Anda di halaman 1dari 10

1

PEMBAHASAN

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI MINANGKABAU

A. Pengertian Surau

Surau, istilah Melayu-Indonesia “surau”, dan kontraksinya “suro”, adalah


kata yang luas penggunaannya di Asia Tenggara. Sejak waktu yang sangat
lama, dalam pengertian yang sama, istilah ini kelihatannya banyak digunakan
di Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia, Sumatera
Tengah dan Patani (Thailand Selatan). Secara bahasa, kata “surau” berarti
“tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau
adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek
moyang. Karena alasan inilah, surau paling awal biasanya dibangun di puncak
bukit atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungannya (Mas’ud, 2011: 26).

Surau adalah tempat umat belajar mengaji, sarana pendidikan atau


madrasah tarbiyah bagi anak nagari di Ranah Minangkabau. Nagari
mempunyai masjid (ba-musajik) dan surau (ba-surau) tempat beribadah,

Musajik tampek ba ibadah,

tampek balapa ba ma,ana,

tampek balaja Al-Quran 30 juz,

tampek mengaji sah jo batal.

Masjid tempat beribadah,

tempat berlafaz bermakna,

tempat belajar Al-Quran 30 juz,


2

tempat mengaji sah dan batal.

Artinya, masjid atau surau menjadi pusat pembinaan umat untuk menjalin
hubungan bermasyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminnya
pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah) (Abidin, 2016: 2).

Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau, bahkan


sebelum Islam masuk ke Minangkabau surau sudah ada. Dengan datangnya
Islam, surau juga mengalami proses islamisasi, tanpa harus mengalami
perubahan nama. Selanjutnya surau semakin berkembang di Minangkabau. Di
samping fungsinya sebagai tempat beribadah (shalat), tempat mengajarkan
Al-Qur'an dan Hadis serta ilmu lainnya, juga sebagai tempat musyawarah,
tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat Minang) dan juga
sebagai tempat tidur bagi pemuda yang mulai remaja dan bagi laki-laki tua
yang sudah bercerai. Ini barangkali sudah merupakan aturan yang berlaku di
Minangkabau, karena di rumah orang tuanya tidak disiapkan kamar untuk
anak lakilaki remaja atau duda, maka mereka bermalam di surau. Hal ini
secara alamiah menjadi sangat penting, karena dapat membentuk watak bagi
generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan praktis (Mas’ud, 2011: 26).

Struktur surau di Minangkabau setelah kedatangan Islam secara urnum


dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:

Pertama, surau gadang adalah surau yang menjadi induk dari beberapa
surau kecil di sekitarnya. Di surau gadang dilakukan pengajian rutin oleh
syekh dengan murid-muridnya yang menjadi guru pada surau-surau di daerah
sekitar surau gadang tersebut. Penamaan surau gadang ini biasanya dikaitkan
dengan nama syekh yang mendiami surau itu atau nama daerah tempat surau
itu berdiri. Misalnya Surau gadang Tanjung Medan di Ulakan, Surau Koto
Tuo Ampek Angkek, Surau Inyiak Candung di Bukittingi, Surau Inyiak Jaho
di Padang Panjang, Surau Inyiak Parabek dan lain sebagainya. Surau-surau
3

gadang ini pada akhirnya ada yang memfungsikan diri sebagai masjid,
sebagai madrasah/pesantren dan sebagai tempat pengajian.

Kedua, surau ketek (surau kecil) mempunyai model. Model ketek


pertama adalah surau yang didirikan oleh suku, indu, jorong kampung, dan
pedagang. Contohnya surau-surau yang ditemukan di kampung atau nagari di
Sumatera Barat. Pada umumnya pada jenis ini memiliki akar dan posisi yang
kuat dalam masyarakat, karena di surau ini dilakukan bermacam-macam
kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan seperti mengaji al-Qur’an, wirid
agama, pengajian tarekat, bela diri silat, belajar penatihan (pidato adat) dan
kesenian masyarakat lainnya. Model surau ketek kedua ialah surau yang
didirikan di sekitar surau gadang (besar) yang didiami oleh murid-murid yang
belajar pada seorang syekh. Model surau ketek ini, dapat ditemukan pada
komplek surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan Pariaman, dan
Surau Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuah, Komplek Surau
Tarbiyah Islamiyah Candung Bukittinggi, Komplek Surau Tuanku Koto Tuo
Agam, Komplek Surau Jaho di Padang Panjang dan lain sebagainya
(Maimunah, 2012: 259).

B. Pola Pendididikan Surau di Minangkabau

Dalam sistem pendidikan surau tidak ada tingkat atau kelas khusus
sebagaimana halnya sekolah formal yang kita kenal saat ini. Para syekh
membagi murid sesuai dengan jurnlah tahun yang telah mereka habiskan di
surau (lamanya mereka belajar di surau). Terkadang pembagian ini dilakukan
berdasarkan tingkat kompetensi murid, namun itu tidak kaku; seorang murid
bisa saja pindah dari satu "tingkat" ke "tingkat" lain yang mereka inginkan.

Metode utama yang digunakan dalam proses pengajaran adalah ceramah,


membaca, dan menghafal. Pelajaran diberikan syaikh kepada murid yang
duduk di atas lantai dengan membentuk formasi lingkaran. Metode ini disebut
halaqah, dalam tradisi pesantren Jawa dikenal dengan metode bandongan. Di
4

samping itu, syekh atau guru juga menggunakan metode sorogan


sebagaimana yang digunakan di lingkungan pesantren Jawa, yakni suatu
metode di mana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab
kepada gurunya dan guru menjelaskan cara membaca dan menghafalnya.
Bagi murid yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai
penerjemahan teks dan tafsirnya (Natsir, 2011: 20-21).

Dan dalam proses pembelajarannya adalah dengan sistem membaca dan


hafalan, khususnya pada tingkat-tingkat kitab, yang dapat dibedakan menjadi
beberapa bagian, yaitu:

Pertama, nahwu/sharaf. Pada tingkat ini murid diharapkan bisa mengerti


gramatika Arab, sehingga murid bisa mendalami pengkajian kitab yang lebih
tinggi apabila bahasa arabnya sudah baik.

Kedua, fiqh. Yang muatan isinya dimulai dari paling dasar yaitu dari
thaharah, kemudian pada rukun-rukun Islam, dan diteruskan pada kajian yang
lebih tinggi, yakni tentang rukun-rukun Islam seperti menggunakan Kitab al-
Minhaj, karangan Imam Nawawi.

Ketiga, tauhid, yang membahas masalah keimanan, dimulai dari


pengamalan sifatsifat dua puluh, sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah dan
sifat jaiz-Nya.

Keempat, akhlaq, berisikan tentang cara berakhlak yang mulia terhadap


Allah dan makhluk-Nya. Bahasan ini juga pada akhirnya membawa pada
ajaran tasawuf.

Kelima, tafsir, yang membahas tentang isi kandungan al-Qur’an melalui


penalaran akal, baik melalui ayat-ayat muhkamat atau mutasyabihat, sehingga
murid memahami betul apa isi al-Qur’an itu sebenarnya (Maimunah, 2012:
261-262).

C. Tenaga Pendidikan di Surau


5

Tuanku Syekh adalah personifikasi dari surau itu sendiri. Tuanku Syekh
tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sekaligus sebagai pemimpin
spiritual mereka yang ingin mengintensifkan ibadah-nya. Ia merupakan
seorang ahli dalam ilmu-ilmu esoterik dan ilahiah, dan menjadi penghubung
antara para penyembah dengan Tuhan. Dalam kata adat disebutkan,

Nan mangaji halal jo haram,

nan mangaji syariah jo makrifah,

katonyo kato hakikat.

Yang mengkaji halal dan haram,

yang mengkaji syaruah dan makrifah,

katanya kata hakikat.

Para syekh mesti dibekali dengan ilmu halal dan haram. Mengaji syariah
(hukum) dan makrifah (aqidah dan tauhid). Sehingga kata yang disampaikan
hanyalah kata hakikat, kebenaran yang datang dari Allah SWT.

Meskipun posisi Tuanku Syekh atau guru surau tidak tercakup dalam
hirarki resmi adat, namun pengaruh mereka tampak jelas terhadap posisi yang
ditentukan adat bagi penghulu. Di nagarinya sendiri, Tuanku Syekh dapat
memerintahkan kepatuhan penduduk di luar sukunya sendiri. Dalam lingkup
supra-nagari, ia berada di luar komunitas adat nagari. Keputusan mereka
mengenai persoalan-persoalan keagamaan secara teoritis mengikat. Para
fungsionaris keagamaan yang disebut dalam sistem adat, seperti imam, khatib
atau malim hanya sekadar pelaksana hukum Islam. Mereka ditugaskan
mengurusi masjid nagari dan melaksanakan ritual-ritual keagamaan, seperti
perkawinan, penguburan, dan peringatan keagamaan; fungsi-fungsi yang
6

terkadang juga dilakukan Tuanku Syekh dan guru-guru surau (Mas’ud, 2011:
30-31).

D. Pengertian Pesantren

Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren


merupakan tempat dimana dimensi ekstorik (penghayatan secara lahir) Islam
diajarkan, dilihat dari segi bentuk dan sistematisnya berasal dari India.
Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah
digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu.
Setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem tersebut kemudian
diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji,
langgar, atau surau di Minangkabau. Namun, bila kita menengok waktu
sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Indonesia lebih
dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata
Arab “funduq”, yang artinya pesangrahan atau penginapan bagi para musafir.

Pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri, diimbuhi awalan pe
dan akhiran -an yang berarti para penuntut ilmu. Menurut Abdurrahman
Wahid pesantren adalah Sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya
terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Pesantren adalah suatu bentuk
lingkungan masyarakat yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang
positif yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagai lembaga pendidikan
Islam. Pondok pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kyai,
7

ustadz dan santri dan pengurua pesantren hidup bersama dalam satu
lingkungan yang berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan
norma-norma dan kebiasaan – kebiasaannya tersendiri (Zulhimma, 2013:
166-167).

E. Pesantren Tradisional dan Modern

Pesantren tradisional atau pesantren salafi adalah pesantren yang tetap


mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan
di pesantren. Sistem madrasah atau jenjang-jenjang juga diterapkan untuk
lebih memudahkan sistem pengajaran yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama, pesantren ini tidak mengenalkan pengajaran
pengetahuan umum. Misalnya, Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri,
Pesantren Aslakul Huda di Pati dan pesantren Tremas di Pacitan.

Pesantren modern atau pesantren khalafi adalah pesantren yang telah


memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam sistem madrasah-madrasah
yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan
pesantren. Misalnya, Pondok Modern Gontor di Ponorogo yang tidak lagi
mengajarkan kitab-kitab Islam klasik atau Pesantren Tebuireng dan Rejoso di
Jombang yang telah membuka SMP, SMA dan universitas namun tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Abu Anwar, 2016:
167).

F. Pola Pendidikan Pesantren di Minangkabau

Gambaran dari karakteristik pendidikan yang ada di pesantren dapat


diklasifikasikan kepada dua hal yakni pola umum pendidikan dan sisem
pengajaran.

Pertama, pola umum pendidikan. Pola pendidikan Islam tradisional di


lembaga-lembaga pengajian atau pesantren sangat berbeda-beda. Pada
umumnya bertingkat-tingkat sesuai dengan usia atau kebutuhan murid apakah
8

dia ingin menjadi ulama atau tidak. Tingkatan pengajian yang paling rendah
dimulai pada waktu anak-anak berumur sekitar 5 sampai 7 tahun dalam
bentuk membaca atau menghafalkan surat-surat pendek dari Al-Qur’an yang
dikenal dengan nama turutan, yang dilanjutkan, secara bertahap, membaca
seluruh Al-Qur’an sampai lancar sekali, baik dalam pengenalan huruf-huruf
atau tulisan-tulisan Arab maupun pengucapannya. Untuk mencapai taraf ini
biasanya diperlukan waktu sekitar 5 atau 6 tahun. Setelah murid memperoleh
dasar-dasar yang cukup dalam sistem pengajian ini, barulah ia dianggap
qualified untuk meneruskan pelajarannya ke lembaga-lembaga pesantren
yaitu sekitar 15 atau 16 tahun. Lembaga-lembaga pesantren pun mengenalkan
tingkatan-tingkatan, dari yang mengajarkan teks-teks sederhana sampai
kepada pesantren luhur yang mengajarkan teks-teks tingkat tinggi.

Kedua, Sistem pengajaran yang dikenalkan di pesantren pada umumnya


ada dua macam, yaitu sistem sorogan, sistem ini biasanya diberikan kepada
murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Qur’an. Sistem bandongan
merupakan sistem utama di lingkungan pesantren. Dalam sistem ini
sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan maksudnya (Abu Anwar,
2016: 168-171).

G. Tenaga Pendidikan di Pesantren

Kyai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat


esensial bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kyai sangat
berpengaruh, kharismatik, dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh
masyarakat di lingkungan pondok pesan-tren. Selain itu, biasanya kyai
pondok pesantren adalah sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari
pesantren tersebut. Dengan demikian, sangat wajar apabila dalam
pertumbuhannya, pesantren sangat tergantung pada peran seorang kyai.

Para kyai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam,


sering-kali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
9

keagungan Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki


kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.

Kyai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader


yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk
kebijakan pesantren berada di tangan kyai, terkhusus yang berkaitan dengan
pembentukan suasana ke-pesantrenan (Marjani Alwi, 2013: 207-208).

H. Kesimpulan

Surau adalah tempat umat belajar mengaji, sarana pendidikan atau


madrasah tarbiyah bagi anak nagari di Ranah Minangkabau. Struktur surau di
Minangkabau setelah kedatangan Islam secara urnum dapat dibagi dalam dua
kategori, yaitu surau gadang (besar) dan surau ketek (kecil). Metode utama
yang digunakan dalam proses pengajaran di surau adalah ceramah, membaca,
dan menghafal. Tuanku Syekh adalah personifikasi dari surau itu sendiri. Ia
merupakan seorang ahli dalam ilmu-ilmu esoterik dan ilahiah, dan menjadi
penghubung antara para penyembah dengan Tuhan.

Pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri, diimbuhi awalan pe
dan akhiran -an yang berarti para penuntut ilmu. Pesantren adalah suatu
bentuk lingkungan masyarakat yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan
yang positif yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagai lembaga
pendidikan Islam. Pesantren tradisional atau pesantren salafi adalah pesantren
yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren. Adapun pesantren modern atau pesantren khalafi
adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam
sistem madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe
sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Pola pendidikan Islam tradisional
di lembaga-lembaga pesantren umumnya bertingkat-tingkat sesuai dengan
usia. Sistem pengajaran yang dikenalkan di pesantren pada umumnya ada dua
macam, yaitu sistem sorogan, Sistem bandongan merupakan sistem dimana
10

sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,


menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan maksudnya

Anda mungkin juga menyukai