Anda di halaman 1dari 6

Murtado Macan Kemayoran

Murtado tinggal di daerah Kemayoran. Parasnya cukup tampan, tapi yang terpenting adalah
sikapnya yang santun dan berani membela orang yang lemah. Saat itu, keadaan di daerah
Kemayoran kurang aman. Selain karena masih dijajah oleh Belanda, banyak pula gangguan dari
jagoan-jagoan Kemayoran yang jahat. Mereka memeras rakyat kecil dan merampas hasil
pertaniannya.

Sejak kecil, Murtado dididik dengan baik oleh ayahnya. Tak hanya ilmu agama dan pelajaran
sekolah, tapi juga ilmu bela diri. Meskipun menguasai ilmu bela diri dengan baik, Murtado tak
pernah sekali pun menyalahgunakan kemampuannya itu.

Semakin hari keadaan di daerah Kemagoran semakin tak aman. Penguasa Belanda semakin
merajalela. Pemimpin daerah Kemagoran pun dijadikan kaki tangan mereka. Pemimpin yang
disebut dengan Bek itu sebenarnya orang pribumi, namanya Bek Lihun. Ia dibantu oleh Mandor
Bacon. Meskipun pribumi, mereka lebih membela kepentingan Belanda dari pada kepentingan
penduduk Kemayoran.

Murtado sebenarnya tak tahan melihat perilaku Bek Lihun dan Mandor Bacan yang semena-
mena, namun ia berusaha menahan diri. Suatu hari, kemarahannya memuncak, karena melihat
Mandor Bacan yang berani menggoda kekasih Murtado pada acara derapan padi. Saat itu,
Mandor Bacon ditunjuk sebagai pengawas jalannya acara itu.

“Hei Mandor Bacan, berani sekali kau mengganggu kekasihku,” teriaknya sambil menghadang
Iangkah Mandor Bacan.

Mandor Bacan menanggapinya dengan sinis, “Memangnya kenapa? Aku bebas mengukai wanita
mana pun yang aku mau,” jawabnya.

Murtado segera mengeluarkan jurus-jurus bela dirinya. Mandor Bacan tak mau kalah, tapi
Murtado dengan mudah mengalahkannya. Mereka bukanlah lawan yang seimbang. Tak terima
dengan perlakuan Murtado, Mandor Bacan melaporkan kejadian itu pada Bek Lihun. Bek Lihun
merasa tersinggung dengan tingkah laku Murtado, ia pun mencari cara untuk mencelakai
Murtado. Berbagai cara telah dilakukan untuk menjebak dan mengalahkan Murtado, tapi
semuanya gagal. Akhirnga Bek Lihun menyerah, ia pun mengakui kehebatan Murtado dan
memilih untuk bersahabat dengannya.

Sebagai seorang kesatria, Murtado menerima tawaran persahabatan dari Bek Lihun. Ia tak
menyimpan dendam sedikit pun, bahkan bersedia membantu Bek Lihun memberantas kawanan
perampok yang dipimpin oleh Warsa.
“Murtado, Belanda sudah menegurku berkali-kali. Aku dianggap tak mampu menjaga keamanan
daerah kita ini. Gara-gara Warsa, penduduk kampung kita semakin miskin dan tak mampu
membayar pajak. Kau mau, kan membantuku?” pinta Bek Lihun. Murtado berpikir sejenak.
Sebenarnya ia bimbang, membantu Bek Li hun berarti membantu Belanda juga.

“Bek Lihun, camkan kata-kataku. Aku mau membantumu untuk meIawan Warsa, tapi bukan
untuk kepentingan Belanda. Aku merasa wajib melindungi penduduk kampung dari kekejian
Warsa dan anak buahnya,” kata Murtado.

“Terima kasih, Murtado. Aku tahu, hatimu pasti tak tega melihat penderitaan teman-teman kita
ini,” jawab Bek Lihun.

Murtado mulai menyusun strategi. Bersama Saomin dan Sarpin, ia pergi ke markas Warsa dan
anak buahnya. Biasanya, Warsa dan anak buahnya berkumpul di daerah Tambun dan Bekasi, tapi
malam itu mereka tak ada di sana.
Murtado dan teman-temannya tak kehabisan akal, mereka bertanya pada setiap orang yang
mereka jumpai. Akhirnya mereka mendapat informasi kalau Warsa dan anak buahnya sedang
berada di daerah Karawang. Tanpa buang-buang waktu lagi, Murtado dan teman-temannya
menyusul ke Karawang. Dan terjadilah pertempuran hebat. Warsa adalah Iawan yang tangguh,
ilmu bela dirinya juga hebat. Tak heran jika orang-orang takut padanya.

“Ha… ha… anak ingusan macam kau hendak melawanku? Rasakan jurusku ini!” kata Warsa
sambil melayangkan tinju. Namun Murtado tak kalah hebat. Dikerahkannya semua ilmu bela diri
yang ia kuasai. Saomin dan 5arpin juga bertarung melawan anak buah Warsa.

Akhirnya kemenangan berpihak pada Murtado. Warsa tewas di tangannya, sementara anak
buahnya menyerah kalah.

“Ampuni kami Tuan, kami akan melakukan apa saja yang Tuan pinta, tapi jangan bunuh kami,”
kata mereka mengiba-iba.

“Tunjukkan di mana hasil rampokan itu kalian simpan, setelah itu kalian akan aku ampuni,” kata
Murtado tegas.

Murtado dan teman-temannya membawa pulang hasil rampokan Warsa ke Kemayoran. Mereka
mengembalikannya pada pemiliknya masing-masing. Penduduk Kemayoran sangat gembira.
Begitu juga dengan Bek Lihun, ia bahkan melaporkan keberhasilan Murtado pada Belanda.

Penguasa Belanda kagum pada kegigihan dan keberanian Murtado. Atas usul Bek Lihun,
penguasa Belanda menawarkan Murtado untuk menjadi pemimpin daerah Kemayoran
menggantikan Bek Lihun.
“Maaf Tuan, tapi saya lebih senang menjadi rakyat biasa. Biarkan saya berjuang di jalan saya
sendiri,” tolak Murtado dengan halus.

Ya, Murtado tak mau menjadi kaki tangan Belanda. Ia merasa Iebih baik hidup sebagai rakyat
biasa dan membantu menjaga keamanan penduduk Kemayoran dengan caranya sendiri. Karena
keberaniannya itu, penduduk Kemayoran dan penguasa Belanda menjulukinya “Macan
Kemayoran”.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Betawi : Murtado Macan Kemayoran untukmu adalah semua
orang pasti memiliki kemampuan dan bakat. Karena itu gunakanlah kemampuan dan bakatmu
untuk membantu orang-orang di sekitarmu.
Entong Gendut dari Buncit

Entong, kala itu (1916) tampil menjadi pahlawan bagi warga Betawi yang pada umumnya petani.
Semua bermula dari kesombongan kaum penjajah. Pada masa itu, masyarakat Betawi, khususnya
ditempat Entong tinggal yaitu di Condet, Jakarta Timur, para petani hidup dalam tekanan pihak
Belanda

Para petani adalah kelompok masyarakat yang terimpit sistem open door policy. Melalui
kebijakan ini, Belanda membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak swasta untuk membeli
tanah masyarakat di daerah yang dikuasai Belanda.

Dengan kebijakan ini, Inggris mendapat keuntungan karena bisa membeli tanah dan menjadi
tuan tanah. Pada masa itu, seluruh tanah yang berada di daerah Condet hingga Tanjung Timur
dan Tanjung Barat dikuasai oleh tuan tanah Inggris. Celakanya, meski tanah dikuasai Belanda
dan para tuan tanah Inggris, rakyat tetap diwajibkan membayar pajak tanah sebesar 25 sen dan
harus dibayar setiap minggu. Dan apabila rakyat belum membayar pajak tanah tersebut, maka
mereka akan dihukum kerja paksa.

Ini jelas sebuah kebijakan yang tidak adil dan semena-mena hingga memicu amarah Entong
Gendut. Karena merasa terpanggil untuk membela kaum tertindas, Entong kemudian
memutuskan untuk membuat gerakan. Mula-mula ia mengumpulkan masyarakat Condet,
terutama para petani yang sungguh merasakan perlakuan tidak adil dari para penjajah. Ada
sekitar 100 orang petani berhasil dihimpun Entong.

Entong Gendut dan para petani mula-mula menyampaikan protes, namun tidak didengar para
kompeni. Karena tidak ada tanggapan, Entong kemudian melakukan perlawanan fisik. Puncak
perlawanan si pendekar terjadi saat pesta meriah salah seorang petinggi Belanda di daerah yang
berada di dekat Kampung Makassar. Dalam serangan ini, Entong Gendut berhasil merebut pistol
dari serdadu Belanda. Setelah serbuan ini, Belanda memberi ultimatum agar Entong dan
pengikutnya menyerahkan diri. Namun, perintah itu tidak digubris. Beberapa kali kompeni
memberi ultimatum, Entong tak juga memenuhinya.

Akhirnya, serdadu Belanda, dengan senjata lengkap menyerbu markas Entong dan pengikutnya.
Meski menang semangat, namun karena melawan hanya dengan senjata seadanya, perlawanan
Entong dan pengikutnya mudah dipatahkan. Menurut beberapa sumber yang membahas
mengenai senjata, Entong dan pengikutnya menggunakan kelewang, yaitu senjata khas yang
digunakan oleh kepolisian militer Belanda pada masa itu. Entong dan para pengikutnya dikepung
dan berguguran ditembak kompeni Belanda. Setelah peristiwa itu, tidak diketahui mayat Entong
dimakamkan di mana. Bahkan hingga saat ini masyarakat Condet pun tidak mengetahui di mana
letak pemakamannya. Meski makamnya tidak diketahui, namun semangat Entong dalam
melawan kelaliman tetap dikenang. Kisah perjuangannya pernah diabadikan dalam drama
teatrikal bertajuk Prahara Tanah Tjondet.
Si Pitung
Di era penjajahan Belanda, di kawasan Jakarta pada zaman dahulu, terlahir seorang anak laki-
laki yang diberi nama Pitung. Ia merupakan putra dari pasangan Pak Piun dan Bu Pinah,
sepasang suami istri yang terkenal dengan sifat kebaikan dan keramahannya terhadap semua
orang di sekitarnya.

Seiring bertambahnya usia, Pitung tumbuh menjadi sosok yang baik, mengikuti jejak orang
tuanya. Ia terkenal rajin beribadah dan ahli dalam menjalankan ajaran agama Islam yang
diajarkan oleh ayah dan ibunya.

Suatu hari, setelah selesai membantu sang ayah di kebun, Pitung menyaksikan kejadian yang
membuatnya geram. Pada saat itu, ia melihat seorang keturunan China bernama Babah Liem
sedang memarahi dan memukuli para rakyat jelata yang bekerja untuknya. Pitung merasa tak
tahan melihat perlakuan kejam tersebut, tetapi ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Dalam hati, Pitung bertekad untuk belajar ilmu bela diri agar dapat menumpas kejahatan dan
melindungi rakyat. Pitung mencari seorang guru yang dapat mengajarkan ilmu bela diri
kepadanya. Pilihan jatuh pada Haji Naipin, seorang ahli bela diri yang dikenal memiliki keahlian
yang luar biasa.

Dengan tekad yang bulat, Pitung meminta Haji Naipin untuk menjadi gurunya.

“Haji Naipin, saya sangat ingin belajar ilmu bela diri dari Anda.

Saya ingin dapat melindungi rakyat jelata dari kejahatan yang menimpa mereka,” kata Pitung
dengan penuh semangat. Haji Naipin tersenyum melihat tekad dan niat baik Pitung.

“Anak muda, saya akan mengajarimu ilmu bela diri dengan senang hati.

Tetapi, ingatlah bahwa kekuatan hanya boleh digunakan untuk melawan kejahatan dan membela
yang lemah,” kata Haji Naipin dengan bijaksana.

Setiap harinya, setelah selesai membantu sang ayah di kebun, Pitung pergi ke rumah Haji Naipin
untuk belajar. Haji Naipin mengajarkan berbagai jurus dan teknik bela diri kepada Pitung. Ia juga
memberikan nasihat-nasihat bijak tentang arti sejati dari kekuatan dan tanggung jawab.

Setelah beberapa waktu, Pitung merasa ilmunya sudah cukup mumpuni. Ia memutuskan untuk
menghadapi Babah Liem dan mengingatkannya agar tidak semena-mena terhadap rakyat jelata.

Pada suatu hari, Pitung mendatangi Babah Liem di tempat tinggalnya. Babah Liem yang merasa
tersinggung oleh tindakan Pitung langsung menantangnya untuk berkelahi. Babah Liem dibantu
oleh pengawalnya yang kuat, tetapi Pitung telah menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh Haji
Naipin. Pertarungan sengit terjadi antara Pitung dan Babah Liem beserta pengawalnya.

Namun, kekuatan dan keahlian Pitung ternyata jauh lebih tinggi. Dalam waktu singkat, Pitung
berhasil mengalahkan mereka. Kekalahan Babah Liem dan pengawalnya segera dilaporkan
kepada pihak Belanda. Kebenaran dan kebaikan yang dimiliki oleh Pitung membuat rakyat
berdiri di belakangnya, sedangkan pihak Belanda membela Babah Liem yang merupakan sekutu
mereka. Schout Heyne, seorang pejabat Belanda yang sangat marah terhadap Pitung,
memerintahkan penangkapan terhadapnya.

Namun, Pitung memiliki banyak pendukung di kalangan rakyat. Mereka merasa terinspirasi oleh
perjuangannya dan bertekad untuk melindungi Pitung. Pitung memanfaatkan dukungan rakyat
untuk mendirikan sebuah perguruan bela diri yang juga mengajarkan ajaran agama Islam.
Perguruan tersebut menjadi tempat berkumpulnya para pemuda yang ingin melawan penindasan.
Bersama-sama, mereka menyusun berbagai rencana untuk melawan kezaliman yang dilakukan
oleh tuan tanah dan penjajah Belanda.

Salah satu rencana Pitung adalah merampok tuan tanah jahat yang memeras rakyat dan
membagikan hasil rampokan kepada mereka yang membutuhkan. Pitung dan para muridnya
bekerja dengan hati yang tulus untuk kepentingan rakyat. Meskipun mereka berhasil
mendapatkan harta dari rampokan, Pitung tidak pernah menyentuh sepeser pun hasil tersebut. Ia
menganggapnya sebagai amal untuk membantu mereka yang membutuhkan. Rencana Pitung
berjalan dengan lancar dan berhasil membantu rakyat.

Namun, suatu hari ketika Pitung sedang melancarkan aksinya, ia tertangkap basah oleh pemilik
rumah yang menjadi sasaran perampokan. Sang pemilik langsung melaporkan upaya
perampokan Pitung kepada pihak Belanda. Schout Heyne mendengar kabar tersebut dan melihat
kesempatan untuk menangkap Pitung. Ia memerintahkan penangkapan terhadap Pitung serta
menculik ayah dan guru Pitung, Haji Naipin, sebagai tawanan untuk memaksa Pitung menyerah.

Kabar tersebut sampai ke telinga Pitung, yang merasa terpukul mendengarnya. Namun, ia tetap
tegar dan tidak menyerah begitu saja. Pitung memutuskan untuk mengambil langkah berani
dengan mengirimkan surat kepada pihak Belanda. Ia mengirim surat kepada Belanda memohon
agar ayah dan gurunya dilepaskan. Belanda menjawab dengan melepaskan ayahnya, tetapi tidak
dengan gurunya. Mereka berjanji akan membebaskan Haji Naipin setelah Pitung menyerahkan
diri. Pitung mengajukan syarat agar tidak dihukum mati. Ia berjanji akan mengembalikan harta
yang telah dicurinya. Syarat tersebut disetujui oleh Belanda, tetapi setelah Pitung menyerah,
mereka mengkhianati perjanjian tersebut. Pitung ditembak dengan banyak peluru.

Hingga saat ini, kuburan Pitung masih terjaga dengan baik, begitu pula dengan rumahnya yang
berarsitektur adat Betawi yang dijaga sebagai penghormatan terhadap perjuangan Pitung dalam
melawan penjajah Belanda dan membela rakyat Betawi yang kecil pada masa itu.

Anda mungkin juga menyukai