Anda di halaman 1dari 4

5.

Siti Manggopoh

Siti Manggopoh, merupakan perempuan Minang yang lahir pada bulan Mei 1880. Nama
Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh.
Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya.

Siti merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Kelima kakaknya dengan senang hati
menyambut kelahiran Siti, karena Siti adalah anak perempuan pertama sekaligus terakhir yang
dilahirkan dalam keluarga mereka. Kelima kakak laki-laki Siti pun selalu mengusung Siti ke
mana-mana. Ia membawa Siti ke pasar, ke kedai, ke sawah, dan bahkan ke gelanggang
persilatan.

Siti pun pernah bermain sangat jauh dari kenagarian Manggopoh, bahkan sampai ke daerah Tiku,
Pariaman. Tak hanya itu, ketika kakaknya belajar mengaji ke surau, Siti juga diajak dan
mengecap pendidikan di surau. Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia
membangun dirinya secara fisik dan nonfisik. Ia belajar mengaji, bapasambahan dan juga
persilatan. Inilah kiranya yang menyebabkan Siti berani maju ke medan perang untuk melawan
penjajahan Belanda di negerinya.

Siti menikah dengan Rasyid. Pernikahan mereka ternyata tidak membuat Siti terikat dengan
tugas perempuan di dalam rumah tangga. Justru bersama suaminya, Rasyid, Siti memiliki
semangat dan arah perjuangan yang setujuan. Mereka bahu membahu melepaskan penderitaan
rakyat Minangkabau. Kesadaran ini muncul ketika Siti dan Rasyid merasakan bahwa telah terjadi
penindasan di negerinya oleh pemerintahan Belanda.

Dari catatan yang ada, meski sebagai seorang tokoh pun, ternyata Siti pernah mengalami konflik
batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika rasa
keibuan terhadap anaknya yang sedang menyusu muncul, padahal di satu sisi, ia merasakan
sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera
keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.

Siti Manggopoh memang membangun dirinya dengan kecerdasan sejak kecil. Hal inilah yang
dimunculkannya ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa. Dia dan pasukannya
berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Siti memanfaatkan naluri
keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa
hanyut dibuai rayuan mereka.

Di markas belanda di manggopoh, sewaktu tentara belanda sedang mengadakan pesta judi dan
mabuk mabukan masuklah seorang wanita cantik, yang sebenarnya adalah Siti, buruan
pemberontak yang paling di cari tentara belanda. Siti lansung membaur dengan para tentara yang
sedang mabuk itu.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara belanda terkapar tak
sadarkan diri, melihat peluang tersebut siti segera memberi isyarat kepada para pejuang yang
sudah menunggu di luar untuk segera menyerang.

Para pejuang merebut markas belanda dan membantai puluhan tentara belanda teresebut, tercatat
53 orang tentara belanda tewas dan 2 orang berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah
ke lubuk basung.

Perebutan benteng yang dilakukan Siti menyulut Perang Manggopoh. Akhirnya Siti bersama
sang suami, Rasyid Bagindo Magek, berhasil ditangkap dan dipenjarakan tentara Belanda. Tapi,
lantaran mempunyai bayi, Siti terbebas dari hukuman pembuangan.

Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang,
Kabupaten Agam.

Dijaman penjajahan dahulu, semua orang dituntut melawan dengan cara mereka masing-masing,
ada yang melawan pakai tenaga dan ada juga yang melawan menggunakan pikiran. Alasan
mereka melawan pun macam macam, mulai dari kepentingan bersama sampai ke kepentingan
pribadi, ada yang berjuang demi bangsa indonesia atau sekedar berjuang demi kaum mereka.

Begitu banyak nama pahlawan yang kita ketahui sejak kita duduk dibangku sekolah dasar, mulai
dari Jendral Sudirman, Soekarno sampai kepada tokoh wanita yaitu cut nyak dien dan RA
Kartini. Namun tidak jarang juga tokoh-tokoh berjasa dimasa penjajahan dahulu tidak disebutkan
bahkan tidak dikenal, salah satu tokoh asal minang kabau yang jarang disebut adalah Siti
Manggopoh.

Siti Manggopoh merupakan perempuan asal Minang Kabau yang memiliki nama Siti. Siti
Manggopoh lahir bulan Mei 1880. Nama Manggopoh dilekatkan pada dirinya karena ia terkenal
berani maju dalam perang Manggopoh yang diambil dari nama sebuah desa atau nagari.
Siti manggopoh merupakan anak bungsu dari enam bersaudara, Siti adalah anak perempuan satu-
satunya dikeluarga itu, kemanapun saudaranya pergi dia selalu ikut, bahkan Siti pun pernah
bermain sangat jauh dari kenagarian Manggopoh, sampai ke daerah Tiku, Pariaman. Tak hanya
itu, ketika kakaknya belajar mengaji ke surau, Siti juga diajak dan mengecap pendidikan di
surau. Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia membangun dirinya secara fisik
dan nonfisik. Ia belajar mengaji, bapasambahan dan juga persilatan. Inilah kiranya yang
menyebabkan Siti berani maju ke medan perang untuk melawan penjajahan Belanda di
negerinya.
Siti menikah dengan seorang pemuda bernama Rasyid, Dari catatan yang ada, meski sebagai
seorang tokoh pun, ternyata Siti pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan
penyerbuan ke benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika rasa keibuan terhadap anaknya
yang sedang menyusu muncul, padahal di satu sisi, ia merasakan sebuah panggilan jiwa untuk
melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera keluar dari sana dengan
memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.
Dia kembali menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu setelah melakukan
penyerangan. Sejarah menyatakan bahwa Siti pernah membawa anaknya, Dalima, ketika
melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan
dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Perempuan
Minangkabau pemberani, yang berani bertaruh mengikutserakan anaknya ke medan perang,
karena kondisi fisik anaknya yang masih kecil.

Pajak (Belasting) merupakan tindakan pemerintah Belanda yang menginjak harga diri bangsa
Minang kabau. Rakyat Minangkabau merasa terhina ketika mematuhi peraturan untuk membayar
pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap
bertentangan dengan adat Minangkabau. Di Minangkabau, tanah adalah kepunyaan komunal atau
kaum di Minangkabau.

Kesewenang-wenangan Belanda dalam memungut pajak di tanah kaum sendiri, membuat rakyat
Minangkabau melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut juga tidak bisa dilupakan oleh
Belanda, karena adanya sebuah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni
1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi Siti Manggopoh pada masa itu, bahkan ia meminta
bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.

Siti Manggopoh memang membangun dirinya dengan kecerdasan sejak kecil. Hal inilah yang
dimunculkannya ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa. Dia dan pasukannya
berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Siti memanfaatkan naluri
keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa
hanyut dibuai rayuan mereka.

Siti juga pernah melakukan pembantaian tentara belanda di markas belanda di manggopoh,
sewaktu tentara belanda sedang mengadakan pesta judi dan mabuk mabukan masuklah seorang
wanita cantik, yang sebenarnya adalah Siti, buruan pemberontak yang paling di cari tentara
belanda. Siti lansung membaur dengan para tentara yang sedang mabuk itu.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara belanda terkapar tak
sadarkan diri, melihat peluang tersebut siti segera memberi isyarat kepada para pejuang yang
sudah menunggu di luar untuk segera menyerang.

Para pejuang merebut markas belanda dan membantai puluhan tentara belanda teresebut, tercatat
53 orang tentara belanda tewas dan 2 orang berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah
ke lubuk basung.

Akibatnya, dalam Perang Manggopoh, Siti memenangkan pertarungan dengan Belanda. Ia


berhasil menyelamatkan bangsanya dari penjahahan. Oleh sebab itu, sejarawan Minangkabau
mencatat Siti Manggopoh sebagai satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani
melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan
tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik.

Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang,
Kabupaten Agam. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatra Barat dan DPRD setempat, baru-baru
ini, kembali mengusulkan ke pemerintah pusat, supaya Mandeh Siti Manggopoh, dinobatkan
sebagai pahlawan nasional. Alasannya, perempuan itu terbukti amat ditakuti Belanda lantaran
pernah menaklukan benteng sang penjajah di Manggopoh, Kabupaten Agam, Padang, seorang
diri.

Anda mungkin juga menyukai