Anda di halaman 1dari 15

COVER

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dan pertolongan
dalam proses penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.

Dalam kesempatan ini pula penulis juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah
“Filosofi Pendidikan Nasional” yaitu Bpk Dr.Metroyadi, S.H, M.Pd dalam membimbing
penyusunan makalah ini.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Jakarta, 12 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebangkitan nasional adalah masa dimana bangkitnya rasa dan semangat
persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan
kemerdekaan republik Indonesia. bangkitnya nasionalisme di Indonesia dan tumbuhnya
pergerakan nasional Indonesia itu, tidak hanya dipengaruhi adanya pengaruh dari luar
Indonesia saja. Namun reaksi pada masa sebelum tahun 1905 yang pernah dicetuskan
dengan adanya perlawanan senjata dan pemberontakan di berbagai daerah, seperti
perlawanan Pattimura, Diponegoro, pemberontakan petani 1888, Pemberontakan para
ulama dan lain-lain.

Budi utomo yatu organisasi nasional pertama di indonesia, dikarenakan ada nilai-
nilai yang sudah dipandang sebagai bibit pergerakan nasional ini yaitu adanya
penyadaran tentang pendidikan dan budaya. Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917)
merupakan pembangkit semangat organisasi Budi Utomo.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan latar belakang sejarah lahirnya organisasi Budi Utomo?
2. Apa tujuan berdirinya Budi Utomo?
3. Bagaimana Perkembangan Organisasi Budi Utomo terhadap Pemerintah Kolonial?
4.

C. Tujuan Penulisan
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

B. Pergerakan R.A Kartini

1. Biografi R.A Kartini

Di masa maraknya tanam paksa, daerah Jepara harus menyerahkan sepertiga dari tanah
garapannya buat kopi, karet, coklat, dan tebu kepada penjajah. Pada sekitar tahun pencabutan
tanam paksa , seorang asisten Wedana onderdistrik Mayong, kabupaten Jepara , bertemu seorang
gadis rakyat jelata, anak Modirono, buruh pabrik gula bernama Ngasirah. Ngasirah diambil
1
menjadi selir kemudian darinya terlahir R.A Kartini pada tanggal 21 April 1879. Ayah
Kartini R.M.A Sosroningrat, seorang Bupati Jepara, sedangkan kakeknya adalah Bupati Demak
P.A Tjondronegoro, dan bila di tarik garis keturunan leluhurnya maka leluhurnya adalah salah
seorang Raja Jawa.

R.A Kartini cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak, yang terkenal suka akan
kemajuan, beliaulah Bupati yang pertama-tama, yang mendidik anak-anaknya laki-laki atau
perempuan dengan pelajaran Barat. Pada tahun 1846 belum ada ide member pendidikan kepada
Bumiputra, karena itu disuruhnya guru dating dari negeri Belanda supaya anak-anaknya
mendapat pelajaran Barat.

Kelahiran Kartini dari seorang ibu yang berasal dari rakyat jelata, sejak lahir telah menerima
diskriminasi sosial yang tidak adil di lingkungan keluarga, mengingat ibu tuanya Raden Ayu
Sosoroningrat berasal dari keturunan ratu Madura. Persaingan antara ibu kandung dan ibu
tirinya membuatnya tidak mendapatkan kasih sayang penuh dari ibunya. Begitu juga
kedua ibunya adalah wanita kuno. Ibu tuanya seorang ningrat yang meneruskan tradisi
yang mendudukkan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan, sedangkan ibu
kandungnya meneruskan tradisi rakyat, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama
bekerja di sawah dan di rumah untuk mempertahankan keselamatan keluarga dan rumah
tangga.

1
2. Pendidikan R.A Kartini

Kartini hadir di tengah tradisi Jawa yang tidak memperbolehkan seorang perempuan
mengikuti pelajaran dan bekerja di luar rumah, menduduki jabatan di tengah masyarakat.
Seorang perempuan tidak banyak keinginan, dan siap dan bersedia dikawinkan dengan
pilihan orang tuanya. Sejak umur 12 tahun anak perempuan dipingit dan tidak boleh
keluar rumah. Walaupun ada sejumlah anak gadis yang mengenyam pendidikan, tapi
jumlahnya sangat sedikit, seperti pada tahun 1898 tercatat hanya ada 11 perempuan yang
masuk di sekolah Gubernemen (sekolah Belanda).

