AKU baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik jang kuat
menerangi pikrranku. Mula-mula ia hanja berupa kuntjup dari suatu
pemikiran jang mengorek-ngorek otakku, akan tetapi tidak lama
kemudian ia mendjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri.
Dikepulauan kami terdapat pekerdja-pekerdja jang bahkan lebih miskin
daripada tikus-geredja dan dalam segi keuangan terlalu menjendihkan
untuk bisa bangkit dibidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun
demikian masing-masing mendjadi madjikan sendiri. Mereka tidak
terikat kepada siapapun. Dia mendjadi kusir gerobak kudanja, dia
mendjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak
mempekerdjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelajan-nelajan jang
bekerdja sendiri dengan alat-alat—seperti tongkat-kail, kailnja dan
perahu— kepunjaan sendiri. Dan begitupun para petani jang mendjadi
pemilik tunggal dari sawahnja dan pemakai tunggal dari hasilnja.
Orang-orang sematjam ini meliputi bagian terbanjak dari rakjat kami.
Semua mendjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri, djadi
mereka bukanlah rakjat proletar. Mereka punja sifat chas tersendiri.
,,Ja, gan."
,,Ja, gan."
,,Badjak ?"
,,Hasilnja sekedar tjukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnja untuk
didjual."
,,Itu gubuk saja, gan. Hanja gubuk ketjil sadja, tapi kepunjaan saja
sendiri."
"Ja, gan."
Mereka adalah korban dari sistim feodal, dimana pada mulanja petani
pertama diperas oleh bangsawan jang pertama dan seterusnja sampai
keanak-tjutjunja selama berabad-abad. Rakjat jang bukan petanipun
mendjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena
nenek-mojangnja telah dipaksa untuk hanja bergerak dibidang usaha
jang ketjil sekedar bisa memperpandjang hidupnja. Rakjat jang
mendjadi korban ini, jang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia,
adalah Marhaen." Aku menundjuk seorang tukang
gerobak, ,,Engkau....... engkau jang disana. Apakah engkau bekerdja
dipabrik untuk orang lain ?",,Tidak," katanja.,,Kalau begitu engkau
adalah Marhaen." Aku menggerakkan tangan kearah seorang tukang
sate. ,,Engkau...... engkau tidak punja pembantu, tidak punja madjikan
engkau djuga seorang Marhaen.
Dari sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi itu menudju kedepan
untuk mentjegahku terus berbitjara, akan tetapi aku begitu bersemangat
dan menggeledek terus.,,Apa gunanja kita putulan ribu banjaknja
berkumpul disini djikalau jang kita kerdjakan hanja menghasilkan petisi
? Mengapa kita selalu merendah diri memohon kepada 'Pemerintah'
untuk meminta kebaikan hatinja supaja mendirikan sebuah sekolah
untuk kita ? Bukankah itu suatu Politik Berlutut ? Bukankah itu suatu
politik memohon dengan mendatangi Jang Dipertuan Gubernur
Djendral Hindia Belanda, jang dengan rnemakai dasi hitam menerima
delegasi jang membungkuk-bungkuk dan menundjukkan penghargaan
kepadanja dan menjerahkan kepada pertimbangannja suatu petisi ? Dan
merendah diri memohon pengurangan padjak? Kita merendah
diri....memohon, merendah diri memohon.........Inilah kata-kata jang
selalu dipakai oleh pemimpin-pemimpin kita.
Maka mendjalarlah dari mulut kemulut: ,,Di Sekolah Teknik Tinggi ada
seorang pengatjau. Awasi dia." Dengan satu pidato si Karno—jang
pendiam, jang suka menarik diri dan ditjintai membuat musuh-musuh
djadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah ditjoret dari
daftar hitam mereka. Prestasiku jang pertama ini menimbulkan
kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil kekantor Presiden
universitas. ,,Kalau engkau ingin melandjutkan peladjaran disini,"
Professor Klopper memperingatkan, ,Engkau harus bertekun pada
studimu. Saja tidak keberatan djika seorang mahasiswa mempunjai tjita-
tjita politik, akan tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan paling
utama memenuhi kewadjiban sebagai seorang mahasiswa. Engkau
harus berdjandji, mulai hari ini tidak akan ikut-tjampur dalam gerakan
politik."Aku tidak berdusta kepadanja. Aku menerangkan persoalanku
dengan djudjur. ,,Professor, apa jang akan saja djandjikan ialah, bahwa
saja tidak akan melalaikan peladjaran-peladjaran jang tuan berikan
dalam kuliah.",,Bukan itu jang saja minta kepadamu.",,Hanja itu jang
dapat saja djandjikan, Professor.
Akan tetapi djandji ini saja berikan dengan sepenuh hati. Saja berdjandji
dengan kesungguhan hati untuk menjediakan letih banjak waktu pada
studi saja." Ia sangat baik mengenai hal ini. ,,Apakah kata-katamu dapat
saja pegang, bahwa engkau akan berhenti berpidato dalam rapat umum
selama masih dalam studi ?",,Ja, Professor," aku berdjandji, ,,Tuan
memegang utjapan saja jang sungguh-sungguh."Dan djandji ini
kupegang teguh. Berbitjara dihadapan massa bagiku lebih daripada
segala-galanja untuk mana aku hidup. Oleh karena aku tidak dapat
berbitjara membangkitkan semangat rakjatdjelata dalam keadaan
sesungguhnja maka kulakukanlah ini dalam chajalan. Pada suatu malam
rumah Inggit jang disediakan djuga untuk bajar makan penuh dan kami
terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat-tidurku dengan
seorang peladjar.