Anda di halaman 1dari 16

Pramoedya Ananta toer, anak sulung bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah.

Ayahnya
yang lahir pada 5 Januari 1896[1] berasal dari kalangan yang dekat dengan agama
Islam, seperti misalnya jelas dari nama orang tuanya, Imam Badjoeri dan Sabariyah.
Ayah Mastoer menjadi naib di sebuah desa di Kediri: mula-mula di Plosoklaten, Pare,
kemudian di Ngadiluwih.[2]
Sedangkan ibunya adalah anak penghulu Rembang yang lahir pada tahun 1907 [3]
dari selirnya, setelah melahirkan anak, selirnya itu diceraikan dan diusir dari
kediaman penghulu. Anak selir itu bernama, Oemi Saidah, diasuh dalam keluarga
Haji Ibrahim dan Hazizah. Saidah lulus HIS pada 1922, namun tidak mendapat izin
melanjutkan studi ke Van Deventersscholl (sekolah kerajinan untuk gadis) di
Semarang seperti yang diharapkannya, sebab sudah bertunangan dengan guru Toer
yang tidak bersedia menunda perkawinan pak Toer yang umurnya baru 15 tahun.[4]
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, jawa tengah 6 Februari 1925[5]. Pram begitu
mencintai ibunya, menurut Pram ibunya dianggap sebagai wanita satu-satunya di
dunia ini yang kucintai dengan tulus, dikemudian hari menjadi ukuran Pram dalam
menilai setiap wanita dan yang tidak kalah penting Pram juga mencintai neneknya,
ibu kandung ibunya. Maka tidak heran jika banyak sekali dalam novel-novel Pram
menampilkan tokoh perempuan.
Walaupun ayahnya menolak untuk menyekolahkan Pram, tetapi Pram masih sempat
belajar kejuruan radio di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi
dan lain-lain. Namun pada hari ujian akhir terdengar kabar yang mengejutkan,
pesawat terbang jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour, dengan demikian
Perang Dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik[6].
Pada 2 Maret 1942 tentara Jepang yang mendarat di pantai utara Jawa telah
mencapai Blora. Tentara Belanda melarikan diri tanpa perlawanan. Pada awalnya
tentara Jepang disambut dengan meriah oleh penduduk setempat. Karena
pemerintahan Belanda tiba-tiba menghilang, terjadi semacam anarki, took-toko
Cina dirampas dan serdadu Jepang ikut mencuri barang-barang penduduk, dan
melampiaskan hawa nafsunya. Namun dalam waktu beberapa hari tentara Jepang
mengembalikan ketertiban umum dengan keras[7].
Pada awal penjajahan Jepang, Pak Toer dan keluarganya ditimpa musibah Ibu Oemi
Saidah yang lama mengidap penyakit TBC sejak beberapa bulan semakin parah dan
meninggal pada 3 Juni 1942.Satu hari kemudian disusul oleh anak bungsunya,
Soesanti, yang baru berumur tujuh bulan. Pada saat peristiwa tersebut Pram tidak
berada di Blora. Kematian ibunya bagi Pram merupakan kehilangan yang paling
menyedihkan[8].
Pengalaman dengan orang disekitarnya pada waktu ibunya meninggal dan hal-hal
yang terjadi sesudahnya menjadikan Pram kehilangan kepercayaan pada sesama
manusia, dan Pram merasa tidak betah lagi di Blora. Pada saat ziarah ke kuburan

ibunya, Pram pamit kepada almarhumah ibunya dan Pram berjanji pada dirinya
sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik.

B. Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis

Atas nasehat ayahnya, bersama adiknya, Pram berangkat ke Jakarta. Pram tinggal
bersama pamannya. Pamannya juga yang mendaftarkan Pram ke sekolah taman
Siswa, khusus Taman Dewasa (SLP) yang diakui oleh pemerintah Jepang. Pram cepat
menyesuaikan bahasa Indonesianya, yang pada awalnya kejawa-jawaan, dengan
logat Melayu[9].
Berkat ijazah mengetiknya, Pram diterima di kantor berita Jepang Domei sebagai
juru ketik. Di tempat kerja pandangan Pram semakin luas. Pram sempat membaca
berbagai macam informasi yang masuk redaksi. Keuntungan terbesar Pram adalah
kesempatan memanfaat buku rujukan yang ada di ruang redaksi. Ensiklopedia
belanda yang terkenal dengan nama Winkler Prins membuka matanya terhadap
dunia ilmu pengetahuan[10].
Namun, hasil yang Pram Ananta Toer peroleh tidak memuaskannya. Karena tidak
mempunyai ijazah sekolah menengah, Pram tidak dapat kenaikan pangkat.
Pekerjaan di kantor semakin membosankan dan Pram mulai sadar bahwa pekerjaan
baru sebagai stenograf sebab Pram merasa menempuh karier sebagai hamba,
bukan sebagai manusia bebas. Apalagi saat Pram diminta untuk mengerjakan
sebagai stenograf buku baru Mohammad Yamin, mengenai Gajah Mada, Pram
semakin memberontak karena merasa diperlakukan sebagai kuli. Sehingga Pram
beberapa kali minta berhenti, namun tidak pernah dikabulkan. Pram lalu
meninggalkan tugas tanpa seizin Jepang, dan hal tersebut dianggap sebagai dosa
yang hanya bisa ditebus dengan jiwa, Pram kemudian melarikan diri lewat Blora ,
kemudian di Kediri tepatnya di desa Ngadiluwih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Tetapi hal tesebut tidak serta merta diketahui oleh seluruh
rakyat Indonesia. Pram kemudian pergi ke Ngadiluwih, di sana Pram mendengar
kabar tentang kemerdekaan Indonesia. Lewat Kediri dan Surabaya Pram pulang ke
Blora; di sana Pram menyaksikan pertunjukan drama tentang penjajahan Jepang
yang berakhir dengan proklamasi 17 Agustus. Namun, Pram tidak lama tinggal di
Blora, tergesa-tergesa Pram berangkat ke Jakarta, di mana Pram menyaksikan
Jakarta dalam keadaan kacau; tentara Jepang praktis masih berkuasa; tentara
Sekutu mulai tiba di Indonesia untuk mempertahankan ketertiban umum dan
melucuti senjata tentara Jepang. Tetapi pemuda Indonesia yang curiga dan tidak
sabar lagi mulai bersiap untuk mempertahankan tata tertib dalam kampung
masing-masing[11].