Dalam tradisi yang ada saat itu, perempuan di larang keras keluar rumah, atau ke
tempat lain. Bersama kakaknya ia masuk sekolah di Sekolah Rendah Belanda, satu-
satunya sekolah di Jepara. di sekolah Kartini melihat diskriminasi yang dipertontonkan
pihak sekolah. Ketika anak-anak dibariskan di depan kelas, mereka dipanggil menurut
kulitnya, putih, sawo mateng, coklat, juga kedudukan orang tuanya dalam kepegawaian
dan susunan sosial.

Dalam suratnya ditujukan kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini menceritakan


diskriminasi yang diterima dari guru dan teman-temannya yang berkebangsaan Belanda,
mereka kadang mentertawakan, mengejek kebodohan orang-orang Pribumi dan
kebanyakan gurunya tidak rela memberikan nilai tertinggi pada anak Jawa.

3. Gagasan –Gagasan dan Pergerakan Perjuangan R.A Kartini

Surat menyurat merupakan bagian penting dalam hidup Kartini, yang kemudian
dihimpun oleh Mr.J.H Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran & Ibadat
Hindia Belanda, surat tersebut diterbitkannya dengan judul Door Duisternis tot Licht,bit
atau Indonesianya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane. Himpunan
surat tersebut diterbitkan pada tahun 1923 dan telah mengalami cetak ulang ke-4,
himpunan ini berisi 105 pucuk surat Kartini, sebuah nukilan dari catatan harian, sajak,
dan Nota yang dikirimkannya kepada pemerintah Nederland.
a. Memerangi tata hidup feodal
Kondisi sosial masa Kartini masih diwarnai tatanan hidup feodalisme.
Bacaannya dari berbagai buku telah memberikan kemampuan analisanya terhadap
tata hidup masyarakat Jawa saat itu. Dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1899
Kartini menuliskan adat di kalangan feodal Pribumi,….”Seorang adikku lelaki
ataupun wanita, tak boleh jalan melewati aku, kalau toh harus melewati, dia mesti
merangkak di atas tanah.. pada setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya
harus mereka tutup dengan sembah. ….aku seorang keturunan ningrat yang
mereka puja, mereka rela mengorbankan harta dan darahnya, sungguh
mengharukan betapa mereka betapa bawahan itu begitu patuhnya terhadap atasa.
Orang-orang di sekitar Kartini telah mengenal sikapnya yang melawan dan
memerangi tata hidup hidup feudal, ia lebih bersimpati pada rakyat jelata dengan
penderitaannya. Kepada kaum feodal ia menyatakan proklamasinya,”Adeldom
verplicht atau Kebangsawanan mewajibkan, artinya makin tinggi kebangsawanan
seseorang, makin berat tugasnya terhadap tugas dan kewajibannya kepada rakyat.
Dalam beberapa suratnya Kartini menunjukkan penegenalannya yang
mendalam tetntang rakyatnya. Dari observasinya yang tajam timbul penegetahuan
dan wawasan, dan lebih dari itu kecintaan dan ketulusannya berkembang menjadi
patriotism yang luas dan nasionalisme yang posisional. Ia melihat feodalisme
merupakan tata hidup yang memecah belah masyarakat dalam lapisan dan susunan
hamba berhamba sehingga kaum feodal ia lihat sebagai penghalang tumbuhnya
persatuan.
b. Harapan Kartini Tentang Pers
Pada masa hidupnya pers yang berbahasa Melayu dan Jawa belumlah sampai
pada fungsi perjuangan. Saat itu yang dimuat hanya berita-berita dalam dan luar
Negeri, sensasi-sensasi murah dan fitnah terhadap orang tidak disukai. Karena itu,
Kartini berpendapat bahwa pers merupakan alat untuk perjuangan. Ia bersorak
girang waktu “ ikatan pemuda generasi baru yang menyelesaikan studi di
Nederland menerbitkan Bintang Hindia berbahasa Melayu dan Belanda. Dalam
notanya Kartini menuliskan:
“ Dan Selalu menjadi Maksudku untuk mengangkat suara keras-keras, karena
hanya publikasi saja yang dapat membawakan perbaikan-perbaikan yang kita
harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu….”
c. Menghimpun dongeng dan nyanyian tradisional
Di saat dunia pribumi belum mempunyai perhatian terhadap dongeng dan
nyanyian tradisional, Kartini telah berinisiatif menghimpun dogengan-dongengan
rakyat, ia menuliskan hal itu dalam suratnya yang dikirim tertanggal 20 agustus
1902, ia mengatakan:
“Kerja menghimpun dongengan-dongengan membawa kami berhubungan dengan
berbagai orang, dan ini memberikan kenikmatan besar karena dapat
mendengarkan pikiran-pikiran mereka. Dengan bahasa sederhana namun
demikian bergayanya pikiran-pikiran terindah itu diucapkan, dan begitu
mengharukan karena tepatnya kebenaran dan kebijaksanaan yang di
kandungnya.”
Dari perhatiannya terhadap dongeng dan nyanyian tradisional rakyat saat itu,
Kartini mendapatkan keunggulan-keunggulan tradisi lokal yang semakin jelas
memunculkan semangat nasionalisnya hingga ketika ia telah memasuki alam
perkawinan ia masih sibuk dengan gagasan ini.
d. Sastra sebagai alat mewujudkan cita-cita perjuangan
Di usianya ke 21 tahun, di saat belum munculnya tradisi sastra, Kartini, telah
sampai kepada suatu paham bahwa yang pertama adalah cita-cita sebagai hasil
kehidupan kejiwaan dari pemahamannya terhadap keadaan sosialnya, dan cita-cita
inilah dapat diwujudkan melalui seni. Seni merupakan salah satu alat terpenting
dalam perjuangan bagi mereka yang tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan
di bumi Nusantara. Dalam suratnya ia katakana:
“sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan
cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”
e. Batik, Seni Pahat, dan Pandai Emas dan Perak sebagai seni rakyat
Seni batik adalah seni yang telah dia pelajari sejak usia 12 tahun dari seorang
pekerja kabupaten bernama embok Dullah. Pada setiap acara penting, Kartini dan
saudara-saudaranya mengenakan batik buatan sendiri untuk membanggakan
keunggulan seni rakyat pribumi. Di usianya yang ke 19 tahun, Ia telah menulis
buku dalam bahasa belanda tentang proses pembuatan batik berjudul Handschrift
Jepara. Buku ini ditulis ketika di Den Haag, Nederland tahun 1998 di adakan
pameran Pameran Nasional untuk Karya Wanita untuk stand yang bernama jawa
Pengaruh Handschrift Jepara tidak kecil, terbukti dengan mulai bangkitnya
perhatian orang di Nederland terhadap seni rakyat Hindia, termasuk di dalamnya
seni batik menjadi terkenal. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Estelle
Zeehandelaar ia menuliskan:
“Siapakah yang dapat menggarap kepentingan-kepentingan kesenian Jawa
dengan lebih baik kalau bukan putra rakyat sendiri, yang lahir bersama
kecintaannya pada kesenian Pribumi…”
Perhatiannya terhadap seni rakyat mulai menguat saat kunjungan bersama
keluarga Bupati Jepara ke kampung Blakang Gunung. Di tempat ini ia melihat
para pengerajin, pengukir,pandai besi, dan pemahat kulit yang punya keahlian
tinggi, namun hidupnya jauh dari menyenangkan, keadaan sosialnya tidak
sebanding dengan keahliannya hidup di gubuk bambu beratap daun nipah.
Merespon kondisi ini Kartini melakukan dua hal:
Pertama, mengusakan publikasi tentang para pengerajin melalui prosa tentang
tanah kelahirannya Jepara dengan judul “Van een Uitboekje atau Pojok yang
Dilupakan, tentang seni ukir Jepara. Prosa ini pada dasarnya memperkenalkan
keadaan sosial-ekonomi para pengerajin sehingga menggugah pikiran pembacanya
menjadi bersimpati sehingga ukiran Jepara menjadi model penghias rumah di
keluarga-keluarga bangsawan Pribumi, Keluarga Eropa, para pedagang, dll.
Keberhasilannya mendokrak penjualan ukiran Jepara diungkapkan dalam suratnya:
“Duh betapa manis terasa di hati, disebabkan sekarang orang mulai mengenal
dan menghargai hasil-hasil kesenian negeri kami,……kami bangga dengan rakyat
kami, yang begitu sedikit dikenal …Hore! Demi seni dan tangan kerajinan
Pribumi. Dengan para pengerajin itu menghadapi hari depan lebih indah.”
Kedua, Melindungi kepentingan para pengerajin dari perusakan-perusakan
yang dilakukan tanpa sadar atas seni rakyat. Dalam tulisannya, “ Ada terjadi
perusakan-perusakan di dalam industry seni Jakarta, karena putrid-putri para
amtenir tinggi Pribumi terus menerus mendorong para pengukir itu bekerja
menurut model dan motip eropa” usaha kartini mempertahankan identitas budaya
lokal di saat perempuan Pribumi lain tidak memikirkan budayanya akan hilang di
tengah cengkarama penjajah.
Ketiga, mengirimkan contoh-contoh ukiran kayu ke beberapa tempat, sampai
ke pada Sri Ratu.
Kartini adalah Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara, karena
usaha-usahnya yang tak kenal lelah dan tak mengharapkan untung, telah
menghidupkan, bahkan mengembangkan seni rakyat yang hampir punah. Kartini
wafat tanggal 17 September 1904, tiga hari setelah melahirkan putranya.

3. Transpormasi Spritual RA. Kartini

Dalam perjalanan spritualnya Kartini pernah membaca Buddisme sehingga dalam suratnya
bercerita tentag pengalamannya tentang sinkritisme. Simpatisnya juga jiwanya telah terpengaruh
Ramabai sosok wanita india telah mengisi kekuatan alam pikirannya, namun itu analisa terakhir
sebagaimana yang tulis teguh Setiawan, wartawan Senior Republika menulis tentang
transpormasi spiritual RA Kartini dalam tulisannya sejalan dengan informasi dalam buku
Islam Nusantara yang ditulis Noerul Huda.

Sebelum pertemuannya dengan KH.Saleh Darat, RA. rtini sangat resah karena-
sebagai seorang muslim- tidak mampu memahami Alqur’an dan sangat merindukan kitab
tafsir Alqur’an dalam bahasa Jawa. Keresahannya pernah diungkapkan kepada
sahabatnya, Zeehandelaar, melalui surat yang tertanggal 18 Agustus 1899. Di dalamnya
Kartini, mengatakan:

“Karena Alqur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke bahasa manapun. Di sini
tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab.
0rang di sini diajar membaca Alqur’an, tetapi yang dibacanya tiada dimengerti”

Pertemuannya dengan KH. Saleh Darat terjadi ketika mengikuti sebuah pengajian di
Pendopo Kabupaten Demak pada tahun 1901. Kegembiraan atas pemahaman yang
didapatkan tentang Alqur’an pernah ditulis dalam surat kepada C.E. Abendanon:

“Alangkah bodohnya kami, kami tiada tahu bahwa sepanjang hidup kami ada gunung
kekayaan di samping kami”

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini


tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober
1902 kepada Ny Abendanon.

“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang
terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-
kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan.”

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran
fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang
Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Menjelang pernikahannya dengan bupati Rembang kartini sempat mendapat hadiah
sebuah kitab tafsir Alqur’an dari Kiai Saleh Darat, selang kemudian, Kiai Saleh Darat
wafat pada tahun pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.
BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai