Anda di halaman 1dari 2

SITI Manggopoh, yang bernama asli Siti, lahir di bulan Mei 1880 di Kenagarian 

Manggopoh,
Kecamatan Luhak Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Orang tuanya, Sutan Tariak dan Mak
Kipap, sudah lama mendambakan seorang anak perempuan. Sebab lima anak mereka sebelumnya
semuanya laki-laki. Di Minang yang menganut adat Materilinial, anak perempuan merupakan harta
paling berharga. Tumbuh dalam lingkungan saudara yang semuanya laki-laki, Siti Kecil terbiasa ikut
ke pasar, sawah, Surau bahkan ke gelanggang persilatan, yang tempo dulu hanya di ikuti oleh kaum
laki-laki. Orang tua dan abang-abangnya mengajari dan mendidiknya menjadi perempuan pemberani.
Teman akrabnya adalah Dullah Sutan Marajo, Udin, dan Majo Ali.Usia 15 tahun, mandeh Siti
dijodohkan orangtuanya dengan lelaki yang bernama Rasyid Bagindo Magek. Rasyid adalah teman
Siti berlatih silat, selain Dullah dan Majo Ali. Pada 1904, keduanya menikah, dan beberapa tahun
kemudian dikaruniai dua orang anak: Muhammad Yaman, laki-laki, dan Dalima, Perempuan. Pada 21
Februari 1908, Belanda menerapkan kebijakan hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting
(pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins
belasting (pajak kemenangan/keuntunganMaret 1908 sepasukan kavaleri Belanda masuk Manggopoh.
dari Pasar Manggopoh. Belanda mendirikan markas dengan menempatkan 55 orang pasukan di sini.
Hal ini tak lain untuk melancarkan kebijakan belasting.Dasar mental penjajah, para meneer itu mulai
semena-mena. Mereka berbuat sesuka hati, termasuk memperkosa perempuan.
Siti bergidik. Didampingi sang suami Rasyid Bagindo Magek, dia mendatangi Mak, Haji Abdul Gafar
,Haji Abdul Manan, guna meminta pendapat. Perang direstui. Sejumlah senjata berupa keris, ruduih
dan ladiang disiapkan. Selanjutnya Siti melakukan pengorganisiran dan berhasil membentuk
rombongan 17. Pertemuan pertama dilangsungkan di Surau Kampung Parit (kini Masjid Pahlawan).
Hadir di situ Pak Cik Tuanku Padang, Majo Ali, Dullah Sutan Marajo,dkk. Keesokan harinya, sore
hari, Rasyid dan Majo Ali yang ikut dalam perang Kamang kembali ke Manggopoh untuk
mengumpulkan pasukan 17. mereka menyerukan agar warga Manggopoh juga segera mengangkat
senjata,”mengapa kalian semua diam? Kalau diantara kalian ada yang takut mati, sebaiknya pulang
saja menanak nasi, dan biarkan saja saya berdua dengan Majo Ali menyerang kafir Belanda,” seru
Siti.Suara lantang satu-satunya perempuan dalam anggota pasukan 17 itu menyinggung semua
perasaan laki-laki yang hadir. Kontan satu persatu mereka mengacungkan tangan, siap berjuang.
“Allahu Akbar,”  teriak mereka bersama-sama. Selanjutnya mereka mengucapkan ikrar, “Allahu
Akbar, setapak pun tak akan mundur, Esa hilang, duo terbilang, biar mati berkalang tanah daripado
hidup terjajah.”Pasukan itu lalu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Siti,
Rasyid, Majo Ali, dan Dullah, tugasnya masuk ke dalam markas Belanda. Kelompok kedua,
berjumlah 10 orang, bertugas menjaga semua jendela dan pintu markas agar tidak sampai ada serdadu
Belanda yang lolos.Kira-kira pukul 20.30, pasukan Siti sampai di kampung Parit, tempat strategis
untuk mengatur siasat dan berlindung. Seorang diantara mereka diutus untuk mengamati situasi
markas Belanda. Tak beberapa lama, utusan itu kembali dengan mengatakan bahwa pasukan Belanda
telah tidur. Siti dan pasukannya berangkat mendekati markas Belanda.Pukul 22.00 benteng dikepung
rapat selama satu setengah jam. Tak tercium seanginpun oleh Belanda. Menjelang pukul 00.00,
kelompok pertama mendekati benteng. Ali mematikan lampu. Semua padam, kecuali kamar Letnan.

Ketika Ali masuk kamar tersebut, Letnan terbangun dan langsung menyerang Ali. Leher Ali dicekek
sampai matanya mendelik. Siti langsung bergerak. Dia memukul bahu Letnan dengan punggung
ruduih. Letnan berbalik menyerang Siti. Dalam beberapa gerakan Letnan berhasil menjambak rambut
Siti dan mengalungkannya ke leher.Ketika hendak menariknya ke tempat tidur, Siti dengan cekatan
menyambar lampu dengan senjatanya sehingga padam. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan.
Ruduih Siti bersarang di perut Letnan yang terkapar tak bernyawa.Pembantaian dimulai. Semua
bergerak dalam kegelapan. Rombongan 17 memang terlatih untuk ini. Mereka biasa latihan
berselimutkan kabut malam di Padang Mardani. Satu persatu Belanda tewas. Setelah ditikam mereka
disembelih.Tiba-tiba suasana hening. Pertanda tak ada lagi pembantaian. “Sudah beres! Ayo kita
tinggalkan tempat ini…” ajak seseorang.Ketika hendak turun meninggalkan benteng tiba-tiba
terdengar suara tembakan. Siti terkena di bagian punggung. Rasyid di bagian selangkangan. Mereka
kocar-kacir terpisah menyelamatkan diri masing-masing.Rupanya hanya 53 yang mati. Dua tentara
yang selamat mengadu ke Lubuk Basung. Keesokan harinya didatangkan tentara dari Pariaman dan
Bukttinggi untuk memburu rombongan 17. Mayat yang berserakan di benteng diangkut pakai 18 buah
pedati bw warna merah ke Lubuk Basung.Sore itu pecah lagi bertempuran melawan pasukan Belanda
yang baru didatangkan dari luar Manggopoh. Perang ini dipimpin Tuanku Pak Cik PadangSekitar
pukul 20.00 empat orang itu tewas tertembak di gerbang benteng. Entah kenapa, hanya saja
berdasarkan cerita yang beredar, lagi-lagi ada yang berkhianat membocorkan rahasia kelemahan ilmu
kebal mereka ke pihak Belanda hanya gara-gara imbalan yang tak sebanding dengan penderitaan
rakyat. Dasar mental anjing! Dikasih tulang langsung jinak!Beberapa hari kemudian Dullah dan Ali
tertangkap saat bersembunyi di pondokan sawah. Mereka ditembak.“Dalam keadaan terluka saya
langsung pulang ke rumah orang tua. Kedua anak, saya titipkan di sana. Dalima yang masih bayi
langsung saya susui. Si Yaman, anak laki-laki saya langsung merebahkan kepalanya di paha saya. Dia
minta dibelai,” kenangnya.Lalu datang seorang nelayan yang mengaku bernama Saibun. “Saya
diminta Rasyid untuk menjemput Mande Siti,” bisik nelayan itu. Siti membawa Dalima. Mereka naik
perahu ke sebuah tempat di mana Rasyid sedang menunggu.“Dalam keadaan diburu tak baik berlama-
lama di sebuah tempat. Kami memutuskan berjalan kemanapun tanpa tujuan, yang penting selamat,”
urai Mande Siti.“Dari Pak Tua itu kami mendapat cerita bahwa kami berdua orang yang paling dicari.
Karena tak jua ditemukan Belanda murka dan Manggopoh dibumihanguskan. Rakyat tak bersalah
ditangkapi, disiksa dan dibunuh. Tak tega melihat rakyat Manggopoh menderita, kami memutuskan
keluar dari persembunyian. Menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi rakyat yang disakiti.”Pukul
dua belas siang, mereka dibawa ke Lubuk Basung dengan pengawal dalam jumlah besar menghadap
kontroler. Di sana sudah menunggu para pemuka adat termasuk ayah dan ibu Situ serta
Yaman.“Perempuan cantik ini rupanya yang memimpin perang belasting. Kenapa kau tidak mengurus
anak saja?” ketus kontroler. Siti bergeming. Matanya menatap jijik.“Benar kamu yang memimpin
perang belasting di Manggopoh?”“Iya.”“Apakah kamu menyesal?”“Ya. Saya sangat menyesal karena
tidak semua tentara Belanda di benteng Manggopoh dibantai. Saya menyesal karena hanya 53 yang
terbunuh. Saya menyesal karena ada dua orang yang lolos dan mengadu kepada kalian sehingga
Nagari kami diporak-poranda!” tandas Siti. Matanya tajam.“Kau tidak takut dihukum
gantung?”“Tidak!”“Benar kau kena tembak?”“Ya.”“Di bagian mana?”“Di punggung.”“Coba saya
mau lihat…” tutur kontroler. Seketika itu juga dua orang meneer mendekati Siti dan hendak membuka
bajunya. Siti terkesiap. Dia meludahi wajah keduanya seraya mengumbar sumpah serapah.Singkat
cerita, Siti ditahan di penjara Lubuk Basuk selama 14 bulan. Lalu dipindah ke penjara Pariaman
selama 16 bulan. Setelah itu dipindah ke penjara Padang selama 12 bulan dan kemudian
dibebaskan.Siti bukannya senang dibebaskan. Pasalnya Rasyid sang suami tercinta di buang ke
Manado. Baginya, dipisahkan dengan suami adalah hukuman yang sangat berat. Dia minta serta
dibuang ke Manado, tapi pinta tak berkabul.Mandeh Sitti Manggopoh wafat tanggal 20 Agustus 1965
jam 15.30 WIB di Gasan Gadang, Padang Pariaman dalam usia 84 tahun dimakamkan dengan upacara
kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Namun, hingga kini di saat
seabad peringatan perang Manggopoh, semangat juang Mandeh Sitti Singa Betina yang ditakuti
penjajah Belanda akan tetap hidup

Anda mungkin juga menyukai