Anda di halaman 1dari 59

KONSEP RUANG TERBUKA PUBLIK LANSKAP

PERMUKIMAN TRADISIONAL MINANGKABAU

FEBYA MUTIARA EDISON

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Konsep Ruang


Terbuka Publik Lanskap Permukiman Tradisional Minangkabau” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi baik yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2018

Febya Mutiara Edison


NIM A44140042
ABSTRAK

FEBYA MUTIARA EDISON. Konsep Ruang Terbuka Publik Lanskap


Permukiman Tradisional Minangkabau. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.

Budaya Minangkabau merupakan salah satu budaya tertua yang ada di


Indonesia. Budaya tersebut memiliki tradisi dan budaya yang khas sehingga
mencerminkan kehidupan dan adat istiadat di dalam masyarakatnya. Perwujudan
budaya Minangkabau yang khas tersebut salah satunya dapat dilihat dari bentuk
ruang terbuka publiknya. Ruang terbuka publik yang khas dapat dilihat dari
berbagai bentuk peninggalan seperti situs tempat dan karya sastra (Tambo).
Tambo yang telah ditulis beratus tahun yang lalu dan tidak mengalami perubahan
hingga saat ini. Literatur tersebut menjadi acuan untuk penelitian tentang konsep
ruang terbuka publik Minangkabau untuk menjaga keorisinilan budaya yang telah
diwariskan oleh para leluhur. Penelitian ini dilakukan di permukiman Jorong
Pariangan, Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang
merupakan wilayah awal mula berdirinya budaya Minangkabau. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif melalui studi pustaka, wawancara, dan
observasi lapang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga ruang
terbuka publik yang ada di permukiman Minangkabau, yaitu Medan Nan
Bapaneh, Galanggang, dan Tapian. Ketiga ruang terbuka publik ini dapat
dikelompokan menjadi dua berdasarkan fungsi dan tujuannya, yaitu ruang terbuka
publik umum dan khusus. Ruang terbuka publik umum itu seperti Galanggang
dan Tapian dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh seluruh masyarakat,
sedangkan yang khusus seperti Medan Nan Bapaneh hanya dapat digunakan oleh
para pemuka adat seperti penghulu. Ketiganya memiliki filosofi dan aturan adat
yang mengatur untuk pembentukannya, serta terdapat berbagai elemen yang
menjadi ciri khas dari ruang publik budaya Minangkabau. Konsep karakter ruang
terbuka publik Minangkabau tersebut mengacu kepada alam dan aktivitas
masyarakat. Hubungan antara alam dan aktivitas manusia tersebut menciptakan
sebuah ruang terbuka publik yang menjadi ciri khas dari budaya Minangkabau dan
sesuai dengan falsafat hidup masyarakat Minangkabau, yaitu “alam takambang
jadi guru” (alam yang terkembang dijadikan guru).

Kata kunci : budaya Minangkabau, Galanggang, Medan Nan Bapaneh, ruang


terbuka publik, Galanggan, Tapian
ABSTRACT

FEBYA MUTIARA EDISON. Public Open Space Concept in the Traditional


Minangkabau Settlement. Supervised by ANDI GUNAWAN.

Minangkabau culture is one of the most ancient culture that exist in


Indonesia. It has a unique tradition and culture which reflect the life and customs
of the community. The uniqueness of the Minangkabau culture can be seen from
the form of its public open spaces. The characteristics of the public open space is
shown in relics such as sites or literature work. Tambo, for example, as one of
Minangkabau literatures has been written hundred years ago and does not have
any modifications until this moment. Those literature are then used as reference
for this research about the public open space concept of Minangkabau to preserve
the originality of the culture which has been inherited by the ancestors. This
research was held in the Jorong Pariangan Settlement, Nagari Pariangan, Tanah
Datar Regency, West Sumatra, which is the origin of the Minangkabau Culture
started from. The method used is descriptive qualitative by conducting literature
studies, interviews, and site survey. The result of this research shows that there
are three kind of Public Open Spaces in the Minangkabau settlement which are
called Medan nan bapaneh, Galanggang and Tapian. The three public open
spaces are categorised into 2 groups based on its function namely common and
specific public open spaces. Galanggang and Tapian are common public open
spaces that are used by all the members of the community while Medan nan
bapaneh is a specific public open space which is only used by the cultural
stakeholders such as a headman. Those 3 public open spaces own philosophies
and cultural customs that regulate its formation and some elements which present
unique characteristics of the cultural Minangkabau open spaces. The character
concept of the Minangkabau public open spaces is inspired by the nature and the
community's activities. The relation between nature and human activities
influenced the formation of the public open spaces and become the uniqueness of
the Minangkabau Culture. It is also suitable with the philosophy of the
Minangkabau community which is called "Alam takambang jadi guru" (the
developing nature becomes teacher).

Key word: Galanggang, Medan nan bapaneh, Minangkabau culture, public open
space, Tapian.
KONSEP RUANG TERBUKA PUBLIK LANSKAP
PERMUKIMAN TRADISIONAL MINANGKABAU

FEBYA MUTIARA EDISON

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Arsitektur Lanskap
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Judul Skripsi : Konsep Ruang Terbuka Publik Lanskap Permukiman
Tradisional Mianangkabau
Nama : Febya Mutiara Edison
NIM : A44140042

Disetujui oleh

Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc


Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Afra DN Makalew, MSc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala atas


segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Konsep Ruang Terbuka
Publik Lanskap Permukiman Tradisional Minangkabau” ini berhasil diselesaikan,
sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir.Andi Gunawan,
M,Agr.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberi masukan dan arahannya
selama penyusunan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan yang sebesar-
besarnya penulis sampaikan kepada narasumber Bapak Irwan Malin Basa selama
penelitian di Jorong Pariangan, serta berbagai instansi adat dan budaya, tokoh
adat, dan tokoh masyarakat yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga kepada kedua orang tua atas doa, dukungan, dan
kasih sayang yang tak henti-hentinya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
sebagai referensi bagi penelitian lain yang dilaksanakan pada masa yang akan
datang.

Bogor, Oktober 2018

Febya Mutiara Edison


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Publik 3
Ruang Terbuka Publik sebagai Sebuah Produk Budaya 4
Budaya Minangkabau 6
Masyarakat Minangkabau 7
Wilayah Minangkabau 8
Tradisi Budaya Minangkabau 9

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian 11
Alat dan Bahan 11
Tahapan Penelitian 12
Tahap Pengumpulan Data 12
Tahap Pengolahan Data 14
Tahap Penyajian Hasil 14

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Elemen Pembentuk Nagari 14
Karakteristik Permukiman di Minangkabau 23
Elemen dan Pola Letak Ruang Terbuka Publik dalam
Permukiman 28
Medan Nan Bapaneh 28
Galanggang 32
Tapian 34
Konsep Ruang Terbuka Publik 36
SIMPULAN 39
SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 41
RIWAYAT HIDUP 46
DAFTAR TABEL

1. Alat dan bahan 12


2. Jenis data beserta teknik pengambilan dan sumbernya 12
3. Narasumber dan bidang keahlian 13
4. Lokasi observasi lapang 14
5. Pengelompokan elemen utama ruang terbuka publik 36

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir 2
2. Konsepsi filosofis sumbu imajiner Kota Yogyakarta 5
3. Waringin op de aloen-aloen te Jogjakarta 5
4. Lokasi penelitian 11
5. Perbedaan arsitektur rumah gadang di Minangkabau 18
6. Arsitektur masjid di Minangkabau 20
7. Balai Medan nan Bapaneh dan Balai Medan nan Balinduang 21
8. Jorong Pariangan, Nagari Pariangan 24
9. Prasasti Pariangan 24
10. Kuburan Panjang Tantejo Gurhano 25
11. Balai Panjang 25
12. Pertanian di Jorong Pariangan 26
13. Masjid Islah Nagari Pariangan 26
14. Surau Mak Dang 27
15. Rumah Gadang Datuak Kayo 27
16. Peta permukiman Jorong Pariangan 28
17. Balai Saruang 30
18. Situs Batu Batikam 31
19. Situs Batu Gudam 31
20. Situs Koto Baranjak 32
21. Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo 33
22. Galanggang Dang Tuanku Bukik Gombak 34
23. Galanggang Pacu Jawi 34
24. Tapian mandi Rangek Gaduang 35
25. Konsep elemen Medan Nan Bapaneh dan tata letaknya 37
26. Konsep Galanggang 38
27. Konsep elemen Tapian di pinggir sungai dan tata letaknya 39

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tambo ML 429 44
2. Tambo ML 490 45
3. Tambo ML 717 46
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman suku dan


budaya masyarakat yang membentuk suatu karakter alam dan tradisi yang
berbeda. Budaya merupakan bentuk dari aktivitas manusia yang membentuk
identitas, tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, serta norma-norma di suatu daerah dari
pengalaman masa lalu (Jancura 2000; Ryan 2004). Salah satu budaya masyarakat
Indonesia yang masih ada dan kental akan tradisi dan adat istiadatnya adalah
budaya Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari beragam
budaya tertua yang ada di Indonesia, yang lahir dari masyarakat sebagian besar
berasal dari daerah Sumatera Barat dan sekitarnya. Keberadaan budaya
Minangkabau saat ini masih kita lihat dari karakter lanskap dan tradisi budaya
yang berkembang di dalam masyarakat Minangkabau seperti ruang terbuka
publik.
Keberadaan ruang publik yang ada dalam masyarakat Minangkabau
membentuk suatu karakter ruang publik yang khas di dalam budaya Minangkabau
itu sendiri. Bentuk dari ruang publik yang ada di Minangkabau tersebut seperti
medan nan bapaneh, tapian, dan galanggang. Keberadaan dari medan nan
bapaneh, tapian, dan galanggang ini dapat dilihat dan diketahui dari peninggalan
situs yang masih ada dan dijaga hingga sekarang, serta karya sastra tertulis seperti
Tambo. Tambo adalah karya sastra sejarah mengenai kisah-kisah yang berkaitan
dengan asal-usul bangsa, negeri, tradisi, dan alam Minangkabau (Djamaris 2002).
Tambo Minangkabau ini ditulis menggunakan bahasa Minangkabau dan Melayu
kuno yang berbentuk prosa dengan tata bahasa yang mengandung seribu makna.
Isi dalam tambo juga menggambarkan keindahan alam Minangkabau dengan
memberikan informasi elemen-elemen lanskap beserta tata letaknya (Asrina
2018).
Penelitian yang berkaitan dengan ruang terbuka publik Minangkabau ini
masih minim dan jarang dilakukan sehingga mengakibatkan adanya kesalahan
makna dan fungsi dalam memahami sebuah ruang publik yang ada di
Minangkabau. Selain itu, semakin banyaknya pembangunan dan perubahan
penggunaan lahan mengakibatkan hilangnya berbagai situs-situs budaya seperti
medan nan bapaneh, tapian, dan galanggang di dalam wilayah Minangkabau. Hal
tersebut mengakibatkan hilangnya nilai-nilai kebudayaan yang terdapat pada
konsep ruang terbuka publik budaya Minangkabau. Kondisi ini akan
menyebabkan karakter ruang terbuka publik dari medan nan bapaneh, tapian, dan
galanggang budaya Minangkabau ini semakin berkurang. Oleh karena itu,
diperlukan pengkajian untuk mengangkat kembali nilai-nilai budaya dan
memaparkan kembali konsep ruang terbuka publik Minangkabau.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah


1. mengidentifikasi pola tata letak, orientasi, dan elemen-elemen pembentuk
ruang terbuka publik di lanskap permukiman Minangkabau dan
2

2. memformulasikan bentuk konsep dasar ruang terbuka publik dalam


budaya Minangkabau.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bentuk


karakter ruang terbuka publik budaya Minangkabau dalam bentuk konsep karakter
yang menjadi penciri ruang publik Minangkabau bagi pemerintah dan masyarakat
pada umumnya. Selain itu, juga dapat menjadi salah satu arsip budaya
Minangkabau dalam aspek ruang terbuka publik.

Kerangka Pikir Penelitian

Budaya Minangkabau dapat dilihat dari adat istiadat, benda peninggalan


budaya, dan kondisi biofisik lingkungan alamnya yang berbukit-bukit. Hal
tersebut secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi bentuk elemen-
elemen lanskap di wilayah Minangkabau. Adanya elemen-elemen tersebut dapat
membentuk sebuah ruang terbuka publik yang memiliki ciri khas tersendiri dalam
permukiman Minangkabau. Adat istiadat yang terbentuk dalam masyarakat dapat
mempengaruhi konsep ruang terbuka publik dari segi perilaku masyarakat yang
diatur di dalam adat dan kegiatan upacara adat. Benda peninggalan budaya yang
masih ada hingga sekarang juga dapat mempengaruhi konsep ruang terbuka
publik yang telah dibentuk secara turun-temurun oleh nenek moyang terdahulu.
Kondisi biofisik lingkungan dapat diamati dari pengaruh yang terbentuk di dalam
konsep ruang terbuka publik budaya Minangkabau, sehingga menciptakan satu
kesatuan bentuk ruang terbuka publik yang ada di dalam lingkungan Budaya
Minangkabau itu sendiri, yang dapat menghasilhan bentuk konsep ruang terbuka
publik yang khas di dalam Budaya Minangkabau. Secara keseluruhan, kerangka
pikir dapat diamati pada Gambar 1.

Budaya Minangkabau

Adat Istiadat Benda Peninggalan Budaya Biofisik

Elemen-Elemen Pembentuk Lanskap Minangkabau

Ruang Terbuka Publik Permukiman Minangkabau

Medan Nan Bapaneh, Tapian, dan Galanggang

Konsep Ruang Terbuka Publik Minangkabau

Gambar 1 Kerangka pikir


3

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang Terbuka Publik

Ruang publik secara umum adalah suatu ruang tempat seluruh masyarakat
dapat menggunakan dan mengaksesnya dan merupakan ruang yang tidak
terbangun dalam kota yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas estetika,
lingkungan, dan kesejahteraan warganya. Pada dasarnya ruang publik merupakan
ruang tempat anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses penuh
terhadap semua kegiatan publik dan masyarakat berhak melakukan secara
merdeka di dalamnya. Ruang publik pun diartikan sebagai suatu wadah yang
dapat menampung aktivitas atau kegiatan tertentu di dalam masyarakat, baik
secara individu maupun kelompok (Samosir 2016).
Ruang terbuka publik adalah ruang tidak terbangun yang merupakan elemen
vital dalam sebuah ruang kota karena keberdaannya di kawasan yang berintensitas
kegiatan tinggi (Nazarudin 1994). Menurut Carr et al (1992), ruang terbuka publik
merupakan ruang wadah aktivitas sosial yang melayani dan juga mempengaruhi
kehidupan masyarakat kota. Ruang terbuka juga merupakan wadah dari kegiatan
fungsional dan aktivitas ritual yang mempertemukan sekelompok masyarakat baik
dalam rutinitas nasional kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan priodik.
Carr et al. (1992) juga menyebutkan bahwa sebuah ruang terbuka publik itu harus
responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif artinya sebuah ruang terbuka
publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.
Demokratis berarti ruang terbuka publik seharusnya dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta
dapat diakses oleh penyandang cacat tubuh, lanjut usia, dan berbagai kondisi fisik
manusia. Bermakna berarti ruang terbuka publik harus memiliki tautan dengan
manusia, dunia luas, dan konteks sosial.
Ruang publik yang ideal menurut Aderina (2016) harus memiliki enam
kriteria: (1) image and identity, berdasarkan sejarahnya; (2) attraction and
destination, memiliki tempat-tempat kecil yang di dalamnya terdapat hal yang
menimbulkan daya tarik; (3) amenities, memiliki ketenangan sehingga orang yang
menikmati merasa nyaman dan aman; (4) flexible design, dapat digunakan
sepanjang hari, dari pagi, siang, dan malam sehingga dapat digunakan kapan pun;
(5) seasonal strategy, keberhasilan suatu ruang terbuka tidak hanya fokus kepada
salah satu desainnya, atau pada strategi manajemennya, tetapi dapat memberikan
tampilan yang berubah-ubah yang berada dari satu musim ke musim lainnya; dan
(6) aksesibilitas ruang yang mantap sehingga dapat mudah dijangkau.
Kualitas ruang juga dapat dilihat berdasarkan keberadaan nilai-nilai utama
(primary values) dalam ruang publik (Eriawan 2003) berikut.
1. Comfort (kenyamanan)
Ruang terbuka publik dalam peruntukannya harus bisa memenuhi berbagai
kebutuhan dasar pengguna seperti tempat beristirahat, terlindung dari
sengatan matahari, tempat berolahraga dan sebagainnya.
2. Relaxtion (relaksasi)
Kenyamanan memang menjadi ukuran kepuasan psikologi penggunanya.
3. Passive engagement
4

Hubungan pasif dengan lingkungan dapat membawa suatu perasaan santai,


tetapi berbeda dengan relaksasi. Kondisi ini memerlukan keterlibatan
dengan suatu keadaan, tetapi keterlibatan ini bersifat pasif atau tidak
langsung, seperti melihat-lihat, menonton suatu pertunjukan, dan
sebagainya.
4. Active engagement
Hubungan aktif dengan lingkungan merupakan keterlibatan yang lebih
langsung dengan tempat dan orang-orang di dalamnya, seperti bercakap-
cakap, berolah raga, dan melakukan suatu perayaan lain.
5. Accesible (kemudahan)
Kemudahan ini terdiri dari tiga hal, yang pertama kemudahan fisik (physical
acces), apakah ruang terbuka tersebut tersedia untuk publik, serta apakah
ada batasan fisik pada ruang terbuka tersebut. Kedua, kemudahan visual
(visual acces), yaitu apakah pengguna dapat melihat ruang terbuka tersebut
dari luar dan apakah mereka akan tahu bahwa itu adalah ruang publik ketika
mereka memasukinya dengan aman dan akan diterima. Selanjutnya yaitu
kemudahan simbolis (symbolic acces), yaitu adanya elemen-elemen yang
membuat orang-orang atau sebagian orang merasa tidak diterima pada ruang
publik tersebut seperti keberadaan satpam.
6. Freedom of action (kebebasan bertindak)
Kebebasan bertindak ini merupakan nilai dari keterbukaan ruang publik
sehingga setiap orang berhak untuk menggunakan dan bertindak dalam
memanfaatkan ruang secara bebas atau memakai fasilitas yang ada.
7. Claim (tuntutan/pernyataan)
Tuntutan/pernyataan terhadap ruang publik adalah hak seseorang untuk
menentukan tindakan pada ruang yang ditempatinya, seperti duduk dan
berolah raga. Klaim terhadap ruang publik berada antara aksesibilitas dan
kebebasan bertindak.
8. Ownership and disposition (kepemilikan dan pengaturan)
Ruang terbuka publik pada dasarnya adalah milik publik walaupun
pengaturan terhadap ruang tersebut belum tentu dapat dilakukan oleh publik.

Ruang Terbuka Publik sebagai Sebuah Produk Budaya

Ruang terbuka publik merupakan bagian dari lingkungan binaan yang


memiliki keterkaitan erat dengan unsur budaya masyarakat sebagai perencanaan
dan penggunaanya. Budaya merupakan suatu sistem yang di dalamnya
mencangkup sistem nilai dan kepercayaan serta ekspresi budaya lain seperti gaya
hidup dan preferensi yang mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala
sesuatu (Rapoport 2001). Keberadaan sebuah ruang terbuka publik dapat
mencirikan suatu budaya masyarakat seperti alun-alun kota. Keberadaan sebuah
alun-alun ini dapat kita temui dalam perkembangan kota-kota berlatar belakang
kerajaan di Pulau Jawa, sehingga dapat menjadi salah satu identitas budaya bagi
kota-kota tersebut dengan karakternya yang berbeda-beda (Handinoto 1992).
Sebagai contoh bentuk alun-alun yang ada di Pulau Jawa, yaitu di Kota
Yogyakarta. Keberadaan alun-alun di Yogyakarta tidak terlepas dari tata rakit
Keraton Kesultanan Yogyakarta yang menjadi elemen penting dalam struktur
pusat pemerintahan Kerajaan Keraton Yogyakarta pada masa lalu. Alun-alun
5

Keraton Yogyakarta dipengaruhi oleh kesakralan Keraton Kasultanan Yogyakarta


dengan mengandung unsur misteri dan mitos yang mendasari konsep filosofi
tatanan/susunan Keraton Yogyakarta. Kepercayaan pada masa itu bahwa Gunung
Merapi dan Laut Selatan merupakan sumber kekuatan gaib sehingga tata letak
keraton tidak boleh membelakangi Gunung Merapi dan Laut Selatan. Guna
menghormati dua sumber kekutan gaib tersebut, pada sisi utara dan selatan
Keraton dibuat sebuah alun-alun sehingga membentuk garis imajiner dari
konsepsi filosofi cikal bakal terbentuknya Kota Yogyakarta.

Gambar 2 Konsepsi filosofis sumbu imajiner Kota Yogyakarta


(Sumber: FDG haribakti PU DIY ke-63, 2013)

Gambar 3 Waringin op de aloen-aloen te Jogjakarta


(Sumber: KITLV Belanda, 1756)

Contoh lain alun-alun yang ada di Pulau Jawa adalah Alun-alun Utara
Keraton Kasunanan Surakarta yang keberadaannya sudah terencana, tetapi pada
masa itu kawasan tersebut belum disebut sebagai ruang publik karena
kegunaannya hanya untuk kegiatan-kegiata tertentu kerajaan. Hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat mengakses kawasan tersebut dan memiliki peraturan-
peraturan yang telah diatur oleh pejabat-pejabat kerajaan untuk kepentingan
Keraton Kasunanan Surakarta. Kawasan alun-alun Utara Keraton Kasunanan
Surakarta sebagai rung publik memiliki kekhususan tersendiri. Ruang publik yang
6

terbentuk merupakan dampak dari kegiatan yang ada di sekitar kawasan, antara
lain, berupa kegiatan pariwisata budaya dan perdagangan.
Kawasan alun-alun utara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kawasan Keraton Kasunanan Surakarta karena letaknya di bagian depan keraton.
Kawasan Alun-alun Utara memiliki peran yang sangat penting, yaitu menjadi
simbol penghubung antara raja sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyatnya.
Kawasan alun-alun ini juga digunakan sebagai tempat pelatihan prajurit keraton,
tempat rakyat menghadap raja, dan kegiatan hiburan yang diadakan raja untuk
rakyatnya. Ruang terbuka pada Alun-alun Utara tersebut juga memiliki nilai-nilai
simbolik untuk memunculkan kewibawaan raja sebagai wakil dari tuhan, nilai-
nilai simbolik tersebut tidak hanya terwujud dalam bentuk fisik elemen-elemen
pada kawasan alun-alun saja tetapi dari suasana, aktivitas, dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat pada masa itu (Astuti 2003). Namun, kawasan alun-alun pada
masa sekarang dapat disebut sebagai ruang publik berdasarkan konsep dan teori-
teori yang menjelaskan tentang ruang publik. Hal tersebut dikarenakan
perkembangan kawasan pada masa sekarang cenderung memenuhi kriteria sebuah
ruang publik.

Budaya Minangkabau

Budaya merupakan hasil cipta, karya, dan karsa manusia dalam


mempengaruhi kehidupannya. Adanya sistem nilai dalam sistem kebudayaan
menjadi pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan
yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku tersebut seperti adat istiadat, sistem
norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, pandangan hidup, dan
idiologi pribadi. Manusia dalam kehidupannya menghasilkan budaya yang
menjadi identitas suatu kelompok suku atau bangsa. Suatu daerah tertentu dengan
sistem kemasyarakatan yang tertentu menghasilkan suatu kebudayaan tertentu
(Haryono 2007). Terdapat tujuh unsur kebudayaan universal yang akan selalu ada
pada semua bangsa di dunia, yaitu bahasa, kelengkapan hidup sistem sosial
kemasyarakatan, sistem pendidikan dan pengajaran, sistem kepercayaan dan
kesenian (Koentjaraningrat 1976).
Kebudayaan Minangkabau merupakan salah satu budaya tertua di Indonesia,
yang adat istiadannya diterapkan sebagian besar oleh masyarakat Sumatera Barat.
Budaya ini mengakar kepada nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan
(Islam) dalam kehidupan sehari-harinya, seperti ungkapan adat “Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah” yang artinya “Adat bersandikan hukum,
hukum bersandikan kepada kitabullah”, dengan “Syarak mangato, adat mamakai”
artinya “Syarak mengatakan, adat memakai”. Ungkapan tersebut berarti apa pun
yang digariskan oleh agama Islam secara konseptual akan dipatuhi dan
dilaksanakan oleh adat secara operasional (Amir 2007).
Secara tradisional masyarakat Minangkabau menganut dua sistem
pemerintahan, yaitu sistem Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sistem Koto Piliang
lebih bersifat aristokratis, sedangkan Bodi Caniago bersifat demokratis. Kedua
sistem tersebut berkembang dari ajaran dua nenek moyang orang Minangkabau,
yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang. Sistem Koto
Piliang dikembangkan dari ajaran Datuak Katumanggungan, sedangkan sistem
Bodi Caniago didasarkan pada ajaran Datuak Parpatih Nan Sabatang, adik satu
7

ibu Datuak Katumanggungan. Masing-masing sistem ini dalam masyarakat


Minangkabau disebut sebagai lareh atau kelarasan, yaitu lareh Koto Piliang dan
lareh Bodi Caniago (De Jong 1960). Sistem Koto Piliang yang aristokratis
sifatnya itu dilambangkan dengan pepatah adat “Bajanjang naiak, batanggo
turun” (berjenjang naik, bertangga turun). Artinya kekuasaan itu bersifat
bertingkat-tingkat, dengan wewenang yang bersifat vertikal. Sebaliknya sistem
Bodi Caniago dilambangkan dengan pepatah adat “Duduak samo tinggi, tagak
samo randah” (duduk sama tinggi, berdiri sama rendah). Pemahamannya di sini
bahwa kekuasaan itu bersifat horizontal dan egaliter.
Daerah asal kebudayaan Minangkabau kira-kira seluas Provinsi Sumatera
Barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai, tetapi dalam
pandangan orang Minangkabau daerah ini dibagi lagi menjadi daerah bagian-
bagian khusus. Pembagian-pembagian khusus ini menyatakan pertentangan antara
darek (darat) dan rantau atau pasisie (pesisir). Daerah darek dianggap sebagai
daerah asal dan daerah utama dari pemangku kebudayaan Minangkabau (Junus
1979). Daerah pusat kebudayaan Minangkabau adalah sejumlah lembah yang
mengelilingi Gunung Merapi. Daerah ini merupakan daerah persawahan dengan
kerapatan penduduk yang tinggi dan adat dipegang dengan amat ketat.
Falsafah adat Minangkabau yang sejak dahulu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari adalah “Alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi
guru). Dalam falsafah tersebut tercermin pola kehidupan masyarakat
Minangkabau yang sangat bergantung pada alam. Alam dianggap sebagai guru
yang mengajarkan pengalaman-pengalaman hidup (Luthfia 2016).

Masyarakat Minangkabau
Masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan menurut garis
keturunan ibu yang biasa disebut sebagai masyarakat matrilineal, dalam budaya
adat Minangkabau sendiri disebut suku ke ibu. Suku ibu menentukan suku anak
dan melekat dengan sistem kekerabatan, harta kaum, dan sistem pewarisan di
dalam adat. Masyarakat Minangkabau memiliki aturan dan hukum sendiri serta
memiliki harta kekayaan pribadi yang disebut dengan pusako tinggi yang tidak
boleh diperjualbelikan. Semua anggota masyarakayat Minangkabau menganut
agama tunggal, yaitu Islam. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem
pemerintahan yang sudah tersusun dan tertata rapi sehingga telah memiliki sistem
pemerintahan sendiri yang secara konstitusional diakui dan harus dihormati oleh
Pemerintah NKRI (Amir 2007).
Pemimpin suku dalam budaya Minangkabau berupa seorang penghulu yang
bergelar Datuak. Datuak kedaulatan, wewenang, dan tanggung jawab sendiri di
dalam kepemimpinannya. Penghulu memimpin kaum dalam sebuah nagari.
Penghulu dalam kepemimpinannya dibantu oleh mantri yang bertugas sebagai
penghubung antarkaum yang menyampaikan kaba atau informasi untuk
mempersatukan kaum keluarga dengan suku, seorang malin yang mengurus hal
keagamaan, dan dubalang yang bertugas untuk mengurus keamanan serta
ketentraman. Penghulu dengan ketiga pembantunya disebut sebagai Rajo Ampek
yang artinya empat tokoh utama yang memimpin suku (Salim 2012).
Masyarakat Minangkabau tersusun dari berbagai kelompok kecil yang
bermula dari kelompok rumah tanggo (rumah tangga), kemudian membesar
menjadi kelompok samande (satu ibu), sajurai (satu saudara), sasuku (satu suku),
8

sakampuang (satu kampung), dan akhirnya menjadi kelompok besar, yaitu


sanagari (satu nagari). Etnik Minangkabau tercatat dalam sejarah sebagai salah
satu etnik pelopor terjadinya Sumpah Pemuda 1928 dan berdirinya Negara
Bangsa (Nation State) yang diproklamirkan tahun 1945. Etnik Minangkabau
bukanlah etnik pinggiran dan bukan pula sekedar etnik pimpiang dilereng
(dipinggir lereng) dalam Negara Kesatuan RI (Busye dan Idris 1995).
Masyarakat Minangkabau menempati wilayah permukiman yang disebut
nagari. Wilayah masyarakat adat Minangkabau bermula dari wilayah pusako
tinggi kaum, ulayat kaum, dan ulayat nagari yang terletak di luhak nan tigo,
kemudian menyebar ke wilayah rantau timur, rantau pasisia, rantau
semenanjung, dan rantau batuah lainnya dimana saja orang Minangkabau berada.
Budaya merantau masih berkembang hingga generasi saat ini, merantau menjadi
ciri orang Minangkabau yang berwatak kosmopolit. Pola hidup di surau
menjadikan suku Minangkabau menjadi suku perantau di nusantara. Budaya
merantau ini juga dipengaruhi kondisi alamnya yang sempit meskipun indah dan
subur, bertujuan untuk menjaga alam agar tetap alami tanpa adanya perluasan
pembangunan (Asrina et al. 2018).

Wilayah Minangkabau
Wilayah Minangkabau meliputi di sekitar Gunung Marapi, Gunung Sago,
Gunung Singgalang, sampai ke Gunung Talang yang disebut alam Minangkabau.
Wilayah Minangkabau tersebut dibagi menjadi dua wilayah khusus, yaitu wilayah
darek dan wilayah rantau (Amir 2007). Wilayah darek merupakan dataran tinggi
yang menjadi tempat asal muasal asli orang Minangkabau, terdiri dari luhak nan
tigo, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto. Setiap luhak
tersebut memiliki perbedaan yang dijelaskan di dalam pepatah, yaitu “Buminyo
angek, aienyo karuah, ikannyo lia” (Buminya hangat, airnya keruh, ikannya liar)
menggambarkan bahwa masyarakatnya keras hati, berani dan suka berkelahi yang
disebut Luhak Agam, “Buminyo lembang, aienyo manih, ikannyo banyak”
(Buminya nyaman, airnya manis, ikannya banyak) menggambarkan masyarakat
yang ramah, sabar dan damai yang disebut sebagai Luhak 50 Koto dan selanjutnya
“Buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak” (Buminya sejuk, airnya jernih,
ikannya jinak) menggambarkan masyarakat yang berhati lembut, tenang dan suka
berdamai disebut Luhak Tanah Datar (Manggis 1971). Luhak Tanah Datar juga
disebut sebagai Luhak Nan Tuo karena luhak tersebut merupakan luhak tertua dan
luhak pertama yang ada di wilayah Minangkabau.
Wilayah yang kedua adalah wilayah rantau yang merupakan daerah di luar
luhak nan tigo yang menjadi tempat mencari kehidupan bagi orang Minangkabau.
Setiap luhak memiliki wilayah rantau masing-masingnya, masyarakat Tanah
Datar merantau ke arah barat dan tenggara. Penduduk Luhak Agam menyebar ke
arah utara dan barat. Daerah rantaunya adalah sepanjang Pantai Lautan Hindia.
Sedangkan Luhak 50 Koto memasuki wilayah Riau, yaitu rantau Kampar Kiri dan
Kampar Kanan. Daerah rantau Minangkabau juga terdapat pada wilayah Pasisia
(pesisir), yaitu daerah sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatra bagian tengah,
membentang dari perbatasan Minangkabau dengan Tapanuli Selatan hingga
Muko-Muko (Bengkulu) dan Negeri Sembilan Malaysia (Asrina et al. 2018).
9

Tradisi Budaya Minangkabau


Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa
lalu, tetapi masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau rusak. Tradisi dapat
juga diartikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu yang masih
bertahan hingga sekarang (Sztompka 2007). Dengan pemahaman tersebut, apa
pun yang dilakukan oleh manusia secara turun-temurun dari setiap aspek
kehidupan yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat
dikatakan “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah bagian dari
kebudayaan. Menurut Peursen (1988), tradisi adalah proses pewarisan atau
penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta yang dapat di
rubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia.
Tradisi yang ada di dalam sebuah budaya masyarakat seharusnya dipatuhi oleh
masyarakat budaya tersebut karena dapat mempertahankan keaslian suatu budaya.
Tradisi yang berkembang dalam suatu budaya memiliki aturan dan ciri khas
masing-masing di dalam budayanya. Adanya aturan bagaimana manusia
berhubungan dengan manusia lain atau kelompok dengan kelompok lain,
bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungan, dan bagaimana manusia
berprilaku terhadap alam yang lain. Tradisi yang berkembang menjadi suatu
sistem pola dan norma serta mengatur penggunanya sangsi dan ancaman terhadap
pelanggaran dan penyimpangan, seperti budaya Minangkabau yang memiliki ciri
khas tersendiri dalam tradisi budayanya. Berbagai bentuk tradisi sudah
berkembang di dalam masyarakat Minangkabau yang saat ini masih berkembang
dan dipertahankan. Kegiatan tersebut berupa pengangkatan penghulu,
perkawinan, kematian, kesenian anak nagari, dan sebagainya. Tradisi tersebut
secara garis besar masih dilaksanakan dan penting di dalam budaya Minangkabau.
Tradisi Batagak Penghulu atau pengangkatan penghulu merupakan upacara
peresmian seseorang menjadi penghulu atau pemimpin. Dalam masyarakat
Minangkabau penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat
yang bergelar datuak. Penghulu sebagai seorang pimpinan bertanggung jawab dan
berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Pemimpin seperti
seorang penghulu yang disebut datuak yang bertanggung jawab terhadap
permasalahan yang terdapat dalam masyarakatnya. Jabatan penghulu itu diperoleh
seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Penghulu sebagai
pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang (beralam lebar, berdada lapang),
maksudnya haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan
suatu masalah haruslah mempunyai prinsip.
Menurut Dirajo (2009), melihat kepada sebab-sebabnya dan situasi
seseorang bisa diangkat menjadi penghulu, Tradisi Batagak Penghulu dapat
dibedakan berdasarkan istilah-istilah yang dipakai dalam adat seperti iduik bakari
lahan (hidup berkerelaan) terjadi karena penghulu yang akan digantikan
mengundurkan diri. Baju saalai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua) terjadi
karena kesepakatan untuk membelah satu kaum menjadi dua kaum. Mati
batungkek budi (mati bertongkat budi) terjadi karena bila seorang penghulu
meninggal dunia, diusahakan ada penggantinya dan penggantinya tersebut
diangkat atau disumpah sebelum mayat dikuburkan. Mangambang nan talipek
(mengembangkan yang terlipat) apabila penghulu tersebut meninggal dunia dan
belum ada penggantinya sampai adanya kesepakatan baru. Gadang manyimpang
(besar menyimpang) terjadi karena adanya permintaan anggota kaum yang ingin
10

memisahkan diri dan sekaligus meminta kepenghuluannya memisahkan diri atau


berdiri sendiri. Mangguntiang sibabaju (menggunting sebar baju) terjadi karena
pengangkatan penghulu tersebut berawal dari tidak adanya kesepakatan bahkan
menjurus kepada persengketaan antara dua kaum. Manurunkan nan tagantuang
(menurunkan yang tergantung) merupakan pengankatan penghulu yang tertunda
cukup lama walaupun calonnya sudah ada. Mambangkik batang tarandam
(membangkit batang terendam) terjadi karena gelar penghulu tersebut sudah lama
tersimpan. Baju basasah (baju dicuci) terjadi apabila penghulu tersebut telah
merusak kebesarannya sebagai seorang penghulu sehingga segera digantikan.
Rabuak bagantiak (debu dijenting) terjadi apabila penghulu tersebut telah
melanggar larangan-larangan adat. Bungo bakarang (bunga berkarang) terjadi
karena jumlah anggota kaum mulai meningkat dan adanya penyebaran
permukiman sehingga dibentuknya penghulu baru.
Masyarakat Minangkabau menyebut prosesi atau rangkaian perayaan pesta
perkawinan dengan istilah baralek. Perkawinan bagi masyarakat Minangkabau
menandakan seorang kemenakan telah dewasa. Setelah menikah, seorang laki-laki
Minangkabau akan menjadi seorang sumando sekaligus mamak bagi kaum pihak
istri, sedangkan perempuan akan menjadi mande di kaumnya sendiri. Sumando
adalah sebutan untuk menantu laki-laki yang menjadi keluarga dipihak istrinya.
Mande adalah panggilan seorang ibu, sedangkan mamak adalah sebutan bagi
paman atau saudara laki-laki dari pihak ibu. Perkawinan adat Minangkabau
memiliki syarat utama yang harus dipenuhi oleh pasangan agar terjadinya
perkawinan Minangkabau, yaitu kedua mempelai harus beragama Islam, kedua
mempelai tidak boleh sesuku dalam nagari atau luhak yang sama, kedua
mempelai saling menghormati dan menghargai keluarga kedua belah pihak dan
calon suami harus sudah mempunyai penghasilan untuk menjamin kehidupan
keluarganya (Sukmasari 2009).
Upacara kematian di dalam budaya Minangkabau adalah suatu persembahan
terakhir kepada orang yang meninggal. Beberapa upacara yang dilakukan setelah
seseorang meninggal dunia adalah, menyelenggarakan jenazah dari memandikan
hingga menguburkannya, manjanguak mayik tabujua (menjenguk mayat terbujur),
yaitu takziah saat mayat di rumah duka, manduo hari, manigo hari, manujuah hari
berdoa bersama, mendirikan batu pusara, mandoa 40 hari, mandoa 100 hari dan
terakhir maantakan palapeh sebagai makna berterima kasih kepada para ulama
yang sudah memimpin doa selama perhelatan tersebut (Jamil 2017).
Secara umum, masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk
kesenian tradisional yang biasa dimainkan oleh anak nagari sehingga disebut
permainan anak nagari. Mulai dari seni ketangkasan gerak seperti randai, serta
kesenian bela diri seperti pencak silat. Serta berbagai macam seni kerawitan
seperti saluang, rabab dan salawat dulang serta lain sebagainya. Terdapat juga
seni tari yang menggambarkan kehidupan sehari-hari dan keadaan alam di dalam
tiap gerakannya, tarian tersebut diselenggarakan pada kegiatan atau momen-
momen tertentu seperti acara perkawinan, penyambutan, batagak penghulu, pesta
nagari dan masih banyak lagi sebagainya.
11

METODE

Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari sampai bulan Juni
2018. Penelitian ini dilaksanakan di Sumatera Barat, yaitu di Jorong Pariangan,
Nagari Pariangan, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, yang
merupakan wilayah asal mula budaya Minangkabau berdiri sehingga diterapkan
memiliki tingkat orisinalitas yang tinggi. Lokasi penelitian dapat diamati pada
Gambar 4.

Gambar 4 Lokasi penelitian


(Sumber: Google maps)

Pemilihan lokasi di Jorong Pariangan ini karena merupakan wilayah asal


mulanya budaya Minangkabau berdiri dan masih mempertahankan dan menjaga
keaslian peninggalan-peninggalan bersejarah pada masa lalu. Peninggalan tersebut
berupa situs-situs bersejarah, bagunan bersejarah, benda-benda bersejarah dan
catatan-catatan tertulis tentang budaya Minangkabau (Tambo).

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini diperlukan untuk
keperluan persiapan, pengumpulan data, dan pengolahan data. Alat yang
digunakan berupa kamera, alat perekam suara dan software pengolah data dan
gambar. Bahan yang digunakan merupakan bahan kelengkapan alat serta data
yang diperoleh secara primer maupun sekunder. Uraian alat dan bahan untuk
setiap tahapan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
12

Tabel 1 Alat dan bahan


No Kegiatan Alat/Software Bahan
1 Tahap persiapan Laptop (Microsoft Data sekunder, alat
(penyusunan Word dan Microsoft tulis, kertas A4
proposal) Excel), printer
2 Tahap pengumpulan Kamera, alat Data sekunder
data (studi pustaka, perekam suara,
wawancara, obser- pustaka
vasi lapang)
3 Tahap pengolahan Laptop (Microsoft Data sekunder dan
data Word, Microsoft primer, data spasial,
Excel dan Adobe data biofisik dan
Photoshop) sosial
4 Tahap Penyusunan Laptop, printer Data hasil penelitian
Hasil

Tahapan Penelitian

Tahap Pengumpulan Data


Tahap pengumpulan data secara kualitatif yaitu, penelaahan studi pustaka
berupa naskah adat (Tambo) dan buku-buku referensi, wawancara terhadap
narasumber, observasi lapang (Oetomo dan Suyanto 2005). Pada tahap ini data
dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah sesuai dengan bahan data
yang diharapkan. Berikut kebutuhan data, teknik pengambilan data dan sumber
data dapat diuraikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis data beserta teknik pengambilan dan sumbernya


Teknik Pengambilan Sumber
No Jenis Data
Data Data
1 Ruang terbuka publik di Studi literatur, Pustaka,
Minangkabau observasi lapang wawancara
2 Aspek biofisik ruang Studi literatur, Pustaka,
terbuka publik di observasi lapang wawancara
Minangkabau
a. Deskripsi umum
b. Elemen utama dan
pendukung
c. Pola letak dalam
permukiman
3 Aspek sosial budaya ruang Studi literatur, Pustaka,
publik di Minangkabau observasi lapang wawancara
a. Fungsi dalam budaya
b. Filosofi aturan adat
dalam ruang terbuka
publik
13

a. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada
pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam
proses penelitian (Sugiyono 2012). Tahapan dalam studi pustaka terdiri dari
pengumpulan data dan penyaringan/pemilihan data yang berkaitan dengan ruang
terbuka publik budaya Minangkabau. Pengumpulan data didapat dari buku-buku
yang ada di Perpustakaan Nasional Indonesia, Universitas Andalas dan
Universitas Negeri Padang dan dokumen-dokumen budayawan seperti naskah-
naskah lama, yaitu Tambo yang berkaitan dengan ruang terbuka publik di
Minangkabau. Penyaringan data pustaka dilakukan dengan cara penarikan
simpulan dalam bentuk deskriptif.

b. Wawancara
Pada tahap ini dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber ahli dan
narasumber terkait yang berada di lokasi observasi. Narasumber ahlinya meliputi
pemangku adat, budayawan, peneliti/penulis budaya Mianangkabau. Narasumber
terkait meliputi juru pelihara situs budaya dan pengurus lembaga adat yang
mengetahui tentang ruang terbuka publik di Minangkabau, seperti yang diuraikan
pada Tabel 3.

