Anda di halaman 1dari 22

FILSAFAT ILMU DAN SEJARAH MATEMATIKA

Pengaruh Aristoteles dalam Perkembangan Matematika

Oleh :
Kelompok 2
KELAS 3A

Nyoman Redy Kusuma Arta 1713011002


Ni Kadek Ayu Indahyani 1713011018
Kadek Sonia Wikantari 1713011083

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat membuat makalah mengenai Pengaruh Aristoteles dalam Perkembangan
Matematika. Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
untuk semua pihak yang telah mambantu penulis dalam pembuatan makalah ini
yaitu:
 Dr. Drs. Gst. Ayu Mahayukti, M.Si. selaku pengampu mata kuliah Filsafat
Ilmu dan Sejarah Matematika.
 Teman-teman penulis serta semua pihak sekalian yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya
membangun yang dapat membuat makalah ini menjadi lebih baik. Akhir kata
penulis ucapkan terima kasih dan semoga laporan ini dapat digunakan sebagaimana
mestinya.

Singaraja, 08 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................. 2
1.4 Manfaat ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Aristoteles ......................................................................... 4
2.2 Pemikiran Aristoteles ...................................................................... 5
2.3 Pengaruh Penemuan Aristoteles terhadap Matematika ................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ......................................................................................... 16
3.2 Saran ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Morris Klein (dalam Woods dan Grant, 2010) menyatakan matematika bukan
pengetahuan yang menyendiri sehingga dapat sempurna karena dirinya sendiri,
tetapi keberadaannya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karenanya, memungkinkan
matematika untuk berkembang secara luas. Matematika dapat dikonstruksi sendiri,
sesuai keinginan, asalkan tidak kontradiksi dengan struktur matematika yang telah
ada. Karena menurut Soedjadi (dalam Wahyu, 2012), objek-objek matematika
hanyalah “buatan otak manusia”.
Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi kita terbiasa bertarung pada cara
berpikir yang berdasarkan logika. Hitungan yang biasa kita kerjakan, eksperimen
dalam ilmu alam dan pembuktian yang guru lakukan di depan kita, semuanya
mengandung logika (Malaka, 1943). Dengan kata lain, logika adalah ilmu berpikir
yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Pembahasan mengenai logika sendiri
sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum manusia mengenal istilah logika itu
sendiri. Setelah melalui proses yang panjang, lahirlah metode logika yang dipakai
hingga saat ini. Salah satunya adalah logika silogisme yang dikemukakan oleh
Aristoteles.
Untuk zaman sekarang ini, banyak orang yang tidak mengenal tokoh-tokoh
filosof yang dikarenakan mereka sungkan dan enggan mengetahui dan mempelajari
ilmu filsafat. Namun untuk tokoh filosof “Aristoteles”, telinga kita tidak asing lagi
mendengar namanya yang mana dia adalah seorang filosof yang sangat terkenal.
Karena tokoh filosof ini mampu menorehkan sejarah yang berharga dengan
pengaruhnya yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran filosofis dan
juga perkembangan matematika, yang mana beliau terkenal sebagai Bapak
“Logika”. Hingga abad ke-21 sekarang ini, tak seorangpun merasa bosan dengan
filsafat Aristoteles, bahkan menjadikannya sebagai landasan filosofis dalam
berfikir.
Pandangannya lebih realis dari pada pandangan plato, yang didasari pada
abstrak. Karena pendekatan yang dilakukan oleh Aristoteles adalah pendekatan

1
Empiris. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan
mendukung pengembangan ilmu-ilmu khusus. Pemikiran Aristoteles dalam bidang
matematika lebih mengarah kepada logika yaitu metode induksi dan juga metode
deduksi-silogistik.
Logika sebagai ilmu pemikiran/penalaran akan terus mengalami
perkembangan. Logika klasik atau logika formal selama ini hanya berpaku pada
simbol saja. Tanpa adanya suatu kritik/pengujian antara paham yang satu dan yang
lainnya. Ada yang saling bertentangan dan adapula yang memiliki konsep dasar
sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan.
Justru dengan banyaknya metode yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh
tersebut harus diketahui dan diperkenalkan untuk mendukung materi berpikir
tentang logika.
Sebenarnya sebelum lahir analytic (logika klasik) oleh Aristoteles 300 SM
yang lalu manusia sudah mengenal logika (Bofandra, 2008). Meskipun, memang,
cara bernalar manusia terus mengalami perkembangan seiring perubahan zaman,
pada dasarnya, logika sudah menjadi bagian yang terintegrasi dalam diri seseorang.
Dalam kehidupan sehari-hari baik dalam urusan pekerjaan, belajar, bahkan sampai
kepada bagaimana kita memilih barang, sebenarnya proses penalaran terus berjalan
Setiap harinya ratusan penalaran kita lakukan tanpa diri kita sendiri perlu
menyadarinya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk membahas
mengenai biografi Aristoteles, pemikiran-pemikiran Aristoteles, dan pengaruh
Aristoteles dalam perkembangan matematika.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Aristoteles?
2. Apa sajakah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles?
3. Bagaimana pengaruh Aristotelses terhadap perkembangan matematika?
1.3. Tujuan
1. Dapat mengetahui riwayat hidup Aristoteles.
2. Dapat memahami pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh
Aristoteles.

