Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Surau
Surau adalah tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya
(mengerjakan salat, mengaji, dan sebagainya); langgar.1
Awalnya surau bagi masyarakat Minangkabau sebagai tempat
penyembahan arwah nenek moyang. Fungsi ini berlansung cukup lama, bahkan
diperkirakan sampai pada islam masuk di daerah ini. Selama surau berlangsung
sebagai tempat penyembahan, surau hanya dibangun diwilayah perbukitan dan
pedesaan yang jauh dari pemukiman masyarakat. Azyumardi Azra
menyebutkan surau paling awal dibangun di puncak bukit atau tempat yang
lebih tinggi dari lingkungan, karena surau dieksistensikan sebagai tempat
penyembahan.2 Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Surau adalah sebuah
tempat untuk penyembahan/peribadatan.
Pada mulanya Raja Minangkabau yaitunya Adityawarman mengambil
kebijakan untuk mendirikan Surau disekitar istana, maka pada saat itulah Raja
Minangkabau membangun sebuah Surau dikawasan Bukit Gombak, yakni
suatu kawasan yang dekat dengan istana raja alam Pagaruyung pada tahun
1356 dan sekaligus merupakan surau pertama berada ditengah-tengah
pemukiman.3
Adityawarman mendirikan surau dengan arsitektur Bergonjong (ciri
khas arsitektur atap dari bangunan di Minangkabau), sebagai ciri khas
arsitektur bangunan Minangkabau. Bentuk bangunan surau bergonjong ini

1http://kbbi.web.id/surau Diakses Pada Tanggal 20 Oktober 2016 Pada Jam 23:37

2Hanani, 2002, Surau Aset Lokal Yang Tercecer, (Bandung: Humaniora), h. 87.
Dijelaskan secara rinci Surau itu merupakan aset lokal yang sudah dimodifikasi
kegiatannya ketika islam datang di wilayah Minangkabau. Dimana Surau tidak hanya
dijadikan sebagai tempat ibadah, tetapi menjadi media pembelajaran yang sistematis
sesuai dengan zamanya

3Manggis,1975, Sejarah dan Adat Minangkabau, (Padang: Sri Dharma), h.81

1
berlangsung sampai datangnya islam. Simbolisasi yang melekat pada arsitektur
surau, tidak saja mempunyai makna keminangan tetapi juga ada makna lain
yang disimboliskan, seperti banyaknya tiang penyangga melambangkan jumlah
kaum, dan jumlah gonjong (desa) yang ada pada atap kandang-kandang di
maknai dengan jumlah ninik mamak dalam satu kaum pemilik surau tersebut.
Disamping itu perkembangan penduduk juga telah mendesak penambahan
fungsi surau sebagai tempat berkumpul, bermain dan belajar bagi anak laki-
laki, sehingga raja membuat kebijakan agar surau supaya surau yang ada pada
sekitar istana menjadi Play Groups bagi anak-anak, tidak hanya siang hari
tetapi sampai diizinkan untuk bercengkrama dan belajar pada malam hari,
khususnya bagi anak laki-laki. Akhirnya menjadikan surau sebagai satu sistem
sosial yang membangun tatanan budaya baru dalam masyarakat. Kondisi
demikian semakin memperjelas kekerabatan masyarakat Minangkabau yang
matrinieal, sehinggaa kekuasaan Rumah Gadang berada dalam genggaman
perempuan hal ini dapat dilihatari kasus kepemilikan kamar dalam rumah
gadang, dimana laki-laki tidak punya tempat tidur dirumah gadang kaumnya,
karena yang berhak atas rumah gadang adalah perempuan, oleh sebab itu laki-
laki harus kesurau untuk menyelamatkan dirinya pada malam hari.
Eksistensi surau seperti itu, akhirnya menjadikan surau sebagai
bahagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau,
sehingga surau menjadi salah satu syarat yang harus ada dalam sebuah nagari
di Minangkabau. Disinilah awal, pembentukan Intelektual Minangkabau
melalui institusi surau. Sedangkan surau-surau kecil yang terletak di perbukitan
dan pedusunan tetap dijadikan dominan sebagai ruangan ritual. Sosiologis
surau di Minangkabau adalah sosiologis lokal yang pada dasarnya telah
meletakkan satu tradisi keintelektualan.

B. Fungsi Surau
Fungsi surau sebagai tempat peribadatan/penyembahan ini,
mencerminkan bahwa surau tidak dapat dilepaskan dari ritualisasi ibadah
masyarakat, sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki

2
kepercayaan tentang adanya kekuatan yang mengatur diluar dirinya, sehingga
surau dalam masyarakat Minangkabau sudah lama menjadikan masyarakat
beragama. Hal ini membuktikan bahwa struktur sosial masyarakat
Minangkabau sudah dilengkapi dengan fungsionalisasi keagamaan, sekalipun
saat itu agama tradisional.
Jadi dapat ditarik kesimpulan fungsi surau adalah sebagai tempat
penyembahan bagi para nenek moyang terdahulu akan tetapi fungsi itu berubah
menjadi tempat peribadatan/penyembahan bagi umat islam sepeti pengajian,
shalat serta sebagai pusat pendidikan islam di Ranang Minangkabau.

C. Surau Dalam Massa Modernisasi


Pada abad ke-17 terjadi perubahan yang mendasar dalam tradisi surau,
dari tradisi lokalitas menjadi tradisi keislaman. Tradisi lokalitasnya hanya
berubah dari sisi penegasan-penegasan surau sebagai tempat pembelajaran
ajaran islam. Hal ini dipelopori oleh kepulangan Burhanuddin seorang
Intelektual islam Minangkabau setelah belajar kepada Abdurrauf Singkli di
Aceh. Sampai pada kampung halaman, pertama kali yang dibidiknyasebagai
tempat memperkenalkan dan menyebarkan ajaran islam adalah surau,
kemudian surau menjadi catatan penting dalam pendidikan islam
Minangkabau.
Pendekatan kultural dan sosiologis lokal yang dilakukan Burhanuddin
dalam penyebaran agama islam dengan menjadikan surau sebagai institusi
pendidikan islam ini, mendapat sambutan dari masyarakat Minangkabau dan
bahkan fungsi surau semakin melebar menjadi basis daripada Ritual.
Pendekata-pendekatan yang dilakukan Burhanuddin dalam melakukan
pendidikan islam adalah dengan cara memperkenalkan secara ramah pada
anak-anak yang bermalam disurau membaca bismillah, hanya ajaran asas.
Pernah diceritakan, bahwa Burhanuddin mengajarkan bismillah pada
anak-anak yang sedang bermain kelereng dihadapan surau ia tempat
menginap, setiap anak-anak yang mau melakukan bacaan itu, ia menang dan

3
kemudian bismillah tersebut menjadi lekat dan menjadi amalan dalam
kehidupannya.
Dengan cara itu, surau secara langsung dan tidak langsung mengalami
juga perubahan, terutama perubahan ideologis religius. Perubahan religius
ini yang sangat monumental meletakkan tradisi sosial budaya
Minangkabau.
Pertama, tradisi pengajaran Face To Face, dimana murid-murid belajar
dengan duduk melingkar dihadapan gurunya, dalam pendidikan islam hal
seperti ini dikenal dengan sistem Halaqah. Metode seperti ini masih
digunakan oleh pondok-pondok tradisional pedesaan di Minangkabau,
kalangan ini berpendapat bahwa pendidikan bukan hanya sekedar hanya
mengisi Otak atau Logika tetapi juga ditujukan untuk membentuk
karakteristik manusia yang di didik. Salah satu siste yang cakap menurut
kalangan yang mempertahankan sistem belajar berhalaqah ini adalah
melalui dimana guru dapat mengawasi dan mengetahui kondisi anak
didiknya.
Kedua, tradisi saling asuh dan asih. Burhanuddin didalam komunitas
suraunya membangun sistem pendidikan berpola asih dan asuh, dimana
murid kelas tertinggi mengasuh kelas terendah. Sistem seperti ini ternyata
berhasil membangun Personality dan keintelektualan seorang murid yang
dipersiapkan menjadi seorang guru atau ulama, karena pada umumnya
tujuan akhir pada setiap anak didik surau Burhanuddin adalah menjadi
ulama dan guru setelah kembali kekampung halamannya. Hal seperti ini
sangat efektif ketika itu dalam mengatasi kekurangan-kekurangan para
pendidik dilingkungan surau.
Ketiga, kolaborasi tradisi dan religi, sebagaimana telah dijelaskan
diatas, bahwa dilingkungan surau Burhanuddin dalam catatan sejarah dan
seperti kondisi faktual saat sekarang di area makam Burhanuudin minimal
terdapat lebih kurang surau-surau kecil dan satu buah surau besar. Surau
kecil berfungsi sebagai tempat bermalam bagi para santri sedangkan surau

4
besar adalah sebagai tempat kegiatan belajar mengajar dan aktivitas
keagamaan.
Sementara untuk kehidupan ekonomi guru dan santri, ada tradisi
ekonomi surau, biasanya seorang ulama yang memiliki surau, pasti
dibantu oleh masyarakat setempat biasanya diberi lahan pertanian. Lahan
pertanian ini dikelola oleh santri yang belajar pada guru tersebut,
kemudian dari hasil lahan kelolaan itu dijadikan sebagai sumber ekonomi
guru atau ulama pemilik surau. Sedangkan pengelolaan surau, sebagai
tempat ibadah dan pendidikan, sering dikerjakan secara bergotong royong.
Sedangkan biaya kehidupan santri bukan berasal dari orang tua di
kampung halaman, tetapi berasal dari hasil wirausaha dan upaya dari santri
itu sendiri. Santri, diluar kegiatan-kegiatan belajar mereka berdagang
dipasar-pasar sekitar surau tempat tinggal. Perdagangan kaki lima yang
dominan menjadi kegiatan perdagangan orang Minangkabau pun
setidaknya lahir dari semangat berdagang santri-santri di sekitar surau ini.
Santri-santri yang tidak memiliki semangat wirausaha, mereka melakukan
perjalanan ke kampung meminta sumbangan pada masyarakat dengan
atribut yang sangat spesifik, antaranya pakai sarung, baju lengan panjang,
peci, dan sebuah karung terbuat dari kain yang dipanggil Buntil. Mereka
yang berjalan meminta sumbangan ini oleh masyarakat diberi nama
sebutan Faqiah. Kegiatan seperti ini diperbolehkan oleh guru mereka dan
berlangsung satu kali dalam seminggu. Dengan cara ekonomi
itulahkomunits santri itu hidup disebuah institusi pendidikan surau pada
massa itu. Cara-cara tersebut, secara langsung atau tidak lansung telah
membangun kemandirian seseorang dan sekaligus membangun sistem
ekonomi santri. Kemandirian telah menyebabkan surau-surau tidak pernah
sepi dari anak-anak negeri yng ingin menempuh pendidikan. Dimana
mereka tidak membebankan beban ekonomi keluarga, malahan secara
tidak langsung telah memberikan peluang aktivitas ekonomi untuk
kelangsungan hidupnya.

5
D. Tradisi Surau Membangun Sosiologis Lokal
Semenjak surau Burhanuddin berkembang sebagai pusat studi
keislaman di Minangkabau, telah terjadi transmisi keintelektualan dan religius
surau ini menyebar keseluruhan wilayah-wilayah Minangkabau. Dimana santri-
santri yang selesai menamatkan pendidikan kembali kekampung halaman
masing-masing dan dikampung halamannya itu santri mendirikan surau pula
sebagai tempat mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat
kampungnya. Oleh sebab itu surau menjadi objek mempengaruhi perubahan
dalam masyarakat Minangkabau.
Tidak jauh berbeda, para santri-santri yang kembali ini memiliki
otoritas keilmuan keagamaan dalam masyarakat kempung halamannya. Surau
bagi mereka adalah media satu-satunya yang dijadikan tumpuan untuk
menyebarkan agama islam, sehingga pada massa itu keterujian dan keabsahan
seorang ulama di Minangkabau sangat ditentukan oleh kepemilikan surau
sebagai tempat mendidik masyarakat. Belum dapat dikatakan sebagai seorang
ulama di Minangkabau ketika itu, jika ia tidak memiliki surau. Akibat yang
demikian itu, surau di Minangkabau bahagian yang tidak terpisahkan dalam
penyebaran islam. Melalui hal yang demikia pula maka terjadi integritas
kawasan-kawasan di Minangkabau, terutama integritas kawasan adat dan
kawasan religius.
Secara geografis kultural kawasan atau wilayah Minangkabau itu
terbagi pada dua bahagian, pada mulanya bahagian itu memiliki makna parsial-
parsial. Namun, pendidikan islam yang berkembang di surau diseluruh
terintegrasi. Kawasan geografis kulturan yang terintegrasi itu adalah, kawasan
rantau dan kawasan darek. Rantau merupakan kawasan-kawasan pesisir yang
jauh dari pusat kerajaan sedangkan darek ada kawasan-kawasan yang dekat
dengan pusat kerajaan. Kawasan rantau merupakan daerah pinggiran yang jauh
dari tata hukum adat lokal. Karena letaknya tidak berdekatan dengan pusat
pemerintahan tetapi agresif dan kosmopolit, karena dipengaruhi oleh dunia luar
melalui saudagar-saudagar yang singgah di pesisir. Kemudian kawasan pesisir
menjadi pusat peradaban islam melalui peranan surau sebagai institusi

6
pendidikan yang dikembangkan pertama kalinya oleh Burhanudin i pesisir
pantai atau di kawasan geografis kultural Rantau Minangkabau.
Sedangkan kawasan Darek merupakan kawasan elit-elit bangsawan an
kaum adat. Letaknya didaerah dataran tinggi dekat dengan pusat kerajaan
Minangkabau. Kawasan ini totalitas sebagai kawasan perkembangan adat dan
budaya Minangkabau tersebut. Kawasan Darek kawasan yang memproduksi
adat adat dan budaya.
Namun, setelah surau menjadi institusi pendidikan islam dan
banyaknya anak-anak muda dari kawasan Darek ke pesisir atau ke Rantau
menuntut ilmu di surau Burhanuddin, kemudian setelah selesai kembali ke
kampung halaman dengan mendirikan surau pula, maka melalui surau-surau
yang dibangun oleh anak didik Burhanuddin. Dengan sistem pengajaran surau
yang transformatif dan ramah terhadap budaya, maka perkembangan islam
dikawasan rantau berlangsung dengan ramah dan tetap menghargai budaya
lokal. Inilah yang menyebabkan islam dapat diterima oleh masyarakat
Minangkabau. Bahkan komunitas surau yang transformatif ini telah berhasil
pula memprakarsai kesepakatan-kesepakatan dengan elit-elit adat, sehingga
melahirkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah pada
abad ke-17 di Minangkabau. Pengaruh surau sebagai pusat pendidikan islam
pada waktu itu, tidak tanggung-tanggung bahkan sampai mengislamisasikan
kerajaan Minangkabau, sehingga pada abad ke-17 raja Minangkabau telah
beragama islam. Pada abad massa itu terjadi struktur kepemerintahan menjadi
dua bahagian yang tidak terpisahkan, yaitunya adanya raja ibadat dan raja adat.
Kedua raja tersebut bertanggung jawab terhadap agama dan adat mayarakat.
Bahkan memperkuat bahwa pada setiap mendirikan sebuah pemerintahan
terendah atau nagari di Minangkabau, musti harus ada surau sebagai salah satu
syaratnya.4

E. Analisis Materi

4Susi Ratna Sari, S.Pd.I., M.Pd, Sejarah Pendidika Islam, h. 181-194

7
Dari penjelasan surau diatas, surau adalah sebuah tempat untuk
melakukan penyembahan bagi arwah nenek moyang sebelum islam masuk ke
Ranah Minangkabau, setelah islam masuk ke Ranah Minangkabau fungsi
surau berubah menjadi pusat kajian islam pada saat itu, fungsi surau menjadi
tempat peribadatan orang muslim Minang seperti shalat, mengaji dan belajar
beladiri tidak itu saja seiring berkembangnya, surau menjadi sebuah tempat
pendidikan pada massa itu, ini dibuktikan para pemuda Minangkabau belajar
agama,beladiri dan tidur di surau, ini sebuah kebudayaan Minangkabau yang
tidak dapat dipisahkan dari Minangkabau. Maka tak heran tanpa surau
Minangkabau tidak ada, meskipun pendidikan hanya dilakukan secara
sederhana namun dari sinilah Minangkabau melahirkan tokoh agama yang
terkenal seperti Buya hamka, Tuanku Imam Bonjol, Buya Burhanuddin dll.
Surau adalah pendidikan islam yang sangat identik dengan Ranah
Minangkabau, meskipun dalam proses pembelajarannya tidak menggunakan
Rpp, Silabus, dan komponen pmbelajaran lainya, dan hanya mengandalkan
materi keagamaan srta menggunakan satu metode yaitu metode ceramah akan
tetapi semangat menuntu ilmu para Bujang Minangkabau sangat tinggi,
sehingganya pembelajaran yang dilakukan dengan sederhana tetapi peserta
didik nya mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, maka tujuan
pendidikan nya dapat tercapai terutama dalam pendidikan islam pada saat itu.
Sehingganya para Bujang Minangkabau Menjadi sosok yang kuat agama
(Akidah, Ibadah, Akhlak), serta mempunyai bekal disiplin ilmu lainya seperti
ilmu beladiri. Pendidikan surau pada saat itu telah banyak melahirkan bnyak
sekali tokoh hebat dalam bidang pendidikan maupun dalam perjuangan
melawan penjajahan. Dan pendidikan surau pada saat itu tidak mengenal
adanya kurikulum, sarana dan prasarana, serta perencanaan dalam
pembelajaran namun walaupun demikian dalam pembelajarannya pendidikan
di surau terlaksana secara kondusif dengan faktanya telah mengeluarkan output
yang sangat bagus. Akan tetapi sekarang pendidikan surau tidak banyak
digunakan lagi oleh orang-orang minangkabau, dengan alasan tidak zamannya
lagi belajar disurau. Padahal pendidikan surau sangat bagus, dengan cara

8
mendesaign pendidikan dengan pendidikan sekarang pasti akan lebih menarik
tapi pikiran seperti itu hanyalah pembicaraan yang tidak akan didengarkan oleh
orang-orang masyarakat modern, karena beranggapan pendidikan surau itu
adalah kuno.

Anda mungkin juga menyukai