Tabel 3 Narasumber dan bidang keahlian


No Narasumber Bidang Keahlian
1 Musra Dahrizal Katik Rajo Tokoh adat, budayawan,
Mangkuto (Mak Katik) seniman, dan pengajar Indonesia
2 Irwan Malin Basa Budayawan, tokoh masyarakat
Nagari Pariangan, pengajar
Indonesia
3 April Khatib Saidi Wali Nagari Pariangan
4 Ariesno Dt Andomo Ketua Kerapatan Adat Nagari
Pariangan (KAN)
5 Nirmala Juru pelihara Balai Saruang dan
ibu kandung dari Rajo
Bahandaro Kayo Tampuak
Tangkai Alam Minangkabau
6 Dahliarti Juru pelihara Medan Nan
Bapaneh Dusun Koto (Batu
Batikam)

c. Observasi Lapang
Tujuan utama tahapan ini adalah untuk verifikasi data dari studi pustaka dan
wawancara beberapa narasumber. Adanya verifikasi ini membuktikan keabsahan
data yang diambil dari setiap simpulan yang ditarik melalui studi pustaka dan
wawancara dan dibuktikan keberadaannya di lokasi observasi. Pemilihan lokasi
dilakukan berdasarkan hasil studi pustaka tentang awal permukiman Minangkabau
terbentuk dan keasliannya masih terjaga hingga sekarang. Lokasi penelitian ini di
fokuskan di Jorong Pariangan, tetapi dilakukan penelusuran informasi ke
14

beberapa lokasi lainnya sebagai data komplementer. Cakupan wilayah


penelusuran ini meliputi lokasi yang direkomendasikan narasumber di lapang.
Tujuan dari penelusuran ini untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
yang sesuai dengan konsep dan teori dari studi pustaka dan wawancara. Berikut
rincian lokasi survei dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Lokasi survei lapang


No Lokasi Alamat
1 Balai Saruang Jorong Pariangan, Tanah Datar
2 Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo Jorong Pariangan, Tanah Datar
3 Tapian Rangek Gaduang Jorong Pariangan, Tanah Datar

Tahap Pengolahan Data


Tahap ini data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan mengolah
data hasil studi pustaka, wawancara dan survei lapang melalui analisis konten
terhadap elemen-elemen pembentuk ruang terbuka publik. Data yang telah
diperoleh akan dibentuk tabular sehingga dapat dianalisis perbandingan dan
keterkaitan data satu sama lainnya secara kualitatif. Pada tahap ini, dilakukan
klasifikasi data, pembagian tingkat pentingnya informasi, dan hubungan
keterkaitan dengan informasi lain sehingga dilakukan pembahasan secara
deskriptif dan mendalam (Eriyanto 2011; Agustine dan Gunawan 2013; Pratiwi et
al. 2017; Mansyur et al. 2017).

Tahap Penyajian Hasil


Pada tahap ini dilakukan penyusunan data secara deskriptif untuk kajian
terhadap konsep sosial budaya dan aspek biofisiknya. Penyajian secara deskriptif
ini disusun untuk menjelaskan konsep dari ruang terbuka publik yang ada di
dalam budaya Minangkabau berupa uraian dengan poin-poin tertentu. Penyajian
data nantinya berupa penjelasan konsep dasar ruang publik di Minangkabau
beserta filosofi aturan adat yang mengatur, kondisi umum biofisik, elemen, dan
pola letak ruang terbuka publik di dalam permukiman Minangkabau.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Elemen Pembentuk Nagari

Nagari merupakan kesatuan keluarga yang lebih besar dari suku, yang
biasanya terdiri dari 4 suku atau lebih dan merupakan orang yang setali darah dari
beberapa paruik (perut) menurut garis keturunan ibu (Soeroto 2005). Karakter
permukiman masyarakat Minangkabau dapat dilihat pada nagari. Nagari
merupakan bentuk dari kumpulan beberapa koto (kampung), sedangkan kampung
himpunan dari beberapa dusun, dan dusun merupakan perkembangan dari bentuk
Taratak (Boestami 1979). Bentuk permukiman juga disebutkan dalam Tambo
Minangkabau salah satunya ML 490:
15

“Adapun tatkala masa dahulu negeri empat buah saja dalam


pulau adanya, pertama taratak namanya, kedua dusun
namanya, ketiga koto namanya, keempat nagari namanya”

Dengan demikian bentuk dari perkembangan sebuah nagari di Minangkabau


dimulai dari bentuk taratak-dusun-koto-nagari.
Perkembangan permukiman di Minangkabau dimulai dari berbentuk
taratak, pada waktu masyarakat belum mengenal tempat tinggal berupa bangunan.
Pada permukiman dusun sudah mulai dikenal bangunan yang sederhana, berupa
rumah-rumah di peladangan. Bangunan tersebut belum
memperkirakan/memperhitungkan bentuk seni bangunan, belum menggunakan
pahat dan paku untuk membagunnya. Kemudian permukiman tersebut
berkembang menjadi kampung atau yang disebut juga dengan koto. Pada
permukman koto ini masyarakat sudah mulai mengenal arsitektur bangunan
dengan adanya bentuk rumah gadang Minangkabau (Boestami 1979). Bentuk
permukiman budaya Minangkabau terus mengalami perkembangan sehingga
sekarang disebut dengan nagari. Permukiman bentuk nagari ini sudah ada sekitar
abad ke-6, sejak adat-adat telah dipraktikkan di Pariangan Padang Panjang, yaitu
daerah asal Minangkabau (Manggis 1971). Pada masa itu sudah mulai dibangun
rumah gadang dan berbagai kesenian rakyatpun sudah mulai berkembang dalam
masyarakat nagari.
Permukiman di dalam budaya Minangkabau memiliki elemen penyusun
karakter yang menjadi syarat dan ciri agar dapat disebut sebagai nagari, syarat
dan ciri tersebut disebutkan dalam Tambo Minangkabau di antaranya dalam ML
490:
“...Basasok bajurami, bapandan pakuburan, balabuah
batapian, bakorong bakampuang, barumah batanggo,
basawah baladang, babalai bamusajik “

Selain itu, menurut Basri (2003), sebuah nagari juga harus memiliki syarat
bamedan bagalanggang. Ungkapan syarat-syarat tersebut dapat didefinisikan
sebagai berikut.
1. Basasok bajurami (wilayah ditempati)
Basasok artinya sebuah wilayah sudah memiliki penduduk atau penghuni
tetap yang akan mendiami wilayah tersebut. Bajurami maksudnya sudah
memiliki wilayah atau daerah yang jelas batas-batas wilayahnya yang akan
ditempati. Filosofi dari ungkapan ini lebih kepada makna kepemilikan dan
identitas, yang menjelaskan asal-usul nenek moyang suatu kaum.

2. Bapandam pakuburan (kuburan kaum/suku)


Setiap kaum/suku yang sudah lama menetap dan asli masyarakat
Minangkabau di dalam nagari memiliki kuburan sekaum/sesuku. Elemen ini
menandakan penduduk asli dan penduduk pendatang. Keberadaan sebuah
pandam pakuburan menjadi sangatlah penting bagi masyarakat sebelum
mengenal agama Islam karena masyarakat masih menganut sistem animisme
dan dinamisme sehingga meyakini bahwa arwah nenek moyang sebagai
pengatur hidup. Masuknya agama Islam ke Minangkabau menjadikan
makam sebuah elemen penting yang ada di dalam permukiman. Sesuai
16

dengan ajaran agama Islam yang masuk ke Miangakabau, seseorang yang


sudah meninggal diatur oleh empat rukun yang harus dilaksanakan yaitu,
dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan. Dengan demikian
mengajarkan masyarakat dari alam nyata bahwa setiap yang hidup akan mati
dan akan kembali kepada Tuhan.

3. Labuah (jalan)
Dalam sebuah nagari memiliki beberapa kampung yang dihubungkan oleh
jalan yang di sebut dengan labuah. jalan tersebut sebagai penghubung antara
rumah satu dengan rumah lainnya, ataupun penghubung suku yang satu
dengan suku lainnya. Labuah ini juga sebagai penghubung permukiman
dengan elemen-elemen nagari lainnya yang dapat digunakan oleh seluruh
masyarakat nagari.

4. Tapian (tempat mandi)


Tapian berarti pinggiran sungai untuk tempat mandi atau tempat kebutuhan
lainnya. Tapian ini ada yang bersifat khusus dan umum, yang bersifat
khusus yaitu tapian yang dimiliki oleh setiap rumah tangga sedangkan
bersifat umum itu seperti tempat pemandian umum. Kebutuhan akan air
oleh masyarakat maka dijadikan salah satu syarat yang ada didalam suatu
nagari.

5. Rumah tanggo (rumah tinggal)


Ungkapan tersebut menunjukkan sebuah nagari sudah memiliki rumah
tangga atau rumah tinggal yang disebut dengan rumah gadang dengan
arsitekturnya yang khas. Secara terminologi, rumah gadang berarti “rumah
besar” yang merupakan bangunan pusat seluruh anggota kaum untuk
membicarakan hal masalah bersama. Umumnya rumah gadang didiami oleh
nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Apabila jumlah yang tinggal sudah
banyak dan sempit, maka rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Selain
itu, rumah gadang juga digunakan sebagai tempat untuk mengadakan
berbagai kegiatan upacara-upacara untuk menjaga martabat keluarga, seperti
pengankatan penghulu, pernikahan, dan acara-acara penting lainnya. Bentuk
arsitektur dan aturan mengenai rumah gadang tidak dijeaskan dalam Tambo
namun, penjelasan mengenai aturan rumah gadang yang diungkapkan oleh
para niniak mamak dalam Navis (1986) yaitu:
“...Rumah gadang sambilan ruang, salanja kudo balari,
sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang,.
Gonjongnyo rabuang mambasuik, antiang-antiangnyo disemba
alang. Parabuangnyo si ula gerang, batatah timah putiah,
barasuak tareh limpato. Cucurannyo alang babega, saga
tasusun bak bada mudiak. Parannyo si ula gerang batata aia
ameh, salo manyalo aia perak. Jariaunyo puyuah balari, indah
sungguah dipandang mato, tagamba dalam sanubari.
Dindiang ari dilanja paneh. Tiang panjang si maharajoelo,
tiang pangiriang mantari dalapan, tiang dalapan, tiang tapi
panagua jamu, tiang dalam puti bakabuang. Ukiran tonggak
jadi ukuran, batatah aia ameh, disapuah jo tanah kawi,
17

kamilau mato mamandang. Dama tirih bintang kemarau. Batu


talapakan camin talayang. Cibuak mariau baru sudah.
Pananjua parian bapantua. Halaman kasiak tabantang, pasia
lumek bagai ditintiang. Pakarangan bapaga hiduik, pudiang
ameh paga dilua, pudiang perak paga dalam, batang
kamuniang pautan kudo. Lasuangnyo batu balariak, alunyo
limpato bulek, limau manih sandarannyo. Gadih manumbuak
jolong gadang, ayam mancangkua jolong turun, lah kanyang
baru disiuahkan, jo panggalan sirantiah dolai, ujuangnyo
dibari bajambua suto. Ado pulo bakolam ikan, aianyo bagai
mato kuciang, lumpua tido lumuiknyo tido, ikan sapek
balayangan ikan gariang jinak-jinak, ikan ptu barandai ameh.
Rangkiangnyo tujuah sajaja, di tangah si tinjau lauik,
panjapuik dagang lalu, paninjau pancalang masuak, di kanan
si bayau-bayau, lumbuang makan patang pagi, di kiri si
tangguang lapa, tampek si miskin salang tenggang, panolong
urang kampuang, di musim lapa gantuang tungku, lumbuang
kaciak salo manyalo, tampek manyimpan padi abuan

Artinya :
Rumah gadang sembilan ruang, selanjar kuda berlari, sepekik
budak mengimbau, sepuas limpato makan, sejerih kubin
malayang. Gonjongnya rebung membersit, antinganting
disambar elang. Perabungnya si ular gersang, bertatah timah
putih, berasuk teras limpato. Cucurannya elang berbegar, sagar
tersusun bagai bada mudik. Parannya bak si bianglala, bertatah
air emas, sela-menyela air perak. Jeriaunya puyuh berlari,
indah sungguh dipandang mata, tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas. Tiang panjang si maharajalela,
tiang penggiring menteri delapan, tiang tepi penegur tamu,
tiang dalam putri berkabung. Ukiran tonggak jadi ukuraan,
bertatah air emas, disepuh dengan tanah kawi, kemilau mata
memandang. Damar tiris bintang kemarau. Batu telapakan
cermin terlayang. Cibuk meriau baru sudah, penanjur perian
berpantul. Halaman kersik terbentang, pasir lumat bagai
ditinting. Pekarangan berpagar hidup, puding emas pagar luar,
pudiang perak pagar dalam. Pohon kemuning pautan kuda.
Lesungnya batu berlari, alunya limpato bulat. Limau manis
sandarannya. Gadis menumbuk jolong gadang, ayam
mencangkur jolong turun. „lah kenyang baru disiuhkan,
dengan penggalan sirantih dolai, ujungnya diberi berjambul
sutera. Ada pula kolam ikan, airnya bagai mata kucing,
berlumpur tidak berlumut pun tidak, ikan sepat berlayangan,
ikan garing jinak-jinak, ikan puyu berandai emas
Rangkiangnya tujuh sejajar, di tengah sitinjau laut, penjemput
dagang lalu, peninjau pencalang masuk, di kanan si bayau-
bayau, lumbung makan petang pagi, di kiri si tanggung lapar,
tempat si miskin selang tenggang, penolong orang kampung,
18

dimusim malapar gantung tungku, lumbung kecil sela-


menyela, tempat menyimpan padi abuan...”.
Ungkapan diatas menjelaskan bagaimana ukuran dan bentuk dari rumah
gadang, yang disampaikan secara tersirat didalam petatah-petitih adat. Atap
rumah gadang secara fisik telihat seperti tanduk kerbau yang disebut dengan
gonjong yang meruncing keatas. Bentuk rumah ini seperti rumah panggung dan
berbentuk persegi panjang yang ukurannya membesar keatas seperti perahu.
Posisi rumah gadang menurut para niniak mamak terdahulu bahwa aksis dari atap
rumah gadang menghadap ke arah Gunung Merapi dikarenakan Gunung Marapi
dianggap bertuah pada zaman dahulu. Tambo juga menjelaskan bahwa rumah
gadang dibangun menghadap matahari terbit, karena manusia memerlukan cahaya
matahari dan warna, selayaknya manusia membutuhkan makan dan minum
Bentuk arsitektur rumah gadang berbeda mengikuti keselarasan yang
dianutnya yaitu keselarasan Koto piliang dan Bodi caniago. Menurut gaya
kelarasan aliran koto piliang, bentuk rumah gadangnya diberi nama “garudo
tabang”, karena di kedua ujung rumah diberi beranjung (gonjong). Sedangkan
kelarasan bodi caniago rumah gadangnya diberi nama “garudo menyusukan
anak”. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri dan kanan
bangunan, namun pada bagian kiri dan kanan tersebut di bawah gonjongnya diberi
beratap (emper) yang menyerupai sayap burung yang sedang mengerami anaknya
(Setiyowati 2008). Perbedaan Rumah Gadang antara kedua kelarasan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 5.