Pram juga ikut menggambungkan diri dengan pertahanan kampung. Ikut menyerbu
tangsi marine Jepang, sampai akhirnya terkepung oleh tentara Australia. Pada
Oktober 1945, Pram menggambungkan diri dengan BKR (Badan keamanan Rakjat)
dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Banteng Taruna yang kemudian
menjadi inti divisi Siliwangi, sebagai prajurit II. Dalam waktu cepat meningkat jadi
sersan mayor[12].
Pada 1 januari 1947 Pram berhenti dengan resmi dari tentara. Pram pada masih
tinggal di Cikampek, menuggu gaji yang sudah 7 bulan tidak dibayar. Tetapi gaji
tersebut tidak pernah dibayarkan. Dengan tanpa uang Pram menuju ke Jakarta
dalam keadaan kelaparan, dan naik kereta api tanpa membeli karcis. Pada bulan
yang sama[13].
Pada waktu upacara di Lapangan Merdeka, Pram hadiri bersama tunangannya
seorang gadis yang Pram lihat pada tahun 1946 di Cikampek. Pram melamar gadis
tersebut ketika masih berada di dalam penjara, meskipun dengan bersyarat,
namun lamaran itu diterima. Setelah pembebasannya, Pram mengunjungi rumah
gadis tersebut kemudian tinggal di sana. Pernikahan dilangsungkan karena Pram
merasa sanggup membina masa depan, sebab namanya mulai terkenal, cerita
pendeknya makin laris, lagi pula Pram juga memenangkan hadiah pertama pada
novel Perburuan, yang besarnya seribu rupiah, dalam sayembara Balai Pustaka.
Perkawinannya dilangsungkan pada 13 Januari 1950. Namun akhirnya mereka
bercerai, setelah sekian lama membina rumah tangga[14].
Pada pekan buku Gunung Agung, September 1954, Pram berkenalan dengan
Maimunah, anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkenal Mohammad
Husni Thamrin. Dengan cepat Pram berhubungan akrab. Kemudian Pram menikah
dengan Maimunah, wanita yang membawa kebahagiaan dan harapan baru dalam
hidup Pram. Maimunah ternyata berani menempuh hidup yang sangat bergejolak
dengan Pram, Maimunah tabah membela dan memperjuangkan suami dan
keluarganya, juga dalam kemalangan dan kesusahan yang paling berat yang
menimpa Pram, dan sampai sekarang ibu Maimunah setia mendampingi Pram[15].
Pengalaman pertama dari segi perkembangan kepengarannya dihayati oleh Pram
sebagai sesuatu yang penting dan juga positif. Pada masa suram tersebut ada
undangan dari Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk
memberi ceramah pada Simposium untu HUT ke-5, yang diadakan pada 5
Desember 1954. Undangan itu disampaikan kepada Pram oleh ketua senat Bagi
Pram sebagai orang tidak mengenyam pendidikan, tugas itu merupakan ujian berat,
namun Pram mendapat bantuan moril karena ibu Maimunah pada kesempatan itu
mendampinginya. Tampilnya cukup berhasil dan memperkuat rasa percaya diri
Pram[16].
Kehidupan Pram dengan pernikahan yang kedua ini membaik. Setelah bulan mereka
mendapat rumah yang lumayan, anak pertama hasil pernikahan keduapun lahir,

disusul dengan anak yang kedua, dan yang penting juga kontak social, terutama
dengan dunia kepengarangan makin berkembang. Orang yang paling sering
mengunjunginya ialah A.S. Dharta, penulis marxis, yang aktif dalam Lekra sejak
didirikan (1950). Pram mulai membuka mata bagi pentingnya politik, juga dalam
dunia seni.
Peristiwa yang amat menentukan bagi Pram berlangsung pada Juli 1956. Pram
mendapat kunjungan wakil kedutaan Cina yang membawa undangan menghadiri
peringatan hari wafat kedua puluh Lu Hsun, pengarang revolusi Cina yang terkenal.
Dengan persetujuan dr. Prijono, menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu,
Pram menerima baik undangan itu. Perjalanan di Cina pada Oktober 1956
menimbulkan kesadaran baru bagi jiwanya[17].
Karena perjalanan tersebut orang mulai menuduhnya memihak komunis, bahkan
telah menjadi komunis. Semangat baru yang diperoleh berkat pengalaman di Cina
mendorongnya menjadi aktif di Indonesia, ketika berita mengenai konsepsi Presiden
Soekarno tentang demokrasi terpimpin mulai tersiar, Pram menulis karangan yang
mendukung politik presiden, dalam Bintang Merah 24 Febuari 1957, yaitu organ
resmi PKI. Kemudian bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pram
mengorganisasikan kelompok seniman, lalu pada Maret 1957, mereka bertiga
memimpin delegasi besar menghadap presiden, menyatakan dukungan bagi
konsepsi tersebut[18].
Sejak itu, Pram mulai terkenal aktif di bidang politik. Pram diangkat sebagai anggota
Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Petera (Pengarahan Tenaga
Rakyat). Dalam kapasitas itu Pram melakukan peninjauan kerja bakti di Banten;
kerja bakti itu bertujuan memperbaiki jalan yang melintang dari utara sampai
selatan Karesidenan Banten, sepanjang 65 km.
Sebelumnya, Pram sudah aktif di bidang lain; Pram ikut mendirikan Panitia Nasional
untuk konfrensi pengarang asia afrika, dengan sokongan sebagai instansi
pemerintah. Pada 7 September 1958, delegasi yang dipimpin oleh Pram berangkat
ke Tasjkent, tempat konfrensi diadakan; nampaknya Pram memainkan peran yang
cukup penting dalam penyusunan resolusi dan rencana kerjanya. Seusai konfrensi
itu, Pram mengunjungi berbagai tempat di Uni Sovyet dan Cina, kemudian pulang
lewat ibu kota Myanmar, Rangoon, di mana Pram bentrok dengan staf Kedutaan R.I.
yang menurut Pram tidak bersedia membantu dan melayaninya dengan baik.
Sekembalinya di Indonesia Pram untuk pertama kalinya dilibatkan secara resmi
dalam Lekra: dalam kongres nasional Lekra yang di adakan di Solo antara 22 dan 28
Januari 1959, Pram terpilih sebagai anggota pimpinan pleno. Sejak itu namanya
tidak lepas lagi dari organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI. Hal
itu terutama tampak dalam pembentukan Fron Nasional di mana PKI dengan resmi
diikutsertakan dan dalam tekanan makin kuat pada konsep Nasakom. Kongres Solo
membawa juga pergeseran fundamental dalam garis policy Lekra. Pada kongres itu

pimpinan PKI, Nyoto, dalam cermahnya dengan judul Revolusi adalah Kembang Api
mengemukakan bahwa politik harus menjadi pedoman di segala bidang kehidupan,
termasuk kebudayaan. Pada tahun berikutnya, Lekra mengambil alih semboyan
Politik adalah Panglima. Nyoto sebagai dasar keyakinan budayanya, dan Pram
menjadi penyambung lidah ideologi kebudayaan, antara lain lewat kegiatannya
sebagai redaktur Lentera, lampiran kebudayaan harian Bintang Timur[19].
Tetapi sebelum sempat memainkan peran terkemuka di bidang kebudayaan,
khususnya lesusastraan revolusioner, Pram masih harus mengalami penderitaan
yang pernah Pram sebut sebagai siksaan terberat dalam hidupnya, yaitu penahanan
dalam penjara selama sembilan bulan disebabkan oleh terbitnya bukunya Hoa Kiau
di Indonesia. Buku yang keluar pada Maret 1960 itu merupakan suntingan kembali
sembilan surat terbuka yang di terbitkan Pram dalam Berita Minggu pada masa
November 1959-an Februari 1960. surat-surat itu ditulis sejak terjadinya gegeran
Hoakiau di Indonesia[20].
Sejak 1956, makin banyak terdengar suara anti Cina di Indonesia; latar belakang
sikap itu bermacam-macam: ada anasir rasialis yang secara laten selalu hadir, ada
aspek ekonomi, sebab orang Cina makin mengasai kehidupan ekonomi. Khususnya
setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berkaitan dengan itu ada juga perasaan
agama, khususnya di kalangan pedagang muslim yang merasa terancam oleh
persaingan Cina. Menteri Perdagangan Indonesia pada 14 Mei 1959 mengumumkan
keputusan bahwa izin berdagang bagi pedagang kecil asing yang bekerja di luar
kota-kota besar mulai 31 Desember 1959 tidak akan diperpanjang lagi. Keputusan
tersebut menimbulkan situasi yang cukup tegang; di Indonesia sendiri terjadi
bentrokan antara kaum kiri, khususnya PKI yang membela Cina dengan partai Islam
dan golongan lain yang disokong tentara. Pimpinan angkatan darat dalam situasi ini
ini melihat kemungkinan memecahkan kekuasaan ekonomi orang Cina, PKI dapat
dihantam. Presiden Soekarno menghadapi situasi bagai buah simalakama:
memusuhi RRC dan mengecewakan komunis dalam negeri yang begitu loyal
mendukung politik Manipol-nya, atau menghapuskan keputusan Menteri
perdagangan yang berarti konflik dengan tentara dan masyarakat Islam. Soekarno
tidak dapat tidak memilih alternative pertama, pada tanggal 16 November
dikeluarkan peraturan presiden no. 10 yang mewajibkan semua pedagang dan
usahawan kecil Cina di daerah pedesaan menutup usahanya per 1 Januari 1960.
Lagi pula di Pulau Jawa Barat tentara cukup keras memaksa implementasi peraturan
itu: orang Cina tidak hanya dipaksa menutup tokonya, melainkan juga dilarang
tinggal di daerah itu dan bahkan dengan terpaksa mulai di boyong ke kota-kota[21].
Pram dalam Hoa Kiau di Indonesia memihak orang Cina tanpa syarat. Namun,
bukunya bukan pertama-tama polemik politik. Pram menganggap cukup mengambil
pendirian demi tujuan atau ideology politik; Pram mendalami sejarah masalah orang
Cina di Indonesia dengan memanfaatkan banyak sumber ilmiah dan lain-lain.
Dengan panjang lebar Pram menguraikan aspek-aspek positif kehadiran mereka di
Indonesia sejak berabad-abad dan sumbangan sangat berarti diberikannya pada

ekonomi dan kehidupan social dan budaya. Pram tidak lupa menekankan peran
banyak orang Cina sebagai kawan rakyat Indonesia dalam perlawanan menentang
penjajah asing. Pram mengakui bahwa ada juga aspek negatif; di antara orang Cina
dulu dan sekarang di Indonesia. Memang ada orang Cina dengan mentalitas kolonial
dan imprealis, tetapi kejahatan ada pada setiap bangsa, menurut pertimbangan
kesejarahan Pram, aspek positif kehadiran Cina di Indonesia jauh melebihi aspek
negatifnya. Yang paling penting: peraturan dan tindakan pemerintah
membahayakan persahabatan rakyat Indonesia dengan rakyat Cina.
Dalam uraiannya Pram menyatakan aspek kepartaian atau politik praktis tidak
menonjol. Alasan terpenting Pram dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama,
demi perikemanusiaan, kedua, demi keadilan orang Cina yang sudah lama berada
di Indonesia berhak tetap tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Ketiga,
sumbangan ekonomi sangat positif yang diberikan orang Cina sebagai perantara
dengan menyediakan modal dan kemahiran yang esensial di tingkat pedesaan.
Terutama, kesolideran yang mutlak perlu antara rakyat Indonesia dan Cina dalam
perjuangan melawan imprealisme dan kolonialisme.[22]
Yang pasti ikut menentukan pendirian pro-Cina Pram dan mendorongnya membela
orang Cina ialah simpati dan kekaguman Pram terhadap rakyat cina yang dirasakan
Pram sejak kunjungannya di Peking pada 1956 dan yang diperkuat lagi pada
kunjungan kedua, pada Oktober 1958. Pram kemudian bersama kawannya dari
Cina, menerjemahkan buku Salah Asuhan, dan penerbitan buku tersebut
mengakibatkan karya Pram dilarang, pada April 1960. Pram sendiri ketika itu masih
sempat ke luar negeri, namun sekembalinya Pram dari luar negeri, Pram segera
dipanggil oleh Peperti (Penguasa perang tertinggi), diinterogasi oleh Kolonel
Sudharmono (yang kemudian menjadi wakil presiden). Pram kemudian disekap
selama dua bulan di rumah tahanan militer di Jakarta, pemeriksaan berikutnya Pram
dituduh menjual Negara pada RRT. Setelah pemeriksaan oleh Sudharmono, Pram
dipindahkan ke penjara Cipinang. Pram ditempatkan dalam sel yang tidak
manusiawi, di tengah-tengah orang yang melakukan tindakan kejahatan dan orang
gila, sehingga Pram praktis hidup terisolasi dari sesama manusia. Sewaktu di
Cipinang baru datang surat panahanan dari jenderal Nasution; keluarga Pram tidak
pernah diberitahu. Namun, isterinya yang mengandung tua akhirnya berhasil
menemukannya, dan setelah isterinya melahirkan, isterinya memberitahu
penahanan Pram pada masyarakat. Tetapi selama di penjara Pram tidak menerima
tanda simpati dari siapapun juga[23].
Setelah dibebaskan dari penjara Cipinang Pram cepat mengambil alih kedudukan
terkemuka di panggung sastra Indonesia. Mulai 16 Maret 1962 pramoedya bersama
S. Rukiah menjadi redaktur rubrik kebudayaan Bintang timur[24] yang berjudul
Lentera. Rubrik yang pada awalnya hanya setengah halaman itu kemudian
diperluas menjadi satu halaman, bagian terbesar pada edisi hari Minggu terbit
disunting oleh Pram. Lentera menjadi media utama tulisan Pram yang pada periode

1962-1965 menjadi media Pram untuk mengemukakan ide-idenya tentang


pengajaran sastra Indonesia yang menurut pendapat Pram harus dirubah total.[25]
Minatnya untuk pengajaran sastra juga dibangkitkan sejak 1962 Pram memberi
kuliah sastra Indonesia pada fakultas sastra Universitas Res Publica. Tentang
masalah bahasa Indonesia, Pram menulis esai panjang yang berjudul Bahasa
Indonesia sebagai bahasa revolusi Indonesia yang terdiri atas atas II bagian dalam
Lentera antara Sepetember 1963 dan April 1964. Rangkaian karangan panjang lain
berjudul Bagaimana kisah dikibarkannya humanisme universal, yang terutama
meneliti asal usul sastra angkatan 45[26].
Pram juga menulis tentang sejarah awal gerakan nasional Indonesia. Salah satu
tokoh sejarah gerakan nasional yang diambil oleh Pram adalah Raden Mas Tirto
Adhisoerjo sebagai pelopor jurnalistik Indonesia. Tulisan Pram selama kurang dari
empat tahun sangat menakjubkan atas daya kerja dan cipta, demikian pula
motivasinya dan energi autodidaknya. Terutama bahwa kebanyakan tulisannya
berdasarkan pada penelitian data yang sukar didapat. Hal ini disebabkan karena
Pram pernah menjadi dosen Universitas res Publica, dan aktivitasnya pada Akademi
Bahasa & Sastra Multatuli yang ikut didirikan Pram pada 1963[27].
Selama periode itu, tulisan Pram makin polemis dan provokatif dari segi gaya dan
isinya. Perjalanan pertama ke Peking membawa perubahan mendalam dalam gaya
dan pikiran Pram. Manifestasi pertama Pram di tulisannya yang berjudul Ke arah
sastra revolusioner yang terbit sesudah Pram kembali dari Peking. Di dalam
tulisannya dikatakan bahwa perlu ada perintisan jalan baru ke arah sastra
revolusioner. Konsekuensinya revolusi adalah pembasmian tanpa batas.
Sekarang harus ada front antara tenaga-tenaga revolusioner dan yang anti pada
tenaga revolusioner, sehingga perjuangan makin sengit[28].
Ide bahwa waktunya telah datang untuk konfrontasi total menjadi makin jelas
dalam karya kritis Pram yang kemudian; ide itu pasti diperkuat lagi oleh
pengalaman Pram selama dalam penjara pada 1960. Kompromi sudah tidak mugkin
lagi, sekarang sudak waktunya memukul dan menyerang terus menerus. Ide-ide
dan tulisan Pram semakin dipengaruhi dengan ideology Lekra dan garis besar PKI.
Walaupun disangsikan sejauh mana Pram dilihami oleh ajaran komunisme yang
resmi. Karya Marx tidak pernah dibaca Pram, dengan pimpinan PKI Pram jarang
bertemu, kalaupun bertemu Pram bentrok dengan mereka tentang masalah politik.
Soekarno pun tidak begitu simpati dengan Pram.[29]
Sebenarnya hanya ada satu risalah panjang yang membicarkan masalah ideology
dalam satra secara eksplisit dan teori, yaitu prasaran yang disajikan di depan
Seminar Sastra, Universitas Indonesia, 26 Januari 1963. Tetapi dalam karya yang
sangat panjang ini pun ideology dan teori terbatas pada ringkasan beberapa ide
Maxim Gorki, yang sejak lama menjadi idola dan pelopor besar bagi Pram. Tulisan
utama Pram adalah: realisme sosialis berdasarkan humanisme sosialis atau

humanisme proletaar, yang bertentangan dengan yang di Indonesia disebut


humanisme universal, yang sebenarnya humanisme borjuis. Yang terakhir
dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mentralkan aspirasi patriotic dan
melancungkan cita-cita revolusi. Realisme borjuasi itu akhirnya memanfaatkan
realitas untuk memenekan idealisme, yang menjauhkan seniman muda dari realitas
social, dan membawa mereka ke pesimisme dan negativisme. Sebaliknya realisme
sosialis adalah optimis dan menentang dengan militan kapitalisme dan imprealisme
serta memperjuangkan rakyat. Dan memberantas penderitaan dan penindasaan.
Berdasarkan teori tersebut kemudian Pramoedya memberi survai sejarah sastra
Indonesia, yang sangat bertentangan dengan sejarah yang mapan pada masa ini.
Kriteria utama sejarah sastra baginya ialah sejauh mana karya-karya sastra
membayangkan penderitaan rakyat dan perjuangan menentang penindasan.
Manikebu diumumkan pada September 1963 dalam majalah Sastra sebagai
manifesto sekelompok budayawan, yang bertentangan dengan pemahaman Lekra.
Konfrontasi itu di perhebat lagi sekitar Konfrensi Karyawan Pengarang se-Indonesia
(KKPI), yang diselenggarakan di Jakarta pada awal maret 1964 dan yang didukung
oleh berbagai badan dan organisasi non-komunis dengan bantuan angkatan darat.
Setiap minggu Lentera melancarkan serangan seru tidak hanya pada ideology
kontrarevolusioner para manikebuis, melainkan sering juga pada aspek kehidupan
pribadi mereka. Karena PKI dan Lekra juga makin berkuasa dalam politik, usaha
penentang Manikebu ternyata efektif. Presiden Soekarno secara resmi melarang
Manikebu pada 8 Mei 1964, izin terbit majalah Sastra sebagai corong Manikebu
dicabut.[30]
Dalam pertentangan ideologi yang semakin tajam itu Pram memainkan peran
dominan. Dengan penanya sebagai senjata yang ampuh dengan suaranya yang
lantang, Pram terus menerus giat membabat dan menghantam musuh yang tidak
kunjung menyerah.[31]
Pada 9 Mei 1965, Pram menulis karangan dalam Lentera dengan judul Tahun 1965
Tahun Pembabatan Total. Sejarah memang ada ironinya. Judul tersebut ternyata
dalam arti yang terbalik dengan yang dimaksudkan oleh Pram. Pada 30 September
1965, Gestapu sesungguhnya membawa pembabatan total terhadap PKI, Lekra dan
penganut-penganutnya, bukan hanya pembabatan vocal, melainkan juga
pembabatan fisik. Peristiwa itu juga dengan sendirinya membawa kehancuran bagi
Pram.
Pram mulai bekerja pada The Voice Of Free Indonesia sebagai redaktur bagi
penerbitan Indonesia; beberapa bulan kemudian Pram mendapat tugas memimpin
bagian tersebut, sebab pemimpin umum redaksi koran The Voice Of Free Indonesia
tersebut ditangkap oleh NICA karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Pada saat itu Pram juga berkenalan dengan H.B. Jasin, redaktur majalah Pantja Raja,
yang menerbitkan dua cerpen Pram, masing-masing berjudul Kemana?dan Si Pandir.

Tetapi kebebasan tidak berlangsung lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai
melakukan agresi militer pertama. Pram mendapat order dari atasannya untuk
mencetak dan menyebarkan pamphlet-pamflet dan majalah perlawanan. Tetapi dua
hari kemudian Pram tertangkap oleh marinir Belanda.[32]
Ini pertama kali Pram berkenalan dengan kehidupan penjara, pengalamannya
bermacam-macam. Karena Pram menolak kerja paksa, Pram dijatuhi siksaan yang
sangat kejam, dan adakalanya rejim penjara amat bengis. Tetapi ada juga segi
positifnya, antara lain Pram bisa berkenalan dengan Profesor Mr. G.J. Resink, guru
besar hukum tata negara pada fakultas hukum yang menjadi bagian Universitas
Indonesia. Di samping ahli hukum, Resink juga sejarawan yang terkemuka serta
penyair dan esais dalam bahasa Belanda. Perkenalan yang membuahkan
persahabatan seumur hidup: jilid pertama Tetralogi, Bumi Manusia, dipersembahkan
kepada Han, yaitu Resink.
Selama dalam penjara, Pram tidak hanya sempat menulis dan belajar bahasa
Inggris, Pram belajar juga ekonomi, sosiologi, sejarah filsafat, dan kursus
kepustakaan dan perhitungan dagang. Namun, meski kreativitas Pram berkembang
terus selama dalam penjara, sudah tentu dua setengah tahun sebagai tahanan itu
bukan merupakan masa berbahagia dalam riwayat hidupnya.[33]
Akhirnya Desember 1949, Pram dibebaskan bersama kelompok tahanan yang
terakhir. Namun, pengalaman awal yang sangat menggembirakan. Peristiwa yang
amat emosional dan membanggakan, yang dihadirinya sendiri, adalah penurunan
triwarna Belanda dan penaikan dwiwarna Indonesia di depan Istana merdeka.
Nampaknya dengan demikian secara tragis berakhir masa jaya Pram sebagai tokoh
terkemuka di dunia kesastraan Indonesia. Pada awalnya Pram diringkus di penjara
Salemba, lalu disekap dalam penjara di Tangerang, selama empat bulan Pram
dikembalikan lagi ke Salemba, sampai Juli 1969. Pada bulan itu Pram dipindahkan ke
penjara Karangtengah di Nusa Kambangan, tempat penjahat berat dipenjarakan
sejak zaman colonial. Di Nusa Kambangan Pram hanya sebentar, atau bisa
dikatakan hanya transit. Pada tanggal 16 Agustus Pram bersama ribuan sesama
tapol (tahanan politik) diboyong ke Pulau Buru.[34]
Di Buru Pram terpaksa tinggal lebih dari sepuluh tahun. Kehidupan yang pahit dan
pengalaman sebagai tapol, terpisah dari keluarga dan terasing dari dunia sastra
Indonesia, Pram ceritakan dalam Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Saat terpenting
selama sepuluh tahun ketika Pram pada akhirnya bisa menerima mesin tulis dan
mendapat izin untuk menulis (1973)[35], tulisannya saat itu tidak mempunyai arti
besar bagi pengarang sendiri, melainkan juga sastra Indonesia dan dunia, sebab
selama tahun-tahun berikutnya Pram sempat menyelesaikan naskah empat jilid
Karya Buru, Arus Balik, dan beberapa karya lain. Hal itu dimungkinkan oleh
solidaritas rekan-rekan Pram yang membebaskan Pram dari tugas kerja lain,
sehingga Pram dapat membaktikan diri sepenuhnya pada tulisannya.

Baru pada akhir 1979[36] Pram dilepaskan, Pram berangkat dengan rombongan
terakhir. Sejarah terulang lagi, sebab tiga puluh tahun sebelumnya Pram juga
termasuk kelompok tahanan terakhir yang dibebaskan dari penjara Belanda.
Akhirnya Pram dibebaskan di Semarang dan Pram diizinkan pulang keluarganya di
Jakarta yang sejak 14 tahun.
Sejak itu Pram bebas dari penjara, tetapi kebebasan yang Pram dapatkan, hanya
kebebasan semu. Ruang geraknya sebagai warga Indonesia sangat terbatas. Seperti
kebebasan berbicara, menulis juga terus menerus di brendel. Jadi selama 16 tahun
terakhir ini Pram praktis tahanan kota. Hidup sosialnya sebagai anggota masyarakat
Indonesia tidak dapat dilangsungkan lagi, apalagi dikembangkan, Pram tidak dapat
aktif ikut di dunia sastra.
Namun, tidak berarti riwayat hidup Pram telah berakhir. Secara paradoksal dapat
dikatakan bahwa kehadiran Pram di Indonesia masih tetap terasa, bahkan ada
kalanya menonjol. Dalam tahun berikutnya dunia sastra kaget denga terbitnya dua
buku, Bumi Manusia dan Anak semua Bangsa, buah tangan dari pulau Buru. Roman
sejarah tersebut langsung meraih sukses besar, dalam waktu singkat sejumlah
cetakan ulang diperlukan, kritik menanggapi buku itu cukup antusias, walaupun ada
juga yang keras menolaknya. Di luar negeri Pram yang sebagai tapol menjadi
lambang demi hak asasi manusia sekarang menjadi terkenal juga sebagai satrawan
berkaliber internasional. Bukunya juga terbit dalam bahasa Malaysia, demikian pula
dalam bahasa asing, pertama-pertama Nederland, kemudian bahasa Inggris, dan
entah berapa bahasa dunia lain. Namun, di Indonesia pada Mei 1981 kedua buku itu
di larang peredarannya oleh Jaksa Agung, dan nasib yang sama menimpa dua jilid
berikut dari tetralogi Karya Buru, masing-masing berjudul Jejak langkah (1985) dan
Rumah Kaca (1988).[37]
Peran publik dalam kehidupan sastra ternyata tidak mungkin bagi Pram, ketika pada
1981 Pram memberikan ceramah di fakultas sastra UI atas undangan Senat
Mahasiswa, tentang Sikap dan peranan kaum intelektual di Dunia Ketiga,
khususnya di Indonesia. Pram diusir dengan tertulis oleh Dekan. Diinterogasi oleh
Satgas Intel selama seminggu, anggota Senat yang dianggap bertanggung jawab
dipecat dan dipenjarakan. Namun, Pram makin mendapat pengakuan dan
penghargaan internasional. Karya Buru diterjemahkan ke dalam bahasa asing, Barat
maupun Timur. Pram diangkat sebagai anggota kehormatan Pusat PEN di berbagai
negeri, Australia, Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan pada 1988 Pram
menerima Freedom to Write Award dari organisasi PEN di Amerika Serikat. Pram
juga di calonkan untuk Hadiah Nobel Sastra.[38]
Masih ada beberapa buah tangan Pram lain yang terbit, kebanyakan riset histories
yang dilakukan sebelum 1965: antologi sastra pra-Indonesia, dengan judul Tempo
Doeloe (1982): biografi Tirtho Adhi Soerjo Sang Pemula dengan antologi tulisan
pelopor jurnalistik Indonesia (1985), yang juga sejarawan internasional diakui

sebagai sumbangan penting pada penulisan sejarah masa awal gerakan Indonesia.
[39]
Dalam dasawarsa ini pun masih terbit dua buku yang meriwayatkan pengalaman
dan observasi Pram selama di Buru pertama-tama diterbitkan dalam terjemahan
Belanda, jilid pertama kemudian terbit dalam bahasa Indonesia Nyanyian Sunyi
Seorang Bisu pada kesempatan hari ulang tahun Pramoedya yang ke-70 pada 6
Februari 1995, tetapi segera dilarang. Buku ini merupakan semacam kolase,
sebagian bersifat factual mengenai nasib Pram sendiri dan sesama tahanan di Buru,
sebagian lagi perenungan dan observasi yang bermacam-macam. Bagian kedua,
yang versi aslinya belum diterbitkan, mengenai sejumlah surat Pram ditujukan buat
anak-anaknya, tetapi tidak pernah dikirimkan.
Sekali lagi Pram menjadi pusat hebohnya sastra besar di Indonesia yang terjadi
pada tahun 1995, ketika Pram dianugerahi Roman Magsaysay Award for Jurnalism,
Literature, and Creative Communication Arts di Manila. Pengurus yang
bersangkutan memberikan kehormatan yang disertai hadiah UU$ 50.000, kepada
Pram berdasarkan jasanya sebagai pengarang.
Penganugerahan hadiah Magsaysay menimbulkan prahara protes di Indonesia di
antara sejumlah sastrawan dan budayawan, di antaranya Rendra, H.B. Jasin dan
lain-lain. Menunjukkan pernyataan bersama kepada yayasan Hadiah Ramon
Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak
membatalkan putusan itu.[40]
Di anggap sangat ironis bahwa hadiah yang memakai nama, Magsaysay, yang
seumur hidup memperjuangkan demokrasi dan hak asai manusia, sekarang
diberikan kepada penulis yang selama periode ikut memimpin Lekra terbukti anti
demokratis dan ikut menindas hak. Ketika ternyata pengurus yayasan tidak
menerima protes tersebut.
Di Indonesia terjadi dua front, satu pro dan satu kontra Pram. Tiga budayawan
terkemuka yang tidak mau menandatangi pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi,
Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman, kedua yang terakhir dulu juga
penandatangan Manikebu, yang menjadi terror dan penindasan oleh Lekra.[41]
Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak menandatangi pernyataan protes adalah
Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan
terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri dan lain-lain.[42]
Heboh sastra terbaru ini membuktikan, kontroversi lama tetap ada, Pram tetap
keras kepala menolak bertobat dan minta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka
Lekra. Pram tetap penuh amarah terhadap kelakuan yang telah Pram derita selama
20 tahun lebih. Lawannya tidak kurang mendalam rasa dendamnya atas teror pihak
Lekra yang mereka derita, dengan Pram sebagai pemukanya yang paling vocal. Dan

di tengah-tengah ada pihak ketiga, dengan Goenawan Mohammad sebagai wakil


terkemuka, yang berseru kepada kedua kubu agar mereka menepikan rasa curiga.
Demikianlah Pram tetap berada dalam situasi paradoksal. Pada satu pihak Pram
terpaksa hidup sebagai paria yang sudah tiga puluh tahun lebih kehilangan hak
asasinya sebagai manusia dan warga Negara Indonesia, tanpa pernah diadili dalam
proses hukum yang pantas, dan dipaksa bungkam, tanpa diberi kesempatan
membela diri di muka umum. Pada pihak lain Pram tetap hadir, di Indonesia
maupun dunia Internasional, sebagai tokoh raksasa, yang tingkah lakunya di masa
lampau kontroversial, tetapi yang keunggulannya sebagai sastrawan diakui oleh
seluruh dunia.

C. Sepenggal Cerita Lahirnya Novel Tetralogi

Pada akhir tahun 1980[43], Pram melahirkan karya awal dari rangkaian novel
Tetralogi. Yaitu novel Bumi Manusia, yang pada saat itu Pram baru satu tahun keluar
dari penjara di pulau buru. Sebenarnya ide menulis novel Tetralogi, sudah ada pada
awal tahun 1960[44], tetapi baru diedarkan di masyarakat pada tahun 1980.
Kenapa novel tersebut perlu dibuat, karena Pram melihat pengajaran sekolah
semata tidak cukup untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah
pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Dan Pram juga beranggapan
semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik itu
melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa
isi, tidak edukatif, dan juga tidak jujur.[45]
Untuk menyelamatkan novel Tetralogi, karena Pram menulis novel tersebut ketika
masih di dalam penjara. Pram dibantu oleh sahabatnya yang bernama Prof. Mr. G.J.
Resink, biasa di panggil Pram dengan Han.[46] Karena Resink, yang juga
menyelamatkan naskah Perburuan dan Keluarga gerilja. Resink, menyelundupkan
naskah novel itu keluar penjara, demikian pula yang terjadi pada novel Tetralogi.
[47]
Dalam pembukaan buku Bumi Manusia, Pram melegendakan nama sahabatnya
tersebut. Han, memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak ini memang sudah
sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan. Terasa sekali bahwa
Pram merasa sangat berhutang budi, pada sahabatnya tersebut.
Novel Tetralogi tersebut terdiri dari empat jilid, jilid yang pertama berjudul Bumi
Manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, kemudian Rumah Kaca. Setiap jilid
tersebut saling berkait satu sama lain. Empat novel tersebut, kira-kira berkisar
sejumlah 1600 halaman. Makanya diperlukan pemisahan-pemisahan, sehingga
pembaca tidak akan jenuh.

Tokoh protagonis dalam novel tersebut bernama Minke, namun sebenarnya tokoh
Minke tersebut adalah perwujudan dari Tirto Adhi Suryo, nasionalis angkatan
pertama, yang sampai waktu itu kurang mendapat perhatian dalam penulisan
sejarah nasional[48], Tirtoadhisoerjo telah jadi wartawan pada usia 21 tahun, dan
dia adalah wartawan pertama kali di Indonesia.
Minke, adalah anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung menjadi
aggota keluarga semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah
jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap system:
pertama, bersikap sesuai dengan hukum-hukum kebudyaan priyayi dan kedua,
tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi
Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik
yang minimal. Atas dasar tersebut anak priyayi di perbolehkan masuk sekolak
terbaik yang dimiliki kolonial.
Proses belajar Minke berlangsung cukup lama, berliku dan berbelit-belit. Minke
sekolah ditengah-tengah orang Belanda, yang selalu bersikap rasialis. Namun dari
sekolah tersebut Minke mempelajari ilmu pengetahuan Eropa, dan Minke terkagumkagum. Tapi pada akhirnya Minke kecewa terhadap ilmu pengetahuan tersebut,
terutama pada sistem hukum kolonial yang secara tragis merenggut istrinya. Pada
waktu tersebut, Minke juga bertemu dengan guru bahasa Belanda yang termasuk
aliran etis[49]. Dari sana minke sadar bahwa ada jurang tersebut bersifat rasial.
Semenjak awal Minke sendiri sudah mempertanyakan nasibnya sebagai golongan
pribumi yang selalu dilecehkan. Sebagai contoh, antara kelahiran Minke dengan Sri
ratu Wilhelmina mempunyai tanggal, bulan, serta tahun kelahiran yang sama, 31
Agustus 1880. perbedaannya hanyalah pada jam dan kelamin saja. Kalau
berdasarkan perhitungan astrologi (perbintangan), jelas keduanya mempunyai nasib
yang sama.[50]
Tetapi apa yang terjadi yang satu menjadi ratu sementara yang lain menjadi
kawulanya. Dengan realitas social semacam ini, Minke pun sependapat dengan apa
yang di katakan gurunya, Juffrouw Magda Peters yang merujuk pendapat Thomas
Aquinas, bahwa astrologi tidak lebih sebagai lelucon belaka.
Kesadaran sistem yang timpang bukan saja menimpa pada dirinya, tapi juga pada
semua rakyat Indonesia. Apalagi bagi mereka yang secara status sosial tidak
memiliki kedudukan, seperti petani. Hal tersebut sangat jelas diceritakan pada
novel Anak Semua Bangsa, ketika suatu saat Minke bertemu dengan seorang petani
bernama Trunodongso. Yang dipaksa menanam tebu pada tanah milkinya sendiri,
dan ketika petani tersebut menolak maka keluarganya diusir dari tanahnya sendiri.
Sementara itu dalam jilid kedua novel terakhir, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Novel tersebut, bercerita tentang lahirnya SDI (Sarikat Dagang Islam), SDI adalah
cikal bakal lahirnya SI (Sarekat Islam) di Indonesia. Kelahiran SDI disebabkan

pedagang batik yang ada di Sala dan Yogya, untuk menangani perkelahian jalanan
yang sering meledak antara kaum Tionghoa dan Jawa.
SI adalah alat untuk melihat kabangkitan Bumiputera awal abad XX. Gerakan SI
bertujuan untuk melawan sisten perdagangan kolonial Belanda. serpihan-serpihan
keterasingan budaya perlawanan yang bebas masuk ke Hindia Belanda. SI inilah
yang pertama kali melancarkan pemboikotan melalui metode kekerasan. Kiat
gerakan ini telah membuatnya popular dan mendapat dukungan meluas bahkan
hingga di luar kota Surakarta. Kekuatan pengaruh SI ini makin mengagumkan ketika
terbit surat kabar yang bernama Oetoesan Hindia, sebagaimana Indische Party
punya De Express. ISDV itu, berawal dari klub debat sosialis belanda yang didirikan
oleh Henk Sneevlit tahun 1915, berorientasi pada peningkatan kualitas bumiputera
dan pengoorganisiran kekuatan rakyat untuk melawan pres yang ada di Hindia
Belanda.
Meski pada akhir cerita tokoh Minke tersebut akhirnya kalah, dan harus dipenjara
oleh pemerintah yang berkuasa.
Gambaran pada novel Bumi Manusia, novel pertama dari tetralogi. Di dalam novel
tersebut Pram mencoba memotret kekaguman orang-orang jawa yang sangat
terpesona pada kemajuan ilmu pengetahuan yang baru dilihatnya. Meski tidak
semua orang Jawa kagum akan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, karena
kemajuan tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua orang Jawa. Karena yang bisa
menikmati fasilitas tersebut adalah para priyayi, sebab untuk menikmati hal
tersebut harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Dalam novel ini Minke juga
bertemu dengan seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, Nyai tersebut sangat kaya
dan cerdas. Sehingga Nyai tersebut mampu mengasai tuannya, Nyai itu juga yang
memberikan pengajran tentang revolusi Perancis yang membuka mata Minke
melihat system feodal.
Namun dalam novel tersebut bukan hanya sebentuk kekaguman saja, tapi juga
perjuangan untuk menentang ketidakadilan yang diciptakan sistem kolonialisme.
Tetapi, ia pun tidak muncul sama sekali sebagai pemenang yang berhasil
menumbangkan ketidak adilan dalam system ini, melainkan justru harus
menghadapi kenyataan pahit: kalah dengan ditandai direbutnya Annelis dari
sisinya. Novel ini ditutup dengan nada yang sangat pahit: Kita telah melawan, Nak,
Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Justru dari akhir cerita yang seperti ini,
pembaca dibuat menyadari adanya ketidak adilan dalam system kolonialisme[51].
Dalam novel jilid kedua dengan judul Anak Semua Bangsa, Minke bertemu dengan
seorang Cina. Mereka sepasang kekasih, yang ternyata mereka berdua adalah
pelarian dari negaranya karena berusaha melawan kaisar. Kedua orang Cina
tersebut beraliran sosialis, untuk pertama kali Minke belajar tentang sosialisme. Hal
tersebut juga didukung oleh Nyai Ontosoroh, justru Nyai Ontosoroh juga menyuruh
Minke untuk menulis kepada media Belanda. Hingga pada akhir cerita jilid kedua ini,

Minke diminta untuk mendirikan media sendiri yang berbahasa melayu. Sebab
bahasa tersebut dapat di baca oleh setiap orang pribumi, sehingga lebih merakyat.
Maka lahirlah media yang bernama Medan.[52]
Dalam jilid ketiga yang berjudul Jejak Langkah, Minke mulai aktif menulis. Novel ini
juga menggambarkan lahirnya organisasi-organisasi besar, yang mempengaruhi
perjalanan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Seperti Boedi
Oetomo, Serikat Dagang Indonesia, Serikat Islam dan masih banyak lagi. Hingga
perjuangan-perjuangan organisasi-organisasi tersebut dan latar belakang lahirnya
organisasi.
Hingga pada jilid keempat yang berjudul Rumah Kaca, di sini Minke mulai sadar
bahwa alat perjuangan yang paling ampuh adalah jurnalistik, tetapi pada saat
bersamaan gerak Minke mulai diawasi oleh Belanda begitu juga dengan organisasiorganisasi yang ada. Jadi Pram menggambarkan orang Indonesia pada saat itu
seperti dalam kotak kaca, yang tiap gerak-geriknya diawasi oleh Belanda.

D. Penghargaan Yang Diterima Pramoedya

1988: Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989: Anugerah dari The Fund for Freee Expression, New York, Amerika Serikat.
1995: Wertheim Award, for his meritorious services to the struggle for
emancipation of the Indonesian people, dari The Wertheim Foundation, Leiden,
Belanda.
1995: Ramon Magsaysay Award, for Journalism, Literature, and Creative Arts, in
recognition of his illuminating with brilliant stories the hystorical awakening, and
modern experience of the Indonesian people, dari Ramon Magsaysay Award
Foundation, Manila, Filipina.
1996: Partai Rakyat Demokratik Award, hormat bagi Pejuang dan Demokrat Sejati
dari Partai Rakyat Demokratik.
1996: UNESCO Madanjeet Singh Prize, in recognition of his outstanding
contribution to the promotion of tolerance and non-violence, dari UNESCE, Paris,
Prancis.
1999: Doctor of Humane Letters, in recognition of his remarkable imagination and
distinguished literary contribution, his example to all who oppose tyranny, and his
highly principled struggle for intellectual freedom, dari University of Michigan,
Madison, Amerika Serikat.

1999: Chancellers Distinguished Honor Award, for his out standing literary
archievements and for his contributions to etnic tolerance and global
understanding, dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
1999: Chevalier de IOrdre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et
de la Communication Republique Francaise, Paris, Prancis.
2000: New York Foundation for the Art Award, New York, Amerika Serikat.
2000: Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.

Anda mungkin juga menyukai