menghubungkan
masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Teknik dasar metode
ini adalah teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Pemilihan
metode ini diperkuat dengan pendapat Mahsun yang mengatakan bahwa
metode padan selalu mengaitkan bahasa sebagai sistem holistis, yang
terdiri atas bagian-bagian yang membentuk kesatuaan. Adanya
bagian tertentu tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian tertentu
tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian lain yang membentuk
sistem holistis tersebut. Dalam pada itu, identitas bagian tertentu
ditentukan keberadaannya oleh identitas yang lain. Oleh karena itu,
teknik hubung banding sangat menentukan.18
Berdasarkan hal tersebut, analisis dilakukan untuk mengetahui struktur yang
membangun puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya
Rhoma Irama kemudian dilihat perbandingan gaya bahasa yang terdapat di
dalamnya. Setelah menganalisis struktur dan perbandingan gaya bahasa
dalam puisi Ibu dan lirik lagu Keramat, kemudian dalam kedua karya
tersebut diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
di sekolah.

18
Mahsun, op. cit., h. 121.
BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu kegiatan tanpa
menggunakan gaya. Begitu pula dalam karya sastra, gaya merupakan cara
pengarang dalam memaparkan gagasan yang ingin disampaikan sesuai
dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam proses penulisan
karya sastra, efek tersebut berkaitan dengan upaya memperkaya makna,
penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun efek tertentu
bagi pembacanya.
Hal yang pertama perlu dipahami bahwa gaya bahasa bukan semata-
mata menggayakan suatu bahasa.
Nini Ibrahim mengatakan, bahwa gaya bahasa disebut juga majas,
yaitu penggunaan kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan maksud tertentu. Gaya
bahasa berguna untuk menimbulkan keindahan dalam karya sastra
atau dalam berbicara. Setiap orang atau pengarang memiliki cara
tersendiri dalam memilih dan menggunakan gaya bahasa.19
Lamuddin memiliki istilah lain bahwa gaya bahasa disebut juga dengan
langgam bahasa dan sering juga disebut majas, yaitu cara penutur
mengungkapkan maksudnya.20 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa gaya
bahasa berkaitan dengan cara penutur dalam menyampaikan maksudnya,
sehingga petutur dapat menerima dengan mudah maksud yang disampaikan
oleh penutur. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nini

19
Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press,
2009), h. 74.
20
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan
Bahasa, (Jakarta: Diksi Insan Mulia, cet 16, 2009), h. 135.

17
18

Ibrahim mengenai gaya bahasa untuk menimbulkan efek keindahan.


Sementara itu, Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa
memberikan batasan mengenai pengertian gaya bahasa, yaitu cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).21 Berdasarkan pengertian
dari beberapa ahli, dapat disimpulkan mengenai pengertian gaya bahasa,
yaitu cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan yang ingin
disampaikan untuk mengungkap pikiran dan perasaan dengan maksud
tertentu melalui bahasa secara khas.
Pada dasarnya dalam karya sastra, baik gaya maupun gaya bahasa
memegang peranan penting. Gaya bahasa berkaitan dengan masalah
penulisan, penyajian, komposisi, struktur penceritaan, termasuk penampilan
huruf, cover, dan ukuran buku.22 Sehingga, pada saat menganalisis sebuah
karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul, seperti panjang
pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-
kata serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya.
Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik
secara keseluruhan, seperti plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang.23
Mulai dari pemahaman gaya yang paling sederhana, seperti padanan kata
dengan lawan kata hingga puisi konkret yang di dalamnya kata-kata harus
diciptakan kembali sebab kata-kata yang sudah ada dianggap tidak mampu
untuk mewakili makna gaya bahasa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang paling berperan di dalam karya sastra
adalah gaya bahasanya. Melalui gaya bahasa, cara-cara penggunaan medium
bahasa secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal

21
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),
h. 113.
22
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.163.
23
Ibid., h. 165.
19

2. Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Struktur Karya Sastra


Di dalam karya sastra terdapat tiga genre utama, yaitu puisi, prosa,
dan drama. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gaya bahasa paling
dominan terdapat di dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi
struktur puisi. Artinya, puisi seolah-olah merupakan struktur dari gaya
bahasa. Hal tersebut dapat dibuktikan dari susunan puisi itu sendiri, yaitu
melalui medium terbatas dengan bahasa yang singkat dan padat mampu
menyampaikan perasaan yang ingin diungkapkan oleh penyair. Melalui
gaya bahasa pula, baik intensitas pemakaian maupun fungsi dan
kedudukannya dalam struktur totalitas karya, membedakan genre sastra
yang satu dengan genre sastra yang lain. Sejalan dengan hal tersebut, Ratna
memiliki pandangan bahwa dominasi gaya bahasa terkandung dalam puisi
dengan pertimbangan keterbatasan medium penampilannya, sehingga unsur
yang ditonjolkan adalah bahasa itu sendiri yang sekaligus merupakan alat
dan tujuan.24
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa medium utama karya sastra
adalah bahasa. Akan tetapi, sistem sastra tidak seketat sistem bahasa yang
terikat dengan tata bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis. Begitu
juga dengan sistem ejaan, yaitu penggunaan huruf, penulisan huruf,
penulisan kata, penulisan unsur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan
sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat penggunaannya, misalnya ada bahasa
baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relatif sama pada setiap
orang, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara
pengirim dengan penerima. Sebaliknya, di dalam karya sastra, penafsiran
berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas estetis. Oleh karena itu, penulis
dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna
sesungguhnya, bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum
pernah ada.

24
Ibid., h. 62.
20

Tujuan utama gaya bahasa adalah menghasilkan keindahan.25 Tujuan


ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam ruang
lingkup linguistik, maupun dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Akan
tetapi, Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa kualitas estetis
menjadi pokok permasalahan dalam tataran ruang lingkup kreativitas sastra,
yaitu melalui metode dan teknik diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa
yang disebut indah.26 Lebih lanjut, Wellek dan Warren menjelaskan bahwa
ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memahami timbulnya aspek-
aspek, yaitu pertama melalui analisis sistematis sistem linguistik karya
sastra, dilanjutkan dengan makna total, kedua, dengan cara meneliti ciri-ciri
estetis karya sastra secara langsung sekaligus membedakannya dengan
pemakaian bahasa biasa.27
Jika menggunakan salah satu cara yang dijelaskan Wellek dan
Warren, yaitu melalui analisis sistemis sistem linguistik karya sastra dan
dilanjutkan dengan makna total. Maka, hasil yang didapat adalah sistem
linguistik yang khas karya tertentu, karya sastra seorang pengarang, atau
sekelompok karya dalam satu periode. Dari situlah akan terlihat bahwa gaya
lahir secara bersistem. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Meskipun
karya sastra adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari
kekosongan, melainkan memiliki akar tempatnya berpijak, dan asal usulnya
dapat dicari.28 Perubahan gaya bahasa memicu perkembangan genre yang
selanjutnya menjadi indikator terhadap penyerapan sistem sosial ke dalam
karya seni. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dan genre membantu
efektivitas pemahaman terhadap masyarakat yang terungkap di dalam karya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan kekhasan dari seorang pengarang atau
karya dalam suatu periode.

25
Ibid., h. 67.
26
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 226.
27
Ibid.
28
Kutha Ratna, op. cit., h. 69.
21

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa


Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan.
Oleh karena itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian
yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Tarigan
menyebutkan, bahwa ada sekitar 60 gaya bahasa dan digolongkan menjadi
empat kelompok, yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa
pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.29
Berbeda dengan yang dikemukakan Widyamartaya, yaitu dengan
mengistilahkan pembagian jenis gaya bahasa dengan gaya umum.
Maksudnya, gaya umum itu dapat ditambah, diperbesar dengan salah satu
cara. Lebih lanjut ia membagi menjadi lima kelompok cara agar gaya umum
dapat diperbesar daya tenaganya, yaitu mengadakan perbandingan,
pertentangan, pertukaran, perulangan, dan mengadakan perurutan yang
bertujuan.30
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sulit diperoleh kata sepakat
mengenai suatu pembagian gaya bahasa yang bersifat menyeluruh dan dapat
diterima oleh semua pihak. Sudah disebutkan pula, pembagian jenis-jenis
gaya bahasa dari berbagai ahli. Akan tetapi, dalam hal ini penulis lebih
merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Gorys Keraf mengenai
pembagian jenis-jenis gaya bahasa. Di dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa,
Gorys keraf membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian jenis-
jenis tersebut dibagi lagi menjadi subjenis lain. Pertama, dilihat dari segi
nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri.31
Alasan penulis merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh
Gorys Keraf, karena pembahasan gaya bahasa terutama dalam pembagian
jenis-jenis gaya bahasa, Gorys Keraf terlihat lebih luas dan mendalam.

29
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6.
30
A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat: Bagaimana Mengembangkan,
Mengefektifkan dan mencitarasakan kalimat, (Yogyakarta: Kasinius, 1990), h. 53.
31
Gorys Keraf, op. cit., h. 115.
22

Melalui buku Diksi dan Gaya Bahasa, dapat dilihat alasan Gorys Keraf
menulis pembahasan tentang diksi dan gaya bahasa. Gorys berpandangan
bahwa untuk dapat menulis sebuah karangan, baik fiksi maupun ilmiah
tentulah dibutuhkan persyaratan tertentu. Persyaratan yang dimaksud Gorys
antara lain seorang pengarang harus mampu memilih kata-kata yang tepat,
harus luas kosa katanya, harus mampu menggunakan kamus yang ada. Di
samping itu, ia juga berpandangan bahwa seorang penulis harus pula
mampu mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang cocok dan tepat.
Persyaratan tersebut yang menjadi titik berat pembahasan buku Diksi dan
Gaya Bahasa ini. Gorys menguraikan secara sistematis dengan bahasa yang
mudah dipahami, dan disertai dengan contoh-contoh konkret.32
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Gorys Keraf membagi jenis-
jenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian dari kedua jenis gaya bahasa
tersebut diuraikan kembali menjadi subjenis yang lain. Berikut ini akan
dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang dimaksud oleh Gorys Keraf.
a. Segi Nonbahasa
Dari segi nonbahasa, gaya bahasa dapat dibagi atas tujuh pokok,
yaitu sebagai berikut.
1) Berdasarkan pengarang, artinya gaya yang disebut sesuai dengan nama
pengarang dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang
atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat
mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya,

32
Buku Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf ini juga merupakan satu rangkaian
dengan buku-bukunya yang lain, seperti Komposisi, Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, dan
Narasi. Lebih lanjut, buku Diksi dan Gaya Bahasa ini merupakan lanjutan dari buku
Komposisi. Buku Komposisi dimaksudkan terutama untuk meletakkan dasar-dasar karang-
mengarang bagi mahasiswa atau siapa saja yang ingin menggarap karangan secara baik dan
teratur. Sementara itu, buku Diksi dan Gaya Bahasa mencoba memperkenalkan komposisi
dilihat dari segi retorika. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat konsentrasi Gorys Keraf
dalam membahas permasalahan karang-mengarang.
23

sehingga dapat membentuk sebuah aliran, misalnya gaya Chairil atau


gaya Sutardji.33
2) Berdasarkan Masa, artinya gaya bahasa yang didasarkan pada masa
dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun
waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra
modern, dan sebagainya.34
3) Berdasarkan Medium, maksudnya adalah medium merupakan bahasa
dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi
sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri.35
4) Berdasarkan Subyek, artinya subyek yang menjadi pokok pembicaraan
dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah
karangan.36
5) Berdasarkan Tempat, artinya bahwa gaya mendapat nama dari lokasi
geografisnya, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan
ekspresi bahasanya.37
6) Berdasarkan Hadirin, artinya hampir sama dengan subyek, bahwa
hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan
seorang pengarang.38
7) Berdasarkan Tujuan, artinya gaya ini memperoleh nama dari maksud
yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin
mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, gaya sarkatik,
gaya diplomatis, gaya agung, ada pula gaya humor.39

33
Gorys Keraf, loc. cit.
34
Ibid., h. 116.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid.
24

b. Segi Bahasa
Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan,
maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa
yang dipergunakan, sebagai berikut.
1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata40
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana
yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta
tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa
dalam masyarakat. Dapat dikatakan, gaya bahasa mempersoalkan ketepatan
dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.
Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapat dibedakan menjadi tiga
jenis gaya bahasa. Pertama, gaya bahasa resmi, yaitu gaya dalam bentuknya
yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan
resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.41 Kedua, gaya bahasa tak
resmi, biasanya gaya bahasa ini dipergunakan dalam karya-karya tulis,
buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik,
dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sebagainya. Singkatnya, gaya
bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum
pelajar.42 Ketiga, gaya bahasa percakapan, yaitu gaya bahasa dalam
percakapan, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata
percakapan. Namun, di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan
sintaksis yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan.
Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segi-
segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan.43

40
Ibid., h. 117.
41
Ibid.
42
Ibid., h. 118.
43
Ibid., h. 120.
25

2) Gaya Bahasa Berdasarkan Nada


Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang
dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana.
Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara
pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan.44
Nada pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh
rangkaian kata-kata. Sementara itu, rangkaian kata-kata tunduk pada kaidah-
kaidah sintaksis yang berlaku, maka nada, pilihan kata, dan struktur kalimat
sebenarnya berjalan sejajar, dimana yang satu akan mempengaruhi yang
lain.
Berdasarkan nada, gaya bahasa terbagi tiga, yaitu gaya sederhana,
gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. Akan tetapi, dalam hal ini
hanya dijelaskan mengenai gaya mulia dan bertenaga. Hal ini karena di
dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang
Haji, berdasarkan nadanya penulis menemukan adanya persamaan, yaitu
sama-sama menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Sesuai dengan
namanya, gaya mulia dan bertenaga ini penuh dengan vitalitas dan energi,
dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan
sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara,
tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemulian. Nada
yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap
pendengar.45
3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan
gaya bahasa. Ada kalimat yang periodik, bila bagian yang terpenting atau
gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada
kalimat yang kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan
ditempatkan pada awal kalimat. Jenis ketiga adalah kalimat berimbang,
44
Ibid., h. 121.
45
Ibid., h. 122.
26

yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang
kedudukannya sama tinggi atau sederajat.46 Berdasarkan ketiga macam
struktur kalimat yang telah disebutkan, maka dapat diperoleh gaya-gaya
bahasa, seperti klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.
Di dalam gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya penulis
hanya menjelaskan gaya bahasa repetisi. Hal ini karena di dalam analisis
puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji,
berdasarkan struktur kalimatnya, penulis menemukan adanya persamaan,
yaitu sama-sama menggunakan gaya bahasa repetisi. Pengertian gaya
bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai. 47

4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna


Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya
makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu
masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos.
Akan tetapi, bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif
atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu
dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksud di sini.48
Gaya bahasa dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok. Pertama,
gaya bahasa retoris, yaitu semata-mata merupakan penyimpangan dari
konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris meliputi,
aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton,
polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron,
pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau

46
Ibid., h. 124.
47
Ibid., h. 127.
48
Ibid., h. 129.
27

pernyataan retoris, silepsis dan zeugma, koreksi atau epanortosis, hiperbol,


paradoks, dan oksimoron. Kedua, gaya bahasa kiasan yang merupakan
penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa
kiasan meliputi, persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel,
personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo,
antifrasis, dan pun atau paronomasia.
Pembahasan mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna, baik yang meliputi gaya bahasa retoris maupun yang meliputi gaya
bahasa kiasan, penulis hanya menjelaskan jenis gaya bahasa simile atau
persamaan dan gaya bahasa ironi. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu
karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, penulis
menemukan adanya perbedaan, yaitu Gus Mus lebih cenderung banyak
menggunakan gaya bahasa simile, sementara Bang Haji cenderung banyak
menggunakan gaya bahasa ironi.
Gaya bahasa persamaan atau Simile adalah gaya bahasa
perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu
sama dengan yang lain. Oleh karena itu, ia memerlukan upaya yang secara
eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai,
bagaikan, laksana, dan sebagainya.49 Sedangkan gaya bahasa ironi atau
sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna
atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-
katanya.50 Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia
menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah
dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu
mengingkari maksud yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ironi akan berhasil
jika pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik
rangkaian kata-katanya.
49
Ibid. h. 138.
50
Ibid., h. 143.
28

B. Puisi
1. Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah satu genre sastra. Banyak ahli yang masih
memperdebatkan apa itu puisi. Begitu banyak definisi yang menjelaskan
tentang puisi, namun masih ada sebagian orang yang merasa tidak puas
dengan definisi yang telah diberikan.
Secara mendasar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi
diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra,
rima, serta penyusunan larik dan baik; gubahan dalam bahasa yang
bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam
kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus
lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.51 Kosasih berpandangan,
puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan
kaya akan makna, di mana keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi,
majas, rima dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu.52 Lebih
lanjut, Kosasih menambahkan bahwa kekayaan makna yang terkandung
dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa, di mana
bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang digunakan sehari-
hari, yaitu menggunakan bahasa yang diringkas, namun maknanya sangat
kaya.53 Sementara itu, Waluyo mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk
karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa
dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.54 Definisi-
definisi yang sudah disebutkan tidaklah salah. Akan tetapi, Wahyudi
Siswanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra mengingatkan, hakikat

51
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112.
52
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.
97.
53
Ibid.
54
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 25.
29

puisi harus ditinjau dari segi pengarang dan pembaca. Artinya, puisi
merupakan karya yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai puisi dan
diterima dengan sama oleh pembaca.55 Sedangkan Goenawan Muhamad
(GM), penyair besar Indonesia, memiliki pandangan tersendiri mengenai
hakikat puisi. Goenawan berpendapat bahwa puisi bukanlah rangkaian kata-
kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah
persentuhan antara kita dan dunia luar, antara kita dan kegaiban yang besar,
antara kita dan kita—sebuah kotak yang, dalam kata-kata seorang penyair,
―sederhana, seperti nyanyi‖.56 Sejalan dengan yang dikemukakan Goenawan
Muhamad, dalam buku The Norton Reader An Anthology of Expository
prose dikatakan bahwa the work of the poet comes to meet the spiritual need
of the society in which he live, and for this reason his work means more to
him than his personal fate, whether he is a aware of this or not,57 artinya,
bahwa karya penyair datang untuk memenuhi kebutuhan spiritual dari
masyarakat di mana ia hidup, dan untuk alasan ini karyanya berarti lebih
baginya daripada nasib pribadinya, apakah ia menyadari hal ini atau tidak.
Berdasarkan definisi yang sudah disebutkan dari beberapa ahli, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah ragam sastra berupa
luapan jiwa yang tersusun secara baik dengan bahasa yang terikat oleh
irama, matra, rima, penyusunan larik dan bait yang memberikan keindahan
serta di dalamnya mengungkapkan perasaan penyair dengan tetap
berkonsentrasi pada struktur fisik dan struktur batinnya.

2. Struktur Puisi
Keberadaan suatu karya sastra merupakan hasil cipta dari beberapa
struktur. Struktur tersebut menjadi pembangun yang penting sebagai

55
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 108.
56
Abdul Rozak Zaidan, Goenawan Muhamad, Berpuisi dengan Ironi, (Jakarta:
Bukupop, 2009), h. 26.
57
Arthur M. Eastman (ed), The Norton Reader An Anthology of Expository
prose, (London: W. W. Norton & Company, 1984), h. 596.
30

pondasi kuat penyangga karya sastra. Begitu pula dalam puisi, tentunya
terdiri dari beberapa struktur yang membangunnya. Waluyo membagi
struktur puisi ke dalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur batin.
Sejalan dengan pernyataan Waluyo, Aswinarko dan Ahmad Bahtiar
mengatakan, bahwa struktur fisik secara tradisional disebut elemen bahasa,
sedangkan struktur batin secara tradisional disebut makna puisi.58 Bentuk
fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan
larik puisi, termasuk ke dalamnya perwajahan puisi (tipografi), diksi,
pengimajian, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, dan versifikasi.
Sementara yang mencakup struktur batin adalah tema, perasaan, nada dan
suasana, serta amanat.
Berikut ini penjelasan mengenai struktur fisik dan batin puisi yang
dikemukakan Waluyo, dan nantinya dijadikan rujukan penulis dalam
menganalisis karya yang akan diteliti.
a) Perwajahan (tipografi)
Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam
puisi. Siswanto juga menjelaskan bahwa pada puisi konvensional, kata-
kata yang digunakan diatur dalam deret yang disebut larik atau baris, di
mana larik atau baris dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri tanda titik.59 Lebih lanjut, Waluyo menjelaskan
bahwa tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan
prosa maupun drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet
yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula
dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan
dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan. Ciri-ciri
demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.60 Berdasarkan hal

58
Aswinarko dan Ahmad Bahtiar, Kajian Puisi Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra
Press, 2013), h. 49.
59
Siswanto, op. cit., h. 113.
60
Waluyo, op. cit., h. 97.
31

tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan tipografi dalam puisi sangat


berpengaruh terhadap pemaknaan puisi.
b) Versifikasi
Versifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritma, dan metrum. Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas
atau orkestrasi. Melalui pengulangan bunyi, puisi menjadi merdu jika
dibaca. Penyair juga mempertimbangkan lambang-lambang bunyi agar
pemilihan bunyi-bunyi tersebut mendukung perasaan dan suasana
puisi.61 Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan
dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Slamet Muljana
dalam Waluyo menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi:
tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan
teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.62 Ritma
puisi berbeda dari metrum (matra), di mana metrum berupa pengulangan
tekanan kata yang tetap, dan sifatnya statis.
c) Diksi
Siswanto menyatakan bahwa diksi adalah pemilihan kata-kata yang
dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, kata-katanya harus dipilih secermat
mungkin. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan Siswanto,
Waluyo juga menyatakan bahwa penyair tidak hanya cermat dalam
memilih kata-kata, sebab kata-kata yang tulis harus dipertimbangkan
maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu
di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi itu.63 Oleh karena itu, di samping memilih kata yang tepat, penyair

61
Waluyo, op. cit., h. 90.
62
Ibid., h. 94.
63
Ibid., h. 72.
32

juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis


dari kata-kata tersebut.
Kata-kata dalam puisi bersifat konotatif dan ada pula kata-kata yang
berlambang. Kata berkonotasi adalah kata yang bermakna tidak
sebenarnya. Kata-kata tersebut berfungsi sebagai kiasan atau
perbandingan. Sementara itu, kata berlambang adalah suatu gambar,
tanda, atau kata yang menyatakan maksud tertentu. Penggunaan kata
berlambang berfungsi untuk menambah keestetikaan puisi.
Pemilahan kata juga berhubungan erat dengan latar belakang penyair.
Semakin luas wawasan penyair, semakin kaya dan berbobot kata-kata
yang digunakannya. Kata dalam puisi tidak hanya sekedar kata-kata
yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan penyair.
Di dalam puisi sering sekali terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Geoffry dalam Siswanto menyebutkan ada sembilan jenis penyimpangan
yang sering dijumpai dalam puisi, yaitu (1) penyimpangan leksikal, (2)
penyimpangan semantis, (3) penyimpangan fonologis, (4)
penyimpangan morfologis, (5) penyimpangan sintaksis, (6) penggunaan
dialek, (7) penggunaan register, (8) penyimpangan historis, dan (9)
penyimpangan grafologis.64
d) Kata Konkret dan Kata Abstrak
Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra.65
Suatu kata harus diperkonkret untuk membangkitkan imaji (daya
bayang) pembaca. maksudnya adalah, bahwa kata-kata itu dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Sama halnya dengan
pengimajian, kata yang diperkonkret erat hubungannya dengan
penggunaan kiasan atau lambang. Jika penyair mahir memperkonkret
kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa
apa yang dilukiskan oleh penyair, sehingga pembaca terlibat penuh
64
Siswanto, op. cit., h. 116.
65
Ibid., h. 119.
33

secara batin ke dalam puisinya. Sementara itu, kata abstrak adalah


berupa gambar, tanda, atau kata yang menyatakan maksud tertentu,
sehingga kata abstrak lebih berfungsi untuk menambah keestetikaan
puisi.
e) Imaji atau Pencitraan
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Waluyo menyatakan, bahwa pengimajian dapat dibatasi dengan
pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.66
f) Bahasa figuratif (majas)
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura
sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan
makna. Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak
langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias
atau makna lambang. Pembahasan mengenai bahasa figuratif sudah
dijelaskan secara lebih mendalam di bagian awal bab ini. Hal tersebut
dikarenakan penelitian utama ini menganalisis tentang gaya bahasa,
sehingga analisis bahasa figuratif (majas) tidak ada di bagian struktur
fisik dari karya yang dianalisis, melainkan di bagian analisis utama.

Setelah dijabarkan mengenai struktur fisik puisi, berikut ini penulis


akan menjabarkan mengenai struktur batin yang membangun puisi, di mana
menurut Waluyo struktur batin puisi adalah hakikat puisi itu sendiri.

66
Waluyo, op. cit., h.78.
34

a) Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan
oleh penyair.67 Sementara itu, dalam buku The Norton Introduction to
Literature dikatakan, bahwa some refer to the central idea, the thesis, or
even the message of the story, and that is roughly what we mean by
theme,68 artinya, bahwa beberapa tema mengacu pada ide sentral, tesis,
atau bahkan pesan dari cerita. Dapat dikatakan, bahwa pokok pikiran
atau pokok persoalan begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair,
sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Melalui latar
belakang yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran
tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema yang bersifat lugas,
obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan
penyairnya, serta dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh
karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua
penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).
b) Rasa
Rasa dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan
yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan
dengan latar belakang sosial dan psikologis penyair, seperti latar
belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan
dalam masyaraakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta
pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketetapan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair
memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi itu saja, tetapi
lebih bergantung kepada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan

67
Ibid., h. 106.
68
Peter Simon (ed), The Norton Introduction to Literature, (London: W. W. Norton &
Company, 2002), h. 214.
35

kepribadiaan yang berbentuk oleh latar belakang sosiologis dan


psikologisnya.69
c) Nada
Nada dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Ada penyair ketika menyampaikan
tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca
untuk memecah masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, ada juga dengan nada sombong atau menganggap rendah dan
bodoh pembaca.70
d) Amanat (pesan)
Amanat yang hendak sampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah
memahami tema, rasa, dan nada dari puisi itu sendiri. Tujuan atau
amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga
berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak
disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran
penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang
diberikan.71

3. Jenis-jenis puisi
Melengkapi pengertian tentang puisi, perlu kiranya dibahas juga
mengenai jenis-jenis puisi. Dalam hal ini penulis merujuk kepada pendapat
yang dikemukakan Waluyo mengenai pembagian puisi.
a) Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada
puisi naratif sederhana, sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif
misalnya, epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Sementara dalam
puisi lirik, penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia
69
Siswanto., op.cit, h. 125.
70
Ibid.
71
Waluyo., op.cit, h. 130.
36

tidak bercerita. Contoh puisi ini adalah elegi, ode, dan serenada. Sedangkan
dalam puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap
keadaan atau peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik
perhatiaan penyair, misalnya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi
impresionistik.
b) Puisi Kamar dan Puisi Auditorium
Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dapat dijumpai dalam
kumpulan puisi Hukla karya Leon Agusta. Puisi-puisi auditorium disebut
juga Puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara atau serangkaian suara).
Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu
sampai dua orang pendengar saja di dalam kamar. Sementara itu, puisi
auditorium adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium atau di
mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang.
c) Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisik
Puisi fisikal bersifat realistis, menggambarkan kenyataan apa
adanya. Artinya, bahwa yang dilukiskan adalah kenyataan, bukan gagasan.
Sementara itu, puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal
yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Sedangkan puisi metafisikal adalah
puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan
dan merenungkan tuhan.
d) Puisi Subyektif dan Puisi Obyektif
Puisi subyektif disebut juga puisi personal, yakni puisi yang
mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair
sendiri. Sedangkan puisi obyektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal
di luar diri penyair itu sendiri.
e) Puisi Konkret
Puisi konkret adalah puisi yang bersifat visual, dan dapat dihayati
keindahan bentuk dari sudut penglihatan (poems for the eye).
37

f) Puisi Diafran, Gelap, dan Prismatis


Puisi diafran atau puisi polos adalah puisi yang kurang dalam
menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga
puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat
mudah dihayati maknanya. Sedangkan, jika puisi terlalu banyak majas,
maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu, dalam
puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan
majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa, sehingga
pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak
terlalu gelap.
g) Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif
Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau
pengetahuan, dan bukan didasari oleh inspirasi karena adanya mood dalam
jiwa penyair. Sedangkan puisi inspiratif diciptakan berdasaran mood atau
passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak
dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu.
h) Stansa
Stansa artinya puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan
okaf, karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan
dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa seluruh
puisi itu hanya terdiri atas 8 baris.
i) Puisi Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi adalah puisi yag melukiskan perasaan kelompok,
bukan perasaan individu. Puisi demonstrasi adalah endapan dari pengalaman
fisik, mental, dan emosional para penyair. Gaya paradoks dan ironi banyak
dijumpai dalam puisi ini. Sedangkan puisi pamflet juga mengungkapkan
protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa
pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
38

j) Alegori
Puisi alegori adalah puisi yang sering mengungkapkaan cerita yang
isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan
agama.

C. Musik dan Lirik Lagu


1. Pengertian Musik
Musik adalah aktivitas budaya yang sangat akrab dengan kehidupan
manusia.72 Berbicara mengenai musik, maka berbicara tentang seni, sebab
musik merupakan bagian dari seni. Indonesia kaya akan beraneka ragam
kesenian, hal tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa sejak zaman
dahulu masyarakat Indonesia telah mengerti akan kesenian. Bahkan mereka
memfungsikan suatu kesenian khususnya seni musik untuk kepentingan
dalam kehidupan sehari-hari, baik itu sebagai ritual keagamaan, pendidikan,
atau hanya sebagai hiburan semata.
Rhoma Irama lewat lagunya yang berjudul Seni mengatakan, bahwa
―seni adalah bahasa, pemersatu alat bangsa, seni indah, mulia, suci, murni,
tiada dosa‖. Selanjutnya, Dieter Mack dalam Teguh menyatakan, bahwa
hakikat kesenian adalah ekspresi manusia.73 Sementara itu, Nanang dan
Sugeng memiliki pandangan:
Seni sebagai salah satu unsur dari budaya merupakan salah satu
sistem nilai yang dijadikan oleh manusia untuk berproses dalam
memanusiakan manusia. Manusia melalui tahapan atau fase
perkembangannya mengalami proses penerimaan informasi dari
lingkungannya baik itu disengaja maupun tidak informasi dimaksud
akan terekam dalam memori (laci-laci), selanjutnya dari pengalaman
tersebut akan membentuk suatu konsep atau sewaktu-waktu secara
sadar dan terencana dapat dikoordinasikan dan diungkapkan melalui
simbol-simbol.74

72
Djohan, Respons Emosi Musikal, (Bandung: CV. Lubuk Agung, 2010), h. 1.
73
Teguh Esha., dkk, Ismail Marzuki: musik, tanah air, dan cinta, (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2005), h. XX.
74
Nanang Supriatna dan Sugeng Syukur, Pendidikan Seni Musik, (Bandung, UPI Press,
2006), h. 1.
39

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa seni tidak terlepas dari
manusia. Hal tersebut karena tanpa adanya unsur manusia, maka seni tidak
akan tercipta. Begitupun ketika seni diciptakan, maka yang menikmati seni
tersebut adalah manusia. Dari sinilah manusia memiliki nilai atau selera
masing-masing dalam memandang suatu kesenian.
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang
sangat banyak dengan berbagai macam suku dan budaya. Nanang dan
Sugeng berpendapat, bahwa banyaknya jenis musik yang ada ditentukan
oleh jumlah suku bangsa Indonesia yang cukup banyak.75 Dapat dikatakan,
bahwa berbagai macam suku dan budaya yang ada di Indonesia turut
mempengaruhi pertumbuhan musik di Indonesia. Mulai dari musik yang
sederhana, musik tradisional, hingga musik yang tergolong modern. Salah
satu yang tergolong musik modern di sini adalah musik dangdut yang
merupakan salah satu jenis musik asli Indonesia.
Pada awal paragraf sempat disinggung bahwa musik merupakan
bagian dari seni. Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan karya seni
lain musik memiliki sifat menghibur, meskipun tidak semua musik dapat
dikatakan memiliki sifat menghibur, seperti musik-musik yang digunakan
dalam upacara adat atau keagamaan. Selalu terkandung nilai lebih yang ada
di dalam pemaknaan secara tersirat yang terkandung pada musik. Dapat
dipahami bahwa musik bukan hanya sekedar nada dan irama yang enak
untuk didengar, tetapi dapat dilihat latar belakang sejarah terciptanya musik,
karena dengan melihat latar belakang sejarah terciptanya musik, akan lebih
dipahami seluruh substansi yang terkandung di dalam latar musik tersebut.
Akan tetapi, meskipun ada hal yang lebih kompleks dari pemahaman
seseorang terhadap musik, tetap saja kesan yang paling pertama muncul
ketika seseorang mendengarkan musik adalah sebagai media untuk hiburan.
Padahal, musik bukan hanya masalah auditif yang didengarkan melalui

75
Ibid., h. 13.
40

kedua belah telinga, tetapi menyangkut banyak aspek yang jauh lebih
mendasar dan mendalam.76
Rhoma Irama dalam lagunya yang berjudul Musik mengatakan
―dengan adanya musik dunia ramai jadi berisik, tapi kalau tak ada musik,
dunia sepi kurang asik‖. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami
bahwa musik merupakan bunyi yang dapat diterima oleh individu, meskipun
musik membuat kehidupan menjadi hingar-bingar, tetapi akan sangat terasa
sepi jika dunia tanpa alunan-alunan musik. Jika dicermati lagi, belum
pernah ada kasus orang jatuh sakit, terluka (harfiah) atau meninggal karena
mendengarkan musik. Kecuali jika ada kasus bunuh diri karena
mendengarkan sebuah lagu, secara psikologis tentu saja banyak alasan yang
melatarbelakangi, bukan semata-mata karena musik. Musik bisa dianggap
berbahaya ketika ada nilai atau ide dipenetrasikan ke dalam struktur lagu.
Individu atau kelompok sosial memasukkan nilai atau ide lewat musikalisasi
kata-kata (puisi).77 Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa musik
tidak pernah mengancam eksistensi manusia. Justru yang dianggap
mengancam adalah kata-kata yang terdapat dalam syair atau lirik sebuah
lagu. Artinya, syair atau lirik memainkan peran sentral dalam komposisi
lagu. Selain itu, gaya (style) dapat memunculkan strukturalisasi dalam
musik.
Pernyataan cukup menarik dilontarkan Alexander Pope yang
mengatakan:
Musik menyerupai sastra; dalam setiap perilakunya banyak bergaya
Scotlandia. Artinya, musik tidak hanya diracik secara alamiah oleh
semesta raya, tetapi juga dikonstruksi manusia dengan meniru suara-
suara alam. Tiruan itu menimbulkan karakter akibat tipologi
geografis dan kultur masyarakat. karakter berbeda-beda ini
kemudian mampu menghadirkan nuansa nan khas ketika musik

76
Djohan, op. cit., h. 7.
77
Utan Parlindungan S., Musik dan Politik: Genjer – Genjer, Kuasa dan Kontestasi
Makna, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2007), h. 153.
41

diciptakan. Nuansa itulah yang kemudian memberi warna (colour),


gaya (style), atau aliran (genre). Kemudian suara-suara itu
diejawantahkan menjadi nada-nada yang harmonis dan
dikombinasikan dengan kata-kata (syair) yang mengandung makna.
Kata-kata inilah yang dimaksudkan musik menyerupai sastra.78

2. Pengertian Lirik Lagu


Berbicara tentang musik, maka di dalamnya akan terdapat istilah
lagu yang merupakan bagian dari musik. Meskipun tidak semua musik di
dalamnya terdapat lirik lagu, seperti musik intrumen. Akan tetapi, tidak
sedikit juga musik yang di dalamnya terdapat lirik lagu. Di dalam lagu
terdapat lirik yang merupakan salah satu bagian di dalam sebuah lagu yang
fungsinya untuk mengungkapkan perasaan si pencipta. Meskipun hanya
dengan suara musik sudah bisa mengungkapkan perasaan si pencipta, peran
lirik pada sebuah lagu tetap sangat penting.
Lirik dapat juga diartikan sebagai puisi yang dinyanyikan, karena itu
ia disusun dalam susunan yang sederhana dan mengungkapkan sesuatu yang
sederhana pula. Ragam bahasa lagu atau lirik lagu termasuk dalam kategori
ragam bahasa tidak resmi atau disebut juga ragam non formal atau tidak
baku. Ragam bahasa ini merupakan ragam santai dan akrab. Di dalam
penulisan lagu, seorang pencipta lagu tidak terlalu mempersoalkan tentang
kebakuan bahasa yang dipakainya. Pemakaian bahasa yang ditulis bersifat
longgar seperti bahasa yang digunakan dalam situasi santai namun tentu
tidak terlepas dari proses kreatif, seleksi kata dan bahasa.
Utan Parlindungan menyatakan, bahwa makna yang dominan dalam
sebuah lirik lagu akan sangat bergantung pada siapa yang menggunakannya
dan dengan cara seperti apa ia digunakan. Lebih lanjut ia menegaskan
bahwa kunci pokok dalam proses tersebut adalah infusi bahasa ke dalam
musik lewat apa yang dikenal sebagai lirik.79 Berdasarkan hal tersebut,
seorang pencipta ketika membuat lirik lagu harus bisa menimbulkan efek

78
Ibid., h. 35.
79
Ibid., h. xvii.
42

keindahan serta harmonisasi yang tepat dengan aransemen musik, sehingga


lirik tersebut mampu memberikan kenikmatan tersendiri, terutama bagi
pendengarnya. Kenikmatan suatu lirik akan terlihat ketika pendengarnya
ikut terbawa suasana yang diciptakan oleh pencipta lagu. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dilihat hegemoni yang nyata dari sebuah musik, bahwa tanpa
disadari atau tidak musik berpengaruh dan dapat membuat seseorang
tenang, agresif, gembira, mengingat suatu hal atau kejadian, serta dapat pula
membuat sedih bahkan menangis.80
Pengaruh musik sangat bergantung sekali pada fungsi (ragam)
bahasa dan panca indera (khususnya fungsi telinga dan fungsi otak kanan
manusia). Selain itu, lingkungan tempat dan asal bunyi didengarkan dan
diekspresikan dapat membentuk karakter suara musik tertentu. Kecocokan
lagu dengan suasana hati dapat meningkatkan emosi, dan pada gilirannya
akan memberikan pengaruh-pengaruh tertentu.81 Menimbulkan efek
keindahan lirik lagu tidaklah mudah. Sebab, keindahan bukan hanya terlihat
dari efek yang ditimbulkan lagu kepada pendengarnya saja. Akan tetapi,
suatu keindahan juga dituntut dari bahasa pada lirik lagu sendiri. Hal
tersebut membuat seorang pencipta lagu harus cermat dalam memilih kata
yang tepat, memiliki keselarasan nada maupun irama, serta memperhatikan
nilai rasa. Dari sinilah akan terlihat ciri-ciri khusus pada lirik lagu yang
membedakan antara pencipta yang satu dengan pencipta yang lain.
Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu mementingkan
faktor linguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, di antaranya pilhan kata
dan gaya bahasa. Faktor diksi (pilihan kata) dalam lirik lagu merupakan
faktor penting, karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik
merupakan daya tarik dari suatu lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa,
merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan
dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk
80
Ibid., h. 155.
81
Ibid., h. 21.
43

merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu


pada pesan yang ingin disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan
kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Pemilihan kata yang tepat,
suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar.

D. Hakikat Pembelajaran Sastra


1. Kurikulum dan Pembelajaran
Sebelum dibahas mengenai hakikat pembelajaran sastra, perlu
kiranya dipahami terlebih dahulu mengenai kurikulum dan pembelajaran, di
mana keduanya tercakup di dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan
menjadi satu-satunya jendela yang mampu mendidik bangsa menuju
kemajuan, baik dalam hal intelektualitas, moralitas, maupun ilmiah.82
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan
berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Sementara itu, pembelajaran
merupakan bagian dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik dan tepat
akan mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang
tertuang dalam Bab II, pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.83

82
Mukhlis PaEni (ed), Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 257.
83
A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 141.
44

Di dalam pendidikan, selain ada proses pembelajaran tentunya


terdapat kurikulum. Sebagaimana diungkapkan Wina Sanjaya di dalam buku
Kurikulum dan Pembelajaran adalah sebagai berikut.
Kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda.
Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan
tujuan pendidikan; serta isi yang harus dipelajari; sedangkan
pengajaran adalah proses yang terjadi dalam interaksi belajar dan
mengajar antara guru dan siswa. Dengan demikian, tanpa kurikulum
sebagai sebuah rencana, maka pembelajaran atau penagajaran tidak
akan efektif; demikian juga tanpa pembelajaran atau pengajaran
sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan
memiliki arti apa-apa.84
Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, dapat dikatakan
bahwa kurikulum merupakan pedoman dalam proses pembelajaran. Oleh
karena itu, sebagai sebuah pedoman, kurikulum ideal memegang peran yang
sangat penting dalam merancang pembelajaran yang dapat dilakukan oleh
guru dan siswa. Sebab, melalui pedoman tersebut guru minimal dapat
menentukan hal-hal sebagai berikut:

1. Merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh


siswa. Dapat dibayangkan tanpa tujuan yang jelas sebagai
rambu-rambu, maka guru akan kesulitan menetukan dan
merencanakan program pembelajaran;
2. Menentukan isi atau materi pembelajaran yang harus dikuasai
untuk mencapai tujuan atau penguasaan kompetensi;
3. Menyusun strategi pembelajaran untuk guru dan siswa sebagai
upaya pencapaian tujuan.
4. Menentukan keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi.85

2. Hakikat Pembelajaran Sastra


Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mencoba untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses

84
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
cet ke-4, 2008), kata pengantar.
85
Ibid., h. 22.
45

kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini


adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui
pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,
memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.
Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hapalan nama-nama judul
karya sastra atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya
sastranya.86 Dapat dikatakan, melalui pendidikan sastra, peserta didik tidak
hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata
yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi
juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra.
Pendidikan semacam ini akan membiasakan diri peserta didik untuk berpikir
kritis, terbuka, dan bersikap jujur.
Masalah yang muncul saat ini adalah kurangnya minat baca di
sekolah membuat karya-karya sastra kurang diminati oleh siswa. Hal
tersebut dapat dilihat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, sedikit sekali
pembahasan mengenai sastra dibahas. Akibatnya, banyak siswa yang tidak
mengerti tentang sastra. Dari situlah muncul pandangan bahwa karya sastra
dianggap tidak bermanfaat. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka sastra
sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai bahan untuk memahami masalah-
masalah yang terjadi di dunia. Akan tetapi, Rahmanto memiliki pandangan,
jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran
sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan
masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam
masyarakat.87
Masalah lain yang terjadi dalam pendidikan adalah bagaimana
pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk
pendidikan secara utuh. Berdasarkan hal tersebut, Rahmanto memiliki
pandangan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara
86
Siswanto, op. cit., h. 168.
87
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kasinius, 2000), h. 15.
46

utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu


keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.88
Selain itu, salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah karya sastra adalah
penggunaan gaya bahasanya. Penggunaan gaya bahasa juga turut
memperkaya kosakata siswa. Hal tersebut sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Tarigan dalam buku Pengajaran Gaya Bahasa adalah
sebagai berikut.
Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat, hubungan
timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah
gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa
jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka
dalam pengajaran bahasa, pengajaran gaya bahasa merupakan suatu
teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa.89

Berdasarkan pendapat di atas, betapa pentingnya pengajaran sastra di


sekolah. Selain mencakup empat manfaat yang telah diungkapkan oleh
Rahmanto, pembelajaran sastra juga dapat memperkaya kosakata siswa.

E. Penelitian Relevan
Menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi
acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga
diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan adanya skripsi
yang membahas tentang lirik lagu Rhoma Irama, yaitu Analisis Nilai-Nilai
Pendidikan dalam Syair Lagu-Lagu H. Rhoma Irama oleh Lulu Ria Sari
(2815001926), Jurusan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Jakarta (2007). Skripsi tersebut membahas tentang nilai-nilai
pendidikan, seperti logika, etika, estetika, dan religi yang terkandung dalam
88
Ibid., h. 16.
89
Tarigan, op. cit., h. 5.
47

syair lagu-lagu Rhoma Irama. Skripsi lain yang membahas Rhoma Irama,
yaitu The Voice of Moslem: Dangdut Dakwah Rhoma Irama Bersama
Soneta 1972-2000 oleh Sulaiman Yudha Harahap (NPM: 070404044Y),
program studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia (2010). Skripsi tersebut membahas tentang perjalanan dangdut
dakwah Rhoma Irama bersama Soneta pada kurun waktu 1972-2000. Selain
memaparkan sejarah dan hibridasi musik melayu, penelitian ini juga
menunjukkan bagaimana dangdut dakwah Rhoma Irama bersama Soneta
dapat bertahan dan sukses di industri musik nasional, bahkan menjadi salah
satu ikon musik populer Indonesia. Penelitian tersebut juga mengutarakan
bahwa kekuatan dakwah dalam dangdut Rhoma Irama terletak pada lirik-
lirik lagunya yang argumentatif, komunikatif, dan inspiratif. Sementara itu,
penelitian mengenai Mustofa Bisri, penulis temukan di skripsi yang berjudul
Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi Puisi Karya A. Mustofa
Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut hanya
dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam
antologi puisi Tadarus. Skripsi lain yang membahas A. Mustofa Bisri, yaitu
Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” dan “
Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014), program studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
tersebut hanya dibatasi pada 2 puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan
penelitian tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial
dalam puisi ―Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖, serta
implikasi kedua puisi tersebut dalam pembelajaran sastra Indonesia di
sekolah.
48

Berdasarkan hasil penelusuran di atas, penulis menemukan


perbedaan mengenai pembahasan yang dilakukan, di mana penulis meneliti
Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya A. Mustofa Bisri dengan
Lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Perbedaan mengenai
pembahasan dengan empat skripsi yang telah ditemukan adalah pada skripsi
pertama, meskipun objek penelitiannya sama (Rhoma Irama), tetapi fokus
pembahasannya berbeda, yaitu nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam syair lagu Rhoma Irama, serta lagu-lagu yang dipilih untuk dianalisis
pun berbeda. Selanjutnya perbedaan dengan skripsi yang kedua terletak
pada fokus pembahasannya, di mana pada penelitian kedua fokus
pembahasannya tentang sejarah dan hibridasi musik melayu serta kekuatan
dakwah dalam dangdut Rhoma Irama yang terletak pada lirik-lirik lagunya.
Kemudian, perbedaan dengan skripsi yang ketiga terletak pada fokus
pembahasannya. Pada penelitian ketiga objek penelitiannya adalah
kumpulan puisi karya A. Mustofa Bisri yang termuat di dalam Antologi
Puisi Tadarus. Sementara itu, perbedaan dengan skripsi yang keempat juga
terletak pada fokus pembahasannya. Pada penelitian keempat objek
penelitiannya hanya pada 2 karya A. Mustofa Bisri, yaitu puisi ―Kalau
Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖. Selain itu, fokus penelitiannya
berbeda, yaitu mengenai kritik sosial yang terdapat dalam dua puisi tersebut.
Berdasarkan perbedaan keempat penelitian yang relevan di atas,
peneliti terinspirasi untuk menjadikan A. Mustofa Bisri dan Rhoma Irama
sebagai objek penelitian. Meskipun objek penelitian ini serupa dengan
keempat penelitian yang sudah dijelaskan, tetapi skripsi ini memiliki
perbedaan yang menjadi nilai tersendiri, yakni dengan membandingkan
karya dari kedua objek penelitian. Dikatakan berbeda karena dari keempat
penelitian yang sudah dijelaskan di atas, penelitian-penelitian tersebut hanya
menjadikan satu tokoh sebagai objek penelitiannya, yaitu dengan memilih
Rhoma Irama atau A. Mustofa Bisri. Sedangkan penulis memilih untuk
49

menjadikan kedua tokoh tersebut sebagai objek penelitian, di mana nantinya


dari karya kedua tokoh tersebut akan dibandingkan pada aspek gaya
bahasanya. Selain itu, pada penelitian ini, penulis juga mengaitkan kedua
karya dari kedua tokoh tersebut dengan implikasinya terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Tujuan menggabungkan antara
perbandingan gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu dengan gaya
bahasa yang terdapat dalam puisi dan implikasinya dengan pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia adalah untuk melihat hubungan yang baik dan
positif dalam pembelajaran. Hal ini akan terlihat dampaknya jika para siswa
tidak hanya paham pelajaran atau materi secara teoretis, tetapi juga cakap
dalam mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III

BIOGRAFI TOKOH

A. Ahmad Mustofa Bisri


1. Biografi A. Mustofa Bisri
K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di
Rembang Jawa Tengah, 10 Agustus 1994, dari keluarga santri. Kakeknya,
Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Begitu pula dengan ayahnya, K.H
Bisri Mustofa merupakan seorang ulama kharismatik tersohor yang juga
sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa
Tengah.90 Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama
menyangkut prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya pun
terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke
sekolah tsanawiyah (setingkat dengan jenjang SMP). Baru setahun di
tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama
dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah lagi ke
Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H.
Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian ia kembali ke Rembang
untuk mengaji langsung di bawah asuhan ayahnya.91 K. H. Ali Maksum dan
K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling banyak memengaruhi
perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan kebebasan kepada
para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964, Gus Mus
dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil

90
Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri diakses dari
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indexs.html
diakses pada 20 Maret 2014
91
Ibid

50
51

jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu
angkatan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum).92
Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat.
Kiai yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin
(menggantikan ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua
Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di
Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri.
Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu
mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya
dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU
ke-31 itu.
Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang
anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si
bungsu, Mochamad Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal
di Madura dan menjadi santri di sana.93 Kakek dari empat cucu ini sehari-
hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya,
Almas. Setelah kakaknya, K. H. Cholil Bisri, meninggal dunia, ia sendiri
yang memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin,
didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh,
Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115
kilometer arah timur Kota Semarang itu sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak
sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di
ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu
rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi
tempat mengajar santrinya. Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam
bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa
langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya,
92
Ibid
93
Ibid
52

dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan
ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih
berprinsip, siapapun boleh tinggal disana. Di luar kegiatan rutin sebagai
ulama, Gus Mus juga seorang budayawan, pelukis, dan penulis. Gus Mus
telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya
budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap
budaya yang sedang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, ketika
goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam
masyarakat, Gus Mus justru memarkan lukisannya yang berjudul ―Berdzikir
Bersama Inul‖.94 Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya
yang berkembang saat itu.95
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di
Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah
pelukis. Salah satunya, Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro
seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung
bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam
batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar. Pada akhir tahun
1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah
10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim
Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis
grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan
kaligrafi. ―sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-
indahkan‖, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang
pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.96
Gus Mus mulai akrab dengan dunia puisi saat belajar di Kairo,
Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat

94
Ibid
95
Ibid
96
Ibid
53

majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada
halaman kosong, Gus Mus diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya.
Akan tetapi, ketika Gus Dur tahu, bahwa Gus Mus bisa melukis. Maka, ia
diminta membuat lukisan sehingga jadilah coret-coretan, kartun, atau apa
saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong.97 Sejak saat itu, Gus
Mus hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku. Namun, Gus Dur pula
yang ‗mengembalikan‘ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987,
ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara
―Malam Palestina‖. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya
para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga
dilakukan puisi aslinya. Gus Mus yang fasih berbahasa Arab dan Inggris,
mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa
aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair. Sejak Gus
Mus tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, kepenyairannya mulai
diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi
mengalir dari berbagai kota, bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak,
Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian
dan membaca puisi. Kiai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah
melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam kumpulan puisi, seperti
Ohoi: Kumpulan Puisi balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus
(1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wek-Wek: Sajak-sajak Bumi-
langit (1996), Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), Negeri Daging adalah
antologi puisi Gus Mus yang terbaru (masuk dalam Seri Pustaka Puisi,
Bentang Budaya, 2002).98 Kekuatan dan mumtaz puisi-puisi Gus Mus
terletak pada tematiknya, yang merambah wilayah sosio-religi. Meskipun
sesekali menyentuh ranah politik, bahkan menyentil kebekuan dunia
birokrasi. Kritiknya pedas, juga tidak menusuk ulu hati, tetapi meledakkan

97
Ibid
98
Arief Fauzi Marzuki, Gus Mus Pada Sebuah Negeri Daging, Republika, edisi 9
Februari 2003, h. 8.
54

rasa kemanusiaan kita yang terkadang terkesan lucu, kocak, dan penuh
banyolan.99
Gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-
sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam pengucapan, tetapi lewat
kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari
ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tetapi
tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Hal tersebut diungkapkan oleh
―Presiden Penyair Indonesia‖, yaitu Sutardji Calzoum Bachri yang menilai
tentang kepenyairan Gus Mus.
Kesederhanaan Gus Mus telah memberi warna baru pada peta
perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia pernah didorong oleh
Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural agar mau
mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PBNU pada Muktamar NU ke-
31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya untuk menandingi dan
menghentikan langkah maju K. H. Hasyim Muzadi dari kelompok NU
struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini
dianggap sebagai salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua
umum yang lama. Akan tetapi, Gus Mus justru bersikukuh menolak.
Alhasil, Hasyim Muzadi, mantan calon wakil presiden yang ketika itu
berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarno Putri dari PDI
Perjuangan pada Pemilu Presiden 2004 itu terpilih kembali sebagai Dewan
Tahfiidzah ‗berpasangan‘ dengan K. H. Ahmad Sahal Makhfud sebagai Rois
Aam Dewan Syuriah PBNU. Muktamar tersebut meninggalkan catatan
tersendiri bagi Gus Mus, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur.
Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak
merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri.
Contohnya adalah kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, tahun 1987-1992

99
Ibid
55

mewakili PPP dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),


mantan Rois Syuriah PBNU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak
pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut.
Selanjutnya, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak
mau turun ke gelanggang politik, apalagi terlibat aktif di dalamnya.
Sosok Gus Mus begitu lentur, produktif, aktif, dan supel. Hal ini
mengantarkannya memperoleh banyak apresiasi dari berbagai pihak,
terutama dari kalangan cendekiawan, sastrawan, seniman, dan budayawan.
Sejumlah sastrawan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, Emha
Ainun Nadjib, Sutarji Calzoum Bahri, Syu‘ba Asa, dan Slamet Effendi
Yusuf telah mengurai kepiawaian Gus Mus dalam buku berjudul Gus Mus
Satu Rumah Seribu Pintu, yang diterbitkan LkiS bekerjasama dengan
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.

2. Pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra


Sebelum mengkaji puisi Ibu lebih jauh yang nantinya akan
dibandingkan mengenai gaya bahasanya dengan lirik lagu Rhoma Irama
yang berjudul Keramat, berikut ini pemaparan singkat mengenai pemikiran
Mustofa Bisri tentang sastra. Hal tersebut sangat penting, sebab jika
berbicara karya sastra, maka tidak lepas dari pengarangnya. Selain itu karya
sastra tidak terlepas dari cerminan hidup pengarangnya. Sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Wahyudi Siswanto, bahwa karya sastra adalah anak
kehidupan kreatif seorang penulis dan pengungkapan pribadi pengarang.100
Terlahir di lingkungan keluarga yang taat beragama, A. Mustofa
Bisri selain dikenal sebagai pengarang, juga sebagai seorang kiai dan tokoh
di Jajaran Rais PBNU. Kegemarannya menulis, membuat Gus Mus disebut
sebagai kiai yang nyeleneh. Sementara, ia sendiri berpendapat, bahwa
bersastra sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu, karena sastra itu
diajarkan di pesantren. Ia juga menambahkan, bahwa setiap malam Jumat

100
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 68.
56

paling tidak membaca puisi, Burdah, dan Barzanzi. Hal tersebut


menurutnya, bahwa puisi, Burdah, dan Barzanzi merupakan karya sastra
yang agung, sedangkan Al-Quran sendiri merupakan maha karya sastra
yang paling agung.101 Berdasarkan pernyataan tersebut, semakin jelaslah
kecintaan A. Mustofa Bisri pada dunia sastra.
Melihat pandangan hidup Mustofa Bisri, dapat dilihat dari dua sisi
latar belakangnya, yaitu seorang ulama dan juga seorang penyair. Ia
memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin
seorang penyair. Hal tersebut diungkapkan oleh Jamal D. Rahman yang
mengatakan, bahwa pandangan dunianya adalah pandangan dunia ulama
sekaligus seorang penyair.
Seorang ulama memandang dunia dari sudut agama; pandangan
dunianya mereflesikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang
penyair memandang dunia ini intuisi kepenyairannya; pandangan
dunianya mereflesikan bangunan intuitifnya. Keduanya bertemu
pada satu titik: baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal
yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada
hubungannya dengan apapun selain dirinya sendiri; pada saat yang
sama keduanya berbicara tentang masalah sosial. Pada tingkat
praktis, seorang ulama teguh melakukan ibadah yang sangat personal
dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial
keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi,
pada saat yang sama menulis juga puisi sosial yang hiruk pikuk.102
Pada awalnya, menjadi penyair atau sastrawan bukanlah cita-cita
Gus Mus. Hal inilah yang membuatnya tidak pernah berlindung di balik
kata-kata. Gus Mus mengatakan, ―Barangsiapa membaca puisi-puisi saya
yang terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul Sajak-sajak Balsem, ia
tidak perlu mengerutkan jidatnya lebih dulu buat memahaminya. Seperti
halnya Balsem, sajak-sajak saya langsung pada tujuannya, lugas dan tegas.

101
Anonim, Komunitas Mata Air-Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis-dalam
http://www.gusmus.net/page.php?mod=statis&id=1,
102
Jamal D. Rahman, A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama-Penyair, dalam Labibah Zain
dan Lathiful Khuluq (eds), Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, (Yogyakarta: LkiS, 2009),
h. 29.
57

Layaknya orang yang diolesi balsem, kelompok orang yang saya singgung
dalam puisi saya juga akan merasa panas, tapi hanya sebentar. Setelah itu, ia
bisa saja malah membenarkan apa yang ingin saya coba sampaikan sajak-
sajak tersebut‖.103
Kemunculan Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia dianggap
telah memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, melainkan
juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut diperkuat oleh
pendapat Jamal D. Rahman yang mengatakan bahwa
puisi-puisi Gus Mus adalah suara kritis dari pedalaman pesantren,
terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun
1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan
diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Sedangkan,
Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras,
namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita
geram, namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.‖104
Di dalam proses kreatifnya, Gus Mus mengaku hanya menulis,
karena menurutnya, dirinya hanya menulis dan tidak bisa menilai, bahkan
sekedar mengomentari tulisannya sendiri. Pengakuan tersebut bisa saja
sebagai bentuk kerendahatian atau strategi literer bahwa karya sastra yang ia
tulis menjadi sah untuk diterima, apapun bentuk dan isi pemikirannya.
Meskipun Sapardi Djoko Damono memberikan cap bahwa dari segi stalistik
maupun tematik puisi Gus Mus menggunakan taktik yang sama dengan
puisi mbeling, namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini
dikarenakan puisi Gus Mus tidak memiliki ideologi literer maupun
ideologisme sebagaimana puisi mbeling yang dimotori oleh Remy Sylado.
Selain itu, puisi Gus Mus juga menyimpang dari kebiasaan gaya ungkap

103
Ruly Baharudin, Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘ Mustofa
Bisri, Republika, edisi 23 Mei 1993, h. 4.
104
Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds), op.cit., h. 30.
58

puisi yang dipakai oleh penyair mapan, seperti Taufik Ismail, Goenawan
Muhamad, dan WS. Rendra.105
Gus Mus juga pernah menuturkan, bahwa ―saya tidak peduli orang
mau mengatakan puisi saya itu apa. Tetapi, yang penting saya menulis puisi.
Tidak menjadi soal mau digolongkan puisi mbeling, kontemporer atau apa
lagi. Urusan saya kan menuangkan apa yang ingin saya tuangkan ke dalam
puisi. Penggolongan itu urusan kritikus sastra‖.106 Gus Mus juga
menanggapi komentar Sapardi Djoko Damono dengan dengan jujur. Ia
menuturkan, bahwa ―kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis
puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah
saya akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis
atau penyair lain di dalamnya. Ada puisi saya yang ‗berbau ka‘ab‘, ‗berbau
Ma‘arry‘. ‗berbau Khayyam‘, ‗berbau Busheiry‘, ‗berbau Iqbal‘, ‗‘berbau
Ibn Shabaq‘, ‗berbau Sauqi‘, ‗berbau Goenawan‘, ‗berbau Emha‘, ‗berbau
Danarto‘, ‗berbau Taufiq‘, ‗berbau Sapardi‘, ‗berbau Zawawi‘, ‗berbau
Yudistira‘...‖107
Ciri khas dari puisi Gus Mus dapat dilihat pada pengungkapan
masalah sosial dan spritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari dan
pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan Gus Mus cukup wajar dan
sederhana, namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat makna yang
lebih. Sajak-sajak Gus Mus juga banyak menggunakan diksi-diksi religi
untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial, sehingga seolah sajak
tersebut bertemakan religi, padahal hakikatnya menyuarakan protes.
Menyimak Gus Mus dan karya-karyanya, setidaknya terdapat
beberapa bentuk pembebasan yang cukup menarik. Arif Fauzi Marzuki,
dalam harian Republika, mengungkapkan ada tiga bentuk pembebasan yang

105
Abdul Wachid B.S., K. H. A. Mustofa Bisri dan Puisi, Pikiran Rakyat, edisi 23
Oktober 2005, h. 26.
106
Tri Agus Kristanto, ―K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi Balsem‖, dalam Harian
Kompas, edisi 31 Januari 1994, h. 20.
107
Abdul Wachid B.S., loc. cit.
59

dilakukan oleh Gus Mus, yaitu pembebasan terhadap tradisi keulamaan,


pembebasan pemakaian bahasa, pembebasan teori sastra yang baku.108
Pembebasan Gus Mus terhadap tradisi keulamaan dapat dilihat dari
posisinya sebagai seorang ulama, namun muncul di tengah masyarakat
sambil membacakan puisi secara nakal, sarat banyolan, dan kritik. Sesuatu
yang tidak lazim dilakukan oleh seorang ulama. Selanjutnya, pembebasan
yang dilakukan Gus Mus terhadap pemakaian bahasa dapat dilihat dari
penggunaan bahasa pada setiap karya-karyanya. Ia tidak hanya
menggunakan diksi-diksi atau metafor-metafor yang puitis dan penuh imaji,
melainkan menggunakan bahasa keseharian yang akrab di telinga
masyarakat. Hal itulah yang membuat jarak antara penyair dan penikmat
sastra menjadi lenyap. Selain itu, dapat dilihat dari ketiadaan konsistensi
pengucapan dan bentuk-bentuk dalam puisi-puisi Gus Mus, sehingga dapat
dikatakan bahwa Gus Mus telah melakukan pembebasan teori sastra yang
baku.
Mengenai bentuk pengucapan yang dilakukan oleh Gus Mus dalam
setiap puisi-puisinya, Dami N Toda mengungkapkan:
Pengucapan puisi K. H. A Mustofa Bisri tuntas mengungkapkan
kenyataan demi kenyataan yang merundung sejarah Tanah Air,
terikut realistis lokasi tempat kejadian, objek penderita, dan nama-
nama tokoh lakon yang terlibat menindihnya berupa referensi tak
putus untuk hikmah inti permenungan kemanusian hakiki universal
tanpa rasialis kulit luar membedakan suku, agama, partai/golongan
keyakinan, Walaupun penyair masih tetap reservir referensi
apologis, namun di dalam harmoni unsur-unsur referen itu, puisi-
puisinya justru semakin terukur rasa santun, jujur, luhur budi, tetapi
rendah hati, universal bergema di dalam kalbu dan mengendap.109

108
Arief Fauzi Marzuki., loc. cit.
109
Dami N. Toda, ―Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg‖, dalam Harian
Kompas, edisi 16 Januari 2000, h. 5.
60

B. Rhoma Irama
1. Biografi Rhoma Irama
Rhoma Irama lahir dengan nama Raden Irama, Rabu 11 Desember
1946 di Tasikmalaya sebagai anak keluarga ningrat yang terbiasa dipanggil
―Den‖ (raden). Rhoma merupakan putra kedua dari empat belas bersaudara,
delapan laki-laki dan enam perempuan (delapan saudara kandung, empat
saudara seibu dan dua saudara bawaan dari ayah tirinya). Nama Raden
Irama merupakan pemberian sang ayah, Raden Burdah Anggrawirja,
Komandan Batalion Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya,
Jawa Barat. Nama ―Irama‖ diambil dari simpati Raden Burdah pada grup
―Irama Baru‖ yang menimbulkan inspirasi pada dirinya untuk memberi
nama anaknya dengan nama ―Irama‖, tanpa disertai harapan agar si anak
kelak menjadi pemusik atau penyanyi. Justru Raden Burdah ingin anaknya
kelak menjadi dokter, tidak lebih dari itu. Ibu Rhoma masih memiliki jalur
sedarah dengan Pangeran Jayakarta, sedangkan ayahnya masih tergolong
ningrat Sumedang. Semasa kecil ia biasa dipanggil Oma, panggilan sayang
ibunya.110
Masa kecil Rhoma adalah masa-masa yang sangat istimewa. Sejak
kelas nol, Rhoma sudah menyukai lagu dari berbagai penyanyi dan
menyanyikannya. Sewaktu masih bersekolah di Tasikmalaya, satu kelas
menjadi kosong karena pindah ke kelas lain untuk menyaksikan Rhoma
menyanyi. Bakat musiknya sedikit banyak merupakan warisan dari ayahnya
yang mahir bermain suling dan menyaksikan lagu-lagu Cianjuran. Di
samping itu, pamannya, Arifin Ganda, juga turut andil dalam memupuk

110
Moh. Shofan, Rhoma Irama Politik Dakwah dalam Nada, (Depok: Imania, 2014), h.
4.
61

bakat alamiah Rhoma dalam bermusik dengan memperkenalkan lagu-lagu


Jepang saat Rhoma masih kecil.111
Kecintaan Rhoma kecil pada dunia musik bukan berarti tak
mendapat hambatan. Ia merasa bahwa pada masa kecil, lingkungan
keluarganya tidak bersikap akrab terhadap bakat musiknya. Ayah dan
ibunya adalah pasangan berdarah ningrat. Meski mereka menyukai musik,
namun dunia musik bagi mereka bukan sesuatu yang patut dibanggakan,
bahkan dianggap kurang terhormat. Kenyataan tersebut membuat bakat
musik Rhoma justru semakin berkembang di luar rumah karena di rumah ia
kurang mendapat dukungan.112
Kecintaan Rhoma terhadap musik menjadi kendala utama dalam
belajar. Kegemarannya dalam bermain musik membuat sekolahnya
terbengkalai. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara
ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Hal tersebut tak berapa lama,
Rhoma pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta. Dunia Rhoma tidak hanya
sebatas pada musik. Lingkungan pergaulannya pun ketika itu tergolong
keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu
geng dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling
bersaing untuk menjadi yang terkuat di antara geng-geng yang ada, sehingga
perkelahian antar geng sering tak terhindarkan. Kegandrungannya pada
musik dan berkelahi di dalam dan di luar sekolah membuatnya sering keluar
masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah
tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo.113
Awal cerita Rhoma bisa sekolah di Solo sebenarnya karena ia
berniat belajar di Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur. Namun,
karena tidak membeli tiket kereta, Rhoma, Benny (kakaknya), dan tiga

111
Lambertus Hurek, Bertemu Rhoma Irama Sang Superstar-dalam
http://hurek.blogspot.com/2008/10/bertemu-rhoma-irama-sang-superstar.html, diakses pada
17 Maret 2014, pukul 08.00 WIB.
112
Moh. Shofan, op. cit., h. 6.
113
Ibid., h. 10-11.
62

orang temannya, yaitu Daeng, Umar, dan Haris akhirnya diturunkan oleh
kondektur dari kereta api, di Solo. Ketika di Solo, Rhoma melanjutkan
sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari hasil
mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari
Jakarta.114 Di Solo, Rhoma tidak lulus sekolah, hal tersebut membuatnya
harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus Tebet,
Jakarta, sampai akhirnya lulus tahun 1964. Setelah lulus SMA, Rhoma pun
melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus.
Namun, Rhoma hanya bertahan satu tahun saja. Ia lebih memilih keluar dari
Universitas gara-gara saat Mapram (Masa Pra Mahasiswa) diminta
menggunting rambut gondrongnya. Rhoma menolak bentuk pemaksaan
seperti itu. Di sisi lain, ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar
membuatnya tak betah kuliah.115

2. Perjalanan Karir Rhoma Irama


Awal 1960-an, Rhoma membentuk band Gayhand, Tornado, dan
Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut, Rhoma menyanyikan
lagu-lagu pop milik Golden Singer, Tom Jones, Pat Boone, dan Elvis
Presley. Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang
mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang
bernama Veronica Agustina Tumbelang, yang di kemudian hari menjadi
istrinya.116 Di tahun yang sama (1960-an), Rhoma juga bergabung dengan
berbagai musik Melayu. Kesempatan pertama merekam suaranya baru
diperoleh pada 1960 bersama Orkes Melayu (OM) Chandraleka pimpinan
Umar Alatas. Namun, rekaman itu tidak berhasil mencuatkan namanya. Ia
pun pindah ke Orkes Melayu Purnama pimpinan Awab Haris. Di OM
Purnama, Rhoma berduet dengan penyanyi Elvi Sukaesih, yang belakangan

114
Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Jakarta: NARASI, 2007),
h. 170.
115
Moh. Shofan, op. cit., h. 14
116
Ibid., h. 31.
63

mendapat julukan ―Ratu Dangdut‖. Belum puas, ia pun pindah ke OM


Pancaran Muda pimpinan Zakaria. Sampai awal dekade 1970-an namanya
masih tetap belum dikenal masyarakat.117
Rhoma pun merambah zona musik pop. Di sini, Rhoma yang banyak
terpengaruh Paul Anka berduet dengan Inneke Kusumawati.118 Musik pop
dan rock adalah langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi.
Pada 1970-an, Rhoma tengah menggodok sebuah ―kelahiran baru‖ bagi
jenis musik Melayu yang dikenal dengan dangdut. Proyek pembaruan dalam
musik dan materi lirik dangdut terus dilakukannya pada situasi dan kondisi
dalam negeri yang tengah berubah, dari Orde Lama yang radikal kiri dan
kontra Barat menjadi Orde Baru yang pragmatis kanan dan pro Barat.119
Pada masa inilah, sebuah revolusi musik Melayu berlangsung. Rhoma
melakukan berbagai terobosan yang menjadi bagian dari eksperimen
musiknya.120
Awal pemunculannya, Rhoma menolak istilah ―dangdut‖ yang saat
itu mulai banyak digunakan. Ia bersikeras menyebut orkesnya ―Melayu‖. Ia
juga tidak pernah memimpikan untuk bisa menjadi ―Raja Dangdut‖ seperti
sekarang ini. Pada tahun 1967, perusahaan rekaman Dimita pernah memberi
kesempatan pertama kalinya kepada Rhoma untuk rekaman lagu dangdut
dengan iringan Orkes Chandraleka, namun Rhoma menolak. Benny selaku
kakak Rhoma Irama mencoba mendesak dan membujuk Rhoma agar
memanfaatkan kesempatan tersebut. Rhoma pun akhirnya mengalah, dan
menerima tawaran yang diajukan Dimita.

117
Ibid., h. 32.
118
Moh. Shofan. loc. cit.
119
Sulaiman Harahap, Rhoma Irama: Sang Penghulu Mempelai Dangdut dan Dakwah-
dalam http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/12/04/16/m2kji3-rhoma-irama-
sang-penghulu-mempelai-dangdut-dan-dakwah, diakses pada 17 Maret 2014 jam 08.00
wib.
120
Moh. Shofan., op. cit., h. 34.
64

Setelah jatuh bangun akhirnya Rhoma membentuk OM Soneta pada


11 Desember 1970, di Gang Seno, Tebet Barat, Jakarta Selatan, tepat di hari
ulang tahunnya yang ke-23. Semua anggota Soneta yang terdiri dari Oma
Irama (gitar/vokal), Herman (bass), Kadir (gendang), Ayub (tamborin),
Riswan (organ), Hadi (suling), Nasir (mandolin), dan Wempy (Gitar)
berikrar dan bersumpah untuk bersama-sama membangun Soneta demi
mencapai kejayaan, sejajar dengan grup musik lain yang sudah tenar saat
itu. Rhoma sendiri memilih nama Soneta untuk grup musik dangdut yang
dipimpinnya. Soneta adalah salah satu bentuk puisi yang dia sukai. Soneta,
terdiri dari sampiran 3-3. Isi 4-4, empat belas baris. Rhoma Irama memilih
nama tersebut karena di waktu Sekolah Menengah Atas (SMA) ia sangat
suka dengan bentuk syair Soneta, kemudian ia terapkan dalam syair lagu-
lagunya.121
Munculnya Rhoma dengan Orkes Soneta begitu menyedot perhatian
masyarakat Indonesia. Bersama dengan Elvy Sukaesih, Rhoma Irama
merekam banyak lagu-lagu yang sangat populer dan abadi. Di bawah
payung Remaco selaku produser rekaman terbesar saat itu, semua album
tersebut meledak luar biasa, bahkan menganugerahkan Golden Record bagi
Rhoma Irama dan Soneta.122
Tak kalah dahsyatnya, pada tahun 1975, bersama Yukawi, Rhoma
dan Soneta merilis album Begadang yang melesat cepat. Lagu Begadang
begitu familiar sampai sekarang. Begadang juga masuk ke dalam 150 lagu
Indonesia terbaik majalah Rolling Stone Indonesia dalam urutan ke-24.

121
Moh. Shofan., op. cit., h. 44 – 47.
122
Anonim, Suara Soneta-38 Tahun The Sound of Moeslem Musik Lintas Generasi-
dalam
http://www.sonetamania.com/index.php?option=com_content&view=article&id=298:38-
tahun-the-sound-of-moeslem&catid=58:artikel-rhoma-a-soneta&Itemid=116, diakses
Senin, 17 Maret 2014 pukul 08.00 WIB
65

Begadang juga merupakan lagu dangdut pertama yang dianggap terbaik


sepanjang masa oleh majalah Franchise asal Amerika Serikat.123
Setelah album Begadang sukses merajai tangga lagu seantero
Indonesia, Rhoma pada Desember 1975 sebelum merilis album Soneta
volume 3 (Rupiah) mengumumkan rencana kepergiannya untuk menunaikan
ibadah haji ke Mekkah. Sepulang dari Tanah Suci, Rhoma juga merevolusi
penampilannya. Ia membabat habis rambut gondrongnya dengan
menyisakan sedikit jenggot pada dagunya. Pakaiannya pun tidak kemeja
ketat dan celana cutbray, tetapi kemeja longgar dan kerap menyelipkan
surban di bahunya. Bicaranya pun tidak lagi meledak-meledak, tetapi lebih
lembut dan pelan penuh kesabaran. Saat itu, banyak orang meramalkan
bahwa Rhoma Irama dan Soneta akan hancur dengan pilihannya
menunaikan ibadah haji, karena predikat haji sangat ditabukan bagi seorang
artis panggung.124 Ia juga melengkapi namanya menjadi Rhoma, yang
awalnya Oma. RH di depan nama Oma adalah singkatan dari Raden dan
haji. Alasan Rhoma menyingkat kata Raden dan Haji karena menurutnya
sepulang naik haji, orang-orang memanggil namanya dengan sebutan haji.
Rhoma merasa resah dengan panggilan haji ini. Hal yang sama juga ketika
dipanggil ―raden‖, karena Rhoma tidak menyukai feodalisme.125
Perlu diketahui, bahwa Rhoma dan Soneta hadir saat demam rock
melanda dunia. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi
idola. Wabah rock ini membuat genre musik lain nyaris mati. Rhoma pun
bersiasat agar orkes Melayu bisa bertahan. Ia memasukkan nafas hard rock
ke dalam komposisi lagu Melayu. Rhoma mengaku bahwa unsur rock yang
identik dengan Barat, sangat mewarnai musik dangdut yang dibawakannya.
Rhoma sendiri mengelak jika hal itu dianggap sebagai sebuah tiruan.

123
Islahudin, Begadang Lagu Terbaik Rhoma Irama Sepanjang Masa-dalam
http://www.merdeka.com/peristiwa/begadang-lagu-terbaik-rhoma-irama-sepanjang-
masa.html
124
Anonim., loc. cit.
125
Moh. Shofan., op. cit., h. 49.
66

Dangdut bagi Rhoma bisa dijadikan alternatif dari dominasi musik Barat
yang menjadi kiblat musik dunia. Belakangan Rhoma mencopot orkes
Melayu di depan nama Soneta, seraya menambahkan kata Group di
belakangnya, mengikuti perusahaan-perusahaan multinasional yang ramai
bermunculan saat itu.126
Konsistensi Rhoma di jalur musik dangdut tak pernah berubah. Ia
tak peduli dengan segala cacian dan hinaan, bahkan dalam lirik lagu Musik,
Rhoma mengajak penggemar musik untuk bisa saling belajar dan
menghargai satu sama lain. Sastrawan Sapardi Djoko Damono pun ikut
menengarai adanya perubahan besar pada musik dangdut. Lirik dangdut
yang dulu sangat sederhana, kini sudah disusun dengan puitis. Selanjutnya
ia juga menunjukkan, bahwa dalam dangdut itu sendiri terkandung
intelektualitas.127
Pada ASEAN Cultural Meeting di Filipina, Desember 1984,
diputuskan bahwa dangdut adalah musik khas negara-negara ASEAN. Di
sisi lain, Jepang, misalnya pernah merilis 200-an lagu karya Rhoma Irama,
bahkan baru-baru ini, Rhoma diundang oleh sebuah universitas terkemuka
di Pittsburgh, Amerika Serikat. Ia didaulat untuk menceritakan tentang lirik-
lirik lagu yang diciptakannya serta hubungan dengan agama dan kehidupan
sosial. Profesor Andrew Wientraub dari University of Pittsburgh, Amerika
Serikat, memberi surat kepada Rhoma yang isinya mengundang dalam
sebuah acara Konferensi Islam Internasional. Rhoma diminta untuk
berbicara di depan umum. Konteksnya adalah tentang lagu-lagunya yang
selama ini dibahas di ratusan universitas di 70 negara baik di Eropa maupun
Amerika. Rhoma menyiapkan sebuah makalah yang isinya mengenai
kondisi umat muslim di Indonesia dan menjelaskan bagaimana dirinya

126
Ibid., h. 61-62.
127
Ibid., h.75.
67

membuat lirik lagu yang cocok untuk didengarkan oleh seluruh masyarakat
dunia.128
Rhoma menyampaikan makalah berjudul ―Dangdut: Musik, Media,
Dakwah” pada acara Interdisciplinary Conference on Islam and Popular
Culture in Indonesia and Malaysia di University of Pittsburgh. Rhoma juga
menjadi narasumber dalam sebuah seminar tentang ―Islam, Terorisme, dan
Kebudayaan Pop” dengan menghadirkan para pakar dari Bowling Green
University, Ohio University, Arizona State University, New York
University, dan masih banyak lagi, termasuk sejumlah pakar televisi dari
Indonesia.129 Saat berada di Amerika, selain menjadi narasumber, Rhoma
bersama Soneta juga menyanyikan sekitar 20 lagu, di antaranya Darah
Muda, Begadang, Judi, Gali Lobang Tutup Lobang.
Karya-karya Rhoma telah banyak diteliti oleh para ilmuwan.
Beberapa buku dan literatur karya ilmuwan yang di dalamnya mengupas
lirik-lirik karya Rhoma, di antaranya, 1) Broughton, Simon, dan Mark
Ellingham (2000) Rough Guide to World Music; volume 2: Latin and North
America the Carribean, Asia, and the Pasific (London: Rough Guide); 2)
Capwell, Charles (2004) The Music of Indonesia; 3) Manuel, Peter (1988)
Popular Musics of the Non-Western World (New York: Oxford); 4) Sutten,
R. Anderson (2002) Asia/Indonesia in World Music, edited by JT Titon
(Belmont, CA: Schirmer, Thomson Learning); 5) Sweeney, Philip (1991)
The Virgin Directory of World Music (New York: Henry Holt and
Company); dan 6) Taylor, Timothy (1997) Global Pop: World Music,
World Markets (New York: Routledge).130
Di mata Andrew, lirik-lirik Soneta perlu didengar oleh seluruh
dunia, karena lagu-lagu Rhoma memberi inspirasi, solusi, dan bimbingan

128
Ibid., h. 86.
129
Ibid
130
Tahta Aidila, Lagu-lagunya Rhoma dipelajari Sejumlah Negara-dalam
http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/13/11/22/mwniet-lagulagunya-rhoma-
irama-dipelajari-sejumlah-negara, 17 Maret 2014 pukul 08.30 WIB
68

kepada umat manusia, bukan hanya kepada umat Islam saja, juga bukan
hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi dunia juga perlu mendengar lirik-
lirik Soneta. Andrew pun menambahkan, bahwa sejumlah buku dan literatur
yang telah meneliti lirik-lirik karya Rhoma, dijadikan buku wajib sekaligus
kurikulum musik dunia dan sangat sering dipakai di ratusan universitas di
dunia.131
Musik dangdut telah lama sekali dikenal publik Amerika, bahkan
musik Soneta yang didirikan Rhoma ini sudah ada di museum di
Washington DC. Itu indikasi bahwa dangdut diperhitungkan dan dihargai di
dunia, tidak hanya di Indonesia saja. Di Jepang, buku musik dangdut telah
terbit dengan judul Road to Dangdut Music, di Washington berjudul Rhoma
Irama and The Dangdut Style, dan Prof. Andrew Weintraub dari University
of Pittsburgh menulis buku Dangdut Stories. Rhoma juga melakukan
kesepakatan dengan seorang pengusaha Jepang yang berminat merekam dan
mengedarkan 200 lagu Soneta Grup di luar negeri.132

3. Rhoma Irama: Dakwah, Kritik, dan Pesan Sosial


Kebulatan tekad Rhoma menjadikan musik sebagai media dakwah
bukan karena faktor kebetulan, tetapi karena panggilan agama, dan juga
kegelisahannya melihat kehidupan masyarakat pada saat itu, khususnya para
pemuda yang banyak terpengaruh budaya Barat. Rhoma sepertinya sadar
bahwa musik (dan film) bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Hal ini
juga menandai bahwa dakwah Rhoma bukanlah dakwah kaum salaf
melainkan dakwah populer. Menurut Rhoma, bermusik merupakan sebuah
tanggung jawab kepada Tuhan, dan tanggung jawab kepada manusia, karena
dengan musik manusia bisa dipengaruhi untuk jadi baik, dan menjadi tidak
baik.133

131
Moh. Shofan., op. cit., h. 88.
132
Ibid., h. 91-93.
133
Ibid., h. 103.
69

Ijtihad Rhoma berdakwah melalui musik berbuah ancaman,


kecaman, olok-olokan, dan berbagai macam bentuk penolakan masyarakat
muslim. Namun, itu semua tidak mengendurkan kebulatan tekadnya. Rhoma
mengakui, betapa sulitnya untuk memasukkan unsur-unsur dakwah ke
dalam sebuah lagu. Sejak pertama kali Rhoma dan Soneta melakukan
dakwah lewat dangdut, Rhoma mengucapkan salam di panggung. Padahal,
mengucapkan salam di panggung pada saat itu dianggap tabu dan bukan
pada tempatnya. Atas keberaniannya, dalam suatu pertunjukan musik,
Rhoma dilempari batu, lumpur, dan sandal. Peristiwa tersebut terjadi di
Ancol sekitar 1979. Masyarakat menilai Rhoma telah melakukan penodaan
terhadap agama dengan membawa ayat-ayat Al-quran dalam sebuah
lagu.134
Bagi Rhoma, berdakwah melalui musik itu non akademik, tidak ada
ilmu dan rumusnya. Menurut Rhoma, semuanya bersifat intuitif, ilham dari
Allah. Lagu dakwah, menurutnya bukan lirik dakwah kemudian diiringi
musik. Lagu dakwah adalah lagu yang harus bisa berdakwah dan bisa
memotivasi, mengubah, atau paling tidak menyentuh pendengar. Bukan
sebagai lagu semata, juga bukan nasihat dikasih musik.135
Rhoma menyadari bahwa suara merdu, kemampuan bermusik, serta
kemahirannya dalam menciptakan lagu-lagu dangdut bertema keislaman
adalah karunia besar dari Tuhan, sehingga mesti dioptimalkan dalam
kebaikan. Baginya, memilih jenis musik dangdut sebagai sarana dakwah,
bukannya tanpa alasan. Alasan yang dimaksud adalah karena setiap insan
memiliki sense of art, tidak terkecuali orang Islam, bahkan ulama sekalipun.
Perjuangan menjadikan musik dangdut sebagai media dakwah,
sempat menuai kritik dari Gus Dur. Menurut Gus Dur, tidak ada pintu
dakwah untuk musik, karena musik itu otonom. Rhoma tak mengelak apa
yang dikatakan Gus Dur, karena pintu itu memang tidak ada. Namun,
134
Ibid., h. 106.
135
Ibid., h. 107
70

sebagai seniman, Rhoma melihat ada celah meski celah itu kecil. Rhoma
tidak menyangkal bahwa secara umum musik identik dengan kemaksiatan,
drug, minuman keras, meninggalkan shalat, dan pergaulan bebas. Di situlah
selalu ada celah untuk berdakwah. Menurut Rhoma, saat itu ada jurang
pemisah antara agama dan musik. Akan tetapi, Rhoma tidak berhenti untuk
terus berdakwah. Ia semakin mantap melebarkan musiknya ke zona religi.136
Pada Desember 1983, kiai Syukri Gozali dari MUI, menyatakan
bahwa menyanyikan Al-quran hukumnya haram. Pernyataan itu tentu saja
menampar Rhoma yang baru saja meluncurkan album La Illaha Illalah.
Sebuah diskusi lantas digelar. Rhoma diundang ke Masjid Al-Azhar untuk
dimintai pertanggungjawaban oleh MUI mengenai lafaz surah Al-Ikhlas
pada awal lagu tersebut. Di dalam ruang sidang, Rhoma memperdengarkan
lagu La Illaha Illalah di depan para ulama MUI dan para wartawan.
Keputusan sidang saat itu, MUI tidak melarang, malah Soneta diminta
memperbanyak lagu bernafaskan Islam.137
Meskipun MUI mengizinkan lagu itu, tetapi tantangan tak berhenti
sampai di situ. Suatu waktu Soneta tampil di FFI Medan, Rhoma
membawakan lagu La Illaha Illalah. Begitu selesai, ada sepuluh anggota
DPRD Sumut mendatangi Rhoma di sebuah hotel. Rhoma dan Soneta
diintimidasi. Mereka meminta Rhoma agar tidak lagi mendendangkan lagu
tersebut dengan alasan bisa memecah belah bangsa. Rhoma pun dengan
tegas menjawab bahwa jika dirinya dilarang mendendangkan lagu tersebut,
berarti sama saja dengan melarang Al-quran, karena lagu tersebut
merupakan terjemahan Al-quran.138
Sandungan terhadap Rhoma tidak sampai di situ. Dalam album
soundtrack Cinta Segi Tiga pun sempat bermasalah dikarenakan Rhoma
telah mengucapkan hadis terbalik pada intro lagu Lima. Hal ini

136
Ibid., h. 108.
137
Ibid., h. 109.
138
Ibid.
71

mengakibatkan Naviri selaku label harus menarik album yang sudah


terlanjur beredar dan menggantinya dengan album yang telah direvisi pada
kesalahan pengucapan tersebut.139
Rhoma tidak hanya berhadapan dengan ulama. Keberanian Rhoma
melakukan sejumlah kritik terhadap negara, melalui beberapa syair-syair
lagunya juga membuat pihak pemerintah kebakaran jenggot dan melakukan
pencekalan. Tahun 1997, pihak pemerintah mengeluarkan pelarangan
terhadap lagu Rupiah, karena rupiah adalah mata uang resmi RI, sehingga
tidak boleh dianggap sebagai ungkapan penyebab pertikaian serta
perpecahan.140
Rhoma juga memiliki pengalaman tampil di berbagai kampanye
Pemilu. Pada Pemilu 1977 dan 1982, Rhoma sudah menjadi pengumpul
suara (vote getter) yang sangat efektif bagi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP).141 Kecenderungan politik Rhoma pada pemilu 1977 dan 1982 ke
Partai Persatuan Pembangunan yang berasas Islam membuatnya sempat
diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI
selama sebelas tahun lamanya (1977-1988). Meskipun dengan ongkos yang
sangat mahal, Rhoma pun tak gentar menghadapi tekanan dari pemerintah
Orde Baru, hingga akhirnya Rhoma kembali bisa tampil di TVRI setelah
PPP mengganti asasnya menjadi Pancasila.142
Ketenaran Rhoma dalam berdakwah pun memasuki dunia film. Ada
sekitar 28 judul film dibintanginya. Beberapa film di antaranya, seperti
Penasaran (1976), Gitar Tua (1977), Begadang (1978), Raja Dangdut
(1978), Berkelana I (1978), Berkelana II (1978), Cinta Segitiga (1979),
Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta (1980), Badai
di Awal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984),

139
Ibid., h. 112.
140
Ibid., h. 125.
141
Ibid., h. 129.
142
Ibid., h. 132.
72

Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai


Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu
(1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dakwah (1991),
Tabir Biru (1994), Dawai 2 Asmara (2010), dan Sajadah Ka’bah (2011).143
Rhoma telah menciptakan lebih dari 700 lagu, baik yang
dinyanyikan sendiri, maupun oleh penyanyi-penyanyi lain. Karya-karyanya
begitu fenomenal dan legendaris. Kepiawaiannya dalam bermain musik
mendapat beberapa gelar, baik lokal maupun internasional. Atas kegigihan
Rhoma dalam mengangkat citra musik dangdut, majalah Asia Week dalam
artikel Superstar with a Message (edisi 16 Agustus 1985) menyebut Rhoma
sebagai South East Asia Superstar. Tahun 1992, Rhoma mendapat
pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah entertainment edisi
Februari mencantumkannya sebagai Indonesian Rocker. Pada 16 November
2007, Rhoma menerima penghargaan sebagai The South East Asia
Superstar Legend di Singapura. Selanjutnya pada 23 Desember 2007,
Rhoma menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaraan
perdana Anugerah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards, yang
dilangsungkan di Teater Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Bahkan, nama Rhoma sendiri diabadikan sebagai nama piala untuk 6
kategori permainan instrumen musik dangdut di acara tersebut. Sementara
di dalam negeri, salah satu penghargaan terhadap Rhoma diberikan
Anugerah Dangdut TPI tahun 1997 yang berlangsung di Istora Senayan,
dengan kategori ―Penyanyi Dangdut Legenda‖. Konsistensi Rhoma di
bidang musik dangdut juga berbuah anugerah sertifikat dari Museum Rekor
Indonesia (MURI) sebagai artis yang paling lama berkiprah di musik
dangdut. Baru-baru ini, tahun 2011, Rhoma berhasil meraih penghargaan
prestesius dalam ajang SCTV Award.144 Kiprah dan dedikasi Sang Legenda
juga diakui dunia, terbukti dengan gelar Profesor Honoris Causa dalam
143
Ibid., h. 195.
144
Ibid., h. 175.
73

bidang musik yang diterimanya dari dua universitas yang berbeda, yaitu dari
Northern California Global University dan dari American University of
Hawai.145
Kepedulian Rhoma terhadap nasib sesama musisi, terutama mereka
yang berkecimpung dalam dunia dangdut, mendorongnya untuk mendirikan
PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat
sebagai ketua umum. Rhoma juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi
Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas
pembagian royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik dangdut.146
Selain di dunia musik dan film, Rhoma juga dikenal sebagai seorang
dai. Ia pun tak jarang bertemu dengan tokoh-tokoh Islam lintas ormas,
seperti K. H. Hasyim Muzadi dari NU, Dien Syamsuddin dari
Muhammadiyah, K.H. Zainuddin MZ, Tarmidzi Taher (mantan Menteri
Agama era Orde Baru), dan K. H. Manarul Hidayah (pengasuh Ponpes Al-
Mahbubiyah). Bersama mereka, Rhoma mendirikan organisasi Fahmi
Tamami (Forum Silahturahmi Takmir Masjid dan Mushala) pada 22
September 2007 bertepatan dengan 10 Ramadhan 1428 H. Saat ini, Fahmi
Tamami berdiri di 28 Provinsi di Indonesia.147
Rhoma Irama telah membuat kejutan politik dalam negeri dengan
keinginannya menjadi presiden 2014. Rhoma mengaku didaulat sebagai
presiden di Indonesia oleh ulama dan habaib yang bergabung dalam
Wasilah Silahturahmi Asatidz Tokoh dan Ulama (Wasiat Ulama). Tak
hanya itu, organisasi yang tergabung dalam Fans of Rhoma and Soneta
(FORSA) pun juga mengusung Rhoma menuju RI-1. Alasan lain, ulama
memilih Rhoma sebagai Capres lantaran dianggap memiliki jiwa

145
Lambertus Hurek., op. cit.
146
Ibid
147
Moh Shofan ., op. cit., h. 204.
74

kepemimpinan yang tangguh. Hal itu tercermin dengan kepemimpinannya


di Soneta.148
PKB secara resmi mengusung Rhoma Irama sebagai calon presiden
dari PKB. Peresmian pencalonan Rhoma diutarakan oleh Muhaimin di
kantor DPP PKB, 16 April 2013. Pengesahan Rhoma sebagai Capres resmi
PKB telah disepakati dalam klausal kontrak yang telah ditandatangani oleh
Rhoma Irama dan Muhaimin pada 2 April 2013. Meskipun baru wacana,
berita ini telah mengundang banyak pro dan kontra. Ada yang mengecam,
karena Rhoma dinilai belum pantas untuk memimpin Indonesia. Sebaliknya,
tak sedikit pula yang mendukung pencalonannya, karena Rhoma dianggap
representatif mewakili umat Islam.

C. Ikhtisar Puisi “Ibu” dan Lirik Lagu “Keramat”


Ikhtisar merupakan ringkasan suatu puisi. Fungsi dari ikhtisar ini
adalah memberikan gambaran umum tentang isi suatu karya, dalam hal ini
puisi dan lirik lagu. Berikut ini ikhtisar dari puisi ―Ibu‖ karya A. Mustofa
Bisri dan lirik lagu ―Keramat‖ karya Rhoma Irama.

1. Ikhtisar Puisi “Ibu”


Puisi yang berjudul ―Ibu‖ ini ditulis oleh penyair sekaligus seorang
ulama, yaitu K. H. Achmad Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus pada
tahun 1414 H/1995 M. Puisi ini diterbitkan pada tahun 1995 dalam buku
kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus. Puisi yang terdiri atas tiga bait dan 29
larik ini menggambarkan keagungan seorang anak kepada ibunya.
Melalui puisi ―ibu‖, Gus Mus ingin menyampaikan keagungan sosok
ibu dalam pandangan aku-lirik. Sosok ibu ini di sini banyak diibaratkan oleh
istilah-istilah alam. Hal tersebut untuk menggambarkan bentuk-bentuk
keagungan sosok ibu. Dalam puisi ―Ibu‖ ini juga Gus Mus ingin
menyampaikan betapa lemahnya seorang anak di hadapan seorang ibu. Hal
148
Ibid., h. 221.
75

tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini, Kaulah bumi/yang tergelar
lembut bagiku/melepas lelah dan nestapa. Berdasarkan kutipan tersebut,
Gus Mus ingin menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan ibunya,
selain itu Gus Mus juga ingin menunjukkan sosok ibu dengan segala
kerendah-hatian selalu menerima anaknya. Selain mengagungkan sosok ibu,
melalui puisi ―Ibu‖ ini Gus Mus tak lupa mendoakan ibunya.

2. Ikhtisar Lirik Lagu “Keramat”


Lagu Keramat karya Rhoma Irama ini terdapat di dalam album
Santai (Volume VII) tahun 1977 yang diproduksi oleh Yukawi. Lirik lagu
Keramat yang diciptakan Rhoma Irama ini bercerita tentang ketinggian
derajat seorang wanita, yang merupakan ibu dari manusia. Dalam ajaran
agama Islam, kedudukan ibu sangatlah tinggi, bahkan dalam sebuah hadis
‫ع َْن اَبًِ هُ َرٌ َرةَ رضً هللا عنه قال َجا َء َر ُج ٌل الى رسو ِل هللا صلى هللا علٍه وسلم فقال ٌَا رسو َل هللا‬
‫ ثم‬:‫ثم ا ُّمل قال‬: ‫ ثم من؟ قال‬:‫ ثُ َّم اُ ُّمل قال‬:‫ ثُ َّم َم ْن؟ قال‬:‫ اُ ُّمل قال‬:‫ص َحابَتًِ؟ قال‬ ًّّ ‫َم ْن اَ َح‬
ِ ّ‫ق الن‬
َ ‫اس بِ ُح ْس ِن‬
َ ْ‫ ثم اَبُو‬: ‫من؟ قال‬
)‫ك (اخرجه البخاري‬
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: ― Suatu saat ada seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya: ―Wahai Rasulullah, siapakah
yang berhak aku pergauli dengan baik?‖ Rasulullah menjawab: ―Ibumu!‖,
lalu siapa? Rasulullah menjawab: ―Ibumu!‖, lalu siapa? Rasulullah
menjawab: ―Ibumu!‖. Sekali lagi orang itu bertanya: kemudian siapa?
Rasulullah menjawab: ― Bapakmu!‖ (H.R.Bukhari).149
Dari hadis tersebut, kita telah melihat sendiri bahwa Nabi
Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahwa kita harus
berbakti kepada Ibu kita itu 3 kali lebih tinggi daripada ayah. Jika kita lihat,
kenapa kita harus berbakti kepada Ibu 3 kali lebih besar, lebih tinggi dari
pada ayah. Ternyata itu semua dikarenakan bahwa ibu telah menjaga kita
selama kehamilan, terus melahirkan serta menyusui dan merawat kita, yang
dimana ketiga hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu saja.

149
Sumber: Sahih Bukhari, juz 5, h. 2227, hadis ke-5626.
76

Rupanya Rhoma Irama terilhami dari hadis tersebut dalam membuat


lagu Keramat. Melalui lagu Keramat, Rhoma Irama mengingatkan kepada
kita semua untuk harus menghormati ibu, karena ibu adalah orang yang
mengandung dengan susah payah selama sembilan bulan. Ibu juga bertaruh
nyawa ketika melahirkan, kemudian menyusui, hingga mengasuh dan
merawat dengan penuh kasih sayang. terkadang kita lupa, bahwa kita
mempunyai suatu ‗keramat‘ di rumah kita yang doanya dikabulkan oleh
Tuhan, yaitu doa ibu. Banyak orang memilih pergi ke dukun atau tempat-
tempat keramat, seperti gunung, kuburan atau yang lainnya hanya untuk
meminta doa agar tujuannya tercapai. Padahal, itu semua sangat
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Lewat lagu Keramat inilah,
Rhoma berusaha mengingatkan kepada semua orang agar tidak bosan-
bosannya untuk meminta doa kepada ibu.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Struktur Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat


Langkah awal untuk memahami inti dari suatu karya adalah dengan
cara menganalisis dan memahami struktur yang membangun karya. Hal ini
sangat penting, karena di dalam struktur tersebut terdapat unsur-unsur yang
saling berhubungan dalam rangka mencapai keutuhan tunggal. Begitu juga
ketika ingin memahami inti dari puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik
lagu Keramat karya Rhoma Irama, maka hal pertama yang harus dilakukan
adalah mengkaji atau menganalisis struktur lahir dan batin dari kedua karya
tersebut.
Berikut ini hasil analisis struktur puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri
dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.

1. Analisis Struktur Fisik Puisi Ibu


a. Tipografi atau perwajahan
Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri ini merupakan puisi bebas yang
terdiri atas 3 (tiga) bait dan 29 (dua puluh sembilan) larik. Bait pertama,
puisi Ibu ini terdiri atas lima belas larik. Sementara bait kedua, terdiri atas
enam larik, dan di bait ketiga terdiri atas delapan larik. Tipografi dalam
puisi ini tergolong puisi konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari
sistematika penulisan bait dan larik yang telah dijabarkan.
Di bait pertama dan kedua, Aku-lirik seolah berbicara kepada ibunya.
Sementara itu, di bait ketiga, Aku-lirik seolah berbicara kepada Tuhan. Hal
tersebut menunjukkan, bahwa Aku-lirik sedang berdoa. Hal yang
menunjukkan bahwa pada bait ketiga Aku lirik sedang berdoa adalah
dengan penggunaan tanda kurung.

77
78

b. Versifikasi
Dalam menganalisis struktur versifikasi dalam puisi Ibu ini penulis
merujuk kepada pendapat Herman J. Waluyo, yaitu versifikasi terdiri atas
rima, ritme, dan metrum, yang di dalam penjelasan selanjutnya Waluyo
berpendapat, bahwa pengertian ritme dan metrum disamakan.
Jika merujuk pada tipografi puisi Ibu yang tergolong ke dalam puisi
bebas, maka pola rimanya pun tidak terpengaruh oleh puisi-puisi lama yang
cenderung terikat, baik dari segi bait maupun baris. Selain itu, mengacu
pendapat Waluyo yang mengatakan bahwa rima merupakan persamaan
bunyi di awal, tengah, maupun akhir di dalam puisi Ibu ini tidak ditemukan.
Hal tersebut kembali melihat pandangan penyair yang tidak bermanis-manis
kata.
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa puisi Ibu karya Gus Mus ini
menggambarkan keagungan seorang ibu dalam pandangan Aku-lirik,
sehingga ritme yang ditangkap penulis ketika puisi ini dibaca adalah dengan
nada tinggi dan penuh penekanan, namun tinggi di sini bukan menunjukkan
suatu kemarahan, tetapi untuk menciptakan efek keagungan. Selain itu, di
larik-larik tertentu, ritme yang diucapkan ada yang menurun. Hal ini untuk
menciptakan efek kelembutan atau kasih sayang seorang ibu yang ingin
disampaikan penyair.

c. Diksi
Diksi yang digunakan oleh Gus Mus dalam puisi Ibu ini cenderung
sederhana dan padat makna. Hal ini tidak lepas dari filosofi penyair itu
sendiri, yaitu tidak bermanis-manis kata. Tujuannya agar pembaca lebih
mudah dalam memahami pesan yang ingin disampaikan baik tersurat
maupun tersirat.
Jika dilihat dari penggunaan diksi yang dipakai oleh Gus Mus,
terdapat beberapa bentuk diksi yang digunakan Gus Mus terpengaruh oleh
bahasa daerah. Pertama, penggunaan kata brenti yang terdapat pada bait
79

pertama larik ke-12 (dua belas). Kata brenti seharusnya berhenti, yang
merupakan hasil dari penambahan imbuhan (afiksasi) be + henti. Akan
tetapi, Gus Mus memilih menggunakannya dengan bahasa percakapan yakni
brenti.
Kedua, kata sorga yang terdapat pada bait ke-2 (dua) larik ke-20
(dua puluh). Pemilihan kata sorga yang Gus Mus lakukan juga merupakan
pengaruh terhadap bahasa daerah. Kata sorga yang digunakan Gus Mus
menggunakan vokal /o/. Jika merujuk kepada standar buku Bahasa
Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Bahasa kata surga ditulis dengan
sorga kurang tepat karena tidak sesuai dengan penulisan yang baku.
Ketiga, penyimpangan pada penggunaan frasa kasihsayangMu yang
terdapat pada bait ke-3 (tiga) larik ke-25 (dua puluh lima). Penyimpangan
pada frasa kasihsayangMu ini juga tergolong bentuk penyimpangan
morfologis. Frasa kasihsayangMu ditulis oleh Gus Mus dengan cara
digabung tanpa diberi jarak (spasi). Seharusnya penulisan yang tepat adalah
dipisah, seperti kasih sayang-Mu.
Puisi Ibu karya Gus Mus ini juga banyak menggunakan istilah-istilah
alam untuk menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik. Hal ini
menunjukkan, bahwa kontruksi diksi yang diciptakan oleh Gus Mus dalam
setiap karyanya tidak terlalu mementingkan kerapihan stilistik ataupun
organisasi larik. Hal tersebut menjadikan puisi Gus Mus ini terlihat ramah,
menghilangkan jarak formalitas puisi, sehingga terkesan ingin menyerahkan
langsung ke pembaca.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa adanya kontruksi bangunan
diksi yang sederhana pada puisi Ibu, yaitu dapat dilihat dari banyaknya
penggunaan istilah alam yang diciptakan Gus Mus untuk menggambarkan
sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik. Hal tersebut dikatakan sederhana,
karena alam merupakan bentuk kekuasaan Allah yang dapat dilihat secara
langsung. Selanjutnya, alam juga menunjukkan sesuatu yang berkuasa.
Selain itu, alam merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan manusia
80

(pembaca), sehingga pembaca tidak terlalu mengalami kesulitan untuk


menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh Gus Mus.
Bait pertama pada puisi Ibu, sosok ibu digambarkan oleh Aku-lirik
seperti sebuah gua, sebagai tempat untuk bertapa. Hal tersebut terdapat pada
larik ke-2 dan ke-3
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
Pemilihan kata gua memang sangat lekat dengan kata bertapa, karena gua
kebanyakan dijadikan tempat untuk bertapa atau mencari ilham, bahkan
Nabi Muhamad Saw pun ketika mencari ilham dan mendapatkan wahyu
pertamanya ada di sebuah gua (Gua Hira). Selanjutnya Gus Mus
menyandingkan kata gua dengan kata teduh. Kata teduh, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tenang atau aman150. Berdasarkan hal
tersebut, pemilihan frasa gua teduh untuk mengibaratkan sosok ibu dalam
pandangan Aku-lirik menurut penulis adalah untuk menggambarkan sebuah
rahim. Rahim merupakan tempat pertama, di mana seorang manusia
mendapat kasih sayang dari seorang ibu, bahkan rahim pula menjadi tempat
pertama seseorang mendapat pendidikan sebelum seorang anak dilahirkan.
Alasan penulis, bahwa gua teduh merupakan penggambaran sebuah rahim,
dapat dilihat dari pengertian yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kata
gua menunjukkan sebuah tempat, selanjutnya kata teduh memiliki sifat
tenang, damai, dan aman, kemudian penggunaan kata bertapa yang
memiliki sifat mengasingkan diri. Selain itu, alasan yang menujukkan
bahwa gua teduh merupakan gambaran rahim seorang ibu, diperkuat pada
bait pertama larik ke-4 (empat), yaitu penggunaan frasa sekian lama. Frasa
sekian lama ini menunjukkan waktu yang ada batasnya. Hal tersebut sesuai

150
Departemen Pendidikaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1417.
81

dengan kenyataan, bahwa seorang bayi ada batasnya berada di dalam rahim
seorang ibu sampai akhirnya dilahirkan.
Pada bait pertama larik ke-7 (tujuh), sosok ibu dalam pandangan
Aku-lirik diibaratkan bumi. Kemudian dilanjutkan pada larik ke-8 dan ke-9
mengenai penjelasan alasan ibu diibaratkan sebagai bumi. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
Kata bumi identik sebagai tempat kembali (orang yang telah meninggal).
Selain itu, bumi juga dapat dikatakan sesuatu yang rendah. Korelasinya
dengan larik selanjutnya, yaitu yang tergelar lembut bagiku/melepas lelah
dan nestapa adalah menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan
ibunya. Artinya, pemilihan istilah bumi di sini cukup tepat untuk
menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik yang merupakan
tempat mengadu (kembali) seorang anak. Hal ini tidak lepas pada
kenyataan, bahwa seorang anak ketika mengalami kesenangan maupun
kesedihan, orang yang pertama kali diceritakan adalah ibu. Selanjutnya
makna dari bumi yang identik dengan sesuatu yang digunakan sebagai
tempat berpijak, menunjukkan kerendah-hatian seorang ibu yang selalu siap
menerima anaknya.
Pada bait pertama larik ke-10 (sepuluh) dan ke-11 (sebelas), sosok
ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan sebuah gunung. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
Pemilihan kata gunung yang dipilih oleh Gus Mus juga cukup tepat.
Gunung merupakan sesuatu yang kokoh. Hal tersebut menggambarkan
sosok ibu yang perkasa. Selain itu, gunung juga merupakan penyeimbang
bumi, hal tersebut menunjukkan sosok ibu yang bisa dijadikan penyeimbang
82

atau pemberi masukan dalam menjaga cita-cita seorang anak (mimpiku).


Selanjutnya kata siang dan malam, menunjukkan waktu, yaitu setiap saat.
Pada bait pertama larik ke-12 (dua belas) dan ke-13 (tiga belas),
sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan seperti sebuah mata air.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
Jika merujuk pada kenyataan, air (mata air) merupakan sumber kehidupan,
sementara kata dahaga identik dengan rasa lelah. Pemilihan kata tersebut
cukup tepat untuk menggambarkan sosok ibu sebagai penyemangat ketika
seorang anak merasa lelah menjalani kehidupan.
Bait pertama larik ke-14 dan ke-15, sosok ibu dalam pandangan Aku-
lirik diibaratkan seperti sebuah telaga. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut ini:
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam
Kata telaga identik dengan ruang, sementara bermain identik dengan
belajar, sehingga maksud dari kata telaga dan bermain adalah untuk
menggambarkan sosok ibu sebagai ruang untuk anaknya belajar.
Selanjutnya, pemilihan kata berenang dan menyelam adalah ibu sebagai
tempat anak dalam menyelami kehidupan.
Pada bait kedua larik pertama, sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik
diibaratkan seperti laut dan langit. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
berikut ini:
Kaulah, ibu, laut dan langit.
............................................
Jika diambil makna tiap kata, laut identik dengan luas dan dalam, sedangkan
langit identik dengan tinggi. Akan tetapi, jika dimaknakan secara
keseluruhan, yaitu laut dan langit, maka makna yang muncul adalah
segalanya. Kemudian di larik berikutnya (larik ke-2), terdapat kutipan /yang
83

menjaga lurus horisonku/. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata


horison berarti langit bagian bawah yang berbatasan dengan permukaan
bumi atau laut; kaki langit; cakrawala151, sehingga horison identik dengan
jauh (mimpi) atau perjalanan mencari hal. Penulis berpendapat, pemilihan
kata menjaga, lurus, dan horison, menggambarkan sosok ibu dalam
pandangan Aku-lirik sebagai seseorang yang menjaga mimpi (cita-cita)
seorang anak agar tetap lurus dengan mimpi awalnya.
Pada bait kedua larik ke-3 (tiga), sosok ibu dalam pandangan Aku-
lirik diibaratkan seperti mentari dan rembulan. Hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut ini:
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
....................................................
Kata mentari dan rembulan identik dengan cahaya. Selain itu kata mentari
dan rembulan menunjukkan keterangan waktu. Korelasinya dengan larik
berikutnya, yaitu /yang mengawal perjalananku/, menunjukkan bahwa
ibulah yang mengarahkan anaknya di setiap perjalanan hidup seorang anak.
Selanjutnya, perjalanan hidup yang dikemukakan Aku-lirik adalah
perjalanan untuk mencapai surga. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan
larik berikutnya (larik ke-5), mencari jejak sorga.
Di bait kedua, tepatnya larik ke-5 dan ke-6, penyair mengutip sebuah
hadis. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan berikut:
mencari jejak sorga
di telapak kakimu.152

151
Ibid, h. 507.
152
Dari Mu‘wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui
Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang
kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: ―Apakah engkau masih mempunyai
ibu?‖ Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: ―Hendaklah engkau tetap berbakti
kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.‖
Syaikh al-Albani berkomentar: ―Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang
84

Penggunaan hadis tersebut, tidak lepas dari latar belakang penyair itu sendiri
yang merupakan seorang ulama.

d. Kata Konkret dan Kata Abstrak


Penggunaan kata konkret dalam puisi bertujuan agar pembaca
seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilakukan atau
dirasakan oleh penyair. Berikut ini merupakan kata-kata konkret yang
terdapat dalam puisi Ibu:
Tabel I
Kata Konkret Puisi Ibu
Bait Larik Kata Konkret
1 Ibu
2 kawah, gua
3 Bertapa
5 kaulah, kawah
6 Aku
I
7 kaulah, bumi
10 Gunung
11 siang, malam
12 mata air
14 Telaga
1 kaulah, ibu, laut, langit
II 3 kaulah, ibu, mentari, rembulan
6 telapak kakimu
2 Aku
III
3 Ibuku

lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah
dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh
al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.‖ (as-Silsilah adh-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah, pada
penjelasan hadits no. 593)[3]
85

5 Ibuku
6 Kau

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang


paling banyak digunakan penyair adalah istilah alam, seperti gua, kawah,
bumi, gunung, mata air, telaga, laut, mentari, dan rembulan. Pemunculan
istilah-istilah alam ini paling banyak terdapat di bait pertama dan kedua. Hal
tersebut tidak lepas dari gambaran yang dimunculkan oleh penyair ketika
puisi tersebut dibacakan, yaitu seolah-olah Aku-lirik sedang berbicara
kepada ibu. Selanjutnya pemunculan istilah-istilah alam ini difungsikan
untuk mengungkapkan bentuk kekaguman akan keagungan seorang ibu atau
dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ejawantah dari alam ciptaan Tuhan.
Selain itu, penggunaan istilah-istilah alam ini juga memudahkan dan
mendekatkan pembaca dalam melihat, merasakan, dan memahami imaji
yang dimunculkan oleh penyair.
Hampir di tiap larik, Aku-lirik mengagungkan sosok ibu dengan
mengibaratkan alam sebagai ungkapan kekagumannya. Melalui ungkapan-
ungkapan tersebut, Aku-lirik berusaha menumbuhkan kesadaran akan apa
yang telah dilakukan seorang ibu selama ini. Akan tetapi, ungkapan-
ungkapan kekaguman tersebut bukan hanya sebagai ucapan manis seorang
anak terhadap ibunya, karena doa dari Aku-lirik sebagai ungkapan terima
kasihnya membuat puisi Ibu ini mencapai klimaksnya. Aku-lirik mengakhiri
kekagumannya dengan berdoa kepada yang Maha Agung (Tuhan) sebagai
penutup pada bait ketiga, yaitu
(Tuhan
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihmu
Amin).
86

Berbeda dengan kata konkret, kata abstrak berfungsi sebagai


penambah estetika yang terdapat dalam puisi. Berikut ini merupakan kata-
kata abstrak yang terdapat dalam puisi Ibu:
Tabel II
Kata Abstrak dalam Puisi Ibu
Bait Larik Kata Abstrak
2 Teduh
4 sekian lama
6 meluncur, perkasa
8 tergelar, lembut
9 lelah, nestapa
I
10 menjaga, mimpiku
12 Mengalir
13 Membasahi
14 Bermain
15 berenang, menyelam
2 Menjaga, lurus, horisonku
II 4 Mengawal, perjalananku
5 Mencari, jejak, sorga
2 Bersaksi
3 Melaksanakan
4 Menyampaikan, kasihsayangMu
III
5 Kasihilah
6 Mengasihi
8 Kekasih-kekasihmu

Berdasarkan data di atas, kata abstrak yang terdapat dalam puisi Ibu
dominan memiliki kedudukan sebagai predikat (P). Hal tersebut
menandakan bahwa Aku-lirik cenderung memahami hakikat dan aktivitas
87

yang dilakukan oleh objek lirik, sehingga membuat kesimpulan bahwa apa
yang dilakukan oleh seorang ibu mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap kehidupan Aku-lirik. Contohnya dapat dilihat pada bait kedua yang
berbunyi /Kaulah, ibu, laut dan langit / yang menjaga lurus horisonku/.
Maksud dari kata abstrak dalam larik tersebut, bahwa seorang ibu selalu
menjaga serta mengarahkan mimpi atau cita-cita anak-anaknya. Pengawasan
seorang ibu dalam menjaga lurus horison anaknya membuat mimpi atau
cita-cita anaknya dapat tercapai. Kita ketahui bersama, bahwa dalam
menggapai cita-cita, banyak sekali tantangannya, bahkan tidak
memungkinkan apa yang dicapai seorang anak berbanding terbalik dengan
apa yang menjadi cita-cita awalnya.

e. Imaji atau Pencitraan


Puisi Ibu didominasi oleh imaji penglihatan (visual). Hal tersebut
dikarenakan penggunaan istilah alam yang berkorelasi dengan visual di
setiap gambaran yang dimunculkan penyair. Dominannya penggunaan
istilah alam dan imaji visual dapat diasumsikan bahwa alam merupakan
gambaran keagungan seorang ibu, karena alam menunjukkan sesuatu yang
berkuasa.
Tabel III
Tabel Imaji dalam Puisi Ibu
Bait Imaji Banyak keterangan
Ibu, gua, bertapa,
kawah, meluncur,
perkasa, bumi,
gunung, menjaga,
I Penglihatan 17
siang, malam, mata
air, mengalir, telaga,
bermain, berenang,
menyelam
88

Perabaan 2 teduh, lembut


ibu, laut, langit,
menjaga, horisonku,
II Penglihatan 9 mentari, rembulan,
mengawal,
mencari
bersaksi,
III Penglihatan 2 melaksanakan,
menyampaikan

Puisi Ibu dimulai pada larik pertama dengan menampilkan imaji


penglihatan, yaitu Ibu. Hal tersebut dilakukan penyair untuk memberikan
efek visual pertama supaya pembaca seolah-olah benar-benar melihat sosok
ibu. Selanjutnya, pada larik-larik berikutnya, secara terus-menerus penyair
menggunakan istilah-istilah alam. Hal tersebut juga memberikan efek visual
supaya pembaca seolah-seolah melihat kebesaran seorang ibu serta melihat
sikap dan perilaku seorang ibu dalam merawat dan membesarkan anaknya.
Penyajian imaji visual ini juga diperkuat dengan imaji perabaan. Hal
tersebut dilakukan penyair untuk memberikan efek supaya pembaca bukan
hanya seolah-olah benar-benar melihat, tetapi juga pembaca seolah-olah ikut
merasakan atas apa yang dilakukan seorang ibu.

2. Analisis Unsur Batin Puisi Ibu


a. Tema
Tema yang diangkat dalam puisi Ibu karya Gus Mus ini adalah
keagungan ibu. Hal tersebut bisa dilihat dari permainan kata yang digunakan
oleh Aku-lirik dalam memandang sosok ibu. Keagungan seorang ibu dalam
pandangan Aku-lirik disampaikan dengan menggunakan istilah-istilah alam.
Berikut ini merupakan contoh kutipan penggalan larik yang menunjukkan
keagungan ibu dalam pandangan Aku-lirik:
89

Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
..............................................
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
...............................................
Penggunaan istilah-istilah alam di sini bukan tanpa alasan. Alam merupakan
bentuk kekuasaan Allah yang dapat dilihat secara langsung. Selain itu, alam
menunjukkan sesuatu yang berkuasa.

b. Rasa
Rasa yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam puisi Ibu ini
adalah kekaguman seorang anak akan keagungan ibu. Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa keagungan sosok ibu dalam puisi Ibu ini adalah dengan
penggunaan istilah-istilah alam, yaitu merupakan sesuatu yang sangat dekat
dengan manusia (pembaca). Pengungkapan rasa pada puisi Ibu erat
kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologis Gus Mus, di mana
Gus Mus bukan hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai
budayawan maupun ulama. Selain itu, Gus Mus sejak kecil tumbuh dalam
lingkungan pesantren. Hal ini menunjukkan sikap seorang Gus Mus
terhadap ibunya dalam puisi Ibu ini. Dia tidak hanya kagum akan
keagungan serta pengorbanan seorang ibu. Akan tetapi, kekaguman
terhadap sosok ibu ini juga dibuktikan dengan mendoakan ibu. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan larik berikut ini:
........................................................
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin).
Berdasarkan penggalan puisi di atas, jika merujuk kepada Al-quran, perintah
untuk mendoakan orangtua (ibu) sebetulnya memang diperintahkan di
dalam diperintahkan dalam Al-quran dalam surat Al-Isra ayat 24 yang
berbunyi ―Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
90

penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka


keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dengan demikian, kekaguman Gus Mus pada sosok ibu selaras dengan
perintah Allah.

c. Nada
Berbicara tentang nada, maka tidak lepas dengan tema dan rasa.
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tema puisi Ibu ini adalah keagungan
ibu. Melalui tema yang diangkat, maka nada yang muncul adalah Gus Mus
berusaha mengajak pembaca untuk melihat keagungan seorang ibu.
Memanfaatkan istilah-istilah alam, Gus Mus mengajak kepada pembaca
untuk melihat betapa besar dan agung pengorbanan seorang ibu dalam
membesarkan anaknya.

d. Amanat
Amanat yang terkandung dalam puisi Ibu, bahwa di balik sikapnya
yang lemah dan lembut, ibu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.
Kekuatan itulah membuat seorang ibu terlihat agung. Dalam hal ini penyair
ingin menyampaikan kepada pembaca untuk mengetahui keagungan yang
ada di dalam diri seorang ibu, seperti dalam merawat, menjaga, dan
membesarkan anaknya. Pesan lain yang ingin disampaikan oleh penyair
lewat puisi Ibu ini adalah, bahwa kita tidak bisa membalas semua kebaikan
yang telah diberikan ibu terhadap kita, sehingga yang bisa kita lakukan
hanyalah mendoakan ibu kita.

3. Analisis Unsur Fisik Lirik Lagu Keramat


a. Versifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)
Di dalam lirik lagu, unsur rima menjadi sangat penting, sebab bukan
hanya untuk menimbulkan unsur ritmis dalam lirik lagu, namun juga agar
lirik lagu tersebut enak untuk didengar ketika dinyanyikan. Pada lirik lagu
91

Keramat ini, Rhoma Irama (Bang Haji) sangat memperhatikan unsur


rimanya.
Rima awal yang digunakan dalam lirik lagu Keramat ini
dideskripsikan secara rapi oleh Bang Haji. Hal tersebut dapat dilihat
persamaan kata pada kutipan lirik lagu berikut ini:
Bukannya gunung ....
Bukan lautan ....
Bukan pula dukun ....
Bukan kuburan ....
Pada kutipan lirik lagu di atas, kerapihan rima awal yang digunakan Bang
Haji terlihat kata bukan. Pengulangan kata bukan di awal larik tersebut jelas
bukan hanya memberikan efek ritmis ketika lagu tersebut dinyanyikan,
namun juga untuk mempertegas dan memperjelas bentuk penolakan yang
ingin Bang Haji sampaikan.
Kerapihan rima awal yang digunakan Bang Haji pada lirik lagu
Keramat bukan hanya terletak pada pengulangan kata, namun juga pada
pengulangan frasa. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan frasa dalam
kutipan lirik lagu berikut ini:
Bila kau sayang ....
Lebih sayanglah ....
Bila kau patuh ....
Lebih patuhlah ....
Pada kutipan lirik lagu di atas, kerapihan rima awal terlihat pada
pengulangan frasa bila kau. Begitu juga dengan frasa lebih sayang dan frasa
lebih patuh, keduanya dapat dikatakan pengulangan frasa, karena kata
sayang dan patuh di sini mengikuti larik sebelumnya, sehingga efek ritmis
tetap muncul.
Kerapihan rima yang digunakan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat
ini tidak hanya terletak pada bentuk pengulangan rima awal. Persamaan
bunyi tengah (rima tengah) yang dideskripsikan Bang Haji pada lirik lagu
Keramat ini juga cukup rapi, yaitu dapat kita lihat dalam bentuk
92

pengulangan atau persamaan bunyi konsonan (aliterasi) dan bunyi vokal


(asonansi). Bentuk asonansi yang digunakan Bang Haji dapat dilihat pada
kutipan lirik lagu berikut ini.

Ridha Ilahi karena ridhanya


Murka Ilahi karena murkanya

Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat dilihat bunyi vokal /a/ cukup
dominan. Bunyi yang ditimbulkan oleh vokal tersebut (/a/) mampu
menciptakan suasana yang mistis, yaitu mempertegas kekeramatan yang
dibicarakan Bang Haji.
Selanjutnya, rima tengah yang Bang Haji gunakan dalam lirik lagu
Keramat ini juga terdapat bentuk pengulangan bunyi konsonan (aliterasi).
Bentuk aliterasi yang digunakan Bang Haji dapat dilihat pada kutipan lirik
lagu berikut ini.

Hai manusia hormati ibumu


Yang melahirkan dan membesarkanmu

Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat kita lihat bunyi konsonan /m/
cukup dominan. Pengulangan bunyi konsonan /m/ ini memberikan efek
adanya dengungan yang memberikan kesan sinis. Kesan sinis ini ditujukan
kepada manusia-manusia yang tidak menghormati ibunya. Padahal, ibu
adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Selanjutnya, kerapihan rima yang Bang Haji lakukan juga terdapat di
rima akhir. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini:

Darah dagingmu dari air susunya


Jiwa ragamu dari kasih sayangnya
Dialah manusia satu-satunya
Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
93

Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat dilihat persamaan bunyi akhir
yang terdapat pada kata -nya. Pengulangan kata -nya tersebut merujuk
kepada sosok ibu, artinya bahwa segala sesuatu yang diperoleh atau
didapatkan selama ini, salah satunya karena jasa dari seorang ibu. Selain itu,
persamaan rima akhir yang digunakan Bang Haji juga bukan semata-mata
hanya untuk mengejar unsur ritmisnya saja. Akan tetapi, melalui
pengulangan bunyi pada rima akhir yang Bang Haji gunakan, semakin
memperkuat pesan yang ingin disampaikan.

b. Diksi
Dalam menciptakan lirik-lirik lagu, pilihan kata yang Bang Haji
gunakan tidak hanya mementingkan keselarasan bunyi ketika lirik lagu
dinyanyikan, namun juga pilihan kata yang digunakan Bang Haji memiliki
ketepatan makna. Pilihan kata yang digunakan pada lirik lagu Keramat ini
nampaknya terinspirasi dari hadis nabi. Ini tidak lepas dari jargon yang
diusung Rhoma Irama dan Soneta Grup dalam bermusik, yaitu The Voice of
Moslem. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan lirik lagu Keramat berikut
ini:
...........................................
Ridha Ilahi karena ridhanya
Murka Ilahi karena murkanya153
Berdasarkan kutipan lirik lagu Keramat di atas, terlihat bahwa Bang Haji
mengutip sebuah hadis, yaitu “ridha Allah tergantung ridha orangtua, dan
murka Allah tergantung murkanya orangtua”. Di sini, Rhoma sedikit
mengkhususkan orangtua kepada sosok ibu. Pemilihan diksi tersebut juga
menerangkan betapa tingginya posisi atau derajat seorang ibu di mata Allah.

153
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-‘Ash Radliyallaahu ‗anhu bahwa Nabi Shallallaahu
‗alaihi wa Sallam bersabda: ―Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan
kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.‖ Riwayat Tirmidzi. Hadits
shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.‖ Sumber: Ibnu Hajar al-Asqolani, Terjemahan
lengkap Bulughul Maram, ( Jakarta: Akbar,cet 2,2009),hlm.671
94

Selain itu, penggunaan larik di atas sebagai penekanan dari larik


sebelumnya. Pemilihan kata ridha di sini untuk menjelaskan bahwa yang
paling diharapkan seorang hamba atau makhluk dari Tuhannya adalah ridha-
Nya, dan ridha tersebut tergantung dari ridha seorang ibu, sehingga dengan
kata lain, ridha Ilahi adalah kunci untuk mendapatkan kebahagian dunia dan
akhirat yang hakiki.
Pendeskripsian Bang Haji mengenai sosok ibu di dalam lirik lagu
Keramat ini sangatlah kuat. Hal tersebut terdapat pada kutipan lirik lagu
berikut ini:
Bila kau sayang pada kekasih
Lebih sayanglah pada ibumu
Bila kau patuh pada rajamu
Lebih patuhlah pada ibumu
Pilihan kata sayang dan patuh di sini jelas untuk menunjukkan bahwa ibu
adalah seseorang yang harus disayangi dan dipatuhi. Hal ini menjadi
menarik mengenai alasan Bang Haji lebih memilih kata sayangi
dibandingkan kasih atau cinta. Jika merujuk pada KBBI, kata cinta berarti 1
suka sekali; sayang benar: 2 kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan
perempuan): 3 ingin sekali; berharap sekali; rindu: 4 kl susah hati
(khawatir); risau.154 Merujuk pada pengertian kedua, kata cinta adalah
perasaan sayang, namun lebih ke antara lawan jenis. Sementara kata kasih
berarti perasaan sayang (cinta, suka kpd); menanggung rindu (cinta berahi);
beri, memberi.155 Ini berarti bahwa kata kasih masih rancu antara ‖kasih‖
sebagai perasaaan atau ―kasih‖ sebagai perbuatan. Sementara itu, kata
sayang menurut KBBI berarti kasih sayang (kpd); cinta (kpd); kasih (kpd); 2
v sayang akan (kpd); amat suka akan (kpd); mengasihi; mencintai.156 Ini

154
Departemen Pendidikaan Nasional., op. cit., h. 268.
155
Ibid, h. 631.
156
Ibid, h. 1234.
95

berarti bahwa kata sayang menunjukkan perasaan yang lebih tinggi,


sehingga pemilihan kata sayang yang digunakan Bang Haji cukup tepat.
Selanjutnya, hal yang menarik dari kutipan lirik lagu Keramat di atas
adalah penggunaan kata raja atau orang kedudukannya tinggi. Kenapa Bang
Haji tidak menggunakan kata presiden, penguasa, atau pemimpin. Jika
kembali merujuk pada KBBI, kata presiden berarti 1 kepala (lembaga,
perusahaan, dsb); 2 kepala negara (bagi negara yg berbentuk republik).157
Ini berarti bahwa presiden hanya mencakup pada suatu lembaga, khususnya
negara. Sementara, kata penguasa berarti sekelompok kecil orang dl
masyarakat yg melakukan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan
memperoleh hak-hak istimewa.158 Ini berarti kata penguasa lebih merujuk
pada lebih dari satu orang atau kelompok. Selanjutnya kata pemimpin berarti
orang yang memimpin.159 Ini menunjukkan kepada panggilan orang
berdasarkan tugasnya (sebagai pemimpin). Hal ini berbeda dengan kata raja
yang memiliki arti yang cukup luas.
Dalam KBBI ―raja‖ berarti 1 penguasa tertinggi pd suatu kerajaan
(biasanya diperoleh sbg warisan); orang yg mengepalai dan
memerintah suatu bangsa atau negara; 2 kepala daerah istimewa;
kepala suku; sultan; 3 sebutan untuk penguasa tertinggi dr suatu
kerajaan; 4 orang yg besar kekuasaannya (pengaruhnya) dl suatu
lingkungan (perusahaan); 5 orang yg mempunyai keistimewaan
khusus (spt sifat, kepandaian, kelicikan); 6 binatang (jin dsb) yg
dianggap berkuasa thd sesamanya; 7 buah catur yg terpenting; 8
kartu (truf) yg bergambar raja. 160
Jika merujuk kepada semua pengertian KBBI, kata raja lebih menunjukkan
suatu kekuasaan atau pengaruh yang sangat besar dibandingkan kata
presiden, penguasa, atau pemimpin. Maka kata raja sudah tepat.

157
Ibid, h. 1101.
158
Ibid, h. 746.
159
Ibid, h. 1075.
160
Ibid, h. 1133.
96

Di dalam lirik lagu Keramat ini, Bang Haji juga banyak


menggunakan istilah-istilah alam. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
lirik lagu berikut ini.
Bukannya gunung tempat kau meminta
Bukan lautan tempat kau memuja
Bukan pula dukun tempat kau menghiba
Bukan kuburan tempat memohon doa
Pada kutipan di atas, terlihat Bang Haji menggunakan istilah-istilah sosial,
seperti gunung, laut, dukun, kuburan untuk menyampaikan kritikannya.
Selain itu, penggunaan istilah-istilah tersebut dapat dikaitkan dengan judul
lagu ini, yaitu Keramat. Selama ini banyak orang menganggap gunung, laut,
dukun, maupun sebagai tempat keramat atau sesuatu yang dianggap suci dan
dapat memberikan apa yang diinginkan. Padahal, menurut Bang Haji, hal
yang paling keramat di muka bumi ini adalah ibu, yaitu dengan doa dan
ridhanya dapat memberikan apa yang diinginkan anaknya.

c. Kata Konkret dan Kata Abstrak


Di dalam menganalisis unsur fisik lirik lagu Keramat ini, penulis
tidak menganalisis unsur tipografinya. Hal tersebut karena lagu merupakan
karya seni audio yang diperdengarkan. Meskipun di dalam sebuah lagu
terdapat lirik lagu, namun tetap tidak bisa dijadikan acuan sebagai tipologi
asli dari penciptanya, sehingga penulis hanya mendasarkan pada jeda dan
ritme lagu. Berdasarkan hal tersebut, dalam menganalisis kata konkret,
penulis tidak bisa menyebutkan posisi kata konkret yang ditemukan. Akan
tetapi, penulis akan menyebutkan frekuensi kata konkret yang muncul dari
lirik lagu tersebut.
97

Tabel IV
Kata konkret dalam Lirik Lagu Keramat
Kata Konkret Banyaknya
Manusia 2
Ibumu 5
Darah dagingmu 1
Air susunya 2
Dialah 1
Kau 5
Kekasih 1
Rajamu 1
Gunung 1
Lautan 1
Dukun 1
Kuburan 1
Dunia 1

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang paling
banyak digunakan Bang Haji adalah ibumu, kau, dan penggunaan istilah-
istilah alam (gunung, lautan, dan dunia), serta istilah-istilah sosial (dukun,
kuburan). Pemunculan kata Ibumu dan kau relatif seimbang, yaitu 5 kali.
Hal tersebut tidak lepas dari nada yang ingin disampaikan Bang Haji, yaitu
berupa nasihat yang ditujukan kepada semua orang, tanpa melihat batas
usia. Perlu diketahui, Bang Haji juga menggunakan kata manusia yang
muncul sebanyak 2 kali. Kata manusia di awal lirik merujuk kepada
pendengar. Sementara itu, kata manusia yang muncul kedua lebih ditujukan
kepada sosok ibu. Hal ini menjadi menarik, sebab dari banyaknya kata
konkret yang relatif seimbang membuat lirik lagu ini seolah-olah mengajak
berbicara pendengar untuk menyadari yang sesungguhnya harus ditakuti
98

kekeramatannya, yaitu dengan menggunakan istilah alam sebagai bentuk


gambaran penolakan serta kata ibumu sebagai bahan nasihatnya yang
banyaknya juga sama dengan kata kau. Akan tetapi, dengan menggunakan
istilah-istilah alam, lirik lagu Keramat ini terkesan tidak menggurui,
sehingga mudah diterima oleh pendengarnya.
Sama halnya dalam menganalisis kata konkret, dalam menganalisis
kata abstrak, penulis juga tidak bisa menyebutkan posisi kata abstrak yang
ditemukan. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan frekuensi kata abstrak
yang muncul dari lirik lagu tersebut.

Tabel V
Kata Abstrak dalam Lirik Lagu Keramat
Kata Abstrak Banyaknya
Hormati 1
Melahirkan 1
Membesarkan 1
Kasih sayangnya 1
Menyayangimu 1
Doa 1
Dikabulkan 1
Tuhan 1
Kutukannya 1
Kenyataan 1
Ilahi 1
Sayang 1
Sayanglah 1
Patuh 1
Patuhlah 1
Meminta 1
99

Memuja 1
Menghiba 1
Memohon 1
Keramat 1

Kata-kata abstrak dalam lirik lagu Keramat kedudukannya sebagai predikat


(P). Kata-kata tersebut semakin menggambarkan secara nyata bahwa
fenomena yang digambarkan Bang Haji benar-benar terjadi di masyarakat.
Pemilihan kata meminta, memuja, menghiba, dan memohon merupakan
bentuk sindiran halus Bang Haji. Melalui kata-kata itu pula, Bang Haji
memberikan pandangannya menolak tahayul-tahayul yang masih ada dan
diterapkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, seperti
meminta kepada gunung, memuja laut, serta datang ke dukun, kuburan, atau
tempat-tempat lain yang dianggap keramat.

d. Imaji atau Pencitraan


Sama halnya ketika menganalisis kata konkret maupun kata abstrak,
dalam menganalisis imaji atau pencitraan, penulis tidak bisa menyebutkan
posisi imaji yang ditemukan. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan jenis
imaji dan kutipannya.

Tabel VI
Tabel Imaji dalam Lirik Lagu Keramat
Imaji Banyak Keterangan
Pendengaran 4 Hai manusia, Hormati
ibumu, Sayanglah,
Patuhlah
Penglihatan 16 Melahirkan,
melahirkan,
membesarkanmu,
100

manusia, kekasih,
patuh, rajamu,
gunung, meminta,
lautan, memuja,
dukun, menghiba,
kuburan, memohon,
dunia

Lirik lagu Keramat ini didominasi oleh imaji penglihatan (visual).


Dominannya penggunaan imaji visual ini diasumsikan sebagai bentuk
penolakan terhadap perilaku-perilaku yang selama ini dianggap Bang Haji
salah. Penyajian imaji visual ini dilakukan Bang Haji supaya pendengar
seolah-olah melihat bahwa perilaku yang selama ini dikerjakan adalah salah,
yaitu bertahayul dengan menjadikan gunung dan laut sebagai tempat
pemujaan atau pergi ke dukun, kuburan, serta tempat-tempat yang
diangggap keramat hanya untuk berdoa. Bang Haji juga memperkuat imaji
visualnya dengan memberikan efek seolah-olah pendengar melihat bahwa
sesungguhnya ibulah manusia yang memiliki kekeramatan itu, bukan
gunung, laut, dukun, maupun kuburan.

4. Analisis Unsur Batin Lirik Lagu Keramat


a. Tema
Tema yang diangkat dalam lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama
adalah tentang kekeramatan seorang ibu. Jika melihat pengertian dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata keramat dapat diartikan
sesuatu yang suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan
psikologis kepada pihak lain. Melalui lirik lagu tersebut, Bang Haji ingin
menggambarkan bentuk keramat yang ada di dalam diri seorang ibu. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini:
101

Doa ibumu dikabulkan Tuhan


Dan kutukannya jadi kenyataan
................................................
Selain itu, melalui lirik lagu ini pula, Bang Haji ingin mengkritik
kepada orang-orang melupakan tuah seorang ibu, yaitu orang-orang yang
lebih memilih pergi ke dukun atau tempat-tempat yang dianggap keramat
dibandingkan meminta doa atau restu kepada ibunya sendiri. Hal tersebut
terdapat pada penggalan lirik lagu berikut ini:
Bukan pula dukun tempat kau menghibah
Bukan kuburan tempat memohon doa
.......................................................
b. Rasa
Rasa atau sikap Bang Haji terhadap pokok permasalahan yang
terdapat di dalam lirik lagu Keramat ini adalah ironi atau bentuk
keprihatinannya terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
masyarakat. Keperihatinan Bang Haji banyak ditunjukkan dengan
penggunaan istilah alam, seperti gunung, laut, dukun, serta kuburan yang
sekaligus menjadi bentuk penolakannya atas perilaku menyimpang.
Sama halnya dengan Gus Mus, pengungkapan rasa atau sikap pada
lirik lagu Keramat ini juga erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologis Bang Haji. Sudah ketahui bersama, bahwa jargon Bang Haji
dalam bermusik adalah The Voice of Moslem. Bang Haji ingin menjadikan
lagu-lagunya bukan hanya sebatas media hiburan, tetapi juga Bang Haji
ingin menjadikan lagu-lagunya sebagai alat untuk dirinya berdakwah. Dari
hal tersebut, dapat dilihat sikap seorang Bang Haji terhadap perilaku-
perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat. Bang Haji tidak hanya
sebatas perihatin atas perilaku menyimpang yang dilakukan masyarakat.
Akan tetapi, keprihatinannya diperkuat dengan solusi yang ia berikan, yaitu
dengan menunjukkan sosok ibu sebagai seseorang yang seharusnya
dianggap keramat.
102

c. Nada
Nada yang diungkapkan oleh pencipta dalam lirik lagu Keramat ini
adalah berupa nasihat yang ingin disampaikan kepada semua orang, tanpa
melihat batas usia. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata manusia di awal
lirik lagu. Bentuk nasihat yang digunakan oleh pencipta bukan hanya berupa
perintah, melainkan juga dalam bentuk peringatan. Bentuk peringatan Bang
Haji banyak menggunakan istilah-istilah yang sederhana, sehingga lirik
lagunya tidak terkesan menggurui, namun tetap mengena ke hati
pendengarnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini:
Hai manusia, hormati ibumu!
Yang melahirkan dan membesarkanmu
Darah dagingmmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih sayangnya

d. Amanat
Amanat yang terkandung dalam lirik lagu Keramat ini adalah berupa
sikap hormat kepada seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan
anaknya dengan segala kasih sayang, sehingga seorang anak bisa tumbuh
dan berkembang. Selain itu, lewat lirik lagu Keramat ini, Bang Haji
mengingatkan kepada kita semua akan kekeramatan seorang ibu. Maka dari
itu, jangan pernah membuat ibu marah apalagi sedih, karena ridha dan
murkanya Allah tergantung kepada ridha dan murkanya ibu.

B. Analisis Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa


Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama
Perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalam puisi Ibu karya
Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dapat dilihat
dari analisis struktur yang membangun serta nilai yang terdapat di
dalamnya. Analisis struktur tersebut memiliki peran yang sangat penting
sebagai acuan memahami perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalam
kedua karya tersebut.
103

Berdasarkan hasil analisis, puisi Ibu memiliki keterkaitan yang


cukup erat dengan lirik lagu Keramat. Meskipun kedua karya tersebut
jenisnya berbeda, yaitu puisi dan lirik lagu, serta diciptakan oleh orang yang
berbeda. Hal tersebut tidak membatasi keterkaitan antara keduanya,
sehingga menarik untuk dianalisis. Keterkaitan yang ditangkap penulis pada
dua karya tersebut adalah lirik lagu Keramat karya Bang Haji merupakan
bentuk penguatan dari penggambaran objek lirik (ibu) sebagaimana yang
dibicarakan oleh Gus Mus dalam puisi Ibu.
Sudah dijelaskan pada kajian teori, bahwa dalam menganalisis
perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat,
penulis merujuk kepada pendapat Gorys Keraf, yaitu gaya bahasa dapat
dibedakan berdasarkan pilihan kata, nada, struktur kalimat, serta langsung
tidaknya makna. Berikut ini akan dijelaskan perbandingan gaya bahasa
antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat.

1. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata


Pada puisi Ibu, jika dilihat gaya bahasa berdasarkan pilihan katanya,
Gus Mus cukup tepat memilih kata mana yang sesuai untuk posisi-posisi
tertentu dalam puisi tersebut untuk menggambarkan hal yang ingin ia
sampaikan. Ketepatan pilihan kata yang digunakan Gus Mus, serta
kesesuaiannya menempatkan posisi kata yang dipilih dapat dilihat pada bait
pertama puisi ini.
Pada bait pertama baris kedua, Gus Mus memilih kata gua untuk
menggambarkan rahim seorang ibu. Hal tersebut dikatakan tepat, sebab gua
dapat diartikan seperti sebuah tempat. Ketepatan pemilihan kata gua
diperkuat ketika kata tersebut disandingkan dengan kata teduh yang memilki
arti tenang atau aman. Kedua kata inilah yang membentuk frasa gua teduh
yang menurut penulis merupakan gambaran rahim seorang ibu. Hal tersebut
membuktikan, bahwa gua teduh merupakan gambaran rahim seorang ibu.
Apalagi jika kita menghubungkan dengan baris selanjutnya (baris ketiga),
104

yaitu terdapat kata bertapa, dalam hal ini sangat lekat dengan kata gua serta
memiliki sifat mengasingkan diri.
Setelah menggunakan frasa gua teduh untuk menggambarkan rahim
seorang ibu atau menggambarkan pengorbanan ibu ketika mengandung
anaknya, Gus Mus selanjutnya memilih menggunakan kata kawah untuk
mengambarkan pengorbanan seorang ibu dalam melahirkan anaknya.
Gambaran pengorbanan seorang ibu melahirkan anaknya diperkuat dengan
penggunaan kata meluncur dan perkasa yang menggambarkan bahwa ibu
melahirkan anak-anaknya dengan sempurna, sehat, dan kuat. Selanjutnya
Gus Mus menggunakan kata bumi untuk menggambarkan sosok ibu sebagai
tempat untuk mengadu. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan
selanjutnya, yaitu yang tergelar lembut bagiku/melepas lelah dan nestapa
menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan ibunya. Berdasarkan hal
tersebut, Gus Mus cukup tepat memilih kata bumi. Selain karena alasan
yang telah disebutkan sebelumnya, kata bumi identik dengan sesuatu yang
rendah menunjukkan kerendahatian seorang ibu yang selalu siap menerima
anaknya.
Setelah Gus Mus menggunakan kata bumi untuk menggambarkan
sosok ibu sebagai tempat mengadu (kembali), selanjutnya Gus Mus
menggunakan kata gunung untuk menggambarkan posisi seorang ibu
sebagai penyeimbang atau pemberi masukan dalam menjaga cita-cita
(mimpi) seorang anak. Hal tersebut tidak lepas dari makna, bahwa gunung
merupakan sesuatu yang kokoh atau sebagai penyeimbang bumi.
Selanjutnya, Gus Mus menggunakan frasa mata air untuk menggambarkan
sosok ibu sebagai seseorang yang selalu menjadi penyemangat untuk anak-
anaknya. Hal tersebut tidak lepas dari korelasi yang diciptakan Gus Mus
pada frasa mata air dengan kata dahaga. Jika kita merujuk pada kenyataan,
air (mata air) merupakan sumber kehidupan, sementara kata dahaga identik
dengan rasa lelah. Hal tersebut membuktikan, bahwa pilihan kata yang Gus
Mus lakukan sudah cukup tepat. Selanjutnya, bait pertama pada puisi Ibu ini
105

ditutup dengan penggunaan kata telaga untuk menggambarkan sosok ibu


sebagai ruang untuk belajar. Hal tersebut dapat dilihat pada korelasi yang
diciptakan Gus Mus pada bait pertama larik ke-14, yaitu pada kata telaga
dan bermain. Kata telaga identik dengan ruang, sementara bermain identik
dengan belajar.
Berdasarkan analisis bait pertama yang sudah dijelaskan, dapat
ditarik kesimpulan, bahwa pilihan kata pada gaya bahasa yang digunakan
Gus Mus sudah cukup tepat, yaitu secara konsisten menggunakan istilah
alam untuk menggambarkan sosok ibu. Selain cukup tepat dalam
menggunakan pilihan kata yang ia gunakan, Gus Mus juga cermat
memposisikan tiap kata yang ia gunakan. Kecermatan Gus Mus dalam
memposisikan pilihan kata yang ia gunakan terlihat dari urutan gambaran
pengorbanan seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, dan
membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut dapat dilihat dari analisis yang
sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu menggunakan kata gua yang
melambangkan rahim seorang ibu. Sudah diketahui bersama, bahwa rahim
merupakan tempat dimana seorang anak pertama dibentuk menjadi manusia
utuh. Selanjutnya, Gus Mus menggunakan kata kawah untuk
menggambarkan pengorbanan seorang ibu dalam melahirkan anaknya,
bahkan pada proses ini, ibu harus berjuang antara hidup dan mati. Setelah
menggambarkan pengorbanan seorang ibu dalam mengandung dan
melahirkan, seorang ibu juga harus merawat dan menjaga anak-anaknya
menjadi anak yang sehat dan cerdas, menjadi tempat mengadu bagi anak-
anaknya, membantu mewujudkan cita-cita anak, menjadi penyemangat,
serta menjadi tempat untuk anaknya agar terus belajar. Semua gambaran-
gambaran pengorbanan seorang ibu tersebut diposisikan secara cermat oleh
Gus Mus, tentunya dengan pemilihan kata yang tepat pula.
Kecermatan Gus Mus dalam memposisikan pilihan kata yang ia
gunakan tidak hanya di bait pertama. Hal tersebut dapat dilihat pada bait
selanjutnya (bait kedua). Jika di bait pertama Gus Mus memposisikan tiap
106

kata yang ia gunakan untuk menggambarkan tiap aspek pengorbanan


seorang ibu, di bait kedua Gus Mus memposisikan tiap kata yang ia gunakan
untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu secara menyeluruh. Hal
tersebut dapat dilihat pada baris pertama bait kedua. Gaya bahasa yang Gus
Mus pilih masih tentang alam, yaitu kata laut dan langit. Jika kita melihat
makna tiap kata, laut identik dengan luas dan dalam, sedangkan langit
identik dengan tinggi. Akan tetapi, jika dimaknakan secara keseluruhan,
yaitu laut dan langit, maka makna yang muncul adalah segalanya.
Kemudian di baris selanjutnya (baris ketiga), Gus Mus memilih
menggunakan kata mentari dan rembulan untuk menggambarkan sosok ibu
sebagai penerang bagi perjalanan hidup anaknya, yaitu perjalanan mencapai
surganya Allah. Gaya bahasa yang digunakan Gus Mus yang dijelaskan
sebelumnya juga sangat cermat diposisikan oleh Gus Mus. Apalagi di akhir
bait kedua ini, Gus Mus menggunakan sebuah hadis yang merangkum isi di
bait kedua tersebut.
Terakhir, gaya bahasa yang digunakan Gus Mus ditutup dengan
sebait doa (bait ketiga) untuk seorang ibu. Hal tersebut membuktikan bahwa
Gus Mus cukup tepat dalam memilih tiap kata yang dijadikan gaya
bahasanya serta memposisikan pilihan kata yang ia gunakan. Di bait ketiga
ini pula, Gus Mus seolah memberikan penekanan, bahwa atas semua bentuk
pengorbanan yang dilakukan seorang ibu, sudah seharusnya kita mendoakan
ibu, karena tidak ada apapun yang bisa membalas semua pengorbanan yang
ibu lakukan, selain hanya doa dari anaknya.
Jika tadi dilihat ketepatan dan kecermatan seorang Gus Mus dalam
memilih gaya bahasa yang ia gunakan serta memposisikannya secara cermat
dalam puisi Ibu, lalu bagaimana dengan Rhoma Irama dalam lirik lagu
Keramat. Di dalam lirik lagu Keramat ini, ternyata gaya bahasa yang Bang
Haji gunakan bukan hanya untuk mengejar unsur ritmis semata. Sudah
diketahui bersama, bahwa lirik lagu bukan hanya menuntut kata-katanya
saja, tetapi lirik lagu juga dituntut pas untuk didengar ketika dinyanyikan.
107

Ada hal yang menarik jika kita membandingkan puisi Ibu karya Gus
Mus dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, yaitu keduanya sama-
sama banyak menggunakan istilah-istilah alam pada tiap karya. Akan tetapi,
istilah alam yang digunakan Gus Mus dalam puisi Ibu lebih kaya
dibandingkan istilah alam yang digunakan Bang Haji dalam lirik lagu
Keramat. Hal tersebut tidak lepas dari fungsi yang ingin dicapai. Jika Gus
Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan
seorang ibu kepada anaknya serta sebagai bentuk kekagumannya akan
keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang Haji memposisikan istilah
alam sebagai bentuk penolakannya terhadap perilaku-perilaku yang terjadi
di masyarakat. Hal tersebut karena banyak masyarakat yang berpikiran
keliru, yaitu menganggap gunung, laut, dukun, dan kuburan sebagai tempat
yang suci dan dapat memberikan apapun yang diminta. Padahal ada tempat
atau perantara yang sebetulnya lebih tepat, yaitu seorang ibu. Melalui cinta,
kasih, dan doanya, mengabulkan apa yang diinginkan anaknya.
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan
perbandingan gaya bahasa pada puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu
Keramat karya Rhoma Irama dengan melihat gaya bahasa pada tiap pilihan
katanya. Ternyata terdapat persamaan dan perbedaannya. Persamaannya,
dapat dilihat pada banyaknya penggunaan istilah alam yang digunakan.
Sementara itu, perbedaannya adalah fungsi dari istilah alam digunakan. Jika
Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan
seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang
ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan
sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat yang
keliru.

2. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada


Berdasarkan nadanya, gaya bahasa didasarkan pada pengaruh dari
rangkaian kata-kata yang telah dipilih pada sebuah wacana. Seringkali
108

pengaruh ini akan terlihat jika diikuti dengan pengaruh suara ketika wacana
tersebut dibacakan. Di dalam puisi Ibu ini, jika puisi tersebut dibacakan,
maka nada yang muncul adalah ajakan kepada pembaca untuk melihat
keagungan seorang ibu. Bukan hanya mengajak untuk mengagumi sosok
ibu, Gus Mus juga mengajak pembaca untuk selalu mendoakan ibu.
Merujuk kepada pendapatnya Gorys Keraf, gaya bahasa yang digunakan
Gus Mus berdasarkan nadanya, maka tergolong gaya mulia dan bertenaga.
Hal tersebut tidak lepas dari pilihan kata yang digunakan Gus Mus mampu
menggerakkan emosi baik pembaca maupun pendengarnya ketika puisi
tersebut dibacakan.
Sama halnya dengan nada yang muncul dari puisi Ibu, pada lirik
lagu Keramat, berdasarkan nadanya tergolong ke dalam jenis gaya bahasa
mulia dan bertenaga. Hal tersebut terlihat dari maksud lirik lagu Keramat
ini, yaitu berupa nasihat. Akan tetapi, bentuk nasihat yang digunakan Bang
Haji bukan hanya berupa perintah, melainkan juga bentuk peringatan.
Bentuk peringatan yang dilakukan Bang Haji banyak menggunakan istilah-
istilah yang sederhana. Hal inilah yang membuat lirik lagu ini tidak terkesan
menggurui, namun tetap mampu menggerakkan emosi pendengarnya.
Berdasarkan analisis yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan
perbandingan gaya bahasa pada puisi Ibu karya Gus Mus dengan lirik lagu
Keramat karya Bang Haji dengan melihat berdasarkan nadanya, maka sama-
sama tergolong ke dalam jenis gaya bahasa mulia dan bertenaga.
Perbedaannya hanya terletak pada tujuannya. Jika Gus Mus menggunakan
gaya bahasa mulia dan bertenaga untuk mengajak kepada pembacanya,
sedangkan Bang Haji menggunakan gaya bahasa tersebut sebagai bentuk
nasihat serta peringatan kepada pendengarnya.

3. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa dalam puisi Ibu karya
Gus Mus ini cenderung menggunakan gaya bahasa repetisi. Pengulangan
109

bunyi dalam puisi Ibu ini membentuk musikalitas, sehingga dengan


pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi lebih merdu jika dibaca.
Contohnya pada larik /Kaulah gua teduh/ tempatku bertapa bersamamu/
sekian lama/ Kaulah kawah/ darimana aku meluncur dengan perkasa/
kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku/. Berdasarkan kutipan tersebut,
Gus Mus menggunakan pengulangan pada frasa kaulah. Pengulangan frasa
kaulah ini bukan hanya mengejar agar puisi tersebut merdu untuk dibaca.
Akan tetapi, Gus Mus juga menggunakan lambang bunyi. Jika merujuk
kepada kutipan yang telah disebutkan sebelumnya, lambang bunyi yang
dipilih Gus Mus adalah istilah alam. Penulis berpendapat, bahwa pemilihan
bunyi-bunyi yang digunakan Gus Mus dengan memanfaatkan istilah alam
sudah cukup tepat untuk mendukung perasaan atau suasana puisi. Sudah
diketahui bersama, bahwa puisi Ibu ini menggambarkan tentang kekaguman
akan keagungan seorang ibu, sehingga dengan menggunakan pengulangan
pada frasa kaulah, kemudian didukung dengan lambang bunyi, yaitu berupa
istilah alam semakin memperkuat unsur kekaguman akan keagungan yang
ditunjukkan Aku-lirik kepada objek-lirik (ibu).
Begitu juga dengan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat.
Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa yang Bang Haji gunakan juga
banyak menggunakan repetisi (pengulangan). Sama halnya dengan yang
dilakukan Gus Mus, penggunaan repetisi yang dilakukan Bang Haji pun
bukan hanya untuk mengejar unsur musikalitas pada lirik lagunya atau
membuat lirik lagu menjadi semakin merdu jika dinyanyikan. Akan tetapi,
ada maksud lain yang ingin dilakukan Bang Haji dengan menggunakan
bentuk pengulangan, yaitu untuk memberikan penegasan atas kritik yang
disampaikan.
Ada hal yang menarik jika membandingkan gaya bahasa yang
digunakan Gus Mus pada puisi Ibu dengan gaya bahasa yang digunakan
Bang Haji dalam lirik lagu Keramat dengan melihat struktur kalimatnya,
yaitu keduanya sama-sama cenderung menggunakan bentuk pengulangan.
110

Persamaan penggunaan pengulangan yang dilakukan Gus Mus dengan Bang


Haji juga dapat dilihat dari lambang bunyi yang digunakan untuk
mendukung repetisi tersebut. Jika Gus Mus memilih menggunakan lambang
bunyi, yaitu berupa istilah alam untuk mendukung perasaan dan suasana
puisinya, serta memperkuat unsur kekaguman akan keagungan Aku-lirik
kepada objek-lirik (ibu). Sementara itu, Bang Haji menggunakan lambang
bunyi yang juga berupa istilah alam untuk mendukung perasaan dan suasana
lirik lagunya. Contohnya terdapat pada lirik /bukannya gunung tempat kau
meminta/ bukan lautan tempat kau memuja/ bukan dukun tempat kau
meminta/ bukan kuburan tempat memohon doa/. Berdasarkan kutipan lirik
lagu tersebut, bentuk repetisi yang dilakukan Bang Haji terdapat pada
pengulangan kata bukan kemudian disandingkan dengan penggunaan
lambang bunyi yang cukup tepat, yaitu berupa istilah alam. Sudah diketahui,
bahwa lirik lagu Keramat karya Bang Haji ini menggambarkan tentang
kritikannya kepada masyarakat akan kekeliruannya yang telah menjadikan
gunung, laut, dukun, serta kuburan sebagai tempat yang suci atau memiliki
kekeramatan. Melalui pengulangan kata bukan inilah, Rhoma ingin
mempertegas kritikannya.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan
mengenai perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu karya Gus Mus
dengan lirik lagu Keramat karya Bang Haji dengan melihat struktur
kalimatnya. Keduanya sama-sama banyak menggunakan repetisi
(pengulangan) yang disandingkan dengan pemilihan istilah-istilah alam
yang cukup tepat. Sementara itu, jika melihat fungsi dari bentuk repetisi
yang digunakan, keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Jika Gus Mus
menggunakan repetisi untuk memperkuat kekaguman akan keagungan Aku-
lirik kepada sosok ibu, sedangkan Bang Haji menggunakan repetisi untuk
memperkuat kritikan-kritikannya.

4. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna


111

Jika melihat gaya bahasa pada puisi Ibu berdasarkan makna dengan
mengukur langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai
masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan
makna, maka gaya bahasa yang digunakan Gus Mus banyak mengalami
perubahan makna atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya.
Hal tersebut tidak lepas dari cara Gus Mus banyak menggunakan bahasa
kiasan di dalam puisi Ibu ini. Melalui bahasa kiasan inilah Gus Mus seakan
menggunakan bahasa yang ia gunakan untuk menyatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa, yaitu secara tidak langsung mengungkapkan makna
dari puisi Ibu. Hal tersebut membuat puisi Ibu ini menjadi memiliki banyak
makna atau kaya akan makna.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa berdasarkan langsung tidaknya
makna, gaya bahasa yang telah digunakan Gus Mus banyak menggunakan
pengiasan, sehingga menimbulkan makna kias dari puisi Ibu. Hal tersebut
membuat pembaca harus bisa menafsirkan kiasan yang dibuat Gus Mus.
Bentuk kiasan yang digunakan Gus Mus sendiri tergolong bentuk kiasan
langsung atau disebut juga gaya bahasa metafora. Hal tersebut tidak lepas
dari benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya. Penyair
mengiaskan ibu yang ia kagumi dengan istilah-istilah alam. Hal tersebut
dapat dilihat dari cara Gus Mus menghadirkan benda yang ia kiaskan, di
mana sosok ibu ada bersama pengiasnya, yaitu berupa istilah alam.
Meskipun sosok ibu sebagai benda yang dikiaskan hanya muncul sekali,
tepatnya di awal baris pada bait pertama. Akan tetapi, hal tersebut tidak
mengurangi eksistensi sosok ibu sebagai benda yang dikiaskan.
Istilah-istilah alam yang digunakan Gus Mus bukan hanya sebagai
pengias. Akan tetapi, istilah-istilah alam yang Gus Mus gunakan juga
sebagai bentuk perlambangan yang digunakan untuk memperjelas makna
dan membuat nada dan suasana puisi menjadi lebih jelas, sehingga dapat
menggugah hati pembacanya. Di dalam puisi Ibu ini, Gus Mus sangat
memperhatikan lambang yang ia gunakan. Hal tersebut menjadi sangat
112

penting, sebab kata-kata dari kehidupan sehari-hari saja belum cukup untuk
mengungkapkan makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Oleh
sebab itu, diperlukan pergantian dengan benda lain atau simbolisasi, sebab
dengan simbolisasi makna akan menjadi lebih hidup, jelas, dan mudah
dibayangkan oleh pembacanya. Gus Mus telah memilih istilah alam sebagai
bentuk perlambangan atau simbolisasinya dalam menggambarkan
keagungan seorang ibu. Hal tersebut membuat puisi Ibu menjadi semakin
hidup, jelas, dan mudah dibayangkan pembacanya.
Macam-macam lambang yang telah Gus Mus pilih pastinya sudah
dipertimbangkan sebelumnya, termasuk dengan melihat keadaan atau
peristiwa yang ingin Gus Mus gambarkan untuk mengganti keadaan atau
peristiwa. Puisi Ibu memperlihatkan keadaan kekaguman akan keagungan
sosok ibu cukup tepat. Ketepatan pemilihan lambang yang Gus Mus lakukan
dengan memilih istilah alam karena alam merupakan bentuk kekuasaan
Allah yang dapat dilihat secara langsung. Selanjutnya, alam juga
menunjukkan sesuatu yang berkuasa. Selain itu, alam juga merupakan
sesuatu yang dekat dengan manusia (pembaca). Hal tersebut semakin
memudahkan pembaca membayangkan puisi Ibu ini, serta pembaca tidak
terlalu mengalami kesulitan untuk menangkap maksud yang ingin
disampaikan Gus Mus dalam puisi Ibu ini.
Jika tadi dilihat gaya bahasa pada puisi Ibu berdasarkan makna
dengan mengukur langsung tidaknya makna, dimana Gus Mus banyak
menggunakan bahasa kiasan serta perlambangan, yaitu berupa istilah alam,
sehingga membuat puisi Ibu menjadi kaya akan makna. Berbeda dengan
yang dilakukan Bang Haji. Memang di dalam lirik lagu Keramat, Bang Haji
juga cukup banyak menggunakan istilah alam sebagai bentuk perlambangan.
Akan tetapi, istilah-istilah alam yang Bang Haji pilih masih
mempertahankan makna denotatifnya, sehingga pemilihan istilah alam yang
Bang Haji gunakan tidak dapat dikatakan untuk memperkaya makna, tetapi
hanya sebatas memperkaya kata yang ada di dalam lirik lagu tersebut.
113

Selain itu, tujuan yang ingin Bang Haji capai dengan menggunakan istilah
alam adalah untuk mempertegas kritikannya. Hal tersebut semakin
memperkuat, bahwa makna yang ada pada lirik lagu Keramat tetap mengacu
kepada makna sebenarnya.
Lirik lagu Keramat ini juga merupakan gambaran kritikan Bang Haji
atas perilaku menyimpang yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut
membuat Bang Haji banyak menggunakan gaya bahasa ironi untuk
mendukung kritik yang ingin ia sampaikan. Contohnya pada kutipan lirik
/bila kau sayang pada kekasih/ lebih sayanglah pada ibumu/ bila kau patuh
pada rajamu/ lebih patuhlah pada ibumu/. Berdasarkan kutipan tersebut,
sangat terlihat ironi yang ditunjukkan Bang Haji, yaitu banyak orang yang
ketika jatuh cinta menjadi lupa diri, bahkan rasa sayangnya pun melebihi
rasa sayang kepada ibunya sendiri. Selain itu, Bang Haji juga menunjukkan
ironinya, yaitu banyak orang lebih takut kepada raja atau atasan
dibandingkan dengan ibunya sendiri, sehingga kepentingan ibu sering
dinomorduakan dibandingkan kepentingan atasan.
Bang Haji bisa saja menyampaikan kritikannya dalam bentuk
sinisme atau sarkasme. Memang dengan menggunakan bentuk sinisme atau
sarkasme, kritikan yang Bang Haji sampaikan langsung mengena kepada
pendengarnya. Akan tetapi, keestetisan lirik lagu tersebut menjadi sedikit
memudar, bahkan respon yang diterima pendengarnya pun menjadi
berkurang. Hal tersebut dikarenakan jika menggunakan sinisme atau
sarkasme, lirik lagu tersebut menjadi terkesan terlalu menggurui. Berbeda
jika Bang Haji menyampaikan kritikannya dalam bentuk ironi, maka
meskipun lirik tersebut berupa kritikan, namun lirik lagu tersebut tidak
terkesan menggurui, sehingga lirik lagu tersebut menjadi mudah diterima
pendengarnya.
Perlu diketahui, berdasarkan langsung tidaknya makna, lirik lagu
Keramat ini juga terdapat jenis gaya jenis gaya bahasa sinekdoke, yaitu pars
pro toto. Contohnya terdapat pada kutipan lirik lagu /darah dagingmu dari
114

air susunya/ jiwa ragamu dari kasih sayangnya/. Berdasarkan kutipan


tersebut, terdapat frasa yang menunjukkan sebagian untuk menyatakan
keseluruhan, yaitu pada darah dagingmu dan jiwa ragamu. Keduanya
dikatakan digolongkan ke dalam jenis gaya bahasa pars pro toto karena pada
frasa darah daging menunjukkan hubungan anak dengan ibu berdasarkan
lahiriah (darah daging), sementara jiwa ragamu menujukkan hubungan
batiniyah seorang anak dengan ibunya (kasih sayang).
Berdasarkan analisis yang telah dijelaskan, maka terdapat perbedaan
gaya bahasa antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat berdasarkan
langsung tidaknya makna. Jika Gus Mus cenderung banyak menggunakan
gaya bahasa simile dengan memanfaatkan istilah alam untuk
menggambarkan keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang Haji
cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi yang juga dengan
memanfaatkan istilah alam. Selain itu, fungsi dari gaya bahasa yang
digunakan Gus Mus dengan gaya bahasa yang digunakan Bang Haji juga
memiliki perbedaan. Jika Gus Mus banyak menggunakan gaya bahasa
simile dengan banyak menciptakan kiasan untuk menciptakan efek
kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk ditangkap pembaca, serta
membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif. Sementara, Bang Haji
cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi, bertujuan untuk
mempertegas tujuan yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat. Selain
itu, dengan menggunakan gaya bahasa ironi, lirik lagu Keramat menjadi
tidak terkesan menggurui, sehingga dapat diterima oleh pendengarnya.

C. Analisis Fungsi Gaya Bahasa Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan
Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, baik dari struktur yang
membangun maupun analisis perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu
karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, ternyata
memiliki fungsi yang berbeda. Jika Gus Mus memfungsikan puisi Ibu
115

sebagai bentuk penggambaran keagungan sosok ibu, sementara Bang Haji


memfungsikan lirik lagu Keramat sebagai alat untuk melakukan kritik
sosial. Berikut ini analisis fungsi gaya bahasa yang terdapat dalam puisi Ibu
dan lirik lagu Keramat.
1. Berdasarkan gaya bahasa yang digunakan, tepatnya dari pilihan kata
yang digunakan, Gus Mus mengajak pembaca untuk melihat keagungan
seorang ibu yang telah berkorban dalam merawat dan membesarkan
anaknya. Penggunaan istilah alam yang tepat serta kecermatan dalam
memposisikannya semakin menegaskan penggambaran yang
ditunjukkan Aku-lirik yang selalu kagum akan keagungan seorang ibu.
Berbeda dengan yang Bang Haji lakukan. Berdasarkan pilihan kata dari
gaya bahasa yang digunakan, Bang Haji menyindir atau mengkritik
kepada orang-orang yang menurut Bang Haji keliru. Penggunaan istiilah
alam, seperti gunung, laut, dukun, serta kuburan semakin menegaskan
sindiran keras yang ditujukan kepada orang-orang yang dianggapnya
keliru. Keliru dalam memahami hakikat yang kekeramatan yang ada di
dunia.
2. Berdasarkan nadanya, Gus Mus memfungsikan gaya bahasa yang
digunakan untuk mengajak kepada pembaca. Bentuk ajakan yang Gus
Mus lakukan adalah untuk melihat keagungan seorang ibu. Gus mus
juga mengajak pembaca untuk selalu mendoakan ibu. Sementara itu, jika
dilihat berdasarkan nadanya, Bang Haji memfungsikan gaya bahasanya
sebagai alat untuk menyampaikan nasihat. Akan tetapi, ketepatan Bang
Haji menggunakan gaya bahasa yang sederhana, membuat lirik lagu
Keramat ini tidak terkesan seperti menggurui, sehingga mudah diterima
pendengarnya.
3. Gaya bahasa yang digunakan Gus Mus berdasarkan struktur kalimatnya
difungsikan untuk memperkuat gambaran akan kekaguman Aku-lirik
kepada sosok ibu. Penggunaan repetisi yang disandingkan dengaan
pemilihan istilah-istilah alam yang cukup tepat, semakin menegaskan
116

gambaran yang dilakukan Gus Mus. Sementara itu, jika dilihat


berdasarkan struktur kalimatnya, Bang Haji memfungsikan gaya bahasa
yang digunakan untuk mengkritik orang-orang yang dianggap Bang Haji
keliru. Penggunaan repetisi yang disandingkan dengan pemilihan istilah-
istilah alam yang cukup tepat pula semakin menegaskan sindiran atau
kritikan yang Bang Haji lakukan.
4. Jika dilihat berdasarkan langsung tidaknya makna, Gus Mus yang
cenderung menggunakan gaya bahasa metafora dengan banyak
menggunakan kiasan, yaitu memanfaatkan istilah alam, difungsikan
untuk menciptakan efek kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk
ditangkap pembaca, serta membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif.
Sementara itu, lirik lagu Bang Haji yang cenderung banyak
menggunakan gaya bahasa ironi, difungsikan untuk mempertegas tujuan
yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat.

D. Implikasi Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya


Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau sederajat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) tidak hanya dipandang dan menitikberatkan pada aspek
pengetahuan saja. Akan tetapi, juga memperhatikan dan menekankan pada
aspek penerapan nilai-nilai atau yang terdapat dalam pengetahuan. Jika
merujuk pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembahasan
puisi Ibu ini diimplikasikan ke dalam pokok bahasan sastra yang terdapat
dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, yakni kelas X semester I
(ganjil). Sementara kompetensi dasar (KD) yang dipilih dalam pokok
bahasan sastra tersebut adalah mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu
puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman.
117

Puisi Ibu ini menggambarkan kekaguman akan keagungan Aku-lirik


kepada seorang ibu. Bentuk kekaguman kepada ibu ini diungkapkan dengan
memanfaatkan istilah-istilah alam. Hampir di tiap larik, Aku-lirik
mengungkapkan sosok ibu dengan mengibaratkan alam sebagai ungkapan
kekagumannya. Dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ejawantahan dari alam
ciptaan Tuhan.
Melalui pembahasan puisi Ibu ini diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran kepada diri siswa akan apa yang telah dilakukan seorang ibu
selama ini bahwa di dalam sikapnya yang lemah dan lembut, ibu memiliki
kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itulah yang membuat seorang ibu
terlihat agung. Setelah siswa menyadari akan hal tersebut, diharapkan
tumbuh kesalehan sosial dalam diri mereka. Kesalehan sosial tercermin
ketika para siswa memahami peran ibu yang diungkapkan secara tersirat
dalam puisi ini. Selanjutnya, kesalehan sosial juga tercermin ketika para
siswa memahami akan derajat seorang ibu. Bahkan, sampai ada hadis yang
mengatakan bahwa ―surga di telapak kaki ibu‖, sehingga menimbulkan
kesadaran siswa untuk selalu hormat kepada seorang ibu. Hal tersebut dapat
dilihat dalam penggalan puisi ibu berikut ini.
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu

Melalui puisi Ibu ini tidak hanya menumbuhkan kesalehan sosial,


tetapi juga diharapkan tumbuh kesalehan spiritual dalam diri siswa.
Kesalehan spiritual akan tercermin ketika para siswa memahami pesan
tersirat dalam puisi Ibu berikut ini.
(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
118

kekasih-kekasihMu
Amin).

Penggalan puisi di atas, mengajak para siswa agar sadar bahwa sebagai
seorang anak, harus mendoakan kedua orang tuanya. Hal tersebut juga
diperintahkan di dalam Al-quran surat dalam surat Al-Isra ayat 24 yang
berbunyi ―Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".”
Jika para siswa menyadari akan keagungan seorang ibu, tentu mereka akan
menjadi pribadi yang selalu mawas diri serta berbuat dan memberi yang
terbaik bagi kedua orang tuanya. Setelah para siswa memahami pesan
tersirat dari penggalan puisi di atas, maka diharapkan tidak akan ada lagi
realita anak yang durhaka kepada orang tua.
Alasan penulis memfokuskan pada siswa, yaitu karena siswa
merupakan generasi penerus bangsa. Di pundak siswalah (pemuda) amanah
besar bangsa ini dibebankan. Jika para siswa mampu menerjemahkan pesan-
pesan yang terdapat dalam karya sastra, tentu mereka akan menjadi pribadi
yang lebih bijak dalam berucap dan bersikap. Selain itu, di tengah krisis
moral yang terjadi, diharapkan melalui pembahasan ini para siswa tumbuh
menjadi pribadi-pribadi intelektual yang menjunjung tinggi etika moral,
sehingga mereka jika mereka menjadi kaum intelektual tidak lupa untuk
tetap menghormati orang tua.
Pembahasan mengenai perbandingan gaya bahasa yang terdapat
dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya
Rhoma Irama ini berkaitan dengan analisis terhadap struktur yang
membangun puisi, baik lahir maupun batin, baik lisan maupun tulisan.
Pembahasan mengenai keterkaitan antar unsur puisi dengan realita realita
sosial dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada siswa untuk
menganalisis lebih seksama. Melalui analisis ini jugalah para siswa
119

diarahkan untuk berpikir kritis, logis, dan sistematis, sehingga dengan sikap
kritis tersebut para siswa mampu menarik benang merah di antara kedua
karya yang dikaji dengan realita sosial secara sistematis dan dapat diterima
oleh akal.
Dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan
mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yaitu menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara. Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa
menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah dalam
menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai menyimak penjelasan
guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis puisi, mereka
ditugaskan membaca puisi yang akan dikaji. Kemudian siswa
mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur puisi. Setelah semua unsur
selesai diidentifikasi, para siswa menyampaikan hasil analisis melalui
bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan. Adapun lirik lagu Keramat
digunakan sebagai media untuk membuat proses pembelajaran menjadi
lebih menarik, sehingga sikap kritis siswa akan muncul, di antaranya dengan
membandingkan gaya bahasa yang terdapat di dalam puisi Ibu dengan gaya
bahasa yang terdapat di dalam lirik lagu Keramat.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis terhadap puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri


dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama serta implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, maka dapat disimpulkan sebagi
berikut:
1. Gaya bahasa pada puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan lirik
lagu Keramat karya Rhoma Irama (Bang Haji) dapat terlihat persamaan
dan perbedaannya. Jika melihat gaya bahasa pada tiap pilihan katanya,
keduanya sama-sama banyak menggunakan istilah alam. Perbedaannya
terletak pada fungsi dari istilah alam yang digunakan. Jika Gus Mus
menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang
ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang ibu,
sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan
sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat
yang keliru. Selanjutnya, Jika melihat struktur kalimatnya, keduanya
sama-sama banyak menggunakan bentuk repetisi (pengulangan) yang
disandingkan dengan pemilihan istilah-istilah alam yang cukup tepat.
Perbedaannya terletak pada fungsi dari bentuk repetisi yang digunakan.
Jika Gus Mus menggunakan repetisi untuk memperkuat kekaguman
akan keagungan Aku-lirik kepada sosok ibu, sedangkan Bang Haji
menggunakan repetisi untuk memperkuat kritikan-kritikannya.
Kemudian, jika berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dilihat
perbedaan penggunaan gaya bahasa. Jika Gus Mus cenderung banyak
menggunakan gaya bahasa metafora dengan memanfaatkan istilah alam
untuk menggambarkan keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang
Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi yang juga

120
121

dengan memanfaatkan istilah alam. Selain itu, fungsi dari gaya bahasa
yang digunakan Gus Mus dengan gaya bahasa yang digunakan Bang
Haji juga memiliki perbedaan. Jika Gus Mus banyak menggunakan gaya
bahasa metafora dengan banyak menciptakan kiasan untuk menciptakan
efek kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk ditangkap pembaca,
serta membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif. Sementara, Bang
Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi, bertujuan untuk
mempertegas tujuan yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat.
2. Pembahasan puisi Ibu dapat memenuhi Kompetensi Dasar (KD) yang
berkaitan dengan sikap spiritual, kritis, bertanggungjawab, dan sosial
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KD yang
berkaitan dengan materi pokok bahasan sastra, yaitu memahami struktur
pembangun dan nilai-nilai dalam puisi yang terdapat pada kelas XII
SMA semester II (genap). Kegiatan menganalisis struktur dan nilai-nilai
yang terdapat dalam puisi dapat meningkatkan pemahaman siswa
terhadap teori analisis puisi, menumbuhkan sikap dan minat membaca,
menumbuhkan kepekaan terhadap realita sosial, serta membuka
pandangan tentang kondisi sosial manusia dan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan
mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yaitu menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara.

B. Saran
1. Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dapat dijadikan referensi dalam
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini dikarenakan di dalam
puisi tersebut terdapat nilai-nilai sosial yang dapat dipelajari oleh peserta
didik.
2. Lirik lagu Keramat dapat digunakan sebagai media untuk membuat
proses pembelajaran puisi menjadi lebih menarik, sehingga sikap kritis
siswa akan muncul, di antaranya dengan membandingkan gaya bahasa
122

yang terdapat di dalam puisi Ibu dengan gaya bahasa yang terdapat di
dalam lirik lagu Keramat.
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Jakarta: PT


Remaja Rosdakarya, 2010.
Aning, Floriberta. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Jakarta: NARASI,
2007.
Aswinarko dan Bahtiar, Ahmad. Kajian Puisi Teori dan Praktik. Jakarta:
Unindra Press, 2013.
Bungin, H. M. Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Djohan. Respons Emosi Musikal. Bandung: CV. Lubuk Agung, 2010.
Eastman, Arthur M. (ed). The Norton Reader An Anthology of
Expository prose. London: W. W. Norton & Company, 1984.
Esha, Teguh., dkk. Ismail Marzuki: musik, tanah air, dan cinta. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa
Nonjurusan Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia, cet 16, 2009.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara, 2013.
Ibrahim, Nini. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
UHAMKA Press, 2009.
Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2003.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya,
2012.

123
124

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi). Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada. 2011.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
PaEni, Mukhlis (ed). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan
Aksara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
Parlindungan S, Utan. Musik dan Politik: Genjer – Genjer, Kuasa dan
Kontestasi Makna. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada, 2007.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kasinius, 2000.
Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-4, 2008.
Shofan, Moh. Rhoma Irama Politik Dakwah dalam Nada. Depok: Imania,
2014.
Simon, Peter (ed), The Norton Introduction to Literature. London: W. W.
Norton & Company, 2002.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008.
Supriatna, Nanang dan Sugeng Syukur. Pendidikan Seni Musik. Bandung: U
PI Press, 2006.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa,
1985.
Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga, 1987.
Widyamartaya, A. Seni Menggayakan Kalimat: Bagaimana
Mengembangkan, Mengefektifkan dan mencitarasakan kalimat.
Yogyakarta: Kasinius, 1990.
125

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, Terj. Melani


Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Zaidan, Abdul Rozak. Goenawan Muhamad, Berpuisi dengan Ironi. Jakarta:
Bukupop, 2009.
Zain, Labibah. Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta: LkiS,
2009.

Surat Kabar

Abdul Wachid B.S. K. H. A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat. 23


Oktober 2005.
Baharudin, Ruly. Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘
Mustofa Bisri. Republika, 23 Mei 1993.
Kristanto, Tri Agus. ―K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi Balsem‖. Kompas. 31
Januari 1994.
Marzuki, Arief Fauzi. ―Gus Mus Pada Sebuah Negeri Daging‖.
Republika. 9 Februari 2003.
Toda, Dami N. Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg. Kompas, 16
Januari 2000.

Artikel Maya

Aidila, Tahta. ―Lagu-lagunya Rhoma dipelajari Sejumlah Negara‖,


http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/13/11/22/mwniet-
lagulagunya-rhoma-irama-dipelajari-sejumlah-negara.
17 Maret 2014, pukul 08.30 WIB.
Anonim. ―Biografi Achmad Mustofa Bisri‖,
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa
bisri/biografi/indexs.html.
_______, Komunitas Mata Air. ―Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis‖,
http://www.gusmus.net/page.php?mod=statis&id=1.
126

_______, ―Suara Soneta-38 Tahun The Sound of Moeslem Musik Lintas


Generasi‖,
http://www.sonetamania.com/index.php?option=com_content&view
=article&id=298:38-tahun-the-sound-of-
moeslem&catid=58:artikel-rhoma-a- soneta&Itemid=116, diakses
Senin, 17 Maret 2014 pukul 08.00 WIB.
Harahap, Sulaiman. ―Rhoma Irama: Sang Penghulu Mempelai Dangdut dan
Dakwah‖,
http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/12/04/16/m2kji3-
rhoma- irama-sang-penghulu-mempelai-dangdut-dan-dakwah,
diakses pada 17 Maret 2014 jam 08.00 wib.
Hurek, Lambertus. ―Bertemu Rhoma Irama Sang Superstar‖,
http://hurek.blogspot.com/2008/10/bertemu-rhoma-irama-sang-
superstar.html, diakses pada 17 Maret 2014, pukul 08.00 WIB.
Islahudin, ―Begadang Lagu Terbaik Rhoma Irama Sepanjang Masa‖,
http://www.merdeka.com/peristiwa/begadang-lagu-terbaik-rhoma-
irama-sepanjang-masa.html
Lampiran 1
IBU

Ibu

Kaulah gua teduh

tempatku bertapa bersamamu

sekian lama

Kaulah kawah

dari mana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi

yang tergelar lembut bagiku

melepas lelah dan nestapa

gunung yang menjaga mimpiku

siang dan malam

mata air yang tak brenti mengalir

membasahi dahagaku

telaga tempatku bermain

berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit

yang menjaga lurus horisonku

Kaulah, ibu, mentari dan rembulan

yang mengawal perjalananku

mencari jejak sorga

di telapak kakimu
(Tuhan,

aku bersaksi

ibuku telah melaksanakan amanatMu

menyampaikan kasihsayangMu

maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi

kekasih-kekasihMu

Amin).
Lampiran 2

Keramat

Hei manusia hormati ibumu

Yang melahirkan dan membesarkanmu

Darah dagingmu dari air susunya

Jiwa ragamu dari kasih sayangnya

Dialah manusia satu-satunya

Yang menyayangimu tanpa ada batasnya

Doa ibumu dikabulkan Tuhan

Dan kutukannya jadi kenyataan

Ridha Ilahi karena ridhanya

Murka Ilahi karena murkanya

Bila kau sayang pada kekasih

Lebih sayanglah pada ibumu

Bila kau patuh pada rajamu

Lebih patuhlah pada ibumu


Bukannya gunung tempat kau meminta

Bukan lautan tempat kau memuja

Bukan pula dukun tempat kau meminta

Bukan kuburan tempat memohon doa

Tiada keramat yang ampuh di dunia

Selain dari doa ibumu juga


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas


Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : X (Sepuluh)
Semester : 1 (Satu)
Alokasi waktu : 4 x 40 menit

A. Standar kompetensi
Mendengarkan: Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/ tidak
langsung

B. Kompetensi dasar
Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara
langsung ataupun melalui rekaman.

C. Indikator
1. Mengidentifikasi (majas, rima, kata-kata berkonotasi dan bermakna
lambang)
2. Menanggapi unsur-unsur puisi yang ditemukan
3. Mengartikan kata-kata berkonotasi dan makna lambang

D. Tujuan pembelajaran
1. Mengidentifikasi majas/gaya bahasa yang dipergunakan oleh penyair.
2. Mengidentifikasi rima atau persajakan akhir.
3. Mengidentifikasi kata-kata berkonotasi dan bermakna lambang.
4. Menanggapi unsur-unsur puisi yang ditemukan
5. Mengartikan kata-kata berkonotasi dan makna lambang
E. Materi pembelajaran
Rekaman puisi atau pembacaan langsung:
a. majas,
b. irama
c. kata-kata konotasi
d. kata-kata bermakna
e. lambang

F. Metode pembelajaran
1. penugasan
2. diskusi
3. tanya Jawab
4. ceramah
5. demonstrasi

G. Strategi Pembelajaran
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Unsur-unsur bentuk Contoh rekaman puisi Siswa mengidentifikasi
suatu puisi yang atau pembacaan langsung (majas, rima, kata-kata
disampaikan secara berkonotasi dan bermakna
langsung ataupun melalui lambang).
rekaman

H. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :


Nilai Budaya dan
No. Kegiatan Belajar
Karakter Bangsa
1. Kegiatan Awal : Bersahabat/
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari komunikatif
ini.
2. Kegiatan Inti : Tanggung jawab
 Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi :
 Mendengarkan pembacaan puisi ―Ibu‖ karya
A. Mustofa Bisri.
 Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi,
 Mendiskusikan unsur-unsur bentuk puisi
tersebut.
 Melaporkan hasil diskusi.
 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
 Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum
diketahui
 Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
3. Kegiatan Akhir : Bersahabat/
 Refleksi komunikatif
 Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.
 Penugasan

I. Sumber/alat/bahan belajar :
1. Buku paket Bahasa Indonesia untuk SMA kelas X semester I
2. Kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus, A. Mustofa Bisri.
3. Tuturan/Pembacaan langsung

J. PENILAIAN :
Penilaian dilakukan selama proses dan sesudah pembelajaran
Soal Instrumen
1. Catatlah pokok-pokok materi yang telah disampaikan!
2. Buatlah analisa unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik berdasarkan
puisi yang telah dibuat!
3. Buatlah analisa mengenai manfaat dan fungsi puisi dalam
kehidupan sehari-hari!

Soal penugasan
1. Sebutkan dan jelaskan struktur yang membangun puisi, abik lahir
maupun batin!
2. Bacalah puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri! Kemudian analisa majas,
irama, kata-kata konotasi, kata-kata bermakna, dan lambang.

Mengetahui, Ciputat, Juni 2014


Kepala Sekolah Guru Mapel Bahasa Indonesia

_______________ ________________________
BIODATA PENULIS

Fahrudin Mualim, dilahirkan pada hari


minggu tanggal dua puluh tiga bulan Agustus
tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh
dua dari Ibu Latipah, merupakan anak
keempat dari enam bersaudara. Nama
Fahrudin Mualim adalah pemberian sang ayah
(Didi Suryadi) yang mengambil dari tataran
bahasa Arab, disertai harapan agar si anak kelak menjadi manusia yang
memiliki pendirian tegas. Sejak balita, belia, hingga dewasa ia mengembang
dan membesar di Kebalen, kalau melihat di peta Bekasi daerah ini termasuk
kelurahan dan Kecamatan Babelan, Bekasi Utara.

Jenjang pendidikan dimulai dengan mengeyam pendidikan tingkat dasar di


sekolah milik swasta, yakni MI. Attaqwa 06 Kebalen (1998-2004),
kemudian melanjutkan ke sekolah milik pemerintah alias negeri, yakni
SMPN 1 Babelan (2004-2007), dan SMAN 1 Babelan (2007-2010).
Pendidikan tiga jenjang tersebut dilanjutkannya di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010 dan meluluskan
dirinya di tahun kelima, semester sembilan, 2014.

Semasa kuliah, ia sempat bergelut di beberapa kelompok, badan, dan


organisasi legal kampus dan terlebih sering di institusi legal di luar kampus,
bahkan di kelompok-kelompok independen yang dibangun bersama teman-
teman seperjuangan. Organisasi legal kampus yang dinaunginya adalah
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI). Di luar badan resmi kampus, ia sempat menjadi kader
Front Mahasiswa Islam. Sedangkan untuk kelompok di kampus dengan
label ilegal, ia bersama teman-teman seangkatan mendirikan dan bergiat
diskusi, meneliti, serta menulis di Komunitas Tinta Perak. Bersama teman-
teman di Komunitas Tinta Perak, ia berhasil menerbitkan Antologi Puisi
Gemuruh Cinta untuk Dunia.

Anda mungkin juga menyukai