Pengarang: M. A. Salmoen Negara: Indonesia Bahasa: Indonesia Penerbit: Balai Pustaka Halaman: 135 halaman B ulan November 1945.
Mulyadi, seorang insinyur teknik yang pernah bekerja
sebagai pengawas bangunan dan pabrik di kota Bandung, masuk tentara dengan pangkat sersan mayor. Ia ikut bertempur melawan tentara Belanda di Bandung dan menderita luka pada pahanya. Selama dua puluh hari ia dirawat oleh Palang Merah. Ketika ia dan pasukannya bertempur, ayahnya diculik oleh gerombolan yang menginginkan harta yang pernah dititipkan oleh seorang Jepang. Ibunya, bersama dengan kedua adiknya yang masih kecil, mengungsi ke Bogor. Sementara itu, kedua adiknya yang lain sedang bertempur di garis depan. Setelah sembuh dari luka yang dideritanya, ia menyumbangkan darah untuk menyelamatkan nyawa seorang gadis bernama Mintarsih, seorangs intel yang bekerja untuk kepentingan Republik. Dari gadis itu ia mengetahui bahwa ayahnya diculik gerombolan yang menggunakan kendaraan Pontiac hitam bernomor 1718. Ketika ia menyatakan hendak menyusul ibunya ke Bogor, Mintarsih menyarankan agar menyamar sebagai setoker di kereta api. Namun, sebelumnya, ia ikut serta dalam penyerbuan ke Hotel Savoy Homann tempat para perwira Inggris tinggal. Dengan menyamar sebagai setoker, Mulyadi menyaksikan kekompakan Jawatan Kereta Api dalam bekerja demi kepentingan Republik. Selama di Bogor, ia tinggal di rumah kakek dari pihak ibunya. Ia hampir menjadi korban Raden Wangsa, seorang spion Belanda. Akan tetapi, berkat kecerdikannya, ia berhasil memasang perangkap dengan bantuan Bi Icih hingga mata-mata itu tertangkap. Mulyadi kemudian mencari kendaraan Pontiac hitam yang digunakan oleh gerombolan Amat Sengkek, gerombolan yang menculik ayahnya. Selama penyelidikan itu ia berjumpa dengan Barnas, seorang agen intelijen yang menyamar sebagai tukang loak. Kemudian, mereka sepakat untuk menangkap gerombolan yang beroperasi sepanjang Sukabumi-Bandung. Setelah kembali ke Bandung dan bergabung dengan kesatuannya, pada bulan Maret 1946, Mulyadi memimpin seksinya di utara pinggiran kota Bandung. Bersama dengan anak buahnya, ia melakukan sabotase yang merugikan Belanda; di samping itu ia berhasil menghancurkan gerombolan Arjalin, yang sering meminta harta rakyat dengan cara paksa dan mengatasnamakan kepentingan perjuangan. Hal itu tidak lepas dari peran seorang pemuda bernama Janda yang pandai dalam segala hal. April 1946, Mulyadi mendapat tugas dari atasannya agar membentuk sebuah tim pembebasan tawanan di Tanjung. Ia juga diberi tahu bahwa ayahnya ditawan di tempat itu. Untuk tugas itu, ia memilih delapan orang yang pandai berkelahi dan sudah biasa menyusup ke daerah musuh. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya berangkat. Di Bogor, ia segera menghadap komandan Divisi III untuk mendapatkan peta pertahanan kamp yang akan diserbunya, dan meminta dua puluh empat orang yang tangkas dengan mata yang tidak cacat untuk dilatih menjadi tim komando istimewa. Pada hari yang ditentukan, ia bersama anak buahnya melakukan penyerbuan. Operasi itu berhasil dengan gemilang dan para tawanan berhasil dibebaskan, termasuk ayahnya –Raden Waluya. Mereka segera ditampung LASWI yang dipimpin oleh Letnan Icih, bibinya. Ketika itulah ayahnya menceritakan pengalamannya yang dimulai ketika ia mendapat titipan perhiasan dari seorang Jepang di kantor pos sampai dengan penculikannya oleh gerombolan Amat Sengkek. Setelah melarikan diri dari gerombolan itu, ia ikut menyerang markas NICA bersama orang-orang kampung, tetapi tertangkap dan dikirim ke kamp tawanan di Bogor. Pada hari Sabtu petang, Bi Icih telah merencanakan penangkapan Amat Sengkek dan anak buahnya, yang bertempat di restoran miliknya. Siasatnya berjalan mulus. Amat Sengkek dan anak buahnya muncul di restoran, yang ternyata telah dikepung oleh Letnan Icih dan polisi. Ketika itulah muncul Mulyadi yang telah diberi tahu tentang rencana itu. Ia menodongkan pistol ke arah Amat Sengkek. Namun, pemimpin gerombolan itu mengadakan perlawanan. Mau tak mau, pistol Mulyadi menyalak. Kedua kawan Amat Sengkek mencoba menyerang Mulyadi, tetapi Janda berhasil membunuh seorang di antara mereka. Akan tetapi, seorang lagi berhasil ditangkap hidup-hidup. Pengejaran terhadap gerombolan yang dipimpin Amat Sengkek tidak hanya sampai di situ. Mulyadi bersama anggota pasukannya menyerbu ke sarang gerombolan di kawawan Ranjamandala dengan bantuan lurah dan rakyat setempat membentuk pagar betis. Rakyat yang merasa sakit hati itu dengan liar membunuh gerombolan tanpa ada yang tersisa. Pemandangan itu sangat menyentuh hati kewanitaan Mintarsih. Gadis itu larut dalam pelukan Mulyadi yang mengingatkan kembali perjuangan selanjutnya. “… Untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia. Untuk membela tanah air kita. Apa arti nyawa kita, dibanding dengan nyawa-kemerdekaan Negara kita. Sungguh, tidak berarti”. Keduanya, yang sudah saling percaya itu, kembali ke Bandung melanjutkan perjuangan menegakkan Kemerdekaan Indonesia.