Anda di halaman 1dari 63

Minggu 19 Desember 1948. Cuaca cerah.

Hawa sejuk kota pegunungan ini dihangatkan oleh


matahari pagi. Langit biru bersih. Pan- dangan lepas. Di sebelah barat tampak jelas sampai ke lekuk-
lekuknya, Gunung Sumbing, seolah seorang ibu yang dengan mesra memangku anaknya, gunung
kecil Giyanti. Di sebelah tenggara tampak Merapi mengepulkan asap dari puncaknya. Jalan raya yang
membelah kota dari arah utara ke selatan makin ramai. Lalu lalang pejalan kaki di sepanjang jalan
ini. Kendaraan bermotor hampir tidak ada, semenjak perang Jepang. Beberapa truk tentara besar
bercat kehitaman-truk India-kadang-kadang sekali tampak lewat. Orang menamakannya truk India
karena dulu digunakan untuk mengangkut padi bantuan Indonesia ke India. Satu dua sepeda
rombeng dengan ban mati-karet pejal- sekali-kali nampak. Kendaraan umum jalan raya yang ada
hanyalah andong, yaitu sejenis kendaraan beroda dua ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta api yang
hanya sekali lewat dalam satu hari selalu padat dengan penumpang sampai ke atap-atapnya.

Di kiri kanan jalan raya itu berdiri bangunan-bangunan yang indah dan megah peninggalan penjajah
Belanda. Tembok-tembok gedung dan halaman kebanyakan penuh dengan coret-coret. Bukan
coretan sem- barangan, tetapi lukisan yang bagus-bagus. Hurufnya bagus, bentuknya bagus dan
warnanya pun menarik. Para pelukis pejuang kemerdekaan sengaja melukis slogan-slogan untuk
mengobarkan semangat perjuangan di tembok-tembok itu. "Van Mook, No! Sukarno, Yes!",
"Indonesia for the Indonesian." "Lebih baik mandi darah daripada di- jajah" "Kita cinta damai, tetapi
lebih cinta kemerdekaan". Dan di tem- bok SMT** tertulis "Tidak akan kembali ke bangku sekolah
sebelum penjajah enyah".

Kelompok-kelompok tentara tampak di jalan-jalan itu. Pakaian mereka sangat sederhana dari bahan
blacu yang diberi warna.dengan bahan yang sangat sederhana pula. Ada hijau, ada hitam, ada
terutul dan macam-macam warna gelap lainnya, warna perang. Mereka pasti tidak punya pakaian
khusus tamasya. Bahkan mungkin sekali yang sedang mereka pakai itulah satu-satunya pakaian yang
mereka miliki. Wajah- wajah mereka tampak sangat muda dan bersemangat. Mata mereka
memancarkan keberanian dan tanggung jawab. Cuma kesehatan physik mereka tidak sangat
menggembirakan. Mereka terlalu capek. Hampir empat tahun mereka bertempur terus-menerus di
pelbagai front dalam keadaan serba kekurangan. Di antara mereka adalah tentara Siliwangi yang
ditarik-hijrah-dari daerah kantong Jawa Barat. Mungkin mereka itu baru saja pulang dari Madiun.
Bertempur memadamkan pemberontakan PKI Muso. Pada hari Minggu ini rupanya mereka
beristirahat menikmati keindahan kota Magelang yang cantik.

Begitu keadaan para tentara itu, begitu pula keadaan penduduk kota ini pada umumnya. Keadaan
kehidupan di tengah masa peperangan ini memang serba susah. Barang-barang keperluan hidup
kecuali beras dan sayur-mayur sangat sulit didapat. Pakaian, obat-obatan, minyak tanah, hampir
tidak ada. Toko-toko tutup karena tak ada barang dagangan. Tetapi umumnya orang menyadari
keadaan sukar ini, demi tanah air, demi perjuangan, demi kemerdekaan, demi Republik.

Hari makin siang, jalan raya makin ramai ketika sesuatu menarik perhatian mereka. Satu, dua, tiga
iring-iringan pesawat terbang tam- pak di langit sebelah timur menuju ke arah tenggara. Orang
memandang dengan penuh tanda tanya. Tidak mungkin, ini tentu bukan pesawat musuh. Kan masih
dalam suasana gencatan senjata. Kan, perundingan Renville sudah ditandatangani. Bukan, ini jelas
bukan iring-iringan pesawat musuh. Sementara itu iring-iringan pesawat terbang berjalan terus
secara berkelompok, gelombang demi gelombang menuju ke jurusan tenggara. Ke Yogya?

Datang berita, entah dari mana, bahwa AURI hari itu sedang meng- adakan latihan bersama dengan
Angkatan Udara India. Berita yang sangat menggembirakan dan membanggakan ini menyebar ke
seluruh kota. Penduduk menjadi tenang kembali.

Tapi terdengar sayup-sayup, dari tempat yang sangat jauh, tenggara dentuman-dentuman meriam
mengguruh. Apa yang terjadi? Latihan? Ah, tetapi bukankah selama gencatan senjata ini juga sering
terdengar suara mengguruh semacam itu? Bukankah di sebelah utara, di belakang garis demarkasi,
*** Belanda juga mengadakan latihan perang kabarnya?

Sebagian orang menyangsikan kenapa berita latihan ini tidak dimuat di koran Kedaulatan Rakyat? Ya
tentu saja tidak, latihan kan rahasia ten- tara masakan dimasukkan koran, nanti pihak Belanda tahu,
bagaimana? Begitulah simpang siur tanggapan orang. Tetapi kehidupan berjalan seperti biasa.

Siang itu Pono berlari-lari kecil menuju ke pasar. Ayah Pono, Pak Sumo, mengusahakan warung kecil
di pasar Rejawinangun. Pak Sumo adalah guru SD. la dan keluarganya adalah pengungsi dari Salatiga.
Mereka meninggalkan Salatiga sejak meletusnya clash ke I, ketika Belanda menduduki kota asal Pak
Sumo. Demi Republik, lebih baik men- derita di pengungsian daripada diperintah Belanda. Biasanya
Bu Sumo yang menunggu warung itu. Siang hari pulang mengajar, Pak Sumo, menggantikannya.
Walaupun dalam keadaan perang. Pak Sumo tetap aktif mengajar. Gajinya paling hanya cukup untuk
makan sepuluh hari yang terdiri dari lima orang itu. Pono adalah anak Pak Sumo yang paling tua, 14
tahun baru duduk di kelas 2 SMP. Sekolahnya tersendat- sendat karena perang. Adik Pono, Bambang
dan Narti masih duduk di SD. Barang-barang bawaan dari Salatiga, kain-kain, baju jas, sampai ke
perhiasan Bu Sumo sudah habis dijual untuk makan selama dalam pengungsian. Warung kecil ini
merupakan pertahanan hidup terakhir bagi Pak Sumo, sekedar dapat makan. Sudah seminggu Bu
Sumo sakit panas. Mungkin malaria tetapi pil kina pun waktu itu payah dicari. Pono mau
menggantikan ayahnya. Sore nanti baru pulang. "Bagaimana ibumu, No?"

"Sudah agak baik, Pak. Bapak pulang dulu gantian sama Pono." Pak Sumo sudah mau melangkah
pulang ketika Pono menanyakan pendapat bapaknya tentang iring-iringan pesawat terbang tadi.

"Ya, kata orang AURI latihan bersama Angkatan Udara India."

"Tapi bagaimana pendapat Bapak?" "Pendapat saya? Ya mungkin saja. Tapi bagaimana ya, apa sudah
se- demikian hebat AURI kita? Tapi mudah-mudahan saja benar demikian."
Sore itu Pono pulang dari pasar. Ketika membelok ke jalan kecil yang menuju ke arah rumahnya, ia
bertemu Mas Naryo, tetangga di ujung jalan itu. Mas Naryo kabarnya seorang mahasiswa
kedokteran Gajah Mada di Yogya. Tapi kelihatannya tidak pernah kuliah. Ia terlalu sibuk dengan
perjuangan. Entah di bagian apa Mas Naryo berjuang, Pono tidak pernah tahu. Mungkin di rumah
sakit tentara. Kadang-kadang Mas Naryo pergi ke front sampai berbulan-bulan. Tampaknya Mas
Naryo bukan tentara karena tidak pernah memakai seragam. Mas Naryo orangnya menyenangkan
tapi cukup berwibawa. Dia senang sama anak- anak sebaya pono. Pono paling senang kalau Mas
Naryo bercerita tentang sejarah, tentang perjuangan. Dari Mas Naryolah Pono mengetahui tentang
perjuangan Indonesia di PBB, tentang Nehru, tentang St. Syahrir, tentang NIT, tentang perundingan
Renville dan lain-lainnya. Pono sering diajak Mas Naryo, ke sebuah gedung di pojok simpang tiga
sebelah utara alun-alun. Di sana banyak teman-teman Mas Naryo berkumpul sambil mendengarkan
pidato Bung Karno melalui siaran RRI. Mas Naryo selalu menekankan pentingnya perjuangan. Semua
orang harus berjuang menurut kemampuan masing-masing. Untuk sementara Pono dan anak-anak
lainnya belum perlu berjuang. Cukup belajar yang rajin. Perjuangan ini rasanya akan berlangsung
lama. Dan kalau Republik Indonesia sudah tegak nanti, tenaga-tenaga ahli akan sangat dibutuhkan.
Sebenarnya Pono tidak cocok dengan pen- dapat ini. Maunya ia ingin ikut berjuang di garis depan,
bertempur. Rasanya ia tidak takut. Tapi malu Pono akan mengutarakan pendapat- nya itu. Tampang
Mas Naryo memang meyakinkan. Tegap, agak jangkung, wajahnya lonjong, berkumis, matanya
cerdas, pintar cerita, suka berkelakar sabar tapi juga mau membentak-bentak anak-anak yang
kurang ajar.

"Mas Naryo mau ke mana kok buru-buru?" "Heh dik mau ke KKK. Penting."

"KKK?"

"Ya, kau pulang saja."

Pono masih mau berbicara, tetapi Mas Naryo sudah melangkah. Ber- gegas dan tampak sungguh-
sungguh. Tampaknya sesuatu sedang menguusutkan pikirannya.

Sampai di rumah Pono melihat ibunya masih berbaring di balai-balai. Kurus, pucat, dan lemah. Tapi
sudah lebih baik keadaannya. Keluarga Pak Sumo menempati sepetak rumah, berkat pertolongan
saudara Bu Sumo. Petak itu terdiri dari sebuah kamar, sebuah ruang dan sebuah ruang untuk masak.
Kalau malam Pak Sumo, Pono, dan Bambang tidur di lantai tanah beralas sehelai tikar. Balai-balai
untuk tidur ibu dan Narti. Pono sering ingat rumahnya di Salatiga. Rumah peninggalan nenek Pono.
Rumah gedung besar, pekarangannya luas dan di kebunnya banyak pohon buah-buahan. Kadang-
kadang Pono ingin mengajak pulang bapaknya ke Salatiga. Tetapi ia segera ingat kata-kata Mas
Naryo. Biarlah kita menderita demi kemerdekaan, demi Republik.
"Pak Sumo," kata Mas Naryo setengah berbisik khawatir meng- ganggu Bu Sumo yang sedang sakit,
"Saya baru dari KKK. Maguwo digempur Belanda. Jogya sudah bezet, Bung Karno dan Bung Hatta
ditangkap."

"Jadi bagaimana?" kata Pak Sumo. "Genting kalau begitu." "Untuk kesekian kalinya Belanda
melanggar perjanjian."

"Jadi apa mau doorstoot lagi?" "Dapat dipastikan. Cuma waktunya entah kapan. Belum ada berita
dari front." Mas Naryo pulang. Pak Sumo jadi agak gelisah. Dipandanginya anaknya satu demi satu.
Wajahnya tegang. Dilihatnya Bu Sumo yang terbaring di balai-balai. Berjalan ia mondar-mandir ke
depan ke belakang. Sementara Pono dan Bambang terpaku melihat ayahnya. Suasana tegang di
rumah itu.

"Pono, Bambang," tiba-tiba Pak Sumo memanggil anak-anaknya, "Kau kembali ke pasar. Dalam kotak
di warung ada beberapa Kilogram beras, gula dan bahan makanan lainnya. Bawa pulang semua,
cepat- cepat." Tanpa bicara sepatah kata pun Pono dan Bambang melompat keluar. Berlari ke pasar.
Pono sudah dapat menerka jalan pikiran ayahnya. Pak Sumo masuk kamar. Dirabanya kening
istrinya.

"Bagaimana, Bu?"

"Agak mending, Pak. Ada apa Nak Naryo tadi?"

"Keadaan sangat genting, Bu."

"Jadi bagaimana kita? Mau mengungsi ke mana lagi kita, Pak?" "Sabar, Bu, mudah-mudahan Tuhan
selalu melindungi kita." Kira-kira sejam kemudian, Pono dan Bambang pulang. Beban yang

berat itu dihempaskan ke lantai. Sambil terengah-engah Pono dan Bam- bang berebut berbicara.
Ibunya sampai terduduk mendengarkan. Sementara Narti melompong memperhatikan. Pokoknya
tentang Jogya diduduki Belanda sudah tersebar meluas ke seluruh kota. Rakyat sudah nampak
bingung. Suasana genting sudah sangat terasa. Tentara sudah disiap-siagakan. Daerah Pecinan
sangat sepi. Pintu-pintu, jendela- jendela tertutup rapat. Sementara polisi mondar-mandir menjaga
kemungkinan penjahat menggunakan kesempatan panik ini. Empat buah pesawat terbang pemburu
Belanda terbang rendah menyambar-nyambar sambil memuntahkan puluhan ribu peluru dua belas
koma tujuh ke seluruh kota. Sementara itu di darat terdengar ledakan sahut-menyahut. Bom tarik
meledak di mana-mana. Api mengamuk, asap mengepul. Bumi hangus. Keadaan kota tidak dapat di-
pertahankan lagi. Semua bangunan penting, bangunan pemerintah sipil, bangunan militer, setasiun
kereta api, gudang-gudang, dibumi hangus, diledakkan, dibakar. Semua rata dengan tanah. Lebih
baik dihancurkan daripada jatuh ke tangan musuh.

Di tengah ledakan itu, di tengah hujan peluru itu, penduduk mengalir mengungsi ke luar kota.

Pak Sumo beserta keluarganya meniarap di lantai. Mereka sengaja tidak mengungsi. Keadaan sudah
sangat parah. Istrinya dalam keadaan sakit. Bekal sudah tidak ada sama sekali. Biar. Mereka
menyerah kepada nasib, walaupun tidak berarti menyerah kepada Belanda. Sementara itu tembakan
mulai mereda. Pesawat terbang masih terbang berputar-putar. Mungkin sudah bosan menembak
atau peluru sudah habis. Ledakan masih terdengar di sana sini. Dan pesawat itu kedengaran makin
men- jauh. Satu dua ledakan masih terdengar dan akhirnya berhenti sama sekali. Suasana menjadi
sangat sunyi, mengerikan., Angin berembus membawa bau obat peledak. Menurut Pono, bau ini
rasanya sangat sedap.

Kemudian terdengar suara menderu. Bukan, bukan pesawat terbang. Tapi puluhan tank dan
kendaraan berlapis baja lainnya diiringi oleh truk-truk yang penuh muatan serdadu memasuki kota.
Musuh telah masuk kota ini. Tank-tank yang bertuliskan cat putih Naar Jogya, Bliezkrieg dan lain-lain
itu menyebar ke seluruh jalan-jalan kota. Kadang-kadang mereka memuntahkan peluru ke kiri dan ke
kanan jalan yang mereka curigai. Seluruh kota sudah dikuasai oleh tank-tank Belan- da. Kemudian
dari truk-truk itu serdadu Belanda berloncatan. Dengan senjata di tangan mereka memasuki jalan-
jalan kampung, sambil menghambur-hamburkan peluru. Terdengar pintu ditendang dan teriakan-
teriakan serdadu itu.

"Keluar semua. Angkat tangan! Awas kalau tidak keluar kita bakar rumah ini!"

Suara sepatu-sepatu di atas kerikil makin mendekat dan pintu rumah Pono didobrak dari luar.
Hampir-hampir berhenti jantung Pak Sumo. Beberapa serdadu Belanda-orang Indonesia-
bermunculan. Di lengan mereka terdapat gambar kepala anjing berwarna merah dengan lidah
menjulur ke luar. Mereka kasar-kasar dan tampaknya sangat bengis.

"Berdiri, angkat tangan, kowe tentara?"

Semua serentak berdiri dan Pono memapah ibunya yang masih sangat lemah.

"Baik. Kowe tentara?" "Bukan. Saya rakyat. Ini istri dan anak-anak saya."

"Bagus. Jangan takut. Militer tidak apa-apa. Tentara Kerajaan bagus. TNI jahat. Republik jahat.
Belanda bagus. Kasih hidup baik." Pak Sumo diam. Sepatah kata dia tidak menjawab, tidak juga
mengang- guk. Muak dia mendengar kata-kata serdadu Belanda yang berkulit coklat tua berambut
keriting itu. Mereka adalah bangsa Indonesia yang tidak menyadari perjuangan bangsanya.

Seluruh kota dikuasai oleh Belanda. Hujan lebat bulan Desember jatuh menyiram kota. Di beberapa
tempat terkapar jenazah korban tembakan-tembakan Belanda. Di tengah hujan lebat itu Pak Sumo
dan beberapa puluh penduduk kampung itu menguburkan jenazah dua orang tentara republik.
Tubuhnya hancur, puluhan peluru merobek- robek tubuh mereka. Di tempat itu juga mereka
dikuburkan, dengan penuh haru. Mereka gugur dalam perjuangan membela kota ini. Mem- bela
Republik tercinta ini.

Sementara itu pasukan TNI mengundurkan ke luar kota, ke arah barat, timur seberang Sungai Praga
dan Elo. Mereka mundur bukan karena takut. Mereka mundur untuk mengatur siasat. Perang
Gerilya.

Dalam kota seperti kota hantu. Sepi, tegang, dan seram. Lebih separoh penduduk meninggalkan
kota, mengungsi ke gunung. Gedung-gedung yang masih utuh semuanya tertutup jendela dan
pintunya. Penghuninya entah ke mana. Toko-toko Cina tutup. Puing-puing bangunan yang hancur
memberikan pemandangan yang mengharukan. Gedung-gedung yang beberapa waktu yang lalu
masih tegak indah itu sekarang hancur berantakan. Tembok-tembok roboh dan bata-bata pecah
lepas. Pecahan genteng dan kaca berserak di mana-mana. Bagian-bagian kayu yang tidak habis
terbakar karena terburu hujan, hitam mencuat ke sana-sini, meranggas seperti tulang-tulang setan.
Jalan-jalan sepi. Satu dua orang berjalan tergegas. Seekor kucing yang kehilangan tuannya berjalan
lambat-lambat sambil mengeong sedih. Pasar mati sama sekali. Orang belum berani keluar berjual
beli di pasar.

Di gang tempat tinggal Pono, hanya beberapa rumah saja yang masih berpenghuni. Lainnya
mengungsi semua. Ibu Pono berangsur sembuh. Beras dan bahan makanan yang ada dihematkan
sekali. Setiap hari makan bubur dengan kecap. Sekali-kali makan mi saja. Kadang-kadang Pono
hampir tidak kuat menahan lapar. Tapi malu terhadap adik- adiknya. Setiap hari tinggal di rumah.
Tidak berani ia pergi ke mana- mana. Sebentar-sebentar lewat mobil-mobil patroli Belanda. Kadang-
kadang serdadu masuk, mengadakan patroli ke kampung-kampung. Me- reka kelihatan sombong-
sombong. Mereka sangat bangga akan ke menangannya. Mereka merasa tidak mendapat
perlawanan yang berarti dari pihak TNI ketika merebut kota ini. Mereka mengira kekuatan TNI sudah
hancur berantakan..

"Mana hidung TNI ha?" "Mana itu anak-anak Sukarno?" "Tentara Kerajaan tidak bisa dilawan."
Begitu antara lain kata-kata mereka. Tentara kita ternyata masih utuh. Tetapi di markas mereka,
komandan tentara kerajaan ini, merasa heran, campur marah dan me rasa sesuatu yang tidak beres.
Tidak sesuai dengan rencana mereka. Tentara Belanda sudah merebut semua kota dari segala arah.
Dus, setelah kota ini direbut, semua tentara Republik lengkap dengan senjatanya, berikut dengan
komandan-komandannya, bersama kepala pemerintahan sipilnya, menyerah kepada komandan
tentara Belanda. Sang mayor KNIL ini sudah membayangkan upacara penyerahan akan dilaksanakan
di alun-alun pusat kota dengan disaksikan segenap penduduk yang menyambut dengan gembira
kembalinya pemerintah Hindia Belanda. Dan dia bayangkan dirinya mendapat bintang penghargaan
dari atasan- nya dan ada harapan naik pangkat. Tetapi... yang dihadapi ialah kota yang hancur
hancur dan kosong. Tidak ada tentara menyerah tidak ada pegawai sipil pemerintahan melapor.
Semuanya pergi meninggalkan kota. Betul-betul berjalan di luar rencana.
Untuk beberapa waktu Belanda benar-benar menikmati kemenangan- nya. Kota masih sepi. Malam
hari mereka tidur nyenyak setelah seharian mengadakan operasi di dalam kota.

Sepi sekali malam itu. Dari bawah kampung itu, dari rumpun-rumpun bambu, terdengar suara
burung ulik-ulik. Pono teringat jenazah pah- lawan yang dikuburkan di sana. Tanpa kain kafan, tanpa
upacara, tanpa nama. Tidak seorang pun mengetahui nama kedua pahlawan itu. Suara burung
terdengar kembali. Arahnya dari tempat kubur pahlawan itu. Terdengar suara mobil patroli di jalan.
Lonceng tangsi Ngentak terdengar berbunyi 2 kali. Sepi kembali. Tiba-tiba, terdengar suara rentetan
tembakan senapan mesin. Kedengaran dari arah timur. Terdengar tembakan bertubi-tubi dari pihak
Belanda. Gelegar suara ledakan granat. Tembak-menembak selama kira-kira 10 menit. Dan sepi
kembali. Kemudian terdengar kembali tembakan dari arah barat. Tembak-menembak kira-kira lima
menit. Sepi kembali. Ayah dan Ibu Pono juga terbangun. Timbul tanda tanya, kan tentara sudah
meninggalkan kota. Jadi tembak-menembak itu antara Belanda dengan siapa? Paginya tersiar berita
dari mulut ke mulut secara bisik-bisik, bahwa semalam tentara kita menyerang pos-pos penjagaan
Belanda. Tentara kita ternyata masih utuh. Mereka berhasil membakar sebuah truk mi- liter. Malam
berikutnya terjadi lagi tembak-menembak, bahkan lebih ramai dan lebih lama. Malam itu beberapa
kali terjadi kilat terang sekali. Rupanya Belanda menggunakan peluru cahaya, untuk menerangi
medan pertempuran. Malam itu terjadi beberapa kebakaran. Gudang peralatan dan sebuah jip
Belanda meledak. Paginya tiga jenazah tentara terkapar di tengah sawah di daerah Kebon Pala,
karena ledakan mortir. Malam berikutnya dan hampir setiap malam terjadi serangan dari pihak
tentara kita, tentara Republik. Inilah yang mereka namakan perang gerilya. Siang hari mereka
bersembunyi di hutan atau di desa atau mungkin di dalam kota dan malam hari bergerak
mengadakan serangan. Suatu malam terjadi tembak-menembak dan sebuah mobil patroli Belanda
meledak di jalan dekat rumah Pono. Paginya diadakan pembersihan. Semua rumah digeledah.
Semua lelaki diperiksa satu persatu. Di antaranya ada yang kena pukulan popor senapan. Untung
tidak ada yang

diangkut ke markas. Setiap malam penduduk yang tinggal di dalam kota merasa dirinya terancam
bahaya. Mereka takut peluru nyasar. Dan siang hari mereka takut pembersihan. Banyak di antara
penduduk ditangkap diangkut ke markas IVG dan tidak terdengar beritanya lagi. Mungkin dibunuh.

Kehidupan dalam kota pendudukan ini berangsur-angsur normal kem- bali. Sebagian terbesar
penduduk yang mengungsi sudah pulang. Pada umumnya karena kehabisan bekal. Tetangga Pak
Sumo yang mengungsi hampir semua sudah pulang kecuali Mas Naryo. Belanda berusaha sekuat
tenaga untuk menciptakan suasana kehidupan kota yang memberi kesan baik. Aman, tertib, lancar,
dan makmur. Kantor-kantor pemerintah yang diciptakan Belanda, bank-bank, sekolah-sekolah,
dibuka. Bangunan-bangunan bekas bumi hangus yang tidak berat kerusakannya, yang diperlukan
untuk dipakai, dibangun oleh Belanda. Toko Cina giat kembali. Barang-barang yang disediakan jauh
lebih lengkap dan bagus-bagus. Bahan pakaian, kaos-kaos, pulpen, minyak rambut, anduk, arloji
tangan dan segala barang klontong lainnya, yang sudah sejak datangnya Jepang tidak pernah
ditemukan orang. Muncul barang-barang yang dibuat dari plastik yang lebih dikenal dengan nama
barang-barang atom. Dalam masyarakat timbul ungkapan segala yang baik dikatakan "Atholo
Atoom!"
Pasar sudah hidup kembali dan dengan sisa-sisa modal yang ada Pak Sumo mulai berdagang kembali.
Sekedar mendapat hasil sekilo dua kilo beras sehari. Sebenarnya Pak Sumo dapat melaporkan diri
kepada pemerintah yang dibentuk Belanda itu dan dapat mengajar kembali. Jadi guru pemerintah
bentukan Belanda. Gajinya cukup besar, dapat bagian barang-barang distribusi seperti susu,
mentega, roti, ikan dan daging kalengan, rokok Escort, Kansas, dan lain-lain. Tetapi Pak Sumo sudah
bulat pada tekadnya lebih baik menderita dalam kesetiannya kepada Republik daripada hidup
makmur menjadi budak Belanda. Dia berusaha menyembunyikan dirinya sebagai guru. Dalam kartu
pen duduk tercantum Pak Sumo, pedagang kecil.

Suatu pagi Pono pulang dari pancuran air di bawah rumpun bambu didekat kedua orang pahlawan
dikuburkan. Hari masih sepi. Ketika lewat di depan rumah Mas Naryo, terkejut ia mendengar suara
panggilan Mas Naryo dari dalam kamar sebelah melalui jendela yang terbuka sedikit. Seperti anak
panah yang dilepaskan dari busurnya, Pono melompat ke depan jendela dengan perasaan gembira
sekali, heran sekali dan khawatir, sampai nafasnya terengah-engah. Mas Naryo meletakkan jari
menekan kedua bibirnya.

"Tidak usah masuk, dengarkan," Pono mengangguk. "Dik Pono masih setia kepada Republik?" Sekali
lagi Pono mengangguk. Rupanya perintah Mas Naryo dengan jari di bibir tadi berpengaruh betul
pada pikiran Pono.. "Jawab pertanyaan saya," kata Mas Naryo, "Kau dapat dipercaya?" "Saya kira
dapat. Mas Naryo tahu sifat saya."

"Dapat menyimpan rahasia walaupun kepada ayah ibumu sekalipun?"

"Mereka juga Republikein." "Saya tidak menanyakan itu. Dapat menyimpan rahasia walaupun
kepada ayah ibumu sekalipun?"

"Dapat."

"Baik. Kau mau sekolah lagi di SMP Federal, demi perjuangan?" "Mau."

"Baik aku memerlukan bantuan perjuanganmu. Segera masuk sekolah. Hari Sabtu jam 16.00 tepat
kau harus datang ke alamat ini. Dengarkan baik-baik." Mas Naryo menyebutkan sebuah nama dan
alamat rumah di sebuah kampung di bagian utara kota. Kepada Pono juga diberitahukan kalimat-
kalimat sandi sebagai tanda pengenal.

"Cukup. Cepat pulang. Jaga rahasia baik-baik. Membocorkan rahasia ini berarti pengkhianatan.
Pengkhianat harus dibunuh. Mengerti?" Sebelum Pono sempat berbicara lagi jendela sudah ditutup
lagi.

Pono cepat-cepat meninggalkan tempat itu dengan berbagai macam perasaan. Dari mana, kapan,
bagaimana Mas Naryo tiba-tiba ada di rumahnya. Dan apakah tidak terlalu berbahaya tindakannya
itu bagi dirinya. Dan bagaimana dengan tugas yang diberikan kepadanya. Terlalu berbahayakah
kiranya. Apakah dia akan ditugaskan oleh Mas Naryo untuk ikut menyerbu tangsi Belanda?
Bagaimana cara menem- bak, dia belum dapat. Dan bagaimana tentang menyimpan rahasia. Wah,
nampaknya Mas Naryo tidak main-main. Pono belum pernah me- lihat pandangan Mas Naryo
segalak ketika dia mengatakan "Pengkhianat harus dibunuh". Agak menggigil tubuh Pono di pagi
yang dingin itu.

Sore itu Pono berjalan lambat-lambat di jalan Bayeman. Tangannya mengempit sebuah bungkusan
yang berisi berbagai majalah. Pikirannya sibuk dengan bayangan-bayangan kejadian yang terjadi atas
dirinya dalam waktu seminggu terakhir ini. Mula-mula bertemu dengan Mas Naryo, lalu mendapat
tugas, lalu masuk sekolah. Hampir-hampir lupa ia bahkan tentang sekolah ini. Rasanya sangat
enggan untuk sekolah, kalau tidak atas perintah Mas Naryo. Pono merasa malu bersekolah di
sekolah Belanda di kota pendudukan Belanda, sedangkan ribuan anak- anak lain pada waktu yang
sama sedang berkejar-kejaran dengan ser- dadu Belanda. Pada waktu ia sedang mendengarkan
pelajaran bahasa Belanda - huh bahasa penjajah kawan-kawan seumur di gunung sana mungkin
sedang berlindung terhadap tembakan-tembakan serdadu Belanda. Lalu mencari alamat yang
ditunjukkan Mas Naryo. Rasanya persis seperti cerita detektif. Rumah itu terletak di sebuah gang
berjarak sekitar empat puluh meter dan tampak jelas dari jalan raya. Di depannya ada dua buah
pohon sawo. Halamannya agak lebar dan sepi betul kelihatannya. Ragu-ragu dan berdebar sedikit
ketika Pono mau mengetuk pintu. Jangan-jangan salah. Jangan-jangan terperangkap. Dan pintu itu
pun terbuka. Seorang wanita setengah baya berdiri di dalam dan menanyakan keperluan Pono.

"Saya ingin bertemu dengan oom Hadi, Bu." Wanita itu memandang Pono tajam-tajam sampai hati
Pono agak gentar. Tanpa berkata sepatah pun ia masuk. Sekitar dua menit kemudian-yang terasa
lama sekali bagi Pono yang menunggu dengan takut-keluarlah seorang laki-laki sekitar berusia 30
tahun. Tubuhnya kekar, dahinya lebar, matanya lebar tersembunyi di belakang kacamata, wajahnya
gemuk tidak berkumis.

"Oom Hadi?" Pono memberanikan diri bertanya, walaupun harus demikian menurut perintah Mas
Naryo. Orang itu tidak akan berbicara sebelum Pono menyapa. Selanjutnya Pono harus
mengucapkan kata- kata sandi pengenal.

"Ya, perlu apa?" jawab oom itu.

"Ada pesan dari Ismail."

"Ismail mana? Ismail tua atau Ismail muda?"

"Ismail yang tinggal di selatan kota." "Baik, masuk."

Selanjutnya Oom Hadi memberi penjelasan tentang tugas yang harus dikerjakan oleh Pono. Bukan
tugas berat, sekedar mengantar surat, majalah, berita-berita panggilan. Tetapi semuanya itu harus
dikerjakan dengan ketelitian sesuai dengan petunjuk dan tepat pada waktunya. Pono hanya akan
berhubungan dengan Oom Hadi, Mas Totok, dan seorang lagi yang bernama sandi Jliteng. Siapa Mas
Totok dan Jliteng baru akan diketahui kemudian. Rumah Oom Hadi ini kemudian akan selalu disebut
"rumah Nenek, Nenek Jadi." Pono sendiri mendapat nama sandi "Kelik".
"Yang penting," kata Oom Hadi, "Hati-hati, tabah, dan bertindak dengan tepat. Buka lebar-lebar
telinga dan matamu, tutup rapat-rapat mulutmu. Kita bergerak di daerah kekuasaan musuh. Kita
tidak tahu siapa kawan, siapa lawan. Mata-mata Belanda ada di mana-mana. Kesalahan kecil kadang-
kadang dapat berakibat sangat buruk. Saya tahu kau anak baik."

Sore itu Pono mendapat tugas mengantar majalah berbahasa daerah kepada beberapa langganan.
Langganan biasa. Tetapi satu di antaranya disertai pesan. Kepada orang tuanya Pono harus
mengatakan bahwa dirinya menjadi pesuruh agen majalah dan mendapat imbalan tiap bulan 10%
pembayaran langganan majalah itu. Di samping itu dalam keadaan sulit majalah itu dapat digunakan
sebagai alat penyelamat.

Sore itu cuaca baik. Jalan ini bersih dan menyenangkan. Di kiri kanan jalan ditumbuhi pohon-pohon
pelindung. Beberapa orang nampak ber- jalan di jalan itu. Satu dua sepeda melewati Pono. Sebuah
becak keluar dari mulut gang yang kebetulan sedang ditujunya. Di gang pertama setelah melewati
gereja ia membelok ke kanan. Sampailah ia ke sebuah rumah. Rumah gedung kecil yang manis
bentuknya itu menghadap ke selatan. Tidak ada orang di depan yang nampak. Pono memasuki
halaman dan mengetuk pintu. Seseorang membuka pintu. Orang itu per- sis seperti yang
digambarkan oleh Oom Hadi kepada Pono. Dengan tidak ragu-ragu, Pono menunjukkan majalah
berbahasa daerah itu kepadanya dan menyampaikan pesan. "Majalah baru, Pak. Majalah
Pengetahuan."

"Ada nomor perkenalan?" "Bapak harus mengisi formulir."

"Baiklah, tetapi saya harus membaca dulu."

Tidak salah lagi. Kepada orang inilah pesan Oom Hadi tadi harus disampaikan. Orang itu melihat ke
kiri ke kanan dan katanya, "Ada pesan?"

"Dari Oom Hadi. Bapak diharap datang ke rumah Nenek, Nenek Jadi. Besok jam 09.00 tepat."

Sepanjang jalan pulang pikiran dan perasaan Pono penuh dengan bermacam-macam gambaran.
Pengalaman baru yang selamanya baru kali ini dialami baginya. Ketika berpapasan dengan sebuah
jeep patroli Belanda berdesir darahnya. Kalau mereka tahu semuanya ini? Tabah, kata Oom Hadi.

Seperti Biasa Pono bangun pagi-pagi benar. Mandi di pancuran, sembahyang Subuh, membantu
ibunya menyiapkan dagangan. Bu Sumo se- tiap pagi berjualan makanan sarapan, bubur, sayur,
ketan, pisang goreng di tepi jalan di mulut gang. Hanya Pak Sumo yang berdagang di pasar.
Kehidupan kota memang kelihatan tenang dan biasa-biasa saja. Pedagang, buruh, anak sekolah dan
pegawai-pegawai menjalankan tugas sehari-hari mereka dengan lancar. Hanya para pejuang yang
ber- gerak di bawah tanahlah yang selalu gelisah dan selalu was-was pada siang hari. Sedangkan
pada malam hari serdadu-serdadu Belanda, pegawai-pegawai penting Belanda, dan para
pengkhianat serasa berada di neraka. Pada waktu malam kota pendudukan ini seolah-olah dikuasai
oleh gerilya. Tembak-menembak, pembakaran, penculikan berjalan setiap malam.
Jam 07.20 Pono sudah tiba di sekolah. Gedung sekolah ini selamat tidak kena bumi hangus.
Gedungnya indah megah dan menimbulkan kesan nyaman, tetapi terasa adanya suasana kaku.
Beberapa kelompok anak sudah nampak di halaman sekolah. Mereka asyik mengobrol atau
bergurau. Sekolah ini juga merupakan pusat berita kota. Kejadian- kejadian semalam cepat tersebar
di kalangan anak-anak. Tiap pagi ter- siar berita di sekolah ini tentang hasil serbuan gerilya, gedung
anu diledakkan, darah tercecer di sepanjang jalan kampung, tawanan- tawanan yang diangkut oleh
truk-truk Belanda, pejabat anu diculik, si Anu dibunuh oleh gerilya, si Anu ditangkap, rumah Pak Anu
digrebeg, dan lain-lain. Dari wajah dan bicara mereka nampak sekali bahwa mereka ada di pihak
gerilya. Direktur sekolah itu-Pak Parlan-kurang populer di kalangan anak-anak. Mereka menganggap
beliau ini seorang yang pro Belanda sampai ke usus-ususnya. Sedang guru-guru lain menurut
anggapan anak-anak adalah orang-orang yang bekerja kepada pemerintah jajahan hanya karena
terpaksa. Di antara mereka ini bahkan ada yang pernah ditawan tentara pendudukan selama hampir
sebulan. Karena mau bekerja menjadi guru inilah beliau itu dapat dibebaskan. Di antara mereka yang
paling tidak disukai anak-anak adalah guru yang mengajarkan bahasa Belanda. Kalau kebetulan di
depan pintu masuk gedung sekolah yang berbentuk U ini dipasang bendera Belanda, sebagian anak-
anak masuk ke lingkungan sekolah melalui pintu samping. Rupa-rupanya anak-anak merasa berdosa
berjalan di bawah bendera negara yang menjajahnya.

Pono meletakkan buku-bukunya di atas bangkunya di klas II C yang terletak di bagian paling ujung
belakang sebelah kanan. Ketika ia sedang berjalan menuju ke arah sekelompok anak-anak yang
sedang mengobrol di depan bangsal olah raga, seorang anak mengejar dan menepuk dari belakang.
Anak itu adalah Agus, teman sekelas Pono. Umurnya sebaya dengan Pono, bertubuh agak gemuk,
kulitnya coklat tua, sisirannya rapi, sikapnya agak ugal-ugalan, otaknya boleh, segala penampilannya
menarik, suka bersahabat apalagi dengan anak-anak perempuan. Pono senang bersahabat dengan
Agus. Dia merasa ada kecocokan dalam banyak hal. Kekurangannya menurut Pono adalah bicaranya
yang kadang-kadang menusuk, terlalu berani dan keringatnya yang agak ber- bau.

"Hai Gus, bagaimana? Sudah menghafal bahasa Belanda?" "Malas, lainnya saja." jawab Agus.

Keduanya segera terlibat dalam obrolan kelompok anak-anak yang lain. Simpang siur obrolan
mereka. Berita kota, berita internasional. Berita sekolah tentang Pak Parlan, guru-guru tentang Ely si
cantik yang gemar surat-suratan, dan semuanya berakhir ketika bel berbunyi. Hari itu tak ada berita
dan kejadian penting. Pelajaran berjalan sebagaimana biasa. Dan pada waktu istirahat kedua, Agus
menarik Pono ke tempat yang agak tersisih dari anak-anak yang lain. "Kelik?"

Terkejut dan hampir-hampir tak percaya Pono menatap mata Agus.

"Ya, perlu apa?"

"Ada pesan dari Ismail."

"Ismail mana? Ismail tua atau Ismail muda?" "Ismail yang tinggal di selatan kota."

"Jliteng ya?"
"Tepat."

Pono memegang erat-erat tangan Agus menahan kegembiraan dan begitu pula Agus. Mereka
berbahagia sekali mendapat teman seperjuangan yang memang sudah bersahabat sebelumnya.
Benar kata Oom Hadi. Kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. "Ada pesan dari Oom Hadi. Nanti
sore jam 04.30 diharap datang kerumah Nenek. Nenek Jadi."

Serangan-serangan gerilya makin meningkat. Setiap malam pasti ter- jadi tembak-menembak. Kalau
pada awal pendudukan Belanda di kota ini tembak-menembak hanya terjadi setelah tengah malam,
sekarang sering terjadi lebih awal. Bahkan pernah terjadi jam sembilan malam. Kalau semula
serangan terjadi hanya pada satu tempat atau beberapa tempat, sekarang terjadi hampir di setiap
bagian kota. Kalau semula tembak-menembak terjadi hanya beberapa saat, sekarang terjadi hampir
sepanjang malam. Hanya menjelang pagi saja tembakan reda. Gerilya rupanya memang menghindari
pertempuran siang. Pada waktu siang Belanda dapat menggunakan bantuan kapal terbang yang
didatangkan dari Semarang. Patroli malam hampir tidak ada. Kalau sekali-kali ada patroli, Belanda
menggunakan kendaraan-kendaraan lapis baja dua atau tiga buah beriringan. Jam malam berlaku
mulai jam 19.00 sampai dengan jam 05.00 pagi..

Sebaliknya pada siang hari fihak Belanda makin membabi buta. Pembunuhan, penangkapan,
pembakaran makin merajalela. Belanda tidak memilih orang. Siapa saja yang dianggap berbahaya
ditangkap atau ditembak di tempat. Setiap patroli Belanda selalu pulang dengan meng- angkut
tawanan. Mereka ini mungkin juga tentara, tetapi mungkin juga rakyat biasa. Apalagi kalau dalam
patroli ke desa-desa mereka men- dapat serangan pencegatan dari pihak TNI; kadang-kadang
seluruh kampung yang dicurigai dibakar. Semua lelaki ditembaki atau diangkut. Dan sudah tidak
menjadi rahasia umum dalam patroli ini tentara Belanda sering mengangkut hasil rampasan, oleh-
oleh dari desa, ayam, kam- bing, buah-buahan, dan kadang-kadang barang-barang berharga lain-
nya. Itulah sebabnya di kota pendudukan ini tersebar lagu ejekkan. Entah siapa pengarangnya,
"Katanya Belanda berpatroli, masuk kampung cari TNI, tetapi sebenarnya hanya mencari-cari, ayam,
kambing, beras diangkuti." Di kalangan anak-anak SMP nampaknya kebencian kepada tentara
pendudukan ini makin terbuka. Kadang-kadang mereka mengejek patroli Belanda. Kadang-kadang
mereka meneriakkan kata-kata hinaan dengan kata-kata dalam bahasa daerah. Mereka tahu bahwa
tentara bule dan tentara Belanda hitam itu tidak memahami bahasa daerah mereka, bahasa Jawa.
Dan lagu ejekan itu sangat digemari oleh anak-anak. Asyik dan penuh emosi setiap kali mereka
menyanyikan lagu itu,

Pada pertemuan dengan Oom Hadi beberapa hari yang lalu masing-masing mendapat tugas
menyampaikan surat ke alamat-alamat tertentu. Tugas Pono sudah diselesaikan. Dia harus
mengantar surat kepada seseorang yang tinggal di perkampungan mewah dalam kota itu. Hanya
orang-orang kaya dan berpangkat saja yang tinggal di daerah ini. Sebagai biasa Pono membawa
setumpuk majalah. Ketika sudah tiba di teras rumah itu timbul keraguan di hatinya. Dari kaca jendela
rumah itu ia melihat sebuah topi dan sebuah baju dinas polisi yang di lidah ter- dapat tanda pangkat
perwira, tergantung di kapstok. Kembali ia lihat nomor rumah itu, ternyata benar. Mungkinkah
seorang perwira kepolisian Belanda ini ada di pihak Republik? Tetapi Pono yakin Oom Hadi tidak
salah. Dan ternyata benar, surat diterima dan tidak salah alamat. Orang itu memang sudah lama
membantu perjuangan. Dan karena itu tugas menghubungi dapat diserahkan kepada Pono. Tidak
terlalu berbahaya.

Agus, mendapat tugas yang cukup berbahaya. Dia harus menyampaikan surat kepada seorang sersan
mayor tentara Belanda dan orang itu betul-betul Belanda. Menurut petunjuk surat harus diberikan
dan Agus harus dapat menghindar sebelum surat itu dibuka. Bagaimana sikap orang itu setelah
membaca surat itu ada orang lain yang mengamatinya. Surat itu harus diberikan kepada alamat di
sebuah restauran kecil di depan tangsi militer Belanda. Biasanya para bintara tentara kerajaan
beristirahat siang di tempat itu. Agus sudah mempelajari tempat itu,

tetapi belum berhasil memberikan surat itu kepada alamat. Tugas yang mengandung bahaya itu
sengaja diberikan kepada Agus, karena Agus memiliki ketenangan dan keberanian. Kedua andaikata
terjadi yang tidak diinginkan korbannya tidak terlalu besar. Begitulah dalam peperangan. Seperti
permainan catur. Daripada mengorbankan kuda lebih baik kehilangan pion. Pono dan Agus adalah
pion-pion kecil dalam perjuangan ini. Pagi itu Agus dan Pono sudah tiba di sekolah. Menurut rencana
Agus akan membolos sesudah istirahat kedua dan akan melaksanakan tugasnya. Surat itu disimpan
dalam lipatan sampul buku pelajaran bahasa Belanda.

Pelajaran kedua baru berakhir ketika peristiwa itu terjadi. Klas III B letaknya di deretan depan dari
sekolah ini dan berdekatan dengan jalan raya. Entah bagaimana ketika guru yang harus mengajar
pada jam ketiga agak terlambat masuk klas selama beberapa menit, anak-anak klas itu jadi ribut. Dan
tanpa sadar mereka menyanyi bersama lagu ejekan yang terkenal itu.

Katanya Belanda berpatroli,

Masuk kampung cari TNI,

Tetapi sebenarnya hanya mencari-cari, Ayam, kambing, beras, diangkuti.

Tentu saja suara mereka terdengar sampai ke tempat yang jauh. Dengan tak disangka-sangka sebuah
jeep dan power tentara Belanda masuk ke halaman sekolah. Dengan cepat beberapa orang serdadu
meloncat dan mendobrak pintu klas dan mengacungkan senjata mereka. Rupanya me- reka sudah
lama mengintai ke berandalan anak-anak itu. Suasana jadi kacau. Guru-guru keluar, Kepala Sekolah
keluar dari kantor, dan semua anak-anak keluar dari klas masing-masing. Semua berteriak-teriak,
anak perempuan menjerit. Mereka mengacung-acungkan tinju mereka. Melihat gelagat yang kacau
ini serdadu tersebut menembakkan senjatanya ke udara, keadaan tambah geger. Kepala Sekolah
marah-marah. Dengan cepat serdadu tersebut menarik beberapa orang yang besar-besar dari klas III
B, diseret dinaikkan ke atas power dan kabur. Kacau balau di sekolah itu. Ada belasan laki-laki
dibawa kabur. Kepala Sekolah berteriak, menyuruh anak-anak masuk klas. Guru-guru diperintahkan
masuk kelas dan mengajar seperti biasa. Pak Parlan Kepala Sekolah itu menyambar sepedanya dan
melarikannya menuju markas tentara Belanda.

Seorang letnan Belanda totok yang masih muda sedang duduk menulis di kantornya ketika Pak
Parlan masuk. Dengan bahasa Belandanya yang bagus, Pak Parlan membuka percakapan sebelum
kapten itu bertanya. "Saya tidak tahu bagaimana serdadu-serdadu Tuan dapat bertindak sekurang
ajar itu." "Apa yang Tuan maksudkan, tuan direktur?" Rupanya itu belum mendapat laporan kejadian
itu. Tindakan Pak Parlan yang sangat cepat itu memang tepat.

"Serdadu-serdadu Tuan masuk ke sekolah saya, tanpa seizin saya sebagai direktur di sekolah itu.
Langsung saja mereka masuk klas mengadakan pengacauan. Mereka menangkap murid-murid saya,
anak- anak ingusan itu. Barangkali ini atas perintah Tuan?" Nampak terkejut sekali letnan itu. Apalagi
melihat sikap Pak Parlan yang keras dan tegas itu..

"Tunggu."

Letnan itu mengangkat telepon memanggil bawahannya. Dia menanyakan peristiwa yang dilaporkan
itu. Pembicaraan telepon ber- langsung, sementara Pak Parlan mondar-mandir di kantor itu. Ia tidak
mau duduk karena tidak dipersilakan.

"Baik," kata letnan itu, "silakan duduk, kita tunggu sersan itu." Sambil menunggu sersan yang
dipanggil itu, Pak Parlan menceritakan kejadian itu dengan tidak menceritakan tentang lagu ejekan
itu.

"Mereka pemberontak semua letnan." kata sersan KNIL orang Ambon yang tubuhnya bulat kekar itu.

"Mereka berada di kelas," bantah Pak Parlan dalam bahasa Belanda. "Mereka menyanyikan lagu-
lagu perjuangan Republik," kata sersan. "Bagaimana tuan direktur?" tanya letnan.

Dalam keadaan agak sulit itu rupanya timbul pikiran Pak Parlan yang berani. Pak Parlan
menerangkan bahwa itu bukan lagu perjuangan, Dalam terjemahan bahasa Belanda Pak Parlan
berdiri menyanyikan lagu ejekan itu dengan bersemangat. Sersan itu terbingung-bingung dan letnan
itu menjadi merah padam.

"Itu penghinaan," kata letnan itu.

"Ini kenyataan yang Tuan tidak ketahui?" kata Pak Parlan tegas. "Apakah tuan mengajari murid-
murid tuan menghina tentara kerajaan?" tanya letnan pedas sekali.

Sersan Ambon yang tidak berbahasa Belanda itu tentu saja melompong saja melihat adegan
perdebatan itu. Dia disuruh ke luar oleh letnan itu. Rupanya letnan itu tidak mau jatuh mentalnya di
depan bawahannya. Tinggal dua orang di kantor itu.

"Seharusnya tuan direktur dapat mengendalikan murid-murid tuan." "Saya tidak mungkin berhasil
mengendalikan perasaan mereka." "Perasaan yang mana?" tanya letnan yang baik. "Letnan seorang
putra Belanda yang baik, bagaimana perasaan Tuan ketika pada bulan September 1939 orang-orang
Jerman merebut negara
Tuan, yang sangat Tuan cintai itu?" Tambah merah padam wajah letnan yang putih itu dan butir-
butir keringat mulai bermunculan di hidungnya yang besar itu. Dengan tajam ia menjawab.

"Baik, saya melawan mereka. Dan saya mereka tangkap. Dan mereka jebloskan dalam tawanan. Saya
diharuskan kerja paksa menggali parit pertahanan mereka. Saya bersikap jantan. Saya lari dari
tawanan dan menggabungkan diri dengan tentara. Saya bertanggung jawab atas tindakan saya bagi
tanah air saya. Begitu juga seharusnya anak-anak Indonesia ini."

"Terima kasih, saya akan menganjurkan anak-anak saya untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya. Cuma saya yakin bahwa Tuan adalah bangsa Belanda yang anti NAZI. Dan Tuan tidak
akan berbuat seperti perbuatan GESTAPO Jerman. Permisi."

Letnan itu tertegun dan tidak berbicara. Pak Parlan sampai di pintu ketika letnan itu berbicara.

"Tuan direktur diam-diam memihak Republik?" "Leher saya dapat Tuan pegang, bukan? Tetapi hati
tidak dapat dibunuh."

Dan Pak Parlan melangkah tanpa menoleh. Disambarnya sepeda dan dilarikannya kembali ke
sekolah.

Sementara itu letnan berpikir keras mengatasi keadaan yang sulit ini. Ke Berandalan ini harus
ditindak, tetapi dalam lubuk hatinya dia juga dapat mengerti perasaan anak-anak SMP itu. Begitulah
perasaannya ketika ia sebagai seorang mahasiswa mengalami negaranya diserbu oleh Jerman. Tetapi
dia juga merasa tersinggung atas sikap tuan direktur-Pak Parlan-yang dianggapnya terlalu berani itu.
Sejenak ia berpikir keras dan diangkatnya gagang telepon. Agak lama dia berbicara dengan
bawahannya lewat telepon itu. Kemudian dia memberikan perintah kepada bawahannya itu. Dia
harus menjatuhkan martabat tuan direktur SMP itu dalam pandangan murid-muridnya. Dia harus
menunjukkan bahwa Belanda berkuasa di kota ini.

Waktu istirahat kedua, anak-anak tersebar di seluruh lingkungan sekolah. Di halaman, depan, di
halaman belakang, di samping kiri, di samping kanan sekolah. Beberapa di antaranya mengobrol
dalam kelas. Pembicaraan berkisar sekitar anak-anak yang ditangkap. Sebagian mereka tetap
beranggapan bahwa mereka benar. Pono dan Agus berdua saja di depan kelasnya. Agus terpaksa
membatalkan rencananya untuk membolos guna melaksanakan tugasnya yang belum terlaksana.
Pak Parlan sejak tadi tidak keluar-keluar dari kantornya. Guru-guru semua ada di dalam ruang guru.
Tiba-tiba terdengar sirene meraung-raung. Tiga buah jeep Polisi Militer memasuki halaman sekolah.
Dua belas MP Belanda totok berloncatan ke luar dari jeep masing-masing. Dalam waktu yang singkat
sekali seluruh lingkungan sekolah sudah dikuasainya. Sementara komandan mereka masuk ke ruang
Kepala Sekolah, salah seorang di antara mereka berteriak dalam bahasa Indonesia yang logatnya
lucu. "Semua tetap ada di tempat. Tidak boleh bergerak. Kami akan meng- adakan pembersihan di
tempat ini."

Keadaan hening sebentar. Pono menoleh Agus yang wajahnya tampak tegang sekali. Dengan sangat
cepat sekali dia menyelinap ke arah belakang sekolah, dan lenyap dari pandangan Pono. Dia tidak
berhasil memegang baju Agus supaya jangan berbuat yang tidak-tidak. Untung MP itu tidak
melihatnya. Tetapi keadaan sangat berbahaya. Bagaimana kalau MP itu berhasil menemukan surat
yang tersimpan dalam lipatan sampul buku pelajaran bahasa Belanda Agus itu. Pucat pasi wajah
Pono, dan keringat dingin keluar dari seluruh tubuhnya.

Komandan MP keluar dari kantor Kepala Sekolah diiringi oleh Pak Parlan. Dengan lambaian
tangannya, semua MP itu dengan cepat memasuki ruang-ruang kelas secara serentak. Seorang di
antaranya, tampak masih sangat muda memasuki ruang IIC. Lemah lunglai sendi tulang Pono. Pono
mendekat ke jendela melihat ke arah ruang kelasnya. Hampir ia tak percaya. Agus duduk dengan
santai, kakinya dijulurkan ke atas meja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Di tangannya terpegang
buku bahasa Belanda dalam keadaan terbuka sambil dibacanya keras- keras. Rupanya Agus meloncat
memasuki klas itu melalui jalan belakang. Acuh saja ketika MP itu masuk ruang itu, sedang dua anak
perempuan di depan Ely dan Wati setengah mati ketakutan.

"Morgen, Meneer," MP itu menyalami Agus sambil seolah-olah ter kejut menarik kakinya dari atas
meja itu. "Maaf menegur saya tidak mendengar Tuan datang." "Well, rupanya Tuan terlalu sibuk
membaca buku roman?" kata

Belanda itu. Di luar dugaan, kelihatannya dia ramah. "Neer," kata Agus dengan ketus. "Saya tidak
membaca roman, saya sedang belajar bahasa Belanda, bahasa Tuan yang sangat sulit ini."

Sambil berbicara itu Agus bangkit dari tempat duduknya mendekat ke arah Belanda itu
memperlihatkan halaman buku pelajaran bahasa Belandanya itu. Rupanya Belanda itu tertarik juga
melihat buku Agus sambil manggut-manggut. Dibacanya beberapa kalimat dari buku itu dan berkata.
"Tidak, tidak terlalu sukar. You senang bahasa Belanda?" "Senang sekali," jawab Agus, "Ayah saya
merencanakan mengirim saya belajar ke negeri Tuan kalau perang sudah selesai."

Bukan main. Begitu berani Agus membual di depan Belanda itu. Padahal ayah Agus sudah lama
meninggal dan sekarang pun dia hidup pas-pasan saja bersama kakek dan neneknya di kota ini.
"Baik-baik, ha, boleh saya melaksanakan tugas saya?" Belanda itu membongkar-bongkar semua isi
laci. Tas-tas diperiksa satu persatu, buku-buku dikibas-kibaskan, sementara Agus mengikuti

dari belakangnya dan bilamana perlu membantu Belanda itu. Mula-mula Belanda itu menjalankan
tugas dengan teliti, tetapi lama-lama nampak mengendor, dan tampak asal saja. Ketika sampai ke
tem- pat duduk si Ely, si cantik itu, Belanda yang masih muda itu mem- bongkok dan berbicara
setengah merayu, "Selamat pagi nona cantik.

Maaf boleh saya lihat tas nona?"

Rupa-rupanya setelah melihat dan mendengar percakapan antara Agus dan Belanda yang tidak
berbahaya itu timbul keberanian Ely yang genit itu.

"Nggak boleh ah, malu. Tasnya jelek." "Tidak apa-apa, biar tasnya jelek tapi orangnya cantik!"

Terjadilah perebutan tas antara Belanda itu dengan Ely. Caranya bukan seperti tentara musuh
dengan anak Republik, tetapi seperti paman dan kemenakan yang manja. Ely bahkan berani
memukul-mukul tangan Belanda, yang putih dan berbulu itu. Akhirnya Ely menyerah, tas dibuka dan
diperiksa oleh Belanda itu. Segebung surat-surat beramplop dipegangnya. Cepat-cepat Ely
merebutnya dan didekap erat-erat di dadanya.

"Jangan, jangan," kata Ely.

"Kenapa?"

"Jangan, Love Letters."

Dan Belanda itu tertawa keras-keras sambil melemparkan tas Ely ke arahnya. Masih tertawa Belanda
itu ketika melangkah mau meninggalkan ruang klas itu. Agus ikut tertawa keras-keras, begitu juga
Ely, begitu juga Wati. Ely tertunduk lemas di kursinya kedua tangan ada di dadanya menelungkup di
atas meja di mana surat-surat dibuka.

"Terima kasih, Tuan, dan maaf atas kenakalan kami," kata Agus. Belanda itu membalik ke arah Agus
dan mengajaknya bersalaman. "Senang sekali bertemu dengan kalian," katanya.
"Saya harap Tuan melupakan ke berandalan anak-anak SMP ini. Di Nederland, di Inggris, di Australia,
di mana-mana saya kira," katanya.

"Anak-anak adalah anak-anak, sama saja."

Sekali lagi membalikkan badannya ke arah Ely, ujung telunjuknya ditekankannya ke pucuk hidung
Ely, dan "Terima kasih, daag". Peluit melengking beberapa kali. Belanda yang baik itu menghambur
ke luar, melompat ke atas jeep. Mesin berbunyi, sirene meraung dan meluncurlah jeep-jeep itu di
atas jalan raya, meninggalkan sekolah itu dengan

kesan sangat manis pada Agus, Wati dan Ely. "Hebat," kata Pono kepada Agus sambil mengacungkan
ibu jari

kanannya. "Pembual kaliber internasional."

"Dalam bagaimanapun kita harus tenang dan cepat bertindak." Ucapannya menyombong sambil
menepuk dada.

"Anak Sukarno tidak bisa dianggap enteng, mengerti?" Dalam hati

Pono mengagumi Agus. Anak-anak sedang bergerak memasuki ruangan ketika tiba-tiba sirene
meraung-raung kembali. Sebuah jeep dan sebuah power memasuki halaman sekolah. Dari power itu
keluar dua orang serdadu diiringi dua belas anak yang satu persatu meloncat ke luar.

Mereka ternyata dikembalikan dengan kewajiban melapor ke IVG tiap pagi selama enam hari
berturut-turut. Pak Parlan menyambut ke- datangan anak-anak itu dengan wajah tetap merengut.
Dibariskan anak- anak itu di halaman ditonton oleh semua anak dan guru. Satu persatu

anak itu dijewer Pak Parlan sampai telinga mereka merah. "Kalau mau berjuang membela Republik,
jangan tanggung-tanggung. tinggalkan sekolah. Bergabung dengan gerilya."

"Hidup Republik," teriak seseorang. "Hidup, Merdeka." Sambut yang lain. Keadaan hampir-hampir
tak terkendalikan lagi, kalau saja lonceng tidak cepat berbunyi. Sekolah usai. Anak-anak pulang
dengan cerita yang hebat sepanjang jalan. Semakin yakin anak-anak bahwa Pak Parlan adalah
seorang yang pro Belanda sampai ke usus-ususnya.
Pono tiba di rumah, padat dengan pengalaman-pengalaman baru. Tidak habis-habisnya ia
mengagumi sahabatnya Agus. Makanan siap di almari. Seperti biasa Pono mengambil makanan
sendiri, langsung di- singkirkan dan piring dicuci setelah selesai. Kali ini Pono sempat merenungi
keadaan orang tuanya. Banyak di antara mereka yang orang tuanya pegawai federal. Nampaknya
kehidupan ekonomi mereka lumayan. Pakaian mereka lumayan baiknya, sepatu mereka baru dan di
antara mereka sudah bersepeda. Sedangkan keluarga Pono sendiri, hidup dari berdagang kecil-
kecilan di pasar dan berdagang makanan sarapan pagi di pojok jalan. Pono sering mendengarkan
malam-malam. ibunya mengeluhkan kehidupan ini.

"Sampai kapan, Pak? Apa tidak lebih baik pulang ke Salatiga saja. Atau bapak melapor saja, jadi guru
lagi?"

"Tidak mungkin, Bu, orang Salatiga sudah tahu siapa saya. Untuk bekerja lagi pada pemerintah
jajahan Belanda, rasanya saya belum sanggup."

"Kau tidak kasihan sama anak-anak, Pak?"

Pak Sumo diam, Bu Sumo juga diam. Pembicaraan jadi buntu. Sorenya sebagaimana biasanya, Pono
mengantarkan majalah ke langganan-langganan biasa, sambil menarik uang langganan bulan itu,
Lumayan, dengan uang bagiannya Pono jadi selalu memegang uang tanpa harus meminta kepada
orang tuanya. Kadang-kadang dapat juga ia memberi uang atau membeli sesuatu untuk Bambang
dan Narti. Tetapi kadang-kadang ia merasa malu dengan penghasilannya itu. Menurut istilahnya
sendiri. "Mengambil keuntungan dalam perjuangan".

Malamnya Pono tidur nyenyak dengan membawa pengalaman indah hari itu ke alam mimpi.
Tembakan-tembakan yang terdengar tiap malam akhirnya menjadi terlalu biasa baginya. Tidak ada
lagi rasa takut, bahkan merupakan hiburan sebelum tidur. Tek dug, tek dug, tek dug, tet, tet tet tet
tet tet tet.... glaarr.

"Itu tembakan Belanda," kata Bambang. Tar... tar... tor... dur... dur ... tar... tor... dur....

"Kalau itu tembakan tentara," kata Narti. Tek dug, tek dug, tek dug, tet tet tet tet tet tet
glllaaaaarrrrr,

Ayah Agus sudah lama meninggal. Ketika itu Agus masih kecil. la dilahirkan di Bandung dan tinggal
bersama kedua orang tuanya. Sejak ayahnya meninggal itulah Agus tinggal bersama kakek dan
neneknya di kota ini. Mereka sangat menyayangi Agus. Itulah sebabnya dia jadi manja dan sering
berbuat agak berandalan. Beberapa tahun kemudian ibunya menikah lagi dan mengikuti suaminya-
ayah tiri Agus-ke Jakarta. Setiap bulan datang kiriman dari Ibu Agus. Tetapi sejak beberapa bulan
setelah proklamasi kemerdekaan, hubungan surat- menyurat antara Jakarta dengan kota ini tidak
selancar sebelumnya.. Kiriman uang mulai terhambat. Bahkan sejak Jakarta sepenuhnya dikuasai
NICA hubungan sudah putus sama sekali. Ibu Agus adalah anak pertama. Beberapa orang adiknya
sudah bekerja dan berkeluarga. Yang bungsu Oom Didit pelajar SMT klas III ikut bergerilya bersama
pasukannya, Tentara Pelajar. Mereka ada yang tinggal di Yogya, di Sala, dan di kota ini.

Nenek sangat mencemaskan anak-anaknya yang jauh ini. Terutama Ibu Agus yang sudah sekian
tahun lamanya tidak ada kabarnya, dan Oom Didit yang sedang berjuang. Ia sering bersembahyang
malam- malam mendoakan keselamatan anak-anaknya. Kakeknya pensiunan pegawai kantor pos
pada jaman Belanda dulu. Sejak jaman Jepang ia sudah tidak pernah menerima pensiun lagi.
Hidupnya dibantu oleh anak-anaknya dan dari hasil pekarangannya yang agak luas di belakang
rumahnya. Pekarangan itu ditanami kelapa beberapa puluh batang, pohon jeruk Bali dan jeruk
gulung beberapa batang, pohon jambu biji beberapa puluh batang dan pohon sirih hampir di
sepanjang pagar pekarangan itu. Kakek masih mampu menanam singkong dan sayur- sayuran di
bagian tanah yang agak longgar. Dari hasil pekarangan inilah mereka bertiga hidup semenjak kota ini
diduduki Belanda.

Bulan yang lalu kakek mendapat panggilan dari kantor Asisten Wedana Federal dan didaftar sebagai
orang pensiunan jaman Belanda. Akhirnya ada panggilan lagi dan kakek menerima pensiun beserta
rapel.

Dan Agus cucu yang sangat disayangi itu dibelikan sebuah sepeda setengah pakai.

"Kakek menerima uang dari pemerintah pendudukan Belanda." "Ya, tetapi ini uang saya sendiri,"
jawab kakeknya.

"Tapi kakek kan menerima dari Belanda. Jadi kakek adalah orang federal." "Jangan salah faham Gus,
uang ini adalah uang kakek sendiri. Dulu selama bekerja tiga puluh lima tahun lamanya, kakek selalu
membayar juran pensiun kepada pemerintah Belanda. Nah sekarang uang itu dikembalikannya
sedikit-sedikit setiap bulan."

"Baik," pikir Agus. "Dengan sepeda ini saya akan lebih lancar melaksanakan tugas-tugas saya," Waktu
pertama kali datang ke sekolah dengan sepeda ini terdengar oleh Agus beberapa teman menyindir.

"Sepeda NICA," atau "Sepeda Federal", dan Agus diam saja. Agus hampir tidak mengenal ibunya.
Masih kecil waktu ia ditinggalkannya. Di samping itu ia tidak begitu lekat kepadanya. Tetapi di dalam
lubuk hatinya, sayup-sayup ada juga rasa kerinduan kepadanya.

"Beres." kata Agus, ketika ditanya Pono tentang tugasnya.

"Bagaimana ceritanya?" tanya Pono. Kedua orang anak ini duduk di atas tanah berumput di pinggir
halaman di tengah kompleks sekolah itu. Halaman itu panjang dan lebarnya sepanjang ruang-ruang
kelas yang mengitarinya. Rumputnya hijau bagus dan terurus rapi. Pak Parlan memang seorang
Kepala Sekolah yang sangat menyenangi kebersihan dan keindahan lingkungannya. Anak-anak
dilarang membuang sampah apa pun dan betapapun kecilnya di atas halaman berumput itu.

Pada waktu istirahat pertama itu banyak anak-anak berlompatan di atas tanah halaman itu
berebutan menangkap belalang kecil-kecil yang tampaknya banyak sekali. Hal itu rupanya menarik
perhatian anak-anak yang lain sehingga makin banyak anak-anak yang menangkapi belalang itu.
Perbuatan mereka itu tampaknya merupakan perbuatan iseng-iseng saja. Belalang kecil-kecil yang
warnanya coklat kehitaman dan sangat gesit dengan loncatannya yang keras itu jelas bukan
merupakan binatang yang dapat dimakan, dijual atau dipermainkan. Pembicaraan Pono dan Agus
terputus karena tertarik perbuatan anak-anak penangkap belalang ini.

"Teruskan ceritanya Gus."

Dan inilah cerita Agus melaksanakan tugas menyampaikan surat khusus kepada sersan Belanda totok
itu.

Siang itu Agus sengaja membolos pada waktu istirahat kedua, Sebelumnya ia telah mempelajari
keadaan di restauran yang terletak di pojok jalan di depan tangsi militer itu. Dia sudah mendapat
kepastian bentuk raut wajah, potongan tubuh dan kebiasaan dari orang itu. Namanya seperti
tercantum pada surat, "Hermanus van Arkel", Sersan mayor Belanda itu datang di restauran itu,
bahkan tempat di mana biasanya ia markir jeepnya, semuanya sudah dipelajari oleh Agus. Dengan
langkah yang pasti ia belokkan sepedanya ke restauran itu. la sandarkan sepedanya di tembok di
dekat di mana biasanya sersan Belanda itu memarkir jeepnya. Tanpa ragu-ragu ia masuk restauran
itu; duduk, memesan sebotol limun dan sepiring gado-gado dan membuka buku pelajaran bahasa
Belanda dan membaca. Pesanan datang dan cepat-cepat ia makan gado-gado itu dengan nikmatnya.
Tingkah laku- nya benar-benar seperti tak ada persoalan apa-apa. Di meja kiri kanan- nya duduk
beberapa orang serdadu Belanda putih-putih. Ada yang sedang minum bir ada yang sedang makan
dan ada beberapa yang sedang mengobrol. Dengan tenang ia panggil pelayan restauran itu dan
dibayarnya sekalian segala yang telah dimakannya. Tetapi ia tetap berada di tempat duduknya
menghadap setengah gelas limun sambil membaca.

Sebuah jeep berwarna hijau gelap memasuki pekarangan restauran itu, dan diparkir tepat dekat
tempat ia menyandarkan sepedanya.

"Tepat. Ini dia orangnya," pikir Agus. Memang yang datang dengan jeep itu adalah sersan mayor
Hermanus van Arkel yang harus dituju oleh surat yang sekarang ada di dalam buku yang dipegang
oleh Agus. Orang itu datang sendiri dan jeep itu ditinggalkan dalam keadaan kosong. Agus bangkit
dari duduknya langsung menuju ke tempat sepedanya yang tepat berdampingan dengan jeep sersan
mayor itu.

Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri karena ia yakin terlindung dari pandangan orang-orang di dalam
restauran itu, ia ambil surat itu dan dengan tangan kanannya ia selipkan ke dalam jeep itu. Tepat
surat itu terletak di jok di belakang stir, dengan bagian yang bertuliskan alamat ada di sebelah atas.
Dengan cepat ia tinggalkan tempat itu. Selesailah tugasnya. Menyampaikan surat kepada alamat
yang ditunjuk tanpa diketahui identitasnya.

"Apa isi surat itu kira-kira Gus," tanya Pono.


"Tentang isi surat, darimana surat itu bukan urusan kita bukan?" jawab Agus sambil mengangkat
kedua pundaknya, "Kita kan tidak boleh tahu apa yang tidak diberitahukan kepada kita, bukan?"

Lonceng berbunyi, anak-anak segera masuk ke kelas masing-masing. Masih ada beberapa anak yang
sambil masuk menuju ke kelas masih menangkapi belalang-belalang itu.

Hari itu tak ada kejadian penting di sekolah. Seperti biasa berita kota tersiar; Penangkapan,
penculikan, pembakaran, mayat di pinggir kali, tawanan yang diangkut truk Belanda dan pendapat
umum tentang Pak Parlan.

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Agus kepada Pono.

"Kita sulit menentukan siapa kawan siapa lawan," jawab Agus singkat.

Siang itu mereka pulang berboncengan sepeda. Dari sekolah langsung ke rumah Agus. Dari sana
Pono membawa sepeda itu pulang ke rumah- nya. Agus mengizinkan Pono memakai sepedanya-
untuk kepentingan perjuangan sampai petang hari nanti.

Pono baru saja masuk rumah ketika Bambang memberitahukan bahwa rumah Mas Naryo digrebeg
Belanda. Isi rumah dibongkar dan diobrak-abrik semua. Mereka menganggap rumah itu sarang
gerilya. Mas Naryo sendiri memang tidak pernah nampak di rumah. Pono tidak pernah melihat Mas
Naryo sejak pertemuannya pagi-pagi beberapa bulan yang lalu. Rasanya dia memang tidak pernah
berada di rumah. Entah kalau pada malam-malam ia pulang. Hanya ayah dan ibu Mas Naryo yang
sudah tua itu tinggal di rumah mereka, ditemani oleh pem- bantu rumah tangga dua orang suami
istri. Dan pembantu lelaki itu diangkut ke markas IVG.

Suasana kecemasan terasa meliputi rumah Pak Sumo. Dia memang juga merasa khawatir akhir-akhir
ini setelah pembersihan di dalam kota makin sering terjadi. Semula Ibu Pono melarang ketika sore
itu Pono akan pergi mengantarkan majalah kepada para langganan. Tetapi berkat kepandaiannya
membujuk ibunya akhirnya ibunya melepaskannya juga.

Ketika kira-kira setengah lima sore ketika Pono tiba di daerah alamat surat itu harus disampaikan,
Oom Hadi berpesan kalau ternyata ada orang lain di rumah itu lebih baik penyampaian surat itu
diundur. Sampailah Pono di depan rumah itu. Lambat-lambat ia mengendarai sepedanya. Ya, rumah
itu. Tepat di depannya ia lihat, papan nama lebar putih. "Dokter Kadir", Ya ini tidak salah lagi. Tetapi
dihalaman rumah itu ada sebuah jeep militer Belanda. Seorang Belanda sedang ber- bincang-bincang
dengan seorang Indonesia. Mereka berdiri di sebelah kanan jeep itu. Rupanya seorang tamu yang
sudah akan meninggalkan rumah itu, diantar oleh tuan rumahnya Dokter Kadir. Pono langsung saja.
Tidak jadi ia berhenti. Suasana tidak menguntungkan, berbahaya. Lagi-lagi ia mendapat tugas
menghubungi seseorang yang bekerja pada Belanda. Dokter Kadir adalah dokter rumah sakit militer
Belanda, Militaire Hospitaal. Ketika Pono hampir sampai di ujung jalan itu, sebuah jeep militer
Belanda mendahuluinya. Pono sedikit menoleh ke arahnya. Dan dialah tamu Dokter Kadir tadi.
Dibelokannya sepedanya kembali ke rumah Dokter Kadir. Dr. Kadir sedang akan menutup pintu
kembali ketika Pono memasuki halaman rumah besar itu. Dengan cepat menyandarkan sepeda.
Diambilnya bungkusan majalah itu dan dengan memegang sebuah di tangannya.

"Majalah baru Pak. Majalah Pengetahuan."

Sejenak Dokter itu memandang tajam-tajam kepada Pono. Pan- dangan menyorot dari balik wajah
yang bercambang lebat.

"Ada nomor perkenalan?"

"Bapak harus mengisi formulir."

"Baiklah, tetapi saya harus membaca dulu."

Tepat. Inilah tentunya orang kepada siapa surat itu harus disampaikan. "Ada pesan tertulis dari Oom
Hadi."

"Masuk," kata dokter itu sambil membuka pintu. Pono ditarik masuk ke dalam rumah itu. Dengan
cepat Pono mengambil surat itu yang diselipkan di bawah ikat pinggang yang tepat ada di bawah
kolong penahan ikat pinggang dari bagian celananya. Dokter itu memandang sambil tersenyum.

"Tunggu," katanya sambil meninggalkan tempat itu, masuk ke dalam kamar membawa surat yang
diterimanya dari Pono. Pono duduk sendiri di ruang itu, besar, luas, tinggi, di sebelah kiri dan kanan
terdapat masing-masing, sebuah jendela yang tinggi dari atas ke bawah. Tegel lantainya lebar-lebar
sehingga memberi kesan lebih luas kepada ruang itu. Kecil rupanya Pono sendiri di tempat yang
besar itu, tempat tinggal orang besar lagi, dan orang yang baru pertama kali dikenal, apalagi dalam
suasana gerakan yang serba rahasia dan mengandung bahaya. Dikiri kanan rumah dokter itu tinggal
perwira-perwira militer Belanda. Memang daerah itu adalah daerah perumahan perwira militer.
Diam- diam ia mengagumi dokter ini. Di tengah-tengah musuh dan dalam tugasnya sebagai dokter
rumah sakit militer Belanda ia masih tetap berhubungan dengan pejuang-pejuang republik. Alangkah
besar bahaya yang mengancamnya setiap saat. Kalau rahasianya bocor ketangan mereka? Peranan
apa gerangan yang dipegang dokter itu dalam perjuangan membela republik ini.
Suara pintu kamar dalam terbuka dan sandal dokter itu menyentuh lantai. Sampai didekat Pono ia
berikan sebuah surat: "Awas jaga baik baik. Pesan untuk Oom Hadi, paling lambat sore besok harus
sudah sampai kepadanya. Jelas? Mengerti? Terima kasih."

Nampak keramahan pada dokter walaupun wajahnya bercambang lebat.

"Baik Pak, permisi." Setelah selesai menyimpan surat pada tempat ia menyembunyikan surat yang
sebelumnya telah diberikan kepada Dokter Kadir.

Dari rumah itu Pono langsung menuju ke rumah nenek agar surat untuk Oom Hadi ini segera sampai
dan bebas ia dari tanggung jawab menyimpan surat itu. Lima belas menit kemudian Pono sudah
mendekati daerah kampung "rumah nenek". Dia hampir saja membelokkan sepeda me- masuki gang
itu ketika ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Dua orang serdadu-orang Timur bersenjata lengkap
berdiri didepan rumah itu. Tersirap darah Pono. Dengan gerak reflek dilajukan sepedanya lurus
menempuh jalan raya itu. Lama kemudian ia baru dapat menenangkan detak jantungnya yang
berdenyut cepat sekali. Ia membelokkan sepedanya ke arah semula kembali dan berhenti di depan
warung es didekat mulut gang "rumah nenek". Sambil minum es dengan hati yang ditenang-
tenangkan ia bertanya kepada pemilik warung es itu seolah-olah ia tidak pernah mengenal "rumah
nenek" itu.

"Kok dijaga anjing NICA rumah itu Pak, ada apa?" "Rumah itu digrebeg oleh Belanda dan itu Pak
Hardi diangkut ke markas."

"Siang tadi kira-kira jam sebelas."

Rasa panik timbul di dalam hati Pono. Keadaan gawat kalau begitu. Dia baru saja sadar
menghubungkan peristiwa-peristiwa hari itu. Rumah Mas Naryo digrebeg dan pembantu lelakinya
diangkut. Dan pada waktu yang sama juga rumah itu dan Pak Hardi ya Oom Hadi diangkut juga ke
markas. Jangan-jangan rahasia gerakan ini sudah terbongkar. Tapi siapa? Cepat-cepat ia membayar
segelas es sirup itu dan melarikan sepedanya ke rumah Agus. Sepanjang jalan hanya surat dokter
Kadir itu saja yang menjadi pusat pemikirannya. Bagaimana penyelamatannya. Kepada siapa harus
diberikan.

"Gawat," kata Pono. "Kita kehilangan pimpinan satu-satunya," "Tenang Pon," kata Agus, "Saya kira
untuk sementara surat itu kita simpan dulu seaman mungkin. Kalau dalam sehari dua hari ternyata
tidak ada perkembangan kau kembalikan saja kepada alamat semula."

"Apa ada yang membocorkan rahasia gerakan kita ini, menurut pendapatmu?" "Mungkin juga. Yang
penting kita harus sangat hati-hati."
Malam itu Pono hampir tidak dapat tidur. Surat itu disembunyikan- nya di dasar kotak tempat ibunya
menyimpan beras yang hanya bebe- rapa kilo itu. Sebagaimana biasa semalam-malaman tembak
menembak berlangsung terus. Pikiran Pono melayang ke Oom Hadi yang sekarang sedang meringkuk
dalam tahanan IVG. Mungkin sekali Oom Hadi mengalami siksaan berat. Dan bagaimana andaikata
Oom Hadi melibat- kan dirinya. Ah tidak, tidak mungkin. Rasanya Pono yakin akan kekuatan pribadi
orang-orang semacam Oom Hadi dan Mas Naryo. Dan dimana sekarang ini Mas Naryo. Gara-gara
Mas Naryo ia ikut-ikut dalam gerakan ini. Tapi bukankah ia mengikuti gerakan ini bukan karena Mas
Naryo? Bukan, ia yakin bahwa ia merasa bangga dengan keikutsertaannya itu. Dan andaikata terjadi
sesuatu...? la ingat kedua pahlawan yang tertembak dan dimakamkan di dekat pancuran di bawah
rumpun bambu. Ngeri, ia.

Tetapi apa boleh buat. Cuma bagaimana dengan ayah dan ibunya. Mereka tidak mengetahui tentang
hal itu. Apa harus diberitahukan? Tapi tidak. Ia sudah berjanji bahwa hal ini mesti dirahasiakan
kepada siapa pun.

Pagi itu di perempatan jalan di dekat pasar terjadi suatu hal yang menarik perhatian umum. Orang-
orang yang akan pergi ke pasar melihat sesuatu di tengah-tengah perempatan jalan itu. Sebuah
bakul buruk yang sudah berlubang besar-besar di keempat sudutnya tertelungkup di- lingkari garis
kapur. Di atas jalan beraspal di sekitar bakul bruk itu, menghadap ke arah empat penjuru tertulis
"Awas Bom." Rakyat dilarang mendekat." Penduduk memang sudah terbiasa melihat tulisan- tulisan
di atas aspal bahkan kadang-kadang plakat di tembok-tembok yang dipasang oleh para gerilya pada
malam hari. Tetapi bahwa ada bom dipasang di tengah jalan, baru kali ini mereka mengalaminya.
Mereka tidak berani mendekatinya walaupun di antara mereka meragukannya. Sebuah jeep militer
Belanda meluncur cepat dari arah utara dan tiba-tiba rem berderit. Ternyata jeep itu tidak berani
melanggarnya. Lambat-lambat ia menghindarinya dan meneruskan perjalanannya ke arah selatan.
Jalan makin ramai dengan lalu lalang orang pergi dan pulang ke pasar. Setiap orang melihat ke arah
bakul buruk itu dengan penuh kecurigaan dan tanda tanya. Tiba-tiba sebuah truk militer Belanda
dari arah utara mendekati tempat itu. Truk itu penuh dengan serdadu bersenjata lengkap. Mungkin
mereka sedang menuju ke medan operasi. Rupanya bakul jelek itu menarik perhatian sopir dan
komandan yang duduk di sisi sebelahnya. Truk itu melambat dan berhenti tepat di sisi sebelah kiri
bakul buruk itu. Komandan itu meloncat ke luar dan sambil bertolak pinggang ia membaca tulisan di
atas aspal. Rupanya kesal ia melihat benda itu. Dia sama sekali tidak percaya bahwa extremis-
extremis punya bom tanah. Dan kalau itu betul tidak mungkin, diberi tulisan pemberitahuan. Dengan
diikuti oleh pandangan mata semua orang di sekitar perempatan jalan dan serdadu-serdadu di atas
bak truk itu, dengan sikap marah ditendangnya bakul jelek itu melanting ke udara. Semua tertegun.
Sebuah tempayan kecil hitam jelek tertutup tempurung kelapa ternyata terlihat bergoyang genit
akibat sentuhan bakul yang mental ke udara sekejap sebelumnya. Semua orang menahan napas.
Dengan kebanggaan penuh atas ketidaktakutannya, dengan tenang dipungutnya tempurung
penutup tempayan tadi. Dan bersamaan dengan itu ratusan-ratusan makhluk-makhluk kecil coklat
kehitamhitaman beterbangan kemana-mana. Beberapa ekor sempat singgah di wajah sang
komandan dan sebagian besar yang lain langsung naik ke atas truk hinggap di mana-mana, di tangan,
di muka, di bibir, di kumis, di pipi di telinga, di baju para serdadu itu, sambil menyebarkan bau busuk
dan meninggalkan setitik cairan kental, kotoran manusia. Sebagian yang lain sempat terbang ke kiri
kanan jalan raya dan hinggap pada bagian-bagian tubuh orang-orang yang berhenti berjalan
menyaksikan kejadian itu. Belalang-belalang itu hanya sekejap hinggap dan segera meloncat ke
tempat lain. Tangan-tangan menutup hidung dan memukul ke sana sini. Ludah bersemburan ke
mana-mana. Orang-orang berlarian. Berloncatan para serdadu itu dari atas truk. Kutuk dan maki
yang paling kotor berhamburan. Di tengah suasana panik itu sang komandan mencabut pestolnya
dan ditembakkannya ke atas beberapa kali. Semua orang berjalan kacau, dan para serdadu itu
dengan menahan bau busuk dan masih sambil menutup hidung berloncatan ke atas truk. Pintu
depan dihempaskan, mesin distarter dan meluncurlah truk itu ke arah selatan. Pecahan yang secara
reflek disepak oleh sang komandan tampak meringis di tengah jalan dengan sisa-sisa cairan kental
melekat di sana sini.

Pada waktu istirahat di SMP, Agus dan Pono tampak menyendiri di dekat tempat sepeda. Rasa was-
was dan tidak menentu meliputi hati kedua orang itu.

"Yang jelas, sebuah rencana pasti gagal," kata Pono. "Rencana yang mana yang kau maksud?" tanya
Agus.

"Surat dari dokter itu pasti salah satu rencana kerja mereka." "Apa boleh buat," kata Agus. "Yang
terpenting harus kau selamatkan.".

"Apa harus dihancurkan?" "Tunggu untuk sementara."

Seseorang mengamati kedua orang anak itu dari jauh. Pelahan-lahan ia mendekat. Kedua orang anak
itu hampir tak memperhatikannya. Ketika sudah dekat betul, anak itu menyapa yang agak
mengejutkan kedua orang anak yang dalam suasana was-was itu. "Pono, Agus, lagi berunding apa
kalian he?"

"Hallo Ely yang cantik," kedua orang itu serentak menjawab.

"Jangan main-main ini penting. Ke sini."

"Kok serius bener." Ely memegang pundak kedua teman laki-lakinya itu dengan kedua tangan kanan
dan kirinya pada Pono dan Agus.

"Kelik, Jliteng." Sejurus Ely diam dan kedua orang anak itu terkejut setengah hidup. Hampir-hampir
tak percaya ia menunggu kelanjutan- nya.

"Ya, perlu apa," kedua orang anak itu menjawab serentak.


"Ada pesan dari Ismail."

"Ismail mana? Ismail tua atau Ismail muda?"

"Ismail yang tinggal di selatan kota."

Serentak Pono dan Agus merangkul Ely sejurus. "Senang sekali men- dapat teman kalian," kata Ely.
"Berkat kecakapanmu memikat hati MP Belanda muda itu, sebagian gerakan kita diselamatkan."

"Kau sudah tahu tentang surat pada sampul bukuku itu." "Aku tidak tahu, dan itu bukan urusanku,"
kata Ely seenaknya.

"Yang jelas di dalam sampul-sampul "love letters"ku itu tersimpan banyak surat-surat penting.
Terima kasih."

"Yang jelas dengan kecantikanmu si MP bule itu jadi lengah akan tugasnya."

"Saya pikir dia Belanda yang baik," kata Ely tenang saja. "Dengar ini penting. Nanti petang jam 16.45
kau harus menemui kak Totok."

"Beres" kata Agus setelah mendapat alamat yang sejelas-jelasnya.

"Sebaiknya kita segera berpencar."

Ketika ketiga sahabat itu sedang menuju halaman rumah sekolah, dua buah sepeda yang dinaiki oleh
dua orang pembolos meluncur memasuki halaman. Mereka langsung menuju ke gerombolan anak-
anak III B yang sedang ribut di sudut halaman di dekat batang bougenville. Kemudian terdengar
teriakan riuh penuh kegembiraan. Kedua anak itu dipanggul- panggul dan diletakkan kembali.
Sementara itu anak-anak yang lain mendekat ingin mengetahui. Anak-anak yang datang itu berlari
kembali ke gerombolannya masing-masing dengan dua belah tangannya terentang lurus ke atas
sambil meloncat-loncat seperti pemain bola yang baru saja berhasil membobolkan gawang lawan.
Mereka tidak terus terang memberitahukan. Tetapi akhirnya berita tentang bom yang meledak di
tengah perempatan dekat pasar itu tersebar luas di kalangan anak-anak SMP itu. Secara diam-diam
tanpa perintah dari siapa pun, terutama kepada Pak Parlan. Anak-anak yang ikut-ikutan menangkap
belalang dan menyerahkan kepada anak-anak III B Rudy, Tarno, Diman, Sofyan, dan lain-lain diam
merasa ketakutan, walaupun malu memper- lihatkannya.
Bagaimanapun peristiwa itu, peristiwa bom meledak di perempatan jalan pasar itu, adalah berita
gembira dan berita kemenangan mereka. "Kita harus lebih hati-hati lagi. Perbuatan ini mungkin
mengundang

kedatangan serdadu-serdadu itu ke sekolah," kata Ely.

"Mudah-mudahan mereka tidak mau tahu darimana asal belalang- belalang berbau itu," jawab Pono.

"Mudah-mudahan mereka merahasiakan hal yang memalukan itu." Hari itu secara diam-diam dalam
hati mereka masing-masing, anak- anak republik di SMP Federal itu merayakan satu kemenangan
mereka terhadap tentara pendudukan Belanda.

Sebuah parit saluran air selebar empat meter yang mengalirkan Sungai Praga dari bagian hulu yang
sangat jauh, berkelok-kelok menyusuri bagian timur kota ini. Setelah melewati tangsi parit ini
melewati bagian kota yang padat dengan rumah-rumah sederhana, melewati daerah pasar dan
keluar ke daerah persawahan yang luas di luar kota bagian selatan dan tenggara. Pono dan Agus
berhenti di sebuah jembatan kecil yang melintang di atas parit ini di sebuah kampung yang berjarak
tidak lebih dari satu kilometer dari tangsi pusat kedudukan tentara pendudukan Belanda. Rumah
yang dituju tampak jelas berada di tepi parit sebelah kiri yang letaknya ada di sebelah kanan
jembatan itu.

Agus menunggu di atas sepeda dengan kaki kiri bertumpu pada pagar jembatan sebelah kiri,
sementara Pono dengan setumpuk majalah berlari-lari kecil di jalan kecil di tepi parit menuju ke
rumah itu. Tertegun Pono ketika seseorang membukakan pintu dan orang itu tanpa menunggu kata-
kata sandi pengenal langsung menarik Pono masuk ke dalam rumah. Orang itu adalah Mas Naryo.

"Mas Totok?" tanya Pono, keheran-heranan atas kehadiran Mas

Naryo di tempat itu.. "Ya. Tidak usah heran. Mana Jliteng?"

"Ada di jembatan itu."

"Cepat panggil ke sini."


Dengan satu lambaian tangan Pono, Agus yang sudah sejak semula mengawasinya, cepat
mendayung sepedanya menuju ke rumah itu dan Pono nampak segera masuk tanpa menunggu
kedatangan Agus.

"Rumah Mas Naryo digrebeg Belanda kemarin."

"Ya saya sudah tahu. Mana surat dari dokter Kadir untuk Oom

Hadi?"

Setelah membaca surat dari dokter Kadir, dan segera dibakarnya, Mas Naryo memberikan
penjelasan kepada anak-anak itu.

"Oom Hadi ditangkap dan rumahku digrebeg. Tetapi rencana ini tidak boleh gagal. Tugas ini harus
segera dilaksanakan. Dengarkan baik-baik. Sekarang juga Pono antarkan surat ini ke rumah Pak
Pujo." "Alamatnya?"

"Kau sudah pernah ke sana. Itu yang perwira polisi." "Mas tahu saya pernah ke sana?"

"Semua perbuatanmu dan kejadian-kejadian di SMP saya ketahui. Dan kau Dik Agus, dengan
sepedamu sekarang juga bawa surat ini ke dua alamat yang terletak dalam satu gang. Selanjutnya
Pono perhatikan apa yang dipesankan oleh Pak Pujo. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan rusakkan
saja surat ini dan kau cepat kembali ke sini. Kau boleh naik becak. Jangan turun tepat di depan
rumahnya. Mengerti?"

Agus menerima surat itu dan diselipkan di dalam pegangan stang sepedanya dengan membukanya
dahulu kemudian dipasang kembali. Dilarikannya sepeda itu keluar jalan kecil itu, melalui jembatan,
membelok ke kiri sedikit, ke kanan sekitar empat puluh meter sampailah ke perempatan jalan raya,
membelok ke kanan, melaju ke utara sepanjang jalan raya yang bersebelahan dengan jalan kereta
api. Sebenarnya Agus dapat menempuh jalan lain untuk menuju ke alamat, tetapi terlalu jauh
menurut anggapannya. Dengan keberanian dan keberandalannya ia sengaja melewati jalan raya itu
walaupun harus melewati penjagaan ser- dadu Belanda di depan markas. Beberapa becak, sepeda
dan pejalan kaki berpapasan dengannya sepanjang jalan itu. Tenang saja ia melewati gardu
penjagaan di depan markas tentara pendudukan yang didepannya ada bendera merah putih ribu.
Tetapi betapa terperanjatnya ketika kira-kira sepuluh meter lewat gardu penjagaan itu terdengar
tepukan tangan. Ketika ia menoleh ke belakang ternyata serdadu KNIL penjaga gardu itu
melambainya. Degup jantungnya jadi tiba-tiba cepat sekali ketika ia ber- jalan menuju ke arah
serdadu itu, sementara sepedanya sengaja ditinggalkan di tepi jalan. Rasanya tidak ada sesuatu yang
mencurigakan. Serdadu-serdadu lain yang duduk di dalam pos penjagaan itu mengawasinya.
"Hei, se seng tau, itu kamong pung barang jatuh?"

"Apa Oom,?" tanya Pono sambil tangannya melebar diletakkan pada daun telinganya. Betapa lega
perasaannya ketika serdadu itu menunjuk sesuatu di jalan raya sambil berkata dalam bahasa
Indonesia menurut dialek asal serdadu itu.

"Apa kamu orang tak ada lihat itu barang kamu orang punya jatuh?" "Terima kasih Oom, terimakasih
banyak-banyak." Kata Agus sambil memungut buku pelajaran bahasa Belandanya yang selalu dibawa
ke mana-mana, yang rupanya terjatuh dari goncengan sepedanya. "Permisi Oom."

Dari sana ia membelok ke kiri melewati jalan yang di atasnya melintas saluran air dan tembok
penyangganya dibuat melengkung. Beberapa lama kemudian sampailah ia ke sebuah gang di tepi
sebuah jalan besar tidak jauh dari sebuah tangsi militer yang lain lagi. Dimasukinya gang itu dan
sampailah ke alamat yang pertama tetapi ternyata rumah itu kosong. Dia lanjutkan ke alamat yang
lain yang terletak di gang itu juga agak ke ujung.

"Ada pesan dari Mas Totok," kata Agus setelah menyampaikan kata- kata sandi pengenal kepada
Bang Ahmad nama orang itu.

"Masuk dik."

Setelah membaca surat itu dan membakarnya dengan korek api yang dipegangnya-rupanya pemuda
itu perokok-Bang Ahmad bertanya. "Kepada Mas Anton sudah sampai surat itu."

"Rumahnya kosong." "Baik tinggalkan saja di sini."

Sebetulnya agak ragu Agus memberikan surat itu kepadanya, karena tidak sesuai dengan perintah.
Tetapi karena Bang Ahmad sudah langsung menyebut nama alamat surat berarti segalanya sudah
tercan- tum dalam surat yang dibakar tadi. Sedang Bang Ahmad nampaknya meyakinkan. Jadilah.
Surat itu diberikannya kepada Bang Ahmad.

Sementara itu Pono turun dari becak, berjalan kaki beberapa puluh meter dan mengetuk pintu.
Seorang wanita memakai house coat panjang sampai ke mata kaki, berkacamata dan rambutnya
disanggul membuka pintu dan bertanya.
"Mau bertemu Bapak Bu."

"Keperluan?"

"Menyampaikan majalah pengetahuan pesanan Bapak." "Boleh saya sampaikan?"

Agak sulit keadaan yang tidak terduga ini bagi Pono. Sedangkan wanita itu belum pernah
diketahuinya. Untung cepat ia mencoba jalan keluar.

"Boleh saja Bu, tetapi maaf mengenai pembayarannya?" "Oh, saya tidak tahu, kalau begitu baiklah,
tunggu sebentar."

Lega hati Pono dan puas betul rasanya berhasil mengatasi kesulitan itu. Sambil menghela nafas
dalam-dalam duduklah ia pada kursi yang ditunjukkan oleh wanita tadi. Sejurus kemudian keluarlah
tuan rumah, perwira polisi yang pernah dikenal sebelumnya. Walaupun Pono yakin akan orang itu,
tetapi perwira itu memandang dengan tajam tanpa menyapa. Sementara itu wanita yang rupanya
istrinya, mengikuti dari belakang dan menyaksikannya. "Pak Pujo" kata Pono sedang wanita itu
keheranan karena anak itu

menyebutkan panggilan kepada suaminya dengan nama lain.

"Ya, perlu apa?"

"Ada pesan dari Ismail."

"Ismail mana? Ismail tua atau Ismail muda?" "Ismail yang tinggal di selatan kota."

"Baik, ada pesan?"

"Ada pesan tertulis dari Mas Totok." Pono melihat ke arah Pak Pujo dan sedikit melirik ke arah Bu
Pujo. Rupanya dia mengerti kekha- watiran Pono.

"Sampaikan saja. Tidak apa-apa."


Diambilnya surat itu dari bawah ikat pinggangnya dan diberikan ke- pada Pak Pujo yang
menerimanya dan langsung membawanya masuk ke ruang dalam diikuti oleh Bu Pujo yang ingin
sekali mengerti persoalan- nya. Sebentar kemudian Pak Pujo keluar menemui Pono dan berkata
kepadanya..

"Besok pagi hari apa?"

"Hari Kamis Pak."

"Lusa hari apa?"

"Jumat."

"Baik. Jumat tepat jam 13.00 kamu dan kawanmu itu menunggu saya di pojok alun-alun di depan
masjid. Mengerti? Jelas?"

Hari Jumat sekolah bubar tepat jam 11.15. Agus dan Pono langsung berjalan menuju ke masjid. Agus
tidak bersepeda hari itu. Kedua anak itu sudah membawa kain sarung yang dilipat dan digulung
kemudian dibungkus dengan kertas koran. Mereka sudah mengatakan kepada orang-orang di rumah
bahwa akan pulang terlambat. Dari masjid akan langsung main bola kata Agus dan mengantarkan
koran kata Pono. Mereka sudah mendapat penjelasan dari Mas Totok tentang tugas yang akan
dilaksanakannya. Ketika tahyat akhir dalam sholat Jumat itu, pikiran kedua anak itu sudah tidak
berada di masjid lagi. Dari tempat sholatnya yang sengaja memilih di serambi yang di depannya
berdiri sebuah jam besar, Pono melihat bahwa jam sudah menunjukkan pukul 12.49 menit.
Demikian salam, kedua orang itu cepat menghambur keluar. Dengan setengah berlari mereka
menuju pojok alun-alun yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari serambi masjid itu. Baru
beberapa saat mereka berdiri di sana ketika sebuah pickup Ford berwarna hijau mengkilap,
kendaraan dinas polisi berhenti di depannya dan pintunya terbuka. "Masuk" kata perwira polisi Pak
Pujo itu. Pono cepat-cepat masuk

duduk di sebelah Pak Pujo, disusul oleh Agus.

"Temanmu?" "Ya Pak."

Dengan kecepatan biasa dalam kota, pick up polisi itu menuju ke utara, belok kanan, ke kiri laju ke
utara, belok kanan masuk daerah tangsi, daerah rumah sakit militer dan masuk ke daerah
perumahan per- wira dan berhenti di halaman rumah dokter Kadir. Mobil itu diparkir menghadap ke
arah jalan. Bak mobil itu menghadap ke arah pintu sam- ping rumah itu. Dokter Kadir sudah
menunggu di dalam ruang depan. Ia berdiri menyalami Pak Pujo dan langsung masuk ke ruang
dalam. Pono dan Agus masuk melalui pintu yang sudah terbuka di belakang mobil itu. Beberapa
menit kemudian Pono dan Agus keluar. Masing-masing memanggul sebuah peti sabun tertutup yang
diberi bergambar gelas. Peti-peti itu dimasukkan ke dalam mobil dan mereka masuk ke dalam lagi.
Tampak kedua anak itu keluar lagi dengan membawa masing- masing sebuah peti yang sama dengan
yang mereka bawa sebelumnya.

"Granat barangkali?" bisik Agus. "Mungkin juga pistol."

Agus masuk ke bagian depan sedang Pono masuk ke bagian belakang mobil itu. Bersamaan itu Pak
Pujo menuruni tangga rumah dan langsung menuju ke mobil tanpa di antar oleh tuan rumah.

Dengan tenang Pak Pujo mengemudikan mobil melewati daerah tangsi itu. Kadang-kadang Pak Pujo
menyalami perwira militer Belanda yang kebetulan mobilnya berpapasan. Dengan pasti Pak Pujo
meng- arahkan mobilnya ke bagian barat laut kota itu. Kemudian mobil itu membelok ke dalam
sebuah gang, dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang halamannya diteduhi oleh dahan-
dahan sawo yang rindang. Agus mengenali rumah itu, rumah Mas Anton. Dua orang pemuda, yang
seorang Bang Ahmad dan yang seorang lagi mungkin Mas Anton, sedang duduk-duduk santai di
depan rumah pada siang hari yang panas itu. Mereka hanya memakai kaos dalam dan berkain sarung
yang kedodoran. Seorang di antaranya memegang korek api dan sebatang rokok kretek terjepit di
antara kedua bibirnya. Bang Ahmad tentu saja.

Tanpa komentar kedua orang itu mendekati pick up dari arah belakang. Lewat kaca dalam mobil itu
Agus mengangguk kepada Pono.

"Ini Mas Anton, Kelik ya?" kata Bang Ahmad sambil meloncat ke dalam pick up, sementara itu Pono
dan Mas Anton menurunkan masing-masing sebuah peti, langsung dibawa masuk ke dalam rumah
Mas An- ton. Mobil meneruskan perjalanan lurus gang itu dan berhenti tepat di depan rumah Bang
Ahmad. Agus keluar dari mobil itu, mengangguk sedikit kepada Pak Pujo, berlari ke belakang
membantu Bang Ahmad membawa peti yang sebuah lagi ke dalam rumah Bang Ahmad. Pick up
sudah langsung berjalan demikian peti-peti itu terlepas dari belakang tubuhnya, lurus ke depan
membelok ke kanan, ke kanan lagi masuk ke gang lain dan keluar ke jalan raya yang semula dan
melaju arah ke selatan. Selesailah tugas Pak Pujo dan dokter Kadir yang sudah digarap selama
beberapa bulan itu. Setengah jam kemudian telepon berdering di rumah dokter Kadir yang sejak
lama duduk di kursi di dekatnya.

"Oh Mas Pujo, bagaimana?"

"Beres. Giliran brandal-brandal konyol itu punya urusan."


Dokter kadir meletakkan gagang telepon. Ditariknya nafas dalam-dalam dan dihembuskannya
kembali lambat-lambat, sambil matanya menatap jauh, jauh sekali ke gunung, ke markas-markas
gerilya. Di telinga terdengar rintihan para prajurit dan rakyat yang luka-luka parah dalam
pertempuran sedang tubuh-tubuh mereka membengkak karena infeksi serta bau busuk menyebar
ke sekitarnya. "Hanya ini yang dapat kuberikan kepada mereka." katanya dalam hati sambil
menunduk.

Terbelalak mata Agus dan Pono melihat isi kotak itu. Ratusan botol- botol kecil berisi obat suntikan,
puluhan botol-botol besar berisi pil dari bermacam-macam bentuk dan warna, salep, cairan-cairan
lain, jarum suntik perban, plester, gunting-gunting kecil, pisau dan alat-alat lainnya. Rasanya cukup
isi peti-peti itu untuk mengisi keperluan obat sebuah rumah sakit.

Gedung kediaman residen pada jaman penjajahan sebelum perang itu menghadap ke arah barat, ke
arah lembah sungai Praga yang indah. Di bagian depan gedung inilah pada tahun 1830 Pangeran
Diponegoro, ditangkap oleh Belanda dengan tindakan Jenderal De Kock yang tidak secara ksatria itu.
Di halaman gedung inilah prajurit pilihan pengawal Pangeran Diponegoro dilucuti dengan alasan
sudah tercapai perdamaian. Bersamaan dengan itu Pangeran Pahlawan Nasional itu ditangkap tanpa
daya.

Di depan sebelah kiri halaman gedung ini pada bagian yang menonjol terdapat sebuah gardu
pemandangan. Dari gardu ini orang dapat me- nikmati panorama yang indah yang dihidangkan oleh
lembah Praga dan lereng Sumbing yang cantik. Jauh di bawah nampak jalan berkelok- kelok menuju
ke luar kota. Sedang di bagian kanan nampak agak jauh jembatan sungai ini yang selama
pendudukan selalu dijaga oleh sepasukan serdadu pada ujungnya.

Waktu itu pukul sepuluh pagi, hari Minggu. Ramai orang-orang desa pulang dari pasar melalui jalan
di bawah yang nampak kecil-kecil itu. Belanda sengaja membiarkan penduduk desa masuk kota,
karena diang- gap menguntungkan Belanda. Beras, sayur-sayuran, ayam, telor, buah- buahan, dan
hasil-hasil pertanian lainnya sangat dibutuhkan oleh pen- duduk kota pendudukan dan oleh para
serdadu itu sendiri. Biasanya orang-orang desa pulang dari pasar kota dengan membawa belanjaan
seperti garam terasi, ikan asin, minyak goreng, gula pasir, bahan pakaian, kertas rokok, bumbu
rokok, dan barang-barang toko lainnya. Pemerintah federal merasa senang dengan adanya
hubungan per- dagangan antara penduduk desa dengan kota pendudukan ini karena memberikan
kesan aman dan tertib. Sebaliknya dari fihak gerilya juga menggunakan kesempatan ini untuk
menyelundupkan petugas- petugasnya ke dalam kota. Itulah sebabnya di ujung jembatan ini didiri-
kan pos penjagaan serdadu Belanda. Di samping itu Belanda juga khawatir kalau-kalau jembatan ini
diledakkan oleh gerilya pada waktu malam. Pagi hari Minggu itu, orang pasti tidak menyangka bahwa
di an- tara iring-iringan orang-orang desa pinggiran kota yang pulang dari pasar itu terselip Mas
Anton dan Bang Ahmad beserta puluhan anak buahnya.
Peti-peti itu oleh Mas Anton dan Bang Ahmad di tempat masing- masing telah dibongkarnya dan
dimasukkan ke dalam bungkusan kecil- kecil, yang kemudian dimasukkan ke dalam bagor-kantong
dari serat rosela-jelek dan dimasukkan ke dalam bakul-bakul tanggung dicampur dengan pelbagai
barang belanjaan dari pasar. Dari luar orang akan melihat bakul itu berisi garam, gula pasir, ikan asin,
terasi, botol berisi minyak goreng dan minyak tanah, tidak lupa makanan oleh anak-anak, terutama
serentet kerupuk warna-warni yang digantungkan di atas bakul itu. Orang akan mengira bahwa
bagor itu kosong karena biasanya mereka menggunakan sebagai tempat beras yang dijualnya di
pasar. Bakul- bakul ini sudah siap di dua rumah di pinggir jalan ke luar kota ini. Ada beberapa belas
bakul-bakul tanggung berderet-deret di dalam kamar yang sempit itu.

Agak berdebar juga hati Bang Ahmad-anak Padang yang sejak lahir di kota ini belum pernah melihat
kampung ninik mamaknya-mem- bayangkan tugas yang diserahkan kepadanya ini. Semalaman
gelisah tak dapat tidur dan tengah malam bersembahyang lama sekali mohon perlin- dungan Allah
yang Maha Kuasa.

"Ya Allah, ya Tuhanku. Lindungilah kami dalam menjalankan yang sangat berbahaya tetapi mulia ini.
Kasihanilah kami dan adik-adik kami yang dengan ikhlas hati menyumbangkan tenaga mengabdi
kepada ibu pertiwi, tanah air kami. Ya Allah, selamatkanlah kami...."

Begitu gelisah Bang Ahmad, begitu pula Mas Anton yang pemeluk Kristen itu. Pagi-pagi ia terbangun
dari tidurnya yang tidak lelap di rumah persembunyiannya itu. Berjongkok ia di lantai dengan kedua
siku ditekankan pada balai-balai tempat tidurnya dan wajah melekat erat pada kedua belah telapak
tangan yang menyatu bersilangan menggeng- gam. Suasana sangat hening waktu ia bersembahyang
itu. "Ya Bapa, izinkanlah Minggu ini aku tidak menghadapmu di gereja. Kau tahu bahwa aku dan
teman-temanku hari Minggu ini akan menjalankan tugas yang berbahaya untuk membantu
perjuangan negeriku. Ya Tuhan Yesus, apa yang kubawa beserta teman-temanku bukanlah alat pem-
bunuh, tetapi obat-obatan buat mereka yang menderita luka parah di gunung. Ya Tuhan, lindungilah,
berkatilah, selamatkanlah aku, teman- temanku dan obat-obatan ini sampai kepada mereka yang
memerlukan- nya. Ya Bapa kami yang ada di surga, dihormatilah nama-Mu, jadilah kerajaanmu...."

Jam sembilan tepat anak-anak yang berdatangan satu persatu itu sudah lengkap semuanya.
Sebentar kemudian keluar dari rumah kecil serombongan gadis-gadis desa dengan kain setengah
usang dan baju-baju jelek dengan sanggul-sanggul tinggi tidak teratur, menggendong bakul-bakul itu
dengan selendang lurik usang dan kotor. Mereka itu adalah Katijah alias Wati, Marsiyem alias Tini,
Maryam alias Tuti, lain, dan seorang di antaranya adalah Tentrem alias Ely, gadis desa Poniyah Harti,
Sariyem Eny, Waginem Peni, dan Rukimen Rumy. Mereka adalah anak buah Kang Gimin alias Bang
Ahmad.

Seperempat jam kemudian, dari pos Mas Anton keluar belasan gadis- gadis desa dengan model yang
serupa dan tujuan yang sama.
Kira-kira jam setengah sebelas hari Minggu itu, di depan pos pen- jagaan Belanda di mulut jembatan
itu. Tentrem gadis desa yang cantik itu sedang digoda oleh serdadu-serdadu, sementara kakaknya
Kang Gimin menyaksikan dengan tertawa-tawa bodoh, walaupun hatinya dag, dig, dug, tidak
tertahan. Dalam pada itu gadis-gadis desa yang lain-yang tidak begitu cantik dan yang tidak begitu
jelek-lewat dengan aman, setelah mereka mengucapkan "Tabik tuan." Serdadu- serdadu itu meraih
gendongan Tentrem, dibongkar-bongkar dan dimain-mainkannya sambil tertawa gelak-gelak.
Seorang serdadu berkulit ku- ning dan agak sipit matanya seperti mata Mongol, mengambil bagor
jelek itu, dan dibukanya dan dimasuk-masukkan tangannya ke dalam- nya untuk mengambil sesuatu
yang ada di dalamnya, dan ternyata kosong. Rupanya kang Gimin sudah memperhitungkan
kemungkinan ini. Lama sekali terjadi senda gurau antara mereka untuk menggoda Tentrem. Dan di
dalam hati yang sangat dalam, Tentrem mengutuk memaki-maki serdadu-serdadu itu. Alangkah lega
hati Gimin setelah Tentrem diperbolehkan lewat, yang sementara itu rombongan gadis-gadis desa di
bawah pimpinan Kang Kaun alias Mas Anton sudah agak lama lewat jembatan itu dengan aman. Lucu
sekali tampaknya Kang Gimin mentertawakan Tentrem yang mengusap-usap pipinya yang tersentuh
tangan jahil serdadu-serdadu itu dengan selendang jelek yang kotor itu sambil mengumpat-umpat
Kang Gimin.

"Sabar Trem eh dik Ely," kata kang Gimin, "ini semua demi kemenangan Republik. Ya kan?"

Beberapa kilometer dari jembatan itu, di sebuah gang gadis-gadis desa itu masuk ke beberapa
rumah mereka masing-masing. Kakang- kakang mereka sudah siap menerima oleh-oleh dari pasar
itu. Dalam waktu yang sangat singkat, bungkusan-bungkusan dari bagor-bagor jelek itu telah
berpindah ke tangan-tangan muda dari tubuh-tubuh yang gesit. Oleh-oleh itu masih harus
menempuh perjalanan yang panjang. Melalui jalan-jalan setapak di tengah ladang-ladang penduduk,
menyusup semak belukar barulah tengah malam nanti mereka menye- rahkan oleh-oleh ini kepada
alamat yang dituju, rumah sakit darurat.

Paginya gadis-gadis desa itu kembali ke kota tanpa Kang Gimin dan Kang Maun, yang terlalu
berbahaya untuk dikembalikan ke kota. Dan pada Senin pagi itu beberapa ketua klas di SMP, SKP dan
Sekolah Guru mengisi daftar hadir dengan huruf a pada nama beberapa gadis pelajar di klas itu.
Gadis-gadis itu lebih baik tidak masuk sekolah daripada terlambat. Terlalu lama rupanya mereka
mengganti pakaian gadis desa dengan pakaian sekolah.

Agus memandangi potret itu. Seorang ibu dengan suami dan dua orang anaknya. Lama sekali ia
menatap wajah wanita dalam potret itu. Usianya sekitar tigapuluh lima tahun. Cantik lembut dan
nampaknya penuh rasa keibuan. Dekat sekali rasanya Agus dengan wanita itu. Sebutir air mata
terlepas dari matanya tanpa disadari. Segera ia memandang ke atas. Malu rasanya menangis di
depan kakek dan neneknya. Selama ini ia tak pernah mempersoalkan hal ini. Tetapi dengan datang-
nya surat dan potret keluarga ibunya ini, macam-macam perasaan tim- bul di hati Agus. Rasanya ia
cinta sekali kepada wanita itu. Tetapi Agus merasa dirinya bukan apa-apa bagi mereka. Agus merasa
tak mau ber- bagi dengan mereka itu. "Tidak. Aku lebih baik tidak bersama mereka. Ibu itu adalah
kepunyaan mereka, bukan kepunyaanku.", demikianlah kesimpulan Agus dalam hatinya.
"Tidak Nek," kata Agus menjawab pertanyaan neneknya, "Wanita ini adalah ibuku. Tetapi dia bukan
punyaku." Sambil menunjuk orang- orang dalam potret itu, "Ibu adalah kepunyaan ini, ini, dan ini."
Ditekankan ujung telunjuknya pada wajah ayah dan kedua orang adik tirinya.

"Jadi kau tak mau tinggal bersama mereka menuruti kehendak ibu dan ayahmu?" "Tidak Nek, aku
malu tinggal di antara mereka. Aku tidak mengenal mereka."

"Tapi Gus, ibumu sangat menyayangimu."

"Aku juga. Malam-malam sering aku memimpikannya. Tapi Agus tidak mau tinggal bersama ibu. Aku
mau tinggal di sini. Kalau Kakek dan Nenek tidak boleh, lebih baik aku tinggal pada Oom atau tante-
tante yang lain."

Nenek dan kakeknya tertawa. Dalam hati mereka ada bergetar ke- haruan yang dalam sekali. Rasa
kasih, kasihan, sayang dan dalam ter- tawa itu menitik juga air mata neneknya.

"Sudahlah," kata kakek, "Kalau begitu bantu kakek mencangkul kebun, jangan bermain saja."

"Beres Kek."

Sejak terjadi penggerebegan di rumah Mas Naryo, di gang itu sudah beberapa kali terjadi
penggerebegan dan penangkapan. Beberapa orang penduduk diambil dan dikembalikan lagi dalam
waktu sehari dua hari. Pembantu keluarga Mas Naryo juga sudah kembali. Menurut keterangan
mereka ditanya tentang Mas Naryo. Rupanya ia memang dikejar- kejar oleh Belanda. Sementara itu
Oh Sien-pemuda keturunan Cina yang dikenal umum sebagai mata-mata Belanda-setiap hari
kelinteran di gang itu. Hal ini sangat menggelisahkan penduduk gang itu termasuk Pak Sumo. Semua
guru dan pegawai RI yang tinggal di daerah pen- dudukan Belanda diharuskan melapor. Mereka yang
melapor diangkat menjadi pegawai pemerintah federal. Yang tidak melapor dan tidak mau bekerja
pada mereka, dianggap setia kepada Republik. Yang setia kepada Republik dianggap musuh mereka,
dan ditangkap, ditawan. Sampai kapan? Tidak tahu. Pono tahu pasti kedudukan Mas Naryo. pada
suatu waktu. Dan ini menjadikan Pono sering merasa was-was. Andaikata mata-mata itu
mengetahui. Andaikata Belanda itu mengetahui. Yang sangat menggelisahkan Pono ialah
kerahasiaannya terhadap ayahnya. Hal ini membuat akhir-akhir ini ia menjadi agak pen- diam. Rupa-
rupanya ayahnya memperhatikan keadaannya.

"Kau menyembunyikan sesuatu perasaan Pono?" tanya ayahnya. pada suatu malam sebelum
mereka tidur. Pak Sumo melihat Pono gelisah waktu itu. Bagi Pono yang tidak pernah berbohong
kepada orang tuanya, pertanyaan yang tidak diduga itu langsung saja dijawab. "Ya" walaupun segera
ia menyadari keterlanjurannya.
"Tentang hidup kita yang miskin ini, barangkali?" tanya Pak Sumo selanjutnya. Bingung sekali Pono
akan menjelaskan kepada ayahnya. Antara janjinya kepada Mas Naryo dan tuntutan untuk berterus
terang kepada ayahnya.

"Bukan Pak. Tetapi Bapak jangan marah. Pono menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya sudah
lama. Tapi...."

"Tentang apa?"

"Tentang perjuangan membantu Republik. Harap Bapak mengerti, tidak melarang dan tidak usah
mengetahui semuanya."

Lama sekali ayahnya terdiam dan akhirnya. "Kau berani menanggung akibatnya?" kata Pak Sumo
selanjutnya melihat wajah Pono.

"Baik, Pono, kau masih terlalu muda sebenarnya. Tetapi kalau itu sudah menjadi tekadmu, apa boleh
buat."

"Jadi Bapak tidak keberatan?" "Bapak tidak keberatan, tapi hati-hati. Ibumu tidak usah diberi tahu."

Lega perasaan Pono. Beban yang menindih dadanya lepas sudah. Sikap ayahnya yang sangat tenang
itu benar-benar melegakan perasaannya. Ia merasa sangat dihargai oleh ayahnya yang sangat
dihormatinya itu. Dan semua itu membuat Pono menjadi tenang dan cepat tertidur. Sebaliknya
ayahnya menjadi sangat kacau hatinya memikirkan semuanya itu. Anak yang semuda itu. Sejak
kapan ia menjalankannya. Siapa teman yang mengajaknya. Naryo? Dia ada di daerah gerilya. Kalau
andaikata dilarang? Bisa patah hatinya. Jelas tidak menguntungkan perkembangan jiwa anaknya itu.
Dan berjuang membantu Republik itu bukan kejahatan. Perbuatan yang mulia. Takut ter- tangkap?
Kalaupun dilarang, sudah terlambat. Larangan itu tak akan menghindarkan dirinya dari
penangkapan. Bahkan bisa-bisa dia dihukum sendiri oleh kelompoknya..

"Jadi," pikir Pak Sumo. "Saya kira keputusan saya cukup bijaksana. Biarlah dia mengganti tenaga saya
yang sudah patah ini."

Akhir-akhir ini sering tampak jeep bercat putih berbendera lambang PBB, dikendarai oleh orang-
orang kulit putih berseragam celana berwarna abu-abu dan baju berwarna putih dengan topi
berwarna putih. Orang menyebut tentara KTN. Yang dimaksud ialah Komisi Tiga Negara yang
merupakan wakil PBB untuk mencari langkah penyelesaian persengketaan antara Indonesia dan
Belanda.
Suatu malam tembak-menembak antara gerilya tentara Republik dan Belanda bukan main ramainya.
Pertempuran terjadi di mana-mana dalam kota itu. Dan lewat tengah malam, tembak menembak
yang sangat seru terdengar memusat di sekitar pusat kedudukan tentara pen- dudukan Belanda.
Berjam-jam lamanya pertempuran itu berlangsung. Penduduk kampung yang tidak terlalu jauh dari
tangsi militer Belanda itu dapat mendengar teriakan-teriakan komando mereka, derap-derap kaki
mereka, bahkan suara mereka yang terkena tembakan. Suara tem- bakan brand, stengun, letusan
granat, ledakan mortir, diseling dengan kilat terang cahaya peluru suar, benar-benar merupakan
pesta maut yang mengerikan malam itu. Baru setelah menjelang pagi pertempuran itu berakhir.
Disusul dengan mobil-mobil berlapis baja Belanda keluar dari kandang-kandangnya dan mondar-
mandir di sepanjang jalan-jalan kota ketika menjelang hari terang.

Pagi itu berita-berita terkumpul dari segala penjuru kota tentang hasil pertempuran semalam, di
sekolah Pono.

"Pagi tadi mobil-mobil Belanda membawa kantong-kantong terpal berisi mayat-mayat serdadu
pendudukan, menuju ke arah Semarang," cerita Sardi.

"Tentara Republik berhasil merebut lapangan tangsi," laporan Dar- man.

"Tadi malam tentara KTN kebetulan berada di kota ini." keterangan Alip.

"Serbuan semalam dipimpin langsung oleh Pak Yani," kata Fendy. "Bukan," bantah Wignyo. "Pak
Gatot Subroto."

"Yang paling banyak korban penyerang yang datang dari jurusan timur."

"Kalau tidak terburu siang, mungkin kota ini dapat direbut TNI." "Coba mereka tidak menggunakan
pesawat terbang. Kita berani menyerang pada siang hari."

"Tidak mungkin. Kita tidak berani mengadakan perang secara terbuka. Ingat senjata kita sangat
sederhana."

"Mereka memakai senjata-senjata modern dan lengkap sekali." "Bekas perang dunia kedua."
"Kabarnya akan diadakan gencatan senjata lagi?" "Ah, jangan mau. Paling Belanda menggunakan
kesempatan itu untuk mendatangkan bala bantuan."

"Rupanya Belanda sudah kewalahan." "Kalau perang dengan Republik berlangsung lebih lama
Belanda bisa bangkrut."

Dan bermacam-macam yang lain celoteh anak-anak itu. Berita yang dibumbui dengan emosi,
harapan, komentar, kecaman, ulasan dan lain- lain berhamburan dari mulut-mulut anak-anak
tanggung itu.

Sementara itu patroli dalam kota pagi itu makin diperkuat nam- paknya. Tidak putus-putusnya
kendaraan berlapis baja mondar-mandir di depan sekolah itu. Jeep-jeep Militer Polisi sebentar-
sebentar terdengar lewat dengan raungan sirenenya. Dan sekali-sekali nampak mobil-mobil KTN.

Kalau kita berjalan melalui jalan di depan sekolah itu ke arah utara dengan agak berkelok-kelok
sedikit kira-kira lima menit, akan sampailah kita pada sebuah tanah lapang. Lapangan itu kecil saja
terletak di sebelah kiri jalan dihadapi oleh rumah-rumah pembesar militer Belanda pada jaman
sebelum perang dahulu.

Pagi itu di sekitar lapangan ini dalam daerah yang meliputi radius kira-kira 50 meter, dijaga oleh
serdadu-serdadu berpakaian tempur dengan senjata lengkap dalam keadaan siaga. Meriam-meriam
besar dengan serdadu-serdadu artilerinya sudah siap di lapangan kecil itu. Setiap meriam dilayani
oleh sekelompok serdadu. Dan kelompok- kelompok pada tiap meriam itu semuanya dipimpin oleh
seorang perwira tentara Belanda yang Belanda totok itu. Di belakang setiap meriam itu terdapat
deretan tumpukan peti-peti yang mungkin berisi peluru meriam. Peluru itu berbentuk seperti ikan
sebesar kakap besar dengan sirip memanjang seputar ekornya. Dan ikan-ikan itu siap untuk dikirim
menyebar maut dan penderitaan.

Jauh di depan pucuk-pucuk meriam itu, di bawah sinar matahari pagi yang nyaman, tenang dan
damai tampaknya Gunung Sumbing dengan ramah memandang ke arah kota ini. Kampung-kampung,
sawah dan ladang tampak jelas melekat di pangkuannya. Gunung yang pagi itu puncaknya bertopi
kabut putih seperti kopiah haji, tidak mengira bahwa tentara pendudukan musuh sedang bersiap
untuk sebentar lagi menyebar malapetaka kepada penduduk di pangkuannya.

Dan dari komandan yang memegang tongkat pendek runcing itu pun terdengar aba-aba. Dari tiap
pucuk meriam meluncurlah peluru-peluru meriam seolah berlomba-lomba antara satu dengan
lainnya diiringi bunyi dentum yang keras. Demikian rapi pengaturan letusan antara pucuk-pucuk
meriam itu terdengar seperti berirama, kadang-kadang tiga-tiga berturut-turut, kadang-kadang
empat-empat berturut-turut. Berjam-jam lamanya meriam-meriam itu menghamburkan peluru.
Jauh di lereng gunung yang tampak sangat jelas itu, asap mengepul di sana- sini. Hampir semua
peluru meriam itu jatuh tepat pada sasarannya, desa-desa yang dianggap merupakan
persembunyian gerilya TNI. Sementara tembakan meriam itu berlangsung terus, sebuah pesawat
ter- bang dengan tenang terbang di atas lereng-lereng gunung itu. Berputar-putar seolah sedang
menyaksikan pertunjukan yang menyenangkan itu. Dan di jalan-jalan, tank-tank dan truk-truk yang
penuh dengan serdadu sedang menuju ke desa-desa. Sampai di sana serdadu-serdadu itu turun,
menyebar dan menembak apa saja yang mereka kehendaki.

Hari itu Belanda mengerahkan hampir semua serdadu infanterinya yang ada di kota ini. Pasukan ini
dibantu dengan tembakan-tembakan meriam dari pasukan artileri serta pesawat pengintai
udaranya. Tujuan- nya ialah mengadakan pengejaran terhadap TNI. Rupanya Belanda merasa
kehilangan muka terhadap PBB. Serbuan besar-besaran dari TNI semalam terjadi justru pada waktu
KTN berada di kota ini. Padahal Belanda sudah melaporkan kepada dunia bahwa RI sudah
dihancurkan. Serbuan besar-besaran ke daerah gerilya hari ini diharapkan dapat mematahkan
kekuatan tempur gerilya TNI.

Tembakan meriam-meriam itu berlangsung terus. Asap mengepul di desa-desa di lereng gunung.
Pesawat terbang dengan tenang mengitari daerah-daerah itu. Sedangkan pasukan infanterinya
memasuki desa-desa dari segala arah dan menembak apa saja secara membabibuta. Rumah- rumah
yang dicurigai langsung dibakar. Penduduk lelaki yang mereka jumpai ditangkap. Sedang yang lari
mereka tembak. Pasukan "Anjing Merah" memang merupakan pasukan serdadu Belanda yang paling
ditakuti penduduk karena kekejamannya.

Waktu istirahat pertama di SMP itu, halaman sekolah sepi sekali. Anak-anak menerobos pagar
belakang sekolah itu, naik ke bagian tanah yang membukit di belakang sekolah itu dan dengan
sangat jelas menyaksikan adegan penembakan meriam-meriam itu. Mereka melihat ke arah lereng
gunung, melihat asap-asap mengepul, pesawat terbang. yang berputar-putar itu, sambil tercenung
membisu. Hampir tak ada yang membuka mulut di antara anak-anak itu. Wajah-wajah yang
sebanyak itu tampak tegang semuanya. Rupanya pikiran mereka jauh ke daerah gerilya. Dalam
angan-angan mereka terbayang betapa rakyat yang menjadi sasaran pemboman itu menderita.
Bagaimana para gerilyawan yang semalam-malaman bertempur menyerbu kota, kali ini dikejar-kejar
oleh musuh yang jauh lebih kuat persenjataannya, dan ledakan-ledakan peluru meriam di mana-
mana. Mereka bayangkan teman-teman mereka yang mengungsi ke daerah gerilya sedang
bersembunyi di hutan-hutan dan di ladang-ladang penduduk. Ketika mereka layangkan pandangan
mereka dan menyentuh meriam-meriam dan pasukan altileri itu, sinar kebencian memancar
menyorot dari mata-mata mereka. Hampir tak terdengar bel berbunyi tanda masuk. Dengan berat
mereka meninggalkan tempat itu. Demikian bel istirahat kedua berbunyi, kembali mereka
berkumpul di tempat ketinggian di belakang sekolah itu. Pemandangan dan perasaan serupa kembali
memenuhi dada anak-anak ini. Ketika bel tanda masuk berbunyi, tampak loyo anak- anak ini
menuruni tanah yang membukit berbondong-bondong menuju ke kelas masing-masing. Tenang,
suasana berkabung meliputi kelas-kelas di sekolah ini. Dan selama menunggu guru-guru masuk ke
dalam kelas, tiba-tiba terdengar sayup dari arah belakang sekolah, suara sebuah harmonika
memainkan sebuah lagu perjuangan dalam tempo mars. Serentak semua anak dari semua kelas
mengikutinya tanpa komando, tanpa perintah dari siapapun. Entah sia peniup harmonika itu.
Mereka menyanyi dengan cukup bersemangat walaupun tidak terlalu keras, messo piano. Mars
perjuangan itu isinya menyatakan tekad para pejuang untuk merebut kembali kota ini walaupun
harus mengorbankan nyawa mereka. Sedih, penuh harap, penuh keyakinan dan bersemangat.

Magelang kembali, Magelang kembali, Kota Tidar, kota permai telah lama kuperjuangkan,

Korban jiwa dan segalanya pada Magelang kubaktikan. Tentulah masanya akan datang Republik
kembali ke Magelang. Dengan bebas dan merdeka, Republik pasti kembali.

Beberapa kali, berulang-ulang lagu itu dinyanyikan. Menggema di seluruh lingkungan sekolah. Dan
lambat-lambat menghilang sendiri dengan masuknya guru-guru ke dalam kelas-kelas itu. Guru-guru
bukan- nya tidak mendengar lagu ini ketika mereka lambat-lambat berjalan menuju kelas. Terharu
mereka akan perasaan yang sedang dihayati oleh murid-muridnya. Dan mereka membiarkannya.
Perasaan anak-anak ini, perasaan membenci penjajah yang menjajah negaranya, perasaan akan hak
atas kemerdekaan tanah airnya, adalah juga perasaan mereka, guru- guru ini.

"Saya yakin anak-anak, tentulah masanya akan datang, Republik kembali ke kota ini dan ke seluruh
wilayah tanah air Indonesia." kata guru itu. Dan anak-anak itu diam menekur tenggelam dalam doa
mereka masing-masing.

Malamnya tembak-menembak dalam kota itu berlangsung seperti biasa. Dan paginya segar kembali
semangat anak-anak itu. "Rupanya Tentara Republik masih biasa saja, menyerang pada waktu
malam." kata Pono. "Mungkin peluru-peluru meriam itu salah alamat." jawab Ely.

"Korban tentu banyak, tetapi jelas tidak berhasil mematahkan ke- kuatan mereka." komentar Agus.
"Mungkin ketika meriam-meriam itu sedang menghujani desa-desa, tentara kita bersembunyi di
hutan-hutan sambil beristirahat dan makan singkong bakar," kata Ely.

"Untuk menyerang kembali pada malam harinya," kata Agus dan Pono serentak. Dan anak-anak itu
tertawa yakin.

Minggu-minggu berlalu seperti minggu-minggu sebelumnya. Semuanya berjalan seperti biasa,


kebiasaan jaman perang. Kekejaman, pembunuhan, penculikan, tembak-menembak, berkecamuk di
atas ke- takutan, kecemasan dan penderitaan manusia. Korban berjatuhan setiap hari siang dan
malam. Keadaan kota seperti biasa. Neraka bagi serdadu- serdadu Belanda dan kaki tangannya pada
malam hari. Penangkapan berjalan terus.

Suatu pagi Bu Sumo sudah menghadapi dagangannya di pinggir gang itu. Sebuah kuali besar tempat
bubur, beberapa panci kecil tempat sayur, sebuah penampi beralaskan daun pisang tempat kue-kue
kering, siap di hadapannya. Beberapa orang pembeli setia sedang dilayaninya. Sebuah jeep militer
menyerobot masuk gang tempat tinggalnya. Tepat di depan rumah Pak Sumo jeep itu berhenti. Dua
orang serdadu meloncat turun. Di depan pintu itu Pono, Bambang siap berangkat ke sekolah dan Pak
Sumo siap berangkat ke pasar. Terkejut bukan main Pak Sumo dan Pono, walaupun kemungkinan
semacam itu sudah sering dibayangkan- nya. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Siapa di antara
mereka yang akan diambil. Pono mengkhawatirkan ayahnya dan juga dirinya sendiri. Tamat sudah
riwayat perjuangannya. Terbayang di matanya sel- sel penjara dan kemungkinan Oom Hadi telah
membocorkan gerakan yang dipimpinnya. Bagi Pak Sumo kedua kemungkinan itu sama berat- nya.
Dirinya atau anaknya sama berat baginya. Sekilas terlintas do'a semoga dirinya yang diambil jangan
anaknya. Kasihan, ia masih terlalu muda. Pikiran-pikiran itu lenyap ketika salah seorang di antara
kedua orang serdadu itu berteriak.

"Mana Pak Sumodiharjo?"

"Saya."

"Pedagang pasar?"

"Benar," agak lega Pak Sumo. Mudah-mudahan mereka tidak mengetahui bahwa ia seorang guru.
"Naik." Dan didorongkannya Pak Sumo masuk ke dalam jeep itu di susul tangis Bambang dan Narti.
Bu Sumo melihat suaminya ketik Jeep itu melintas di depannya. Lemah lunglai sendi tulangnya
seketika itu juga. "O Allah, lindungilah suamiku dan kasihanilah anak-anakku," Keluhnya setengah
berbisik. Bu Sumo tidak menangis. Hanya air matanya berderai tak dapat dibendungnya. Dia
berusaha menyembunyikan kehancuran hatinya terhadap anak-anaknya. Bambang dan Narti berlari
mendapatkannya sambil menangis dan Pono mengikuti dari belakang mereka dengan langkah berat
tersendat. Tetangga-tetangga datang menghibur. Hanya itulah yang dapat mereka lakukan.

"Sudah nak, jangan menangis. Besok Bapak pulang. Sudah bawa pulang semua. Pono tidak usah
sekolah hari ini. Bantu adik-adikmu di rumah."

Dalam kesedihan yang seberat itu Pono masih sempat mengagumi ketabahan hati ibunya. Pono tahu
betapa remuk redam hati ibunya. Suami ditangkap musuh dalam keadaan menderita di pengungsian,
tanpa bekal hidup yang cukup bagi anak-anaknya.

Dua hari kemudian Pono dipaksa ke sekolah oleh ibunya. Katanya tidak ada gunanya tinggal di
rumah. Di sekolah hatinya akan terhibur. Dua sahabatnya, Ely dan Agus menyambut kedatangan
Pono di halaman sekolah dengan merangkulnya. "Sabar Pono, berita lain lebih
menyedihkan." kata Ely. Agus yang rupanya belum mendengar berita itu ikut pula mendengarkan
dengan tidak sabar.

"Seorang pejuang mendapat tawaran bantuan senjata dari teman akrab yang dapat dipercayainya.
Dia seorang anggota polisi federal. Mereka berjanji membawa senjata-senjata itu dan melarikan diri
dari tangsi polisi itu bersama-sama. Mereka berjanji bertemu pada pojok tangsi itu pada suatu
malam pada jam tertentu. Kode pengenal sudah mereka buat bersama. Pada waktu yang telah
ditentukan tersebut, datanglah pejuang itu pada tempat perjanjian, dengan dikawal oleh beberapa
teman dari tempat yang agak jauh. Dengan mengendap-endap tanpa suara seperti bayangan malam
sampailah pejuang itu di pojok tangsi. Siulan menirukan suara burung hantu terdengar dari balik
tembok. Dan meloncatlah sesosok bayangan setelah terdengar jawaban dari luar tembok. Keduanya
berpelukan dan beberapa pucuk stengun curian dari markas yang dilempar-lemparkan dari dalam
tembok itu mereka bagi dua membawanya. Dengan menyandang beberapa pucuk senjata curian dan
sebuah senjata masing-masing siap ditembakkan. Merekabergerak seperti hantu malam
meninggalkan tempat itu. Rasa puas dan bangga memadati dada mereka. Tiba-tiba, beberapa
langkah saja dari tempat itu, beberapa puluh batery menerangi mereka. Dari belakang sinar yang
menyilaukan itu terdengar teriakan menyuruh mereka meng- angkat tangan untuk menyerah.
Dengan gerak refleks tanpa persetujuan terlebih dahulu kedua orang pejuang itu menembak dengan
senjata otomatis mereka ke arah lampu-lampu senter itu. Terdengarlah tem- bakan salvo dari
beberapa senjata otomatis menghujani kedua orang pe- juang itu. Kedua orang itu roboh seketika
dengan beberapa puluh peluru menembus tubuh mereka. Darah berceceran di sepotong tanah
kebun singkong di belakang tangsi itu. Dan gugurlah dua orang pahlawan bangsa. Mereka telah
terlebih dahulu mencium rencana kedua pejuang itu."

"Siapakah mereka itu?" tanya Agus tidak sabar lagi.

"Seorang di antaranya adalah anggauta polisi federal yang belum kita kenal orangnya," jawab Ely
sementara matanya mulai berkaca air mata," dan yang seorang lagi ialah ...," tangis terhenti di
tenggorokan- nya, "..... Bang Ahmad ...."

"Innalillah...." Ketiga orang sahabat itu menekurkan kepala mereka. Seorang kakak, seorang teman
seperjuangan, seorang pahlawan muda bersama seorang teman yang belum pernah mereka kenal
telah mendahului mereka. Pono ingat nasib ayahnya, ibunya, adik-adiknya dan dirinya. Belum
sebesar pengorbanan Bang Ahmad. Ia telah memberikan segala-galanya untuk mengembalikan
Republik ke kota ini dan ke seluruh wilayah tanah air Indonesia.

Betapa terkejut dan gembira hati Pono ketika pada siang hari ia tiba di rumah dari sekolah, ternyata
ayahnya sudah pulang. Alhamdulillah. Ayah sehat tidak kurang suatu apa. Hanya pucat dan kurus.
Tiga hari empat malam berada dalam tawanan IVG dan dikembalikan adalah sesuatu di luar dugaan.
Mereka menekan Pak Sumo tentang hubungannya dengan Mas Naryo. Rupanya mereka mencurigai
Pak Sumo sebagai tetangga dekat dan berhubungan erat sebelum doorstoot.
Malamnya Pak Sumo menceritakan tentang perkenalannya dengan orang sesel dalam tahanan IVG
itu.

"Dia sangat tabah. Keadaan jasmaninya sudah lemah betul akibat sik- saan. Tetapi dia tetap
bungkam tidak mau membuka rahasia gerakannya. Dia dituduh memimpin gerakan di bawah tanah.
Tubuhnya yang kekar itu tampak mengurus. Dahinya yang lebar tampak biru-biru memar dan
kacamatanya retak-retak bekas pukulan. Dalam keadaan yang sesengsara itu dia masih menghibur
teman-teman setahanan. Dia yakin tidak lama lagi Belanda pasti angkat kaki dari bumi Indonesia.
Berdebar-debar jantung Pono. Ia segera ingat Oom Hadi, "Orang itu menanyakan rumah kita,
keluarga kita, dan anak-anak Bapak. Dia me nanyakan nama-nama anak Bapak dan sekolahnya. Dia
orang besar menurut anggapan Bapak."

"Siapa nama orang itu Pak," tanya Pono.

"Dia tidak menyebutkan namanya. Dia berjanji akan menemui Bapak kalau sama-sama selamat.
Dan... kemarin pagi, pagi-pagi benar ia dipindahkan ke tempat lain. Ketika akan dibawa, di pintu sel
dia mengucapkan selamat tinggal dan bersalaman dengan Bapak. Kalau Bapak dapat pulang dia titip
salam kepada keluarga Bapak, terutama kepada anak Bapak yang sekolah di SMP itu...."

Terengah-engah nafas Pono. Kemungkinan besar orang itu Oom Hadi. Dia tahu tentang dirinya dari
cerita ayahnya. Andaikata benar, bagaimana nasibnya sekarang. Dipindahkan ke rumah tahanan lain
atau dipindahkan ke.... Oh, andaikata Oom Hadi mau membuka mulut, habis sudah riwayat
gerakannya itu.

Paginya cerita ayahnya itu diteruskannya kepada Agus. Dia sependapat bahwa orang yang sesel
dengan ayah Pono itu adalah Oom Hadi. Terharu ia dan mengagumi kekuatan semangat perjuangan
Oom Hadi. la tidak mementingkan keselamatan dirinya demi kemerdekaan, demi tegaknya Republik
yang sangat dicintainya. Tetapi berita ini tenggelam dalam kegemparan suasana anak-anak di
sekolah itu. Pagi itu ada berita besar yang benar-benar besar bagi anak-anak di sekolah itu. Tadi
malam Pak Parlan diculik oleh gerilya.

Sudah beberapa malam ini tak terdengar suara tembak-menembak. Sepi saja setiap malam. Hal ini
sangat mengherankan. Kegiatan serdadu-serdadu Belanda tampaknya juga tidak sebagaimana
biasanya. Pono dan Agus baru mengetahui dengan jelas dari Mas Totok. Sudah terjadi gencatan
senjata antara Indonesia-Belanda. Atas perintah PBB, Belanda dan Indonesia harus berunding
kembali. Selama perundingan ini pertempuran harus dihentikan. Pono dan Agus heran, bahwa Mas
Totok dan ini dengan dingin saja. Mereka melaksanakan gencatan itu hanya karena para pejuang-
menurut kata Mas Totok-menyambut gencatan senjata patuh kepada pemimpin yang mereka cintai
yaitu Pak Dirman. Selanjut nya mereka tetap waspada dan bahkan bersiap-siap menghadapi
peperangan yang lebih hebat lagi.
"Pekerjaan kita di dalam kota ini akan lebih banyak dan kita akan lebih sibuk."

"Jadi bagaimana rencana Mas Totok?" tanya Agus.

"Bukan saya yang merencanakan. Pokoknya akan banyak yang kita lakukan. Mungkin lebih berat dan
lebih berbahaya."

"Kan sudah gencatan senjata Mas?" tanya Pono. "Di daerah kekuasaannya, Belanda masih dapat
berbuat apa saja. Maka kita harus lebih hati-hati."

Beberapa hari kemudian terdengar berita pula bahwa daerah Yogyakarta sudah dikembalikan
kepada Republik Indonesia. Tentara Belanda ditarik mundur dari daerah ini. Dan beberapa hari
kemudian terdengar berita bahwa Bung Karno dan Bung Hatta sudah dikembalikan ke Yogya
bersama pemimpin-pemimpin lainnya yang sudah ditangkap Belanda. Rakyat merasa lega. Dan
disusul lagi berita bahwa Pak Dirman sudah turun dari medan gerilya, masuk ke Yogyakarta.

Di kota pendudukan keadaan berjalan seperti biasa, hanya jam malam diundur dari jam 10.00 malam
sampai jam 5.00 pagi. Beberapa gedung bioskop yang tidak terkena bumi hangus mulai main.
Dengan demikian ada suasana hiburan malam. Penonton film itu sebagian besar adalah serdadu-
serdadu Belanda. Walaupun sudah gencatan senjata tetapi kota tetap tertutup bagi orang-orang
republik. Di semua jalan masuk dari arah desa dijaga oleh serdadu-serdadu Belanda.

"Nah laksanakan sekarang juga. Sekarang jam 9.30. Kau akan sam- pai di tempat perjanjian kira-kira
jam 10.00 dan berangkat dari sana dengan Zuster Wenda kira-kira jam 10.30. Kalian akan sampai di
tempat paling lambat jam 11.45. Dan kau berdua harus melapor kepada Pak Pujo paling lambat jam
13.30. Mengerti?"

"Mengerti."

"Rumah tempat perjanjian tidak lupa? Coba sebutkan sekali lagi."

"Rumah nomer tiga sebelah kiri gereja kecil, bercat abu-abu, ada

pohon mangga di halaman sebelah kanan di depan pavilyun." "Di mana Zuster Wenda?" "Setelah
kami melempar-lempar mangga beliau akan keluar dan me manggil kami. Dan kami baru akan
menyampaikan sandi pengenal."
Baik, berangkatlah."

Pono dan Agus segera berangkat menuju ke tempat perjanjian. Pagi itu hari Minggu mereka
mendapat tugas mendadak harus mengantarkan seorang zuster ke sebuah desa di luar kota
pendudukan di tepi sungai Elo. Sebagaimana biasa mereka hanya harus melaksanakan apa yang
diperintahkan tanpa banyak komentar. Mereka terpaksa berjalan kaki karena harus melalui jalan
kecil di tengah sawah dan menyeberangi sungai. Karena itu Agus sengaja tidak membawa
sepedanya. Dia tak dapat meninggalkan sepedanya di rumah Mas Totok karena menurut keterangan
hari itu Mas Totok sudah pindah rumah. Memang rumah Mas Totok selalu berpindah-pindah, untuk
menghindarkan diri dari mata- mata.

Pukul 9.25 Agus dan Pono sudah sampai di tempat yang dituju, rumah nomer tiga di sebelah kiri
gereja kecil itu.

"Nah ini dia rumahnya."

Rumah itu besar dan pekarangannya luas sekali. Rumah itu kelihatannya bekas rumah Belanda
sebelum perang dahulu. Pohon mangga di halaman sebelah kanan itu sedang berbuah lebat sekali.
"Nah ayo mulai.", kata Agus sambil mengambil batu dan mulai melempari mangga yang mulai
menguning itu, beberapa buah jatuh dan mereka berdua cepat-cepat mengambil dan akan segera
dimakannya. Mereka lupa bahwa melempar-lempar mangga itu hanya sekedar cara untuk dikenal
menarik perhatian orang yang harus ditemuinya. Mereka sedang sibuk memperebutkan mangga
yang kekuning-kuningan itu ketika seseorang

membuka jendela pavilyun rumah itu. "Hai anak nakal. Siapa mengizinkan kau melempar-lempar
mangga itu? Ke sini."

Pono hampir saja berlari kalau Agus tidak cepat-cepat menyambar lengan bajunya. Mereka berjalan
mendekati orang dalam rumah itu yang hanya tampak bagian atasnya melalui jendela yang terbuka
sebelah.

"Zuster Wenda?"

"Ya," jawab zuster itu," Ada perlu apa?"

"Pesan dari Ismail."


"Ismail yang mana? Ismail yang tua atau yang muda?" "Ismail yang tinggal di selatan kota."

"Baik masuk anak-anak. Kita segera berangkat." Kedua orang anak itu pun masuk ke dalam pavilyun
rumah itu. Tetapi beberapa menit kemudian mereka siap untuk berangkat.

"Ini bawa masing-masing sebuah tas. Tidak terlalu berat saya kira," Zuster itu nampaknya masih
muda. Rupanya ia orang Belanda. Mungkin ia seorang biarawati dari Missi Katolik di kota itu. Tetapi
rasanya selama pendudukan Belanda di kota ini jarang terlihat zuster- zuster itu. Mungkin memang
tidak pernah keluar dari biara..

Mereka telah meninggalkan rumah itu dan menuju ke arah timur, Dua orang petani mungkin petani
desa yang pulang dari pasar kota berjalan kira-kira dua puluh meter di depan mereka. Agus yang
lebih memahami kampung-kampung di bagian kota ini berjalan di depan. Jalan itu agak menurun
berbelok-belok melalui kampung yang bersih. Kira-kira dua puluh menit perjalanan sampailah
mereka ke ujung perkampungan itu sampailah ke jalan kecil di tengah persawahan yang bertingkat-
tingkat. Di sebelah kiri jalan itu ada selokan kecil yang jernih airnya. Pada bagian-bagian yang
melubuk sering terdapat ikan gabus dan ikan wader kecil-kecil. Beberapa anak sedang mengail.
Mereka melihat zuster itu dan menyapa. "Selamat pagi zuster." Zuster itu menjawab dengan tidak
begitu ramah, tidak sebagaimana lazimnya seorang zuster. Mungkin karena ia agak terlalu
kepanasan. Sepanjang jalan itu zuster hampir-hampir tidak berbicara. Pertanyaan-pertanyaan Agus
dan Pono hanya dijawab singkat-singkat saja. Ketika sampai di jalan yang lurus, kedua orang petani
itu ada di depan mereka dalam jarak yang tetap sama dengan pada waktu mereka berangkat,
Mungkin mereka mempunyai tujuan yang sama. Hampir sejam mereka berjalan. Siang hari itu panas
sekali. Zuster Belanda itu wajahnya jadi merah sekali, tetapi jalannya masih kuat. Langkahnya lebar-
lebar sehingga kedua anak itu terpaksa seperti berlari. Beberapa menit kemudian mereka sampai di
tepi sungai Elo. Zuster itu berjongkok melepaskan sepatunya, membelakangi anak- anak itu.
Sementara itu Pono agak kecut hati melihat air sungai yang deras itu. Air yang mengalir di antara
batu-batu itu tampak putih berbusa-busa dan kuat sekali memukul-mukul batu yang hitam halus itu.
Dalam air itu diperkirakan sampai ke pangkal paha anak-anak itu. Makin mengecil hati Pono
membayangkan bagaimana menyeberangi sungai deras dan agak dalam dengan membawa beban
tas itu padahal ia tak dapat berenang. Dia sudah membayangkan dirinya dihempas-hempaskan air ke
batu-batu itu dan dalam keadaan setengah pingsan sampai ke lubuk yang terletak di kelokan di
bawahnya, dan di sana ia akan dipusar-pusarkan air lubuk itu dan sampai ke dasar ia akan diisap
uling. Kali ini Agus juga diam-diam saja, tidak menyombong seperti biasanya. Rupanya dia juga
sedang berpikir seperti Pono. Dalam keadaan diam itu hampir tidak mereka ketahui kedua orang
petani yang semula berjalan di depan mereka itu mendekati kedua anak itu dan berbicara.

"Jliteng, Kelik," kata salah seorang di antara kedua petani itu. Dalam keadaan yang masih terkejut
dan menggagap, Agus menanyakan dengan sandi pengenalnya yang dijawab secara tepat oleh
petani itu. Memang jawabannya meyakinkan, tetapi hal ini adalah di luar rencana Mas Totok. Dia
tidak menyebutkan bahwa harus bertemu dengan dua orang petani itu di tepi sungai ini. Seharusnya
Agus dan Pono mengantarkan zuster Wenda sampai ke sebuah rumah di sebelah surau di desa yang
terletak di seberang sungai yang sudah tampak dari tempat mereka berhenti itu. Dan dua orang
petani itu belum pernah mereka kenal.

"Begini, sungai ini agak deras, sehingga agak repot adik-adik menyeberanginya. Jadi sampai di sini
saja adik-adik mengantar zuster Wenda ini."

"Tapi, tidak bisa Mas," tugas Agus, "kami tidak berani menyalahi perintah." "Tidak apa-apa. Saya
tahu adik-adik harus mengantar zuster ke desa di depan itu, di sebuah rumah di sebelah surau,
bukan?"

"Nah itu Mas tahu, kenapa harus...." "Karena keadaan medan tidak memungkinkan. Aku tidak mau
menanggung resiko, misalnya kau berdua sampai hanyut di kali ini," dia berkata dengan tegas, "....
dan kami tidak mau repot-repot menyeberangkan adik-adik pulang balik, nambah-nambah urusan
saja." Kata-kata itu mengena betul pada dua orang anak itu tapi Agus masih sempat

mencari langkah penyelesaian yang terbaik. "Bagaimana zuster?"

"Goed, saya pikir kalian cukup sampai di sini saja, tidak apa-apa," jawab zuster itu. "Saya sudah kenal
dua orang ini."

Agus masih agak bimbang dan kedua anak itu pun belum mengambil keputusan. "Sudah, jangan
bandel," kata petani itu, "Waktu tidak mengizinkan lagi. Cepat pulang ke Pak Pujo. Sampaikan saja
bahwa zuster Wenda sudah ada di tangan Mas Bejo dan Mas Bugel."

Kedua anak itu masih diam ketika yang bernama Bugel itu setengah membentak. "Sudah cepat
laksanakan. Ini perintah." "Tapi Mas Bejo dan Mas Bugel tanggung jawab?"

"Beres. Kau pulang ke kota kembali menuju ke rumah Pak Pujo melalui jalan yang berbedą. Kau Kelik
melalui jalan ini. Terus ke kanan. Sampai ke bawah pohon cangkring itu belok ke kiri dan di sana ada
jalan kecil. Ikuti jalan itu kau akan sampai ke kota melalui jalan yang dari Pisangan. Dan kau Jliteng
lewat jalan itu, belok ke kanan dan 15 menit lagi akan sampai ke jalan raya. Ikuti jalan raya itu
sampai ke kampung yang pertama kau lalui. Di ujung kampung itu ada jalan kecil ke sebelah kiri. Ikuti
jalan itu. Kau akan sampai ke bilangan pasar. Jangan terus melalui jalan raya. Di sana ada pos
penjagaan Anjing NICA."

"Mas," tanya Pono, "Kalau Mas sudah sejak tadi mengenal kami, kenapa baru sekarang kami disuruh
pulang. Coba tadi, kami tidak usah capek-capek."
"Bodoh," kata mereka sambil tertawa. Dan Mas Bejo itu menjawab, "... tentu saja kami tidak mau
mengambil resiko ditangkap serdadu Belanda di pinggir kampung tadi."

"Sudah cepat pulang. Terima kasih."

"Selamat jalan. Terima kasih." kata zuster itu sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.

Dengan cepat mereka menempuh jalan masing-masing. Dalam hati mereka bertanya tentang macam
tugas apa yang baru mereka lakukan. Beberapa saat kemudian sambil menghirup nafas setelah
berjalan agak mendaki itu, mereka menoleh ke belakang ke arah tempat mereka menyeberang itu.
Terlihat oleh Agus dan Pono dari tempat masing-masing, ketiga orang itu sudah ada di seberang sana
sungai. Mereka melambaikan tangan. Tetapi... zuster Wenda tadi ke mana ...? Yang ada di antara
kedua petani gadungan itu adalah seorang lelaki Belanda yang tegap, gagah, melambai-lambaikan
tangan sambil tertawa.

"Bagaimana Pak," kata Pono kepada Pak Pujo," Kami agak menyimpang dari perintah Mas Totok."

"Tidak apa-apa yang penting sudah sampai ke Bejo dan Bugel. Dan mereka kan sudah di seberang
sungai, jadi sudah sampai ke daerah kekuasaan Republik." jawab Pak Pujo sambil mengisap
cangklongnya. "Siapa sih Pak zuster Wenda itu?" tanya Agus," Kelihatannya orang

penting?"

"Zuster Wenda?" kata Pak Pujo. "Masak kau tidak tahu?" "Tidak Pak, kami belum pernah tahu dan
Mas Totok juga tidak per nah menjelaskan."

"Kau Jliteng eh, siapa namamu, Agus? Kamu juga belum tahu?"

"Belum Pak."

"Coba ingat-ingat," kata Pak Pujo.

Agus mencoba mengingat-ingat tetapi tidak juga dia mengenal siapa zuster Wenda itu. Cuma satu-
satunya tugas yang pernah dilaksanakannya yang berhubungan dengan Belanda ialah waktu
memberikan surat kepada
"Ya itu," kata Pak Pujo, "Tapi ini masih tetap rahasia anak-anak, zuster Wenda yang kauantar ke luar
tadi adalah Sersan Mayor Her- manus van Arkel."

Kedua anak-anak itu terbengong-bengong keheranan. Dan sambil makan siang di rumah Pak Pujo
yang baik hati itu, Pono dan Agus mendengarkan kisah Sersan Mayor Hermanus van Arkel yang
diceritera- kan oleh Pak Pujo kepada Bu Pujo

Sebelum perang dahulu, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, di kota ini tinggal seorang
pegawai Belanda bernama Hendrik van Arkel. Buruh-buruh di perusahaan tempat dia bekerja dan
para pembantu di rumahnya orang-orang Jawa menyebutnya tuan Panangkil. Dia bekerja pada
sebuah perusahaan partikul Dia sangat rendah hati dan bersikap hormat kepada orang-orang
pribumi. Dia mencintai alam Indonesia dan menyenangi budaya Indonesia. Dia bahkan menikah
secara sah dengan seorang wanita Jawa dari kalangan rakyat biasa. Dari perkawinannya ini ia
mendapat dua orang anak, seorang laki-laki Hermanus dan seorang lagi perempuan Marieke van
Arkel.

Walaupun dalam pergaulan mereka dengan orang-orang Belanda agak tersisih tetapi mereka hidup
berbahagia sampai dengan meletusnya perang Pasific. Ketika Pemerintah Hindia Belanda bertekuk
lutut kepada dai Nippon tuan H. van Arkel ditangkap dan diinternir oleh Jepang. Selanjutnya
menurut berita tuan H. van Arkel ini meninggal dalam tahanan Jepang yang sangat kejam itu.

Ketika menjelang perang Pasific orang-orang Belanda terkena wajib militer. Waktu itu Hermanus van
Arkel sudah pemuda. Ia duduk di kelas tertinggi HBS di Semarang. Sebagai pemuda warga negara
kera- jaan Belanda ia masuk milisi.

Jepang mendarat di pulau Jawa. Seluruh tentara Hindia Belanda yang biasa disebut KNIL dari kota-
kota di pulau Jawa mengundurkan diri ke kota kecil Cilacap yang terletak di pantai selatan pulau
Jawa. Di pelabuhan ini ribuan serdadu KNIL itu berebut naik kapal perang yang hanya beberapa buah
yang akan membawa mereka mengundurkan diri ke Australia. Mereka yang tidak beruntung
mendapat tempat di kapal segera membuang senjata dan menanggalkan seragam mereka dan mem-
baurkan diri dengan rakyat. Mereka beramai-ramai pulang ke kampung

halaman mereka masing-masing. Hermanus van Arkel termasuk yang beruntung mendapat tempat
di kapal dan beruntung pula kapalnya tidak tenggelam kena bom Kamikaze Jepang. Dia bersama-
sama dengan serdadu-serdadu Belanda yang lain selamat sampai di Australia dan bermukim di sana.
Menjelang akhir perang Pasific, ia bersama dengan tentara Sekutu yang lain, di bawah pimpinan
seorang jendral Amerika Serikat Mc. Arthur ikut bergerak meloncat dari pulau ke pulau dan
akhirnya mendarat di Irian. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, ia bersama-sama dengan
pasukan tentara NICA mendarat di Jakarta. Sebagai anggauta tentara kerajaan Hindia Belanda ia
dengan penuh semangat memerangi pasukan-pasukan pejuang Indonesia yang waktu itu bernama
BKR. Dia beranggapan bahwa Hindia Belanda harus kembali kepada pemiliknya sebelum perang
yaitu Kerajaan Belanda. Dia juga beranggapan bahwa rakyat Indonesia belum pantas merdeka.
Pemberontak-pemberontak itu adalah orang-orang yang kena hasutan Sukarno, Hatta dan kawan-
kawannya. Dia sangat kesal melihat ulah para pemuda Indonesia yang hanya bersenjata bambu
runcing membuat kerusuhan di mana-mana. Dia ingin pemberontakan orang-orang Indonesia ini
segera dapat dipadamkan dan dia dapat segera bertemu kembali dengan ibu dan adik
perempuannya di Magelang. Dia sudah mengetahui tentang nasib ayahnya yang meninggal dalam
interniran Jepang.

Alangkah bahagianya pertemuan itu nanti. Mamie tentu sudah agak tua. Mungkin rambutnya sudah
mulai memutih. Dan Rieke tentu sudah menjadi gadis yang cantik dan cerdas.

Sersan Mayor Harmanus van Arkel duduk di atas sebuah tank dari peleton kavaleri yang
dipimpinnya. Tank-tank itu sedang bergerak memasuki kota ini. Dadanya sesak dengan kebanggaan
yang memadat. Dia merasa sebagai seorang pahlawan yang berhasil merebut kembali kota
kelahirannya dari tangan musuh. Ibu dan adiknya telah tampak di depan matanya. Beberapa waktu
saja setelah kota ini dikuasai oleh ten- tara Belanda, Hermanus dengan dikawal tiga orang
bawahannya melarikan sebuah jeep langsung menuju ke rumah nomer tiga di sebelah kiri gereja itu.
Rumah itu adalah rumah keluarga van Arkel. Langsung saja jeep itu memasuki halaman rumah dan
berhenti tepat di depan pintu. Seperti anak kecil yang manja Hermanus meloncat dari jeepnya dan
sambil berteriak-teriak memanggil ibu dan adiknya menghambur masuk ke dalam rumah yang
pintunya tidak terkunci itu. Dimasuki ruang tengah, ruang makan, kamar tidur ayah ibunya, kamar
tidur adiknya, kamar tamu, kamar kerja ayahnya dan kamarnya sendiri. Tetapi semuanya kosong.
Seperti orang kalap ia berlari ke pavilyun, ke dapur dan ke rumah kecil pembantu setia - Pak Karto
bersama keluarganya. Kosong. Semuanya kosong. Ke mana mereka. Kalau dilihat keadaannya, jelas
rumah ini belum lama ditinggalkan penghuninya. Potret ayahnya, potret keluarganya semua masih
lengkap terpasang di dinding persis seperti sebelum ditinggalkannya dahulu. Hermanus mondar-
mandir kebingungan dalam rumah itu. Membuka almari, membuka rak-rak, masuk ke luar kamar, ke
depan, ke belakang dan akhirnya putus asa ia terduduk di kursi dalam kamar orang tuanya.
Dipeluknya bantal ibunya dan sersan mayor yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Oh,
harapan yang telah sangat lama, lama sekali diimpi-impikannya. Ter- nyata semuanya kosong,
kosong. Dengan langkah gontai ditutupi semua pintu dan dikunci dan kembali ia ke tangsi dengan
menahan tangis yang

sangat pedih. Beberapa minggu kemudian Hermanus baru berhasil mendapat keterangan bahwa ibu
dan adiknya semuanya mengungsi menghindarkan diri dari tentara pendudukan Belanda. Berita
yang tambah menyakitkan hatinya yang pedih itu.

Orang hampir tidak mengenalnya sebagai nyonya van Arkel. Anak- anak muda dalam kesatuan TNI
itu hanya mengenalnya dengan panggilan mesra mereka, Ibu Imah. Wanita setengah baya itu selalu
terbuka mem- bantu para pemuda yang tengah mempertaruhkan nyawanya untuk tanah air
tercinta. Ia bekerja di dapur umum. Ia juga membantu di palang merah. Dalam keadaan sibuk ia
masih menghibur anak-anak muda pejuang yang kelihatan murung. Dan ketika kota ini diduduki
Belanda dan tentara Republik mengundurkan diri ke gunung, ia tinggalkan rumahnya yang besar dan
menyenangkan itu. Ia bersama dengan mereka. Ia ikut serta dengan mereka membela kemerdekaan
negaranya yang sedang dirobek-robek oleh Belanda. Keadaan telah mengubah Rukimah, anak rakyat
istri tuan van Arkel itu menjadi seorang pejuang. Keadaan perubahan zaman telah menyadarkan diri
Ny. Rukimah van Arkel untuk mencintai kemerdekaan negaranya lebih dari segala hak miliknya.

Belum sampai satu setengah bulan Belanda menduduki kota ini, Bu Imah sudah mendapat berita
pasti bahwa anak laki-laki satu-satunya telah berada di kota kelahirannya. Hermanus anak yang
sangat dicintai dan dirindukannya. Anak lelaki yang selalu diimpi-impikannya itu kini telah kembali.
Tetapi dia kembali ke kota ini justru sebagai salah seorang serdadu yang memusuhi negaranya.
Pelbagai macam perasaan bertempur dalam hati Bu Imah. Rasa sukur karena anaknya yang telah
bertahun-tahun tak terdengar beritanya masih selamat. Rasanya ingin ia terbang malam itu juga ke
dalam kota untuk menemui, memeluk dan menciumi anaknya itu. Rasanya Bu Imah mau menjerit
keras-keras menyatakan kerinduannya, kegirangannya, dan kebingungannya yang tak tertahan
dalam hatinya. Selama tujuh tahun berpisah dengan anak yang sangat dibanggakannya itu, Bu Imah
sangat bangga dengan anak- anaknya. Mereka mewarisi bentuk tubuh dan raut wajah dan warna
kulit ayahnya, tetapi rambut dan biji matanya berwarna hitam, warna Indonesia. Tidak, mereka
bukan Belanda. Anak-anakku Indonesia. Lihat warna rambutnya, lihat biji matanya. Dan kulit mereka
pun bukan putih bule. Oh, Herman, bagaimana bentuknya sekarang. Dia pasti gagah, cakap dan
sangat menarik. Mungkin dia sudah kawin. Tentu, tentu dia sudah punya kekasih. Ditekankan bantal
itu ke wajahnya. Bersamaan dengan air mata yang panas membasah, tak terasa tangis meluncur dari
dadanya yang serasa meledak. Oh, hanya beberapa belas kilometer jarak yang memisahkannya
dengan anaknya. Kalau sekarang ini juga kakinya dilangkahkan ke kota, tidak sampai dua jam
kemudian ia sudah akan berpelukan dengan anaknya. Terlalu dekat rasanya jarak itu. Tetapi di
antara jarak yang dekat itu menganga jurang yang terjal dan dalam. Dan jurang perbedaan tekad
pengabdian itu tak mungkin dijembatani. Salah seorang harus mengalah. Anaknya Herman atau
dirinya. Tinggalkan perjuangan ini. Biar mereka meneruskannya. Kembali ke kota dan menemui
anaknya yang sangat dikasihinya. Tidak. Tidak mungkin. Dia telah bertekad bulat. Bagaimana nasib
anak-anak itu. Mereka memerlukan tenaganya. Mereka memerlukan pikirannya. Mereka
memerlukan pengorbanannya. Mereka juga memerlukan hatinya yang lembut dan ramah itu. Dan
pertentangan dalam hati Ibu Imah ini belum juga menemukan penyelesaiannya. Antara kasih sayang
seorang ibu terhadap anaknya dan seorang pejuang terhadap tanah airnya sedang bertempur dalam
hatinya. Berhari-hari, bermalam-malam, pertempuran dalam hati itu belum juga reda. Komandan
kesatuan itu menyarankan agar Ibu Imah kembali saja ke kota dan membantu perjuangan dari sana.
Tetapi saran itu tak berhasil menenangkan pertentangan hatinya.

Beberapa hari kemudian Ibu Imah memegang surat bersampul rapi sekali menghadap komandan
kesatuan. Sebagai seorang anak buah ia meminta kepada komandan itu, tetapi sebagai seorang ibu
yang disenangi dan disegani oleh semuanya ia memerintah komandan itu. Surat yang ada di
tangannya itu harus sampai kepada anaknya dan mendapat balasan. Komandan dipersilakan
membacanya sebelum surat itu dikirim. Tugas itu ternyata tidak ringan. Bagaimana menyampaikan
sepucuk surat kepada salah seorang serdadu musuh dengan tidak diketahui oleh yang lain dan harus
sampai kepada alamat tanpa mengetahui siapa pembawanya dan harus mendapatkan jawaban.
"Baik," kata komandan itu, "tugas ibu," sambil tersenyum agak mengejek, "... akan saya usahakan
pelaksanaannya. Ini tugas sulit Bu Imah, dan akan melibatkan banyak orang." Bu Imah mengucapkan
terimakasih dengan tidak peduli akan serba kesulitan yang akan timbul karena suratnya itu.
Komandan segera mengadakan perencanaan dan mengatur pelaksanaan sampai sekecil-kecilnya dan
memberikan tugas- tugas kepada bawahannya. Benar, banyak orang terlibat dalam penyampaian
sepucuk surat itu. Dan dalam rantai penyampaian surat yang pan- jang ini, Agus terlibat pada bagian
yang paling ujung. Dan di samping itu ada petugas lain yang harus menyelidiki tanggapan Sersan
Mayor Hermanus terhadap surat ibunya.

Terbelalak mata Hermanus melihat surat yang terletak pada jok jeepnya siang itu. Seratus tahun pun
ia tak kan lupa akan tulisan ibunya. Tulisan itu, tulisan ibunya, seorang wanita pribumi yang cerdas
walaupun hanya sampai klas IV sekolah angka dua. Disambarnya surat itu, diciumnya dan akan
segera dibacanya. Tetapi tak terdapat stempel pos pada surat itu. Jadi siapa yang membawanya. Ia
menoleh ke kanan, ke kiri. Tak ada yang dapat diduga membawanya. Jadi, pasti ada sesuatu yang
tidak beres. Main-main? Siapa pula yang mau membuat lelucon. Ah, kalau saja tahu ia siapa yang
menyampaikan surat itu mau rasanya ia memberi hadiah F.5, kepadanya. Tentu ada sesuatu di
belakang penyampaian surat itu. Cepat-cepat dikantonginya surat itu dan jeep itu dilarikannya
pulang ke mess.

Dilemparkannya tubuhnya ke atas dipan di kamar mess itu. Tanpa membuka sepatu, terlentang di
atas kasur dipan sambil terengah-engah, dibacanya surat ibunya itu.

Kesayangan dan kebanggaan mama, HERMANUS VAN ARKEL

Mama merasa bahagia sekali bahwa anakku telah tiba kembali di kota kelahiranmu dalam keadaan
selamat. Bertahun-tahun kita berpisah anakku dan selama itu mama selalu berdoa bagi
keselamatanmu. Syukur, apa yang sering tampak dalam mimpi yang paling jelek tentang dirimu
ternyata tidak terjadi. Tuhan mengabulkan do'a kita. Kau anakku, selamat dalam mengarungi masa
yang paling sulit selama perang besar yang telah lampau. Kini kau telah kembali. Betapa besar
keinginanku untuk segera terbang menemuimu sekarang juga, untuk memelukmu, mencium
keningmu dan mengusap-usap rambutmu.

Tetapi ketahuilah anakku, untuk sementara atau mungkin untuk selama-lamanya mama terpaksa
oleh keadaan belum dapat melaksanakan semua itu. Untuk sementara atau mungkin untuk selama-
lamanya hubungan antara mama dan kau anakku dipisahkan oleh dinding batas yang belum mungkin
atau tidak akan tertembus. Anakku, sekarang ini kau berada dalam suatu fihak yang memusuhi
negara Republik Indonesia yang kebetulan mama ada di dalamnya. Kau anakku sedang merobek-
robek Republik ini, sedang mama sedang ikut mati-matian mempertahankannya.
Anakku, mama tidak menyalahkanmu. Kau adalah warga negara Belanda, negara almarhum papamu.
Adalah wajar kalau kau membela kebesaran negaramu. Sedangkan di pihak lain, mama merasa wajib
membela tanah air mama Indonesia. Tetapi ingatlah anakku, kau dilahirkan di bumi Indonesia ini.
Kau hirup udaranya, kau minum airnya, kau makan hasil buminya, dan kau nikmati keindahan
alamnya. Kau bahkan belum pernah mengenyam semuanya itu setitik pun dari negara- mu Kerajaan
Belanda. Dan yang penting lagi, kau dilahirkan dari rahim seorang wanita pribumi negeri ini.

Menurut keyakinan mama, negaramu ada di pihak yang salah. Negaramu tidak menyadari
perubahan besar yang sedang terjadi dalam Sejarah umat manusia di muka bumi ini. Kami orang-
orang pribumi negeri ini sedang menuntut haknya yang paling mulia yaitu kemerdekaan bagi
negaranya. Sekali lagi mama tidak menyalahkanmu. Tetapi hendaklah kau anakku memahami
pendirian mamamu. Anakku, hendaklah kau ketahui betapa rindunya mama kepadamu. Bertahun-
tahun lamanya mama mendambakan pertemuan ini. Mama selalu membayangkan dirimu, kulit
dagingku, darahku dan nyawaku.

Tubuhmu yang gagah tampan, kulitmu yang cerah, dan mata serta rambutmu yang persis seperti
mata dan rambutku. Mungkin harapan untuk bertemu itu tidak akan dapat terlaksana. Tetapi apa
boleh buat anakku. Biarlah semua itu merupakan pengorbanan mama terhadap tanah air mama dan
pengorbananmu terhadap negaramu.

Anakku, kasih sayang mama kepadamu terpaksa mama korbankan buat tanah air mama. Semoga
kau selalu berbahagia dan berhasil. Mama terpaksa menyembunyikan alamat mama.

Peluk cium mama dari daerah gerilya,

mamamu

Adikmu Rieke berjuang di barisan palang merah; Calon suaminya pemuda pribumi, seorang sersan
mayor AURI.

Pedih, sakit, marah, iri, cemburu, malu, benci, sesal, putus asa, berebut seketika berdesak-desak
memadati rongga dadanya. Dikepalkan kedua buah tinjunya. Dipukul-pukulkannya ke kasur dan
dihempas- hempaskannya kepalanya ke sandaran dipan tempat tidurnya. Ingin ia berteriak meraung
sekuat-kuatnya. Serasa hendak meledak dadanya, sementara keringat keluar membasahi sekujur
badannya. Gelap. Semuanya gelap. Dan di luar kesadaran dirinya melompat ia dari tempat tidurnya.
Disambarnya kunci jeepnya, lari ia seperti memburu setan. Dibantingnya pintu kamar dan meloncat
ke dalam mobil dinasnya itu. Dilarikannya mobil itu dengan kecepatan menggila. Tanpa tujuan jeep
itu meluncur terbang berputar-putar di sepanjang jalan-jalan kota seolah meledakkan semua isi dada
yang menggunung itu. Entah berapa kali jeep itu berputar-putar menerjang menjelajahi jalan-jalan
itu ketika akhirnya rem menderit keras di depan mess itu. Dalam keadaan pakaian, wajah dan
rambut yang kocar-kacir ia seret sepatunya memasuki kamarnya. Ia lemparkan tubuhnya di tempat
tidur itu dan hilang kesadarannya ditelan kecapaian jasmaninya.
Rieke menjerit keras. Darah keluar dari pipinya. Hermanus kecil tertegun. Sangat menyesal ia akan
perbuatannya. Tapi ia tidak merasa bersalah. Rieke merebut saja pistol mainan itu. Hermanus sudah
melarangnya. Tetapi Rieke nona kecil yang manis itu nekad terus merebutnya. Hermanus
mempertahankannya. Dan terjadilah yang sangat tidak diinginkannya. Pistol mainan lepas dari
tangannya dan ujungnya menggores pipi kiri adiknya. Bersama dengan jerit Rieke, mamanya,
jongos, koki, tukang kebun, Pak Karto dan Mbok Karto yang nyinyir itu, semuanya menghambur
masuk ruang belakang pavilyun tempat sinyo dan nonie itu bermain-main. Mamanya segera
menangkap tangan Hermanus ditarik ia ke pojok dan harus berdiri di sana sebagai hukuman atas
kenakalannya. Tidak. Tidak mau. Dia tidak merasa bersalah. Semuanya terjadi tidak disengaja. Mama
tidak adil. Mama jelek. Rieke yang salah. Rieke malah dirayu-rayu, dibujuk-bujuk sambil diobati
lukanya yang tidak seberapa itu. Sangat iri ia terhadap adiknya walaupun rasa sayangnya tetap
terasa di hatinya. Ia ingin lari dari pojok itu, tetapi ia tidak berani. Ia selalu takut melanggar perintah
mamanya. Keadaan masih kacau ketika papanya datang. Dan semuanya jadi beres.

Malamnya Hermanus yang sudah tujuh tahun itu berbaring-baring manja di sebelah kanan
mamanya, sedang Rieke ada di sebelah kirinya. Asyik mereka mendengarkan dongeng mamanya,
dongeng Timun Emas dan sebangsanya, dongeng pribumi yang sangat disenanginya. Tangan
mamanya tidak berhenti-henti mengusap rambut Hermanus kecil yang lembut, hitam legam itu.

"Mama, kenapa siang tadi dihukum. Kan Herman tidak salah, Rieke yang nakal," tanya Hermanus
dengan tenang sementara matanya. memandang ke langit-langit.

"O itu? Tanyakan saja kepada papa. Papamu selalu bijaksana," jawab mamanya sambil memandang
suaminya yang sedang membaca. Tuan Hendrik van Arkel meletakkan bukunya, membuka
kacamatanya dan menjawab pertanyaan anak laki-lakinya. "Baik. Hermanus anak laki-laki. Rieke adik
perempuanmu. Lelaki harus gallant. Laki-laki harus mengalah kepada adik perempuannya. Herman
harus melindungi Rieke. Seharusnya Herman memberikan pistol mainan itu kepada Rieke biar
dipinjam sebentar. Begitu, ya? Dan Rieke tidak boleh merebut. Harus minta izin dulu baik-baik.
Mengerti Rieke?"

Tenang sekali perasaan Herman. Puas ia akan penjelasan papanya. Bersamaan dengan itu mamanya
mencium keningnya dan Rieke yang empat tahun itu ikut-ikutan mencium keningnya, pipinya, dan
langsung bahagia yang sangat nyaman terasa sampai ke sumsum-sumsumnya. saja Herman
mencium mama dan adiknya. Damai, sejuk, tenteram, dan tertidurlah Hermanus kecil itu di tengah
naungan cinta kasih mama, papa dan adiknya.

Tengah malam Sersan Mayor Hermanus van Arkel terbangun. Acuh saja ia mendengar tembak-
menembak yang bising di sekitarnya. Hatinya kosong. Ia merasa terpencil sendiri. Ciuman mama dan
adiknya masih terasa kuat membekas di hatinya. Dirabanya kening dan pipinya. Hampa. Segala
kesombongan hatinya lenyap. Terasa betapa besar kerinduannya akan kedamaian. Dan kedamaian
itu melekat pada mama dan adiknya. Tetapi perang telah menghancurkan semuanya. Dan perang
yang sedang berlangsung itu lebih-lebih lagi memusnahkan semua harapannya. Harapan yang
didambakan selama bertahun-tahun dalam suasana antara hidup dan mati. Harapan itu hanya ingin
bertemu, mencium dan dicium mama dan Rieke adiknya.

Tembak menembak makin hebat. Suara rentetan tembakan brand, ledakan peluru mortir, dan kilat
terang sinar peluru suar tidak berhasil mengusik suasana batinnya. Bosan. Peperangan, kekerasan,
pembunuhan, sudah bertahun-tahun dialaminya. Pertempuran- pertempuran besar terjadi di setiap
pulau sejak dari Rabaul sampai ke Irian. Semua ia ikuti dengan semangat muda. Berperang,
menyerang, menembak atau ditembak, membunuh serdadu Jepang. Dia ikuti semuanya dengan
gagah berani dengan tujuan terakhir merebut Hindia Belanda dan bertemu dengan mama, Rieke dan
papanya. Tapi sekarang ia harus berhadapan dengan mamanya, adiknya, kekasih adiknya dan bangsa
mamanya sebagai musuh yang harus ditembaknya, harus dibunuhnya dan mungkin membunuhnya.

Sejak itu ia jadi pendiam dan pemikir. Mana yang benar. Politik pemerintah negaranya atau
perjuangan bangsa ibunya. Mana yang benar. Membela kepentingan kerajaan Belanda atau
memihak kemerdekaan Indonesia. Semuanya sulit. Mungkin mereka semua benar. Tetapi bagi
Hermanus tidak ada pilihan lain. Memusuhi mama, adik, kekasih adiknya atau mengkhianati
pemerintah negaranya. Semuanya sulit untuk dipilih.

Dia mencintai kota ini, negeri ini. Dia tidak pernah mengenal negara papanya. Dia tidak pernah
mempunyai keinginan untuk sewaktu-waktu kembali ke negara ayahnya. Andaikata perang selesai
dan negeri ini menang berhasil merdeka, dia harus kembali ke Nederlands yang tak pernah
dikenalnya. Dia harus berpisah selamanya dengan kota ini, negeri ini dan terutama mama dan
adiknya. Di negara papanya mungkin ia akan diperlakukan lain oleh mereka yang seratus persen
berdarah Belanda. Untuk pindah menjadi warga negara Indonesia yang pernah dimusuhinya, di
mana akan disembunyikan wajah kejantanannya. Tetapi kemungkinan negeri ini memang sangat
kecil menurut anggapannya. Onmogelijk. Andaikata negeri ini kalah perang, dan rasanya tidak akan
lama lagi, ia akan tetap tinggal di sini dan sebagai penguasa sebagaimana zaman papanya dahulu. Ia
bisa tinggal di rumah keluarga van Arkel. la bisa bekerja di kota ini, menikah di sini, berkeluarga di
sini. Tetapi satu kemungkinan yang sangat mengerikan bisa terjadi. Mamanya, Rieke, kekasih Rieke
semuanya tewas dalam peperangan ini atau mereka dibuang ke Digul atau Nusakambangan atau
lainnya. Lalu apa arti kemenangan itu bagi dirinya. Kota sejuk yang indah ini, negeri yang indah ini,
dan kekuasaan yang didapatnya itu, akan merupakan penjara yang menyiksa dirinya selama-
lamanya.

Beberapa bulan kemudian putusan telah bulat dalam hatinya. Dia ingin bertemu, mencium dan
dicium oleh mama dan adiknya dan merangkul kekasih calon suami adiknya; dan berjuang bersama
mereka dan gugur bersama mereka atau dibuang ke Digul bersama mereka. Keputusan Hermanus
van Arkel ini telah bulat di hatinya. Apa pun yang akan terjadi siap ia menghadapinya.

Akhirnya dia berhasil dihubungi oleh para pejuang dalam kota ini sesuai dengan rencana kerja
komandan kesatuan TNI, tempat Ibu Imah menggabungkan diri. Hermanus mulai membantu
perjuangan Republik. Rencana operasi dan penyerbuan Belanda beberapa kali dapat dibocorkan ke
fihak Republik. Dengan demikian korban yang lebih besar dapat dihindarkan, terutama dari fihak
rakyat. Dia juga membantu mengusahakan keperluan-keperluan seperti obat-obatan dan peralatan-
peralatan penting lainnya. Dia meminta kepada fihak gerilya untuk segera diambil supaya segera
dapat bertemu dengan mama, adik, dan kekasih adiknya dan dapat ikut merasakan perjuangan
mereka. Tetapi bagi kepentingan perjuangan dia masih harus bersabar. Dan pada saat yang telah
diperhitungkan matang-matang, dia dijemput oleh Agus dan Pono, dan dikawal oleh Beja dan Bugel,
sebagai zuster Wenda ia kem- bali kepada mamanya, adiknya dan ke pangkuan tanah airnya.

Keadaan di sekolah itu berjalan seperti biasa. Sejak Pak Parlan diculik gerilya sekolah itu dipimpin
oleh Pak Ranu, guru bahasa Belanda yang tidak disukai anak-anak itu. Kebrandalan anak-anak makin
meningkat. Pembicaraan dan sikap yang pro Republik makin terang-terangan.

Berkali-kali Agus menerima surat dari ibunya, supaya diantar ke Jakarta. Keadaan sudah normal kata
ibunya. Tetapi Agus tetap tidak mau.

Pak Sumo tetap tidak mau bekerja pada pemerintah federal.

"Biarlah," katanya. "Kita sudah terbiasa hidup miskin begini."

Mas Naryo alias Mas Totok tak pernah kelihatan lagi. Dia ditarik ke luar kota di daerah gerilya. Agus
dan Pono sibuk sekali akhir-akhir ini. Banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan atas perintah Pak
Pujo. Kadang-kadang tugas itu harus dikerjakan bersama Ely.

Akhir-akhir ini sering terjadi pencurian dan penyerobotan mobil-mobil dinas militer Belanda. Anak-
anak muda menyerobot mobil-mobil itu dan dilarikannya ke arah tenggara.

Di jalan-jalan masih sering nampak mobil-mobil patroli MP Belanda. Dan lebih sering terlihat mobil-
mobil KTN. Di sebuah gedung yang terletak di pojok sebuah perempatan jalan arah ke utara alun-
alun sering terlihat setiap hari, tentara KTN ini bersama dengan serdadu Belanda totok dan beberapa
orang tentara Republik. Kelihatannya mereka itu berpangkat semua. Orang-orang mengenalnya
dengan kantor LJC. Apa yang dikerjakan para perwira itu tentu saja orang-orang tidak
mengetahuinya.
Suatu petang Pak Pujo mengatakan kepada anak-anak itu. "Semen- tara ini kau boleh beristirahat.
Tidak ada tugas lagi. Dan ...," kata Pak Pujo nampak sedih, "... mungkin kamu tidak ketemu lagi
dengan Oom Pujo ...."

"Bapak mau ke mana?" tanya Ely.

"Bagaimanapun aku adalah anggota polisi federal. Sewaktu-waktu aku harus mengikuti mereka."

Pagi itu nampaknya sunyi sekali. Terasa adanya suasana agak tegang meliputi kota ini. Serdadu-
serdadu KNIL yang berseragam lengkap nam- pak mondar-mandir dalam jeep dan power mereka.
Mereka tampak merengut dan lesu. Kemudian mereka tidak nampak lagi. Lalu jeep-jeep patroli MP
bersimpang siur dengan sirene dibunyikan. Ini pun kemudian tidak nampak lagi. Dan kemudian jeep-
jeep putih berlambang PBB dengan tentara KTN kelihatan mondar-mandir di kota ini.

Pagi itu berpuluh-puluh mobil serdadu Belanda penuh dengan muatan manusia, beriring-iring
menuju ke arah utara, Semarang. Paling depan adalah mobil-mobil berlapis baja. Disusul oleh jeep-
jeep, power dan truk-truk yang padat dengan muatan serdadu-serdadu KNIL. Di belakangnya
menyusul truk-truk yang sarat dengan muatan orang-orang sipil bangsa Indonesia. Mereka ini adalah
pegawai-pegawai penting federal yang merasa dirinya terancam oleh Tentara Republik. Di
belakangnya menyusul kendaraan-kendaraan polisi yang membawa anggauta-anggauta polisi federal
dengan keluarga mereka. Dan yang paling belakang adalah mobil-mobil berlapis baja, menutup iring-
iringan ini. Wajah-wajah penumpang mobil iring-iringan ini nampaknya suram, murung dan lesu.

Beberapa jam lamanya kota menjadi sepi, sementara di LJC nampak kesibukan-kesibukan mereka.
Serdadu-serdadu Belanda itu lenyap dalam waktu yang sangat singkat, seperti halnya waktu mereka
datang. Orang-orang di jalan-jalan heran dan penuh tanda tanya.

Dan siang itu, barisan yang panjang, sangat panjang, nampak memasuki kota. Mereka datang. Semua
orang keluar dan memadati pinggir-pinggir jalan yang dilewati barisan itu. Pekik merdeka meng-
guruh terdengar di sepanjang jalan. Merah Putih bermunculan di depan setiap rumah penduduk.
Dalam waktu sekejap seluruh kota bermandikan warna merah putih di mana-mana. Heran,
bagaimana orang menyimpan bendera nasional mereka masa pendudukan selama ini. Dan di
selatan, di puncak Tidar tiba-tiba saja Sang Merah Putih sudah berkibar di sana. Di tempat yang
tinggi itu tampak dengan jelas lam- bang kejayaan bangsa dan negara dengan tenang melambai-
lambai

seolah mengucapkan amat bahagia kepada penduduk kota ini. Pono, Agus, Ely, dan banyak sekali
anak-anak yang lain berdiri di tepi jalan itu.

"Merdeka." "Merdeka." "Hidup Republik." "Hidup Indonesia." "Hidup TNI." "Hidup Pak Dirman."
"Hidup Bung Karno."
Teriakan itu susul-menyusul, sambut-menyambut. Barisan demi barisan melewati mereka. Pemuda-
pemuda itu, tentara-tentara Republik itu, nampak segar-segar dengan pakaian seragam gerilyanya.
Ada yang hitam, ada yang hijau, ada yang persis seragam KNIL, dengan senjata- senjata mereka yang
beraneka ragam. Ada stengun, ada mitraliyur buatan Jepang, mortir, karabyn Jepang, brand
Amerika, ada yang tidak bersenjata. Seseorang dari setiap kesatuan itu membawa Merah Putih. Di
antaranya ada yang sudah kumal karena dibawa ke mana-mana selama hampir setahun bergerilya,
tetapi nampak lebih agung dan gagah. Mereka nampak sangat megah dan hebat di mata penduduk
yang memadati tepi-tepi jalan itu. Mereka menyambut teriakan penduduk itu dengan ramah tetapi
bersemangat.

"Merdeka." "Merdeka." "Hidup TNI."

"Hidup Republik Indonesia."

Dan terdengar mars perjuangan yang terkenal itu. Mereka menyanyi dengan semangat diikuti oleh
semua orang sambil bertepuk mengikuti irama;

Magelang kembali, Magelang kembali.

Kota Tidar kota permai, telah lama ku perjuangkan. Korban jiwa dan segala, pada Magelang ku
baktikan.

Sekarang saatnya telah tiba Republik kembali ke Magelang.

Dengan bebas dan merdeka, Republik sudah kembali.

Entah berapa lamanya lagu mars itu menggema menggegarkan seluruh kota. Sampai tenggorok
mereka sesak dan suara jadi parau, tetapi mereka tetap menyanyi. Barisan demi barisan dari
pelbagai kesatuan berjalan terus. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.

"Hallo Agus, Pono, Ely."

"Hai Mas Naryo, Mas Anton," teriak anak-anak itu kegirangan. "Hai Mas Bejo, Mas Bugel," teriak
Pono dan Agus sambil mengacungkan tinju mereka. Dan kedua orang muda itu sambil tertawa,
"Hallo Merdeka, Jliteng, Kelik."
Setetes air mata melecit dari ujung-ujung mata Ely. Mas Akhmad serasa nampak di antara mereka
yang baru datang itu.

"Hai Agus, anak nakal," teriak seseorang dari barisan Tentara Pela- jar.

"Oom Didiiiiittt," teriak Agus penuh emosi. Kembali sifat manjanya muncul demikian ia melihat
pamannya. Dengan kurang ajar mengham- bur ke dalam barisan itu dan diterima dengan pelukan
pamannya dan dilemparkan ke atas. Sejenak jadi tontonan orang dan kemudian Agus kembali ke
pinggir jalan dengan malu-malu. "Hallo Wati, Ely," teriak seseorang dari barisan itu.

"Mas Mul, Mas Pram, Mas Tiyo," seru anak-anak.

Barisan Tentara Pelajar ini sangat menarik perhatian anak-anak. Mereka rata-rata saling berkenalan
bahkan saling berhubungan selama pendudukan Belanda. Rata-rata mereka terdiri dari pelajar-
pelajar SMT, dan klas-klas tinggi SGN, STN, dan SMP yang sudah besar-besar.

"Harti, Peni, Dati," seru mereka sambil melambai. "Mas Wid, Giyono, Nandar, Mas Rus," seru anak-
anak itu.

Teriakan-teriakan gembira bersemangat dan mars itu berlangsung terus sementara barisan menuju
ke lapangan upacara. Dan semuanya berakhir setelah upacara selesai. Barisan bubar dan mereka
menyebar ke tepi lapangan itu mencari keluarga mereka masing-masing. Adik, kakak, ayah, ibu,
paman, nenek, sahabat, kekasih, saling bertemu, bersalaman, berpelukan dalam suasana bahagia
yang mengharukan. Mereka yang tidak menampak keluarganya dalam barisan itu tersedu menahan
tangis. Mereka telah kehilangan salah satu anggauta keluarga mereka dalam. perjuangan ini.

Suasana gembira, suasana pesta, suasana sukur mewarnai wajah seluruh kota. "Dik Pono, Dik Agus
dan kau Dik Ely," kata Mas Naryo, "nanti kita kumpul ya."

"Di mana?"

"Di rumah Pak Parlan."

"Pak Parlan? Penjilat Belanda yang diculik itu?"


"Goblok, beliaulah otak dari semua pekerjaan kita."

"Kenapa diculik?"

"Itu cuma siasat saja, bodo. Beliau juga turun dari gunung hari ini." Sampai di rumah Agus bergulat
dengan paman yang sangat menyayangi dan memanjakannya itu. Agus menceritakan
pengalamannya selama ini dengan ketus kepada pamannya, di depan kakek dan neneknya.

"Hebat kemenakan oom Didid," kata pamannya mengacungkan jempol tangan kanannya. "Kamu
juga akan menerima surat pengakuan dari menteri Pertahanan atas semua pekerjaanmu itu,"

"Apa iya, oom?"

"Namamu tercatat sebagai pejuang, tidak berbeda dengan oom dan kawan-kawan oom Didid."

"Masyaallaaaaaaaaaaaah," kata neneknya. "Hehh. Kalau nenek tahu dulu-dulu semuanya itu, sudah
copot jantung nenek." Dan semuanya tertawa bahagia. Pono menghambur masuk rumahnya yang
sepetak itu. Ayah dan ibunya menyambut dengan tertawa gembira. Bu Sumo memeluk Pono

sambil bertetesan air matanya. Rupanya baru saja Pak Sumo menceritakan keterlibatan Pono dalam
perjuangan selama ini. "Anakku," hanya itu saja kata-kata yang terucap dari kerongkongan- nya.
"Selamat Pono," kata Pak Sumo. "Aku telah menyumbang walau-

pun sedikit kepada perjuangan mempertahankan Republik."

"Selamat kita semua, Pak."

Terbayang dalam angan-angan Bu Sumo rumahnya di Salatiga, saudara-saudaranya, pekarangan


rumahnya yang telah lebih dua tahun ditinggalkannya. Penderitaan berat selama ini rasanya hilang
semuanya. Tidak terasa sama sekali.

"Bagaimana rencana Bapak selanjutnya," tanyanya.

"Sebentar lagi kita semua pulang ke Salatiga," Pak Sumo berdiri dengan gagahnya. "Dan Bapak akan
bekerja kembali menjadi guru, Guru Republik Indonesia," Dan semuanya tertawa gembira.
Malam itu mereka berkumpul semua di rumah Pak Parlan. Hadir di sana Mas Naryo, Mas Anton,
Pono, Ely, Agus, dan beberapa orang lain. Bu Parlan sengaja mengadakan pesta kecil; Nasi kuning
dan panggang ayam. Sambil makan Pono memandangi Pak Parlan dengan kekaguman. Semua
mengira Pak Parlan antek Belanda, padahal beliau seorang tokoh pejuang dan memegang peranan
penting. Selesai makan Pak Parlan mengungkapkan perjuangan Mas Akhmad. Sedetik sebelum jatuh,
tembakannya masih berhasil menyambar mereka yang menyerangnya. Sebenarnya mereka
menghendaki Bang Ahmad dan kawannya itu menyerah saja. Dan Pak Hardi atau Oom Hadi adalah
orang besar. Dia lebih baik memilih mati ditembak setelah disiksa dalam waktu lama, daripada
membuka rahasia perjuangan. "Marilah saudara-saudara," kata Pak Parlan dengan tenang, "kita
tundukkan kepala sedalam- dalamnya mendoakan arwah Pak Hardi dan Dik Akhmad serta para
pejuang lain yang telah mendahului kita." Suasana hening dan haru.

Mereka telah tiada dan tidak ikut mengalami kebahagiaan yang terjadi hari ini.

"Agus, Ely, Pono," kata Pak Parlan ketika mereka berpamitan, "Sebentar lagi seluruh wilayah tanah
air Indonesia sudah kembali ke pangkuan Republik dan penjajahan akan berakhir selama-lamanya di
Nusantara ini. Tetapi perjuangan belum selesai. Masih sangat jauh. Perjuangan yang paling berat
adalah perjuangan mengisi kemerdekaan," sambil menepuk pundak anak-anak itu, "Kau masih
sangat muda. Hari- harimu masih panjang. Persiapkan dirimu untuk meneruskan perjuangan ini,
perjuanganmu, perjuangan Oom Hadi, Dik Akhmad dan ribuan pejuang lainnya yang telah gugur.
Janganlah kau khianati perjuangan mereka. Pertahankan negara yang telah kita bela selama lima
tahun ini. Jadilah kau penerus perjuangan mereka." Ketiga anak itu mendengarkan dengan khidmat
dan perasaan yang menerawang jauh.

Malam terang bulan. Tiada sepotong awan pun di langit yang biru tua itu. Kota dalam suasana pesta.
Tawa ria terdengar di mana-mana. Dalam temaramnya cahaya bulan ini tampak Gunung Sumbing
yang megah indah. Kali ini tampak seperti tersenyum ramah menyaksikan kegembiraan anak-
anaknya.

Agus, Ely, dan Pono, ketiga sahabat pejuang remaja itu, sambil saling berangkulan berdiri menatap
langit yang biru indah itu dan bertanya pada hati masing-masing. "Apa yang harus kuperbuat
selanjutnya bagi tanah air tercinta ini?"

Anda mungkin juga menyukai