Anda di halaman 1dari 2

Kritik Sastra

“Jangan Jadi Pamong Praja!”

oleh Nyimas Inas Mellanisa

Merangkap sebagai jurnalis dan pengarang, almarhum Mochtar Lubistelah melahirkan beragam karya
sastra mulai dari novel, cerita anak, cerita pendek, dan jurnalis. Lima buah buku studi tentang Mochtar
Lubis telahditerbitkan dan beberapa hadiah sastra telah diberikan sebagai penghargaan atasdirinya
sebagai sastrawan terkenal di Indonesia. Diantara cerpen-cerpen miliknya,yang akan diulas disini adalah
cerpen “Kuli Kontrak” yang dimuat dalam bukukumpulan cerpen pada tahun 1982 dan majalah Horison
tahun 2003.

Mendengar kata kuli kontrak, ingatan kita melayang jauh pada wajahsuram ratusan bahkan puluhan ribu
orang Indonesia yang dipekerjakan penjajah Belanda di perkebunan besar Sumatera dan sebagian lagi di
Suriname, AmerikaTengah, yang juga menjadi daerah jajahan Belanda. Nasib mereka sangat
mengenaskan. Pekerjaan berat harus dilakoni sepanjang hari. Sementara upahyang mereka

terima jauh dari cukup. Mereka tidak memiliki surat jaminan kerja apalagi jaminan keselamatan.Cerpen
yang akan kita baca ini menggambarkan suasana penjajahan Belanda pada masa itu, dimana pribumi
tidak bisa melakukan apapun di bawah penguasaan Belanda. Para kuli kontrak harus menghadapi nasib
mereka di tangan opzichter Belanda. Tidak ada artinya melawan ataupun berusaha melarikan diri,karena
pada akhirnya mereka akan ditangkap dan dihukum mati.

Kegelisahan seorang pamong praja dimulai saat lima orang kuli kontrak melarikan diri dari onderneming
Kayu Aro setelah sebelumnya menikam seorang opzichter Belanda. Tiga dari kuli kontrak yang kabur itu
tertangkap dan meskipun opzichter itu yang bersalah karena mengganggu istri mereka, tetap
merekalahyang dihukum. Bagaimanapun juga, sang pamong praja hanya bisa berdiri diammelihat
saudara setanah airnya dihukum. Dalam hal ini, kekuatan cerpendiperlihatkan sebagaimana apa yang
terjadi di masa penjajahan ketika apa yang benar dan yang salah tidak bisa lagi ditentukan karena yang
berkuasalah yangselalu benar. Hingga akhirnya, kulik-kuli kontrak itu dilecut sampai mati.

Selain itu, cerpen ini melukiskan pikiran seorang anak lelaki. Kepolosandan keingintahuan seorang anak
kecil pada umumnya digambarkan dengan jelas dalam cerpen ini. Sebagai anak dari pamong praja yang
dihormati pribumi dandibawahi Belanda pada masa itu, anak laki-laki tersebut hidup tentram
tanpamerasakan pahitnya kekejaman Belanda. Layaknya kenakalan anak kecil,meskipun sudah
mendapat larangan dari ayahnya untuk melihat apa yang terjadidi halaman penjara di belakang
rumahnya, keingintahuan mendesaknya untuk mengintip apa yang terjadi dari kejauhan. Betapa
terkejutnya si bocah ketikamelihat pelecutan terhadap kuli kontrak itu sampai-sampai ia tergelincir dari
pohon dan terluka. Ayahnya marah dan berkata padanya “Jangan sekali-kali jadi pegawai negeri, jadi
pamong praja!”. Meskipun si bocah mengerti maksud perkataan ayahnya, namun tidak dijelaskan oleh
almarhum Mochtar apa yangayahnya maksudkan dengan larangannya itu.
Penggambaran hukuman pada kuli kontrak dan perasaan si bocah laki-lakiyang melihat kekejaman itu
dituliskan dengan sederhana namun baik. Sebagai pembaca kita disuruh melihat apa yang terjadi pada
kenyataan masa lampau dandibuat merinding olehnya. Inilah kritik yang disampaikan Mochtar
Lubismengenai kehidupan penjajahan melalui cerpennya

Anda mungkin juga menyukai