2
3. Dapat menjelaskan pengaruh Aristotelses terhadap perkembangan
matematika.
1.4. Manfaat
1. Bagi penulis:
Sebagai mahasiswa, diharapkan makalah ini dapat memberikan
wawasan mengenai riwayat hidup Aristoteteles, pemikiran Aristoteles, dan
pengaruh Aristoteles terhadapat perkembangan matematika. Dan juiga,
dengan adanya makalah ini dapat membantu penulis dalam melatih
keterampilan untuk membuat tulisan-tulisan yang lainnya dengan sistematika
yang baik dan benar.
2. Bagi pembaca:
Makalah ini disusun dengan pertimbangan menjadi bahan bacaan bagi
pelajar. Dengan demikian, kedalaman materi mengenai riwayat hidup
Aristoteteles, pemikiran Aristoteles, dan pengaruh Aristoteles terhadapat
perkembangan matematika dapat dipahami dan dijadikan bahan untuk
membuat tulisan-tulisan yang lainnya.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Aristoteles
Aristoteles di lahirkan di Kota Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia,
Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya
seorang ahli fisika kenamaan dan dia juga menjadi tabib pribadi raja Amyntas II
dari Makedonia, kakek Alexander Agung. Namun ayahnya meninggal saat
Aristoteles berusia 15 tahun, karenanya Aristoteles di asuh oleh pamannya yaitu
Proxenus saudara ayahnya (Rapas, 2001). Pada usia 17 tahun ia menjadi murid
Plato selama 20 tahun di Athena. Dibawah asuhan Plato ia menanamkan minat
dalam hal spekulasi filosofis (Ahmad, 1990).
Selain memperdalam ilmu filsafat saat menjadi murid Plato, Aristoteles
memperluas pengetahuan dalam berbagai bidang di luar Akademia. Pelajaran
matematika yang diperoleh di Akademia, diperdalam olehnya kepada guru-guru
astronomi yang terkenal, yaitu Eudoxos dan Kalippos. Bahkan ia juga
memperdalam retorika. Dengan demikian, Aristoteles memperoleh pengetahuan
yang cukup luas. Kecerdasan yang dimilikinya juga memudahkan Aristoteles
menguasai sampai mendalam hampir semua ilmu dimasanya (Atang, Beni, 2008).
Ketika Alexander berperang di Asia pada tahun 334 SM Aristoteles kembali
ke Athena dan mendirikan sekolah yang bernama Lyceun. Berdirinya Lyceun
menyebabkan terjadinya persaingan antara Akademia dan Lyceun. Persaingan ini
mendorong Aristoteles untuk meningkatkan penelitiannya. Hasilnya, ia tidak hanya
dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, akan tetapi juga mengajarkan politik,
retorika dan dialektika.
Walaupun banyak berguru kepada Plato, Aristoteles mempunyai pandangan
yang berbeda dengan Plato. Latar belakang keluarganya yang mempunyai pola pikir
saintifik mempunyai pengaruh besar terhadap pola pemikiran Aristoteles. Untuk
mengetahui karakter dasar bangunan epistemology. Posisi Aristoteles dalam hal
metode pencapaian ilmu pengetahuan (episteme), akan lebih baik kalau kita melihat
permasalahan krusial Yunani klasik, yaitu debat epistemologis antara Aristoteles
dengan gurunya, Plato. Plato berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah alam
ide yaitu alam yang telah ada sebelum manusia dilahirkan ke dunia. Dalam alam

4
ini, jiwa manusia telah mengetahui banyak hal, namun pengetahuan yang telah ada
itu menjadi hilang ketika jiwa bersatu dengan jasad. Akan tetapi, pengetahuan yang
tersimpan itu bisa dimunculkan kembali dengan jalan mengingat-ingat atau
kontemplasi. Jadi pada intinya, proses pencapaian dan pencarian ilmu pengetahuan
bagi manusia adalah melalui penggalian pada alam ide. Teori Plato ini merupakan
cikal bakal lahirnya aliran Idealisme atau Rasionalisme. Sedangkan metode yang
digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru, menurut Plato adalah deduksi
yaitu menerapkan sesuatu yang umum untuk menjelaskan yang khusus
(Hadiwijono, 1980).
2.2 Pemikiran Aristoteles
Aristoteles memiliki pemikiran yang berbeda dengan gurunya yaitu Plato. Ia
berpendapat bahwa kebaikan itu diperoleh dengan jalan alam, pembiasaan dan
pembukaan akal. Sumber pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan
inderawi yang didapat lewat pengalaman. Artinya bahwa ilmu pengetahuan itu
hanya bisa didapatkan oleh panca indera manusia yang nyata, bukan melalui
penerangan atau idea. Oleh karena itu, jika manusia tidak memiliki pengalaman
dalam segala bentuknya, ia tidak akan mengetahui realitas apapun. Aristoteles tidak
mengenal adanya pengetahuan ide atau rasio yang mendahului pengalaman, karena
baginya hanya pengalaman empiris sebagai satu-satunya asas untuk mendapatkan
penilaian yang benar (Katsof, 1996: 136-138).
Pendapat Aristoteles ini menjadi akar lahirnya Empirisisme. Pandangan
Aristoteles yang bersifat empiris kemudian juga menghasilkan suatu prinsip yaitu
bahwa segala kejadian yang ada di alam ini merupakan hasil dari suatu sebab dan
akibat. Menurut Aristoteles ada empat macam sebab yang harus dipahami untuk
mengartikan sebuah kejadian. Keempat sebab itu adalah:
1. Sebab Efisien (Efficient Cause) yang merupakan sumber kejadian. Sebab
efisien adalah faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu
yang membuat sebuah kursi.
2. Sebab Final (Final Cause) yaitu tujuan yang menjadi arah seluruh
kejadian. Misalnya kursi dibuat agar orang dapat duduk diatasnya.
3. Sebab Material (Material Cause) yaitu bahan yang darinya suatu benda
dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.

5
4. Sebab Formal (Formal Cause) yaitu bentuk yang menyusun bahan.
Misalnya, bentuk “kursi” ditambahkan pada kayu, sehingga kayu
tersebut menjadi sebuah kursi.
Aristoteles memaksudkan bahwa dengan itu ia memberikan daftar komplit
yang memuat semua faktor yang dapat menyebabkan suatu kejadian (Sudarsono,
2001).
Aristoteles membagi beberapa filsafat menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Logika
Prinsip logika sesungguhnya berangkat dari metode deduktif yang
merupakan kelanjutan metode induktif dalam bangunan epistemologi
Aristoteles. Salah satu kaedah logika Aristoteles yang paling terkenal adalah
rumus silogisme yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan konklusi
(Handiwijoyo, 1980). Menurut Arsitoteles, pengetahuan baru dapat
dihasilkan melalui dua cara yaitu induksi dan deduksi. Induksi yaitu
penyimpulan dari hal-hal yang khusus yang ditangkap oleh indera menjadi
sesuatu yang sifatnya umum atau universal. Metode induksi inilah yang
dikembangkan oleh Aristoteles guna mendapatkan pengetahuan. Pada
perkembangannya, paham empiris Aristoteles tidak hanya menggunakan
metode induksi saja, akan tetapi juga menggunakan metode deduksi, yaitu
suatu penalaran silogistik yang berangkat dari pemikiran umum menuju
sesuatu yang khusus. Metode deduksi inilah yang dinamakan silogisme.
Metode silogisme ini merupakan perpanjangan dari penemuan keilmuan yang
premis mayornya diambil dari penalaran induksi melalui pengamatan
inderawi terhadap realitas yang ada.
Metode deduktif-silogistik ini diambil dari adanya prinsip keteraturan
alam semesta menurut kaum empiris. Artinya alam jagad raya ini pada
dasarnya mempunyai sifat teratur, konstan dan seirama sejak dahulu sampai
sekarang bahkan sampai akhir nanti. Dengan demikian, menurut kaum
empiris, manusia dapat membaca alam yang akan datang berdasarkan
gambaran yang telah terjadi pada masa lalu atau sekarang.
Selain prinsip keteraturan, metode deduktif-silogistik juga diambil dari
prinsip keserupaan dalam menyimpulkan sesuatu. Keserupaan berarti bahwa

6
bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau
sama, maka dapat diambil kesimpulan yang sama pula.
Aristoteles sebagai Bapak Empirisme pada kenyataannya sering
menggunakan kedua metode tersebut, yaitu induksi dan deduksi dalam upaya
menemukan suatu pengetahuan baru. Induksi digunakan untuk
menyimpulkan hal-hal universal yang ada di alam, yang selanjutnya dijadikan
sebagai suatu kaedah umum dalam metode deduksi untuk mengambil
kesimpulan baru yang lebih khusus berdasarkan prinsip keserupaan. Dengan
demikian, sebenarnya bangunan epistemologi Aristoteles secara umum
adalah berangkat dari prinsip induksi yang kemudian dilanjutkan dengan
prinsip deduksi (Sudarsono, 2001).
2. Filosofia Teoritika
2.1 Fisika: Aristoteles beranggapan bahwa jagat raya terbatas, berbentuk
bola dan jagat raya tidak mempunyai permulaan dalam waktu dan
tidak mempunyai akhir (kekal). Sedangkan bumi dan isinya terdiri
dari empat unsur: api, udara, tanah, dan air (selain bumi hanya terdiri
dari satu unsur yaitu aether) (Rapar, 1996).
2.2 Metafisika: yaitu berpusat pada persoalan bentuk. Bentuk
dikemukakan sebagai pengganti pengertian dari dunia ide Plato yang
ditolaknya. Berbeda dengan plato yang memisahkan ide dan
kenyataan lahir, Aristoteles beranggapan bahwa bentuk ikut serta
memberikan kenyataan pada benda. Benda dan bentuk tidak dapat
dipisahkan (Rapar, 1996).
2.3 Matematika: yaitu tentang barang yang menurut kuantitasnya.
Aristoteles berprinsip bahwa ketidakhinggan hanya ada di dalam
konsep saja. Pemikiran ini kemudian menjadi perdebatan pada
generasi setelah beliau. Pemikiran Aristoteles yang terbesar dalam
matematika adalah tentang logika dan analisis. Aristoteles
berpendapat bahwa logika harus diterapkan pada semua bidang ilmu,
termasuk matematika (Rapar, 1996).
3. Filosofia Praktika (Tentang Hidup Kesusilaan)

7
3.1 Etika (kesusilaan dalam hidup perorangan) dan Ekonomi (kesusilaan
dalam hidup kekeluargaan): Aristoteles memakai pendekatan
biologis untuk menganalisa manusia. Menurut Aristoteles, manusia
adalah seekor binatang dengan unsur tertentu yang khas. Tidak
seperti binatang pada umumnya, yang diatur oleh kebiasaan,
manusia dapat dengan sadar mengendalikan dorongan-
dorongannon-rasionalnya. Memiliki nafsu yang bermacam-macam,
salah satu nafsu dari manusia adalah bersosialisasi, baik berupa
sekedar bersahabat atau urusan seksual (Rapar, 1996).
3.2 Politika (kesusilaan dalam hidup kenegaraan): Aristoteles
mengklarifikasi sistem-sistem politik seperti di bawah ini:
a. Monarki (Kerajaan), diperintah oleh seorang raja untuk
kepentingan semua, tapi jika sebaliknya dapat berpotensi tirani
(Hardiman, 2011).
b. Aristokrasi, diperintah beberapa orang untuk kepentingan
bersama, jika sebaliknya dapat berpotensi oligarki, memperkaya
sekelompok orang saja (Hardiman, 2011).
c. Polity, diperintah semua rakyat untuk kesejahteraan umum, jika
sebaliknya mayoritas rakyat memerintah untuk kepentingan si
miskin saja dapat menjadi demokrasi (Hardiman, 2011).
2.3 Pengaruh Penemuan Aristoteles terhadap Matematika
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996) Aristoteles merupakan filsuf pertama
yang menjadikan logika sebagai ilmu, sehingga disebut sebagai logica scientia.
Namun istilah logika belum digunakan pada saat itu. Apa yang kemudian disebut
Aristoteles logika antara lain adalah analitika, yang mana secara khusus meneliti
berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika,
yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih
diragukan kebenarannya.
Imamul Muttakhidah (2015) menyebutkan manusia yang pertama kali
membakukan proses penalaran atau logika adalah Aristoteles. Menurut Mario
Natiello (dalam Muttakhidah, 2015) logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir
deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap

8
sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika. Aristoteles juga mewariskan
buku kepada murid-muridnya, di mana buku tersbut berjumlah 6 buah, yang oleh
murid-muridnya dinamai dengan to Orgonom, yang berarti alat. Keenam buku
tersebut antara lain:
a. Categoriae (menguraikan pengertian-pengertian).
b. De Interpretatione (membahas keputusan-keputusan).
c. Analytica Prioria (membahas silogisme).
d. Analytica Posteriora (membahas pembuktian).
e. Topica (berisikan cara berargumentasi atau cara berdebat).
f. Desophisticis Elenchis (membicarakan kesesatan dan kekeliruan
berpikir).
Jan Hendrik Rapar (1996) menyebutkan Theopharastus (370-288 SM) adalah
salah satu murid dari Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum dan melanjutkan
kara-karya dari Aristoteles sendiri, termasuk bidang logika. Istilah logika pertama
kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM), di mana Zeno sendiri
merupkan pelopor kaum Stoa. Kaum Stoa tersebutlah yang mengembangkan betuk-
bentuk argumen disjungtif dan hipotesis. Puncak kejayaannya saat dipimpin oleh
Chrysippus yang mengembangkan logika menjadi bentuk-bentuk penalaran yang
sistematis.
Logika sendiri mengalami perkembangan terus menerus, hingga pada abad
ke tiga belas sampai abad ke lima belas muncullah logika modern. Namun
meskipun logika modern berkembang logika Aristoteles tetap digunakan dan
dikembangkan secara murni. Logika Aristoteles diteruskan oleh Thomas Hobbes
(1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Logika modern yang juga dikenal
dengan logika simbolik atau logika matematik bukanlah logika yang benar-benar
baru sebab prinsip-prinsip logika tradisional yang telah dikembangkan oleh
Aristoteles tetap menjadi prinsip-prinsip logika modern. (Rapar, 1996)
Sebagai perkembangan atas penemuannya Aristoteles juga merumuskan
beberapa landasan pokok penalaran, diantaranya merumuskan hukum dasar dalam
logika. Hukum dasar dalam logika, hukum dasar sendiri berarti kebenaran umum
yang berlaku dalam bidang logika sebagai patokan berpikir atau kaidah pemikiran.
John Stuart (dalam Rapar, 1996) menyebutnya dengan “Postulat Universal

9
Penalaran”, yang mana Aristoteles merumuskan tiga buah dari empat postulat
tersebut, adapun ketiga postulat tersebut adalah:
a. Principium identitas (law of identity), yang berarti hukum kesamaan.
Merupakan kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa sesuatu hanya sama
dengan sesuatu itu sendiri. Yang dimaksudkan adalah jika sesuatu itu
dianggap p maka p identik dengan p atau p adalah p. Dapat pula dikatakan
“Jika p maka p dan akan tetap p”
b. Principium contradictionis (law of contradiction), yang berarti hukum
kontradiksi, adalah kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa tidak
mungkin sesuatu pada waktu yang sama adalah “sesuatu itu dan bukan
sesuatu itu”. Yang dimaksudkan adalah suatu kemustahilan ada suatu hal
yang bersamaan saling bertentangan. Dengn kata lain, dapat dikatakan
bahwa tidak mungkin p pada waktu yang sama adalah p dan bukan p. Sir
William Hamilton (1788-1856) (dalam Rapar, 1996) menyebutkan hukum
ini sebagai “hukum tanpa pertentangan” karena kaidah itu menegaskan
bahwa tidak boleh ada sesuatu yang pada waktu yang sama saling
bertentangan.
c. Pricipium exclusi tertii (law of excluded middle), yang berarti hukum
penyisihan jalan tengah, adalah kaidah yang menjelaskan bahwa sesuatu
pastilahp atau bukan p dan tidak ada kemungkinan ketiga sebagai jalan
tengah.
Selain hukum dasar logika Aristoteles juga mengemukakan hal yang disebut
dengan kategori. Kategori berasal dari bahasa Yunani kategoria yang pada mulanya
berarti penguraian fakta yang dikemukakan oleh seorang penuntut umum di depan
mahkamah rakyat terhadap terdakwa pada Zaman Yunani Purba. Aristoteles
kemudian menggunakan istilah tersebut sebagai penguraian yang rinci tentang
suatu keberadaan yang terdiri atas pengertian-pengertian yang sangat umum dan
hakiki yang menjadi bentuk dasar atas pemahaman terhadap sesuatu itu. Jadi
kategori adalah penguraian yang dilakukan secermat mungkin untuk mengenl atau
memahami suatu keberadaan, baik itu bersifat material maupun nonmaterial (Rapar,
1996). Sesuatu keberadaan dapat menjadi subjek atau predikat dalam suatu
proposisi logika. Menurut Aristoteles sendiri terdapat 10 kategori, yakni:

10
a. Ousia (ousia): apakah substansinya? Jawabannya berupa jenis substansi
tersebut.
b. Poson (kuantitas): berapa? Jawabannya berupa angka.
c. Poion (kualitas): bagaimana mutunya? Jawabnya berupa sifat.
d. Prosti (relasi): hubungannya? Jawabnya berupa keterhubungan.
e. Pou (tempat): di mana? Jawabnya berupa tempat.
f. Pote (waktu): kapan? Jawabnya berupa waktu.
g. Polein (aksi): apa aksi atau tindakannya? Jawabnya berupa aktivitas.
h. Paskhein(pasivitas): bersemangat atau pasif? Jawabnya berupa kepasifannya.
i. Keisthai (posisi): bagaimana posisinya? Jawabnya berupa posisi substansi.
j. Ekhein (kondisi): bagaimana kondisinya? Jawabnya berupa kondisi substansi.
Sebagai contoh jika hendak mengkategorikan sebuah meja belajar maka akan
diberikan pertanyaan berupa: apakah substansi meja itu? Jawabnya adalah kayu
pualam. Apakah meja itu dapat dihitung? Jika dapat, maka dihitung. Berapa
jumlahnya? Satu. Bagaimana kualitas meja tersebut? Persegi empat, indah dan baik.
Bagaimana hubungannya? Misalnya dengan buku, karena berupa tempat buku. Di
mana? Berada di kamar belajar. Waktu? Sekarang ini masih berada di kamar
belajar. Sikap atau posisinya? Berdiri tegak di kamar belajar. Kegiatannya? Berdiri
tegak. Pasivitasnya? Diam dan tidak bergoyang. Kondisinya? Baik dan kokoh
sehingga dapat digunakan untuk kegiatan menulis.
H. Mundiri (2006) menyebutkan logika dapat disistematiskan menjadi
beberapa golongan, tergantung dari mana segi peninjaunnya. Ditinjau dari segi
metode logika dapat dibedakan menjadi logika tradisional dan logika modern.
Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika modern dari para logikus,
tetapi masih mengikuti logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak
membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya
membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan
sekadar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak
penting dari logika Aristoteles.
R.G Soekadijo (2001) mengatakan perkembangan logika Aristoteles terjadi
sejak akhir abad ke -18 yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran baru.
Mulai lahirnya logika modern yang menggunakan lambang-lambang non bahasa.

11
Sistem lambang yang berhubungan dengan proposisi kategorik seperti yang
dilakukan George Boole yang merupakan seorang ahli matematika Inggris (1815-
1864) menggarap logika Aristoteles sebagai aljabar. Dalam sistemnya setiap kelas
dilambangkan dengan huruf. Misalnya P melambangkan suatu kelas yang berfungsi
sebagai predikat dalam propoisi. Jika diberi coretan di atasnya berarti non-P.
Konsep dalam sistem Boole adalah konsep “kelas kosong” yang berarti suatu kelas
yang tidak mempunyai anggota. Kelas kosong dilambangkan sebagai O. Dua huruf
berturut-turut melambangkan suatu kelas memiliki ciri-ciri kedua kelas itu
bersama-sama. Misal SP adalah kelas yang memiliki ciri kelas S dan kelasP
bersama-sama. Ditambah dengan penggunan tanda-tanda = dan ≠, sebagai contoh
proposisi A, E, I, dan O dalam sistem Boole:
A : Semua S adalah P. Ini semakna dengan preposisi S yang bukan P
adalah kelas kosong, dapat dilambangkan dengan SP yang
memilikicoretan di atsnya = O.
E : Semua S bukan P. Ini semakna dengan preposisi S yang P adalah
kelas kosong, dapat dilambangkan dengan SP = O.
I : Sebagian S adalah P. Ini semakna dengan proposisi S yang P adalah
bukan kelas kosong, dapat dilambangkan dengan SP ≠ O.
O : Sebagian S bukan P. Ini semakna denganproposisi S yang bukan P
adalah bukan kelas kosong.
Selanjutnya R.G Soekadijo (2001) menjelaskan jika ada seorang ahli
matematika John Venn (1834-1923) menggunakan diagram untuk menjelaskan
lambang-lambang dalam sistem Boole, di mana kelas digambarkan dengan
lingkaran dengan tanda huruf untuk menyatakan kelas apakah yang dimaksud.
Inti logika Aristoteles adalah silogisme, di mana silogisme tersebut
sesungguhnya merupakan penemuan murni dari Aristoteles yang terbesar dalam
logika. Menurut Solso, dkk (dalam Muttakhidah, 2015) berpikir dan logika telah
menjadisubjek spekulasi untuk waktu yang lama. Lebih dari 200 tahun lalu
Aristoteles memperkenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang
disebut silogisme. Menurut Pietroski, P. (dalam Marsigit, M. A., 2012) Aristoteles
membahas berbagai kesimpulan tertentu yang disebut silogisme, yaitu melibatkan

12
quantificational proposisi. Ditunjukkan dengan kata-kata seperti "setiap” dan
“beberapa”.
H. Mundiri (2006) menyebutkan Aristoteles membatasi silogisme sebagai
suatu argumen yang konklusinya diambil secara pasti dari premis-premis yang
menyatakan permasalahan yang berlainan. Proposisi sebagai dasar dalam
mengambil kesimpulan bukanlahproposisi yang dapat dinyatakan dalam bentuk
oposisi, melainkan proposisi yang mempunyai hubungan independen. Bukan
sembarangan independen, melainkan memiliki hubungn term kesamaan. Dua
permasalahan dapat ditarik suatu konklusi jika memiliki term yang mengubungkan
keduanya. Tanpa term persamaan maka konklusi tidak bisa ditarik.
Silogisme adalah suatu bentuk formal dari deduksi yang terdiri dari proposisi-
proposisi kategorik (Soekadijo, 2001). Seperti yang dikatakan Jan Hendrik Rapar
(1996) sejak semula Aristoteles telah membedakan proposisi kategorik atas
proposisi-proposisi kategorik yang dilihat dari aspek kualitas dan kuantitasnya.
Kualitas dan kuantitas proposisi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan
dalam proses penalaran. Deduksi menggunakan proposisi universal sebagai premis,
seperti “Semua pahlawan adalah orang yang berjasa”. Dari premis tersebut dapat
disimpulkan bahwa “Kartini adalah orang berjasa”. Untuk dapat sampai kepada
konklusi tersebut maka harus diketahui bahwa “Kartini adalah pahlawan”. Dengan
demikian konklusi harus diturunkan dari proposisi pertama dengan bantuan
proposisi kedua. Tanpa adanya proposisi kedua maka konklusi tidak dapat diambil.
Proposisi pertama dan kedua itulah yang bersama-sama merupakan premis.
Sehingga deduksi seperti ini:
Semua pahlawan adalah orang berjasa.
Kartini adalah pahlawan.
Jadi: Kartini adalah orang yang berjasa.
Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini dalam
logika tradisional yang digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif.
Hanya deduksi yang dapat dikembalikan menjadi bentuk standar seperti inilah yang
dibahas dalam logika trdisional, di mana silogisme tersebut terdiri atas tiga
proposisi kategorik, yang mana proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis
dan yang ketiga sebagai konklusi. Pada contoh “Kartini adalah orang yang berjasa”

13
jumlah termnya ada tiga, yaitu pahlawan, orang berjasa, dan Kartini masing-
masing digunakan dua kali. Kartini digunakan dua kali sebagai subjek, sekali di
premis dan sekali di konklusi. Orangberjasa digunakan dua kali, yaitu keduanya
berfungsi sebagai predikat, sekali di premis dan sekali di konklusi.
Selain silogisme kategorik dalam logika tradisional Aristoteles juga terdapat
bentuk penalaran yang disebut dengan silogisme hipotetik. Silogisme hipotetik
adalah silogisme yang kedua premisnya berupa proposisi kondisional. Jika hanya
satu premisnya yang kondisional maka silogisme tersebut disebut silogisme
kondisional. (Soekadijo, 2001)
Silogisme kondisional seperti ini:
Kalau ia lulus ujian saringan, ia pasti diterima.
Ia lulus ujian saringan.
Jadi: Ia pasti diterima.
Sebuah proposisi kondisional terdiri atas duaunsur, yang masing-masing
disebut anggota dan berupa dua proposisi kategorik. Dalam contoh di atas
angggota-anggota tersebut adalah proposisi kategorik, yaitu Ia lulus ujian saringan
dan Ia pasti diterima.
Dalam penalaran yang berbentuk silogisme hipotetik atau silogisme
kondisional kesimpulan atau konklusi ditarik dengan membanding-bandingkan
proposisi-proposisi kategorik yang menjadi anggota-anggota serta hubungan yang
dapat ditarik di antaranya. Dalam silogisme kondisional yang juga merupakan
silogisme hipotetik, yang menentukan konklusi bukanlah kelas tetapi proposisi,
maka dari itu logika yang seperti itu disebut dengan logika proposisional.
R.G. Soekadijo (2001) mengatakan salah satu bagian dari logika
proposisional adalah logika simbolik yang mana juga pengembangan dari logika
tradisional Aristoteles yaitu logika yang perkembangannya sudah jauh melampaui
logika tradisional. Dalam logika tradisional semua proposisi dalam penalaran harus
dikembalikan menjadi bentuk standar, dan semua penalaran harus dijabarkan dalam
bentuk silogime standar. Dalam logika simbolik semua proposisi harus ditulis
dengan lambang. Karena yang dilambangkan tersebut makna proposisi maka
bagaimanapun bunyinya kalimat melambangkan proposisi, lambang dalam logika
simbolik akan tetap sama asalkan maknanya tidak berbeda. Dengan demikian

14
lambang dalam logika simbolik sekaligus adalah lambang proposisi standar, maka
penulisan proposisi haruslah dengan lambang yang tepat.
Lambang dalam proposisi diantaranya adalah:
a. Variabel proposional, merupakan lambang untuk proposisi apapun, seperti
p, q, r, dan lainnya.
b. Lambang negasi “~” jika dibahasakan menjadi tidak atau bukan.
c. Lambag konjungsi “˄” jika dibahasakan menjadi dan, tetapi, atau meskipun.
d. Lambang disjungsi “˅” jika dibahasakan menjadi atau.
e. Lambang implikasi atau kondisi “⸧” jika dibahasakan menjadi jika atau
kalau…, maka…
Lambang bi-implikasi “≡” jika dibahasakan menjadi jika atau kalau dan
hanya jika atau kalau…
Dalam abad 20 ini memang telah lahir corak-corak baru logika modern yang
tampaknya berbeda dengan prinsip-prisip logika tradisional, sebagaimana yang
terdapat dalam logika modalitas, logika bernilai banyak, sistem kimplikasi
nonstandar, dan sistem kuantifikasi nonstandar. Namun jika disimak dengan
seksama semua corak logika modern tidak mungkin terpikirkan jika tidak mengnal
terlebih dahulu logika traisional. Bagi ilmu pengetahuan logika merupakan suatu
keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmu
pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika tidak akan pernah mencapai
kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan Jan Hendrik Rapar (1996), jika
logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan. Maka dari itu
mempelajari logika berarti telah menggenggam kunci untuk membuka pintu masuk
ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

15
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
1. Aristoteles di lahirkan di Kota Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia,
Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM.
Pada usia 17 tahun ia menjadi murid Plato selama 20 tahun di Athena. Selain
memperdalam ilmu filsafat saat menjadi murid Plato, Aristoteles
memperluas pengetahuan dalam berbagai bidang di luar Akademia.
Pelajaran matematika yang diperoleh di Akademia, diperdalam olehnya
kepada guru-guru astronomi yang terkenal, yaitu Eudoxos dan Kalippos.
Aristoteles memperoleh pengetahuan yang cukup luas. Kecerdasan yang
dimilikinya juga memudahkan Aristoteles menguasai sampai mendalam
hampir semua ilmu dimasanya
2. Aristoteles memiliki pemikiran yang berbeda dengan gurunya yaitu Plato.
Ia berpendapat bahwa kebaikan itu diperoleh dengan jalan alam,
pembiasaan dan pembukaan akal. Aristoteles tidak mengenal adanya
pengetahuan ide atau rasio yang mendahului pengalaman, karena baginya
hanya pengalaman empiris sebagai satu-satunya asas untuk mendapatkan
penilaian yang benar. Menurut Aristoteles ada empat macam sebab yang
harus dipahami untuk mengartikan sebuah kejadian, yaitu sebab efisien,
sebab final, sebab material, dan sebab formal. Aristoteles membagi
beberapa filsafat menjadi beberapa bagian, yaitu logika, filosofia teoritika,
dan filosofia praktika. Selain itu, Aristoteles membagi ilmu pengetahuan ke
dalam tiga kelas atau tiga kelompok, di antaranya adalah filsafat spekulatif,
3. Aristoteles merupakan filsuf pertama yang menjadikan logika sebagai ilmu,
sehingga disebut sebagai logica scientia. Logika sendiri mengalami
perkembangan terus menerus, hingga pada abad ke tiga belas sampai abad
ke lima belas muncullah logika modern. Namun meskipun logika modern
berkembang logika Aristoteles tetap digunakan dan dikembangkan secara
murni. Inti logika Aristoteles adalah silogisme, di mana silogisme tersebut
sesungguhnya merupakan penemuan murni dari Aristoteles yang terbesar
dalam logika. Silogisme adalah suatu bentuk formal dari deduksi yang

16
terdiri dari proposisi-proposisi kategorik. Selain silogisme kategorik dalam
logika tradisional Aristoteles juga terdapat bentuk penalaran yang disebut
dengan silogisme hipotetik.
3.2. Saran
Sebagai calon pendidik yang akan berkecimpung di dalam dunia matematika,
sangatlah penting untuk mengetahui asal usul dari sejarah matematika,
perkembangan matematika dari dulu hingga saat ini, dan siapa saja tokoh yang
berpengaruh di dalam perkembangan matematika salah satunya sejarah matematika
yang dikembangkan oleh Aristoteles. Tidak hanya mengetahui sejarah tersebut,
akan lebih baik jika memahami materi ini lebih jauh dan dipelajari sebagai acuan
agar dapat menambah wawasan tenaga pendidik kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bofandra, Muhammad. 2008. Logika Klasik dan Logika Matematika. Jurnal


Informatika ITB, 79. Diakses pada: 06 November 2018
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius.

Hakim, Atang Abdul dkk. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi.
Bandung: Pustaka Setia.

Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern


(dari Machiavelli sampai Nietzsehe). Jakarta: Erlangga

Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika. Yogyakarta: Kanisius

Katsof, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk


Mengenal Filsafat., terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Malaka, Tan. 1943. MADILOG. Diakses pada: 05 November 2018.


http://www.scribd.com

Marsigit, M. A. 2012. Sejarah dan Filsafat Matematika. Diakses pada:


http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/marsigit-dr-ma/sejarah-
dan-filsafat-matematikabahan-workshop-guru-smk-rsbi2012.pdf

Mundiri, H. 2006. Logika. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muttakhidah, RR. Imamul. 2015. Logika Matematika, Dialektika, dan Teknik


Pengambilan Simpulan. AdMathEdu, 5 (2): 127-140. Diakses pada 05
November 2018

Rapas, J.H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Roy, Muhammad. 2004. Usul Fikih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safiria


Insana Press.
Soekadijo, R.G. 2001. Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama

Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda karya.

Woods, Alan, and Grant, Ted. 2008. Does mathematic reflect reality?. Reason in
revolt. 07 November 2018. Diakses pada: http://www.marxist.com/reason-in-
Alan%20Woods%20dan%20Ted%20grant-16-matematika.htm

Anda mungkin juga menyukai