SKRIPSI
Oleh :
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2015
ii
iii
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Terima Kasih Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya Zulkifli Bsc
dan Desnelli, S.Pd yang tak pernah putus asa memberikan doa, kasih sayang,
dan semangat kepada saya beserta empat saudara saya lainnya. Terima kasih
atas segala pengorbanan yang telah Papa dan Mama berikan selama ini kepada
saya, sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi
ini.
Buat saudara-saudara saya, Pero, Yossi, Yayan dan Dion saudara yang
sangat saya sayangi dan cintai, walaupun kita sering berantem, tetapi tetap
saling menyemangati, hingga saat ini, kalian luar biasa
Ulil, Mardhok, Aan, Erwin dan Tridho. Makasih atas kebersamaan ini, semoga
kita semua menjadi orang sukses guys, salam hangat 2010 .
Untuk kedua pembimbing yaitu bapak Nursyirwan Efendi dan Bunda Maskota
Delfi yang terus memberikan masukan dan motivasi kepada saya sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi ini pada akhirnya.
Geng Ceria, Zevi, Khalif, Prima, Aldo, Apis, Ipid, Angga, Abrian, Olan, Sandy,
Once, Rika, Endah yang sudah menemani saya dari zaman putih abu-abu
hingga saat sekarang ini.
Konco Kareh, Agung, Wira, Dila, Bg Iwang, Da Al dan Debi terima kasih guys
atas support kalian, semoga tetap kareh :D
Team Solid LSI, Pak Edi Indrizal, Bang Dedi Kp, kak icha, kak iyat, kak ebi, ni
depoik, bg rudi, bg joni, bg roni, khairul, wibel, duo yogi, bg manaf, ade, bg rio,
bg caon, bg angku, serta Uni Suren. Terima kasih atas setiap perjalanan epic
yang pernah kita lalui.
Keluarga Besar Sispala Rinjani Padang, Rinjani XIX Oyon, Cime, Ozik, Alan,
Indah, Khalif, Prima, Indra, Frans, Mufti dan Daus terima kasih sudah
membawa saya mengenal kegiatan alam bebas sanak-sanak.
vii
Pengurus Labor Antropologi periode 2014/2015, Aii, Amak, Robi, Ilhadi, Ishom,
Tresno, Annica, Gusni, Citra, Hen, Khairul, Lita serta semuanya.
Seluruh warga Desa Cinta Rakyat yang telah menerima saya dan membantu
saya dalam penggalian informasi terkait penelitian ini, terima kasih.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
viii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya Wildo Elka Putra (BP : 1010822011), menyatakan bahwa : Karya
tulis skripsi saya yang berjudul : Tradisi Cawir Bulungken Bagi Masyarakat Batak
Karo. (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara) menyatakan bahwa :
1. Karya tulis skripsi saya yang berjudul Makna Cawir Bulungken Bagi
Masyarakat Batak Karo. (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan
Merdeka, Kabupaten Karo, Sumatera Utara) ini, belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/ atau doktor), baik di
Universitas Andalas maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini adalah karya saya sendiri, tanpa bantuan tidak sah dari pihak
lain kecuali arahan dari tim pembimbing yang telah ditunjuk oleh jurusan
Antropologi.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dan dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam skripsi ini dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunianya
penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini berjudul “ Tradisi Cawir Bulungken Dalam
Masyarakat Batak Karo” (Studi Kasus: Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,
Propinsi Sumatera Utara). Skripsi ini ditulis untuk melengkapi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana dalam bidang Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Andalas.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada
penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Papa dan Mama serta Abang dan Adik tercinta yang tak pernah putus
memberikan doa, kasih sayang, dan semangat untuk terus meyakinkan penulis
sehingga dapat menyelesaikan studi sebagai mahasiswa.
2. Bapak Prof. Dr. rer.soz. Nursyirwan Effendi selaku pembimbing I dan Ibu Dr.
Maskota Delfi, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memberikan dukungan,
dukungan, nasehat, dan semangat serta pemikiran dalam penyusunan skripsi
ini.
3. Ibu Ketua Jurusan Antropologi Dra. Ermayanti, M.Si beserta Bapak Sekretaris Jurusan
Antropologi Lucky Zamzami, S.Sos, M.Soc, Sc beserta Dosen pengajar di jurusan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas yang telah
memberikan asuhan serta bimbingan pada penulis selama menjalankan studi.
4. Bapak dan Ibu tim penguji, Dr. Yevita Nurti, M.Si Selaku Ketua Penguji, Drs. Sidarta Puji
Raharjo, S.Sos, M.Hum selaku sekretaris, Lucky Zamzami S.Sos, M.Soc.Sc dan Muhammad
Hidayat S.Sos, M..Hum selaku anggota penguji.
5. Seluruh staf dan karyawan Biro Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas atas bantuan dan layanan kepada penulis selama ini.
x
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi isi maupun teknik penulisan. Saran dan kritikan sangat diharapkan
demi kesempurnaan dimasa yang akan datang. Semoga penulisan skripsi ini dapat
menjadi suatu hal yang sangat bermanfaat. Amin yaa robbal alamin.
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Pembimbing............................................................... iii
Lembar Persetujuan Penguji ....................................................................... iv
Surat Pernyataan ........................................................................................ vii
Kata Pengantar ........................................................................................... viii
Daftar Isi.................................................................................................... xi
Daftar Tabel............................................................................................... xiii
Daftar Gambar ........................................................................................... xiv
Abstrak ...................................................................................................... xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................7
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................7
E. Kerangka Konseptual .......................................................................8
F. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14
1. Lokasi Penelitian .................................................................. 15
2. Teknik Pemilihan Informan .................................................. 16
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 18
4. Analisis Data ........................................................................ 20
G. Proses Penelitian ............................................................................. 21
BAB. V: PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................110
B. Saran ...................................................................................................111
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
Wildo Elka Putra. BP. 1010822011. Jurusan Antropologi Sosial. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Andalas. Padang 2015. Judul “Tradisi Cawir
Bulungken Dalam Masyarakat Batak Karo”. Studi Kasus di Desa Cinta Rakyat,
Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara.
Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai berbagai macam jenis
kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya. Upacara religi merupakan salah satu
wujud dari kebudayaan yang ada di berbagai suku bangsa yang ada. Seperti halnya
upacara cawir bulungken yang terdapat pada masyarakat Batak Karo, upacara cawir
bulungken adalah upacara perkawinan yang dilakukan ketika seseorang masih anak-
anak, upacara ini dilakukan untuk mengharapkan kesembuhan dan pengharapan agar
dijauhkan dari malapetaka yang akan menganggu ketentraman hidup seseorang.
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan upacara
cawir bulungken dan untuk memahami pandangan masyarakat Batak Karo tentang
pelaksanaan upacara cawir bulungken tersebut.
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
pulau besar seperti, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi
dan Pulau Irian Jaya. Pulau-pulau besar itu juga terdiri dari beragam etnis/suku
bangsa, antara lain Suku Bangsa Batak, Suku Bangsa Minangkabau, Suku Bangsa
Aceh, Suku Bangsa Mentawai, Suku Bangsa Sunda, Suku Bangsa Toraja.
dengan yang lain. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pulau Sumatera khususnya
mayoritas dihuni oleh Suku Bangsa Batak. Secara umum Suku Bangsa Batak itu
terbagi atas beberapa subetnis yaitu, (1) Batak Toba, (2) Batak Pak-pak, (3) Batak
Simalungun, (4) Batak Karo, (5) Batak Mandahiliang, (6) Batak Angkola. Salah satu
Suku Bangsa Batak tersebut adalah Batak Karo yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Di setiap daerah mempunyai tradisi, hukum dan adat istiadat yang berbeda-
beda. Perbedaan itulah yang menjadi ciri khas dari masing-masing wilayah, sekaligus
yang membedakan antara satu daerah suku besar dari daerah suku lainnya
(Ihromi,2004:xxiii).
2
Karo tidak terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena adanya
dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan
tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap tindakan manusia secara
yang didapatkan dalam semua kebudayaan dari semua suku bangsa di dunia. Unsur-
unsur ini disebut dengan istilah unsur kebudayaan universal yang terdiri dari tujuh
unsur kebudayaan. Salah satu unsur tersebut adalah sisitem religi (sistem
rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam
dengan kepercayaan suatu masyarakat yang disebut sebagai upacara keagamaan atau
walaupun masyarakat Karo secara resmi telah dimasuki oleh ajaran agama formal
seperti, Kristen Protestan, Islam dan Katolik namun masih ditemui penganut agama
nenek moyang dan benda-benda yang mereka anggap keramat. Praktik lain yang
terkait dengan itu masih banyak pula ditemukan penggunaan jimat, pergi ke goa-goa,
penghormatan kepada roh-roh nenek moyang dengan berbagai jenis upacara, adanya
Salah satu jenis upacara tersebut adalah Cawir Bulungken. Upacara ini adalah
salah satu jenis upacara tradisional yang sampai saat sekarang masih dilaksanakan
oleh masyarakat Batak Karo. Cawir Bulungken merupakan suatu bentuk perkawinan
antara anak kalimbubu (pihak pemberi gadis) dengan anak dari anak beru (pihak
sesungguhnya.
ini bersifat simbolik dan sementara, tetapi ada harapan agar setelah dewasa mereka
benar-benar menjadi pasangan suami isteri yang sah (Prints & Darwin, 1984).
Adapun dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua orang Batak Karo dapat
4
melaksanakannya melainkan hanya orang-orang yang bertutur impal1 saja yang boleh
dicawirbulungkenkan. Upacara ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup, yakni
upacara perkawinan umum seperti adanya pemberian mas kawin dan diselenggarakan
pesta.
Masyarakat Batak Karo, khususnya di dalam adat nggeluh (adat orang hidup). Adat
ini diatur berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Prinsip khusus tersebut terdiri dari
merga silima (lima marga pada masyarakat Batak Karo yaitu; Tarigan, Sembiring,
Ginting, Karo-karo dan Perangin-angin). Rakut sitelu yaitu tiga tingkatan silsilah
dalam masyarakat Batak Karo yaitu; kalimbubu (pihak pemberi gadis), anak beru
sedemikian rupa. Artinya tidak semua orang perorangan bebas berbicara satu dengan
yang lainnya. Aturan-aturan tersebut dibuat sedemikian rupa, sebagai contoh seorang
menantu laki-laki tidak bisa berbicara langsung dengan ibu mertuanya. Hal itu
dianggap pantang atau tabu, yang dalam masyarakat Batak Karo dikenal dengan rebu
1
Impal adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, (dalam budaya Karo berarti terjadi antara
anak kalimbubu dengan putra anakberu) perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat Batak Karo.
Lihat Tarigan, 1990. Hal: 47
5
bulungken dilaksanakan maka terlebih dahulu ketiga kelompok ini harus berembuk
dalam masyarakat Batak Karo disebut dengan istilah pasu-pasu dari pihak kalimbubu.
Pihak kalimbubu bagi orang Batak Karo merupakan pihak yang harus dihormati dan
dianggap sebagai Dibata ni idah atau sebagai penjelmaan dari Tuhan yang nampak,
jadi mereka anak beru selalu menghormati kalimbubunya. Sejalan dengan itu Tarigan
(1990:31) mengemukakan :
“Kalimbubu adalah pihak pemberi dara, pihak yang harus dihormati. Haruslah dijaga benar-
benar agar kalimbubu jangan sempat kecil hati karena dapat mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan misalnya padi tidak menjadi, tidak mendapat anak, pikiran kusut, anak sakit
dan lain sebagainya. Sebaliknya kalau anak berunya hormat dan sopan terhadap kalimbubu,
maka demi tuah dan doa kalimbubu padi menjadi subur, tanaman subur, anak sehat, pikiran
tenang, rejeki mudah dll.
dilaksanakan, juga karena mimpi buruk tentang si anak. Misalnya orang tuanya
bermimpi anaknya hilang atau kawin dengan orang lain yang tidak dikenal, ataupun
pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Untuk itu maka upacara cawir
suatu upaya untuk mengikat tendi (roh) si anak dengan impalnya. Impal dalam
Bahasa Batak Karo atau pariban dalam Bahasa Batak Toba adalah seseorang yang
6
diangap lebih ideal untuk dijadikan pasangan hidup, impal adalah anak perempuan
dari saudara laki-laki ibu kita/ anak laki-laki dari saudara perempuan bapak kita.
Dengan diadakan cawir bulungken masyarakat Batak Karo percaya maut yang selama
ini sudah hampir menjemput si anak karena tendinya sudah pergi tidak akan berhasil
B. Rumusan Masalah
dikatakan sebagai salah satu upacara tradisional yang sampai sekarang masih
bertahan dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Upacara cawir bulungken ini
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat batak karo, dimana dalam masyarakat ini
masih menganut kepercayaan pada roh nenek moyang dan benda-benda yang mereka
anggap keramat.
upacara tradisional mulai jarang dilakukan pada saat sekarang, tetapi cawir
bulungken masih dapat bertahan hingga saat ini karena merupakan bagian dari
menduga tidak banyak suku bangsa lainnya khususnya di Indonesia yang melakukan
upacara ini. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengapa upacara
Berangkat dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan
di sini adalah :
Batak Karo ?
bulungken tersebut
C. Tujuan Penelitian
Batak Karo
cawir bulungken
D. Manfaat Penelitian
Secara pribadi, penelitian yang penulis lakukan ini bermanfaat bagi diri
penulis sendiri untuk lebih mengenal dan memahami kebudayaan yang ada pada
suatu suku bangsa yang ada di Indonesia khususnya suku bangsa Batak Karo.
terhadap upacara tradisional. Dari sini akan diperoleh gambaran tentang kegiatan
upacara cawir bulungken yang dianggap penting bagi kehidupan masyarakat Batak
Karo.
