Key word: Galanggang, Medan nan bapaneh, Minangkabau culture, public open
space, Tapian.
KONSEP RUANG TERBUKA PUBLIK LANSKAP
PERMUKIMAN TRADISIONAL MINANGKABAU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Arsitektur Lanskap
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Publik 3
Ruang Terbuka Publik sebagai Sebuah Produk Budaya 4
Budaya Minangkabau 6
Masyarakat Minangkabau 7
Wilayah Minangkabau 8
Tradisi Budaya Minangkabau 9
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian 11
Alat dan Bahan 11
Tahapan Penelitian 12
Tahap Pengumpulan Data 12
Tahap Pengolahan Data 14
Tahap Penyajian Hasil 14
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pikir 2
2. Konsepsi filosofis sumbu imajiner Kota Yogyakarta 5
3. Waringin op de aloen-aloen te Jogjakarta 5
4. Lokasi penelitian 11
5. Perbedaan arsitektur rumah gadang di Minangkabau 18
6. Arsitektur masjid di Minangkabau 20
7. Balai Medan nan Bapaneh dan Balai Medan nan Balinduang 21
8. Jorong Pariangan, Nagari Pariangan 24
9. Prasasti Pariangan 24
10. Kuburan Panjang Tantejo Gurhano 25
11. Balai Panjang 25
12. Pertanian di Jorong Pariangan 26
13. Masjid Islah Nagari Pariangan 26
14. Surau Mak Dang 27
15. Rumah Gadang Datuak Kayo 27
16. Peta permukiman Jorong Pariangan 28
17. Balai Saruang 30
18. Situs Batu Batikam 31
19. Situs Batu Gudam 31
20. Situs Koto Baranjak 32
21. Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo 33
22. Galanggang Dang Tuanku Bukik Gombak 34
23. Galanggang Pacu Jawi 34
24. Tapian mandi Rangek Gaduang 35
25. Konsep elemen Medan Nan Bapaneh dan tata letaknya 37
26. Konsep Galanggang 38
27. Konsep elemen Tapian di pinggir sungai dan tata letaknya 39
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tambo ML 429 44
2. Tambo ML 490 45
3. Tambo ML 717 46
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Budaya Minangkabau
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang publik secara umum adalah suatu ruang tempat seluruh masyarakat
dapat menggunakan dan mengaksesnya dan merupakan ruang yang tidak
terbangun dalam kota yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas estetika,
lingkungan, dan kesejahteraan warganya. Pada dasarnya ruang publik merupakan
ruang tempat anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses penuh
terhadap semua kegiatan publik dan masyarakat berhak melakukan secara
merdeka di dalamnya. Ruang publik pun diartikan sebagai suatu wadah yang
dapat menampung aktivitas atau kegiatan tertentu di dalam masyarakat, baik
secara individu maupun kelompok (Samosir 2016).
Ruang terbuka publik adalah ruang tidak terbangun yang merupakan elemen
vital dalam sebuah ruang kota karena keberdaannya di kawasan yang berintensitas
kegiatan tinggi (Nazarudin 1994). Menurut Carr et al (1992), ruang terbuka publik
merupakan ruang wadah aktivitas sosial yang melayani dan juga mempengaruhi
kehidupan masyarakat kota. Ruang terbuka juga merupakan wadah dari kegiatan
fungsional dan aktivitas ritual yang mempertemukan sekelompok masyarakat baik
dalam rutinitas nasional kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan priodik.
Carr et al. (1992) juga menyebutkan bahwa sebuah ruang terbuka publik itu harus
responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif artinya sebuah ruang terbuka
publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.
Demokratis berarti ruang terbuka publik seharusnya dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta
dapat diakses oleh penyandang cacat tubuh, lanjut usia, dan berbagai kondisi fisik
manusia. Bermakna berarti ruang terbuka publik harus memiliki tautan dengan
manusia, dunia luas, dan konteks sosial.
Ruang publik yang ideal menurut Aderina (2016) harus memiliki enam
kriteria: (1) image and identity, berdasarkan sejarahnya; (2) attraction and
destination, memiliki tempat-tempat kecil yang di dalamnya terdapat hal yang
menimbulkan daya tarik; (3) amenities, memiliki ketenangan sehingga orang yang
menikmati merasa nyaman dan aman; (4) flexible design, dapat digunakan
sepanjang hari, dari pagi, siang, dan malam sehingga dapat digunakan kapan pun;
(5) seasonal strategy, keberhasilan suatu ruang terbuka tidak hanya fokus kepada
salah satu desainnya, atau pada strategi manajemennya, tetapi dapat memberikan
tampilan yang berubah-ubah yang berada dari satu musim ke musim lainnya; dan
(6) aksesibilitas ruang yang mantap sehingga dapat mudah dijangkau.
Kualitas ruang juga dapat dilihat berdasarkan keberadaan nilai-nilai utama
(primary values) dalam ruang publik (Eriawan 2003) berikut.
