Anda di halaman 1dari 4

RINGKASAN PERBURUAN

Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara senja hari. Sepagi anak
lurah kaliwangan telah disunati. Tamu tamu telah habis pulang. Senja rembang
datang.

Begitulah pram memulai ceritanya, perburuan. Sejak senja Rembang 16 Agustus


1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan diri. Setelah setengah tahun
bersembunyi dari dari buruan nippon, ia muncul di depan rumah Ningsih,
tunangannya. Hari itu adalah hari sunatan Ramli, adik Ningsih.

Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang ornag kaliwangan kenal. Saat
itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut gondrong dengan lengket. Wajah
kotor dan dipenuhi brewok . tidak berbaju dan telanjang kaki

Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan untuk memberontak.
Menjadi pelarian di bukit batu padas dan bersembunyi di dalam gua yang pekat.
Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai kapan Hardo akan
bertahan?

“Sampai nippon kalah,” kata Hardo

Hardo adalah mantan sodhanco. Ia memberontak bersama dua sodhanco lainnya


Dipo dan Karmin, serta para shodan. Namun sayang, pemberontakan kepada
balatentara Dai Nipoon itu gagal karena Karmin berkhianat. Para pemberontak pun
harus mundur ke perbukitan dan hutan hutan.

Kengerian masa penjajahan jepang yang kemudia melahirkan semangat anti jepang
nempaknya menyentujui lahirnya novel PERBURUA. Bagaimana tidak, hal itu
dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari jepang memasuki kota kelahirannya, Blora.

‘ Jepang memulai memerkosai wanita. Dua serdadu jepang yang dihukum mati di
alun alun karena pemerkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja
sampai hingga stua pada berbedak jelaga,”.
Dua bulan jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu pram sudah meninggal dunia.
Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke batavia. Di Batavia, kengerian
penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari penyiksaan terhadap penduduk
hingga pembunuhan karena kejahatan kecil.

Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninghalkan sakit bagi Pram. Suatu
hari keritka Pram sedang mengayuh sepedanya di jalanan berlubang, tiba tiba sebuah
truk militer menyembunyikan klakson dari belakang.

“ Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: NAN DA KURAH! Dan mata
melotot,” ingat Pram.

Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda). Ketika seorang
serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan melemparkannya ke pinggir
jalan lalu lari.

“ Dari belakangku, meraung raung dia: BAGERO MAE! GENJUMIN! Hanya


rangkaian caci maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram.

Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita DOMEI milik jepang. Ia
harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan jepang. “ Keadaan di luar
dan di dalam diri sudah tidak tertahankan, DOMEI kutinggalkan,” ungkapnya.

Pram kabur kabur ke kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan miskin berinama
Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman. Pada 23
Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar proklamasi. Lewat Surabaya, pram
pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat itu sedang diadakan pertunjukan
sandiwara “ INDONESIA MERDEKA”. Namun Pram hanya menonton selama
seperempat jam.

“ Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih
baik dari ‘ INDONESIA MERDEKA’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti
jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram.
Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari sandiwara ‘INDONESIA
MERDEKA’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram sedang dipenjara di
Bukit Duri oleh Belanda. Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari dan
kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat Pram
putus asa.

“ Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya
boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram.

“ Ya, dilakukan pada waktu itu terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas
kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tampat
tidur,: kata Pram.

Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot serdadu KNIL yang sedang
meronda, Pram segera peralatan menulisnya. Lalu di malam hari, Pram hanya bisa
menulis dibawah ambin beton sambil tengkurap dengan menggunakan lampu minyak.
Karena jika tidak sembunyi, Pram bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela
sorong tempat para serdadu mengintip.

“ Minyak tanah dibeli dari teman teman yenag bekerja di dapur. Kertas di dapat dari
sang pacar,” ungkap Pram.

Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap berhasil menyelesain
naskah itu. Pram merampungkan PERBURUAN hanya dalam waktu satu minggu. “
Saya mengerjakan Roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih
memiliki kekuata alamiah saya,” kata Pram

FAKTA FAKTA NOVEL PERBURUAN PRAMOEDYA ANANTA TOER

1. Novel Perburuan ditulis sewaktu Pram berada di Penjara Bukit Duri.

2. Novel Perburuan diselundupkan untuk mengikuti lomba menulis.

3. Sejauh ini, novel Perburuan masih tergolong novel langka.

4. Telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.


5. Film Perburuan dirilis bersamaan dengan film Bumi Manusia.

6. Ditulis Selama Seminggu

Anda mungkin juga menyukai