8
Karo untuk tetap melestarikan salah satu warisan budaya daerah mereka. Serta
sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang relevan di
kemudian hari.
E. Kerangka Konseptual
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara
kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma
Ketiga wujud dari kebudayaan yang tersebut di atas, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tertentu tidak dapat terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-
istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan manusia. Baik pikiran-pikiran
9
bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem teknologi dan peralatan
hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian yang disebut dengan unsur
kebudayaan universal (Koentjaraningrat, 2009: 164). Salah satu unsur tersebut adalah
sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan
diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti ruh, dewa dan
sebagainya.
Terdapat lima komponen dalam suatu religi, antara lain: sistem keyakinan, sistem
ritus dan upacara keagamaan, peralatan ritus dan upacara, umat agama serta emosi
keagamaan. Kepercayaan atau religi tidak bisa dilepaskan dari umatnya. Umat
agama sebagai suatu keadaan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan
agama yang merupakan sebuah aktifitas peribadatan dari seorang hamba kepada
Tuhan, Dewa atau sesuatu yang dianggap gaib. Terkait hal ini religi dapat dilihat
sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari seperangkat komponen yang saling
rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi
sebagai makhluk sosial, yang terlahir dalam bentuk upacara dengan berbagai jenis
Upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam
makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan
penghuni dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung
berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Suatu ritus
atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua
atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama,
menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa dan
manusia akan dunia nyata dan dunia gaib dalam kehidupannya. Dunia gaib selalu
dihadapi dengan berbagai macam perasaan seperti rasa cinta, hormat, bakti tetapi juga
rasa takut, ngeri dan sebagainya. Perasaan seperti inilah yang mendorong manusia
11
Upacara cawir bulungken dapat dilihat sebagai suatu bentuk upacara yang
masyarakat Batak Karo secara resmi telah dimasuki ajaran agama formal seperti
Kristen Protestan, Islam dan Katolik namun masih ditemui penganut agama tersebut
Pemena percaya kepada kekuatan alam seperti pohon-pohon besar, gua-gua, dan
lain-lain. Di samping itu juga mereka mempercayai kekuatan dari roh-roh halus,
makhluk halus, roh-roh leluhur dan sebagainya. Kepercayaan ini tergolong pada
hal yang sama pada masyarakat Ndembu, Afrika dimana menunjukkan upacara pada
masyarakat tersebut merupakan ikatan utama antar orang dan antar kelompok.
digolongkan ke dalam dua bagian, di antaranya upacara krisis hidup dan upacara
gangguan roh. Yang dimaksud dengan upacara krisis hidup di sini adalah upacara-
upacara yang dilakukan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh
manusia karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Upacara ini meliputi
2
Pemena berarti pertama atau sebelum ada yang mendahuluinya, maksudnya pemena adalah
kepercayaan pertama yang ada di dalam masyarakat Batak Karo sebelum masuknya ajaran Protestan,
Khatolik dan Islam.
12
seperti kegagalan berburu, ketidakteraturan reproduksi pada para wanita dan bentuk
sakit lainnya. Roh leluhur dapat menganggu aktivitas mereka sehingga dapat
masyarakat yang menjadi pelakunya. Terutama besarnya kekuatan unsur sakral dari
benda-benda yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang
nampak dari upacara tersebut. Sejalan dengan itu Turner (1986) juga menegaskan
bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam suatu upacara, maka kita akan
Menurut Geertz (1992:56) simbol adalah segala sesuatu yang lepas dari
yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di
13
dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang
seseorang terhadap suatu objek yang biasanya berbeda antara seseorang atau satu
(1989:41) pandangan merupakan seluruh proses akal manusia yang sadar untuk
memberikan makna bagi lingkungan mereka. Awal munculnya persepsi dimulai dari
penglihatan hingga terbentuk suatu tanggapan atau pandangan yang terjadi dalam diri
seseorang sehingga orang tersebut dapat memberikan suatu arti dalam lingkungannya
hasil dari penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk
merasakan suatu objek sehingga kita akan memberikan tanggapan dan pemahaman
terhadap suat objek. Menerima, memahami dan merasakan didapatkan dari indera
14
yang dimiliki manusia seperti indera penglihatan, indera perasa, indera peraba dan
indera pencium. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan hasil dari
dilakukan oleh masyarakat Batak Karo, maka dari penjelasan diatas penulis
F. Metodologi Penelitian
adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara
sistematik mengenai cara hidup serta berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan
itu dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat, yang berlandaskan bahan-
kehidupan sosial masyarakat yang diteliti, menurut kaca mata mereka yang menjadi
sebagai suatu kegiatan sistematik untuk dapat memahami cara hidup yang dipunyai
oleh suatu masyarakat yang lain dari yang kita punyai. Pemahaman tersebut harus
mengikuti atau sesuai dengan kaca mata pendukung kebudayaan itu sendiri. Dalam
15
penelitian etnografi, peneliti lebih banyak bertindak sebagai orang yang belajar
Data-data visual berupa video dan foto-foto masyarakat yang telah pernah
melalukan upacara cawir bulungken digunakan sebagai alat penunjang bagi penulis
1. Lokasi Penelitian
ini karena merupakan daerah yang masyarakatnya bermayoritas suku bangsa Batak
Karo. Desa Cinta Rakyat, khususnya masih merupakan suatu desa yang masih kental
Data akan diperoleh dari subjek penelitian yang disebut dengan informan, yaitu
orang-orang yang dipilih untuk dapat memberikan informasi dan data yang akurat.
mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan berbagai hal
harus terlibat dalam suasana kebudayaan mereka dan menerapkannya setiap hari. 3.
suasana budaya yang tidak dikenal. 4. waktu yang cukup, maksudnya pada saat
Dalam penelitian ini, pemilihan informan yang digunakan di sini adalah teknik
kepada maksud dan tujuan penelitian. Di sini peneliti sengaja mengambil informan
dilakukan oleh masyarakat Batak Karo. Tujuannya yaitu menyaring serta menggali
gambaran terkait dengan upacara cawir bulungken yang dilakukan oleh masyarakat
Hal yang menjadi dasar peneliti dalam penarikan informan melalui purposive
informannya yaitu :
Informan kunci adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas dan orang
yang memiliki pengaruh besar terhadap beberapa masalah yang ada dalam
masyarakat yang akan diteliti. Dalam hal ini informan kunci yang akan diharapkan
dalam penelitian ini adalah informan kunci yang memang dianggap dan diyakini
18
Batak Karo seperti Kepala Desa, orang tua adat, pihak keluarga yang pernah
melakukan cawir bulungken, dan lain-lain. Dalam penelitian ini yang termasuk ke
dalam informan kunci yaitu AT, GS, IH, TG, LS, RR, NK, NS, NJ, MS dan MP.
memiliki pengetahuan dasar tentang upacara cawir bulungken ini. Masyarakat yang
tahu dengan upacara ini tetapi belum pernah mengikuti upacara ini hal ini
untuk menambah kelengkapan data yang telah didapat dari informan kunci. Dalam
penelitian ini yang termasuk ke dalam informan biasa adalah LG dan OP.
Untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, data yang
dicari dikelompokan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer
wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat
dari sumber-sumber tertulis baik berupa laporan, artikel, koran, maupun buku-buku
lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Semua proses pengumpulan data itu
a. Observasi
dan menjalin kerjasama yang baik dengan para informan. Hal ini bertujuan untuk
menjalin kerjasama yang baik dengan informan yang diteliti untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan sesuai kehendak dan kebutuhan. Dalam penelitian ini
peneliti tidak bisa melakukan observasi secara langsung untuk melihat proses
b. Wawancara
Ada dua macam wawancara yang sudah dilakukan dalam penelitian ini
guide yang ditunjukan pada informan-informan kunci seperti tokoh adat, kepala
desa, serta orang tua anak yang pernah dicawirbulungken. Fungsi dari interview
3
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera
sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.
Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Seseorang yang melakukan
pengamatan tidak selamanya menggunakan panca indera mata saja tetapi selalu mengaitkan apa yang
dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya seperti apa yang Ia dengar, apa yang
Ia cicipi, apa yang Ia cium dari penciumannya dan bahkan apa yang Ia rasakan dari sentuhan-sentuhan
kulitnya (Bungin, 2012:115).
20
guide ini sebagai panduan bagi peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak lari
beralih dari satu persoalan ke persoalan lain dan tidak terikat pada satu pokok
supaya mendapatkan hasil wawancara yang baik. Data yang didapat dari
c. Studi Kepustakaan
Untuk mendapatkan data yang lebih banyak dan beragam, maka peneliti
bulungken ini.
4. Analisis Data
berada di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan, baik itu hasil dari wawancara,
21
untuk menghasilkan suatu laporan penelitian yang deskriptis tentang masalah yang
perhatian khusus. Pekerjaan mencari dan menemukan data yang menunjang atau tidak
Kriteria ini perlu didasarkan atas pengalaman, pengetahuan, atau teori sehingga
kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara
(Bungin, 2012:154).
G. Proses Penelitian
proposal penelitian tentang salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Setelah
seorang teman untuk melakukan penelitian tentang Suku Bangsa Batak Karo, karena
pada suku bangsa tersebut masih banyak kegiatan/upacara yang berkaitan dengan
upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dari suku bangsa yang
berbeda dari suku bangsa peneliti, membuat peneliti tertarik melakukan penelitian ini.
tertarik mengkaji upacara cawir bulungken. Hal ini dikarenakan upacara ini mirip
dengan upacara perkawinan yang sebenarnya dilakukan pada masyarakat Batak Karo,
konsultasi dengan dosen pembimbing, dosen pembimbing pun setuju dengan apa
Pada bulan Januari tahun 2014 peneliti melakukan penelitian awal di Desa
awal ini peneliti lakukan untuk menggali dan mencari informasi awal dan berharap
ada masyarakat yang sedang melakuakan upacara cawir bulungken yang dilaksanakan
dan menyusun proposal maka ditetapkan judul penelitian “Tradisi Cawir Bulungken
Dalam Masyarakat Batak Karo.” Proposal penelitian peneliti ajukan pada bulan
Maret 2014. Pada Desember 2014 peneliti melaksanakan sidang ujian proposal di
ruang sidang jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
pertanyaan penelitian yang menjadi pedoman bagi peneliti untuk mencari data terkait
administrasi terkait penelitian. Pada akhir bulan Desember tahun 2014 peneliti
administrasi/ meminta izin penelitian mulai dari Kesbangpol hingga Kepala Desa.
dengan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan masyarakat Desa Cinta Rakyat. Hal
ini bertujuan untuk memudahkan penulis menggali informasi terkait penelitian yang
dilakukan.
Setelah penulis merasa diterima oleh masyarakat Desa Cinta Rakyat, maka
melakukan observasi dengan beberapa warga yang ada di Desa Cinta Rakyat.
akan peneliti teliti tidak dapat dilaksanakan/ tidak berlangsung. Pelaksanaan upacara
harus menunggu adanya anak yang sakit-sakitan dan orang tua si anak mendapat
mimpi buruk. Hal ini menjadi kesulitan bagi peneliti untuk mendapatkan data
pelaksanaan upacara secara langsung, sehingga data di dalam tulisan ini penulis
dapatkan melalui audio visual berupa video dan foto-foto yang di dapat dari
masyarakat yang telah pernah melakukan upacara cawir bulungken ini. Selanjutnya
24
penggunaan bahasa lokal menjadi kesulitan bagi penulis untuk memahami maksud
menetap di lokasi penelitian, peneliti dibantu oleh salah seorang teman yang
merupakan warga Desa Cinta Rakyat, hal ini menjadi salah satu kemudahan bagi
peneliti untuk lebih memahami adat-istiadat Batak Karo terumata mengenai upacara
menentukan dan mencari para informan yang pernah melakukan dan mengikuti
ini merupakan suatu upaya untuk mendapatkan keselamatan atas musibah yang akan
menimpa seseorang. Ini dikarenakan dalam masyarakat Batak Karo masih percaya
dengan kekuatan-kekuatan gaib yang berasal dari roh nenek moyang mereka.
melaksanakan upacara ini, baik anak maupun orang tuanya. Dalam penelitian yang
menjadi fokus peneliti adalah bagaimana pandangan masyarakat Batak Karo tentang
peneliti merasa data yang didapatkan sudah cukup, peneliti kembali ke Kota Padang
pada Bulan Februari 2015. Kemudian mulai menulis hasil temuan lapangan untuk
dijadikan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
25
S.sos di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Andalas. Pada bulan April 2015 peneliti berhasil mengetik temuan lapangan menjadi
skripsi. Untuk kemudian peneliti mulai melakukan proses bimbingan skripsi dengan
dosen pembimbing.
26
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Kabupaten Karo adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatera
Utara dengan ibukota kabupaten terletak di Kabanjahe. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 500.00 jiwa.
Kabupaten ini berlokasi di daratan tinggi Karo. Terletak sejauh 77 km dari Kota
dataran tinggi dengan ketinggian 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut.
Karena berada di ketinggian tersebut, diberi nama Tanah Karo Simalem nama lain
dari kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu antara 16 sampai 17°
Pada dataran tinggi Karo ini bisa ditemukan indahnya nuansa alam pegunungan
dengan udara yang sejuk dan pada daerah ini berciri khas sebagai daerah buah dan
sayur karena pada daerah ini bisa ditemukan berbagai macam jenis buah-buahan dan
sayur-sayuran seperti jeruk, stroberi, markisa, kol dan lain-lain. Di daerah ini juga
bisa kita nikmati keindahan gunung berapi Sibayak dan Gunung Sinabung.
Sesuai dengan yang tertuang dalam surat keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 118 tahun 1991 dan Surat Keputusan Gubernur KDH Tkt 1 Provinsi Sumatera
Kecamatan Payung, maka kabupaten Karo memiliki 17 kecamatan, 284 desa serta 10
Berastagi, Dolat Rayat, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Lau Belang, Mardinding,
Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Cinta Rakyat yang berada
di Kecamatan Merdeka. Desa Cinta Rakyat berada ±9 KM dari Kota Kabanjahe. Desa
Cinta Rakyat memiliki luas 3.200 Ha dengan jumlah penduduk 1819 jiwa. Adapun
pada ketinggian 1.200 Mdpl berhawa dingin, curah hujan 3.000 mm. Desa Cinta
Rakyat berada di daerah daratan tinggi yang dikelilingi hutan hujan tropis.
28
Belum diketahui data yang pasti mengenai asal-usul sub Suku Bangsa Batak
Karo ini. Pada mulanya bangsa ini bernama suku bangsa Haru kemudian Haro, dan
akhirnya lebih dikenal dengan Suku Bangsa Batak Karo. Dipekirakan Suku Bangsa
Batak Karo sudah ada sejak tahun 1250. Pada waktu itu telah berdiri suatu kerajaan
bernama kerajaan Haru (Aru). Menurut riwayatnya kerajaan itu cukup kuat dan
wilayahnya sangat luas, mulai dari Siak (Riau) sampai ke sungai Wampu di Langkat
(Sitepu:1996). Pernyataan di atas juga diperkuat dari hasil wawancara dengan bapak
LS. Bapak LS juga menyebutkan bahwa Suku Bangsa Batak Karo pada awalnya
bernama Suku Bangsa Haru yang berubah menjadi Haro dan pada akhirnya dikenal
rajanya berganti secara turun temurun. Namun suatu ketika sekitar tahun 1539
kerajaan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh yang
memiliki persenjataan cukup kuat. Akibat serangan tersebut Suku Bangsa Haru pecah
menjadi beberapa suku bangsa, menjadi Suku Bangsa Karo, Simelengun, Pakpak,
Latar belakang pecahnya Suku Bangsa Haru ini, ialah disebabkan pengaruh
agresinya adalah mengIslamkan suku bangsa Haru penganut agama Hindu Perbegu
Sejak saat itu Suku Bangsa Haru atau Karo di daerah pesisir pantai laut
Sumatera Timur menjadi penganut agama Islam yang pada waktu itu lazim disebut
“Jawi” dan sekaligus menyebut juga suku bangsa Melayu, pengaruh dari pedagang-
(Sitepu:1996).
Simalungun, Toba, Karo dan Pak-pak. Kemudian setelah datang agama baru yang
dibawa bangsa Eropa lambat laun suku bangsa Toba, Simalungun dan Pak-pak
Buluh Awar Tanah Karo, dimana mesiu peperangan sedang membakar Karo Jahe
(Deli), Karo Serdang dan Karo Langkat, antara tentara Kompeni Belanda dengan
mengirimkan Missi Kristen Zending ialah untuk menjinakkan rakyat dan pejuang-
Walaupun pada tahun 1907 daerah Karo seluruhnya sudah takluk kepada
pengaruh di daerah Karo. Sampai tahun 1945 penganut Kristen dan Islam masih
30
terbilang sedikit, dan agama Hindu/Perbegu tetap unggul. Hingga tahun 1965 agama
belah penguasaan Kesultanan Aceh, dan penguasa penjajahan Belanda, tidak mampu
Sejak terjadinya agresi tentara Kesultanan Aceh ke pusat kerajaan Haru tahun
masyarakat Haru atau Karo. Maka sejak sebelum terjadinya agresi tentara Kesultanan
Aceh tersebut disebut zaman Karo Tua, sedangkan sejak dari tahun itu ke bawah
Didalam wilayah Suku Bangsa Karo itu, terdapat beberapa bagian daerah
yaitu:
1. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan Daerah bekas Kecamatan
4. Daerah Karo Binge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semuanya
5. Daerah Karo Gugung, yaitu Tanah Tinggi Karo, meliputi wilayah Kabupaten
Desa Cinta Rakyat yang menjadi lokasi penelitian terdiri atas tiga kampung,
yaitu Kampung Lama, Kampung Tengah dan Kampung Baru. Pada zaman dahulu
Desa Cinta Rakyat bernama Desa Jumaraja. Masyarakat yang pertama kali menghuni
desa ini adalah marga Surbakti yang berasal dari Kuta Surbakti yang terletak di
wilayah Berastagi.
Jumaraja diartikan sebagai ladang raja, karena pada zaman dahulu terdapat
banyak ladang yang sangat luas yang dikuasai oleh marga Surbakti. Marga Surbakti
pada waktu itu berkuasa sebagai tuan tanah/ sipemantek kuta. Desa Jumaraja terkenal
Kabupaten Karo diganti nama oleh pemerintah, sehingga Desa Jumaraja diganti
menjadi Desa Cinta Rakyat hingga pada saat sekarang ini, tetapi nama Jumaraja tetap
C. Demografi Penduduk
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Kantor Kepala Desa Cinta Rakyat.
Jumlah penduduk Desa Cinta Rakyat sebanyak 600 KK dimana jumlah laki-laki 814
jiwa, dan jumlah perempuan 1005 orang jiwa. Data di atas menunjukkan bahwa
32
penduduk asli, namun hanya sebagian kecil yang merupakan pendatang di desa ini.
Pendatang yang ada di desa ini pada umumnya adalah suami atau istri yang menetap
Penduduk Desa Cinta Rakyat mayoritas adalah Suku Bangsa Batak Karo,
yang merupakan Suku Bangsa terbesar yang mendiami wilayah daratan tinggi Karo.
Disamping itu terdapat juga Suku Bangsa Batak Simalungun dan Suku Bangsa Jawa,
3. Jawa 15 orang
Penduduk Desa Cinta Rakyat ini terdiri dari Marga Karo-karo, Ginting, dan
lain lain. Kekerabatan semarga sangat kental sekali terasa, hal ini terdapat dari ketika
ada orang yang sukunya sama, walaupun tidak terdapat pertalian darah, mereka sudah
seperti saudara sendiri. Kerukunan antar sesama masyarakat sangat terlihat, hal ini
terlihat karena masyarakat satu dengan yang lain saling kenal walaupun rumah
mereka berjauhan.
D. Mata Pencaharian
pencaharian utama, sehingga terdapat kelompok suku bangsa tertentu yang memiliki
mata pencaharian yang khas dibandingkan dengan wilayah lainnya sebagai identitas
34
E. Bahasa
Masyarakat Desa Cinta Rakyat yang mayoritas adalah Suku Bangsa Karo
Bahasa Batak Karo secara historis sama halnya dengan asal usul suku Bangsa
Batak Karo itu sendiri, bahasa Batak Karo sukar diketahui kapan mulai ada dan siapa
penciptanya. Dalam bahasa Batak Karo pada umumnya terdapat kata-kata yang di
dominasi oleh suara hidup. Oleh karena itu mudah diucapkan, jelas di dengar dan
mudah ditangkap atau diingat. Ucapan dalam bahasa Batak Karo memiliki intonasi
dan dialek tersendiri termasuk cepat atau lambatnya pengucapan. Setiap bahasa
memiliki unsur keindahan, demikian juga bahasa Batak Karo. Unsur keindahan dalam
1. Pola Pemukiman
Desa Cinta rakyat memiliki luas sekitar 3200 Ha. Pemukiman pada desa Cinta
Rakyat terbagi dalam dua wilayah, pertama wilayah kampung lama dan wilayah
kampung baru. Adapun wilayah kampung lama adalah wilayah pemukiman yang
pertama kali dihuni oleh masyarakat desa Cinta Rakyat. Karena pertumbuhan
penduduk desa yang meningkat, maka dibukalah pemukiman baru, dan diberi nama
Kampung Baru.
36
Pola pemukiman pada Desa Cinta Rakyat terbagi dua, pemukiman pada
wilayah kampung lama berpola pemukiman terpusat. Hal ini dapat dilihat dari rumah-
rumah yang terletak bersebelahan antara satu rumah dengan rumah lainnya yang
masih berbentuk rumah adat karo atau dikenal dengan rumah “siwaluh jabu”. Rumah
“siwaluh jabu” artinya rumah yang berisi delapan keluarga. Rumah “siwaluh jabu”
mengikuti arah jalan raya, terlihat dari banyaknya rumah yang dibangun di sepanjang
jalan raya desa Cinta Rakyat. Dibelakang rumah masyarakat terdapat ladang milik
pemerintahan Kabupaten Karo serta 5 Km dari Kota Berastagi. Sarana jalan menuju
penduduk bermacam-macam penduduk seperti kol, lobak, wortel, jeruk, dll. Kondisi
jalan di tempat ini cukup memprihatinkan, jalan-jalan banyak berlubang dan rusak.
Disepanjang jalan juga terdapat jurang yang membahyakan bagi kendaraan. Jalan
tersebut hingga saat ini belum diperbaiki oleh pemerintah setempat, padahal jala ini
Angkutan sewa yang digunakan menuju Desa Cinta Rakyat adalah Angkutan
Sibayak. Jalur lintas angkutan Sibayak adalah dari Kota Berastagi menuju Desa Cinta
Berastagi. Biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 4.000,-. Angkutan ini beroperasi dari
pukul 07.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB dengan waktu tempuh ke Desa Cinta
Rakyat sekitar setengah jam. Jika kita dari Kota Medan, kita dapat menggunakan Bus
Sumatera Transport atau Sinabung dengan ongkos Rp. 10.000, lalu berhenti di
terminal Berastagi yang waktu tempuhnya satu setengah jam. Dari terminal bus
3. Sarana Kesehatan
pembantu ini terletak di jalan utama ke kampung lama dari kampung baru.
Puskesmas pembantu ini menyediakan layanan rawat inap bagi para pasien. Biasanya
bidan yang bertugas di puskesmas ini juga bersedia dipanggil ke rumah warga,
misalnya ada di antara warga yang melahirkan dan sakit yang tidak sanggup datang
Cinta Rakyat, keberadaan dukun/ guru juga sangat membantu dalam mengatasi
38
2. Posyandu 1
3. Puskesmas Pembantu 1
4. Rumah Bersalin 1
Jumlah 4
4. Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan yang terdapat pada Desa Cinta Rakyat yaitu dua buah bangunan
untuk Sekolah Dasar dan tiga buah bangunan untuk Taman Kanak-kanak, sedangkan
untuk bangunan SLTP dan SLTA belum tersedia di desa ini. Untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak Desa Cinta Rakyat harus melanjutkan
39
sekolah keluar dari desa, biasanya mereka melanjutkan sekolah di Kota Berastagi
penghasilan, jabatan dan status sosial. Pendidikan dinilai tinggi dan mempunyai arti
penting. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dengan melalui pendidikan
seseorang akan mampu mengangkat derajat keluarga dan juga sebagau persiapan
untuk menempati posisi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab itu semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula lah statusnya di dalam masyarakat.
5. Sarana Peribadatan
Sarana peribadatan merupakan suatu hal yang penting yang harus ada pada
sedikit, ini dapat dilihat dari masih sedikitnya sarana prasarana peribadatan yang ada,
dimana terdiri dari satu buah masjid dan dua buah Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP).
40
1. Mesjid 1
2. Gereja 2
3. Wihara -
4. Pura -
Jumlah 3
6. Lembaga Sosial
Lembaga sosial atau dikenal juga sebagai lembaga kemasyarakatan salah satu
jenis lembaga yang terdapat di Desa Cinta Rakyat yang mengatur rangkaian tata cara
dan prosedur dalam melakukan hubungan antar masyarakat yang bertujuan untuk
organisasi kepemudaan.
misionaris pada tahun 1967 pada masyarakat Batak Karo. Sejak saat itu penduduk
41
Desa Cinta Rakyat sudah memiliki agama, seperti dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini :
No Agama Jumlah
3. Khatolik 15 orang
4. Hindu -
5. Budha -
Karo telah memiliki sistem religi/kepercayaan yang bertumpu pada kepercayaan roh-
roh nenek moyang/leluhur mereka. Sistem Religi asal masyarakat Batak Karo adalah
Perbegu, pada tahun 1946 diganti namanya menjadi agama Pemena. Agama Pemena
adalah agama menyembah roh leluhur yang telah meninggal (Josten: 2014).
Agama Pemena artinya adalah agama pertama. Agama pertama yang masuk
ke Indonesia adalah agama Hindu, maka agama Hindu inilah agama pertama yang
datang ke wilayah Nusantara termasuk ke wilayah Karo. Inti dari ajaran agama
pemena ini selain percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),
sebagai pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, juga percaya masih ada
42
kekuatan lain. Kekuatan lain tersebut adalah kekuatan roh-roh nenek moyang yang
dapat membantu mereka selama hidup di bumi ini. Dalam kehidupan sehari-hari,
mereka menekankan pemujaan kepada kekuatan roh nenek moyang yang dianggap
Tuhan sebagai Maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Mereka juga
percaya adanya “tenaga gaib dari roh-roh nenek moyang” yaitu tenaga yang
lain. Tenaga yang ada di tempat-tempat tersebut dianggap keramat, dan dapat
memberi rezeki, nasib baik maupun mendatangkan malapetaka pada manusia. Untuk
mendatangkan nasib yang baik, agar tanaman subur serta terhindar dari malapetaka,
Tuhan pencipta langit dan bumi termasuk segala isinya, masyarakat Batak Karo
Masyarakat Batak Karo percaya segala yang ada di dunia ini, yang dapat dilihat
idah. Dibata ni idah disebut juga Dibata yang tampak maksudnya merupakan wakil
Dibata di dunia ini. Dalam masyarakat Batak Karo terdapat rakut si telu yang
merupakan unsur tri tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiga unsur yang
tercakup dalam rakut si telu itu adalah anak beru, senina dan kalimbubu. Kalimbubu
43
menghormati kalimbubunya akan memperoleh tuah, banyak rezeki segala usaha akan
Dibata la idah adalah dibata yang tidak kelihatan, biasa juga disebut Dibata
kaci-kaci. Dibata la idah ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu di dunia atas,
di dunia tengah dan di dunia bawah. Setiap wilayah diperintah oleh seseorang dibata
kaci-kaci. Ketiga Dibata yang merupakan menguasai tiga wilayah kekuasaan ini
merupakan kesatuan, yang dalam bahasa Batak Karo disebut Dibata Si Telu (Bangun:
1986; 45) .
1. Dibata Datas atau disebut juga Guru Butara adalah yang menguasai dunia bagian
2. Dibata Tengah atau disebut juga Tuhan Padukah ni aji adalah penguasa dunia
3. Dibata Teruh atau disebut juga dibata bawah adalah penguasa dunia bawah, yaitu
dunia yang terdapat di bawah bumi kita, ini biasa juga disebut Tuhan Banua
Koling.
Mayarakat Batak Karo percaya manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu tendi
“roh”, begu “hantu” dan tubuh. Setelah manusia meninggal dunia, tendi pun
menghilang, tubuh-pun hancur dan begu tetap ada. Menurut Josten (2014:11) tendi
dan tubuh seseorang merupakan kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan.
44
Kalau tendi pergi sebentar saja dari tubuh maka seseorang akan jatuh sakit sedangkan
kalau tendi berpisah dengan tubuh maka orang itu akan meninggal dunia.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak Karo, begu adalah jiwa atau tendi
dari orang yang telah meninggal. Tendi (jiwa) dapat dikatakan sebagai sumber dan
Si Ola Lapat.
Posisi yang ditempati oleh ketujuh tendi adalah posisi yang penting yang turut
terganggu, maka seseorang akan menderita sakit. Untuk menghindari hal itu perlu
Setiap orang yang hidup mempunyai tendi “roh”. Kalau orang meninggal
dunia maka tendi itu berubah menjadi begu. Oleh karena begu ini sering menganggu
orang-orang yang masih hidup, maka orang banyak pun membenci serta
1. Begu Jabu
45
Begu Jabu atau begu keluarga adalah begu dari keluarga dekat yang telah
meninggal dunia. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu serta anak-anaknya yang belum
kawin. Kalau anggota keluarga ini meninggal dunia maka tendi mereka berubah
menjadi begu jabu. Sesuatu begu barulah dapat menjadi begu jabu kalau memenuhi
syarat-syarat tertentu.
2. Begu Biasa
Begu orang yang mate kayat-kayaten, yaitu yang mati karena penyakit, sedangkan
orangnya belum begitu tua, tidak dapat menjadi begu jabu, tetapi hanya begu biasa
saja. Begitu juga begu orrang yang mate cawir metua atau meninggal lanjut usia,
3. Begu Mentas
Semua tendi manusia yang meninggal dunia menjadi begu. Bagi keluarganya
beberapa begu itu menjadi begu jabu, beberapa lagi menjadi begu biasa, yang harus
4. Begu Mengep
Begu menggep adalah sejenis begu yang sangat menakutkan. Begu ini selalu
menyembunyikan diri di muka atau di bawah tangga masuk ke rumah atau ke pondok
untuk menerkam mangsanya. Begu jenis ini sangat ganas kepada para wanita dan
anak-anak. Sebagai tangkal penolak begu menggep maka anak-anak serta para wanita
Menggep dalam bahasa Batak Karo berarti keluar dengan tiba-tiba untuk
menerkam mangsanya. Begu menggep berarti begu yang keluar tiba-tiba dari
46
5. Begu Sidangbela
Begu sidangbela adalah begu wanita yang meninggal dunia pada saat dia
melahirkan anak. Dalam bahasa Batak Karo disebut begu si mate ranak atau begu
orang yang mati beranak. Begu ini diam baik di dunia bawah maupun di dunia ini.
Begu ini sangat marah dan benci serta kejam sekali terhadap para wanita hamil
dan anak-anak kecil. Begu ini selalu menanti pada bagian hilir dari pancuran atau
tempat mandi. Justru karena begu sidangbela ini adalah begu wanita yang mati
beranak barangkali maka dia ingin membalas dendam kepada para wanita hamil dan
anak-anak.
6. Begu Ganjang
Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senangkali mencekik leher
mangsanya mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.
Begu ini dapat dapat berperangai pria maupun wanita. Gigi begu ganjang besar dan
tajam seperti jaji. Begu ganjang ini dapat membuat orang atau anak-anak mati
seketika. Kalau dia mencekik, maka leher orang yang dicekik itu berwarna biru dan
mata orang tersebut terbelalak, lalu meninggal. Tangkal pengusir begu ganjang
adalah kalung jerangau atau ikat pinggang jerangau. Tali pengikat jerangau itu
biasanya benang benalu, yaitu pintalan benang merah, hitam dan kuning.
7. Naga Lumayang
47
Naga Lumayang adalah nama salah satu begu dalam bahasa Batak Karo. Naga
Lumayang ini setiap hari mempunyai tempat tertentu. Begu Naga Lumayang
berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya setiap hari. Untuk menghindari
Dalam kehidupan masyarakat Batak Karo peranan guru4 sangat penting, karena ia
bisa membantu mengatasi penyakit, membaca hari dan bulan baik, memanggil roh
dan arwah, memberi semangat dan lain sebagainya. Terkait dengan guru ini,
1. Guru sibaso/guru perdiwel diwel biasanya adalah perempuan. Guru ini bisa
berperan sebagai pemanggil roh manusia yang telah meninggal dan lewat dia
roh/begu berbicara. Ini dapat dilakukan melalui upacara khusus dalam acara
perumah begu.
melihat daun sirih yang disodorkan kepadanya apakah akan ada penyakit atau
kejadian buruk serta tanda-tanda yang akan datang serta cara mengatasi atau
mengobatinya.
3. Guru sibeloh niktik wari, dukun yang mampu menghitung hari, bulan baik
atau buruk. Apabila jika seseorang akan memasuki rumah baru, melakukan
perkawinan, berangkat perang dan lain-lain. Ia menyebut hari baik atau buruk
4
Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai
tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat
berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo.
48
delapan penjuru.
H. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Batak Karo adalah sistem
saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam semua kaum
istilah sangkep nggeluh yang meliputi merga silima, rakut sitelu dan tutur siwaluh.
Pusat dari sangkep nggeluh adalah sukut yaitu orang/ pribadi/merga tertentu yang
dikelilingi oleh senina, anak beru dan kalimbubunya. Dalam melaksanakan upacara
adat tertentu seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru dan lain-lain,
sangkep nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam acara tersebut.
Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin dan orang tua yang
kawin.
49
1. Merga Silima
Sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Karo memang sangat
penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Batak Karo sejak dahulu mengenal merga dan beru. Merga untuk anak laki-laki dan
moyang laki-laki. Tarigan (dalam Yunus 1994:16) mengatakan bahwa merga berasal
dari perkataan mehaga yang berarti terhormat, yang berbangsa, yang berkuasa.
Merga dijunjung tinggi artinya merga menentukan kekerabatan, keturunan dan jodoh.
Sedangkan Masri Singarimbun (dalam Yunus 1994: 17) mengatakan merga sebagai
klen adalah kelompok unilineal yang terbesar, membagi suku Batak Karo atas lima
golongan besar, dan masing-masing tidak pernah merasa terpaut atau berasal dari
Merga dalam masyarakat Batak Karo memiliki nilai dan manfaat yang besar
- Merga membuat seseorang anggota masyarakat Batak Karo dihargai, disegani dan
dihormati
- Merga sebagai tanda garis keturunan seseorang dalam masyarakat Batak Karo
50
- Merga adalah bagian atau unsur yang terdapat dalam hak kepemilikan dan
Merga selain memiliki manfaat juga memiliki tugas dan tanggung jawab
- Setiap merga harus menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan merganya
termasuk submerga
- Setiap merga harus menjaga nama baik atau penghormatan merganya termasuk
submerga
- Setiap merga harus saling membantu bagi merga atau submerga yang
membutuhkan
Dalam Masyarakat Batak Karo terdapat lima merga induk, yakni Karo-karo,
garis keturunan melalui pria. Merga terdiri dari merga induk dan sub-merga. Dalam
istilah antropologi merga disebut juga dengan klen. Pada sub bab selanjutnya peneliti
akan menjelaskan lebih rinci tentang rakut sitelu yang dikenal sebagai tonggak
kekerabatan masyarakat Batak Karo yang terdiri dari kalimbubu, senina dan anak
beru.
51
2. Rakut Sitelu
Secara etimologis rakut sitelu berarti “tungku yang tiga”. Rakut berarti batu
tungku, sitelu berarti yang tiga. Rakut Sitelu adalah suatu jaringan kerja sosial budaya
yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Batak
sukut.
Setiap masyarakat Batak Karo masuk ke dalam golongan rakut sitelu tersebut,
kalimbubu terhadapa satu golongan, sebagai anak beru terhadap golongan lain dan
senina terhadap golongan satu lagi (Ahmad dkk, 1994:25). Hubungan diantara ketiga
golongan ini tidak dapat dipisahkan di dalam adat. Setiap orang akan merasakan dan
mengetahui hak dan kewaibannya terhadap golongan mana dia berkedudukan pada
Dalam suatu upacara adat, tidak berlaku pangkat atau jabatan seseorang.
Kalau pada zaman lampau misalnya bangsa raja atau pada zaman sekarang ini orang
berpangkat jendral atau gubernur jika posisinya dalam upacara adat adalah sebagai
“anak beru” maka ia harus bekerja sebagai pelayan, ia harus mengurus segala
upacara adat, baik dalam hal masak-memasak maupun dalam musyawarah untuk
sama maka pihak “kalimbubu” walaupun ia adalah seorang petani, mereka tidak
bekerja sama sekali, tinggal terima saja makan dan minum di atas tikar halus.
Peranan seperti ini dalam upacara adat selalu berlangsung secara melingkar,
sekali sebagai “anak beru”, lain kali sebagai “kalimbubu” atau “senina” maka dalam
suatu upacara dengan sendirinya tidak dikenal perbedaan derajat antara satu orang
2.1 Kalimbubu
kekerabatan antara keluarga isteri dan suami, tetapi juga menjalin jaringan-jaringan
Dalam adat Batak Karo, kalimbubu disebut juga dengan Dibata Ni Idah yang artinya
“ … Kalimbubu adalah pihak pemberi wanita, jika kita kawin dengan seseorang
wanita, keluarganya adalah golongan kalimbubu kita. Lebih jauh Bapak LS juga
mengatakan, “pihak kalimbubu harus dihormati dan dijaga betul, jangan sampai pihak
kalimbubu berkecil hati, jika sampai berkecil hati maka menurut kepercayaan kami
dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti padi tidak menjadi, susah
mendapatkan anak, anak lahir cacat, dll…”
kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini apabila
pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu
53
adalah kalimbubu kita. Disebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah
kalimbubu, yang terbentuk dari hubungan perkawinan dan hubungan darah. Adapun
- Kalimbubu Tua
Kalimbubu tua adalah kalimbubu daripada nenek moyang yang pada masa dahulu
giliran pertama menari dalam upacara adat. Kalimbubu tua disebut juga oleh
- Kalimbubu Bena-Bena
Kalimbubu bena-bena adalah kalimbubu nini, kalimbubu ayah dari ayah, yang
- Kalimbubu Simupus
- Kalimbubu Si Perdemui
- Kalimbubu Sembuyak
seseorang.
Dari bagan diatas dapat dilihat ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dan
anak perempuan kalimbubunya dengan istilah impal. Ego menyebut dan menyapa
anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki isterinya dengan istilah
permen. Ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dan anak perempuan dari anak
laki-laki dan anak perempuannya dengan kempu. Ego menyebut dan menyapa ayah
isterinya dengan istilah mama dan ibu istrinya dengan istilah mami. Ego menyebut
ayah dari ibunya dengan istilah nini laki dan menyapanya dengan istilah bulang. Ego
menyebut ibu dari ibunya dengan nini tudung dan menyapanya dengan istilah ribu
bagi merga Perangin-Angin, karo bagi merga Karo-Karo, biring bagi merga
Sembiring, iting bagi merga Ginting dan tigan bagi merga Tarigan.
55
Anak beru adalah golongan penerima gadis/anak dara. Anak beru dalam
membawa kerukunan dan kedamaian pada keluarga kalimbubu. Pada pesta-pesta adat
Batak Karo, anak beru menjadi modal penggerak kesuksesan sebuah pesta (Josten,
2014:17).
“… anak beru adalah orang yang harus menghormati kalimbubu, tidak boleh
membuat kalimbubu sakit hati atau marah, karena jika kalimbubu marah,
dapat menyebabkan hal yang tidak diinginkan dan harus taat kepada tugas
yang diberikan oleh kalimbubu…”
upacara kematian dan lain-lain diselesaikan oleh anak beru. Walaupun seorang
5
Jambur adalah bangunan luas yang dipergunakan sebagai ruang serba guna masyarakat Batak Karo.
Pada umumnya jambur digunakan sebagai tempat pesta Batak Karo, baik pesta adat, perkawinan
maupun kematian. Wikipedia Indonesia. Diakses Tanggal 25032015
56
berkedudukan sebagai anak beru tetap harus tunduk kepada tugas yang diberikan oleh
kalimbubunya.
(Tarigan;1990) diantaranya:
Anak beru ipupus adalah anak beru yang terjadi karena adanya pertalian darah,
Anak beru iangkip adalah anak beru yang baru, yang terjadi karena
kawin/mahar.
Anak beru tua di dalam keluarga adalah seseorang yang tertua dari semua anak
Anak beru menteri adalah anak beru yang tidak bertanggung jawab, dalam
upacara adat anak beru ini merupakan pesuruh atau pekerja saja, setiap ada
Ego menyebut dan menyapa saudara perempuan ayahnya dengan istilah bibi dan
suaminya dengan istilah bengkila. Ego menyebut dan menyapa anak laki-laki dari
57
saudara perempuan ayahnya dengan istilah silih dan isterinya disebut turangku,
hubungan dengan turangku. Ego menyebut anak laki-laki dan perempuan dari saudara
perempuan ayahnya dengan istilah bere-bere dan menyapanya dengan istilah tongkat
untuk anak laki-laki, ame untuk anak perempuan. Ego menyapa anak laki-laki dan
anak perempuan dari bere-berenya dengan istilah kempu. Ego menyebut ayah dari
suami saudara perempuan ayahnya dengan istilah nini laki dan menyapanya dengan
istilah laki. Ego menyebut ibu dari suami saudara perempuan ayahnya dengan istilah
2.3 Senina/Sembuyak
Senina berarti saudara, senina berasal dari dua kata yakni se yang berarti satu dan
ni yang berarti nenek dan na yang berarti kaya. Jadi perkataan senina berarti satu
nenek. Istilah senina dapat digunakan dalam pengertian luas/ umum dan dapat pula
mengungkapkan:
“… senina adalah saudara sejenis dan bermasrga sama dengan pelaku. Misalnya
kita anak pertama, terus adik kandung kita laki-laki maka adik kita itu adalah
senina kita, sedangkan adik kita yang perempuan disebut turang…”.
yang berasal dari satu clan yang sama tetapi lineage yang berbeda. Misalnya Tarigan
Sibero dengan Tarigan Tua, Ginting Suka dengan Ginting Manuk, dan sebagainya.
Dalam pengertian sempit, yaitu berlakunya di dalam hukum dan golongan fungsional,
58
hanya terbatas pada lineage tertentu dari satu clan. Untuk itu dipergunakan istilah
senina sembuyak yang berarti saudara sekandung atau istilah sembuyak kal yang
berarti sekandung benar-benar. Misalnya Ginting Suka dengan Ginting Suka lainnya,
Di samping arti luas dan sempit, hubungan seseorang dengan orang lain boleh
a. Isteri bersaudara
b. Suami bersaudara
c. Ibu bersaudara
masih ada hubungan nenek yang bersaudara. Lebih jauh ada pula senina dalam
hubungan lain, dimana saudara tersebut telah diluar jalur garis keturunan dalam suatu
kelompok. Dapat terjadi atas adanya hubungan keluarga dari ibu, dari istri dan dari
anak.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Batak Karo adalah patrilineal
yang menghitung kekerabatan melalui garis keturunan ayah. Pada bab selanjutnya
BAB III
upacara cawir bulungken. Mulai dari pengertian upacara cawir bulungken itu sendiri
Cawir bulungken adalah suatu pernikahan antara dua orang anak yang belum
cukup umur (anak-anak) yang hanya bersifat simbolis saja, tujuan cawir bulungken
ini adalah untuk menghindari malapetaka bagi salah satu pihak yang diketahui
melalui mimpi buruk atau karena seseorang diantaranya sering mengalami sakit.
Sejalan dengan pernyataan diatas salah satu informan juga berbicara mengenai
“… cawir bulungken disusun oleh dua kata yaitu cawir yang berarti harapan
dan bulungken yang berarti daun maksudnya adalah upacara yang
dianalogikan dengan menebar daun diatas tanah, walaupun daun ditebar
sebanyak-banyaknya tapi tidak akan tumbuh …”
taburkan daun (Sembiring, 2009: 49). Selain menebar daun, menurut salah seorang
60
informan yaitu LS cawir bulungken berarti sebagai upacara meluruskan daun. Berikut
bulungken adalah upacara yang dianalogikan dengan penaburan daun dan meluruskan
simbolik saja. Walaupun ada harapan-harapan untuk kelak hidup bersama menjadi
suami isteri yang sebenarnya, upacara itu sendiri bukanlah merupakan ikatan
perkawinan. Dalam pelaksanaannya, hanya mereka yang bertutur impal saja yang
boleh di cawir bulungken. Selain itu upacara cawir bulungken juga dimaksudkan
untuk mempererat kembali hubungan kedua belah pihak, kedua belah pihak yang
yang sangat penting, karena dengan adanya tempat pelaksanaan suatu upacara dapat
61
kalimbubu adalah pihak yang harus dihormati oleh sebab itu rumah kalimbubu
rumah pihak kalimbubu, upacara Untuk memperkuat pernyataan peneliti di atas, hal
tersebut diperkuat oleh salah satu penuturan informan LS, berikut ini :
Gambar 2: Jambur
dilakukan mengundang seluruh sanak saudara, seluruh kerabat (sangkep nggeluh) dan
2. Waktu Pelaksanaan
Waktu merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam suatu upacara.
Pemilihan waktu yang tepat dalam suatu upacara mempengaruhi berhasilnya upacara
tersebut. Waktu yang tepat membuat suatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang
menjadi tujuan upacara akan tercapai. Suatu upacara yang tanpa memperhitungkan
waktu akan membawa hasil atau bahkan mungkin bisa menjadi sesuatu yang tidak
mereka. Semua pekerjaan akan selalu dilihat waktu yang tepat untuk melakukannya.
Seperti untuk melaksanakan upacara memasuki rumah baru, tidak pada semua hari
upacara tersebut dapat dilakukan. Pemilihan hari yang tepat untuk upacara memasuki
rumah baru akan membawa berkat bila menempati rumah tersebut. Hari yang tepat
untuk mengadakan upacara memasuki rumah baru tersebut adalah wari cukera dudu
dalam kalender masyarakat Batak Karo. Hari tersebut adalah hari yang baik untuk
melaksanakan pernikahan, menanam kebaikan, dan untuk tolak bala dan segala niat
buruk orang kepada kita, dan untuk mengadakan upacara memasuki rumah baru.
63
Selanjutnya ada hari tula yang dalam masyarakat Batak Karo yaitu hari ke lima belas
dalam kalender Batak Karo yang berarti hari sial, pada hari ini semua masyarakat
tidak baik, tetapi pada hari ini sangat baik untuk melakukan kegiatan seperti
hari budaha ngadap. Hari ini adalah hari kesebelas dalam kalender masyarakat Batak
Karo. Hari budaha ngadap bagi masyarakat Batak Karo dikatakan sebagai hari
pencerahan. Hari ini juga sangat baik untuk melakukan semua kegiatan dan
hari budaha ngadap upacara cawir bulugken dapat juga dilakukan pada hari-hari lain
yang dianggap merupakan hari baik untuk melaksanakan kegiatan dalam kalender
Batak Karo seperti pada hari nggara enggo tula hari ke tujuh belas dalam kalender
Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini biasanya disarankan oleh orang tua
dari anak yang sakit atau orang tua anak yang mendapatkan mimpi buruk. Untuk
menentukan pelaksanaan upacara ini ditanyakan kepada guru sipemeteh wari sitelu
puluh atau guru yang paham dengan kalender Karo, guru yang paham dengan hari-
hari baik yang ada pada kalender Karo. Penentuan waktu pelaksanaan upacara cawir
Pada saat sekarang untuk melaksanakan upacara cawir bulungken tidak perlu
ditanyakan lagi kepada guru si meteh wari karena telah tersedia kalender Batak Karo
yang memuat hari-hari yang 30 tersebut. Terkait dengan penjelasan di atas, dapat kita
“… waktu dahulu jika ada orang yang melaksanakan upacara cawir bulungken
maka orang tua si anak yang sakit atau mendapat mimpi buruk, bertanya
kepada guru si meteh wari untuk menentukan hari baik untuk melaksanakan
upacara tersebut, tetapi pada saat sekarang sudah tidak perlu/ diharuskan lagi
untuk bertanya kepada guru si meteh wari, karena sudah ada kalender karo
yang memuat penanggalan dalam masyarakat Batak Karo…”
Jadi untuk pelaksanaan upacara cawir bulungken harus ditentukan hari yang
baik dalam penanggalan Batak Karo. Dengan demikian upacara cawir bulungken,
diharapkan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan orang yang
melaksanakannya.
kebudayaan itu sendiri, dimana masyarakat itu mempunyai tradisi dan kebiasaan-
yang ada dalam kebudayaan tersebut sesuai dengan peranan dan kedudukannya dalam
suatu kekerabatan.
yang mempengaruhi lancar atau tidaknya upacara cawir bulungken. Pelaksanan setiap
upacara dalam masyarakat Batak Karo disebut sukut/ orang yang memiliki acara.
Hubungan kekerabatan Batak Karo yang berpusat pada rakut sitelu (tiga tungku)
atau tiga tonggak hubungan kekerabatan masyarakat Batak Karo yang memiliki
fungsi yang berbeda satu sama lain, begitupun dalam pelaksanaan upacara cawir
bulungken peranan ketiga kelompok yang terdiri dari kalimbubu, senina dan anak
beru sangatlah penting. Jika salah satu dari ketiga kelompok kekerabatan ini tidak
hadir, maka upacara cawir bulungken dianggap tidah sah pelaksanaannya. Ketiga
kelompok ini menjadi peserta upacara tersebut, selain rakut sitelu. Untuk protokol
upacara cawir bulungken biasanya adalah anak beru tua dari pihak laki-laki. Anak
beru tua adalah seseorang yang tertua dari semua anak beru dan berkedudukan
yang sakit-sakitan, walaupun sudah dibawa kerumah sakit tetapi tidak juga kunjung
66
sembuh, atau orang tua si anak mendapatkan mimpi buruk tentang anaknya. Oleh
bulungken adalah orang tua si anak yang akan melaksanakan upacara cawir
bulungken akan menemui guru si pemeteh wari atau guru yang paham dengan
kalender Karo, yang akan memilih hari baik di antara 30 hari yang ada. Orang tua si
anak akan menanyakan kapan waktu yang tepat untuk dilaksanakannya upacara cawir
bulungken ini. Biasanya upacara cawir bulungken ini dilaksanakan pada hari budaha
ngadep atau hari ke sebelas dalam kalender Karo karena menurut masyarakat Batak
Karo hari ini dianggap hari yang baik dan akan membawa keberuntungan serta
memberikan berkat bagi orang yang melaksanakan upacara cawir bulungken ini.
“… hari budaha ngadep adalah hari kesebelas dari penanggalan Batak Karo,
hari ini dikatakan sebagai hari pencerahan, hari baik, baik untuk melakukan
segala bentuk aktivitas/kegiatan dan baik untuk dilaksanakannya pesta. Baik
untuk membuat perjanjian, musyawarah, mengunjungi kalimbubu, melamar
pekerjaan, membuka usaha dan melakukan upacara-upacara adat…”
Dalam kalender Batak Karo, hari budaha ngadep dianggap sebagai hari yang
baik untuk pelaksanaan upacara cawir bulungken, dengan dilaksanakan pada hari
bulungken ini, proses selanjutnya dari upacara cawir bulungken adalah berkumpulnya
rakut sitelu dalam istilah Batak Karo dikenal dengan acara ngambat-ngambat . Jika
anak yang akan dicawir bulungken kan adalah anak laki-laki maka harus dicarikan
anak kalimbubu yang perempuan dan jika anak yang akan dicawir bulungken kan
meyiapkan makanan untuk disantap oleh pihak-pihak yang hadir pada acara
pemberian kampil sirih yang di dalamnya sudah dilengkapi dengan peralatan untuk
menyirih yang terdiri dari sirih, gambir, kapur, pinang, dan sebagainya. Pedalan
kampil ini ditujukan kepada ibu-ibu yang suka menyirih. Sedangkan untuk pihak laki-
laki yang hadir disedikan rokok, biasanya dilengkapi dengan minuman teh dan kopi.
Setelah itu dilakukan acara makan bersama, pihak anak beru melayani para tamu
proses upacara cawir bulungken yang akan dilaksanakan esok hari. Dalam acara ini
pihak yang terlibat adalah anak beru dan kalimbubu. Adapun yang dibicarakan dalam
68
acara ini adalah proses dari mulai hingga tahapan berakhirnya upacara cawir
bulungken.
Sehubungan dengan benda-benda yang harus disiapkan oleh pihak yang laki-laki dan
“… untuk melaksanakan upacara cawir bulungken orang tua anak yang sakit
menyediakan rumput parang teguh, kain uis arinteneng, kampil/tempat sirih
dan pinggan pasu serta tikar pandan dan apabila anak laki-laki yang sakit
maka disediakan cincin pengambat dan pakaian untuk pasangan anaknya,
sedangkan jika perempuan yang sakit maka akan disediakan piso dan pakaian
untuk pasangannya…”
Untuk melaksanakan upacara cawir bulungken pihak orang tua anak laki-laki
Uis 5, Pinggan Pasu 6, Tikar Pandan. Sedangkan pihak orang tua anak perempuan
dan menyanyi yang diiringi dengan musik (keyboard). Menari dan menyanyi
69
merupakan salah satu dari kegiatan proses upacara adat yang ada dalam masyarakat
Batak Karo tidak terkecuali upacara cawir bulungken. Biasanya tari yang dibawakan
adalah tari landek. Tari landek adalah tarian yang mengambarkan percintaan muda-
mudi pada malam hari di bawah terang sinar bulan purnama. Tarian ini dibawakan
dengan karakter gerak yang lebih lemah gemulai. Pola dasar tari landek adalah posisi
tubuh, gerak tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo
gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu
sehingga tarian tersebut sangat menarik dan indah. Tarian dan nyanyian yang
dilakukan merupakan pujian dan sekaligus doa bagi si anak yang sedang dicawir
bulungken.
Nyanyian yang biasa dibawakan adalah lagu di dong doah (nina bobo untuk si
anak) dan lagu ini dianggap lagu wajib serta lagu mejuah-juah yaitu lagu yang
berisikan salam, sehat dan sejahtera. Contoh lagu di dong doah yang biasa dibawakan
Artinya :
Disuruh ibu dan ayah, jangan malas disuruh paman dan bibi
masyarakat Batak Karo dapat menyanyikan lagu ini karena nyanyian ini semacam
lantunan doa-doa orang tua kepada anaknya agar kelak dewasa anaknya menjadi anak
yang berguna bagi orang tua, kalimbubu dan anak beru. Dan biasanya yang
menyanyikan ini adalah orang-orang yang sudah tua. Setelah acara menyanyi selesai,
Pada hari yang telah ditentukan berkumpulah semua undangan dan pihak
telah disiapkan oleh masing-masing orang tua si anak yang sakit dan pasangannya.
Kemudian kedua pengantin cilik ini didudukkan di tengah ruangan/ jambur dengan
ditemani oleh kedua orang tua mereka. Kemudian dijalankan kampil/ sirih kepada
kalimbubu yang berjumlah enam kampil. Kemudian kampil ini dibagikan kepada:
71
- Sukut atau orang yang mempunyai hajatan/ tuan rumah yang melaksanakan
- Anak beru
- Senina
dicawirbulungken
- Singalo ulu emas atau saudara laki-laki dari ibu si laki-laki yang di cawir
bulungkenkan
pihak kalimbubu dengan berkata kepada anak yang di cawir bulungken. Dalam kasus
ini anak yang mengikuti cawir bulungken adalah anak laki-laki. Pembicaraannya
seperti ini :
Setelah piso pengambat diterima oleh anak laki-laki yang di cawir bulungken
tadi, kemudian diangkat dan diletakkan di atas kepala anak tadi (embut-embutna).
Kemudian piso pengambat tersebut digigit oleh si anak yang sakit tadi, kemudian
Setelah itu selesai maka dilanjutkan dengan pembicaraan oleh anak beru
biasanya dilakukan oleh ibu anak laki-laki yang sakit tadi, kemudian berkata kepada
dimasukkan ke jari manis anak perempuan tersebut. Setelah itu diambil rumput
parang teguh yang sudah dipersiapkan oleh anak beru dan diikatkan pada tangan
kedua anak yang melaksanakan upacara cawir bulungken ini. Pemasangan rumput
parang teguh ini bermakna sebagai simbol pengikat dan sangat sulit untuk
memutuskannya. Parang teguh inilah yang menjadi simbol agar kuatnya ikatan
antara anak yang sakit dengan impalnya yang menjadi pasangannya dalam cawir
bulungken.
Setelah selesai acara tersebut maka dijalankan adat membayar utang/ tukur
kepada kalimbubu. Adat pembayaran tukur ini sama seperti pada perkawinan
sebenarnya yang berlangsung dalam masyarakat Batak Karo, tetapi dalam upacara
73
cawir bulungken, tukur yang dibayarkan tidak harus penuh dibayar seperti upacara
cawir bulungken, adapun besar tukur yang dibayarkan adalah sekitar Rp. 61.000,-
Pembayaran tukur telah disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat di dalam
upacara cawir bulungken pada saat acara ngambat-ngambat. Berapa jumlah tukur
yang harus dibayarkan pada setiap upacara cawir bulungken tergantung kesepakatan
antara kedua belah pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken
ini. Hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pihak pelaksana upacara cawir
bulungken ini. Terkait dengan pembayaran tukur dalam upacara cawir bulungken,
bapak LS menyatakan;
“... Tukur dalam upacara cawir bulungken hanya sebagai simbol pengesahan
bahwasanya upacara ini sudah sah dimata kalimbubu, sedangkan pembayaran
tukur pada pesta pernikahan sebenarnya adalah sebagai mas kawin untuk
perempuan, adapun besarnya tukur yang dibayar pada waktu pernikahan
berkisar 360.000,- hingga 1.100.000,- ”
74
Sumber: Dokumentasi AT
Setelah acara pembayaran tukur, maka acara dilanjutkan dengan acara mukul,
yaitu acara makan bersama yang dilakukan oleh pihak laki-laki yang sakit kepada
mereka yang dicawir bulungken kan. Kepada kedua mempelai ini disajikan makanan
dalam satu piring (pinggan pasu) yang terdiri dari nasi, ayam yang lengkap, telur
ayam, dan sayuran yang dibeli di pasar sebagai pelengkap nasi dan lauk. Kemudian
ibu si anak yang sakit berkata kepada anak dan permennya sambil menggenggam nasi
dan telur :
75
“… ini kugenggamkan nasi dan telur untuk kalian berdua, agar mulia
kehidupan kalian kelak, jangan lagi kamu sakit-sakitan, agar diberkati Tuhan
kita semua dari sekarang dan seterusnya, tidak ada pertentangan antara anak
beru dan kalimbubu…”
Mengenggam nasi dan telur ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing
satu kali untuk setiap anak. Setelah itu anak yang dicawirbulungken melakukan
cawir bulungken ini diminta untuk menari dan menyanyi. Karena pasangan yang di
cawir bulungken masih anak-anak maka mereka didampingi oleh orang tua mereka
masing-masing, biasanya tarian yang dibawakan adalah tari landek. Keuda orang tua
anak yang di cawir bulungken juga ikut menari dan menyanyi bersama pasangan
Pada saat kedua anak yang sedang di cawir bulungken ini menari dan
menyanyi, seluruh kerabat yang hadir pada pelaksanaan upacara cawir bulungken ini
memberikan sumbangan kepada kedua mempelai yang sedang menari dan menyanyi
ini. Seluruh kerabat berjalan satu persatu ke tempat anak yang sedang menari dan
sama, ketika kedua pengantin sedang menari dan menyanyi kerabat yang hadir juga
dan menyanyi, untuk kemudian berapa jumlah uang terkumpul diumumkan oleh
nasehat kepada kedua mempelai anak-anak oleh pihak-pihak yang hadir pada upacara
cawir bulungken dengan urutan yaitu pihak sukut, kalimbubu, senina dan anak beru
kemudian dilanjutkan oleh golongan-golongan kerabat yang hadir. Kata nasehat yang
“... cepat besar ya anakku, sehat-sehat selalu. Diberikan kamu kesehatan dan
tidak lagi sakit-sakitan, rajin-rajin sekolah ketika sudah besar, semoga nanti
kamu berjodoh dengan impalmu ini...”
Setelah acara itu selesai maka acara selanjutnya adalah makan bersama,
dengan hidangan yang telah dipersiapkan oleh anak beru. Setelah makan bersama
pelaksanaan upacara cawir bulungken. Anak beru yang masih tinggal di tempat
Setelah upacara cawir bulungken selesai, maka seluruh undangan dan kerabat-
kerabat kembali kerumah mereka masing-masing. Anak beru masih tinggal di tempat
pelaksanaan upacara, hal ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas sampai dengan
selesai, seperti : menggulung tikar, mencuci piring, membersihkan tempat duduk para
Anak yang di cawir bulungken pun tidak tinggal bersama, mereka kembali ke
simbolis yang berlangsung sebagai upaya untuk menjauhkan si anak dari penyakit
dan malapetaka yang akan menganggu ketentraman hidup si anak di kemudian hari
yang harus dijauhi oleh kedua mempelai yang di cawir bulungken. Hal ini sesuai
dengan tujuan dilaksanakannnya upacara cawir bulungken ini yaitu sebagai upaya
untuk mencari keselamatan dan menghindari seorang anak dari penyakit yang sedang
Oleh sebab itu ada pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh kedua
tersebut adalah:
79
pesta adat.
b. Jika pihak laki-laki ingin menikah dengan perempuan lain, bukan dengan
pasangan cawir bulungnya dahulu, maka ia harus minta ijin dulu kepada
oleh seluruh kerabat yang hadir dalam pernikahan tersebut. Hal ini sebagai
sakit apabila melepasnya. Cincin ini dapat dilepas ketika pihak perempuan
bulungkennya.
b. Pihak perempuan jika ingin menikah terlebih dahulu meminta izin kepada
suaminya.
80
yaitu dengan memberikan kain panjang dan sarung (kampuh) serta baju
baju dan kain panjang ini dilakukan pada saat pernikahan wanita
lepas.
pelaksanaan upacara cawir bulungken. Adapun peranan dari rakut sitelu dalam
1. Anak beru
Dalam hal ini dapat dilihat bahwasannya anakberu berperan sebagai orang
ini dilakukan sesuai dengan aturan adat-istiadat Batak Karo, bahwa peran anak beru
81
adalah sebagai orang yang bekerja/pesuruh dalam setiap upacara adat termasuk dalam
2. Senina/Sembuyak
yaitu sebagai pengawas dan bertanggung jawab atas pekerjaan anakberunya. Pada
hakikatnya peranan sembuyak dalam setiap upacara adat adalah mengawasi setiap
pekerjaan yang dilakukan anakberunya. Oleh sebab itu dalam upacara cawir
dilakukan oleh anak beru karena merupakan salah satu unsur rakut sitelu.
3. Kalimbubu
Karo mempunyai peranan sebagai pemberi saran kepada anak berunya dalam upacara
cawir bulungken, seperti apa-apa saja yang harus disiapkan selama pelaksanaan
BAB IV
terhadap suatu objek yang biasanya berbeda antara seseorang atau satu kelompok
seluruh proses akal manusia yang sadar untuk menggambarkan fenomena sosialnya.
suatu objek sehingga kita akan memberikan tanggapan dan pemahaman terhadap suat
objek. Menerima, memahami dan merasakan didapatkan dari indera yang dimiliki
manusia seperti indera penglihatan, indera perasa, indera peraba dan indera pencium.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pandangan merupakan hasil dari tanggapan atau
Upacara cawir bulungken merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh
masyarakat Batak Karo untuk menghindarkan seseorang anak dari penyakit dan
Menurut masyarakat Batak Karo yang ada di Desa Cinta Rakyat upacara cawir
bahwa:
dewasa diharapkan antara kedua orang yang melakukan perkawinan ini dapat
sedangakan jika anak yang sakit adalah laki-laki maka pasangannya adalah
anak dari pihak kalimbubu orang tuanya”.
“… anak bapak pada saat lahir tidak mau minum Asi ibunya, ditaya kepada
guru, ternyata anak bapak namanya tidak sesuai dengan nama yang telah kami
berikan, untuk itu namanya perlu diganti dan perlu dilakukan pernikahan
dengan impalnya”
Dari penuturan informan diatas dapat dilihat, bahwa masyarakat Batak Karo
yang sedang mengalami sakit-sakitan, tidak mau menyusui dengan ibunya. Meskipun
anak tersebut sudah dibawa berobat ke dokter tetapi tidak juga kunjung sembuh, oleh
sebab itu masyarakat Batak Karo menganggap perlunya dilakukan upacara cawir
bulungken. Menurut beberapa informan diatas dapat dikatakan bahwa upacara cawir
Pelaksanaan upacara cawir bulungken dilakukan pada saat anak yang sakit atau
orang tua si anak mendapat mimpi buruk berusia bayi hingga berumur tujuh tahun,
sedangkan untuk pasangannya tidak terpaut umur asalkan masih belum menikah.
Upacara cawir bulungken hanya dapat dilakukan pada mereka yang bertutur impal
saja. Impal dalam masyarakat Batak Karo adalah pasangan ideal dalam tata
ideal dalam suatu perkawinan. Terkait hal ini berikut pandangan informan NK;
tetapi belum pernah menikah, upacara ini hanya boleh dilakukan bagi mereka
yang bertutur impal saja”
masih anak-anak karena ketika seseorang masih anak-anak, maka diri mereka belum
berdosa dan dianggap masih suci dari dosa atau keburukan. Berikut penuturan
informan, MP:
memohon berkat atau pasu-pasu dari pihak kalimbubu, seperti diutarakan oleh OP
berikut ini;
Pihak kalimbubu bagi masyarakat Batak Karo adalah pihak yang harus dihormati
dan dianggap sebagai penjelmaan Tuhan yang tampak (Dibata ni idah). Jadi pihak
kalimbubu harus dijaga agar jangan sampai sakit hati, karena apabila kalimbubu
sampai sakit hati maka akan mendatangkan malapetaka dan hal-hal buruk yang akan
Dalam adat istiadat Batak Karo yang mengenal tiga kelompok kekerabatan, yaitu
kalimbubu, anak beru dan senina tetapi pada dasarnya semua masyarakat Batak Karo
dipandang sederajat. Semua orang akan pernah berperan sebagai kalimbubu atau
86
pihak yang harus dihormati. Di lain waktu sebagai anak beru yaitu kelompok pekerja
dan di waktu lainnya sebagai kelompok senina. Jadi tidak ada satupun masyarakat
Batak Karo yang akan tetap berada pada satu posisi yang sama untuk setiap situasi
dalam upacara adat. Setiap upacara atau pesta adat, ketiga kelompok kekerabatan ini
sangat berperan penting karena jika salah satu kelompok tidak hadir maka upacara
pemberi gadis dan seharusnya dihormati. Oleh karena itu bagi masyarakat Batak Karo
anak yang sakit-sakitan tadi menandakan bahwa hubungan antara anak beru dengan
pihak kalimbubunya sudah mulai agak renggang atau mungkin juga karena sudah
terlalu lama pihak anak beru tidak mengunjungi pihak kalimbubunya. Menurut
kepercayaan masyarakat Batak Karo hal inilah yang menyebabkan anak mereka jatuh
Selain disebabkan oleh anak yang sakit-sakitan, upacara cawir bulungken juga
disebabkan oleh mimpi buruk orang tua tentang anaknya, sebagaimana penuturan RR:
“… saya bermimpi anak saya masuk sumur, setelah bangun saya cerita kepada
keluarga suami tentang mimpi itu, menurut keluarga suami tendi anak saya
masuk ke dalam sumur di dalam mimpi saya, menurut mereka hal itu dapat
menganggu ketentraman hidup anak saya, oleh sebab itu dilakukan upacara
cawir bulungken untuk mengembalikan tendi anak saya yang sudah masuk
sumur tadi…”
“…saya bermimpi anak saya hilang, setelah bangun saya menangis, terus
suami saya bercerita kepada orang tuanya tentang mimpi saya, oleh orang tua
87
maka mimpi buruk tersebut dianggap dapat menganggu ketentraman hidup si anak
dan mengakibatkan kekhawatiran bagi kedua orang tua anak tersebut. Ini
menunjukkan bahwa dalam pemahamaan masyarakat Batak Karo bahwa tendi atau
roh si anak dari orang tua yang bermimpi buruk tersebut telah terganggu.
Peristiwa sakit dan datangnya mimpi buruk dalam masyarakat Batak Karo
merupakan pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Hal ini yang mendorong/
anak tetap sehat dan tidak mendapat gangguan dalam hidupnya. Oleh karena itu,
upacara cawir bulungken dalam masyarakat Batak Karo dapat dikatakan sebagai
upaya untuk mengikat tendi si anak dengan impalnya. Anggapan tersebut berkaitan
dengan anggapan bahwa maut yang selama ini mendekati si anak karena tendinya
sudah pergi tidak akan berhasil karena tendi anak tersebut telah diikat kembali
dilakukan dalam masyarakat Batak Karo memiliki pelaksanaan yang hampir sama
dengan pelaksanaan upacara pernikahan umum yang berlaku pada masyarakat, seperti
“... upacara cawir bulungken ini merupakan suatu pernikahan simbolis, yang
dilakukan ketika seseorang masih anak-anak, cawir bulungken ini dilakukan
88
seperti pelaksanaan upacara perkawinan yang umum kami lakukan, tetapi ada
perbedaan antara perkawinan sebenarnya dengan upacara cawir bulungken... ”
yang dilakukan dengan tata cara mengikuti pernikahan umum yang dilaksanakan
dengan cawir bulungken adalah pertama, setelah upacara cawir bulungken selesai
yang kedua adalah anak yang sakit yang menjadi penanggung jawab biaya selama
sebenarnya dimana pihak laki-laki yang menanggung segala biaya yang digunakan
untuk pelaksanaannya.
ini tidak akan diberitahu tentang tujuan dan makna dari dilaksanakannya upacara ini,
89
biasanya baru akan diberitahu ketika anak sudah mulai beranjak dewasa. Seperti
“… Bapak saya bilang, sebenarnya dari kecil saya sudah dinikahkan dengan
impal saya, nama pernikahannya yaitu cawirbulungken, bapak saya juga
menjelaskan tentang semua proses dan makna dari upacara ini kepada saya,
bagi saya suatu hal yang sangat mengejutkan karena saya pada waktu kecil
sudah dinikahkan, tetapi sekarang saya sudah mengerti untuk apa dilakukan
upacara cawirbulungken itu”
ini tidak akan diberitahu tentang tujuan dan makna dari dilaksanakannya upacara ini,
biasanya baru akan diberitahu ketika anak sudah mulai beranjak dewasa. Seperti
“… Bapak saya bilang, sebenarnya dari kecil saya sudah dinikahkan dengan
impal saya, nama pernikahannya yaitu cawirbulungken, bapak saya juga
menjelaskan tentang semua proses dan makna dari upacara ini kepada saya,
bagi saya suatu hal yang sangat mengejutkan karena saya pada waktu kecil
sudah dinikahkan, tetapi sekarang saya sudah mengerti untuk apa dilakukan
upacara cawirbulungken itu”
yang pernah mengikuti upacara cawirbulungken baru mengerti dan akan paham
dewasa.
Dari semua pandangan informan diatas mengenai cawir bulungken dapat dilihat
bahwasanya upacara cawir bulungken ini dilaksanakan karena dipengaruhi oleh tiga
hal yaitu:
90
1. Adanya anak yang sedang menderita suatu penyakit, yang tidak kunjung sembuh
seperti anak yang tidak mau menyusui, anak yang selalu menangis-nangis, anak
2. Mimpi buruk yang diterima oleh orang tua anak, mimpi buruk ini bagi sebagian
masyarakat Batak Karo merupakan pertanda tidak baik bagi kelangsungan hidup
si anak. Oleh sebab itu dilakukan upacara cawir bulungken untuk mengikat
masyarakat Batak Karo merupakan penjelmaan Tuhan yang tampak, oleh sebab
itu harus dipatuhi dan tidak boleh dibuat sakit hati. Upacara cawir bulungken
kepercayaan adanya Tuhan sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya.
moyang yang ada di sekitar tempat tinggal mereka yang berkedudukan seperti di
batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung atau tempat-tempat lain. Menurut
memberi rezeki, nasib baik maupun mendatangkan malapetaka pada manusia. Untuk
mendatangkan nasib yang baik, agar tanaman subur dan terhindar dari malapetaka,
keyakinan dari masyarakat Batak Karo apabila seseorang anak yang sedang
masyarakat Batak Karo apabila ada seorang anak menderita suatu penyakit dan tidak
kunjung sembuh, berarti anak tersebut tendinya sudah pergi dari tubuhnya. Untuk itu
92
Lebih jauh dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo seseorang yang tendinya
sudah ke luar dari tubuh dan belum dikembalikan ke dalam tubuhnya dapat
salah satu upaya untuk mengembalikan tendi seseorang yang sudah ke luar dari
tubuhnya, untuk kembali bersatu dengan tubuh orang tersebut. Bedasarkan pandangan
dalam tubuh seseorang. Jika salah satu atau lebih tendi meninggalkan tubuh
seseorang maka orang tersebut akan menderita suatu penyakit atau mendapatkan
celaka.
Posisi yang ditempati oleh ketujuh tendi tersebut adalah posisi yang penting
yang turut menentukan perjalanan darah dalam tubuh manusia. Ketika perjalanan
darah manusia terganggu, maka seseorang akan menderita suatu penyakit. Untuk
menghindari itu dilakukan berbagai macam upacara untuk memanggil tendi yang
meninggalkan tubuh orang tersebut. Masyarakat Batak Karo yang masih memegang
93
upacara cawir bulungken, tendi seseorang yang telah pergi tadi kembali menyatu
dengan tubuhnya.
Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini peneliti lihat sebagai suatu upaya
menimpanya. Masyarakat Batak Karo yang masih percaya dengan kekuatan roh-roh
kepercayaan asli mereka dapat menjauhkan mereka dari musibah atau marabahaya
apabila upacara cawir bulungken tidak dilakukan seperti anak yang sedang menderita
suatu penyakit tadi maka penyakitnya semakin parah, atau orang tua yang mendapat
mimpi buruk tentang anaknya maka anaknya mendapat musibah atau marabahaya lah
“…menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, di desa ini terdapat anak yang
sakit, sudah dibawa ke dokter tetapi tidak kunjung sembuh, setelah ditanya ke
dukun, dukun menyatakan anak tersebut harus dicawirbulungkenkan, karena
roh anak tersebut telah pergi untuk itu perlu dikembalikan, pernah juga
kejadian dahulu ada anak yang sakit-sakitan, dukun menyarankan dilakukan
upacara cawirbulungken, tetapi orang tua anak tersebut tidak melakukannya,
penyakit anak tersebut semakin parah dan pada akhirnya anak itu meninggal.
94
seseorang anak yang dicawirbulungken ada yang sembuh ada juga yang tidak, seperti
“… anak bapak pada waktu bayi tidak mau menyusui dengan ibunya, untuk
itu dilakukan upacara cawirbulungken. Setelah pelaksanaan upacara cawir
bulungken ini anak bapak sembuh, dan mau menyusui dengan ibunya…”
“…Anak bibi pada waktu bayi juga pernah dicawirbulungkenkan, pada waktu
itu kan bibi terlambat seminggu dari jadwal melahirkan, setelah melahirkan
anak bibi tidak mau menyusui, setelah dilakukan upacara cawirbulungken
anak bibi sembuh dan mau menyusui kembali dengan bibi…”
dilakukan upacara itu anak tersebut tidak sembuh juga, ternyata setelah
beranjak balita diketahui bahwa anaknya sakit keterbelakangan mental…”
upacara cawir bulungken. Hal ini dapat dilihat dari masih dilakukannya upacara
mereka.
Hubungan kekerabatan Batak Karo yang berpusat pada rakut sitelu (tiga tungku)
atau tiga toggak hubungan kekerabatan masyarakat Batak Karo yang memiliki fungsi
yang berbeda satu sama lain, begitupun dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken
ketiga kelompok kekerabatan ini harus hadir dan ada, jika salah seorang dari ketiga
kelompok kekerabatan ini tidak hadir, maka upacara cawir bulungken dianggap tidak
sah pelaksanannya. Menurut salah seorang informan yang merupakan salah satu
“...Dalam setiap upacara, rakut sitelu harus hadir, karena merupakan tonggak
kekerabatan dalam adat-istiadat Batak Karo, tidak terkecuali dalam
pelaksanaan upacara cawir bulungken, ketiga pihak ini harus hadir, apabila
salah satu pihak tidak hadir maka dapat dikatakan upacara tidak sah
pelaksanaannya...”
sumber rejeki, anak sehat, padi menjadi itu semua karena tuah kalimbubu. Dalam
setiap hal selalu kalimbubu diusahakan supaya tidak tersinggung atau sakit hati. Anak
beru yang tidak sopan terhadap kalimbubu dapat mengakibatkan anak cacat, padi
Seseorang yang menjadi anak beru harus taat dan patuh kepada
kalimbubunya, karena jika tidak patuh, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak
diinginkan, salah satunya anak mereka menderita suatu penyakit. Cawir bulungken
dengan menikahkan anak dari anak beru dengan anak dari kalimbubu.
Jika terjadi konflik atau masalah dalam sebuah kekerabatan, maka dirasa perlu
dengan dinikahkannya anak dari kalimbubu dengan anak dari anak beru. Sejalan
“... cawir bulungken merupakan salah satu upaya untuk menyatukan keluarga,
apabila terjadi konflik atau masalah dalam sebuah kekerabatan, hubungan
yang renggang diantara kalimbubu dengan anak beru maka dengan
dicawirbulungkenkan kedua anak dari kalimbubu dan anak beru dapat
menyatukan kembali hubungan tersebut...”
Perkawinan merupakan suatu keinginan dari dua orang untuk hidup bersama.
Kehendak hidup bersama ini beserta segala proses pelaksanaannya diatur dengan
masyarakat.
97
patrilineal, meghitung garis keturunan melalui pihak ayah. Masyarakat Batak Karo
adalah suatu masyarakat yang mengenal clan dalam masyarakat Batak Karo disebut
merga, adat perkawinan yang bersifat exogami. Seseorang yang berasal dari clan atau
harmonis. Di mana, mereka berupaya menjaga perkawinan ideal dalam tradisi Karo,
yakni si pemuda atau gadis wajib menikahi impal-nya (pasangan idealnya). Aturan
main dalam perkawinan ideal orang Batak Karo adalah pernikahan sepupu-silang.
Salah satu syarat pernikahan sepupu-silang ini ialah pasangan ideal atau impal
(pasangan idealnya). Si pria adalah harus anak perempuan dari saudara laki-laki ibu.
Sementara impal (pasangan idealnya), bagi si gadis adalah anak laki-laki dari saudara
perempuan ayah. Larangan berlaku bila si pria ingin menikahi anak perempuan dari
saudara perempuan ayah, hal ini lantaran anak dari saudara perempuan ayah dianggap
sebagai turang impal (saudara), atau tabu dikawini. Begitupun dalam pelaksanaan
upacara cawir bulungken ini adalah mereka yang bertutur impal saja.
pernikahan ideal yang terjadi pada masyarakat Batak Karo. Hal ini dibuktikan dengan
hanya orang-orang yang bertutur impal saja yang boleh melakukannya. Menurut
Hal ini menjadi alasan kenapa hanya orang-orang yang berimpal saja yang boleh
salah satu upaya untuk mempertahankan pernikahan ideal yang ada pada masyarakat
Batak Karo.
merupakan benda-benda yang memiliki nilai atau makna tersendiri bagi masyarakat
yang ikut serta dalam pelaksanaannya. Adapun pandangan masyarakat tentang benda-
1. Piso Pengambat
Piso pengambat/ pisau tumbuk lada merupakan pisau khas masyarakat Batak
Karo, yang terbuat dari besi mersik. Bahan utama pisau ini adalah pada gagang
terbuat dari tanduk kerbau, pisau terbuat dari kuningan atau besi, sedangkan sarung
pisau terbuat dari pangkal bambu atau tanduk kerbau, Pada pangkal sarung Tumbuk
Lada terdapat bonjolan bundar yang selalunya dihias dengan ukiran yang dipahat
99
biasanya bentuknya mirip kepala ayam. Sarung senjata ini sering dilapis dengan
Bahan-bahan piso tumbuk lada adalah besi 5 negeri (kerajaan), anduk kerbo,
gading gajah, kayu lemak sawa, kayu petarum, riman untuk rempu (pengikat
sembung/sarung, boleh juga pengikatnya lantap yang terbuat dari emas, suasa atau
perak.
Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken pisau tumbuk lada/ piso pengikat
merupakan benda yang sangat penting yang harus ada agar pelaksanaan upacara
cawir bulungken dapat berjalan dengan baik. Piso ini yang nantinya akan diberikan
oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang menjadi pasangan dalam upacara
cawir bulungken.
Piso pengambat ini dimaknai sebagai penahan bala, supaya anak yang sedang
mengalami sakit atau mendapat mimpi buruk, tendinya tidak diganggu oleh roh-roh
yang akan membawa malapetaka untuk dirinya. Piso pengambat ini terdiri atas
bagian uang tumpul dan bagian yang tajam sebelah. Bagian yang tajam dimaknai
sebagai penghambat bala yang akan dating menimpa seseorang, sedangkan bagian
yang tumpul dimaknai sebagai tanda pengharapan agar kelak anak yang sedang di
informan AT:
2. Cincin Pengikat
Cincin pengikat terbuat dari emas ataupun perak. Cincin ini dalam pelaksanaan
upacara cawir bulungken dimaknai sebagai lambang bahwa tendi wanita yang sedang
di cawir bulungken diikat dengan tendi impalnya. Sehingga dengan diikat kembali
tendi diantara kedua pasangan, segala hal yang akan menganggu ketentraman hidup
Cincin ini setelah upacara cawir bulungken harus dipakai oleh anak perempuan
yang telah mengikuti upacara ini, karena apabila dilepas maka dapat menyebabkan
101
anak tersebut mendapatkan penyakit. Berikut pendapat informan tentang hal ini,
informan LS:
3. Parang Teguh
Parang Teguh adalah sejenis rumput yang kuat, rumput ini dalam upacara cawir
bulungken digunakan untuk mengikat tangan anak yang sedang di cawir bulungken.
Masyarakat Batak Karo memaknai parang teguh ini sebagai lambang kuatnya ikatan
antara tendi kedua anak yang sedang dicawir bulungken sehingga keduanya sangat
sulit untuk dipisahkan. Akar dari rumput parang teguh sangat kuat hal ini bermakna
agar roh/tendi anak yang sedang di cawir bulungken kuat sama seperti kuatnya akar
parang teguh sehingga tendi anak tersebut tidak mudah lagi goyah sehingga anak
tersebut tidak mudah mendapat hal-hal yang akan menganggu ketentraman hidupnya
“…parang teguh merupakan rumput yang kuat, dalam upacara cawir bulungken
digunakan untuk mengikat tangan kedua anak yang dicawir bulungken, rumput ini
dipercayai sebagai lambang kuatnya ikatan anak yang sedang dicawir bulungken…”
102
Kampil atau tempat yang digunakan sebagai tempat meletakkan sirih dalam
upacara cawir bulungken dimaknai agar kelak kedua mempelai yang sedang
dicawirbulungken ini berlaku ramah kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang
5. Uis Arinteneng
Uis Arinteneng yaitu sejenis kain adat Batak Karo yang bewarna hitam pekat,
karena kain ini dibuat dari benang khas yang dicelup dengan sejenis bahan bewarna
hitam. Dalam upacara cawir bulungken kain ini digunakan sebagai alas pinggan pasu,
sebagai alas tempat makan ketika acara mukul-mukul. Menurut pandangan informan
GS:
“…kain uis arinteng yaitu sejenis kain adat Batak Karo yang bewarna hitam
pekat, kain ini dibuat dari benang khas yang dicelup dengan sejenis bahan warna
hitam, dalam cawir bulungken kain ini adalah lambang agar jiwa dan tendi anak yang
mengikuti cawir bulungken bisa tenang dan penyakit bisa sembuh serta tidak lagi
menganggu kehidupan anak tersebut…”
Penggunaan kain uis arinteneng dalam upacara cawir bulungken adalah lambang
agar jiwa dan tendi anak yang sedang di cawir bulungken bisa tenang dan penyakit
yang sedang menimpanya bisa sembuh dan tidak lagi menganggu kehidupannya di
kemudian hari.
103
6. Pinggan Pasu
Sumber: Internet
104
Nasi dan ayam di dalam upacara cawir bulungken digunakan sebagai makanan
yang dimakan oleh kedua mempelai dalam upacara cawir bulungken, Nasi dan ayam
ini melambangkan kebersamaan antara anak beru dan kalimbubu tidak bisa
dipisahkan serta dimaknai agar kelak anak yang di cawir bulungken ketika dewasa
dapat mencari nafkah dan menghidupi keluarganya serta menjadi keluarga yang
sejahtera.
8. Tikar Pandan
Tikar pandan bewarna putih digunakan sebagai tempat duduk pihak kalimbubu
pada pelaksanaan upacara cawir bulungken. Tikar pandan ini dimaknai sebagai
tempat duduk bagi pihak-pihak yang dihormati dalam masyarakat Batak Karo. Pihak
kalimbubu merupakan Dibata Ni Idah atau jelmaan Tuhan yang nampak di bumi,
merupakan pihak yang harus dihormati dalam masyarakat Batak Karo oleh sebab itu
Cawir Bulungken
Perubahan merupakan suatu hal yang biasa terjadi di dalam suatu kebudayaan.
Perubahan ini mencakup segala aspek yang terdapat di dalam kebudayaan tersebut.
Tradisi sebagai bagian dari budaya juga mengalami perubahan dari masa ke masa
suatu suku bangsa. Perubahan ini terjadi karena adanya pengaruh dari globalisasi dan
Dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken pada saat sekarang ini telah terjadi
perubahan yang disebabkan oleh kemajuan zaman dan teknologi. Adapun pandangan
masyarakat terkait dengan perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara cawir
upacara pernikahan sebenarnya juga terdapat mahar/ mas kawin didalamnya yang
diberikan kepada rakut sitelu, namun pada cawir bulungken mas kawin yang
diberikan hanya setengah saja. Pada saat dahulu mahar/mas kawin yang diberikan
masih sedikit atau sesuai dengan nilai mata uang dulu. Seiring dengan semakin
meningkatnya nilai mata uang pada saat sekarang, maka semakin bertambah pula
“… pada pelaksanaan upacara cawir bulungken juga terdapat tukur/ mas kawin,
cuma mas kawin yang dibayarkan hanya setengah saja atau sesuai dengan
kesepakatan pihak-pihak yang terlibat, pada saat dahulu tukur yang diberikan masih
sedikit, tetapi pada saat sekarang tukur yang dibayarkan sesuai dengan nilai mata
uang pada masa sekarang…”
Perubahan nilai tukur pada pelaksanaan upacara cawir bulungken dapat dilihat
karena perubahan ekonomi pada saat sekarang, dimana nilai uang sudah berubah.
106
2. Alat Musik
Pelaksanaan upacara cawir bulungken terdapat alat musik yang digunakan sebagai
penghibur dan musik pengiring yaitu gendang karo. Masyarakat Batak Karo selalu
menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Gendang yang dimaksud
dalam pelaksanaan upacara cawir bulungken adalah gendang sebagai ensambel musik
gendang yang terdiri dari lima unsur yaitu a) gendang indungna yaitu gendang yang
dibuat dari pohon nangka dengan cara melobangi pohon dari pangkal sampai ke
ujung, kemudian belah ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh dan antara
bingkai yang satu dengan lainnya diikat tali. Bingkai gendang berguna untuk
menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya dua buah terbuat dari
ranting pohon jeruk. b) gendang anakna, yaitu gendang yang hamper sama dengan
gendang indungna, hanya saja gendang anakna terdiri dari dua gendang besar dan
kecil. c) gung,terbuat dari sejenis logam yaitu kuningan atau kangsa. Gung tersebut
termasuk gung besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm. Gung di pegang
oleh seseorang yang ahli dalam memukulnya d) penganak, yaitu gung yang lebih
kecil berukurang kira-kira 20 cm dan bersuara kecil. Cara pukulnya satu kali gung
satu kali penganak e) sarunai, adalah alat tiup, terbuat dari pohon selantam
(semacam perdu) dilobangi dari ujung sampai pangkal kemudian dibentuk dan diberi
Kelima unsur alat musik tersebut dipadu oleh masing-masing orang yang
memerankannya dengan mengikuti suara sarunai. Suara kelima jenis alat musik ini
sangat enak dan memberi perasaan tersendiri bagi masyarakat yang mendengarnya.
Pada saat sekarang, penggunaan gendang karo sebagai musik pengiring dalam
dilakukan oleh masyarakat Batak Karo pada saat sekarang menggunakan musik
Pelaksanaan suatu upacara terlebih dahulu ditentukan kapan hari baik untuk
dilaksanakan upacara tersebut, termasuk dalam upacara cawir bulungken. Jika pada
masa lalu pelaksanaan upacara cawir bulungken penentuan hari yang baik untuk
pelaksanaan ditanyakan kepada guru sipemeteh wari yang bagi masyarakat Batak
Pada saat sekarang pelaksanaan upacara cawir bulungken tidak harus lagi perlu
menanyakan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara cawir bulungken ini, karena
108
pada saat sekarang hari-hari baik dalam penanggalan Batak Karo sudah dapat dilihat
pada kalender Batak Karo. Terkait hal ini, berikut pandangan informan AT:
“… pada saat dahulu apabila ingin melakukan kegiatan atau upacara terlebih
dahulu ditanyakan kepada guru sipemeteh wari, yang paham dengan hari-hari pada
kalender Batak Karo, tetapi pada saat sekarang masyarakat sudah memiliki kalender
Batak Karo, sehingga penentuan hari pelaksanaan tidak harus menanyakan kepada
guru…”
Pada pelaksanaan upacara cawir bulungken pada saat sekarang ini masyarakat
Batak Karo ada yang masih menanyakan kepada guru ada juga yang tidak
menanyakan.
terdapat pantangan-pantangan yang diberikan kedua belah pihak, pihak laki-laki dan
pihak perempuan. Apabila salah satu pihak ada yang melanggar pantangan tersebut
“…pada saat dahulu apabila ada yang melanggar pantangan yang telah
disepakati padaa saat upacara cawir bulungken, maka perlu diadakan suatu
upacara khusus yang dihadiri oleh kerabat dekat, tetapi pada saat sekarang apabila
ada yang melanggar pantangan tersebut, pihak yang melanggar cukup datang
kerumah pasangannya sambil meminta maaf tanpa harus disaksikan oleh kerabat
dekat…”
kedua belah pihak pada saat pelaksanaan upacara cawir bulungken. Pada saat dahulu
apabila ada pihak yang melanggar maka akan diadakan suatu acara khusus sebagai
109
permintaan maaf, pada saat sekarang ini apabila ada yang melanggar pantangan yang
telah disepakati maka orang yang melanggar pantang hanya perlu datang kerumah
dekatnya.
110
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap tradisi merupakan suatu kebiasaan yang turun temurun dalam suatu
masyarakat, tradisi menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat yang
ada di berbagai belahan dunia. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya
Upacara cawir bulungken dalam masyarakat Batak Karo merupakan suatu upaya
masih dilaksanakan hingga pada saat ini. Kepercayaan masyarakat Batak Karo akan
kekuatan roh-roh nenek moyang mereka tidak bisa ditinggalkan begitu saja, walau
pelaksanaan upacara ini hanya boleh dilakukan untuk orang yang bertutur impal saja.
Karena impal merupakan pasangan ideal dalam tata pelaksanaan perkawinan adat-
istiadat Batak Karo. Upacara cawir bulungken ini diyakini sebagai upaya pengikat
tendi antara si anak yang sakit dengan impalnya. Masyarakat Batak Karo percaya
dengan upacara cawir bulungken maut yang selama ini hampir menjemput si anak
karena tendinya sudah pergi tidak akan berhasil karena tendinya sudah diikat
Pelaksanaan upacara cawir bulungken ini dipandang oleh masyarakat Batak Karo
sebagai suatu kepercayaan untuk mengharapkan keselamatan dari roh leluhur dan
sebagai upaya untuk menguatkan kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Karo.
bulungken pun mengalami perubahan seperti pada saat penentuan hari pelaksanaan,
dijaga oleh kedua belah pihak yang melaksanakan upacara cawir bulungken.
B. SARAN
Dalam penelitian tentang cawir bulungken yang dilakukan oleh Masyarakat Batak
Karo sebagai suatu upacara yang terkait dengan sistem kepercayaan dan kekerabatan
mereka sangatlah menarik. Hal ini dapat dilihat walaupun upacara cawir bulungken
merupakan suatu pernikahan yang dilakukan ketika seseorang masih anak-anak tetapi
Masyarakat Batak Karo, khususnya yang berada di Desa Cinta Rakyat hingga saat
bathwasanya masyarakat Batak Karo hingga pada saat sekarang ini masih
mengharapkan agar generasi muda Batak Karo tetap menjaga dan melestarikan
kebudayaan mereka agar tidak terkikis oleh kemajuan zaman tersebut. Karena
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Ginting, E.P. 1999. Membaca Religi Karo dengan Mata Yang Baru. Kabanjahe:
Indonesia
Erlangga. Jakarta
Rakyat
Nasional
Cipta
114
Leo, Kriswanto. 2014. Tanah Karo Selayang Pandang. Medan: Bin Media Perintis
Rosdakarya Offset
Pritchard, Evans. 1983. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PT. Djaya
Pirusa
Sitepu, Sempa Dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: Bali Scan dan Percetakan
Tarigan HG, 1990. Percikan Budaya Karo, Bandung: Yayasan Merga Silima
Press
Yunus, Ahmad Dkk. 1994. Makna Pemakaian Rebu Dalam Kehidupan Kekerabatan
Skripsi
Jasri, Ardi. 2013. “Upacara Bakar Tongkang dan Fungsinya Bagi Etnis Tionghoa di
Universitas Andalas
115
Andalas
Internet
15.00
LAMPIRAN