Anda di halaman 1dari 133

i

TRADISI CAWIR BULUNGKEN

DALAM MASYARAKAT BATAK KARO

(Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,

Propinsi Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh :

WILDO ELKA PUTRA


1010822011

JURUSAN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG, 2015
ii
iii
iv
v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Terima Kasih Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya Zulkifli Bsc
dan Desnelli, S.Pd yang tak pernah putus asa memberikan doa, kasih sayang,
dan semangat kepada saya beserta empat saudara saya lainnya. Terima kasih
atas segala pengorbanan yang telah Papa dan Mama berikan selama ini kepada
saya, sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi
ini.

Buat saudara-saudara saya, Pero, Yossi, Yayan dan Dion saudara yang
sangat saya sayangi dan cintai, walaupun kita sering berantem, tetapi tetap
saling menyemangati, hingga saat ini, kalian luar biasa 

Generasi Antropologi 2010


Terima kasih atas kebersamaan kita selama beberapa tahun ini, susah senang
yang pernah kita lewati bersama merupakan bagian dari perjalanan kita untuk
mencapai kesuksesan. Oshin yang telah banyak membantu saya hingga skripsi
ini kelar, yang memberi saya judul sampai menampung saya dirumahnya
selama penelitian, thanks Sau . Ishom, Agung, Gojek yang selalu menemani
penulis saat ngopi, saat nongkrong sampe saat galau :D. The Gunjing Aik dan
Yudi semoga kita selalu dibawah lindungan Allah SWT, kurang-kurangi lah lai.
Ilyas yang selalu tragis kisah cintanya, Wahyu yang tebar pesona ke junior,
Robby yang kalem yang duluan wisuda, Ilhadi yang dinginnya luar biasa,
Amaik yang ahli goyangan orgen, Tiwik yang kalo ngomong diakhiri huruf “k”,
Vek yang pernah memikat hati pada saat masih Maba, Tila wanita sholehah,
Amak rekan seperjuangan pada saat skripsian, serta Ulfa, Astry, Bunda Yenti,
vi

Ulil, Mardhok, Aan, Erwin dan Tridho. Makasih atas kebersamaan ini, semoga
kita semua menjadi orang sukses guys, salam hangat 2010 .

Kerabat Antropologi Unand


Terima kasih kepada kerabat semua baik kerabat aktif 09,10,11,12,13,14 dan 15
maupun kerabat alumni yang telah memberi masukan serta buku-buku
penunjang dalam penyelesaian skripsi ini, hingga skripsi ini bisa terselesaikan.

Untuk kedua pembimbing yaitu bapak Nursyirwan Efendi dan Bunda Maskota
Delfi yang terus memberikan masukan dan motivasi kepada saya sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi ini pada akhirnya.

Geng Ceria, Zevi, Khalif, Prima, Aldo, Apis, Ipid, Angga, Abrian, Olan, Sandy,
Once, Rika, Endah yang sudah menemani saya dari zaman putih abu-abu
hingga saat sekarang ini.

Konco Kareh, Agung, Wira, Dila, Bg Iwang, Da Al dan Debi terima kasih guys
atas support kalian, semoga tetap kareh :D

Team Solid LSI, Pak Edi Indrizal, Bang Dedi Kp, kak icha, kak iyat, kak ebi, ni
depoik, bg rudi, bg joni, bg roni, khairul, wibel, duo yogi, bg manaf, ade, bg rio,
bg caon, bg angku, serta Uni Suren. Terima kasih atas setiap perjalanan epic
yang pernah kita lalui.

Keluarga Besar Sispala Rinjani Padang, Rinjani XIX Oyon, Cime, Ozik, Alan,
Indah, Khalif, Prima, Indra, Frans, Mufti dan Daus terima kasih sudah
membawa saya mengenal kegiatan alam bebas sanak-sanak.
vii

Pengurus Labor Antropologi periode 2014/2015, Aii, Amak, Robi, Ilhadi, Ishom,
Tresno, Annica, Gusni, Citra, Hen, Khairul, Lita serta semuanya.

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Isip Unand, Debong,


Rizky, Ade, Ami, Kak Ryn, Bg Edo, Bg Februs, Bg Daus, Bg Feri, Ozi, beserta
seluruh anggota lainnya.

Seluruh warga Desa Cinta Rakyat yang telah menerima saya dan membantu
saya dalam penggalian informasi terkait penelitian ini, terima kasih.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
viii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya Wildo Elka Putra (BP : 1010822011), menyatakan bahwa : Karya
tulis skripsi saya yang berjudul : Tradisi Cawir Bulungken Bagi Masyarakat Batak
Karo. (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara) menyatakan bahwa :

1. Karya tulis skripsi saya yang berjudul Makna Cawir Bulungken Bagi
Masyarakat Batak Karo. (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan
Merdeka, Kabupaten Karo, Sumatera Utara) ini, belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/ atau doktor), baik di
Universitas Andalas maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini adalah karya saya sendiri, tanpa bantuan tidak sah dari pihak
lain kecuali arahan dari tim pembimbing yang telah ditunjuk oleh jurusan
Antropologi.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dan dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam skripsi ini dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Padang, 15 Juli 2015


Yang membuat pernyataan,

Wildo Elka Putra


BP. 1010822011
ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunianya
penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini berjudul “ Tradisi Cawir Bulungken Dalam
Masyarakat Batak Karo” (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,
Propinsi Sumatera Utara). Skripsi ini ditulis untuk melengkapi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana dalam bidang Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Andalas.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada
penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Papa dan Mama serta Abang dan Adik tercinta yang tak pernah putus
memberikan doa, kasih sayang, dan semangat untuk terus meyakinkan penulis
sehingga dapat menyelesaikan studi sebagai mahasiswa.
2. Bapak Prof. Dr. rer.soz. Nursyirwan Effendi selaku pembimbing I dan Ibu Dr.
Maskota Delfi, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memberikan dukungan,
dukungan, nasehat, dan semangat serta pemikiran dalam penyusunan skripsi
ini.
3. Ibu Ketua Jurusan Antropologi Dra. Ermayanti, M.Si beserta Bapak Sekretaris Jurusan
Antropologi Lucky Zamzami, S.Sos, M.Soc, Sc beserta Dosen pengajar di jurusan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas yang telah
memberikan asuhan serta bimbingan pada penulis selama menjalankan studi.
4. Bapak dan Ibu tim penguji, Dr. Yevita Nurti, M.Si Selaku Ketua Penguji, Drs. Sidarta Puji
Raharjo, S.Sos, M.Hum selaku sekretaris, Lucky Zamzami S.Sos, M.Soc.Sc dan Muhammad
Hidayat S.Sos, M..Hum selaku anggota penguji.
5. Seluruh staf dan karyawan Biro Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas atas bantuan dan layanan kepada penulis selama ini.
x

6. Teman-teman angkatan 2010 beserta seluruh Kerabat Antropologi Universitas


Andalas yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
7. Seluruh Masyarakat Desa Cinta Rakyat yang telah membantu penulis dalam
pengumpulan informasi, khususnya untuk Oshin Perawati Br. Karo serta
Bapak dan Mamak yang telah mengizinkan penulis untuk tinggal dirumahnya
selama proses penelitian berlangsung

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi isi maupun teknik penulisan. Saran dan kritikan sangat diharapkan
demi kesempurnaan dimasa yang akan datang. Semoga penulisan skripsi ini dapat
menjadi suatu hal yang sangat bermanfaat. Amin yaa robbal alamin.

Padang, Juli 2015


Penulis,

Wildo Elka Putra


xi

DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Pembimbing............................................................... iii
Lembar Persetujuan Penguji ....................................................................... iv
Surat Pernyataan ........................................................................................ vii
Kata Pengantar ........................................................................................... viii
Daftar Isi.................................................................................................... xi
Daftar Tabel............................................................................................... xiii
Daftar Gambar ........................................................................................... xiv
Abstrak ...................................................................................................... xv

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................7
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................7
E. Kerangka Konseptual .......................................................................8
F. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14
1. Lokasi Penelitian .................................................................. 15
2. Teknik Pemilihan Informan .................................................. 16
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 18
4. Analisis Data ........................................................................ 20
G. Proses Penelitian ............................................................................. 21

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN


A. Letak dan Kondisi Lingkungan ......................................................... 26
B. Sejarah Singkat Masyarakat Batak Karo di Desa Cinta Rakyat ........ 28
C. Demografi Penduduk ........................................................................ 31
D. Mata Pencaharian ............................................................................. 33
E. Bahasa .............................................................................................. 34
F. Sarana Dan Prasarana ....................................................................... 35
G. Agama Dan Kepercayaan ................................................................. 40
H. Sistem Kekerabatan .......................................................................... 48

BAB.III:PROSES UPACARA CAWIR BULUNGKEN DALAM MASYARAKAT


BATAK KARO
A. Komponen-Komponen Upacara Cawir Bulungken ............................. 60
1. Tempat Pelaksanaan .................................................................... 60
2. Waktu Pelaksanaan ....................................................................... 62
3. Peserta Upacara Cawir Bulungken ................................................64
B. Tahapan Upacara Cawir Bulungken ....................................................65
1. Tahap Sebelum Upacara ............................................................... 65
2. Proses Pelaksanaan ....................................................................... 70
3. Proses Sesudah Upacara Cawir Bulungken ................................... 78
xii

C. Pantangan yang Berlaku Pada Pasangan Cawir Bulungken .................78


D. Peranan Rakut Sitelu Dalam Upacara Cawir Bulungken...................... 80

BAB. IV: PANDANGAN MASYARAKAT BATAK KARO TERHADAP


UPACARA CAWIR BULUNGKEN DI DESA CINTA RAKYAT
A. Pandangan Masyarakat Mengenai Upacara Cawir Bulungken .............82
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
Upacara Cawir Bulungken .................................................................. 90
1. Sebagai Kepercayaan Mengharapkan Keselamatan Dari Leluhur .... 90
2. Sebagai Pengikat Hubungan Kekerabatan ....................................... 95
C. Pandangan Masyarakat Terhadap Benda-Benda Yang Digunakan
Pada Upacara Cawir Bulungken ......................................................... 98
D. Pandangan Masyarakat Terhadap Perubahan
Dalam Pelaksanaan Upacara Cawir Bulungken ................................. 104

BAB. V: PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................110
B. Saran ...................................................................................................111

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................113


xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Informan Penelitian ................................................................. 17

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ......................... 32

Tabel 3. Data Suku Bangsa Berdasakan Jumlah Penduduk ............................ 33

Tabel 4. Data Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ......................... 34

Tabel 5. Data Sarana dan Prasarana Kesehatan.............................................. 38

Tabel 6. Data Sarana dan Prasarana Peribadatan ........................................... 40

Tabel 7. Data Jumlah Penduduk Menurut Agama .......................................... 41


xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Kekerabatan ..................................................................... 54

Gambar 2. Jambur ................ ........................................................................ 61

Gambar 3. Pembayaran Tukur ....................................................................... 74

Gambar 4. Anak sedang bernyanyi ................................................................ 75

Gambar 5. Pemberian uang kepada anak yang sedang bernyanyi ................... 76

Gambar 6. Piso Pengambat .. ........................................................................ 100

Gambar 7. Uis Ariteneng ..... ........................................................................ 103

Gambar 8. Pinggan Pasu ...... ........................................................................ 103


xv

ABSTRAK

Wildo Elka Putra. BP. 1010822011. Jurusan Antropologi Sosial. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Andalas. Padang 2015. Judul “Tradisi Cawir
Bulungken Dalam Masyarakat Batak Karo”. Studi Kasus di Desa Cinta Rakyat,
Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara.

Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai berbagai macam jenis
kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya. Upacara religi merupakan salah satu
wujud dari kebudayaan yang ada di berbagai suku bangsa yang ada. Seperti halnya
upacara cawir bulungken yang terdapat pada masyarakat Batak Karo, upacara cawir
bulungken adalah upacara perkawinan yang dilakukan ketika seseorang masih anak-
anak, upacara ini dilakukan untuk mengharapkan kesembuhan dan pengharapan agar
dijauhkan dari malapetaka yang akan menganggu ketentraman hidup seseorang.
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan upacara
cawir bulungken dan untuk memahami pandangan masyarakat Batak Karo tentang
pelaksanaan upacara cawir bulungken tersebut.

Penelitian ini memakai metode kualitatif dengan tekhnik pengumpulan data


melalui observasi, wawancara mendalam dan ditunjang dengan studi kepustakaan.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka dan tidak terstruktur namun
pembahasannya fokus pada pokok permasalahan. Tekhnik yang dipakai dalam
pemilihan informan adalah tekhnik purposive yaitu informan dipilih berdasarkan
maksud dan tujuan penelitian. Informan dibagi kedalam dua kategori yaitu informan
kunci dan informan biasa.

Upacara cawir bulungken merupakan suatu tradisi serta kepercayaan dari


nenek moyang masyarakat Batak Karo. Upacara ini masih bertahan hingga pada saat
sekarang ini, walaupun masyarakat Batak Karo sudah mengenal agama formal di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak Karo belum bisa
meninggalkan kepercayaan asli terhadap roh-roh leluhur mereka.

Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan upacara cawir bulungken masih


dilaksanakan pada saat sekarang ini. Pelaksanaan upacara cawir bulungken dipandang
oleh masyarakat Batak Karo sebagai suatu kepercayaan untuk mengharapkan
keselamatan dari roh leluhur dan sebagai upaya untuk menguatkan kekerabatan yang
ada pada masyarakat Batak Karo. Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi,
pelaksanaan upacara cawir bulungken pun mengalami perubahan seperti pada saat
penentuan hari pelaksanaan, musik yang digunakan, penentuan tukur/ mahar
pernikahan serta pantangan-pantangan yang harus dijaga oleh kedua belah pihak yang
melaksanakan upacara cawir bulungken.
xvi

LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Penelitian ........................................................................ 119

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian .................................................................. 120


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan pulau, dengan beberapa

pulau besar seperti, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi

dan Pulau Irian Jaya. Pulau-pulau besar itu juga terdiri dari beragam etnis/suku

bangsa, antara lain Suku Bangsa Batak, Suku Bangsa Minangkabau, Suku Bangsa

Aceh, Suku Bangsa Mentawai, Suku Bangsa Sunda, Suku Bangsa Toraja.

Setiap suku bangsa biasanya mempunyai adat-istiadat tersendiri yang berbeda

dengan yang lain. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pulau Sumatera khususnya

di Propinsi Sumatera Utara pun memiliki beragam etnis/suku bangsa, namun

mayoritas dihuni oleh Suku Bangsa Batak. Secara umum Suku Bangsa Batak itu

terbagi atas beberapa subetnis yaitu, (1) Batak Toba, (2) Batak Pak-pak, (3) Batak

Simalungun, (4) Batak Karo, (5) Batak Mandahiliang, (6) Batak Angkola. Salah satu

Suku Bangsa Batak tersebut adalah Batak Karo yang mendiami Dataran Tinggi Karo,

Sumatera Utara, Indonesia.

Di setiap daerah mempunyai tradisi, hukum dan adat istiadat yang berbeda-

beda. Perbedaan itulah yang menjadi ciri khas dari masing-masing wilayah, sekaligus

yang membedakan antara satu daerah suku besar dari daerah suku lainnya

(Ihromi,2004:xxiii).
2

Kehidupan kelompok masyarakat manapun, termasuk suku bangsa Batak

Karo tidak terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena adanya

masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat-istiadat

sedangkan upacara merupakan wujud nyata dari adat-istiadat yang berhubungan

dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan

lain sebagainya. Dalam masyarakat tradisional, mengaktifkan kebudayaan itu antara

lain diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa macam upacara tradisional yang

menjadi sarana sosialisasi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan

tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap tindakan manusia secara

keseluruhan disebut kebudayaan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kebudayaan

yang didapatkan dalam semua kebudayaan dari semua suku bangsa di dunia. Unsur-

unsur ini disebut dengan istilah unsur kebudayaan universal yang terdiri dari tujuh

unsur kebudayaan. Salah satu unsur tersebut adalah sisitem religi (sistem

kepercayaan) yang di dalamnya termuat upacara (Koentjaraningrat, 2009;164-165).

Koentjaraningrat menyatakan bahwa upacara adalah sistem aktifitas atau

rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat

yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam

masyarakat yang bersangkutan (1984 : 190). Pelaksanaan upacara sering dikaitkan

dengan kepercayaan suatu masyarakat yang disebut sebagai upacara keagamaan atau

religious ceremonies atau rites.

Di dalam masyarakat Batak Karo, terdapat berbagai bentuk upacara yang

berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Menurut Bangun (1986:41)


3

walaupun masyarakat Karo secara resmi telah dimasuki oleh ajaran agama formal

seperti, Kristen Protestan, Islam dan Katolik namun masih ditemui penganut agama

tersebut menjalankan kepercayaan tradisionalnya, seperti kepercayaan pada roh-roh

nenek moyang dan benda-benda yang mereka anggap keramat. Praktik lain yang

terkait dengan itu masih banyak pula ditemukan penggunaan jimat, pergi ke goa-goa,

penghormatan kepada roh-roh nenek moyang dengan berbagai jenis upacara, adanya

pengobatan-pengobatan tradisonal dan lain sebagainya.

Salah satu jenis upacara tersebut adalah Cawir Bulungken. Upacara ini adalah

salah satu jenis upacara tradisional yang sampai saat sekarang masih dilaksanakan

oleh masyarakat Batak Karo. Cawir Bulungken merupakan suatu bentuk perkawinan

yang dilaksanakan ketika seseorang masih anak-anak. Perkawinan ini dilakukan

antara anak kalimbubu (pihak pemberi gadis) dengan anak dari anak beru (pihak

penerima gadis) dalam masyarakat Batak Karo.

Menurut (Bangun 1986:141) perkawinan yang dilakukan semasa orang masih

anak-anak maksudnya adalah untuk menghindari penyakit atau untuk lebih

mempererat hubungan keluarga dimana setelah dewasa diharapkan antara kedua

orang yang melakukan perkawinan dapat melanjutkan ke jenjang perkawinan yang

sesungguhnya.

Upacara cawir bulungken bersifat simbolik dan sementara. Meski perkawinan

ini bersifat simbolik dan sementara, tetapi ada harapan agar setelah dewasa mereka

benar-benar menjadi pasangan suami isteri yang sah (Prints & Darwin, 1984).

Adapun dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua orang Batak Karo dapat
4

melaksanakannya melainkan hanya orang-orang yang bertutur impal1 saja yang boleh

dicawirbulungkenkan. Upacara ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup, yakni

sebelum seseorang benar-benar menikah dalam arti sesungguhnya. Meskipun cawir

bulungken sifatnya sementara, tetapi pelaksanaan upacara ini dilakukan sebagaimana

upacara perkawinan umum seperti adanya pemberian mas kawin dan diselenggarakan

pesta.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini tidak terlepas dari kekerabatan

Masyarakat Batak Karo, khususnya di dalam adat nggeluh (adat orang hidup). Adat

ini diatur berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Prinsip khusus tersebut terdiri dari

merga silima (lima marga pada masyarakat Batak Karo yaitu; Tarigan, Sembiring,

Ginting, Karo-karo dan Perangin-angin). Rakut sitelu yaitu tiga tingkatan silsilah

dalam masyarakat Batak Karo yaitu; kalimbubu (pihak pemberi gadis), anak beru

(pihak penerima gadis) dan senina (senina). (Tarigan, 1990).

Perananan masing-masing kelompok dalam bertutur diatur dan disesuaikan

sedemikian rupa. Artinya tidak semua orang perorangan bebas berbicara satu dengan

yang lainnya. Aturan-aturan tersebut dibuat sedemikian rupa, sebagai contoh seorang

menantu laki-laki tidak bisa berbicara langsung dengan ibu mertuanya. Hal itu

dianggap pantang atau tabu, yang dalam masyarakat Batak Karo dikenal dengan rebu

(Tarigan: 1990:179). Ketiga kelompok tersebut di atas memiliki peranan yang

1
Impal adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, (dalam budaya Karo berarti terjadi antara
anak kalimbubu dengan putra anakberu) perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat Batak Karo.
Lihat Tarigan, 1990. Hal: 47
5

penting dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken. Sebelum upacara cawir

bulungken dilaksanakan maka terlebih dahulu ketiga kelompok ini harus berembuk

untuk membicarakan pelaksanaan dari upacara ini.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ditujukan untuk memohon berkat atau

dalam masyarakat Batak Karo disebut dengan istilah pasu-pasu dari pihak kalimbubu.

Pihak kalimbubu bagi orang Batak Karo merupakan pihak yang harus dihormati dan

dianggap sebagai Dibata ni idah atau sebagai penjelmaan dari Tuhan yang nampak,

jadi mereka anak beru selalu menghormati kalimbubunya. Sejalan dengan itu Tarigan

(1990:31) mengemukakan :

“Kalimbubu adalah pihak pemberi dara, pihak yang harus dihormati. Haruslah dijaga benar-
benar agar kalimbubu jangan sempat kecil hati karena dapat mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan misalnya padi tidak menjadi, tidak mendapat anak, pikiran kusut, anak sakit
dan lain sebagainya. Sebaliknya kalau anak berunya hormat dan sopan terhadap kalimbubu,
maka demi tuah dan doa kalimbubu padi menjadi subur, tanaman subur, anak sehat, pikiran
tenang, rejeki mudah dll.

Tidak hanya hal-hal yang menyebabkan di atas upacara cawir bulungken

dilaksanakan, juga karena mimpi buruk tentang si anak. Misalnya orang tuanya

bermimpi anaknya hilang atau kawin dengan orang lain yang tidak dikenal, ataupun

mimpi-mimpi lainnya yang dianggap menganggu ketentraman hidup si anak.

Menurut kepercayaan orang Batak Karo, datangnya mimpi buruk merupakan

pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Untuk itu maka upacara cawir

bulungken harus dilaksanakan. Ini dikarenakan cawir bulungken dianggap sebagai

suatu upaya untuk mengikat tendi (roh) si anak dengan impalnya. Impal dalam

Bahasa Batak Karo atau pariban dalam Bahasa Batak Toba adalah seseorang yang
6

diangap lebih ideal untuk dijadikan pasangan hidup, impal adalah anak perempuan

dari saudara laki-laki ibu kita/ anak laki-laki dari saudara perempuan bapak kita.

Dengan diadakan cawir bulungken masyarakat Batak Karo percaya maut yang selama

ini sudah hampir menjemput si anak karena tendinya sudah pergi tidak akan berhasil

karena tendinya sudah diikat sebelumnya dengan impalnya.

B. Rumusan Masalah

Dalam kehidupan masyarakat Batak Karo upacara cawir bulungken dapat

dikatakan sebagai salah satu upacara tradisional yang sampai sekarang masih

bertahan dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Upacara cawir bulungken ini

berkaitan dengan kepercayaan masyarakat batak karo, dimana dalam masyarakat ini

masih menganut kepercayaan pada roh nenek moyang dan benda-benda yang mereka

anggap keramat.

Seiring dengan perkembangan zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan

sebagian masyarakat mulai terbawa arus globalisasi dan modernisasi sehingga

upacara tradisional mulai jarang dilakukan pada saat sekarang, tetapi cawir

bulungken masih dapat bertahan hingga saat ini karena merupakan bagian dari

kebudayaan masyarakat Batak Karo yang belum bisa ditinggalkan. Berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan di atas, dan mengingat upacara ini khas dimana peneliti

menduga tidak banyak suku bangsa lainnya khususnya di Indonesia yang melakukan

upacara ini. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengapa upacara

cawir bulungken masih dilakukan oleh masyarakat Batak Karo.


7

Berangkat dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan

di sini adalah :

1. Bagaimana proses upacara cawir bulungken dilakukan oleh masyarakat

Batak Karo ?

2. Bagaimana pandangan masyarakat Batak Karo tentang upacara cawir

bulungken tersebut

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan prosesi upacara cawir bulungken pada masyarakat

Batak Karo

2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Batak Karo terhadap upacara

cawir bulungken

D. Manfaat Penelitian

Secara pribadi, penelitian yang penulis lakukan ini bermanfaat bagi diri

penulis sendiri untuk lebih mengenal dan memahami kebudayaan yang ada pada

suatu suku bangsa yang ada di Indonesia khususnya suku bangsa Batak Karo.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan analisis

bagi perkembangan ilmu antropologi khususnya tentang pandangan masyarakat

terhadap upacara tradisional. Dari sini akan diperoleh gambaran tentang kegiatan

upacara cawir bulungken yang dianggap penting bagi kehidupan masyarakat Batak

Karo.
8

Secara praktis, penelitian ini mencoba membuka wawasan masyarakat Batak

Karo untuk tetap melestarikan salah satu warisan budaya daerah mereka. Serta

sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang relevan di

kemudian hari.

E. Kerangka Konseptual

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara

belajar (Koentjaraningrat, 2009:144). Menurut Suparlan (2004:4) mendefenisikan

kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki

oleh para warga pada sebuah masyarakat.

Secara umum menurut Koentjaraningrat (2009:150) kebudayaan dapat dibagi

atas tiga wujud, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma

peraturan dan sebagainya

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat (sistem sosial)

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (wujud fisik)

Ketiga wujud dari kebudayaan yang tersebut di atas, dalam kenyataan kehidupan

masyarakat tertentu tidak dapat terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-

istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan manusia. Baik pikiran-pikiran
9

dan ide-ide, maupun tindakan dan karay manusia, menghasilkan benda-benda

kebudayaan fisik. (Koentjaraningrat, 2009:152).

Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur pokok, yaitu

bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem teknologi dan peralatan

hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian yang disebut dengan unsur

kebudayaan universal (Koentjaraningrat, 2009: 164). Salah satu unsur tersebut adalah

sistem religi (sistem kepercayaan) yang di dalamnya termuat upacara.

Frazer dalam Koentjaraningrat (1972:232) menjelaskan religi adalah segala

sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan

diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti ruh, dewa dan

sebagainya.

Terdapat lima komponen dalam suatu religi, antara lain: sistem keyakinan, sistem

ritus dan upacara keagamaan, peralatan ritus dan upacara, umat agama serta emosi

keagamaan. Kepercayaan atau religi tidak bisa dilepaskan dari umatnya. Umat

agama sebagai suatu keadaan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan

melaksanakan sistem ritus upacara tertentu.

Upacara dipandang sebagai sebuah elemen pembentuk sistem religi atau

agama yang merupakan sebuah aktifitas peribadatan dari seorang hamba kepada

Tuhan, Dewa atau sesuatu yang dianggap gaib. Terkait hal ini religi dapat dilihat

sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari seperangkat komponen yang saling

berkaitan (Saifuddin dalam Ardijasri, 2013).


10

Menurut kamus istilah Antropologi, upacara adalah sistem aktivitas atau

rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat

yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi

dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 2003:243).

Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia

sebagai makhluk sosial, yang terlahir dalam bentuk upacara dengan berbagai jenis

seperti, upacara kelahiran, kematian, perkawinan dan pengobatan. Umumnya upacara

tradisional masih terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan dengan

peristiwa alam dan kepercayaan tradisional mereka.

Upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam

melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau

makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan

penghuni dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung

berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Suatu ritus

atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua

atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama,

menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa dan

bersemedi. (Koentjaraningrat, 1985:44).

Pada dasarnya pelaksanaan upacara religi bersumber dari adanya kesadaran

manusia akan dunia nyata dan dunia gaib dalam kehidupannya. Dunia gaib selalu

dihadapi dengan berbagai macam perasaan seperti rasa cinta, hormat, bakti tetapi juga

rasa takut, ngeri dan sebagainya. Perasaan seperti inilah yang mendorong manusia
11

melakukan kelakuan keagamaan (religious behavioural) menurut tata kelakuan yang

disebut sebagai upacara keagamaan (religious ceremoni).

Upacara cawir bulungken dapat dilihat sebagai suatu bentuk upacara yang

berhubungan dengan kepercayaan religious masyarakat Batak Karo. Walaupun

masyarakat Batak Karo secara resmi telah dimasuki ajaran agama formal seperti

Kristen Protestan, Islam dan Katolik namun masih ditemui penganut agama tersebut

menjalankan kepercayaan tradisionalnya yang disebut dengan Pemena2. Penganut

Pemena percaya kepada kekuatan alam seperti pohon-pohon besar, gua-gua, dan

lain-lain. Di samping itu juga mereka mempercayai kekuatan dari roh-roh halus,

makhluk halus, roh-roh leluhur dan sebagainya. Kepercayaan ini tergolong pada

animisme dan dinamisme (Sarjani: 2011: 56) .

Terkait dengan kekuatan-kekuatan roh, Victor Turner (1986) menemukan

hal yang sama pada masyarakat Ndembu, Afrika dimana menunjukkan upacara pada

masyarakat tersebut merupakan ikatan utama antar orang dan antar kelompok.

Menurut Turner (1986;21) upacara-upacara di masyarakat Ndembu itu dapat

digolongkan ke dalam dua bagian, di antaranya upacara krisis hidup dan upacara

gangguan roh. Yang dimaksud dengan upacara krisis hidup di sini adalah upacara-

upacara yang dilakukan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh

manusia karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Upacara ini meliputi

kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Sedangkan upacara gangguan roh

2
Pemena berarti pertama atau sebelum ada yang mendahuluinya, maksudnya pemena adalah
kepercayaan pertama yang ada di dalam masyarakat Batak Karo sebelum masuknya ajaran Protestan,
Khatolik dan Islam.
12

pada masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam kegiatan sehari-hari

seperti kegagalan berburu, ketidakteraturan reproduksi pada para wanita dan bentuk

sakit lainnya. Roh leluhur dapat menganggu aktivitas mereka sehingga dapat

membawa nasib sial.

Ciri penting dari kegiatan upacara tradisional adalah benda-benda sebagai

simbol yang mempunyai arti tersendiri menurut kepercayaan masing-masing

masyarakat yang menjadi pelakunya. Terutama besarnya kekuatan unsur sakral dari

benda-benda yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang

dipegang bersama oleh angota masyarakat.

Memahami upacara berarti juga perlu mempelajari simbol-simbol yang

digunakan dalam upacara tersebut, karena simbol merupakan manifestasi yang

nampak dari upacara tersebut. Sejalan dengan itu Turner (1986) juga menegaskan

bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam suatu upacara, maka kita akan

merasa sulit untuk memahami upacara tersebut dan masyarakat-masyarakatnya.

Menurut Geertz (1992:56) simbol adalah segala sesuatu yang lepas dari

keadaan yang sebenarnya dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam

pengalaman, simbol-simbol itu berupa kata-kata, isyarat-isyarat, lukisan, bunyi-

bunyian, peralatan mekanis atau objek-objek alamiah.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya untuk melakukan upacara

dikarenakan adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan

yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di
13

dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang

terlibat di dalamnya dianggap keramat.

Terkait dengan pelaksanaan upacara, dapat dilihat bahwasanya masyarakat

Batak Karo memiliki pandangan tersendiri terhadap pelaksanaan upacara cawir

bulungken. Pandangan adalah pemahaman, penafsiran, pendapat atau respon

seseorang terhadap suatu objek yang biasanya berbeda antara seseorang atau satu

kelompok dengan yang lain karena berbedanya kecenderungan dan pengalaman

masing-masing (Vernon dalam Marlem, 1997:17). Menurut Koentjaraningrat

(1989:41) pandangan merupakan seluruh proses akal manusia yang sadar untuk

menggambarkan fenomena sosialnya.

Menurut Rivai (2003:231) pandangan adalah suatu proses yang ditempuh

individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar

memberikan makna bagi lingkungan mereka. Awal munculnya persepsi dimulai dari

penglihatan hingga terbentuk suatu tanggapan atau pandangan yang terjadi dalam diri

seseorang sehingga orang tersebut dapat memberikan suatu arti dalam lingkungannya

melalui indera-indera yang dimilikinya (Dalam Sitepu:2013).

Wagito (1982) mendefinisikan pandangan sebagai proses psikologis dan

hasil dari penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk

proses berpikir (Dalam Pratama: 2011).

Pandangan juga merupakan suatu aktifitas menerima, memahami dan

merasakan suatu objek sehingga kita akan memberikan tanggapan dan pemahaman

terhadap suat objek. Menerima, memahami dan merasakan didapatkan dari indera
14

yang dimiliki manusia seperti indera penglihatan, indera perasa, indera peraba dan

indera pencium. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan hasil dari

tanggapan atau pemahaman seseorang dalam mengidentifikasi atau menafsirkan suatu

keadaan atau permasalahan tertentu sehingga memberikan arti tertentu.

Untuk memahami bagaimana pelaksanaan upacara cawir bulungken yang

dilakukan oleh masyarakat Batak Karo, maka dari penjelasan diatas penulis

selanjutnya menggunakan konsep pandangan/persepsi terhadap bagaimana

masyarakat Batak Karo memandang pelaksanaan upacara cawir bulungken.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Penelitian etnografi

adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara

sistematik mengenai cara hidup serta berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan

itu dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat, yang berlandaskan bahan-

bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat yang

diteliti. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai

makna dari benda-benda, tindakan-tindakan, dan peristiwa-peristiwa yang ada dalam

kehidupan sosial masyarakat yang diteliti, menurut kaca mata mereka yang menjadi

pelaku-pelakunya (Suparlan dalam Bungin 2012: 94).

Selanjutnya Suparlan menjelaskan bahwa penelitian etnografi dapat dilihat

sebagai suatu kegiatan sistematik untuk dapat memahami cara hidup yang dipunyai

oleh suatu masyarakat yang lain dari yang kita punyai. Pemahaman tersebut harus

mengikuti atau sesuai dengan kaca mata pendukung kebudayaan itu sendiri. Dalam
15

penelitian etnografi, peneliti lebih banyak bertindak sebagai orang yang belajar

kepada pendukung kebudayaan tersebut sehingga peneliti dapat memahami dan

mendeskripsikan kebudayaan tersebut.

Penelitian yang penulis lakukan dalam pengumpulan data terkait dengan

pelaksanaan upacara cawir bulungken didapatkan melalui observasi, wawancara,

studi pustaka serta data visual.

Data-data visual berupa video dan foto-foto masyarakat yang telah pernah

melalukan upacara cawir bulungken digunakan sebagai alat penunjang bagi penulis

untuk memahami pelaksanaan upacara cawir bulungken.

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten

Karo, Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan Merdeka

ini karena merupakan daerah yang masyarakatnya bermayoritas suku bangsa Batak

Karo. Desa Cinta Rakyat, khususnya masih merupakan suatu desa yang masih kental

nilai-nilai adatnya sehingga memberikan kemudahan bagi penulis dalam meneliti

tentang upacara cawir bulungken.

2. Teknik Pemilihan Informan

Data akan diperoleh dari subjek penelitian yang disebut dengan informan, yaitu

orang-orang yang dipilih untuk dapat memberikan informasi dan data yang akurat.

Spradley mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informasi

yang baik, yaitu: 1. enkulturasi penuh, maksudnya informan mengetahui budaya


16

mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan berbagai hal

secara otomatis dari tahun ke tahun. 2. keterlibatan langsung, maksudnya informan

harus terlibat dalam suasana kebudayaan mereka dan menerapkannya setiap hari. 3.

suasana budaya yang tidak dikenal. 4. waktu yang cukup, maksudnya pada saat

melakukan wawancara waktu diharapkan sesuai dengan kondisi informan. 5. non

analitis, maksudnya informan yang baik memberikan penjelasan berdasarkan konsep

mereka, bukan konsep dari luar (Spradley, 1997:61-70).

Dalam penelitian ini, pemilihan informan yang digunakan di sini adalah teknik

penarikan informan secara purposive atau penarikan informan yang didasarkan

kepada maksud dan tujuan penelitian. Di sini peneliti sengaja mengambil informan

sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang mana pelaksanaannya

dilakukan oleh masyarakat Batak Karo. Tujuannya yaitu menyaring serta menggali

sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber.

Berikut adalah data informan yang peneliti wawancarai untuk mendapatkan

gambaran terkait dengan upacara cawir bulungken yang dilakukan oleh masyarakat

Batak Karo yang tinggal di Desa Cinta Rakyat:


17

Tabel 1. Informan Penelitian

No Nama Jenis Usia Pekerjaan


Inisial Kelamin
1. AT Laki-laki 50 Penjaga Rumah
Siwaluh Jabu
2. GS Laki-laki 51 Petani
3. IH Perempuan 49 Petani
4. TG Laki-laki 52 Petani
5. LS Laki-laki 50 Guru
6. MS Laki-laki 26 Petani
7. RR Perempuan 32 Petani
8. NK Perempuan 48 Guru
9. NS Perempuan 85 Ibu Rumah Tangga
10. NJ Perempuan 44 Petani
11. MP Laki-Laki 49 Petani
12 LG Laki-Laki 23 Mahasiswa
13 OP Perempuan 23 Mahasiswi
Sumber : Data Primer 2015

Hal yang menjadi dasar peneliti dalam penarikan informan melalui purposive

dengan pengambilan data menggunakan informan yang digolongkan menjadi dua

yaitu informan kunci dan informan biasa, dengan penjelasan masing-masing

informannya yaitu :

Informan kunci adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas dan orang

yang memiliki pengaruh besar terhadap beberapa masalah yang ada dalam

masyarakat yang akan diteliti. Dalam hal ini informan kunci yang akan diharapkan

dalam penelitian ini adalah informan kunci yang memang dianggap dan diyakini
18

memiliki pengetahuan luas tentang upacara cawir bulungken dalam masyarakat

Batak Karo seperti Kepala Desa, orang tua adat, pihak keluarga yang pernah

melakukan cawir bulungken, dan lain-lain. Dalam penelitian ini yang termasuk ke

dalam informan kunci yaitu AT, GS, IH, TG, LS, RR, NK, NS, NJ, MS dan MP.

Informan biasa di sini adalah individu-individu dalam masyarakat yang

memiliki pengetahuan dasar tentang upacara cawir bulungken ini. Masyarakat yang

tahu dengan upacara ini tetapi belum pernah mengikuti upacara ini hal ini

dimaksudkan agar dapat mencari perbandingan atau melengkapi informasi guna

untuk menambah kelengkapan data yang telah didapat dari informan kunci. Dalam

penelitian ini yang termasuk ke dalam informan biasa adalah LG dan OP.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, data yang

dicari dikelompokan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer

merupakan data yang dikumpulkan sewaktu penelitian yang diperoleh dari

wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat

dari sumber-sumber tertulis baik berupa laporan, artikel, koran, maupun buku-buku

lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Semua proses pengumpulan data itu

dilakukan melalui cara :


19

a. Observasi

Dalam melakukan observasi3 atau pengamatan, peneliti mencoba membuka

dan menjalin kerjasama yang baik dengan para informan. Hal ini bertujuan untuk

menjalin kerjasama yang baik dengan informan yang diteliti untuk mendapatkan

informasi yang diinginkan sesuai kehendak dan kebutuhan. Dalam penelitian ini

peneliti tidak bisa melakukan observasi secara langsung untuk melihat proses

pelaksanaan upacara cawir bulungken. Peneliti melakukan observasi terkait

dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di Desa

Cinta Rakyat untuk melihat pola kebiasaan mereka.

b. Wawancara

Ada dua macam wawancara yang sudah dilakukan dalam penelitian ini

yaitu: wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara bebas.

b.1. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam dilakukan dengan pedoman wawancara atau interview

guide yang ditunjukan pada informan-informan kunci seperti tokoh adat, kepala

desa, serta orang tua anak yang pernah dicawirbulungken. Fungsi dari interview

3
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera
sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.
Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Seseorang yang melakukan
pengamatan tidak selamanya menggunakan panca indera mata saja tetapi selalu mengaitkan apa yang
dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya seperti apa yang Ia dengar, apa yang
Ia cicipi, apa yang Ia cium dari penciumannya dan bahkan apa yang Ia rasakan dari sentuhan-sentuhan
kulitnya (Bungin, 2012:115).
20

guide ini sebagai panduan bagi peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak lari

dari pokok permasalahan.

b.2 Wawancara bebas

Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang dapat

beralih dari satu persoalan ke persoalan lain dan tidak terikat pada satu pokok

permasalahan sehingga data yang terkumpul bersifat beraneka ragam. Dalam

metode wawancara bebas, peneliti terlebih dahulu meneliti atau memasuki

lapangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat

supaya mendapatkan hasil wawancara yang baik. Data yang didapat dari

wawancara dijadikan sebagai data tambahan sehingga data yang diperoleh

sebelumnya menjadi lebih lengkap dan akurat.

c. Studi Kepustakaan

Untuk mendapatkan data yang lebih banyak dan beragam, maka peneliti

melakukan studi pustaka dengan mengambil keterangan dari literatur-literatur

seperti buku-buku, skripsi maupun makalah yang berhubungan dengan upacara

adat-istiadat Masyarakat Batak Karo terutama tentang pelaksanaan upacara cawir

bulungken ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tindakan penelitian yang dilakukan sejak penulis

berada di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan, baik itu hasil dari wawancara,
21

observasi atau pengamatan, dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan

kelompoknya. Data tersebut kemudian diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan guna

memperoleh gambaran sesungguhnya tentang masalah yang diteliti.

Data dianalisis secara interpretatif dan dilihat secara keseluruhan (holistik)

untuk menghasilkan suatu laporan penelitian yang deskriptis tentang masalah yang

diteliti. Pekerjaan menganalisis data ini memerlukan ketekunan, ketelitian dan

perhatian khusus. Pekerjaan mencari dan menemukan data yang menunjang atau tidak

menunjang hipotesis pada dasarnya memerlukan seperangkat kriteria tertentu.

Kriteria ini perlu didasarkan atas pengalaman, pengetahuan, atau teori sehingga

membantu pekerjaan ini.

Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara

kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara

berkesinambungan, sehingga kualitas penelitian diharapkan dapat mendekati realitas

(Bungin, 2012:154).

G. Proses Penelitian

Jalannya penelitian ini, berawal dari keinginan peneliti untuk membuat

proposal penelitian tentang salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Setelah

bercerita-cerita dengan teman-teman di kampus, peneliti disarankan oleh salah

seorang teman untuk melakukan penelitian tentang Suku Bangsa Batak Karo, karena

pada suku bangsa tersebut masih banyak kegiatan/upacara yang berkaitan dengan

sistem kepercayaan tradisional mereka. Ketertarikan peneliti dengan adat-istiadat dan


22

upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dari suku bangsa yang

berbeda dari suku bangsa peneliti, membuat peneliti tertarik melakukan penelitian ini.

Setelah mencari informasi tentang upacara tradisional Batak Karo, peneliti

tertarik mengkaji upacara cawir bulungken. Hal ini dikarenakan upacara ini mirip

dengan upacara perkawinan yang sebenarnya dilakukan pada masyarakat Batak Karo,

walaupun upacara ini merupakan upacara perkawinan simbolis saja. Setelah

konsultasi dengan dosen pembimbing, dosen pembimbing pun setuju dengan apa

yang akan peneliti kaji.

Pada bulan Januari tahun 2014 peneliti melakukan penelitian awal di Desa

Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penelitian

awal ini peneliti lakukan untuk menggali dan mencari informasi awal dan berharap

ada masyarakat yang sedang melakuakan upacara cawir bulungken yang dilaksanakan

di Desa Cinta Rakyat ini.

Setelah kembali ke Padang, peneliti mulai membuat rancangan rencana

penelitian (proposal penelitian). Setelah melalui proses bimbingan dalam merancang

dan menyusun proposal maka ditetapkan judul penelitian “Tradisi Cawir Bulungken

Dalam Masyarakat Batak Karo.” Proposal penelitian peneliti ajukan pada bulan

Maret 2014. Pada Desember 2014 peneliti melaksanakan sidang ujian proposal di

ruang sidang jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Andalas. Setelah dinyatakan lulus, proposal penelitian tersebut menjadi pedoman

bagi peneliti dalam menyusun dan menulis skripsi.


23

Tahapan selanjutnya adalah peneliti mulai membuat outline dan instrumen

pertanyaan penelitian yang menjadi pedoman bagi peneliti untuk mencari data terkait

penelitian yang dilakukan. Selesai itu, peneliti menyelesaikan segala urusan

administrasi terkait penelitian. Pada akhir bulan Desember tahun 2014 peneliti

langsung berangkat ke Desa Cinta Rakyat di Sumatera Utara untuk melakukan

penelitian terkait upacara cawir bulungken.

Sesampai di lokasi penelitian, peneliti langsung menyelesaikan urusan

administrasi/ meminta izin penelitian mulai dari Kesbangpol hingga Kepala Desa.

Setelah mendapat izin melaksanakan penelitian maka peneliti melakukan rapport

dengan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan masyarakat Desa Cinta Rakyat. Hal

ini bertujuan untuk memudahkan penulis menggali informasi terkait penelitian yang

dilakukan.

Setelah penulis merasa diterima oleh masyarakat Desa Cinta Rakyat, maka

penulis langsung memulai penelitian dengan melakukan wawancara mendalam dan

melakukan observasi dengan beberapa warga yang ada di Desa Cinta Rakyat.

Selama penelititian berlangsung, di lokasi penelitian ternyata upacara yang

akan peneliti teliti tidak dapat dilaksanakan/ tidak berlangsung. Pelaksanaan upacara

harus menunggu adanya anak yang sakit-sakitan dan orang tua si anak mendapat

mimpi buruk. Hal ini menjadi kesulitan bagi peneliti untuk mendapatkan data

pelaksanaan upacara secara langsung, sehingga data di dalam tulisan ini penulis

dapatkan melalui audio visual berupa video dan foto-foto yang di dapat dari

masyarakat yang telah pernah melakukan upacara cawir bulungken ini. Selanjutnya
24

penggunaan bahasa lokal menjadi kesulitan bagi penulis untuk memahami maksud

dan tujuan dari para informan.

Untuk mendapatkan data yang lebih mendalam, selama penelitian peneliti

menetap di lokasi penelitian, peneliti dibantu oleh salah seorang teman yang

merupakan warga Desa Cinta Rakyat, hal ini menjadi salah satu kemudahan bagi

peneliti untuk lebih memahami adat-istiadat Batak Karo terumata mengenai upacara

cawir bulungken. Adanya teman peneliti di lokasi penelitian memudahkan dalam

menentukan dan mencari para informan yang pernah melakukan dan mengikuti

pelaksanaan upacara cawir bulungken.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken yang dilakukan masyarakat Batak Karo

ini merupakan suatu upaya untuk mendapatkan keselamatan atas musibah yang akan

menimpa seseorang. Ini dikarenakan dalam masyarakat Batak Karo masih percaya

dengan kekuatan-kekuatan gaib yang berasal dari roh nenek moyang mereka.

Untuk mendapatkan informasi terkait upacara cawir bulungken ini peneliti

melakukan wawancara mendalam dengan orang-orang yang sudah pernah

melaksanakan upacara ini, baik anak maupun orang tuanya. Dalam penelitian yang

menjadi fokus peneliti adalah bagaimana pandangan masyarakat Batak Karo tentang

pelaksanaan upacara cawir bulungken ini.

Penelitian yang peneliti lakukan berlangsung lebih kurang 2 bulan, Setelah

peneliti merasa data yang didapatkan sudah cukup, peneliti kembali ke Kota Padang

pada Bulan Februari 2015. Kemudian mulai menulis hasil temuan lapangan untuk

dijadikan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
25

S.sos di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Andalas. Pada bulan April 2015 peneliti berhasil mengetik temuan lapangan menjadi

skripsi. Untuk kemudian peneliti mulai melakukan proses bimbingan skripsi dengan

dosen pembimbing.
26

BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Kondisi Lingkungan

Kabupaten Karo adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatera

Utara dengan ibukota kabupaten terletak di Kabanjahe. Kabupaten ini memiliki luas

wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 500.00 jiwa.

Kabupaten ini berlokasi di daratan tinggi Karo. Terletak sejauh 77 km dari Kota

Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Karo terletak di

dataran tinggi dengan ketinggian 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut.

Karena berada di ketinggian tersebut, diberi nama Tanah Karo Simalem nama lain

dari kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu antara 16 sampai 17°

Secara administratif Kabupaten Karo berbatasan dengan Kabupaten Langkat di

sebelah Utara Kabupaten Dairi di sebelah Selatan, Kabupaten Aceh Tenggara di

sebelah Barat dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur.

Pada dataran tinggi Karo ini bisa ditemukan indahnya nuansa alam pegunungan

dengan udara yang sejuk dan pada daerah ini berciri khas sebagai daerah buah dan

sayur karena pada daerah ini bisa ditemukan berbagai macam jenis buah-buahan dan

sayur-sayuran seperti jeruk, stroberi, markisa, kol dan lain-lain. Di daerah ini juga

bisa kita nikmati keindahan gunung berapi Sibayak dan Gunung Sinabung.

Sesuai dengan yang tertuang dalam surat keputusan Menteri Dalam Negeri

No. 118 tahun 1991 dan Surat Keputusan Gubernur KDH Tkt 1 Provinsi Sumatera

Utara No. 138/21/1994 tanggal 21 Mei tentang data wilayah administrasi


27

pemerintahan di Indonesia dan Sumatera Utara serta peratutarn Daerah Kabupaten

Karo No 04 tentang Pembentukan Kecamatan Dolat Rayat, Kecamatan Merdeka,

Kecamatan Naman Teran dan Kecamatan Tigaderket serta pemindahan Ibukota

Kecamatan Payung, maka kabupaten Karo memiliki 17 kecamatan, 284 desa serta 10

kelurahan. Wilayah Kabupaten Karo dibagi menjadi 17 kecamatan, yaitu: Barusjahe,

Berastagi, Dolat Rayat, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Lau Belang, Mardinding,

Merdeka, Merek, Munthe, Naman Teran, Payung, Simpang Empat, Tigabinaga,

Tiganderket dan Tigapanah.

Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Cinta Rakyat yang berada

di Kecamatan Merdeka. Desa Cinta Rakyat berada ±9 KM dari Kota Kabanjahe. Desa

Cinta Rakyat memiliki luas 3.200 Ha dengan jumlah penduduk 1819 jiwa. Adapun

batas-batas wilayah Desa Cinta Rakyat adalah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sada Perarih

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Merdeka

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Merdeka

- Sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Ujung Teran

Topografi tanahnya sangat bervariasi, berbukit dan bergelombang yang berada

pada ketinggian 1.200 Mdpl berhawa dingin, curah hujan 3.000 mm. Desa Cinta

Rakyat berada di daerah daratan tinggi yang dikelilingi hutan hujan tropis.
28

B. Sejarah Singkat Masyarakat Batak Karo Di Desa Cinta Rakyat

Belum diketahui data yang pasti mengenai asal-usul sub Suku Bangsa Batak

Karo ini. Pada mulanya bangsa ini bernama suku bangsa Haru kemudian Haro, dan

akhirnya lebih dikenal dengan Suku Bangsa Batak Karo. Dipekirakan Suku Bangsa

Batak Karo sudah ada sejak tahun 1250. Pada waktu itu telah berdiri suatu kerajaan

bernama kerajaan Haru (Aru). Menurut riwayatnya kerajaan itu cukup kuat dan

wilayahnya sangat luas, mulai dari Siak (Riau) sampai ke sungai Wampu di Langkat

(Sitepu:1996). Pernyataan di atas juga diperkuat dari hasil wawancara dengan bapak

LS. Bapak LS juga menyebutkan bahwa Suku Bangsa Batak Karo pada awalnya

bernama Suku Bangsa Haru yang berubah menjadi Haro dan pada akhirnya dikenal

dengan sebutan Batak Karo.

Masa kejayaan kerajaan Haru berlangsung cukup lama. Sudah berkali-kali

rajanya berganti secara turun temurun. Namun suatu ketika sekitar tahun 1539

kerajaan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh yang

memiliki persenjataan cukup kuat. Akibat serangan tersebut Suku Bangsa Haru pecah

menjadi beberapa suku bangsa, menjadi Suku Bangsa Karo, Simelengun, Pakpak,

Alas, Gayo, Singkil dan Keluet.

Latar belakang pecahnya Suku Bangsa Haru ini, ialah disebabkan pengaruh

kekuasaan Kesultanan Aceh sebagai pemenang/penakluk Kerajaan Haru, yang tujuan

agresinya adalah mengIslamkan suku bangsa Haru penganut agama Hindu Perbegu

dari Sekte Ciwa.


29

Sejak saat itu Suku Bangsa Haru atau Karo di daerah pesisir pantai laut

Sumatera Timur menjadi penganut agama Islam yang pada waktu itu lazim disebut

“Jawi” dan sekaligus menyebut juga suku bangsa Melayu, pengaruh dari pedagang-

pedagang Malaya dan pengaruh penguasaan Kesultanan Aceh di daerah itu

(Sitepu:1996).

Yang bertahan dengan agama nenek moyangnya, ialah suku bangsa

Simalungun, Toba, Karo dan Pak-pak. Kemudian setelah datang agama baru yang

dibawa bangsa Eropa lambat laun suku bangsa Toba, Simalungun dan Pak-pak

sebagian besar menjadi penganut agama Kristen.

Pada tahun 1890 maskapai-maskapai perkebunan tembakau Deli dan

pemerintah Kolonial Belanda, memasukkan Missi Kristen Zending Henoschap ke

Buluh Awar Tanah Karo, dimana mesiu peperangan sedang membakar Karo Jahe

(Deli), Karo Serdang dan Karo Langkat, antara tentara Kompeni Belanda dengan

laskar-laskar Simbisa Karo/Melayu. Maksud dan tujuan pemerintah Kolonial Belanda

mengirimkan Missi Kristen Zending ialah untuk menjinakkan rakyat dan pejuang-

pejuang Karo, yang masih keras menentang dan melawan perampasan-perampasan

tanah adat oleh Maskapai Perkebunan Tembakau/ Pemerintah Kolonial Belanda.

Walaupun pada tahun 1907 daerah Karo seluruhnya sudah takluk kepada

pemerintah Kolonial Belanda, dan Missi Zending Henoschap berleluasa

mengembangkan agama Kristen, dan Missi Mubaligh-mubaligh Islam mencari

pengaruh di daerah Karo. Sampai tahun 1945 penganut Kristen dan Islam masih
30

terbilang sedikit, dan agama Hindu/Perbegu tetap unggul. Hingga tahun 1965 agama

Hindu/Perbegu/Pamena tetap mayoritas di daerah Karo.

Pergantian pemerintahan asing yang menguasai wilayah Karo, politik pecah

belah penguasaan Kesultanan Aceh, dan penguasa penjajahan Belanda, tidak mampu

menghancurkan Hinduisme dan kebudayaan Karo. Ini ditunjukkan dengan tetap

teguhnya agama Hindu Perbegu/Pamena berdiri ditengah-tengah masyarakat Karo,

sebagai agama nenek moyang masyarakat Karo.

Sejak terjadinya agresi tentara Kesultanan Aceh ke pusat kerajaan Haru tahun

1539, maka sejak itu terjadilah perubahan-perubahan besar dalam kehidupan

masyarakat Haru atau Karo. Maka sejak sebelum terjadinya agresi tentara Kesultanan

Aceh tersebut disebut zaman Karo Tua, sedangkan sejak dari tahun itu ke bawah

disebutkan zaman Karo Muda.

Didalam wilayah Suku Bangsa Karo itu, terdapat beberapa bagian daerah

yaitu:

1. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan Daerah bekas Kecamatan

Cingkes tahun 1946.

2. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah, masing-masing

disepanjang sungai Lau Renun, bekas Kewedanan Tingga Lingga.

3. Daerah Karo Jahe yaitu Deli Hulu

4. Daerah Karo Binge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semuanya

disebutkan Karo Langkat.


31

5. Daerah Karo Gugung, yaitu Tanah Tinggi Karo, meliputi wilayah Kabupaten

Karo sekarang ini termasuk di dalamnya Desa Cinta Rakyat.

Desa Cinta Rakyat yang menjadi lokasi penelitian terdiri atas tiga kampung,

yaitu Kampung Lama, Kampung Tengah dan Kampung Baru. Pada zaman dahulu

Desa Cinta Rakyat bernama Desa Jumaraja. Masyarakat yang pertama kali menghuni

desa ini adalah marga Surbakti yang berasal dari Kuta Surbakti yang terletak di

wilayah Berastagi.

Jumaraja diartikan sebagai ladang raja, karena pada zaman dahulu terdapat

banyak ladang yang sangat luas yang dikuasai oleh marga Surbakti. Marga Surbakti

pada waktu itu berkuasa sebagai tuan tanah/ sipemantek kuta. Desa Jumaraja terkenal

dengan watak masyarakatnya yang keras dan kuat.

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, desa-desa yang ada di wilayah

Kabupaten Karo diganti nama oleh pemerintah, sehingga Desa Jumaraja diganti

menjadi Desa Cinta Rakyat hingga pada saat sekarang ini, tetapi nama Jumaraja tetap

dikenal oleh semua masyarakat Batak Karo.

C. Demografi Penduduk

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Kantor Kepala Desa Cinta Rakyat.

Jumlah penduduk Desa Cinta Rakyat sebanyak 600 KK dimana jumlah laki-laki 814

jiwa, dan jumlah perempuan 1005 orang jiwa. Data di atas menunjukkan bahwa
32

penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki. Berdasarkan jenis

kelamin dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 814 orang

2. Perempuan 1005 orang

Jumlah 1819 orang

Sumber : Kantor Kepala Desa Cinta Rakyat 2013

Penduduk yang tinggal Desa Cinta Rakyat pada umumnya merupakan

penduduk asli, namun hanya sebagian kecil yang merupakan pendatang di desa ini.

Pendatang yang ada di desa ini pada umumnya adalah suami atau istri yang menetap

karena ikatan perkawinan.

Penduduk Desa Cinta Rakyat mayoritas adalah Suku Bangsa Batak Karo,

yang merupakan Suku Bangsa terbesar yang mendiami wilayah daratan tinggi Karo.

Disamping itu terdapat juga Suku Bangsa Batak Simalungun dan Suku Bangsa Jawa,

dapat dilihat dari table berikut :


33

Tabel 3. Suku Bangsa berdasarkan Jumlah Penduduk

No Suku Bangsa Jumlah

1. Batak Karo 989 orang

2. Batak Simalungun 14 orang

3. Jawa 15 orang

Jumlah 1005 orang

Sumber : Kantor Kepala Desa Cinta Rakyat 2013

Penduduk Desa Cinta Rakyat ini terdiri dari Marga Karo-karo, Ginting, dan

lain lain. Kekerabatan semarga sangat kental sekali terasa, hal ini terdapat dari ketika

ada orang yang sukunya sama, walaupun tidak terdapat pertalian darah, mereka sudah

seperti saudara sendiri. Kerukunan antar sesama masyarakat sangat terlihat, hal ini

terlihat karena masyarakat satu dengan yang lain saling kenal walaupun rumah

mereka berjauhan.

D. Mata Pencaharian

Setiap masyarakat dalam menunjang kehidupannya selalu memiliki mata

pencaharian utama, sehingga terdapat kelompok suku bangsa tertentu yang memiliki

mata pencaharian yang khas dibandingkan dengan wilayah lainnya sebagai identitas
34

warganya. Sistem mata pencaharian merupakan sumber ekonomi masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tabel 4 Jumlah Penduduk Desa Cinta Rakyat menurut Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah (Orang)


1. Ahli Pengobatan Alternatif 20 orang
2. Montir 5 orang
3. Pegawai Negeri Sipil 190 orang
4. Pengrajin 5 orang
5. Pengusaha 40 orang
6. Perawat Swasta 10 orang
7. Petani 3600 orang
8. Peternak 10 orang
9. POLRI 10 orang
10. Pensiunan 25 orang
11. TNI 5 orang
Jumlah 3.920 orang
Sumber: Data Monografi Desa Cinta Rakyat 2013

Penduduk Desa Cinta Rakyat memiliki beragam mata pencaharian, seperti

petani, montir, ahli pengobatan alternatif, pengrajin, pengusaha kecil, swasta,

peternak, Polri, Pensiunan dan ABRI.


35

E. Bahasa

Masyarakat Desa Cinta Rakyat yang mayoritas adalah Suku Bangsa Karo

dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan Bahasa Batak Karo yang dikenal

dengan istilah cakap karo.

Bahasa Batak Karo secara historis sama halnya dengan asal usul suku Bangsa

Batak Karo itu sendiri, bahasa Batak Karo sukar diketahui kapan mulai ada dan siapa

penciptanya. Dalam bahasa Batak Karo pada umumnya terdapat kata-kata yang di

dominasi oleh suara hidup. Oleh karena itu mudah diucapkan, jelas di dengar dan

mudah ditangkap atau diingat. Ucapan dalam bahasa Batak Karo memiliki intonasi

dan dialek tersendiri termasuk cepat atau lambatnya pengucapan. Setiap bahasa

memiliki unsur keindahan, demikian juga bahasa Batak Karo. Unsur keindahan dalam

bahasa Batak Karo disebut “cakap lumat” (Sitepu:21).

F. Sarana dan Prasarana

1. Pola Pemukiman

Desa Cinta rakyat memiliki luas sekitar 3200 Ha. Pemukiman pada desa Cinta

Rakyat terbagi dalam dua wilayah, pertama wilayah kampung lama dan wilayah

kampung baru. Adapun wilayah kampung lama adalah wilayah pemukiman yang

pertama kali dihuni oleh masyarakat desa Cinta Rakyat. Karena pertumbuhan

penduduk desa yang meningkat, maka dibukalah pemukiman baru, dan diberi nama

Kampung Baru.
36

Pola pemukiman pada Desa Cinta Rakyat terbagi dua, pemukiman pada

wilayah kampung lama berpola pemukiman terpusat. Hal ini dapat dilihat dari rumah-

rumah yang terletak bersebelahan antara satu rumah dengan rumah lainnya yang

membentuk kelompok. Rumah-rumah yang ada di kampung lama pada umumnya

masih berbentuk rumah adat karo atau dikenal dengan rumah “siwaluh jabu”. Rumah

“siwaluh jabu” artinya rumah yang berisi delapan keluarga. Rumah “siwaluh jabu”

terbuat dari kayu dengan atap ijuk.

Pada wilayah kampung baru, pola pemukiman penduduk memanjang

mengikuti arah jalan raya, terlihat dari banyaknya rumah yang dibangun di sepanjang

jalan raya desa Cinta Rakyat. Dibelakang rumah masyarakat terdapat ladang milik

masyarakat desa Cinta Rakyat.

2. Sarana Jalan dan Perhubungan

Desa Cinta Rakyat berjarak sekitar 9 Km dari Kota Kabanjahe pusat

pemerintahan Kabupaten Karo serta 5 Km dari Kota Berastagi. Sarana jalan menuju

Desa Cinta Rakyat berliku-liku disepanjang jalan dapat ditemui ladang-ladang

penduduk bermacam-macam penduduk seperti kol, lobak, wortel, jeruk, dll. Kondisi

jalan di tempat ini cukup memprihatinkan, jalan-jalan banyak berlubang dan rusak.

Disepanjang jalan juga terdapat jurang yang membahyakan bagi kendaraan. Jalan

tersebut hingga saat ini belum diperbaiki oleh pemerintah setempat, padahal jala ini

merupakan sarana bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas sehari-hari seperti

menjual hasil pertanian masyarakat, dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya.


37

Angkutan sewa yang digunakan menuju Desa Cinta Rakyat adalah Angkutan

Sibayak. Jalur lintas angkutan Sibayak adalah dari Kota Berastagi menuju Desa Cinta

Rakyat berkapasitas 14 orang dewasa. Terminal angkutan ini berada di Pajak

Berastagi. Biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 4.000,-. Angkutan ini beroperasi dari

pukul 07.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB dengan waktu tempuh ke Desa Cinta

Rakyat sekitar setengah jam. Jika kita dari Kota Medan, kita dapat menggunakan Bus

Sumatera Transport atau Sinabung dengan ongkos Rp. 10.000, lalu berhenti di

terminal Berastagi yang waktu tempuhnya satu setengah jam. Dari terminal bus

tersebut naik lagi angkutan Sibayak menuju Desa Cinta Rakyat.

3. Sarana Kesehatan

Desa Cinta Rakyat memiliki satu buah puskesmas pembantu. Puskesmas

pembantu ini terletak di jalan utama ke kampung lama dari kampung baru.

Puskesmas pembantu ini menyediakan layanan rawat inap bagi para pasien. Biasanya

bidan yang bertugas di puskesmas ini juga bersedia dipanggil ke rumah warga,

misalnya ada di antara warga yang melahirkan dan sakit yang tidak sanggup datang

ke puskesas tersebut. Keberadaan puskesmas pembantu ini sangat membantu

masyarakat Desa Cinta Rakyat dalam bidang kesehatan.

Selain adanya bidan yang membantu mengatasi masalah kesehatan di Desa

Cinta Rakyat, keberadaan dukun/ guru juga sangat membantu dalam mengatasi
38

masalah kesehatan, masyarakat masih sangat percaya bahwa dukun/guru dapat

membantu menyembuhkan penyakit yang sedang menimpanya.

Tabel 5 Sarana dan Prasarana Kesehatan

No Jenis Sarana dan Prasarana Kesehatan Jumlah (Unit)

1. Balai Kesehatan Ibu dan Anak 1

2. Posyandu 1

3. Puskesmas Pembantu 1

4. Rumah Bersalin 1

Jumlah 4

Sumber: Data Monografi Desa Cinta Rakyat

4. Sarana Pendidikan

Pendidikan merupakna suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat, karena dengan adanya pendidikan seseorang dapat menambah ilmu

pengetahuan dan wawasannya. Begitupun di Desa Cinta Rakyat yang masyarakatya

sudah menikmati pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan suatu

penunjang berjalanannya pendidikan yang baik di Desa Cinta Rakyat.

Sarana pendidikan yang terdapat pada Desa Cinta Rakyat yaitu dua buah bangunan

untuk Sekolah Dasar dan tiga buah bangunan untuk Taman Kanak-kanak, sedangkan

untuk bangunan SLTP dan SLTA belum tersedia di desa ini. Untuk melanjutkan

sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak Desa Cinta Rakyat harus melanjutkan
39

sekolah keluar dari desa, biasanya mereka melanjutkan sekolah di Kota Berastagi

karena disana sarana pendidikannya lebih lengkap.

Menurut pandangan masyarakat Batak Karo pendidikan identik dengan

penghasilan, jabatan dan status sosial. Pendidikan dinilai tinggi dan mempunyai arti

penting. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dengan melalui pendidikan

seseorang akan mampu mengangkat derajat keluarga dan juga sebagau persiapan

untuk menempati posisi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab itu semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula lah statusnya di dalam masyarakat.

5. Sarana Peribadatan

Sarana peribadatan merupakan suatu hal yang penting yang harus ada pada

suatu daerah/wilayah. Dengan adanya sarana peribadatan masyarakat dapat beribadah

kepada sang penciptanya.

Sarana peribadatan yang terdapat di Desa Cinta Rakyat masih terbilang

sedikit, ini dapat dilihat dari masih sedikitnya sarana prasarana peribadatan yang ada,

dimana terdiri dari satu buah masjid dan dua buah Gereja Batak Karo Protestan

(GBKP).
40

Tabel 6 Sarana dan Prasarana Peribadatan

No Jenis Sarana dan Prasarana Kesehatan Jumlah (Unit)

1. Mesjid 1

2. Gereja 2

3. Wihara -

4. Pura -

Jumlah 3

Sumber: Data Monografi Desa Cinta Rakyat 2013

6. Lembaga Sosial

Lembaga sosial atau dikenal juga sebagai lembaga kemasyarakatan salah satu

jenis lembaga yang terdapat di Desa Cinta Rakyat yang mengatur rangkaian tata cara

dan prosedur dalam melakukan hubungan antar masyarakat yang bertujuan untuk

mendapatkan keteraturan hidup.

Lembaga sosial yang ada di Desa Cinta Rakyat diantaranya Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), PKK, Arisan, Karang Taruna serta organisasi

masyarakat yang ada antara lain organisasi keagamaan, organisasi olahraga,

organisasi kepemudaan.

G. Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Desa Cinta Rakyat mayoritas beragama Protestan. Masuknya

agama Protestan ke wilayah Desa Cinta Rakyat adalah pengaruh masuknya

misionaris pada tahun 1967 pada masyarakat Batak Karo. Sejak saat itu penduduk
41

Desa Cinta Rakyat sudah memiliki agama, seperti dapat dilihat dalam tabel di bawah

ini :

Tabel 7 Jumlah Penduduk Desa Cinta Rakyat menurut Agama

No Agama Jumlah

1. Islam 700 orang

2. Protestan 1.500 orang

3. Khatolik 15 orang

4. Hindu -

5. Budha -

Jumlah 2.215 orang

Sumber: Data Monografi Desa Cinta Rakyat 2013

Sebelum masuknya agama formal/ samawi ke Tanah Karo, masyarakat Batak

Karo telah memiliki sistem religi/kepercayaan yang bertumpu pada kepercayaan roh-

roh nenek moyang/leluhur mereka. Sistem Religi asal masyarakat Batak Karo adalah

Perbegu, pada tahun 1946 diganti namanya menjadi agama Pemena. Agama Pemena

adalah agama menyembah roh leluhur yang telah meninggal (Josten: 2014).

Agama Pemena artinya adalah agama pertama. Agama pertama yang masuk

ke Indonesia adalah agama Hindu, maka agama Hindu inilah agama pertama yang

datang ke wilayah Nusantara termasuk ke wilayah Karo. Inti dari ajaran agama

pemena ini selain percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),

sebagai pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, juga percaya masih ada
42

kekuatan lain. Kekuatan lain tersebut adalah kekuatan roh-roh nenek moyang yang

dapat membantu mereka selama hidup di bumi ini. Dalam kehidupan sehari-hari,

mereka menekankan pemujaan kepada kekuatan roh nenek moyang yang dianggap

langsung dapat mempengaruhi kehidupan mereka.

Menurut Bangun (1986) mengatakan pemena adalah kepercayaan adanya

Tuhan sebagai Maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Mereka juga

percaya adanya “tenaga gaib dari roh-roh nenek moyang” yaitu tenaga yang

berkedudukan di batu-batu besar, kayu-besar, sungai, gunung atau tempat-tempat

lain. Tenaga yang ada di tempat-tempat tersebut dianggap keramat, dan dapat

memberi rezeki, nasib baik maupun mendatangkan malapetaka pada manusia. Untuk

mendatangkan nasib yang baik, agar tanaman subur serta terhindar dari malapetaka,

maka masyarakat Batak Karo mengadakan persembahan kepada benda-benda yang

mereka anggap keramat.

Menurut kepercayaan tradisional Batak Karo di samping percaya adanya

Tuhan pencipta langit dan bumi termasuk segala isinya, masyarakat Batak Karo

Masyarakat Batak Karo percaya segala yang ada di dunia ini, yang dapat dilihat

maupun yang tidak kelihatan, ada yang menciptakannya yaitu Dibata.

Masyarakat Batak Karo membedakan antara Dibata ni idah dan Dibata la

idah. Dibata ni idah disebut juga Dibata yang tampak maksudnya merupakan wakil

Dibata di dunia ini. Dalam masyarakat Batak Karo terdapat rakut si telu yang

merupakan unsur tri tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiga unsur yang

tercakup dalam rakut si telu itu adalah anak beru, senina dan kalimbubu. Kalimbubu
43

adalah golongan yang terhormat, golongan yang disegani. Orang-orang yang

menghormati kalimbubunya akan memperoleh tuah, banyak rezeki segala usaha akan

membawa hasil, tanam-tanaman subur, hewan yang dipelihara berkembang biak.

Dibata la idah adalah dibata yang tidak kelihatan, biasa juga disebut Dibata

kaci-kaci. Dibata la idah ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu di dunia atas,

di dunia tengah dan di dunia bawah. Setiap wilayah diperintah oleh seseorang dibata

kaci-kaci. Ketiga Dibata yang merupakan menguasai tiga wilayah kekuasaan ini

merupakan kesatuan, yang dalam bahasa Batak Karo disebut Dibata Si Telu (Bangun:

1986; 45) .

Berdasarkan tempatnya memerintah, maka masyarakat Batak Karo mengenal

pembagian Dibata la idah sebagai berikut :

1. Dibata Datas atau disebut juga Guru Butara adalah yang menguasai dunia bagian

atas yang amat luas, yaitu dunia angkasa

2. Dibata Tengah atau disebut juga Tuhan Padukah ni aji adalah penguasa dunia

bagian tengah atau bumi ini.

3. Dibata Teruh atau disebut juga dibata bawah adalah penguasa dunia bawah, yaitu

dunia yang terdapat di bawah bumi kita, ini biasa juga disebut Tuhan Banua

Koling.

Mayarakat Batak Karo percaya manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu tendi

“roh”, begu “hantu” dan tubuh. Setelah manusia meninggal dunia, tendi pun

menghilang, tubuh-pun hancur dan begu tetap ada. Menurut Josten (2014:11) tendi

dan tubuh seseorang merupakan kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan.
44

Kalau tendi pergi sebentar saja dari tubuh maka seseorang akan jatuh sakit sedangkan

kalau tendi berpisah dengan tubuh maka orang itu akan meninggal dunia.

Menurut kepercayaan masyarakat Batak Karo, begu adalah jiwa atau tendi

dari orang yang telah meninggal. Tendi (jiwa) dapat dikatakan sebagai sumber dan

dasar kehidupan seseorang yang diterima sebelum lahir ketika gerakan-gerakan

pertama dari anak dalam kandungan mulai dapat dideteksi.

Dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo, dalam tubuh manusia terdapat

tujuh tendi. Tendi-tendi ini masing-masing mempunyai nama tersendiri yaitu Si

Jujung, Si Galimang, Si Ndakara, Si Ndakiri, Si Berka Kondang, Si Berka Kasih dan

Si Ola Lapat.

Posisi yang ditempati oleh ketujuh tendi adalah posisi yang penting yang turut

menentukan denyutan/perjalanan darah dalam tubuh kita. Kalau perjalanan darah

terganggu, maka seseorang akan menderita sakit. Untuk menghindari hal itu perlu

bantuan para dukun untuk menenangkan, menghormati, memanggil tendi yang

bersangkutan, dengan upacara tertentu.

Setiap orang yang hidup mempunyai tendi “roh”. Kalau orang meninggal

dunia maka tendi itu berubah menjadi begu. Oleh karena begu ini sering menganggu

orang-orang yang masih hidup, maka orang banyak pun membenci serta

menakutinya. Masyarakat Batak Karo mengenal beranekaragam begu. Berikut begu

yang dikenal dalam masyarakat Batak Karo yaitu;

1. Begu Jabu
45

Begu Jabu atau begu keluarga adalah begu dari keluarga dekat yang telah

meninggal dunia. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu serta anak-anaknya yang belum

kawin. Kalau anggota keluarga ini meninggal dunia maka tendi mereka berubah

menjadi begu jabu. Sesuatu begu barulah dapat menjadi begu jabu kalau memenuhi

syarat-syarat tertentu.

2. Begu Biasa

Begu orang yang mate kayat-kayaten, yaitu yang mati karena penyakit, sedangkan

orangnya belum begitu tua, tidak dapat menjadi begu jabu, tetapi hanya begu biasa

saja. Begitu juga begu orrang yang mate cawir metua atau meninggal lanjut usia,

tidak termasuk begu jabu, tetapi begu biasa saja.

3. Begu Mentas

Semua tendi manusia yang meninggal dunia menjadi begu. Bagi keluarganya

beberapa begu itu menjadi begu jabu, beberapa lagi menjadi begu biasa, yang harus

dihormati agar jangan, menganggu yang masih hidup.

4. Begu Mengep

Begu menggep adalah sejenis begu yang sangat menakutkan. Begu ini selalu

menyembunyikan diri di muka atau di bawah tangga masuk ke rumah atau ke pondok

untuk menerkam mangsanya. Begu jenis ini sangat ganas kepada para wanita dan

anak-anak. Sebagai tangkal penolak begu menggep maka anak-anak serta para wanita

diberi berkalung potongan umbi jerangau (Acorus calamus).

Menggep dalam bahasa Batak Karo berarti keluar dengan tiba-tiba untuk

menerkam mangsanya. Begu menggep berarti begu yang keluar tiba-tiba dari
46

persembunyiannya unuk menerkam mangsanya. Itulah sebabnya maka begu ini

sangat ditakuti orang.

5. Begu Sidangbela

Begu sidangbela adalah begu wanita yang meninggal dunia pada saat dia

melahirkan anak. Dalam bahasa Batak Karo disebut begu si mate ranak atau begu

orang yang mati beranak. Begu ini diam baik di dunia bawah maupun di dunia ini.

Begu ini sangat marah dan benci serta kejam sekali terhadap para wanita hamil

dan anak-anak kecil. Begu ini selalu menanti pada bagian hilir dari pancuran atau

tempat mandi. Justru karena begu sidangbela ini adalah begu wanita yang mati

beranak barangkali maka dia ingin membalas dendam kepada para wanita hamil dan

anak-anak.

6. Begu Ganjang

Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senangkali mencekik leher

mangsanya mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.

Begu ini dapat dapat berperangai pria maupun wanita. Gigi begu ganjang besar dan

tajam seperti jaji. Begu ganjang ini dapat membuat orang atau anak-anak mati

seketika. Kalau dia mencekik, maka leher orang yang dicekik itu berwarna biru dan

mata orang tersebut terbelalak, lalu meninggal. Tangkal pengusir begu ganjang

adalah kalung jerangau atau ikat pinggang jerangau. Tali pengikat jerangau itu

biasanya benang benalu, yaitu pintalan benang merah, hitam dan kuning.

7. Naga Lumayang
47

Naga Lumayang adalah nama salah satu begu dalam bahasa Batak Karo. Naga

Lumayang ini setiap hari mempunyai tempat tertentu. Begu Naga Lumayang

berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya setiap hari. Untuk menghindari

terkamannya maka seseorang harus mengetahui waktu dan tempatnya beraksi.

Dalam kehidupan masyarakat Batak Karo peranan guru4 sangat penting, karena ia

bisa membantu mengatasi penyakit, membaca hari dan bulan baik, memanggil roh

dan arwah, memberi semangat dan lain sebagainya. Terkait dengan guru ini,

masyarakat Batak Karo membagi guru bedasarkan perannya:

1. Guru sibaso/guru perdiwel diwel biasanya adalah perempuan. Guru ini bisa

berperan sebagai pemanggil roh manusia yang telah meninggal dan lewat dia

roh/begu berbicara. Ini dapat dilakukan melalui upacara khusus dalam acara

perumah begu.

2. Guru simajek pantangen, dukun yang berperan dalam upacara erpangir ku

lau. Ia juga mampu meramalkan sesuatu yang dihadapi seseorang dengan

melihat daun sirih yang disodorkan kepadanya apakah akan ada penyakit atau

kejadian buruk serta tanda-tanda yang akan datang serta cara mengatasi atau

mengobatinya.

3. Guru sibeloh niktik wari, dukun yang mampu menghitung hari, bulan baik

atau buruk. Apabila jika seseorang akan memasuki rumah baru, melakukan

perkawinan, berangkat perang dan lain-lain. Ia menyebut hari baik atau buruk

4
Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai
tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat
berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo.
48

setelah melihat dengan seksama bilangan-bilangan penanggalan Karo. Selain

ia mengetahui bilangan-bilangan hari, ia juga mengerti arah mata angin yang

delapan penjuru.

H. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Batak Karo adalah sistem

kekerabatan patrilineal. Menurut Koentjaraningrat (1972: 135) patrilineal adalah

prinsip kekerabatan yang menghitung hubungan kekerabatan memalui garis pria

saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam semua kaum

kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua

kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu.

Hubungan/jaringan kekerabatan dalam masyarakat Batak Karo dikenal dengan

istilah sangkep nggeluh yang meliputi merga silima, rakut sitelu dan tutur siwaluh.

Pusat dari sangkep nggeluh adalah sukut yaitu orang/ pribadi/merga tertentu yang

dikelilingi oleh senina, anak beru dan kalimbubunya. Dalam melaksanakan upacara

adat tertentu seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru dan lain-lain,

sangkep nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam acara tersebut.

Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin dan orang tua yang

kawin.
49

1. Merga Silima

Sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Karo memang sangat

penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Munculnya sistem kekerabatan disebabkan oleh terjadinya perkawinan antar merga

dan submerga dan perkawinan tersebut menghasilkan keturunan. Dalam masyarakat

Batak Karo sejak dahulu mengenal merga dan beru. Merga untuk anak laki-laki dan

beru untuk anak perempuan yang diambil dari marga ayah.

Merga diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, melalui satu nenek

moyang laki-laki. Tarigan (dalam Yunus 1994:16) mengatakan bahwa merga berasal

dari perkataan mehaga yang berarti terhormat, yang berbangsa, yang berkuasa.

Merga dijunjung tinggi artinya merga menentukan kekerabatan, keturunan dan jodoh.

Sedangkan Masri Singarimbun (dalam Yunus 1994: 17) mengatakan merga sebagai

klen adalah kelompok unilineal yang terbesar, membagi suku Batak Karo atas lima

golongan besar, dan masing-masing tidak pernah merasa terpaut atau berasal dari

yang lain di dalam sejarah asal-usulnya.

Merga dalam masyarakat Batak Karo memiliki nilai dan manfaat yang besar

dalam kehidupan mereka, diantaranya adalah:

- Merga membuat seseorang anggota masyarakat Batak Karo dihargai, disegani dan

dihormati

- Merga sebagai tanda pengenal bagi anggota masyarakat Batak Karo

- Merga sebagai tanda garis keturunan seseorang dalam masyarakat Batak Karo
50

- Merga adalah bagian atau unsur yang terdapat dalam hak kepemilikan dan

warisan pada masyarakat Batak Karo

Merga selain memiliki manfaat juga memiliki tugas dan tanggung jawab

masing-masing merga itu. Tugas dan tanggung jawab merga adalah:

- Setiap merga harus menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan merganya

termasuk submerga

- Setiap merga harus menjaga nama baik atau penghormatan merganya termasuk

submerga

- Setiap merga harus saling membantu bagi merga atau submerga yang

membutuhkan

- Setiap merga harus menjalin kekompakan antar merga, saling menghormati,

karena pada prinsipnya kedudukan merga itu sama.

Dalam Masyarakat Batak Karo terdapat lima merga induk, yakni Karo-karo,

Perangin-angin, Ginting, Sembiring dan Tarigan. Kelima merga ini mempunyai

cabang, atau sub-merga pula.

Merga sebagai organisasi kekerabatan orang Batak Karo memperhitungkan

garis keturunan melalui pria. Merga terdiri dari merga induk dan sub-merga. Dalam

istilah antropologi merga disebut juga dengan klen. Pada sub bab selanjutnya peneliti

akan menjelaskan lebih rinci tentang rakut sitelu yang dikenal sebagai tonggak

kekerabatan masyarakat Batak Karo yang terdiri dari kalimbubu, senina dan anak

beru.
51

2. Rakut Sitelu

Secara etimologis rakut sitelu berarti “tungku yang tiga”. Rakut berarti batu

tungku, sitelu berarti yang tiga. Rakut Sitelu adalah suatu jaringan kerja sosial budaya

yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Batak

Karo (Josten:2014). Rakut Sitelu berfungsi sebagai wadah musyawarah sekaligus

menjadi perangkatnya dalam kelompok keluarga tertentu yang bertindak sebagai

sukut.

Setiap masyarakat Batak Karo masuk ke dalam golongan rakut sitelu tersebut,

pada kesempatan yang berbeda-beda. Kedudukannya masing-masing sebagai

kalimbubu terhadapa satu golongan, sebagai anak beru terhadap golongan lain dan

senina terhadap golongan satu lagi (Ahmad dkk, 1994:25). Hubungan diantara ketiga

golongan ini tidak dapat dipisahkan di dalam adat. Setiap orang akan merasakan dan

mengetahui hak dan kewaibannya terhadap golongan mana dia berkedudukan pada

suatu upacara dan tempat tertentu.

Dalam suatu upacara adat, tidak berlaku pangkat atau jabatan seseorang.

Kalau pada zaman lampau misalnya bangsa raja atau pada zaman sekarang ini orang

berpangkat jendral atau gubernur jika posisinya dalam upacara adat adalah sebagai

“anak beru” maka ia harus bekerja sebagai pelayan, ia harus mengurus segala

upacara adat, baik dalam hal masak-memasak maupun dalam musyawarah untuk

suksesnya upacara adat tadi. Jadi meskipun seseorang berpangkat, ia harus

melaksanakan kewajibannya sebagai “anak beru”. Sebaliknya pada upacara yang


52

sama maka pihak “kalimbubu” walaupun ia adalah seorang petani, mereka tidak

bekerja sama sekali, tinggal terima saja makan dan minum di atas tikar halus.

Peranan seperti ini dalam upacara adat selalu berlangsung secara melingkar,

sekali sebagai “anak beru”, lain kali sebagai “kalimbubu” atau “senina” maka dalam

suatu upacara dengan sendirinya tidak dikenal perbedaan derajat antara satu orang

dengan orang lain

2.1 Kalimbubu

Pada masyarakat Batak Karo pernikahan bukanlah masalah perseorangan tetapi

merupakan masalah keluarga. Pernikahan dinilai bukan hanya mengikat tali

kekerabatan antara keluarga isteri dan suami, tetapi juga menjalin jaringan-jaringan

kekerabatan antara kedua kerabat mempelai.

Kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang dinikahi/pihak pemberi dara.

Dalam adat Batak Karo, kalimbubu disebut juga dengan Dibata Ni Idah yang artinya

Tuhan yang dapat dilihat.

Menurut Bapak LS salah seorang informan mengatakan:

“ … Kalimbubu adalah pihak pemberi wanita, jika kita kawin dengan seseorang
wanita, keluarganya adalah golongan kalimbubu kita. Lebih jauh Bapak LS juga
mengatakan, “pihak kalimbubu harus dihormati dan dijaga betul, jangan sampai pihak
kalimbubu berkecil hati, jika sampai berkecil hati maka menurut kepercayaan kami
dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti padi tidak menjadi, susah
mendapatkan anak, anak lahir cacat, dll…”

Memperkuat pernyataan informan di atas menurut Sitepu (1996:42) pihak

kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini apabila

pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu
53

adalah kalimbubu kita. Disebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah

dan saudara-saudaranya semua telah masuk menjadi golongan kalimbubu kita.

Menurut Tarigan (1990) masyarakat Batak Karo mempunyai lima bentuk

kalimbubu, yang terbentuk dari hubungan perkawinan dan hubungan darah. Adapun

kelima bentuk kalimbubu tersebut adalah:

- Kalimbubu Tua

Kalimbubu tua adalah kalimbubu daripada nenek moyang yang pada masa dahulu

mendirikan kampung, jadi merupakan kalimbubu tradisional. Pada upacara-

upacara adat, kalimbubu ini mendapat kedudukan penting, misalnya mendapat

giliran pertama menari dalam upacara adat. Kalimbubu tua disebut juga oleh

masyarakat Batak Karo kalimbubu si majek dalikan yaitu kalimbubu yang

memasang atau menegakkan tungku ataupun kalimbubu si majek lulang yakni

kalimbubu yang mendirikan pagar kampung dan merupakan kepala atau

pemimpin dari kalimbubunya yang lain.

- Kalimbubu Bena-Bena

Kalimbubu bena-bena adalah kalimbubu nini, kalimbubu ayah dari ayah, yang

menurunkan binuang kepada seseorang.

- Kalimbubu Simupus

Kalimbubu simupus adalah kalimbubu bapa, kalimbubu ayah yang menurunkan

nama bere-bere kepada seseorang

- Kalimbubu Si Perdemui

Kalimbubu si perdemui adalah kalimbubu yang dipersatukan oleh perkawinan.


54

- Kalimbubu Sembuyak

Kalimbubu sembuyak adalah kalimbubu dari saudara-saudara atau sembuyak

seseorang.

Gambar 1: Bagan Kekerabatan

Dari bagan diatas dapat dilihat ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dan

anak perempuan kalimbubunya dengan istilah impal. Ego menyebut dan menyapa

anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki isterinya dengan istilah

permen. Ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dan anak perempuan dari anak

laki-laki dan anak perempuannya dengan kempu. Ego menyebut dan menyapa ayah

isterinya dengan istilah mama dan ibu istrinya dengan istilah mami. Ego menyebut

ayah dari ibunya dengan istilah nini laki dan menyapanya dengan istilah bulang. Ego

menyebut ibu dari ibunya dengan nini tudung dan menyapanya dengan istilah ribu

bagi merga Perangin-Angin, karo bagi merga Karo-Karo, biring bagi merga

Sembiring, iting bagi merga Ginting dan tigan bagi merga Tarigan.
55

2.2 Anak beru

Anak beru adalah golongan penerima gadis/anak dara. Anak beru dalam

kekerabatan masyarakat Batak Karo berkedudukan sebagai kelompok yang bertugas

membawa kerukunan dan kedamaian pada keluarga kalimbubu. Pada pesta-pesta adat

Batak Karo, anak beru menjadi modal penggerak kesuksesan sebuah pesta (Josten,

2014:17).

Menurut informan LG, terkait dengan anak beru;

“… anak beru adalah orang yang harus menghormati kalimbubu, tidak boleh
membuat kalimbubu sakit hati atau marah, karena jika kalimbubu marah,
dapat menyebabkan hal yang tidak diinginkan dan harus taat kepada tugas
yang diberikan oleh kalimbubu…”

Senada dengan itu, informan IH, memaparkan;

“… anak beru adalah golongan penerima dara, dalam upacara adat


anak beru bertugas membersihkan jambur5, memberntangkan tikar, memasak
nasi beserta lauk pauk, menyediakan sirih dan rokok bagi kalimbubunya.

Menurut Yunus (1994) anak beru berfungsi sebagai pembawa kedamaian di

dalam keluarga kalimbubunya. Perselisihan dan perceraian yang timbul dalam

keluarga kalimbubu sudah menjadi tugas anak beru untuk mendamaikannya.

Segala upacara-upacara adat seperti perkawinan, memasuki rumah baru,

upacara kematian dan lain-lain diselesaikan oleh anak beru. Walaupun seorang

berkedudukan di tengah-tengah masyarakat, berpangkat dan kaya, jika dia

5
Jambur adalah bangunan luas yang dipergunakan sebagai ruang serba guna masyarakat Batak Karo.
Pada umumnya jambur digunakan sebagai tempat pesta Batak Karo, baik pesta adat, perkawinan
maupun kematian. Wikipedia Indonesia. Diakses Tanggal 25032015
56

berkedudukan sebagai anak beru tetap harus tunduk kepada tugas yang diberikan oleh

kalimbubunya.

Dalam masyarakat Batak Karo, dikenal beberapa macam anak beru

(Tarigan;1990) diantaranya:

- Anak beru Ipupus

Anak beru ipupus adalah anak beru yang terjadi karena adanya pertalian darah,

seseorang yang sejak lahir sudah berstatus anakberu.

- Anak beru Iangkip

Anak beru iangkip adalah anak beru yang baru, yang terjadi karena

berlangsungnya perkawinan. Sebelumnya tidak ada pertalian darah atau pertalian

keluarga, yang menghubungkan tali kekeluargaan baru mereka adalah mas

kawin/mahar.

- Anak beru Tua

Anak beru tua di dalam keluarga adalah seseorang yang tertua dari semua anak

beru dan berkedudukan sebagai kepala/pemimpin dari semua anak beru.

- Anak beru Menteri

Anak beru menteri adalah anak beru yang tidak bertanggung jawab, dalam

upacara adat anak beru ini merupakan pesuruh atau pekerja saja, setiap ada

keputusan dalam musyawarah adat ia hanya mengiakan saja.

Ego menyebut dan menyapa saudara perempuan ayahnya dengan istilah bibi dan

suaminya dengan istilah bengkila. Ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dari
57

saudara perempuan ayahnya dengan istilah silih dan isterinya disebut turangku,

hubungan dengan turangku. Ego menyebut anak laki-laki dan perempuan dari saudara

perempuan ayahnya dengan istilah bere-bere dan menyapanya dengan istilah tongkat

untuk anak laki-laki, ame untuk anak perempuan. Ego menyapa anak laki-laki dan

anak perempuan dari bere-berenya dengan istilah kempu. Ego menyebut ayah dari

suami saudara perempuan ayahnya dengan istilah nini laki dan menyapanya dengan

istilah laki. Ego menyebut ibu dari suami saudara perempuan ayahnya dengan istilah

nini tudung dan menyapanya sesuai dengan merganya.

2.3 Senina/Sembuyak

Senina berarti saudara, senina berasal dari dua kata yakni se yang berarti satu dan

ni yang berarti nenek dan na yang berarti kaya. Jadi perkataan senina berarti satu

nenek. Istilah senina dapat digunakan dalam pengertian luas/ umum dan dapat pula

dalam pengertian sempit.

Berikut kutipan informan peneliti mengenai senina/sembuyak, bapak LS

mengungkapkan:

“… senina adalah saudara sejenis dan bermasrga sama dengan pelaku. Misalnya
kita anak pertama, terus adik kandung kita laki-laki maka adik kita itu adalah
senina kita, sedangkan adik kita yang perempuan disebut turang…”.

Dalam pengertian umum, senina adalah hubungan bersaudara antara orang-orang

yang berasal dari satu clan yang sama tetapi lineage yang berbeda. Misalnya Tarigan

Sibero dengan Tarigan Tua, Ginting Suka dengan Ginting Manuk, dan sebagainya.

Dalam pengertian sempit, yaitu berlakunya di dalam hukum dan golongan fungsional,
58

hanya terbatas pada lineage tertentu dari satu clan. Untuk itu dipergunakan istilah

senina sembuyak yang berarti saudara sekandung atau istilah sembuyak kal yang

berarti sekandung benar-benar. Misalnya Ginting Suka dengan Ginting Suka lainnya,

Karo-karo Barus dengan Karo-karo Barus lainnya.

Di samping arti luas dan sempit, hubungan seseorang dengan orang lain boleh

menjadi bersenina sekalipun clan dan merga berbeda, karena :

a. Isteri bersaudara

b. Suami bersaudara

c. Ibu bersaudara

Masyarakat Batak Karo menganggap hubungan kekerabatan masih dekat kalau

masih ada hubungan nenek yang bersaudara. Lebih jauh ada pula senina dalam

hubungan lain, dimana saudara tersebut telah diluar jalur garis keturunan dalam suatu

kelompok. Dapat terjadi atas adanya hubungan keluarga dari ibu, dari istri dan dari

anak.

Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Batak Karo adalah patrilineal

yang menghitung kekerabatan melalui garis keturunan ayah. Pada bab selanjutnya

peneliti akan mencoba mendeskripsikan pelaksanaan upacara cawir bulungken yang

dilaksanakan oleh masyarakat Batak Karo.


59

BAB III

PROSES UPACARA CAWIR BULUNGKEN

DALAM MASYARAKAT BATAK KARO

Pada bab ini penulis akan mencoba mendeskripsikan proses pelaksanaan

upacara cawir bulungken. Mulai dari pengertian upacara cawir bulungken itu sendiri

hingga proses pelaksanaan dari upacaranya.

Cawir bulungken adalah suatu pernikahan antara dua orang anak yang belum

cukup umur (anak-anak) yang hanya bersifat simbolis saja, tujuan cawir bulungken

ini adalah untuk menghindari malapetaka bagi salah satu pihak yang diketahui

melalui mimpi buruk atau karena seseorang diantaranya sering mengalami sakit.

Sejalan dengan pernyataan diatas salah satu informan juga berbicara mengenai

cawir bulungken. Berikut kutipan pernyataan dari informan GS:

“….cawir bulungken adalah suatu pernikahan simbolis yang dilakukan ketika


seseorang masih anak-anak, pernikahan ini dilakukan karena seseorang anak
yang sakit dan orang tua si anak mendapat mimpi buruk…”

Selain GS, informan LG juga menerangkan tentang pengertian cawir

bulungken, berikut penuturannya:

“… cawir bulungken disusun oleh dua kata yaitu cawir yang berarti harapan
dan bulungken yang berarti daun maksudnya adalah upacara yang
dianalogikan dengan menebar daun diatas tanah, walaupun daun ditebar
sebanyak-banyaknya tapi tidak akan tumbuh …”

Pengertian cawir bulungken secara harfiah adalah tebarkan daun atau

taburkan daun (Sembiring, 2009: 49). Selain menebar daun, menurut salah seorang
60

informan yaitu LS cawir bulungken berarti sebagai upacara meluruskan daun. Berikut

kutipan ungkapan bapak LS:

“…cawir bulungken dalam artian harfiah berarti meluruskan daun dalam


artian meluruskan kembali hubungan antara anak beru dan kalimbubu.
Hubungan antara pihak kalimbubu dan anak beru yang telah mulai renggang
maka sebab itu dilakukan upacara cawir bulungken untuk mempererat
kembali hubungan kedua belah pihak ini…”

Dari ungkapan-ungkapan diatas dapat ditarik bahwa pengertian cawir

bulungken adalah upacara yang dianalogikan dengan penaburan daun dan meluruskan

daun. Menurut informan-informan diatas diberi nama cawir bulungken karena

upacara ini merupakan upacara perkawinan anak-anak sehingga hanya bersifat

simbolik saja. Walaupun ada harapan-harapan untuk kelak hidup bersama menjadi

suami isteri yang sebenarnya, upacara itu sendiri bukanlah merupakan ikatan

perkawinan. Dalam pelaksanaannya, hanya mereka yang bertutur impal saja yang

boleh di cawir bulungken. Selain itu upacara cawir bulungken juga dimaksudkan

untuk mempererat kembali hubungan kedua belah pihak, kedua belah pihak yang

dimaksud disini adalah pihak kalimbubu dan pihak anak beru.

A. Komponen-Komponen Upacara Cawir Bulungken

1. Tempat Pelaksanaan Upacara

Dalam pelaksaan suatu upacara, tempat pelaksanaan merupakan suatu hal

yang sangat penting, karena dengan adanya tempat pelaksanaan suatu upacara dapat
61

berlangsung. Tempat upacara memiliki arti tersendiri bagi masyarakat yang

melaksanakan suatu upacara.

Pelaksanaan dan penyelenggaraan upacara cawir bulungken adalah dirumah

kalimbubu. Pemilihan rumah kalimbubu sebagai tempat upacara karena pihak

kalimbubu adalah pihak yang harus dihormati oleh sebab itu rumah kalimbubu

dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara cawir bulungken. Selain dilaksanakan di

rumah pihak kalimbubu, upacara Untuk memperkuat pernyataan peneliti di atas, hal

tersebut diperkuat oleh salah satu penuturan informan LS, berikut ini :

“… pemilihan tempat pelaksanaan upacara cawir bulungken adalah di rumah


pihak kalimbubu, pemilihan dilakukan karena kalimbubu adalah pihak yang
sangat kami hormati, selain dirumah kalimbubu juga dilakukan di jambur
apababila upacara cawir bulungken dilakukan dengan mengundang seluruh
keluarga…”

Gambar 2: Jambur

Sumber: Dokumentasi Pribadi


62

Selain dilaksanakan di rumah kalimbubu, upacara cawir bulungken juga

dilakukan di jambur. Pemilihan jambur dilakukan karena upacara yang akan

dilakukan mengundang seluruh sanak saudara, seluruh kerabat (sangkep nggeluh) dan

di rumah kalimbubu tidak memungkinkan dilaksanakan upacara cawir bulungken ini

karena banyaknya tamu yang akan datang.

2. Waktu Pelaksanaan

Waktu merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam suatu upacara.

Pemilihan waktu yang tepat dalam suatu upacara mempengaruhi berhasilnya upacara

tersebut. Waktu yang tepat membuat suatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang

menjadi tujuan upacara akan tercapai. Suatu upacara yang tanpa memperhitungkan

waktu akan membawa hasil atau bahkan mungkin bisa menjadi sesuatu yang tidak

berarti atau sia-sia.

Masyarakat Batak Karo mengenal hari-hari yang baik di dalam kalender

mereka. Semua pekerjaan akan selalu dilihat waktu yang tepat untuk melakukannya.

Seperti untuk melaksanakan upacara memasuki rumah baru, tidak pada semua hari

upacara tersebut dapat dilakukan. Pemilihan hari yang tepat untuk upacara memasuki

rumah baru akan membawa berkat bila menempati rumah tersebut. Hari yang tepat

untuk mengadakan upacara memasuki rumah baru tersebut adalah wari cukera dudu

dalam kalender masyarakat Batak Karo. Hari tersebut adalah hari yang baik untuk

melaksanakan pernikahan, menanam kebaikan, dan untuk tolak bala dan segala niat

buruk orang kepada kita, dan untuk mengadakan upacara memasuki rumah baru.
63

Selanjutnya ada hari tula yang dalam masyarakat Batak Karo yaitu hari ke lima belas

dalam kalender Batak Karo yang berarti hari sial, pada hari ini semua masyarakat

enggan melakukan aktifitas-aktifitas karena dipercayai aktifitas mereka akan menjadi

tidak baik, tetapi pada hari ini sangat baik untuk melakukan kegiatan seperti

membersihkan semak dan juga menanam kelapa (Sitepu: 30).

Untuk pelaksanaan upacara cawir bulungken ini biasanya dilaksanakan pada

hari budaha ngadap. Hari ini adalah hari kesebelas dalam kalender masyarakat Batak

Karo. Hari budaha ngadap bagi masyarakat Batak Karo dikatakan sebagai hari

pencerahan. Hari ini juga sangat baik untuk melakukan semua kegiatan dan

melakukan pesta. Baik untuk membuat suatu perjanjian, musyawarah, mengunjungi

rumah kalimbubu, melamar pekerjaan, dan melakukan upacara-upacara adat. Selain

hari budaha ngadap upacara cawir bulugken dapat juga dilakukan pada hari-hari lain

yang dianggap merupakan hari baik untuk melaksanakan kegiatan dalam kalender

Batak Karo seperti pada hari nggara enggo tula hari ke tujuh belas dalam kalender

masyarakat Batak Karo.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini biasanya disarankan oleh orang tua

dari anak yang sakit atau orang tua anak yang mendapatkan mimpi buruk. Untuk

menentukan pelaksanaan upacara ini ditanyakan kepada guru sipemeteh wari sitelu

puluh atau guru yang paham dengan kalender Karo, guru yang paham dengan hari-

hari baik yang ada pada kalender Karo. Penentuan waktu pelaksanaan upacara cawir

bulungken ini tidak bisa dipercayakan kepada sembarang orang.


64

Pada saat sekarang untuk melaksanakan upacara cawir bulungken tidak perlu

ditanyakan lagi kepada guru si meteh wari karena telah tersedia kalender Batak Karo

yang memuat hari-hari yang 30 tersebut. Terkait dengan penjelasan di atas, dapat kita

pahami dari penuturan GS berikut ini:

“… waktu dahulu jika ada orang yang melaksanakan upacara cawir bulungken
maka orang tua si anak yang sakit atau mendapat mimpi buruk, bertanya
kepada guru si meteh wari untuk menentukan hari baik untuk melaksanakan
upacara tersebut, tetapi pada saat sekarang sudah tidak perlu/ diharuskan lagi
untuk bertanya kepada guru si meteh wari, karena sudah ada kalender karo
yang memuat penanggalan dalam masyarakat Batak Karo…”

Jadi untuk pelaksanaan upacara cawir bulungken harus ditentukan hari yang

baik dalam penanggalan Batak Karo. Dengan demikian upacara cawir bulungken,

diharapkan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan orang yang

melaksanakannya.

3. Peserta Upacara Cawir Bulungken

Masyarakat sebagai suatu pendukung kebudayaan merupakan wadah dari

kebudayaan itu sendiri, dimana masyarakat itu mempunyai tradisi dan kebiasaan-

kebiasaan tersendiri. Sehingga masyarakat itu akan berprilaku berdasarkan pola-pola

yang ada dalam kebudayaan tersebut sesuai dengan peranan dan kedudukannya dalam

suatu kekerabatan.

Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken peranan orang-orang yang terlibat di

dalam pelaksanaan upacara ini sangatlah penting, karena orang-orang tersebutlah


65

yang mempengaruhi lancar atau tidaknya upacara cawir bulungken. Pelaksanan setiap

upacara dalam masyarakat Batak Karo disebut sukut/ orang yang memiliki acara.

Hubungan kekerabatan Batak Karo yang berpusat pada rakut sitelu (tiga tungku)

atau tiga tonggak hubungan kekerabatan masyarakat Batak Karo yang memiliki

fungsi yang berbeda satu sama lain, begitupun dalam pelaksanaan upacara cawir

bulungken peranan ketiga kelompok yang terdiri dari kalimbubu, senina dan anak

beru sangatlah penting. Jika salah satu dari ketiga kelompok kekerabatan ini tidak

hadir, maka upacara cawir bulungken dianggap tidah sah pelaksanaannya. Ketiga

kelompok ini menjadi peserta upacara tersebut, selain rakut sitelu. Untuk protokol

upacara cawir bulungken biasanya adalah anak beru tua dari pihak laki-laki. Anak

beru tua adalah seseorang yang tertua dari semua anak beru dan berkedudukan

sebagai kepala/pemimpin dari semua anak beru.

B. Tahapan Upacara Cawir Bulungken

Pelaksanaan upacara cawir bulungken dilakukan melalui beberapa tahapan

agar dianggap sah pelaksanaannya. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan pada

pelaksanaan upacara cawir bulungken yaitu:

1. Tahapan Sebelum Upacara

Pelaksanaan upacara cawir bulungken biasanya diawali dengan adanya anak

yang sakit-sakitan, walaupun sudah dibawa kerumah sakit tetapi tidak juga kunjung
66

sembuh, atau orang tua si anak mendapatkan mimpi buruk tentang anaknya. Oleh

sebab itu perlu dilakukan upacara cawir bulungken.

Sebelum melaksanakan upacara cawir bulungken, ada beberapa tahapan yang

dilakukan yaitu penentuan hari baik dan ngambat-ngambat yaitu musyawarah

membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara cawir bulungken.

Proses awal yang dilakukan sebelum hari pelaksanaan upacara cawir

bulungken adalah orang tua si anak yang akan melaksanakan upacara cawir

bulungken akan menemui guru si pemeteh wari atau guru yang paham dengan

kalender Karo, yang akan memilih hari baik di antara 30 hari yang ada. Orang tua si

anak akan menanyakan kapan waktu yang tepat untuk dilaksanakannya upacara cawir

bulungken ini. Biasanya upacara cawir bulungken ini dilaksanakan pada hari budaha

ngadep atau hari ke sebelas dalam kalender Karo karena menurut masyarakat Batak

Karo hari ini dianggap hari yang baik dan akan membawa keberuntungan serta

memberikan berkat bagi orang yang melaksanakan upacara cawir bulungken ini.

Menurut LS terkait hari budaha ngadep,

“… hari budaha ngadep adalah hari kesebelas dari penanggalan Batak Karo,
hari ini dikatakan sebagai hari pencerahan, hari baik, baik untuk melakukan
segala bentuk aktivitas/kegiatan dan baik untuk dilaksanakannya pesta. Baik
untuk membuat perjanjian, musyawarah, mengunjungi kalimbubu, melamar
pekerjaan, membuka usaha dan melakukan upacara-upacara adat…”

Dalam kalender Batak Karo, hari budaha ngadep dianggap sebagai hari yang

baik untuk pelaksanaan upacara cawir bulungken, dengan dilaksanakan pada hari

budaha ngadep diharapkan pelaksanaan upacara berjalan dengan baik.


67

Setelah menanyakan waktu yang tepat untuk pelaksanaan upacara cawir

bulungken ini, proses selanjutnya dari upacara cawir bulungken adalah berkumpulnya

rakut sitelu dalam istilah Batak Karo dikenal dengan acara ngambat-ngambat . Jika

anak yang akan dicawir bulungken kan adalah anak laki-laki maka harus dicarikan

anak kalimbubu yang perempuan dan jika anak yang akan dicawir bulungken kan

adalah perempuan maka harus dicarikan anak beru laki-laki.

Sebelum acara ngambat-ngambat dimulai pihak anak beru sudah mulai

meyiapkan makanan untuk disantap oleh pihak-pihak yang hadir pada acara

musyawarah (ngambat-ngambat) sedangkan pihak anak beru yang laki-laki

mendirikan tenda untuk tempat dilakukannya upacara ngambat-ngambat.

Acara ngambat-ngambat dimulai harus diawali dengan pedalan kampil, yaitu

pemberian kampil sirih yang di dalamnya sudah dilengkapi dengan peralatan untuk

menyirih yang terdiri dari sirih, gambir, kapur, pinang, dan sebagainya. Pedalan

kampil ini ditujukan kepada ibu-ibu yang suka menyirih. Sedangkan untuk pihak laki-

laki yang hadir disedikan rokok, biasanya dilengkapi dengan minuman teh dan kopi.

Setelah itu dilakukan acara makan bersama, pihak anak beru melayani para tamu

yang hadir, khususnya pihak kalimbubu.

Upacara ngambat-ngambat bertujuan untuk membicarakan tentang bagaimana

proses upacara cawir bulungken yang akan dilaksanakan esok hari. Dalam acara ini

pihak yang terlibat adalah anak beru dan kalimbubu. Adapun yang dibicarakan dalam
68

acara ini adalah proses dari mulai hingga tahapan berakhirnya upacara cawir

bulungken.

Untuk melaksanakan upacara cawir bulungken diperlukan benda-benda.

Sehubungan dengan benda-benda yang harus disiapkan oleh pihak yang laki-laki dan

perempuan, TG memberikan padangan seperti berikut:

“… untuk melaksanakan upacara cawir bulungken orang tua anak laki-laki


yang sakit menyediakan cincin pengambat dan pakaian untuk pasangan
anaknya, sedangkan jika perempuan yang sakit maka akan disediakan piso
dan pakaian untuk pasangannya…”

Selain informan TG, informan lainnya memberikan pandangan terkait benda-

benda yang dipakai di dalam upacara cawir bulungken. NK menyatakan:

“… untuk melaksanakan upacara cawir bulungken orang tua anak yang sakit
menyediakan rumput parang teguh, kain uis arinteneng, kampil/tempat sirih
dan pinggan pasu serta tikar pandan dan apabila anak laki-laki yang sakit
maka disediakan cincin pengambat dan pakaian untuk pasangan anaknya,
sedangkan jika perempuan yang sakit maka akan disediakan piso dan pakaian
untuk pasangannya…”

Untuk melaksanakan upacara cawir bulungken pihak orang tua anak laki-laki

yang sakit harus menyediakan benda-benda. Adapun benda-benda yang harus

disediakan yaitu; 1, Cincin pengikat 2, Parang teguh 3, Kampil/Tempat Sirih 4, Kain

Uis 5, Pinggan Pasu 6, Tikar Pandan. Sedangkan pihak orang tua anak perempuan

yang di cawir bulungken menyediakan pisau pengambat yang nantinya diberikan

pada saat pelaksanaan upacara cawir bulungken.

Setelah selesai acara ngambat-ngambat maka acara selanjutnya adalah menari

dan menyanyi yang diiringi dengan musik (keyboard). Menari dan menyanyi
69

merupakan salah satu dari kegiatan proses upacara adat yang ada dalam masyarakat

Batak Karo tidak terkecuali upacara cawir bulungken. Biasanya tari yang dibawakan

adalah tari landek. Tari landek adalah tarian yang mengambarkan percintaan muda-

mudi pada malam hari di bawah terang sinar bulan purnama. Tarian ini dibawakan

dengan karakter gerak yang lebih lemah gemulai. Pola dasar tari landek adalah posisi

tubuh, gerak tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo

gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu

sehingga tarian tersebut sangat menarik dan indah. Tarian dan nyanyian yang

dilakukan merupakan pujian dan sekaligus doa bagi si anak yang sedang dicawir

bulungken.

Nyanyian yang biasa dibawakan adalah lagu di dong doah (nina bobo untuk si

anak) dan lagu ini dianggap lagu wajib serta lagu mejuah-juah yaitu lagu yang

berisikan salam, sehat dan sejahtera. Contoh lagu di dong doah yang biasa dibawakan

adalah sebagai berikut :

Doah-doah anakku lampas mbelin

Doah ola ngandung ula mangin-magin

Andi nggo mbelin ula kisat

Suruh ras mama, ula kisat suruh bibi bengkila

Andi nggo mbelin seh sura suranta

Artinya :

Timang-timang anakku cepat besar jangan menangis,

Jangan sakit-sakit lahi


70

Kalau sudah besar jangan belas

Disuruh ibu dan ayah, jangan malas disuruh paman dan bibi

Kalau sudah besar tercapailah cita-cita

Nyanyian didongdoah ini adalah nyanyian untuk si anak. Tidak semua

masyarakat Batak Karo dapat menyanyikan lagu ini karena nyanyian ini semacam

lantunan doa-doa orang tua kepada anaknya agar kelak dewasa anaknya menjadi anak

yang berguna bagi orang tua, kalimbubu dan anak beru. Dan biasanya yang

menyanyikan ini adalah orang-orang yang sudah tua. Setelah acara menyanyi selesai,

maka acara ngambat-ngambat dianggap selesai.

2. Proses Pelaksanaan Upacara Cawir Bulungken

Pada hari yang telah ditentukan berkumpulah semua undangan dan pihak

penyelenggara upacara cawir bulungken. Seluruh kebutuhan yang diperlukan dalam

pelaksanaan upacara cawir bulungken ini sudah harus tersedia.

Upacara cawir bulungken dimulai dengan pemasangan pakaian/ baju yang

telah disiapkan oleh masing-masing orang tua si anak yang sakit dan pasangannya.

Kemudian kedua pengantin cilik ini didudukkan di tengah ruangan/ jambur dengan

ditemani oleh kedua orang tua mereka. Kemudian dijalankan kampil/ sirih kepada

kalimbubu yang berjumlah enam kampil. Kemudian kampil ini dibagikan kepada:
71

- Sukut atau orang yang mempunyai hajatan/ tuan rumah yang melaksanakan

upacara cawir bulungken ini

- Anak beru

- Senina

- Singalo bere-bere yaitu saudara laki-laki dari ibu perempuan yang

dicawirbulungken

- Singalo perkepun yaitu paman dari ibu si perempuan

- Singalo ulu emas atau saudara laki-laki dari ibu si laki-laki yang di cawir

bulungkenkan

Setelah sirih dimakan, maka dimulailah pembicaraan yang dipimpin oleh

pihak kalimbubu dengan berkata kepada anak yang di cawir bulungken. Dalam kasus

ini anak yang mengikuti cawir bulungken adalah anak laki-laki. Pembicaraannya

seperti ini :

“… ini piso pengambat kuberikan untukmu. Sebagai pengikat tendimu dengan


impalmu, supaya terikat tendimu sebab jika sudah diikat tendimu dengan
impalmu, supaya kamu tidak lagi sakit-sakitan serta mimpi buruk yang
menganggu hidupmu semuanya akan hilang dan berganti dengan kebaikan
dan kesejahteraan…”

Setelah piso pengambat diterima oleh anak laki-laki yang di cawir bulungken

tadi, kemudian diangkat dan diletakkan di atas kepala anak tadi (embut-embutna).

Kemudian piso pengambat tersebut digigit oleh si anak yang sakit tadi, kemudian

kalimbubu berkata lagi:


72

“… kemudian masukkanlah pisau itu ke dalam ikat pinggangmu, supaya


kemanapun kamu pergi tidak pernah kamu tinggalkan, bawa tetap piso itu
bersamamu, supaya setiap kami suruh, kamu lakukan dengan segera dan
cepatlah kamu tumbuh besar untuk kemudian dapat membantu kami
pamanmu…”

Setelah itu selesai maka dilanjutkan dengan pembicaraan oleh anak beru

biasanya dilakukan oleh ibu anak laki-laki yang sakit tadi, kemudian berkata kepada

anak perempuan pasangan cawir bulungken anaknya:

“… Ini permen kami keinginan kami, kuberikan cincin pengikat untukmu,


untuk mengikat tendi kamu dengan tendi impalmu, supaya kamu tetap dalam
keadaan sehat-sehat, semoga kamu terhindar dari penyakit-penyakit yang akan
menganggu kehidupanmu, dan semoga segala keinginanmu tercapai di
kemudian hari, semoga kita semua dalam keadaan sehat-sehat…”

Setelah ibu si anak yang sakit menyampaikan harapannya kepada anak

perempuan pasangan cawir bulungken anaknya, kemudian cincin tersebut

dimasukkan ke jari manis anak perempuan tersebut. Setelah itu diambil rumput

parang teguh yang sudah dipersiapkan oleh anak beru dan diikatkan pada tangan

kedua anak yang melaksanakan upacara cawir bulungken ini. Pemasangan rumput

parang teguh ini bermakna sebagai simbol pengikat dan sangat sulit untuk

memutuskannya. Parang teguh inilah yang menjadi simbol agar kuatnya ikatan

antara anak yang sakit dengan impalnya yang menjadi pasangannya dalam cawir

bulungken.

Setelah selesai acara tersebut maka dijalankan adat membayar utang/ tukur

kepada kalimbubu. Adat pembayaran tukur ini sama seperti pada perkawinan

sebenarnya yang berlangsung dalam masyarakat Batak Karo, tetapi dalam upacara
73

cawir bulungken, tukur yang dibayarkan tidak harus penuh dibayar seperti upacara

perkawinan sebenarnya, hanya dibayar saja menurut keinginan keluarga yang

melaksanakan upacara cawir bulungken ini. Biasanya pada pelaksanaan upacara

cawir bulungken, adapun besar tukur yang dibayarkan adalah sekitar Rp. 61.000,-

sampai Rp. 310.000,-.

Pembayaran tukur telah disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat di dalam

upacara cawir bulungken pada saat acara ngambat-ngambat. Berapa jumlah tukur

yang harus dibayarkan pada setiap upacara cawir bulungken tergantung kesepakatan

antara kedua belah pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken

ini. Hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pihak pelaksana upacara cawir

bulungken ini. Terkait dengan pembayaran tukur dalam upacara cawir bulungken,

bapak LS menyatakan;

“... Tukur dalam upacara cawir bulungken hanya sebagai simbol pengesahan
bahwasanya upacara ini sudah sah dimata kalimbubu, sedangkan pembayaran
tukur pada pesta pernikahan sebenarnya adalah sebagai mas kawin untuk
perempuan, adapun besarnya tukur yang dibayar pada waktu pernikahan
berkisar 360.000,- hingga 1.100.000,- ”
74

Gambar 3: Pembayaran Tukur

Sumber: Dokumentasi AT

Setelah acara pembayaran tukur, maka acara dilanjutkan dengan acara mukul,

yaitu acara makan bersama yang dilakukan oleh pihak laki-laki yang sakit kepada

mereka yang dicawir bulungken kan. Kepada kedua mempelai ini disajikan makanan

dalam satu piring (pinggan pasu) yang terdiri dari nasi, ayam yang lengkap, telur

ayam, dan sayuran yang dibeli di pasar sebagai pelengkap nasi dan lauk. Kemudian

ibu si anak yang sakit berkata kepada anak dan permennya sambil menggenggam nasi

dan telur :
75

“… ini kugenggamkan nasi dan telur untuk kalian berdua, agar mulia
kehidupan kalian kelak, jangan lagi kamu sakit-sakitan, agar diberkati Tuhan
kita semua dari sekarang dan seterusnya, tidak ada pertentangan antara anak
beru dan kalimbubu…”

Mengenggam nasi dan telur ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing

satu kali untuk setiap anak. Setelah itu anak yang dicawirbulungken melakukan

makan bersama dalam satu piring.

Setelah acara mukul-mukul selesai, maka kedua pasangan yang sedang di

cawir bulungken ini diminta untuk menari dan menyanyi. Karena pasangan yang di

cawir bulungken masih anak-anak maka mereka didampingi oleh orang tua mereka

masing-masing, biasanya tarian yang dibawakan adalah tari landek. Keuda orang tua

anak yang di cawir bulungken juga ikut menari dan menyanyi bersama pasangan

yang sedang dicawir bulungken.

Gambar 4: Anak sedang bernyanyi

Sumber: Dokumentasi Alfrensius Simatupang


76

Pada saat kedua anak yang sedang di cawir bulungken ini menari dan

menyanyi, seluruh kerabat yang hadir pada pelaksanaan upacara cawir bulungken ini

memberikan sumbangan kepada kedua mempelai yang sedang menari dan menyanyi

ini. Seluruh kerabat berjalan satu persatu ke tempat anak yang sedang menari dan

menyanyi sambil memberikan uang.

Pada pelaksanaan upacara perkawinan sebenarnya juga dilakukan hal yang

sama, ketika kedua pengantin sedang menari dan menyanyi kerabat yang hadir juga

memberikan sumbangan kepadanya, seperti yang diutarakan informan LS;

“...pada pelaksanaan upacara perkawinan sebenarnya, ketika acara bernyanyi


dan menari dilakukan oleh kedua pengantin, maka seluruh kerabat yang hadir
berbaris kemudian satu persatu memberikan sumbangan kepada kedua
pengantin tersebut, sama juga pada saat pelaksanaan upacara cawir bulungken
ini...”

Gambar 5 : Anak sedang diberi sumbangan saat menyanyi

Sumber: Dokumentasi Alfrensius Simatupang


77

Uang yang disumbangkan tersebut dikumpulkan setelah selesai acara menari

dan menyanyi, untuk kemudian berapa jumlah uang terkumpul diumumkan oleh

pembawa acara yang biasa dilakukan oleh pihak anak beru.

Setelah itu acara selanjutnya adalah pemberian kata sambutan/ memberi

nasehat kepada kedua mempelai anak-anak oleh pihak-pihak yang hadir pada upacara

cawir bulungken dengan urutan yaitu pihak sukut, kalimbubu, senina dan anak beru

kemudian dilanjutkan oleh golongan-golongan kerabat yang hadir. Kata nasehat yang

diberikan seperti berikut ini:

“... cepat besar ya anakku, sehat-sehat selalu. Diberikan kamu kesehatan dan
tidak lagi sakit-sakitan, rajin-rajin sekolah ketika sudah besar, semoga nanti
kamu berjodoh dengan impalmu ini...”

Setelah acara itu selesai maka acara selanjutnya adalah makan bersama,

dengan hidangan yang telah dipersiapkan oleh anak beru. Setelah makan bersama

selesai maka acara cawir bulungken pun selesai.

Seluruh kerabat-kerabat dan para undangan sudah diperbolehkan kembali

kerumah masing-masing. Sedangkan anak beru masih tinggal di tempat

pelaksanaan upacara cawir bulungken. Anak beru yang masih tinggal di tempat

pelaksanaan upacara cawir bulungken bertujuan untuk membersihkan tempat

pelaksanaan upacara ini.


78

3. Proses Sesudah Upacara Cawir Bulungken

Setelah upacara cawir bulungken selesai, maka seluruh undangan dan kerabat-

kerabat kembali kerumah mereka masing-masing. Anak beru masih tinggal di tempat

pelaksanaan upacara, hal ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas sampai dengan

selesai, seperti : menggulung tikar, mencuci piring, membersihkan tempat duduk para

kerabat dan undangan. Setelah membersihkan tempat pelaksanaan upacara cawir

bulungken, barulah kegiatan cawir bulungken ini dianggap selesai.

Anak yang di cawir bulungken pun tidak tinggal bersama, mereka kembali ke

rumah orang tua masing-masing karena cawir bulungken hanyalah pernikahan

simbolis yang berlangsung sebagai upaya untuk menjauhkan si anak dari penyakit

dan malapetaka yang akan menganggu ketentraman hidup si anak di kemudian hari

serta untuk menguatkan hubungan keluarga yang sudah mulai renggang.

C. Pantangan Yang Berlaku Pada Pasangan Yang Di Cawir Bulungken

Setelah pelaksanaan upacara cawir bulungken selesai, ada pantangan-pantangan

yang harus dijauhi oleh kedua mempelai yang di cawir bulungken. Hal ini sesuai

dengan tujuan dilaksanakannnya upacara cawir bulungken ini yaitu sebagai upaya

untuk mencari keselamatan dan menghindari seorang anak dari penyakit yang sedang

dideritanya serta menjauhkan malapetaka yang akan mendekati si anak tersebut.

Oleh sebab itu ada pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh kedua

mempelai yang sudah melaksanakan upacara cawir bulungken, adapun pantangan

tersebut adalah:
79

1. Pantangan untuk pihak laki-laki

a. Dilarang untuk meninggalkan piso pengambat yang sudah diberikan

ketika cawir bulungken, terutama pada saat menghadiri upacara adat/

pesta adat.

b. Jika pihak laki-laki ingin menikah dengan perempuan lain, bukan dengan

pasangan cawir bulungnya dahulu, maka ia harus minta ijin dulu kepada

pihak perempuan yang menjadi pasangannya dahulu.

c. Jika pihak laki-laki menikah, maka ia membayar hutang kepada

pasangannya waktu dicawir bulungken dengan cara memberikan baju dan

celana lengkap kepada pasangannya sambil meminta ijin kepadanya.

Pemberian ini dilakukan pada saat pernikahan berlangsung dan disaksikan

oleh seluruh kerabat yang hadir dalam pernikahan tersebut. Hal ini sebagai

simbol bahwa ikatan cawir bulungken mereka sudah lepas.

2. Pantangan untuk pihak perempuan

a. Pihak perempuan tidak boleh membuka cincin pengambat yang sudah

terpasang di tangannya. Ini dikarenakan akan dapat menyebabkan ia jatuh

sakit apabila melepasnya. Cincin ini dapat dilepas ketika pihak perempuan

menikah dengan laki-laki lain, bukan dengan pasangan cawir

bulungkennya.

b. Pihak perempuan jika ingin menikah terlebih dahulu meminta izin kepada

pasangan dicawir bulungkennya dengan membawa calon mertua dan calon

suaminya.
80

c. Jika ia menikah dengan laki-laki lain maka ia harus membayar hutang,

yaitu dengan memberikan kain panjang dan sarung (kampuh) serta baju

satu pasang diberikan oleh pihak perempuan ketika ia menikah. Pemberian

baju dan kain panjang ini dilakukan pada saat pernikahan wanita

berlangsung di hadapan semua kerabat yang hadir. Ini menandakan bahwa

ikatan pernikahan cawir bulungken mereka pada waktu dahulu sudah

lepas.

D. Peranan Rakut Sitelu Dalam Upacara Cawir Bulungken

Setiap pelaksanaan upacara yang dilakukan dalam masyarakat Batak Karo

melibatkan Rakut Sitelu sebagai tonggak kekerabatan, tidak terkecuali dalam

pelaksanaan upacara cawir bulungken. Adapun peranan dari rakut sitelu dalam

pelaksanaan upacara cawir bulungken adalah:

1. Anak beru

Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken anak beru mempunyai kewajiban

yang harus dilaksanakannya yaitu menjadwalkan acara ngambat-ngambat,

menyiapkan hidangan makanan (giling-gilingi). Peralatan yang diperlukan pada

upacara cawir bulungken dan membersihkan segala peralatan serta tenpat

pelaksanaan upacara, setelah upacara cawir bulungken selesai dilaksanakan.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwasannya anakberu berperan sebagai orang

yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pelaksanaan upacara cawirbulungken. Hal

ini dilakukan sesuai dengan aturan adat-istiadat Batak Karo, bahwa peran anak beru
81

adalah sebagai orang yang bekerja/pesuruh dalam setiap upacara adat termasuk dalam

upacara cawir bulungken.

2. Senina/Sembuyak

Senina/Sembuyak dalam upacara cawir bulungken memiliki peranan penting

yaitu sebagai pengawas dan bertanggung jawab atas pekerjaan anakberunya. Pada

hakikatnya peranan sembuyak dalam setiap upacara adat adalah mengawasi setiap

pekerjaan yang dilakukan anakberunya. Oleh sebab itu dalam upacara cawir

bulungken ini senina/sembuyak berperan sebagai pengawas pelaksanaan tugas yang

dilakukan oleh anak beru karena merupakan salah satu unsur rakut sitelu.

3. Kalimbubu

Kalimbubu sebagai pihak yang sangat dihormati dalam adat-istiadat Batak

Karo mempunyai peranan sebagai pemberi saran kepada anak berunya dalam upacara

cawir bulungken, seperti apa-apa saja yang harus disiapkan selama pelaksanaan

upacara cawir bulungken.


82

BAB IV

PANDANGAN MASYARAKAT BATAK KARO TERHADAP

UPACARA CAWIR BULUNGKEN DI DESA CINTA RAKYAT

Pandangan adalah pemahaman, penafsiran, pendapat atau respon seseorang

terhadap suatu objek yang biasanya berbeda antara seseorang atau satu kelompok

dengan yang lain karena berbedanya kecenderungan dan pengalaman masing-masing

(Vernon1997:17). Dan menurut Koentjaraningrat (1989:41) pandangan merupakan

seluruh proses akal manusia yang sadar untuk menggambarkan fenomena sosialnya.

Pandangan juga merupakan suatu aktifitas menerima, memahami dan merasakan

suatu objek sehingga kita akan memberikan tanggapan dan pemahaman terhadap suat

objek. Menerima, memahami dan merasakan didapatkan dari indera yang dimiliki

manusia seperti indera penglihatan, indera perasa, indera peraba dan indera pencium.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pandangan merupakan hasil dari tanggapan atau

pemahaman seseorang dalam mengidentifikasi atau menafsirkan suatu keadaan atau

permasalahan tertentu sehingga memberikan arti tertentu.

A. Pandangan Masyarakat Mengenai Upacara Cawir Bulungken

Upacara cawir bulungken merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh

masyarakat Batak Karo untuk menghindarkan seseorang anak dari penyakit dan

menghindarkan malapetaka yang akan menganggu ketentraman hidup seseorang serta

untuk menguatkan kembali hubungan keluarga yang mulai renggang.


83

Menurut masyarakat Batak Karo yang ada di Desa Cinta Rakyat upacara cawir

bulungken dilaksanakan berdasarkan beberapa sebab, seperti yang diungkapkan oleh

informan-informan dibawah ini.

Menurut hasil wawancara dengan bapak AT, menyatakan bahwa:

“...upacara cawir bulungken adalah upacara perkawinan yang dilakukan ketika


seseorang masih anak-anak, upacara perkawinan ini dilakukan antara anak
kalimbubu dengan anak dari anakberunya,, perkawinan ini hanya perkawinan
yang bersifat sementara... ”

Sejalan dengan pendapat AT, LG juga memberikan pandangan yang sama

bahwa:

“...cawir bulungken adalah perkawinan yang dilakukan ketika seseorang anak


mengalami sakit dan tak kunjung sembuh, oleh sebab itu dilakukan upacara
cawir bulungken sebagai upaya agar anak tersebut dapat sembuh... ”

Senada dengan pendapat informan di atas, Bangun (1986) berpendapat bahwa

perkawinan yang dilakukan ketika seseorang masih anak-anak maksudnya adalah

untuk menghindari penyakit atau mempererat hubungan keluarga dimana setelah

dewasa diharapkan antara kedua orang yang melakukan perkawinan ini dapat

melanjutkan ke jenjang perkawinan yang sesungguhnya.

Merujuk pendapat Bangun di atas, informan LS mengungkapkan:

“… maka terjadi cawir bulungken, apabila terjadi di dalam suatu keluarga


kalimbubu dan anakberu terdapat salah satu keturunan kurang sehat seperti
anak yang tidak mau makan, anak yang tidak mau menyusui, anak yang terus-
terus menangis, anak yang sakit yang tidak kunjung sembuh setelah dibawa
berobat ke dokter tetapi tidak kunjung sembuh, maka menurut kepercayaan
kami anak anak tersebut harus dicawirbulungkenkan. Apabila anak yang sakit
perempuan maka pasangan cawir bulungken nya adalah anak dari anakberu,
84

sedangakan jika anak yang sakit adalah laki-laki maka pasangannya adalah
anak dari pihak kalimbubu orang tuanya”.

Lebih jauh dengan pendapat informan diatas, informan GS juga berpendapat:

“… anak bapak pada saat lahir tidak mau minum Asi ibunya, ditaya kepada
guru, ternyata anak bapak namanya tidak sesuai dengan nama yang telah kami
berikan, untuk itu namanya perlu diganti dan perlu dilakukan pernikahan
dengan impalnya”

Dari penuturan informan diatas dapat dilihat, bahwa masyarakat Batak Karo

berpandangan bahwa upacara cawir bulungken dilaksanakan karena adanya anak

yang sedang mengalami sakit-sakitan, tidak mau menyusui dengan ibunya. Meskipun

anak tersebut sudah dibawa berobat ke dokter tetapi tidak juga kunjung sembuh, oleh

sebab itu masyarakat Batak Karo menganggap perlunya dilakukan upacara cawir

bulungken. Menurut beberapa informan diatas dapat dikatakan bahwa upacara cawir

bulungken dapat dikatakan sebagai upaya penyembuhan secara tradisional menurut

kepercayaan tradisional yang mereka anut.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken dilakukan pada saat anak yang sakit atau

orang tua si anak mendapat mimpi buruk berusia bayi hingga berumur tujuh tahun,

sedangkan untuk pasangannya tidak terpaut umur asalkan masih belum menikah.

Upacara cawir bulungken hanya dapat dilakukan pada mereka yang bertutur impal

saja. Impal dalam masyarakat Batak Karo adalah pasangan ideal dalam tata

pelaksanaan perkawinan adat-istiadat Batak Karo, seseorang yang menjadi pasangan

ideal dalam suatu perkawinan. Terkait hal ini berikut pandangan informan NK;

“… upacara cawir bulungken adalah upacara pernikahan yang dilakukan


ketika seseorang masih anak-anak, yaitu ketika anak tersebut berusia bayi
hingga berumur 7 tahun, untuk yang menjadi pasangannya tidak terikat umur
85

tetapi belum pernah menikah, upacara ini hanya boleh dilakukan bagi mereka
yang bertutur impal saja”

Pelaksanaan cawir bulungken yang hanya dapat dilakukan ketika seseorang

masih anak-anak karena ketika seseorang masih anak-anak, maka diri mereka belum

berdosa dan dianggap masih suci dari dosa atau keburukan. Berikut penuturan

informan, MP:

“... upacara cawir bulungken dilakukan ketika seseorang masih anak-anak


karena pada saat anak-anak seseorang masih bersih dan dianggap suci jadi
belum membuat keburukan-keburukan yang menimbulkan dosa..”

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini pada mulanya ditujukan untuk

memohon berkat atau pasu-pasu dari pihak kalimbubu, seperti diutarakan oleh OP

berikut ini;

“… upacara cawir bulung selain sebagai upaya pengobatan untuk anak-anak


yang sedang sakit-sakitan, juga sebagai upaya untuk mengharapkan berkat dari
kalimbubu, upaya mengikat kembali hubungan keluarga antara anak beru dan
kalimbubu yang dianggap sudah renggang, maka dengan diadakannya upacara
cawir bulungken ini hubungan yang tadinya renggang kembali dikuatkan…”

Pihak kalimbubu bagi masyarakat Batak Karo adalah pihak yang harus dihormati

dan dianggap sebagai penjelmaan Tuhan yang tampak (Dibata ni idah). Jadi pihak

kalimbubu harus dijaga agar jangan sampai sakit hati, karena apabila kalimbubu

sampai sakit hati maka akan mendatangkan malapetaka dan hal-hal buruk yang akan

terjadi pada anak berunya.

Dalam adat istiadat Batak Karo yang mengenal tiga kelompok kekerabatan, yaitu

kalimbubu, anak beru dan senina tetapi pada dasarnya semua masyarakat Batak Karo

dipandang sederajat. Semua orang akan pernah berperan sebagai kalimbubu atau
86

pihak yang harus dihormati. Di lain waktu sebagai anak beru yaitu kelompok pekerja

dan di waktu lainnya sebagai kelompok senina. Jadi tidak ada satupun masyarakat

Batak Karo yang akan tetap berada pada satu posisi yang sama untuk setiap situasi

dalam upacara adat. Setiap upacara atau pesta adat, ketiga kelompok kekerabatan ini

sangat berperan penting karena jika salah satu kelompok tidak hadir maka upacara

atau pesta adat dianggap tidak sah.

Seperti yang peneliti ungkapkan di atas, pihak kalimbubu merupakan pihak

pemberi gadis dan seharusnya dihormati. Oleh karena itu bagi masyarakat Batak Karo

anak yang sakit-sakitan tadi menandakan bahwa hubungan antara anak beru dengan

pihak kalimbubunya sudah mulai agak renggang atau mungkin juga karena sudah

terlalu lama pihak anak beru tidak mengunjungi pihak kalimbubunya. Menurut

kepercayaan masyarakat Batak Karo hal inilah yang menyebabkan anak mereka jatuh

sakit dan sulit untuk disembuhkan.

Selain disebabkan oleh anak yang sakit-sakitan, upacara cawir bulungken juga

disebabkan oleh mimpi buruk orang tua tentang anaknya, sebagaimana penuturan RR:

“… saya bermimpi anak saya masuk sumur, setelah bangun saya cerita kepada
keluarga suami tentang mimpi itu, menurut keluarga suami tendi anak saya
masuk ke dalam sumur di dalam mimpi saya, menurut mereka hal itu dapat
menganggu ketentraman hidup anak saya, oleh sebab itu dilakukan upacara
cawir bulungken untuk mengembalikan tendi anak saya yang sudah masuk
sumur tadi…”

Tidak jauh berbeda dari pandangan informan RR diatas, informan NK juga

mengemukakan pendapat yang sama;

“…saya bermimpi anak saya hilang, setelah bangun saya menangis, terus
suami saya bercerita kepada orang tuanya tentang mimpi saya, oleh orang tua
87

suami saya dikabarkan pihak kalimbubu untuk dilaksanakannnya upacara


cawir bulungken…”

Berdasarkan penuturan kedua informan diatas, dapat dipahami bahwa menurut

pandangan mereka apabila seseorang mendapatkan mimpi buruk tentang anaknya,

maka mimpi buruk tersebut dianggap dapat menganggu ketentraman hidup si anak

dan mengakibatkan kekhawatiran bagi kedua orang tua anak tersebut. Ini

menunjukkan bahwa dalam pemahamaan masyarakat Batak Karo bahwa tendi atau

roh si anak dari orang tua yang bermimpi buruk tersebut telah terganggu.

Peristiwa sakit dan datangnya mimpi buruk dalam masyarakat Batak Karo

merupakan pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Hal ini yang mendorong/

menyebabkan perlunya dilakukan upacara cawir bulungken untuk mengharapkan si

anak tetap sehat dan tidak mendapat gangguan dalam hidupnya. Oleh karena itu,

upacara cawir bulungken dalam masyarakat Batak Karo dapat dikatakan sebagai

upaya untuk mengikat tendi si anak dengan impalnya. Anggapan tersebut berkaitan

dengan anggapan bahwa maut yang selama ini mendekati si anak karena tendinya

sudah pergi tidak akan berhasil karena tendi anak tersebut telah diikat kembali

dengan tendi impalnya.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken sebagai suatu pernikahan simbolis yang

dilakukan dalam masyarakat Batak Karo memiliki pelaksanaan yang hampir sama

dengan pelaksanaan upacara pernikahan umum yang berlaku pada masyarakat, seperti

pandangan informan LS berikut ini:

“... upacara cawir bulungken ini merupakan suatu pernikahan simbolis, yang
dilakukan ketika seseorang masih anak-anak, cawir bulungken ini dilakukan
88

seperti pelaksanaan upacara perkawinan yang umum kami lakukan, tetapi ada
perbedaan antara perkawinan sebenarnya dengan upacara cawir bulungken... ”

Menurut pendapat informan lainnya, informan AT mengemukakan

pandangannya terkait bagaimana perbedaan antara pernikahan sebenarnya dengan

upacara cawir bulungken:

“… perbedaan antara pernikahan erdemi bayu dengan cawir bulungken adalah


anak yang dinikahkan setelah dilakukan cawir bulungken tidak tinggal
bersama, mereka kembali kerumah orang tua masing-masing, pada pernikahan
sebenarnya pihak laki-laki yang menanggung biaya pelaksanaan sedangkan
pada upacara cawir bulungken pihak yang sakitlah yang menanggung biaya
yang digunakan pada pelaksanaannya karena pihak yang sakit dianggap
mempunyai hutang kepada pasangannnya…”

Pelaksanaan upacara cawir bulungken merupakan suatu pernikahan simbolis

yang dilakukan dengan tata cara mengikuti pernikahan umum yang dilaksanakan

pada masyarakat Batak Karo. Perbedaan diantara pelaksanaan pernikahan umum

dengan cawir bulungken adalah pertama, setelah upacara cawir bulungken selesai

dilaksanakan anak yang dicawirbulungken tidak tinggal bersama dengan

pasangannya, tetapi kembali kerumah orang tua masing-masing. Adapun perbedaan

yang kedua adalah anak yang sakit yang menjadi penanggung jawab biaya selama

dilakukannya pelaksanaan upacara cawir bulungken, berbeda dengan pernikahan

sebenarnya dimana pihak laki-laki yang menanggung segala biaya yang digunakan

untuk pelaksanaannya.

Pada umumnya, anak-anak yang pernah mengikuti upacara cawir bulungken

ini tidak akan diberitahu tentang tujuan dan makna dari dilaksanakannya upacara ini,
89

biasanya baru akan diberitahu ketika anak sudah mulai beranjak dewasa. Seperti

penuturan informan MS berikut ini:

“… Bapak saya bilang, sebenarnya dari kecil saya sudah dinikahkan dengan
impal saya, nama pernikahannya yaitu cawirbulungken, bapak saya juga
menjelaskan tentang semua proses dan makna dari upacara ini kepada saya,
bagi saya suatu hal yang sangat mengejutkan karena saya pada waktu kecil
sudah dinikahkan, tetapi sekarang saya sudah mengerti untuk apa dilakukan
upacara cawirbulungken itu”

Pada umumnya, anak-anak yang pernah mengikuti upacara cawir bulungken

ini tidak akan diberitahu tentang tujuan dan makna dari dilaksanakannya upacara ini,

biasanya baru akan diberitahu ketika anak sudah mulai beranjak dewasa. Seperti

penuturan informan MS berikut ini:

“… Bapak saya bilang, sebenarnya dari kecil saya sudah dinikahkan dengan
impal saya, nama pernikahannya yaitu cawirbulungken, bapak saya juga
menjelaskan tentang semua proses dan makna dari upacara ini kepada saya,
bagi saya suatu hal yang sangat mengejutkan karena saya pada waktu kecil
sudah dinikahkan, tetapi sekarang saya sudah mengerti untuk apa dilakukan
upacara cawirbulungken itu”

Menurut pandangan informan MS diatas dapat dikatakan bahwasanya anak-anak

yang pernah mengikuti upacara cawirbulungken baru mengerti dan akan paham

dengan pelaksanaan upacara cawirbulungken ini ketika mereka sudah beranjak

dewasa.

Dari semua pandangan informan diatas mengenai cawir bulungken dapat dilihat

bahwasanya upacara cawir bulungken ini dilaksanakan karena dipengaruhi oleh tiga

hal yaitu:
90

1. Adanya anak yang sedang menderita suatu penyakit, yang tidak kunjung sembuh

walaupun sudah dibawa berobat ke dokter. Penyakit-penyakit yang dimaksud

seperti anak yang tidak mau menyusui, anak yang selalu menangis-nangis, anak

yang tidak mau makan, dan lain sebagainya.

2. Mimpi buruk yang diterima oleh orang tua anak, mimpi buruk ini bagi sebagian

masyarakat Batak Karo merupakan pertanda tidak baik bagi kelangsungan hidup

si anak. Oleh sebab itu dilakukan upacara cawir bulungken untuk mengikat

kembali tendi si anak dengan tendi impalnya.

3. Sebagai permohonan berkat/ pasu-pasu dari kalimbubu. Kalimbubu bagi

masyarakat Batak Karo merupakan penjelmaan Tuhan yang tampak, oleh sebab

itu harus dipatuhi dan tidak boleh dibuat sakit hati. Upacara cawir bulungken

dilakukan untuk mengikat kembali hubungan antara pihak kalimbubu dengan

anakberu, hubungan keduanya yang dianggap sudah renggang perlu dikuatkan

kembali dengan dilakukannya cawir bulungken.

B. Pandangan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Upacara Cawir Bulungken

Masyarakat Batak Karo memiliki pandangan terhadap bagiamana pelaksanaan

upacara cawir bulungken masih dilakukan di Desa Cinta Rakyat. Pandangan-

pandangan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya :

1. Sebagai Kepercayaan Untuk Mengharapkan Keselamatan Dari Leluhur

Kepercayaan asli pada masyarakat Batak Karo sebelum diperkenalkan ajaran

agama formal/samawi adalah kepercayaan pemena. Ajaran pemena ini adalah


91

kepercayaan adanya Tuhan sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya.

Dalam kepercayaan pemena masyarakat penganutnya percaya dengan roh-roh nenek

moyang yang ada di sekitar tempat tinggal mereka yang berkedudukan seperti di

batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung atau tempat-tempat lain. Menurut

pandangan informan NJ terkait tempat keramat ini;

“... Masyarakat disini percaya dengan tempat-tempat dan benda-benda yang


dianggap keramat. Dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat disini
yang masih ditemui memuja dan menyembah-nyembah tempat-tempat yang
dianggap keramat. Kebiasaan ini mempengaruhi tradisi dan upacara-upacara
yang dilaksanakan dalam masyarakat. Walaupun kebiasaan-kebiasaan
bertentangan dengan agama yang dianut, tetapi masyarakat disini masih tetap
mempertahankannya karena merupakan kebiasaan yang diturunkan dari nenek
moyang...”

Tenaga yang ada di tempat-tempat tersebut dianggap keramat, yang dapat

memberi rezeki, nasib baik maupun mendatangkan malapetaka pada manusia. Untuk

mendatangkan nasib yang baik, agar tanaman subur dan terhindar dari malapetaka,

masyarakat Batak Karo mengadakan persembahan-persembahan kepada benda-benda

yang dianggap keramat tadi.

Banyak upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo untuk

menghormati roh-roh/arwah nenek moyang mereka salah satunya melalui upacara

cawir bulungken.Pelaksanaan upacara cawir bulungken yang didasari karena adanya

keyakinan dari masyarakat Batak Karo apabila seseorang anak yang sedang

menderita suatu penyakit, dan tidak kunjung sembuh. Menurut kepercayaan

masyarakat Batak Karo apabila ada seorang anak menderita suatu penyakit dan tidak

kunjung sembuh, berarti anak tersebut tendinya sudah pergi dari tubuhnya. Untuk itu
92

dilakukan upacara cawir bulungken untuk mengembalikan tendi si anak ke tubuhnya.

Lebih jauh dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo seseorang yang tendinya

sudah ke luar dari tubuh dan belum dikembalikan ke dalam tubuhnya dapat

menyebabkan seseorang tersebut meninggal dunia.

Upacara cawir bulungken dipercayai oleh masyarakat Batak Karo sebagai

salah satu upaya untuk mengembalikan tendi seseorang yang sudah ke luar dari

tubuhnya, untuk kembali bersatu dengan tubuh orang tersebut. Bedasarkan pandangan

salah seorang informan, LS seperti berikut:

“…upacara cawirbulungken dilakukan karena kepercayaan nenek moyang


kami dahulu apabila ada anak yang sakit atau orangtuanya mendapat mimpi
buruk, maka perlu dicawirbulungkenkan untuk mengikat kembali tendi anak
yang sakit dengan impalnya. Apabila tidak dilakukan upacara
cawirbulungken, menurut kepercayaan kami anak tersebut penyakitnya akan
tambah parah, bisa jadi anak tersebut meninggal dunia..”

Dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo dalam tubuh manusia terdapat

tujuh tendi. Masing-masing tendi mempunyai nama dan kedudukan tersendiri di

dalam tubuh seseorang. Jika salah satu atau lebih tendi meninggalkan tubuh

seseorang maka orang tersebut akan menderita suatu penyakit atau mendapatkan

celaka.

Posisi yang ditempati oleh ketujuh tendi tersebut adalah posisi yang penting

yang turut menentukan perjalanan darah dalam tubuh manusia. Ketika perjalanan

darah manusia terganggu, maka seseorang akan menderita suatu penyakit. Untuk

menghindari itu dilakukan berbagai macam upacara untuk memanggil tendi yang

meninggalkan tubuh orang tersebut. Masyarakat Batak Karo yang masih memegang
93

teguh kepercayaan kepada nenek moyang mereka percaya dengan dilakukannya

upacara cawir bulungken, tendi seseorang yang telah pergi tadi kembali menyatu

dengan tubuhnya.

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini peneliti lihat sebagai suatu upaya

pengaharapan untuk keselamatan seseorang dari musibah/malapetaka yang akan

menimpanya. Masyarakat Batak Karo yang masih percaya dengan kekuatan roh-roh

nenek moyang percaya dengan dilakukannya upacara-upacara yang terkait dengan

kepercayaan asli mereka dapat menjauhkan mereka dari musibah atau marabahaya

yang akan menimpa mereka di kemudian hari.

Adanya ketakutan-ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat Batak Karo

apabila upacara cawir bulungken tidak dilakukan seperti anak yang sedang menderita

suatu penyakit tadi maka penyakitnya semakin parah, atau orang tua yang mendapat

mimpi buruk tentang anaknya maka anaknya mendapat musibah atau marabahaya lah

yang mendorong masyarakat Batak Karo melaksanakan upacara cawir bulungken.

Cawir bulungken dalam dilaksanakan sebagai upaya penyembuhan dari leluhur

terhadap hal-hal yang dianggap akan menganggu ketentraman hidup seseorang.

Informan AT juga memberikan pandangannya terkait hal tersebut:

“…menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, di desa ini terdapat anak yang
sakit, sudah dibawa ke dokter tetapi tidak kunjung sembuh, setelah ditanya ke
dukun, dukun menyatakan anak tersebut harus dicawirbulungkenkan, karena
roh anak tersebut telah pergi untuk itu perlu dikembalikan, pernah juga
kejadian dahulu ada anak yang sakit-sakitan, dukun menyarankan dilakukan
upacara cawirbulungken, tetapi orang tua anak tersebut tidak melakukannya,
penyakit anak tersebut semakin parah dan pada akhirnya anak itu meninggal.
94

Sejak saat itu masyarakat percaya dengan dilakukannya upacara


cawirbulungken ini dapat menyembuhkan sakit yang diderita seseorang…”

Pelaksanaan upacara cawir bulungken dipercayai sebagai salah satu

penyembuhan secara tradisional dengan dinikahkannya anak dari kalimbubu dengan

anak dari anakberu ketika masih anak-anak. Penyakit-penyakit yang diderita

seseorang anak yang dicawirbulungken ada yang sembuh ada juga yang tidak, seperti

pandangan informan RR dibawah ini:

“…tidak ada yang dapat memastikan kesembuhan anak yang telah


dicawirbulungken, ini soal kepercayaan yang telah diturunkan oleh nenek
moyang kami, jadi tidak perlu dibuktikan, apabila kami masih melaksanakan
upacara cawir bulungken hingga saat ini, itu artinya kami masih mempercayai
upacara cawir bulungken tersebut…”

Menurut pandangan informan AT, anaknya pada waktu kecil pernah

dicawirbulungken sembuh setelah dilakukannya upacara ini, berikut kutipan

wawancara dengan informan AT:

“… anak bapak pada waktu bayi tidak mau menyusui dengan ibunya, untuk
itu dilakukan upacara cawirbulungken. Setelah pelaksanaan upacara cawir
bulungken ini anak bapak sembuh, dan mau menyusui dengan ibunya…”

Sejalan pandangan bapak AT, informan NJ mengemukakan:

“…Anak bibi pada waktu bayi juga pernah dicawirbulungkenkan, pada waktu
itu kan bibi terlambat seminggu dari jadwal melahirkan, setelah melahirkan
anak bibi tidak mau menyusui, setelah dilakukan upacara cawirbulungken
anak bibi sembuh dan mau menyusui kembali dengan bibi…”

Berbeda dengan pandangan kedua informan diatas, informan LS mengemukakan;


“… tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan dilaksanakannya
upacara cawirbulungken, penyakit-penyakit seperti keterbelakangan mental
tidak dapat disembuhkan, pernah dulu ada yang melakukan upacara
cawirbulungken karena anaknya pada waktu bayi sering menangis, setelah
95

dilakukan upacara itu anak tersebut tidak sembuh juga, ternyata setelah
beranjak balita diketahui bahwa anaknya sakit keterbelakangan mental…”

Sistem kepercayaan asal masyarakat Batak Karo mempengaruhi dilakukannya

upacara cawir bulungken. Hal ini dapat dilihat dari masih dilakukannya upacara

cawir bulungken pada masyarakat. Walaupun masyarakat sudah menganut agama

formal, masyarakat belum bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan nenek moyang

mereka.

2. Sebagai pengikat hubungan kekerabatan

Hubungan kekerabatan Batak Karo yang berpusat pada rakut sitelu (tiga tungku)

atau tiga toggak hubungan kekerabatan masyarakat Batak Karo yang memiliki fungsi

yang berbeda satu sama lain, begitupun dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken

ketiga kelompok kekerabatan ini harus hadir dan ada, jika salah seorang dari ketiga

kelompok kekerabatan ini tidak hadir, maka upacara cawir bulungken dianggap tidak

sah pelaksanannya. Menurut salah seorang informan yang merupakan salah satu

sangkep nggeluh, informan LS mengutarakan:

“...Dalam setiap upacara, rakut sitelu harus hadir, karena merupakan tonggak
kekerabatan dalam adat-istiadat Batak Karo, tidak terkecuali dalam
pelaksanaan upacara cawir bulungken, ketiga pihak ini harus hadir, apabila
salah satu pihak tidak hadir maka dapat dikatakan upacara tidak sah
pelaksanaannya...”

Kalimbubu dalam masyarakat Batak Karo disebut sebagai Dibata Ni Idah

yaitu penjelmaan Tuhan yang tampak. Kedudukan seseorang kalimbubu dalam

kekerabatan masyarakat Batak Karo begitu tinggi, kalimbubu dianggap sebagai


96

sumber rejeki, anak sehat, padi menjadi itu semua karena tuah kalimbubu. Dalam

setiap hal selalu kalimbubu diusahakan supaya tidak tersinggung atau sakit hati. Anak

beru yang tidak sopan terhadap kalimbubu dapat mengakibatkan anak cacat, padi

tidak menjadi, dan lain-lain.

Seseorang yang menjadi anak beru harus taat dan patuh kepada

kalimbubunya, karena jika tidak patuh, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak

diinginkan, salah satunya anak mereka menderita suatu penyakit. Cawir bulungken

diyakini sebagai upaya untuk mengharapkan berkat/pasu-pasu dari pihak kalimbubu

dengan menikahkan anak dari anak beru dengan anak dari kalimbubu.

Jika terjadi konflik atau masalah dalam sebuah kekerabatan, maka dirasa perlu

dilakukan upacara cawir bulungken sebagai penyatu hubungan keluarga tersebut,

dengan dinikahkannya anak dari kalimbubu dengan anak dari anak beru. Sejalan

dengan hal tersebut, menurut informan OP:

“... cawir bulungken merupakan salah satu upaya untuk menyatukan keluarga,
apabila terjadi konflik atau masalah dalam sebuah kekerabatan, hubungan
yang renggang diantara kalimbubu dengan anak beru maka dengan
dicawirbulungkenkan kedua anak dari kalimbubu dan anak beru dapat
menyatukan kembali hubungan tersebut...”

Perkawinan merupakan suatu keinginan dari dua orang untuk hidup bersama.

Kehendak hidup bersama ini beserta segala proses pelaksanaannya diatur dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan-peraturan perkawinan suatu

masyarakat.
97

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Karo yang bertumpu pada sistem

patrilineal, meghitung garis keturunan melalui pihak ayah. Masyarakat Batak Karo

adalah suatu masyarakat yang mengenal clan dalam masyarakat Batak Karo disebut

merga, adat perkawinan yang bersifat exogami. Seseorang yang berasal dari clan atau

merga tarigan harus mencari jodohnya diluar dari merganya (Tarigan:1990).

Bagi masyarakat Batak Karo, sistem kekerabatan dan perkawinan begitu

menentukan keberlangsungan tatanan adat-istiadat serta struktur sosialnya secara

harmonis. Di mana, mereka berupaya menjaga perkawinan ideal dalam tradisi Karo,

yakni si pemuda atau gadis wajib menikahi impal-nya (pasangan idealnya). Aturan

main dalam perkawinan ideal orang Batak Karo adalah pernikahan sepupu-silang.

Salah satu syarat pernikahan sepupu-silang ini ialah pasangan ideal atau impal

(pasangan idealnya). Si pria adalah harus anak perempuan dari saudara laki-laki ibu.

Sementara impal (pasangan idealnya), bagi si gadis adalah anak laki-laki dari saudara

perempuan ayah. Larangan berlaku bila si pria ingin menikahi anak perempuan dari

saudara perempuan ayah, hal ini lantaran anak dari saudara perempuan ayah dianggap

sebagai turang impal (saudara), atau tabu dikawini. Begitupun dalam pelaksanaan

upacara cawir bulungken anak-anak yang menjadi pasangan dalam pelaksanaan

upacara cawir bulungken ini adalah mereka yang bertutur impal saja.

Cawir bulungken dapat dijadikan salah satu cara untuk mempertahankan

pernikahan ideal yang terjadi pada masyarakat Batak Karo. Hal ini dibuktikan dengan

hanya orang-orang yang bertutur impal saja yang boleh melakukannya. Menurut

pandangan informan GS;


98

“...upacara cawir bulungken hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang


berimpal saja, karena impal merupakan pasangan yang dianggap ideal dalam
masyarakat. Impal dalam adat Batak Karo dilakukan antara anak perempuan
kalimbubu dengan anak laki-laki anak beru...”

Pasangan yang pernah dicawirbulungkenkan diharapkan ketika dewasa benar-

benar berjodoh dan menjadi pasangan sebenarnya dalam pernikahan/erdemi bayu.

Hal ini menjadi alasan kenapa hanya orang-orang yang berimpal saja yang boleh

melaksanakan upacara cawir bulungken. Dapat dilihat bahwasanya ini merupakan

salah satu upaya untuk mempertahankan pernikahan ideal yang ada pada masyarakat

Batak Karo.

C. Pandangan Masyarakat Terhadap Benda-Benda Yang Digunakan Pada

Upacara Cawir Bulungken

Benda-benda yang digunakan di dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken

merupakan benda-benda yang memiliki nilai atau makna tersendiri bagi masyarakat

yang ikut serta dalam pelaksanaannya. Adapun pandangan masyarakat tentang benda-

benda yang digunakan dalam upacara cawir bulungken.

1. Piso Pengambat

Piso pengambat/ pisau tumbuk lada merupakan pisau khas masyarakat Batak

Karo, yang terbuat dari besi mersik. Bahan utama pisau ini adalah pada gagang

terbuat dari tanduk kerbau, pisau terbuat dari kuningan atau besi, sedangkan sarung

pisau terbuat dari pangkal bambu atau tanduk kerbau, Pada pangkal sarung Tumbuk

Lada terdapat bonjolan bundar yang selalunya dihias dengan ukiran yang dipahat
99

biasanya bentuknya mirip kepala ayam. Sarung senjata ini sering dilapis dengan

kepingan perak atau kuningan.

Bahan-bahan piso tumbuk lada adalah besi 5 negeri (kerajaan), anduk kerbo,

gading gajah, kayu lemak sawa, kayu petarum, riman untuk rempu (pengikat

sembung/sarung, boleh juga pengikatnya lantap yang terbuat dari emas, suasa atau

perak.

Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken pisau tumbuk lada/ piso pengikat

merupakan benda yang sangat penting yang harus ada agar pelaksanaan upacara

cawir bulungken dapat berjalan dengan baik. Piso ini yang nantinya akan diberikan

oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang menjadi pasangan dalam upacara

cawir bulungken.

Piso pengambat ini dimaknai sebagai penahan bala, supaya anak yang sedang

mengalami sakit atau mendapat mimpi buruk, tendinya tidak diganggu oleh roh-roh

yang akan membawa malapetaka untuk dirinya. Piso pengambat ini terdiri atas

bagian uang tumpul dan bagian yang tajam sebelah. Bagian yang tajam dimaknai

sebagai penghambat bala yang akan dating menimpa seseorang, sedangkan bagian

yang tumpul dimaknai sebagai tanda pengharapan agar kelak anak yang sedang di

cawir bulungkenkan menjadi keluarga yang sebenarnya. Menurut pandangan

informan AT:

“…piso pengambat dalam upacara cawir bulungken dipercayai oleh masyarakat


sebagai penahan bala, supaya anak yang mengalami sakit, tendinya tidak
diganggu lagi oleh roh-roh yang akan membawa malapetaka untuk dirinya…”
100

Gambar 6: Piso Pengambat

Sumber: Dokumentasi Pribadi

2. Cincin Pengikat

Cincin pengikat terbuat dari emas ataupun perak. Cincin ini dalam pelaksanaan

upacara cawir bulungken dimaknai sebagai lambang bahwa tendi wanita yang sedang

di cawir bulungken diikat dengan tendi impalnya. Sehingga dengan diikat kembali

tendi diantara kedua pasangan, segala hal yang akan menganggu ketentraman hidup

keduanya dapat menjauh.

Cincin ini setelah upacara cawir bulungken harus dipakai oleh anak perempuan

yang telah mengikuti upacara ini, karena apabila dilepas maka dapat menyebabkan
101

anak tersebut mendapatkan penyakit. Berikut pendapat informan tentang hal ini,

informan LS:

“…cincin pengikat merupakan cincin yang dilambangkan sebagai pengikat tendi


anak yang dicawirbulungken. Cincin ini setelah pelaksanaan harus dipakai, karena
apabila dilepas maka anak perempuan yang dicawirbulungken tersebut bisa
mendapatkan penyakit atau hal-hal yang tidak diinginkan…”

3. Parang Teguh

Parang Teguh adalah sejenis rumput yang kuat, rumput ini dalam upacara cawir

bulungken digunakan untuk mengikat tangan anak yang sedang di cawir bulungken.

Masyarakat Batak Karo memaknai parang teguh ini sebagai lambang kuatnya ikatan

antara tendi kedua anak yang sedang dicawir bulungken sehingga keduanya sangat

sulit untuk dipisahkan. Akar dari rumput parang teguh sangat kuat hal ini bermakna

agar roh/tendi anak yang sedang di cawir bulungken kuat sama seperti kuatnya akar

parang teguh sehingga tendi anak tersebut tidak mudah lagi goyah sehingga anak

tersebut tidak mudah mendapat hal-hal yang akan menganggu ketentraman hidupnya

seperti penyakit dan marabahaya. Menurut pandangan informan LS terkait rumput

parang teguh ini;

“…parang teguh merupakan rumput yang kuat, dalam upacara cawir bulungken
digunakan untuk mengikat tangan kedua anak yang dicawir bulungken, rumput ini
dipercayai sebagai lambang kuatnya ikatan anak yang sedang dicawir bulungken…”
102

4. Kampil/ Tempat sirih

Kampil atau tempat yang digunakan sebagai tempat meletakkan sirih dalam

upacara cawir bulungken dimaknai agar kelak kedua mempelai yang sedang

dicawirbulungken ini berlaku ramah kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang

ada di sekitar mereka. Menurut pandangan informan AT:

“…kampil merupakan tempat sirih, dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken


digunakan pada saat acara pedalan kampil, menurut kepercayaan kami dengan
kampil ini, anak yang sedang dicawirbulungken dapat berlaku ramah kepada
seluruh keluarga dan orang-orang yang ada disekitarnya…”

5. Uis Arinteneng

Uis Arinteneng yaitu sejenis kain adat Batak Karo yang bewarna hitam pekat,

karena kain ini dibuat dari benang khas yang dicelup dengan sejenis bahan bewarna

hitam. Dalam upacara cawir bulungken kain ini digunakan sebagai alas pinggan pasu,

sebagai alas tempat makan ketika acara mukul-mukul. Menurut pandangan informan

GS:

“…kain uis arinteng yaitu sejenis kain adat Batak Karo yang bewarna hitam
pekat, kain ini dibuat dari benang khas yang dicelup dengan sejenis bahan warna
hitam, dalam cawir bulungken kain ini adalah lambang agar jiwa dan tendi anak yang
mengikuti cawir bulungken bisa tenang dan penyakit bisa sembuh serta tidak lagi
menganggu kehidupan anak tersebut…”

Penggunaan kain uis arinteneng dalam upacara cawir bulungken adalah lambang

agar jiwa dan tendi anak yang sedang di cawir bulungken bisa tenang dan penyakit

yang sedang menimpanya bisa sembuh dan tidak lagi menganggu kehidupannya di

kemudian hari.
103

Gambar 7: Uis Arinteneng

Sumber: Dokumentasi Pribadi

6. Pinggan Pasu

Gambar 8 : Pinggan Pasu

Sumber: Internet
104

7. Nasi dan ayam yang masih lengkap

Nasi dan ayam di dalam upacara cawir bulungken digunakan sebagai makanan

yang dimakan oleh kedua mempelai dalam upacara cawir bulungken, Nasi dan ayam

ini melambangkan kebersamaan antara anak beru dan kalimbubu tidak bisa

dipisahkan serta dimaknai agar kelak anak yang di cawir bulungken ketika dewasa

dapat mencari nafkah dan menghidupi keluarganya serta menjadi keluarga yang

sejahtera.

8. Tikar Pandan

Tikar pandan bewarna putih digunakan sebagai tempat duduk pihak kalimbubu

pada pelaksanaan upacara cawir bulungken. Tikar pandan ini dimaknai sebagai

tempat duduk bagi pihak-pihak yang dihormati dalam masyarakat Batak Karo. Pihak

kalimbubu merupakan Dibata Ni Idah atau jelmaan Tuhan yang nampak di bumi,

merupakan pihak yang harus dihormati dalam masyarakat Batak Karo oleh sebab itu

duduk mereka di tikar pandan bewarna putih.

D. Pandangan Masyarakat Terhadap Perubahan Dalam Pelaksanaan Upacara

Cawir Bulungken

Perubahan merupakan suatu hal yang biasa terjadi di dalam suatu kebudayaan.

Perubahan ini mencakup segala aspek yang terdapat di dalam kebudayaan tersebut.

Tradisi sebagai bagian dari budaya juga mengalami perubahan dari masa ke masa

atau sekurang-kurangnya terjadi penyesuaian terhadap tradisi yang terdapat dalam


105

suatu suku bangsa. Perubahan ini terjadi karena adanya pengaruh dari globalisasi dan

modernisasi yang terjadi pada saat sekarang.

Dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken pada saat sekarang ini telah terjadi

perubahan yang disebabkan oleh kemajuan zaman dan teknologi. Adapun pandangan

masyarakat terkait dengan perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara cawir

bulungken, antara lain adalah :

1. Tukur/ Mas kawin

Pelaksanaan upacara cawir bulungken yang hampir sama dengan pelaksanaan

upacara pernikahan sebenarnya juga terdapat mahar/ mas kawin didalamnya yang

diberikan kepada rakut sitelu, namun pada cawir bulungken mas kawin yang

diberikan hanya setengah saja. Pada saat dahulu mahar/mas kawin yang diberikan

masih sedikit atau sesuai dengan nilai mata uang dulu. Seiring dengan semakin

meningkatnya nilai mata uang pada saat sekarang, maka semakin bertambah pula

tukur/ mas kawin yang diberikan. Menurut pandangan informan GS:

“… pada pelaksanaan upacara cawir bulungken juga terdapat tukur/ mas kawin,
cuma mas kawin yang dibayarkan hanya setengah saja atau sesuai dengan
kesepakatan pihak-pihak yang terlibat, pada saat dahulu tukur yang diberikan masih
sedikit, tetapi pada saat sekarang tukur yang dibayarkan sesuai dengan nilai mata
uang pada masa sekarang…”

Perubahan nilai tukur pada pelaksanaan upacara cawir bulungken dapat dilihat

karena perubahan ekonomi pada saat sekarang, dimana nilai uang sudah berubah.
106

2. Alat Musik

Pelaksanaan upacara cawir bulungken terdapat alat musik yang digunakan sebagai

penghibur dan musik pengiring yaitu gendang karo. Masyarakat Batak Karo selalu

menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Gendang yang dimaksud

dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken adalah gendang sebagai ensambel musik

yaitu gendang lima sendalanen. Gendang lima sendalanen artinya seperangkat

gendang yang terdiri dari lima unsur yaitu a) gendang indungna yaitu gendang yang

dibuat dari pohon nangka dengan cara melobangi pohon dari pangkal sampai ke

ujung, kemudian belah ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh dan antara

bingkai yang satu dengan lainnya diikat tali. Bingkai gendang berguna untuk

menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya dua buah terbuat dari

ranting pohon jeruk. b) gendang anakna, yaitu gendang yang hamper sama dengan

gendang indungna, hanya saja gendang anakna terdiri dari dua gendang besar dan

kecil. c) gung,terbuat dari sejenis logam yaitu kuningan atau kangsa. Gung tersebut

termasuk gung besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm. Gung di pegang

oleh seseorang yang ahli dalam memukulnya d) penganak, yaitu gung yang lebih

kecil berukurang kira-kira 20 cm dan bersuara kecil. Cara pukulnya satu kali gung

satu kali penganak e) sarunai, adalah alat tiup, terbuat dari pohon selantam

(semacam perdu) dilobangi dari ujung sampai pangkal kemudian dibentuk dan diberi

loban pengatur suara dan nada.


107

Kelima unsur alat musik tersebut dipadu oleh masing-masing orang yang

memerankannya dengan mengikuti suara sarunai. Suara kelima jenis alat musik ini

sangat enak dan memberi perasaan tersendiri bagi masyarakat yang mendengarnya.

Pada saat sekarang, penggunaan gendang karo sebagai musik pengiring dalam

cawir bulungken sudah mulai bergeser, karena kemajuan teknologi. Menurut

pandangan informan LS;

“… pada saat dahulu musik pengiring pada pelaksanaan upacara termasuk


cawir bulungken adalah gendang karo, seiring kemajuan zaman sudah digantikan
dengan penggunaan keyboard yang dianggap lebih mudah…”

Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi penggunaan gendang lima

sendalanen sudah digantikan oleh musik keyboard. Banyak upacara-upacara yang

dilakukan oleh masyarakat Batak Karo pada saat sekarang menggunakan musik

keyboard sebagai musik pengiring tidak terkecuali upacara cawir bulungken.

3. Penentuan hari pelaksanaan

Pelaksanaan suatu upacara terlebih dahulu ditentukan kapan hari baik untuk

dilaksanakan upacara tersebut, termasuk dalam upacara cawir bulungken. Jika pada

masa lalu pelaksanaan upacara cawir bulungken penentuan hari yang baik untuk

pelaksanaan ditanyakan kepada guru sipemeteh wari yang bagi masyarakat Batak

Karo merupakan guru yang paham dengan penanggalan-penanggalan Batak Karo.

Pada saat sekarang pelaksanaan upacara cawir bulungken tidak harus lagi perlu

menanyakan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara cawir bulungken ini, karena
108

pada saat sekarang hari-hari baik dalam penanggalan Batak Karo sudah dapat dilihat

pada kalender Batak Karo. Terkait hal ini, berikut pandangan informan AT:

“… pada saat dahulu apabila ingin melakukan kegiatan atau upacara terlebih
dahulu ditanyakan kepada guru sipemeteh wari, yang paham dengan hari-hari pada
kalender Batak Karo, tetapi pada saat sekarang masyarakat sudah memiliki kalender
Batak Karo, sehingga penentuan hari pelaksanaan tidak harus menanyakan kepada
guru…”

Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken pada saat sekarang ini masyarakat

Batak Karo ada yang masih menanyakan kepada guru ada juga yang tidak

menanyakan.

4. Perubahan pada pantangan-pantangan

Pelaksanaan upacara cawir bulungken dalam masyarakat Batak Karo juga

terdapat pantangan-pantangan yang diberikan kedua belah pihak, pihak laki-laki dan

pihak perempuan. Apabila salah satu pihak ada yang melanggar pantangan tersebut

akan mendapatkan sanksi.

Menurut pandangan informan LS, terkait perubahan pada pantangan cawir

bulungken seperti berikut ini:

“…pada saat dahulu apabila ada yang melanggar pantangan yang telah
disepakati padaa saat upacara cawir bulungken, maka perlu diadakan suatu
upacara khusus yang dihadiri oleh kerabat dekat, tetapi pada saat sekarang apabila
ada yang melanggar pantangan tersebut, pihak yang melanggar cukup datang
kerumah pasangannya sambil meminta maaf tanpa harus disaksikan oleh kerabat
dekat…”

Perubahan pun terjadi pada pantangan-pantangan yang telah disepakati oleh

kedua belah pihak pada saat pelaksanaan upacara cawir bulungken. Pada saat dahulu

apabila ada pihak yang melanggar maka akan diadakan suatu acara khusus sebagai
109

permintaan maaf, pada saat sekarang ini apabila ada yang melanggar pantangan yang

telah disepakati maka orang yang melanggar pantang hanya perlu datang kerumah

pasangannya untuk meminta maaf tanpa harus disaksikan oleh kerabat-kerabat

dekatnya.
110

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setiap tradisi merupakan suatu kebiasaan yang turun temurun dalam suatu

masyarakat, tradisi menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat yang

ada di berbagai belahan dunia. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi.

Upacara cawir bulungken dalam masyarakat Batak Karo merupakan suatu upaya

untuk mengharapkan keselamatan dan ketentraman hidup seseorang. Tradisi ini

masih dilaksanakan hingga pada saat ini. Kepercayaan masyarakat Batak Karo akan

kekuatan roh-roh nenek moyang mereka tidak bisa ditinggalkan begitu saja, walau

masyarakat Batak Karo sudah memeluk agama formal melatar belakangi

dilaksanakannya upacara ini.

Upacara cawir bulungken dilakukan ketika seseorang masih anak-anak,

pelaksanaan upacara ini hanya boleh dilakukan untuk orang yang bertutur impal saja.

Karena impal merupakan pasangan ideal dalam tata pelaksanaan perkawinan adat-

istiadat Batak Karo. Upacara cawir bulungken ini diyakini sebagai upaya pengikat

tendi antara si anak yang sakit dengan impalnya. Masyarakat Batak Karo percaya

dengan upacara cawir bulungken maut yang selama ini hampir menjemput si anak

karena tendinya sudah pergi tidak akan berhasil karena tendinya sudah diikat

sebelumnya dengan impalnya.


111

Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini dipandang oleh masyarakat Batak Karo

sebagai suatu kepercayaan untuk mengharapkan keselamatan dari roh leluhur dan

sebagai upaya untuk menguatkan kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Karo.

Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, pelaksanaan upacara cawir

bulungken pun mengalami perubahan seperti pada saat penentuan hari pelaksanaan,

musik yang digunakan, penentuan tukur/mahar serta pantangan-pantangan yang harus

dijaga oleh kedua belah pihak yang melaksanakan upacara cawir bulungken.

B. SARAN

Dalam penelitian tentang cawir bulungken yang dilakukan oleh Masyarakat Batak

Karo sebagai suatu upacara yang terkait dengan sistem kepercayaan dan kekerabatan

mereka sangatlah menarik. Hal ini dapat dilihat walaupun upacara cawir bulungken

merupakan suatu pernikahan yang dilakukan ketika seseorang masih anak-anak tetapi

pelaksanaannya dilakukan mengikuti pernikahan umum yang berlangsung dalam

masyarakat Batak Karo.

Masyarakat Batak Karo, khususnya yang berada di Desa Cinta Rakyat hingga saat

ini masih belum bisa meninggalkan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan

kepercayaan nenek moyang mereka. Upacara cawir bulungken mengajarkan peneliti

bathwasanya masyarakat Batak Karo hingga pada saat sekarang ini masih

mempertahankan kepercayaan asli mereka.


112

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman, peneliti

mengharapkan agar generasi muda Batak Karo tetap menjaga dan melestarikan

kebudayaan mereka agar tidak terkikis oleh kemajuan zaman tersebut. Karena

generasi muda Batak Karo yang akan meneruskan kebudayaan mereka.


113

DAFTAR PUSTAKA

Bangun Tridah, 1986, Manusia Batak Karo. Jakarta: PT Tema Baru

Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada

Geertz, Clifford.1992. Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius

Ginting, E.P. 1999. Membaca Religi Karo dengan Mata Yang Baru. Kabanjahe:

GBKP Abdi Karya

Ihromi, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Keesing, Roger.1999.Antropologi Budaya (Suatu Perspektif Kontemporer). Penerbit

Erlangga. Jakarta

Koentjaraningrat.1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta.Penerbit Dian

Rakyat

………………….. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Pers

…………………..1985. Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

…………………...1987. Sejarah antropologi. Jakarta: UI-Press

…………………..2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Dinas Pendidikan

Nasional

…………………..2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

…………………..2009. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. Jakarta: Rineka

Cipta
114

Leo, Kriswanto. 2014. Tanah Karo Selayang Pandang. Medan: Bin Media Perintis

Malem, Terang. 2007. Indahnya Perkawinan Adat Karo. Jakarta

Matondang, Avena.2010. Tek Tek Mula Ni Tondang Somba Mula Ni Tortor.Visual

Etnografi Batak Mandailing.Medan

Moleong, Lexy. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja

Rosdakarya Offset

Pritchard, Evans. 1983. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PT. Djaya

Pirusa

Sitepu, Sempa Dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: Bali Scan dan Percetakan

Spradley, James P.1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta

Tarigan HG, 1990. Percikan Budaya Karo, Bandung: Yayasan Merga Silima

Tarigan, Sarjani. 2011.Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe.Medan.Si BNB

Press

………………….2012.Mutiara Hijau Budaya Karo. Medan.Si BNB Press

Yunus, Ahmad Dkk. 1994. Makna Pemakaian Rebu Dalam Kehidupan Kekerabatan

Orang Batak Karo. Medan: Depdikbud

Winangun Waryata, 1990. Masyarakat Bebas Struktur (Liminalitas dan Komunitas

Menurut Victor Turner). Yogyakarta:Kanisius

Skripsi

Jasri, Ardi. 2013. “Upacara Bakar Tongkang dan Fungsinya Bagi Etnis Tionghoa di

Bagan Siapi-api”. Padang: skripsi, Jurusan Antropologi Fisip

Universitas Andalas
115

Pratama, Devi Gustia.2011. “Persepsi Masyarakat Terhadap Khitan

Perempuan”.Padang; Jurusan Antropologi Fisip Universitas

Andalas

Sembiring, Erlina. “Upacara Negget Pada Masyarakat Karo”. Medan; skripsi.

Jurusan Antropologi Fisip Universitas Sumatera Utara

Internet

http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/3821 diakses 3 Mei 2015 Pukul

15.00

https://id.wikipedia.org/wiki/Jambur diakses 7 April 2015 Pukul 13.32


116

LAMPIRAN

Foto : Wilayah Cinta Rakyat


117

Foto: Salah Satu Sudut Desa Cinta Rakyat

Foto: Peneliti Bersama Bapak dan Mamak di Lokasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai