Anda di halaman 1dari 2

KELOMPOK 4

1. M.Yusufa Aria Alfarizie ( Ketua )


2. Tabeli Josef Prima ( Moderator )
3. Hilwa Nayla Hanifah ( Notulen )
4. Farida Ariyani ( Penyaji 1 )
5. Hesti Nesyah ( Penyaji 2 )
6. M.Farhan Asyrof ( Penyaji 3 )

SINOPSIS

Aku hidup dalam sebuah keluarga yang berkecukupan dan sangat rukun. Aku anak bungsu dari lima
bersaudara. Kakakku yang paling tua di mulai dari Heratih, Nugroho, Maryam, dan yang terakhir adalah
Teguh. Saat penjajahan Jepang aku masih duduk di bangku sekolah. Rumahku cukup besar dan halamannya
cukup luas. Keluargaku adalah keluarga yang cukup berada di kampungku. Di rumah inilah kami mengalami
berbagai peristiwa yang menyenangkan. Bersama hewan-hewan peliharaan dan berbagai jenis tumbuhan yang
menemani keseharian.

Sejak kedatangan Jepang ke Indonesia menggantikan posisi Belanda sebagai penjajah, keadaan
ekonomi keluarga mengalami kemunduran. Hal ini membuat kedua orangtuaku harus bekerja lebih ekstra. Ibu
menerima pesanan kue kering dan memulai membatik untuk menutupi sebagaian biaya hidup. Halaman rumah
yang luas dimanfaatkan ibu sebagai tempat membuat kue dan membatik. Dalam suasana itu aku tetap tumbuh
dalam kasih sayang kedua orangtuaku, kedua kakak perempuanku, dan kedua kakak laki-lakiku. Aku juga
memiliki dua adik sepupu yang kuanggap seperti sahabatku. Edy Sedyawati dan adik perempuannya. Aku
bersekolah di sekolah rakyat Pendrikan Tengah. Di samping sekolah terdapat sebuah gedung kecil bernama
Eka Kapti. Disana aku menerima pendidikan tari dan gending. Heratih, kakak tertuaku selesai sekolah
mendapatkan pekerjaan di kantor telepon dekat alun-alun. Dan akhirnya Heratih menikah dengan kepala
kantor telepon di Kendal yang bernama Utono. Ayahku yang bekerja di Stasiun Kereta Api semakin lama
semakin sulit mencukupi kebutuhan keluarga kami.

Suatu hari kepala kampung mendapat perintah dari orang-orang Jepang yang berkuasa, agar penduduk
menyerahkan semua harta berharga yang mereka miliki. Patung-patung dan barang-barang yang terbuat dari
besi diambil para tentara Jepang. Semua barang itu digunakan untuk dicairkan kembali dan dijadikan senapan
atau senjata perang lainnya. Dengan berat hati ibu melepaskan peniti emas dari kebaya dan dua cincin untuk
diserahkan kepada tentara Jepang. Ternyata kebebasan yang dijanjikan Jepang hanya janji manis belaka.

Suatu malam aku terbangun oleh kegaduhan yang terjadi. Saat itu aku mendengar suara senjata api
yang disusul oleh keributan orang di kampung. Penduduk berlarian, berteriak dari arah tangsi polisi menuju ke
arah sungai di belakang. Dari arah tangsi semakin ramai keributan yang terdengar penghuninya berbondong-
bondong ke padang ilalang untuk menyebrang jembatan ke Batan. Ayah mengatakan bahwa akan ada
pemberontakan di kalangan pemuda PETA terhadap pemerintah Jepang. Ayah dan kakak-kakak lelakiku mulai
mengatur persediaan selama pertempuran terjadi. Karena ayah memerintahkan kami untuk tetap diam di rumah
dan tidak mengungsi. Pertempuran berjalan selama lima hari penuh.

Di dalam rumah kami hanya menyalakan lilin atau lampu teplok untuk menambah sinar matahari yang masuk
dari celah papan. Tetapi jika ada bunyi senapan kami cepat-cepat memadamkannya. Selama itu kami hidup
dalam kegelapan. Cukup dengan sedikit nasib buruk, kami bisa menjadi korban peluru nyasar, yang bisa
membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.

Beberapa saat setelah itu, suasana tiba-tiba menjadi reda. Selama 1 jam kami tidak mendengar suara
tembakan di jalan kampung sebelah rumah. Dan mulailah terdengar orang-orang yang melintasi jalan
kampung. Begitu juga dengan kami. Begitu mengejutkan, Maryam melihat lubang-lubang di dinding seng
yang menjadi batas halaman. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun berkumpul melihat da mengamatinya
dengan saksama. Kemudian diumumkan lewat radio bahwa pemberontakan telah dipadamkan, dan penduduk
pun diminta meneruskan kegiatan seperti biasanya. Heratih dan Utono datang ke rumah kami. Bapak pun
berangkat mencari paman dan bibi. Sedangkan Teguh melanggar larangan kedua orang tua kami untuk keluar
rumah kembali dengan cerita yang menyeramkan. Sungai-sungai penuh dengan bangkai-bangkai manusia, di
sepanjang jalan mobil dan berbagai kendaraan rusak dan terbakar. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun
berkumpul melihat dan mengamatinya dengan saksama.

Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah. Benar apa yang dikatakan kakakku, aku melihat banyak
bangkai-bangkai mayat yang bertumpukan basah dan berbau busuk. Beberapa diantara mereka ada yang
memegang bambu runcing dan galah. Kota kemudian dibersihkan/rakyat bergotong royong mengeluarkan
mayat dari sungai dan sumur kemudian di kubur. Semua tampak lancar.

Hari-hari berikutnya sering terdengar suara sirine tanda bahaya udara. Sirine itu hanya terdengar pada
waktu siang. Malam hari pemerintah kota membatasi kegiatan sampai jam tujuh. Ayah menyimpulkan bahwa
Jepang sedang mengundurkan diri dari tanah Jawa. Ketika keadaaan menjadi tenang kembali, lalu lintas di
langit menjadi padat. Kami semua keluar untuk menyaksikan burung-burung raksasa itu bergerombolan di
udara, terbang dengan megahnya. Kata Ayah, itu adalah pesawat-pesawat pengangkut.

Kemudian keadaan menjadi tenang kembali. Untuk berapa lama? Tak seorangpun mengetahuinya.
Sudah beberapa kali kami tertipu oleh palsunya keredaan suasana. Pagi itu kabar yang tersebar bahwa tentara
Inggris telah dapat menguasai keadaan. Sebentar lagi pemerintah kota akan disusun kembali. Memang betul!
Sore hari, pesawat-pesawat udara menyebarkan kertas propaganda, menyuruh penduduk bersikap tenang,
karena keamanan telah terjamin.

Dua hari tanpa keributan. Ibu mulai berharap kehidupan akan benar-benar berlangsung sebagaimana
biasa. Beberapa hari setelah itu beredarlah kabar desas-desus bahwa Indonesia telah merdeka. Berita tersebut
segera tersebar ke seluruh warga kampung. Setelah itu disusul oleh berita bahwa pemerintahan di Jakarta telah
hijrah ke Yogyakarta. Keadaan memang terasa genting. Dan hubungan antara kota-kota yang diduduki tentara
asing dengan daerah pedalaman pun terputus. Keraguan pandangan menghadapi hari-hari yang akan datang.

UNSUR EKSTRINSIK

1. Nilai Sosial : Hubungan keluarga Dini dengan masyarakat sekitar terjalin dengan baik.

2. Nilai Budaya : Pelaksanaan pertunangan dan pernikahan Heratih sesuai dengan adat setempat.

3. Nilai Moral : Menghormati nasihat orang tua.

Anda mungkin juga menyukai