Koto Piliang Bodi Caniago


Gambar 5 Perbedaan arsitektur rumah gadang di Miangkabau
(Sumber: Navis 1986)

6. Basawah Baladang (Sawah ladang)


Memiliki sawah dan ladang yang kepemilikannya jelas dan dimiliki oleh
sebuah kaum/suku bukan milik pribadi. Sehingga lahan sawah dan ladang
dikerjakan secara bersama-sama oleh anggota suku dan hasilnya juga untuk
bersama-sama. Peraturan ini dibuat agar tidak adanya kesenjangan sosial
didalam sebuah suku, sehingga tidak adanya yang terlalu kaya atau terlau
miskin karena semua sama. Lahan sawah dan ladang berada dalam nagari
dan dekat dengan permukiman masyarakat, agar dapat mempermudah
pengontrolan berupa pengolahan dan pasokan air oleh masyarakat.
Orang Minangkabau sudah memiliki ilmu pertanian yang diajarkan oleh
nenek moyang secara turun temurun, yang diungkapkan dalam Tambo pada
episode nasihat Datuk Suri Dirajo:
19

“...Ka ladang di hulu tahun, ka sawah di pangka musim, hasia


banyak karano jariah, hasia buliah karano pandai, dibuek
banda baliku, tibo di bukik digali, tibo di batu dipahek, tibo di
batang di kabuang

Artinya :
Keladang di awal tahun, kesawah diakhir tahun, hasil banyak
karena kerja keras, hasil berhasil karena pintar. Dibuat saluran
air berliku, tiba di bukit digali, tiba dibatu dipahat, tiba di
batang di belah...”

Ungkapan tersebut yang kini menjadi pedoman di dalam masyarakat untuk


bertani dan sistem pengairan sebelum melaksanakan penanaman. Karena
itulah lahan pertanian menjadi hal yang utama dalam sebuah nagari yang
disebut dengan “kebesaran nagari”.

7. Surau dan Musajik


Elemen ini harus dimiliki dalam wilayah nagari, jika musajik milik nagari
maka surau adalah milik kaum/suku. Surau digunakan sebagai tempat anak-
anak muda belajar agama Islam serta belajar bela diri. Surau merupakn
tempat awal mulanya masyarakat Minangkabau mengenal menulis dan
membaca, sehingga sebagian besar tambo ditulis dan ditemukan pada surau-
surau tua di wilayah darek (Djamaris 2002f). Musajik digunakan sebgai
pusat peribadatan seperti sholat Jum’at yang hanya dilakukan di musajik
(Navis 1986). Keberdaan sebuah masjid dalam suatu nagari menandakan
bahwa nagari tersebut memiliki nilai ketakwaan dan kemakmuran dalam
masyarakatnya. Keberadaan sebuah surau dan musajik sebagai tempat
ibadah dalam nagari juga diungkapkan dalam Tambo Minangkabau:

Musajik tampek ba ibadah, tampek balafal ba ma’na, tampek


baraja al quran 30 juz, tampek mangaji sah jo bata

Artinya :
Mesjid tempat beribadah, tempat berlafal bermakna, tempat
belajar al quran 30 juz, tempat mengaji sah dan batal.

Arsitektur masjid sama dengan rumah gadang dengan menganut sitem


kelarasan yaitu Bodi caniago dan Koto piliang. Perbedaan kedua kelarasan
tersebut terlihat dari bentuk atapnya, kelarasan Bodi caniago memiliki atap yang
menyerupai piramit. Menurut para ninik mamak atap menyerupai piramit itu
karena kepercayaan masyarakat terhadap gunung, sehingga bentuk piramit
tersebut menyerupai bentuk gunung. Sedangkan atap masjid kelarasan Koto
piliang memiliki bentuk yang bertingkat, yang melambangkan aturan hidup orang
Minangkabau. Tingkat pertama yang terdiri dari empat gonjong melambangkan
aturan nan ampek, dan menara paling atas yang runcing menandakan Allah yang
satu (Asrina et al. 2018). Adapun bentuk perbedaan masjid antara kedua kelarasan
dapat dilihat pada Gambar 6.
20

Gambar 6 Arsitektur masjid di Minangkabau


(Sumber: Navis 1986)

8. Babalai/balerong (Balai adat)


Balai/balerong merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat para
penghulu mengadakan musyawarah tentang urusan pemerintahan nagari
dan menyidangkan perkara atau pengadilan (Navis 1986). Fungsi sebuah
balai juga dijelaskan dalam Tambo Minangkabau, diantaranya Tambo ML
717 yaitu:
“...Balerong tampek menghukum, ba aia janiah, basayak
landai. Aia janiah, ikannyo jinak. hukum adia, katonyo bana.
Dandam agiah, kasumaik putuih. hukum jatuah, sangketo
sudah.

Artinya :
Balairung tempat menghukum, bak air jernih, bertempurung
landai. Air jernih, ikannya jinak. Hukum adil, katanya benar.
Dendam diberi, kesumat putus. Hukum jatuh, sengketa
sudah...”

Pernyataan tersebut menyatakan bahwa keberadaan sebuah balai dalam


nagari sangatlah penting. Menurut Basri (2003), keberadaan sebuah balai
dan surau tidak dapat dipisah dan dibeda-bedakan. Apabila kedua sarana ini
berperan sempurna, maka akan tampil kehidupan masyarkat yang berakhlak
perangai terpuji dan mulia.
Berdasarkan Tambo Minangkabau balai terbagi atas dua jenis yaitu, balai
yang disebut dengan “Medan nan bapaneh” dan “Medan nan balinduang”
(Gambar 7). Pengertian “Medan nan bapaneh” ini adalah suatu “Padang” atau
tempaat yang lapang di sekelilingnya atau dibagian tertentu diberi batu sebagai
tempat duduk. Batu tersebut disusun sedemikian rupa sehingga membentuk
tempat sidang bagi penghulu dan pemangku adat Minangkabau (Manggis 1971).
Menurut Basri (2003) pada masa dahulu lokasi balai ditanam pohon beringin agar
tempat sidang tersebut menjadi sejuk dan nyaman. Sedangkan “Medan nan
balinduang” sebuah bangunan bergonjong seperti rumah gadang tapi tidak
memiliki dinding dan jendela. Balai ini sampai sekarang masih digunakan untuk
rapat-rapat para penghulu dalam membicarakan berbagai masalah adat. Adapun
21

sebuah balai yang dijelaskan dalam Tambo Minangkabau tentang arsitekturnya


yaitu dalam ML 429:

“..akan dibuek balai itu iolah, nan batonggak batang jilatang,


baparan kayu lundang, banduanyo batang bayam, batabuah
puluik-pulik, bagandang saliguri, balapiak lumuik suto”

Artinya:
Akan dibuat balai itu ialah, yang bertonggak batang jilatang,
berparan kayu lundang, bandulnya batang bayam, bertabuh
pulut-pulut, bergendang saliguri dan bertikar lumut sutra.

Ungkapan tersebut menjelaskan sebuah balai yang disebutkan dalam Tambo,


yang bernama balai Balerong panjang yang sekarang bernama Balairungsari
Tabek terletak di Nagari Tabek. Balai tersebut masih berdiri kokoh hingga
sekarang dan masih digunakan untuk rapat oleh para penghulu dan pemungka adat
lainnya.

Gambar 7 Balai Medan nan bapaneh dan Balai Medan nan balinduang

9. Korong kampuang
Sesuai dengan ketentuan adat, dalam suatu nagari terdapat bebera kampung
yang terdiri dari pengelompokan beberapa kaum dengan kaum lainnya.
Pengelompokan itu lah yang disebut dengan korong kampuang.
Pengelompokan kaum ini bertujuan untuk saling menghormati, menghargai
dan tolong menolong serta mengenal tingkah laku sumbang salah dalam
pergaulan di masyarakat. Dalam pergaulan di masyarakat telah disebut
dalam pepatah adat yaitu, “Guno korong tampek mahinggo sumbang jo
salah, guno kampuang tampek mambate dago jo dagi” artinya sumbang jo
salah ialah tingkah laku yang sudah menjurus melanggar norma-norma
dalam masyarakat sehingga ganjarannya bisa berupa tindak pidana. Dago jo
dagi artinya tingkah laku yang sudah menjurus kepada menentang lembaga
masyarakat yang sah dalam adat dan lembaga pemerintahan sehingga
menimbulkan kekacuan dan tindak pidana.

10. Pamedanan
Pamedanan adalah sebagai tempat penyelesaian persengketaan yang tidak
bisa diselesaikan penghulu masing-masing. Persengketaannya bukanlah
22

masalah hukum, melainkan persengketaan harga diri yang tersinggung,


kemudian diselesaikan dengan perkelahian baik secara fisik maupun
simbolik. Pamedanan ini merupakan wilayah tak bertuan berupa medan
atau lapangan di luar permukiman (Navis 1986).

11. Galanggang
Galanggang atau disebut juga gelanggang merupakan tempat permainan
rakyat, baik perlombaan adu ketangkasan maupun adu hewan peliharaan
(Navis 1986). Galanggang dapat digunakan sebagai acara tahunan yang
ramai didatangi masyarakat dari berbagai penjuru negeri seperti acara
perlombaan Pacuan Kuda (Luthfia 2016).

12. Sasaran
Sasaran merupakan bangunan bersegi empat tanpa dinding dan atapnya
belah ketupat, yang perabungannya mempunyai titik tengah, letaknya di
dekat surau. Sasaran ini merupakan tempat latihan ketangkasan bela diri
seperti silek dan berbagai permainan lainnya. Sasaran tidak hanya
digunakan oleh suatu kaum saja, namun juga dapat digunakan oleh anggota
kaum lainnya. Memberikan kesempatan kepada kaum lain untu belajar,
maka terciptalah hubungan kekerabatan antara kaum di suatu nagari. Setiap
sasaran memiliki pendekar/ juaro yang masing-masingnya memiliki
keahlian (Navis 1986).

Tata letak elemen pembentuk sebuah permukiman Minangkabau dapat


ditemukan dari konsep tata ruang nagari. Tata ruang di Minangkabau tersusun
rapi sesuai dengan ungkapan petatah-petitih di bawah ini:

Nan lorong tanami tabu, nan tunggang tanami bambu, nan


gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu
jadikan pakuburan, nan gauang jadikan katobek ikan, nan
padang ka kubangan kabau, nan rawang tampek ranangan
itiak.

Artinya : Yang lorong tanami tebu, yang tunggang tanami


bambu, yang gurun dibuat kebun, yang becek jadikan sawah,
yang munggu jadikan kuburan, yang gaung jadikan kolam
ikan, yang padang jadikan kubangan kerbau, yang rawa tempat
berenang itik (Basri 2003).

Ungakapn tersebut menjelaskan bahwa penggunaan ruang dan pemanfaatan lahan


di Minangkabau diatur sesuai dengan kondisi fisik lahan tesebut. Tanah yang
mengandung air yang tinggi dijadikan sebagi sawah dan kolam, sedangkan tanah
yang kering bisa dijadikan sebagai kebun atau ladang. Sehingga dengan aturan
penggunaan tersebut, semua lahan dapat dimanfaatkan dan digunakan (Luthfia
2016).
23

Karakteristik Permukiman di Minangkabau

Permukiman yang pertama kali terbentuk di wilayah Minankabau adalah


Nagari Pariangan. Pariangan dikenal sebagai Nagari Tuo yang dipercayai sebagai
tempat asal mula wilayah budaya Minangkabau terbentuk yang turun dari Gunung
Marapi sehingga disebut sebagai Tampuak Tangkai Alam Minangkabau (Tampuk
Tangkai Alam Minangkabau). Hal ini juga disebutkan dalam Tambo yang
diwariskan turun-temurun secara lisan oleh masyarakat Minangkabau, yaitu:

Nak hilie ka Indogiri, singgah sabanta ka Ladang Panjang.


Dimano mulo adat badiri, di Pariangan Padang Panjang.

Atinya:
Hendak berhilir ke Indogiri, singgah sebentar ke Ladang
Panjang. Di mana mula adat berdiri. Di Pariangan Padang
Panjang.

Sejarah terbentuknya nama Nagari Pariangan juga disebutkan dalam


beberapa Tambo Minangkabau, salah satunya dalam Tambo ML 429
menceritakan tentang seekor rusa muda yang masuk ke dalam sebuah negeri
sehingga semua orang dalam negeri bermufakat untuk membunuh rusa tersebut.
Semua orang dalam negeri itu tidak menemukan mufakat cara menangkap rusa
liar itu, kemudian meminta permohonan kepada Datuak Suri Diraja untuk
memberikan jalan keluarnya. Datuak Suri Diraja berkata kepada seluruh orang isi
negeri, “ambillah rotan sehelai untuk dibuatkan jerat dan jeratkan pada tanduknya,
lalu dihelalah bersama-sama rusa itu dan sembelihlah”. Setelah peristiwa itu,
semua isi negeri bermufakat akan mencari nama negeri itu, dan setelah mencapai
kata mufakat, diberilah nama negeri itu Pariangan karena semua penduduk negeri
riang gembira dengan telah tertangkapnya rusa tersebut. Setelah terbentuknya
Nagari Pariangan, bermufakatlah semuanya untuk memberi gelar seorang
Panghulu di nagari itu, yang bergelar Datuak Maharajo Bandaro Kayo.
Nagari Pariangan terdiri dari empat jorong yaitu Jorong Sikaladi, Jorong
Padang Panjang, Jorong Guguak, dan Jorong Pariangan. Jorong Pariangan
dipercaya sebagai tempat nenek moyang pertama orang Minangkabau yang
membentuk sebuah permukiman, dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-
peninggalan sejarah dan elemen-elemen kelengkapan nagari yang terjaga hingga
sekarang.
Jorong Pariangan merupakan salah satu jorong yang terletak di Nagari
Pariangan, Kecamatan Pariangan (Gambar 8). Batas wilayah Jorong Pariangan
dengan Jorong Padang Panjang berupa tonggak bendera (tiang bendera), Jorong
Pariangan dengan Jorong Guguak berbatasan dengan sianau (area persawahan)
dan kungkuang gadang (daerah pertemuan saluran irigasi), Jorong Pariangan
dengan Jorong Sikaladi berbatasan dengan area persawahan dan hutan yang
disebut dengan sawah niau dan parak bukik. Jorong Pariangan ini terletak di kaki
Gunung Marapi, Kabupaten Tanah Datar, terletak antara Kota Batusangkar dan
Padang Panjang, sedangkan jarak dari Kota Padang kurang lebih 95 km. Luas
Jorong Pariangan ini 4,32 km2 dan berada di ketinggian 600 mdpl dengan suhu
rata-rata 20˚C - 22˚C (BPS 2017). Topografi dari permukiman Jorong Pariangan
24

ini berbukit-bukit sehingga banyaknya jalan berbentuk tangga sebagai akses


masyarakat untuk berlalu-lalang. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani. Jorong Pariangan ini juga dinobatkan sebagai desa terindah di
dunia oleh Budget Travel majalah Amerika Serikat tahun 2012 dengan judul “One
of The Most Beautiful Village in The World”.

Gambar 8 Jorong Pariangan, Nagari Pariangan

Masyarakat Jorong Pariangan terdiri dari delapan suku yang pertama berada
di Minangkabau, yaitu Piliang, Koto, Malayu, Piliang Laweh, Sikumbang, Dalimo
Panjang, Dalimo Singkek, dan Pisang. Terdapat beberapa lokasi cagar budaya
yang dapat ditemukan di Jorong Pariangan, yaitu Prasasti Pariangan dan Kuburan
Panjang Tantejo Gurhano yang sekarang menjadi situs budaya dilindungi oleh UU
No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Prasasti Pariangan berupa batu yang berukuran lebar 2,6 meter dan tinggi
1,6 meter bentuknya hampir menyerupai segitiga. Prasasti tersebut diberi pagar
besi dan atap bergonjong untuk melindungi batu dari panas dan kehujanan
(Gambar 9). Prasasti ini ditulis dengan tulisan sanskerta yang berisi tentang
sebuah keberadaan nagari, yaitu Nagari Pariangan. Namun, saat sekarang ini
tulisan yang terdapat di permukiman batu sudah mulai memudar sehingga sudah
tidak terlihat jelas lagi karena kurangnya perawatan dan perubahan cuaca.

Gambar 9 Prasasti Pariangan

Kuburan Panjang Tantejo Gurhano merupakan sebuah makam tua yang


panjangnya lebih kurang 25 meter dan lebar 1,2 meter. Namun, ukuran tersebut
25

dapat berbeda-beda apabila diukur berulangkali sehingga tidak akan sama


panjagnya, itulah yang menjadi keunikan dari kuburan panjang ini (Gambar 10).
Tantejo Gurhano dipercayai sebagai tokoh arsitektur pertama rumah gadang.
Keseluruhan ukuran situs cagar budaya Kuburan Panjang ini adalah 25,5 meter x
7 meter terletak di tepi jalan utama Pariangan, sehingga sangat mudah untuk
mengaksesnya. Terdapat enam pohon kamboja yang ditanam di atas makam
sehingga membuat tanah di atas makam tersebut menjadi teduh. Sebelah timur
bagian kawasan makam ini terdapat kursi batu yang disusun delapan buah yang
menandakan jumlah niniak mamak nan salapan (ninik mamak yang delapan),
tempat tersebut disebut dengan balai panjang (Gambar 11).

Gambar 10 Kuburan Panjang Tantejo Gurhano

Gambar 11 Balai Panjang

Lokasi Jorong Pariangan berada di lereng Gunung Merapi yang aktif,


mengakibatkan tanahnya menjadi sangat subur dan bagus untuk pertanian.
Pertanian sangat cocok di lingkungan Nagari Pariangan ini sehingga sebagian
besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Hamparan sawah yang hijau dibuat
dengan sistem berteras-teras yang mengikuti bentuk kontur lereng Gunung
Marapi. Adapun bentuk pertanian yang ada di Jorong Pariangan ini dapat dilihat
pada Gambar 12.
26

Gambar 12 Pertanian di Jorong Pariangan

Pada permukiman Jorong Pariangan ini masih terdapat elemen-elemen yang


masih dipertahankan keasliannya hingga sekarang seperti Masjid Islah, Balai
Saruang, rumah gadang, sawah ladang, galanggang, labuah, dan surau. Masjid
Islah merupakan masjid tertua yang ada di Nagari Pariangan, bentuk arsitektur
dari masjid ini mengikuti kelarasan Bodi caniago. Masjid ini masih berdiri kokoh
dan mempesona walaupun sudah berusia ratusan tahun (Gambar 13). Tidak hanya
itu, masjid tua ini juga dikelilingi oleh 13 surau yang mempunyai aliran Tarikat
berbeda-beda di setiap suraunya. Pembangunan masjid ini juga dijelaskan di
dalam Tambo Miangkabau ML 429, menceritakan setelah berdirinya sebuah
nagari Pariangan dan diberikannya gelar pada Nagari itu, maka dibuatlah masjid
sebagai tempat akan meminta hukum Kitabullah, yang sesuai dengan syara’
agama Islam dan hukum adat yang dipakai. Masjid Islah ini dikelilingi oleh 13
surau yang ada di Jorong Pariangan, salah satunya adalah Surau Mak Dang.
Surau tersebut digunakan sebagai tempat belajar agama Islam dan ilmu
ketangkasan seperti silat oleh pemuda-pemuda Minangkabau (Gambar 14).

Gambar 13 Masjid Islah Nagari Pariangan


27

Gambar 14 Surau Mak Dang

Permukiman Jorong Pariangan ini masih banyak terdapat rumah gadang


yang masih ditempati oleh kaum sukunya. Tedapat satu Rumah Gadang yang
berada berseberangan dengan kuburan panjang Tantejo Gurhano yang dahulunya
memiliki elemen-elemen rumah yang sangat lengkap. Karena umur rumah gadang
tersebut sudah tua sehingga beberapa elemen rumah banyak yang rusak dan
bahkan tidak ditemukan lagi. Rumah gadang tersebut merupakan rumah milik
Datuak Kayo kaum Suku Pisang. Rumah gadang tersebut hanya menyisakan
beberapa elemen-elemen rumah yang masih dapat ditemukan seperti, rangkiang
untuk penyimpanan padi dan terdapat juga tangga dua sisi untuk memasuki rumah
(Gambar 14). Dahulunya di rumah gadang tersebut terdapat tiga buah rangkiang
namun sekarang hanya tersisa dua. Rangkiang yang ada di halaman rumah
tersebut masing-masingnya mempunyai nama dan fungsi yang berbeda. Pertama,
disebut dengan rangkiang si tinjau lauik fungsinya sebagai penyimpan padi untuk
tamu-tamu atau musafir yang datang dari jauh. Kedua, rangkiang si bayau-bayau
berfungsi untuk kebutuhan sehari-hari, sesuai dengan ungkapan “lumbuang
makan patang pagi”artinya lumbung makan untuk makan sore dan pagi penghuni
rumah. Ketiga, rangkiang si tangguang lapa fungsinya sebagai menyimpan padi
untuk musim paceklik dan untuk orang yang berkekurangan. Rangkiang ini
memiliki filosofi dalam kehidupan masyarakat, yaitu mengajarkan cara menabung
bagi orang Minangkabau.

Gambar 15 Rumah gadang Datuak Kayo


28

Elemen dan Pola Letak Ruang Terbuka Publik dalam Permukiman

Berdasarkan syarat terbentuknya sebuah nagari dalam permukiman


Minangkabau, terdapat tiga elemen ruang terbuka publik yang ada dalam
permukiman, yaitu medan nan bapaneh, galanggang, dan tapian. Ketiga ruang
terbuka publik tersebut dapat dilihat dari permukiman Jorong Pariangan. Ruang
terbuka publik tersebut dapat dilihat baik dari segi pola letaknya dalam
permukiman maupun elemen-elemen yang ada di dalam ruang terbuka publik
tersebut. Medan nan bapaneh, galanggang, dan tapian yang menjadi fokus dari
penelitian ini dapat diamati dari pola letak ruang terbuka publik dalam
permukiman Jorong Pariangan tersebut pada Gambar 16.

Gambar 16 Peta permukiman Jorong Pariangan


(Sumber: Google Earth dan BPCB Sumatera Barat 2017)

Medan Nan Bapaneh


Medan nan bapaneh merupakan sebuah balai adat yang digunakan sebagai
tempat bersidang dan musyawarah bagi para penghulu atau pemangku adat untuk
membicarakan urusan pemerintahan nagari dan menyelesaikan persidangan
perkara. Pengertian “medan nan bapaneh” ini adalah suatu “padang” atau tempat
yang lapang yang di sekelilingnya atau di bagian tertentu diberi batu sebagai
tempat duduk. Batu tersebut disusun sedemikian rupa sehingga membentuk
tempat sidang bagi penghulu dan pemangku adat Minangkabau (Manggis 1971).
29

Terdapat suatu situs medan nan bapaneh yang dinamai Balai Saruang yang
terletak di permukiman Jorong Pariangan. Balai Saruang artinya balai yang hanya
terdiri dari satu ruang saja yang dibangun di Pariangan. Letak Balai Saruang di
dalam permukiman dapat dilihat pada Gambar 16. Dalam Balai Saruang tersebut
terdapat sembilan kursi batu yang disusun secara melingkar (sentrifugal), yang
salah satu kursi batu dengan sandaran yang lebih tinggi digunakan oleh pemimpin
dalam musyawarah. Angku Bahandaro Kayo sebagai “Tampuak tangkai alam
Minangkabau” (Tampuk tangkai alam Minangkabau) sebagai pemimpin di dalam
musyawarah dibantu oleh niniak mamak yang dikenal dengan “niniak mamak nan
salapan suku” artinya (niniak mamak yang delapan suku) yang memiliki tugasnya
masing-masing di dalam nagari. Niniak mamak ini disebut sebagai penghulu di
dalam masyarakat Minangkabau karena merupakan pemimpin suku dalam
kaumnya. Terdapat 8 suku pertama yang ada di Jorong Paringan, yaitu Suku
Piliang, Suku Koto, Suku Malayu, Suku Pidang Laweh, Suku Sikumbang, Suku
Dalimo Panjang, Suku Dalimo Singkek, dan Suku Pisang. Filosifi inilah yang
menyebabkan jumlah kursi batu di Balai Saruang berjumlah 9 buah yang disebut
juga dengan medan nan bapaneh tersebut. Di Balai Saruang ini juga terdapat dua
pohon kamboja putih (Plumeria obtusa) yang sudah tua untuk pelindung dari
panas dan hujan ketika musyawarah berlangsung. Letak pohon kamboja ini di
sebelah utara sisi luar dari lingkaran kursi batu, telah ada sejak awal mula medan
nan bapaneh itu dibentuk. Terdapat juga bangunan baru pada sisi luarnya yang
dibangun untuk menyimpan berbagai macam alat musik kerawitan dan foto-foto
para raja yang pernah memimpin Nagari Paringan dan Kerajaan Pagaruyuang.
Perkara yang diputuskan di Balai Saruang ini tidak dapat dilakukan
banding lagi, yang disebutkan dalam adat “miang cabiak gantiang putuih, kato
putuih nan ndak bisa dibandiang lai” yang artinya, segala sesuatunya dapat
diputuskan di sini dan apabila keputusan tersebut sudah dijatuhkan, tidak dapat
dilakukan banding lagi (Nirmala, wawancara). Jadi, semua putusan tidak boleh
disanggah ataupun ditolak karena apabila disanggah dan ditolak, akan batal dan
hilanglah kebesaran kepenghuluan seseorang, baik sebagai seorang raja maupun
sebagai seorang datuak ataupun niniak mamak dalam nagari. Balai Saruang
disebut juga dengan mahkamah agung tertinggi di Minangkabau, sehingga Balai
Saruang ini merupakan balai adat tertua yang ada di Minangakabau. Sekarang ini
tempat pelaksanaan musyawarah tidak lagi dilakukan di ruangan terbuka,
melainkan dilaksanakan di dalam ruangan tertutup, yaitu di kantor Kerapatan Adat
Nagari (KAN) yang ada di setiap wilayah yang berstatus nagari di Sumatera Barat
(April, wawancara). Bentuk medan nan bapaneh Balai Saruang yang ada di
Jorong Pariangan pada saat observasi lapang dapat dilihat pada Gambar 16.
30

Gambar 17 Balai Saruang

Menurut Syamsidar (1991), medan nan bapaneh merupakan lingkaran batu


yang berbentuk tempat duduk serta dilengkapi dengan sandaran batu yang
langsung ditanam di atas tanah untuk tempat duduk penghulu. Lingkaran tempat
duduk batu tersebut biasanya mengelilingi pohon yang disebut dengan kayu
gadang (pohon besar), yang bentuknya semacam pohon beringin untuk berteduh
kehujanan dan berlindung di waktu panas. Adapun jumlah kursi batu disesuaikan
dengan jumlah penghulu yang ada di dalam nagari, sehingga kita dapat
mengetahui jumlah penghulu di dalam suatu nagari tersebut dengan menghitung
jumlah banyaknya kursi batu yang ada. Lingkaran kursi yang terbentuk dalam
medan nan bapaneh bermakna sebagai keputusan musyawarah yang didapat, yaitu
merupakan kebulatan atau kesepakatan bersama.
Elemen batu di medan nan bapaneh tersebut digunakan karena pada zaman
dahulu bahan yang kuat dan tahan lama di ruangan terbuka adalah batu, itulah
yang mempengaruhi mengapa penggunaannya berupa batu (Irwan, wawancara).
Permukaan tanah tempat bersidang tersebut juga ditutupi oleh batu-batu yang
lebih kecil untuk lantai dari tempat bersidang. Batu-batu yang lebih kecil tersebut
disebut dengan batu aia (batu air), artinya batu yang berasal dari sungai
(Dahliarti, wawancara).
Menurut hasil wawancara dari beberapa tokoh adat, sebuah medan nan
bapaneh itu tidak memiliki ukuran dan batas yang pasti, ukurannya hanya
bergantung pada banyaknya kursi batu yang tersusun secara sentrifugal.
Keberadaan medan nan bapaneh di Nagari Pariangan sebagai tempat
bermusyawarah bagi para penghulu adat tidak memiliki ketentuan tempatnya,
maksudnya tidak harus dilaksanakannya sebuah musyawarah itu di medan nan
bapaneh yang telah dibuat. Medan nan bapaneh tersebut hanyalah sebuah tempat
bukan sebuah bangunan (Irwan, wawancara). Asalkan jumlah peserta rapatnya
sudah mencukupi, musyawarah tersebut dapat dimulai di mana saja (Ariesno,
wawancara). Hal tersebut dikarenakan filosofi dari medan nan bapaneh tersebut
adalah “baatok langik, balantai tanah, badindiang kabuik” (beratap langit,
berlantai tanah, berdinding embun). Makna dari pepatah tersebut adalah bahwa
musyawarah dilakukan di ruang terbuka sehingga sebuah medan nan bapaneh itu
tidak memiliki orientasi khusus untuk keberadaannya.
31

Tidak semua Medan nan bapaneh itu memiliki jumlah kursi yang sama,
bergantung pada jumlah penghulu yang ada di dalam nagari tersebut seperti di
situs Batu Batikam yang ada di Nagari Lima Kaum, Tanah Datar. Terdapat 42
kursi batu yang di tengahnya terdapat batu batikam dan terdapat dua pohon
beringin (Ficus benjamina) sebagai peneduhnya (Gambar 18). Medan nan
bapaneh juga terdapat di kompleks Ustano Rajo, Jorong Gudam, Nagari
Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Tanah Datar. Terdapat 15 kursi batu dan
satu pohon beringin (Ficus benjamina) sebagai pohon pelindung dan peneduh
(Gambar 19). Terdapat juga situs medan nan bapaneh di Koto Baranjak, Tanah
Datar. Dalam situs ini juga terdapat 15 buah kursi batu yang disusun dan tiga
pohon kamboja (Plumeria obtusa) yang sudah hampir mati di belakang susunan
kursi baru tersebut (Gambar 20).

Gambar 18 Situs Batu Batikam

Gambar 19 Situs Batu Gudam


32

Gambar 20 Situs Koto Baranjak

Galanggang
Galanggang merupakan sebuah lapangan luas yang dipergunakan sebagai
tempat permainan anak nagari. Tempat permainan rakyat berupa perlombaan
ketangkasan atau peraduan hewan piaraan. Dalam galanggang tersebut terdapat
pimpinan galanggang yang disebut juaro (juara) (Navis 1986). Menurut Dirajo
(2009) galanggang merupakan tempat menghilangkan hati yang terasa risau dan
menimbulkan hati yang damai, tempat orang tua untuk mengajar muda-mudi,
dan tempat bermacam-macam permainan anak nagari. Galanggang
menggambarkan tingkat kemakmuran bagi sebuah nagari karena semakin
banyak mengadakan acara pertandingan, lomba atau keramaian, semakin
banyak pula anak nagari yang datang sebagai peserta, penonton, dan
penyelenggara kegiatan. Edison dan Sungut (2010) menyebut galanggang
sebagai Balai Galanggang, yaitu balai tempat berkumpul masyarakat banyak
untuk melaksanakan kegiatan pesta rakyat seperti pencak silat, tari piring,
randai dan berbagai macam kegiatan seni anak nagari lainnya. Menurut Thaib
(1965), untuk galanggang harus tersedia tanah lapang tempat pekan tukar
menukar jual beli, serta tempat berolahraga, kegiatan pencak silat dan tari
menari untuk bersukaria dan beriang gembira. Bentuk pertunjukan seni drama
yang biasanya dilakukan di galanggang adalah pertunjukan randai. Pertunjukan
ini merupakan gabungan antara sandiwara dan tari yang memiliki makna yang
diungkapkan di dalam setiap alur ceritanya. Tempat pertunjukan randai ini
haruslah dilaksanakan di ruangan terbuka berupa arena yang dikelilingi oleh
penonton (Indrayuda 2012).
Di permukiman Jorong Pariangan terdapat sebuah galanggang yang biasa
digunakan oleh masyarakat Nagari Pariangan. Galanggang ini dinamai dengan
Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo (Gambar 21). Berbagai kegiatan
Nagari Pariangan dilakukan di lapangan ini, seperti kegiatan pengambilan api
obor Porda (pekan olahraga daerah) yang rutin dilakukan dua tahun sekali di
Sumatera Barat. Api obor tersebut sebagai simbol bahwa kegiatan pekan olah
raga daerah di Sumatera Barat akan dimulai. Pengambilan api obor yang berasal
dari Jorong Pariangan ini dikarenakan nagari tertua adalah Nagari Pariangan
yang merupakan awal mula tempat berdirinya Budaya Minangkabau. Dengan
menandakan hal tersebut, dibentuklah sebuah monumen yang disebut Monumen
33

Api Porda Sumatera Barat di Lapangan Sulthan Suri Raja Maha Dirajo. Setiap
pelaksanaan Porda, tuan rumah kegiatan ini dilakukan di daerah yang berbeda-
beda. Namun, pengambilan api obornya akan tetap di Nagari Pariangan. Api
obor tesebut nantinya akan dibawa secara simbolik ke daerah yang menjadi tuan
rumah pelaksanaan pekan olah raga daerah Sumatera Barat tersebut. Prosesi
pengambilan api obor Porda ini tidak luput dari prosesi adat budaya
Minangkabau, yakni tradisi berbalas pantun dan petatah-petitih oleh niniak
mamak yang menjadi sebuah ciri khas Minangkabau dalam menyambut alek
gadang nagari (perhelatan besar nagari). Pada kegiatan ini, semua masyarakat
nagari, terutama masyarakat Nagari Pariangan akan berkumpul bersama untuk
memeriahkan perhelatan alek nagari.

Gambar 21 Lapangan Sulthan Suri Rajo Maha Dirajo

Beberapa tokoh adat yang diwawancarai mengatakan bahwa ukuran dan


batas tertentu untuk sebuah galanggang tidak ada, hanya saja harus berupa tanah
lapang yang luas karena galanggang tersebut akan menampung orang banyak
dalam nagari ataupun luar nagari (Musra, wawancara). Keberadaan letak
sebuah galanggang tidak memiliki orientasi khusus dalam permukiman, dapat
dibentuk di mana saja (kontemporer) dan tidak memiliki elemen khusus yang
harus ada di dalamnya karena bergantung pada bentuk acara kegiatan yang
dilakukan dalam galanggang tersebut (Irwan, wawancara).
Sebelum melaksanakan kegiatan di galanggang harus dilakukan
musyawarah oleh pemangku adat agar mendapat persetujuan untuk
pelaksanaanya (Irwan, wawancara). Pada zaman dahulu penonton di
galanggang terpisah antara laki-laki dan perempuan secara spontan.
Pelaksanaan acara kegiatan di galanggang biasanya setelah musim panen tiba
sehingga semua masyarakat nagari bersukaria (Musra, wawancara).
Galanggang sebagai tempat hiburan anak nagari, saat ini di beberapa daerah di
Sumatera Barat digunakan sebagai tempat pacuan kuda dan pacuan jawi/sapi,
seperti galanggang pacuan kuda Dang Tuanku Bukik Gombak yang terletak di
Nagari Baringin, Kecamatan V Kaum, Tanah Datar (Gambar 22). Di pacuan
kuda tersebut terdapat tribun-tribun untuk para penonton dan kandang kuda
bagian sisi luarnya untuk kuda para peserta pacuan kuda. Pacu kuda
dilaksanakan tiap tahunnya selama dua hari dalam rangka Festival Pesona
34

Budaya Minangkabau dan peserta dari pacuan kuda ini tidak hanya dari dalam
daerah Sumatera Barat, tetapi juga dari daerah lain.

Gambar 22 Galanggang Dang Tuanku Bukik Gombak

Terdapat juga galanggang pacu jawi (sapi) yang dilaksanakan di Tanah


Datar, tempat pelaksanaan pacu jawi ini dilaksanakan di areal persawahan
warga. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan setiap selesai panen dan pada waktu
akan menanam padi. Kegiatan pacu jawi ini bermakna rasa syukur masyarakat
atas hasil panen yang didapat kepada Allah Swt. Pemilihan tempat ini
diselenggarakan secara bergilir di beberapa areal sawah masyarakat dalam
nagari di Tanah Datar (Gambar 23).

Gambar 23 Galanggang Pacu Jawi


(Sumber: http://kaba12.co.id/wp-content/uploads/2017/07/Pacu-Jawi-Magnet
Pariwisata-Tanah-Datar.jpg)

Tapian
Tapian atau yang biasa disebut dengan tapian mandi (tepian mandi)
merupakan sebuah tempat yang berada pada tepian sungai karena dekat dengan
sumber air. Namun, tidak selalu terletak di tepian sungai, juga terdapat di
beberapa tepian tebing di beberapa daerah (Asrinal et al. 2018). Menurut Dirajo
35

(2009), pada umumnya tapian mandi berada pada daerah pinggir permukiman.
Tapian digunakan untuk mandi, cuci dan kakus saja, tetapi juga sebagai tempat
berkumpul dan berdiskusinya masyarakat. Perbincangan yang terjadi pada
tapian mandi bersifat bebas tanpa ada batasan, berbeda dengan balai dan rumah
gadang memiliki aturan dalam tata bahasa dan prilaku yang mengikat sesuai
dengan aturan adat. Perbincanngan yang bebas dalam tapian tersebut
berdasarkan filosofi alam yang terbuka bebas sehingga dijadikan sebagai
perumpamaan dalam perbincangan di tapian. Tingkat bagusnya sebuah tapian
menunjukkan kemakmuran sebuah nagari. Tapian yang baik itu adalah karya
dari masyarakat yang menggunakannya. Sesuai dengan pepatah adat “Rancak
tapian dek nan mudo” (bagusnya tapian oleh anak muda). Ungkapan ini
menjelskan bahwa keberadaan sebuah tapian itu menunjukkan sebuah keaktifan
masyarakat mudanya dalam sebuah permukiman sehingga apabila sebuah tapian
mandi tidak terurus lagi, peran masyarakat mudanya tidak berjalan dengan baik.
Di permukiman di Jorong Pariangan terdapat beberapa tapian mandi
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 24. Semua tapian tersebut berada di
tepi sungai depan bangunan Masjid Islah. Semua tapian mandi tersebut dialiri
air panas yang berasal dari Gunung Merapi. Konon katanya air tersebut
mempunyai beragam manfaat untuk kesehatan kulit. Tapian mandi ini
merupakan sebuah pemandian yang digunakan secara bersama-sama dahulunya,
tetapi sekarang masyarakat sudah memiliki kamar mandi masing-masing di
rumahnya. Tapian mandi ini menjadi salah satu objek wisata yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan apabila berkunjung ke Pariangan. Tapian mandi
antara laki-laki dan perempuan terpisah, untuk laki-laki tapian mandinya diberi
nama Rangek Gaduang (Gambar 24) dan Rangek Tujuah, sedangkan untuk
perempuan dinamai dengan Rangek Subarang. Dalam tapian tersebut terdapat
pancuran air yang mengalirkan air panas. Pada Jorong Pariangan ini pancuran
air itulah yang dinamakan dengan tapian mandi (Irwan, wawancara). Tapian
yang ada sekarang sudah berupa bangunan permanen layaknya seperti wc
umum, tidak seperti tapian mandi yang disebutkan dalam Tambo, bahwa tapian
itu di ruang terbuka.

Gambar 24 Tapian Mandi Rangek Gaduang


36

Dalam wawancara, beberapa tokoh adat menyebutkan bahwa sebuah tapian


terletak di pinggir sungai karena harus dekat dengan sumber air, tetapi ada juga
yang terletak di dekat sawah atau kebun sepanjang sumber airnya tetap mencukupi
untuk kebutuhan. Tapian ini tidak memiliki ukuran yang pasti, tetapi
keberadaannya disesuaikan dengan “ukua jo jangko”(ukur dan jangka), artinya
jumlah penduduk yang akan memakai tapian tersebut diperkirakan saja sehingga
dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan. Keberadaan sebuah tapian haruslah di
tempat milik ulayat yang tidak bersengketa dan disepakati oleh seluruh pihak yang
terkait seperti penghulu, niniak mamak, dan beberapa anggota kaum. Tapian
mandi letaknya juga harus berjarak dari permukiman dan berada di bawah tempat
yang teduh, artinya di bawah pohon penaung berupa kayu gadang. Pada zaman
dahulu, elemen-elemen yang ada disebuah tapian mandi itu berupa batu layah
untuk mencuci, pancuran air, dan tempat duduk (Irwan, wawancara).

Konsep Ruang Terbuka Publik

Ketiga ruang terbuka publik tersebut memiliki fungsi dan aturan yang
berbeda dalam masing-masing penggunaannya. Terdapat elemen-elemen utama
yang menjadi pembentuk dan penciri ruang terbuka publik tersebut di
Minangkabau. Elemen-elemen utama yang menjadi pembeda dari tiap-tiap ruang
terbuka publik tersebut dapat diketahui dari hasil studi pustaka, wawancara, dan
observasi lapang, yang dapat diamati pada Tabel 5.

Tabel 5 Pengelompokan elemen utama ruang terbuka publik


Studi pustaka
No Tempat Elemen Wawancara Observasi
Naskah Buku
adat referensi
1. Medan Kursi batu - √ √ √
nan Kayu gadang
bapaneh (Pohon - √ √ √
besar)
Batu aia
- - √ -
(Batu air)
2. Galanggang Lapangan
√ √ √ √
luas
3. Tapian Batu layah
- √ √ -
(Batu lebar)
Pancuran - √ √ √
Tempat
- - √ -
duduk
Pohon
- - √ -
penaung

Elemen utama yang terdapat dalam ruang terbuka publik tersebut


merupakan elemen yang sangat mempengaruhi keberdaan suatu medan nan
bapaneh, galanggang, dan tapian di permukiman tradisional Minangkabau. Hasil
yang didapatkan dari tabular tersebut memperlihatkan bahwa elemen yang
37

disebutkan dalam naskah adat tidaklah banyak karena di dalam naskah adat hanya
menyebutkan nama tempatnya saja, tidak menyebutkan secara rinci elemen-
elemen yang ada di dalam medan nan bapaneh, galanggang, dan tapian. Supaya
melengkapi informasi tentang keberadaan elemen-elemen utamanya, maka
digunakan beberapa buku yang bereferensi dari naskah adat, serta wawancara
dengan tokoh-tokoh adat setempat.
Hasil dari tabular menunjukkan bahwa elemen utama dari sebuah medan
nan bapaneh ialah kursi batu, pohon besar, dan batu air. Ketiga elemen tidak
disebutkan di dalam naskah adat. Naskah adat hanya menyebutkan sebuah medan
itu tempat mufakat yang terdapat di dalam Tambo ML 429:

“Bermula tempat mufakat itu iyalah di laggundi nan baselo


medan yang sudah”

Artinya: Awal mulanya tempat mufakat itu ialah di langgundi yang


bersila medan yang sudah.
Kalimat tersebut maksudnya adalah didirikannya sebuah medan untuk mufakat
yang terletak di daerah Langgundi nan baselo. Keberadaan elemen kursi batu,
pohon besar, dan batu air dapat ditemukan dalam buku yang bereferensi dari
naskah adat, wawancara, dan lokasi observasi. Berdasarkan hasil data yang
didapatkan, konsep elemen dan tataletak sebuah medan nan bapaneh itu dapat di
spasialkan seperti pada Gambar 25.

Gambar 25 Konsep elemen medan nan bapaneh dan tata letaknya

Keberadaan sebuah elemen berupa lapangan luas di galanggang diceritakan


secara tersirat di dalam naskah adat dengan kejadian peristiwa adu kerbau.
Peristiwa adu kerbau ini menjadi awal mula dinamainya sebuah daerah bernama
Minangkabau. Peristiwa tersebut diceritakan dalam naskah Tambo ML 429:

“…setelah itu sampailah perjanjian tujuh hari lamanya, maka


tiadalah diberi menyusu sehari semalam anak kerbau itu
kepada ibunya. Setelah itu maka dilekatkanlah cawang besi
itu, maka sekalian laki-laki dan perempuan habis keluar
38

semuanya, melihat orang yang mengadu kerbau itu, maka


dihela oranglah anak kerbau itu ketengah medan yang maha
luas, maka dilepaskanlah ia ketengah medan yang maha luas
itu.”

Kata medan disini artinya sebuah tempat, sedangkan nama tempat tersebut
dinamakan galanggang (Musra, wawancara). Berdasarkan hasil data yang
didapatkan dari naskah dan wawancara, elemen yang ada di galanggang hanya
berupa lapangan luas, tidak terdapat elemen-elemen lainnya (Gambar 26),
sedangkan galanggang yang ada saat sekarang di Jorong Paringan terdapat tugu
api Porda dan berbagai macam vegetasi pohon yang ada di pinggir lapangan
(Gambar 26).
Berbagai elemen utama yang ada di tapian mandi adalah batu layah sebagai
tempat mencuci, pancuran, dan tempat duduk. Dalam naskah adat tidak ditemukan
semua elemen tersebut, tetapi beberapa buku yang bereferensi dari tambo
menyebutkan beberapa elemen yang ada di tapian mandi. Hasil dari observasi
lapang sendiri sudah tidak banyak lagi ditemukan elemen-elemen tersebut
dikarenakan sudah dibentuknya bangunan permanen yang sangat berbeda dengan
bentuk tapian mandi masa dahulunya. Sebuah tapian mandi tersebut dapat dilihat
konsep elemen dan tata letaknya, yang apabila letaknya di tepian sungai dapat
dispasialkan seperti pada Gambar 27.

Denah berdasarkan naskah dan wawancara

Denah berdasarkan observasi lapang

Gambar 26 Konsep Galanggang.


39

Gambar 27 Konsep elemen Tapian mandi di pinggir sungai dan tata letaknya

Berdasarkan hasil studi pustaka, wawancara, dan observasi lapang, karakter


ruang terbuka publik yang ada di Minangkabau sangat kuat dipengaruhi oleh
kondisi alam kerena semua aktivitas yang ada dalam budaya langsung di dalam
alam. Pandangan hidup masyarakatnya yang berorientasi pada alam
mempengaruhi karakter ruang terbuka publik Minangkabau sehingga sangat
berkaitan erat dengan alam dan masyarakatnya. Sesuai dengan filsafat hidup
masyarakat Minangkabau, yaitu “Alam takambang jadi guru” (Alam yang
terkembang dijadikan guru), ungkapan tersebut mempengaruhi karakter dari ruang
terbuka publik di Minangkabau. Pembelajaran segala hal dari alam mempengaruhi
penataan dan penggunaan elemen-elemen yang ada di dalam ruang terbuka publik
sehingga hubungan antaralam dengan aktivitas manusia menjadikan bentuk ruang
terbuka publik tersebut memiliki ciri khas dalam budaya Mianangkabau.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ruang terbuka publik yang ada di dalam permukiman Minangkabau adalah


medan nan bapaneh, galanggang, dan tapian. Ketiga ruang terbuka publik
tersebut mempunyai perbedaan baik dalam bentuk maupun fungsinya. Medan nan
bapaneh digunakan sebagai tempat musyawarah dan mufakat oleh penghulu
dalam nagari untuk memecah perkara yang ada dalam nagari. Galanggang
berfungsi sebagai tempat permainan rakyat baik perlombaan ketangkasan maupun
adu hewan peliharaan. Tapian merupakan tempat yang berada pada tepian sungai
sebagai tempat mandi, cuci, kakus, dan kebutuhan lainnya. Letak medan nan
bapaneh dan galanggang cenderung berada di tengah-tengah permukiman Jorong
Pariangan, sedangkan tapian berada di pinggir sungai yang merupakan batas
nagari. Elemen utama pembentuk medan nan bapaneh adalah kursi batu untuk
para penghulu adat dalam nagari yang disusun secara sentrifugal, kayu gadang
40

sebagai pohon pelindung dan peneduh, serta batu aia untuk penutup permukaan
tanah tempat bersidang. Jumlah kursi batu bergantung pada banyaknya penghulu
yang ada dalam nagari tersebut dan pohon peneduh yang digunakan berupa pohon
kamboja atau pohon beringin. Elemen pembentuk galanggang hanyalah berupa
lapangan luas yang terbuka tanpa pembatas untuk perhelatan atau acara yang
melibatkan semua orang dalam nagari yang dapat menampung seluruh
masyarakat di dalamnya. Elemen pembentuk tapian mandi adalah, batu layah
yang terletak dipinggir sungai untuk mencuci, batu tempat duduk, dan pancuran
air terkadang berada di bawah tempat yang ternaungi oleh pohon penaung.
Konsep ruang terbuka publik yang ada di Minangkabau berorientasi kepada alam
karena semua aktivitas yang terjadi dalam masyarakat langsung di luar bangunan
sehingga kondisi alam mempengaruhi bentuk karakteristik ruang terbuka publik
yang ada di Minangkabau. Sesuai dengan filsafat hidup masyarakat “Alam
takambang jadi guru” (Alam terkembang dijadikan guru).

Saran

Karakter ruang terbuka publik budaya Minagkabau yang ada saat sekarang
ini berupa situs-situs peninggalan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan
sehingga elemen-elemen yang ada dapat dipertahankan dan tidak terjadi
perubahan bentuk dan makna dari ruang terbuka publik tersebut. Penggunaan
nama sebuah ruang terbuka publik seharusnya sesuai dengan konsep dan filosofi
yang ada. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsep
ruang terbuka publik Minangkabau berdasarkan naskah Tambo lainnya secara
mendalam.
41

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 1847 M. Tambo Minangkabau (ML 717).


[Anonim]. 1895 M. Tambo Minangkabau (Ml 429). Luhak Tanah Datar.
[Anonim]. 1896 M. Undang-Undang Minangkabau (ML 490). Luhak Agam.
Aderina L. 2016. Perencanaan Ulang Ruang Publik untuk Meningkatkan Kualitas
Lanskap Ksatrian Batalyon artileri Medan 10, Bogor. [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Agustine Y dan Gunawan A. 2013. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal
Tradisional Budaya Sunda. Dalam Gunawan A (Ed.), Estetika Ekologis,
teori dan konsep untuk desain lanskap dan lingkungan. Bogor (ID): IPB
Press.
Amir MS. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau terancam punah bagai bajak
ndak basingka. Jakarta (ID): Yayasan Sosial Pendidikan AINI. Citra Harta
Prima.
Asrina M. 2018. Kajian Karakter Lanskap Minangkabau Berdasarkan Karya
Sastra Tambo Minangkabau. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Astuti RF. 2003. Perubahan Karakter Ruang Publik Kawasan Alun-alun Utara
Keraton Kasunanan Surakarta. [Tesis]. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro.
Basri H. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Adat Minangkabau. KAUHAD.
Kabupaten Tanah Datar (ID): Kerapatan Adat Tanjung Barulak.
Busye M dan Idris AS. 1995. Payung terkembang di Minangkabau. Jakarta (ID):
Pustaka kartini.
Boestami. 1979. Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau.
Departemen P dan K Propinsi Sumatera Barat (Bidang Permuseuman,
Sejarah dan Kepurbakalaan) dalam Proyek Sasana Budaya: Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar. Kecamatan Pariangan
dalam Angka 2017. Tanah Datar: BPS Tanah Datar.
Carr S, Francis M, Rivlin LG, Stone AM. 1992. Public Space. USA: Combridge
University Press
De Jong PEJ. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure
in Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Dirajo IDS. 2009. Tambo Dalam Minangkabau, Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minangkabau. Bukittinggi (ID): Kristal Multimedia.
Djamaris E. 2002. Pengantar sastra Minangkabau. Jakarta (ID):. Yayasan Obor
Indonesia.
Edison dan Sungut NDM. 2010. Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat
di Minangkabau. Bukittinggi (ID): Kristal Multimedia.
Eriyanto. 2011. Analisis isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu
Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta (ID): Kencana Pedana
Media Group.
Eriawan T. 2003. Prinsip Perancangan Taman Kota dan Taman Bagian Wilayah
Kota di Kota Bandung. [tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Handinoto. 1992. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1879-1940. [skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Kristen Petra
Surabaya.
Haryono P. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
42

Indrayuda. 2012. Eksistensi Tari Minangkabau. Padang (ID) : Universitas Negeri


Padang Press.
Jamil M. 2017. Pariangan Mutiara yang Hilang. Padang Panjang (ID): CV
Minang Lestari.
Jancura P. 2000. Development aspects of the land cover (secondary landscape
structure) and their relation to the landscape character. Ecology Supplied. 2
(19): 177-187.
Junus U. 1979. Kebudayaan Minangkabau. Jakarta (ID): Penerbit Djembatan.
Koentjaraningrat. 1976. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta (ID):
Djambatan.
Landscape Research Group. 1988. A Review of Recent Practice and Research in
Landscape Assessment. Countryside Commision: Cheltenham.
Lutfia A. 2016. Kajian Konsep Taman Rumah Berbasis Budaya Minangkabau.
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Manggis R. 1971. Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang (ID):
Penerbit Sridarma.
Mansyur A, Gunawan A, Munandar A. 2017. Konsep Desain Ekologis Lanskap
Kota Kesultanan Buton Berbasis Budaya Lokal di Kota BauBau, Provinsi
Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Moleong LJ. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya :
Bandung.
Navis A. 1986. Alam takambang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau.
Jakarta (ID): Grafitti Pres.
Nazzarudin. 1994. Penghijauan Kota. Jakarta (ID) : Penerbit Swadaya.
Oetomo D, Suyanto B (ed). 2005. Metode Penelitian Sosial. Kencana Prenada
Media Group : Jakarta.
Peursen CA van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta (ID): Kanisisus.
Pratiwi RA, Gunawan A, Munandar A. 2017. Study of Lampungnese traditional
home garden design. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 91:012024.
Rapoport A. (2001), Theory, Culture, and Housing, Journal of Housing Theory
and Society, 17:4, pp. 145-165
Ryan RL. 2004. Comparing the attitudes of local residents, planners, and
developers about preserving rural character in New England. Landscape and
Urban Planning. 75: 5–22.
Salim E. 2012. Transformasi mozaik etnisitas menjadi manusia Indonesia
muntikultural. Jakarta (ID): Komisi kebudayaan Akademi Ilmu pengetahuan
Indonesia.
Samosir ND. 2016. Optimalisasi Peran dan Fungsi Ruang Publik Taman Sungai
Kayan Kota Tanjung Selor Kalimantan Utara. [Tesis]. Yogyakarta (ID):
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Setiyowati E. 2008. Arsitektur Nusantara Minangkabau. Departemen Arsitektur
UIN Malang : Malang.
Soeroto M. 2005. Pustaka Budaya dan Arsitektur Minangkabau. Jakarta: Myrtle
Publishing.
Sukmasari et al. 2009. Tradisional Wedding of Minangkabau. Jakarta (ID): Citra
Harta Prima.
Sztompka P.2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Prenada Media.
43

Sugiyono. 2012. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&B. Bandung (ID):
Alfabeta.
Syamsidar B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta
(ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Thaib D. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi (ID): N.V Nusantara.
44

LAMPIRAN

Lampiran 1 Tambo ML 429


45

Lampiran 2 Tambo ML 490


46

Lampiran 3 Tambo ML 717


47

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 25 April


1995. Penulis merupakan anak pertama dari bapak Maifa Edison dan ibu
Wetrinetti. Pendidikan formal penulis diawali tahun 2000 di TK Maishitah.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD N 11, Lubuk Buaya, pada
tahun 2007. Kemudian pada tahun 2011, penulis menyelesaikan studi di SMP N
13, Padang, Selanjutnya pada tahun 2014, penulis lulus di SMA Negeri 8, Padang.
Pada tahun yang sama melalui jalur undangan, penulis diterima di Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti program studi S1 di Institut Pertanian Bogor, penulis
juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik, seperti menjadi anggota
Divisi Eksternal Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode
2016-2017, anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM) dari tahun 2014-
sekarang, anggota Unit Konservasi Fauna IPB (UKF) tahun 2015. Selain itu
penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan yang bersifat akademis dan non-
akademis seperti penanggung jawab stand OMDA IPMM pada kegiatan Gebyar
Nusantara IPB (Genus) tahun 2015 dan 2016, Masa Perkenalan Departemen
(MPD), Masa Perkenalan Fakultas (MPF) dan Landscape Tour. Selama di Institut
Pertanian Bogor penulis pernah memperoleh Juara 1 Vocal Group Seri A-ction
2017, perwakilan Vocal Group Fakultas Pertanian pada kegiatan IAC tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai