SKRIPSI
DISUSUN OLEH:
DICKY RAMADAN NASUTION
190702035
Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan Rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan dapat menempuh ujian meja hijau untuk memperoleh
gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Skripsi ini berjudul “Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu di Desa Secanggang Kabupaten
Langkat Kajian Semantik”. Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para penguji. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi
penulis. Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penelitian saya selanjutnya.
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan rahmat serta karunia,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Selanjutnya
shalawat dan salam penulis panjatkan kepada junjungan umat baginda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam semoga kita kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.
Penulis menyadari betul bahwa tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, skripsi
ini tidak akan terwujud. Oleh karena itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos,M.Si selaku Rektor Univeritas Sumatera Utara yang
telah mengelola universitas sesuai dengan visi dan misi universitas.
2. Ibu Dr. Thyrhaya Zein, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Sumatera
Utara, serta jajarannya.
3. Ibu Prof Dr. Rozanna Mulyani, M.A selaku dosen pembimbing satu dalam penulisan
skripsi yang telah membimbing dengan memberikan yang terbaik untuk kelancaran
skripsi penulis. Terima kasih atas waktu, pikiran, serta masukan yang telah diberikan
kepada penulis.
4. Bapak Ari Azhari Nasution, S.S, M,Si selaku dosen pembimbing dua dalam penulisan
skripsi yang telah membimbing dengan memberikan yang terbaik untuk kelancaran
skripsi penulis. Terima kasih atas waktu, pikiran, serta masukan yang telah diberikan
kepada penulis.
5. Ibu Dra. Mardiah Mawar Kembaren, M.A. Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sastra
Melayu. Terima kasih atas ilmu dan nasehat yang diberikan kepada penulis. ix
6. Bapak Arie Azhari Nasution, S.S, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra Melayu
Terima kasih atas ilmu dan nasehat yang diberikan kepada penulis.
7. Bapak Baharuddin, M.Hum dan Bapak Dedi Rahmad Sitinjak M.Si selaku dosen penguji,
Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
8. Segenap dosen program Studi Sastra Melayu, fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
9. Terimakasih kepada Kak Tri dan bang Yogo, tata usaha Program Studi Sastra Melayu,
yang telah membantu penulis dalam segala administrasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Khairuddin Nasution dan Mukrima br
Panggabean yang sangat penulis cintai dan sayangi. Terima kasih atas doa yang tiada
henti dan juga dukungan kepada penulis serta segala pengorbanan untuk penulis agar
tetap semangat selama ini. Segala perjuangan penulis hingga titik ini penulis
persembahkan kepada kedua orang tua yang paling berharga dalam hidup penulis. Terima
kasih atas segala kasih dan sayang yang selalu diberikan, penulis menyadari betul sampai
saat ini belum bisa memberikan yang terbaik untuk ibu dan ayah. penulis akan terus
berusaha untuk membahagiakan ibu dan ayah..
11. Terima kasih untuk saudara kandung penulis, yaitu Tommy ali agam nasution yang telah
memberikan semangat kepada penulis sampai saat ini.
12. Terima kasih kepada kantor kepala Desa Secanggang yang telah mempermudah penulis
dalam mengurus surat-surat penelitian.
13. Untuk diri sendiri yang telah berjuang sejauh ini dan telah berhasil menyelesaikan kuliah
walau tidak tepat waktu tetapi ini semua adalah pencapaian yang luar biasa.
14. Untuk teman teman penulis yang jauh tetapi selalu menghibur dan memberi semagat
kepada penulis. Terima kasih kepada Zuranda Arnis,Mashermawan,Nur Atika Lubis dan
Nola Puspita Sari
15. Keluarga besar Sastra Melayu khususnya teman-teman seperjuangan angkatan 2019.
Terima kasih penulis ucapkan atas kebersamaan kita selama ini. Bagi penulis kalian
adalah pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Dukungan, semangat, canda tawa,
serta duka yang pernah kita jalani selama perkuliahan akan menjadi memori terindah
penulis.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah membalas
kebaikan kalian semua. Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat atas segala
bantuan dan kebaikan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
190702035
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem lambang arbitrer yang dipakai oleh warga dalam berkerja
sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri (Krisdalaksana, 1982:17). Bahasa di setiap
daerah adalah warisan kekayaan budaya Indonesia yang termuat dalam UUD Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009 pada Bab III, pasal 42, ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah daerah wajib
mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi
kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan berwarga sesuai dengan perkembangan zaman dan
agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”.
Bahasa daerah adalah suatu suatu bahasa turun temurun dihasilkan dari warisan nenek
moyang yang perlu di lestarikan dan dipertahankan. Serupa dengan pendapat Widianto (2018:1)
ia mengatakan bahwa bahasa daerah ialah aset berharga dalam sebuah bangsa. Sebagai mana
yang termuat pada asrif (2010:13) dilihat dari fungsinya, bangsa daerah yang berfungsi sebagai
berikut (1) lambang kebanggaan daerah (2) lambang suatu daerah (3) alat berintraksi di keluarga,
(4) jembatan peletarian budaya daerah dan bahasa indonesia dan
(5) pendukiung sastra daerah dan sastra indonesia. Maka dari itu, bahasa sudah menjadi hal
penting untuk dijaga dan dikembangkan sebagai wujud simbol identitas penutur dari suatu
daerah yang menjadikan ciri khas makhluk pribumi yang tinggal di permukiman daerah
khususnya di indonesia.
Bahasa daerah yang ada di Indonesia salah satunya bahasa Melayu. Bahasa Melayu
merupakan salah satu dari keanekaragaman bahasa daerah di Indonesia yang memiliki beberapa
dialek, diantaranya yaitu dialek E dan O yang digunakan di daerah Langkat yang berada di Desa
Secanggang. Bahasa yang digunakan di Desa Secanggang Kabupaten Langkat yaitu Bahasa
Melayu Langkat (BML) dengan menggunakan dialek E yang mencerminkan bahasa dari budaya
Melayu. Selain digunakan dalam bahasa sehari-sehari, bahasa Melayu Langkat digunakan saat
sedang melaksanakan kegiatan adat istiadat seperti upacara adat, perkawinan, sunat rasul, turun
ke sungai (turun mandi) yang dilakukan saat menjelang bulan ramadhan, dan upacara
kemalangan yang berada di Desa Secanggang Kabupaten Langkat.
Alasan peneliti ingin mengkaji bahasa Melayu sebagai objek penelitian di Desa
Secanggang Kabupaten Langkat adalah karena bahasa sehari-hari yang digunakan warga di desa
tersebut masih menggunakan bahasa Melayu untuk berbincang, berdagang dan kegiatan lainnya
agar peneliti dapat mengetahui apa saja penyelaan relasi makna yang ada di desa tersebut dan
merevitalisasi bahasa Melayu yang sudah tercampur ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu,
peneliti ingin melestarikan bahasa Melayu agar lebih dikenali oleh masyarakat luas dengan
menggunakan ilmu semantik.
Semantik adalah cabang disiplin ilmu bahasa yang membahas tentang relasi makna
bahasa. Relasi makna bahasa merupakan hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa tersebut berupa kata, frasa, ataupun kalimat.
Pada relasi makna semantik terdapat kesamaan makna, pertentangan makna, ketercukupan
makna, kegandaan makna, dan kelebihan makna. Pembicaraan tentang relasi makna ini disebut
dengan sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi. Semantik
berbeda dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis karena secara hierarkial satuan bahasa disebut
wacana yang dibangun oleh kalimat, satuan kalimat dibangun oleh klausa dan satuan klausa
dibangun oleh frase, satuan frase dibangun oleh kata, satuan kata dibangun oleh morfem, satuan
morfem dibangun oleh fonem dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi (Chaer,
2012: 284).
Dalam hal ini, peneliti hanya akan meneliti tentang relasi makna yang mencakup
sinonim, antonim dan homonim dengan tujuan agar peneliti dapat memaparkan relasi makna
bahasa Melayu yang ada di Desa Secanggang yang berkaitan dengan ilmu semantik.
Kepustakaan yang relevan ini membutuhkan beberapa jurnal, skripsi, maupun penelitian
yang sudah ada mengenai toponimi. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwasannya ada
perbedaan antara yang penulis teliti dengan penelitian sebelumnya. Adapun penelitian-
penelitian tersebut seperti yang dilakukan oleh:
1. Sinaga (2014) dengan judul “Relasi Makna dalam Bahasa Melayu Desa Pantai
Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang” Dalam penelitian ini, penulis mengkaji
tentang relasi makna, dimana di daerah penelitian masih ada dijumpai proses
relasi makna antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau
satuan bahasa lainnya yang dilakukan dalam aktivitas yang dilakukan warga
setempat, Prinsip relasi makna yang terdiri atas Sinonim, Antonim,
Homonim,Polesemi, Hiponim, Ambiguitas dan redudansi masih terdapat dalam
pola komunikasi masyarakat Melayu, khususnya daerah Desa Pantai Labu Baru,
Kabupaten Deli Serdang (disingkat BMS).
2. Nilawati (2018) dengan judul "Relasi Makna sinonim, antonim dan homonim)
dalam bahasa makassar dialek lakiung di kecamatan sanrobone kabupaten takalar
Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 54 relasi makna sinonim terdiri atas
145 kosakata, 43 relasi makna antonim terdiri 86 kosakata dan 24 relasi makna
homonim terdiri dari 48 sukukata.
3. Adelia (2021) dengan judul “Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu Tamian:
Kajian Semantik”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
Relasi Makna yang bersinonimi, berantonimi, berpolisemi, berhomonimi dan
berhiponimi dalam bahasa Melayu Tamiang. Hasil dari penelitian yaitu Kata
sinonimi berarti ‘nama lain’ untuk benda atau hal yang sama. Antonimi
merupakan ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam benuk frase
atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari ungkapan lain. Polisemi
lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu. Homonimi merupakan nama yang sama untuk
benda yang berlainan atau berbeda. Hiponimi merupakan nama yang termasuk
dibawah nama lain atau nama yang berada dibawah satu nama.
Penulis juga meneliti tentang hal yang sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu
mengenai relasi makna, tetapi yang menjadi perbedaan adalah objek kajiannya karena disini
peneliti menggunakan bahasa di Desa Secanggang Kabupaten Langkat sebagai objek kajian
penelitiannya. Pada penelitian ini, peneliti mengkaji relasi makna
(sinonim,antonim,polesemi,homonim,hiponimi) didalam bahasa Melayu terkhusus di Desa
Secanggang Kabupaten Langkat dengan metode yang dipakai menggunakan kualitatif
deskriptif yakni mendeskriptifkan kata-kata dalam bahasa Melayu di Desa Secanggang
Kabupaten Langkat
2.2.1 Semantik
Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signifity
atau memaknai. Sebagai istilah teknis, Semantik mengandung pengertian " studi tentang
makna ". Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka Semantik
merupakan bagian dari linguistik, seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna
dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi pada
umumnya ditingkat pertama, Tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna
menduduki tingkatan paling terakhir. Hubungkan ketiga komponen itu sesuai dengan
kenyataan bahwa;
a) bahasa merupakan bunyi -bunyi tertentu.
b) lambang- lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataran
dan hubungan tertentu, dan
c) Seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu
mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981: 5).
Menurut de Saussure dalam Chaer (2013:29) setiap tanda linguistik terbagi dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Prancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang
mengartikan (Prancis: signfiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified)
sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan
yang mengartikan (signfian, atau signifier) merupakan bukan lain berasal dari bunyi-bunyi
itu, yang membentuk fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap
tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini merupakan
dalam-bahasa (intralingual) yang umumnya merujuk dari pemahaman kepada sesuatu
referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).
Pemahaman makna (bahasa Inggris: sense) dibedakan dari arti (bahasa Inggris:
meaning) di dalam semantik. Makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur
bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna menurut Palmer (1976:30) hanya
menyangkut intrabahasa). Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons (dalam Djajasudarma
2012:7) mengatakan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami
kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang menjadikan
kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal
yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksikon.
Menurut Slametmujana (dalam Djajasudarma, 2016:22) menyatakan bahwa semantik
merupakan penelitian makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu (misalnya, sejarah
kata, dalam arti bagaimana kata itu muncul, bagaimana perkembangannya, dan mengapa
terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa).
Leksikal merupakan arti kata yang sesuai dengan apa yang kita jumpai di dalam
leksikon (kamus). Secara operasional di dalam kalimat, arti-arti leksikal dapat bergeser,
berubah, atau menyimpang. Karena hal tersebut beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa
arti (bahasa Inggris: meaning) dibedakan dari makna (bahasa Inggris: sense). Arti
merupakan apa yang disebut arti leksikal (dapat dicari di dalam kamus), dan makna
merupakan hubungan yang ada diantara satuan bahasa (Djajasudarma, 2016: 53)
Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di tataran fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang
tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar,
melainkan merupakan yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadiran pada
tiap tataran itu tidak sama
.
2.2.2 Relasi makna
Relasi makna merupakan hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang
satu dengan satuan bahasa lainnya. (Chaer, 2012:297). Satuan bahasa disini dapat berupa
kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna,
pertentangan makna, ketercakupan makna, kegansaan makna, atau juga kelebihan makna.
Dalam pembicaraan tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan juga kelebihan makna.
Dalam pembicaraan tentang relasi mkna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang
disebut sinonim, antonim, polisemi, homonim, ambiguiti, dan redudansi (Chaer, 2012:
297).
Berdasarkan pengertian relasi makna di atas, peneliti hanya akan meneliti relasi makna
yaitu sinonim, antonim, polisemi, homonim, dan hiponimi.
2.2.1.1 Sinonimi
(Wijana, 2008:20) Sinonimi adalah hubungan atau relasi persamaan makna. Jadi, bentuk
kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan kebahasaan yang lain. Bentuk-bentuk
kebahasaan yang memiliki kesamaan makna 11 disebut bersinonim. Dalam bahasa Indonesia,
kata ayah bersinonim dengan kata papa, papi, dan bapak. Kata melihat bersinonim dengan kata
memandang, menonton, mengintai, mengintip, menengok, membesuk, dsb.
Ullman (dalam Wijana, 23:2008) meringkas kemungkinan perbedaan katakata bersinonim
itu, sebagai berikut:
1. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih umum daripada anggota pasangan
lainnya. Kata memasak maknanya lebih umum daripada kata mengukus,
menggoreng, merebus, menumis, membakar, memanggang, menyangrai,
menggodok, dsb.
2. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih intensif dibandingkan pasangan
lainnya. Kata menatap lebih intensif maknanya bila dibandingkan dengan kata
melihat. Kata gemar lebih intensif daripada kata suka atau senang. Kata sulit lebih
intensif daripada kata sukar.
3. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih halus / sopan dibandingkan
dengan anggota pasangan lainnya. Kata santap lebih sopan dibandingkan dengan
kata makan. Mohon lebih sopan dibandingkan dengan minta. Wafat dan gugur lebih
sopan dibandingkan dengan meninggal dan mampus.
4. Makna sebuah kata lebih literer (bersifat kesastraan) dibandingkan dengan pasangan
sinonimnya. Kata bayu lebih literer dibandingkan dengan kata angin. Pembantu itu
tidak jadi menjemur pakaian karena tidak ada matahari, kalimat ini akan janggal jika
diubah menjadi pembantu itu tidak jadi menjemur pakaian karena tidak ada surya
5. Makna sebuah kata lebih kolokuial dibandingkan dengan pasangan sinonimnya.
Kata-kata yang memiliki makna kolokuial hanya lazim digunakan dalam tuturan
yang tidak formal. Misalnya, kata bikin lebih kolokuial dibandingkan dengan kata
buat. Aku lebih kolokuial dibandingkan saya. Ayah, ibu, dan bibi secara berturut-
turut lebih formal bila dibandingkan dengan papa, mama, dan tante.
6. Salah satu anggota pasangan sinonim maknanya lebih dialekal atau bersifat
kedaerahan dibandingkan dengan anggota pasangan yang lain. Kata kali memiliki
makna yang lebih dialektal dibandingkan dengan kata sungai. Kata saya memiliki
beberapa pasangan sinonim bersifat dialektal, misalnya gue, beta, aye, ane, dsb.
7. Salah satu anggota pasangan sinonim merupakan kosakata bahasa anak anak. Untuk
menjaga kesantunan, anak-anak sejak kecil (dini) dibekali bentuk-bentuk khusu
untuk mengacu aktivitas-aktivitas yang dilakukan sehari-hari, seperti mandi, makan,
minum, buang air besar, buang air kecil, tidur, dsb. Kata-kata yang digunakan untuk
keperluan ini secara berturut-turut adalah pakpung, maem, mimik, eek, pipis, dan
bobok.
Dari tujuh macam kemungkinan itu, terlihat bahwa sebuah pasangan sinonim
memungkinkan menampakkan beberapa sisi perbedaan. Kata-kata yang memiliki
sifat dialektal, seperti kali, gue, beta, dsb. Memiliki sifat lebih 13 kolokuial
dibandingkan pasangan sinonimnya, yakni sungai dan saya. Hal ini disebabkan
karena tuturan yang formal lazimnya tidak memiliki ciri dialektal.
2.2.1.2 Antonimi
Antonim atau antonimi merupakan hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran
yang maknannya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan
yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata
hidup, kata guru berantoni dengan kata murid, dan kata membeli berantonim dengan kata
menjual (Chaer, 2012:299).
Istilah antonimi (bahasa inggris: antonymy) berasal dari kata yunani kuno, onoma yang
berarti nama dan anti yang berarti melawan (Djajasudarma, 2016:73). Secara harfiah
merupakan nama lain untuk barang yang lain, atau ada yang menyebutkan bahwa antonimi
merupakan oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan. Sinonim,
homonimi, hiponimi dan polisemi merupakan hubungan makna yang memiliki kesamaan
Sedangkan antonimi sebaliknya, dipakai untuk menyebut makna berlawanan. Jadi, antonimi
merupakan lawan makna.Antonimi
Wijana (2008:25) Antonimi adalah perlawanan makna. Kata laki-laki berantonim dengan
kata perempuan, mati berantonim dengan hidup, utara berantonim dengan selatan, jauh
berantonim dengan dekat, dan sebagainya. Dilihat dari jumlah pasangan dan sifat
perlawanannya, antonimi dapat dibedakan menjadi antonimi biner dan nonbiner, antonimi
bergradasi dan tak bergradasi, antonimi orthogonal dan antipodal, antonimi direksional dan
antonimi relasional.
Lyons (dalam Wijana, 2008:27) menyebut antonimi biner dengan antonimi komplementer karena
sifat-sifatnya saling melengkapi.
Antonimi nonbiner adalah antonimi yang anggota-anggota pasangannya lebih dari dua.
Antara dingin dan panas sepanjang skalanya masih memungkinkan diberi anggota-anggota lain,
seperti hangat dan sejuk. Sehingga didapatkan gambaran skala seperti berikut:
Berbeda dengan antonimi biner, antonimi nonbiner, pengingkaran salah satu anggotanya
tidak mengimplikasikan secara mutlak anggota-anggota pasangannya yang lain. Kalau dikatakan
bahwa Air ini tidak panas berarti Air itu dingin. Sebaliknya, kalau dikatakan Air itu tidak dingin,
tidak harus berarti Air itu panas. Di dalam logika tradisional, pertentangan ini disebut kontras
(contrary).
Berbeda dengan antonimi biner, rentang kutub oposisi nonbiner bersifat continous. Di antara
dahulu dan sekarang ada sejumlah kata yang dapat disisipkan, seperti barusan, tadi, kemarin,
kemarin dulu, tempo hari, dan sebagainya (Wijana, 2008:27).
2.2.1.3 Polisemi
Polisemi adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbgai macam makna.
Perbedaan antara makna yang satu dengan makna yang lain dapat ditelusuri sehingga sampai
pada suatu kesimpulan bahwa makna-makna itu berasal dari sumber yang sama. Komponen
semantik yang menjadi benang merah artinya adalah ‘muda’. Makna pertama yakni ‘laki-laki
yang belum menikah’ yang dapat diidentifikasikan tanpa bantuan konteks disebut makna primer,
sedangkan makna 17 kedua, ketiga, dan keempat yang harus ditelusuri lewat konteks pemakaian
disebut makna sekunder.
2.2.1.4 Homonim
Homonimi merupakan dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan”
sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran
yang berlainan. Umpamanya, antara kata Apel yang bermakna (buah) dan kata Apel yang
bermakna Upacara; antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa yang berarti sanggup,
dan juga antara kata mengurus yang berarti mengatur dan kata mengurus yang berarti menjadi
kurus (Chaer, 2012:302).
Sebagian linguis membagi homonim menjadi dua jenis, yakni homografi dan homofoni.
Homografi kesamaannya terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan), seperti kata seri
yang dapat bermakna ‘sinar’ /sari/ dan ‘jilid’ /seri/, semi yang dapat bermakna ‘tumbuh’ /sami/.
Sementara itu, homofoni 18 menyandarkan kesamaannya pada keidentikan bunyi dan
pengucapan. Misalnya kata bang dapat bermakna ‘kakak’ (dari abang), ‘yayasan keuangan’ (dari
bank).
Sejauh yang berhubungan dengan antarkata dalam bahasa Indonesia, Wijaya (dalam
Wijana 2008:45) menyebutkan sejumlah sebab pembentukan homonimi. Adapun sebab-sebab
itu, di samping memang benar-benar ada pasangan homonim yang terbentuk karena memang
secara kebetulan atau ada dua leksem atau lebih memiliki bentuk yang sama, adalah:
Hiponimi adalah hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau
antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi (Kridalaksana dalam Wijana, 2008:53).
Misalnya saja menatap, mengintip, memandang, mengintai, dan sebaginya yang memiliki makna
spesifik berhiponim dengan melihat yang memiliki makna generik. Bentuk sepeda, becak,
pesawat terbang, mobil, kereta api, dan sebagainya berhiponimi dengan kendaraan. Dalam hal ini
sepeda, becak, pesawat terbang, mobil, dan kereta api anggota taksonomi, sedangkan kendaraan
disebut nama taksonomi. Hubungan antara menatap, memandang, mengintai, dan mengintip,
atau sepeda, becak, mobil, pesawat terbang, dan kereta api dalam relasi makna ini disebut
kehiponim, sedangkan 19 hubungan makna kata generik (nama taksonomi) dengan makna
spesifik disebut hiperonim. Berbeda dengan sinonimi dan antonomi, relasi hiponimi tidak
bersifat timbal balik. Bila dikatakan ayah bersinonim dengan papa, maka jika Badu adalah ayah
Amir, maka Badu adalah papa Amir. Bila dikatakan adik berantonim dengan kakak, maka kalau
Titik adalah adik Ani, maka Ani adalah kakak Titik.
Akan tetapi jika dikatakan ayah naik kereta api, maka kalimat ini secara mutlak
mengimplikasikan ayah naik kendaraan. Namun sebaliknya, bila dikatakan ayah naik kendaraan,
maka kalimat ini tidak membawa konsekuensi mutlak bahwa ayah naik kereta api karena
mungkin juga ayah naik mobil, ayah naik becak dan sebagainya.
Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan metode
kualitatif. Metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari
orang- orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2016:4).
1. Data penelitian
Data dalam penelitian ini merupakan data primer dan skunder. Data primer
didapat langsung dari sumbernya yaitu warga Melayu yang ada di Kecamatan
Secanggang dengan cara observasi dan wawancara langsung terhadap narasumber
Sedangkan Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung atau
sebagai pelengkap dan pendukung penelitian, data ini bisa di dapat dari kajian pustaka
atau teori-teori yang berkaitan dengan objek penelitian.
2. Sumber data
Peneliti menggunakan pendapat Mahsun sebagai persyaratan informan, berikut
penjelasannya. Sumber informasi dan sekaligus bahasa yang digunakan itu mewakili
bahasa kelompok tutur di daerah pengamatannya masing-masing, disebut juga
sebagai informasi (Mahsun, 2005:134-135). Pemilihan seseorang sebagai informan
sebaiknya memenuhi persyaratan- persyaratan tertentu yaitu:
Instrumen merupakan alat ukur dan akan menghasilkan informasi yang kita teliti
(Sappaile, 2007).Mutu alat ukur yang digunakan untuk pengambilan data penelitian sangat
berpengaruh terhadap keterpercayaan data yang diperoleh. Dengan demikian ketepatan dan
kebenaran hasil penelitian sangat ditentukan oleh mutu instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data.
Instrumen yang digunakan merupakan buku catatan, dan alat rekam yang digunakan untuk
merekam percakapan selama wawancara dengan salah satu penduduk desa atau tokoh warga di
kecamatan sicanggang.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data, penulis menggunakan pendapat Salim (2006 :13), ada beberapa teknik
pengumpulan data, diantaranya adalah: (1) observasi, (2) wawancara dan (3) dokumentasi.
1) Observasi
Dalam melakukan penelitiannya peneliti terlebih dahulu melakukan observasi dengan
melakukan beberapa langkah, yaitu:
a) Mencari dan mengamati buku buku maupun teks yang berhubungan dengan topik
yang diteliti, yaitu relasi makna kemudian membacanya berulang kali dan
menghubungkannya dengan data sekunder.
b) Mengidentifikasi relasi makna tersebut dengan peristiwa ataupun kejadian yang
berhubungan dengan komponen konsep sensus statistik agar lebih mudah menganalisis
lebih lanjut.
2) Wawancara mandalam
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak.
Disebut metode wawancara atau cakap karena memang berupa percakapan dan terjadi
kontak antara peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993:137).
Melalui metode wawancara peneliti mengumpulkan data data berupa relasi
makna dalam bahasa Melayu di Desa Secanggang Kabupaten Langkat. Metode
wawancara yang dilakukan oleh peneliti diwujudkan dengan menggunakan teknik
pancing, teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Selanjutnya, data
dikategorikan berdasarkan perangkat masing masing.
Tahap analisis data dilakukan upaya pengelompokan, menyamakan data yang sama,
dan membedakan data yang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok lain data yang
serupa, tetapi tak sama (Mahsun, 2007: 253).
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini disesuaikan berdasarkan masalah penelitian
yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun langkah-langkah teknik analisis data, yaitu:
1) Mewawancarai salah seseorang warga yang dijadikan sebagai informan untuk
mendapatkan data.
2) Mengumpulkan kata-kata yang memiliki relasi makna dalam bahasa Di Desa Secanggang
Kabupaten Langkat yang dituturkan warga setempat.
3) Mengklasifikasikan relasi makna yang bersinonim, antonim,polisemi,homonim dan
hiponimi dalam bahasa Di Desa Secanggang Kabupaten Langkat.
4) Menganalisis dan mendeskripsikan kata atau kalimat dalam bahasa Di Desa Secanggang
Kabupaten Langkat yang memiliki relasi makna dari segi persamaan, perlawanan, dan
kata yang ejaan dan lafal sama tetapi beda makna untuk dijadikan sebagai hasil penelitian
ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
Relasi makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan
kata atau satuan bahasa lainnya. Wijana mengatakan dari sekian banyak hubungan bentuk dan
makna yang ada, sejumlah diantaranya memiliki kedudukan yang sentral dalam semantik, yakni
sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi dan hiponimi.
Berdasarkan penelitian, telah diperoleh data-data berupa Relasi Makna dalam bahasa
Melayu di Desa Secanggang Kabupaten Langkat yang diperlukan seperti yang ditelah dijelaskan,
dapat dikemukakan sebagai berikut.
4.1.1 Relasi makna yang bersnonimi dalam bahasa Melayu di Desa Secanggang
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang
berarti “nama‟ dan syn yang berarti “dengan‟. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti „nama
lain untuk benda atau hal yang sama‟ (Chaer, 2013:83)
Verhaar dalam (Chaer, 2002: 82) mengatakan sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Tabel 1
A. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih umum daripada anggota pasangan
lainnya. Contoh dalam bahasa Melayu Langkat sebagai berikut :
1. Kata Nokoh lebih umum maknanya dari pada kata bongak dan gebok
Bahasa melayunya
‘Mereka membuat berita bohong tentang kenaikan harga bbm ‘
Bahasa melayunya
‘Jangan sukak berbohong karna itu dosa ‘
Bahasa melayunya
‘Jangan pernah berkata bohong kepada orang tua ‘
Dari contoh diatas (1) kata nokoh, bongak dan gebok memiliki arti yang sama yakni ‘bohong’
tetapi kata nokoh lebih umum digunakan dalam bahasa Melayu di Desa Secanggang.
B. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih intensif dibandingkan pasangan
lainnya. Contoh dalam bahasa Melayu Langkat sebagai berikut :
Kalau awak lulus kuliah ne, awak hendak niat sedekah makanan ke masjid
‘Aku sudah niat kalau lulus sidang memberi sedekah makanan ke masjid ‘
Dari contoh diatas (2) dan (3) dijumpai kata niat dan hajat juga kata maRah dan marampang.
Dikatakan lebih intensif (jarang digunakan) dari pasangan kata nya. Dalam bahasa Melayu di
Desa Secanggang kata hajat lebih sering digunakan daripada kata niat dan kata marampang lebih
sering digunakan daripada kata maRah
C. Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih halus / sopan dibandingkan dengan
anggota pasangan lainnya. Contoh dalam bahasa Melayu Langkat sebagai berikut :
semalam meninggal ye
‘Semalam dia meniggal’
Contoh diatas (5) (6) dan (7) dikatakan lebih kolokuial dari sinonimnya bearti kata tersebut
digunakan pada tuturan sehari-hari atau tuturan yang tidak formal. Kata lalu digunakan pada
tuturan sehari-hari masyarakat Melayu Langkat, begitu juga dengan kata pelesoh dan telih.
E. Salah satu anggota pasangan sinonim maknanya lebih dialektal atau bersifat kedaerahan
dibandingkan dengan anggota pasangan yang lain. Contoh dalam bahasa Melayu Langkat
adalah :
8. Kata AnJur lebih dialektal dari pada suruh halus
Blum ada jawabannya
4.1.2 Relasi makna yang berantonim dalam bahasa Melayu di Desa Secanggang
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang
maknannya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup, kata
guru berantoni dengan kata murid, dan kata membeli berantonim dengan kata menjual (Chaer,
2012: 299).
Semantik menurut Verhaar (dalam Chaer, 2002: 88) mendefinisikan antonimi sebagai
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapatpula dalam bentuk frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Menurut Wijana (2008:25) antonimi adalah perlawanan makna. Dilihat dari jumlah
pasangan dan sifat perlawananya, antonimi dapat dibedakan menjadi antonimi biner dan
antonomi nonbiner, antonimi bergradasi dan antonimi tak bergradasi, antonimi direksional dan
antonimi relasional.
Antonimi biner adalah perlawanan yang beranggotakan dua buah kata. Perlawanan
biner sejajar dengan konsep kontradiksi. Kontradiksi adalah konsep perlawanan yang
membagi kesemestaan wacana menjadi dua bagian. Apabila dikatakan X pasti bukan
Y dan sebaliknya.
Contoh dari kata-kata yang berantonimi biner dalam bahasa Melayu Langkat adalah
sebagai berikut:
Antonimi nonbiner adalah antonimi yang anggota-anggota pasangannya lebih dari dua. Berbeda
dengan antonimi biner, antonimi nonbiner pengingkaran salah satu anggotanya tidak
mengimplikasikan secara mutlak anggota-anggota pasangannya yang lain.
Aer yoo tadak hangat ‘air itu tidak panas’ brarti aer yoo sejuk ‘air itu dingin’
Sebaliknya jika dikatakan Aer yoo tadak sejok ‘air ini tidak dingin’ , tidak harus
berarti aer yo hangat ‘air itu panas’.
Contoh antonimi bergradasi dalam bahasa Melayu Tamiang adalah sebagai berikut:
20. Leba(lebar) #
Antonimi yang tak bergradasi adalah perlawanan tak bertingkat atau tak
berjenjang. Contoh antonimi tak bergradasi dalam bahasa Melayu Tamiang sebagai
berikut:
Paman # bibi
Dari pasangan-pasangan diatas tidak akan diperoleh bentuk *lebeh andung, *lebeh
atok, *lebeh abah, *lebeh emak, *lebeh paman, *lebeh bibi
C. Antonimi Direksional
Adalah perlawanan makna yang oposisinya ditentukan berdasarkan gerak menjauhi dan
mendekati suatu tempat. Contoh antonimi direksional dalam bahasa Melayu langkat
adalah:
Sini
Pada contoh (23) (24) dijumpai kata kata yang makna oposisinya ditentukan
berdasarkan gerak menjauhi dan mendekati suatu tempat. Seperti kata pergi yang
oposisinya mendekati kata pulang dan kata sini oposisinya mendekati kata sana.
D. Antonim rrelasional
Antonimi relasional adalah perlawanan yang oposisinya bersifat kebalikan. Contoh
antonimi relasional dalam bahasa Melayu Tamiang adalah sebagai berikut:
Contoh diatas (25) dapat dilihat bahwa kata kaya dan miskin bersifat perlawanan yang bersifat
kebalikan. Contoh lainnya adalah:
26. Jual # beli