Kelas : XII TKJ I Merah Putih Mentari masih menampakkan sinarnya, tapi di sebuah Desa telah sibuk dengan pekerjaannya. Para petani panggul telah bercucuran keringat, tanpa tahu kapan upahnya dibayar. Mereka bekerja di ladang sendiri. Tapi, menggapa justru mereka yang selalu sengsara. Mereka bekerja untuk Belanda dengan Sistem Kerja Paksa. Tak tahu kapan ini akan berakhir. Setiap Hari mereka bekerja untuk Belanda, belum dengan siksaan yang keras. Hingga korban jiwa pun berjatuhan, tubuhnya kurus kering, kelaparan di mana-mana. Tapi, mereka hanya diam tanpa daya. Mereka hanya bisa melihat, tanpa bisa berbuat apa-apa. Hari ini, ada korban lagi. Melihatnya pun tak kuasa, tubuhnya kurus, tubuhnya kaku, bercucuran keringat dan darah akibat kekejaman Belanda. “Ini tidak biso kito biarkan, kalau kito tidak berjuang, kito akan sengsara terus menerus..!”, ucap Hasyim (seorang pemuda yang berani menentang kekejaman Belanda). Semua mata tertuju padanya. “Lalu apo yang hendak kito perbuat..?, kito telah dikepung. Semua pasukan Belanda mengawasi kito..!”, “Kalau kito bersatu, kito pasti biso melawan Belanda”. “Lalu apo yang biso kito lakukan…?”. Hasyim pun berpikif sejenak untuk memikirkan strategi. Malam Harinya secara diam-diam Hasyim mengadakan perkumpulan para pemuda, untuk mengusir Belanda dari Tanah Air. Pertemuan itu dihadiri kurang lebih 10 pemuda, dan yang satu perempuan. Perempuan itu bernama Pertiwi, ia adalah satu-satunya wanita yang paling disegani oleh kaum Adam, karena Kecerdasannya. “Kito harus mencari bantuan dari luar, karena pasukan kito tak mungkin menang dalam perang ini”, ucap Pertiwi. “Baiklah besok ambo akan mencari bantuan dari luar, secara diam-diam”. “Ide bagus itu, kalau begitu ambo ikut mencari bantuan ke luar”, ucap Mahrus adik Pertiwi, “Kalo begitu kito harus biso mengalihkan pandangan pasukan Belanda di perbatasan Desa kito..!” kata Hasyim, “Ambo akan membantu untuk mengalihkan pandangan mereko”, ucap Pertiwi. Pagi-pagi sekali Hasyim dan Mahrus siap di perbatasan Desa untuk ke luar mencari bantuan. Namun sial mereka terlihat oleh pasukan Belanda, mereka pun dibawa ke markas besar Belanda. Mereka dipenjara selama berhari-hari, tanpa ada yang mengetahuinya. Mereka disiksa, dicambuk hingga berlumuran darah. Di desa Pertiwi sedang menunggu kedatangannya, mengapa sudah seminggu mereka tak kunjung datang. Pertiwi pun mulai resah dan khawatir, bagaimana dengan nasib mereka dan dimana mereka sekarang. Di perjalanannya menuju ke kebun ia mendengar percakapan dua orang tentara Belanda di penggir kebun. Mereka sedang membicarakan kedua tahanan yang ditangkapnya seminggu yang lalu, karena hendak melarikan diri. Pertiwi pun mulai yakin kalau Hasyim dan Mahrus tertangkap oleh pasukan Belanda. Pertiwi kembali ke rumah dan menceritakannya kepada pemuda lain, kalau Hasyim dan Mahrus tertangkap oleh Belanda. Seorang pemuda tunangan Pertiwi memulai pembicaraan “Kalau begitu kito harus menyelamatkan mereko..!. Siapo yang hendak ikut dengan ambo menyelamatkan mereko?”. Semua yang datang tak ada yang berbicara dan hanya saling pandang. Kecuali Pertiwi yang memberanikan diri ikut serta dengan Darus tunangannya itu. “Ambo… ambo akan ikut dengan engkau untuk menyelamatkan mereka!”, ucap Pertiwi dengan lantangnya. “Lalu kalian yang ada di sini, apo kalian tidak membantu membebaskan mereko?”, tanya Darus, “Kami tidak berani Uss… Belanda itu kan kejam!”. “Lalu apa yang kalian perbuat jiko ambo dan Pertiwi pergi nanti?”,tanya Darus kembali. “Kalo kito tidak bersatu kito tidak akan merdeka, kito hanya bekerja untuk Belanda tanpa upah..!. Apo kalian mau anak cucu kalian nanti sengsara seperti Kito.” Tanpa benyak percekcokan Pertiwi dan Darus pun berangkat ke markas besar Belanda itu untuk menyelamatkan mereka. Di sana-sini ada penjaga, jadi mereka pun kesulitan menemukan lokasi Hasyim dan Mahrus. Kemudian mereka mengikuti salah seorang penjaga di markas itu, Namun penjaga itu mengetahui keberadaan mereka, penjaga itu pun berteriak “Penyusuuup… Ada Penyusuuup…”. Dengan sigapnya Darus langsung memukul kepalanya hingga penjaga itu pun terjatuh dan pingsan. Pertiwi dan Darus mencari tempat persembunyian yang aman terlebih dahulu, baru setelah itu mencari Hasyim dan Mahrus. Setelah merasa aman mereka ke luar dari persembunyian, mereka mencoba ke penjara untuk melihat Hasyim dan Mahrus. Saat Pertiwi berjalan ia merasa ada orang yang memanggilnya, tetepi suara itu lirih dan pelan. Pertwi pun menenggok ke segala arah. Dan ternyata ia dipanggil oleh Hasyim, di dalam penjara Mahrus sakit karena tak pernah diberi makan. Dengan keadaan lemah Mahrus tetap dapat berdiri, dan berusaha untuk kabur dari penjara itu. Saat mereka hendak ke luar dari Markas itu, mereka ketahuan oleh pasukan Belanda. Dengan napas yang tersendat-sendat mereka terus berlari sekuat tenaga untuk melarikan diri. Di mana-mana pasukan belanda siap untuk menghadang mereka, dengan kemampuan Bela Diri yang seadanya mereka menumpas pasukan Belanda untuk keluar. Tak lama kemudian mereka mendengar kegaduhan di luar, ternyata di sana juga terjadi peperangan. Seluruh masyarakat desa itu bersatu mengusir para Penjajah. Sambil berteriak “Merdekaaa… Merdekaaaa…”, Darus, Pertiwi, Hasyim dan Mahrus juga turut membantu mereka. Dengan alat seadanya mereka mampu mengalahkan seluruh pasukan Belanda, kecuali Robert pemimpin pasukan Belanda yang kabur melarikan diri. Sebagai rasa senang mereka melakukan sujud syukur atas kemenangan mereka dengan bercucuran darah dan keringat. Sambil mengibarkan Bendera Merah Putih. TAMAT Hasil Analisis - Unsur Intrinsik - Tema : Cerita Penjajahan dan Perjuangan Untuk Merdeka !!! - Latar : - Tempat : Di sebuah Desa - Suasana : Mengharukan dan Penuh Semangat!
- Tokoh : Hasyim, Pertiwi, Mahrus, Darus, Robert.
- Hasyim sebagai Seorang Tokoh Pemuda biasa - Pertiwi sebagai seorang wanita yang disegani oleh kaum Adam - Mahrus sebagai Adik Pertiwi - Darus sebagai tunangan Pertiwi - Robert sebagai Pimpinan Belanda
- Plot/ Alur : Maju
- Unsur Ekstrinsik - Latar Belakang/ Pengarang : Nuzuliah Siti Fatimah - Sosial : Jika Kita Bersama, Kita Pasti Bisa !