Anda di halaman 1dari 102

i

Universitas Indonesia


UNIVERSITAS INDONESIA




MAKNA SIMBOLIK TATO BAGI MANUSIA DAYAK DALAM
KAJIAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR





TESIS



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora




RESTITUTA DRIYANTI
0806474470





FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI FILSAFAT
DEPOK
JULI 2011

ii
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyataan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku
di Universitas Indonesia.
J ika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.




Depok, 8 Juli 2011

Restituta Driyanti







iii
Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS


Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
Dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang di rujuk
telah saya nyatakan dengan benar.


Nama : Restituta Driyanti
Npm : 0806474470
Tanda tangan :
Tanggal : 8 Juli 2011










iv
Universitas Indonesia



v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Sang
Empunya Hidup karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian
Hermeneutika Paul Ricoeur ini. Adapun penyusunan tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Filsafat pada Program
Pascasarjana Departemen Filsafat Universitas Indonesia.
Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan
dorongan, bantuan, serta masukan sehingga sangatlah tepat kiranya dalam
kesempatan kali ini saya selaku penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-
besarnya kepada : Dr. V. Irmayanti Meliono-Budianto sebagai pembimbing yang
dengan kesabarannya telah banyak memberikan bimbingan, arahan juga pengetahuan
sehubungan selama penyusunan dan penulisan tesis ini. Terimakasih banyak juga
kepada Dr. Albertus Harsawibawa, Dr. Akhyar Yusuf Lubis, dan Dr. Embun
Kenyowati Ekosiwi, yang telah berkenan menjadi penguji ahli pada sidang tesis saya.
Di sela-sela kesibukan mereka yang padat saya bersyukur telah mendapat kesempatan
untuk diuji dan diberi masukan oleh mereka sehubungan dengan penulisan tesis ini.
Terimakasih tidak terhingga saya sampaikan kepada keluarga tercinta. Kepada
Bapak Drs. Hardjito, Ibu Maria Nungkat B.A, dan kakak-kakakku Lisa Harmayanti
S.E, Lusi Ernita S.Pt & Mateus Suseno S.Stp, dan adikku Renny Febriyanti. Berkat
doa tiada henti, dukungan materi, dorongan semangat, dan kasih-sayang kalian saya
akhirnya bisa menyelesaikan kuliah dan meraih gelar Magister Humaniora. Untuk
kalian jugalah akhirnya tesis ini saya persembahkan.


vi
Universitas Indonesia
Kepada Alimizar Ariyoga, S.Hum, terimakasih untuk semua bantuan yang
diberikan terutama dalam proses pembuatan tesis ini, dan terimakasih sudah menjadi
bagian dari hidupku. Waktu dan kebersamaan yang telah kita lewati sampai dengan
hari ini adalah bukti betapa pentingnya keberadaanmu bagiku. Allah always with u....!
Kepada Andrey Emmanuel Vidella Samosir, M.Hum yang sebentar lagi akan
menjadi Doktor, terimakasih untuk semua pelajaran berharga tentang hidup yang
pernah diberikan, dan mohon maaf untuk semua kesalahan yang pernah saya lakukan.
Sukses selalu untukmu, dan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dalam hidup.
Kepada Fio P. Hasyim, M.Hum, terimakasih untuk kebersamaan kita selama
kurang lebih 8 tahunan ini. Meskipun terkadang kita lost contact, but u always be my
friend. J uga terimakasih kepada Sabrina Yolanda my partner in crime. Lama tidak
bertemu ternyata ada banyak cerita yang harus kita bagi. Miss u, Nyong, wish u all
the best..!! Kepada Sakinah Tumufus, Raditya Christian K., dan Irwansyah,
terimakasih banyak untuk semua dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini
terutama saat terjadi hal-hal yang tidak beres. Kehadiran kalian mampu membuat
saya lebih sabar dan tenang untuk berproses dalam melewati berbagai hambatan.
Terimakasih juga saya tujukan kepada seluruh tenaga pengajar di
Departement Filsafat, terutama Pak Vincent, Pak Hayon, Alm. Pak Boas, Alm. Pak
Wayan, Pak Fuad, Pak Naupal, Mas Donny, Bu Margareth, Romo Mudji, Romo
Moko, (terimakasih sudah membuat saya jatuh cinta pada hermeneutik dan Ricoeur),
dll. J uga terimakasih kepada para staf terutama Mbak Mun (makasih ya mbak sudah
mau direpotkan oleh saya), serta Mbak Dwi, Mbak Ima, dan Mbak Nur.
Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Pascasarjana (S2) Filsafat
angkatan 08; Pak Alfredo, Pak Harris, Pak Nasri, Pak Phillo, Mas Mulya, Mas
Mansyuri, Mas J ufri, terimakasih untuk masa perkuliahan yang menyenangkan. J uga
kepada teman-teman Pascasarjana (S3) Filsafat; Mbak Ria ( makasih ya mbak udah
bikin aku berasa punya kakak di J akarta..), Bu Rima, Bu Mieke, Pak Andrinof, Mas
Firman, Mas Satrio, Pak Surya, dan kepada teman-teman Pascasarjana dari jurusan
vii
Universitas Indonesia
lain, Rani dosen( makasih buat pertemanan kita), Pak Felix ( thanks for anything
about Ricoeurnya) Mbak Wati, Stella, Hendra, Pak Otong, Mas Baim, Rani, J ames,
Edo,dll.
Special thanks saya ucapkan kepada Keluarga Besar Sejarah dari berbagai
angkatan. Terimakasih kepada angkatan 04 Dien (Didit), Sulai (makasih buat
pinjaman bukunya), Ivan, Adit, Franto, Arif, Wisnu, Eli, Mulya, Fikri, senang bisa
kenal dan sempat berbincang-bincang dengan kalian. Angkatan 05; Yossi (makasih
udah bantuin bikin lingkaran), Tomo, Dipo, Ronald, Mprie, Oki, Popon, Hendaru,
Yahya, Bim-Bim, Hendra, Ria, Nadya, Syafa, makasih untuk keakraban yang telah
terjalin. Angkatan 06; Rima (makasih untuk bantuan dadakannya pada saat mau
sidang), Fira, Robi, Ari, Moti, Dina, Egi, Gembel, Yudo, Yoga, Ilo, Boik, Rifky,
Dedi, Sukarno, Hasyim, Adi, Adit, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, terimakasih banyak untuk persahabatan dan kedekatan kita selama ini.
Angkatan 07; Gadis (nice girl), Ines, Ambon, Egar, Gem-Gem, Ika, Rayi, Aska
(makasih udah nemuin hp-ku), Dodi, Wahyu, Bugil, Tiko, Tison, Limbong, dan lain-
lain. Angkatan 08; Debby & Anggit (makasih untuk curhat2an kita selama ini ya..),
Paskal, Cindy, Oli (makasih untuk stock film2nya), Gilang, Tanu, Miki, dll. Dan
terimakasih kepada angkatan 09; Nabihah (makasih untuk perkenalan kita, dan maaf
untuk segala sesuatu yang mungkin tidak berkenan) Ruri, Redi, J iung, Koko, dll.
Tidak lupa terimakasih kepada teman-teman S1 filsafat dari berbagai angkatan
yang telah membuat saya jatuh cinta dan tergila-gila pada filsafat, mulai dari Frans,
Mikha, Asep, Rangga, Tiwi, Upi, Hani, Erik, Iriyanto, Bimo, Cing, Claudia, dll yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Begitu juga kepada teman-teman sepermainan
di Kansas, terimakasih sudah mau berbagi cerita dan mengisi hari-hari bersama mulai
dari anak-anak FIB angkatan atas Berto, Pino, Akang, Billi, Udjo, J ames, Fajar,
terutama teman-teman sastra Belanda angkatan 07 Winda, Elsa, Laras, Gita, Wangi,
Ajeng, Gema, Wanted, Alvin, Gareng, Bakti (makasih buat pinjaman username-nya),
angkatan 09 Titi dan Odi, juga kepada teman-teman jurusan lain, Dede, Amar, Edot
viii
Universitas Indonesia
(J IP), Andrey dan Yogi-Yogo (Arkeo), Reti, Dewi, Quita, Eno, Komeng, Tatang,
terimakasih sudah meramaikan Kansas dan menjadikannya begitu hommy buatku.
Last but not least, terimakasih kepada semua karyawan FIB, para satpam,
petugas fotokopi, terutama mas di gedung 3, terlebih untuk pemilik kantin, Babe, mas
Agus dan Empu, Kopral, Mas Kumis dan Marcopolonya, Pak Irin dan Mas Ari, Pak
De, Tukang Sate, mas Roni, juga para penjual yang lain. J uga kepada penghuni
Kansas yang lain terutama Menyong, Minying, dan Mya. Tetap semangat dan terus
bertahan di Kansas ya, kehadiran kalian adalah obat stress paling ampuh bagiku.
Saya menyadari bahwa secara keseluruhan penulisan tesis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karenanya kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan
agar dapat lebih baik dalam penulisan-penulisan selanjutnya. Akhir kata semoga tesis
ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.











Wassalam
Depok, J uli 2011



Restituta Driyanti
ix
Universitas Indonesia
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI
__________________________________________________________________

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini :
Nama : Restituta Driyanti
NPM : 0806474470
Program Studi : Filsafat
Departemen : Filsafat
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
J enis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah yang berjudul :
Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika
Paul Ricoeur
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 8 Juli 2011
Yang menyatakan

Restituta Driyanti
x
Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Restituta Driyanti
Program Studi : Filsafat
J udul Tesis : Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam
Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur

Pentingnya pengaruh tato bagi manusia Dayak menunjukan bahwa tato sudah
menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis, karena gambar yang digunakan
berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Tato
bagi manusia Dayak merupakan simbol dalam berinteraksi sosial antar komunitas.
Oleh karena itu pemaknaan tato sebagai sebuah teks yang sarat akan makna simbolik
diuraikan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur untuk mengungkap
pengertian-pengertian mengenai apa yang ada di balik tato tersebut baik tersurat
maupun tersirat.


Kata Kunci : Makna Simbolik, Tato, Tato Dayak, Manusia Dayak, Hermeneutika,
Paul Ricoeur







xi
Universitas Indonesia
ABSRACT

Name : Restituta Driyanti
Study Program : Philosophy
Thesis Title : The Symbolic Meaning Of Dayaks Tattoos In A Study Of
Paul Ricoeurs Hermeneutics

The importance of the human influence of Dayak tattoo shows that tattoos
have become something that is religious and magical, because of the images used in
the form of symbols associated with nature and the confidence of the public. Dayak
tattoos for men is a symbol of the social interaction between the communities.
Therefore the meaning of tattoos as a text that will be full of symbolic meaning using
the methods described Paul Ricoeur hermeneutics to reveal notions about what is
behind the tattoo is either express or implied.


Key Words : The Symbolic Meaning, Tattoo, Dayaks Tattoos, Dayaks Human,
Paul Ricoeurs Hermeneutics









xii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI




HALAMAN J UDUL................................................................................. .. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................. v
LEMBAR PERSETUJ UAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................................ix
ABSTRAK................................................................................................................ x
DAFTAR ISI.............................................................................................................xii
DAFTAR BAGAN..xiv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Permasalahan ...8
1.3 Pertanyaan Penelitian...... 9
1.4 Thesis Statement.. 9
1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 9
1.5.1 Tujuan Penelitian...... 9
1.5.2 Kegunaan Penelian10
1.6 Tinjauan Pustaka 10
1.7 Metode Penelitian... 11
1.8 Sistematika Penulisan 13

BAB II SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI PAUL
RICOEUR
2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur. 15
2.2 Pemikiran Paul Ricoeur. 21
2.3 Hermeneutika Fenomenologi Menurut Paul Ricoeur ... 23
2.4 Simbol Menurut Paul Ricoeur.... 32
2.5 Penerapan Lingkaran Hermeneutika Ricoeur Pada Tato Dayak .. 38
2.5.1 Deskripsi Tato 39
2.5.2 Deskripsi Tato Dayak 42

BAB III TATO DAN MANUSIA DAYAK
3.1 Eksistensi Manusia Dayak. 47
3.2 Tato Dalam Kehidupan Manusia Dayak..... 55
3.3 Penggunaan Motif Tato Pada Manusia Dayak.. 58
3.4 Aspek Pragmatik Tato Dayak 63

xiii
Universitas Indonesia
BAB IV SIMBOL KEBERTUBUHAN DALAM TATO DAYAK
4.1 Tubuh Manusia Dayak Sebagai Media Tato.. 66
4.2 Tato Dayak Sebagai Simbol Religiusitas. 69
4.3 Tato Dayak Sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian... 72
4.4 Tato Dayak Sebagai Simbol Eksistensi 74
4.5 Makna Simbolik Tato Dayak76

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan 82
5.2. Catatan Kritis 84



































xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR BAGAN




Bagan 1 : Lingkaran Hermeneutik Pada Tato Dayak ...... 45
Bagan 2 : Tahapan Interpretasi Pada Tato Dayak .....46






































xv
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR




Gambar 1 : Proses Pembuatan Tato Tradisional ... 40
Gambar 2 : Burung Enggang . ... 54
Gambar 3 : Proses Pembuatan Tato Dayak ... 57
Gambar 4 : Tato di Pergelangan Kaki dan Betis Perempuan Dayak ..59
Gambar 5 : Tato Motif Bunga Terong ....... 60
Gambar 6 : Tato Motif Uker Degok . 61
Gambar 7 : Tato Di Tangan Ahli Pengobatan ... 62
Gambar 8: Para Panglima Dayak Dengan Tato Di Tubuh ... 63




























1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini semakin banyak dilakukan penelitian yang menempatkan kebudayaan
sebagai teks yang dapat ditafsirkan. Penafsiran kebudayaan dalam bidang teori
dilakukan melalui pendekatan hermeneutis.
1
Pendekatan hermeneutis yang semakin
berkembang dan menyerap gagasan strukturalis, pasca strukturalis, teori narasi, serta
gagasan ilmu-ilmu sosial lainnya membuat upaya penafsiran terhadap kebudayaan
menjadi semakin tidak dapat dibatasi. Dalam arti ini, manusia dengan segala
peristiwa dan tindakan-tindakan di dalam hidupnya menjadi simbol-simbol berupa
teks yang dapat ditafsirkan untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.
Raymond Williams dalam Keywords (1976) menyebut tiga penggunaan istilah
kebudayaan yang banyak dipakai dewasa ini. Pertama, mengenai perkembangan
intelektual, spiritual dan estetik individu, kelompok atau masyarakat. Kedua,
menangkap sejumlah aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya,
dimana dalam istilah ini kebudayaan dekat dengan kesenian. Ketiga mengenai seluruh
cara hidup, aktivitas, kepercayaan, dan kebiasaan seseorang atau kelompok.
2

Antropolog A.L Kroeber dan C. Kluckhohn dalam Culture : A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952) mendata hingga 160 definisi kebudayaan .

1
Prinsip utama dari penelitian budaya yang menggunakan pendekatan hermeneutik ini adalah melihat
fenomena budaya sebagai suatu teks. Tujuan peneliti budaya adalah membaca dan memahami
fenomena budaya bukan sekedar menjelaskan. Dengan kata lain, bahwa hermeneutik berusaha
mengungkap makna fenomena simbolik dalam masyarakat.
2
Philip Smith, Cultural Theory : An Introduction, Oxford & Masachusetts : Blackwell Publisher,
2001, hal 2.
2
Universitas Indonesia
Dari sekian banyak definisi, mereka mengidentifikasikan enam pengertian utama
kebudayaan secara deskriptif, historis, normatif, psikologis, struktural dan genetik.
3

Dalam perkembangan ilmu-ilmu budaya dan humaniora, C.A van Peursen
meninjau pergeseran pergeseran arti kebudayaan yang menyangkut maksud kata dan
isi konsep. Dari segi maksud kata dan isi konsep menurut van Peursen, dewasa ini
kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap
kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga
membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari
kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja
(ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.
4

Dalam bukunya yang berjudul Interpretation of Culture, Clifford Geertz
menegaskan bahwa kebudayaan adalah suatu dimensi yang aktif dan konstitutif dari
kehidupan sosial lebih dari sekedar mekanisme penjamin integrasi sosial. Ia juga
memahami budaya sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-
simbol, mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan
pendekatan hermeneutis.
5

Bagi Geertz kebudayaan memiliki sifat interpretatif, sebagai sebuah konsep
semiotik, dan sebagai sebuah teks. Kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku
yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu ditafsirkan
agar makna yang terkandung di dalamnya dapat ditemukan. Kebudayaan bagi Geertz
adalah jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi
mendalam (thick description). Geerts menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu
sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu
mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-
penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di

3
Ibid hal 2-3
4
Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayan, J akarta : STF Driyarkara. 2003.
5
Clifford Geertz, Interpretation of Culture, (New York : Basic Books, 1973), Part IV Chapter 8
(Ideologi as a Cultural System).
3
Universitas Indonesia
dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang
mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk
mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan
merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca,
diterjemahkan, dan diinterpretasikan.
6

Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz di atas adalah
suatu pendekatan hermeneutik yang lazim dalam tradisi strukturalisme. Pendekatan
hermeunetik inilah yang kemudian menginspirasinya untuk melihat kebudayaan
sebagai teks-teks yang harus dibaca dan diinterpretasikan. Dari Paul Ricoeur, Geertz
mengambil gagasan bahwa ilmu pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan
kumpulan pengalaman empiris tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan
simbol dan hukum yang mereka beri makna. Dengan demikian tindakan manusia
dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca dan merupakan suatu perlakuan yang
sama seperti kita memperlakukan teks tulisan.
7

Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol dimana kita dapat membaca
dan menemukan nilai-nilai sebagai ekspresi tindakan manusia. Manusia berpikir,
berperasaan dan bersikap dalam ungkapan-ungkapan simbolis, sehingga bukan tanpa
alasan apabila salah seorang filsuf yaitu Ernst Cassirer cenderung untuk menandai
manusia sebagai animal symbolicum, dan mengadakan analisa tentang manusia
dengan ciri tersebut sebagai titik tolaknya.
8

Manusia hidup dalam dunia simbolik. Bahasa, mitos, seni dan agama
merupakan bagian dunia simbolik itu. Semuanya menjadi rangkaian yang saling
terhubung yang memberi makna simbolik dalam pengalaman manusia. Lebih lanjut

6
Adam Kuper, Culture, (Cambridge:Harvard University Press,1999), hal 98.
7
Ibid, hal 82.
8
Ernst Cassirer (28 J uli 1874 13 April 1945) adalah salah satu figur besar dalam pengembangan
idealisme filosofis di pertengahan pertama abad ke-20, seorang filsuf Yahudi J erman. Menggunakan
tradisi neo-Kantianisme Marburg, ia mengembangkan suatu filosofi budaya sebagai teori simbol yang
ditemukan di fenomenologi pengetahuan.
4
Universitas Indonesia
Cassirer dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan menekankan bahwa intelektualitas
manusia membutuhkan simbol. Pengetahuan manusia pada hakikatnya merupakan
pengetahuan simbolik.
Pengetahuan simbolik memuat dua unsur yang bertentangan; yang riil dan
yang mungkin nyata, lalu yang aktual dan yang ideal. Dengan mengikuti jalan pikiran
Immanuel Kant, Cassirer menekankan kembali bahwa kedua hal itu merupakan
dualisme dalam dasar pengetahuan manusia. Teori mengenai bentuk simbolik,
mengharmonisasikan dualisme dalam pemikiran manusia. Pembahasan Cassirer yang
baru tentang kebudayaan ialah bahwa ia melihat perkembangan kebudayaan dari segi
simbolisme. Cassirer mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai
berikut: manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup
dalam semesta simbolik. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu modal
dari manusia sebagai spesies yang menggunakan simbol.
9

Dari sudut etimologi simbol berasal dari kata symbollein (Yunani) yang
artinya bertemu. Kata symbollein kemudian diartikan lebih luas lagi menjadi kata
kerja symbola yang artinya tanda yang mengidentifikasi dengan membandingkan atau
mencocokan sesuatu kepada bagian yang telah ada. Sementara itu simbol dalam
pengertian sederhana adalah suatu istilah umum untuk berbagai hal yang diperoleh
melalui pengalaman dimana suatu objek, tindakan, kata, gambar atau perilaku yang
kompleks dipahami tidak terbatas pada makna yang dimilikinya namun juga dalam
berbagai gagasan atau perasaan yang lain. Sedangkan berdasarkan definisi simbol,
Levy menyatakan bahwa People buy things not only for what they can do, but also
for what they mean.
10
Dengan demikian, keberadaan simbol tidak dapat diartikan
hanya sebagai sebuah gambar atau lambang kosong.

9
Ernst Cassirer, Manusia dan kebudayaan : Sebuah Esai tentang Manusia, (J akarta:PT Gramedia,
1987), hal 39.
10
Sidney J . Levy, Simbols for Sale. Harvard Business Review, 1959 : hlm 118
5
Universitas Indonesia
Konsep simbol dalam buku The Power of Symbols menunjukan bahwa simbol
mempunyai sifat mengacu pada sesuatu yang tertinggi (ideal) atau menunjuk pada
cakrawala yang lebih luas tanpa meninggalkan hubungan dengan yang sudah biasa
dan menjadi tradisi. Simbol bukan merupakan sesuatu yang baru atau berbeda dari
apa yang disimbolkan, melainkan masih memiliki pola hubungan keterwakilan atau
paralelistis. Karenanya simbol tidak hanya bersifat universal tetapi juga mengandung
dimensi partikular.
11

Bagi Dillstone, penulis buku tersebut, simbol adalah kata atau citra atau
kontruksi yang umum dan dipahami oleh akal budi dan dianggap sebagai kebenaran.
Hal tersebut memang telah ada dan bahkan dinantikan, sebagaimana yang ada,
dengan cara yang terbuka dihubungkan dengan yang tepat. Simbol memiliki pola
hubungan yang ambigu dan multi interpretasi, berbeda dengan tanda, sinyal, isyarat
dan penunjuk yang memiliki hubungan satu lawan satu. Oleh karena itu Dillistone
kemudian mengkomparasikan pemikirannya dengan mendiskusikan konsep-konsep
simbol dari beberapa pakar, baik antropolog sosial, teolog, maupun filsuf.
12

Pentingnya keberadaan simbol membuat Paul Ricoeur menempatkan simbol
sebagai fokus utama dalam hermeneutikanya. Lebih lanjut lagi Ricoeur merumuskan
simbol sebagai semacam struktur yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara
langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna lain,
yaitu makna yang mendalam kedua (secondary meaning) dan bersifat figuratif
dimana itu hanya akan terjadi makna yang pertama dapat ditembus. Karena itulah ia
mengatakan bahwa simbol selalu bermakna ganda dalam bidang kajian
hermeneutik.
13

11
Heru S.P. Saputra, Simbol, Analogi, dan Alegori, ( Humaniora, Volume XV, No. 1/2003 ), hal
115.
12
F. W. Dillistone, The Power of Symbols, ( Yogyakarta : Kanisius, 1986 ), hal 18.
13
Irmayanti Meliono- Budianto, Ideologi Budaya, ( J akarta : Kota Kita, 2004 ), hal 40.
6
Universitas Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, manusia hidup dalam semesta simbolik
dan menggunakan simbol dalam kehidupan. Dalam kehidupan kita, tubuh merupakan
bagian dari materi yang tampak, dapat dipandang dan diraba. Karena tubuh
merupakan materi yang tampak, maka tubuh dapat menjadi simbol nyata dalam
penyampaian berbagai pesan. Akibat dari simbolisasi tersebut maka tubuh yang
materi tersebut menjadi sangat hermeneutik, multiinterpretatif, bagi objek yang
menafsirkannya.Salah satu contoh nyata yang menimbulkan multiinterpretasi
terhadap tubuh adalah tato.
Kata Tato sendiri menurut sejarah berawal dari bahasa Tahitian; Tatu atau
Tatau yang artinya memberikan torehan tanda atau simbol.
14
Tato adalah suatu tanda
yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah
adalah implantasi pigmen mikro. Tato dapat dibuat pada kulit manusia atau hewan.
Tato pada manusia adalah suatu bentuk modifikasi tubuh, sementara tato pada hewan
umumnya digunakan sebagai identifikasi.
Tato digunakan sebagai simbol atau penanda dalam tubuh manusia, karena
tato dapat bercerita mengenai pengalaman-pengalaman atau realitas yang ingin
didapat oleh individu yang memakainya. Tato dapat menjadi sebuah ekspresi antara
lain ekspresi rasa sayang terhadap anak, ekspresi rasa sayang dan cinta terhadap istri
maupun pasangan, ataupun ungkapan sayang dan sakit hati karena cinta. Di sisi lain
tato dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan, menunjukan status sosial, juga
menambah kecantikan, kedewasaan, dan harga diri pemiliknya.
Selain itu tato juga bisa digunakan sebagai identitas, Identitas meliputi upaya
mengungkapkan dan menempatkan individu-individu dengan menggunakan isyarat-
isyarat nonverbal seperti pakaian dan penampilan. Banyak komunitas yang
menjadikan tato sebagai salah satu ciri komunitas mereka. Walaupun tidak ada
gambar tertentu yang menjadi keharusan untuk ditatokan di tubuh, komunitas punk,

14
The Art of New Zealand, ( Aikon J our nal, Volume II, J uli 1996 ), hal 4.
7
Universitas Indonesia
genk motor, atau anak-anak band banyak yang menggunakan tato ditubuhnya sebagai
salah satu ciri kelompok mereka.
Pemaknaaan akan tato tergantung pada apa yang dipercaya oleh masyarakat
bersangkutan dimana setiap daerah umumnya memiliki persepsi yang berbeda-beda
tentang tato. Pada tahap pemaknaan inilah orang lain berhak sepuasnya menafsirkan
makna apa yang terkandung dalam tato yang melekat di tubuh seseorang. Tato
bergambar bunga mawar tentu akan berbeda maknanya dengan tato bergambar bunga
terong. J adi ketika di tubuh fisik terdapat tato, maka padanya terdapat pemaknaan
tekstual yang beragam, baik itu menyangkut nilai estetis, keberanian, ekspresi, seni,
dan budaya. Karenanya pemaknaan tato sebagai simbol mengandung pengertian
mengenai apa saja yang ada di balik tato, baik secara tersirat maupun tersurat.
Keberadaan tato sebagai simbol menjadikannya produk budaya yang pada
perkembangannya selalu mengalami pergeseran makna. Pada masyarakat tradisional
tato merupakan identitas dalam masa peralihan sementara pada masa sekarang tato
sudah dianggap sebagai seni dan keindahan yang menjadi bagian dari budaya popular
dalam masyarakat.
15

Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Dayak, Kalimantan, tato
merupakan bagian dari ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan dan juga
kesenian. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian,
penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi
menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu.

15
Tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture).Budaya
tanding adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai jalan perjuangan melawan
pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan
sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik,
hingga gaya. Sementara budaya pop merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan
heterogenisasi (keragaman). Selain menjadi budaya tanding sebagai bentuk penentangan dan protes
terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan, fenomena tato menjurus ke budaya pop karena
mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan.
8
Universitas Indonesia
Bagi manusia Dayak tato dipercaya sebagai sesuatu yang sakral. Tato
merupakan simbol ikatan pertalian yang tidak terpisahkan hingga kematian. Oleh
karena itu pembuatan tato tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat aturan-aturan
tertentu dalam pembuatan tato, baik pilihan gambar, struktur sosial orang yang ditato,
maupun penempatan tatonya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tato bagi
manusia Dayak memiliki aspek ontologis dan metafisis sehingga dapat diketahui
makna simbolik apa yang terkandung di dalam tato tersebut. Makna simbolik tato
bagi manusia Dayak inilah yang kemudian akan dikaji menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.

1.2 Permasalahan
Gambar atau tanda di dalam tato merupakan simbol yang mewakili nilai-nilai
tertentu. Meskipun simbol yang terlihat bukanlah nilai itu sendiri, namun keberadaan
simbol tersebut dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang
diwakilinya; dan merepresentasikan simbol tersebut secara nyata di atas kulit tubuh
akan lebih memperkuat penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Tato
merupakan tanda atau penanda, sebuah karya seni hasil peradaban yang sekaligus
juga merupakan sebuah media dalam masyarakat untuk saling mengenal,
berkomunikasi, dan menunjukkan eksistensinya. Makna simbolik tato bagi manusia
Dayak inilah yang akan dieksplorasi lebih mendalam di dalam penulisan tesis ini.
Dipilihnya tato tradisional Dayak dalam penulisan tesis ini dikarenakan
saratnya makna simbolik yang terkandung dalam tato tersebut. Mengacu pada
pendapat Ricoeur yang menyatakan bahwa filsafat adalah sebuah hermeneutik, yaitu
kajian atas makna yang tersembunyi di dalam teks, dimana teks itu sendiri
mengandung makna, maka setiap kegiatan interpretasi itu adalah kegiatan untuk
menyingkap makna yang masih tersirat dan tersembunyi di dalam teks. Tato bagi
manusia Dayak adalah sebuah teks yang sarat akan makna simbolik sehingga dapat
dilakukan kegiatan interpretasi terhadapnya.
9
Universitas Indonesia


1.3 Pertanyaan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka penulis ingin mengajukan
pertanyaan utama yaitu :
Apakah makna simbolik tato bagi manusia Dayak dapat dijelaskan menggunakan
metode hermeneutika Paul Ricoeur ?
Berkaitan dengan pertanyaan utama tersebut maka akan muncul dua pertanyaan
pendukung lainnya yaitu :
1. Bagaimana eksistensi manusia Dayak?
2. Bagaimana pengaruh tato dalam kehidupan manusia Dayak?

1.4 Thesis Statement
Tato memiliki makna simbolik yang terkait dengan kehidupan manusia
Dayak. Tato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk mengungkap keberadaan
penguasa alam, dan juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta mengusir
penyakit ataupun roh kematian.

I.5 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Penulisan tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui makna simbolik tato bagi manusia Dayak yang dikaji
menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur.
10
Universitas Indonesia
2. Untuk mengetahui eksistensi manusia Dayak
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tato bagi manusia Dayak.
1.5.2 Kegunaan Penelitian
Secara teoretis penelitian ini memiliki empat manfaat sebagai berikut :
1. Menambah wawasan pembaca dalam memahami makna simbolik tato Dayak.
2. Memberikan sumbangan pikiran dan memperkaya ilmu pengetahun filsafat
khususnya pada bidang hermeneutika.
3. Menjadi bahan studi komparatif bagi peneliti-peneliti lain yang mengkaji makna
tato tertentu dalam mengungkapkan simbol identitas budaya suatu etnis.
4. Menjadi sumbangan pemikiran sekaligus bahan pertimbangan dalam menentukan
langkah-langkah kebijakan pelestarian hasil budaya yang menjadi simbol identitas
dan lambang budaya bangsa terutama bagi pemerintah daerah setempat.

I. 6. Tinjauan Pustaka
Untuk mengetahui dan memahami Makna Simbolik Tato bagi Manusia Dayak
dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur ini. maka pembacaan tulisan tentang Tato,
manusia Dayak, dan hermeneutika Paul Ricoeur penting untuk dilakukan. Pada
dasarnya dengan membaca karya-karya tersebut pemahaman akan tato, eksistensi
manusia Dayak, dan masalah hermeneutika secara umum berikut hermeneutika Paul
Ricoeur dapat dimengerti dan dikaji secara mendalam. Terdapat tiga sumber pustaka
yang menjadi sumber pokok berkaitan dengan penulisan tesis ini, yang pertama
adalah buku The Symbolism of Evil karangan Paul Ricoeur yang membahas mengenai
simbol-simbol kejahatan, kedua adalah buku Tato karangan Hatib Abdul Kadir Olong
yang membahas mengenai tato, dan yang ketiga adalah buku Manusia Daya :
Dahulu, Sekarang dan Masa Depan karangan Mikhail Coomans. Walaupun demikian
11
Universitas Indonesia
pembacaan literatur lain tetap diperlukan untuk memperkuat dan memperjelas
pemahaman tersebut termasuk dengan membaca penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini.
Selain itu juga terdapat dua karya ilmiah yang ditemukan penulis mengenai
tato, yang pertama adalah Eksistensi Tato sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa
Tradisional Masyarakat Mentawai karya Adi Rosa yang merupakan Tesis pada
Program Studi Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung. Yang kedua adalah
Fenomena Tren Tato dan Pergeseran Makna Seni Tato Ditinjau dari Teori
Postmodernisme dan Teori Semiotik Pierce karya R. R. Early Dinda Puspita yang
merupakan Skripsi pada Program Studi Sastra J erman di Universitas Indonesia. Yang
membedakan penelitian ini dengan dua penelitian sebelumnya adalah upaya penulis
untuk menemukan makna simbollik dibalik tato bagi manusia Dayak, dan melakukan
kajian filosofis terhadap makna simbolik tato tersebut menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.

1. 7 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini
adalah studi kepustakaan, dan metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.
Data-data kepustakaan yang dikumpulkan berupa buku, artikel, literatur, maupun
penelitian-penelitian terdahulu mengenai tato dan kehidupan manusia Dayak dan
metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur. Metode hermeneutika
fenomenologi Paul Ricoeur dipilih penulis untuk menjelaskan makna simbolik tato
Dayak karena dalam pemikirannya, Ricoeur menggunakan simbol-simbol untuk
menafsirkan fenomena yang ada. Tato Dayak adalah sebuah fenomena yang sarat
akan makna simbolik sehingga metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur
dianggap tepat untuk menjelaskan makna simbolik apa yang terkandung dalam tato
Dayak tersebut. Adapun interpretasi dalam metode hermeneutika fenomenologi
tersebut digunakan sebagai pendekatan filosofis untuk membaca data-data
12
Universitas Indonesia
kebudayaan dan fenomena-fenomenanya. Pendekatan filosofis yang dimaksud adalah
permasalahan-permasalahan tersebut diuraikan secara sistematis dan inventif.
Ricoeur sendiri dalam bukunya The Symbolism of Evil, menggunakan metode
hermeneutika untuk mengungkapkan pengalaman pengalaman tentang kejahatan
dalam kebudayaan-kebudayaan besar masa lalu, baik berupa simbol-simbol primer
(noda, dosa, dan kebersalahan), maupun simbol-simbol sekunder (mitos-mitos yang
menceritakan asal usul dan cara mengatasi kejahatan).
Kejahatan sebagai pengalaman manusia yang paling eksistensial dinyatakan
dalam bahasa pengakuan lewat simbol dan mitos kejahatan. Simbol dan mitos
mengisahkan awal dan akhir kejahatan. Analisis Ricoeur tentang simbol dan mitos
kejahatan menggambarkan dua tendensi. Pertama, tendensi yang melihat kejahatan
sebagai pengalaman primer manusia. Kedua tendensi untuk mendudukkan kejahatan
dalam manusia dan membuat manusia menjadi penyebabnya.
The Symbolism of evil merupakan garis besar perkembangan pengalaman
manusia. Masing-masing simbol menggambarkan tiga tahap perkembangan sejarah :
kebudayaan kuno, agama monotheis, dan pengalaman sekular personal. Gambaran
Ricoeur mengenai manusia tidak berhenti pada manusia yang mampu berbuat jahat
karena kebebasannya yang tertawa. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai tindakan
manusia, tetapi dalam gambaran kejahatan sebagai penodaan, manusia berada dalam
situasi jahat dan tersentuh oleh kejahatan, yang menular. Lebih lanjut Ricoeur juga
menggambarkan kejahatan dan sekaligus pengharapan : dosa dan penebusan,
perbudakan dan pembebasan, pengasingan dan kembali, rasa salah dan pembenaran.
Simbol-simbol itu harus ditafsirkan dalam totalitasnya, bukan secara terpisah.
Dengan demikian penulis berharap analisis Ricoeur tentang simbol kejahatan dalam
hubugannya dengan eksistensi manusia tersebut dapat digunakan untuk memahami
makna simbolik Tato bagi manusia Dayak.

13
Universitas Indonesia
Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau menguraikan
proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat memahami
dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks dalam tindakan
sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan begitu konsep
tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti mengizinkan teks
memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang objektif. Dengan
penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks berarti memahami
individu.
Oleh karena itu, untuk membahas alur pemikiran Paul Ricoeur secara lebih
mendalam, dimana di dalam pemikirannya tersebut terdapat metode hermeneutika
fenomenologi yang digunakan sebagai kerangka teori untuk membahas permasalahan
dalam penulisan tesis ini, maka penulis akan membuat bab tersendiri, yaitu Bab II.

1.8. Sistematika Penulisan
Bab 1 yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penulisan tesis ini. Di dalamnya juga akan dijelaskan rumusan
permasalahan yang terdiri atas permasalahan, pertanyaan penelitian dan thesis
statement untuk menjadi panduan dalam penulisan. Selanjutnya akan dipaparkan
tinjauan pustaka, teori dan metode penelitian tesis berikut dengan sistematika
penulisan agar dapat menghasilkan penulisan yang sistematis.
Bab 2 berjudul Simbol Kejahatan dalam Hermeneutika Fenomenologi Paul
Ricoeur dimana dalam bab ini akan diuraikan keseluruhan perkembangan pemikiran
Paul Ricoeur. Penulisan bab ini berisikan biografi Paul Ricoeur hingga akhir
hayatnya, penjelasan mengenai latar belakang pemikiran filsafat Ricoeur termasuk
siapa saja tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan uraian mengenai metode
hermeneutika fenomenologi yang digunakan Ricoeur untuk melakukan interpretasi
terhadap sebuah teks.
14
Universitas Indonesia
Bab 3 dengan judul Tato dan Manusia Dayak akan menguraikan penjelasan
mengenai tato dan manusia Dayak. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai
manusia Dayak dan kehidupannya, gambaran umum tato Dayak, cara pembuatannya,
berikut aturan-aturan apa saja yang terdapat dalam proses pembuatan tato. Selain itu
akan dibahas juga mengenai beberapa motif yang digunakan pada tato Dayak dan
kegunaan tato Dayak ditinjau dari aspek pragmatiknya.
Bab 4 dengan judul Simbol Kebertubuhan dalam tato Dayak akan membahas
mengenai filsafat kebertubuhan manusia Dayak dalam hubungannya dengan tato
sebagai Simbol Religiusitas, sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian, serta
sebagai Simbol Eksistensi. Selanjutnya akan diperoleh makna simbolik tato Dayak
yang merupakan interpretasi keseluruhan terhadap tato Dayak menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.
Bab 5 merupakan bab penutup, dimana pada bagian akhir tesis ini terdapat
dua subbab yaitu Subbab 5.1 yang merupakan Kesimpulan dari seluruh penulisan
tesis, dan diikuti dengan Subbab 5.2 yaitu Catatan kritis













15
Universitas Indonesia
BAB 2
SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI
PAUL RICOEUR


Bab ini akan menguraikan pandangan dan pemikiran Paul Ricoeur mengenai
simbol kejahatan dalam hermeneutika fenomenologi sebagai metode interpretasi.
Dalam hubungannya dengan penulisan tesis ini, uraian pandangan dan pemikiran
Ricoeur tersebut menjadi acuan teoritis dalam membahas makna simbolik tato bagi
manusia Dayak. Selain itu, riwayat hidup Ricoeur juga akan dibahas bersama dengan
pembahasan karya-karyanya supaya keutuhan pemikirannya yang berhubungan erat
dengan kondisi sosial, budaya, maupun politik dapat dipahami dengan baik.
Pemikiran Ricoeur dapat dikategorikan ke dalam salah satu cabang filsafat
yaitu filsafat manusia. Dalam filsafat manusia, orisinalitas pemikirannya terlihat dari
pembahasannya mengenai filsafat kehendak dimana di dalamnya terdapat
pembahasan mengenai fenomena kejahatan pada eksistensi manusia dalam karyanya
The Symbolism of Evil. Untuk itu ia merefleksikan kejahatan melalui simbol dan
mitos yang dijelaskan lebih mendalam lewat metode hermeneutika fenomenologi.

2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur
Paul Ricoeur, atau lengkapnya J ean Paul Gustave Ricoeur, adalah seorang
filsuf kontemporer asal Perancis. Namanya barangkali tidak dikenal luas seperti filsuf
Perancis lainnya yaitu J ean-Paul Sartre ataupun Michel Foucault. Akan tetapi
kalangan intelektual dan akademis dunia mengakuinya sebagai salah seorang filsuf
yang paling mengesankan pada abad ke-20, baik karena inovasi pemikiran yang
dibawanya maupun karena luasnya cakupan bidang yang digelutinya. Pengaruhnya
tidak dapat diabaikan dalam studi filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik, ilmu-ilmu
budaya, ilmu sejarah, psikoanalisa, teologi, etika dan ilmu politik. Tidak
mengherankan ketika dia meninggal pada 20 Mei yang lalu di Chatenay-Malabry,
Perancis, Perdana Menteri Perancis, J ean-Pierre Raffarin mengeluarkan pernyataan:
16
Universitas Indonesia
"Hari ini kita tidak sekedar kehilangan seorang filsuf; seluruh tradisi humanis Eropa
sedang berduka untuk salah seorang juru bicaranya yang paling berbakat".
16

Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada tanggal 27 Februari
1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai
salah seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Usia dua tahun ia
sudah menjadi seorang yatim piatu. Ibunya meninggal karena sakit ketika ia berusia
tujuh bulan dan ayahnya, seorang guru bahasa Inggris terbunuh pada Perang Dunia
Pertama. Ricoeur dan kakak perempuannya dibesarkan oleh bibi dan kakek dari pihak
ayah. Ricoeur dibesarkan di Rennes, Perancis. Di Lycee ia berkenalan dengan filsafat
untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filsuf beraliran thomistis yang
terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi
besar tentang Psikoanalisa Freud.
Ricoeur mendapatkan gelar filsafatnya pada tahun 1933, lalu ia mendaftar
pada Universitas Sorbonne di Paris guna mempersiapkan diri untuk agregasi filsafat
yang diperoleh pada tahun 1935. Di Paris inilah ia berkenalan dengan Gabriel Marcel
yang nantinya akan banyak mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Pada
tahun 1937-1939 ia memenuhi panggilan untuk bergabung dalam wajib militer. Pada
waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang
sampai akhir perang pada tahun 1945. dalam tahanan J erman inilah ia banyak
mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan J aspers. Bersama teman semasa
tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de
lexistence (1947). Pada tahun yang sama diterbitkan lagi satu buku yang berjudul
Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme
yang menarik banyak perhatian pada waktu itu.

16
Ignas Kleden, Paul Ricoeur : Jalan Melingkar Dalam Filsafat, dalam
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/06/06/KL/mbm.20050606.KL115600.id,
diakses pada 1 J uni 2011 pukul 10.30 WIB.
17
Universitas Indonesia
Setelah perang usai ia menjadi dosen pada Collge Cvenol, pusat Protestan
internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon. Pada tahun
1948 ia menggantikan J ean Hyppolite sebagai professor filsafat di Universitas
Starbourg. Pada tahun 1950 Ricoeur memperoleh gelar Docteur s lettres dan
tesisnya dimasukkan ke dalam jilid pertama dari Philosophie de la volont (Filsafat
Kehendak) yang diberi anak judul Le volontaire et linvolontaire (1950) (yang
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki); dan sebagai tesis tambahan adalah
terjemahan karya Husserl Ideen I dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah
mulai ia kerjakan saat masih menjadi tahanan di J erman. Pada tahun itu tesis
utamanya dibukukan dengan judul yang sama. Dalam buku ini ia membahas suatu
deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya. Deskripsi murni dipahami
dalam arti fenomenologis, yaitu deskripsi dari sudut pandangsubyek bagi siapa
sesuatu tampak. Dengan dua karya ini ia dianggap sebagai ahli fenomenologi
terkemuka.
17

Sekitar tahun 1950an ia juga mulai menyenangi membaca karya-karya filsafat
dari mulai Plato hingga Kant, Hegel, dan Nietzsche yang membawanya mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang perkembangan filsafat barat. Sehingga hal ini
pula yang membuat dirinya tidak pernah terjebak pada satu aliran saja, bahkan pada
suatu waktu ia mempelajari filsafat analitis yang merupakan aliran yang banyak
berkembang di Inggris seperti Wittgenstein, Austin, Searly. Selain filsafat ia juga
memperhatikan masalah-masalah politik, sosial, budaya, pendidikan dan teologi. Ia
dianugerahi gelar doktor teologi honoris causa oleh Universitas Katolik Nijmegen,
Belanda atas kontribusinya dalam bidang teologi.
18

17
Paul Ricoeur, Phenomenology and Hermeneutics dalam The Nous, Vol.9, No. 1( March, 1975),
Blackwell Publishing, diakses dari http://www.jstor.org/stable/2214343, 12 J uni 2011, 13.45 WIB, hal.
85-88.
18
J ohn McCarthy, The Density of Reference: Paul Ricoeur on Religious Textual Reference dalam
International J ournal for Philosophy of Religion, Vol. 26, No. 1 (Aug., 1989), Springer, diakses dari
http://www.jstor.org/stable/40018846, 12 juni 2011, 14.05 WIB, hal. 1

18
Universitas Indonesia
Ricoeur sempat menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra di Universitas
Sorbonne. Karena pada saat itu banyak kejadian dimana para mahasiswa
memberontak dikarenakan sistem pendidikan yang tidak memuaskan dan dekan
mengundurkan diri maka Ricoeur di angkat sebagai dekan untuk kurun waktu satu
tahun. Namun karena terjadi kembali pemberontakan mahasiswa dan Ricoeur merasa
tidak nyaman maka ia mengundurkan diri. Ia kemudian banyak mengajar di
Universitas Leuven, lalu kemudian kembali lagi ke Paris dan setiap beberapa bulan ia
mengajar di Universitas Chicago.
Setelah itu Ricoeur seringkali diundang sebagai pembicara mengenai
beraneka ragam tema pada kongres, seminar, maupun lokakarya baik di dalam
maupun di luar negeri. Ia selalu mempresentasikan dirinya sebagai filsuf yang
berusaha menyoroti tema yang bersangkutan dari sudut pandang filosofisnya. Ia juga
banyak menulis dan sekaligus menjadi editor dalam majalah Esprit, yang didirikan
pada tahun 1932 oleh Emmanuel Mounier (1905-1950), seorang tokoh personalisme
Kristen dan majalah Christianisme social, yang diorganisir oleh gerakan sosial
Protestan di Perancis. Selain itu pada tahun 1955 ia mempublikasikan buku History
And Truth. Buku ini merupakan kumpulan karangannya mengenai masalah sosial dan
politik.
Pada tahun 1956 Ricoeur diangkat sebagai professor filsafat di Universitas
Sorbonne. Pada tahun 1960 ia menerbitkan buku Philosophie de la volonte jilid 2
dengan anak judul Finitude et culpabilite ( Keberhinggaan dan Kesalahan ). Buku
jilid kedua ini terdiri dari dua bagian (dua buku tersendiri) yang berjudul Falilble
Man : Philosophy of the Will ( Manusia yang dapat salah ) dan The Symbolism of Evil
(Simbol-simbol kejahatan). PadaFalilble Man : Philosophy of the Will ia membahas
eksistensi manusia dari sudut metode fenomenologi Husserl dan metode
transsendental Kant. Sedangkan dalam The Symbolism of Evil ia membahas kejahatan
konkret dalam eksistensi manusia.
Sementara itu pada tahun 1966 ia mengajar di Nanterre dan tahun 1969
terpilih menjadi dekan. Namun tahun 1970 ia berhenti sebagai dekan akibat
kerusuhan mahasiswa dan pindah ke Universitas Louvain, Belgia. Pada tahun 1973 ia
19
Universitas Indonesia
kembali ke Nanterre sebagai professor metafisik sambil mengajar paruh waktu di
Universitas Chicago. Dalam periode ini ia banyak memberi perhatian pada problem
bahasa dan hermeneutika. Ricoeur adalah penulis yang aktif. Ia menulis banyak buku
dan essay tentang isu-isu terkait. Bibliografinya mencakup lebih dari selusin buku
dan beratus-ratus essai, diantaranya :
19

1. Gabriel Marcel and Karl Jaspers. Philosophie du mystre et philosophie du
paradoxe. Paris: Temps Prsent, 1948.
2. Entretiens sur l'Art et la Psychanalyse (sous la direction de Andre Berge,
Anne Clancier, Paul Ricoeur et Lothair Rubinstein (1964), Mouton, Paris, La
Haye 1968.
3. Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim
Kohak. Evanston: Northwestern University Press, 1966 (1950).
4. History and Truth, trans. Charles A. Kelbley. Evanston: Northwestern
University press. 1965 (1955).
5. Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J .
Lowe, New York: Fordham University Press, 1986 (1960).
6. The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan. New York: Harper and
Row, 1967 (1960).
7. Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage. New
Haven: Yale University Press, 1970 (1965).
8. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, ed. Don Ihde, trans.
Willis Domingo et al. Evanston: Northwestern University Press, 1974 (1969).
9. Political and Social Essays, ed. David Stewart and J oseph Bien, trans. Donald
Stewart et al. Athens: Ohio University Press, 1974.
10. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning
in Language, trans. Robert Czerny with Kathleen McLaughlin and J ohn
Costello, S. J ., London: Routledge and Kegan Paul 1978 (1975).
11. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth:
Texas Christian Press, 1976.
12. Patocka, Philosopher and Resister. Telos 31 (Spring 1977). New York: Telos
Press.
13. The Philosophy of Paul Ricur: An Anthology of his Work, ed. Charles E.
Reagan and David Stewart. Boston: Beacon Press, 1978.
14. Essays on Biblical Interpretation (Philadelphia: Fortress Press, 1980)
15. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, ed., trans. J ohn B. Thompson. Cambridge: Cambridge
University Press, 1981.

19
J ohn B. Thompson, (ed) dalam Paul Ricoeur,Hermeneutics & Human Sciences,(London:Cambridge
U.P,1981),hal 2-4.
20
Universitas Indonesia
16. Time and Narrative (Temps et Rcit), 3 vols. trans. Kathleen McLaughlin and
David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 1984, 1985, 1988
(1983, 1984, 1985).
17. Lectures on Ideology and Utopia, ed., trans. George H. Taylor. New York:
Columbia University Press, 1985.
18. From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and
J ohn B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, 1991 (1986).
19. l'cole de la philosophie. Paris: J . Vrin, 1986.
20. Le mal: Un dfi la philosophie et la thologie. Geneva: Labor et Fides,
1986.
21. Oneself as Another (Soi-mme comme un autre), trans. Kathleen Blamey.
Chicago: University of Chicago Press, 1992 (1990).
22. A Ricur Reader: Reflection and Imagination, ed. Mario J . Valdes. Toronto:
University of Toronto Press, 1991.
23. Lectures I: Autour du politique. Paris: Seuil, 1991.
24. Lectures II: La Contre des philosophes. Paris: Seuil, 1992.
25. Lectures III: Aux frontires de la philosophie. Paris: Seuil, 1994.
26. The Philosophy of Paul Ricur, ed. Lewis E. Hahn (The Library of Living
Philosophers 22) (Chicago; La Salle: Open Court, 1995)
27. The Just, trans. David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 2000
(1995).
28. Critique and Conviction, trans. Kathleen Blamey. New York: Columbia
University Press, 1998 (1995).
29. Thinking Biblically, (with Andr LaCocque). University of Chicago Press,
1998.
30. La mmoire, l'histoire, l'oubli. Paris: Seuil, 2000.
31. Le Juste II. Paris: Esprit, 2001.
32. Reflections on the Just, trans. David Pellauer. University of Chicago Press,
2007.
33. Living Up to Death, trans. David Pellauer. University of Chicago Press, 2009.

Selain menulis dan mengajar, Ricoeur juga adalah anggota beberapa lembaga
akademis dan mendapat penghargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl
Jaspers Award (Heidelberg), The Leopold Lucas Award (Tobingen),dan The Grand
Prix de l Academie francaise. Bersama Francois Wahl ia menjadi editor pada
Lordre d philosophique di Paris.




21
Universitas Indonesia
2.2. Pemikiran Paul Ricoeur
Pemikiran filosofis Ricoeur dapat dikategorikan dalam cabang filsafat yaitu
filsafat manusia. Pemikirannya tentang filsafat manusia tampak dalam karya-
karyanya yaitu Freedom and Nature : The voluntary and the Involuntary, Falible
Man : Philosophy of the Will, dan The Symbolism of Evil.
20

Dalam lingkup filsafat manusia Ricoeur membahas Filsafat kehendak
(philosophy of will) yang dihubungkan dengan tiga persoalan eksistensi manusia yang
diungkapkan yaitu yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki,
keberhinggaan dan kebersalahan dan kejahatan. Ricoeur menegaskan bahwa
filsafat kehendak merefleksikan dimensi afektif dan kehendak pada eksistensi
manusia (to reflect upon the affective and volitional dimensions of human existence).
Filsafat kehendak ini memfokuskan pada persoalan tindakan dan motif (action and
motive), keinginan dan hasrat (need and desire), kesenangan dan kesakitan (pleasure
and pain). Ia membahas persoalan-persoalan tersebut dari perspektif fenomenologi.
Dengan fenomenologi ini ia berusaha menjelaskan fenomena persoalan-persoalan
tersebut dan menghubungkannya pada proses kesadaran subyektif.
Pertama yang dikehendaki (voluntary) dijelaskan dan dipahami oleh
Ricoeur dengan menjelaskan dan memahami yang tidak dikehendaki (involuntary)
dalam karyanya Freedom and Nature : The Voluntary and the Involuntary. Dalam
menjelaskan kehendak (will) manusia dengan fenomenologi, Ricoeur mengikuti
pemikiran fenomenologi Husserl, untuk membedakan pemikirannya dari pemikiran
eksistensialis dan menegaskan bahwa fenomenologi harus struktural .
21
Ia
membuka struktur dasar terhadap kehendak pada tingkat kemungkinan esensial
(essential possibility) yaitu struktur kehendak yang timbal-balik antara yang

20
Walter J ames Lowe, The Coherence of Paul Ricoeur dalam The J ournal of Religion, Vol. 61, No.
4 (Oct., 1981), The University Of Chicago Press, diakses dari http://www.jstor.org/stable/1202836, 12
juni 2011, 14.15 WIB, hal.384
21
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohak,
(Evanston: Northwestern University Press, 1966), hal 215.
22
Universitas Indonesia
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dengan adanya dualisme itu, ia mencari
hakekat (eidos) pada diri manusia.
Melalui analisis yang mendalam, Ricoeur menemukan bahwa dalam tindakan
kehendak kesadaran melekat pada unsur yang tidak dikehendaki (in the act of
willing, consciousness to the element of involuntary life). Tindakan manusia tampak
pada waktu ia berkehendak ( I will). Dapat dikatakan bahwa will ini sejajar dengan
cogito dalam pengertian Descartes. Sedangkan untuk menjelaskan yang tidak
dikehendaki, Ricoeur menggunakan metode partisipasi eksistensialis Gabriel
Marcel dalam menganalisis tubuh karena metode fenomenologi sudah tidak memadai
lagi. Dengan metode ini Ricoeur menyatakan bahwa penyatuan kesadaran ke dalam
tubuh dan tubuh dalam kesadaran amat diperlukan. Dengan cara itu yang tidak
dikehendaki melekat pada yang dikehendaki. Yang dikehendaki diinterpretasikan
sebagai kebebasan (freedom), sedangkan yang tidak dikehendaki diinterpretasikan
sebagai keniscayaan (nature). Menurutnya kebebasan yang dikehendaki itu bersifat
manusiawi dan tidak Ilahi.
22

Kedua, keberhinggaan dan kebersalahan (finitude and gulit). Persoalan ini
dianalisis secara kritis oleh Ricoeur ketika membahas karyanya Falilble Man :
Philosophy of Will. Dalam karyanya itu ia mengatakan bahwa manusia yang dapat
salah merupakan ciri eksistensi manusia sebagai sumber kejahatan. Kebersalahan ini
terletak pada usaha manusia yang tidak pernah berhasil mendamaikan keberhinggaan
dan ketidakberhinggaan. Kebersalahan ini merupakan kelemahan konstitusional yang
memasuki struktur dasar kehendak, sehingga manusia dimasuki kejahatan.
23

Ketiga, kejahatan (evil). Ricoeur membahas persoalan kejahatan pada
eksistensi manusia dalam karyanya yang berjudul The Symbolism of Evil. Ia
memperlihatkan bagaimana pengakuan kejahatan manusia dalam kesadaran agama,
bukan pada tataran filsafat. Dalam membahas kejahatan itu Ricoeur menggunakan

22
Ibid, hal 486.
23
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J . Lowe,
(New York: Fordham University Press, 1986 (1960)), hal xvi
23
Universitas Indonesia
metode hermeneutika karena metode fenomenologi saja tidak cukup memadai. Untuk
itu ia merefleksikan kejahatan melalui hermeneutika fenomenologi pada simbol dan
mitos.
2.3. Hermeneutika Fenomenologi menurut Ricoeur
Kekhususan pemikiran Ricoeur dalam hermeneutika adalah pandangannya
yang menggabungkan antara fenomenologi dan metode hermeneutika sehingga
memunculkan pandangan mengenai hermeneutika fenomenologi. Bertitik tolak dari
pemikiran Ricoeur dalam melihat fenomena budaya, yaitu interpretasi terhadap
fenomena budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia, pemahaman akan hidup
yang ditampilkan lewat salah satu ritual atau prosesi adat akan dapat dipahami
dengan baik apabila dilakukan dengan menembus kesadaran manusia. Dalam hal
inilah simbol berfungsi sebagai perantara supaya orang dapat memahami sesuatu
dengan lebih baik.
Menurut Ricoeur terdapat dua jalan yang menjadi dasar diletakannya
hermeneutika ke dalam fenomenologi. J alan pertama disebutnya sebagai jalan
pendek (short route) dan jalan kedua disebutnya sebagai jalan panjang (long
route).
24
Yang dimaksud dengan jalan pendek adalah ontologi pemahaman.
Pemahaman tidak lagi dihubungkan dengan cara mengetahui tetapi lebih mengarah
pada cara berada. Mengapa? Sebab pemahaman adalah salah satu aspek proyeksi
Dasein (proyeksi manusia seutuhya) dan keterbukaannya terhadap being." Dengan
begitu, "Pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang
metode, melainkan pertanyaan tentang pengejawantahan being untuk being, yang
eksistensinya terkandung di dalam pemahaman terhadap being. Hal itu sebab kita
memahami manusia dari segala aspek yang ia miliki, manusia seutuhnya, manusia
sebagai Dasein : sejarahnya, cara hidupnya, cita-citanya, gaya penampilan,
keburukannya, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Oleh sebab itu,
kita memahami manusia sebagaimana ia "menjadi".Dalam hal ini, hermeneutika

24
J oseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, ( London : Routledge & Kegan Paul, 1980), hal 238-
244.
24
Universitas Indonesia
ketika "memahami" manusia dan hasil kerja budayanya, termasuk di dalamnya
kesusastraan, yakni dengan jalan melakukan interpretasi.
Akan tetapi analisis tentang Dasein kurang dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti bagaimana kita dapat sampai pada pengertian yang jelas akan
sebuah teks, juga pada pengertian sebuah upacara, lalu bagaimana konflik interpretasi
yang saling bertentangan dapat diselesaikan. Atas dasar argumentasi inilah Ricoeur
mengajukan jalan panjang. J alan panjang merupakan refleksi di tingkat ontologi
dimana refleksi tersebut terjadi secara bertahap melalui interpretasi dan pemahaman,
dari tahap literal atau literal, ke tahap refleksi fenomenologi dan tahap eksistensial.
Untuk mengkaji hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur, tidak perlu
menghubungkannya dengan perkembangan hermeneutika sebelumnya. Karenanya
posisi hermeneutika Paul Ricoeur sepenuhnya ditempatkan terpisah dari
hermeneutika sebelumnya, yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci,
hermeneutika metode filologi, hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika
fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dan hermeneutika
fenomenologi dasein.
25

Menurut Ricoeur hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi.
Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di
sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami
berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap
pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan
hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana
manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Menurut Ricoeur
sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat
di sana. J adi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi.
Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metode hermeneutika fenomenologi.

25
Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleimacher, Dilthey, Heidegger and
Gadamer, ( Northwestern Universitiy Press, Evanston, 1969 ), hal 38-47.
25
Universitas Indonesia

Dalam hermeneutika fenomenologi, Ricoeur menekankan pentingnya
pemahaman tentang distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik
kepada fenomenologi terjadi melalui pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang
dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi
makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap tertuju
kepadanya. Pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa.Tanda linguistik
hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk kepada
konsep atau makna dari benda-benda. J adi dalam tanda itu terkandung negativitas
tertentu, meniadakan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman. Dalam kajian
linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang berbicara
memiliki ruang kosong tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang kosong yang
memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud untuk
memasuki semesta simbolik.
26

Fenomenologi dapat dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa
virtual yang tampil sebagai tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis.
Fenomenologi menjalin sifat tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat operatif,
membuat makna tampil sebagai makna. Hermeneutik memperluas gerak-gerik
filosofis ini ke dalam ranah historis dan secara lebih umum lagi ke dalam ilmu-ilmu
tentang manusia. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami bahwa pengalaman yang
dihayati sebagai obyek dari fenomenologi berhubungan dengan kesadaran yang
ditujukan untuk mempertahankan kebergunaan historis. Dengan demikian,
pengambilan-jarak hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan masa lalu
Hermeneutik bermula ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita dengan masa
lalu agar dapat memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama
memungkinkan subyek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan
kepemilikannya akan tradisi historis.

26
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics I, trans. Kathleen Blamey and J ohn B.
Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), hal 88.
26
Universitas Indonesia
Hermeneutika dan fenomenologi juga sama-sama memandang bahwa
pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati.
Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada obyek
menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh
gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan
gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang
memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya
agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik
sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran
perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.
Ricoeur juga menunjukkan bagaimana hubungan antara hermeneutik dan
fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan)
dalam fenologi yang oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna,
surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan
pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep
Lebenswelt itu, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa
fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Dengan
demikian, fenomenologi dan hermeneutik merupakan dua hal yang tak terpisahkan
dan selalu bersama-sama dalam upaya memahami fenomena dan memahami manusia
melalui ilmu-ilmu tentang manusia.
27

Dengan hermeneutika fenomenologinya Ricoeur kemudian mendefinisikan
teks sebagai ...any discourse fixed by writing. Teks adalah diskursus yang
dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan sebagai peristiwa bahasa atau
penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem kode linguistik.
Diskursus menunjukkan bahasa sebagai peristiwa, bukan sebagai sistem. Satuan
terkecil dari gramatika bahasa yang melandasi teks adalah kata sedangkan satuan
terkecil dari diskursus adalah kalimat. Teks merupakan hasil pengambilan-jarak
terhadap pengalaman yang dihayati dalam dunia. Dengan istilah teks, Ricoeur juga
merujuk kepada pengalaman dan tindakan manusia yang akan ditafsirkan.

27
Ibid, hal 86.
27
Universitas Indonesia
Pengalaman dan tindakan manusia mengandung pemaknaan linguistik, oleh karena
itu keduanya merupakan diskursus.
28

Pengambilan-jarak mengindikasikan adanya pemutusan hubungan antara
pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami dengan dunia. Dengan kata lain,
pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di sini dibekukan menjadi teks atau
dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat dibaca. Ricoeur mengenakan sifat-sifat
teks ke dalam tindakan.
Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan, tindakan juga pada
awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa tindakan yang terjadi dalam
waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu (pelaku maupun yang terkena tindakan)
dengan maksud-maksud tertentu pula. Pemantapan tindakan menjadikan tindakan tak
lagi hanya merujuk pada satu peristiwa tertentu, dengan demikian tindakan pun
terkena sifat-sifat teks. Ricouer menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:
29

1. Tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi
yang oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke
dalam tulisan.
2. Seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan
juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan
objektivitas tindakan. Tindakan manusia meninggalkan jejak pada
sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai rekaman,
tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak
lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.
3. Tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu pengetahuan sosial,
tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan tindakan
jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi
sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan
yang dimantapkan tidak hanya mencerminkan zamannya, namun
membukakan suatu kenyataan dan kemungkinan baru juga.

28
Ibid, hal 145.
29
Ibid, hal 150-156.
28
Universitas Indonesia
4. Pada akhirnya, tindakan manusia dalam bentuknya yang objektif
menyapa siapa saja yang membacanya. Tindakan manusia, seperti
juga teks, merupakan karya terbuka, serta menanti penafsiran dan
pemaknaan yang segar dari praksis aktual.

Dengan demikian setelah dimantapkan sebagai teks, pengalaman dan tindakan
manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan dan hasil penafsirannya mencakup
makna obyektif dan makna subyektik. Makna obyektif berbeda dengan makna
subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi dan memperkaya penafsiran.
Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya dengan kembali pada intensi
orang yang mengalami atau pembuat tindakan. Konstruksi makna yang dilakukan
harus berbentuk proses dialektika antara pendugaan dan pengesahan. Rekonstruksi
teks sebagai keseluruhan harus bersifat daur ulang dalam arti makna keseluruhan
harus tampak dalam bagian-bagiannya. Sebaliknya, keseluruhan dibangun dari
rincian-rinciannya. Di sini tak bisa ditentukan secara gamblang patokan untuk
menentukan bagian mana yang paling penting dan mana yang tidak penting, mana
yang hakiki, dan mana yang artifisial. Keseluruhannya harus dipahami secara
mendalam.
Selanjutnya Ricoeur kemudian menempatkan penafsiran kepada "tanda, atau
simbol, yang dianggap sebagai teks". Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
"interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik. Hal
itu disebabkan seluruh aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan bahasa,
bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan
menggunakan bahasa. "Manusia pada dasamya merupakan bahasa, dan bahasa itu
sendiri merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia," kata Paul Ricoeur.
30

30
E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hal 107.
29
Universitas Indonesia
Interpretasi dilakukan dengan cara pcrjuangan melawan distansi kultural,
yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan
baik. Dalam interpretasi seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu
yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat),
dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang
dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari "prasangka".
31

Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar dari
"prasangka" yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari
berbagai gagasan.Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, "sebuah teks harus kita
tafsirkan dalam bahasa dan tidak pemah tanpa pengandaian, dan diwamai dengan
situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus".
32
Karenanya, sebuah teks
selalu berdiri di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutika, yang
saling berhadapan. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedangkan pemahaman
hermeneutika memberi kesan kita subjektif.
Dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas ini oleh Paul Ricoeur
diselesaikan dengan jalan "sistem bolak-balik", yakni penafsir melakukan
"pembebasan teks" (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks
ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks; dan melakukan langkah
kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latarbelakang terjadinya teks,
atau semacamnya. Dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi itu bertumpu pada
otonomi teks yang terdiri dari tiga macam, yakni:
33

1. Intensi atau maksud pengarang (teks),
2. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks (konteks), dan
3. Untuk siapa teks itu dimaksudkan (kontekstualisasi).

31
Ibid, hal 107.
32
Ibid, hal 108.
33
Ibid, hal 109.
30
Universitas Indonesia
Kontekstualisasi yang dimaksudkan adalah bahwa materi teks "melepaskan
diri" dari pengetahuan yang terbatas dari pengarangnya. Selanjutnya,teks tersebut
membuka diri
34
terhadap kemungkinan dibaca dan ditafsirkan secara luas oleh
pembaca yang berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.
Dengan jalan "sistem bolak-balik" itu, seorang hermeneutis harus melakukan
pembacaan "dari dalam" teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks
tersebut, dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan
dan sejarahnya sendiri. Karenanya, untuk dapat berhasil pembacaan "dari dalam" itu,
menurut Paul Ricoeur, "ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus
dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam
antara aspek-aspek subjektif dan objektif." Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara
"membuka diri terhadap teks yang berarti kita mengijinkan teks memberikan
kepercayaan kepada diri kita," kata Paul Ricoeur.
35

Untuk memahami teks tersebut diperlukan dialektika distansiasi dan
apropriasi serta dialektika penjelasan dan pemahaman. Dalam The interpretation
Theory : discourse and the surplus meaning , apropriasi adalah partner otonomi
semantic yang membebaskan teks dari pengarangnya. Sedangkan dengan distansiasi
teks dapat diselamatkan dari kerenggangan budaya dan meletakannya dalam
proksimitas baru. Proksimitas ini mempertahankan dan memelihara jarak kultural dan
memasukan hal kelainan (otherness) menjadi kemilikan (owness).
36

34
Yang dimaksudkan dengan "membuka diri terhadap teks" adalah proses meringankan dan
mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Hal itu disebabkan bahwa dalam interpretasi
terhadap teks, kita tidak perlu bersikap seakan-akan menghadapi teks yang kaku, tetapi kita harus
dapat membaca ke dalam teks itu. Kita juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari
pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya sebab konsep-
konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks. Namun, di sini kita juga
masih berkisar pada teks sekalipun dalam interpretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan
waktu kita.
35
Ibid, hal 110.
36
Paul Ricoeur, The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas
Christian Press, 1976. Hal 43
31
Universitas Indonesia
Dalam konsep dialektika penjelasan (explanation-erklaren) dan pemahaman
(understanding-verstehen), pemahaman adalah untuk membaca apa peristiwa
diskursus itu yang merupakan ucapan dari diskursus. Sedangkan penjelasan adalah
untuk membaca apa otonomi verbal dan tekstual itu yang merupakan makna obyektif
dari diskursus.
37
Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau
menguraikan proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat
memahami dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks
dalam tindakan sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan
begitu konsep tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti
mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang
objektif. Dengan penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks
berarti memahami individu.
Selanjutnya Paul Ricoeur melalui bukunya The Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning menghubungkan hal tersebut pada langkah
pemahaman yang berlangsung mulai dari "penghayatan terhadap simbol-simbol",
sampai ke tingkat gagasan tentang "berpikir dari simbol-simbol" seperti berikut ini :
38

1. Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol;
2. Pemberian makna oleh simbol serta "penggalian" yang cermat atas makna;
3. Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik
tolaknya
Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman
sebagai jalan panjang menuju tahapan interpretasi. yakni interpretasi semantik,
interpretasi refleksif, interpretasi dan eksistensial atau ontologis. Interpretasi literal
adalah interpretasi yang bertitik tolak pada sejumlah bentuk-bentuk simbolik yang
berasal dari simbol literal. Interpretasi refleksi adalah interpretasi yang berawal dari
interpretasi semantik dan bertitik tolak pada kesadaran manusia, dimana terdapat
tahapan refleksi terhadap kesadaran manusia. Dalam tahapan ini manusia dapat

37
Ibid Hal 71-72.
38
Ibid, hal 111.
32
Universitas Indonesia
merasakan kesadaran bahwa dirinya dapat salah bertindak. Sedangkan interpretasi
eksistensial adalah interpretasi yang dibangun di atas interpretasi sebelunya.
Interpretasi eksistensial berusaha menemukan makna dengan mengadakan refleksi
terhadap makna yang kedua yaitu makna yang berada pada subyektifitas kesadaran
manusia. Dengan demikian tahap ini merupakan suatu tahap refleksi yang mendalam
terhadap dibongkarnya subyektivitas manusia dalam hubunngannya dengan
kesadaran manusia. Tahap ini merupakan tahap terpenting karena pada tahap ini
keberadaan eksistensial makna yang sesungguhnya dari simbol-simbol tertentu dapat
dipahami dengan lebih mendalam.
Karenanya, Paul Ricoeur menegaskan bahwa "pemahaman itu pada dasamya
merupakan cara berada (mode of being) atau "cara menjadi". Namun, bagaimana
pernyataan Paul Ricoeur ini dapat diterima sebab pemahaman hanya dapat terjadi
pada tingkat pengetahuan, dan cara pemahaman selalu mendapat bantuan dari
pengetahuan? Tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa "pemahaman
merupakan cara berada atau cara 'menjadi', dan bukan cara mengetahui atau cara
memperoleh pengetahuan" ini, Paul Ricoeur hanya ingin membuka kesadaran kita
bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam
sains. Ia tidak ingin metode hermeneutika ini menjadi metode yang kaku dan
terstruktur sebagaimana yang terdapat di dalam ilmu ilmiah lainnya.
2.4. Simbol Menurut Paul Ricoeur
Ricoeur mengatakan bahwa semua yang ada ini harus dilihat atau diwakili
oleh simbol-simbol. Pada mulanya simbol adalah tanda dan diekspresikan dan
dikomunikasikan dengan makna tertentu. Meskipun simbol memiliki elemen dari dari
alam semesta seperti udara, air bulan ataupun benda-benda, tetap saja ia memilliki
dimensi simbolik. Setiap tanda yang memiliki arti, tujuan tertentu di belakang benda
tersebut. Simbol dapat dipahami dengan baik bila berawal dari yang literal dan karena
adanya keadaan yang bertentangan dengan makna yang kedua, maka akan ditemukan
makna yang lebih dalam darinya.
33
Universitas Indonesia
Simbol juga dapat memperjelas hubungan antara makna literal dan makna
simbolik. Obyektivitas makna tergantung pada bagaimana proses itu sendiri
bergantung yaitu antara relasi pertentangan antara makna kedua dengan makna
pertama. Makna simbolik ditentukan di dalam proses itu sendiri dan berasal dari
makna literal dan pertentangan dengan yang dipertentangkan. Ricoeur merumuskan
simbol sebagai semacam struktur signifikan yang mengacu pada sesuatu, secara
langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna yang
mendalam yang hanya akan terjadi apabila makna yang pertama atau makna literal
dapat ditembus. Dalam menemukan makna dari simbol literal, terkadang akan
muncul makna kiasan. Ricoeur dalam hal ini menganjurkan untuk menolak makna
kiasan tersebut karena simbol dan makna kiasan tidak bertitik tolak pada hal yang
sama. Simbol mendahului hermenutik, sedangkan kiasan sifatnya hermeneutik.
Simbol dihadirkan dengan makna transparan yang berbeda, sehingga munculnya
makna dari simbol yang literal tidak bisa diinterpretasi secara kiasan.
39

Dalam pemikirannya mengenai Filsafat Kehendak, Ia menerangkan tentang
simbol-simbol kejahatan yang di tulis dalam Symbolism of Evil. Dalam buku ini ia
menerangkan bahwa bagaimana manusia mengalami kejahatan atau lebih tepat lagi
bagaimana manusia mengakui kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan oleh
Ricoeur disini adalah merupakan hal-hal yang tidak beres di dunia dan mengacu pada
hal-hal seperti ketidakbahagiaan, dosa, kematian, ataupun penderitaan.
Bagi Ricoeur sendiri kejahatan haruslah bertitik tolak pada manusia konkret,
artinya manusia beragama yang mengalami kejahatan atau bagaimana ia mengakui
kejahatannya. Pengalaman tentang kejahatan bersifat simbolis karena manusia
mengakui kesalahannya dengan bahasa. Melalui bahasa simbolik pemahaman yang
lebih lanjut tentang kejahatan akan dapat terkuak.

39
Hubungan yang erat antara makna pertama dan makna kedua, dan adanya proses pertentangan pada
keduanya menghasilkan hubungan simbolik yang sangat mendalam dan melahirkan makna yang sangat
mendalam. Dalam hal inilah Ricoeur membuat perbedaan khhusus antara simbol dan mitos. Mitos
lebih mengarah pada cerita-cerita yang mungkin saja kiasan, sementara simbol lebih radikal daripada
mitos. Karenanya mitos hanyalah bagian dari simbol yang berkembang dalam bentuk narasi dan
diartikulasikan dalam ruang dan waktu.
34
Universitas Indonesia
Ada tiga macam simbol dalam mengungkapkan pengalamannya tentang kejahatan
sebagai berikut :
1. Noda ( Stain ).
Dalam simbol noda kejahatan dipahami sebagai sesuatu yang merugikan yang
datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia.
Kejahatan disini masih merupakan suatu kejadian obyektif. J adi berbuat jahat
berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan
dan perlu dipulihkan kembali. Dalam bahasa simbol, noda ini dapat dikatakan
sebagai sesuatu yang tabu.
40

2. Dosa ( Sin ).
Dalam simbol dosa kejahatan dipahami sebagai putusnya hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata
susunan yang magis dan anonim, melainkan ketidaktaatan terhadap Tuhan
yang telah mengadakan suatu perjanjian dengan manusia. Dosa merupakan
ketidaksetiaan manusia terhadap Tuhan yang setia. Dalam hal ini dosa
dipahami sebagai ketiadaan (nothingness).
41

3. Kebersalahan (Guilt).
Pada simbol kebersalahan, kejahatan dipahami sebagai suatu pengkhianatan
terhadap hakekat diri sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi kebersalahan
tersebut tidak sama dengan salah ( fault). Dalam konteks kebersalahan,
kejahatan dihayati sebagai suatu penghianatan terhadap hakekat manusia yang
sebenarnya, bukan seperti dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan.
Kesempurnaan manusia tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan
perintah-perintah Tuhan secara seksama, tetapi dengan melanggar peraturan-
peraturan dan perintah-perintah itu manusia tidak bersalah terhadap Tuhan,
melainkan terhadap diri manusia sendiri.
42
Dalam memahami kejahatan,
simbol noda, dosa, dan kebersalahan merupakan simbol primer.

40
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan, ( New York: Harper and Row,
1967), hal 35-36.
41
Ibid, hal 63
42
Ibid, hal 100-101.
35
Universitas Indonesia

Setelah mengungkapkan simbol-simbol yang melambangkan kejahatan
manusia, maka Ricoeur mengungkapkan mitos-mitos tentang kejahatan yang
digunakannya untuk menerangkan dari mana asalnya kejahatan. Mitos mempunyai
suatu aspek ontologis: memandang hubungan antara keadaan manusia yang asli
dengan keadaan historisnya sekarang yang ditandai dengan alienasi.
Dalam hubungannya dengan simbol dan mitos ini Ricoeur membedakan 4
macam mitos, yaitu:
1. Mitos Kosmis.
Dalam mitos ini kejahatan disamakan dengan khaos yang terdapat pada
awal mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dari kejahatan
disamakan dengan penciptaan dunia. Contoh mitos ini adalah cerita
penciptaan dunia dalam drama yang tertulis pada Babilonia epik yang
bernama Enuma Elish. Dalam epik ini dunia diciptakan sebagai hasil dari
kemenangan dewa Marduk atas Tiamat. Tiamat disimbolkan dengan chaos,
sehingga kemenangan dewa Marduk atas Tiamat melambangkan kemenangan
terhadap chaos tersebut.
43

2. Mitos Tragis.
Menurut pandangan tragis tentang manusia, eksistensi manusia disimbolkan
sebagai asal usul kejahatan. Dewa mengakibatkan manusia menjadi bersalah
dan terkutuk karena manusia bersalah. Dapat dipahami bahwa kejahatan
adalah takdir yang menimpa manusia karena ketidaktahuan, sehingga manusia
yang melakukan kejahatan lebih merupakan korban daripada penjahat.
44

3. Mitos tentang Adam,
Mitos Adam adalah mitos antropologis par excellence manusia (man).yang
diceritakan dalam kitab suci, yang pertama milik Yahudi, adam disimbolkan
sebagai asal-usul kejahatan (the origin of evil) atau dosa awal mula
(original sin). Sehingga semua hal yang tidak beres didalam dunia karena

43
Ibid, hal 175-179.
44
Ibid, hal 221.
36
Universitas Indonesia
manusia (Adam berarti manusia) dimana manusia sendiri ditunjukkan
sebagai asal-usul kejahatan. Di sini kita menjumpai suatu mitos antropologis
tentang kejahatan. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia; kejahatan
disebabkan karena manusia tidak setia, karena ia jatuh. Penciptaan Tuhan
itu sendiri baik dan sempurna, hanya manusia bertanggung jawab atas segala
ketidakberesan dalam dunia.
45

4. Mitos Orfis,
Mitos ini menerangkan tentang mitos jiwa yang diasingkan. Menurut Ricoeur,
mitos orfis ini mengembangkan aspek luar yang tampak (jiwa) pada
penggodaan dan cobaan untuk membuatnya tetap bersama dengan tubuh,
dipahami sebagai akar yang unik pada semua yang tidak dikehendaki.mitos
Orfis berasal dari tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sebagai Orfisme.
Suatu aliran keagamaan yang menjalankan pengaruh mendalam atas
perkembangan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Neoplatonisme.
Orfis ini dipahami oleh Ricoeur sama dengan mitos pengasingan (myth of
exile).
46

Menurut Ricoeur, melalui hermeneutika mitos-mitos diatas mempunyai tiga
fungsi. Pertama, mitos memberikan suatu universalitas konkret tentang kejahatan
bagi manusia, seperti dikatakannya bahwa :
The myth of evil is to embrace mankind as a whole in one ideal history. By
means of a time that represents all times, man is manifested as a concret
universal. Adam signifies man.
47


( Mitos kejahatan itu mencakup manusia sebagai keseluruhan dalam satu
sejarah yang ideal. Hal tersebut direpresentasikan melalui keseluruhan waktu,
dimana manusia dimanifestasikan sebagai universalitas konkret. Adam
disimbolkan sebagai manusia.)

45
Ibid, hal 273.
46
Ibid, hal 330-331
47
Ibid, hal 162.
37
Universitas Indonesia
Kedua, mitos membawa orientasi dramatis dalam kehidupan manusia dengan
cerita awal mula dan akhir kejahatan itu yang berhubungan dengan kekacauan dan
keselamatan. Sebagaimana mitos dikatakan Ricoeur yaitu :
The universality of man, manifested through the myths, gets its concrete
character from movement which is introduced into human experience by
narrative; in recounting the beginning and the end of fault, the myth confers
upon this experience an orientation, a character, a tension.
48


( Universalitas manusia yang dalam hal ini dimanifestasikan melalui mitos
memperoleh karakter konkret dari gerakan yang berawal dari pengalaman
manusia lewat cerita; dalam menceritakan awal mula dan akhir tentang
kesalahan mitos ini memberikan pengalaman orientasi, karakter, dan
ketegangan).

Ketiga, bentuk cerita mitos menjelaskan peralihan keadaan manusia dari yang
tak berdosa menjadi manusia menuju manusia yang penuh noda, dosa, dan
kebersalahan. Hal tersebut dijelaskan Ricoeur demikian:

Still more fundamentally, the myth tries to get at the enigma of human
existence, namely, the discordance between the fundamental reality-state of
innocence, status of a creature, essential being-and the actual modality of
man, as defiled, sinful, guilty.
49


( Mitos menjelaskan enigma eksistensi manusia yang juga merupakan
pertentangan antara realitas fundamental-keadaan awal manusia yang tidak
berdosa, keadaan penciptaan, manusia yang esensial, dan kini manusia secara
aktual penuh noda, dosa, dan kebersalahan ).
Makna simbol termasuk juga mitos (sebagai simbol sekunder) secara lebih
luas menurut Paul Ricoeur didefinisikan sebagai struktur penandaan yang di
dalamnya sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada, sebagai
tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat
dipahami hanya melalui yang pertama".
50

48
Ibid, hal 163.
49
Ibid, hal 163.
50
Ibid, hal 12-13
38
Universitas Indonesia
Kata-kata penuh dengan makna, dan intensi yang tersembunyi, sehingga bagi
Ricoeur setiap kata adalah simbol. Tidak hanya kata-kata di dalam karya sastra, kata-
kata di dalam bahasa keseharian juga merupakan simbol-simbol sebab
menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, terkadang ada yang berupa
bahasa kiasan, yang semuanya itu hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol itu.
Karenanya, simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas
makna yang terkandung di dalam simbol atau kata-kata di dalam bahasa. Setiap
interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung.
51

Oleh sebab itu hermeneutika fenomenologi sebagai metode interpretasi
bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara
membuka makna-makna yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-
simbol tersebut". Dengan begitu dapat ditemukan makna yang sesungguhnya
sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol".
52

2.5. Penerapan Lingkaran Hermeneutika Ricoeur Pada Tato Dayak
Penerapan hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur sebagai metode
interpretasi dalam penulisan tesis ini terlihat dari adanya upaya untuk menempatkan
tato Dayak sebagai teks. Berdasarkan kriteria teks sebagai tindakan bermakna yang
sudah dijelaskan pada halaman terdahulu, maka tato Dayak dalam hal ini dapat
dianggap sebagai sebuah teks karena tato Dayak dapat dideskripsikan secara tertulis.
Adapun sebelum melakukan deskripsi tentang tato Dayak secara spesifik, maka
terlebih dulu akan dilakukan deskripsi tertulis mengenai tato secara umum yang
kemudian akan dihubungkan dengan pemaknaan tato tersebut bagi manusia Dayak.
Di dalam subbab ini juga akan dipaparkan mind maping dari penulis mengenai

51
Simbol dan interpretasi menjadi konsep yang saling berkaitan, interpretasi muncul di mana makna
jamak berada, dan di dalam interpretasilah pluralitas makna termanifestasikan. Seperti pada konsep
simbol, interpretasi menurut Ricoeur adalah cara berpikir yang teratur dalam menentukan makna yang
tersembunyi dalam lipatan lipatan makna yang berada pada tahap literal sehingga simbol dan
interpretasi menjadi konsep yang saling berhubungan.
52
J osef Bleicher, Op.cit., hal 376.
39
Universitas Indonesia
penerapan hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur pada tato Dayak yang akan
dijelaskan lewat lingkaran hermeneutika dan tahapan interpretasi.
2.5.1. Deskripsi Tato
Kata Tato sendiri menurut sejarah berawal dari bahasa Tahitian; Tatu atau
Tatau yang artinya memberikan torehan tanda atau simbol. Setiap negara didunia
masing-masing memiliki perbedaan penulisan kata dan bahasa sebutan untuk Tato. Di
negara kita Indonesia kita menyebutnya dengan sebutan; "Tato atau Rajah" sementara
negara lain, diantaranya; Inggris menyebutnya dengan "Tato", Norwegia
"Tatovering", Swedish "Tatuering", J erman "Ttowierung", French "Tatouage", Itali
"Tatuggio", Spanyol "Tatuaje", Belanda "Tatoeage", Brazil "Tatuagem", Hawai
"Kakau", Portugis "Tatuagem", Slovenia "Tetoviranje", Turki "Dvme", Hongaria
"Tetovls", J epang "Irezumi/Horimono", Selandia Baru "Moko", dan lain-lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tato berarti gambar (lukisan) pada
bagian (anggota) tubuh. Tato adalah suatu tanda yang dibuat dengan memasukkan
pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah adalah implantasi pigmen mikro.
Tato dapat dibuat pada kulit manusia atau hewan. Tato pada manusia adalah suatu
bentuk modifikasi tubuh, sementara Tato pada hewan umumnya digunakan sebagai
identifikasi.
Maksud dari pembuatan tato memang bermacam-macam, dihubungkan
dengan kebudayaan tradisional, pembuatan tato memiliki sesuatu yang sangat erat
kaitannya dengan ritual atau tradisi. Para wanita suku Dayak di Kalimantan menato
dirinya sebagai simbol yang menunjukkan keahlian khusus mereka. Suku Maori di
Selandia Baru membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan
pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di Kepulauan
Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan
baru dalam kehidupan mereka. Hampir sama seperti di atas, orang-orang Suku Nuer
di Sudan memakai tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki. Orang-orang
Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau
40
Universitas Indonesia
menunjukkan status sosial tertentu. Sementara di Tiongkok sendiri, budaya Tato
terdapat pada beberapa etnis minoritasnya, yang telah diwarisi oleh nenek moyang
mereka, seperti etnis Drung, Dai, dan Li, namun hanya para wanita yang berasal dari
etnis Li dan Drung yang memilik kebiasaan mentato wajahnya.
53

Gambar atau simbol pada kulit tubuh berupa tato tersebut diukir dengan
menggunakan alat sejenis jarum. Dulu, orang-orang masih menggunakan teknik
manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk membuat tato. Ada yang
menggunakan tulang binatang sebagai jarum seperti yang dapat dijumpai pada orang-
orang Eskimo, Suku Dayak dengan duri pohon jeruk, dan ada pula yang
menggunakan tembaga panas untuk mencetak gambar naga di kulit seperti yang dapat
ditemui di Cina. Rasa sakit pasti dialami ketika membuat tato di tubuh, namun karena
nilai yang tinggi dari tato dan harga diri yang didapatkan, maka rasa sakit itu
dianggap tidak sebanding. Pada umumnya tato diaplikasikan di kulit menggunakan
tinta berwarna hitam, akan tetapi seiring perkembangan teknologi pewarnaan, warna-
warna tatopun kian beragam. Tidak heran jika tato dianggap sebagai karya seni
karena tubuh merupakan satu dari objek pertama dalam seni; dimana objek alami
dengan tambahan berupa simbol bertransformasi menjadi objek dalam kebudayaan.
54


Gambar 1. Proses Pembuatan Tato Tradisional

53
Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, ( Yogyakarta, LKis, 2006), hal. 88-91.
54
Posisi tubuh menjadi sangat vital karena ia merupakan ruang perjumpaan antara individu dan sosial;
ide dan materi; sakral dan profan, transenden dan imanen. Tubuh dengan posisi ambang seperti itu
tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman ke dalam diri, tetapi juga merupakan
medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri. Bahkan lewat dan dalam tubuh, pengalaman
dan ekspresi terkait secara dialektis.
41
Universitas Indonesia
Selama ini diyakini bahwa tato tertua ditemukan di Mesir sekitar tahun 1300
SM, akan tetapi dari penelitian yang dilakukan oleh Ady Rosa
55
diketahui bahwa tato
Mentawai telah ada sejak 1500 tahun sampai 500 tahun sebelum Masehi. Sejumlah
penelitian menunjukan bahwa seni tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54
SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan
Marquesas. Selain itu, budaya tato ini juga bisa ditemukan pada suku Rapa Nui di
Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku
Sumba di Sumatera Barat.
Berdasarkan perkembangannya tato adalah produk budaya yang pada
perkembangannya mengalami pergeseran makna. Apabila pada masyarakat
tradisional tato merupakan identitas dalam masa peralihan (rites of passage),Adapun
pada masa sekarang tato sudah dianggap sebagai seni dan keindahan yang menjadi
bagian dari budaya popular dalam masyarakat. Kepemilikan tato saat ini sudah
menjadi hal yang biasa dan ditoleransi sebagai sebuah tren fashion yang berkembang
dengan beragam motifnya. Tato dianggap sudah lebih bebas dari unsur-unsur
politik dan citra masyarakat mengenai tato yang bersifat negatif.
Di indonesia sendiri pernah ada masa ketika tato dianggap sebagai sesuatu
yang menakutkan. Setiap orang yang memakai tato dianggap identik dengan penjahat,
rampok, gali, dan preman. Walaupun ada beberapa orang bertato yang bukan
kriminal, akan tetapi aparat pemerintah sama sekali tidak pandang bulu. Yang mereka
lakukan adalah langsung mengidentikan orang bertato sebagai kriminal. Mereka
melakukan hal tersebut dengan tujuan menciptakan kondisi masyarakat yang aman
dan terkendali karena pada saat itu timbul keresahan dengan adanya penjahat,
rampok, gali, dan preman. Untuk lebih mempermudah kinerjanya, aparat pemerintah
mengidentikan golongan tersebut dengan tato. Oleh karena itu siapa saja yang bertato

55
Menurut Adi Rosa dalam tesisnya mengenai Eksistensi Tato Mentawai, setiap daerah di Mentawai
mempunyai aturan tersendiri dalam menggunakan gambar Tato yang akan menghiasi tubuh mereka,
dimana setiap gambar memiliki makna tertentu, dan terdapat kode-kode yang dilukiskan di sana. Tato
dianggap memiliki bahasa tersendiri dan dipandang sebagai pakaian abadi, sehingga masyarakat
Mentawai malu jika tidak mempunyai Tato.
42
Universitas Indonesia
saat itu akan ditangkap aparat. Brita L.Miklouho-Maklai dalam tulisannya Menguak
Luka Masyarakat, menyebutkan bahwa para penjahat itu kebanyakan diidentifikasi
melalui tato untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya di taruh dalam
karung dan di buang di sembarang tempat seperti sampah.
Perubahan paradigma dalam memaknai tato inilah yang sedikit banyak tidak
terlepas dari pemahaman terhadap simbol yang mengikutinya. Pada dasarnya simbol
dan tato memang merupakan kedua hal yang saling terkait.
2.5.2. Deskripsi Tato Dayak
Bagi manusia Dayak, tato memiliki makna yang sangat mendalam tidak hanya
sekedar penghias tubuh belaka tetapi juga sebagai fenomena yang penuh dengan
berbagai masalah komplek sekaligus bersifat antropologis dan filosofis seperti
mengandung nilai sosial budaya, politik, pandangan hidup, nilai religius, eksistensial
dan sebagainya.
Interpretasi dalam penelitian ini berawal dari makna-makna yang terdapat
dalam tato Dayak yang mana di dalamnya sarat akan simbol-simbol. Untuk itulah tato
Dayak selanjutnya dianggap sebagai sebuah teks dimana tato Dayak menampilkan
segi fenomenologis karena dapat dipilah dan diterangkan. Dalam hubungannya
dengan penggunaan hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur, tato Dayak dapat
dikaji secara filosofis karena di dalam tato Dayak ditemukan konsep Lebenswelt
(dunia-kehidupan) dimana tato tersebut bercerita mengenai perjalanan kehidupan
seorang manusia Dayak, sekaligus juga merupakan perwujudan dari interaksi antara
manusia Dayak dengan dunia sekitarnya.
Pemahaman akan tato pada dasarnya juga merupakan pemahaman terhadap
cara berada (mode of being) atau cara menjadi dari seorang manusia Dayak.
Memahami tato Dayak tidak ubahnya dengan memahami manusia Dayak dengan
segala aspek yang ia miliki. Karena keberadaan tato yang melekat di tubuh seorang
manusia Dayak membuatnya menjadi sosok yang khas, dimana seorang manusia
43
Universitas Indonesia
Dayak yang memiliki tato dianggap sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia
sebagai Dasein yang memiliki sejarah, cara hidup, dan cita-cita.
Berbagai kategori yang digunakan Ricoeur untuk menafsirkan teks tato Dayak
mulai dari terpaterinya tindakan, mandirinya tindakan, relevansi tindakan dan
tindakan sebagai karya terbuka. Adanya hubungan dialektika antara peristiwa, dalam
hal ini peristiwa membuat tato dengan makna dari tato Dayak tersebut.
Adanya sumber tertulis mengenai manusia Dayak sebagai pemilik tato
tersebut juga menjadi penunjang dalam pengolahan tato Dayak sebagai teks, maka di
dalam kehidupan manusia Dayak perilaku membuat tato berkaitan juga dengan ide
atau gagasan yang sejalan dnegan adat-istiadat dan pandangan hidup mereka.
Pemahaman tentang tato Dayak sebagai teks mengarah pada pemahaman tentang
manusia Dayak yang diungkapkan melalui kedekatan mereka dengan alam lewat
simbol dan mitos-mitos.
Simbol yang terdapat pada tato Dayak memberikan sesuatu hal untuk
dipikirkan. Sedangkan mitos tato sebagai penerang menuju kematian memunculkan
peristiwa yang sebenarnya dan di belakang refleksi itu, diharapkan dapat memberikan
jawaban dari situasi kebudayaan membuat tato pada manusia Dayak.
Dengan kata lain simbol pada tato dapat dilihat pada gambar tato sebagai
simbol dasar. Pada tato Dayak simbol dasar tersebut merupakan makna literal tato
sebagai tanda pada tubuh pada manusia Dayak. Kebiasaan manusia Dayak
menggunakan tato menjadi satu pemahaman literal bahwa tato yang dalam bahasa
Dayak disebut tedak yang berarti tanda, merupakan identitas bagi manusia Dayak.
Dengan menembus yang literal melalui mitos alam semesta dan kepercayaan manusia
Dayak akan adanya kehidupan setelah kematian, maka makna mendalam tato sebagai
makna sesungguhnya akan bisa ditemukan.
Mitos Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah serta mitos bahwa tato
merupakan obor penerang menuju kematian ( penjelasan lebih lanjut dapat ditemukan
44
Universitas Indonesia
pada bab 3) menjadi perantara dalam mencari dan merefleksikan maknanya dimana
dari mitos tersebut muncul simbol-simbol yang berkaitan erat dengan mitos tersebut,
seperti simbol-simbol kejahatan yaitu noda, dosa, dan kebersalahan. Kejahatan yang
di analogikan sebagai adanya ketidakberesan di dunia ini diakui oleh manusia Dayak.
Pengakuan ini berwujud pada pemahaman akan yang religius yang dihadirkan dengan
tato sebagai praktek religius yang berkaitan dengan kehidupan manusia Dayak.
Dari penjelasan tersebut maka tato yang melekat pada tubuh manusia Dayak
atau dengan kata lain tubuh manusia Dayak yang bertato dapat dianggap sebagai
simbol kejahatan. Adanya simbol yang bermakna ganda pada tato Dayak sebenarnya
ditentukan oleh makna literal dimana dari makna yang bersifat literal tadi dibangun
makna kedua yaitu makna refleksif yang menembus makna pertama. Hasil yang
didapat adalah makna yang eksistensial. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam usaha
menginterpretasi simbolisme tato Dayak, yang dalam pemikiran Ricoeur disebut pula
sebagai upaya hermeneutik, terdapat tingkatan interpretasi, yaitu tingkatan
interpretasi pertama yang merupakan interpretasi empiris mencakup pembuatan tato
Dayak, maksud dari pembuatan tato dan siapa saja yang berhak ditato dimana
interpretasi itu disebut sebagai interpretasi literal.
Pada tahap interpretasi kedua yaitu tahapan reflektif, terdapat kesadaran
manusia Dayak yang dinaungi oleh pandangan hidup dan keyakinan religiusnya. Pada
tahap ini manusia Dayak sadar sepenuhnya bahwa ia dapat saja terjerumus pada hal-
hal yang tidak beres di dunia. Selanjutnya adalah Tahap ketiga yang merupakan
refleksi terhadap hasil makna interpretasi kedua yang menghasilkan interpretasi
eksistensial. Tahap ini merupakan suatu interpretasi dimana terdapat kesadaran
manusia Dayak yang meliputi pandangan hidup dan keyakinan religinya.


45
Universitas Indonesia
Untuk dapat melihat secara keseluruhan bagan metodologis dan
aplikasi hermeneutika Paul Ricoeur pada tato Dayak, maka akan dibuat
lingkaran hermeneutis dan tahapan interpretasi yang juga merupakan mind
maping dari penulis, sebagai berikut :




Bagan 1. Lingkaran Hermeneutik Pada Tato Dayak





1
TatoDayak
2
Hermeneutika
PaulRicoeur
3
Aspek
Pragmatik/
MaknaLiteral
TatoDayak
4
Makna
SimbolikTato
Dayak
5
Eksistensi
Manusia
Dayak
46
Universitas Indonesia
SIMBOL TATO DAYAK



TAHAP 1 : INTERPRETASI EMPIRIS
Deskripsi tato Dayak, praktek pembuatan tato. pemahaman literal manusia
Dayak terhadap tato.



TAHAP 2 : INTERPRETASI REFLEKTIF
Refleksi terhadap tato Dayak menghasilkan makna simbolik sebagai bagian dari
kehidupan manusia Dayak menyangkut simbol religiusitas,
simbol siklus kehidupan & kematian, dan simbol eksistensi.



TAHAP 3 : INTERPRETASI EKSISTENSIAL
Terlepas dari kesadaran manusia Dayak, tato memberikan makna berupa hakekat
kehidupan manusia Dayak sebagai bagian dari alam yang tidak bisa terlepas dari
alam sekitar, leluhur, dan kehidupan setelah kematian.
Bagan 2. Tahapan Interpretasi Pada Tato Dayak
47
Universitas Indonesia
BAB 3
TATO DAN MANUSIA DAYAK

Dalam studi filsafat, kita mengenal berbagai konsep manusia dalam aneka
budaya dan tradisi pemikiran. Setiap budaya dan setiap suku bangsa memiliki citra,
gambaran dan konsep manusianya sendiri-sendiri. Supaya manusia bisa dimengerti
dan diberi ciri sebagai manusia, maka manusia harus dilihat sebagai makhluk yang
bisa sekaligus dan secara interaktif berbicara, berpikir, mencintai dan menentukan
sikap, juga menguasai alam semesta melalui perilakunya. Pada dasarnya alam
semesta ini merupakan semesta simbolik yang terdiri atas simbol dan mitos. Sebagai
bagian dari semesta simbolik dapat dikatakan bahwa segala bentuk perilaku yang
dilakukan manusia adalah juga merupakan perilaku simbolik. Dengan perilaku
simbolik inilah manusia memberi arti kepada hidupnya.
Dalam Bab 3 ini akan dijelaskan mengenai citra dan gambaran manusia
Dayak ditinjau dari perspektif kosmologis. Konsep tentang manusia dalam perspektif
ini dilihat dari perilakunya yang berhubungan erat dengan alam atau kosmos, dimana
pada alam atau kosmos tersebut sarat akan simbol-simbol. Dalam kaitannya dengan
tato, tato merupakan salah satu simbol yang menggambarkan relasi antara manusia
Dayak dengan alam semesta. Tato Dayak merupakan perpaduan antara kehidupan
manusia, binatang, dan tumbuhan yang hidup di sekitarnya. Dalam arti lain, tato
Dayak merupakan lambang dan bentuk dari ekspresi pengharapan terhadap
kesuburan, keamanan, kebajikan, dan kesehatan sekaligus juga melambangkan
perpaduan harmonis antara kehidupan masa kini dan kehidupan masa depan.
3.1. Eksistensi Manusia Dayak
Dayak adalah nama suku di Indonesia yang memiliki budaya daratan bukan
budaya maritim. Budaya daratan yang dimaksud di sini adalah sebuah budaya yang
hampir di setiap segi kehidupan suku tersebut dilakukan di daratan bukan di daerah
48
Universitas Indonesia
pesisir apalagi di lautan seperti budaya maritim. Hal itu dapat dilihat dari kegiatan
sehari-hari suku Dayak yang dilakukan di daratan seperti berburu, bertani, dan
berkebun.
Kata Dayak adalah sebuah kata untuk menyatakan suatu kelompok yang tidak
menganut agama Islam dan hidup menetap di pedalaman Kalimantan. Istilah ini
diberikan oleh bangsa Melayu yang hidup di daerah pesisir Kalimantan kepada orang-
orang yang mendiami daerah hulu ataupun pegunungan. Bangsa Melayu pada waktu
itu adalah sekelompok masyarakat yang berasal dari daerah Melayu dan berbahasa
Melayu pula. Sebutan Melayu dalam makna yang berbeda juga ditujukan bagi mereka
yang sudah memeluk agama Islam.
56
J ika dilihat dari pandangan orang Dayak sendiri,
yang disebut sebagai orang Melayu adalah sekelompok orang yang berasal dari
daerah Melayu dan para pendatang lain yang berdatangan ke Kalimantan, kecuali
kelompok Tionghoa, yang mendiami Kalimantan.
Orang-orang Melayu mengatakan bahwa Dayak itu berarti orang gunung.
Walaupun tidak ada penjelasan di kamus ataupun pendapat para ahli yang
menyatakan bahwa kata Dayak itu berarti orang gunung, akan tetapi pemaknaan
tersebut disebabkan karena sebagian besar dari orang Dayak menetap di daerah hulu
sungai yang topografi tanahnya berbentuk pegunungan. Di samping nama Dayak ada
juga istilah Dyak untuk mengidentifikasi orang-orang tersebut. Istilah Dyak ini
diberikan oleh orang Inggris dulu kepada suku-suku yang mendiami daerah di
Kalimantan Utara (Malaysia).
Suku Dayak yang menetap di pulau Kalimantan itu tersebar di seluruh bagian
Kalimantan dan hidup tersebar-sebar, di daerah hulu sungai, di daerah yang
tofografinya gunung-gunung, lembah-lembah, dan di kaki bukit. Untuk menyebut jati
diri mereka, orang Dayak biasanya memakai nama aliran sungai besar yang daerah
pesisirnya mereka diami. Misalnya orang Dayak yang mendiami daerah pesisir sungai
Kahayan, mereka menyebut jati diri mereka sebagai uluh Kahayan (orang Kahayan).

56
Victor King, The Peoples Of Borneo. Cambridge Massachusetts : Blackwell Publisher. 1993
49
Universitas Indonesia
Ada uluh Katingan, uluh Barito, dan lain sebagainya. Secara ringkas berdasarkan
pembagian wilayah, suku Dayak dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok
besar yaitu :
57

1. Kenyah, Kayan, dan Bahau yang mendiami daerah Kalimantan Timur.
2. Ot-Danum yang umumnya mendiami daerah Kalimantan Tengah.
3. Klemantan yang mendiami daerah Kalimantan Barat.
4. Iban yang mendiami daerah Sarawak, Malaysia Timur.
5. Murut mendiami daerah Sabah Malaysia Timur dan Utara Kalimantan Timur.
6. Punan atau suku-suku yang mengembara di pedalaman Kalimantan.
Pada dasarnya terdapat kesamaan yang signifikan di antara suku-suku Dayak,
kecuali suku Punan yang memang lebih nomadik. Kesamaan tersebut dapat
ditemukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan fakta bahwa mereka tinggal di rumah
panjang, menggunakan Mandau dan sumpit, memproduksi keranjang rotan,
menggunakan manik-manik dalam ritual, melakukan pertanian dengan sistem ladang
berpindah, dan dalam hal pertunjukan tari dalam ritual mereka. Kesamaan yang
dimiliki oleh sebagian besar suku Dayak inilah yang membuka kemungkinan untuk
mengkaji kebudayaan Dayak sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
Manusia Dayak mengenal zat tertinggi yang menciptakan dunia dan segala
isinya. Itu tersirat dalam adat, mitos-mitos tentang kejadian alam semesta dan
manusia yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan
makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Keyakinan terhadap zat
tertinggi atau Tuhan itu tersurat dalam keyakinan mereka terhadap adanya dunia batin
(inner world) yang memiliki kekuatan magis yang mengendalikan alam semesta.

57
Mikhail Coomans, Manusia Daya : Dahulu, Sekarang dan Masa Depan.( J akarta : PT. Gramedia,
1987), hlm 53.
50
Universitas Indonesia
Dalam mitologinya secara umum manusia Dayak mengenal empat tingkatan dewa-
dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi. Mereka adalah:
58

1. Nek Panitah
Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek
Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne Duniang bernama Baruakng Kulub.
Panitah sama artinya dengan perintah.

2. Jubata
Jubata adalah roh-roh yang baik. J umlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung,
hutan, bukit mempunyai Jubata. Yang terpenting adalah Jubata dari Bukit
Bawang. Apa Manto Ari adalah Jubata dari Bukit Bawang.

3. Kamang
Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang Dayak. Ia berpakaian cawat dan kain
kepala warna merah dan putih diputar bersama ( tangkulas ). Ini juga pakaian dari
pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang bisa melihat,
mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat.

4. Antu.
J umlah Antu ( hantu ) banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih
jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang
maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit cacar pada manusia. Antu
juga dapat menyebabkan penyakit pada padi dan antu serah menyebabkan banyak
tikus makan padi diladang.

Kepercayaan pada empat tingkat makhluk supranatural inilah yang
melahirkan asas-asas kehidupan mereka dimana manusia Dayak memegang lima
prinsip kehidupan yang ditetapkan berdasarkan adat, yaitu: hidup harus tolong-
menolong, harus hidup mempertahankan keamanan rakyat dan desa, Tidak boleh
tipu-menipu, harus jujur dan adil, dan harus hidup setali sedarah. Bagi pelanggar lima
sumpah adat ini, maka akan diberlakukan hukuman adat bagi manusia. Secara
ringkas, manusia Dayak yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu
kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan
nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan

58
Maniamas Miden Sood, Dayak Bukit, Tuhan, Manusia, Budaya (Pontianak : Institute of
Dayakology Research and Development, 1999), hal 7.
51
Universitas Indonesia
yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, Bunyian, Antu, Sumangat
Urang Mati, dan Jubata.
59

Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh manusia adalah salah satu
contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan
alam nyata dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan
warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan
alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek
moyang para leluhur mereka telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-
ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi
seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini.
60

Manusia Dayak dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari
praktek religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam
interaksinya dengan alam lingkungannya. mereka percaya bahwa dalam usaha
mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya
bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan
dari apa yang mereka yakini.
Manusia Dayak bukanlah penganut monotheisme, namun sikap keyakinannya
tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang dari
asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam
benda-benda tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan
bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat
dan petir yang menyambar dahsyat. Daya hidup atau kekuatan penghidup itulah yang
dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-benda dan kemudian
dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus
mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan
kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.

59
Ibid
60
ibid
52
Universitas Indonesia
Dalam berkomunikasi dengan alam yang dipakai pertama-tama adalah
lambang-lambang suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud
lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal,
mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang tadi.
61
Melalui bahasa
simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang
dipercaya ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di
alam nyata.
Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang
Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh,
kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia menjadi sadar terhadap
keberadaan yang sakral, karena yang sakral memanifestasikan dirinya, menunjukkan
dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini
dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada
manusia. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif
hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh
manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral tadi. Bagi mereka yang
mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk
menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya
dapat menjadi hierophany.
62

Dalam hal inilah manusia Dayak memahami alam semesta (kosmos) sebagai
suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, Bentuk
kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam
manusia dan alam non-manusia yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri
merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara
harmonis dan seimbang dengan unsur-unsur lain yang bukan manusia. Hubungan
yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan dibangun oleh manusia melalui
praktik-praktik religi.Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam,

61
Dick Hartoko, Manusia dan Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 23
62
Mircea Eliade, The Sacred and The Profane, terj. Nuwanto, Sakral dan Profan: Menyingkap
Hakikat Agama (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 3-5.
53
Universitas Indonesia
misalnya, udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya. Manusia merupakan
mikrokosmos (bagian dari dalam sistem alam semesta (kosmos) ini dan setiap unsur
dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling
mendukung dalam satu kesatuan yang harmonis dan seimbang.
63

Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang
diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis
(tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya. Beberapa contoh bentuk
pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam misalnya,
kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia
dengan alam dunia.
Dalam keyakinan manusia Dayak, saat seseorang akan meninggal, pada
malam sebelumnya terdengar suara riuh yang berasal dari dalam hutan. Peristiwa ini
sering dialami oleh mereka yang sedang menunggu durian atau berburu pada malam
hari. Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan
manusia yang akan menyatu kembali dengannya. Dan saat sudah dikuburkan, tidak
terdapat kebiasaan membersihkan dan berdoa di kuburan. Pohon-pohon dan semak
dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk membersihkannya
karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Rangkaian
peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak
berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan
alam karena dia sesungguhnya berasal dari alam. Manusia yang sudah meninggal
dunia itu sesungguhnya telah kembali ke tempat asalnya.
Selain menjalin keakraban dengan leluhur dan dengan makhluk lain yang
tidak terlihat, manusia juga perlu menjalin kerjasama erat dengan binatang sebagai
sesama adalah mahluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu ada salah satu suku Dayak

63
Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,( J akarta: Lkis, 2004),
hal. 93-94.
54
Universitas Indonesia
yaitu Suku Dayak Ngaju menempatkan binatang pada tempat yang istimewa, antara
lain:
64

1. Burung Enggang merupakan lambang kemashyuran dan keagungan.
2. Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta
kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik buruk.
3. Burung Bakaka diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah
memperoleh banyak ikan atau tidak. Demikian juga burung perintis.
4. Burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa.
Memperlakukan burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena
dapat membawa malapetaka.
5. Burung Tabalului, Kangkamiak dan kulang-kulit sebagai kelompok burung
hantu diyakini sebagai burung iblis.
6. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak alam lagi
permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir.
7. Tambun (ular besar / ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana,
dan kekuatan.
8. Buaya sering dianggap sebagai penjelmaan mahluk dunia bawah (jata).
9. Angui (Bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatala Langit
yang bungsu.



Gambar 2. Burung Enggang
Sumber : Koleksi Pribadi

64
Bernard Sellato, Nomad Of Borneo Rainforest, The Economic, politics and ideology of settling
down, ( Honolulu : University Hawaii Press. 1993), hal 61.
55
Universitas Indonesia
Meskipun binatang adalah mahluk ciptaan Tuhan dengan derajad yang lebih
rendah dari pada manusia, namun manusia harus tetap menjaga keseimbangan
populasinya agar supaya keseimbangan alam tetap terpelihara. Hukum adat melarang
siapapun menganiaya binatang. Sebaliknya adat juga melarang manusia mempunyai
hubungan yang lebih dengan binatang atau disetubuhi oleh binatang. Apabila hal itu
terjadi maka orang tersebut merupakan manusia terkutuk.
3.2 Tato Dalam Kehidupan Manusia Dayak
Tato merupakan salah satu cara manusia untuk mengekspresikan diri. Tato
memiliki makna dan tujuan tertentu dalam pembuatannya baik bagi para pemakai tato
maupun bagi para pembuat tato, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penafsiran
yang beragam dan berbeda-beda terhadap keberadaan tato di masyarakat. Tato dalam
wujud visualnya mempunyai makna tersendiri bila dikaji dari bentuk, dan simbol
yang terkandung di dalamnya.
Seni tato pada suku Dayak dinamakan tedak, kata tersebut merupakan kata
benda, sementara seni membuat tato sendiri dinamakan nedak yang berarti kata
kerja. Secara luas tato ditemukan di seluruh masyarakat Dayak. Bagi suku ini,
penatoan hanya dilakukan bila memenuhi syarat tertentu. Bagi lelaki proses penatoan
dilakukan setelah ia bisa mengayau kepala musuh. Namun tradisi tato bagi laki-laki
ini perlahan tenggelam sejalan dengan larangan mengayau. Maka setelah ada
pelarangan itu tato hanya muncul untuk kepentingan estetika. Akan tetapi tradisi tato
tak hilang pada kaum perempuan. Hingga kini, mereka menganggap tato sebagai
lambang keindahan dan harga diri.
Sebuah upacara adat harus dilakukan sebelum membuat tato pada kaum laki-
laki. Biasanya penatoan dilakukan dalam sebuah rumah yang memang khusus
digunakan bagi upacara adat tertentu. Ketika seorang laki-laki melakukan ritual tato,
sebagai rasa solidaritas seluruh keluarga diharuskan mengunakan pakaian adat.
Selama proses penatoan, seluruh anggota keluarga diharuskan mengendalikan diri
56
Universitas Indonesia
dan tidak meninggalkan rumah. J ika peraturan dilanggar maka dikhawatirkan
kehidupan, keselamatan laki-laki yang di tato akan terancam.
65

Khusus bagi perempuan, tato biasa dibuat ketika mereka menginjak dewasa
atau parameternya ketika mereka mengalami haid pertama. Perempuan bertato
dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan yang tidak bertato. Begitu
pentingnya tato bagi perempuan Dayak membuat proses penatoan dengan ritualnya
bisa membutuhkan waktu hingga enam tahun. Ketika penatoan telah selesai biasanya
diadakan perayaan demi menghindari hal-hal buruk yang mengancam.
66

Sebelum melakukan penatoan biasanya dilakukan proses persiapan ritual yaitu
berdoa kepada leluhur satu hari sebelumnya. Proses ini biasa disebut dengan Mela
Malam. Keesokan paginya seluruh keluarga inti perempuan akan membawa anak
yang akan di tato kesanak keluarga dan tetangga yang dekat dengan rumah panjang
(rumah adat dayak tempat dilakukannya prosesi adat). Selama proses penatoan
berlangsung sanak famili harus mendampingi dan tidak pergi kemanapun. Agar anak
yang ditato tidak bergerak, sebuah lesung besar biasanya diletakan di atas tubuh. J ika
dia sampai menangis, maka tangisan tersebut harus dilakukan dengan alunan nada
yang juga khusus.
67

Dalam membuat tato, suku Dayak menggunakan bahan alami sebagai bahan
dasar pembuat tinta, yaitu arang kayu damar dan kayu ulin; jelaga dari periuk yang
dibakar juga dapat digunakan untuk menghasilkan warna hitam. Bahan-bahan
tersebut ditumbuk hingga halus dan hasilnya kemudian dicampur dengan minyak
tradisional yang diracik sendiri. Bahan-bahan yang sudah tercampur inilah yang
kemudian dipakai untuk membuat tato tradisional Dayak. Alat membuat tato berupa
tangkai pemukul dari kayu yang disebut Lutedak. Di ujung kayu ada jarum tato,
kemudian jarum dicelupkan ke tinta dan digerakan mengikuti motif yang sudah
tercetak di kulit. Sebelum mengenal jarum suku Dayak membuat tato dengan

65
Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, ( Yogyakarta, LKis, 2006), hal. 225
66
Ibid, hal. 227.
67
Ibid, hal 228-229
57
Universitas Indonesia
menggunakan duri yang didapat dari pohon jeruk. Motif tato berasal dari cetakan
kayu yang disebut Klinge.
68
Kulit yang akan ditato dicap terlebih dulu dengan
cetakan ini sehingga pembuat tato tinggal mengikuti motif yang sudah ada di kulit.

Gambar 3. Proses Pembuatan Tato Dayak
Sumber : Koleksi Pribadi

Tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Hal tersebut terlihat dari
keberadaan leluhur yang direpresentasikan lewat gambar atau simbol tertentu yang
diyakini dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan kehadiran mereka di dalam
alam. Bagi manusia Dayak, alam terbagi menjadi tiga yaitu Dunia Atas, Dunia
Tengah, dan Dunia Bawah. Simbol yang mewakili Dunia Atas terlihat pada motif tato
Burung Enggang, Bulan, dan Matahari; Dunia Tengah yang merupakan tempat hidup
manusia disimbolkan dengan Pohon Kehidupan; sedangkan Ular Naga adalah motif
yang memperlihatkan Dunia Bawah. Keberadaan tato di tubuh mereka berikut simbol

68
Pembuatan Tato Dayak menggunakan pola klinge, yaitu kayu yang telah diukir membentuk sebuah
motif ditekankan ke kulit hingga membekas, selanjutnya arang dari kayu damar ditusukan ke kulit
hingga membekas secara permanen. Ibid, hal 212.
58
Universitas Indonesia
dunia yang mewakilinya inilah yang kemudian mempermudah perjalanan mereka
menuju alam kematian kelak.
69

Akan tetapi bukan berarti setiap manusia Dayak bisa memilih sesuka hati tato
yang akan dirajah ditubuhnya, terdapat aturan yang melarang digunakannya motif
atau gambar tertentu pada tubuh seorang Dayak sesuai dengan tingkatan strata
sosialnya dalam masyarakat. Motif yang mewakili simbol dunia atas hanya
diperuntukan bagi kaum bangsawan, keturunan raja, kepala adat, kepala kampung dan
pahlawan perang; masyarakat biasa hanya dapat menggunakan motif tato yang
merupakan simbol dunia tengah dan bawah. Pemeliharaan motif ini diwariskan secara
turun temurun untuk menunjukkan garis kekerabatan seorang Dayak dalam
masyarakat.
70

3.3 Penggunaan Motif Tato Pada Manusia Dayak
Penggunaan motif tato pada manusia Dayak tidak bisa dilakukan secara
sembarangan. Penggunaan motif-motif pada tato haruslah disesuaikan dengan
keberadaan manusia yang akan ditato karena motif tato Dayak merepresentasikan
kelas sosial suatu masyarakat. Motif tato yang dipakai seorang hipi atau bangsawan,
tentu berbeda dengan kelas sosial biasa. Dalam masyarakat Dayak sendiri terdapat
tiga tingkatan strata sosial yaitu hipi, bangsawan atau setingkat raja, panyin, orang
biasa, dan diivan, budak.
Perempuan hipi yang berasal dari kalangan bagsawan ataupun keturunan raja
menggunakan beberapa motif tato. Pertama, usung tingaang, motif ini berbentuk
paruh burung Enggang, burung endemik di Kalimantan, yang melambangkan
kemuliaan mulia. Kedua, kajaa lejo, bentuknya seperti bekas telapak kaki
harimau. Motif ini melambangkan kekuatan dan kegagahan serta kehebatan
seseorang. Tapak harimau menginjak paha menjadi motif tertinggi, pada kalangan
perempuan hipi. Ketiga, usung tuva, tuva adalah sejenis tumbuhan yang akarnya

69
Ibid,hal213hal214.
70
Ibid
59
Universitas Indonesia
bisa dipakai menuba atau meracun ikan. Motif serupa angka delapan atau kurva ini
melambangkan kekuatan jiwa, bagi seorang dayung atau orang yang memimpin
doa secara adat. Keempat, usung iraang, motif ini berbentuk piramida yang
memiliki ujung tajam. Makna motif, diyakini bisa memberi semangat tinggi, dan
kemampuan menganalisa berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Kelima, tenain
baung, bentuk motif ini melingkar bulat seperti lingkaran obat nyamuk bakar. Motif
ini mengambil makna usus ikan buntal sebagai tanda, perempuan siap berkeluarga,
dan siap hamil. Keenam, iko, yaitu motif berbentuk gelombang yang digunakan
sebagai batas antara motif satu dengan lainnya; motif Iko tak punya makna khusus.
Adapun perempuan panyin, yaitu perempuan dari kalangan rakyat biasa bisa
menggunakan motif perempuan hipi, selain motif kajaa lejo dan usung
tingaang. Dua motif itu tak bisa dipakai perempuan panyin karena apabila dipakai
akibatnya bisa celaka; perempuan panyin yang menggunakan tato tersebut seluruh
kulit tubuhnya akan berwarna kuning, muka tampak pucat, serta perut besar; penyakit
itu diyakini bakal diderita seumur hidup.
71


Gambar 4. Tato di Pergelangan Kaki dan Betis Perempuan Dayak
Sumber : Koleksi Pribadi

71
Ibid, hal 22
60
Universitas Indonesia
Pada laki-laki tato biasanya ditempatkan di bagian atas bahu . selain tato
bergambar bunga terong yang biasa dimiliki laki-laki Dayak, terdapat juga tato daun
pohon pinang yang dianggap sebagai senjata efektif dalam menangkal kejahatan
mahkluk halus. Pada tato ini juga dianggap sebagi kamuflase ketika bertemu dengan
mahkluk jahat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa tato pada tubuh dimaksudkan
untuk melindungi tubuh dari bahaya sekitar yang mengancam.




Gambar 5. Tato Motif Bunga Terong
Sumber : Koleksi Pribadi

Masyarakat Dayak percaya bahwa sakit merupakan serangan roh jahat yang
masuk kedalam tubuh. Masuknya roh tersebut disebabkan oleh kurangnya kebaikan
moral dan sopan santun. Setelah sembuh demi mencegah terulang lagi sakit yang
menimpa maka akan dibuat tato yang secara simbolis merupakan harapan agar
manusia tersebut kembali intropeksi diri terhadap tingkah lakunya selama ini. dengan
demikian tidak mengherankan jika tato dan tanaman mempunyai hubungan yang erat.
Dimana motif tato selalu berbentuk tanaman, karena dalam mengusir roh jahat tato
dan tanaman mempunyai fungsi yang sama.
72

72
Ibid, hal 217-219
61
Universitas Indonesia
Salah satu motif yang paling menyakitkan dalam proses pembuatan tato
adalah motif uker degok. Motif ini berupa tato yang diukir di leher. Uker degok ini
merupakan simbol yang cukup prestisius karena dilakukan pasca pengayauan,
sehingga bagi mereka yang pernah melakukan pengayauan, tato tersebut akan
menebalkan keberaniannya. Terdapat kepercayaan bagi mereka yang telah
melakukan pengayauan, maka secara magis akan terdapat kekuatan pada diri mereka
dan membawa keamanan dan kebajikan ke dalam rumah yang mereka tempati.
73


Gambar 6. Tato Motif Uker Degok
Sumber : http://www.beritabudaya.com/2010/07

Selain itu terdapat juga penggunaan tato di sekitar jari tangan yang berfungsi
sebagai simbol identitas dimana tato tersebut menunjukkan bahwa pemiliknya adalah
orang yang ahli dalam pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan
orang itu semakin banyak menolong dan semakin arif dalam ilmu pengobatan. Motif
tato tersebut biasa disebut song irang yang berarti tunas bambu. Song irang
merupakan simbolisasi tanaman sebagai alat pengobatan dan simbol kesuburan dalam
masyarakat Dayak. Tanaman merupakan penentu lingkungan dalam kehidupan dalam
kehidupan. Dengan kata lain manusia Dayak sangat bergantung dengan alam

73
Ibid, hal 222.
62
Universitas Indonesia
sekitarnya. Tidak mengherankan jika mereka sangat peduli pada sawah, padi dan
tunas bambu, yang juga dipercaya sebagai manifestasi dari jiwa nenek moyang.
74



Gambar 7. Tato Di Tangan Ahli Pengobatan
Sumber : Koleksi Pribadi

Sementara itu motif-motif gambar tato juga disesuaikan dengan strata sosial
yang berlaku di masyarakat. Gambar tato antara orang biasa berbeda dengan orang-
orang penting seperti para Temenggung, para Baliatn, para Demang dan para
Panglima perang.

74
Ibid, hal 226
63
Universitas Indonesia

Gambar 8. Para Panglima Dayak Dengan Tato di Tubuh
Sumber : Koleksi Pribadi

3.4 Aspek Pragmatik Tato Dayak
Bagi manusia Dayak, mereka yang bertato jauh lebih baik dan terhormat
dibandingkan mereka yang tidak bertato. Tato merupakan bagian dari tradisi, religi,
status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan
suku terhadap kemampuan seseorang.
75

Oleh karena itu ditinjau dari aspek pragmatiknya, secara garis besar tato Dayak
memiliki fungsi yaitu :
1. Sebagai fungsi kamuflase selama masa perburuan.
Dalam perkembangannya, tato merupakan prestasi dari hasil berburu binatang
yang kemudian dilanjutkan kepada manusia sebagai objek perburuan. Dari
sinilah tato mengalami perkembangan image sebagai keberhasilan bagi
mereka yang telah melakukan pemenggalan kepala manusia (pengayauan),

75
M. Sjaifullah dan Try Harijono, Makna Tato bagi Masyarakat Dayak,
http://www2.kompas.com/kompas-cetak /0410/22/tanahair/1339279.htm, diakses pada 22 Mei
2011,pukul 15.37 WIB.
64
Universitas Indonesia
dimana tato tersebut dibuat di seluruh tubuh si pengayau. Tato uker degok
adalah tato yang melambangkan kelanjutan dari pengayauan tadi dimana si
pengayau sudah meminum darah korbannya.
2. Perintah religius masyarakat.
Tato merupakan simbolitas kesetiaan pada adat dan religiusitasnya. Sebagai
anggota masyarakat adat, seorang manusia dayak harus menggunakan tato
sebagai tanda dia merupakan bagian dari suku tersebut, dimana motif yang
digunakan juga merupakan ciri khas dari suku Dayak, contohnya motif bunga
Terong dan burung Enggang.
3. Inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan.
Tato melambangkan telah berlangsungya proses inisiasi dalam masa krisis
sekaligus juga bukti adanya fase kehidupan dari anak-anak ke remaja, dari
gadis menjadi perempuan dewasa dan dari perempuan dewasa menjadi ibu.
Hal tersebut terlihat dari pemberian tato kepada perempuan yang sudah
mengalami menstruasi. Adanya tato di tubuh perempuan tersebut
menunjukkan bahwa ia sudah mengalami perubahan fase kehidupan.
4. Tato berfungsi sebagai J imat.
Pada tahap ini fungsi tato Dayak untuk mengubah tubuh pada dasarnya
mempunyai beberapa kemiripan tujuan dengan tato-tato tradisional, yakni
membuat ketertarikan pada lawan jenis, ekspresi diri, penangkal dari kekuatan
jahat, juga untuk menunjukkan status sosial seperti pembagian kelas dalam
masyarakat. Ditinjau dari fungsi estetiknya tato juga merupakan salah satu
elemen penting bagi kecantikan perempuan Dayak
Karena itulah, tato Dayak tidak dapat dibuat sembarangan. Meski demikian,
secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai
obor dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena
itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin banyaknya obor yang
akan menerangi perjalanan seseorang ke alam keabadian namun yang perlu
diperhatikan di sini adalah pembuatan tato juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya
secara sembarangan, karena harus memenuhi aturan-aturan yang ada.
65
Universitas Indonesia
BAB 4
SIMBOL KEBERTUBUHAN DALAM TATO DAYAK

Pada hakekatnya manusia merupakan kesatuan antara tubuh dan jiwa. Tanpa
jiwa ia bukanlah manusia melainkan hanya mesin biologis, sedangkan tanpa tubuh
manusia juga tidak menjadi manusia karena ia hanya entitas imaterial tanpa basis
fisis. Dengan demikian tubuh merupakan aspek penting bagi manusia baik secara
biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis
sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Tubuh
tidak hanya dipandang sebagai objek. Tubuh menunjukkan suatu situasi dan
keberadaan konkret manusia. Tubuh adalah kebertubuhan
76
. Karenanya para filsuf
mencoba menjelaskan tubuh dalam konteks yang khusus yaitu kehidupan manusia
sebagai keseluruhan yang terus berkembang. Dalam kebertubuhan terungkap luasnya
segi-segi yang menandai manusia dalam merealisasikan dirinya. Pandangan seperti
ini mulai ditunjukan oleh Michel de Montaigne pada abad ke 17. Baginya tubuh
bukan hanya data terisolir, dan karenanya sekali-kali ia tidak dapat disamakan dengan
sebuah benda material. Ia melukiskan manusia berdasarkan situasi manusiawi ( la
condition humaine) sebagai makhluk yang bertubuh, penuh vitalitas, dan mobilitas.
Dalam hubungannya dengan simbol, tubuh ditempatkan dalam konteks
khusus yang menandai kehidupan manusia sebagai keseluruhan dan menandai
manusia dalam merealisasikan diri. Tubuh tidak hanya dipandang sebagai objek
karena tubuh menunjukan suatu situasi dari keberadaan konkret manusia. Manusia
adalah tubuh sekaligus jiwa.
77

76
C.A. van Peursen (diterjemahkan oleh K.Bertens), Tubuh, Jiwa, dan roh, ( J akarta: BPK Gunung
Mulia, 1983), hal. 118.
77
Pada bagian ini saya mengacu pada Samuel Todes, Body and The World, (London, MIT Press,
2001).
66
Universitas Indonesia
Karena tubuh adalah bagian dari materi yang paling tampak merupakan cara
manusia merealisasikan dirinya maka ia dijadikan sebagai simbol nyata bagi setiap
jiwa dalam penyampaian pesan. Akibat dari adanya simbolisasi tersebut maka tubuh
yang materi menjadi sangat hermeneutik dan multinterpretatif bagi yang
menafsirkannya. Tato Dayak tidak hanya sekedar gambar penghias kulit belaka, lebih
dari itu tato yang melekat pada tubuh manusia Dayak merupakan pandangan hidup
yang melekat pada kehidupan masyarakat Dayak. Tato Dayak merupakan suatu
filsafat yang dirumuskan secara eksplisit dalam bentuk gambar atau lambang tertentu,
akan tetapi juga secara implisit yang memiliki makna tersembunyi dalam kehidupan
masyarakat Dayak.
Dalam Bab 4, Simbol kebertubuhan dalam tato dan manusia Dayak dijelaskan
melalui tubuh sebagai media tato, dimana kemudian tato yang melekat pada tubuh
manusia Dayak menjelma sebagai simbol eksistensi, simbol religiusitas, dan simbol
kehidupan dan kematian, sehingga dapat diketahui makna simbolik apa yang
terkandung dalam tato Dayak tersebut.

4.1 Tubuh Manusia Dayak Sebagai Media Tato


Konsep tubuh selalu diperbincangkan dari zaman ke zaman. Pelacakan
terhadap tubuh dan kebertubuhan secara mendalam memang telah dianalisis sejak
zaman Yunani Kuno. Para kaum Epicurean percaya bahwa "Kebahagiaan tubuh
adalah di atas segala-galanya namun, masih lebih utama adalah kebahagiaan mental".
Kaum Orpheus mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the
tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengaruhi filsuf-filsuf
utama seperti Socrates, dan Plato. Bagi filsuf idealis seperti Plato, tubuh konkrit
bukan hal yang penting. Baginya tubuh dianggap sebagai penghalang tercapainya
kemurnian jiwa. Plato berkata bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa dan jiwa bagaikan
terpenjara dalam tubuh. J ika manusia terlalu memberi perhatian terhadap tubuh, maka
hakikat keabadian hidup, yang terletak pada alam kejiwaan yang abstrak, akan sulit
dicapai.
67
Universitas Indonesia
Pada abad ke 20, teori hasrat pada pengalaman manusia, digambarkan oleh
Marleau-Ponty, bagaimana desire dan pleasure menstrukturkan pengalaman kita
bukan saja diri kita tapi dunia kita. Artinya, desire dan pleasure merupakan suatu
kesatuan di dalam pengalaman hidup kita beserta pemikiran dan tubuh ( mind and
body). Sebenarnya filsuf lain yaitu Gabriel Marcel juga berbicara soal kebertubuhan
(embodiment). Marcel menolak dualisme Cartesian yang melakukan pemisahan
antara mind dan body. Menurutnya dualisme tersebut hanya akan menghancurkan
persatuan antara diri (self) dengan tubuh (body).
Bagi Marcel dengan meniadakan tubuh artinya meniadakan diri. J adi
pernyataan saya berpikir tidak dapat dipisahkan dari adanya kebertubuhan, maka
saya ada tidak dapat dipisahkan dengan adanya tubuh saya. Meskipun dalam
filsafat, rasionalitas manusia mendapat kedudukan yang tinggi pada era modern,
namun tubuh yang dikonsepsikan oleh Plato kemudian membawanya pada konsepsi
negara ideal yang dianalogikan dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia
berdasarkan derajat kebertubuhannya, yaitu : pertama, para pemimpin (analog dengan
rasio); kedua, para prajurit (analog dengan kehendak); dan ketiga, para petani dan
tukang (analog dengan tubuh).
Perdebatan tentang tubuh merupakan perdebatan yang tak akan berakhir
selama manusia masih menjadi makhluk yang bertubuh. Bahkan bisa dikatakan
bahwa dari begitu banyak ragam perbincangan tentang manusia, perbincangan
tentang tubuhnya merupakan perbincangan yang paling kontroversial. Berbagai
wacana tentang perlawanan untuk merebut makna kebertubuhan secara individu
maupun secara massal banyak dilakukan oleh kelompok muda yang merasa risih
dengan cara-cara lama dalam memperlakukan tubuh yang dicontohkan oleh para
pendahulu mereka. Bahkan secara radikal mereka berani melakukan tindakan
terhadap tubuhnya sebagai bentuk penegasan indentitas subyektifnya kepada orang
lain. Hal ini terlihat dalam tindakan mendekorasi tubuh misalnya tato.Tato yang
melekat pada tubuh fisik mengandung beragam pemaknaan tekstual yang
menyangkut berbagai macam nilai mulai dari nilai estetik, ekspresif, maupun nilai
68
Universitas Indonesia
simbolik. Terlebih lagi tato yang melekat pada tubuh fisik seseorang akan semakin
memiliki penafsiran yang mendalam apabila tubuh fisik tersebut dikaitkan dengan
konsep tubuh yang profan dan sakral.
Dalam filsafat modern struktur manusia direduksi menjadi dua bagian yaitu
jiwa (mind) yang dianggap bagian dalam (batin) dan tubuh (body) yang dipandang
bagian luar manusia. Inilah juga menjadi akar adanya dikotomi dunia sakral dan
profan. Konsep sakral dan profan ini tidak bisa dipisahkan dari konsep diri yang
dikaitkan dengan bagaimana manusia memahami dan memperlakukan tubuhnya.
Manusia Dayak melihat bahwa penghayatan terhadap tubuh yang sakral dan
profan dapat diterjemahkan lewat pembuatan tato. Pada konsep tubuh profan,
penggunaan tato di tubuh fisik hanya memiliki fungsi sebagai penghias tubuh belaka,
sementara pada konsep tubuh sakral tato memiliki makna simbolik yang terkait
dengan religiusitas, siklus kehidupan dan kematian, serta eksistensi manusia.
Pada konsep tubuh yang sakral inilah interpretasi terhadap tato Dayak
berhasi melewati tahapan interpretasi literal menuju interpretasi reflektif dan
selanjutnya menjadi interpretasi eksistensial dimana makna terdalam yang terkandung
pada tato bagi manusia Dayak dapat ditemukan. Ditemukannya makna terdalam pada
konsep tubuh yang sakral sekaligus juga menunjukan posisi tubuh bagi manusia
Dayak amatlah penting. Tubuh bagi manusia Dayak merupakan kanvas bagi
kehidupan dimana di dalamnya termuat perjalanan hidup manusia Dayak hingga
menuju kematian. Tubuh merupakan bagian dari kegiatan ritual yaitu kegiatan
membuat tato. Karenanya tubuh dapat memberikan makna terutama akan sesuatu
yang religius, yang dihayati melebihi melalui pengalaman-peengalaman tertentu.
Tubuh bagi manusia Dayak menjadi tubuh yang sakral karena tubuh menjadi
sarana pembebasan dari kecemaran di dunia. Semakin banyak tato yang dimiliki
seorang manusia Dayak, maka semakin baiklah ia menjalani kehidupan, bahkan
hingga menuju kematian. Tato yang melambangkan keberanian, kekuatan, keahlian,
dan proses-proses sekaligus pengalaman dalam hidup adalah bukti bahwa manusia
69
Universitas Indonesia
Dayak sudah berhasil melawan segala kecemaran dan ketidakberesan yang
dianalogikan sebagai kejahatan di dunia.
4.2 Tato Dayak Sebagai Simbol Religiusitas
Menurut pandangan salah seorang filsuf yaitu Mircea Eliade, religi adalah
pandangan hidup ataupun keyakinan dari manusia tentang sesuatu yang dianggap
memiliki kekuatan sakral dan mewjudkannya dalam perilaku religiusnya. Manusia
religius adalah manusia yang keseluruhan hidup dan perilakunya ditentukan oleh
keyakinan religinya. Manusia religius selalu percaya dan mengimani Yang Suci dan
percaya bahwa di dunia ini ada suatu realitas yang absolut. Manusia religius
mengalami bahwa di dunia dan hidupnya selalu ada dialektika antara yang sakral dan
yang profan. Religi sebagai suatu keseluruhan sistem kepercayaan adalah sumber
acuan bagi penganutnya. Sedangkan sikap religius tampil sesuai dengan derajat
kesadaran terhadap ajaran religius tersebut.
Tidak hanya tubuh, manusia juga dilengkapi dengan jiwa yang tidak dapat
direduksikan kepada dimensi jasmaniah. J iwa lebih daripada suatu prinsip penjiwaan
dan strukturasi badan, karenanya jiwa memiliki transendensi religius yang terkait
dengan spiritualitas. Transendensi spiritual tersebut tampak dalam keputusan-
keputusan yang sangat sulit, yang diambil secara berlawanan dengan kecenderungan-
kecenderungan biologis dan psikologis yang bersifat materi. Dengan menyatakan
jiwa bersifat spiritual, jiwa secara intrinsik adalah bebas dari materi dalam
hakekatnya.
Namun jiwa tetaplah tergantung secara ekstrinsik dari materi. Hal ini nyata
karena materi jasmani merupakan suatu syarat bagi aktivitas manusia sampai yang
paling tinggi. Tubuh melalui pancaindera memungkinkan adanya kegiatan spiritual.
Manusia menggerakan tubuh dengan memaksanya untuk turut berpartisipasi dan
bekerja sama dengan hakekat serta kehidupan spiritualnya. Dalam arti ini maka tubuh
merupakan penjelmaan dari perbuatan-perbuatan spiritual manusia.
70
Universitas Indonesia
Religi tradisional Dayak mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka
kerjakan maupun dapatkan dalam kehidupan mereka, baik maupun jahat, selalu
membawa pengaruh dan melibatkan campur tangan dari unsur-unsur lain di luar
manusia. Oleh karena itu dalam religi tradisional terkandung segala aturan, norma
dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, dan manusia dengan
unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini.
Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing,
artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri.
Pentingnya aturan, norma dan etika dalam religi tradisional didasarkan pada
world-view (pandangan dunia) manusia Dayak yang memahami alam semesta
(kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-
manusia. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri
dari unsur alam manusia dan alam non-manusia yang saling berkolerasi. Sistem
kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup
dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan keduanya. Oleh karena itu
hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan ini harus dibangun
oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.
Tato yang ditorehkan di tubuh manusia Dayak adalah spiritualitas dari sebuah
tradisi yang berhubungan erat dengan religiusitas manusia Dayak. Istilah religi dalam
konteks ini melingkupi semua praktek religius yang masih hidup dan dilaksanakan
namun sudah tidak sepenuhnya oleh manusia Dayak dalam kehidupannya karena
religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-
temurun.
Pembuatan tato pada dasarnya merupakan bentuk praktek religi yang tidak
bisa terlepas dari pandangan hidup manusia Dayak. Hal tersebut dapat dilihat dari
motif-motif yang terdapat di dalam tato yang melambangkan simbol dunia atau alam
semesta. Pembagian alam semesta ke dalam tiga kategori yaitu dunia atas, dunia
71
Universitas Indonesia
tengah dan dunia bawah menunjukan bagaimana manusia Dayak memaknai alam
beserta seluruh isinya.
Burung Enggang, Pohon kehidupan, dan Naga yang mewakili konsep dunia
atas, tengah dan dunia bawah dalam masyarakat Dayak merupakan pengejewantahan
terhadap kebijaksanaan. Nilai kesetiaan yang dipraktekkan burung Enggang terlihat
dalam hal monogami, perhatian dan empati terhadap anak sesamanya bila induknya
mati. Enggang yang menjadi sosok penting dalam budaya masyarakat Dayak
memberikan pencerahan (enlightment) akan kualitas sifat manusia Dayak yang setia
pada ucapan yang telah diikrarkan, sifat menolong yang sangat kental bahkan
kepekaan memanfaatkan hasil hutan alam tanpa merusaknya.
Dunia tengah yang merupakan tempat hidup manusia dilambangkan dengan
pohon kehidupan. Pohon dalam alam pikiran manusia Dayak dianggap sebagai
pemberi kehidupan sehingga pohon kemudian disimbolikkan sebagai pohon
kehidupan atau Batang Garing. Pohon kehidupan atau Batang Garing bagi manusia
Dayak merupakan perlambangan yang dalam pengertian simbolik adalah subyek yang
berdiri secara linear dengan manusia sehingga hutan yang merupakan masyarakat
pohon atau komunitas dalam dunia perpohonan menjadi satu ikatan yang tidak dapat
dilepaskan. Manusia dan hutan adalah dua subyek dengan kapasitasnya masing-
masing. Manusia tidak hanya diposisikan pada tataran subyek semata khususnya
dalam memperlakukan hutan akan tetapi di sini alam turut menjadi subyek yang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku manusia di sekitarnya.
Sementara itu motif naga yang mewakili dunia bawah melambangkan
kesuburan dan kehidupan di bawah bumi. Naga digambarkan hidup di dalam air atau
tanah.Tugasnya yaitu mengapungkan kepingan tanah, tempat tinggal manusia agar
tidak tenggelam ke kedalaman air asal (primeval water) yang dalam. simbol naga
yang dipakai dilihat sebagai proyeksi pengalaman sosial masyarakat tentang
kekuatan, keunggulan dan keperkasaan di wilayah perairan. Selain itu, bisa dilihat
sebagai proyeksi pengalaman religius kultural masyarakat, bahwa kehidupan yang
72
Universitas Indonesia
dijalani masa kini tidak lepas dari penyertaan dan perlindungan leluhur yang hidup di
masa lalu.
Keyakinan manusia Dayak terhadap ketiga tingkatan dunia yang dituangkan
ke dalam tato inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai simbol religiusitas.
Keberadaan gambar-gambar yang mewakili ke tiga dunia tersebut secara tidak
langsung mengingatkan manusia Dayak akan kehidupan yang mereka jalani dalam
keterkaitannya dengan masing-masing dunia.
4.3 Tato Dayak Sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian
Setiap manusia dipastikan selalu mengalami rangkaian peralihan dalam
kehidupannya. Peralihan tersebut juga merupan sebuah peristiwa eksistensial dimana
manusia akan mengalami berbagai perenungan didalamnya kehidupan manusia dalam
masyarakat selalu tersusun dalam sebuah rangkaian peristiwa. Untuk menyimbolkan
berbagai transisi sosial tersebut maka tubuh fisik diubah dan digunakan sebagai
mediasi dalam tubuh sosial. Rangkaian peralihan dalam kehidupan manusia berkaitan
dengan fase-fase dalam kehidupan mulai dari kelahiran hingga kematian.
Adapun aktivitas yang dilakukan untuk memaknai siklus tersebut dilakukan
dalam ritual berupa pembersihan badan, makan minum, perubahan gaya rambut, dan
perubahan bentuk tubuh dimana didalamnya termasuk tato, tindik, perataan gigi, dan
sunat. Dari sana dapat dilihat bahwa proses yang pada hakikatnya bersifat sosial juga
bersifat fisik. Proses perubahan tersebut intinya membuat sesuatu menjadi baru atau
berbeda dari sebelumnya. Sebab dengan demikian dapat diharapkan dengan
timbulnya tubuh fisik yang baru akan tercipta akan pemaknaan akan tanggung jawab
baru akan kehidupan.
Pemaknaan tato Dayak sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian jelas
terlihat pada tato yang digunakan oleh perempuan Dayak. Pada perempuan Dayak,
tato berhubungan erat dengan fase yang mereka lewati dalam kehidupan. Tato biasa
dilakukan ketika mereka menginjak usia dewasa atau menggunakan parameter ketika
73
Universitas Indonesia
mengalami haid pertama. Pada saat perempuan tersebut sudah mengalami haid, maka
perempuan tersebut telah melalui sebuah fase peralihan di dalam hidupnya yaitu dari
anak-anak menjadi seorang perempuan dewasa. Tato di tubuh mereka adalah simbol
yang melambangkan sudah dilewatinya tahap kedewasaan dalam siklus kehidupan
mereka.
Siklus kehidupan yang disimbolkan oleh tato Dayak juga terlihat dari
pengalaman-pengalaman pemilik tato tersebut. Pada kaum lelaki yang memiliki
banyak tato di tubuhnya, mulai dari tato yang di dapat dari keberhasilannya
mengayau sampai dengan tato sebagai hasil dari perantauan yang sudah pernah ia
lakukan, terlihat jelas bagaimana pengalaman-pengalaman empiris turut serta menjadi
bagian dari siklus kehidupan manusia.
Kehidupan dan kematian merupakan hal yang penting yang ditampilkan
dengan lingkaran tato.Tato menawarkan suatu kesaksian secara visual sebagai
penolakan dari seorang manusia Dayak untuk menerima akhir dari kematian yang
tidak dapat dihancurkan. Tato merupakan simbol artikulasi yang menggambarkan
ideologi Dayak secara implisit akan kehadiran mereka dalam kehidupan, seolah-olah
merupakan sebuah kanvas akan kehidupan mereka sendiri.
Hubungan antara tato dengan manusia Dayak mengindikasikan bahwa
seseorang akan mengalami suatu sisi baru dalam kehidupan setelah mengalami
kematian. Maka tidak mengherankan, setiap komunitas Suku Dayak yang terdiri dari
individu-individu terbagi atas kematian dan kehidupan,dimana setiap anggota suku
yang meninggal kemudian akan tinggal bersama para leluhur/nenek moyang di
kampung kematian (village of the dead). Disanalah sebuah dunia yang sempurna
dibangun, dimana di sana banyak terdapat pohon yang berbuah lebat, juga jalan
setapak yang dilapisi emas dan perhiasan dimana kesemuanya merupakan hal yang
paling dianggap sempurna oleh manusia Dayak pada kehidupan setelah kematian.
Dengan konsep tersebut, tato dan kematian tak mungkin terlepas dari hal yang lain.
74
Universitas Indonesia
Ketika roh seorang manusia Dayak pergi meninggalkan raganya maka roh tersebut
pergi ke village of the dead.
78

Dalam perjalanan menuju village of the dead yang paling sulit setelah
kematian adalah melalui sungai kematian. Berdasarkan tradisi, hanya roh perempuan
Dayak yang memiliki tato yang memberikan keturunan untuk keluarganya dan
seorang pemburu kepala manusia (headhunter) yang menunjukkan tato di tangannya
sebagai tanda kesuksesan, yang dapat menyeberangi jembatan balok kayu diantara air
sungai kematian yang berbahaya. Maligang atau penjaga jembatan seringkali tidak
memberikan ijin untuk roh-roh tertentu untuk melewati jembatan dan menjatuhkan
mereka ke sungai tersebut. J ika roh memiliki tato, mereka bebas untuk melewati
kegelapan di sisi yang lain. Roh-roh yang memiliki tato mulai terbakar dengan
cemerlang dan perlahan mereka akan terbawa ke tempat peristirahatan terakhir,
dimana mereka dapat berjumpa dengan para nenek moyang/leluhur mereka.
79
Dalam
hubungannya dengan fenomenologi, maka manusia Dayak dengan kesadarannya
menempatkan tato sebagai perangkat perseptual (noesis) untuk memperoleh
gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena kematian (noema).
4.4 Tato Dayak Sebagai Simbol Eksistensi
Permasalahan mendasar dari eksistensi manusia adalah kenyataan dan
kesadaran bahwa dirinya eksis. Manusia sadar bahwa ia hidup dan ia juga sadar
bahwa orang-orang di sekelilingnya memiliki kehidupan seperti dia. Dengan
menyadari bahwa dirinya ada atau eksis, dan menyadari bahwa ada sesuatu yang
seperti dirinya, ia kemudian dihadapkan pada problem hidup yaitu problem
bagaimana ia akan menjalani proses kehidupannya. Pengenalan akan budaya sosial
agama dan sebagainya merupakan problem problem eksistensial. Intinya problem ini
dimulai dari sebuah pertanyaan: Bagaimana aku menjalani hidupku ini ?

78
Hatib Abdul Kadir Olong, Op. Cit., hal. 212-213
79
Ibid
75
Universitas Indonesia
Hal kedua yang menjadi problem eksistensi adalah kenyataan bahwa setelah
saya hidup saya akan mati. Setelah ia menyadari bahwa dirinya hidup ia kemudian
mengetahui dengan penuh kesadaran bahwa ia akan mati sebagaimana orang-orang
yang hidup kemudian mati. Memikirkan sesuatu yang bukan merupakan
pengalamannya (mati bukan merupakan pengalaman tetapi pengetahuan), membuat ia
dihantui oleh ketidakpastian. Setiap ketidakpastian sering kali mengakibatkan
ketakutan. Ketakutan akan kematian merupakan salah satu problem eksistensi yang
paling mendalam. Banyak cara yang dipakai orang untuk mengatasi problem ini.
Kepercayaan agama merupakan salah satu cara yang paling banyak digunakan untuk
mengatasi problem eksistensi seperti ini. Ketidakpastian yang menumbuhkan
ketakutan dapat diatasi dengan membangun sebuah keyakinan. Dimana ketika
keyakinan itu sudah melekat dalam kesadaran maupun bawah sadar seseorang maka
ketidakpastian itu ditutupi dengan sebuah keyakinan. Secara psikologis keyakinan
yang dalam bentuk agama dan segala kepercayaan yang muncul di dunia cukup
bermanfaat untuk mengatasi problem eksistensi seperti ini. Ia dapat menentramkan
dan mendamaikan hati dari ketakutan akan kematian ini. Dengan demikian, ketakutan
akan kematian juga memiliki kaitan erat dengan problem pertama yaitu kenyataan
bahwa manusia itu ada dan hidup dengan kesadarannya.
Tato merupakan simbol sekaligus sarana untuk mengukuhkan eksistensi
seseorang dalam kehidupan hingga kematian. Bagi manusia Dayak. tato adalah ritual
tradisional yang terhubung dengan peribadatan, kesenian dan identitas. Ia melekat
ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian, penanda yang tidak
terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi menunjukkan status sosial
pemakai maupun kelompok tertentu.
Dalam hubungannya dengan identitas pada saat hidup, tato Dayak digunakan
sebagai penanda perjalanan hidup seseorang dan apa saja yang sudah dia lakukan
dalam hidup ini. Seorang lelaki dewasa Dayak yang telah berpengalaman dalam
mengayau, ataupun telah merantau ke berbagai daerah menggunakan tato sebagai
simbol untuk menunjukkan keperkasaan dan keberaniannya. Ini adalah kebanggaan,
prestise dan sebuah fase yang didambakan kaum lelaki. Tato yang dimilikinya
76
Universitas Indonesia
sekaligus menjadi bukti pengalaman yang sudah ia dapatkan dalam hidup. Kaum
perempuan juga menunjukkan kepiwaiannya dalam menenun dan pengobatan lewat
penggunaan tato Bagi perempuan, menenun sama dengan tindakan perang yang
dijalankan kaum pria. Keindahan tenunan, pemilihan motif merupakan sebuah
keahlian yang bukan sembarangan, kemampuan ini diakui masyarakat sebagai
prestasi yang patut ditandai dengan tato sebagai penghargaan dan penanda. Sama
halnya dengan pengobatan, semakin banyaknya tato yang terdapat di sela-sela jari
perempuan Dayak menjadi bukti semakin mahirnya ia dalam melakukan pengobatan.
Status sosial dalam masyarakat yang juga menjadi simbol eksistensi dalam
hidup juga dapat diperlihatkan lewat tato. Bagaimana gambar-gambar yang
digunakan dalam tato tidak bisa digunakan oleh sembarang orang karena gambar-
gambar tersebut harus disesuaikan dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab terdahulu, bagaimana gambar-gambar tato
khususnya gambar tato yang digunakan perempuan Dayak dapat merepresentasikan
kelas sosial dalam masyarakat adat. Perempuan dari kalangan masyarakat biasa tidak
bisa menggunakan tato yang diperuntukkan bagi kalangan bangsawan karena akan
berakibat buruk baginya. Hal tersebut menerangkan bagaimana keberadaan tato pada
manusia Dayak sangatlah berarti untuk mengukuhkan eksistensi mereka.

4.5 Makna Simbolik Tato Dayak
Agar dapat memahami makna simbolik tato Dayak dengan baik, maka cara
yang dilakukan adalah dengan mencoba mengikuti alur pemikiran hermeneutika
Ricoeur yang dibagi dalam beberapa tahap. Adapun tahap-tahap tersebut berfungsi
mengetahui makna simbolik tato Dayak tersebut. Tahap pertama adalah melihat
bagaimana tato Dayak mempunyai makna ganda. Tahapan kedua adalah melihat
hermeneutik sebagai jalan untuk menginterpretasi dan mencari makna simbolik tato
Dayak. Tahap ketiga adalah melihat hermeneutik dalam konteks teks simbolisme
kebertubuhan dalam tato dan manusia Dayak.
77
Universitas Indonesia
Pemaknaan tato Dayak sebagai sebuah simbol dapat dilihat dari
keberadaannya sebagai struktur signifikasi yang dilihat secara langsung dan tidak
langsung. Pendapat tersebut mengacu tentang perumusan simbol dimana secara
langsung simbol merupakan struktur signifikasi primer yang ditandai dengan makna
literal, sedangkan secara tidak langsung simbol merupakan makna sekunder yang
figuratif serta hanya dapat dipahami melalui keberadaan simbol yang pertama yaitu
sebagai struktur signifikasi primer.
Tato Dayak merupakan simbol yang bersifat primer dan sekunder. Simbol-
simbol tersebut dapat ditemukan pada gambar-gambar yang terdapat dalam tato
seperti gambar burung enggang, bunga terong dan naga. Pada gambar tersebut terlihat
makna yang sifatnya literal sebagai penanda di tubuh dimana makna tersebut
selanjutnya dapat ditelusuri melalui bahasa, cerita, dan mitos. Dengan pemahaman
akan simbol-simbol itulah pengalaman kehidupan manusia Dayak dapat diungkap.
Bagi manusia Dayak, gambar-gambar pada tato yang melambangkan simbol
dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah haruslah dibahas, dikupas, dan dipahami
dengan seksama agar dapat menangkap maksud yang sebenarnya. Simbol-simbol
tersebut banyak mengacu pada kosmos, impian manusia akan adanya harmonisasi
dengan alam, sesama, dan kekuasaan ataupun kekuatan supranatural. Manusia mula-
mula mengenal yang sakral di dunia dari beberapa aspek yang berasal dari langit,
alam, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Sesuai dengan tahapan interpretasi menurut Ricoeur, maka pemahaman
terhadap gambar-gambar binatang dan juga tumbuhan yang mewakili tiap-tiap
tingkatan dunia iinilah yang menjadikan tato Dayak memiliki makna literal, yang
terlihat dan dapat dijelaskan secara langsung. Makna literal tato Dayak sebagai
simbol memiliki tujuan tertentu yang mengacu pada maksud di balik penggunaan tato
tersebut. Tujuan itu merupakan intensionalitas ganda yang artinya intensionalitas
literal dapat menghasilkan intensionalitas yang lebih mendalam sebagai
intensionalitas kedua. Intensionalitas kedua adalah makna yang berasal dari makna
78
Universitas Indonesia
pertama/makna literal dimana dari makna tersebut dapat dibangun makna yang lebih
mendalam yaitu makna reflektif.
Pada tato Dayak makna literal tato sebagai simbol terlihat pada gambar
binatang dan tumbuhan yang melekat dikulit. Makna literal dari gambar tersebut
adalah adanya sebuah hiasan atau tanda yang digunakan pada tubuh seorang manusia
Dayak. Sedangkan simbol yang memiliki intensionalitas kedua adalah adanya makna
bahwa tato Dayak tidak hanya sekedar hiasan pada tubuh tetapi sebagai simbol
keberanian, kekuatan keahlian, dan juga sebagai pelindung dari marabahaya yang
datang dari gangguan atau amarah para leluhur.
Esensi simbol pada tato Dayak menjadi terlihat dari adanya hubungan antara
makna literal, makna reflektif, dan makna simboliknya. Ada proses analogi yang
muncul karena terjadinya proses pemikiran dalam simbol tato tersebut. Secara lebih
jelas manusia Dayak memahami tato berdasarkan beberapa tahapan. Tahapan pertama
manusia Dayak memiliki persepsi tentang apa itu tato dimana pada tahap selanjutnya
dia mempersiapkan diri untuk ditato. Pembuatan tato pada tahapan selanjutnya
disesuaikan dengan eksistensi dia sebagai manusia. Didalamnya mencakup pada jenis
kelamin, keahlian yang dimiliki, fase yang sudah ia lewati di dalam hidup, dan
kesiapannya menuju kematian. Pada tahap terakhir manusia Dayak memohon
keselamatan dalam menjalani kehidupan setelah kematian lewat penggunaan tato di
tubuh mereka yang berfungsi sebagai obor atau penerang dalam kegelapan.
Dari penjelasan diatas dapat ditemukan pemahaman penting bahwa tubuh dan
kehidupan manusia Dayak menjadi sumber bagi simbolisme tato. Ia menjadi makhluk
yang mengenal simbol lewat penggunaan tato di tubuhnya. Simbol tato Dayak bukan
hanya sesuatu yang bersifat literal yang menyembunyikan realitas religius, melainkan
benar-benar sesuatu kekuatan nyata yang pada akhirnya menjadi jalan atau perantara
manusia Dayak untuk menghadapi kematian.

79
Universitas Indonesia
Baik simbol yang melambangkan tingkatan dunia dan simbol tato sebagai
obor atau penerang menuju kematian, pada dasarnya tato Dayak menghadirkan
kembali pemahaman kesadaran manusia Dayak dalam hal kenyataan yang transenden
dan mutlak. Kesadaran ini berkaitan erat dengan pandangan hidupnya, suatu dimensi
sangat khusus yang menjadi pola penuntun hidup. Pandangan hidup inilah yang
mewarnai kehidupan manusia Dayak dalam perilaku relegius maupun kesehariannya.
Manusia Dayak melihat tato sebagai bagian dari kesadaran manusia. Simbol-
simbol dalam tato yang melambangkan unsur-unsur dalam pandangan dunia Dayak
seperti hierarki sosial, harmonisasi dengan alam, kemurnian dan kesakralan dan
siklus kehidupan-kematian menjadi tujuan khusus atau intensionalitas khusus yang
tersembunyi di balik simbol tato Dayak. Hal ini terlihat dari bagaimana manusia
Dayak mempersiapkan segala sesuatu dalam pembuatan tato. Menghadirkan tato di
tubuh berarti mengikuti pola pandangan hidup Dayak, bahwa ada kehidupan lain
selain kehidupan mereka sebagai manusia. Untuk itu manusia Dayak harus
menghormati alam, leluhurnya dan juga penciptanya.
Kehadiran tato di tubuh seorang manusia Dayak juga merupakan salah satu
bentuk pengakuan manusia Dayak akan kemungkinan ataupun kondisi kehilafan serta
pengakuan bahwa dirinya tercemar. Dengan demikian, penggunaan tato menunjukan
bahwa ia menyesali apa yang telah diperbuatnya dan membersihkan dirinya supaya
bisa menjadi lebih sempurna. Dalam hal ini terjadi kegagalan kesadaran manusia
Dayak yang membawanya pada kesadaran pengakuan akan kelemahan manusia.
Manusia Dayak yang lemah, gagal, takut dan cemas berusaha untuk mencari suatu
identitas baru yang lebih baik dari sebelumnya yang menuju pada bentuk-bentuk
keluhuran manusia. Pencarian eksistensinya itu membuat manusia Dayak
menghadirkan tato pada tubuhnya.
Kehidupan manusia Dayak adalah kehidupan yang selalu mengikuti norma
atau hukum adat. Dalam hubungannya dengan semesta atau kosmos, manusia Dayak
berada pada keadaan atau tempat yang tepat di dunia ini. Di dalam kosmos, secara
80
Universitas Indonesia
keseluruhan setiap elemen yang ada padanya menduduki posisinya dengan tepat.
Kehidupan manusia Dayak diproyeksikan pada keteraturan dari kosmos tersebut.
dengan kata lain manusia Dayak selalu berusaha berada pada keadaan yang harmonis
dimana semuanya berjalan dengan tenang dan seimbang. Oleh karena itu setiap
manusia Dayak diharapkan memainkan peranan dan posisi yang tepat dalam
kehidupan.
Pengkajian terhadap makna simbolik tato bagi manusia Dayak pada dasarnya
juga merupakan pengkajian terhadap tindakan bermakna sebagai sebuah teks. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ricoeur yang mengatakan bahwa tindakan bermakna dapat
dianggap sebagai sebuah teks. Pendapatnya ini merupakan perluasan dari metode
interpretasi dan dianggap sebagai paradigma interpretasi bagi ilmu-ilmu
kemanusiaan. Beberapa kategori atau kriteria juga ikut menjelaskan bahwa teks
sebagi konsep tindakan bermakna (the concept of meaningful action). Empat kriteria
atau kategori tindakan bermakna itu adalah pertama, terpatrinya tindakan (the fixation
of action),kedua, mandirinya tindakan (the autonomization of action), ketiga,
relevansi dan pentinya tindakan (relevance and importance), keempat, tindakan
sebagai karya terbuka ( human action as an open work).
80

Tato Dayak adalah tindakan bermakna yang dijadikan objek interpretasi.
Keberadaannya menjadi bagian dari objekvitasi, yang mana objektivasi tersebut
muncul karena adanya sisi kejiwaan dari tindakan. Objektivasi tato mirip sengan
struktur dari bahasa lisan. Itulah yang membuat tato berfungsi sebagai ungkapan yang
telah dikerjakan. Terpatrinya tato pada tubuh manusia Dayak merupakan bukti dari
adanya dinamika perluasan bahasa lisan dalam proses pengupayaan makna dari
tindakan suatu peristiwa tertentu dalam sebuah tindakan. Tato juga merupakan
tindakan yang mandiri atau otonom, dimana pembuatan tato bersifat terlepas atau
berjarak dari si pelaku, yang juga berkembang sebagai akibat pertalian dengan
dimensi sosial.

80
Irmayanti Meliono-Budianto, Op. Cit. hal 57-58
81
Universitas Indonesia
Selain itu tato juga memiliki relevansi dengan situasi yang ditandai oleh
dimensi ontologis, fenomena budaya dan kondisi sosial masyarakat. Dimensi
ontologis tato Dayak terlihat dari hakekat tato sebagai obor penerang menuju alam
kematian bagi manusia Dayak, hal tersebut menjadi dasar keyakinan manusia Dayak
untuk membuat tato. Fenomena budaya menempatkan tato Dayak sebagai bagian dari
kehidupan manusia Dayak yang terkait dengan simbol religiusitas, simbol siklus
kehidupan dan kematian, serta sebagai simbol eksistensi bagi manusia Dayak.
Sedangkan kondisi sosial masyarakat mengandung pemahaman bahwa manusia
Dayak memiliki pertalian yang erat dengan alam sekitar, binatang dan tumbuhan serta
arwah para leluhur yang diimplementasikan dengan gambar-gambar yang mewwakili
simbol-simbol dunia tertentu.
Tato merupakan tindakan manusia yang dilihat sebagai karya terbuka. Dimana
pada tahapan ini tato memiliki kemiripan seperti teks tertulis. Ini berarti tato terbuka
terhadap referensi baru dan menerima setiap penafsiran yang diberikan kepadanya.
Karena pada dasarnya tato merupan tindakan manusia Dayak yang terbuka terhadap
siapa saja yang dapat menafsirkannya.









82
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP


5.1 Kesimpulan
Simbol yang bermakna ganda di dalam tato Dayak berhasil menghasilkan
makna-makna simbolik seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal tersebut
menunjukan bahwa pemahaman terhadap tato Dayak sebenarnya ditentukan pertama
kali oleh makna literal tato tersebut. Makna literal yang terdapat pada tato disebut
sebagai makna pertama yang bersifat harafiah. Dari makna pertama dapat ditemukan
makna kedua yang bersifat reflektif dimana selanjutnya makna reflektif tersebut
berhasil menghasilkan makna ketiga yaitu makna eksistensial tato yang terkait erat
dengan kehidupan manusia Dayak.
Dengan demikian, dari upaya menginterpretasi simbol tato Dayak
menggunakan metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur maka dapat
ditemukan makna tato Dayak sebagai sebuah fenoma. Interpretasi empiris terhadap
gambar tato berhasil menghasilkan makna literal yang bersifat harafiah, contohnya
gambar Burung Enggang yang menjadi simbol dunia atas, Pohon Kehidupan yang
menjadi simbol dunia bawah, dan Ular Naga yang menjadi simbol dunia bawah.
Adapun masing-masing gambar dapat melambangkan keberadaan masing-
masing dunia yang diwakilkannya. Sebagai contoh burung Enggang yang
diasosiasikan sebagai simbol dunia atas. Keberadaan burung Enggang sebagai
makhluk hidup yang bisa terbang dan selalu berada di atas dianggap dapat
merepresentasikan definisi dunia atas secara harafiah.

83
Universitas Indonesia
Selanjutnya setelah makna literal akan tato Dayak berhasil diterangkan, maka
akan dilakukan refleksi terhadap makna literal tersebut. Setelah memahami arti dari
gambar-gambar yang terdapat pada tato, manusia Dayak sadar bahwa tato bukan lagi
sekedar gambar yang ditorehkan di tubuh. Makna dari masing-masing gambar yang
ada memberikan pemahaman baru akan makna simbolik tato sebagai simbol
religiusitas ( menyangkut kepercayaan manusia Dayak kepada dunia lain), tato
sebagai simbol siklus kehidupan dan kematian ( menyangkut kepercayaan manusia
Dayak bahwa tato adalah simbol dari tahapan-tahapan yang mereka lewati dalam
hidup, mulai dari remaja hingga dewasa), tato sebagai simbol eksistensi ( keberadaan
tato di tubuh manusia Dayak menjadi simbol keberadaan mereka sebagai manusia di
dunia, terkait erat dengan identitas mereka dalam kehidupan sosial juga dalam
keyakinan yang mereka anut ).
Pada akhirnya, terlepas dari pandangan hidup dan keyakinan religinya,
manusia Dayak mencapai kesadaran bahwa dirinya dapar terjerumus kepada keadaan
yang salah, artinya ia dapat saja berbuat salah dan mengakui kesalahannya. Pada
tahapan ini tato berfungsi sebagai alat pembersihan diri dimana semakin banyaknya
tato pada tubuh manusia Dayak menunjukkan manusia tersebut berusaha untuk
melakukan pembersihan dari segala kecemaran dan ketidakberesan yang dialami di
dunia. Disinilah manusia Dayak menemukan eksistensinya lewat tato sebagai jalan
menuju keabadian, yakni sebagai obor yang akan menerangi jalan menuju kampung
kematian (village of the dead) yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan hidupnya.
Dalam hubungannya dengan simbol kejahatan yang terdapat dalam
hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur, maka tato yang melekat pada tubuh
manusia Dayak menjadi simbol dari adanya ketidakberesan, kecemaran, dan juga
kekotoran yang terjadi di dunia. Dengan demikian keberadaan tato di tubuh manusia
Dayak menjadi sarana pembersihan atau penyucian manusia Dayak, sekaligus juga
sebagai jalan menuju keabadian yang terdapat di kampung kematian ( village of the
dead), yaitu surga bagi manusia Dayak.
84
Universitas Indonesia
5.2. Catatan kritis
Sebagai sebuah metode interpretasi, metode hermeneutika fenomenologis dari
Paul Ricoeur dianggap dapat memahami fenomena kehidupan manusia yang muncul
dalam kehidupan sosial budaya manusia. Dengan tanda yang ada, yang oleh Ricoeur
dimunculkan sebagai simbol, maka dapat ditemukan pemaknaan yang sangat dalam.
Bagi Ricoeur seperangkat ekspresi simbolik baik berupa simbol, mitos, ataupun
bahasa yang dimiliki manusia dapat dipakai sebagai jalan bagi hermeneutik
fenomenologis untuk memahami kehidupan manusia. Karenanya keberadaan simbol
menjadi sesuatu yang penting dan menarik untuk dikaji dan diteliti secara mendalam.
Bagi manusia Dayak tato memiliki makna simbolik yang terkait dengan
pandangan hidup. Karenanya tato memilliki fungsi tidak hanya figuratif sebagai
penanda di tubuh melainkan juga ia memiliki fungsi reflektif yang sarat akan nilai-
nilai kehidupan. Dengan adanya tato sebagai simbol, keberadaan manusia Dayak
dapat dikaji secara lebih mendalam terutama secara filosofis sehingga pandangan
hidup mereka sebagai mikrokosmos (bagian dari alam semesta) dapat dipahami
dengan baik, yang pada akhirnya menghasilkan pemahaman akan Dasein, yaitu
manusia Dayak sebagai manusia seutuhnya.
Sebagai catatan kritis, makna simbolik tato Dayak sebagai obor yang akan
menerangi jalan pemiliknya menuju alam keabadian, kini telah mengalami pergeseran
terutama bagi kalangan generasi muda. Makna simbolik tato Dayak yang
berhubungan erat dengan sakralitas kini telah bergeser menjadi sesuatu yang profan.
Dalam relevansinya dengan kekinian, saat ini tato Dayak telah berubah makna
menjadi simbol kekerasan dan gaya hidup. Proses globalisasi sebagai akibat dari
modernisasi membuat nilai tato Dayak bergeser menjadi simbol kekerasan dan gaya
hidup semata. Akibatnya semakin banyak orang yang memiliki tato Dayak tanpa
mengetahui makna sebenarnya dari tato tersebut. Inilah yang patut dijadikan bahan
perenungan, dimana nilai filosofis dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh
nilai lain yang dapat dikatakan bergeser dari nilai aslinya karena proses globalisasi.
85
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Bleicher, J oseph. Contemporary Hermeneutics, London : Routledge & Kegan Paul,
1980.
Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia. J akarta :
PT.Gramedia, 1987.
Coomans, Mikhail. Manusia Daya : Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. J akarta :
PT. Gramedia. 1986.
Dillistone, F. W. The Power of Symbols,Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Eliade, Mircea. The Sacred and The Profane,( terj. Nuwanto), Sakral dan Profan:
Menyingkap Hakikat Agama , Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002
Geertz, Clifford. Interpretation of Culture. London : Hutchinson, 1975.
Hartoko, Dick. Manusia dan Budaya .Yogyakarta: Kanisius, 1984
Holtman, Susan. Body Piercing in The West: A Sociological Inquiry. London, 2002
Kuper, Adam. Culture, Cambridge : Harvard University Press, 1999.
Levy, Sidney J . Simbols for Sale. Cambridge : Harvard Business Review, 1959.
Maunati, Yekti. Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. J akarta:
Lkis, 2004.
Meliono-Budianto, Irmayanti. Ideologi Budaya. J akarta : Kota Kita, 2004.
Miden Sood, Maniamas. Dayak Bukit, Tuhan, Manusia, Budaya. Pontianak : Institute
of Dayakology Research and Development, 1999.
86
Universitas Indonesia
Mikloho-Maklai, Brita L. Mengguak Luka Masyarakat : Beberapa Aspek Seni Rupa
Indonesia Sejak Tahun 1966, J akarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Olong, Hatib Abdul Kadir Tato, Yogyakarta : LKis, 2006.
King, Victor. The Peoples of Borneo. Cambridge Massachusetts : Blackwell
Publisher, 1993.
Palmer, E. Richard. Hermeneutics : Interpretation Theory in Schlermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston : Northwestern University Press, 1969.
Sellato, Bernard. Nomad of Borneo Rainforest, The Economic, politics and ideology
of setting down. Honolulu : University Hawaii Press, 1993.
Smith, Philip . Cultural Theory : An Introduction. Oxford & Masachusetts :
Blackwell Publisher, 2001.
Sumaryono, E. Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kanisius,
1999.
Sutrisno, Mudji. Filsafat Kebudayan, J akarta : STF Driyarkara. 2003.
Ricoeur, Paul. The Symbolism of Evil. New York : Harper and Row, 1967.
Ricoeur, Paul. The Conflict of Interpretations : Essays in Hermeneutics. Evanston :
Northwestern University Press, 1974.
Ricoeur, Paul. The Rule of Metaphor : Multi-Disclipinary Studies in the Creation of
Meaning in Language. London : Routledge and Kegan Paul Publisher, 1978.
Ricoeur, Paul. From Text to Action : Essays in Hermeneutics II. Evanston :
Northwestern University Press, 1991.
Ricoeur, Paul. The Interpretation Theory : Discourse and The Surplus
Meaning.Texas : Christian Press, 1976.
87
Universitas Indonesia
Thompson, J ohn B. (ed), Hermeneutics & Human Sciences. London:Cambridge
U.P,1981.
Todes, Samuel. Body and The World. London: MIT Press, 2001.
Van Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius, 1976.
Van Peursen (diterjemahkan oleh K.Bertens), Tubuh, Jiwa, dan roh, ( J akarta:
BPK Gunung Mulia, 1983.

Sumber internet:
Jurnal
J ohn McCarthy, The Density of Reference: Paul Ricoeur on Religious Textual Reference
dalam International J ournal for Philosophy of Religion, Vol. 26, No. 1 (Aug., 1989),
Springer, diakses dari http://www.jstor.org/stable/40018846, 12 juni 2011, 14.05 WIB,
hal. 1
Paul Ricoeur, Phenomenology and Hermeneutics dalam The Nous, Vol.9, No. 1( March,
1975), Blackwell Publishing, diakses dari http://www.jstor.org/stable/2214343, 12 J uni
2011, 13.45 WIB, hal. 85-88.
Walter J ames Lowe, The Coherence of Paul Ricoeur dalam The J ournal of Religion, Vol.
61, No. 4 (Oct., 1981), The University Of Chicago Press, diakses dari
http://www.jstor.org/stable/1202836, 12 juni 2011, 14.15 WIB, hal.384

Anda mungkin juga menyukai