1. Comfort (kenyamanan)
Ruang terbuka publik dalam peruntukannya harus bisa memenuhi berbagai
kebutuhan dasar pengguna seperti tempat beristirahat, terlindung dari
sengatan matahari, tempat berolahraga dan sebagainnya.
2. Relaxtion (relaksasi)
Kenyamanan memang menjadi ukuran kepuasan psikologi penggunanya.
3. Passive engagement
4
Contoh lain alun-alun yang ada di Pulau Jawa adalah Alun-alun Utara
Keraton Kasunanan Surakarta yang keberadaannya sudah terencana, tetapi pada
masa itu kawasan tersebut belum disebut sebagai ruang publik karena
kegunaannya hanya untuk kegiatan-kegiata tertentu kerajaan. Hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat mengakses kawasan tersebut dan memiliki peraturan-
peraturan yang telah diatur oleh pejabat-pejabat kerajaan untuk kepentingan
Keraton Kasunanan Surakarta. Kawasan alun-alun Utara Keraton Kasunanan
Surakarta sebagai rung publik memiliki kekhususan tersendiri. Ruang publik yang
6
terbentuk merupakan dampak dari kegiatan yang ada di sekitar kawasan, antara
lain, berupa kegiatan pariwisata budaya dan perdagangan.
Kawasan alun-alun utara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kawasan Keraton Kasunanan Surakarta karena letaknya di bagian depan keraton.
Kawasan Alun-alun Utara memiliki peran yang sangat penting, yaitu menjadi
simbol penghubung antara raja sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyatnya.
Kawasan alun-alun ini juga digunakan sebagai tempat pelatihan prajurit keraton,
tempat rakyat menghadap raja, dan kegiatan hiburan yang diadakan raja untuk
rakyatnya. Ruang terbuka pada Alun-alun Utara tersebut juga memiliki nilai-nilai
simbolik untuk memunculkan kewibawaan raja sebagai wakil dari tuhan, nilai-
nilai simbolik tersebut tidak hanya terwujud dalam bentuk fisik elemen-elemen
pada kawasan alun-alun saja tetapi dari suasana, aktivitas, dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat pada masa itu (Astuti 2003). Namun, kawasan alun-alun pada
masa sekarang dapat disebut sebagai ruang publik berdasarkan konsep dan teori-
teori yang menjelaskan tentang ruang publik. Hal tersebut dikarenakan
perkembangan kawasan pada masa sekarang cenderung memenuhi kriteria sebuah
ruang publik.
Budaya Minangkabau
Masyarakat Minangkabau
Masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan menurut garis
keturunan ibu yang biasa disebut sebagai masyarakat matrilineal, dalam budaya
adat Minangkabau sendiri disebut suku ke ibu. Suku ibu menentukan suku anak
dan melekat dengan sistem kekerabatan, harta kaum, dan sistem pewarisan di
dalam adat. Masyarakat Minangkabau memiliki aturan dan hukum sendiri serta
memiliki harta kekayaan pribadi yang disebut dengan pusako tinggi yang tidak
boleh diperjualbelikan. Semua anggota masyarakayat Minangkabau menganut
agama tunggal, yaitu Islam. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem
pemerintahan yang sudah tersusun dan tertata rapi sehingga telah memiliki sistem
pemerintahan sendiri yang secara konstitusional diakui dan harus dihormati oleh
Pemerintah NKRI (Amir 2007).
Pemimpin suku dalam budaya Minangkabau berupa seorang penghulu yang
bergelar Datuak. Datuak kedaulatan, wewenang, dan tanggung jawab sendiri di
dalam kepemimpinannya. Penghulu memimpin kaum dalam sebuah nagari.
Penghulu dalam kepemimpinannya dibantu oleh mantri yang bertugas sebagai
penghubung antarkaum yang menyampaikan kaba atau informasi untuk
mempersatukan kaum keluarga dengan suku, seorang malin yang mengurus hal
keagamaan, dan dubalang yang bertugas untuk mengurus keamanan serta
ketentraman. Penghulu dengan ketiga pembantunya disebut sebagai Rajo Ampek
yang artinya empat tokoh utama yang memimpin suku (Salim 2012).
Masyarakat Minangkabau tersusun dari berbagai kelompok kecil yang
bermula dari kelompok rumah tanggo (rumah tangga), kemudian membesar
menjadi kelompok samande (satu ibu), sajurai (satu saudara), sasuku (satu suku),
8
Wilayah Minangkabau
Wilayah Minangkabau meliputi di sekitar Gunung Marapi, Gunung Sago,
Gunung Singgalang, sampai ke Gunung Talang yang disebut alam Minangkabau.
Wilayah Minangkabau tersebut dibagi menjadi dua wilayah khusus, yaitu wilayah
darek dan wilayah rantau (Amir 2007). Wilayah darek merupakan dataran tinggi
yang menjadi tempat asal muasal asli orang Minangkabau, terdiri dari luhak nan
tigo, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto. Setiap luhak
tersebut memiliki perbedaan yang dijelaskan di dalam pepatah, yaitu “Buminyo
angek, aienyo karuah, ikannyo lia” (Buminya hangat, airnya keruh, ikannya liar)
menggambarkan bahwa masyarakatnya keras hati, berani dan suka berkelahi yang
disebut Luhak Agam, “Buminyo lembang, aienyo manih, ikannyo banyak”
(Buminya nyaman, airnya manis, ikannya banyak) menggambarkan masyarakat
yang ramah, sabar dan damai yang disebut sebagai Luhak 50 Koto dan selanjutnya
“Buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak” (Buminya sejuk, airnya jernih,
ikannya jinak) menggambarkan masyarakat yang berhati lembut, tenang dan suka
berdamai disebut Luhak Tanah Datar (Manggis 1971). Luhak Tanah Datar juga
disebut sebagai Luhak Nan Tuo karena luhak tersebut merupakan luhak tertua dan
luhak pertama yang ada di wilayah Minangkabau.
Wilayah yang kedua adalah wilayah rantau yang merupakan daerah di luar
luhak nan tigo yang menjadi tempat mencari kehidupan bagi orang Minangkabau.
Setiap luhak memiliki wilayah rantau masing-masingnya, masyarakat Tanah
Datar merantau ke arah barat dan tenggara. Penduduk Luhak Agam menyebar ke
arah utara dan barat. Daerah rantaunya adalah sepanjang Pantai Lautan Hindia.
Sedangkan Luhak 50 Koto memasuki wilayah Riau, yaitu rantau Kampar Kiri dan
Kampar Kanan. Daerah rantau Minangkabau juga terdapat pada wilayah Pasisia
(pesisir), yaitu daerah sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatra bagian tengah,
membentang dari perbatasan Minangkabau dengan Tapanuli Selatan hingga
Muko-Muko (Bengkulu) dan Negeri Sembilan Malaysia (Asrina et al. 2018).
9
METODE
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari sampai bulan Juni
2018. Penelitian ini dilaksanakan di Sumatera Barat, yaitu di Jorong Pariangan,
Nagari Pariangan, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, yang
merupakan wilayah asal mula budaya Minangkabau berdiri sehingga diterapkan
memiliki tingkat orisinalitas yang tinggi. Lokasi penelitian dapat diamati pada
Gambar 4.
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini diperlukan untuk
keperluan persiapan, pengumpulan data, dan pengolahan data. Alat yang
digunakan berupa kamera, alat perekam suara dan software pengolah data dan
gambar. Bahan yang digunakan merupakan bahan kelengkapan alat serta data
yang diperoleh secara primer maupun sekunder. Uraian alat dan bahan untuk
setiap tahapan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
12
Tahapan Penelitian
a. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada
pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam
proses penelitian (Sugiyono 2012). Tahapan dalam studi pustaka terdiri dari
pengumpulan data dan penyaringan/pemilihan data yang berkaitan dengan ruang
terbuka publik budaya Minangkabau. Pengumpulan data didapat dari buku-buku
yang ada di Perpustakaan Nasional Indonesia, Universitas Andalas dan
Universitas Negeri Padang dan dokumen-dokumen budayawan seperti naskah-
naskah lama, yaitu Tambo yang berkaitan dengan ruang terbuka publik di
Minangkabau. Penyaringan data pustaka dilakukan dengan cara penarikan
simpulan dalam bentuk deskriptif.
b. Wawancara
Pada tahap ini dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber ahli dan
narasumber terkait yang berada di lokasi observasi. Narasumber ahlinya meliputi
pemangku adat, budayawan, peneliti/penulis budaya Mianangkabau. Narasumber
terkait meliputi juru pelihara situs budaya dan pengurus lembaga adat yang
mengetahui tentang ruang terbuka publik di Minangkabau, seperti yang diuraikan
pada Tabel 3.
c. Observasi Lapang
Tujuan utama tahapan ini adalah untuk verifikasi data dari studi pustaka dan
wawancara beberapa narasumber. Adanya verifikasi ini membuktikan keabsahan
data yang diambil dari setiap simpulan yang ditarik melalui studi pustaka dan
wawancara dan dibuktikan keberadaannya di lokasi observasi. Pemilihan lokasi
dilakukan berdasarkan hasil studi pustaka tentang awal permukiman Minangkabau
terbentuk dan keasliannya masih terjaga hingga sekarang. Lokasi penelitian ini di
fokuskan di Jorong Pariangan, tetapi dilakukan penelusuran informasi ke
14
Nagari merupakan kesatuan keluarga yang lebih besar dari suku, yang
biasanya terdiri dari 4 suku atau lebih dan merupakan orang yang setali darah dari
beberapa paruik (perut) menurut garis keturunan ibu (Soeroto 2005). Karakter
permukiman masyarakat Minangkabau dapat dilihat pada nagari. Nagari
merupakan bentuk dari kumpulan beberapa koto (kampung), sedangkan kampung
himpunan dari beberapa dusun, dan dusun merupakan perkembangan dari bentuk
Taratak (Boestami 1979). Bentuk permukiman juga disebutkan dalam Tambo
Minangkabau salah satunya ML 490:
15
Selain itu, menurut Basri (2003), sebuah nagari juga harus memiliki syarat
bamedan bagalanggang. Ungkapan syarat-syarat tersebut dapat didefinisikan
sebagai berikut.
1. Basasok bajurami (wilayah ditempati)
Basasok artinya sebuah wilayah sudah memiliki penduduk atau penghuni
tetap yang akan mendiami wilayah tersebut. Bajurami maksudnya sudah
memiliki wilayah atau daerah yang jelas batas-batas wilayahnya yang akan
ditempati. Filosofi dari ungkapan ini lebih kepada makna kepemilikan dan
identitas, yang menjelaskan asal-usul nenek moyang suatu kaum.
3. Labuah (jalan)
Dalam sebuah nagari memiliki beberapa kampung yang dihubungkan oleh
jalan yang di sebut dengan labuah. jalan tersebut sebagai penghubung antara
rumah satu dengan rumah lainnya, ataupun penghubung suku yang satu
dengan suku lainnya. Labuah ini juga sebagai penghubung permukiman
dengan elemen-elemen nagari lainnya yang dapat digunakan oleh seluruh
masyarakat nagari.
Artinya :
Rumah gadang sembilan ruang, selanjar kuda berlari, sepekik
budak mengimbau, sepuas limpato makan, sejerih kubin
malayang. Gonjongnya rebung membersit, antinganting
disambar elang. Perabungnya si ular gersang, bertatah timah
putih, berasuk teras limpato. Cucurannya elang berbegar, sagar
tersusun bagai bada mudik. Parannya bak si bianglala, bertatah
air emas, sela-menyela air perak. Jeriaunya puyuh berlari,
indah sungguh dipandang mata, tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas. Tiang panjang si maharajalela,
tiang penggiring menteri delapan, tiang tepi penegur tamu,
tiang dalam putri berkabung. Ukiran tonggak jadi ukuraan,
bertatah air emas, disepuh dengan tanah kawi, kemilau mata
memandang. Damar tiris bintang kemarau. Batu telapakan
cermin terlayang. Cibuk meriau baru sudah, penanjur perian
berpantul. Halaman kersik terbentang, pasir lumat bagai
ditinting. Pekarangan berpagar hidup, puding emas pagar luar,
pudiang perak pagar dalam. Pohon kemuning pautan kuda.
Lesungnya batu berlari, alunya limpato bulat. Limau manis
sandarannya. Gadis menumbuk jolong gadang, ayam
mencangkur jolong turun. „lah kenyang baru disiuhkan,
dengan penggalan sirantih dolai, ujungnya diberi berjambul
sutera. Ada pula kolam ikan, airnya bagai mata kucing,
berlumpur tidak berlumut pun tidak, ikan sepat berlayangan,
ikan garing jinak-jinak, ikan puyu berandai emas
Rangkiangnya tujuh sejajar, di tengah sitinjau laut, penjemput
dagang lalu, peninjau pencalang masuk, di kanan si bayau-
bayau, lumbung makan petang pagi, di kiri si tanggung lapar,
tempat si miskin selang tenggang, penolong orang kampung,
18
Artinya :
Keladang di awal tahun, kesawah diakhir tahun, hasil banyak
karena kerja keras, hasil berhasil karena pintar. Dibuat saluran
air berliku, tiba di bukit digali, tiba dibatu dipahat, tiba di
batang di belah...”
Artinya :
Mesjid tempat beribadah, tempat berlafal bermakna, tempat
belajar al quran 30 juz, tempat mengaji sah dan batal.
Artinya :
Balairung tempat menghukum, bak air jernih, bertempurung
landai. Air jernih, ikannya jinak. Hukum adil, katanya benar.
Dendam diberi, kesumat putus. Hukum jatuh, sengketa
sudah...”
Artinya:
Akan dibuat balai itu ialah, yang bertonggak batang jilatang,
berparan kayu lundang, bandulnya batang bayam, bertabuh
pulut-pulut, bergendang saliguri dan bertikar lumut sutra.
Gambar 7 Balai Medan nan bapaneh dan Balai Medan nan balinduang
9. Korong kampuang
Sesuai dengan ketentuan adat, dalam suatu nagari terdapat bebera kampung
yang terdiri dari pengelompokan beberapa kaum dengan kaum lainnya.
Pengelompokan itu lah yang disebut dengan korong kampuang.
Pengelompokan kaum ini bertujuan untuk saling menghormati, menghargai
dan tolong menolong serta mengenal tingkah laku sumbang salah dalam
pergaulan di masyarakat. Dalam pergaulan di masyarakat telah disebut
dalam pepatah adat yaitu, “Guno korong tampek mahinggo sumbang jo
salah, guno kampuang tampek mambate dago jo dagi” artinya sumbang jo
salah ialah tingkah laku yang sudah menjurus melanggar norma-norma
dalam masyarakat sehingga ganjarannya bisa berupa tindak pidana. Dago jo
dagi artinya tingkah laku yang sudah menjurus kepada menentang lembaga
masyarakat yang sah dalam adat dan lembaga pemerintahan sehingga
menimbulkan kekacuan dan tindak pidana.
10. Pamedanan
Pamedanan adalah sebagai tempat penyelesaian persengketaan yang tidak
bisa diselesaikan penghulu masing-masing. Persengketaannya bukanlah
22
11. Galanggang
Galanggang atau disebut juga gelanggang merupakan tempat permainan
rakyat, baik perlombaan adu ketangkasan maupun adu hewan peliharaan
(Navis 1986). Galanggang dapat digunakan sebagai acara tahunan yang
ramai didatangi masyarakat dari berbagai penjuru negeri seperti acara
perlombaan Pacuan Kuda (Luthfia 2016).
12. Sasaran
Sasaran merupakan bangunan bersegi empat tanpa dinding dan atapnya
belah ketupat, yang perabungannya mempunyai titik tengah, letaknya di
dekat surau. Sasaran ini merupakan tempat latihan ketangkasan bela diri
seperti silek dan berbagai permainan lainnya. Sasaran tidak hanya
digunakan oleh suatu kaum saja, namun juga dapat digunakan oleh anggota
kaum lainnya. Memberikan kesempatan kepada kaum lain untu belajar,
maka terciptalah hubungan kekerabatan antara kaum di suatu nagari. Setiap
sasaran memiliki pendekar/ juaro yang masing-masingnya memiliki
keahlian (Navis 1986).
Atinya:
Hendak berhilir ke Indogiri, singgah sebentar ke Ladang
Panjang. Di mana mula adat berdiri. Di Pariangan Padang
Panjang.
Masyarakat Jorong Pariangan terdiri dari delapan suku yang pertama berada
di Minangkabau, yaitu Piliang, Koto, Malayu, Piliang Laweh, Sikumbang, Dalimo
Panjang, Dalimo Singkek, dan Pisang. Terdapat beberapa lokasi cagar budaya
yang dapat ditemukan di Jorong Pariangan, yaitu Prasasti Pariangan dan Kuburan
Panjang Tantejo Gurhano yang sekarang menjadi situs budaya dilindungi oleh UU
No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Prasasti Pariangan berupa batu yang berukuran lebar 2,6 meter dan tinggi
1,6 meter bentuknya hampir menyerupai segitiga. Prasasti tersebut diberi pagar
besi dan atap bergonjong untuk melindungi batu dari panas dan kehujanan
(Gambar 9). Prasasti ini ditulis dengan tulisan sanskerta yang berisi tentang
sebuah keberadaan nagari, yaitu Nagari Pariangan. Namun, saat sekarang ini
tulisan yang terdapat di permukiman batu sudah mulai memudar sehingga sudah
tidak terlihat jelas lagi karena kurangnya perawatan dan perubahan cuaca.
Terdapat suatu situs medan nan bapaneh yang dinamai Balai Saruang yang
terletak di permukiman Jorong Pariangan. Balai Saruang artinya balai yang hanya
terdiri dari satu ruang saja yang dibangun di Pariangan. Letak Balai Saruang di
dalam permukiman dapat dilihat pada Gambar 16. Dalam Balai Saruang tersebut
terdapat sembilan kursi batu yang disusun secara melingkar (sentrifugal), yang
salah satu kursi batu dengan sandaran yang lebih tinggi digunakan oleh pemimpin
dalam musyawarah. Angku Bahandaro Kayo sebagai “Tampuak tangkai alam
Minangkabau” (Tampuk tangkai alam Minangkabau) sebagai pemimpin di dalam
musyawarah dibantu oleh niniak mamak yang dikenal dengan “niniak mamak nan
salapan suku” artinya (niniak mamak yang delapan suku) yang memiliki tugasnya
masing-masing di dalam nagari. Niniak mamak ini disebut sebagai penghulu di
dalam masyarakat Minangkabau karena merupakan pemimpin suku dalam
kaumnya. Terdapat 8 suku pertama yang ada di Jorong Paringan, yaitu Suku
Piliang, Suku Koto, Suku Malayu, Suku Pidang Laweh, Suku Sikumbang, Suku
Dalimo Panjang, Suku Dalimo Singkek, dan Suku Pisang. Filosifi inilah yang
menyebabkan jumlah kursi batu di Balai Saruang berjumlah 9 buah yang disebut
juga dengan medan nan bapaneh tersebut. Di Balai Saruang ini juga terdapat dua
pohon kamboja putih (Plumeria obtusa) yang sudah tua untuk pelindung dari
panas dan hujan ketika musyawarah berlangsung. Letak pohon kamboja ini di
sebelah utara sisi luar dari lingkaran kursi batu, telah ada sejak awal mula medan
nan bapaneh itu dibentuk. Terdapat juga bangunan baru pada sisi luarnya yang
dibangun untuk menyimpan berbagai macam alat musik kerawitan dan foto-foto
para raja yang pernah memimpin Nagari Paringan dan Kerajaan Pagaruyuang.
Perkara yang diputuskan di Balai Saruang ini tidak dapat dilakukan
banding lagi, yang disebutkan dalam adat “miang cabiak gantiang putuih, kato
putuih nan ndak bisa dibandiang lai” yang artinya, segala sesuatunya dapat
diputuskan di sini dan apabila keputusan tersebut sudah dijatuhkan, tidak dapat
dilakukan banding lagi (Nirmala, wawancara). Jadi, semua putusan tidak boleh
disanggah ataupun ditolak karena apabila disanggah dan ditolak, akan batal dan
hilanglah kebesaran kepenghuluan seseorang, baik sebagai seorang raja maupun
sebagai seorang datuak ataupun niniak mamak dalam nagari. Balai Saruang
disebut juga dengan mahkamah agung tertinggi di Minangkabau, sehingga Balai
Saruang ini merupakan balai adat tertua yang ada di Minangakabau. Sekarang ini
tempat pelaksanaan musyawarah tidak lagi dilakukan di ruangan terbuka,
melainkan dilaksanakan di dalam ruangan tertutup, yaitu di kantor Kerapatan Adat
Nagari (KAN) yang ada di setiap wilayah yang berstatus nagari di Sumatera Barat
(April, wawancara). Bentuk medan nan bapaneh Balai Saruang yang ada di
Jorong Pariangan pada saat observasi lapang dapat dilihat pada Gambar 16.
30
Tidak semua Medan nan bapaneh itu memiliki jumlah kursi yang sama,
bergantung pada jumlah penghulu yang ada di dalam nagari tersebut seperti di
situs Batu Batikam yang ada di Nagari Lima Kaum, Tanah Datar. Terdapat 42
kursi batu yang di tengahnya terdapat batu batikam dan terdapat dua pohon
beringin (Ficus benjamina) sebagai peneduhnya (Gambar 18). Medan nan
bapaneh juga terdapat di kompleks Ustano Rajo, Jorong Gudam, Nagari
Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Tanah Datar. Terdapat 15 kursi batu dan
satu pohon beringin (Ficus benjamina) sebagai pohon pelindung dan peneduh
(Gambar 19). Terdapat juga situs medan nan bapaneh di Koto Baranjak, Tanah
Datar. Dalam situs ini juga terdapat 15 buah kursi batu yang disusun dan tiga
pohon kamboja (Plumeria obtusa) yang sudah hampir mati di belakang susunan
kursi baru tersebut (Gambar 20).
Galanggang
Galanggang merupakan sebuah lapangan luas yang dipergunakan sebagai
tempat permainan anak nagari. Tempat permainan rakyat berupa perlombaan
ketangkasan atau peraduan hewan piaraan. Dalam galanggang tersebut terdapat
pimpinan galanggang yang disebut juaro (juara) (Navis 1986). Menurut Dirajo
(2009) galanggang merupakan tempat menghilangkan hati yang terasa risau dan
menimbulkan hati yang damai, tempat orang tua untuk mengajar muda-mudi,
dan tempat bermacam-macam permainan anak nagari. Galanggang
menggambarkan tingkat kemakmuran bagi sebuah nagari karena semakin
banyak mengadakan acara pertandingan, lomba atau keramaian, semakin
banyak pula anak nagari yang datang sebagai peserta, penonton, dan
penyelenggara kegiatan. Edison dan Sungut (2010) menyebut galanggang
sebagai Balai Galanggang, yaitu balai tempat berkumpul masyarakat banyak
untuk melaksanakan kegiatan pesta rakyat seperti pencak silat, tari piring,
randai dan berbagai macam kegiatan seni anak nagari lainnya. Menurut Thaib
(1965), untuk galanggang harus tersedia tanah lapang tempat pekan tukar
menukar jual beli, serta tempat berolahraga, kegiatan pencak silat dan tari
menari untuk bersukaria dan beriang gembira. Bentuk pertunjukan seni drama
yang biasanya dilakukan di galanggang adalah pertunjukan randai. Pertunjukan
ini merupakan gabungan antara sandiwara dan tari yang memiliki makna yang
diungkapkan di dalam setiap alur ceritanya. Tempat pertunjukan randai ini
haruslah dilaksanakan di ruangan terbuka berupa arena yang dikelilingi oleh
penonton (Indrayuda 2012).
Di permukiman Jorong Pariangan terdapat sebuah galanggang yang biasa
digunakan oleh masyarakat Nagari Pariangan. Galanggang ini dinamai dengan
Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo (Gambar 21). Berbagai kegiatan
Nagari Pariangan dilakukan di lapangan ini, seperti kegiatan pengambilan api
obor Porda (pekan olahraga daerah) yang rutin dilakukan dua tahun sekali di
Sumatera Barat. Api obor tersebut sebagai simbol bahwa kegiatan pekan olah
raga daerah di Sumatera Barat akan dimulai. Pengambilan api obor yang berasal
dari Jorong Pariangan ini dikarenakan nagari tertua adalah Nagari Pariangan
yang merupakan awal mula tempat berdirinya Budaya Minangkabau. Dengan
menandakan hal tersebut, dibentuklah sebuah monumen yang disebut Monumen
33
Api Porda Sumatera Barat di Lapangan Sulthan Suri Raja Maha Dirajo. Setiap
pelaksanaan Porda, tuan rumah kegiatan ini dilakukan di daerah yang berbeda-
beda. Namun, pengambilan api obornya akan tetap di Nagari Pariangan. Api
obor tesebut nantinya akan dibawa secara simbolik ke daerah yang menjadi tuan
rumah pelaksanaan pekan olah raga daerah Sumatera Barat tersebut. Prosesi
pengambilan api obor Porda ini tidak luput dari prosesi adat budaya
Minangkabau, yakni tradisi berbalas pantun dan petatah-petitih oleh niniak
mamak yang menjadi sebuah ciri khas Minangkabau dalam menyambut alek
gadang nagari (perhelatan besar nagari). Pada kegiatan ini, semua masyarakat
nagari, terutama masyarakat Nagari Pariangan akan berkumpul bersama untuk
memeriahkan perhelatan alek nagari.
Budaya Minangkabau dan peserta dari pacuan kuda ini tidak hanya dari dalam
daerah Sumatera Barat, tetapi juga dari daerah lain.
Tapian
Tapian atau yang biasa disebut dengan tapian mandi (tepian mandi)
merupakan sebuah tempat yang berada pada tepian sungai karena dekat dengan
sumber air. Namun, tidak selalu terletak di tepian sungai, juga terdapat di
beberapa tepian tebing di beberapa daerah (Asrinal et al. 2018). Menurut Dirajo
35
(2009), pada umumnya tapian mandi berada pada daerah pinggir permukiman.
Tapian digunakan untuk mandi, cuci dan kakus saja, tetapi juga sebagai tempat
berkumpul dan berdiskusinya masyarakat. Perbincangan yang terjadi pada
tapian mandi bersifat bebas tanpa ada batasan, berbeda dengan balai dan rumah
gadang memiliki aturan dalam tata bahasa dan prilaku yang mengikat sesuai
dengan aturan adat. Perbincanngan yang bebas dalam tapian tersebut
berdasarkan filosofi alam yang terbuka bebas sehingga dijadikan sebagai
perumpamaan dalam perbincangan di tapian. Tingkat bagusnya sebuah tapian
menunjukkan kemakmuran sebuah nagari. Tapian yang baik itu adalah karya
dari masyarakat yang menggunakannya. Sesuai dengan pepatah adat “Rancak
tapian dek nan mudo” (bagusnya tapian oleh anak muda). Ungkapan ini
menjelskan bahwa keberadaan sebuah tapian itu menunjukkan sebuah keaktifan
masyarakat mudanya dalam sebuah permukiman sehingga apabila sebuah tapian
mandi tidak terurus lagi, peran masyarakat mudanya tidak berjalan dengan baik.
Di permukiman di Jorong Pariangan terdapat beberapa tapian mandi
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 24. Semua tapian tersebut berada di
tepi sungai depan bangunan Masjid Islah. Semua tapian mandi tersebut dialiri
air panas yang berasal dari Gunung Merapi. Konon katanya air tersebut
mempunyai beragam manfaat untuk kesehatan kulit. Tapian mandi ini
merupakan sebuah pemandian yang digunakan secara bersama-sama dahulunya,
tetapi sekarang masyarakat sudah memiliki kamar mandi masing-masing di
rumahnya. Tapian mandi ini menjadi salah satu objek wisata yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan apabila berkunjung ke Pariangan. Tapian mandi
antara laki-laki dan perempuan terpisah, untuk laki-laki tapian mandinya diberi
nama Rangek Gaduang (Gambar 24) dan Rangek Tujuah, sedangkan untuk
perempuan dinamai dengan Rangek Subarang. Dalam tapian tersebut terdapat
pancuran air yang mengalirkan air panas. Pada Jorong Pariangan ini pancuran
air itulah yang dinamakan dengan tapian mandi (Irwan, wawancara). Tapian
yang ada sekarang sudah berupa bangunan permanen layaknya seperti wc
umum, tidak seperti tapian mandi yang disebutkan dalam Tambo, bahwa tapian
itu di ruang terbuka.
Ketiga ruang terbuka publik tersebut memiliki fungsi dan aturan yang
berbeda dalam masing-masing penggunaannya. Terdapat elemen-elemen utama
yang menjadi pembentuk dan penciri ruang terbuka publik tersebut di
Minangkabau. Elemen-elemen utama yang menjadi pembeda dari tiap-tiap ruang
terbuka publik tersebut dapat diketahui dari hasil studi pustaka, wawancara, dan
observasi lapang, yang dapat diamati pada Tabel 5.
disebutkan dalam naskah adat tidaklah banyak karena di dalam naskah adat hanya
menyebutkan nama tempatnya saja, tidak menyebutkan secara rinci elemen-
elemen yang ada di dalam medan nan bapaneh, galanggang, dan tapian. Supaya
melengkapi informasi tentang keberadaan elemen-elemen utamanya, maka
digunakan beberapa buku yang bereferensi dari naskah adat, serta wawancara
dengan tokoh-tokoh adat setempat.
Hasil dari tabular menunjukkan bahwa elemen utama dari sebuah medan
nan bapaneh ialah kursi batu, pohon besar, dan batu air. Ketiga elemen tidak
disebutkan di dalam naskah adat. Naskah adat hanya menyebutkan sebuah medan
itu tempat mufakat yang terdapat di dalam Tambo ML 429:
Kata medan disini artinya sebuah tempat, sedangkan nama tempat tersebut
dinamakan galanggang (Musra, wawancara). Berdasarkan hasil data yang
didapatkan dari naskah dan wawancara, elemen yang ada di galanggang hanya
berupa lapangan luas, tidak terdapat elemen-elemen lainnya (Gambar 26),
sedangkan galanggang yang ada saat sekarang di Jorong Paringan terdapat tugu
api Porda dan berbagai macam vegetasi pohon yang ada di pinggir lapangan
(Gambar 26).
Berbagai elemen utama yang ada di tapian mandi adalah batu layah sebagai
tempat mencuci, pancuran, dan tempat duduk. Dalam naskah adat tidak ditemukan
semua elemen tersebut, tetapi beberapa buku yang bereferensi dari tambo
menyebutkan beberapa elemen yang ada di tapian mandi. Hasil dari observasi
lapang sendiri sudah tidak banyak lagi ditemukan elemen-elemen tersebut
dikarenakan sudah dibentuknya bangunan permanen yang sangat berbeda dengan
bentuk tapian mandi masa dahulunya. Sebuah tapian mandi tersebut dapat dilihat
konsep elemen dan tata letaknya, yang apabila letaknya di tepian sungai dapat
dispasialkan seperti pada Gambar 27.
Gambar 27 Konsep elemen Tapian mandi di pinggir sungai dan tata letaknya
Simpulan
sebagai pohon pelindung dan peneduh, serta batu aia untuk penutup permukaan
tanah tempat bersidang. Jumlah kursi batu bergantung pada banyaknya penghulu
yang ada dalam nagari tersebut dan pohon peneduh yang digunakan berupa pohon
kamboja atau pohon beringin. Elemen pembentuk galanggang hanyalah berupa
lapangan luas yang terbuka tanpa pembatas untuk perhelatan atau acara yang
melibatkan semua orang dalam nagari yang dapat menampung seluruh
masyarakat di dalamnya. Elemen pembentuk tapian mandi adalah, batu layah
yang terletak dipinggir sungai untuk mencuci, batu tempat duduk, dan pancuran
air terkadang berada di bawah tempat yang ternaungi oleh pohon penaung.
Konsep ruang terbuka publik yang ada di Minangkabau berorientasi kepada alam
karena semua aktivitas yang terjadi dalam masyarakat langsung di luar bangunan
sehingga kondisi alam mempengaruhi bentuk karakteristik ruang terbuka publik
yang ada di Minangkabau. Sesuai dengan filsafat hidup masyarakat “Alam
takambang jadi guru” (Alam terkembang dijadikan guru).
Saran
Karakter ruang terbuka publik budaya Minagkabau yang ada saat sekarang
ini berupa situs-situs peninggalan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan
sehingga elemen-elemen yang ada dapat dipertahankan dan tidak terjadi
perubahan bentuk dan makna dari ruang terbuka publik tersebut. Penggunaan
nama sebuah ruang terbuka publik seharusnya sesuai dengan konsep dan filosofi
yang ada. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsep
ruang terbuka publik Minangkabau berdasarkan naskah Tambo lainnya secara
mendalam.
41
DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono. 2012. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&B. Bandung (ID):
Alfabeta.
Syamsidar B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta
(ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Thaib D. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi (ID): N.V Nusantara.
44
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP